Anda di halaman 1dari 33

KECERNAAN BAHAN KERING (BK) DAN BAHAN ORGANIK (BO)

PAKAN KONSENTRAT BERBAHAN POLLARD DENGAN LEVEL


BERBEDA PADA KAMBING PE

skripsi

Oleh :

Veronika Nababan

NPM. E1C013085

program studi peternakan


jurusan peternakan
fakultas pertanian universitas bengkulu
2017
RINGKASAN

KECERNAAN BAHAN KERING (BK) DAN BAHAN ORGANIK (BO) PAKAN


KONSENTRAT BERBAHAN POLLARD DENGAN LEVEL BERBEDA PADA
KAMBING PE (Veronika Nababan, dibawah bimbingan Dwatmadji dan Tatik Suteky,
2017. 31 Halaman)

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kecernaan BK dan BO pakan


konsentrat berbahan pollard yang diberi pada kambing PE. Penelitian ini terdiri dari 3
perlakuan dimana setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan dengan jumlah kambing PE
sebanyak 12 ekor. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap, dengan perlakuan
P1 (Pakan HPT dan konsentrat dengan 20% pollard), P2 (Pakan HPT dan konsentrat
dengan 25% pollard), P3 (Pakan HPT dan konsentrat dengan 30% pollard). Variabel yang
diukur yaitu data konsumsi pakan hijauan dan konsentrat (BK dan BO), produksi feses
(BK dan BO), dan kecernaan pakan (BK dan BO), hijauan pakan ternak diberikan ad
libitum.

Dalam pelaksanaannya, penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap koleksi
sampel yang dilakukan di Setyolembu Farm Kab. Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah, tahap
penggilingan sampel di laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas
Bengkulu dan tahap analisis proksimat dilakukan di Laboratorium PAU IPB Bogor. Data
yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Jika hasil analisis
dari penelitian ini berpengaruh nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan Least Significance
Different (LSD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pollard 25% dalam komposisi penyusun
konsentrat mampu meningkatkan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO),
tetapi penambahan level pollard 30% menurunkan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan
organik (BO). Namun demikian, pollard sebagai bahan pakan secara nyata dapat
meningkatkan konsumsi bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) pada kambing PE.

(Program Studi Peternakan, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu)

i
SUMMARY

DRY MATTER (DM) AND ORGANIC MATTER (OM) DIGESTIBILITY OF FEED


CONCENTRATES MADE FROM POLLARD WITH DIFFERENT LEVELS ON THE
GOATS PE (Veronika Nababan, under the guidance of Dwatmadji and Tatik Suteky,
2017. 31 pages).

The needs of meat has increased each year. One farm commodities that can be used as a
meat supplier is the goat.  One of the factors to consider in the livestock business is the
availability of feed.  Feed contributed to 70% of total production costs. Efforts that can be
made is by making use of agricultural waste as a feedalternative to livestock. Pollard is
a by-product from the processing of wheat. Pollard is a popular and important feed on
fodder for palatability is high enough.

This study aimed to evaluate the level of DM and OM digestibility feed concentrates made
by pollard who was given on the goat PE. The study consisted of three treatment where
each treatment consisted of 4 replicates with a population of as many as 12 PE goat. This
study uses a completely randomized design, with P1 treatment (forage Feed and
concentrate with 20% pollard), P2 (forage Feed and concentrate with 25% pollard), P3
(forage Feed and concentrate with 30% pollard). The measured variable is the data
consumption of forage and concentrate (DM and OM), production of faeces (DM and
OM), and the digestibility of the feed (DM and OM), forage was given ad libitum.

In practice, this study is divided into three stages, namely the sample collection phase
conducted in Setyolembu Farm Kab. Sukoharjo, Central Java, milling phase samples in the
laboratory of Soil Science, Faculty of Agriculture, University of Bengkulu and proximate
analysis phase conducted at the Laboratory of PAU IPB Bogor. Data were analyzed using
analysis of variance (ANOVA). If the results of the analysis of this study significant (P
<0.05), then followed by the Least Significance Different (LSD).

The results showed that the addition of pollard 25% in the composition of the concentrate
constituent can improve the digestibility of dry matter (DM) and organic matter (OM), but
the addition of pollard level 30% lower the digestibility of dry matter (DM) and organic
matter (OM). However, pollard as feed material can significantly increase the consumption
of dry matter (DM) and organic matter (OM) in goats.

(Study Program of Animal Husbandry, Department of Animal Husbandry, Faculty of


Agriculture, University of Bengkulu).

ii
iii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat
keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau
meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang menunjukkan gagasan atau
pendapat atau pemikiran dari penulis lain, yang saya akui sebagai bagian tulisan saya
sendiri, dan atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin, tiru, atau
ambil dari tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Bengkulu, Maret 2017

Veronika Nababan.

NPM. E1C013085

iv
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Siaro Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara


Sumatera Utara pada tanggal 20 September 1995. Penulis bersekelolah untuk yang pertama
sekali yaitu di SDN No 175771 Siaro, Siborongborong, SMP N 1 Siborongborong, SMA N
1 Siborongborong, Tapanuli Utara.

Penulis kemudian melanjutkan studi ke perguruan tinggi Universitas Bengkulu pada tahun
2013 melalui jalur SBMPTN. Penulis melaksanakan Kuliah Lapang (KL) di BIBD Talang
Kering, Bengkulu selama 14 hari kerja pada bulan Januari 2016. Penulis melakukan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) periode 79 di desa Embong Uram, Kecamatan Uram Jaya, Kabupaten
Lebong pada tanggal 1 Juli- 31 Agustus 2016.

Untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1), penulis melaksanakan
penelitian yang berjudul “Kecernaan Bahan Kering (BK) dan Bahan Organik (BO) Pakan
Dengan Konsentrat Berbahan Pollard Dengan Level Berbeda pada Kambing PE” yang
bertempat di Setyolembu Farm Kab. Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah dan analisis
proksimat dilakukan di laboratorium PAU IPB Bogor.

v
KATA PENGANTAR

1. Selama melakukan penulisan skripsi ini yang dimulai dari perencanaan sampai dengan
selesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak dalam bentuk moril maupun materi. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan banyak terimakasih yaitu kepada:
2. Kedua orangtuaku, bapak dan mamak yang telah membesarkan serta mendidikku
dengan sangat baik, yang selalu mendoakan yang terbaik untukku, dan senantiasa
memberikan dukungannya.
3. Adik-adikku Marulitua, Kristini, Laura dan Aril yang selalu menyemangati dan
memberikan dukungan selama dalam masa studiku.
4. Bapak Ir. Dwatmadji, M.Sc, PhD. selaku pembimbing utama yang selalu memberikan
dukungan dan arahan kepada penulis dalam penyelesaian karya ini.
5. Ibu drh. Tatik Suteky, M.Sc. selaku pembimbing pendamping yang dengan sabar
mendidik kami selama penelitian berlangsung.
6. Ibu Dr. Ir. Endang Sulistyowati, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan kepada penulis.
7. Ibu Ir. Siwitri Kadarsih, M.S. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan
masukan kepada penulis.
8. Bapak Dr. Ir. Bieng Brata, M.P. selaku Ketua Jurusan Peternakan Universitas
Bengkulu.
9. Ibu Dr. Irma Badarina, S.Pt., M.P. selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing dalam kegiatan akademik penulis.
10. Bapak Gianto dan keluarga yang telah mengijinkan saya untuk melakukan penelitian
di Setyolembu Farm, Sukoharjo, Jawa Tengah.
11. Rekan-rekan penelitian: Naomi Purba, Enjel Saragih, Mei Manurung, Indah Lestari,
dan Mafika Sari yang telah berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan penelitian
ini.
12. Almamaterku Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
13. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam proses penyusunan skripsi ini.
“Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, merupakan ungkapan yang tepat untuk
disampaikan kepada pembaca. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata
kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki
penulis, maka dari itu penulis mengharapkan perbaikan-perbaikan dimasa mendatang
agar skripsi ini dapat lebih baik lagi.

Bengkulu, Maret 2017

Veronika Nababan

vi
NPM. E1C013085

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................vii

I. PENDAHULUAN..............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1


1.2 Tujuan Penelitian..........................................................................................................2
1.3 Hipotesis.......................................................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3

2.1 Kambing Peranakan Etawa (PE)..................................................................................3


2.2 Kecernaan.....................................................................................................................3
2.2.1 Kecernaan bahan kering (BK)...............................................................................4
2.2.2 Kecernaan bahan organik (BO).............................................................................4
2.3 Limbah Pertanian sebagai Pakan Ternak.....................................................................4
2.3.1 Pollard....................................................................................................................4
2.3.2 Dedak padi.............................................................................................................5
2.3.3 Bungkil kedelai......................................................................................................5
2.3.4 Tongkol jagung......................................................................................................5
2.3.5 Ampas tapioka.......................................................................................................5
2.3.6 Mollases.................................................................................................................6
2.3.7 Starbio....................................................................................................................6
2.3.8 Garam.....................................................................................................................6
2.3.9 Body Condition Score (BCS)................................................................................6
III. METODE PENELITIAN.................................................................................................8

3.1 Waktu dan Tempat.......................................................................................................8


3.2 Bahan dan Alat.............................................................................................................8
3.3 Rancangan Percobaan...................................................................................................8
3.4 Tahapan Penelitian.......................................................................................................9
3.4.1 Pembuatan pakan...................................................................................................9
3.4.2. Persiapan kandang................................................................................................9
3.4.3. Penanganan ternak..............................................................................................10
3.5 Variabel yang Diamati................................................................................................10
3.5.1 Konsumsi pakan...................................................................................................10
vii
3.5.2 Produksi feses......................................................................................................10
3.6 Analisis Laboratorium...............................................................................................10
3.7 Analisis Data..............................................................................................................11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................................12

4.1 Konsumsi Bahan Kering (BK)...................................................................................12


4.2 Produksi Feses Dalam Bahan Kering.........................................................................13
4.3 Kecernaan Bahan Kering............................................................................................13
4.4 Konsumsi Bahan Organik...........................................................................................14
4.5 Produksi Feses Dalam Bahan Organik.......................................................................15
4.6 Kecernaan Bahan Organik..........................................................................................15
V. KESIMPULAN...............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................18

LAMPIRAN.........................................................................................................................21

viii
Page 1 of 34

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan akan hasil ternak seperti daging dan susu semakin meningkat setiap
tahunnya. Hal ini dipengaruhi dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, kesadaran
akan kebutuhan gizi. Pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya disuplai dari ternak sapi.
Namun, ketersediaannya masih belum memenuhi sehingga masih dilakukan impor. Salah
satu komoditas peternakan yang dapat digunakan sebagai pemasok daging adalah ternak
kambing. Sistem pemeliharaan kambing tergolong mudah sehingga dapat dilakukan oleh
peternak kecil sampai ke perusahaan peternakan besar. Menurut Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (2015), populasi ternak kambing di Indonesia pada
tahun 2011 sebanyak 16.946.186 ekor, tahun 2012 sebanyak 17.905.862 ekor, tahun 2013
sebanyak 18.500.321, pada tahun 2014 sebanyak 18.639.533 ekor dan pada tahun 2015
sebanyak 18.879.596 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,29 setiap tahunnya. Dengan
demikian peluang untuk mengembangkan ternak kambing masih sangat bagus.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini salah satunya adalah
dengan memanfaatkan limbah pertanian sebagai bahan pakan alternatif untuk ternak. Salah
satu limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak adalah
pollard. Pollard adalah hasil sampingan dari proses pengolahan gandum. Rianto (2004)
menyatakan bahwa hasil samping penggilingan gandum dapat dibedakan menjadi tiga
yaitu bran, pollard, dan tepung anggrek. Bran dan pollard dimanfaatkan untuk makanan
ternak. Pollard merupakan pakan yang popular dan penting pada pakan ternak karena
palatabilitasnya cukup tinggi. Pollard tidak mempunyai antinutrisi, tetapi penggunaan
pollard perlu dibatasi mengingat adanya sifat pencahar pada pollard.

Karena adanya sifat pencahar tersebut, maka pollard akan bernilai sangat baik
apabila diberikan pada ternak (Sariubang dan Ismartoyo, 1983). Kelebihan dari bahan
pakan jenis dedak adalah mengandung karbohidrat yaitu 58,8-66,2 persen, mengandung
energi, protein, vitamin, mineral, asam amino, dan serat kasar. Pollard tersusun atas kulit
gandum dan pati yang menempel dan masih tercampur dengan kulit luarnya beserta
lembaganya disamping sebagai sumber energi juga sebagai sumber vitamin terlarut kecuali
niasin (Wahyuni, 2004). Kandungan protein pollard rata-rata 16,4 persen, sehingga sangat
berpotensi digunakan sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan
protein.

Pollard adalah bahan pakan yang dapat digunakan sebagai campuran ransum karena
mengandung tepung dan energi lebih tinggi (Gebremedhin et al., 2009). Pollard sebagai
bahan pakan mengandung zat nutrisi yang terdiri dari air dan bahan kering. Bahan kering
terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik. Sedangkan bahan organik terdiri dari
protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin.
Page 2 of 34

Sifat fisik dan kimia dari pollard setara dengan sifat fisik dan sifat kimia dedak padi.
Pollard dapat menggantikan posisi dan fungsi dedak padi (seluruh atau sebagian). Kualitas
protein pollard lebih baik dari jagung, tetapi rendah daripada kualitas protein bungkil
kedelai, susu, ikan dan daging. Pollard kaya akan phospor (P) feerum (fe) tetapi miskin
akan kalsium (Ca). Pollard mengandung 1,29% P, tetapi hanya mengandung 0,13% Ca.
Bagian terbesar dari P ada dalam bentuk phitin phospor. Pollard tidak mengandung vitamin
A, tetapi kaya akan vitamin B seperti niacin dan thiamin (Anonymous, 2010).

Ternak membutuhkan bahan organik maupun bahan anorganik tetapi bahan organik
lebih banyak dibutuhkan (Tillman et al., 1989). Pollard mengandung 88,4% bahan kering
(BK), dan dalam 100% BK, pollard mengandung 17,0% protein kasar (PK), 8,8% serat
kasar (SK), 5,1% lemak kasar (LK), 45% bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan 24,1%
abu (Hartadi et al., 1993). Pemberian dedak gandum (pollard) meningkatkan konsumsi
bahan kering dan pemanfaatan berbagai nutrisi pada kambing dengan pakan campuran
jerami sebagai sumber serat (Maity et al., 1999). Penelitian tentang penggunaan pollard
dan limbah pertanian sebagai pakan untuk kambing masih sedikit, maka pemberian pollard
dalam pakan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan yang potensial.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kecernaan BK dan BO pakan
limbah pertanian pollard yang diberi pada kambing PE.

1.3 Hipotesis
Berdasarkan kandungan nutrisi yang ada pada pollard, diduga pollard sebagai bahan
pakan dapat meningkatkan kecernaan BK dan BO pada kambing PE.
Page 3 of 34

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kambing Peranakan Etawa (PE)


Kambing adalah salah satu jenis ternak memamah biak yang mempunyai ukuran
sedang. Kambing sudah dibudidayakan manusia kira-kira 8000 hingga 9000 tahun yang
lalu (Wikipedia, 2016). Urutan taksonomi pada kambing secara umum adalah sebagai
berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Family : Bovidae
Sub family : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : Capra aegagrus
Sub spesies : Capra aegagrus hircus
(Linnaeus, 1758) dikutip dari Wikipedia (2016).

Kambing Peranakan Etawa (PE) merupakan kambing hasil persilangan antara


kambing Kacang betina dengan kambing Etawa jantan. Menurut Devendra dan Burn
(1994), kambing Etawa merupakan bangsa kambing yang paling populer dan dipelihara
secara luas sebagai ternak penghasil susu di India dan Asia Tenggara. Kambing Etawa
berasal dari sekitar sungai Gangga, Jumna dan Chambal di India. Populasi kambing ini
banyak terdapat di distrik Ettawah, sehingga lebih terkenal dengan kambing Etawa.

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan ternak tipe dwiguna tetapi pada
peternakan sering diambil susunya. Menurut Triwulaningsih (1986) produksi susu kambing
PE sekitar 0,498 – 0,692 liter per ekor per hari dengan produksi tertinggi dicapai 0,868
liter. Menurut Devandra dan Burn (1994) rataan produki susu kambing Etawah berkisar
0,7–1,0 kg per hari dengan rata-rata waktu laktasi 140 hari. Dengan sistem manajemen
yang baik maka periode laktasi dapat dilakukan sampai 9 bulan dengan puncak produksi
pada bulan pertama dan kedua, dan dapat mencapai produksi 4 liter/ekor/hari. Rata-rata
bobot lahir kambing Peranakan Etawah adalah 3,5–4 Kg. Berat sapih anak jantan dan
betina kambing Peranakan Etawah adalah sekitar 13 kg dan 11 kg (Anonymous, 2015).
Standar lingkar dada untuk kambing Peranakan Etawah betina dewasa adalah 80,1 cm.
Persentase karkas 51% dengan kenaikan bobot badan rata-rata 50-150 gram/hari
tergantung dari pakan yang diberikan (Pamungkas et al., 2009).
Page 4 of 34

2.2 Kecernaan
Menurut Ismail (2011), kecernaan dapat diartikan sebagai selisih antara jumlah zat
makanan yang dikonsumsi dengan yang diekskresikan didalam feses dan dianggap telah
diserap dalam saluran pencernaan ternak. Faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu
kandungan serat kasar, kandungan protein kasar, spesies ternak, jumlah pakan yang
diberikan, serta perlakuan terhadap bahan pakan (Tilman et al., 1989). Sementara
berdasarkan McDonald et al. (2002), bahwa faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah
komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan yang satu dengan
bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak, dan taraf
pemberian pakan.

2.2.1 Kecernaan bahan kering (BK)


Bahan Kering (BK) adalah komponen bahan pakan ternak yang sudah tidak
mengandung air. Pengetahuan mengenai bahan kering pada pakan ternak diperlukan untuk
perhitungan penyusunan dan pemberian pakan ternak (Anonymous, 2014). Kecernaan
bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein
memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi, 1979). Untuk
menentukan kecernaan suatu bahan pakan, didasarkan pada bahan kering dari pakan
tersebut. Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang
berbeda-beda dalam mendegradasi ransum, sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan
(Parakkasi, 1995).

2.2.2 Kecernaan bahan organik (BO)


Bahan organik secara umum dibagi menjadi dua bagian,yaitu bahan organik dengan
Nitrogen dan bahan organik tanpa nitrogen. Bahan organik (Organik matter) adalah selisih
bahan kering dan abu yang secara kasar merupakan kandungan karbohidrat, lemak dan
protein, sedangkan bahan organik tanpa nitrogen (BOTN / Non nitrogenous organik
matter) adalah selisih bahan organik dengan protein kasar yang merupakan gambaran
kasar kandungan karbohidrat dan lemak suatu bahan/pakan. Bahan organik merupakan
komponen bahan kering pakan selain abu yang bila difermentasi di dalam rumen akan
menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak (Basri,
2014). Menurut Blummel (1997), nilai kecernaan bahan organik (KBO) didapatkan melalui
selisih kandungan bahan organik (BO) awal sebelum inkubasi dan setelah inkubasi,
proporsional terhadap kandungan BO sebelum inkubasi tersebut. Kecernaan bahan organik
erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri
dari bahan organik.

2.3 Limbah Pertanian sebagai Pakan Ternak


2.3.1 Pollard
Pollard merupakan salah satu pakan ternak yang popular dan nilai produksi yang
dihasilkan nampaknya lebih besar daripada yang diperkirakan dari kandungan protein dan
kecernaan nilai zat makanannya. Pollard merupakan limbah dari penggilingan gandum
Page 5 of 34

menjadi terigu. Angka konversi pollard mencapai 25-26% dari bahan baku gandum
(Anonymous, 2010). Pollard atau dedak gandum mempunyai sifat yang voluminous dan
berserat tinggi sehingga kurang disukai penggunaannya pada ternak sapi finisher. Kualitas
protein pollard lebih baik dari jagung, tetapi rendah daripada kualitas protein bungkil
kedelai, susu, ikan dan daging. Pollard kaya akan phospor (P) feerum (Fe) tetapi miskin
akan kalsium (Ca). Pollard mengandung 1,29% P, tetapi hanya mengandung 0,13% Ca.
Bagian terbesar dari P ada dalam bentuk phitin phospor. Pollard tidak mengandung vitamin
A, tetapi kaya akan vitamin B seperti niacin dan thiamin (Anonymous, 2010).

2.3.2 Dedak padi


Dedak padi secara umum dibagi menjadi beberapa bagian yaitu dedak kasar atau
pesak, dedak lunteh (halus), dan bekatul. Pemakaian dedak padi dalam ransum ternak
umumnya sampai 25% dari campuran konsentrat. Walaupun tidak mengandung zat
antinutrisi, pembatasan dilakukan karena pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan susahnya pengosongan saluran pencernaan karena sifat pencahar pada
dedak. Dedak padi yang berkualitas baik mempunyai protein rata-rata dalam bahan kering
adalah 12,4%, lemak 13,6% dan serat kasar 11,6%. Dedak padi menyediakan protein yang
lebih berkualitas dibandingkan dengan jagung. Dedak padi kaya akan thiamin dan sangat
tinggi dalam niasin (Anonymous, 2010).

2.3.3 Bungkil kedelai


Bungkil kedelai adalah salah satu bahan makanan ternak sebagai sumber protein
dalam ransum karena bungkil kedelai mengandung protein ± 42,7 % dengan kandungan
energi metabolisme sekitar 2240 Kkal/Kg, dan kandungan serat kasar yang rendah
(Anonymous, 2013). Bungkil kedelai merupakan limbah dari industri pengolahan minyak
kedelai. Selain kandungan protein yang tinggi, bungkil kedelai bagus digunakan karena
memiliki kadar lemak yang lebih rendah setelah diekstraksi minyaknya secara mekanis
(ekspeller) atau secara kimia (solvent). Bungkil kedelai yang dihasilkan secara mekanis
lebih banyak mengandung minyak dan serat kasar, serta lebih sedikit kandungan
proteinnya dibandingkan dengan bungkil kedelai yang dihasilkan dengan menggunakan
larutan hexan (Ali, 2006). Pemakaian bungkil kedelai umumnya dikombinasikan dengan
bahan pakan butiran seperti jenis padi.

2.3.4 Tongkol jagung


Jagung memiliki keunggulan dibandingkan dengan bahan pakan lainnya, yakni
sebagai pakan sumber energi. Jagung memiliki kandungan EM 3370 Kkal/kg, PK 8,6%
dan Lemak Kasar 3,9% (Wahyu, 2004). Tingginya produksi jagung menghasilkan jumlah
limbah yang cukup banyak baik berupa jerami maupun tongkol jagung. proporsi tongkol
jagung dari jumlah buahnya sebesar 20%, sehingga jumlah tongkol jagung yang diproduksi
di Indonesia sebesar 3.518.461,8 ton/tahun yang tidak termanfaatkan. Tongkol jagung
belum ada pemanfaatan yang bernilai guna dan ekonomis. Seringkali limbah yang tidak
tertangani akan menimbulkan pencemaran lingkungan, padahal tongkol jagung berpotensi
sebagai sumber prebiotic (McCutcheon dan Samples, 2002).
Page 6 of 34

2.3.5 Ampas tapioka


Ampas tapioka atau yang biasa disebut onggok merupakan hasil sampingan
pengolahan singkong menjadi tepung tapioka. Onggok berfungsi sebagai pakan sumber
energi. Kandungan nutrisi yang ada pada onggok antara lain protein kasar 2,89%, serat
kasar 14,73%, abu 1,21%, beta-N 80,80%, lemak kasar 0,38%, air 20,31%. Dalam ransum,
onggok digunakan sebesar kurang lebih 30%. Sentra penghasil onggok di dunia adalah
Indonesia dan untuk sentra penghasil onggok terbesar di Indonesia adalah di daerah
Lampung Utara. Permasalan utama yang ada pada onggok adalah karena onggok memiliki
kandungan protein yang rendah sekitar < 5% dan memiliki kandungan serat kasar yang
tinggi (Nursiam, 2009).

2.3.6 Mollases
Molases atau tetes tebu adalah hasil sampingan pengolahan tebu menjadi gula.
Bentuk fisiknya berupa cairan yang kental dan berwarna hitam. Kandungan karbohidrat,
protein dan mineralnya cukup tinggi sehingga bisa juga dijadikan pakan ternak walaupun
sifatnya hanya sebagai pakan pendukung. Disamping harganya murah, kelebihan lain tetes
tebu terletak pada aroma dan rasanya (Widayati dan Widalestari, 1996).

Pencampuran molases dengan bahan pakan tambahan lain dapat meningkatkan


konsumsi pakan tambahan secara keseluruhan akibat aroma yang ditimbulkannya, dan
terbentuknya ikatan fisik diantara bahan penyusun pakan tambahan sehingga mengurangi
hilangnya pakan terutama bahan pakan yang bersifat sedikit berdebu. Pemberian molases
sebagai bahan pakan tambahan tunggal atau dalam bentuk campuran dengan bahan pakan
lain meningkatkan laju pertambahan berat badan harian pada domba (Batubara et al.,
1993).

2.3.7 Starbio
Starbio merupakan serbuk berwarna coklat hasil pengembangan bioteknologi
modern temuan LHM Research Station. Berisi koloni bakteri yang diisiolasi dari alam,
bersifat bersahabat dengan kehidupan (probiotik). Kandungan bakteri dalam Starbio antara
lain: Azobacter spp., Spirillum lipoferum, Trichoderma polysporeum, Cellulomonas
acidula, Bacillus cellulase, Clavaria dendroidie, Streptomyces, Pseudomonas sp,
Fusarium sp, Bacillus cellulase disolvens. Starbio bekerja secara enzimatis (menghasilkan
enzim) yang berfungsi memecah protein (proteolitik), karbohidrat struktural (selulolitik,
hemiselulolitik, lignolitik), dan lemak (lipolitik) serta dilengkapi dengan bakteri nitrogen
fiksasi non simbiosis. Starbio dapat digunakan untuk menguraikan limbah baik limbah
rumah tangga, rumah potong hewan, pabrik, tambak yang sering menimbulkan masalah
terhadap pencemaran air (LHM, 1995).

2.3.8 Garam
Garam diperlukan oleh ruminansia sebagai perangsang menambah nafsu makan.
Garam juga sebagai unsur yang dibutuhkan sekali dalam kelancaran pekerjaan faali tubuh
(Sumoprastowo, 1993). Semua herbivora akan suka memakan garam apabila disediakan
dalam bentuk jilatan (lick) atau dalam bentuk halus dalam tempat mineral. Oleh karena
hewan suka akan garam maka biasanya garam dipakai sebagai campuran fosfor atau
Page 7 of 34

mineral mikro dan senyawa lain misalnya obat parasit (Tillman et al., 1989). Hampir
semua bahan makanan nabati (termasuk khususnya hijauan tropis) mengandung Na dan Cl
relatif lebih kecil dibanding bahan makanan hewani. Oleh karena itu bahan makanan
ruminan (terutama hijauan) maka suplemen Na dan Cl dalam bentuk garam dapur dapat
dilakukan oleh peternak, pemberian tersebut dapat ad libitum (Parakkasi, 1995).

2.3.9 Body Condition Score (BCS)


Body Condition Score atau BCS adalah penilaian kondisi tubuh yang didasarkan
pada estimasi visual timbunan lemak tubuh dibawah kulit, sekitar pangkal ekor, tulang
punggung dan pinggul menggunakan skor. BCS digunakan untuk menentukan potensi
produksi seekor ternak. BCS digunakan untuk mengevaluasi manajemen pakan, menilai
kesehatan individu hewan, dan menjaga kondisi hewan selama manajemen pemeliharaan
hewan secara rutin. BCS memberikan indikasi status energi kambing, yaitu dilihat dari
jumlah otot (muscling) dan tingkat kegemukan hewan (fating). Scoring yang dilakukan
pada kambing menggunakan BCS mulai 1,0 - 5,0, dengan 0,5 bertahap. Kambing dengan
skor BCS 1,0 memiliki tubuh yang kurus dan tidak mempunyai cadangan lemak, sementara
itu kambing yang mempunyai skor BCS 5,0 merupakan kambing yang terlalu gemuk
(obesitas). Umumnya kambing yang normal empunyai BCS 2,5 – 4,0. BCS 1,0 ; 1,5 ; atau
2,0 mengindikasikan bahwa dalam peternakan tersebut terdapat masalah manajemen
maupun kesehatan. Sementara itu BCS 4,5 – 5 hampir tidak pernah ditemui di peternakan-
peternakan umum, namun dapat dijumpai pada acara kontes kambing (Wulandari, 2010).
Page 8 of 34

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 – Februari 2017. Koleksi
sampel dilakukan di Setyolembu Farm Kab. Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah, pengovenan
dan penggilingan sampel dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu, dan analisis proksimat dilakukan di Laboratorium PAU IPB Bogor.

3.2 Bahan dan Alat


Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah timbangan pakan, timbangan ternak,
mesin pemotong atau pencacah rumput, alat-alat laboratarium dan alat-alat lainnya yang
dibutuhkan saat penelitian.

Bahan yang digunakan yaitu kambing PE jantan sebanyak 12 ekor dengan rentang
umur 7-8 bulan, rumput lapang, ampas tapioka (onggok), pollard, garam, molases, limbah
jagung (kulit jagung dan tongkol jagung), air bersih, starbio bubuk dan bahan-bahan
pendukung lainnya.

3.3 Rancangan Percobaan


Dilakukan pengacakan pada 12 ekor kambing PE jantan didapat pengacakan yang
sempurna. Pembagian kambing untuk percobaan dilakukan berdasarkan BCS 2-3 dengan
berat badan rata-rata 19,07±0,13 kg. Pada penelitian ini, rancangan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dengan 4 ulangan dengan
rumus

Yij = µ + ᵦi + Ɛij

Dimana:

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

µ = Nilai rataan umum dari perlakuan

ᵦi = Pengaruh perlakuan ke-i

Ɛij = Galat pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

Dimana

- P1= Pakan limbah pertanian dengan 20% pollard

- P2= Pakan limbah pertanian dengan 25% pollard

- P3= Pakan limbah pertanian dengan 30% pollard


Page 9 of 34

Rumput lapangan diberikan ad libitum terhadap ternak kambing.

3.4 Tahapan Penelitian


3.4.1 Pembuatan pakan
Ampas tapioka basah (onggok) yang diperoleh dari pabrik dikeringkan sampai kadar
airnya  20%. Pollard dicampur dengan dedak, ampas tapioka, limbah jagung, bungkil
kedelai, garam, starbio, dan molasses dengan proporsi yang sudah ditentukan dalam
ransum seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi bahan penyusun dan kandungan nutrisi konsentrat untuk


kambing PE

Perlakuan
Bahan Pakan (%)
P1 P2 P3

Pollard 20 25 30

Dedak halus 30 25 20

Limbah jagung 10 10 10

Ampas tapioka
15 15 15
(onggok)

Mollases 10 10 10

Starbio 2,5 2,5 2,5

Garam 2,5 2,5 2,5

Bungkil kedelai 10 10 10

Jumlah (%) 100 100 100

Perlakuan
Nutrisi (%)
P1 P2 P3

11,1 11,4
PK 3 1 11,42

EE 1,77 2,49 2,48

13,2 12,6
SK 2 9 11,52
Page 10 of 34

3.4.2. Persiapan kandang


Kandang metabolisme disiapkan sebanyak 12 buah dengan ukuran kandang 100x45
cm dan tingginya 115 cm, kandang yang rusak diperbaiki dan dibersihkan, bahan
pembuatan kandang dari kayu yang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum
dicari ember plastik serta di lengkapi dengan penampung feses.

3.4.3. Penanganan ternak


Memilih kambing PE jantan dengan berat badan rata-rata 19,07±0,13 kg. Kemudian
kambing ditempatkan pada kandang metabolisme yang telah disiapkan, sebelumnya
kandang telah dibersihkan dan diberi desinfektan dan diberi pakan hijauan. Dilakukan
pemberian antiseptik pada kambing untuk menjaga kesehatan ternak itu, kemudian
kambing diberi pakan sesuai perlakuan. Pemberian ransum dalam penelitian ini yaitu
rumput lapangan + pakan konsentrat sebanyak 2% dari berat badan. Masa adaptasi ternak
selama satu minggu untuk ransum baru. Kemudian dilakukan pengumpulan sampel selama
satu minggu.

3.5 Variabel yang Diamati


3.5.1 Konsumsi pakan
Konsumsi pakan dihitung dengan cara mengurangi jumlah pakan yang diberikan
dengan sisa pakan setiap harinya. Konsumsi pakan akan dibedakan antara konsumsi
hijauan dan konsumsi pakan konsentrat.

3.5.2 Produksi feses


Koleksi feses dilakukan setiap harinya pada pagi jam 07.00-08.00 WIB. Koleksi
feses dilakukan setiap harinya pada minggu ke tiga perlakuan, dengan cara menimbang 40-
60 g dari produksi feses yang dihasilkan. Selanjutnya sampel feses dikeringkan dengan
cara dijemur di bawah sinar matahari. Sampel kering angina ditimbang kembali dan
dihaluskan menjadi berbentuk serbuk kemudian dilakukan uji kandungan BK dan BO.

Kecernaan dihitung berdasarkan rumus :

BK yang dikonsumsi – BK feses


Kecernaan BK = x 100 %
BK yang dikonsumsi

BO yang dikonsumsi – BO feses


Kecernaan BO= x 100 %
BO yang dikonsumsi

Keterangan : BK = Bahan kering

BO = Bahan organik
Page 11 of 34

3.6 Analisis Laboratorium


Sampel yang diambil yaitu sampel pakan hijauan, konsentrat, dan feses. Sampel
hijauan dan konsentrat diambil setiap hari pada minggu ketiga perlakuan. Sampel hijauan
diambil dari setiap perlakuan, dan untuk sampel konsentrat diambil per perlakuan.
Selanjutnya sampel yang dikoleksi dikeringkan dan dihaluskan menjadi berbentuk serbuk.
Sampel hijauan dikomposit dengan diambil 20-40 g dan sampel konsentrat diambil 40-60 g
untuk uji BK dan BO, selanjutnya dilakukan analisis laboratorium yaitu berupa analisis
proksimat dan di analisis di laboratorium PAU IPB, Bogor.

3.7 Analisis Data


Data yang diperoleh dari analisis lab kemudian dianalisis dengan menggunakan sidik
ragam (ANOVA). Jika hasil analisis dari penelitian ini berpengaruh nyata (P<0,05) maka
dilanjutkan dengan uji Least Significance Different (LSD).
Page 12 of 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Konsumsi Bahan Kering (BK)


Hasil konsumsi pakan dalam bahan kering (BK) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Rataan konsumsi pakan dalam bahan kering (BK) pada kambing PE selama
penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakua Ulangan
Rata-rata±sd
n 1 2 3 4

272,
P-1 265,6 380,1 263,3 295,4±91,22a
5

382,
P-2 421,3 455,3 357,8 404,2±95,51b
5

407, 462,8±121,3
P-3 467,9 475,2 500,1
9 4c

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01)


terhadap konsumsi bahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi
pakan dari yang tertinggi berturut-turut adalah P3, P2, dan P1. Hasil uji lanjut dengan LSD
menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering P1 berbeda nyata (P<0,05) dengan konsumsi
bahan kering P2 dan P3, serta P2 berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P3 dan P1.
Konsumsi bahan kering pada P1 lebih rendah dibandingkan dengan P2 dan P3.

Berdasarkan hasil penelitian, respon perlakuan P1, P2, dan P3 berpengaruh terhadap
konsumsi bahan kering yaitu dengan rata-rata 2,1±0,65%, angka ini berbeda dengan NRC
(1981) yaitu sebanyak 2,4±0,23% dari bobot hidup. Konsumsi bahan kering tertinggi yaitu
pada ternak kambing yang mendapat perlakuan P3 dengan level pollard 30% yaitu sebesar
2,4%. Sementara untuk konsumsi bahan kering terendah terjadi pada ternak kambing
dengan perlakuan P1 dengan level pollard 20%. Namun demikian, konsumsi bahan kering
pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian sebelumnya, dimana rata-rata konsumsi
bahan kering sebesar 2,8% dari bobot hidup (Mathius et al., 2002). Berdasarkan hasil
analisis ragam, rata-rata konsumsi pakan tertinggi yaitu pada P3 462,8 gram/ekor/hari dan
untuk konsumsi pakan dalam bahan kering terendah yaitu pada perlakuan P1 295,4
gram/ekor/hari. Penelitian Yusuf et al., pada tahun 2016 menemukan kisaran konsumsi
Page 13 of 34

pakan dalam bahan kering yaitu 360-480 gram/ekor/hari. Konsumsi perlakuan P1 lebih
kecil dibandingkan dengan penelitian tersebut, namun untuk konsumsi perlakuan P2 dan
P3 tidak jauh berbeda.

4.2 Produksi Feses Dalam Bahan Kering


Hasil produksi feses dalam bahan kering dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Rataan produksi bahan kering (BK) feses pada kambing PE selama
penelitian (gram/ekor/hari)

Perlaku Ulangan Rata-


an 1 2 3 4 rata±sd

53, 57,8±24,58
P-1 55,9 77,6 44,1
7 a

88, 79,3±19,45
P-2 76,9 84,9 66,6
8 b

94, 107, 129, 104, 108,7±25,8


P-3
0 0 2 6 8 c

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01)


terhadap produksi feses dalam bahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
produksi feses dari yang tertinggi berturut-turut adalah P3, P2, dan P1. Hasil uji lanjut
dengan LSD menunjukkan bahwa produksi feses dalam bahan kering P1 berbeda nyata
(P<0,05) dengan produksi feses P2 dan P3, serta P2 berbeda nyata dengan perlakuan P3
dan P1.

Pada umumnya, produksi feses dipengaruhi oleh jumlah konsumsi bahan pakan dan
kemampuan cerna ternak itu sendiri. Hasil analisis ragam, diketahui bahwa produksi feses
terbanyak pada perlakuan P3 dengan rata-rata produksi sebanyak 108,7 gram/hari, sama
seperti pada hasil analisis ragam konsumsi bahan kering pakan yang menunjukkan bahwa
konsumsi tertinggi pada P3. Produksi feses yang paling sedikit adalah pada perlakuan P1
dengan rata-rata 57,8 gram/ hari.

4.3 Kecernaan Bahan Kering


Hasil kecernaan pakan dalam bahan kering dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Rataan kecernaan bahan kering (BK) pada kambing PE selama penelitian
(%)
Page 14 of 34

Perlakua Ulangan Rata-


n 1 2 3 4 rata±sd

P-1 77,6 79,3 79,6 80,9 79,3±8,99b

P-2 79,0 78,8 80,7 80,7 79,8±5,45b

P-3 79,0 72,2 71,6 78,0 75,2±7,97a

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap


kecernaan bahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kecernaan bahan
kering pakan dari yang tertinggi berturut-turut adalah P2, P1, dan P3. Hasil uji lanjut
dengan LSD menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering P1 tidak berbeda nyata dengan
kecernaan bahan kering P2 namun berbeda nyata dengan kecernaan bahan kering P3.
Tingkat kecernaan yang hampir sama ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut
Anggorodi (1994), faktor yang mempengaruhi suatu bahan makanan adalah jenis hewan,
bentuk fisik makanan, variasi antara individu ternak, jumlah bahan makanan yang
diberikan, komposisi bahan makanan, laju perjalanan digesta dalam saluran pencernaan
dan suhu lingkungan.

4.4 Konsumsi Bahan Organik


Hasil konsumsi pakan dalam bahan organik (BO) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Rataan konsumsi pakan dalam bahan organik (BO) pada kambing PE
selama penelitian (gram/ekor/hari)

Perlaku Ulangan Rata-


an 1 2 3 4 rata±sd

224 227 318 222 248,1±75,9


P-1
,5 ,4 ,5 ,0 7a

353 320 380 299 338,5±79,6


P-2
,7 ,6 ,4 ,2 2b

395 345 401 424 391,8±102,


P-3
,8 ,7 ,3 ,4 83 c

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata


(P<0,01) terhadap konsumsi bahan organik (BO). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Page 15 of 34

rata-rata konsumsi bahan organik pakan dari yang tertinggi berturut-turut adalah P3, P2,
dan P1. Dapat dilihat pada Tabel 5 bahwa secara nyata konsumsi bahan organik P3 paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P2. Hal ini sejalan dengan konsumsi bahan
kering P3 dimana pada Tabel 1 (konsumsi bahan kering) memperlihatkan bahwa konsumsi
BK tertinggi yaitu pada perlakuan P3. Perhitungan konsumsi bahan organik ditentukan
berdasarkan perhitungan konsumsi bahan kering. Menurut Parakkasi (1995), bahan kering
(BK) sebagian terdiri dari bahan organik (BO) yang terdiri dari karbohidrat, protein,
lemak, dan vitamin.

4.5 Produksi Feses Dalam Bahan Organik


Hasil produksi feses dalam bahan organik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Rataan produksi bahan organik (BO) feses pada kambing PE selama
penelitian (gram/ekor/hari)

Perlaku Ulangan Rata-


an 1 2 3 4 rata±Sd

42, 44, 34, 46,0±19,6


P-1 61,8
8 9 4 3a

68, 60, 54, 62,5±14,8


P-2 66,4
9 6 1 5b

75, 85, 81, 86,3±20,2


P-3 101,6
8 8 8 2c

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0.05).

Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01)


terhadap produksi feses dalam bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-
rata produksi feses dari yang tertinggi berturut-turut adalah P3, P2, dan P1. Hasil uji lanjut
dengan LSD menunjukkan bahwa produksi feses dalam bahan organik P1 berbeda nyata
(P<0,05) dengan produksi feses P2 dan P3, serta P2 berbeda nyata dengan perlakuan P3
dan P1. Produksi feses pada P1 berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan
P2 dan P3.

4.6 Kecernaan Bahan Organik


Tabel 6. Rataan kecernaan bahan organik (BO) pada kambing PE selama penelitian
(%)

Perlakua Ulangan Rata-


n 1 2 3 4 rata±Sd
Page 16 of 34

78, 80, 80, 82, 80,5±8,46


P-1
9 1 7 3 b

80, 80, 81, 81, 80,9±5,12


P-2
6 1 9 2 b

80, 73, 73, 79, 76,7±7,48


P-3
0 7 5 7 a

Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap


kecernaan bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kecernaan bahan
organik pakan dari yang tertinggi berturut-turut adalah P2, P1, dan P3. Hasil uji lanjut
dengan LSD menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik P1 tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan kecernaan bahan organik P2 tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan P3.
Menurut Anggorodi (1994), faktor yang mempengaruhi suatu bahan makanan adalah jenis
hewan, bentuk fisik makanan, variasi antara individu ternak, jumlah bahan makanan yang
diberikan, komposisi bahan makanan, laju perjalanan digesta dalam saluran pencernaan
dan suhu lingkungan, sehingga tingkat kecernaan pada setiap perlakuan hampir sama.

Hasil penelitian pada Tabel 7 memperlihatkan rata-rata tingkat kecernaan dari ketiga
perlakuan adalah 79,37%. Tingkat kecernaan ini lebih tinggi daripada penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Cakra et al. (2014) tentang kecernaan bahan kering pada
kambing PE dengan konsentrat yang mengandung pollard 45% penyusun konsentrat,
menemukan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan bahan
organik kambing PE yaitu dengan rata-rata tingkat kecernaannya adalah 69,07%.
Page 17 of 34

V. KESIMPULAN

Berdasarkan tujuan penelitian, hipotesis, hasil penelitian dan pembahasan, maka


dapat disimpulkan penambahan pollard 25% dalam komposisi penyusun konsentrat
mampu meningkatkan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO), tetapi
penambahan level pollard 30% menurunkan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan
organik (BO). Namun demikian, pollard sebagai bahan pakan secara nyata dapat
meningkatkan konsumsi bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) pada kambing PE.
Page 18 of 34

DAFTAR PUSTAKA

McDonald, P., R. Edwards, J. Greenhalgh, and C. Morgan. 2002. Animal Nutrition.


6th Edition. Longman Scientific & Technical, New York.
NRC. 1981. Nutrient Requirement of Goats. No. 15. National Academy Press,
Washington, D.C.
Nursiam, I. 2009. Kandungan Nutrisi Onggok.
https://intannursiam.wordpress.com/2009/12/01/kandungan-nutrisi%C2%A0jagungbk-
kedelaidedakonggok/. Di akses pada 01 April 2017.
Pamungkas, F.A., A. Batubara, M. Doloksaribu dan E. Sihite. 2009. Potensi
Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Juknis. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press, Indonesia.
Basri. 2014. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Komplit Dengan
Kandungan Protein Berbeda Pada Kambing Marica Jantan. Skripsi Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makasar.
Batubara, L.P., J. Sianipar, S. Elieser, S. Karokaro dan P. Barus, 1992. Pemanfaatan
Agroindustri By Product/Waste Sebagai Pakan Ternak. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Sumatera utara.
Gebremedhin, B., A. Hirpa, and K. Berhe. 2009. Feed marketing in Ethiopia: Results
of rapid market appraisal. Improving Productivity and Market Success of Ethiopian
Farmers project, Working paper No 5. International Livestock Research Institute (ILRI).
Hadipernata, M. 2006. Mengolah Dedak Menjadi Minyak (Rice Bran Oil). Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tilman. 1993.Tabel Komposisi Pakan
untuk Indonesia. Cetakan ke-3. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ismail, R. 2011. Kecernaan In vitro, http://rismanismail2.wordpress.com/
2011/05/22/nilai-kecernaan-part-4/#more-310. Diakses pada tanggal 25 September 2016.
LHM. 1995. Pakan lebih hemat dengan starbio. CV Lembah Hijau Indonesia Bogor.
Litbang Pertanian. 2016.
http://lampung.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita/4-info-aktual/651-pemanfaatan-
tongkol-jagung-sebagai-pakan-ternak-ruminansia, Lampung. Di akses pada 12 Februari
2017.
Maity, S., Mishra, A., and V. Upadhyay. 1999. Effect of wheat bran supplementation
on the utilization of mixed straws in goats. Indian Journal Animal Nutrition, 16 (1): 86-88.
(Abstract).
Ali, A.J. 2006. Karakteristik Sifat Fisik Bungkil Kedelai, Bungkil Kelapa dan
Bungkil Sawit. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.
Page 19 of 34

Anggraeny, Y.N., U. Umiyasih dan N.H. Krishna. 2008. Potensi limbah jagung siap
rilis sebagai sumber hijauan sapi potong. Prosiding Lokakarya Nasional Jejaring
Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Puslitbangnak, Pontianak, 9-10 Agustus
2006. hal.149-153.
Anonymous. 2008. Perkembangan industri pakan ternak di Indonesia.
http://www.datacon.co.id/MakananTernak2008.html. (Diakses pada tanggal 11 Juni 2016).
Anonymous. 2010. Bahan makanan ternak : dedak dan pollard.
https://intannursiam.wordpress.com/2010/08/18/bahan-makanan-ternak-dedak-dan-
pollard/. (Diakses pada tanggal 26 September 2016).
Anonymous. 2013. Proses Pembuatan Bungkil Kedelai.
http://galihghung.blogspot.co.id/2013/06/proses-pembuatan-bungkil-kedelai.html. (Di
akses pada 03 Oktober 2016).
Anonymous. 2014. Daftar Istilah Dalam Peternakan.
http://www.peternakankita.com/daftar-istilah-dalam-peternakan/. (Di akses pada tanggal
25 September 2016).
Anonymous. 2015. Kambing Peranakan Etawah.
http://www.ilmuternak.com/2015/06/kambing-peranakan-etawah-pe.html. (Di akses pada
tanggal 15 September 2016).
Mathius, I-W., I. B. Gaga dan I-K. Sutama. 2002. Kebutuhan Kambing PE Jantan
Muda akan Energi dan Protein Kasar : Konsumsi, Kecernaan, Ketersediaan, dan
Pemanfaatan Nutrien. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 7 (2) : 100-102.
Piao, X.S., I.K. Han, J.H. kim, W.T. cho, Y.H. Kim and C. Liang. 1999. Effects of
Kemzyme, Phytase and Yeast. Asian-Australia Journal of Animal Science. 16 (2) : 239-
247.
Purnomo, A., Hartatik, Khusnan, S.I.O. Salasia dan Soegiyono. 2006. Isolasi dan
Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Susu Kambing Perah Peranakan Etawa. Media
Kedokteran Hewan. 22:142
Rianto, E.H. 2004. Memanfaatkan hasil samping penggilingan gandum.
http://www.Radar Banjar.com. Di akses pada tanggal 12 Juni 2016.
Sakadoci. 2016. Ampas tahu vs ampas tapioka.
http://www.sakadoci.com/2016/06/ampas-tahu-vs-ampas-ketela-mana-lebih.html. Di akses
pada 12 Februari 2017.
Sariubang dan Ismartoyo, 1983. Karakteristik Degradasi Beberapa Jenis Pakan
Dalam Rumen Ternak Kambing. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 3:1-7.
Sulistyowati, E., I. Badarina, and E. Soetrisno. 2010. Supplementation of Starbio
probiotic and yeast on milk production and nutrient digestibility of lactating Holstein cows
fed a ration containing cassava meal. Journal Dairy Science. 93. E-Suppl. 1 : 860.
Sumoprastowo, R.M. 1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol. Bhratara, Jakarta.
Sutardi, T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi mikroba
rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Prosiding Seminar
Penelitian dan Penunjang Peternakan. LPP Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid 1. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Page 20 of 34

Tillman, A.D., Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.


Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Triwulaningsih, E. 1986. Beberapa Parameter Genetik Sifat Kuantitatif Kambing
Peranakan Etawah (PE). Tesis Magister SMNS Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.
Wahyuni, E.T. 2004. Pengaruh Penggunaan Wheat pollard (Dedak Gandum)
terfermentasi terhadap performan produksi ayam Arab. Skripsi Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Widayati, E. dan Y. Widalestari, 1996. Limbah untuk Pakan Ternak. Trubus
Agrisarana, Surabaya.
Wikipedia. 2016. Kambing. https://id.wikipedia.org/wiki/Kambing. (Di akses pada
10 Februari 2017).
Wulandari, I. 2010. BCS pada Kambing.
https://www.academia.edu/9803552/BCS_pada_Kambing?auto=download. Diakses pada
01 April 2017.
Yusuf, D.F., F. Fathul dan Liman. 2016. Pengaruh Substitusi Rumput Gajah Dengan
Pelepah Daun Sawit Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Organik, serta Hubungan
antara Kedua Kecernaan Pada Kambing. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 4(1):73-79.
Cakra, I G. L. O., M. A. P. Duarsa, dan S. Putra, 2014. Kecernaan Bahan Kering Dan
Nutrient Ransum Pada Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Hijauan Beragam Dengan
Aras Konsentrat “Molmik” Berbeda. Majalah Ilmiah Peternakan. 17 (1) : 13-14.
Chermiyi, A., A. Nefzaoui, E. Teller, M. Vanbelle, H. Ferchichi and N. Rokbani.
1996. Prediction of voluntary intake of low quality roughages by sheep from chemical
composition and ruminal degradation characteristics. Journal Animal Science, 62:57-62.
Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di daerah Tropis. Institut
22
Teknologi Bandung, Bandung.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Populasi kambing
menurut provinsi 2011-2015. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Departemen Pertanian, Jakarta.
MC Donald, P., R.A. Edwards dan J.F.D. Greenhalgh. 1991. Animal Nutrition. 4 Ed.
Longman Scientific and Technical, New York.
McCutcheon, J. dan D. Samples. 2002. Grazing Corn Residues. Extension Fact Sheet
Ohio State University Extension. Us. Anr 10-20.
http://nad.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/info-teknologi/773-pemanfaatan-limbah-
jagung-sebagai-sumber-pakan-bagi-ternak. Di akses pada 12 Februari 2017.
Page 21 of 34

LAMPIRAN

Lampiran 1. Anova konsumsi pakan dalam bahan kering (BK)

Df Sum of Mean Square F Sig,


Squares

Between Groups 2 404286.836 202143.418 18.854 0.00

Within Groups 81 868457.303 10721.695

Total 83 1272744.139

Lampiran 2. LSD konsumsi pakan dalam bahan kering (BK)

95% Confidence
Interval
(I) (J) Mean
TRT_I TRT_I Difference Lower Upper
D D (I-J) Std. Error Sig. Bound Bound

LS - -
D 1 2 108.87528* 27.67373 0.000 163.9373 -53.8132

-
- - 112.370
3 167.43257* 27.67373 0.000 222.4946 5

163.937
2 1 108.87528* 27.67373 0.000 53.8132 3

-
3 -58.55728* 27.67373 0.037 113.6193 -3.4952

222.494
3 1 167.43257* 27.67373 0.000 112.3705 6

113.619
2 58.55728* 27.67373 0.037 3.4952 3
Page 22 of 34

Lampiran 3. Anova produksi feses dalam bahan kering (BK)

df Sum of Mean Square F Sig,


Squares

Between Groups 2 36519.922 18259.961 33.162 0.00

Within Groups 81 44600.716 550.626

Total 83 81120.637

Lampiran 4. LSD produksi feses dalam bahan kering (BK)

95% Confidence Interval


(I) (J) Mean
TRT_ TRT_I Difference Std. Lower Upper
ID D (I-J) Error Sig. Bound Bound

LSD 1 2 -21.46599* 6.2714 0.001 -33.9441 -8.9879

3 -50.86818* 6.2714 0.000 -63.3463 -38.3901

2 1 21.46599* 6.2714 0.001 8.9879 33.9441

3 -29.40219* 6.2714 0.000 -41.8803 -16.9241

3 1 50.86818* 6.2714 0.000 38.3901 63.3463

2 29.40219* 6.2714 0.000 16.9241 41.8803


Page 23 of 34
29

Gambar 1. Kambing PE jantan yang dipakai dalam penelitian

Gambar 2. Kandang yang dipakai dalam penelitian


Page 24 of 34
30

Gambar 3. Konsentrat yang diberikan pada kambing PE dalam penelitian

Gambar 4. Kambing PE yang sedang mengkonsumsi konsentrat

Gambar 5. Tempat penampung feses yang digunakan dalam penelitian

Anda mungkin juga menyukai