Anda di halaman 1dari 90

ANALISIS USAHATANI PADI KONVENSIONAL

DAN PADI SYSTEM OF RICE


INTENSIFICATION (SRI) ORGANIK
(Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah)

SKRIPSI

SITI FATIMAH VIETA PRASETYA NINGTYAS


H34096104

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
RINGKASAN EKSEKUTIF

SITI FATIMAH VIETA PRASETYA NINGTYAS. Analisis Usahatani Padi


Konvensional dan Padi System Of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi
Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa
Tengah). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA).

Secara luas Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Sewajarnya


pertanian di negara Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain, karena
pertanian memiliki peran yang penting sebagai penyedia lapangan pekerjaan,
perolehan devisa, penyedia bahan pangan, serta pembentukan PDB. Akan tetapi
pada kenyataannya pertanian lebih banyak dikorbankan untuk dapat menunjang
pembangunan industri, sehingga kesejahteraan petani terabaikan karena adanya
kebijakan pemerintah tersebut.
Kesejahteraan petani semakin menurun pasca diterapkannya sistem
pertanian dengan pola High Eksternal Input Agriculture (HEIA). Hal ini ditandai
dengan input yang digunakan semakin tinggi, sehingga biaya produksi yang
dikeluarkan semakin besar. Penggunaan input kimia pada pola HEIA
mengakibatkan kerusakan pada tanah dan menjadikan produktivitas semakin
menurun, sehingga keuntungan yang diterima semakin rendah.
Munculnya isu-isu tersebut membuat beralihnya petani dan konsumen
terhadap produk organik. Produk organik memiliki keunggulan dari segi rasa dan
kandungan gizi yang lebih baik. Akan tetapi, hasil produksi pertanian organik
pada penerapan awal penanaman lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena sistem
pertanian organik yang diterapkan pada umunya menggunakan metode pertanian
konvensional. Namun kemudian muncul metode bertani dengan System of Rice
Intensification (SRI). SRI merupakan suatu metode untuk meningkatkan
produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, dan air.
Penerapan metode SRI organik telah dilakukan oleh banyak petani di
Indonesia khususnya Pulau Jawa yang memiliki peranan cukup penting dalam
perberasan nasional. Desa Ringgit sebagai salah satu desa yang berada di
Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah telah menerapkan
pertanian organik sejak tahun 1997. Kemudian pada tahun 2003 mulai
menerapkan pertanian metode SRI organik. Namun demikian belum adanya
kajian mengenai keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit dan apakah
terdapat perbedaan produktivitas, pendapatan, serta efisiensi apabila dibandingkan
dengan pertanian konvensional. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit dan
menganalisis apakah terdapat perbedaan pendapatan, produktivitas, dan efisiensi
yang signifikan antara pertanian padi konvensional dengan metode SRI organik.
Terdapat dua metode analisis yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan
analisis kunatitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis keragaan
usahatani, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menguji ada atau
tidaknya perbedaan produktivitas, pendapatan, dan efisiensi yang didapatkan
melalui analisis usahatani. Pengambilan sampel dilakukan melalui dua cara, yaitu
metode sensus dan metode simple random sampling. Metode sensus digunakan
untuk pengambilan sampel petani SRI organik dengan jumlah 31 orang. Metode
simple random sampling digunakan untuk pengambilan sampel petani
konvensional yaitu sebanyak 30 orang dari jumlah keselurahan sebanyak 74
orang. Dengan demikian jumlah responden sebanyak 60 orang.
Keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit sudah cukup sesuai
dengan panduan penerapan metode SRI organik pada umumnya. Terdapat
perbedaan perlakuan antara pertanian konvensional dengan pertanian SRI organik,
diantaranya yaitu pertanian konvensional menganggap tanah sebagai mesin
sedangkan SRI organik sebagai aset, serangga dianggap sebagai musuh oleh
pertanian kovensional dan dianggap sebagai teman oleh pertanian SRI organik,
pertanian konvensional menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia sedangkan
pertanian SRI organik menggunakan pupuk alami seperti kompos dan mol,
pertanian SRI organik lebih menyarankan untuk membuat benih sendiri, serta
bentuk penjualan hasil panen berupa gabah untuk pertanian konvensional dan
beras untuk pertanian SRI organik.
Untuk analisis usahatani produktivitas dari pertanian SRI organik sebesar
4,8 ton per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian konvensional
sebesar 4,5 ton per hektar, sehingga berdampak pada penerimaan yang semakin
besar. Karena bentuk output yang diperbandingkan adalah beras, sehingga beras
organik memiliki nilai jual lebih tingggi pula, maka pendapatan yang diterima
oleh petani SRI organik lebih tinggi sebesar Rp 10.559.276 dan petani
konvensional sebesar Rp 3.341.159. Dengan demikian, dilihat dari tingkat
efisiensi nilai efisiensi atas biaya total pertanian SRI organik lebih besar yaitu
2,55 dan pertanian konvensional sebesar 1,65.
ANALISIS USAHATANI PADI KONVENSIONAL
DAN PADI SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION (SRI) ORGANIK
(Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah)

SITI FATIMAH VIETA PRASETYA NINGTYAS


H34096104

Skripsi ini merupakan salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul : Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System Of
Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa
Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah)
Nama : Siti Fatimah Vieta Prasetya Ningtyas
NIM : H34096104

Disetujui,
Pembimbing

Dra. Yusalina, MSi


NIP. 19650115 199003 2 001

Diketahui
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS


NIP. 19580908 198403 1 002

Tanggal Lulus :
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Usahatani Padi Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI)
Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Siti Fatimah Vieta Prsetya Ningtyas


H34096104
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 06 Mei 1989 sebagai anak kedua
dari empat bersaudara dan merupakan puteri dari pasangan Bapak Fatkhurachman
dan Ibu Sumini Astuti. Penulis mulai memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
pada tahun 2003 di SMAT Krida Nusantara Bandung, dan lulus pada tahun 2006.
Setelah lulus kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor sebagai mahasiswa pada program keahlian Manajemen
Agribisnis melalui jalur USMI. Setelah lulus dari program Diploma III
Manajemen Agribisnis (2009) penulis langsung melanjutkan kuliah Strata-1 di
Program Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor hingga saat ini.
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb, segala puji dan syukur selalu tercurahkan


kepada Sang khalik pencipta alam beserta isinya, Allah SWT atas kebesaran dan
limpahan rahmat serta hidayah-Nya, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan atas terselesaikannya penyusunan skripsi
yang berjudul “Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System of Rice
Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol,
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah).

Tulisan ini merupakan bagian dari proses belajar penulis dalam memahami
potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam dunia agribisnis, khususnya dalam
agribisnis tanaman pangan. Upaya memberikan yang terbaik telah dilakukan
secara optimal dalam penyusunan skripsi ini, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penelitian selanjutnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Desember 2011

Siti Fatimah Vieta Prasetya Ningtyas


H34096104
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Alhamdulillah akhirnya penulisan penelitian ini dapat


diselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Dra. Yusalina, MSi. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing


skripsi, yang telah banyak membantu, mengarahkan, memberi ilmunya kepada
penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir Rita Nurmalina S. MSc. selaku dosen evaluator yang telah banyak
memberikan saran, kritik dan dukungan.

3. Dr. Ir. Anna Fariyanti M.Si selaku dosen penguji atas arahan dan
bimbingannya.

4. Siti Jahroh, P.hD selaku dosen komdik atas masukan yang telah diberikan.

5. Mama dan bapak yang selalu mengirimkan doanya kepada penulis, penulis
selalu bersyukur karena terlahir sebagai putri mereka dan selalu berusaha
membahagiakan dan memenuhi harapan mereka.

6. Pak Lurah Ringgit dan segenap keluarga besar yang telah banyak membantu,
memberikan fasilitas serta memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian.

7. Pak Slamet selaku ketua kelompok Pemuda Tani Lestari (PTL) yang telah
banyak memberikan informasi, pelajaran, dan pengalaman.

8. Pak Subirman, Pak Wuryanto, serta seluruh petani responden yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi.

9. Hendro sumardjo atas dukungan, pengertian, dan kesabarannya.

10. Kakak (Ratih) dan adik-adik (Rahmat dan Hafidz) atas dukungan dan doa
yang telah diberikan.

11. Mas Wawan dan Mas Yoga yang telah membantu selama penulis berada di
tempat penelitian.

Bogor, Desember 2011


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ..............................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 9


2.1. Gambaran Umum Pertanian Organik di Indonesia ........................ 9
2.2. Dampak Penerapan Metode Organik ........................................... 11
2.3. Gambaran Umum Pertanian Padi SRI di Indonesia ..................... 12
2.4. Dampak Penerapan Metode SRI .................................................. 15
2.5. Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu ............. 17

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 18


3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ....................................................... 18
3.1.1. Definisi Usahatani.............................................................. 18
3.1.2. Definisi Usahatani Berkelanjutan ...................................... 19
3.1.3. Unsur – Unsur Pokok Usaha Tani ..................................... 20
3.1.4. Ukuran Pendapatan dan Keuntungan Usahatani ................ 22
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................ 23

BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................... 26


4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 26
4.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 26
4.3. Metode Pengambilan Sampel ...................................................... 26
4.4. Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ........................... 27
4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani .......................................... 27
4.4.2. Analisis Rasio (R/C Rasio) ................................................ 28
4.4.3. Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan,
Produktivitas, dan Efisiensi ................................................ 30
4.5. Definisi Operasional .................................................................... 31

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .................................. 33


5.1. Karakteristik Desa ........................................................................ 33
5.1.1. Kondisi Geografis .............................................................. 33
5.1.2. Kondisi Demografi dan Keadaan Sosial Ekonomi ............ 33
5.2. Gambaran Umum Usahatani Padi di Desa Ringgit...................... 37
5.3. Karakteristik Petani Responden ................................................... 37
5.3.1. Umur Petani ....................................................................... 37

i
5.3.2. Tingkat Pendidikan ............................................................ 38
5.3.3. Status Kepemilikan Lahan ................................................. 39
5.3.4. Luas Lahan Garapan ......................................................... 40
5.3.5. Pengalaman Berusahatani Padi .......................................... 41

BAB VI KERAGAAN USAHATANI PADI ORGANIK DESA RINGGIT ... 43


6.1. Penggunaan Input ...................................................................... 43
6.1.1. Lahan ............................................................................... 43
6.1.2. Bibit ................................................................................. 43
6.1.3. Pupuk ............................................................................... 44
6.1.4. Pestisida ........................................................................... 45
6.1.5. Tenaga Kerja ................................................................... 46
6.1.6. Peralatan Pertanian .......................................................... 47
6.2. Teknik Budidaya........................................................................ 47
6.2.1. Pengolahan Tanah ........................................................... 47
6.2.2. Persiapan Benih ............................................................... 48
6.2.3. Penanaman ....................................................................... 49
6.2.4. Pemupukan Setelah Tanam ............................................. 50
6.2.5. Pengelolaan Air dan Penyiangan ..................................... 52
6.2.6. Panen dan Pasca Panen .................................................... 53

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI ................................ 54


7.1. Produktivitas Usahatani ............................................................. 54
7.2. Penerimaan dan Pendapatan Usahatani ..................................... 56
7.3. Efisiensi Usahatani .................................................................... 60

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 62


7.1. Kesimpulan ................................................................................ 62
7.2. Saran .......................................................................................... 62

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 64


LAMPIRAN ...................................................................................................... 67

ii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama


Tahun 2007-2010 ..................................................................................1

2. Rumah Tangga Penduduk Indonesia Menurut Mata


Pencaharian Tahun 2008 .......................................................................2

3. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Menurut Wilayah


di Indonesia Tahun 2007-2009 ..............................................................6

4. Perhitungan Usahatani.........................................................................29

5. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Ringgit,


Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009..................34

6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa


Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun
2009 .....................................................................................................34

7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa


Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun
2009 .....................................................................................................35

8. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik


Menurut Golongan Umur di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011.....................................38

9. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik


Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011.....................................39

10. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik


Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit,
Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011..................40

11. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik


Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit,
Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011..................41

12. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik


Menurut Pengalaman Berusahatani Padi di Desa Ringgit,
Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011..................42

iii
13. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata per Iring pada Pertanian
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim
Tanam II Tahun 2011 ..........................................................................45

14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode


Konvensional dan SRI organik di Desa Ringgit Pada MT II ..............47

15. Distribusi Rata-Rata Produktivitas dengan Metode


Konvensional dan Metode SRI Organik dalam Luasan 1 ha ..............54

16. Distribusi Rata-Rata Penerimaan dengan Metode


Konvensional dan Metode SRI Organik 1 ha......................................56

17. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode


Konvensional (ha) ...............................................................................58

18. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode SRI


Organik (ha) ........................................................................................59

19. Distribusi Rata-Rata Efisiensi Usahatani Atas Biaya Total


dengan Metode Konvensional dan Metode SRI Organik....................60

iv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kurva Produksi ....................................................................................21

2. Kurva Biaya Total ...............................................................................22

3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Usahatani Padi


Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI)
Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol,
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)..................................................24

4. Jenis-Jenis Mol yang Digunakan Petani Padi SRI Organik di


Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo
Tahun 2011 ..........................................................................................40

v
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Penggunaan Input Fisik pada Pertanian SRI Organik .........................68

2. Penggunaan Input Fisik pada Pertanian Konvensional .......................70

3. Perhitungan Laba Rugi Pertanian SRI Organik ..................................72

4. Perhitungan Laba Rugi Pertanian Konvensional ................................73

5. Kegiatan Budidaya ..............................................................................74

6. Perbandingan Pendapatan Metode Konvensional dan SRI


Organik ................................................................................................75

7. Perbandingan Penerimaan Metode Konvensional dan SRI


Organik ................................................................................................76

8. Perbandingan Produksi Metode Konvensional dan SRI


Organik ................................................................................................77

9. Perbandingan Biaya Total Metode Konvensional dan SRI


Organik ................................................................................................78

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara luas Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Berdasarkan


Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), negara agraris adalah negara dengan
sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Tabel
1 menjelaskan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi rata-rata sebesar
41,6 persen sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Selain sebagai penyedia
lapangan kerja, pertanian juga memiliki peran dalam perolehan devisa, penyedia
bahan pangan, pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto), serta perwujudan
pemerataan hasil pembangunan (Saragih, 2000).

Tabel 1. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun


2007-2010

Lapangan Pekerjaan
No. 2007 2008 2009 2010
Utama

1 Pertanian, Kehutanan,
Perburuan dan 42.608.760 42.689.635 43.029.493 42.825.807
Perikanan
2 Pertambangan dan
1.020.807 1.062.309 1.139.495 1.188.634
Penggalian
3 Industri Pengolahan 12.094.067 12.440.141 12.615.440 13.052.521
4 Listrik, Gas, dan Air 247.059 207.909 209.441 208.494
5 Bangunan 4.397 132 4.733.679 4.610.695 4.844.689
6 Perdagangan Besar,
Eceran, Rumah 19.425.270 20.684.041 21.836.768 22.212.885
Makan, dan Hotel
7 Angkutan,
Pergudangan dan 5.575.499 6.013.947 5.947.673 5.817.680
Komunikasi
8 Keuangan, Asuransi,
Usaha Persewaan
1.252.195 1.440.042 1.484.598 1.639.748
Bangunan, Tanah, dan
Jasa Perusahaan
9 Jasa Kemasyarakatan,
10.962.352 12.778.154 13.611.841 15.615.114
Sosial dan Perorangan
Total 97.583.141 102.049.857 104.485.444 107.405.572
1
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2011(diolah)

1
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=2 (13
Juni 2011)
Pentingnya peran sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan tingginya
tingkat kesejahteraan para pelaku pertanian. Pada umumnya, penduduk miskin
berada di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani ( Tabel 2.). Keadaan
tersebut menjadi sangat ironi karena Indonesia yang dikenal sebagai negara
agraris, namun para pelaku penting dalam penopang pembangunan ekonomi tidak
mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Saragih (2000) menjelaskan bahwa
pertanian lebih banyak dikorbankan untuk dapat menunjang pembangunan
industri, yaitu dengan dijaganya harga produk pertanian (terutama pangan) agar
tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Dengan demikian, sektor industri
dapat memberi upah yang murah kepada tenaga kerjanya, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan daya saing produknya.

Tabel 2. Rumah Tangga Penduduk Indonesia Menurut Mata Pencaharian Tahun


2008
Karakteristik Rumah Tidak Pertanian Industri Lainnya
Tangga Bekerja (%) (%) (%) (%)
Rumah Tangga Miskin :
1. perkotaan 14,71 30,02 10,55 44,72
2. pedesaan 8,67 68,99 5,09 17,26
3. perkotaan+pedesaan 10,62 58,35 6,86 26,16
Rumah Tangga Tidak
Miskin :
1. perkotaan 15,38 9,39 12,19 63,07
2. pedesaan 7,91 55,2 5,97 30,92
3. perkotaan+pedesaan 11,10 35,06 8,70 45,05
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008 (diolah)2

Kesejahteraan petani semakin menurun pasca diterapkannya sistem


pertanian dengan pola HEIA (High External Input Agriculture). Suwantoro (2008)
menyebutkan bahwa revolusi hijau dengan asumsi yang mendasarkan pada
pertumbuhan produksi ternyata salah. Pertumbuhan produksi yang berhasil
dicapai tidak mampu mengangkat kesejahteraan petani. Revolusi hijau membuat
petani menjadi tergantung pada perusahaan-perusahaan besar untuk menjalankan
usaha pertanian mereka.
Wijaya (2002) menyebutkan beberapa ciri dari pola penerapan HEIA yaitu
(1) penggunaan bahan kimiawi dan pengendalian hama dan penyakit seperti

2
http://www.hharryazharazis.com/detail/366/.cnet (13 Juni 2011)

3
pupuk, pestisida, dan zat pengatur tumbuh; (2) terjadinya perbaikan mutu faktor
produksi seperti penggunan benih dari varietas unggul; (3) terjadinya mekanisasi
pertanian seperti penggunaan mesin-mesin pertanian; dan (4) adanya perbaikan
sarana dan prasarana pertanian seperti sistem pengairan dan alat-alat pertanian.
Berdasarkan penerapan pola HEIA tersebut, selain memarjinalkan petani,
berdampak pula pada kerusakan lingkungan (Suwantoro, 2008). Tanah
persawahan lambat laun menjadi semakin keras. Penggunaan pupuk kimia yang
meningkat dari waktu ke waktu menyebabkan serangan hama menjadi semakin
eksplosif dan menuntut penggunaan pestisida yang semakin meningkat pula.
Pestisida tidak hanya mematikan hama tanaman tetapi juga memusnahkan banyak
kehidupan yang lain. Menyadari dampak negatif pada tanah dari pertanian yang
boros energi tersebut, maka berkembanglah konsep pertanian organik.
Organik identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan alami tanpa
bahan kimia buatan atau sintetis. Bahan organik sebenarnya mengandung unsur
atau senyawa kimia yang membangunnya, namun unsur atau senyawa kimia
tersebut dapat diurai dengan baik oleh alam. Istilah “organik” berdasarkan SNI
adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi
sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau
lembaga sertifikasi resmi.
Metode pertanian organik mulai digunakan dalam budidaya tanaman padi.
Syam (2008) menjelaskan bahwa padi organik sebagaimana digunakan pada
kebanyakan tanaman sawah memiliki arti: (1) Tidak ada pestisida dan pupuk dari
bahan kimia sintetis atau buatan yang telah digunakan; (2) Kesuburan tanah
dipelihara melalui proses “alami” seperti penanaman tumbuhan penutup dan/atau
penggunaan pupuk kandang yang dikompos dan limbah tumbuhan; (3) Tanaman
dirotasikan di sawah untuk menghindari penanaman tanaman yang sama dari
tahun ke tahun di sawah yang sama; dan (4) Pergantian bentuk-bentuk bukan-
kimia dari pengendalian hama digunakan untuk mengendalikan serangga,
penyakit dan gulma, misalnya serangga yang bermanfaat untuk memangsa hama,
jerami setengah busuk untuk menekan gulma, dan lain-lain.
Atmojo (2003) menjelaskan bahwa kandungan bahan organik yang cukup
di dalam tanah dapat memperbaiki kondisi tanah. Struktur tanah menjadi lebih

4
kompak dengan adanya penambahan bahan-bahan organik dan lebih tahan
menyimpan air dibanding dengan tanah yang tidak dipupuk bahan organik. Harga
jual dari produk-produk organik juga lebih mahal. Hal tersebut dikarenakan
produk organik memiliki cita rasa dan kandungan gizi yang lebih baik.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan sistem
pertanian organik, salah satunya yaitu hasil pertanian organik lebih sedikit jika
dibandingkan dengan pertanian non organik yang menggunakan bahan kimia
terutama pada awal penerapan pertanian organik. Lebih lanjut juga dijelaskan oleh
Mapsary (2010) hasil percobaan yang dilakukan oleh PPL Kecamatan Kalibagor
menunjukkan padi organik bisa berproduksi 4,9 kg/ ubin (7,84 ton/ha), sedangkan
padi kimia menunjukkan 5 kg/ ubin (8 ton/ ha). Hal ini disebabkan karena sistem
pertanian organik yang diterapkan pada umumnya menggunakan metode
pertanian konvensional. Dengan demikian, perlu adanya metode lain guna
menyelesaikan permasalahan rendahnya produksi padi organik di awal
penanaman.
Saat ini muncul metode bertani padi dengan System of Rice Intensification
(SRI). SRI merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi
dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, dan air. Metode SRI pertama kali
ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-84 oleh Fr.
Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun
hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metode ini selanjutnya
dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive. Sedangkan,
dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification atau
SRI.
SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff
(Director of Cornell International Institute for Food, Agriculture, and
Development (CIIFAD)). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentasi SRI di
Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar
Madagaskar (Wakid, 2010). Secara umum, dalam konsep SRI tanaman
diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan
seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Uphoff dan Fernandes (2003) menjelaskan
SRI bukanlah suatu teknologi atau varietas, namun lebih dianggap sebagai suatu

5
sistem. SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk
menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. SRI
juga didasari pengetahuan bahwa potensi tersebut dapat diwujudkan dengan
pemindahan awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak
jauh, kelembaban, tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan
tanah aerobik selama masa pertumbuhan). Metode SRI memang sangat
menganjurkan penggunaan pupuk organik sebagai langkah jangka panjang untuk
memperbaiki struktur dan kesuburan tanah serta hasil yang lebih baik (terutama
segi kualitas beras yang dihasilkan). Akan tetapi, metode SRI tidak harus
menggunakan pupuk organik untuk dapat menghasilkan produksi yang
maksimal3.
Madagaskar merupakan lokasi percobaan pertama penanaman padi SRI.
Diujicoba pada tanah tidak subur dengan produksi normal dua ton per hektar,
petani padi SRI memperoleh hasil panen lebih dari delapan ton per hektar.
Beberapa petani juga ada yang mencapai 10-15 ton/hektar. Berdasarkan penelitian
Richardson (2010) petani di Jawa Timur memanen tujuh ton padi per hektar pada
awal penerapan metode SRI. Dengan demikian, metode SRI dapat menjadi salah
satu alternatif penyelesaian antara para praktisi yang berkepentingan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dengan para penganut kelestarian lingkungan hidup.
Kegiatan partisipatif dalam menerapkan metode SRI juga telah dilakukan
oleh petani di banyak propinsi di Indonesia. Lebih lanjut, Anugrah (2008)
menyatakan bahwa penerapan SRI di Indonesia terus berkembang dan
dipraktekkan para petani di beberapa Kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Bali,
NTB, Kalimantan, Sulawesi, serta dibeberapa lokasi lainnya di tanah air. Apabila
produksi padi dilihat menurut wilayah di Indonesia, maka Pulau jawa merupakan
Pulau dengan tingkat produksi beras tertinggi. Dapat dilihat pada Tabel 3. pada
setiap tahunnya produksi beras di Jawa lebih tinggi dari pulau lainnya, meskipun
peningkatan produksi tersebut karena adanya penambahan luas panen. Karena
Pulau Jawa memiliki peranan yang cukup penting dalam perberasan nasional,
maka metode pertanian padi SRI ini sangat cocok untuk dikembangkan.

3
Ulliych M. 2010. Padi SRI Tidak Identik Dengan Padi Organik. http://sukatani-
banguntani.blogspot.com/2010/03/padi-sri-tidak-identik-dengan-padi.html[16 April 2011]

6
Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Menurut Wilayah di Indonesia
Tahun 2007-2009
2007 2008 2009

Propinsi (a) (b) (c) (a) (b) (c) (a) (b) (c)

Jawa 5,6 318,10 30,5 5,7 328,16 32,3 6,1 336,73 34,9
Sumatera 3,1 382,39 12,8 3,1 387,74 13,6 3,3 395,73 14,7
Bali &
Nusa 0,5 134,21 2,9 0,7 137,79 3,2 0,7 139,72 3,4
Tenggara
Sulawesi 1,2 267,32 5,5 1,4 236,21 6,6 1,4 285,96 6,8
Maluku &
0,6 140,02 0,2 0,7 143,91 0,3 0,1 148,70 0,3
Papua
Luar Jawa 1,3 130,26 4,3 1,3 132,38 4,4 1,3 135,97 4,4
Indonesia 12,1 1.372,30 57,2 12,3 1.366,19 60,32 12,9 1.442,81 64,4
Ket : (a) :Luas Panen (juta ha);
(b) :Produktivitas (Ku/ha);
(c) :Produksi (juta ton).
Sumber, BPS 2009 (diolah)4

Jawa Tengah sebagai salah satu propinsi di Pulau Jawa memiliki


kontribusi yang sangat besar dalam penyediaan beras di Jawa. Berdasarkan data
BPS dari tahun 2007-2009 Jawa Tengah berturut-turut memproduksi beras
sebesar 8.616.855 ton, 9.136.405 ton, dan 9.600.415 ton. Desa Ringgit merupakan
salah satu desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang telah menerapkan
pertanian padi organik sejak tahun 1997, dan menjadi desa yang pertama kali
menerapkan metode SRI organik sejak tahun 2003 di Kabupaten Purworejo.

1.2. Perumusan Masalah

Ringgit merupakan salah satu desa dari 57 desa lumbung padi di


Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sebagai desa penghasil
beras, maka tanaman padi menjadi komoditas utama dalam kegiatan budidaya.
Pada tahun 1997 beberapa petani Desa Ringgit sudah mulai menerapkan pertanian
organik dengan metode konvensional. Akan tetapi, hasil panen yang diperoleh
sebesar 4,3 ton per hektar lebih rendah dibandingkan dengan pertanian
konvensional dengan jumlah 4,5 ton per hektar. Oleh sebab itu, hanya sedikit
petani yang tetap mempertahankan penanaman padi dengan input organik

4
http://www.deptan.go.id/ditjentan/detailinformasi.php?id=24 (03 April 2011)

7
tersebut. Hingga saat ini terdapat dua metode yang diterapkan oleh petani Desa
Ringgit dalam menanam padi yaitu metode konvensional dan SRI.
Metode SRI mulai dikenal oleh petani Desa Ringgit pada tahun 2003
melalui Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) yang diadakan oleh seorang biarawati
yang berasal dari Magelang. Pembelajaran Ekologi Tanah adalah metodologi
pembelajaran untuk melihat kaitan unsur-unsur yang saling berhubungan satu
sama lain yang membentuk kehidupan di dalam tanah. Berkat adanya
pembelajaran tersebut mulai banyak petani yang bersedia menerapkan metode SRI
dengan input organik atau biasa disebut dengan SRI organik. Walaupun tidak
sedikit pula petani yang masih skeptis akan adanya metode tersebut. Hal ini
disebakan karena banyak perlakuan yang berbeda pada teknis budidaya SRI
dengan budaya bertanam padi yang selama ini telah dilakukan petani. Sebagian
kelompok tani yang telah menerapkan metode SRI mampu menghasilkan padi
dengan warna lebih cerah, kuning, dan lebih berat daripada padi umumnya.
Menurut petani pembudidaya padi metode SRI daerah setempat, apabila dirata-
rata hasil panen padi mencapai 9 ton per hektar.
Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut,
terdapat beberapa kondisi yang menjadi pertanyaan. Bagaimanakah keragaan
usahatani padi SRI organik yang berada di Desa Ringgit, serta adakah perbedaan
pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang signifikan antara pertanian dengan
metode SRI organik dan konvensional.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:


1. Menganalisis keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit.
2. Menganalisis pendapatan, produktivitas, dan efisiensi antara pertanian padi
konvensional dengan metode SRI organik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi petani


setempat untuk menjadi bahan pertimbangan dalam memilih metode bertanam
padi yang akan diterapkan, sehingga petani dapat lebih menerapkan keahlian dan

8
pengalamannya dengan baik. Serta penulisan ini diharapkan dapat menjadi sarana
belajar dan berbagi ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Pertanian Organik di Indonesia

Pada tiga dekade terakhir ini, peningkatan kepedulian konsumen terhadap


lingkungan semakin meningkat dan isu pemasaran hijau mulai bergeser dari
sekedar nilai tambah menjadi hal yang utama. Meskipun jumlah pembeli produk
organik semakin meningkat, namun banyak diantara mereka yang tidak mengerti
secara jelas apa pengertian sebenarnya dari istilah organik tersebut. Pada
umumnya konsumen cenderung berpikir bahwa produk organik adalah produk
yang bagus tidak hanya dari segi kandungan nutrisi namun juga penampilan
produknya.
Pada pengertian sebenarnya organik tidak hanya tertuju pada produk atau
kandungan bahan-bahan di dalamnya, tetapi pada keseluruhan sistem produksi
budidaya. Oleh sebab itu, pada tahun 2000 United States Department of
Agriculture (USDA) menegaskan bahwa pengertian organik sebagai suatu sistem
manajemen produksi lingkungan yang mampu meningkatkan keanekaragaman
hayati, siklus biologi, dan kegiatan biologi dengan menggunakan input minimal.
Untung (1997) menyatakan bahwa pertanian organik merupakan sistem
pertanian yang bertujuan untuk tetap menjaga keselarasan (harmoni) dengan
sistem alami, dengan memanfaatkan dan mengembangkan semaksimal mungkin
proses-proses alami dalam pengelolaan usahatani. Prayogo dkk (1999) juga
memberikan definisi bahwa pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang
tidak menggunakan bahan kimia buatan; mewujudkan sikap dan perilaku hidup
yang menghargai alam; dan berkeyakinan bahwa kehidupan adalah anugerah
Tuhan yang harus dilestarikan.
Pada tahun 1984 pertanian organik mulai muncul di Indonesia. Hingga
saat ini pertanian organik semakin berkembang di berbagai pelosok wilayah di
Indonesia. Adiyoga (2002) menjelaskan bahwa status pertanian organik di
Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik, walaupun kontribusinya
terhadap produksi total relatif masih kecil (diperkirakan masih < 1%). Semakin
banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pertanian
organik merupakan suatu indikator dan refleksi meningkatnya tingkat kesadaran
akan pentingnya konsumsi sayuran sehat/bersih. Prospek pengembangan pertanian
organik juga cenderung menjanjikan, sebagaimana diindikasikan oleh masih
banyaknya permintaan yang belum dapat dipenuhi karena adanya keterbatasan
pasok.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suwantoro (2008)
seringkali terdapat berbagai perbedaan praktek pertanian organik di beberapa
wilayah dalam proses budidaya. Berbagai perbedaan tersebut antara lain
disebabkan oleh (1) belum diterapkannya standarisasi yang ada sehingga masing-
masing kelompok atau pelaku pertanian organik dapat menerapkan standard
sendiri; (2) Orientasi pasar, dengan standar yang sudah ditetapkan oleh kelompok
dan apabila bisa menyakinkan pasar bahwa produknya berkualitas dan layak
dihargai lebih maka untuk selanjutnya cukuplah memakai standar tersebut; dan (3)
para petani kita, dengan adanya revolusi hijau terbiasa melihat tanaman selalu
dalam kondisi hijau. Untuk melakukan pertanian organik sebagaimana mestinya
seringkali belum mempunyai ketetapan 100 persen sehingga dalam prakteknya
masih menggunakan pupuk kimia sebagai pupuk dasar dan sudah sebisa mungkin
meninggalkan penggunaan pestisida kimia.
Berdasarkan perbedaan asumsi tersebut Suwantoro (2008) juga
menjelaskan sistem pertanian organik juga terbagi menjadi tiga yaitu (1) sistem
pertanian organik – proses budidaya yang dilakukan tidak menggunakan pupuk
dan pestisida kimia serta mengembangkan jenis benih lokal. Adanya konversi
selama 3 – 4 musim tanam dengam melihat riwayat penggunaan pupuk dan
pestisida kimi sintetis pada lahan tersebut; (2) sistem pertanian semi organik –
dalam proses budidaya masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis
dalam jumlah terbatas untuk pupuk dasar maupun pupuk lanjutan dan sebagian
yang lain masih mentoleransi penggunaan pestisida kimia dalam keadaan khusus;
(3) sistem pertanian konvensional - Sistem pertanian ini masih mengandalkan
pupuk dan pestisida kimia sintetis. Pemupukan yang dilakukan belum berimbang
kebanyakan masih menggunakan pupuk putih (urea). Hasil produksi dijual ke
pasar umum.

11
2.2. Dampak Penerapan Metode Organik

Pada beberapa tahun terakhir pertanian organik menjadi pusat perhatian


karena sistem ini mampu menawarkan beberapa alternatif pemecahan masalah
yang menimpa sektor pertanian. Pertanian organik dapat memberi perlindungan
terhadap lingkungan dan konservasi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui,
memperbaiki kualitas hasil pertanian, menjaga pasokan produk pertanian sehingga
harganya relatif stabil, serta memiliki orientasi dari memenuhi kebutuhan hidup ke
arah permintaan pasar.
Naibaho mengungkapkan bahwa penggunaan pupuk organik yang tepat
mampu menghasilkan 6,16 ton per hektar5. Dikatakan juga bahwa tercapainya
produksi padi tersebut karena adanya perbaikan struktur dan tekstur tanah
diakibatkan adanya pemakaian pupuk organik pada lahan sawah yang
dibudidayakan setelah dilakukan masa bera selama kurang lebih 2-3 tahun
tergantung pada kandungan anorganik di dalamnya. Berdasarkan tanah tersebut,
maka kesuburan tanah semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan
kemampuan tanah untuk menyerap unsur hara yang ada dalam tanah.
Lebih lanjut dijelaskan pula beberapa dampak yang diberikan dari hasil
pertanian organik oleh Gunarno6, Karnowo (2003), serta Wijaya (2002) yaitu : (1)
Biaya tunai yang dikeluarkan lebih kecil; (2) Aktivitas mikroorganisme antagonis
yang bisa membantu meningkatkan kesuburan tanah meningkat; (3) harga jual
produk organik lebih tinggi; (4) Meningkatkan cita rasa hasil pertanian; (5)
Kandungan nutrisi lebih tinggi; dan (6) Meningkatkan waktu penyimpanan.
Gunarno (2010), Karnowo (2003), serta Wijaya (2002) juga menjelaskan
beberapa kelemahan dari pertanian organik yaitu : (1) Banyak petani di Indonesia
beranggapan bahwa pupuk organik tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
tanaman dan memiliki respon yang lebih lamban; (2) Pengendalian hama secara
biologis masih dipandang mahal dan kurang efektif bagi petani umumnya; (3)

5
Naibaho Yuni. 2011. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Padi Kabubaten
Batubara.http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/01/26/16746/pupuk_organik_tingkatk
an_produksi_padi_kabubaten_batubara/ ( 26 April 2011)
6
Gunarno. 2010. Kelebihan dan Kekurangan Pertanian Organik.
http://gunarno.student.umm.ac.id/2010/02/02/kelebihan-dan-kekurangan-pertanian-oranganik/ ( 09
Mei 2011).

12
Wilayah pertanian organik yang tidak terisolasi dengan pertanian konvensional,
membuat pertanian organik lebih rawan terhadap hama; (4) Hasil produksi pada
musim tanam awal sedikit dan akan meningkat sesuai dengan kondisi tanah yang
semakin membaik; dan (5) Para petani enggan menggunakan pupuk organik
secara keseluruhan karena pupuk kompos menyebabkan banyak tumbuh gulma.

2.3. Gambaran Umum Pertanian Padi SRI di Indonesia

SRI merupakan akronim dari System of Rice Intensification. SRI


merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan
pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan
kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan7. SRI
mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi
pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan
dengan teknik budidaya cara tradisional (Berkelaar, 2001). SRI dikembangkan di
Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang
lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. WASSAN (2006)
menjelaskan bahwa dalam metode SRI terdapat beberapa komponen penting yang
membangunnya yaitu :
1. Jarak tanam yang lebar – dengan jarak antar tanaman yang lebar masing-
masing tanaman mendapatkan lebih banyak ruang, udara, dan cahaya sehingga
akar padi akan tumbuh lebih sehat dan dapat menyerap nutrisi lebih banyak
sehingga menghasilkan jumlah anakan dan malai dengan lebih banyak bulir
dan padat berisi.
2. Penggunaan sedikit benih – dengan jarak tanam yang lebar maka kebutuhan
benih padi menjadi lebih sedikit. Sehingga juga dapat mengurangi biaya
pembelian bibit.
3. Penanaman bibit muda – penanaman pada saat bibit muda dapat mengurangi
guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi
batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga batang yang muncul
lebih banyak jumlahnya dalam satu rumpun maupun bulir padi yang dihasilkan

7
Mediana Susti. 2010. Dampak Penerapan Metode SRI (System of Rice
Intensification).JurnalUripSusanto.http://uripsantoso.wordpress.com/2010/10/06/dampak-
penerapan-metode-sri-system-of-rice-intensification/(16 April 2011).

13
oleh malai. Disamping itu juga agar mendapatkan jumlah anakan dan
pertumbuhan akar maksimum.
4. Penggunaan sedikit air – apabila air menggenangi lahan penanaman padi maka
akar tanaman akan mati karena kekurangan udara. Akar tanaman padi yang
mati berwarna coklat. Tanaman padi dapat tumbuh tanpa air yang menggenang
sebab padi bukan merupakan tanaman air melainkan tanaman yang
membutuhkan banyak air. Oleh sebab itu, kondisi tidak tergenangi hanya
dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif. Selanjutnya setelah pembuangan
sawah digenangi air 1-3cm. Dengan cara seperti ini akan tercipta kondisi
perakaran yang teroksidasi dan tumbuh sehat.
5. Pengembalian gulma ke dalam tanah – hal tersebut dilakukan agar dapat
meningkatkan aerasi tanah dan gulma dapat menjadi pupuk organik bagi
tanaman padi. Dengan demikian, akar dan tanaman tumbuh sehat serta lahan
menjadi lebih subur.
6. Penggunaan bahan organik – bahan organik merupakan asupan utama bagi
tanah. Penggunaan bahan organik dapat mendatangkan berbagai jenis
mikroorganisme yang dapat memperbaiki struktur tanah, sehingga padi dapat
tumbuh baik.
Uji coba SRI pertama kali di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim
kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000
menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (uphoff, 2002; Sato, 2007). Metode SRI
minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode penanaman padi
lain. Namun demikian, hasil penelitian IRRI (International Rice Research
Institute) di Cina dan Filipina tidak menemukan tambahan hasil yang nyata dari
penerapan SRI. Dari perbedaan hasil tersebut, para ahli padi menyimpulkan
bahwa kemungkinan telah terjadi kesalahan pengukuran dan observasi dalam
pelaksanaan kajian SRI di Madagaskar.
Dalam beberapa forum diskusi, pengembangan SRI masih menimbulkan
debat dan polemik teknis yang kadangkala bersifat kontroversi. Dalam kaitan ini,
IRRI sebagai Lembaga Penelitian Padi Nasional yang lebih berkompeten dalam
inovasi teknologi padi tidak begitu antusias dalam mengembangkan SRI, bahkan

14
IRRI bersama-sama dengan lembaga penelitian nasional di berbagai negara,
termasuk di Indonesia mengembangkan model dan pendekatan Integrated Crop
Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).
Perbedaan dalam perhitungan hasil produksi, menjadi polemik yang paling utama
disamping aspek teknis usahatani padi yang diterapkan pada SRI tersebut.
Namun demikian, diakui atau tidak kegiatan partisipatif yang telah
dilakukan oleh para petani dalam menerapkan metode SRI di beberapa daerah
terus berkembang. Terdapat banyak istilah berbeda pula yang digunakan dalam
pelaksanaan pertanian padi metode SRI ini, seperti istilah yang digunakan oleh
masyarakat Sumatera Barat khususnya di daerah Sawahlunto yaitu “Metoda Padi
Tanam Sabatang”. Sedangkan di Klaten Jawa Tengah SRI diperkenalkan dengan
cara “bertanam maju” atau tanam padi tidak mundur yang diperkenalkan oleh
Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP). Di kabupaten Pinrang,
Sulawesi Selatan metode ini dikenal dengan istilah “padi SRI organik”.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Rakhmi (2008) menjelaskan bahwa
pelaksanaan metode SRI yang dilakukan oleh kelompok tani Binuang Saiyo telah
sukses melakukan usahatani padi sawah dengan sistem SRI. Sebuah penelitian
lain mengenai penerapan metode SRI yang dilakukan oleh Richardson (2010) di
Jawa Timur menyatakan bahwa metode SRI yang diterapkan mampu
menghasilkan panen rata-rata sebesar 7 – 8 ton/ha. Sedangkan biasanya jumlah
hasil panen hanya mencapai 3 ton/ha.
Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Richardson dan
Rakhmi, penelitian Putra (2009) pada kelompok tani Lolongkaran budidaya padi
yang diterapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan prosedur pelaksanaan metode
SRI, namun petani tersebut menyesuaikan dengan kemampuan petani itu sendiri
seperti dalam kegiatan penyemaian, penanaman, dan pengaturan jarak tanam. Hal
tersebut disebabkan karena petani Lolongkaran belum terbiasa dengan metode
SRI tersebut.
Ketidakberhasilan penerapan metode SRI pada beberapa petani disebutkan
oleh Berkelaar (2010) salah satunya karena praktek penerapan SRI tampak
“melawan arus”. SRI menentang asumsi dan praktek yang selama ratusan bahkan
ribuan tahun telah dilakukan. Beberapa contoh lain diantaranya yaitu (1)

15
Kebanyakan petani padi menanam bibit yang telah matang (umur 20-30 hari),
dalam bentuk rumpun, secara serentak, dengan penggenangan air di sawah
seoptimal mungkin di sepanjang musim. (2) SRI "harus" menggunakan pupuk
organik dimana sampai saat ini petani belum siap memproduksi pupuk organik
sendiri dan pupuk organik masih "mahal" untuk dibeli. (3) Penanaman 1 (satu)
bibit per lubang tanam dengan bibit yang masih muda masih merupakan praktek
yang sulit dilaksanakan petani karena harus dilaksanakan secara cepat. (4) Sistem
pemberian air yang terputus (intermittent) di lahan beririgasi merupakan hal yang
masih sulit dilaksanakan dimana pergiliran pengairan pada petak-petak tersier atau
sekunder dilaksanakan berdasarkan waktu hari (10 harian, dua mingguan atau
pada musim kemarau di daerah kering dilaksanakan sebulan sekali). (5) Proses
pengeringan lahan di lahan beririgasi yang relatif datar masih sulit dilaksanakan.

2.4. Dampak Penerapan Metode SRI

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mediana (2010) dampak


penerapan metode SRI dapat terlihat dari tiga hal yaitu (a) dampak terhadap
produktivitas – peningkatan produksi atau produktivitas pada umumnya terjadi
karena jumlah anakan padi lebih banyak. Dengan anakan yang cukup banyak,
menyebabkan anakan produktif yang terbentuk juga cukup tinggi sehingga sangat
memungkinkan hasil gabah lebih tinggi; (b) dampak terhadap penggunaan saprodi
- secara umum penerapan pola SRI lebih ditekankan pada pola penghematan
dalam penggunaan air. Dengan kebutuhan pengairan yang macak-macak maka
kebutuhan jumlah air per hektar mengalami penurunan sangat drastis; dan (c)
dampak terhadap pendapatan petani - dampak yang dirasakan dari penerapan
metode SRI adalah tingginya produksi padi yang dihasilkan jika dibandingkan
dengan cara konvensional8. Semakin tinggi produksi maka nilai jual padi juga
semakin besar. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh petani juga menjadi
lebih besar.

8
Mediana Susti. 2010. Dampak Penerapan Metode SRI (System of Rice
Intensification).JurnalUripSusanto.http://uripsantoso.wordpress.com/10/10/16/dampak-penerapan-
metode-sri-system-of-rice-intensification/ (16 April 2011).

16
Lebih lanjut dikatakan oleh Kunia bahwa paling tidak terdapat empat
alasan utama perlu dikembangkannya SRI9. Pertama, metode SRI terbukti mampu
menghasilkan produktivitas padi yang tinggi di atas rata-rata nasional. Kedua, SRI
juga dapat menghemat penggunaan air sampai 40 persen. Penggunaan bibit juga
dapat dihemat sampai 80 persen, sehingga dapat mengurangi biaya usahatani.
Ketiga, SRI mampu memulihkan kesuburan lahan dan mampu memelihara
keberlanjutan produktivitas lahan. Keempat, metode SRI dikenal ramah
lingkungan karena : a) memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya
pembakaran jerami sehingga mampu menekan emisi gas CO2; b) memitigasi
emisi gas metan yang dihasilkan oleh proses reduksi (anaerob) akibat
penggenangan sawah; c) mitigasi emisi CO2 dan metan (CH4) akan menekan
produksi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat memicu pemanasan global; d) daur
ulang limbah (sampah) menjadi prinsip SRI, sehingga penumpukan sampah dapat
dihindari; e) aplikasi bahan kimia (agrochemical) sangat dibatasi, kemungkinan
terjadinya pencemaran lingkungan akibat kontaminasi dengan bahan dan residu
kimia dapat dicegah; dan f) produk beras SRI dapat digolongkan sehat, karena
tidak diproduksi dengan pupuk kimia dan pestisida sintetis.
Penerapan metode SRI yang telah dilakukan oleh sebagian petani di
Indonesia selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif.
Seperti penjelasan yang diberikan oleh Andrina bahwa kurang tersedianya pupuk
kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI, karena petani tidak mampu
memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya. Oleh sebab itu, dilihat dari
aspek ekonomi usahatani dengan metode SRI, apabila penggunaan tenaga kerja
keluarga diperhitungkan, maka terjadi peningkatan total biaya tunai10. Total biaya
ini akan lebih banyak lagi apabila harga kompos diperhitungkan. Lebih tingginya
total biaya tunai dari usahatani dengan metode SRI secara langsung akan
mengurangi tingkat keuntungan dibanding usahatani dengan teknologi intensif
yang telah ada.

9
Kunia Kabelan. 2009. SRI : Teknologi Budidaya Padi Serba Hemat.
http://belan.blogdetik.com/2009/06/26/httpnewspaperpikiran-
rakyatcomprprintphpmibberitadetailid83032/ (16 April 2011)
10
Andrina. 2009. Sudah Siapkah SRI Diterapkan di Indonesia.
http://rinaedogawa.blogspot.com/2009/01/sudah-siapkah-system-of-rice.html (16 April 2011)

17
Secara finansial, usahatani padi dengan metode SRI memang lebih efisien
daripada usahatani dengan metode intensif konvensional. Namun secara ekonomi,
efisiensi produksi usahatani padi dengan metode SRI lebih rendah dibanding
metode intensif konvensional. Seperti juga halnya dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Rachmiyanti (2009) bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai
maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah
dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi
konvensional. Berdasarkan R/C ratio yang diperoleh menjelaskan petani padi
konvensional memiliki angka lebih besar dari petani padi organik metode SRI.

2.5. Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian ini memiliki kesamaan dalam unsur alat analisis yang


digunakan, dimana penelitian ini menggunakan alat analisis usahatani dan uji
signifikasi dengan menggunakan uji t. Dengan demikian, penelitian terdahulu
digunakan sebagai referensi mengenai alat analisis yang akan digunakan pada saat
penelitian dilakukan.
Hal yang menjadi pembeda antara penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya yaitu lokasi penelitian yang dilaksanakan di Desa Ringgit, Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah. Perbedaan dari penelitian ini terletak pula pada
komponen variabel yang diujibedakan yaitu adanya tambahan uji beda antara
produktivitas dan efisiensi.

18
BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Definisi Usahatani


Menurut Adiwilaga (1982), ilmu usahatani adalah ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan orang melakukan pertanian dan
permasalahan yang ditinjau secara khusus dari kedudukan pengusahanya sendiri
atau ilmu usahatani yaitu menyelidiki cara-cara seorang petani sebagai pengusaha
dalam menyusun, mengatur dan menjalankan perusahaan itu.
Menurut Mosher (1968) usahatani adalah suatu tempat atau sebagian dari
permukaan bumi dimana pertanian diselenggarakan seorang petani tertentu,
apakah ia seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji dari sumber-
sumber alam yang terdapat pada tempat itu yang diperlukan untuk produksi
pertanian seperti tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang dilakukan atas tanah itu,
sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah itu dan
sebagainya.
Menurut Kadarsan (1993) dalam Kamaluddin, usahatani adalah suatu
tempat dimana seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur
produksi seperti alam, tenaga kerja, modal dan ketrampilan dengan tujuan
berproduksi untuk menghasilkan sesuatu di lapangan pertanian11.
Menurut Soekartawi (1995) bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara
efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu terapan
yang membahas atau mempelajari bagaimana menggunakan sumberdaya secara
efisien dan efektif pada suatu usaha pertanian agar diperoleh hasil maksimal.
Sumberdaya itu adalah lahan, tenaga kerja, modal dan manajemen.

11
Kamaluddin. 2010. Analisis Usaha Tani.
http://kamaluddin86.blogspot.com/2010/05/analisis-usaha-tani.html ( 22 Mei 2011).
3.1.2. Definisi Usahatani Berkelanjutan
Technical Advisory Committee of the CGIAR (Concultative Group on
International Agricultural Research) pada tahun 1988 menjelaskan bahwa
pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk
usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumberdaya alam.
FAO (Food and Agriculture Organization) mendefinisikan pertanian
berkelanjutan sebagai suatu praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan mengkonservasi
sumberdaya alam.
Sedangkan Gips (1986) dalam Wijaya (2002) mendefinisikan secara lebih
luas dan menilai pertanian bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup
hal-hal berikut :
1. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari
manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan.
2. Berlanjut secara ekologis, yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan output untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan
sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk
mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan.
3. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat
terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang
memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin.
4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan,
dan manusia) dihargai.
5. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya
pertambahan penduduk, kebijakan, dan permintaan pasar.

20
Adapun komponen pertanian berkelanjutan secara ekologi, antara lain :
a. Mempertahankan sumberdaya terpenting dalam pertanian yaitu tanah dan air;
b. Melindungi proses ekologi dan mempertahankan keseimbangan ekologi;
c. Konservasi terhadap biodiversity.
Dengan menggunakan metode yang berkelanjutan untuk tanaman pangan,
para petani dan pekebun dapat menanam lebih banyak di lahan yang sempit,
dengan sedikit atau tanpa pupuk dan pestisida kimia. Ini akan menghasilkan
pangan yang lebih banyak dan lebih baik untuk dimakan dan dijual, biaya
memproduksi bahan makanan lebih kecil, dan mengurangi pencemaran udara, air,
tanah, dan tubuh. Usahatani yang berkelanjutan dapat meningkatkan kesehatan
masyarakat karena:
 mengurangi ancaman kekeringan melalui konservasi air.
 mengurangi ketergantungan pada bahan kimia, menghemat uang, dan
membangun kepercayaan pada kemampuan untuk mandiri. Usahatani
tanpa bahan kimia mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat bahan
kimia pada petani, pekerja di lahan pertanian, dan semua orang yang
mengkonsumsi makanan yang diproduksi atau meminum air dari sumber
air setempat.
 menurunkan jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan
pangan bila metode yang berkelanjutan ini digunakan. Misalnya dengan
membuat pupuk hijau.

3.1.3. Unsur – Unsur Pokok Usaha Tani


Menurut Tjakrawiralaksana (1983) dalam usahatani atau bercocok tanam
terdapat :
1. Lahan dalam luasan dan bentuk tertentu.
Unsur pokok lahan dalam usahatani mempunyai fungsi sebagai tempat
atau wadah penyelenggaraan sarana usaha bercocok tanam. Lahan merupakan
faktor produksi yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lainnya dan
distribusi penguasaannya di masyarakat pun tidak merata. Adapun lahan itu
sendiri memiliki beberapa sifat, antara lain: luas relatif tetap atau dianggap tetap,
tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan. Berdasarkan hal
tersebut maka lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi

21
usahatani meskipun di bagian lain dapat juga berfungsi sebagai faktor atau unsur
pokok dari modal usahatani.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua selain lahan, modal, dan
manajemen. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani
yaitu manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari
dalam keluarga itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia
dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia
dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat
kemampuannya.
Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk
pengangkutan. Sedangkan tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti
ternak dan atau manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat
memperkerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa
berupa upah.
3. Modal
Menurut Hernanto (1991), modal adalah barang atau uang yang bersama-
sama dengan faktor produksi lain yang digunakan untuk menghasilkan barang-
barang baru, yaitu produk pertanian. Diantara empat faktor produksi yang terdapat
dalam usahatani, modal merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh
besar terhadap kegiatan usahatani, terutama modal operasional. Hal ini karena
modal operasional terkait langsung dengan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan
usahatani. Adapun yang dimaksud dengan modal operasional adalah modal dalam
bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana
produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan (manajemen).
4. Pengelolaan (manajemen).
Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani
menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang
dikuasainya sebaik mungkin serta mampu memberikan produksi pertanian
sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah
produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya.

22
3.1.4. Konsep Produksi dan Biaya
Salvatore (2001), Samuelson dan Nordhaus (1992) serta Schileer (1989)
menjelaskan bahwa fungsi produksi menyatakan hubungan antara jumlah output
maksimum yang bisa diproduksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan
out put tersebut, dengan tingkat pengetahuan teknik tertentu. Fungsi produksi
menggambarkan apa yang layak secara teknis (technically feasible) bila
perusahaan berusaha secara efisien.
Asumsi dasar untuk menjelaskan fungsi produksi ini adalah berlakunya
“The Law of Diminishing Return” yang menyatakan bahwa apabila suatu input
ditambahkan dan input-input lain tetap, maka tambahan output dari setiap
tambahan satu input yang ditambahkan mula-mula menaik, tapi pada suatu tingkat
tertentu akan menurun jika input tersebut terus ditambahkan (Gambar 1).

Gambar 1. Kurva Produksi


Sumber : Iswardono SP,1990

Kurva biaya adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah


ongkos produksi dengan tingkat output yang dihasilkan. Biaya produksi adalah
semua pengeluaran yang dilakukan oleh petani untuk memperoleh faktor-faktor
produksi guna memproduksi output. Macam-macam biaya yang dimaksud yaitu
sebagai berikut :

23
1. Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total) adalah jumlah biaya yang tetap yang
tidak dipengaruhi oleh tingkat produksi. Contoh : penyusutan, sewa lahan,
dan sebagainya.
2. Total Variable Cost (Biaya Variabel Total) adalah jumlah biaya-biaya
yang dibayarkan yang besarnya berubah menurut tingkat yang dihasilkan.
Contoh : biaya bahan mentah, tenaga kerja, dan sebagainya.
3. Total Cost (Biaya Total) adalah penjumlahan antara biaya total tetap
dengan biaya total variabel.

Gambar 2. Kurva Biaya Total


Sumber : Iswardono SP,1990

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Pertanian di Indonesia saat ini sudah mulai berkembang mengikuti isu-isu


lingkungan yang ada. Organik merupakan salah satu metode yang mulai
digunakan dalam menyikapi isu tersebut. Akan tetapi, produksi dari pertanian
organik yang sedang dilakukan saat ini tidak mampu mencukupi seluruh
kebutuhan pangan masyarakat di negara berkembang ini. Kemudian muncul
metode menanam padi SRI yang dikatakan memiliki produktivitas lebih tinggi

24
dibandingkan dengan bertanam padi dengan metode konvensional. Desa Ringgit
merupakan salah satu desa di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang telah
menerapkan pertanian organik sejak tahun 1997. Pada tahun 2003 di desa ini
diperkenalkan metode bertanam padi dengan metode SRI. Hingga saat ini terdapat
petani yang membudidayakan padi konvensional dan SRI organik.
Adapun kerangka pemikiran operasional penelitiannya, yaitu dengan cara
membandingkan keragaan usahatani antara metode konvensional dan SRI organik
yang akan dijelaskan secara deskriptif. Perbandingan keragaan usahatani akan
dilihat dari input yang digunakan serta cara budidaya yang dilakukan. Selain
keragaan usahatani, terdapat tiga variabel yang akan dibandingkan antara metode
konvensional dan SRI organik yaitu produktivitas, pendapatan, serta efisiensi.
Ketiga variabel tersebut didapatkan dari perhitungan usahatani yang dilakukan
pada 60 responden, kemudian data yang diperoleh dari hasil perhitungan usahatani
akan digunakan dalam perhitungan uji beda t. Untuk lebih jelasnya mengenai
gambaran dari penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.

25
 Kesejahteraan petani padi umumnya rendah
 Isu lingkungan (global warming)
 Pertanian organik dengan metode konvensional menghasilkan produksi
yang rendah khususnya pada awal penanaman

Desa Ringgit menjadi desa


Analisis pertama yang menerapkan Keragaan
usahatani metode SRI organik di usahatani

kabupaten Purworejo

Perbandingan Analisis
pendapatan, deskriptif
produktivitas,
dan efisiensi

Uji beda T Masukan bagi petani


daerah setempat

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Usahatani Padi


Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI)
Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol,
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)

26
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data telah dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2011 di


Desa Ringgit Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah
dengan data yang digunakan yaitu pada musim tanam II. Pemilihan lokasi dan
pemilihan waktu penelitian dilakukan dengan cara sengaja (purposive), dengan
pertimbangan karena daerah ini merupakan daerah yang pertama kali menerapkan
metode SRI organik di Kabupaten Purworejo. Untuk pemilihan waktu, bulan Juli-
Agustus yaitu karena pada bulan tersebut petani sudah memanen hasil padinya.
Hal tersebut menjadi pertimbangan karena kajian yang diteliti adalah usahatani,
bukan proses budidayanya. Walaupun dalam penulisan dijelaskan beberapa hal
berkaitan dengan pembudidayaan padi.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden
yang dipandu dengan kuisioner. Wawancara dilakukan dengan petani, penyuluh
pertanian dari kantor Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo, dan tokoh
masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran karya-karya
ilmiah dan data-data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang
memberikan informasi dan data yang relevan dengan topik yang dikaji.

4.3. Metode Pengambilan Sampel

Populasi adalah keseluruhan orang, kejadian, atau hal minat yang ingin
peneliti investigasi (Sekaran, 2006). Menurut Cooper (2009) populasi adalah total
kumpulan elemen atau unsur yang kita harapkan membuat kesimpulan. Populasi
dalam penelitian ini adalah petani padi konvensional dan SRI organik di Desa
Ringgit tahun 2011 pada musim panen kedua. Jumlah populasi petani padi
konvensional di Desa Ringgit yaitu sebanyak 74 orang, serta populasi petani padi
SRI organik Desa Ringgit tahun 2011 yaitu sebanyak 31 orang.
Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah anggota yang dipilih
dari populasi (Sekaran, 2006). Penelitian ini mengambil sampel dengan jumlah
sebanyak 60 orang petani. Masing-masing petani baik konvensional dan SRI
organik sebanyak 30 orang. Akan tetapi, terdapat 13 orang petani yang
menerapkan kedua metode tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
petani di Desa Ringgit tidak hanya mengerjakan lahannya sendiri, namun ada pula
petani yang mengerjakan lahan orang lain (penggarap).
Jumlah sampel tersebut telah memenuhi aturan umum secara statistik
yaitu ≥ 30 orang karena sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk
memprediksi populasi yang diteliti. Teknik pengambilan sampel untuk responden
organik menggunakan metode sensus, karena jumlah petani yang telah
menerapkan SRI organik selama tiga tahun lebih di Desa Ringgit ada 31 orang.
Untuk responden konvensional teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu
dengan metode simple random sampling.

4.4. Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder diolah dan
dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan komputer (software Microsoft Excel dan SPSS), sedangkan
untuk data kualitatif, diolah secara deskriptif. Data kuantitatif yang dianalisis
yaitu sistem usahatani padi dan uji beda produktivitas, pendapatan, serta efisiensi
antara padi organik dan konvensional. Analisis data kualitatif digunakan untuk
menjelaskan hasil analisis dan keragaan usahatani.

4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani


Usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk
menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal
sebagai korbanannya. Penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam
jangka waktu tertentu. Pengeluaran total usahatani adalah semua nilai input yang
dikeluarkan dalam proses produksi. Menurut Soekartawi (1995), pendapatan
usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang
dikeluarkan. Pendapatan usahatani padi organik maupun SRI diperoleh dari
perhitungan sebagai berikut :

28
TL = Y.Py - Σ X i . Pi
Keterangan :
TL = Pendapatan usahatani padi
Y = Produksi GKP (kw)/beras (kg)
Py = Harga GKP (Gabah Kering Panen) (Rp/kw)/harga beras organik (Rp/kg)
Xi = Penggunaan input ke-i
Pi = Harga input ke-i per unit

Pengeluaran total usahatani terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai.
Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan petani secara tunai. Sedangkan biaya
tidak tunai adalah biaya yang dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja dalam
keluarga, penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan, serta biaya bibit. Biaya
penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai
pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya umur ekonomis.
Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan
karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan diasumsikan
tidak laku bila dijual. Rumus yang digunakan yaitu (Ibrahim, 2003):

NbxNs
Biaya Penyusutan =
n

dengan:
Nb = Nilai pembelian (Rp)
Ns = Tafsiran nilai sisa (Rp)
n = Jangka usia ekonomis (Tahun)
4.4.2. Analisis Rasio (R/C Rasio)
Analisis R/C rasio merupakan salah satu cara untuk mengetahui
perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Selain itu R/C rasio
ini juga dilakukan untuk mengetahui efisiensi usahatani, yang dapat diketahui dari
perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya pada masing-masing
usahatani.
Analisis ini dibedakan menjadi tiga, yaitu R/C rasio terhadap biaya tunai,
R/C rasio terhadap biaya diperhitungkan, dan R/C rasio terhadap biaya total
dengan perhitungan sebagai berikut (Soekartawi, 1995). :
Total Penerimaan (Rp)
R/C rasio atas biaya total =
Biaya Total (Rp)

29
Sementara itu, dalam mengukur tingkat efisiensi usahatani maka terdapat
kriteria penilaian dari hasil perhitungan R/C rasio tersebut, yaitu :
 Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut dikatakan menguntungkan
karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
penerimaan lebih besar dari satu rupiah.
 Apabila nilai R/C = 1, maka usahatani tersebut dikatakan impas karena
setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan
sebesar satu rupiah pula.
 Apabila nilai R/C < 1, maka usahatani tersebut dikatakan tidak
menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan lebih kecil dari satu rupiah.
R/C rasio menunjukkan besarnya penerimaan untuk setiap rupiah biaya
yang dikeluarkan dalam usahatani padi. Semakin tinggi nilai R/C, semakin
menguntungkan dan efisien usahatani tersebut.
Untuk menentukan nilai revenue (penerimaan) dan cost (biaya) yang
diperlukan agar dapat menghitung nilai R/C rasio dan sekaligus menghitung nilai
pendapatan usahataninya, maka dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4. Perhitungan Usahatani


A. P. Tunai Harga x Hasil panen yang dijual (Kg)
B. P. Yang diperhitungkan Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (Kg)
C. Total penerimaan A+B
D. Biaya Tunai Pupuk
Benih
Pestisida
Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK)
Sewa lahan
E. Biaya diperhitungkan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK)
Penyusutan alat
Benih
Mol
F. Total Biaya D+E
G. Pend. Atas biaya tunai B–A
H. Pend. Atas biaya total C–F
I. Pend. Bersih A–D
Keterangan: P = Penerimaan, Pend = Pendapatan
Sumber: Hernanto, 1991

30
4.4.3. Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan, Produktivitas, dan
Efisiensi
Salah satu penggunaan statistik adalah untuk menguji hipotesis tentang
perbedaan tingkat pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang diperoleh petani
karena adanya dua metode yang dilakukan. Adapun alasan mengapa perlu
dilakukan uji beda ini adalah karena walaupun secara nominal pendapatan petani
tersebut tidak sama, namun secara statistik belum tentu berbeda karena bisa saja
perbedaan yang terjadi disebabkan oleh faktor kebetulan (Nazir, 1988). Oleh
karena itu, perbedaan tersebut perlu diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji
perbedaan dua mean. Adapun alat analisis yang digunakan untuk menguji
perbedaan dua mean tersebut adalah uji t tidak berpasangan.
Uji t tidak berpasangan digunakan untuk menentukan apakah dua sampel
yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda (Ghozali, 2006).
Untuk kasus ini, sampel yang digunakan yaitu petani yang menerapkan metode
konvensional dan petani yang menerapkan metode SRI organik. Uji beda t-test
dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan antara dua nilai rata-rata
dengan standar eror dari perbedaan rata-rata dua sampel atau secara rumus dapat
ditulis sebagai berikut (Ghozali, 2006):

xi  xii
t
Std .Errori ,ii

Keterangan:
= rata-rata sampel pertama
= rata-rata sampel kedua
= standar eror perbedaan rata-rata kedua sampel
Standar error perbedaan dalam nilai rata-rata terdistribusi secara normal.
Dengan demikian tujuan uji beda t-test adalah membandingkan rata-rata dua grup
yang tidak berhubungan satu dengan yang lain. Bentuk hipotesis yang dirumuskan
pada penelitian ini salah satunya untuk mengetahui perbedaan tingkat pendapatan
adalah sebagai berikut:
H0 : tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang signifikan antara metode
konvensional dan metode SRI organik
H1 : terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang signifikan antara metode
konvensional dan metode SRI organik

31
 Variabel dependen : produktivitas
 Variabel independen : metode yang digunakan (konvensional dan SRI organik)
Level signifikan (  ) yang digunakan untuk menolak atau menerima
hipotesis pada penelitian ini sama dengan 5 persen (0,05). Hipotesis akan ditolak
jika t hitung >t tabel. Untuk membaca tabel angka t-test pada hasil output spss yang
digunakan, terdapat dua tahapan analisis yang harus dilakukan. Pertama, asumsi
variance populasi kedua sampel tersebut harus diuji apakah sama (equal
variances assumed) atau berbeda (equal variances not assumed) dengan melihat
nilai levene’s test. Kedua, menentukan apakah terdapat perbedaan nilai rata-rata
secara signifikan dengan melihat nilai t-test. Untuk mengetahui apakah varians
populasi sama atau berbeda, berikut hipotesis yang digunakan :
Ho : varians populasi tingkat pendapatan antara responden konvensional dan SRI
organik adalah sama.
H1 : varians populasi tingkat pendapatan antara responden konvensional dan SRI
organik adalah berbeda.
Pengambilan keputusan :
Jika probabilitas > 0,05, maka terima Ho , dengan kesimpulan varians sama dan
menggunakan equal variances assumed. Jika probabilitas < 0,05, maka tolak Ho
dan terima H1, dengan kesimpulan varians berbeda dan menggunakan equal
variances not assumed.

4.5. Definisi Operasional

Untuk menghindari ketidaksamaan pandangan dalam pengertian, maka


terdapat beberapa hal yang perlu diberi batasan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dari penelitian. Batasan-batasan tersebut meliputi :
1. Petani padi SRI organik (petani organik) adalah petani yang melaksanakan
budidaya padi dengan metode SRI dan tidak menggunakan masukan kimia
dalam usahataninya, satuannya orang.
2. Petani padi konvensional (petani anorganik) adalah petani yang
melaksanakan budidaya dengan metode konvensional dan menggunakan
masukan kimia dalam usahataninya, satuannya orang.
3. Luasan lahan yang digunakan dalam perhitungan usahatani penelitian ini
yaitu satu iring atau setara dengan 2000 m2.

32
4. Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi.
tenaga kerja ini dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga kerja dalam keluarga
(TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Seluruh tenaga kerja
disetarakan dengan ukuran Hari Orang kerja (HOK).
5. Jumlah produksi adalah jumlah panen padi yang dihasilkan dari luas lahan,
satuannya kilogram.
6. Produktivitas adalah hasil bagi antara jumlah panen atau produksi dengan
luas lahan, satuannya kilogram per iring.
7. Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan petani untuk
membeli input-input yang dibutuhkan dalam budidaya padi.
8. Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk input milik sendir atau
input yang digunakan tanpa harus membeli, satuannya rupiah.
9. Biaya total merupakan penjumlahan antara biaya tunai dan biaya yang
diperhitungkan, satuannya rupiah.
10. Harga jual beras organik adalah harga jual output dalam bentuk beras organik
yang telah ditentukan dan disetujui oleh kedua pihak yaitu kelompok tani
Pemuda Tani Lestari dan pembeli, dalam satuan rupiah per kilogram.
11. Penerimaan (nilai produksi) usahatani merupakan nilai yang diperoleh dari
hasil kali antara jumlah produksi beras (petani SRI organik) atau gabah kering
panen (petani konvensional) dengan harga jualnya, satuannya rupiah. Hasil
produksi baik berupa gabah maupun beras didalamnya sudah termasuk
penyusutan dan upah panen. Penyusutan volume gabah dari gabah basah ke
gabah kering yaitu 15 persen. Penyusutan volume gabah kering ke beras yaitu
45 persen.

33
BAB V

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1. Karakteristik Desa

5.1.1. Kondisi Geografis


Secara administratif Desa Ringgit terletak di Kecamatan Ngombol,
Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa Ringgit berada pada
4km dari ibu kota kecamatan, dan 20 km dari ibu kota kabupaten dengan batas
wilayah desa sebagai berikut :
Sebelah barat : Desa Kaliwungu Lor
Sebelah utara : Desa Susukan
Sebelah timur : Tunjungan
Sebelah selatan : Kelurahan Lereng
Luas wilayah Desa Ringgit ±103 ha yang terdiri atas sawah, pemukiman
dan pekarangan, bangunan umum, dan lain-lain. Secara topografi daerah ini
termasuk daerah yang landai, tidak berbukit dengan ketinggian 133 m di atas
permukaan laut. Curah hujan rata-rata di daerah ini 2066 mm per tahun dengan
suhu udara rata-rata berkisar antara 220-340C. Jenis tanah di daerah ini adalah
Regosol dengan pH 5,0-5,4 sehingga tanah cenderung asam.

5.1.2. Kondisi Demografi dan Keadaan Sosial Ekonomi


Jumlah penduduk di Desa Ringgit hingga akhir tahun 2009 berjumlah
4.668 jiwa yang terdiri dari 1440 Kepala Keluarga (KK) dan terbagi dalam satu
Rukun Warga (RW) dan empat Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk berjenis
kelamin pria sebanyak 367 jiwa dan wanita sebanyak 335 jiwa. Kelompok umur
yang terbanyak adalah usia 26-50 tahun. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk
menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol,
Kabupaten Purworejo Tahun 2009
Jenis Kelamin Persentase
Umur (Tahun) Jumlah
Pria (jiwa) Wanita (jiwa) (%)
0-5 115 105 220 4,71
6-15 374 341 715 15,32
16-25 520 475 995 21,31
26-50 1.079 985 2.064 44,21
>50 352 322 674 14,44
Jumlah 2.440 2.228 4.668 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009

Tingkat pendidikan masyarakat sudah cukup baik, dimana persentase


lulusan SLTA dan sederajat sudah cukup besar yaitu 32,61 persen, disusul
kemudian dengan lulusan SLTP sebesar 27,17 persen dan Sekolah Dasar sebesar
17,40 persen. Perincian mengenai tingkat pendidikan masyarakat Desa Ringgit
dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit,


Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009
No. Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Belum sekolah 30 8,15
2 TK 34 9,24
3 Tamat SD/sederajat 64 17,40
4 Tamat SLTP/sederajat 100 27,17
5 Tamat SLTA/sederajat 120 32,61
6 Tamat Diploma 10 2,72
7 Tamat Sarjana 10 2,72
Jumlah 368 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009

Ditinjau dari segi mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Desa


Ringgit bekerja di sektor pertanian. Dalam usahataninya ada yang menggarap
lahan sawah baik milik sendiri maupun milik orang lain (buruh tani). Selain itu,
ada petani penggarap, yaitu petani yang menggarap sawah dengan cara menyewa
lahan dan hasil panen diterima secara utuh oleh petani, dan petani penyakap, yaitu
petani yang menggarap sawah namun tidak dengan menyewa lahan melainkan
dengan pembagian hasil panen (sistem bagi hasil 50:50) serta biaya yang

35
dikeluarkan dari proses penanaman hingga panen berasal dari petani penggarap.
Rincian mengenai jenis mata pencaharian penduduk Desa Ringgit pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Ringgit,


Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009
No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)
1 Pegawai Negeri 20 8,09
2 Pegawai Swasta 7 2,83
3 Wiraswasta 22 8,91
4 Tani 105 42,51
5 Pertukangan 7 2,83
6 Buruh Tani 80 32,39
7 Pensiunan 6 2,43
Total 247 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009

5.2. Gambaran Umum Usahatani Padi di Desa Ringgit

Penerapan sistem pertanian padi SRI organik di Desa Ringgit diawali


dengan penanaman padi secara organik yang telah dilakukan sejak tahun 1997.
Penerapan padi secara organik ini didasari oleh kesadaran petani setempat akan
buruknya dampak yang diberikan dari penggunaan bahan-bahan kimia terhadap
tanah. Pada tahun 2003 pertanian SRI organik mulai diperkenalkan oleh Suster
Alfonsa Triatmi PMY yang berasal dari kongregasi Suster Puteri Maria dan Yosef
Magelang, Wonosobo. Perkenalan metode SRI pada saat itu dengan
diikutsertakannya beberapa petani Purworejo ke Indramayu, Jawa Barat untuk
mengikuti Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) dan Praktek SRI Organik selama
lima hari.
Metode PET dan praktek SRI Organik ini kemudian dikembangkan untuk
memperbaiki metode pembelajaran pertanian organik yang sudah dijalankan sejak
tahun 1997. Tanggal 12 - 16 Oktober 2003 kelompok Tani Lestari desa Ringgit
mengadakan PET dengan mengundang narasumber Pak Alik Sutaryat dari Ciamis,
Jawa Barat. Pembelajaran ini juga menjadi awal terbentuknya pemahaman baru
tentang pertanian organik dan bergabungnya petani organik di Purworejo dengan
jaringan yang lebih luas untuk mengembangkan PET dan SRI Organik.
Pemahaman praktek PET dan SRI Organik beberapa petani terus terasah
melalui kegiatan-kegiatan jaringan yang diikuti. Hingga saat ini para petani telah
melaksanakan pembelajaran sebanyak 19 kali, baik secara mandiri maupun

36
dengan dukungan pihak-pihak yang peduli termasuk pemerintah. Jaringan petani
pelaku SRI Organik Kabupaten Purworejo memiliki setidaknya 10 orang petani
yang memiliki kemampuan untuk mendampingi pembelajaran ekologi tanah dan
praktek SRI Organik, sedangkan jaringan petani pelaku SRI Organik menjangkau
tujuh kecamatan dari 16 kecamatan di Kabupaten Purworejo. Jumlah petani yang
aktif dalam praktek SRI Organik dan masih terus terhubung dalam komunikasi
jaringan ada 85 orang petani.
Tahun 2010 negara Jepang melalui pemerintah Kabupaten Purworejo
memberikan bantuan kepada seluruh kelompok tani yang menjalankan program
SRI. Terdapat tujuh desa yang diberikan bantuan, salah satunya yaitu Desa
Ringgit yang ditujukan untuk dua kelompok tani, kelompok Tani Lestari dan
Margodadi. Bantuan pemerintah tersebut berjumlah Rp 309 juta untuk setiap
kelompok tani dan diwajibkan mengembangkan padi SRI pada lahan seluas 20
Ha. Bantuan tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah kompos, pembelian
30 ekor sapi, kendaraan roda tiga (Viar), alat pembuat pupuk organik (APPO),
serta sekolah lapang.
Musim tanam padi yang ada di desa tersebut ada dua, yaitu musim
kemarau (gadu) dan musim hujan (rendeng). Musim kemarau disebut juga dengan
Musim Tanam I (MT I), sedangkan musim hujan disebut juga dengan Musim
Tanam II (MT II). MT I dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT
II dilakukan pada bulan April hingga Juli. Pada peralihan musim tanam antara MT
II dan MT I, petani banyak yang menanami ladangnya dengan tanaman palawija.
Tanaman palawija yang biasa ditanam adalah cabai, tomat, kacang
panjang, jagung, serta kacang tanah. Hal ini dilakukan agar lahan sawahnya tidak
ditumbuhi banyak rumput yang nantinya menjadikan lahan susah diolah, serta
dapat menjadi penghasilan tambahan bagi petani. Akan tetapi, sebagian besar
petani padi SRI organik tidak melakukan hal tersebut. Sebab, penanaman tanaman
palawija biasanya menggunakan pupuk kimia. Dengan demikian, lahan yang telah
ditanami organik harus mengalami proses konversi lagi selama kurang lebih 1-2
tahun tergantung dengan kondisi lahan yang ada.
Pada MT I dan MT II hampir seluruh petani padi konvensional maupun
SRI organik mengalami perbedaan hasil produksi. Hasil produksi MT I dilihat

37
dari kuantitasnya lebih banyak dibandingkan dengan hasil panen MT II. Akan
tetapi, apabila dilihat dari kualitasnya MT II memiliki kualitas yang lebih baik
dari kualitas gabah pada MT I. Hal ini disebabkan karena pada saat musim
penghujan kebutuhan tanaman akan air sangat tercukupi, namun dengan kadar air
sangat tinggi menyebabkan kualitas gabah cenderung tidak bagus. Adapun pada
musim kemarau kebutuhan tanaman akan air kurang tercukupi, sehingga kadar air
yang terkandung dalam gabah sedikit. Selain itu pula pada proses penjemuran
gabah pada musim penghujan membuat kualitas gabah menjadi tidak baik, karena
gabah yang tidak terjemur dengan baik dapat mengakibatkan beras patah dan
cepat membusuk.
Varietas padi yang umumnya ditanam yaitu IR 64, Ciherang, Sintanur,
Jasmin, serta Janur. Varietas Janur merupakan varietas padi yang dihasilkan oleh
salah satu petani setempat dengan mengawinkan benih antara varietas Jasmin dan
Sintanur. Varietas Janur ini banyak digunakan oleh petani SRI organik, karena
varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada sistem tanam SRI organik.

5.3. Karakteristik Petani Responden

Karakteristik petani responden akan diuraikan berdasarkan umur petani,


tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, luas lahan garapan serta pengalaman
berusahatani padi baik konvensional maupun SRI organik.

5.3.1. Umur Petani


Berdasarkan hasil wawancara terhadap petani responden, diperoleh data
yang menunjukkan bahwa sebaran umur petani secara keseluruhan dimulai dari
umur 24-66 tahun. Untuk petani konvensional sebaran umur yaitu antara 25-66
tahun, sedangkan untuk petani SRI organik sebaran umur berada antara 24-55
tahun. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa jumlah petani terbanyak baik dari
petani konvensional dan SRI organik terletak pada sebaran umur antara 38-44
tahun dengan jumlah petani sebanyak 19 jiwa dan persentase sebesar 63,33
persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani Desa Ringgit berada pada usia
produktif.
Pada responden petani SRI organik terdapat jumlah petani terbanyak
kedua pada sebaran usia 52-58 tahun sebanyak delapan jiwa dengan persentase

38
26,67. Hal ini membuktikan bahwa penerapan metode SRI organik di Desa
Ringgit bukan semata-mata karena adanya kelangkaan pupuk atau naiknya harga
pupuk, melainkan kesadaran seorang petani terhadap lingkungannya yang sudah
mulai rusak.

Tabel 8. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik


Menurut Golongan Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol,
Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Golongan Umur
Petani Petani Petani Petani
(Tahun)
Konvensional Organik Konvensional Organik
24 – 30 5 2 16.67 6,67
31 – 37 5 4 16,67 13,33
38 – 44 9 10 30,00 33,33
45 – 51 4 6 13,33 20,00
52 – 58 5 8 16,67 26,67
59 – 66 2 0 6,67 0,00
Jumlah 30 30 100,00 100,00

5.3.2. Tingkat Pendidikan


Ditinjau dari sisi tingkat pendidikan yang pernah diikuti, maka petani
responden dapat digolongkan atas beberapa kategori. Berdasarkan tingkat
pendidikan yang diperoleh, sebagian besar responden telah mengenyam
pendidikan hingga tingkat SMU dan sederajat yaitu sebanyak 22 orang, dengan
persentase sebesar 46,808 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
petani responden sudah cukup tinggi. Bahkan ada pula petani responden yang
telah menempuh pendidikan hingga sarjana, yaitu sebanyak lima orang atau
sebesar 10,638 persen dari total responden secara keseluruhan. Secara terperinci
penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada
Tabel 9.

39
Tabel 9. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik
Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Jumlah (Orang) Persentase (%)
Tingkat Petani Petani SRI Petani Petani
No.
Pendidikan Konvensional Organik Konvensional SRI
Organik
1. Tidak Sekolah 3 1 10,00 3,33
2. SD 3 4 10,00 13,33
3. SLTP 5 7 16,67 23,33
4. SMU /sederajat 15 12 50,00 40,00
5. Diploma 1 2 3,33 6,67
6. Sarjana 3 4 10,00 13,33
Total 30 30 100,00 100,00

Untuk pendidikan non formal, mayoritas petani pernah mengikuti


pelatihan atau penyuluhan seperti Pelatihan PET, Sekolah Lapang Pengendalian
Hama Terpadu (SLPHT), dan lain sebagainya. Pelatihan yang dilakukan untuk
tanaman padi khususnya seperti masuknya pembelajaran metode SRI yang
dimulai dengan PET diikuti oleh sebagian besar petani di Desa Ringgit. Akan
tetapi, keikutsertaan dalam menanam padi dengan metode SRI organik ini hanya
dilakukan oleh beberapa petani, dan sebagian besar petani yang menerapkan
metode SRI organik tersebut tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 5, jumlah petani dengan tingkat pendidikan SMU
atau sederajat pada responden SRI organik lebih rendah yaitu berjumlah 12 orang,
sedangkan responden konvensional berjumlah 15 orang.

5.3.3. Status Kepemilikan Lahan


Status kepemilikan lahan yang berada di Desa Ringgit terbagi menjadi
empat jenis, yaitu lahan milik sendiri, lahan sewa, lahan sakap, serta lahan
bengkok. Lahan sewa merupakan lahan yang disewa oleh petani selama beberapa
musim tanam dengan sewa lahan per tahun sebesar Rp 1.700.000. Lahan sakap
merupakan lahan milik orang lain yang digarap oleh petani dengan sistem bagi
hasil namun biaya operasional ditanggung oleh petani, dan pemilik hanya
menanggung biaya tetap seperti pajak. Sedangkan lahan bengkok merupakan
lahan yang diberikan oleh desa kepada perangkat desa selama menjabat sebagai
perangkat desa. Untuk lahan sewa dan bengkok diasumsikan menjadi lahan sewa,

40
karena lahan bengkok pada dasarnya merupakan penerimaan seorang perangkat
desa dalam bentuk sawah.
Status kepemilikan lahan untuk responden petani SRI organik sebagian
besar adalah lahan milik sendiri, dan sebagian lain merupakan lahan sakap. Hal
ini disebabkan karena luas lahan yang dimiliki oleh petani pada umumnya kecil,
dengan luas minimum kurang lebih 2000 m2. Dengan demikian, sebagian besar
petani umumnya lebih memilih untuk menerapkan metode SRI organik pada
lahannya sendiri. Adapun alasan lain penerapan metode SRI organik pada lahan
sakap karena adanya permintaan dari pemilik, dan pemilik pun akan mencari
petani yang akan bersungguh-sungguh mengelola lahannya dengan baik
menggunakan metode SRI organik tersebut. Untuk responden petani
konvensional, status kepemilikan lahannya bermacam-macam seperti yang ada
pada Tabel 10.

Tabel 10. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik


Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Jumlah (Orang) Persentase (%)
Status
No Petani Petani SRI Petani Petani
Kepemilikan
. Konvensional Organik Konvensional SRI
Lahan
Organik
1. Milik Sendiri 21 23 70,00 76,67
2. Sakap 8 7 26,67 23,33
3. Sewa 1 0 3,33 0,00
Total 30 30 100,00 100,00

5.3.4. Luas Lahan Garapan


Apabila dilihat dari luas lahan yang digarapnya, ternyata luas lahan petani
cukup beragam, yaitu dari petani yang hanya memiliki lahan garapan seluas 769
m2 sampai dengan petani yang memiliki luas lahan garapan lebih dari satu hektar.
Pada Tabel 11. diketahui bahwa luas lahan garapan petani konvensional terbanyak
berada pada kisaran 0,34-0,99 ha dengan jumlah petani sebanyak 17 orang,
sedangkan luas lahan garapan kurang dari 0,34 ha menjadi luas lahan terbanyak
yang digarap petani SRI organik dengan jumlah 19 orang. Luas lahan yang
digarap lebih dari satu hektar sebagian besar dimiliki oleh para petinggi di
perangkat desa seperti Lurah, Sekretaris Desa, atau perangkat desa lainnya.

41
Tabel 11. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik
Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Jumlah (Orang) Persentase (%)
Luas Lahan
No. Petani Petani SRI Petani Petani SRI
Garapan (ha)
Konvensional Organik Konvensional Organik
1. < 0,34 9 19 30,00 63,33
2. 0,34-0,99 17 8 56,67 26,67
3. >1 4 3 13,33 10,00
Total 30 30 100,00 100,00

Berdasarkan Tabel 11 dapat terlihat pula petani konvensional memiliki


lahan garapan yang lebih luas dibandingkan dengan petani SRI organik. Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa lahan pertanian organik di Desa
Ringgit memiliki luasan yang kecil, meskipun dengan jumlah petani yang relatif
besar. Hal ini menjadi suatu alasan mengapa banyak produk organik yang
dipertanyakan keorganikannya karena seharusnya lahan organik berupa hamparan.

5.3.5. Pengalaman Berusahatani Padi


Lama pengalaman berusahatani padi masyarakat Desa Ringgit dapat
dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, sebanyak 11 orang dan 10 orang dari
golongan petani metode konvensional dan SRI organik telah bertani padi selama
kurang dari 10 tahun. Pengalaman bertani kurang dari 10 tahun tahun termasuk
pengalaman yang belum terlalu lama. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
petani merupakan penduduk yang telah pulang kembali ke desa dari perantauan di
kota besar. Apabila dilihat dari rentang usia petani pada Tabel 8, usia terbanyak
berada pada rentang 38-44 tahun. Hal ini menegaskan bahwa pada usia kurang
dari 38 tahun petani lebih memilih untuk mencari pekerjaan di kota besar dan
pertanian menjadi harapan terakhir bagi petani sebagai mata pencaharian.

42
Tabel 12. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik
Menurut Pengalaman Berusahatani Padi di Desa Ringgit,
Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Jumlah (Orang) Persentase (%)
Pengalaman
Petani Petani SRI Petani Petani
No. Usahatani
Konvensional Organik Konvensional SRI
(Tahun)
Organik
1. < 10 11 10 43,33 33,33
2. 11-20 8 7 26,67 23,33
3. 21-30 7 8 16,67 26,67
4. 31-40 4 5 13,33 16,67
Total 30 30 100,00 100,00

Rentang lama pengalaman berusahatani padi petani konvensional


terbanyak kedua yaitu pada rentang 11-20 tahun, sedangkan pada petani SRI
organik berada pada rentang 21-30 tahun. Berdasarkan hal tersebut dapat
diketahui bahwa petani dengan pengalaman berusahatani padi lebih lama, petani
lebih mampu mempertimbangkan adanya metode atau inovasi baru untuk
diaplikasikan pada lahannya. Hal tersebut sejalan dengan kutipan yang diberikan
oleh seorang praktisi organik bahwa “semakin lama petani mengenal lahannya,
maka akan semkin bijaksana petani tersebut dalam mengelola lahannya”12.
Pengalaman berusahatani padi SRI organik seluruhnya berada pada
rentang waktu kurang dari 10 tahun. Hal ini disebabkan karena metode SRI
organik diperkenalkan pada tahun 2003 dan dilaksanakan secara bertahap pada
tahun 2006. Selama tahun 2003 hingga 2006 penerapan yang dilakukan masih
dalam tahap pengenalan dan pembelajaran, sehingga banyak petani yang belum
berani mengaplikasikan pada lahannya sendiri.

12
Alik Sutaryat dalam diskusi perkumpulan petani organik di Ciamis, Jawa Barat.

43
BAB VI

ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

Keragaan usahatani pada penelitian ini dijelaskan secara deskriptif.


Penjelasan keragaan usahatani meliputi penggunaan input dan cara budidaya padi
dengan metode SRI organik yang dibandingkan dengan pertanian konvensional.
Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam memahami perbedaan dari
kedua metode tersebut.

6.1. Penggunaan Input

6.1.1. Lahan
Lahan yang digunakan dalam budidaya padi SRI organik memiliki luas
kurang lebih 2000 m2 atau penduduk sekitar sering mengistilahkannya dengan
satu iring. Satu iring setara dengan 130 ubin, dengan luas per ubinnya 12 cm x 14
cm. Harga sewa yang ditetapkan per iringnya yaitu Rp 1.700.000 pertahun dan
dibayarkan pada musim tanam pertama. Untuk pajak lahan sawah dibedakan atas
letak sawah tersebut. Apabila letak sawah berada dekat dengan jalan utama atau
saluran irigasi, maka pajak lahan sawah semakin besar dan sebaliknya bila lahan
sawah berada jauh dari jalan utama atau saluran irigasi maka pembayaran pajak
akan semakin kecil. Pembayaran pajak dilakukan pada akhir tahun saat musim
tanam pertama.

6.1.2. Bibit
Bibit yang digunakan oleh petani SRI organik Desa Ringgit merupakan
bibit yang dibuat sendiri baik oleh anggota maupun ketua kelompok tani, yang
nantinya ketua kelompok tani akan membagikan bibit tersebut kepada petani
anggota lain yang tidak mampu membuat bibitnya sendiri. Varietas bibit yang
ditanam yaitu Sintanur, Pandan Wangi, atau Janur. Varietas Janur merupakan
persilangan antara Sintanur dan Jasmin yang disilangkan oleh ketua kelompok
Pemuda Tani Lestari (PTL). Varietas Janur digunakan oleh sebagian besar petani
SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada metode SRI.
Jumlah bibit yang digunakan dalam metode SRI organik untuk luasan lahan satu
iring yaitu 1-2 kg. Penggunaan jumlah bibit sebenarnya hanya 7-8 ons, kelebihan
bibit digunakan untuk penyulaman tanaman.
Untuk pertanian konvensional, varietas bibit yang digunakan yaitu IR 64,
Janur, Ciherang, Pandan Wangi, dan Sintanur. Kebutuhan bibit pada pertanian
konvensional per iringnya yaitu 5-7 kg. Perbedaan jumlah penggunaan bibit
dikarenakan oleh jarak tanam dan jumlah bibit per lubang tanam dalam kegiatan
penanaman yang dijelaskan di sub bab budidaya. Penggunaan bibit pada pertanian
konvensional berasal dari produsen bibit dengan harga beli Rp 8000-Rp 9000 per
kilogram. Bibit yang dijual berada pada kemasan lima kiloan dengan harga Rp
40.000-Rp 45.000 berdasarkan varietas bibit.

6.1.3. Pupuk
Penggunaan pupuk pada pertanian SRI organik yaitu dengan pupuk
kandang yang dibuat oleh petani kelompok PTL. Pupuk kandang yang dibuat
berasal dari kotoran sapi. Ada pula petani yang menggunakan kotoran hewan lain
seperti ayam, kambing, serta burung sebagai pupuk kandangnya. Untuk pupuk
kandang yang berasal dari kotoran sapi memiliki nilai jual seharga Rp 6.000 per
kg, Rp 8.889 per kg untuk kotoran ayam, dan untuk kotoran kambing Rp 10.000
per kg. Pupuk kandang diberikan setelah lahan dibajak pertama kali (di luku). Ciri
kompos yang siap untuk digunakan adalah berwarna kehitaman dan remah seperti
tanah. Banyaknya kompos yang dibutuhkan tanaman tergantung kesuburan tanah,
kondisi agroklimat, dan jenis tanaman.
Pupuk yang digunakan untuk pertanian konvensional merupakan pupuk
kimia berupa urea, ponskha, SP 36, dan Za. Pengaplikasian pupuk dengan cara
mencampur beberapa jenis pupuk yang digunakan kemudian di sebar pada saat
tanaman sudah mencapai usia 10-15 hari setelah tanaman di watun. Hal tersebut
dilakukan agar pupuk yang disebar di sekitar tanaman mampu diserap dengan
sempurna. Meskipun pada kenyataannya pupuk yang disebar akan menguap,
mengalir bersama aliran air, dan mengendap yang pada akhirnya akan membuat
tanah menjadi keras dan sulit diolah karena tekstur pupuk kimia rapat dan tidak
bercelah. Adapun jumlah penggunaan pupuk yang diaplikasikan dapat dilihat pada
Tabel 13.

45
Tabel 43. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata 1 Ha Pada Pertanian
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim Tanam II
Tahun 2011
Penggunaan Pupuk (kg)
Harga Satuan
No. Jenis pupuk Petani Petani SRI
(Rp/kg)
Konvensional Organik
1. Urea 1.600 214,83
Ponskha 2.300 156,50
SP 36 2.200 109,17
Za 1.200 40,83
2. Kotoran Ayam 120 3.662,5
Kotoran Sapi 177,78 5.593,05
Kotoran Kambing 200 2.733,33

6.1.4. Pestisida
Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani
organik tidak boleh menggunakan pestisida. Hal ini dikarenakan dapat
berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu,
untuk pengendalian hama dan penyakitnya dilakukan dengan beberapa macam
cara misalnya penyemprotan mol, penambahan pupuk kandang, mengurangi atau
menambah volume air genangan, serta menghadirkan musuh alami. Mol
merupakan salah satu bentuk pestisida nabati yang terbuat dari beberapa jenis
tanaman dengan kegunaannya masing-masing. Rata-rata takaran perbandingan
antara mol dan air yaitu 1 : 2, dengan jumlah mol sebanyak lima liter dan air
sepuluh liter. Hal ini disebabkan karena mol berupa cairan yang tidak begitu
pekat.
Berbeda dengan SRI organik, petani konvensional melakukan
pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida yang
digunakan oleh petani konvensional memiliki beragam merek dagang seperti
Spontan, Fastac, dan Score. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida
bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa
petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama
sebagai tindakan pencegahan. Takaran penggunaan pestisida umumnya 20 – 30 ml
dalam satu tangki sprayer volume 14 L. Penggunaan takaran pestisida yang sedikit
disebabkan oleh bentuk pestisida yang berupa cairan pekat.

46
6.1.5. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki
pengaruh besar terhadap biaya usahatani. Oleh karena itu, dalam penggunaannya
petani harus memperhitungkannya. Tenaga kerja yang digunakan petani berasal
dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK).
TKDK dan TKLK memiliki porsi yang sama dalam jumlah jam kerja per harinya
yaitu delapan jam.
Pemberian upah bagi TKLK terbagi menjadi dua, yaitu borongan dan
perorangan. Pemberian upah secara borongan biasanya dilakukan pada saat
kegiatan membajak sawah, penanaman, serta pemanenan. Untuk tenaga kerja
perorangan, perhitungan pemberian upah diberikan per dua jam kerja (1
HKW/HKP = 2 jam kerja) sebanyak Rp 7.000 untuk wanita dan Rp 8.000 untuk
pria. Dengan demikian, dalam satu hari terdapat delapan jam kerja (1 HOK = 8
jam kerja) dengan upah sebesar Rp 28.000 untuk wanita dan Rp 32.000 untuk
pria.
Penggunaan tenaga kerja pada metode konvensional dan SRI organik tidak
terlalu berbeda kuantitasnya. Hanya saja dari segi kualitas bekerja, tenaga kerja
SRI organik lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari segi upah yang diberikan
dan perbedaan metode yang dilakukan. Misalnya pada kegiatan pembajakan dan
penanaman. Kegiatan membajak pada lahan konvensional cukup berat karena
lahan keras dan sulit untuk diolah, sehingga membutuhkan tenaga yang cukup
besar. Pada lahan SRI organik, karena selama budidaya menggunakan pupuk
kandang maka saat dibajak lahan tidak terlalu keras dan mudah untuk diolah. Oleh
sebab itu, dengan penetapan upah borongan pada kegiatan membajak Rp 100.000
per iring, pembajak sawah SRI organik lebih untung karena dengan lahan yang
mudah diolah dapat menghemat waktu dan tenaga, sehingga pembajak sawah
dapat membajak sawah petani lainnya. Untuk penggunaan TKDK dan TKLK
dalam metode konvensional dan SRI organik dapat dilihat pada Tabel 14.

47
Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit pada MT II
Penggunaan Tenaga Kerja
No. Jenis Tenaga Kerja
Petani Konvensional Petani SRI Organik
1. Dalam Keluarga :
Pria 12,84 HKP 24,73 HKP
Wanita 7,5 HKW 13,57 HKW
2. Luar Keluarga :
Pria 36,86 HKP 35,66 HKP
Wanita 40,33 HKW 31,78 HKW
Total 457,25 HOK 420,29 HOK

Berdasarkan Tabel 14. dapat diketahui bahwa rata-rata penggunaan TKDK


lebih banyak pada petani SRI organik, sedangkan rata-rata penggunaan TKLK
lebih banyak digunakan pada pertanian konvensional. Hal tersebut dapat
disebabkan karena pertanian SRI organik pada dasarnya membutuhkan banyak
tenaga kerja untuk kegiatan pemupukan dan penyiangan. Kegiatan pemupukan
membutuhkan banyak tenaga kerja atau waktu karena pupuk kandang yang
dibutuhkan cukup banyak, serta pengangkutan pupuk dari tempat pupuk dibuat
dan dibawa ke lahan cukup jauh. Dengan demikian, petani lebih memilih
menggunakan tenaga kerja keluarga untuk membantu kegiatan pemupukan.

6.1.6. Peralatan Pertanian


Alat pertanian yang digunakan dalam membudidayakan tanaman padi baik
secara konvensional maupun SRI organik sebagian besar sama, yaitu cangkul,
traktor, arit, sprayer, gathak atau penggaris untuk menggaris lahan saat kegiatan
penanaman pada metode SRI organik, tambang, serta karung untuk menempatkan
gabah yang sudah dirontokkan. Metode perhitungan penyusutan alat pertanian
menggunakan metode garis lurus. Nilai penyusutan dihitung dalam komponen
biaya diperhitungkan.

6.2. Teknik Budidaya

6.2.1. Pengolahan Tanah


Persiapan lahan untuk bertani dimulai dengan mengolah lahan sebelum
tanam menggunakan traktor. Traktor yang digunakan umumnya merupakan
traktor milik kelompok, meskipun sebenarnya setiap petani memiliki traktor

48
masing-masing. Hal ini dikarenakan penggunaan traktor sudah termasuk tenaga
kerja khusus untuk membajak sawah SRI organik. Biaya yang dikenakan untuk
membajak sawah hingga selesai yaitu Rp 100.000 per iring (2000 m2).
Pembajakan dengan traktor untuk sepetak lahan seluas 2000 m2 dapat diselesaikan
setengah hari (2HKP = 4 jam kerja).
Pembajakan lahan dilakukan dalam dua langkah, yaitu di luku kemudian di
garu. Perbedaan antara ngeluku dan ngegaru yaitu terletak pada model alat yang
digunakan pada traktor yang dipasang di bagian depan. Pada saat ngeluku, pupuk
organik disebar sebanyak kurang lebih 30-40 karung dengan berat per karungnya
50 kg. Setelah sawah selesai dibajak, tanah diratakan dan di bagian pinggir dan
tengah tiap petakan sawah dibuat parit untuk memudahkan pengaturan air serta
mencegah tanaman terserang hama keong.
Untuk pertanian konvensional, kegiatan membajak sawah dilakukan
dengan cara yang sama. Perbedaannya adalah pertanian konvensional memberikan
pupuk pada saat tanaman sudah ditanam. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa
perilaku usahatani pada umumnya lebih tertuju pada cara memupuk tanaman,
bukan cara memupuk tanah agar tanah menjadi subur, sehingga dapat
menyediakan sekaligus memberikan banyak nutrisi pada tanaman.

6.2.2. Persiapan Benih


Benih yang dibutuhkan untuk persemaian adalah 1-2 kg per iring.
Sebenarnya pada saat proses penanaman benih yang dibutuhkan hanya 7-8 ons.
Akan tetapi, kelebihan benih yang ada digunakan untuk kegiatan penyulaman
tanaman yang mati karena tertiup angin, terinjak, atau dimakan oleh keong. Hal
ini dikarenakan benih yang dipindah dari lahan persemaian ke lahan sawah masih
sangat muda (7-14 hari) dan belum kokoh, sehingga sangat rentan terhadap
kondisi lingkungan.
Penggunaan bibit muda dalam metode SRI membantu tanaman dalam
mempermudah menyerap makanan, sehingga mampu menghasilkan banyak
anakan. Pada metode konvensional, bibit relatif tua saat ditanam, yakni sekitar 25-
30 hari. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa bibit tua akan menghasilkan
tanaman yang tahan terhadap hama dan mudah dalam pencabutan bibit.
Kenyataannya, penggunaan bibit berumur tua berakibat pada produksi jumlah

49
anakan padi yang tidak maksimal. Selain itu, umumnya pertumbuhan tanaman
mengalami keterlambatan. Karena pada saat pemindahan tanaman, terjadi kondisi
stagnasi dan adaptasi sehingga daya jelajah akar dalam mencari makanan terbatas.
Dalam menyeleksi benih yang akan disemai, petani SRI organik
menggunakan metode larutan garam. Benih yang mengapung adalah benih yang
kurang baik kualitasnya, sedangkan benih yang tenggelam adalah benih yang
baik. Benih-benih yang baik kemudian diambil dan dicuci untuk menghilangkan
larutan garam yang menempel pada benih. Setelah benih berkualitas baik telah
dicuci, benih harus diperam dulu selama satu hari satu malam. Ini dilakukan agar
benih tumbuh seragam. Setelah diperam, akan terlihat adanya bintik pada lembaga
atau embrio benih (tetapi belum tumbuh akar) yang merupakan tanda benih yang
baik dan siap disemai. Tempat untuk menyemai benih ada yang dilakukan di
sawah persemaian atau di besek.

6.2.3. Penanaman
Bibit siap dipindahkan ke lahan setelah mencapai umur 10 - 14 hari setelah
semai. Bibit yang akan di tanam dalam keadaan utuh (akar tidak putus) dan
rentang waktu antara pencabutan dan penanaman tidak terlalu lama (maksimal 30
menit) agar bibit tidak stres. Kondisi air pada saat tanam adalah “macak-macak”
yaitu kondisi tanah yang basah tetapi bukan tergenang. Bibit yang ditanam setiap
lubangnya berisi satu benih dan ditanam dangkal, yaitu pada kedalaman 2-3 cm
dengan bentuk perakaran horizontal (seperti huruf L). Jarak tanam yang
digunakan bervariasi, yaitu 25x25 cm dan 30x30 cm. Pembuatan jarak tanam
menggunakan penggaris yang dibuat oleh petani (Gambar 2.).
Perlakuan terhadap benih yang ingin ditanam pada pertanian konvensional
yaitu (a) daun di potong karena benih yang digunakan sudah tua, (b) batang diikat
untuk memudahkan pembagian saat tanam, (c) benih dilempar, (d) benih ditanam
banyak, (e) benih ditanam dalam dan akhirnya di petakan sawah direndam.
Penanaman dengan metode konvensional menggunakan gathak. Gathak
merupakan alat tanam terbuat dari kayu dengan sepanjang kayu tersebut diberi
lengkungan kecil. Jarak antar lengkungan disesuaikan dengan jarak tanam yang
biasa digunakan untuk menanam padi konvensional yaitu 15 cm x 15 cm dan 20
cm x 20 cm. Pada Lampiran 1. terdapat gambar kegiatan menanam padi dengan

50
metode konvensional. Dari gambar tersebut dapat terlihat di pinggiran sawah
terdapat tambang yang digunakan untuk memastikan bahwa jarak penanaman
tetap rapih, sebab panjang gathak hanya setengah dari panjang sawah pada
umumnya.
Penanaman jarak tanam yang lebar yaitu 25 cm x 25 cm sampai 30 cm x
30 cm dalam prinsip SRI mendorong pertumbuhan akar secara optimal serta
memaksimalkan sinar matahari yang cukup secara optimal. Namun kebiasaan
yang dilakukan oleh petani konvensional dalam menanam padi biasanya
menggunakan jarak tanam yang rapat, yaitu 20 cm x 20 cm atau bahkan 15 cm x
15 cm. Kebiasaan ini didasarkan oleh bermacam-macam alasan diantaranya
adalah kepemilikan lahan yang sempit.
Penggunaan jarak tanam yang sempit, petani berpikiran akan
menghasilkan padi lebih banyak karena jumlah tanamannya lebih banyak. Namun
di dalam prakteknya, harapan yang dijadikan alasan oleh petani tersebut seringkali
berbeda, karena jarak tanam yang rapat menyebabkan tanaman lembab dan gelap
sehingga akan disenangi hama seperti wereng dan tikus. Di samping itu, tanaman
yang lembab sangat berpotensi terhadap berkembangnya jamur. Penanaman
dengan bibit yang banyak dalam satu lubang pula akan mengakibatkan tanaman
tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan terjadi persaingan dalam
memperebutkan makanan dan kekurangan sinar yang diperlukan bagi tanaman.

6.2.4. Pemupukan Setelah Tanam


Terdapat perlakuan yang berbeda dalam kegiatan pemupukan setelah
tanam pada kedua metode ini. Untuk metode SRI organik, pupuk yang digunakan
setelah benih ditanam yaitu dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL).
Mol digunakan sebagai katalisator dalam pembuatan pupuk organik cair. Mol
berfungsi dalam membantu pertumbuhan tanaman dan kesehatan ekosistem, serta
dapat melarutkan unsur hara makro dan mikro tanah. Pada metode SRI, petani
diharuskan untuk membuat mol sendiri. Hal ini dilakukan agar petani dapat lebih
mandiri dan mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar.
Untuk petani SRI di Desa Ringgit, tidak semua petani mampu membuat mol, tapi
mol dibuat oleh kepala kelompok tani yang nantinya dibagi-bagikan kepada
seluruh anggota kelompok.

51
Gambar 4. Jenis-Jenis Mol yang Digunakan Petani Padi SRI Organik di Desa
Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Sumber : Pak Wuryanto (anggota kelompok Pemuda Tani Lestari)

Pengaplikasian mol dalam SRI organik dibagi menjadi empat jenis yaitu
mol tunas (Giberelin), mol batang (Sitokinin), mol daun (Auxin), mol Inhibitor,
serta mol untuk pengisian bulir. Masing-masing mol diberikan setiap 10 hari
sekali secara berurutan dimulai pada 10 Hari Setelah Tanam (HST). Mol tunas,
mol batang, dan mol daun berfungsi dalam mempercepat proses pertumbuhan dan
menghasilkan anakan lebih banyak. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat
ketiga mol tersebut yaitu jenis tanaman yang cepat tumbuh seperti bambu muda
(rebung), bonggol pisang, buah mojo, dan lain-lain. Mol inhibitor berfungsi untuk
menghentikan pembuatan anakan agar nutrisi dapat terserap dengan baik oleh
malai yang sedang berbuah. Mol inhibitor sering pula disebut dengan mol buah
karena bahan pembuatnya berasal dari buah-buahan yang mengandung rasa
manis. Mol yang terakhir digunakan untuk membantu bulir padi lebih berisi.
Untuk metode konvensional, pemupukan dilakukan setelah tanam, yang
dilanjutkan dengan penyemprotan pestisida dan insektisida guna mempermudah
petani dalam merawat tanaman padinya. Petani konvensional menganggap bahwa
seluruh serangga atau mahkluk hidup yang hidup bersamaan dengan tanaman padi
adalah hama dan musuh tanaman yang harus dibasmi. Pada kenyatannya, tidak
semua serangga tersebut merusak tanaman. Sebab, ada serangga yang menjadi
musuh alami serangga yang sebenarnya menjadi perusak tanaman padi. Ilmu
inilah yang tidak didapat dari petani konvensional, karena penyuluh pertanian
hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan pestisida sesuai dengan dosis
yang dianjurkan.

52
Penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang digunakan dalam budidaya
tanaman padi seperti pupuk kimia, pestisida, dan insektisida, selain dapat merusak
lingkungan karena merubah susunan ekosistem, pula membuat petani menjadi
ketergantungan. Sebagian besar petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup
untuk dapat meracik pupuk kimia buatannya sendiri, sehingga petani hanya dapat
menerima dan menunggu pupuk yang telah dihasilkan oleh industri-industri
pupuk sintetis.

6.2.5. Pengelolaan Air dan Penyiangan


Proses pengelolaan air dan penyiangan dalam metode SRI Desa Ringgit
dilakukan sebagai berikut :
1. Ketika padi mencapai umur 1 – 8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air
di lahan adalah “macak-macak”.
2. Sesudah padi mencapai umur 9 – 10 HST air kembali digenangkan dengan
ketinggian 2 – 3 cm selama satu malam. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan penyiangan tahap pertama.
3. Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai
umur 18 HST.
4. Pada umur 19 – 20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan
penyiangan tahap kedua.
5. Setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1 – 2 cm dan kondisi
ini dipertahankan sampai padi “masak susu” (± 15 – 20 hari sebelum
panen). Kemudian sawah kembali dikeringkan sampai saat panen tiba.
Kegiatan penyiangan (watun) dilakukan sebanyak 2 – 4 kali setiap 10 hari
sekali sebelum disemprot dengan mol. Hal ini ditujukan agar tanaman dapat
menyerap dengan sempurna nutrisi yang diberikan melalui mol tersebut.
Penyiangan dilakukan dengan alat buatan sendiri yang disebut gosrok. Gosrok
merupakan alat yang terbuat dari bambu dengan bentuk seperti sikat pada
ujungnya, namun sikat tersebut diganti dengan paku agar rumput dapat tercabut.
Selain dengan menggunakan gosrok, seringkali petani juga menyiangi dengan
cara manual yaitu dengan tangan, apabila rumput tidak tumbuh terlalu banyak dan
tinggi. Pada pertanian konvensional penyiangan hanya dilakukan sebanyak 1 – 2
kali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Meskipun pada

53
kenyataannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiangi lahan konvensional
sangat banyak. Dalam satu iring luasan lahan membutuhkan 12 – 24 orang dalam
satu hari kerja.

6.2.6. Panen dan Pasca Panen


Umur panen dipengaruhi oleh varietas yang ditanam, umumnya berkisar
antara 100-120 hari sejak masa tanam. Kegiatan panen yang dilakukan untuk
metode SRI organik biasanya dengan dipekerjakannya tenaga kerja luar keluarga
(TKLK) yang terbentuk dalam suatu tim dengan jumlah 10 orang atau lebih.
Sistem pengupahannya disebut dengan sistem bawon, yaitu memberikan upah
dalam bentuk gabah dengan proporsi yang biasanya digunakan yaitu 1 : 8. Jadi
apabila hasil panen mencapai 10 kuintal per iringnya, maka 8,75 kuintal menjadi
bagian pemilik hasil panen sedangkan sisanya yaitu 1,25 kuintal menjadi upah
bagi tenaga kerja yang memanen.
Untuk pertanian dengan cara konvensional, cara panen terbagi menjadi
dua yaitu dengan sistem bawon dan tebasan. Tebasan atau tebas di sawah
merupakan salah satu cara panen yang beresiko. Sebab kegiatan tawar menawar
harga dilakukan sebelum padi mulai siap panen. Dengan demikian petani hanya
mampu mengira-ngira jumlah hasil panen yang akan dihasilkan apabila dikonversi
ke nilai uang yang akan diterima dengan sistem tebasan. Kebaikan sistem tebasan
ini yaitu apabila terjadi kegagalan panen atau harga gabah turun, maka penebas
menanggung risiko atas kegagalan tersebut. Akan tetapi, bila saat panen terjadi
lonjakan harga maka petani tidak dapat menikmatinya karena tanaman di
sawahnya sudah tidak menjadi miliknya.
Hasil panen tanaman padi yaitu berupa gabah dan jerami. Gabah yang
sudah dikeringkan dan digiling menyisakan kulit gabah dan dedak. Kulit gabah
yang dibakar dapat digunakan sebagai pupuk yang disebut dengan merang,
sedangkan dedak dapat digunakan sebagai pakan ternak seperti ayam, bebek, sapi,
dan lain-lain. Untuk jerami dalam metode SRI harus dikembalikan kembali ke
lahan yang dijadikan sebagai kompos. Sebab, dalam satu kilogram jerami terdapat
unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman seperti Nitrogen (N), Phosfor (P),
Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), serta Silikat (Si) yang berfungsi
sebagai imun bagi tanaman padi.

54
BAB VII

ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

7.1. Produktivitas Usahatani

Produktivitas merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi dari


penggunaan sumberdaya yang ada (lahan) untuk menghasilkan keluaran yang
optimal. Maka semakin besar nilai produktivitas yang dicapai, maka usahatani
tersebut semakin efisien. Nilai produktivitas yang tinggi akan berdampak pula
pada tingginya daya saing produk. Untuk mengetahui nilai produktivitas pada
kasus ini, maka dibutuhkan jumlah produksi per satuan luas lahan (kg/ha).
Pada penelitian ini produktivitas padi dibandingkan antara metode
konvensional dan metode SRI organik. Pada metode konvensional terdapat jenis
pemanenan dengan cara tebasan. Hasil panen dengan cara tebasan diasumsikan
sama dengan pemanenan biasa, yang disesuaikan dengan varietas padi yang
digunakan.

Tabel 15. Distribusi Rata-Rata Produktivitas dengan Metode Konvensional dan


Metode SRI Organik dalam Luasan 1 ha
Metode Mean Selisih Mean p. Value N
Konvensional 4.550 kg -95,433 0,106 30
SRI Organik 4.790 kg

Tabel 15 memperlihatkan bahwa rata-rata produktivitas padi metode


konvensional adalah 4.550 kg per hektar, sedangkan metode SRI organik adalah
4.790 kg per hektar. Diketahui bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode
konvensional dan SRI organik adalah -95,433 kg/iring. Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p = 0,106 (> 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara hasil produktivitas metode konvensional dan
SRI organik.
Perbedaan yang tidak terlalu besar ini dapat disebabkan karena di Desa
Ringgit pada dasarnya hanya melakukan dua kali penanaman, yaitu MT I yang
dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT II yang dilakukan pada
bulan April hingga Juli. Akan tetapi, beberapa petani konvensional ada yang
melakukan penanaman hingga tiga kali yang dilakukan pada bulan Agustus
hingga November. Hal ini menyebabkan siklus hidup serangga tidak terputus dan
mengakibatkan populasi serangga bertambah. Dengan demikian, pada saat
penanaman musim tanam ke-2 terjadi pelonjakan jumlah serangga yang
menyerang tanaman padi. Selain itu pula, petani SRI organik pada saat itu tidak
melakukan pengamatan secara maksimal, dikarenakan oleh banyaknya kegiatan
yang harus dilakukan berkaitan dengan pemrosesan hasil panen dan pemasaran
hasil produksi.
Berdasarkan hasil uji tersebut juga dapat diketahui bahwa untuk luasan
lahan yang sama, tanaman padi metode SRI organik mampu memproduksi gabah
lebih banyak dibandingkan dengan gabah metode konvensional. Hal ini bisa
didasari karena responden petani organik yang ditentukan merupakan responden
yang sudah cukup lama (≥ 3 tahun) menerapkan metode SRI organik. Alasan
dipilihnya responden dengan penerapan metode sudah ≥ 3 tahun yaitu, karena
untuk mengkonversi lahan dibutuhkan waktu kurang lebih 2-3 tahun tergantung
pada kondisi lahan yang ada. Konversi lahan dilakukan untuk mengembalikan
unsur-unsur hara yang hilang akibat penggunaan bahan-bahan kimia. Meskipun
sebenarnya di awal penerapan metode SRI organik, hasil produksi mampu
melebihi produksi pada umunya. Hanya saja penerapan metode SRI harus benar-
benar dilaksanakan dengan baik.
Hasil akhir perolehan jumlah gabah untuk setiap daerah berbeda sesuai
dengan kondisi lahan dan lingkungan yang ada. Berdasarkan penelitian yang telah
ada menunjukkan bahwa produksi rata-rata metode SRI organik mampu mencapai
6-7 ton per hektar. Dengan demikian, produksi padi di Desa Ringgit pada musim
tanam kedua ini masih lebih rendah dari jumlah minimal produksi yang
seharusnya. Beberapa permasalahan seperti jumlah serangga perusak tanaman
lebih banyak dari musuh alami, kurangnya pengawasan dan pemeliharaan yang
dilakukan oleh para petani karena curah hujan yang tinggi, serta tingkat kesuburan
tanah yang berbeda menjadi pertimbangan atas perbedaan tingkat produktivitas
yang terjadi.

56
7.2. Penerimaan dan Pendapatan Usahatani

Untuk penerimaan dan pendapatan usahatani diasumsikan bahwa seluruh


petani baik konvensional maupun organik memiliki lahan sendiri. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah dalam membandingkan dengan menggunakan uji
t. Penerimaan dan pendapatan masing-masing petani dapat dilihat pada Lampiran
2. Berikut hasil perhitungan dengan uji t dan analisis usahatani untuk mengetahui
jumlah penerimaan antara metode konvensional dan SRI organik.

Tabel 16. Distribusi Rata-Rata Penerimaan dengan Metode Konvensional dan


Metode SRI Organik 1 Ha
Metode Volume (kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp) p. Value
Konvensional 2.189 5.000 10.928.664 0,023
SRI Organik 2.306 8.000 18.453.495

Tabel 16 memperlihatkan bahwa rata-rata penerimaan metode


konvensional adalah Rp 10.928.644, sedangkan metode SRI organik adalah Rp
18.453.495. Diketahui bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode
konvensional dan SRI organik adalah Rp 466.109,700. Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p = 0,023 (< 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara penerimaan petani menggunakan metode
konvensional dan SRI organik.
Output akhir produk yang dijual pada kenyataannya berbeda, yaitu petani
konvensional menjual produk akhirnya berupa gabah, sedangkan petani SRI
organik berupa beras. Dengan demikian, perlu adanya penyetaraan hasil produk
akhir yang dijual yaitu beras. Pemilihan produk beras yang dijadikan
perbandingan kedua metode tersebut didasarkan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya bias dalam perhitungan. Sebab, petani SRI organik Desa Ringgit tidak
pernah menjual hasil produksinya berupa gabah. Dengan demikian, tidak ada
harga jual gabah untuk padi organik.
Untuk pertanian konvensional, petani lebih sering menjual hasil panennya
berupa gabah kering panen (GKP) kepada tengkulak dengan kisaran harga antara
Rp 330.000 – Rp 465.000 per kwintal gabah kering sesuai dengan harga yang
berlaku saat itu. Selain itu pula sebagian petani juga ada yang menjual hasil

57
panennya dengan cara tebasan (ditebas di sawah) dengan harga yang telah
disepakati bersama. Kisaran harga tebasan yaitu Rp 2.500.000 – Rp 3.750.000 per
iring (2000 m2) berdasarkan pada varietas padi yang ditanam, kondisi lahan
banyak gulma atau tidak terawat akan menyebabkan harga yang diberikan rendah.
Petani organik menjual hasil panennya berupa beras yang dikumpulkan di
kelompok, walaupun yang diberikan kepada kelompok juga berupa GKP yang
nantinya diproses lebih lanjut oleh kelompok dari mulai penggilingan hingga
pengemasan. Harga jual beras organik yang di tawarkan yaitu Rp 9.100 per kg,
namun harga yang diterima oleh petani dari kelompok yaitu Rp 8.000 per kg.
Selisih harga Rp 1.100 merupakan biaya yang dikeluarkan kelompok untuk biaya
penggilingan, biaya pensortiran beras, biaya kemasan, serta kas yang digunakan
untuk pemasukan kelompok.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerimaan petani SRI
organik lebih tinggi dari petani konvensional yang disebabkan oleh tingginya
harga jual beras organik yaitu Rp 8.000,- dan jumlah beras yang dihasilkan
metode SRI organik lebih banyak dibandingkan dengan metode konvensional.
Pada perhitungan pendapatan usahatani, antara petani pemilik dan petani
penggarap terdapat perbedaan sebesar 50 persen. Persentase tersebut didasarkan
atas kesepakatan bersama antara pemilik lahan dengan penggarap lahannya. Oleh
karena jumlah responden sebagai petani penggarap tidak banyak, maka dalam
perhitungan uji beda t diasumsikan bahwa seluruh petani responden merupakan
petani pemilik. Hal lain yang menjadi alasan untuk tidak dibedakannya antara
petani penggarap dan petani pemilik yaitu, biaya pajak dan biaya sewa
dikeluarkan pada MT I, sedangkan penelitian dilakukan pada MT II. Dengan
demikian, kedua biaya tersebut termasuk ke dalam biaya diperhitungkan.

58
Tabel 17. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode Konvensional (ha)
Metode Konvensional
Harga
Volume Nilai (Rp)
(Rp/vol)
A. Penerimaan 2.189 kg 5.000 10.928.664
B. Biaya Tunai :
1. Pajak 4.583
2. Bensin 3L 5.000 15.000
3. Pupuk Kimia 521,33 kg 1.799 937.872
4. Benih 14,18 kg 7.759 100.467
5. Pestisida 679,33 L 799,95 749.023
6. Tenaga Kerja Luar Keluarga 385,22 HOK 7.663,45 2.892.014
7. Panen 2.972 kg 320 951.343
C. Biaya diperhitungkan :
1. Pajak 74.350
2. Sewa Lahan 212.500
3. Penyusutan 1.123.415
4. Benih 14,18 kg 7.945 32.867
5. Tenaga Kerja Dalam Keluarga 72,03 HOK 7.864,49 564.895
D. Total Biaya 7.587.505

E. Pendapatan 3.341.159

Tabel 17 menunjukkan bahwa pendapatan petani konvensional sebesar Rp


3.341.159, dengan penerimaan sebesar Rp 10.928.664. Bentuk ouput produk yang
digunakan dalam perhitungan ini yaitu beras. Hal tersebut dilakukan untuk
menyetarakan perbandingan yang dilakukan. Volume beras yang dihitung telah
dikurangi dengan biaya panen, penyusutan yang terjadi pada saat proses
penjemuran gabah yaitu sebesar 15 persen, serta nilai rendemen sebesar 35 persen
karena adanya proses penggilingan gabah menjadi beras.
Pada biaya yang dikeluarkan, biaya tunai memiliki nilai lebih besar yaitu
sebesar Rp 5.650.302, sedangkan untuk biaya diperhitungkan sebesar Rp
2.008.027. Besarnya jumlah biaya tunai yang dikeluarkan dikarenakan adanya
penggunaan tenaga kerja luar keluarga yang digunakan untuk kegiatan budidaya
seperti menanam dan matun. Kegiatan menanam padi di Desa Ringgit dilakukan
oleh wanita dengan sistem borongan. Sistem borongan yang diterapkan yaitu
pembayaran dilakukan setara dengan upah 12-24 hari kerja wanita (HKW),
walaupun jumlah tenaga kerja dapat berjumlah < 12 orang setiap iringnya.
Dengan demikian, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menanam padi
dengan lahan seluas satu hektar yaitu 62,82 HKW.

59
Matun merupakan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada proses
budidaya seperti membersihkan gulma atau menyiangi, membersihkan pematang,
dan melakukan penyulaman. Kegiatan matun pada pertanian konvensional hanya
dilakukan 2-3 kali, bahkan terdapat beberapa petani yang tidak melakukan
kegiatan matun tersebut. Matun dalam pertanian konvensional dapat dilakukan
dalam tiga cara yaitu menggunakan alat yang disebut dengan gosrok,
menggunakan tangan dengan mencabut gulma, dan dengan menggunakan
pestisida atau obat penghilang gulma. Matun dengan menggunakan gosrok biasa
dilakukan oleh tenaga kerja pria, karena alat tersebut cukup berat digunakan oleh
wanita. Jumlah penggunaan tenaga kerja pria yang digunakan untuk lahan seluas
satu hektar yaitu 53,50 HKP dan tenaga kerja wanita yaitu 49,67 HKW. Untuk
perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

Tabel 18. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode SRI Organik (ha)
Metode SRI Organik
Harga
Volume Nilai (Rp)
(Rp/vol)
A. Penerimaan 2.306kg 8.000 18.453.494
B. Biaya Tunai :
5.833
1. Pajak
0,33 L 5.000 1.667
2. Bensin
4.543,05 kg 199 872.413
3. Pupuk Kandang
1,04 kg 7.933,33 8.226,67
4. Benih
679,33 L 799,95 749.023
5. Tenaga Kerja Luar Keluarga
289,29 HOK 7.663,45 2.892.014
6. Panen
3.075,41 kg 320 984.130
C. Biaya diperhitungkan :
1. Pajak 40.343
2. Sewa Lahan 212.500
3. Penyusutan 1.040.733
4. Benih 5,11 kg 7.669 39.787
5. Pupuk Kandang 7.466 kg 166 1.091.087
6. MOL 88,33L 2.280 201.400
7. Tenaga Kerja Dalam Keluarga 131HOK 7.735,63 1.040.582
D. Total Biaya 7.894.219

E. Pendapatan 10.559.276

Pendapatan petani SRI organik pada lahan seluas satu hektar sebesar Rp
10.559.276 dengan penerimaan sebesar Rp 18.453.494. Perbedaan pendapatan
antara petani konvensional dan petani SRI organik yaitu sebesar Rp 7.218.117.

60
Perbedaan jumlah pendapatan tersebut dikarenakan harga jual beras organik lebih
tinggi Rp 3.000 dibandingkan dengan harga beras konvensional sebesar Rp 5.000
per kilogram.
Pada Tabel 18 dapat diketahui pula bahwa pengeluaran dari biaya tunai
lebih tinggi dibandingkan biaya diperhitungkan, dengan total biaya tunai sebesar
Rp 4.227.288 serta biaya diperhitungkan sebesar Rp 3.666.431. Penyumbang
besar pada komponen biaya tunai yaitu tenaga kerja luar keluarga yang berada
pada kegiatan tanam dan matun. Matun pada pertanian SRI organik dilakukan 3-4
kali. Walaupun pada setiap pelaksanaannya rata-rata hanya membutuhkan 23,88
HOK, lebih sedikit dari pertanian konvensional dengan 26,88 HOK, pertanian SRI
organik membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk kegiatan penyiangan.
Untuk perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

7.3. Efisiensi Usahatani

Efisiensi usahatani menunjukkan apakah usahatani tersebut layak untuk


dijalankan. Pengertian layak dalam konteks ini yaitu apabila penerimaan yang
diperoleh memiliki nilai lebih besar dari pengeluaran atau biaya-biaya yang
dikeluarkan selama menjalankan usahatani baik dengan metode konvensional
maupun SRI organik. Efisiensi yang dihitung dalam penelitian ini yaitu efisiensi
atas biaya total.

Tabel 19. Distribusi Rata-Rata Efisiensi Usahatani Atas Biaya Total dengan
Metode Konvensional dan Metode SRI Organik
Metode Metode SRI p.
Konvensional Organik value
A. Produktivitas 4.550 kilogram 4.790 kiligram 0,106
B. Penerimaan Rp 10.928.664 Rp 18.453.495 0,023
C. Biaya Tunai Rp 4.940.603 Rp 13.084961

D. Biaya diperhitungkan Rp 1.928.892 Rp 3.666.431

E. Total Biaya Rp 6.869.495 Rp 16.751.392

F. Pendapatan Rp 4.059.169 Rp 1.702.103 0,823


G. Efisiensi Usahatani Atas Biaya 1,65 2,55 0,019
Total

Tabel 19 memperlihatkan bahwa rata-rata efisiensi usahatani metode


konvensional adalah 1,65, sedangkan metode SRI organik adalah 2,55. Diketahui

61
bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode konvensional dan SRI organik
adalah 0,268200. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,019 ( < 0,05), maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara efisiensi
usahatani padi atas biaya total yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan
metode konvensional dan SRI organik.
Efisiensi usahatani atas biaya total mengandung arti bahwa setiap satu
rupiah total biaya yang dikeluarkan mampu menghasilkan satu rupiah penerimaan
yang diterima petani. Dengan demikian, semakin besar nilai efisiensi maka
semakin bagus suatu usaha untuk dijalankan, sehingga berdasarkan hasil uji dan
perhitungan yang telah ada menunjukkan bahwa pertanian SRI organik lebih
efisien dibandingkan dengan pertanian konvensional berdasarkan efisiensi atas
biaya total.
Nilai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian
konvensional menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Rachmiyanti pada tahun 2009 di Desa Bobojong, Kecamatan
Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa efisiensi atas biaya total dan biaya tunai memiliki nilai lebih besar untuk
pertanian konvensional yaitu sebesar 2,46 dan 2,16, sedangkan untuk pertanian
SRI organik memiliki nilai sebesar 1,98 dan 1,54. Berdasarkan hasil penelitian
yang diperoleh menyatakan bahwa rendahnya tingkat efisiensi pada pertanian SRI
organik disebabkan oleh biaya tenaga kerja luar keluarga dan pengadaan pupuk
yang tinggi.
Perbedaan hasil penelitian yang terjadi dilihat dari produktivitas dan
efisiensi antara penelitian Rachmiyanti dan penelitian ini dapat didasarkan pada
beberapa faktor, seperti letak geografis daerah, periode waktu tanam yang
digunakan untuk dijadikan sumber data, keragaan usahatani yang dimiliki oleh
desa tersebut, serta bentuk output yang dijadikan perhitungan perbandingan. Pada
penelitian ini, output yang diperbandingkan sudah berbentuk beras, sedangkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Rachmiyanti masih berupa gabah kering
panen (GKP), sehingga nilai jual lebih rendah dan mempengaruhi penerimaan dan
pendapatan yang diterima.

62
BAB VIII

KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan

Keragaan usahatani dimana terdapat beberapa perbedaan perlakuan yang


terlihat antara metode konvensional dan metode SRI organik. Perbedaan tersebut
yaitu tanah pertanian konvensional menganggap tanah sebagai mesin sedangkan
SRI organik sebagai aset, serangga dianggap sebagai musuh oleh pertanian
kovensional dan dianggap sebagai teman oleh pertanian SRI organik, pertanian
konvensional menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia sedangkan pertanian
SRI organik menggunakan pupuk alami seperti kompos dan mol, pertanian SRI
organik lebih menyarankan untuk membuat benih sendiri, penggunaan jarak
tanam yang sempit pada metode konvensional, pemupukan dilakukan setelah
tanam, penyiangan hanya dilakukan 1-2 kali, serta bentuk penjualan hasil panen
berupa gabah untuk pertanian konvensional dan beras untuk pertanian SRI
organik.
Untuk analisis usahatani produktivitas dari pertanian SRI organik sebesar
4,8 ton per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian konvensional
sebesar 4,5 ton per hektar, sehingga berdampak pada penerimaan yang semakin
besar. Karena bentuk output yang diperbandingkan adalah beras, sehingga beras
organik memiliki nilai jual lebih tingggi pula, maka pendapatan yang diterima
oleh petani SRI organik lebih tinggi sebesar Rp 10.559.276 dan petani
konvensional sebesar Rp 3.341.159. Dengan demikian, dilihat dari tingkat
efisiensi nilai efisiensi atas biaya total pertanian SRI organik lebih besar yaitu
2,55 dan pertanian konvensional sebesar 1,65.

8.2. Saran

Penerapan metode SRI organik sudah cukup baik dilakukan oleh petani di
Desa Ringgit. Perhitungan hasil yang positif terhadap keuntungan yang diterima
baik dari segi ekonomi maupun non ekonomi dapat dijadikan dasar untuk
menerapkan metode ini bagi petani yang belum menjalankan pertanian organik.
Bagi pemerintah diharapkan dapat berpartisipasi dalam menggunggulkan produk

63
pertanian khususnya beras sebagai produk pangan utama dengan memberi
dukungan dan respon positif terhadap setiap penemuan atau terobosan baru dalam
bidang pertanian, pada kasus ini metode SRI organik. Untuk peneliti selanjutnya
diharapkan mampu menganalisis faktor-faktor penyebab adanya perbedaan hasil
antara MT II dan MT I dan solusi yang dapat dilakukan oleh petani dalam
mengurangi atau menghilangkan dampak yang terjadi.

64
DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga W. 2002. Karakteristik Usahatani Sayuran Organik di Jawa Barat :


Status dan Prospek. Buletin Ristek Balitbangda Jawa Barat. Vol.1, No.1.
Anugerah IS, Sumedi, Wardana IP. 2008. Gagasan dan Implementasi System of
Rice Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE).
Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.6, No.1, Hlm. 75 – 99.
Atmojo SW. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan
Upaya Pengelolaannya. Di dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret; Surakarta
4 Januari 2003.
Cooper, Donald R and Schindler, Pamela S. 2009. Business Research Methods
Tenth edition. McGraw-Hill International Edition.
DARDEN BUSINESS PUBLISHING. 2002.The Organic Food Industry : A
Global Perspective. UVA-ENT-0015.
Ghozali I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Cetakan
IV Penerbit UNDIP
Hernanto F. 1991. Ilmu Usahatani. Swadaya. Jakarta.
Iswardono SP. 1990. Ekonomika Mikro. AMP YKPN. Yogyakarta.
Karnowo A. 2003. Analisis Persepsi Konsumen dan Dorongan Pembelian Produk
Ramah Lingkungan. Tesis. Program Studi Ilmu Manajemen. Fakultas
Ekonomi. Universitas Indonesia. Depok.
Ma’rifah D. 2004. Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap
Kinerja Pekerja Sosial Pada Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Sosial
Propinsi Jawa Timur. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Airlangga.
Surabaya.
Matoa. 2001. Buku Saku Berkebun di Pekarangan.
Mosher, A. T, 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna.
Jakarta.
Notohadiprawiro T. 2006. Reformasi Pertanian dan Penjabarannya dalam
Kurikulum Fakultas Pertanian. Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjah
Mada.
Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Prayogo J, Suyono T, Berney M. 1999. Apa itu pertanian Organik?. Pusat
Pengembangan Penataran Guru Pertanian (VEDCA) Cianjur. Indah Offset
Malang.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. No. ISBN 9789792238419.
Gramedia Pustaka Utama.
Putra NN. 2009. Analisa Perbandingan Usahatani Padi Sawah Metode System of
Rice Intensification (SRI) Secara Mandiri dan Non SRI (Biasa) Pada
Lahan yang Sama di Kelompok Tani Lolongkaran Kelurahan Sungai
Sapih Kecamatan Kuranji-Padang. Fakultas Pertanian. Universitas
Andalas. Padang.
Rachmiyanti I. 2009. Analisis Perbandingan Usahatani Padi Oganik Metode
System of Rice Intensification (SRI) dengan Padi Konvensional. Program
Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Rakhmi F. 2008. Analisis Usahatani Padi Sawah SRI (System of Rice
Intensification) Pada Kelompok Secara Swadaya ( Studi Kasus : Pada
Kelompok Tani Binuang Saiyo di Kelurahan Binuang Kampung Dalam
Kecamatan Pauh Kota Padang). Fakultas Pertanian. Universitas Andalas.
Padang.
Richardson MN. 2010. Salah Satu Penyelidikan Mengenai Keadaan System Rice
Intensification (SRI) di Jawa Timur. Australian Consortium for In-Country
Indonesian Studies (ACICIS). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Muhammadiyah. Malang.
Saragih B.2000. agribisnis Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Dalam Era Millenium Baru. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan
& Lingkungan. Vol 2, No.1, Hlm : 1-9.
Sekaran U. 2006. Research Methods for Business : “Metodologi Penelitian untuk
Bisnis. Edisi 4. Jakarta : Salemba Empat.
Shah M, Dan S, Maurice. 1999. Food in The 21st Century from Science to
Sustainable Agriculture. CGIAR. Washington DC.
Soekartawi, Dillon JL, Soeharjo A, Hardaker B. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta : UI Press.
Suwantoro AA, 2008, Analisis Pengembangan Pertanian Organik di Kabupaten
Malang. Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan. Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro. Semarang.
Swastika DKS., Wargiono J., Soejitno, Hasanuddin A. 2007. Analisis Kebijakan
Peningkatan Produksi Padi Melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah
Di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 5. No.1. Hlm:36-52.
Syam M. 2008. Informasi Ringkas Teknologi Padi.
Tjakrawiralaksana A. 1983. Usahatani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta.
Untung K. 1997. Pertanian Organik Sebagai Alternatif Teknologi dalam
Pembangunan Pertanian. Diskusi Panel Tentang Pertanian Organik. DPD
HKTI Jawa Barat, Lembang 1996.
Uphoff N dan Fernandes E. 2003. Sistem Intensifikasi Padi Tersebar Pesat.
Salam. No.3
WASSAN. 2006. SRI Method of Paddy Cultivation.

66
Wijaya A. 2002. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Input
Rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa
Barat. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

67
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kegiatan Budidaya

Kegiatan Membajak Sawah (ngeluku) di Desa Ringgit,


Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011

Kegiatan Penanaman Benih dan Menggaris Metode SRI di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011

69
Kegiatan Penanaman Padi Metode Konvensional
di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011

Kegiatan Penyiangan yang Dilakukan Oleh Petani Desa Ringgit,


Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011

70
Lampiran 2. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Pendapatan Metode Konvensional dan SRI Organik

Group Statistics

VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean


pendapatan non organik 30 1.03E6 866372.162 158177.192
organik 30 9.84E5 711602.023 129920.160

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval
of the Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
pendapatan Equal variances
.503 .481 .224 58 .823 45939.867 204693.117 -363797.924 455677.658
assumed
Equal variances not
.224 55.890 .823 45939.867 204693.117 -364127.508 456007.241
assumed

71
Lampiran 3. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Penerimaan Metode Konvensional dan SRI Organik

Group Statistics

VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean


penerimaan non organik 30 3.16E6 701424.035 128061.922
Organik 30 3.63E6 838046.704 153005.695

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval
of the Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
penerimaan Equal variances
.998 .322 -2.336 58 .023 -466109.700 199525.934 -865504.252 -66715.148
assumed
Equal variances not
-2.336 56.255 .023 -466109.700 199525.934 -865768.146 -66451.254
assumed

72
Lampiran 4. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Produksi Metode Konvensional dan SRI Organik

Group Statistics

VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean


produksi non organik 30 860.90 231.601 42.284
organik 30 956.33 218.087 39.817

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality


of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval
of the Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
produksi Equal variances
.045 .832 -1.643 58 .106 -95.433 58.081 -211.694 20.828
assumed
Equal variances not
-1.643 57.792 .106 -95.433 58.081 -211.703 20.837
assumed

73
Lampiran 5. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Total Metode Konvensional dan SRI Organik

Group Statistics

VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean


total non organik 30 1.63910 .548528 .100147
organik 30 1.37090 .265903 .048547

Independent Samples Test

Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
total Equal variances 15.77 .49097
.000 2.410 58 .019 .268200 .111294 .045422
assumed 4 8
Equal variances not .49281
2.410 41.916 .020 .268200 .111294 .043587
assumed 3

74
Lampiran 6. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Diperhitungkan Metode Konvensional dan SRI Organik

Group Statistics

VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean


dphtgk non organik 30 4.02257 1.964335 .358637
organik 30 2.42950 .770767 .140722

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
dphtgk Equal variances
19.000 .000 4.135 58 .000 1.593067 .385257 .821891 2.364243
assumed
Equal variances not
4.135 37.723 .000 1.593067 .385257 .812966 2.373167
assumed

75
Lampiran 7. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Tunai Metode Konvensional dan SRI Organik

Group Statistics

VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean


tunai non organik 30 3.21773 1.355322 .247447
organik 30 3.70277 1.369692 .250070

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
tunai Equal variances
.011 .918 -1.379 58 .173 -.485033 .351803 -1.189243 .219176
assumed
Equal variances not
-1.379 57.994 .173 -.485033 .351803 -1.189245 .219178
assumed

76

Anda mungkin juga menyukai