SKRIPSI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
RINGKASAN EKSEKUTIF
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul : Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System Of
Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa
Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah)
Nama : Siti Fatimah Vieta Prasetya Ningtyas
NIM : H34096104
Disetujui,
Pembimbing
Diketahui
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus :
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Usahatani Padi Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI)
Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 06 Mei 1989 sebagai anak kedua
dari empat bersaudara dan merupakan puteri dari pasangan Bapak Fatkhurachman
dan Ibu Sumini Astuti. Penulis mulai memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
pada tahun 2003 di SMAT Krida Nusantara Bandung, dan lulus pada tahun 2006.
Setelah lulus kemudian pada tahun yang sama penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor sebagai mahasiswa pada program keahlian Manajemen
Agribisnis melalui jalur USMI. Setelah lulus dari program Diploma III
Manajemen Agribisnis (2009) penulis langsung melanjutkan kuliah Strata-1 di
Program Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor hingga saat ini.
KATA PENGANTAR
Tulisan ini merupakan bagian dari proses belajar penulis dalam memahami
potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam dunia agribisnis, khususnya dalam
agribisnis tanaman pangan. Upaya memberikan yang terbaik telah dilakukan
secara optimal dalam penyusunan skripsi ini, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penelitian selanjutnya dan bagi pembaca pada umumnya.
2. Prof. Dr. Ir Rita Nurmalina S. MSc. selaku dosen evaluator yang telah banyak
memberikan saran, kritik dan dukungan.
3. Dr. Ir. Anna Fariyanti M.Si selaku dosen penguji atas arahan dan
bimbingannya.
4. Siti Jahroh, P.hD selaku dosen komdik atas masukan yang telah diberikan.
5. Mama dan bapak yang selalu mengirimkan doanya kepada penulis, penulis
selalu bersyukur karena terlahir sebagai putri mereka dan selalu berusaha
membahagiakan dan memenuhi harapan mereka.
6. Pak Lurah Ringgit dan segenap keluarga besar yang telah banyak membantu,
memberikan fasilitas serta memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian.
7. Pak Slamet selaku ketua kelompok Pemuda Tani Lestari (PTL) yang telah
banyak memberikan informasi, pelajaran, dan pengalaman.
8. Pak Subirman, Pak Wuryanto, serta seluruh petani responden yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi.
10. Kakak (Ratih) dan adik-adik (Rahmat dan Hafidz) atas dukungan dan doa
yang telah diberikan.
11. Mas Wawan dan Mas Yoga yang telah membantu selama penulis berada di
tempat penelitian.
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ..............................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii
i
5.3.2. Tingkat Pendidikan ............................................................ 38
5.3.3. Status Kepemilikan Lahan ................................................. 39
5.3.4. Luas Lahan Garapan ......................................................... 40
5.3.5. Pengalaman Berusahatani Padi .......................................... 41
ii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
4. Perhitungan Usahatani.........................................................................29
iii
13. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata per Iring pada Pertanian
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim
Tanam II Tahun 2011 ..........................................................................45
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Lapangan Pekerjaan
No. 2007 2008 2009 2010
Utama
1 Pertanian, Kehutanan,
Perburuan dan 42.608.760 42.689.635 43.029.493 42.825.807
Perikanan
2 Pertambangan dan
1.020.807 1.062.309 1.139.495 1.188.634
Penggalian
3 Industri Pengolahan 12.094.067 12.440.141 12.615.440 13.052.521
4 Listrik, Gas, dan Air 247.059 207.909 209.441 208.494
5 Bangunan 4.397 132 4.733.679 4.610.695 4.844.689
6 Perdagangan Besar,
Eceran, Rumah 19.425.270 20.684.041 21.836.768 22.212.885
Makan, dan Hotel
7 Angkutan,
Pergudangan dan 5.575.499 6.013.947 5.947.673 5.817.680
Komunikasi
8 Keuangan, Asuransi,
Usaha Persewaan
1.252.195 1.440.042 1.484.598 1.639.748
Bangunan, Tanah, dan
Jasa Perusahaan
9 Jasa Kemasyarakatan,
10.962.352 12.778.154 13.611.841 15.615.114
Sosial dan Perorangan
Total 97.583.141 102.049.857 104.485.444 107.405.572
1
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2011(diolah)
1
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=2 (13
Juni 2011)
Pentingnya peran sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan tingginya
tingkat kesejahteraan para pelaku pertanian. Pada umumnya, penduduk miskin
berada di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani ( Tabel 2.). Keadaan
tersebut menjadi sangat ironi karena Indonesia yang dikenal sebagai negara
agraris, namun para pelaku penting dalam penopang pembangunan ekonomi tidak
mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Saragih (2000) menjelaskan bahwa
pertanian lebih banyak dikorbankan untuk dapat menunjang pembangunan
industri, yaitu dengan dijaganya harga produk pertanian (terutama pangan) agar
tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Dengan demikian, sektor industri
dapat memberi upah yang murah kepada tenaga kerjanya, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan daya saing produknya.
2
http://www.hharryazharazis.com/detail/366/.cnet (13 Juni 2011)
3
pupuk, pestisida, dan zat pengatur tumbuh; (2) terjadinya perbaikan mutu faktor
produksi seperti penggunan benih dari varietas unggul; (3) terjadinya mekanisasi
pertanian seperti penggunaan mesin-mesin pertanian; dan (4) adanya perbaikan
sarana dan prasarana pertanian seperti sistem pengairan dan alat-alat pertanian.
Berdasarkan penerapan pola HEIA tersebut, selain memarjinalkan petani,
berdampak pula pada kerusakan lingkungan (Suwantoro, 2008). Tanah
persawahan lambat laun menjadi semakin keras. Penggunaan pupuk kimia yang
meningkat dari waktu ke waktu menyebabkan serangan hama menjadi semakin
eksplosif dan menuntut penggunaan pestisida yang semakin meningkat pula.
Pestisida tidak hanya mematikan hama tanaman tetapi juga memusnahkan banyak
kehidupan yang lain. Menyadari dampak negatif pada tanah dari pertanian yang
boros energi tersebut, maka berkembanglah konsep pertanian organik.
Organik identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan alami tanpa
bahan kimia buatan atau sintetis. Bahan organik sebenarnya mengandung unsur
atau senyawa kimia yang membangunnya, namun unsur atau senyawa kimia
tersebut dapat diurai dengan baik oleh alam. Istilah “organik” berdasarkan SNI
adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi
sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau
lembaga sertifikasi resmi.
Metode pertanian organik mulai digunakan dalam budidaya tanaman padi.
Syam (2008) menjelaskan bahwa padi organik sebagaimana digunakan pada
kebanyakan tanaman sawah memiliki arti: (1) Tidak ada pestisida dan pupuk dari
bahan kimia sintetis atau buatan yang telah digunakan; (2) Kesuburan tanah
dipelihara melalui proses “alami” seperti penanaman tumbuhan penutup dan/atau
penggunaan pupuk kandang yang dikompos dan limbah tumbuhan; (3) Tanaman
dirotasikan di sawah untuk menghindari penanaman tanaman yang sama dari
tahun ke tahun di sawah yang sama; dan (4) Pergantian bentuk-bentuk bukan-
kimia dari pengendalian hama digunakan untuk mengendalikan serangga,
penyakit dan gulma, misalnya serangga yang bermanfaat untuk memangsa hama,
jerami setengah busuk untuk menekan gulma, dan lain-lain.
Atmojo (2003) menjelaskan bahwa kandungan bahan organik yang cukup
di dalam tanah dapat memperbaiki kondisi tanah. Struktur tanah menjadi lebih
4
kompak dengan adanya penambahan bahan-bahan organik dan lebih tahan
menyimpan air dibanding dengan tanah yang tidak dipupuk bahan organik. Harga
jual dari produk-produk organik juga lebih mahal. Hal tersebut dikarenakan
produk organik memiliki cita rasa dan kandungan gizi yang lebih baik.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan sistem
pertanian organik, salah satunya yaitu hasil pertanian organik lebih sedikit jika
dibandingkan dengan pertanian non organik yang menggunakan bahan kimia
terutama pada awal penerapan pertanian organik. Lebih lanjut juga dijelaskan oleh
Mapsary (2010) hasil percobaan yang dilakukan oleh PPL Kecamatan Kalibagor
menunjukkan padi organik bisa berproduksi 4,9 kg/ ubin (7,84 ton/ha), sedangkan
padi kimia menunjukkan 5 kg/ ubin (8 ton/ ha). Hal ini disebabkan karena sistem
pertanian organik yang diterapkan pada umumnya menggunakan metode
pertanian konvensional. Dengan demikian, perlu adanya metode lain guna
menyelesaikan permasalahan rendahnya produksi padi organik di awal
penanaman.
Saat ini muncul metode bertani padi dengan System of Rice Intensification
(SRI). SRI merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi
dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, dan air. Metode SRI pertama kali
ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-84 oleh Fr.
Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun
hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metode ini selanjutnya
dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive. Sedangkan,
dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification atau
SRI.
SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff
(Director of Cornell International Institute for Food, Agriculture, and
Development (CIIFAD)). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentasi SRI di
Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar
Madagaskar (Wakid, 2010). Secara umum, dalam konsep SRI tanaman
diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan
seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Uphoff dan Fernandes (2003) menjelaskan
SRI bukanlah suatu teknologi atau varietas, namun lebih dianggap sebagai suatu
5
sistem. SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk
menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. SRI
juga didasari pengetahuan bahwa potensi tersebut dapat diwujudkan dengan
pemindahan awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak
jauh, kelembaban, tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan
tanah aerobik selama masa pertumbuhan). Metode SRI memang sangat
menganjurkan penggunaan pupuk organik sebagai langkah jangka panjang untuk
memperbaiki struktur dan kesuburan tanah serta hasil yang lebih baik (terutama
segi kualitas beras yang dihasilkan). Akan tetapi, metode SRI tidak harus
menggunakan pupuk organik untuk dapat menghasilkan produksi yang
maksimal3.
Madagaskar merupakan lokasi percobaan pertama penanaman padi SRI.
Diujicoba pada tanah tidak subur dengan produksi normal dua ton per hektar,
petani padi SRI memperoleh hasil panen lebih dari delapan ton per hektar.
Beberapa petani juga ada yang mencapai 10-15 ton/hektar. Berdasarkan penelitian
Richardson (2010) petani di Jawa Timur memanen tujuh ton padi per hektar pada
awal penerapan metode SRI. Dengan demikian, metode SRI dapat menjadi salah
satu alternatif penyelesaian antara para praktisi yang berkepentingan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dengan para penganut kelestarian lingkungan hidup.
Kegiatan partisipatif dalam menerapkan metode SRI juga telah dilakukan
oleh petani di banyak propinsi di Indonesia. Lebih lanjut, Anugrah (2008)
menyatakan bahwa penerapan SRI di Indonesia terus berkembang dan
dipraktekkan para petani di beberapa Kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Bali,
NTB, Kalimantan, Sulawesi, serta dibeberapa lokasi lainnya di tanah air. Apabila
produksi padi dilihat menurut wilayah di Indonesia, maka Pulau jawa merupakan
Pulau dengan tingkat produksi beras tertinggi. Dapat dilihat pada Tabel 3. pada
setiap tahunnya produksi beras di Jawa lebih tinggi dari pulau lainnya, meskipun
peningkatan produksi tersebut karena adanya penambahan luas panen. Karena
Pulau Jawa memiliki peranan yang cukup penting dalam perberasan nasional,
maka metode pertanian padi SRI ini sangat cocok untuk dikembangkan.
3
Ulliych M. 2010. Padi SRI Tidak Identik Dengan Padi Organik. http://sukatani-
banguntani.blogspot.com/2010/03/padi-sri-tidak-identik-dengan-padi.html[16 April 2011]
6
Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Menurut Wilayah di Indonesia
Tahun 2007-2009
2007 2008 2009
Propinsi (a) (b) (c) (a) (b) (c) (a) (b) (c)
Jawa 5,6 318,10 30,5 5,7 328,16 32,3 6,1 336,73 34,9
Sumatera 3,1 382,39 12,8 3,1 387,74 13,6 3,3 395,73 14,7
Bali &
Nusa 0,5 134,21 2,9 0,7 137,79 3,2 0,7 139,72 3,4
Tenggara
Sulawesi 1,2 267,32 5,5 1,4 236,21 6,6 1,4 285,96 6,8
Maluku &
0,6 140,02 0,2 0,7 143,91 0,3 0,1 148,70 0,3
Papua
Luar Jawa 1,3 130,26 4,3 1,3 132,38 4,4 1,3 135,97 4,4
Indonesia 12,1 1.372,30 57,2 12,3 1.366,19 60,32 12,9 1.442,81 64,4
Ket : (a) :Luas Panen (juta ha);
(b) :Produktivitas (Ku/ha);
(c) :Produksi (juta ton).
Sumber, BPS 2009 (diolah)4
4
http://www.deptan.go.id/ditjentan/detailinformasi.php?id=24 (03 April 2011)
7
tersebut. Hingga saat ini terdapat dua metode yang diterapkan oleh petani Desa
Ringgit dalam menanam padi yaitu metode konvensional dan SRI.
Metode SRI mulai dikenal oleh petani Desa Ringgit pada tahun 2003
melalui Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) yang diadakan oleh seorang biarawati
yang berasal dari Magelang. Pembelajaran Ekologi Tanah adalah metodologi
pembelajaran untuk melihat kaitan unsur-unsur yang saling berhubungan satu
sama lain yang membentuk kehidupan di dalam tanah. Berkat adanya
pembelajaran tersebut mulai banyak petani yang bersedia menerapkan metode SRI
dengan input organik atau biasa disebut dengan SRI organik. Walaupun tidak
sedikit pula petani yang masih skeptis akan adanya metode tersebut. Hal ini
disebakan karena banyak perlakuan yang berbeda pada teknis budidaya SRI
dengan budaya bertanam padi yang selama ini telah dilakukan petani. Sebagian
kelompok tani yang telah menerapkan metode SRI mampu menghasilkan padi
dengan warna lebih cerah, kuning, dan lebih berat daripada padi umumnya.
Menurut petani pembudidaya padi metode SRI daerah setempat, apabila dirata-
rata hasil panen padi mencapai 9 ton per hektar.
Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut,
terdapat beberapa kondisi yang menjadi pertanyaan. Bagaimanakah keragaan
usahatani padi SRI organik yang berada di Desa Ringgit, serta adakah perbedaan
pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang signifikan antara pertanian dengan
metode SRI organik dan konvensional.
8
pengalamannya dengan baik. Serta penulisan ini diharapkan dapat menjadi sarana
belajar dan berbagi ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
2.2. Dampak Penerapan Metode Organik
5
Naibaho Yuni. 2011. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Padi Kabubaten
Batubara.http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/01/26/16746/pupuk_organik_tingkatk
an_produksi_padi_kabubaten_batubara/ ( 26 April 2011)
6
Gunarno. 2010. Kelebihan dan Kekurangan Pertanian Organik.
http://gunarno.student.umm.ac.id/2010/02/02/kelebihan-dan-kekurangan-pertanian-oranganik/ ( 09
Mei 2011).
12
Wilayah pertanian organik yang tidak terisolasi dengan pertanian konvensional,
membuat pertanian organik lebih rawan terhadap hama; (4) Hasil produksi pada
musim tanam awal sedikit dan akan meningkat sesuai dengan kondisi tanah yang
semakin membaik; dan (5) Para petani enggan menggunakan pupuk organik
secara keseluruhan karena pupuk kompos menyebabkan banyak tumbuh gulma.
7
Mediana Susti. 2010. Dampak Penerapan Metode SRI (System of Rice
Intensification).JurnalUripSusanto.http://uripsantoso.wordpress.com/2010/10/06/dampak-
penerapan-metode-sri-system-of-rice-intensification/(16 April 2011).
13
oleh malai. Disamping itu juga agar mendapatkan jumlah anakan dan
pertumbuhan akar maksimum.
4. Penggunaan sedikit air – apabila air menggenangi lahan penanaman padi maka
akar tanaman akan mati karena kekurangan udara. Akar tanaman padi yang
mati berwarna coklat. Tanaman padi dapat tumbuh tanpa air yang menggenang
sebab padi bukan merupakan tanaman air melainkan tanaman yang
membutuhkan banyak air. Oleh sebab itu, kondisi tidak tergenangi hanya
dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif. Selanjutnya setelah pembuangan
sawah digenangi air 1-3cm. Dengan cara seperti ini akan tercipta kondisi
perakaran yang teroksidasi dan tumbuh sehat.
5. Pengembalian gulma ke dalam tanah – hal tersebut dilakukan agar dapat
meningkatkan aerasi tanah dan gulma dapat menjadi pupuk organik bagi
tanaman padi. Dengan demikian, akar dan tanaman tumbuh sehat serta lahan
menjadi lebih subur.
6. Penggunaan bahan organik – bahan organik merupakan asupan utama bagi
tanah. Penggunaan bahan organik dapat mendatangkan berbagai jenis
mikroorganisme yang dapat memperbaiki struktur tanah, sehingga padi dapat
tumbuh baik.
Uji coba SRI pertama kali di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim
kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000
menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (uphoff, 2002; Sato, 2007). Metode SRI
minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode penanaman padi
lain. Namun demikian, hasil penelitian IRRI (International Rice Research
Institute) di Cina dan Filipina tidak menemukan tambahan hasil yang nyata dari
penerapan SRI. Dari perbedaan hasil tersebut, para ahli padi menyimpulkan
bahwa kemungkinan telah terjadi kesalahan pengukuran dan observasi dalam
pelaksanaan kajian SRI di Madagaskar.
Dalam beberapa forum diskusi, pengembangan SRI masih menimbulkan
debat dan polemik teknis yang kadangkala bersifat kontroversi. Dalam kaitan ini,
IRRI sebagai Lembaga Penelitian Padi Nasional yang lebih berkompeten dalam
inovasi teknologi padi tidak begitu antusias dalam mengembangkan SRI, bahkan
14
IRRI bersama-sama dengan lembaga penelitian nasional di berbagai negara,
termasuk di Indonesia mengembangkan model dan pendekatan Integrated Crop
Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).
Perbedaan dalam perhitungan hasil produksi, menjadi polemik yang paling utama
disamping aspek teknis usahatani padi yang diterapkan pada SRI tersebut.
Namun demikian, diakui atau tidak kegiatan partisipatif yang telah
dilakukan oleh para petani dalam menerapkan metode SRI di beberapa daerah
terus berkembang. Terdapat banyak istilah berbeda pula yang digunakan dalam
pelaksanaan pertanian padi metode SRI ini, seperti istilah yang digunakan oleh
masyarakat Sumatera Barat khususnya di daerah Sawahlunto yaitu “Metoda Padi
Tanam Sabatang”. Sedangkan di Klaten Jawa Tengah SRI diperkenalkan dengan
cara “bertanam maju” atau tanam padi tidak mundur yang diperkenalkan oleh
Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP). Di kabupaten Pinrang,
Sulawesi Selatan metode ini dikenal dengan istilah “padi SRI organik”.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Rakhmi (2008) menjelaskan bahwa
pelaksanaan metode SRI yang dilakukan oleh kelompok tani Binuang Saiyo telah
sukses melakukan usahatani padi sawah dengan sistem SRI. Sebuah penelitian
lain mengenai penerapan metode SRI yang dilakukan oleh Richardson (2010) di
Jawa Timur menyatakan bahwa metode SRI yang diterapkan mampu
menghasilkan panen rata-rata sebesar 7 – 8 ton/ha. Sedangkan biasanya jumlah
hasil panen hanya mencapai 3 ton/ha.
Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Richardson dan
Rakhmi, penelitian Putra (2009) pada kelompok tani Lolongkaran budidaya padi
yang diterapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan prosedur pelaksanaan metode
SRI, namun petani tersebut menyesuaikan dengan kemampuan petani itu sendiri
seperti dalam kegiatan penyemaian, penanaman, dan pengaturan jarak tanam. Hal
tersebut disebabkan karena petani Lolongkaran belum terbiasa dengan metode
SRI tersebut.
Ketidakberhasilan penerapan metode SRI pada beberapa petani disebutkan
oleh Berkelaar (2010) salah satunya karena praktek penerapan SRI tampak
“melawan arus”. SRI menentang asumsi dan praktek yang selama ratusan bahkan
ribuan tahun telah dilakukan. Beberapa contoh lain diantaranya yaitu (1)
15
Kebanyakan petani padi menanam bibit yang telah matang (umur 20-30 hari),
dalam bentuk rumpun, secara serentak, dengan penggenangan air di sawah
seoptimal mungkin di sepanjang musim. (2) SRI "harus" menggunakan pupuk
organik dimana sampai saat ini petani belum siap memproduksi pupuk organik
sendiri dan pupuk organik masih "mahal" untuk dibeli. (3) Penanaman 1 (satu)
bibit per lubang tanam dengan bibit yang masih muda masih merupakan praktek
yang sulit dilaksanakan petani karena harus dilaksanakan secara cepat. (4) Sistem
pemberian air yang terputus (intermittent) di lahan beririgasi merupakan hal yang
masih sulit dilaksanakan dimana pergiliran pengairan pada petak-petak tersier atau
sekunder dilaksanakan berdasarkan waktu hari (10 harian, dua mingguan atau
pada musim kemarau di daerah kering dilaksanakan sebulan sekali). (5) Proses
pengeringan lahan di lahan beririgasi yang relatif datar masih sulit dilaksanakan.
8
Mediana Susti. 2010. Dampak Penerapan Metode SRI (System of Rice
Intensification).JurnalUripSusanto.http://uripsantoso.wordpress.com/10/10/16/dampak-penerapan-
metode-sri-system-of-rice-intensification/ (16 April 2011).
16
Lebih lanjut dikatakan oleh Kunia bahwa paling tidak terdapat empat
alasan utama perlu dikembangkannya SRI9. Pertama, metode SRI terbukti mampu
menghasilkan produktivitas padi yang tinggi di atas rata-rata nasional. Kedua, SRI
juga dapat menghemat penggunaan air sampai 40 persen. Penggunaan bibit juga
dapat dihemat sampai 80 persen, sehingga dapat mengurangi biaya usahatani.
Ketiga, SRI mampu memulihkan kesuburan lahan dan mampu memelihara
keberlanjutan produktivitas lahan. Keempat, metode SRI dikenal ramah
lingkungan karena : a) memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya
pembakaran jerami sehingga mampu menekan emisi gas CO2; b) memitigasi
emisi gas metan yang dihasilkan oleh proses reduksi (anaerob) akibat
penggenangan sawah; c) mitigasi emisi CO2 dan metan (CH4) akan menekan
produksi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat memicu pemanasan global; d) daur
ulang limbah (sampah) menjadi prinsip SRI, sehingga penumpukan sampah dapat
dihindari; e) aplikasi bahan kimia (agrochemical) sangat dibatasi, kemungkinan
terjadinya pencemaran lingkungan akibat kontaminasi dengan bahan dan residu
kimia dapat dicegah; dan f) produk beras SRI dapat digolongkan sehat, karena
tidak diproduksi dengan pupuk kimia dan pestisida sintetis.
Penerapan metode SRI yang telah dilakukan oleh sebagian petani di
Indonesia selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif.
Seperti penjelasan yang diberikan oleh Andrina bahwa kurang tersedianya pupuk
kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI, karena petani tidak mampu
memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya. Oleh sebab itu, dilihat dari
aspek ekonomi usahatani dengan metode SRI, apabila penggunaan tenaga kerja
keluarga diperhitungkan, maka terjadi peningkatan total biaya tunai10. Total biaya
ini akan lebih banyak lagi apabila harga kompos diperhitungkan. Lebih tingginya
total biaya tunai dari usahatani dengan metode SRI secara langsung akan
mengurangi tingkat keuntungan dibanding usahatani dengan teknologi intensif
yang telah ada.
9
Kunia Kabelan. 2009. SRI : Teknologi Budidaya Padi Serba Hemat.
http://belan.blogdetik.com/2009/06/26/httpnewspaperpikiran-
rakyatcomprprintphpmibberitadetailid83032/ (16 April 2011)
10
Andrina. 2009. Sudah Siapkah SRI Diterapkan di Indonesia.
http://rinaedogawa.blogspot.com/2009/01/sudah-siapkah-system-of-rice.html (16 April 2011)
17
Secara finansial, usahatani padi dengan metode SRI memang lebih efisien
daripada usahatani dengan metode intensif konvensional. Namun secara ekonomi,
efisiensi produksi usahatani padi dengan metode SRI lebih rendah dibanding
metode intensif konvensional. Seperti juga halnya dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Rachmiyanti (2009) bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai
maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah
dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi
konvensional. Berdasarkan R/C ratio yang diperoleh menjelaskan petani padi
konvensional memiliki angka lebih besar dari petani padi organik metode SRI.
18
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
11
Kamaluddin. 2010. Analisis Usaha Tani.
http://kamaluddin86.blogspot.com/2010/05/analisis-usaha-tani.html ( 22 Mei 2011).
3.1.2. Definisi Usahatani Berkelanjutan
Technical Advisory Committee of the CGIAR (Concultative Group on
International Agricultural Research) pada tahun 1988 menjelaskan bahwa
pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk
usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumberdaya alam.
FAO (Food and Agriculture Organization) mendefinisikan pertanian
berkelanjutan sebagai suatu praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan mengkonservasi
sumberdaya alam.
Sedangkan Gips (1986) dalam Wijaya (2002) mendefinisikan secara lebih
luas dan menilai pertanian bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup
hal-hal berikut :
1. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari
manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan.
2. Berlanjut secara ekologis, yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan output untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan
sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk
mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan.
3. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat
terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang
memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin.
4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan,
dan manusia) dihargai.
5. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya
pertambahan penduduk, kebijakan, dan permintaan pasar.
20
Adapun komponen pertanian berkelanjutan secara ekologi, antara lain :
a. Mempertahankan sumberdaya terpenting dalam pertanian yaitu tanah dan air;
b. Melindungi proses ekologi dan mempertahankan keseimbangan ekologi;
c. Konservasi terhadap biodiversity.
Dengan menggunakan metode yang berkelanjutan untuk tanaman pangan,
para petani dan pekebun dapat menanam lebih banyak di lahan yang sempit,
dengan sedikit atau tanpa pupuk dan pestisida kimia. Ini akan menghasilkan
pangan yang lebih banyak dan lebih baik untuk dimakan dan dijual, biaya
memproduksi bahan makanan lebih kecil, dan mengurangi pencemaran udara, air,
tanah, dan tubuh. Usahatani yang berkelanjutan dapat meningkatkan kesehatan
masyarakat karena:
mengurangi ancaman kekeringan melalui konservasi air.
mengurangi ketergantungan pada bahan kimia, menghemat uang, dan
membangun kepercayaan pada kemampuan untuk mandiri. Usahatani
tanpa bahan kimia mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat bahan
kimia pada petani, pekerja di lahan pertanian, dan semua orang yang
mengkonsumsi makanan yang diproduksi atau meminum air dari sumber
air setempat.
menurunkan jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan
pangan bila metode yang berkelanjutan ini digunakan. Misalnya dengan
membuat pupuk hijau.
21
usahatani meskipun di bagian lain dapat juga berfungsi sebagai faktor atau unsur
pokok dari modal usahatani.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua selain lahan, modal, dan
manajemen. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani
yaitu manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari
dalam keluarga itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia
dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia
dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat
kemampuannya.
Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk
pengangkutan. Sedangkan tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti
ternak dan atau manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat
memperkerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa
berupa upah.
3. Modal
Menurut Hernanto (1991), modal adalah barang atau uang yang bersama-
sama dengan faktor produksi lain yang digunakan untuk menghasilkan barang-
barang baru, yaitu produk pertanian. Diantara empat faktor produksi yang terdapat
dalam usahatani, modal merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh
besar terhadap kegiatan usahatani, terutama modal operasional. Hal ini karena
modal operasional terkait langsung dengan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan
usahatani. Adapun yang dimaksud dengan modal operasional adalah modal dalam
bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana
produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan (manajemen).
4. Pengelolaan (manajemen).
Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani
menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang
dikuasainya sebaik mungkin serta mampu memberikan produksi pertanian
sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah
produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya.
22
3.1.4. Konsep Produksi dan Biaya
Salvatore (2001), Samuelson dan Nordhaus (1992) serta Schileer (1989)
menjelaskan bahwa fungsi produksi menyatakan hubungan antara jumlah output
maksimum yang bisa diproduksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan
out put tersebut, dengan tingkat pengetahuan teknik tertentu. Fungsi produksi
menggambarkan apa yang layak secara teknis (technically feasible) bila
perusahaan berusaha secara efisien.
Asumsi dasar untuk menjelaskan fungsi produksi ini adalah berlakunya
“The Law of Diminishing Return” yang menyatakan bahwa apabila suatu input
ditambahkan dan input-input lain tetap, maka tambahan output dari setiap
tambahan satu input yang ditambahkan mula-mula menaik, tapi pada suatu tingkat
tertentu akan menurun jika input tersebut terus ditambahkan (Gambar 1).
23
1. Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total) adalah jumlah biaya yang tetap yang
tidak dipengaruhi oleh tingkat produksi. Contoh : penyusutan, sewa lahan,
dan sebagainya.
2. Total Variable Cost (Biaya Variabel Total) adalah jumlah biaya-biaya
yang dibayarkan yang besarnya berubah menurut tingkat yang dihasilkan.
Contoh : biaya bahan mentah, tenaga kerja, dan sebagainya.
3. Total Cost (Biaya Total) adalah penjumlahan antara biaya total tetap
dengan biaya total variabel.
24
dibandingkan dengan bertanam padi dengan metode konvensional. Desa Ringgit
merupakan salah satu desa di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang telah
menerapkan pertanian organik sejak tahun 1997. Pada tahun 2003 di desa ini
diperkenalkan metode bertanam padi dengan metode SRI. Hingga saat ini terdapat
petani yang membudidayakan padi konvensional dan SRI organik.
Adapun kerangka pemikiran operasional penelitiannya, yaitu dengan cara
membandingkan keragaan usahatani antara metode konvensional dan SRI organik
yang akan dijelaskan secara deskriptif. Perbandingan keragaan usahatani akan
dilihat dari input yang digunakan serta cara budidaya yang dilakukan. Selain
keragaan usahatani, terdapat tiga variabel yang akan dibandingkan antara metode
konvensional dan SRI organik yaitu produktivitas, pendapatan, serta efisiensi.
Ketiga variabel tersebut didapatkan dari perhitungan usahatani yang dilakukan
pada 60 responden, kemudian data yang diperoleh dari hasil perhitungan usahatani
akan digunakan dalam perhitungan uji beda t. Untuk lebih jelasnya mengenai
gambaran dari penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.
25
Kesejahteraan petani padi umumnya rendah
Isu lingkungan (global warming)
Pertanian organik dengan metode konvensional menghasilkan produksi
yang rendah khususnya pada awal penanaman
kabupaten Purworejo
Perbandingan Analisis
pendapatan, deskriptif
produktivitas,
dan efisiensi
26
BAB IV
METODE PENELITIAN
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden
yang dipandu dengan kuisioner. Wawancara dilakukan dengan petani, penyuluh
pertanian dari kantor Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo, dan tokoh
masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran karya-karya
ilmiah dan data-data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang
memberikan informasi dan data yang relevan dengan topik yang dikaji.
Populasi adalah keseluruhan orang, kejadian, atau hal minat yang ingin
peneliti investigasi (Sekaran, 2006). Menurut Cooper (2009) populasi adalah total
kumpulan elemen atau unsur yang kita harapkan membuat kesimpulan. Populasi
dalam penelitian ini adalah petani padi konvensional dan SRI organik di Desa
Ringgit tahun 2011 pada musim panen kedua. Jumlah populasi petani padi
konvensional di Desa Ringgit yaitu sebanyak 74 orang, serta populasi petani padi
SRI organik Desa Ringgit tahun 2011 yaitu sebanyak 31 orang.
Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah anggota yang dipilih
dari populasi (Sekaran, 2006). Penelitian ini mengambil sampel dengan jumlah
sebanyak 60 orang petani. Masing-masing petani baik konvensional dan SRI
organik sebanyak 30 orang. Akan tetapi, terdapat 13 orang petani yang
menerapkan kedua metode tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
petani di Desa Ringgit tidak hanya mengerjakan lahannya sendiri, namun ada pula
petani yang mengerjakan lahan orang lain (penggarap).
Jumlah sampel tersebut telah memenuhi aturan umum secara statistik
yaitu ≥ 30 orang karena sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk
memprediksi populasi yang diteliti. Teknik pengambilan sampel untuk responden
organik menggunakan metode sensus, karena jumlah petani yang telah
menerapkan SRI organik selama tiga tahun lebih di Desa Ringgit ada 31 orang.
Untuk responden konvensional teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu
dengan metode simple random sampling.
Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder diolah dan
dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan komputer (software Microsoft Excel dan SPSS), sedangkan
untuk data kualitatif, diolah secara deskriptif. Data kuantitatif yang dianalisis
yaitu sistem usahatani padi dan uji beda produktivitas, pendapatan, serta efisiensi
antara padi organik dan konvensional. Analisis data kualitatif digunakan untuk
menjelaskan hasil analisis dan keragaan usahatani.
28
TL = Y.Py - Σ X i . Pi
Keterangan :
TL = Pendapatan usahatani padi
Y = Produksi GKP (kw)/beras (kg)
Py = Harga GKP (Gabah Kering Panen) (Rp/kw)/harga beras organik (Rp/kg)
Xi = Penggunaan input ke-i
Pi = Harga input ke-i per unit
Pengeluaran total usahatani terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai.
Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan petani secara tunai. Sedangkan biaya
tidak tunai adalah biaya yang dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja dalam
keluarga, penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan, serta biaya bibit. Biaya
penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai
pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya umur ekonomis.
Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan
karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan diasumsikan
tidak laku bila dijual. Rumus yang digunakan yaitu (Ibrahim, 2003):
NbxNs
Biaya Penyusutan =
n
dengan:
Nb = Nilai pembelian (Rp)
Ns = Tafsiran nilai sisa (Rp)
n = Jangka usia ekonomis (Tahun)
4.4.2. Analisis Rasio (R/C Rasio)
Analisis R/C rasio merupakan salah satu cara untuk mengetahui
perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Selain itu R/C rasio
ini juga dilakukan untuk mengetahui efisiensi usahatani, yang dapat diketahui dari
perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya pada masing-masing
usahatani.
Analisis ini dibedakan menjadi tiga, yaitu R/C rasio terhadap biaya tunai,
R/C rasio terhadap biaya diperhitungkan, dan R/C rasio terhadap biaya total
dengan perhitungan sebagai berikut (Soekartawi, 1995). :
Total Penerimaan (Rp)
R/C rasio atas biaya total =
Biaya Total (Rp)
29
Sementara itu, dalam mengukur tingkat efisiensi usahatani maka terdapat
kriteria penilaian dari hasil perhitungan R/C rasio tersebut, yaitu :
Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut dikatakan menguntungkan
karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
penerimaan lebih besar dari satu rupiah.
Apabila nilai R/C = 1, maka usahatani tersebut dikatakan impas karena
setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan
sebesar satu rupiah pula.
Apabila nilai R/C < 1, maka usahatani tersebut dikatakan tidak
menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan lebih kecil dari satu rupiah.
R/C rasio menunjukkan besarnya penerimaan untuk setiap rupiah biaya
yang dikeluarkan dalam usahatani padi. Semakin tinggi nilai R/C, semakin
menguntungkan dan efisien usahatani tersebut.
Untuk menentukan nilai revenue (penerimaan) dan cost (biaya) yang
diperlukan agar dapat menghitung nilai R/C rasio dan sekaligus menghitung nilai
pendapatan usahataninya, maka dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
30
4.4.3. Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan, Produktivitas, dan
Efisiensi
Salah satu penggunaan statistik adalah untuk menguji hipotesis tentang
perbedaan tingkat pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang diperoleh petani
karena adanya dua metode yang dilakukan. Adapun alasan mengapa perlu
dilakukan uji beda ini adalah karena walaupun secara nominal pendapatan petani
tersebut tidak sama, namun secara statistik belum tentu berbeda karena bisa saja
perbedaan yang terjadi disebabkan oleh faktor kebetulan (Nazir, 1988). Oleh
karena itu, perbedaan tersebut perlu diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji
perbedaan dua mean. Adapun alat analisis yang digunakan untuk menguji
perbedaan dua mean tersebut adalah uji t tidak berpasangan.
Uji t tidak berpasangan digunakan untuk menentukan apakah dua sampel
yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda (Ghozali, 2006).
Untuk kasus ini, sampel yang digunakan yaitu petani yang menerapkan metode
konvensional dan petani yang menerapkan metode SRI organik. Uji beda t-test
dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan antara dua nilai rata-rata
dengan standar eror dari perbedaan rata-rata dua sampel atau secara rumus dapat
ditulis sebagai berikut (Ghozali, 2006):
xi xii
t
Std .Errori ,ii
Keterangan:
= rata-rata sampel pertama
= rata-rata sampel kedua
= standar eror perbedaan rata-rata kedua sampel
Standar error perbedaan dalam nilai rata-rata terdistribusi secara normal.
Dengan demikian tujuan uji beda t-test adalah membandingkan rata-rata dua grup
yang tidak berhubungan satu dengan yang lain. Bentuk hipotesis yang dirumuskan
pada penelitian ini salah satunya untuk mengetahui perbedaan tingkat pendapatan
adalah sebagai berikut:
H0 : tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang signifikan antara metode
konvensional dan metode SRI organik
H1 : terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang signifikan antara metode
konvensional dan metode SRI organik
31
Variabel dependen : produktivitas
Variabel independen : metode yang digunakan (konvensional dan SRI organik)
Level signifikan ( ) yang digunakan untuk menolak atau menerima
hipotesis pada penelitian ini sama dengan 5 persen (0,05). Hipotesis akan ditolak
jika t hitung >t tabel. Untuk membaca tabel angka t-test pada hasil output spss yang
digunakan, terdapat dua tahapan analisis yang harus dilakukan. Pertama, asumsi
variance populasi kedua sampel tersebut harus diuji apakah sama (equal
variances assumed) atau berbeda (equal variances not assumed) dengan melihat
nilai levene’s test. Kedua, menentukan apakah terdapat perbedaan nilai rata-rata
secara signifikan dengan melihat nilai t-test. Untuk mengetahui apakah varians
populasi sama atau berbeda, berikut hipotesis yang digunakan :
Ho : varians populasi tingkat pendapatan antara responden konvensional dan SRI
organik adalah sama.
H1 : varians populasi tingkat pendapatan antara responden konvensional dan SRI
organik adalah berbeda.
Pengambilan keputusan :
Jika probabilitas > 0,05, maka terima Ho , dengan kesimpulan varians sama dan
menggunakan equal variances assumed. Jika probabilitas < 0,05, maka tolak Ho
dan terima H1, dengan kesimpulan varians berbeda dan menggunakan equal
variances not assumed.
32
4. Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi.
tenaga kerja ini dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga kerja dalam keluarga
(TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Seluruh tenaga kerja
disetarakan dengan ukuran Hari Orang kerja (HOK).
5. Jumlah produksi adalah jumlah panen padi yang dihasilkan dari luas lahan,
satuannya kilogram.
6. Produktivitas adalah hasil bagi antara jumlah panen atau produksi dengan
luas lahan, satuannya kilogram per iring.
7. Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan petani untuk
membeli input-input yang dibutuhkan dalam budidaya padi.
8. Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk input milik sendir atau
input yang digunakan tanpa harus membeli, satuannya rupiah.
9. Biaya total merupakan penjumlahan antara biaya tunai dan biaya yang
diperhitungkan, satuannya rupiah.
10. Harga jual beras organik adalah harga jual output dalam bentuk beras organik
yang telah ditentukan dan disetujui oleh kedua pihak yaitu kelompok tani
Pemuda Tani Lestari dan pembeli, dalam satuan rupiah per kilogram.
11. Penerimaan (nilai produksi) usahatani merupakan nilai yang diperoleh dari
hasil kali antara jumlah produksi beras (petani SRI organik) atau gabah kering
panen (petani konvensional) dengan harga jualnya, satuannya rupiah. Hasil
produksi baik berupa gabah maupun beras didalamnya sudah termasuk
penyusutan dan upah panen. Penyusutan volume gabah dari gabah basah ke
gabah kering yaitu 15 persen. Penyusutan volume gabah kering ke beras yaitu
45 persen.
33
BAB V
35
dikeluarkan dari proses penanaman hingga panen berasal dari petani penggarap.
Rincian mengenai jenis mata pencaharian penduduk Desa Ringgit pada Tabel 7.
36
dengan dukungan pihak-pihak yang peduli termasuk pemerintah. Jaringan petani
pelaku SRI Organik Kabupaten Purworejo memiliki setidaknya 10 orang petani
yang memiliki kemampuan untuk mendampingi pembelajaran ekologi tanah dan
praktek SRI Organik, sedangkan jaringan petani pelaku SRI Organik menjangkau
tujuh kecamatan dari 16 kecamatan di Kabupaten Purworejo. Jumlah petani yang
aktif dalam praktek SRI Organik dan masih terus terhubung dalam komunikasi
jaringan ada 85 orang petani.
Tahun 2010 negara Jepang melalui pemerintah Kabupaten Purworejo
memberikan bantuan kepada seluruh kelompok tani yang menjalankan program
SRI. Terdapat tujuh desa yang diberikan bantuan, salah satunya yaitu Desa
Ringgit yang ditujukan untuk dua kelompok tani, kelompok Tani Lestari dan
Margodadi. Bantuan pemerintah tersebut berjumlah Rp 309 juta untuk setiap
kelompok tani dan diwajibkan mengembangkan padi SRI pada lahan seluas 20
Ha. Bantuan tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah kompos, pembelian
30 ekor sapi, kendaraan roda tiga (Viar), alat pembuat pupuk organik (APPO),
serta sekolah lapang.
Musim tanam padi yang ada di desa tersebut ada dua, yaitu musim
kemarau (gadu) dan musim hujan (rendeng). Musim kemarau disebut juga dengan
Musim Tanam I (MT I), sedangkan musim hujan disebut juga dengan Musim
Tanam II (MT II). MT I dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT
II dilakukan pada bulan April hingga Juli. Pada peralihan musim tanam antara MT
II dan MT I, petani banyak yang menanami ladangnya dengan tanaman palawija.
Tanaman palawija yang biasa ditanam adalah cabai, tomat, kacang
panjang, jagung, serta kacang tanah. Hal ini dilakukan agar lahan sawahnya tidak
ditumbuhi banyak rumput yang nantinya menjadikan lahan susah diolah, serta
dapat menjadi penghasilan tambahan bagi petani. Akan tetapi, sebagian besar
petani padi SRI organik tidak melakukan hal tersebut. Sebab, penanaman tanaman
palawija biasanya menggunakan pupuk kimia. Dengan demikian, lahan yang telah
ditanami organik harus mengalami proses konversi lagi selama kurang lebih 1-2
tahun tergantung dengan kondisi lahan yang ada.
Pada MT I dan MT II hampir seluruh petani padi konvensional maupun
SRI organik mengalami perbedaan hasil produksi. Hasil produksi MT I dilihat
37
dari kuantitasnya lebih banyak dibandingkan dengan hasil panen MT II. Akan
tetapi, apabila dilihat dari kualitasnya MT II memiliki kualitas yang lebih baik
dari kualitas gabah pada MT I. Hal ini disebabkan karena pada saat musim
penghujan kebutuhan tanaman akan air sangat tercukupi, namun dengan kadar air
sangat tinggi menyebabkan kualitas gabah cenderung tidak bagus. Adapun pada
musim kemarau kebutuhan tanaman akan air kurang tercukupi, sehingga kadar air
yang terkandung dalam gabah sedikit. Selain itu pula pada proses penjemuran
gabah pada musim penghujan membuat kualitas gabah menjadi tidak baik, karena
gabah yang tidak terjemur dengan baik dapat mengakibatkan beras patah dan
cepat membusuk.
Varietas padi yang umumnya ditanam yaitu IR 64, Ciherang, Sintanur,
Jasmin, serta Janur. Varietas Janur merupakan varietas padi yang dihasilkan oleh
salah satu petani setempat dengan mengawinkan benih antara varietas Jasmin dan
Sintanur. Varietas Janur ini banyak digunakan oleh petani SRI organik, karena
varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada sistem tanam SRI organik.
38
26,67. Hal ini membuktikan bahwa penerapan metode SRI organik di Desa
Ringgit bukan semata-mata karena adanya kelangkaan pupuk atau naiknya harga
pupuk, melainkan kesadaran seorang petani terhadap lingkungannya yang sudah
mulai rusak.
39
Tabel 9. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik
Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Jumlah (Orang) Persentase (%)
Tingkat Petani Petani SRI Petani Petani
No.
Pendidikan Konvensional Organik Konvensional SRI
Organik
1. Tidak Sekolah 3 1 10,00 3,33
2. SD 3 4 10,00 13,33
3. SLTP 5 7 16,67 23,33
4. SMU /sederajat 15 12 50,00 40,00
5. Diploma 1 2 3,33 6,67
6. Sarjana 3 4 10,00 13,33
Total 30 30 100,00 100,00
40
karena lahan bengkok pada dasarnya merupakan penerimaan seorang perangkat
desa dalam bentuk sawah.
Status kepemilikan lahan untuk responden petani SRI organik sebagian
besar adalah lahan milik sendiri, dan sebagian lain merupakan lahan sakap. Hal
ini disebabkan karena luas lahan yang dimiliki oleh petani pada umumnya kecil,
dengan luas minimum kurang lebih 2000 m2. Dengan demikian, sebagian besar
petani umumnya lebih memilih untuk menerapkan metode SRI organik pada
lahannya sendiri. Adapun alasan lain penerapan metode SRI organik pada lahan
sakap karena adanya permintaan dari pemilik, dan pemilik pun akan mencari
petani yang akan bersungguh-sungguh mengelola lahannya dengan baik
menggunakan metode SRI organik tersebut. Untuk responden petani
konvensional, status kepemilikan lahannya bermacam-macam seperti yang ada
pada Tabel 10.
41
Tabel 11. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik
Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Jumlah (Orang) Persentase (%)
Luas Lahan
No. Petani Petani SRI Petani Petani SRI
Garapan (ha)
Konvensional Organik Konvensional Organik
1. < 0,34 9 19 30,00 63,33
2. 0,34-0,99 17 8 56,67 26,67
3. >1 4 3 13,33 10,00
Total 30 30 100,00 100,00
42
Tabel 12. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik
Menurut Pengalaman Berusahatani Padi di Desa Ringgit,
Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Jumlah (Orang) Persentase (%)
Pengalaman
Petani Petani SRI Petani Petani
No. Usahatani
Konvensional Organik Konvensional SRI
(Tahun)
Organik
1. < 10 11 10 43,33 33,33
2. 11-20 8 7 26,67 23,33
3. 21-30 7 8 16,67 26,67
4. 31-40 4 5 13,33 16,67
Total 30 30 100,00 100,00
12
Alik Sutaryat dalam diskusi perkumpulan petani organik di Ciamis, Jawa Barat.
43
BAB VI
6.1.1. Lahan
Lahan yang digunakan dalam budidaya padi SRI organik memiliki luas
kurang lebih 2000 m2 atau penduduk sekitar sering mengistilahkannya dengan
satu iring. Satu iring setara dengan 130 ubin, dengan luas per ubinnya 12 cm x 14
cm. Harga sewa yang ditetapkan per iringnya yaitu Rp 1.700.000 pertahun dan
dibayarkan pada musim tanam pertama. Untuk pajak lahan sawah dibedakan atas
letak sawah tersebut. Apabila letak sawah berada dekat dengan jalan utama atau
saluran irigasi, maka pajak lahan sawah semakin besar dan sebaliknya bila lahan
sawah berada jauh dari jalan utama atau saluran irigasi maka pembayaran pajak
akan semakin kecil. Pembayaran pajak dilakukan pada akhir tahun saat musim
tanam pertama.
6.1.2. Bibit
Bibit yang digunakan oleh petani SRI organik Desa Ringgit merupakan
bibit yang dibuat sendiri baik oleh anggota maupun ketua kelompok tani, yang
nantinya ketua kelompok tani akan membagikan bibit tersebut kepada petani
anggota lain yang tidak mampu membuat bibitnya sendiri. Varietas bibit yang
ditanam yaitu Sintanur, Pandan Wangi, atau Janur. Varietas Janur merupakan
persilangan antara Sintanur dan Jasmin yang disilangkan oleh ketua kelompok
Pemuda Tani Lestari (PTL). Varietas Janur digunakan oleh sebagian besar petani
SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada metode SRI.
Jumlah bibit yang digunakan dalam metode SRI organik untuk luasan lahan satu
iring yaitu 1-2 kg. Penggunaan jumlah bibit sebenarnya hanya 7-8 ons, kelebihan
bibit digunakan untuk penyulaman tanaman.
Untuk pertanian konvensional, varietas bibit yang digunakan yaitu IR 64,
Janur, Ciherang, Pandan Wangi, dan Sintanur. Kebutuhan bibit pada pertanian
konvensional per iringnya yaitu 5-7 kg. Perbedaan jumlah penggunaan bibit
dikarenakan oleh jarak tanam dan jumlah bibit per lubang tanam dalam kegiatan
penanaman yang dijelaskan di sub bab budidaya. Penggunaan bibit pada pertanian
konvensional berasal dari produsen bibit dengan harga beli Rp 8000-Rp 9000 per
kilogram. Bibit yang dijual berada pada kemasan lima kiloan dengan harga Rp
40.000-Rp 45.000 berdasarkan varietas bibit.
6.1.3. Pupuk
Penggunaan pupuk pada pertanian SRI organik yaitu dengan pupuk
kandang yang dibuat oleh petani kelompok PTL. Pupuk kandang yang dibuat
berasal dari kotoran sapi. Ada pula petani yang menggunakan kotoran hewan lain
seperti ayam, kambing, serta burung sebagai pupuk kandangnya. Untuk pupuk
kandang yang berasal dari kotoran sapi memiliki nilai jual seharga Rp 6.000 per
kg, Rp 8.889 per kg untuk kotoran ayam, dan untuk kotoran kambing Rp 10.000
per kg. Pupuk kandang diberikan setelah lahan dibajak pertama kali (di luku). Ciri
kompos yang siap untuk digunakan adalah berwarna kehitaman dan remah seperti
tanah. Banyaknya kompos yang dibutuhkan tanaman tergantung kesuburan tanah,
kondisi agroklimat, dan jenis tanaman.
Pupuk yang digunakan untuk pertanian konvensional merupakan pupuk
kimia berupa urea, ponskha, SP 36, dan Za. Pengaplikasian pupuk dengan cara
mencampur beberapa jenis pupuk yang digunakan kemudian di sebar pada saat
tanaman sudah mencapai usia 10-15 hari setelah tanaman di watun. Hal tersebut
dilakukan agar pupuk yang disebar di sekitar tanaman mampu diserap dengan
sempurna. Meskipun pada kenyataannya pupuk yang disebar akan menguap,
mengalir bersama aliran air, dan mengendap yang pada akhirnya akan membuat
tanah menjadi keras dan sulit diolah karena tekstur pupuk kimia rapat dan tidak
bercelah. Adapun jumlah penggunaan pupuk yang diaplikasikan dapat dilihat pada
Tabel 13.
45
Tabel 43. Penggunaan Input Pupuk Rata-Rata 1 Ha Pada Pertanian
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit Musim Tanam II
Tahun 2011
Penggunaan Pupuk (kg)
Harga Satuan
No. Jenis pupuk Petani Petani SRI
(Rp/kg)
Konvensional Organik
1. Urea 1.600 214,83
Ponskha 2.300 156,50
SP 36 2.200 109,17
Za 1.200 40,83
2. Kotoran Ayam 120 3.662,5
Kotoran Sapi 177,78 5.593,05
Kotoran Kambing 200 2.733,33
6.1.4. Pestisida
Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usahatani
organik tidak boleh menggunakan pestisida. Hal ini dikarenakan dapat
berpengaruh terhadap kualitas beras organik yang dihasilkan. Oleh karena itu,
untuk pengendalian hama dan penyakitnya dilakukan dengan beberapa macam
cara misalnya penyemprotan mol, penambahan pupuk kandang, mengurangi atau
menambah volume air genangan, serta menghadirkan musuh alami. Mol
merupakan salah satu bentuk pestisida nabati yang terbuat dari beberapa jenis
tanaman dengan kegunaannya masing-masing. Rata-rata takaran perbandingan
antara mol dan air yaitu 1 : 2, dengan jumlah mol sebanyak lima liter dan air
sepuluh liter. Hal ini disebabkan karena mol berupa cairan yang tidak begitu
pekat.
Berbeda dengan SRI organik, petani konvensional melakukan
pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida. Pestisida yang
digunakan oleh petani konvensional memiliki beragam merek dagang seperti
Spontan, Fastac, dan Score. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida
bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa
petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama
sebagai tindakan pencegahan. Takaran penggunaan pestisida umumnya 20 – 30 ml
dalam satu tangki sprayer volume 14 L. Penggunaan takaran pestisida yang sedikit
disebabkan oleh bentuk pestisida yang berupa cairan pekat.
46
6.1.5. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki
pengaruh besar terhadap biaya usahatani. Oleh karena itu, dalam penggunaannya
petani harus memperhitungkannya. Tenaga kerja yang digunakan petani berasal
dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK).
TKDK dan TKLK memiliki porsi yang sama dalam jumlah jam kerja per harinya
yaitu delapan jam.
Pemberian upah bagi TKLK terbagi menjadi dua, yaitu borongan dan
perorangan. Pemberian upah secara borongan biasanya dilakukan pada saat
kegiatan membajak sawah, penanaman, serta pemanenan. Untuk tenaga kerja
perorangan, perhitungan pemberian upah diberikan per dua jam kerja (1
HKW/HKP = 2 jam kerja) sebanyak Rp 7.000 untuk wanita dan Rp 8.000 untuk
pria. Dengan demikian, dalam satu hari terdapat delapan jam kerja (1 HOK = 8
jam kerja) dengan upah sebesar Rp 28.000 untuk wanita dan Rp 32.000 untuk
pria.
Penggunaan tenaga kerja pada metode konvensional dan SRI organik tidak
terlalu berbeda kuantitasnya. Hanya saja dari segi kualitas bekerja, tenaga kerja
SRI organik lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari segi upah yang diberikan
dan perbedaan metode yang dilakukan. Misalnya pada kegiatan pembajakan dan
penanaman. Kegiatan membajak pada lahan konvensional cukup berat karena
lahan keras dan sulit untuk diolah, sehingga membutuhkan tenaga yang cukup
besar. Pada lahan SRI organik, karena selama budidaya menggunakan pupuk
kandang maka saat dibajak lahan tidak terlalu keras dan mudah untuk diolah. Oleh
sebab itu, dengan penetapan upah borongan pada kegiatan membajak Rp 100.000
per iring, pembajak sawah SRI organik lebih untung karena dengan lahan yang
mudah diolah dapat menghemat waktu dan tenaga, sehingga pembajak sawah
dapat membajak sawah petani lainnya. Untuk penggunaan TKDK dan TKLK
dalam metode konvensional dan SRI organik dapat dilihat pada Tabel 14.
47
Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam dan Luar Keluarga Metode
Konvensional dan SRI Organik di Desa Ringgit pada MT II
Penggunaan Tenaga Kerja
No. Jenis Tenaga Kerja
Petani Konvensional Petani SRI Organik
1. Dalam Keluarga :
Pria 12,84 HKP 24,73 HKP
Wanita 7,5 HKW 13,57 HKW
2. Luar Keluarga :
Pria 36,86 HKP 35,66 HKP
Wanita 40,33 HKW 31,78 HKW
Total 457,25 HOK 420,29 HOK
48
masing-masing. Hal ini dikarenakan penggunaan traktor sudah termasuk tenaga
kerja khusus untuk membajak sawah SRI organik. Biaya yang dikenakan untuk
membajak sawah hingga selesai yaitu Rp 100.000 per iring (2000 m2).
Pembajakan dengan traktor untuk sepetak lahan seluas 2000 m2 dapat diselesaikan
setengah hari (2HKP = 4 jam kerja).
Pembajakan lahan dilakukan dalam dua langkah, yaitu di luku kemudian di
garu. Perbedaan antara ngeluku dan ngegaru yaitu terletak pada model alat yang
digunakan pada traktor yang dipasang di bagian depan. Pada saat ngeluku, pupuk
organik disebar sebanyak kurang lebih 30-40 karung dengan berat per karungnya
50 kg. Setelah sawah selesai dibajak, tanah diratakan dan di bagian pinggir dan
tengah tiap petakan sawah dibuat parit untuk memudahkan pengaturan air serta
mencegah tanaman terserang hama keong.
Untuk pertanian konvensional, kegiatan membajak sawah dilakukan
dengan cara yang sama. Perbedaannya adalah pertanian konvensional memberikan
pupuk pada saat tanaman sudah ditanam. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa
perilaku usahatani pada umumnya lebih tertuju pada cara memupuk tanaman,
bukan cara memupuk tanah agar tanah menjadi subur, sehingga dapat
menyediakan sekaligus memberikan banyak nutrisi pada tanaman.
49
anakan padi yang tidak maksimal. Selain itu, umumnya pertumbuhan tanaman
mengalami keterlambatan. Karena pada saat pemindahan tanaman, terjadi kondisi
stagnasi dan adaptasi sehingga daya jelajah akar dalam mencari makanan terbatas.
Dalam menyeleksi benih yang akan disemai, petani SRI organik
menggunakan metode larutan garam. Benih yang mengapung adalah benih yang
kurang baik kualitasnya, sedangkan benih yang tenggelam adalah benih yang
baik. Benih-benih yang baik kemudian diambil dan dicuci untuk menghilangkan
larutan garam yang menempel pada benih. Setelah benih berkualitas baik telah
dicuci, benih harus diperam dulu selama satu hari satu malam. Ini dilakukan agar
benih tumbuh seragam. Setelah diperam, akan terlihat adanya bintik pada lembaga
atau embrio benih (tetapi belum tumbuh akar) yang merupakan tanda benih yang
baik dan siap disemai. Tempat untuk menyemai benih ada yang dilakukan di
sawah persemaian atau di besek.
6.2.3. Penanaman
Bibit siap dipindahkan ke lahan setelah mencapai umur 10 - 14 hari setelah
semai. Bibit yang akan di tanam dalam keadaan utuh (akar tidak putus) dan
rentang waktu antara pencabutan dan penanaman tidak terlalu lama (maksimal 30
menit) agar bibit tidak stres. Kondisi air pada saat tanam adalah “macak-macak”
yaitu kondisi tanah yang basah tetapi bukan tergenang. Bibit yang ditanam setiap
lubangnya berisi satu benih dan ditanam dangkal, yaitu pada kedalaman 2-3 cm
dengan bentuk perakaran horizontal (seperti huruf L). Jarak tanam yang
digunakan bervariasi, yaitu 25x25 cm dan 30x30 cm. Pembuatan jarak tanam
menggunakan penggaris yang dibuat oleh petani (Gambar 2.).
Perlakuan terhadap benih yang ingin ditanam pada pertanian konvensional
yaitu (a) daun di potong karena benih yang digunakan sudah tua, (b) batang diikat
untuk memudahkan pembagian saat tanam, (c) benih dilempar, (d) benih ditanam
banyak, (e) benih ditanam dalam dan akhirnya di petakan sawah direndam.
Penanaman dengan metode konvensional menggunakan gathak. Gathak
merupakan alat tanam terbuat dari kayu dengan sepanjang kayu tersebut diberi
lengkungan kecil. Jarak antar lengkungan disesuaikan dengan jarak tanam yang
biasa digunakan untuk menanam padi konvensional yaitu 15 cm x 15 cm dan 20
cm x 20 cm. Pada Lampiran 1. terdapat gambar kegiatan menanam padi dengan
50
metode konvensional. Dari gambar tersebut dapat terlihat di pinggiran sawah
terdapat tambang yang digunakan untuk memastikan bahwa jarak penanaman
tetap rapih, sebab panjang gathak hanya setengah dari panjang sawah pada
umumnya.
Penanaman jarak tanam yang lebar yaitu 25 cm x 25 cm sampai 30 cm x
30 cm dalam prinsip SRI mendorong pertumbuhan akar secara optimal serta
memaksimalkan sinar matahari yang cukup secara optimal. Namun kebiasaan
yang dilakukan oleh petani konvensional dalam menanam padi biasanya
menggunakan jarak tanam yang rapat, yaitu 20 cm x 20 cm atau bahkan 15 cm x
15 cm. Kebiasaan ini didasarkan oleh bermacam-macam alasan diantaranya
adalah kepemilikan lahan yang sempit.
Penggunaan jarak tanam yang sempit, petani berpikiran akan
menghasilkan padi lebih banyak karena jumlah tanamannya lebih banyak. Namun
di dalam prakteknya, harapan yang dijadikan alasan oleh petani tersebut seringkali
berbeda, karena jarak tanam yang rapat menyebabkan tanaman lembab dan gelap
sehingga akan disenangi hama seperti wereng dan tikus. Di samping itu, tanaman
yang lembab sangat berpotensi terhadap berkembangnya jamur. Penanaman
dengan bibit yang banyak dalam satu lubang pula akan mengakibatkan tanaman
tidak bisa berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan terjadi persaingan dalam
memperebutkan makanan dan kekurangan sinar yang diperlukan bagi tanaman.
51
Gambar 4. Jenis-Jenis Mol yang Digunakan Petani Padi SRI Organik di Desa
Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Sumber : Pak Wuryanto (anggota kelompok Pemuda Tani Lestari)
Pengaplikasian mol dalam SRI organik dibagi menjadi empat jenis yaitu
mol tunas (Giberelin), mol batang (Sitokinin), mol daun (Auxin), mol Inhibitor,
serta mol untuk pengisian bulir. Masing-masing mol diberikan setiap 10 hari
sekali secara berurutan dimulai pada 10 Hari Setelah Tanam (HST). Mol tunas,
mol batang, dan mol daun berfungsi dalam mempercepat proses pertumbuhan dan
menghasilkan anakan lebih banyak. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat
ketiga mol tersebut yaitu jenis tanaman yang cepat tumbuh seperti bambu muda
(rebung), bonggol pisang, buah mojo, dan lain-lain. Mol inhibitor berfungsi untuk
menghentikan pembuatan anakan agar nutrisi dapat terserap dengan baik oleh
malai yang sedang berbuah. Mol inhibitor sering pula disebut dengan mol buah
karena bahan pembuatnya berasal dari buah-buahan yang mengandung rasa
manis. Mol yang terakhir digunakan untuk membantu bulir padi lebih berisi.
Untuk metode konvensional, pemupukan dilakukan setelah tanam, yang
dilanjutkan dengan penyemprotan pestisida dan insektisida guna mempermudah
petani dalam merawat tanaman padinya. Petani konvensional menganggap bahwa
seluruh serangga atau mahkluk hidup yang hidup bersamaan dengan tanaman padi
adalah hama dan musuh tanaman yang harus dibasmi. Pada kenyatannya, tidak
semua serangga tersebut merusak tanaman. Sebab, ada serangga yang menjadi
musuh alami serangga yang sebenarnya menjadi perusak tanaman padi. Ilmu
inilah yang tidak didapat dari petani konvensional, karena penyuluh pertanian
hanya mengajarkan bagaimana cara menggunakan pestisida sesuai dengan dosis
yang dianjurkan.
52
Penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang digunakan dalam budidaya
tanaman padi seperti pupuk kimia, pestisida, dan insektisida, selain dapat merusak
lingkungan karena merubah susunan ekosistem, pula membuat petani menjadi
ketergantungan. Sebagian besar petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup
untuk dapat meracik pupuk kimia buatannya sendiri, sehingga petani hanya dapat
menerima dan menunggu pupuk yang telah dihasilkan oleh industri-industri
pupuk sintetis.
53
kenyataannya, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyiangi lahan konvensional
sangat banyak. Dalam satu iring luasan lahan membutuhkan 12 – 24 orang dalam
satu hari kerja.
54
BAB VII
56
7.2. Penerimaan dan Pendapatan Usahatani
57
panennya dengan cara tebasan (ditebas di sawah) dengan harga yang telah
disepakati bersama. Kisaran harga tebasan yaitu Rp 2.500.000 – Rp 3.750.000 per
iring (2000 m2) berdasarkan pada varietas padi yang ditanam, kondisi lahan
banyak gulma atau tidak terawat akan menyebabkan harga yang diberikan rendah.
Petani organik menjual hasil panennya berupa beras yang dikumpulkan di
kelompok, walaupun yang diberikan kepada kelompok juga berupa GKP yang
nantinya diproses lebih lanjut oleh kelompok dari mulai penggilingan hingga
pengemasan. Harga jual beras organik yang di tawarkan yaitu Rp 9.100 per kg,
namun harga yang diterima oleh petani dari kelompok yaitu Rp 8.000 per kg.
Selisih harga Rp 1.100 merupakan biaya yang dikeluarkan kelompok untuk biaya
penggilingan, biaya pensortiran beras, biaya kemasan, serta kas yang digunakan
untuk pemasukan kelompok.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerimaan petani SRI
organik lebih tinggi dari petani konvensional yang disebabkan oleh tingginya
harga jual beras organik yaitu Rp 8.000,- dan jumlah beras yang dihasilkan
metode SRI organik lebih banyak dibandingkan dengan metode konvensional.
Pada perhitungan pendapatan usahatani, antara petani pemilik dan petani
penggarap terdapat perbedaan sebesar 50 persen. Persentase tersebut didasarkan
atas kesepakatan bersama antara pemilik lahan dengan penggarap lahannya. Oleh
karena jumlah responden sebagai petani penggarap tidak banyak, maka dalam
perhitungan uji beda t diasumsikan bahwa seluruh petani responden merupakan
petani pemilik. Hal lain yang menjadi alasan untuk tidak dibedakannya antara
petani penggarap dan petani pemilik yaitu, biaya pajak dan biaya sewa
dikeluarkan pada MT I, sedangkan penelitian dilakukan pada MT II. Dengan
demikian, kedua biaya tersebut termasuk ke dalam biaya diperhitungkan.
58
Tabel 17. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode Konvensional (ha)
Metode Konvensional
Harga
Volume Nilai (Rp)
(Rp/vol)
A. Penerimaan 2.189 kg 5.000 10.928.664
B. Biaya Tunai :
1. Pajak 4.583
2. Bensin 3L 5.000 15.000
3. Pupuk Kimia 521,33 kg 1.799 937.872
4. Benih 14,18 kg 7.759 100.467
5. Pestisida 679,33 L 799,95 749.023
6. Tenaga Kerja Luar Keluarga 385,22 HOK 7.663,45 2.892.014
7. Panen 2.972 kg 320 951.343
C. Biaya diperhitungkan :
1. Pajak 74.350
2. Sewa Lahan 212.500
3. Penyusutan 1.123.415
4. Benih 14,18 kg 7.945 32.867
5. Tenaga Kerja Dalam Keluarga 72,03 HOK 7.864,49 564.895
D. Total Biaya 7.587.505
E. Pendapatan 3.341.159
59
Matun merupakan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada proses
budidaya seperti membersihkan gulma atau menyiangi, membersihkan pematang,
dan melakukan penyulaman. Kegiatan matun pada pertanian konvensional hanya
dilakukan 2-3 kali, bahkan terdapat beberapa petani yang tidak melakukan
kegiatan matun tersebut. Matun dalam pertanian konvensional dapat dilakukan
dalam tiga cara yaitu menggunakan alat yang disebut dengan gosrok,
menggunakan tangan dengan mencabut gulma, dan dengan menggunakan
pestisida atau obat penghilang gulma. Matun dengan menggunakan gosrok biasa
dilakukan oleh tenaga kerja pria, karena alat tersebut cukup berat digunakan oleh
wanita. Jumlah penggunaan tenaga kerja pria yang digunakan untuk lahan seluas
satu hektar yaitu 53,50 HKP dan tenaga kerja wanita yaitu 49,67 HKW. Untuk
perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Tabel 18. Distribusi Rata-Rata Pendapatan dengan Metode SRI Organik (ha)
Metode SRI Organik
Harga
Volume Nilai (Rp)
(Rp/vol)
A. Penerimaan 2.306kg 8.000 18.453.494
B. Biaya Tunai :
5.833
1. Pajak
0,33 L 5.000 1.667
2. Bensin
4.543,05 kg 199 872.413
3. Pupuk Kandang
1,04 kg 7.933,33 8.226,67
4. Benih
679,33 L 799,95 749.023
5. Tenaga Kerja Luar Keluarga
289,29 HOK 7.663,45 2.892.014
6. Panen
3.075,41 kg 320 984.130
C. Biaya diperhitungkan :
1. Pajak 40.343
2. Sewa Lahan 212.500
3. Penyusutan 1.040.733
4. Benih 5,11 kg 7.669 39.787
5. Pupuk Kandang 7.466 kg 166 1.091.087
6. MOL 88,33L 2.280 201.400
7. Tenaga Kerja Dalam Keluarga 131HOK 7.735,63 1.040.582
D. Total Biaya 7.894.219
E. Pendapatan 10.559.276
Pendapatan petani SRI organik pada lahan seluas satu hektar sebesar Rp
10.559.276 dengan penerimaan sebesar Rp 18.453.494. Perbedaan pendapatan
antara petani konvensional dan petani SRI organik yaitu sebesar Rp 7.218.117.
60
Perbedaan jumlah pendapatan tersebut dikarenakan harga jual beras organik lebih
tinggi Rp 3.000 dibandingkan dengan harga beras konvensional sebesar Rp 5.000
per kilogram.
Pada Tabel 18 dapat diketahui pula bahwa pengeluaran dari biaya tunai
lebih tinggi dibandingkan biaya diperhitungkan, dengan total biaya tunai sebesar
Rp 4.227.288 serta biaya diperhitungkan sebesar Rp 3.666.431. Penyumbang
besar pada komponen biaya tunai yaitu tenaga kerja luar keluarga yang berada
pada kegiatan tanam dan matun. Matun pada pertanian SRI organik dilakukan 3-4
kali. Walaupun pada setiap pelaksanaannya rata-rata hanya membutuhkan 23,88
HOK, lebih sedikit dari pertanian konvensional dengan 26,88 HOK, pertanian SRI
organik membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk kegiatan penyiangan.
Untuk perincian lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 19. Distribusi Rata-Rata Efisiensi Usahatani Atas Biaya Total dengan
Metode Konvensional dan Metode SRI Organik
Metode Metode SRI p.
Konvensional Organik value
A. Produktivitas 4.550 kilogram 4.790 kiligram 0,106
B. Penerimaan Rp 10.928.664 Rp 18.453.495 0,023
C. Biaya Tunai Rp 4.940.603 Rp 13.084961
61
bahwa nilai perbedaan rata-rata antara metode konvensional dan SRI organik
adalah 0,268200. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,019 ( < 0,05), maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara efisiensi
usahatani padi atas biaya total yang dikeluarkan oleh petani yang menggunakan
metode konvensional dan SRI organik.
Efisiensi usahatani atas biaya total mengandung arti bahwa setiap satu
rupiah total biaya yang dikeluarkan mampu menghasilkan satu rupiah penerimaan
yang diterima petani. Dengan demikian, semakin besar nilai efisiensi maka
semakin bagus suatu usaha untuk dijalankan, sehingga berdasarkan hasil uji dan
perhitungan yang telah ada menunjukkan bahwa pertanian SRI organik lebih
efisien dibandingkan dengan pertanian konvensional berdasarkan efisiensi atas
biaya total.
Nilai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian
konvensional menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Rachmiyanti pada tahun 2009 di Desa Bobojong, Kecamatan
Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa efisiensi atas biaya total dan biaya tunai memiliki nilai lebih besar untuk
pertanian konvensional yaitu sebesar 2,46 dan 2,16, sedangkan untuk pertanian
SRI organik memiliki nilai sebesar 1,98 dan 1,54. Berdasarkan hasil penelitian
yang diperoleh menyatakan bahwa rendahnya tingkat efisiensi pada pertanian SRI
organik disebabkan oleh biaya tenaga kerja luar keluarga dan pengadaan pupuk
yang tinggi.
Perbedaan hasil penelitian yang terjadi dilihat dari produktivitas dan
efisiensi antara penelitian Rachmiyanti dan penelitian ini dapat didasarkan pada
beberapa faktor, seperti letak geografis daerah, periode waktu tanam yang
digunakan untuk dijadikan sumber data, keragaan usahatani yang dimiliki oleh
desa tersebut, serta bentuk output yang dijadikan perhitungan perbandingan. Pada
penelitian ini, output yang diperbandingkan sudah berbentuk beras, sedangkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Rachmiyanti masih berupa gabah kering
panen (GKP), sehingga nilai jual lebih rendah dan mempengaruhi penerimaan dan
pendapatan yang diterima.
62
BAB VIII
8.1. Kesimpulan
8.2. Saran
Penerapan metode SRI organik sudah cukup baik dilakukan oleh petani di
Desa Ringgit. Perhitungan hasil yang positif terhadap keuntungan yang diterima
baik dari segi ekonomi maupun non ekonomi dapat dijadikan dasar untuk
menerapkan metode ini bagi petani yang belum menjalankan pertanian organik.
Bagi pemerintah diharapkan dapat berpartisipasi dalam menggunggulkan produk
63
pertanian khususnya beras sebagai produk pangan utama dengan memberi
dukungan dan respon positif terhadap setiap penemuan atau terobosan baru dalam
bidang pertanian, pada kasus ini metode SRI organik. Untuk peneliti selanjutnya
diharapkan mampu menganalisis faktor-faktor penyebab adanya perbedaan hasil
antara MT II dan MT I dan solusi yang dapat dilakukan oleh petani dalam
mengurangi atau menghilangkan dampak yang terjadi.
64
DAFTAR PUSTAKA
66
Wijaya A. 2002. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Input
Rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa
Barat. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
67
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kegiatan Budidaya
Kegiatan Penanaman Benih dan Menggaris Metode SRI di Desa Ringgit, Kecamatan
Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
69
Kegiatan Penanaman Padi Metode Konvensional
di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
70
Lampiran 2. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Pendapatan Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
71
Lampiran 3. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Penerimaan Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
72
Lampiran 4. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Produksi Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
73
Lampiran 5. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Total Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
total Equal variances 15.77 .49097
.000 2.410 58 .019 .268200 .111294 .045422
assumed 4 8
Equal variances not .49281
2.410 41.916 .020 .268200 .111294 .043587
assumed 3
74
Lampiran 6. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Diperhitungkan Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
75
Lampiran 7. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Tunai Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
76