E13 Ars
E13 Ars
ASTRIDA RM SIGIRO
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Tegakan dan
Regenerasi Alami Hutan di Pulau Siberut, Sumatera Barat adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Astrida RM Sigiro
NIM E14080013
ABSTRAK
ABSTRACT
ASTRIDA RM SIGIRO. Stand Structure Model and Natural Forest Regeneration
in Siberut Island, West Sumatra. Guided by TEDDY RUSOLONO.
Stand structure model is important to estimate the dimensions of forest
because it can reduce work in the field. The purpose of this study was to
determine the general equation stand structure, the status of biodiversity, and the
ability of natural regeneration in virgin forest and other former logged over
forests. Data was collected from forest stands represent virgin forest and various
stand conditions after logging (1 year, 4 years, and 20 years). For each stand
condition, plot lines 20 m x 500 m (1 ha) was made, each of the three plots and
then identified tree species, measuring tree diameter ≥ 10 cm, measuring the level
of regeneration, and mapping of the vertical stand structure. The result of research
shows that negative exponential distribution model is the best model to describe
stand structure in the virgin forest condition as well as in many former logged
forest conditions. Family distribution model can be used for assessment of tree
diameter distribution in various diameter class of dipterocarp, non-dipterocarp,
and all species. Biodiversity index value is high (2,94 to 3,87 with index of
Shannon and 0,027 to 0,122 with indeks of Simpson) that indicates the level of
species diversity in the study area is high and the dominance is centered on a
couple of species.
Keywords : Biodiversity index, family distribution model
STRUKTUR TEGAKAN DAN REGENERASI ALAMI HUTAN
DI PULAU SIBERUT, SUMATERA BARAT
ASTRIDA RM SIGIRO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan
Disetujui oleh
Dr Ir Teddy Rusolono, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Didik Suharjito, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Mei 2012 ini adalah “Struktur tegakan dan regenerasi alami hutan di Pulau
Siberut, Sumatera Barat”.
Penulis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak dalam
proses keberhasilan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr Ir Teddy Rusolono, MS selaku
pembimbing penulis yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan saran
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Terimakasih juga kepada pihak PT. Salaki
Summa Sejahtera beserta karyawannya yang telah membantu selama
pengumpulan data di lapangan. Disamping itu, ungkapan terimakasih juga
disampaikan kepada mama papa tercinta dan adik-adik tersayang atas dukungan,
kasih sayang, dan doanya. Dan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan
Manajemen Hutan angkatan 45 yang berjuang bersama dengan penulis dalam
memperoleh gelar sarjana, serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan
satu per satu, yang membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Model Struktur Tegakan 2
Metode Kemungkinan Maksimum 4
Kegunaan Model Struktur Tegakan 4
Regenerasi Alami Hutan Alam 5
Stratifikasi Tajuk 7
METODE 8
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 8
Metode Pengambilan Data 8
Analisis Data 9
Struktur Tegakan 9
Potensi Regenerasi Alami Vegetasi 10
Stratifikasi Tajuk 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Struktur Tegakan 11
Kerapatan Tegakan Menurut Kelas Diameter Pohon 11
Distribusi Diameter Pohon Menggunakan Pendekatan Model
Famili Sebaran 12
Distribusi diameter pohon menggunakan model eksponensial
negatif 16
Uji Kesesuaian Model terhadap Data 20
Uji Perbedaan Kerapatan Model antara Hutan Primer dan Hutan
Bekas Penebangan 20
Analisis Komunitas Tumbuhan 22
Jumlah Jenis Tumbuhan 22
Tingkat Dominansi Jenis 23
Biodiversitas Jenis 27
Stratifikasi Tajuk 28
SIMPULAN DAN SARAN 34
DAFTAR PUSTAKA 35
RIWAYAT HIDUP 37
vi
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Proses regenerasi alami dalam hutan dapat terjadi setelah ada cahaya yang
masuk ke permukaan tanah. Terciptanya sebuah celah (gap) atau bukaan hutan
yang terjadi karena tumbangnya atau matinya sebatang pohon besar merupakan
permulaan terjadinya regenerasi atau permudaan Richards (1964) dalam Wibowo
(2002). Direktoral Jendral Pengusahaan Hutan (1990) dalam Utami (2007)
membedakan permudaan tegakan suatu jenis ke dalam empat stadium
pertumbuhan, sebagai berikut:
6
1. Seedling (semai) adalah permudaan yang tingginya kurang dari 1,5 m
2. Sapling (pancang) adalah permudaan yang berukuran tinggi lebih dari 1,5 m
dengan diameter kurang dari 10 cm
3. Pole (tiang) adalah pohon muda yang berdiameter 10-19 cm
4. Tree (pohon) adalah pohon dewasa dengan diameter minimal 20 cm.
Whitemore (1984) dalam Wibowo (2002) mengemukakan bahwa siklus
pertumbuhan dalam rangka regenerasi pohon di hutan hujan tropika dapat dibagi
kedalam tiga fase, yaitu fase celah, fase pengembangan dan fase tua. Fase celah
mengandung ukuran semai dan pancang, fase pengembangan terdiri dari tiang dan
pohon muda sedangkan fase tua terdiri dari pohon-pohon besar dan tua. Suatu
komunitas atau ekosistem hutan yang terbentuk secara alami akan memiliki
estetika alami dan cirri-ciri khas spesies setempat yang pada umumnya lebih
mampu beradaptasi terhadap kondisi tempat tumbuhnya dibandingkan dengan
spesies-spesies tumbuhan asing (exotic). Oleh karena itu, keberadaan anakan
spesies pohon dalam hutan akan mencerminkan kemampuan hutan untuk
beregenerasi, sedangkan banyaknya spesies pohon akan mencerminkan potensi
keanekaragaman hayati sekaligus potensi plasma nutfah dalam kawasan hutan
(Indriyanto 2006). Untuk mengetahui kondisi komunitas hutan harus dilakukan
survey vegetasi dengan menggunakan salah satu dari beberapa metode
pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan. Kemudian, kondisi
komunitas tumbuhan hutan dapat dideskripsikan berdasarkan parameter yang
diperlukan dan dianalisis untuk menginterpretasikan perubahan yang terjadi.
Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto (2006), untuk kepentingan
deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal 3 macam parameter
kuantitatif antara lain: densitas, frekuensi, dan dominansi.
Densitas
Densitas populasi adalah besarnya populasi dalam suatu unit ruang yang
pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu-individu dalam setiap unit
luas atau volume (Gopal dan Bhardwaj 1979 dalam Indriyanto 2006). Densitas
populasi disebut juga sebagai kerapatan atau kepadatan populasi. Indriyanto
(2006) berpendapat bahwa densitas populasi sering dipakai untuk mengetahui
perubahan yang terjadi dalam populasi pada saat tertentu. Perubahan yang
dimaksud adalah berkurang atau bertambahnya jumlah individu dalam setiap unit
luas atau volume.
Frekuensi
Di dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi
antara jumlah sample yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total
sample. Sesungguhnya frekuensi dapat menggambarkan tingkat penyebaran
spesies dalam habitat yang dipelajari meskipun belum dapat menggambarkan
tentang pola penyebarannya (Indriyanto 2006). Wyatt-Smith (1963) dalam
Wibowo (2002) berpendapat bahwa ketersediaan permudaan pohon komersial
dinilai mencukupi apabila nilai frekuensi relatif dalam plot contoh yang diambil
sebesar 40% untuk stadium semai, 60% untuk stadium pancang, dan 75% untuk
stadium tiang.
Dominansi
Spesies tetumbuhan yang dominan dalam komunitas dapat diketahui
dengan mengukur dominansi tersebut. Ukuran dominansi dapat dinyatakan
7
dengan beberapa parameter antara lain biomassa, penutupan tajuk, luas basal area,
indeks nilai penting, dan perbandingan nilai penting (summed dominance ratio).
Studi kondisi vegetasi hutan selain bertujuan untuk mengetahui potensi spesies
tumbuhan penyusun vegetasi hutan, juga sangat penting untuk memantau proses
regenerasi hutan secara alami, memantau perubahan yang terjadi pada struktur
vegetasi hutan, dan mengamati tingkat kerusakan hutan (Indriyanto 2006).
Stratifikasi Tajuk
METODE
Analisis Data
Struktur Tegakan
Analisis data dilakukan untuk memperoleh persamaan umum struktur
tegakan. Hal yang lebih dulu harus dilakukan adalah mengklasifikasikan data ke
dalam kelompok berdasarkan pertimbangan jenis dominan dan komersil baik
komposisi maupun eksploitasi yaitu kelompok dipterocarpaceae, kelompok non-
dipterocarpaceae, dan kelompok seluruh jenis. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui perbandingan distribusi diameter pohon pada masing-masing
kelompok. Selanjutnya, diameter pohon dikelompokkan ke dalam kelas diameter
dengan interval 10 cm. Kelas diameter terendah dimulai dari 10-20 cm dan
tertinggi adalah 160-170 cm. Data pengukuran dipetakan pada koordinat salib
sumbu dengan kelas diameter sebagai absis (sumbu-x) dan jumlah pohon per
hektar sebagai ordinat (sumbu-y) dengan tujuan memperoleh gambaran bentuk
sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter. Penggambaran dilakukan
untuk setiap petak contoh.
Tahapan berikutnya yaitu mencari model struktur tegakan yang sesuai
menggunakan 2 pendekatan:
1. Persamaan regresi
Pendugaan struktur tegakan menggunakan pendekatan persamaan regresi.
Menurut Davis et al. (2001), persamaan regresi pertama kali dicobakan oleh
Meyer (1952) dalam menduga struktur tegakan hutan tidak seumur. Bentuk
persamaan yang digunakan adalah:
N = k.e-aD
keterangan:
N = jumlah pohon per kelas diameter
e = bilangan Napier (2,7183)
a = konstanta (penurunan jumlah pohon setiap kenaikan diameter pohon)
D = diameter pohon
Bentuk persamaan ini jika ditransformasikan ke dalam bentuk linear akan
menjadi: ln N = ln k – aD, yang identik dengan model umum regresi sederhana
yaitu: Y = b0 + b1X.
2. Model famili sebaran
Pendugaan model struktur tegakan menggunakan model famili sebaran
dilakukan dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum (maximum
likelihood). Model yang dicobakan pada penelitian ini antara lain famili sebaran
eksponensial negatif, gamma, lognormal, dan weibull. Semua model tersebut
dicobakan sebagai model penduga bagi sebaran diameter tegakan. Ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan sehingga diperoleh suatu model famili sebaran
10
terbaik yaitu menduga titik parameter masing-masing model famili sebaran yang
dipilih, mencari nilai fungsi kemungkinan maksimum berdasarkan parameter yang
telah diperoleh, serta menentukan model terbaik berdasarkan fungsi kemungkinan
maksimum tertinggi. Tahapan tersebut dilakukan pada keempat model
menggunakan aplikasi komputer dengan bantuan software MATLAB.
Model sebaran diameter yang telah diperoleh digunakan menduga
kerapatan tegakan melalui persamaan berikut:
𝑥𝑏
𝑁(𝑎,𝑏) = 𝑓 𝑥 𝑑𝑥 𝑁
𝑥𝑎
Stratifikasi Tajuk
Stratifikasi tajuk disajikan dalam suatu diagram atau gambar yang
menggambarkan proyeksi tegakan dari atas (proyeksi tajuk-tajuk pada lantai
hutan) dan proyeksi tegakan dari muka atau samping menggunakan aplikasi
komputer dengan bantuan software SLIM. Parameter yang digunakan untuk
menunjukkan stratifikasi tajuk adalah jenis pohon, posisi/letak pohon, tinggi total
dan tinggi bebas cabang, diameter setinggi dada, bentuk dan ukuran proyeksi
tajuk dari lantai hutan, serta arah condong pohon. Output yang dihasilkan mampu
menunjukkan perbedaan gambaran mengenai sebaran individu pohon pada hutan
primer dan berbagai hutan bekas penebangan (20 tahun, 4 tahun, dan 1 tahun).
11
Struktur Tegakan
160
140
120 H. Primer
Pohon / ha
160
140
120 H. Primer
LOA 20 tahun
Pohon / ha
100
LOA 4 tahun
80 LOA 1 tahun
60
40
20
0
10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 > 90
B Kelas Diameter (cm)
160
160
140
140
120
120
100
Pohon / ha
100
Pohon / ha
Kerapatan Kerapatan
80 80
dugaan dugaan
60 Kerapatan 60 Kerapatan
aktual aktual
40 40
20 20
0 0
0 50 100 150 200 0 50 100 150 200
A Diameter (cm) B Diameter (cm)
160 160
140 140
120 120
100 100
Pohon / ha
Pohon / ha
Kerapatan Kerapatan
80 dugaan 80 dugaan
60 Kerapatan 60 Kerapatan
aktual aktual
40 40
20 20
0 0
0 50 100 150 200 0 50 100 150 200
C Diameter (cm) D Diameter (cm)
45 45
40 40
35 35
30 30
Pohon / ha
Pohon / ha
25 Kerapatan 25 Kerapatan
20 dugaan 20 dugaan
15 Kerapatan 15 Kerapatan
aktual aktual
10 10
5 5
0 0
0 50 100 150 200 0 50 100 150 200
A Diameter (cm) B Diameter (cm)
45 45
40 40
35 35
30 30
Pohon / ha
Pohon / ha
25 Kerapatan 25 Kerapatan
20 aktual 20 dugaan
15 Kerapatan 15 Kerapatan
dugaan aktual
10 10
5 5
0 0
0 50 100 150 200 0 50 100 150 200
C Diameter (cm) D Diameter (cm)
200 200
180 180
160 160 N dugaan
Kerapatan (ind/ha)
N dugaan
140
Kerapatan (ind/ha)
140 N aktual
120 N aktual
120
100 100
80 80
60 60
40 40
20 20
0 0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
200 200
180 180
160 160
Kerapatan (ind/ha)
Kerapatan (ind/ha)
Diameter (cm)
C Diameter (cm) D
60
60
50 50
Kerapatan (ind/ha)
40
Kerapatan (ind/ha)
N dugaan 40 N dugaan
30 N aktual 30 N aktual
20 20
10 10
0 0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
60 60
50 50
N dugaan
N dugaan
Kerapatan (ind/ha)
40 40 N aktual
Kerapatan (ind/ha)
N aktual
30 30
20 20
10 10
0
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
Hal yang berbeda ditunjukkan pada kelompok seluruh jenis, yakni bahwa
X hitung > X2 tabel (0,05) pada berbagai kondisi hutan. Dengan kata lain, hasil uji
2
Khi-kuadrat pada hutan primer serta hutan bekas penebangan 20 tahun, 4 tahun
dan 1 tahun pada kelompok seluruh jenis, termasuk hutan bekas penebangan 1
tahun pada kelompok dipterocarpaceae menolak hipotesis H0 dan menerima H1
yakni kerapatan dugaan tidak sama dengan kerapatan aktual di lapangan. Hal ini
berarti bahwa model eksponensial negatif pada kelompok seluruh jenis di hutan
tersebut kurang sesuai dalam menduga kerapatan pohon.
Uji Perbedaan Kerapatan Model antara Hutan Primer dan Hutan Bekas
Penebangan
Kegiatan penebangan kayu menyebabkan pohon-pohon dengan diameter
tertentu akan rusak dan bahkan mati. Kerusakan pohon tertentu akan
menimbulkan perbedaan struktur tegakan pohon antara hutan yang belum
dilakukan penebangan dengan hutan pasca penebangan. Perbedaan tersebut
disajikan pada Gambar 6 yang memberikan gambaran bahwa kerapatan yang
tersebar pada berbagai kelas diameter akan berbeda antara kedua kondisi hutan
tersebut. Pada gambar dapat dilihat bahwa grafik kerapatan dugaan hutan primer
berada di atas grafik berbagai kondisi hutan bekas penebangan. Namun, grafik
hutan bekas penebangan hampir sama dengan hutan primer. Hal ini berarti bahwa
hampir tidak ada perbedaan antara hutan bekas penebangan 20 tahun dengan
21
hutan primer. Sedangkan perbedaan tampak lebih jelas pada hutan bekas
penebangan 4 tahun dan 1 tahun.
100
Hutan primer
80 LOA 20 tahun
Pohon / ha
60 LOA 4 tahun
LOA 1 tahun
40
20
0
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165
Diameter (cm)
Perbedaan jenis bukan hanya terjadi antara hutan primer dan hutan bekas
penebangan, tetapi juga terjadi antara tingkat permudaan pada kondisi hutan yang
sama. Misalnya di hutan primer jenis Archidendron jiringa, Cananga odorata,
dan Leea indica hanya ditemukan pada tingkat semai saja. Ada juga jenis
Artocarpus sp., Lithocarpus sp., dan Memecylon costatum ditemukan di tingkat
tiang dan pohon tetapi tidak ditemukan di tingkat anakan. Hal yang sama juga
terjadi di hutan bekas penebangan. Misalnya pada LOA 4 tahun, jenis
23
Campnosperma macrophylla, Cryptocarya ferrea, dan Leea indica ditemukan
pada tingkat anakan tetapi tidak ditemukan di tingkat tiang dan pohon. Kondisi
seperti ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tertentu mati pada saat ingin mencapai
tingkat tiang sehingga tidak sempat tumbuh hingga ke tingkat pohon. Menurut
Richard (1975) dalam Handayani (2002) jenis pohon yang mempunyai tingkat
permudaan tetapi pada tingkat tiang dan pohon tidak terdapat lagi disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah daya tahan terhadap cahaya matahari, pola
penyebaran biji, daya tumbuh jenis tertentu serta adanya kompetisi antar individu
baik dalam satu jenis maupun antar jenis yang berbeda. Dan sebaliknya ada jenis
yang memiliki tingkat pohon tetapi tidak memiliki tingkat permudaan. Hal ini
biasanya terjadi pada ekosistem yang telah mencapai kondisi klimaks, didominasi
oleh pohon-pohon besar sehingga ruang tumbuh dalam ekosistem tersebut
semakin kecil. Setyawan et al. (2005) mengatakan bahwa pada kondisi klimaks
biasanya bibit pohon akan mulai mati pada saat mencapai umur anak pohon,
mengingat pada kondisi ini kompetisi dengan tumbuhan dewasa, khususnya untuk
memperebutkan ruang dan cahaya matahari.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kerapatan pada hutan primer dan
hutan bekas penebangan disajikan di Tabel 6. Kerapatan vegetasi tingkat semai
lebih tinggi dibandingkan kerapatan tingkat pancang dan semakin rendah hingga
ke tingkat pohon. Hal ini mengindikasikan bahwa proses regenerasi pada areal
hutan tersebut berjalan dengan baik. Indriyanto (2006) menyatakan bahwa
berjalan atau tidaknya proses regenerasi tegakan hutan dicerminkan oleh kondisi
anakan pohon yang ada dalam kawasan hutan. Lebih lanjut dikatakan bahwa
keberadaan anakan spesies pohon dalam hutan akan mencerminkan kemampuan
hutan untuk beregenerasi, sedangkan banyaknya spesies pohon akan
mencerminkan potensi keanekaragaman hayati sekaligus potensi plasma nutfah
dalam kawasan hutan.
Tabel 6 Kerapatan individu pohon per hektar pada tingkat permudaan di hutan
primer dan hutan bekas penebangan
Hutan bekas tebangan
Tingkat Hutan primer
LOA 20 tahun LOA 4 tahun LOA 1 tahun
permudaan
SJ DP SJ DP SJ DP SJ DP
Semai 15.900 4.067 14.033 2.367 13.200 3.267 20.433 5.633
Pancang 1.077 288 2.677 699 1.323 277 1.088 357
Tiang 144 28 140 28 111 27 116 41
Pohon 122 41 120 51 89 34 92 32
SJ : Seluruh jenis
DP : Dipterocarpaceae
Tabel 8 Jenis dominan untuk semua tingkat permudaan vegetasi di hutan bekas tebangan 20 tahun
Semai Pancang Tiang Pohon
No
Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%)
1 Palaquium obovatum 15,02 Dipterocarpus elongatus 24,91 Dipterocarpus hasseltii 28,99 Dipterocarpus hasseltii 97,35
2 Dipterocarpus elongatus 14,56 Cleistanthus laevis 13,58 Cleistanthus sp. 20,24 Dipterocarpus elongatus 19,27
3 Gardenia sp. 13,84 Pouteria firma Bachni 10,02 Hydnocarpus woodii 14,07 Cleistanthus sp. 17,16
4 Shorea pauciflora 9,70 Shorea pauciflora 9,42 Baccaurea deflexa 12,64 Hydnocarpus merrillianus 14,62
5 Barringtonia rubra 8,28 Cleistanthus sp. 9,14 Ptemandra coerulescens 11,45 Shorea pauciflora 13,07
6 Cleistanthus laevis 8,28 Baccaurea deflexa 8,10 Hydnocarpus merrillianus 11,37 Baccaurea deflexa 6,68
7 Ficus lepicarpa 8,16 Glochidion capitatum 5,97 Cleistanthus laevis 11,14 Dillenia indica 5,98
8 Cleistanthus sp. 7,45 Ardisia attenuata, 5,88 Macaranga trichocarpa 11,09 Strombosia javanica 5,92
9 Mallotus subpeltatus 7,10 Mallotus subpeltatus 5,49 Homalium grandiflorum 10,89 Artocarpus integer 5,73
10 Pouteria firma 6,27 Cryptocarpa sp. 4,98 Myristica sp. 10,26 Syzygium glomerata 5,58
Jumlah INP 98,66 97,50 142,14 191,35
26
Tabel 9 Jenis dominan untuk semua tingkat permudaan di hutan bekas tebangan 4 tahun
Semai Pancang Tiang Pohon
No Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%)
1 Dipterocarpus hasseltii 20,37 Macaranga trichocarpa 15,30 Dipterocarpus hasseltii 46,69 Dipterocarpus hasseltii 75,07
2 Tombou-tombou 18,23 Dipterocarpus elongatus 8,56 Glochidion capitatum 31,73 Hydnocarpus merrillianus 23,51
3 Shorea ovalis 16,17 Campnosperma macrophylla 8,53 Artocarpus rigidus 22,72 Dipterocarpus elongatus 22,32
4 Gardenia sp. 15,04 Dillenia excels 7,90 Myristica sp. 20,02 Shorea ovalis Blume 17,71
5 Glochidion capitatum 11,80 Dipterocarpus hasseltii 7,87 Dipterocarpus elongatus 15,96 Mallotus subpeltatus 17,22
6 Ficus lepicarpa 9,66 Shorea pauciflora 7,23 Mallotus subpeltatus 15,67 Glochidion capitatum 13,99
7 Ardisia attenuata 8,65 Mallotus subpeltatus 7,21 Hydnocarpus woodii 15,01 Cleistanthus sp. 13,94
8 Macaranga trichocarpa 7,06 Shorea ovalis 6,72 Cleistanthus sp. 13,56 Myristica sp. 12,79
9 Nephelium glabrum 6,30 Hydnocarpus merrillianus 6,72 Artocarpus integer 10,31 Shorea pauciflora 9,54
10 Dillenia excelsa 5,54 Baccaurea deflexa 5,57 Macaranga trichocarpa 10,10 Artocarpus integer 9,44
Jumlah INP 118,82 81,61 201,76 215,52
Tabel 10 Jenis dominan untuk semua tingkat permudaan vegetasi di hutan bekas tebangan 1 tahun
Semai Pancang Tiang Pohon
No Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%) Nama Jenis INP(%)
1 Dipterocarpus hasseltii 24,93 Dipterocarpus elongatus 12,27 Dipterocarpus hasseltii 77,16 Dipterocarpus hasseltii 92,92
2 Gardenia sp. 20,20 Ficus lepicarpa 10,03 Homalium grandiflorum 21,01 Hydnocarpus merrillianus 35,32
3 Ficus lepicarpa 20,16 Dipterocarpus hasseltii 10,03 Artocarpus rigidus 20,01 Cryptocarpa sp. 13,80
4 Shorea ovalis 15,64 Dillenia indica 9,15 Hydnocarpus woodii 18,01 Myristica sp. 12,16
5 Glochidion capitatum 13,65 Shorea ovalis 8,30 Cleistanthus sp. 17,88 Artocarpus integer 10,50
6 Macaranga trichocarpa 11,29 Shorea pauciflora 7,94 Hydnocarpus merrillianus 16,17 Palaquium obovatum 8,55
7 Tombou-tombou 6,64 Ptycopyxis sp. 7,43 Glochidion capitatum 15,86 Baccaurea deflexa 8,20
8 Dipterocarpus elongatus 6,58 Gardenia sp. 6,57 Myristica sp. 9,70 Mallotus subpeltatus 7,43
9 Dillenia excelsa 5,71 Hydnocarpus merrillianus 5,87 Mallotus subpeltatus 7,39 Dillenia indica 7,37
10 Ardisia attenuata 5,55 Homalium grandiflorum 5,52 Baccaurea deflexa 6,87 Cleistanthus sp. 6,91
Jumlah INP 130,36 83,10 210,06 203,15
27
Biodiversitas Jenis
Biodiversitas jenis menunjukkan suatu tingkat kekayaan dan
keanekaragaman jenis dalam suatu hutan. Tingkat biodiversitas dalam penelitian
ini dapat digambarkan berdasarkan indeks dominansi (index of dominance).
Penguasaan atau dominansi spesies dalam suatu komunitas bisa terpusat pada satu
spesies, beberapa spesies, atau pada banyak spesies yang dapat diperkirakan dari
tinggi rendahnya indeks dominansi (Indriyanto 2006). Nilai dominansi diperoleh
berdasarkan indeks Simpson (Odum 1993). Selain dari indeks dominansi,
biodiversitas jenis juga dapat digambarkan melalui indeks keanekaragaman jenis
(H’) yakni kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil
meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponenya (Soegianto 1994 dalam
Indriyanto 2006). Tingkat keanekaragaman jenis ditentukan dengan indeks
Shannon (Shannon Index of General Diversity) (Odum 1993). Indeks dominanasi
dan indeks keanekaragaman pada petak contoh yang diamati di hutan primer dan
hutan bekas tebangan ditunjukkan pada Tabel 11.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, nilai indeks dominansi (C) yang
diperoleh antara hutan primer dan hutan bekas tebangan yang tidak berbeda jauh,
namun menunjukkan nilai yang kecil (< 1) yaitu berkisar 0,027-0,122. Menurut
Indriyanto (2006) indeks dominansi maksimum adalah satu yang berarti
dominansi (penguasaan) terdapat pada satu spesies. Dari hasil yang diperoleh,
berarti menunjukkan bahwa pada semua tingkat permudaan baik di hutan primer
maupun hutan bekas penebangan, tegakan tidak dikuasai oleh satu jenis saja tetapi
dominansi jenisnya tersebar pada beberapa jenis. Rendahnya nilai C ini terjadi
karena terdapat banyak jumlah jenis dalam areal hutan tersebut sedangkan nilai
INP masing-masing spesies hampir seragam, hanya beberapa saja yang memiliki
INP tinggi. Semakin tinggi keragaman jenis dalam suatu areal hutan akan
menurunkan nilai C sehingga terjadi pemusatan pada beberapa jenis. Sedangkan
semakin rendah keragaman jenis suatu areal hutan akan meningkatkan nilai C
sehingga terpusat pada satu jenis saja.
Tabel 11 Indeks Dominansi (C) dan Indeks Keanekaragaman (H’) pada hutan
primer dan hutan bekas tebangan
Indeks Dominansi (C) Indeks Keanekaragaman (H')
Tipe Hutan
a b c d a b c d
Hutan Primer 0,047 0,037 0,052 0,096 3,52 3,62 3,46 3,23
LOA 20 tahun 0,034 0,039 0,033 0,122 3,72 3,68 3,87 3,15
LOA 4 tahun 0,047 0,027 0,064 0,093 3,43 3,85 3,14 2,97
LOA 1 tahun 0,058 0,027 0,094 0,122 3,27 3,84 3,05 2,94
a = semai, b = pancang, c = tiang , d = pohon
Stratifikasi Tajuk
Gambar 7 Profil tegakan hutan primer tampak secara spasial (A) dan secara
vertikal (B)
31
Gambar 9 Profil tegakan hutan bekas penebangan 4 tahun tampak secara spasial
(A) dan secara vertikal (B)
33
Gambar 10 Profil tegakan hutan bekas penebangan 1 tahun tampak secara spasial
(A) dan secara vertikal (B)
34
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adianti M. 2011. Studi model struktur tegakan hutan tanaman Pinus Merkusii
Jungh Et De Vriese tanpa penjarangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Avery TE, Burkhart HE. 1994. Forest Measurements 4th ed. New York (US):
McGraw-Hill.
Bailey RL, Dell R. 1973. Quantifying diameter distributions with the Weibull
function. Forest Sci. 19(2): 97-104.
Bertault JG. 1998. Silvicultural Research in A Lowland Mixed Dipterocarp Forest
of East Kalimantan: The Contribution of STREK Project. Kadir K,
Silitonga T, editor. Jakarta (ID): INHUTANI I.
Botkin DB. 1993. Forest Dynamics: An Ecological Model. New York (US):
Oxford University Pr.
Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: to
Sustain Ecological, Economic, and Social Values. 4th ed. New York (US):
McGraw-Hill.
Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta (ID): Departemen
Kehutanan RI.
Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. 4th ed. New Jersey
(US): John Wiley.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Jamili, Setiadi D, Qayim I, Guhardja E. 2009. Struktur dan komposisi mangrove
di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Biodiversity, 14(4):36-45.
Johnson NL, Kotz S, Balakrishnan N. 1993. Continuous Univariate Distributions.
2nd ed. Volume 1. New York (US): John Wiley.
Kabelen F, Warpur M. 2009. Struktur, komposisi jenis pohon dan nilai ekologi
vegetasi kawasan hutan di Kampung Sewan Distrik Sarmi, Kabupaten
Sarmi. J Biologi Papua, 1(2):72-80.
Kilkki P, Maltamo M, Mykkӓnen R, Pӓivinen R. 1989. Use of the Weibull
function in estimating the basal area dbh-distribution. Silva Fennica,
23(4):311-318.
Muhdi. 2009. Struktur dan komposisi jenis permudaan hutan alam tropika akibat
pemanenan kayu dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia.
J Bionatura. 11(1):68-79.
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Ed ke-3. Samingan T, penerjemah.
Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Onrizal. 2008. Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan. Medan (ID): Faperta USU.
Patrycia R. 2009. Model struktur tegakan pasca penebangan pada sistem
silvikultur tebang pilih tanam jalur (studi kasus di PT. Erna Djuliawati,
Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saputro MAH. 2001. Penyusunan model simulasi dinamika struktur tegakan hutan
bekas tebangan (Studi Kasus pada PUP di HPH PT. Sumalindo Lestari
Jaya II Kalimantan Timur) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
36
Samsoedin I, Heriyanto NM. 2010. Struktur dan komposisi hutan pamah bekas
tebangan ilegal di kelompok hutan Sei Lepan, Sei Serdang, Taman
Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara. J Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. 7(3):299-314.
Setyawan AD, Indrowuryatno, Wiryanto, Winarto K, Susilowati A. 2005.
Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan struktur
vegetasi. Biodiversitas. 6(3):194-198.
Sheykholeslami A, Pasha K, Kia LA. 2011. A study of tree distribution in
diameter classes in natural forests of Iran (case study: Liresara Forest).
Annals of Biological Research. 2(5):283-290.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fahutan
IPB.
Suhendang E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan dataran
rendah di Bengkunat Propinsi DT I Lampung [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Supranto J. 2001. Statistik: Teori dan Aplikasi. Ed ke-6. Jakarta (ID): Erlangga.
Tewari VP, Gadow KV. 1999. Modelling the relationship between tree diameters
and heights using SBB distribution. Elsevier Science. 119:171-176.
Utami SD. 2007. Analisis komposisi jenis dan struktur tegakan di hutan bekas
tebangan dan hutan primer di areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja
Timber Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Varela JJG, Alboreca AR, Khouri EA, Anta MB. 2008. Modelling diameter
distributions of birch (Betula alba L.) and pedunculate oak (Quercus robur
L.) stands in Northwest Spain with the beta distribution. Investigacion
Agrarian: Sistemas y Recursos Forestales. 17(3):271-278.
Wibowo H. 2002. Analisis struktur dan komposisi tegakan hutan alam tanah
kering bekas tebangan, studi kasus di petak RIL (Reduce Impact Logging)
HPH PT. Sumalindo Lestari Jaya II, Site Long Bagun Kalimantan Timur
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wiharto M, Kusmana C, Prasetyo LB, Partomihardjo T. 2008. Distribusi kelas
diameter pohon pada berbagai tipe vegetasi di Gunung Salak. Bogor (ID).
JIPI. 13(2): 95-102.
37
RIWAYAT HIDUP