Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRATIKUM

EKOLOGI HUTAN
LATIHAN V
DESKRIPSI HUTAN DENGAN STRUKTUR VERTIKAL
(DIAGRAM PROFIL HUTAN)

Oleh :

Nama : Galuh Sekar Ardhanariswari

NIM : 19/442295/KT/08993

Kelompok : 12

Co-Ass : Shabriati Luthfiana

LABORATORIUM EKOLOGI HUTAN


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
LATIHAN V
DESKRIPSI HUTAN DENGAN STRUKTUR VERTIKAL
(DIAGRAM PROFIL HUTAN)

I. TUJUAN
Pratikum ini bertujuan untuk membuat diagram profil hutan secara subyektif.

II. DASAR TEORI


Stuktur hutan merupakan tata letak vegetasi penyusun hutan yang terbentuk
secara alami dan membentuk heterogenitas vegetasi hutan. Heterogenitas ini
mencakup diameter batang, tinggi, penyebaran spasial serta lebar kanopi. Aspek
heterogenitas dari hutan dapat digambarkan melalui diagram profil hutan. Diagram
profil hutan dapat menggambarkan lebar dan bentuk kanopi dan keadaan hutan
dengan mengetahui letak dan persebaran pohon di suatu habitat, sehingga dapat
diketahui ada tidaknya sistem zonasi (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974 dalam
Habdiansyah dkk, 2015).
Penampang struktur vegetasi mangrove yang digambarkan secara vertikal dan
horizontal merupakan pengertian dari diagram profil hutan (Ginting dkk, 2015).
Menurut Aumeeruddy (1994); Baker dan Wilson (2000) dalam Setyawan dkk (2008)
diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot tergantung dengan densitas
pohon, posisi setiap pohon ditentukan lalu digambar arsitekturnya berdasarkan skala
tertentu, diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama dan dilakukan pemetaan
proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan ini menunjukkan situasi nyata posisi
pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada atau tidaknya strata
hutan secara visual dan kuantitatif. Pembuatan diagram profil dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai stratifikasi tegakan dengan
memproyeksikan tajuk (Wahyu dkk, 2014).
Sketsa dari profil vegetasi sepanjang garis transek berguna untuk penelitian satwa
liar terutama untuk penelitian burung dan primata yang menempati suatu habitat
hutan. Komposisi yang terdapat dalam suatu profil habitat memiliki manfaat untuk
membuat suatu kesimpulan tentang hubungan antara derajat kelimpahan satwa liar
dengan tipe habitatnya. Ukuran petak merupakan contoh untuk pemetaan diagram
profil suatu habitat yang disesuaikan dengan peneliti serta kondisi lingkungan yang
digunakan untuk penelitian (Soemarwoto, 2004)
Sebagian hutan di Indonesia merupakan hutan tropika basah. Hutan hujan tropika
terkenal karena pelapisannya. Hal ini menjukkan bahwa populasi campuran di
dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tak sinambung.
Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan itu
secara khas menampikan tiga lapisan pohon. Menurut Euwsie (1980), lapisan pohon
ini dan lapisan lainnya yang terdiri dari belukar serta tumbuhan terna diuraikan
sebagai berikut:
1. Lapis paling atas (tingkat A) merupakan lapisan yang terdiri dari pepohonan
setinggi 30-45 m. Pepohonan yang muncuk keluar ini mencuat tinggi di atas
sudur hutan, bertajuk lebar, dan ummnya tersebar sedemikan rupa, sehingga
tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yang bersinambung. Bentuk khas
tajuknya sering dipakai untuk mengenali spesies itu dalam suatu wilayah.
Pepohonan yang mencuat itu sering berakar agak dangkal dan berbanir.
2. Lapis pepohonan kedua (tingkat B) merupakan lapisan di bawah yang mencuat
tadi, ada kalanya disebut juga sebagai tingkat atas, terdiri dari pepohonan yang
tumbuh sampai ketinggian sekitar 18-27 m. pepohonan in tumbuh lebih
berdekatan dan cenderung membentuk sudur yagn bersinambung. Tajuk sering
membulat atau memanjang dan tidak selebar seperti pada pohon yang
mencuat.
3. Lapis pepohonan ketiga (tingkat C) atau disebut dengan tingkat bawah, terdiri
dari pepohonan yang tumbuh sampai ketinggian sekitar 8-14 m. pepohonan di
sini sering mempunyai bentuk yang agak beraneka tetapi cenderung
membentuk lapisan yang rapat, terutama di tempat yang lapisan keduanya
tidak demikian.
4. Selain dari lapis pepohonan tersebut, terdapat lapis belukar yang terdiri dari
spesies dengan ketinggian yang kebanyakan kurang dari 10 m. tampaknya
terdapat dua bentuk belukar: yang mempunyai percabangan dekat tanah dan
karenanya tak mempunyai sumbu utama; dan yang menyerupai pohon kecil
karena mempunyai sumbu utama yang jelas, yang sering dinamakan pohon
kecil dan mencakup pohon muda dari spesies pohon yang lebih besar.
5. Yang  terakhir yaitu terdapat lapis terna yang terdiri dari tumbuhan yang lebih
kecil yang merupakan kecambah pepohonan yang lebih besar dari lapisan yang
lebih atas, atau spesies terna.
Faktor iklim dan lingkungan tempat tumbuh merupakan suatu keberhasilan
pertumbuhan vegetasi strata dari suatu jenis pohon. Lingkungan iklim mikro dapat
dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, bahan organik dan anorganik. Tanah
sebagai tempat tumbuh berperan sebagai pencipta kondisi fisik tertentu, seperti
kelembaban, kandungan air dan unsur hara (Sirait, 2013).
Menurut Zulkarnain dan Razak (2015), banyak faktor yang dapat menyebabkan
perubahan kondisi vegetasi, umumya aktivitas manusia menjadi penyebab utama
terjadinya kerusakan hutan, yang kemudian berdampak pada stabilitas ekosistem
suatu kawasan hutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis vegetasi di suatu
tempat untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai jenis, struktur, dan komposisi
vegetasi yang ada yang kemudian di visualisasikan dalam bentuk profil tiga dimensi
untuk menggambarkan kondisi vegetasi suatu kawasan hutan. Hal ini juga sejalan
dengan pernyataan Indriyanto (2008) bahwa analisis komunitas tumbuhan merupakan
suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur
vegetasi.
III. ALAT DAN BAHAN
Pada pratikum ini digunakan alat :
1. Kompas
2. Tali
3. Roll meter
4. Pita meter
5. Hagameter
6. Alat tulis
7. Kertas untuk mencatat data
8. Aplikasi Ms Excel
9. Aplikasi Sexl-FS
10.Kertas milimeterblok
Pada pratikum ini digunakan bahan :
Komunitas tumbuhan spesies pohon dengan tinggi ≥ 5 m.

IV. CARA PELAKSANAAN


Cara pelaksanaan yang dilakukan pada pratikum, ialah :

Dilakukan pemilihan sampel Dibuat kuadrat dengan ukuran


untuk lokasi pembuatan 8 meter x 60 meter
diagram profil

Kemudian data diolah, dan Dilakukan pengambilan data


dicari tebal tajuk menggunakan di lapangan
Ms Excel
Dilakukan pembuatan diagram
profil secara manual ataupun
digunakan Aps Sexl-FS

Pertama dilakukan penentuan lokasi pengamatan secara subyektif, lalu dibuat


petak ukur atau kuadrat dengan ukuran 8 m x 60 m. Dilakukkan pengambilan data
dengan sampel berupa semua spesies dengan tinggi ≥ 5 m dengan disertai data berupa
posisi pohon dalam petak ukur (x,y), nama spesies, diameter pohon (m), tinggi pohon
(m) , tinggi pohon bebas cabang dan lebar tajuk (crown radius). Kemudian dari data
tersebut diolah di excel untuk mengetahui diameter pohon serta tebal tajuk yaitu
crown depth dicari dengan rumus tinggi pohon dikurangi panjang batang bebas
cabang) serta mengetahui crown curve dengan rumus tinggi pohon dikurangi tinggi
tajuk pohon yang terlebar. Selanjutnya dibuat sketsa penampilan pohon untuk
mengambarkan keadaan fisik pohon. Kemudian dibuat diagram profil secara manual
menggunakan kertas milimeterblok, sedangkan diagram profil menggunakan aplikasi
Sexl-FS yaitu dengan memasukkan data berupa dbh, spesies, koordinat x dan y, tinggi
,crown depth, crown curve dan crown radius serta nomer pohon dalam format txt lalu
masukkan data txt ke dalam aplikasi.
V. HASIL PENGAMATAN

Gambar 1.1 Data untuk pembuatan diagram profil hutan di hutan C


Gambar 1.2 Data untuk pembuatan diagram profil hutan di hutan C

Gambar 1.3 Data untuk pembuatan diagram profil hutan di hutan C


Gambar 2. Diagram manual di hutan C
Tabel 1. Tabel Pembuatan Diagram Profil di hutan C
he Panjang tajuk
id DB tb
x y spesies ig cr_curv
d H bc U B T S
ht cr_deipth e cr_radius
Swietenia
3. 0. macrophyll 0.04 5. 1. 1. 1. 1. 1.5 1.44;1.45;1;73;
1 95 89 a 456 5 5 4 45 73 5 4 1.7 1.55
5. 4. Ficus 0.11 5. 2. 1. 3. 3.2 2.15;1.52;3.96;
2 25 95 benjamina 141 11 8 2 52 96 6 5.2 3 3.26
7. Ficus 0.17 11 3. 4. 3. 4.5 3.67;4.23;3.2;4.
3 9 3 benjamina 189 .5 7 7 23 2 2 4.5 6 52
Swietenia
9. 1. macrophyll 0.04 5. 1. 0. 0. 0. 0.5 0.73;0.95;0.67;
4 1 38 a 138 2 15 7 95 67 4 4.05 0.7 0.54
12 2. Tectona 0.05 2. 1. 0. 1. 0.8 1.09;0.66;1.49;
5 .6 88 grandis 73 7 5 1 66 49 3 4.5 5 0.83
14 6. Tamarindus 0.16 5. 1. 1. 4. 0.9 1.92;1.08;4.75;
6 .1 29 indica 711 14 5 9 08 75 8 8.5 5 0.98
16 1. Shorea 0.61 1 7. 9.
7 .3 72 leprosula 115 28 13 1 05 24 6 15 9 11;7.05;9.24;6
16
.6 5. Podocarpus 0.07 5. 3. 3. 1.8 5.54;3.33;3.22;
8 5 35 neriifolius 003 6 5 5 33 22 2 1 2 1.82
19 4. Podocarpus 0.11 7. 5. 1. 1. 1. 1.2 1.56;1.67;1.67;
9 .4 96 neriifolius 777 5 5 6 67 67 4 2 2.5 1.24
19 1. Podocarpus 0.06 2. 0. 0. 2. 0.6 0.85;0.78;2.27;
10 .5 91 neriifolius 366 7 5 9 78 27 5 4.5 5 0.65
19 2. Tectona 0.07 8. 1. 1. 2. 0.9 1.33;1.08;2;52;
11 .8 07 grandis 321 5 3 3 08 52 6 5.5 4.5 0.96
21 0. Tectona 0.10 3. 1. 1. 1. 1.3 1.61;1.4;1.96;1.
12 .8 98 grandis 027 11 5 6 4 96 3 7.5 7.5 33
22 4. Shorea 0.03 5. 1. 1. 1. 1.6 1.58;1.64;1.56;
13 .2 48 leprosula 501 5 2 6 64 56 1 3.5 4 1.61
24
.9 0. Shorea 0.03 1. 1. 1. 1. 1.1 1.34;1.72;1.26;
14 2 89 leprosula 183 6 65 3 72 26 7 4.35 2 1.17
25 2. Tamarindus 0.03 1. 0. 1. 1.2 1.29;0.74;1.5;1.
15 .2 66 indica 82 6 2 3 74 5 5 4 4.5 25
Swietenia
25 7. macrophyll 0.18 4. 4. 2.4 3.96;4.23;4.58;
16 .4 47 a 78 21 18 4 23 58 6 3 2 2.46
7. Ficus 0.05 1. 1. 1. 1.5 1.78;1.6;1.81;1.
17 28 09 benjamina 73 9 5 8 6 81 3 4 2 53
28
.1 1. Tamarindus 0.05 2. 3. 1. 2.8 2.21;3.11;1.38;
18 5 08 indica 252 9 7 2 11 38 6 2 1 2.86

Gambar 3.1 Diagram aplikasi Sexl-FS di hutan C

Gambar 3.2 Diagram aplikasi Sexl-FS di hutan C


Contoh Perhitungan :
 Perhitungan dbh = keliling pohon : π
 Pohon 1 Swietenia macrophylla = 14 cm : π = 14 : 3,14 = 0.04456 m
 Pohon 2 Ficus benjamina = 35 cm : π = 14 : 3,14 = 0.11141 m
 Pohon 5 Tectona grandis = 18 cm : π = 14 : 3,14 = 0.0573 m
 Perhitungan crown deipth = tinggi pohon – panjang batang bebas cabang
 Pohon 1 Swietenia macrophylla = 5,5 m -1,5 m = 4 m
 Pohon 2 Ficus benjamina = 11 m – 5,8 m = 5,2 m
 Pohon 5 Tectona grandis = 7 m – 2,5 m = 4,5 m
 Perhitungan crown curve = tinggi pohon – tinggi tajuk pohon yang terlebar(A)
 Pohon 1 Swietenia macrophylla = 5,5 m – 3,8 m = 1,7
 Pohon 2 Ficus benjamina = 11 m – 8 m = 3 m
 Pohon 5 Tectona grandis = 7 m – 2 m = 5 m
 Kemudian untuk crown radius merupakan panjang tajuk.
VI. PEMBAHASAN
Pada pratikum ini dilakukan pembuatan diagram profil sebagai deskripsi hutan
secara vertikal. Diagram profil adalah suatu metode untuk menggambarkan aspek
heterogenitas dari hutan yang dapat menggambarkan lebar dan bentuk kanopi serta
mengetahui keadaan hutan yang terdiri dari letak dan persebaran pohon di suatu
wilayah sehingga dapat diketahui ada tidaknya sistem zonasi (Muller-Domboid dan
Ellenberg 1974 dalam Habdiansyah dkk., 2015).
Fungsi diagram profil yaitu untuk menggambarkan stratifikasi dan profil vegetasi
untuk mengetahui tingkat pertumbuhan pohon dan tiang, diketahuinya stratifikasi di
suatu kawasan, dapat menggambarkan struktur vertikal tumbuhan dalam suatu
komunitas serta adanya pembuatan diagram profil ini dapat dilakukan untuk
pengukuran yang akurat dengan posisi, tinggi, lebar dan suatu kedalaman tajuk dari
semua sampel pohon yang diamati, lalu diketahuinya diagram profil dapat mengetahui
tingkat pengaruh antropogenik dalam suatu kawasan hutan ( Suci dkk.,2017).
Alasan penggunaan tinggi pohon diatas 5 m dan ukuran petak ukur 8 m x60 m
dalam pembuatan diagram profil hutan pada acara ini dikarenakan menurut Pears
(1985), hutan hujan tropis memiliki spesies yang cukup banyak dan beragam
sehingga untuk dapat menggambarkan struktur vegetasi yang kompleks dilakukan
survei awal dengan membuat diagram profil dengan ukuran petak ukur sebesar 8 m x
60 m yang biasa digunakan untuk petak ukur pengamatan dengan kondisi hutan hujan
tropis dan dengan sampel minimal tinggi pohon diatas 5 m karena dalam pratikum
acara 5 ini diasumsikan dilakukan pada hutan alam.
Kemudian pada latihan acara 5 dilakukan pengamatan struktur vertikal di hutan C
menghasilkan data berupa 18 pohon dengan posisi yang berbeda-beda dan memiliki
tinggi yang berbeda-beda. Pada pohon pertama dengan spesies Swietenia macrophylla
memiliki posisi pohon dengan koordinat x 3,95 m dan koordinat y 0,89 m dengan
tinggi pohon sebesar 5,5 m, dengan dbh sebesar 0.04456 m. Pohon kedua dengan
spesies Ficus benjamina memiliki posisi pohon dengan koordinat x 5,25 m dan
koordinat y 4,95 m dengan tinggi pohon sebesar 11 m, dengan dbh sebesar. 0.11141 m
pohon ketiga dengan spesies Ficus benjamina memiliki posisi pohon dengan
koordinat x 7,9 m dan koordinat y 3 m dengan tinggi pohon sebesar 11,5 m, dengan
dbh sebesar 0.17189 m. Pohon keempat dengan spesies Swietenia macrophylla
memiliki posisi pohon dengan koordinat x 9,1 m dan koordinat y 1,38 m dengan
tinggi pohon sebesar 5,2 m, dengan dbh sebesar 0.04138 m. Pohon kelima dengan
spesies Tectona grandis memiliki posisi pohon dengan koordinat x 12,6 m dan
koordinat y 2,88 m dengan tinggi pohon sebesar 7 m, dengan dbh sebesar 0.0573 m.
Pohon keenam dengan spesies Tamarindus indica memiliki posisi pohon dengan
koordinat x 14,1 m dan koordinat y 6,29 m dengan tinggi pohon sebesar 14 m, dengan
dbh sebesar 0.16711m. Pohon ketujuh dengan spesies Shorea leprosula memiliki
posisi pohon dengan koordinat x 16,3 m dan koordinat y 1,72 m dengan tinggi pohon
sebesar 28 m, dengan dbh sebesar 0.61115 m. Pohon kedelepan dengan spesies
Podocarpus neriifolius memiliki posisi pohon dengan koordinat x 16,65 m dan
koordinat y 5,35 m dengan tinggi pohon sebesar 6 m, dengan dbh sebesar 0.07003 m.
Pohon kesembilan dengan spesies Podocarpus neriifolius memiliki posisi pohon
dengan koordinat x 19,4 m dan koordinat y 4,96 m dengan tinggi pohon sebesar 7,5
m, dengan dbh sebesar 0.11777 m. Pohon kesepuluh dengan spesies Podocarpus
neriifolius memiliki posisi pohon dengan koordinat x 19,5 m dan koordinat y 1,91 m
dengan tinggi pohon sebesar 7 m, dengan dbh sebesar 0.06366 m. Pohon kesebelas
dengan spesies Tectona grandis memiliki posisi pohon dengan koordinat x 19,8 m dan
koordinat y 2,07 m dengan tinggi pohon sebesar 8,5 m dengan dbh sebesar 0.07321
m. Pohon keduabelas dengan spesies Tectona grandis memiliki posisi pohon dengan
koordinat x 21,8 m dan koordinat y 0,98 m dengan tinggi pohon sebesar 11 m dengan
dbh sebesar 0.10027 m. Pohon ketigabelas dengan spesies Shorea leprosula memiliki
posisi pohon dengan koordinat x 22,2 m dan koordinat y 4,48 m dengan tinggi pohon
sebesar 5,5 m dengan dbh sebesar 0.03501 m. Pohon keempatbelas dengan spesies
Shorea leprosula memiliki posisi pohon dengan koordinat x 24,92 m dan koordinat y
0,89 m dengan tinggi pohon sebesar 6 m dengan dbh sebesar 0.03183 m. Pohon
kelimabelas dengan spesies Tamarindus indica memiliki posisi pohon dengan
koordinat x 25,2 m dan koordinat y 2,66 m dengan tinggi pohon sebesar 6 m dengan
dbh sebesar 0.0382 m. Pohon keenambelas dengan spesies Swietenia macrophylla
memiliki posisi pohon dengan koordinat x 25,4 m dan koordinat y 7,47 m dengan
tinggi pohon sebesar 21 m dengan dbh sebesar 0.1878 m. Pohon ketujuhbelas dengan
spesies Ficus benjamina memiliki posisi pohon dengan koordinat x 28 m dan
koordinat y 7,09 m dengan tinggi pohon sebesar 9 m dengan dbh sebesar 0.0573 m.
Pohon kedelapanbelas dengan spesies Tamarindus indica memiliki posisi pohon
dengan koordinat x 28,15 m dan koordinat y 1,08 m dengan tinggi pohon sebesar 9 m
dengan dbh sebesar 0.05252 m.
Dari data tersebut dapat diklasifikasikan pohon menurut stratanya yaitu menurut
Soerinegara dan Indrawan 1998 dalam Purnama dkk (2019), lapisan statrum terbagi
menjadi 4 bagian yaitu dengan bagian strata lapisan A memiliki tinggi pohon lebih
dari 30 meter, kemudian strata lapisan B mempunyai tinggi pohon antara 20 sampai
30 meter, lalu strata lapisan C memiliki tinggi pohon diantara 4 sampai 20 meter,
selanjutnya pada strata lapisan D memiliki tinggi pohon antara 1 sampai 4 meter.
Maka dari itu pohon pertama dengan spesies Swietenia macrophylla dengan
tinggi 5,5 m termasuk dalam tingkatan strata lapisan C, pohon kedua dengan spesies
Ficus benjamina mempunyai tinggi sebesar 11 m termasuk dalam lapisan strata C,
pohon ketiga dengan spesies Ficus benjamina memiliki tinggi 11,5 termasuk dalam
lapisan strata C, pohon keempat dengan spesies Swietenia macrophylla dengan tinggi
5,2 meter termasuk dalam lapisan strata C, pohon kelima dengan spesies Tectona
grandis dengan tinggi sebesar 7 meter termasuk dalam lapisan strata C, pohon
keenam dengan spesies Tamarindus indica dengan tinggi sebesar 14 meter termasuk
dalam lapisan strata C, pohon ketujuh dengan spesies Shorea leprosula memiliki
tinggi sebesar 28 meter termasuk dalam lapisan strata B, pohon kedelepan dengan
spesies Podocarpus neriifolius tinggi sebesar 6 meter yang termasuk dalam lapisan
strata C, pohon kesembilan dengan spesies Podocarpus neriifolius memiliki tinggi
pohon sebesar 7,5 meter, pohon kesepuluh dengan spesies Podocarpus neriifolius
tinggi pohon sebesar 7 meter yang termasuk dalam lapisan strata C, pohon kesebelas
dengan spesies Tectona grandis memiliki tinggi sebesar 8,5 meter yang termasuk
dalam lapisan strata C, pohon keduabelas dengan spesies Tectona grandis dengan
tinggi sebesar 11 meter yang termasuk dalam lapisan strata C, pohon ketigabelas
dengan spesies Shorea leprosula dengan tinggi sebesar 5,5 meter termasuk dalam
lapisan strata C, pohon keempatbelas dengan spesies Shorea leprosula dengan tinggi
6 meter termasuk dalam lapisan strata C, pohon kelimabelas dengan spesies
Tamarindus indica dengan tinggi pohon sebesar 6 meter yang termasuk dalam lapisan
strata C, pohon keenambelas dengan spesies Swietenia macrophylla dengan tinggi 21
meter yang termasuk dalam lapisan strata B, . pohon ketujuhbelas dengan spesies
Ficus benjamina dengan tinggi pohon sebesar 9 meter yang termasuk dalam lapisan
strata C dan pohon kedelapanbelas dengan spesies Tamarindus indica dengan tinggi
sebesar 9 meter yang termasuk dalam lapisan strata C.
Maka dari itu pada komunitas hutan C memiliki pohon dengan lapisan strata C
dan lapisan strata B. Kemudian dengan diketahui strata pohon dengan menggunakan
diagram pohon ini sesuai dengan fungsi dari diagram profil pohon yaitu menurut
Sosilawaty (2020) bahwa diagram profil yaitu menggambarkan struktur vegetasi
berupa stratifikasi secara vertikal dengan melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan,
semai serta herba penyusun vegetasi.
Selanjutnya diagram profil dalam suatu kawasan dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu seperti stratifikasi tumbuhan dalam suatu kawasan, kemudian stratifikasi
tersebut dipengaruhi oleh adanya persaingan antara setiap individu spesies yang sama
ataupun berbeda untuk mendapatkan unsur hara, air cahaya serta ruang tumbuh,
namun jika dalam pengukuran dipengaruhi ketelitian dan juga kondisi lapangan
menjadi faktor yang mempengaruhi hasil (Ewusies 1990 dalam Angrianto dkk.,
2019).
Dalam penggambaran ataupun visualisasi diagram profil hutan C menggunakan 2
metode yaitu metode manual dengan menggunakan kertas milimeter blok dan metode
dengan aplikasi Sexl-FS versi 2.1.0. Menurut Zulkarnain dkk (2019) Visualisasi suatu
struktur vegetasi dapat dilakukan dengan suatu software yaitu Spacially Explicit
Individual-based Forest Simulator (SexI-FS) versi 2.1.0 ialah software yang
digunakan sebagai alat untuk menggambarkan diagram profil, kelebihan dari
penggunaan aplikasi untuk penggambaran diagram profil hutan yaitu lebih terfokus
pada interaksi antar pohon dalam suatu kawasan hutan yang bisa digambarkan dengan
secara visual yang sesuai dengan kondisi di lapangan dan terstruktur yaitu seperti
sebaran dan stratifikasi komunitas vegetasi dalam komunitas, namun memiliki
kekurangan yaitu tidak bisa menggambarkan kondisi pohon yang miring serta perlu
waktu dalam hal pengolahan data.
Kemudian penggambaran diagram profil dengan metode manual yaitu dengan
menggunakan kertas milimeter blok, menurut Hendrawan dkk (2019), penggambaran
diagram profil digambarkan pada kertas milimeter blok dengan skala tertentu
kemudian dalam gambar ditembahkan keterangan, berupa judul penelitian, skala serta
legenda yang terdiri dari kode jenis tumbuhan serta lokasi pengamatan, dengan
metode manual ini dapat dilakukan secara langsung di lapangan, karena setelah
dilakukan penggambaran mengenai vegetasi pada lokasi pengamatan seperti nama
jenis, jumlah, tinggi pohon, tipe strata serta bentuk kanopi, dapat langsung
menggambarkan diagram profil hutan tanpa perlu pengolahan data dan dapat
menggambarkan bentuk pohon dengan kondisi miring, namun dengan metode manul
ini sering kurang akurat dalam penggambaran diagram profil karena disesuaikan
dengan kemampuan peneliti dalam menggambar.
Menurut Davis dan Richard 1933 dalam Suci dkk (2017), bahwa dalam
pengamatan stratifikasi hutan memiliki berbagai kesulitan dalam penggambaranya
namun dapat diatasi yaitu apabila dalam penggambaran diagram profil mengalami
kesulitan dalam hal penggambaran seperti kondisi pohon yang miring dapat
digambaran dengan cara manual, dan untuk kendala dalam penggambaran diagram
profil secara manual seperti penggambaran tidak sesuai atau kurang representatis
dengan kondisi lapangan bisa menggunakan aplikasi Sexl-FS.
VII. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan dari pratikum yang telah dilakukan bahwa pembuatan diagram
profil hutan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode manual dengan
menggunakan kertas milimeter blok dan dengan metode menggunakan aplikasi Sexl-
FS. Kemudian di lapangan untuk melakukan pengamatan dibuat petak ukur dengan
ukuran 8m x 60 m, petak ukur dari representatif petak ukur hutan hujan tropis dan
juga pada pratikum ini digunakan sampel dengan minimal tinggi pohon 5 meter
karena dalam pratikum ini diasumsikan dilakukan di hutan alam.
Diagram profil berfungsi sebagai gambaran stratatifikasi dan sturktur vegetasi
pohon di suatu komunitas. Dari data yang didapatkan terdapat18 pohon dan memiliki
strata yang rata rata yaitu pada strata C dan B. Yang memiliki strata pada tingkat B
yaitu pada pohon ketujuh dengan spesies Shorea leprosula dan pohon keenambelas
dengan spesies Swietenia macrophylla sedangkan 16 pohon lainya termasuk dalam
lapisan strata C.
Selanjutnya diagram profil dalam suatu kawasan dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu stratifikasi tumbuhan yang dipengaruhi oleh adanya persaingan
antara setiap individu spesies yang sama ataupun berbeda untuk mendapatkan unsur
hara, air cahaya serta ruang tumbuh, namun jika dalam pengukuran diperlukan
ketelitian dan juga kondisi lapangan menjadi faktor yang mempengaruhi hasil.
Kemudian dari kedua metode dalam hal penggambaran memiliki kekurangan dan
kelebihan apabila kondisi pohon yang miring dapat digambaran dengan cara manual
yang termasuk kelebihan dari metode manual namun metode manual memiliki
kekurangan kurang representatif dan kurang akurat, kemudian kelebihan
menggunakan aplikasi Sexl-FS hasil gambar lebih representatif sesuai dengan kondisi
di lapangan namun tidak bisa menggambarkan pohon yang miring dalam aplikasi ini.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Angrianto, R., Zainal, Z., & Siburian, R. H. (2019). Biogeografi Flindersia
pimentelliana F. v. Muell. PADA KAWASAN HUTAN BEMBAB
KABUPATEN MANOKWARI SELATAN. Jurnal Hutan Tropis, 7(1), 85-91.
Ewusie, J.Y. (1980). Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: ITB Press
Ginting, Y. R. S., Zaitunah, A., & Utomo, B. (2015). Analisis Tingkat Kerusakan
Hutan Mangrove Berdasarkan NDVI dan Kriteria Baku di Kawasan Hutan
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Peronema Forestry
Science Journal, 4(1), 175-183.
Habdiansyah, P., Lovadi, I., & Linda, R. (2015). Profil Vegetasi Mangrove Desa
Sebubus Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. Jurnal Protobiont, 4(2).9-
17.
HENDRAWAN, R., SUMIYATI, D., NASRUDIN, A., NASUTION, S. G., &
MILLAH, R. 2019. Karakteristik habitat lutung (Trachypithecus auratus É.
Geoffroy, 1812) pada vegetasi hutan dataran rendah Blok Cipalawah, Cagar
Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pros Sem Nas
Masy Biodiv Indon. Vol 5(2): 399-405.
Indriyanto. (2008). Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.
Pears, N.V. 1985. Basic Biogeography. University of Leiscester. Longman Group
Limited
Purnama, A., Wasis, B., & Hilwan, I. (2019). KARAKTERISTIK VEGETASI DI
HUTAN ALAM DATARAN RENDAH, HUTAN TANAMAN, DAN
LAHAN PASCA TAMBANG NIKEL DI KABUPATEN
BOMBANA. Jurnal Silvikultur Tropika, 10(03).
Setyawan, A. D., Alm, K. W., Indrowuryatno, I., Wiryanto, W., & Susilowati, A.
(2008). Mangrove plants in coastal area of Central Java: 3. Horizontal and
vertical diagram of vegetation profile. Biodiversitas Journal of Biological
Diversity, 9(4).
Sirait, I. N. (2013). Karakteristik komposisi dan stratifikasi vegetasi strata pohon
komunitas riparian di kawasan hutan wisata Rimbo Tujuh Danau
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. BIOGENESIS (JURNAL PENDIDIKAN
SAINS DAN BIOLOGI), 9(2), 39-46.
Soemarwoto, Otto. (2004). Buku Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan.
Jakarta: Djambatan.
Sosilawaty. 2020. Struktur dan Komposisi Tegakan Tinggal di Kelompok Hutan
Sungai Kuayan dan Mentaya Kalimantan Tengah. Jakarta. An I mage
Team.
Suci, S., Dahlan, Z., & Yustian, I. (2019). Profil Vegetasi di Kawasan Hutan
Konservasi Suaka Margasatwa Gunung Raya Kecamatan Warkuk
Kabupaten Oku Selatan. Jurnal Penelitian Sains. Vol 19(1). Hal 47-53.
Wahyu, E., Sribudiani, E., & Arlita, T. 2014. Inventarisasi Permudaan Meranti
(Shorea spp.) Pada Arboretum Kawasan Universitas Riau Kota Pekanbaru
Provinsi Riau. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Riau, 1(1), 1-14.
Zulkarnain, Z., & Razak, A. (2015). Analisis Vegetasi Dan Visualisasi Profil
Vegetasi Hutan Di Ekosistem Hutan Tahura Nipa-Nipa Di Kelurahan
Mangga Dua Kota Kendari. Jurnal Ecogreen, 1(1), 43-54.

LAMPIRAN
1. Biogeografi Flindersia pimentelliana F. v. Muell. PADA KAWASAN HUTAN
BEMBAB KABUPATEN MANOKWARI SELATAN.
2. Pengantar Ekologi Tropika

3. Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Berdasarkan NDVI dan Kriteria


Baku di Kawasan Hutan Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
4. Profil Vegetasi Mangrove Desa Sebubus Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas

5. Karakteristik habitat lutung (Trachypithecus auratus É. Geoffroy, 1812) pada


vegetasi hutan dataran rendah Blok Cipalawah, Cagar Alam Leuweung
Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
6. Ekologi Hutan
7. Basic Biogeography.

8. Karakteristik Vegetasi Di Hutan Alam Dataran Rendah, Hutan Tanaman, Dan


Lahan Pasca Tambang Nikel Di Kabupaten Bombana
9. Mangrove plants in coastal area of Central Java: 3. Horizontal and vertical
diagram of vegetation profile

10. Karakteristik komposisi dan stratifikasi vegetasi strata pohon komunitas


riparian di kawasan hutan wisata Rimbo Tujuh Danau Kabupaten Kampar
Provinsi Riau
11. Buku Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan

12. Struktur dan Komposisi Tegakan Tinggal di Kelompok Hutan Sungai Kuayan
dan Mentaya Kalimantan Tengah.
13. Profil Vegetasi di Kawasan Hutan Konservasi Suaka Margasatwa Gunung
Raya Kecamatan Warkuk Kabupaten Oku Selatan. Jurnal Penelitian Sains. Vol
19(1). Hal 47-53.
14. Inventarisasi Permudaan Meranti (Shorea spp.) Pada Arboretum Kawasan
Universitas Riau Kota Pekanbaru Provinsi Riau

15. Analisis Vegetasi Dan Visualisasi Profil Vegetasi Hutan Di Ekosistem Hutan
Tahura Nipa-Nipa Di Kelurahan Mangga Dua Kota Kendari

Anda mungkin juga menyukai