EKOLOGI HUTAN
LATIHAN II
ANALISIS VEGETASI METODE KUADRAT
Oleh :
NIM : 19/442295/KT/08993
Kelompok : 12
I. TUJUAN
Pratikum ini bertujuan untuk mengetahui struktur kuantitatif komunitas pohon
berdasarkan spesies penyusun dan INP-nya dengan metode kuadrat.
Tabel 2.2 Hasil analisis dominansi komunitas pohon di hutan kerangas Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan
Luas Bidang Dasar (cm^2)
NO. Luas
D. A.min
Kua Kuadr Total
A.born A.ma V.pub becca utiflor L.spe M.caj S.tetra
drat at
eensis ngium escens ri a ciosa uputi pterum
1597,5
1 100 574,9 573,0 449,6 0 0 0 0 0 177
2687,7
2 100 240,7 286,5 0 622,7 576,9 258,6 702,3 0 291
1313,0
3 100 0 286,5 368,0 161,1 0 0 336,2 161,1 283
1957,6
4 100 0 576,9 0 198,9 0 734,1 447,6 0 058
JM 1722, 1486, 7555,8
L 400 815,7 9 817,7 982,8 576,9 992,7 1 161,1 809
DOMINANS 20391, 43071 20441 24569 14423, 24818 37152 4028,6 18889
I 7271 ,3065 ,4630 ,5443 4167 ,2239 ,7320 095 7,0231
10,795 22,80 10,82 13,00 13,13 19,66
DR 2 15 15 68 7,6356 85 82 2,1327 100
Tabel 2.3 Hasil analisis frekuensi komunitas pohon di hutan kerangas Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan
Frekuensi
NO
Kuadr
Luas S.tetr Total
Kuadrat A.born A.man V.pube D.be A.minu L.spe M.caj apter
at
eensis gium scens ccari tiflora ciosa uputi um
1 100 1 1 1 0 0 0 0 0 3
2 100 1 1 0 1 1 1 1 0 6
3 100 0 1 1 1 0 0 1 1 5
4 100 0 1 0 1 0 1 1 0 4
JML 400 2 4 2 3 1 2 3 1 18
FREKUENSI 0,50 1,00 0,50 0,75 0,25 0,50 0,75 0,25 4,50
16,6
FR 11,11 22,22 11,11 7 5,56 11,11 16,67 5,56 100
Contoh Perhitungan :
Luas bidang dasar = (keliling pohon )2 : 4π
Luas bidang dasar Agathis borneensis = (85)2 cm : 4(3,14) = 574,9 cm2
Luas bidang dasar Acacia mangium = (60)2 cm : 4(3,14) = 286,5 cm2
Luas bidang dasar Vitex pubescens = (45)2 cm : 4(3,14) = 161,1 cm2
Dominansi Spesies = Jumlah luas bidang dasar spesies : Jumlah luas kuadrat (ha)
Dominansi Agathis borneensis = 815,7 cm 2: (400 m 2 x 10.000) = 20391.7271 cm2/ha
Dominansi Acacia mangium = 1722,9 cm 2: (400 m 2 x 10.000) = 43071,3065 cm2/ha
Dominansi Vitex pubescens = 817,7 cm 2: (400 m 2 x 10.000) = 20441,4630cm2/ha
Jumlah Dominansi spesies = 188897,0231 cm2/ha.
Dominansi Relatif = Dominansi species : Jumlah dominansi spesies x 100
Dominansi Relatif Agathis borneensis = 20391,7271 cm2/ha : 188897,0231 cm2/ha x 100
= 10,7952 cm2/ha
Dominansi Relatif Acacia mangium = 43071,3065 cm2/ha : 188897,0231 cm2/ha x 100
= 22,8015cm2/ha
Dominansi Relatif Vitex pubescens = 20441,4630 cm2/ha : 188897,0231 cm2/ha x 100
= 10,8215 cm2/ha
Indeks Nilai Penting (INP) = Kerapatan Relatif + Dominansi Relatif + Frekuensi Relatif
Indeks Nilai Penting Agathis borneensis = 7,1429 + 10.7952 + 11,11 = 29,0491
Indeks Nilai Penting Acacia mangium = 21,4286 + 22,8015 + 22,2222 = 66,4523
Indeks Nilai Penting Vitex pubescens = 17,8571 + 20441,4630 + 10,8215 = 39,7897
VI. PEMBAHASAN
Dalam latihan acara 2 ini, akan melakukan kegiatan analisis data dengan metode
kuadrat. Metode kuadrat dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap
petak contoh dengan luasannya diukur dalam satuan kuadrat. Dengan bentuk petak
contoh yang beragam bisa persegi empat, persegi panjang ataupun lingkaran, bentuk
petak contoh dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan (Wahyudi dkk.,2008).
Kemudian metode kuadrat memiliki kelebihan yaitu metode kuadrat lebih detail
dan teliti dalam analisis vegetasi di suatu komunitas sehingga dalam pengolahan data
dan pengukuran data di lapangan harus dilakukan sangat teliti agar tidak terjadi
kesalahan dalam perhitungan, namun metode kuadrat memiliki kekurangan yaitu
dalam pelaksanaanya di lapangan membutuhkan waktu yang cukup lama dimana
harus membuat petak ukur dengan luas petak ukur tertentu, dibandingkan dengan
metode garis yang cukup efisien waktu dalam pelaksanaanya (Wahyudi dkk.,2008).
Lalu pada pratikum ini digunakan petak contoh dengan ukuran 10 m x 10 m,
dengan bentuk persegi dan dibuat sebanyak empat petak contoh ataupun empat
kuadrat. Pada pratikum ini dilakukan pencatatan nama spesies tiap pohon dengan
diameter ≥10 cm dan pengukuran keliling pohon yang dilakukan di lapangan secara
langsung pada setiap kuadrat. Kemudian menghasilkan data berupa jenis kumulatif
spesies sebesar 8 spesies. Dengan kuadrat satu terdapat enam pohon dengan 3 spesies
yang berbeda yaitu spesies Agathis borneesis dengan keliling pohon sebesar 85 cm
dan luas bidang dasar sebesar 574,9 cm2, lalu terdapat 2 pohon dengan jenis Acacia
mangium dengan keliling yang sama yaitu 60 cm dan luas bidang dasar yang sama
yaitu 286,5 cm2, lalu tiga pohon dengan spesies yang sama yaitu Vitex pubecens
dengan keliling pohon sebesar 45 cm, 40 cm dan 45 cm serta luas bidang dasar
sebesar 161,1 cm2, 127,3 cm2 dan 161,1 cm2.
Selanjutnya pada kuadrat dua ditemukan spesies Dacrydium beccari yang
terdapat dua pohon dengan keliling pohon sebesar 60 cm dan 65 cm serta luas bidang
dasar sebesar 286,5 cm2 dan 336,2 cm2, lalu spesies Adina minutiflora yang terdapat
dua pohon dengan keliling sebesar 65 cm dan 55 cm dengan luas bidang dasar sebesar
336,2 cm2 dan 240,7 cm2, spesies Lagerstromia speciosa dengan jumlah pohon
sebesar dua pohon dengan keliling pohon 35 cm dan 45 cm, serta luas bidang dasar
97,5 cm2 dan 161,1 cm2, spesies Melaleuca cajuputi terdapat dua pohon dengan
keliling sebesar 40 cm dan 85 cm dengan luas bidang dasar sebesar 127,3 cm2 dan
574,9 cm2, spesies Agathis borneesis dengan keliling pohon sebesar 55 cm dan luas
bidang dasar sebesar 240,7 cm dan spesies Acacia mangium dengan keliling pohon
sebesar 55 cm dengan luas bidang dasar sebesar 286,5 cm2.
Kemudian pada kuadrat tiga ditemukan 6 pohon yaitu terdiri dari spesies
Syzigium tetrapterum dengan keliling pohon sebesar 45 cm dan luas bidang dasar
161,1 cm2, lalu spesies Acacia mangium dengan keliling pohon sebesar 60 cm dan
luas bidang dasar 286,5 cm2, dan spesies Melaleuca cajuputi dengan keliling pohon
sebesar 65 cm dan luas bidang dasar 336,2 cm 2, lalu spesies Vitex pubecens terdapat
dua pohon dengan keliling pohon sebesar 55 cm dan 40 cm, serta luas bidang dasar
sebesar 240,7 cm2 dan 127,3 cm2, dan spesies Dacrydium beccari dengan keliling
pohon sebesar 45 cm dan luas bidang dasar sebesar 161,1 cm2. Selanjutnya pada
kuadrat 3 terdapat 6 pohon juga dengan spesies Acacia mangium terdapat 2 pohon
dengan keliling pohon sebsar 55 cm dan 65 cm serta luas bidang dasar sebesar 240,7
cm2 dan 336,2 cm2, lalu spesies Melaleuca cajuputi dengan keliling pohon sebesar 75
cm dan luas bidang dasar 447,6 cm2, dan spesies Dacrydium beccari dengan keliling
pohon sebesar 50 cm dan luas bidang dasar 198,9 cm 2 dan spesies Lagerstromia
speciosa terdapat dua pohon dengan keliling sebesar 60 cm dan 75 cm serta luas
bidang dasar 286,5 cm2 serta 447,6 cm2.
Kemudian setelah data luas bidang dasar dan jumlah spesies dikumpulkam dapat
dilakukan analisis vegetasi dengan dihitung nilai frekuensi spesies, kerapatan spesies,
dominansi spesies dan indeks nilai penting. Lalu Indeks Nilai Penting (INP) pada
tingkat pohon dan tiang dapat diketahui dengan penjumlahan antara Kerapatan Relatif
(KR), Dominansi Relatif (DR) dan Frekuensi Relatif, diketahuinya nilai INP dapat
mengetahui kondisi vegetasi di suatu ekosistem (Anggana dkk.,2019).
Dari data yang telah didapat, menghasilkan bahwa dari keempat kuadrat tersebut
terdapat delapan species yang tinggal yaitu spesies Agathis borneesis , Acacia
mangium, Vitex pubecens, Dacrydium beccari, Adina minutiflora, Lagerstromia
speciosa, Melaleuca cajuputi dan Syzigium tetrapterum.
Dari pengolahan data yang dilakukan menghasilkan kerapatan dari delapan
spesies dalam empat kuadrat atau setara dengan empat hektar, nilai kerapatan tersebut
terdiri dari nilai kerapatan spesies Agathis borneesis sebesar 50 individu/ha dengan
kerapatan relatif sebesar 7,1429, kerapatan spesies Acacia mangium sebesar 150
individu/ha dan kerapatan relatif sebesar 21,4286, kerapatan spesies Vitex pubecens
sebesar 125 individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 17,8571 , kerapatan spesies
Dacrydium beccari sebesar 100 individu/ha dan kerapatan relatif sebesar 14,2857,
kerapatan spesies Adina minutiflora sebesar 50 individu/ha dengan kerapatan relatif
sebesar 7,1429, kerapatan spesies Lagerstromia speciosa sebesar 100 individu/ha dan
kerapatan relatif sebesar 14,2857, kerapatan spesies Melaleuca cajuputi sebesar 100
individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 14,2857 dan kerapatan spesies Syzigium
tetrapterum sebesar 25 individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 3,5714
Selanjutnya jumlah kerapatan dari delapan spesies sebesar 700 individu/ha. Dari data
yang didapat kerapatan menunjukan jumlah individu, maka dapat digambarkan bahwa
individu yang berjumlah banyak yaitu species Acacia mangium dan jumlah individu
yang paling sedikit yaitu spesies Syzigium tetrapterum.
Menurut Aiyda dan Lagiono (2015) kerapatan memiliki nilai yang dapat
menggambarkan apakah spesies tersebut memiliki pola penyesuaian yang besar di
dalam komunitas, karena apabila nilai kerapatan tinggi pada suatu spesies, maka
spesies tersebut memiliki pola penyesuaian yang besar dalam lingkungan. Maka dari
itu dari delapan spesies tersebut memiliki nilai kerapatan yang berbeda-beda. Hal ini
membuktikan bahwa dalam sampel yang telah diambil dengan nilai kerapatan spesies
yang tinggi dari species Acacia mangium dengan nilai sebesar 150 individu/ha ini
mengartikan bahwa spesies Acccia mangium memiliki pola penyesuaian yang besar.
Setelah nilai kerapatan diperoleh, dari hasil data perhitungan menunjukan data
dominansi dari delapan spesies tersebut, yaitu untuk spesies Agathis borneesis sebesar
20391,727 dengan dominansi relatif sebesar 10,7952, dominansi spesies Acacia
mangium sebesar 43071,3065 dan dominansi relatif sebesar 22,8015, dominansi
spesies Vitex pubecens sebesar 20441,4630 dengan dominansi relatif sebesar 10,8215,
dominansi spesies Dacrydium beccari sebesar 24569,5443 dan dominansi relatif
sebesar 13,0068, dominansi spesies Adina minutiflora sebesar 14423,4167 dengan
dominansi relatif sebesar 7.6356, dominansi spesies Lagerstromia speciosa sebesar
24818,2239 dan dominansi relatif sebesar 13,1385, dominansi spesies Melaleuca
cajuputi sebesar 37152,7320, dengan dominansi relatif sebesar 19,6682 dan
dominansi spesies Syzigium tetrapterum sebesar 4028,6095 dengan dominansi relatif
sebesar 2,1327. Selanjutnya jumlah dominansi dari delapan spesies sebesar
188897.0231. Dari data yang didapat, dominansi menunjukkan ukuran individu, maka
ukuran individu yang paling luas yaitu species Acacia mangium dan ukuran individu
yang paling kecil yaitu spesies Syzigium tetrapterum.
Menurut Oktaviani dan Yanuwiadi (2016) dominansi spesies menggambarkan
tentang suatu keberadaan dan penguasaan suatu spesies dalam ekosistem. Maka dari
itu spesies Acacia mangium dengan dominansi sebesar 43071,3065 merupakan
dominansi yang paling besar maka spesies Acacia mangium memiliki tingkat
keberadaan dan penguasaan dalam komunitas tersebut.
Nilai dominansi setiap spescies berbeda beda dikarenakan ada faktor yang
mempengaruhi yaitu beberapa spesies tersebut memiliki cara adaptasi yang berbeda
beda dan juga dipengaruhi oleh struktur morfologi dari spesies tersebut. Maka dari itu
apabila suatu spesies memiliki nilai dominansi tinggi artinya spesies tersebut
memiliki cara adaptasi yang baik terhadap lingkungan (Santoso dkk.,2017).
Lalu untuk hasil frekuensi pada spesies Agathis borneesis sebesar 0,50 dengan
frekuensi relatif sebesar 11,11, dan frekuensi spesies Acacia mangium sebesar 1,00
dan frekuensi relatif sebesar 22,22, frekuensi spesies Vitex pubecens sebesar 0,50
dengan frekuensi relatif sebesar 11,11, frekuensi spesies Dacrydium beccari sebesar
0,75 dan frekuensi relatif sebesar 16,67, frekuensi spesies Adina minutiflora sebesar
0,25 dengan frekuensi relatif sebesar 5,56 , frekuensi spesies Lagerstromia speciosa
sebesar 0,50 dan frekuensi relatif sebesar 11,11, frekuensi spesies Melaleuca cajuputi
sebesar 0,75, dengan frekuensi relatif sebesar 16,67 dan frekuensi spesies Syzigium
tetrapterum sebesar 0,25 dengan frekuensi relatif sebesar 5,56. Selanjutnya jumlah
frekuensi delapan spesies sebesar 4,50. Dari data tersebut, nilai frekuensi dapat
menunjukkan distribusi spesies, maka dapat dinyatakan bahwa distribusi individu
yang paling tinggi yaitu species Acacia mangium dan distribusi individu yang paling
kecil yaitu spesies Syzigium tetrapterum dan spesies Adina minutiflora.
Menurut Pertiwi dkk (2016) Frekuensi pada suatu spesies menggambarkan
keterpadatan suatu spesies dalam kuadrat yang ditentukan dalam sebuah komunitas
tertentu. Kemudian frekuensi didapatkan dari mencatat adanya keberadaan species
dalam kuadrat bukan jumlah individu dari spesies.
Lalu adanya perbedaan nilai frekuensi disebabkan karena persebaran antar spesies
yang berbeda-beda. Apabila suatu spesies memiliki nilai frekuensi tinggi, maka
menggambarkan spesies tersebut memiliki penyebaran yang merata dan sering
ditemui dalam komunitas tersebut, kemudian apabila nilai frekuensi suatu jenis
rendah maka persebaran spesies tersebut tidak merata ataupun spesies tersebut sering
dijumpai berkelompok. Hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi nilai frekuensi
suatu spesies yaitu pola penyebaran, apabila pola penyebaran spesies acak maka nilai
frekuensi akan tinggi namun jika pola penyebaran spesies secara mengelompok maka
nilai frekuensi spesies tersebut rendah (Ndede dkk., 2017).
Artinya species Acacia mangium memiliki pola penyebaran yang merata dalam
komunitas karena memiliki nilai frekuensi tertinggi daripada spesies lainya yaitu
sebesar 0,5, sedangkan spesies Syzigium tetrapterum dan spesies Adina minutiflora
memiliki nilai frekuensi yang rendah yaitu sebesar 0,25 yang menunjukan bahwa pola
penyebaran dari dua spesies tersebut tidak merata dalam komunitas.
Kemudian setelah data kerapatan spesies, kerapatan relatif, dominansi spesies,
dominansi relatif, frekuensi spesies dan frekuensi relatif diketahui, maka bisa
mengetahui nilai INP (Indeks Nilai Penting), karena nilai INP merupakan
penjumlahan dari kerapatan relatif, dominansi relatif dan frekuensi relatif. Kemudian
dari data, dapat dihasilkan INP dari spesies Agathis borneesis sebesar 29,0491 dan
spesies Acacia mangium sebesar 66.4523, lalu spesies Vitex pubecens memiliki nilai
INP sebesar 39,7897 dan nilai INP spesies Dacrydium beccari sebesar 43,9592 dan
spesies Adina minutiflora sebesar 20,3340, lalu nilai INP dari spesies Lagerstromia
speciosa sebesar 38,5353 dan spesies Melaleuca cajuputi sebesar 50,6206, kemudian
nilai INP dari spesies Syzigium tetrapterum sebesar 11,2597.
Indeks Nilai Penting pada setiap spesies memiliki nilai yang berbeda-beda. Hal
ini menggambarkan bahwa apabila suatu spesises memiliki nilai INP tinggi, artinya
spesies tersebut lebih berkuasa ataupun berpengaruh besar dibanding dengan spesies
yang lainya.
Maka dari data yang ada spesies Acacia mangium memiliki nilai INP yang tinggi
dan menempati rangking satu dalam komunitas tersebut yaitu sebesar 66,4523 yang
artinya spesies Acacia mangium memiliki peran yang penting ataupun lebih berkuasa
daripada spesies yang lain, kemudian rangking dua ditempati oleh spesies Melaleuca
cajuputi , selanjutnya spesies Dacrydium beccari di rangking 3 dan spesies Vitex
pubecens di rangking ke empat, rangking lima ditempati oleh spesies Lagerstromia
speciosa dan pada urutan terakhir dengan nilai INP paling rendah dari spesies
Syzigium tetrapterum sebesar 11,2597.
Adanya tingkatan dalam Indeks Nilai Penting dipengaruhi oleh kerapatan relatif,
dominansi relatif dan frekuensi relatif. Kemudian biasanya spesies dengan nilai INP
tinggi memiliki jumlah yang dominan seperti data dalam pratikum ini pada spesies
Acacia mangium memiliki kerapatan yang tertinggi, namun hal ini tidak bersifat
mutlak karena disamping jumlah individu spesies yang banyak, luas bidang dasar
suatu individu spesies dapat mempengaruhi nilai INP walaupun kerapatan atau jumlah
individu lebih sedikit seperti pada data spesies Lagerstromia speciosa memiliki
kerapatan yang lebih besar dari species Vitex pubecens , tetapi nilai INP lebih besar
Vitex pubecens dikarenakan spesies Vitex pubecens memiliki nilai dominansi yang
lebih besar apabila dibandingkan dengan spesies Lagerstromia speciosa.
Lalu spesies Dacrydium beccari memiliki kerapatan yang lebih kecil daripada
spesies Lagerstromia speciosa, namun spesies Dacrydium beccari memiliki nilai INP
yang lebih besar daripada spesies Lagerstromia speciosa hal tersebut terjadi karena
nilai frekuensi dari spesies Dacrydium beccari lebih besar daripada spesies
Lagerstromia speciosa. Hal ini menunjukan bahwa nilai INP (Indeks Nilai Penting)
dipengaruhi oleh nilai kerapatan spesies, dominansi spesies dan frekuensi spesies
(Naharuddin, 2017).
Kemudian juga dapat diketahui dari pembahasan di atas dimana nilai INP
dipengaruhi tiga komponen yaitu kerapatan, dominansi dan frekuensi. Kemudian
ketiga komponen tersebut memiliki faktor yang mempengaruhi seperti pola
penyesuaian atau adaptasi spesies, pola persebaran spesies dan struktur morfologi
serta saat pengambilan data faktor ketelitian sangat mempengaruhi hasil akhir nilai
INP.
VII. KESIMPULAN
Dari pratikum yang telah dilakukan di hutan kerangas, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan dapat disimpulkan bahwa struktur kuantitatif komunitas suatu
pohon dapat dicari dengan metode kuadrat yaitu menggunakan petak ukur dalam
pelaksanaanya. Metode kuadrat dalam pratikum ini dilakukan dengan cara membuat
petak ukur berukuran 10 m x10 m dengan jumlah kuadrat sebanyak empat. Kemudian
dari keempat petak ukur tersebut dapat diketahui bahwa terdapat delapan spesies yang
tinggal dalam komunitas tersebut yaitu spesies Agathis borneesis , Acacia mangium,
Vitex pubecens, Dacrydium beccari, Adina minutiflora, Lagerstromia speciosa,
Melaleuca cajuputi dan Syzigium tetrapterum. Kemudian kedelapan spesies tersebut
memiliki nilai INP, untuk spesies Agathis borneesis sebesar 29,0491 dan spesies
Acacia mangium sebesar 66,4523, lalu spesies Vitex pubecens memiliki nilai INP
sebesar 39,7897 dan nilai INP spesies Dacrydium beccari sebesar 43,9592 dan
spesies Adina minutiflora sebesar 20,3340, lalu nilai INP dari spesies Lagerstromia
speciosa sebesar 38,5353 dan spesies Melaleuca cajuputi sebesar 50,6206, kemudian
nilai INP dari spesies Syzigium tetrapterum sebesar 11,2597. Dari nilai INP dapat
disimpulkan bahwa dari kedelapan spesies tersebut, spesies yang memiliki pengaruh
besar dalam komunitas pohon di hutan kerangas, Kabupaten Banjar, Kalimantan
Selatan yaitu spesies Acacia mangium, karena memiliki nilai INP yang paling tinggi,
lalu spesies Syzigium tetrapterum memiliki nilai INP yang paling rendah, sehingga
tidak memiliki pengaruh yang besar dalam komunitas. Nilai INP
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Aiyda, N. & Lagiono. 2015. Kerapatan dan pola distribusi pohon kelapa hijau
(Cocos nucifera) pada wilayah tidak berpenghuni di Desa Bariang Hal 6.
Jurnal Pendidikan Hayati. Vol 1(3): 1-9.
Anggana, A. F., Cahyono, S. A., & Lastiantoro, C. Y. (2019). Keanekaragaman
Hayati di Lahan Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri Dan Implikasi
Kebijakannya: Kasus Desa Wonoasri. Hal 285. Jurnal Ilmu
Lingkungan, 17(2), 283-290.
Hidayat M., 2017 Analisis vegetasi dan keanekaragaman tumbuhan dikawasan
Manifestasi geotermal IE SUUM Kecamatan Mesjid raya Kabupaten Aceh
Besar. Jurnal Biotik .Vol 5(2) Hall 117.
Kande R.P, Ratag S.P, Tasirin J.S, Faryanti D, 2011 Analisis vegetasi hutan
lindung Gunung Tumapa. Eugenia. Vol 17(3)
Kartawinata, K. 2016. Diversitas ekosistem alami Indonesia: Ungkapan singkat
dengan sajian foto dan gambar. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Leksono, A. S. (2010). Keanekaragaman hayati. Universitas Brawijaya Press.
Naharuddin, N. 2018. Komposisi dan struktur vegetasi dalam potensinya sebagai
parameter hidrologi dan erosi.Hal 138. Jurnal Hutan Tropis. Vol 5 (2):134-
142.
Ndede, I. G., Tasirin, I. J. S dan Sumakud, I. M. Y. 2017. Komposisi Dan
Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Di Desa Sapa Kabupaten Minahasa
Selatan (Composition And Structure Vegetation Of Mangrove Forest In
Sapa Village, South Minahasa District). Hal 11. In COCOS . Vol 1(5):1-16.
Oktaviani, R dan Yanuwiadi, B. 2016. Analisis Vegetasi Riparian di Tepi Sungai
Porong, Kabupaten Sidoarjo. Hal 27. Biotropika: Journal of Tropical
Biology. Vol 4(1):25-31.
Pertiwi, A. A., Dharmono, D dan Amintarti, S. 2016. Kemelimpahan tegakan di
Kawasan Bantaran Sungai Barito Desa Simpang Arja Kecamatan Rantau
Badauh Kabupaten Barito Kuala.Hal 24 Prosiding Seminar Nasional Lahan
Basah. Jilid 1: 24-31.
Santosa, D., Wahyuono, S., Riyanto, S., dan Widyastuti, S. M. (2017). Kajian
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Daerah Aliran Sungai Opak,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Farmaseutik. Hal 3. Vol 3(1):1-8.
Sosilawaty. 2020. Struktur dan Komposisi tegakan tinggal di Kelompok Hutan
Sungai Kuayan dan Mentaya Kalimantan Tengah. Edisi Juni 2020. Hal 14.
An 1mage, Jakarta.78 hal
Sosilawaty.2020. Keanekaragaman Vegetasi Hutan dan Dinamika Hara di
Ekosistem daerah Aliran Sungai. Hal 24. An 1mage Jakartra. 156 hal.
Ufriza S, Salimiati, Ramadhan H, 2018 Analisis vegetasi tumbuhan dengan
metode kuadrat pada habitus herba dikawasan peggunungan Deudap Pulo
Nasi Aceh Besar . Prosiding Seminar National Biotik. Vol 5(1) Hal 210.
Wahyudi,T., Pangabean,T.R dan Pujiyanto.2008.Panduan Lengkap Kakao
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Hal 175. Penerbit Swadaya.
Jakarta. Jumlah hal 351.
LAMPIRAN
1. Aiyda, N. & Lagiono. 2015. Kerapatan dan pola distribusi pohon kelapa hijau
(Cocos nucifera) pada wilayah tidak berpenghuni di Desa Bariang Hal 6.
Jurnal Pendidikan Hayati. Vol 1(3): 1-9.
2. Anggana, A. F., Cahyono, S. A., & Lastiantoro, C. Y. (2019).
Keanekaragaman Hayati di Lahan Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri
Dan Implikasi Kebijakannya: Kasus Desa Wonoasri. Hal 285. Jurnal Ilmu
Lingkungan, 17(2), 283-290.
3. Hidayat M., 2017 Analisis vegetasi dan keanekaragaman tumbuhan dikawasan
Manifestasi geotermal IE SUUM Kecamatan Mesjid raya Kabupaten Aceh Besar.
Jurnal Biotik Vol 5(2) Hall 117
4. Kande R.P, Ratag S.P, Tasirin J.S, Faryanti D, 2011 Analisis vegetasi hutan
lindung Gunung Tumapa. Eugenia. Vol 17(3)
13. Sosilawaty, 2020 Struktur dan Komposisi tegakan tinggal di Kelompok Hutan
Sungai Kuayan dan Mentaya Kalimantan Tengah. Edisi Juni 2020. Hal 14. An
1mage, Jakarta.78 hal