Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRATIKUM

EKOLOGI HUTAN
LATIHAN II
ANALISIS VEGETASI METODE KUADRAT

Oleh :

Nama : Galuh Sekar Ardhanariswari

NIM : 19/442295/KT/08993

Kelompok : 12

Co-Ass : Shabriati Luthfiana

LABORATORIUM EKOLOGI HUTAN


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
LATIHAN II
ANALISIS VEGETASI METODE KUADRAT

I. TUJUAN
Pratikum ini bertujuan untuk mengetahui struktur kuantitatif komunitas pohon
berdasarkan spesies penyusun dan INP-nya dengan metode kuadrat.

II. DASAR TEORI


Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu tumbuhan yang memebentuk
tegakan di dalam suatu ruang. Unsur utama dari struktur adalah bentuk pertumbuhan
stratifikasi dan penutupan tajuk. Selanjutnya dijelaskan bahwa komunitas tumbuhan
terdiri dari sekelompok tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan
sifatnya (Sosilawaty, 2020).
Vegetasi merupakan mosaik komunitas tumbuhan dalam suatu lanskap atau
kawasan geografi. Data vegetasi sangat penting dan merupakan landasan bagi
pemanfaatan dan konservasi keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lain.
Tanpa pengetahuan dan informasi yang memadai, hendaknya sumberdaya alam tidak
dilepas begitu saja dalam upaya membantu manusia memanfaatkan lingkungan
(Kartawinata, 2016).
Kershaw (1973) mengemukakan bahwa bentuk vegetasi dibatasi oleh tiga
komponen pokok yaitu, (1). Stratifikasi yang adalah lapisan penyusun vegetasi (strata)
yang dapat terdiri dari pohon, tiang, perdu, sapihan, semai dan herba. (2). Sebaran
horizontal dari jenis penyusun vegetasi tersebut yang menggambarkan kedudukan
antar individu. (3). Banyaknya individu (abundance) dari jenis penyusun vegetasi
tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa penguasaan suatu jenis terhadap spesies
lainnya ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), yang merupakan
penjumlahan dari kerapatan relatif, dominasi relatif dan frekuensi relatif. Frekuensi
suatu jenis menunjukan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Semakin merata
penyebaran jenis tertentu, nilai frekuensinya semakin besar sedangkan jenis yang nilai
frekuensinya kecil penyebarannya semakin tidak merata pada suatu areal atau
kawasan yang diamati. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan
jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas. Dominansi suatu jenis merupakan
nilai yang menunjukan penguasaan suatu jenis terhadap jenis lain pada suatu
komunitas. Makin besar nilai dominansi suatu jenis, makin besar pengaruh
penguasaan jenis tetrsebut terhadap jenis lain. INP suatu jenis merupakan nilai yang
menggambarkan peranan keberadaan suatu jenis dalam komunitas. Makin besar INP
suatu jenis makin besar pula peranan jenis tersebut dalam suatu komunitas. INP
dengan nilai yang tersebar merata pada banyak jenis lebih baik dari pada bertumpuk
atau menonjol pada sedikit jenis karena menunjukan terciptanya relung (niche) yang
lebih banyak dan tersebar merata spesifik dan bervarisi, INP yang merata pada banyak
jenis juga sebagai indikator semakin tingginya keanekaragaman hayati pada suatu
ekosistem dan perkembangan ekosistem yang baik untuk mencapai kestabilan pada
tahap klimaks (Kainde R. P, Ratag S. P, Tasirin J. S, Faryanti D, 2011).
Deskripsi dari suatu tipe komunitas dapat didekati dengan berbagai cara,
tergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Diantaranya deskripsi berdasarkan
fisiognomi vegetasi, yaitu berdasarkan kenampakan dari luas pada vegetasi tersebut.
(Sosilawaty, 2020).
Metode kuadrat merupakan salah satu cara atau langkah dalam pengambilan data
yang paling sering digunakan dalam analisis vegetasi. Metode kuadrat ini dilakukan
dengan membuat beberapa plot sebagai unit-unit daerah pencuplikan. Jumlah hewan
atau tumbuhan yang terdapat di suatu daerah dapat dihitung dari jumlah individu yang
ditemukan pada setiap unit pencuplikan (Leksono,2010). Bentuk petak contoh pada
metode kuadrat pada dasarnya ada tiga macam yaitu bentuk lingkaran, bentuk bujur
sangkar dan bentuk empat persegi panjang. Dari ketiga bentuk petak contoh ini
masing-masing bentuk memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Sistem analisis dengan menggunakan metode kuadrat yaitu kerapatan ditentukan
berdasarkan jumlah individu suatu populasi jenis tumbuhan di dalam area tersebut.
Kerimbunan ditentukan berdasarkan penutupan daerah cuplikan oleh populasi jenis
tumbuhan. Sedangkan frekuensi ditentukan berdasarkan kekerapan dari jenis
tumbuhan yang dijumpai dalam sejumlah area sampel (n) dibandingkan dengan
seluruh total area sampel yang dibuat (N), biasanya dalam persen (%). (Ufriza.S.,
Salmiati., Ramadhan., H, 2018).
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif
dilakukan untuk mendeskripsikan jenis-jenis tumbuhan (herba, semak/ perdu, tiang
dan pohon). Analisis kuantitatif dilakukan untuk menjelaskan keanekaragaman dan
struktur vegetasi tumbuhan. Vegetasi tumbuhan yang dilakukan dengan cara mencari
Kerapatan, Frekuensi, Dominansi, Indeks Nilai Penting (INP), dan Indeks
Keanekaragaman Kerapatan. Kerapatan adalah jumlah individu setiap spesies yang
dijumpai dalam petak contoh. Frekuensi adalah jumlah kemunculan dari setiap spesies
yang dijumpai dari seluruh petak contoh yang dibuat. Dominansi adalah luas bidang
dasar pohon atau luas penutupan tajuk setiap spesies yang dijumpai dalam plot.
(Hidayat., M. 2017).

III. ALAT DAN BAHAN


Pada pratikum ini digunakan alat :
1. Kompas
2. Tali
3. Roll meter
4. Pita meter
5. Alat tulis
6. Kertas untuk mencatat data
7. Aplikasi Ms Excel
Pada pratikum ini digunakan bahan :
Komunitas tumbuhan spesies pohon berdiameter ≥ 10 cm (keliling ≥ 3.14 cm)
IV. CARA PELAKSANAN
Cara pelaksanaan yang dilakukan pada pratikum, ialah :
Dilakukan pengukuran terhadap Pertama dibuat ukuran kuadrat
keliling pohon yang terdapat di sebesar 10 mx 10m.
dalam kuadrat
Lalu data dimasukkan dalam Setelah data dimasukkan, dicari
tabel di Ms excel luas bidang dasar pada setiap
pohon dengan rumus keliling/4π

Untuk mempermudah setiap Lalu dicari kerapatan, kerapatan


kerapatan, dominansi dan relatif, dominansi, dominansi
frekuensi dibuat tabel nya masing relatif, frekuensi dan frekuensi
masing relatif

Setelah itu dihitung INP, dengan


Rumus INP sama dengan jumlah
membuat tabel akumulasi dari
dari kerapatan relatif+dominansi
hasil kerapatan, kerapatan relatif,
relatif+frekuensi relatif
dominansi, dominansi relatif,
frekuensi dan frekuensi relatif

Lalu diurutkan INP nya dengan


INP paling tinggi mendapat
rangking 1 dan INP paling rendah
mendapat rangking yang paling
rendah

Pertama dilakukan pembuatan kuadrat dengan luas kuadrat 10 m x10 m,


dilanjutkan dengan mencatat spesies pohon yang terdapat di dalam kuadrat, lalu
dihitung keliling pohon, setelah diketahui keliling maka diukur luas bidang dasarnya
dan jumlah spesies kumulatif. Lakukan perhitungan kerapatan, dominansi dan
frekuensi menggunakan Ms excel. Dengan rumus kerapatan sama dengan jumlah
individu spesies dibagi jumlah luas kuadrat dibagi 10.000 untuk dijadikan satuan
hektar. Untuk kerapatan relatif sama dengan kerapatan dibagi jumlah kerapatan
spesies dikalikan 100. Lalu rumus dominansi sama dengan jumlah luas bidang dasar
dibagi jumlah luas kuadrat dan rumus dominansi sama dengan dominansi spesies
dibagi dengan jumlah dominansi seluruh spesies dikalikan 100. Kemudian rumus
frekuensi spesies sama dengan jumlah kuadrat terdapat spesies dibagi jumlah kuadrat.
Dalam Ms excel dapat dicari jumlah titik per spesies dengan rumus if(=0;0;1), yaitu
apabila pada kuadran 1 terdapat spesies A bernilai 1 dan jika tidak ada spesies A
bernilai 0. Rumus frekuensi relatif sama dengan frekuensi spesies dibagi dengan
jumlah frekuensi semua spesies dikalikan dengan 100, selanjutnya dihitung INP
dengan cara menjumlahkan kerapatan relatif, dominansi relatif dan frekuensi relatif.
Setelah nilai INP diketahui makan dapat diketahui spesies yang berpengaruh besar
dalam komunitas tersebut.
V. HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Data analisis vegetasi metode kuadrat komunitas pohon di hutan kerangas
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan
NO KELILING LBDS JML SPESIES
KUADRAT SPESIES (cm) (cm) KUMULATIF
1 Agathis borneensis 85 574,9 1
Acacia mangium 60 286,5 2
Vitex pubescens 45 161,1 3
Acacia mangium 60 286,5 3
Vitex pubescens 40 127,3 3
Vitex pubescens 45 161,1 3
2 Dacrydium beccari 60 286,5 4
Adina minutiflora 65 336,2 5
Lagerstromia speciosa 35 97,5 6
Melaleuca cajuputi 40 127,3 7
Lagerstromia speciosa 45 161,1 7
Dacrydium beccari 65 336,2 7
Adina minutiflora 55 240,7 7
Melaleuca cajuputi 85 574,9 7
Agathis borneensis 55 240,7 7
Acacia mangium 60 286,5 7
3 Syzigium tetrapterum 45 161,1 8
Acacia mangium 60 286,5 8
Melaleuca cajuputi 65 336,2 8
Vitex pubescens 55 240,7 8
Vitex pubescens 40 127,3 8
Dacrydium beccari 45 161,1 8
4 Acacia mangium 55 240,7 8
Melaleuca cajuputi 75 447,6 8
Dacrydium beccari 50 198,9 8
Lagerstromia speciosa 60 286,5 8
Acacia mangium 65 336,2 8
Lagerstromia speciosa 75 447,6 8
1590 7555,8
TOTAL 8 8
Tabel 2.1 Hasil analisis kerapatan komunitas pohon di hutan kerangas Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan
NO. Jumlah individu
Luas
Kuadr A.born A.man V.pub D.bec A.minut L.spec M.caj S.tetra Total
Kuadrat
at eensis gium escens cari iflora iosa uputi pterum
1 100 1 2 3 0 0 0 0 0 6
2 100 1 1 0 2 2 2 2 0 10
3 100 0 1 2 1 0 0 1 1 6
4 100 0 2 0 1 0 2 1 0 6
JML 400 2 6 5 4 2 4 4 1 28
KERAPATAN 50 150 125 100 50 100 100 25 700
21,428 17,85 14,28 14,28 14,28
KR 7,1429 6 71 57 7,1429 57 57 3,5714 100

Tabel 2.2 Hasil analisis dominansi komunitas pohon di hutan kerangas Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan
Luas Bidang Dasar (cm^2)
NO. Luas
D. A.min
Kua Kuadr Total
A.born A.ma V.pub becca utiflor L.spe M.caj S.tetra
drat at
eensis ngium escens ri a ciosa uputi pterum
1597,5
1 100 574,9 573,0 449,6 0 0 0 0 0 177
2687,7
2 100 240,7 286,5 0 622,7 576,9 258,6 702,3 0 291
1313,0
3 100 0 286,5 368,0 161,1 0 0 336,2 161,1 283
1957,6
4 100 0 576,9 0 198,9 0 734,1 447,6 0 058
JM 1722, 1486, 7555,8
L 400 815,7 9 817,7 982,8 576,9 992,7 1 161,1 809
DOMINANS 20391, 43071 20441 24569 14423, 24818 37152 4028,6 18889
I 7271 ,3065 ,4630 ,5443 4167 ,2239 ,7320 095 7,0231
10,795 22,80 10,82 13,00 13,13 19,66
DR 2 15 15 68 7,6356 85 82 2,1327 100

Tabel 2.3 Hasil analisis frekuensi komunitas pohon di hutan kerangas Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan
Frekuensi
NO
Kuadr
Luas S.tetr Total
Kuadrat A.born A.man V.pube D.be A.minu L.spe M.caj apter
at
eensis gium scens ccari tiflora ciosa uputi um
1 100 1 1 1 0 0 0 0 0 3
2 100 1 1 0 1 1 1 1 0 6
3 100 0 1 1 1 0 0 1 1 5
4 100 0 1 0 1 0 1 1 0 4
JML 400 2 4 2 3 1 2 3 1 18
FREKUENSI 0,50 1,00 0,50 0,75 0,25 0,50 0,75 0,25 4,50
16,6
FR 11,11 22,22 11,11 7 5,56 11,11 16,67 5,56 100

Tabel 2.4 Sruktur kuantiatif komunitas pohon di hutan kerangas Kabupaten


Banjar, Kalimanan Selatan
Kerap Kerapatan Domin Dominansi Freku Frekuensi Rang
Species atan Relatif ansi Relatif ensi Relatif INP king
A.borne 20391, 29,0
ensis 50 7,1429 7271 10,7952 0,50 11,1111 491 6
A.mangi 43071, 66,4
um 150 21,4286 3065 22,8015 1,00 22,2222 523 1
V.pubes 20441, 39,7
cens 125 17,8571 4630 10,8215 0,50 11,1111 897 4
D.becca 24569, 43,9
ri 100 14,2857 5443 13,0068 0,75 16,6667 592 3
A.minuti 14423, 20,3
flora 50 7,1429 4167 7,6356 0,25 5,5556 340 7
L.specio 24818, 38,5
sa 100 14,2857 2239 13,1385 0,50 11,1111 353 5
M.cajup 37152, 50,6
uti 100 14,2857 7320 19,6682 0,75 16,6667 206 2
S.tetrapt 4028,6 11,2
erum 25 3,5714 095 2,1327 0,25 5,5556 597 8
Jumlah 700 100 188897 100 4,50 100 300

Contoh Perhitungan :

Luas bidang dasar = (keliling pohon )2 : 4π
Luas bidang dasar Agathis borneensis = (85)2 cm : 4(3,14) = 574,9 cm2
Luas bidang dasar Acacia mangium = (60)2 cm : 4(3,14) = 286,5 cm2
Luas bidang dasar Vitex pubescens = (45)2 cm : 4(3,14) = 161,1 cm2

 Kerapatan spesies = Jumlah individu : jumlah luas kuadrat


Kerapatan Agathis borneensis = 2 individu : 400 = 0,005 m2 x 10.000 = 50 individu/ha
Kerapatan Acacia mangium = 6 individu : 400 = 0,015 m2 x 10.000 = 150 individu/ha
Kerapatan Vitex pubescens = 5 individu : 400 = 0,0125 m2 x 10.000 = 125 individu/ha
Jumlah Kerapatan species = 700 individu/ha

 Kerapatan Relatif = Kerapatan Spesies : Jumlah kerapatan species x 100


Kerapatan Relatif Agathis borneensis = 50 individu/ha : 700 individu/ha x 100 = 7,1429
Kerapatan Relatif Acacia mangium = 150 individu/ha : 700 individu/ha x 100 = 21,4286
Kerapatan Relatif Vitex pubescens = 120 individu/ha : 700 individu/ha x 100 = 17,8571

 Dominansi Spesies = Jumlah luas bidang dasar spesies : Jumlah luas kuadrat (ha)
Dominansi Agathis borneensis = 815,7 cm 2: (400 m 2 x 10.000) = 20391.7271 cm2/ha
Dominansi Acacia mangium = 1722,9 cm 2: (400 m 2 x 10.000) = 43071,3065 cm2/ha
Dominansi Vitex pubescens = 817,7 cm 2: (400 m 2 x 10.000) = 20441,4630cm2/ha
Jumlah Dominansi spesies = 188897,0231 cm2/ha.
 Dominansi Relatif = Dominansi species : Jumlah dominansi spesies x 100
Dominansi Relatif Agathis borneensis = 20391,7271 cm2/ha : 188897,0231 cm2/ha x 100
= 10,7952 cm2/ha
Dominansi Relatif Acacia mangium = 43071,3065 cm2/ha : 188897,0231 cm2/ha x 100
= 22,8015cm2/ha
Dominansi Relatif Vitex pubescens = 20441,4630 cm2/ha : 188897,0231 cm2/ha x 100
= 10,8215 cm2/ha

 Frekuensi spesies = Jumlah kuadrat terdapat species : jumlah kuadrat


Frekuensi Agathis borneensis = 2 : 400 = 0,50
Frekuensi Acacia mangium = 4 : 400 = 1
Frekuensi Vitex pubescens = 2 : 400 = 0,50
Jumlah Frekuensi species = 4,5

 Frekuensi Relatif = Frekuensi Spesies : Jumlah frekuensi species x 100


Frekuensi Relatif Agathis borneensis = 0,50 : 4,5 = 11,11
Frekuensi Relatif Acacia mangium = 1 : 4,5 = 22,22
Frekuensi Relatif Vitex pubescens = 0,50 : 4,5 = 11,11

 Indeks Nilai Penting (INP) = Kerapatan Relatif + Dominansi Relatif + Frekuensi Relatif
Indeks Nilai Penting Agathis borneensis = 7,1429 + 10.7952 + 11,11 = 29,0491
Indeks Nilai Penting Acacia mangium = 21,4286 + 22,8015 + 22,2222 = 66,4523
Indeks Nilai Penting Vitex pubescens = 17,8571 + 20441,4630 + 10,8215 = 39,7897

VI. PEMBAHASAN
Dalam latihan acara 2 ini, akan melakukan kegiatan analisis data dengan metode
kuadrat. Metode kuadrat dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap
petak contoh dengan luasannya diukur dalam satuan kuadrat. Dengan bentuk petak
contoh yang beragam bisa persegi empat, persegi panjang ataupun lingkaran, bentuk
petak contoh dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan (Wahyudi dkk.,2008).
Kemudian metode kuadrat memiliki kelebihan yaitu metode kuadrat lebih detail
dan teliti dalam analisis vegetasi di suatu komunitas sehingga dalam pengolahan data
dan pengukuran data di lapangan harus dilakukan sangat teliti agar tidak terjadi
kesalahan dalam perhitungan, namun metode kuadrat memiliki kekurangan yaitu
dalam pelaksanaanya di lapangan membutuhkan waktu yang cukup lama dimana
harus membuat petak ukur dengan luas petak ukur tertentu, dibandingkan dengan
metode garis yang cukup efisien waktu dalam pelaksanaanya (Wahyudi dkk.,2008).
Lalu pada pratikum ini digunakan petak contoh dengan ukuran 10 m x 10 m,
dengan bentuk persegi dan dibuat sebanyak empat petak contoh ataupun empat
kuadrat. Pada pratikum ini dilakukan pencatatan nama spesies tiap pohon dengan
diameter ≥10 cm dan pengukuran keliling pohon yang dilakukan di lapangan secara
langsung pada setiap kuadrat. Kemudian menghasilkan data berupa jenis kumulatif
spesies sebesar 8 spesies. Dengan kuadrat satu terdapat enam pohon dengan 3 spesies
yang berbeda yaitu spesies Agathis borneesis dengan keliling pohon sebesar 85 cm
dan luas bidang dasar sebesar 574,9 cm2, lalu terdapat 2 pohon dengan jenis Acacia
mangium dengan keliling yang sama yaitu 60 cm dan luas bidang dasar yang sama
yaitu 286,5 cm2, lalu tiga pohon dengan spesies yang sama yaitu Vitex pubecens
dengan keliling pohon sebesar 45 cm, 40 cm dan 45 cm serta luas bidang dasar
sebesar 161,1 cm2, 127,3 cm2 dan 161,1 cm2.
Selanjutnya pada kuadrat dua ditemukan spesies Dacrydium beccari yang
terdapat dua pohon dengan keliling pohon sebesar 60 cm dan 65 cm serta luas bidang
dasar sebesar 286,5 cm2 dan 336,2 cm2, lalu spesies Adina minutiflora yang terdapat
dua pohon dengan keliling sebesar 65 cm dan 55 cm dengan luas bidang dasar sebesar
336,2 cm2 dan 240,7 cm2, spesies Lagerstromia speciosa dengan jumlah pohon
sebesar dua pohon dengan keliling pohon 35 cm dan 45 cm, serta luas bidang dasar
97,5 cm2 dan 161,1 cm2, spesies Melaleuca cajuputi terdapat dua pohon dengan
keliling sebesar 40 cm dan 85 cm dengan luas bidang dasar sebesar 127,3 cm2 dan
574,9 cm2, spesies Agathis borneesis dengan keliling pohon sebesar 55 cm dan luas
bidang dasar sebesar 240,7 cm dan spesies Acacia mangium dengan keliling pohon
sebesar 55 cm dengan luas bidang dasar sebesar 286,5 cm2.
Kemudian pada kuadrat tiga ditemukan 6 pohon yaitu terdiri dari spesies
Syzigium tetrapterum dengan keliling pohon sebesar 45 cm dan luas bidang dasar
161,1 cm2, lalu spesies Acacia mangium dengan keliling pohon sebesar 60 cm dan
luas bidang dasar 286,5 cm2, dan spesies Melaleuca cajuputi dengan keliling pohon
sebesar 65 cm dan luas bidang dasar 336,2 cm 2, lalu spesies Vitex pubecens terdapat
dua pohon dengan keliling pohon sebesar 55 cm dan 40 cm, serta luas bidang dasar
sebesar 240,7 cm2 dan 127,3 cm2, dan spesies Dacrydium beccari dengan keliling
pohon sebesar 45 cm dan luas bidang dasar sebesar 161,1 cm2. Selanjutnya pada
kuadrat 3 terdapat 6 pohon juga dengan spesies Acacia mangium terdapat 2 pohon
dengan keliling pohon sebsar 55 cm dan 65 cm serta luas bidang dasar sebesar 240,7
cm2 dan 336,2 cm2, lalu spesies Melaleuca cajuputi dengan keliling pohon sebesar 75
cm dan luas bidang dasar 447,6 cm2, dan spesies Dacrydium beccari dengan keliling
pohon sebesar 50 cm dan luas bidang dasar 198,9 cm 2 dan spesies Lagerstromia
speciosa terdapat dua pohon dengan keliling sebesar 60 cm dan 75 cm serta luas
bidang dasar 286,5 cm2 serta 447,6 cm2.
Kemudian setelah data luas bidang dasar dan jumlah spesies dikumpulkam dapat
dilakukan analisis vegetasi dengan dihitung nilai frekuensi spesies, kerapatan spesies,
dominansi spesies dan indeks nilai penting. Lalu Indeks Nilai Penting (INP) pada
tingkat pohon dan tiang dapat diketahui dengan penjumlahan antara Kerapatan Relatif
(KR), Dominansi Relatif (DR) dan Frekuensi Relatif, diketahuinya nilai INP dapat
mengetahui kondisi vegetasi di suatu ekosistem (Anggana dkk.,2019).
Dari data yang telah didapat, menghasilkan bahwa dari keempat kuadrat tersebut
terdapat delapan species yang tinggal yaitu spesies Agathis borneesis , Acacia
mangium, Vitex pubecens, Dacrydium beccari, Adina minutiflora, Lagerstromia
speciosa, Melaleuca cajuputi dan Syzigium tetrapterum.
Dari pengolahan data yang dilakukan menghasilkan kerapatan dari delapan
spesies dalam empat kuadrat atau setara dengan empat hektar, nilai kerapatan tersebut
terdiri dari nilai kerapatan spesies Agathis borneesis sebesar 50 individu/ha dengan
kerapatan relatif sebesar 7,1429, kerapatan spesies Acacia mangium sebesar 150
individu/ha dan kerapatan relatif sebesar 21,4286, kerapatan spesies Vitex pubecens
sebesar 125 individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 17,8571 , kerapatan spesies
Dacrydium beccari sebesar 100 individu/ha dan kerapatan relatif sebesar 14,2857,
kerapatan spesies Adina minutiflora sebesar 50 individu/ha dengan kerapatan relatif
sebesar 7,1429, kerapatan spesies Lagerstromia speciosa sebesar 100 individu/ha dan
kerapatan relatif sebesar 14,2857, kerapatan spesies Melaleuca cajuputi sebesar 100
individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 14,2857 dan kerapatan spesies Syzigium
tetrapterum sebesar 25 individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 3,5714
Selanjutnya jumlah kerapatan dari delapan spesies sebesar 700 individu/ha. Dari data
yang didapat kerapatan menunjukan jumlah individu, maka dapat digambarkan bahwa
individu yang berjumlah banyak yaitu species Acacia mangium dan jumlah individu
yang paling sedikit yaitu spesies Syzigium tetrapterum.
Menurut Aiyda dan Lagiono (2015) kerapatan memiliki nilai yang dapat
menggambarkan apakah spesies tersebut memiliki pola penyesuaian yang besar di
dalam komunitas, karena apabila nilai kerapatan tinggi pada suatu spesies, maka
spesies tersebut memiliki pola penyesuaian yang besar dalam lingkungan. Maka dari
itu dari delapan spesies tersebut memiliki nilai kerapatan yang berbeda-beda. Hal ini
membuktikan bahwa dalam sampel yang telah diambil dengan nilai kerapatan spesies
yang tinggi dari species Acacia mangium dengan nilai sebesar 150 individu/ha ini
mengartikan bahwa spesies Acccia mangium memiliki pola penyesuaian yang besar.
Setelah nilai kerapatan diperoleh, dari hasil data perhitungan menunjukan data
dominansi dari delapan spesies tersebut, yaitu untuk spesies Agathis borneesis sebesar
20391,727 dengan dominansi relatif sebesar 10,7952, dominansi spesies Acacia
mangium sebesar 43071,3065 dan dominansi relatif sebesar 22,8015, dominansi
spesies Vitex pubecens sebesar 20441,4630 dengan dominansi relatif sebesar 10,8215,
dominansi spesies Dacrydium beccari sebesar 24569,5443 dan dominansi relatif
sebesar 13,0068, dominansi spesies Adina minutiflora sebesar 14423,4167 dengan
dominansi relatif sebesar 7.6356, dominansi spesies Lagerstromia speciosa sebesar
24818,2239 dan dominansi relatif sebesar 13,1385, dominansi spesies Melaleuca
cajuputi sebesar 37152,7320, dengan dominansi relatif sebesar 19,6682 dan
dominansi spesies Syzigium tetrapterum sebesar 4028,6095 dengan dominansi relatif
sebesar 2,1327. Selanjutnya jumlah dominansi dari delapan spesies sebesar
188897.0231. Dari data yang didapat, dominansi menunjukkan ukuran individu, maka
ukuran individu yang paling luas yaitu species Acacia mangium dan ukuran individu
yang paling kecil yaitu spesies Syzigium tetrapterum.
Menurut Oktaviani dan Yanuwiadi (2016) dominansi spesies menggambarkan
tentang suatu keberadaan dan penguasaan suatu spesies dalam ekosistem. Maka dari
itu spesies Acacia mangium dengan dominansi sebesar 43071,3065 merupakan
dominansi yang paling besar maka spesies Acacia mangium memiliki tingkat
keberadaan dan penguasaan dalam komunitas tersebut.
Nilai dominansi setiap spescies berbeda beda dikarenakan ada faktor yang
mempengaruhi yaitu beberapa spesies tersebut memiliki cara adaptasi yang berbeda
beda dan juga dipengaruhi oleh struktur morfologi dari spesies tersebut. Maka dari itu
apabila suatu spesies memiliki nilai dominansi tinggi artinya spesies tersebut
memiliki cara adaptasi yang baik terhadap lingkungan (Santoso dkk.,2017).
Lalu untuk hasil frekuensi pada spesies Agathis borneesis sebesar 0,50 dengan
frekuensi relatif sebesar 11,11, dan frekuensi spesies Acacia mangium sebesar 1,00
dan frekuensi relatif sebesar 22,22, frekuensi spesies Vitex pubecens sebesar 0,50
dengan frekuensi relatif sebesar 11,11, frekuensi spesies Dacrydium beccari sebesar
0,75 dan frekuensi relatif sebesar 16,67, frekuensi spesies Adina minutiflora sebesar
0,25 dengan frekuensi relatif sebesar 5,56 , frekuensi spesies Lagerstromia speciosa
sebesar 0,50 dan frekuensi relatif sebesar 11,11, frekuensi spesies Melaleuca cajuputi
sebesar 0,75, dengan frekuensi relatif sebesar 16,67 dan frekuensi spesies Syzigium
tetrapterum sebesar 0,25 dengan frekuensi relatif sebesar 5,56. Selanjutnya jumlah
frekuensi delapan spesies sebesar 4,50. Dari data tersebut, nilai frekuensi dapat
menunjukkan distribusi spesies, maka dapat dinyatakan bahwa distribusi individu
yang paling tinggi yaitu species Acacia mangium dan distribusi individu yang paling
kecil yaitu spesies Syzigium tetrapterum dan spesies Adina minutiflora.
Menurut Pertiwi dkk (2016) Frekuensi pada suatu spesies menggambarkan
keterpadatan suatu spesies dalam kuadrat yang ditentukan dalam sebuah komunitas
tertentu. Kemudian frekuensi didapatkan dari mencatat adanya keberadaan species
dalam kuadrat bukan jumlah individu dari spesies.
Lalu adanya perbedaan nilai frekuensi disebabkan karena persebaran antar spesies
yang berbeda-beda. Apabila suatu spesies memiliki nilai frekuensi tinggi, maka
menggambarkan spesies tersebut memiliki penyebaran yang merata dan sering
ditemui dalam komunitas tersebut, kemudian apabila nilai frekuensi suatu jenis
rendah maka persebaran spesies tersebut tidak merata ataupun spesies tersebut sering
dijumpai berkelompok. Hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi nilai frekuensi
suatu spesies yaitu pola penyebaran, apabila pola penyebaran spesies acak maka nilai
frekuensi akan tinggi namun jika pola penyebaran spesies secara mengelompok maka
nilai frekuensi spesies tersebut rendah (Ndede dkk., 2017).
Artinya species Acacia mangium memiliki pola penyebaran yang merata dalam
komunitas karena memiliki nilai frekuensi tertinggi daripada spesies lainya yaitu
sebesar 0,5, sedangkan spesies Syzigium tetrapterum dan spesies Adina minutiflora
memiliki nilai frekuensi yang rendah yaitu sebesar 0,25 yang menunjukan bahwa pola
penyebaran dari dua spesies tersebut tidak merata dalam komunitas.
Kemudian setelah data kerapatan spesies, kerapatan relatif, dominansi spesies,
dominansi relatif, frekuensi spesies dan frekuensi relatif diketahui, maka bisa
mengetahui nilai INP (Indeks Nilai Penting), karena nilai INP merupakan
penjumlahan dari kerapatan relatif, dominansi relatif dan frekuensi relatif. Kemudian
dari data, dapat dihasilkan INP dari spesies Agathis borneesis sebesar 29,0491 dan
spesies Acacia mangium sebesar 66.4523, lalu spesies Vitex pubecens memiliki nilai
INP sebesar 39,7897 dan nilai INP spesies Dacrydium beccari sebesar 43,9592 dan
spesies Adina minutiflora sebesar 20,3340, lalu nilai INP dari spesies Lagerstromia
speciosa sebesar 38,5353 dan spesies Melaleuca cajuputi sebesar 50,6206, kemudian
nilai INP dari spesies Syzigium tetrapterum sebesar 11,2597.
Indeks Nilai Penting pada setiap spesies memiliki nilai yang berbeda-beda. Hal
ini menggambarkan bahwa apabila suatu spesises memiliki nilai INP tinggi, artinya
spesies tersebut lebih berkuasa ataupun berpengaruh besar dibanding dengan spesies
yang lainya.
Maka dari data yang ada spesies Acacia mangium memiliki nilai INP yang tinggi
dan menempati rangking satu dalam komunitas tersebut yaitu sebesar 66,4523 yang
artinya spesies Acacia mangium memiliki peran yang penting ataupun lebih berkuasa
daripada spesies yang lain, kemudian rangking dua ditempati oleh spesies Melaleuca
cajuputi , selanjutnya spesies Dacrydium beccari di rangking 3 dan spesies Vitex
pubecens di rangking ke empat, rangking lima ditempati oleh spesies Lagerstromia
speciosa dan pada urutan terakhir dengan nilai INP paling rendah dari spesies
Syzigium tetrapterum sebesar 11,2597.
Adanya tingkatan dalam Indeks Nilai Penting dipengaruhi oleh kerapatan relatif,
dominansi relatif dan frekuensi relatif. Kemudian biasanya spesies dengan nilai INP
tinggi memiliki jumlah yang dominan seperti data dalam pratikum ini pada spesies
Acacia mangium memiliki kerapatan yang tertinggi, namun hal ini tidak bersifat
mutlak karena disamping jumlah individu spesies yang banyak, luas bidang dasar
suatu individu spesies dapat mempengaruhi nilai INP walaupun kerapatan atau jumlah
individu lebih sedikit seperti pada data spesies Lagerstromia speciosa memiliki
kerapatan yang lebih besar dari species Vitex pubecens , tetapi nilai INP lebih besar
Vitex pubecens dikarenakan spesies Vitex pubecens memiliki nilai dominansi yang
lebih besar apabila dibandingkan dengan spesies Lagerstromia speciosa.
Lalu spesies Dacrydium beccari memiliki kerapatan yang lebih kecil daripada
spesies Lagerstromia speciosa, namun spesies Dacrydium beccari memiliki nilai INP
yang lebih besar daripada spesies Lagerstromia speciosa hal tersebut terjadi karena
nilai frekuensi dari spesies Dacrydium beccari lebih besar daripada spesies
Lagerstromia speciosa. Hal ini menunjukan bahwa nilai INP (Indeks Nilai Penting)
dipengaruhi oleh nilai kerapatan spesies, dominansi spesies dan frekuensi spesies
(Naharuddin, 2017).
Kemudian juga dapat diketahui dari pembahasan di atas dimana nilai INP
dipengaruhi tiga komponen yaitu kerapatan, dominansi dan frekuensi. Kemudian
ketiga komponen tersebut memiliki faktor yang mempengaruhi seperti pola
penyesuaian atau adaptasi spesies, pola persebaran spesies dan struktur morfologi
serta saat pengambilan data faktor ketelitian sangat mempengaruhi hasil akhir nilai
INP.

VII. KESIMPULAN
Dari pratikum yang telah dilakukan di hutan kerangas, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan dapat disimpulkan bahwa struktur kuantitatif komunitas suatu
pohon dapat dicari dengan metode kuadrat yaitu menggunakan petak ukur dalam
pelaksanaanya. Metode kuadrat dalam pratikum ini dilakukan dengan cara membuat
petak ukur berukuran 10 m x10 m dengan jumlah kuadrat sebanyak empat. Kemudian
dari keempat petak ukur tersebut dapat diketahui bahwa terdapat delapan spesies yang
tinggal dalam komunitas tersebut yaitu spesies Agathis borneesis , Acacia mangium,
Vitex pubecens, Dacrydium beccari, Adina minutiflora, Lagerstromia speciosa,
Melaleuca cajuputi dan Syzigium tetrapterum. Kemudian kedelapan spesies tersebut
memiliki nilai INP, untuk spesies Agathis borneesis sebesar 29,0491 dan spesies
Acacia mangium sebesar 66,4523, lalu spesies Vitex pubecens memiliki nilai INP
sebesar 39,7897 dan nilai INP spesies Dacrydium beccari sebesar 43,9592 dan
spesies Adina minutiflora sebesar 20,3340, lalu nilai INP dari spesies Lagerstromia
speciosa sebesar 38,5353 dan spesies Melaleuca cajuputi sebesar 50,6206, kemudian
nilai INP dari spesies Syzigium tetrapterum sebesar 11,2597. Dari nilai INP dapat
disimpulkan bahwa dari kedelapan spesies tersebut, spesies yang memiliki pengaruh
besar dalam komunitas pohon di hutan kerangas, Kabupaten Banjar, Kalimantan
Selatan yaitu spesies Acacia mangium, karena memiliki nilai INP yang paling tinggi,
lalu spesies Syzigium tetrapterum memiliki nilai INP yang paling rendah, sehingga
tidak memiliki pengaruh yang besar dalam komunitas. Nilai INP
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Aiyda, N. & Lagiono. 2015. Kerapatan dan pola distribusi pohon kelapa hijau
(Cocos nucifera) pada wilayah tidak berpenghuni di Desa Bariang Hal 6.
Jurnal Pendidikan Hayati. Vol 1(3): 1-9.
Anggana, A. F., Cahyono, S. A., & Lastiantoro, C. Y. (2019). Keanekaragaman
Hayati di Lahan Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri Dan Implikasi
Kebijakannya: Kasus Desa Wonoasri. Hal 285. Jurnal Ilmu
Lingkungan, 17(2), 283-290.
Hidayat M., 2017 Analisis vegetasi dan keanekaragaman tumbuhan dikawasan
Manifestasi geotermal IE SUUM Kecamatan Mesjid raya Kabupaten Aceh
Besar. Jurnal Biotik .Vol 5(2) Hall 117.
Kande R.P, Ratag S.P, Tasirin J.S, Faryanti D, 2011 Analisis vegetasi hutan
lindung Gunung Tumapa. Eugenia. Vol 17(3)
Kartawinata, K. 2016. Diversitas ekosistem alami Indonesia: Ungkapan singkat
dengan sajian foto dan gambar. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Leksono, A. S. (2010). Keanekaragaman hayati. Universitas Brawijaya Press.
Naharuddin, N. 2018. Komposisi dan struktur vegetasi dalam potensinya sebagai
parameter hidrologi dan erosi.Hal 138. Jurnal Hutan Tropis. Vol 5 (2):134-
142.
Ndede, I. G., Tasirin, I. J. S dan Sumakud, I. M. Y. 2017. Komposisi Dan
Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Di Desa Sapa Kabupaten Minahasa
Selatan (Composition And Structure Vegetation Of Mangrove Forest In
Sapa Village, South Minahasa District). Hal 11. In COCOS . Vol 1(5):1-16.
Oktaviani, R dan Yanuwiadi, B. 2016. Analisis Vegetasi Riparian di Tepi Sungai
Porong, Kabupaten Sidoarjo. Hal 27. Biotropika: Journal of Tropical
Biology. Vol 4(1):25-31.
Pertiwi, A. A., Dharmono, D dan Amintarti, S. 2016. Kemelimpahan tegakan di
Kawasan Bantaran Sungai Barito Desa Simpang Arja Kecamatan Rantau
Badauh Kabupaten Barito Kuala.Hal 24 Prosiding Seminar Nasional Lahan
Basah. Jilid 1: 24-31.
Santosa, D., Wahyuono, S., Riyanto, S., dan Widyastuti, S. M. (2017). Kajian
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Daerah Aliran Sungai Opak,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Farmaseutik. Hal 3. Vol 3(1):1-8.
Sosilawaty. 2020. Struktur dan Komposisi tegakan tinggal di Kelompok Hutan
Sungai Kuayan dan Mentaya Kalimantan Tengah. Edisi Juni 2020. Hal 14.
An 1mage, Jakarta.78 hal
Sosilawaty.2020. Keanekaragaman Vegetasi Hutan dan Dinamika Hara di
Ekosistem daerah Aliran Sungai. Hal 24. An 1mage Jakartra. 156 hal.
Ufriza S, Salimiati, Ramadhan H, 2018 Analisis vegetasi tumbuhan dengan
metode kuadrat pada habitus herba dikawasan peggunungan Deudap Pulo
Nasi Aceh Besar . Prosiding Seminar National Biotik. Vol 5(1) Hal 210.
Wahyudi,T., Pangabean,T.R dan Pujiyanto.2008.Panduan Lengkap Kakao
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Hal 175. Penerbit Swadaya.
Jakarta. Jumlah hal 351.

LAMPIRAN

1. Aiyda, N. & Lagiono. 2015. Kerapatan dan pola distribusi pohon kelapa hijau
(Cocos nucifera) pada wilayah tidak berpenghuni di Desa Bariang Hal 6.
Jurnal Pendidikan Hayati. Vol 1(3): 1-9.
2. Anggana, A. F., Cahyono, S. A., & Lastiantoro, C. Y. (2019).
Keanekaragaman Hayati di Lahan Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri
Dan Implikasi Kebijakannya: Kasus Desa Wonoasri. Hal 285. Jurnal Ilmu
Lingkungan, 17(2), 283-290.
3. Hidayat M., 2017 Analisis vegetasi dan keanekaragaman tumbuhan dikawasan
Manifestasi geotermal IE SUUM Kecamatan Mesjid raya Kabupaten Aceh Besar.
Jurnal Biotik Vol 5(2) Hall 117
4. Kande R.P, Ratag S.P, Tasirin J.S, Faryanti D, 2011 Analisis vegetasi hutan
lindung Gunung Tumapa. Eugenia. Vol 17(3)

5. Kartawinata, K. (2016). Diversitas ekosistem alami Indonesia: Ungkapan


singkat dengan sajian foto dan gambar. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
6. Leksono, A. S. (2010). Keanekaragaman hayati. Universitas Brawijaya Press.

7. Naharuddin, N. 2018. Komposisi dan struktur vegetasi dalam potensinya


sebagai parameter hidrologi dan erosi.Hal 138. Jurnal Hutan Tropis. Vol 5
(2):134-142.
8. Ndede, I. G., Tasirin, I. J. S dan Sumakud, I. M. Y. 2017. Komposisi Dan
Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Di Desa Sapa Kabupaten Minahasa
Selatan (Composition And Structure Vegetation Of Mangrove Forest In Sapa
Village, South Minahasa District). Hal 11. In COCOS . Vol 1(5):1-16.
9. Oktaviani, R dan Yanuwiadi, B. 2016. Analisis Vegetasi Riparian di Tepi
Sungai Porong, Kabupaten Sidoarjo. Hal 27. Biotropika: Journal of Tropical
Biology. Vol 4(1):25-31.

10. Pertiwi, A. A., Dharmono, D dan Amintarti, S. (2016). Kemelimpahan


tegakan di Kawasan Bantaran Sungai Barito Desa Simpang Arja Kecamatan
Rantau Badauh Kabupaten Barito Kuala.Hal 24 Prosiding Seminar Nasional
Lahan Basah. Jilid 1: 24-31
11. Santosa, D., Wahyuono, S., Riyanto, S., dan Widyastuti, S. M. (2017). Kajian
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat di Daerah Aliran Sungai Opak,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Farmaseutik. Hal 3. Vol 3(1):1-8.
12. Sosilawaty, 2020 Keanekaragaman Vegetasi Hutan dan Dinamika Hara di
Ekosistem daerah Aliran Sungai. Hal 24. An 1mage Jakartra. 156 hal.

13. Sosilawaty, 2020 Struktur dan Komposisi tegakan tinggal di Kelompok Hutan
Sungai Kuayan dan Mentaya Kalimantan Tengah. Edisi Juni 2020. Hal 14. An
1mage, Jakarta.78 hal

14. Ufriza S, Salimiati, Ramadhan H, 2018 Analisis vegetasi tumbuhan dengan


metode kuadrat pada habitus herba dikawasan peggunungan Deudap Pulo
Nasi Aceh Besar . Prosiding Seminar National Biotik. Vol 5(1) Hal 210.
15. Wahyudi,T., Pangabean,T.R dan Pujiyanto.2008.Panduan Lengkap Kakao
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Hal 175. Penerbit Swadaya.
Jakarta. Jumlah hal 351.

Anda mungkin juga menyukai