Anda di halaman 1dari 74

GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH TALAGASARI DAN

SEKITARNYA, KECAMATAN SERANGPANJANG, KABUPATEN


SUBANG, JAWA BARAT

TUGAS AKHIR A

Diajukan sebagai untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) di Program
Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi
Bandung

Oleh:
Rakha Azmandika
12014059

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS AKHIR A

GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH TALAGASARI DAN


SEKITARNYA, KECAMATAN SERANGPANJANG, KABUPATEN SUBANG,
JAWA BARAT

Diajukan sebagai untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) di Program Studi
Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung

Bandung, X Januari 2019


Mahasiswa Pengusul,

Rakha Azmandika
NIM 12014059

Menyetujui,
Pembimbing

Dr. Dasapta Erwin Irawan, ST., MT.


NIP. 19760417 200801 1 007
GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH TALAGASARI DAN
SEKITARNYA, KECAMATAN SERANGPANJANG, KABUPATEN SUBANG,
JAWA BARAT
Oleh :
Rakha Azmandika
12014059

ABSTRAK
Daerah penelitian berlokasi di Desa Talagasari dan sekitarnya, Kecamatan Serangpanjang,
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak pada koordinat
geodetik 6°34'04.06" - 6°38'23.01" LS dan 107°35'10.37" - 107°38'59.46" BT. Luas daerah
penelitian adalah 56 km2. Daerah penelitian memiliki masalah airtanah secara kualitas dan
kuantitas. Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu pemetaan geologi yang bertujuan
untuk mengetahui tatanan geologi dan hidrogeologi daerah penelitian.
Berdasarkan klasifikasi BMB, geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi delapan
satuan geomorfologi, yaitu Satuan Denudasional Struktur Lipatan Banggalamulya, Satuan
Perbukitan Homoklin Talagasari, Satuan Punggungan Kipas Lahar Ponggang, Satuan
Punggungan Lahar Cintamekar, Satuan Dataran Aluvial Cigebang, Satuan Aliran Lava
Gunung Tangkuban Parahu, Satuan Kerucut Gunung Tangkuban Parahu, dan Satuan
Kaldera Sunda. Daerah penelitian memiliki pola aliran sungai dendritik, paralel, dan trellis,
dengan tahapan geomorfik dewasa.
Stratigrafi daerah penelitian terbagi menjadi tujuh satuan batuan tidak resmi berumur
Miosen Akhir – Resen. Satuan batuan pada daerah penelitian diendapkan pada lingkungan
neritik tengah – darat. Satuan batuan tersebut berturut-turut dari tua ke muda adalah Satuan
Batulempung, Satuan Batupasir-Batulempung, Satuan Batupasir-Konglomerat, Satuan
Andesit, Satuan Tuf Lapili, Satuan Breksi Volkanik, dan Satuan Endapan Aluvial.
Struktur Geologi yang berkembang di daerah penelitian yaitu Antiklin Jalupang dan Sesar
Menganan Cigebang. Struktur-struktur tersebut dibentuk oleh fase tektonik kompresi
berarah utara-selatan pada Plio-Pleistosen.
Akuifer di daerah penelitian terdapat pada Satuan Batupasir-Batulempung, Satuan
Batupasir-Konglomerat, Satuan Tuf Lapili, Satuan Breksi Volkanik, dan Satuan Endapan
Aluvial. Jenis akuifer di daerah penelitian adalah akuifer bebas dengan pola aliran umum
airtanah mengalir dari selatan ke utara. Dari sisi kuantitas, potensi airtanah daerah
penelitian sangat dikendalikan oleh jenis litologi. Masyarakat di daerah penelitian bagian
utara disarankan menampung air hujan untuk dapat digunakan pada musim kemarau.
Parameter kimia airtanah berupa pH memiliki nilai 5,5 – 8,1 dan parameter fisik airtanah
berupa TDS memiliki nilai 58 – 553 mg/L. Mengacu pada Persyaratan Kualitas Air Minum
Permenkes RI No. 492/Menkes/Per/IV/2010, 49,56% dari luas keseluruhan daerah
penelitian memiliki kualitas airtanah layak minum berdasarkan parameter pH dan TDS.
Diperlukan penelitian komposisi airtanah lebih lanjut untuk mengetahui kelayakan airtanah
sebagai air minum secara lebih rinci.
Kata kunci: Talagasari, Subang, Akuifer.

i
GEOLOGY AND HYDROGEOLOGY OF TALAGASARI AREA, SERANGPANJANG
DISTRICT, SUBANG REGENCY, WEST JAVA
By :
Rakha Azmandika
12014059

ABSTRACT
The research area is located in Talagasari Village, Serangpanjang District, Subang
Regency, West Java. Geographically, the research area is located at geodetic coordinates
of 6°34'04.06" - 6°38'23.01" LS and 107°35'10.37" - 107°38'59.46" BT. The area of the
research area is 56 km2. The research area has problems in groundwater quality and
quantity. The method used in this research is geological mapping which aims to determine
the geological and hydrogeological setting of the research area.
Based on the BMB classification, the geomorphology of the research area is devided into
eight geomorphological units, they are Banggalamulya Denudational Fold Structure Unit,
Talagasari Homoclinal Hills Unit, Ponggang Lahar Fan Ridge Unit, Cintamekar Lahar
Ridge Unit, Cigebang Alluvial Plain Unit, Mount Tangkuban Parahu Lava Unit, Mount
Tangkuban Parahu Cone Unit, and Sunda Caldera Unit. The research area has dendritic,
parallel, and trellis river flow patterns, considered as mature geomorphic stages.
The stratigraphy of the research area is divided into seven unofficial rock units, formed
during the Late Miocene – Recent. The rocks units were deposited in a middle neritic -
land environment. These rock units from old to young are Claystone Unit, Sandstone-
Claystone Unit, Sandstone-Conglomerate Unit, Andesite Unit, Lapilli Tuff Unit, Volcanic
Breccia Unit, and Alluvial Sediment Unit.
The geological structure that developed in the research area is the Jalupang Anticline and
Cigebang Right-lateral Fault. These structures were formed by the compression tectonic
phase with north-south trending during the Plio-Pleistocene.
Aquifers in the research area are in Sandstone-Claystone Unit, Sandstone-Conglomerate
Unit, Lapilli Tuff Unit, Volcanic Breccia Unit, and Alluvial Sediment Unit. The type of
aquifers in the research area is unconfined aquifer with a general flow pattern of
groundwater flowing from south to north. In terms of quantity, the potential of
groundwater in the research area is controlled by the type of lithology. People in the
northern research area are advised to collect rain water to be used during the dry season.
The pH as chemical parameters of groundwater measured at values of 5.5 - 8.1, while the
TDS as physical parameters of groundwater measured at values of 58 - 553 mg/L.
Referring to the Drinking Water Quality Requirements Republic of Indonesia Minister of
Health Regulation No. 492 / Menkes / Per / IV / 2010, 49.56% of the total area of the
research area has suitable groundwater for drinking based on pH and TDS parameters.
For more detail, further research on the composition of groundwater is needed to
determine the feasibility of groundwater as drinking water.
Keywords: Talagasari, Subang, Aquifer.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi sarjana ini dengan baik. Laporan tugas akhir berjudul
“Geologi dan Hidrogeologi Daerah Talagasari dan Sekitarnya, Kecamatan Serangpanjang,
Kabupaten Subang, Jawa Barat” ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Strata Satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, Institut Teknologi Bandung dengan waktu penyusunan mulai Mei 2018 hingga
Februari 2019.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis mendapat banyak bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga penulis Papah Agus Setiagraha, Mamah Yane, Teteh Priyanka Faza, dan
keluarga besar penulis atas segala doa dan dukungan kepada penulis.
2. Dr. Dasapta Erwin Irawan, ST., MT. sebagai dosen pembimbing atas bimbingan,
arahan, dan saran yang diberikan selama pengerjaan tugas akhir ini.
3. Seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Teknik Geologi ITB.
4. Keluarga Bapak Asep dan warga Desa Banggalamulya atas tempat tinggal dan
bantuan yang diberikan kepada penulis selama pengambilan data di lapangan.
5. Puri, Eci, Yudhis, Bowo, Dillan, dan Ismar yang senantiasa membantu dan
menemani penulis selama penyusunan tugas akhir ini.
6. Teman-teman pasukan Teknik Geologi ITB 2014.
7. Semua pihak yang telah terlibat dalam pengerjaan tugas akhir ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini. Untuk itu,
penulis terbuka dalam menerima kritik dan saran yang membangun. Penulis berharap
penelitian ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang
geologi dan hidrogeologi.

Bandung, X Februari 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................................................ 1
Tujuan Penelitian .................................................................................................... 2
Lokasi Daerah Penelitian ........................................................................................ 2
Batasan Masalah ..................................................................................................... 3
Metode dan Tahapan Penelitian .............................................................................. 4
Tahap Persiapan .................................................................................................. 4
Tahap Pengambilan Data .................................................................................... 4
Tahap Analisis dan Pengolahan Data .................................................................. 5
Tahap Penyusunan Laporan ................................................................................ 5
Diagram Alir Pelaksanaan Tugas Akhir ................................................................. 6
Sistematika Penulisan ............................................................................................. 6
BAB II GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL ................................................ 8
Geologi Regional .................................................................................................... 8
Fisiografi dan Morfologi ................................................................................. 8
Stratigrafi ....................................................................................................... 10
Struktur Geologi ............................................................................................ 13
Hidrogeologi Regional .......................................................................................... 15
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN ................................................................... 18
Geomorfologi Daerah Penelitian .......................................................................... 18
Geomorfologi Umum Daerah Penelitian ....................................................... 18
Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai ............................................................ 20
Tahapan Geomorfik ....................................................................................... 21
Interpretasi Kelurusan.................................................................................... 23
Satuan Geomorfologi ..................................................................................... 23
Stratigrafi Daerah Penelitian ................................................................................. 30
iv
Satuan Batulempung ...................................................................................... 30
Satuan Batupasir-Batulempung ..................................................................... 33
Satuan Batupasir-Konglomerat ..................................................................... 35
Satuan Andesit ............................................................................................... 39
Satuan Tuf Lapili ........................................................................................... 40
Satuan Breksi Volkanik ................................................................................. 42
Satuan Endapan Aluvial ................................................................................ 43
Struktur Geologi Daerah Penelitian ...................................................................... 44
Antiklin Jalupang........................................................................................... 44
Sesar Mengiri Cigebang ................................................................................ 45
Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi ......................................................... 45
BAB IV SEJARAH GEOLOGI .......................................................................................... 47
BAB V HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN ...................................................... 48
Akuifer Daerah Penelitian .................................................................................... 48
Akuifer pada Satuan Batupasir – Batulempung ............................................ 48
Akuifer pada Satuan Batupasir-Konglomerat................................................ 49
Akuifer pada Satuan Tuf Lapili ..................................................................... 50
Akuifer pada Satuan Breksi Volkanik ........................................................... 51
Akuifer pada Satuan Endapan Aluvial .......................................................... 52
Pola Aliran Airtanah ............................................................................................. 53
Kualitas Airtanah .................................................................................................. 54
BAB VI KESIMPULAN ..................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 62

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Peta administrasi Jawa Barat dan lokasi daerah penelitian
(http://www.big.go.id/peta-provinsi diakses pada 16 Juni 2018) .......................................... 3
Gambar I.2 Diagram alir pelaksanaan penelitian .................................................................. 6
Gambar II.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) ........................................... 9
Gambar II.2 Penampang stratigrafi terpulihkan utara - selatan Jawa Barat (Martodjojo,
1984) .................................................................................................................................... 11
Gambar II.3 Pola struktur umum Jawa Barat (Pulunggono dan Martodjojo, 1994) ........... 14
Gambar II.4 Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta
(http://new.pamsimas.org diakses tanggal 10 Juli 2018) ..................................................... 15
Gambar II.5 Peta hidrogeologi regional daerah penelitian (Soetrisno, 1985) ..................... 16
Gambar III.1 Peta kemiringan lereng van Zuidam (1965) daerah penelitian ...................... 19
Gambar III.2 Citra SRTM yang memperlihatkan morfologi daerah penelitian
(http://earthexplorer.usgs.gov/ diakses tanggal 20 Maret 2018) ......................................... 20
Gambar III.3 Pola aliran dan genetik sungai di daerah penelitian ....................................... 21
Gambar III.4 (a) Lembah sungai “V” dan (b) lembah sungai “U” di daerah penelitian ..... 22
Gambar III.5 Longosoran kecil di sisi Sungai Cikeruh ....................................................... 22
Gambar III.6 (a) Kelurusan melalui citra SRTM (http://earthexplorer.usgs.gov/ diakses
tanggal 20 Maret 2018) dan (b) hasil analisis arah umum kelurusan daerah penelitian ..... 23
Gambar III.7 Morfologi Satuan Dataran Denudasional Struktur Lipatan Banggalamulya . 24
Gambar III.8 Morfologi Satuan Perbukitan Homoklin Talagasari ...................................... 25
Gambar III.9 Morfologi Satuan Kipas Lahar Ponggang (foto diambil menghadap selatan
dari desa Banggalamulya) ................................................................................................... 26
Gambar III.10 Morfologi Satuan Punggungan Lahar Cintamekar (foto diambil dari desa
Banggalamulya) ................................................................................................................... 27
Gambar III.11 Fragmen-fragmen batuan pada Satuan Dataran Aluvial Cigebang ............. 28
Gambar III.12 Morfologi Satuan Aliran Lava Tangkuban Parahu (http://www.wirasel.com/
diakses tanggal 20 Oktober 2018) ....................................................................................... 28
Gambar III.13 Morfologi Satuan Kerucut Gunung Tangkuban Parahu
(https://www.dakatour.com/ diakses tanggal 20 Oktober 2018) ......................................... 29
Gambar III.14 Kawah Gunung Tangkuban Parahu di dalam Satuan Kaldera Sunda.......... 30
Gambar III.15 Singkapan batulempung bernodul batupasir dan batulempung ................... 31
Gambar III.16 Singkapan batulempung sisipan batupasir di sisi Sungai Cisadapan........... 31
Gambar III.17 Diagram hubungan kecepatan arus air dengan ukuran butir Hjulström ...... 32
Gambar III.18 Singkapan perselingan batupasir-batulempung di Sungai Cikeruh ............. 33
Gambar III.19 Sekuen Bouma yang teramati di lapangan................................................... 34
Gambar III.20 Kontak selaras Satuan Batupasir - Batulempung dengan Satuan
Batulempung........................................................................................................................ 35
Gambar III.21 Singkapan perselingan batupasir-konglomerat pada Satuan Batupasir-
Konglomerat ........................................................................................................................ 36
Gambar III.22 Gerusan konglomerat pada batupasir........................................................... 37
Gambar III.23 Model endapan sedimen mekanisme arus butir (Boggs, 2001) ................... 37
Gambar III.24 Kontak tegas Satuan Batupasit - Konglomerat dengan Satuan Batupasir -
Batulempung........................................................................................................................ 38
vi
Gambar III.25 Singkapan Satuan Andesit di sisi Sungai Cikeruh ....................................... 39
Gambar III.26 Singkapan Satuan Tuf Lapili di Sungai Cilutung ........................................ 40
Gambar III.27 Model fasies pada gunungapi strato (Bogie dan Mackenzie, 1998 dalam
Bronto, 2006) ....................................................................................................................... 41
Gambar III.28 Tekstur pemilahan buruk pada litologi tuf breksi ........................................ 41
Gambar III.29 Singkapan Satuan Breksi Volkanik di Sungai Cibarubus............................ 42
Gambar III.30 Fragmen-fragmen penyusun Satuan Endapan Aluvial di Sungai Cikeruh .. 43
Gambar III.31 Klasifikasi lipatan Fleuty (1964) ................................................................. 44
Gambar III.32 Jejak sesar (a) slickenside, (b) shear fracture, dan (c) sesar minor ............. 45
Gambar III.33 Model pembentukan struktur geologi dengan tegasan pure shear oleh
Moody dan Hill (1956) ........................................................................................................ 46
Gambar V.1 Ilustrasi skematik akuifer bebas dan terkekang (Todd, 1980) ........................ 48
Gambar V.2 Rembesan airtanah pada batupasir .................................................................. 49
Gambar V.3 Sumur gali yang terdapat pada Satuan Batupasir – Konglomerat .................. 49
Gambar V.4 Salah satu dari beberapa model mata air (Bryan, 1919) ................................. 50
Gambar V.5 Sumur-sumur gali di daerah penelitian pada Satuan Tuf Lapili ..................... 51
Gambar V.6 Mata air panas pada Satuan Breksi Volkanik ................................................. 52
Gambar V.7 Model sistem geotermal gunungapi strato dengan induk batuan andesitik
(Stimac dkk., 2015) ............................................................................................................. 52
Gambar V.8 Mata air pada Satuan Endapan Aluvial di sisi Sungai Cilamaya .................... 53
Gambar V.9 Rembesan airtanah di sisi Sungai Cikeruh ..................................................... 54
Gambar V.10 Model hubungan muka airtanah dengan sungai secara influent dan effluent
(Meinzer, 1923) ................................................................................................................... 54
Gambar V.11 Peta sebaran pH pada daerah penelitian dengan kontur pH interval 0,1 ...... 56
Gambar V.12 Peta sebaran TDS pada daerah penelitian dengan kontur interval TDS 20 .. 57
Gambar V.13 Peta kelayakan air tanah pada daerah penelitian dengan parameter pH dan
TDS...................................................................................................................................... 58

vii
DAFTAR TABEL

Tabel V.1 Klasifikasi airtanah berdasarkan TDS (Freezy dan Cherry, 1979) ..................... 55

viii
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A-1 PETA LINTASAN


LAMPIRAN A-2 PETA GEOMORFOLOGI
LAMPIRAN A-3 PETA GEOLOGI
LAMPIRAN A-4 KOLOM STRATIGRAFI
LAMPIRAN A-5 PETA MUKA AIRTANAH
LAMPIRAN B ANALISIS PETROGRAFI
LAMPIRAN C ANALISIS MIKROPALEONTOLOGI
LAMPIRAN D ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI
LAMPIRAN E DATA HIDROGEOLOGI

ix
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kabupaten Subang secara geografis terletak di sebelah utara Gunung Tangkuban Parahu
yang sebagian besar daerahnya tersusun oleh endapan sedimen berumur Kuarter dengan
kemiringan tanah yang relatif landai. Secara morfologi daerah ini merupakan dataran
dengan bukit-bukit yang relatif rendah. Kabupaten Subang, khususnya bagian tengah,
dapat digolongkan kedalam daerah yang masih asri yang mana memiliki hutan-hutan
dengan pohon tinggi dan akses transportasi yang masih sangat terbatas. Berdasarkan data
BMKG pada tahun 2013, Kabupaten Subang bagian tengah merupakan daerah beriklim
tropis yang memiliki rata-rata suhu udara tahunan 25o-26oC dan kelembaban udara sekitar
79% dengan tingkat curah hujan normal yaitu kisaran 120-300 mm tiap bulannya.
Meskipun memiliki kondisi yang baik dan masih terjaganya daerah resapan air, hanya
sedikit warga setempat yang memanfaatkan air tanah melalui sumur gali untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Hal tersebut dikarenakan kurang baiknya kualitas dan kuantitas
air tanah sehingga masyarakat lebih cenderung menggunakan penampungan sumber mata
air dari dataran tinggi maupun menggunakan air dari PDAM daripada menggunakan sumur
gali. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai air tanah berkaitan dengan
kondisi geologi yang memengaruhinya sehingga keterdapatan dan kualitas air tanah dapat
diketahui dengan baik.

Pengetahuan akan sistem air tanah yang bekerja di daerah penelitian menjadi dasar untuk
mengetahui keterdapatan dan kualitas air tanah. Berbagai metoda eksplorasi hidrogeologi
di permukaan maupun bawah permukaan dapat dilakukan untuk mengetahui sistem air
tanah serta mengidentifikasi lapisan akuifernya. Salah satu metoda eksplorasi yang dapat
dilakukan yaitu pembuatan peta muka airtanah (MAT) beserta sistem dan kualitas air
tanahnya dengan objek yang diteliti yaitu sumber mata air dan air tanah pada sumur gali.
Eksplorasi hidrogeologi ini erat kaitannya dengan data-data geologi sehingga perlu
dilakukan pula suatu pemetaan geologi daerah penelitian.

1
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973) daerah penelitian yang
berada di Kabupaten Subang bagian tengah umumnya dibentuk oleh endapan sedimen
berumur Kuarter yang terbagi menjadi tiga satuan yaitu Formasi Subang Anggota
Batulempung (Msc), Formasi Kaliwangu (Pk), dan Formasi Tjitalang (Pt) yang menempati
bagian utara hingga tengah daerah penelitian. Sementara daerah selatan daerah penelitian
terdiri dari endapan gunung api Kuarter dengan ciri litologi yang dominan breksi volkanik
dan piroklastik yang terbagi menjadi Hasil Gunungapi Lebih Tua (Qob) dan Hasil
Gunungapi Muda Tak Teruraikan (Qyu) yang mana merupakan produk hasil dari Gunung
Tangkuban Perahu. Jenis litologi pada Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973)
tersebut menjadi dasar pembuatan Peta Hidrogeologi Lembar Cirebon (Soetrisno, 1985).
Berdasarkan keterdapatan dan produktivitas airtanahnya, Soetrisno (1985) membagi daerah
peneltian menjadi empat tipe yaitu Airtanah Langka, Produktifitas Rendah, Produktifitas
Sedang, dan Setempat Produktif. Munculnya variasi produktivitas air tanah tersebut
membuat Kabupaten Subang menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
 Menentukan tatanan geologi daerah penelitian meliputi geomorfologi, stratigrafi,
struktur geologi, dan menafsirkan sejarah geologi daerah penelitian yang disajikan
dalam bentuk peta geologi skala 1:25.000.
 Menentukan kondisi hidrogeologi daerah penelitian. Kondisi hadrogeologi yang
dimaksud yaitu tipologi sistem akuifer, sistem aliran air tanah, jenis akuifer,
kualitas air tanah, dan elevasi muka air tanahnya.

Lokasi Daerah Penelitian


Daerah penelitian berada di Kabupaten Subang bagian tengah yaitu sebelah utara Gunung
Tangkuban Parahu, sebelah selatan Tol Cipali, sebelah barat daya Kota Subang, dan
sebelah tenggara Kota Purwakarta dengan koordinat 6°34'04.06" - 6°38'23.01” LS dan
107°35'10.37" - 107°38'59.46 " BT yang mengacu pada sistem koordinat geodetik
(Gambar I.1). Luas daerah penelitian menempati area 56 km2 (8 km x 7 km). Secara
administratif, daerah penelitian termasuk kedalam Kecamatan Dawuan, Kecamatan
Kalijati, dan Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

2
Daerah penelitian dapat dicapai dengan menggunakan transportasi darat dan membutuhkan
waktu sekitar 105 menit. Perjalanan dimulai dari Kota Bandung melewati Kota Lembang
dan Ciater yang mana terhubung langsung menuju Jalan Cagak, Kabupaten Subang.
Kemudian, perjalanan menuju Kecamatan Serangpanjang dapat ditempuh selama 20 menit
dari Jalan Cagak. Sementara itu, untuk mencapai Kecamatan Dawuan dan Kecamatan
Kalijati yang mana merupakan area daerah penelitian bagian utara harus melewati Kota
Subang dan memerlukan waktu sekitar satu jam karena tidak baiknya akses penghubung
antar kecamatan di daerah penelitian.

Gambar I.1 Peta administrasi Jawa Barat dan lokasi daerah penelitian
(http://www.big.go.id/peta-provinsi diakses pada 16 Juni 2018)

Batasan Masalah
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada tinjauan masalah geologi dan hidrogeologi.
Permasalahan pada daerah penelitian antara lain:

1. Geomorfologi, meliputi pembagian satuan berdasarkan bentuk morfologi, genesa,


proses-proses endogen dan eksogen, dan tahapan geomorfik.

2. Stratigrafi, meliputi urutan stratigrafi, ciri litologi, umur, dan lingkungan


pengendapan tiap satuan batuan, serta hubungan antar satuan batuannya.

3. Struktur geologi, meliputi rezim gaya dan arah tegasan utama yang bekerja, serta
struktur geologi yang terbentuk.

4. Studi khusus mengenai hidrogeologi, meliputi tipologi sistem akuifer, pola aliran
airtanah, dan kualitas airtanah di daerah penelitian.

3
Metode dan Tahapan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemetaan geologi dan hidrogeologi
daerah penelitian dengan melakukan pengambilan data langsung di lapangan. Tahapan
penelitian meliputi empat tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengambilan data lapangan,
tahap analisis dan pengolahan data, dan tahap penyusunan laporan.

Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini meliputi pemilihan lokasi penelitian, studi pendahuluan, survei awal,
pengurusan administrasi, dan penyusunan proposal penelitian. Studi pendahuluan
dilakukan dengan studi literatur dari berbagai jurnal, makalah, publikasi, peta geologi
regional, dan peta hidrogeologi regional yang diperlukan sebagai kajian awal untuk
mendapatkan gambaran umum mengenai tatanan geologi regional daerah penelitian. Pada
studi pendahuluan dilakukan pula analisis data citra satelit, foto udara, dan peta topografi
daerah penelitian untuk mendapatkan gambaran kondisi geologi mengenai persebaran
litologi, orientasi lapisan, pola kelurusan, pola aliran sungai, dan daerah aliran sungai.

Survei awal merupakan peninjauan langsung ke lapangan yang bertujuan untuk melihat
kondisi umum daerah penelitian seperti lokasi singkapan batuan, kondisi singkapan batuan,
akses jalan menuju lokasi singkapan batuan, dan kondisi lingkungan daerah penelitian. Hal
ini diperlukan untuk membuat rencana lintasan serta mempersiapkan logistik dan
akomodasi yang diperlukan selama melaksanakan pemetaan di daerah penelian.

Tahap Pengambilan Data


Pada tahap ini dilakukan pengambilan data geologi dan hidrogeologi untuk memperoleh
data detil daerah penelitian yang diambil secara langsung di lapangan. Pengambilan data
lapangan meliputi:

- Observasi geomorfologi, meliputi pengamatan bentang alam, pola sungai, dan


tahapan erosi.
- Observasi singkapan, meliputi pengamatan litologi, tekstur batuan, kandungan
fosil, persebaran, dan struktur geologinya.
- Observasi mata air dan sumur gali, meliputi pengukuran elevasi MAT, temperatur
air tanah, kandungan zat padat terlarut (TDS), dan derajat keasaman (pH).

4
- Pengukuran struktur geologi, meliputi pengukuran kedudukan lapisan dan struktur
sekunder seperti rekahan yang terbentuk dan teramati.
- Pengambilan sample batuan, bertujuan untuk pengamatan lebih lanjut di
laboratorium guna mengidentifikasi batuan.
- Dokumentasi, meliputi catatan lapangan pada singkapan, mata air, dan sumur gali
beserta foto dan sketsanya.

Tahap Analisis dan Pengolahan Data


Tahap analisis dan pengolahan data ini meliputi analisis geomorfologi, biostratigrafi,
petrologi dan petrografi, struktur geologi, hidrogeologi, dan kalsimetri dari data-data
lapangan yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya. Analisis dan pengolohan data ini
dilakukan di laboratorium. Tahap ini diiringi dengan studi pustaka, studi literatur dan
diskusi dengan dosen pembimbing.

- Analisis geomorfologi, yaitu pembagian satuan geomorfologi berdasarkan data


geomorfologi yang telah diperoleh sebelumnya.
- Analisis petrologi secara megaskopis dan analisis petrografi, dilakukan untuk
identifikasi komposisi mineral dan jenis batuan dari sayatan tipis sampel.
- Analisis struktur geologi, dilakukan untuk menentukan struktur yang ada pada
daerah penelitian dan gaya-gaya yang memengaruhinya.
- Analisis hidrogeologi, dilakukan untuk mengetahui pola aliran, topologi akifer,
elevasi MAT, dan kualitas air tanah.dan struktur pengontrol penyebaran batuan
pada daerah tersebut.

Produk yang dihasilkan dari tahap ini berupa peta geomorfologi, peta lintasan, peta
geologi, peta hidrogeologi, penampang geologi, penampang stratigrafi, dan laporan ilmiah
tertulis mengenai studi geologi dan hidrogeologi di daerah penelitian.

Tahap Penyusunan Laporan


Tahap ini merupakan penyusunan naskah tugas akhir dari hasil penelitian yang mana
memuat peta lintasan, peta geomorfologi, peta geologi, kolom stratigrafi, peta
hidrogeologi, dan laporan tugas akhir.

5
Diagram Alir Pelaksanaan Tugas Akhir
Tahap dan mekanisme pelaksanaan penelitian sesuai dengan diagram alir pada Gambar I.2.

Gambar I.2 Diagram alir pelaksanaan penelitian

Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan ini dibagi menjadi enam bagian sebagai berikut:

BAB I Bab ini merupakan pembahasan tentang latar belakang penelitian, tujuan
penelitian, lokasi penelitian, batasan masalah, metode dan tahapan penelitian,
diagram, diagram alir pelaksanaan tugas akhir, dan sistematika penulisan
laporan.

BAB II Bab ini merupakan pembahasan tentang geologi regional yang meliputi
fisiografi, stratigrafi, struktur geologi, dan hidrogeologi daerah penelitian
sebagai gambaran umum dan berdasarkan studi literatur.

BAB III Bab ini membahas data hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian yang
meliputi pembagian satuan geomorfologi beserta tahapan geomorfiknya,
stratigrafi daerah penelitian berdasarkan pembagian satuan batuan, dan stuktur
geologi beserta mekanisme pembentukannya.

6
BAB IV Bab ini membahas tentang sejarah geologi daerah penelitian berdasarkan
interpretasi dari data-data lapangan hasil pengamatan dan analisisnya.

BAB V Bab ini membahas tentang identifikasi lapisan akuifer, pola aliran airtanah, dan
analisis kualitas airtanah daerah penelitian.

BAB VI Bab ini memuat kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan, analisis, dan
interpretasi data yang didapatkan dari studi literatur dan pemetaan lapangan.

7
BAB II
GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

Geologi Regional
Geologi regional merupakan informasi tentang tatanan geologi suatu daerah dengan
cakupan dan skala yang relatif luas. Geologi regional perlu dipelajari untuk memberikan
gambaran umum kondisi geologi di daerah penelitian dan menjadi dasar untuk
dilakukannya interpretasi awal faktor-faktor geologi yang memengaruhi kondisi geologi
daerah penelitian. Faktor-faktor geologi yang dapat ditinjau secara regional yaitu fisiografi,
morfologi, stratigrafi, dan struktur geologi regional.

Fisiografi dan Morfologi


Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu:
- Dataran Aluvial Utara Jawa Barat (Alluvial Plains of Northern Java)
Zona ini terletak paling utara, memanjang dari ujung barat Pulau Jawa hingga ke
kota Cirebon dengan lebar zona sekitar 40 km. Zona ini memiliki morfologi berupa
dataran yang umumnya ditutupi endapan sungai dan sebagian tertutupi endapan
lahar gunungapi kuarter.
- Zona Bogor (Bogor Antiklinorium)
Zona Bogor membentang barat-timur dari Rangkasbitung, Bogor, Purwakarta,
Subang, dan Sumedang, hingga ke Bumiayu di timur Zona Bogor, dengan lebar
zona diperkirakan maksimal 40 km. Zona Bogor memiliki kenampakan berupa
perbukitan rendah dengan struktur utama antiklin yang terlipat kuat berarah sumbu
barat-timur. Di bagian timur Zona Bogor sumbunya berubah arah menjadi berarah
barat laut-tenggara, sehingga area Zona Bogor terlihat sedikit melengkung dan
lebih cembung di batas zona bagian utara. Bagian inti dari Antiklinorium Bogor
terdiri dari lapisan-lapisan batuan sedimen berumur Miosen, sedangkan kedua
sayap antiklinnya terbentuk oleh lapisan-lapisan batuan berumur Pliosen hingga
Pleistosen Bawah. Setempat terdapat tubuh intrusi yang membentuk morfologi
relief terjal seperti G. Kromong di Cirebon dan G. Sanggabuana di Purwakarta.
- Zona Bandung (Central Depression Zone of Java)
Zona ini memiliki kenampakan depresi diantara gunung-gunung muda yang
membentang membentuk lengkungan dari Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah
8
Cimandiri, melewati Kota Bandung, hingga ke Segara Anakan di muara S.
Citanduy, dengan lebar zona antara 20 – 40 km. Menurut Van Bemmelen (1949),
Zona Bandung awalnya merupakan puncak geantiklin Jawa Barat yang kemudian
runtuh setelah terjadinya uplift dan terisi endapan gunungapi muda. Dibeberapa
tempat terdapat tinggian yang terbentuk dari endapan sedimen tua seperti G. Walat
di Sukabumi dan Perbukitan Rajamandala di Kabupaten Bandung.
- Pegunungan Selatan Jawa Barat (Southern Mountain)
Pannekoek (1946) membagi zona ini kedalam 19 morfologi dan terjadinya dua
generasi morfologi yaitu morfologi Pra-Miosen Akhir dan morfologi Resen yang
dibatasi oleh ketidak selarasan. Batas zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan
Zona Bandung dapat terlihat dengan perbedaan morfologi perbukitan bergelombang
pada Zona Bandung berbatasan dengan dataran tinggi zona Pegunungan Selatan
Jawa Barat.

Gambar II.1 menggambarkan pembagian fisiografi daerah Jawa Barat oleh van Bemmelen
(1949). Berdasarkan pembagian fisiografi Jawa Barat tersebut, daerah penelitian berada
pada Zona Bogor bagian tengah dan sebelah selatan sebagian tertutupi oleh endapan
gunungapi kuarter.

Gambar II.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

9
Stratigrafi
Berdasarkan mayoritas ciri sedimennya pada Zaman Tersier, secara umum
Martodjojo (1984) membagi daerah Jawa Barat kedalam tiga mandala sedimentasi, yaitu:
- Mandala Paparan Kontinen
Mandala ini berada di utara Mandala Cekungan Bogor dan lokasnya sama dengan
Zona Dataran Pantai Jakarta pada pembagian zona fisiografi Jawa Barat oleh van
Bemmelen (1949). Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya
terdiri dari batugamping, batulempung, dan batupasir kuarsa, serta lingkungan
pengendapan umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai
5000 m. Pada mandala ini pola transgresi dan regresi umumnya jelas terlihat.
- Mandala Cekungan Bogor
Mandala ini terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen yang meliputi beberapa
Zona Fisiografi van Bemmelen (1949), yakni: Zona Bogor, Zona Bandung, dan
Zona Pegunungan Selatan. Ciri mandala ini berupa endapan aliran gravitasi, yang
umumnya berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti: andesit, basalt,
tuf, dan batugamping, dengan ketebalan diperkirakan lebih dari 7000 m.
- Mandala Banten
Mandala Banten terletak di timur dari Mandala Paparan Kontinen dan Mandala
Cekungan Bogor. Mandala ini tidak memiliki ciri yang begitu jelas karena
sedikitnya data yang diketahui. Pada umur Tersier Awal, mandala ini lebih
menyerupai Mandala Paparan Kontinen, sedangkan pada Tersier Akhir cirinya
sangat mendekati Mandala Cekungan Bogor.

Berdasarkan pembagian mandala sedimentasi tersebut, daerah penelitian termasuk kedalam


Mandala Cekungan Bogor. Gambar II.2 menggambarkan penampang stratigrafi
terpulihkan utara-selatan daerah Jawa Barat oleh Martodjojo (1984).

10
Gambar II.2 Penampang stratigrafi terpulihkan utara - selatan Jawa Barat (Martodjojo,
1984)

Menurut Martodjojo (1984), formasi tertua yang menjadi dasar dari Mandala Cekungan
Bogor yaitu Formasi Ciletuh yang berumur Eosen Awal. Formasi ini diendapkan diatas
kompleks Mélange Ciletuh. Ciri litologi formasi ini berupa batulempung dan batupasir
kuarsa dengan sisipan breksi, kaya fragmen batuan metamorf dan batuan beku ultrabasa.
Bagian bawah dari formasi ini ditafsirkan sebagai endapan lereng atas dari suatu sistem
akresi, berubah secara berangsur menjadi ke menjadi endapan linkungan laut dangkal di
bagian atasnya. Pada Eosen Awal diendapkan pula Formasi Jatibarang dengan ciri batuan
beku, tufa, dan sisipan batugamping.

Pada umur Eosen Tengah sampai akhir diendapkan secara selaras Formasi Bayah diatas
Formasi Ciletuh yang memiliki ciri litologi batupasir kuarsa dan batulempung sisipan
batubara. Menurut Martodjojo (1984) diperkirakan lingkungan pengendapan formasi ini
yaitu darat sampai laut dangkal. Kemudian pada Oligosen Akhir diendapkan secara tidak
selaras Formasi Batuasih dengan ciri litologi batulempung, napal sisipan batupasir kuarsa.
Berdasarkan ciri batuannya, diperkirakan lingkungan pengandapan Formasi Batuasih
adalah lingkungan transisi.

Bersamaan dengan Formasi Batuasih, pada Oligosen Akhir sampai Miosen Awal
diendapkan Formasi Rajamandala secara tidak selaras diatas Formasi Bayah dan secara

11
lateral bagian bawah Formasi Rajamandala menjari dengan Formasi Batuasih (Martodjojo,
1984). Formasi Rajamandala memiliki ciri litologi berupa batugamping berlapis, dan di
beberapa tempat berkembang sebagai terumbu (Ps. Pabeasan dan Tjahyo Hadi, 1972 dalam
Martodjojo, 1984). Secara lateral jenis batugamping formasi ini banyak berubah.
Lingkungan pengendapan Formasih Rajamandala yaitu laut dangkal.

Pada Miosen Awal diendapakan Formasi Citarum dengan litologi batulempung napalan,
napal, batupasir, hingga batupasir konglomerat, dengan mekanisme pembentukannya yaitu
aliran gravitasi. Pada saat yang sama diendapkan pula Formasi Jampang yang terdiri dari
breksi dan tuf di selatan Formasi Citarum. Diinterpretasikan kedua formasi tersebut
merupakan satu sistem kipas laut dalam.

Pada Miosen Tengah diendapkan Formasi Saguling dengan litologi breksi secara selaras
diatas Formasi Citarum dengan mekanisme endapan turbidit. Pada Miosen Tengah juga
diendapkan Formasi Cibulakan dengan ciri litologi berupa napal, batulempung, dan
batulempung gampingan secara tidak selaras diatas Formasi Jatibarang.

Kemudian pada Miosen Tengah – Akhir Formasi Saguling ditutupi secara selaras oleh
batulempung dan greywacke anggota Formasi Bantargadung. Kemudian Formasi
Bantargadung ditutupi oleh breksi Formasi Cigadung dan breksi Formasi Cantayan di
utara. Kedua formasi tersebut kemudian ditutupi secara tidak selaran oleh endapan
gunungapi kuarter. Pada Miosen Akhir diendapkan pula batugamping Formasi Parigi
secara selaras diatas Formasi Cibulakan. Diatas Formasi Parigi diendapkan batulempung
dan napal menyerpih anggota Formasi Subang berumur Miosen Akhir yang kemudian
ditutupi oleh Formasi Kaliwangu berupa batulempung, batupasir, napal, dan sisipan
konglomerat berumur Pliosen Awal. Kemudian pada Pliosen Akhir – Pleistosen Awal
diendapkan Formasi Citalang diatas Formasi Kaliwangu berupa batupasir, konglomerat,
dan breksi yang berasal dari lidah Formasi Tambakan berumur Pleistosen Awal.

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung oleh Silitonga (1973), daerah penelitian terdiri
dari enam satuan batuan dari tua ke muda yaitu:
- Formasi Subang (Msc)
Formasi Subang didominasi oleh litologi batulempung berlapis dengan setempat

12
ditemukan lapisan-lapisan batugamping dan napal. Menurut peta geologi lembar
Bandung oleh Silitonga (1973), formasi ini berumur Miosen Akhir dengan
ketebalan sekitar 2900 m (Tjia, 1963).
- Formasi Kaliwangu (Pk)
Formasi Kaliwangu terdiri dari litologi batupasir tufa, konglomerat, batulempung,
dan setempat ditemukan batupasir gampingan dan batugamping. Menurut peta
geologi lembar Bandung oleh Silitonga (1973), formasi ini berumur Miosen Akhir-
Pliosen dengan ketebalan sekitar 600 m.
- Formasi Tjitalang (Pt)
Formasi Tjitalang terdiri dari litologi napal tufaan, diselingi oleh batupasir tufaan
dan konglomerat (Silitonga, 1973). Formasi ini berumur Pliosen dengan ketebalan
lapisan 500 – 600 m.
- Batupasir Tufaan, Lempung, dan Konglomerat (Qos)
Batupasir Tufaan, Lempung, dan Konglomerat memiliki ciri litologi batupasir tufa,
kadang mengandung batuapung lempung, konglomerat, breksi, dan pasir halus, dan
berumur Kuarter (Silitonga, 1973).
- Batuan Hasil Gunungapi Lebih Tua (Qob)
Batuan Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan memiliki umur Kuarter dengan
ketebalan sekitar 600 m yang mana dicirikan dengan litologi breksi, lahar, dan
batupasir tufa berlapis dengan kemiringan landai (Silitonga, 1973). Berdasarkan
peta geologi gunungapi lembar Gunung Tangkuban Parahu oleh Soetoyo dan
Hadisantono (1992), pada formasi ini juga ditemukan basalt hasil dari Lava
Kandangsapi dan andesit porfiritik hasil dari endapan Lava Gunung Pra Sunda.
- Batuan Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan (Qyu)
Batuan Hasil Gunungapi Lebih Tua berumur Kuarter dengan penciri litologi berupa
pasir tufaan, lapili, breksi, lava, dan aglomerat yang berasal dari Gunung
Tangkubanparahu dan Gunung Tampomas (Silitonga, 1973). Batuan ini
membentuk kenampakan dataran-dataran kecil dan bukit-bukit rendah yang ditutupi
oleh tanah berwarna abu-abu kekuningan dan kemerah-merahan.

Struktur Geologi
Pula Jawa merupakan busur kepulauan yang mana pembentukan dan pola strukturnya
diakibatkan oleh interaksi konvergen antara Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia,
13
dan Lempeng Pasifik. Menurut Hamilton (1979) dalam Hall (1995), terjadi pergerakan ke
arah utara dari Lempeng Indo-Australia, pergerakan ke arah baratlaut Lempeng Pasifik,
dan Lempeng Eurasia relatif tidak bergerak. Pergerakan ke arah utara Lempeng Indo-
Australia menyebabkan terjadinya penunjaman ke bawah Lempeng Eurasia.

Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), secara regional pola struktur yang
berkembang di Jawa Barat tebagi menjadi tiga pola struktur berdasarkan arah kelurusan
dominannya, yaitu:
- Pola Meratus berarah baratdaya-timurlaut, diwakili Sesar Cimadiri di Jawa Barat,
yang dapat diikuti ke timurlaut sampai batar timur Cekungan Zaitun dan Cekungan
Biliton.
- Pola Sunda berarah utara-selatan, diwakili sesar-sesar yang membatasi Cekungan
Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna.
- Pola Jawa berarah barat-timur, diwakili sesar-sesar naik seperti Sesar Baribis, serta
sesar-sesar naik di dalam Zona Bogor pada zona fisiografi van Bemmelen (1949).

Berdasarkan sketsa pola struktur umum di Jawa Barat (Pulunggono dan Martodjojo,
1994) (Gambar II.3), pola struktur yang berkembang di daerah penelitian yaitu Pola
Sunda dan Pola Jawa. Pola Sunda yang ada di daerah penelitian diwakili oleh sesar
mengiri dengan jurus berarah utara-selatan, sementara Pola Jawa diwakili oleh antiklin
dengan sumbu antiklin berarah cenderung barat-timur.

Gambar II.3 Pola struktur umum Jawa Barat (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)

14
Hidrogeologi Regional
Menurut UU no. 7 tahun 2004, cekungan air tanah (CAT) adalah suatu wilayah yang
dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Berdasarkan PP No. 43
Tahun 2008, kriteria CAT yaitu:
- mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan/atau
kondisi hidraulik air tanah;
- mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu sistem
pembentukan air tanah; dan
- memiliki satu kesatuan sistem akuifer.

Berdasarkan survei Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas),
daerah penelitian merupakan daerah bukan cekungan air tanah atau cekungan air tanah
tidak potensial yang mana lokasinya berada diantara Cekungan Air Tanah Subang dan
Cekungan Air Tanah Ciater seperti ditunjukkan pada Gambar II.4.

Gambar II.4 Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta
(http://new.pamsimas.org diakses tanggal 10 Juli 2018)

Menurut Soetrisno (1985), akuifer di daerah penelitian terdiri dari produktivitas airtanah
sedang persebaran luas, akuifer setempat produktif, produktivitas airtanah rendah setempat

15
berarti, dan airtanah langka, dengan tipe aliran melalui celah dan ruang antar butir
(Gambar II.5).

Gambar II.5 Peta hidrogeologi regional daerah penelitian (Soetrisno, 1985)

Akuifer produktivitas sedang penyebaran luas memiliki transmisivitas yang beragam,


elevasi muka airtanah umumnya dalam, debit pemunculan mata air beragam, dan debit
sumur umumnya kurang dari 5 liter/detik. Jenis akuifer ini dibentuk oleh endapan volkanik
tua yang terdiri dari breksi, lava, dan tufa, dan memiliki permeabilitas yang rendah sampai
sedang. Jenis akuifer ini tersebar pada bagian selatan daerah penelitian.

Akuifer setempat produktif memiliki transmisivitas yang beragam, elevasi muka airtanah
umumnya dalam, dan debit pemunculan mata air umumnya kecil. Jenis akuifer ini
umumnya tidak dimanfaatkan karena elevasi yang dalam. Jenis akuifer ini dibentuk oleh
endapan volkanik tak teruraikan yang terdiri produk gunungapi yang sudah terkonsolidasi

16
maupun belum, dan memiliki permeabilitas yang rendah sampai sedang. Jenis akuifer ini
tersebar pada bagian tenggara daerah penelitian.
Akuifer produktivitas rendah setempat berarti memiliki transmisivitas rendah, elevasi
muka airtanah umumnya dalam namun masih dapat manfaatkan, dan debit pemunculan
mata air umumnya kecil. Pada daerah lembah dan zona pelapukan, elevasi air tanah
umumnya dangkal. Jenis akuifer ini dibentuk oleh batuan sedimen dan endapan volkanik
tua, dan memiliki permeabilitas yang sedang hingga tinggi. Jenis akuifer ini tersebar pada
bagian tenggara dan sebagian kecil di utara daerah penelitian.

Daerah airtanah langka yaitu daerah yang mana airtanahnya tidak dapat dieksploitasi atau
tidak ada air tanah yang cukup berarti untuk dieksploitasi. Daerah ini umumnya terdiri dari
litologi batulempung dan napal dengan permeabilitas rendah sampai sangat rendah. Jenis
akuifer ini menmpati sebagian besar daerah penelitian yang tersebar pada bagian tengah,
utara, timur, dan barat daerah penelitian.

17
BAB III
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geomorfologi Daerah Penelitian


Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari morfologi permukaan bumi dan asal mula
pembentukannya. Proses pembentukan morfologi permukaan bumi disebut proses
geomorfik. Morfologi permukaan bumi merupakan hasil dari interaksi antara proses
endogen dan eksogen (Thornbury, 1969). Proses endogen bersifat konstruktif karena
merupakan proses yang terjadi akibat gaya yang berasal dari dalam bumi, seperti
pengangkatan, perlipatan, dan patahan. Sedangkan, proses eksogen umumnya bersifat
destruktif yang berasal dari permukaan bumi, seperti erosi, pelapukan, dan longsor, namun
terdapat pula yang bersifat konstruktif seperti proses sedimentasi.

Analisis awal geomorfologi dilakukan dengan melakukan analisis geomorfologi dari peta
topografi dan citra SRTM daerah penelitian. Analisis awal ini meliputi identifikasi bentuk
muka bumi, kemiringan lereng, pola aliran sungai, tipe genetik sungai, tahapan geomorfik,
dan interpretasi kelurusan. Kemudian analisis awal tersebut dilengkapi dengan data yang
diperoleh di lapangan. Pembagian satuan geomorfologi dalam penelitian tugas akhir ini
merujuk pada klasifikasi bentuk muka bumi oleh Brahmantyo dan Bandono (2006).
Dengan melakukan analisis geomorfologi diharapkan dapat membantu menginterpretasi
kondisi geologi di daerah penelitian.

Geomorfologi Umum Daerah Penelitian


Analisis geomorfologi daerah penelitian dilakukan berdasarkan interpretasi pada peta
topografi, citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission), dan dilengkapi oleh
pengamatan langsung di lapangan. Analisis terhadap peta topografi daerah penelitian
dilakukan dengan melakukan delineasi batas-batas satuan geomorfologi berdasarkan pola
aliran sungai, kerapatan kontur, pola kelurusan, dan kemiringan lereng, dengan
menggunakan peta topografi berskala 1:25.000. Analisis yang dilakukan terhadap citra
SRTM yaitu melakukan delineasi batas-batas satuan geomorfologi berdasarkan pola
kelurusan punggungan, lembah, warna, dan kesamaan tekstur. Kedua analisis tersebut
menghasilkan peta geomorfologi yang digunakan untuk interpretasi jenis litologi dan
struktur yang berkembang di daerah penelitian.
18
Secara umum, daerah penelitian terdiri dari punggungan dan dataran dengan perbukitan
rendah, dengan elevasi 87 – 633 meter diatas permukaan laut. Perbedaan elevasi yang
sangat signifikan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan litologi. Elevasi terendah berada
pada Sungai Cibodas dan elevasi tertinggi berada pada punggungan desa Jambelaer yang
terletak di tenggara daerah penelitian. Menurut klasifikasi kemiringan lereng van Zuidam
(1965), daerah penelitian memiliki kemiringan lereng yang bervariasi dari datar (0°-2°)
hingga sangat terjal (35°-55°). Secara umum, bagian selatan dari daerah penelitian
memiliki kemiringan lereng yang lebih curam dibandingkan daerah penelitian bagian utara.
Gambar III.1 menunjukkan peta kemiringan lereng di daerah penelitian.

Gambar III.1 Peta kemiringan lereng van Zuidam (1965) daerah penelitian

Berdasarkan citra SRTM daerah penelitian (Gambar III.2), dapat teramati bahwa bagian
utara daerah penelitian umumnya terdiri dari dataran dengan perbukitan yang relatif
rendah, sementara di bagian selatan terdiri dari dataran tinggi yang dibentuk oleh
punggungan. Berdasarkan perbedaan karakteristik tersebut, daerah penelitian secara lebih
rinci dibagi kedalam satuan-satuan geomorfologi dalam bentuk peta geomorfologi
(Lampiran A-2 Peta Geomorfologi).

19
Gambar III.2 Citra SRTM yang memperlihatkan morfologi daerah penelitian
(http://earthexplorer.usgs.gov/ diakses tanggal 20 Maret 2018)

Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai


Daerah penelitian memiliki tiga sungai utama yang umumnya berarah N-S dan menjadi
muara sungai-sungai di sekitarnya, yaitu Sungai Cikeruh, Sungai Cijurey, dan Sungai
Cibodas. Berdasarkan klasifikasi dan model pola aliran sungai oleh Hugget (2007), pola
aliran sungai yang berkembang di daerah penelitian yaitu pola dendritik, paralel, dan trellis
(Gambar III.3). Pola aliran sungai dendritik menyerupai bentuk cabang batang pohon
dengan berbagai arah dan sudut, dan terbentuk pada lapisan relatif horizontal dengan
resistensi batuan yang umumnya homogen. Pola aliran sungai paralel terbentuk pada lereng
yang curam dengan kemiringan yang umumnya seragam, dan membentuk pola aliran yang
sejajar dengan cabang sungai yang sedikit. Pola aliran sungai trellis dicirikan oleh sungai
utama yang mengalir sepanjang lembah dengan cabang-cabangnya membentuk sudut tegak
lurus sehingga menyerupai bentuk pagar. Pola aliran trellis dikontrol oleh struktur geologi
berupa perlipatan sinklin ataupun antilin dengan arah sungai utama mengikuti arah sumbu
lipatan. Pola aliran trellis di daerah penelitian dikontrol oleh antiklin berarah sumbu W-E.

Berdasarkan hubungan jurus dan kemiringan lapisan dengan arah aliran sungai oleh
Thornbury (1969), daerah penelitian terdiri dari tiga jenis genetik sungai yaitu sungai
subsekuen, sungai obsekuen, dan sungai konsekuen (Gambar III.3). Sungai yang termasuk
20
kedalam sungai subsekuen diantaranya Sungai Cilaja, Sungai Cibalapulang, Sungai
Cibayawak, Sungai Cipatra, dan Sungai Cisadapan. Arah aliran sungai-sungai utama pada
daerah penelitian umumnya berlawanan dengan arah kemiringan lapisan sehingga
termasuk kedalam jenis sungai obsekuen. Sungai-sungai yang berjenis sungai obsekuen
diantaranya Sungai Cikeruh, Sungai Cicalung, Sungai Cituak, Sungai Cicalung, Sungai
Citangkil, dan Sungai Cijurey. Sungai konsekuen berada di utara daerah penelitian,
mengikuti arah kemiringan lapisan sayap antiklin ke dengan kemiringan ke arah utara.
Sungai yang termasuk kedalam sungai konsekuen yaitu Sungai Cibodas, Sungai Cijurey,
dan Sungai Cikeruh sebelah utara.

Gambar III.3 Pola aliran dan genetik sungai di daerah penelitian

Tahapan Geomorfik
Tahapan geomorfik daerah penelitian ditentukan berdasarkan analisis dan pengamatan
terhadap saluran sungai, bentuk lembah sungai, dasar lembah sungai, sedimentasi, erosi,
dan hubungan dengan air tanah (Lobeck, 1931). Sungai-sungai yang terdapat di daerah
penelitian umumnya memiliki karakteristik saluran yang berkelok dan bercabang. Lembah
sungai-sungai di daerah penelitian memiliki dua karakteristik yaitu berbentuk “V” pada
hulu sungai-sungai kecil dan cabang sungai, serta berbentuk “U” pada sungai-sungai utama
(Gambar III.4).
21
a b

Gambar III.4 (a) Lembah sungai “V” dan (b) lembah sungai “U” di daerah penelitian

Dasar lembah sungai-sungai di daerah penelitian umumnya berjeram dan telah tertutupi
oleh sedimen, namun di beberapa hulu dan cabang sungai masih teramati singkapan batuan
menjadi dasar sungai dan belum tertutupi oleh sedimen. Pada tepi dalam lengkungan
sungai utama di daerah penelitian teramati telah terbentuknya point bar yang terdiri dari
material lepas fragmen batuan berukuran pasir hingga berangkal. Erosi yang terjadi di
daerah penelitian yaitu secara vertikal dan horizontal. Erosi vertikal ditunjukkan dengan
pembentukan lembah-lembah sungai berbentuk V seperti Sungai Cisadapan, Sungai
Cipatra, dan hulu Sungai Cikeruh. Sementara itu, terbentuknya longsoran-longsoran di tepi
sungai menandakan terjadinya erosi secara horizontal atau lateral yang mana
mengakibatkan lebar lembah semakin besar (Gambar III.5). Di beberapa sungai dijumpai
adanya rembesan air tanah pada dinding sungainya, sehingga dapat diketahui hubungan air
tanah dengan sungai yaitu effluent atau air tanah mengisi sungai.

Gambar III.5 Longosoran kecil di sisi Sungai Cikeruh

Berdasarkan kriteria tersebut, mengacu pada klasifikasi tahapan geomorfik oleh Lobeck
(1931) dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian secara umum memiliki tahapan
geomorfik dewasa.
22
Interpretasi Kelurusan
Penarikan kelurusan dilakukan pada punggungan, lembah, dan sungai dengan
menggunakan citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dan peta topografi.
Penarikan kelurusan bertujuan untuk menganalisis pola umum kelurusan daerah penelitian
dan dapat menjadi indikasi keberadaan struktur geologi. Pada daerah penelitian dilakukan
penarikan terhadap 79 kelurusan yang teramati dan dianalisis dengan menggunakan
diagram roset sehingga menghasilkan pola umum berarah utara-selatan (Gambar III.6).

a b

Gambar III.6 (a) Kelurusan melalui citra SRTM (http://earthexplorer.usgs.gov/ diakses


tanggal 20 Maret 2018) dan (b) hasil analisis arah umum kelurusan daerah penelitian

Satuan Geomorfologi
Pembagian satuan geomorfologi didasarkan pada kesamaan karakteristik bentuk muka
bumi yang diamati dengan menggunakan citra SRTM, peta topografi, dan pengamatan
langsung di lapangan. Penamaan satuan geomorfologi dilakukan berdasarkan pada
morfologi, genesa, dan nama lokasinya. Mengacu pada klasifikasi Bentuk Muka Bumi oleh
Brahmantyo dan Bandono (2006), daerah penelitian secara lebih luas dibagi menjadi
delapan satuan geomorfologi, yaitu: Satuan Denudasional Struktur Lipatan
Banggalamulya, Satuan Perbukitan Homoklin Talagasari, Satuan Punggungan Kipas Lahar
Ponggang, Satuan Punggungan Lahar Cintamekar, Satuan Dataran Aluvial Cigebang,
Satuan Aliran Lava Gunung Tangkuban Parahu, Satuan Kerucut Gunung Tangkuban
Parahu, dan Satuan Kaldera Sunda.

23
III.1.1.1. Satuan Dataran Denudasional Struktur Lipatan Banggalamulya
Satuan ini menempati 18,55 km2 atau 33,2% dari luas daerah penelitian, berada di bagian
utara daerah penelitian, dan ditandai dengan simbol berwarna biru muda pada peta
geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki ketinggian topografi antara 87 – 198
mdpl dengan kemiringan lereng antara 0° – 35° (0-70%). Berdasarkan klasifikasi oleh van
Zuidam (1985), satuan ini memiliki kemiringan lereng datar hingga curam.

Satuan ini menunjukkan morfologi berupa dataran dengan bukit-bukit rendah (Gambar
III.7). Pola aliran yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran trellis dengan tipe
genetik sungai obsekuen, konsekuen, dan subsekuen. Proses geomorfik yang dominan pada
satuan ini yaitu erosi dan longsoran. Satuan ini termasuk ke dalam tahap geomorfik dewasa
yang dicirikan oleh lembah sungai utama berbentuk “U” dan lembah cabang-cabang sungai
berbentuk “V”, terbentuk longsoran-longsoran di sisi sungai utama yang mana
menandakan terjadi erosi secara horizontal, dan di beberapa tempat terbentuk point bar
pada sungai utamanya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi penyusun satuan ini
yaitu didominasi oleh batulempung dan batupasir.

Gambar III.7 Morfologi Satuan Dataran Denudasional Struktur Lipatan Banggalamulya

III.1.1.2. Satuan Perbukitan Homoklin Talagasari


Satuan ini menempati 20,97 km2 atau 37,5% dari luas keseluruhan daerah penelitian,
berada di bagian tengah daerah penelitian memanjang barat – timur, dan ditandai dengan
simbol berwarna kuning pada peta geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki
ketinggian topografi antara 157 – 438 mdpl dengan kemiringan lereng antara 0° – 35° (0-
70%). Berdasarkan klasifikasi oleh van Zuidam (1985), satuan ini memiliki kemiringan
lereng datar hingga curam.

Satuan ini menunjukkan morfologi berupa punggungan dan perbukitan dengan kemiringan
cukup terjal ke arah utara yang ditunjukkan dengan pola kontur yang relatif rapat
24
renggang. Pola aliran yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran dendritik dan
paralel dengan tipe genetik sungai obsekuen dan subsekuen. Proses geomorfik yang
dominan pada satuan ini yaitu erosi vertikal dan horizontal. Satuan ini termasuk ke dalam
tahap geomorfologi dewasa yang dicirikan oleh lembah sungai utama berbentuk “U” dan
lembah cabang-cabang sungai berbentuk “V”, terbentuk lereng-lereng lembah yang cukup
curam akibat pembentukan sungai-sungai muda, sungai-sungai muda memotong batuan yg
lebih tidak resisten, dan di beberapa tempat terbentuk point bar pada sungai utamanya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi penyusun satuan ini yaitu didominasi oleh
perselingan batupasir-batulempung, batupasir, dan konglomerat. Gambar III.8
menunjukkan kenampakkan morfologi Satuan Perbukitan Homoklin Talagasari di
lapangan.

Gambar III.8 Morfologi Satuan Perbukitan Homoklin Talagasari

III.1.1.3. Satuan Punggungan Kipas Lahar Ponggang


Satuan ini menempati 6,21 km2 atau 11,1% dari luas keseluruhan daerah penelitian, berada
di bagian selatan hingga barat daya daerah penelitian dan ditandai dengan simbol berwarna
coklat pada peta geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki ketinggian topografi
antara 402 – 604 mdpl dengan kemiringan lereng antara 0° – 55° (0-140%). Berdasarkan
klasifikasi oleh van Zuidam (1985), satuan ini memiliki kemiringan lereng datar hingga
sangat curam.

Satuan ini merupakan kaki Gunung Tangkuban Parahu dengan ciri morfologi berupa bukit
dan punggungan dengan lereng yang terjal di bagian utaranya (Gambar III.9). Pola aliran
yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran dendritik dan paralel. Proses geomorfik
yang dominan pada satuan ini yaitu erosi secara vertikal. Satuan ini termasuk ke dalam
tahap geomorfologi muda yang dicirikan oleh lembah-lembah sungai berbentuk “V”
dengan lereng-lereng lembah yang cukup curam, dan sungai-sungai tidak bermeander.

25
Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi penyusun satuan ini yaitu tuf lapili dan
breksi piroklastik.

Gambar III.9 Morfologi Satuan Kipas Lahar Ponggang (foto diambil menghadap selatan
dari desa Banggalamulya)

III.1.1.4. Satuan Punggungan Lahar Cintamekar


Satuan ini menempati 7,95 km2 atau 14,2% dari luas keseluruhan daerah penelitian, berada
di bagian tenggara daerah penelitian dan ditandai dengan simbol berwarna jingga pada peta
geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki ketinggian topografi antara 393 – 633
mdpl yang mana merupakan titik tertinggi daerah peneitian, dengan kemiringan lereng
antara 0° – 55° (0-140%). Berdasarkan klasifikasi oleh van Zuidam (1985), satuan ini
memiliki kemiringan lereng datar hingga sangat curam.

Satuan ini menunjukkan morfologi berupa punggungan dengan lereng yang terjal ditandai
dengan kontur yang rapat. Pola aliran yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran
dendritik dan paralel. Proses geomorfik yang dominan pada satuan ini yaitu erosi secara
vertikal. Satuan ini termasuk ke dalam tahap geomorfologi muda yang dicirikan oleh
lembah-lembah sungai berbentuk “V” dengan lereng lembah yang cukup curam, dan
sungai-sungai tidak bermeander. Berdasarkan pengamatan dilapangan, litologi penyusun
satuan ini yaitu breksi volkanik dan batulapili. Gambar III.10 menunjukkan morfologi
punggungan Satuan Punggungan Lahar Cintamekar.

26
Gambar III.10 Morfologi Satuan Punggungan Lahar Cintamekar (foto diambil dari desa
Banggalamulya)

III.1.1.5. Satuan Dataran Aluvial Cigebang


Satuan ini menempati 2,21 km2 atau 4% dari luas keseluruhan daerah penelitian dan berada
di sepanjang Sungai Cikeruh, ditandai dengan simbol berwarna abu-abu pada peta
geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki ketinggian topografi antara 87 – 162
mdpl dengan kemiringan lereng antara 0° – 8° (0-15%). Berdasarkan klasifikasi oleh van
Zuidam (1985), satuan ini memiliki kemiringan lereng datar hingga miring.

Satuan ini menunjukkan morfologi berupa dataran yang memiliki kerapatan kontur yang
sangat renggang. Pola aliran yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran dendritik.
Proses geomorfik yang dominan pada satuan ini yaitu erosi secara lateral yang ditandai
oleh longsoran-longsoran kecil ditepi sungai. Satuan ini termasuk ke dalam tahap
geomorfologi tua yang dicirikan oleh terdapatnya sungai bermeander dengan lembah
berbentuk “U” dan dasar lembar sungai yang telah tertutupi aluvial. Sungai-sungai yang
pada satuan ini bertipe genetik sungai obsekuen dan konsekuen. Berdasarkan pengamatan
di lapangan, satuan ini disusun oleh fragmen-fragmen batuan berukuran kerikil hingga
bongkah yamg terdiri dari fragmen batulempung, batupasir, konglomerat, dan batuan beku
volkanik (Gambar III.11).

27
Gambar III.11 Fragmen-fragmen batuan pada Satuan Dataran Aluvial Cigebang

III.1.1.6. Satuan Aliran Lava Tangkuban Parahu


Satuan ini berada di sekitar kerucut Gunung Tangkuban Parahu dan ditandai dengan
simbol berwarna merah muda pada peta geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini
memiliki ketinggian topografi antara 633 – 968 mdpl. Satuan ini membentuk lereng
Gunung Tangkuban Parahu dengan morfologi berupa punggungan dan dataran yang
dicirikan dengan pola kontur rapat dan renggang. Sungai yang berkembang pada satuan ini
memiliki pola dendritik. Bentang alam yang terbentuk pada satuan ini digunakan warga
sebagai lahan untuk pemukiman, perkebunan, dan wisata. Terdapat banyak manifestasi
panas bumi berupa mata air panas yang dapat dijumpai pada satuan ini, sehingga
masyarakat setempat memanfaatkannya sebagai wisata pemandian air panas. Gambar
III.12 menggambarkan morfologi satuan ini berupa dataran di daerah Ciater yang
dimanfaatkan warga sebagai lahan perkebunan.

Gambar III.12 Morfologi Satuan Aliran Lava Tangkuban Parahu


(http://www.wirasel.com/ diakses tanggal 20 Oktober 2018)
28
III.1.1.7. Satuan Kerucut Gunungapi Tangkuban Parahu
Satuan ini mengelilingi kaldera Gunung Tangkuban Parahu dan ditandai dengan simbol
berwarna biru pada peta geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki ketinggian
topografi antara 968 – 1826 mdpl. Satuan ini menunjukkan morfologi berupa kerucut
gunungapi (Gambar III.13) dan dicirikan pola kontur rapat secara radial mengelilingi
puncak Gunung Tangkuban Parahu pada peta kontur topografi. Sungai yang berkembang
pada satuan ini memiliki pola sungai radial. Satuan ini tersusun oleh material volkanik
Gunung Tangkuban Parahu.

Gambar III.13 Morfologi Satuan Kerucut Gunung Tangkuban Parahu


(https://www.dakatour.com/ diakses tanggal 20 Oktober 2018)

III.1.1.8. Satuan Kaldera Sunda


Satuan ini berada pada puncak Gunung Tangkuban Parahu dan ditandai dengan simbol
berwarna merah pucat pada peta geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki
ketinggian topografi antara 1576 – 1826 mdpl. Satuan ini menunjukkan morfologi berupa
dataran yang dikelilingi gawir dengan ciri pola kontur renggang dikelilingi kontur rapat.
Geometri kaldera berbentuk oval dengan diameter 6,7 km. Kaldera ini berada pada
Kompleks Pegunungan Sunda yang terdiri dari Gunungapi Tangkuban Parahu, Gunung
Burangrang, dan Gunung Sunda. Tiga gunung pada Kompleks Pegunungan Sunda tersebut
merupakan tubuh dari Gunungapi Purba Sunda. Gunungapi Purba Sunda mengalami erupsi
yang menyebabkan puncak gunungnya runtuh sehingga terbentuk kaldera (Kartadinata,
2005 dalam Surmayadi, dkk. 2011). Satuan ini tersusun oleh material volkanik Gunung
Tangkuban Parahu. Gambar III.14 merupakan kawah Gunung Tangkuban Parahu yang
berada di dalam Kaldera Sunda.
29
Gambar III.14 Kawah Gunung Tangkuban Parahu di dalam Satuan Kaldera Sunda

Stratigrafi Daerah Penelitian


Pembagian dan penamaan satuan batuan di daerah penelitian dilakukan berdasarkan ciri-
ciri litologinya meliputi jenis, kombinasi, dan ciri fisik batuan yang diamati di lapangan.
Identifikasi satuan batuan dilakukan secara megaskopis pada batuan yang tersingkap di
lapangan dan secara mikroskopis pada sayatan tipis sampel batuan di laboratorium.
Berdasarkan hasil analisis dan identifikasi, stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi
tujuh satuan batuan tidak resmi. Satuan batuan tersebut dari tua ke muda yaitu Satuan
Batulempung, Satuan Batulempung – Batupasir, Satuan Batupasir – Konglomerat, Satuan
Andesit, Satuan Tuf Lapili, Satuan Breksi Volkanik, dan Satuan Endapan Aluvial,
sebagaimana di tunjukkan pada kolom stratigrafi daerah penelitian (Lampiran A-4).

Satuan Batulempung
Satuan ini menempati 30,7% daerah penelitian, tersebar di bagian utara daerah penelitian,
dan ditandai dengan warna hijau pada peta geologi (Lampiran A-3). Penamaan satuan ini
didasarkan pada litologi batulempung sebagai litologi dominan pembentuk satuan ini.
Satuan ini tersingkap baik di Sungai Cikeruh, Sungai Cijurey, Sungai Citangkil, dan
Sungai Cisadapan di bagian utara daerah penelitian (Lampiran A-1 Peta Lintasan).

Satuan Batulempung disusun oleh litologi batulempung masif dan batulempung sisipan
batupasir, setempat terdapat nodul batulempung, batupasir, dan batugamping. Litologi

30
batulempung pada satuan ini memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap hingga abu-abu
kecoklatan, ukuran butir lempung, porositas buruk, dan getas. Menurut analisis petrografi,
batulempung pada satuan ini adalah mudrock (Pettijohn, 1973). Batupasir hadir sebagai
sisipan pada batulempung dengan ciri-ciri berwarna putih kecoklatan, berukuran pasir
sangat halus-halus, membundar, terdiri dari fragmen litik andesit dan mineral plagioklas,
matriks detritus lempung, kemas tertutup, kompak, porositas sedang. Gambar III.15
merupakan singkapan batulempung di sisi Sungai Cikeruh.

Gambar III.15 Singkapan batulempung bernodul batupasir dan batulempung

Jurus umum lapisan berarah barat-timur dengan kemiringan ke arah utara dan selatan.
Terdapatnya dua arah orientasi kemiringan mengindikasikan terdapatnya struktur lipatan
yang berupa antiklin. Pengukuran kedudukan lapisan tersebut dilakukan pada batulempung
sisipan batupasir (Gambar III.16).

Gambar III.16 Singkapan batulempung sisipan batupasir di sisi Sungai Cisadapan


31
Lingkungan pengendapan satuan ini dapat ditentukan dengan menganalisis foraminifera
bentonik pada sampel batulempung (Lampiran C). Mengacu pada klasifikasi Robertson
Research (1983), satuan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan neritik tengah (20 –
100 m). Berdasarkan pada Diagram Hjulström (Gambar III.17), batulempung dengan
ukuran butir lempung pada satuan ini diendapakan dengan mekanisme suspensi pada
lingkungan berarus tenang.

Gambar III.17 Diagram hubungan kecepatan arus air dengan ukuran butir Hjulström

Umur satuan ini diestimasi dengan menganalisis fosil formanifera planktonik yang teramati
pada sampel batulempung (Lampiran C). Pengamatan terhadap tiga sampel batulempung
menunjukkan terdapatnya fosil Globorotalia laguaensis, serta kemunculan Globigerina
bulloides dan Globorotalia acostaensis acostaensis. Berdasarkan pengamatan terhadap
sampel batulempung tersebut, menurut Blow (1969) diketahui Satuan Batulempung
memiliki umur Miosen Akhir (N16 – N17).

Ketebalan Satuan Batulempung tidak dapat diketahui secara pasti karena pada daerah
penelitian tidak tersingkap satuan batuan yang lebih tua di bawah satuan ini. Berdasarkan
rekonstruksi penampang geologi, satuan ini diperkirakan memiliki ketebalan >945 m. Oleh
karena tidak adanya satuan yang secara stratigrafi lebih tua tersingkap di daerah penelitian,
maka Satuan Batulempung merupakan satuan tertua yang terdapat di daerah penelitian.

Berdasarkan kesamaan karakteristik litologi batulempungnya, satuan ini disetarakan


dengan Formasi Subang (Martodjojo, 1984).

32
Satuan Batupasir-Batulempung
Satuan ini menempati 23,4% luas daerah penelitian, tersebar di bagian tengah daerah
penelitian yang memanjang arah barat-timur, dan ditandai dengan warna kuning pada peta
geologi (Lampiran A-3). Penamaan satuan ini didasarkan pada perulangan antara litologi
batupasir dan batulempung sebagai litologi dominan penyusun satuan ini. Satuan ini
tersingkap baik di Sungai Cikeruh, Sungai Cihalang, Sungai Cibayawak, dan Sungai
Citangkil. Gambar III.18 merupakan singkapan perselingan batupasir-batulempung di
Sungai Cikeruh dengan kode stasiun RE-2 pada peta lintasan (Lampiran A-1).

Gambar III.18 Singkapan perselingan batupasir-batulempung di Sungai Cikeruh

Satuan ini tersusun oleh litologi batupasir sangat halus hingga kasar, batupasir tufan,
batupasir karbonatan, batupasir konglomeratan, batupasir sisipan konglomerat, dan
batulempung, dengan ketebalan masing-masing lapisan antara 6 cm – 2,4 meter. Litologi
batupasir pada satuan ini memiliki ciri-ciri berwarna putih kecoklatan hingga abu gelap,
ukuran butir pasir sangat halus-kasar, membundar tanggung - membundar, terpilah baik,
terdiri dari fragmen litik andesit dan basalt, mineral plagioklas, biotit, kalsit, glaukonit, dan
gelas volkanik, matriks lempung hingga pasir halus, kemas tertutup, kompak, porositas
baik. Hasil analisis petrografi menunjukkan batupasir pada satuan ini adalah litharenite dan
lithic arkose (Pettijohn, 1973). Struktur sedimen yang terdapat pada batupasir yaitu
parallel lamination, cross lamination, reverse gradding, dan termati adanya Sekuen
Bouma (Gambar III.19). Batulempung pada satuan ini berwarna abu-abu terang hingga
abu-abu kecoklatan, ukuran butir lempung, karbonatan, porositas buruk. Konglomerat yang
hadir sebagai sisipan memiliki ciri warna coklat gelap, ukuran butir butiran hingga kerikil,

33
membundar, terpilah sedang, terdiri dari fragmen litik andesit, basalt, kalsit, oksida besi,
matriks pasir sedang, grain supported, kemas terbuka, kompak, porositas buruk.

Gambar III.19 Sekuen Bouma yang teramati di lapangan


Kedudukan lapisan pada satuan ini memiliki jurus umum berarah barat daya-timur laut
dengan kemiringan ke arah tenggara. Semakin ke timur terjadi perubahan arah orientasi
jurus yang mana cenderung berubah menjadi barat-timur. Kemiringan lapisan memiliki
besaran antara 23° – 47°.

Lapisan-lapisan batupasir di lapangan teramati menunjukkan pola penebalan dan butir


penyusunnya mengasar keatas seiring semakin mudanya lapisan, sehingga diketahui
suksesi vertikal pada litologi batupasir menunjukkan pola coarsening upward dan
thickening upward. Teramati lapisan batupasir yang mengerosi lapisan dibawahnya,
sehingga dapat disimpulkan lapisan-lapisan pada satuan ini tidak mengalami pembalikan.
Semakin muda lapisan pada satuan ini, ketebalan batupasir semakin tebal dan muncul
sisipan konglomerat dengan ketebalan 35 cm. Pada Satuan Batupasir-Batulempung bagian
atas, umumnya batupasir memiliki ukuran butir yang lebih kasar dan teramatinya fragmen
gelas volkanik.

Lingkungan pengendapan satuan ini dapat ditentukan dengan menganalisis foraminifera


bentonik pada sampel batupasir pasir sangat halus dan batupasir halus. Mengacu pada
klasifikasi Robertson Research (1983), satuan ini diendapkan pada lingkungan
pengendapan neritik dalam (0 – 20 m). Teramatinya unit-unit dalam Sekuen Bouma
menunjukkan bahwa satuan ini diendapkan dengan mekanisme arus turbidit.

34
Umur satuan ini diestimasi dengan menganalisis fosil formanifera planktonik yang teramati
pada sampel batupasir dan batulempung (Lampiran C). Pengamatan terhadap sampel
batulempung dan batupasir halus menunjukkan terdapatnya kemunculan akhir Globigerina
nepenthes dan Globigerinoides obliquus, serta kemunculan awal Globigerinoides ruber
dan Globigerinoides conglobatus. Berdasarkan pengamatan tersebut, mengacu pada Blow
(1969), diketahui Satuan Batupasir-Batulempung memiliki umur Pliosen Awal (N18 –
N19).

Ketebalan satuan ini diketahui dengan rekonstruksi penampang pada peta geologi
(Lampiran A-3). Berdasarkan rekonstruksi penampang tersebut diperkirakan Satuan
Batupasir-Batulempung memiliki ketebalan ±960 m. Pengamatan langsung di lapangan
menunjukkan kontak selaras antara Satuan Batupasir-Batulempung dengan Satuan
Batulempung (Gambar III.20). Ditinjau analisis foraminifera, tidak adanya time gap antara
umur satuan ini dengan umur satuan dibawahnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara Satuan Batupasir-Batulempung dengan Satuan Batulempung yang
ada di bawahnya yaitu selaras.

Gambar III.20 Kontak selaras Satuan Batupasir - Batulempung dengan Satuan


Batulempung
Berdasarkan ciri-ciri litologinya, satuan ini disetarakan dengan Formasi Kaliwangu
(Martodjojo, 1984).

Satuan Batupasir-Konglomerat
Satuan ini menempati 14% luas daerah penelitian dan tersebar di bagian tengah hingga ke
timur daerah penelitian, berada di selatan Satuan Batupasir, ditandai dengan warna jingga
pada peta geologi (Lampiran A-3). Penamaan satuan ini didasarkan pada perselingan
35
litologi batupasir dan konglomerat sebagai penyusun utamanya. Satuan ini tersingkap baik
di Sungai Cikeruh, Sungai Cibayawak, dan Sungai Ciburial. Gambar III.21 merupakan
singkapan perselingan batupasir-konglomerat di Sungai Cibayawak dengan kode stasiun
RJ-2 pada peta lintasan (Lampiran A-1).

Gambar III.21 Singkapan perselingan batupasir-konglomerat pada Satuan Batupasir-


Konglomerat

Satuan ini disusun oleh litologi batupasir halus hingga kasar, konglomerat, dan
batulempung. Ketebalan masing-masing litologi yang teramati di lapangan yaitu antara 15
cm – 2,5 m. Litologi batupasir pada satuan ini memiliki ciri-ciri berwarna coklat gelap,
abu-abu gelap, abu-abu kecoklatan, ukuran butir pasir sedang – kasar, membundar
tanggung - membundar, terpilah baik, terdiri dari fragmen litik, mineral plagioklas,
ortoklas, biotit, mineral opak, gelas volkanik, dan karbonan, matriks lanau hingga pasir
halus, kemas tertutup, kompak, porositas sedang – buruk. Hasil analisis petrografi
menunjukkan batupasir pada satuan ini adalah lithic arkose dan litharenite (Pettijohn,
1973). Struktur sedimen yang terdapat pada batupasir yaitu parallel lamination dan reverse
gradding. Konglomerat memiliki ciri warna abu-abu gelap, ukuran butir butiran hingga
bongkah, membundar, terpilah buruk, terdiri dari fragmen litik andesit, basalt, oksida besi,
kalsit, batupasir, matriks pasir sedang, grain supported, kemas terbuka, kompak, porositas
buruk. Batulempung pada satuan ini berwarna abu-abu, abu-abu kehijauan, ukuran butir
lempung, karbonan, porositas buruk.

36
Kedudukan lapisan pada satuan ini memiliki jurus umum berarah barat daya-timur laut dan
cenderung berubah menjadi barat-timur di sebelah timur daerah penelitian, dengan
kemiringan ke arah tenggara.

Lingkungan pengendapan satuan ini ditentukan berdasarkan karakteristik litologi


pembentuk satuan ini. Keterdapatan fragmen karbon pada litologi konglomerat dan
batupasir mengindikasikan litologi terbentuk dekat atau di darat. Berdasarkan pengamatan
di lapangan, lapisan batuan yang lebih muda pada satuan ini didominasi oleh litologi
konglomerat dengan struktur sedimen masif dan tidak teramatinya gradding. Lapisan
litologi konglomerat juga teramati menggerus lapisan litologi batupasir yang ada
dibawahnya (Gambar III.22). Mengacu pada model endapan sedimen Boggs (2001)
(Gambar III.23), satuan ini diperkirakan diendapkan dengan mekanisme arus butir.

Gambar III.22 Gerusan konglomerat pada batupasir

Gambar III.23 Model endapan sedimen mekanisme arus butir (Boggs, 2001)
37
Penentuan umur satuan ini tidak dapat dilakukan dengan menganalisis mikropaleontologi
karena tidak terdapatnya fosil foraminifera planktonik pada sampel yang diambil dari
satuan ini. Penentuan umur satuan dilakukan berdasarkan hukum superposisi dan mengacu
pada peneliti sebelumnya. Menurut Koenigswald (1933) dalam Martodjojo (1984), satuan
ini memiliki rentang umur N20 – N22, sehingga diperkirakan satuan ini berumur Pliosen
Tengah hingga Pliosen Akhir. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kontak lapisan batuan
antara satuan ini dengan satuan dibawahnya yaitu tegas (Gambar III.24). Oleh karena tidak
adanya time gap dengan satuan batuan dibawahnya dan kedudukan yang relatif sama,
maka hubungan stratigrafi satuan ini dengan satuan dibawahnya adalah selaras.

Gambar III.24 Kontak tegas Satuan Batupasit - Konglomerat dengan Satuan Batupasir -
Batulempung

Ketebalan satuan ini diketahui dengan rekonstruksi penampang pada peta geologi
(Lampiran A-3). Berdasarkan rekonstruksi penampang tersebut diperkirakan Satuan
Batupasir-Konglomerat memiliki ketebalan >1330 m. Pada pengamatan di lapangan
teramati bahwa kedudukan lapisan-lapisan pada satuan ini relatif sama dengan kedudukan
lapisan-lapisan satuan di bawahnya. Oleh karena tidak adanya time gap dengan satuan
batuan dibawahnya dan kedudukan lapisan batuan yang relatif sama, maka hubungan
stratigrafi Satuan Batupasir-Konglomerat dengan Satuan Batupasir-Batulempung
dibawahnya adalah selaras.

Berdasarkan ciri-ciri litologinya, satuan ini disetarakan dengan Formasi Citalang


(Martodjojo, 1984).

38
Satuan Andesit
Satuan ini menempati 0,5% luas daerah penelitian dan berada di bagian tengah daerah
penelitian, ditandai dengan warna merah pada peta geologi (Lampiran A-3). Penamaan
satuan ini didasarkan pada intrusi andesit. Satuan ini tersingkap baik di sisi Sungai Cikeruh
(Gambar III.25) dengan kode stasiun RD-8 pada peta lintasan (Lampiran A-1).
Kenampakan di lapangan menunjukkan instrusi andesit memotong batuan sedimen secara
diskordan sehingga penulis menginterpretasikan geometri intrusi andesit berupa korok.

Gambar III.25 Singkapan Satuan Andesit di sisi Sungai Cikeruh

Satuan ini disusun oleh litologi andesit masif yang memiliki ciri-ciri berwarna abu gelap
bintik-bintik putih, tekstur porfiritik, besar butir halus (<1 mm), inequigranular, fenokris
berupa mineral plagioklas, kompak. Hasil analisis petrografi menunjukkan andesit pada
satuan ini memiliki tekstur khusus intergrabular dan sieve, bentuk kristal idiomorfik-
hipidiomorfik, dan masadasar berupa mikrolit plagioklas dan mineral oksida besi.

Penentuan umur Satuan Andesit mengacu pada peneliti sebelumnya. Menurut van
Bemmelen (1949) terbentuk bukit-bukit intrusi andesit berumur Pliosen Akhir hingga
Pleistosen Awal di daerah Purwakarta yang mana berada di timur daerah penelitian,
sehingga penulis meginterpretasikan satuan ini terbentuk pada rentang waktu yang relatif
sama dengan pembentukkan intrusi andesit tersebut. Diperkirakan intrusi andesit ini
berasosiasi dengan aktivitas vulkanisme Gunung Pra-Sunda yang terjadi pada Pleistosen
Awal (Sunardi dan Kimura, 1998).

Berdasarkan ciri-ciri litologi, umur, dan lokasinya, satuan ini disetarakan dengan satuan
batuan Andesit (Silitonga, 1973).

39
Satuan Tuf Lapili
Satuan ini menempati 14,8% luas daerah penelitian dan tersebar di bagian selatan dan barat
daya daerah penelitian, ditandai dengan warna merah muda pada peta geologi (Lampiran
A-3). Penamaan satuan ini didasarkan pada litologi tuf lapili sebagai penyusun utamanya.
Satuan ini tersingkap baik di Sungai Cilutung, Sungai Ciledang, Sungai Cilamaya, dan
Gunung Leutik. Gambar III.26 merupakan singkapan batulapili di Sungai Cilutung dengan
kode stasiun RK-6 pada peta lintasan (Lampiran A-1).

Gambar III.26 Singkapan Satuan Tuf Lapili di Sungai Cilutung

Satuan ini disusun oleh litologi tuf lapili, tuf, dan tuf breksi. Litologi tuf lapili pada satuan
ini memiliki ciri-ciri berwarna putih kecoklatan, ukuran butir abu halus – lapili,
membundar tanggung-membundar, terpilah sedang-buruk, terdiri dari gelas volkanik,
mineral plagioklas, biotit, hornblende, mineral opak, matriks abu halus, kemas terbuka,
porositas baik-sedang. Hasil analisis petrografi menunjukkan tuf lapili pada satuan ini
adalah tuf lapili (Fisher, 1966). Tuf breksi memiliki ciri warna abu-abu keputihan bercak
abu-abu gelap dan merah gelap, agak lapuk, ukuran butir lapili hingga blok, menyudut
tanggung-menyudut, terpilah buruk, fragmen polimik terdiri dari batuan beku basalt dan
andesit pofiritik, matriks debu kasar, matrix supported, kemas terbuka, kompak, porositas
sedang. Tuf memiliki ciri warna putih, lapuk, ukuran butir debu halus – kasar, matriks
debu halus, getas, porositas buruk.

Mengacu pada model fasies pada gunungapi strato oleh Bogie dan Mackenzie (1998)
dalam Bronto (2006) (Gambar III.27), berdasarkan lokasinya yang berada di kaki
gunungapi dan litologi penyusunnya, satuan ini diendapkan pada fasies proksimal hingga

40
medial. Ditinjau dari tekstur tuf breksi yang memiliki pemilahan buruk (Gambar III.28),
menurut karakteristik piroklastik berdasarkan mekanisme pembentukannya oleh McPhie
dkk. (1993), diperkirakan satuan ini diendapkan melalui mekanisme aliran piroklastik.

Gambar III.27 Model fasies pada gunungapi strato (Bogie dan Mackenzie, 1998 dalam
Bronto, 2006)

Gambar III.28 Tekstur pemilahan buruk pada litologi tuf breksi

Penentuan umur dilakukan dengan mengacu pada kesebandingan satuan dengan peneliti
sebelumnya. Menurut Sunardi dan Kimura (1998), hasil aktivitas vulkanisme Gunung
Sunda pada Kala Pleistosen menghasilkan produk erupsi berupa batuan beku vulkanik
beserta piroklastik dengan fragmen berupa material juvenil dan litik andesit dan basaltik.
Berdasarkan persebaran dan kemiripan litologinya, diperkirakan Satuan Tuf Lapili
memiliki umur Pleistosen (Sunardi dan Kimura, 1998).

Ketebalan satuan ini diketahui dengan rekonstruksi penampang pada peta geologi
(Lampiran A-3). Berdasarkan rekonstruksi penampang tersebut diperkirakan Satuan Tuf
Lapili memiliki ketebalan ±200 m. Adanya time gap antara pembentukan satuan ini dengan
satuan batuan sedimen dibawahnya menunjukkan hubungan stratigrafi satuan ini dengan
satuan batuan dibawahnya yaitu tidak selaras.
41
Berdasarkan ciri-ciri litologinya, satuan ini disetarakan dengan Piroklastik Sunda (Sunardi
dan Kimura, 1998) dan Formasi Tambakan (Martodjojo, 1984).

Satuan Breksi Volkanik


Satuan ini menempati 12,3% luas daerah penelitian dan tersebar di bagian tenggara daerah
penelitian, ditandai dengan warna coklat pada peta geologi (Lampiran A-3). Penamaan
satuan ini didasarkan pada litologi breksi volkanik sebagai penyusun utamanya. Satuan ini
tersingkap baik di Sungai Cibarubus. Gambar III.29 merupakan singkapan breksi di Sungai
Cibarubus dengan kode stasiun RO-2 pada peta lintasan (Lampiran A-1).

Gambar III.29 Singkapan Satuan Breksi Volkanik di Sungai Cibarubus

Satuan ini disusun oleh litologi breksi volkanik dan batulapili. Breksi volkanik pada satuan
ini merupakan endapan lahar dengan ciri litologi berwarna abu-abu gelap, ukuran butir
butiran hingga bongkah, menyudut tanggung-menyudut, terpilah buruk-baik, fragmen
terdiri dari batuan beku andesit dan basalt, matriks berupa tuf kasar dan lempung, kompak,
porositas buruk. Pada Sungai Cibarubus tersingkap dengan baik breksi volkanik yang
memiliki tekstur grain supported hingga matrix supported. Litologi batulapili pada satuan
ini memiliki ciri-ciri berwarna putih kecoklatan, ukuran butir abu halus – lapili,
membundar tanggung-membundar, terpilah sedang-buruk, terdiri dari gelas volkanik,
mineral plagioklas, hornblende, mineral opak, matriks abu halus, kemas terbuka, porositas
sedang.

Mengacu pada model fasies pada gunungapi strato oleh Bogie dan Mackenzie (1998)
dalam Bronto (2006), Satuan Breksi Volkanik bersama dengan Satuan Tuf Lapili
merupakan endapan gunungapi fasies medial. Hal ini diidentifikasi berdasarkan lokasinya

42
yang berada di kaki gunungapi dan kemiripan jenis litologi penyusun satuan ini dengan
himpunan litologi penciri fasies medial endapan gunungapi strato.
Penentuan umur dilakukan dengan mengacu pada kesebandingan satuan dengan peneliti
sebelumnya. Menurut Martodjojo (1984), vulkanisme di Kompleks Pegunungan Sunda
menghasilkan produk berupa breksi lahar dengan komponen batuan beku, tuf pasiran, dan
lempung. Berdasarkan persebaran dan kemiripan litologinya, diperkirakan Satuan Breksi
Volkanik memiliki umur Pleistosen (Martodjojo, 1984).

Ketebalan satuan ini diketahui dengan rekonstruksi penampang pada peta geologi
(Lampiran A-3). Berdasarkan rekonstruksi penampang tersebut diperkirakan Satuan Breksi
Volkanik memiliki ketebalan ±225 m. Diperkiran satuan ini dengan Satuan Tuf Lapili
dibawahnya terbentuk pada waktu yang relatif bersamaan sehingga hubungan statigrafi
antara Satuan Breksi Volkanik dengan Satuan Tuf Lapili dibawahnya yaitu selaras.

Berdasarkan ciri-ciri litologinya, satuan ini disetarakan dengan Formasi Tambakan


(Martodjojo, 1984).

Satuan Endapan Aluvial


Satuan ini menempati 4,3% luas daerah penelitian dan tersebar sepanjang Sungai Cikeruh
dan Sungai Cilamaya yang terdapat di daerah penelitian, ditandai dengan warna abu-abu
pada peta geologi (Lampiran A-3). Satuan ini disusun oleh material-material lepas
berukuran pasir hingga bongkah, bentuk butir membundar – membundar tanggung, terdiri
dari fragmen batulempung, batupasir, konglomerat, andesit, dan basalt (Gambar III.30).

Gambar III.30 Fragmen-fragmen penyusun Satuan Endapan Aluvial di Sungai Cikeruh

43
Satuan ini merupakan satuan termuda di daerah penelitian yang berumur Holosen. Proses
sedimentasi yang masih berlangsung hingga saat ini dengan mekanisme pengendapan
sedimen fluvial yang diendapkan pada lingkungan darat. Satuan ini diendapkan secara
tidak selaras di atas satuan batuan yang telah terkompaksi di bawahnya. Berdasarkan
rekonstruksi penampang dan pengamatan terhadap persebaran endapan aluvial, Satuan
Endapan aluvial diperkirakan memiliki ketebalan kurang lebih 5 meter.

Struktur Geologi Daerah Penelitian


Analisis struktur geologi daerah penelitian dilakukan dengan pengukuran struktur geologi
yang teramati dilapangan seperti kedudukan lapisan dan rekahan, serta berdasarkan
interpretasi kelurusan pada peta topografi dan SRTM. Berdasarkan hasil pengukuran dan
analisis, daerah penelitian memiliki struktur-struktur sebagai berikut:

Antiklin Jalupang
Struktur lipatan antiklin ini berada di utara daerah penelitian dengan sumbu lipatan berarah
barat – timur. Keberadaan antiklin diketahui berdasarkan pengukuran kedudukan lapisan
sedimen yang memiliki kemiringan lapisan saling berlawanan yaitu relatif berarah utara
dan selatan. Berdasarkan hasil analisis kinematika struktur terhadap data-data kedudukan
lapisan batuan sedimen di daerah peneltian (Lampiran D), antiklin ini memiliki kedudukan
sayap lipatan N271ºE/45ºNE dan N70ºE/41ºSE, bidang sumbu lipatan N80,9ºE/88ºNE, dan
sumbu lipatan 9,6º, N81,2ºE. Mengacu pada klasifikasi lipatan Fleuty (1964) (Gambar
III.31), antiklin ini termasuk kedalam klasifikasi lipatan simetris (horizontal upright fold).

Gambar III.31 Klasifikasi lipatan Fleuty (1964)


44
Sesar Mengiri Cigebang
Struktur sesar ini berada di tengah daerah penelitian dengan jurus sesar berarah timur laut –
barat daya. Keberadaan sesar ini teramati melalui analisis kelurusan pada citra satelit
SRTM dan bukti-bukti jejak sesar di lapangan berupa shear fracture, joint, gores garis, dan
sesar minor (Gambar III.32). Berdasarkan analisis kelurusan dan kinematika terhadap data-
data di lapangan (Lampiran D), diketahui jenis sesar ini yaitu sesar menganan turun dengan
kedudukan bidang sesar N20ºE/77,5ºSE, slip sesar 28,6º, N193ºE, dan pitch 29,4º.

Gambar III.32 Jejak sesar (a) slickenside, (b) shear fracture, dan (c) sesar minor

Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi


Struktur geologi berupa antiklin dan sesar menganan turun yang ada di daerah penelitian
terbentuk akibat deformasi yang terjadi setelah terendapakan Satuan Batupasir-
Konglomerat. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan bukti Satuan Batupasir-
Konglomerat dan satuan yang lebih tua mengalami sesar dan perlipatan, tidak ditemukan
indikasi struktus sesar dan perlipatan pada Satuan Tuf Lapili hingga Satuan Endapan
Aluvial. Oleh karena itu, proses deformasi yang menyebabkan pembentukan struktur
geologi yang ada di daerah penelitian diperkirakan terjadi pada Kala Pliosen Akhir –
Pleistosen Awal atau setelah Satuan Batupasir-Konglomerat terbentuk dan sebelum Satuan
Tuf Lapili terbentuk.

Mekanisme pembentukan struktur geologi yang ada di daerah penelitian yaitu mekanisme
kompresi. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya pemendekan yang ditunjukkan dengan
terbentuknya antiklin berarah sumbu barat – timur. Tegasan utama yang mengontrol
pembentukan struktur di daerah penelitian diinterpretasikan berdasarkan model
pembentukan struktur geologi dengan tegasan pure shear oleh Moody dan Hill (1956)
(Gambar III.33). Mengacu pada model tersebut, antiklin berarah sumbu barat – timur dan
sesar menganan yang terbentuk di daerah penelitian merupakan implikasi dari tegasan
utama berarah utara – selatan. Menurut model tersebut, setiap komponen struktur geologi
45
yang terbentuk oleh tegasan utama sistem pure shear merupakan proses yang simultan,
sehingga diperkirakan antiklin dan sesar menganan yang ada di daerah penelitian terbentuk
pada waktu yang relatif bersamaan dan sesar menganan termasuk struktur orde kedua.

Gambar III.33 Model pembentukan struktur geologi dengan tegasan pure shear oleh
Moody dan Hill (1956)

46
BAB IV
SEJARAH GEOLOGI

Sejarah geologi daerah penelitian diawali oleh pengendapan Satuan Batulempung pada
Kala Miosen Akhir di lingkungan neritik tengah pada cekungan belakang busur
(Martodjojo, 1984). Setelah pengendapan Satuan Batulempung, pada Kala Pliosen Akhir
terjadi perubahan lingkungan pengendapan dari neritik tengah menjadi neritik dalam akibat
dari penurunan muka air laut. Pada lingkungan neritik dalam tersebut diendapkan Satuan
Batupasir – Batulempung dengan mekanisme turbidit. Daerah penelitian terus mengalami
penurunan muka air laut relatif sehingga lingkungan pengendapan berubah menjadi daerah
transisi hingga darat pada Kala Pliosen Tengah. Hal tersebut ditandai oleh pengendapan
Satuan Batupasir – Konglomerat dengan mekanisme arus butir dan terdapat fragmen-
fragmen karbonan pada litologi penyusun satuan ini. Perubahan lingkungan pengendapan
dari neritik tengah menjadi darat tersebut menunjukkan pola regresi.

Pada Kala Pliosen Akhir – Pleistosen Awal terjadi aktivitas tektonik dengan mekanisme
kompresi dengan arah gaya relatif utara – selatan yang diakibatkan dari subduksi antara
Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia di selatan Pulau Jawa. Aktivitas
tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya Antiklin Jalupang berarah sumbu barat-timur
dan Sesar Menganan Cigebang. Setelah pembentukan antiklin dan sesar, terjadi intrusi
Satuan Andesit dengan geometri berupa korok, memotong satuan batuan yang telah
terbentuk sebelumnya secara diskordan.

Pada Kala Pleistosen Awal - Tengah terjadi erupsi Gunung Sunda yang menyebabkan
bagian selatan daerah penelitian tertutupi oleh batuan piroklastik dari Satuan Tuf Lapili
dengan mekanisme aliran piroklastik. Erupsi Gunung Sunda juga menyebabkan
terbentuknya lahar dengan fragmen berupa andesit, basalt, dan skoria, sehingga terbentuk
Satuan Breksi Volkanik.

Batuan-batuan dari satuan batuan yang telah terbentuk sebelumnya tererosi dan terjadi
proses pengendapan Satuan Endapan Aluvial di Sungai Cikeruh dan Sungai Cilamaya.
Proses pembentukan satuan termuda di daerah penelitian masih berlangsung sampai saat
ini dengan mekanisme pengendapan yaitu sedimen fluvial.
47
BAB V
HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Akuifer Daerah Penelitian


Satuan batuan di daerah penelitian yang berfungsi sebagai akuifer yaitu Satuan Batupasir-
Batulempung, Satuan Batupasir-Konglomerat, Satuan Tuf Lapili, Satuan Breksi Volkanik,
dan Satuan Endapan Aluvial. Disamping itu, Satuan Batulempung berfungsi sebagai
akuitar sementara Satuan Andesit berperan sebagai akuifug. Mengacu pada model akuifer
Todd (1980), jenis akuifer yang ada di daerah penelitian yaitu akuifer bebas (unconfined
aquifer) karena tidak memiliki lapisan impermeabel di bagian atas akuifer (Gambar V.1).

Gambar V.1 Ilustrasi skematik akuifer bebas dan terkekang (Todd, 1980)

Geometri akuifer dan aliran air tanah perlu dipahami untuk mengetahui sistem
hidrogeologinya. Menurut Irawan dan Puradimaja (2013), daerah ini memiliki tipologi
sistem akuifer endapan gunungapi, sistem akuifer aluvial, dan sistem akuifer batuan
sedimen.

Akuifer pada Satuan Batupasir – Batulempung


Akuifer pada satuan ini termasuk pada sistem akuifer batuan sedimen, terdiri dari
batupasir, sementara batulempung berperan sebagai akuitar. Lapisan akuifer ini adalah
akuifer bebas (tak tertekan), karena hanya bagian bawahnya yang dibatasi oleh Satuan
Batulempung. Penulis memperkirakan porositasnya 3–10% dengan metode petrografi
(Lampiran B). Air tanah akan tersimpan di dalam pori-pori antara butir ini. Di lapangan

48
satuan akuifer ini memperlihatkan rembesan air berwarna kuning tanda kandungan besi
atan mangannya yang tinggi (Gambar V.2).

Gambar V.2 Rembesan airtanah pada batupasir

Akuifer pada Satuan Batupasir-Konglomerat


Lapisan pembawa air ini juga masuk ke dalam sistem akuifer batuan sedimen. Ada atau
tidaknya air tanah, hanya dapat diamati melalui rembesan-rembesan air di sisi sungai.
Rumah yang memiliki sumur jarang ditemukan di sini. Sumur yang ada dalam Gambar V.3
di bawah ini adalah satu-satunya yang dapat ditemukan di lapangan dengan kedalaman
sumur 8 meter dan muka airtanah 6,67 meter. Seperti akuifer sebelumnya, jenis akuifer ini
juga tak tertekan. Dari pengamatan sayatan tipis, penulis mengestimasi porositas antara 2
sampai 13% dalam bentuk pori (Lampiran B).

Gambar V.3 Sumur gali yang terdapat pada Satuan Batupasir – Konglomerat
49
Akuifer pada Satuan Tuf Lapili
Berikutnya ada akuifer endapan gunungapi, yang dibentuk oleh tuf lapili dan pelapukan
breksi tuf. Hadir sebagai akuifer bebas dengan jumlah sumur gali yang cukup banyak.
Sumur-sumur itu masih digunakan oleh warga. Estimasi dari sayatan tipis menghasilkan
porositas 8–15% (Lampiran B).

Mata air pada Satuan Tuf Lapili dapat teramati di Gunung Leutik yang dimanfaatkan untuk
ditampung dan dialirkan ke Desa Cigebang sebagai sumber air utama masyarakat. Mata air
ini terdapat pada tanah hasil pelapukan batuan breksi tuf. Merujuk kepada klasifikasi jenis
mata air klasik oleh Bryan (1919), mata air yang ada di Gunung Leutik tersebut tergolong
kepada mata air depresi (depression) atau yang disebut Bryan sebagai mata air lembah
(valley spring) (Gambar V.4). Mata air muncul ke permukaan akibat terpotong topografi.
Air tanahnya dapat diamati melalui sumur gali (Gambar V.5).

Gambar V.4 Salah satu dari beberapa model mata air (Bryan, 1919)

50
Gambar V.5 Sumur-sumur gali di daerah penelitian pada Satuan Tuf Lapili

Akuifer pada Satuan Breksi Volkanik


Akuifer pada satuan ini termasuk pada sistem akuifer endapan gunungapi. Jenis akuifer
pada satuan ini adalah akuifer bebas karena tidak terdapatnya satuan batuan bersifat akuitar
yang menutupi satuan ini. Akuifer terbentuk pada batulapili dan breksi volkanik.
Berdasarkan hasil analisis petrografi, porositas batulapili pada satuan ini yaitu 5% berupa
pori batuan (Lampiran B).

Pada satuan batuan ini ditemukan sumur gali dan manifestasi panas bumi pada elevasi
topografi 420 mdpl berupa mata air panas (Gambar V.6). Berdasarkan letak geografisnya,
manifestasi tersebut diperkirakan berasosiasi dengan sumber panas dari volkanisme
Gunung Tangkuban Parahu yang mana mata air panas tersebut berjarak sekitar 12 km dari
kawah Gunung Tangkuban Parahu. Mata air panas tersebut memiliki pH 6,2 dan TDS 553
mg/l dengan temperatur 39,8°C. Mengacu pada model sistem geotermal pada gunungapi
strato dengan induk batuan bersifat andesitik oleh Stimac dkk. (2015), diperkirakan mata
air panas yang muncul di daerah penelitian akibat dari perpotongan topografi dengan muka
air tanah (Gambar V.7). Muka air tanah disekitar gunungapi umumnya akan bergerak
menjauhi kerucut gunungapi secara lateral. Sehubungan dengan itu, menurut Bryan (1919),
mata air tersebut tergolong kepada mata air depresi.

51
Gambar V.6 Mata air panas pada Satuan Breksi Volkanik

Gambar V.7 Model sistem geotermal gunungapi strato dengan induk batuan andesitik
(Stimac dkk., 2015)

Akuifer pada Satuan Endapan Aluvial


Akuifer pada satuan ini termasuk kedalam sistem akuifer aluvial. Keberadaan akuifer ini
terdapat di sepanjang Sungai Cikeruh dan Sungai Cilamaya. Akuifer terbentuk dari
material lepas yang berukuran lempung hingga bongkah. Pada daerah penelitian ditemukan
mata air di sisi Sungai Cilamaya dengan debit sekitar 550ml/detik (Gambar V.8)

52
Gambar V.8 Mata air pada Satuan Endapan Aluvial di sisi Sungai Cilamaya

Pola Aliran Airtanah


Menurut hukum Darcy (1856), air akan mengalir dari potensi hidraulik (hydraulic head)
tinggi ke rendah, dan hydraulic head akan memiliki nilai yang sama dengan elevation head
(elevasi muka airtanah) pada muka airtanah (Darcy’s Law ,1856 dalam Freeze dan Cherry,
1979). Pada daerah penelitian ditemukan beberapa mata air berjenis depresi yang mana
ketinggian mata airnya mencerminkan ketinggian muka airtanah. Oleh karena itu, airtanah
mengalir dari muka airtanah tinggi menuju ke muka airtanah rendah, dan ketinggian muka
airtanah di daerah penelitian dapat diketahui berdasarkan kemunculan mata air dan
kedalaman air pada sumur gali.

Sistem akuifer di daerah penelitian memiliki satu sistem, yaitu sistem akuifer bebas.
Pembuatan peta muka airtanah pada sistem akuifer bebas di daerah penelitian di kontrol
oleh topografi dan kemiringan. Pembuatan garis ekipotensial atau kontur ketinggian muka
airtanah dilakukan dengan menghubungkan ketinggian muka airtanah pada satu lokasi
dengan lokasi lainnya. Aliran airtanah mengikuti asumsi aliran air laminar, akuifer bersifat
homogen, isotropik, dan berlakunya Hukum Darcy (Fetter, 2001). Oleh karena air selalu
mengalir ke titik dengan selisih elevasi terbesar, maka garis aliran airtanah akan tegak
lurus dengan garis ekipotensial, mengalir kearah yang lebih rendah.

Pola aliran di daerah penelitian dikontrol oleh kemiringan dan ketinggian topografi.
Ditinjau dari topografinya, bagian selatan daerah penelitian memiliki elevasi yang lebih
53
tinggi dari bagian utara sehingga aliran air tanah di daerah penelitian secara umum
bergerak dari selatan menuju ke utara seperti di tunjukkan pada peta muka airtanah
(Lampiran A-5).

Hubungan airtanah dengan sungai dapat diketahui melalui pengamatan langsung


dilapangan. Keberadaan rembesan-rembesan air tanah di sisi sungai dan berada diatas
permukaan air sungai dapat mengindikasikan bahwa muka airtanah berada di atas muka air
sungai (Gambar V.9). Mengacu klasifikasi hubungan muka airtanah dengan sungai oleh
Meinzer (1923), hubungan airtanah dengan sungai di daerah penelitian yaitu effluent
(Gambar V.10). Pada kondisi effluent, muka airtanah berada diatas permukaan air sungai
dan sungai berperan sebagai discharge bagi airtanah.

Gambar V.9 Rembesan airtanah di sisi Sungai Cikeruh

Gambar V.10 Model hubungan muka airtanah dengan sungai secara influent dan effluent
(Meinzer, 1923)

Kualitas Airtanah
Penentuan kualitas airtanah di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran
terhadap pH dan Total Dissolved Solid (TDS) airtanah. Nilai pH menyatakan derajat

54
keasaman atau kebasaan larutan yang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu asam (pH<7),
netral (pH=7), dan basa (pH>7). TDS menunjukkan tingkat kejenuhan air atau banyaknya
padatan yang terlarut dalam air, baik yang terionisasi maupun tidak (Freeze dan Cherry,
1979). Freeze dan Cherry (1979) mengklasifikasikan kualitas airtanah berdasarkan nilai
TDS nya menjadi empat kategori seperti Tabel V.1 berikut:

Tabel V.1 Klasifikasi airtanah berdasarkan TDS (Freezy dan Cherry, 1979)

Kategori TDS (mg/l atau g/m3)


Segar 0-1000
Payau 1000-10.000
Air asin 10.000-100.000
Air garam >100.000

Berdasarkan data hasil pengukuran terhadap airtanah dari rembesan, sumur gali, dan mata
air di daerah penelitian, airtanah memiliki nilai pH berkisar antara 5,5 – 8,1 dan nilai TDS
58 – 553 mg/l (Lampiran E). Mengacu kepada klasifikasi airtanah berdasarkan TDS oleh
Freezy dan Cheery (1979), airtanah di daerah penelitian termasuk kedalam kartegori air
segar. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
492/Menkes/Per/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum, air yang layak untuk
dikonsumsi harus memiliki nilai pH 6,5 – 8,5 dan nilai TDS maksimal 500 mg/l. Mengacu
ada Permenkes tersebut, 49,56% dari luas keseluruhan daerah penelitian memiliki kualitas
airtanah yang layak minum berdasarkan parameter pH (Gambar V.11), sementara
berdasarkan parameter TDS yaitu 68,97% luas daerah penelitian memiliki kualitas airtanah
yang layak minum (Gambar V.12). Ditinjau dari parameter pH dan TDS-nya, maka luas
daerah yang memiliki kualitas airtanah layak minum yaitu 49,56%, sementara 19,54%
tidak layak minum, dan 30,9% merupakan akuitar dan akuifug (Gambar V.13).

55
Gambar V.11 Peta sebaran pH pada daerah penelitian dengan kontur pH interval 0,1

56
Gambar V.12 Peta sebaran TDS pada daerah penelitian dengan kontur interval TDS 20

57
Gambar V.13 Peta kelayakan air tanah pada daerah penelitian dengan parameter pH dan
TDS

58
Data hasil pengukuran di lapangan menunjukkan airtanah pada daerah penelitian bagian
utara hingga tengah umumnya memiliki pH mendekati netral, sedangkan daerah penelitian
bagian selatan umumnya memiliki airtanah dengan pH rendah atau sedikit asam. Di daerah
penelitian bagian selatan dijumpai sebuah mata air panas pada elevasi topografi 420 mdpl
dengan karakteristik pH 6,2, nilai TDS 553 mg/l, dan temperatur 39,8°C. Mata air panas
Batukapur yang berada pada elevasi topografi 339 mdpl berjarak 4,2 km arah timur laut
dari mata air panas di daerah penelitian memiliki karakteristik pH 7,3 dan temperatur 40°C
(Kartadinata dkk., 2004), sehingga diperkirakan mata air panas di daerah penelitian
memiliki jenis air yang relatif sama dengan mata air panas Batukapur. Jenis air pada mata
air panas di daerah penelitian diperkirakan berjenis air bikarbonat (Kartadinata dkk., 2004).
Sejalan dengan hal tersebut, mengacu pada model sistem geotermal gunungapi strato
dengan induk batuan andesitik oleh Stimac (2015), mata air panas dengan pH sedikit asam
pada daerah penelitian tersebut kaya akan ion bikarbonat (HCO3-). Ion bikarbonat pada
airtanah merupakan hasil rekasi antara air (H2O) dengan gas karbon dioksida (CO2) yang
berasal dari udara maupun tanah. Gas karbondioksida juga dapat berasal dari proses
degassing magma pada sistem geotermal gunungapi (Stimac, 2015). Reaksi airtanah
dengan karbon dioksida menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang kemudian secara cepat
berdisosiasi membentuk ion bikarbonat (HCO3-) dan ion hidrogen (H+) (Brady, 2012).
Reaksi V.1 dan Reaksi V.2 mendeskripsikan persamaan reaksi antara airtanah dengan
karbon dioksida hingga terbentuk ion bikarbonat dan ion hidrogen.

H2O + CO2 ↔ H2CO3 (V.1)


H2CO3 ↔ HCO3- + H+ (V.2)

Airtanah yang memiliki pH asam di daerah penelitian bagian selatan diperkirakan


berkaitan dengan sistem geotermal Gunung Tangkuban Parahu. Airtanah berjenis air
bikarbonat yang memiliki kondisi sedikit asam ini diperkirakan akibat dari keberadaan ion
sulfat (SO42-) yang berasal dari reaksi oksidasi senyawa sulfur seperti H2S menjadi H2SO4.

Airtanah dengan pH yang cenderung basa di bagian tengah daerah penelitian


kemungkingan disebabkan oleh reaksi airtanah (H2O) dengan dengan mineral karbonat
(Fetter, 2001). Mineral karbonat di daerah penelitian berasa dari mineral kalsit berupa
fragmen maupun semen yang terdapat pada litologi dan lapukan batuan penyusun Satuan

59
Batupasir – Batulempung. Reaksi spontan mineral karbonat mengubah senyawa kalsium
karbonat (CaCO3) menjadi ion kalsium (Ca2+) dan ion karbonat (CO32-) (Reaksi V.3).

CaCO3 ↔ Ca2+ + CO32- (V.3)

Ion karbonat kemudian bereaksi dengan airtanah (H2O) membentuk bikarbonat (HCO3-)
dan ion hidroksida (OH-) (Reaksi V.4). Konsentrasi ion hidroksida yang terdapat dalam
airtanah tersebut membuat airtanah memiliki sifat yang basa.

CO32- + H2O ↔ HCO3- + OH- (V.4)

Berdasarkan uraian tersebut, diperkirakan faktor yang berperan membedakan karakteristik


antara airtanah dibagian utara dengan selatan daerah penelitian yaitu perbedaan jenis
litologi sebagai akuifernya. Airtanah di bagian selatan daerah penelitian diperkirakan
berasal dari percampuran air meteorik dan air magmatik dari sistem geotermal Gunung
Tangkuban Parahu dengan akuifer berupa litologi batuan volkanik dan piroklastik.
Sedangkan airtanah bagian utara hingga tengah daerah penelitian diperkirakan berasal dari
air meteorik dengan litologi batuan sedimen sebagai media akuifer.

60
BAB VI
KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian di daerah penelitian yaitu:


 Geomorfologi daerah penelitian dibedakan menjadi delapan satuan geomorfologi
dengan tahapan geomorfik dewasa.
 Stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi tujuh satuan batuan yaitu Satuan
Batulempung, Satuan Batupasir-Batulempung, Satuan Batupasir-Konglomerat,
Satuan Andesit, Satuan Tuf Lapili, Satuan Breksi Volkanik, dan Satuan Endapan
Aluvial.
 Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa antiklin dan sesar
menganan turun akibat proses tektonik di Pulau Jawa dengan tegasan utama relatif
utara-selatan.
 Sejarah geologi Kabupaten Subang bagian tengah dimulai sejak miosen akhir
hingga resen, diawali pendangkalan dari lingkungan neritik tengah menjadi
lingkungan darat, pembentukan antiklin dan sesar, intrusi Satuan Andesit,
pengendapan produk aktivitas magmatisme Gunung Sunda, dan pembentukan
endapan aluvial.
 Airtanah daerah penelitian mengalir dari selatan ke utara, dengan satuan batuan
yang berperan sebagai akuifer yaitu Satuan Batupasir-Batulempung, Satuan
Batupasir-Konglomerat, Satuan Tuf Lapili, Satuan Breksi Volkanik, dan Satuan
Endapan Aluvial.
 Airtanah di daerah penelitian termasuk kategori airtanah segar. Berdasarkan TDS
dan pH airtanah, 49,56% dari luas daerah penelitian memiliki kualitas airtanah yang
layak minum, 19,54% tidak layak minum, dan 30,9% akuitar dan akuifug.
 Tatatan akuifer daerah utara berbeda dengan daerah selatan.
 Daerah utara mayoritas terdiri dari batuan sedimen tersier menyebabkan potensi air
tanahnya rendah, berbeda dengan daerah selatan yang lebih besar.
 Masyarakat di bagian utara direkomendasikan untuk dapat menampung air hujan,
dengan cara menampung air cucuran atap ke dalam bak bawah tanah yang tertutup
atau kolam yang terbuka di permukaan tanah sehingga air hasil tampungan dapat
digunakan saat musim kemarau.

61
DAFTAR PUSTAKA

Blow, W. H. (1969): Late Middle Eocene to Recent Planktonic Foraminiferal


Biostratigraphy, Proceedings First International Conference on Planktonic
Microfossils Geneva 1967 I, 199-422.
Boggs, S.J. (2009): Petrology of Sedimentary Rocks, Second Edition, Cambridge
University Press, New York, USA.
Brady, J.E. (2012): Chemistry 6th Edition, International Student Version, John Willey &
Son. Inc., Canada.
Brahmantyo, B. dan Bandono. (2006): Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk
Pemetaan Geomorfologi pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan
Ruang, Jurnal Geoaplika Vol. 1, 2, 71–78.
Bronto, S. (2006): Fasies gunung api dan aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1, 2,
59-71.
Bryan, K. (1919): Classification of springs, The Journal of Geology, Vol. 27, 7, 522-561.
Clements, B. dan Hall, R. (2007): Cretaceous to Late Miocene stratigraphic and tectonic
evolution of West Java, Indonesia, Indonesian Petroleum Association, Proceedings
31st Annual Convention, 87–104.
Fetter, C.W. (2001): Applied Hydrogeology, Fourth Edition, Prentice-Hall Inc, New
Jersey.
Fisher, R.V. dan Schmincke, H.U. (1984): Pyroclastic Rocks, Springer-Verlag, Berlin.
Freeze, R. A., dan Cherry, J.A. (1979): Groundwater, Prentice-Hall, Inc., USA.
Hall, R. (1995): Plate tectonic reconstruction of the Indonesia region, Indonesian
Petroleum Association, Proceedings 24th Annual Convention, PA95-1,1-049.
Harsolumakso, A.H., Magetsari, N.A., dan Abdullah, I.C. (1997): Buku Paduan Praktikum
Geologi Struktur, Teknik Geologi ITB, Bandung.
Huggett, R.J. (2007): Fundamentals of Geomorphology, Second Edition, Routledge, USA.
Irawan, D. E., & Puradimaja, D. J. (2013): Lembar Kerja Hidrogeologi Umum. Kelompok
Keahlian Geologi Terapan, Fakultas Ilmu Dan Kebumian Institut Teknologi
Bandung.
Kartadinata, M.N. dkk. (2004): Geology, age dating and geochemistry of the Tangkuban
Parahu Geothermal Area, West Java, Indonesia, J. Geotherm. Res. Soc. Japan Vol.
26, 3, 285-303.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010): Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Jakarta.
Lobeck, A. K. (1939): Geomorphology, McGraw‐Hill Book Company, New York.
Martodjojo, S. (1984): Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat, Penerbit ITB, Bandung.
McPhie, J., Doyle, M., dan Allen, R. (1993): Volcanic Textures: A Guide to the
Interpretation of Textures in Volcanic Rocks, University of Tasmania, Hobart.
Meinzer, O.E. (1923): Outline of ground-water hydrology. Government Printing Office,
Washington D.C, USA.
Nichols, G. (2009): Sedimentology and Stratigraphy, Wiley-Blackwell, West Sussex.
United Kingdom.
Nurroh, S. (2013): Data curah hujan November 2012-Januari 2013, Buletin Analisis Hujan
Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013, 1, 28-
33.
Pemerintah Indonesia. (2008): Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2008 Yang Mengatur
Tentang Air Tanah. Lembaran Negara RI Tahun 2008, No. 83. Sekretariat Negara.
Jakarta.
62
Pemerintah Indonesia. (2004): Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Yang Mengatur
Tentang Sumber Daya Air. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 32. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Pettijohn, F.J. (1975): Sedimentary Rocks, Second Edition, Harper and Row, New York.
Robertson Research (1983): Benthonic Foraminifera Age Zonation and Environments of
Deposition, Lecture, 33.
Sigurdsson, H. dkk. (2015): Encyclopedia of Volcanoes, Second Edition, Academic Press,
London.
Silitonga, P.H. (1973): Peta Geologi Lembar Bandung, Djawa, Direktorat Geologi,
Bandung.
Soetrisno, S. (1985): Peta Hidrogeologi Indonesia Lembar Cirebon (Jawa), Direktorat
Geologi Tata Lingkungan, Bandung.
Sunardi, E. dan Kimura, J. (1998): Temporal chemical variation in late Cenozoic volcanic
rocks around Bandung Basin, West Java Indonesia. Journal Mineralogy, Petrology,
Economic Geology, Vol. 93, 103-128.
Surmayadi, M. dkk. (2011): Dinamika vulkanisme Gunungapi Tangkuban Parahu Jawa
Barat, Joint Convention Makasar 2011 The 26th HAGI and 40th IAGI Annual
Convention exhibition.
Thornbury, W.D. (1969): Principles of Geomorphology, John Willey & Son. Inc., USA.
Todd, D. Dk. (1980): Groundwater Hydrology, Second Edition, John Willey & Son. Inc.,
New York.
van Bemmelen, R.W. (1949): The Geology of Indonesia, Government Printing Office,
Nijhoff, The Hague.
van Zuidam, R.A. (1985): Guide to Geomorphic Aerial Potographic Interpretation and
Mapping, ITC, Enschede, Netherlands.

Pustaka dari internet:


Bakosurtanal, (2003): Peta Administrasi Provinsi Jawa Barat, http://www.big.go.id/peta-
provinsi diakses tanggal 16 Juni 2018 pukul 13.00 WIB.
Badan Informasi Geospasial, (2018): Peta AOI, http://tanahair.indonesia.go.id/ diakses
tanggal 17 Maret 2018 pukul 20.00 WIB.
Pamsimas, (2017): Atlas Cekungan Air Tanah Jawa Barat dan DKI Jakarta,
http://new.pamsimas.org/Atlas_Cekungan_Air_Tanah/ diakses tanggal 10 Juli 2018
pukul 19.00 WIB.
USGS, (2011): Citra SRTM, http://earthexplorer.usgs.gov/ diakses tanggal 20 Maret 2018
pukul 17.00 WIB.
Wirasel, (2017): Kebun Teh Lembang, https://www.wirasel.com/kebun-teh-di-lembang/
diakses tanggal 20 Oktober 2018 pukul 18.00 WIB.
DakaTour, (2018): Lokasi Gunung Tangkuban Perahu, tempat wisata di Jawa Barat yang
menjadi simbolik Kota Bandung, https://www.dakatour.com/, diakses tanggal 20
Oktober 2018 pukul 18.30 WIB.

63

Anda mungkin juga menyukai