Anda di halaman 1dari 426

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 1
PENDAHULUAN
Sabtanto Joko Suprapto, Edi Suhanto, Iwan Nursahan

1.1. Umum
Mineral merupakan bagian dari kebutuhan dasar kehidupan manusia, dengan
berkembangnya peradaban dan teknologi yang pesat, kebutuhan akan mineral semakin
meningkat dan beragam. Mineral diperlukan oleh hampir semua jenis industri seperti
industri pertanian, makanan, telekomunikasi, transportasi, kimia, perumahan, serta
penyediaan energi. Perkembangan teknologi informasi, kemiliteran, dan teknologi ruang
angkasa terkait dengan teknologi material atau penggunaan mineral, demikian juga proses
konversi energi dan penciptaan instrumen hemat energi memerlukan jenis mineral
tertentu.

Sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia, mineral diperlukan oleh setiap orang
di manapun tinggal. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan akan mineral untuk
masyarakat, menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menjamin ketersediaannya, baik
oleh pemerintah pusat maupun daerah sesuai dengan kewenangannya.

Indonesia menempati posisi di antara tiga lempeng besar, yaitu lempeng India-
Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Asia, menghasilkan bentukan geologi yang sangat
kompleks. Selain berpotensi bencana sebagai akibat tektonik yang sangat aktif, dihasilkan
juga sumber daya geologi berupa deposit mineral yang sangat beragam, menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan potensi sumber daya geologi dalam kelompok enam
besar dunia. Potensi yang besar sehingga menempatkan mineral sebagai komoditas yang
sangat strategis, merupakan salah satu modal utama pembangunan dan menjadi bagian
dari kekuatan negara.

Pengelolaan sumber daya mineral yang terukur dan sistematis baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek memerlukan data yang lengkap dan akurat, agar kebijakan
pengelolaan dapat ditetapkan secara tepat dan terukur untuk mendapatkan manfaat yang
optimal. Oleh karena itu, meskipun tidak semua potensi mineral akan dimanfaatkan pada

1
saat ini, pengungkapan seluruh potensi diperlukan untuk menetapkan perencaan
pembangunan jangka pendek maupun jangka panjang.

Pada kegiatan eksplorasi mineral untuk mendapatkan gambaran sebaran vertikal


dan horisontal endapan yang berada di bawah permukaan tanah memerlukan beberapa
tahapan dan metoda penyelidikan. Pemilihan metoda dan sistematika yang tepat, selain
untuk mendapatkan hasil dengan akurasi tinggi atau tingkat kesalahan rendah, juga
penggunaan biaya yang dapat ditekan seminimal mungkin.

Gambar 1.1. Contoh kebutuhan rata rata mineral tiap orang selama seumur hidup di Amerika
(http://www.msha.gov/KIDS/mii.HTM)

Mineral termasuk sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui serta terbentuk
melalui proses geologi yang panjang. Selain itu sumber daya mineral juga memiliki nilai
berbeda di waktu yang berbeda, serta rentan dipengaruhi oleh isu–isu global dunia. Di
sinilah pentingnya kebijakan pemerintah dalam mengelola sumber daya mineral dengan
cara memahami seutuhnya karakteristik dan potensi sumber daya mineral di Indonesia.

2 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 1 PENDAHULUAN

Kegiatan penyelidikan mineral mempunyai tingkat kesulitan beragam. Tingkat


kesulitan tinggi dapat diakibatkan oleh lokasi deposit mineral pada daerah terpencil, serta
dapat disebabkan oleh posisi tubuh deposit yang berada jauh di bawah permukaan tanah.
Karakteristik dari bahan galian dengan bentuk tidak teratur serta sebaran kandungan atau
kadar bahan bernilai ekonomi heterogen, semakin menambah tingkat kesulitan. Oleh
karena itu disusun buku ini untuk menjadi pedoman dalam melakukan penyelidikan untuk
mengungkap potensi sumber daya mineral.

Saat ini pengetahuan geologi meletakkan dasar yang kuat pada bagian hulu
teknologi mineral, yaitu teknologi mencari dan mengukur untuk melakukan estimasi
sumberdaya atau cadangan mineral yang terdapat di dalam bumi. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan metodologi, cara, dan juga hipotetis yang tepat. Konsep eksplorasi
yang dipakai dalam pencarian sumber daya mineral, tidak terlepas dari tatanan geologi
setempat. Cara eksplorasi yang tepat akan menghasilkan temuan-temuan baru sumberdaya
mineral yang dapat diusahakan.

1.2. Dasar Hukum


Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3, menyebutkan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu berdasarkan pasal tersebut sumber
daya mineral harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan
generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Mengacu pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


dan Batubara, Pasal 4 ayat 2, bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang
tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-
besar kesejahteraan rakyat. Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Dengan telah dikeluarkannya Undang Undang No. 4 Tahun 2009 tersebut, maka
pengelolaan sumber daya mineral mengacu pada mandat undang undang tersebut beserta
aturan turunannya. Selaras dengan otonomi daerah maka pengelolaan sumber daya
mineral sesuai dengan kewenangan pada dasarnya menjadi tugas pemerintah daerah untuk
mengelolanya.

3
Secara umum kebijakan pengelolaan sumber daya geologi, dapat dibagi menjadi
dua kelompok. Pertama yakni eksplorasi, meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan. Kedua tentang operasi produksi, meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

1.3. Maksud dan Tujuan


Sebagai institusi dari pemerintah pusat satu satunya yang mempunyai tugas
melakukan penyelidikan potesi mineral seluruh wilayah Indonesia, Pusat Sumber Daya
Geologi, Badan Geeologi, di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
berkepentingan agar seluruh pemangku kepentingan dapat melakukan sinergi dan
berkontribusi pada pengelolaan sumberdaya mineral. Pengelolaan sumberdaya mineral
pada sisi hulu berupa tahapan eksplorasi memerlukan panduan lengkap yang dapat
digunakan baik dalam tahap penyelidikan mineral, maupun dalam aspek regulasi untuk
memandu ke arah tujuan sesuai kebijakan nasional.

Buku panduan penyelidikan mineral ini diharapkan dapat menjadi rujukan aplikatif
dalam penyelidikan mineral khususnya dalam rangka pengelolaan sumberdaya mineral.
Muatan materi mempunyai ruang lingkup mulai dari tahapan hulu sampai hilir dalam
pengelolaan sumber daya mineral dimaksudkan agar tersedia acuan lengkap dan
menyeluruh. Agar pengelolaan sumberdaya mineral dipahami secara menyeluruh, maka
dalam buku ini disajikan juga pengenalan sisi hilir pengelolaan sumberdaya mineral seperti
penambangan, pengolahan, dan konservasi mineral.

1.4. Pengertian dan Batasan


Untuk menyamakan persepsi dalam tulisan ini, maka dijelaskan beberapa istilah hal-
hal sebagai berikut (Sumber: SNI 13.4726.1998 dan beberapa referensi):

- Sumber Daya Alam (Natural Resource) adalah segala sesuatu yang terdapat di dalam
maupun di luar bumi yang sifatnya masih potensial dan belum dilibatkan dalam proses
produksi untuk meningkatkan persediaan barang dan jasa dalam perekonomian.

- Sumber Daya Mineral (Mineral Resource) adalah satu bagian dari sumber daya alam,
berupa endapan mineral yang diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata. Sumber
daya mineral dengan keyakinan geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan
setelah dilakukan pengkajian kelayakan tambang dan memenuhi kriteria layak tambang.

4 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 1 PENDAHULUAN

- Cadangan (Reserve) adalah endapan mineral yang telah diketahui ukuran, bentuk
sebaran, kuantitas dan kualitasnya dan yang secara ekonomis, teknis, hukum,
lingkungan dan sosial dapat ditambang pada saat perhitungan dilakukan.

- Keterdapatan Mineral (Mineral Occurrence), adalah suatu indikasi pemineralan


(mineralization) yang dinilai untuk dieksplorasi lebih jauh. Istilah keterdapatan mineral
tidak ada hubungannya dengan ukuran volume/tonase atau kadar/kualitas, dengan
demikian bukan bagian dari suatu Sumber Daya Mineral.

- Endapan Mineral (Mineral Deposit) adalah onggokan (akumulasi) bahan tambang


berupa mineral atau batuan yang terdapat di kerak bumi yang terbentuk oleh proses
geologi tertentu, dan dapat bernilai ekonomi.

- Sumber Daya Mineral Hipotetik (Hypothetical Mineral Resource) adalah sumber daya
mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan perkiraan pada tahap
Survai Tinjau.

- Sumber Daya Mineral Tereka (Inferred Mineral Resource) adalah sumber daya mineral
yang kuantitas dan kualitasnya diperoIeh berdasarkan hasil tahap Prospeksi.

- Sumber Daya Mineral Terunjuk (Indicated Mineral Resource) adalah sumber daya
mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan hasil tahap eksplorasi
Umum.

- Sumber Daya Mineral Terukur (Measured Mineral Resource) adalah sumber daya
mineral yang kuantitas dan kualitasnya diperoleh berdasarkan hasil tahap Eksplorasi
Rinci.

- Cadangan Terkira (Probable Reserve) adalah sumber daya mineral terunjuk dan
sebagian sumber daya mineral terukur yang tingkat keyakinan geologinya masih lebih
rendah yang berdasarkan studi kelayakan tambang semua faktor yang terkait telah
terpenuhi, sehingga penambangan dapat dilakukan secara ekonomik.

- Cadangan Terbukti (Proved Reserve) adalah sumber daya mineral terukur yang
berdasarkan studi kelayakan tambang semua faktor yang terkait telah terpenuhi,
sehingga penambangan dapat dilakukan secara ekonomik.

5
- Eksplorasi berarti mencari mineral-mineral dengan cara geologi, geofisika, geokimia
termasuk penggunaan lubang bor, sumur uji, parit uji, galian di permukaan atau di
bawah tanah, lubang horizontal atau terowongan untuk memastikan adanya endapan-
endapan mineral ekonomis dan untuk menentukan sifat, bentuk dan kadarnya dan kata
“mengeksplorasi” mempunyai makna yang sama.

- Tahap Eksplorasi (Exploration Stages) adalah urutan penyelidikan geologi yang


umumnya dilaksanakan melalui empat tahap sebagai berikut: Survai Tinjau, Prospeksi,
Eksplorasi Umum dan Eksplorasi Rinci. Tujuan penyelidikan geologi ini adalah untuk
mengidentifikasi pemineralan (mineralization), menentukan ukuran, bentuk sebaran
kuantitas dan kualitas dari pada suatu endapan mineral untuk kemudian dapat
dilakukan analisa/kajian kemungkinan dilakukannya investasi.

- Cebakan primer merupakan cebakan yang terbentuk bersamaan dengan proses


pembentukan batuan (Sumber: www.Tambang. Com). Salah satu tipe cebakan primer
yang biasa diusahakan pada penambangan skala kecil adalah bijih tipe vein (urat), yang
umumnya diusahakan dengan teknik penambangan bawah tanah terutama metode
gophering/coyoting (lubang tikus).

- Cebakan bijih sekunder merupakan cebakan mineral bijih yang terbentuk hasil
pelapukan sedimentasi mekanis, erosi dan akumulasi pada suatu tempat tertentu. Jenis
cebakan sekunder antara lain: endapan letakan (placer/alluvial) dan endapan laterit.

- Mineral adalah benda anorganik terbentuk di alam yang mempunyai struktur fisika dan
susunan kimia tertentu.

- Batuan adalah benda padat bentukan alam terdiri dari satu atau lebih mineral.

1.5. Daftar Pustaka


Mine Safety and Health Administration. 2010. What Every American Born Will Need. United
States Departement of Labor. (http://www.msha.gov/KIDS/mii.HTM)
Sudradjat, A. 1999. Teknologi dan Manajemen Sumberdaya Mineral. Penerbit ITB. Bandung.
SNI 13-4726-1998, Amandemen 1, 1999, Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

6 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

BAB 2
GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL
Bambang Pardiarto dan A Machali Muchsin

2.1. Geologi Umum (Susunan Struktur Bumi)


Geologi adalah studi kebumian secara keseluruhan yang mencakup aspek
keterjadiannya, struktur, komposisi, sejarah dan proses alami yang telah membentuknya
hingga saat kini. Secara fisik bumi menyerupai sebuah bola yang mempunyai struktur
bumi dengan jari-jari 6.371 km yang terdiri dari beberapa bagian yang disebut sebagai inti
bumi, mantel/mesosfer, astenosfer, litosfer dan kerak bumi (crust) (Gambar 2.1).

Inti Bumi dibagi menjadi dua bagian yaitu inti luar dan inti dalam. Inti dalam
merupakan masa padat berkomposisi logam besi (Fe), panas dengan temperatur sekitar
4300o Celcius dan dan kedalaman mulai dari 5140 km (tebal 1220 km). Sedangkan inti luar
merupakan masa cairan berkomposisi sulfur (S) dan besi (Fe), panas dengan temperatur
4300o Celcius dan kedalaman mulai dari 2883 km (tebal 2250 km).

Mantel/mesosfer merupakan masa padat, panas dan kuat karena tekanan tinggi,
mulai kedalaman 350 km dibagi menjadi dua bagian yaitu mantel bawah dengan tebal 2900
km dan mantel atas dengan tebal 670 km. Temperatur dalam mantel mencapai 1000
Celcius. Astenosfer mulai kedalaman 100 km dan merupakan masa panas, lemah dan
plastis.

Litosfer mempunyai kedalaman 0-100 m merupakan masa dingin, getas dan rigid.
Batas antara litosfer dan astenosfera merupakan bidang yang disebut Mohorovicic
discontinuity. Litosfer terbagi menjadi dua bagian yaitu mantel bagian paling atas dan kerak
bumi. Kerak bumi terdiri dari dua jenis yaitu kerak benua dan kerak samudra.

Kerak bumi (earth crust) tersusun oleh batuan, yaitu suatu agregat yang merupakan
senyawa satu atau lebih jenis mineral dan/atau fragmen batuan. Batuan ini dapat hanya
terdiri dari mineral saja, kombinasi dari kepingan atau fragmen batuan dan mineral, dan
dapat pula hanya terdiri dari kepingan atau fragmen batuan saja. Mineral yang banyak
terdapat dalam kerak bumi, menyusun sampai 85%, adalah felspar, kuarsa, dan senyawa

7
silikat lainnya seperti piroksen, amfibol, dan mika. Mineral lainnya adalah dalam bentuk
senyawa oksida, sulfida, dan lainnya yang jumlahnya nisbi sedikit.

Berdasarkan susunan kimianya, kerak bumi didominasi oleh dua unsur yaitu oksigen
(O–46,71 %) dan silisium (Si–27,72 %). Unsur lain menempati porsi yang lebih kecil, seperti
Al–8,13 %, Fe–5,05 %, Ca–3,63 %, Na–2,83 %, K–2,59 %, Mg–2,08 %, C–0,094 %, dan sisanya
unsur-unsur lainnya. Si, Al, Fe, Ca, K, Na, dan Mg dalam bentuk senyawa oksida biasanya
disebut unsur mayor (major elements) yaitu unsur-unsur yang keterdapatannya dalam
kerak bumi dalam kuantitas yang cukup banyak.

Unsur yang berjumlah kecil lainnya disebut unsur minor (minor elements) yaitu
unsur-unsur yang keterdapatannya relatif sedikit seperti Cu, Pb, Zn, Cr, Ba, Au, Ag, dsb.
Unsur ini juga disebut unsur jejak (trace elements). Kuantitas unsur-unsur itu dalam batuan
hanya dalam bilangan perjuta (part per million–ppm) atau bahkan permilyar (part per
billion–ppb). Namun justru mineral dari sebagian unsur itu yang merupakan mineral bijih
dan bahan tambang yang dibutuhkan dalam perindustrian.

Gambar 2.1. Struktur perlapisan bumi (Sumber: John Willey, 1996)

8 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

2.2. Dinamika Perubahan Permukaan Bumi

2.2.1. Teori Continental Drift dan Sea Floor Spreading


Semula orang beranggapan bahwa corak dan ciri utama bumi adalah telah
ditetapkan pada zaman dulu kala pada saat pertama kali bumi diciptakan. Perubahan-
perubahan yang terjadi sekarang hanyalah bersifat setempat akibat erosi sungai, letusan
gunung api dan gempa bumi. Akan tetapi berdasarkan pengamatan cermat selama waktu
yang amat panjang, ternyata apa yang terjadi sesungguhnya tidaklah demikian. Litosfera,
yaitu lapisan kulit bumi selalu berada dalam pengaruh proses geologi yang terus berlanjut
akibat adanya gaya eksogen dan endogen. Proses tersebut menyebabkan bentuk roman
muka bumi (landform) tidak permanen sejak masa kelahirnya sampai sekarang, tetapi terus
mengalami perubahan sepanjang sejarahnya.

Dinamika perubahan fisik bumi ini melahirkan Teori Apung Benua (Theory
Continental Drift) yang dicetuskan oleh Alfred Wegner seorang meteorogist pada tahun
1912. Teori ini mempunyai konsep bahwa pada 225 juta tahun yang lalu semua benua dan
pulau-pulau yang ada saat ini asalnya satu daratan yang dinamakan Pangaea, dan hanya
ada satu lautan yang dinamakan Panthalassa. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa
benua bergerak secara perlahan dan bertahap dalam cakupan masa geologi, dan celah yang
terjadi di Lautan Atlantik, Samudra Hindia, dan lautan sebelah selatan bukan akibat oleh
suatu bencana. Penyebaran benua ini disebabkan pecahnya benua besar Pangaea akibat
gaya endogen yang terjadi pada masa 200 juta tahun yang lalu. Proses tersebut terus
berlangsung sampai akhirnya terbentuklah daratan dan lautan seperti yang ada sekarang.
Pecahan ini membentuk 2 bagian benua yang dinamakan Laurasia dan Gondwanaland
(Gambar 2.2). Laurasia pada bagian utara membentuk benua Amerika Utara dan Eurasia,
sedangkan Gondwanaland pada bagian selatan membentuk benua Amerika Selatan, Afrika,
Arabia dan pecahan India serta Autralia.

Lautan Pasifik merupakan sisa Panthalassa dan akan terus menyempit karena Benua
Amerika bergerak ke arah barat memepetkan tepi barat samudra tersebut ke pinggiran
Benua Asia dan Australia. Berbarengan dengan itu Lautan Atlantik terus bertambah luas.

9
Gambar 2.2. Perkembangan bentuk bumi dari 225 m.a sampai sekarang
(Alfred Wegner, 1912 dalam Keary, P., and Vine, F. J., 1990)

Beberapa penelitian dilakukan oleh para ahli untuk menunjang teori apungan benua
tersebut. Diantaranya adalah penelitian geologi dan bentuk kehidupan yang dilakukan di
kedua sisi Atlantik. Hasil penelitian menunjukan adanya kesamaan kehidupan fauna yang
dicirikan oleh jenis fosil yang sama sejak zaman dinosaurus ± 150 juta tahun lalu terutama
pada bagian selatan Pangaea yang mencakup Amerika Selatan, Afrika, Antartika, India dan
Australia (Gambar 2.3). Sedangkan dari hasil penelitian geologi menunjukkan adanya
kesamaan umur batuan yaitu Kambrium-Ordovisium di pantai timur Benua Amerika dan
pantai barat Benua Afrika (Gambar 2.4).

10 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Gambar 2.3. Kesamaan fosil di bagian selatan Pangea (Sumber: Tarling 1971)

Gambar 2.4. Kesamaan umur batuan dibagian Amerika dan Afrika (Sumber: Tarling 1971)

11
Hasil penelitian geomagnet yang dilakukan pada kurun waktu tahun 1956–1967
menunjukkan bahwa pergerakan benua masa lalu dapat diikuti melalui analisis kemagnetan
batuan yang terdapat di benua. Hasil lainnya dari analisis kemagnetan menunjukkan selalu
ada punggungan bukit yang berada di tengah samudra. Fenomena ini didukung oleh konsep
pemekaran lantai samudera (sea floor spreading) yang dikembangkan oleh Harry Hess
(1960). Dalam konsep ini puncak bukit di tengah samudra adalah tempat dasar samudra
yang terpisah dimana merupakan tempat keluarnya lava yang mengalir pada kedua arah
yang berlawanan. Adanya aliran lava ini sehingga terbentuklah dasar samudera yang
bergerak lambat akibat dari arus yang bergerak dalam bumi. Dasar samudera ini dapat
tertindih oleh kerak lainnya. Hasil penelitian umur kerak samudera menunjukkan umur
yang lebih tua akan menjauhi dari pusat pemekaran lantai samudera yang berlangsung
sampai saat ini (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Perkembangan umur Kerak Samudra (Sumber: Harry Hess 1960)

2.2.2. Konsep Tektonik Lempeng


Tektonik Lempeng (Plate Tectonics) adalah teori dalam bidang geologi yang
dikembangkan untuk memberikan penjelasan terhadap adanya bukti-bukti pergerakan
skala besar yang dilakukan oleh litosfer bumi. Teori ini telah mencakup dan juga
menggantikan Teori Pergeseran Benua yang lebih dahulu dikemukakan pada paruh
pertama abad ke-20 dan konsep pemekaran lantai samudra (seafloor spreading) yang
dikembangkan pada tahun 1960-an. Teori tektonik lempeng menerangkan proses dinamika

12 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

bumi tentang pembentukan jalur pegunungan, jalur gunung api, jalur gempa bumi, dan
cekungan endapan di muka bumi yang diakibatkan oleh pergerakan lempeng.

Bagian terluar dari interior bumi terbentuk dari dua lapisan. Pada bagian atas
terdapat litosfer yang terdiri atas kerak dan bagian teratas mantel bumi yang kaku dan
padat. Di bawah lapisan litosfer terdapat astenosfer yang berbentuk padat tetapi bisa
mengalir seperti cairan dengan sangat lambat dan dalam skala waktu geologis yang sangat
lama karena viskositas dan kekuatan geser (shear strength) yang rendah. Lebih dalam lagi,
bagian mantel di bawah astenosfer sifatnya menjadi lebih kaku lagi. Penyebabnya bukanlah
suhu yang lebih dingin, melainkan tekanan yang tinggi.

Prinsip kunci tektonik lempeng adalah bahwa litosfer terpisah menjadi lempeng-
lempeng tektonik yang berbeda-beda. Lempeng ini bergerak menumpang di atas
astenosfer yang mempunyai viskoelastisitas sehingga bersifat seperti fluida. Pergerakan
lempeng biasanya bisa mencapai 10-40 mm/ tahun seperti di Mid-Atlantic Ridge, ataupun
mencapai 160 mm/tahun seperti di Lempeng Nazca. Lempeng-lempeng ini tebalnya sekitar
100 km dan terdiri atas mantel litosfera yang diatasnya dilapisi dengan hamparan salah
satu dari dua jenis material kerak. Kerak yang pertama adalah kerak samudera atau "sima",
gabungan dari silikon dan magnesium. Sedangkan kerak yang kedua yaitu kerak benua atau
"sial", gabungan dari silikon dan aluminium. Kedua jenis kerak ini berbeda dari segi
ketebalan di mana kerak benua memiliki ketebalan yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kerak samudera. Ketebalan kerak benua mencapai 30-50 km sedangkan kerak
samudera hanya 5-10 km.

Lapisan litosfer dibagi menjadi lempeng-lempeng tektonik (tectonic plates).


Lempeng-lempeng litosfer ini menumpang di atas astenosfer yang cair dan sangat panas.
Lempeng tektonik tersebut terdiri dari tujuh lempeng utama dan lempeng-lempeng yang
lebih kecil lainnya. Lempeng utama yang merupakan kerak benua adalah Lempeng Afrika
meliputi Afrika, Lempeng Antartika meliputi Antartika, Lempeng Indo-Australia meliputi
Australia, Lempeng Eurasia meliputi Asia dan Eropa, Lempeng Amerika Utara meliputi
Amerika Utara dan Siberia Timur dan Lempeng Amerika Selatan meliputi Amerika Selatan.
Sedangkan lempeng utama yang merupakan kerak samudera adalah Lempeng Pasifik yang
meliputi Samudera Pasifik. Lempeng-lempeng penting lain yang lebih kecil mencakup
Lempeng India, Lempeng Arabia, Lempeng Karibia, Lempeng Juan de Fuca, Lempeng Cocos,
Lempeng Nazca, Lempeng Filipina, dan Lempeng Scotia (Gambar 2.6).

13
Lempeng-lempeng tersebut bergerak relatif satu dengan yang lainnya di batas-batas
lempeng, baik divergen (menjauh), konvergen (bertumbukan), ataupun transform
(menyamping). Pergerakan lateral lempeng lazimnya berkecepatan 50-100 mm/tahun. Dua
lempeng akan bertemu di sepanjang batas lempeng (plate boundary), yaitu daerah di mana
aktivitas geologi umumnya terjadi seperti gempa bumi dan pembentukan kenampakan
topografis seperti gunung, gunung berapi, dan palung samudera (Gambar 2.7). Kebanyakan
gunung berapi yang aktif di dunia berada di atas batas lempeng, seperti Cincin Api Pasifik
(Pacific Ring of Fire) di Lempeng Pasifik yang paling aktif dan dikenal luas.

Bukti pertama bahwa lempeng-lempeng itu memang mengalami pergerakan


didapatkan dari penemuan perbedaan arah medan magnet dalam batuan-batuan yang
berbeda usianya. Penemuan ini dinyatakan pertama kali pada sebuah simposium di
Tasmania tahun 1956. Mula-mula, penemuan ini dimasukkan ke dalam teori ekspansi bumi,
namun selanjutnya justru lebih mengarah ke pengembangan teori tektonik lempeng yang
menjelaskan pemekaran (spreading) sebagai konsekuensi pergerakan vertikal (upwelling)
batuan.

Gambar 2.6. Konfigurasi lempeng-lempeng utama dan lempeng kecil (Sumber: Planet Earth:…..)

14 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Gambar 2.7. Lapisan kulit bumi menurut konsep tektonik lempeng


(van Krevelen, 1993 dalam Wikipedia)

Sesuai gambar 2.7 tersebut, terdapat tiga jenis batas lempeng yang berbeda dari
cara lempengan tersebut bergerak relatif terhadap satu sama lain. Tiga jenis ini masing-
masing berhubungan dengan fenomena yang berbeda di permukaan. Tiga jenis batas
lempeng tersebut adalah:

1. Batas transform (transform boundaries) terjadi jika lempeng bergerak dan mengalami
gesekan satu sama lain secara menyamping di sepanjang sesar transform (transform
fault). Gerakan relatif kedua lempeng bisa sinistral (ke kiri di sisi yang berlawanan
dengan pengamat) ataupun dekstral (ke kanan di sisi yang berlawanan dengan
pengamat). Contoh sesar jenis ini adalah Sesar San Andreas di California.

2. Batas divergen/konstruktif (divergent/constructive boundaries)terjadi ketika dua


lempeng bergerak menjauh satu sama lain. Mid-oceanic ridge dan zona retakan
(rifting) yang aktif adalah contoh batas divergen

3. Batas konvergen/destruktif (convergent/destructive boundaries) terjadi jika dua


lempeng bergesekan mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona subduksi
jika salah satu lempeng bergerak di bawah yang lain, atau tabrakan benua (continental
collision) jika kedua lempeng mengandung kerak benua. Palung laut yang dalam
biasanya berada di zona subduksi, dimana potongan lempeng yang terhunjam
mengandung banyak bersifat hidrat (mengandung air), sehingga kandungan air ini

15
dilepaskan saat pemanasan terjadi bercampur dengan mantel dan menyebabkan
pencairan sehingga menyebabkan aktivitas vulkanik. Contoh kasus ini dapat kita lihat
di Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan busur Pulau Jepang (Japanese island arc).

Berdasarkan teori tektonik lempeng ini maka dalam penerapan teknis ilmu
kebumian dapat digunakan antara lain untuk mengungkapkan mengenai sebab dan
penyebaran daerah gempa bumi, mengetahui penyebaran gunung berapi, membantu
dalam memberikan keterangan dimana dan bagaimana terbentuknya cebakan mineral atau
batubara serta sebagai petunjuk dalam menemukan cebakan minyak dan gas bumi.

2.3. Pembentukan Mineral dan Batuan


Semua jenis mineral baik yang bersifat padat maupun cair yang terdapat di bumi
terbentuk akibat interaksi dari beberapa kerak bumi yang mempunyai sifat fisik yang
berbeda. Asal mula mineral dan batuan yang membentuk kerak bumi disebut magma. Sifat
magma adalah cair menyerupai bubur yang mengandung berbagai unsur kimia dapat
berasal dari mantel atau batuan kerak bumi yang meleleh kembali akibat tekanan dan
temperatur tinggi pada kedalaman tertentu. Karena sifat fisik tersebut maka magma
cenderung naik kepermukaan bumi melelui celah atau retakan dan kalau tekanan cukup
dapat menerobos batuan lain diatasnya. Dalam perjalanan keatas tersebut magma dapat
bersentuhan dengan batuan samping yang dilaluinya sehingga menyebabkan munculnya
mineral berharga dengan berbagai proses antara lain hidrotermal dan kontak metasomatis.

Pembekuan magma dapat terjadi jauh didalam bumi, dekat permukaan dan pada
permukaan bumi. Akibat dari desakan yang kuat dalam bumi magma dapat terlempar ke
udara dengan ledakan yang dahsyat sebagaimana terjadi pada letusan gunung api dengan
produk materialnya disebut piroklastik. Batuan yang terbentuk dari proses pendinginan dan
solidifikasi (kristalisasi) magma disebut sebagai batuan beku. Pengaruh perubahan cuaca
mengakibatkan batuan yang tersingkap dipermukaan bumi akan mengalami pelapukan dan
erosi sehingga batuan yang di dalam bumi akan tersingkap. Material hasil erosi akan
terbawa oleh air atau angin melalui proses pengendapan ke tempat lain dan akan
terakumulasi makin lama makin tebal.

Proses pembatuan akan berlangsung mulai dari bagian bawah sehingga dalam kurun
waktu geologi akan membentuk batuan sedimen setelah melalui proses sementasi dan
kompaksi (lithifikasi). Jika batuan sedimen paling bawah terkubur makin dalam maka sifat
fisik batuan tersebut menjadi semakin keras, kompak dan padat akibat dari tekanan dan

16 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

temperatur sehingga terbentuklah batuan metamorf. Apabila batuan metamorf ini


terkubur semakin dalam sampai kedalaman tertentu karena proses pelelehan akan mencair
kembali menjadi magma. Rantai proses pembentukan ini dikenal sebagai daur batuan
(Gambar 2.8) .

Gambar 2.8. Rantai proses pembentukan jenis batuan (daur batuan)


(Sumber : modifikasi dari berbagai sumber)

Kerak bumi, tersusun oleh tiga jenis batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen
(endapan), dan batuan malihan (metamorfose). Batuan beku menempati bagian terbesar
dari kerak bumi, yaitu sekitar 65-80%, batuan malihan antara 15-17%, dan batuan endapan
menempati bagian terkecil, antara 5-8%. Menurut Menard (1974), di antara batuan beku,
batuan mafik dan ultramafik (basa dan ultra basa) menduduki porsi yang paling besar
dalam kerak bumi, yaitu sekitar 44%. Sisanya, masing-masing sekitar 10% adalah batuan
asam dan menengah.

Batuan beku ditandai oleh susunannya yang hanya terdiri dari mineral tertentu.
Batuan sedimen sebagian besar tersusun oleh fragmen batuan, meskipun ada pula yang
disertai adanya mineral-mineral tertentu. Sementara itu batuan malihan terdiri dari
mineral-mineral yang terbentuk karena proses pemalihan.

17
2.3.1. Batuan Beku

2.3.1.1. Susunan Mineral


Salah satu ciri khas batuan beku adalah bahwa batuan ini terdiri dari mineral-
mineral tertentu, mineral pembentuk batuan (rock forming minerals). Mineral pembentuk
batuan terdiri dari mineral utama, mineral sertaan khas, dan mineral sertaan minor.
Mineral utama (essential minerals) adalah mineral yang keterdapatannya dalam jumlah
tertentu memberikan nama pokok (root name) batuan. Mineral utama itu adalah kuarsa,
felspar, plagioklas, piroksen, dan olivin.

Mineral sertaan khas (characterizing accessory minerals) adalah mineral yang


keberadaannya dapat memberikan nama lain atau nama turunan batuan pokok. Mineral
tersebut adalah biotit, muskovit, hornblenda, dan piroksen. Mineral sertaan minor (minor
accessory minerals) adalah mineral yang tidak memengaruhi sama sekali dalam penamaan
batuan beku.

Bergantung pada jenis dan jumlah mineral pembentuk batuan yang menyusunnya,
batuan beku diberi nama yang berbeda satu sama lain. Contohnya adalah granit, batuan
beku yang terutama terdiri dari kuarsa dan felspar; diorit, batuan yang terdiri dari
plagioklas dan sedikit felspar, dan gabro yang sebagian besar tersusun oleh mineral Fe-Mg
seperti olivin dan piroksen.

Secara umum batuan beku tersusun dari berbagai macam unsur yang dalam bentuk
senyawa oksida disebut unsur major (major elements). Bergantung pada jenis batuannya,
kadar unsur major itu beragam. Kandungan SiO2 dalam batuan beku berkisar antara 41,0–
71%; Al2O3 antara 4,8–21%; Fe3O4 antara 1,3–7,1%; Fe2O3 antara 1,5–5,7%; MgO antara
0,6–32%; CaO antara 1,6–10,3%; Na2O antara 0,5–8,5 %; dan K2O antara 1,0–5,9%. Unsur
lainnya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil dan merupakan kelompok unsur minor
(minor elements). Prosentase setiap jenis unsur major dalam kelompok batuan beku
berbeda satu sama lain. Secara umum, kandungan SiO2 akan meningkat dari batuan mafik-
ultramafik ke batuan asam. Sebaliknya kandungan Fe dan Mg makin kecil.

Mineral yang keberadaan dan jumlahnya dapat menentukan nama batuan beku
disebut mineral pembentuk batuan (rock forming minerals). Berdasarkan pembentukannya,
mineral dalam batuan beku dikelompokkan menjadi mineral primer dan sekunder. Mineral

18 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

primer (primary minerals) adalah hasil kristalisasi langsung dari magma baik dalam bentuk
mineral utama maupun mineral sertaan. Mineral sekunder (secondary minerals) adalah
mineral hasil ubahan dari mineral primer seperti kaolin (felspar), sausurit (plagioklas-Ca),
klorit (mineral Fe-Mg), serpentin (mineral Fe-Mg, olivin).

2.3.1.2. Tekstur Batuan Beku


Ketika berlangsung penerobosan magma ke arah permukaan bumi, masa cair pijar
itu akan mengalami penurunan suhu. Sebagai akibatnya, unsur-unsur penyusun magma itu
akan bergabung dan membentuk mineral tertentu tergantung pada susunan kimia magma
itu dan kondisi fisika-kimianya. Pendinginan magma akan disertai pembentukan butir atau
penghabluran mineral dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Kenampakan fisik atau
karakter umum batuan, termasuk aspek geometri, hubungan antar kristal/butiran inilah
yang dinamakan tekstur batuan. Tekstur menggambarkan ukuran butir, bentuk
butiran/kristal, dan hubungan antar butir/kristal. Ia juga menunjukkan tempat pembekuan
magma, jauh di kedalaman (bawah permukaan) bumi atau di/dekat permukaannya.

Secara garis besar tekstur batuan beku dibagi menjadi tiga yaitu faneritik, porfiritik,
dan afanitik. Tekstur ini didasarkan pada besar butir. Faneritik (phaneritic) atau kasat mata
adalah tekstur batuan yang menunjukkan adanya butiran atau kristal mineral yang
berukuran besar sehingga secara individu dapat dilihat dengan mata telanjang. Porfiritik
(porphyritic) adalah tekstur batuan yang menunjukkan adanya dua kelompok butiran yang
berbeda ukuran, kasar dan halus, yang kasar (berupa fragmen) seolah tersebar pada masa
dasar butiran yang lebih halus dan seragam. Masa dasar ini seolah-olah menjadi penyemen
terhadap fragmen kasar. Afanitik (aphanitic) adalah tekstur batuan yang menunjukkan
adanya butiran yang secara individu tidak tampak dengan mata telanjang. Kenampakan
butiran atau kristal hanya terlihat dengan mikroskop.

Selain berdasarkan ukuran butir (grain size), tekstur juga dapat dilihat dari aspek
derajat pengkristalan (degree of crystallinity), hubungan antar butir (grain relationships),
dan derajat perkembangan wajah kristal pada butiran (degree of crystal face development
on grains).

19
2.3.1.3. Pembentukan dan Klasifikasi Batuan Beku
Batuan beku adalah batuan yang terbentuk karena pendinginan/ pembekuan
magma yang menerobos ke arah permukaan (W.T. Huang, 1962). Oleh karena itu batuan
beku juga disebut batuan terobosan atau batuan intrusi (intrusive rock). Ia dicirikan oleh
keberadaan sejumlah mineral tertentu yang jenis dan jumlahnya akan menentukan
namanya. Berdasarkan keberadaan mineral-mineral itulah batuan beku dikelompokkan dan
diberi nama. Jenis dan jumlah mineral dalam batuan beku juga akan memberikan warna
yang berbeda antara kelompok batuan satu dengan lainnya.

Magma adalah material batuan yang dapat bergerak (mobile) yang secara alamiah
terbentuk dalam bumi dan dapat menjadi batuan intrusi (intrusion) atau ekstrusi
(extrusion), dari mana batuan beku dianggap berasal sebagai hasil pembekuan (pemadatan,
pengerasan) dan proses yang terkait. Magma itu dapat mengandung (atau tidak
mengandung) zat padat (seperti kristal dan fragmen batuan) dan/atau gas (Bates dan
Jackson, 1980).

Material batuan yang mudah bergerak ini dipahami sebagai suatu masa cair pijar
yang bersuhu sangat tinggi, lebih dari 1000o C, dan tersusun oleh komponen/unsur kimia
yang sangat kompleks di antaranya yalah Si, Al, K, Na, Ca, Fe, Mg, dan unsur-unsur kimia
lainnya. Selain itu dalam magma juga terkandung bahan/zat terbang (volatile) dan gas.
Masa cair pijar ini biasanya terdapat jauh di perut bumi (dalam bentuk dapur magma).

Magma dapat terbentuk dan membentuk batuan beku di dua zona tektonik.
Pertama adalah pada zona penunjaman (subduction zone). Ketika lempeng kerak bumi
(kerak samudra) menunjam ke bawah lempeng yang lain (kerak benua) dan makin lama
makin menunjam ke bawahnya maka terjadilah peleburan batuan menjadi masa cair pijar.
Pada umumnya magma yang terbentuk pada zona ini bersifat asam (acid magma). Magma
jenis ini ditandai oleh tingginya kandungan komponen SiO2 yaitu lebih dari 55% dan
memiliki kekentalan yang tinggi. Kedua adalah pada zona pemisahan kerak bumi (kerak
samudra) atau pusat pemekaran (spreading center) yang biasanya berlangsung di dasar
samudera. Ketika lempeng kerak bumi pecah dan saling menjauh, maka keluarlah magma
dari bawahnya. Pada umumnya magma yang keluar pada zona ini bersifat basa (basic
magma). Jenis magma ini ditandai oleh rendahnya kandungan SiO2 di dalamnya, yaitu
kurang dari 55%. Magma jenis ini mempunyai kekentalan yang rendah.

20 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Dalam pembekuan magma berlangsung diferensiasi magma yaitu proses


berkembangnya (terjadinya) beberapa tipe batuan beku dari sejenis magma yang sama.
Dalam pembekuan ini penghabluran (kristalisasi) berlangsung secara berurutan, sesuai
dengan sifat fisika kimia magma itu sendiri. Mineral yang mempunyai berat jenis besar
pada umumnya mineral yang mengandung Fe-Mg menghablur lebih dulu. Kristalisasi
mineral yang berurutan itu dikenal sebagai kristalisasi seri Bowen (Bowen’s Series). Urutan
penghabluran digambarkan dalam bentuk bagan seperti yang terlihat pada Gambar 2.9.

Proses diferensiasi yang mengakibatkan terbentuknya kumpulan mineral tertentu


sangat bertalian dengan pembentukan jenis atau kelompok batuan beku. Bila dalam proses
pembekuan magma banyak terbentuk mineral-mineral bagian bawah seperti olivin dan
augit (dalam Seri Bowen) maka akan terbentuk batuan beku basa-ultra basa (gabro-basalt).
Sebaliknya, makin banyak mineral bagian atas yang terbentuk (kuarsa, muskovit, feldspar)
maka batuan yang terbentuk lebih bersifat asam (granit-riolit).

Berdasarkan susunan mineralnya batuan beku dikelompokkan menjadi batuan


asam, menengah, dan basa-ultra basa. Pengelompokan batuan beku ini didasarkan pada
jeni dan kuantitas mineral pembentuk batuan yang terkandung di dalamnya. Jenis batuan
beku meliputi antara lain granit-riolit, granodiorit-dasit, diorit-andesit, diorit-andesit,
gabro-basalt, dan ultra basa.
-
KUARSA

MUSKOVIT
GRANIT – Riolit

FELSPAR-K
Suhu

BIOTIT FELSPAR-Na (albit)


GRANODIORIT – Dasit
Oligoklas
HORNBLENDA Andesi
discontinuo continuou DIORIT – Andesit
n
AUGIT us series s series Labradorit
Bitaunit
+ OLIVIN GABRO
FELSPAR-Ca
Gambar 2.9. Penghabluran (Kristalisasi) Seri Bowen (modifikasi
(anortit) – Basalt
dari berbagai sumber)

21
2.3.2. Batuan Sedimen
Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk karena proses pengendapan yang
diawali dengan proses pelapukan terhadap batuan yang muncul di permukaan bumi,
kemudian hasil pelapukan ini terendapkan baik di tempat itu sendiri (in situ) maupun
setelah mengalami transportasi (transported) sebagai endapan lepas. Salah satu jenis
potensi mineral ekonomis tipe endapan di tempat adalah cebakan laterit, sedangkan yang
telah mengalami pemindahan (transportasi) adalah cebakan kolovial dan aluvial. Setelah
mengalami diagenesa endapan lepas ini berubah menjadi batuan yang kompak dan keras
menjadi batuan sedimen.

Batuan sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan proses pembentukan dan secara


deskriptif (Koesoemadinata, 1985), dapat dibedakan menjadi batuan sedimen mekanis,
sedimen kimiawi dan sedimen organis (biogenik). Batuan sedimen mekanik dikelompokkan
berdasarkan besar atau ukuran butirnya, menjadi batuan sedimen detritus kasar, contoh:
Breksi, konglomerat, batupasir; dan batuan sedimen distritus halus, contoh: lanau,
lempung, serpih. Sedangkan batuan sedimen kimiawi dikelompokkan berdasarkan susunan
kimianya dapat dibedakan menjadi 3, yakni sedimen evaporit, seperti: gips, anhydrite,
batuan garam; sedimen Silika, seperti: rijang, flint, fosforit; sedimen karbonat seperti:
dolomit, batugamping kristalin, batugamping oolit. Batuan sedimen organis dapat dibagi
menjadi 2 Jenis, yakni sedimen batubara seperti: gambut, bituminous dan antrasit dan
sedimen silika: radiolarit dan diatomea.

Cebakan mineral yang berhubungan dengan proses pengendapan (in situ)


diantaranya adalah endapan nikel laterit, bauksit, dan besi laterit, sedangkan yang
berhubungan dengan proses pengendapan hasil transportasi adalah endapan emas alluvial,
kasiterit, dan pasir besi.

2.3.3. Batuan Malihan


Batuan malihan/metamorf adalah batuan yang terbentuk pada proses perubahan
struktur dan mineralogi batuan yang berlangsung pada fase padatan, sebagai pengaruh
atas kondisi suhu dan tekanan atau keduanya yang mengakibatkan kondisi yang berbeda
dari batuan tersebut sebelumnya. Perubahan yang berlangsung di dalam proses pelapukan
dan diagenesa pada umumnya tidak termasuk di dalamnya. Wilayah proses metamorfisme
berada antara suasana akhir proses diagenesa dan permulaan proses peleburan batuan
menjadi tubuh magma.

22 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Klasifikasi batuan metamorf dapat dikelompokkan sebagai batuan metamorf


termal/kontak dan batuan metamorf regional. Batuan metamorf termal/kontak merupakan
batuan yang terbentuk akibat proses metamorfisme disekitar tubuh batuan beku sebagai
akibat pemancaran panas selama pendinginannya. Semakin perlahan dan lama proses
pendinginan akan semakin efektif metamorfisme pada batuan sampingnya. Wilayah yang
terkenai ubahan tersebut dikenal dengan zona aureole. Batuan hasil metamorfisme
termal/kontak seperti dikenal : batutanduk/hornfels.

Batuan metamorf regional dapat dibedakan menjadi 2, yakni metamorf regional


beban dan metamorf regional dinamothermal. Batuan metamorf beban yang terjadi jika
batuan terbebani oleh sedimen yang tebal diatasnya. Tekanan mempunyai peranan yang
penting melebihi suhu. Metamorfisme ini umumnya tidak disertai dengan deformasi
maupun perlipatan sebagaimana pada metamorfisme dynamotermal. Metamorfisme
regional beban tidak berkaitan dengan orogenesa atau intrusi magma. Suatu sedimen pada
cekungan yang dalam akan besar, lebih rendah dibandingkan pada metamorfisme
dinamotermal, berkisar antara 4000–45000 C. Gerak-gerak penetrasi yang menghasilkan
sekistositas hanya aktif secara setempat, jika tidak, biasanya tidak hadir. Jenis-jenis batuan
metamorf regional antara lain: batusabak, filit, sekis dan gneiss.

Metamorfisme regional dynamotermal secara geografi menempati jalur orogenesa.


Perubahan himpunan mineral dari zona ke zona menunjukkan penambahan temperatur
secara menerus hingga mencapai 7000-80000 C. Struktur sekistose terutama pada batuan
yang banyak mengandung mineral pipih dan prismatic (klorit, sekis, mika sekis)
menunjukkan bahwa pengaruh tekanan yang sangat dominan dalam pembentukkannya.
Setiap perbedaan (kombinasi) P & T akan diperlihatkan oleh himpunan mineral yang
berbeda pula.

Oleh karena itu metamorfisme jenis ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis (tipe)
jenis A = intermediate pressure, B = high pressure dan C = very high pressure.
Metamorfisme regional dynamo termal berlangsung berkaitan dengan gerak-gerak
penekanan (penerative movement). Hal ini dibuktikan dengan struktur sekistositas. Jika
metamorfisme termal terjadi pada tekanan rendah antara 100-1000 bar atau mencapai
3000 bar (terjadi pada kedalaman 11-12 km), maka metamorfisme regional dinamotermal
terjadi dalam pengaruh tekanan antara, paling tidak 2000-10.000 bar. Suhu yang

23
berpengaruh pada keduanya umumnya sama dimulai diatas 15000 C sampai maksimum
sekitar 80000 C.

Endapan cebakan mineral yang berkaitan dengan proses metamorfisme, yakni


cebakan tipe metasomatik kontak contoh: Bijih Besi Tipe Skarn, dan Bijih Timah Greisen.

2.4. Pembentukan Cebakan Mineral


Mineral adalah benda anorganik terbentuk di alam yang mempunyai struktur fisika
dan susunan kimia tertentu. Cebakan Mineral (Mineral Deposit) adalah onggokan
(akumulasi) bahan tambang berupa mineral atau batuan yang terdapat di kerak bumi yang
terbentuk oleh proses geologi tertentu, dan dapat bernilai ekonomi.

Selama berlangsungnya proses geologi yang diikuti dengan proses tektonik berulang
kali dapat mengakibatkan terbentuknya cebakan mineral baik mineral logam, mineral
bukan logam dan batuan. Proses tersebut dapat terjadi secara lokal maupun mencakup
daerah yang sangat luas dengan perkembangan/perubahan yang sangat beragam pada
berbagai macam formasi batuan dari yang berumur tua sampai muda. Proses lainnya yang
tak kalah penting adalah proses tektonik yang diakibatkan adanya pergerakan kerak bumi
diatas mantel. Dalam proses ini dikenal adanya konsep tektonik lempeng dimana terjadi
interaksi antar lempeng yang saling bertumbukan ataupun saling tarik menarik. Proses
tektonik dapat berbeda satu daerah dengan lainnya, sehingga dapat memunculkan kondisi
kerangka tektonik dan geologi suatu daerah yang khas. Aspek tatanan geologi dan kerangka
tektonik suatu wilayah berhubungan erat dengan pembentukan mineral tertentu. Oleh
karena itu pemahaman kedua aspek tersebut menjadi sangat penting sebagai acuan dalam
eksplorasi sumber daya mineral khususnya untuk mineral logam.

Mineral logam adalah semua mineral yang mengandung unsur logam yang
mempunyai potensi untuk dapat diekstraksi secara ekonomis. Mineral logam menurut
jenisnya dapat digolongkan ke dalam logam dasar, logam mulia, logam besi dan paduan
besi serta logam ringan dan logam langka.

Keterdapatan mineral logam dalam sekala global akan sangat dipengaruhi oleh
kondisi tektonik tertentu. Dalam kerangka tektonik lempeng maka pada tiap segmen akan
berpotensi terbentuknya jenis mineral logam tertentu yang akan berbeda dengan segmen
yang lainnya atau istilahnya disebut mendala pembentukan mineral logam (Gambar 2.10).

24 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Gambar 2.10. Penyebaran mineral logam berdasarkan konsep tektonik lempeng

Mineral bukan logam adalah semua bahan galian industri yang tidak mengandung
unsur logam, batubara, gambut dan bitumen padat. Pengelompokan mineral bukan logam
berdasarkan penggunaan bahan mentah utama dalam berbagai bidang industri yang
dikelompokkan menjadi bahan galian aneka industri dan bahan galian keramik. Sedangkan
batuan meliputi bahan galian bangunan dan bahan galian batu mulia serta batu hias.

Cikal bakal semua jenis batuan maupun bahan galian (mineral) yang membentuk
kerak bumi disebut magma. Magma bersifat cair seperti bubur dan mengandung berbagai
unsur kimia, dapat berasal dari mantel bumi, atau berasal dari batuan kerak bumi yang
meleleh kembali akibat tekanan dan temperatur tinggi pada kedalaman tertentu. Karena
sifatnya yang cair dan tempatnya yang dalam dengan tekanan dan temperatur tinggi, maka
magma mempunyai kecenderungan untuk mengalir naik ke permukaan bumi melalui

25
bagian-bagian bumi yang lemah atau retak, atau jika tekanannya cukup, magma dapat
menerobos batuan lain diatasnya (Gambar 2.11). Dalam perjalanan magma ke permukaan,
magma mengalami berbagai proses, rintangan dan interaksi dengan batuan lain yang telah
ada, yang lazim disebut sebagai batuan samping. Banyak proses yang terjadi dalam
perjalanan magma tersebut dapat membentuk bahan-bahan galian berharga bagi manusia,
seperti metamorfosa kontak, hidrotermal, dan metasomatisme.

Magma juga dapat membeku di tengah jalan, jauh di dalam bumi, dekat permukaan,
atau mencapai permukaan dan membeku di permukaan. Bahkan karena desakan dari
dalam, magma dapat terlempar ke udara dengan ledakan yang dahsyat, seperti yang terjadi
pada gunung berapi dan material yang dihasilkan disebut sebagai piroklastik. Batuan yang
langsung terjadi dari proses pembekuan magma disebut batuan beku.

Gambar 2.11. Proses keluarnya magma ke permukaan bumi

Perubahan cuaca membuat batuan-batuan yang terlihat di permukaan bumi akan


mengalami pelapukan yang dapat melunakkan komponen-komponennya, sehingga lepas
dari induknya atau disebut proses erosi. Proses erosi mengakibatkan batuan-batuan yang
berada di dalam bumi terlihat atau tersingkap di permukaan. Selanjutnya komponen-
komponen yang terlepas, sesuai sifatnya masing-masing, akan terbawa oleh air atau angin
ke tempat-tempat lain, kemudian terakumulasi makin lama makin tebal. Di tempat
akumulasi, secara perlahan dan mulai dari bawah, komponen-komponen tersebut
mengalami proses pembatuan, dan hasilnya disebut sebagai batuan sedimen. Jika batuan
sedimen yang paling bawah terkubur makin dalam, sifat-sifat fisik mereka akan berubah

26 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

menjadi semakin keras, kompak dan padat, sehingga jadilah batuan malihan. Jika batuan
malihan terkubur semakin dalam sampai kedalaman tertentu, maka batuan tersebut dapat
meleleh kembali menjadi magma, sehingga proses-proses diatas akan terulang lagi, yang
dikenal sebagai daur batuan.

Proses-proses geologi, baik yang terjadi dalam waktu yang singkat sampai dalam
periode waktu yang lama, bahkan sering diikuti oleh kegiatan tektonik yang berulang-ulang,
dapat mengakibatkan terjadinya proses pembentukan mineral/atau bahan galian termasuk
terutama bahan galian industri. Proses-proses tersebut dapat terjadi secara lokal ataupun
meliputi daerah yang sangat luas dengan perkembangan/perubahan yang beragam pada
berbagai macam formasi batuan. Formasi tersebut mulai dari yang sederhana seperti pada
pembentukan pasir dan batu (sirtu) sungai sampai yang kompleks seperti pembentukan
bahan galian karena proses pelapukan, kegiatan magmatis, hidrotermal, diagenesis,
metamorfisme, sedimentasi dan yang menghasilkan mineral industri seperti fosfat,
bentonit, gipsum, zeolit dan lainnya (Gambar 2.12). Perubahan ini dapat terjadi pada
semua jenis batuan, dari yang berumur Pra Tersier sampai Kuarter yang disebut sebagai
batuan sumber atau batuan induk atau batuan pengandung bahan galian.

Gambar 2.12. Ilustrasi pembentukan mineral industri di alam

27
2.4.1. Kondisi Geotektonik dan Pembentukan Mineral di Indonesia

2.4.1.1. Kondisi Geotektonik


Kepulauan Indonesia terbentuk karena proses pengangkatan sebagai akibat dari
penunjaman (subduksi). Lempeng (kerak) yang saling berinteraksi adalah Kerak Samudera
Pasifik dan Kerak Hindia-Australia yang bergerak sekitar 2-5 cm per tahun terhadap Kerak
Benua Eurasia. Jadi wilayah Indonesia merupakan tempat pertemuan 3 lempeng besar
sehingg merupakan salah satu daerah yang memiliki aktivitas kegempaan yang tertinggi di
dunia. Terdapat dua sabuk gunung api (Ring of Fire) yang melewati Indonesia yaitu Sirkum
Mediteranian sebagai akibat penunjaman Kerak Samudera Hindia-Australia ke dalam Kerak
Benua Eurasia, dan Sirkum Pasifik sebagai akibat penunjaman Kerak Samudera Pasifik ke
dalam Kerak Benua Eurasia.

Proses geologi dan tektonik yang terjadi pada wilayah Indonesia bagian barat dan
bagian timur sangat berbeda. Pada wilayah bagian timur memperlihatkan tatanan geologi
dan tektonik yang lebih rumit. Hal ini menyebabkan penyebaran jenis mineral di Indonesia
ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran batuan penyebaran mineral sangat dipengaruhi
oleh tatanan geologi Indonesia yang rumit. Berkenaan dengan hal tersebut maka usaha-
usaha penelusuran keberadaan mineral ekonomis telah banyak dilakukan kegiatan
eksplorasi. Mineral logam yang termasuk golongan ini adalah tembaga, besi, emas, perak,
timah, nikel dan aluminium. Mineral bukan logam yang termasuk golongan ini adalah
fosfat, felspar, belerang, zeolit, diatomea, kaolin dan lainnya. Sedangkan batuan meliputi
andesit, granit, batugamping, lempung dan lainnya.

2.4.1.2. Keberadaan Mineral Logam


Pembentukan mineral logam sangat berhubungan dengan aktivitas magmatisme
dan vulkanisme yang pada saat proses magmatisme akhir (late magmatism) mencapai suhu
sekitar 200oC. Westerveld (1952) membuat peta jalur magmatik yang dapat diperkirakan
kemungkinan keterdapatan mineral logam dasar yang pembentukannya berkaitan dengan
kegiatan magmatik.

Carlile dan Mitchell (1994), berdasarkan data-data mutakhir Simanjuntak (1986),


Sikumbang (1990), Cameron (1980), Andi Mangga dan Trail (1980), menggambarkan busur-
busur magmatik seluruh Indonesia sebagai dasar eksplorasi mineral logam. Teridentifikasi
sebanyak 15 busur magmatik, 7 diantaranya membawa cebakan emas dan tembaga, dan 8

28 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

lainnya belum diketahui. Busur yang menghasilkan cebakan mineral logam tersebut adalah
busur magmatik Aceh, Sumatera-Meratus, Sunda-Banda, Kalimantan Tengah, Sulawesi-
Mindanau Timur, Halmahera Tengah, Irian Jaya (Gambar 2.13). Busur yang belum diketahui
potensi sumberdaya mineralnya adalah Paparan Sunda, Borneo Barat-laut, Talaud, Sumba-
Timor, Moon-Utawa dan dataran Utara Papua (Irian Jaya).

Gambar 2.13. Busur magmatik di Indonesia (Modifikasi dari Carlie dan Mitchel, 1994)

Cebakan emas-tembaga tersebut merupakan hasil mineralisasi utama yang


umumnya berupa porphyry copper-gold mineralization, skarn mineralization, high
sulphidation epithermal mineralization, gold-silver-barite-base metal mineralization, low
sulphidation epithermal mineralization dan sediment hosted mineralization. Cebakan emas
dapat terjadi di lingkungan batuan plutonik yang tererosi, ketika kegiatan fase akhir
magmatisme membawa larutan hidrotermal dan air tanah. Proses ini dikenal sebagai
proses epitermal, karena terjadi di daerah dangkal dan suhu rendah. Proses ini juga dapat
terjadi di lingkungan batuan vulkanik (volcanic hosted rock) maupun di batuan sedimen
(sediment hosted rock) yang lebih dikenal dengan tipe skarn. Contoh tipe skarn cukup baik
terdapat di Erstberg. Skarn Erstberg berupa roof pendant batugamping yang diintrusi oleh
granodiorit. Sebaran skarn dikontrol oleh struktur geologi setempat. Sebagai sebuah
roofpendant, zona skarn bergradasi dari metasomatis kontak sampai zona malihan
(Juharlan, 1993).

Konsep cebakan emas epitermal merupakan hal baru yang memberikan perubahan
signifikan pada potensi emas Indonesia. Cebakan yang terbentuk secara epitermal ini

29
terdapat pada kedalaman kurang dari 200 m, dan berasosiasi dengan batuan gunungapi
muda berumur kurang dari 70 juta tahun. Sebagian besar host rock merupakan batuan
vulkanik, dan hanya beberapa yang merupakan sediment hosted rock. Cebakan emas
epithermal umumnya terbentuk pada bekas-bekas kaldera dan daerah retakan akibat
sistem patahan. Proses mineralisasi dalam di lingkungan batuan vulkanik ini dikenal sebagai
tipe porfiri (porphyry). Contoh tipe porfiri yang baik terdapat di kompleks Grasberg di
Papua dan Batu Hijau di Sumbawa dengan mineralisasi utama bersifat disseminated sulfide
dengan mineral bijih utama kalkopirit yang banyak terdapat pada veinlet. Contoh lain
cebakan emas epithermal terdapat di Pongkor di Jawa Barat, Gosowong di Halmahera dan
Ratatotok di Minahasa.

Lingkungan pembentukan mineral logam lainnya adalah kondisi gunungapi di


daerah laut dangkal. Air laut yang masuk ke dalam tubuh bumi berperan membawa larutan
mineral ke permukaan dan mengendapkannya. Cebakan mineral yang terbentuk dalam
proses ini dikenal dengan tipe Volcanic Massive Sulphide (VMS) atau tipe Kuroko. Contoh
terbaik atas proses ini terjadi di Pulau Wetar, yang menghasilkan mineral barit.

Proses pengayaan mineral karena pelapukan batuan dikenal dengan nama


pengkayaan supergen. Batuan granitik yang lapuk akan menghasilkan mineral pembawa
aluminium, antara lain bauksit. Proses ini sangat berhubungan dengan keberadaan jalur
magmatik, berupa subduksi pada lempeng benua bersifat asam, sehingga menghasilkan
batuan bersifat asam. Contoh pelapukan granit ini antara lain terjadi di Kalimantan Barat,
Bangka, Belitung dan Bintan.

Peridotit terbentuk di lingkungan lempeng samudera yang akan kaya mineral besi,
nikel, kromit, magnesium dan mangan. Keberadaannya di permukaan disebabkan oleh
lempeng samudra Pasifik yang terangkat ke daratan oleh proses obduksi dengan lempeng
benua Eurasia, yang kemudian “disebarkan” oleh Sesar Sorong sebagai pulau-pulau kecil di
berada di Kepulauan Maluku (Katili, 1980). Pelapukan akan menguraikan batuan ultrabasa
tersebut menjadi mineral terlarut dan tak terlarut. Air tanah melarutkan karbonat, kobalt
dan magnesium, serta membawa mineral besi, nikel, kobalt, silikat dan magnesium silikat
dalam bentuk koloid yang mengendap. Endapan kaya nikel dan magnesium oksida disebut
krisopras, dan cebakan nikel ini disebut saprolit. Proses pelapukan peridotit akan
menghasilkan saprolit yaitu batuan yang kaya nikel. Pelapukan ini terjadi di sebagian
Kepulauan Maluku, antara lain di Pulau Gag dan Gebe (Sudrajat,1999).

30 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Sebaran mineral logam di Indonesia sangat terkait dengan keberadaan jalur


magmatis yang dikenal sebagai pembawa mineralisasi. Selain itu juga kondisi tektonik
sangat mempengaruhi sebaran mineral ini. Khususnya untuk endapan nikel sebarannya
mendominasi di wilayah Indonesia bagian timur yang berkaitan dengan keberadaan batuan
ofiolit. Sedangkan untuk cebakan mineral logam lainnya sangat beragam di seluruh wilayah
Indonesia (Gambar 2. 14).

Gambar 2.14. Peta Jalur mineralisasi logam dan busur utama potensial penghasil emas dan
tembaga di Indonesia (Sumber: Carlile dan Mitchel, 1994 modifikasi PSDG, 2011)

2.5. Klasifikasi dan Tipe Cebakan Mineral


Para ahli geologi membuat klasifikasi cebakan mineral dengan berbagai cara yang
antara lain berdasarkan pada :
 Komoditas yang sedang ditambang
 Tatanan tektonik dimana terdapatnya cebakan mineral
 Tatanan geologi cebakan mineral
 Model genetik mulajadi cebakan bijih

Dari beberapa kriteria tersebut yang paling umum digunakan adalah klasifikasi
berdasarkan genesa cebakan mineral. Tipe cebakan mineral sangat berkaitan erat dengan
genesa atau mulajadi. Genesa cebakan mineral juga akan menentukan bentuk dan letak

31
tubuh bijih. Bentuk lapisan biasanya disebabkan karena proses sedimentasi, bentuk urat
(vein) bertalian dengan proses magmatisme, dan lain sebagainya. Letak tubuh bijih selain
ditentukan oleh genesanya juga oleh kegiatan tektonik yang berlangsung di daerah itu.
Cebakan mineral yang disebabkan oleh proses magmatisme pada awalnya biasanya terletak
jauh di kedalaman. Cebakan mineral ini akan muncul atau terletak di dekat permukaan bila
ada proses geologi (tektonika) yang berlangsung kemudian disertai proses pengangkatan.
Cebakan mineral jenis plaser biasanya terletak di permukaan. Dengan kata lain letak tubuh
bijih dapat pula ditentukan oleh proses geologi yang berlangsung di sekitar cebakan
mineral seperti proses tektonika, erosi, sedimentasi, dan lain sebagainya.

Secara garis besar, genesa cebakan mineral sangat berkaitan dengan tiga proses
pembentukan batuan yaitu magmatisme, sedimentasi, dan metamorfisme. Ketiga proses
tersebut akan menentukan terbentuknya berbagai macam tipe cebakan serta kelompok
asosiasi mineral bijih tertentu.

Sedangkan pembentukan endapan mineral secara umum dapat dibagi atas 2 tipe,
yakni tipe endapan Endogenik dan tipe endapan Eksogenik. Endapan Endogenik merupakan
endapan yang terbentuk jauh di dalam kerak bumi, bersamaan dengan proses
pembentukan batuan beku atau disebut cebakan primer. Endapan Endogenik terdiri dari:
endapan magmatik, endapan hidrotermal dan endapan metasomatik. Endapan Eksogenik:
endapan yang terbentuk di permukaan bumi. Endapan eksogenik antara lain: endapan
sedimentasi, endapan laterit dan endapan transportasi permukaan (endapan
sekunder/alluvial).

2.5.1. Tipe Endapan Magmatik


Proses magmatisme akan membentuk berbagai macam tipe cebakan seperti (early)
magmatic, pegmatik, greissen, skarn, hidrotermal, epitermal, dan lain sebagainya dengan
membentuk tubuh bijih yang beraneka ragam dari yang isometris, lapisan, urat (vein),
kantong (pocket), atau yang berbentuk rumit lainnya (Gambar 2.15) .

32 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Gambar 2.15. Bagan pembentukan endapan magmatik (Vakhromeev, 1961)

Cebakan: I – magmatik; II – pegmatitik, greisen; III – skarn; IV – hidrotermal dalam; V –


hidrotermal menengah dan dangkal; VI – hidrotermal metasomatik (dalam batugamping);
VII – teletermal; VIII – ekshalasi

Batuan : 1-batuan intrusi asam dalam; 2-batuan intrusi basa dalam; 3-intrusi menengah dan
dangkal; 4-batuan aliran vulkanik; 5-dapur diferensiasi magma hipotetik; 6-sekis; 7-
batugamping; 8-batupasir; 9-tubuh bijih

Tipe endapan magmatik merupakan endapan mineral yang terbentuk hasil langsung
dari proses fraksinasi kristalisasi magma baik yang terjadi karena pembekuan magma itu
sendiri setelah proses differensiasi atau segregasi. Endapan segregrasi magma: semua
endapan yang terbentuk melalui kristalisasi langsung dari magma. Pembentukannya terjadi
pada kedalaman yang besar. Bijih biasanya terletak dalam masa intrusi atau di sepanjang
pinggirannya, atau membentuk retas atau offshoot dalam tubuh intrusi itu sendiri dan
mungkin juga extrusive flows.

Mineral bijih yang terbentuk dapat terkonsentrasi melalui proses gravity settling,
liquid immiscibility atau melalui tekanan (filter pressing). Endapan Logam yang umum

33
ditemukan pada batuan ultramafik: kromit (Stratiform chromite), ilmenite, apatite,
diamond, nickel, copper dan PGE. Logam yang berasosiasi dengan batuan beku
intermediate antara lain magnetit, hematite, dan beberapa mineral aksesories antara lain
zircon, monazite, uraninite dan cassiterite (Gambar 2.16).

Gambar 2.16. Pembentukan endapan magmatik (kromit dan nikel sulfide) dan endapan
pegmatik dan greisen (sumber : John M. Guilbert and Charles F. Park Jr., ORE DEPOSIT.,
1986)

2.5.1.1. Tipe Endapan Pegmatik


Endapan Pegmatik merupakan endapan yang terbentuk pada suatu batuan beku
yang memiliki ukuran kristal yang (sangat) kasar, terbentuk selama kristalisasi magma (pada
dapur magma/magma chamber), pada kondisi larutan yang memiliki kandungan air cukup
tinggi, dan pertumbuhan kristal yang relatif cepat. Dan yang terbentuk berupa massa di
dalam dike atau urat-urat pada daerah batas/kontak batholiths (Gambar 2.16).

Pegmatit muncul pada tahapan akhir kristalisasi magma dan kadang-kadang


mengandung pengkayaan beberapa mineral logam jarang yang mengandung unsur-unsur
seperti Boron, Lithium, Uranium dan REE. Pegmatit terbentuk pada bagian atas suatu
komplek struktur dan biasanya berasosiasi secara spasial dengan intrusi plutonik dengan

34 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

komposisi granitik (Contoh: Mineralisasi REE di daerah Sosortolong, Kabupaten


Hasundutan, Sumatera Utara).

Genesa mineralisasi pegmatit terbentuk pada larutan sisa kristalisasi kandungan


silikat rendah memungkinkan meningkatnya keterdapatan air & volatile menurunkan
viskositas larutan dan titik beku mineral-mineral yang menyebabkan pegmatitik terbentuk
(Bateman, 1981). Lebih jauh, mungkin saja terbentuk suatu zona transisi (Aqueo-igneous
stage) pegmatitic quartz lebih lanjut dapat menyebabkan terbentuknya hydrothermal
quartz vein carrying ore minerals.

2.5.1.2. Tipe Endapan Greisen


Greisen didefinisikan sebagai suatu agregat granoblastik kuarsa dan muscovit (atau
lepidolit) dengan mineral aksesoris antara lain topaz, tourmalin dan flourite yang dibentuk
oleh post-magmatik alterasi metasomatik dari granit (Best, 1982; Stemprok, 1987).
Endapan greisen merupakan salah satu tipe endapan yang penting untuk Timah (Sn) dan
Tungsten (W).

Genesa mineralisasi Greisen terbentuk pada kontak bagian atas antara intrusi
granit, kadang-kadang muncul berupa stockwork. Mineralisasi muncul secara irregular
(tidak beraturan) yang terkonsentrasi pada sekitar zona kontak. Host rock menunjukkan
komposisi granitik dan berkembang sampai kedalaman 10-100 m sebelum bergradasi
menuju zona alterasi feldspatik (albitization-microclinization) dan batuan granit (fresh
granite) (Gambar 2.17).

Fluida pegmatitik sering migrasi pada bagian atas intrusi dan kadang-kadang
mengisi sebagai intrusi-intrusi (stock?) di sepanjang batas tubuh greisen. Endapan timah
greisen kemungkinan terbentuk pada bagian atas suatu pluton granit yang kontak dengan
batuan yang impermeable sehingga terakumulasi mineral-mineral sebagai produk dari
kristalisasi awal.

Gambaran tipe endapan pegmatik dan endapan Greisenisasi terdapat pada daerah
Sisonding, Sosortolong, Kabupaten Hasundutan, Sumatera Utara (Gambar 2.1). Proses
pegmatit terjadi diakibatkan oleh penerobosan masa batuan granit gneis pada Karbon Akhir
sampai Perem Awal, yang menyebabkan terbentuk urat kuarsa pegmatite lebar sekitar 20
cm, dan sedikit turmalin, serta mengandung logam langka: REE, tantalite(Ta), kolumbit,
Terbium(Tb) dan holinium (Ho). Gejala mineralisasi greisenisasi diperkirakan terbentuk oleh

35
post-magmatik alterasi metasomatik yang mengakibatkan terbentuk pengayaan muskovit
dan turmalin yang berbentuk kipas atau menjarum, yang ditemukan pada daerah
Nagatimbul (Gambar 2.17).

Gambar 2.17. Ilustrasi penampang geologi di sekitar zona mineralisasi (sumber : DIM 2000)

2.5.2. Tipe Hidrothermal


Hidrotermal adalah fluida atau larutan air panas yang naik akibat proses magmatik
ataupun dari proses lainnya seperti air meteorik atau yang terbebaskan pada suatu proses
malihan. Air panas tersebut dapat melarutkan unsur-unsur logam dari batuan yang
dilaluinya, kemudian diendapkan di suatu tempat, pada temperatur yang lebih rendah,
sehingga terjadinya suatu pengayaan endapan bahan galian Sebagian besar dari cebakan
mineral berasal dari proses ini.

Endapan hidrotermal pada umumnya berkaitan dengan alterasi atau proses ubahan,
sehingga terjadi perubahan susunan baik mineral maupunm kimiawi batuan akibat
pengaruh larutan hidrotermal. Perubahan yang terjadi dapat berupa rekristalisasi,
penambahan mineral baru, larutan mineral yang telah ada, penyusunan kembali komponen
kimiawinya atau perubahan sifat fisik seperti permeabilitas dan porositas batuan.

Zona ubahan yang terbentuk dapat dibagim menjadi empat yaitu :


1. Zona potasik yang dicirikan oleh ortoklas - biotit sekunder, ortoklas-klorit dan
ortoklas-biotit-klorit.
2. Zona filik yang dicirikan olah kumpulan mineral kuarsa-serisit-pirit, klorit, ilit,
rutil,piropilit, karbonat, anhidrit dan serisit.
3. Zona argilik yang dicirikan oleh mineral lempung.

36 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

4. Zona propilitik yang dicirikan oleh klorit, pirit, kalsit, epidot, biotit,
hornblende,karbonat dan plagioklas.

Konsep dasar sistim hidrotermal melibatkan sumber panas yang berasal dari tubuh
intrusi dan adanya sirkulasi fluida yang berasal baik dari air meteorik maupun dari air tanah
dalam (Gambar 2.19). Sistim hidrotermal dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu
temperatur dan pH fluida. Berdasarkan kedua faktor tersebut mineral alterasi dapat dibagin
dalam beberapa kelompok yaitu silika, alunit, kaolinit, ilit, klorit dan kalk silika.

Endapan mineral hidrotermal terbentuk secara berurutan. Mineral-mineral ikutan


diendapkan lebih dahulu diikuti mineral oksida dan yang paling akhir mengkristal adalah
mineral sulfida. Urutan pengendapan mineral dengan jelas diperlihatkan pada cebakan tipe
urat yang terbentuk dari larutan mengisi celah (cavity filling) sehingga terlihat seperti
lapisan.

Contoh endapan ini diantaranya endapan tembaga, timbal, zinc, emas dan lain
sebagainya. Endapan ini terdapat dalam kerak bumi sebagai korok (dyke), urat (vein) ,lensa,
urat-urat halus dan tersebar dalam masa batuan.

Gambar 2.19. Konsep dasar sistim Hidrotermal (sumber : Kingston Morison dalam Anonim, 2012)

Mineralisasi hidrotermal dapat dibagi atas tiga tipe, yaitu: Tipe Porfiri, tipe
Mesothermal dan Tipe Epithermal. Endapan porfiri adalah suatu endapan primer yang

37
berasosiasi dengan intrusi (hipogen) yang berukuran relatif besar dengan kadar rendah
sampai medium, pada umumnya dikontrol oleh struktur geologi. Secara spasial dan genetik
berhubungan dengan intrusi porfiritik felsik sampai dengan intermediet. Oleh karena itu
endapan hidrotermal dapat berbentuk lensa-lensa, urat, serupa tabung, atau isometris
(tipe porfir). Batas bentuk tubuh bijih dengan batuan samping (country rock) nya dapat
secara tegas atau merupakan gradasi. Sebaran mineral berharga dalam tubuh bijih itu
dapat merata atau tidak merata.

Pada tahapan awal, mineralisasi Porfiri Cu didominasi oleh fluida magmatik. Ciri
endapan tipe porfiri ditunjukkan oleh sistim ubahan batuan yang simetris menyerupai
bentuk shell ( Gambar 2.20). Peranan air meteorik pada tahapan lanjut dapat memperkaya
konsentrasi logam menuju kadar yang lebih tinggi menjadi bijih. Endapan yang terbentuk
umumnya berupa disseminated dan secara lokal berupa veinlets atau stockwork. Bila sistem
rekahan itu berkembang dalam batuan yang relatif homogen dan besar, maka akan
terbentuk tubuh bijih yang isometris. Bila sistem rekahan berkembang pada bentuk
tertentu seperti tabung atau perlapisan maka tubuh bijih yang terbentuk juga akan sesuai
dengan perkembangan sistem rekahan atau kekar. Contoh cebakan hidrotermal tipe porfiri
di Indonesia di antaranya adalah Cu-Au di Papua (Grasberg); Cu-Au-Mo di Sumbawa (Batu
Hijau) dan lainnya.

Gambar 2.20. Model sistem Hidrotermal Endapan Tipe Porfiri


(Sumber : Giggenbach 1992 dalam Anonim 2012)

38 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Endapan tipe epithermal terbentuk pada kedalaman yang dangkal dari suatu sistem
hidrothermal (50 s.d. 1500 m) pada bentangan temperatur yang relatif rendah (150° s.d.
300° C). Logam ekonomis utama adalah emas (Au). Tipe epithermal ini menempati posisi
yang paling dikenal karena banyaknya cebakan yang ditemukan. Bijih logam yang terbentuk
karena kegiatan hidrotermal sangat beragam terutama kelompok sulfida logam dasar dan
logam mulia. Berdasarkan mineral-mineral alterasi dan mineral bijih-nya, terdapat 2 (dua)
sub-tipe: epithermal low sulfidasi dan epithermal high sulfidasi (Gambar 2.21). Contoh
cebakan hidrotermal tipe epithermal di Indonesia di antaranya adalah Au-Ag di Jawa
Barat (Pongkor dan Cibaliung); Lampung (Way Lingga) di Gorontalo (G. Pani), dan lainnya.

Gambar 2.21. Model sistim hidrothermal tipe epithermal sulfida tinggi (jalur a dan b) dan sulfida
rendah (jalur c) (sumber: Giggenbach, 1992 dalam Anonim, 2013.)

2.5.3. Vulkanogenik
Endapan vulkanogenik terbentuk karena adanya kegiatan gunungapi bawah laut.
Kegiatan vulkanik bersusunan riolitik yang menghasilkan breksi tufa asam ini berlangsung di
bawah laut. Salah satu karakteristik cebakan ini adalah adanya perlapisan rijang, endapan
sulfida, barit dan gipsum. Endapan sulfida terdiri dari bijih hitam, bijih kuning, dan bijih
kuning yang berbentuk stockwork. Tipe ini dikenal juga sebagai Volcanic Hosted Massive
Sulphide (VHMS). Contoh endapan ini adalah bijih Pb-Zn di Jepang (tipe Kuroko), Kazakhtan,
Rusia dan Lerokis – Pulau Wetar, Indonesia (Gambar 2.22 dan 2.23).

39
Endapan Tipe Kuroko

Gambar 2.22. Endapan Tipe Kuroko atau Tipe Volcanic Massive Sulphide (VMS)
(Mining Geology, 1974)

Gambar 2.23. Geologi dan penampang Lerokis-P. Wetar (Van Lueewen, dkk., 1994)

40 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

2.5.4. Endapan Tipe Metamorfik dan Metamorfisme Kontak


Cebakan tipe metamorfik dan metamorfisme kontak terbentuk berhubungan dengan
proses malihan (metamorphism) yang diakibatkan karena pengaruh perubahan
(peningkatan) tekanan dan temperatur. Malihan adalah proses suatu batuan berubah
menjadi batuan lain karena tekanan dan/atau temperatur. Pada endapan ini hanya
menghasilkan sedikit endapan mineral karena batuan induknya mengandung sedikit ion-ion
metal. Tubuh bijih yang terbentuk kadang sederhana, seringkali tidak teratur dengan sebaran
bijih di dalamnya teratur atau tidak teratur.

Mineral logam yang terbentuk karena proses malihan tidak banyak. Malihan dapat
mengakibatkan re-kristalisasi dari sulfida yang telah ada menjadi berukuran lebih kasar, lebih
ekonomi, mineralisasi yang memberikan kadar metal yang tinggi. Endapan mineral yang
mempunyai nilai ekonomis terbentuk akibat proses malihan pada kondisi temperatur dan
tekanan tinggi, contoh: asbes serpentin, grafit, talk, pyropilit, silimanit, andalusit, kyanit,
garnet dan wollastonit (Gambar 2.24).

Gambar 2. 24. Endapan tipe metamorfik

41
Pada metamorfisme kontak, magma sebagai sumber air, volatil material dan variasi
unsur-unsur, bila material ini kontak dengan country rock, maka akan terbentuk skarn, yang
prosesnya disebut juga sebagai metasomatisme. Endapan metasomatik kontak terbentuk
karena adanya penerobosan batuan beku (asam) pada formasi batugamping atau batuan
gampingan (calcareous rock). Proses metasomatisme ditandai oleh pembentukan skarn,
yaitu kumpulan mineral yang terdiri dari garnet dan piroksen dan dapat beragam susunan
mineral. Skarn dapat terbentuk dalam batuan beku di dekat kontaknya, (endoskarn) atau
dalam batuan samping (exoskarn) (Gambar 2.25).

Gambar 2.25. Skarn pada Kontak Stok Intrusif (Sumber : Gilbert dan Lowel, 1974)

Pemineralan juga dapat terbentuk pada kedua lajur (zona) tersebut. Tubuh bijih yang
terbentuk karena proses metosamik berbentuk lensa-lensa, tidak teratur, urat, tabung (pipe
like), dan perlapisan. Sebaran mineral berharga masif, terserak tidak merata. Contoh: bijih
metasomatik kontak di antaranya adalah bijih Fe di Cornwall, Kalimantan Selatan dan
Sumatera Barat; Au-Cu di Papua (Ertsberg, DOM, DOZ, IOZ, Big Gossan) (Gambar 2.26); dan
Sumatera Selatan.

42 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Gambar 2.26. Penampang cebakan bijih Cu-Au tipe skarn tambang DOM, Papua

2.5.5. Tipe Endapan Sedimenter


Proses pengendapan atau sedimentasi yang berhubungan dengan pembentukan
batuan meliputi tiga tahapan yaitu pelapukan batuan asal, transportasi atau pemindahan
hasil pelapukan, pengendapan material lepas, dan diagenesa atau pemampatan material
lepas tersebut menjadi batuan yang kompak. Proses ini menyebabkan terjadinya tubuh
cebakan mineral yang umumnya berbentuk lapisan. Sebaran bahan berharga dalam lapisan
itu tergantung pada proses sedimentasi itu sendiri, ada yang merata atau terserak secara
tidak teratur.

Cebakan tipe sedimentar terbentuk karena pengendapan baik secara mekanik


maupun kimia. Bentuk tubuh bijihnya cenderung menyerupai lapisan, sederhana, teratur,
dengan sebaran bijih di dalamnya nisbi merata. Pada cebakan mineral ini FeO & MnO
umumnya terbentuk karena presipitasi sedimen yang berasal dari batuan sebelumnya yg
mengalami pelapukan dan, tertransport dalam cekungan sedimen, pada kondisi yang cocok,
ion-ion akan bergabung dan membentuk presipitasi kimia.

Faktor yang paling berpengaruh adalah pH dan Eh. Banded iron formations (BIF)
adalah identik dengan endapan sedimen bijih iron, karena adanya perlapisan dari mineral-
mineral FeO dan mineral gangue (kuarsa). BIF kadang terdiri dari beberapa facies:

43
– Fasies oksida : hematit & magnetit
– Fasies karbonat : siderite & chert
– Fasies silikat: iron silikat dominan with asesori magnetit, siderit & chert
– Fasies sulfida : banded pyritic carbonaceous argillite with organic matter

Gambar 2.27. Penampang skematik cebakan preprarasi sedimenter

Gambar 2.28. Tekstur Banded iron formations (BIF) di Gn Kancil Tanggamus ,


Lampung (sumber : ……)

44 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

2.5.6. Endapan Residual (Lateritik)


Endapan residual ini dihasilkan karena proses pelapukan (physical & chemical),
seperti: bauksit, clay dan nikel. Pada Cebakan residual terbentuk karena proses pelapukan
terhadap batuan tertentu pada iklim tropis yang mengakibatkan terjadinya proses lateritisasi
dan membentuk cebakan laterit. Proses ini akan disertai pembentukan mineral-mineral
sekunder dan pengayaan unsur atau mineral tertentu. Endapan ini merupakan hasil dari
pelapukan lanjut dari batuan ultramafik pembawa Ni-silikat, pada daerah dengan iklim tropis
s.d. subtropis. “Laterite” bagian atas dari suatu horizon tanah yang kaya dengan oksida besi
dan miskin silika sebagai hasil dari pelapukan intensif pada regolith (Eggleton, 2001). “Nickel
laterite” untuk menyatakan keberadaan suatu regolith yang mengandung konsentrasi nikel
dengan kadar yang ekonomis, tetapi tidak untuk menyatakan suatu horizon atau unit lapisan
tanah tertentu.

Endapan Bauksit Laterit terbentuk melalui proses pelapukan batuan aluminosilikat,


pada kondisi subtropis hingga tropis. Fe dan Al umumnya mengalami persipitasi bersama-
sama dgn Fe dominan, pada situasi dimana batuan induk sedikit mengandung Fe yg
kemudian mengalami pelapukan, maka Al akan dominan dan hasil endapannya berupa laterit
yang di sebut bauksit. Jumlahnya mencapai 90% sumber daya bauksit dunia.

Faktor yang penting untuk pembentukan bauksit adalah:


 Iklim tropis, kondisi perbedaan dingin dan panas,suhu diatas 20℃
 Terbentuk dari berbagai macam batuan primer
 Aktivitas kimia dan organik
 Adanya topografi dengan morfologi pada permukaan datar–landai, sebagian bauksit
terdapat pada bagian dari dataran tinggi

Sedangkan faktor yang penting dalam pembentukan nikel laterit adalah:


 Terdapat batuan ultramafik yang relatif kaya dengan olivine (Harzburgit/Dunit), sebagian
atau keseluruhannya dapat mengalami serpentinisasi
 Berada pada iklim tropis. Temperatur yang hangat (panas) dan tingginya curah hujan.
 Pada daerah ketinggian terdapat zona pengkayaan pada bagian atas lereng bukit.
Sedangkan pada daerah dengan relief yang rendah, konsentrasi Ni lebih banyak
 Terdapat pada kondisi tektonik komplek berpengaruh pada intensitas pelapukan

45
Bentuk tubuh bijih cebakan laterit menyerupai perlapisan yang tidak teratur di
permukaan. Sebaran mineral berharganya pada umumnya tidak merata. Cebakan laterit
hanya terbentuk di daerah tropik yang dimungkinkan terjadinya pelapukan yang sangat kuat.
Contoh cebakan laterit adalah bijih besi di Kalimantan Selatan, nikel di Sulawesi dan
Indonesia bagian timur, dan bauksit di Riau dan Kalimantan Barat (Gambar 2.29).

Gambar 2.29. Penampang Nikel Laterit di West Soroako, Sulawesi


(Soepriadi, 2010 dalam Swamidharma, 2011)

2.5.7. Endapan Placer


Endapan placer adalah akumulasi material lepas yang terbentuk karena diawali oleh
proses pelapukan mineral asal yang kemudian terpindahkan (transported) ke tempat lain
yang biasanya berupa dataran rendah. Apabila media trasport oleh sungai disebut cebakan
alluvial. Namun apabila transportnya karena gaya gravitasi disebut cebakan kolovial. Jika
material lapuknya masih dekat dengan lokasi pemineralan (insitu) disebut sebagai cebakan
elluvial. Bila dalam batuan asal terdapat mineral berat (mineral yang tahan terhadap
pelapukan kimia dan berberat jenis besar), maka mineral tersebut cenderung akan tetap
bertahan dalam bentuk semula. Dalam proses pemindahan hasil pelapukan berlangsung pula
proses pemisahan dan pemilahan mineral berat. Dalam proses pengendapan hasil pelapukan
juga akan terjadi semacam pemilahan pula.

Faktor yang mempengaruhi pembentukan endapan plaser:


 Durability or resistance of minerals to weathering and mechanical breakdown

46 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

 High specific gravity (density)


 Transporting medium (water, ice or wind)
 Site for deposition

Cebakan mineral yang terbentuk proses ini (sedimentasi endapan lepas) biasanya
hanya jenis mineral tertentu yaitu mineral berat (emas, kasiterit, magnetit, ilmenit, dsb.).
Bentuk tubuh bijih biasanya berupa perlapisan tidak teratur, lensa-lensa, bentuk tidak
teratur lainnya. Sebaran bahan berharga dalam tubuh bijih biasanya juga tidak merata.
Contoh dari tipe ini adalah cebakan emas sekunder, timah sekunder, pasir besi, dan endapan
mineral berat lainnya. Contoh: besi residual (siderit), mangan, alluvial dan eluvial (emas,
timah dan platina) (Gambar 2.30).

Gambar 2.30. Endapan plaser/sedimentasi (Encyolopaedia Britanica, Inc, 1994, dalam Materi
Bimtek, PSDG, 2009)

2.6. Variabilitas Endapan Mineral


Bentuk tubuh bahan galian secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi bentuk
isometris, tabung, dan lapisan. Bentuk isometris menunjukkan bahwa ukuran tiga
dimensinya (panjang, lebar, tebal) hampir sama. Bentuk ini tentu saja tidak selalu beraturan.
Sebaran bahan berharga di dalam tubuh ini terserak ada yang merata atau tidak merata.
Contoh nyata dari bentuk ini adalah cebakan tipe porfir. Endapan tipe ini yang biasanya

47
berkadar rendah dapat ditambang secara meruah (bulk mining method). Bentuk tabung
adalah tubuh bijih yang memanjang dengan penampang yang umumnya nisbi membulat.

Berdasarkan bentuk tubuh bijih dan sebaran bahan berharga di dalamnya, Kreiter
(1961) telah mengklasifikasikan endapan mineral menjadi 5 kelompok.

Cebakan mineral yang berbentuk sederhana, isometris, dengan sebaran komponen


berharganya (metal) merata. Variabilitas bentuk dan sebaran mineral bijihnya kecil. Yang
termasuk ke dalam kelompok ini adalah cebakan bijih besi, beberapa cebakan mineral tipe
laterit (bauksit, nikel), dan cebakan mineral magmatogen terutama adalah beberapa
cebakan mineral bijih besi dan titanium yang besar.

Cebakan mineral berskala besar dengan bentuk yang bervariasi atau kadang-kadang
sulit, termasuk cebakan tipe metasomatik yang besar, dengan sebaran unsur berharga yang
tidak merata. Ke dalam kelompok itu termasuk sebagian besar cebakan mineral logam dasar
tipe stockwork, beberapa cebakan mineral logam besi, sulfida, logam langka yang relatif
merata (dalam intrusi yang terstratifikasi), dan sebagian besar endapan plaser emas, platina,
timah dan logam langka.

Endapan mineral yang berskala menengah dan yang bentuknya beragam dengan
sebaran unsur berharganya tidak merata atau sangat tidak merata. Seiring dengan sering
ditemukannya tubuh berbentuk retas terlihat pula endapan mineral tidak teratur. Ke dalam
kelompok itu termasuk sebagian besar endapan mineral emas, timah, logam langka, air
raksa, stibium, wolfram dan molibdenum dan sebagian polimetal tipe urat.

Termasuk ke dalam kelompok ini adalah endapan bahan galian (EBG) yang
karakteristik morfologinya serupa dengan kelompok c. Selain sebaran komponennya yang
sangat tidak merata, perbedaan yang sangat signifikan dengan kelompok c adalah kecilnya
skala tubuh bijih yang dipresentasikan dalam bentuk retas berukuran kecil, kadang-kadang
sangat dipengaruhi oleh kuatnya tektonika, tubuh metasomatika yang kecil, juga berbentuk
tabung dan lain sebagainya. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pegmatit
pembawa berilium dan timah putih, sebagian besar bijih logam langka dan logam mulia dan
juga wolfram, stibium dan air raksa dengan tubuh bijih yang berbentuk retas-retas kecil dan
tubuh yang tidak beraturan.

48 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Cebakan mineral yang terdiri dari lensa dan tubuh bijih berupa tabung yang
berukuran kecil. Contohnya adalah lensa pembawa platina dan tabung khromit dalam
dunit, dan lensa pembawa syelit dan molibden dalam lajur skarn.

Vakhromeev juga menghubungkan antara kelompok cebakan mineral dengan


tingkat variabilitas dari ketebalan, kadar dan cadangan liniernya.

Tabel 2.1. Pengelompokan mineral berdasarkan tingkat variabilitas kadar, ketebalan, dan cadangan
linier (Kreiter, V.M., 1961, Vol. 2)

Kel. Tipe Variabilitas Koefisien Variasi


Tipe Cebakan mineral
EBG (P.L.Kalistov) Vt Vc Vres
I Mineral sedimenter (batubara, Secara umum 5-50 5-30 30
serpih, bahan bangunan, teratur
fosforit dan bijih besi) atau
beberapa mineral
magmatogen yang sederhana
II Mineral logam dasar pada Biasanya tidak 30-80 40-100 80
umumnya, sebagian mineral teratur
non logam magmatik dan
mineral besi yang rumit
III Sebagian besar mineral logam Tidak teratur 50-100 100-150 130
langka, logam dasar dan mulia
yang berbentuk retas (dike),
mineral logam dasar yang
lebih sulit bentuknya dan
terkoyak oleh struktur,
beberapa mineral non logam
hipogen
IV Mineral logam langka dan Sangat tidak 80-150 130-300 ~200
logam mulia yang kecil atau teratur
yang sangat terkoyak oleh
struktur dengan sebaran
komponen yang sangat sulit
(tidak teratur)

Keterangan:
Vt – koefisien variasi ketebalan; Vc – koefisien variasi kadar; Vres – koefisien variasi cadangan linier.
Menurut N.V. Barisyev, titik pengamatan minimal yang diperlukan untuk penghitungan koefisien
variasi adalah 18 buah untuk Kelompok I, 25 untuk Kelompok II dan 40 untuk Kelompok III.

49
Bentuk cebakan mineral ini akan sangat menentukan jenis kegiatan eksplorasi
(exploration working) yang harus dibuat. Untuk jenis cebakan mineral yang mempunyai
tubuh bijih teratur baik isometris maupun berupa lapisan dengan sebaran komponen
berharganya teratur, cara pengeboran akan cukup memadai untuk eksplorasi. Sedangkan
untuk tubuh bijih yang tidak teratur dan apalagi sebaran komponen berharganya tidak
teratur, selain pengeboran, pembuatan terowongan juga akan sangat membantu dalam
penentuan cadangan dengan ketelitian yang lebih tinggi.

Eksplorasi juga diartikan sebagai kajian efektif terhadap kaidah-kaidah geologi


(geological regularity) yang bertalian dengan variabilitas bentuk EBG, kualitas, dan
keberadaannya. Endapan mineral terbentuk karena proses geologi yang berlangsung dalam
ketidakteraturan. Proses pembekuan magma yang disertai pengkristalan mineral (bijih)
tertentu akan membentuk tubuh bijih yang tidak tertentu bentuknya. Bentuk-bentuk
umum seperti tabung, lensa, lode, dsb tidak mempunyai dimensi yang teratur dan seragam.

Larutan hidrotermal yang memasuki celah-celah rekahan yang tidak beraturan akan
membentuk tubuh bijih yang beragam tergantung pada orientasi dan intensitas rekahan.
Bentuk urat terjadi karena orientasi rekahan nisbi searah, dan sebaliknya bila rekahan
berkembang sangat intensif dan mempunyai beragam arah serta saling memotong maka
akan terbentuk stockwork. Baik bentuk urat maupun stockwork biasanya tidak mempunyai
dimensi dan ukuran yang teratur.

Proses sedimentasi mineral berat akan mengisi cekungan-cekungan yang berbeda


bentuk dan ukurannya sehingga bentuk tubuh bijih dalam bentuk endapan gravel yang
mengandung mineral berharga juga tidak mempunyai bentuk yang seragam. Proses
lateritisasi terhadap batuan yang menimbulkan pengayaan (enrichment) mineral bijih
tertentu juga akan membentuk lapisan laterit yang beragam bentuk dan ketebalannya.

Karena proses geologi itu pula sebaran bahan berharga dalam tubuh bijih menjadi
tidak merata. Dengan kata lain bahwa proses geologi akan menghasilkan keberagaman
bentuk tubuh bijih, ukurannya, dan juga sebaran bahan berharga di dalamnya. Dalam
endapan mineral selalu ada keberagaman atau variabilitas.

Dikenal adanya dua macam variabilitas: karakter dan intensitas. Karakter variabilitas
dapat teratur (regular) dan tidak teratur; yang teratur dibagi menjadi (a) smooth
continuously regular, (b) smooth continuously unregular, (c) intermitten (interrupted)

50 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

unevenly regular, (d) intermitten (interrupted) unevenly unregular. Karakter variabilitas,


diantaranya arah variablitasnya, dapat pelajari berdasarkan teori kemungkinan (probability),
dan dihitung secara statistik (geostatistik). Rumus variogram dapat digunakan untuk
mengetahui arah variabilitas suatu endapan mineral.

Intensitas variabilitas dapat diketahui dengan menghitung koefisien variasi yang


merupakan hubungan (rasio) antara simpangan baku dengan nilai rata-rata. Nilai itu
merupakan besaran yang menggambarkan variabilitas keadaan endapan mineral. Besaran
variasi hanya menggambarkan tingkat (intensitas) variabilitas parameter (yang diselidiki),
tidak menunjukkan karakternya.

2.7. Tipe dan Bentuk Cebakan Bijih


Sudah banyak teori dibuat oleh para peneliti terdahulu yang membahas tentang cara
terbentuknya cebakan/tubuh bijih, dan yang sudah lama dikenal antara lain yang
dikemukakan oleh Jensen & Bateman dalam buku Economic Minerals Deposits. (lampiran.)
Untuk kondisi geologi Indonesia, Yaya Soenarya dkk., (1996) mengelompokkan keterdapatan
endapan bijih berdasarkan batuan induknya ke dalam lima kelompok yaitu; intrusive-hosted
deposits, volcanic-hosted deposits, sediment-hosted deposits, metamorphic-hosted deposits
dan ultramafic-hosted deposits. Selain penulis yang disebutkan diatas, klasifikasi yang dibuat
oleh Gregg Morisson (1987) bisa dibuat sebagai acuan untuk diterapkan pada kondisi geologi
busur kepulauan seperti Indonesia. Cebakan bijih dikelompokkan dalam 7 tipe dan 21 sub-
tipe (Tabel 2.2). Kemudian yang dikemukakan oleh Corbett & Leach (1995 & 1996), kelompok
cebakan terbagi menjadi 4 tipe dan 14 sub-tipe/style (Tabel 2.3).

Untuk menentukan termasuk sub-tipe apa cebakan bijih tersebut Gregg Morisson
(1987) merunutnya ke dalam beberapa parameter kontrol antara lain: tataan tektonik, umur
geologi, batuan induk dan batuan intrusi, kontrol struktur, kontrol stratigrafi, mineralisasi
(ore mineral, gangue mineral, ore shape), alterasi, kedalaman tubuh bijih, kadar mineral (Au
= ppm, sulfida lain ie. Cu = ppm/%), asosiasi unsur logam lainnya, perbandingan antar unsur
Au/Ag ratio, Au/Cu ratio, Cu/Mo ratio dll, temperatur dan yang lainnya lagi (Tabel 2.4).

Sedangkan Corbett & Leach (1995, 1996), untuk menentukan sampai ke sub-tipe
cebakan tubuh bijih, didekati dengan beberapa parameter kontrol diantaranya: tataan

51
geologi dan tektonik, kontrol struktur geologi, kontrol litologi (batuan), alterasi (ubahan),
paragenesa urat (veining paragenesis) dan mineralisasi (Tabel 2.5).

ORE DEPOSITS ( M.L. Jensen & A.M. Bateman)


1. MAGMATIC DEPOSITS/MAGMATIC CONCENTRATION (P & T high)
a. Inmiscible liquid segregation
b. Inmiscible liquid injection
2. CONTACT METASOMATISM/PYROMETASOMATISM ( P & T low to high)
3. HYDROTHERMAL PROCESSES ( T & P low to high)
* Distance ore from surface:
a. Telethermal deposits
b. Epithermal deposits
c. Mesothermal deposits
d. Hypothermal deposits
* Origin, processes and shape of ore:
a. Cavity filling (open space deposits)
b. Fissure veins and veins
c. Shear zone deposits
d. Stockworks
e. Tension crack filling (pitches & flats)
f. Saddle reefs
g. Breccia fillings (volcanic breccia fillings)
* Replacement deposits:
a. Massive
b. Lode fissure
c. Disseminated
4. RESIDUAL AND MECHANICAL DEPOSITS (T & P low)
a. Residula deposits
b. Eluvial placer
c. Eolian plaser

52 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

Tabel 2.2. Klasifikasi cebakan bijih (Gregg Morrison, 1987)

DEPOSIT TYPE SUB-TYPE


Archean gold-sulphides deposits: a. Stratiform lenses ore sulphides
b. Intrusive hosted & related ore deposits
Slate belt ore deposits: a. Epigenetic veins controlled by
metamorphic grade & host rock litology
b. Structural controlled veins in slate belts
c. Stratigraphic & structural controlled in
deformed sediment
Granitoid related ore deposits: a. Granitoid hosted mesothermal vein
b. Classic mesothermal vein deposits in
mixed host
Porphyry copper related gold a. Porphyry copper-gold mineralization
deposits: deposits
b. Skarn mineralization deposits
c. Porphyry style breccia pipe
d. Stockwork/disseminated mineralization
type
Epithermal gold-sulphides deposits A. Based on shape & process:
Bonanza deposits:
Vein
Stockworks/disseminated
Carlin type:
Replacement
Stockworks/disseminated
Hot springs deposits:
Vein
Sinter/hotspring
Breccia hydrothermal
B. Based on sulphides minerals:
- Acid-sulphate types/high sulphur model
(associated with porphyry copper)
- Adularia-sericite type/low sulphur model
Volcanogenic massive-sulphide gold - Volcanogenic massive sulphide Zn-Pb-Cu
bearing deposits: - Volcanogenic massive sulphide Cu
Gold placer and palaeoplacer
deposits

53
Tabel.2.3. Klasifikasi cebakan bijih (Corbett & Leach, 1995-1996)

DEPOSIT TYPE STYLE (SUB-TYPE) OF DEPOSITS


Low sulphidation Epithermal type Sinter/breccia style
Stockworks/fissure veins style
Porphyry-related low sulphidation type Quartz sulphide gold+copper style
Carbonate-base metal gold style
Quartz gold-silver style
Sediment hosted style
High sulphidation type Porphyry style
Structural control style
Lithological control style
Composite (structural & lithological)
style
Porphyry type Porphyry copper-gold style
Skarn style
Breccia gold style
Alkaline porphyry gold style

Catatan:
Untuk memastikan masuk ke dalam tipe atau sub-tipe mana, harus diindentifikasikan
dengan parameter kontrol: geological setting, structure (geological stucture), alteration,
veining paragenesis and mineralization.

54 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
Tabel 2.4. Klasifikasi cebakan bijih – tectonic setting (Gregg Morrison, 1987)

PLATE TECTONIC SETTING DEPOSIT TYPE EXAMPLE


Oceanic floor HOTSPOT
spreading related RIFT PALEOPLACER WITWATERSRAND
OCEANIC FLOOR VOLCANOGENIC EAST PACIFIC RISE ?
Subduction related ISLAND - ARC PORPHYRY-RELATED PANGUNA
LA LUZ
EPITHERMAL BAGUIO
VATUKOULA
VOLCANOGENIC ROSEBERY
ARCHEAN VOLC? BOUSQUET
CONTINENTAL ARC PORPHYRY-RELATED BAJO DE LA ALUMBRERA
EPITHERMAL MEXICO
Collision ARC DEFORMATION SLATE-BELT OTAGO
GRANITOID-RELATED MOTHER LODE
ARCHEAN METAM? KALGOORLIE
OBDUCTION EMPLECES ARC AND
OCEANIC FLOOR TYPES
POST COLLISION PORPHYRY-RELATED PORGERA
RIFT KIDSTONE
ARCH INTR-REL? MATACHEWAN
EPITHERMAL REPL CARLIN
PLACER OTAGO
Transform Fault OCEANIC
Related CONTINENTAL WESTLAND, NEWZEALAND
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

55
Tabel 2.5. Klasifikasi cebakan bijih – epithermal of ore deposit style (Gregg Morrison, 1987)
SUB-TYPE BONANZA CARLIN HOT-SPRING (GEOTHERMAL)
PARAMETER CONTROL
GOLD ORE Grades (1-100 g/t) Au : (10-100 g/t) Ag (4 – 8 g/t) Au ( 2 – 10 g/t ) Au
ASPECT Tonnages 1 – 10 juta tonnes 5 – 15 million tonnes 5 – 10 million tonnes Au
(commonly < 5.000.000 t)
In veins: - Fracture fillings - Veinlets/hydrofracture stockwork
TEXTURE - Crustiform banded of (qtz, py, - Coating - Hydrothermal (explosive) breccia
carb, ser, ad) - Sponge rocks – sinter
- Banded  jasperoid
DEPTH OF ORE Epithermal ( > 150 m) Epithermal Epithermal (near surface)
NORMAL FAULT INTERSECTION &
STRUCTURAL CONTROLS IMPLECTION - High angel NORMAL - NORMAL FAULT openng at depth
- Fault intersection  veins FAULT  vein - FEEDER JOINT (veinlets/feeder
- Fracture (joint) – stockworks (in - Bedding plane veins)
host hanging wall) THRUST FAULT
- Island arc (subduction related) - Post collision rift
TECTONIC SETTING - Continental arc (subduction (collition) - Island arc (in subduction related)
related) - Island arc - Continental arc (in subduction
(subduction related) related)
- Continental arc
(subduction related)
AGE Cenozoic orogenic belt -Host rocks –> Tertiary (Miocene & Pliocene)
(commonly Miocene) Paleozoic-Mesozoic

PENYELIDIKAN MINERAL
(sediment &
metamorphic layers)
- Intrusive  Tertiary

PANDUAN
56
Tabel 2.6. Klasifikasi cebakan bijih – porphyry Cu related Au deposits type (Gregg Morrison, 1987)
SUB-TYPE PORPHYRY Cu-Au SKARN MINERALIZATION PORPHYRY STYLE BRECCIA PIPE STOCKWORK/DISSEMINATE
PARAMETER CONTROL MINERALIZATION DEPOSITS D MINERALIZATION STYLE
DEPOSITS
GOLD ORE Grades Au = 0.56 g/t; Cu=0.48%: 12.5 g/t Au 1.6 g/t Au  High associated Au = 3.56 g/t; Ag = 1.4 g/t
ASPECT Tonnages Ag=3 g/t 50.000-3.300.000 tonnes (Cu- areas of strong alteration 59.000.000 tonnes ore
529.000 tonnes Au Au)  Cu dominant 39.000.000 tonnes ore
 +/- 15-17 tonnes
gold/year
vein fillings - Disseminated  in Skarn - Crackle breccia (10–20 m) - Vein
ORE SHAPES Disseminated - Tabular (3 – 30 m thick) - Vins (0.5 – 10 ) cm Stockwork
Crackle breccia Disseminated
Breccia style
TEXTURES & STRUCTURES - Fracture vein fillings +/- -Fracture stockwork fillings -Classic open space filling -Texture in veins, veinlets &
2.5 cm thick - Replacement texture in veins breccia matrix consist of:
-Fracture stockworks -Crackle Breccia Euhedral interlocking
filling texture  common
-Comb texture >
-Vuggy texture > rare
-Banded texture >
DEPTH OF ORE Mesothermal Mesothermal Mesothermal Mesothermal
( +/- 1200 m)
STRUCTURAL CONTROLS - Radier Normal fault Four types of structural tend - Join/fault veins - Radier Normal fault
-Fracturing/Jointing to localise the ore bodies: - Main fault - Jointing/fracturing
- Main Fault 1.The marble lines - Main fault
2.Intersecting of porphyrytic
sills & cross cutting dikes
3.Folds
4.Fracture (3 sets)
TECTONIC SETTING - Island arc  common - Island arc - Island arc island arc
(strato volcano) - Continental margin - Continental margin Continental margin
-Continental margin
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

(resurgen caldera)
AGE Mesozoicum - Mesozoicum - Mesozoicum - Mesozoicum
Cenozoicum - Cenozoicum - Cenozoicum - Cenozoicum

57
Tabel 2.7. Klasifikasi cebakan bijih – volcanogenic massive sulphide, gold bearing deposit type (Gregg Morrison, 1987)
SUB-TYPE VOLCANOGENIC MASSIVE SULPHIDE Zn-Pb-Cu VOLCANOGENIC MASSIVE SULPHIDE Cu
PARAMETER CONTROL (Zn-Pb-Cu-Ag-Au Volcanogenic Massive Sulphide (Cu – Au Footwll breccia to a Volcanogenic
deposit) Massive Sulphide deposit)
GOLD ORE Grades 2.8 g/t Au, 187 g/t Ag, 18% Zn, 5.5% Pb, 0.8%
ASPECT Tonnages Cu, 14.9% Fe. 238 tonnes Au > from 51 metrix tonnes
10.000.000 tonnes ore (Zn, Pb, Cu, Fe, Ag, Au) 367.638 tonnes Cu >
ORE SHAPE Tabular lenses  1500 m long - gold bearing breccia/feeder zone > in irregular
 800 m deep pipe
moderately deeping - disseminated in massive silica > ( 750 x 250 ) m
DEPTH ORE FORMATION Mesothermal – Epithermal (Commonly Mesothermal
Mesothermal)
STRUCTURAL CONTROLS PARASTIC FOLD – - JOINT
JOINT/FAULT
- Island arc (subduction related) - Island arc (subduction related)
TECTONIC SETTING - Oceanic floor (oceanic floor spreading related) - Oceanic floor (oceanic floor spreading related)
AGE - Paleozoicum - Devon (Paleozoic)

PENYELIDIKAN MINERAL
PANDUAN
58
Tabel 2.8. Klasifikasi cebakan bijih – granitoid related sulphide and gold deposit type (Gregg Morrison, 1987)

SUB-TYPE GRANITOID HOSTED MESOTHERMAL CLASSIC MESOTHERMAL VEIN


PARAMETER CONTROL VEIN DEPOSITS IN MIXED HOST
GOLD ORE Grades (Au = 0 g/t ; Pb = 2% ; Zn = 1%
ASPECT Tonnages 212 tonnes Au - 972 tonnes Au in quartz vein
- 372 tonnes Au in granodiorite
Quartz vein in shears & fissures in Granitoid
ORE SHAPE Small lodes in fissures in Granodiorite,
Tonalite & rarely in metamorphic rock - Lodes
- veinlets
TEXTURE & STRUCTURE Lodes in fissure Brecciated
Brecciated Coarse comb structure
Coarse comb texture > in vein Milky quartz
Milky quartz > Crack in quartz
DEPTH ORE FORMATION Mesothermal ( 1200 – 4500 m) Mesothermal (1200 – 4500 m)
STRUCTURAL CONTROLS Shear joint (Qtz vein) > - Reserve fault zone :
Fissures (Qtz vein) > in Granitoid - serpentinite & slate (dip> 70°)
- in granodiorite (dip > 35°)
- in metavlcanic rocks (dip > 20°)
TECTONIC SETTING Arc deformation (collision) Arc deformation (Collision)
AGE - Mesozoicum (commonly) Carboniferous to Mesozoicum (Com.
Mesozoic)
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

59
Lampiran Lanjutan, Tabel. 2.8. Klasifikasi Cebakan Bijih – Slate Belt Sulphide And Gold Deposit Type ( Gregg Morrison, 1987)
SUB-TYPE EPIGENETIC VEINS CONTROLLED BY STRUCTURAL CONTROLLED STRATIGRAPHIC &
PARAMETER CONTROL METAMORPHIC GRADE & HOST CLASSIC VEINS IN SLATE STRUCTURAL CONTROL IN
ROCK LITOLOGY BELT DEFORMED SEDIMENTS
GOLD ORE Grades - ( 16 g/t ) Au (16 ppm) -
ASPECT Tonnages 10.3 tonnes of Au - 960 tonnes Au - 1.000 tonnes Au
Quartz vein in lodes - Qtz vein Lodes Qtz vein (irregular)
ORE SHAPE Gold – qtz-scheelite lodes Stockworks
Replacement
- Milky ribbon texture in qtz vein Comb texture > - Replacing small inclusion
TEXTURE Mineral zoned vugs > in
veins
DEPTH ORE FORMATION Mesothermal to Hydrothermal Mesothermal Mesothermal
- Kink bands & shear - Isoclinal fold
STRUCTURAL CONTROLS - Isoclinal recumbent fold - Reserve fault zone  AP = +/- 65-70°
- Joint - Gashes (tension gashes)  Plunge HL=+/- 10-45°
Notes: Polyphase deformation - Isoclinal fold (shallow - Parasitic fold & slip fold
caracteristic by penetrative foliation plunging & steep axial - Cross fold
& isoclinal recumbent folds plane) - Joint
reactivated by kinks & shears - Reverse fault
TECTONIC SETTING Fore arc basin fill (arc deformation in Fore arc basin fill (arc Fore arc basin fill (arc
collision zone) deformation in collision deformation in collision
zone) zone)
AGE - Paleozoic (commonly) - Paleozoic (commonly) - Proterozoicum
- Paleozoicum-Cenozoicum

PENYELIDIKAN MINERAL
PANDUAN
60
BAB 2 GEOLOGI UMUM DAN TIPE CEBAKAN MINERAL

2.8. Daftar Pustaka


Anonim, 2012. Emas di Indonesia : Geologi, Eksplorasi dan Pemanfaatannya, Badan geologi,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Alfred Wegener (12 Agustus 1966). The Origin of Continents and Oceans. Courier Dover.
hlm. 246. ISBN 0486617084.
Cox & Donald, 19987: Mineral Deposit Model. USGS Bulletin
Frankel Henry (1978-07). Arthur Holmes and Continental Drift". The British Journal for the
History of Science 11 (2): 130–150.
Guilbert, J.M & Park Jr., C.F, 1986: The geology of ore deposit
Gorshkov, G. and Yakushova, A., 1967, Physical Geology, Mir Publisher, Moscow, 596 pp.
(Translated from Russian by A. Gurevich).
Guilbert, J.M. and Park, C.F., 1986, The Geology of Ore Deposits, W.H. Freeman and Co.,
USA.
Hughes Patrick. "Alfred Wegener (1880-1930): A Geographic Jigsaw Puzzle". On the Shoulders
of Giants. Earth Observatory, NASA. Diakses pada 26 Desember 2007. "... on January 6,
1912, Wegener ... proposed instead a grand vision of drifting continents and widening
seas to explain the evolution of Earth's geography."
Hughes Patrick. "Alfred Wegener (1880-1930): The Origin of Continents and Oceans". On
the Shoulders of Giants. Earth Observatory, NASA. Diakses pada 26 Desember 2007.
"By his third edition (1922), Wegener was citing geological evidence that some 300
million years ago all the continents had been joined in a supercontinent stretching from
pole to pole. He called it Pangaea (all lands), ..."
Holmes Arthur (1928). "Radioactivity and Earth Movements".Transactions of the Geological
Society of Glasgow 18: 559–606.
Holmes Arthur (1978). Principles of Physical Geology (edisi ke-3rd). Wiley. hlm. 640-
641. ISBN 0471072516.
Hedenquist, J.W., Izawa, E., Arribas, A. and White, N.C., 1996: Epithermal gold deposits:
Styles, characteristics, and exploration
Jensen, M.L. and Bateman, A.M., 1981, Economic Mineral Deposits, 3rd Ed., Revised Printing,
John Wiley & Sons Inc., New York.
Judson, S., Deffeyes, K.S., and Hargraves, R.B., 1976, Physical Geology, Prentice-Hall of India,
Ltd., New Delhi.
Joly J (1909). Radioactivity and Geology: An Account of the Influence of Radioactive Energy
on Terrestrial History. London: Archibald Constable. hlm. 36. ISBN 1402135777.

61
Kious WJ, Tilling RI. "Historical perspective". This Dynamic Earth: the Story of Plate
Tectonics (edisi ke-Online edition). U.S. Geological Survey. ISBN 0160482208. Diakses
pada 29 Januari 2008. "Abraham Ortelius in his work Thesaurus Geographicus ...
suggested that the Americas were "torn away from Europe and Africa ... by
earthquakes and floods ... The vestiges of the rupture reveal themselves, if someone
brings forward a map of the world and considers carefully the coasts of the three
[continents].""
McKinstry, H.E., 1962, Mining Geology, Prentice Hall Inc., Modern Asia Edition.
Meldrum, S.J., Aquino, R.S., Gonzales, R.I., Burke, R.J., Suyadi, A., Irianto, B., and Clarke D.S.,
(?), The Batu Hijau Porphyry Copper-Gold Deposit, Sumbawa Island, Indonesia
(Unpublished Report).
Mining Geology Special Issue No. 6, 1974: Geology of Kuroko deposits
PSDG, 2009, Materi Bimbingan Teknik Inventarisasi, Eksplorasi Sumber daya Geologi
Swamidharma, Yoseph C. A. 2011. Nickel Laterite Contents and Grades in Sulawesi.
PROCEEDINGS OF THE SULAWESI MINERAL RESOURCES 2011, SEMINAR MGEI‐IAGI.
28‐29 November 2011. Manado, North Sulawesi, Indonesia hal 289-297. PT Tint
Mineral Indonesia. Jakarta.
Thomson W (1863). "On the secular cooling of the earth".Philosophical Magazine 4 (25): 1–
14.doi:10.1080/14786435908238225.
Vakhromeyev, S.A., 1961, Mestorozhdeniya Poleznikh Iskopaemikh, Ikh Klassifikatsiya i
Usloviya Obrazovaniya (Endapan Bahan Galian, Klasifikasi dan Genesanya),
Gosgeoltekhizdat, Moskva (bahasa Rusia).

62 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 3 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL LOGAM

BAB 3
TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL LOGAM
Dwi Nugroho Sunuhadi

Eksplorasi adalah penyelidikan geologi yang dilakukan untuk mengidentifikasi,


menentukan lokasi, ukuran, bentuk, letak, sebaran, kuantitas dan kualitas suatu sumber
daya geologi untuk kemudian dapat dilakukan analisis/kajian kemungkinan dilakukan
penambangan.

Eksplorasi mineral merupakan suatu proses untuk secepat mungkin dan dengan
cara semurah-murahnya meningkatkan nilai dasar menjadi nilai riil daerah yang tidak
mungkin menunjukkan tanda adanya mineralisasi. Eksplorasi mineral tidak hanya berupa
kegiatan sesudah penyelidikan umum dan secara positif menemukan tanda-tanda adanya
letakan potensi mineral, tetapi pengertian eksplorasi juga merujuk kepada seluruh urutan
golongan besar pekerjaan yang terdiri dari :
 Peninjauan (reconnaissance atau prospeksi atau penyelidikan umum) dengan tujuan
mencari prospek,
 Penilaian ekonomi prospek yang telah diketemukan, dan
 Tugas-tugas menetapkan bijih tambahan di suatu tambang

Di Indonesia, instansi pemerintah maupun swasta memakai istilah eksplorasi untuk


kegiatannya yang mencakup mulai dari mencari prospek sampai menentukan besarnya
cadangan mineral. Sebaliknya ada beberapa negara, misalnya Perancis dan Uni Soviet
(sebelum negara ini bubar) yang menggunakan istilah eksplorasi untuk kegiatan mencari
mineralisasi dan prospeksi untuk kegiatan penilaian ekonomi suatu prospek (Peters, 1978).

Dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,


beberapa pengertian mengenai tahapan kegiatan eksplorasi dan pertambangan disebutkan
antara lain sebagai berikut:
 Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

63
 Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara
yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta pascatambang.
 IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
 Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi
geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
 Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi
secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber
daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup.

Pilihan terhadap daerah untuk eksplorasi awal didasarkan atas :


 Daerah dengan keadaan geologi sama dengan daerah yang diketahui mengandung
sumber daya mineral.
 Teori geologi misalnya adanya patahan, terobosan batuan dan lain-lain.
 Data dari penafsiran citra satelit, potret udara, survei geofisika udara, dan survei lain
yang menunjukkan kemungkinan yang menguntungkan bagi mineralisasi.
 Tambang tua yang menandakan adanya mineralisasi.
 Temuan mineral dalam sungai.

Eksplorasi mineral pada dasarnya adalah rangkaian kegiatan (penyelidikan) yang


dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai keterdapatan endapan mineral; bentuk,
letak/sifat-sifat, mutu serta nilai ekonomi dari suatu bahan galian.

Beberapa sifat keterdapatan endapan mineral, diantaranya: terdapat dalam jumlah


terbatas dan tidak merata di kulit bumi, baik dari segi mutu (kualitas) maupun jumlah
(kuantitas). Oleh karena itu eksplorasi mineral (logam) merupakan kegiatan bersifat padat
modal, berisiko tinggi dan kini malah banyak memakai teknologi tinggi (sudah tentu relatif
memerlukan biaya yang lebih tinggi).

Tujuan utama dari rangkaian kegiatan tersebut adalah menemukan endapan


mineral di suatu daerah dengan efektif dan efisien. Guna mencapai tujuan tersebut

64 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 3 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL LOGAM

diperlukan filosofi dasar untuk merencanakan kegiatan eksplorasi; paling tidak ada dua
filosofi yang timbul yaitu:
a. Mencari endapan mineral apapun yang terdapat di suatu daerah; keadaan geologi
setempat dicocokkan dengan cara pembentukan mineral, kira-kira endapan apa yang
diharapkan di daerah tersebut. Filosofi ini mungkin timbul dari para perencanaan di
suatu daerah (Pemda/Negara tertentu), misalnya : Pemerintah Provinsi Jawa Barat ingin
mengetahui potensi sumber daya mineral yang ada di daerahnya.
b. Mencari suatu jenis mineral tertentu dimanapun yang disesuaikan dengan keadaan
pasaran mineral tersebut di dunia atau kebutuhan suatu proyek pembangunan. Biasanya
filosofi ini dipakai suatu perusahaan; misalnya: berdasarkan forecast, lima tahun
mendatang pasar dunia akan banyak membutuhkan tembaga, maka perusahaan
tambang berlomba mencari endapan tembaga.

Agar tujuan tersebut tercapai maka diperlukan langkah-langkah yang terencana


sehingga endapan mineral dapat ditemukan (efektif) dengan biaya yang minimal (efisien).
Walaupun demikian, bila kita dapat menarik kesimpulan (lebih cepat, lebih baik) bahwa di
daerah yang kita eksplorasi tidak terdapat cebakan mineral, itupun merupakan suatu
sukses. Karena dengan demikian kita terhindar dari pemborosan biaya, tenaga dan waktu
untuk mencari sesuatu yang memang tidak ada.

Secara umum eksplorasi dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu survey tinjau,
propeksi, eksplorasi umum dan ekplorasi rinci.
a. Survei Tinjau (Reconnainssance) adalah tahap eksplorasi untuk mengidentifikasi
daerah-daerah yang berpotensi bagi keterdapatan mineral pada skala regional
terutama berdasarkan hasil studi geologi regional, diantaranya pemetaan geologi
regional, pemotretan udara dan metoda tidak langsung lainnya, dan inspeksi lapangan
pendahuluan yang penarikan kesimpulannya berdasarkan ekstrapolasi. Tujuannya
adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah anomali atau mineralisasi yang prospektif
untuk diselidiki lebih lanjut. Perkiraan kuantitas sebaiknya hanya dilakukan apabila
datanya cukup tersedia atau ada kemiripan dengan endapan lain yang mempunyai
kondisi geologi yang sama.
b. Prospeksi (Prospecting) adalah tahap eksplorasi dengan jalan mempersempit daerah
yang mengandung endapan mineral yang potensial. Metoda yang digunakan adalah
pemetaan geologi untuk mengidentifikasi singkapan, dan metoda yang tidak langsung
seperti studi geokimia dan geofisika. Paritan yang terbatas, pemboran dan pencontohan

65
mungkin juga dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi suatu endapan
mineral yang akan menjadi target eksplorasi selanjutnya. Estimasi kuantitas dihitung
berdasarkan interpretasi data geologi, geokimia dan geofisika.
c. Eksplorasi Umum (General Exploration) adalah tahap eksplorasi yang merupakan
deliniasi awal dari suatu endapan yang teridentifikasi. Metode yang digunakan
termasuk pemetaan geologi, pencontohan dengan jarak yang lebar, membuat paritan
dan pengeboran untuk evaluasi pendahuluan kuantitas dan kualitas dari suatu endapan
interpolasi bisa dilakukan secara terbatas berdasarkan metoda penyelidikan tak
langsung. Tujuannya adalah untuk menentukan gambaran geologi suatu endapan
mineral berdasarkan indikasi sebaran, perkiraan awal mengenai ukuran, bentuk,
sebaran, kuantitas dan kualitasnya. Tingkat ketelitian sebaiknya dapat digunakan untuk
menentukan apakah studi kelayakan tambang dan eksplorasi rinci diperlukan.
d. Eksplorasi Rinci (Detailed Exploration) adalah tahap eksplorasi untuk mendeliniasi
secara rinci dalam 3-dimensi terhadap endapan mineral yang telah diketahui dari
percontohan singkapan, paritan, lubang bor, shafts dan terowongan. Jarak
pencontohan sedemikian rapat sehingga ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas dan
kualitas dan ciri-ciri yang lain dari endapan mineral tersebut dapat ditentukan dengan
tingkat ketelitian yang tinggi. Uji pengolahan dari pencontohan ruah (bulk sampling)
mungkin diperlukan.

Walaupun demikian suatu kegiatan eksplorasi tidak harus dimulai dari tahap
pertama (survei tinjau), apabila endapan mineral yang dicari sudah ditemukan/tersingkap
di permukaan maka kegiatan bisa dilakukan langsung pada tahap kedua (prospeksi) atau
bahkan tahap ketiga (eksplorasi umum). Demikian juga kegiatan eksplorasi tidak harus
berurutan, dapat saja suatu tahapan diabaikan apabila dianggap tidak perlu dilakukan.

66 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 3 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL LOGAM

Rekomendasi Daerah Prospek


Survey Tinjau/
(Indikasi Mineralisasi – Sumber
Inventarisasi
daya Hipotetik)

Rekomendasi Daerah Prospek


Prospeksi (Indikasi Mineralisasi – Sumber
daya Hipotetik)
Identifikasi
Daerah
Prospek
Rekomendasi Daerah Prospek
Eksplorasi Umum (Indikasi Mineralisasi - Sumber
daya Tertunjuk)

Rekomendasi Daerah Prospek


Eksplorasi Rinci
(Sumber Daya Tertunjuk – Terukur)

Gambarl 3.1. Tahapan eksplorasi

Parameter tahapan eksplorasi bahan galian mineral (mineral logam dan non logam)
yang terdiri dari skala, luas wilayah, metoda eksplorasi, penyontohan, kerapatan titik
pengamatan, hasil kerja, tolok ukur dan klasifikasi sumber daya terhadap tahapan
eksplorasinya secara rinci dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.

67
Tabel 3.1. Tahapan eksplorasi mineral logam
TAHAPAN EKSPLORASI
PARAMETER PENYELIDIKAN UMUM EKSPLORASI
SURVAI TINJAU PROSPEKSI EKSPLORASI UMUM EKSPLORASI RINCI
LUAS WILAYAH Sangat luas Beberapa ratus km2 Beberapa puluh km2 Terbatas, beberapa km2
Topografi, geologi, struktur,
Grid topografi, pemetaan mineralisasi/alterasi sekala 1 :
Studi kepustakaan,analisis
Geologi semi rinci tali- geologi, struktur, 1.000 - 1 : 250, geokimia batuan dg
foto udara, inderaja
kompas sekala 1 : 100.000 mineralisasi/ alterasi sekala channel sampling, logging geofisika,
(SLAR/STAR, LandSAT TM),
METODA - 1 : 10.000, survey 1 : 10.000 - 1 : 2.000, paritan/sumur uji, pemboran
aeromagnetic, geologi,
EKSPLORASI geokimia/pendulangan, geokimia/pendulangan, uji/evaluasi, terowongan
geokimia/pendulangan
survey geofisika (gaya geofisika sistim grid, eksplorasi, uji pengolahan,
regional, sekala 1 : 250.000 - 1
berat, magnet, seismik) paritan/sumur uji, geoteknik, percobaan
: 100.000
pemboran uji geologi. penambangan

68
Sedimen sungai aktif Sedimen sungai aktif
(konvensional) - 80 # (konvensional) - 80 #
Sedimen sungai aktif
sebanyak 500 gr (Cu, Pb, sebanyak 500 gr (Cu, Pb, Zn)
(konvensional) - 80 #
Zn) dan >500 gr (Au), BLEG dan >500 gr (Au), BLEG (Au),
sebanyak 500 gr ( Cu,Pb,Zn)
(Au), batuan dg chip/grab batuan dg chip/grab
atau > 500 gr ( Au), BLEG (Au), Penyontohan batuan sistim
( 0,5 kg - 2 kg), air panas, sebanyak (0,5 - 2 kg), air
PENYONTOHAN batuan dng chip/grab channel 0,5 kg - 2 kg, bulk
tanah pada horison B (15- panas, tanah pada horison B
sampling ( 0,5 - 2 kg), air sampling, penyontohan inti bor
30 meter) sebanyak 20 - (15-30 meter) sebanyak 20
panas, konsentrat dulang (Au)
50 gr fraksi halus, gr - 50 gr fraksi halus,
50 gr - 100 gr dari 10 -20 kg
konsentrat dulang (Au) 50 konsentrat dulang (Au) 50 gr
sedimen - 5mm.
gr - 100 gr dari 10 - 20 kg - 100 gr dari 10 kg - 20 kg
sedimen - 5 mm sedimen – 5 mm.

Contoh tanah sistim grid


Terpola, kerapatan 1-4 interval 100 m x10 m, 50 m
km2/contoh sedimen x 50 m atau 15 m x 60 m,
Tidak terpola, lokasi indikasi Makin rapat dan terpola, sumur uji
KERAPATAN sungai/konsentrat dulang interval 50 m - 100 m pada
mineralisasi, 5 - 10 km2/ interval 10 m, pemboran interval
TITIK pada sungai orde 2 dan 3, punggungan, contoh batu
contoh endapan sungai aktif, 25 m - 100 m, contoh batuan
PENGAMATAN contoh tanah interval 50- interval 1 meter pada
orde 3 dan 4 paritan/pemboran interval 1 m
100 m punggungan, paritan/sumur uji, sedimen
200x50 m sistim grid sungai interval 250 - 500 m
sungai orde 2 dan 3.

Uraian rinci keterdapatan, sebaran,


sub-tipe endapan, bentuk 3-D,
Uraian keterdapatan,
ekstraksi dan presentase bijih,
Peta geologi, geokimia, sebaran, bentuk cebakan,
Peta aliran sungai, geologi dan limbah, rekomendasi model/ cara
alterasi, mineralisasi peta-peta geologi, struktur,
HASIL KERJA struktur geologi sekala 1 : penambangan, peta-peta topografi,
sekala 1 : 50.000 s/d 1 : geokimia, topografi,
250.000 - 1 : 100.000 geologi, mineralisasi, struktur,
10.000 mineralisasi sekala 1 :
penampang sumur uji/ paritan/
10.000 - 1 : 2.000
pemboran sekala 1 : 1.000 s/d 1 :

69
250, penampang logging geofisika
Anomali sedimen sungai
Au>15ppb, Cu>100ppm,
Sn>0,5 ppm (min. 1 Ditemukan batuan induk
Tipe cebakan bijih, batuan
contoh sungai orde 3; mineralisasi cebakan emas,
induk termineralisasi, tipe
20% jumlah contoh), tembaga atau timah, kadar tipe
Batuan induk mineralisasi, urat Au>5 ppm, tipe porfiri
anomali batuan urat Au>5ppm, tipe porfiri
TOLOK UKUR kontrol mineralisasi, daerah Au>1 ppm; Cu>1,5%, tipe
Au>0,5ppm, Cu>0,5%, Au>1ppm; Cu>1,5% dan tipe fissure
tambang, PETI, KUD fissure filling Sn>10ppm,
Sn>1% (10% float filling Sn>10 ppm, volume bijih 1,5
volume 3 jt ton (terbuka), 5
teralterasi), butiran emas juta ton (tertutup) dan 3 juta ton
jt ton (tertutup)
dan timah dalam (terbuka)
konsentrat dulang
KLASIFIKASI
Hipotetik, 331 (PBB) Tereka, 333 (PBB) Terunjuk, 332 (PBB) Terukur, 331 (PBB)
SUMBER DAYA
(Sumber : Pedoman teknis inventarisasi sumberdaya mineral, batubara dan bitumen padat, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, 2002)

70
Tabel 3.2. Tahapan eksplorasi mineral non logam dan batuan

TAHAPAN EKSPLORASI

PARAMETER PENYELIDIKAN UMUM EKSPLORASI

SURVEI TINJAU *) PROSPEKSI*) EKSPLORASI UMUM EKSPLORASI RINCI

LUAS WILAYAH Sangat luas Beberapa ratus km2 Beberapa puluh km2 Terbatas, beberapa km2

Pemetaan topografi (jika


diperlukan), pemetaan geologi
Pemetaan topografi, pemetaan
Geologi regional, survei (litologi batuan), struktur,
geologi detail (litologi), struktur,
Studi kepustakaan, bahan galian, geokimia/ sebaran bahan galian (homogen
sebaran bahan galian skala 1 :
analisis foto udara, pendulangan (untuk skala 1 : 25.000 - 1 : 10.000),
10.000 - 1 : 250, logging geofisika
METODA geologi regional, survei batumulia seperti intan geokimia/pendulangan sistem
(jika diperlukan), paritan/sumur
bahan galian, skala 1 : dan korundum letakan), grid (untuk batumulia seperti
uji, pemboran evaluasi (sistem
250.000 - 1 : 100.000 skala 1 : 250.000 - 1 : intan dan korundum letakan),
grid), geoteknik, pra-studi
100.000. geofisika sistem grid (jika
kelayakkan
diperlukan), paritan/sumur uji,
pemboran uji (secara acak).

Terpola, disesuaikan Terpola sesuai bentuk


Tidak terpola, 5 - 10 Terpola dan makin rapat sesuai
dengan sebaran bahan sebaran, dimensi dan
km2/contoh endapan bentuk sebaran dan jenisnya,
KERAPATAN TITIK galian, kerapatan 1 - 4 km2 jenis bahan galian,
sungai aktif pada sungai contoh paritan/sumur uji sesuai
PENGAMATAN untuk contoh sedimen dengan sistem acak,
orde 3 dan 4 (untuk ketebalan endapan bahan galian
sungai/ konsentrat dulang paritan/ sumur uji sesuai
contoh batumulia (1,0 m), pemboran evaluasi sesuai
pada sungai orde 2 dan 3 dengan jenisnya (kecuali
seperti intan dan bentuk dan luas sebaran (homogen

71
(untuk contoh batumulia yang homogen interval 1
korundum letakan). seperti intan dan meter seperti interval 50 - 100 m).
korundum letakan) batugamping, batuan
beku, pasir, lempung,
dll.), contoh sedimen
sungai interval 250 - 500
m sungai orde 2 dan 3
(untuk contoh batumulia
seperti intan dan
korundum letakan).
Bahan galian dengan
Bahan galian dengan
chip/grab sampling
chip/grab sampling (berat Bahan galian dengan chip/grab
(berat sesuai dengan
sesuai dengan jenis bahan sampling (berat sesuai dengan Bahan galian makin rapat dan
jenis bahan galian),
galian), batuan dengan jenis bahan galian), batuan terpola sesuai bentuk sebaran
batuan dengan chip/
chip/grab sampling, dengan chip/grab sampling, dan jenisnya, bulk sampling,
grab sampling, sedimen
PENYONTOHAN sedimen sungai aktif - 80 sedimen sungai aktif - 80 # penyontohan inti bor (interval 1,0
sungai aktif - 80 #
# (untuk contoh batumulia (untuk contoh batumulia meter lapisan untuk bahan galian
(untuk contoh batumulia
seperti intan dan seperti intan dan korundum homogen dan sesuai bahan galian
seperti intan dan
korundum letakan), letakan), contoh diambil untuk yang tidak homogen)
korundum letakan),
contoh diambil sebanyak sebanyak 0,5 - 2,0 kg.
contoh diambil sebanyak
0,5 - 2,0 kg.
0,5 - 2,0 kg.
Uraian mengenai mutu, Uraian rinci bahan galian meliputi
Uraian dan peta Uraian dan peta
dimensi, model endapan dan keterdapatan, sebaran, zonasi,
keterdapatan bahan keterdapatan bahan
peta keterdapatan, sebaran, model endapan, mutu, hasil
galian, geologi dan galian, geologi dan
geologi, struktur, topografi, penghitungan cadangan, cara
HASIL struktur geologi skala 1 : struktur geologi skala 1 :
skala 1 : 25.000 - 1 : 10.000, penambangan; berikut peta
PEKERJAAN 250.000 - 1 : 100.000, 250.000 - 1 : 100.000,
peta anomali geofisika (jika topografi, geologi, struktur,
rekomendasi daerah rekomendasi daerah-
dilaksanakan), rekomendasi sebaran, gambar penampang
untuk diselidiki lebih daerah prospek yang perlu
daerah terpilih untuk paritan/sumur uji/pemboran
lanjut. pengkajian lebih detail.
dilaksanakan eksplorasi rinci. skala 1 : 1.000 - 1 : 250,

72
penampang logging geofisika (jika
dilaksanakan).

KLASIFIKASI Hipotetik, D2 (SNI) atau Tereka, C2 (SNI) atau 333 Terunjuk, B2 (SNI) atau 332
Terukur, A2 (SNI) atau 331 (PBB)
SUMBER DAYA 334 (PBB) (PBB) (PBB)

Sumber: Pedoman teknis inventarisasi sumberdaya mineral, batubara dan bitumen padat, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, 2002

*) Tahapan ini dapat digunakan untuk eksplorasi Batupermata

73
74
BAB 4 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL BUKAN LOGAM

BAB 4
TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL BUKAN LOGAM
Herry Rodiana Eddy dan Zulfikar

Mineral bukan logam atau disebut pula bahan galian industri adalah semua bahan
galian (mineral dan batuan) yang tidak dimurnikan untuk unsur logam, batubara, gambut
dan bitumen padat. Menurut Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 2 Ayat 2
point c dan d, yang termasuk dalam kelompok mineral bukan logam meliputi (40 jenis
mineral) yaitu intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom,
klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire
clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon,
wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen.
Sedangkan yang termasuk dalam kelompok batuan meliputi (46 jenis batuan) yaitu
batuapung (pumice), tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatomea, tanah serap
(fullers earth), batu sabak (slate), granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt,
trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, opal, kalsedon, rijang (chert), kristal kuarsa, jasper,
krisopras, kayu terkersikan, garnet, jade (giok), agat, diorit, topas, batu gunung quarry
besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir
urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan
tanah setempat, tanah merah (laterit), batugamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak
mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang
berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.

Disamping itu pengelompokkan mineral bukan logam dapat dibagi berdasarkan


penggunaan bahan mentah utama dalam berbagai bidang Industri, menjadi 4 (empat)
kelompok, yaitu: bahan galian aneka industri, bahan galian keramik, bahan galian
bangunan/konstruksi, dan Batuhias.

Bahan Galian Aneka Industri


Adalah kelompok komoditas mineral bukan logam dan batuan yang terdiri dari
batugamping, dolomit, fosfat, kalsit, zeolit, gipsum, bentonit, diatomea, barit, oker,
yarosit, belerang, asbes talk, mika, dan yodium. Bahan ini dipakai terutama sebagai

75
bahan mentah dalam industri pupuk, kertas, plastik, cat, peternakan, pertanian,
kosmetik, farmasi dan kimia.

Bahan Galian Keramik


Adalah kelompok komoditas mineral bukan logam dan batuan yang terdiri dari
lempung, toseki, pirofilit, felspar, kaolin, ballclay, bondclay, pasirkuarsa,
batupasirkuarsa, perlit, batuan kalium-natrium, trakhit, magnesit, dan kuarsit. Bahan
ini dipakai terutama sebagai bahan mentah dalam industri keramik, refraktori, dan
gelas.

Bahan Galian Bangunan/Konstruksi


Adalah kelompok batuan yang terdiri dari andesit, batugamping, sirtu, tras, onik,
marmer, diorit, granit, batuapung, obsidian, dan basal. Bahan ini dipakai terutama
sebagai bahan mentah dalam industri bahan bangunan/kontruksi dan ornamen.

Bahan Galian Batumulia dan Batuhias


Adalah kelompok komoditas mineral dan batuan yang terdiri dari oniks, kalsedon,
rijang, kristal kuarsa, opal, jasper, krisopras, kayu terkersikkan, koral terkersikkan,
garnet, jade, agat, intan, zirkon, dan topas. Bahan ini dipakai terutama dalam industri
perhiasan dan kerajinan.

4.1. Inventarisasi Mineral Bukan Logam


Inventarisasi Mineral Bukan Logam dapat dilakukan dengan pengumpulan data dan
informasi sekunder, pengumpulan data dan informasi primer, manajemen data dan
informasi sumber daya mineral bukan logam secara nasional dan daerah serta penetapan
neraca sumber daya mineral bukan logam nasional dan daerah.

4.1.1. Pengumpulan Data dan Informasi Sekunder Mineral Bukan Logam


Data dan informasi sekunder diperlukan dalam rangka inventarisasi adalah berupa
data hasil penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi ataupun hasil penyelidikan/penelitian
yang dilakukan oleh instansi pemerintah, BUMN/BUMD dan swasta asing maupun nasional.
Data tersebut meliputi jenis mineral bukan logam, lokasi, sebaran, dimensi, sumber daya
dan cadangan, serta produksi (tahap eksploitasi). Data tersebut baik berupa laporan (hard
copy) maupun data digital diperoleh dari berbagai lembaga seperti instansi di lingkungan

76 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 4 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL BUKAN LOGAM

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Pertambangan Provinsi/Kabupaten,


perusahaan swasta dan instansi terkait lainnya. Lokasi dan data sumber daya/cadangan dari
masing-masing jenis mineral bukan logam tersebut disusun ke dalam tabel dengan
susunan dan format sebagaimana tertulis pada Formulir Isian Basis Data Mineral Bukan
Logam.

Inventarisasi data sekunder dilakukan dengan beberapa parameter pendataan


antara lain informasi umum, informasi wilayah/blok, dan informasi komoditi.

a. Data Umum:
Data umum meliputi pendataan Laporan (Judul Laporan, Jenis laporan, Instansi
Pelapor, Penulis Laporan, Tahun Laporan, Sumber Data, No. Pustaka dan Keterangan);
Geologi Regional (Fisiografi, Geomorfologi, dan Struktur Regional); Sari Geologi; Peta
(Peta Topografi, Peta Geologi dan Citra); dan Lain-lain (Pengisi Formulir, Tanggal
Pengisian, Jumlah Daerah/Wilayah, dan Jumlah Titik Komoditi).

b. Informasi Daerah/Wilayah:
Informasi Daerah/Wilayah meliputi Lokasi Administrasi (Nomor Daerah, Nama Daerah,
Provinsi, Kabupaten, Kecamatan); Kegiatan Eksplorasi (Penyelidik, Tahap Eksplorasi,
Metoda Eksplorasi, Waktu Penyelidikan, Lama Penyelidikan dan Penyelidik Terdahulu);
Koordinat Wilayah (Nomor, Bujur dan Lintang).

c. Informasi Komoditi:
Informasi Komoditi meliputi Komoditi (Nomor Komoditi, Nama Komoditi, Nama Lokasi,
Koordinat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan); Endapan (Proses Pembentukan,
Bentuk Endapan, Jurus/Kemiringan, Dimensi Endapan dan Luas Endapan); Sumber
Daya (Status Endapan, Kelas Sumberdaya, Sumber Daya, Kelas Cadangan, Cadangan
dan Metoda Estimasi); Geologi Lokal (Struktur Lokal, Stratigrafi Lokal, Alterasi, Batuan
Induk, Umur Batuan dan Nama Formasi); dan Analisa (Jenis Conto, Jumlah Conto, Jenis
Analisa, Kualitas, dan Kegunaan).

4.1.2. Pengumpulan Data dan Informasi Primer Mineral Bukan Logam


Pelaksanaan inventarisasi berupa kegiatan pengumpulan data dan informasi primer
ini dapat dilakukan baik berupa tahap uji petik lapangan maupun pada kegiatan tahapan
eksplorasi. Masing-masing kegiatan tersebut mempunyai karakteristik, batasan dan

77
parameter masing-masing. Dalam subbab ini hanya akan diuraikan tentang uji petik saja,
sedangkan eksplorasi akan dibahas secara lebih rinci dalam subbab tersendiri.

4.1.2.1. Uji Petik Lapangan


Kegiatan uji petik lapangan dilakukan dapat berupa uji analisis kembali yang
dilakukan terhadap beberapa conto batuan dan sedimen sungai, yang dipilih sesuai dengan
indikasi bahan galian di daerah tersebut. Selain itu kegiatan ini dapat berupa kegiatan
lainnya seperti pemetaan litologi batuan dan struktur geologi sangat terinci pada lintasan
pengamatan atau daerah. Skala pemetaan yang dipakai biasanya 1 : 25.000 atau lebih
besar. Penyontohan dapat dilakukan pada sedimen sungai aktif dan batuan. Keluaran dari
kegiatan uji petik lapangan dapat berupa peta hasil pengukuran/sketsa singkapan yang
dilengkapi dengan hasil analisanya untuk mendapatkan informasi tambahan bagi data-data
terdahulu.

4.2. Tahapan Kegiatan Eksplorasi


Kegiatan eksplorasi dilakukan untuk pencarian mineral bukan logam yang dibagi
menjadi beberapa tahapan yaitu: survei tinjau, prospeksi, eksplorasi umum dan eksplorasi
rinci. Masing-masing tahapan kegiatan tersebut mempunyai batasan dan metoda
tersendiri. Selain itu target komoditi bukan logam baik primer maupun sekunder akan
sangat berpengaruh terhadap metoda yang akan dipakai. Beberapa parameter yang terkait
dalam kegiatan eksplorasi antara lain tahapan eksplorasi, metoda eksplorasi, luas wilayah,
penyontohan, kerapatan titik pengamatan, hasil kerja, tolok ukur dan klasifikasi sumber
daya.

Sebelum melaksanakan penyelidikan lapangan, baik itu survei tinjau maupun tahap-
tahap lain yang lebih rinci, seorang ahli geologi perlu melakukan beberapa persiapan lebih
dahulu, agar pekerjaan di lapangan tetap pada jalur yang dikehendaki. Persiapan tersebut
meliputi :
1. Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan segala informasi awal tentang daerah yang
akan dikunjungi, termasuk kondisi medan, kesampaian daerah dan kondisi penduduk,
keadaan geologi dan penyelidikan apa saja yang pernah dilakukan di daerah tersebut.
2. Menentukan target yang ingin dicapai dan menyusun rencana penyelidikan berdasarkan
informasi awal yang telah dihimpun. Misalnya untuk melakukan survei tinjau mengenai
bahan galian industri di Kabupaten A, target yang akan dicapai adalah
menginventarisasi lokasi bahan galian yang terdapat di daerah tersebut serta

78 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 4 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL BUKAN LOGAM

mengevaluasi kegunaannya. Kemudian dari kesampaian daerah dan kondisi medan


dapat diperkirakan segala sesuatu yang dapat dilakukan, dimana letak basecamp,
bagaimana cara pencapaian daerah-daerah survei, contoh apa saja yang akan diambil,
untuk keperluan apa conto tersebut diambil, berapa biayanya dan waktu penyelidikan.
3. Menyusun segala sesuatu yang kira-kira akan diperlukan di lapangan, misalnya
peralatan dasar yang umum diperlukan seorang penyelidik seperti kompas, palu, kaca
pembesar, Global Positioning System (GPS), peta topografi dan peta geologi. Selain itu
ada peralatan tambahan untuk survei, peralatan pribadi, obat-obatan pribadi dan
sebagainya.

4.2.1. Survei Tinjau


Tahap penyelidikan umum untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi
bagi keterdapatan mineral bukan logam pada skala regional dan inspeksi lapangan
pendahuluan yang penarikan kesimpulannya berdasarkan ekstrapolasi. Tujuan survei tinjau
adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mempunyai potensi bahan galian
mineral bukan logam yang propektif untuk diselidiki lebih lanjut. Perkiraan kuantitas
sebaiknya hanya dilakukan apabila datanya cukup tersedia atau ada kemiripan dengan
endapan lain yang mempunyai kondisi geologi yang sama. Parameter yang digunakan
mencakup antara lain :
 Luas wilayah: sangat luas
 Metoda eksplorasi: studi kepustakaan, analisis foto udara, geologi regional, survei
bahan galian skala 1 : 250.000 – 1 : 100.000.
 Kerapatan titik pengamatan: tidak terpola, pada lokasi yang mempunyai indikasi bahan
galian non logam, kerapatan contoh 5-10 km2 pada endapan sungai orde 3 dan 4
(untuk conto batumulia seperti intan dan korundum letakan).
 Penyontohan: pengambilan contoh bahan galian dengan chip/grab sampling (berat
sesuai dengan jenis bahan galian), batuan dengan chip/grab sampling, sedimen sungai
aktif metoda konvensional menggunakan sieving dengan ukuran -80 # (untuk conto
batumulia seperti intan dan korundum letakan) sebanyak 0,5 – 2,0 kg.
 Hasil pekerjaan: uraian dan peta keterdapatan bahan galian, peta geologi dan struktur
geologi skala 1 : 250.000 – 1 : 100.000.
 Klasifikasi sumber daya: Hipotetik, D2 (SNI) atau 334 (PBB)

79
4.2.2. Prospeksi
Tahap penyelidikan umum dengan jalan mempersempit daerah yang mengandung
endapan mineral non logam yang potensial. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi suatu
endapan mineral yang akan menjadi target eksplorasi selanjutnya. Estimasi kuantitas
dihitung berdasarkan interpretasi data geologi, geokimia dan geofisika. Parameter yang
digunakan mencakup antara lain;
 Luas wilayah: sampai beberapa ratus km2
 Metoda eksplorasi: pemetaan geologi regional, survei bahan galian, dan survei
geokimia/pendulangan (untuk batumulia seperti intan dan korundum letakan) skala 1 :
250.000 – 1 : 100.000.
 Kerapatan titik pengamatan: terpola disesuaikan dengan sebaran bahan galian,
kerapatan conto 1–4 km2 untuk conto endapan sungai/konsentrat dulang pada sungai
orde 2 dan 3 (untuk conto batumulia seperti intan dan korundum letakan).
 Penyontohan: bahan galian dengan chip/grab sampling (berat sesuai dengan jenis
bahan galian), batuan dengan chip/grab sampling sedimen sungai aktif metoda
konvensional menggunakan sieving dengan ukuran –80 # (untuk conto batumulia
seperti intan dan korundum letakan) conto diambil sebanyak 0,5 – 2 kg.
 Hasil pekerjaan: uraian dan peta keterdapatan bahan galian, peta geologi, struktur
geologi dengan skala 1 : 250.000 - 1 : 100.000.
 Klasifikasi sumber daya: Tereka, C2 (SNI) atau 333 (PBB).

4.2.3. Eksplorasi Umum


Tahap eksplorasi yang merupakan deliniasi awal dari suatu endapan yang
teridentifikasi. Interpolasi bisa dilakukan secara terbatas berdasarkan metoda penyelidikan
tak langsung. Tujuannya adalah untuk menentukan gambaran geologi suatu bahan galian
berdasarkan indikasi sebaran, perkiraan awal mengenai bentuk sebaran, luas sebaran,
kuantitas dan kualitasnya. Parameter yang dipergunakan meliputi antara lain:
 Luas wilayah: terbatas, beberapa puluh km2
 Metoda eksplorasi: pemetaan topografi (jika diperlukan), pemetaan geologi (litologi
batuan), struktur geologi dan sebaran bahan galian (homogen skala 1 : 25.000 – 1 :
10.000), survei geokimia/pendulangan sistem grid (untuk conto batumulia seperti intan
dan korundum letakan), survei geofisika (jika diperlukan), pembuatan paritan/sumur
uji, pemboran uji (secara acak).
 Kerapatan titik pengamatan: terpola sesuai dengan bentuk sebaran, dimensi, dan jenis
bahan galian, dengan sistem acak. Pengambilan contoh dari paritan/sumur uji sesuai

80 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 4 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL BUKAN LOGAM

dengan jenis bahan galian (kecuali bahan galian yang homogen dilakukan setiap
interval 1 meter lapisan batuan, seperti untuk batugamping, batuan beku, pasir,
lempung, dll.), pengambilan contoh sedimen aktif interval 250 – 500 meter pada sungai
orde 2 dan 3 (untuk contoh batumulia seperti intan dan korundum letakan).
 Penyontohan: bahan galian dengan chip/grab sampling (berat sesuai dengan jenis
bahan galian), batuan dengan chip/grab sampling pada sedimen sungai aktif cara
konvensional dengan menggunakan sieve ukuran –80 # (untuk contoh batumulia
seperti intan dan korundum letakan) sebanyak 0,5 – 2 Kg. Pengambilan contoh batuan
bawah permukaan dengan menggunakan peralatan pemboran uji secara acak pada
lokasi-lokasi tertentu sesuai dengan indikasi bahan galian tersebut.
 Hasil pekerjaan: uraian mengenai mutu, dimensi, model endapan dan peta
keterdapatan, sebaran, geologi, struktur, topografi, lokasi paritan/sumur uji, lokasi
pemboran uji berikut pemerian lubang bor, dengan skala 1 : 25.000 – 1 : 10.000, peta
anomali geofisika (jika dilaksanakan), rekomendasi daerah terpilih untuk dilaksanakan
eksplorasi rinci.
 Klasifikasi sumber daya: Terunjuk, B2 (SNI) atau 332 (PBB).

4.2.4. Eksplorasi Rinci


Tahap eksplorasi untuk mendeliniasi secara rinci bentuk tiga dimensi terhadap
endapan mineral yang telah diketahui dari penyontohan singkapan, paritan/sumur uji, dan
lubang bor. Jarak penyontohan sedemikian rapat sehingga ukuran, bentuk, sebaran,
kuantitas dan kualitas serta ciri lainya dapat ditentukan dengan akurasi yang tinggi.
Parameter yang meliputi dalam tahap ini antara lain :
 Luas wilayah: sangat terbatas, beberapa km2
 Metoda eksplorasi: pengukuran topografi, pemetaan geologi detail (litologi), struktur
geologi, sebaran bahan galian dengan skala 1 : 10.000 – 1 : 250, survei logging
geofisika (jika diperlukan) dengan metoda Gamma-Ray, pembuatan paritan/sumur uji
skala 1 : 500 – 1 : 250, pemboran evaluasi dengan sistim grid, pra-studi kelayakan yang
meliputi uji pengolahan, penelitian geoteknik dan percobaan penambangan.
 Kerapatan titik pengamatan: terpola dan makin rapat sesuai bentuk sebaran dan
jenisnya, conto paritan/sumur uji sesuai ketebalan endapan bahan galian (homogen
interval 1 meter), pemboran evaluasi sesuai bentuk dan luas sebaran (homogen
interval 50 – 100 m).

81
 Penyontohan: bahan galian makin rapat dan terpola sesuai bentuk sebaran dan
jenisnya, bulk sampling, penyontohan inti bor (interval 1,0 meter lapisan untuk bahan
galian homogen dan sesuai bahan galian untuk yang tidak homogen).
 Hasil pekerjaan: uraian rinci bahan galian meliputi keterdapatan, sebaran, zonasi,
model endapan, mutu, hasil penghitungan cadangan, cara penambangan; peta
topografi, geologi, struktur geologi, sebaran endapan bahan galian, penampang
paritan/sumur uji dan pemboran evaluasi skala 1 : 1.000 - 1 : 250, penampang logging
geofisika (jika dilaksanakan).
 Klasifikasi sumber daya: Terukur, A2 (SNI) atau 331 (PBB).

82 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
Tabel 4.1. Kriteria dan Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan
SNI 13-4726-1998, Klasifikasi sumberdaya mineral dan cadangan
(Diadopsi dari United Nations International Framework Classification for Reserves/Resources : Solid Fuels and Mineral Commodities, 1996)

Tahap
eksplorasi
EKSPLORASI RINCI EKSPLORASI UMUM PROSPEKSI SURVAI TINJAU
Kelayakan (DETAILED EXPLORATION) (GENERAL EXPLORATION) (PROSPECTING) (RECONNAISSANCE)
1. Cadangan Mineral
Terbukti
(Proved Mineral Reserve)
STUDI KELAYAKAN (111)
DAN ATAU LAPORAN
PENAMBANGAN 2. Sumber Daya Mineral
Kelayakan
(Feasibility Mineral
Resource)
(211)
1. Cadangan Mineral Terkira
(Probable Mineral Reserve)
STUDI PRA
KELAYAKAN (121) + (122)
2. Sumber Daya Mineral Pra Kelayakan
(Prefeasibility Mineral Resource)
(221) + (222)
1-2. Sumber Daya Mineral 1-2. Sumber Daya Mineral 1-2. Sumber Daya Mineral ? Sumber Daya Mineral
Terukur Tertunjuk Tereka Hipotetik
STUDI GEOLOGI
(Measured Mineral (Indicated Mineral (Inferred Mineral (Reconnaissance Mineral
Resource) Resource) Resource) Resource)
(331) (332) (333) (334)
BAB 4 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL BUKAN LOGAM

83
Gambar 4.1. Klasifikasi sumber daya dan cadangan berdasarkan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)

84 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 4 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL BUKAN LOGAM

4.3. Evaluasi dan Pengembangan

4.3.1. Evaluasi
Kegiatan evaluasi dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran teknis dari hasil-hasil
penyelidikan yang telah dilakukan, terutama hasil eksplorasi rinci sebelum diputuskan
untuk dilakukan studi kelayakan tambang. Ada 2 (dua) hal yang perlu pengkajian lanjut
yaitu mengenai besar cadangan dan mutu sesuai kegunaan bahan galian. Bila hasil evaluasi
kedua hal utama tersebut menunjukkan hasil positif, maka dapat disarankan untuk
dilakukan studi kelayakan.

Studi kelayakan bertujuan mengkaji segala aspek, baik prospek teknik maupun
sosial-ekonomi dari endapan mineral/bahan galian secara lebih luas, termasuk pengkajian
lingkungan dan penanganan pascatambang. Hal ini dilakukan untuk menghindari akibat
buruk aktivitas penambangan, sehingga masyarakat di sekitar daerah tambang tidak akan
pernah dirugikan, baik selama penambangan berjalan maupun sampai setelah
penambangan selesai. Disamping itu, studi kelayakan juga sangat penting dilakukan
sebelum pengembangan mineral/bahan galian direalisasikan, agar usaha pengembangan
bahan galian tersebut tidak mengalami kerugian atau terhenti ditengah jalan. Oleh karena
itu, studi kelayakan harus dilakukan dengan ketelitian yang tinggi sehingga dapat dijadikan
sebagai dasar untuk menentukan dilakukannya investasi atau tidak. Dengan kata lain, studi
kelayakan adalah suatu studi untuk menentukan apakah mineral/bahan galian tersebut
layak tambang atau tidak.

4.3.2. Pengembangan
Pengembangan mineral bukan logam yang dimaksud disini adalah kegiatan
penambangan (eksploitasi) bahan galian. Di Indonesia pengembangan yang dilakukan pada
saat ini, baik yang diusahakan dalam skala kecil sampai besar, sedang berjalan dalam
kondisi yang cukup komplek. Pengembangan mineral/bahan galian di era otonomi daerah,
seharusnya bertumpu kepada keahlian sumber daya manusia yang menanganinya serta
ditunjang dengan adanya aturan-aturan seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, maupun Peraturan Daerah yang memadai. Kerja
sama antar instansi terkait terutama di daerah perlu ditingkatkan dalam mendorong
pengusaha padat modal dalam melaksanakan bisnisnya di sektor pertambangan ini.

85
Seperti diketahui bahwa usaha di bidang pertambangan ini adalah suatu high risk
enterprise, yang berarti biaya besar yang telah dikeluarkan oleh seorang pengusaha belum
tentu mendapatkan hasil yang memadai. Dengan demikian faktor resiko yang meminta
keberanian dan penelitian yang cermat dan teliti merupakan salah satu masalah yang
menyebabkan masih kurangnya partisipasi para pengusaha terutama yang padat modal
dalam bidang pertambangan.

4.4. Pengawasan
Tidak kalah penting dari seluruh masalah yang diuraikan di atas adalah pengawasan
dari pihak Pemerintah, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sendiri,
terhadap usaha pertambangan di daerah masing-masing. Pengawasan ini perlu dilakukan
karena dari pihak pengusaha (investor) sering hanya memikirkan masalah untung rugi
dengan investasi yang ditanamkan. Hal tersebut pasti dapat dimaklumi, akan tetapi
masalah untung rugi tersebut hendaknya jangan sampai harus mengorbankan kepentingan
masyarakat umum, terutama komunitas di sekitar pertambangan. Disamping itu, untuk
pengembangan mineral bukan logam sangat mudah dilakukan, bahkan sering tanpa izin,
sehingga sering menimbulkan bencana seperti lahan gundul karena penggalian yang
berlebihan tanpa kontrol, akibatnya adalah tanah menjadi kritis dan akhirnya longsor
sampai memakan korban moril dan materiil.

Pengawasan dilakukan mulai dari permulaan usaha pertambangan dilakukan, yaitu


dari survei tinjau, prospeksi, eksplorasi umum, eksplorasi rinci, studi kelayakan, saat
penambangan berlangsung sampai pada masa setelah penambangan. Masalah yang
diawasi meliputi masalah administratif dan masalah teknis, sehingga memerlukan personil
yang berkompeten, misalnya untuk pengawasan tambang dilakukan oleh seorang
Pelaksana Inspektur Tambang, sedangkan untuk tahap eksplorasi dilaksanakan oleh Ahli
Geologi atau Ahli Tambang Eksplorasi yang mengerti mengenai mineral yang
dieksplorasinya, sedangkan pengawasan tambang dapat didapatkan informasinya dari
Direktorat Jenderal Pengusahaan Mineral dan Batubara.

Akhirnya dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masih banyak
masalah yang dihadapi dalam usaha pengembangan mineral/bahan galian yang
berkelanjutan, termasuk mineral bukan logam terutama yang berskala besar. Dengan kata
lain, pengembangan sektor pertambangan ini belum mampu mewujudkan kesejahteraan
masyarakat secara optimal. Oleh karena itu, setelah seluruh rangkaian kegiatan

86 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 4 TAHAPAN EKSPLORASI MINERAL BUKAN LOGAM

inventarisasi, eksplorasi dan evaluasi sumber daya mineral bukan logam selesai dilakukan
dan dievaluasi, masih memerlukan upaya-upaya semua pihak terkait untuk mendorong dan
membantu pengembangan mineral bukan logam dalam mewujudkan program pengentasan
kemiskinan di daerah-daerah terisolir tetapi mempunyai sumber daya mineral yang
potensial.

4.5. Daftar Pustaka


Lefond, Stanley, J., 1975, editor, Industrial Mineral and Rocks, 4th edition, American
Institute of Mining, Metallurgical and Petroleum Engineers, Inc. New York, N.Y., 1975.
Madiadipoera, T., 1990, Bahan Galian Industri di Indonesia, Direktorat Sumberdaya
Mineral, Bandung.
Supriatna Suhala dan Arifin, N, 1997, Bahan Galian Industri, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung.
Sistem Informasi Mineral Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral.
SNI 13-4726-1998, Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan.

87
88 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

BAB 5
METODE PEMETAAN GEOLOGI
Rudy Gunradi dan A Machali Muchsin

5.1. Latar Belakang


Eksplorasi merupakan kegiatan usaha pertambangan atau penyelidikan geologi yang
dilakukan untuk mengidentifikasi, menentukan lokasi, ukuran, bentuk, letak, sebaran,
kuantitas dan kualitas suatu sumber daya geologi untuk kemudian dapat dilakukan
analisis/kajian kemungkinan dilakukan penambangan. Sistem eksplorasi berkembang pesat
dengan munculnya teknologi baru seperti dalam metoda geofisika, geokimia, maupun
metoda komputerisasi.

Obyek geologi merupakan fenomena alam yang antara lain terdiri dari: morfologi,
litologi, gejala struktur geologi, indikasi mineralisasi, deposit mineral ekonomis. Obyek
eksplorasi geologi ini tidak terbatas pada endapan bahan galian mineral dan batubara
maupun akumulasi minyak dan gas bumi, tetapi juga gejala geologi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan manusia maupun mempunyai dampak negatif, seperti adanya sesar, jenis
batuan tertentu keberadaannya perlu diketahui secara rinci untuk penempatan bangunan
konstruksi seperti suatu bendungan dan terowongan.

Metoda dalam eksplorasi dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:
1) Metoda langsung, yaitu pengamatan langsung di permukaan dan di bawah
permukaan;

2) Metoda tidak langsung, menggunakan metoda geokimia dan geofisika. Metoda


geokimia terdiri dari geokimia batuan, tanah, air, vegetasi dan geokimia endapan
sungai. Metoda geofisika antara lain metoda magnetik, gravitasi, seismik, geolistrik,
dan radiokatif.

Maksud kegiatan eksplorasi pemetaan geologi bahan galian adalah melakukan


pengamatan dan deskripsi gejala morfologi, stratigrafi/litologi, struktur geologi, indikasi
mineralisasi untuk identifikasi sumber dan tipe cebakan bahan galian mineral. Tujuan

89
eksplorasi bahan galian adalah menemukan serta mendapatkan sejumlah maksimum dari
cebakan bahan galian ekonomis baru, dengan biaya dan waktu seminimal mungkin.

Eksplorasi merupakan bagian tahapan aktivitas ekonomi yang berisiko tinggi,


sehingga memerlukan perencanaan yang seksama untuk meminimalkan risiko dan biaya.
Risiko tersebut diantaranya risiko aspek geologi, risiko teknologi, risiko ekonomi (pasaran)
dan resiko politik. Semua resiko ini harus diperhitungkan sebelum diputuskan untuk
melaksanakan suatu kegiatan eksplorasi. Risiko terkait dengan geologi merupakan salah
satu faktor utama yang sangat menentukan. Oleh karena itu fenomena geologi yang ada
harus diidentifikasi dengan baik.

5.2. Pemetaan Geologi Permukaan


Peta geologi adalah peta yang memberikan gambaran mengenai seluruh
penyebaran lapisan batuan atau stratigrafi dan struktur geologi, yang dilengkapi dengan
simbol kedudukan perlapisan dan simbol struktur geologi (lipatan atau sesar/patahan),
yang mencerminkan bentuk tiga dimensi hubungan dan susunan batuan di bawah
permukaan (Gambar 5.6).

5.2.1. Kriteria Peta Geologi


Berdasarkan tingkat ketelitiannya, peta geologi dikelompokkan menjadi tiga:
1) Peta Geologi regional (pendahuluan) (Skala 1 :250.000 s/d 100.000)
2) Peta geologi semi detail (Skala :1: 50.000 sampai dengan skala 1 : 25.000)
3) Peta Geologi detail (skala : 1: 10.000 sampai skala 1 : 1000)

Macam-macam peta geologi yang dihasilkan tergantung dari tujuan pemetaan


geologi, antara lain:
1) Peta geologi dan sebaran batubara
2) Peta geologi dan sebaran mineralisasi
3) Peta Geologi dan sebaran rembesan minyak, dan sebagainya

90 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

5.2.2. Tahapan Pemetaan Geologi


Kegiatan pemetaan geologi dapat dibagi dalam empat tahapan, yakni :
1) Tahapan perencanaan
2) Tahapan pemetaan di lapangan
3) Analisis laboratorium dan pengolahan data
4) Penyusunan laporan

5.2.3. Tahapan perencanaan


Tahapan ini meliputi kegiatan persiapan di kantor atau studio perencanaan di
basecamp, meliputi antara lain:
1) Studi pustaka seperti laporan-laporan geologi peneliti terdahulu dan
mengumpulkan data mengenai keadaan daerah.
2) Menyiapkan peta topografi/foto udara untuk peta dasar
3) Menyusun lintasan dan program kerja serta jadwal
4) Menyiapkan perlengkapan dasar antara lain: kompas geologi, palu geologi, lensa
pembesar (loupe/hand lens), pita atau tali ukur, buku catatan lapangan, tas
lapangan/ransel, komperator batuan, larutan HCL, dan kamera.

Dalam tahap perencanaan ini untuk mengetahui lebih mendalam kondisi awal
geologi dapat dilakukan dengan studi penginderaan jauh. Jenis penyelidikan dari
udara/penginderaan jauh dibagi dalam dua cara yaitu :
1) Penyelidikan memakai citra (image) penginderaan, yaitu untuk mempercepat
pemetaan geologi suatu daerah dengan penafsiran geologi dari citra penginderaan
jauh (Gambar 5.1).
2) Penyelidikan geofisika udara.
Penyelidikan ini dilakukan dari udara memakai peralatan geofisika untuk dapat
mengetahui keadaan geologi atau keterdapatan endapan bahan galian.
Penyelidikan geofisika dari udara yang banyak digunakan yaitu metode magnetik.
Selain itu juga dipakai cara elektro-magnet untuk melokalisir cebakan logam sulfida.
Selain itu dengan metoda radiometri untuk melokalisir cebakan mineral radioaktif
seperti uranium dan torium.

91
Gambar 5.1. Contoh citra (image) penginderaan jauh

5.2.4. Tahapan Pemetaan lapangan


Tahapan pemetaan lapangan terdiri dari persiapan umum dan pelaksanaan
pekerjaan lapangan. Kegiatan Persiapan umum dilakukan pada pagi sebelum ke lapangan
dengan mempersiapkan bahan alat tulis, peta-peta, formulir kerja, buku lapangan (field

92 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

note), clip board, alat-alat lapangan (palu geologi, kompas geologi, GPS, loupe, HCL 10 N,
kantong sampel), serta membawa perbekalan air minum dan makanan untuk di lapangan.

Tahapan pelaksanaan pemetaan di lapangan dengan melakukan pengamatan dan


deskripsi dengan mencatat seluruh gejala geologi yang terdiri dari: deskripsi litologi,
struktur geologi (kekar, sesar, dan lipatan), deskripsi indikasi mineralisasi (seperti
pengamatan gejala ubahan/alterasi, dan bentuk tubuh cebakan). Pembuatan sketsa dan
pengambilan foto, untuk merekam dan memperjelas gejala geologi seperti indikasi
mineralisasi atau bentuk tubuh cebakan.

5.2.5. Analisis Labotarorium dan pengolahan data


Analisis laboratorium sampel batuan berupa analisis petrologi, mineragrafi, analisis
geokimia batuan, dan sebagainya. Pengolahan data dilakukan dengan melakukan
penggambaran dan pengeplotan data lapangan dengan mengunakan teknologi Sistem
Informasi Geografis (SIG).

5.2.6. Penyusunan Laporan


Menyusun laporan Geologi dilakukan dengan menjelaskan hasil pemetaan geologi
lapangan meliputi: kondisi morfologi, litologi atau stratigrafi, struktur geologi, dan indikasi
mineralisasi. Dalam penyusunan laporan mengacu pada SNI tentang Penyusunan Laporan.

5.2.7. Sistem Pengambilan Conto


Suatu tubuh cebakan bijih merupakan campuran dari mineral-mineral dengan
perbandingan yang bervariasi, sehingga besar kandungan logamnya pun tidak sama pada
setiap bagiannya. Apabila hanya diambil conto tunggal, maka kandungan logamnya tidak
dapat dianggap mewakili keseluruhan masa deposit yang bersangkutan. Oleh karena itu
untuk memperkecil tingkat kesalahan, conto yang diambil harus dari beberapa lokasi agar
dapat mewakili keseluruhan tubuh cebakan. Akan tetapi, meskipun banyaknya sampel akan
memperkecil tingkat kesalahan, harus mempertimbangkan sisi keekonomian, yaitu jumlah
conto diupayakan seoptimal mungkin, tidak ada pemborosan.

Untuk itu diperlukan cara pengambilan conto yang sistematis agar dapat
menurunkan tingkat kesalahan. Pengambilan conto yang banyak tetapi tidak sistematis
letaknya tidak akan memperkecil tingkat kesalahan, malahan justru bisa sebaliknya. Tingkat
ketelitian data dari hasil pengambilan conto tergantung pada jumlah conto yang diambil

93
dan sebaran lokasi pengambilan. Sebaran lokasi conto mewakili seluruh tubuh deposit bijih
yang bersangkutan.

Hal–hal berikut ini patut diperhatikan dalam pengambilan conto:


1) Lokasi pengambilan conto harus dicatat dan dicantumkan ke dalam peta secara
tepat.
2) Apabila membuat paritan uji (channel sampling) lebar dan kedalaman paritan
tersebut dibuat seragam.
3) Lebar dari setiap conto (sample width) harus selalu dicatat.
4) Permukaan batuan yang akan diambil contonya harus bersih dan segar, kalau perlu
harus disikat dengan sikat kawat dan disemprot air untuk menghilangkan bagian-
bagian yang lapuk.

Ada beberapa teknik (cara) pengambilan conto. Pemilihan cara yang akan dipakai
tergantung pada beberapa faktor, seperti kondisi geologi yang membentuk tubuh deposit,
kedalaman tubuh bijih, ketebalan lapisan penutup dan karakateristik deposit seperti
berlapis, banded, stockwork.

5.2.7.1. Cara Pengambilan Conto


Ada tiga cara pengambilan conto yaitu :
a) Cara comot (Grab Sampling).
b) Cara Komposit
c) Cara keping (Chip Sampling).
d) Cara ruah (Bulk Sampling).

1) Cara Comot (Grab Sampling).


Pengambilan sampel secara grab dilakukan dengan mengambil pada titik-titik
tertentu dari singkapan. Sampel cebakan mineral yang diambil umumnya secara
megaskopis dapat disimpulkan merupakan cebakan mineral yang menarik atau merupakan
bagian yang menarik. Hasil analisis sampel sangat kurang mewakili deposit mineral di
sekitarnya.

2) Cara Komposit
Untuk lebih mewakili batuan sekitarnya pengambilan conto dengan cara komposit,
yaitu dari beberapa titik lokasi pengambilan. Teknik pengambilan contoh dengan

94 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

mengambil sejumlah kecil material yang dipilih secara acak pada berbagai titik, kemudian
dicampurkan menjadi satu contoh akhir.

Pengambilan conto ini umum dilakukan pada operasi tambang. Pengambilan pada
kegiatan tambang dengan cara diambil langsung dari hancuran yang masih segar pada
stoping, diambil dari gerobag angkut (tram, lori) atau diambil pada saat hasil produksi
sedang atau akan diangkut keluar dari daerah pertambangan ke pabrik pengolahan.

3) Cara Keping (Chip Sampling).


Pengambilan contoh dari kepingan-kepingan batuan yang keras dan kecil dengan
bentuk tidak teratur atau hancuran yang berasal dari batuan asli. Cara ini dipakai untuk
pengambilan contoh pada endapan bijih yang keras dan seragam, dimana pembuatan
paritan sangat sukar karena kerasnya batuan. Conto diambil dengan cara dipecah dengan
palu dalam ukuran-ukuran yang seragam dan tempat pengambilan tersebut dibuat secara
teratur dipermukaan batuan. Jarak antar titik pengambilan sampel pada arah horisontal
maupun vertikal dibuat sama (seragam). Jumlah/besar sampel tergantung jenis dan jumlah
parameter analisis laboratorium yang akan dilakukan.

4) Cara Ruah (Bulk Sampling).


Pengambilan conto batuan atau endapan bahan galian dalam jumlah besar dengan
interval yang teratur.

5.2.7.2. Pola pengambilan conto


Pola pengambilan conto terdiri dari dua macam yaitu pola acak (random) pola dan
pola sistimatik. Pola acak dengan anggapan bahwa setiap anggota populasi mempunyai
kemungkinan sama untuk dipilih menjadi anggota contoh. Pengambilan conto pola
sistimatik dengan jarak yang tetap dan teratur membentuk pola kisi (grid) seperti pola
square grid atau offset grid.

5.2.7.3. Metode Pengambilan Conto


Metode pengambilan conto terdiri dari enam, yaitu :

1) Out Crop
Metoda out crop merupakan metoda penyelidikan singkapan, dengan demikian
obyeknya adalah singkapan yang segar yang umumnya dijumpai pada :

95
a. Lembah-lembah sungai, hal ini dapat terjadi karena pada lembah sungai terjadi
pengikisan oleh air sehingga lapisan yang menutupi tubuh batuan tertransportasi
yang menyebabkan tubuh batuan tersingkap.

b. Bentuk-bentuk menonjol pada permukaan bumi (Gambar 5.2), hal ini terjadi
umumnya disebabkan oleh pengaruh gaya yang berasal dari dalam bumi yang
disebut gaya endogen misalnya adanya letusan gunung berapi yang memuntahkan
material ke permukaan bumi dan dapat juga akibat dari adanya gempa bumi
menimbulkan gesekan antara kerak bumi yang dapat menyebabkan terjadinya
patahan atau timbulnya singkapan ke permukaan.

2) Tracing Float dan Tracing dan Panning


Float adalah fragmen-fragmen atau pecahan-pecahan (potongan-potongan) dari
badan bijih yang lapuk dan tererosi. Akibat adanya gaya gravitasi dan aliran air, maka float
ini ditransport ke tempat-tempat yang lebih rendah (ke arah hilir). Pada umumnya float
banyak terdapat pada aliran sungai-sungai.

Tracing (penjejakan) float ini pada dasarnya merupakan kegiatan pengamatan pada
pecahan-pecahan (potongan-potongan) batuan berukuran kerakal - bongkah yang terdapat
pada sungai-sungai, dengan asumsi bahwa jika terdapat pecahan-pecahan yang
mengandung mineralisasi, maka sumbernya adalah pada suatu tempat di bagian hulu dari
sungai tersebut. Dengan berjalan ke arah hulu, maka diharapkan dapat ditemukan sumber
dari pecahan (float) tersebut.

Intensitas, ukuran, dan bentuk float yang mengandung mineralisasi (termineralisasi)


dapat digunakan sebagai indikator untuk menduga jarak float terhadap sumbernya. Selain
itu, sifat dan karakteristik sungai seperti kuat arus, banjir, atau limpasan juga dapat menjadi
faktor pendukung.

96 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 5.2. Singkapan mineralisasi mangan, di Manggarai, NTT (Foto: Rohmana, 2006)

Selain dengan tracing float, dapat juga dilakukan tracing dengan pendulangan
(tracing with panning). Pada tracing float, material yang menjadi panduan berukuran kasar
(besar), sedangkan dengan menggunakan dulang ditujukan untuk material-material yang
berukuran halus (pasir - kerikil). Secara konseptual tracing dengan pendulangan ini mirip
dengan tracing float. Peta aliran sungai menjadi peta dasar untuk metode ini.

Informasi-informasi yang perlu diperhatikan adalah:


a) Peta jaringan sungai.
b) Titik-titik (lokasi) pengambilan float.
c) Titik-titik informasi dimana float termineralisasi/tidak termineralisasi.
d) Titik-titik informasi kuantitas dan kualitas float.
e) Lokasi dimana float mulai tidak dijumpai.

Pada lokasi dimana float mulai tidak dijumpai, dapat diinterpretasikan bahwa zona
sumber float telah terlewati, sehingga konsentrasi penelitian selanjutnya dapat dilakukan

97
pada daerah dimana float tersebut mulai hilang. Secara teoritis, pada daerah dimana float
tersebut hilang dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan parit uji
(trenching) dan sumur uji (test pitting).

3) Alur (Channel Sampling)


Cara ini yang paling banyak dilakukan, terutama sangat cocok untuk deposit mineral
yang berlapis, banded, dan deposit jenis urat (vein), dimana terdapat variasi yang jelas
dalam ukuran butir dan warna, yang kemungkinan juga berbeda dalam komposisi dan
kadar (grade) dari bahan-bahan berharga yang dikandungannya (Gambar 5.3). Sistem
Channelling ini dapat dilakukan pada deposit mineral baik yang tersingkap di bawah
permukaan maupun yang tersingkap dibawah permukaaan pada dinding-dinding cross-cut,
raise, sisi-sisi stope, ataupun pada dinding sumuran uji (test pit).

Dihindari melakukan chanel sampling pada lantai terowongan, karena bagian


tersebut biasanya kotor dengan bermacam-macam bahan jatuhan yang dapat mengisi
rekahan-rekahan yang ada. Kalau terpaksa harus membuat paritan pada lantai, maka lantai
harus dibersihkan terlebih dahulu dari rekahan-rekahan yang ada, kemudian permukaanya
dibuat benar-benar bersih, selanjutnya channeling dapat dilakukan. Pada pengambilan
conto diikuti dengan pencatatan di lapangan, yaitu meliputi antara lain nomor, jenis, lokasi
dan dimensi conto, tanggal, sketsa pengambilan conto, serta hasil pemerian endapan
mineral dan batuan.

98 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 5.3. Pengambilan conto channel cebakan emas primer, di Cihideung, Kabupaten Garut
(Foto: Sabtanto, 1996)

4) Paritan Uji (Trench Sampling);


Trenching perlu dibuat selain untuk menemukan bahan galian juga untuk
memperoleh data selain mengenai keadaan tubuh batuan (ore body) yang bersangkutan,
seperti ketebalan, sifat-sifat fisik, keadaan batuan di sekitarnya (country rocks), jurus dan
kemiringan. Cara pengambilan conto dengan trenching paling cocok dilakukan pada tubuh
bahan galian yang terletak dangkal di bawah permukaan tanah, lapisan/tanah penutup tipis
(Gambar 5.4). Cara trenching ini sering dikombinasikan dengan cara test pitting.

Trench yang dibuat sebaiknya diusahakan dengan cara-cara sebagai berikut :


a) Dasar parit supaya dibuat miring, sehingga apabila ada air dapat mengalir dengan
sendirinya (self drained), dengan demikian tidak diperlukan pompa;
b) Kedalaman parit (trench) diusahakan sedemikian rupa sehingga para pekerja masih
sanggup mengeluarkan conto;
c) Arah memanjang parit tegak lurus jurus (strike) tubuh bijih.

99
Gambar 5.4. Paritan uji. (sumber: http://www.orogengold.com/projects/deli-jovan-
serbi/deli-jovan-gallery/)

5) Sumuran Uji (Test Pitting Sampling);


Pada kondisi dengan lapisan penutup tebal, cara trenching tidak praktis karena
pembuatan selokannya harus dalam sehingga menimbulkan masalah pada pembuangan
tanah hasil galian dan pembuangan air yang mungkin menggenang pada selokan, disamping
akan memakan waktu dan biaya lebih. Pada kondisi tersebut untuk mengambil conto
batuan menggunakan metoda sumuran uji (tes pit).

Umumnya ukuran lobang test pit 1 x 1 m2 dan kedalamannya dapat mencapai 35


meter, akan tetapi untuk jenis over burden endapan lepas seperti pasir, lobang test pit
dibuat lebih besar untuk menghindari longsornya dinding. Demikian juga apabila
kedalaman test pit besar, maka ukuran lobang harus dibuat lebih besar, atau berjenjang
semakin ke bawah mengcil. Apabila dinding test pit berupa endapan sangat lepas, dinding

100 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

dibuat miring atau dipasang papan untuk penyangga, sedangkan untuk material yang
kompak, dinding dapat dibuat tegak dengan ukuran 1 x 1 m2 (Gambar 5.5)

Untuk penghematan biaya dan keberhasilan pembuatan test pit, maka hal-hal
dibawah ini supaya diperhatikan :
a) Test pit hendaknya bebas dari batu bongkah (boulders), karena pembuatan test pit
akan memakan waktu lebih lama sehingga biaya pembuatannya mahal.
b) Pada batuan lepas diperlukan penyanggaan, sedangkan pada batuan kompak tidak
diperlukan. Penyanggaan diupayakan seminimum mungkin.
c) Untuk menghindari genangan air dalam lobang diperlukan pompa air untuk
mengeringkan, oleh karena itu pembuatan test pit lebih baik pada musim kemarau.

Gambar 5.5. Sumuran uji (test pit)

Lubang sumuran uji kadang diperlukan dibuat lebih dalam, baik pada tahapan
eksplorasi maupun eksploitasi. Sumuran semacam itu dinamakan shaft dan pekerjaan
pembuatannya disebut shaft sinking. Terkait dengan hal tersebut dikenal dengan
exploration shaft untuk keperluan eksplorasi dan exploitation on shaft untuk keperluan
eksploitasi. Pembuatan shaft sangat mahal, oleh karena itu cara shaft sinking dilakukan
apabila metoda yang lain tidak dapat diterapkan.

101
Pekerjaan shaft sinking dilakukan dengan mempertimbangkan hal berikut:
a) Pembuatan shaft sinking dalam ore body, hal ini terutama dilakukan apabila ore
body-nya besar, akan tetapi apabila tubuh bijih kecil shaft tersebut dibuat miring
dan sejajar dengan tubuh bijih.
b) Pembuatan shaft sinking dimulai dari zona dimana bahan galian tersingkap atau dari
daerah yang sudah diketahui terdapat bahan galian ekonomi, selanjutnya menerus
ke daerah yang belum diketahui.

Gambar 5.6. Contoh peta Geologi, mineralisasi dan zona anomali geokimia tanah
(Tampubolon dkk., 2009)

5.3. Pemetaan bawah permukaan


Deposit mineral ekonomis tidak selalu muncul atau tersingkap di permukaan, baik
karena tertutup oleh tanah yang tebal maupun karena batuan yang menutupinya belum
tererosi (concealed ore body). Agar cebakan mineral tersebut dapat diamati secara
langsung, harus dibuat singkapan tidak alamiah atau dibuat lubang eksplorasi (exploration

102 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

working). Tubuh cebakan mineral atau bijih yang terletak di kedalaman yang besar, untuk
mendapatkan data dan contonya perlu dilakukan pengeboran.

Ada beberapa metode untuk mengidentifikasi geologi bawah permukaan, seperti


metoda geofisika, geokimia, dan pengeboran. Metoda pengeboran merupakan salah satu
metode eksplorasi bawah permukaan dengan membuat lubang yang digunakan untuk
pengambilan conto inti batuan/core dan sarana untuk melakukan penyelidikan geofisika
(geophysical logging). Data hasil pengeboran tersebut untuk menentukan bentuk dan
sebaran mineral bijih serta estimasi cadangan.

Penerapan metode pengeboran dalam eksplorasi sesuai dengan tahapan


penyelidikan, jenis dan bentuk tubuh deposit bijih, serta posisi atau letak tubuh bijih. Conto
hasil pengeboran untuk diamati karakateristik geologi dan untuk menentukan kadar bahan
berharganya. Oleh karena itu keberhasilan atau kegagalan eksplorasi dengan pengeboran
dapat dinilai dari conto yang diperoleh dan informasi yang didapatkannya. Inti bor yang
relatif utuh akan memberikan hasil pengamatan batuan yang akurat dan lengkap.

Untuk memperoleh hasil yang optimal perlu dilakukan pemilihan jenis dan tipe alat
bor serta perlengkapan yang tepat. Pemilihan tersebut didasarkan pada:
1) kondisi lapangan (menentukan jenis/tipe alat bor);
2) kondisi geologi/batuan seperti litologi dan struktur (akan menentukan tipe/jenis
mata bor, penggunaan casing, jenis core barrel);
3) kedalaman tubuh bijih (terkait dengan tipe dan kapasitas bor);
4) biaya yang tersedia;
5) jenis conto (tipe/jenis alat bor dan mata bor);
6) jenis bahan galian, tipe, dan sebaran bijih;
7) posisi alat bor (tipe alat bor);
8) ukuran inti/lubang bor (ukuran mata bor);

5.3.1. Jenis Pengeboran


Beberapa cara atau jenis pengeboran dapat dibagi berdasarkan letak atau
penempatan alat bor, mekanisme geraknya, hasil pengeborannya, mekanisme sumber
geraknya, dan bentuk mata bornya. Berdasarkan tenaga penggerak dari bor terdapat dua
jenis pengeboran, yaitu bor tangan (hand auger) atau manual (Gambar 5.7) dan cara

103
pengeboran mesin (Gambar 5.8). Cara pengeboran tangan cocok untuk endapan bahan
galian yang tidak kompak dan terletak dangkal, misalnya endapan aluvial pasir besi.

Menurut letak/penempatan alat bor, dikenal pengeboran vertikal dan miring.


Pengeboran vertikal biasanya untuk tubuh bijih yang letaknya relatif mendatar atau tubuh
bijih besar. Pengeboran miring, yaitu pengeboran lurus tetapi dengan arah kemiringan
tertentu, digunakan untuk menembus tubuh bijih yang letaknya vertikal atau hampir
vertikal.

Sampel hasil pengeboran dapat berbentuk inti atau hancuran. Hal ini tergantung pada
jenis mata bor. Pengeboran dapat menggunakan mata bor pahat, mata bor spiral, atau
mata bor cincin.

Gambar 5.7. Pengambilan conto menggunakan bor Bangka manual (Foto: MP Pohan, 2006)

104 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 5.8. Kegiatan pengeboran core drilling pada daerah mineralisasi emas dan tembaga di
Sweden, Blitar (Widodo, 2010)

5.3.2. Pengambilan Conto (sampling)


Dalam pengeboran inti, jenis sampel yang diperoleh berupa inti (core) dan sludge
atau cutting. Inti bor ditangkap menggunakan core barrel, sedangkan sludge atau cutting
didapatkan dari kedalaman dengan cara memompakan fluida bor melalui setang bor (rod)
agar remukan batuan (cutting) tersebut terangkat melalui celah antara dinding lubang bor
dengan setang bor.

Sampel inti bor sesudah dikeluarkan dari core barrel diletakkan dalam kotak conto
(core box) berukuran sekitar panjang 1 m, lebar 0, 50 m dan tebal sekitar 10 cm (Gambar
5.9). Conto inti bor dibelah dua membujur sepanjang inti bor, dengan menggunakan core
splitter atau gergaji batuan. Separuh bagian disimpan untuk duplikat, separuhnya lagi untuk
analisis di laboratorium.

105
Gambar 5.9. Conto inti bor hasil eksplorasi di Batu Hijau, Sumbawa (Foto: Sabtanto, 2013)

5.3.3. Dokumentasi Pengeboran


Dokumentasi pengeboran dimaksudkan untuk memantau kegiatan pengeboran dan
mencatat data geologi dan mineralisasi di bawah permukaan. Untuk itu beberapa data yang
harus dicatat adalah :
1) Nomor lubang bor. Lubang bor biasanya diberi nomor menggunakan tanda atau
kode tertentu yang terdiri dari sederetan huruf dan angka seperti D(iamond)
D(rill) H(ole)-12 atau L(ubang)B(or)-3A dls. Penomoran ini perlu untuk
membedakan lubang bor satu dengan lainnya.
2) Lokasi pengeboran. Lokasi pengeboran biasanya dinyatakan berdasarkan kordinat
lokal, terutama apabila pengeboran dilakukan secara bersistem dengan jarak
tertentu. Apabila pengeboran tidak dilakukan secara bersistem, masih secara
acak, maka lokasi pengeboran dinyatakan berdasarkan pada pengukuran yang
terikat pada suatu titik tertentu. Namun dengan tingkat ketelitian GPS yang
semakin tinggi, kordinat dan elevasi tiap lokasi titik bor dapat ditentukan
menggunakan GPS.
3) Ketinggian (elevasi) lokasi titik bor. Ketinggian lubang awal titik bor biasanya
dinyatakan berdasarkan ketinggian dari permukaan air laut. Apabila data

106 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

ketinggian ini tidak diperoleh maka ketinggian didasarkan pada titik tertentu
sebagai titik dasar.
4) Arah dan sudut kemiringan pengeboran. Catatan ini menunjukkan azimut dan
arah kemiringan lubang bor terutama untuk pengeboran miring. Untuk
pengeboran tegak cukup dicantumkan angka 900.
5) Waktu (tanggal) dimulai dan selesainya pengeboran.
6) Kedalaman akhir pengeboran
7) Pencatat/penanggung jawab logging

Dalam bentuk tabel/kolom, data yang harus dicatat adalah kedalaman/interval


pengeboran, penggunaan casing dan diameternya, tipe mata bor yang digunakan, core
recovery, jenis formasi/batuan yang diterobos oleh bor, mineralisasi dan diskripsinya, dan
hasil analisis unsur (Tabel 5.1). Atas dasar data tersebut dapat direkonstruksi geologi bawah
permukaan (Gambar 5.10), serta bentuk dan sebaran mineral ekonomis (5.11). Dalam
merekonstruksi lubang bor dalam suatu penampang melintang, perlu diperhatikan azimut
atau arah pengeboran dan kemiringannya.

Gambar 5.10. Profil lubang bor dan sebaran vertikal litologi di Batu Hijau, Sumbawa
(sumber: PT NNT)

107
Tabel 5.1. Format Dokumentasi Pengeboran

No. Lubang Bor Ketinggian (elevation)


(+/-m)
Lokasi Azimut (bearing)
Kordinat (easting) (northing) Kemiringan
(inclination)
Kedalaman total (m) Mesin Bor
Perolehan Inti (%) Pencatat (logger)
Waktu Pengeboran (dari) (sampai) Tanggal

D Log LITOLOGI Pemineralan No. Au Ag Cu Pb Zn Mo Sn


(m) Geol. Ct.

Keterangan :
a. No. Lubang Bor – cantumkan nomor lubang bor, biasanya terdiri dari tanda/kode
pengeboran dan nomor urut.
b. Lokasi – lokasi daerah pengeboran, misalnya Cikotok, Jawa Barat.
c. Kordinat – sebaiknya kordinat lokal atau UTM, easting (arah ke timur atau ke barat),
northing (arah ke utara atau ke selatan).
d. Kedalaman total – kedalaman akhir setelah pengeboran selesai.
e. Perolehan Inti – perolehan inti min., maks., dan rata-rata.
f. Waktu pengeboran – tanggal dimulai dan berakhirnya pengeboran.
g. Ketinggian (elevation) – ketinggian awal pengeboran, tanda + di atas permukaan air
laut, tanda – di bawah permukaan air laut.

108 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 5 METODE PEMETAAN GEOLOGI

h. Azimut (bearing) – dalam derajat, digunakan untuk pengeboran berarah (miring).


i. Kemiringan (inclination) – kemiringan arah pengeboran.
j. Mesin Bor – jenis dan tipe alat bor yang digunakan.
k. Pencatat (logger) – nama petugas yang melakukan pemerian (deskripsi)
l. Tanggal – tanggal/waktu pencatatan atau penyusunan deskripsi (logging)
m. D – Depth (Kedalaman bor); Log Geol. – diisi dengan tanda atau legenda geologi
(batuan, struktur, dls.); Litologi – diisi dengan hasil pengamatan batuan;
Pemineralan – diisi dengan hasil pengamatan pemineralan; No. Ct. – nomor
percontoh yang diambil; Au, Ag dst. – hasil analisis kimia.

Gambar 5.11. Data hasil pengeboran: a. Rasio kadar emas (g/t) dan tembaga (%). Garis hitam
membatasi bijih dengan kadar emas >1g/t, garis putih merupakan batas paling akhir tambang
(ultimate pit). Data kadar emas di bawah ultimate pit sangat terbatas, pola sebaran kadar emas
masih terbuka ke arah bawah; b. Distribusi kalkopirit; c. Distribusi bornit, dan d. distribusi pirit,
berdasarkan rasio S/Cu (sumber: PT NNT).

109
5.4. Daftar Pustaka
Anonim. Trench sampling at Gindusa West April 2013.
http://www.orogengold.com/projects/deli-jovan-serbi/deli-jovan-gallery/), 18-01-
2015
Anonim. 2013. Paragenesis dan Kimia Emas di Batu Hijau, Indonesia: Implikasi untuk
Deposit Tembaga Porfiri Kaya Emas. PT. Newmont Nusa Tenggara.
Evans, A.M., Editor, 1995, Introduction to Mineral Exploration, Blackwell Science, Ltd.
Kreiter, V.M., 1961, Poiski i Razvedka Mestorozhdeniy Poleznikh Iskopaemikh, Chast 1 i 2
(Prospeksi dan Eksplorasi Endapan Bahan Galian, 2 jilid), Gosgeoltekhizdat, Moskva
(bahasa Rusia).
McKinstry, H.E., 1962, Mining Geology, Prentice Hall Inc., Modern Asia Edition.
Peters, W.C., 1978, Exploration and Mining Geology, John Wiley & Sons, New York.
Reedman, J.H., 1979, Techniques in Mineral Exploration, Applied Science Publisher, London.
Tampubolon, A., Kisman, Tambunan, A.F., Suwargi, E. 2009. Eksplorasi Umum Mineral
Logam Langka di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Pusat
Sumber Daya Geologi

110 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

BAB 6
METODE EKSPLORASI GEOKIMIA
Sabtanto Joko Suprapto

6.1. Konsep Dasar


Survei geokimia bertujuan mencari indikasi mineralisasi pada suatu daerah, metode
ini digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pola geokimia yang tidak
normal atau dikenal dengan istilah anomali. Dari sini muncul penggunaan konsep mengenai
nilai latar belakang (backround), yaitu kisaran tertentu suatu unsur dalam suatu mineral
yang sesuai dengan harga rata-rata unsur di kerak Bumi. Sedangkan istilah treshold atau
batas atas dari nilai latar belakang merupakan nilai kadar unsur yang menjadi batas nilai
anomali (Ghazali, dkk.,1986)

Dalam mencari anomali unsur, sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu


mengenai karater atau sifat-sifat geokimia dari unsur tersebut, sehingga akan
mempermudah dalam mengenali keberadaannya. Potensi keberadaan dari suatu unsur
berkaitan dengan bagaimana reaksi unsur tersebut terhadap aksi yang diberikan oleh alam
sehingga akan terbentuk pola-pola yang khas dari kumpulan unsur tertentu.

Penentuan daerah target untuk penyelidikan geokimia dengan mempertimbangkan


kondisi geologi suatu daerah. Mempertimbangkan genesis pembentukan bijih, serta geologi
tertentu yang memberi peluang untuk terbentuknya mineralisasi. Pada survei geokimia
harus sudah menentukan rencana jenis unsur yang akan dianalisis, berdasarkan tipe
mineralisasi yang kemungkinan terbentuk.

Sebelum menentukan prospeksi geokimia pada suatu daerah, perlu


mengidentifikasi tipe deposit atau mineralisasi yang potensial terbentuk. Sebagai contoh
penyelidikan untuk deposit bijih tembaga tipe porfiri, kadar rendah, berukuran besar,
berbeda dengan dengan deposit tembaga tipe urat berukuran kecil dengan kadar tinggi.
Kondisi yang berlawanan, metode yang digunakan untuk survei deposit tembaga kadar
tinggi, berdimensi atau ukuran kecil akan tidak tepat untuk diterapkan pada deposit ukuran
besar, yaitu bisa terjadi pemborosan.

111
Pengertian geokimia awalnya dijelaskan oleh Mason (1958) dalam Rose dkk (1979),
yaitu :
1) Pengelompokan kelimpahan relatif dan absolut dari unsur-unsur yang ada di
bumi,
2) Studi mengenai penyebaran dan migrasi dari unsur-unsur tunggal di berbagai
tempat di Bumi dengan obyek berupa pola dasar penyebaran dan migrasi dari
unsur.

6.1.1. Lingkungan Geokimia


Bumi merupakan suatu sistem dinamis dengan materialnya yang bergerak dari
suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dapat berubah bentuk serta komposisinya oleh
berbagai proses, termasuk pelelehan, kristalisasi, disolusi, presipitasi, penguapan dan
peluruhan radioaktif. Lingkungan geokimia dipengaruhi oleh adanya tekanan, temperatur,
dan ketahanan dari komponen kimia.

Rose dkk (1979) membagi lingkungan geokimia berdasarkan perbedaan tekanan,


temperatur dan kimia menjadi lingkungan bawah permukaan (deep seated) dan lingkungan
permukaan (surficial). Dalam penyelidikan geokimia regional, conto yang digunakan adalah
conto yang terdistribusi di lingkungan permukaaan (surficial). Penyebaran yang luas dan
mempunyai pola tertentu lebih mempermudah penyelidikan dalam mencari sumber-
sumber endapan mineral yang mungkin saja cadangan terbesarnya berada di bawah
permukaan.

Lingkungan permukaan merupakan lingkungan yang di dalamnya meliputi proses-


proses pelapukan, erosi dan sedimentasi di permukaan bumi. Lingkungan ini dicirikan oleh
temperatur dan tekanan yang relatif kecil dan melimpah akan oksigen bebas, air dan
karbon dioksida.

Dalam survei geokimia tinjau, conto yang digunakan berupa conto endapan sungai
(stream sediment). Pada umumnya conto yang dibutuhkan dalam penyelidikan geokimia
dapat berupa air, tanah rembesan (seepage soil), sedimen berbutir halus, dan atau
konsentrat mineral berat pada tubuh sungai (Rose dkk, 1979). Oleh karena itu lingkungan
yang memungkinkan menjadi tempat pengambilan conto-conto di atas adalah lingkungan
yang berada di permukaan bumi (surficial), atau lebih dikhususkan lagi pada sedimen yang
ada di lingkungan sungai.

112 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Rose dkk (1979) juga menjelaskan mengenai siklus geokimia unsur, dimana di
dalamnya mencangkup lingkungan bawah permukaan (deep-seated environment) dan
lingkungan permukaan (surficial environment). Siklus tersebut menggambarkan adanya
perpindahan material yang ada di Bumi dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Proses
geokimia tersebut diawali oleh batuan sedimen yang secara bertahap mengalami
metamorfosisme seiring dengan meningkatnya suhu, temperatur, dan penambahan
material dari luar sistem. Sebagian dari batuan metamorf yang dihasilkan akan mengalami
pelelehan dan rekristalisasi serta diferensiasi menjadi batuan beku. Ketika proses eksogenik
mengenai batuan tersebut, maka seri yang baru dari batuan sedimen akan terbentuk dan
proses ini akan berlangsung dalam satu siklus geokimia yang tertutup.

6.1.2. Dispersi Geokimia


Rose dkk (1979) secara sederhana mengartikan dispersi geokimia sebagai
berpindahnya atom dan partikel dari satu lingkungan geokimia ke lingkungan geokimia
lainnya. Proses dispersi sendiri dipengaruhi oleh adanya proses-proses mekanik dan kimia
yang mengenai tubuh batuan yang di dalamnya terdiri atom-atom dan partikel-partikel.

Dispersi dapat dibagi menjadi dispersi primer dan dispersi sekunder (Rose dkk,
1979). Dispersi primer merupakan dispersi unsur yang penyebarannya tidak dipengaruhi
oleh proses transportasi atau berpindah tempat (insitu) sedangkan dispersi sekunder
merupakan penyebaran unsur yang sudah dipengaruhi oleh proses transportasi dan
mengalami perpindahan tempat.

Dispersi dari suatu unsur akan mempunyai pola yang khas, tergantung dari sifat fisik
unsur, media yang mendukung terjadinya pergerakan unsur, serta lingkungan tempat unsur
tersebut terendapkan. Dispersi geokimia pada endapan sungai berada pada lingkungan
surficial dan termasuk dispersi sekunder, dimana untuk proses dispersinya berkaitan
dengan pendistribusian ulang dari partikel yang sudah ada sebelumnya oleh proses-proses
lanjutan, seperti erosi, transportasi dan pengendapan (Rose dkk, 1979).

Aliran permukaan merupakan salah satu faktor yang mempegaruhi pola dispersi
endapan di permukaan, selain jenis endapan, dan lokasi pengendapanya. Pola dispersi
cenderung mengikuti pola aliran sungai. Pola dispersi juga dapat dijumpai pada endapan
rawa dan sedimen danau atau pada air danau.

113
Gambar 6.1 menggambarkan beberapa alternatif pola dispersi atau migrasi dari
deposit bijih logam.
1) Pada Gambar 1, tubuh bijih tersingkap di permukaan tanah, sebagian telah tererosi.
Secara teoritis tubuh deposit akan mudah dikenali dan ditemukan. Akan tetapi ada
kemungkinan terkaburkan oleh adanya tumbuhan atau tanah, selain itu perubahan
komposisi mineraloginya juga akan mengaburkan keberadaan singkapan bijih
tersebut.
2) Pada Gambar 2, tubuh bijih tidak terpotong oleh zona erosi, atau tidak tersingkap,
akan tetapi berada pada zona pelapukan. Pola dispersi mekanis terbentuk. Pola
dispersi kimia terjadi pada tubuh bijih dan sekitarnya selama proses pelapukan.
Hanya saja migrasi unsur dari tubuh bijih terutama hanya unsur yang sifat
mobilitasnya tinggi.
3) Pada gambar 3, tubuh bijih berada sedikit di bawah zona pelapukan. Untuk
mendeteksi keberadaan tubuh bijih dapat dilkakukan dengan survei batuan dasar.
Zona anomali dapat terdeteksi dengan adanya dispersi unsur yang terjadi selama
pelapukan. Apabila zona anomali tidak terbentuk makan akan sulit sekali
menentukan atau menemukan keberadaan tubuh bijih.
4) Gambar 4, keberadaan tubuh bijih berada cukup jauh di bawah zona pelapukan.
Identifikasi keberadaan tubuh bijih hanya dapat dilakukan menggunakan metoda
geofisika. Atau menggunkan unsur pathfinder yang mobilitasnya sangat tinggi
sehingga bisa terdispersi bermigrasi melewati zona batuan di atasnya baik yang
lapuk maupun batuan segarnya. Unsur dengan mobilitas sangat tinggi ini, seperti
Hg dan Rn.

114 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.1. Pola dispersi sekunder pada deposit bijih logam (Joyce, 1974)

6.1.3. Mobilitas Geokimia


Levinson (1980) menjelaskan mobilitas unsur dengan memberinya pengertian
sebagai mudah atau tidaknya suatu unsur dapat bergerak di dalam lingkungan tertentu.
Pada survei geokimia regional dan detail, mobilitas dari unsur akan sangat menentukan
pola dispersi dari endapan mineral yang ada di alam.

Rose dkk (1979) menjelaskan bahwa dispersi suatu unsur merupakan respon dari
unsur terhadap mobilitas unsur itu sendiri. Kemudahan unsur untuk bergerak sangat
berkaitan dengan material yang ada di sekitarnya. Pada beberapa lingkungan mobilitas
unsur tergantung pada proses mekanik, sebagai contoh adanya pengaruh dari faktor
ukuran, bentuk dan densitas dari klastika di sungai mengalir. Dengan kata lain, lingkungan
tertentu akan menunjukan mobilitas tertentu pula.

Dispersi dan mobilitas suatu unsur saling berkaitan dan sangat berperan dalam
mencari anomali geokimia di mana kedua faktor tersebut akan menjelaskan keberadaan

115
unsur, pola anomalinya serta kondisi lingkungan pengendapanya. Tingkat mobilitas unsur
yang tinggi akan menyebabkan tingkat ketersebaran/dispersi yang tinggi juga, sehingga
dapat menyebar luas dan jauh. Sebaliknya jika tingkat mobilitas suatu unsur rendah maka
tingkat dispersinya juga rendah sehingga memiliki daerah penyebaran tidak luas. Selain itu
dengan mengetahui lingkungan pengendapannya, apakah bersifat asam, netral, atau basa
maka akan lebih mempermudah mengetahui tingkat mobilitas suatu unsur (Tabel 6.1).

Mobilitas unsur sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.2, Emas (Au) mempunyai
mobilitas rendah, sehingga cenderung tetap tertinggal pada gosan. Demikian juga galena
cenderung rendah mobilitasnya serta lambat pelapukannya, sehingga masih tertinggal pada
gosan. Sulfida Cu, Ag, dan Zn cepat lapuk atau terurai serta mobilitas tinggi, sehingga
mengalami migrasi ke arah bagian bawah dari gosan membentuk zona yang semakin kaya
akan Cu, Ag dan Zn atau dikenal dengan zona pengkayaan bijih oksida atau bijih supergen.

Gambar 6.2. Diagram profil tanah pada deposit bijih sulfida (Joyce, 1974)

116 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Tabel 6.1. Mobilitas relatif dari unsur-unsur di lingkungan sekunder (Andrews-Jones, 1968 dalam
Levinson, 1980)

Kondisi Lingkungan
Mobilitas
Oksidasi Asam Netral-Basa Reduksi
Cl, I, Br Cl, I, Br Cl, I, Br Cl, I, Br
Sangat Tinggi S, B S, B S, B
Mo,V, U, Se, Re
Mo, V, U, Se, Re Mo, V, U, Se, Re
Ca, Na, Mg, F, Sr, Ca, Na, Mg, F, Ca, Na, Mg, F, Sr, Ca, Na, Mg, F, Sr,
Ra Sr, Ra Ra Ra
Tinggi
Zn Zn
Cu, Co, Ni
Hg, Ag, Au
Cu, Co, Ni
Sedang
As, Cd As, Cd As, Cd
Si, P, K Si, P, K Si, P, K Si, P, K
Rendah Pb, Li, Rb, Be, Ba Pb, Li, Rb, Be, Ba Pb, Li, Rb, Be, Ba
Bi, Sb, Ge, Cs, Ti Bi, Sb, Ge, Cs, Ti Bi, Sb, Ge, Cs, Ti
Fe, Mn
Al, Ti, Sn, Te, W Al, Ti, Sn, Te, W Al, Ti, Sn, Te, W Al, Ti, Sn, Te, W
Ni, Ta, Pt, Cr, Sn Ni, Ta, Pt, Cr, Sn Ni, Ta, Pt, Cr, Sn Ni, Ta, Pt, Cr, Sn
S, B
Sangat Rendah Mo, V, U, Se, Re
s.d. Zn Zn
Tidak mobile Cu, Co, Ni Cu, Co, Ni
Hg, Ag, Au Hg, Ag, Au
As, Cd
Pb, Li, Rb, Ba, Be
Bi, Sb, Ge, Cs, Ti

6.1.4. Unsur Penciri


Unsur penciri atau yang sering disebut sebagai pathfinder dijelaskan oleh Warren
dan Delavault (1953;1956) dalam Levinson (1980) sebagai unsur-unsur yang relatif bergerak
dan berasosiasi atau selalu bersama sama dengan unsur-unsur yang menjadi target
pencarian, akan tetapi lebih mudah untuk ditemukan karena unsur-unsur tersebut biasanya
memiliki tingkat mobilitas yang tinggi, sehingga akan membentuk daerah sebaran yang
lebih luas dan jauh dibandingkan dengan unsur-unsur yang dicari.

Unsur-unsur penciri (pathfinder) ini dapat mempermudah dalam pencarian unsur-


unsur yang dicari karena kemampuannya untuk mengindikasikan keberadaan unsur lain di
sekitar endapan. Sebagai contoh unsur As dapat digunakan sebagai unsur penciri adanya

117
emas dan unsur Ag dalam urat, serta dapat juga sebagai penciri adanya emas, perak,
tembaga, kobalt dan seng dalam asosiasi bijih sulfida (Tabel 6.2).

Tabel 6.2. Contoh dari unsur-unsur penciri yang digunakan dalam mendeteksi mineralisasi.
(Learned dan Boissen, 1973 dalam Levinson, 1980)

ASOSIASI BIJIH UNSUR TARGET PATHFINDER ELEMENTS

Tembaga porfiri Cu, Mo Zn, Au, Re, Ag, As, F

Komplek Bijih Sulfida Zn, Cu, Ag, Au Hg, As, (sebagai SO4), SB, Se, CD,
Ba, F, Bi.

Urat Logam Mulia Au, Ag As, Sb, Te, Mn, Hg, I, F, Bi, Co, Se,
Ti

Endapan Skarn Mo, Zn, Cu B, Au, Ag, Fe, Be

Uranium (batupasir) U Se, Mo, V, Rn, He, Cu, Pb

Uranium (urat) U Cu, Bi, As, Co, Mo, Ni, Pb, F

Tubuh Bijih Ultrabasa Pt, Cr, Ni Cu, Co, Pd

Urat Flourspar F Y, Zr, Rb, Hg, Ba

118 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

6.1.5. Asosiasi Unsur


Asosiasi unsur digambarkan oleh Levinson (1980) sebagai suatu asosiasi unsur yang
di dalamnya tidak terdapat satupun unsur penciri yang dapat digunakan untuk
mengindikasikan adanya suatu endapan mineral yang dicari, tapi walaupun demikian
asosiasi tersebut masih dapat digunakan sebagai indikasi kemungkinan hadirnya unsur-
unsur yang dicari. Asosiasi unsur ini terbentuk sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat
mobilitasnya. Karenanya setiap asosiasi unsur akan mencirikan suatu lingkungan dan model
cebakan/deposit mineralisasi tertentu pula (Tabel 6.3)

Sebagai contoh dapat dilihat pada Tabel 6.3, asosiasi endapan unsur Cr-Co-Ni-Cu
dapat digunakan untuk mengindikasikan adanya batuan beku ultramafik untuk latar
belakang pengendapannya.

Peranan asosiasi unsur ini bukanlah yang utama dalam eksplorasi geokimia, namun
keberadaanya kadang-kadang juga dibutuhkan sebagai data pendukung apabila tidak
dijumpai data utamanya.

6.2. Konsep Dasar Eksplorasi Geokimia


Eksplorasi geokimia mempunyai pengertian sebagai metode yang digunakan untuk
mencari endapan mineral dengan didasarkan pada pengukuran secara sistematik pada satu
atau lebih pada aspek kimiawi material-material di alam (Rose dkk , 1979). Pengukuran dari
aspek kimiawi tersebut biasanya diwakili oleh unsur atau kelompok unsur yang terdapat
dalam material-material yang ada di bumi. Jenis-jenis material tersebut antara lain berupa
batuan, tanah, gossan, glacial debris, tumbuh-tumbuhan, endapan sungai atau danau, dan
air. Tujuan akhir dari kegiatan eksplorasi geokimia untuk mencari suatu pola
ketidaknormalan atau anomali geokimia yang berkaitan dengan adanya indikasi
mineralisasi.

Ghazali dkk. (1986) menjelaskan secara umum pekerjaan yang dilakukan dalam
penyelidikan geokimia meliputi 3 pekerjaan utama yaitu pekerjaan lapangan, pekerjaan
laboratorium, serta pengolahan data dan interpretasi (Gambar 6.3). Sedangkan komponen
utama yang dibutuhkan dalam penyelidikan geokimia meliputi peta, formulir lapangan, dan
contoh geokimia.

119
Tabel 6.3. Asosiasi unsur pada beberapa tipe mineralisasi/deposit logam

Gambar 6.3. Bagian alir penyelidikan geokimia (Ghazali dkk., 1986)

120 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

6.2.1. Tahapan Penyelidikan


Dalam penyelidikan geokimia diperlukan adanya beberapa penahapan yang
ditujukan untuk kepentingan efisiensi dalam hal waktu, tenaga, dan biaya. Strategi
penyelidikan ditentukan sebelum proses pencarian dilakukan (Gambar 6.4).
1) Penyelidikan Pendahuluan. Penyelidikan ini juga sering disebut sebagai survei
orientasi (orientation survey). Penyelidikan ini merupakan penyelidikan yang
pertama kali dilakukan dalam penyelidikan secara keseluruhan. Pada metode
endapan sungai aktif (steram sediment method) tahap survei orienntasi ini
bertujuan untuk menentukan media conto yang paling baik untuk diambil, ukuran
besar butir conto, tata cara kerja (prosedur) pengumpulan conto di lapangan dan
analisis di laboratorium sampai dengan metode pengolahan data. Pada tahapan ini
masih meliputi daerah yang sangat luas, sehingga metode yang digunakanpun
masih bersifat umum dan akan memberikan hasil dengan tingkat ketelitian yang
masih sangat rendah.
2) Penyelidikan Geokimia Tinjau. Pada tahap penyelidikan ini daerah yang diselidiki
masih meliputi daerah yang luas dan conto utama yang dikumpulkan berupa
endapan sungai aktif. Jenis conto ini dapat mewakili daerah bagian hulu (cacthment
area) yang luas. Maksud dari tahap penyelidikan geokimia tinjau ini adalah untuk
menentukan daerah yang beranomali dan menentukan daerah mineralisasi.
3) Penyelidikan Geokimia Tindak Lanjut. Dalam tahapan penyelidikan ini conto utama
yang dikumpulkan masih tetap endapan sungai aktif. Tingkat kerapatan conto sudah
lebih besar dibandingkan dengan tahapan sebelumnya, pengambilan conto biasanya
pada sungai orde 1, 2 dan paling besar pada sungai orde 3. Tujuan dari penyelidikan
ini adalah untuk melengkapi informasi dari daerah beranomali yang telah diselidiki
sebelumnya, selain itu juga untuk menentukan batas daerah anomali yang telah
ditemukan pada penyelidikan tingkat tinjau lebih ke arah hulu lagi (cacthment area).
4) Penyelidikan Geokimia Rinci. Pada tahapan ini penyelidikan geokimia conto yang
dikumpulkan tidak hanya endapan sungai tapi juga ditambah dengan conto tanah,
batuan, dan tumbuhan. Kerapatan pengambilan conto endapan sungai semakin
besar atau jarak antar lokasi conto semakin rapat, sedangkan pengambilan conto
tanah dikerjakan secara jenjang (grid sampling) atau punggung dan lereng
perbukitan (ridge and spur). Penyelidikan ini dapat dipadukan dengan penyelidikan
geofisika yang kemudian diteruskan dengan eksplorasi secara fisik dengan membuat
parit uji, pemboran atau pekerjaan bawah tanah.

121
6.2.2. Pengambilan Conto Geokimia
Levinson (1980) menjelaskan bahwa ada tiga hal yang mendasar dalam
melaksanakan penyelidikan geokimia, yaitu pengambilan conto, penganalisaan conto, dan
interpretasi dari hasil analisisnya. Pengambilan conto yang benar akan sangat menentukan
hasil akhir penyelidikan, sehingga ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada
saat pengambilan conto dilakukan, antara lain: (1) Conto yang terbaik untuk unsur-unsur
yang dicari; (2) Pola pengambilan conto yang optimal; (3) Kerapatan pengambilan conto
yang berhubungan dengan adanya tubuh bijih (ore body) dalam ukuran yang sesuai.

Media conto yang ideal untuk eksplorasi geokimia harus memiliki sifat-sifat seperti
yang dikemukakan oleh Lovering dan Mc. Carthy (1978) dalam Ghazali dkk (1986) berikut
ini :
1) Conto harus mengakumulasikan dan mengonsentrasikan unsur-unsur bijih atau
unsur-unsur dari senyawa lainya yang berasosiasi dengan tubuh bijih.
2) Conto dapat diambil dengan mudah dan cepat di daerah penyelidikan.
3) Conto dapat menghasilkan lingkar penyebaran (dispersi halo) hipogen maupun
supergen atau dispersi yang panjang dari anomali unsur-unsur atau senyawa bijih
dalam bentuk dan pola yang dapat untuk memperkirakan ke arah mana lokasi
terdapatnya deposit bijih.
4) Dapat mendeteksi endapan bijih yang di bawah permukaan (blind deposit).
5) Conto mudah dianalisis di laboratorium.

Pada penyelidikan geokimia menggunakan metode sedimen sungai aktif (stream


sediment method) conto yang sebaiknya diambil mempunyai ukuran butir lanau-lempung.
Conto endapan sungai aktif sedapat mungkin diambil pada bagian tengah sungai, sehingga
conto tersebut akan mewakili semua area tubuh sungai. Pengambilan conto harus
menghindari material hasil jatuhan yang berasal dari tepi sungai karena hal ini tidak
mewakili endapan sungai yang sebenarnya.

122 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.4. Tahapan dan luas cakupan daerah survei geokimia

6.2.2.1. Pengambilan Conto Endapan Sungai Aktif


Saigusa (1975); Rose dkk (1979) dan Fateh Chand (1981) dalam Ghazali dkk. (1986)
dan Sabtanto dkk (2000) mengemukakan bahwa pengambilan conto endapan sedimen
sungai aktif harus mengikuti ketentuan-ketentuan seperti berikut:
1) Letak conto harus ditentukan sehingga benar-benar mewakili daerah seluas yang
ditargetkan.
2) Pengambilan conto juga harus dilakukan pada anak sungai, terutama sungai orde 1,
orde 2 dan orde 3, karena lebih dari itu sudah tidak mewakili daerah tangkapan atau
cacthment area dan tidak memberikan nilai anomali.
3) Pengambilan conto tidak boleh terlalu dekat dengan muara sungai besar, hal ini
untuk menghindari pengaruh dari sungai utama pada saat banjir (kontaminasi oleh
unsur yang bukan berasal dari hulu anak sungai tersebut).
4) Tempat pengambilan conto sebaiknya jauh dari tepi sungai, diambil pada arus
lemah dan pada air yang dangkal. Conto tidak diambil di bagian hilir dari tempat di
mana ada jalan melintas dan longsoran. Conto tidak diambil pada tempat yang sulit
ditentukan lokasinya.
5) Posisi petugas pengambil conto di bagian hilir dari conto yang akan diambil dan
diusahakan sesedikit mungkin conto teracak-acak dari endapan sungai. Sekop yang
digunakan dari aluminium atau plastik. Bagian permukaan endapan sungai yang

123
teroksidasi dibuang. Sebelum meletakkan di atas ayakan, air dibuang perlahan
untuk menghindari hilangnya fraksi halus. Conto yang disaring dikumpulkan dari
daerah dengan radius 20 meter (Gambar 6.5 dan 6.6).
6) Setelah setiap satu atau dua sekop conto endapan sungai telah diambil, pengayakan
dilakukan dengan cara pengayakan basah. Dengan menuangkan air secara hati-hati,
saring conto dengan saringan 80 mesh. Air yang digunakan untuk menyaring sedikit
mungkin dan dengan hati-hati agar fraksi halus tidak banyak terbuang. Penyaringan
fraksi –80 mesh berlangsung hingga terkumpul 150-200 gr berat kering conto
endapan sungai. Di basecamp conto dikumpulkan dan dikeringkan dengan cara
dijemur.
7) Conto endapan sungai dimasukkan ke dalam kantong kertas kraf atau plastik
rangkap dua dan diberi nomor. Nomor conto terdiri dari empat bagian, yaitu kode
daerah, kode petugas, jenis conto, nomor conto. Penomoran dijelaskan oleh Page
dkk (1975). Sebagai contoh: WC/MB/D/4202

Gambar 6.5. Daerah lingkungan berenergi rendah dan tinggi (Ghazali dkk., 1986)

124 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.6. Pengambilan conto endapan sungai menggunakan ayakan 80 mesh dan 200 mesh

6.2.2.2. Pengambilan Conto Saridulang


Jumlah conto saridulang dikumpulkan sebanyak 20-40% dari jumlah conto endapan
sungai, dan sebelum pengambilan conto, dilakukan pengaturan agar kerapatannya terjaga
keseragamannya.
1) Tempat. Idealnya conto saridulang dikumpulkan dari tempat dengan energi tinggi,
pada bagian sungai berarus deras (Gambar 6.7).
2) Siapkan dulang dan saringan. Perlu diperhatikan dulang dan saringan harus dalam
keadaan bersih. Saringan yang digunakan mempunyai diameter lubang 2 mm, bebas
dari kotoran. Saringan digunakan untuk memisahkan batuan dan sampah. Letakkan
saringan di atas dulang pada tempat yang stabil dan tidak terganggu arus.
3) Penyekopan endapan. Pengumpulan endapan mirip dengan cara pengumpulan
endapan sungai, hanya saja hilangnya fraksi halus tidak menjadi masalah.
4) Penyaringan. Penyaringan dengan menggunakan air sampai dulang penuh (sekitar 5
kg). Fraksi lebih besar 2 mm dibuang ke arah hilir.
5) Pencucian dan pendulangan. Pendulangan lebih mudah apabila fraksi halus
dihilangkan terlebih dahulu. Penghilangan fraksi halus dilakukan dengan cara
memutar endapan di dulang pada arus yang lemah. Setelah air berlumpur sudah
tidak ada, pendulangan sudah bisa dilakukan. Pendulangan dilakukan sampai

125
terkumpul sekitar 50 gr mineral berat. Apabila hasil pendulangan belum mencapai
50 gr, dua tiga kali pendulangan bisa dilakukan sampai terkumpul mineral berat
yang mencukupi.
6) Pembungkusan. Mineral berat diamati menggunakan kaca pembesar kemudian
dimasukkan ke dalam plastik kantong conto dan diberi nomor.

Gambar 6.7. Pengambilan conto mineral berat endapan sungai menggunakan dulang

6.2.2.3. Conto Batuan


Dalam penyelidikan geokimia endapan sungai, conto batuan mempunyai peranan
sebagai pelengkap yang akan berguna untuk menentukan kadar unsur dalam batuan di
daerah anomali geokimia. Nilai unsur yang diperoleh dari conto batuan akan berguna
sebagai nilai latar belakang unsur-unsur guna membantu dalam mengindikasikan ada atau
tidaknya mineralisasi di daerah penelitian. Cara pengambilan conto batuan ada empat
macam, yaitu (1) cara suban (chip sampling), (2) cara alur (channel sampling), (3) cara
comot (grab sampling), (4) cara meruah (bulk sampling).

126 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

6.2.3. Penyiapan Conto Endapan Sungai Aktif


Sebelum dilakukan analisis selanjutnya, yaitu analisis geokimia unsur, conto harus
dipersiapkan/dipreparasi terlebih dahulu. Tahapan pekerjaan secara umum yang dilakukan
dalam menyiapakan conto adalah pengeringan, disagregasi, pengayakan, penggerusan,
penyeragaman (homogenisasi) dan pengantongan conto (Ghazali dkk., 1986).

6.2.3.1. Pengeringan
Beberapa alasan dilakukan pengeringan pada conto adalah :
1) Air merupakan senyawa yang tidak diperlukan dalam penganalisaan conto.
2) Air akan mengganggu dalam proses penggerusan dan pengayakan, karena conto
akan menggumpal dan bersifat lengket.
3) Air dapat mengakibatkan korosi pada tempat conto yang terbuat dari logam.
Pengeringan conto dapat dilakukan dengan tiga cara :
1) Pengeringan dengan cara penjemuran conto di udara terbuka pada saat di
lapangan.
2) Pengeringan dilakukan di laboratorium dengan cara dibiarkan di udara terbuka dan
dijaga jangan sampai terlalu kering. Pengeringan ini dilakukan dengan tujuan untuk
menentukan kadar merkuri dalam conto.
3) Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 500-800 C.

6.2.3.2. Pengayakan
Tujuan utama dari pangayakan adalah :
1) Mendapatkan fraksi yang mengandung unsur paling tinggi konsentrasinya serta
memberikan nilai kontras yang baik.
2) Menghasilkan conto yang cukup halus dan seragam, sehingga conto yang dipakai
dapat mewakili penyebaran unsur.
3) Menghilangkan pecahan kasar (kuarsa), pengotor (zat organik) dan bahan lain yang
kandungan unsurnya lebih rendah.

Pengayakan pada endapan sungai umumnya dilakukan untuk ukuran fraksi -


200+100 mikron atau -80+150 mesh. Sementara itu fraksi yang lebih kecil dari 150 mesh
dibuang dengan tujuan untuk memperkecil penyimpangan atau bias oleh logam yang
bersamaan mengendap dengan oksida besi dan oksida mangan (Plant, 1971 dalam Ghazali
dkk., 1986).

127
Setelah dilakukan pengayakan, sebelum conto dimasukkan ke laboratorium untuk
analisis kimia, biasanya dilakukan penggerusan ulang. Penggerusan ini dilakukan dengan
tujuan untuk memperluas permukaan conto sehingga pelarutan lebih cepat, selain itu agar
conto menjadi lebih homogen.

6.2.4. Analisis Laboratorium


Pada umumnya analisis conto geokimia mempunyai tahapan kerja: (1)
penyiapan/preparasi conto; (2) pelarutan; dan (3) pengukuran kadar unsur-unsur. Conto
sedimen sungai yang akan dianalisis, sebelumnya harus melalui tahapan–tahapan seperti
yang dijelaskan di atas, yaitu tahapan pengeringan, pengayakan, dan penggerusan,
selanjutnya dilakukan pelarutan dengan menggunakan larutan yang bersifat asam dengan
tujuan agar unsur-unsur yang ada dalam conto terlepas dari partikel. Ada bebapa metode
yang dapat digunakan untuk menganalisis conto geokimia, antara lain: metode kolorimetri,
metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry), dan ICP (Inductively Couple Plasma
Spectrometry).

6.2.4.1. Penentuan Metode Analisis


Cara pemilihan metode yang tepat untuk analisis conto geokimia tergantung pada
jenis conto dan tujuan akhir dari analisis. Dengan demikian juga akan mempengaruhi
metode penyiapan conto dan pelarutannya. Tujuan akhir dari analisis geokimia tak lain
adalah untuk mendeteksi berbagai unsur yang ada dalam conto, sesuai dengan
permasalahan yang dihadapai. Unsur geokimia digolongkan atas unsur utama, unsur minor
dan unsur runut. Unsur utama merupakan unsur yang melimpahnya lebih dari 1% (Si, Al,
Fe, K, Na, Ca, dan Mg), unsur minor adalah unsur yang kelimpahannya kurang dari 0,1%-1%
(Ti,Mn, dan P), sedangkan unsur-unsur yang kelimpahannya kurang dari 0,1% (1000 ppm)
disebut sebagai unsur runut (Ghazali dkk., 1986).

Jenis dan jumlah conto yang akan dicari atau ditentukan juga sangat mempengaruhi
dalam pemilihan metode analisis. Jika hanya sedikit unsur yang akan ditentukan, maka
metode yang digunakan sebaiknya metode yang relatif murah, seperti metode kolorimetri.
Sedangkan unsur yang akan dicari cukup banyak (multi element analysis), maka ada
beberapa metode yang dapat digunakan, antara lain AAS, ICP, XRF, dan spektroskopi emisi.

128 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

6.2.4.2. Pemeriksaan Mutu Laboratorium


Sebelum diolah lebih lanjut, data yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium
harus dapat dipercaya tingkat ketelitian dan ketepatannya agar hasil akhir yang diperoleh
juga dapat dipercaya. Untuk dapat melihat apakah data tersebut layak atau tidak diolah
lebih lanjut, maka perlu dilakukan suatu pengamatan dan pengukuran terhadap tingkat
ketelitian (presisi) dan ketepatan (akurasi) dari alat yang telah dipakai. Pengertian ketelitian
di sini adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh metode analisis dapat
menghasilkan nilai yang sama dari suatu conto yang sama dengan tidak mengindahkan
perbedaan dengan nilai yang sebenarnya (Rose etal, 1979). Sedangkan ketepatan adalah
suatu ukuran yang menyatakan berapa jauh nilai yang diperoleh dari suatu analisis yang
mendekati nilai sebenarnya (Ghazali dkk, 1986).

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan mutu ini adalah
mengenai jenis dan tingkat galat (error) yang mungkin terjadi dalam penggunaan suatu
metode atau cara. Ada dua macam galat yang perlu diperhatikan, yaitu galat percontoan
(sampling error), adalah galat yang mungkin terjadi pada saat pengambilan conto dan galat
analitik (analytical error), adalah galat yang terjadi pada saat analisis conto di laboratorium
berlangsung (Ghazali dkk., 1986).

Di dalam eksplorasi geokimia ketelitian jauh lebih penting dibandingkan dengan


ketepatan, karena ketelitian yang kurang tepat akan mengakibatkan munculnya anomali
yang lemah atau tidak dapat terdeteksi. Bahkan mungkin dapat memunculkan anomali-
anomali yang sebenarnya tidak ada (Rose dkk, 1979). Tingkat ketelitian analisis besarnya
ditentukan dua kali koefisien variasi (C) dan dinyatakan dalam persen (Page, 1975 dalam
Ghazali dkk., 1986).

6.2.5. Pengolahan Data Geokimia dengan Menggunakan Komputer


Tujuan akhir dalam setiap eksplorasi geokimia adalah untuk menentukan pola
geokimia yang tidak normal, atau sering disebut dengan anomali geokimia, yang berkaitan
dengan adanya gejala mineralisasi (Rose et a., 1979).

Dalam eksplorasi geokimia, data yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi ada atau
tidaknya anomali geokimia cukup banyak, berkisar dari ratusan hingga ribuan. Oleh karena
itu, jika data tersebut diolah dengan cara manual, seperti pengeplotan dan interpretasi
data, maka akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Dan sejalan

129
dengan perkembangan teknologi, dengan ditemukannya metode pengolahan data
geokimia secara komputerisasi, termasuk hitungan dan penginterpretasiannya, maka
pengolahan data dengan sistem tersebut merupakan salah satu pilihan cara yang dapat
mengatasi masalah waktu dan biaya.

Dalam eksplorasi geokimia ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni :
1) Conto geokimia yang diambil dapat mewakili dan menggambarkan daerah yang
secara geologi berbeda-beda;
2) Conto tersebut dapat menentukan adanya anomali atau tidak.

Pengetahuan mengenai geologi daerah target akan membantu dalam menentukan


apakah conto tersebut sudah mewakili perbedaan geologi yang ada di daerah tersebut.
Sedangkan untuk membedakan data yang mewakili anomali dan yang bukan, dapat
dilakukan analisis data dengan menggunakan metode statistika. Metode statistika ini
sangat berperan dalam menangani data yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan, dengan
sistem pembuatan kelas atau pengelompokan data akan lebih mudah mengenali ada atau
tidaknya suatu anomali.

6.2.6. Pengarsipan Data


Pengarsipan data merupakan proses memasukkan data ke dalam komputer untuk
diproses lebih lanjut dengan menggunakan program-program pendukung. Sistem
pengarsipan data geokimia berkaitan dengan nomor conto, lokasi pengambilan conto, data
geologi dan lingkungan geokimia lokasi pengambilan conto, dan hasil analisis kimia conto.
Hal ini dimaksudkan agar dapat mempermudah dalam mengklasifikasikan conto yang
umumnya berjumlah ratusan bahkan ribuan.

6.2.7. Pengolahan Statistik


Pengolahan data geokimia dengan menggunakan beberapa program pendukung
akan memberi kemudahan dalam menginterpretasikan sebaran data yang sudah terbagi
dalam kelompok-kelompok tertentu secara statistika. Ada beberapa metode statistika yang
digunakan untuk mengolah data geokimia sehingga menghasilkan data dalam bentuk tabel
maupun histogram. Penggunaan beberapa metode statistika dalam pengolahan data
geokimia akan memberikan hasil interpretasi data yang lebih akurat dibandingkan dengan
hanya menggunakan satu metode saja.

130 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

6.2.7.1. Analisis Unsur Tunggal (Univariate)


Analisis unsur tunggal (univariate) diartikan sebagai mengolah data setiap unsur
secara sendiri-sendiri. Dalam hal ini tidak dilakukan pengamatan hubungan antara satu
unsur dengan unsur lainnya. (Ghazali dkk., 1986). Tujuan dari analisis ini adalah untuk
mengetahui banyaknya populasi pada satu conto geokimia secara statistika, mengetahui
nilai ambang dari conto, dan penentuan besarnya anomali yang muncul pada tiap unsur.

Pengolahan data geokimia menggunakan analisis univariate dapat dilakukan


melalui beberapa cara (Joyce, 1974 dalam Ghazali dkk., 1986) :
1) Pengolahan dengan tidak menghiraukan letak geografis dan geologis conto, yaitu
pengolahan secara perhitungan statistika.
2) Pengeplotan data mentah langsung pada peta.
3) Membuat penampang garis (line profile).
4) Membuat peta simbol yang ukurannya disesuaikan dengan nilai konsentrasi unsur
yang bersangkutan.

Analisis ini dapat dilakukan menggunakan program SPSS yang didasarkan pada
perhitungan statistik. Hasil analisis atau kesimpulan yang ditampilkan dan diperlukan dalam
analisis ini adalah harga rata-rata, median, dan standar deviasi. Selain itu juga tampilan
data dalam bentuk histogram dan kurva. Besarnya interval kelas yang digunakan dalam
pembuatan histogram besarnya satu seperempat sampai satu setengah nilai simpangan
baku (Shawn, 1967 dalam Sinclair, 1981). Dan banyaknya kelas histogram dapat ditentukan
dengan menggunakan rumus [k] = 10 log 10. N, dimana N adalah jumlah data. Luas interval
kelas dapat dihitung dengan membagi nilai maksimum data dengan banyaknya kelas
histogram (Howarth,1983).

Untuk pembuatan peta simbol seperti peta kontur, kisaran harga atau
pengelompokan data harus ditentukan terlebih dahulu untuk menghindari terlalu
banyaknya simbol atau kontur pada peta (Wilding, 1970 dalam Ghazali dkk., 1986). Rose
dkk (1979), banyaknya populasi yang dibutuhkan dalam melakukan analisis data geokimia
ada tiga jenis :
1) Populasi yang terdiri dari conto latar belakang yang biasanya terdistribusi normal;
2) Populasi yang terdiri dari conto yang berada di sekitar bijih dan terpengaruh oleh
dispersi bijih tersebut;

131
3) Populasi yang mewakili conto yang berhubungan dengan jenis batuan atau dengan
aspek lingkungan tertentu.

Normal tidaknya data dapat dilihat dari hasil perhitungan atau kesimpulan yang
dihasilkan dari perhitungan statistik data geokimia. Data normal umumnya memiliki harga
rata-rata yang mendekati atau sama dengan harga median, harga skewsness yang
mendekati 0 dan harga rata-rata yang lebih besar dari dua kali harga standar deviasi (James
dkk, 1991).

Selain itu juga dapat dilihat dari kurva normal, yang antara lain memenuhi syarat:
1) Kurva berbentuk garis lengkung yang halus dan menyerupai genta.
2) Simetris terhadap nilai rata-rata.
3) Kedua ujungnya hampir mendekati nilai absisnya tetapi tidak pernah memotong.
4) Jarak titik belok kurva dengan sumbu simetrisnya sama dengan simpangan baku.
5) Luas daerah di bawah lengkungan kurva bernilai negatif tak hingga sampai positif
tak hingga, (Gambar 6.8).

Jika data yang dianalisis merupakan data yang sebarannya tidak normal, maka
untuk menormalkannya dapat dilakukan beberapa cara (James dkk, 1991):
1) Transformasi log 10 dengan mengubah angka kandungan unsur menjadi nilai log 10.
2) Membuang data yang bersifat outlayer (data yang memiliki harga ekstrim tinggi
atau rendah).
3) Mengidentifikasi atau memisahkan dua populasi atau lebih yang berhubungan
dengan jenis batuan, komposisi endapan sungai atau horison tanah yang berbeda.

132 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.8. Kurva normal frekuensi dan distribusi lognormal (Joyce, 1974)

a. Nilai Latar Belakang (Background Value)


Rose dkk (1979) menjelaskan nilai latar belakang sebagai harga kelimpahan normal
dari unsur rata-rata dibumi yang tidak termineralisasi (Tabel 6.4). Nilai ini merupakan
salah satu parameter yang digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui ada atau
tidaknya gejala mineralisasi. Dalam bentuk histogram atau kurva komulatif, nilai latar
belakang ditandai oleh harga skewsness kurva yang positif yang tinggi dari penyebaran
unsur-unsur jejak (trace elements). Penyebaran normal dari suatu conto geokimia
dapat mengikuti pola penyebaran lognormal. Harga latar belakang dari suatu unsur
berbeda-beda tergantung dari batuan induknya, sehingga sangat diperlukan
mengetahui kondisi geologi daerah yang akan diteliti.

133
b. Penentuan Nilai Ambang (treshold value)
Ghazali (1986) menjelaskan nilai ambang merupakan batas teratas dari nilai latar
belakang. Nilai ini sangat penting untuk menentukan besarnya anomali dari sebaran
suatu unsur. Nilai ini dapat digunakan setelah mengetahui batas-batas harga normal
dari hasil pengeplotan data geokimia. Secara grafis, nilai ini dapat dilihat dari kurva
probabilitas kumulatif dimana populasi yang normal akan memberikan gambaran
berupa satu garis lurus. Data yang tidak normal akan menyimpang dari trend garis
(Gambar 6.9).

Menurut webb (1962) dalam Ghazali dkk (1986) nilai ambang dapat ditentukan
besarnya pada persentil ke 2,5 dari ujung atas yang mewakili nilai (x + 2S). Sedangkan
untuk kurva dua modal terlebih dahulu harus dipisahkan satu dari yang lain, setelah itu
baru ditentukan nilai ambang pada batas kepercayaan 95% atau 5% frekuensi nilai
tinggi dari populasi latar belakang.

Tabel 6.4. Kelimpahan unsur-unsur (Smith dan Halberg, 1976 dalam James dkk, 2001; Levinson,
1980 dan Rose dkk, 1979 dengan modifikasi)

Slate
Kerak Beku Beku Beku Beku Batuan
Unsur dan Batupasir
Bumi Ultrabasa Basa Menengah Asam Karbonat
Shale
Ag 0,07 0,06 0,11 0,09 0,05 0,06 1 0,05
Co 25 150 48 10 5 19 0,1 0,3
Cr 100 1600 170 20 4 90 11 35
Cu 55 10 87 5 20 45 4 5
Fe 5,6 9,4 9,8 5,8 2,7 4,7 0,38 0,98
K 21000 34 8000 - 32100 25100 2700 10700
Li 20 - 10 25 30 66 5 15
Mn 950 1620 1500 850 600 850 1100 850
Ni 75 2000 130 4 8 68 20 2
Pb 13 1 6 12 20 20 9 7
Zn 70 50 105 130 60 95 20 15

Keterangan : Kandungan unsur dalam ppm kecuali unsur Fe dalam %

134 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.9. Contoh kurva frekuensi kumulatif unsur Pb (Joyce 1974)

Rose dkk (1979) mengemukakan beberapa cara dalam menentukan besarnya nilai
ambang :
1) Dengan cara membandingkan harga rata-rata yang ada dalam literatur.
2) Mengambil sejumlah kecil nilai yang terletak pada bagian ekor sebelah atas
suatu populasi.
3) Menghitung dengan rumus nilai rata-rata ditambah dua atau tiga kali nilai
simpang baku (x + 2S atau x + 3S) dengan syarat bahwa data telah berdistribusi
normal atau log-normal.
4) Dengan melakukan pengenalan kelompok atau gugus conto yang diperkirakan
anomali pada peta simbol konsentrasi unsur.
5) Membandingkan hasil pengolahan data dengan hasil suatu penyelidikan
pendahuluan di daerah yang diselidiki atau di daerah yang mempunyai
kesamaan ciri-ciri secara geologi maupun geokimia.
6) Pengolahan data menggunakan kertas grafik probabilitas.

c. Penentuan Anomali
Anomali diartikan sebagai suatu penyimpangan dari nilai latar belakang atau nilai
normal dari suatu sebaran suatu unsur, penyimpangan ini bukan hanya penyimpangan
ke arah nilai yang lebih besar, melainkan juga ke arah nilai yang lebih kecil, atau

135
disebut sebagai anomali negatif (Ghazali dkk, 1986). Hawkes (1957) dalam Levinson
(1980) mengartikan anomali sebagai suatu daerah yang jika dilihat dari aspek kimia,
materi penyusunnya dapat mengindikasikan adanya kehadiran endapan mineral.

Rose dkk (1979) menjelaskan anomali geokimia sebagai perubahan dari pola
geokimia normal yang ada pada satu area di lingkungan geokimia, atau suatu
fenomena yang tidak normal dan jarang dijumpai. Boyle (1971a) dalam Levinson (1980)
mejelaskan bahwa jika terdapat dua harga background atau lebih dari suatu elemen,
maka secara umum hal tersebut dapat diperkirakan sebagai suatu anomali.

Penentuan anomali tidak hanya berdasarkan nilai latar belakang dan harga ambang
saja, melainkan juga harus mempertimbangkan mengenai kondisi geologi dan kondisi
tata guna lahan daerah penelitian. Peninggian unsur di suatu daerah dikatakan anomali
jika kadar tersebut mempunyai nilai ambang di atas nilai latar belakang dan kondisi
lingkungan pengendapannya cukup mendukung untuk menunjukan adanya gejala
mineralisasi.

d. Anomali Semu (false anomaly)


Levinson (1980) menjelaskan bahwa dalam eksplorasi geokimia tidak semua
anomali merupakan anomali yang sesungguhnya, melainkan dapat merupakan anomali
yang disebabkan oleh gangguan-gangguan yang datang dari luar sebaran data anomali.
Ada berbagai hal yang memungkinkan bahwa ketidaknormalan harga sebaran unsur
pada suatu daerah diakibatkan oleh adanya beberapa gangguan selama penyelidikan
berlangsung. Karenanya untuk menghindari adanya anomali semu dari data geokimia,
analisis data harus dilakukan dengan sangat hati-hati, meliputi dari pengambilan conto
sampai pada tahap analisis dan perhitungan.

Kesalahan dapat saja terjadi mengingat data yang dianalisis sangat banyak dan
bervariasi. Jika ternyata gangguan datangnya dari luar, seperti adanya kontaminasi dari
alam maupun aktifitas masyarakat, maka dalam pengambilan keputusan mengenai
anomali yang ada di suatu daerah harus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-
faktor pengganggu tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut mungkin diperlukan
juga adanya data pendukung berupa peta tata guna lahan di daerah penelitian, agar
mengetahui bagaimana kondisi daerah tempat pengambilan conto dan sebagai lahan
pertimbangan dalam analisis selanjutnya. Selain itu saat pengambilan conto di

136 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

lapangan dilakukan juga pencatatan akan kemungkinan kontaminasi baik alami atau
dari kegiatan manusia.

6.2.7.2. Analisis Unsur Jamak (Multivariate)


Analisis kekerabatan unsur (multivariate) merupakan analisis yang memperkuat
hasil analisis univariat terutama dalam menentukan bagaimana keterdapatan akumulasi
unsur pada suatu daerah. Karena pada intinya analisis ini bertujuan mencari bagaimana
hubungan atau kekerabatan unsur yang mungkin terjadi pada suatu proses meneralisasi
(Ghazali dkk., 1986).

Analisis ini meliputi beberapa metode yang pada intinya sama-sama menentukan
harga kekerabatan unsur, yaitu analisis kolerasi, analisis regresi linear, analisis gugus
(cluster analysis), analisis diskriminan (discriminant analysis), analisis faktor (factor
analysis). Tidak semua analisis digunakan pada setiap penelitian geokimia, pemilihan
analisis dilakukan berdasarkan kondisi data dan daya dukung antar satu analisis dengan
analisis lainnya.

Dari beberapa analisis di atas, yang umumnya digunakan dalam penelitian geokimia
cukup 2 atau 3 analisis saja. Seperti pada penyelidikan geokimia secara regional, penelitian
yang akan digunakan antara lain analisis kolerasi, analisis faktor (factor analysis), dan
analisis gugus (cluster analysis). Dasar penggunaan analisis-analisis tersebut adalah
kemudahan dalam interpretasi data dan tingkat keakuratannya sudah cukup optimal untuk
digunakan dalam menginterpretasikan anomali geokimia dalam skala regional.

1) Analisis Faktor (Factor Analysis)


Analisis ini merupakan analisis yang bertujuan untuk memisahkan kekerabatan
unsur ke dalam sejumlah kelompok yang dapat diinterpretasikan. Secara lebih detail
Khaleelee (1966) dalam Ghazali dkk. (1986) menjelaskan bahwa analisis faktor
merupakan suatu urutan kerja yang bertujuan untuk menganalisis unsur berganda dan
menyatakan kembali dalam bentuk angka faktor-faktor yang secara geokimia
mempunyai arti tertentu (Gambar 6.10).

Angka faktor yang memiliki nilai dalam menginterpretasi hubungan satu unsur
dengan satu unsur yang lain jika memiliki harga yang positif dan >0,5. Interpretasi data
yang dilakukan dalam analisis ini hampir sama dengan interpretasi yang dilakukan pada

137
analisis kolerasi. Selain itu dari kolerasi ini juga dapat menginterpretasikan jenis litologi
dan lingkungan pengendapan geokimia (Ghazali dkk., 1986).

Gambar 6.10. Skor faktor Cu-Pb-Zn

2) Analisis Kolerasi (Colleration Analysis)


Analisis ini merupakan salah satu cara statistika yang digunakan dalam penentuan
tingkat kekerabatan dua unsur atau lebih, harga koefisien kolerasi berkisar antara -1
sampai +1 (Ghazali dkk., 1986). Berdasarkan kesinambungan data, kolerasi ada dua
macam, yaitu (1) merupakan momen sebagai hasil dari kolerasi Pearson yang
diperuntukkan bagi data yang parametik dan (2) merupakan koefisien kolerasi
Spearman untuk data yang tidak terdistribusi normal atau data yang tidak parametik
(Marshall, 1970 dalam Ghazali dkk., 1986).

Dalam analisis kolerasi berhubungan satu unsur dengan unsur lainnya dianggap
semakin kuat jika memiliki harga kolerasi > 0,5 dan mempunyai arah yang positif, harga
positif akan memberi pengertian bahwa semakin tinggi harga kadar unsur maka akan

138 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

diikuti oleh peninggian unsur pasangannya; sedangkan harga kolerasi < 0,5 dianggap
mempunyai hubungan yang lemah, begitu juga yang memiliki harga negatif. Harga
yang negatif akan memberikan arti yang berlawanan dalam kekerabatan unsur, jika
satu unsur mengalami peninggian kadar maka unsur yang lain akan mengalami
penurunan kadar, begitu juga sebaliknya.

3) Analisis Gugus (Cluster Analysis)


Tujuan dilakukannya analisis ini adalah untuk mengelompokkan conto atau unsur
berdasarkan kesamaannya agar dapat dipisahkan daerah-daerah dengan komposisi
latar belakang yang sama dan sekaligus mencari model dengan susunan yang lain
(Howarth dan Martin, 1979 dalam Ghazali dkk., 1986). Analisis ini diawali dengan
melakukan perhitungan matriks kolerasi dengan jumlah peubah yang ditentukan
menurut kebutuhan. Hasil yang diperoleh dapat berupa kelompok-kelompok unsur
yang dapat mencerminkan hubungan erat dengan genesanya seperti kelompok harga
latar belakang dan kelompok bijih (Rose dkk, 1979).

Hasil analisis ini menghasilkan dendogram yang memiliki arti kekerabatan unsur
sesuai dengan harga skala jarak (koefisien korelasi) hubungan tiap unsur (Gambar
6.11). Semakin kecil koefisien kolerasi yang ditunjukkan maka akan semakin kuat
hubungan antar unsurnya. Dan semakin besar koefisien kolerasinya maka akan
semakin lemah hubungan antar unsurnya (ghazali dkk., 1986).

Gambar 6.11. Contoh dendogram dari analisis kelompok, n = 826, nilai > 0,129 signifikan pada
level 1% (Sabtanto, 2000)

139
6.2.7.3. Menghasilkan Peta-peta
Dalam pengolahan data geokimia dengan menggunakan komputer, data yang
dihasilkan dapat ditampilkan dalam bentuk peta yang akan lebih mempermudah dalam
melakukan analisis. Penggabungan data secara visual akan memberi gambaran yang cukup
jelas tentang bagaimana kondisi sebaran unsur termasuk lokasinya di lapangan (Rose dkk,
1979).

Sistem pembuatan peta di sini berkaitan dengan proses pembuatan image, dimana
sebelum memasukkan besarnya kelas-kelas harga unsur harus melakukan grid terlebih
dahulu agar dapat dilakukan interpolasi data. Setelah besarnya kelas kita tentukan, maka
jenis peta yang kita harapkan akan segera diproses oleh komputer.

Peta yang dihasilkan umumnya berupa peta sebaran unsur, dimana besarnya kelas
kita tentukan dari hasil perhitungan statistika atau sesuai dengan nilai sebaran data yang
ada. Dengan adanya tampilan data berupa peta-peta diharapkan akan lebih mudah
memberi pemahaman tentang proses penentuan anomali di daerah penelitian (Gambar
6.12 dan 6.13).

Gambar 6.12. Anomali emas pada hasil analisis conto endapan sungai (Sabtanto, 2000)

140 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.13. Peta sebaran unsur conto endapan sungai, Daerah Gosowong, Halmahera (Carlile,
dkk., 1997).

6.3. Geokimia Tanah


Terdapat saling keterkaitan antara sumber material pembentuk tanah, iklim,
topografi, transportasi, dan aktifitas biologi dalam menghasilkan variasi yang beragam dari
tipe tanah, mulai dari variasi ketebalan, berlapis atau tidak berlapis, tanah residu dan tanah
yang telah tertransport, kandungan kaya atau miskin bahan organik. Gambaran umum
profil dari tanah dapat dilihat pada Gambar 6.14.

141
Gambar 6.14. Profil pembagian horison tanah, dan karakteristik tiap horison

6.3.1. Karaketeristik Geokimia Tanah


Beberapa hal penting terkait dengan prospeksi atau survei geokimia tanah, yaitu:
1) Profil dari tanah mempunyai variasi kimia dengan perbedaan yang cukup tegas.
Oleh karena itu pengambilan conto tanah harus benar-benar konsisten berasal dari
horison yang sama.
2) Tanah yang telah tertransport harus dibedakan dengan tanah residu. Kedua-duanya
dapat digunakan dalam penentuan daerah prospek, hanya saja untuk tanah yang
telah tertransport akan memberikan pola anomali yang bergeser dari kedudukan
batuan asalnya.
3) Perlu dicermati tentang adanya aliran air tanah yang melarutkan khususnya unsur
unsur dengan sifat mobilitas tinggi dari horison atas. Pada daerah dengan curah
hujan tinggi, proses pelarutan berlangsung relatif menerus, serta adanya pengaruh
aktifitas akar tanaman. Pada daerah kurang curah hujannya, pengaruh sifat kapiler,
menyebabkan adanya mobilitas unsur dari arah bawah vertikal ke atas, sehingga
bisa memberikan cerminan kondisi batuan dasarnya. Pemilihan zona atau horison
tanah yang tepat pada pengambilan conto tanah untuk analisis geokimia sangat
tergantung kondisi lokal daerah bersangkutan. Hal ini bisa dengan melakukan
perbandingan atau pengujian antara hasil pengambilan dan analisis conto dari

142 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

horison yang berbeda, untuk mendapatkan pilihan horison yang tepat untuk
eksplorasi geokimia.
4) Apabila hasil penyelidikan tahap sebelumnya menghasilkan suatu daerah prospek
(berdasarkan kajian geologi dan geokimia endapan sungai), pada tahap eksplorasi
selanjutnya metoda yang digunakan adalah geokimia tanah dan batuan. Teknik
penyontoan tanah yang dipakai umumnya ada dua yaitu mengikuti punggungan
bukit dan ke arah lereng (ridge and spur), atau mengikuti pola kisi-kisi (grid).
5) Survei geokimia dengan metoda pengambilan conto tanah digunakan luas, hal ini
mengingat analisis geokimia menghasilkan kontras anomali yang jelas, selain itu
anomali hasil analisi conto tanah menempati zona yang tidak jauh dari terdapatnya
deposit bijih. Pengambilan conto tanah yang telah mengalami transportasi dan
tanah lateritik bisa dilakukan, hanya saja hasilnya kurang memuaskan dibandingkan
tanah residu yaitu tanah pelapukan yang belum mengalami transportasi. Survei
geokimia tanah dilakukan pada tahapan lebih lanjut yaitu menindaklanjuti hasil
temuan anomali dari survei sebelumnya.

Jarak titik lokasi pengambilan conto tanah jauh lebih rapat dibandingkan conto
endapan sungai. Pada survei awal atau survei tinjau, conto tanah koluvial bisa dilakukan.
Tanah lateritik kurang memberikan hasil yang baik, hal ini mengingat proses panjang yang
telah berlangsung pada tanah lateritik seperti proses pencucian/pelarutan (leaching),
migrasi, dan erosi. Hasil sebaran unsur pada conto tanah lateritik sering menyimpang atau
kurang sesuai dengan kondisi geologi di bawahnya.

Empat kendala dalam survei geokimia tanah yaitu:


1) Perubahan atau variasi tipe tanah pada daerah survei. Selain faktor geologi, tanah
dipengaruhi juga beberapa aspek yang lain. Meskipun dalam horison yang sama,
perubahan tipe soil dapat menghasilkan perubahan komposisi kimia, meskipun
dalam kondisi geologi sama. Sebagai contoh tanah dengan kandungan Fe dan Mn
yang telah terlarut dan tercuci berbeda dengan kondisi tanah dimana terjadi
pengkayaan Mn dan Fe yang bersifat mengikat (schavanger) unsur-unsur logam
yang lain, meskipun tidak ada perubahan kondisi geologi.
2) Permasalahan kedua berasal dari pengambilan conto pada satu horison. Kimia
tanah, bisa sangat bervariasi dari horison satu ke horison yang lain, sehingga
pengambilan conto yang kurang hati-hati dan ceroboh akan menghasilkan anomali

143
palsu atau sebaliknya anomali yang seharusnya muncul menjadi tidak tercermin
pada data di yang dihasilkan.
3) Kesulitan ketiga yaitu, dalam membedakan antara tanah residu dan tanah yang
telah tertranspot. Kondisi tanah yang telah tercampur akibat perpindahan tanah
dari lokasi lain, serta kandungan unsur kimia yang berasal dari tempat berbeda.
Sebagai contoh yaitu tingginya kandungan Mo di salah satu prospek di New Gunea
yang ternyata akibat adanya adanya pengkayaan besi yang mempunyai sifat
mengikat (schavanger) unsur lain, sehingga unsur Mo yang melewati zona kaya Fe
tersebut terikat dan terakumulasi.
4) Kendala terakhir yaitu adanya kontaminasi dan terganggunya tanah. Kontaminasi
yang berasal dari batuan dasar dapat diamati secara visual, sedangkan kontaminasi
dari dari endapan sungai dapat diketahui dengan melakukan pengambilan dan
analisis conto dari aluvium tuanya untuk dijadikan pembanding. Untuk mengetahui
adanya kontaminasi tidak mudah, oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam
nenafsirkan kemungkinan adanya kontaminasi dan kemungkinan gangguan pada
tanah. Asosiasi atau kelompok unsur pada batuan dan zona mineralisasi perlu
ditentukan untuk membedakan dengan akibat pengaruh kontaminasi baik dari
aktifitas pertanian maupun sumber kontaminasi yang lain (Joyce, 1974).

Gambar 6.15. Grafik sebaran kandungan unsur logam dalam conto tanah pada zona bijih

144 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Dispersi atau sebaran unsur pada tanah dipengaruhi oleh kondisi sebagai berikut:
1) Komposisi mineralogi dan kimia batuan
2) pH dan eH
3) Formasi kimia
4) Sifat mengikat (scavenging)
5) Aktfitas bilologi
6) Topografi dan faktor grafitasi
7) Kondisi hidrologi
8) Pengaruh angin

Penyebaran unsur/dispersi pada tanah dikenal ada tiga jenis, yaitu:


1) dispersi klastik, yaitu proses dispersi/tersebarnya dalam bentuk padatan
(Gambar 6.16)
2) dispersi hidromorfis, yaitu proses dispersi dimana unsur tersebar/terbawa
terlarut dalam air (Gambar 6.19).
3) biogenik, sebagai akibat aktifitas biologi (Gambar 6.17).

Gambar 6.16. Pola dispersi klastik tanah residu pada profil zona pelapukan (kiri). Pola dispersi tanah
residu, terjadi perpindahan akibat kompaksi (kanan)

Pola Umum dispersi pada tanah, di zona pelapukan:


1) Anomali dari target biasanya mempunyai penyebaran lebih luas dibandingkan
luas deposit bijihnya (Gambar 6.17).
2) Diperlukan area target yang lebih luas untuk mendapatkan harga latar
belakang, atau nilai dari batuan yang masih segar tidak termineralisasi.

145
3) Nilai kontras anomali umumnya tinggi (Gambar 6.15).
4) Kondisi negatifnya yaitu, pada daerah dimana banyak terjadi perpindahan atau
pergeseran material ke arah lateral, sehingga melokalisir daerah anomali
kurang memberikan manfaat, karena penyimpangan atau pergeseran lokasi
anomali dari lokasi dimana deposit bijih berada terlalu jauh (Gambar 6.20).

Gambar 6.17. Pola dispersi klastik pada tanah residu, melebar akibat adanya percampuran dengan
tanah sekitarnya secara fisik dan biologi (kiri). Pola dispersi pada tanah residu yang melebar akibat
adanya percampuran secara fisik dan biologi dengan tanah sekitarnya, serta ada pergeseran akibat
kompaksi dan gerakan rayapan tanah (kanan)

Gambar 6.18. Pola dispersi secara klastik oleh angin yang terjadi di sekitar singkapan gosan atau
bijih (kiri). Pola dispersi hidromorfis, anomali pada tanah sebagai akibat adanya pergerakan vertikal
ke arah atas embun di dalam tanah, terutama pada musim kering, yang membawa unsur unsur
terlarut (kanan), (modifikasi dari Joyce, 1974)

146 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.19. Pola dispersi hidromorfis. Anomali tanah di bawah permukaan atau pada zona
pelapukan dari batuan dasar, akibat pergerakan air tanah, serta pergeseran zona anomali tanah
pada daerah rembesan air tanah.

Gambar 6.20. Profil yang menggambarkan anomali yang terganggu/tergeser dan tertimbun

6.3.2. Metoda Pengambilan Sampel Tanah


Pada kegiatan eksplorasi geokimia, pengambilan sampel tanah biasanya dilakukan
pada tahapan semi detail atau tindak lanjut (follow-up) dari tahapan awal sampel stream
sediment (SS). Dimana dari hasil analisis sampel SS akan didapat dideliniasi daerah-daerah
yang memperlihatkan anomali. Selanjutnya eksplorasi dilanjutkan dengan melakukan
sampel tanah (soil) pada daerah anomali tersebut. Dalam pelaksanaannya, metoda sampel
tanah ini dapat dilakukan dengan metoda ridge and spur (Gambar 6.21), metoda base-of-
slope (Gambar 6.23), Rosana (2005), dan dengan metoda grid (Gambar 6.24).

147
Dasar pemilihan kedua metoda ini akan bergantung kepada kondisi lapangannya. Bila
topografinya lebih didominasi oleh perbukitan atau punggungan serta vegetasi yang cukup
lebat, maka metoda ridge and spur akan lebih cocok dipakai. Sementara bila daerahnya
cukup landai atau datar, serta sedikit vegetasi, maka dapat dilakukan metoda grid.
Keuntungan memakai metoda ridge and spur, adalah kita dapat menentukan zonasi
mineralisasi dengan tepat. Sementara dua metoda yang lain bisa memberikan anomali
displaced atau seepage anomaly, sehingga akan lebih sulit untuk menginterpretasikan
zonasi mineralisasinya.

Gambar 6.21. Pengambilan sampel tanah dengan metoda ridge and spurs, Cebu Project,
Phlilippines. Dalam Rose, Hawkes dan Webb (1979) dalam Rosana (2005)

Penentuan jarak interval sampel untuk grid maupun ridge and spur dapat berbeda
untuk tiap lokasi. Hal ini akan bergantung kepada besar kecilnya target anomali
(mineralisasi), waktu dan dana serta personil yang tersedia. Karena semakin banyak
sampel, semakin besar biaya lapangan maupun analisisnya. Biasanya untuk sampling
dengan metoda grid, dilakukan dengan membuat interval sampel 100 x 20 m grid, pada
tahap semi detail, atau 20 x 5 m untuk tahap detail.

148 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Pada dasarnya, pemilihan penentuan jarak interval sampel adalah sama dengan
pemilihan ukuran jala (jaring) yang akan dipakai oleh nelayan dalam menangkap ikan,
semakin kecil ukuran jaringnya semakin banyak ikan yang akan di dapat (Gambar 6.22).
Sampel diambil pada lokasi perpotongan grid tersebut dengan bantuan sekop, atau bor
tangan, atau dengan bantuan bambu. Hal ini akan bergantung kepada ketebalan lapisan
soilnya.

Umumnya sampel diambil pada horizon B, dimana pada zona ini banyak terakumulasi
unsur-unsur hasil pelapukan yang terakumulasi karena adanya proses dispersi hidromorfik,
terutama unsur-unsur yang bersifat mobile. Unsur-unsur ini akan mengalami presipitasi
bersama dengan hidroksida Fe dan Mg pada horizon B. Sampel pada horizon C akan lebih
baik karena dapat memberikan nilai anomali yang kontras, sebab zona ini berhubungan
langsung dengan batuan induknya. Akan tetapi luas anomali yang diberikan lebih kecil,
sehingga dibutuhkan jumlah sampel yang banyak/rapat. Kesulitan lain adalah, untuk
mencapai pada horizon C, diperlukan alat bantu yang lebih baik sehingga bisa mencapai
kedalaman lapisan tersebut. Sehingga biaya yang dibutuhkan juga akan lebih besar dan
mahal.

Gambar 6.22. Ukuran grid sel untuk sampel tanah dalam hubungannya dengan daerah
target mineralisasi (Rosana, 2005)

149
Gambar 6.23. Pengambilan sampel tanah dengan metoda base-of-slope, Lemieux, Quebec, Canada.
Dalam Rose, Hawkes dan Webb, 1979 dalam Rosana 2005

Sebelum melakukan pengambilan sampel tanah, untuk metoda grid, ridge and spur
dan base-of-slope, pada saat pembuatan jalur lintasan dapat digunakan metoda compass
travers, dengan lebih dulu menentukan satu titik lokasi yang diketahui posisinya sebagai
titik ikat atau sebagai base line. Sampel diambil pada lokasi perpotongan grid, atau pada
jarak tertentu dalam jalurnya untuk metoda ridge and spur atau base-of slope. Sampel
dikoleksi dengan bantuan sekop, atau bor tangan, atau dengan bantuan bambu, sebanyak
200 gram untuk tiap titik. Selanjutnya dideskripsi terlebih dahulu lalu dimasukkan ke dalam
kantong sampel, yang telah diberi label dan nomor.

Deskripsi yang dilakukan meliputi: lokasi sampel, kemiringan lokasi sampel, warna
tanah, berat sampel, komposisi, dll. Untuk selanjutnya sampel dikirim ke laboratorium
untuk dianalisis. Hasil analisis kemudian diplot kembali pada peta lokasi pengambilan
sampel untuk selanjutnya dapat dibuat kontur berdasarkan ppm, sehingga dapat dilihat
dimana daerah-daerah yang memberikan anomali yang baik.

150 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.24. Peta geokimia nikel dari sampel tanah residu. Pengambilan sampel tanah dengan
metoda reguler grid Data kandungan nikel dalam ppm (kiri). Data kandungan nikel dan data geologi
(kanan), (Joyce, 1974)

Survei geokimia tanah perlu mempertimbangkan horison dari tanah serta fraksi
ukuran butir yang akan diambil. Dari sisi beaya, horison B akan lebih hemat dibandingkan
pengambilan sampel dari horison C. Jarak titik pengambilan sampel ditentukan berdasarkan
perkiraan lebar dari bijih. Sampel diambil dengan jarak titik setengah dari jarak lebar bijih.
Pada pengambilan sampel tanah dengan target kedalaman yang besar perlu juga
dipertimbangkan pengambilan sampel batuan dasar. Hasil analisis kandungan batuan dasar
lebih mencerminkan kondisi yang lebih yang sesungguhnya dari geologi atau letak deposit.

Kerapatan penyontoan pada punggungan bukit umumnya tiap 50 m sementara


pada teknik kisi-kisi (grid) interval penyontoan berkisar antara 25 x 50 m sampai 50 x 100
m. Penentuan arah lajur kisi-kisi pada endapan tipe urat harus memotong arah umum
jurus urat. Titik pengambilan sampel tanah pada teknik kisi-kisi umumnya juga sebagai titik
pengamatan geofisika, Rosana (2005).

Jarak titik lokasi pengambilan sampel tanah jauh lebih rapat dibandingkan sampel
endapan sungai. Pada survei awal atau survei tinjau, sampel tanah koluvial bisa dilakukan.
Tanah lateritik kurang memberikan hasil yang baik, hal ini mengingat proses panjang yang
telah berlangsung pada tanah lateritik seperti proses pencucian/pelarutan (leaching),
migrasi, dan erosi. Hasil sebaran unsur pada sampel tanah lateritik sering menyimpang atau
kurang sesuai dengan kondisi geologi di bawahnya.

151
6.3.3. Analisis Laboratorium
Pada umumnya analisis sampel geokimia mempunyai tahapan kerja: (1)
penyiapan/preparasi sampel; (2) pelarutan; dan (3) pengukuran kadar unsur-unsur.

6.3.3.1. Preparasi Sampel


Sebelum dilakukan analisis selanjutnya, yaitu analisis geokimia unsur, sampel harus
dipersiapkan/dipreparasi terlebih dahulu. Tahapan pekerjaan secara umum yang dilakukan
dalam menyiapakan sampel adalah pengeringan, disagregasi, pengayakan, penggerusan,
penyeragaman (homogenisasi) dan pengantongan sampel (Ghazali dkk., 1986).

Beberapa alasan dilakukan pengeringan pada sampel adalah :


1) Air merupakan senyawa yang tidak diperlukan dalam penganaliasaan sampel.
2) Air akan mengganggu dalam proses penggerusan dan pengayakan, karena sampel
akan menggumpal dan bersifat lengket.
3) Air dapat mengakibatkan korosi pada tempat sampel yang terbuat dari logam.

Pengeringan sampel dapat dilakukan dengan tiga cara :


1) Pengeringan dengan cara penjemuran sampel di udara terbuka pada saat di
lapangan.
2) Pengeringan dilakukan di laboratorium dengan cara dibiarkan di udara terbuka dan
dijaga jangan sampai terlalu kering. Pengeringan ini dilakukan dengan tujuan untuk
menentukan merkuri dalam sampel.
3) Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 500-800 C.

Pengayakan sampel dengan tujuan utama dari pangayakan adalah :


1) Mendapatkan fraksi yang mengandung unsur paling tinggi konsentrasinya serta
memberikan nilai kontras yang baik.
2) Menghasilkan sampel yang cukup halus dan seragam, sehingga sampel yang dipakai
dapat mewakili penyebaran unsur.
3) Menghilangkan pecahan kasar (kuarsa), pengotor (zat organik) dan bahan lain yang
kandungan unsurnya lebih rendah.

Pengayakan tanah menggunakan ayakan -100 mesh. (Plant, 1971 dalam Ghazali dkk.,
1986). Setelah dilakukan pengayakan, sebelum sampel dimasukkan ke laboratorium untuk
analisis kimia, biasanya dilakukan penggerusan ulang. Penggerusan ini dilakukan dengan

152 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

tujuan untuk memperluas permukaan sampel sehingga pelarutan lebih cepat, selain itu
agar sampel menjadi lebih homogen.

6.3.3.2. Analisis Kimia


Sampel tanah yang akan dianalisis, sebelumnya harus melalui tahapan–tahapan
seperti yang dijelaskan di atas, yaitu tahapan pengeringan, pengayakan, dan penggerusan,
selanjutnya dilakukan pelarutan dengan menggunakan larutan yang bersifat asam dengan
tujuan agar unsur-unsur yang ada dalam sampel terlepas dari partikel. Ada bebapa metode
yang dapat digunakan untuk menganalisis sampel geokimia, antara lain metode kolorimetri,
metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry), dan ICP (Inductively Couple Plasma).

Analisis sampel tanah biasanya menggunakan metode analisis AAS (Atomic


Absorption Spectrophotometry), dimana metode ini mampu mendeteksi secara simultan
beberapa unsur yang dilarutkan dengan asam nitrat (Cu, Pb, Zn, Co, Ni, Mn, Ag, Li, K, Fe,
dan Cr) dan emas yang dilarutkan dengan aqua regia. Hasil analisis unsur selanjutnya
diproses lebih lanjut untuk menentukan sebaran nilai anomali, sebagai indikasi adanya
mineralisasi.

6.3.3.3. Peta Geokimia Tanah


Dalam pengolahan data geokimia dengan menggunakan komputer, data yang
dihasilkan dapat ditampilkan dalam bentuk peta-peta yang akan lebih mempermudah
dalam melakukan analisis. Penggabungan data secara visual akan memberi gambaran yang
cukup jelas tentang bagaimana kondisi sebaran unsur termasuk lokasinya di lapangan.

Sistem pembuatan peta di sini berkaitan dengan proses pembuatan image, dimana
sebelum memasukkan besarnya kelas-kelas harga unsur harus melakukan grid terlebih
dahulu agar dapat dilakukan interpolasi data. Setelah besarnya kelas kita tentukan, maka
jenis peta yang kita harapkan dapat diproses. Peta yang dihasilkan umumnya berupa peta
sebaran unsur, dimana besarnya kelas kita tentukan dari hasil perhitungan statistika atau
sesuai dengan nilai sebaran data yang ada.

Contoh hasil penyelidikan geokimia tanah untuk eksplorasi emas ditunjukkan pada
Gambar 6.25 dan 6.26 Seseuai dengan karakteristik emas dan timbal yaitu mempunyai sifat
mobilitas rendah, sehingga anomali yang dihasilkan masih berdekatan dengan keberadaan
tubuh bijih emas. Hal ini berbeda dengan pola sebaran tembaga, seng, dan arsen yang
terdapat berasosiasi di dalam mineralisasi bijih emas. Ketiga unsur tersebut mempunyai

153
mobilitas tinggi, sehingga cenderung terdispersi lebih jauh. Pola sebaran anomali geokimia
tanah Cu, Zn dan As menunjukkan pergeseran dari keberadaan tubuh bijih. Hal ini sebagai
akibat sifat mobilitas ketiga unsur tersebut.

Dengan mempertimbangkan contoh kasus tersebut, maka unsur unsur dengan


mobilitas rendah akan mempunyai sebaran anomali yang relatif dekat dengan tubuh bijih.
Sedangkan unsur unsur dengan mobilitas tinggi, penafsiran anomali geokimia tanah yang
dihasilkan harus mempertimbangkan kemungkinan telah bergesernya pola anomali dari
keberadaan tubuh bijih.

Gambar 6.25. Kontur sebaran unsur emas (Au) pada tanah horison B zona di atas urat bijih emas
Gosowong, Halmahera. Nilai kontur dalam ppm. (Carlile, dkk, 1997). Anomali geokimia emas dari
sampel tanah berada di atas keberadaan bijih emas urat kuarsa.

154 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 6 METODE EKSPLORASI GEOKIMIA

Gambar 6.26. Geokimia sebaran unsur pada tanah untuk unsur tembaga (A), timbal (B), Seng (C),
dan arsen (D) pada conto tanah horison B di atas urat bijih emas Gosowong, Halmahera. Sebaran
nilai anomali timbal berada di atas urat, sedangkan anomali tembaga, seng dan arsen sedikit
bergeser dari letak urat bijih emas (modifikasi dari Carlile, dkk, 1997)

155
6.4. Pustaka
Carlile, J.C., Davey, G.R., 1997. Discovery and exploration of the Gosowong epithermal gold
deposit, Halmahera, Indonesia. Journal of Geochemical exploration 60(1998) 207-
227. Elseiver.
Davis, A.E. and Hartati, R.D. 1991. Procedures manual for the analysis of geochemical
samples for the southern Sumatra Geological and Mineral Exploration Project.
SSGMEP. Report Series No. 6. Direktorat Sumber Daya Mineral, Bandung, Indonesia.
Ghazali, S.A, Suganda, E and Johnson, C.C. 1993. Methods tecniques used in the Southern
Sumatra Geochemical Mapping Programme. Special Publication of the Directorate of
Mineral Resources, No. 48. ISSN 0216-0765. Direktorat Sumber Daya Mineral,
Bandung, Indonesia.
Joyce, A.S., 1974. Exploration Geochemistry. South Australian Institute of Technology,
Adelaide.
Levinson, A.A. 1974. Introduction to Exploration Geochemistry. Applied Publishing Ltd.,
Calgary.
Machali, A.M, Johnson, C.C, Sumartono, Crow, M.J, and Mackenzie, A.C. 1995. Electronic
Geochemical Atlas of Souhern Sumatra. CD-ROM. Directorate of Mineral
Resources/British Geological Survey, Keyworth, UK, Nopember 1995, version 1.0.
Nicholson, R.A, and Budhiastuti, S E. 1986. Sample preparation and methods of chemical
analysis used by the Northern Sumatra Geochemical and Mineral Exploration Project.
NSGMEP Report Series No. 21, Directorate of Mineral Resources, Bandung, Indonesia.
Rosana, M.F., 2005. Diktat Kuliah Geologi Eksplorasi. Edisi ke 1. Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Sabtanto, J. S., 2001. Geokimia Regional Conto Endapan Sungai Aktif Daerah Lembar Tolitoli
(2117), Propinsi Sulawesi Tengah. Direktorat Sumber Daya Mineral, Bandung,
Indonesia.
Susan, G.V.H., 2004. Penentuan Daerah Prospek Eksplorasi Logam Dengan Menggunakan
Metode Geokimia Sedimen Sungai Aktif Pulau Sulawesi Garis 20 LU ke Utara.
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

156 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

BAB 7
METODE EKSPLORASI GEOFISIKA
Harapan Marpaung dan Edi Suhanto

7.1. Pendahuluan
Ilmu geofisika adalah ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip fisika dalam
penyelidikan kebumian. Yang diukur berupa besaran–besaran fisis (physical properties)
batuan di bawah permukaan, seperti kerapatan (density), kelistrikan dan kemagnetan.

Pengukuran dilakukan di permukaan dan dengan menganalisis hasil pengukuran


akan diketahui besaran fisis batuan di bawah permukaan baik secara vertikal maupun
horizontal.

Penyelidikan geofisika memanfaatkan dua jenis sumber energi/sinyal, yaitu yang


bersifat alamiah dan jenis sumber energi/sinyal buatan yang dikirimkan kedalam bumi.
 Sumber energi alamiah: gravitasi, magnetik, seismik, listrik, dan elektromagnetik bumi.
 Sumber energi buatan: listrik, elektromagnetik dan seismik.

Pada umumnya penyelidikan dengan sumber energi alamiah menghasilkan penetrasi yang
lebih dalam.

Beberapa jenis metode geofisika yang sering digunakan untuk survei kebumian
adalah:
1) Seismik
2) Gaya berat/Gravity
3) Magnetik
4) Listrik
 Tahanan jenis (resistivity)
 Polarisasi terimbas (induced polarization/IP)
 Potensial diri (self potensial/SP)
 Misse-a-la-masse
5) Logging lubang bor (bore hole logging)
6) Elektromagnetik (EM)

157
 Time Domain EM (TDEM)
 Frequency Domain
 Ground Penetrating Radar (GPR)

Sebelum melakukan penyelidikan geofisika perlu mempelajari dulu kondisi geologi


setempat dan apa tujuan kita melakukan penyelidikan, selanjutnya kita tentukan metode
apa yang paling efektif untuk digunakan. Pemilihan metode yang tidak tepat dapat
mengakibatkan hasil yang kurang baik bahkan sama sekali gagal. Beberapa jenis metode
geofisika beserta pemanfaatannya seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 7.1. Jenis metode geofisika beserta pemanfaatannya

No Aplikasi/Penggunaan Metode survei Keterangan


1 Penyelidikan energi fosil S, G, M, EM S (seismik)
(minyak, gas dan batubara) G (gayaberat)
2 Penyelidikan mineral logam M, EM, TJ, SP, IP M (magnet)
EM (electromagnet)
3 Penyelidikan mineral non logam S, TJ,
TJ (tahanan jenis)
(misal sirtu)
SP (self-potential)
4 Penyelidikan air tanah TJ,
IP (polarisasi
5 Geologi teknik TJ, S, GPR, G terimbas)
6 Penyelidikan Arkeologi GPR, TJ, EM, M, S GPR (ground-
penetrating radar)

Untuk penyelidikan mineral, metode geofisika yang paling sering digunakan yaitu :
1) Metode magnet (magnetic)
2) Metode listrik (electrical method)
a) Tahanan jenis (resistivity)
b) Polarisasi terimbas (induced polarization/IP)
c) Potensial diri (self potensial/SP)
d) Mise-a-la-masse
3) Metode elektromaknetik (ground penetrating radar/GPR)

158 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

7.2. Metode Magnet


Metode magnet merupakan metode geofisika yang memanfaatkan sifat
kemagnetan batuan di bawah permukaan. Metode ini sangat baik digunakan untuk survei
bijih besi karena memiliki kontras intensitas kemagnetan yang sangat tinggi dibandingkan
dengan batuan sekitar, namun beberapa jenis batuan segar juga memiliki kontras magnet
yang cukup tinggi sehingga diperlukan keahlian khusus untuk dapat membedakan kedua
jenis batuan ini.

Intensitas induksi magnet dinyatakan dalam satuan S.I. yaitu nanotesla (nT) atau
sering juga disebut gamma. 1 gamma = 1 nT = 10-3 µT. Tanpa adanya anomali magnet,
intensitas magnet bumi berkisar antara 25.000 hingga 80.000 nT (gamma).

Intensitas induksi magnet adalah hasil perkalian kerentanan magnet dan kuat
medan magnet bumi:
I=kH
dimana, k = kerentanan magnet (susceptibility) batuan
I = intensitas induksi magnet
H = kuat medan magnet bumi tesla (T)

Anomali magnet A dapat dihitung dengan rumus:


A = Harga pengukuran-IGRF-VH
dimana, IGRF : harga kemagnetan regional daerah penyelidikan
VH : variasi harian
Untuk kebanyakan material besarnya nilai k<1 dan kebanyakan dalam orde orde 10-6.

Tabel 7.2. Kerentanan magnet batuan

Jenis batuan Kerentanan magnet (k)


Altered ultra basics 10-4 to 10-2
Basalt 10-4 to 10-3
Gabbro 10-4
Granite 10-5 to 10-3
Andesite 10-4
Rhyolite 10-5 to 10-4
Metamorphic rocks 10-4 to 10-5
Most sedimentary rocks 10-6 to 10-5
Limestone and chert 10-6 to 10-5
Shale 10-5 to 10-4

159
Sistim pengukuran metode magnet meliputi pengukuran regional dan pengukuran
detil sistim grid. Menggunakan dua alat magnetometer, satu alat digunakan untuk
pengukuran di titik ukur (lintasan/acak) dan lainnya untuk pengukuran variasi harian
intensitas magnet di titik yang disebut station basis (BS). Variasi harian digunakan untuk
koreksi data.

Pengolahan data meliputi pembuatan data yang sudah dikoreksi selanjutnya


diproses/diolah secara manual maupun dengan komputer. Bentuk hasil pengolahan data
yang umum ditampilkan adalah:
 Penampang anomali
 Kontur anomali
 Pemodelan

Penampang anomali merupakan gambaran/kurva hasil pengukuran dalam satu


lintasan ukur (Gambar 7.1 bagian atas). Kontur anomali merupakan kontur yang diperoleh
dari hasil pengukuran dengan sistem grid atau yang terdiri dari beberapa lintasan ukur.

Pemodelan adalah penggambaran bentuk tubuh bijih/ore body yang diakibatkan


oleh adanya anomali (Gambar 7.1) sedangkan penafsiran data adalah menafsirkan zona–
zona yang diduga berkaitan dengan mineralisasi, maupun struktur–struktur geologi.

Gambar 7.1. Contoh pemodelan dalam bentuk penampang magnet oleh tubuh bijih

160 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

7.3. Metode Listrik


Metode listrik merupakan metode yang digunakan dalam survei geofisika dengan
memanfaatkan sifat-sifat kelistrikan dalam bumi dan salah satu metode yang paling sering
dilakukan hampir dalam segala bidang kebumian. Sifat kelistrikan ini ada yang bersifat
alami dan ada yang diinjeksikan ke dalam bumi. Beberapa jenis metode listrik yang sering
digunakan adalah:
 Tahanan jenis (resistivity)
 Polarisasi terimbas (induced polarization/IP)
 Potensial diri (self potensial/SP)
 Mise-a-la-masse

7.3.1. Tahanan Jenis


Metode tahanan jenis terdiri dari sumber arus yang diinjeksikan ke dalam tanah
melalui dua buah elektroda yang disebut elektroda arus. Arus yang dikirimkan dapat
berupa arus searah (DC) maupun arus bolak-balik (AC) sinusoidal dengan frekuensi rendah
(hingga 20 Hz) atau bentuk persegi (square wave) dengan frekuensi antara 0.1 Hz hingga 1
Hz.
Hubungan antara arus dan tegangan/potensial dijelaskan dengan hukum Ohm:
V = IR
dimana: V = beda tegangan antara dua titik ukur dalam penghantar dalam volt
I = besar arus yang melalui penghantar dalam amper
Besarnya resistansi sepanjang penghantar adalah

dimana: ρ = tahanan jenis hantar dalam ohm-meter


L = panjang dalam meter
A = luas penampang penghantar dalam meter

7.3.1.1. Konfigurasi Elektroda


Dalam pengukuran tahanan jenis di lapangan terdapat beberapa jenis konfigurasi
elektroda yang digunakan sesuai dengan maksud tujuan penyelidikan. Konfigurasi ini
memiliki kekurangan dan kelebihan baik dari segi biaya operasional, lama pengukuran dan
penetrasi kedalaman.

161
Pemilihan konfigurasi yang tidak tepat dapat menyebabkan gagalnya penyelidikan,
dan sebaiknya sebelum pengukuran dilakukan sebaiknya dipelajari lebih dahulu kondisi
lapangan. Beberapa konfigurasi elektroda yang sering digunakan :
 Schlumberger
 Wenner
 Dipole-dipole
 Pole-dipole
 Gradient
 Azimutal
 dll

Susunan elektroda yang paling sering digunakan dalam survei metode listrik untuk
mineral adalah Schlumberger, Wenner dan Dipole-dipole. Susunan yang digunakan
tergantung dari kondisi geologi setempat maupun hasil yang kita inginkan.
 Schlumberger : untuk mengetahui kedalaman dan jumlah lapisan.
 Wenner : untuk pemetaan tahanan jenis.
 Dipole-dipole : untuk mengetahui distribusi tahanan jenis baik vertikal maupun
horisontal.

Beberapa jenis susunan elektroda dan penghitungan tahanan jenis yaitu sebagai
berikut:

Dipole-dipole

162 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

Pole-dipole

Pole-pole

Schlumberger

163
Wenner

Masing-masing susunan ini memiliki kekerangan dan kelebihan sehingga pemilihan


susunan elektroda yang tepat akan memberikan hasil yang maksimal dan menghemat biaya
operasional, sebaliknya susunan elektroda yang tidak tepat akan memberikan hasil yang
kurang baik bahkan survei akan gagal.

Tabel 7.3. Kekurangan dan kelebihan untuk beberapa susunan elektroda

Konfigurasi Keuntungan Kerugian


• mudah menghitung a di • Setiap pengukuran, seluruh
lapangan elektroda pindah
Wenner
• Sensitivitas alat tidak perlu • Sensitif terhadap perubahan
tinggi pada lapisan dangkal
• Butuh kabel panjang untuk
yang dalam

Schlumberger
• Setiap pengukuran, sedikit
• Membutuhkan peralatan
yang sensitif
elektroda yang pindah
• Kabel potensial yang pendek
• Membutuhkan kuat arus
yang besar

Dipole-Dipole
• Kabel relatif pendek untuk
• Membutuhkan peralatan
yang sensitif
penetrasi yang dalam

164 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

7.3.1.2. Prosedur Pengukuran


Elektroda terdiri dari dua bagian yaitu elektroda arus (C1 dan C2) dan elektroda
potensial (P1 dan P2). Peralatan terdiri atas dua bagian, yaitu bagian pemancar
(transmitter) yang mengirimkan arus dan bagian penerima (receiver) yang membaca
potensial V. Posisi elektroda arus dan potensial tergantung dari konfigurasi yang
digunakan. Arus (I) dikirimkan melalui elektroda arus C1, C2 sedangkan potensial (V) yang
dihasilkan diukur melalui elektroda potensial P1, P2. Prosedur ini berlaku baik untuk
susunan elektroda Schlumberger maupun dipole-dipole namun berbeda dalam sistim
pengolahan datanya.

Untuk susunan elektroda Schlumberger, digunakan formulir data yang umum dan
kurva log-log pada Gambar 7.4 sedangkan untuk dipole-dipole dan Wenner dibuat sesuai
dengan keperluan.

Gambar 7.2. Konfigurasi elektroda konvensional

Prosedur pengukuran mengikuti formulir data yang sudah tersedia kemudian diplot
ke kurva log-log. Sebaiknya data langsung diplot agar dapat mengoreksi apakah data yang
kita peroleh logis, sehingga kita dapat mengulangi pengukuran saat itu juga bila perlu.

165
Gambar 7.3. Susunan elektroda dipole-dipole

Untuk susunan elektroda dipole-dipole, jarak elektroda arus C1/C2 sama besar
dengan jarak elektroda potensial P1/P2 maupun jarak perpindahan elektroda potensial
terhadap elektroda arus. Elektroda arus I pada posisi diam, elektroda potensial V mengukur
nilai V, kemudian pindah ke posisi berikutnya (biasanya jarak perpindahan sama dengan
jarak antara C1/C2, seterusnya bergerak hingga ke posisi yang kita inginkan (hingga ke n).
Semakin besar n, penetrasi kedalaman semakin besar juga, namun n yang terlalu besar
menyebabkan sinyal yang diterima akan semakin kecil bahkan data yang kita terima sudah
tidak akurat lagi. Diperlukan kejelian ahli yang terkait maupun operator untuk dapat
menganalisa apakah data yang kita peroleh masih valid. Biasanya dalam pengukuran
dilapangan digunakan hingga n = 8, namun agar data yang diperoleh cukup baik harus
menggunakan daya pemancar yang lebih besar.

166 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

FORMULIR DATA PENGUKURAN TAHANAN JENIS (SCHLUMBERGER)

Tanggal : …………………….. Lokasi : ……………………..

Titik Ukur : …………………….. Peralatan : ………………………

MN/2 Konstanta K Volt I Rho


AB/2 0,5 m 5m 10 m 25 m (mV) (mA) (ohm-m)
1.5 6.28
2,5 18.8
4 49,5
6 112,3
8 200,3
10 313,3
12 451,8
15 706,1 62,8
20 1255 117,8
25 1962 188,5
30 2826 274,9
40 5025 494,8
50 777,5
60 1123 549,8
75 1759 867,9
100 3133 1555 589.0
125 4900 2438 942.5
150 7060 3518 1374
200 12558 6267 2474
250 9800 3887
300 14121 5615
400 25117 10013
500 39254 15668

167
Gambar 7.4 . Formulir data dan kurva log-log untuk susunan elektroda Schlumberger

Tabel 7.4. Tahanan jenis batuan, minerals dan bahan kimia

168 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

7.3.1.3. Sistim Pengolahan Data


Sistem pengolahan data terdiri dari:
• Sistim satu dimensi (1-D) : Resix
Resty
• Sistim dua dimensi (2-D) : RES2DINV
• Sistim tiga dimensi (3-D) : RES3DINV

Saat ini sistim pengolahan data 1-D, 2-D maupun 3-D dapat diunggah di internet
secara gratis namun beberapa diantaranya versi demo.

Satu dimensi (1-D)


Konfigurasi Shlumberger

Gambar 7.5. Hasil pengolahan data 1-D (Resty)

169
Gambar 7.6. Penampang geologi yang diperoleh dari beberapa titik ukur sounding Schlumberger

Susunan elektroda dipole-dipole

Gambar 7.7. Teknik pengeplotan data dengan susunan dipole-dipole

170 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

Data yang sudah dihitung ρ nya diplot ke titik-titik pada Gambar 7.7 dengan aturan
tertentu kemudian dibuat kontur yang dapat dilakukan secara manual maupun dengan
computer (surfer).

Dua dimensi (2-D)

Gambar 7.8. Sekuen pengukuran 2-D dipole-dipole

Gambar 7.9. Hasil pengolahan data 2-D

7.3.2. Polarisasi Terimbas


Metode polarisasi terimbas (induced polarization/IP) merupakan salah satu metode
geofisika yang mendeteksi terjadinya polarisasi listrik pada permukaan mineral-mineral
logam di bawah permukaan bumi.

171
Sebagian kandungan mineral logam dalam bumi terbentuk sebagai senyawa-
senyawa sulfida seperti emas (AuS), perak (AgS), tembaga (CuS), timah (PbS) dan
sebagainya. Tubuh sulfida merupakan penghantar elektronik sedangkan larutan dalam pori-
pori batuan merupakan penghantar ionik sehingga memiliki kontras penghantar listrik yang
besar dibandingkan latar belakang. Jika arus listrik dialirkan ke dalam bumi, akan
memungkinkan terjadinya gejala IP.

Saat ini hampir seluruh jenis peralatan yang diproduksi untuk tahanan jenis sudah
digabung dengan pengukuran IP. Parameter yang diukur adalah chargeability dalam satuan
mV/V, msec maupun % (persentase)

Gambar 7.10. Konfigurasi elektroda dan proses pengukuran IP

172 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

Besarnya chargeability:
M = Vp /Vo

M tidak berdimensi, namun sering dinyatakan dalam msec, mV/V atau %, dimana Vp << Vo

Pengukuran IP identik dengan pengukuran tahanan jenis namun pada umumnya


konfigurasi yang biasa digunakan untuk IP adalah dipole-dipole dengan tujuan untuk
mengetahui penyebaran secara vertical maupun horizontal. Untuk beberapa alat tertentu,
pengukuran tahanan jenis dan IP sering dilakukan simultan artinya dalam sekali pengukuran
data tahanan jenis dan IP dapat diperoleh, namun beberapa alat dirancang untuk
mengukur secara terpisah dengan pertimbangan kualitas data. Dalam pengukuran IP untuk
elektroda potensialnya mutlak harus menggunakan poros pot (non-polarizeable electrode)
 IP sangat handal untuk eksplorasi geofisika dalam mineral
 Besarnya pengaruh IP tergantung dari kontak antara mineral konduktif dan fluida
dalam pori
 Konsekuensinya, cara ini merupakan metode geofisika terbaik untuk mendeteksi
mineral sulfide
 Dengan pengembangan metode IP (spectral IP) akan mampu memisahkan antara
mineral yang berbeda

7.3.3. Potensial Diri


Potensial listrik (self potensial/SP) yang terjadi dalam batuan dapat disebabkan oleh
proses-proses berikut:
 Electrokinetik (streaming), potensial yang disebabkan aliran fluida dalam media poros
yang memiliki besaran listrik (electrical properties) yang berbeda.
 Kontak antara cairan (liquid-junction) atau difusi (diffusion), potensial disebabkan oleh
displacemen dari solusi ion (ionic solutions) dengan konsentrasi yang berbeda.
 Mineralisasi atau kontak elektrolit (electrolytic contact), potensial dihasilkan pada
kontak antara permukaan konduktor dengan medium lain.
 Dalam lempung (shale), potensial terjadi jika dalam bahan konduktor yang sama
mengandung konsentrasi solusi yang berbeda (Telford, Geldart and Sheriff ,1990)

173
Penafsiran metode SP umumnya lebih banyak secara kualitatif, namun akhir-akhir
ini juga secara kuantitatif.

Peralatan dan prosedur pengukuran


Pengukuran SP cukup sederhana, hanya menggunakan voltmeter dengan resolusi
0,1 mV dan elektroda yang mengukur beda potensial. Pengukuran dilakukan dengan sistim
grid atau sepanjang lintasan.

Hal yang sangat penting diperhatikan adalah jenis elektroda yang digunakan yaitu
jenis elektroda nonpolarisasi (nonpolarizing) yang sering disebut poros pot (porous pot).
Tanpa menggunakan poros pot, hasil yang diukur tidak mencerminkan nilai SP yang
sebenarnya, bahkan nilai yang diukur merupakan potensial yang timbul akibat adanya
polarisasi dalam elektroda yang nilainya bahkan lebih tinggi dari nilai SP sebenarnya.

Pengukuran potensial SP dilakukan terhadap titik referensi (reference point) dengan


asumsi tidak terdapat anomali di titik referensi tersebut.Besarnya harga dan tanda (sign)
anomali SP yang diukur terhadap titik referensi adalah:

ΔV = Vi – C

dimana Vi adalah potensial pada titik ukur dan C adalah potensial referensi

Gambar 7.11. Prosedur pengukuran

174 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

Hasil pengukuran
 Jika pengukuran sepanjang lintasan,di plot dalam bentuk penampang anomali
 Jika pengukuran dalam sistim grid, di plot dalam bentuk kontur anomali

Gambar 7.12. Penampang Anomali negatif

7.3.4. Mise-a-la-masse
Teknik ini sering disebut dengan metode ekipotensial (Parasnis ,1973). Jika arus
listrik dialirkan antara dua titik di permukaan tanah akan timbul potensial diantara dua titik
itu. Jika medium yang dilalui homogen, distribusi arus dan potensial akan teratur dan dapat
dihitung secaca teoritis. Jika dalam medium tersebut terdapat bahan konduktor maupun
isolator, akan timbul gangguan medan listrik, dan secara teoritis dapat menditeksi
kehadiran bahan dengan konduktivitas yang berbeda yang terlihat dari bentuk geometri
potensial.

Persyaratan dalam teknik eksplorasi ini adalah harus tersedianya lubang bor yang
berfungsi sebagai salah satu elektroda ar. Makin dalam lubang bor, makin data yang
dihasilkan.

Teknik pengukuran :
o Untuk mengirimkan arus dibutuhkan dua buah elektroda, salah satu melalui lubang
bor dan lainnya pada titik yang cukup jauh (>2 km).
o Arus yang dikirim adalah arus konstan dan makin besar arusnya, makin baik.

175
Applikasi :
o Digunakan dalam eksplorasi tambang
o Eksplorasi panasbumi
o Mengidentifikasi bijih mineral
o Geoteknik
o Penyebaran mineralisasi

Gambar 7.13. Prinsip dari metode mise-a-la-masse. Bagian kanan gambar menunjukkan terjadinya
distorsi garis ekipotensial akibat adanya mineral konduktif (Parasnis, 1973)

7.4. Ground Penetrating Radar


Ground penetrating radar (GPR) menggunakan gelombang elektromagnetik dengan
frekuensi tertentu antara 1 Mhz hingga ratusan Mhz. Karena yang digunakan adalah
gelombang elektromagnetik, cara ini cukup sensitif terhadap kontras konduktivitas bahan.
Gelombang radar dipantulkan dengan sangat kuat oleh biji sulfida logam sehingga metode
ini banyak dipakai dalam penyelidikan mineral logam.

176 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

Daya absorpsi sinyal radar dalam tanah tergantung dari kandungan mineral dalam
batuan. Dalam batuan lempung gelombang radar sangat banyak diserap akibat dari
struktur ion dalam kandungan lempung tersebut. Dalam lapisan lempung
basah/mengandung air, sangat sulit untuk memperoleh penetrasi yang dalam walaupun
dengan daya pemancar yang besar. Dalam lempung kering bisa mencapai penetrasi
kedalaman 60 meter hingga 70 meter. Parameter yang diukur : Konstanta dielektrik.

Beberapa contoh penelitian yang telah dilakukan dengan GPR adalah:


 membedakan warna tanah atau kandungan karbon organik (Dolitte, 1982);
 menentukan ketebalan dan mengkarakterisasi kedalaman material organic (Shih et
al., 1984);
 menentukan kecepatan propagasi gelombang (Tillard et al., 1995);
 mendeteksi dan memetakkan rekahan dalam batuan plutonik (Sterns et al., 1995);
 mengindikasi adanya erosi pada bendungan (Carlten et al., 1995)
 eksplorasi air tanah, pemantauan penyebaran limbah dan juga pada eksplorasi
tambang mineral logam seperti eksplorasi bijih emas, nikel dan lain-lain.
 metode ini dapat mendeteksi tulangan beton
 mendeteksi peninggalan purbakala, pencarian harta karun dan lain-lain.

Teknologi radar ini mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan metode


geofisika yang lain yaitu biaya operasional lebih murah dan cara pengoperasian di lapangan
juga lebih mudah;

Hubungan antara attenuasi dan kecepatan:

V = (3x108) / ε1/2
a = 1.69σ / ε1/2
dimana: V = kecepatan dalam m/s
ε = konstanta dielektrik (dimensionless)
a = attenuasi dalam decibel/m (db/m)
σ = konduktivitas listrik dalam mS/m

Kecepatan gelombamg radar melalui bahan tergantung kepada jenis bahan dan
merupakan fungsi dari permitivitas relatif bahan. Menurut Reynolds (1997) kecepatan
gelombang radar dalam material (Vm) diberikan oleh persamaan:

177
dimana c adalah kecepatan cahaya di udara, εr adalah konstanta dielektrik relatif dan µr
permeabilitas magnetik relatif (= 1 untuk material non magnetik), P merupakan loss faktor.
Pada tabel 7.3 disajikan rentang harga kecepatan gelombang radar melalui beberapa
bahan.

Tabel 7.5. Besaran fisis electromagnetik batuan

Conductivity Velocity Attenuation


Material εr (mS/m) (m/ns) (db/m)

Udara (Air) 1 0 .3 0
Air suling (Distilled Water) 80 .01 .033 .002
Air segar (Fresh Water) 80 .5 .01 1,000
Pasir kering (Dry Sand) 3-5 .01 .15 .01
Pasir basah (Wet Sand) 20-30 .1-1 .06 .03-.3
Gamping (Limestone) 4-8 .5-2 .12 .4-1
Lempung (Shales) 5-15 1-100 .09 1-100
Silt (Silts) 5-30 1-100 .07 1-100
Clays 5-40 2-1,000 .06 1-300
Granit (Granite) 4-6 .01-1 .13 .01-1
Garam kering (Dry Salt) 5-6 .01-1 .13 .01-1
Es (Ice) 3-4 .01 .16 .01
Logam (Metals) ∞ ∞

178 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 7 METODE EKSPLORASI GEOFISIKA

Gambar 7.14. Hasil pengukuran GPR diatas pipa dan dua buah terowongan (Annan, 1992)

7.5. Daftar Pustaka


Annan, A.P., S.W. Cosway. 1992. Ground Penetrating Radar Survey Design. Proceedings of
the Symposium on Application of Geophysics to Engineering and Environmental
Problems. Oakbrook, IL.v.2
Doolittle, J.H. 1982. Modification of the ionosphere by vi.' wave-inducedelectron
precipitation. (Technical Report E4-21301218, Radio Science Laboratory, Stanford
Electronics Labs, Stanford University, Stanford, CA 94305.)Sylvie
Kearey, P. and Brooks, M. 1991. Introduction to Geophysical Exploration. Blackwell Science,
Inc. - 2nd edition
Parasnis, D. S. 1973. Mining Geophysics. Elsevier Scientific Pub. Co
Reynolds, J. M. 1997. An Introduction to Applied and Environmental Geophysics, John Wiley
and Sons Ltd, Chichester, 796 pp.
Robinson, E. S. 1988. Basic Exploration Geophysics. John Wiley & Sons, Inc - 88 edition
Telford, W. M. Geldart, L. P., Sheriff, R. E. 1990. Apllyied Geophysics. Cambridge University
Press.
Tillards, S. And Dubois, J.C. 1995. Analysis of GPR Data: Wave propagation velocity
determination. Journal of Applied Geophysics, No. 33. (77-91)

179
180 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 8 EKSPLORASI ENDAPAN PRIMER (Emas, Bijih Besi, Tembaga dan Mangan)

BAB 8
EKSPLORASI ENDAPAN PRIMER
(Emas, Bijih Besi, Tembaga dan Mangan)
Rudy Gunradi dan Franklin

8.1. Pendahuluan
Eksplorasi endapan primer bertujuan untuk mengidentifikasi keterdapatan mineral
logam pada suatu daerah yang meliputi aspek ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas dan
kualitasnya, sehingga dapat dilakukan kajian untuk nilai ekonomisnya.

Eksplorasi endapan primer emas, bijih besi, tembaga dan mangan secara umum
mempunyai tahapan yang hampir sama, hal ini disebabkan proses pembentukan dan tipe
endapan yang terbentuk adalah sama. Untuk logam mangan meskipun proses dan tipe
pembentukannya adalah primer namun dari segi keekonomian, mangan tipe sekunder yang
paling ekonomis dan yang paling banyak ditambang/diusahakan.

Untuk mengetahui keberadaan endapan logam-logam tersebut di alam perlu


dilakukan beberapa tahapan eksplorasi antara lain: tahapan penyelidikan umum dan
tahapan eksplorasi yang penjelasannya sebagai berikut.

8.2. Tahapan Eksplorasi


Secara umum tahapan eksplorasi dibagi menjadi:
1) Penyelidikan umum yang dibagi lagi menjadi: survei tinjau dan prospeksi
2) Eksplorasi yang dibagi lagi menjadi: eksplorasi umum dan eksplorasi rinci

8.2.1. Penyelidikan Umum


1) Survei Tinjau
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini yaitu untuk mengidentifikasi daerah-daerah
yang berpotensi bagi keterdapatan mineral logam pada skala regional terutama
berdasarkan hasil studi geologi regional, di antaranya:

 Studi pendahuluan meliputi : tinjauan literatur, geologi regional, studi citra landsat,
interpretasi foto udara, sintesa-sintesa geologi;

181
 Rancangan eksplorasi menyangkut pengajuan model eksplorasi sebagai hipotesa
kerja, penentuan petunjuk-petunjuk geologi yang akan digunakan, penentuan
strategi dan pentahapan serta pemilihan sistem eksplorasi;
 Penilaian daerah berdasarkan pustaka dan data yang ada;
 Tinjauan daerah meliputi :
 Survei dari udara; survei dan analisa foto udara, survei dan analisa aeromagnetik;
 Survei permukaan, pembuatan lintasan geologi di seluruh daerah, identifikasi
jenis batuan dan struktur dengan peta dasar skala 1 : (100.000–250.000).

Tujuan kegiatan survei tinjau ini adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah anomali
atau pemineralan yang prospektif untuk diselidiki lebih lanjut. Perkiraan kuantitas
sebaiknya hanya dilakukan apabila datanya cukup tersedia atau ada kemiripan dengan
endapan lain yang mempunyai kondisi geologi yang sama. Hasil dari kegiatan pada
tahapan ini yaitu diketahuinya beberapa daerah prospek dan estimasi bahan galian dari
tahapan ini berupa sumber daya hipotetik (hipotetic).

2) Prospeksi
Tahapan kegiatan ini merupakan kelanjutan dari tahap sebelumnya, dilakukan untuk
memilih daerah prospek (daerah yang mengandung endapan potensial) dengan
melakukan :

 Pemetaan geologi semi rinci (skala 1 : 10.000 – 1 : 100.000);


 Survei geokimia seperti: stream sampling, soil sampling, pendulangan, float
mapping, rock sampling, bila dianggap perlu dilakukan pembuatan sumur-
uji/paritan uji atau pemboran dangkal setempat);
 Survei geofisika dengan metode magnetik, Polarisasi Terimbas (IP).

Tujuan kegiatan prospeksi ini yaitu untuk mengidentifikasi suatu endapan mineral yang
akan menjadi target eksplorasi selanjutnya. Estimasi kuantitas dihitung berdasarkan
interpretasi data geologi, geokimia dan geofisika.

Hasil evaluasi dan perhitungan jumlah bahan galian dari kegiatan prospeksi ini berupa
sumber daya tereka (indicated).

182 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 8 EKSPLORASI ENDAPAN PRIMER (Emas, Bijih Besi, Tembaga dan Mangan)

Gambar 8.1. Pendulangan untuk mengetahui kandungan


mineral berat

Gambar 8.2. Penyontohan geokimia stream sediment

8.2.2. Eksplorasi

1) Eksplorasi Umum
Kegiatan pada tahapan eksplorasi umum ini untuk menentukan gambaran geologi
suatu endapan primer berdasarkan, perkiraan awal mengenai ukuran, bentuk, sebaran,
kemenerusan, kuantitas dan kualitasnya dilakukan dengan cara :

183
 pemetaan geologi skala 1 : 2.000 - 1 : 10.000;
 pembuatan paritan dan sumur-uji;
 survey geofisika rinci dengan sistim kisi/grid;
 survey geokimia rinci (soil sampling) dengan kisi (grid);
 beberapa pemboran untuk penyontohan.

Tujuan dari kegiatan pada tahapan ini adalah untuk mendapatkan data lebih rinci serta
menentukan apakah studi kelayakan tambang dan eksplorasi rinci diperlukan.

Hasil evaluasi dan perhitungan jumlah bahan galian dari tahapan ini berupa sumber
daya terunjuk (infered).

2) Eksplorasi Rinci
Kegiatan pada tahapan eksplorasi rinci ini untuk mendeliniasi secara rinci dalam 3
dimensi terhadap endapan mineral yang telah diketahui dari penyontoan singkapan,
paritan, lubang bor, shafts dan terowongan. Penyelidikan yang dilakukan pada tahapan
ini meliputi :

 pemetaan geologi rinci skala 1 : 200 - 1 : 500;


 pengambilan contoh sistematis;
 perapatan paritan dan sumur uji;
 program pemboran yang terperinci dan sistematik;
 pembuatan terowongan uji.

Hal yang perlu diperhatikan dalam mendesain strategi tahapan ekplorasi ini adalah
tidak perlu diikuti secara dogmatis, tetapi disesuaikan dengan konsep eksplorasinya.
Bisa saja dipilih suatu strategi yang tahapan survei tinjaunya dilewati dan langsung
memilih tahapan eksplorasi detail, jika memang sudah ada target/prospek yang sesuai
dengan konsep eksplorasi.

Hasil evaluasi dan perhitungan jumlah bahan galian dari tahapan eksplorasi rinci ini
berupa sumber daya terukur (measured).

Rincian penyelidikan pada tahap eksplorasi rinci adalah sebagai berikut :

184 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 8 EKSPLORASI ENDAPAN PRIMER (Emas, Bijih Besi, Tembaga dan Mangan)

a) Pemetaan Geologi Terperinci


Di daerah yang diperkirakan terdapat endapan bahan galian perlu dilakukan
penyelidikan/pemetaan terperinci dengan skala 1 : 200 - 1 : 500. Penyelidikan
meliputi jenis batuan, pengamatan struktur kecil (micro) serta umur batuan. Untuk
mengetahui jenis batuan dipelajari di laboratorium mineralogi/petrologi, sedangkan
umur batuan pada laboratorium penentuan umur (age dating). Dari seluruh data
tersebut ditafsirkan keterjadian endapan mineral di daerah tersebut, misalnya
apakah endapan bahan galian terbentuk secara hidrotermal, melalui/mengisi
patahan/patahan terlebih dahulu atau belakangan setelah endapan bahan galian
terbentuk, jika disseminated (terhambur) apa atau batuan mana pembawa mineral
dan mengisi rekahan atau tidak dan lain sebagainya. Dengan mengetahui hal-hal
tersebut pencarian endapan bahan galian dapat lebih terarah lagi.

Gambar 8.3. Pengamatan singkapan pada zona mineralisasi

185
Gambar 8.4. Penyontohan dengan cara paritan pada zona mineralisasi

b) Pemetaan Geokimia Terperinci


Seperti juga pada pemetaan geologi terperinci, untuk pemetaan geokimia terperinci
dilakukan pemetaan topografi dengan pembuatan jaring-jaring rintisan untuk
pengambilan conto tanah yang berjarak 25 sampai dengan 50 meter dengan sekala
1 : 200 - 1 : 500. Conto tanah yang diambil, dibawa ke laboratorium untuk
mengetahui unsur-unsur kimia yang terkandung pada conto tanah tersebut. Setelah
hasil analisis diperoleh, harga-harga unsur tersebut dituliskan pada peta sesuai
dengan nomor contoh, kemudian dibuat garis yang menghubungkan daerah dengan
nilai unsur yang sama (kontur). Dari peta geokimia tersebut dapat ditafsirkan bagian
mana dari suatu daerah yang dianggap lebih prospek.

c) Penyelidikan/Survei Geofisika Terperinci


Penyelidikan dengan metoda geofisika dilakukan untuk mengetahui tentang
penyebaran bahan galian secara horizontal maupun vertikal, cara geosifika yang
dilakukan dalam eksplorasi endapan mineral logam tidak sesederhana seperti
mineral industri, hal ini disebabkan bentuk cebakan mineral logam tidak teratur.

186 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 8 EKSPLORASI ENDAPAN PRIMER (Emas, Bijih Besi, Tembaga dan Mangan)

Pada cebakan mineral logam sulfida, biasanya dilakukan penyelidikan cara potensial
diri, tahanan jenis dan polarisasi terimbas, kadang-kadang juga dilakukan
penyelidikan cara magnet untuk mengetahui penyebaran alterasi dan batuan lain
yang mengintrusinya dan metoda gaya berat untuk mengetahui struktur geologi.
Sedangkan untuk mineral logam oksida dilakukan penyelidikan geofisika cara
magnet dan gaya berat.

Gambar 8.5. Eksplorasi geofisika

d) Pemboran dan Sumur Uji (Bulk Testing)


Kegiatan pemboran umumnya dilakukan apabila tahap eksplorasi telah mencapai
tahap eksplorasi umum dan eksplorasi rinci. Pada tahap eksplorasi umum,
pemboran lebih ditujukan untuk mengetahui dimensi tubuh bijih ke arah ke
dalaman atau untuk mencoba menemukan endapan baru sehingga sering disebut
pemboran uji geologi (geological test drilling) atau scout drilling. Sementara pada
tahap eksplorasi rinci, pemboran lebih ditujukan untuk estimasi/evaluasi sumber
daya dan mengetahui kondisi geoteknik tubuh bijih.

187
Terdapat banyak jenis mesin bor dan metodanya yang mampu membor dalam
berbagai ukuran dan kedalaman. Perlu dipertibangkan jenis dan metoda pemboran
sehingga conto yang diperoleh dari lubang bor tersebut dapat benar-benar mewakili
zona mineralisasi.

Gambar 8.6. Kegiatan pengeboran

Sumur uji (test pit) dimaksudkan untuk mengetahui variasi kadar rata-rata zona
mineralisasi ke arah vertikal. Pengujian ini juga diperlukan untuk mempersiapkan
rancangan (design) pabrik pengolahan. Kadang-kadang pengujian ini melibatkan
puluhan ribu ton bahan dari berbagai lokasi sebelum kadar logam dan volume bijih
dapat ditentukan secara pasti.

Secara umum tahapan eksplorasi endapan primer dengan sistem penyelidikan dapat
dilihat pada Tabel 8.1.

188 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 8 EKSPLORASI ENDAPAN PRIMER (Emas, Bijih Besi, Tembaga dan Mangan)

Gambar 8.7. Pembuatan sumur uji

8.3. Pembuatan Laporan


Pembuatan laporan merupakan kegiatan terakhir seluruh pekerjaan eksplorasi yang
berisi uraian teknis dan non-teknis. Sistimatika pelaporan terdiri dari pendahuluan,
kegiatan penyelidikan, hasil penyelidikan dan kesimpulan. Laporan dilengkapi dengan sari,
daftar isi, daftar gambar, daftar foto, daftar tabel dan lampiran, serta daftar pustaka,
contoh format pelaporan mengacu pada SNI 13-6606-200.

189
Tabel 8.1. Hubungan antara Tahapan Eksplorasi dengan Sistem Penyelidikan, Kerapatan Titik Pengamatan dan
Klasifikasi Sumber Daya dan Cadangan
Eksplorasi Pengembangan
Tahapan (Penyelidikan Umum) (Eksplorasi) Studi
Konstruksi
Survei Tinjau Prospeksi Eksplorasi Umum Eksplorasi Rinci Kelayakan
Sistem Kepustakaan Pemetaan geologi Geologi rinci,  Geologi rinci,
Eksplorasi Survei udara semi rinci, 1:10.000 – 1:2.000  1:2.00 – 1: 500
(Penyelidikan)  Pemetaan geologi 1:100.000 - Geokimia  Sumur/parit uji
regional, 1:250.000 1:10.000 Geofisika  Pemboran rinci
- 1:100.000  Geokimia Parit/sumur uji  TerowonganUji
 Geokimia  Geofisika Pemboran geologi
Sampai beberapa Terbatas (beberapa Sangat terbatas
Luas wilayah Sangat luas
ratus km² puluh km²) (beberapa km²)
Tidak terpola, pada Terpola, 1–10 km² Terpola (grid), Makin rapat, mis.
Kerapatan titik
lokasi-lokasi yang conto endapan interval 100-25 m sumur uji interval
pengamatan
menarik sungai aktif contoh tanah 10 m dan titik bor
Klasifikasi Sumber daya Sumber daya Sumber daya Sumber daya Cadangan
Cadangan
Sumber Daya hipotetik tereka terunjuk terukur terkira atau
Siap Tambang
dan Cadangan (hipotetic) (indicated) (infered) (measured) terbukti
Waktu

PENYELIDIKAN MINERAL
PANDUAN
190
BAB 8 EKSPLORASI ENDAPAN PRIMER (Emas, Bijih Besi, Tembaga dan Mangan)

8.4. Daftar Pustaka


Evans, A.M., Editor, 1995, Introduction to Mineral Exploration, Blackwell Science, Ltd.
Hamilton, WB, 1979. Tectonics of the Indonesian. Region. US. GtoL Surv. Prof. Paper, 1078,
345 pp.
McKinstry, H.E., 1962, Mining Geology, Prentice Hall Inc., Modern Asia Edition.
Peters, W.C., 1978, Exploration and Mining Geology, John Wiley & Sons, New York.
Reedman, J.H., 1979, Techniques in Mineral Exploration, Applied Science Publisher, London.
-----------------, 2006, Penyusunan Pedoman Teknis Eksplorasi Bijih Besi Primer,
Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung
Standar Nasional Indonesia Amandemen 1 - SNI 13-4726-1998, Klasifikasi Sumberdaya
Mineral dan Cadangan, Badan Standardisasi Nasional.
van Leeuwen, Theo, 1994, 25 Years of Mineral Exploration and Discovery in Indonesia,
Journal of Geochemical Exploration, Volume 50 nos. 1-3

191
192 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

BAB 9
EKSPLORASI ENDAPAN PLASER
(PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)
Franklin, Zulfikar dan Hotma Simangunsong,

9.1. Pendahuluan
Ribuan tahun Sebelum Masehi, telah diketahui bahwa manusia telah melakukan
perdagangan emas, perak, timah dan batu mulia secara primitif. Manusia pada saat itu
melakukan penambangan secara primitif, diperkirakan berasal dari material lepas atau
endapan plaser dengan menggunakan tangan dan dulang. Beberapa buku menyatakan
penambangan tersebut terdapat di daerah Egypt (Mesir) sekitar 3600 tahun SM, untuk
emas dan perak. Juga penambangan ditemukan di daerah bagian barat India pada 2000
tahun SM berupa batu mulia seperti beryl, aleksander, cat’s eye dan sappir. Sedang
penambangan logam dasar seperti tembaga, kaseterit dan galena diperkirakan berasal dari
tambang primitif di daerah selatan Spanyol.

Dalam perdagangan batu mulia telah dilakukan nilai tambah dengan melakukan
metoda pengasahan yang membuat batumulia menjadi bersinar dan berkilau. Sedang
pengolahan emas pada awalnya dilakukan dengan menggunakan tangan, pengolahan
secara kimia/amalgamasi dengan menggunakan merkuri dimulai pada 300 tahun SM,
dengan berbagai pengembangan metoda tersebut digunakan hingga sekarang. Pengolahan
bahan metal, seperti tembaga, galena, kasiterit dan lainnya secara metalurgi diperkirakan
mulai dilakukan pada sekitar tahun 300 an.

Metoda eksplorasi dengan menggunakan sumur uji telah dilakukan pada ribuan
tahun Sebelum Masehi. Hingga saat ini metoda ini juga masih digunakan dan pada
umumnya metoda tersebut dipergunakan pada daerah-daerah yang permukaan endapan
plasernya sudah terlihat dengan jelas, tidak demikian halnya dengan endapan plaser pada
sungai-sungai tua ataupun endapan bawah laut (marine plaser). Saat ini pengembangan
penyelidikan/eksplorasi untuk endapan plaser telah banyak dilakukan, antara lain dengan
penggunaan metoda geofisika, pengeboran dan penginderaan jauh. Eksplorasi juga
bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi, sebaran serta ketebalan endapan plaser dan

193
juga dapat menentukan jumlah sumber daya atau cadangan serta bentuk dari endapan
plaser pada suatu daerah sehingga dapat dihitung nilai keekonomiannya.

Industri pertambangan merupakan industri padat modal, sehingga dalam


melakukan eksplorasi dilakukan tahapan-tahapan sehingga terjadi efisiensi dan setiap
tahapan berhubungan dengan jumlah sumber daya atau cadangan. Pusat Sumber Daya
Geologi telah mempunyai pengalaman dalam melakukan penyelidikan/eksplorasi endapan
plaser, terutama untuk endapan pasir besi dan aluvial untuk endapan emas maupun
kasiterit pada beberapa daerah di Indonesia dan pengalaman ini akan dituangkan dalam
makalah ini.

9.2. Proses Pembentukan Endapan Plaser


Endapan plaser adalah endapan yang terkonsentrasi akibat proses pelapukan,
tertransportasi dan terendapkan pada satu tempat (Gambar 9.1). Semua proses
terbentuknya endapan terjadi secara alamiah, proses pelapukan disebabkan oleh faktor
cuaca panas–dingin atau siang–malam, transportasi oleh air, angin, gelombang dan lain-
lainnya. Endapan plaser dapat mengandung mineral-mineral yang ekonomis seperti emas,
timah, platina, intan, zircon, magnetik, ilmenit, monasit dan mineral yang mengandung
unsur tanah jarang. Hal ini tergantung dari sumber batuan asal sebelum mengalami
pelapukan, transportasi dan lain-lainnya. Keterdapatan endapan plaser ini ada yang dekat
hingga jauh dari sumber batuan asalnya.

Gambar 9.1. Endapan aluvial

194 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Faktor–faktor yang mempengaruhi proses pelapukan batuan antara lain adalah:


 Cuaca dimana pada daerah tropis, perbedaan temperatur antara siang dan malam yang
juga dipengaruhi oleh curah hujan dapat mempercepat proses pelapukan.
 Tektonik, dimana pada daerah yang mengalami tektonik yang tinggi menimbulkan
rekahan yang lebih banyak pada batuan sehingga proses pelapukan lebih mudah
dibandingkan dengan daerah batuan yang rekahannya jarang.
 Kimia dimana hal ini masih faktor yang kurang jelas, karena faktor keasaman dari air
hujan merupakan patokan utama. Sehingga kemungkinan daerah perkotaan terutama
yang banyak industrinya akan menimbulkan hujan dengan kadar keasaman yang lebih
tinggi sehingga proses pelapikan lebih cepat.
 Biologi dimana tanaman dan mahluk hidup yang terdapat diatas batuan
mempengaruhi proses pelapukan, makin tebal humus kemungkinan mempengaruhi
keasaman yang mempengaruhi proses pelapukan. Selain itu akatr-akar pohon yang
menerobos batuan akan mempercepat proses pelapukan.
 Kandungan mineral yang terdapat pada batuan, dimana mineral yang lebih tahan
terhadap reaksi pelapukan seperti olivin dibandingkan dengan muskovit atau kuarsa
(Tabel 9.1), seperti granit lebih tahan lapuk dibandingkan gabro.
 Erosi yang tinggi akan mempercepat proses pembentukan endapan plaser.

Tabel 9.1. Mineral yang umum terdapat pada batuan dan tingkat ketahanan terhadap pelapukan

Olivine Calc. Plagioclase Gabroic


Temperatur pada proses kristalisasi

(Mg, Fe)2SiO4 CaAl2Si2O8


Daya tahan mineral pada proses

Augite Cal. Soda


Ca(Mg, Al)4(Al, Plagioclase Dioritic
Si)8O22(OH)2 (Ca, Na) (Al, Si)4O8
Biotite Soda Calc.
K(Mg, Fe)3Al,Si3O20(OH)2 Plagioclase
Orthoclase (Na, Ca) (Al, Si)4O8
K Al Si3O8 Soda Plagioclase
Muscovite Na, Al, Si3O8 Granitic
pelapukan

K Al2Si3O10(OH)2
Quartz
SiO2

195
Batuan yang telah mengalami proses pelapukan akan tertranportasi oleh air, angin
atau es, untuk daerah Indonesia terutama terjadi akibat proses air dan angin. Akibatnya
endapan plaser tersebut dapat terbentuk pada daerah yang dekat batuan asal sampai ke
laut, sehingga lingkungan keterdapatan endapan plaser tersebut adalah sebagai berikut
(Gambar 9.2):

 Continental Plaser, merupakan endapan plaser yang terdapat di lingkungan darat,


lingkungan pengendapannya dipengaruhi oleh aliran sungai. Berdasarkan letak
keterdapatannya lingkungan continental plaser ini dibagi atas 3 bagian, yakni :

- Eluvial, merupakan endapan plaser yang terdapat dekat dengan batuan asalnya,
tertransportasi oleh karena longsoran, air hujan dan aliran sungai. Endapan eluvial
masih banyak mengandung bongkah-bongkah batuan sehingga sulit untuk
mengambil pasir yang mengandung mineral berat, umumnya terdapat pada lembah
yang agak sempit, kemiringan sungai terjal hingga sedang.

 Coluvial, merupakan endapan plaser yang tertransportasi agak jauh dari batuan
asalnya dan material yang terdapat selain hasil pelapukan dan transportasi dari
batuan asal juga dari hasil pelapukan dan transportasi dari endapan eluvial yang
berada dibagian hulu. Pengendapan coluvial dipengaruhi oleh transportasi akibat
arus sungai, terdapat pada lembah yang terbuka, kemiringan sungai sedang,
bongkah batuan sudah berkurang.

 Aluvial atau fluvial adalah endapan plaser yang tertransportasi jauh dari batuan asal
terutama oleh aliran sungai dan merupakan akumulasi dari material yang berasal
dari batuan asal, endapan eluvial dan coluvial. Material yang terdapat pada
endapan aluvial lebih halus, didominasi oleh pasir, selain itu lempung gravel dan
pebble. Endapan aluvial menempati daerah landai dan datar dan merupakan
endapan yang paling banyak ditambang.

 Transitional Plaser merupakan endapan plaser yang pembentukannya dipengaruhi oleh


lingkungan darat dan lingkungan laut, antara lain oleh faktor arus air sungai, gelombang
laut, arus laut, pengaruh pasang-surut dan energi angin, diendapkan disekitar garis
pantai. Keterdapatan endapan transitional plaser adalah sebagai beriut :

196 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Gambar 9.2. Penampang tegak lingkungan pengendapan plaser

197
 Pasir pantai (strandline), merupakan endapan plaser yang terdapat disepanjang
garis pantai. Endapan ini terbentuk akibat pengaruh dari gelombang/ombak, air
pasang-surut, arus laut dan angin. Umumnya mineral yang terdapat digaris pantai
ini berupa magnetik, ilmenit, rutile, zircon, kuarsa dan lain-lain.

 Dune (aeolean), adalah endapan pasir yang berada dekat dengan pantai dan berasal
dari pasir pantai yang oleh akibat energi angin akan membentuk endapan baru,
antara lain dune di bagian atas dari garis pantai. Karena terbentuk akibat hembusan
atau energi angin maka materialnya umumnya lebih halus dari endapan pasir pantai
dan berat jenisnya lebih ringan, seperti kuarsa, zirkon dan lain-lainnya.

 Delta, terbentuk pada muara sungai yang dipengaruhi oleh arus sungai yang
bertemu dengan laut, dimana kecepatan arus material berubah dan tersebarkan
oleh gelombang dan arus laut dan diendapkan sekitar mulut sungai. Kejadian ini
dapat terjadi secara terus menerus sehingga endapan baru terbentuk terus dan
endapan yang lama bisa menjadi terdapat didaratan.

 Marine Plaser, deposit sedimen yang telah tenggelam yang diakibatkan oleh penurunan
daratan oleh proses tektonik atau naiknya permukaan air laut. Kondisi morfologi bawah
laut dari endapan tergantung lingkungan awal dimana endapan aluvial itu terbentuk,
bisa berasal dari lingkungan transitional (endapan pasir pantai, dune, dll) ataupun
cotinental (terdapat lembah, punggungan, alur sungai), seperti yang terlihat pada
Gambar 9.3.

Marine plaser yang ekonomis terdapat di daerah Selat Malaka menghasilkan deposit
timah/kasiterit merupakan bagian dari Sunda Shelt tersebar sepanjang pantai daerah
Pulau Bangka, Pulau Belitung, Malaysia, Thailand dan Burma yang mengikuti jalur granit
timah. Endapan timah ini terdapat pada lembah, punggungan, garis pantai yang terdapat
di bawah permukaan laut. Model proses terbentuknya timah plaser dari lingkungan
contingental hingga marine dapat dilihat pada Gambar 9.4 dan 9.5 (Suyitno, 1971).

Kegiatan eksplorasi mineral endapan plaser umumnya dilakukan dengan


pengeboran manual atau semi manual sesuai dengan kondisi endapannya. Untuk endapan
dengan besar butir komponen batuan di sekitarnya halus seperti pasir besi dan pasir zircon
dilakukan dengan pengeboran tangan dengan diameter casing 2,5 inchi, sedangkan
endapan dengan besar butir komponen batuan di sekitarnya relative kasar dilakukan

198 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

dengan digunakan bor Bangka atau meka Bangka dengan diameter casing 4 inchi sampai
dengan 6 inchi.

Gambar 9.3. Lingkungan marine plaser

Gambar 9.5. Sistematia model terbentuknya endapan timah lingkungan laut


(Sujitno, 1977)

199
Primary Secondary enrichment
enrichment
(eluvial)
Primary placer Moderate Modern placer
placer
Type of occurence

Primary deposits (1) Eluvial (1) Mientjang Repetitive


(Pemali (2) Colluvial (2) Kaksa offshore
Sumbunggiri of (3) Kaksa
Bangka) Syngenetic
stockworks
Bedding plane lode
(Kelapa Kampit)

Bedding plane lode


(Kelapa Kampit)
Granitic intrusions Early stage of Redistribution Multiple
into Tertiary elutriation due to eustatic redistribution
sediments in late processes in changes Heavily attacked
Genetic

Mesozoic deeply by Pleistocene


weathered changes
Hydrothermal, (chemically)
pneumatolytic, mineralized
pyrometasomatic zone
Physical properties

Soft to hard clays Loose sandy Sandy to tough Sandy clay to


are environment

material, clays tough clay and


moderate clay moderately
compact sand
Depth of
deposit

Surface to 200 m Surface to 10 m Less than 30 m 10 to > 60m

Gambar 9.4. Sistematika model terbentuknya endapan timah plaser (Sujitno, 1977)

200 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Berikut diuraikan tatacara ekplorasi endapan plaser ‘halus’ (pasir besi) dan endapan
plaser ‘kasar’ (emas).

9.3. Eksplorasi Endapan Pasir Besi


Eksplorasi endapan mineral/bahan galian merupakan kegiatan penyelidikan untuk
mengidentifikasi, menentukan lokasi, ukuran, bentuk, letak, sebaran, tipe, kuantitas dan
kualitas suatu endapan bahan galian untuk kemudian dapat dilakukan analisis/kajian
kemungkinan untuk dilakukannya penambangan. Secara umum kegiatan eksplorasi
mempunyai tata cara dan tahapan. Tata cara eksplorasi antara lain adalah kegiatan yang
dilakukan sebelum pekerjaan lapangan, kegiatan pekerjaan lapangan dan kegiatan setelah
pekerjaan lapangan. Dalam kegiatan eksplorasi yang memakan waktu lama, tatacara
eksplorasi ini tetap dilakukan walaupun secara berkesinambungan. Kegiatan eksplorasi
secara umum terdiri atas 4 tahap kegiatan yaitu: survei tinjau, prospeksi, eksplorasi umum
dan eksplorasi rinci.

Pusat Sumber Daya Geologi telah mempunyai pengalaman dalam melakukan


eksplorasi endapan plaser, seperti eksplorasi endapan pasir besi daerah pantai, eksplorasi
endapan emas, timah aluvial. Untuk endapan zirkon belum pernah dilakukan eksplorasi
yang khusus dilakukan untuk endapan tersebut, kebanyakan penyelidikan zircon dilakukan
pada endapan tailing dari penambangan emas atau timah. Tata cara dan tahapan yang
dilakukan pada eksplorasi endapan plaser terhadap pasir besi, emas dan timah antara lain
dapat diterangkan seperti yang terdapat di bawah ini.

Pasir besi umumnya merupakan endapan plaser pada lingkungan transisional plaser
(pasir pantai/strandline, dune/aeolean dan delta) yang banyak tersebar antara lain di
pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan
utara Papua. Pasir besi merupakan salah satu endapan besi yang selain telah dimanfaatkan
sebagai bahan campuran dalam industri semen juga mempunyai prospek untuk
dikembangkan sebagai bahan baku besi baja sesuai dengan perkembangan teknologi
pengolahan dan kebutuhan pasar.

9.3.1. Tata Cara Eksplorasi Pasir Besi


Tata cara eksplorasi pasir besi meliputi urutan kegiatan eksplorasi pasir besi mulai
dari kegiatan-kegiatan sebelum pekerjaan lapangan, saat pekerjaan lapangan dan setelah
pekerjaan lapangan yang dilakukan untuk mengetahui potensi pasir besi.

201
9.3.1.1. Kegiatan Sebelum Pekerjaan Lapangan
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai potensi atau
prospek endapan pasir besi serta keadaan geologinya, antara lain meliputi studi: literatur,
penginderaan jarak jauh dan geofisika. Selain itu dalam kegiatan ini dilakukan juga
persiapan dan penyediaan peralatan lapangan.

a. Studi literatur
Studi literatur yang dilakukan meliputi: pengumpulan dan pengolahan data serta laporan
kegiatan sebelumnya.

b. Studi penginderaan jarak jauh


Jenis data yang dapat digunakan dalam studi ini meliputi: data Citra Landsat MSS TM/
Tematic mapper, SLAR, Spot image dan foto udara. Dengan data penginderaan jarak
jauh ini dapat dilakukan interpretasi gejala–gejala geologi yang berguna sebagai acuan
dalam eksplorasi pasir besi.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penerapan penginderaan jarak jauh ini dengan
melakukan ekstraksi data penginderaan jarak jauh yang meliputi :

 Analisis digital image processing: penafsiran data penginderaan jarak jauh dilakukan
dengan pengolahan digital menggunakan perangkat komputer dan perangkat lunak
tertentu untuk melakukan pengolahan data digital.

 Penafsiran visual dengan menggunakan kriteria penafsiran pada foto udara meliputi:
rona dan warna; ciri morfologi; tekstur topografi/relief; bentuk dan ukuran obyek;
litologi endapan plaser pantai.

c. Persiapan dan penyediaan peralatan lapangan


Penyediaan peralatan untuk pekerjaan lapangan antara lain: peta dasar topografi dan
peta geologi, alat bor tangan, alat ukur topografi, palu geologi, kompas geologi, loupe,
alat tulis, magnetik pen, susceptibility meter, Global Positioning System (GPS), kamera,
alat gali, pita ukur, alat preparasi conto, kantong conto dan peralatan keselamatan kerja.
Jika diperlukan penyelidikan geofisika, maka perlu dilakukan pemilihan alat geofisika
dimana untuk endapan pasir besi pantai dilakukan dengan metoda geomaknit untuk
mengetahui lapisan yang mengandung anomali magnit.

202 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

9.3.1.2. Kegiatan Pekerjaan Lapangan


Kegiatan pekerjaan lapangan pada eksplorasi endapan plaser yang dilakukan antara
lain: pemetaan geologi, pengukuran topografi, pembuatan sumur uji, pengeboran, survei
geofisika dan preparasi conto.

a. Pemetaan geologi
Pemetaan geologi dalam penyelidikan endapan plaser meliputi pemetaan batas endapan
plaser dengan litologi lainnya, sehingga dapat diperoleh gambaran sebaran endapan
pasir besi secara mendatar.

b. Pengukuran topografi
Pengukuran topografi dilakukan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat theodolit
untuk menggambarkan morfologi endapan aluvial dan perencanaan penempatan titik-
titik lokasi pengeboran dan sumur uji serta lintasan geofisika bila diperlukan.

Urutan kegiatan yang dilakukan dalam pengukuran topografi adalah sebagai berikut:
 Penentuan koordinat titik awal pengukuran
 Pembuatan garis sumbu utama (base line) dan
 Pengukuran siku-siku untuk garis lintang (cross line)

Garis sumbu utama diusahakan searah dengan garis pantai dan garis-garis lintang yang
merupakan tempat kedudukan titik bor, arahnya dibuat tegak lurus terhadap sumbu
utama dengan interval jarak tertentu.

c. Geofisika (geomagnet)
Metoda geofisika yang digunakan dalam studi ini adalah metoda geomagnetik yang
meliputi groundmagnetic, namun jarang diterapkan. Tujuan dari penerapan metode ini
adalah untuk mencari sebaran anomali magnetik daerah pantai yang dieksplorasi.
Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
 Penentuan daerah survei secara lateral baik searah pantai maupun tegak lurus
pantai
 Pekerjaan perekaman data magnetik
 Pengolahan data
 Pembuatan citra magnetik
 Penentuan anomali yang menggambarkan respon magnetik dari pasir besi.

203
d. Pembuatan sumur uji
Pembuatan sumur uji pada umumnya dilakukan pada pasir besi undak tua yang telah
mengalami kompaksi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengambil conto-conto pasir besi
pantai sampai pada kedalaman tertentu sampai mencapai permukaan air dan untuk

Mengetahui profil/penampang tegak perlapisan pasir besi. Kegiatan yang dilakukan


adalah sebagai berikut:
 Penentuan lokasi sumur uji.
 Penggalian dengan luas bukaan sumur 1 m x 1 m atau 1,5 m x 1,5 m.
 Bila terjadi runtuhan maka dibuat penyangga.
 Pembuatan sumur dihentikan apabila telah mencapai permukaan air atau telah
mencapai batuan dasar.

Pengambilan conto pasir besi dari sumur uji diambil dengan interval setiap satu meter
menggunakan metoda channel sampling, dengan ukuran 5 cm x 10 cm.

e. Pengeboran
Pengeboran ini dimaksudkan untuk mengambil conto-conto pasir besi pantai baik yang
ada di atas permukaan laut maupun yang berada di bawahnya. Pekerjaan pengeboran
pasir besi dilakukan dengan menggunakan bor dangkal baik yang bersifat manual
(doormer) maupun bersifat semi mekanis (Gambar 9.6 dan 9.7). Kegiatan yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
 Penentuan lokasi titik bor
 Setting alat bor
 Pembuatan lubang awal dilakukan dengan menggunakan mata bor jenis Ivan sampai
batas permukaan air tanah.
 Setelah menembus lapisan air tanah, pengeboran dilakukan dengan menggunakan
casing yang didalamnya dipasang bailer.
 Pengeboran dihentikan sampai batas batuan dasar.

Pengambilan conto pasir besi yang terletak di atas permukaan air tanah diambil dengan
sendok pasir (sand auger) jenis Ivan berdiameter 2,5 inchi, sedangkan conto pasir yang
berada di bawah permukaan air tanah dan bawah permukaan air laut diambil dengan
bailer yang dilengkapi ball valve.

204 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Conto-conto diambil untuk setiap kedalaman 1,5 meter atau setiap 1,0 meter dan
dibedakan antara conto dari horizon A, conto horizon B dan conto dari horizon C.

Pola pengeboran dan interval titik bor yang digunakan pada pekerjaan ini disesuikan
dengan tahapan survei, sebagai contoh pada tahapan eksplorasi rinci digunakan pola
pengeboran dengan interval 100 m x 20 m (Gambar 9.8).

Gambar 9.6. Sketsa bor tangan doormer

205
Gambar 9.7. Kegiatan bor tangan doormer

20 m

Gambar 9.8. Pola pengeboran pada eksplorasi rinci endapan pasir pantai

 Preparasi conto
Proses preparasi di lapangan untuk conto bor dan sumur uji dapat dilakukan dengan
dua metoda, yaitu: increment atau riffle splitter. Conto yang diambil harus homogen dari

206 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

setiap interval kedalaman. Dengan pengambilan yang cukup representatif akan menjamin
ketelitian dalam analisis kimia, perhitungan sumber daya atau cadangan dari endapan pasir
besi pantai. Pengambilan conto-conto tersebut didasari oleh prosedur baku dalam
eksplorasi endapan pasir besi pantai.

Kegiatan yang dilakukan dalam proses preparasi dengan metoda increment


mengacu pada Japan Industrial Standard (J.I.S ), yaitu :
 Conto pasir hasil pengeboran atau sumur uji ditampung pada suatu wadah dan
diaduk hingga homogen
 Conto tersebut di atas dimasukkan dalam kotak increment, diratakan dan dibagi
dalam garis kotak- kotak (Gambar 9.9).
 Conto direduksi dengan menggunakan sendok increment dari kotak increment, dari
tiap-tiap kotak ditampung dalam kantong conto (Gambar 9.10).
 Conto hasil reduksi kemudian dikeringkan.
 Conto yang sudah dikeringkan dari tiap – tiap interval dibagi menjadi 3 bagian. Satu
bagian untuk conto individu, satu bagian untuk conto komposit dan satu bagian untuk
duplikat.
 Satu bagian conto dari tiap interval digabungkan dengan interval lainnya menjadi
conto komposit.

Kegiatan yang dilakukan dalam proses preparasi dengan metoda riffle splitter
(Gambar 9.11), yaitu :
 Conto pasir hasil pengeboran atau sumur uji ditampung pada suatu wadah dan
diaduk hingga homogen, kemudian dikeringkan
 Conto yang telah kering direduksi dengan riffle splitter hingga mendapatkan berat
yang diinginkan (+ 3 kg).
 Conto yang sudah mengalami splitting dari tiap – tiap interval dibagi menjadi 3
bagian. Satu bagian untuk conto individu, satu bagian untuk conto komposit dan satu
bagian untuk duplikat.
 Satu bagian conto dari tiap interval digabungkan dengan interval lainnya menjadi
conto komposit.

207
Gambar 9.9. Sketsa penyontoan dengan metoda increment

Gambar 9.10. Teknik penyontoan pasir besi dengan metoda increment

208 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Gambar 9.11. Penyontoan dengan metoda splitter

 Penentuan Persentase Kemagnetan (MD)


Penentuan persentase kemagnetan diawali dengan pemisahan mineral magnetik dengan
non-magnetik, sebagai berikut:
 Hasil preparasi conto di lapangan sebanyak 1 kg, direduksi hingga + 100 gr
menggunakan splitter (conto hasil reduksi).
 Conto hasil reduksi ditaburkan dalam suatu tempat secara merata.
 Pemisahan dilakukan dengan menggerakkan magnet batang 300 gauss berulang-
ulang minimal 7 kali di atas selembar kaca setebal 2 mm yang dibawahnya tertabur
conto pasir untuk mendapatkan conto konsentrat yang cukup bersih. Jarak antara
magnet batang dengan lapisan pasir harus dibuat tetap untuk menghindari
perbedaan kuat medan magnet.
 Konsentrat yang diperoleh dari pemisahan magnet, ditimbang dalam satuan gram.
Dengan membandingkan berat konsentrat dan berat conto hasil reduksi, maka
didapat harga persentase magnetik dengan rumus :

M.D = Berat Konsentrat X 100 %


Berat conto hasil reduksi

 Penentuan Berat Jenis

209
Penentuan berat jenis insitu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
 Menimbang conto individu dari tiap-tiap interval conto bor dan mengukur volume
dengan menggunakan bejana atau gelas ukur.
 Dari data ini diperoleh data berat jenis sebagai berikut :
BD (conto) = b / v
dimana : BD (conto) = berat jenis conto bor per interval.
b = berat conto bor per interval.
v = volume conto bor per interval.

Secara umum kegiatan preparasi conto pada endapan pasir besi pantai dapat dilihat pada
Gambar 9.12.

9.3.1.3. Kegiatan Setelah Pekerjaan Lapangan


Kegiatan setelah pekerjaan lapangan yang dilakukan antara lain: analisis
laboratorium dan pengolahan data.

a. Analisis Laboratorium
Conto-conto setelah dikumpulkan dilakukan analisis laboratorium. Pekerjaan analisis
laboratorium meliputi analisis kimia dan fisika.

 Analisis Kimia
Analisis kimia dilakukan terhadap conto individu untuk mengetahui kandungan unsur
dalam konsentrat, antara lain: Fetotal (FeO dan Fe2O3, Fe3O4) dan Titan.

Analisis kimia dapat dilakukan dengan beberapa metoda, antara lain: AAS,
volumetrik, XRF dan ICP.

 Analisis Fisika
Analisis fisika yang dilakukan antara lain analisis mineral butir, analisis ayak, analisis
sifat magnetik dan berat jenis.
o Analisis Mineral Butir
Analisis mineral butir dilakukan untuk mengetahui jenis dan persen berat mineral
baik untuk fraksi magnetik maupun nonmagnetik.

Conto yang dianalisis mineral butir berasal dari conto komposit, yang mewakili
wilayah/ blok pengeboran.

210 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

o Analisis Ayak
Analisis ayak dimaksudkan untuk mengetahui ukuran butiran pasir besi yang
dominan.

Analisis ayak dilakukan terhadap conto pilihan berasal dari bagian-bagian blok
interval dalam bentuk conto komposit berat 500 gram yang dibagi menjadi 6
fraksi, yakni :
1) butiran yang lebih besar + 2 mm atau + 10 mesh
2) butiran antara –2 + 1mm atau –10 + 18 mesh
3) butiran antara –1 + ½ mm atau –18 + 35 mesh;
4) butiran antara –1/2 + ¼ mm atau –35 + 72 mesh;
5) butiran antara –1/4 + 1/8 atau –72 + 150 mesh dan
6) butiran yang lebih kecil dari –1/8 mm.

Masing-masing fraksi jumlahnya dinyatakan dalam persen berat yang dapat


digambarkan dalam bentuk diagram balok sehingga sebaran fraksi pasir besi yang
dominan dapat diketahui (Gambar 9.13).

o Analisis Berat Jenis


Analisis berat jenis dimaksudkan untuk mengetahui berat jenis pasir besi. Analisis
dilakukan dengan cara conto asli (crude sand) seberat 100 gram dimasukkan ke
dalam air yang diketahui volumenya di dalam gelas ukur. Untuk memudahkan
perhitungan ditetapkan volume 200 cc, apabila kenaikan air menjadi A cc, maka
volume pasir yang dimasukkan = A – 200 cc. Jadi berat jenis = 100 / (A-200)
gram /cc.

211
Conto dari Lubang
Bor
Conto
Dikeringkan
Reduksi
(Riffle Splitter

Conto Individu Conto Duplikat Conto Komposit

Reduksi Reduksi Duplikat Reduksi

Penimbanga Penimbanga Conto Komposit


n n (Hasil Reduksi)
(± 100 gr) (± 100 gr)

Analisis Magnet Analisis Fisika Analisis Fisika


(Hand Magnet 300 (Mineral (Mineral
gauss) Butir) Butir)

Konsentr
at

Penimbanga
n

Pengolahan Data
MD
(Magnetic Degree)

Analisis Laboratoriu
Kimia m
Gambar 9.12. Bagan alir preparasi conto

212 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Gambar 9.13. Conto Hasil Analisis Ayak

b. Pengolahan Data
Hasil pengamatan dan analisis laboratorium diolah dan ditafsirkan secara seksama untuk
memberikan gambaran tentang kondisi geologi daerah penelitian yang berkembang dari
aspek genetik, posisi, hubungan serta distribusinya.

Data hasil analisis MD dan pengeboran dibuat profil penyebaran endapan pasir besi
terhadap sumbu panjang (sejajar pantai) dan sumbu pendek (tegak lurus pantai) dan
isograde. Lokasi-lokasi pengambilan conto diplot dalam peta topografi hasil pengukuran
(Peta Lokasi Pengambilan Conto dan Peta Isograde).

213
Peta-peta yang dihasilkan bertujuan untuk keperluan penambangan, misalnya: peta
isograde dan peta topografi serta penampang tegak sebaran bijih besi ke arah
kedalaman baik sejajar garis pantai maupun yang memotong tegak lurus garis pantai.
Bentuk–bentuk gumuk pasir baik yang front maupun back dunes dipetakan secara rinci.

Perhitungan sumber daya secara manual dilakukan dengan beberapa metoda, antara
lain:

 Metoda daerah pengaruh dengan rumus :


C = (L x t) X MD x SG

Dimana : C = Sumber daya dalam ton


L = Luas daerah pengaruh dalam m2
t = Tebal rata-rata endapan pasir besi dalam meter
MD = prosentase kemagnetan dalam %
SG = Berat Jenis dalam ton/m3

 Metoda Geostatistik
Metoda ini digunakan untuk membantu dalam perhitungan estimasi sumber
daya/cadangan endapan bahan galian dimana nilai conto merupakan realisasi fungsi
acak (statistik spasial). Pada hipotesis ini, nilai conto merupakan suatu fungsi dari posisi
dalam cebakan, dan posisi relatif conto dimasukkan dalam pertimbangan. Kesamaan
nilai-nilai conto yang merupakan fungsi jarak conto serta yang saling berhubungan ini
merupakan dasar teori statistik spasial. Metoda ini jarang dilakukan dalam perhitungan
estimasi sumber daya/cadangan pasir besi.

Untuk mengetahui sejauh mana hubungan spasial antara titik–titik di dalam cebakan,
maka harus diketahui fungsi strukturalnya yang dicerminkan oleh model
semivariogramnya.

Menetapkan model semivariogram merupakan langkah awal dalam perhitungan


geostatistik, selanjutnya dengan perhitungan varian estimasi, varian dispersi, varian
kriging, dll.

Metoda geostatistik yang digunakan dalam eksplorasi pasir besi adalah varian estimasi.
Pada metoda ini estimasi suatu cadangan dicirikan oleh suatu ekstensi/pengembangan

214 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

satu atau beberapa harga yang diketahui terhadap daerah sekitarnya yang tidak dikenal.
Suatu harga yang diketahui (diukur pada conto inti, atau pada suatu blok) diekstensikan
terhadap bagian-bagian yang diketahui pada satu endapan bijih.

Ada beberapa cara estimasi yang sudah dikenal pada kegiatan pertambangan antara
lain:

a) Estimasi kadar rata-rata suatu cadangan bijih berdasarkan rata-rata suatu kadar
yang didapat dari analisis conto pengeboran/sumur uji.

b) Estimasi endapan bijih pada suatu tambang atau blok-blok penambangan dengan
menggunakan sistem poligon sebagai daerah pengaruh, yang antara lain didasari
oleh titik-titik pengamatan berikutnya, pembobotan secara proporsional yang
berbanding terbalik dengan jarak dan lain-lain.

Tujuan dari penggunaan metoda ini antara lain untuk memperoleh gambaran tiga
dimensi dari bentuk endapan pasir besi. Pada penerapannya untuk perhitungan dalam
geostatistik umumnya memerlukan bantuan komputer. Geoplan merupakan perangkat
lunak yang diperlukan dalam paket perhitungan variogram. Selain itu juga digunakan
perangkat lunak program KRIG3D yang merupakan paket program kriging, varian
estimasi dan varian dispersi.

9.4. Eksplorasi Endapan Emas Plaser


Secara umum endapan emas pleser yang terdapat di Indonesia berupa endapan
aluvial dan coluvial, jarang terdapat pada endapan eluvial. Oleh karena itu posisinya juga
terdapat pada aliran-aliran/lembah sungai yang sangat berbeda dengan endapan pasir besi
pantai. Pada endapan aluvial, couvial dan eluvial masih banyak terdapat material yang
berukuran bongkah, kerakal, sehingga peralatan untuk mengambil contoh (alat bor) juga
berbeda sehingga ukuran material tersebut juga dapat ditembus dan ditangkap menjadi
conto.

215
9.4.1. Tata Cara Eksplorasi Emas Plaser
Sama halnya dengan tata cara eksplorasi pada pasir besi pantai, tata cara eksplorasi
emas aluvial juga mempunyai tata cara eksplorasi pada umumnya yakni, kegiatan sebelum
pekerjaan lapangan, kegiatan pekerjaan lapangan dan kegiatan sesudah pekerjaan
lapangan.

9.4.1.1. Kegiatan Sebelum Pekerjaan Lapangan


Dalam hal kegiatan sebelum lapangan sama halnya dengan yang dilakukan pada
eksplorasi endapan pasir besi, yakni studi literatur, penginderaan jarak jauh dan lain-
lainnya. Yang berbeda hanya pada beberapa peralatan lapangan antara lain peralatan
geofisika berupa alat geolistrik, alat bor bangka dan alat preparasi conto. Alat geolistrik
digunakan untuk mendapatkan posisi endapan aluvial yang bersifat porous, sehingga kita
dapat mengetahui bentuk lekukan lembah aluvial dan ketebalannya.

9.4.1.2. Kegiatan Pekerjaan Lapangan


Kegiatan pekerjaan lapangan pada eksplorasi endapan plaser pada umumnya
hampir sama antara lain: pemetaan geologi, pengukuran topografi, pembuatan sumur uji,
survei geofisika, pengeboran dan preparasi conto.

a. Pemetaan geologi
Pemetaan geologi dalam penyelidikan endapan emas plaser meliputi pemetaan batas
endapan plaser dengan litologi lainnya, sehingga dapat diperoleh gambaran sebaran
endapan plaser secara mendatar. Bersamaan dengan pemetaan juga sering dilakukan
pendulangan endapan sungai aktif pada cabang-cabang sungai untuk mengetahui
sebaran emas yang didapat dari konsentrat dulang, sehingga kita dapat melokalisir
sebaran emas pada endapan aluvial di permukaan. Dari hasil penginderaan jarak jauh
atau photo udara kita juga sudah dapat memperkirakan sebaran endapan plaser pada
suatu tempat dan juga jejak-jejak sungai tua (plaser tua).

b. Pengukuran topografi
Pada pengukuran topografi yang hasilnya akan digunakan untuk penempatan lokasi
lubang bor, penentuan sumbu utama (base line) sebaiknya disejajarkan dengan arah
sungaiatau endapan sungai tua. Kemudian garis-garis lintang yang merupakan tempat
kedudukan titik-titik bor dibuat tegak lurus sumbu utama pada jarak tertentu (Gambar
9.14).

216 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Gambar 9.14. Pola Pengukuran Topografi

c. Geofisika
Umumnya metoda yang digunakan untuk endapan aluvial, eluvial dan colovial digunakan
metota geolistrik untuk mengetahui daerah yang porositas tinggi yang identik dengan
sebaran dan ketebalan endapan aluvial dan sejenisnya. Arah/titik pengukuran geolistrik
juga sama dengan arah pengukuran garis-garis lintang dari pengukuran topografi.

d. Sumur uji
Sumur uji sulit dilakukan pada endapan aluvial yang berdekatan ataupun selevel dengan
sungai karena dinding sumur akan runtuh terus akibat pengaruh air sungai. Tetapi pada
endapan aluvial tua yang kadang terdapat pada daerah yang lebih tinggi atau
punggungan dengan kedalaman sumur uji sekitar 3 – 4 meter dengan luas bukaan
sekitar 1,5 x 1,5 m. Kedalaman sumur uji juga dapat dihentikan bila telah mencapai
batuan dasar atau pengaruh air tanah. Pengambilan conto endapan aluvial dari sumur
uji diambil dengan interval setiap satu meter menggunakan metoda channel sampling,
dengan ukuran 5 cm x 10 cm atau 10 x 10 cm dan langsung didulang untuk mengambil
contoh. Sumur uji biasanya dilakukan hanya ada penyelidikan pendahuluan.

e. Pengeboran
Untuk mengambil contoh endapan aluvial juga dilakukan dengan cara Pengeboran,
umumnya bor yang dipakai adalah Bor Bangka yang digerakkan seara manual (Gambar
9.15 dan Gambar 9.16) atau Conrad Drill yang digerakkan secara semi mekanis dengan

217
biasanya digunakan dngan diameter 4” atau 6,5”. Tujuan utama dari pengeboran ini
adalah untuk mendapatkan conto sebaik mungkin (semurni mungkin) tentang gambaran
tanah yang digali/bor dan conto yang diambil umumnya setiap interval kedalaman 1
meter.

Pengeboran Bangka yang sering PSDG lakukan adalah dengan cara manual, sehingga
dalam membor dengan menggunakan casing 4” – 6,5” untuk hingga kedalaman 6 meter
dapat dilakukan dengan cara manual biasa, tetapi bila lebih dalam harus memakai alat
bantu kaki tiga beserta krannya. Di dalam melakukan pengeboran setelah casing dan
drill rod digunakan, masuknya bailler diusahakan tidak melebihi masuknya casing shoe
ke dalam tanah, kecuali jika pada pengambilan conto setiap 1 meter diusahakan ke
dalaman bailler bersama dengan kedalaman casing shoe untuk mendapatkan conto yang
sesuai dengan lapisan tanah yang dibor.

218 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Gambar 9.15. Penampang alat bor bangka

219
Gambar 9.16. Kegiatan bor Bangka

Berdasarkan pengalaman, lapisan tanah di bawah permukaan selalu berbeda dari suatu
tempat ketempat lain. Pada lapisan tanah tertentu kemajuan pengeboran/casing shoe
sulit dan lambat, untuk membuat pengeboran maju dipakai peralatan alat bantu dengan
cara sebagai berikut :

 Pada lapisan tanah jenis pasir bitumen yang padat dan keras, sebelum diambil oleh
alat pencontoh boiller terlebih dahulu harus dihancurkan oleh pahat bor, sebab
lapisan tanah ini berupa pasir yang ambrol sebagai contonya, tetapi karena
lapisannya keras dan padat maka penghancuran dengan pahat bor tersebut perlu
sekali. Jika lapisan tersebut tidak dihancurkan maka pengeboran/casing shoe tidak
akan mendatkan kemajuan kedalaman, terlebih lagi bila menggunakan casing shoe
yang polos (tidak bergerigi) dan lapisan pasir bitumen ini kadang-kadang dapat
menjepit casing.

220 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

 Kadang ditemukan lapisan pasir kuarsa yang berbutir halus dapat dengan mudah
diambil dengan sendok bor. Pada musim penghujan lapisan ini berair dan dapat
menjepit casing sehingga susah diputar dan diangkat. Lapisan pasir kuarsa halus ini
juga kadang disertai dengan tekanan air yang kuat, akibatnya pasir masuk kedalam
casing dan conto yang terambil bisa lebih dari yang seharusnya. Untuk mencegah
kejadian ini maka kemajuan casing shoe harus lebih dalam ± 0,5 meter, baru setelah
itu conto yang di dalam casing diambil dengan sand boiller.

Kemajuan pengeboran juga dapat terhambat pada lapisan yang terdapat bongkah
batuan yang masih segar sehingga bongkah tersebut harus dihancurkan terlebih
dahulu dengan pahat bor sehingga pengeboran dapat maju dan pencontohan dapat
dilakukan. Sering batuan ini sukar ditembus sehingga pengeboran harus dihentikan,
jika pengeborannya masih belum dalam (sekitar 2–3 meter kedalaman), maka titik
bor dapat dipindahkan pada radius sekitar 1 meter dari titik asal.

 Lapisan lempung yang padat dan liat juga dapat memperlambat kemajuan
pengeboran, untuk kondisi seperti ini digunakan mata bor spiral yang dipasang pada
drill road dimasukan dengan cara diputar. Casing dimasukkan bersamaan dengan
mata bor spiral yang juga dengan cara diputar agar tidak susah bila mencabutnya. Bila
lapisan lempung berupa kaolin residu atau kaolinisasi yang berasal dari lapukan
batuan dasar (bedrock) berarti pengeboran telah mencapai “kong” (batuan dasar).

f. Preparasi conto
Conto yang diambil dari hasil bor bangka berupa cutting yang terdiri dari cobble, pebble,
gravel, pasir, lempung dan air. Setiap conto diberi label dengan nomer lokasi bor dan
kedalaman dari conto bor. Setiap conto bor yang dilakukan diambil contonya seberat ±
250 gram berupa grapsample, lalu dikeringkan dan dikirim ke laboratorium untuk
dianalisis dan dipergunakan sebagai perbandingan. Grapsample dilakukan
pemerian/deskripsi secara megaskopis pada waktu basah dan setelah dikeringkan.
Pemerian yang dilakukan antara lain seperti warna tanah, keadaan tanah, tekstur
keseluruhan berupa besar butir, seperti kerakal, kerikil, kerikil berpasir sangat kasar,
pasir kasar, pasir halus, pasir lempungan, lempung pasiran, lempung dan sebagainya.
Pemerian conto ini dicatat pada Log Bor dan dari tiap Log Bor digabung hingga didapat
penampang endapan.

221
Conto yang diambil dari lobang bor umumnya berair, dimasukkan dalam plastik conto
besar (berupa bulk sampling), kemudian diendapkan. Pada umumnya volume conto
(bulk sampling) lebih kecil dari volume volume teoritis (volume dari cassing yang yang
diambil contonya), disebut swelling faktor, karena perbedaannya kecil sehingga dapat
diabaikan. Pada beberapa conto dan jarang terjadi, bulk sampling kadang volumenya
lebih besar dari volume teoritis hal ini disebabkan oleh besarnya tekanan air dari luar
cassing hingga dapat mendorong pasir dan lainnya masuk kedalam cassing. Setelah
terjadi pengendapan pada conto, maka air yang telah jernih pada permukaan dibuang,
kemudian dilakukan pengukuran volume dan berat conto bulk sampling.

Bulk sampling kemudian dimasukkan ke dalam mud box, dicuci serta diencerkan dan
disaring dengan saringan yang susunannya bertingkat dari saringan yang berukuran -6
mm dan -2 mm (untuk ukuran gravel). Setelah pencucian dan melalui saringan gravel
tersebut terdapat dislimer dan pasir yang mengendap. Dislimer disini dimaksudkan
adalah membersihkan partikel pasir dari partikel lempungan yaitu dengan mengalirkan
conto didalam media air kedalam kotak-kotak dengan kecepatan dan debit air tertentu
dan menjaga agar viscositas air tetap encer sehingga partikel-partikel yang benar-benar
ringan akan terbawa bersama air, tetapi pasir yang sedikit besar berat jenisnya akan
terendap di dalam kotak-kotak tersebut. Kemudian fragmen pasir juga disaring dengan
ukuran saringan -0,5 mm, -0,2 mm. Masing-masing fragmen gravel dan pasir diukur
volume dan beratnya, kemudian setiap fragmen tersebut didulang di dalam tong
sehingga tailingnya tidak terbuang dan tailing yang didalam tong didulang beberapa kali
hingga dianggap bersih lalu dibuang. Masing-masing fragmen dihitung jumlah colors dari
emasnya, dibungkus dan dikeringkan untuk dikirim ke laboratorium guna dianalisis.
Secara rinci proses preparasi conto dilapangan dapat dilihat pada Gambar 9.17.

9.4.1.3. Kegiatan setelah pekerjaan lapangan


a. Analisis laboratoriaum
Setelah selesai kegiatan lapangan, maka conto tersebut dianalisis di laboratorium dan
dari hasil yang diperoleh dari laboratorium dilakukan analisis dan perhitungan potensi
emas yang terdapat pada suatu lokasi. Analisis yang dilakukan berupa analisis fisika atau
analisis butir untuk mengetahui mineral yang terkandung dari suatu lokasi pengeboran,
dari analisis butir tersebut dapat diketahui presentase mineral yang terdapat
didalamnya. Penekanan pemeriksaan diutamakan untuk butir mineral emas, selain itu
dari hasil pengamatan ditemukan juga mineral-mineral lainnya seperti kuarsa, zirkon,

222 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

magnetik, ilmenik, piroksen, epidot, rutil, garnet, pirit dan lainnya. Beberapa jenis
butiran mineral dapat dilihat seperti pada Gambar 9.18.

Hasil analisis Laboratorium PSDG didapat dalam bentuk sertifikat seperti yang tertera
pada Gambar 9.19, dimana tertulis bahwa hasil analisis mineral butir terdapat dalam
persen, kecuali untuk emas tertulis dalam satuan butir emas (Colors) seperti VCC, CC,
MC, FC, VFC dan VVFC, dimana :
VCC (Very Coarse Colors), diameter > 1.00 mm
CC (Coarse Colors), diameter 0.60 – 1.00 mm
MC (Medium Colors), diameter 0.30 – 0.60 mm
FC (Fine Colors), diameter 0.15 – 0.30 mm
VFC (Very Fine Colors), diameter 0.05 – 0.15 mm
VVFC (Very Very Fine Colors), diameter < 0.05 mm

Berdasarkan pengalaman yang sering dilakukan, ukuran-ukuran tersebut diatas dapat


dikonversikan dalam berat sebagai berikut, dimana :
10 butir FC setara dengan 0.20 mg
10 butir MC setara dengan 1.00 mg
10 butir CC setara dengan 2.35 mg

223
9.17. Skema proses preparasi conto

224 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

Butiran emas, kuning metalik khas


warna emas, pipih, permukaan tidak
rata, bentuk tidak beraturan,
subrounded

Butiran magnetik, hitam – kecoklatan,


bentuk isometrik – subrounded,
merantai nampak hadir kuarsa dan
hematit sebagai mineral pengotor

Butiran pirit berwarna kuning metalik,


bentuk kubik – subrounded; zirkon
berwarna pink, transparan, prismatik;
kuarsa berwarna putih transparan,
bentuk subangular - subrounded

Gambar 9.18. Beberapa photo hasil mineral butir dari laboratorium Pusat Sumber Daya Geologi

225
Gambar 9.19. Hasil analisis butir dari Laboratorium Pusat Sumber Daya Geologi

226 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

g. Pengolahan Data
Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh data kandungan emas dari tiap conto
yang umumnya dilakukan pada interval setiap 1 meter dari setiap lobang bor. Untuk
menghitung kekayaan lobang bor dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung
Koefisien Bor (KB), persentase pengisian (% isi), Koreksi isi bila terjadi pengisian lebih
dari sesungguhnya (>100%), Kekayaan logam pada lapisan (NKL) dan Kekayaan logam
pada lobang bor (NKB).

 Penentuan Koefisien Bor


Dimana : Koefisien Bor (KB) = 1/Π R2
= 1/3,14 x (0,59)2 = 0,95 dibulatkan = 1.
R = jari-jari pipa bor = 0,59 dm.

 Penentuan Persen Isi (% isi)


Persen Isi (% isi) = koefisien bor x volume conto/tebal lapisan yang ditembus x 100%.

 Penentuan Kekayaan Logam Pada Lapisan (NKL)


NKL (mgr/m3) = 100 x berat logam x KB/ketebalan lapisan (m).

 Penentuan Kekayaan Logam Pada Lobang Bor (NKB)


NKB (mg/m3) = 100 x berat logam x KB/Total Tebal Lapisan (m).

9.4.2. Tahapan Eksplorasi Endapan Plaser


Tahapan eksplorasi adalah urutan penyelidikan geologi yang umumnya dilaksanakan
melalui 4 tahap sebagai berikut: survei tinjau, prospeksi, eksplorasi umum, dan eksplorasi
rinci. Khususnya dalam eksplorasi endapan plaser lazim dilakukan dua tahap, yaitu:
penyelidikan umum dan eksplorasi. Pekerjaan yang dilakukan mengambil acuan kegiatan
eksplorasi yang telah dilakukan oleh Pusat Sumber Daya Geologi.

Tujuan dari penyelidikan geologi ini adalah untuk mengidentifikasi keterdapatan


pasir besi pada suatu daerah yang meliputi aspek ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas dan
kualitasnya sehingga dapat dilakukan kajian untuk nilai ekonomisnya.

227
9.4.2.1. Penyelidikan Umum
Penyelidikan umum adalah tahapan eksplorasi untuk mengidentifikasi daerah
potensial keterdapatan endapan plaser pada skala regional terutama berdasarkan hasil
studi geologi regional dan analisis penginderaan jarak jauh. Pada tahapan ini juga dilakukan
pekerjaan pengeboran sejajar pantai secara acak disertai pengambilan conto dan
pembuatan sumur – sumur uji apabila diperlukan.

Tujuan dari tahapan survei tinjau ini adalah untuk mengidentifikasi daerah yang
prospektif untuk diteliti lebih lanjut.

Adapun pekerjaan yang dilakukan pada tahapan ini adalah :


 Pemetaan geologi dan topografi skala 1 : 25.000 sampai skala 1 : 10.000
 Pengeboran dengan jarak antara lubang bor 2 km x 0,08 km sampai dengan 1 km x 0,08
km
 Pembuatan sumur uji
 Penentuan sumber daya endapan pasir besi hipotetik sampai tereka

9.4.2.2. Prospeksi
Berdasarkan hasil dari penyelidikan umum kita dapat mengetahui daerah yang
prospek emas plaser secara horizontal. Untuk mengetahui secara umum sebaran secara
vertikal dilanjutkan dengan tahap prospeksi. Adapun pekerjaan yang dilakukan pada tahap
rospeksi ini adalah :
 Pemetaan geologi skala 1 : 25.000.
 Melakukan scout drill atau pemboran secara acak pada daerah prospek berdasarkan
hasil pendulangan.
 Pembuatan sumur uji.
 Penentuan sumber daya endapan pasir besi hipotetik sampai tereka.

Kegiatan prospeksi menghasilkan kondisi sebaran emas plaser secara vertikal dan
horizontal dan melokalisir daerah yang prospek untuk diselidiki lebih lanjut ketahapan
eksplorasi umum. Penyelidikan hingga tahap prospeksi memakan biaya yang tidak terlalu
mahal, tetapi untuk tahap selanjutnya akan memakan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena
itu pemilihan lokasi untuk tahap eksplorasi selanjutnya (eksplorasi umum) perlu dilakukan
secara cermat.

228 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

9.4.2.3. Eksplorasi
Eksplorasi adalah tahapan lanjutan setelah penyelidikan umum. Tujuannya adalah
untuk mengetahui sumber daya endapan pasir besi secara rinci. Daerah prospek
berdasarkan hasil prospeksi dilanjutkan dengan eksplorasi umum dimana kegiatan yang
dilakukan adalah :

 Pemetaan topografi detail dengan sekala 1 : 10.000 atau 1: 5.000.

 Pemetaan geologi rinci sekala 1 : 10.000 atau 1 : 5.000 yang dapat menggambarkan
 Sebaran gravel, pasir dan lempung.
 Susunan perlapisan endapan plaser secara vertikal.
 Dapat menentukan lapisan atau channel/aliran plaser yang muda dan tua.
 Bila memungkinkan dapat menentukan lapisan plaser pembawa emas.

 Penyelidikan geofisika, umumnya menggunakan alat geolistrik yang dapat


menghasilkan kondisi dan ketebalan endapan plaser, distribusi sebaran gravel, pasir
dan lempung.

 Melakukan pemboran (bor Bangka) secara teratur dengan jarak 500 meter setiap
lintasan dan pada lintasan jarak bor antara 200 hingga 100 meter.

Hasil dari eksplorasi umum akan menghasilkan luas dan ketebalan endapan plaser,
lapisan pembawa emas dan sumber daya terunjuk. Daerah prospek dari hasil eksplorasi
umum dapat dilanjutkan dengan tahap eksplorasi rinci.

9.4.2.4. Eksplorasi Detail


Eksplorasi Detail merupakan tahapan akhir dari kegiatan eksplorasi dimana hasil
akhirnya dapat mengetahui sumber daya endapan emas plaser dengan klasifikasi sumber
daya terunjuk hingga terukur. Pekerjaan yang dilakukan ada tahapan ini adalah :

 Pemetaan geologi detail dan topografi 1 : 5.000 hingga 1 : 1.000.

 Pemboran rinci dengan interal 100 x 50 meter, 100 x 30 meter atau 50 x 20 meter.

 Gambar penampang dari setiap lintasan lobang bor dan lapisan pembawa emas.

229
9.4.3. Pembuatan Laporan
Pembuatan laporan merupakan kegiatan terakhir seluruh pekerjaan eksplorasi yang
berisi uraian teknis dan non-teknis.

Laporan terdiri dari bab–bab yang berisi Pendahuluan, Kegiatan penyelidikan, Hasil
Penyelidikan dan Kesimpulan. Laporan dilengkapi dengan sari, daftar isi, daftar gambar,
daftar foto, daftar tabel dan lampiran, serta daftar pustaka.

9.5. Eksplorasi Endapan Plaser Lainnya


9.5.1. Timah
Seperti diketahui bahwa bahwa endapan timah plaser di Indonesia telah dihasilkan
dari sejak zaman pendudukan Belanda di Indonesia, yakni didaerah P. Bangka dan P.
Belitung. Produksi timah tersebut umumnya berasal dari endapan aluvial dan coluvial dan
salah satu peralatan untuk eksplorasi adalah dengan cara pemboran dan salah satu alat bor
endapan plaser yang paling popular dari daerah ini adalah Bor Bangka. Metoda eksplorasi
untuk endapan timah plaser sama halnya dengan yang telah dijelaskan pada endapa emas
plaser sebelumnya.

Perbedaan hanya terdapat pada preparasi conto dilapangan dari hasil pemboran
endapan timah plaser yang sedikit lebih sederhana dibandingkan dengan preparasi conto
untuk endapan emas plaser. Preparasi conto tersebut semua bertujuan untuk memperoleh
konsentrat dari hasil pendulangan dari tiap conto lapisan atau interval conto dari
pemboran. Untuk memperoleh conto konsentrat hasil pemboran dapat dilihat dari diagram
preparasi conto dari hasil pemboran (Gambar 9.20). Conto dari hasil pemboran tersebut
untuk analisa butir dan diharapkan dapat terindentifikasi mineral kasiterit (timah) dan
mineral lainnya seperti magnetit, ilmenit, hematit, amfibol, piroksen, epidot, turmalin,
zirkon, anatas, lukoksen, rutil, pirit dan kuarsa.

Sekarang ini endapan timah plaser yang dihasilkan dari daerah P. Bangka dan
Belitung juga berasal dari timah plaser lingkungan laut. Seperti telah diketahui bahwa tipe
endapan timah plaser lingkungan laut untuk daerah Sunda Shelf yakni daerah Asia
Tenggara, termasuk P. Bangka dan P. Belitung disebut sebagai Drawn Plaser yaitu berupa
tenggelamnya endapan plaser yang diakibatkan oleh naiknya permukaan laut. Oleh karena

230 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

itu keterdapatan endapan plaser lingkungan laut di P. Bangka dan P. Belitung terdapat pada
lembah-lembah berbentuk aliran sungai yang terdapat dibawah permukaan air laut dan
biaya eksplorasi untuk lingkungan laut relatif lebih mahal.

Beberapa langkah yang dilakukan dalam eksplorasi endapan timah plaser


lingkungan laut adalah sebagai berikut :

- Pembuatan Peta Baltimeter, dari peta ini dapat diketahui bentuk lembah atau
aliran/channel.

- Menggunakan metoda geofisika (seismic refraction dan refelction) untuk mengetahui


bentuk batuan dasar dan ketebalan endapan sedimen atau plaser yang berada
diatasnya.

- Pengambilan conto endapan laser masih menggunakan bor bangka dengan dibantu
oleh ponton.

- Untuk menentukan titik-titik lokasi pengukuran seismic atau lokasi titik bor dapat
menggunakan GPS geografis atau dengan menggunakan alat ukur theodolit dengan
mengukur satu lokasi dilaut dari 2 titik didaratan.

- Perhitungan cadangan sama halnya dengan yang telah dijelaskan pada endapan emas
plaser.

231
Gambar 9.20. Diagram preparasi conto dilapangan dari hasil pemboran.

232 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

9.5.2. Zirkon
Zirkon biasanya terdapat sebagai endapan placer yang terdapat bersama-sama
dengan mineral-mineral berat lainnya seperti magnetit, rutil, ilmenit, leukoksen, monazit,
kuarsa, kasiterit dan emas. Dengan kata lain keterdapatan zirkon kebanyakan sebagai
produksi samping dari endapan emas atau timah plaser. Dahulu zirkon tidak berharga
sehingga dalam menambang endapan plaser zirkon dibuang, dianggap sebagai tailling. Lain
halnya dengan sekarang sesuai dengan perkembangan teknologi maka zirkon banyak
digunakan dalam teknologi saat ini, seperti industri komputer atau komuniasi dan lain-
lainnya. Oleh karena itu banyak tailing dari bekas-bekas tambang emas atau timah plaser
dieksplorasi lagi untuk meneliti zirkon.

Dalam melakukan eksplorasi sama halnya dengan yang dilakukan pada endapan
plaser lainnya yaitu dengan menggunakan alat bor bangka atau bor tangan doormer,
tergantung daripada posisi keterdapatan endapan plaser tersebut dan juga dengan
membuat sumur uji. Perbedaannya hanya dalam melakukan pencontoan, dimana untuk
endapan zirkon plaser dilakukan pengambilan conto secara langsung dari hasil pemboran
(direct sample). Preparasi conto di lapangan dilakukan dengan cara proses cone and
quartering yang bertujuan untuk mengurangi jumlah conto sesuai dengan kebutuhan untuk
analisa di laboratorium. Selain itu bisa juga dilakukan dengan cara pendulangan dari conto
yang diambil secara langsung. Tetapi untuk mengambil konsentrat dulang dari zirkon harus
hati-hati karena Berat Jenis dari zirkon sekitar 4.20 – 4.86, bandingkan denga Berat Jenis
mineral lainnya yang selalu terdapat dalam pendulangan (Tabel 9.2). Karena dalam sisa
pendulangan konsentrat yang didapat masih banyak maka dilanjutkan dengan proses cone
and quartering.

Di laboratorium pemisahan zirkon dilakukan dengan cara meja goyang dan/atau


menggunakan larutan bromoform. Larutan bromoform mempunyai berat jenis sekitar 2,96
sehingga mineral yang tenggelam di dalam larutan ini dapat dianggap sebagai mineral berat
termasuk zirkon sedangkan mineral yang terapung dapat dianggap sebagai mineral
pengotor. Mineral berat yang diperoleh lalu dicuci, dikeringkan, dan ditimbang lagi.
Terakhir dilakukan proses mineralogi butir atau grain counting untuk mengetahui jenis
mineral dan komposisinya masing-masing. Dengan demikian dapat diketahui kandungan
zirkon ataupun mineral-mineral berat lainnya dalam endapan placer tersebut.

233
Dalam melakukan perhitungan cadangan sama halnya dengan yang dilakukan pada
perhitungan cadangan endapan emas ataupun timah plaser. Demikian juga hasil yang
diperoleh dari laboratorium berupa hasil persen dari mineral yang ditemukan dari conto
konsentrat, seperti kuarsa, zirkon, magnetik, ilmenik, hematit, epidot, rutil, garnet,
turmalin, anatas, pirit, kasiterit, emas dan lainnya.

Tabel 9.2. Berat Jenis mineral yang umum terdapat dari conto konsentrat dulang

NAMA MINERAL : BERAT JENIS ;


Kuarsa 2.60 – 2.70
Zirkon 4.20 – 4.86
Magnetik 5.17 – 5.18
Ilmenit 4.50 – 5.00
Hematit 4.90 – 5.30
Epidot 3.00 – 3.60
Rutil 4.18 – 4.25
Garnet 3.42 – 4.27
Turmalin 2.98 – 3.20
Anatas 3.80 – 3.90
Pirit 4.90 – 5.20
Kasiterit 6.80 – 7.10
Emas 15.00 – 19.30

234 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 9 EKSPLORASI ENDAPAN PLASER (PASIR BESI, EMAS, TIMAH, ZIRKON, DLL)

DAFTAR PUSTAKA
Anthony, L.M., 1982, Introductory Prospecting and Mining : Prof. Of Mining Extension, A
School of Mineral Industry Publication, University of Alaska.
Bird, M.C., 1985, Kasongan Gold Project, Central Kalimantan, Indonesia. PT. Ampalit Mas
Perdana, Jakarta, Unpublished.
Daily, A., 1962, Valuation of Large, Gold Bearing Placers, Engineering & Mining Journal,
vol163. No.7.p. 80-83.
Griffith, S.V., 1960, Alluvial Prospecting and Mining 2nd edition, Pergamon Press, Oxford.
Kastashov, I.P., 1971, Geological Features of Alluvial Placer. Econ, Geol. Vol.66, p. 879-885.
Macdonald, E.H., 1983, Alluvial Mining, The Geology, Technology and Economics of Placer.
Chapman and Hall, London, New York.
Mathers, S.J., 1988, Exploration and Evaluation of Industrial Mineral Potential, British
Geological Survey, Nottingham.
Minter, W.E.L and Toens, P.D., 1970, Experimental Simulation of Gold Deposition in Gravel
Beds. Trans Geol Soc. S. Afr., vol. 73, p. 89 – 98.
Widasaputra, S., 1976, Laporan Penyelidikan Pendahuluan Terhadap Endapan Emas Plaser
di Lembah S. Raya di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Wiryawan, S.A., 1975, Penggunaan Sumur Uji Sebagai Pengontrol Data Pemboran Bor
Bangka Dalam Eksplorasi Endapan Timah Sekunder di Daerah Koba
– Bangka.
-----------------, 2005, Penyusunan Konsep Pedoman Teknis Eksplorasi Pasir Besi Primer,
Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung
-----------------, 2006, Laporan Tim Pedoman Teknis Eksplorasi Bijih Besi Primer, Pusat
Sumber Daya Geologi, Bandung
-----------------, 2006, Laporan Tim Pedoman Teknis Eksplorasi Bijih Besi Primer, Pusat
Sumber Daya Geologi, Bandung
-----------------, 2006, Pedoman Teknis Penentuan Bahan Galian Lain dan Mineral Ikutan
Pada Pertambangan Emas Aluvial, Pusat Sumber Daya Geologi,
Bandung
-----------------, 2006, Konsep Pedoman Teknis Tata Cara Pengawasan Recovery
Penambangan, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung

235
236 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

BAB 10
EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT
Bambang Pardiarto

Istilah laterit adalah bagian atas dari horison tanah yang kaya dengan oksida besi
dan miskin silika sebagai hasil dari pelapukan intensif pada regolith (Eggleton, 2001). Dalam
kamus geologi dan mineralogi pengertian regolith yaitu suatu lapisan yang berasal (sebagai
hasil) dari pelapukan batuan yang menyelimuti suatu batuan dasar. Secara umum endapan
laterit merupakan hasil pelapukan lanjut dari batuan baik yang mengandung nikel maupun
alumina pada lingkungan tropis sampai subtropis. Sehingga dalam endapan laterit ini
umumnya berhubungan dengan cebakan bauksit dan cebakan nikel.

10. 1. Cebakan Bauksit

10.1.1. Pendahuluan
Istilah bauksit pertama kali diperkenalkan oleh geolog bernama Pierre Berthier
pada tahun 1821 untuk batuan sedimen yang kaya kandungan alumina. Penamaan bauksit
sama dengan nama desa tempat dimana bauksit pertama kali ditemukan yaitu di Les Baux,
di bagian selatan Perancis Selatan. Kemudian bauksit digunakan untuk penamaan produk
pelapukan batuan yang secara heterogen mengandung alumina (Al2O3) tinggi, oksida besi
dan silika rendah. Bauksit (Al2O3.2H2O) bersistem octahedral terdiri dari 35 – 65 % Al2O3 , 2
– 10 % SiO2, 2 - 20 % Fe2O3, 1 - 3 % TiO2 dan 10 - 30 % air.

Bauksit merupakan suatu campuran bahan-bahan yang kaya akan hidrat oksida
aluminium dan bahan-bahan tersebut dapat diambil logam aluminium secara ekonomis.
Sebagai bijih alumina, bauksit mengandung sedikitnya 35 % Al2O3, 5 % SiO2, 6 % Fe2O3, dan
3 % TiO2. Umumnya secara fisik kenampakan bijih bauksit menunjukkan warna coklat
keuningan – coklat kemerahan (Gambar 10.1).

Sebagai mineral industri prosentase silika kurang penting, tetapi besi dan titanium
oksida tidak lebih dari 3 %. Untuk penggunaan sebagai abrasive diperlukan silika dan besi
oksida lebih dari 6 %. Dalam industri smelter chemical grade alumina (CGA) kadar rata-rata
yang diperlukan adalah T-Al2O3 > 47% dan R-SiO2 < 3.5% ( Surata, 2005).

237
Gambar 10.1 Mineral bauksit

10.1.2. Genesa dan Klasifikasi Cebakan Bauksit

10.1.2.1 Genesa
Genesa dari bauksit sendiri dapat terbentuk dari empat proses yaitu: magmatik,
hidrotermal, metamorfosa, dan pelapukan. Sehingga bijih bauksit yang mempunyai
kandungan alumina dapat bersumber dari batuan primer (magmatik dan hidrotermal)
maupun dari batuan sekunder ( hasil proses pelapukan dan metamorfosa). Namun secara
kwantitas bijih bauksit yang berada di permukaan bumi ini dominan berasal dari batuan
sekunder hasil dari proses pelapukan dan pelindian.

Bauksit terbentuk dari batuan sumber yang mempunyai kadar aluminium tinggi,
kadar Fe rendah dan sedikit kadar kuarsa bebas. Mineral silikat yang terubah akibat
pelapukan, mengakibatkan unsur silika terlepas dari ikatan kristal dan sebagian unsur besi
juga terlepas. Pada proses ini terjadi penambahan air, sedangkan alumina bersama dengan
titanium den ferrik oksida (dan mungkin manganis oksida) menjadi terkonsentrasi sebagai
endapan residu aluminium.

Batuan sumber adalah faktor sangat penting dalam kualitas bauksit. Bauksit yang
terbentuk dalam beberapa batuan sumber memiliki kadar yang berbeda (Fox, 1921 dalam

238 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Valeton, 1972). Di India bauksit terbentuk dari batuan basaltik, tetapi di Queensland
bauksit terbentuk dari kaolin. Perbandingan kwalitas bauksit dari batuan sumber yang
berbeda diperlihatkan pada Tabel 10.1 .
Batuan sumber yang memenuhi persyaratan terbentuknya bauksit antara lain
berasal dari batuan beku komposisi asam-menengah , batuan karbonatan dan batu
lempung/serpih. Singkatnya batuan yang kaya alumina, rendah silika dan besi sangat baik
sebagai batuan sumber seperti nefelin, syenit, lempung dan serpih. Batuan komposisi
menengah-asam yang kaya mineral felsik akan mengalami proses laterisasi dan
menghasilkan cebakan bauksit yang relatif kaya SiO2. Tipe bauksit ini dicirikan oleh bentuk
menyudut tanggung dan lebih getas.

Tabel 10.1. Perbandingan bauksit "in-situ" dari berbagai batuan sumber


( Rodenburg, 1974 dalam Surata, 2005)

Karena pengaruh alam batuan sumber mengalami proses lateritisasi yang intensif
dimana proses pertukaran suhu secara terus menerus sehingga batuan mengalami
pelapukan. Laterit adalah suatu bahan yang berupa konkresi berwarna kemerahan, bersifat
porus, menutupi hampir sebagian besar daerah tropis dan subtropis dan merupakan

239
lapisan yang kaya akan aluminium dan besi. Jika kadar aluminiumnya lebih besar
dibandingkan dengan kadar besi, maka warnanya menjadi agak muda, kekuning-kuningan
sampai keputih-putihan. Laterit semacam ini dinamakan aluminious laterit atau laterit
bauksit .

Proses laterisasi berkembang baik pada daerah yang kondisinya stabil dimana erosi
vertikal tidak aktif atau sangat terbatas. Kondisi seperti ini umumnya terdapat didaerah
dataran (peneplain) dengan sirkulasi air tanah yang baik untuk pelarutan dan transportasi
unsur. Alur proses pengendapan bauksit dimulai dari batuan sumber yang mengalami
pelapukan yang tertransport, kemudian mengalami pemisahan (settling) yang diakhiri
dengan dehidrasi (Gambar 10. 2).

Gambar 10.2. Proses pembentukan bauksit (Surata, 2005)

240 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Proses laterisasi batuan sumber yang cocok untuk pembentukan bauksit selalu
didahului dengan proses pelapukan. Faktor luar yang membuat proses lebih cepat adalah
struktur geologi, penguapan tinggi dengan temperatur harian tinggi (daerah sub tropis) dan
tanah asam organik. Asam organik ini berasal dari tanaman yang pH air tanahnya berkurang
sampai < 4. Dalam kondisi pH antara < 4 - >9 , Al2O3 akan terlarut sedangkan SiO2 akan
terlarut pada pH > 9-10 ( Gambar 10.3).

Gambar 10.3. Grafik pelarutan SiO2 dan Al2O3 (Surata, 2005)

Oleh karena normalisasi pH oleh air tanah ke kondisi netral (pH 7), pada kedalaman
tertentu Al2O3 akan terpisahkan dari SiO2. Unsur-unsur lainnya seperti Ca, Na, K dan Mg
akan tertransport oleh air tanah melalui sistim aliran ke daerah yang lebih rendah.
Pemisahan residu Al2O3, SiO2 dan oksida besi pada pH 4-9 dipengaruhi oleh normalisasi pH
air tanah pada kedalaman tertentu. FeO2, Al2O3, SiO2 dan H2O mempunyai mobilitas
rendah dibandingkan dengan K2O, Na2O, Cao dan MgO3

Pada kondisi pH 4-9, silika yang berasal dari sumber alkali felspar bercampur dengan
air (H2O) akan membentuk alumina-silika hidrous (Al2O3 SiO2) dan H2O dimana garam Fe
(Ferro) akan dikeluarkan oleh air. Oleh sebab itu residu akan kaya silika dan oksida besi
yang kemudian akan terurai dan membentuk konkresi bauksit. Variasi bentuk konkresi
membulat tanggung sampai menyudut dapat berupa pipa, bloky dan nodul dalam lempung
pasiran (Gambar 10.4).

241
a b

Gambar 10. 4. Variasi bentuk konkresi mineral bauksit berupa pipa (a), bloky (b) nodul dalam
lempung pasiran (c)

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pengendapan bauksit adalah


sebagai berikut :
- Batuan sumber yang kaya unsur aluminium
- Wilayah beriklim tropis - subtropis dengan lingkungan penguapan tinggi
- Temperatur harian > 250 C
- Topografi perbukitan bergelombang (undulating)
- Formasi berada diatas permukaan air permanen.
- Reagent yang sesuai pH dan Eh, sehingga mampu merubah silikat
- Infiltrasi air meteorik permukaan berlangsung lambat

242 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

- Kondisi bawah permukaan mampu melarutkan unsur dalam batuan


- Stabilitas tektonik berlangsung lama (stadium tua)
- Preservation

Secara komersial cebakan bauksit terjadi dalam tiga bentuk:

1) Pissolitic atau Oolitik disebut juga ‘kernel’ yang berukuran diameter dari sentimeter
sebagai amorfous tryhidrate
2) Sponge Ore (Arkansas), porous, merupakan sisa dari batuan asal dan komposisi utama
gibsite
3) Amorphous atau bijih lempung

Berdasarkan studi yang dilakukan di paleo surface di Amerika Selatan menunjukkan


bahwa intensitas pembentukan cebakan bauksit secara dominan terjadi pada kala Eosin
dan Miosin (Gambar 10.5).

Gambar 10.5. Periode pembentukan cebakan bauksit (Anonim, 2013)

243
10.1.2.2. Klasifikasi Cebakan Bauksit
Berdasarkan genesanya bijih bauksit terbagi atas lima yaitu : bauksit pada batuan
klastik kasar, bauksit pada terrarosa, bauksit pada batuan karbonat, bauksit pada batuan
sedimen klastik dan bauksit pada batuan fosfat. Sedangkan berdasarkan letak depositnya
bauksit terbadi atas empat yaitu deposit bauksit residual, deposit bauksit koluvial, deposit
bauksit alluvial pada perlapisan dan deposit bauksit alluvial pada konglomerat kasar.

Selain itu klasifikasi cebakan bauksit dikenal juga sebagai cebakan bauksit karst dan
cebakan bauksit laterit. Cebakan bauksit karst merupakan akumulasi oksida Al yang
disebabkan oleh penguraian karbonat dan berasal dari pelapukan yang berasosiasi dengan
Al silikat (interbedden volkanik). Sedangkan bauksit laterit terbentuk melalui batuan
alumino silikat pada kondisi subtropis-tropis dimana jumlahnya mencapai 90% dari
sumberdaya bauksit dunia. Cebakan ini terdapat dalam 3 tipe yaitu orthobauksit,
metabauksit dan kryptobauksit. Profil masing-masing tipe cebakan bauksit terlihat pada
Gambar 10.6 dan Gambar 10.7.

Gambar 10.6. Profil cebakan orthobauksit (a) dan metabauksit (b)


(Anonim, 2012)

244 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Gambar 10.7. Profil cebakan kryptobauksit (Anonim, 2012)

10.1.3 . Karakteristik Cebakan Bauksit


Karakteristik cebakan bauksit yang mengandung Fe tinggi dicirikan oleh warna
coklat kemerahan – coklat kehitaman, kompak, keras dengan bentuk butir membulat
tanggung, pipa saprolith hingga blocky . Sedangkan bauksit SiO2 tinggi dicirikan oleh warna
coklat kekuningan – coklat kemerahan, agak rapuh, relatif tidak homogen dengan bentuk
butir membulat tanggung – blocky ( Gambar 10.8) .

a b
Gambar 10.8. Tipe bauksit kaya besi (a) dan bauksit kaya silika (b)
( Surata, 2005)

245
Pada cebakan bauksit kandungan Fe tinggi maupun SiO2 tinggi pada penampang
tegak memperlihatkan batas yang jelas/tegas antara lapisan penutup (OB) dengan lapisan
bauksit (Gambar 10.9). Tebal lapisan penutup bervariasi dari 0,5 m – 3 m. Di bawah lapisan
penutup terlihat nodul-nodul atau kongkresi bauksit dengan ketebalan bervariasi dari 1 m –
5 m. Di bawah lapisan bauksit pada umumnya dijumpai Zona Transisi (Transition Zone)
sebelum mencapai batuan segar yang biasa disebut “Kong” (Gambar 10.10).

Gambar 10.9. Penampang cebakan bauksit memperlihatkan batas


tegas antara OB dan lapisan bauksit (Anonim, 2011)

246 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Gambar 10.10. Lapisan lempung sebagai "Kong" dalam cebakan bauksit (Anonim, 2011)

10.1.4. Metoda Eksplorasi


Eksplorasi endapan laterit baik untuk cebakan bauksit maupun laterit nikel
menggunakan alur metoda eksplorasi yang meliputi kegiatan pengumpulan dan evaluasi
data sekunder, pengumpulan data primer, analisa laboratorium dan pengolahan data.

Kegiatan eksplorasi mineral untuk menemukan daerah prospek endapan laterit


dilakukan melalui beberapa tahapan kegiatan. Rangkaian kegiatan eksplorasi tersebut
menggunakan metoda eksplorasi yang diterapkan secara sistematis yang meliputi antara
lain pengumpulan data baik data sekunder maupun data primer , tinjauan basis data,
inderaja & analisa SIG, pemetaan geologi, survey geofisika, survey topografi, pemboran uji,
sumur uji & penyontohan ruah, preparasi conto, analisa laboratorium, validasi & geo-
evaluasi, taksiran & model sumberdaya, penilaian bijih dan sumberdaya, penambangan dan
pelaporan ( Gambar 10.11).

247
Gambar 10.11. Alur metoda eksplorasi endapan laterit (Anonim, 2013)

10.1.4.1 Pengumpulan dan Evaluasi Data Sekunder


Dalam kegiatan ini yang dilakukan antara lain studi literatur, analisa remoter sensing
dan SIG serta studi geofisika.

 Studi literatur
Studi literatur yang dilakukan meliputi pengumpulan dan pengolahan data
sekunder baik dari artikel, makalah maupun dari laporan kegiatan
penyelidikan/eksplorasi sebelumnya baik yang bersumber dari instansi pemerintah
maupun dari swasta.
 Analisa Remote Sensing dan Analisis Sistim Informasi Geografis
Teknologi penginderaan jauh digunakan untuk mengetahui kondisi permukaan
bumi berdasarkan nilai radiasi rata-rata dari spektrum elektromagnetik. Setiap obyek di
permukaan bumi memantulkan radiasi elektromagnetik yang berbeda, direkam oleh

248 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

wahana penginderaan jauh dan diterjemahkan sebagai sebuah nilai yang


menggambarkan variasi panjang gelombang, reflektasi atau emitansi. Sensor wahana
penginderaan jauh akan merekam radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau
diemisikan oleh permukaan bumi, besarnya transfer energi pantulan inilah yang menjadi
dasar dalam teknologi penginderaan jauh.

Jenis data yang dapat digunakan dalam studi ini meliputi: data Citra Landsat MSS
TM/ Tematic mapper, SLAR, Spot image, ASTER dan foto udara. Dengan data
penginderaan jauh ini dapat dilakukan interpretasi gejala–gejala geologi yang berguna
sebagai acuan dalam eksplorasi endapan laterit.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penerapan penginderaan jauh ini


dengan melakukan ekstraksi data yang meliputi (Hilda dan Suwiyanto, 2013):

- Analisa digital image processing: penafsiran data penginderaan jauh dilakukan


dengan pengolahan digital menggunakan perangkat komputer dan perangkat lunak
tertentu untuk melakukan pengolahan data digital.

- Penafsiran visual dengan menggunakan kriteria penafsiran pada foto udara meliputi:
rona dan warna; ciri morfologi; tekstur topografi/relief; bentuk dan ukuran obyek;
litologi aluvial pantai.

 Studi geofisika
Data yang digunakan dalam studi ini merupakan data geofisika berupa anomali
kemagnetan, dan gaya berat. Dari anomali kemagnetan diperoleh kontur yang
menggambarkan sebaran susceptibility batuan dibawah permukaan pada arah
horisontal. Dari nilai anomali dapat dipisahkan antara batuan yang mengandung sifat
magnet dan yang tidak mengandung sifat magnet. Batuan yang mengandung sifat
magnet terkait dengan batuan intrusi dan keberadaan mineral logam. Sedangkan dari
anomali gaya berat berguna untuk mengetahui keberadaan pola struktur patahan
daerah target eksplorasi dan batuan alas (basement).

249
10.1.4.2. Pengumpulan Data Primer
Kegiatan pekerjaan lapangan yang dilakukan untuk pengumpulan data primer
antara lain: pengukuran topografi, pemetaan geologi dan sumberdaya, pembuatan sumur
uji, preparasi conto dan penghitungan faktor konkresi serta pengukuran geofisika.

 Pengukuran topografi
Pengukuran topografi dilakukan untuk menggambarkan morfologi daratan
dan perencanaan penempatan titik-titik sumur uji serta lintasan geofisika. Survey
topografi menggunakan Total Station, DGPS dan LIDAR.

 Pemetaan geologi
Dalam eksplorasi endapan laterit bauksit pemetaan geologi pengamatannya
meliputi identifikasi jenis batuan sumber dengan produk pelapukannya , sehingga
dapat diperoleh gambaran sebaran batuan sumber kaitannya dengan tingkat kwalitas
bauksit.

Pemetaan geologi dalam eksplorasi bauksit dengan kisaran skala 1: 1.000


sampai 1: 25.000, dengan pengamatan terhadap singkapan batuan agar dapat dilakukan
pengelompokkan satuan-satuan batuannya.

 Pembuatan sumur uji


Dalam eksplorasi untuk mengetahui ketebalan lapisan bauksit adalah dengan sumur
uji yang merupakan suatu metode pengambilan conto endapan bauksit yang berada di
bawah permukaan dengan cara channel sampling. Selain itu juga dimaksudkan untuk
melihat profil secara megaskopis susunan litologi atau perubahan warna tanah/batuan
sampai pada kedalaman tertentu atau sampai menembus kong/lempung untuk
mendapatkan data yang lebih rinci. Ukuran sumur uji yang biasa digunakan adalah 80 –
100 cm x 40 - 60 cm atau sesuai dengan kondisi ketebalan tanah penutup. Bila terjadi
runtuhan maka dibuat penyangga. Penggalian sumur uji dilakukan dengan jarak ± 200 x
100 m , 50 x 25 m dan 25 x 25 m, dengan dinding yang panjang mengarah utara-
selatan. Sketsa cara pengambilan conto endapan bauksit ditampilkan dalam Gambar 10.
12.

250 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Gambar 10.12. Sketsa sumur uji dan cara pengambilan conto bauksit (Anonim, 2013)

Metode pengambilan conto cebakan bauksit pada sumur uji adalah sebagai berikut:
1) Menentukan ke dalam sumur uji dengan meteran.
2) Menentukan batas antara lapisan batuan dengan lapisan bauksit.
3) Menentukan ketebalan lapisan bauksit.
4) Menentukan batas antara lapisan penutup (over burden) dengan lapisan bauksit.
5) Melakukan deskripsi lapisan bauksit di lapangan.
6) Pengambilan conto beserta labeling pada pita dan plastik conto, agar memudahkan
dalam pengolahan data dan saat analisis laboratorium.

Pengambilan conto dan pemerian deskripsi pada lubang sumur uji yang
mengandung bauksit dengan channel sampling dilakukan dengan lebar 20 cm, kedalaman
alur 10 cm dengan interval tebal setiap 2 m. Dengan demikian jumlah conto yang diambil
tergantung pada tebal lapisan bauksit. Kedalaman sumur uji maksimal sampai menembus
kong/clay dan air tanah.

Pengambilan conto dengan cara channel sampling juga dilakukan pada tebing
bukaan dengan memperhatikan jarak antara sumur uji sebelumnya. Penggalian tetap
dilakukan sampai ditemukan keadaan sebagai berikut:

251
1. Menembus kong/clay
2. Menembus batuan lapuk
3. Menembus batuan segar
4. Air tanah
5. Dijumpai bongkah batuan yang besar

 Preparasi conto
Dalam eksplorasi laterit bauksit setelah pengambilan conto dari sumur uji di
lapangan, selanjutnya conto di bawa ke basecamp untuk dilakukan preparasi conto dengan
prosedur sebagai berikut (Gambar 10.13) :

1) Conto dari lokasi ditimbang untuk mengetahui berat kotor dan diukur volumenya
untuk perhitungan berat jenis.
2) Conto kotor dicuci dengan ayakan bukaan - 1 cm dan + 1 mm secara manual
hingga bersih, agar matrik atau butiran yang lolos dan pengotornya hilang .
Pencucian menggunakan air yang disemprotkan dengan tekanan tinggi sampai air
sampai air bilasan berwarna jernih.
3) Dilakukan pengeringan contoh hasil pencucian, dengan cara diangin-anginkan
sampai 24 jam. Conto kering yang bersih ditimbang, untuk mengetahui berat bersih
sebagai bahan perhitungan faktor konkresi.
4) Conto kering dilakukan penghacuran/dipecahkan menggunakan palu hingga ukuran
< 1cm. Kemudian conto ditimbang dan diukur volumenya untuk penghitungan berat
jenis.
5) Contoh di coning dan quatering (pencampuran empat bagian) sehingga fraksi conto
menjadi homogen dan conto diambil 2,5 kg untuk dikirim ke laboratorium.

Conto yang sudah dipreparasi tersebut, selanjutnya dikirim ke laboratorium untuk


dilakukan analisia kimia dan beberapa conto juga dilakukan analisis petrografi, mineragrafi
dan berat jenis.

 Penghitungan Faktor Konkresi (CF)


Conto dari lokasi ditimbang untuk mengetahui berat kotor. Conto kotor dicuci
dengan ayakan bukaan -1 cm dan +1 mm secara manual hingga bersih, agar matrik atau
butiran yang lolos dan pengotornya hilang . Dilakukan pengeringan, bisa dilakukan dengan
diangin-anginkan sampai 24 jam. Conto kering yang bersih ditimbang, untuk mengetahui
berat bersih. Kemudian dilakukan penghitungan dengan formula sebagai berikut:

252 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

CF (Faktor Konkresi) = (Berat Bersih : Berat Kotor) x 100%.

 Pengukuran geofisika
Dalam eksplorasi laterit bauksit metoda geofisika yang bisa digunakan adalah
georadar (Ground Penetration Radar/GPR) dan seismik. Metoda ini sangat membantu
dalam menduga ketebalan lapisan bauksit, sehingga dapat merencanakan program sumur
uji dan pemboran.

Gambar 10.13. Bagan alir tahapan preparasi conto bauksit di lapangan (Anonim, 2013)

253
10.1.4.3. Analisa Laboratorium

 Analisa kimia ( AAS, XRF, ICP )


Pengujian sampel dilakukan dengan analisa kimia dimaksudkan untuk mengetahui
kadar aluminium yang terkandung dalam conto. Analisa kimia meliputi acid digest, atomic
absorption spectophotometry dan X-ray flouresen.

Dalam laterit bauksit analisis kimia untuk mengetahui kandungan unsur-unsur Al2O3,
Fe2O3, SiO2, TiO2, CaO, MgO, LOI. Untuk keperluan evaluasi keekonomian maka hasil analisa
kimia perlu ditampilkan dalam bentuk T-SiO2, R-SiO2 dan T-Al2O3. Hal ini diperlukan karena
perhitungan cut of grade digunakan variable R-SiO2 dan T-Al2O3.

 Analisa fisika
- Analisa fraksi
Analisa fraksi dilakukan untuk mengetahui karakteristik kandungan silika, besi, titan
dan aluminium dalam variasi besaran butir laterit bauksit. Ukuran fraksi yang digunakan
sebanyak 7 kelompok sebagai berikut : +2 inchi; -2/+ 1 inchi; -1/+0.5 inchi; -0.5 inchi/+ 5
mesh; -5/+ 12 mesh; -12 mesh dan composite + 12 mesh. Hasil pengukuran dibuat dalam
bentuk tabel sebagaimana terlihat Tabel 10. 2.
Tabel 10.2. Conto hasil analisa kimia contoh bauksit dalam berbagai fraksi (Surata, 2005)

- Analisa petrografi/mineragrafi
Analisis petrografi adalah untuk mengetahui jenis batuan, variasi mineral seperti
gibsit yang merupakan hasil laterisasi dari felspar , komposisi mineralogi, tekstur batuan
serta berat jenis dan data lainnya. Analisis mineragrafi adalah untuk mengetahui jenis

254 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

mineral bijih, tekstur, gangue mineral. Hal ini penting khususnya untuk menentukan
paragenesa mineralisasi

- Analisa PIMA/XRD
Analisa ini diperlukan untuk mengetahui varietas atau jenis mineral lempung
khususnya dalam laterit bauksit.

10.1.4.4. Pengolahan Data


Data hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium dilakukan evaluasi untuk
mengetahui kondisi geologi, sumber daya dan genesa bahan galian serta faktor-faktor yang
mempengaruhi di dalam proses pembentukannya. Hal - hal yang dilakukan dalam
pengolahan dan evaluasi data ini antara lain penggambaran peta, taksiran
sumberdaya/cadangan dan interpretasi model endapan/cebakan.

- Penggambaran peta
Dalam penggambaran peta ini dimaksudkan untuk memperlihatkan sebaran
sumberdaya endapan bauksit. Peta-peta yang ditampilkan antara lain peta geologi, peta
topografi, peta sebaran laterit bauksit, profil sumur uji, penampang korelasi sumur uji. Hasil
analisa kimia dari contoh sumur uji menunjukkan sebaran kadar Al2O3 yang terdapat dalam
laterit. Hasil analisa tersebut selanjutnya diolah dengan metoda geostatistik.

- Taksiran sumberdaya/cadangan
Perhitungan sumberdaya dan cadangan dilakukan berdasarkan kerapatan sumur uji
yang dibuat. Kerapatan sumur uji yang dilakukan dalam eksplorasi bauksit meliputi spasi
100 m, 50 m dan 25 m. Untuk sumur uji dengan spasi 100 m maka akan diperoleh
sumberdaya terukur. Sedangkan jika spasi sumur uji 50 m maka diperoleh cadangan terkira
dan jika spasi sumur uji 25 m akan diperoleh cadangan terbukti (Gambar 10. 14).

Adapun perhitungan volume endapan bauksit menggunakan formula sebagai


berikut :

Volume = Luas Area x Tebal Endapan Bauksit


Raw Ore = Volume x Berat Jenis
CF (Faktor konkresi) = (Berat Bersih : Berat Kotor) x 100%
Washed Ore = (Raw Ore x CF) / 100

255
Gambar 10.14 . Spasi sumur uji untuk perhitungan sumberdaya/cadangan endapan bauksit
(Anonim, 2013)

- Interpretasi model endapan


Dalam interpretasi model endapan ini ditekankan pada geologi endapan bauksit.
Hasil proses pelapukan batuan beku berkomposisi asam-menengah pada kondisi tropis
yang basah mengakibatkan terbentuknya profil komplek laterit bauksit. Untuk itu dibuat
penampang/profil dari bukaan atau sumur uji yang dilengkapi deskripsi dari susunan
lapisan-lapisan utama yang terdapat dalam profil tersebut. Kemudian profil tersebut
dilengkapi dengan informasi kadar dan sketsa model endapan (Gambar 10.15). Setelah
diperoleh data sumber daya maka langkah selanjutnya adalah tahap pemodelan dan
validasi sumber daya.

256 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Bauksit
Bauksit terlepas dari
batuan sumber
sungaiBauxite carried
off source rock by stream

Clay
Batuan sumber
kaya Al

Gambar 10.15. Penampang dan model endapan bauksit laterit Anonim, 2011)

10.1.5. Strategi Eksplorasi


Dalam setiap kegiatan eksplorasi akan mempunyai target-target yang berujung pada
penemuan baru sumberdaya atau cadangan mineral. Hal ini akan sangat dipengaruhi oleh
beberapa aspek yang meliputi inovasi, penerapan konsep, teknologi dan metoda yang
digunakan. Untuk mempercepat penemuan baru tersebut diperlukan strategi eksplorasi
dengan langkah-langkah secara garis besar sebagai berikut:

257
1. Konsep
 Konsep Batuan Induk (hosted concept )
- Terkait batuan gunungapi (volcanic related)
- Terkait batuan intrusif (intrusives related)
- Terkait batuan sedimen (sediment related)
- Terkait batuan malihan (metamorphic related)
 Lingkungan Tektonik Batuan (lithology-tectonic environtment)
2. Kondisi ideal
- Sumber batuan atau pelapukannya meliputi batuan beku komposisi asam-
menengah, meta volkanik, genis, sekis,filit, batusabak dan lempung
- Iklim tropis dengan curah hujan dan evaporasi yang tinggi
- Batuan dengan drainase yang baik diatas permukaan tanah
- Jangka waktu proses pembentukan memadai (Tersier)
- Morphology bergelombang dengan kemiringan lereng antara 5- 15 %
3. Model
 Model pembentukan (genetic model)
- Pengendapan sisa permukaan (surface residual depositional): tipe laterit
 Model empiris (empiritic model)
- Indonesia: Kijang, Tayan, Munggu Pasir
- Rusia- Australia Barat
4. Akselerasi eksplorasi
- Penggunaan citra dengan menggunakan perangkat lunak baru: ENVI, AVIRIS, PURE
World, dll
- Pengumpulan data sekunder (Reading assignment)
5. Teknologi
- Remote sensing
- Georadar (GPR), seismik refraksi
- IFSAR
- Spectophotometer, AAS, XRD
- Petrographic, ore microscopic

258 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

10.2. Cebakan Nikel Laterit

10.2.1. Pendahuluan
Nikel merupakan salah satu komoditas yang termasuk dalam kelompok mineral
logam. Logam nikel mempunyai sifat fisik dan kimia tertentu antara lain keras, kuat, logam
putih menyerupai perak, tahan terhadap korosi, dan sebagai penghantar panas dan listrik
yang sangat baik. Sedangkan dalam kehidupan nikel ini sangatlah beragam dalam
penggunaannya antara lain sebagai baja stainless, paduan baja, industri batere, sel bahan
bakar dan katalis.

Istilah laterit nikel untuk menyatakan keberadaan suatu regolith yang mengandung
konsentrasi nikel dengan kadar yang ekonomis, tetapi tidak untuk menyatakan suatu
horizon atau unit lapisan tanah tertentu (McGraw Hill, 1994). Dalam kamus geologi dan
mineralogi dikenal istilah regolith yaitu suatu lapisan yang berasal (sebagai hasil) dari
pelapukan batuan yang menyelimuti suatu batuan dasar

Dalam cebakan nikel laterit yang mengandung kadar nikel tinggi umumnya selalu
berasosiasi dengan keberadaan mineral garnierit yang terdapat pada zona saprolit (Gambar
10.16)

Gambar 10.16. Kenampakan mineral garnierit pada zona saprolit

259
10.2.2. Genesa dan Klasifikasi Cebakan Nikel Laterit

10.2.2.1. Genesa Cebakan Nikel Laterit


Secara umum genesa nikel laterit berasal dari pelapukan batuan ultra basa
(peridotit) yang prosesnya dipengaruhi oleh cuaca dan iklim dimana terjadi penguraian
olivine dan orthopyroxene dari batuan peridotit tersebut yang mengusir magnesium dan
silikat sehingga terjadi cebakan nikel dan besi. Hampir tidak ada unsur nikel yang hilang
selama proses pelapukan ini.

Air permukaan yang mengandung CO2 dari atmosfir dan terkayakan kembali oleh
material-material organis di permukaan meresap ke bawah sampai pada zona pelindihan,
dimana fluktuasi air tanah berlangsung. Akibat fluktuasi ini air tanah yang kaya CO 2 akan
kontak dengan saprolit yang masih mengandung batuan asal dan melarutkan mineral-
mineral yang tidak stabil seperti serpentin dan piroksin. Mg, Si, dan Ni akan larut dan
terbawa sesuai dengan aliran air tanah dan akan memberikan mineral-mineral baru pada
proses pengendapan kembali.

Pada rekahan-rekahan batuan asal sebagian Mg mengendap, misalnya magnesit


yang di lapangan dikenal sebagai akar-akar pelapukan. Sedangkan di zona saprolit dijumpai
pengisian rekahan-rekahan, antara lain oleh garnierite, kuarsa dan krisopras sebagai hasil
pengendapan hydrosilikat dari Mg, Si dan Ni. Unsur-unsur yang tertinggal seperti Fe, Al,
Mn, CO, dan Ni di zona limonit terikat sebagai mineral-mineral oxida/hydroxide seperti
limonit, hematite, goethit, manganit dan lain-lain. Skema proses pembentukan nikel laterit
tersebut sebagaimana terlihat dalam Gambar 10.17.

Batuan peridotit yang mengandung 0,25% Ni melalui proses serpentinisasi dan


pelapukan tersebut akan menghasilkan 3,5% Ni pada skala perbandingan 1 : 6 sampai 1 :
16. Artinya melalui proses–proses alam tersebut kandungan awal Ni dalam batuan bisa
mencapai 6 sampai 16 kali. Faktor–faktor lain juga mempengaruhi dalam pengayaan bijih
nikel seperti kemiringan lereng yang akan mempengaruhi keseimbangan antara proses
mekanik dan kimia. Konsentrasi nikel yang bernilai ekonomis dalam endapan nikel laterit
dicirikan oleh garnerit dan limonit nikel ferous dengan kandungan 1-2% Ni.

260 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

SKEMA ENDAPAN BIJIH NIKEL

BATUAN INDUK
PERIDOTIT
(Ni Primer +0,1%)

PROSES SERPENTINISASI

PERIDOTIT
SERPENTINIT

PROSES PELAPUKAN DAN LATERISASI

PERIDOTIT - SERPENTINIT
LAPUK

BAHAN YANG TERBAWA BAHAN YANG TINGGAL


BERSAMA LARUTAN Fe, Ai, Cr, Mn, Ni, Co

KONSENTRASI RESIDU
Fe OKSIDA
TERLARUT SEBAGAI TERBAWA SEBAGAI Al HYDROKSIDA
LARUTAN Co-Mg PARTICLE KOLOIDAL Ni - Co
CARBONAT

KONSENTRASI CELAH ZONE PALING ATAS


KONSENTRASI KONSENTRASI
DARI SENYAWA
RESIDU CELAH
CARBONAT

Fe, Ni, Co
URAT-URAT Ni, SiO2 ,MgO
SAPROLIT
MAGNESIT (MgCO3) URAT GARNERIT
SOFT BROWN
DOLOMIT (CoMg)CO3 URAT KRISOPRAS
ORE
CALSIT (CoCo3 )
HARD BROWN
SEBAGAI ROAT OF
ORE
WEATERING

ZONE TENGAH
ZONE PALING BAWAH

GAMBAR 3.3. Skema Pembentukan Profil Nikel Laterit

Gambar 10.17. Skema pembentukan cebakan nikel laterit (Anonim, 2013)

261
10.2.2.2. Klasifikasi Endapan Nikel Laterit
Dalam cebakan nikel laterit terdapat tiga tipe utama yaitu cebakan hydrous silicate,
cebakan clay silicate dan cebakan oxide. Sedangkan jenis mineral dalam cebakan hydrous
silicate adalah garneirite [(Ni,Mg)6Si4O10(OH)8], cebakan clay silicate terdiri dari
nontronite [Na(Al,Fe,Si)O10(OH)2] dan dalam cebakan oxide terdiri dari limonite dan
goethite FeO(OH).

Endapan nikel laterit dapat dikatagorikan menjadi dua jenis yaitu nickel ferrous
ferugineous dan nickel silicate. Nikel jenis yang pertama mempunyai kandungan besi 40%
Fe dan kandungan sekitar 1% Ni. Contoh endapan bijih nikel ini seperti yang terdapat di
daerah–daerah Cuba dan Philipina. Sedangkan jenis nikel yang kedua umumnya
mempunyai kandungan besi rendah kurang dari 35% Fe. Dalam nikel jenis kedua ini
kandungan mencapai 1,5% Ni, terdapat pada nickel garnierite, yang terbentuk pada bagian
bawah zona pelapukan atau pada zona saprolit. Contoh endapan bijih nikel seperti ini
terdapat di New Caledonia yang kandungan nikelnya mencapa 3,5% Ni. Dalam batuan
garnierite di daerah N.C. ini kandungan nikel sampai mencapai 10% Ni (Chetetat, 1947).

10.2.3. Karakteristik Endapan Nikel Laterit

10.2.3.1. Struktur Perlapisan Endapan


Secara umum struktur perlapisan dalam suatu cebakan nikel laterit sedikitnya akan
ditemukan empat komponen (horizon) utama mulai dari atas yaitu tudung besi (cuirasse,
canga, ferricrete atau laterit residu), limonite, saprolit dan protholit (Gambar 10.18).

 Tudung besi (ferrigenous duricrust, cuirasse, canga, ferricrete atau laterit residu)
merupakan suatu lapisan dengan konsentrasi besi yang cukup tinggi yang melindungi
lapisan endapan laterit di bawahnya terhadap erosi.

 Limonit adalah bagian yang kaya dengan oksida besi akibat dari proses pembentukan
zona saprolit (oksida besi dominan pada bagian atas dari zona saprolit) atau dikenal
sebagai horizon limonit.

262 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Gambar 10.18. Struktur perlapisan dalam cebakan nikel laterit


(Anonim 2012 dan Swamidharma, 2011)

 Saprolit merupakan fragmen-fragmen batuan asal masih ada, tetapi mineral-


mineralnya pada umumnya sudah terubah. Kenampakan batas antara zona saprolit
dan protolith pada umumnya irregular dan bergradasi. Pada beberapa cebakan nikel
laterit, zona ini dicirikan dengan keberadaan pelapukan mengulit bawang (spheroidal
weathering). Dengan berkembangnya proses pelapukan, unsur Mg didalam protholith
umumnya terlindikan (leached), dan silika sebagian terbawa oleh air tanah.

 Protolith (saprock) merupakan dasar (bagian terbawah) dari penampang vertikal yang
terdiri dari batuan asal yang berupa batuan ultramafik (harzburgite, peridotit atau
dunit). Kandungan nikel terdapat (muncul) bersama-sama dengan struktur mineral
silikat dari magnesium-rich olivin atau sebagai hasil alterasi serpentinisasi). Dalam
batuan ini olivin tidak stabil pada pelapukan kimiawi sehingga membentuk
amorphous ferric hydroxides, minor amorphous silikat dan beberapa unsur tidak
mobil lainnya.

Struktur dan pembentukan profil laterit nikel di pengaruhi oleh daya larut mineral
dan kondisi aliran air tanah. Secara umum profil laterit kondisi tropis lengkap dari atas ke
bawah adalah sebagai berikut: zona limonit, zona pelindian (transition) dan zona saprolit
yang terletak di atas batuan asalnya (Gambar 10.19).

263
Gambar 10.19. Profil nikel laterit (CSA Global, 2013)

Zona pelindian yang terdapat diantara zona limonit di bagian atas dan zona saprolit
di bawahnya ini hanya ada jika aliran air tanah lambat sampai pada kondisi saturasi yang
diinginkan untuk membentuk endapan smektit. Pengendapan ini dapat terbentuk di suatu
daerah beriklim tropis dengan musim kering yang lama.

Ketebalan zona ini sangat bervasiasi dan tergantung dari fluktuasi air tanah akibat
perbedaan musim kemarau dan musim penghujan, disamping itu juga tergantung oleh
rekahan-rekahan yang terdapat di zona saprolit serta permeabilitas pada zona limonit.

Derajat sepertinisasi batuan asal laterit (peridotit) akan mempengaruhi


pembentukan zona saprolit, dimana peridotit yang sedikit terserpentinisasikan akan
memberikan zona saprolit dengan inti batuan sisa yang keras, nontronitik dan pengisian
celah oleh mineral-mineral garnierit, kalsedon-nikel dan kuarsa. Sedangkan serpentinit
akan menghasilkan zona saprolit yang relative homogen dengan sedikit kuarsa atau
garnierite (Golightly, 1979).

264 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Selain dari pada itu terdapat juga mineral relik, mineral ikutan spinel-chrom yang
akibat termigrasinya unsur-unsur Mg dan Si serta karena sifatnya tahan terhadap
pelapukan relative terkayakan. Jika spinel-chrom yang tidak berubah selama proses
pelapukan ini diambil sebagai standar dalam untuk melihat sifat-sifat semua unsur selama
proses pelapukan pada suatu laterit nikel, maka dapat dibuat suatu model keseimbangan
unsur (Friedrick , 1984).

Perubahan komposisi kimia pada zona saprolit praktis kecil, dimana H2O dan Ni
bertambah, Mg dan Si dalam jumlah kecil ikut bersama aliran air. Sedangkan akibat
penggantian Ni terhadap Mg pada serpentin, maka kadar Ni dapat naik sampai melebihi
3%, hal ini tanpa memperhatikan pengendapan kembali dari Mg + Si dan Ni sebagai
konsentrasi lemah.

Perpindahan unsur-unsur yang sangat penting terjadi di zona pelindian, Mg>95%,


Si>90%, Al lebih kurang setengah bagian dan sejumlah kecil Fe terlindi sampai pada proses
pengendapan kembali unsur-unsur tersebut di tempat lain.

Akibat pengurangan dari unsur-unsur Mg dan Si yang sangat besar tersebut, maka
zona saprolit yang masih banyak mengandung bongkah-bongkah batuan asal akan
menyusut dari 1 kg menjadi 100 gram. Dengan demikian kadar relatif unsur-unsur residu di
zona laterit bawah akan naik sampai 10 kali. Fe2O3 dikayakan sampai lebih dari 72% dan
mineral ikutan spinel-chrom relatif naik sampai sekitar 5%

10.2.3.2. Pengayaan Kadar Nikel Laterit


Secara horizontal penyebaran nikel tergantung dari arah aliran air tanah yang
sangat dipengaruhi oleh bentuk morfologinya, air tanah bergerak dari pegunungan-
pegunungan ke arah lereng, yang mana sebagian besar dari air tanah bergerak dari
pegunungan-pegunugan ke arah lereng, yang sebagian besar dari air tanah pembawa Ni,
Mg, dan Si mengalir di zona pelindian.

Pada tempat-tempat yang banyak mengandung rekahan-rekahan Ni akan terjebak


dan terakumulasi di tempat-tempat yang dalam sesuai dengan rekahan-rekahan yang ada.
Sedangkan pada lereng dengan kemiringan relatif landai sampai sedang adalah merupakan
tempat pengayaan nikel, disini terjadi keseimbangan antara proses mekanik dan proses
kimia (Gambar 10.20).

265
Tanda panah pada gambar tersebut menunjukkan arah aliran air tanah sebagai
larutan pembawa Ni dan sesuai dengan berlangsungnya proses pelindian. Pada dasarnya
proses pelindian ini dapat dikelompokkan yaitu proses pelindian utama yang berlangsung
secara horizontal di zona pelindian dan proses pelindian yang berlangsung secara vertikal
yang meliputi proses pelindian celah di zona saprolit serta proses pelindian yang terjadi di
waktu musim penghujan di zona limonit.

Gambar 10.20. Penampang tegak pengayaan cebakan nikel lateritik (Deddy, 1984)

Dari aspek kemiringan lereng dapat dibagi menjadi 5 katagori :


 Kemiringan lereng < 10°, kimia<mekanik, kadar % Ni kecil, Fe tinggi
 Kemiringan lereng 10 – 20°, keseimbangan ideal, kadar % Ni tinggi
 Kemiringan lereng 20-25° , mekanik > kimia, kadar % Ni sedang
 Kemiringan lereng 25-30° , mekanik > kimia, kadar % Ni & Fe kecil
 Kemiringan lereng > 30°, mekanik > kimia, kadar % Ni & Fe sangat kecil.

266 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Model keseimbangan yang optimal sangat berhubungan erat antara proses kimia dan
mekanik yang keduanya sama–sama proses pelepasan unsur–unsur. Disini sangat berperan
faktor kemiringan lereng, pada lereng yang terjal proses mekanik lebih dominan, sehingga
tidak ada kesempatan untuk proses kimia pertukaran unsur. Demikian juga kalau
kemiringan landai, disini proses kimia sangat dominan sehingga tidak ada kesempatan
untuk proses mekanik pengendapan unsur. Oleh karena itu morfologi yang paling ideal
untuk mencapai keseimbang optimal adalah undulating area dengan kemiringan antara 10
derajat sampai 20 derajat .

Sedangkan secara vertikal cebakan nikel laterit juga menunjukkan suatu pola
tertentu baik untuk kandungan nikel maupun kandungan besi. Secara umum profil cebakan
laterit terdiri atas beberapa zona yaitu top soil, limonite, saprolit dan bed rock (peridotit).
Dalam zona top soil dengan ketebalan 1 m s.d. 2 m, berwarna coklat kemerahan dengan
kadar nikel relatif kecil antara 0,1-0,5% Ni. Pada zona limonit dengan ketebalan 3 m s.d. 6
m mempunyai kandungan nikel mulai meninggi dengan kisaran kadar 0,5-1,65% Ni. Pada
zona saprolit dengan ketebalan 7 s.d. 15 m, kandungan nikel cukup tinggi dengan kisaran
kadar antara 1,5-2,5% Ni dan mulai mengecil ke arah bed rock.

Sedangkan dalam zona bed rock berupa batuan peridotit kadar nikel relatif rendah
dengan kisaran kadar 0,5-1 % Ni. Grafik ratio antara kadar dan kedalaman yang
memperlihatkan penyebaran pola kandungan nikel, besi, Ni+Co dan SiO2 terlihat pada
Gambar 10.21.

267
Gambar 10.21. Grafik ratio kadar dan kedalaman endapan nikel laterit

10.2.4. Metoda Eksplorasi


Untuk eksplorasi endapan laterit nikel menggunakan alur metoda eksplorasi yang
meliputi kegiatan pengumpulan dan evaluasi data sekunder, pengumpulan data primer,
analisa laboratorium dan pengolahan data sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab
10.1.4 dan Gambar 10.7

268 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

10.2.4.1. Pengumpulan dan Evaluasi Data Sekunder


Penjelasan bab ini sama dengan sebagaimana yang diuraikan dalam bab
sebelumnya (Bab 10.1.4.1).

10.2.4.2. Pengumpulan Data Primer


Kegiatan pekerjaan lapangan yang dilakukan antara lain: pemetaan geologi
dan sumberdaya, pengukuran topografi, pemboran, deskripsi inti bor, pembuatan sumur
uji, pengukuran geofisika, bulk sampling, pengukuran densitas bijih.

 Pengukuran topografi
Pengukuran topografi dilakukan untuk menggambarkan morfologi daratan
dan perencanaan penempatan titik-titik lokasi pemboran dan sumur uji serta lintasan
geofisika. Dalam eksplorasi laterit nikel analisis morfologi untuk melihat kemiringan
lereng dengan menggunakan data DEM (Digital Elevetion Model), pada zona-zona yang
kemiringannya relatif curam maka pembuatan sumur uji dibatasi. Survey topografi
dilapanganmenggunakanTotal Station , DGPS dan LIDAR.

 Pemetaan geologi
Dalam eksplorasi endapan laterit pemetaan geologi meliputi landform
mapping, struktur geologi, litologi, mineralisasi dan surface sampling. Dalam
pengamatan litologi meliputi identifikasi jenis batuan sumber dengan produk
pelapukannya, sehingga dapat diperoleh gambaran sebaran batuan sumber dan
endapan lateritnya. Dalam pengambilan contoh permukaan diikuti dengan Niton rush
assay yang merupakan advanced methods.

Pemetaan geologi dalam eksplorasi nikel untuk mengetahui sebaran batuan


ultra basa dengan berbagai skala mulai dari 1 : 25.000 – 1 : 1.000 dengan pengamatan
terhadap singkapan batuan agar dapat dilakukan pengelompokkan satuan-satuan
batuannya.

 Pembuatan sumur uji


Pembuatan sumur uji dimaksudkan untuk melihat variasi litologi secara
vertikal secara lebih rinci dan dilakukan pada tahap awal penyelidikan. Pembuatan
sumur uji untuk mengetahui profil tanah ke arah dalam sekaligus pengambilan conto
dengan metoda channel sampling. Pembuatan sumur uji pada umumnya dilakukan pada

269
zona pelapukan batuan yang telah mengalami laterisasi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mengambil conto-conto endapan laterit sampai pada kedalaman tertentu sampai
mencapai saprolit dan untuk mengetahui profil/penampang tegak perlapisan endapan
laterit.

Pengambilan conto dan pemerian deskripsi pada lubang sumur uji yang
mengandung nikel dengan channel sampling dilakukan pada perubahan jenis endapan
lateritnya dengan interval setiap 1m atau tergantung perubahan jenis laterit. Dengan
demikian jumlah conto yang diambil tergantung pada tebal endapan laterit nikel.
Kedalaman sumur uji maksimal sampai menembus saprolit.

 Pemboran
Pemboran tangan dengan tipe Auger dilakukan untuk pengambilan contoh laterit
nikel pada horison B. Pemboran dengan hand auger, portable drilling (Winky Drill) dan
diamond drilling (NQ3 & HQ3) dengan sistim kisi sampai di batuan dasar, untuk mengetahui
profil laterit di daerah tersebut. Sistim interval kisi yang digunakan adalah spasi 400 m, 200
m, 100 m dan 50 m. Pada tahap awal pemboran dengan sistim kisi >200 m dan <400 m
untuk menghasilkan sumber daya tereka. Tahap selanjutnya diperapat dengan interval kisi
<100 m untuk menghasilkan sumber daya terukur terutama untuk zona yang sangat
prospektif dengan kadar nikel yang cukup signifikan. Pemboran yang dilakukan didaerah
yang lapisan soilnya tebal, maka bor tangan akan sulit untuk mencapai zona saprolit. Untuk
itu digunakan portable drill atau diamond drill.

 Pengukuran geofisika
Dalam eksplorasi laterit nikel pada survey awal digunakan metoda ground magnetik
dan seismik refraksi yang masing-masing untuk mengetahui anomali kemagnetan yang
berkaitan dengan kandungan besi atau batuan induk (ultrabasa) dan hasil seismik berkaitan
dengan ketebalan lapisan laterit. Selanjutnya untuk mengefisienkan waktu dan biaya
penyelidikan dengan pemboran dapat digunakan metoda geofisika yaitu dengan georadar
(Ground Penetration Radar/GPR). Metoda ini digunakan untuk interpretasi penarikan batas
zona limonit dan saprolit. GPR /Ultra GPR adalah teknologi pengukuran geofisika yang
menggunakan prinsip pantulan gelombang elektromagnet. Pantulan gelombang
elektromagnet oleh garis batas perubahan satuan batuan dibawah permukaan diterima alat
perekam dalam besaran frekwensi yang berbeda beda menurut derajat kandungan air
(angka kelembaman) didalam batuan.

270 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Teknologi ini mempunyai resolusi tinggi sehingga menghasilkan gambar profil


sebaran endapan nikel secara vertikal disepanjang jalur pengukuran sampai kedalaman 30
m (Gambar 10.22). Umumnya rentang jarak lateral pengukuran 50 m dan 100 m. Sehingga
produk ini dapat menambah akurasi rencana pemboran selanjutnya, menambah
kepercayaan dalam perhitungan cadangan dan membantu tim teknis tambang dalam
membuat design tambang.

 Preparasi conto
Dalam eksplorasi laterit nikel contoh yang diperoleh dari kegiatan pemboran
diproses melalui beberapa tahapan antara lain pemerian conto inti pemboran dan
dokumentasi. Selanjutnya dilakukan perhitungan density basah, density kering dan derajat
kelembaman dari beberapa contoh inti secara random. Akhirnya conto yang telah
dilakukan perhitungan tersebut kemudian dikeringkan dan dihaluskan sampai - 200 mesh
dan tahapan akhir adalah kuartering . Contoh siap dikirim kelaboratorium untuk dilakukan
analisa kimia dengan metoda XRF ( Gambar 10.23).

 Pengambilan conto ruah (Bulk sampling)


Metoda pengambilan contoh ruah untuk endapan laterit nikel dimaksudkan sebagai
rekonsiliasi penambangan dan proses metalurgi untuk mendukung umur perencanaan
tambang . Contoh diambil sebanyak 6 ton yang masing-masing berupa 3 ton limonit dan 3
ton saprolit.

Gambar 10.22. Profil hasil pengukuran dengan GPR (Anonim, 2007)

271
Gambar 10.23. Alur proses preparasi contoh untuk endapan nikel laterit (Anonim, 2013)

10.2.4.3. Analisa Laboratorium


 Analisa kimia ( AAS, XRF, ICP )
Pengujian sampel dilakukan dengan analisa kimia dimaksudkan untuk mengetahui
kadar nikel yang terkandung dalam conto. Analisa kimia meliputi metoda acid digest,
atomic absorption spectophotometry dan X-ray flouresen.

Dalam laterit nikel analisis dilakukan untuk mengetahui kandungan beberapa


unsur/senyawa seperti Ni, Co, AL2O3, SiO2, MgO, Fe2O3, TiO2, MnO, Cr2O3, LoI, Cu dan Zn.

 Analisa fisika
- Pengukuran density
Pengukuran densitas dapat dilakukan terhadap contoh baik yang diperoleh dari
parit uji maupun pemboran. Pengukuran dilakukan untuk uji densitas basah, densitas
kering dan derajat kelembaman untuk masih-masing zona endapan nikel laterit.
- Analisa petrografi/mineragrafi

272 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Analisis petrografi, untuk mengetahui jenis batuan, variasi mineral, komposisi


mineralogi, tekstur batuan serta berat jenis dan data lainnya. Analisis mineragrafi, untuk
mengetahui jenis mineral bijih, tekstur, ganggue mineral. Hal ini penting khususnya untuk
menentukan paragenesa mineralisasi

10.2.4.4. Pengolahan Data


Data hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium dilakukan evaluasi untuk
mengetahui kondisi geologi, sumber daya dan genesa bahan galian serta faktor-faktor yang
mempengaruhi di dalam proses pembentukannya. Hal - hal yang dilakukan dalam
pengolahan dan evaluasi data ini antara lain penggambaran peta, taksiran
sumberdaya/cadangan dan interpretasi model endapan/cebakan.

- Penggambaran peta
Dalam penggambaran peta ini dimaksudkan untuk memperlihatkan sebaran
endapan nikel. Hasil analisa kimia dari contoh inti pemboran menunjukkan sebaran kadar
Ni asosiasi unsur lainnya baik yang terdapat dalam limonit maupun saprolit. Hasil analisa
tersebut selanjutnya diolah dengan metoda geostatistik. Perhitungan geostatistik hanya
menggunakan metoda dan parameter Kriging, karena metoda ini dirancang untuk
menghasilkan nilai estimasi yang tidak bias dan dapat meminimalkan faktor penyimpangan
atau kesalahan. Seperti metoda geostatistik lainnya metoda ini juga menggunakan
korelogram dan satu atau dua model bentukan bola sederhana. Metoda ini pada prinsipnya
menggunakan korelogram Omniplanar sebagai pemodelan orientasi horisontal dalam
interval 10 m sedangkan orientasi vertikal lubang bor korelogram digunakan sebagai
orientasi arah vertikal dalam interval 1 m.

Berdasarkan kadar unsur kimia yang diambil dari data pemboran inti dapat dibuat
peta distribusi anomali sebaran unsur nikel dan ketebalan endapan nikel laterit (Gambar
10.24 dan Gambar 10.25).

Dalam eksplorasi laterit nikel dari hasil pemboran yang telah dilakukan maka dibuat
peta sebaran sumber daya cebakan nikel laterit berdasarkan interval kisi yang digunakan
dalam penyelidikan di lapangan. Peta sebaran sumberdaya memperlihatkan berbagai
kategori/kelas sumberdaya dari hasil kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan. Contoh peta
sebaran sumber daya seperti pada Gambar 10.26.

273
Gambar 10.24. Contoh peta isopach kandungan nikel dalam endapan laterit nikel (Anonim 2007)

Gambar 10.25. Contoh peta isopach ketebalan endapanlaterit nikel (Anonim, 2007)

274 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Gambar 10.26. Contoh peta sebaran sumberdaya endapan laterit nikel ( Anonim, 2009)

- Taksiran sumberdaya/cadangan
Perhitungan jumlah sumber daya yang dilakukan dengan beberapa cara antara lain
dengan metode area of influence, triangular grouping dan statistik.

 Metoda Area of Influence


Pada metode ini dihitung dengan memperhatikan daerah pengaruh tiap blok, yang
hanya dipengaruhi oleh 1 (satu) titik bor yang membentuk pola segi empat, dengan daerah
pengaruh setengah spasi.

Volume sumber daya diperoleh dengan mengalikan tebal bijih dan luas blok pada
titik bor tersebut. Sedangkan tonase sumber daya bijih merupakan hasil kali volume blok
dengan density insitu endapan bijih. Total sumber daya diperoleh dari jumlah tonase
keseluruhan blok.

275
 Metode Triangular Grouping
Pada metode ini perhitungan sumber daya dilakukan pada setiap blok, berdasarkan
3 (tiga) titik bor, yang langsung dihubungkan satu titik yang lainnya, sehingga membentuk
pola segitiga. Volume sumber daya diperoleh dengan mengalikan ketebalan rata-rata ke 3
(tiga) titik bor dengan luas segitiga blok tersebut.

Tonase sumber daya bijih diperoleh dengan hasil kali volume sumber daya dengan
Density Insitu endapan bijih. Total sumber daya diperoleh dari jumlah tonase keseluruhan
blok. Dalam penentuan bijih nikel, perlu diketahui Cut off Grade (CoG) bijih nikel,
ditentukan berdasarkan cadangan ekonomisnya suatu endapan bijih.

Sedangkan klasifikasi sumber daya yang diperoleh sangat tergantung pada jarak
antar titik pengamatan yaitu untuk sumberdaya tereka maksimum 200 m, sumberdaya
terunjuk maksimum 100 m dan sumberdaya terukur maksimum 50 m. Untuk cadangan
terdapat dua kategori yaitu cadangan terkira dan cadangan terbukti. Cadangan terkira
mempunyai tingkat keyakinan yang lebih rendah daripada cadangan terbukti.

- Interpretasi model endapan


Dalam interpretasi model endapan ini ditekankan pada geologi endapan laterit
nikel. Hasil proses pelapukan batuan ultra basa pada kondisi tropis yang basah
mengakibatkan terbentuknya profil komplek laterit nikel. Untuk itu dibuat
penampang/profil dari bukaan atau pit yang dilengkapi deskripsi dari susunan lapisan-
lapisan utama yang terdapat dalam profil tersebut. Kemudian profil tersebut dilengkapi
dengan informasi kadar, density dan kelembapan (Gambar 10.27).

Setelah diperoleh data sumber daya maka langkah selanjutnya adalah tahap
pemodelan dan validasi sumber daya dengan alurnya sebagaimana terlihat dalam Gambar
10.28. Dalam tahap ini secara garis besar meliputi penyiapan data, pemodelan volume
(SURPAC V.6), analisa statistik, studi geostatistik (ordinary kriging), estimasi, validasi model
dan validasi metode. Dalam penyiapan data maka hal yang diperlukan antara lain Digital
Terrain Midel (DTM), pemodelan berat jenis, validasi data, klasifikasi sumber daya (CoG)
dan migrasi data ke piranti lunak pemodelan (MS access - MS excel).

276 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

Gambar 10.27. Conto profil model geologi endapan laterit nikel (Anonim, 2007)

Gambar 10.28. Skema pemodelan dan validasi sumber daya endapan laterit nikel (Anonim, 2013)

277
10.2.5. Strategi Eksplorasi
Dalam setiap kegiatan eksplorasi akan mempunyai target-target yang berujung pada
penemuan baru sumberdaya atau cadangan mineral. Hal ini akan sangat dipengaruhi oleh
beberapa aspek yang meliputi inovasi, penerapan konsep, teknologi dan metoda yang
digunakan. Untuk mempercepat penemuan baru tersebut diperlukan strategi eksplorasi
dengan langkah-langkah secara garis besar sebagai berikut:

1. Konsep
 Konsep Batuan Induk (Hosted concept )
- Terkait batuan ekstrusif ultrabasa-komatit (Extrusives ultramafic related - komatite
hosted)
- Terkait batuan intrusif basa-ultrabasa (intrusives mafic-ultramafic related )
2. Kondisi ideal
- Sumber batuan atau pelapukannya meliputi batuan beku ultrabasa
- Iklim tropis dengan curah hujan dan evaporasi yang tinggi
- Batuan dengan drainase yang baik diatas permukaan tanah
- Struktur lineaments berpengaruh deformasi batuan
- Jangka waktu proses pembentukan memadai
- Morphology bergelombang dengan kemiringan lereng antara 5- 15 %
3. Model
 Model pembentukan ( genetic model)
- Pengendapan primer (primer depositional) : Fe-Ni Sulphide, PGE
- Pengendapan sisa permukaan (surface residual depositiona/ secondary)
 Model empiris (batuan intrusif basa-ultrabasa) / Empiritic model (intrusives mafic-
ultramafic rock)
- Gebe, Pomalaa, Buli, Soroako, Obi
4. Akselerasi eksplorasi
- Penggunaan foto udara untuk mendeliniasi laterite landform
- Penggunaan citra dengan menggunakan perangkat lunak baru : ENVI, AVIRIS, PURE
World, dll
- Pengumpulan data sekunder (reading assignment)
5. Teknologi
- Remote sensing
- Georadar (GPR), seismik refraksi
- IFSAR

278 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 10 EKSPLORASI ENDAPAN LATERIT

- Spectophotometer, AAS, XRD


- Petrographic, ore microscopic

10.3. Daftar Pustaka


Anonim, 1999. Penentuan Faktor Konkresi Bijih Bauksit (SNI 13-6179-1999), Badan
Standarisasi Nasional
Anonim, 2007. Laporan kegiatan eksploasi nikel di Pulau Gag, PT. Gag nikel
Anonim, 2010, Rencana kerja dan anggaran biaya kegiatan eksplorasi dan penambangan bijih nikel
PT. Inco
Anonim, 2010, Rencana kerja dan anggaran biaya kegiatan eksplorasi nikel PT. Weda Bay
Nickel
Anonim 2011, Eksplorasi Umum Bauksit di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat,
Pusat Sumber Daya Geologi.
Anonim, 2012, ..... Materi Perkuliahan...
Anonim, 2013. Nickel laterites in SE Asia. CSA Global.
Https://www.aig.org.au/images/storie/Resources/Nickle-laterite-in-SE-Asia-M-
Elias.pdf (16 Desember 2014).
Anonim, 2013. Pedoman Teknis Eksplorasi Endapan Laterit, Pusat Sumber Daya Geologi.
Hilda, L. dan Suwiyanto, 2013. Penafsiran citra satelit untuk identifikasi sumber daya alam
P. Siberut.
Surata, I.Made, 2005. Challenge to Develop The Tayan Lateritic Bauxite Deposit, West
Kalimantan. Indonesian Mineral and Coal Discoveries, IAGI Special Issues 2005,
ISBN 979-8126-19-x, p. 106-117.
Swamidharma, Yoseph C. A. 2011. Nickel Laterite Contents and Grades in Sulawesi.
Procceding of The Sulawesi Mineral Resources 2011, Seminar MGEI-IAGI 28-29
November 2011. Manado, North Sulawesi, Indonesia hal 289-297. PT Tint Mineral
Indonesia. Jakarta.

279
280 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

BAB 11
METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI
SUMBERDAYA/CADANGAN
Sabtanto Joko Suprapto

11.1. Pendahuluan
Pada kegiatan eksplorasi, pengambilan sampel untuk estimasi
sumberdaya/cadangan merupakan tahapan yang menghasilkan data sangat menentukan
sebagai dasar dalam pengambilan keputusan tentang ekonomis tidaknya suatu deposit
mineral untuk dilanjutkan ke tahapan penambangan dan pengolahan. Pengambilan sampel
mempunyai tingkat kesulitan beragam. Tingkat kesulitan tinggi dapat diakibatkan oleh
lokasi keberadaan deposit mineral logam pada daerah terpencil, serta dapat disebabkan
oleh posisi tubuh deposit yang berada jauh di bawah permukaan tanah. Karakteristik dari
cebakan mineral dengan bentuk tidak teratur serta sebaran kandungan/kadar bahan
ekonomis heterogen, semakin menambah tingkat kesulitan untuk mendapatkan sampel
yang bisa mewakili keseluruhan tubuh deposit bijih.

Mineral sebagai sumber daya alam tidak terbarukan pengelolaannya harus cermat
dengan melakukan estimasi sumberdaya secara tepat dan akurat yang didukung oleh data
lengkap. Ketidakakuratan dan tidak lengkapnya data apabila dikaitkan dengan aspek
ekonomi bisa menyebabkan kerugian bagi pihak pelaku usaha pertambangan maupun
negara. Untuk mendapatkan gambaran sebaran kualitas dan kuantitas bahan galian yang
dapat dipergunakan dalam penentuan dimensi dan kuantitas secara akurat diperlukan
pengambilan conto dengan metodologi yang tepat sesuai dengan karakteristik dari masing-
masing tipe cebakan.

Kegiatan pengambilan sampel tidak hanya dilakukan pada tahapan kegiatan


eksplorasi namun juga eksploitasi. Tata cara pengambilan dan jenis conto pada kedua
tahapan kegiatan tersebut agak berbeda namun mempunyai kesamaan tujuan yaitu untuk
mengetahui sebaran bahan galian baik kualitas maupun kuantitasnya. Data sebaran bahan
galian pada tahapan eksplorasi terutama dipergunakan untuk estimasi cadangan.

281
Sampel mineral yang diambil dan digunakan dalam proses penghitungan akan
dipreparasi dan dianalisis di laboratorium untuk penentuan kadar atau kualitas dari
mineral. Hasil analisis dipergunakan untuk penentuan sebaran kadar/kualitas mineral yang
mempunyai nilai ekonomi, maupun bahan lain yang dalam proses penambangan akan
menjadi material buangan (waste).

Bahan lain yang menjadi material buangan namun mempunyai peluang menjadi
ekonomis di masa depan harus disimpan pada lokasi yang aman agar tidak terjadi
penurunan kualitas. Oleh karena itu dalam pengambilan sampel harus memperhatikan juga
bahan lain di luar yang diusahakan untuk memperoleh informasi selengkap mungkin agar
tidak ada potensi mineral yang terabaikan. Pengambilan conto juga dimaksudkan untuk
penentuan mineral nilai/kadar rendah yang akan dicampur dengan cebakan mineral
dengan kualitas/kadar tinggi untuk mendapatkan hasil ekonomis.

Secara keterjadiannya ada beberapa tipe cebakan mineral, yang dalam pengambilan
sampel perlu untuk diperhatikan karena masing-masing mempunyai ciri atau sifat yang
sangat menentukan dalam sistimatika pengambilan sampel. Pada masing-masing tipe
cebakan mineral umumnya terkandung beberapa jenis mineral yang terbentuk bersamaan,
di antaranya merupakan bahan ekonomis dan sebagian lagi tidak ekonomis serta ada yang
berpeluang akan menjadi ekonomis di masa depan. Terdapat beberapa tipe deposit logam,
masing masing tipe mempunyai karakteristik yang khas, di antaranya yaitu: cebakan tipe
urat, stratiform, porfiri, cebakan dengan batuan induk karbonat, dan cebakan sulfida masif
volkanogenik, serta deposit aluvial (endapan mineral berat).

Tipe dan jumlah sampel yang diambil tergantung pada beberapa faktor:
1. Sebaran dan ukuran butir serta tipe cebakan mineral
2. Tingkatan dan prosedur evaluasi
3. Keterjangkauan tubuh deposit mineral
4. Kemudahan dalam pengumpulan. Hal ini berkait dengan kondisi batuan dan sifat
batuan
5. Biaya dari pengambilan sampel, dana yang tersedia serta nilai dari bijih

282 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

11.2. Sifat Beberapa Tipe Cebakan Mineral Berkaitan Dengan Pengambilan


Sampel
Secara keterjadiannya ada beberapa tipe cebakan mineral, yang dalam pengambilan
sampel perlu untuk diperhatikan karena masing-masing mempunyai ciri atau sifat yang
sangat menentukan dalam sistematika pengambilan sampel. Cara kejadian dan morfologi
cebakan mineral merupakan faktor penting yang menentukan tipe dan kerapatan serta
banyaknya sampel yang diperlukan dalam estimasi sumberdaya. Namun berkaitan dengan
aspek konservasi maka perlu juga memperhatikan mineral lain di luar yang diusahakan.

Pada masing-masing tipe cebakan mineral umumnya terdapat beberapa macam


mineral yang terbentuk bersamaan, di antaranya merupakan bahan ekonomis dan sebagian
lagi tidak ekonomis serta ada yang berpeluang akan menjadi ekonomis di masa depan.
Beberapa jenis cebakan mineral yang dapat terbentuk pada masing masing tipe antara lain
dapat dilihat pada Gambar 11.1. s.d 11.9.

11.2.1. Cebakan Tipe Urat


Cebakan mineral tipe urat (Gambar 11.1 dan 11.2) mempunyai ciri karakteristik
yang perlu diperhatikan dalam penyontohan sbb :
1. Sebaran mineral/logam tidak teratur
2. Mineral bijih dengan kristal yang kasar memerlukan jumlah sampel yang besar agar
lebih mewakili
3. Umumnya urat berasosiasi dengan zona patahan dan kekar, serta dengan batuan
samping yang dapat menyebabkan dilusi atau tercampur, sehingga perlu
kecermatan dalam penyontohan

Gambar 11.1. Pengambilan sampel urat dengan pengeboran inti (Carlile dkk, 1998)

283
Gambar 11.2. Data sampel hasil paritan uji (trench) urat kuarsa,
Gosowong, Halmahera Utara (Carlile dkk, 1998)

4. Beberapa urat mempunyai sebaran sangat sempit sehingga mudah terdilusi/


tercampur dengan batuan samping
5. Hasil analisis urat dan batuan samping umumnya mempunyai harga yang sangat
kontras. Pengambilan sampel batuan samping dan urat-urat halus di sekitarnya juga
diperlukan untuk dianalisis.
6. Variasi ketebalan serta panjang urat mudah untuk diketahui (Gambar 11.3), hanya
saja sebaran kadar/kandungan logam sangat tidak teratur dan sulit
diperkirakan/dikorelasikan, sehingga pengambilan sampel yang lebih rapat sangat
diperlukan.
7. Urat umumnya sangat keras sehingga menyulitkan dalam pengambilan sampel.
Pengambilan sampel urat mudah menghasilkan data yang bias, karena keseragaman
jumlah/volume sampel dari tiap unit panjang sulit didapatkan, kecuali pengambilan
dengan pengeboran.

284 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

Gambar 11.3. Urat kuarsa bijih emas, Hishikari, Jepang

11.2.2. Cebakan Stratiform


Sebagai sampel tipe stratiform ini yaitu cebakan logam dasar di Daerah Dairi.
Bentuk sebaran dari cebakan ini mendekati bentuk sebaran batuan sedimen dengan
penyebaran sebagaimana sebaran perlapisan batuan sedimen dan bentuk bentuk sebaran
lain dari batuan sedimen (Gambar 11.4).

Ciri dari cebakan ini yang perlu dipertimbangan dalam pengambilan sampel adalah:
1. Sebaran cebakan mineral cenderung tebal
2. Sebaran secara lateral luas
3. Secara struktural dapat terlipat kuat dengan kemiringan besar

285
4. Sebaran dari kadar/ kandungan mineral/logam cenderung seragam dan dapat
diprediksi Perubahan kadar/kandungan/nilai ke arah lateral secara bergradasi dan
sistematis memungkinkan pengambilan sampel lebih jarang
5. Beberapa cebakan dengan mineralisasi berbutir halus memerlukan jumlah sampel
yang lebih sedikit
6. Cebakan mineral yang terdapat pada batuan induk berupa metasedimen lebih
mudah dilakukan penyontohan dan mempunyai bias kesalahan yang relatif rendah
yang biasanya sebagai akibat variasi dari ukuran sampel, kekerasan sampel dan high
nugget effect (efek akibat adanya kadar tinggi yang mempunyai sebaran setempat)
7. Beberapa cebakan tipe ini mempunyai kadar yang relatif tinggi, oleh karena itu nilai
kesalahan akibat pengambilan sampelan kurang berarti/dapat diabaikan
8. Kandungan logam bisa berubah secara gradasional terutama pada bagian hanging
wall, sehingga sampel perlu diperbanyak untuk memastikan gambaran dan variasi
zona bijih secara lengkap

Gambar 11.4. Cebakan berbentuk stratiform laminasi sulfida (Morganti, 1988)

11.2.3. Cebakan Tembaga – Emas Porfiri


Cebakan ini (Gambar 11.5) mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Mempunyai dimensi sebaran yang besar, sehingga jarak pengambilan sampel dapat
lebih jarang (misalnya 100 – 150 m)
2. Bentuk umum non-tabular
3. Sebaran kadar logam rendah dan tidak homogen (erratic), sehingga diperlukan
sampel dalam ukuran yang besar, antara lain dengan parit uji

286 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

4. Mempunyai intensitas dan bentuk mineralisasi yang bervariasi yaitu antara


mineralisasi berbentuk tersebar dan yang berupa urat atau sulfida yang mengisi
rongga-rongga
5. Adanya zona pengkayaan akibat proses oksidasi yang menghasilkan endapan
supergen yang harus dikenali perbedaannya dengan endapan hipogen di dalam
pengambilan sampel
6. Mineralisasi kadar tinggi pada zona hipogene umumnya terkonsentrasi sepanjang
sistem rekahan, sehingga perlu dihindari penempatan bor sejajar dengan
kemiringan rekahan tersebut
7. Zonasi dari sulfida, beberapa logam dan asosiasi alterasi dari batuan dinding perlu
diperhitungkan dalam pengambilan sampel
8. Perubahan batuan misalnya dari monsonit kuarsa ke arah diorit, latit ke arah
andesit, plutonik ke arah lava, dan alterasi filik, argilik, pengersikan dan alterasi
propilitik perlu tercatat perubahannya

Gambar 11.5. Pengambilan sampel inti bor cebakan tembaga porfiri


(sumber: http://www.hotstockmarket.com/t/69178/drv-duran-ventures-inc-tsxv)

287
11.2.4. Cebakan dengan Batuan Induk Karbonat (Tipe Skarn)
Ciri dari cebakan dengan batuan induk karbonat (Gambar 11.6) adalah :
1. Melimpahnya sfalerit dan galena
2. Sulfida umumnya berbutir kasar dan masif dapat dengan jelas teramati dan mudah
dilakukan penyontohan
3. Batas dengan batuan samping tegas sehingga penyontohan dengan mudah
terkontrol dengan membatasi pada zona mineralisasi yang ekonomis
4. Bentuk bervariasi dari tabuler, lensa sampai berbentuk cakram
5. Sebaran bahan galian umumnya mempunyai kemiringan rendah

Gambar 11.6. Cebakan bijih pada batuan karbonat (Cox & Theodore, 1986)

288 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

11.2.5. Cebakan Emas Epitermal


Permasalahan pengambilan sampel pada cebakan epitermal (Gambar 11.7) adalah:
1. Bentuk geometrinya tidak teratur
2. Batas daerah sekitarnya yang mengandung mineralisasi bijih sulit ditentukan
3. Secara internal sangat komplek dengan zona kadar rendah (barren) yang
menyebabkan dilusi
4. Zona kadar tinggi yang sempit dan berasosiasi dengan urat-urat stringer tipis serta
batuan induknya
5. Kontinyuitas tiap individu urat kurang, hal ini akibat bentuknya yang podiform
sampai en-echelon
6. Pengambilan sampel sangat sulit sebagai akibat dari sangat bervariasinya kondisi
batuan akibat alterasi dan atau tektonik
7. Kadar logam rendah sehingga untuk memastikan kadar yang lebih dapat dipercaya
perlu sampel ruah (bulk)
8. Kandungan logam yang berharga tidak selalu dapat teramati secara megaskopis
sehingga perlu pengamatan terhadap indikator yang lain, misalnya kelimpahan pirit,
fusit, turmalin dll
9. Sebaran kandungan logam mempunyai variasi besar sehingga kemungkinan bias
juga besar

Gambar 11.7. Mineralisasi emas pada zona shear ( Roberts, 1990)

11.2.6. Sulfida Masif Volkanogenik


Ciri cebakan sulfida masif volakanogenik (Gambar 11.8) :
1. Perubahan jenis mineralisasi dari bentuk bijih berupa stringers dengan kadar
rendah, berasosiasi dengan batuan terkersikkan, serisitik, dan kloritik ke arah bijih
yang masif atau sulfida mengandung pirit/pirotit dalam jumlah besar dan kalkopirit
serta galena yang bervariasi kelimpahannya

289
2. Variasi secara vertikal dalam hal tipe dan kandungan logamnya perlu diperhitungkan
dalam pengambilan sampel

Gambar 11.8. Cebakan mineral logam tipe sulfida masif (Lydon, 1990)

3. Morfologi tubuh cebakan dapat berupa tabular tetapi biasanya melensa atau
cakram
4. Umumnya berkadar tinggi dan berkemiringan besar, penyontohan dengan
pengeboran sangat diperlukan.

11.3. Klasifikasi Cebakan Bijih


Klasifikasi didasarkan pada geometri, sebaran kandungan logam dan koefisien
variasi C (s.d. x 100/median) dari populasi hasil analisis kandungan unsur sbb:

Tipe A – Koefisien variasi rendah, dibagi menjadi Tipe A1 dan A2.


1) Tipe A1: Geometri dan sebaran kandungan unsur sederhana (bauksit, nikel laterit,
tembaga, dan cebakan stratiform).
2) Tipe A2: Geometri sederhana dengan sebaran kandungan logam kompleks
(tembaga diseminasi, emas stockwork).

290 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

Pada tipe ini estimasi sumberdaya dengan metoda klasik maupun geostatistik
mempunyai hasil yang mirip, walaupun Tipe A2 lebih cocok menggunakan geostatistik.

Tipe B: Geometri komplek dengan distribusi kandungan logam sederhana, koefisien


variasi rendah. Contoh cebakan ini yaitu cebakan logam dasar dan tembaga skarn. Cebakan
ini mempunyai batas tidak teratur menyebabkan potensi dilusi tinggi, geometri kompleks,
sehingga menyulitkan dalam penghitungan dengan geostatistik.

Tipe C: Geometri dan sebaran kandungan logam kompleks, koefisien variasi tinggi.
Sebagai contoh cebakan tipe Arkean. Mineralisasi sangat tidak teratur.

11.4. Metoda Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel deposit mineral dapat dilakukan dengan beberapa
cara/metoda antara lain yaitu:
1. Grab
2. Chip
3. Channel
4. Pengeboran perkusi
5. Pengeboran inti (diamond drill)

11.4.1. Grab
Pengambilan sampel secara grab dilakukan dengan mengambil pada titik-titik
tertentu dari singkapan deposit mineral. Sampel cebakan mineral yang diambil umumnya
secara megaskopis dapat disimpulkan merupakan cebakan mineral yang menarik.

Hasil analisis sampel sangat kurang mewakili deposit mineral di sekitarnya. Untuk
lebih mewakili batuan sekitarnya dilakukan dengan cara komposit, yaitu dari beberapa titik
lokasi pengambilan. Dalam penggambaran ke arah tiga dimensi hasil analisis ini tidak dapat
dipergunakan. Sampel grab terutama digunakan pada pada tahapan eksplorasi yang tidak
rinci.

11.4.2. Sampel Chip


Pengambilan sampel chip ini dilakukan dengan cara mirip dengan channel sampling,
yaitu memanjang secara vertikal atau horisontal mengikuti permukaan deposit mineral.

291
Perbedaan dengan sampel channel, pengambilan sampel chip dilakukan tidak menerus
tetapi diambil pada jarak tertentu dan masing-masing sampel tidak saling bersambungan.

Hasil estimasi menggunakan data sampel chip ini mempunyai kemungkinan bias
sangat besar. Ukuran sampel yang tidak seragam serta representasi sampel kurang
sehingga kalau digunakan pada cebakan yang bersifat erratic nilai biasnya akan sangat
besar. Oleh karena itu data hasil sampel chip untuk estimasi cadangan tidak dipergunakan.

11.4.3. Sampel Channel


Pengambilan sampel sistem channel (channel sampling) yaitu dilakukan pada
permukaan batuan atau cebakan mineral dengan arah memanjang dan menerus sehingga
bekas pengambilan sampel akan berbentuk alur. Sampel dikumpulkan/dimasukkan kantong
pada tiap jarak/panjang tertentu. Arah memanjang dari sampel dapat vertikal (Gambar
11.9) maupun horisontal (Gambar 11.10) terhadap sebaran bijih/mineral.

Lebar dan kedalaman pengambilan sampel harus seragam. Lebar dapat berkisar
antara 3 dan 10 cm, dengan kedalaman 5 cm, dengan panjang tiap sampel dapat konstan
misalnya 50 cm atau 100 cm atau tergantung dari kondisi geologi, perubahan mineralogi
maupun kadar.

Permukaan yang akan diambil sampelnya terlebih dahulu dibersihkan. Pengambilan


dilakukan mulai dari bagian rendah/bawah menerus ke arah lebih atas/tinggi, hal ini
dilakukan untuk menghindari kontaminasi. Apabila pengambilan mulai dari bagian dengan
elevasi lebih tinggi akan menyebabkan kontaminasi pada bagian di bawahnya.

Pengambilan sampel harus dapat mewakili (representatif) dengan baik sebaran


mineral di sekitarnya. Alat untuk mengambil sampel dapat berupa palu, pahat atau mesin
pemotong. Dua alat yang pertama akan menghasilkan keseragaman sampel yang rendah
terutama apabila dipergunakan untuk cebakan mineral yang keras. Bahan galian yang keras
dan mempunyai sebaran kualitas/kadar yang tidak homogen (erratic) penggunaan mesin
pemotong akan lebih baik. Pada kegiatan pengambilan sampel diikuti dengan pencatatan
yang langsung dilakukan di lapangan, yaitu meliputi antara lain nomor, jenis, lokasi dan
dimensi sampel, tanggal, sketsa pengambilan sampel, serta hasil pemerian mineral dan
batuan.

292 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

Gambar 11.9. Pengambilan sampel channel cebakan emas teras aluvial,


Bungo, Jambi (Gurniwa dan Sabtanto, 1995)

Gambar 11.10. Pengambilan sampel channel cebakan emas primer, di Cihideung, Garut
(Sabtanto, 1996)

293
11.4.4. Pengeboran Perkusi
Pengeboran perkusi gerakan memasukkan pipa bor dilakukan dengan pukulan.
Pengambilan sampel dengan bor perkusi mempunyai keseragaman sampel kurang. Saat
pengeboran kemungkinan dinding lubang bor runtuh sangat besar yang menyebabkan
volume sampel yang terambil tidak mencerminkan unit panjang sampel dari kemajuan
pengeboran, disamping juga kontaminasi dari runtuhan dinding lubang bor terhadap
sampel yang lebih di bawahnya cukup besar kemungkinannya.

Pengeboran dengan sistem perkusi ini antara lain Bor Bangka. Bor Bangka pertama
kalinya digunakan di Pulau Bangka untuk eksplorasi timah. Bor Bangka yang saat ini
umumnya sudah menggunakan penggerak mesin digunakan juga pada eksplorasi emas
aluvial (Gambar 11.11).

Pelaksanaan pengambilan sampel dengan menggunakan bor perkusi disertai


pencatatan meliputi informasi perkembangan bor setiap kedalaman, pemerian sampel tiap
unit kedalaman yang di dapat, adanya runtuhan dinding lubang bor, perolehan sampel tiap
unit kedalaman dicatat dengan teliti, dll.

Gambar 11.11. Bor Bangka mekanik dengan cara tumbuk, Bungo, Jambi (Gurniwa & Sabtanto,
1993)

294 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

Gambar 11.12. Bor Bangka cara manual, Bungo, Jambi, (Gurniwa, 1993)

11.4.5. Pengeboran Inti (Diamond Drilling)


Pengeboran inti (diamond drilling) merupakan cara pengambilan sampel cebakan
mineral/bahan galian yang utama pada kegiatan eksplorasi, walaupun kadang digunakan
juga pada lokasi tambang aktif. Metoda ini digunakan juga pada survei geoteknik atau
mekanika batuan.

Pengeboran inti (Gambar 11.13 & 11.14) yang dirancang untuk


menembus/memotong daerah mineralisasi di bawah tanah mempunyai beberapa tujuan
antara lain:
1. Pada eksplorasi, untuk mengetahui batas sebaran dari zona mineralisasi.
2. Penentuan kondisi struktur daerah zona mineralisasi, ketebalan dan kadar/kualitas.
3. Untuk peningkatan status sumber daya agar meningkat menjadi lebih tinggi
misalnya sampai sumber daya tereka atau terbukti.
4. Untuk kontrol grade, misalnya pada pengeboran infill sebelum ditambang.
5. Untuk studi metalurgi, biasanya menggunakan diameter lebih besar.

11.4.5.1. Perencanaan Pengeboran


Apabila deposit mineral yang akan dibor berbentuk tabular, penempatan arah
pengeboran dirancang sbb:

295
1. Lubang pengeboran diletakkan pada arah (dip) sisi miringnya cebakan (Gambar
11.14) sebagaimana ditunjukkan oleh data singkapan, geokimia maupun geofisika.
Penempatan sasaran pengeboran diusahakan memotong bagian atas dari cebakan
mineral, di bawah zona oksidasi dan pelapukan. Perencanaan titik pengeboran
terhadap anomali geokimia dapat dilihat pada Gambar 11.15. Jarak garis lintasan
pengeboran 50 m sd 100 m. Jika kemiringan cebakan mineral tidak diketahui, maka
pengeboran diawali dari dua arah untuk mendapatkan perpotongan dengan
cebakan mineral/zona mineralisasi serta arah kemiringan.

Gambar 11.13. Pengeboran inti, Selodong, Lombok, NTB (gambar koleksi: Zamri Tain, 2007)

2. Zona cebakan mineralisasi paling tidak harus terpotong dengan menggunakan


ukuran NQ (Tabel 11.1).
3. Penentuan sudut perpotongan lubang bor dengan arah lapisan, skistositas dan
belahan batuan harus dihindari membentuk sudut lancip untuk menghindari efek

296 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

“rasher of baco” yaitu kapasitas barrel penuh padahal unit panjang belum tercapai
sebagai akibat inti bor/core yang dihasilkan terpecah-pecah dan saling menyisip.
4. Pengeboran dilakukan dengan sudut yang tepat, perpotongan dengan cebakan
mineral yang teratur sehingga diperoleh profil geologi yang akurat.

Gambar 11.14. Perencanaan lubang pengeboran pertama (Annels, 1991)

5. Penentuan urutan penempatan lokasi pengeboran dapat mengikuti skema Gambar


11.15. Apabila lubang 1 dan 2 telah tercapai dilanjutkan dengan lubang 3 untuk
penentuan kelanjutan sebaran dari zona mineralisasi, kemudian diikuti dengan
lubang nomor 4 dan 5 ke arah samping, serta lubang 6 dan 7 kemudian 8 dan 9.
Sehingga akan membentuk pola offset grid (Gambar 11.16).
6. Sesudah stratigrafi, lokasi dan kemiringan zona bijih telah diketahui, pengeboran
infill (dengan tanda + Gambar 11.15) dapat dilakukan. Pengeboran menggunakan
diameter besar juga diperlukan untuk kajian metalurgi.
7. Penentuan lokasi pengeboran seperti yang terlihat pada Gambar 11.16, yaitu square
grid dan offset grid mempunyai daerah pengaruh berbeda. Untuk tipe square grid,
jarak pengeboran dan daerah pengaruh dari tiap lubang bor adalah a2 dan 2a2. Hal
yang sama untuk offset grid a2 dan 1,53a2. Sehingga offset grid lebih efisien.
Untuk tipe offset mempunyai selisih 22,5 % dengan lubang bor yang diperlukan 29,5
% lebih sedikit untuk mendapatkan tingkat ketelitian yang sama.

297
Gambar 11.15. Anomali geokimia dan rencana lokasi pengeboran (Annels, 1991)

Perencanaan pengeboran pada cebakan non tabular menggunakan strategi dengan


menentukan lokasi lubang pertama berbeda dengan cebakan tabular, yaitu
dilakukan/dimulai dari pusat anomali atau pada singkapan cebakan mineral. Lokasi lubang
selanjutnya diletakkan pada berbagai arah di sekitarnya. Ada tiga alternatif yang dapat
digunakan :
1. Cebakan yang arah sebarannya tidak diketahui, pengeboran dilakukan dengan arah
vertikal
2. Pengeboran miring dengan garis lubang bor sejajar memotong relatif tegak lurus
terhadap zona mineralisasi (Gambar 11.13 dan 11.14)
3. Pengeboran dengan arah kemiringan saling berlawanan (Gambar 11.17). Metoda ini
bermanfaat untuk cebakan yang belum diketahui arah sebarannya, atau ada dua
sistem yang berlawanan, juga lebih bisa menghindari kesalahan akibat kesalahan
arah pengeboran, serta sangat tepat untuk sistem urat yang hampir vertikal dimana
dengan pilihan pertama (kesatu) perpotongan dengan cebakan mineral sulit didapat

Gambar 11.16. Perbandingan tingkat efisiensi antara dua pola pengeboran (Annels, 1991)

298 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

11.4.5.2. Pengambilan Sampel Inti Bor (Core)


Walaupun pengeboran inti (diamond drilling) mahal, tetapi metoda ini mempunyai
beberapa kelebihan dibandingkan yang lain, yaitu :
1. Sampel yang didapatkan menerus menembus zona mineralisasi.
2. Volume sampel yang konstan pada tiap unit panjang sangat sulit didapatkan pada
channel dan chip sampling.
3. Inti bor dapat diamati dan dianalisis dengan lebih hati hati dan teliti (Gambar 11.20
sd 11.21).
4. Informasi tentang geologi, mineralogi dan geoteknik dapat diperoleh dengan baik
demikian pula kandungan logamnya.
5. Kontaminasi yang berasal dari batuan dinding lubang bor atau akibat saat
pengambilan sampel sangat kecil. Apabila permukaan inti bor terkontaminasi dapat
dengan mudah dicuci menggunakan air, HCl encer atau cairan lainnya.
6. Dengan pengeboran ini memungkinkan pengambilan sampel menjangkau jauh di
kedalaman.

Sampel inti bor saat selesai pengambilan dicuci menggunakan air dan dipastikan
saling menyambung serta tidak ada salah penempatan atau terbalik dalam penempatannya
pada kotak sampel. Pada kotak sampel (core box) batas tiap pengambilan dibuatkan
pembatas, serta dicantumkan data kisaran kedalaman tiap sampel. Tingkat perolehan
sampel (core recovery) ditentukan terutama pada zona mineralisasi.

Pada sampel inti bor diberikan tanda untuk batas pengambilan sampel yang akan
dianalisis di laboratorium. Pengambilan sampel untuk analisis dilakukan juga untuk batuan
samping yang tidak termineralisasi, yaitu untuk memastikan batas zona mineralisasi, serta
mengurangi bias akibat pengambilan sampel. Pada cebakan mineral yang homogen dan
masif, tanda yang menunjukkan posisi bagian atas dan bawah pada inti bor perlu dibuat
agar kesalahan penempatan dapat dihindari (Gambar 11.18).

299
Gambar 11.17. Pola pengeboran pada cebakan yang belum diketahui arah sebarannya atau
berarah subvertikal (Annels, 1991)

Pengambilan sampel inti bor (core) dapat dilakukan pada tahapan ini, yaitu dengan
membelah inti bor menjadi dua bagian yang sama dengan arah belahan memanjang inti bor
(Gambar 11.18, 11.19 dan 11.20). Pembelahan bisa menggunakan mesin pemotong dengan
dua bagian sampel yang dihasilkan diusahakan selalu simetri. Pada prakteknya potongan
yang dihasilkan tidak taratur hal ini dipengaruhi oleh kondisi struktur yang ada. Ketidak
teraturan tiap bagian dari sampel dapat menyebabkan bias pada harga rata-rata kadar tiap
unit panjangnya. Namun pemotongan sampel menggunakan mesin pemotong (diamond
saw) dapat diperoleh hasil yang akurat. Hasil pemotongan menggunakan diamond saw
mempunyai permukaan yang bersih memungkinkan pemerian batuan dapat dilakukan
dengan lebih baik, kontak perlapisan dan urat dapat dihitung dengan jelas.

Tahap selanjutnya adalah membagi belahan sampel menjadi potongan potongan


yang disesuaikan dengan interval pengambilan sampel dan memasukkannya ke dalam
kantong sampel. Penentuan interval tiap sampel mempertimbangkan beberapa hal sesuai
dengan sasaran informasi yang diinginkan. Interval sampel diusahakan tidak lebih dari 1,5
m atau kurang dari 20 cm. Penyontohan sebaiknya tepat sampai dengan kontak batuan
samping. Namun pada batuan samping yang berbatasan dengan urat atau zona mineralisasi
sering mengandung kadar logam tinggi, oleh karena itu pada bagian ini juga perlu dilakukan
pengambilan sampel untuk analisis laboratorium.

300 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

Gambar 11.18. Pemotongan inti bor arah longitudinal (Annels, 1991)

Gambar 11.19. Sudut perpotongan antara bidang lapisan dengan permukaan hasil pemotongan inti
bor (Annels, 1991)

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam pengambilan sampel adalah:


1. Perubahan kandungan logam yang tiba-tiba, karena pada tiap interval dari sampel
diusahakan mempunyai kadar yang relatif seragam.
2. Perubahan mineralogi dari mineral bijih, misalnya kalkopirit dan pirit ke arah
kalkopirit dan bornit.
3. Perubahan dari yang perolehan pengolahannya sulit kepada yang mudah, misalnya
perubahan dari sulfida ke oksida, silikat dan karbonat yang tidak bermanfaat dalam
pengolahan.

301
4. Perubahan pada litologi (host rock) misal untuk kuarsa ke arah batuan samping yang
teralterasi, serpih ke arah kuarsit, basalt ke arah serpentin, granit ke arah hornfels,
dll.
5. Perubahan jenis mineralisasi, misalnya dari masif ke arah diseminasi atau bijih
berupa stringers.
6. Lebar dari mineralisasi – urat yang tipis cenderung diambil sampelnya dengan
interval terlalu pendek dibandingkan urat yang tebal.
7. Tingkat keseragaman diperlukan untuk cebakan yang tidak homogen (erratic) untuk
menghindari nugget effect yaitu sampel lebih panjang/volume sampel lebih besar
pada bagian dengan kadar yang tinggi akan menghasilkan nilai kadar yang akan
terbagi rata untuk keseluruhan satu interval sampel sehingga menyebabkan hasil
rata-rata membesar.
8. Perubahan dari ketahanan batuan sebagai akibat adanya kekar, pelarutan, aktivitas
hidrotermal, pelapukan dll.
9. Walaupun nantinya pada tahap akhir nilai dari tiap sampel akan dikompositkan
namun pengambilan panjang tiap interval sampel perlu dikaitkan dengan tinggi dari
jenjang yang direncanakan (dalam hal ini untuk penambangan terbuka).

Gambar 11.20. Inti bor bijih emas urat kuarsa Kencana, Halmahera Utara, (Wardiman, 2005)

302 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

Secara statistik idealnya sampel yang diambil berasal dari unit panjang sama. Tetapi
seandainya harus ada perbedaan panjang dari sampel maka diberikan toleransi variasi
panjang 50%, yaitu 0,5 sampai 1,5 untuk standar rata-rata panjang sampel 1 meter.

Gambar 11.21. Pengamatan inti bor (gambar koleksi: Lahar, 2007).

Gambar 11.22. Sampel inti bor hasil kegiatan eksplorasi, di gudang penyimpanan Mimika

303
Tabel 11.1. Daftar Ukuran Pada Pengeboran Inti, (Berkman, 1982)

Gambar 11.23. Profil longitudinal data hasil pengeboran inti Urat Kencana,
Halmahera Utara (Wardiman, 2005)

304 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

11.5. Pengambilan Sampel Endapan Lepas


Pengambilan sampel endapan lepas mempunyai tingkat akurasi yang rendah dalam
estimasi sumberdaya/cadangan. Hal ini dikarenakan kandungan mineral berharga pada
endapan lepas mempunyai sebaran yang cenderung sangat heterogen.

11.5.1. Endapan Mineral Berat


Endapan mineral berat termasuk di dalamnya yaitu endapan aluvial mengandung
emas, platinum, timah tungsten dan intan. Pada endapan ini sering juga mengandung
mineral ikutan berupa rutil, zirkon, ilmenit, magnesit, monasit, unsur tanah jarang, dan
apatit.

Permasalahan dalam pengambilan sampel pada tipe endapan ini hampir sama
dengan endapan sirtu, yaitu sulit mendapatkan sampel yang representatif, serta sulitnya
menghindari kontaminasi. Kesulitan bahkan akan bertambah lagi pada endapan yang
terletak di bawah permukaan air tanah, dimana air tanah pada teknik pengambilan sampel
sangat berpengaruh sekali. Endapan mineral berat ini umumnya mempunyai sebaran yang
erratic, sehingga bias dalam estimasi sumberdaya/cadangan bisa besar.

11.5.2. Pola dan Kerapatan Pengambilan Sampel


Ada 3 cara penentuan pola dan kerapatan sampel untuk evaluasi endapan mineral berat
1. Pengeboran random dengan spasi 100 – 200 m
2. Pola pengeboran dengan jarak antar cross line 50 – 200 m dan jarak lubang dalam
satu cross line 15 – 50 m (Gambar 11.26 dan 11.29).
3. Grid pengeboran teratur 400 x 400 m dan diperapat secara sistematis menjadi 50 x
50 m pada tahapan untuk data estimasi cadangan.

11.5.3. Metoda Pengambilan Sampel


Metoda pengambilan sampel endapan mineral berat yaitu antara lain:
1. Sumur Uji (hand pitting), pengambilan sampel dengan membuat sumuran uji,
kedalaman yang dapat dijangkau 15 meter.
2. Mechanical Pitting yaitu pembuatan sumuran uji menggunakan excavator yang
dapat menembus endapan sampai kedalaman 16 meter dengan diameter 1 meter.
3. Paritan Uji (Trenching), pengambilan sampel menggunakan paritan uji dapat
dilakukan menggunakan excavator yang bisa menggali sampai kedalaman 10 meter,

305
lebar parit 1 meter. Channel sampling secara vertikal dapat dilakukan pada dinding
paritan dengan interval yang teratur.
4. Bor Bangka, pengeboran ini mempunyai diameter 10 – 15 cm, penetrasi dilakukan
dengan pukulan (Bor Bangka mekanis) atau diputar (Bor Bangka manual).
Pengambilan sampel yang terdapat di dalam casing dilakukan menggunakan bailer
yang dipasang klep.
5. Hand Auger, pengambilan sampel menggunaan hand auger bisa dilakukan pada
interval kedalaman secara teratur dan dapat menembus sampai 10 meter.

11.5.3.1. Test Pit (Sumur Uji)


Pengambilan sampel dilakukan dengan membuat sumuran untuk pengambilan dan
pemerian sampel. Metoda ini sangat baik, di mana sampel yang didapatkan benar-benar in-
situ dan bisa mendapatkan data fraksi ukuran besar misalnya kerakal sampai bongkah.

Kedalaman yang dapat dijangkau dengan metoda ini sangat terbatas dan cenderung
merusak kondisi areal di sekitarnya. Penggunaan metoda ini terutama untuk endapan
dangkal dan kering (Gambar 11.24).

Gambar 11.24. Sumur uji (test pit)

306 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

11.5.3.2. Auger
Pemakaian auger dapat menjangkau endapan dengan kedalaman lebih besar
dibandingkan test pit dan pelaksanaan lebih cepat, hanya saja mempunyai akurasi yang
rendah (Gambar 11.25).

11.5.3.3. Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan pada seluruh kedalaman. Interval pengambilan
sampel 30 – 50 cm. Pengukuran volume sampel harus sangat hati-hati, yaitu dengan
membandingkan volume teoritis yang seharusnya didapat. Diameter lubang bor umumnya
20 – 25 cm, sedangkan bor untuk membuat sumuran lebih besar.

Ciri khas endapan mineral berat mempunyai kelimpahan sebaran ukuran butir dan
kadar bervariasi, oleh karena itu perhitungan dalam estimasi sumberdaya/cadangan tidak
dalam satuan berat tetapi dalam volume. Variabel yang umumnya digunakan yaitu: g/m 3,
kg/m3, atau per satuan luas g/m2, kg/m3.

Gambar 11.25. Pengeboran menggunakan auger (kiri), pengambilan sampel bor bangka, Bungo,
Jambi (Gurniwa dan Sabtanto, 1994)

307
Gambar 11.26. Pengukuran untuk penentuan lokasi titik bor, Bungo, Jambi,
(Gurniwa dan Sabtanto, 1993)

11.5.3.4. Mineral Dressing


Proses yang biasa disebut dengan mineral dressing ini dilakukan mengingat volume
sampel yang dihasilkan pada kegiatan pengambilan sampel sangat besar, maka perlu
dikurangi (Gambar 11.27) disamping juga untuk keperluan pemerian sbb:
1. Sebaran fraksi butir yang bernilai ekonomis maupun tidak ekonomis.
2. Berkaitan nantinya dengan proses pencucian.
3. Kandungan lumpur/fraksi halus.
4. Perolehan mineral.
1. Sluicing (penggelontoran bersama air).
2. Pemisahan secara gravitasi.
3. Pemisahan mineral berat menggunakan cairan berat.
4. Pemisahan berdasarkan sifat magnetik.

308 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

Proses mineral dressing ini mempunyai beberapa metoda (Gambar 11.27 dan
11.28), yang secara garis besar antara lain:
1. Pencucian dengan air serta penyaringan
2. Pendulangan

Konsentrat yang dihasilkan dapat langsung ditimbang di lapangan (Gambar 11.28).


Pemerian menggunakan mikroskup binokuler untuk penentuan sebaran kandungan mineral
butir. Untuk menangkap butiran emas halus dapat menggunakan merkuri (proses
amalgamasi). Amalgamasi bisa dilakukan langsung di lapangan dan dilanjutkan ekstraksi di
laboratorium. Untuk endapan kasiterit (timah) perlu membuat klasifikasi berdasarkan
persen volume tiap kisaran butir tertentu.

Gambar 11.27. Pengukuran volume sampel, dan pencucian untuk menghilangkan


fraksi lempung agar mudah dilakukan pendulangan (Gurniwa dan Sabtanto, 1993)

309
Gambar 11.28. Pendulangan untuk mendapatkan mineral berat (Gurniwa dan Sabtanto, 1993)

Gambar 11.29. Profil endapan emas aluvial, Natal, Sumut (Pohan, 1996)

310 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 11 METODE PENGAMBILAN SAMPEL UNTUK ESTIMASI SUMBERDAYA/CADANGAN

11.5.4. Penutup
Cebakan mineral dengan jenis dan tipe mineralisasi yang beberapa macam, masing-
masing mempunyai karakteristik yang memerlukan perlakuan berbeda dalam pengambilan
sampel untuk mendapatkan hasil representatif. Cebakan dengan sebaran kualitas dan
kadar relatif homogen memerlukan jumlah sampel lebih sedikit dan kerapatan sampel lebih
jarang untuk memperoleh data yang optimal. Cebakan mineral bersifat heterogen
memerlukan jumlah tiap sampel lebih banyak dan kerapatan sampel lebih rapat.

Pengambilan sampel menggunakan metoda yang disesuaikan dengan karakteristik,


posisi kedalaman dan dimensi dari deposit mineral. Cebakan bersifat keras berbeda metoda
pengambilan sampelnya dengan batuan bersifat lepas. Demikian juga sebaran batuan
dangkal memerlukan penggunaan alat dan metoda yang berbeda dengan deposit yang
terdapat pada posisi dalam.

Pengambilan sampel selain harus representatif juga harus optimal, yaitu


menggunakan metoda yang tepat sehingga pemakaian beaya bisa efisien. Data hasil
pengambilan sampel dan analisisnya diolah secara statistik untuk mendapatkan gambaran
sebaran vertikal maupun horisontal tubuh cebakan mineral. Penentuan metoda estimasi
sumberdaya/cadangan, baik secara konvensional maupun geostatistik tergantung pada
karakteristik sebaran mineral.

11.6. Daftar Pustaka


Anonim, http://www.hotstockmarket.com/t/69178/drv-duran-ventures-inc-tsxv. 1
Desember 2014.
Annels, A.E., 1991. Mineral Deposit Evaluation, Chapman and Hall, Madras
Berkman, D.A., 1982, Field Geologists’ Manual, The Australian Institute of Mining and
Metallurgy, Victoria
Carlile, J.C., Davey, G.R., Kadir, I., Langmead, R.P., & Rafferty, W.J, 1998. Discovery and
Exploration of the Gosowong epithermal gold deposit, Halmahera, Indonesia,
Elsvier, Ontario
Cox, D.P., dan Singer, D.A., 1986. Mineral Deposit Models, USGS, Washington
Gurniwa, A., dan Sabtanto, J.S, 1993. Penyelidikan Emas Letakan di Daerah S. Benit dan
Sekitarnya, Muarabungo, Jambi, Tidak dipublikasikan, PT. Allindo Mitrasarana
Gurniwa, A., dan Sabtanto, J.S, 1994. Penyelidikan Emas Letakan di Daerah S. Benit dan
Sekitarnya, Muarabungo, Jambi, Tidak dipublikasikan, PT. Allindo Mitrasarana

311
Gurniwa, A., dan Sabtanto, J.S, 1995. Penyelidikan Emas Letakan di Daerah Tambang Cucur
dan Sekitarnya, Muarabungo, Jambi, Tidak dipublikasikan, PT. Allindo
Mitrasarana
Hartman, H.L., 1987. Introductory Mining Engineering, John Wiley & Sons, Inc., Singapore
Macdonald, E, H, 1983. Alluvial Mining, Chapman and Hall, New York
Roberts, R.G., dan Sheahan, P.A., 1990, Ore Deposit Models, Geological Assosiation of
Canada, Ontario

312 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

BAB 12

PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN


SECARA KONVENSIONAL
Raharjo Hutamadi dan Lia Novalia Agung

12.1. Sistim Penambangan


Keterdapatan endapan bahan galian (mineral) yang tersebar hampir di seluruh
kepulauan Republik Indonesia merupakan anugerah yang patut disyukuri. Mineral/endapan
bahan galian merupakan sumber daya alam yang dapat diharapkan untuk dapat berperan
dalam perekonomian sebagai perolehan pajak, devisa dan penyerapan tenaga kerja.
Karakteristik endapan bahan galian yang hampir seluruhnya terdapat pada bagian
bawah lapisan permukaan tanah, menyebabkan diperlukannya perlakukan-perlakuan
khusus (baca teknik penambangan) untuk mengambil dan memanfaatkan bahan galian
tersebut. Secara umum sistim penambangan dikelompokkan menjadi surface mining
(tambang terbuka/permukaan) dan underground mining (tambang dalam/bawah tanah).
Pemilihan sistim dan teknik penambangan sangat ditentukan oleh faktor-faktor antara lain:
 Letak/posisi bahan galian
 Topografi permukaan
 Jenis bahan galian
 Karakteristik bahan galian dan batuan samping
 Kondisi geologi (struktur)
 Alat yang digunakan
 Nilai bahan galian
 Limitasi ketentuan perundang-undangan (lingkungan)

12.1.1. Surface Mining (tambang terbuka/permukaan)


Pengertian surface mining adalah cara penambangan yang kegiatannya
berhubungan langsung dengan alam terbuka atau di atas permukaan. Sistim penambangan
ini juga dikelompokkan lagi berdasarkan jenis atau macam endapan bahan galian yang

313
ditambang seperti pada penambangan logam, non logam, batubara dan jenis endapan
aluvial yaitu :
1) Open pit/open cast/open cut/open mine
Sistim ini umumnya digunakan untuk penambangan jenis endapan bijih yang
mengandung logam seperti tembaga, nikel dan bauksit. Tambang terbuka yang
diterapkan untuk endapan bijih yang mengandung logam disebut open pit untuk
model bukaan yang membentuk sumuran/pit, sedangkan untuk kegiatan penggalian
yang memotong atau mengelilingi bukit disebut open cut atau open cast. Tambang
terbuka sering disebut juga open mine (Gambar 12.1).

Gambar 12.1. Open pit tembaga di Batu Hijau, Sumbawa (Foto koleksi Sabtanto, 2012)

2) Quarry
Sistim penambangan ini digunakan untuk penamaan pada penambangan bahan
galian non logam seperti kapur, marmer, andesit, granit, dan fosfat (Gambar 12.2).

3) Strip mining (countour mining)


Dari namanya dapat diartikan sebagai penambangan lapisan endapan. Sistim ini
digunakan untuk penambangan jenis endapan relatif horisontal yang berbentuk
lapisan/bedded deposit, seperti batubara. Sehingga arah penambangan lapisan demi
lapisan.

314 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

4) Alluvial mining (placer mining/beach mining)


Dibagi lagi metode penambangannya yaitu :
o Mannual, dilakukan dengan mengandalkan tenaga manusia
o Hydraulicking (tambang semprot) seperti pasir besi di Cilacap (Gambar 12.3)
o Dredging (kapal keruk) seperti timah sekunder di Bangka, Belitung.

Gambar 12.2. Tambang granit PT. Bukit Panglong, lokasi di Bukit Panglong, Kabupaten Bintan,
Rohmana dkk. (2007)

315
Gambar 12.3. Penggunaan beberapa pompa monitor pada satu front penambangan
(sumber://www.museumca.org)

12.1.2. Underground Mining (tambang dalam/ bawah tanah)


Pengertian underground mining adalah cara penambangan yang kegiatannya
dilakukan di bawah permukaan atau di bawah tanah dan tidak berhubungan langsung
dengan alam terbuka. Sistim penambangan pada tambang bawah tanah ini dapat dibagi
menjadi tiga kelompok berdasarkan pertimbangan:
 Cara pengambilan bahan galian dalam tambang, termasuk pembuatan lubang-
lubang masuk dan ruang-ruang penambangan.
 Cara penyanggaan termasuk penggunaan penyanggaan buatan (artificial support)
 Kemungkinan cara ambrukan (caving)
Ketiga kelompok tersebut adalah :
1. Open Stope (self supporting openings)
2. Supported Stope (supported openings)
3. Caving Methods (ambrukan)

1) Open Stope (self supporting openings)


Yaitu sistim penambangan yang dicirikan bahwa lubang bukaannya tidak atau sedikit
menggunakan penyanggaan buatan (artificial), umumnya untuk kriteria batuan dan
endapan bijih yang keras dan lebar endapan terbatas (sempit), terdiri atas:

316 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

 Underground Glory Hole


 Gophering (coyoting)
 Pillared Open Stope
 Room and Pillar (di Ombilin, Tenggarong)
 Sublevel Stoping
 Shrinkage Stoping

Gambar 12.4. Metode penambangan room and pillar


2) Supported Stope (supported openings)
Yaitu sistim penambangan yang dicirikan bahwa lubang bukaannya harus/banyak
menggunakan penyanggaan, umumnya untuk kriteria batuan (country rock) relatif
lunak dan endapan yang lunak, terdiri atas :
 Cut and Fill stoping, seperti tambang emas di Cikotok
 Square Set Stoping
 Stull Stoping
 Shrink Fill stoping(Gambar 12.5)
 Long Wall Mining, seperti tambang batubara di Ombilin
 Short Wall Mining

317
Gambar 12.5. Metode penambangan shrinkage stoping

3) Caving Methods (ambrukan)


Yaitu sistim penambangan dimana pembongkaran endapan dilakukan dengan cara
meruntuhkan atau mengambrukan bersama batuan di atasnya.
 Top Slicing
 Sublevel Caving (Gambar 12.6)
 Block Caving, seperti tambang tembaga di Freeport (Gambar 12.7)

318 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

Gambar 12.6. Metode sublevel caving

Gambar 12.7. Metode block caving

319
Gambar 12.8. Metode kombinasi tambang permukaan dengan tambang bawah tanah

12.2. Estimasi Sumberdaya/Cadangan Secara Konvensional


Estimasi atau penghitungan cadangan dalam bidang pertambangan dan pengolahan
bahan galian adalah merupakan hal yang sangat penting karena hasil ini akan sangat
menentukan untuk perencanaan design penambangan dan sasaran produksi. Estimasi atau
penghitungan cadangan secara umum dikenal adalah dengan metode konvensional dan
geostatistik, tetapi dalam hal ini hanya dibahas pada metode konvensional yaitu dengan
cara pendekatan luas daerah pengaruh atau area of influence.

320 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

Dalam memperhitungkan cadangan bahan galian biasanya mempertimbangkan


beberapa parameter dan faktor sehingga bahan galian sudah dianggap bijih untuk logam,
kadar/kualitas ekonomis untuk bahan galian selain logam atau bahan galian yang sudah
dianggap berharga. Selain itu persoalan yang dihadapi dalam penghitungan cadangan
antara lain: cara penghitungan berbeda tergantung pada pola (pattern) test pit/lubang bor,
variasi sebaran, kadar/kualitas, luas daerah yang dinyatakan cadangan. Penghitungan
secara konvensional menggunakan pendekatan luas daerah pengaruh atau area of
influence.

12.2.1. Area of influence


Gambar 12.9 menunjukkan beberapa pola/pattern pemboran yang umum dilakukan
untuk menunjang dalam penghitungan cadangan, hal ini tentunya mempertimbangkan
keadaan dan penyebaran bahan galian. Pada bagian a yang terdiri: (1) menggambarkan
posisi sebaran titik lubang bor, pada bagian (2) dari titik lubang bor ditarik garis putus-putus
yang menghubungkan ke arah pusat titik lubang bor yang di tengah area, bagian (3) ditarik
lagi garis putus-putus melalui tengah-tengah jarak dari hasil bagian (2). Pada bagian (4)
hasil penarikan garis dari bagian (3) dipertegas, inilah yang yang dimaksud dengan daerah
pengaruh/area of influence. Selanjutnya bagian b dan c menggambarkan pola area of
influence dalam suatu luas wilayah yang akan dihitung cadangannya. Sedangkan pada
gambar d, menunjukkan penampang lubang bor untuk mengetahui kedalaman dan
ketebalan endapan bahan galian yang akan dihitung (lihat juga pada gambar 12.10).

321
Gambar 12.9. Pattern lubang bor

Gambar 12.10. Penampang lubang bor dan ketebalan bahan galian

Penghitungan menggunakan pendekatan area of influence, dengan cara extended


area atau included area melalui cara–cara penghitungan luas/area yang berupa:
- Persegi panjang/rectangular
- Poligon

322 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

- Segitiga/triangular grouping
Dalam hal ini letak atau jarak lubang bor bisa sama dan teratur atau tidak sama dan tidak
teratur.

12.2.1.1. Extended Area


Pada cara extended area disini luas yang akan dihitung adalah dengan cara daerah
pengaruhnya diperpanjang sampai setengah jarak antara titik lubang bor. Lihat titik no 1
sampai dengan no 16. Sebagai contoh; misalkan jarak lubang bor sama = 300 ft atau 100 yd,
dalam luas persegi empat bagian luar adalah (4 x100 ) X (4 x 100) yd², sedang data
kedalaman lubang bor, kadar seperti tertera pada gambar 12.11 berikut.
Penghitungan cadangan selanjutnya lihat tabel 12.1 di bawah.
Sehingga diperoleh hasil penghitungan cadangan = 400 x 400 x 4,06 = 649.600 cu.yd.

Gambar 12.11. Cara extended area dengan jarak lubang bor teratur

Kolom-kolom pada tabel 12.1 diperoleh dari data pada gambar 12.12 dimana panjang
conto dari lubang bor dalam feet dan kadar dinyatakan dalam cent dollar per cu.yd dan
jumlah titik bor 16 buah ( titik 1 ,2,3,... 16).

323
Tabel 12.1 Penghitungan cara Excluded Area

Gambar 12.12. Daerah pengaruh dengan jarak lubang bor teratur


pada sudut 60 0

324 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

13.2.1.2. Included area


Pada cara ini, luas daerah pengaruh yang akan dihitung dibatasi sampai pada ujung
titik lubang bor saja, dibatasi titik bor no 1–4 dan no 13-16 (Gambar 12.13).

Gambar 12.13. Included area jarak lubang bor teratur


Contoh penghitungan lihat pada tabel 12.2. Dari Tabel 12.2 diperoleh ketebalan
rata-rata, sehingga total volume dapat dihitung yaitu luas seperti yang diterangkan pada
Gambar 12.14 dikalikan dengan ketebalan rata-rata hasil dari Tabel 12.2. Ada cara lain
untuk menghitung volume cadangan dengan cara mengelompokkan masing-masing daerah
pengaruh (blok-blok) setiap titik lubang bor, menjadi 9 unit luas daerah pengaruh lihat pada
Tabel 12.3.

325
Tabel 12.2 Penghitungan Volume Included Area dengan Lubang Bor Jarak teratur

Pada penghitungan menurut Tabel 12.3 berdasarkan pengelompokan blok-blok


menunjukkan hasil yang sama dengan cara pada penghitungan Tabel 12.2.
Di bawah ini contoh luas daerah pengaruh dengan jarak lubang bor tidak teratur
(Gambar 12.14). Masalah yang timbul adalah penghitungan luasnya dengan bantuan alat
planimeter apakah menggunakan skala yang betul-betul tepat. Penggunaan skala disini
dapat mempengaruhi besar-kecilnya kesalahan hasil penghitungan total luas daerah
pengaruh. Selanjutnya hasil tersebut setelah dikalikan dengan ketebalan rata-rata maka
akan mempengaruhi juga kesalahan volume total cadangan yang dihitung.

326 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

Tabel 12.3. Penghitungan Volume Included Area dengan pengelompokan Blok

327
Gambar 12.14. Daerah pengaruh dengan jarak lubang bor tak teratur

Contoh penghitungan ditunjukkan pada Tabel 12.4. Kolom paling kiri menunjukkan
nomor titik lubang bor, kolom selanjutnya sesuai dengan data-data yang tertera pada
Gambar 12.15.

328 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

Tabel 12.4. Penghitungan Volume Included Area dengan jarak lubang tak teratur

Hasil dari tabel 12.4 menunjukkan jumlah cadangan adalah 339. 075 ton.

Gambar 12.15. Triangle grouping dengan jarak lubang bor tak teratur

329
Cara penghitungan berdasarkan triangular grouping biasanya dipergunakan untuk
menghitung cadangan dari endapan aluvial/placer, caranya seperti pada contoh-contoh
sebelumnya hanya disini penghitungan luas daerah pengaruh menggunakan dua cara yaitu;
pertama menghitung luas segitiga = alas x ½ tinggi dan kedua menggunakan alat bantu
planimeter. Perhatikan data-data pada gambar 12.15 di atas selanjutnya perhatikan kolom-
kolom pengisian dan penghitungan pada tabel 12.5.
Di sini luas daerah pengaruh dibagi masing-masing kelompok lubang bor yang
nantinya bila dikalikan dengan ketebalan rata menjadi prisma-prisma segitiga. Perhatikan
kolom kedua dari kanan yaitu volume prismoid pada baris paling bawah menunjukkan
harga 15889 cu.yd ini berarti jumlah volume cadangan yang dihitung, selanjutnya bila
dikalikan berat jenis endapan akan diperoleh jumlah cadangan dalam ton.
Contoh penghitungan cadangan dalam suatu blok yang dibatasi oleh lebar urat
(vein) dengan data-data panjang, lebar dan kadar seperti pada gambar 13.15 di bawah.
Dimisalkan luas blok adalah 30 ft x 40 ft, selanjutnya perhatikan cara penghitungan pada
tabel 12.6. Hasilnya menunjukkan volume cadangan yang dihitung adalah 6600 cu.ft. dan
dimisalkan berat jenis bijih 3.0 maka jumlah cadangan dalam blok tersebut adalah 618,75
ton.

330 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

Tabel 12.5. Penghitungan Berdasarkan triangular grouping

331
Gambar 12.16. Penghitungan cadangan bijih pada blok penambangan.
Tabel 12.6. penghitungan cadangan dalam blok yang dibatasi oleh lebar urat

332 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

12.2.2. Metode Geostatistik


Pengembangan dalam penghitungan cadangan adalah melalui konsep geostatistik
diantaranya dengan cara variogram, varians estimasi dan kriging. Pada kesempatan ini
tidak dibahas mengingat perlu pendalaman dan waktu yang khusus.

12.3. Pengenalan Tentang Stripping Ratio Dan Cut Off Grade


12.3.1. Stripping Ratio (SR)
Definisi Stripping ratio (SR) atau nisbah pengupasan adalah perbandingan antara
tonase cadangan bahan galian dengan volume material lain (sumber daya dan atau waste)
yang harus digali dan dipindahkan untuk dapat menambang cadangan tersebut. Stripping
Ratio (SR) dikenal hanya pada kegiatan tambang terbuka, faktor-faktor yang perlu
diperhatikan adalah:
a) Design tambang, hal ini tercakup dalam perencanaan tambang antara lain dari segi:
Sistim benching, lebar, tinggi dan kemiringan lerengnya ( individual maupun over
all) serta kestabilan lerengnya
b) Sarana transportasi, kondisi jalan, lebar dan panjang jalan
c) Kapasitas dan kombinasi alat-alat produksi, penggalian,pengangkutan (alat gali, alat
muat, alat angkut)
d) Lokasi dan jumlah stock pile
Secara praktis definisi S.R. adalah jumlah volume overburden (material) yang tergali
dan dipindahkan untuk mendapatkan satu ton produksi sehingga nantinya akan muncul
angka perbandingan sebagai SR = ? : 1, misalnya 5 : 1, 8 : 1, dan sebagainya.
Volume O.B.(material)
SR =
Ton produksi

Dalam menentukan stripping ratio umumnya perhitungan berdasarkan overall


stripping ratio ; yaitu
ton material (ore + waste ) - ton ore
SR = ___________________________
ton ore

333
Gambar 12.17. Rencana kemiringan bukaan tambang terbuka

Gambar 12.18. Rencana pit limits pada tambang terbuka

334 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

12.3.2. Break Even Stripping Ratio (BESR)


Untuk mengetahui apakah pemilihan cara penambangan dengan tambang terbuka
menguntungkan atau tidak, harus ditentukan terlebih dahulu dengan menggunakan
perhitungan BESR, juga disebut Economic Limit Stripping Ratio ada 2 cara yaitu :

a). (Recoverable value/ton ore) -- (production cost/ton ore)


b.e.s.r =
(stripping cost/ton waste)
Jika b.e.s.r > 1 : untung
< 1 : rugi
= 1 : impas
b).
[ Harga ] - [ Ongkos Produksi + Keuntungan minimum]
b.e.s..r = ton ore ton ore

[Ongkos stripping/ton waste]

Gunanya BESR untuk menentukan “ultimate pit limit” (Lihat gambar berikut).
Sehingga besaran angka yang diperoleh tentunya berdasarkan aspek teknis dan ekonomis
yang diyakini perusahaan menguntungkan.

335
Gambar 12.19. Penampang jenjang (bench)

12.3.3. Cut off Grade (CoG)


CoG diperhitungkan hanya dalam penambangan bahan galian logam, disini faktor
ekonomi sangat berpengaruh, yang perlu diperhatikan antara lain :
Aspek teknik dan ekonomi; semua faktor dalam penambangan termasuk ongkos/biaya ,
bagaimana cara blending dan mixingnya
Ada dua cara menentukan CoG, yaitu :
a). Break Even Cut off Grade

[Ongkos stripping] + [Ongkos konsentrasi]


Ton material ton bijih
= X 100%
[Harga metal ] _ [Ongkos refining] x recovery
ton metal ton metal

b). Marginal cut off grade

336 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 12 PENGENALAN SISTIM PENAMBANGAN DAN ESTIMASI CADANGAN SECARA KONVENSIONAL

[Ongkos konsentrasi per ton ore]


= X 100 %
[Harga metal] _ [Ongkos refining] x recovery
Ton metal ton metal

Dalam hal ini ongkos stripping termasuk mining dan hauling untuk bijih dan waste dianggap
sama.
Marginal cut off grade dianggap lebih baik bila biaya untuk mengekstraksi bijih dengan
kadar tertentu lebih kecil dari pada biaya untuk stripping.

*. Lower cut off limit :


b + C1
VL = X 100 %
(r - C2) F

** Upper cut off limit :


(b - a) + C1
VU =-------------------------- X 100 %
(r - C2) F
Dimana : a = ongkos stripping per ton waste
b= ongkos penambangan & pengangkutan per ton ore
C 1 = ongkos milling per ton ore
C 2 = ongkos refining per ton ore
r = harga refining per ton metal
F= extraction factor
Dalam hal ini V L dan V U dapat menyatakan “range“ dari cut off grade bila terdapat bijih,
dimana kadarnya terletak diantara V L dan V U, maka sebagai pertimbangan apakah bijih
tersebut dianggap waste atau tidak, ditentukan oleh biaya stripping dan biaya
penambangan ditambah biaya milling (mana yang lebih murah).
Berkaitan dengan pemantauan konservasi maka besaran angka baik SR maupun CoG
harus betul-betul optimal dan tidak terjadi pemborosan, SR diusahakan sebesar mungkin
tetapi CoG harus serendah mungkin.

337
12.4. Daftar Pustaka

Anonim. Http//www. Mine Engineer.Com


Anonim. http//www.museumca.org/goldrush/fever19-hy.html
Ennels, Alwyn E.,1991, Mineral Deposit Evaluation , A practical approach, Chapman & Hall,
London, Firsth Edition.
Hartman, Howard, L.,1987, Introductory Mining Engineering, John Wiley & Sons Inc.,New
York – Singapore.
Hoppe Richard, 1978, Operating Handbook of Mineral Surface Mining and Exploration, E-
/MJ library of Operating Handbooks, Mc. Graw Hill, Inc.,Avenue of The Americas
New York, N.Y. 10020 USA.
Hustrulid, W. A., Hamrin, Hans, 1982, Underground Mining Methods Handbook, The
American Institute of Mining Metallurgical and Petroleum Engineers, Inc., New
York, New York
Parks, Roland D., 1973, Examination and Valuation of Mineral Property, Addition –
Wishley Publishing Company, Advanced Book Program, 4 th Edition.
Rohmana, Pohan M.P., Junaedi K. Edie, 2007. Inventarisasi Bahan Galian pada Bekas
Tambang di Daerah Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pusat Sumber Daya
Geologi. Bandung.

338 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

BAB 13
PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN
MINERAL LOGAM
Sabtanto Joko Suprapto dan Mochamad Ruslin

13.1. Umum

Pengolahan bijih adalah proses pemisahan mineral berharga dari mineral tak
berharga atau pengotor (gangue mineral), menghasilkan produk yang kaya dengan mineral
berharga. Tergantung pada jenis tambang dan jenis bijih, pengolahan bijih pada umumnya
terdiri dari proses benefisasi (benefication), di mana bijih yang ditambang diproses menjadi
konsentrat bijih diikuti dengan proses metalurgi dan refining (Gambar 13.1).
Proses benefication umumnya terdiri dari kegiatan persiapan, penghancuran,
penggilingan, peningkatan konsentrasi dengan gravitasi, atau pemisahan secara magnetik,
atau dengan menggunakan metode flotasi, hasil dari proses tersebut adalah konsentrat
bijih dan limbah dalam bentuk tailing (ampas).

Gambar 13.1. Bagan alir pengolahan

Pengolahan bijih bertujuan untuk mengatur ukuran partikel bijih, menghilangkan


bagian-bagian yang tidak diinginkan, meningkatkan kualitas, kemurnian atau kadar bahan.
Proses pengolahan umumnya terdiri dari: penghancuran, penggilingan (Gambar 13.2),
pencucian, pelarutan, kristalisasi, penyaringan, pemilahan, pembuatan ukuran tertentu,
penggunaan tekanan dan panas di bawah titik lebur untuk mengikat partikel-partikel logam
(sintering), pembentukan partikel-partikel logam menjadi butiran-butiran kecil
(pellettizing), kalsinasi untuk mengurangi kadar air dan/atau karbon dioksida, roasting
(pemanggangan), pemanasan, klorinasi untuk persiapan proses lindian, pengentalan secara

339
gravitasi, pemisahan secara magnetis, pemisahan secara elektrostatik, flotasi
(pengapungan), penukar ion, ekstraksi pelarut, electrowining, presipitasi, amalgamasi, dan
heapleaching.

Gambar 13.2. Penggilingan (ball mill) diisi dengan bola-bola baja dan diputar untuk
menggiling batuan bijih emas menjadi tepung, lokasi di Cikotok, Banten.

Ekstraksi metalurgi merupakan proses pengolahan untuk mengekstrak logam


dengan mengeluarkan atau mendapatkan kandungan logam dari ikatan persenyawaannya
dengan unsur lain di dalam mineral atau konsentrat bijih. Pengolahan metalurgi dengan
cara mengisolasi logam yang terkandung pada konsentrat bijih dengan metode
pyrometallurgi, hidrometalurgi, atau elektrometalurgi baik dilakukan dengan proses
tunggal maupun kombinasi.
Proses pemisahan dengan metode pirometalurgi membutuhkan waktu relatif
singkat, hanya beberapa jam, akan tetapi menggunakan suhu tinggi, yaitu bisa mencapai
2000oC. Hidrometalurgi merupakan teknik pemisahan dengan menggunakan larutan atau
reagen kimia untuk menangkap atau melarutkan logamnya seperti proses sianidasi pada
pengolahan emas. Teknik hidrometalurgi bisa memisahkan logam dari bijih berkadar
rendah, akan tetapi proses lambat, memerlukan waktu beberapa hari sampai beberapa
bulan. Teknik elektrometalurgi dilakukan dengan memanfaatkan teknik elektrokimia
(elektrolisis) untuk memperoleh logamnya. Untuk sekala besar teknik elektrometalurgi
kurang efisien karena membutuhkan energi listrik yang sangat besar.
Lingkup bahasan pada tulisan ini meliputi proses benefisasi dan proses metalurgi
yang umum dijumpai di Indonesia. Beberapa metode pengolahan diuraikan secara singkat,
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam penyelidikan mineral.

340 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

Tabel 13.1. Sistem penambangan dan pengolahan beberapa jenis bijih


(Karliansyah, 2001)
Bijih Sistim Penambangan Proses Pengolahan
Emas-Perak • Permukaan • Sianidasi
• Bawah tanah • Elution
• Electrowinning/zinc precipitation
• Milling
• Base metal flotation
• Peleburan
 Amalgamasi
Emas aluvial • Permukaan • Pemisahan grafitasi
• Roughing, cleaning, fine separation
• Pemisahan magnetik
Timah • Permukaan • Pemisahan grafitasi
• cleaning, fine separation
• Pemisahan magnetik
• Peleburan
Timbal-seng • Bawah tanah • Milling
• Flotasi
• Sintering
• Peleburan
Tembaga • Permukaan • Milling
• Bawah tanah • Flotasi
• Smelting
• Acid leaching
• SX/EW recovery
• Iron precipitation/smelting
Besi • Permukaan • Milling
• Bawah tanah • Pemisahan secara magnetik
• Pemisahan secara grafitasi
• Flotasi
• Agglomeration
• Blast furnace

13.2. Pemisahan Metode Magnetik

Pemisahan magnetik merupakan pemisahan satu mineral atau lebih dengan mineral
lainnya dengan memanfaatkan perbedaan sifat kemagnetan dari mineral-mineral yang
dipisahkan. Mineral-meneral yang terdapat dalam bijih akan memberikan respon terhadap
medan magnet sesuai dengan sifat kemagnetan yang dimiliki.
Mineral-mineral yang memiliki sifat kemagnetan tinggi akan terpengaruh oleh
medan magnet. Mineral-mineral ini akan tertarik oleh medan magnet dan dikelompokan
sebagai mineral magnetik. Sedangkan Mineral-mineral yang tidak memiliki sifat
kemagnetan, tidak akan terpengaruh ketika dilewatkan pada medan magnet. Mineral-
mineral ini tidak akan tertarik oleh medan magnet dan dikelompokkan sebagai mineral non-

341
magnetic (bukan magnetik). Mineral-mineral yang termasuk dalam kelompok mineral
magnetik misalnya magnetit, hematit, ilmenit, siderit, dan monasit (Gambar 13.10).
Sedangkan mineral-mineral yang dikelompokan dalam mineral non-magnetic seperti
kuarsa, mika, korundum, gipsum, zirkon, feldspar.
Kemampuan mineral dalam merespon medan magnet disebut magnetic
susceptibility. Berdasarkan pada magnetic susceptibility mineral dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu:
1. Mineral Paramagnetik, memiliki sifat kemagnetan yang rendah, hanya memberikan
respon terhadap medan magnet yang besar, sebagai contoh mineral hematit,
ilmenit, dan pirotit.
2. Mineral Diamagnetik, merupakan kelompok mineral yang tidak memiliki sifat
kemagnetan, yaitu tidak memberikan respon terhadap medan magnet. Mineral
jenis ini seperti kuarsa dan feldspar.
3. Mineral Feromagnetik, memiliki sifat kemagnetan tinggi, akan tertarik oleh medan
magnet yang relatif rendah sekalipun, seperti mineral besi dan magnetit.
Separator magnetik (Gambar 13.3 & 13.4) digunakan untuk memisahkan antara
mineral bersifat magnetik dari mineral tidak bersifat magnetik atau mempunyai sifat
magnet rendah. Kekuatan magnet pada separator dapat diatur intensitasnya yaitu antara
1000 sampai dengan 20.000 gauss. Ukuran partikel dan kandungan bijih menentukan jenis
separator magnetik dan kekuatan separator magnetik yang digunakan. Kekuatan medan
magnet separator dibagi dalam dua jenis yaitu Low Intensity Magnetic Separator atau LIM
separator dan High Intensity Magnetic Separator atau HIM separator.

Gambar 13.3. Mekanisme pemisahan magnetik


(sumber: http://ardra.biz/sain-teknologi/)

Separator LIM maupun HIM dapat digunakan secara basah atau kering. Pemisahan
cara basah umumnya menggunakan LIM separator, dan untuk mineral yang memiliki

342 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

magnetic suscepibility tinggi. LIM separator mampu memisahkan bijih dalam jumlah yang
besar. Sedangkan HIM separator mempunyai kapasitas rendah dan umumnya digunakan
untuk mineral yang memiliki magnetic susceptibility rendah.

13.3. Pemisahan Metode Gravitasi

Proses pemisahan gravitasi menggunakan perbedaan nilai berat jenis mineral untuk
meningkatkan konsentrasi bijih. Ukuran partikel merupakan faktor penting dalam proses
pengolahan, sehingga ukuran tetap dijaga agar seragam yaitu dengan menggunakan
saringan atau hydrocyclon. Pemisahan secara gravitasi dilakukan dengan menggunakan
peralatan seperti spiral, sluice box, meja goyang, dan dulang (Gambar 13.4 sd 13.9).

Gambar 13.4. Drum separator magnetik (kiri) dan spiral pemisah secara grafitasi (kanan),
foto koleksi Candra

Mineral-meneral yang terdapat pada bijih akan merespon gaya gravitasi sesuai
dengan nilai berat jenis yang dimilikinya. Mineral yang memiliki berat jenis tinggi disebut
dengan mineral berat, sedangkan mineral yang memiliki berat jenis rendah disebut mineral
ringan. Mineral-mineral yang masuk dalam kelompok mineral berat misalnya kasiterit,
emas, galena, tembaga, dan wolframit. Sedangkan mineral-mineral yang dikelompokkan
dalam mineral ringan misalnya kuarsa, feldspar, mika, gipsum, dan grafit.
Media yang digunakan pada pemisahan secara gravitasi adalah fluida, atau media
udara. Pada umumnya media pemisahnya air. Dalam media fluida partikel bergerak sesuai
dengan berat jenis dan ukurannya.
Pergerakan mineral pada fluida bidang vertikal, mineral berat memiliki kecepatan
pengendapan yang tinggi. Mineral ini memiliki lintasan yang relatif lebih jauh dibanding

343
dengan mineral ringan untuk satuan waktu yang sama. Perbedaan kecepatan relatif antar
partikel mineral dalam fluida inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk operasi pemisahan.
Jarak tempuh partikel mineral ditentukan oleh berat jenis dan ukuran, Jika berat jenis
berbeda tetapi ukuran sama, maka mineral berat akan melintas lebih dulu. Jika berat jenis
sama tetapi ukuran berbeda, maka mineral besar akan memiliki kecepatan lebih tinggi dan
melintas lebih dulu.
Pergerakan mineral ke arah bidang lateral dengan respon terhadap media
aliran/hanyutan air dan gravitasi mempunyai pengaruh pada jarak tempuh yang berbeda
dibandingkan dengan respon mineral terhadap pergerakan ke arah bidang vertikal. Jika
berat jenis berbeda tetapi ukuran sama, maka mineral berat akan mempunyai kecepatan
lebih lambat dan melintas di belakang. Jika berat jenis sama tetapi ukuran berbeda, maka
mineral besar akan memiliki kecepatan lebih rendah dan melintas terpisah lebih di
belakang (Gambar 13.6 dan 13.7).

Gambar 13.5. Konsentrator Knelson, tambang emas aluvial di Bungotebo, Jambi (Pohan
dkk, 2004)

Pergerakan mineral ke arah bidang lateral sebagai respon terhadap gravitasi dan
gaya sentrifugal mempunyai pengaruh pada pola jarak tempuh yang sama dengan respon
mineral terhadap pergerakan ke arah bidang lateral. Mineral dipisahkan dengan cara
digoyang, arah gerak goyangan relatif memutar, seperti menggunakan dulang atau meja
goyang. Dalam media air, mineral akan terpisah oleh akibat adanya gaya gravitasi dan gaya
sentrifugal yang ditimbulkan akibat digoyang. Jika berat jenis berbeda tetapi ukuran sama,
maka mineral ringan akan melintas/terlempar lebih jauh. Jika berat jenis sama tetapi
ukuran berbeda, maka mineral dengan ukuran lebih kecil akan melintas/terlempar lebih di
jauh (Gambar 13.8 dan 13.9).

344 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

Gambar 13.6. Diagram alir cara penambangan dan pengolahan pasir zirkon (Rohmana dkk,
2006)

Gambar 13.7. Palong (Sluice box) untuk memisahkan zirkon, lokasi di Kota Waringin,
Kalimantan Selatan (Rohmana dkk, 2006)

345
Gambar 13.8. Pendulangan emas, di Sarolangun, Jambi (Djunaedi dkk, 2006)

Gambar 13.9. Meja goyang untuk pemisahan mineral berat, pada pengolahan pasir timah di
Koba Tengah, Bangka

346 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

13.4. Pemisahan Elektrostatik


Pemisahan secara elektrostatik merupakan operasi konsentrasi atau pemisahan
satu mineral atau lebih dengan mineral lainnya dengan memanfaatkan perbedaan sifat
kelistrikan dari mineral-mineral yang akan dipisah. Sifat kelistrikan ini yaitu kemampuan
mineral dalam menghantarkan listrik, biasa disebut konduktivitas. Mineral-meneral yang
terdapat dalam bijih akan merespon medan listrik sesuai dengan sifat konduktivitas yang
dimilikinya.
Mineral-mineral yang memiliki sifat konduktivitas tinggi akan segera melepaskan
muatan yang dimilikinya. Mineral-mineral ini dengan cepat memiliki muatan yang sama
dengan permukaan tempat dimana muatan dilepaskan. Mineral ini kemudian
dikelompokan sebagai mineral konduktor. Mineral konduktor merupakan mineral yang
dapat menghantarkan listrik.
Sedangkan Mineral-mineral yang tidak memiliki sifat konduktivitas, tidak akan
dengan segera dapat melepaskan muatan yang dimilikinya. Mineral-mineral ini sangat
lambat dalam melepaskan muatannya. Mineral ini memiliki muatan yang berlawanan
dengan permukaan tempat dimana mineral itu berada. Mineral-mineral ini kemudian
dikelompokkan sebagai mineral non-conductor/bukan konduktor. Mineral bukan konduktor
merupakan mineral yang tidak dapat menghantarkan listrik.
Mineral-mineral yang termasuk dalam kelompok mineral konduktor seperti
magnetit, hematit, kromit, galena, dan kasiterit. Sedangkan mineral-mineral yang
dikelompokan dalam mineral bukan konduktor misalnya kuarsa, mika, korundum, gipsum,
zirkon, dan feldspar (Gambar 13.10).

347
Gambar 13.10. Bagan alir proses pencucian dan pemurnian pasir timah
(modifikasi dari Herman dkk, 2005)
Mineral konduktor dengan segera dapat melepaskan muatannya, dan dalam waktu
yang sangat singkat mineral menjadi tidak bermuatan atau muatannya menjadi nol persen.
Pada saat yang sama, mineral bukan konduktor sangat lambat melepaskan muatannya, dan
untuk waktu yang sama masih memiliki muatan di atas 50 persen. Perbedaan perilaku ini
yang kemudian digunakan untuk memisahkan mineral yang memiliki perbedaan
konduktivitas cukup besar.

13.5. Pelindihan dan Sianidasi

Pelindian adalah proses untuk mengambil senyawa logam terlarut dari bijih dengan
melarutkan secara selektif senyawa tersebut ke dalam suatu pelarut seperti air, asam
sulfat, asam klorida, atau larutan sianida. Logam yang diingginkan kemudian diambil dari
larutan tersebut dengan pengendapan kimiawi atau dengan proses elektrokimia. Metode
pelindian ada dua macam, yaitu pelindian dilakukan langsung pada timbunan bijih yang

348 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

sudah dihancurkan dengan disiram menggunakan pelarut kimia atau dengan cara bijih yang
sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam tangki pelindian.
Pelindian timbunan (heap leach) yaitu dengan cara menyiram timbunan bijih
menggunakan sianida (Gambar 13.11), sehingga logam akan terlarut dalam sianida
(Gambar 13.12). Proses selanjutnya, larutan sianida mengandung logam dialirkan untuk
ditangkap kandungan logamnya (Gambar 13.14). Metode heap leaching banyak digunakan
untuk pertambangan emas.

Gambar 13.11. Pengolahan emas dengan metode heap leach di Nunukan Kalimantan Utara

Pelindian menggunakan tangki, dengan cara memasukkan bijih yang sudah


dihaluskan ke dalam tangki, selanjutnya diaduk bersama larutan kimia/sianida (Gambar
13.13) sehingga logam terlarut. Proses pengolahan bijih logam dengan proses sianidasi
terdiri dari beberapa tahapan yaitu pelarutan logam, pengambilan logam, dan ekstraksi
logam (Gambar 13.15). Proses awal adalah melarutkan logam-logam seperti emas, perak
dan tembaga yang terkandung dalam lumpur atau batuan. Pelarutan dilakukan dengan
menambahkan sianida ke dalam larutan lumpur (Gambar 13.13). Beberapa parameter yang
perlu di perhatikan dalam proses ini adalah:
 PH larutan harus dijaga antara PH 10,5-PH 11 dengan menambahkan kapur tohor
atau soda api agar proses pelarutan berjalan optimal serta untuk menjaga agar
sianida tidak menguap. Sianida menguap pada suhu 26o C, di bawah PH 10.
 Oksigen diperlukan pada saat proses pelarutan emas oleh sianida. Oksigen
ditambahkan ke dalam larutan dengan menyemburkan oksigen murni/udara atau
dengan penambahan Hidrogen Peroksida (H2O2) ke dalam larutan.
 Proses melarutkan logam memerlukan waktu 12-48 jam.

349
Gambar 13.12. Kolam pengendapan cairan sianida mengandung emas terlarut

Gambar 13.13. Proses sianidasi, gilingan bijih berukuran sangat halus diaduk dalam cairan
sianida untuk melarutkan emas, lokasi di Cikotok, Banten
Setelah logam terlarut dalam lumpur atau larutan sianida, proses menangkap logam
dapat dilakukan dengan menggunakan karbon aktif baik untuk menangkap/mengikat logam
yang terlarut dalam lumpur maupun logam yang berada dalam larutan sianida. Selain
menggunakan karbon aktif untuk menangkap emas dapat dengan menggunakan resin
(Gambar 13.14).

350 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

Gambar 13.14. Proses menangkap logam emas terlarut dalam sianida menggunakan resin,
lokasi Tambang Emas Sago, Nunukan, Kalimantan Utara.

Proses ekstraksi dari karbon aktif dapat dilakukan dengan beberapa cara:
 Pembakaran langsung, yaitu karbon aktif yang telah mengandung logam dibakar,
sehingga logam yang ada dalam karbon melebur.
 Elusi karbon, yaitu logam di dalam karbon diluruhkan terlebih dahulu ke dalam
larutan panas untuk kemudian diekstraksi dengan zinc ataupun elektrowinning.
 Apabila tidak menggunakan karbon, setelah memisahkan larutan dari lumpur dan
kemudian diendapkan, maka dapat diambil larutan bersihnya, selanjutnya ekstraksi
dapat di lakukan dengan pengendapan menggunakan zinc.

351
Gambar
13.15. Bagan alir pabrik pengolahan emas di PT. NMR- Ratatotok (Tain dkk 2004)
13.6. Amalgamasi
Pengolahan bijih emas oleh masyarakat secara tardisional umumnya menggunakan
metoda amalgamasi. Pada proses amalgamasi, bijih emas ditumbuk sampai ukuran sekitar
1 cm, selanjutnya dimasukkan ke dalam tromol. Pada tiap tromol diisi bijih sebanyak 1/3
dari volume tromol, merkuri 0,5 – 1 ons dicampurkan atau jumlahnya tergantung pada
kadar emas pada bijih. Selanjutnya diisi air serta diputar untuk menggiling bijih emas
sekaligus menangkap emas menggunakan merkuri.
Penggilingan menggunakan tromol amalgamasi dengan putaran ± 60 RPM, dilakukan
selama 8-12 jam atau tergantung pada kekerasan bijih. Untuk menggerakkan tromol
digunakan tenaga mesin atau aliran air sungai (Gambar 13.16).
Setelah proses amalgamasi menggunakan tromol selesai, selanjutnya hasil gilingan
berupa lumpur mengandung mineral gangue/silika dibuang, sehingga tertinggal merkuri
mengandung emas. Merkuri tersebut disaring dengan cara memasukkan dalam kain
parasut/kain payung dan diperas. Merkuri tidak mengandung emas lolos, sedangkan
merkuri mengandung emas (amalgam) tertinggal dalam kain.
Untuk memisahkan emas dengan merkuri pada amalgam dengan cara
dipanaskan/dibakar. Amalgam dibakar di dalam mangkuk keramik/tembikar. Hasil
pembakaran, merkuri akan menguap, sehingga emas tertinggal. Proses pembakaran
amalgam dengan cara terbuka, uap merkuri yang terbuang akan mencemari lingkungan
(Gambar 13.17). Untuk mencegah terbuangnya uap merkuri, maka harus dilakukan secara

352 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

tertutup. Pada pembakaran amalgam secara tertutup, uap merkuri dapat ditangkap
kembali dengan cara didinginkan, sehingga berubah kembali menjadi bentuk cair.

Gambar 13.16. Tromol untuk amalgamasi menggunakan tenaga air, Tasikmalaya Jawa
Barat (Widhiyatna dkk, 2004)

353
Gambar 13.17. Pembakaran amalgam, untuk mendapatkan logam emas, lokasi di
Gorontalo (Gunradi dkk, 2002)
13.7. Flotasi
Pengapungan (flotasi) menggunakan bahan kimia untuk mengikat kelompok mineral
tertentu dengan gelembung udara. Bahan kimia yang digunakan seperti collectors, frothers,
antifoams, activators, and depressants, atau tergantung karakteristik bijih yang diolah.
Permukaan mineral yang tidak senang dengan air (hydrophobic atau aerophilic)
dipisahkan dengan yang senang dengan air (hydrophilic atau aerophobic). Pada proses
pengapungan (flotasi) bubur konsentrat (slurry) yang terdiri dari bijih yang sudah halus
(hasil gilingan) dicampur dengan reagen, dimasukkan ke dalam rangkaian tangki
pengaduk yang disebut dengan sel flotasi, ditambahkan udara dengan cara
dipompakan ke dalam slurry tersebut (Gambar 13.18).

354 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

Gambar 13.18. Pabrik pengolahan dengan cara flotasi, di Tambang Tembaga Batu Hijau,
Sumbawa.

Reagen yang digunakan adalah kapur 600 gram/ton bijih, pembuih (frother) dan
kolektor. Kapur berfungsi untuk mengatur pH. Pembuih membentuk gelembung stabil
yang tidak mudah pecah. Gelembung-gelembung mengapung ke permukaan sel flotasi
sebagai buih. Reagen kolektor bereaksi dengan permukaan partikel mineral sulfida logam
berharga sehingga menjadikan permukaan tersebut bersifat menolak air (hydrophobic).
Butir mineral sulfida yang hidrofobik tersebut menempel pada gelembung udara yang
terangkat dari zona slurry ke dalam buih yang mengapung di permukaan. Buih yang
bermuatan mineral berharga tersebut, yang menyerupai buih deterjen berkilap metalik,
meluap dari bibir atas mesin flotasi ke dalam palung (launders) sebagai tempat
pengumpulan mineral berharga (Gambar 13.19). Mineral berharga yang terkumpul di
dalam palung tersebut adalah konsentrat. Konsentrat (dalam bentuk slurry, 65% padat
menurut berat) dipompa ke pelabuhan melalui jaringan pipa slurry. Selanjutnya
konsentrat dikeringkan sampai kandungan airnya 9 % untuk diolah lebih lanjut di pabrik
smelting (peleburan).
Emas kasar dan bebas, tidak bereaksi dengan baik pada proses flotasi. Emas
tersebut dipisahkan dan diambil menggunakan konsentrator, yaitu sebuah sistem
pengambilan yang pemisahannya dilakukan secara gravitasi dan menggunakan daya
sentrifugal. Dengan demikian, perolehan emas dari bijih akan mengalami
peningkatan. Bahan yang tak bernilai ekonomi terkumpul di dasar sel flotasi, sebagai
limbah yang disebut tailing.

355
Gambar 13.19. Luapan buih mengandung konsentrat tembaga

13.8. Peleburan dan Pemurnian

Peleburan merupakan proses reduksi bijih menjadi logam. Pemilihan bahan


peredusi tergantung dari kereaktifan masing-masing logam. Makin aktif logam makin sukar
direduksi, sehingga diperlukan pereduksi yang lebih kuat. Logam yang kurang aktif sepeti
tembaga dan emas dapat direduksi hanya dengan pemanasan (Gambar 13.20). Logam
dengan kereaktifan sedang, seperti besi, nikel dan timah dapat direduksi dengan karbon,
sedang logam aktif seperti magnesium dan almuinium dapat direduksi dengan elektrolisis.
Peleburan ditambah dengan fluks, yaitu suatu bahan untuk mengikat pengotor membentuk
terak (slag).

13.8.1. Tembaga
Konsentrat tembaga dari hasil proses flotasi mengandung beberapa unsur dengan
kadar ± 30% Cu, ± 30ppm Au, ± 50ppm Ag, ± 30% S, ± 25% Fe, gangue minerals ± 15%.
Konsentrat tembaga tersebut dipanggang untuk mengubah besi sulfida menjadi besi
oksida, sedangkan tembaga tetap sulfida 4CuFeS2 + 9O2 ---> 2Cu2S + 2Fe2O3 + 6SO2.
Konsentrat bijih yang sudah melalui pemanggangan kemudian dilebur sehingga bahan

356 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

tersebut mencair dan terpisah menjadi 2 lapisan. Lapisan bawah berupa copper matte,
mengandung Cu2S dan besi cair, sedangkan lapisan atas merupakan terak silikat yang
mengandung FeSiO3. Copper matte dipisahkan dari terak berdasarkan perbedaan gravitasi.
Selanjutnya copper matte (68% Cu) dipindahkan ke dalam tungku lain dan ditiupkan udara
sehingga terjadi reaksi redoks yang menghasilkan tembaga lepuh (blister copper, 98,9% Cu).

Gambar 13.20. Diagram alir pengolahan tembaga di Gresik, Jawa Timur


(sumber: www.smelting.com, dalam Suprapto, 2012)

Pemurnian tembaga dilakukan dengan cara elektrolisis. Tembaga lepuh digunakan


sebagai anoda, sedangkan tembaga murni digunakan sebagai katodanya. Elektrolit yang
digunakan adalah larutan CuSO4. Selama elektrolisis, Cu dipindahkan dari anoda ke katoda,
dengan menggunakan potensial tertentu bahan pengotor dapat terpisah.
Unsur-unsur dan mineral ikutan dalam konsentrat yang diolah, menjadi bagian dari by
product berupa gas buang SO2, lumpur anoda (anode slime), terak besi (slag) dan gipsum.
Limbah gas SO2 tersebut diproses lebih lanjut menjadi sulfat yang dapat digunakan sebagai
bahan baku pupuk, sedangkan terak besi dan gipsum digunakan sebagai bahan baku industri
semen. Lumpur anoda mengandung emas dengan kadar ± 3,25% dan perak ± 6,25 % dapat
dimurnikan lebih lanjut.

13.8.2. Timah

357
Konsentrat timah dari hasil dari proses pemisahan/benefisasi mempunyai kadar Sn
74%, selanjutnya dilebur pada smelter timah. Bijih timah setelah dipekatkan lalu
dipanggang sehingga arsen dan belerang dipisahkan dalam bentuk oksida-oksida yang
mudah menguap. Kemudian bijih timah yang sudah dimurnikan itu direduksi dengan
karbon. Timah cair yang terkumpul di dasar tanur kemudian dialirkan ke dalam cetakan
untuk memperoleh timah batangan.
Untuk mendapatkan logam timah dengan kualitas yang lebih tinggi, maka harus
dilakukan proses pemurnian terlebih dahulu dengan menggunakan suatu alat pemurnian
yang disebut crystallizer (Gambar 13.21). Produk yang dihasilkan berupa logam timah
dalam bentuk balok atau batangan dengan sekala berat antara 16 kg sampai dengan 26 kg
per batang (Gambar 13.22).

Gambar 13.21. Bagan alir proses peleburan timah (modifikasi dari Herman dkk, 2005)

358 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

Gambar 13.22. Pencetakan batangan timah, Koba, Bangka Tengah

13.8.3. Nikel
Peleburan dan pemurnian (Gambar 13.24) nikel dilakukan untuk menghasilkan nikel
matte yaitu produk dengan kadar nikel di atas 75 %. Alur pengolahan bijih nikel dapat
dilihat pada Gambar 13.23. Secara garis besar tahapan pengolahan adalah sebagai berikut :
1) Pengeringan di tanur pengering (dryer kiln), bertujuan untuk menurunkan kadar air
bijih laterit dari produksi penambangan dan memisahkan bijih yang berukuran + 25
mm dan –25 mm.
2) Kalsinasi dan reduksi di tanur pereduksi (reduction kiln), untuk menghilangkan
kandungan air di dalam bijih, mereduksi sebagian nikel oksida menjadi nikel logam
dan sulfidasi.
3) Peleburan di tanur listrik (electric furnace), untuk melebur kalsin hasil
kalsinasi/reduksi sehingga terbentuk fasa lelehan matte dan terak.
4) Pengkayaan di tanur pemurni (converter), untuk menaikan kadar Ni di dalam matte
dari kurang lebih 27 % menjadi di atas 75 %.
5) Granulasi dan pengemasan, untuk mengubah bentuk matte dari logam cair menjadi
butiran-butiran setelah dikeringkan dan dikemas dalam kantong/karung.
Pada tahap pengeringan bijih, tidak ada reaksi kimia yang terjadi, hanya proses
penguapan sebagian kandungan air dari bijih basah. Tahap pengeringan menggunakan tiga
buah tanur pengering, tanur ini dilengkapi dengan ruang pembakaran untuk menghasilkan
udara panas sebagai media pengering. Bahan bakar yang digunakan adalah HSFO (High

359
Sulphur Fuel Oil) biasa disebut minyak residu. Produk dari tanur pengering dikirim ke
gudang penyimpanan bijih kering (dry ore storage).
Dalam tahap kalsinasi dan reduksi menggunakan tanur pereduksi. Umpan yang
dimasukkan ke dalam tanur pereduksi adalah bijih kering dari gudang penyimpanan bijih
kering. Selain itu dimasukkan pula batubara yang akan berfungsi sebagai bahan pereduksi
pada tanur pereduksi maupun tanur listrik. Pada ujung pengeluaran tanur reduksi
ditambahkan belerang untuk mengikat nikel dan besi yang telah tereduksi agar tidak
teroksidasi lagi oleh udara. Produk dari tanur ini disebut kalsin yang memiliki temperatur
sekitar 700 C.

Dust

Dryer Kiln M.C ESP


Wet Ore Stockpile
HSFO
Rock
Air West Block (Reject) DKP
East Block (Crushed)
HSFO
Liquid Sulphur Air
Reduction Kiln
Hot Calcine (700°C)

Dried Ore Storage Stack


Scrubber

500 T 100 T
M.C ESP
E.L E.L E.L BIN BIN

Slag to Disposal area (1500°C) Dry Dust


Slurry Recycle
Electric Furnace THICKENER Pugmill
Dust
Furnace Matte (1350°C) to Dryer
Silica Flux
Scrap Product Dryer

Air Fluid Bed

Converter
Granulated
Matte Cast Hot Gas
Matte
Water (Hi pressure)
Market
Granulation Oversize Packing
(Recycle to Converter)

Gambar 13.23. Diagram Alir Pengolahan (sumber: PT INCO dalam Hutamadi dkk, 2005)

Produk berupa kalsin kemudian diangkut ke tanur listrik untuk dilebur sehingga
terbentuk fasa lelehan matte (fasa cair mengandung nikel) dan terak. Setiap tanur listrik
memiliki elektroda masing-masing berdiameter sekitar 1,8 m. Elektroda ini dialiri listrik
untuk menghasilkan panas guna melebur kalsin dari tanur pereduksi. Produk dari tanur
listrik berupa matte dan terak yang akan terpisah berdasarkan perbedaan berat jenisnya.
Matte yang mempunyai berat jenis lebih besar dari pada terak selanjutnya dibawa ke tanur
pemurni.

360 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

Proses yang terjadi di dalam tanur pemurni adalah peniupan udara dan
penambahan silika untuk mengikat terak di dalam matte. Produk dari tanur pemurni adalah
matte cair dengan temperatur sekitar 1250 C.
Proses selanjutnya matte diangkut dengan ladel lalu dimasukkan ke dalam tundish,
kemudian dituang secara perlahan-lahan sambil disemprot dengan air bertekanan tinggi.
Proses ini menghasilkan nikel matte dingin yang berbentuk butiran-butiran halus. Butiran
halus nikel matte ini selanjutnya dikeringkan dengan tanur pengering produk, disaring, dan
siap dikemas (Gambar 13.25).

Gambar 13.24. Pabrik peleburan nikel (Hutamadi dkk, 2005)

Gambar 13.25. Nikel matte dalam karung berkapasitas 3 ton (Hutamadi dkk, 2005)

361
Pustaka

Anonim. 1995. EPA Office of Compliance Sector, Notebook Project Profile of the Metal
Mining Industry. U.S. Environmental Protection Agency. Washington, DC. Melalui:
http://www.epa.gov/compliance/resources/publications/assistance/sectors/notebo
oks/metminsn.pdf (27 Nopember 2014)
Anonim, Proses Pengolahan. http://www.byantech.com/kategori-pabrik/pengolahan-pasir-
bijih besi/ (27 Nopember 2014)
Anonim, Pengolahan Emas Sistem Sianidasi.
http://anugrahemas.blogspot.com/2010/07/pengolahan-emas-sistem-
sianidasi.html (27 Nopember 2014)
Anonim. Pengolahan Mineral. http://ardra.biz/sain-teknologi/mineral/pengolahan-mineral/
(27 Nopember 2014)
Djunaedi, E.K., dan Lahar, H., 2006. Inventarisasi Potensi Bahan Galian Pada Wilayah Peti,
Daerah Sarolangun, Provinsi Jambi. Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Gunradi, R., Aswan, I., Tain, Z, Said, A., dan Sukandar, M., 2002. Pemantauan dan Evaluasi
Konservasi Bahan Galian di G. Pani, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo,
Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Herman, D.Z., Suhandi, Fujiyono, H., dan Putra, C. 2005. Pemantauan dan Evaluasi
Konservasi Sumber Daya Mineral Daerah di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi
Bangka-Belitung. Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung.
Hutamadi, R., Kuntjara, U., Fujiyono, H., Susana, N., 2005. Pemantauan dan Evaluasi
Konservasi Sumber Daya Mineral Daerah Kabupaten Luwu Timur, Propinsi Sulawesi
Selatan. Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung.
Karliansyah, M.R., 2001. Aspek Lingkungan dalam AMDAL Bidang Pertambangan. Pusat
Pengembangan dan Penerapan AMDAL, Jakarta.
Pohan, M,P. dan Putra, C., 2004. Evaluasi Pemanfaatan Bahan Galian pada Bekas Tambang
dan Wilayah PETI, Daerah Bungo-Tebo, Jambi, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya
Mineral, Bandung
Rohmana, Sutrisno, dan Gunrady, R. 2006. Inventarisasi Potensi Bahan Galian Pada Wilayah
Peti, Daerah Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Pusat Sumber Daya
Geologi, Bandung.
Suprapto, S.J., Pertambangan Tembaga di Indonesia, Raksasa dari Grasberg dan Batu Hijau.
Majalah Warta Geologi, Vol. 3, No.3, 2008, Bandung

362 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 13 PENGENALAN SISTIM PENGOLAHAN MINERAL LOGAM

Tain, Z., Sutrisno, Suhandi, Susanto, H., 2003. Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber
Daya Mineral Daerah Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara. Direktorat
Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung.
Widhiyatna, D., dan Sukandar, M. 2004. Pemeteaan Penyebaran Merkuri di Daerah Cineam,
Tasikmalaya, Jawa Barat. Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung.

363
364 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 14 PENYUSUNAN LAPORAN KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL

BAB 14
PENYUSUNAN LAPORAN KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL
Dwi Nugroho Sunuhadi

14.1. PENDAHULUAN
Laporan merupakan suatu bentuk penyampaian dan penyajian hasil kegiatan atau
mengenai sesuatu hal tertentu baik secara lisan maupun tertulis atau dokumen berupa
fakta-fakta yang dimanfaatkan guna mengambil sebuah keputusan atau tindak lanjut bagi
seseorang atau lembaga atau instansi tertentu. Agar suatu laporan dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, dalam proses penyusunan laporan, selain harus memperhatikan
berbagai prinsip dan syarat dalam penyusunan laporan, juga harus memperhatikan tata
caranya.

Prinsip dan syarat dalam penyusunan laporan harus mencakup:

Kejelasan, kejelasan suatu laporan diperlukan baik kejelasan dalam pemakaian bahasa,
istilah, maupun kata-kata harus yang mudah dicerna, dipahami dan dimengerti bagi si
pembaca.

Mengenai Sasaran Permasalahannya, menghindarkan pemakaian kata-kata yang


membingungkan atau tidak muluk-muluk, demikian juga dalam hal penyusunan kata-kata
maupun kalimat yang jelas dan singkat.

Lengkap, permasalahan yang dibahas sudah terselesaikan semua sehingga tidak


menimbulkan tanda tanya dan pembahasan urutan permasalahan harus sesuai dengan
prioritas penting tidaknya permasalahan.

Tepat Waktu dan Cermat, pembuatan laporan diusahakan dilakukan dengan secepat-
cepatnya dan langsung disampaikan.

Konsisten, laporan didukung data-data yang bersifat tetap dalam arti selalu akurat dan
tidak berubah-ubah, dapat dipercaya dan diterima, serta tidak saling bertentangan satu
sama lain.

365
Objektif, pembuatan laporan harus berdasarkan fakta-fakta yang bisa dibuktikan
kebenarannya maupun dibuat secara objektif.

Proses Timbal Balik


 laporan yang baik bisa dipahami sehingga menimbulkan gairah dan minat si pembaca
 pembaca memberikan respon yang bisa bermanfaat bagi laporan maupun pembaca
laporan

Pada intinya, tata cara penyusunan laporan dimulai dari tahap persiapan yang
mencakup penentuan kerangka permasalahan, tujuan penulisan laporan, dan proses
pengumpulan data, kemudian membuat kerangka laporan, dan diakhiri dengan tahap
penulisan laporan itu sendiri.

1. Tahap Persiapan
Pada tahap awal ini harus terjawab beberapa pertanyaan penting seperti: hal apa yang
akan dilaporkan?, mengapa hal itu harus dilaporkan?, kapan laporan akan disampaikan?,
data apa yang penting, baik sebagai data utama maupun data pendukung?. Dengan
terjawabnya beberapa pertanyaan ini, maka akan dapat dirumuskan secara jelas latar
belakang dan masalah laporan, tujuan laporan, target waktu laporan, data yang relevan
untuk disajikan, dan sumber-sumber data.

2. Pengumpulan dan Penyajian Data


Setelah itu, langkah berikutnya adalah merencanakan pengumpulan dan penyajian data.
Dalam proses pengumpulan harus selalu mengacu pada permasalahan dan tujuan yang
telah ditetapkan. Data yang diperoleh dari berbagai sumber, baik sumber primer maupun
sumber sekunder. Setelah dikumpulkan, kemudian data itu dikelompokkan, data mana
yang menjadi bahan utama dan data pendukung atau penunjang dan penyajian data.

3. Sistematika Laporan
Tahap berikutnya adalah menentukan bagian-bagian utama laporan atau lazim disebut
sistematika laporan, kemudian sub-sub bagian laporan yang nantinya akan dijabarkan lebih
lanjut dalam kalimat-kalimat.

4. Penulisan Laporan
Pada tahap penulisan laporan harus mengacu pada sistematika yang telah ditetapkan
sehingga laporan tersebut dapat tersaji secara runtut, mudah dipahami, dan enak dibaca.

366 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 14 PENYUSUNAN LAPORAN KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL

Dalam kegiatan eksplorasi prinsip dan tatacara penyusunan laporan juga harus
mengacu kepada hal-hal yang diuraikan di atas. Pada tiap akhir kegiatan eksplorasi mineral,
ada beberapa dokumen yang harus dibuat diantaranya laporan hasil kegiatan eksplorasi
atau laporan eksplorasi saja. Pembuatan laporan eksplorasi ini merupakan kegiatan terakhir
seluruh pekerjaan eksplorasi yang berisi uraian teknis dan non-teknis. Laporan tersebut
disampaikan kepada pemerintah sesuai wilayah kewenangannya selaku pemberi izin dalam
rangka pengawasan. Selain kepada pemerintah, laporan kegiatan eksplorasi juga
disampaikan kepada publik dan investor untuk pengembangan usaha kegiatan dan
keterbukaan informasi.

14.2. KERANGKA LAPORAN


Untuk memberi acuan dalam penyusunan laporan tersebut, pemerintah telah
menyusun pedoman penyusunan laporan eksplorasi melalui Keputusan MENTERI ENERGI
DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR: 1453 K/29/MEM/2000 TANGGAL: 3 November
2000 yang kemudian distandarkan oleh BADAN STANDARISASI NASIONAL, dalam SNI
NOMOR : 13-6606-2001, Tentang: Tata Cara Umum Penyusunan Laporan Eksplorasi Bahan
Galian.

Susunan dan isi laporan eksplorasi mineral meliputi ringkasan, tubuh utama laporan
dan informasi pendukung. Dalam ringkasan dituliskan uraian singkat mengenai gambaran
umum pokok bahasan laporan secara informatif dan indikatif. Tubuh utama laporan
eksplorasi bahan galian meliputi Pendahuluan, Kegiatan Penyelidikan, Hasil Penyelidikan
dan Kesimpulan.

14.2.1. Pendahuluan
Dalam bab ini dikemukakan informasi umum mengenai daerah penyelidikanyang
diperoleh dari literatur dan latar belakang pemilihan daerah. Selain itu perlu dijelaskan
maksud dan tujuan, lokasi dan kesampaian daerah, geografi, waktu penyelidikan, pelaksana
dan peralatan yang digunakan, hasil penyelidikan terdahulu dan geologi umum. Judul
masing-masing sub bab tidak mengikat, akan tetapi hal-hal yang bersifat umum seperti
disebutkan di atas harus dicantumkan.

14.2.1.1. Latar belakang


Dalam sub bab ini diuraikan alasan pemilihan daerah penyelidikan dan komoditas
yang diselidiki baik berdasarkan pertimbangan geologi, kebutuhan pasar maupun sosio-

367
ekonomi ada saat eksplorasi dilakukan. Aspek legalitas, seperti kepemilikan, hak guna
lahan, izin usaha pertambangan, serta masa berlakunya dan lain sebagainya harus
dicantumkan.

14.2.1.2. Maksud dan tujuan


Maksud dan tujuan penyelidikan harus dikemukakan secara jelas sehingga terlihat
keterkaitannya dengan tahap eksplorasi. Daerah serta bahan galian utama dan ikutannya
yang menjadi target eksplorasi juga harus diuraikan.

Maksud dari kegiatan penyelidikan atau survei tinjau adalah mencari dan
menemukan mineral/bijih logam dalam wilayah konsesi serta bertujuan untuk menilai
kualitas dan kuantitas mineral/bijih logam sebagai sumber daya tereka.

14.2.1.3. Lokasi daerah penyelidikan


Lokasi daerah penyelidikan harus diuraikan, baik secara administratif maupun
geografis, dan harus disertai gambar atau peta berskala beserta keterangannya dengan
jelas. Disamping itu luas daerah, cara pencapaian daerah, sarana dan prasarana
perhubungan juga harus dikemukakan dalam sub bab ini.

14.2.1.4. Keadaan lingkungan


Dalam sub bab ini diuraikan tentang demografi daerah penelitian atau kondisisosial
budaya dan mata pencaharian penduduk setempat, termasuk informasi rona lingkungan
pada saat kegiatan eksplorasi dilakukan, seperti iklim, topografi, vegetasi dan tata guna
lingkungan.

14.2.1.5. Waktu penyelidikan


Waktu berlangsungnya penyelidikan mulai dari persiapan, kegiatan pengumpulan
data, pengolahan data sampai dengan penyusunan laporan harus dikemukakan dengan
jelas.

14.2.1.6. Pelaksana dan peralatan


Sub bab ini menguraikan jumlah tenaga kerja, terutama yang terlibat dalam
kegiatan ekplorasi, termasuk kualifikasi atau keahliannya. Peralatan yang digunakan seperti
alat-alat geofisika, pemboran, alat ukur, dan lain sebagainya juga harus dicantumkan. Bila
peralatan yang dipakai cukup banyak dan bervariasi daftarnya dicantumkan dalam

368 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 14 PENYUSUNAN LAPORAN KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL

lampiran. Apabila pekerjaan dikerjakan oleh pihak ketiga, sebutkan jenis pekerjaan yang
dikontrakkan dan nama perusahaan.

14.2.1.7. Penyelidikan terdahulu


Penyelidikan terdahulu menguraikan secara singkat mengenai para penyelidik
terdahulu dan hasilnya. Selain itu diuraikan pula secara ringkas informasi hasil penyelidikan
geologi, geofisika, geokimia atau metode lain yang pernah dilakukan di daerah tersebut,
baik oleh instansi atau organisasi yang sama atau pihak lain. Dalam hal keterdapatan
endapan bahan galian di daerah penyelidikan sudah diketahui, agar diuraikan mengenai
jenis, tipe endapan, bentuk, sebaran, dan pemanfaatannya. Selain itu diuraikan juga
perkiraan mengenai terbentuknya endapan bahan galian dalam kaitannya dengan
lingkungan geologi tertentu.

14.2.1.8. Geologi umum


Geologi umum menguraikan tentang keadaan geologi secara regional disesuaikan
dengan tujuan penyelidikan. Data geologi umum tersebut dapat mengacu dari literatur
atau penyelidikan terdahulu. Pada peta geologi umum yang digunakan harus digambarkan
lokasi daerah penyelidikan.

14.2.2. Kegiatan Penyelidikan


Dalam bab ini harus dikemukakan seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan selama
penyelidikan, mulai dari persiapan, pengumpulan data, kegiatan di lapangan sampai
pengolahan data, termasuk analisis laboratorium, dan penyusunan laporan. Metoda
pengumpulan dan pengolahan data harus dicantumkan. Jenis kegiatan tersebut pada
umumnya sesuai dengan tahap eksplorasi dan berkaitan erat dengan maksud dan tujuan
penyelidikan. Oleh karena itu kegiatan dalam suatu laporan prospeksi akan berbeda dengan
kegiatan dalam laporan eksplorasi umum. Isi pokok masing-masing kegiatan tersebut akan
dijelaskan secara berurutan di bawah ini.

14.2.2.1. Persiapan
Dalam membahas sub bab ini hendaknya diuraikan mengenai penyediaan peta
dasar untuk kegiatan lapangan, misalnya peta topografi, peta geologi atau peta-peta hasil
penafsiran data penginderaan jauh (foto udara, foto satelit dan foto radar). Selain itu
diuraikan juga peralatan yang akan digunakan.

369
14.2.2.2. Pemetaan geologi
Sub bab ini membahas mengenai cara-cara yang digunakan dalam pemetaan
geologi, misalnya pengukuran lintasan (lintasan sungai, creek/alur; spur & ridge/lereng &
punggungan), pengamatan singkapan, pengambilan conto, penelusuran bongkah, dan
sebagainya. Untuk pemetaan geologi yang lebih terperinci, harus dicantumkan batas
wilayah yang dilengkapi dengan koordinat geografis atau UTM, skala dan luasnya. Harus
dijelaskan juga mengenai cara pengambilan conto batuan atau bahan galian seperti chip,
grab, bulk, channel dilampirkan dalam bentuk tabel.

14.2.2.3. Penyelidikan geokimia


Dalam sub bab ini harus diuraikan mengenai metode yang digunakan seperti
geokimia endapan sungai, tanah, batuan, pendulangan, dan atau bulk leached extractable
gold (BLEG), sesuai dengan tahap eksplorasi yang dilakukan. Pola dan kerapatan
pengambilan conto serta jumlahnya dibahas dengan rinci. Lokasi conto harus diperlihatkan
dalam bentuk peta secara jelas dan disertai daftar conto geokimia yang menunjukkan
koordinat, jenis conto, dan hasil analisisnya. Dalam hal pencontoan yang tidak dilakukan di
seluruh wilayah penyelidikan, harus diuraikan mengenai daerah mana saja yang diselidiki,
batas wilayah, koordinat, dan luasnya.

14.2.2.4. Penyelidikan geofisika


Penyelidikan geofisika harus disertai penjelasan mengenai metode geofisika yang
digunakan, seperti polarisasi terimbas (IP), potensial diri, geomagnet, seismik, gaya berat,
dsb. Pola dan kerapatan titik pengamatan serta pengukuran lintasan harus dikemukakan
secara rinci. Khusus untuk penyelidikan bahan galian radioaktif (nuklir) perlu dilengkapi
dengan metoda radiometri. Dalam hal pengamatan yang tidak dilakukan di seluruh wilayah
penyelidikan, harus diuraikan mengenai daerah mana saja yang diselidiki, batas wilayah,
dilengkapi dengan koordinat, dan luasnya.

14.2.2.5. Sumur-uji, parit-uji, pengeboran


Maksud dan tujuan pembutan sumur-uji, parit-uji, dan pengeboran harus dijelaskan.
Cara pembuatan sumur atau parit-uji harus dijelaskan dengan rinci secara manual atau
mekanis. Pola dan kerapatan lokasi pengeboran, parit dan atau sumur-uji harus
dikemukakan dalam laporan dan disertai peta lokasi. Data setiap sumur dan parit-uji, serta
pengeboran, yang menunjukkan kedalaman, jenis batuan dan bahan galian, serta informasi
lain disusun dalam bentuk table dan dimasukkan sebagai lampiran. Untuk pengeboran

370 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 14 PENYUSUNAN LAPORAN KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL

harus dijelaskan jenis conto yang diambil, yaitu inti atau bukan inti (cutting). Cara
pencontoan dan jumlah conto hendaknya juga dikemukakan dengan rinci.

14.2.2.6. Pengukuran topografi


Pengukuran topografi diuraikan dengan rinci, meliputi metode pengukuran,
peralatan ukur yang digunakan, proses pengolahan data, dan luas daerah yang diukur,
dilengkapi dengan data koordinat dan hasil pengukuran.

14.2.2.7. Penyelidikan lain


Untuk eksplorasi yang sudah memasuki tahap rinci, penyelidikan lainnya seperti
geoteknik, hidrogeologi, hidrologi, lingkungan, uji coba penambangan, pengolahan dan
sebagainya harus dilaporkan.

14.2.2.8. Analisis laboratorium


Nama laboratoium tempat analisis kimia dan fisika harus disebutkan dan sedapat
mungkin menggunakan laboratorium yang telah terakreditasi.

a. Analisis kimia
Harus dijelaskan mengenai metode analisis dan pelarutan conto yang digunakan.
Penggunaan kontrol analisis juga dibahas. Jenis unsur dan jumlah conto yang dianalisis
hendaknya dibahas dan disertai hasil analisisnya. Sertifikat hasil analisis sedapat mungkin
dilampirkan.

b. Analisis fisika
Analisis fisika harus menguraikan jenis analisis fisika yang dilakukan, misalnya petrografi,
mineragrafi, mineral berat, dan lainnya, serta jumlah conto yang dianalisis. Hasil analisis
dapat disajikan sebagai tabel atau uraian, dalam laporan atau lampiran.

14.2.2.9. Pengolahan data


Dalam sub bab ini harus diuraikan secara rinci mengenai metode dan teknik
pengolahan data yang digunakan, misalnya dengan cara statistik, menggunakan komputer
atau manual, jenis dan nama perangkat lunak. Dasar penafsiran yang dibuat untuk
menemukan anomali geofisika, geokimia maupun data mineral berat dan estimasi sumber
daya juga harus dijelaskan. Demikian pula cara penggambaran peta anomali untuk
geofisika, geokimia, radioaktif dan peta isopah juga harus diterangkan.

371
14.2.2.10. Pengelolaan conto
Dalam sub bab ini, selain metode pencontoan hendaknya juga dijelaskan mengenai
pencontoan duplikat, cara preparasi, prosedur pengiriman dari lapangan ke laboratorium
dan tempat penyimpanan. Selain itu agar dijelaskan pula mengenai pengarsipan conto dan
penyimpanannya.

14.2.3. Hasil Penyelidikan


Bab ini menguraikan seluruh hasil kegiatan penyelidikan yang telah dilakukan, mulai
dari pemetaan geologi, penyelidikan geokimia, penyelidikan geofisika dan metode lain yang
dilakukan. Uraian dapat dipisahkan dalam bab, sub bab atau alinea tersendiri. Hasil
penyelidikan bukan hanya mengemukakan data tetapi harus disertai analisis berdasarkan
acuan yang ada dan data infrastruktur.

14.2.3.1. Geologi
Sub bab geologi menguraikan mengenai geomorfologi, karasteristik litologi, struktur
geologi, endapan bahan galian, mineralogi, ubahan batuan di daerah penyelidikan dan
keterkaitannya satu sama lain, termasuk model pembentukan bahan galian. Selain itu
model geologi bawah permukaan dan penarikan kesimpulan yang dilakukan berdasarkan
model ini juga harus diuraikan. Sesuai dengan jenis komoditas dan tahap penyelidikannya,
hasil penyelidikan geologi harus disertai peta-peta seperti peta geomorfologi, peta geologi,
peta ubahan, dan peta mineralisasi sebagai lampiran. Skala peta harus disesuaikan dengan
tahap eksplorasi. Sedangkan penggambaran peta sejauh mungkin mengacu pada tata cara
yang sudah baku (SNI 13-4691-1998 dan SNI 13-4688-9-1998). Model-model dan
penampang dapat disajikan sebagai gambar tersendiri atau disertakan dalam peta geologi.

14.2.3.2. Geokimia
Dalam sub bab ini harus diuraikan mengenai keterdapatan dan pola anomali
masing-masing unsur, keterkaitan atau hubungan antar unsur dan asosiasinya. Statistik
hasil assay: kadar minimum, kadar maksimum, kadar rerata, kadar anomali, treshold/cut off
grade, batasan kadar tinggi/ekonomis, matriks korelasi, ternary diagram. Harus dijelaskan
pula mengenai penafsiran daerah anomali dalam kaitannya dengan keadaan geologi,
sehingga jelas hubungan antara anomali dengan kondisi geologi atau pembentukan bahan
galian. Peta anomali geokimia dan hasil analisis conto harus dilampirkan.

372 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 14 PENYUSUNAN LAPORAN KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL

14.2.3.3. Geofisika
Sub bab ini menguraikan secara rinci mengenai pengolahan data dan dasar
penafsiran yang dibuat untuk menentukan anomali. Kemungkinan mengenai adanya
kesalahan dalam penafsiran juga harus dijelaskan termasuk mengenai penafsiran geologi
dan bahan galian yang dilakukan untuk mengontrol anomali geofisika. Peta anomali
geofisika dan penampangnya harus dilampirkan.

14.2.3.4. Sumur-uji, parit-uji, pengeboran


Hasil sumur-uji, parit-uji, dan pemboran harus disusun dalam bentuk korelasi satu
sama lain. Berdasarkan data tersebut hendaknya diuraikan mengenai geologi dan bahan
galiannya sehingga jelas terlihat gambaran bentuk endapan, penyebaran dan
kesinambungannya (continuity) di bawah permukaan. Informasi mengenai jumlah lubang
bor, sumur-uji, parit-uji yang memotong endapan bahan galian harus dikemukakan dengan
jelas. Hasil analisis conto, peta korelasi antar lubang bor, sumur-uji, dan parit-uji, harus
dilampirkan.

14.2.3.5. Endapan bahan galian


Dalam sub bab ini dikemukakan dengan rinci mengenai keadaan endapan bahan
galian seperti tipe, jurus dan kemiringan, sebaran, kesinambungan, bentuk, dan ukurannya.
Harus dikemukakan juga cara perolehan data, misalnya dari pemboran, sumur-uji, parit-uji,
dsb. Dijelaskan pula mengenai kualitas bahan galian yang didasarkan dari data lubang bor
dan informasi conto lain yang digunakan dalam penafsiran sebaran bahan galian. Sejauh
mungkin harus dijelaskan hubungannya dengan zona pembentukan bahan galian yang
sudah diketahui. Peta sebaran endapan bahan galian yang menggambarkan bentuk,
sebaran, kesinambungan dan ukuran endapan bahan galian harus dilampirkan.

14.2.3.6. Estimasi sumberdaya bahan galian


Dalam sub bab ini diuraikan cara membatasi endapan bahan galian yang akan
dihitung sumberdayanya. Agar dijelaskan cara pembatasan endapan bahan galian tersebut,
baik secara interpolasi atau ekstrapolasi. Disamping itu juga dibahas mengenai kerapatan
titik pengamatan dan conto untuk meyakinkan kesinambungan endapan bahan galian dan
untuk menyediakan data dasar yang memadai bagi keperluan korelasi. Harus dijelaskan
pula metode estimasi sumber daya bahan galian dan cadangan yang digunakan dan alas an
penggunaannya. Klasifikasi sumber daya bahan galian dan cadangan, harus mengacu
kepada tata cara yang sudah baku (SNI 4726-2011 Amandemen dari SNI No. 13-4726-1998

373
dan SNI 5015-2011 Amandemen SNI No. 13-5014-1998). Peta sumber daya atau cadangan
harus dilampirkan.

14.2.4. Kesimpulan
Pada bab ini dikemukakan kesimpulan mengenai hasil penyelidikan dilihat dari hasil
penafsiran data lapangan di wilayah tersebut serta pemecahan masalah. Jika dianggap
perlu dapat dicantumkan juga saran dan atau rencana tindak lanjut. Kesimpulan bukan
merupakan ringkasan laporan, akan tetapi lebih merupakan hasil analisis dan sintesa dari
penelitian yang dilakukan.

14.2.5. Lampiran
Berisi fact sheet data-data yang dibahas dalam draft laporan yang ukuran atau
volumenya tidak memungkinkan diselipkan diantara text draft. Urutan fact sheet dalam
lampiran disusun secara sistematis sesuai tahapan eksplorasi.

1) Tabulasi data survei dan pemetaan


2) Sertifikat laboratorium geokimia dan hasil assay (FA, AAS, ICP, XRF)
3) Hasil analisis petrografi, petrografi bijih, mineragrafi, uji liberasi, mineral berat, inklusi
fluida, PIMA, dsb
4) Tabulasi data geofisika: ground magnetic , resistivity , IP, mise ala mase, EM, GPR, dsb
5) Tabulasi data pengukuran topografi
6) Penampang parit uji, sumur uji
7) Log bor dan core assay
8) Peta dasar daerah konsesi KP eksplorasi, area/blok prospek/target, indeksasi peta-peta
area prospek, skala 1:10.000 atau 1:5000
9) Peta lokasi pengamatan, titik pengambilan conto, titik sumur uji, lokasi parit uji, titik
pemboran dan arah pemboran, di daerah konsesi, skala 1:10.000 atau 1:5000
10) Peta anomali geokimia unsur logam utama (target) dan unsur logam ikutan di daerah
konsesi skala 1:10.000 atau 1:5000 (overlay dengan zona mineralisasi)
11) Peta anomali geofisika daerah konsesi (metode geomagnet, resistivity sounding atau IP
sounding ) skala 1:10.000 atau 1:5000 (overlay dengan zona mineralisasi) jika dilakukan
12) Peta geologi dan zona mineralisasi permukaan daerah konsesi skala 1:10.000 atau
1:5000 dan penampang geologi

374 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 14 PENYUSUNAN LAPORAN KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL

13) Topografi detail untuk masing-masing area mineralisasi atau area/blok prospek berskala
1:5000 atau 1:2000 (yang telah diindeksasi pada peta dasar daerah prospek), dilengkapi
dengan grid survey, baseline, crossline dan section (grid based exploration)
14) Peta lokasi pengamatan, titik pengambilan conto, titik sumur uji, lokasi parit uji, titik
pemboran dan arah pemboran, diplot pada grid survey, untuk masing-masing area/blok
prospek, skala 1: 5000 atau 1:2000, diplot dengan peta topografi detail
15) Peta anomali geokimia detail untuk masing-masing area/blok prospek skala 1:5000 atau
1:2000, hasil percontoan sistematis rock chip maupun soil dengan spasi rapat, diplot
dengan peta topografi detail
16) Peta anomali geofisika detail (metode IP mapping atau GPR, VLF, mise alamase) untuk
masing-masing area/blok prospek skala 1:5000 atau 1:2000, pada grid survey,
disertakan penampang geofisika dan interpretasi zona mineralisasi bawah permukaan,
diplot dengan peta topografi detail
17) Peta geologi dan zona mineralisasi detail untuk masing-masing area/blok prospek skala
1:5000 atau 1:2000 dan penampang geologi serta interpretasi zona mineralisasi bawah
permukaan, diplot dengan peta topografi detail
18) Visualisasi model 3D geometri tubuh bijih

14.2.6. Informasi pendukung


Informasi pendukung seperti gambar, foto, tabel, peta dan atau daftar pustaka
berdasarkan keterkaitannya dapat masuk ke dalam tubuh laporan atau lampiran. Daftar
masing-masing informasi pendukung, judul dan nomor halamannya harus dicantumkan
secara berurutan setelah Daftar Isi. Gambar yang dimasukkan dalam tubuh utama laporan
maksimal berukuran satu halaman, sedangkan gambar yang berukuran lebih besar
dimasukkan ke dalam lampiran. Gambar beserta keterangannya harus jelas terbaca.
Gambar yang berupa peta harus disertai peta indeks dan atau koordinat. Judul gambar dan
nomor urutnya diletakkan di bawah gambar bagian tengah, penomoran dimulai dengan
angka 1 (satu).

14.2.6.2. Foto
Foto harus jelas terkait dengan uraian dalam teks, keterangan foto dan lokasinya
harus jelas. Foto juga harus disertai skala atau benda berukuran tertentu sebagai
pembanding. Judul foto dan nomor urutnya diletakkan di bawah foto bagian tengah,
penomoran dimulai dengan angka 1 (satu). Dalam beberapa tulisan/laporan foto

375
dikelompokkan dalam gambar, sehingga urutan penomorannya disesuaikan dengan urutan
nomor gambar.

14.2.6.3 Tabel
Tabel harus dibuat dengan jelas. Tabel yang berjumlah banyak (misalnya hasil
analisis laboratorium) diletakkan di dalam lampiran Judul diletakkan di atas tabel dan diberi
nomor urut dimulai dengan angka 1 (satu).

14.2.6.4 Daftar pustaka


Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad penyusun. Penulisan pustaka dimulai
dengan nama penyusun, tahun, judul, tempat artikel (majalah), dan penerbit.

Secara berurutan laporan eksplorasi berturut-turut terdiri dari halaman judul,


ringkasan, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar foto, daftar lampiran, tubuh utama
laporan, daftar pustaka, dan lampiran-lampiran. Halaman judul laporan harus jelas
menunjukkan komoditas dan daerah yang diselidiki, penyusun laporan, nama perusahaan
atau instansi pelapor, dan tahun pelaporan. Daftar Isi harus memuat daftar seluruh judul
dan halamannya, mulai dari ringkasan, daftar Isi, daftar-daftar lain, judul bab dan sub-bab
dalam tubuh laporan. Demikian pula Daftar Tabel, Daftar Gambar, Daftar Foto, dan Daftar
Lampiran sebaiknya disertai dengan nomor, judul dan halaman, dan diletakkan setelah
daftar Isi. Mulai ringkasan, daftar isi sampai daftar lainnya diberi nomor halaman dengan
angka Romawi kecil.

14.3. PENYUSUN LAPORAN


Dalam SNI No. 13-6606-2001 disebutkan bahwa Laporan Eksplorasi harus disusun
oleh tenaga ahli yang berkompeten. Tenaga ahli yang berkompeten ini harus mempunyai
pengalaman di bidang eksplorasi minimal selama 5 (lima) tahun dan atau telah mengikuti
pelatihan penulisan laporan eksplorasi yang diselenggarakan oleh instansi yang diberi
wewenang untuk itu.

Tenaga ahli yang kompeten juga diuraikan dalam SNI 4726-2011, bahwa seorang
Tenaga ahli kompeten harus mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya lima tahun
dalam bidang yang sesuai dengan bentuk mineralisasi dan jenis cebakan yang sedang
dipertimbangkan dan sesuai dengan kegiatan yang sedang dilakukan oleh Tenaga
Kompeten tersebut. Apabila Tenaga Kompeten tersebut sedang menyusun suatu laporan

376 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 14 PENYUSUNAN LAPORAN KEGIATAN EKSPLORASI MINERAL

hasil-hasil kegiatan eksplorasi, maka pengalaman Tenaga Kompeten tersebut harus sesuai
bidang eksplorasi. Jika Tenaga Kompeten tersebut sedang melakukan atau mengawasi
kegiatan estimasi sumber daya mineral, pengalaman Tenaga Kompeten tersebut harus
relevan dengan estimasi, kajian dan evaluasi sumber daya mineral. Jika Tenaga Kompeten
tersebut sedang melakukan atau mengawasi kegiatan estimasi cadangan bijih, pengalaman
Tenaga Kompeten tersebut harus relevan dengan estimasi, kajian, evaluasi dan
keekonomian proses ekstraksi dari cadangan bijih.

Untuk mengantisipasi pesatnya perkembangan industri pertambangan (termasuk


eksplorasi) di Indonesia, yang membutuhkan sumber pendanaan dari bursa dan perbankan
secara signifikan, Komite Bersama IAGI dan PERHAPI telah menyusun Kode KCMI yang
sebagian besar diadopsi dari The Australasian Code for Reporting Exploration Results,
Mineral Resources and Ore Reserves (The JORC Code) 2004 Edition. Kode ini diformulasikan
dengan maksud untuk menetapkan standar minimum untuk pelaporan hasil eksplorasi,
sumber daya dan cadangan mineral dan batubara yang sesuai dengan standard
internasional agara dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan usaha
pertambangan. Acuan dalam kode ini mengenai Laporan Publik atau penusunan Laporan
Publik adalah untuk suatu laporan atau penyusunan hasil-hasil kegiatan eksplorasi sumber
daya mineral dan cadangan bijih ditetapkan untuk memberikan informasi kepada investor
atau investor potensial dan penasihat mereka. Dalam Kode KCMI, Tenaga Kompeten atau
seoran “Competent Person Indonesia” adalah anggota PERHAPI atau IAGI yang terdaftar
sebagai CPI PERHAPI atau IAGI berdasarkan peraturan dari masing-masing organisasi
profesi tersebut dan harus mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya lima tahun dalam
bidang yang relevan dengan bentuk mineralisasi dan jenis cebakan yang sedang
dipertimbangkan dan sesuai dengan kegiatan yang sedang dilakukan oleh CPI tersebut.

14.4. PENUTUP
Pembuatan laporan eksplorasi ini merupakan kegiatan terakhir seluruh pekerjaan
eksplorasi yang berisi uraian teknis dan non-teknis. Laporan tersebut disampaikan kepada
pemerintah sesuai wilayah kewenangannya selaku pemberi izin dalam rangka pengawasan.
Selain kepada pemerintah, laporan kegiatan eksplorasi juga disampaikan kepada publik dan
investor untuk pengembangan usaha kegiatan dan keterbukaan informasi.

Untuk meyusun laporan tersebut diperlukan tenaga ahli kompeten yang relevan
dengan bidang kegiatan tersebut sebagaimana disyaratkan dalam SNI dan Kode KCMI.

377
14.5. DAFTAR PUSAKA
Keputusan Menteri ESDM No. 1453 K/29/MEM/2000 tentang Tentang Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum
Standar Nasional Indonesia - SNI 13-6606-2001, Tata Cara Umum Penyusunan Laporan
Eksplorasi Bahan Galian, Badan Standardisasi Nasional.

378 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 15 PENYUSUNAN WILAYAH PERTAMBANGAN

BAB 15
PENYUSUNAN WILAYAH PERTAMBANGAN
Dwi Nugroho Sunuhadi dan Bambang Pardiarto

Dengan telah diterbitkannya Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara, maka era baru dalam pengelolaan sektor
pertambangan mineral dan batubara telah dimulai. Dalam undang-undang tersebut
diamanatkan kepada pemerintah untuk menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) sebagai
bagian dari Tata Ruang Nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan
pertambangan. Wilayah Pertambangan terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan (WUP),
Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Pengusahaan pertambangan yang dilakukan melalui tiga bentuk, yaitu Izin Usaha
Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus.

Di dalam UU No. 4 Tahun 2009 pada pasal 6 disebutkan mengenai Kewenangan


Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara antara lain adalah:

- Penetapan WP (Wilayah Pertambangan) yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan


pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia,

- Penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka


memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan
Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN),

- Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara,
serta informasi pertambangan pada tingkat nasional,

Di dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya izin kegiatan eksplorasi


diterbitkan berdasar pengajuan lokasi oleh pemohon. Saat ini wilayah yang bisa diterbitkan
perizinannya ditetapkan oleh pemerintah terlebih dahulu berupa WUP untuk kemudian
dilakukan pelelangan kepada para pelaku usaha pertambangan dalam bentuk Wilayah Izin

379
Usaha Pertambangan (WIUP) untuk komoditi mineral logam dan/batubara. Sehingga
pemerintah dituntut untuk menyediakan wilayah yang layak ditawarkan kepada pelaku
usaha pertambangan untuk dilakukan kegiatan eksplorasi.

15.1. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP)


Di dalam UU No. 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa WUP merupakan bagian dari WP
yang memiliki ketersediaan data, potensi dan/atau informasi geologi. Satu WUP terdiri atas
1 (satu) atau beberapa (WIUP) yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah
kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. Luas WIUP mineral logam
paling sedikit 5.000 hektar dan paling banyak 100.000 hektar. Peraturan Pemerintah (PP) No.
23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
menyebutkan bahwasanya WIUP mineral logam atau batubara dapat diperoleh dengan cara
lelang. Sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi maka di dalam WIUP yang
sudah dilakukan pelelangan tersebut diterbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi
(Gambar 14.1).

Mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan pasal 20, kriteria di dalam penyusunan WUP komoditi mineral logam adalah:

 Memiliki formasi batuan pembawa mineral logam termasuk wilayah lepas pantai
berdasarkan peta geologi,
 Memiliki singkapan geologi untuk mineral logam, memiliki potensi sumber daya
mineral,
 Memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya, tidak tumpang
tindih dengan WPR dan/atau WPN,
 Merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara
bekelanjutan dan merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan
rencana tata ruang.

380 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 15 PENYUSUNAN WILAYAH PERTAMBANGAN

Keterangan :
= Wilayah Pertambangan (WP);
= Wilayah Usaha Pertambangan (WUP)
= Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)
1 = WUP yang terdiri dari 1 WIUP
2 = WUP dengan lebih dari 1 WIUP

Gambar 15.1. Skema hubungan antara WP, WUP dan WIUP

Penyusunan WUP tidak bisa dipisahkan dengan WPN yang memiliki kesamaan
dalam kriterianya sesuai PP. No 22 Tahun 2010 pasal 29 yaitu; memiliki formasi batuan
pembawa mineral logam termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi, memiliki
singkapan geologi untuk mineral logam berdasar data/peta geologi, memiliki
potensi/cadangan mineral logam ditambah kriteria untuk keperluan konservasi komoditas
tambang, berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain,
merupakan wilayah yang dilindungi; dan/atau berada pada pulau kecil dengan luas
maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Sesuai dengan PP No 22 tahun 2010 pasal 5, data yang dipergunakan di dalam


penyusunan WUP/WPN merupakan data yang diinvetarisasi pemerintah hasil penyelidikan
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun perusahaan yang berupa data geologi
hasil evaluasi dari kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah berakhir,
dan/atau telah dikembalikan kepada menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.

381
15.2. Geologi dan Keterdapatan Mineral Logam di Indonesia
Busur Kepulauan Indonesia yang terletak diantara dua Paparan Benua Asia dan
Australia sudah sejak lama menjadi perhatian para ahli geologi dan pertambangan. Hal
yang menarik dari keadaan geologi Indonesia yaitu terdapatnya zona jalur magmatik
berumur Permo-Karbon hingga Tersier yang menempati kepulauan Indonesia bagian barat
dan adanya jalur gunung api serta palung-palung laut dalam yang membujur dari bagian
barat Sumatera, bagian selatan Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan berlanjut ke
Filipina. Secara regional Indonesia terletak pada daerah tumbukan tiga lempeng besar,
yakni Lempeng Benua Eurasia, Lempeng Benua India-Australia dan Lempeng Samudra
Pacifik yang mengakibatkan kondisi struktur geologi yang kompleks dan kandungan variasi
energi dan mineral seperti: minyak dan gasbumi, batubara, gambut, panas bumi, tembaga,
emas, nikel, timah serta mineral-mineral lainnya.

Cebakan mineral logam di Indonesia yang meliputi emas, perak, tembaga, seng,
timbal, timah, besi, nikel, mangan, aluminium, dan lain-lain, terletak pada jalur magmatik
pembawa mineralisasi seperti Jalur Sunda-Banda, Jalur Kalimantan-Tengah, Jalur Sulawesi
Timur-Mindanau, Jalur Halmahera dan Jalur Irian Jaya Tengah (Gambar 14.2).

Gambar 15.2. Peta jalur mineralisasi dan lokasi mineral logam


(modifikasi berbagai sumber oleh Dwi Nugroho S, 2010)

382 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 15 PENYUSUNAN WILAYAH PERTAMBANGAN

Secara keseluruhan terdapat 15 jalur magmatik yang terbentuk di sepanjang


kepulauan Indonesia dengan panjang mencapai lebih dari 15.000 km (Carlile dan Mitchell,
1994). Selain membentuk jalur magmatik proses tektonik memunculkan batuan kerak
samudera berkomposisi ultrabasa di beberapa tempat di bagian timur Indonesia. Jalur
magmatik pembawa mineralisasi logam tersebut secara geologi dibentuk oleh aneka ragam
batuan yang terdiri dari umumnya batuan gunungapi, terobosan batuan beku, batuan
sedimen dan sebagian kecil batuan ofiolit. Keragaman komoditi dan tipe mineralisasi logam
dipengaruhi formasi atau jenis batuan baik batuan pembawa maupun batuan samping.
Guilbert & Park (1986) membuat klasifikasi keterdapatan jenis mineralisasi berdasarkan
asosiasi batuannya yang diantaranya meliputi batuan beku, batuan vulkanik, batuan
sedimen, kerak benua dan batuan metamorf.

Peran geologi dalam penyusunan WUP/WPN adalah menerapkan konsep


pembentukan dan pengendapan mineral dengan data-data geologi yang merupakan
kriteria WUP. Data yang dipakai berupa Peta Geologi skala 1 : 250.000 terbitan Pusat Survei
Geologi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi) yang merupakan data geologi regional
bersistem ditunjang dengan data keterdapatan mineral logam baik indikasi maupun sumber
daya. Berdasarkan beberapa kriteria geologi meliputi stratigrafi, litologi dan struktur geologi
dapat dideliniasi WUP/WPN.

15.2.1. Stratigrafi
Jika mineral logam diketahui terbentuk di dalam litologi tertentu atau dengan kata
lain pada horizon stratigrafi, maka langkah pertama untuk menentukan lokasi prospek
adalah menentukan indikasi permukaan dan memperluas pada horizon yang sama. Contoh
endapan mineral yang dipengaruhi kondisi stratigrafi adalah pasir besi (Gambar 14.3) dan
endapan-endapan tipe placer lainnya. Endapan pantai di selatan Jawa Barat terindikasi
memiliki kandungan pasir besi pada beberapa lokasi. Endapan tersebut merupakan
akumulasi hasil transport oleh sungai-sungai yang membawa rombakan material-material
mengandung bijih besi dari batuan-batuan gunungapi di bagian utara baik Formasi Jampang
maupun endapan piroklastika tak terpisahkan yang memiliki komposisi andesitik.
Penyebaran endapan pantai tersebut atas dasar kesamaan stratigrafi dan indikasi
keterdapatan pasir besi diusulkan sebagai blok WUP.

383
Gambar 15.3. WUP pasir besi didukung kriteria stratigrafi (geologi modifikasi dari Koesmono, 1976)

15.2.2. Litologi
Jenis litologi yang bisa langsung diusulkan untuk WUP/WPN salah satunya adalah
batuan ultrabasa (Gambar 15.4). Endapan mineral yang pada batuan ultrabasa adalah nikel
dengan mineral-mineral penyerta berupa kobalt, kromit dan besi. Hal ini terjadi karena ada
proses pelapukan pada batuan ultrabasa. Pelapukan akan memencarkan satu atau beberapa
unsur sehingga terjadi pengayaan unsur-unsur tersebut (Guilbert & Park, 1986). Endapan ini
dikenal sebagi nikel laterit. Usulan blok WUP dideliniasi pada daerah yang berimpit dengan
hutan lindung, sedangkan WPN yang berimpit dengan kawasan konservasi.

384 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 15 PENYUSUNAN WILAYAH PERTAMBANGAN

Gambar 15.4. WUP dan WPN nikel ditentukan oleh litologi ultrabasa
(geologi modifikasi dari simanjuntak dkk, 1993)

Beberapa contoh jenis litologi lain (Gambar 15.5) yang memiliki sifat akomodatif
terhadap proses mineralisasi selain batuan ultrabasa di daerah Sulawesi bagian selatan
adalah batuan gunungapi, batuan terobosan intermediet -asam dan batuan terobosan basa.
Cebakan tipe epitermal dan cebakan tipe kuroko dapat terbentuk pada batuan gunung api,
cebakan logam dasar tipe porfiri pada batuan intrusi intermediet-asam dan cebakan kromit-
platinum pada intrusi batuan ultrabasa (Guilbert & Park, 1986).

385
Gambar 15.5. Kelompok batuan di Sulawesi bagian selatan sebagai pembawa mineral logam
(modifikasi dari PPPG)

15.2.3. Struktur Geologi


Struktur geologi merupakan faktor pengontrol di dalam proses mineralisasi logam.
Beberapa cebakan mineral terbentuk pada daerah yang diterobos oleh batuan intrusi.
Struktur yang terbentuk sebelum mineralisasi merupakan struktur terpenting karena
berfungsi sebagai saluran larutan bijih dan bisa terbentuk mineral. Sedangkan struktur yang
terbentuk setelah mineralisasi akan merubah geometri mineral bijih.

Kombinasi antara stratigrafi, litologi dan struktur geologi menjadi faktor penting di
dalam pembentukan mineralisasi. Sedangkan untuk penentuan daerah prospek adalah
adanya batuan samping yang memiliki komposisi material gunungapi dengan struktur
geologi berupa sesar yang relatif intensif dan diterobos oleh batuan beku sebagai pembawa
larutan hidrotermal. Kondisi daerah seperti ini memiliki peluang akan terbentuknya
cebakan logam primer. Sehingga daerah tersebut dimasukkan ke dalam WUP, sementara
yang di dalam wilayah konservasi sebagai WPN (Gambar 15.6).

386 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 15 PENYUSUNAN WILAYAH PERTAMBANGAN

Gambar 15.6. Tampilan peta WUP dan WPN mineral logam yang dikontrol oleh faktor stratigrafi,
litologi dan struktur geologi (Geologi modifikasi dari Affendi & Apandi, 1993)

Apabila dikaitkan dengan tahapan kegiatan eksplorasi maka WIUP yang akan dilelang
bisa berada pada semua tahapan tergantung kepada kelengkapan data yang dipakai di dalam
penyusunannya (Tabel 15.1). Untuk data pemilihan area, survei tinjau dan prospeksi banyak
tersedia dari hasil penyelidikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perusahaan.
Data eksplorasi umum dan eksplorasi rinci selain menggunakan hasil penelitian pemerintah
pusat dan daerah, sebagian besar bisa diambil dari data penciutan dan pengakhiran Kontrak
Karya.

387
Tabel 14.1. Hubungan tahapan eksplorasi, WIUP dan ketersediaan data

388 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 16 PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA

BAB 16
PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA
Iwan Nursahan, Dwi Nugroho dan Harmanto

16.1. Latar Belakang


Sumber daya mineral merupakan sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui.
Sumber daya mineral adalah semua bahan galian yang terdapat di bumi yang dapat dipakai
untuk kebutuhan hidup manusia (BSN, 2002). Dalam pengelolaannya memerlukan
teknologi pengembangan sumber daya mineral, yaitu teknik atau cara untuk memanfatkan
sumber daya mineral dan manajemen untuk pengelolaannya. Pada dasarnya teknologi
pengembangan sumber daya mineral mencakup kegiatan hulu, yaitu pencarian atau
eksplorasi mineral, dan kegiatan hilir, yaitu bidang pemanfaatannya (Adjat, 1999).

Kegiatan pertambangan sering dinamakan kegiatan hulu dari rangkaian industri


mineral. Kegiatan industri mineral mengolah berbagai bahan mentah menjadi bahan jadi
digolongkan sebagai industri hilir, tempat mengalir dan bermuaranya produk
pertambangan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara, kegiatan pertambangan meliputi beberapa tahapan kegiatan, yaitu penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, penyiapan amdal, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
Dalam kegiatan pertambangan perlu dilakukan tahapan kegiatan eksplorasi yang
sistematik, sebagai dasar pengembangan agar diperoleh manfaat yang optimal.

Sumber daya mineral merupakan modal nasional yang perlu dikembangkan dan
dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang pembangunan. Namun, pemanfaatan
sumber daya mineral tersebut harus memperhatikan konservasi dan upaya untuk
kelestarian fungsi ekosistemnya.

Sumber daya mineral merupakan salah satu modal dasar terdapat di dalam bumi
Indonesia, diperlukan suatu proses untuk pengalihan menjadi modal riil ekonomi,
selanjutnya dialihkan menjadi modal sosial. Modal sosial diperlukan untuk meningkatkan

389
mutu manusia Indonesia agar mampu menghadapi hari depan secara mandiri (Gambar
16.1). Sebelum menjadi modal riil ekonomi, sumber daya mineral tersebut harus melalui
beberapa tahapan kegiatan (Gambar 16.2). Di dalam proses pengalihan dari bahan baku
sebagai sumber daya geologi yang terdapat di alam menjadi bahan baku yang dapat
diperdagangkan sebagai komoditi bernilai ekonomi, banyak melibatkan faktor-faktor
lainnya seperti: teknologi, permodalan, hukum, dan faktor lingkungan. Oleh karena itu
dalam pengelolaan sumber daya mineral diperlukan kaidah agar dapat menjadi acuan
dalam mewujudkan pengelolaan yang berwawasan lingkungan, serta dalam rangka upaya
optimalisasi untuk mendapatkan nilai tambah keekonomian agar terlaksana pembangunan
yang berkelanjutan.

(Salah satu
SUMBER DAYA ALAM Modal Dasar)

SUMBER DAYA ALAM TERBAHARUI: SUMBER DAYA ALAM TAK TERBAHARUI :


- Pertanian - Energi Fosil
- Kehutanan - Mineral Logam
- Air - Mineral Non Logam

PENERAPAN EKONOMI :
• PROFIL MANFAAT-BIAYA TIAP WILAYAH
• PROFIL BIAYA LINGKUNGAN
• PROFIL INVESTIGASI

MODAL RIIL EKONOMI

PROSES PENGALIHAN :
• PENDEKATAN KEAMANAN
• PENDEKATAN KESEJAHTERAAN

• PROFIL
 MODAL SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN
INVESTIGASI
MUTU MANUSIA
 AGAR MAMPU MENGHADAPI HARI DEPAN
SECARA MANDIRI

Gambar 16.1. Proses pengalihan sumber daya alam menjadi modal riil dan modal sosial
(Anonim, 2011)

390 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 16 PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA

PERMINTAAN
ENDAPAN DI ALAM KOMODITI
(Sumber Daya Mineral) (Sumber Daya Mineral)

EKSPLORASI

STUDI KELAYAKAN

PASARAN

PENGEMBANGAN TAMBANG

PENAMBANGAN

PENGOLAHAN

Gambar 16.2. Proses penyediaan mineral dari endapan alam (sumber daya mineral) menjadi
komoditi mineral (Anonim: 2011)

Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan pengelolaan sumber daya mineral
tersebut, dilakukan penyusunan neraca sumber daya mineral secara nasional yang menjadi
salah satu alternatif untuk membantu memecahkan persoalan tersebut. Neraca sumber
daya mineral merupakan alat evaluasi sumber daya mineral, yang menyajikan data sumber
daya dan cadangan awal, perubahan atau pemanfaatan, dan tingkat kerusakan lingkungan
akibat eksploitasi sebagai faktor degradasi lingkungan dan pembiayaannya serta keadaan
akhir dalam bentuk tabel dan peta penyebaran sumber daya mineral (Anonim, 2002).
Dalam Neraca sumber daya mineral terdapat informasi mengenai besarnya sumber
daya/cadangan setiap jenis mineral, jumlah mineral-mineral yang telah dimanfaatkan dan
cadangan yang masih tersisa serta besarnya pembiayaan pemulihan lingkungan di dalam
pelaksanaan eksploitasi (pemanfaatannya).

391
Dalam penyusunan Neraca sumber daya mineral dilakukan pemutakhiran tiap
tahunnya untuk updating data sumber daya dan laporan yang telah diverifikasi dalam
penyusunan neraca tersebut. Pemutakhiran data dan neraca sumber daya mineral yakni
untuk menghimpun seluruh data hasil penyelidikan mineral yang masih berupa data
hardcopy atau analog menjadi suatu sistem penyimpanan data digital (bank data) sehingga
menjadi suatu database potensi sumber daya mineral nasional yang fleksibel, efisien dan
sistematis serta selalu mengikuti perkembangan teknologi informasi. Hal ini bertujuan
tersedianya data potensi sumber daya mineral dan neraca mineral yang akurat dan
muktahir, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan kebijakan pemerintah dalam
pemanfaatan sumber daya mineral untuk mendukung pemenuhan pasokan mineral dan
investasi pertambangan.

16.2. Klasifikasi Sumber daya Mineral


Pedoman klasifikasi sumber daya mineral dan cadangan di Indonesia
pertama kali ditetapkan dalam STANDAR NASIONAL INDONESIA-SNI 13-4726-1998
(AMANDEMEN 1). Klasifikasi sumber daya mineral dan cadangan ini mengacu pada
standar industri pertambangan yang telah ada di beberapa negara dan konsep akhir
dari usulan klasifikasi yang disusun oleh Gugus Tugas PBB (BSN, 1998), yaitu :

1) A Guide for Reporting Exploration Information, Resources and Reserves, Working


Party # 79, Society of Mining, Metallurgy and Exploration Inc. 1991.
2) Australasian Code for Reporting of Identified Mineral Resources and Ore Reserves,
1992.
3) Principles of Resources/Reserve Classification for Minerals, US Bureau of Mines
and US Geological Survey Circular 831, 1980.
4) SEC Accounting Rules, Regulations, Annotations, Releases, Forms, Form S-18, pp
8345-3 to 8345-19, Commerce Clearing House, Inc., 1983.
5) United Nations International Framework Classification for Reserves/Resources-Solid
Fuels and Mineral Commodities, 1996.

Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan adalah suatu proses pengumpulan,
penyaringan serta pengolahan data dan informasi dari suatu endapan mineral untuk
memperoleh gambaran yang ringkas mengenai endapan itu berdasarkan kriteria:
keyakinan geologi dan kelayakan tambang. Kriteria keyakinan geologi didasarkan pada
tahap eksplorasi yang meliputi survai tinjau, prospeksi, eksplorasi umum dan eksplorasi

392 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 16 PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA

rinci. (BSN,1998). Tabel 16.1. Memperlihatkan klasifikasi sumber daya dan cadangan
mineral Indonesia berdasarkan SNI 13-4726-1998. Berdasarkan tingkat keyakinan geologi,
sumber daya terukur harus mempunyai tingkat keyakinan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sumber daya tertunjuk, begitu pula sumber daya tertunjuk harus mempunyai
tingkat keyakinan lebih tinggi dibandingkan dengan sumber daya tereka. Sumber daya
terukur dan sumber daya tertunjuk dapat ditingkatkan menjadi cadangan terkira dan
terbukti apabila dilakukan studi kelayakan dan atau laporan penambangan. Tingkat
keyakinan geologi tersebut secara kuantitatif dicerminkan oleh tahapan eksplorasi yang
dibedakan dengan metoda skala pemetaan geologi (umum atau rinci), kerapatan conto
pada survei geokimia, survei geofisika dan kerapatan jarak titik bor pada kegiatan
pengeboran inti mineral, seperti yang dijelaskan pada Tabel 16.2.

Tabel 16.1. Klasifikasi sumber daya dan cadangan mineral Indonesia sesuai SNI 13-4726-1998 (BSN, 1998)
Tahap Eksplorasi EKSPLORASI UMUM
EKSPLORASI RINCI PROSPEKSI SURVAI TINJAU
(GENERAL
Kelayakan (DETAILED EXPLORATION) (PROSPECTING) (RECONNAISSANCE)
EXPLORATION)
1. Cadangan Mineral
Terbukti
(Proved Mineral Reserve)
STUDI KELAYAKAN (111)
DAN ATAU LAPORAN 2. Sumber Daya Mineral
PENAMBANGAN Kelayakan
(Fasibility Mineral
Resource)
(211)
1. Cadangan Mineral Terkira
(Probable Mineral Reserve)
STUDI PRA (121) + (122)
KELAYAKAN 2. Sumber Daya Mineral Pra Kelayakan
(Prefeasibility Mineral Resource)
(221) + (222)
STUDI GEOLOGI 1 – 2. Sumber Daya 1 – 2. Sumber Daya 1 – 2. Sumber Daya ? Sumber Daya
Mineral Terukur Mineral Tertunjuk Mineral Tereka Mineral Hipotetik
(Measured Mineral (Indicated Mineral (Inferred Mineral (Reconnaissance
Resource) Resource) Resource) Mineral Resource)
(331) (332) (333) (333)

Tinggi Tingkat Keyakinan Geologi Rendah

Kategori Ekonomis : 1 = ekonomis 1 -2 = ekonomis ke berpotensi ekonomis (berintrinsik ekonomis)


2 = berpotensi ekonomis ? = tidak ditentukan
Kelayakan didasarkan pada kajian factor – factor : ekonomi, pemasaran, penambangan, pengolahan, lingkungan, social,
hokum/perundang-undangan, dan kebijaksanaan pemerintah.

393
Pada tahun 2011 sesuai hasil kajian Panitia Teknis 07 – 02 Potensi Kebumian dengan
pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang terkait, telah diterbitkan oleh BSN Pedoman
Pelaporan Sumberdaya dan Cadangan Mineral” (SNI) 4726 : 2011. Selanjutnya dalam
Konsensus Nasional yang dilakukan tanggal 15 maret tahun 2011 telah disepakati bahwa
Standar ini menjadi acuan bagi pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang terkait, yaitu
perusahaan tambang, perguruan tinggi/lembaga penelitian dan instansi teknis. Walaupun
SNI ini berupa pedoman pelaporan, namun pembagian klasifikasi sumber daya dan
cadangan Mineral ditampilkan pada pedoman tersebut dengan adanya perubahan yaitu
hilangnya kelas sumber daya hipotetik seperti yang terlihat pada Gambar 15.3. Namun,
kriteria yang ditetapkan pada pedoman ini tetap sama dengan kriteria pada SNI 13-4726-
1998, dan untuk pengkodean pedoman pelaporan ini mengacu pada The Australisian Code
for Reporting of Eksplorastion Results, Mineral resources and Ore Reserves (JORC Code
2004, edition). Dengan ditetapkannya SNI 13-4726-2011 Pedoman Pelaporan Sumberdaya
dan Cadangan Mineral, maka standar ini membatalkan dan mengantikan SNI 13-4726-1998
(Amd I : 1999 Klasifikasi Sumberdaya dan cadangan Mineral).

Tabel 16.2. Hubungan antara Tahapan Eksplorasi dengan Metoda Penyelidikan, Kerapatan Titik
Pengamatan dan Klasifikasi Sumber Daya (Cadangan) Bahan Galian

Eksplorasi Pengembangan
Tahapan (Penyelidikan Umum) (Eksplorasi) Studi
Konstruksi
Survei Tinjau Prospeksi Eksplorasi Umum Eksplorasi Rinci Kelayakan
Kepustakaan Pemetaan
Geologi rinci, Geologi rinci,
Survai Udara geologi semi
1:10.000 – 1:2.000 1:2.000 – 1:500
Metoda Pemetaan geologi rinci,
Geokimia Sumur/parit uji
Eksplorasi regional, 1:100.000 –
Geofisika Pemboran
(Penyelidikan) 1:250.000 – 1:10.000
Parit/sumur uji Terowongan Uji
1:100.000 Geokimia
Pemboran geologi Pengolahan
Geokimia Geofisika
Sampai Terbatas
Sangat Terbatas
Luas wilayah Sangat Luas beberapa (beberapa puluh
(beberapa km2)
ratus km2 km2)
Terpola, 1-10
Makin rapat,
Tidak Terpola, km2 Terpola (grid),
Kerapatan Titik mis. Sumur uji
pada lokasi-lokasi percontoh Interval 100-25 m
Pengamatan Interval 10 m
yang menarik endapan contoh tanah
dan titik bor
sungai aktif
Klasifikasi Cadangan Cadangan
Sumber Daya Sumber Daya Sumber Daya Sumber Daya
Sumber Daya terkira atau
Hipotetik Tereka Tertunjuk Terukur
dan Cadangan terbukti
Waktu

(sumber : SNI, 1998)

394 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 16 PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA

Selanjutnya sesuasi hasil konsensus dengan beberapa lembaga pemerintah,


disepakati SNI 13-4726-2011 tersebut, merupakan suatu pedoman yang ditujukan bagi
stakeholder pelaku pengusaha pertambangan Mineral (perusahaan Mineral), oleh karena
itu sudah sepatutnya apabila perusahaan tidak melaporkan potensi mineralnya pada kelas
sumber daya hipotetik. Modal investasi yang dimiliki perusahaan tentu saja memungkinkan
perusahaan tersebut melakukan kegiatan penyelidikan dengan tingkat keyakinan geologi
yang lebih tinggi, sehingga kelas sumber daya terendah yang dilaporkan oleh perusahaan
adalah Sumber Daya Tereka.

Hal ini berbeda dengan instansi pemerintah yang melakukan kegiatan penelitian
untuk tujuan menginventarisasi potensi mineral Indonesia, seperti yang dilakukan oleh
Badan Geologi. Kegiatan inventarisasi ini kerap kali dilakukan di daerah remote dengan
keterbatasan infrastruktur yang ada sehingga metode penelitian yang dilakukan tidak
terlalu rinci dan kelas potensi yang dihasilkan belum dapat dikategorikan sebagai sumber
daya tereka. Biasanya untuk kasus seperti ini, data potensi yang dihasilkan hanya dapat
dikategorikan sebagai Sumber Daya Hipotetik. Namun, walaupun masih kelas hipotetik,
data potensi ini sudah dilengkapi dengan data teknis lainnya seperti informasi lokasi
(koordinat geografis), ketebalan dan kualitas endapan mineral tersebut. Data sumber daya
hipotetik ini dapat menjadi informasi awal bagi pihak yang akan melakukan kegiatan
eksplorasi.

395
HUBUNGAN ANTARA SUMBERDAYA DAN CADANGAN MINERAL

Hasil Eksplorasi
(Exploration Result)
Sumberdaya Mineral Cadangan Mineral
(Mineral Resources) (Mineral Reserves)

Tereka
(Inferred)
Peningkatan tingkat
pengetahuan dan
keyakinan geologi
Tertunjuk Terkira
(Indicated) (Probable)

Terukur Terbukti
(Measured) (Proved)

Pertimbangan faktor penambangan, pengolahan/pemurnian, ekonomi,


pemasaran, hukum, lingkungan, social, dan pemerintah

(modifying factors)

Gambar 16.3. Hubungan antara Hasil Eksplorasi, sumberdaya dan cadangan mineral (BSN, 2011)

16.3. Pemutakhiran Neraca Sumber daya Mineral


Berdasarkan hasil survey perusahaan pertambangan tahun 2013 yang dilakukan
oleh Fraser Institute, saat ini indeks potensi mineral (best practices) Indonesia berada pada
urutan 20 dari 112 negara di dunia. Bila dibandingkan dengan data tahun 2012 terjadi
penurunan yang cukup tajam setelah tahun-tahun sebelumnya mengalami kenaikan, tetapi
secara umum berada pada posisi diatas. Namun indeks potensi mineral (current) tidak
sama dengan kondisi “best practices”, yang berada di posisi menengah sampai bawah dan
Indeks Persepsi Kebijakan Indonesia juga selalu berada pada posisi dibawah diantara
negara-negara yang disurvey, bahkan pada tahun 2012 berada pada posisi paling bawah.
(Gambar 15.4). Perbedaan antara indeks potensi mineral “best practices” dan “current” ini
membuka peluang yang cukup besar untuk perbaikan dan salah satu faktornya termasuk
juga untuk Indeks Persepsi Kebijakan adalah kualitas basis data geologi.

396 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 16 PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA

Melalui pemutakhiran neraca sumber daya mineral, kualitas basis data geologi juga
akan semakin meningkat, karena kegiatan ini juga terkait dengan pelaporan kegiatan
eksplorasi mineral yang dituntut validitasnya.

Gambar 16.4. Grafik Kecenderungan Posisi Indonesia Dalam Indeks Persepsi Kebijakan dan Indeks
Potensi Mineral (diolah dari Fraser Institute Annual, 2013)

Status sumber daya ditentukan berdasarkan tingkatan atau tahapan eksplorasi.


Umumnya eksplorasi sumber daya mineral dimulai dari tahap survai tinjau yang
menghasilkan sumber daya hipotetik, tahap prospeksi menghasilkan sumber daya tereka,
tahap eksplorasi umum menghasilkan sumber daya terunjuk dan tahap eksplorasi rinci
menghasilkan sumber daya terukur.

Status cadangan ditentukan apabila telah dilakukan studi kelayakan terhadap


sumber daya mineral tersebut dan dinyatakan penambangan dapat dilakukan secara
ekonomis. Cadangan berdasarkan tingkat keyakinan geologinya dibagi menjadi dua,
cadangan terkira yaitu cadangan dengan tingkat keyakinan geologi yang rendah terdiri dari
sumber daya mineral terunjuk dan sebagian sumber daya mineral terukur, sedangkan
cadangan terbukti adalah cadangan dengan tingkat keyakinan geologi tertinggi yang terdiri

397
dari sumber daya terukur. Dengan demikian peningkatan status sumber daya menjadi
cadangan bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, diperlukan kajian dengan melakukan
tahapan eksplorasi selanjutnya serta diperlukan biaya yang besar.

Pemutakhiran neraca sumber daya mineral mulai dikembangkan pada tahun 2001
oleh Direktorat Inventarisasi Sumber daya Mineral–DJGSM. Data neraca sumber daya
mineral terus-menerus dilakukan pemutakhiran oleh Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumber daya Mineral (DJGSM) dan mulai tahun 2005 oleh Badan Geologi sampai dengan
sekarang. Hal ini dilakukan untuk menginventarisasi database mineral logam dan updating
data neraca sumber daya mineral dalam satu Sistem Informasi Geografis (SIG).

Hasil pemutakhiran Neraca sumber daya mineral tahun 2014, telah menghasilkan
tabel Neraca sumber daya mineral logam dan Mineral bukan logam Indonesia tahun 2014,
yang dapat disajikan pada tabel 16.3. dan tabel 16.4. Berdasarkan tabel neraca tersebut,
terdapat perubahan yang cukup signifikan pada komoditi-komoditi mineral strategis, sesuai
perkembangan berbagai industri logam dan meningkatnya pembangunan fisik di berbagai
sektor menyebabkan kebutuhan bahan galian logam strategis terus meningkat baik sebagai
bahan baku utama maupun penunjang terutama pengembangan infrastruktur dan industri
berbasis logam.

398 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
Tabel 16.3. Rekapitulasi data neraca sumber daya dan cadangan komoditi mineral strategis Tahun 2014

SUMBER DAYA ( ton ) CADANGAN (ton)

No KOMODITI HIPOTETIK TEREKA TERTUNJUK TERUKUR TERKIRA TERBUKTI

BIJIH LOGAM BIJIH LOGAM BIJIH LOGAM BIJIH LOGAM BIJIH LOGAM BIJIH LOGAM

1 Emas Primer 86.402.867 53 3.326.266.390 3.726 667.186.572 787 3.612.056.929 2.650 92.741.069 944 3.138.653.745 2.583

2 Bauksit 43.530.000 5.719.560 627.878.192 301.083.290 224.088.421 118.226.623 398.341.594 201.218.749 354.615.794 140.865.601 228.005.621 97.299.749

3 Nikel 196.944.617 2.298.208 1.148.040.278 17.668.478 998.673.695 14.089.206 1.221.820.407 18.096.580 1.005.082.203 18.852.047 163.026.355 2.773.691

4 Tembaga 14.910.117 203.724 10.296.181.522 79.622.677 1.122.053.305 2.717.976 6.084.678.201 23.403.983 15.357.000 107.084 3.118.575.377 27.663.233

5 Besi 346.839.051 178.967.360 52.788.372 29.344.150 44.568.479 23.676.083 268.268.464 169.783.625 65.579.511 39.825.354

6 Pasir Besi 182.362.724 63.430.205 1.109.409.793 15.293.375 219.961.279 39.975.821 605.038.235 306.716.826 143.308.193 20.880.229 30.502.419 4.532.424

7 Mangan 2.845.838 1.188.756 2.330.763 299.237 1.531.201 244.598 8.782.961 4.572.180 4.145.029 2.735.516 284.000 99.400

8 Seng 12.818.900 1.695.252,14 554.456.335 2.147.060,25 48.775.000 2.359.543,00 8.591.101 1.097.567,27 14.589.090,90 1.498.280 5.275.000 776.702,50

9 Timah 440.675.000 1.401.267 7.553.000 63.102 319.436 24.063 3.043.505.162 770.854 2.473 725 1.276.924.474 272.122

10 Xenotim 23.165.947 326

11 Monasit 1.564.700.740 15.394 6.280 6.034 4.605.827 4.493 2.715


BAB 16 PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA

12 Perak 971.000 249,37 10.006.193.726 505.244,39 261.003.348 5.063,58 3.506.539.007 324.419,64 647.758.233 1.112.242,48 2.630.597.929 580.584,43

399
Tabel 16.4. Neraca Sumber Daya Mineral Non Logam Di Indonesia Tahun 2014
SUMBERDAYA SUMBER DAYA
JUMLAH SUMBER PRODUKSI
NAMA KOMODITI (TON) (Awal Thn
Hipotetik Tereka Terunjuk Terukur DAYA (TON) (TON)
2015)
1 2 3 4 5 6
No
1 Zeolit 242337163 113.100.000 49.908.000 27.000.000 432.345.163 304.897 432.040.266
2 Pasir kuarsa 18.119.350.500 167.957.000 619.788.000 117.614.000 19.120.859.500 31.964.402 19.088.895.098
3 Kaolin 909.147.300 51.530.000 97.149.200 12.189.064 1.070.015.564 2.542.013 1.067.473.551
4 Bentonit 457.394.000 108.263.520 58.249.000 0 623.906.520 1.805.802 622.100.718
5 Lempung 88.657.591.350 8.294.385.000 810.800.700 200.119.586 97.962.896.636 234.760.109 97.728.136.527
6 Felspar 5.250.210.286 4.102.431.000 402.914.000 1.500.000 9.757.055.286 965.003 9.756.090.283
7 Marmer 105.744.109.000 1.811.887.000 555.420.000 428.526.230 108.539.942.230 850.742 108.539.091.488
8 Batugamping 535.827.896.800 94.544.305.000 7.141.260.750 2.297.258.867,00 639.810.721.417 618.446.288 639.192.275.129
9 Granit 60.176.627.000 4.023.597.000 592.708.000 0 64.792.932.000 99.576.258 64.693.355.742
10 Dolomit 2.171.021.000 163.800.000 4.837.106.000 0 7.171.927.000 2.714.221 7.169.212.779

PENYELIDIKAN MINERAL
PANDUAN
400
BAB 16 PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA

16.4. Peta Neraca Sumber daya Mineral Indonesia


Dalam kegiatan pemutakhiran neraca sumber daya mineral juga dilakukan
penyusunan Peta neraca sumber daya mineral Logam dan Mineral bukan Logam
Indonesia. Mineral Logam secara umum dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu :

a. Mineral logam Mulia terdiri dari Emas dan Perak


b. Mineral Logam Dasar yang terdiri dari tembaga, Timah hitam, Seng dan
timah putih
c. Mineral Logam Besi paduan besi yang terdiri dari Besi , Kromit, Nikel, bauksit,
Almunium
d. Mineral Logam Ringan dan langka yang terrdiri dari Almunium, Unsur tanah
jarang (REE)

Sedangkan Mineral Bukan logam dan batuan merupakan bahan galian


industri adalah bahan galian di luar mineral logam, radioaktif, minyak, gas bumi
dan Mineral yang umumnya mempunyai kegunaan langsung untuk berbagai
industri tanpa banyak memerlukan proses pengolahan yang rumit. Secara garis
besar Mineral Bukan logam dapat dikelompokkan menurut penggunaannya yaitu
sebagai berikut:

a. Bahan Galian Industri terdiri dari barit, batuan kalium, batuapung,


batugamping, belerang, bentonit, diatomea, dolomit, fosfat, gipsum, kalsit,
kuarsit, oker, pasir kuarsa, pasir zirkon, serpertin, talk, travertin, ultrabasa,
yodium dan zeolit.
b. Bahan Galian Keramik terdiri dari ball/bond clay, felspar, kaolin, lempung,
obsidion, perlit, pirofilit, toseki dan trakhit.
c. Bahan Galian Bangunan terdiri dari andesit, basal, batusabak, dasit, granit,
granodiorit, marmer, peridotit, sirtu dan tras.
d. Bahan Galian Batu Mulia terdiri dari ametis, batu hias, intan, jasper,
kalsedon, oniks, opal dan rinjang.

Penyusunan Peta Neraca sumber daya Mineral Indinesia disusun sesuai


pembagian kelompok tersebut, diantaranya dapat disajikan pada Gambar 16.5
dan Gambar 16.6.

401
PENYELIDIKAN MINERAL
Gambar 16.5. Peta Potensi sumber daya mineral Logam Mulia Indonesia Tahun 2013 (PSDG, 2013)

PANDUAN
402
BAB 16 PENYUSUNAN NERACA SUMBER DAYA MINERAL INDONESIA

Gambar 16.6. Peta Potensi sumber daya mineral Logam dasar Indonesia Tahun 2013 (PSDG, 2013)

403
16.5. Penutup
Penyusunan neraca sumber daya mineral wajib dilakukan secara terus
menerus dan berkesinambungan untuk memperbaiki dan updating data base
dan neraca potensinya.

Penyusunan neraca sumber daya mineral ini merupakan salah satu


instrumen untuk mengevaluasi lokasi, sebaran dan potensi keterdapatan suatu
mineral. Hal ini sangat berguna dalam pengambilan kebijakan untuk
perencanaan pembangunan nasional.

Perlu adanya persamaan persepsi dan koordinasi dalam penyusunan


neraca sumber daya geologi antar berbagai instansi terkait, terutama dalam
pengelolaan data.

16.6. Daftar Pustaka


Anonim, 1998, Klasifikasi Sumberdaya Mineral dan Cadangan, Standar
Nasional Indonesia, AMANDEMEN 1 - SNI 13-4726-1998, BSN, Jakarta
Anonim, 2002, Penyusunan neraca sumber daya –Bagian 4: Sumber daya
mineral spasial, SNI 19-6728.4-2002, BSN, Jakarta
Anonim, 2011. Bimbingan Teknik Inventarisasi dan Eksplorasi Sumber daya
Geologi, PSDG, Bandung
Anonim, 2013. Laporan Pemutakhiran Neraca Sumber daya Mineral, Pusat
Sumber Daya Geologi-Badan Geologi, Bandung
Anonim, 2014. Laporan Pemutakhiran Neraca Sumber daya Mineral, Pusat
Sumber Daya Geologi-Badan Geologi, Bandung
Sudradjat, Adjat. 1999. Teknologi dan Manajemen Sumber Daya Mineral, hlm
23 – 51, Penerbit ITB, Bandung
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Mineral.
Wilson, A. dan Cervantes, M, 2013, Survey of Mining Companies 2013, The
Fraser Institute, Vancouver BC, Canada

404 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

BAB 17
KONSERVASI MINERAL
Ir. Raharjo Hutamadi, Lia Novalia Agung, S.T., M.I.L., dan Ir. Teuku Ishlah

Indonesia memiliki potensi sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang
merupakan karunia yang harus dikelola secara cermat agar memberikan hasil guna yang
optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat luas secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumber daya hayati harus mempertimbangkan potensi sumber daya non
hayati dan sebaliknya, sehingga keduanya dapat memberikan manfaat yang optimal, tidak
ada potensi yang terabaikan dan tersia-siakan.

Sumber daya mineral merupakan sumber daya alam non-hayati yang mempunyai
sifat-sifat yaitu tidak terbarukan; jumlahnya sangat terbatas; keberadaannya tidak dapat
dipindahkan; keterjadiannya ditentukan oleh proses geologi yang lama (jutaan tahun);
pengelolaannya memerlukan tahapan yang sangat panjang, sarat modal dan teknologi serta
mempunyai potensi merusak lingkungan; dan nilai ekonominya sangat dipengaruhi oleh
teknologi dan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Berdasarkan sifat-sifat sumber daya mineral, tersebut maka pengelolaan sumber


daya mineral perlu penerapan kaidah konservasi agar diperoleh manfaat yang optimal,
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan serta dapat meningkatkan nilai tambah
(Gambar 17.1).

17.1. Konservasi Sumber Daya Mineral


Konservasi adalah perlindungan, perbaikan dan penggunaan sumber daya alam
sesuai dengan azas yang menjamin ekonomi atau kepentingan dan manfaat sosial yang
tertinggi.

Konservasi sumber daya mineral adalah upaya pengelolaan sumber daya mineral
untuk mendapatkan manfaat yang optimal, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi
kepentingan rakyat secara luas.

405
Konservasi sumber daya mineral identik dengan optimalisasi manfaat sumber daya
mineral. Tanpa penerapan kaidah konservasi secara intensif dan efektif, akan berakibat
menurunnya peran dan manfaat sumber daya mineral dalam pembangunan sebagai akibat
hilangnya kesempatan untuk mengusahakan ataupun hilangnya atau menurunnya nilai
sumber daya mineral, baik secara fisik, ekonomis maupun fungsinya.

Gambar 17.1. Konservasi sumber daya mineral dan batubara

Sumber daya mineral merupakan sumber daya alam tak terbarukan, maka harus
ada upaya untuk mengganti penggunaan suatu mineral dengan mineral lain (subtitusi), oleh
karena itu diperlukan strategi yang tepat dalam menentukan jenis, jumlah dan kualitas
produksi sumber daya mineral untuk waktu-waktu tertentu sehingga diperoleh manfaat
yang optimum.

Pelaku usaha pertambangan apabila hanya bertendensi untuk memperoleh


keuntungan yang besar dengan mudah dan cepat, yaitu hanya memanfaatkan/menambang
mineral kadar tinggi atau mineral yang mudah dan murah proses eksploitasinya serta
melakukan pengolahan dengan cara yang kurang efisien dengan perolehan yang rendah
(recovery rendah), akan menyebabkan banyak terjadi penyia-nyiaan bahan galian, sumber

406 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

daya potensial tertinggal atau terbuang, sehingga hilang atau berkurang peluang
memanfaatkannya.

Konservasi sumber daya mineral dalam penerapannya tidak hanya menangani sisi
hilir dari kegiatan pertambangan, namun untuk memperoleh manfaat yang optimal,
sumber daya mineral harus terkelola dengan baik mulai dari hulu sampai hilir, yaitu sejak
eksplorasi sudah harus berorientasi menerapkan kaidah konservasi sumber daya mineral
dengan pengumpulan fakta seoptimal mungkin, sehingga dalam kegiatan pertambangan
selanjutnya didukung oleh data lengkap sebagai dasar perencanaan penerapan konservasi
sumber daya mineral. Dengan demikian tidak ada potensi sumber daya mineral yang
terabaikan sebagai akibat tidak lengkapnya data. Untuk pelaksanaan itu diperlukan
perizinan yang menunjang.

17.2. Ruang Lingkup Konservasi Sumber Daya Mineral


UU No. 4/2009 dan PP 55/2010 merupakan landasan hukum dalam pengelolaan
sumber daya mineral dan batubara, aspek konservasi yaitu optimalisasi dan peningkatan
nilai tambah lebih ditekankan untuk mendukung keberlanjutan pembangunan melalui
sektor energi dan sumber daya mineral.

Gambar 17.2. Lingkup konservasi sumber daya mineral dan batubara

407
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa konservasi sumber daya mineral
melibatkan kegiatan pengelolaan dari hulu sampai hilir (Gambar 17.2), ruang lingkup
pelaksanaan meliputi beberapa hal berikut:
1. Sumber daya dan cadangan;
2. Recovery penambangan, stripping ratio, dan cut off grade;
3. Penanganan bahan galian kadar marjinal dan kadar rendah;
4. Recovery pengangkutan/pengolahan/pemurnian;
5. Penanganan mineral ikutan dan bahan galian lain;
6. Penanganan sisa sumber daya dan cadangan pasca tambang;
7. Penanganan tailing;
8. Peningkatan nilai tambah bahan galian;
9. Penutupan tambang;

17.3. Pengawasan Konservasi Sumber Daya Mineral


Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral merupakan unsur pokok untuk
menunjang keberhasilan dan pencapaian tujuan pembangunan dari usaha pertambangan.
Demi terciptanya pemanfaatan bahan galian yang optimal dan berkelanjutan perlu
diterapkan prinsip dan pengawasan konservasi bahan galian. Secara rinci perlunya
pengawasan konservasi sumber daya mineral dilakukan karena:
a. Konservasi dalam rangka perlindungan sumber daya mineral
b. Pengawasan konservasi sangat penting untuk memantau perkembangan kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi, menghindari penyalahgunaan wewenang atas izin usaha
pertambangan, dan pelanggaran azas serta kaidah konservasi.
c. Pelanggaran kaidah konservasi umumnya disebabkan ingin mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya, teknologi yang kurang memadai, tidak adanya
kepastian hukum.
d. Kegiatan pengelolaan sumber daya mineral mempunyai resiko yang tinggi, maka
kebijaksanaan pengawasan juga harus memperhatikan kepentingan para pemegang
izin usaha pertambangan. Kebijaksanaan pengawasan yang bersifat mempersempit
ruang gerak perusahaan harus dihindari, karena hal ini dapat mengganggu iklim
investasi di Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1453 tahun
2000, pada Lampiran XI tentang Pedoman Pengawasan Konservasi Bahan Galian
Pertambangan Umum, bahwa ruang lingkup pengawasan konservasi bahan galian meliputi :

408 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

a. Penetapan sumberdaya dan cadangan


b. Penetapan dan penerapan stripping ratio dan atau cut off grade.
c. Penetapan dan peningkatan recovery penambangan, pengangkutan
pengolahan/pemurnian
d. Peningkatan nilai tambah bahan galian
e. Penanganan bahan galian kadar/nilai marjinal dan kadar/nilai rendah
f. Penanganan mineral ikutan dan bahan galian lain
g. Penanganan sisa cadangan dan sumberdaya pasca tambang
h. Pengecekan tailing dan penanganan tailing
i. Penggunaan produksi bahan galian

Berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2010 pasal 25, pengawasan konservasi sumber


daya mineral paling sedikit meliputi:
a. Recovery penambangan dan pengolahan;
b. Pengelolaan dan/ atau pemanfaatan cadangan marginal;
c. Pengelolaan dan/atau pemanfaatan mineral kadar rendah;
d. Pengelolaan dan/atau pemanfaatan mineral ikutan;
e. Pendataan sumber daya serta cadangan mineral yang tidak tertambang; dan
f. Pendataan dan pengelolaan sisa hasil pengolahan dan pemurnian.

17.3.1. Kewajiban Perusahaan


Dalam hal penerapan konservasi, perusahaan pertambangan wajib :
a. Menjadikan studi kelayakan sebagai acuan bagi seluruh kegiatan pertambangannya
b. Melakukan penetapan sumberdaya dan cadangan secara teliti dan benar sesuai
dengan standar yang berlaku
c. Mengupayakan agar semaksimal mungkin sumberdaya yang tersedia dapat
ditingkatkan menjadi cadangan.
d. Mengusahakan menambang seluruh cadangan yang tersedia.
e. Melakukan pengelolaan dan atau pemanfaatan yang baik terhadap bahan galian
kadar/ nilai marjinal, kadar/nilai rendah dan bahan galian lain yang ada agar
sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan.
f. Mengupayakan pemanfaatan mineral ikutan yang ada sehingga menjadi produk
sampingan.
g. Menyampaikan data lengkap mengenai sisa cadangan dan sumberdaya pada masa
pengakhiran tambang.

409
h. Melakukan pengolahan/pemurnian yang efektif sehingga mendapatkan recovery
maksimal.
i. Melakukan pengecekan kadar tailing dan mempelajari segala kemungkinan
pemanfaatan dan atau pengelolaan kembali tailing untuk meningkatkan recovery.
j. Melakukan penanganan tailing yang kemungkinan masih dapat diolah kembali di
masa mendatang.
k. Apabila perusahaan menghendaki adanya perubahan atas stripping ratio dan atau
cut off grade
l. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan nilai tambah bahan galian
penambangan, pengangkutan dan pengolahan/pemurnian serta target produksi dari
rencana seperti yang tertuang dalam studi kelayakan, maka wajib melakukan
konsultasi untuk mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah/Pemerintah Daerah.
m. Mengupayakan penggunaan/memanfatkan produksi bahan galian secara tepat
guna.
n. Menyediakan semua data yang diperlukan oleh petugas pengawas konservasi bahan
galian dari Pemerintah/Pemerintah Daerah.
o. Melaporkan kegiatan penerapan konservasi bahan galian kepada
Pemerintah/Pemerintah Daerah setiap 3 (tiga) bulan.

17.3.2. Kewajiban dan Kewenangan Pemerintah/Pemerintah Daerah


Dalam pelaksanaan Pengawasan Konservasi sumber daya mineral, sesuai dengan
kewenangannya, Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Melakukan pembinaan, bimbingan, evaluasi dan pengawasan aspek konservasi
kepada pemegang izin usaha pertambangan.
b. Melakukan dokumentasi sumberdaya dan cadangan mineral secara rinci, lengkap
dan baik.
c. Melaporkan segala hasil evaluasi dan pengawasan aspek konservasi seperti
dimaksud dalam butir 1 kepada Pemerintah, secara tertulis dan komprehensif,
setiap 6 (enam) bulan.
d. Memberikan sanksi-sanksi kepada perusahaan tambang yang melalaikan
ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku.

17.4. Kebijakan Konservasi Sumber Daya Mineral


Masalah konservasi sumber daya mineral sebelum disahkannya UU No 4 Tahun
2009, belum diatur dengan rinci sehingga dapat dikatakan bahwa masalah konservasi

410 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

sumber daya mineral belum tertangani. Berikut ini sejarah kebijakan konservasi, konservasi
di negara lain, dan perkembangan kebijakan konservasi saat ini.

17.4.1. Sejarah Singkat tentang Kebijakan Konservasi


Payung regulasi tentang kewenangan konservasi tercantum dalam UU no 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dikenal Otonomi Daerah, pasal 7 ayat 1 dan 2, yaitu
tentang kewenangan pemerintah pusat mengatur kebijakan di bidang konservasi.
Konservasi yang dimaksudkan disini adalah konservasi umum yaitu konservasi sumber daya
alam secara keseluruhan dimana hal-hal yang menyangkut sumber daya alam hayati /flora
(kehutanan-pertanian) dan hewani (fauna) sudah diatur oleh sektor berwenang yaitu
Departemen Kehutanan–Pertanian dan Lingkungan Hidup. Sedangkan konservasi bahan
galian menjadi kewenangan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral belum mengatur
secara tegas dan lengkap.

Pada UU no 32 tahun 2004 baik pada pasal 2 maupun pasal 17 tidak secara eksplisit
menyatakan tentang konservasi seperti pada UU no 22/1999, kecuali pada pasal 18 yaitu
daerah diberikan kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut, yang meliputi
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut.

Disahkannya UU no 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU no 32 tahun


2004 tersebut mengisyaratkan UU no 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan perlu segera diganti karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang
ada. Dalam UU no 11 tahun 1967 tersebut tidak mengatur tentang kebijakan konservasi.

Wacana konservasi sesungguhnya sudah digulirkan sekitar tahun 1990-an. Menurut


Soenarto (DTMB dahulu DTPU-DJPU, 1995) dalam makalah “Tugas Konservasi Bahan
Galian”, penataan di bidang konservasi bahan galian menjadi kewenangan Direktorat
Teknik Pertambangan Umum sesuai S.K. Mentamben no 1748 tahun 1992 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen bahwa DTPU mempunyai fungsi diantaranya
konservasi dan penataan wilayah. Sehingga instansi pengemban tugas dan fungsi tentang
kebijakan menyangkut konservasi berada di Direktorat Teknik Pertambangan Umum di
Jakarta.

Pada pelaksanaannya konservasi ini belum menampakkan hasil ataupun


memperoleh respon dari semua pihak baik oleh pelaku usaha pertambangan, pemerintah

411
maupun masyarakat secara luas. Keadaan ini menjadikan seolah-olah kebijakan tentang
konservasi tidak tertangani akibat belum adanya peraturan yang jelas dan mengikat
setingkat Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Keputusan Presiden
(Keppres). Sementara itu kegiatan usaha pertambangan tumbuh semakin berkembang di
beberapa daerah di wilayah hukum pertambangan Indonesia.

Pada tahun 2001 terjadi reorganisasi sehingga sebagian tugas dan fungsi Direktorat
Teknik yang menyangkut konservasi dialihkan ke Subdit Konservasi Direktorat Inventarisasi
Sumber Daya Mineral di Bandung. Kegiatan awal subdit ini adalah menyusun rancangan
dan peraturan-peraturan tentang konservasi bahan galian diantaranya konsep rancangan
peraturan perundang-undangan berbentuk peraturan pemerintah (RPP) dan konsep
penetapan dan pengawasan sumber daya dan cadangan bahan galian. Selanjutnya diikuti
dengan bergulirnya konsep-konsep kriteria dan pedoman teknis tentang konservasi bahan
galian.

17.4.2. Kebijakan Konservasi di negara lain


Kebijakan tentang konservasi sumber daya mineral di negara kita apabila
dibandingkan dengan negara–negara lain sudah jauh tertinggal bahkan di wilayah Asia saja
masih kalah dengan negara India, Philipina dan sebagainya.

Sebagai contoh di India sudah menerapkan konservasi sumber daya mineral sejak
tahun 1988, yang tertuang dalam “Mineral Conservation & Development Rules”. Ini
merupakan pembaharuan dari The Mines and Minerals (Regulation and Development) Act,
1957 (67 of 1957) serta The Central Government; Rules for Conservation and Development
of Minerals. Tetapi dengan ketentuan ini, usaha pertambangan di India tidak berkembang.
Dampak positifnya, perusahaan pertambangan India berkembang di Kanada. Terakhir
perusahaan pertambangan India juga ikut melakukan eksplorasi batubara, bijih besi dan
mangan di Indonesia.

Peraturan ini berisikan materi pengaturan pengelolaan bahan galian mulai dari
perencanaan, penyelidikan umum, eksplorasi, ekploitasi, kompetensi sumber daya
manusia, lingkungan juga tentang sanksi hukum dan sebagainya. Begitu pula negara
Philipina dengan “The Phillipine Mining Act of 1995”. Negara Kanada bahkan sudah
mengatur hingga lebih rinci seperti dalam “Metal Policy”. Di Amerika Serikat seperti dalam

412 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

“US Forest Service” mengatur bahwa peruntukan atau tata guna lahan kehutanan harus
tetap mempertimbangkan keterdapatan sumber daya mineral di dalamnya.

Lain halnya keadaan di negara kita peraturan yang mengatur tentang pengelolaan
bahan galian masih terpaku pada UU no 11 tahun 1967, dimana belum ada pasal yang
menjadi payung hukum tentang konservasi apalagi setelah disahkan UU no 22/1999, maka
UU no 11/1967 tersebut perlu segera ada revisi atau peraturan pengganti karena sudah
tidak sesuai dengan perkembangan yang ada. Dengan disahkan UU no 4 tahun 2009 maka
payung hukum tentang konservasi bahan galian sudah sangat mengikat.

17.4.3. Perkembangan Kebijakan Konservasi


Pada awal era otonomi daerah, kebijakan konservasi bahan galian berdasarkan S.K.
Menteri ESDM no 1453 tahun 2000, merupakan pedoman teknis penyelenggaraan
pemerintah di bidang pertambangan umum, Lampiran XI tentang pedoman pengawasan
konservasi bahan galian. Di dalam pedoman ini tercantum ruang lingkup pengawasan
konservasi sangat luas mulai dari sisi hulu sampai hilir dalam pengelolaan bahan galian.

Kebijakan konservasi tersebut “dianggap” tidak kuat atau tidak mengikat. Lain
halnya apabila berupa Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) atau Keppres ada
ketentuan hukumnya berupa sanksi, sehingga apabila di dalam pelaksanaannya tidak sesuai
ketentuan akan ada pertanggunganjawabnya secara hukum. Oleh karena itu pada tahun
2001, dasar hukum atau peraturan tentang konservasi tidak diatur oleh PP No. 75 Tahun
2001 (Pelaksanaan UU No. 11 tahun 1967 yang telah mengalami dua kali perubahan setelah
PP No. 32 Tahun 1969).

Pada PP No. 75 Tahun 2001, ternyata hanya mengatur wewenang Menteri


Gubernur dan Bupati tentang kuasa pertambangan (akibat pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan UU No. 22 thn 1999) untuk menyampaikan laporan berkala yang materinya
sesuai dengan tahap kuasa pertambangan. Dengan demikian maka pemegang kuasa
pertambangan eksploitasi wajib menyampaikan laporan berkala tentang kegiatan
eksploitasi.

Dalam kegiatan eksploitasi ini telah disepakati pada studi kelayakan tentang
program konservasi sumber daya mineral diantaranya : batas kadar rata-rata terambil (Cut
off Grade), nisbah pengupasan (stripping ratio) dan sebagainya. Selama ini, konservasi pada
bagian hulu hanya mengatur tentang kewajiban penciutan wilayah kuasa pertambangan.

413
Dalam perkembangannya, peraturan perundang-undangan tersebut ternyata belum
memadai sehingga terdapat beberapa prinsip/kaidah konservasi subsektor pertambangan
umum tidak terlaksana, meskipun ada beberapa kaidah konservasi yang sudah berjalan.

Keinginan pemerintah untuk mengganti Undang-undang no 11 tahun 1967, baru


terlaksana pada tahun 2009 dengan terbitnya UU no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Di dalam UU no 4 tahun 2009 kebijakan konservasi secara nyata
sudah lebih ditonjolkan dengan dicantumkan antara lain pada:
 Pasal 2 huruf a dan d:
Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: manfaat, keadilan, dan
keseimbangan; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
 Pasal 6 ayat (1) huruf k:
Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara,
antara lain: penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi.
 Pasal 18 huruf b:
Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah
sebagai berikut: kaidah konservasi.
 Pasal 27 ayat (3):
WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan batasan waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
 Pasal 32 huruf b:
Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK dalam 1 (satu) WUPK adalah
sebagai berikut: kaidah konservasi.
 Pasal 39 ayat (2) huruf s:
IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib
memuat ketentuan sekurang-kurangnya: konservasi mineral atau batubara.
 Pasal 79 huruf s:
IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b sekurang-
kurangnya wajib memuat: konservasi mineral atau batubara.
 Pasal 96 huruf d:
Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK
wajib melaksanakan upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara.
 Pasal 141 ayat (1) huruf e:

414 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

Pengawasan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan, antara lain, berupa


konservasi sumber daya mineral dan batubara

Seiring dengan telah disahkan undang-undang pertambangan mineral dan batubara


sebagai landasan hukum, maka peraturan pemerintah dan peraturan menteri sebagai
petunjuk pelaksanaannya yang telah disahkan yaitu sebagai berikut:
1. PP No 22 Tahun 2010
 Pasal 22 ayat (1) huruf b:
Untuk menetapkan WIUP dalam suatu WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2) harus memenuhi kriteria: kaidah konservasi.
 Pasal 29 ayat (2) huruf d:
Menteri menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPN
harus memenuhi kriteria untuk keperluan konservasi komoditas tambang.
 Pasal 32 ayat (1) huruf b:
Untuk menetapkan WIUPK dalam suatu WUPK harus memenuhi kriteria kaidah
konservasi.
2. PP No 23 Tahun 2010
 Pasal 89 ayat (2) huruf b:
Pengendalian produksi mineral dan batubara pada IUP/IUPK Operasi Produksi
dilakukan untuk melakukan konservasi sumber daya mineral dan batubara;
3. PP No 55 Tahun 2010
 Pasal 16 huruf e:
Pengawasan atas pelaksanaan usaha pertambangan dilakukan terhadap konservasi
sumber daya mineral dan batubara;
 Pasal 25 ayat (1):
Pengawasan konservasi sumber daya mineral dan batubara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf e paling sedikit meliputi:
a) recovery penambangan dan pengolahan;
b) pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marginal;
c) pengelolaan dan/atau pemanfaatan batubara kualitas rendah dan mineral
kadar rendah;
d) pengelolaan dan/atau pemanfaatan mineral ikutan;
e) pendataan sumber daya serta cadangan mineral dan batubara yang tidak
tertambang; dan
f) pendataan dan pengelolaan sisa hasil pengolahan dan pemurnian.

415
4. PP No 78 Tahun 2010.
 Pasal 3 ayat (2):
Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan
IUPK Operasi Produksi wajib memenuhi prinsip:
a) perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan;
b) keselamatan dan kesehatan kerja; dan
c) konservasi mineral dan batubara.

Berkaitan dengan peningkatan nilai tambah di dalam negeri yang merupakan salah
satu amanat dari UU 4/2009, sebagai upaya untuk meningkatkan mutu produk komoditas
pertambangan khususnya mineral, peluang terciptanya lapangan kerja, pembangunan
infrastruktur pendukung yang akan meningkatkan pendapatan negara dari sektor
pertambangan. UU 4/2009 memberikan waktu lima tahun kepada perusahaan untuk
mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri (Pasal 170).

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan secara
konsisten telah menerbitkan peraturan yang bertujuan untuk mendorong pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri antara lain, yaitu:
 Peraturan Menteri, Permen ESDM No 7 Tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah
mineral melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian mineral. Kemudian diubah
melalui Peraturan Menteri ESDM No 12 Tahun 2012.
 Pada tanggal 11 Januari 2014 ditetapkan PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan
Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebagai pedoman pelaksananaan teknis
diterbitkan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri.
PP 1/2014 dan Permen 1/2014 pada intinya mengatur pelarangan penjualan bahan
mentah (ore/raw material) keluar negeri sejak 12 Januari 2014 namun masih
mengizinkan ekspor enam komoditas mineral yang sudah diolah atau berbentuk
konsentrat hingga 2017 dengan batasan minimum kadar yang boleh diekspor yaitu
tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, dan mangan.
Permen ESDM 1/2014 juga menyebutkan enam komoditas tambang lainnya yang
hanya boleh diekspor setelah dimurnikan atau berbentuk logam yakni emas, perak,
bauksit, timah, nikel, dan kromium.

416 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

 Peraturan Menteri Perdagangan No 04/M-DAG/PER/1/2014 Tentang Ketentuan Ekspor


Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Peraturan ini mengatur ketentuan mengenai pembatasan dan pelarangan ekspor
produk pertambangan berupa mineral logam, mineral bukan logam dan batuan.
Produk pertambangan yang berasal dari mineral logam yang sudah mencapai batasan
minimum pengolahan dan/atau pemurnian, mineral bukan logam dan batuan yang
sudah mencapai batasan minimum pengolahan merupakan produk pertambangan
yang dibatasi ekspornya (Pasal 2 ayat 1).
Produk pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan
batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum pengolahan
dan/atau pemurnian dilarang diekspor (Pasal 2 ayat 3).
 Peraturan Menteri Perindustrian No 15/M-IND/PER/3/2014 tentang Pemberian
Rekomendasi Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan
Pemurnian.
Peraturan ini mengatur ketentuan mengenai pelaksanaan ekspor produk
pertambangan hasil pengolahan dan/atau pemurnian berupa mineral logam, mineral
bukan logam, dan batuan yang telah mencapai batasan minimum pengolahan yang
ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan yang telah mendapatkan Eksportir Terdaftar produk pertambangan hasil
pengolahan dan/atau pemurnian (Pasal 2 ayat 1).
 Peraturan Menteri Keuangan No 6/PMK.011/2014 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Keuangan No 75/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor
yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Ketentuan mengenai barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar
yang terkait produk mineral hasil pengolahan tercantum pada Pasal 3 ayat (1) huruf d
dan ayat (2) huruf d, berupa produk mineral dengan batasan minimum kadar yang
boleh diekspor yaitu konsentrat tembaga, besi (hematit, magnetit, pirit, gutit/laterit),
pasir besi (ilmenit dan titanium) mangan, timbal, dan seng.

17.5. Konservasi Sumber Daya Mineral dan Permasalahannya


Konservasi sumber daya mineral/bahan galian merupakan bagian kebijakan
pengelolaan bahan galian yang memiliki fokus pada optimalisasi manfaat dan minimalisasi
dampak negatif usaha pertambangan. Di dalam kerangka optimalisasi manfaat bahan galian
terdapat upaya pemeliharaan, proteksi, penambangan dan pengolahan serta peningkatan
nilai tambah terhadap bahan galian tersebut. Sedangkan dalam upaya meminimalisasi

417
dampak negatif akibat penambangan dan pengolahan bahan galian, terdapat upaya
pemantauan dan pengawasan pada usaha pertambangan, khususnya yang berakibat
langsung terhadap kelestarian fungsi lingkungan.

Pengelolaan bahan galian di sisi hulu, dari saat eksplorasi hingga penambangan dan
nilai tambah mineral di sisi hilir pada tahapan pengolahan perlu mendapat
perhatian,sehingga pemborosan atau penyia-nyiaan terhadap mineral di masa mendatang
harus dihindari. Oleh sebab itu kebijakan dan pengaturan aspek konservasi perlu mendapat
perhatian.

Konservasi sebenarnya bukan merupakan hal yang baru dalam pengertian


pengelolaan bahan galian, seperti diketahui bahwa konservasi ini tugas yang melibatkan
banyak pihak tetapi dalam penerapannya sampai saat ini masih banyak menemukan
kendala-kendala.

Permasalahan konservasi sumber daya mineral yang dihadapi antara lain:


1) Pengelolaan dan penanganan bahan galian untuk daerah relinguish dalam kaitannya
dengan tata guna lahan.
2) Pengelolaan dan penanganan bahan galian lain, mineral ikutan, bahan galian kualitas
menengah dan rendah.
3) Pengelolaan dan penanganan data sisa sumber daya dan cadangan tertinggal.
4) Pengelolaan dan penanganan bahan galian yang terbuang bersama tailing.
5) Peningkatan nilai tambah mineral

418 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

17.5.1. Pengelolaan dan penanganan bahan galian untuk daerah relinguish


dalam kaitannya dengan tata guna lahan
Pada umumnya daerah relinguish atau daerah yang diserahkan kembali ke negara
dianggap tidak prospektif maka wilayah tersebut sering tidak mendapatkan perhatian baik
dari pihak pemerintah maupun oleh pelaku usaha pertambangan.

Pada daerah tersebut perlu dilakukan pendataan potensi bahan galian apabila:
 Daerah relinguish tersebut masih berkemungkinan memiliki potensi untuk komoditas
mineral yang sama, dapat diusahakan namun dalam skala penambangan yang lebih
kecil atau dengan metoda penambangan yang berbeda.
 Daerah relinguish yang memiliki komoditas mineral lain yang sebelumnya tidak
menjadi target eksplorasi, dapat diusahakan dengan izin yang berbeda.
 Daerah relinguish yang tidak memiliki potensi dapat dilakukan alih fungsi tata guna
lahan.

Oleh karena itu untuk kepentingan masa mendatang potensi di daerah relinguish
perlu mendapat perhatian pemerintah dan pemerintah daerah agar tidak mengabaikan
kemungkinan potensi yang ada.

17.5.2. Pengelolaan dan penanganan bahan galian lain, mineral ikutan,


bahan galian kualitas menengah dan rendah
Pada kegiatan penambangan, umumnya mineral utama berkadar rendah, marginal
dan mineral ikutannya tidak dimanfaatkan/dikelola, sering dianggap sebagai waste hanya
untuk material reklamasi bahkan sering terbuang begitu saja. Dalam rangka mengantisipasi
kecenderungan harga dan permintaan komoditas bahan galian, perlu dibuat kebijakan yang
mengatur penanganannya, antara lain dengan menyimpan bahan galian tersebut di lokasi
tertentu dengan melakukan treatment khusus.

Penyimpanan bahan galian tersebut harus memenuhi kriteria tertentu yaitu antara
lain tidak mencemari lingkungan, menjaga agar tidak terkontaminasi, dan dapat ditambang
kembali dengan mudah.

419
Salah satu contoh seperti pada Gambar 17.3 yang menunjukkan pada
penambangan nikel laterit adanya limonit dan mineral ikutan yang memiliki kadar unsur-
unsur lain yang cukup tinggi yang selama ini masih dianggap sebagai waste.

Gambar 17.3. Penampang laterit nikel (sumber: PT. INCO, 2005)

Selain itu pada pengusahaan batugranit di daerah endapan laterit bauksit terdapat
overburden sebagai bahan galian lain berupa bauksit tidak dimanfaatkan, hanya
diperlakukan sebagai waste (Gambar 17.4).

Gambar 17.4. Endapan bauksit pada penambangan batu granit

420 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

17.5.3. Pengelolaan dan penanganan sisa sumber daya dan cadangan


tertinggal
Kegiatan penambangan selalu meninggalkan sisa sumber daya dan cadangan karena
desain tambang, sistem dan recovery penambangan yang tidak optimal juga alasan nilai
ekonomi. Contoh sisa sumber daya dan cadangan tertinggal karena desain tambang seperti
pada Gambar 17.5.

Sebelum penutupan tambang, harus dilakukan inventarisasi dan evaluasi data sisa
sumber daya dan cadangan yang tertinggal dan perencanaan kebijakan dalam pengelolaan
sisa sumber daya dan cadangan.

Salah satu upaya penerapan konservasi yaitu penanganan sisa sumber daya dan
cadangan yang mungkin masih dapat dieksploitasi pada masa mendatang atau
memanfaatkan sisa sumber daya dan cadangan yang ada dengan menggunakan metode
penambangan lain jika dimungkinkan.

Sumber daya dan cadangan bahan galian tertinggal pada wilayah bekas tambang
dapat dimanfaatkan antara lain untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan geowisata.

Gambar 17.5. Desain bukaan tambang pada tubuh bijih Tembaga

421
17.5.4. Penanganan bahan galian yang terbuang bersama tailing
Pada proses pengolahan mineral, disamping dihasilkan produk utama juga
dihasilkan sisa hasil pengolahan/tailing. Hasil-hasil penelitian menunjukkan dalam tailing
masih terdapat unsur atau mineral ikutan yang bernilai ekonomis (Gambar 16.6). Oleh
karena itu perlu adanya pendataan tailing di semua tahapan pengolahan mineral dan perlu
adanya kebijakan untuk memanfaatkan tailing.

Salah upaya penanganan bahan galian yang terbuang bersama tailing Untuk
mengantisipasi adanya kebijakan untuk memanfaatkan tailing perlu langkah-langkah
penanganan tailing yaitu:
 Adanya lokasi penimbunan tailing dengan keadaan tempat penimbunan yang sesuai
dengan spesifikasi tertentu.
 Pemeriksaan berkala tailing tersebut agar tidak mencemari lingkungan, menjaga agar
tidak terkontaminasi, dan dapat diolah kembali dengan mudah.

Pengendapan Aluvial di Bukaan Tambang , Kepuh,


Toboali, Kab. Bangka Selatan

Tailing
Tailing

Tailing mengandung radioaktif penanganannya pasir kuarsa hasil pemisahan dalam


memerlukan perlakuan khusus sluice box

Gambar 17.6. Mineral ikutan dan bahan galian lain pada penambangan timah

422 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

17.6. Peningkatan Nilai Tambah


Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non renewable) yang
dikuasai oleh negara, maka pengelolaannya harus memberi nilai tambah bagi
perekonomian nasional guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Nilai tambah adalah pertambahan nilai mineral sebagai hasil dari proses pengolahan
dan/atau pemurnian mineral. Peningkatan nilai tambah adalah peningkatan nilai mineral
melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian sehingga menghasilkan manfaat
ekonomi, sosial dan budaya (Permen ESDM No. 1/2014 Pasal 1 ayat 12 dan 13).

Dalam rangka peningkatan nilai tambah mineral perlu dilakukan kegiatan pengolahan
dan pemurniaan untuk meningkatkan mutu mineral serta untuk memanfaatkan dan
memperoleh mineral ikutan (UU No. 4 Tahun 2009).

Mineral ikutan yaitu mineral/unsur selain mineral/unsur utama yang diusahakan


dan menurut genesanya terjadi secara bersama-sama dengan mineral utama (Anonim,
2006). Mineral ikutan dapat berupa produk samping dari mineral utama yang diusahakan.
Mineral utama adalah kelompok mineral bijih yang mempunyai unsur kimia terpenting
yang berpengaruh dalam penentuan jenis batuan dan jenis endapan dan dapat diusahakan
(Anonim, 2006). Menurut Permen ESDM No 1/2014 pasal 1 ayat 7, produk samping adalah
produk pertambangan selain produk utama pertambangan yang merupakan sampingan
dari proses pengolahan dan pemurnian yang memiliki nilai ekonomis.

Kenyataan di lapangan terdapat perizinan dalam pengusahaan mineral yang tidak


memperhitungkan tentang peningkatan nilai tambah. Pada Gambar 16.7. menunjukkan
adanya izin penambangan batu pada daerah endapan laterit nikel yang juga mengandung
kromit, penambangan yang dilakukan hanya kegiatan peremukan atau pereduksian ukuran
batuan untuk bahan baku konstruksi (fondasi dan split). Hal ini tidak sesuai dengan aspek
konservasi yaitu tidak ada peningkatan nilai tambah mineral kromit. Selain itu terdapat pula
bahan galian lain yang belum dimanfaatkan yaitu mineral magnesit.

Berdasarkan PP No 55 Tahun 2010 Pasal 25 ayat (1) butir (j) tentang pengelolaan
dan/atau pemanfaatan mineral ikutan. Potensi mineral ikutan sampai saat ini belum
tertangani dengan baik yang memiliki kemungkinan dapat memberikan nilai tambah
mineral. Menurut hasil penelitian pada slag/terak sisa hasil peleburan timah di Bangka
Selatan mengandung unsur tanah jarang (UTJ) dengan nilai yang tinggi di atas kelimpahan

423
UTJ pada kerak bumi (Gambar 17.8). UTJ merupakan unsur penting yang saat ini banyak
digunakan untuk industri berteknologi tinggi.

Gambar 17.7. Penambangan batu pada laterit nikel

Gambar 17.8. Slag pengolahan timah di Bangka Selatan

424 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL
BAB 17 KONSERVASI MINERAL

17.7. Daftar Pustaka


Hutamadi, R. 2008. Konservasi dalam Buku Pedoman Bimbingan Teknik dan Eksplorasi
Sumber Daya Geologi. Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Hutamadi, R. dan Agung, Lia N., 2011. Laporan Monitoring Kegiatan Penelitian Bahan Galian
Lain dan Mineral Ikutan di Wilayah Pertambangan Kabupaten Konawe, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung.
Mineral Conservation & Development Rules, New Delhi, 1988
Rohmana, Pohan M. P., dan Junaedi, E. K., 2007. Laporan Inventarisasi Bahan Galian pada
Bekas Tambang di Daerah Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pusat Sumber
Daya Geologi, Bandung.
Rohmana, Agung, Lia N., Jaenudin, K., dan Handayani, T., 2013. Pengeboran untuk
Penyelidikan Potensi Mineral Ikutan dan Unsur Tanah Jarang Daerah Kabupaten
Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pusat Sumber Daya
Geologi, Bandung.
Suhandi dan Gunradi, R., 2009. Laporan Penelitian Bahan Galian Lain dan Mineral Ikutan
pada Wilayah Usaha Pertambangan Kabupaten Bangka Selatan. Pusat Sumber
Daya Geologi. Bandung.
Soenarto, 1995. Tugas Konservasi Sumber daya mineral. Direktorat Jenderal Pertambangan
Umum. Jakarta.
The Philippine Mining Act of 1995 (Republican Act No. 7942) instituted a "new system of
mineral resources exploration, development, utilization, and conservation."

Peraturan-peraturan

Undang-Undang No. 11 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.


Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.

425
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral
Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 07 Tahun 2012 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 Tahun 2012 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 01 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral Di Dalam Negeri.
Keputusan Menteri ESDM No. 1453 K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum.
Keputusan Menteri ESDM No. 150/2001 jo. Keputusan Menteri ESDM No 1915/2001
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral.

426 PANDUAN
PENYELIDIKAN MINERAL

Anda mungkin juga menyukai