Anda di halaman 1dari 43

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HALU OLEO

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

LAPORAN PEMETAAN
DESA LAMEURU KECAMATAN RANOMEETO KABUPATEN KONAWE
SELATAN
PROPINSI SULAWESI TENGGARA

Oleh
Kelompok 4 Grid 3

1. Muh.Hasan
2. Rika Yustika
3. Supriadin
4. Andri Ade Irawan

KENDARI
2018
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HALU OLEO

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI PENSISIKAN TINGGI

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

LAPORAN PEMETAAN
DESA TONDOWATU KABUPATEN KONAWE UTARA
PROPINSI SULAESI TENGGARA

Halaman tujuan

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk dapat melulusi mata kuliah pemetaan
geologi merupakan syarat melulusi jenjang kuliah strata 1 (S-1), Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Ilmu Dan Teknologi Kebumian,Universitas Halu Oleo.

Oleh
Kelompok 4 Grid 3

1. Muh.Hasan
2. Rika Yustika
3. Supriadin
4. Andri Ade Irawan

KENDARI
2018
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HALU OLEO

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI PENSISIKAN TINGGI

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PEMETAAN
DESA TONDOWATU KABUPATEN KONAWE UTARA
PROPINSI SULAESI TENGGARA

Kendari,26 Mei 2018

Co.Asisten Ketua Kelompok

Muh. Khairil Rusman Muh.Hasan


F1G114047 R1C115064

Mengetahui

Dosen pengampuh

Harisma buburanda, S.T., M.T


NIP. 1985060112201504 1 002
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang paling pantas untuk diucapkan melainkan puji syukur

kehadirat Allah SWT karean berkat limpahan rahmat dan karunianya sehingga

kami dapat menyelesaikan Laporan Pemetaan ini tepat pada waktunya. Dan tak

lupa mengucapakan salawat serta salam kepada junjungan Nabi besar muhamad

SAW sehingga dapat merasakan nikmat islam seperti sekarang ini.

Ucapan terimakasih kuberikan kepada Dosen mata kuliah (Pak Harisma)

yang telah membimbing dan membina sehingga pemetaan ini dapat kami

selesaikan. Kemudian ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam pemetaan .

Akhir kata kami memohon maaf bila ada kata-kata kurang berkenaan

dihati pembaca.Penulis juga mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat

bagi pembaca dan pembaca dapat memberikan saran yang sifatnya membangun

demi kesempurnaan laporan pemetaan ini.

Kendari, 1 Juni 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................

HALAMAN TUJUAN.........................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................

KATA PENGANTAR.........................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

DAFTAR TABEL.............................................................................................

DAFTAR FOTO..............................................................................................

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................

1.1 Latar Belakang

1.2 Maksud dan Tujuan

1.3 Manfaat

1.4 Alat dan Bahan

1.5 Waktu, Letak dan Kesampaian Daerah

1.6 Metode dan Tahapan Penelitian

1.7 Peneliti Terdahulu

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III GEOLOGI LOKAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV GEOLOGI DAERAH PENELITIAN


4.1 Morfologi

4.2 Stratigrafi

4.3 Struktur Geologi

BAB V POTENSI BAHAN GALIAN

BAB VI STUDI KASUS

BAB VII PENUTUP

7.1 Kesimpulan

7.1 Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1.4.1 : Alat dan Bahan beserta kegunaannya


DAFTAR FOTO

Foto 4.1.1 : Batugamping Formasi Buara

Foto 4.1.2 : Soil Aluvium

Foto 4.1.3 : Air terjun


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1 : Stratigrafi Regional

Gambar 2.1.2 : Peta struktur regional pulau Sulawesi


DAFTAR LAMPIRAN

Peta Lokasi Penelitian (Kertas A3)

Data Stasiun

Tabel Cuaca

Tabel Deskripsi Geomorfologi

Sketsa Bentang Alam (Mata Elang dan Mata Katak) “Morfografi”

Peta Aliran Sungai (Kalkir)

Peta Pola Aliran Sungai (Kalkir)

Peta Pola Genetik (Kalkir)

Peta Orde Sungai (Kalkir)

Peta Stasiun dan Lintasan Pengamatan (Kertas A3 dan Kalkir)

Perhitungan Morfometri (Grid 1 X 1 )

Peta Morfometri (Kertas A3 dan Kalkir) + Penampang

Peta Morfogenesa (Kertas A3 dan Kalkir) + Penampang

Peta Geomorfologi (Kertas A3 dan Kalkir) + Penampang

Data Pengukuran Struktur Geologi

 Data Kekar

 Tabulasi Data Kekar Tarik dan Gerus

 Pengolahan Data Kekar (Histogram, Diagram Kipas, Diagram Rosed dan

Stereonet)

 Rekonstruksi Lipatan “Metode Busk dan Higgins”

 Rekonstruksi Sesar
Peta Struktur Geologi (Kertas A3 dan Kalkir)

Profil Lintasan (Kertas Grafik)

Perhitungan Ketebalan

Penampang Terukur (Kertas Grafik)

Tabel Measuring Section

Kolom Litologi (Kertas Grafik)

Kolom Lithostratigrafi (Kertas Grafik)

Kolom Litodemik (Kertas Grafik)

Kolom Biostratigrafi (Kertas Grafik)

Kolom Stratigrafi (Kertas Grafik)

Peta Litologi (Kertas A3 dan Kalkir) + Penampang

Peta Geologi (Kertas A3 dan Kalkir) + Penampang


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dan batuan sebagai

penyusunnya serta sejarah dan fenomena-fenomena yang membentuknya baik

secara endogen mau pun eksogen.Untuk mempelajari fenomena-fenomena

tersebut perlu dilakukan suatu penelitian, salah satu caranya adalah pemetaan

geologi.Seorang mahasiswa geologi dituntut dapat melakukan pemetaan geologi,

sebab hal itu merupakan identitas seorang ahli geologi.

Pemetaan ini juga merupakan penerapan dari ilmu geologi yang didapat di

bangku kuliah, yang pada kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan, sehingga

mahasiswa Fakultas Teknik Geologi, Universitas Halu oleo, dapat memperoleh

pengalaman dan pembelajaran dari lapangan yang sesungguhnya.

Untuk melatih keterampilan, maka pada semester VI ini kami

diharuskan melakukan pemetaan geologi yang dikerjakan oleh satu kelompok

yang berjumlah empat sampai lima orang. Ada pun pemetaan tersebut berlokasi di

daerah kecamatan ranomeeto barat, konawe selatan, sulawesi tenggara.

Pemetaan Geologi pendahuluan ini dilakukan karena daerah

tersebut memiliki kondisi geologi yang menarik untuk dipelajari, sehingga

diharapkan dapat mengungkapkan proses geologi daerah tersebut dari data-data

dan informasi geologi secara rinci dan lengkap, serta ditunjang dengan teori-

teori geologi yang selama ini diperoleh sehingga diharapkan dapat


menjelaskan kondisi geologi daerah tersebut yang dituangkan dalam bentuk

peta geologi.

Dari penjelasan di atas maka permasalahan yang muncul di daerah

pemetaan yaitu morfologi dan proses-proses geologi apa saja yang menyebabkan

terbentuknya suatu bentang alam tertentu di daerah pemetaan, Litologi apa saja

yang menyususn daerah pemetaan, meliputi karakteristik fisik, lingkungan

pengendapan, dan hubungan stratigrafi dan Struktur geologi apa saja yang

berkembang di daerah pemetaan serta bagaimana sejarah geologi yang

berlangsung di daerah pemetaan.

1.2.Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari pemetaan ini adalah untuk memenuhi tugas mata

kuliah pemetaan geologi dan sebagai bentuk aplikasi dan pelatihan lapangan dari

mata kuliah pemetaan geologi.

Sedangkan tujuan dari tugas pemetaan ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui unsur-unsur penyusun geomorfologi dan

memisahkan unsur- tersebut ke dalam satuan geomorfologi.

b) Untuk mengetahui jenis-jenis batuan, mendeskripsi karakteristiknya,

menglompokannya ke dalam satuan-satuan batuan sesuai dengan

sandi stratigrafi, serta mengetahui hubungan antar satuan batuan.

c) Untuk mengetahui struktur geologi yang berkembang di daerah

pemetaan.
1.3 Manfaat

Adapun manfaat dari pemetaan ini adalah sebagai berikut :

a) Dapat mengetahui unsur-unsur penyusun geomorfologi dan memisahkan

unsur-unsur tersebut dalam satuan geomorfologi.

b) Dapat mengetahui jenis-jenis batuan, mendeskripsi karakteristiknya,

menglompoknnya ke dalam satuan-satuan batuan sesuai dengan sandi

stratigrafi, serta mengetahui hubungan antar satuan batuan.

c) Dapat mengetahui struktur geologi yang berkembang di daerah pemetaan.

1.3 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada

tabel 1.4.1.dibawah ini.

Tabel 1.4.1 Alat dan Bahan serta Kegunaanya

No. Alat Dan Bahan Kegunaan

1. Palu Geologi Untuk mengambil sampel batuan

2. Kompas Geologi Untuk mengukur arah perlapisan batuan dan

kemiringan batuan serta menentukan arah

3. GPS Untuk menentukan Posisi

4. HCL Sebagai penentuan Kandungan carbon

5. Peta dasar Topografi Untuk menentukan lokasi

6. Kantong Sampel Sebagai tempat penyimpanan contoh batuan

7. Kamera Untuk mengambil foto singkapan dan bentangalam

8. Tas Lapangan Untuk membawa perlengkapan lapangan


9. Alat tulis Sebagai alat tulis-menulis

10. Clipboard Sebagai alas dalam mencatat dan memberi tanda

dipeta

11. Roll Meter Untuk mengukur jarak lintasan

12. Komparator Untuk membantu pemerian nama batuan

1.4 Waktu, Letak dan Kesampaian Daerah

Lokasi pemetaan ini yang berada didaerah kecamatan Ranomeeto Barat

Kabupaten Konawe Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara. Daerah tersebut dapat

dicapai daengan menggunakan roda dua maupun roda empat, yang jarak

tempuhnya ± 1 Jam dari Universitas Halu Oleo, Fakultas Ilmu Dan Teknologi

Kebumian, sedangkan lokasi yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan,

ditempuh dengan berjalan kaki.

Gambar 1.4.1 :Peta Lokasi Pemetaan


1.5 Metode dan Tahapan Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu metode observasional yaitu

metode pengamatan yang dilakukan secara langsung dilapangan, dan mengambil

beberapa unsur penting untuk mendukung pengamatan pada daerah penelitian.

Adapun tahapan pemetaan ini terbagi menjadi beberapa tahap yaitu sebagai

berikut :
1.6 Peneliti Terdahulu

Adapun nama-nama peneliti terdahulu yang telah meneliti daerah tersebut,

adalah sebagai berikut:

1. Endharto, M. dan Surono, 1991. Preliminari Study of The Meluhu Complex

Related to Terrane Formation in Sulawesi.

2. Hamilton, W., 1979. Tectonics of The Indonesian Region.

3. Rusmana, E., Sukido, Sukarna, D., Haryono, E., Simandjuntak, T.O. 1993.

Keterangan Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Tenggara,

Skala 1:250000.

4. Sukamto, R., 1975. Structural of Sulawesi in The Light of Plate Tectonic


BAB II

GEOLOGI REGIONAL

2.1 Gemorfologi Regional

Van bemmelen (1945) membagi lengan tenggara Sulawesi menjadi tiga

bagian: ujung utara, bagian tengah, dan ujung selatan. Lembar Kolaka menempati

bagian tengah dan ujung selatan dari lengan tenggara Sulawesi.

Ada lima satuan morfologi pada bagian tengah dan ujung selatan Lengan

Tenggara Sulawesi, yaitu morfologi pegunungan, morfologi perbukitan tinggi,

morfologi perbukitan rendah, morfologi pedataran dan morfologi karst.

Morfologi pegunungan

Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini,

terdiri atas Pegunungan Mekongga, Pegunungan Tangkelemboke, Pegunungan

Mendoke dan Pegunungan Rumbia yang terpisah di ujung selatan Lengan

Tenggara. Puncak tertinggi pada rangkaian pegunungan Mekongga adalah

Gunung Mekongga yang mempunyai ketinggian 2790 mdpl.Pegunungan

Tangkelamboke mempunyai puncak Gunung Tangkelamboke dengan ketinggian

1500 mdpl.Satuan morfologi ini mempunyai topografi yang kasar dengan

kemiringan lereng tinggi.Rangkaian pegunungan dalam satuan ini mempunyai

pola yang hampir sejajar berarah barat laut–tenggara.Arah ini sejajar dengan pola

struktur sesar regional di kawasan ini.Pola ini mengindikasikan bahwa

pembentukan morfologi pegunungan itu erat hubungannya dengan sesar regional.


Satuan pegunungan terutama dibentuk oleh batuan malihan dan setempat

oleh batuan ofiolit.Ada perbedaan yang khas di antara kedua penyusun batuan

itu.Pegunungan yang disusun oleh batuan ofiolit mempunyai punggung gunung

yang panjang dan lurus dengan lereng relatif lebih rata, serta kemiringan yang

tajam.Sementara itu, pegunungan yang dibentuk oleh batuan malihan, punggung

gunungnya terputus pendek-pendek dengan lereng yang tidak rata walaupun

bersudut tajam.

Morfologi perbukitan tinggi

Morfologi perbukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan Tenggara,

terutama di selatan Kendari.Satuan ini terdiri atas bukit-bukit yang mencapai

ketinggian 500 mdpl dengan morfologi kasar.Batuan penyusun morfologi ini

berupa batuan sediman klastika Mesozoikum dan Tersier.

Morfologi perbukitan rendah

Morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan ujung

selatan Lengan Tenggara Sulawesi.Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah

dengan morfologi yang bergelombang.Batuan penyusun satuan ini terutama

batuan sedimen klastika Mesozoikum dan Tersier.

Morfologi pedataran

Morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan Lengan

Tenggara Sulawesi.Tepi selatan Dataran Wawotobi dan Dataran Sampara

berbatasan langsung dengan morfologi pegunungan.Penyebaran morfologi ini

tampak sangat dipengaruhi oleh sesar geser mengiri (Sesar Kolaka dan Sistem

Sesar Konaweha).Kedua sistem ini diduga masih aktif, yang ditunjukkan oleh
adanya torehan pada endapan aluvial dalam kedua dataran tersebut (Surono dkk,

1997).Sehingga sangat mungkin kedua dataran itu terus mengalami penurunan.

Akibat dari penurunan ini tentu berdampak buruk pada dataran tersebut, di

antaranya pemukiman dan pertanian di kedua dataran itu akan mengalami banjir

yang semakin parah setiap tahunnya.

Dataran Langkowala yang melampar luas di ujung selatan Lengan

Tenggara, merupakan dataran rendah.Batuan penyusunnya terdiri atas batupasir

kuarsa dan konglomerat kuarsa Formasi Langkowala.Dalam dataran ini mengalir

sungai-sungai yang pada musim hujan berair melimpah sedang pada musim

kemarau kering. Hal ini mungkin disebabkan batupasir dan konglomerat sebagai

dasar sungai masih lepas, sehingga air dengan mudah merembes masuk ke dalam

tanah. Sungai tersebut di antaranya Sungai Langkowala dan Sungai

Tinanggea.Batas selatan antara Dataran Langkowala dan Pegunungan Rumbia

merupakan tebing terjal yang dibentuk oleh sesar berarah hampir barat-timur.

Morfologi karst

Morfologi karst melampar di beberapa tempat secara terpisah.Satuan ini

dicirikan perbukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan tanah.Sebagian

besar batuan penyusun satuan morfologi ini didominasi oleh batugamping

berumur Paleogen dan selebihnya batugamping Mesozoikum.Batugamping ini

merupakan bagian Formasi Eemoiko, Formasi Laonti, Formasi Buara dan bagian

atas dari Formasi Meluhu.Sebagian dari batugamping penyusun satuan morfologi

ini sudah terubah menjadi marmer.Perubahan ini erat hubungannya dengan

pensesar-naikkan ofiolit ke atas kepingan benua.


2.2 Stratigrafi Regional

Gambar 2.1.2 : Stratigrafi Regional

Formasi batuan penyusun peta geologi regional lembar Kolaka diuraikan

dari termuda sebagai berikut:

Aluvium (Qa) terdiri atas lumpur, lempung, pasir kerikil dan

kerakal.Satuan ini merupakan endapan sungai, rawa dan endapan pantai.Umur

satuan ini adalah Holosen.

Formasi Alangga (Qpa) terdiri atas konglomerat dan batupasir.Umur dari

formasi ini adalah Plistosen dan lingkungan pengendapannya pada daerah darat-

payau. Formasi ini menindih tak selaras formasi yang lebih tua yang masuk

kedalam kelompok molasa sulawesi.


Formasi Buara (Ql) terdiri atas terumbu koral, konglomerat dan

batupasir.Umur dari formasi ini adalah Plistosen-Holosen dan terendapkan pada

lingkungan laut dangkal.

Formasi Boepinang (Tmpb) terdiri atas lempung pasiran, napal pasiran

dan batupasir.Batuan ini berlapis dengan kemiringan perlapisan relatif kecil yaitu

< 15o yang dijumpai membentuk antiklin dengan sumbu antiklin berarah barat

daya – timur laut.Umur formasi ini diperkirakan Pliosen dan terendapkan pada

lingkungan laut dangkal (neritik).

Formasi Eemoiko (Tmpe) terdiri atas kalkarenit, batugamping koral,

batupasir dan napal.Formasi ini berumur Pliosen dengan lingkungan pengendapan

laut dangkal, hubungan menjemari dengan formasi Boepinang.

Formasi Langkowala (Tml) terdiri atas konglomerat, batupasir, serpih

dan setempat kalkarenit.Konglomerat mempunyai fragmen beragam yang

umumnya berasal dari kuarsa dan kuarsit, dan selebihnya berupa batu pasir malih,

sekis dan ultrabasa. Ukuran fragmen berkisar 2 cm sampai 15 cm, setempat

terutama dibagian bawah sampai 25 cm. Bentuk fragmen membulat – membulat

baik, dengan sortasi menengah. Formasi ini banyak dibatasi oleh kontak struktur

dengan batuan lainnya dan bagian atas menjemari dengan bagian bawah batuan

sedimen Formasi Boepinang (Tmpb).Hasil penanggalan umur menunjukkan

bahwa batuan ini terbentuk pada Miosen Tengah.

Kompleks Pompangeo (MTpm) terdiri atas sekis mika, sekis glaukofan,

sekis amphibolit, sekis klorit, rijang, pualam dan batugamping meta. Sekis

berwarna putih, kuning kecoklatan, kehijauan kelabu; kurang padat sampai sangat
padat serta memperlihatkan perdaunan.Setempat menunjukkan struktur chevron,

lajur tekuk (kink banding) dan augen serta di beberapa tempat perdaunan

terlipat.Rijang berwarna kelabu sampai coklat; agak padat sampai padat, setempat

tampak struktur perlapisan halus (perarian).Pualam berwarna kehijauan, kelabu

sampai kelabu gelap, coklat sampai merah coklat, dan hitam bergaris putih; sangat

padat dengan persekisan, tekstur umumnya nematoblas yang memperlihatkan

pengarahan.Persekisan dalam batuan ini didukung oleh adanya pengarahan kalsit

hablur yaag tergabung dengan mineral lempung dan mineral kedap (opak).Batuan

terutama tersusun oleh kalsit, dolomit dan piroksen; mineral lempung dan mineral

bijih dalam bentuk garis.Wolastonit dan apatit terdapat dalam jumlah sangat

kecil.Plagioklas jenis albit mengalami penghabluran ulang dengan

piroksen.Satuan ini mempunyai kontak struktur geser dengan satuan yang lebih

tua di bagian utara yaitu Kompleks Mekongga (Pzm).Berdasarkan penarikan umur

oleh Kompleks Pompangeo mempunyai umur Kapur Akhir – Paleosen bagian

bawah.

Formasi Matano (Km) terdiri atas batugamping hablur, rijang dan

batusabak. Batugamping berwarna putih kotor sampai kelabu; berupa endapan

kalsilutit yang telah menghablur ulang dan berbutir halus (lutit); perlapisán sangat

baik dengan ketebalan lapisan antara 10-15 cm; di beberapa tempat dolomitan; di

tempat lain mengandung lensa rijang setempat perdaunan. Rijang berwarna kelabu

sampai kebiruan dan coklat kemerahan; pejal dan padat. Berupa lensa atau sisipan

dalam batugamping dan napal; ketebalan sampai 10 cm. Batusabak barwarna

coklat kemerahan; padat dan setempat gampingan; berupa sisipan dalam serpih
dan napal, ketebalan sampai 10 cm. Berdasarkan kandungan fosil batugamping,

yaitu Globotruncana sp dan Heterohelix sp, serta Radiolaria dalam rijang

(Budiman, 1980), Formasi Matano diduga berumur Kapur Atas dengan

lingkungan pengendapan pada laut dalam.

Kompleks Ultramafik (Ku) terdiri atas harzburgit, dunit, wherlit,

serpentinit, gabbro, basal, dolerit, diorit, mafik meta, amphibolit, magnesit dan

setempat rodingit. Satuan ini diperkirakan berumur Kapur.

Formasi Meluhu (TRJm) terdiri atas batupasir kuarsa, serpih merah,

batulanau, dan batulumpur dibagian bawah; dan perselingan serpih hitam,

batupasir, dan batugamping di bagian atas.Formasi ini mengalami tektonik kuat

yang ditandai oleh kemiringan perlapisan batuan hingga 80o dan adanya puncak

antiklin yang memanjang utara barat daya – tenggara.Umur dari formasi ini

diperkirakan Trias.

Formasi Laonti (TRJt) terdiri atas batugamping malih, pualam dan

kuarsit.Kuarsit, putih sampai coklat muda; pejal dan keras; berbutir (granular),

terdiri atas mineral granoblas, senoblas, dengan butiran dan halus sampai

sedang.Batuan sebagian besar terdini dari kuarsa, jumlahnya sekitar 97%.Oksida

besi bercelah diantara kuarsa, jumlahnya sekitar 3%.Umur dari formasi ini adalah

Trias.

Kompleks Mekongga (Pzm) terdiri atas sekis, gneiss dan kuarsit. Gneiss

berwarna kelabu sampai kelabu kehijauan; bertekstur heteroblas, xenomorf

samabutiran, terdiri dari mineral granoblas berbutir halus sampai sedang. Jenis
batuan ini terdiri atas gneiss kuarsa biotit dan gneiss muskovit.Bersifat kurang

padat sampai padat.

2.3 Struktur Geologi Regional

Pada lengan tenggara Sulawesi, struktur utama yang terbentuk setelah

tumbukan adalah sesar geser mengiri, termasuk sesar matarombeo, sistem sesar

Lawanopo, sistem sesar Konaweha, sesar Kolaka, dan banyak sesar lainnya serta

liniasi. Sesar dan liniasi menunjukkan sepasang arah utama tenggarabarat laut

(332 ), dan timur laut barat daya (42 ). Arah tenggara barat laut merupakan arah

umum dari sesar geser mengiri dilengan tenggara sulawesi.

Sistem sesar Lawanopo termasuk sesar-sesar berarah utama barat laut-

tenggara yang memanjang sekitar 260 Km dari Utara Malili sampai tanjung

Toronipa.Ujung barat laut sesar ini menyambung dengan sesar Matano, sementara

ujung tenggaranya bersambung dengan sesar Hamilton yang memotong sesar naik

Tolo. Sistem sesar ini diberi nama sesar Lawanopo oleh Hamilton (1979)

bedasarkan dataran Lawanopo yang ditorehnya. Analisis stereografi orientasi

bodin, yang diukur pada tiga lokasi, menunjukan keberagaman azimuth rata-

rata/plunge: 30 /44 , 356.3 /49 , dan 208.7 /21

Adanya mata air panas di Desa Toreo, sebelah tenggara Tinobu serta

pergeseran pada bangunan dinding rumah dan jalan sepanjang sesar ini

menunjukan bahwa sistem sesar Lawanopo masih aktif

sampai sekarang.
Gambar2.2.3 :Peta Sruktur Regional Pulau Sulawesi

Lengan Sulawesi tenggara juga merupakan kawasan pertemuan lempeng,

yakni lempeng benua yang berasal dari Australia dan lempeng samudra dari

Pasifik.Kepingan benua di Lengan Tenggara Sulawesi dinamai Mintakat Benua

Sulawesi Tenggara (South East Sulawesi Continental Terrane) dan Mintakat

Matarambeo.Kedua lempeng dari jenis yang berbeda ini bertabrakan dan

kemudian ditindih oleh endapan Molasa Sulawesi.

Sebagai akibat subduksi dan tumbukan lempeng pada Oligosen Akhir-

Miosen Awal, kompleks ofiolit tersesar–naikkan ke atas mintakat benua. Molasa

sulawesi yang terdiri atas batuan sedimen klastik dan karbonat terendapkan

selama akhir dan sesudah tumbukan, sehingga molasa ini menindih tak selaras

Mintakat Benua Sulawesi Tenggara dan Kompleks Ofiolit tersebut. Pada akhir

kenozoikum lengan ini di koyak oleh Sesar Lawanopo dan beberapa pasangannya

termasuk Sesar Kolaka.


BAB III

GEOLOGI LOKAL DAERAH PENELITIAN

2.2 Geologi Lokal Daerah Penelitian

Geologi umum atau geologi lokal daerah Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi

Tenggara yaitu ;

2.2.1 Geomorfologi

Berdasarkan relief, ketinggian, batuan penyusun dan stadia Wilayah,

Kabupaten Konawe Selatan secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4

(empat) satuan morfologi, yaitu :

1. Satuan Morfologi Pegunungan

Satuan morfologi pegunungan melampar dibagian timur sekitar pegunungan

Laonti dan Wolasi dan menempati ± 20 % dari luas keseluruhan daerah

penyelidikan, dengan ketinggian 300 m diatas permukaan laut. Secara umum

satuan morfologi ini disusun oleh batuan termalihkan hanya sebagian kecil

disusun oleh batuan lainnya. Satuan ini tertutupi oleh vegetasi yang sedang

hingga lebat dan setempat sebagian lahan perkebunan masyarakat.

2. Satuan Morfologi Perbukitan

Satuan morfologi perbukitan tersebar dibeberapa lokasi yaitu daerah

Palangga, Kolono, Konda, Landono, dan setempat di Tinanggea dan menempati

sekitar 40 % dari keseluruhan luas daerah Konawe Selatan, dengan ketinggian

diatas 75 m dari permukaan air laut.


Satuan ini secara umum tersusun oleh batuan dari “Malasa Sulawesi” yang

tersebar di bagian utara, tengah sampai di selatan daerah ini dan sebagian lainnya

disusun oleh batuan malih, batu gamping dan ultrabasa.

Satuan ini tertutup oleh lahan perkebunan seperti kakao, cengkeh, mente,

vanili dan tanaman lainnya dan sebagian masih merupakan hutan yang bervegatasi

sedang - lebat.

3. Satuan Morfologi Karst

Satuan morfologi kras tersebar di bagian timur yaitu sekitar daerah Moramo

Pegunungan Kumi-kumi dan menerus di teluk Wawosunggu dan setempat di

Wolasi.

Satuan ini berada pada ketinggian ± 75 m – 500 m diatas permukaan air laut.

Pada satuan ini banyak dijumpai gua-gua kapur dan sungai bawah tanah serta

umumnya tertutupi oleh tanaman keras, satuan ini menempati sekitar 15 % dari

keseluruhan luas daerah Konawe Selatan.

4. Satuan Morfologi Pedataran

Satuan morfologi pedataran tersebar cukup luas dan malampar disekitar

daerah Tinanggea, pesisir pantai, Kolono, Roda, Landono, Palangga, Lainea,

Konda dan Ranomeeto. Satuan ini menempati sekitar 25 % dari keseluruhan luas

wilayah Kabupaten Konawe Selatan dengan ketinggian dibawah 75 m dari

permukaan air laut.

Satuan morfologi pedataran dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan

persawahan, pertambangan, perkebunanan dan pemukiman


2.2.2 Stratigrafi

Berdasarkan ciri fisik yang dijumpai di lapangan serta kesebandingan yang

dilakukan terhadap Peta Geologi Lembar Kolaka (T.O Simanjuntak dkk, 1994,

P3G) dan Peta Lembar Geologi Lasusua Kendari (Rusmana dkk, 1993), batuan

penyusun daerah Konawe Selatan dapat dikelompokkan kedalam 9 (sembilan)

satuan yang terdiri dari batuan tua ke batuan lebih muda adalah sebagai berikut ;

1. Satuan Batupasir Malih

Satuan batuan ini tersebar dibeberapa lokasi di daerah Konawe Selatan yaitu

daerah Boroboro, Wolasi, Kolono dan sekitar Angata. Satuan batupasir malih ini

terdiri dari batupasir termalihkan dengan berbagai variasi, ukuran butir yaitu

serpih hitam, serpih merah, filit, batu sabak dan setempat kuarsit.

Satuan ini telah mengalami tektonik yang sangat kuat dan berulang-ulang.

Hal ini diperlihatkan dengan keadaan sekarang yaitu umumnya terlipat,

terkekarkan, tersesarkan, selain itu hampir seluruh singkapan yang dijumpai

mengalami perombakan yang kuat. Berdasarkan ciri fisik yang dijumpai, satuan

ini dapat disebandingkan dengan Formasi meluhu berumur Trias - Trias Akhir,

satuan ini memiliki ketebalan tidak kurang dari 1000 m. Beberapa ahli

mengetahui satuan ini disebut sebagai batuan “tak perinci” (Sukamto, 1995)

Metharmorfic roch (Kartadipoetoa, 1993).

2. Satuan Batugamping Malih

Satuan batugamping malih, tersebar di bagian tenggara dan selatan

Kabupaten Konawe Selatan yaitu di sekitar daerah Moramo, dan Kolono. Satuan
ini didominasi oleh batugamping yang termalihkan, lemah, selain itu satuan ini

juga disusun oleh lempung yang tersilikatkan dan kalsilutit.

Satuan batugamping malih secara umum telah mengami deformasi kuat,

sehingga batuan dari satuan ini umumnya telah tersesarkan dan terkekarkan.

Berdasarkan ciri fisik yang dijumpai di lapangan, satuan ini dapat disebandingkan

dengan Formasi Laonti yang berumur Trias Akhir. Satuan yang memiliki

ketebalan ± 500 m ini memiliki hubungan yang saling menjemari dengan Formasi

Meluhu sebanding dari satuan batupasir malih.

3. Satuan Ultrabasa

Satuan ultrabasa tersebar dibagian selatan daerah Konawe Selatan yaitu

disekitar daerah Torobulu, Moramo dan Daerah Trans Tinanggea bagian Selatan.

Satuan ini terdiri dari peridotit, dunit, gabro, basal dan serpentinit.

Secara umum satuan ultrabasa ini telah mengalami pelapukan yang kuat,

sehingga soil di sekitar daerah yang tersusun oleh batuan ini sangat tebal. Batuan

ultrabasa ini diperkirakan merupakan batuan tertua dan alas di mandala Sulawesi

Timur dan diduga berumur Kapur Awal.

Satuan ini bersentuhan secara tektonik dengan batuan Mesozoikum dan

Paleogen dan secara tak selaras tertindih oleh batuan sedimen tipe Molasa Neogen

dan Kuarter (T.O Simajuntak dkk, 1993).

4. Satuan Konglomerat

Satuan ini tersebar pada bagian selatan yaitu di sekitar Tinanggea bagian

selatan, satuan ini terdiri dari konglomerat, batupasir, lempung dan serpih.
Satuan Konglomerat menindih secara tidak selaras satuan batuan yang ada di

bawahnya. Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai, satuan ini dapat

disebandingkan dengan Formasi Langkowala, plandua, berumur Miosan Akhir

hingga Pliosen, dengan memiliki ketebalan berkisar 450 m.

5. Satuan Kalkarenit

Satuan ini tersebar di bagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu disekitar

daerah Lapuko dan Tinanggea. Satuan ini terdiri dari kalkarenit, batugamping,

koral, batupasir dan napal.

Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai, satuan ini dapat disebandingkan

dengan Formasi Emoiko berumur Pliosen. Satuan ini mempunyai ketebalan

berkisar 200 m dengan lingkungan pengendapan laut dangkal hingga transisi.

6. Satuan Batulempung

Satuan tersebar dibagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu disekitar

sebelah Selatan Lapuko, yang terdiri dari lempung, napal pasiran dan batupasir.

Satuan ini memiliki hubungan yang saling menjemari dengan satuan kalkarenit.

Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai di lapangan, satuan ini dapat

disebandingkan dengan Formasi Boipinang, berumur Pliosen. Satuan ini memiliki

ketebalan berkisar 150 m dengan lingkungan pengendapan transisi hingga laut

dangkal.

7. Satuan Batupasir

Satuan ini tersebar dibagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu disekitar

daerah Palangga, Tinanggea dan Motaha. Satuan ini terdiri dari batupasir,

konglomerat dan lempung.


Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai di lapangan, satuan ini dapat

disebandingkan dengan Formasi Alangga, yang berumur Pliosen. Satuan ini

memiliki ketebalan berkisar 250 m dengan lingkungan pengendapan darat hingga

transisi dan menindih secara tak selaras semua batu-batuan yang berada

dibawahnya.

8. Satuan Batugamping Koral

Satuan ini tersebar dibagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu disekitar

daerah Torobulu. Satuan ini terdiri dari batugamping koral, dan batugamping

pasiran memiliki ketebalan berkisar 100 m. Berdasarkan kesamaan fisik yang

dijumpai di lapangan maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi

Buara. Berumur Pliosen hingga Holosen dengan lingkungan pengendapan laut

dangkal. Satuan ini memiliki hubungan yang menjemari dengan satuan batupasir

dan menindih secara tidak selaras satuan batuan yang berada dibawahnya.

9. Satuan Aluvial

Satuan ini tersebar disekitar aliran sungai besar, pantai dan rawa di daerah

Konawe Selatan. Endapan Aluvial yang ada merupakan endapan sungai, pantai

dan rawa, berupa kerikil, kerakal, pasir, lempung dan Lumpur. Endapan alluvial

merupakan satuan batuan penyusun yang paling muda dan menindih secara tidak

selaras seluruh batuan yang berada dibawahnya berumur Resen dengan ketebalan

tidak lebih dari 20 meter.

2.2.3 Struktur

Daerah ini tidak dapat dipisahkan dengan proses tektonik yang telah dan

mungkin masih berlangsung di daerah ini, dimana diperlihatkan oleh kondisi


batuan terutama oleh batuan yang berumur Pra tersier yang umumnya telah

mengalami perlipatan dan perombakan yang cukup kuat dan berulang-ulang.

Struktur Geologi yang dijumpai di daerah Konawe Selatan, meliputi lipatan,

kekar dan sesar. Lipatan dapat dijumpai dibeberapa tempat dimana batupasir

malih tersingkap, namun sangat sulit untuk menentukan arah sumbu lipatannya

karena telah terombakkan.

Kekar dijumpai hampir seluruh satuan batuan penyusun daerah ini, kecuali

alluvium dan batuan kelompok batuan Molasa yang tidak terkonsolidasi dengan

baik. Sesar utama yang terjadi di daerah ini dapat dijumpai di daerah Kolono,

yang mana sesar Kolono ini hampir memotong seluruh batuan kecuali Aluvial.
BAB IV

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian

Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuk bumi atau

roman muka bumi, dalam istilah asing sering disebut sebagai

“Landscape”.(Thornbury, 1954). Proses pembentukan bentang alam dari pada

suatu daerah merupakan hasil dari aktivitas yang terjadi bumi (endogen) maupun

yang beaal dari luar bumi (oksigen). Bentuk dari pada bentang alam yang

dihasilkan akan bervariasi, yang kemudian dapat diklasifikasikan berdasarkan

karakteristik hasil bentukan dari proses geomorfologinya.

Pembahasan mengenai geomorfologi daerah penelitian menjelaskan tentang

kondisi bentang alam daerah penelitian yang meliputi satuan geomorfologi,

kondisi sungai (klasifikasi sungai, pola aliran sungai dan stadia sungai), dan jenis

pelapukan yang terjadi sehingga dapat ditentukan stadia daerah penelitian.

Pembahasan mengenai geomorfologi didasarkan pada gejala-gejala geomorfologi

yang dijumpai dilapangan, interpretasi petatopografi, dan literatur-literatur terkait.

Dasar penamaan satuan bentang alam daerah penelitian didasarkan dua aspek

pendekatan yaitu pendekatan morfografi (bentuk topografi daerah penelitian) dan

pendekatan genetic atau proses geomorfologi yang mengontrol daerah penelitian.

Berdasarkan kedua pendekatan diatas dan gemorfologi regional lengan

tenggara sulawesi, maka daerah penelitian termasuk dalam satuan morfologi :


1. Satuan Morfologi Perbukitan ( Van zuidam 1985 ).

2. Satuan Morfologi Pedataran Alluvium ( Van zuidam 1985 ).

Satuan Morfologi Perbukitan

Satuan morfologi perbukitan tinggi pada daerah penelitian, menempati

hampir 35% dari lokasi penelitian atau sekitarnya.Satuan morfologi tersebut

berada pada bagian Utara mengarah Timur.dan termasuk dalam kawasan hutan,

perkebunan dan pemukiman warga di daerah ranomeeto.

Berdasarkan pengamatan lapangan, beda tinggi rata-rata lokasi penelitian

adalah 250-500 m, dengan relief satuan morfologi tersebut mencapai 27° (Van

Ziudam, 1983).Kenampakan puncak berbentuk tumpul dan lembah relative

berbentuk “V” dan sebagian berbentuk “U”.yang tersusun oleh batupasir

berukuran halus-kasar (Wenwortf, 1922).

Proses geomorfologi yang bekerja pada daerah penelitian berupa pelapukan

dan erosi. Proses pelapukan yang terjadi pada satuan morfologi ini adalah proses

pelapukan fisika, kimia dan biologi.. Pelapukan fisika yang berlangsung pada

satuan morfologi ini ditandai dengan dijumpainya perubahan fisik batuan baik itu

ukuran maupun bentuk. Proses pelapukan kimia yang terjadi di daerah penelitian

ditandai dengan adanya perubahan warna pada batuan.

Formasi Buara (Ql) terdiri atas terumbu koral, konglomerat dan

batupasir.Umur dari formasi ini adalah Plistosen-Holosen dan terendapkan pada

lingkungan laut dangkal.


Foto 4.1.1 Batugamping Formasi Buara

Satuan Pedataran Alluvium

Satuan morfologi pedataran alluvium menempati 10% dari seluruh daerah

penelitian.Dengan arah penyebaran relative meliputi bagian Timur dan bagian

Barat daerah penelitian yang meliputi..Berdasarkan pengamatan lapangan, beda

tinggi rata-rata lokasi penelitian pedataran alluvium adalah <5 bentuk relief

datar/bergelombang/miring landai (Van Ziudam, 1983), yang disusun endapan

alluvium.

Ketebalan soil sekitar 3-7 m. Berdasarkan hal tersebut maka dapat

diketahui bahwa proses pelapukan yang terjadi pada satuan morfologi ini

berlangsung sedang – tinggi.

Jenis erosi permukaan yang terjadi di daerah penelitian berupa erosi rill.

Erosi Rill yang dicirikan pada lokasi penelitian berupa alur cekungan yang

berbentuk relatif linear dan belum mengalami pelebaran ke samping. Jenis erosi

rill ini dijumpai di sekitar daerah aliran sungai adenga. Batuan yang menyusun

satuan bentang alam ini terdiri dari satuan batupasir dan sebagian terdapat
fragmen konglomerat yang sudah mengalami transportasi oleh air dan mengikuti

aliran sungai, dan terendapkan menjadi endapan alluvium.Endapan ini kemudian

yang membentuk bentang alam pedataran alluvium daerah penelitian.

Proses pelapukan yang terjadi pada satuan morfologi ini adalah proses

pelapukan fisika dan biologi. Proses pelapukan yang dominan pada satuan

morfologi ini adalah proses pelapukan biologi sedangkan proses pelapukan yang

tidak dominan yaitu proses pelapukan fisika. Pelapukan biologi yang berlangsung

pada satuan bentang alam ini ditandai dengan dijumpainya perubahan biologi

batuan baik itu ukuran maupun warna batuan.Pelapukan biologi juga terjadi

didaerah penelitian ditandai dengan adanya tekanan dari tubuh maupun akar dari

suatu tumbuhan terhadap batuan penyusun daerah penelitian sehingga batuan akan

pecah menjadi fragmen-fragmen dan tertransportasi jauh dari sumbernya menjadi

endapan alluvium.

Foto 4.1.2 : Soil Aluvium

4.2 Stratigrafi

Berdasarkan ciri fisik yang dijumpai di lapangan serta kesebandingan yang

dilakukan terhadap Peta Geologi Lembar Kolaka (T.O Simanjuntak dkk, 1994,
P3G) dan Peta Lembar Geologi Lasusua Kendari (Rusmana dkk, 1993), batuan

penyusun daerah penelitian dapat dikelompokkan kedalam 4( tiga ) satuan yang

terdiri dari batua tua ke batuan lebih muda adalah sebagai berikut :

Satuan Aluvial
Satuan ini tersebar disekitar aliran sungai besar, pantai dan rawa di daerah
Konawe Selatan. Endapan Aluvial yang ada merupakan endapan sungai, pantai
dan rawa, berupa kerikil, kerakal, pasir, lempung dan Lumpur. Endapan alluvial
merupakan satuan batuan penyusun yang paling muda dan menindih secara tidak
selaras seluruh batuan yang berada dibawahnya berumur Resen dengan ketebalan
tidak lebih dari 20 meter.
BAB V

POTENSI BAHAN GALIAN

Bahan galian yang ada dalam area pemetaan ini adalah pasir biogenik. Pasir

biogenik terdiri dari fragmen eksoskeleton dari organisme laut. Kontributor umum

dari komponen jenis ini adalah koral, foraminifera, landak laut, sponge, moluska,

ganggang, dll. Jenis pasir seperti ini biasanya dikenal sebagai pasir koral,

meskipun dalam banyak kasus pasir tersebut tidak mengandung fragmen koral

sama sekali. Pasir biogenik biasanya berwarna terang dan tersebar luas di daerah

dekat katulistiwa. Koral biasanya hanya hidup di lingkungan air hangat, tetapi ada

juga beberapa taxons lain yang dapat hidup dengan baik di lingkungan yang lebih

dingin. Pasir biogenik karbonatan juga berkontribusi dalam pembentukan

batugamping.

Pasir adalah bahan galian yang terdiri atas material granular yang lebih halus

dari pasir disebut sebagai lanau, dan yang lebih besar disebut sebagai kerikil. Pada

umumnya pasir terdiri dari mineral silikat atau fragmen batuan silikat. Sejauh ini

mineral yang paling umum ditemukan sebagai penyusun pasir adalah mineral

kuarsa. Namun, pasir adalah material campuran yang terjadi secara alami, yang

berarti bahwa pasir tidak hanya mengandung satu komponen tunggal .

Hasil pelapukan kemudian tercuci dan terbawah oleh air atau angin yang

terendapkan di tepi-tepi sungai, danau atau laut.


BAB VI

STUDI KASUS

1. Keterdapatan air terjun pada daerah penelitian yang terbentuknya

tidak dipengaruhi oleh struktur

Jawab :

Pembentukan air terjun ini terbentuk karena aktivitas erosi dari aliran
air, mengalir diatas lapisan batuan yang lunak akan memiliki tingkat erosi
yang lebih tinggi, Kejadian tersebut menyebakan peningkatan
kecepatan. Air sungai yang membentuk arus yang lebih cepat ke arah
bawah menuju ke dasar sungai. Seiring dengan waktu, air sungai tersebut
perlahan-lahan membentuk ngarai atau jurang pada hilir sungai, dengan
membawa material dengan skala besar yang mana material tersebut
terkena larutan yang mengandung Ca(HCO3)2 yang bereaksi ketika
mengenai udara yanga memiliki tekana C02 yang rendah, sehingga
menyebabkan beberapa CO2 akan keluar dari larutan, hal ini yang
menyebabkan material tersebut terendaokan hingga mebentuk pundak-
pundak didasar sungai hingga terbantuknya air terjun.

Foto 4.1.3 Air terjun


BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari laporan pemetaan, Dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Kondisi litologi pada daerah desa Lameru,Kabupaten Konawe

Selatan,Prov.Sulawesi Tenggara terdiri dari Batugamping,Endapan

Alluvium serta Batuan karbonatan.

2. Geomorfologi daerah penelitian dijumpai satuan perbukitan dan satuan

pedataran.

Satuan morfologi pedataran,Satuan ini menempati sekitar 60 % dari

keseluruhan luas wilayah Kabupaten Konawe Selatan dengan ketinggian

dibawah 75 m dari permukaan air laut. Satuan morfologi pedataran

dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan persawahan, pertambangan,

perkebunanan dan pemukiman sedangkan Satuan morfologi perbukitan

tersebar menempati sekitar 40 % dari keseluruhan luas daerah Konawe

Selatan, dengan ketinggian diatas 75 m dari permukaan air laut, Satuan ini

masuk kedalam kawasan hutan,lokasi perkebunan sampai pemukiman

7.2 Saran

Saran dari penulis yaitu adanya keaktifan dalam proses pembuatan laporan

serta adanya buku panduan dalam melakukan pemetaan agar dijadikan

referensi. Serta saran untuk pihak Jurusan agar memperbanyak alat geologi

agar para mahasiswa dapat lebih mudah dalam pengambilan data.


DAFTAR PUSTAKA

Blyth, F. G. H., 1976, Geological Maps and their Interpretation, 2nd. Ed. ;
Edward Arnold, London, 48 p.

McClay, K., 1987, The Mapping of Geological Structures ; Geol. Soc. London
Handbook Series, The Open University Press, Milton Keynes & Hallstead
Press, John Wiley & Sons, New York, 161 p.

Noor Djauhari. 2010 .Pengantar Geologi. Universitas Pakuan. Jakarta

Roberts, J. L., 1984, Introduction to Geological Maps and Structures ; Pergamon


Press, London, 332 p.

Surono.Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi Kementerian Energi


Dan Sumber Daya Mineral. Bandung

Thorpe, R. and Brown, G., 1985, The Field Description o. f Igneous Rocks ; Geol.
Soc. London Handbook Series, The Open University Press, Milton Keynes
& Hallstead Press, John Wiley & Sons, New York, 154 p.

Tucker, M. E., 1982, The Field Description of Sedimentary Rocks ; Geol. Soc.
London Handbook Series, The Open University Press, Milton Keynes &
Hallstead Press, John Wiley & Sons, New York, 112 p.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai