SKRIPSI
Oleh :
Yosafat Sitorus
H1F014010
i
GEOLOGY AND DETERMINATION OF SOIL MOVEMENT
VULNERABILITY ZONE USING ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS
METHOD (AHP) METHOD OF JINGKANG AND SURROUNDING AREAS,
KARANGJAMBU SUBDISTRICT, PURBALINGGA DISTRICT,
CENTRAL JAVA
UNDERGRADUATE THESIS
By :
Yosafat Sitorus
H1F014010
ii
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Teknik pada
Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
Yosafat Sitorus
H1F014010
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui :
Dekan Fakultas Teknik
iii
BIODATA PENULIS
iv
HALAMAN KEASLIAN PENELITIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan berdasarkan
apa yang penulis ketahui tidak terdapat pula karya dengan sifat sama atau serupa dengan
apa yang ditulis dalam Skripsi ini yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain
kecuali yang tertulis sebagai acuan dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yosafat Sitorus
H1F014057
v
SARI
“Geologi dan Penentuan Zona Kerentanan Gerakan Tanah Dengan Menggunakan
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Daerah Jingkang dan Sekitarnya,
Kecamatan Karangjambu, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah”
Oleh:
Yosafat Sitorus
H1F014010
Daerah Jingkang dan sekitarnya, Kecamatan, Karangjambu, Kabupaten Purbalingga,
Jawa Tengah merupakan daerah yang cukup tinggi terhadap ancaman gerakan tanah. Hal
ini terbukti dari banyaknya lokasi gerakan tanah yang ditemukan dan telah menimbulkan
kerugian. Beberapa faktor utama penyebab terjadinya gerakan tanah antara lain adalah
kondisi alam dan aktivitas manusia. Faktor alam yang menjadi penyebab terjadinya
gerakan tanah antara lain tingginya curah hujan, kondisi batuan, struktur geologi, dan
faktor kemiringan lereng. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menjelaskan
keadaan geologi pada daerah penelitian dan melakukan analisis hubungan kondisi geologi
yang ada pada daerah penelitian terhadap gerakan tanah pada daerah penelitian. Metode
studi geologi dilakukan penelitian lapangan dan analisis laboratorium: analisis
geomorfologi, analisis mikropaleontologi, analisis stratigrafi, analisis petrografi, analisis
struktur geologi. Hasil dari penelitian ini adalah geologi daerah penelitian yang terdiri
dari 3 satuan geomorfologi yaitu satuan perbukitan struktural (S4) dan satuan perbukitan
vulkanik aliran lava (V9), dan satuan perbukitan vulkanik (V4). Kemudian di daerah
penelitian ditemukan struktur geologi yaitu Sesar Mendatar Kiri Kali Tambra, dan Sesar
Mendatar Kanan Kali Lempayan. Stratigrafi daerah penelitian tersusun dari satuan
batupasir-batulempung (Tmph), satuan lava andesit (Tmpk), dan satuan breksi Tmpk).
Metode studi khusus mengunakan Analytical Hierachy Process (AHP), penilaian dan
pembobotan terhadap faktor penyebab terjadinya gerakan tanah, perhitungan tersebut
dikombinasikan dengan data primer dan sekunder. Data dan perhitungan dimasukkan
kedalam peta parameter kemudian ditumpang susunkan (overlay) sehingga diperoleh peta
zona kerentanan gerakan tanah. Hasil analisa menunjukkan daerah penelitian terbagi ke
dalam 3 tingkat kerentanan gerakan tanah, yakni tingkat kerentanan rendah, rendah,
menengah dan tinggi.
Kata kunci : Gerakan tanah, Kondisi geologi, Zona kerentanan gerakan tanah, Analytical
Hierachy Process (AHP), overlay, Daerah Jingkang, Kecamatan Karangjambu,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
vi
ABSTRACT
“Geology and Determination of Soil Movement Vulnerability Zone Using Analytical
Hierarchy Process (AHP) Methoed of Jingkang and Surrounding Areas, Karangjambu
Subdistrict, Purbalingga District, Central Java”
By:
Yosafat Sitorus
H1F014010
The Jingkang and surrounding area, Karangjambu Subdistrict, Purbalingga County,
Central Java is a fairly high area against the threat of land movement. This is evident
from the large number of locations of soil movements found and has inflicted losses. Some
of the main factors for the occurrence of soil movement among others are natural
conditions and human activity. Natural factors that are the cause of soil movement
include high precipitation, rock conditions, geological structures, and slope factors. The
purpose of this research being conducted was to explain the geological state in the
research area and conduct an analysis of the relationship of the geological conditions
present in the research areas to the soil movement in the research area. Geological
studies methods conducted field research and laboratory analysis: geomorphological
analysis, micropaleontological analysis, stratigraphic analysis, petrographic analysis,
geological structure analysis. The result of this study was the geology of a research area
consisting of 3 geomorphological units namely structural units of hills (S4) and units of
volcanic hills of lava flow (V9), and units of volcanic hills (V4). Later in the research
area found geological structures namely the Tambra Left-Inducing Fault, and the Right-
Inducing Fault of the Left-handed Kali. Stratigraphy of research areas is composed of
sandstone-scroll units (Tmph), andesite lava units (Tmpk), and units of breccia (Tmpk).
Special study methods use the Analytical Hierachy Process (AHP), assessment and
weighting against the causative factors of soil movement, such calculations combined
with primary and secondary data. The data and calculations are inserted into the
parameter map then overgrown (overlay) so that a map of the soil motion susceptibility
zone is obtained. Analyzing results show research areas divided into 3 levels of soil
movement vulnerability, which are low, low, medium and high levels of vulnerability.
vii
PRAKATA
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
kasih setia-Nya, sehingga pelaksanaan Tugas Akhir yang berjudul “Geologi dan
Penentuan Zona Kerentanan Gerakan Tanah Dengan Menggunakan Metode Analytical
Hierarchy Process (AHP) Daerah Jingkang, Kecamatan Karangjambu, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah” ini dapat juga diselesaikan. Tulisan ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Teknik Geologi, Jurusan
Teknik, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman.
Proses penyusunan Laporan Tugas Akhir ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Ibunda tercinta yang selalu memberikan nasihat, semangat, kasih sayang, serta doa
yang tiada hentinya. Terimakasih Bunda sudah mendidik dengan sabar sampai
sekarang
2. Abang dan Kakak tercinta yang selalu memberikan semangat, kasih sayang, serta
perhatiannya
3. Bapak Adi Candra, S.T., M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi yang telah
mengawasi dan juga mengetahui jalannya penelitian skripsi ini
4. Bapak Dr. Rachmad Setijadi, S.Si., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu membimbing penulis saat aktivitas perkuliahan
5. Bapak Dr. Indra Permanajati, S.T., M.T. selaku Dosen Pembimbing I senantiasa
membimbing, meluangkan banyak waktu, memberikan saran dan masukan serta
arahannya kepada penulis.
6. Bapak Yanuar Aziz Z, S.T., M.Eng. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, wawasan, dan memfasilitasi penulis dalam
pengerjaan skripsi ini.
7. Seluruh Dosen Teknik Geologi Unsoed yang senantiasa memberikan ilmunya.
8. Asbahal Gumelar sebagai partner pemetaan di lapangan.
9. Wisma Panji M, Arifin Hardjanto, Panggah Bagaskara sebagai patner dalam studi
10. Keluarga Teknik Geologi 2014 “Archipelago” sebagai teman perkuliahan dari awal
sampai akhir sehingga penulis mendapatkan bekal untuk menulis tulisan ini.
11. Texas Companion
12. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
viii
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan laporan ini, penulis
sangat terbuka atas segala saran dan kritikan dari semua pihak agar tulisan ini menjadi
tulisan yang lebih baik. Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat baik bagi
pembacanya.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
SARI ........................................................................................................................... vi
BAB IV PEMBAHASAN...........................................................................................23
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II. 1. Fisiografi Jawa Tengah menurut Van Bemmelen (1949). ....................... 4
Gambar II. 2. Pola Struktur Pulau Jawa Pulunggono dan Martodjojo (1994) ................ 5
Gambar II. 3. Sistem pembagian sesar-sesar utama di Jawa Situmorang dkk., (1976). . 6
Gambar II. 4. kolom stratigrafi regional daerah penelitian............................................. 7
Gambar III. 1. Tipe pola pengaliran menurut Zenith (1932) (A) dan Pola Pengaliran
Modifikasi Sungai menurut Howard (1967) (B dan C) ...................... 12
Gambar III. 2. Klasifikasi Streckeisen (1976) untuk penamaan batuan volkanik ........ 16
Gambar III. 3. Klasifikasi batuan sedimen menurut Pettijohn (1973).......................... 17
Gambar III. 4. Klasifikasi lipatan menurut Fleuty (1964) ............................................ 18
Gambar III. 5. Pemodelan sesar mendatar Moody dan Hill (1956) ............................. 19
Gambar III. 6. Klasifikasi Sesar menurut Rickard (1972) ............................................ 19
Gambar III. 7. Diagram Alir Metode Penelitian .......................................................... 22
xii
Gambar IV. 16. Singkapan breksi piroklastik pada lokasi pengamatan YS 3.23 ......... 38
Gambar IV. 17. Sayatan tipis fragmen breksi YS 3.23. ................................................ 39
Gambar IV. 18. Sayatan tipis matriks breksi YS 3.23. ................................................. 40
Gambar IV. 19. Peta Penyebaran Litologi Derah Penelitian ........................................ 44
Gambar IV. 20. Peta Kemiringan Lereng Derah Penelitian ......................................... 45
Gambar IV. 21. Peta Buffering Struktur Geologi Derah Penelitian ............................. 46
Gambar IV. 22. Peta Intensitas Curah Hujan Derah Penelitian .................................... 47
Gambar IV. 24. Peta Penggunaan Lahan Derah Penelitian .......................................... 48
Gambar IV. 25. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah dan Titik Longsorpada Derah
Penelitian ............................................................................................ 52
Gambar IV. 26. Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Sangat Rendah pada Derah
Penelitian ............................................................................................ 52
Gambar IV. 27. Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Rendah pada Derah Penelitian .. 53
Gambar IV. 28. Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Menengah pada Derah Penelitian
............................................................................................................ 53
Gambar IV. 29. (a) dan (b) Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi pada Derah
Penelitian ............................................................................................ 54
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
DAFTAR LAMPIRAN LEPAS
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Gerakan tanah merupakan salah satu peristiwa alam yang sering menimbulkan bencana
dan kerugian material, atau biasa diartikan dengan perpindahan material pembentuk
lereng, berupa batuan, tanah, bahan timbunan dan material campuran yang bergerak
kearah bawah dan keluar dari lereng. Beberapa faktor utama penyebab terjadinya gerakan
tanah antara lain adalah kondisi alam dan aktivitas manusia. Faktor alam yang menjadi
penyebab terjadinya gerakan tanah antara lain tingginya curah hujan, kondisi tanah,
batuan, vegetasi, dan faktor kegempaan sebagai pemicunya. Aktivitas manusia juga dapat
menjadi penyebab terjadinya gerakan tanah, sebagai contohnya adalah penggunaan lahan
yang tidak teratur, seperti pembuatan areal persawahan pada lereng yang terjal,
pemotongan lereng yang terlalu curam, penebangan hutan yang tidak terkontrol, dan
sebagainya.
1
4. Bagaimana pengaruh dari faktor kondisi alam dan aktivitas manusia terhadap gerakan
tanah pada daerah penelitian?
5. Bagaimana zona kerentanan gerakan tanah pada daerah penelitian?
2
Daerah penelitian terletak sekitar ±42 km dari pusat Kota Purbalingga .
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan pembagian zona ini, daerah penelitian termasuk Zona Serayu Utara. Ke arah
utara, daerah ini berbatasan dengan Dataran Aluvial Jawa Utara. Di bagian selatan
dibatasi oleh depresi Jawa Tengah.
4
Pulau Jawa mempunyai tiga pola kelurusan dominan yang terbentuk akibat periode
pembentukan struktur di Indonesia bagian barat (Gambar II.2), yaitu:
1) Pola meratus yang berarah timur laut–barat daya terbentuk pada 80 sampai 53 juta
tahun yang lalu (Kapur Akhir–Eosen Awal). Pola ini diwakili oleh Sesar Cimandiri di
Jawa Barat, yang dapat diikuti ke timur laut sampai batas timur Cekungan Zaitun dan
Cekungan Biliton.
2) Pola sunda berarah utara–selatan terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen
Awal–Oligosen Awal). Pola Sunda diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi
Cekungan Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna.
3) Pola jawa berarah barat–timur terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu. Pola Jawa ini
diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Sesar Baribis, serta sesar-sesar naik yang terdapat
di dalam Zona Bogor menurut Van Bemelen (1949).
Pola Jawa
Pola Meratus
Pola Sunda
Gambar II. 2. Pola Struktur Pulau Jawa Pulunggono dan Martodjojo (1994)
Sesar-sesar utama di Jawa dapat dibagi menjadi beberapa orde, yakni orde pertama,
kedua, dan ketiga. Analisis ini didasarkan pada kompresi lateral yang berarah utara-
selatan sebagai akibat dari pergerakan relatif ke utara dari Lempeng Indo-Australia
terhadap Lempeng Eurasia. Sesar yang termasuk ke dalam orde pertama antara lain sesar
mendatar mengiri yang berarah timurlaut-baratdaya dan sesar geser menganan yang
berarah baratlaut-tenggara.
5
Situmorang. dkk., (1976) lebih jauh telah menjelaskan, bahwa sistem sesar mendatar orde
pertama telah mengakibatkan Pulau Jawa terfragmentasi menjadi tiga blok. Blok I (Jawa
Tengah) terangkat secara vertikal relatif terhadap kedua blok lainnya (Blok II: Jawa
Barat; dan Blok III: Jawa Timur). Blok yang terangkat berperan sebagai sumber material
klastik bagi blok di sekitarnya (Gambar II.3).
Gambar II. 3. Sistem pembagian sesar-sesar utama di Jawa Situmorang dkk., (1976).
6
Berdasarkan ciri-ciri litologi kelompok batuan yang ditemukan pada daerah penelitian,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada daerah penelitian litologi kelompok
batuannya tersusun atas Formasi Kumbang, Formasi Halang. Penarikan ini di cocokan
dengan penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, Djuri.
dkk., (1996). Berikut kolom stratigrafi regional daerah penelitian (Gambar II.4) yang
berdasarkan dari data hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Bandung
7
seringkali terjadi akibat adanya pergerakan tanah pada kondisi daerah lereng yang curam,
serta tingkat kelembaban tinggi, tumbuhan jarang (lahan terbuka) dan material kurang
kompak. Faktor lain untuk timbulnya longsor adalah rembesan dan aktifitas geologi
seperti patahan, rekahan dan liniasi. Kondisi lingkungan setempat merupakan suatu
komponen yang saling terkait. Bentuk dan kemiringan lereng, kekuatan material,
kedudukan muka air tanah dan kondisi drainase setempat sangat berkaitan pula dengan
kondisi kestabilan lereng menurut Verhoef (1985).
Gerakan tanah menurut Karnawati (2005) dapat dibedakan menjadi penyebab yang
merupakan faktor kontrol dan merupakan proses pemicu gerakan. Faktor kontrol
merupakan faktor-faktor yang membuat kondisi suatu lereng menjadi rentan atau siap
bergerak meliputi kondisi morfologi, stratigrafi (jenis batuan serta hubungannya dengan
batuan yang lain di sekitarnya), struktur geologi, geohidrologi dan penggunaan lahan.
Faktor pemicu gerakan merupakan proses-proses yang mengubah suatu lereng dari
kondisi rentan atau siap bergerak menjadi dalam kondisi kritis dan akhirnya bergerak.
Umumnya proses tersebut meliputi proses infiltrasi hujan, getaran gempa bumi ataupun
kendaraan/ alat berat, serta aktivitas manusia yang mengakibatkan perubahan beban
ataupun penggunaan lahan pada lereng.
Sementara itu Schumm (1979) menyatakan bahwa faktor pemicu gerakan massa tanah/
batuan umumnya merupakan faktor–faktor yang berasal pelemahan batuan akibat
pelapukan, dapat merupakan proses pemicu gerakan.
8
BAB III
METODE PENELITIAN
9
d) Pengambilan Contoh Batuan (Sampling) untuk Petrografi dan Mikropal
Pengambilan dan penomeran sampel dilakukan pada beberapa titik lokasi pengamatan,
yang kemudian dilakukan analisis lebih lanjut. Analisis tersebut meliputi analisis
petrografi, dan analisis mikropaleontologi. Contoh batuan yang diambil harus dalam
keadaan yang baik dan tidak lapuk. Contoh batuan untuk keperluan analisis petrografi
harus mewakili setiap satuan batuan yang ada tanpa memperhatikan tebal lapisan
batuannya. Dan untuk keperluan analisis mikropaleontologi mewakili umur relative
satuan batuan sedimen dari batuan yang paling tua, menengah, sampai paling muda
(atas, tengah dan bawah).
Jadi tiap satuan batuan sedimen yang ada di lapangan harus di ambil sampelnya dari
yang paling tua, menengah, dan muda. Penentuan umur relative satuan batuan secara
kasar dapat diperoleh dari hasil sintesa peta lintasan dan profil lintasan geologi.
10
dari proses geologi yang telah terjadi di bumi, yaitu proses-proses endogen dan eksogen.
Oleh karena itu, bentuk muka bumi dapat pula merupakan tanda dari telah adanya suatu
proses geologi. Dengan demikian, untuk menelusuri kejadian proses-proses yang telah
terjadi dapat dilakukan dengan interpretasi peta topografi yang meliputi analisa pola-pola
kelurusan yang mengindikasikan terdapatnya struktur geologi pada daerah penelitian,
pola aliran sungai, bentuk lembah sungai, kemiringan lereng, dan tingkat erosi yang
terjadi pada daerah penelitian.
Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta topografi atau foto udara karena
berhubungan erat dengan jenis batuan, struktur geologi, kondisi erosi dan sejarah
bentuk bumi. Beberapa tipe pola aliran yang pada (Gambar III.1) dan penjelasannya
pada (Tabel III.2), pola pengaliran dibagi menjadi dua, yaitu pola pengaliran dasar
dan pola pengaliran modifikasi. Pola dasar merupakan pola yang terbaca dan dapat
dipisahkan dengan pola lain. Pola pengaliran modifikasi ialah pola dengan
memperlihatkan ciri pola dasar. Sungai dapat dibagi berdasarkan tingkatan orde sungai
11
Gambar III. 1. Tipe pola pengaliran menurut Zenith (1932) (A) dan Pola Pengaliran
Modifikasi Sungai menurut Howard (1967) (B dan C)
12
b) Morfometri
Morfometri, merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan sebagai aspek
pendukung dari morfografi dan morfogenetik sehinga klasifikasi kualitatif akan
semakin tegas dengan angka-angka yang jelas. Variasi nilai kemiringan lereng yang
diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng
menurut Van Zuidam (1985), sehingga diperoleh penamaan kelas lerengnya (Tabel
III.3). Teknik perhitungan kemiringan lerengnya dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik grid cell berukuran 5x5 cm pada peta topografi skala 1 : 25.000.
Kemudian setiap kisi ditarik tegak lurus kontur dan dihitung kemiringan lerengnya
dengan menggunakan persamaan berikut:
Dimana:
n = jumlah kontur yang memotong diagonal jarring
Ci = interval kontur (meter)
d = diagonal grid, Skala 1 : 25.000
Tabel III. 3. Pembagian kemiringan lereng berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985)
Kemiringan Kemiringan
Keterangan Warna
Lereng (°) Lereng (%)
0–2 0–2 Datar – Hampir Datar Hijau Tua
2–4 2–7 Landai Hijau Muda
4–8 7 – 15 Miring Kuning
8 – 16 15 – 30 Curam Menengah Ungu Muda
16 – 35 30 – 70 Curam Merah Muda
35 – 55 70 – 140 Sangat Curam Merah Tua
> 55 > 140 Curam Ekstrem Ungu Tua
c) Morfogenetik
Morfogenetik, adalah proses/asal usul terbentuknya permukaan bumi, seperti bentuk
lahan perbukitan /pegunungan, bentuk lahan lembah atau bentuk lahan dataran (Tabel
III.4). Proses yang berkembang terhadap pembentukan permukaan bumi tersebut yaitu
proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen merupakan proses yang
dipengaruhi oleh iklim dikenal sebagai proses fisika dan proses kimia, sedangkan
13
proses yang dipengaruhi oleh biologi biasanya terjadi akibat dari lebatnya vegetasi,
seperti hutan atau semak belukar.
14
menggunakan zonasi Bandy (1967), sedangkan untuk menentukan umur menggunakan
zonasi Blow (1969).
Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan jenis litologi yang paling dominan dalam
satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di lapangan dilakukan secara megaskopis
yang meliputi baik warna batuan, ukuran butir, bentuk butir, kemas, pemilahan, kekerasan
15
mineral tambahan, struktur sedimen, kandungan fosil dan lain-lain.
16
Gambar III. 3. Klasifikasi batuan sedimen menurut Pettijohn (1973)
17
Lipatan dapat diklasifikasikan dengan bermacam kriteria, misalnya sebagai berikut
(Gambar III.4) beberapa jenis lipatan pada klasifikasi yang dibuat oleh Fleuty (1964).
b) Kekar
Kekar didefinisikan sebagai suatu rekahan pada kerak bumi yang belum atau sedikit
sekali mengalami pergeseran sepanjang bidangnya, akibat tekanan yang lebih lanjut.
Kekar memecahkan batuan dengan rekahan yang relative halus dengan panjang yang
bervariasi mulai dari beberapa sentimeter sampai ratusan meter. Secara genetik, kekar
bervariasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, Hobs (1976), dalam Haryanto (2003)
yaitu:
1. Kekar gerus (shear joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya terbentuk karena
adanya kecenderungan untuk saling bergeser searah bidang rekahan.
2. Kekar tarik (Extensional joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya terbentuk
kadanya kecenderungan untuk saling menarik (meregang) atau bergeser tegak lurus
terhadap bidang rekahannya. Kekar tarikan dapat dibedakan sebagai :
a) Tension Fracture, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya searah dengan
tegasan. Kekar jenis inilah yang biasanya terisi oleh cairan hidrothermal yang
kemudian berubah menjadi vein.
b) Release Fracture, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya atau
pengurangan tekanan, orientasinya tegaklurus terhadap gaya utama. Struktur ini
biasa disebut dengan “stylolite”.
c) Sesar
Untuk mengamati keberadaan arah dan jenis sesar di lapangan dapat diperkirakan
dengan melihat indikasi yang ada seperti adanya, offset litologi, kekar-kekar, cermin
18
sesar, slicken side, breksiasi, zona-zona hancuran, kelurusan mata air panas dan air
terjun. Dalam merekonstruksi struktur geologi dapat menggunakan pemodelan stuktur.
Pemodelan struktur yang dipakai oleh penulis yaitu teori pemodelan system sesar
mendatar Moody dan Hill (1956). Model analisa struktur ini digunakan untuk
menentukan tegasan utama terhadap unsur-unsur yang terbentuk(Gambar III.5).
Selain itu, analisis struktur dari data lapangan juga didukung dari teori klasifikasi sesar
menurut Rickard (1972) dalam Haryanto (2003) yang memperlihatkan cara penentuan
nama bagi sesar translasi, didasarkan pada pitch dan netslip terhadap bidang sesar.
Berikut Klasifikasi Sesar menurut Rickard (1972) (Gambar III.6).
19
sebagai faktor utama terjadinya gerakan tanah yaitu kemiringan lereng, litologi, buffering
struktur geologi, curah hujan, pelapukan batuan, dan penggunaan lahan. Kemudian data
dari setiap parameter di kelompokan ke dalam kelas (sub parameter) menggunakan data
yang berasal dari data primer dan sekunder. Penilaian dari parameter utama dilakukan
berdasarkan tabel tingkat kepentingan parameter, Saaty (1988) (Tabel III.5) kemudian
ditampilkan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan. Metode penilaian dan
pembobotan dari tiap parameter dilakukan guna mendapatkan hasil kuantitatif yang dapat
menyatakan indeks ancaman paling berpengaruh pada daerah penelitian.
{λ 𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑛}
𝐶𝐼 =
𝑛−1
𝐶𝐼
𝐶𝑅 =
𝑅𝐼
Dimana :
CI = Consistency Index
λ maks = Maxmimal eigenvalue
n = Jumlah parameter
RI = Ratio index
CR = Consistency ratio
20
Lamda maksimum diperoleh dengan mengalikan matriks perbandingan berpasangan
dengan bobot setiap parameter, sedangkan Ratio index diperoleh dari tabel Ratio index,
Saaty (1980) (Tabel III.6).
n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
Selanjutnya hasil kuantitatif (skoring) tingkat kerentanan gerakan tanah pada daerah
penelitian di dapat dari hasil perhitungan nilai kelas (sub parameter) ancaman gerakan
tanah dikalikan dengan bobot parameter faktor ancaman gerakan tanah
21
III.3. Diagram Alir Metode Penelitian
Secara garis besar, tahapan penelitian dimulai dari awal studi pustaka, survey, tahap
pengambilan dan pengumpulan data, tahap analisis, tahap pengolahan data, hingga ke
tahap penyusunan laporan, seperti tergambar pada (Gambar III.7).
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pembahasan geologi daerah penelitian terdapat beberapa hal yang dibahas yaitu
geomorfologi daerah penelitian, struktur geologi daerah penelitian, stratigrafi pada daerah
penelitian, dan sejarah geologi daerah penelitian.
23
475m hingga 1125 m diatas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi morfografi Van
Zuidam (1985), daerah penelitian termasuk dalam morfologi perbukitan – pegunungan.
Pada peta persen lereng terlihat kemiringan lereng pada daerah penelitian bervariasi.
Lereng hampir datar (0-2%) – miring (7-15%) yang berada di sebelah barat dan barat laut.
Lereng curam menengah (15-30%) – curam (30-70%) mendominasi di daerah penelitian.
Sedangkan di bagiam selatan merupakan lereng sangat curam (70-140%) – curam
ekstrem (>140%), klasifikasi ini berdasarkan Van Zuidam (1985).
Variasi kemiringan lereng ini dikontrol oleh adanya tenaga yang bekerja pada permukaan
bumi, adanya struktur geologi, serta resistensi batuan. Proses yang terjadi di permukaan
bumi selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sebagai proses geomorfologi,
proses tersebut dapat diakibatkan dari dalam bumi (endogen) maupun yang diakibatkan
dari luar bumi (eksogen).(Gambar IV.2).
Percabangan sungai yang membentuk cabang pohon mengalir relatif dari barat ke timur
yang bermuara pada sungai utama. Sungai utama mengalir relative dari utara ke selatan,
kemudian melihat tipe genetik sungai dengan cara mengkorelasikan antara arah sungai
yang terbentuk dengan kemiringan lapisan pada daerah penelitian. Sehingga mengacu
pada klasifikasi yang dikembangkan oleh Davis berdasarkan pada usulan pertama oleh
Powell (1875), tipe genetik sungai pada daerah penelitian adalah sungai konsekuen yang
terbentuk pada litologi batuan beku, karena masih mengikuti kemiringan lereng aslinya.
Sedangkan tipe genetik yang terbentuk pada batuan sedimen adalah obsekuen, karena
arah aliran sungai berlawanan dengan kemiringan lapisan. (Gambar IV.3).
Gambar IV. 3. Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai Daerah Penelitian
25
IV.1.1.3. Analisis Pola Kelurusan Citra SRTM (Shuttle Radar Topografi Mission)
Analisis kelurusan bukit dan lembah berdasarkan peta SRTM (Shuttle Radar Topografi
Mission), dan menganalisisnya dengan menggunakan bantuan software Dips. Hal ini
diharapkan mampu membantu memberikan gambaran ketika pengambilan data pada saat
di lapangan pada lokasi-lokasi yang telah di interpretasikan adanya kelurusan yang juga
dapat diperkirakan terdapat atau indikasi adanya struktur geologi pada daerah penelitian.
Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit SRTM kelurusan punggungan bukit dan lembah
pada daerah penelitian umumnya relatif berarah Barat Laut – Tenggara. Bagian yang
memiliki shade yang gelap diinterpretasikan sebagai zona lemah, yang dapat
diasosiasikan dengan indikasi keberadaan struktur geologi. Relief kasar dengan warna
yang terang menunjukan ekspresi permukaan yang lebih tinggi (Gambar IV.4).
Gambar IV. 4. Peta Pola Kelurusan Bukit dan Lembah Daerah Peneltian
hasil Analisis Citra SRTM
26
perhitungan persen lereng didapatkan data morfometri pada setiap bentang lahan. Setelah
melakukan penelitian terhadap batuan yang menyusun pada setiap morfologi di lapangan.
Lalu dari data yang di dapat disesuaikan dengan klasifikasi Van Zuidam (1985). Sehingga
daerah penelitian dibagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu Satuan Perbukitan
Struktural (S4) dan Satuan Perbukitan Vulkanik (V4) dan Satuan Perbukitan Vulkanik
(V9) (Gambar IV.5).
27
U S
T B
28
IV.1.1.4.3. Satuan Perbukitan Struktural (S4)
Satuan ini meliputi 15% dari keseluruhan daerah penelitian. Pada peta geomorfologi
satuan ini ditandai oleh warna ungu. Satuan perbukitan struktural (S4) ini memiliki kontur
yang relatif rapat, berada pada elevasi 475 m – 875 m diatas permukaan laut dengan
kemiringan lereng rata-rata 4%-8%. Dengan menggunakan klasifikasi hubungan kelas
relief – kelerengan menurut Van Zuidam (1985) termasuk dalam kelas lereng yang
miring. Bentuk lembah pada satuan geomorfologi ini yaitu berbentuk “V”. Satuan ini
memiliki pola pengaliran Subdendritik. Satuan perbukitan struktural (S4) ini dikontrol
oleh struktur yang menjadi zona lemah yang mudah tererosi sehingga membentuk sungai.
Proses eksogenik yang terjadi yaitu pelapukan, erosi, transportasi dan sedimentasi.
Satuan ini disusun oleh litologi berupa satuan batupasir. Untuk tataguna lahannya sendiri
pada perbukitan ini digunakan sebagai pemukiman, persawahan, perkebunan dan
kawasan perhutanan. (Gambar IV.8).
S U
29
Pengelompokkan satuan batuan tersebut berdasarkan pada karakterisitik litologi yang
terdapat di daerah penelitian. Karakteristik tersebut dapat berupa jenis dan variasi litologi,
kehadiran struktur sedimen, fosil, kehadiran mineral-mineral yang menjadi penciri khas
dari satuan batuan yang lain, pola dan susunan stratigrafi. Karakterisitik tersebut
digunakan sebagai penciri dan pembeda dengan satuan batuan yang lainnya yang berada
di daerah penelitian.
Penyebaran litologi ditarik berdasarkan hukum V, yaitu melihat pola kontur dan
kemiringan lapisan yang terbentuk di lapangan dan menarik setiap batas kontak dari
satuan batuan yang sama. Sehingga akan menghasilkan penyebaran dari setiap satuan
batuan yang terdapat di daerah penelitian. Penyebaran litologi ditampilkan dalam Peta
Geologi pada (Gambar IV.9).
Gambaran umum hubungan vertikal dan ketebalan suatu batuan didapatkan dari analisis
peta geologi. Dari peta geologi didapatkan hasil sayatan yang menggambarkan kondisi
bawah permukaan saat ini. Kondisi bawah permukaan akan menggambarkan bagaimana
hubungan dan ketebalan setiap satuan. Ketebalan tiap satuan didapat dari garis bantu yang
ditarik tegak lurus antar satuan pada penampang sayatan. Kolom Stratigrafi ditunjukan
pada (Gambar IV.10)
30
Gambar IV. 10. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian.
31
U S
Gambar IV. 11. Singkapan batupasir sisipan batulempung pada lokasi pengamatan YS 3.31
Untuk mengetahui ciri-ciri mikroskopis litologi pada satuan batupasir ini dilakukanlah
analisis berdasarkan analisis petrografi. Pengamatan pertama dengan perbesaran 10x pada
batupasir YS 3.31 yaitu berwarna abu-abu gelap, ukuran butir 0,25 – 0,5 mm,
membundar, komposisi butiran terdiri dari matriks, mineral feldspar, kuarsa, hornblende,
opak, fosil dan semen karbonat (Gambar IV.12).
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
• Deskripsi Mineralogi
− Matriks (40%) (G3): (//) abu–abu sampai cokelat, relief rendah, (X) interferensi
rendah, tidak ada kembaran, hadir berupa material lempung dan karbonat.
− Semen Karbonat (5%) (C4): (//) kecokelatan, relief bervariasi, tidak ada belahan,
(X) interferensi rendah, tidak ada kembaran, hadir sebagai pengikat antar mineral.
− Fragmen butiran/ Kristal:
o Kuarsa (10%) (F6): (//) putih, relief rendah, anhedral, tidak ada belahan pecahan
32
baik, (X) interferensi 1st order, pemadaman bergelombang.
o Feldspar (30%) (E3): (//) tidak berwarna/transparan, relief sedang-tinggi,
subhedral – anhedral, (X) interferensi 1st order, mempunyai kembaran.
o Fragmen fosil (10%) (F4): (//) tidak berwarna sampai abu-abu coklat, relief
rendah, membundar, ooid, sebagian besar cangkang tampak mulai tergantikan
mineral lain, (X) interferensi rendah, tidak ada kembaran.
o Opak (5%) (E6): (//) hitam, anhedral, hitam, tidak ada pleokroism, tidak tembus
cahaya, (X) tidak ada pemadaman dan kembaran.
30
𝐹= 𝑥100% = 75%
10 + 30
Berdasarkan data tersebut diperoleh nama batuan : Feldspathic wacke Pettijohn (1975)
Pengamatan kedua dengan perbesaran 10x pada batulempung YS 3.31 dengan warna abu-
abu kecoklatan, bentuk membundar, komposisi butiran terdiri dari matriks, mineral opak
dan semen karbonat (Gambar IV.13).
33
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
• Deskripsi Mineralogi
− Matriks (80%) (E6): (//) Berwarna abu–abu sampai coklat kekuningan, relief rendah,
(X) interferensi rendah, tidak ada kembaran, hadir berupa material lempung dan
lumpur karbonat.
− Semen Karbonat (17%) (E3): (//) kecokelatan, relief bervariasi, tidak ada belahan,
(X) interferensi rendah, tidak ada kembaran, hadir sebagai pengikat antar mineral.
− Fragmen butiran/ Kristal:
Opak (3%) (G4): (//) hitam, anhedral, hitam, tidak ada pleokroism, tidak tembus
cahaya, (X) tidak ada pemadaman dan kembaran.
34
IV.1.2.1.2. Penyebaran dan Ketebalan Batuan
Satuan batupasir menempati 15% dari keseluruhan daerah penelitian. Penyebaran satuan
ini terdapat sepanjang timur daerah penelitian tepatnya di kali Tambra hingga desa
Danasari di utara. Singkapan batupasir sisipan batulempung terdapat di sepanjang sungai
yang terdapat di daerah tersebut. Kondisi singkapan batuan pada umumnya lapuk-lapuk
sedang. Berdasarkan rekonstruksi penampang sayatan geologi, peneliti mendapatkan
ketebalan satuan batupasir ≥750 meter.
Untuk paleobatimetrinya berdasarkan hasil analisis P/B ratio didapatkan hasil 46,2%
yaitu Neritik Tengah-Luar kisaran antara 100-600 m (Leksikon Stratigrafi Indonesia).
Adapun kandungan foraminifera bentonik yang terdapat dalam satuan baupasir ini terdiri
dari antara lain yaitu Nodosaria sp, Robulus sp, Cibicides sp, Dentalina sp, Elphidium
advenum, Amphistegina lessonii, Operculina complanata dan Anomalina colligera.
Keterdapatan fosil tersebut diperoleh dari hasil analisis mikrofosil sample YS 3.31 Top
dan YS 3.30 Bottom.
35
memiliki ciri berwarna abu-abu gelap dengan kondisi segar, hipokristalin, inequigranular,
porfiritik, komposisi kuarsa, plagioklas, dan piroksen. Berdasarkan pengamatan secara
makroskopis batuan ini merupakan batuan andesit (Gambar IV.14).
B T
Untuk mengetahui ciri-ciri mikroskopis litologi pada satuan ini dilakukanlah analisis
berdasarkan analisis petrografi. Pengamatan pertama dengan perbesaran 10x pada sampel
YS 2.15 berwarna abu-abu gelap, tekstur inequigranular, porfiritik, derajat kristalisasi
hipokristalin, terdiri dari mineral piroksen, plagioklas, kuarsa dan opak. (Gambar IV.15).
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
• Deskripsi Mineralogi
− Kuarsa (1%) (D3): (//) putih, ukuran 1 mm, relief rendah, sub-hedral, tidak ada
belahan pecahan baik, (X) interferensi 1st order, kembaran bergelombang.
− Plagioklas (70%) (F4): (//) tidak berwarna, subhedral – anhedral, relief tinggi,
belahan dua arah, (X) interferensi 1st order, mempuyai kembaran lamellar.
− Hornblend (7%) (E2): (//) cokelat, relief tinggi, sub-hedral, belahan sempurna,
pecahan baik, (X) interferensi 2-4rd order, pemadaman simetri.
36
− Opak (2%) (F6): (//) hitam, anhedral, hitam, tidak ada pleokroism, tidak tembus
cahaya, (X) tidak ada pemadaman dan tidak ada kembaran.
− Gelas (5%) (D6): (//) hitam, anhedral, tidak ada pleokroism, tidak tembus cahaya,
(X) tidak ada pemadaman dan tidak ada kembaran.
− Feldspar (5%) (F2): (//) putih, subhedral-anhedral, ada pleokroism, belahan tidak ada
(X) interferensi 1st order, pemadaman ada dan kembaran Carlsbad
− Piroksen (10%) (C6): (//) biru, relief tinggi, prismatic, pleokroism tidak terlihat,
subhedral, (X) interferensi 2st order, pemadaman ada.
Berdasarkan data tersebut diperoleh nama plagioklas andesine, andesine, labradorit maka
dipeoleh nama batuan yaitu: Andesit, Streckeisen (1978).
37
singkapan batuan pada umumnya lapuk sedang hingga segar. Berdasarkan rekonstruksi
penampang sayatan geologi dan pengamatan langsung di lapangan peneliti mendapatkan
ketebalan satuan lava andesit ≤75 meter.
T B
Gambar IV. 16. Singkapan breksi piroklastik pada lokasi pengamatan YS 3.23
38
Untuk mengetahui ciri-ciri mikroskopis litologi pada satuan breksi ini dilakukanlah
analisis berdasarkan analisis petrografi. Pengamatan pertama dengan perbesaran 10x pada
fragmen breksi YS 3.23 yaitu berwarna abu-abu, tekstur inequigranular, porfiritik, derajat
kristalisasi hipokristalin, terdiri dari mineral fenokris plagioklas, dan opak, piroksen yang
tertanam dalam massa dasar (Gambar IV.17).
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
• Deskripsi Mineralogi
− Plagioklas (70%) (C3): (//) tidak berwarna, subhedral – anhedral, relief tinggi,
belahan dua arah, (X) interferensi 1st order, mempuyai kembaran lamellar.
− Hornblend (11%) (C4): (//) cokelat, relief tinggi, sub-hedral, belahan sempurna,
pecahan baik, (X) interferensi 2-4rd order, pemadaman simetri.
− Opak (5%) (C5): (//) hitam, anhedral, hitam, tidak ada pleokroism, tidak tembus
cahaya, (X) tidak ada pemadaman dan tidak ada kembaran.
− Gelas (2%) (D6): (//) putih, anhedral, tidak ada pleokroism, tidak tembus cahaya, (X)
tidak ada pemadaman dan tidak ada kembaran.
− Feldspar (5%) (E2): (//) putih, subhedral-anhedral, ada pleokroism, belahan tidak ada
(X) interferensi 1st order, pemadaman ada dan kembaran Carlsbad
− Piroksen (7%) (D4): (//) biru, relief tinggi, prismatic, pleokroism tidak terlihat,
subhedral, (X) interferensi 2st order, pemadaman ada.
39
70
𝑃= 𝑥100% = 93.3%
70 + 5
5
𝐹= 𝑥100% = 6,6%
70 + 5
Berdasarkan data tersebut diperoleh nama plagioklas andesine, andesine, labradorit maka
dipeoleh nama batuan yaitu: Andesit, Streckeisen (1978).
Pengamatan kedua dengan perbesaran 10x pada matriks breksi YS 3.23 ini merupakan
jenis piroklastik dengan warna kecoklatan, ukuran butir 0.2 - 1 mm, bentuk butiran
menyudut tanggung – membundar tanggung, disusun oleh matriks, gelas, kuarsa,
hornblende, feldspar, dan opak. (Gambar IV.18).
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
• Deskripsi Mineralogi
− Plagioklas (75%) (E3): (//) tidak berwarna, subhedral – anhedral, relief tinggi,
belahan dua arah, (X) interferensi 1st order, mempuyai kembaran lamellar.
40
− Hornblend (10%) (C6): (//) cokelat, relief tinggi, sub-hedral, belahan sempurna,
pecahan baik, (X) interferensi 2-4rd order, pemadaman simetri.
− Opak (2%) (C5): (//) hitam, subhedral, hitam, tidak ada pleokroism, tidak tembus
cahaya, (X) tidak ada pemadaman dan tidak ada kembaran.
− Gelas (10%) (D6): (//) putih, anhedral, tidak ada pleokroism, tidak tembus cahaya,
(X) tidak ada pemadaman dan tidak ada kembaran.
− Feldspar (3%) (E2): (//) putih, subhedral-anhedral, tidak ada pleokroism, belahan
tidak ada (X) interferensi 1st order, pemadaman ada dan kembaran Carlsbad
Berdasarkan data tersebut diperoleh nama batuan : Crystals Tuf (after Pettijohn, 1975).
41
IV.1.2.3.3. Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan pada posisi stratigrafinya, satuan breksi merupakan satuan yang paling muda
pada daerah penelitian. Satuan ini terendapkan di atas satuan lava andesit. Diperkirakan
lingkungan pengendapan satuan ini berada di laut. Hal itu dapat disimpulkan berdasarkan
sortasinya yang buruk dan besar butir matriksnya yang seragam. Umur satuan ini
disetarakan dengan Formasi Endapan Gunung Api Kumbang pada Peta Geologi Lembar
Purwokerto dan Tegal skala 1:100.000 yang diterbitkan oleh oleh pusat penelitian dan
pengembangan Geologi Bandung, M. Djuri Dkk., (1996) yaitu Kala miosen akhir.
Pendekatan secara langsung, yaitu dengan pengamatan di lapangan, yaitu dengan melihat
indikasi adanya struktur seperti rekahan-rekahan, dan perbedaan kemiringan lapisan
batuan. Langkah pengamatan dilanjutkan dengan mengukur kekar gerus (shear fracture).
Di miosen akhir terjadi magmatisme kembali akibat dari proses subduksi di miosen
tengah, magmatisme ini mengaktifkan kembali gunung api di pulau jawa. Pada saat ini
kegiatan gunung api mencapai puncaknya yang ditandai oleh pembentukan formasi
kumbang pada daerah penelitian.
Formasi kumbang diawali dengan pembentukan satuan lava andesit yang mengalir diatas
formasi halang. Setelah itu diendapkan satuan breksi piroklastik yang menumpang di atas
lava andesit.
43
IV.2. Studi Khusus
Pada pembahasan studi khusus untuk menentukan zona kerentanan gerakan tanah penulis
menggunakan enam parameter yang di nilai sebagai faktor utama terjadinya longsor yaitu
persen lereng, litologi, buffering struktur geologi, intensitas curah hujan, tingkat
pelapukan batuan, dan tataguna lahan. Kemudian data dari setiap parameter di
kelompokan ke dalam kelas (sub parameter) menggunakan data yang berasal dari data
primer dan sekunder, serta menggunakan analysis hierarchy process (AHP) yaitu metode
penilaian dan pembobotan dari tiap parameter guna mendapatkan hasil kuantitatif yang
dapat menyatakan indeks ancaman paling berpengaruh pada lokasi penelitian berdasarkan
skala prioritas indeks ancaman.
44
Litologi pada di daerah penelitian mengacu kepada pengelompokan kelas litologi
penyusun lereng klasifikasi Anbalagan (1992) terdiri dari 5 kelas yang kemudian di
kelompokkan kembali oleh penulis menjadi 3 kelas yaitu (Tabel 4.1):
45
Kemiringan lereng di daerah penelitian mengacu kepada pengelompokan kelas
kemiringan lereng klasifikasi Van Zuidam (1985) terdiri dari 7 kelas yang kemudian di
kelompokkan kembali oleh penulis menjadi 3 kelas yaitu (Tabel IV.2):
46
Buffering struktur geologi di daerah penelitian mengacu kepada pengelompokan kelas
buffering struktur Respati. dkk., (2013) terdiri dari 4 kelas yang kemudian di
kelompokkan kembali oleh penulis menjadi 3 kelas yaitu (Tabel IV.3):
47
Curah hujan di daerah penelitian mengacu kepada pengelompokan kelas curah hujan
Darmawan,M. dan Theml,S (2008) terdiri dari 3 kelas yaitu (Tabel IV.4):
48
Penggunaan lahan di daerah penelitian mengacu kepada pengelompokan kelas
penggunaan lahan Karnawati (2003) terdiri dari 5 kelas yang kemudian di kelompokkan
kembali oleh penulis menjadi 3 kelas yaitu (Tabel IV.6):
49
Tabel IV. 7. Matrik Perbandingan Berpasangan Ternormalisasi Parameter Gerakan Tanah.
Bobot dari setiap parameter dikatakan baik atau konsisten apabila memiliki nilai CR <
0,1. Nilai CR dapat dihitung dengan menggunakan peramaan :
Diketahui :
λ maks = 5.227
n =5
RI = 1.12
{λ 𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑛}
𝐶𝐼 =
𝑛−1
{5.227 − 5}
=
5−1
0.227
=
4
= 0.057
𝐶𝐼
𝐶𝑅 =
𝑅𝐼
0.057
=
1.12
= 0.050
Selanjutnya hasil skoring tingkat kerentanan gerakan tanah pada daerah penelitian di
dapat dari hasil perhitungan bobot parameter faktor ancaman gerakan tanah dikalikan
dengan kelas sub parameter ancaman gerakan tanah (Tabel IV.9).
50
Tabel IV. 8. Kelas, Bobot dan Skoring Parameter Gerakan Tanah
0 – 15 % 1 0.42
Hutan 1 0.04
51
yang ditemukan di lokasi penelitian. Di lokasi penelitian ditemukan sebanyak 30 titik
ancaman gerakan tanah dengan tingkat kerentanan yang beragam (Gambar IV.24).
Gambar IV. 24. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah dan Titik Longsorpada Derah Penelitian
B T
D L
Gambar IV. 25. Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Sangat Rendah pada Derah Penelitian
52
2. Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Rendah
Zona ini menempati sekitar 15% dari keseluruhan lokasi penelitian. Didominasi oleh
kemiringan lereng datar hingga agak curam. Litologi penyusun lereng lava andesit,
kondisi pelapukan batuan yang beragam yaitu segar hingga lapuk kuat. Penggunaan lahan
pada zona ini berupa area pertanian, sawah, pemukiman, dan memiliki jarak yang cukup
jauh dari struktur geologi. Zona ini berada pada sisi tengah lokasi penelitian berada di
antara zona ancaman gerakan tanah menengah dan tinggi. Pada zona ini ditemukan 3 titik
ancaman gerakan tanah. (Gambar IV.26).
B T
D L
Gambar IV. 26. Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Rendah pada Derah Penelitian
Gambar IV. 27. Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Menengah pada Derah Penelitian
53
4. Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi
Zona ini menempati 35% dari keseluruhan lokasi penelitian. Didominasi oleh kemiringan
lereng miring hingga curam ekstrem sehingga menyebabkan daerah ini masuk ke dalam
tingkat ancaman gerakan tanah tinggi. Litologi penyusun lereng berupa batupasir, lava
andesit, dan breksi piroklastik dengan kondisi pelapukan batuan yang beragam yaitu segar
hingga tanah residu. Penggunaan lahan pada zona ini berupa area pertanian, pemukiman,
sawah, dan hutan. Zona kerentanan gerakan tanah tinggi yang terletak pada bagian selatan
dan timur daerah penelitian terdapat dua struktur geologi yaitu sesar mendatar kiri kali
Tambra dan sesar mendatar kanan kali Lempayan. Pada zona ini ditemukan 18 titik
ancaman gerakan tanah (Gambar IV.28).
T B
(a)
U S
(b)
Gambar IV. 28. (a) dan (b) Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi pada Derah Penelitian
54
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian “Geologi dan Penentuan Zona
Kerentanan Gerakan Tanah dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process
(AHP) Daerah Jingkang dan Sekitarnya, Kecamatan Karangjambu, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah” antara lain :
55
DAFTAR PUSTAKA
56
Karnawati, D. 2005. Bencana Alam Gerak Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli
Geologi Indonesia : Indonesia.
Moody, J. D., and M. J. Hill. 1956. Wrench fault Tectonics, Geological Society of America
Bulletin, v. 67, p. 1207-1246
Permanajati, Indra dan Sachrul Iswahyudi. 2019. Zona Pelapukan Sebagai Pengontrol
Longsoran di Daerah Jingkang dan Sekitarnya, Purbalingga. Purbalingga.
URECOL
Pettijohn, F.J. 1975. Sedimentary Rock Third Edition. Harper & Row Publishers, New
York-Evanston-San Fransisco-London.
Pulunggono A., dan Martodjojo S, 1994. Perubahan Tektonik Paleogen - Neogen
Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceeding Geologi dan
Geoteknik Pulau Jawa.
Rickard, 1972. Fault and Fold Tectonics, 1984. 565 p. E. Horwood. Newyork
Saaty, T. L., 1988. Multicriteria Decision Making: The Analytic Hierarchy Process,
University of Pittsburgh, United States of America.
Situmorang, B., Siswoyo., Thajib, E., dan Paltrinieri, F., 1976, Wrench Fault Tectonics
and Aspects of Hydrocarbon Accumulation in Java, Proceeding IPA, Fifth Ann.
Conv., Indonesia
Standar Nasional Indonesia, 2005. Penyusunan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah
SNI 13-7124-2005, ICS 07.060, Badan Standardisasi Nasional
Streckeisen, et al, 1978.A Clasification of Plutonic and Volcanic after IUGS.
Van Zuidam, R. A. 1985. Aerial Photo-Interpretation In Terrain Analysis And
Geomorphologic Mapping. Smith Publishers. The Hague.
Varnes, D.J. 1978. Slope movement types and process. Special Report 176; Landslides;
Analysis and Control. Eds: R.L. Schuster dan R.J. Krizek. Transport Research
Board, National Research Council,Washigton, DC
57