Oleh :
Tri Anggara
03071381823051
3. Nama Penguji I : ()
4. Nama Penguji II : ()
5. Nama Penguji III : ()
6. Jangka Waktu Penelitian : 1 (satu) Bulan
a. Persetujuan :
b. Seminar Pemetaan :
7. Pendanaan
a. Sumber Dana : Mandiri
b. Besar Dana : Rp. 2.000.000
Mengetahui,
Koordinator Program Studi Teknik Geologi
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Maksud dan Tujuan
Penelitian dilakukan untuk mempelajari kondisi geologi yang terdapat di Tanjung
Payang dan sekitarnya, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatra Selatan dengan luasan
daerah telitian 9x9 km pada skala 1:50.000. Adapun tujuan dilakukannya pemetaan
geologi ini sebagai berikut:
1. Menentukan satuan bentuk lahan serta proses geomorfik yang
mempengaruhinya pada daerah penelitian.
2. Mengindentifikasi karakteristik satuan batuan dan stratigrafi daerah penelitian.
3. Menganalisis struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian.
4. Merekonstruksi model sejarah geologi daerah penelitian.
2
Kecamatan Pulau Pinang memiliki sarana dan prasarana seperti kantor, pasar
tradisional, pasar tradisional, minimarket, akses sinyal telekomunikasi dan lainnya.
Penggunaan lahan didominasi pemukiman dan perkebunan kelapa sawit pada Desa
Kerung, Desa Muara Cawang, Desa Talang Sawah, dan Desa Talang Sejumput.
Rencana pengambilan jalur didasarkan pada pola pengaliran, daerah anomali kelurusan
untuk identifikasi struktur geologi, dan kedudukan batuan. Secara stratigrafi jalur
lintasan berada padalipatan yang menunjam tersusun dari Formasi Satuan Gunung Api
Muda, Formasi Gumai,dan Formasi Air Benakat. Pelaksanaa Penelitian terdapat
beberapa tahapan yaitu akusisi data, analisis data, dan sintesa. Akuisis data berupa
proses pengumpulan data sekunder (studi pustaka) data primer (Observasi lapangan
penelitian). Analisis data merupakan tahap mengolah data sekunder (proyeksi regional
ke lokas) dan data primer (uji laboratorium). Tahap sintesa merupakan tahap
menganalisis dan pembuatan model hasil mode penelitian.
3
Gambar 1.2 Lokasi daerah penelitian.
Gambar 1.3 Lokasi Penelitian Daerah Pulau Pinang (Sumber Foto : Google Earth).
4
BAB II
GEOLOGI REGIONAL
Pada pembahasan bab ini merupakan kajian pustaka meliputi geologi regional yang
berisikan tatanan tektonik, stratigrafi, dan struktur geologi daerah penelitian. Hasil studi
penelitian terdahulu menjadi sumber referensi dalam memahami geologi regional.
Kajian pustaka dilakukan untuk mendukung interrpetasi dan visualisasi geologi secara
local pada daerah penelitian.
5
2.1.2 Fase Tensional (Zaman Kapur Akhir – Tersier Awal)
Fase tensional menghasilkan sesar normal dan sesar tumbur (growth fault)
berarah utara-selatan (N-S) dan baratbaratlaut- timur tenggara (WNW-ESE).
Sedimentasi mengisi cekungan atau terban diatas dengan batuan dasar bersamaan
dengan kegirasn gunung api. Terjadi pengisian awal dari Cekungan Formasi Lahat.
2.1.3 Fase Sagging (Zaman Miosen atau Intra Miosen)
Fase ditandai dengan adanya tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan
pegnangkatan tepi-tepi cekungan dan diiikuti pengendapan bahan-bahan klastika yaitu
terendapkan Formasi Talang Akar, Foramsi Baturaja, Formasi Gumai , Formasi Air
Benakat, dan Formasi Muara Enim.
2.1.4 Fase Kompresional (Zaman Miosen Tengah-Pliosen)
Fase kompresi ditandai dengan fase kompresi yang berarah timurlaut-barat daya
(NE-NW) menyebabkan terjadi inversi pada Sesar Lematang dan Saka pada Plio-
Pleistosen menghasilkan lipatan, sesar menddatar, mengaktifkan kembali struktur
berumur Paleogen dan berumur lebih tua menjadi struktur inverse (uplifted) serta
membentuk Jalur Bukit Barisan dan kompplreks antiklinorium berarah tenggara-barat
laut (NW-SE).
Gambar 2.1 (A) Fase Kompresional Jura Awal-Kapur, (B) fase tensional dari
KapurAkhir-Tersier Awal, (C) fase Kompresi Plio-Plistosen sampai sekarang dan
model elipsoidnya (Pulunggono dkk, 1992).
6
2.2 Stratigrafi
Susunan Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan Secara umum dibagi atas dua fase
berdasarkan proses pegendapannya yaitu fase trangresi dan regresi. Kelompok formasi
terendapkan pada fase trangresi disebut Kelompok Telisa (Oligosen Awal-Miosen
Tengah) yang terdiri atas Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai,
sedangkan Kelompok Palembang (Miosen Tengah-Pleistosen) yaitu terdiri atas Formasi
Satuan Gunung Api Muda, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi Talang
Akar. Menurut de Coster (1974) dalam Barber dkk., (2005) pada urutan Stratigrafi
Cekungan Sumatra Selatan dari umur paling tua hingga paling muda (Gambar)
merupakan terdiri dari Basement Rock, Formasi Lahat (LF), Formasi Talangakar (TAF),
Formasi Baturaja (BRF), Formasi Gumai (GUF), Formasi IrBenakat (ABF), Formasi
Muaraenim (MEF), dan Formasi Kasai (KF).
Gambar. 2.2 Stratigrafi Regional Sumatera Selatan (Ryacudu, 2008 dalam Syaifudin,
dkk, 2015).
2.2.1. Basement Rock (Kelompok Pra-Tersier)
Menurut Adiwijaya et al. (1973) Formasi Pra-Tersier merupakan batuan dasar
(basement rock) dari Cekungan Sumatra Selatan yang tersusun atas batuan beku
Mesozoikum, batuan metamorf Paleozoikum, 8 Mesozoikum, dan batuan karbonat yang
termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat menunjukkan bahwa beberapa batuan
berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal. Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum
dan batuan sedimen mengalami perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan beku
selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah (Mid-Mesozoikum). Morfologi batuan
dasar ini dianggap mempengaruhi morfologi rift pada Eosen-Oligosen, lokasi dan
luasnya gejala inversi/pensesaran mendatar pada Plio-Pleistosen, karbon dioksida lokal
yang tinggi yang mengandung hidrokarbon gas, serta rekahan-rekahan yang terbentuk di
batuan dasar (Ginger & Fielding, 2005).
7
2.2.2. Formasi Lahat
Menurut Adiwijaya dkk (1973) Formasi Lahat terendapkan secara tidak selaras
diatas batuan dasar cekungan Sumatera Selatan berumur Eosen AwalOligosen.
Sedangkan menurut Sardjito dkk (1991) formasi ini diperkirakan berumur oligosen
awal. Formasi ini merupakan batuan sedimen pertama yang diendapkan pada cekungan
Sumatera Selatan. Pengendapannya terdapat dalam lingkungan darat/aluvial-fluvial
sampai dengan lacustrine. Fasies batupasir terdapat di bagian bawah, terdiri dari
batupasir kasar, kerikilan, dan konglomerat. Sedangkan fasies shale terletak di bagian
atas (Benakat Shale) terdiri dari batu serpih sisipan batupasir halus, lanau, dan tufa.
Sehingga shale yang berasal dari lingkungan lacustrine ini merupakan dapat menjadi
batuan induk. Pada bagian tepi graben ketebalannya sangat tipis dan bahkan tidak ada,
sedangkan pada bagian tinggian intra-graben sub cekungan selatan dan tengah
Palembang ketebalannya mencapai 1000 m (Ginger & Fielding, 2005).
2.2.3. Formasi Talang Akar
Formasi ini mulai diendapkan pada akhir Oligosen dalam fase transgresi dan
dikontrol oleh horst and fault block hasil tektonik Oligosen Akhir-Miosen Tengah yang
dominan berupa gaya tensional. Fase transgresi menyebabkan arah sedimentasi menuju
laut dangkal dan diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Lahat (LAF) dengan
ketebalan lebih dari 1000 m pada baguan terdalam dan seringkali tidak muncul pada
daerah ketinggian. Formasi Talangakar menunjukkan endapan progradasi yaitu endapan
alluvial dan dataran delta pada bagian bawah dan bagian atas berupa endapan transgresif
yaitu endapan tebal batupasir dengan sedikir sisipan serpih dan lapisa batubara serta
batulempung abu-abu gelap berselang-seling dan batuserpih. Menurut De Coster (1974)
menamakan zona tersebut sebagai Black Globi Zone, karena fauna Globigerinid di zona
ini berwarna coklat tua hingga berwarna hitam. Pada Miosen Awal terjadi pengendapan
yang terdiri dari terutama batulempung hitam abu abu delap dari zona transgresif laut
dalam. Zona ini memiliki foraminifera planktonic dan bentik melimpah yang khas dari
lingkungan laut, sublittoral luar hingga bathyal.
Formasi Talangakar termasuk dalam formasi Telisa dengnan lingkungan
pengendapan fluvial-deltaik, paralik, lalu menjadi lingkungan laut. Formasik
Talangakar memiliki umur relatif oligosen Akhir-Miosen. Proses penurunan permukaan
air laut pada sub Cekungan Palembang Selatan yang terjadi pada penghujung Miosen
Awal membentuk dua batas sikuen N-6 dan batas sikuen dengan nama N-7. Batas
sikuen N06 membentuk lapisan batupasir yang tebal, edangkan batas sikuen N-7
membentuk porositas sekunde sebagai reservoir hidrojarbin pada batugamping.
2.2.4. Formasi Baturaja
Formasi Baturaja diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar pada
kala Miosen Awal. Formasi ini tersebar luas terdiri dari karbonat platforms dengan
ketebalan 20-75 m dan tambahan berupa karbonat build-up dan reef dengan ketebalan
60-120 m. Menurut Bishop (2001) terdapat shale dan calcareous shale pada batuan
karbonatnya yang diendapkan pada laut dalam dan berkembang di daerah platform dan
tinggian. Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700
8
feet (sekitar 520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini
berumur Miosen. Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7 (De Coster,
1974).
2.2.5. Formasi Gumai
Formasi Gumai memiliki bervariasi tergantung pada posisi dari
cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi Gumai berkisar dari 6000-9000 feer
(1800-2700 meter). Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating
dengna menggunakan foraminifera plantonik. Umumnya disimpulkan Miosen Awal-
Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan zona Neritik. Menurut Martadinata dan
Weight, 1984). Formasi Gumai berusia Miosen Tengah, terdiri dari Batugamping Tipis,
calcareous shale, dan calcareous sandstone dengan lingkungan pengendapan laut
dangkal.
Menurut Waryono dkk (2013) Formasi Gumai terendapkan selama fase
transgresif laut maksimum. Pada bagian atas formasi ini merupakan perselingan
batupasir dan batuserpih, sedangkan di bagian bawah terdiri dari batuserpih gampingan
dengna sisipan batugamping, napal, dan lanau. Formasi Bawah mencirikan subtidal-
intertidal karena disusun oleh batupasir dengna struktur herringbone dan pola
menghalus keatas (Argakoesemah dkk, 2004).
2.2.6. Formasi Air Benakat
Formasi Airbenakat atau Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus
regresi, sehingga siklus sedimentasi berubah menuju deltaic marine-fluvial. Formasi ini
diendapkan di lingkungan laut dangkal yang tersusun dari batupasir glaukonitan,
batulempung, batulanau, dan batupasir yang mengandung unsur karbonatan. Ketebalan
dari formasi ini bervariasi dari 3300-5000 feet (sekitar 1000-1500 meter). Dari fosil
yang ditemukan berupa berupa Orbulina universa, Orbulina suturalis, Globigerinoides
obliquus, Globigerina venezuelana, Globorotalia praefohsi, Globorotalia mayeri
menunjukkan pada umur Miosen Tengah.
Pada Batulempung Formasi Air Benakat banyak di jumpai fosil foraminifera besar
dan moluska. Menurut Gafoer et al., (1986) dalam peta lembar lahat meyatakan Formasi
Airbenakat terdiri dari Perselingan batulempung dengan batulanau dan serpih. Bagian
bawah dari Formasi ini kontak dengan Formasi Gumai, namun kontak antara formasi ini
tidak dapat ditentukan secara pasti. Berdasarkan analisa seismik dalam de Coster
(1974), bagian bawah dari Formasi Airbenakat berupa lapisan batuan berbutir halus
dengan sisipan lapisan batupasir dimana dibawah dari lapisan tersebut merupakan
bagian atas dari Formasi Gumai. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300-5000
feet (sekitar 1000-1500 meter).
2.2.7. Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim terendapkan pada kala Akhir Miosen sampai Pliosen (De
Coster, 1974) yang berupa siklus regresi yang kedua dengan lingkungan pengendapan
laut dangkal sampai continental sands, delta dan batulempung. Siklus regresi pertama
(Formasi Air Benakat) dan kedua dibedakan melalui ketidakhadirannya batupasir
9
glaukonit dan hadirnya lapisan batubara yang cukup tebal pada Formasi Muara Enim
ini. Pengendapan diawali pada lingkungan rawa-rata dataran pantai kemdian berlanjut
pada lingkungan delta plain dengan perkembangan secara lokal sekuen serpih dan
batupasir yang tebal. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi
dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya
berupa lignit. Ketebalan formasi ini tipis pada bagian utara dan maksimum berada di
sebelah selatan dengan ketebalan 750 m (Bishop, 2001).
2.2.8. Formasi Kasai
Formasi Kasai terendapkan pada kala Pliosen sampai Pleistosen. Formasi ini
merupakan hasil erosi dari pengangkatan Bukit Barisan dan Pegunungan Tigapuluh.
Formasi Kasai memiliki kontak dengan Formasi Muara Enim yang ditandai dengan
litologi Batupasir Tufaan. Formasi ini diendapkan pada siklus regresi ketiga yang 10
ditandai dengan adanya kenampakan produk volkanik. Formasi Kasai tersusun oleh
batupasir kontinental, batulempung dan material piroklastik (pumice tuff, batupasir
tufaan dan batulempung tufaan). Formasi ini mengakhiri siklus susut laut. Pada bagian
bawah terdiri atas tuffaceous sandstone dengan beberapa selingan lapisan-lapisan
tuffaceous claystone dan batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuff,
batu apung yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu berstruktur sedimen silang siur.
Pada batupasir dan batupasir yang mengandung tuff terdapat pula lignit yang melensa.
Lingkungan pengendapan formasi ini fluvial dengan ketebalan >200 meter
2.2.9. Formasi Gunung Api Muda
Satuan Gunungapi Kuarter, merupakan formasi yang terebentuk pada Holosen
secara selaras dengan formasi sebelumnya. Formasi terdiri atas batuan breksi vulkanik
dengan fragment berupa andesit dan basalt serta mengandung plagioklas yang
melimpah. Formasi ini hasil dari aktivitas gunungapi Kuarter Barisan Orogeny (Gafoer,
et al., 1992). Proses pelapukan sangat kuat dan daerah ini menjadi daerah hutan serta
semak belukar. Breksi terutama terdiri dari komponen andesit, batuapung dan massa
dasar tufa pasiran. Tufa berwarna kelabu, putih kekuningan dengan komposisi terdiri
mineral gelas, felspar, hornblende dan sebagainya.
10
Secara geologi daerah penelitian berada pada margin Barat cekungan Sumatera
Selatan. Daerah Penelitian dibatasi oleh Pegunungnan Gumai sebagai tinggian
membatasi ruang sedimentasi cekungan. Pegunungan Gumai merupakan sebuah
Antiklin menunjam dengna arah Barat laut-Tenggara berada dibagian Barat
anticlinorium Muaraenim. Pembentukan Antiklinorium Muaraenim dipengaruhi oleh
arah gaya Barat daya-Timur laut. Menurut Pulunggono (1986) dalam Barber dkk.,
(2005), lipatan yang membentuk ANtiklinorium Muaraenim mempengaruhi endapan
Tersier Formasi Gumai yang menyebabkan endapan lapisan batuan mengalami
perlipatan dan tersesarkan (Gambar 2.3). Sedangkan Antiklin pegunungan Gumai
terbentu melalui proses diawali dengna pengangkatan akibat subduksi (Jurasik-Kapur)
membentuk busur vulkanik dan selanjutnya ditindih oleh batuan sedimen Pra-Tersier
Kelompok sedimen Tersier hingga kompresi (Miosen Tengah-Resen) yang membentuk
Antiklin Pegunungnan Gumai.
11
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian memiliki beberapa tahapan. Tahapan tersusun secara urutan dan
sistematis, tahapan terdiri dari tahap mengumpulkan data, menganalisa data, dan
menyelesaikan suatu penelitian, sebelum dan sesudah melakukan penelitian. Terdapat
tahapan melakukan metode penelitian, yaitu tahap pra-lapangan, tahap geologi
lapaangan, tahap pengolahan data dan analisa data, serta penyusunan dan penyajian
laporan. Penyajian alur dan bagan penelitian meminimalisir terhadap kesalahan dengan
metode digunakan (Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Bagan Alur Kegiatan Pemetaan Geologi dan Pelaporan Hasil
12
3.1 Tahap Pra Lapangan
Tahap Pra-Lapangan merupakan tahap awal perisapan melakukan kegiatan
geologi daerah penelitian, dengan meliputi aspek penentuan lokasi penelitian , survei
awal , dan pembuatan proposal. Diperlukan aspek analisa diperlukan sebelum
melakukan kegiatan penelitian lapanga, antara lain geomorfologi, stratigrafi, struktur
geologi, persebaran batuan dan aspek geologi lainnya menyangkut daerah penelitian
sebelumnya.
13
Gambar 3.2 Peta rencana jalur lintasan daerah penelitian.
Persiapan alat dilakukan sebelum melakukan penelitian digunakan untuk
megambil dan mengumpulkan data analisis lapangan, antara lain GPS, kompas, Palu
Geologi, meteran, larutan HCL, lup, millimeter blok, clipboard, plastik pemercontoh,
dan buku catatan lapangan. Alat lain diperlukan untuk analisis dilapangan berupa
komparator, alat tulis, kamera,peta dan surat izin, serta perlengkapan pribadi, contoh
seperti tas, dan obat pribadi, alat kemah, alat masak, sleeping bag perlengkapan
pendukung pribadi. Penentuan studi pendahuluan diperlukan untuk menentukan lokasi
penelitian pada pemetaan geologi.
14
3.2 Observasi dan Pengamatan Lapangan
Tahap observasi merupakan tahap kedua dalam penelitian diawali dengna survei
lokasi penelitian untuk mendapat gambaran terhadap keadaan social, lingkungan,
transportasi , akomodasi penginapan, dan keterdapatan singkapan atau data geologi dari
rute dan lintasan pengamatan ditentukan. Sehingga, dapat melakukan pengumpulan data
lapangan seperti pengamatan singkapan, penggukuran penampang stratigrafi, penukuran
strukutr geologi, pengamatan geomorfologi serta pengampilan sampel pemercontoh
lokasi penelitian. Berikut tahapan dalam pengambilan data lapangan.
15
Gambar 3.3 Perhitungan ketebalan dan kemiringan lapisan sedimen menggunakan
metode Brunton and Tape (Compton, 1985; Fritz dan Moore, 1988).
16
Pengukuran struktur geologi dilakukan pengamatan terlebih dahulu terhadap
singkapan batuan. Pengukuran struktur geologi dilokasi penelitian meliputi pengukuran
kekar, sesar, dan lipatan. Masing-masing data yang diambil antara lain:
a) Pengambilan data kekar, dengan pengambilan data kedudukan kekar (strike dan
dip), kerapatan antar kekar, dan rah breksiasi.
b) Pengmablan data sesar meliputi bidang sesar, slickensides, offsete, heave dan throw
dari lapisan batuan terkena sesar ataupun kenampakan morfologi dari pola aliran
sungai dan kenampakan lain mendukurng interrpetasi struktur sesar daerah
penelitian.
c) Pengambilan data lipatan, pengambilan berupa kedudukan sayap lipatan, sumbu
lipatan (axial plane), interlimb angle, dan orientasi lipatan dari dip of axial plane.
Analisis dan pegolahan data mrupakan tahap lanjutan dari tahapan pegnamatan
berada dilapangan, tahapan pegnolahan data yang didapatkan hasil peneltiian langsung
dilapangan, dan menggunakan referensi penelitian sebelumnya dalam mengolah datra.
Pemasukan data primer dan pengloahan melalui tahapan kerja studio dan analisis
laboratorium sebagai berikut.
17
3.3.1 Analisis dan Kerja Studio
Kerja studio merupakan analisis pegnolahan data yang meliputi analsisi
geomorfologi, pembuatan profil stratigrafi, analsisis geologi struktur, analisis DEM,
pembuatan penampang, dan model geologi. Pengguanan data lapangan yang telah
diolah menggunakan beberapa software untuk dilakukan pemodelan.
18
cabang sungai yang sejajar atau paralel pada bentang alam
yang memanjang. Pola aliran mencerminkan kelerengan
yang cukup besar dan seragam atau dimana ada kontrol
struktur yang kuat. Pola aliran parallel terbentuk pada
morfologi lereng dengan kemiringan yang seragam
4 Radial Bentuk pola aliran seolah-olah memancar dari satu titik
pusat. Berasosiasi dengan gunung api atau kubah berstadia
muda
5 Rectangular Bentuk pola aliran jaringan tegak lurus aliran
dengan anak sungai dan sungai utama bergabung di sudut
kanan. Pola alirannya lurus dan bergabung di persimpangan
sudut. Jarak dari sungainya mencerminkan pola kekar yang
berkembang, dengan alirannya tidak memotong secara terus
menerus
6 Distributary Bentuk pola aliran yang mengalir dari perbukitan
rendah menuju suatu rendahan seperti dataran atau lembah,
umumnya berada pada morfologi kipas aluvial dan delta.
7 Annular Bentuk pola aliran dengna cabang sungainya
melingkar dengan anak sungai berbaring di sudut kanan.
Pola aliran sungainya dikontrol oleh sesar atau kekar pada
bedrock, terbentuk pada kubah, cekungan, atau intrusi pada
stock yang tererosi.
19
serta mekanisme pergerakan struktur terhadap struktur yang berkembang pada daerah
penelitian. Setelah dilakukan analisis struktur geologi, hasil mekanisme pergerakan
dapat dilanjutkan dengan memberi penamaan terhadap struktur sesar yang berkembang
menggunakan klasifikasi Fossen (2010) dan Rickard (1972) (Gambar 3.4).
Gambar 3.5 (A) Klasifikasi sesar (Fossen, 2010) dan (B) Rickard (1972)
20
penampang sayatan dapat dilakukan secara manual dengan kertas millimeter blok. Lalu,
membuat morfologi dalam sayatan dengan melihat nilai elevasi pada kontur yang
melewati garis sayatan. Setelah itu, masukkan atau menandai batas kedudukan atuan,
struktur geologi dan setiap perbedaan batuan dalam penampang. Kemudian, rekontruksi
data tersebut kebwaha permukaan dalam penampang sayatan. Selanjutnya, rekontruksi
kedudukan batuan mengugnakan kink method.
22
3.4 Pembuatan Laporan
Penyusunan laporan merupakan tahap penyelesaian dalam melakukan kegiatan
peneltiain, dimana pada tahap ini menyimpulkan secara lengkap terhadap kegiatan atas
setiap rumusan masalah yang terdapat daerah penelitian. Pembuatan laporan berisi
analisa laboratorium, analisa studio, dan peta (peta lintasan, peta geomorgologi, peta
pola pengaliran, dan peta kemiringan lereng serta peta geologi). Dengan adanya laporan
akhir pemetaan disusun secara sistematis, terdiri dari tahap pra pemetaan hingga pasca
pemetaan megninterpretasikan keadaan geologi deerah penelitian.
23