Anda di halaman 1dari 25

GEOLOGI DAERAH PULAU PINANG DAN SEKITARNYA,

KABUPATEN LAHAT, PROVINSI SUMATERA SELATAN

Laporan ini sebagai bagian dari perkuliahan Pemetaan Geologi, dan


merupakan penelitian tahap pertama dari Tugas Akhir untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknik (ST) Geologi
pada Program Studi Teknik Geologi

Oleh :
Tri Anggara
03071381823051

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Penelitian : Geologi Daerah Pulau Pinang, Kabupaten Lahat,


Sumatera Selatan
2. Biodata Peneliti
a. Nama Lengkap : Tri Anggara
b. NIM : 03071381823051
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat Tinggal : BTN. Mandala Blok D No 14, Tanjung Enim
Sumatera Selatan
e. Telepon/Hp/Email : Tri Anggara /trianggara360@gmail.com

3. Nama Penguji I : ()
4. Nama Penguji II : ()
5. Nama Penguji III : ()
6. Jangka Waktu Penelitian : 1 (satu) Bulan
a. Persetujuan :
b. Seminar Pemetaan :
7. Pendanaan
a. Sumber Dana : Mandiri
b. Besar Dana : Rp. 2.000.000

Palembang, Mei 2020


Menyetujui,
Pembimbing, Peneliti,

Stevanus Nalendra Jati, S.T., M.T Tri Anggara


NIP. 198908302019031011 NIM. 03071381823051

Mengetahui,
Koordinator Program Studi Teknik Geologi

Dr. Budhi Kuswan Susilo, S.T.,M.T.


NIP 19711110199903100

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Pendahuluan menjelaskan terhadap latar belakang, rumusan masalah, maksud


tujuan, raung lingkup, serta ketercapaian lokasi pengamatan pada pemetaan geologi.
Latar belakang memuat berupa kajian oleh penelitian terdahulu berkaitan dengan lokasi
penelitian. Rumusan masalah berisikan pertanyaan mengenai daerah lokasi penelitian
yang belum jelas sebelumnya. Ruang lingkup berisikan batasan dan objek penelitian
yang diteliti. Lokasi dan ketersampaian memuat akses dalam menuju lokasi penelitian.

1.1 Latar Belakang


Pemetaan geologi merupakan kegiatan penelitian lapangan menerapkan semua
aspek ilmu geologi mencakup berupa aspek geomorfologi, stratigrafi, dan geologi.
Observasi pemetaan geologi dilakukan berada pada daerah Pulau Pinang, Kabupaten
Lahat, dengan luasan daerah penelitian 81 km2 (Skala 1: 25.000). Secara fisiografis
cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah Baratlaut-Tenggara
yang dibatasi oleh Sesar Semangko dan Bukit Barisan disebelah Barat Daya, Paparan
Sunda berada di sebelah Timur laut, Tinggian Lampung di sebelah Tenggara yang
memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas
dan Pegunungan Tiga Puluh di sebalah Barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra
Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah dan terletak pada back arc basin pada
sistem tektonik Sumatera. Evolusi cekungan ini diawali sejak Mesozoic (Pulunggono,
dkk. 1992) dan merupakan cekungan busur belakang (back arc basin). Tektonik
cekungan Sumatera dipengaruhi oleh pergerakan konvergen antara Lempen Hindia-
Australia dengan Lempeng Paparan Sunda (Heidrick dan Aulia, 1993).
Daerah penelitian Observasi Pemetaan Geologi dilakukan pada Daerah Pulau
Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan termasuk dalam Peta Geologi Lembar
Lahat (S. Gafoer, dkk., 1986) lembar Peta Geologi Lahat skala 1:250.000. Secara
Stratigrafi daerah penelitian disusun oleh Formasi Talang Akar (Tomt), Formasi Gumai
(Tmg), Formasi Air Benakat (Tma), Formasi Muara Enim (Tmpm), dan Satuan
Gunungapi Muda (Qhv). Penelitian dilakukan untuk menginterpretasikan proses proses
geologi yang terjadi pada masa lampau, dengan aspek geomorfologi, stratigrafi dan
struktur geologi.

1.2 Rumusan Masalah


Pembahasan yang terdapat pada laporan daerah penelitian merupakan data yang
dibutuhkan sesuai perumusan masalah yang telah dibuat, yaitu:
1. Bagaimana kondisi geomorfologi yang terdapat pada daerah penelitian?
2. Bagaimana urutan stratigrafi dan persebarannya di daerah penelitian?
3. Bagaimana struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian?
4. Bagaimana sejarah geologi yang terjadi di daerah penelitian?

1
1.3 Maksud dan Tujuan
Penelitian dilakukan untuk mempelajari kondisi geologi yang terdapat di Tanjung
Payang dan sekitarnya, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatra Selatan dengan luasan
daerah telitian 9x9 km pada skala 1:50.000. Adapun tujuan dilakukannya pemetaan
geologi ini sebagai berikut:
1. Menentukan satuan bentuk lahan serta proses geomorfik yang
mempengaruhinya pada daerah penelitian.
2. Mengindentifikasi karakteristik satuan batuan dan stratigrafi daerah penelitian.
3. Menganalisis struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian.
4. Merekonstruksi model sejarah geologi daerah penelitian.

1.4 Batasan Masalah


Penelitian yang dilakukan oleh beberapa aspek dari permasalahan telah
dirumuskan, luasan daerah pemetaan dan penelitian tugas akhir dengan data permukaan
telah dihimpun selama kegiatan berlangsung, yaitu:
1. Geomorfologi, meliputi pembagian morfografi berupa peta dan model elevasi
morfologi, morfometri berupa pembagian kelas lereng, dan proses geomorfik
berupa pola pengaliran. Ketiga aspek tersebut kemudian membentuk satuan
geomorfik di daerah penelitian.
2. Stratigrafi, mencakup deskripsi litologi dan karakteristik batuan dari setiap
formasi secara megaskopis maupun mikroskopis, penentuan umur relatif
formasi, urut-urutan dan lingkungan pengendapan serta hubungan antar formasi
3. Struktur Geologi, meliputi analisis arah tegasan utama serta kinematika dan
korelasi tatanan tektonik yang terbentuk pada daerah penelitian dengan
mengolah data dan struktur yang didapatkan. pengolahan dan analisis struktur
geologi berdasarkan hasil data permukaan serta proses tektonik yang
mempengaruhi daerah penelitian.

1.5 Lokasi dan Ketersampaian


Lokasi peneltian terletak di Kecamatan Tanjung Payang secara administrasi
berada pada Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Secara Geografis Berada Pada 48 M
340188 9580340 dan 48 M 348394 9571123 Luasan pada daerah penelitian sebesar 9 x
9 km dengan skala 1:50.000 pada pembuatan peta. Jarak kota Palembang pada lokasi
penelitian 223 km ditempuh dengan waktu sekitar 4–5 jam melewati jalan nasional
melalui perjalanan darat. Lokasi penelitian melalui akses jalur utama dari Kota Lahat
dari arah utara desa Tanjung Payang dengan kendaraan roda empat estimasi waktu 16
menit dan kendaraan roda dua 13 menit menuju Desa Pulau Pinang. Selanjutnya untuk
menuju lokasi penelitian hanya dapat dilalui dengan kendaraan roda dua atau berjalan
kaki melewati aliran sungai dan jalan perkebunan masyarakat.

2
Kecamatan Pulau Pinang memiliki sarana dan prasarana seperti kantor, pasar
tradisional, pasar tradisional, minimarket, akses sinyal telekomunikasi dan lainnya.
Penggunaan lahan didominasi pemukiman dan perkebunan kelapa sawit pada Desa
Kerung, Desa Muara Cawang, Desa Talang Sawah, dan Desa Talang Sejumput.
Rencana pengambilan jalur didasarkan pada pola pengaliran, daerah anomali kelurusan
untuk identifikasi struktur geologi, dan kedudukan batuan. Secara stratigrafi jalur
lintasan berada padalipatan yang menunjam tersusun dari Formasi Satuan Gunung Api
Muda, Formasi Gumai,dan Formasi Air Benakat. Pelaksanaa Penelitian terdapat
beberapa tahapan yaitu akusisi data, analisis data, dan sintesa. Akuisis data berupa
proses pengumpulan data sekunder (studi pustaka) data primer (Observasi lapangan
penelitian). Analisis data merupakan tahap mengolah data sekunder (proyeksi regional
ke lokas) dan data primer (uji laboratorium). Tahap sintesa merupakan tahap
menganalisis dan pembuatan model hasil mode penelitian.

Gambar 1.1 Lokasi Penelitian Administrasi Lahat.

3
Gambar 1.2 Lokasi daerah penelitian.

Gambar 1.3 Lokasi Penelitian Daerah Pulau Pinang (Sumber Foto : Google Earth).

4
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

Pada pembahasan bab ini merupakan kajian pustaka meliputi geologi regional yang
berisikan tatanan tektonik, stratigrafi, dan struktur geologi daerah penelitian. Hasil studi
penelitian terdahulu menjadi sumber referensi dalam memahami geologi regional.
Kajian pustaka dilakukan untuk mendukung interrpetasi dan visualisasi geologi secara
local pada daerah penelitian.

2.1 Tatanan Tektonik


Aktivitas tektonik pada Pulau Sumatra dipengaruhi oleh tumbukan antara
lempeng samudra hindia dan lempeng benua Eurasia yang mmebentuk zona subduksi
secara oblique sehingga mempengaruhi fisoografi Pulau Sumatra dengna arah barat laut
dan Tenggara. Terdapat tiga cekungan utama di Sumatera Selatan, ketiga cekungan ini
dibatasi oleh tinggian hasil dari proses tektonik Kenozoikum. Posisi busur Sumatra
bagian dibagi menjadi empat zona, meliputi Zona Akresi, Zona Busur Depan, Zona
Magmatik, dan Zona Busur Belakang. Cekungan Sumatra Selatan terbagi menjadi
empat sub cekungan, yaitu Sub Cekungan Jambi, Sub Cekungan Palembang Tengah,
Sub Cekungan Palembang Tengah, Sub Cekungan Palembang Selatan, dan Cekungan
Palembang Utara.
Menurut Suhendan (1984) dakam Bishop dkk. (2001), Cekungan Sumatra
Selatan terbentuk tiga fase, yang pertama ektensi selama Paleosen Akhir hingga Miosen
Awal yang membentuk graben berarah Utara dan mulai terendapkan sedimen sejak
Eosen hingga Miosen Awal, fase kedua menunjukkan dimulainya perubahan rezim
tektonik yang sebelumnya ekstensi menjadi kompresi sehingga relative diam namun
masih membentuk sesar normal sejak Miosen Awal hingga Pliosen Awal. Hingga
sekarang yang membentuk antiklin dan menjadi jebakan hidrokarbon pada cekugan
Sumatra. Sejarah tektonik Cekungan Sumatra Selatan dapat dibagi menjadi tiga
megasikuen tektonik, yaitu Megasikuen Syn-Rift (40-29 juta tahun yang lalu),
Megasikuen Post Rift (29-5 juta tahun yang lalu), Megasikuen Syn-Orogenic/Inversi (5
juta tahun yang lalu-sekarang) (Ginger dan Fielding, 2005).
Menurut Pulunggono (1992) terdapat fase tektonik Pulau Sumatera, fase ini
mempengaruhi pola struktur dan karakteristik cekungan berbeda, dan endapan sedimen
yang terbentuk, antara lain:
2.1.1 Fase Komrpesi (Zaman Jurasik awal – Kapur)
Fase diawali dengan berlangsung fase kompresi (Zaman Jurasik awal – Kapur).
Tektonik ini menghasilkan sesar mendatar dekstral dengan arah Baratlaut–Tenggara
(WNW-ESE) seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi
Lineanment dan trend dengan arah utara-selatan, terjadi wrench movement dan Intrusi
Granit.

5
2.1.2 Fase Tensional (Zaman Kapur Akhir – Tersier Awal)
Fase tensional menghasilkan sesar normal dan sesar tumbur (growth fault)
berarah utara-selatan (N-S) dan baratbaratlaut- timur tenggara (WNW-ESE).
Sedimentasi mengisi cekungan atau terban diatas dengan batuan dasar bersamaan
dengan kegirasn gunung api. Terjadi pengisian awal dari Cekungan Formasi Lahat.
2.1.3 Fase Sagging (Zaman Miosen atau Intra Miosen)
Fase ditandai dengan adanya tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan
pegnangkatan tepi-tepi cekungan dan diiikuti pengendapan bahan-bahan klastika yaitu
terendapkan Formasi Talang Akar, Foramsi Baturaja, Formasi Gumai , Formasi Air
Benakat, dan Formasi Muara Enim.
2.1.4 Fase Kompresional (Zaman Miosen Tengah-Pliosen)
Fase kompresi ditandai dengan fase kompresi yang berarah timurlaut-barat daya
(NE-NW) menyebabkan terjadi inversi pada Sesar Lematang dan Saka pada Plio-
Pleistosen menghasilkan lipatan, sesar menddatar, mengaktifkan kembali struktur
berumur Paleogen dan berumur lebih tua menjadi struktur inverse (uplifted) serta
membentuk Jalur Bukit Barisan dan kompplreks antiklinorium berarah tenggara-barat
laut (NW-SE).

Gambar 2.1 (A) Fase Kompresional Jura Awal-Kapur, (B) fase tensional dari
KapurAkhir-Tersier Awal, (C) fase Kompresi Plio-Plistosen sampai sekarang dan
model elipsoidnya (Pulunggono dkk, 1992).

6
2.2 Stratigrafi
Susunan Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan Secara umum dibagi atas dua fase
berdasarkan proses pegendapannya yaitu fase trangresi dan regresi. Kelompok formasi
terendapkan pada fase trangresi disebut Kelompok Telisa (Oligosen Awal-Miosen
Tengah) yang terdiri atas Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai,
sedangkan Kelompok Palembang (Miosen Tengah-Pleistosen) yaitu terdiri atas Formasi
Satuan Gunung Api Muda, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi Talang
Akar. Menurut de Coster (1974) dalam Barber dkk., (2005) pada urutan Stratigrafi
Cekungan Sumatra Selatan dari umur paling tua hingga paling muda (Gambar)
merupakan terdiri dari Basement Rock, Formasi Lahat (LF), Formasi Talangakar (TAF),
Formasi Baturaja (BRF), Formasi Gumai (GUF), Formasi IrBenakat (ABF), Formasi
Muaraenim (MEF), dan Formasi Kasai (KF).

Gambar. 2.2 Stratigrafi Regional Sumatera Selatan (Ryacudu, 2008 dalam Syaifudin,
dkk, 2015).
2.2.1. Basement Rock (Kelompok Pra-Tersier)
Menurut Adiwijaya et al. (1973) Formasi Pra-Tersier merupakan batuan dasar
(basement rock) dari Cekungan Sumatra Selatan yang tersusun atas batuan beku
Mesozoikum, batuan metamorf Paleozoikum, 8 Mesozoikum, dan batuan karbonat yang
termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat menunjukkan bahwa beberapa batuan
berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal. Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum
dan batuan sedimen mengalami perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan beku
selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah (Mid-Mesozoikum). Morfologi batuan
dasar ini dianggap mempengaruhi morfologi rift pada Eosen-Oligosen, lokasi dan
luasnya gejala inversi/pensesaran mendatar pada Plio-Pleistosen, karbon dioksida lokal
yang tinggi yang mengandung hidrokarbon gas, serta rekahan-rekahan yang terbentuk di
batuan dasar (Ginger & Fielding, 2005).

7
2.2.2. Formasi Lahat
Menurut Adiwijaya dkk (1973) Formasi Lahat terendapkan secara tidak selaras
diatas batuan dasar cekungan Sumatera Selatan berumur Eosen AwalOligosen.
Sedangkan menurut Sardjito dkk (1991) formasi ini diperkirakan berumur oligosen
awal. Formasi ini merupakan batuan sedimen pertama yang diendapkan pada cekungan
Sumatera Selatan. Pengendapannya terdapat dalam lingkungan darat/aluvial-fluvial
sampai dengan lacustrine. Fasies batupasir terdapat di bagian bawah, terdiri dari
batupasir kasar, kerikilan, dan konglomerat. Sedangkan fasies shale terletak di bagian
atas (Benakat Shale) terdiri dari batu serpih sisipan batupasir halus, lanau, dan tufa.
Sehingga shale yang berasal dari lingkungan lacustrine ini merupakan dapat menjadi
batuan induk. Pada bagian tepi graben ketebalannya sangat tipis dan bahkan tidak ada,
sedangkan pada bagian tinggian intra-graben sub cekungan selatan dan tengah
Palembang ketebalannya mencapai 1000 m (Ginger & Fielding, 2005).
2.2.3. Formasi Talang Akar
Formasi ini mulai diendapkan pada akhir Oligosen dalam fase transgresi dan
dikontrol oleh horst and fault block hasil tektonik Oligosen Akhir-Miosen Tengah yang
dominan berupa gaya tensional. Fase transgresi menyebabkan arah sedimentasi menuju
laut dangkal dan diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Lahat (LAF) dengan
ketebalan lebih dari 1000 m pada baguan terdalam dan seringkali tidak muncul pada
daerah ketinggian. Formasi Talangakar menunjukkan endapan progradasi yaitu endapan
alluvial dan dataran delta pada bagian bawah dan bagian atas berupa endapan transgresif
yaitu endapan tebal batupasir dengan sedikir sisipan serpih dan lapisa batubara serta
batulempung abu-abu gelap berselang-seling dan batuserpih. Menurut De Coster (1974)
menamakan zona tersebut sebagai Black Globi Zone, karena fauna Globigerinid di zona
ini berwarna coklat tua hingga berwarna hitam. Pada Miosen Awal terjadi pengendapan
yang terdiri dari terutama batulempung hitam abu abu delap dari zona transgresif laut
dalam. Zona ini memiliki foraminifera planktonic dan bentik melimpah yang khas dari
lingkungan laut, sublittoral luar hingga bathyal.
Formasi Talangakar termasuk dalam formasi Telisa dengnan lingkungan
pengendapan fluvial-deltaik, paralik, lalu menjadi lingkungan laut. Formasik
Talangakar memiliki umur relatif oligosen Akhir-Miosen. Proses penurunan permukaan
air laut pada sub Cekungan Palembang Selatan yang terjadi pada penghujung Miosen
Awal membentuk dua batas sikuen N-6 dan batas sikuen dengan nama N-7. Batas
sikuen N06 membentuk lapisan batupasir yang tebal, edangkan batas sikuen N-7
membentuk porositas sekunde sebagai reservoir hidrojarbin pada batugamping.
2.2.4. Formasi Baturaja
Formasi Baturaja diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar pada
kala Miosen Awal. Formasi ini tersebar luas terdiri dari karbonat platforms dengan
ketebalan 20-75 m dan tambahan berupa karbonat build-up dan reef dengan ketebalan
60-120 m. Menurut Bishop (2001) terdapat shale dan calcareous shale pada batuan
karbonatnya yang diendapkan pada laut dalam dan berkembang di daerah platform dan
tinggian. Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700

8
feet (sekitar 520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini
berumur Miosen. Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7 (De Coster,
1974).
2.2.5. Formasi Gumai
Formasi Gumai memiliki bervariasi tergantung pada posisi dari
cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi Gumai berkisar dari 6000-9000 feer
(1800-2700 meter). Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating
dengna menggunakan foraminifera plantonik. Umumnya disimpulkan Miosen Awal-
Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan zona Neritik. Menurut Martadinata dan
Weight, 1984). Formasi Gumai berusia Miosen Tengah, terdiri dari Batugamping Tipis,
calcareous shale, dan calcareous sandstone dengan lingkungan pengendapan laut
dangkal.
Menurut Waryono dkk (2013) Formasi Gumai terendapkan selama fase
transgresif laut maksimum. Pada bagian atas formasi ini merupakan perselingan
batupasir dan batuserpih, sedangkan di bagian bawah terdiri dari batuserpih gampingan
dengna sisipan batugamping, napal, dan lanau. Formasi Bawah mencirikan subtidal-
intertidal karena disusun oleh batupasir dengna struktur herringbone dan pola
menghalus keatas (Argakoesemah dkk, 2004).
2.2.6. Formasi Air Benakat
Formasi Airbenakat atau Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus
regresi, sehingga siklus sedimentasi berubah menuju deltaic marine-fluvial. Formasi ini
diendapkan di lingkungan laut dangkal yang tersusun dari batupasir glaukonitan,
batulempung, batulanau, dan batupasir yang mengandung unsur karbonatan. Ketebalan
dari formasi ini bervariasi dari 3300-5000 feet (sekitar 1000-1500 meter). Dari fosil
yang ditemukan berupa berupa Orbulina universa, Orbulina suturalis, Globigerinoides
obliquus, Globigerina venezuelana, Globorotalia praefohsi, Globorotalia mayeri
menunjukkan pada umur Miosen Tengah.
Pada Batulempung Formasi Air Benakat banyak di jumpai fosil foraminifera besar
dan moluska. Menurut Gafoer et al., (1986) dalam peta lembar lahat meyatakan Formasi
Airbenakat terdiri dari Perselingan batulempung dengan batulanau dan serpih. Bagian
bawah dari Formasi ini kontak dengan Formasi Gumai, namun kontak antara formasi ini
tidak dapat ditentukan secara pasti. Berdasarkan analisa seismik dalam de Coster
(1974), bagian bawah dari Formasi Airbenakat berupa lapisan batuan berbutir halus
dengan sisipan lapisan batupasir dimana dibawah dari lapisan tersebut merupakan
bagian atas dari Formasi Gumai. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300-5000
feet (sekitar 1000-1500 meter).
2.2.7. Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim terendapkan pada kala Akhir Miosen sampai Pliosen (De
Coster, 1974) yang berupa siklus regresi yang kedua dengan lingkungan pengendapan
laut dangkal sampai continental sands, delta dan batulempung. Siklus regresi pertama
(Formasi Air Benakat) dan kedua dibedakan melalui ketidakhadirannya batupasir

9
glaukonit dan hadirnya lapisan batubara yang cukup tebal pada Formasi Muara Enim
ini. Pengendapan diawali pada lingkungan rawa-rata dataran pantai kemdian berlanjut
pada lingkungan delta plain dengan perkembangan secara lokal sekuen serpih dan
batupasir yang tebal. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi
dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya
berupa lignit. Ketebalan formasi ini tipis pada bagian utara dan maksimum berada di
sebelah selatan dengan ketebalan 750 m (Bishop, 2001).
2.2.8. Formasi Kasai
Formasi Kasai terendapkan pada kala Pliosen sampai Pleistosen. Formasi ini
merupakan hasil erosi dari pengangkatan Bukit Barisan dan Pegunungan Tigapuluh.
Formasi Kasai memiliki kontak dengan Formasi Muara Enim yang ditandai dengan
litologi Batupasir Tufaan. Formasi ini diendapkan pada siklus regresi ketiga yang 10
ditandai dengan adanya kenampakan produk volkanik. Formasi Kasai tersusun oleh
batupasir kontinental, batulempung dan material piroklastik (pumice tuff, batupasir
tufaan dan batulempung tufaan). Formasi ini mengakhiri siklus susut laut. Pada bagian
bawah terdiri atas tuffaceous sandstone dengan beberapa selingan lapisan-lapisan
tuffaceous claystone dan batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuff,
batu apung yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu berstruktur sedimen silang siur.
Pada batupasir dan batupasir yang mengandung tuff terdapat pula lignit yang melensa.
Lingkungan pengendapan formasi ini fluvial dengan ketebalan >200 meter
2.2.9. Formasi Gunung Api Muda
Satuan Gunungapi Kuarter, merupakan formasi yang terebentuk pada Holosen
secara selaras dengan formasi sebelumnya. Formasi terdiri atas batuan breksi vulkanik
dengan fragment berupa andesit dan basalt serta mengandung plagioklas yang
melimpah. Formasi ini hasil dari aktivitas gunungapi Kuarter Barisan Orogeny (Gafoer,
et al., 1992). Proses pelapukan sangat kuat dan daerah ini menjadi daerah hutan serta
semak belukar. Breksi terutama terdiri dari komponen andesit, batuapung dan massa
dasar tufa pasiran. Tufa berwarna kelabu, putih kekuningan dengan komposisi terdiri
mineral gelas, felspar, hornblende dan sebagainya.

2.3 Struktur Geologi


Struktur geologi berkembang di Suamtera Selatan diepgnaruhi oleh gaya tegasa
yang bekerja pada arah Barat Daya-Timur Laut emmbentuk lipatan Antiklinorium
Pendopo-Benakat dan sesar sesar regional seperti Sesar Lematang. Arah kelurusan
antiklin dan sinklin berarah Barat Laut-Tenggara yang memanjang sesuai dengna arah
Pulau Sumatera. Terdapat zona depresi dan pengankatan batuan dasar pra Tersiar,
sehingga hal ini sangat ditentukan adanya Depresi dari Lematan di Cekungan
Palembang Selatan yang dibatasi oleh jalur patahan dari sesar Pendopo antiklinorium
dan Patahan Lahat disebelah Barat laut dari paparan Kikim. Pada Cekungan Sumatera
Selatan terdapat tiga antiklinorium utama dari Sealtan sampai Utara, yaitu
Antiklinorium Muara enim, Antiklinorium Pendopo Limau, dan Antiklinorium
Palembang.

10
Secara geologi daerah penelitian berada pada margin Barat cekungan Sumatera
Selatan. Daerah Penelitian dibatasi oleh Pegunungnan Gumai sebagai tinggian
membatasi ruang sedimentasi cekungan. Pegunungan Gumai merupakan sebuah
Antiklin menunjam dengna arah Barat laut-Tenggara berada dibagian Barat
anticlinorium Muaraenim. Pembentukan Antiklinorium Muaraenim dipengaruhi oleh
arah gaya Barat daya-Timur laut. Menurut Pulunggono (1986) dalam Barber dkk.,
(2005), lipatan yang membentuk ANtiklinorium Muaraenim mempengaruhi endapan
Tersier Formasi Gumai yang menyebabkan endapan lapisan batuan mengalami
perlipatan dan tersesarkan (Gambar 2.3). Sedangkan Antiklin pegunungan Gumai
terbentu melalui proses diawali dengna pengangkatan akibat subduksi (Jurasik-Kapur)
membentuk busur vulkanik dan selanjutnya ditindih oleh batuan sedimen Pra-Tersier
Kelompok sedimen Tersier hingga kompresi (Miosen Tengah-Resen) yang membentuk
Antiklin Pegunungnan Gumai.

Gambar 2.3 Struktur Geologi Cekungan Sumatera Selatan (Barber, 2005).

11
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian memiliki beberapa tahapan. Tahapan tersusun secara urutan dan
sistematis, tahapan terdiri dari tahap mengumpulkan data, menganalisa data, dan
menyelesaikan suatu penelitian, sebelum dan sesudah melakukan penelitian. Terdapat
tahapan melakukan metode penelitian, yaitu tahap pra-lapangan, tahap geologi
lapaangan, tahap pengolahan data dan analisa data, serta penyusunan dan penyajian
laporan. Penyajian alur dan bagan penelitian meminimalisir terhadap kesalahan dengan
metode digunakan (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Bagan Alur Kegiatan Pemetaan Geologi dan Pelaporan Hasil

12
3.1 Tahap Pra Lapangan
Tahap Pra-Lapangan merupakan tahap awal perisapan melakukan kegiatan
geologi daerah penelitian, dengan meliputi aspek penentuan lokasi penelitian , survei
awal , dan pembuatan proposal. Diperlukan aspek analisa diperlukan sebelum
melakukan kegiatan penelitian lapanga, antara lain geomorfologi, stratigrafi, struktur
geologi, persebaran batuan dan aspek geologi lainnya menyangkut daerah penelitian
sebelumnya.

3.1.1 Studi Pendahuluan


Studi pendahuluan merupakan tahap pegnumpulan studi terdahulud dan
pembuiatan peta dasar, yang bersumber dari Badan Informasi Geospasial, Google Earth,
dan studi pustaka. Pegnolahan data dikerjakan dengan menggunakan software Arcgis
10.5, Mapsource, Global Mapper, dan Google Earth. Petatelah dibuat
menginterrpetasikan kondisi daerah penelitian secara umum. Data DEMNAS dan Peta
RBI didapatkan dari Badan Informasi Geospasial dapat digunakan untuk pembuatan
peta DEM, data informasi daerah penelitian, peta pola aliran, kemiringan lereng, dan
peta elevasi dengan skala peta 1 : 50.000. Peta topografi merupakan peta
menginterrpetasikan kondisi daerah penelitian dari stuktur kontur terhadap keadaan
medan dan struktur geologi daerah penelitian. Peta DEM dapat menunjukkanpola
kelurusan dan arah tegasan umum dalam analisa struktur geologi. Peta Kemiringan
lereng digunakan penentuan rute pemetaan. Google Earth meruapkan foto udara dalam
menunjukkan keaddaan kondisi permukaan atau tutupan dlahan dan peta geologi lembar
Lahat oleh Gafoer dkk. (1992) dengan skala 1 : 250.000 menunjukkan formasi dan
litologi batuan pada daerah penelitian, dengan persebaran batuan dengan umur
pembentukan dalam skala waktu geologi. Selanjutnya,
dilakukan kajian pustaka, yang dilakukan dengan meninjau sumber pustaka dan jutnal
yang dipublikasi berkaitan dengan kondisi daerah lokasi penelitian dari ahli
mempelajari kondisi regional daerah penelitian. Hal ini dilakukan degnan membuat
rencana pemetaan geologi yang efisien dan efektif memperkirakan data dibutuhkan
untuk ditemukan dilapangan dengan membuat rencana peta jalur lintasan (Gambar 3.2)
dari komparasikan analisis terhadap peta lain (peta DEM, peta topografi, dan foto
udara), dan selanjutnya dilakukan rumusan masalah dan kajian studi khusus.

13
Gambar 3.2 Peta rencana jalur lintasan daerah penelitian.
Persiapan alat dilakukan sebelum melakukan penelitian digunakan untuk
megambil dan mengumpulkan data analisis lapangan, antara lain GPS, kompas, Palu
Geologi, meteran, larutan HCL, lup, millimeter blok, clipboard, plastik pemercontoh,
dan buku catatan lapangan. Alat lain diperlukan untuk analisis dilapangan berupa
komparator, alat tulis, kamera,peta dan surat izin, serta perlengkapan pribadi, contoh
seperti tas, dan obat pribadi, alat kemah, alat masak, sleeping bag perlengkapan
pendukung pribadi. Penentuan studi pendahuluan diperlukan untuk menentukan lokasi
penelitian pada pemetaan geologi.

3.1.2 Survei Awal


Survei Awal merupakan tahapan awal sebelum melakukan pemeetaan. Tujuan
survey lapangan untuk menentukan lokasi peneletian dan kelayakan keadaan lapangan
dengan bak secara administrasi dan keadaan geologi lokasi penelitian. Selain itu,
dilakukan perizinan pada pihak terkait seperti perangkat desa, perusahaan, atau
lembaga terkait berada di lokasi penelitian. Peninjauan lokasi penelitian diperlukan
penilaian untuk akses lokasi penelitian dari penginapan, transportasi, hingga keperluan
logistic selama tahap pada survey awal. Tahap survey awal diperlukan untuk
menentukan daerah penelitian dilanjutkan dalam melakukan penelitian dan pengambilan
data lokasi penelitian.

3.1.3 Pembuatan Proposal


Pembuatan proposal merupakan berisikan informasi yang ditulis pendekatan
secara studi pustaka yang merujuk pada konsep dan pemahaman penelitian sebelumnya.
Proposal terdiri dari lima bagian, yaitu Dasar Teori, Metodologi, kerangka waktu, dan
rencana pembiayaan. Pembuiatan proposal dilakukan dengan dosen pembimbing
dengan tujuanm memperjelas dan memninimalisir kesalahan dalam kaidah penulisan,
dasar teori digunakan, hingga studi kelayakan terhadap lokasi penelitian diambil.

14
3.2 Observasi dan Pengamatan Lapangan
Tahap observasi merupakan tahap kedua dalam penelitian diawali dengna survei
lokasi penelitian untuk mendapat gambaran terhadap keadaan social, lingkungan,
transportasi , akomodasi penginapan, dan keterdapatan singkapan atau data geologi dari
rute dan lintasan pengamatan ditentukan. Sehingga, dapat melakukan pengumpulan data
lapangan seperti pengamatan singkapan, penggukuran penampang stratigrafi, penukuran
strukutr geologi, pengamatan geomorfologi serta pengampilan sampel pemercontoh
lokasi penelitian. Berikut tahapan dalam pengambilan data lapangan.

3.2.1 Pengamatan Singkapan Batuan

Tahapan pengamatan singkapan batuan merupakan tahapan berada di lapangan


degan menganalisa singkapan batuan dari sekripsi batuan, pengukuran kedudukan
perlapisan batuan (Strike/dip), serta pengambilan foto singkapan. Foto singkapan batuan
diambil dengan data pendukung seprti struktur batuan, foto jarak dekat, foto keadaan
singkapan, dan terdapat parameter singkapan batuan. Parameter penentuan singkapan
degnan parameter yang mempunyai nilai ketetapan dapat diukur, seperti palu geologi,
tinggi badan manusia, kompas, dan lainnya.
3.2.3 Pengukuran Stratigrafi
Pengukuran penampang stratigrafi terukur atau Measured Section (MS) dan prfoil
bertujuan untuk mendapatkan nilai ketebalan, korelasi antar lapisan batuan dan sejarah
pengendapan dari lapisan batuan sedimen. Measured Section yang dapat dilakukan
adalah metode rentang tali atau Brunton and Tape (Compton, 1985; Frits and More,
1988) (gambar.3.2). Sedangkan metode untuk mendapatkan data profil dilakukan
dengan pengamatan secara vertical pada singkapan degnan bantuan meteran sebagai alat
bantu untuk mengukur ketebalan lapisanyang diamati dari lapisan paling bawah hingga
atas. Pengukuran dilakukan dengan alat kompas, dan meteran. Cara pengukuran dimulai
dari emngamati arah perlapisan batuan dari jarak jauh kemudian diukur dengan
menggunakan kompas geologi untuk mendapatkan kedudukan. Measure Section dapat
dilakukan pada singkapan dengan sedikit 2 formasi batuan, dilakukan sekitar kontak
formasi secara horizontal (90o terhadap strike lapisan batuan). Measured Section
umumnya dilakukan sepanjang ±200 m dan lebih baik jika lebih dari 200 m. Jika
dilakukan didaerah tinggian atau sungai yang berada dilereng bukit dengna slope yang
cukup tinggi maka usahakan untuk mengingat batas pengukuran dan selalu
menggunakan kompas geologi untuk mengukur slope singkapan batuan.

15
Gambar 3.3 Perhitungan ketebalan dan kemiringan lapisan sedimen menggunakan
metode Brunton and Tape (Compton, 1985; Fritz dan Moore, 1988).

Pengukuran ketebalan lapisan batuan sedimen tergantung degnan kemiringan


lrereng pada lokasi pengamatan. Menurut Ragan (1985) cara megnhitung tebal lapisan
dnegna kemiringan lereng yang beragam terdapat beberapan tahapan. Tahapan pretama,
dengann kemiringan lereng berlawanan dengan kemiringan lapisan batuan (Gambar 3.4
A), keduan dengan kemiringan dengan searah dengan kemiringan lapisan batuan
(Gambar 3.4 B), ketiga kemiringan lereng dengan searah dengan kemiringan horizontal
lapisan atuan yang hampir sama (Gambar 3.4C), keempat kemiringan lereng memotong
lapisan batuan hampir tegak (Gambar 3.4 D), kelima kemiringan lereng memotong
lapisan batuan secara horizontal (Gambar 3.5 E), keenam kemiringann lereng
memotong lapisan batuan tegak (Gambar 3.4 F), dan terakhir kemiringna lereng tegak
lurus terhadap lapisan batuan (Gambar 3.4 G).

Gambar 3.4 Pengukuran ketebalan lapisan dengan macam-macam kemiringan lereng


(Ragan, 1985)

3.2.3 Pengukuran Struktur Geologi

16
Pengukuran struktur geologi dilakukan pengamatan terlebih dahulu terhadap
singkapan batuan. Pengukuran struktur geologi dilokasi penelitian meliputi pengukuran
kekar, sesar, dan lipatan. Masing-masing data yang diambil antara lain:

a) Pengambilan data kekar, dengan pengambilan data kedudukan kekar (strike dan
dip), kerapatan antar kekar, dan rah breksiasi.
b) Pengmablan data sesar meliputi bidang sesar, slickensides, offsete, heave dan throw
dari lapisan batuan terkena sesar ataupun kenampakan morfologi dari pola aliran
sungai dan kenampakan lain mendukurng interrpetasi struktur sesar daerah
penelitian.
c) Pengambilan data lipatan, pengambilan berupa kedudukan sayap lipatan, sumbu
lipatan (axial plane), interlimb angle, dan orientasi lipatan dari dip of axial plane.

3.2.4 Pengamatan Geomorfologi

Pengamatan geomorfologi merupakan tahapan dalam mengamati lokasi


penelitian secara luas dari bentuk lahan yang terdapat didaerah penelitian. Pengamatan
berupa proses mempegngaruhi pembentukan satuan geomorfik seperti struktur yang
berkembang, bukti lonsoran, litologi batuan, bentukan pola sungai, dan intensitas studi
pengahuluan dari peta DEM ataupun kontur dnegna perbedaan elevasi. Pengamatan
terhadap lapangan dilakukan dengan daerah merlihat secara luas dan tidak terhalang
oleh objek lain hingga dapat terlihat jelas. Kemudian pegnamatan ini dapat dikaitkan
dengna seperti pegnaruh struktur atau denudasi longsoran yang memepngaruhi terhadap
gemorfologi.

3.2.5 Sampling Batuan

Pengambilan sampel batuan yang mewakili karakteristik suatu lingkup


peneltiian, misalnya pada mewakili suatu litologi dalam suatu formasi batuan. Sampel
batuan diambil pada daerah peneltiian merupakan diambil batuan bagian fresh atau
bukan baguan yang telah lapuk dari suatu singkapan. Sampel batuan yang diambil
tersebut dilakukan analisis paleontologi dan petrografi. Batuan yang dianalisis
petrografi merupakan batuan mewakili tiap formasiuntuk mengetahui jenis batuan
secara detail dan karakteristik batuan secara petrografi. Batuan analisis paleontologi
dimana batuan yang secara fisik terdapat indikasi karbonat sebanyak dua sampel,
simana atuan indikasi bersifat karbonant atau terdapat kandungan fosil.

3.3 Analisis dan Pengolahan Data

Analisis dan pegolahan data mrupakan tahap lanjutan dari tahapan pegnamatan
berada dilapangan, tahapan pegnolahan data yang didapatkan hasil peneltiian langsung
dilapangan, dan menggunakan referensi penelitian sebelumnya dalam mengolah datra.
Pemasukan data primer dan pengloahan melalui tahapan kerja studio dan analisis
laboratorium sebagai berikut.

17
3.3.1 Analisis dan Kerja Studio
Kerja studio merupakan analisis pegnolahan data yang meliputi analsisi
geomorfologi, pembuatan profil stratigrafi, analsisis geologi struktur, analisis DEM,
pembuatan penampang, dan model geologi. Pengguanan data lapangan yang telah
diolah menggunakan beberapa software untuk dilakukan pemodelan.

3.3.1.1. Analisis Satuan Geomorfologi

Analisis Satuan Geomorfologi dilakukan dengan cara menggabungkan data


lapangan dengan data didapatkan dari hasil interpretasi data Digitasl Elevation Model
(DEM) didapatkan dari sumber DEMNAS dari lembaga Badan Informasi Geospasial
untuk analisa kondisi morfologi dan topografi terhadap daerah penelitian. Hasil analisis
memperlihatkan bentuk lahan dari analisis elevasi, kemiringan lereng, dan bentuk poa
aliran. Pengelompokkan bentuk lahan menggunakan klasifikasi Widyaatmanti dkk.
(2016). (Tabel.3.1). Sedangkan pola aliran sungai berkembang pada suatu daerah.
Pengemlompokkan jenis sungai menggunakan klasifikasi Twidale (2004) (Tabel 3.2).

No Elevation (m) Percentage slope (%)


1 < 50 (Lowlands) 0-2 (flat or almost flat)
2 50 – 200 (Low Hills) 3-7 (gently sloping)
3 200 – 500 (Hills) 8-13 (sloping)
4 500 – 1000% (High Hills) 14-20 (moderately steep)
5 > 1000 % (Mountains) 21-55 (Steep)
6 56-140 (very steep)
7 >140 (extremely steep)

Tabel 3.1 Klasifikasi Lereng dan Elevasi (Widyaatmanti dkk., 2016)

No Jenis Pola Karakteristik


Aliran Sungai
1 Dendritik Bentuk pola aliran menyerupai cabang pohon,
mencerminkan resistensi batuan atau homogenitas tanahnya
yang seragam. Lapisan horisontal atau miring landai dengan
kontrol struktur yang kurang berkembang dan sedimen
terkonsolidasi.
2 Trellis Bentuk pola aliran menandakan daerah antiklin atau
sinklin, dengan terbentuk dari cabang-cabang sungai kecil
berukuran sama. Pola aliran trellis dicirikan oleh sungai
yang mengalir lurus disepanjang lembah dengan cabang-
cabangnya berasal dari lereng yang curam dari kedua
sisinya. Arah aliran yang dominan dengan arah sejajar
sekunder sehingga anak sungai utama bergabung aliran
utama di sudut kanan
3 Paralel Bentuk pola aliran terbentuk dari aliran cabang-

18
cabang sungai yang sejajar atau paralel pada bentang alam
yang memanjang. Pola aliran mencerminkan kelerengan
yang cukup besar dan seragam atau dimana ada kontrol
struktur yang kuat. Pola aliran parallel terbentuk pada
morfologi lereng dengan kemiringan yang seragam
4 Radial Bentuk pola aliran seolah-olah memancar dari satu titik
pusat. Berasosiasi dengan gunung api atau kubah berstadia
muda
5 Rectangular Bentuk pola aliran jaringan tegak lurus aliran
dengan anak sungai dan sungai utama bergabung di sudut
kanan. Pola alirannya lurus dan bergabung di persimpangan
sudut. Jarak dari sungainya mencerminkan pola kekar yang
berkembang, dengan alirannya tidak memotong secara terus
menerus
6 Distributary Bentuk pola aliran yang mengalir dari perbukitan
rendah menuju suatu rendahan seperti dataran atau lembah,
umumnya berada pada morfologi kipas aluvial dan delta.
7 Annular Bentuk pola aliran dengna cabang sungainya
melingkar dengan anak sungai berbaring di sudut kanan.
Pola aliran sungainya dikontrol oleh sesar atau kekar pada
bedrock, terbentuk pada kubah, cekungan, atau intrusi pada
stock yang tererosi.

Tabel 3.2 Pola aliran sungai menurut Twidale (2004)

3.3.1.2. Pembuatan Profil Stratigrafi dan Measuring Section


Pembuatan profil stratigrafi pada singkapan batuan sedimen memiliki perbedaan
litologi dan karakteristik batuan mencakup umur, strutkur sedimen, deskripsi
megaskopis, dan lingkungna pengendapan dengan menggunakan software Sedlog 3.1.
Sedangkan Measuring Section (MS) bertujuan untuk mendapatkan nilai tebal lapisan
terukur berupa pengolahan data dalam bentuk penampang yang memberikan gambaran
stratigradi suatu jalur dari formasi yang telah ditentukan secara horizontal dan dilakukan
pengukuran yang mewakili dari daerah penelitian atau dapat membuat model
penampang stratigrafi terukur menggunakan gabungna beberapa profil diratrik sesuati
degnan jalur lintasan pengamatan.

3.3.1.3. Analsis Struktur Geologi


Analisis strutkur geologi dilakukan dengna menggunakan data lapangan
dikumpulkan dilapangan baik berupa struktur bidang dan garis. Kemudian, pengolahan
data struktur primer pengolahan dilakukan dengan beberapa aplikasi antara lain, Dips
dan Win Tensor untuk membuat model struktur secara dua dimensi. Analisis ini
dilakukan untuk megnetahui arah tegasan serta gaya yang bekerja pada masa lampau

19
serta mekanisme pergerakan struktur terhadap struktur yang berkembang pada daerah
penelitian. Setelah dilakukan analisis struktur geologi, hasil mekanisme pergerakan
dapat dilanjutkan dengan memberi penamaan terhadap struktur sesar yang berkembang
menggunakan klasifikasi Fossen (2010) dan Rickard (1972) (Gambar 3.4).

Gambar 3.5 (A) Klasifikasi sesar (Fossen, 2010) dan (B) Rickard (1972)

3.3.1.4 Analisis Kelurusan pada DEMNAS (Digital Elevation Model Nasional)


Analisis ini terfokus pada interreptasi pola atau bentukan kelurusan (Lineanment)
didaerah peneltiian berdasarkan citra saterlit berupa DEM. Pola kelurusan tersebut
umumnya menampilkan arah orientasi struktur geologi. Interpretasi hasil lapangan
terhadap regional, dapat megninterrpetasikan arah struktur dominan pada lokasi daerah
penelitian serta huungna dengna penentuan titik pegnamtan data strutkur geologi daerah
penelitian.

3.3.1.5 Pembuatan Peta


Pembuatan peta hasil penelitian dengna menggunakan aplikasi geologi, dan
pengolah grafis. Aplikasi geologi digunakan berupa Mapsource, Global Mapper.
Sedangkan aplikasi desain grafi berupa CorelDRAW 2018. Peta dibuat dalam tahap ini
yaitu peta lintasa, peta geomorfologi, peta kelurusan, peta pola aliran sungai, peta
kemiringan lereng, dan peta geologi. Selain itu, digunakan selama pembatan peta adalah
data DEMNAS, koordinat petakan, data sungai, kalan, dan administrative diunduh
melalui tanahairindonesia.go.id. Kemudian, digabungkan dengan meggunakan data
lapangan yang didapatkan.

3.3.1.6 Pembuatan Penampang Geologi


Penampang geologi merupakan gambaran bawah permukaan dari peta geologi
yang berdasarkan dengan data peta lintasan. Tahapan dalam pembuatan penampang
yakni, Tarik garis panjang dipeta yang mewakili keadaan geologi. Hal ini merupakan
tahapan menyayat peta yang nantinya dapat diketahui keadaan bawah permukaan.
Kemudian, membuat morfologi sepanjang sayatan berdasarkan elevasi. Pembuatan

20
penampang sayatan dapat dilakukan secara manual dengan kertas millimeter blok. Lalu,
membuat morfologi dalam sayatan dengan melihat nilai elevasi pada kontur yang
melewati garis sayatan. Setelah itu, masukkan atau menandai batas kedudukan atuan,
struktur geologi dan setiap perbedaan batuan dalam penampang. Kemudian, rekontruksi
data tersebut kebwaha permukaan dalam penampang sayatan. Selanjutnya, rekontruksi
kedudukan batuan mengugnakan kink method.

3.2.1.7 Pembuatan Model


Pembuatan model bertujuan untuk menggambarkan proses terbentuknya gambaran
geologi daerah peneltiian dan mempermudah terhadap pemahaman terhadap
strukturserta sejarah geologi pada daerah penelitian yang diolah dan diinterrpetasikan
berdasarkan hasil penelitian dilapangan, penelitian dilapangan, penelitian terdahulu atau
studi pustaka dan juga interrpetasi dan Digital Elevation Model (DEM)

3.3.2 Analisis Laboratorium


Analisis laboratorium merupakan analsiis bertujuan untuk membandingkan
dengna data dianalisis seblumnya. Sampel batuan akan dianalisa dapat mewakili dan
mendukung saat pengolahan data. Terdapat dua analisis laboratorium dilkaukkan, yaitu
analisis petrografi dan analisis paleontologi.

3.3.2.1. Analisis Paleontologi


Analisa paleontologi merupakan anlisis terhadap batuan karbonat sebgaia tanda
bahwa batuan tersebut mandung fosil. Analsiis lingkungan pengendapan dan umur
batuan, penarikan umur relative batuan menggunakan analisis menurut Blo (1969),
sedangkan untuk penarikan lingkungan bathimetri menggunakan analisis Barker (1960).
Analisisi paleontology menginterpretasikan gambaran umur relative batuan sehingga
mennunjukkan susunan satuan batuan terhadap waktu pegnendapannya. Analisis
paleontology dilaukan melalui tahapan yaitu, preparasi sampel, tahapan analisa, dan
penarikan umur.
Preparasi sampel, merupakan tahapan awal analisa paleontologi, dengan menumbuk
sampel batuan sedimen hingga halus. Batuan sedimen dihaluskan menggunakan pali
dilapiskan karet hingga halus dengna ukuran butir pasir sedang-kasar. Batuan yang
ditumbuk halus, kemudian direndam larutan peroksida (H2O2) dinetralkan menggunakan
cairan aquades dengan perbandungan peroksida dan aquades 1:3. Selanjutnya, batuan
ditumbuk halus direndam dengan larutan preoksida dinetralkan, selama kurang dari satu
hari satu malam. Kemudian, sampel dikeringkan dibawah sinar matahari. Sampel
dikeringkan, diayak menggunakan ayakan mesh 20, 50, 100, dan 200 selama 10 menit
agar material dapat dipisahkan
Tahapan analisa, merupakan tahapan anailisa pengamatan fosil yang telah diayak
menggunakan mikroskop. Analisa menggunakan mikroskop, dan memisahkan jenis dari
planton dan bentos, dan dihitung rasio untuk menginterpretasikan lingkungan
pengendapan. Fosil dari foraminipera plankton dan bentuk yang telah dipisahkan,
dilakukan mencari penamaan sesuai dengna ciri-ciri kenampakan fosil pada pengamatan
menggunakan mikroskop.
21
Penarikan umur relative batuan dan lingkungan pengendapan, dengan penamaan
fosil dalam bentuk table klaisfikasi dari Blow (1969) sehingga menginterrpetasikan
umur batuan hasil penelitian. Fosil foraminifera bentuk ditentukan terhadap jumlah
fathom untuk kemuidian dikonversi dalam satuan meter dan dimasukkan dalam analisa
Barker (1960) untuk menginterrpetasikan lingkungan pengendapan relatif.

3.3.2.2. Analisis Petrografi


Analisis petrografi dilakukan dengan mendeksripsikan dan analisis sayatan tipis
(thin section) dengna menggunakan sayatan 0,003 mmdari sampel batuan yang
diperoleh daerah peneltiain. Hasil sayatan dengan menggunakan mikroskop dengna
melihat cross niko; dan parallel nikol. Analisa dengan menggunakan keeping gips,
penggunaan keeping gips terhadap mikroskop dengna megneinterrpetasikan massa gelas
dalam batuan. Deskripsi mineral pada batuan, dengan melihat kenampakan dilihat dan
melakukan penamaan batuan menggunakan grafik dari jenis batuan dengna
menggunakan parameter terhadap persentase mineral. Penamaan batuan sedimen klastik
dengan menggunakan klasifikasi Pettijohn (1975), dan klasifikasi penamaan batuan
vulkanik menggunaakn menurut Pettijohn (1975) dan Fisher (1996).

Gambar.3.6 Klasifikasi batuan sedimen klastik Menurut Pettijohn (1975)

Gambar.3.7 Klasifikasi batuan sedimen klastik Menurut Pettijohn (1975)

22
3.4 Pembuatan Laporan
Penyusunan laporan merupakan tahap penyelesaian dalam melakukan kegiatan
peneltiain, dimana pada tahap ini menyimpulkan secara lengkap terhadap kegiatan atas
setiap rumusan masalah yang terdapat daerah penelitian. Pembuatan laporan berisi
analisa laboratorium, analisa studio, dan peta (peta lintasan, peta geomorgologi, peta
pola pengaliran, dan peta kemiringan lereng serta peta geologi). Dengan adanya laporan
akhir pemetaan disusun secara sistematis, terdiri dari tahap pra pemetaan hingga pasca
pemetaan megninterpretasikan keadaan geologi deerah penelitian.

23

Anda mungkin juga menyukai