Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL TUGAS AKHIR

ANALISIS TINGKAT KERENTANAN GERAKAN TANAH


MENGGUNAKAN METODE STORIE PADA DAERAH
KABUPATEN BANJARNEGARA,
PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh :
OYASI PINTENATE
072001400089

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2018
DAFTAR ISI

BAB I .................................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian ....................................................................... 1
1.3. Judul, Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 1
1.4. Rumusan dan Batasan Masalah ...................................................................... 1
BAB II ................................................................................................................................ 2
2.1. Fisiografi Regional ............................................................................................ 2
2.2. Stratigrafi Geologi Regional ............................................................................ 3
2.3. Struktur Geologi Regional ............................................................................... 9
2.4. Teori Dasar ...................................................................................................... 11
2.4.1. Definisi Gerakan Massa Tanah dan Batuan......................................... 11
2.4.2. Jenis-Jenis Gerakan Massa Tanah dan Batuan ................................... 11
2.4.3. Faktor-Faktor Penyebab Gerakan Massa Tanah dan Batuan ........... 13
2.4.4. Kerentanan Gerakan Tanah Menggunakan Metode Storie ............... 14
BAB III............................................................................................................................. 19
3.1. Tahapan Studi Pustaka .................................................................................. 19
3.1.1. Geologi Regional ..................................................................................... 19
3.2. Tahapan Studi Lapangan ............................................................................... 19
3.2.1. Pemetaan Geologi .................................................................................... 19
3.3. Tahapan Analisis Data ................................................................................... 19
3.4. Tahap Penulisan Laporan .............................................................................. 20
3.5. Diagram Alir.................................................................................................... 21
BAB IV ............................................................................................................................. 22
BAB V .............................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 24

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu wilayah yang sering
mengalami bencana gerakan tanah. Hampir 70% daerah Kabupaten Banjarnegara
rawan terjadi gerakan tanah. Hal ini dipicu oleh topografi wilayah yang memiliki
lereng yang curam, litologi batuan, tata guna lahan, dan curah hujan yang relatif
tinggi. Seringnya kejadian gerakan tanah di wilayah ini menimbulkan berbagai
kerugian fisik dan ekonomis, seperti rusaknya bangunan dan infrastruktur,
terhambatnya kegiatan ekonomi akibat terganggunya mobilitas transportasi dan lain-
lain. Untuk mengurangi dampak dari kejadian gerakan tanah, diperlukan pengetahuan
mendetail mengenai tingkat kerentanan gerakan tanah di Kabupaten Banjarnegara ini.
1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mengklasifikasikan tingkat
kerentanan rawan gerakan tanah daerah Kabupaten Banjarnegara.

Tujuan penelitian sendiri untuk memperoleh tingkat kerentanan gerakan tanah


dengan menggunakan metode Storie (Sitorus, 1995) agar dapat dibuat pencegahan
yang lebih maksimal guna meminimalisir kejadian gerakan tanah di daerah ini.

1.3. Judul, Lokasi dan Waktu Penelitian


Penyusunan laporan ini berjudul “ANALISIS TINGKAT KERENTANAN
GERAKAN TANAH MENGGUNAKAN METODE STORIE PADA DAERAH
KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH”. Waktu
penelitian diperkirakan selama 3 minggu atau + 21 hari.
1.4. Rumusan dan Batasan Masalah
Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat terbatas pada daerah
Kabupaten Banjarnegara, namun tetap mengacu kepada data geologi regional yang
telah ada. Sedangkan penelitian difokuskan kepada aspek geologi teknik dengan
parameter kebencanaan berupa gerakan tanah.

1
BAB II
TEORI DASAR

2.1. Fisiografi Regional


Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh Bemmelen, (1949) dibagi menjadi
enam fisiografi yaitu 1). Dataran Aluvial Jawa Utara, 2). Gunungapi Kuarter, 3).
Antiklinorium Bogor-Serayu Selatan-Kendeng, 4). Depresi Jawa Tengah, 5).
Pegunungan Serayu Selatan, dan 6). Pegunungan Selatan Jawa. Berikut pemaparan
enam fisiografi tersebut oleh Bemmelen (1949).

Gambar 2.1. Fisiografi Regional Pulau Jawa menurut Bemmelen (1949)

Dataran Aluvial Jawa Utara, membentuk lebar maksimum 40km kearah


selatan. Semakin kearah timur, lebarnya menyempit hingga 20km. Gunungapi Kuarter
di Jawa Tengah antara lain Gunung Slamet, Gunung Dieng, Gunung Sundoro, Gunung
Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Muria.

Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50km. Di selatan Tegal, zona ini tertutupi
oleh produk Gunungapi Kuarter dari Gunung Slamet. Di bagian tengah tertutupi oleh
produk volkanik kuarter Gunung Rojogembangan, Gunung Dieng, Gunung Ungaran.
Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi zona Bogor dengan batas antara keduanya
terletak di Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis di sebelah barat Gunung Slamet,
sedangkan kearah timur membentuk Zona Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor
terletak di selatan Dataran Alluvial Jakarta berupa anitiklinorium dari lapisan Neogen
yang terlipat kuat dan terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara

2
Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua
berumur Oligosen-Miosen Bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang.

Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian
merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup kontras
dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal.

Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa


membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona ini terputus
oleh Depresi Jawa Tengah. Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi
Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari
Pegunungan Serayu Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk
antiklinorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di
Pulau Jawa, yaitu daerah Luk-ulo, Kebumen.

Berdasarkan pembagian zona fisiografi menurut Bemmelen (1949),


maka daerah penitian ini termasuk zona fisiografi Pegunungan Serayu Selatan.

2.2. Stratigrafi Geologi Regional


Secara regional di Jawa Tengah dapat dikenali adanya 2 zona pegunungan,
yaitu zona Pegunungan Serayu Selatan terletak di bagian selatan dan zona Pegunungan
Serayu Utara di bagian utara (Bemmelen, 1949). Perbedaan yang nyata antara kedua
zona tersebut terletak pada stratigrafi, lingkungan pengendapan, genesa, dan
tektoniknya. Formasi yang ada di Jawa Tengah dibagi atas tiga rangkaian stratigrafi,
yaitu rangkaian stratigrafi formasi-formasi sebelum Tersier, selama Tersier dan
Kwarter. Terdiri atas Formasi Karangsambung, Formasi Totogan, Formasi Waturanda,
Formasi Penosogan, Formasi Halang, Anggota Breksi Formasi Halang dan Formasi
Peniron.

Berdasarkan letak geografis daerah penelitian, secara regional menurut


Bemmelen (1949), daerah penelitian terletak pada bentang fisiografis Pegunungan
Serayu Selatan dan termasuk ke dalam cekungan Jawa Tengah yang memanjang dari
barat ke timur, dan dibatasi oleh paparan sunda di utara dan rangkaian gunung api
kuarter di selatan (Bemmelem, 1949) yang dijadikan sebagai data bagi penulis untuk
menguraikan tatan stratigrafi pada daerah penelitian.

3
Tabel 2.1. Kolom stratigrafi cekungan Jawa Tengah (Helen Smyth, 2005)

Tatanan stratigrafi regional lembar Banjarnegara dan Pekalongan menurut


Condon, W.H.,dkk. (1996) yang diurutkan dari muda ke tua sebagai berikut:

1. Aluvial (Qa): kerikil, pasir, lanau dan lempung. Merupakan endapan sungai
dan rawa dengan tebal hingga 150 meter.
2. Batuan Gunungapi Sundoro (Qsu): Lava andesit dengan kandungan mineral
hipersten-augit; basal dengan kandungan mineral olivin-augit; breksi aliran;
breksi piroklastik dan lahar.
3. Batuan Gunungapi Sumbing (Qsm): lava andesit dengan kandungan mineral
augit-olivin; breksi aliran; breksi piroklastik dan lahar.
4. Batuan Gunungapi Dieng (Qd): lava andesit dan andesit kuarsa serta batuan
klastika gunungapi. Kandungan silika batuan berkurang dari muda ke tua.
5. Kipas Aluvial (Qf): terutama bahan hasil rombakan gunungapi. Telah tersayat.

4
6. Endapan Danau dan Aluvial (Qla): pasir, lanau, lumpur dan lempung. Setempat
tufaan.
7. Batuan Gunungapi Jembangan (Qj): lava andesit dan batuan klastika
gunungapi. Mineral penyusun terdiri atas hipersten - augit, setempat
mengandung hornblende dan olivin. Berupa aliran lava, breksi aliran dan
piroklastik, lahar dan aluvial (Qjo dan Qjm); lahar dan endapan aluvial terdiri
dari bahan rombakan gunungapi, aliran lava dan breksi (Qjya dan Qjma) yang
terendapkan pada lereng landai agak jauh dari pusat erupsi dibandingkan
dengan batuan Qjyf dan Qjmf yang juga berupa aliran lava dan breksi dengan
breksi piroklastik dan lahar.
8. Endapan Undak (Qt): pasir, lanau, tufa, konglomerat, batupasir tufaan dan
breksi tufaan. Tersebar di sepanjang lembah Serayu.
9. Formasi Kaligetas (Qpkg): breksi vulkanik, aliran lava, tufa, batupasir tufaan
dan batulempung. Breksi aliran dengan sisipan lava dan tufa halus sampai
kasar. Setempat di bagian bawahnya ditemukan batulempung yang
mengandung moluska dan batupasir tufaan. Batuan gunungapi yang melapuk
berwarna coklat kemerahan dan sering membentuk bongkah-bongkah besar.
Tebal berkisar antara 50-200 meter.
10. Anggota Breksi Formasi Ligung (QTlb): breksi gunungapi (agglomerat)
bersusunan andesit, lava andesit hornblende dan tufa. Merupakan bagian atas
dari formasi Ligung.
11. Anggota Batulempung Formasi Ligung (QTlc): batulempung tufaan, batupasir
tufaan dengan struktur cross bedding dan konglomerat. Setempat sisia
tumbuhan dan batubara muda yang menunjukkan bahwa anggota ini
diendapkan di lingkungan bukan laut.
12. Formasi Damar (QTd): batulempung tufaan, breksi gunungapi, batupasir, tufa
dan konglomerat. Setempat mencakup endapan lahar. Breksi gunungapi dan
tufa bersusunan andesit sedangkan konglomerat bersifat basal secara setempat
padu. Batupasir terdiri dari feldspar dan butir - butir mineral mafik. Setempat
ditemukan moluska. Lingkungan pengendapan non-marin dan menindih
selaras formasi Kalibiuk.

5
13. Anggota Batupasir Formasi Damar (Tpds): batupasir tufaan dan konglomerat,
sebagian terekat kalsit. Bagian bawah berupa konglomerat polimik tersemen
karbonat. Ke arah atas menjadi batupasir tufaan dan konglomerat andesit
sebagian tersemenkan bahan karbonat. Lingkungan pengendapan terestrial.
Menindih selaras formasi Kalibiuk.
14. Formasi Kalibiuk (Tpb): napal dan batulempung bersisipan tipis tufa pasiran.
Napal dan batulempung berwarna kelabu kebiruan, kaya akan fosil moluska
yang menunjukkan umur Pliosen dengan lingkungan pengendapan pada daerah
pasang surut. Ke arah atas lapisan terdapat sisipan tufa pasiran. Tebal formasi
antara 2500-3000 meter. Menjemari dengan anggota breksi formasi Tapak dan
ditindih selaras oleh formasi Damar.
15. Formasi Tapak (Tpt): batupasir gampingan dan napal berwarna hijau,
mengandung pecahan-pecahan moluska. Umur Pliosen dengan tebal sekitar
500 meter.
16. Anggota Breksi Formasi Tapak (Tptb): breksi gunungapi dan batupasir tufaan.
Breksi bersusunan andesit mengandung urat-urat kalsit. Batupasir tufaan di
beberapa tempat mengandung sisa tumbuhan. Tebal minimal 200 meter. Ke
arah selatan kali Serayu dikorelasikan dengan formasi Peniron, menjemari
dengan bagian bawah formasi Kalibiuk dan menindih tak selaras formasi
Kumbang.
17. Anggota Batugamping Formasi Tapak (Tptl): batugamping terumbu, napal dan
batupasir. Batugamping mengandung koral dan foraminifera besar, sedangkan
napal dan batupasir mengandung moluska. Lingkungan pengendapan pada
daerah peralihan sampai marine, umur diduga Pliosen. Satuan ini ditindih
selaras oleh anggota breksi formasi Tapak dan juga oleh formasi Kalibiuk serta
menindih tak selaras formasi Halang.
18. Formasi Peniron (Tpp): breksi dengan sisipan tufa, setempat mengandung sisa
tumbuhan dan tersilisifikasi. Breksi polimik dengan fragmen andesit piroksin,
batulempung dan batugamping, matriks berupa batupasir lempungan dan
tufaan. Bersisipan batupasir, tufa dan napal. Ke arah atas ukuran fragmen
mengecil. Setempat ditemukan sisa tumbuhan. Tufa agak lapuk berukuran
lanau sampai pasir sedang, sortasi sedang, tebal lapisan sekitar 20 cm. Satuan

6
berupa lapisan turbidit yang terendapkan di daerah kipas atas bawah laut. Umur
formasi diduga Pliosen dengan ketebalan sekitar 700 meter. Formasi ini
menindih tak selaras formasi Halang dan ditindih tak selaras oleh batuan
gunungapi Sumbing Muda. Lebih ke arah utara dikorelasikan dengan anggota
breksi formasi Tapak.
19. Formasi Kumbang (Tmpk): lava andesit dan basal, breksi, tufa, setempat breksi
batuapung dan tufa pasiran serta sisipan napal. Lava sebagian besar mengaca.
Napal mengandung Globigerina. Umur Miosen Tengah - Pliosen Awal dengan
tebal sekitar 2000 meter dan menipis ke arah utara. Formasi ini menjemari
dengan formasi Halang.
20. Formasi Halang (Tmph): batupasir tufaan, konglomerat, napal dan
batulempung. Bagian bawah berupa breksi andesit. Lapisan bagian atas
mengandung fosil Globigerina dan foraminifera kecil lainnya. Umur Miosen
Tengah - Pliosen Awal dengan tebal maksimal 700 meter dan menipis ke arah
timur. Breksi andesit ketebalannya bervariasi dari 200 meter di selatan sampai
500 meter di sebelah utara. Bagian atas lapisan tak mengandung rombakan
berbutir kasar. Diendapkan sebagai sedimen turbidit pada zona batial atas.
21. Formasi Penosogan (Tmp): perselingan konglomerat, batupasir, batulempung,
napal, tufa dan riolit yang berlapis baik. Bagian bawah satuan berupa
konglomerat polimik yang kearah atas lapisan berangsur menghilang, tersusun
dari kuarsa, kepingan batugamping kalkarenit yang mengandung
Lepidocyclina. Batupasir dengan komponen utama kuarsa sedikit biotit,
turmalin, rutil dan mineral berat lainnya, sortasi jelek, setempat gampingan dan
kerikilan. Ke arah atas lapisan umumnya berangsur menjadi batulanau, berlapis
tipis dan pejal. Struktur sedimen berupa graded bedding. Lapisan batuan ini
hasil endapan arus turbidit. Bagian tengah formasi tersusun dari batulempung,
napal dan kalkerinit dengan sisipan tufa, batulempung gampingan dan napalan.
Kalkarenit berupa kepingan cangkang foraminifera dan koral, angular -
subrounded, sortasi buruk, semen berupa kalsit. Sisipan batupasir kasar masih
nampak yang semakin ke atas makin tipis. Lebih ke arah puncak napal dan
napal tufaan yang mengandung Globigerina, Globoquadrina, Orbulina dan
foraminifera besar. Sisipan tufa bersusunan dasit, riolit dan gelas mulai ada.

7
Struktur sedimen berupa ripple mark, mudcrack, gradded bedding,
bioturbation, paralel laminasi dan flute cast menunjukkan kesan akan
lingkungan pengendapan air dangkal atau mungkin daerah pasang surut.
Bagian atas satuan tersusun dari perselingan tufa dengan napal tufaan. Tufa
kaca berlapis dengan tebal 5-10 meter dan menipis ke arah puncak. Umur
satuan dianggap Miosen Tengah dengan tebal mencapai 1146 meter. Formasi
ini menindih selaras formasi Waturanda dan ditindih selaras oleh formasi
Halang.
22. Formasi Waturanda (Tmw): batupasir, breksi, konglomerat, lahar dan sisipan
batulempung. Batupasir greywacke dengan komponen bersusunan andesit dan
basal, dominan piroksin, kasar - kerikilan, sortasi buruk, subrounded, porositas
sedang, pejal - berlapis, tebal lapisan 2 - 100 cm. Ke bagian lebih atas lapisan
breksi gunungapi bersisipan batupasir greywacke, tufa gampingan,
batulempung, konglomerat dan lahar. Breksi polimik berkomponen andesit dan
basal, ukuran fragmen sekitar 30 cm, matriks batupasir dan tufa, mengkasar ke
atas. Sisipan batupasir greywacke, tebal 50 - 200 cm, sedang - sangat kasar,
komposisi mineral plagioklas, piroksin, gelas dan mineral bijih. Batulempung
mengandung foraminifera kecil berumur Miosen Awal - Tengah. Struktur
sedimen berupa gradded bedding, paralel laminasi dan convolute. Lingkungan
pengendapan laut dalam dengan sebagian batuan terendapkan oleh arus
turbidit. Satuan batuan ini ditindih selaras oleh formasi Penosogan dan
menindih selaras atau sebagian menjemari dengan formasi Totogan.
23. Anggota Tufa Formasi Waturanda (Tmwt): perselingan tufa kaca, tufa hablur,
batupasir gampingan dan napal tufaan. Padat, berlapis baik dengan tebal
perlapisan 2 - 80 cm, rekahan terisi kalsit. Tufa tersusun atas feldspar, kaca,
kuarsa dan mineral bijih. Batupasir gampingan tebal sekitar 4 - 15 meter.
Mengandung foraminifera plankton yang menunjukkan umur Miosen Awal.
Lingkungan pengendapan pada daerah batial atas dengan tebal satuan beberapa
meter hingga 200 meter. Satuan ini menindih selaras formasi Totogan dan
merupakan bagian bawah formasi Waturanda.
24. Formasi Rambatan (Tmr): serpih, napal dan batupasir gampingan.
Mengandung foraminifera kecil dengan tebal lebih dari 300 meter.

8
25. Anggota Sigugur Formasi Rambatan (Tmrs): batugamping terumbu yang
mengandung fosil foraminifera besar yaitu; Eulepidina, Miogypsina,
Spiroclypeus. Tebal satuan beberapa ratus meter.
26. Formasi Totogan (Tomt): breksi, batulempung, napal, batupasir, konglomerat
dan tufa. Bagian bawah satuan terdiri dari perselingan tak teratur breksi,
batulempung tufaan, napal dan konglomerat, setempat sisipan batupasir. Breksi
polimik, fragmen berupa batulempung, slate, batupasir, batugamping fosilan,
basal, sekis, granit, kuarsa dan rijang radiolaria; matriks batulempung tufaan,
gampingan, napal berwarna merah, coklat dan ungu; semen kalsium karbonat.
Ke arah atas perlapisan fragmen atau komponen breksi dan batupasir searah
perlapisan. Konglomerat berfragmen basal, sortasi buruk, merupakan sisipan
dalam breksi. Bagian atas lapisan berupa perselingan batulempung, batupasir
dan tufa; berlapis baik; dijumpai kepingan kuarsa. Selain fosil foraminifera
plankton yang menunjukkan kisaran umur Oligosen sampai Miosen Awal
ditemukan pula Uvigerina sp. dan Gyroidina sp. Lingkungan pengendapan
pada daerah batial atas. Perlapisan batuan secara keseluruhan merupakan
endapan olistostrom. Tebal satuan sekitar 150 meter yang menipis ke arah
selatan. Formasi ini ditindih tak selaras oleh formasi Penosogan dan formasi
Rambatan serta bagian bawahnya menjemari dengan bagian atas satuan
Batugamping Terumbu.
27. Batugamping Terumbu (Teol): batugamping bioklastika, melensa, fosil
foraminifera besar dan kecil melimpah, koral dan ganggang merah. Kandungan
fosil menunjukkan umur Oligosen - Eosen Tengah. Lingkungan pengendapan
laut pada daerah dengan arus tenang. Batuan ini diduga berupa olistolit yang
terpindahkan akibat pelongsoran dalam laut. Satuan batuan diperkirakan
menjemari dengan bagian bawah formasi Totogan dan menindih tak selaras
batuan tektonit.

2.3. Struktur Geologi Regional


Secara tektonik, kepulauan Indonesia khususnya Pulau Jawa terletak pada
batas kerak benua dari Lempeng Eurasia (kerak benua) yang bergerak acara aktif ke
selatan karena dipengaruhi oleh pergerakan Lempeng Indo – Australia (kerak
samudera) yang bergerak ke utara. Tumbukan antar kedua lempeng tersebut

9
memberikan efek terhadap pola evolusi struktural pola evolusi struktural pulau Jawa
saat ini. Oleh karena itu, kecenderungan arah sumbu perlipatan pada umumnya adalah
timur – barat. Hal ini dinyatakan Bemmelen (1949).

Pola umum perlipatan dan patahan di Pulau Jawa diinterpretasikan dari data
permukaan, menunjukan pola struktur Pulau Jawa dengan arah baratlaut- tenggara dan
timurlaut–baratdaya, serta memiliki arah baratlaut-tenggara di Jawa Tengah bagian
tengah.

Pada jalur penunjaman Pulau Jawa yang berumur Kapur akhir meliputi Ciletuh
(Jawa Barat), Luk Ulo (Jawa Tengah), hingga Pegunungan Meratus (Kalimantan).

Menjelang Tersier, kecepatan gerak Lempeng Samudra Indo – Australia


berkurang yang diimbangi oleh adanya aktivitas sesar melalui rekahan / sesar yang
sudah ada sebelumnya dan membentuk tinggian dan rendahan setempat. Menjelang
Miosen Tengah, seluruh gerak pemekaran lempeng di Samudra Hindia berkurang dan
terjadi pengendapan sedimen laut yang tebal. Terutama terdiri atas bahan yang bersifat
lempungan yang berselingan dengan bahan asal gunung api atau sedimen tufaan yang
mencirikan endapan turbidit.

Pada kala Miosen Akhir terjadi percepatan gerak lempeng yang diikuti oleh
berpindahnya letak jalur tumbukan kearah selatan. Pertambahan kecepatan mencapai
puncaknya pada kala Plio – Pleistosen yang diikuti oleh pertumbukan busur magmatik
diselatan Pulau Jawa serta pengaktifan kembali sesar lama yang disertai oleh gejala
vulkanisme. Pertambahan kecepatan gerak lempeng tersebut menimbulkan gerak
pensesaran melalui sesar-sesar naik pada sedimen yang berumur Miosen dan Pliosen.

Pada konfigurasi cekungan yang terdapat di Jawa Tengah adalah hasil sesar
bongkah karena adanya tumbukan lempeng Samudra Hindia dengan Lempeng Eurasia
dengan pola struktur perlipatan memperlihatkan arah baratlaut – tenggara dan barat –
timur.

10
2.4. Teori Dasar
2.4.1. Definisi Gerakan Massa Tanah dan Batuan
Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas, menduduki sebagian besar
permukaan planet bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat
sebagai pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk, terhadap
relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawijaya, 1990).

Gerakan massa adalah pergerakan suatu massa batuan, tanah atau bahan
rombakan material penyusun lereng (Cruden, 1991 dalam Karnawati, 2003).

Gerakan tanah adalah gerakan material penyusun lereng ke arah bawah atau
keluar lereng di bawah pengaruh gravitasi bumi (Varnes,1978 dalam Karnawati,
2003).

Karnawati (2003) mengatakan bahwa gerakan massa tanah/batuan adalah


gerakan menuruni atau keluar lereng oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng,
ataupun pencampuran keduanya sebagai bahan rombakan, akibat dari terganggunya
kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.

2.4.2. Jenis-Jenis Gerakan Massa Tanah dan Batuan


Jenis mekanisme gerakan massa tanah dan batuan menurut Varnes (1978),
yaitu:

1. Falling (Runtuhan)
Runtuhan merupakan gerakan jatuh bebas suatu material (berupa tanah
atau batuan) dari kemiringan yang sangat curam, misalnya tebing. Material
tersebut turun kebawah berdasarkan gravitasi.
2. Toppling (Robohan)
Robohan merupakan gerakan rotasi ke depan dari suatu massa batuan,
rombakan atau tanah. Material yang akan roboh cenderung condong ke
depan, dan pada saat jatuh material tersebut bergerak mengikuti lereng.
Robohan biasanya disebabkan oleh gravitasi yang dihasilkan oleh berat
material yang berada diatas lereng pada bagian yang bergerak. Kadang juga
disebabkan oleh air atau es pada rekahan dinding lereng.

11
3. Spreading (Pencaran)
Pencaran merupakan perluasan dari suatu tanah atau massa batuan yang
kohesif dan berkombinasi dengan amblesan dari suatu massa yang tertekan
kedalam material yang lebih lunak di bawahnya.
4. Flowing (Aliran)
Aliran merupakan pergerakan turbulen dari massa batuan atau tanah
yang mengandung fluida di atas batas yang keras, dengan fluida pori berupa
air atau udara. Mekanisme aliran ke arah mekanisme longsoran merupakan
suatu gradasi dari gerakan massa longsoran menjadi aliran, tergantung dari
jumlah kandungan air dan pergerakannya dan evolusi pergerakan material
longsor.
5. Sliding (Longsoran)
Merupakan jenis gerakan massa tanah dan batuan berupa longsoran,
merupakan suatu pergerakan menuruni lereng oleh tanah atau massa batuan
di atas bidang dimana tegangan geser berkembang paling intensif. Bidang
ini disebut sebagai dasar untuk mengklasifikasikan longsoran. Bidang
gelincir yang melingkar disebut nendetan atau slump, sedangkan longsoran
dengan bidang gelincir lurus disebut slide. Pergerakan massa tanah atau
batuan pada lereng dapat terjadi akibat interaksi pengaruh antara beberapa
kondisi yang meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi,
hidrogeologi, dan tata guna lahan.
6. Creeping (Rayapan)
Rayapan adalah suatu gerakan massa yang geraknya ekstrim lambat,
suatu pergerakan tanah dan rombakan batuan menuruni lereng yang tidak
terasa dan tidak dapat diamati secara langsung.

12
Gambar 2.2. Macam-macam gerakan tanah dan batuan (Varnes, 1978)

2.4.3. Faktor-Faktor Penyebab Gerakan Massa Tanah dan Batuan


Penyebab terjadinya gerakan massa tanah atau batuan pada lereng secara
mekanik dapat dipahami dengan pendekatan prinsip kestabilan lereng. Prinsip
kestabilan lereng ini menjelaskan faktor-faktor yang mengontrol kestabilan lereng, dan
interaksi gaya saat gerakan tanah terjadi. Penerapan prinsip tersebut ke kondisi alam
dilapangan terlihat dari faktor-faktor di alam yang berperan dalam mengontrol
interaksi gaya-gaya pada lereng, sehingga gerakan massa tanah atau batuan terjadi.

13
Gerakan tanah merupakan fenomena yang mengkondisikan suatu lereng
menjadi beberapa potensi untuk bergerak atau longsor, meskipun pada saat ini lereng
tersebut masih stabil. Lereng yang berpotensi untuk gerak ini baru akan bergerak
apabila ada gangguan yang memicu terjadinya gerakan. Faktor-faktor penyebab ini
umumnya merupakan fenomena alam, sedangkan gangguan pada lereng atau faktor
dapat berupa proses alamiah atau pengaruh dari aktivitas manusia ataupun kombinasi
antara keduanya.

Berdasarkan pengamatan dilapangan dan mengacu pada Varnes (1978), faktor-


faktor pengontrol terjadinya gerakan tanah sebagai berikut:

1. Kondisi geomorfologi (kemiringan lereng)


2. Kondisi tanah
3. Kondisi Iklim
4. Kondisi hidrologi lereng
5. Erosi sungai
6. Getaran
7. Aktivitas manusia

2.4.4. Kerentanan Gerakan Tanah Menggunakan Metode Storie


Indeks Storie merupakan salah satu metode semi kuantitatif untuk penilaian
tanah yang awalnya digunakan untuk mengklasifikasikan tanah guna keperluan tata
guna lahan pertanian berdasarkan produktivitas tanamannya (Storie, 1978; Reganold
dan Singer, 1979). Namun pada perkembangannya, Indeks Storie dapat juga
digunakan untuk menganalisa kerentanan gerakan tanah (Sitorus, 1995 dan Arifin, e.l,
2006).

Analisis metode Storie ini mudah dilakukan, dengan parameter-parameter yang


ditetapkan untuk dievaluasi yaitu:

A: Kedalaman tanah dan tekstur


B: Permeabilitas Tanah
C: Sifat Kimia Tanah
D: Drainase, Limpasan Permukaan
E: Iklim

14
Indeks dihitung dengan perkalian parameter-parameter, yaitu:

Sindex = A x B x C x D x E………………………..(1)

Metode Storie ini memiliki kelemahan, yaitu jika salah satu parameter
memiliki nilai nol, maka hasil perkalian akan menjadi nol dan tanah dianggap memiliki
keterbatasan fisik dan tidak sesuai untuk keperluan lahan pertanian.

Metode Storie ini dalam perkembangannya telah dilakukan revisi dengan


menggunakan algoritma discrete dan fuzzy logic untuk mendapatkan tingkatan yang
lebih akurat dan mengurangi unsur subjektifitas dalam pemberian bobot (O’Green dan
Southard, 2005).

Penggunaan Indeks Storie yang diaplikasikan untuk menentukan tingkat


kerentanan gerakan tanah telah di modifikasi pada parameter Indeks Storie sebagai
berikut (Khori Sugianti, e.l, 2014):

L: A x B/10 x C/10 x D/10 x……………………...(2)


dimana:

L: Tingkat Kerentanan
A: Tataguna Lahan
B: Kemiringan Lereng
C: Jenis Tanah
D: Curah Hujan

A. Tataguna Lahan
Penggunaan lahan pada suatu wilayah akan mempengaruhi tingkat kerentanan
gerakan tanah disuatu wilayah. Wilayah tataguna lahan hutan yang memiliki vegetasi
cukup banyak akan memiliki tingkat erosi yang rendah dan kemungkinan pergerakan
tanahnya lebih sedikit dibanding daerah yang peka terhadap erosi seperti wilayah
terbuka yang tidak memiliki vegetasi.
Pengkelasan dan penentuan nilai bobot pembuatan peta tataguna lahan
menggunakan tingkat erosi berdasarkan klasifikasi pemanfaatan lahan (Karnawati,
2003).

15
Tabel 2.2. Klasifikasi pemanfaatan lahan (Karnawati, 2003)

Kelas Tataguna Lahan Tingkat Erosi Bobot

Hutan tidak sejenis Tidak peka terhadap erosi 1


Hutan sejenis Kurang peka terhadap 2
erosi
Perkebunan Agak peka terhadap erosi 3
Pemukiman, sawah, kolam Peka terhadap erosi 4
Tegalan, tanah terbuka Sangat peka terhadap erosi 5

B. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng merupakan salah satu factor yang berkaitan langsung dengan
bahaya pergerakan tanah. Daerah dengan topografi lereng curam, memiliki potensi
pergerakan tanah lebih besar dibanding dengan daerah yang topografi lereng landai.
Hal ini disebabkan karena perbandingan antara gaya penahan dan gaya pendorong
pada lereng yang curam relatif lebih kecil dibanding lereng yang landai.
Pengkelasan dan penentuan nilai bobot pembuatan peta kemiringan lereng
menggunakan klasifikasi presentase kemiringan lereng (van Zuidam, 1983).
Tabel 2.3. Klasifikasi kemiringan lereng (van Zuidam, 1983)

Kelas Lereng Kemiringan (%) Bobot

Datar 0–8 1
Landai 9 – 15 2
Agak Curam 16 – 25 3
Curam 26 – 45 4
Sangat Curam >45 5

C. Jenis Tanah
Pengkelasan dan penentuan nilai bobot jenis tanah menggunakan klasifikasi
tingkat kepekaan erosi jenis tanah terhadap kerentanan gerakan tanah (Sobirin, 2013).

16
Tabel 2.4. Klasifikasi kepekaan jenis tanah terhadap tingkat erosi (Sobirin, 2013)

Jenis Tanah Tingkat Erosi Bobot

Aluvial, Glei Tidak peka 1


Latosol Sedikit peka 2
Brown forest, Mediteran Agak peka 3
Andosol, Grumosol, Podsol Peka 4
Regosol, Litosol, Organosol Sangat peka 5

D. Curah Hujan
Pengkelasan dan penentuan nilai bobot menggunakan klasifikasi intensitas curah
hujan (Puslit Tanah, 2004).
Tabel 2.5. Klasifikasi intensitas curah hujan (Puslit Tanah, 2004)
Intensitas Curah Hujan
Parameter Bobot
(mm/tahun)
< 2000 Kering 1
2000 – 2500 Sedang / lembab 2
2500 – 3000 Basah 3
> 3000 Sangat basah 4

E. Klasifikasi Kerentanan Gerakan Tanah


Penentuan tingkat kerentanan gerakan tanah menggunakan Indeks Storie yaitu
perkalian beberapa parameter yang mempunyai bobot terendah hingga tertinggi.
Tingkat kerentanan tanah diasumsikan berdasarkan perkalian tersebut dari nilai bobot
maksimum hingga minimum, sehingga didapatkan 5 tingkat kerentanan.

17
Tabel 2.6. Klasifikasi tingkat kerentanan terhadap gerakan tanah (Storie, 1978; Khori Sugianti, e.l, 2014)

Tata Guna Kemiringan Nilai Kelas


Jenis Tanah Curah Hujan Analisis Bobot Tingkat Kerentanan
Lahan Lereng Bobot
1 1 1 1 0.001 < 0.001 Sangat rendah
2 2 2 2 0.016 0.001 – 0.016 Rendah
3 3 3 3 0.081 0.016 – 0.081 Sedang
4 4 4 4 0.256 0.081 – 0.256 Tinggi
5 5 5 5 0.625 > 0.256 Sangat tinggi

18
BAB III
METODOLOGI

3.1. Tahapan Studi Pustaka


Tahapan ini dilakukan sebelum melakukan pengambilan data guna melengkapi
pengetahuan awal tentang kondisi penelitian berdasarkan literatur dari penelitian
sebelumnya. Tahapan ini terdiri dari:
3.1.1. Geologi Regional
Geologi regional nersumber dari penelitian – penelitian terdahulu yang telah
melakukan penelitian pada daerah penelitian. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk
mengetahui gambaran awal tentang asal – usul ataupun sejarah geologi dan juga aspek
– aspek geologi lainnya dari daerah penelitian. Sumber data geologi regional ini
didapat dalam bentuk berupa makalah, buku, jurnal, maupun bentuk laporan yang
lainnya.

3.2. Tahapan Studi Lapangan


Tahapan ini dilakukan setelah melakukan studi awal. Tahapan ini meliputi
kegiatan pengambilan data dan pengamatan daerah penelitian yang dilakukan secara
langsung. Tahapan ini meliputi:
3.2.1. Pemetaan Geologi
Pemetaan geologi merupakan tahap pengamatan dan pengambilan data yang
berhubungan dengan aspek geologi secara langsung di lapangan daerah penelitian.
Pemetaan geologi lapangan meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi,
dan juga aspek geologi lainnya. Tahapan ini meliputi pengambilan data yang
diperlukan dalam penelitian guna mendapatkan aspek yang bermanfaat untuk
menentukan jenis tingkat kerentanan gerakan tanah.

3.3. Tahapan Analisis Data


Pada tahap ini meliputi analisis data hasil pemetaan sesuai klasifikasi yang
sudah ditentukan dan pembuatan peta lintasan geologi, geomorfologi, tataguna lahan,
jenis tanah, curah hujan, dan juga peta overlay untuk menentukan jenis tingkat
kerentanan gerakan tanah yang terjadi.

19
3.4. Tahap Penulisan Laporan
Hasil akhir dari pekerjaan pemetaan geologi dan analisis data berupa laporan
yang berisi tentang: Peta geologi dan peta kerentanan gerakan tanah, pengamatan dan
analisis selama di lapangan dan setelah dari lapangan, menjelaskan mengenai
penelitian yang dilakukan sesuai metode yang telah ditentukan, masalah yang dihadapi
selama penelitian berlangsung, dan kesimpulan serta rekomendasi pada daerah
penelitian.

20
3.5. Diagram Alir

Mulai

Studi Pustaka
Awal

Pemetaan Daerah
Penelitian

Analisis Data

Pembuatan Peta:

Geologi

Geomorfologi

Tataguna Lahan

Jenis Tanah

Curah Hujan

Peta Overlay

Metode Storie

Peta Kerentanan
Gerakan Tanah

Selesai

21
BAB IV
HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat membuat peta kerentanan
gerakan tanah, dari data yang diperoleh dari lapangan berdasarkan peta tataguna lahan,
peta geomorfologi, peta curah hujan, dan peta jenis tanah yang selanjutnya di overlay
dan kemudian dianalisis menggunakan metode Storie.

22
BAB V
RENCANA KERJA

2018
No. Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persetujuan Proposal
2 Persetujuan Administrasi
Tahap Pengumpulan Data
3
Lapangan
4 Tahap Analisis Data
5 Penyusunan Laporan

23
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, S., Carolila, I., Winarso, G., 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG
untuk Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung).
Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital.

Bemmelen, R.W. Van., 1949. The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government


Printing Office, The Hauge.
Darmawijaya, M. Isa., 1990, “ Klasifikasi Tanah “, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Helen Smyth et al., 2005, East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes and Ancient
Basement, Indonesia Petroleum Association, Proceeding Ann.Conv. 30th
Karnawati, D., 2003. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.

Khori, S., Dedi, M., Dwi, S., 2014. Pengklasan Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah
Daerah Sumedang Selatan Menggunakan Metode Storie. Pusat Penelitian
Geoteknologi LIPI. Bandung.

O’Green, A. T., and S.B. Southard, 2005. A Revised Storie Index Modeled in
NASIS. Soil Survey Horizons 46 (3), 98-109.

Puslit Tanah, 2004. Klasifikasi Intersitas Curah Hujan. Puslit Tanah, Bogor.

Reganold, J. P., and M.J. Singer, 1979. Defining Prime Farmland by Three Land
Classification System. Journal of Soil and Water Conservation 34, 172-176.

Sitorus, S., 1995. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Tarsito, Bandung.

Sobirin, S., 2013. Pengolahan Sumber Daya Air Berbasis Masyarakat. Presentasi
disampaikan pada Seminar Reboan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI,
Tanggal 8 Mei 2012, Bandung.

Storie, R., 1978. Storie Index Soil Rating. Oakland, University of California Division
of Agricultural Sciences Special Publication 3203.

24
Van Zuidam, R.A., 1983. Guide to Geomorphological Aeral Photographic
Interpretation and Mapping. ITC, Enschede, The Nederlands.

Varnes, D. J., 1978, Slope Movement and Typea of Processes in Landslides, Analysis
and Control Transportation Research Board, National Academy of Sciences,
Washington D.C. iagi-net.
W.H.Condon, L.Pardyanto, K.B.Ketner, T.C. Amin, S.Gafoer, dan H.Samodra., 1996,
Peta Geologi Lembar Banjarnegara dan Pekalongan.

25

Anda mungkin juga menyukai