BAB I
PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA
Batubara adalah batuan sedimen organoklastik yang berasal dari tumbuhan yang pada
kondisi tertentu tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran sempurna. Pada
umumnya proses pembentukan batubara terjadi pada jaman karbon yaitu sekitar 270-350 juta
tahun yang lalu. Pada jaman tersebut terbentuk batubara dibelahan bumi utara seperti Eropa,
Asia dan Amerika. Di Indonesia batubara yang ditemukan dan ditambang umumnya
berumur jauh lebih muda, yaitu terbentuk pada jaman Tersier. Batubara tertua yang
ditambang di Indonesia berumur Eosen (40-60 juta tahun yang lalu) namun sumber daya
batubara di Indonesia umumnya berumur antara Miosen dan Pliosen (2 - 15 juta tahun yang
lalu).
Proses pembentukan batubara dari tumbuhan melalui dua tahap, yaitu:
a. Tahap pembentukan gambut (peat) dari tumbuhan, sering disebut proses
peatification
b. Tahap pembentukan batubara dari gambut, sering disebut proses coalification
Tumbuhan yang tumbuh atau mati pada umumnya akan mengalami proses
pembusukan dan pengahancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu
kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada
dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh pertumbuhan dan aktifitas
bakteri dan jasad renik lainnya. Untuk penyederhanaan tentang proses tersebut, proses
oksidasi material penyusun utama cellulose (C6H10O5) dapat digambarkan sebagai berikut:
C6H10O5 + 6 O2 → 6 CO2 + 5 H2O
Gambar 1.1.
Rekonstruksi Suatu Hutan Calamite. Contoh Vegetasi Carboniferous
“Basah” sebagai Tumbuhan Pembentuk Batubara
Jika tumbuhan tumbang disuatu rawa, yang dicirikan dengan kandungan oksigen air
rawa yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob (yang
memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses
pembusukan dan penghancuran yang sempurna atau dengan kata lain tidak akan terjadi
proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja
yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang kemudian membentuk gambut (peat).
Dengan tidak tersedianya oksigen maka hidrogen dan karbon akan menjadi H2O, CH4, CO
dan CO2. Tahap pembentukan gambut ini sering disebut juga sebagai proses biokimia.
Gambut yang umumnya berwarna kecoklatan sampai hitam merupakan padatan yang
bersifat sarang (porous) dan masih memperlihatkan struktur tumbuhan asalnya. Gambut masih
mengandung kandungan air yang tinggi, bisa lebih dari 50%.
Proses pembentukan gambut akan berhenti dengan tidak adanya regenerasi tumbuhan. Hal
ini terjadi karena kondisi yang tidak memungkinkan tumbuhnnya vegetasi, misalnya
penurunan dasar cekungan yang terlalu cepat. Jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian
ditutupi oleh lapisan sedimen, maka lapisan gambut tersebut mengalami tekanan dari
lapisan sedimen tersebut dimana tekanan akan meningkat dengan bertambahnya ketebalan
lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah besar akan mengakibatkan peningkatan
temperatur. Disamping itu temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman
disebut gradient geotermik. Kenaikan temperatur dan tekanan dapat juga disebabakan oleh
aktivitas magma, proses pembentukan gunung serta aktivitas-aktivitas tektonik lainnya.
Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengkonversi gambut
menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air, pelepasan gas-gas (CO2,
H2O, CO, CH4), peningkatan kepadatan dan kekerasan serta peningkatan nilai kalor. Faktor
tekanan dan temperatur serta faktor waktu merupkan faktor-faktor yang menentukan kualitas
batubara. Tahap pembentukan batubara ini sering disebut juga sebagai proses termodinamika
atau dinamokimia.
Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan waktu yang
lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) di bawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan
geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu
diketahui dimana batubara terbentuk dan faktor-faktor yang akan mempengaruhinya, serta
bentuk lapisan batubara.
Gambar 1.2.
Rekonstruksi tumbuhan Lepidodendron dan Sigillaria. Contoh Vegetasi
Carboniferous “kering” sebagai Tumbuhan Pembentuk Batubara.
kadar abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia
didapatkan di lapangan batubara Muara Enim (Sumatera Selatan).
b. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya
ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang, batubara
yang terbentuk disebut batubara allochtone. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati
diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen
dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuknya dengan cara ini
mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitas kurang
baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut ke tempat sedimentasi.
Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan dilapangan batubara delta
Mahakam purba, Kalimantan Timur.
Agak sulit untuk melakukan kuantifikasi akumulasi gambut karena banyak faktor
yang mempengaruhinya serta agak sulit untuk membuktikannya. Namun hasil penyelidikan
yang dilakukan di Amerika Serikat, diperkirakan gambut lepas setebal 10 – 12 ft untuk
menghasilkan 1 ft gambut padat dan untuk itu diperlukan waktu kurang lebih 100 tahun.
Dalam proses konversi dari gambut menjadi batubara terjadi lagi pemampatan dan
laju pemampatan ini tergantung pada rank batubara. Menurut hasil penelitian, jika diambil
kayu sebagai basis (100%) pembentukan gambut dan batubara, maka perbandingan volume
dalam % adalah sebagai berikut:
- gambut = 28 – 45 %
- lignite = 17 – 28 %
- bitumineous coal = 10 – 17 %
- anthracite = 5 – 10 %
Jika diasumsikan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ft gambut
termampatkan adalah 100 tahun seperti yang disebutkan diatas maka dengan menggunakan
persentasi di atas dapat diasumsikan waktu yang dibutuhkan untuk akumulasi gambut
sehingga diperoleh ketebalan lapisan batubara 1 ft sebagai berikut:
Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang kompleks, dalam arti harus
dipelajari dari berbagai sudut yang berbeda. Ada beberapa faktor yang diperlukan dalam
pembentukan batubara yaitu:
a. posisi geotektonik
b. topografi (morfologi)
c. iklim
d. penurunan
e. umur geologi
f. tumbuh-tumbuhan
g. dekomposisi
h. sejarah sesudah pengendapan
i. struktur cekungan batubara
j. metamorfosis organik
a. Posisi geotektonik
Posisi geotektonik adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-
gaya tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan
faktor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan
pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya. Pada fase terakhir, posisi
geotektonik mempengaruhi proses metamorfosa organik dan struktur dari lapangan batubara
melalui masa sejarah setelah pengendapan akhir.
b. Topografi (Morfologi)
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena
menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara tersebut terbentuk. Topografi mungkin
mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya pada posisi geotektonik.
c. Iklim
d. Penurunan
e. Umur geologi
membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan
makin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi.
Tetapi pada batubara yang mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko mengalami
deformasi tektonik yang membentuk struktur perlipatan atau patahan pada lapisan batubara.
Disamping itu faktor erosi akan merusak semua bagian dari endapan batubara.
f. Tumbuhan
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora terakumulasi
pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu. Flora
merupakan faktor penentu terbentuknya berbgai tipe batubara. Evolusi dari kehidupan
menciptakan kondisi yang berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai dari Paleozoic hingga
Devon, flora belum tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk titik awal
dari pertumbuhan flora secara besar-besaran dalam waktu singkat pada setiap kontinen. Hutan
tumbuh dengan subur selama masa karbon. Pada masa Tersier merupakan perkembangan
yang sangat luas dari berbagai jenis tanaman.
g. Dekomposisi
Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari organik
merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan
akan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati
proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) akan terjadi oleh
kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen
menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti celulosa, protoplasma dan pati.
Dari proses di atas terjadi perubahan dari kayu menjadi peringkat batubara. Dalam
suasana kekurangan oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan
sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon
monoksida
(CO) dan methan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur
karbon akan bertambah. Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada kecepatan
perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan
cepat, maka akan terhindar dari proses pembusukan, tetapi terjadi proses disintegrasi atau
penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang mati terlalu lama berada di udara
terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang, sehingga hanya bagian keras
saja tertinggal yang menyulitkan penguraian oleh mikrobiologi.
Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang
mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat terjadi
proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut. Disamping itu
sejarah geologi endapan batubara, berupa perlipatan, persesaran, intrusi magmatik dan
sebagainya.
j. Metamorfosa Organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau penguburan oleh
sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih
didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut
menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab,
oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO, CH4 dan gas lainnya) serta bertambahnya
prosentase karbon padat,
belerang dan kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkan oleh faktor tekanan dan
waktu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang sangat tebal atau
karena tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan dan percepatan proses
metamorfosa organik. Proses metamorfosa organik akan dapat mengubah gambut menjadi
batubara sesuai dengan perubahan sifat kimia, fisik dan optiknya.
Lapisan batubara tebal merupakan deposit batubara yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi. Salah satu syarat yang dapat membentuk lapisan batubara tebal adalah apabila
terdapat suatu cekungan yang oleh karena adanya beban pengendapan bahan-bahan
pembentuk batubara di atasnya mengakibatkan dasar cekungan tersebut turun secara perlahan-
lahan.
Cekungan ini umumnya terdapat di daerah rawa-rawa (hutan bakau) di tepi pantai. Dasar
cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan pembentukan batubara memungkinkan
permukaan air laut akan tetap dan kondisi rawa stabil. Apabila akibat proses geologi dasar
cekungan turun secara cepat, maka air laut akan masuk ke dalam cekungan sehingga
mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut. Akibatnya di atas lapisan pembentuk
batubara akan terendapkan lapisan sedimen laut antara lain batugamping. Pada tahap
selanjutnya akan terjadi kembali pengendapan batulempung yang memungkinkan untuk
kembali terbentuk kondisi rawa. Proses selanjutnya akan terkumpul dan terendapkan bahan-
bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) di atas lapisan batulempung (claystone). Demikian
seterusnya sehingga terbentuk lapisan batubara dengan diselingi oleh lapisan antara yang
berupa batulempung yang disebut sebagai clay band atau clay parting.
Gambar 1.3. memperlihatkan kronologis pembentukan batubara, batugamping dan
batulempung. Gambar 1.4 mengilustrasikan kedudukan clay band terhadap lapisan batubara.
Gambar 1.3.
Kronologis Pembentukan Batubara, Batugamping dan Batulempung
a. Dasar rawa turun perlahan-lahan b. Rawa berubah menjadi laut
Gambar 1.4.
Kedudukan Clay band terhadap Lapisan Batubara
Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari cellulose.
Proses pembentukan batubara atau coalification yang dibantu oleh faktor fisika, kimia alam
akan mengubah cellulose menjadi lignit, subbituminus, bituminus, dan antrasit. Reaksi
pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut:
5 (C6H10O5) C20H22O4 + 3 CH4 + 8 H2O + 6 CO2 + CO
Cellulose Lignit
5 (C6H10O5) C22H20O3 + 5 CH4 + 10 H2O + 8 CO2 + CO
Cellulose Bitumineous
Keterangan:
Cellulose (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara. Unsur C dalam lignit
lebih sedikit dibandingkan bitumine. Semakin banyak unsur C lignit semakin baik
mutunya. Unsur H dalam lignit lebih banyak dibandingkan pada bitumineous. Semakin
banyak unsur H dalam lignit makin kurang baik mutunya. Senyawa CH4 (gas methan)
dalam lignit lebih sedikit dibandingkan dalam bitumineous. Semakin banyak CH4 dalam
lignit semakin baik kualitasnya.
Gas-gas yang terbentuk selama proses coalification akan masuk kedalam
celah-celah vein batulempung dan ini sangat berbahaya. Gas metan yang sudah terakumulasi
di dalam celah vein, terlebih-lebih apabila terjadi kenaikan temperature, karena tidak dapat
keluar, sewaktu-waktu dapat meledak dan terjadi kebakaran. Oleh sebab itu mengetahui
bentuk deposit batubara dapat menentukan cara penambangan yang akan dipilih dan juga
meningkatkan keselamatan kerja.
Pengetahuan tentang petrologi batubara dirintis oleh William Hutton, (1883). Analisis
petrologi yang dilakukan dengan menggunakan sayatan tipis pada awalnya untuk
mengidentifikasikan jenis tumbuhan pembentuk batubara.
Studi tentang petrologi batubara diperkaya dengan penemuan Stopes (1919) dan
Thiessen (1920). Stopes mempergunakan mikroskop untuk mendukung hasil pemerian. Stopes
dan Thiessen sama-sama menggunakan teknik sayatan tipis, tetapi Stopes pada akhirnya
menggunakan sinar pantul.
Pada tahun 1930-an diperkenalkan suatu teknik baru yang menjadi bagian dari
petrologi batubara, yaitu pengukuran refleksi maceral dan kegunaannya adalah sebagai
parameter derajat batubara. Pada tahun 1935, Stopes memperkenalkan konsep maceral yang
dapat diartikan sebagai komponen terkecil dari batubara (=mineral pada batuan). Konsep
maceral ini yang tetap dipakai sampai saat ini. Pada waktu itu para ahli mencoba mencari
hubungan antara komposisi petrologi dengan sifat-sifat keteknikan dari batubara. Seperti
diketahui bahwa batubara yang kaya akan kelompok maceral vitrinit dan eksinit
mempunyai perbedaan nyata di dalam
sifat pencairan, penggasan dan pembakaran, jika dibandingkan dengan batubara yang
kaya akan inertinit.
Studi tentang batubara mengalami pengembangan pesat sejak tahun 1960-an antara
lain diteliti lebih lanjut tentang:
1. Petrologi gambut, untuk mengetahui jenis tumbuhan pembentuk.
2. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi proses pembatubaraan
3. Hubungan antara petrologi batubara dengan sedimentasi
4. Tingkat oksidasi
5. Teknologi batubara seperti pengkokasan, pencairan penggasan dan
pembakaran.
Dengan berkembangnya petrologi batubara, suatu teknik baru diperkenalkan yaitu
penggunaan sinar ultraviolet dan mikroskop automatic. Sinar ultraviolet umumnya
dipergunakan pada kelompok liptinit yang kaya hidrogen.
Petrologi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen organik dan anorganik
pembentuk batubara. Untuk mempelajari petrologi batubara umumnya ditinjau dalam dua
aspek yaitu jenis dan derajat batubara. Jenis batubara berhubungan dengan jenis tumbuhan
pembentuk batubara, dan perkembangannya dipengaruhi oleh proses kimia dan biokimia
selama proses penggambutan, sedangkan derajat batubara menunjukkan posisi pada seri
klasifikasi batubara mulai dari gambut sampai antrasit. Dengan demikian jelas bahwa
batubara itu bukan suatu benda homogen, melainkan terdiri dari bermacam-macam komponen
dasar. Didalam batubara komponen ini dinamakan maceral, sedang maceral dibagi 3
kelompok utama yaitu vitrinit, eksinit, dan inertinit. Maceral pembentuk batubara umumnya
berasosiasi satu sama lain dengan perbandingan berbeda-beda. Asosiasi ini dikenal sebagai
litotipe dan mikrolitotipe. Litotipe merupakan pita-pita tipis pada batubara yang terlihat
secara megaskopis.
Ketiga kelompok maceral ini dapat dibedakan dari morfologi (kenampakan di bawah
mikroskop), asal kejadian, sifat-sifat fisik dan kimia yang dipunyai seperti yang terlihat
pada Tabel 1.1. Stopes (1919) memperkenalkan 4 macam litotipe
seperti yang terlihat pada Tabel 1.2, di mana klasifikasi ini umumnya dipergunakan untuk
batubara jenis bituminous.
Tabel 1.1.
Ringkasan Maceral batubara (Modifikasi dari Smith,1981)
Tabel 1.2.
Ringkasan Litotipe Batubara (Modifikasi Stopes 1919)
Litotipe Keterangan Kenampakan pada
Mikroskop
kelompok maceral tersebut di atas, batubara juga mengandung zat anorganik yang disebut
mineral matter.
Tabel 1.3.
Ringkasan Mikrolitotipe Batubara (ICCP, 1963)
B. Derajat Batubara
Derajat batubara adalah posisi pada seri klasifikasi mulai dari gambut sampai antrasit.
Perkembangan sangat dipengaruhi oleh temperatur, tekanan dan waktu (Lopatin, 1971;
Bostick, 1973). Banyak parameter yang telah dipergunakan untuk penentuan derajat batubara
(Crok,1983), salah satu di antaranya adalah refleksi vitrinit. Cara ini belum begitu dikenal
di Indonesia, dan telah berkembang pesat di amerika, Jerman, Australia terutama pada
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam eksplorasi minyak dan gas. Semua jenis maceral
dapat diukur refleksinya, tetapi kelompok vitrinit adalah yang umum dipilih. Kelompok ini
cenderung terbentuk sebagai pecahan-pecahan kasar dan homogen, merupakan maceral utama
pada kebanyakan batubara dan menunjukan korelasi yang bagus dengan parameter lain
yang dipakai sebagai indikasi derajat batubara. Dengan cara refleksi vitrinit ini, pengukuran
dapat dilakukan dengan singkat dan pasti.
Gambar 1.5
Eksinit (e) Berasosiasi dengan Vitrinit (v) dan Mineral Matter (m). Batubara Bayah, Rv
= 0,64 %, Luas Pengamatan = 0,44 mm, Sinar Pantul (Daulay, 1967)
Gambar 1.6.
Sama Dengan Gambar 1.5, Tetapi Pada Sinar Flouresen (Daulay, 1967)
Gambar 1.7.
Eksinit (E) Mengisi Sel-Sel Vitrinit (V) Dan Membentuk Lapisan-Lapisan.
Batubara Neogene, Samarinda, Kalimantan Timur, Rv Max = 0, 46 %, Luas
Pengamatan = 0, 28 Mm, Sinar Pantul (Daulay, 1967).
Gambar 1.8.
Sama Dengan Gambar 1.7, Tetapi Pada Sinar Flouresen (Daulay, 1967)
Gambar 1.9.
Sel-Sel Inertinit (I) Diisi Oleh Eksinit (E) Dalam Masa Dasar Vitrinit (V), Dari
Batubara Bukit Asam, Rv Max = 0,38%, Luasnya Pangamatan = 0, 28 Mm, Sinar
Pantul (Daulay, 1967).
Gambar 1.10.
Sama Dengan Gambaar 1.9, Tetapi Pada Sinar Floeresen (Daulay, 1967).
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 18
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)
Mengacu pada proses terbentuknya batubara lapisan batuan yang sering berasosiasi
dengan lapisan batubara adalah lempung, lanau dan pasir yang masih bersifat lepas
(unconsolidated) serta serpih. Kadang-kadang juga ditemukan konglomerat atau
batugamping. Lapisan batuan yang bersifat lepas umumnya berasosiasi dengan lignite dan
kadang-kadang sub-bituminous karena dengan rank yang lebih tinggi dimana sedimen
bersifat batuan.
Batupasir dapat terbentuk dari material hasil pelapukan yang terbawa angin yang
selanjutnya tertutup oleh endapan lainnya dan mengalami kompaksi atau dari pengendapan
pasir terbawa oleh aliran air dangkal dari daerah yang tidak terlalu jauh. Lempung
merupakan hasil pengendapan material halus pada aliran air dangkal yang umumnya berasal
dari daerah dataran rendah dengan aliran air alamiah yang pelan. Sedangkan lapisan batu
gamping menunjukan pengendapan air dalam atau kondisi laut (marine) yang
memungkinkan terbentuknya batu gamping tersebut.
Lapisan batubara disuatu tempat selalu bervariasi ketebalannya yang kadang- kadang
hanya pada jarak yang dekat / pendek. Faktor utama yang menyebabkan variasi tersebut
adalah kondisi cekungan tempat terbentuknya batubara tersebut. Pada cekungan yang luas
variasi ketebalan lebih sedikit bila dibandingkan dengan cekungan yang lebih kecil,
misalnya di daerah delta sungai. Demikian pula bentuk dasar awal sebelum lapisan batubara
terbentuk.
Faktor lain adalah faktor kerapatan tumpukan tumbuhan yang akan membentuk gambut
dan perbedaan tekanan dari lapisan sedimen diatas lapisan batubara atau akibat aktivitas
tektonik.
Sering terjadi kulitas secara vertikal pada suatu lapisan batubara. Bisa saja pada bagian
bawah lapisan batubara kandungan abu semakin tinggi dan pada bagian atas banyak
mengandung material lain yang terjadi bersamaan dengan proses akumulasi gambut.
Variasi secara horizontal pada suatu lapisan batubara bahkan pada suatu tambang yang
sama lebih sering ditemukan dan hal ini umumnya disebabakan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembatubaraan (coalification) seperti tekanan lapisan sediment dan
pengaruh aktivitas magma.
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung
ke arah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan ke arah lateral batubara kemungkinan sama
ataupun menjadi lebih kecil atau menipis. Gambar 1.11 memperlihatkan deposit batubara
bentuk Horse Back.
Gambar 1.11
Deposit Batubara Bentuk Horse Back
b. Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya
dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plestis misalnya batulempung sedang di
atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan
pengisian suatu alur. Gambar 1.12 memperlihatkan deposit batubara berbentuk Pinch.
Gambar 1.12.
Deposit Batubara Bentuk Pich
Bentuk ini terjadi apabila di antara 2 bagian deposit batubara terdapat urat lempung.
Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri deposit batubara mengalami patahan, kemudian
pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun
pasir. Gambar 1.13. memperlihatkan deposit batubara bentuk Clay Vein.
Gambar 1.13.
Deposit Batubara Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk terdapat suatu
kulminasi sehingga batubara seperti “terintrusi”. Gambar 1.14 memperlihatkan deposit
batubara bentuk Burried Hill.
Gambar 1.14.
Deposit Batubara Bentuk Burried Hill
Suatu sesar adalah patahan sehingga lapisan pada satu sisi bergerak relatif terhadap
lapisan disisi yang lain. Gerakan tersebut menyebabkan satu sisi bergerak keatas atau
kebawah sementara sisi yang lain tetap atau satu sisi bergerak keatas sementara sisi yang
lain bergerak ke bawah atau kedua sisi bergerak kearah yang sama tetap dengan jarak
perpindahan yang berbeda.
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami beberapa seri
patahan. Keadaan ini akan mengacaukan di dalam perhitungan cadangan, akibat adanya
perpindahan perlapisan akibat pergeseran kearah vertikal.
Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala patahan harus
dilakukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Untuk daerah seperti ini disamping kegiatan
pemboran maka penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam melakukan interpresi dan
korelasi antar lubang pemboran. Gambar 1.15, memperlihatkan deposit batubara bentuk
Fault.
Gambar 1.15.
Deposit Batubara Bentuk Fault
Gerakan kerak bumi antara lain menyebabakan terjainya perlipatan (folding). Proses ini
menyebabkan lapisan batubara yang pada awalnya terbentuknya secara horizontal
mengalami perlipatan sehingga lapisan batubara tersebut menjadi miring, bahkan kadang-
kadang hampir tegak lurus, Hal ini dapat terjadi jika proses perlipatan terjadi pada tahap
awal pembentukan batubara dimana lapisan batubara masih bersifat plastis sehingga dapat
mengikuti perlipatan yang terjadi.
Daerah punggungan disebut antiklin sedangkan daerah lembah disebut sinklin untuk
menggambarkan kemiringan lapisan batubara yang terlipat tersebut dikenal istilah strike atau
jurus dan kemiringan atu dip. Jurus adalah garis dimana lapisan batubara memotong
bidang horizontal dan kemiringan diukur tegak lurus.
Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana deposit batubara mengalami perlipatan.
Makin intensif gaya yang bekerja pembentuk perlipatan akan makin komplek perlipatan
tersebut terjadi. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala
perlipatan, apalagi bila di daerah tersebut juga terjadi patahan harus dilakukan dengan
tingkat ketelitian yang tinggi. Untuk daerah seperti ini di samping kegiatan pemboran maka
penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam melakukan interpretasi dan korelasi antar
lubang pemboran. Gambar 1.16, memperlihatkan deposit batubara bentuk fold.
Gambar 1.16.
Deposit Batubara Bentuk Fold
g. Sisipan (Partings)
h. Rekahan (Joint)
Rekahan atau joints sering dijumpai pada lapisan batubara. Rekahan tersebut
berasosiasi dengan perubahan volume dari lapisan batubara, baik melalui kontraksi pada
saat pengeringan. Kompaksi akibat lapisan sedimen di atasnya maupun ekspansi akibat
hilangnya lapisan penutup. Rekahan dapat juga terjadi pada lapisan batubara di dekat
punggungan perlipatan (sumbu antiklin) atau karena regangan lokal.
Umumnya terdapat dua set rekahan pada lapisan batubara yang saling tegak lurus
satu dengan lainnya, yaitu face cleats dan bult cleats. Face cleats lebih panjang dan teratur
dibandingkan dengan bult cleats.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui jumlah
cadangan deposit batubara di suatu daerah, penyelidikan geologi detail perlu dilakukan.
BAB II
KLASIFIKASI BATUBARA
Klasifikasi batubara ini mengacu kepada ASTM D-388-66, yang telah diadopsi oleh
American Standards Association (ASA) No. M 20. 1-1973 (Tabel 2.1 menunjukan
klasifikasi batubara menurut ASTM). Sistem klasifikasi ini
mempergunakan volatile matter (dmmf), fixed carbon (dmmf) dan calorific value (mmmf)
sebagai patokan. Untuk anthrasit, fixed carbon (dmmf) merupakan patokan utama,
sedangkan volatile matter (dmmf) sebagai patokan ke dua. Bituminous mempergunakan
volatile matter (dmmf) sebagai patokan utama dan calorific value (mmmf) sebagai patokan
kedua. Lignit mempergunakan calorific value (mmmf) sebagai patokan seperti yang terlihat
pada Tabel 2.1. Sifat-sifat Aglomerasi dan pelapukan digunakan untuk membedakan antar
kelompok yang bersebelahan.
Klasifikasi ini tidak meliputi beberapa batubara tertentu yang memiliki variasi tidak
beraturan yaitu batubara yang mempunyai sifat fisik dan kimia tidak biasa, nilai zat terbang
dan nilai kalori berada diantara batas rank batubara High volatile bituminous dan
subbituminous. Semua batubara yang termasuk dalam kelompok ini memiliki nilai karbon
(dry basis) kurang dari 48 %, atau mempunyai nilai moisture (mineral-matter-free basis)
lebih dari 15,500 British thermal units per pound (Btu/Lb).
Basis pelaporan kandungan air lembab (moisture) berdasar pada nilai air bawaan
(inherent moisture) yang terkandung secara alamiah, dan tidak termasuk air permukaan
(surface moisture). Kadang-kadang basis pelaporan moisture sudah mengandung arti
dinyatakan dalam air dry basis (adb), bagian yang sering digunakan dalam pelaporan
standar hasil uji laboratorium.
Untuk menghitung nilai karbon padat (fixed carbon (%), dmmf), zat terbang (volatile
matter (%), dmmf), dan kandungan air (moisture (Btu/lb), dmmf) yang digunakan untuk
mengetahui posisi peringkat (rank) batubara dalam standar ASTM mengikuti persamaan-
persamaan dibawah ini:
FC - 0.15 S
FC (dmmf) x 100
100 - (M 1.08 A
0.55 S)
VMm (dmmf) 100 - FC (dmmf)
Btu - 50 S
Moist (Btu, mmf) x 100
100 - (1.08 A 0.55
S)
Dimana:
Dmmf : Dry, Mineral Matter Free
Btu : British thermal units (specific energy)
FC : % Fixed Carbon
VM : % Volatile Matter
M : % Moisture
A : % Ash
S : % Sulfur
Catatan:
Moist “Btu” merujuk pada nilai kandungan batubara dalam kondisi alamiahnya, atau
kandungan bawaan, dengan kata lain disebut moisture tetapi bukan surface moisture.
Tabel 2.1.
Klasifikasi Batubara Menurut ASTM Berdasarkan Rank
3 >4 >45
333 433 533 633 733 3 >0-50
332 332
a b 432 532 632 732 832 2 <0
Contaction
321 421 521 621 721 821 1 Only
1 1 - 2. >5-20 Contaction
211 311 411 511 611 711 811 1 Only
100
0 0-1/2 0-5 200 300 400 500 600 700 800 900 0 Nonsoftening
A B
CLASSES
(Determinated by volatile matter up to 33% V.M. and by calorific parameter above 33% V.M).
Note : (i) Where the ash content of coal is too high to allow classification according to the precent system, it must be reduced by laboratory float-and-sink menthod (or
any order appropriate means). The specific gravity selected for flotation should allow a maximum yield of coal with 5 to 10 percent ash)
(ii) 332a > 14-16% V.M
322b > 16-20% V.M
Gambar 2.1.
Klasifikasi ISO Untuk Batubara Tipe Hard Coal
Pada tahun 1949 telah didirikan sebuah komisi dengan nama Comittee of United
Nations Economic Comission for Europe untuk mengembangkan suatu sistem klasifikasi
batubara secara internasional dan setelah mempertimbangkan beberapa studi yang pernah
dikembangkan maka standar tersebut disetujui oleh badan standarisasi internasional, ISO
(International Organization for Standardization). Untuk mengetahui detail dari klasifikasi
internsional ini terlalu luas untuk dimasukan dalam diktat ini, tetapi perhatian kita akan
difokuskan kepada intisarinya saja. Gambar 2.1 mengilustrasikan bagan klasifikasi untuk
batubara jenis hard coal.
Klasifikasi internasional ISO membagi batubara dalam dua kategori utama. Kategori
pertama disebut batubara “hard” yang didefinisikan sebagai batubara yang memiliki gross
calorific value lebih dari 10.260 Btu (moist, ash-free basis). Semua batubara diatas
Subbituminous B dalam klasifikasi ASTM Yang termasuk dalam kelompok ini. Kategori
kedua dalam standar ISO adalah semua batubara yang termasuk dalam group Subbituminous
B dan C, dan Lignite A dan B. Pembagian tipe dalam klasifikasi internasional ISO sama
dengan rank dalam sistem klasifikasi Amerika ASTM. Pembagian ini berdasarkan pada
derajat metamorfisme, atau laju alterasi dari lignite ke anthracite. Class dalam klasifikasi
ISO mendekati group dalam klasifikasi ASTM.
Pengelompokan batubara dalam klasifikasi pertama berdasarkan kandungan
volatile matter-nya (dry, ash-free basis), dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2.
Pengelompokkan Batubara Berdasarkan
Kandungan Volatile Matter
Class No. Percent Volatile Matter
(Dry, ash-free basis)
1A 3 – 6.5
1B 6.5 -10
2 10 -14
3 14 – 20
4 20 – 28
5 28 – 33
6-9 >33
Tabel 2.3
Batubara yang Mengandung Volatile Matter Lebih dari 33%
6 > 13.950 33 – 41
7 12.960 – 13.950 33 – 44
8 10.980 – 12.960 35 – 50
9 10.260 – 10.980 42 – 50
Untuk batubara lignite dan brown coal, atau batubara yang memiliki gross heating value
kurang dari 10.260 Btu, batubara diklasifikasikan berdasarkan pada kandungan total
moisture-nya (ash-free basis), seperti terlihat pada tabel 2.4 sebagai berikut:
Tabel 2.4
Klasifikasi Berdasarkan Pada Kandungan Total Moisture-Nya
Class kemudian dibagi lagi ke dalam group yang mendasarkan pada hasil uji standar
batubara. Sembilan Class dari hard coal dibagi kedalam group-group berdasarkan pada sifat
“caking” dari batubara seperti terlihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5
Group Batubara Berdasarkan Pada Sifat “Caking”
Tabel 2.6
Group Batubara Berdasarkan Pada Tipe Kokas Gray-King
Tiga digit kode nomor digunakan untuk menyatakan klasifikasi dari batubara. Digit
pertama menunjukkan “Class” , yang kedua menunjukkan “group”, dan digit yang ketiga
menunjukkan “subgroup”. Sebagai contoh, Code No. 634 menunjukan bahwa batubara
tersebut masuk dalam Class 6, Group 3, dan Subgroup 4.
Class untuk batubara subbituminous dan lignite memiliki gross heating value – kurang
lebih 10.260 Btu (atau Class 10 sampai 15) yang dibagi kedalam group berdasarkan tar yield
seperti terlihat pada Tabel 2.7.
Batubara Class 10 sampai 15 menggunakan empat digit kode nomor, dua digit pertama
menunjukkan Class dan dua digit terakhir menunjukkan group. Sebagai contoh, Code No.
1210 berarti batubara tersebut adalah Class 12 dan dimasukkan dalam Group 10.
Perbandingan antara klasifikasi menurut ASTM dan ISO dapat dilihat pada Gambar 3.
Sisem internasional sama dengan sistem ASTM yang menyatakan bahwa batubara
dipisahkan kedalam Class berdasarkan nilai volatile matter dan kalori.ASTM menggunakan
nama untuk menggantikan nomor pada ISO, kemudian
Sifat-sifat fisik ataupun komposisi kimia batubara sangat berbeda-beda, apakah masih
berbentuk endapan ataupun telah menjadi bahan perdagangan. Perbedaan ini disebabkan
oleh kondisi pembentukan gambut, perubahan-perubahan yang terjadi selama masa waktu
geologi, cara-cara penambangan dan pengolahan yang telah di alaminya. Karakteristik
batubara ini menentukan bagaimana batubara tersebut dapat dimanfaatkan. Dalam beberapa
hal, pencucian dan pengolahan dapat memperbaiki karakteristik ini, sehingga batubara
tersebut menjadi dapat dimanfaatkan. Beberapa karakteristik batubara yang diperbaiki
dengan melakukan pencucian ialah:
a. Menghasilkan produk yang lebih uniform
b. Distribusi ukuran yang optimum
c. Kandungan moisture optimum
d. Mengurangi kandungan material
Adapun karakteristik dari batubara tersebut secara umum dapat dikelompokan menjadi
dua bagian yaitu yang termasuk dalam sifat fisik dan kimia batubara. Adapun yang termasuk
dalam kelompok sifat fisik diantaranya: Moisture, Volatile matter, Porositas, Berat jenis,
Grindability dan Friability, Pelapukan, Komposisi ukuran, Kekuatan, Abrasiveness,
Swabakar, Warna dan kilap, Rekahan, Cleat dan Belahan. Sedangkan yang termasuk dalam
kelompok sifat kimia adalah: karbon, hidrogen, sulfur, oksigen, nitrogen, dan impurities
batubara.
Sifat fisik batubara dikhususkan pada karakteristik batubara dalam kondisi aslinya, atau
diutamakan pada hasil akhir penggunaan batubara sebagai bahan bakar. Sebagai contoh,
kekerasan batubara dihitung untuk mengetahui biaya perawatan dari peralatan penanganan
batubara ( coal handling equipment), bobot isi (SG) batubara dihitung untuk mengetahui
teknik preparasi yang digunakan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kapasitas tug boat
dan ukuran tongkang,
3.1.1. Moisture
Moisture yang ada pada atau di dalam batubara akan ikut terangkut atau tersimpan
bersama batubara. Bila banyaknya ada dalam jumlah besar, ia akan meningkatkan ongkos
atau mendatangkan kesulitan pada penanganannya. Misalnya adanya air permukaan akan
menyebabkan batubara lengket dan akan menyulitkan hopper atau chute atau pada waktu
menggerusnya. Adanya moisture akan menurunkan nilai panas dan juga hilang pada
penguapan air.
Moisture yang ada pada batubara terdapat pada:
- permukaan dan didalam rekahan-rekahan, disebut air bebas (free moisture) atau air
permukaan (surface moisture).
Apabila batubara dipanaskan didalam atmosfir yang insert sampai temperatur 950oC.
Akan menghasilkan material yang disebut zat terbang. Zat terbang tersebut terdiri dari
campuran gas senyawa organik bertitik didih rendah yang akan mencair menghasilkan
material berbentuk dan tar. Proses menghasilkan zat terbang ini disebut pirolisis yang berarti
memisahkan dengan menggunakan panas. Kebanyakan material yang ada di dalam zat
terbang adalah hasil pelepasan ikatan kimia di dalam batubara selam proses pemanasan,
terdiri dari gas-gas mudah
terbakar seperti hydrogen, karbon monoksida, metan, uap tar dan gas yang tidak terbakar
seperti karbon dioksida dan uap air. Uap air disini adalah uap air yang tidak termasuk air
total tetapi termasuk air hidrasi dan air dekomposisi.
Komposisi dari zat terbang berbeda-beda menurut rank dari batubara dengan bagian
zat terbang yang tidak terbakar membesar dengan menurunnya rank (Tabel 3.1). Zat
terbang ini sangat penting karena ia dipakai sebagai parameter dalam
3.1.3. Porositas
Batubara mengandung dua sistem pori, yaitu pori dengan ukuran rata-rata 500 Å dan
yang lain dengan pori berukuran 5 - 15 Å (1 Å = 10-10m). Pori yang kecil lebih sedikit
dibandingkan dengan yang besar, tetapi luas permukaannya besar (kira-kira 200 m2/gr).
Pori-pori yang lebih besar mempunyai total luas permukaan pori 1m2/gr. Pori-pori ini dapat
menyerap methan (CH4) yang terbentuk pada tahap akhir dari pembentukan batubara.
Low volatile bituminous coal mempunyai kemampuan menyerap methan lebih besar dari
laju difusi rendah, pada batubara yang tidak rusak. Hal ini berkaitan dengan sering
terjadinya ledakan dan kebakaran pada
tambang - tambang low volatile bituminous coal, bila terbentuknya rekahan-rekahan yang
memungkinkan keluarnya gas methan.
Permukaan dalam dari pori ini merupakan akses terhadap reaktan yang akan
memberikan laju reaksi yang seperti pada proses gasifikasi, pembakaran dan lain- lain.
Berat jenis material adalah perbandingan antara berat material di udara dengan berat
mineral tersebut yang setara dengan volume air yang dipindahkan akibat material tersebut.
Berat jenis batubara murni berkisar antara 1,25 sampai 1,70, umumnya semakin bertambah
nilainya seiring dengan naiknya peringkat (rank)
A. Grindability
Grindability adalah ukuran mudah sukarnya batubara digerus menjadi berbutir halus
untuk penggunaan bahan bakar bubuk (pulverized coal) dibandingkan dengan betubara
standar yang dipilih sebagai grindability 100. Dengan demikian batubara akan lebih sukar
digerus bila index grindability lebih kecil dari 100, Hardgrove Grindability index, nama
yang berasal dari nama penemu cara uji grindability tersebut yaitu Ralp Hardgrove.
Batubara yang mudah digerus adalah batubara dari high volatile bituminous, sub
bituminous dan antrasit lebih sukar, yaitu grindability membesar dengan meningkatnya
kandungan karbon sampai 90% dan kemudian mengecil, lihat Gambar 3.2
Gambar 3.1
Hubungan antara Hardgrove Index dan Volatile Matter
Untuk Batubara berkadar abu rendah
2) Friability
Ukuran batubara menjadi hasil pemisahan dari butiran yang berbeda-beda menjadi
kelompok butiran dengan ukuran yang mendekati sama atau ke dalam kelompok di mana
cakupan dari butiran adalah antara ukuran minimum dan maksimum tertentu. Test ayak
standar dijadikan acuan ukuran batubara yang sebenarnya. Spesifikasi ukuran standar
didasarkan pada test ayak dengan ayakan lubang bulat dengan diameter dan ketinggian jatuh
3/8 inchi.
Hal ini penting dalam menentukan harga batubara tertentu di pasar adalah kualitasnya
yang diukur dengan karakteristik penggunaannya seperti kandungan abu, sulfur, dan nilai
panas. Kualitas ini sungguhpun sangat penting, umumnya dikaitkan dengan size consist.
Size consist, dimasukan di dalam banyak kontrak, yang sering dinyatakan dengan %
maksimum undersize yang diizinkan dan kadang- kadang juga dalam % oversize yang
diizinkan.
Sejumlah faktor menentukan komposisi ukuran dari run of mine coal. Dari segi
batubaranya: yaitu kekuatan dan sifat remuknya, dan dari segi lainnya cara penambangan
serta usaha yang dilakukan untuk mencegah pengecilan batubara. Semua ini sangat
bervariasi.
Brysch dan Ball membuktikan bahwa komposisi ukuran mengendalikan bulk density
dan batubara kering. Dengan penyebaran yang luas dari ukuran memberikan bulk density
tertinggi. Makin halus partikel, density mengecil (masih ditentukan ukuran terbesar). Untuk
batubara basah maka kecil ukuran partikel, makin rendah minimum bulk density.
3.1.8. Kekuatan
Batubara memiliki warna yang berbeda-beda mulai dari warna coklat, hingga hitam
keabu-abuan, pada batubara peringkat lignit sampai warna hitam mengkilat. Kilap adalah
bawaan di dalam batubara itu sendiri yang memancarkan cahaya pada permukaannya.
Batubara memiliki warna yang bebeda-beda dari warna coklat pada batubara peringkat
lignite, dengan bertambahnya peringkat batubara maka warnanya akan bertambah hitam
mulai dari hitam keabu-abuan sampai hitam pekat. Kilap (luster) menjadi cara dimana suatu
benda mencerminkan cahaya dari permukaan nya.
Batubara memiliki warna yang bebeda-beda dari warna coklat pada batubara
peringkat lignit, dengan bertambahnya peringkat batubara maka warnanya akan bertambah
hitam mulai dari hitam keabu-abuan sampai hitam pekat. Kilap (luster) menjadi cara di
mana suatu benda mencerminkan cahaya dari permukaan nya.
Pecahan (fracture) mengacu pada penambahan bentuk batubara sama seperti halnya
cara dimana batubara pecah. Sampai taraf tertentu, retak adalah suatu indikasi peringkat
batubara. Antrasit dan channel batubara cenderung pecah membentuk permukaan yang
membengkok tidak beraturan; retakan ini dikenal sebagai choncoidal fracture. Batubara
Low Volatile cenderung pecah membentuk kolom vertikal, retakan seperti ini disebut
sebagai columnar fracture. Batubara mengkilap High Volatile cenderung pecah
membentuk kubus. Beberapa batubara low volatile juga mempunyai bentuk retakan seperti
kubus. High Volatile Splint Coal cenderung pecah membentuk potongan datar segi-empat,
dikenal sebagai slabby fracture. Subbituminous pecah dengan retak tidak beraturan, sedang
lignit membelah menjadi fragmen tidak beraturan.
Dalam kebanyakan lapisan batubara ada perpecahan vertikal yang disebut sebagai
cleat, yang memotong lapisan batubara (seam) dalam dua arah membentuk sudut 90 derajat
satu sama lainnya. Permukaan cleat lebih panjang, dimana pada bagian ujung atau pada
penumpu cleat lebih pendek dan lebih tidak beraturan. Dalam hal menambang lapisan
batubara (seam), cleat digunakan untuk memudahkan peledakan untuk menghasilkan
batubara blok.
3.1.13. Karbon
Kandungan karbon dalam batubara semakin besar seiring naiknya rank batubara.
Persentase dari total karbon yang ada dalam struktur yang kompleks, padat dan berbentuk
rantai, juga bertambah seiring dengan naiknya rank batubara. Sekitar 80 % karbon dalam
batubara bituminus high volatile A mungkin dalam bentuk ini. Beberapa batubara
mengandung karbonat anorganik yang cukup berpengaruh yang merupakan hasil dari
pengendapan sekunder dari mineral- mineral yang ikut terendapkan bersama-sama dengan
tumbuhan pada saat pembentukan batubara. Kandungan karbon merupakan sumber penyedia
nilai kalor terbesar dalam batubara.
3.1.14. Hidrogen
Kandungan hidrogen dalam batubara umumnya berada dalam rentang 4,5 sampai 5,5 %
yang juga merupakan salah penyedia nilai kalor selain karbon. hidrogen dalam batubara
kering terjadi sebagian besar dalam struktur rantai dengan karbon baik jenuh maupun
setengah jenuh
3.1.15. Sulfur
Sulfur dalam batubara terjadi dalam dua bentuk, organik dan anorganik. Sulfur organik
terdistribusi secara merata bersama-sama dengan unsur-unsur pembentuk batubara lainnya,
dan secara alami berkaitan dengan fakta bahwa tumbuh- tumbuhan mengandung sulfur
yang apabila tumbuhan tersebut membusuk atau
3.1.16. Oksigen
Oksigen dalam batubara berada dalam beberapa bentuk. Hydroxyl, Carbonyl, atau
dapat juga hadir dalam kelompok carboxyl. Pada batubara peringkat rendah kandungan
air dalam batubara memberikan kontribusi dalam pelaporan persentasi kandungan oksigen
dan hidrogen.
Nitrogen dalam batubara dalam jumlah yang bervariasi mulai dari jumlah yang sangat
sedikit sampai 3%, tetapi yang umum berada dalam rentang 1 dan 2% pada basis pelaporan
dry ash free (daf). Bituminous umumnya mengandung nitrogen lebih banyak daripada
lignit dan antrasit.
Semua batubara mengandung mineral matter yang tidak terbakar. Mineral matter
merupakan masalah yang sering dihadapi dalam hal penanganan batubara. Ada
kemungkinan beberapa unsur anorganik dari mineral matter bereaksi dengan senyawa
organik pembentuk batubara dan terikat bersama-sama pada saat proses pembentukan
batubara. Sisa dari mineral matter setelah batubara tesebut dibakar disebut abu (ash). Rata-
rata kandungan abu sekitar 2 atau 3 % untuk pure coal, dan 10% atau lebih untuk
kebanyakan tambang batubara komersial. Material yang sering digunakan untuk keperluan
sehari-hari dengan kandungan abu yang sangat tinggi disebut bone coal, bituminous shale,
atau black slate.
Abu batubara memiliki komposisi kimia yang beragam. Umumnya merupakan
gabungan antara Silika (SiO2) dan Alumina (Al2O3) yang berasal dari pasir, lempung, sabak,
dan serpih; besi oksida (Fre2O3) dari pyrite dan marcasite; Magnesia (MgO) dan Lime
(CaO) dari batugamping dan gypsum; alkalis, sodium oksida dan potasium oksida (Na2O).
Mineral yang terkandung di dalam batubara sangat bervariasi baik jumlah maupun
distribusinya. Keberadaannya sangat menentukan dalam segala segi mulai
Tabel 3.2
Principal Minerals In Coal Seams
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, abu adalah residu yang berasal dari mineral matter
hasil dari perubahan batubara. Komposisi kimianya berbeda dan beratnya lebih kecil dari
mineral matter yang ada di dalam batubara asalnya. Selama perubahan, terjadi perubahan
berat karena kehilangan air dari silikat asal, kehilangan CO2 dari karbonat, oksidasi pirit
menjadi besi oksida.
Komponen unsur-unsur abu yang utama :
- Natrium - Alumunium
- Kalsium - Silikon
- Magnesium - Besi
- Kalium - Sulfur
Kedelapan unsur ini dan juga Titan dan Fosfor (umumnya terdapat dengan jumlah
sangat kecil), dilaporkan ketika abu dianalisis di laboratorium. Hasil analisis ini dilaporkan
sebagai oksida. Misalnya Natrium dilaporkan sebagai persen Natrium Oksida dan besi
sebagai ferrioksida. Perjanjian ini selalu diikuti walaupun misalnya tidak ada satupun
unsur-unsur tersebut yang terdapat dalam bentuk oksida dalam abu.
Disamping itu pula diteliti beberapa unsur-unsur minor atau trace yang ada dalam
batubara mengingat faktor-faktor berikut ini:
a. Adanya beberapa unsur-unsur minor dapat menjadi kunci yang membantu ahli
geokimia mempelajari lebih lanjut tentang pengendapan batubara dengan diikuti sejarah
geologi dari batubara. Misalnya Boron telah digunakan sebagai indikator tingkat salinitas
dari lingkungan selama proses pembentukan batubara.
b. Arsenic, selenium dan mercury, sering ada dalam jumlah trace di batubara dan dapat
berbahaya pada lingkungan jika ia dibebaskan pada waktu pembakaran batubara
c. Batubara mungkin dapat digunakan sebagai sumber logam jarang (rare element).
Misalnya sekarang ini abu dianggap sebagai sumber potensial dari gallium dan
germanium, dua unsur yang merupakan bahan semikonduktor.
Pemahaman tingkah laku batubara pada temperatur tinggi sangat penting dalam
penentuan kecocokan batubara pada penggunaannya diberbagai tungku. Prosedur standar
untuk menentukan tingkah laku abu pada temperatur tinggi ialah
ash fusion test. Pada uji ini contoh berupa abu batubara dibuat berbentuk piramid sisi tiga
dan memanaskannya dari 900oC sampai 1600oC didalam atmosfer reduksi. Ada 4 temperatur
yang dicatat pada saat terjadi perubahan bentuk piramid asal yaitu perobahan bentuk asal,
spherical, hemisphere dan cair (gambar 3.3)
Gambar 3.3
Alat Uji Ash Fushibility
Gambar 3.4
Pengaruh Kadar Besi pada Initial Deformation Temperatur
Harga silica ratio umumnya berkisar antara 0,4 sampai 0,8. Harga yang lebih rendah
memberikan harga T250 yang lebih rendah.
Harga base-to-acid-ratio umumnya sekitar 0,1 sampai 1.0, harga base-to-acid ratio
yang lebih tinggi memberikan harga T250 yang lebih rendah. Hubungan ini biasanya digunakan
untuk abu yang bersifat asam dimana harga base-to-acid ratio lebih rendah dari 0.6.
CaO MgO
c) Dolomite Ratio = Fe2O3 CaO MgO NaO
K2O
Harga dolomite ratio berkisar antara 0.5 sampai0.9. Harga dolomite ratio yang lebih
rendah memberikan harga T250 yang lebih rendah. Hubungan ini biasanya sering digunakan
untuk batubara lignit yang bersifat basa dimana harga base-to- acid ratio lebih basa dari
0.6.
Fe2O3
d) Ferritic Ratio = Fe2O3 1,11 FeC
1,43 Fe
Harga ferritic ratio berkisar antara 0.1 sampai 0.8. Harga ferritic ratio yang
semakin rendah memberikan harga T250 yang semakin rendah pula.
A. Pembentukan Klinker
Dalam suatu tanur pembakaran (fuel bed furnace), dapat terbentuk klinker massif
(campuran partikel-partikel abu dan batubara yang lebih halus) pada kisi-kisi sehingga
dapat menyebabkan terhalanginya aliran udara. Dalam kasus-kasus tertentu, pabrik harus
dihentikan dank linker harus dikeluarkan secara manual. Abu dengan harga ash fusion
temperature rendah (harga ISO-A lebih rendah dari
1100oC) cenderung membentuk klinker massif, sementara itu abu dengan harga ash
fusion temperature tinggi (harga ISO-A lebih tinggi dari 1300oC) dianggap aman pada
kondisi operasi normal.
Slagging berkaitan dengan masalah transportasi patikel abu yang meleleh atau lengket
oleg gas pembakaran dan masalah benturan partikel abu tersebut pada permukaan tanur dan
permukaan-permukaan lain. Deposit abu yang berbentuk terak ini bisa terus bertambah
dan untuk mengendalikannya biasanya secara berkala digunakan sootblowers yaitu suatu alat
untuk menghilangkan terak yang menempel pada permukaan dengan menggunakan uap atau
udara sebagai media penghempus (blowing medium).
Kecenderungan abu untuk membentuk terak diperkirakan dari harga slagging index
dengan persamaan berikut:
Slagging index = Base-to-Acid Ratio x Kadar Sulfur Batubara
Jika kadar sulfur di atas 2% harga slagging index bervariasi antara 0,1 sampai
2.0. Harga slagging index yang semakin besar menunjukan kecenderungan abu untuk
membentuk deposit terak (fused slag deposits). Pada kondisi operasi normal abu dengan
harga slagging index di bawah 0,5 tidak akan menimbulkan masalah dengan pembentukan
terak, tetapi bilamana harga slagging index lebih besar dari 1,5 fasilitas soot-blowing
yang memadai harus tersedia untuk mengatasii pembentukan deposit terak.
Umumnya bonded deposits terbentuk akibat kadar alkali yang tinggi. Garam- garam
sodium dan potassium, akan terbang (tervolatilisasi) selama pembakaran, kemudian
terkondensasi pada partikel-partikel abu terbang dan boiler membentuk lapisan yang
lengket (sticky layer). Benturan partikel-partikel tersebut dapat membentuk deposit
teraglomerasi pada dinding dan selanjutnya membentuk sinter. Akhirnya menjadi keras
dan menempel dengan sangat kuat. Oksidasi sulfur terabsorpsi oleh lapisan yang kaya
dengan kandungan alkali sehinggga menyebabkan korosi pada dinding boiler.
Pada dasarnya, semakin rendah kadar alkali dari batubara, semakin rendah pula
kecenderungan untuk membentuk foul. Kandungan alkali batubara biasanya dinyatakan
sebagai Na2O ekivalen. Batubara dengan kandungan alkali lebih rendah dari 0,1% dianggap
sebagai non fouling; batubara dengan kandungan alkali antara 0,1%-0,4% biasanya
menimbulkan tumbuhnya deposit (fouling tetapi masih bisa dikendalikan dengan soot-
blowing secara berkala, batubara dengan kandungan alkali diatas 0,5% cenderung
membentuk deposit (fouling) dan menghasilkan sinter sehingga sulit di hilangkan. Harga
fouling index dapat dihitung dari rumus berikut:
Serangan asam pada temperature sub-dewpoint dalam economizer dan pemanas udara
dapat membentuk deposit basah dan lengket sehingga partikel- partikel abu terbang yang
terbentur pada deposit ini bisa tertarik. Keadaan asam deposit tersebut dapat
menyebabkan reaksi dengan beberapa komponen abu
Jika batubara dibakar, semua sulfur organic dan sebagian sulfur piritik akan
teroksidasi menjadi SO3 karena adanya beberapa komponen abu yang bertindak sebagai
katalis. Sulfur piritik dan sulfur sulfat yang tertinggal berubah menjadi sulfide inorganic yang
lebih stabil dan tertinggal dalam batubara. Sebagai tambahan, abu terbang yang dihasilkan
dari pembakaran batubara pulverized mempunyai kemampuan untuk mengedsorpsi SO3 dari
aliran gas pembakaran.
Kecenderungan sulfur tertinggal dalam abu juga tergantung pada metoda
pembakaran. Untuk tanur pulverized fuel, 10-15% sulfur tertinggal dalamabu, untuk tanur
siklon hanya 5% (kemungkinan disebabkan oleh karena temperature yang lebih tinggi). Dan
stroke bisa sampai 30%-sulfur yang tertinggal dalam batubara.
Pengaruh adanya senyawa sulfur dalam abu dan gas-gas pembakaran terahadap operasi
tanur dan boiler adalah sebagai berikut:
Sulfur sebagai besi sulfide, dalam abu dapat memperbesar perbedaan antara ash fusion
temperature yang diukur pada kondisi mengoksidasi dan mereduksi dan menurunkan
initial deformation temperature (ISO-A). Pengaruh ini disebabkan aksi fluxing
(bertindak sebagai flux) dari besi.
Absorpsi sulfur oksida, dalam bentuk SO3, oleh lapisan deposit abu (fouling) yang
bersifat basa dan kaya alkali akan memberikan kontribusi semakin kuatnya lapisan
fouling serta terus tumbuh. Selanjutnya bisa menimbulkan korosi setempat pada dinding
boiler.
SO3 bersama uap air dalam gas-gas pembakaran dapat membentuk asam sulfat (H2SO4).
Uap asam sulfat ini dapat terkondensasi pada temperatur rendah sehingga bersifat
korosif.
Wet Scrubbing
Slurry dari limestone atau larutan magnesium oksida digunakan sebagai sistem
penangkap gas untuk menghilangkan SO2 sebesar 80-95%, bisa sampai 99%.
Kadar sulfur dalam batubara sebagai bahan bakar bukan merupakan masalah kritis
dalam pabrik semen. Sulfur memasuki kiln semen melalui material umpan dan bahan bakar
serta keluar sebagai kalsium sulfat dalam produk klinker dan sebagian
Apabila batubara bituminous dipanaskan ia akan mengalami suatu seri perubahan fasa:
a. Partikel batubara melunak (pada temperature + 400oC) dan mencair.
b. Akan terjadi pemuaian segera setelah partikel menyatu dan melebur.
c. Pemuaian berhenti pada temperature disekitar 500oC ketika batubara kehilangan
plastisitasnya dan mulai membeku membentuk stuktur porous yang disebut kokas.
Tingkah laku batubara antara lain temperatur pelunakan dan temperatur pembekuan
kembali (resolidification) umumnya disebut sifat plastis dari batubara. Plastisitas akan
teramati ketika telah terjadi proses dekomposisi, mula-mula terjadi proses depolimerisasi
batubara, diikuti dengan munculnya produk cair yang akan merubah komponen lain
menjadi plastis dan gas yang membentuk gelembung- gelembung ketika gelembung-
gelembung lewat melalui pori-pori besar dan rekahan dari partikel batubara, ia melawan
tahanan dari batubara plastis tersebut. Hasilnya seluruh batubara memuai (swell).
Pemuaian berhenti ketika batubara kembali membeku ketika produk cair selanjutnya
terdekomposisi membentuk zat terbang, membeku ketika produk cair selanjutnya
terdekomposisi membentuk zat terbang.
Data-data dari plastisitas batubara digunakan untuk mengetahui coking properties
batubara, demikian juga swelling properties. Swelling properties di ukur dengan free
swelling index (FSI) yaitu ukuran pembesar volume batubara apabila ia dipanaskan dibawah
kondisi pemanasan tertentu. Pembesaran volume ini ada kaitannya dengan sifat plastis
batubara. Batubara yang tidak menunjukan sifat pemuai. Sungguhpun hubungan antara
pemuaian dan plastisitas sangat komplek dan sulit dipelajari, diyakini bahwa gas yang
terbentuk selama batubara berada
Kebanyakan dari uji ini sifatnya empiris. Sifat yang diuji pada uji empiris tidak
mempunyai harga absolute dan hasilnya sangat bergantung pada kondisi-kondisi melakukan
uji. Diperlukan suatu kondisi arbitrary sebagai standar untuk meyakinkan data yang
diperoleh akan sama bila ujinya diulang. Kondisi ini antara lain ukuran partikel,
temperature, waktu dan laju pemanasan, kondisi atmosfer, ukuran dan bentuk tempat
sample. Adanya prosedur standar yang diakui oleh organisasi yang berkaitan sangat
penting.
Kebanyakan negara penghasil dan memperdagangkan batubara menerima dan
menerapkan + 50 standar (International Organization of Standardization). Tetapi beberapa
negara / importir masih memakai ASTM (American Society for Testing material), JIS
(Japanese Industrial Standard). British Standard, dll.
Untuk tujuan tertentu, hasil analisis dilaporkan atas dasar yang berbeda sebagai
berikut:
a. Air dried basis (adb) atau as analysed basis
Hasil ini diperoleh dari analisis batubara setelah pengeringan. Kebanyakan analisis
mula-mula dilaporkan atas dasar ini, dan dapat diubah dengan perhitungan pada
dasar lain.
b. As sampled basis (asb) atau As Received (ar), dihitung atas dasar lokasi dimana
sample diambil
c. Dry basis (db)
Analisis didasarkan atas dasar persen bebas air untuk menghindari variasi pada
analisis proksimat yang disebabkan oleh perbedaan kandungan air dry.
d. Dry. Ash free basis (daf)
Dasar yang dipakai untuk menunjukan kondisi hipotesis dimana batubara tersebut
bebas dari air dan abu. Biasanya digunakan untuk zat terbang, nilai kalor, carbon
dan hydrogen.
e. Dry. Mineral matter free basis (dmmf)
Dasar ini juga untuk menunjukan kondisi hipotesis dimana batubara bebas dari semua
air dan mineral matter. Dasar ini biasa dipakai pada analisis ultimat, zat terbang dan
nilai kalori.
Pada Tabel 3.4 berikut, disajikan faktor-faktor pengali yang dibutuhkan untuk
mengkonversi hasil anlisis pada suatu basis (dasar pelaporan) tertentu ke basis yang lain.
Biasanya, rumusan tersebut tidak berlaku untuk parameter kualitas seperti sifat-sifat abu,
sifat-sifat fisik, seperti gridability index, abrasion index, dan sifat-sifat coking dan caking
batubara.
Untuk lebih memahami dasar pelaporan yang berbeda pada suatu hasil analisis
batubara pada Tabel 3.5 diberikan komponen-komponen batubara yang ada pada suatu dasar
pelaporan yang berbeda.
Ash
Fixed carbon
Dry, mineral matter free
Dry ash free
As received
Air dried
Dry
A. Analisis Proksimat
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 69
Analisis Proksimat adalah analisis kimia yang paling sering dilakukan pada batubara dan
caranyapun sederhana. Pada analisis ini diperlukan contoh berukuran minus 0,250 mm.
Kandungan air ditentukan dengan menetapkan kehilangan berat air dari contoh bila
dipanaskan di bawah kondisi terkendali dari temperature, waktu dan atmosfir, berat contoh
dan peralatan.
Contoh dengan berat kira-kira 5 gram dibiarkan mongering didalam atmosfer oven
yang dipanaskan pada 105-110 oC didalam atmosfer yang inert sampai beratnya constant.
Berat yang hilang dihitung sebagai kandungan air. (Gambar 3.6)
Gambar 3.6
Tungku Moisture dan Kapsul Untuk Menentukan Moisture
Zat terbang ditentukan dengan cara kehilangan berat hasil dari pemanasan batubara,
dibawah kondisi terkendali. Kehilangan berat dikoreksi terhadap air. Ada dua faktor yang
mempengaruhi hasil yaitu temperature akhir dan laju pemanasan.
Contoh dengan berat 1 gram yang ditempatkan dalam crucible platinum dimasukan
ke dalam furnace yang dapat dipanaskan sampai 950oC + 20oC. Nyala api yang terlihat
menunjukan terjadinya pembakaran zat terbang. Nyala api akan menghilang pada waktu
kira-kira 7 menit, saat analisis dianggap selesai. Contoh dikeluarkan, dibiarkan dingin dan
ditimbang. (Gambar 3.7).
Gambar 3.7
Tungku Listrik Untuk Menentukan Volatile Matter
Fixed Carbon adalah sisa karbon yang ada setelah analisis zat terbang. Dia tidak
terbentuk seperti itu di dalam batubara, tetapi berupa hasil dekomposisi panas.
FC = 100- (% Air + % Abu + % Zat terbang)
Data-data fixed carbon dimanfaatkan pada klasifikasi, combustion dan karbonisasi
batubara. Mungkin saja pada fixed carbon masih ada sedikit N, S, H dan oksigen sebagai
material yang masih terikat secara kimia dengan karbon. Data fixed carbon merupakan
ukuran dari material padat yang tersisa di dalam alat pembakaran setelah zat terbangnya
keluar.
B. Analisis Ultimat
Analisis ultimat ialah penentuan karbon dan hidrogen yang ada di dalam material yang
diperoleh dari produk gas dari hasil combustion yang sempurna, dan penentuan sulfur,
nitrogen dan abu yang ada didalam material, serta perhitungan kandungan oksigen.
Karbon dan hidrogen ada di dalam batubara dalam bentuk senyawa organic
kompleks pada batubara. Dengan cara combustion, karbon diubah menjadi carbon dioksida
dan hidrogen menjadi air dibawah kondisi terkendali. Kedua produk ini diserap oleh reagent
tertentu. Karbon dan hidrogen dihitung dari tambahan berat reagent tersebut.
Beberapa kesulitan akan timbul selama analisis ini :
(1) Combustion yang tidak sempurna akan menyebabkan tidak sempurnanya pengubahan
karbon menjadi karbon monoksida dan hidrogen menjadi air, akan menghasilkan
perhitungan yang tidak betul.
(2) Selama combustion, sulfur berubah menjadi oksida dan harus diambil lebih dahulu
sebelum karbon dioksida diserap.
Kandungan karbon dan hidrogen dimanfaatkan sebagai parameter pada beberapa
klasifikasi.
Nitrogen ada di dalam batubara dalam bentuk senyawa organik batubara. Senyawa
organik nitrogen ini stabil, mungkin berasal dari protein tumbuh-tumbuhan asal batubara.
Penentuan nitrogen pada batubara didasarkan pada reaksi kimia kuantitatif. Pertama-tama
nitrogen dibebaskan dari material organik dimana ia berada, dengan cara mengubahnya
menjadi ammonia atau unsur nitrogen (N2). Tetapi yang umum dipakai ialah metoda
Kjeldahi dimana nitrogen diubah menjadi ammonium sulphate dengan H2SO4 panas.
Kemudian ammonia dibebaskan dengan menambahkan natrium hidroksida berlebihan.
3. Total Sulphur
Sulfur ada di dalam batubara sebagai bagian dari bahan organic dan sebagai bahan
anorganik, sulfur terbentuk sebagai bahan yang stabil. Sulfur ini sering disebut sulfur
organic dan tersebar secara merata ke seluruh batubara. Sulfur yang terikat secara anorganik
di dalam pirit dan markasit yang secara umum disebut pyntic sulphur, tidak terdisbusi
secara merata didalam batubara, tetapi terdesiminasi sebagai kristal sangat halus di dalam
material organic. Dalam jumlah sangat kecil sulfur dapat terbentuk sebagai sulfat seperti
kalsium sulfat atau besi sulafat.
Penentuan total sulfat melibatkan beberapa kondisi kimia yang diakhiri mengubahnya
menjadi sulfat dan hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metoda.
a. Metode Eschka
Contoh dengan berat tertentu bersama campuran Eschka (campuran antara 2 bagian
MgO dan 1 bagian Na2CO3) dibakar bersama-sama dan sulfur diendapkan dari larutan
sebagai Barium Sulfat (BaSO4). Filtrat disaring,bakar dan timbang.
b. Cara Bomb Washing
Disini sulfur diendapkan sebagai BaSO4 dari oxygen-bomb calorimeter washing Filtrat
disaring, bakar dan timbang.
4. Oksigen
Oksigen pada batubara diperkirakan dari 100% dikurangi jumlah persen karbon,
hydrogen, nitrogen, total sulfur dan abu.
C. Analisis Lainnya
1. Nilai kalori
Nilai kalori atau panas atau kadang-kadang disebut energi spesifik, ditentukan dengan
membakar contoh dengan berat tertentu di dalam bomb calorimeter dengan cara adiabatic.
Nilai kalori dihitung dari pengamatan temperature yang dilakukan sebelum dan sesudah dan
sesudah combustion. Gross calorific value adalah panas yang dihasilkan oleh pembakaran
satu satuan bahan bakar padat. Pada volume konstan, sedangkan net calorific value adalah
panas yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar padat pada tekanan konstan.
Untuk penentuan nilai kalor diperlukan alat (Gambar 3.9)
a. oxigen bomb, yang dirancang dari material yang tidak akan dipengaruhi oleh proses
pembakaran, tahan tekanan hidrostatik sampai 3000 psig.
b. Kalorimeter
c. Adiabatic calorimeter jacket
d. Termometer
e. Sistem otomatis untuk mengendalikan temperature jacket
f. Sample holder
g. Kawat penyala
Nilai kalor batubara dianggap sebagai jumlah panas pembakaran dari material yang
dapat dibakar karbon, hydrogen dan sulfur (dikurangi panas dekomposisi dari carbonaceous
material dan ditambah reaksi eksotermis atau dikurangi reaksi endotermis yang terjadi
dalam pengotor). Pada dasar (basis) dmmf, nilai kalor berhubungan langsung dengan
komposisi substansi batubnara dan peringkat batubara serta dapat diperkirakan dari analisis
ultimat dengan keakuratan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mineral matter dan air dianggap sebagai material pengganggu dan keberadaannya
dalam batubara dapat menurunkan nilai kalor secara proporsional. Oleh karenanya, sangat
penting mendefinisikan dasar perhitungan apakah dmmf, dry, air dried atau as received.
MJ/kg (dmmf)
27.0 31.0 35.0 36.0
(dry) 24.84 28.52 32.20 33.12
(air dried) (as 19.44 26.04 31.33 32.76
received)
17.01 24.91 29.27 31.77
Gross Calorific Value menyatakan panas total yang diperolah dari suatu batubara
melalui pengukuran standard semua produk pembakaran dikembalikan pada temperatur
rungan (ambient temperatures). Net calorific value menyatakan panas yang diperoleh dari
suatu batubara dan yang dapat digunakan (useful heat) dan NCV ini dihitung dari GCV
dikurangi panas yang hilang seperti panas sensible dan panas laten produk pembakaran.
Secara praktis, perhitungan NCV biasanya hanya didasarkan pada panas yang hilang
dikarenakan kadar air produk pembakaran yang tinggal sebagian uap dan panas laten
dari air. Beberapa persamaan standar yang direkomendasikan untuk menghitung NCV ini
diberikan sebagai beriikut:
dengan
Qgv = gross calorific value pada volume konstan yang diukur dari sample
Qnp = net calorific value pada tekanan konstan
[ H ] = prosentasi berat hydrogen dalam sample, diluar air [ O ]
= prosentasi berat oksigen dalam sample, diluar air M
= prosentasi berat air dalam sample
W = kadar air total prodak pembakaran dinyatakan sebagai lb air / lb bahan bakar
Perhitungan NCV dengan tiga persamaan standar di atas memberikan hasil yang
kurang lebih sama.
3. Grindability Batubara
Ketergerusan adalah sifat fisik batubara yang dihitung untuk mengetahui mudah
tidaknya batubara untuk digerus. Index yang paling umum digunakan adalah yang dihitung
dengan menggunakan metode mesin hardgrove. Metode ini didasarkan pada hukum fisika
dari Rittinger yang menyatakan: “Selesainya pekerjaan penghancuran sebanding dengan
produksi baru dipermukaan”. Prosedur dari metode ini adalah mula-mula disiapkan sampel
batubara seberat 45 kg yang telah dipraparasi seberat 50 gr berukuran 16 x 30 mesh,
kemudian digerus dalam mesin penggerus sebanyak 60 kali putaran. Setelah digerus,
batubara tersebut di ayak dengan menggunakan ayakan berukuran 200 mesh. Nilai
hardgrove
Gambar 3.10
Hardgrove Grindability Testing Machine
Uji ini dilakukan dengan memanaskan pada temperatur + 850oC contoh batubara (+
20 gram) dengan cara pemanasan dengan gas atau pemanasan dengan listrik. Contoh
ditempatkan didaam crucible tertutup dan dipanaskan dibawah kondisi terkendali hingga
membentuk coke button. Alat uji Free Swelling Index dapat dilihat pada Gambar 3.11.
Ukuran coke button merupakan indikasi dari karakteristik pemuaian dari batubara. Buat 5
button dan bandingkan dengan nomor profil standard rata-rata dari kelima nomor propel
yang peling mendekati standar, diambil sebagai free swelling index (Gambar 3.12). Ada 17
profil standar yang ditandai dengan nomor dari 1 hingga 9.
Gambar 3.11
Alat Uji Free Sweeling Index (FSI)
Apabila coking coal dipanaskan, bagian yang reaktif dari batubara menjai cair dan
o
pada kebanyakan batubara, ini dimulai pada temperature 300 C dan pada temperatur 500oC,
ia akan mulai membeku kembali. Masa yang emmbeku kembali
disebut semi coke. Tingkatan fluiditas diukur dengan plastometer. Plastometer juga
mengukur selang temperatur selama batubara mencair. Satuan fluiditas ialah dial division
per minute (ddpm). Batubara dengan 60 - 1000 ddpm dipandang cocok untuk coking.
Uji dengan Gieseler plastometer sebagai berikut (Gambar 3.13): Tempatkan pengaduk
dan crucible ke dalam loading divice. Masukkan contoh batubara sebanyak 4.5 gram,
padatkan. Hubungan crucible pada alat pengukur plastometer. Sealanjutnya turunkan
crucible ke dalam molten metal bath dari furnace. Atur temperature furnace mencapai
300oC dalam waktu 10 + 2 menit, selanjutnya laju
pemanasan diatur 3oC/min. Ketika batubara menjadi plastis, pengaduk mulai
berputar. Laju gerakan pengaduk diukur dengan ddpm. Besaran-besaran yang biasanya
ditentukan oleh Gieseler plastometer:
a. Temperatur pelunakan awal-yaitu temperature ketika putaran stirrer (pengaduk) sama
dengan 1 ddpm.
b. Temperatur fluiditas maksimum – yaitu temperatur dimana gerakan pengaduk
mencapai maksimum dalam ddpm.
c. Temperatur pembeku – yaitu temperature pada saat pengaduk berhenti
bergerak.
d. Fluiditas maksimum – yaitu laju gerakan pengaduk maksimum dalam ddpm.
Perubahan volume selama masa mencair diukur dengan menggunakan alat dilatometer.
Dengan uji ini tingkah laku pengerutan/pemuaian daru batubara akan diketahui. Hasil dari
uji dapat digunakan untuk menghitung apa yang disebut faktor
G. Setiap faktor G menunjukan harga tertentu dari zat terbang yang digunakan
menentukan index dari coking powe dari batubara yang diuji.
Dilatometer test dilakukan untuk menentukan variasi dari panjang contoh batubara
ketika dipanaskan menurut laju yang telah ditentukan. Dalam hal ini 2 gram contoh bubuk
batubara dicetak membentuk pensil dengan panjang 60 mm dan diameter 6.5 mm, diletakkan
di dalam tabung sempit dan diberi piston yang berdiameter 7.5 mm dan berat 150 gram di
atasnya. Suatuu pointer yang dipasang
pada piston dapat mengamati gerakan vertical. Tabung sempit bersama contoh dalamya
dimasukan ke dalam tungku listrik dan dipanaskan mulai dari 300oC dengan laju 3oC per
menit. Pengamatan/pembacaan dilakukan secara teratur terhadap perpindahan piston
sebagai fungsi temperature dan panjang pensil
semula. (Gambar 3.14).
Data yang penting adalah:
a. Ts, temperatur pelunakan
b. Tc, temperatur penyusutan (contraction temperatur)
c. Tm, temperature pemuaian (dilatation temperatur)
d. C, penyusunan maksimum %
e. E, pemuaian maksimum %
8. Drop-shatter test
Uji ini untuk menentukan stabilitas ukuran relative atau friability dari batubara. Data
hasil uji ini dianggap sebagai menyatakan kemampuan batubara menahan benturan (remuk)
selama handling dan pencucian. Pengujiannya meliputi menjatuhkan batubara dari beberapa
selang ukuran pada ketinggian tetap 6 ft ke atas plat metal. Produk hasil jatuhan
dianalisis ayak dan hitung friability atau size stability-nya.
9. Tumbler test
Ini adalah cara lain untuk menentukan friability atau size stability dari batubara
berukuran tertentu. Pengujian dilakukan di dalam jar porselen berukuran diameter 7 1/4.
Bagian dalam ada rangka besi lifting selve 3 buah berukuran 6 ½ lebar dan ¾ tinggi.
Contoh sebanyak 1 kg dimasukan ke dalam jar dan diputar selama 1 jam dengan
kecepatan 40 + 1 rpm (total 2.400 putaran). Hasil uji dianalisis ayak dan tentukan
friability atau size stability.
a. Penyelidikan Umum
Penyelidikan umum diawali dengan studi pustaka atau disebut pula sebagai desk
study. Studi ini menyangkut mengenai keadaan geologi regional, tektonik dan yang
berkaitan dengan paleogeographic setting suatu daerah penyelidikan.
Maksud penyelidikan umum adalah untuk memperoleh informasi dan menentukan
batasan luas daerah. Setelah itu selesai, dilakukan penelitian lapangan dengan tujuan
pengecekan lapangan hasil studi pustaka. Dalam penelitian lapangan diusahakan pula
mencari kemungkinan adanya singkapan batubara, mengambil contoh batuan dan contoh
batubaranya.
c. Penyelidikan Detail
Pada tingkat ini kegiatan eksplorasi lebih terpusat pada kegiatan pemboran yang
bertujuan untuk lebih mengetahui bentuk geometri endapan batubara, kualitas dari lapisan
batubara dan kemungkinan adanya anomaly geologi yang mungkin akan menimbulkan
kesulitan dalam proses penambangan yang akan dilaksanakan. Apabila diperlukan dapat
pula dilakukan penyelidikan geofisika dengan tujuan untuk
- studi pustaka
- keadaan geologi regional
- keadaan tektonik
- keadaan "paleography setting"
- batasan luas daerah kerja
- pengecekan dilapangan
- pemboran
- bentuk geometri endapan batubara
lebih teliti dan perhitungan cadangan
- anomali geologi
- sesar
- kualitas batubara
- analisa laboratorium
- sifat batubara
- geofisika
- stratigrafi kedudukan batubara
- struktur geologi
- bentuk endapan batubara
Commercial Exploration Programme
- pemboran lanjutan
Gambar 4.1.
Diagram Kerja Tahapan Penyelidikan
Potensi cadangan tereka dari suatu lapangan prospek batubara adalah jumlah batubara
dalam ton yang perhitungannya mendasarkan pada data geologi hasil penelitian lapangan
dalam bentuk peta geologi, geofisika dan kualitas batubara tyang telah dapat memberikan
model tentative dari pola sedimentasi lapisan batubara.
Potensi cadangan terkira dari satu lapangan prospek batubara adalah jumlah batubara
dalam ton yang perhitungannya mendasarkan atas model tentative batubara dari keterpaduan
penelitian lapangan dan penelitian laboratorium serta telah dibuktikan dengan beberapa
pemboran eksplorasi. Indicated reserves perlu diketahui untuk perencanaan tambang.
Jumlah ton batubara in-situ dari penampang lapisan batubara yang direncanakan
dapat ditambang. Dari padanya diperoleh cukup informasi yang berguna dalam
perencanaan. Mineable in-situ reserves dapat diperhitungkan dari indicated reserves.
Potensi cadangan terambil dari satu lapangan prospek batubara adalah jumlah batubara
dalam ton yang perhitungan potensi diperoleh secara rinci dari beberapa pemboran
eksplorasi teknis maupun pertimbangan keekonomiannya. Besaran cadangan batubara
merupakan hasil perkalian luas pelamparan, ketebalan dan berat jenis batubara dari suatu
daerah prospek batubara. Recoverable Reserves ditambah dengan Dilution sama dengan Run
of Mine Tonage. Termasuk dilution adalah batubara yang hilang sewaktu proses
penambangan.
e. Marketable Reserves
Jumlah ton batubara yang akan dapat dipasarkan atau dijual, dapat berupa run of mine
tonnage (kalau tidak dilakukan pengolahan) maupun setelah dilakukan pengolahan.
Contoh:
Suatu rencana penambangan batubara diperhitungkan apabila dilaksanakan secara
tambang dalam memerlukan biaya Rp 20.000 setiap ton. Apabila dilakukan secara tambang
terbuka Rp 8.000, sedang biaya pengupasan tanah pada tambang terbuka adalah Rp 2.000
pertonnya.
Stripping ratio antara tambang terbuka yang menghasilkan perbedaan biaya impas (brek
even cost) dengan penambangan secara tambang dalam adalah:
Break even stripping ratio 20.000 - 8.000
6
2.000
Dengan demikian break even stripping ratio adalah 6 : 1, yang berarti bahwa untuk
mengambil 1 ton batubara maksimum jumlah tanah penutup harus dibuang adalah 6 ton.
Dengan demikian maka cara penambangannya sudah harus di tinjau kembali karena
secara ekonomis sudah tidak menguntungkan lagi.
Pada penambangan batubara dengan metoda tambang dalam yang terpenting adalah
bagaimana mempertahankan lubang buka seaman mungkin agar terhindar dari
kemungkinan :
- Keruntuhan atap batuan
- Ambruknya dinding lubang (rib spalling)
- Penggelembungan lantai lapisan batubara (floor heave)
Kejadian tersebut di atas disebabkan oleh terlepasnya energi yang tersimpan secara
alamiah dalam endapan batubara. Energi yang terpendam tersebut merupakan akibat
terjadinya perubahan atau deformasi bentuk endapan batubara selama berlangsunganya
pembentukan deposit tersebut. Pelepasan energi tersebut disebabkan oleh adanya perubahan
keseimbangan tegangan yang terdapat pada massa batuan akibat dilakukannya kegiatan
pembuatan lubang-lubang bukaan tambang. Disamping itu kegagalan dapat disebabkan
batuan dan batubara itu tidak mempunyai daya penyangga di samping faktor-faktor alami
dari keadaan geologi endapan batubara tersebut.
Penambangan batubara secara tambang dalama kenyataannya sangat ditentukan oleh
cara mengusahakan agar lubang bukaan dapat dipertahankan selama mungkin pada saat
berlangsungnya penambangan batubara dengan biaya rendah atau seekonomis mungkin.
Untuk mencapai keinginan tersebut maka pada setiap pembuatan lubang bukaan selalu
diusahan agar:
- Kemampuan penyangga dari atap lapisan
- Kekuatan lantai lapisan batubara
- Kemampuan daya dukung pilar penyangga.
Dimanfaatkan semaksimal mungkn. Namun apabila cara manfaat sifat alamiah tersebut
sulit untuk dicapai, maka beberapa cara penyanggaan buatan telah diciptakan oleh ahli
tambang.
Metode penambangan secara tambang dalam pada garis besarnya dapat dibedakan
yaitu:
a. Room and Pillar atau disebut pula Bord and Pillar
b. Longwall.
Cara penambangan ini mengandalkana endapan batubara yang tidak diambil sebagai
penyangga dan endapan batubara yang diambil sebagai room. Pada metode ini
penambangan batubara sudah dilakukan sejak pada saat pembuatan lubang maju. Selanjutnya
lubang maju tersebut dibesarkan menjadi ruangan- ruangan dengan meninggalkan batubara
sebagai tiang penyangga. Besar dan bentuk ruangan sebagai akibat pengambilan
batubaranya harus diusahakan agar penyangga yang dipakai cukup memadai kuat
mempertahankan ruangan tersebut tetap aman sampai saatnya dilakukan pengambilan
penyangga yang sebenarnya yaitu tiang penyangga batubara (coal pillars). Metoda ini
mempunyai keterbatasan- keterbatasan dalam besaran jumlah batubara yang dapat diambil
dari suatu cadangan batubara karena tidak semua tiang penyangga batubara dapat diambil
secara ekonomis maupun secara teknik.
Dari seluruh total cadangan terukur batubara yang dapat diambil dengan cara
penambangan metode Room and Pillar ini paling besar lebih kurang 30 – 40 % saja. Hal ini
disebabkan banyak batubara tertinggal sebagai tiang-tiang pengaman yang tidak dapat
diambil. Gambar 4.2 memperlihatkan Sketsa Sistem Penambangan dengan cara Room and
Pillar.
B. Metode Longwall
Gambar 4.3.
Skema Sistem Penambangan Loongwall.
Gambar 4.4
Kegiatan Pada Penambangan Loongwall.
Tampak Pekerja Sedang Mengoperasikan Shearing Machine.
Peralatan yang digunakan pada penambangan tambang dalam dapat dibagi dalam dua
kategori yaitu:
- Peralatan untuk pekerjaan persiapan
- Peralatan untuk ekstraksi batubara
Pada saat ini kemampuan peralatan tambang dalam sudah demikian maju sehingga
seluruh kegiatan pekerjaan fisik yang dilakukan oleh manusia, praktis sudah digantikan oleh
mesin atau alat bantu mekanis.
Kegunaan utama alat ini untuk membuat lubang buka, kemudian lubang maju baik
dilapisan batuan yang menuju ke lapisan batubara maupun dalam batubaranya sendiri.
Gambar 4.5
Kenampakkan Tambang Bawah Tanah Di Ombilin, Sumatra Barat.
Pada lubang-lubang transport dan lubang atau lubang lainnya ada bermacam- macam
penyanggaan yang dipakai tergantung kesediaannya ditempat. Di samping itu faktor
ekonomi juga merupakan pertimbangan.
Penyangga lubang dapat dari kayu maupun besi baja kontruksi dan bentuknya ada
yang persegi ataupun berbentuk arch. Selain cara-cara konvensional yang digunakan dalam
penyanggaan, pada tambang batubara telah juga dipakai cara penyanggaan yang dinamakan
roof bolting (Gambar 4.5). Cara ini digunakan untuk mengikat batubara yang lemah
(immediate roof) dengan lapisan yang kuat di atasnya dan juga mengikat lapisan-lapisan
batuan yang lemah menjadi beratnya sendiri sepanjang lebar bukaan lubang yang dibuat.
Jenis dan tipe penyanggaan dengan memakai roof bolt ada dua macam yaitu:
1. Mechanical roof bolt-wedge type atau expandable shell
2. Chemical roof bolt- memakai resin.
Penyanggaan yang digunakan pada daerah penggalian batubara dapat terdiri dari
balok-balok kayu maupun dari batang besi baja. Penyangga pemakaiannya hanya bersifat
sementara karena nantinya penyangga tersebut akan tergeser atau dibiarkan tertinggal
sehingga atap lapisan batubara dibiarkan runtuh.
Pada metode Longwall penyangga lapisan atap batubara digunakan penyangga
mekanis dengan memakai tenaga hidrolis untuk menahan tekanan lapisan atap batubara
yang dikenal sebagai Power roof support (PSR). Penyangga mekanis ini menggantikan
penyangga konvensional yang memakai seperti ini dapat dipergunakan berulang-ulang.
Penyangga mekanis ini dapat dibuat menurut kebutuhan tergantung kekuatan yang
diinginkan. Power Roof Support yang dipakai di unit produksi Ombilin mempunyai
kekuatan daya dukung setiap unitnya sebesar 325 ton, dan pada saat ini telah dibuat PRS
yang berkekuatan sampai 900 ton. Gambar 4.6 adalah Penyangga dengan Sistim Hidrolik.
Gambar 4.7
Penyanggaan Dengan Sistem Hidrolik Pada Penambangan Loongwall.
Kelebihan tambang terbuka dibandingkan dengan tambang dalam adalah relatif lebih
aman, relatif lebih sederhana, dan mudah pengawasannya. Pada saat ini sebagain besar
penambangan batubara dilakukan dengan metode tambang terbuka, lebih-lebih setelah
digunakannya alat-alat besar yang mempunyai kapasitas muat dan angkut yang besar untuk
membuang lapisan tanah penutup batubara. Dengan demikian pekerjaan pembuangan lapisan
penutup batubara menjadi lebih murah dan menekan biaya ekstraksi batubara.
Selain itu prosentasi batubara yang diambil jauh lebih besar dibandingkan dengan
batubara yang dapt diekstraksi dengan cara tambang dalam. Penambangan batubara dengan
metode tambang terbuka saat ini diperoleh 85% dari total mineable reserve, sedang
dengan metode tambang dalam paling besar hanya 15% saja.
Walaupun demikian penambangan secara tambang terbuka mempunyai keterbatasan
yaitu:
- Dengan peralatan yang ada pada saat sekarang ini keterbatasan kedalaman lapisan
batubara yang dapat ditambang.
- Pertimbangan ekonomi antar biaya pembuangan batuan penutup dengan biaya
pengambilan batubara.
Tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka tergantung pada letak
dan kemiringan serta banyaknya lapisan batubara dalam satu cadangan. Disamping itu
metode tambang terbuka dapat dibedakan juga dari cara pemakaian alat mesin yang
digunakan dalam penambangan.
Beberapa tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka adalah:
a. Contour Mining
Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada endapan batubara yang terdapat
di pegunungan atau perbukitan. Penambangan batubara dimulai pada suatu singkapan
lapisan batubara dipermukaan atau crop line dan selanjutnya mengikuti garis kontur
sekeliling bukit atau pegunungan tersebut.
Gambar 4.8
a. Tipe Mountaintop Mining b. Tipe Countour Mining
Peralatan yang digunakan untuk cara penambangan ini pada umumnya memakai
peralatan yang mempunyai mobilitas tinggi atau dikenal sebagai mobil equipment.
Peralatan mekanis yang digunakan seperti alat muat (Wheel Loader, Track Loader, Front
Shovel, dan Backhoe), alat angkut jarak jauh (Off Highway Dump Truck), alat angkut jarak
dekat (Power Scraper), dan peralatan lainnya.
Alat-alat tersebut dipergunakan untuk pekerjaan pembuang lapisan penutup batubara
sedang untuk pengambilan batubaranya dapat digunakan dengan alat yang sama atau yang
lebih kecil tergantung tingkat produksinya. Kapasitas alat angkut berupa Off Highway
Dump Truck antara 18 ton sampai 170 ton. Di
Gambar 4.9
Wheel Loader Sebagai Alat Muat.
Open pit mining adalah penambangan secara terbuka dalam pengertian umum. Apabila
hal ini diterapkan pada endapan batubara dilakukan dengan jalan membuang lapisan batuan
penutup sehingga lapisan batubaranya tersingkap dan selanjutnya siap untuk diekstraksi.
Peralatan yang dipakai pada penambangan secara open pit dapat bermacam-macam
tergantung pada jenis dan keadaan batuan penutup yang akan dibuang. Dalam memilih
peralatan perlu dipertimbangkan:
Gambar 4.10.
Wheel Dozer sebagai Alat Pengupas.
2. Peralatan yang bersifat bekerja secara kontinu membuang lapisan penutup tanpa
dibantu alat angkut antara lain :
a. Dragline baik yang dengan crawler maupun walking dragline. Alat ini mengeruk
dan langsung membuang sendiri. Kapasitasnya bervariasi mulai dari yang kecil
kurang darii 5 m3 sampai dengan yang kapasitas mangkok di
atas 40 m3 dan jarak buang lebih dari 75 m.
Gambar 4.11
Track Loader sebagai Alat Muat.
Gambar 4.13.
Penambangan Open Pit.
d. Striping Mining
Tipe penambangan terbuka yang diterapkan pada endapan batubara yang lapisannya
datar dekat permukaan tanah. Alat yang digunakan dapat berupa alat yang sifatnya mobil
atau alat penggalian yang dapat membuang sendiri. Penambangan batubara khususnya di
Kalimantan akan dimulai dengan cara Tambang Terbuka yang memakai alat kerja bersifat
mobil.
Penyebaran batubara tidak selalu seiring oleh kualitas dan ketebalan yang
menggembirakan, karena sering dijumpai kualitas batubara di suatu daerah cukup tinggi
sementara ketebalannya kurang dari 1 m, atau sebaliknya.
Ketebaan lapisan batubara berhubungan erat dengan teknik penggaliannya yang sudah
barang tentu diarahkan pada efisiensi sistem penambangan yang secara ekonomi layak
diterapkan. Sampai saat ini untuk menggali lapisan batubara dengan ketebalan kurang dari 1
m, baik pada tambang bawah tanah maupun terbuka, terbentur pada masalah pemilihan
sistem penambangan yang ekonomis. Misalnya pada sistem longwall, alat pemotong
batubara (shearer) paling kecil yang diproduksi mempunyai ketinggian 0.81 m, tentu alat
ini tidak dapat digunakan pada lapisan batubara yang lebih tipis dari 0.81m. Pada tambang
terbuka, lapisan penutup yang tebal umumnya menjadi kendala untuk menambang lapisan
batubara yang tipis, bila ditinjau dari aspek ekonomi. Tetapi kendala pemilihan alat
penggali lapisan batubara tipis telah dapat diatasi berkat kemajuan teknologi untuk
merancang suatu alat pembajak batubara (flow) yang dapat digunakan untuk mengekstrak
lapisan batubara dengan ketebalan 0.46m. Masalah yang timbul kemudian adalah
bagaimana memanfaatkan alat bajak ini pada suatu sistem penambangan lapisan batubara
yang tipis.
Diperkenalkan sistem penambangan Titik, yaitu suatu sistem yang dioperasikan
secara jarak jauh (remote operations) dari suatu jenjang tempat meletakkan peralatan
penambangan sehingga tidak ada personel dan penyangga yang diperlukan di dalam
tambang. Sistem tersebut sampai sekarang masih dikaji dan terus dikembangkan dari segala
aspek di beberapa Negara maju. Ada beberapa Negara yang telah mengoperasikan beberapa
sistem penambangan lapisan batubara tipis, tetapi tidak menggunakan sistem penambangan
yang sedang beroperasi tersebut merupakan bagian atau ide dari sistem penambangan Titik
yang sedang dikaji. Cara penambangan lapisan batubara yang sedang beroperasi saat ini
secara ekonomi sulit dapat diterima, tetapi cara tersebut terus dilakukan karena setiap
pemerintah mempunyai kebijaksanaan berbeda dalam mengelola sumberdaya alam yang
strategis yang dimilikinya. Beberapa system penambangan lapisan batubara tipis yang akan
diperkenalkan pada tulisan ini adalah:
Gambar 4.14.
Skema sistem Penambangan Tarik Kabel Rantai di Korea.
Pilar-pilar ini juga berfungsi sebagai penyangga sementara pada saat salah satu pilar
sedang dipotong. Disamping itu harus dirancang pula dua corongan dibagian bawah pilar
untuk menampung serpihan batubara.
Rantai pemotong batubara disambung dengan kabel yang dihubungkan ke mesin
penggerak yang dapat menjalankan rantai pemotong tersebut maju mundur.
Gambar 4.15
Skema Penerapan Sistem Penyangga Bertekanan Udar
a
(Pneumatic Support)
Sistem penyanggaan ini terdiri dari satu set berisi empat kantong udara bagian dalam,
satu set berisi empat kantong udara bagian luar dan sebuah kantong udara lebar pembatas.
Penyangga dapat bergerak maju dengan cara sebagai berikut:
Dua sistem yang disebutkan terdahulu hanya dapat diterapkan secara efektif pada
lapisan batubara yang mempunyai kemiringan cukup tajam, sehingga serpihan batubara dapat
mengalir hanya karena gaya gravitasi. Konsep system backfilling dipersiapkan untuk lapisan
batubara tipis yang relatif datar, untuk itu harus dipersiapkan suatu sistem pengangkutan
yang sesuai dengan ketebalan lapsan batubaranya. Gambar 4.16 merupakan sketsa sistem
penambangan backfilling.
Teknik penggalian dan penyanggaan yang akan diterapkan mengacu pada sistem
longwall, yaitu suatu sistem dengan proses penambangan dan pengangkutan bergerak maju
dan meninggalkan runtuhan lapisan atap di belakang penyangga. Dengan pertimbangan
tipisnya lapisan batubara dan penyangga yang harus dapat bergerak maju, maka sistem
penyangga bertekanan udara diharapkan sebagai jawaban yang tepat. Dasar konsep ini
menggunakan seoptimal mungkin teknik pengontrolan jarak jauh, baik terhadap mobilitas
penyangga maupun penggalian, sehingga tidak diperlukan personil yang bekerja di dalam
tambang.
Sebagai alat angkut serpihan batubara ke luar tambang akan digunakan Armoured
Face Conveyor (AFC) yang lazim digunakan pada sistem longwall. Sedangkan alat
galiannya adalah pembajak (plow) dipilih karena kemampuannya menggali batubara yang
mempunyai ketebalan 0,46 m.
Seperti halnya sistem backfilling, sistem Roof-fall Tolerant juga merupakan konsep
yang sasaran utamanya tidak memerlukan adanya karyawan yang bekerja didalam tambang.
Bahkan sistem ini dirancang tidak memerlukan penyangga sama sekali. Konsep sistem
Rooffall Tolerant dibuat atas dasar hipotesis sisipan tipis, yaitu akan terbentuknya rongga
dibelakang alat pemotong secara bertahap dan runtuhan atap terjadi pada toleransi jarak yang
cukup aman.
Adanya toleransi jarak runtuhan tersebut merupakan keuntungan karena alat potong
dan alat angkut tidak akan terjepit oleh runtuhan atap. Konsep sisipan tipis ini meliputi
seluruh perangkat penambangan yang diperlukan antara lain rantai pemotong yang panjang
dan bergerak memutar (looping) serta sistem pengangkutannya. Penggalian batubara
bergerak darii satu arah sampai jarak tertentu, kemudian berbaliknya kearah yang
berlawanan, begitu seterusnya sampai lapisan batubaranya habis.
Seluruh perangkat penambangan batubara digerakkan oleh mesin-mesin yang terletak
di atas jenjang. Mesin penggerak rantai pemotong dan alat angkut terletak pada satu
jenjang, sedangkan pada jenjang yang berseberangan terdapat mesin pembalik perangkat
penambangan tersebut, pada saat yang sama juga terus bergerak maju untuk memberikan
gaya dorong terhadap rantai pemotong yang berdiameter antara 100 – 150 mm. Gambar 4.17
adalah Sistem Penambangan Roof-Fall Tolerant.
Pencucian batubara ialah usaha yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas batubara,
agar ia memenuhi syarat penggunaan tertentu. Termasuk di dalamnya (1) pembersihan untuk
mengurangi impurities anorganic (2) peremukan-pengayakan atau kedua-duanya atau (3)
pengolahan khusus seperti dedusting.
Karakteristik batubara dan impurities yang utama ditinjau dari segi pencucian
mechanis ialah komposisi ukuran partikel yang umum disebut Size Consisti, perbedaan
berat jenis dari material yang akan dipisahkan, kimia permukaan friability relatif dari
batubara dan impuritiesnya, serta kekuatan dan kekerasan. Faktor lain yang juga
berpengaruh pada pencucian ialah komposisi petrografik dan rank.
Parameter umum untuk kualitas batubara adalah kandungan abunya. Batubara yang
datang dari tambang mengandung fragmen material dengan berat jenis sangat bervariasi,
mulai dari terendah (antara 1,25 – 1,35 dengan kandungan abu antara 1% - 5%) hingga
tertinggi 2,5 untuk material shale murni. Umumnya berat jenis akan membesar dengan
meningkatnya kandungan impurities didalam batubara. Gambar
5.1 menunjukan satu contoh hubungan impurities dengan jenis pada selang ukuran yang
sama dari batubara (ROM).
Adalah umum mendefinisikan material buangan sebagai material yang akan tenggelam
pada media denagn berat jenis 1.6 dan batubara bersih sebagai material yang mengandung
pada media yang sama.
Untuk menentukan metode dan alat yang akan digunakan untuk mencuci batubara
perlu dilakukan pemeriksaan uji yang lengkap terhadap batubara mentah untuk
memperoleh data ukuran distribusi berat jenis, deskripsi petrografi batubara kandungan
air, abu dan sulfur serta ash-fusibility characteristic.
Umumnya dari seluruh batubara yang dicuci 90% dilakukan dengan cara konsentrasi
gravitasi dan kira-kira 10% dengan cara floats buih. Nisbah konsentrasi umumnya kecil,
artinya pada pencucian batubara produk batubara bersih jauh lebih besar jumlahnya
dibandingkan dengan material buangan.
Dari data ketercucian kita dapat membaca nilai perolehan yang didasarkan pada
pemisahan yang sempurna, oleh karena itu disebut perolehan teoritis. Perolehan
sesungguhnya dari hasil pencucian selalu kurang baik tergantung pada tingkat efisiensi dari
keseluruhan operasi. Hal ini disebabkan karena:
1. Operasi pencucian dilakukan secara kontinu, bukan batch seperti uji endap apung, dan
tidak dapat beroperasi secara se,purna. Dalam praktek ini berarti unjuk kerja alat
dipengaruhi oleh material near-gravity yang dapat masuk kesalah satu jalur. Oleh karena
itu misplacement selalu terjadi.
2. Operasi pencucian makin sulit dengan makin kecilnya ukuran butir-umpan pengolahan,
dan setiap alat mempunyai selang ukuran tertentu dimana ia dapat beroperasi secara
efisien. (Gambar 5.2).
3. Partikel sangat halus bila diolah, masih akan hilang pada operasi terakhir yaitu
dewatering. Gambar 5.3 dan 5.4 menunjukan hubungan antara efisiensi
Gambar 5.2
Selang Ukuran Operasi Unit Proses Pencucian Batubara
Gambar 5.2 menunjukan metoda pencucian yang umum dikaitkan dengan ukuran
partikel. Untuk batubara besar Baum jig dan dense medium bath yang lebih efisien, dan
banyak dipakai. Dense medium cyclone, cyclone hanya dengan air, meja goyang banyak
dipakai untuk partikel berukuran sedang. Sedangkan berukuran halus flotasi buih.
Gambar 5.4
Kurva Unjuk Kerja Tromp Berbagai Alat Pencucian Batubara
Pada Ukuran Batubara yang Sama (6 x 0.5 mm)
Gambar 5.11
Gambar 5.13
Gambar 5.15
Jigging adalah proses stratifikasi partikel yang menghasilkan lapisa-lapisan dngan berat
jenis partikel makin membesar dari atas kebawah oleh suatu gerakan bolak-balik fluida, ia
dapat mengolah batubara kelemahan dari jigging.
1. Efisiensi pemisahan tidak sebaik dense medium separation.
2. Berat jenis pemisahan (cut point) tidak terkendali sampai ke batas yang kecil,
misalnya jigging dengan umpan 15 cm-0, akan dipisahkan menurut berat jenis
pemisah.
Jig yang umumnya dipakai ialah Baum jig dengan berbagai variasinya. Batas jig juga
banyak dipakai. Jig bekerja dengan dasar sederhana dengan 3 mekanisme pemisahan yaitu
percepatan awal yang hanya tergantung pada berat jenis partikel, hindered settling
classification dan consolidation trickling tergantung pada ukuran berat jenis dan bentuk
partikel. Gerakan yang besar, mula-mula dipengaruhi oleh percepatan awal, diikuti
hindered settling sedangkan partikel halus disamping dipengaruhi oleh percepatan awal
dan hindered settling gerakannya berlanjut dengan consolidation trickling, sehingga
akhirnya partikel halus berat berada di lapisan paling bawah. Mekansme ini muncul karena
adanya gerakan bolak-balik vertikel dari air. Hasil akhir dipengaruhi oleh faktor alat
(panjang pukulan jig, frequency, cara mengeluarkan buangan, pengendalian air) dan
karakteristik batubara (washability, distribusi ukuran, jumlah buangan)
Tidak ada pemisahan sempurna yangn terjadi pada jigging, karena sifat gerakan acak
dari partikel ketika membentuk lapisan, dan terganggunya lapisan yang terbentuk sebagai
akibat pengeluaran produk.
Gambar 5.16
Elemen-elemen Siklus Baum Jig
(1) Katup udara terbuka, udara tekan masuk dan segera menciptakan aliran vertikal
kearah atas.
(2) Pemuaian ; ini adalah waktu antara berhentinya supply udara hingga ia keluar dari
ruang udara masuk ke atmosfer. Selama masa ini tinggi air pada komportemen
pencucian lebih tinggi dari yang ada diruang udara, dan dilasi terhenti sementara.
(3) Pengeluaran, ini adalah masa pengeluran udara dari ruang udara yang terjadi setelah
katup dibuka, diikuti turunnya tekanan di dalam ruang. Tinggi air pada komponen
pencucian turun karena air kembali masuk ruang udara, menghasilkan gerakan hisap
(suction). Selama masa ini terjadi stratifikasi dari partikel-partikel yang ada di dalam
kompartemen pencucian.
(4) Lap atau compression, waktu ketika katup dibuka dan tekanan udara di dalam ruang
berubah dari 1 atmosfer menjadi sama dengan tekanan udara tekan yang masuk. Ini
adalah saat akan memulai siklus baru dan bed yang terbentuk masih kompak.
Box pencucian berupa saluran berisi air yang penampangnya berbentuk U (Gambar
5.17). Saluran ini terbagi dua bagian, satu bagian tertutup tempat terpasangnya katup
udara dan pada bagian lain ditutup dengan plat saringan. Pada daerah inilah terjadi proses
pencucian batubara. Material buangan dikeluarkan dari dasar lapisan bed dengan bucket
elevator. Laju pengeluaran material buangan
Gambar 5.17
Original Baum Jig
Ada beberapa tipe Baum jig misalnya yang dirancang untuk mengolah partikel kecil,
misalnya ½ - 0. Rancangan umumnya sama seperti di atas, tetapi meggunakan alas jig
(ragging) dari feldspar.
Box pencuci dapat berukuran sampai 30 ft x 10 ft (daerah pencucian) dan kapasitas dapat
sampai 500 t/jam pada ukuran ini.
Gambar 5.19
Grafik Pengaruh Udara dan Aliran Pada Pulsion dan Suction dari Baum Jig
Gambar 5.21
The British Coal – Preferred Baum Jig
Gambar 5.23
Lateral Section of ACCO Baum Jig
Gambar 5.25
Modern Version Of The ACCO System Of Shale Discharge (Courtesy
Gambar 5.27
Principle of Balanced Density Discard Control
Gambar 5.29
Mc Nally Shale – Discharge System (Courtesy Mc Nally, Pittsburgh)
Gambar 5.31
Gambar 5.34
ROM JIG – Movable Screen Jig
Gambar 5.37
300 t/h Spirals Plant at German Creek Coal Preparation Plant
Konsentrasi batubara pada aliran tipis (flowing- film) hanya diterapkan pada batubara
berukuran kecil yaitu minus 2 mm dan dengan laju yang rendah pula (kapasitas alat kecil).
Oleh karena itu tidak semua alat konsentrasi flowing-film digunakan pada pencucian
batubara. Di bidang yang pemakaiannya semakin banyak ialah spiral. Dibidang pencucian
batubara alat ini baru dipakai sejak 1950 dan dapat melakukan fungsinya dengan baik
5.2.4. Flotasi
Flotasi diterapkan pada batubara halus yang berukuran di bawah 0,5 mm dan hanya
sebagai pelengkap saja dari alat lain seperti Baum jig.
Batubara seperti beberapa mineral lain seperti sulfur, talc adalah mineral hydrophobic
yaitu bila dicelupkan kedalam air ia tidak basah. Partikel yang tidak dibasahi ini
(hydrophobic) bila berbenturan dengan gelembung udara akan langsung menempel. Prinsip
ini yang dipakai pada flotasi. Pada kenyataannya permukaan partikel batubara tidak betul-
betul hydrophobic. Oleh karena itu ia perlu diolah lebih dahulu untuk mengubah
permukaannya menjadi betul-betul hydrophonic. Pengolahan seperti ini disebut conditioning
yaitu partikel padatan diolah dengan reagent kimia untuk permukaannya menjadi
hydrophonic.
Proses flotasi terjadi di dalam alat yang disebut sel flotasi. Umpan yang telah
dicondition lebih dahulu untuk memastikan permukaan batubara telah hydrophobic masuk
ke sel flotasi melalui jalur pemasukan umpan. Udara masuk ke dalam sel melalui
impeller, dan terbentuk gelembung-gelembung udara berukuran halus. Gelembung udara
berbenturan dengan partikel batubara, menemapel dan naik ke permukaan. Gelembung
yang naik berkumpul di atas pulp dan dikeluarkan dengan batuan scraper.
Unjuk kerja flotasi batubara, bila beroperasi dengan baik akan memberikan perolehan
batubara bersih yang tinggi, tetapi kandungan abu yang relative tinggi
Gambar 5.38
Sketsa Sel Flotasi Mekanical (Denver)
Gambar 5.41
Instalasi Flotasi Batubara, Laju Umpan 130 ton/jam
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 141
Gambar 5.42
Pneumatic Flotation EKOPLOT
Gambar 5.43
The Hydrochem Agitated Column
Gambar 5.47
The Outokumpu HG Cell
Didalam pekerjaan pencucian batubara terdapat dua kegiatan analisis yang penting untuk
dilakukan yaitu:
a. Analisis distribusi ukuran (size distribution analysis)
b. Analisis endap apung (sink-float analysis)
Analisis distribusi ukuran pada umumnya dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi:
a. Jumlah batubara halus
b. Komposisi berat pada berbagai ukuran
c. Neraca material bagi setiap alat yang terdapat di dalam pabrik instalasi
pencucian.
Analisis kualitas (analisis proksimat dan ultimat) dapat saja dilakukan terhadap setiap
fraksi ukuran, tetapi pada umumnya yang terpenting untuk dianalisis adalah kadar setiap
fraksi ukuran.
Analisis endap-apung dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh:
a. Perolehan teoritis fraksi terendapkan maupun terapung.
b. Indikasi derajat kesukaran yang mungkin timbul pada saat dilakukan pencucian,
misalnya adanya sejumlah material yang densitas relatifnya mendekati densitas relative
media pencuci (disebut near density material).
c. Indikasi efektivitas pada suatu tahap proses pencucian ataupun efektivitas
keseluruhan pabrik (misal adanya pengotor di dalam batubara bersih).
d. Indikasi karakteristik distribusi kualitas batubara dikaitkan dengan berbagai fraksi
densitas, misalnya kadar abu, belerang, nilai bahang (kalor).
Kedua kegiatan ini selain sangat berguna bagi perencanaan pendirian suatu pabrik
pencucian batubara juga sangat diperlukan dalam mengevaluasi unjuk kerja (performance)
suatu pabrik yang telah bekerja, selain itu kedua analisis di atas juga dilakukan dengan
tujuan untuk memperoleh:
a. Evaluasi rinci untuk membuka tambang baru ataupun untuk rencana pengembangan
(ekspansi). Analisis dilakukan terhadap percontohan inti bor (drillcore sample),
percontoh bulk.
b. Data kualitas batubara harian, dari berbagai seam, berbagai titik di pabrik.
c. Data bagi perencanaan pabrik misalnya pengembangan peta air.
Data yang diperoleh dari suatu analisis sangat tergantung pada mewakili (representatif)
atau tidaknya percontoh (sample) yang dianalisis. Terdapat berbagai standar pemercontohan
agar dapat diperoleh percontoh yang mewakili (pembahasan secara rinci terdapat pada bab-
bab sebelumnya). Beberapa faktor penting yang patut diperhatikan pada saat melakukan
pemercontohan batubara adalah:
a. Pemilihan metode pemercontohan.
b. Pemilihan lokasi pemercontohan.
c. Pemercontohan dilakukan pada kondisi yang steady-state.
d. Jumlah percontoh harus cukup semua kebutuhan analisis.
e. Pemilihan metode mereduksi jumlah/berat percontoh.
f. Penomoran.
Berbagai pemercontohan standar telah diterbitkan oleh Negara-negara pengekspor
batubara, yang pada umumnya mementingkan agar jumlah (berat) percontoh selalu cukup
untuk dipakai pada analisis endap-apung maupun distribusi ukuran (lebih baik berlebih
daripada kekurangan).
Sampai saat ini belum ada kepastian berat percontoh maupun jumlah increment yang
diperlukan untuk analisis endap-apung. Rekomendasi dari ISO (International Standard
Organaization) adalah minimum 40 increment dari setiap percontoh, meskipun nilai sangat
tergantung pada kondisi percontoh, yang akhirnya rekomendasi ini betul-betul hanya dipakai
sebagai petunjuk (quideline) saja.
Dengan asumsi bahwa bentuk butiran-butiran batubara mendekati bola dan
keseluruhannya hamper sama besar densitas relatifnya 1,5 maka persamaan dapat dipakai
untuk menentukan berat percontoh:
P = 5,24 D
Dimana: P = berat percontoh dalam kg
D = diameter rataan dalam mm
Berat percontoh yang diberikan di atas adalah berat minimum dan harus diperbesar
apabila ternyata di dalam batubara terdapat material asing (pengotor) seperti batu,
shale. Pemercontohan terhadap recect harus dengan
Tabel 5.1
Berat Percontoh (Kg) Menurut AS 1661
Fraksi
ukuran Uji komprehensif Kontrol
(mm)
Raw coal Clean Reject Clean Reject
coal coal
- 125 + 63 400 600 1200 200 400
- 63 + 31,5 100 150 300 50 100
- 31,5 + 25 35 70 15 35
16.0
-16.0+8.0 7 10 20 4 10
-8.0+4.0 3 4.5 9 2 5
-4.0+2.0 1.5 2.5 5 15 2.5
-2.0+0.5 1.0 1.5 3 1 1
-0.5 0.5 0.5 1 0.5 0.5
dF (x)
f (x) = dx atau F (x) oversize = 1 – F(x) undersize
Metode yang paling umum dipakai adalah mengalurkan kurva kumulatif, F(x),
sebagai sumbu tegak terhadap in x sebagai sumbu mendatar. Dengan cara ini apabila
distribusi partikel bersifata normal maka akan diperoleh garis lurus atau garis yang hampir
lurus. Percontohan batubara pada umumnya memberikan selang ukuran yang lebar.
Karakteristik ini bersama-sama dengan adanya pemecahan alamiah.
Kominusi mekanikal dan heterogenitas batuan pembentuk mineral-mineral lain,
mengakibatkan distribusi ukuran menjadi tidak normal.
Fungsi distribusi Rosin-Rammler dinyatakan sebagai yang paling mendekati untuk
menyatakan distribusi, ukuran batubara sampai pada ukuran 50 mm. Kumulatif persen
oversize dinyatakan dengan persamaan:
n
F(x) = exp
x
1
Dimana:
F(x) = residue atau persen oversize pada ukuran minimum x, yaitu persen berat
tertampung pada ukuran x
x = ukuran lubang sieve, atau diameter partikel x1
= konstanta selang ukura
n = konstanta distribusi ukuran (tanpa dimensi), menyatakan derajat dispersi
ukuran butir.
x
R = 100 exp –
x1
Disini R adalah persen oversize pada ukuran yang terkecil atau secara umum adalah
persen berat tertampung pada suatu sieve yang berukuran x. Selanjutnya x disebut
konstanta ukuran absolute dan n disebut konstanta distribusi ukuran. Dengan mengambil
nilai logaritma sebanyak dua kali maka persamaan Bennet akan menjadi.
Log log R = n log x + c
Didalam uji ini batubara pada fraksi ukuran tertentu dipisah-pisahkan berdasarkan
densitasnya. Prinsip pemisahannya adalah batubara berukuran + 0,5 mm (28 mesh)
dicelupkan kedalam larutan organik berat dengan densitas tertentu. Fraksi yang terapung
kemudian dipisahkan untuk selanjutnya dicelupkan kembali kedalam larutan berat yang
densitasnya lebih besar (+0,05) daripada yang pertama.
Kriteria utama yang dipakai untuk pemilihan alat agar dicapai hasil yang memuaskan
adalah:
a. Pengujian tidak dipengaruhi oleh media pemisah
b. Convenient dan aman untuk dipakai
c. Mudah pengiprasiannya
Untuk material berukuran + 0,5 mm, alat yang dipakai uji endap-apung terdiri dari
suatu keranjang (disebut keranjang percontoh) berbentuk segiempat yang terbuat dari kain
dan sebuah tangki (disebut tangki larutan) terbuat dari baja tahan karat berbentuk empat
persegi panjang yang dibagi atas beberapa segmen (Gambar 5.50). Di bagian bawah
tangki ini dibuat saluran sedemikian rupa untuk
Gambar 5.50
Tangki Kelarutan dan Keranjang Contoh
Batubara ROM (run of mine) terdiri dari barbagai macam material yang densitasnya
juga bervariasi dari yang terkecil sampai terbesar, dengan komposisi berbeda-beda.
Kurva ketercucian menunjukan hubungan antara abu dalam suatu fraksi ukuran dengan
jumlah material yang dapat terapungkan atau terendapkan pada suatu densitas relatif
tertentu. Untuk membuat kurva-kurva ketercucian diperlukan suatu tabel yang menunjukan
hubungan antara persen berat terapungkan dengan kadar abunya. Pada Tabel 5.3
dicontohkan data perhitungan uji endap-apung. Didalam Tabel 5.3 tersebut terdapat 12
kolom.
Kolom 2 :
Persen berat setiap fraksi densitas relatif. Kolom ini diperoleh dengan cara membagi
berat setiap fraksi densitas dengan jumlah berat seluruh fraksi densitas (bukan berat
percontoh). Perbedaan berat percontoh dengan jumlah berat seluruh fraksi densitas dapat
dipakai untuk memeriksa ketelitian uji ini.
Kolom 3 :
Kadar abu pada setiap fraksi densitas relatif. Kadar abu dianalisis dilaboratorium
dengan metode standar tertentu.
Kolom 4:
Kadar abu pada (dalam persen) di fraksi terapung pada densitas pemisahan tertentu
terhadap berat percontoh total. Kadar di kolom ini diperoleh dengan cara, misal untuk
fraksi densitas relative 1,30 – 1,40 :
(kolom 2 x Kolom 3) / 100 = 20,5 x 5,1 / 100 = 1,05 %
Penjumlahan nilai-nilai yang terdapat di kolom 4 ini akan menghasilkan kadar abu
percontoh (27,62 %). Nilai ini dapat dicek kembali dengan kadar abu yang diperoleh dengan
cara menganalisis langsung percontoh. Apabila perbedaannya terlalu besar berarti ada
kesalahan dalam menghitungnya.
Kolom 5 :
Kumulatif berat abu (dalam persen). Kolom ini diperoleh dengan cara menjumlahkan
nilai pada kolom 4 secara kumulatif. Nilai pada kolom ini menunjukan berat abu, sebagai
bagian dari total percontoh, yang akan diperoleh pada densitas pemisahan tertentu, sebagai
contoh berat abu (dinyatakan dalam persen) yang akan diperoleh pada fraksi terapung dr 1,40
adalah 1,60%.
Kolom 6 :
Kumulatif persen berat terapung. Kolom ini diperoleh dengan menjumlahkan angka-
angka pada kolom 2. Nilai pada kolom ini menunjukan persen berat yang
Kolom 7 :
Persen kadar abu dari kumulatif fraksi yang terapung, yaitu persen kadar abu yang
akan diperoleh pada fraksi terapunglan pada densitas pemisahan tertentu.Misal pada dr 1,40
:
(Kolom 5 / kolom 6) x 100 = (1,60 / 59,61) x 100 = 2,7 %
Kolom 8 :
Berat abu (dalam persen berat) didalam fraksi terendapkan pada densitas pemisahan
tertentu. Nilai di kolom ini diperoleh dengan cara, misal pada dr 1,4 :
(Jumlah Kolom 4) – Kolom 5 = 27,62 – 1,60 = 26,02 %
Kolom 9 :
Kumulatif persen berat terendapkan, yaitu nilai kumulatif persen berat dari fraksi-fraksi
yang terendapkan pada setiap densitas pemisahan. Pada densitas pemisahan 1,40 akan
diperoleh 59,61% terapung (Kolom 6) maka kumulatif yang terendapkan :
100 – Kolom 6 = 100 – 59,61% = 40,39 %
Kolom 10 :
Persen kadar abu dari kumulatif fraksi yang terendapkan, yaitu persen kadar abu
yang akan diperoleh pada fraksi tenggelam pada densitas pemisahan tertentu. Misal pada dr
1,40 :
(Kolom 8 / Kolom 9) x 100 = (62,02/40,39) x 100 = 64,4 %
Kolom 11:
Densitas relatif
Kolom 12 :
Persen berat percontoh yang densitas relatifnya terletak antara +0,10 dan -0,10 dari
densitas pemisahan. Pada densitas pemisahan 1,40, maka:
Kolom 6 (dr = 1,50) – Kolom 6 (dr = 1,30) = 64,27 – 39,11 = 25,16 %
Tabel 5.3
Contoh Data Ketercucian
0–7 Mudah
7 – 10 Agak sulit
10 – 15 Sulit
15 – 20 Sangat sulit
20 – 25 Luar biasa sulit
di atas 25 ?
Apabila digunakan jig sebagai alat pencuci maka near density material harus
serendah mungkin. Andaikan untuk suatu batubara bersih telah ditentukan kadar abunya
dan dipilih jig sebagai alat pencuci. Agar diperoleh near density material
Dengan demikian kadar abu di dalam middling adalah 32,8% yang artinya middling ini
perlu diolah kembali, baik dengan cara diperkecil ukurannya ataupun dipakai untuk
keperluan lain yang masih dapat menerima kadar abu yang tinggi.
Adanya sejumlah besar material near density mengakibatkan pemakaian Baum jig
menjadi tidak mungkin demikian juga halnya dengan dense-medium process. Pada
kemungkinan yang kedua, dimana jumlah material near densitynya cukup rendah. Baum jig
dapat dipakai, tetapi hasil pencuciannya akan cukup berbeda dengan yang dihitung secara
teoritis. Dengan demikian terhadap batubara ini akan lebih sesuai bila dipakai pemisahan
dense-medium yang akan menghasikan tiga produk yaitu batubara bersih, middling, dan
reject. Terhadap middling dapat dilakukan crushing untuk kemudian diproses kembali atau
dipakai apa adanya (batubara dengan kadar abu tinggi).
Gambar 5.54
Kurva Ketercucian Batubara yang Pencuciannya Sulit Dilakukan
Didalam pencucian batubara, kurva partisi adalah suatu metoda untuk menganalisis
efesiansi pemisahan suatu alat yang tidak berhubungan dengan data ketercuciannya. Tetapi
metode dengan kurva partisi ini hanya berlaku untuk pencucian yang menggunakan
metoda perbedaan densitas relatif, sehingga pencucian yang memakai proses flotasi tidak
dianalisis dengan cara ini. (Dengan cara yang sama, cara ini dapat pula dipakai pada
classifier tetapi tidak dibahas pada kursus ini).
Didalam materi ini akan dibahas penggunaan dan pembuatan kurva partisi. Metode ini
pertama kali diusulkan oleh TROMP yang kemudian disebut kurva Tromp, nama lain yang
sering dipakai adalah kurva distribusi (Distribution Curve), kurva kesalahan (error curve),
kurva perolehan kadar (grade recovery curve).
Di dalam setiap proses pencucian akan selalu terjadi salah penempatan
(misplacement), yang terutama disebabkan oleh adanya material near density. Dengan
demikian kesalahan pencucian akan makin besar dengan makin besarnya jumlah material
near density.
Untuk membuat kurva Tromp diperlukan perhitungan koefisien partisi (atau faktor
distribusi). Untuk memudahkan pembuatan kurva ini, pada Tabel 5.5, dicantumkan data
ketercucian dua produk pencucian, yaitu batubara bersih dan reject.
1 2 3 4 5 6 7
-1,30 55.52 0.27 39.03 0.08 39.11 - 0.2
1.30-1.40 28.99 0.40 20.38 0.12 20.50 1.35 0.6
1.40-1.50 6.34 0.67 4.46 0.20 4.66 1.45 4.3
1.50-1.60 2.99 0.98 2.10 0.29 2.39 1.55 12.1
1.60-1.70 1.34 155 0.94 0.46 1.40 1.65 32.9
1.70-1.80 0.67 2.89 0.47 0.86 1.33 1.75 64.7
1.80-1.90 0.20 2.56 0.14 0.76 0.90 1.85 84.4
1.90-2.00 0.15 2.73 0.11 0.81 0.92 1.95 88.0
2.00- 3.80 87.95 2.67 26.12 28.79 - 90.7
100.00 10000 70.30 29.70 100.00
Perhatikan kurva partisi pada Gambar 5.55 Didalam gambar ini kurva partisi dibuat
dengan cara mengalurkan nilai densitas rataan (kolom 7) pada sumbu absis (sumbu x)
terhadap koefisien partisi (kolom 8) pada sumbu ordinat (sumbu y), Kurva partisi dapat pula
dibuat dengan cara dibalik yaitu memutar pada angka 50% sehingga nilai yang terkecil akan
terletak di bawah. Apabila kurva partisi dibuat dengan mengatur agar jarak (skala) pada
sumbu x sedemikian sehingga 1 cm adalah sama dengan 0.1 densitas relatif dan pada
sumbu y sedemikian rupa sehingga jarak 1 cm adalah sama dengan nilai 2% maka luas
daerah di bawah
kurva dalam satuan cm2 dikenal dengan nama daerah kesalahan (=error area).
Densitas partisi, dp, adalah densitas relatif pada mana koefisien partisinya 50%. Pada
densitasnya relative ini pemisahan terjadi dengan baik yaitu 50% akan tertangkap sebagai
batubara bersih dan 50% sisanya sebagai reject.
E p m = (d75 – d25) / 2
Dan pada Gambar 5.54 nilainya adalah o.105. nilai ini dikenal dengan sebutan ecart
probable moyen (epm), dan nilainya memberikan indikasi kuantitas kesalahan yang terjadi
pada densitas pemisahan tertentu.
epm
I
(d. p 1)
Gambar 5.55
Kurva partisi tidak bebas dari karakteristik batubara kotor. (Ekor) kurva baik yang
terletak di atas maupun yang terletak di bawah berubah (bervariasi) tidak hanya dengan
macam/jenis separator yang dipakai, tetapi juga dengan jenis batubaranya. Jelas sekali
bahwa friability batubara sangat mempengaruhi bentuk ekor.
Pada umumnya bagian tengah kurva hampir mendekati garis lurus karena berkaitan
dengan zona frekuensi tinggi untuk kurva Gaussian normal. Pada umumnya kurva tengah
terletak di antara nilai d25 dan d75, konsekuensinya nilai epm untuk kurva kumulatif yang
mengikuti distribusi normal, akan tidak tergantung (independent) pada karakteristik
batubara kotor, sedangkan daerah kesalahan yang berhubungan dengan bentuk ekor kurva
akan dipengaruhi oleh keadaan alamiah batubara kotor. Daerah kesalahan bebas dari
kerugian bahwa pemisahan pada densitas yang tinggi akan menghasilkan koefisien partisi
yang rendah sehingga diperlukan selang densitas yang cukup lebar. Untuk suatu ukuran
tertentu, nilai
Batubara dapat dibakar dengan tiga cara: di unggun tetap (fixed bed), di unggun
terfluidakan (fluidized bed) dan pulverized atau di entrained bed. Ketiga sistem pembakaran
batubara tersebut dibedakan atas dasar kinematika partikel.
Dalam fixed bed, partikel dan gas bergerak secara counter flow. Keadaan partikel bisa
diperkirakan dengan baik sehingga memudahkan dalam pemodelan. Dalam fluidized bed,
partikel teraduk dengan baik dan kelakuan partikel lebih sulit ditentukan/diperkirakan.
Dalam entrained bed, partikel bergerak dengan cepat bersama-sama dengan gas, partikel-
partikel dan gas yang mengelilinginya cenderung bergerak bersama-sama.
Dalam semua stokers, bilamana batubara dipanaskan, akan mengeluarkan air dan
volatile matter-nya. Residu padat, air dan volatile matter yang lepas, dan udara pembakaran
bereaksi dengan cara-cara yang berbeda. Tergantung pada konfigurasi aliran. Ada tiga pola
dasar cara pengumpanan batubara dan udara yang telah dikembangkan. Tiga pola tersebut
adalah Overfeed (Spreader), Underfeed, Crossfeed (Vibrating).
Pada pembakaran pulverized coal partikel-partikel batubara harus cukup halus agar
bisa dimasukan oleh udara pembakaran. Ukuran batubara untuk pembakaran bahan bakar
pulverized adalah -200 mesh (-74 um) dengan jumlah partikel batubara berukuran -200 mesh
semakin banyak dari 65-70% untuk lignit dan sub-bituminous yang mudah terbakar sampai
80-85% untuk batubara bituminous. Untuk menjaga
Pembakaran dalam bentuk slurry bertujuan agar bahan bakar lebih mudah
ditransportasikan, disimpan an digunakan dibandingkan dalam bentuk padat. Bahan bakar
dalam bentuk slurry ini diantaranya coal-water mixtures (CWM), Coal Water Fuel (CWF)
dan coal-oil mixtures (COM).
CWM merupakan campuran antara batubara berukuran halus dan air dengan
perbandingan tertentu, serta dengan penambahan aditif tertentu untuk menjaga kestabilan
fluida agar batubara tidak cepat mengenadap. Tujuan utama CWM adalah agar dapat
ditransportasikan biaya transportasi batubara dalam keadaan padat. Yang perlu diperhatikan
dalam CWM ini adalah dalam masalah penyimpanan yang membutuhkan tempat khusus,
kestabilan fluida dalam waktu tertentu, masalah dewatering baik secara termal maupun
mekanik dan masalah kebersihan dalam pembakaran.
Pada saat krisis minyak terjadi, para ahli berusaha menemukan bahan bakar yang
dapat menggantikan Bunker C. Oil atau Fuel No.6. Penemuan tidak hanya didasarkan
pada kemampuan teknologi saja namun harus dibuktikan secara ekonomis bahwa bahan
bakar pengganti ini memang ekonomis lebih murah dari Bunker C. Oil. Salah satu
penemuan ini adalah Coal Oil Mixture (COM). Beberapa proses dilakukan sebagai berikut:
1. Proses Ultrasonic
Proses ini dikembangkan oleh Coal Liquid International of USA dengan prinsip dasar
sebagai berikut: Batubara digerus dalam pulverizer sampai ukuran 2000
2. Proses Umum
Pada proses ini batubara yang sudah digerus, Bunker C. Oil. Air dan additive (zat
penambah) diaduk secara mekanis di dalam tangki campur (mixing tank) dengan cara
agitasi. Adukan yang selesai dan sudah stabil dialirkan ke tanki penyimpan.
Aditif ini berupa cairan (surface active agent = SAA). Molekul surface active agent
ini pada satu sisi bersifat hydrophilic, affinitas terhadap air, baik, sedangkan sisi satunya
bersifat hydrophotic. Sifat SAA ini seperti sabun, disatu pihak molekul sabun dapat
membersihkan minyak dari permukaan, tetapi juga dapat berbusa dengan air, kedua sifat ini
bekerja bersamaan. Sabun memang mempunyai sifat hydrophilic dan hydrophotic. Molekul
SAA beroperasi pada interface antara molekul minyak dan air, antara minyak dan
batubara. Tanpa SAA interfacenya tidak akan stabil, setelah dengan SAA interfacenya
menjadi stabil.
Dalam proses ini batubara tidak perlu digerus, melainkan raw coal, bersama- sama
Bunker C oil, air dan ditambah additive active agent (SAA) digiling dalam ballmill. COM
yang sudah stabil dialirkan ke tanki penyimpan.
Perbedaan pokok antara COM boiler dan B/C oil boiler adalah :
- Fuel feeding equipmentnya berbeda
- Struktur pembakaran (burner) juga berbeda
Boiler harus ditambah peralatan kantong filter untuk menampung abu yang harus
dihasilkan oleh batubara di dalam COM. Pada percobaan dengan COM ini masuh
didapatkan masalah-masalah antara lain:
- Abu yang terbentuk hasil pembakaran COM
- Nozzle burnernya cepat aus, lubangnya cepat besar.
Di ujung-ujung lubang selalu terdapat kerak yang berwarna hitam. Juga di dalam pipa
burner selalu mengendap zat yang berwarna putih, diduga SiO2, Nozzle burner ini ada tujuh
dan harus dibersihkan setiap hari sekali.
COM tidak menyebabkan polusi, abu hasil pembakaran di boiler ditampung di bawah
boiler, sedangkan fly ashnya ditutup dengan flute gas ke kantong filter. COM Demonstration
Plant yang Incon Korea lebih menyukai bituminous coal yang tinggi nilai kalornya, rendah
kadar abunya < 4 % dan volatile matter (VM) masih dapat ditolerir sampai 45 %. Bila
VM nya tinggi, maka ketika terjadi penggerusan batubara, dialirkan udara yang bebas O2
dalam air heater.
Nilai ekonomis penggunaan COM tergantung pada harga minyak. Katika harga
minyak US $ 25 / barel harga COM ini 15 % di bawah harga bunker C oil. Saat harga
minyak antara US $ 10-US $ 15 barrel program pengembangan COM agak terganggu,
namun berjalan terus.
Seperti diketahui minyak tanah, solar dan bensin dapat diperoleh dengan proses
konversi pencairan batubara. Bahan bakar gas dapat diperoleh dengan proses gasifikasi
batubara. Salah satu proses yang sederhana adalah modifikasi
Sebagai bahan baku dipergunakan batubara yang mempunyai nilai kalor tinggi (kurang
lebih 7.000 kcal/kg) sebagai kompensasi pemakaian air sehingga nilai kalor CWF yang
diperoleh cukup tinggi pula. Bahan baku batubara jenis bitumen dengan nilai kalor tinggi
dan kandungan air bawaan (inherent moisture) yang rendah disarankan sehingga kendala
rendahnya nilai kalor CWF yang diperoleh dapat diatasi. Sebetulnya dapat pula
dipergunakan subbitumen ataupun lignit, tetapi kedua jenis tersebut mempunyai kandungan
air bawaan yang tinggi sehingga CWF yang dihasilkan akan mempunyai nilai kalor yang
rendah. Untuk mengatasi hal tersebut harus dilakukan pengeringan pada suhu dan tekanan
tinggi.
Persyaratan bahan baku CWF adalah:
- Kadar abu yang rendah
- Kandungan zat terbang lebih besar dari 20 %
- Angka HGI harus tinggi
- Titik leleh abu harus tinggi
- Fouling dan slagging indeks yang rendah
- Kandungan belerang kurang dari 1 %.
Di samping tidak mencemari udara, kadar abu harus rendah untuk mengurangi ongkos
modifikasi tungku pada pembuangan abu dasar (bottom ash). Kandungan zat terbang >
20 % untuk mempermudah penyalaan. Di dalam pembuatan CWF mempergunakan
batubara halus (-75 mikron) maka diperlukan penggilingan. Oleh sebab itu angka HGI
harus tinggi untuk mengurangi ongkos giling. Titik leleh abu harus tinggi untuk
menghindari pengendapan abu yang mudah meleleh pada bagian dalam tungku (boiler).
Terjadinya fouling dan slagging dapat menghentikan operasi, oleh sebab itu fouling dan
slagging perlu dibersihkan untuk mengembalikan alih panas yang tinggi. Indeks fouling
dan slagging dipenngaruhi oleh kandungan alkali dan belerang dalam abu. Disamping itu
kandungan belerang harus rendah untuk mencegah pencemaran lingkungan dan korosi
bagian dalam boiler.
Aditif adalah bahan yang ditambahkan ke dalam campuran CWF dan berfungsi untuk
menambah kestabilannya, artinya butiran batubaranya tidak mengendap dalam waktu yang
lama (2 bulan atau lebih). Adapun aditif yang berfungsi untuk mendispersikan butiran
batubara tersebut. Penambahan aditif berkisar antara 0,1 sampai 1,5 % tergantung macam
aditifnya. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa aditif yang baik berupa surfactant ionic
(anionic atau kationik) dan surfactant non- ionik. Adapun adiktif lain yang fungsinya
untuk membuat campuran yang bersifat emusi dan stabil. Karena jenis surfactant ini
banyak variasinya, maka diperlukan penelitian khusus yang cocok untuk batubara yang
sedang dipakai untuk bahan baku CWF. Persyaratan aditif yang baik ialah harus efektif, ikut
terbakar dalam proses pembakaran yang murah.
3. Pembuatan CWF
Teknologi pembuatan CWF termasuk sederhana terutama apabila memakai bahan baku
batubara yang mempunyai nilai kalor tinggi (kurang lebih 7.000 kcal/kg). Batubara yang
mempunyai kadar abu rendah (< 10 %) digerus menjadi – 10 mm, dan kemudian digiling
dengan ball mill. Penggilingan dilakukan dalam konsentrat padatan tinggi (kurang lebih 70
% batubara). Hasil gilingan dilakukan pada suatu pemisah ukuran (size classifier) pada
ukuran pemisah 75 mikron. Ukuran lebih besar 75 mikron diteruskan kealat pengurangan
air (dewatering) apabila diperlukan. Ukuran partikel terbesar batubara tidak terpaku pada
75 mikron saja, dapat juga lebih besar atau halus tergantung dari jenis batubaranya.
Besarnya konsentrasi campuran pada pengadukan (mixing) ditentukan pada waktu optimasi
skala laboratorium sebelumnya. Untuk batubara dengan mutu tinggi, proses pembutan CWF
dapat lebih sederhana. Setelah penggilingan dapat langsung dilakukan pengadukan di
mana pada tahap ini adiktif ditambahkan. Pada batubara tingkatan rendah dengan
kandungan air bawaan tinggi perlu dilakukan pengeringan lebih dahulu pada suhu tinggi.
Pengadukan berlangsung hanya dalam waktu beberapa menit dengan putaran tinggi (>
6000) dan menghasilkan kestabilan yang tinggi (> 2 bulan).
Energi merupakan kebutuhan utama dalam industri. Dalam industri semen, energi panas
merupakan kebutuhan yang paling utama, yaitu untuk operasi pembakaran dalam tanur
putar.
Operasi pembakaran pada tanur putar merupakan langkah yang paling kritis dalam
setiap industri semen, baik ditinjau secara teknis maupun secara ekonomis. Operasi
pembakaran di tanur putar menentukan operasi pada unit-unit yang lain, serta
memerlukan pemakaian energi panas yang nilainya dapat mencapai 30 % dari biaya operasi
keseluruhan. Produktifitas dari industri semen umumnya ditentukan oleh produktifitas unit
tanur putarnya. Sedangkan produktifitas tanur putar umumnya ditentukan pada run
factornya, yang umumnya ditentukan oleh ketahanan lapisan batu tahan apinya.
Aspek utama, yang paling berpengaruh terhadap ketahanan lapisan batu tahan api dan
efisiensi operasi pembakaran dalam tanur putar, adalah dalam jenis bahan bakar yang
dipakai. Untuk kedua tujuan tersebut diperlukan operasi pembakaran yang dapat
menghasilkan nyala yang stabil dan suhu yang setinggi mungkin.
Pemakaian bahan bakar dengan jenis batubara tertentu dalam operasi pembakaran dalam
tanur putar dapat menghasilkan produktivitas yang berbeda apabila dibandingkan dengan
pemakaian bahan bakar jenis lain. Misalnya operasi pembakaran dengan bahan bakar
batubara akan memerlukan konsumsi panas persatuan produk yang lebih besar,
dibandingkan pemakaian bahan bakar minyak atau bahan bakar gas. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan pola operasi pembakaran dari ketiga jenis bahan bakar tersebut yaitu
bahan bakar gas, cair dan padat. Operasi pembakaran batubara akan memerlukan pemakaian
udara dingin yang jauh lebih besar, sedangkan sebaliknya operasi pembakaran memakai
bahan bakar minyak (BBM) atau gas alam, akan memakai udara pada suhu tinggi yang
lebih besar.
Di samping itu, operasi pembakaran batubara juga akan menghasilkan suhu nyala
yang lebih rendah serta stabilitas yang kurang baik dibandingkan BBM atau
Seperti diketahui bahwa batubara merupakan suatu campuran padatan yang sangat
heterogen dan terdapat di alam dengan tingkat/grade yang berbeda, mulai dari lignit,
subbitumine, bitumine sampai anrasit. Sebagai padatan, batu-batu terdiri atas kumpulan
material (vitrinite, eksinite dan enertinite) dan mineral (clay, kalsit dan lain-lain).
Dilihat dari unsur-unsur pembentukan batubara terdiri atas carbon, oksigen, nitrogen,
sedikit sulfat, phosphor dan lain-lain, sedangkan dari segi struktur molekul, dapat dibedakan
atas aromatic dan aliphatic. Oleh karena itu dalam industri semen, batubara digunakan
sebagai bahan bakar, maka panas pembakaran, hasil-hasil pembakaran, dan sisa-sisa
pembakaran perlu diketahui, terutama apabila hal-hal tersebut dapat mengganggu kualitas
semen yang dihasilkan.
2. Analisis Ultimat
Terdiri atas analisis untuk unsure-unsur : C, H, O, N juga S dan Phospor serta
CI.
3. Nilai Kalor
Terdapat dua macam nilai kalor, yaitu: nilai kalor net, yaitu kalor pembakaran
dihitung dalam keadaan semua air (H2O) berujud gas. Nilai kalor gross, yaitu nilai kalor
pembakaran diukur dalam keadaan semua air (H2O) berwujud cair.
4. Total Sulphur
Sulpur atau belerang dapat berbeda dalam batubara sebagai mineral pirit, markasitt, Ca
sulphat, atau belerang organik, yang pada pembakarannya akan berubah menjadi SO2.
5. Analisis Abu
Abu yang terjadi dalam pembakaran batubara akan membentuk oksida-oksida sebagai
berikut SiO2, Al2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O. Abu inilah yang terutama
akan secara padatan bercampur dengan klinker dan mempengaruhi kualitas semen. Namun
demikian kadar abu batubara di Indonesia biasanya hanya berkisar antara 5 % sampai 20 %
saja.
Apabila kita membakar batubara dengan fire grate, maka panjang nyala yang
dihasilkan, tergantung besarnya kandungan volatile matternya, batubara dengan kadar
volatile matter yang tinggi, akan menghasilkan nyala yang panjang di atas grate fire dan
batubara dengan kadar volatile matter yang rendah, akan menghasilkan nyala yang pendek.
Oleh karenanya antrasit biasa disebut dengan short flaming coal, dan bitumine sebagai long
flaming coal.
Akan tetapi batubara akan menghasilkan hasil yang berbeda bila dibakar dalam bentuk
batubara dalam tanur putar sebagai batubara halus akan terurai dengan segera dan volatile
matter yang menguap akan terbakar dengan cepat. Sedangkan partikel coke yang sudah
tersegresikan akan mempunyai luas permukaan yang sangat besar sehingga serbuk
batubaranya dapat terbakar secara cepat. Hal ini menyebabkan long flaming coal di dalam
tanur putar akan terbakar hanya dalam daerah yang pendek dari tanur atau dengan kata lain
akan menghasilkan nyala pendek. Short flaming coal mengandung sedikit volatile matter, bila
dibakar di dalam tanur putar, sebagai batubara halus akan terurai secara lambat, sehingga akan
terbakar dalam jarak yang lebih panjang.
Dengan demikian, batubara yang disebut Short Flaming Coal bila dibakar sebagai
batubara halus di dalam tanur putar, akan menghasilkan nyala yang panjang. Operasi
pembakaran dalam tanur putar membutuhkan pembakaran
dengan suhu nyala yang sangat tinggi, karena proses klinkerisasi memerlukan suhu material
sekitar 1450oC. Disamping itu suhu nyala yang tinggi akan menghasilkan heat transfer
yang lebih besar. Kedua hal ini sangat berpengaruh dalam hal efektifitas dan efisiensi
operasi pembakaran dalam tanur putar. Walaupun antrasit memiliki nilai kalor yang
tinggi, penggunaannya sebagai bahan bakar dalam tanur
putar kurang disukai, karena antrasit menghasilkan nyala yang lebih panjang dengan suhu
yang relatif lebih rendah.
Demikian juga lignit, yang disamping mempunyai kandungan volatile matter yang
tinggi dan berheating value rendah, tidak disuakai, karena akan menghasilkan suhu nyala
yang lebih rendah. Bitumine adalah jenis batubara yang disukai pemakainya sebagai bahan
bakar dalam tanur putar, karena mempunyai kandungan volatile matter yang cukup, tetapi
nilai kalorinya pun relatif tinggi.
Diantara semua bahan bakar yang umumnya dipakai, batubara merupakan bahan bakar
yang memerlukan investasi awal yang sangat tinggi baik untuk grinding maupun pengumpan.
Flow Sheet dasar dari instalasi batubara hampir sama disemua tingkat.
b. Primary Crushing
Primary Crushing dapat dilakukan secara Open Circuit atau Close Circuit. Kehalusan
produk dari primary crushing ini tergantung kepada macam grinding mil yang dipakai.
d. Penangkapan Debu
Sistem pengumpanan batubara halus ke dalam tanur putar dapat dibedakan sebagai
berikut:
- Direct System
- Semi indirect system
- Indirect system
Pada Direct System, semua batubara yang dihasilkan digrinding mill langsung
diumpankan ke dalam tanur putar bersama udara pengeringnya. Pada semi indirect sistem,
batubara dari mill untuk sementara disimpan dalam intermediate silo sebelum diumpankan
ke dalam tanur putar. Untuk sistem ini ada dua macam versi yang tergantung pada kadar
air batubara. Yang mempunyai kadar air rendah, udara pengering dari mill sebagian
diinjeksikan ke tanur putar sebagai udara primer, dan sebagian disirkulasikan ke mill. Bila
kadar air tinggi, sebagian gas dari mill dikeluarkan melalui alat penangkap debu.
Pada indirect sistem, semua batubara dari mill disimpan di intermediate silo
sebelum diumpankan, dan gas dari mill tidak diumpankan ke tanur putar sebagai udara
primer, kecuali bila diinginkan.
Dalam pemakaian batubara sebagai bahan bakar dalam operasi tanur putar, terdapat
beberapa hal yang spesifik perlu diperhatikan.
Udara primer berperan antara lain sebagai sarana transportasi untuk injeksi batubara
ke dalam tanur putar dan suatu alat pengendali nyala.
Berdasarkan teori kinetika reaksi, bahan bakar gas dan cair lebih reaktif dengan
oksigen, dibandingkan oksigen dengan batubara.
Hal ini mudah dimengerti karena pembakaran batubara akan melalui tahapan- tahapan
sebagai berikut:
- Perpindahan panas dari burning zone ke partikel batubara secara konveksi dan radiasi.
- Perpindahan panas melalui lapisan abu yang bersifat isolator menuju front
oksidasi secara konduksi.
- Reaksi kimia antara C, S, H2, dengan H2, CO, H2O, dan SO2.
- CO2, SO2, CO dan H2 berdifusi dari front oksidasi ke bagian luar partikel
batubara.
- Abu pembungkus sekeliling partikel batubara terdekomposisi secara termis dan
mekanis.
Oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan pembakaran yang menggunakan
batubara sebagai bahan bakar diperlukan excess air yang relatif besar. Dengan pemakaian
udara yang lebih besar ini, maka akan dihadapkan pada permasalahan:
- Kerugian panas karena terserap oleh kelebihan udara tersebut.
- Transfer panas antar udara dan material di dalam kiln kurang sempurna, karena
waktu tinggal udara panas yang relatif rendah.
Air yang terdapat dalam batubara, baik sebagai inherent moisture maupun sebagaian
kecil moisture yang lain, tentunya akan merugikan karena mengurangi panas yang
dihasilkan.
Karena batubara merupakan bahan bakar dalam bentuk powder (bubukan) maka sangat
sulit diperoleh kondisi pengumpanan yang benar-benar stabil ke dalam kiln. Ketidakstabilan
umpan ini berarti, ketidakstabilan panas di dalam kiln, akan mengakibatkan ketidakstabilan
coating sebagai pelindung batu tahan api. Dengan demikian akan mengakibatkan umur
batu yang relatif pendek.
Bila proses pencucian batubara tidak baik, maka akan ditemui impurities (misal clay).
Dengan adanya impurities ini, tentunya akan mengacaukan jumlah umpan panas ke dalam
tanur putar, yang akan memberi akibat-akibat seperti yang telah dibahas.
Pada dasarnya semua jenis batubara dapat dipakai sebagai bahan bakar tanur putar.
Seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan persyaratan-persyaratan
mutu batubara yang dibutuhkan oleh industri semen unit operasi dengan efektifitas yang
cukup tinggi, yaitu:
1. Nilai bakar net cukup tinggi, yaitu > 6.000 cal/gr
2. Voalitile matter medium, maksimum 36-42 %
3. Total moisture, maksimum 12 %
4. Kadar abu maksimum 6 %
5. Kadar sulpur, maksimum 0,8 %
6. Kadar alkali dalam abu, maksimum 2 %
7. Ukuran batubara (raw coal)
- Diatas saringan 100 mm =0%
- 100 mm – 50 mm = 70 %
- 50 mm – 25 mm = 25 %
- 25 mm – 15 mm = 15 %
- lolos 15 mm =0%
8. Variasi kualitas di atas tidak lebih dari 10 %
Mengangkat PLTU Suralaya yang beroperasi semenjak tahun 1984 sebagai contoh studi
kasus. PLTU Suralaya ini dirancang bangun dengan menggunakan bahan bakar batubara
Bukit asam pada tingkat kualitas average dan worst.
Sampai tahun 1988 batubara Bukit Asam masih belum dapat memenuhi kebutuhan
yang terus meningkat dari 156.000 ton pada tahun 1985, 936.000 ton,
dari :
a. High heating value (kgcal/ka)
b. Total moisture (%)
c. Inherent moisture (%)
d. Volatile matter (%)
e. Ash content (%)
f. Sulphur content (%)
g. Coal Size < 3 mm, 40 mm, 50 mm
h. Hardgrove grindability index
Unsur lainnya diperlukan sesuai kebutuhan yang bersifat umum maupun khusus.
Untuk melengkapi data di atas biasanya diperlukan unsur kualitas seperti :
- Fixed carbon (%)
- Phosphorous/Chlorine (%)
- Ultimate analiysis : Carbon, Hydrogen, Oxigen, Nitrogen, Sulphur dan Ash
kadang-kadang diperlakukan Ash Fushing Temperatur
b. Moisture Content
c. Volatile Matter
d. Ash Content
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan
daerah konversi dalam bentuk abu terbang dan abu dasar. Sekitar 20 % dalam bentuk abu
dasar dan 80 % dalam bentuk abu terbang. Semakin tinggi kandungan abu dan tergantung
komposisinya mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan dan korosi peralatan
yang dilalui.
Kandungan sulphur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada
elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari titik embun
sulphur, disamping berpengaruh terhadap efektifitas penangkapan abu pada peralatan
electrostatic precipator.
f. Coal Size
Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus dan butir kasar. Butir paling
halus untuk ukuran < 3 mm, sedangkan ukuran butir paling kasar sampai dengan 50
mm. Butir paling halus dibatasi oleh tingkat dustness dan tingkat kemudahan diterbangkan
angina sehingga mengotori lingkungan. Tingkat dustness dan kemudahan berterbangan
masih ditentukan pula oleh kandungan moisture batubara.
Kapasitas mill (pulverizer) dirancang pada HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah
kapasitasnya lebih rendah dari nilai patoknya agar menghasilkan fineness yang sama.
Ash fushion temperature akan mempengaruhi tingkat fouling, slagging dan operasi soot
blower.
Teknologi pembuatan briket batubara dari batubara bubuk yang dapat menimbulkan
kesulitan pada waktu pengangkutan ternyata sudah banyak dilakukan di beberapa negara.
Hal yang mendorong pemanfaatan briket untuk masalah dan industri kecil di Indonesia
antara lain :
2. Jenis briket
Dikenal 2 jenis briket yaitu :
- Tipe Yontan (silinder) untuk keperluan rumah tangga.
Tipe ini lebih dikenal dan popular, disebut dengan Yontan, suatu nama lokal,
terbentuk silinder dengan garis tengah 150 mm, tinggi 142 mm, berat 3,5 kg dan
mempunyai lubang-lubang sebanyak 22 lubang.
- Tipe Egg (telor) untuk keperluan industri dan rumah tangga. Tipe ini juga
dipergunakan untuk bahan bakar industri kecil seperti untuk pembakaran kapur, bata,
genteng, gerabah, pandai besi dan sebagainya, tetapi juga untuk keperluan rumah
tangga. Jenis ini mempunyai lebar 32-39 mm, panjang 46-58 mm, dan tebal 20-24
mm.
5. Karakteristik pembakaran
Sifat pembakaran adalah sangat penting disamping tergantung dari sifat batubaranya.
Karakteristik pembakaran briket ini (lama dan suhu sifat batubaranya. Karakteristik
pembakaran briket ini (lama dan suhu pembakaran) tergantung pula dari besarnya udara
yang terbakar (air supply) dan nilai kalori batubaranya. Makin besar udara yang ikut
terbakar makin pendek lama pembakarannya briket dan makin tinggi nilai kalori batubara
yang dibuat briket makin lama waktu pembakaran. Makin besar udara yang diberikan
(dengan membuka udara kompor masak) makin pendek waktu pembakaran briket walaupun
diperoleh suhu maksimum yang tinggi.
Contoh batubara digerus sampai ukuran 5 mm, selanjutnya ditambah lempung (20 %)
sebagai bahan pengikat dan air 10 %. Analisis batubara contoh dapat dilihat pada Tabel 6.5.
c. Kuat Tekan
Dari hasil penekanan dengan pembriketan yang sama diperoleh data sebagai berikut :
Bahan pengikat lempung Kuat Tekan (kg/cm2)
20 % 7,5
30 % 10,2
Hasil yang diperoleh memberikan data bahwa kuat tekan berikut adalah cukup baik (> 6
kg/cm2).
d. Karakteristik Pembakaran
Percobaan untuk mengurangi/ meniadakan asap dan bau dari briket batubara telah
dilakukan dengan mengurangi volatile matter. Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan
karbonisasi terhadap batubara pada suhu rendah, dan ternyata berhasil baik. Hanya masalah
lama waktu pembakaran dari briket batubara ini masih relatif lebih pendek yaitu ± 4 jam.
Mengangkat PLTU Suralaya yang beroperasi semenjak tahun 1984 sebagai contoh studi
kasus. PLTU Suralaya ini dirancang bangun dengan menggunakan bahan bakar batubara
Bukit asam pada tingkat kualitas average dan worst.
Proses gasifikasi mengubah semua material organik batubara menjadi bentuk gas,
peringkat batubara dan temperatur hanya mempengaruhi laju gasifikasi dan jika diinginkan
bisa diperoleh gas yang kesemuanya mengandung CO, CO2 dan H2 disamping pengotor
hidrogen sulfida. Perbedaan yang mencolok ini disebutkan pada proses gasifikasi terjadi
rainan yang jauh dan interaksi lebih lanjut yang dapat dikendalikan antara volatile matter dan
char (atau kokas) dengan oksigen.
Gas yang dibuat diklasifikasikan atas nilai kalornya. Gas High Btu merupak sinonim
dari subituminus natural gas (SGN) dan mempunyai nilai kalor antara 970 sampai 1000
Btu per standars cubic foot (Scf). Komposisi gas sebagian besar terdiri dari CH4 (lebih dari
90%) dan sebagian kecil terdiri dari CO, CO2 dan N2. Gas high Btu pada umumnya dapat
dipertukarkan dengan gas alam dan dapat dibuat dari batubara pada skala yang besar.
Gas medium Btu mempunyai nilai kalor 270 hingga 600 Btu/Scf. Pada nilai kalor
yang lebih rendah dari rentang ini gas umumnya terdiri dari CO dan H2 serta sejumlah
kecil CO2. Pada nilai kalor yang lebih tinggi dari rentang diatas, nilai kalor meningkat
seiring dengan masuknya CH4 atau hidrokarbon yang lain. Gas medium
Batubara adalah bahan bakar padat yang mengandung abu. Oleh sebab itu
pemanfaatan batubara akan melibatkan biaya yang tinggi untuk alat yang diperlukan bagi
penanganan (coal handling) dan pembakaran batubara. Kesemuanya tersebut bertujuan
untuk mengeliminir abu dan debu. Penanganan batubara memerlukan pengamanan, karena
ada beberapa masalah dalam penanganan batubara antara lain:
batubara dapat terbakar sendiri
batubara dapat menimbulkan ledakan
batubara menyebabkan pencemaran, kalau ada angina kencang debunya
beterbangan kemana-mana.
Batubara dapat terbakar sendiri setelah mengalami proses bertahap. Tahap pertama:
mula-mula batubara akan menyerap oksigen dari udara secara perlahan- lahan dan
kemudian temperatur batubara akan naik. Tahap kedua: sebagai akibat
temperatur naik kecepatan batubara menyerap oksigen dari udara bertambah dan
temperatur kemudian akan mencapai 100-140oC. Tahap ketiga: setelah mencapai
temperatur 140 C, uap dan CO2 akan terbentuk. Tahap keempat: sampai temperatur 230o C
o
isolasi CO2 akan berlanjut. Tahap kelima: bila temperatur telah berada di atas 350oC, ini
berarti batubara telah mencapai titik sulutnya dan akan cepat
terbakar.
Tingginya onggokan tumpukan batubara memang sulit untuk ditentukan, sebab masing-
masing tempat penimbunan memiliki kondisi sendiri-sendiri antara lain iklim, kelembaban,
penyinaran.
Untuk mengetahui temperatur maksimum dari onggokan batubara dapat ditentukan 1-2
m di bawah permukaan dari tumpukan. Caranya buat lubang vertikal dibantu dengan pipa
yang berperforasi. Kegunaan pipa agar lubang tidak tertimbun batubara lagi sedang
kegunaan perforasi agar temperatur di dalam lubang sama dengan temperatur dalam
onggokan.
Termometer alkohol
0
Apabila volatile ratio > 0,12 maka kemungkinan terjadinya ledakan debu batubara
selalu ada. Bila komponen abu dalam debu batubara > 70 – 80 % maka tidak perlu takut
bahaya ledakan. Kondisi untuk meledak akan terjai bila partikel- partikel halus cukup
waktu mengembangnya (floating time). Juga adanya gas pembakaran dalam udara dapat
membantu terjadinya peledakan.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mnanggulangi ledakan
adalah sebagai berikut:
Gunakan gas inert (gas N2). Gas ini cukup mahal harganya, selain itu juga cepat
menguap, sehingga selalu harus diperiksa valvepressurenya. Tempatkan tabung gas N2
ini di dalam tempat penyimpanan batubara gerus (pulverized coal bin). Juga
dibagikan filter (B/F).
Dilakukan pembersihan secara periodik untuk menghindari pembentukan endapan
batubara.
Menghilangkan kemungkinan sumber tercapainya titik sulut batubara (ignition point)
di dalam instalasi.
Perhatikan, dicari dan temukan sumber kebakaran sedini mungkin.
Dalam hal timbunan batubara ditutupi dengan plastik usahakan agar konstrasi O2
kurang dari 12 %. Pada timbunan terbuka, penggunaan siraman air dengan
menggunakan sprinkler sistem yang otomatis akan sangat membantu dalam usaha
mencegah kebakaran batubara.
Caranya : Control Operator Panel (COP) di pipa ditaruh di dalam timbunan
batubara, kemudian distel pada temperatur tertentu. Apabila temperatur timbunan
batubara meningkat dan melebihi temperatur yang distel di COP, maka sprinkler
automatis akan bekerja sendiri, menyirami timbunan batubara tersebut.
Lembaran plastik penutup timbunan batubara adalah yang terbaik, diusahakan tidak
menggunakan plastik berwarna gelap. Timbunan dipadatkan dengan bulldozer untuk
mengurangi hadirnya Oksigen di dalam sela-sela batubara. Pada timbunan batubara
terbuka permukaan timbunan sebaiknya disemprot dengan cairan yang mengeraskan
permukaan. Cairan ini adalah produk tambahan dari pengilangan minyak.