Anda di halaman 1dari 209

Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

BAB I
PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA

1.1. PEMBENTUKAN BATUBARA

Batubara adalah batuan sedimen organoklastik yang berasal dari tumbuhan yang pada
kondisi tertentu tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran sempurna. Pada
umumnya proses pembentukan batubara terjadi pada jaman karbon yaitu sekitar 270-350 juta
tahun yang lalu. Pada jaman tersebut terbentuk batubara dibelahan bumi utara seperti Eropa,
Asia dan Amerika. Di Indonesia batubara yang ditemukan dan ditambang umumnya
berumur jauh lebih muda, yaitu terbentuk pada jaman Tersier. Batubara tertua yang
ditambang di Indonesia berumur Eosen (40-60 juta tahun yang lalu) namun sumber daya
batubara di Indonesia umumnya berumur antara Miosen dan Pliosen (2 - 15 juta tahun yang
lalu).
Proses pembentukan batubara dari tumbuhan melalui dua tahap, yaitu:
a. Tahap pembentukan gambut (peat) dari tumbuhan, sering disebut proses
peatification
b. Tahap pembentukan batubara dari gambut, sering disebut proses coalification

1.1.1. Pembentukan Gambut

Tumbuhan yang tumbuh atau mati pada umumnya akan mengalami proses
pembusukan dan pengahancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu
kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada
dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh pertumbuhan dan aktifitas
bakteri dan jasad renik lainnya. Untuk penyederhanaan tentang proses tersebut, proses
oksidasi material penyusun utama cellulose (C6H10O5) dapat digambarkan sebagai berikut:
C6H10O5 + 6 O2 → 6 CO2 + 5 H2O

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 1


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Gambar 1.1.
Rekonstruksi Suatu Hutan Calamite. Contoh Vegetasi Carboniferous
“Basah” sebagai Tumbuhan Pembentuk Batubara

Jika tumbuhan tumbang disuatu rawa, yang dicirikan dengan kandungan oksigen air
rawa yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob (yang
memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses
pembusukan dan penghancuran yang sempurna atau dengan kata lain tidak akan terjadi
proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja
yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang kemudian membentuk gambut (peat).
Dengan tidak tersedianya oksigen maka hidrogen dan karbon akan menjadi H2O, CH4, CO
dan CO2. Tahap pembentukan gambut ini sering disebut juga sebagai proses biokimia.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 2


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Gambut yang umumnya berwarna kecoklatan sampai hitam merupakan padatan yang
bersifat sarang (porous) dan masih memperlihatkan struktur tumbuhan asalnya. Gambut masih
mengandung kandungan air yang tinggi, bisa lebih dari 50%.

1.1.2. Pembentukan Batubara

Proses pembentukan gambut akan berhenti dengan tidak adanya regenerasi tumbuhan. Hal
ini terjadi karena kondisi yang tidak memungkinkan tumbuhnnya vegetasi, misalnya
penurunan dasar cekungan yang terlalu cepat. Jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian
ditutupi oleh lapisan sedimen, maka lapisan gambut tersebut mengalami tekanan dari
lapisan sedimen tersebut dimana tekanan akan meningkat dengan bertambahnya ketebalan
lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah besar akan mengakibatkan peningkatan
temperatur. Disamping itu temperatur juga akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman
disebut gradient geotermik. Kenaikan temperatur dan tekanan dapat juga disebabakan oleh
aktivitas magma, proses pembentukan gunung serta aktivitas-aktivitas tektonik lainnya.
Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengkonversi gambut
menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air, pelepasan gas-gas (CO2,
H2O, CO, CH4), peningkatan kepadatan dan kekerasan serta peningkatan nilai kalor. Faktor
tekanan dan temperatur serta faktor waktu merupkan faktor-faktor yang menentukan kualitas
batubara. Tahap pembentukan batubara ini sering disebut juga sebagai proses termodinamika
atau dinamokimia.

1.1.3. Tempat Terbentuknya Batubara

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan waktu yang
lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) di bawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan
geologi. Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan perlu
diketahui dimana batubara terbentuk dan faktor-faktor yang akan mempengaruhinya, serta
bentuk lapisan batubara.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 3


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Gambar 1.2.
Rekonstruksi tumbuhan Lepidodendron dan Sigillaria. Contoh Vegetasi
Carboniferous “kering” sebagai Tumbuhan Pembentuk Batubara.

Untuk menjelaskan tempat terbentuknya batubara dikenal 2 macam teori:


a. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya
ditempat di mana tumbuh-tumbuhan asal itu berada, batubara yang terbentuk disebut batubara
autochtone. Dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami
proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification.
Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata,
kualitasnya lebih baik karena

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 4


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

kadar abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia
didapatkan di lapangan batubara Muara Enim (Sumatera Selatan).

b. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya
ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang, batubara
yang terbentuk disebut batubara allochtone. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati
diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen
dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuknya dengan cara ini
mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitas kurang
baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut ke tempat sedimentasi.
Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan dilapangan batubara delta
Mahakam purba, Kalimantan Timur.
Agak sulit untuk melakukan kuantifikasi akumulasi gambut karena banyak faktor
yang mempengaruhinya serta agak sulit untuk membuktikannya. Namun hasil penyelidikan
yang dilakukan di Amerika Serikat, diperkirakan gambut lepas setebal 10 – 12 ft untuk
menghasilkan 1 ft gambut padat dan untuk itu diperlukan waktu kurang lebih 100 tahun.
Dalam proses konversi dari gambut menjadi batubara terjadi lagi pemampatan dan
laju pemampatan ini tergantung pada rank batubara. Menurut hasil penelitian, jika diambil
kayu sebagai basis (100%) pembentukan gambut dan batubara, maka perbandingan volume
dalam % adalah sebagai berikut:
- gambut = 28 – 45 %
- lignite = 17 – 28 %
- bitumineous coal = 10 – 17 %
- anthracite = 5 – 10 %
Jika diasumsikan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ft gambut
termampatkan adalah 100 tahun seperti yang disebutkan diatas maka dengan menggunakan
persentasi di atas dapat diasumsikan waktu yang dibutuhkan untuk akumulasi gambut
sehingga diperoleh ketebalan lapisan batubara 1 ft sebagai berikut:

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 5


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

- lignite = 160 tahun


- bitumineous = 260 tahun
- anthracite = 490 tahun
Patut diingat bahwa angka-angka diatas hanya untuk menggambarkan bahwa laju
akumulasi gambut dan selanjutnya lapisan batubara sedemikian lambatnya.

1.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara

Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang kompleks, dalam arti harus
dipelajari dari berbagai sudut yang berbeda. Ada beberapa faktor yang diperlukan dalam
pembentukan batubara yaitu:
a. posisi geotektonik
b. topografi (morfologi)
c. iklim
d. penurunan
e. umur geologi
f. tumbuh-tumbuhan
g. dekomposisi
h. sejarah sesudah pengendapan
i. struktur cekungan batubara
j. metamorfosis organik

a. Posisi geotektonik

Posisi geotektonik adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-
gaya tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan
faktor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan
pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya. Pada fase terakhir, posisi
geotektonik mempengaruhi proses metamorfosa organik dan struktur dari lapangan batubara
melalui masa sejarah setelah pengendapan akhir.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 6


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

b. Topografi (Morfologi)

Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena
menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara tersebut terbentuk. Topografi mungkin
mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya pada posisi geotektonik.

c. Iklim

Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan


faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. Iklim tergantung pada posisi
geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi geotektonik. Temperatur yang lembab
pada iklim tropis dan sub tropis pada umumnya sesuai untuk pertumbuhan flora
dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Hasil pengkajian menyatakan bahwa rawa tropis
mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7-9 tahun dengan ketinggian pohon sekitar 30 m.
Sedangkan pada iklim yang lebih dingin ketinggian pohon hanya mencapai 5-6 m dalam
selang waktu yang sama.

d. Penurunan

Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Jika penurunan


dan pengendapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal. Pergantian dan
regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan pengendapannya. Hal tersebut menyebabkan
adanya infiltrasi material dan mineral yang mempengaruhi mutu dari batubara yang
terbentuk.

e. Umur geologi

Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam


tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak langsung

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 7


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan
makin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi.
Tetapi pada batubara yang mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko mengalami
deformasi tektonik yang membentuk struktur perlipatan atau patahan pada lapisan batubara.
Disamping itu faktor erosi akan merusak semua bagian dari endapan batubara.

f. Tumbuhan

Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora terakumulasi
pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu. Flora
merupakan faktor penentu terbentuknya berbgai tipe batubara. Evolusi dari kehidupan
menciptakan kondisi yang berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai dari Paleozoic hingga
Devon, flora belum tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk titik awal
dari pertumbuhan flora secara besar-besaran dalam waktu singkat pada setiap kontinen. Hutan
tumbuh dengan subur selama masa karbon. Pada masa Tersier merupakan perkembangan
yang sangat luas dari berbagai jenis tanaman.

g. Dekomposisi

Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari organik
merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan
akan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati
proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) akan terjadi oleh
kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen
menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti celulosa, protoplasma dan pati.
Dari proses di atas terjadi perubahan dari kayu menjadi peringkat batubara. Dalam
suasana kekurangan oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan
sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon
monoksida

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 8


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

(CO) dan methan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur
karbon akan bertambah. Kecepatan pembentukan gambut bergantung pada kecepatan
perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan
cepat, maka akan terhindar dari proses pembusukan, tetapi terjadi proses disintegrasi atau
penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang mati terlalu lama berada di udara
terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang, sehingga hanya bagian keras
saja tertinggal yang menyulitkan penguraian oleh mikrobiologi.

h. Sejarah Sesudah Pengendapan

Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang
mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat terjadi
proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut. Disamping itu
sejarah geologi endapan batubara, berupa perlipatan, persesaran, intrusi magmatik dan
sebagainya.

i. Struktur Cekungan Batubara

Terbentuknya batubara pada cekungan batubara pada umumnya mengalami deformasi


oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan batubara bentuk- bentuk tertentu.
Disamping itu adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak
menerus.

j. Metamorfosa Organik

Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau penguburan oleh
sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih
didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut
menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab,
oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO, CH4 dan gas lainnya) serta bertambahnya
prosentase karbon padat,

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 9


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

belerang dan kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkan oleh faktor tekanan dan
waktu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang sangat tebal atau
karena tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan dan percepatan proses
metamorfosa organik. Proses metamorfosa organik akan dapat mengubah gambut menjadi
batubara sesuai dengan perubahan sifat kimia, fisik dan optiknya.

1.1.5. Terbentuknya Lapisan Batubara Tebal

Lapisan batubara tebal merupakan deposit batubara yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi. Salah satu syarat yang dapat membentuk lapisan batubara tebal adalah apabila
terdapat suatu cekungan yang oleh karena adanya beban pengendapan bahan-bahan
pembentuk batubara di atasnya mengakibatkan dasar cekungan tersebut turun secara perlahan-
lahan.
Cekungan ini umumnya terdapat di daerah rawa-rawa (hutan bakau) di tepi pantai. Dasar
cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan pembentukan batubara memungkinkan
permukaan air laut akan tetap dan kondisi rawa stabil. Apabila akibat proses geologi dasar
cekungan turun secara cepat, maka air laut akan masuk ke dalam cekungan sehingga
mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut. Akibatnya di atas lapisan pembentuk
batubara akan terendapkan lapisan sedimen laut antara lain batugamping. Pada tahap
selanjutnya akan terjadi kembali pengendapan batulempung yang memungkinkan untuk
kembali terbentuk kondisi rawa. Proses selanjutnya akan terkumpul dan terendapkan bahan-
bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) di atas lapisan batulempung (claystone). Demikian
seterusnya sehingga terbentuk lapisan batubara dengan diselingi oleh lapisan antara yang
berupa batulempung yang disebut sebagai clay band atau clay parting.
Gambar 1.3. memperlihatkan kronologis pembentukan batubara, batugamping dan
batulempung. Gambar 1.4 mengilustrasikan kedudukan clay band terhadap lapisan batubara.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 10


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Gambar 1.3.
Kronologis Pembentukan Batubara, Batugamping dan Batulempung
a. Dasar rawa turun perlahan-lahan b. Rawa berubah menjadi laut

Gambar 1.4.
Kedudukan Clay band terhadap Lapisan Batubara

1.1.6. Reaksi Pembentukan Batubara

Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari cellulose.
Proses pembentukan batubara atau coalification yang dibantu oleh faktor fisika, kimia alam
akan mengubah cellulose menjadi lignit, subbituminus, bituminus, dan antrasit. Reaksi
pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut:
5 (C6H10O5) C20H22O4 + 3 CH4 + 8 H2O + 6 CO2 + CO
Cellulose Lignit
5 (C6H10O5) C22H20O3 + 5 CH4 + 10 H2O + 8 CO2 + CO
Cellulose Bitumineous

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 11


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Keterangan:
Cellulose (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara. Unsur C dalam lignit
lebih sedikit dibandingkan bitumine. Semakin banyak unsur C lignit semakin baik
mutunya. Unsur H dalam lignit lebih banyak dibandingkan pada bitumineous. Semakin
banyak unsur H dalam lignit makin kurang baik mutunya. Senyawa CH4 (gas methan)
dalam lignit lebih sedikit dibandingkan dalam bitumineous. Semakin banyak CH4 dalam
lignit semakin baik kualitasnya.
Gas-gas yang terbentuk selama proses coalification akan masuk kedalam
celah-celah vein batulempung dan ini sangat berbahaya. Gas metan yang sudah terakumulasi
di dalam celah vein, terlebih-lebih apabila terjadi kenaikan temperature, karena tidak dapat
keluar, sewaktu-waktu dapat meledak dan terjadi kebakaran. Oleh sebab itu mengetahui
bentuk deposit batubara dapat menentukan cara penambangan yang akan dipilih dan juga
meningkatkan keselamatan kerja.

1.1.7. Komponen Pembentuk Batubara

Pengetahuan tentang petrologi batubara dirintis oleh William Hutton, (1883). Analisis
petrologi yang dilakukan dengan menggunakan sayatan tipis pada awalnya untuk
mengidentifikasikan jenis tumbuhan pembentuk batubara.
Studi tentang petrologi batubara diperkaya dengan penemuan Stopes (1919) dan
Thiessen (1920). Stopes mempergunakan mikroskop untuk mendukung hasil pemerian. Stopes
dan Thiessen sama-sama menggunakan teknik sayatan tipis, tetapi Stopes pada akhirnya
menggunakan sinar pantul.
Pada tahun 1930-an diperkenalkan suatu teknik baru yang menjadi bagian dari
petrologi batubara, yaitu pengukuran refleksi maceral dan kegunaannya adalah sebagai
parameter derajat batubara. Pada tahun 1935, Stopes memperkenalkan konsep maceral yang
dapat diartikan sebagai komponen terkecil dari batubara (=mineral pada batuan). Konsep
maceral ini yang tetap dipakai sampai saat ini. Pada waktu itu para ahli mencoba mencari
hubungan antara komposisi petrologi dengan sifat-sifat keteknikan dari batubara. Seperti
diketahui bahwa batubara yang kaya akan kelompok maceral vitrinit dan eksinit
mempunyai perbedaan nyata di dalam

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 12


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

sifat pencairan, penggasan dan pembakaran, jika dibandingkan dengan batubara yang
kaya akan inertinit.
Studi tentang batubara mengalami pengembangan pesat sejak tahun 1960-an antara
lain diteliti lebih lanjut tentang:
1. Petrologi gambut, untuk mengetahui jenis tumbuhan pembentuk.
2. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi proses pembatubaraan
3. Hubungan antara petrologi batubara dengan sedimentasi
4. Tingkat oksidasi
5. Teknologi batubara seperti pengkokasan, pencairan penggasan dan
pembakaran.
Dengan berkembangnya petrologi batubara, suatu teknik baru diperkenalkan yaitu
penggunaan sinar ultraviolet dan mikroskop automatic. Sinar ultraviolet umumnya
dipergunakan pada kelompok liptinit yang kaya hidrogen.

A. Komposisi Petrologi Batubara

Petrologi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen organik dan anorganik
pembentuk batubara. Untuk mempelajari petrologi batubara umumnya ditinjau dalam dua
aspek yaitu jenis dan derajat batubara. Jenis batubara berhubungan dengan jenis tumbuhan
pembentuk batubara, dan perkembangannya dipengaruhi oleh proses kimia dan biokimia
selama proses penggambutan, sedangkan derajat batubara menunjukkan posisi pada seri
klasifikasi batubara mulai dari gambut sampai antrasit. Dengan demikian jelas bahwa
batubara itu bukan suatu benda homogen, melainkan terdiri dari bermacam-macam komponen
dasar. Didalam batubara komponen ini dinamakan maceral, sedang maceral dibagi 3
kelompok utama yaitu vitrinit, eksinit, dan inertinit. Maceral pembentuk batubara umumnya
berasosiasi satu sama lain dengan perbandingan berbeda-beda. Asosiasi ini dikenal sebagai
litotipe dan mikrolitotipe. Litotipe merupakan pita-pita tipis pada batubara yang terlihat
secara megaskopis.
Ketiga kelompok maceral ini dapat dibedakan dari morfologi (kenampakan di bawah
mikroskop), asal kejadian, sifat-sifat fisik dan kimia yang dipunyai seperti yang terlihat
pada Tabel 1.1. Stopes (1919) memperkenalkan 4 macam litotipe

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 13


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

seperti yang terlihat pada Tabel 1.2, di mana klasifikasi ini umumnya dipergunakan untuk
batubara jenis bituminous.

Tabel 1.1.
Ringkasan Maceral batubara (Modifikasi dari Smith,1981)

Kelompok Maceral Asal Kejadian Keterangan


Maceral
Vitrinit Telovitrinit Kayu dan serat Kayu Kaya Oksigen, umum
pada batubara, VM =
35%. Lingkungan
reduksi penurunan cepat,
permukaan air dalam,
reaktif.
SG = 1,3 – 1,8.
Eksinit Sporinit Spora, sarang spora Kaya oksigen VM =
butiran-butiran serbuk 67%, umum pada oil shale
sari. dan batuan pembawa
minyak.
Kuitinit Kulit ari, daun, S.G = 1.0 – 1.3
tungkai, akar.
Liptodertrinit Pecahan-pecahan
Resinit eksinit. Resin,
lemak, parifin.
Suberinit Cork, kulit kayu
Alganit Sisa-sisa ganggang
Eksudatinit Minyak, bitumen
yang keluar selama
proses pembatubaraan.
Fluorinit Lipids, minyak
Inertinit Semifusinit Hasil ubahan Kaya karbon VM = 23%
Fusinit (biokimia) dari kayu Penurunan lambat,
Sklerotinit dan serat-serat kayu permukaan air rendah
Inertodetrinit selama penggambutan atau bergelombang, tidak
Mikrinit reaktif.
Makronit S. G = 1,5 – 2,0
Untuk batubara Indonesia yang umumnya berderajat subbituminous masih dapat
menggunakan klasifikasi ini. Klarain dan Vitrain adalah litotipe yang umum pada batubara
Indonesia (Daulay, 1985).

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 14


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Tabel 1.2.
Ringkasan Litotipe Batubara (Modifikasi Stopes 1919)
Litotipe Keterangan Kenampakan pada
Mikroskop

Vitrain Berbentuk lapisan atau Vitrit dan sedikit klarit


lensa, ketebalan ber- kisar (kaya akan vitrinit)
3-5 mm, pecah dengan
sistim kubik.

Klarain Lapisan-lapisan tipis yang Klarit dan sedikit vitrit


cemerlang dan buram (<3 (kaya akan vitrinit dan
mm). eksinit). Batuan pem-
bawa minyak

Fusain Hitam atau abu-abu hitam, Fusit (kaya akan


kilap sutera, berserabut, fusinit).
gampang diremas.

Durain Abu-abu hitam kecoklat- Durit (kaya akan


an permukaan kasar, kilap eksinit dan interknit).
berminyak
(greasy).

Secara megaskopis dapat memberi gambaran komposisi maceral batubara tersebut.


Mikrolitotipe (menurut the International Comitte for Coal Petrology, 1963) adalah suatu
asosiasi maceral (terlihat di bawah mikroskop) dengan ketebalan minimum 50 mm. Ketiga
kelompok utama mikrolitotipe ditandai sebagai 1-maceral, 2-maceral, 3-maceral tergantung
apakah asosiasi maceral itu terdiri dari 1,2, atau 3 kelompok maceral (Tabel 1.3).
Analisa mikrolitotipe dapat memberikan gambaran mengenai tekstur batubara. Jika
ada dua batubara yang mempunyai kandungan vitrinit hampir sama, tetapi yang satu (I)
kandungan vitrinitnya lebih tinggi dari yang lain (II), maka dapat disimpulkan bahwa vitrinit
yang terbentuk pada batubara I merupakan pita-pita tebal. Data ini sangat diperlukan
dalam perencanaan preparasi batubara tersebut. Ukuran intertinit yang diperoleh sangat
bermanfaat di dalam proses pengkokasan. Selain ketiga

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 15


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

kelompok maceral tersebut di atas, batubara juga mengandung zat anorganik yang disebut
mineral matter.

Tabel 1.3.
Ringkasan Mikrolitotipe Batubara (ICCP, 1963)

Mikrolitotipe Komposisi Kelompok Maceral


1-Maceral Vitrit Vitrinit > 95 %
Liptit Liptinit >95 %
Inertit Inertinit > 95 %
2-Maceral Klarit Vitrinit + liptinit > 95 %
Vitrinertit Vitrinit + Inertinit > 95 %
Durit Liptinit + Inertinit > 95 %
3-Maceral Duroklarit Vitrinit > liptinit dan inertinit
Klarodurit Inertinit > Vitrinit dan liptinit
Vitrinertoliptinit Liptinit > vitrinit dan inertinit
Hitam, kilap sutra, berserabut, (kaya akan fusinit)
mudah diremas

Mineral Matter (berhubungan langsung dengan abu batubara) umumnya terbentuk


sebagai material-material halus menyebar pada batubara atau terkumpul membentuk
lapisan-lapisan tipis (clay band).

B. Derajat Batubara

Derajat batubara adalah posisi pada seri klasifikasi mulai dari gambut sampai antrasit.
Perkembangan sangat dipengaruhi oleh temperatur, tekanan dan waktu (Lopatin, 1971;
Bostick, 1973). Banyak parameter yang telah dipergunakan untuk penentuan derajat batubara
(Crok,1983), salah satu di antaranya adalah refleksi vitrinit. Cara ini belum begitu dikenal
di Indonesia, dan telah berkembang pesat di amerika, Jerman, Australia terutama pada
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam eksplorasi minyak dan gas. Semua jenis maceral
dapat diukur refleksinya, tetapi kelompok vitrinit adalah yang umum dipilih. Kelompok ini
cenderung terbentuk sebagai pecahan-pecahan kasar dan homogen, merupakan maceral utama
pada kebanyakan batubara dan menunjukan korelasi yang bagus dengan parameter lain
yang dipakai sebagai indikasi derajat batubara. Dengan cara refleksi vitrinit ini, pengukuran
dapat dilakukan dengan singkat dan pasti.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 16


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Gambar 1.5
Eksinit (e) Berasosiasi dengan Vitrinit (v) dan Mineral Matter (m). Batubara Bayah, Rv
= 0,64 %, Luas Pengamatan = 0,44 mm, Sinar Pantul (Daulay, 1967)

Gambar 1.6.
Sama Dengan Gambar 1.5, Tetapi Pada Sinar Flouresen (Daulay, 1967)

Gambar 1.7.
Eksinit (E) Mengisi Sel-Sel Vitrinit (V) Dan Membentuk Lapisan-Lapisan.
Batubara Neogene, Samarinda, Kalimantan Timur, Rv Max = 0, 46 %, Luas
Pengamatan = 0, 28 Mm, Sinar Pantul (Daulay, 1967).

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 17


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Gambar 1.8.
Sama Dengan Gambar 1.7, Tetapi Pada Sinar Flouresen (Daulay, 1967)

Gambar 1.9.
Sel-Sel Inertinit (I) Diisi Oleh Eksinit (E) Dalam Masa Dasar Vitrinit (V), Dari
Batubara Bukit Asam, Rv Max = 0,38%, Luasnya Pangamatan = 0, 28 Mm, Sinar
Pantul (Daulay, 1967).

Gambar 1.10.
Sama Dengan Gambaar 1.9, Tetapi Pada Sinar Floeresen (Daulay, 1967).
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 18
Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

1.2. STRUKTUR LAPISAN BATUBARA

1.2.1. Associated Strata

Mengacu pada proses terbentuknya batubara lapisan batuan yang sering berasosiasi
dengan lapisan batubara adalah lempung, lanau dan pasir yang masih bersifat lepas
(unconsolidated) serta serpih. Kadang-kadang juga ditemukan konglomerat atau
batugamping. Lapisan batuan yang bersifat lepas umumnya berasosiasi dengan lignite dan
kadang-kadang sub-bituminous karena dengan rank yang lebih tinggi dimana sedimen
bersifat batuan.
Batupasir dapat terbentuk dari material hasil pelapukan yang terbawa angin yang
selanjutnya tertutup oleh endapan lainnya dan mengalami kompaksi atau dari pengendapan
pasir terbawa oleh aliran air dangkal dari daerah yang tidak terlalu jauh. Lempung
merupakan hasil pengendapan material halus pada aliran air dangkal yang umumnya berasal
dari daerah dataran rendah dengan aliran air alamiah yang pelan. Sedangkan lapisan batu
gamping menunjukan pengendapan air dalam atau kondisi laut (marine) yang
memungkinkan terbentuknya batu gamping tersebut.

1.2.2. Variasi Ketebalan dan Penyebaran

Lapisan batubara disuatu tempat selalu bervariasi ketebalannya yang kadang- kadang
hanya pada jarak yang dekat / pendek. Faktor utama yang menyebabkan variasi tersebut
adalah kondisi cekungan tempat terbentuknya batubara tersebut. Pada cekungan yang luas
variasi ketebalan lebih sedikit bila dibandingkan dengan cekungan yang lebih kecil,
misalnya di daerah delta sungai. Demikian pula bentuk dasar awal sebelum lapisan batubara
terbentuk.
Faktor lain adalah faktor kerapatan tumpukan tumbuhan yang akan membentuk gambut
dan perbedaan tekanan dari lapisan sedimen diatas lapisan batubara atau akibat aktivitas
tektonik.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 19


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

1.2.3. Variasi Kualitas

Sering terjadi kulitas secara vertikal pada suatu lapisan batubara. Bisa saja pada bagian
bawah lapisan batubara kandungan abu semakin tinggi dan pada bagian atas banyak
mengandung material lain yang terjadi bersamaan dengan proses akumulasi gambut.
Variasi secara horizontal pada suatu lapisan batubara bahkan pada suatu tambang yang
sama lebih sering ditemukan dan hal ini umumnya disebabakan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembatubaraan (coalification) seperti tekanan lapisan sediment dan
pengaruh aktivitas magma.

1.2.4. Bentuk Lapisan Batubara

a. Bentuk Horse Back

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung
ke arah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan ke arah lateral batubara kemungkinan sama
ataupun menjadi lebih kecil atau menipis. Gambar 1.11 memperlihatkan deposit batubara
bentuk Horse Back.

Gambar 1.11
Deposit Batubara Bentuk Horse Back

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 20


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

b. Bentuk Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya
dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plestis misalnya batulempung sedang di
atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan
pengisian suatu alur. Gambar 1.12 memperlihatkan deposit batubara berbentuk Pinch.

Gambar 1.12.
Deposit Batubara Bentuk Pich

c. Bentuk Clay Vein

Bentuk ini terjadi apabila di antara 2 bagian deposit batubara terdapat urat lempung.
Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri deposit batubara mengalami patahan, kemudian
pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun
pasir. Gambar 1.13. memperlihatkan deposit batubara bentuk Clay Vein.

Gambar 1.13.
Deposit Batubara Bentuk Clay Vein

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 21


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

d. Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk terdapat suatu
kulminasi sehingga batubara seperti “terintrusi”. Gambar 1.14 memperlihatkan deposit
batubara bentuk Burried Hill.

Gambar 1.14.
Deposit Batubara Bentuk Burried Hill

e. Bentuk Sesar (Fault)

Suatu sesar adalah patahan sehingga lapisan pada satu sisi bergerak relatif terhadap
lapisan disisi yang lain. Gerakan tersebut menyebabkan satu sisi bergerak keatas atau
kebawah sementara sisi yang lain tetap atau satu sisi bergerak keatas sementara sisi yang
lain bergerak ke bawah atau kedua sisi bergerak kearah yang sama tetap dengan jarak
perpindahan yang berbeda.
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami beberapa seri
patahan. Keadaan ini akan mengacaukan di dalam perhitungan cadangan, akibat adanya
perpindahan perlapisan akibat pergeseran kearah vertikal.
Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala patahan harus
dilakukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Untuk daerah seperti ini disamping kegiatan
pemboran maka penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam melakukan interpresi dan
korelasi antar lubang pemboran. Gambar 1.15, memperlihatkan deposit batubara bentuk
Fault.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 22


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Gambar 1.15.
Deposit Batubara Bentuk Fault

f. Bentuk Perlipatan (Fold)

Gerakan kerak bumi antara lain menyebabakan terjainya perlipatan (folding). Proses ini
menyebabkan lapisan batubara yang pada awalnya terbentuknya secara horizontal
mengalami perlipatan sehingga lapisan batubara tersebut menjadi miring, bahkan kadang-
kadang hampir tegak lurus, Hal ini dapat terjadi jika proses perlipatan terjadi pada tahap
awal pembentukan batubara dimana lapisan batubara masih bersifat plastis sehingga dapat
mengikuti perlipatan yang terjadi.
Daerah punggungan disebut antiklin sedangkan daerah lembah disebut sinklin untuk
menggambarkan kemiringan lapisan batubara yang terlipat tersebut dikenal istilah strike atau
jurus dan kemiringan atu dip. Jurus adalah garis dimana lapisan batubara memotong
bidang horizontal dan kemiringan diukur tegak lurus.
Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana deposit batubara mengalami perlipatan.
Makin intensif gaya yang bekerja pembentuk perlipatan akan makin komplek perlipatan
tersebut terjadi. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala
perlipatan, apalagi bila di daerah tersebut juga terjadi patahan harus dilakukan dengan
tingkat ketelitian yang tinggi. Untuk daerah seperti ini di samping kegiatan pemboran maka
penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam melakukan interpretasi dan korelasi antar
lubang pemboran. Gambar 1.16, memperlihatkan deposit batubara bentuk fold.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 23


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Gambar 1.16.
Deposit Batubara Bentuk Fold

g. Sisipan (Partings)

Lapisan batubara kadang-kadang disisipi oleh lapisan-lapisan batuan anorganik,


umunya serpih, lempung, batupasir. Secara umum sisipan lapisan tersebut disebut parting,
namun jika lapisan tersebut cukup tebal lapisan batubara tersebut disebut mengalami
splitting. Parting yang tipis tersebut misalnya clayband atau tonstein.
Pada umumnya parting terbentuk bersama-sama dengan pembentukan lapisan gambut
misalnya jika pada suatu saat terjadi banjir sehingga terjadi sedimentasi material anorganik
secara merata diseluruh cekungan sehingga ada bagian dimana proses regenerasi tumbuhan
terhenti sementara di tempat lain masih berlangsung secara kontinyu.

h. Rekahan (Joint)

Rekahan atau joints sering dijumpai pada lapisan batubara. Rekahan tersebut
berasosiasi dengan perubahan volume dari lapisan batubara, baik melalui kontraksi pada
saat pengeringan. Kompaksi akibat lapisan sedimen di atasnya maupun ekspansi akibat
hilangnya lapisan penutup. Rekahan dapat juga terjadi pada lapisan batubara di dekat
punggungan perlipatan (sumbu antiklin) atau karena regangan lokal.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 24


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Umumnya terdapat dua set rekahan pada lapisan batubara yang saling tegak lurus
satu dengan lainnya, yaitu face cleats dan bult cleats. Face cleats lebih panjang dan teratur
dibandingkan dengan bult cleats.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui jumlah
cadangan deposit batubara di suatu daerah, penyelidikan geologi detail perlu dilakukan.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 25


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

BAB II
KLASIFIKASI BATUBARA

Beragamnya kualitas batubara diseluruh dunia menyebabkan diperlukannya


pengklasifikasian batubara menurut sistem atau rank (peringkat) nya. Meskipun ada banyak
kasus dimana batas klasifikasi sangat sulit, batubara umumnya dapat diidentifikasi dengan
menggunakan beberapa skala yang sistematik. Bagaimanapun dalam melakukan analisa
batubara suatu upaya harus dilakukan agar dapat menempatkan batubara dalam suatu kelas
tertentu sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk pembandingan mutu batubara
dibeberapa negara atau internasional.
Meskipun banyak negara penghasil batubara utama telah memiliki klasifikasi sendiri,
namun umumnya ahli tambang ataupun ahli geologi lebih terfokus kepada dua klasifikasi
internasional yang paling sering digunakan. Klasifikasi yang pertama adalah sistem Amerika
(ASTM, American Society for Testing and Materials) dan yang kedua adalah sistem
klasifikasi internasional yang dibuat oleh organisasi standarisasi internasional, (ISO,
International Standardization Organization), sebuah agensi dari United Nations Economics
Commission for Europe. Karena sangat pentingnya kedua klasifikasi diatas, maka bahasan
tentang pengklasifikasian batubara dalam buku ini mengacu kepada kedua sistem diatas.
Standar lain yang juga umum digunakan diantaranya adalah British Standard yang dapat
dilihat pada tabel 2.8. Sistem Australia sama dengan ISO hanya saja dilengkapi dengan
menyertakan level abu batubara (ash levels). Sistem Jepang secara umum merujuk pada
ASTM, tetapi mereka juga memiliki Japanese Industrial Standard (JIS).

2.1. KLASIFIKASI BATUBARA BERDASARKAN RANK


MENURUT ASTM

Klasifikasi batubara ini mengacu kepada ASTM D-388-66, yang telah diadopsi oleh
American Standards Association (ASA) No. M 20. 1-1973 (Tabel 2.1 menunjukan
klasifikasi batubara menurut ASTM). Sistem klasifikasi ini

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 26


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

mempergunakan volatile matter (dmmf), fixed carbon (dmmf) dan calorific value (mmmf)
sebagai patokan. Untuk anthrasit, fixed carbon (dmmf) merupakan patokan utama,
sedangkan volatile matter (dmmf) sebagai patokan ke dua. Bituminous mempergunakan
volatile matter (dmmf) sebagai patokan utama dan calorific value (mmmf) sebagai patokan
kedua. Lignit mempergunakan calorific value (mmmf) sebagai patokan seperti yang terlihat
pada Tabel 2.1. Sifat-sifat Aglomerasi dan pelapukan digunakan untuk membedakan antar
kelompok yang bersebelahan.
Klasifikasi ini tidak meliputi beberapa batubara tertentu yang memiliki variasi tidak
beraturan yaitu batubara yang mempunyai sifat fisik dan kimia tidak biasa, nilai zat terbang
dan nilai kalori berada diantara batas rank batubara High volatile bituminous dan
subbituminous. Semua batubara yang termasuk dalam kelompok ini memiliki nilai karbon
(dry basis) kurang dari 48 %, atau mempunyai nilai moisture (mineral-matter-free basis)
lebih dari 15,500 British thermal units per pound (Btu/Lb).
Basis pelaporan kandungan air lembab (moisture) berdasar pada nilai air bawaan
(inherent moisture) yang terkandung secara alamiah, dan tidak termasuk air permukaan
(surface moisture). Kadang-kadang basis pelaporan moisture sudah mengandung arti
dinyatakan dalam air dry basis (adb), bagian yang sering digunakan dalam pelaporan
standar hasil uji laboratorium.
Untuk menghitung nilai karbon padat (fixed carbon (%), dmmf), zat terbang (volatile
matter (%), dmmf), dan kandungan air (moisture (Btu/lb), dmmf) yang digunakan untuk
mengetahui posisi peringkat (rank) batubara dalam standar ASTM mengikuti persamaan-
persamaan dibawah ini:

FC - 0.15 S
FC (dmmf) x 100
100 - (M 1.08 A
0.55 S)
VMm (dmmf) 100 - FC (dmmf)
Btu - 50 S
Moist (Btu, mmf) x 100
100 - (1.08 A 0.55
S)

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 27


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Dimana:
Dmmf : Dry, Mineral Matter Free
Btu : British thermal units (specific energy)
FC : % Fixed Carbon
VM : % Volatile Matter
M : % Moisture
A : % Ash
S : % Sulfur
Catatan:
Moist “Btu” merujuk pada nilai kandungan batubara dalam kondisi alamiahnya, atau
kandungan bawaan, dengan kata lain disebut moisture tetapi bukan surface moisture.

Simbol-simbol yang sering digunakan dalam menentukan rank batubara dalam


klasifikasi ASTM adalah:
Lvb = Low-volatile bituminous Mvb
= Medium-volatile bituminous
Hvab = High-volatile A bituminous
Hvbb = High-volatile B bituminous
Hvbc = High-volatile C bituminous
Sub a = Subbituminous A
Sub b = Subbituminous B Sub
c = Subbituminous C

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 28


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Tabel 2.1.
Klasifikasi Batubara Menurut ASTM Berdasarkan Rank

Analytical Limits Requisite Physical


Class Group
Properties
(Mineral-Matter-Free Basis)
I. Anthracite 1. Meta-Anthracite Dry FC 98% or more ;
Dry VM 2% or less;
2. Anthracite Dry FC 92% or more And
less than 98% Dry
VM 8% or less And
more than 2%
3. Semianthracite Dry FC 86% or more And
less than 92% Dry
VM 14% or less And
Non-agglomerating
more than 8%

II. Bituminous 1. Low-Volatile Dry FC 78% or more And Agglomerating


less than 86%; Dry Commeonly
VM 22% or less And
more than 14%
2. Medium-Volatile Dry FC 69% or more And
less than 78%; Dry
VM 31% or less And
more than 22%
Dry FC Less than 69%
3. High-Volatile A
Dry VM more than 31%
And moist Btu 14,000 Or
more
Moist Btu 13,000 or more And
4. High-Volatile B
less than 14,000
Either agglomerating Or
Moist Btu 10,500 or more And
5. High-Volatile C non-agglomerating
less than 13,000

III. Subbituminous 1. Subbituminous A Moist Btu 10,500 or more Non-agglomerating


2. Subbituminous B And less than 11,500
3. Subbituminous C Moist Btu 9,500 or more
And less than 10,500
Moist Btu 8,300 or more
And less than 9,500

IV. Lignitic 1. Lignite A Moist Btu less than 8,300 Non-agglomerating


2. Lignite B Moist Btu less than 6,300
Sumber : ASTM D-388-66 (reprinted by permission).

Legend : FC = Fixed Carbon


Vm = Volatile Matter
Btu = British Termal Units
Catatan: 429.923 Btu = 1 MI/kg (megajoules), specific energy,SI.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 29


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

GROUPS CODE NUMBER SUBGROUP


(determineted by caking properties) (determinated by coking properties)
ALTERNATIVE GROUP ALTERNATIVE
PARAMETERS The firs figure of the code number indicates the class of the coal, determinated by volatile SUBGROUP
matter content up to 33% V.M. and by calorific parameter above 33% V.M. The second PARAMETERS
GROUP Free-swelling index SUBGROUP
figure indicates the group of coal, determineted by caking properties.
NUMBER (crucible- sweeling Roga NUMBER Dilatometer Gray-King
The third figure indicates the subgroup, determined by caking properties.
number) Index

435 535 635 5 >140

334 434 534 634 4 >50-140

3 >4 >45
333 433 533 633 733 3 >0-50

332 332
a b 432 532 632 732 832 2 <0

323 423 523 623 723 823 3 >050

2 2 1/2 - 4 >20 - 45 322 422 522 622 722 822 2 <0

Contaction
321 421 521 621 721 821 1 Only

212 312 412 512 612 712 812 2 <0

1 1 - 2. >5-20 Contaction
211 311 411 511 611 711 811 1 Only

100
0 0-1/2 0-5 200 300 400 500 600 700 800 900 0 Nonsoftening
A B

As indication the following classes have and


CLASS NUMBER 1 2 3 4 5 6 7 8 9 approximate volatile-matter content of:
0
>310
Class 6 33-41% volatile matter
CLASS Volatile matter 0-3 >1014 >14-20 >20-28 >28-33 >33 >33 >33 >33
>3-6.5 >6.5-10 7 33-44% volatile matter
PARAMETERS (dry, ash-free)
8 35-50% volatile matter
>12.960- >12.960- >10.260- 9 42-50% volatile matter
a]
- - - - - - 13.950 13.950 >980-12.960 10.980
Calorific parameter

CLASSES
(Determinated by volatile matter up to 33% V.M. and by calorific parameter above 33% V.M).
Note : (i) Where the ash content of coal is too high to allow classification according to the precent system, it must be reduced by laboratory float-and-sink menthod (or
any order appropriate means). The specific gravity selected for flotation should allow a maximum yield of coal with 5 to 10 percent ash)
(ii) 332a > 14-16% V.M
322b > 16-20% V.M
Gambar 2.1.
Klasifikasi ISO Untuk Batubara Tipe Hard Coal

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 30


2.2. KLASIFIKASI BATUBARA BERDASARKAN STANDAR
INTERNASIONAL ISO

Pada tahun 1949 telah didirikan sebuah komisi dengan nama Comittee of United
Nations Economic Comission for Europe untuk mengembangkan suatu sistem klasifikasi
batubara secara internasional dan setelah mempertimbangkan beberapa studi yang pernah
dikembangkan maka standar tersebut disetujui oleh badan standarisasi internasional, ISO
(International Organization for Standardization). Untuk mengetahui detail dari klasifikasi
internsional ini terlalu luas untuk dimasukan dalam diktat ini, tetapi perhatian kita akan
difokuskan kepada intisarinya saja. Gambar 2.1 mengilustrasikan bagan klasifikasi untuk
batubara jenis hard coal.
Klasifikasi internasional ISO membagi batubara dalam dua kategori utama. Kategori
pertama disebut batubara “hard” yang didefinisikan sebagai batubara yang memiliki gross
calorific value lebih dari 10.260 Btu (moist, ash-free basis). Semua batubara diatas
Subbituminous B dalam klasifikasi ASTM Yang termasuk dalam kelompok ini. Kategori
kedua dalam standar ISO adalah semua batubara yang termasuk dalam group Subbituminous
B dan C, dan Lignite A dan B. Pembagian tipe dalam klasifikasi internasional ISO sama
dengan rank dalam sistem klasifikasi Amerika ASTM. Pembagian ini berdasarkan pada
derajat metamorfisme, atau laju alterasi dari lignite ke anthracite. Class dalam klasifikasi
ISO mendekati group dalam klasifikasi ASTM.
Pengelompokan batubara dalam klasifikasi pertama berdasarkan kandungan
volatile matter-nya (dry, ash-free basis), dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2.
Pengelompokkan Batubara Berdasarkan
Kandungan Volatile Matter
Class No. Percent Volatile Matter
(Dry, ash-free basis)

1A 3 – 6.5
1B 6.5 -10
2 10 -14
3 14 – 20
4 20 – 28
5 28 – 33
6-9 >33

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 31


Untuk batubara yang mengandung volatile matter lebih dari 33 persen , dapat dilihat pada
tabel 2.3 sebagai berikut:

Tabel 2.3
Batubara yang Mengandung Volatile Matter Lebih dari 33%

Class No. Gross Btu Vlue Approximate Volatile Matter


(Moist, Ash-Free Limits
Basis) (Dry, Ash-Free Basis)

6 > 13.950 33 – 41
7 12.960 – 13.950 33 – 44
8 10.980 – 12.960 35 – 50
9 10.260 – 10.980 42 – 50

Untuk batubara lignite dan brown coal, atau batubara yang memiliki gross heating value
kurang dari 10.260 Btu, batubara diklasifikasikan berdasarkan pada kandungan total
moisture-nya (ash-free basis), seperti terlihat pada tabel 2.4 sebagai berikut:
Tabel 2.4
Klasifikasi Berdasarkan Pada Kandungan Total Moisture-Nya

Class No. Percent Total Moisture


(Ash-Free Basis)
10 <20
11 20 – 30
12 30 – 40
13 40 – 50
14 50 – 60
15 60 - 70

Class kemudian dibagi lagi ke dalam group yang mendasarkan pada hasil uji standar
batubara. Sembilan Class dari hard coal dibagi kedalam group-group berdasarkan pada sifat
“caking” dari batubara seperti terlihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5
Group Batubara Berdasarkan Pada Sifat “Caking”

Group No. Free-Swelling Index Roga Index


0 0–½ 0–5
1 1–2 5 – 20
2 2½-4 20 – 45
3 >4 > 45

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 32


Group dari batubara selanjutnya dibagi lagi kedalam sub-sub berdasarkan pada sifat-
sifat “coking” nya, seperti diukur menggunakan dilatasi (menggunakan Metode Audibert-
Arnu ), atau dengan menggunakan tipe kokas Gray-King , lihat tabel 2.6.

Tabel 2.6
Group Batubara Berdasarkan Pada Tipe Kokas Gray-King

Subgroup Maximum Gray-King


No. Dilatation Coke Type
0 Non-softening A
1 Contaction only A–B
2 0 and less E–G
3 0 – 30 G1 – G4
4 50 – 140 G5 – G8
5 > 140 Above G8

Tiga digit kode nomor digunakan untuk menyatakan klasifikasi dari batubara. Digit
pertama menunjukkan “Class” , yang kedua menunjukkan “group”, dan digit yang ketiga
menunjukkan “subgroup”. Sebagai contoh, Code No. 634 menunjukan bahwa batubara
tersebut masuk dalam Class 6, Group 3, dan Subgroup 4.
Class untuk batubara subbituminous dan lignite memiliki gross heating value – kurang
lebih 10.260 Btu (atau Class 10 sampai 15) yang dibagi kedalam group berdasarkan tar yield
seperti terlihat pada Tabel 2.7.
Batubara Class 10 sampai 15 menggunakan empat digit kode nomor, dua digit pertama
menunjukkan Class dan dua digit terakhir menunjukkan group. Sebagai contoh, Code No.
1210 berarti batubara tersebut adalah Class 12 dan dimasukkan dalam Group 10.

2.3. PERBANDINGAN KLASIFIKASI ASTM DAN ISO

Perbandingan antara klasifikasi menurut ASTM dan ISO dapat dilihat pada Gambar 3.
Sisem internasional sama dengan sistem ASTM yang menyatakan bahwa batubara
dipisahkan kedalam Class berdasarkan nilai volatile matter dan kalori.ASTM menggunakan
nama untuk menggantikan nomor pada ISO, kemudian

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 33


sistem ASTM menggunakan basis pelaporan mineral-matter-free-basis (dmmf)
sedangkan ISO menggunakan basis pelaporan ash-free basis (daf).
Dalam hal batubara Subbitumionous C dan lignite, sistem internasional ISO
menggunakan parameter total moisture, sedangkan pada sistem ASTM menggunakan nilai
kalori (Calorific Value). Korelasi yang baik antara total moisture dan calorific value adalah
pada batubara peringkat rendah.
Ada korelasi tertutup antara dua sistem, kecuali dimana sistem internasional
membagi kedalam kategori yang lebih dangkal daripada ASTM. Pengelompokkan ini benar
untuk batubara peringkat rendah, dimana sistem ISO membagi lignite dalam enam Class.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 34


BAB III
KARAKTERISTIK DAN PARAMETER
KUALITAS BATUBARA

3.1. KARAKTERISTIK BATUBARA

Sifat-sifat fisik ataupun komposisi kimia batubara sangat berbeda-beda, apakah masih
berbentuk endapan ataupun telah menjadi bahan perdagangan. Perbedaan ini disebabkan
oleh kondisi pembentukan gambut, perubahan-perubahan yang terjadi selama masa waktu
geologi, cara-cara penambangan dan pengolahan yang telah di alaminya. Karakteristik
batubara ini menentukan bagaimana batubara tersebut dapat dimanfaatkan. Dalam beberapa
hal, pencucian dan pengolahan dapat memperbaiki karakteristik ini, sehingga batubara
tersebut menjadi dapat dimanfaatkan. Beberapa karakteristik batubara yang diperbaiki
dengan melakukan pencucian ialah:
a. Menghasilkan produk yang lebih uniform
b. Distribusi ukuran yang optimum
c. Kandungan moisture optimum
d. Mengurangi kandungan material
Adapun karakteristik dari batubara tersebut secara umum dapat dikelompokan menjadi
dua bagian yaitu yang termasuk dalam sifat fisik dan kimia batubara. Adapun yang termasuk
dalam kelompok sifat fisik diantaranya: Moisture, Volatile matter, Porositas, Berat jenis,
Grindability dan Friability, Pelapukan, Komposisi ukuran, Kekuatan, Abrasiveness,
Swabakar, Warna dan kilap, Rekahan, Cleat dan Belahan. Sedangkan yang termasuk dalam
kelompok sifat kimia adalah: karbon, hidrogen, sulfur, oksigen, nitrogen, dan impurities
batubara.
Sifat fisik batubara dikhususkan pada karakteristik batubara dalam kondisi aslinya, atau
diutamakan pada hasil akhir penggunaan batubara sebagai bahan bakar. Sebagai contoh,
kekerasan batubara dihitung untuk mengetahui biaya perawatan dari peralatan penanganan
batubara ( coal handling equipment), bobot isi (SG) batubara dihitung untuk mengetahui
teknik preparasi yang digunakan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kapasitas tug boat
dan ukuran tongkang,

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 35


dan fasilitas penyimpanan batubara lainnya. Sifat fisik batubara sudah tentu tergantung
pada unsur-unsur kimia yang membentuk batubara tersebut serta semua sifat fisik dan kimia
saling berhubungan.
Sifat kimia lebih ditujukan kepada karakteristik batubara yang didasarkan pada unsur-
unsur kimianya. Karakteristik-karakteristik ini dihitung untuk kondisi yang sangat luas
dengan mempertimbangkan faktor-faktor : jenis tumbuhan yang pembentuk batubara; tingkat
perlakuan ketika tumbuh-tumbuhan tersebut mengalami pembusukan, besarnya tekanan
(pressure) pada saat pembusukan tumbuh-tumbuhan berlangsung; pengotor dari luar, baik
dibawa oleh air maupun angin, yang dapat ikut terendapkan dan menyatu dalam deposit
batubara dan menjadi pengotor bawaan setelah terbentuk batubara; dan panas yang
diperlukan selama proses pembusukan tumbuhan menjadi batubara.
Unsur-unsur dasar dari batubara adalah karbon, hidrogen, sulfur, oksigen, dan nitrogen
yang tergabung menjadi satu kesatuan yang komplek sehingga membentuk batubara saat ini.
Tidak semua unsur-unsur tersebut ada dalam semua batubara, porsi dari masing-masing
unsur juga tidak selalu konstant pada lapisan batubara yang sama. Jika saja batubara
merupakan produk yang seragam (uniform), maka dipastikan tidak akan ada masalah
dalam penggunaannya. Kerangka dari karakteristik unsur-unsur kimia adalah suatu struktur
polynuclear rantai karbon. Batubara bukan merupakan hydrokarbon karena adanya
kandungan bahan-bahan organik yaitu oksigen, sulfur dan nitrogen. Secara keseluruhan,
karakteristik dari batubara dijabarkan sebagai berikut :

3.1.1. Moisture

Moisture yang ada pada atau di dalam batubara akan ikut terangkut atau tersimpan
bersama batubara. Bila banyaknya ada dalam jumlah besar, ia akan meningkatkan ongkos
atau mendatangkan kesulitan pada penanganannya. Misalnya adanya air permukaan akan
menyebabkan batubara lengket dan akan menyulitkan hopper atau chute atau pada waktu
menggerusnya. Adanya moisture akan menurunkan nilai panas dan juga hilang pada
penguapan air.
Moisture yang ada pada batubara terdapat pada:
- permukaan dan didalam rekahan-rekahan, disebut air bebas (free moisture) atau air
permukaan (surface moisture).

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 36


- Rongga-rongga kapiler, disebut inherent moisture.
- Pada kristal-kristal partikel-partikel mineral yang ada pada batubara disebut air hidrasi.
- Bagian organik dari batubara, disebut air dekomposisi
Air permukaan mempunyai tekanan uap normal, sama seperti air biasa, sedangkan
inherent moisture yang berada di dalam pori-pori, tekanan uapnya lebih rendah dari normal.
Air hidrasi umumnya terdapat pada material lempung dan merupakan bagian dari lattice
(kisi-kisi) kristalnya. Air ini baru terbebaskan pada
0 o o
temperatur 500 C. Air dekomposisi terbebaskan pada temperatur 200 - 250 C. Air
hidrasi dan air dekomposisi terbebaskan menggunakan temperatur jauh dibawah 200oC.
Air total (total moisture) adalah jumlah air permukaan (surface moisture) dan air
bawaan (inherent moisture) dari batubara pada waktu analisis. Nama lain dari air total
ialah as-received moisture. Air dried adalah air yang ada setelah pengeringan dengan udara
terbuka. Ada beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian air di dalam batubara,
memberikan gambaran umum tentang jumlah air relatif pada batubara.

3.1.2. Zat Terbang (Volatile Matter)

Apabila batubara dipanaskan didalam atmosfir yang insert sampai temperatur 950oC.
Akan menghasilkan material yang disebut zat terbang. Zat terbang tersebut terdiri dari
campuran gas senyawa organik bertitik didih rendah yang akan mencair menghasilkan
material berbentuk dan tar. Proses menghasilkan zat terbang ini disebut pirolisis yang berarti
memisahkan dengan menggunakan panas. Kebanyakan material yang ada di dalam zat
terbang adalah hasil pelepasan ikatan kimia di dalam batubara selam proses pemanasan,
terdiri dari gas-gas mudah
terbakar seperti hydrogen, karbon monoksida, metan, uap tar dan gas yang tidak terbakar
seperti karbon dioksida dan uap air. Uap air disini adalah uap air yang tidak termasuk air
total tetapi termasuk air hidrasi dan air dekomposisi.
Komposisi dari zat terbang berbeda-beda menurut rank dari batubara dengan bagian
zat terbang yang tidak terbakar membesar dengan menurunnya rank (Tabel 3.1). Zat
terbang ini sangat penting karena ia dipakai sebagai parameter dalam

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 37


klasifikasi dan evaluasi batubara untuk pembakaran, karbonisasi (pembuatan kokas),
gasifikasi dan liquefaksi.
Dalam pemanfaatan batubara sebagai sumber panas (combustion), zat terbang ini
penting untuk mengendalikan asap dan pembakaran. Batubara dengan zat terbang rendah,
terbakar secara perlahan dengan flame (nyala) yang pendek dan digunakan untuk
pemanasan. Untuk itu batubara harus dari batubara yang mengandung zat terbang medium
sampai tinggi. Akan tetapi batubara ini juga mengandung asap yang berlebihan yang perlu
diatasi dengan pembakaran yang baik (perlu jumlah udara yang tepat untuk pembakaran).

3.1.3. Porositas

Batubara mengandung dua sistem pori, yaitu pori dengan ukuran rata-rata 500 Å dan
yang lain dengan pori berukuran 5 - 15 Å (1 Å = 10-10m). Pori yang kecil lebih sedikit
dibandingkan dengan yang besar, tetapi luas permukaannya besar (kira-kira 200 m2/gr).
Pori-pori yang lebih besar mempunyai total luas permukaan pori 1m2/gr. Pori-pori ini dapat
menyerap methan (CH4) yang terbentuk pada tahap akhir dari pembentukan batubara.
Low volatile bituminous coal mempunyai kemampuan menyerap methan lebih besar dari
laju difusi rendah, pada batubara yang tidak rusak. Hal ini berkaitan dengan sering
terjadinya ledakan dan kebakaran pada
tambang - tambang low volatile bituminous coal, bila terbentuknya rekahan-rekahan yang
memungkinkan keluarnya gas methan.
Permukaan dalam dari pori ini merupakan akses terhadap reaktan yang akan
memberikan laju reaksi yang seperti pada proses gasifikasi, pembakaran dan lain- lain.

3.1.4. Berat Jenis (Density)

Berat jenis material adalah perbandingan antara berat material di udara dengan berat
mineral tersebut yang setara dengan volume air yang dipindahkan akibat material tersebut.
Berat jenis batubara murni berkisar antara 1,25 sampai 1,70, umumnya semakin bertambah
nilainya seiring dengan naiknya peringkat (rank)

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 38


batubara itu sendiri. Kegunaan terpenting dari berat jenis ini adalah dimana pemisahannya
didasarkan pada perbedaan berat jenis. Prinsif dasar dari operasi ini adalah bahwa berat
jenis batubara berbeda-beada dipengaruhi oleh adanya asosiasi dengan pengotor
(impuirities) dan adanya hubungan batubara kecepatan jatuh batubara di air dengan density-
nya.
Ada beberapa macam pengukuran berat jenis, tergantung pada tujuan
penggunaannya diantaranya adalah:
- Bulk density adalah berat persatuan volume batubara lepas. Pengetahuan bulk density
ini diperlukan misalnya untuk menghitung besarnya stockpile, bin dan lain-lain untuk
menyimpan batubara dengan berat tertentu
- Apparent density adalah berat jenis bongkah batubara termasuk inherent moisture,
mineral matter dan udara di dalam pori.
- True density adalah berat jenis batubara yang bebas dari udara dan air yang tidak
terikat , tetapi termasuk mineral matter.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya berat jenis adalah:


- Rank. Umumnya batubara dengan rank yang tinggi cenderung mempunyai berat jenis
yang tinggi pula. Meningkatnya berat jenis ini mungkin disebabkan oleh perubahan-
perubahan yang terjadi selama proses pembentukan batubara yaitu terbentuknya
group-group hidrokarbon yang lebih berat.
- Komposisi petrografik, exinit adalah group maceral paling ringan, sedangkan fusinit
yang paling padat (berat jenis lebih besar). Berat jenis exinit dan vitrinit dari batubara
sub bituminous dan bituminous masing-masing berkisar antara 1-1,28 dan 1,35 - 1,45
sedangkan fusinit lebih dari 1,5.
- Impurities. Air lembab dan mineral adalah dua group impurities yang ada di dalam
batubara, dan sangat menentukan berat jenis batubara. Batubara yang masuk segar
dan baru datang dari tambang, masih jenuh dengan air. Berat jenis batubara
berkurang dengan mengeringnya batubara. Batubara yang mengandung abu lebih
besar juga mempunyai berat jenis lebih besar.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 39


3.1.5. Grindability dan Friability

A. Grindability

Grindability adalah ukuran mudah sukarnya batubara digerus menjadi berbutir halus
untuk penggunaan bahan bakar bubuk (pulverized coal) dibandingkan dengan betubara
standar yang dipilih sebagai grindability 100. Dengan demikian batubara akan lebih sukar
digerus bila index grindability lebih kecil dari 100, Hardgrove Grindability index, nama
yang berasal dari nama penemu cara uji grindability tersebut yaitu Ralp Hardgrove.
Batubara yang mudah digerus adalah batubara dari high volatile bituminous, sub
bituminous dan antrasit lebih sukar, yaitu grindability membesar dengan meningkatnya
kandungan karbon sampai 90% dan kemudian mengecil, lihat Gambar 3.2

Gambar 3.1
Hubungan antara Hardgrove Index dan Volatile Matter
Untuk Batubara berkadar abu rendah

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 40


Gambar 3.2
Hubungan antara Hardgrove Index Batubara dan Kandungan Karbon

Grindability merupakan parameter terpenting untuk pembakaran batubara dengan


tungku pembakaran lebih banyak dipengaruhi oleh nilai ketergerusan dibandingkan oleh
hal lainnya. Kapasitas masukkan tenaga untuk pembakaran dan biaya perbaikan pada
tungku pembakaran, besarnya akan berbeda-beda jika nilai HGI-nya berbeda-beda.
Semakin tinggi nilai HGI maka akan semakin mudah batubara tersebut untuk digerus.
Fasilitas umum pembangkit tenaga listrik umumnya menggunakan batubara sebagai bahan
bakarnya, bekerja secara periodik dihitung dengan menggunakan metode hardgrove.

2) Friability

Friability adalah ukuran kemampuan untuk menahan remuknya material selama


penanganannya (handling). Baik grindability maupun friability tergantung karakteristik
toughnes, elastisitas dan fracture.
Aspek penting dari friability ialah meningkatnya luas permukaan yang baru selama
handling batubara yang friable. Hal ini memungkinkan mempercepat reksi oksidasi dan
karenanya kondisi ini memungkinkan terjadinya ignition secara spontan, hilangnya kualitas
coking pada coking coal, serta perubahan-perubahan lain yang mengikuti oksidasi.
Friability membesar menurut rank hingga kandungan fixed carbon 75% dan setelah itu
menurun (antrasit). Tabel 3.1 menggambarkan harga friability rata-rata pada rank yang
berbeda.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 41


Ada dua tes yang umum digunakan untuk mengukur kerapuhan batubara. Yang
pertama adalah tumbler test dimana 1000 gr batubara berukuran -1,5 +1,05 inchi2 diaduk
dalam mesin giling jar mill berbahan porselen berbentuk silinder berdiameter dan tinggi
silinder 11/4 inchi dengan tiga mengangkut yang membantu dalam pengangkutan batubara.
Mesin giling (jar mill) diputar selama 1 jam pada kecepatan putar 40 rpm (rotary per
minutes). Setelah itu, batubara diayak dengan menggunakan ayakan dengan ukuran 1,05
sampai 0.0117 in. Nilai friability adalah persen pengurangan dengan volume aslinya.
Itu berarti, jika rata-rata ukuran
batubara hasil pengadukan sebanyak 75% dari sampel awal, nilai kerapuhan
(friabilty) nya adalah 25%.
Metode yang kedua adalah drop shatter test. Pada uji ini, sampel batubara ukuran
3 x 2 inchi seberat 50 lb dijatuhkan keatas plat baja setinggi 6 ft. Jumlah hancuran yang
berada dalam ayakan berukuran bukaan -3 inchi +1/2 inchi. Hasilnya dinyatakan sebagai
ukuran kestabilan dari batubara, yaitu ukuran rata-rata dari material yang dinyatakan
sebagai persentase dari ukuran awal sampel. Nilai kerapuhan adalah 100% - nilai
kestabilan batubara.
Shatter test lebih cocok untuk mengukur kerusakan dalam penanganan batubara
dalam jumlah yang lebih besar tanpa tanpa pengulangan pergerakan transportasi sebelum
digunakan. Tumbler Test mengukur kedua-duanya, baik menghancurkan (shatter) maupun
abrasi, namun metode ini lebih cocok digunakan untuk mengukur batubara dibawah kondisi
- kondisi yang memiliki ruang yang cukup dalam penanganannya seperti dalam feeder.
Tabel 3.1
Harga Friability Rata-rata dari Peringkat Batubara yang Berbeda-beda

Rank of coal No.of tests Friability ( %)


Anthracite 36 33
Low and medium volatile 27 70
Bituminous 87 43
Subbituminous A 40 30
Subbituminous B 29 20
Lignite 16 12

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 42


3.1.6. Pelapukan (Weathering)

Pelapukan (weathering) adalah kecenderungan batubara untuk pecah bila ia


mengering. Umumnya hampir semua batubara bila kontak dengan atmosfir, cepat atau
lambat akan menunjukan gejala weathering. Kenyataan lain banyak batubara yang
tersimpan mampu terbakar secara spontan. Bahaya ini akan timbul bila jumlah panas yang
terbebaskan oleh proses oksidasi lebih besar dari jumlah panas yang tersedia secara
konveksi atau konduksi.
Untuk berat tertentu batubara, makin besar permukaan terbuka (terekspose) akan
makin besar laju poksidasi. Oleh karena dengan makin kecilnya ukuran batubara, makin
besar luas permukaan persatuan berat, maka pada stockpile batubara yang mengandung
material halus tinggi akan mudah terbakar secara spontan. Batubara peringkat rendah
menunjukan kecenderungan berarti untuk remuk (weathering / slacking) bila kontak
dengan atmosfer, terutama bila batubara tersebut secara bergantian terkena basah dan kering
atau terkena sinar panas matahari.
Lignit sangat cepat remuk / slacking, batubara sub bituminous juga slacking tetapi
tidak sesegera lignit sedangkan batubara bituminous hanya sedikit dipengaruhi oleh
slacking atau weathering.
Batubara yang segera remuk bila terekspose, mengandung moisture yang tinggi. Bila
batubara tersebut terekspose ia akan kehilangan moisture tersebut pada bagian permukaan
lebih dulu dan diikuti keluarnya moisture dari bagian dalam. Apabila kehilangan moisture
dari permukaan berlangsung cepat dan tidak segera diikuti oleh moisture dari bagian
dalam maka laju pengkerutan di bagian luar lebih cepat dari bagian dalam. Akibatnya
timbul stress di bagian permukaan. Stress ini menyebabkan batubara rekah-rekah (crack)
dan remuk berkeping-keping. Sama halnya batubara kering dibasahi hujan, bagian
permukaan batubara mendapat air lebih cepat daripada batubara bagian dalam,
menyebabkan pemuaian di permukaan lebih besar dan batubara akan remuk.
Weathering, seperti halnya handling batubara rapuh (friable) menyebabkan
terbentuknya batubara material halus yang banyak, akan dapat berakibat turunnya nilai
batubara. Demikian juga menyimpan batubara yang mudah weathering tidak
menyenangkan karena tidak saja menurunkan ukuran batubara besar, slacking juga

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 43


dapat berakibat batubara terbakar dengan sendirinya karena meningkatnya
permukaan yang terekspose pada saat oksidasi.

3.1.7. Komposisi Ukuran

Ukuran batubara menjadi hasil pemisahan dari butiran yang berbeda-beda menjadi
kelompok butiran dengan ukuran yang mendekati sama atau ke dalam kelompok di mana
cakupan dari butiran adalah antara ukuran minimum dan maksimum tertentu. Test ayak
standar dijadikan acuan ukuran batubara yang sebenarnya. Spesifikasi ukuran standar
didasarkan pada test ayak dengan ayakan lubang bulat dengan diameter dan ketinggian jatuh
3/8 inchi.
Hal ini penting dalam menentukan harga batubara tertentu di pasar adalah kualitasnya
yang diukur dengan karakteristik penggunaannya seperti kandungan abu, sulfur, dan nilai
panas. Kualitas ini sungguhpun sangat penting, umumnya dikaitkan dengan size consist.
Size consist, dimasukan di dalam banyak kontrak, yang sering dinyatakan dengan %
maksimum undersize yang diizinkan dan kadang- kadang juga dalam % oversize yang
diizinkan.
Sejumlah faktor menentukan komposisi ukuran dari run of mine coal. Dari segi
batubaranya: yaitu kekuatan dan sifat remuknya, dan dari segi lainnya cara penambangan
serta usaha yang dilakukan untuk mencegah pengecilan batubara. Semua ini sangat
bervariasi.
Brysch dan Ball membuktikan bahwa komposisi ukuran mengendalikan bulk density
dan batubara kering. Dengan penyebaran yang luas dari ukuran memberikan bulk density
tertinggi. Makin halus partikel, density mengecil (masih ditentukan ukuran terbesar). Untuk
batubara basah maka kecil ukuran partikel, makin rendah minimum bulk density.

3.1.8. Kekuatan

Kekutan batubara berkepentingan langsung dengan penambangan dan peremukan.


Kekutan dan mode of failure tergantung pada rank dan kondisi batubara dan cara-cara
menerapkan stress. Kekuatan batubara banyak dipelajari dengan cara uji kompresi, sebab
hasilnya dapat diterapkan dalam memperkirakan kapasitas beban pilar didalam tambang.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 44


3.1.9. Abrasiveness

Abrasiveness dari batubara penting dalam pengertian ekonomi pada pertambangan,


peparasi dan penggunaan. Batubara merupakan material abrasive. Oleh karena itu keausan
pada pemboran, cutting dan alat angkut sangat tinggi dan sering diganti. Demikian juga
pada waktu crushing dan grinding untuk menghasilkan pulverized coal, keausan alat tinggi
yang berakibat mahalnya ongkos operasi.
Penelitian menunjukan, abrasiveness batubara tidak sama. Batubara ada yang memiliki
keausan tinggi, yang lain lebih rendah. Hal ini disebabkan karena batubara merupakan
material heterogen yang mempunyai komponen berbeda-beda sifatnya.
Suatu cara menentukan abrasiveness dari batubara dikembangkan oleh Seattle Coal
Research Laboratory of USBM. Secara garis besar caranya sebagi berikut: Alat terdiri dari 4
blade besi yang berputar di dalam tempat berisi batubara, diputar dalam jumlah putar yang
tetap dan tentukan kehilangan berat dari blade selama tes.
Penelitian menunjukan beban abrasiveness lebih ditentuakan oleh macam dan
banyaknya mengurangi impunrities juga akan mengurangi abrasiveness.

3.1.10. Warna dan Kilap

Batubara memiliki warna yang berbeda-beda mulai dari warna coklat, hingga hitam
keabu-abuan, pada batubara peringkat lignit sampai warna hitam mengkilat. Kilap adalah
bawaan di dalam batubara itu sendiri yang memancarkan cahaya pada permukaannya.
Batubara memiliki warna yang bebeda-beda dari warna coklat pada batubara peringkat
lignite, dengan bertambahnya peringkat batubara maka warnanya akan bertambah hitam
mulai dari hitam keabu-abuan sampai hitam pekat. Kilap (luster) menjadi cara dimana suatu
benda mencerminkan cahaya dari permukaan nya.
Batubara memiliki warna yang bebeda-beda dari warna coklat pada batubara
peringkat lignit, dengan bertambahnya peringkat batubara maka warnanya akan bertambah
hitam mulai dari hitam keabu-abuan sampai hitam pekat. Kilap (luster) menjadi cara di
mana suatu benda mencerminkan cahaya dari permukaan nya.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 45


Batubara memiliki warna yang bebeda-beda dari warna coklat pada batubara
peringkat lignit, dengan bertambahnya peringkat batubara maka warnanya akan bertambah
hitam mulai dari hitam keabu-abuan sampai hitam pekat. Kilap (luster) menjadi cara di
mana suatu benda mencerminkan cahaya dari permukaan nya.

3.1.11. Pecahan (Fracture), Retakan (Cleat) and Belahan


(Cleavage)

Pecahan (fracture) mengacu pada penambahan bentuk batubara sama seperti halnya
cara dimana batubara pecah. Sampai taraf tertentu, retak adalah suatu indikasi peringkat
batubara. Antrasit dan channel batubara cenderung pecah membentuk permukaan yang
membengkok tidak beraturan; retakan ini dikenal sebagai choncoidal fracture. Batubara
Low Volatile cenderung pecah membentuk kolom vertikal, retakan seperti ini disebut
sebagai columnar fracture. Batubara mengkilap High Volatile cenderung pecah
membentuk kubus. Beberapa batubara low volatile juga mempunyai bentuk retakan seperti
kubus. High Volatile Splint Coal cenderung pecah membentuk potongan datar segi-empat,
dikenal sebagai slabby fracture. Subbituminous pecah dengan retak tidak beraturan, sedang
lignit membelah menjadi fragmen tidak beraturan.
Dalam kebanyakan lapisan batubara ada perpecahan vertikal yang disebut sebagai
cleat, yang memotong lapisan batubara (seam) dalam dua arah membentuk sudut 90 derajat
satu sama lainnya. Permukaan cleat lebih panjang, dimana pada bagian ujung atau pada
penumpu cleat lebih pendek dan lebih tidak beraturan. Dalam hal menambang lapisan
batubara (seam), cleat digunakan untuk memudahkan peledakan untuk menghasilkan
batubara blok.

3.1.12. Swabakar (Spontaneous Combustion)

Karakteristik fisik ini, seperti juga pada pelapukan, mempengaruhi kualitas


penyimpanan batubara. Penyebab terjadinya swabakar adalah akibat proses oksidasi
batubara yang lambat tanpa adanya kesempatan batubara tersebut

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 46


melepaskan panas yang dialaminya. Karena berat batubara tertentu, semakin luas
permukaan batubara kontak dengan udara bebas semakin besar pula peluang terjadinya
oksidasi. Oleh karena itu, swabakar cenderung terjadi pada stockpile batubara yang besar
dengan bidang kontak permukaan batubara yang luas. Pemadatan tumpukan batubara dapat
mengurangi luas bidang kontak batubara dengan udara bebas sehingga mengurangi
kecenderungan untuk pembakaran secara spontan.

3.1.13. Karbon

Kandungan karbon dalam batubara semakin besar seiring naiknya rank batubara.
Persentase dari total karbon yang ada dalam struktur yang kompleks, padat dan berbentuk
rantai, juga bertambah seiring dengan naiknya rank batubara. Sekitar 80 % karbon dalam
batubara bituminus high volatile A mungkin dalam bentuk ini. Beberapa batubara
mengandung karbonat anorganik yang cukup berpengaruh yang merupakan hasil dari
pengendapan sekunder dari mineral- mineral yang ikut terendapkan bersama-sama dengan
tumbuhan pada saat pembentukan batubara. Kandungan karbon merupakan sumber penyedia
nilai kalor terbesar dalam batubara.

3.1.14. Hidrogen

Kandungan hidrogen dalam batubara umumnya berada dalam rentang 4,5 sampai 5,5 %
yang juga merupakan salah penyedia nilai kalor selain karbon. hidrogen dalam batubara
kering terjadi sebagian besar dalam struktur rantai dengan karbon baik jenuh maupun
setengah jenuh

3.1.15. Sulfur

Sulfur dalam batubara terjadi dalam dua bentuk, organik dan anorganik. Sulfur organik
terdistribusi secara merata bersama-sama dengan unsur-unsur pembentuk batubara lainnya,
dan secara alami berkaitan dengan fakta bahwa tumbuh- tumbuhan mengandung sulfur
yang apabila tumbuhan tersebut membusuk atau

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 47


hancur maka sulfur tersebut bereaksi membentuk senyawa Hidrogen Sulfida (H2S).
Batubara yang memiliki nilai total sulfur kurang dari 1%, biasanya pada umumnya
merupakan sulfur organik, sedangkan batubara dengan nilai total sulfur yang lebih tinggi
maka sulfur organik cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya total total sulfur
dalam batubara tersebut. Namun hal tersebut tidak menjadi patokan karena tidak ada dasar
yang definitif yang menyatakan hubungan antara jumlah (porsi) antara sulfur organik dan
anorganik dalam batubara. Sulfur organik cenderung berkisar antara 0,3 sampai 3%,
meskipun ada juga yang kandungannya lebih besar dari 5 % pada beberapa batubara yang
pernah dipublikasikan.
Sulfur anorganik biasanya berada dalam senyawa pyritr (FeS2) dan sebagian kecil
(biasanya kurang dari 0,1 %) dalam bentuk sulfat. Pyrite memiliki variasi keragaman yang
luas baik bentuk maupun ukurannya.
Sulfur umumnya terdapat dalam kebanyakan batubara, jumlahnya dapat bervariasi mulai
jumlah yang sangat kecil (traces) sampai 4%, kadang lebih tinggi. Sulfur terdapat dalam
tiga bentuk utama yaitu:
 Sulfur Pritik (FeS2), jumlahnya sekitar 20-30 % dari sulfur total dan terasosiasi dalam
abu, terjadi baik sebagai makrodeposit (lensa,veins,joints,balls, dsb) dan mikrodeposit
(partikel-partikel halus yang terdisseminasi).
 Sulfur Organik, jumlah sekitar 20-80% dari sulfur total dan secara kimia terikat dalam
substansi batubara, biasanya berasosiasi dengan konsentrasi sulfut (dan sulfida)
selama proses pembatubaraan.
 Sulfur Sulfat, kebanyakan sebagai kalsium sulfat dan besi sulfat, jumlahnya sangat kecil
kecuali pada batubara yang terekspos dan teroksidasi.
Makro deposit dari sulfur piritik dapat dihilangkan dengan proses pencucian,
sementara itu mikrodeposit dari sulfur piritik serta organik dan sulfat sulit dihilangkan.

3.1.16. Oksigen

Oksigen dalam batubara berada dalam beberapa bentuk. Hydroxyl, Carbonyl, atau
dapat juga hadir dalam kelompok carboxyl. Pada batubara peringkat rendah kandungan
air dalam batubara memberikan kontribusi dalam pelaporan persentasi kandungan oksigen
dan hidrogen.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 48


3.1.17. Nitrogen

Nitrogen dalam batubara dalam jumlah yang bervariasi mulai dari jumlah yang sangat
sedikit sampai 3%, tetapi yang umum berada dalam rentang 1 dan 2% pada basis pelaporan
dry ash free (daf). Bituminous umumnya mengandung nitrogen lebih banyak daripada
lignit dan antrasit.

3.1.18. Impurities Batubara

Impurities yang berbentuk di dalam batubara dapat diklasifikasikan sebagai impurities


yang akan membentuk abu dan impurities yang akan mengandung sulfur. Impurities lain
seperti fosfor dan garam tertentu sering juga ada.
Dari segi pencucian batubara, impurities dapat diklasifikasikan lagi sebagai inherent
impurities dan extraneous imputrities. Inherent impurities menyatu dengan batubara dan
tidak dapat dipisahkan. Sedangkan extraneous impurities tersegregasi dan dipisahkan dengan
cara-cara pencucian yang ada.
a. Mineral matter

Semua batubara mengandung mineral matter yang tidak terbakar. Mineral matter
merupakan masalah yang sering dihadapi dalam hal penanganan batubara. Ada
kemungkinan beberapa unsur anorganik dari mineral matter bereaksi dengan senyawa
organik pembentuk batubara dan terikat bersama-sama pada saat proses pembentukan
batubara. Sisa dari mineral matter setelah batubara tesebut dibakar disebut abu (ash). Rata-
rata kandungan abu sekitar 2 atau 3 % untuk pure coal, dan 10% atau lebih untuk
kebanyakan tambang batubara komersial. Material yang sering digunakan untuk keperluan
sehari-hari dengan kandungan abu yang sangat tinggi disebut bone coal, bituminous shale,
atau black slate.
Abu batubara memiliki komposisi kimia yang beragam. Umumnya merupakan
gabungan antara Silika (SiO2) dan Alumina (Al2O3) yang berasal dari pasir, lempung, sabak,
dan serpih; besi oksida (Fre2O3) dari pyrite dan marcasite; Magnesia (MgO) dan Lime
(CaO) dari batugamping dan gypsum; alkalis, sodium oksida dan potasium oksida (Na2O).
Mineral yang terkandung di dalam batubara sangat bervariasi baik jumlah maupun
distribusinya. Keberadaannya sangat menentukan dalam segala segi mulai

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 49


dari penambangan sampai penggunaannya. Material pembentuk abu yang menyatu dengan
batubara disebut inherent mineral matter. Bagian ini berasal dari unsur- unsur kimia yang
telah ada pada tumbuh-tumbuhan asal batubara. Umumnya inherent mineral matter kira-kira
2% dari total abu. Extraneous mineral matter adalah material pembentuk abu yang berasal
di luar dari tumbuh-tumbuhan asal batubara. Bagian terbesar dari abu ini berasal dari
detrital matter yang mengendap ke dalam endapan betubara. Endapan berkristal yang masuk
bersama air ke dalam rekahan- rekahan dan cleavage, pada masa selama atau sesudah
pembentukan batubara, Umumnya ia terdiri dari slate, shale, sandstone atau lime stone
yang berukuran mulai dari ukuran mikroskopik sampai membentuk lapisan yang agak tebal.
Batubara yang ditambang juga membentuk unsur mineral matter ini dengan shale,
sandstone, clay dan material lain berasal dari atap atau lantai endapan yang ikut tergali.
Kandungan inherent mineral matter merupakan batas terkecil dari abu yang ada pada
batubara dengan asumsi semua extraneousn impurities dapat dipisahkan selama pencucian.
Ada beberapa rumus empiris yang dapat digunakan untuk menentukan mineral matter
dari data-data analisis abu dan unsur-unsur lain.
 Formula Parr Asli (North America):
MM = 1.08 A + 0.55 Stot
 Formula Parr Modifikasi (North America):
MM = 1.13 A + 0.47 Spyr + CI
 Formula King-Maris-Crossley (KMC) yang direvisi oleh National Coal Board
(Britain):
MM = 1.13 A + 0.5 Spyr + 0.8 CO2 - 2.8 Sabu + 2.8 Ssul + 0.31 CI
 Formula British Coal Utilization Research Association (BCURA) :
MM = 1.10 A + 0.53 Stot + 0.74 CO2 - 0,36
 Formula Standard Association of Australia (Australia):
MM = 1.1 A
 Formula National Insititute for Coal Research ( South Africa): MM
= 1.1 A + 0.55 CO2
Formula-formula di atas didasarkan pada basis air dried, dengan : MM =
mineral matter
A = abu

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 50


Stot = sulfur total
Spyr = sulfur pirit
Sabu = sulfur yang tertinggal di abu
Ssul = sulfur sulfat
CO2 = karbon dioksida
CI = klor
Mineral matter yang ada pada batubara dapat dilihat pada tabel 3.2 umumnya 95%
dari mineral matter yang ada pada batubara shale, kaolin, sulfide dan group klorida.

Tabel 3.2
Principal Minerals In Coal Seams

Mineral occurring In Quartz, SiO2


mudstone, ‘shale’, Minerals of the clay group, principally:
siltstone and Kaolinite, Al2Si2O3(OH)2
sandstone Montmorillonite, Al2Si4O10(OH)2. n H2O with some Mg and Na
Minerals of the mica group, principally:
Muscovite, Kal2(Si3Al) O10(OH)2
Illite,K6Al4(Si2 Al) O10(OH)2
Minerals of the chlorite group, general formula
Sulphide minerals Pyrite
(MgFe)(iron pyrites) FeS2
3(OH)6.(Fe.Mg.Al)3(Si3Al)O10(OH)2
Marcasite FeS2
Arsenopyrite (mispickel), FeAsS.
Carbonate Siderite (chalybite) FeCO3
minerals Anterite (Ca, Mg, Fe) CO3, with some Mn
Calcite CaCO3
Dolomite, CaMg (CO3)2
Chloride minerals Halite, NaCl
Sylite, KCl
Other minerals Flourapatite, Ca10 F2 (PO4)2
Minerals of the Feldspar group, including :
Orthoclase, KalSi3O2
Albite, NaAlSi3O2 Titanium
minerals, including :
Sphene, CaTiSO2
Rutile TiO2
Lemite, FeTiO3
Tourmaline, (H, Na, K, Fe, Mg)4Al3(B.OH)2SiO4O12
Barytes BaSO4
Minerals formed though weatering, including:
Lamonite 2Fe2O33H2O
Gypsum CaSO4. 2H2O
Meianterite FeSO4. 2H2O

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 51


b. Abu

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, abu adalah residu yang berasal dari mineral matter
hasil dari perubahan batubara. Komposisi kimianya berbeda dan beratnya lebih kecil dari
mineral matter yang ada di dalam batubara asalnya. Selama perubahan, terjadi perubahan
berat karena kehilangan air dari silikat asal, kehilangan CO2 dari karbonat, oksidasi pirit
menjadi besi oksida.
Komponen unsur-unsur abu yang utama :
- Natrium - Alumunium
- Kalsium - Silikon
- Magnesium - Besi
- Kalium - Sulfur

Kedelapan unsur ini dan juga Titan dan Fosfor (umumnya terdapat dengan jumlah
sangat kecil), dilaporkan ketika abu dianalisis di laboratorium. Hasil analisis ini dilaporkan
sebagai oksida. Misalnya Natrium dilaporkan sebagai persen Natrium Oksida dan besi
sebagai ferrioksida. Perjanjian ini selalu diikuti walaupun misalnya tidak ada satupun
unsur-unsur tersebut yang terdapat dalam bentuk oksida dalam abu.
Disamping itu pula diteliti beberapa unsur-unsur minor atau trace yang ada dalam
batubara mengingat faktor-faktor berikut ini:
a. Adanya beberapa unsur-unsur minor dapat menjadi kunci yang membantu ahli
geokimia mempelajari lebih lanjut tentang pengendapan batubara dengan diikuti sejarah
geologi dari batubara. Misalnya Boron telah digunakan sebagai indikator tingkat salinitas
dari lingkungan selama proses pembentukan batubara.
b. Arsenic, selenium dan mercury, sering ada dalam jumlah trace di batubara dan dapat
berbahaya pada lingkungan jika ia dibebaskan pada waktu pembakaran batubara
c. Batubara mungkin dapat digunakan sebagai sumber logam jarang (rare element).
Misalnya sekarang ini abu dianggap sebagai sumber potensial dari gallium dan
germanium, dua unsur yang merupakan bahan semikonduktor.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 52


3.2. SIFAT-SIFAT DARI ABU BATUBARA

3.2.1. Sifat Lebur Abu

Pemahaman tingkah laku batubara pada temperatur tinggi sangat penting dalam
penentuan kecocokan batubara pada penggunaannya diberbagai tungku. Prosedur standar
untuk menentukan tingkah laku abu pada temperatur tinggi ialah
ash fusion test. Pada uji ini contoh berupa abu batubara dibuat berbentuk piramid sisi tiga
dan memanaskannya dari 900oC sampai 1600oC didalam atmosfer reduksi. Ada 4 temperatur
yang dicatat pada saat terjadi perubahan bentuk piramid asal yaitu perobahan bentuk asal,
spherical, hemisphere dan cair (gambar 3.3)

Gambar 3.3
Alat Uji Ash Fushibility

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 53


Temperatur perubahan batubara ini merupakan pegangan terbaik untuk mengetahui
unjuk kerja abu di dalam lingkungan tungku dimana ia dibakar. Ada 3 titik penting yang
semuanya ditentukan didalam atmosfer reducing:
a. Temperatur deformasi awal, yaitu temperature dimana contoh terlihat mulai
membundar atau menekuk pada apex pyramid.
b. Temperatur pelunakan yaitu temperatur dimana contoh telah melebur
membentuk tumpukan bulat
c. Temperatur lebur, temperature dimana leburan contoh mulai menyebar
membentuk lapis tipis.
Ash Fusion Temperature (AFT) diukur dalam dua kondisi yaitu kondisi oksidasi dan
kondisi reduksi. Pengukuran di bawah kondisi oksidasi biasanya menunjukan harga yang
lebih besar, tergantung pada keberadaan beberapa komponen abu seperti besi oksida. Besi
oksida ini mempunyai efek fluxing (sifat sebagai flux atau bahan imbuh) yang berbeda
bilamana dalam bentuk teroksida dan tereduksi.
Sebagai contoh, Gambar 3.4 mengilustrasikan pengaruh kadar besi terhadap
initial deformation temperature (ISO-A) abu di bawah yang berbeda.

Gambar 3.4
Pengaruh Kadar Besi pada Initial Deformation Temperatur

Ash Fusion Temperature, apakah dalam kondisi exldising atau reducing


tergantung pada jenis operasi pemanfaatan batubaranya. Sebagai contoh pada

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 54


pabrik untuk memproduksi gas, kondisi reducing terjadi pada fuel bed sehingga AFT diukur
pada kondisi reducing. Di lain pihak, kondisi pada dasar fixed bed furnace adalah
oxidising sehingga AFT diukur pada kondisi exidising. Pada kasus pembakaran pulverized
fuel, kondisinya tidak selalu pasti. Dalam nyala api, kondisinya reducing sementara di luar
nyala pai kondisinya oxidizing tergantung pada jumlah udara yang diberikan.
Ash Fusion Temperature dipengaruhi oleh komposisi abu sebagai berikut:
a) AI2 O3 2SiO3 (misalnya perbandingan Al2O3 / SiO3 adalah 1 : 1.18) mempunyai flow
temperature yang tinggi dan rentang temperatur leleh (fusion temperature) yang sempit
(kecil).
b) CaO, MgO, dan Fe2O3 bertindak sebagai flux dan akan menurunkan AFT, khususnya
bilamana terdapat SiO2 yang berlebih.
c) FeO, Na2O dan K2O mempunyai kapasitas yang tinggi untuk menurunkan AFT.
d) Kadar sulfur yang tinggi menurunkan initial deformation temperature dan
melebarkan rentang temperatur leleh.
Salah satu penggunaan dari data ash fusion temperature ini ialah untuk membedakan
antara slagging dan non slagging coal. Jika temperatur pelunakan dibawah 1250oC batubara
disebut slagging coal, ia akan baik digunakan didalam
tungku yang dapat mengeluarkan abu sebagai slag. Batubara yang temperatur pelunakan
abunya di atas 1450oC disebut non-slagging. Abu pada batubara ini umumnya tidak akan
lebur pada kebanyakan tungku industri batubara yang temperatur pelunakannya terletak
antara 1250oC-1450oC, mungkin dapat atau mungkin tidak dapat membentuk slag. Untuk
batubara tipe ini tungku harus dirancang agar tercegah pembentukan leburan abu atau
dirancang agar abu lebur dan tetap lebur sampai dikeluarkan.
Penggunaan slagging coal, memerlukan pengetahuan tentang sifat-sifat dari slag. Harus
ada kepastian bahwa slag tetap cair dan mengalir sampai dikeluarkan dari tungku tanpa
masalah. Sifat yang perlu dikenal sekali yang berkaitan dengan slag cair ialah viskositas-
nya. Viskositas menentukan mudah sukarnya slag cair bergerak.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 55


3.2.2. Viskositas Slag

Sungguhpun temperatur lebur abu digunakan untuk memperkirakan karakteristik


aliran (fluiditas) abu, ia tidak dapat memperkirakan seberapa cair abu itu ketika menjadi
slag. Dua abu batubara yang mempunyai temperatur lebur abu sama dapat mempunyai
karakteristik aliran abu yang sangat berbeda. Fluiditas dari slag dapat dinyatakan dengan
viskositasnya dengan poise pada temperature tertentu. Viskositas akan mengecil (mudah
mengalir) dengan naiknya temperatur.
Pada temperatur tungku yang tetap, viskositas slag berbeda-beda menurut komposisi
kimia dari abu. Viskositas abu yang membentuk terak pada berbagai temperatur merupakan
parameter penting dalam mengevaluasi system pembersih abu yang cocok. Terak biasanya
mempunyai viskositas 250 poise atau lebih rendah sehingga mempunyai karakteristik aliran
yang baik. Temperatur terak pada viskositas 250 poise disingkat sebagai T250. T250 ini
merupakan parameter desain yang sangat penting.
Hubungan viskositas, temperatur slag, dan harga T250 ditentukan oleh komposisi abu
dan kondisi sekelilingnya apakah oxidizing atau reducing. Gambar
3.5 memberikan gambaran hubungan ini, baik pada kondisi oxidizing maupun kondisi
reducing.
Pengukuran viskositas terak secara praktis sulit dilakukan dan umumnya harga T250
diperkirakan dari hubungan-hubungan parameter yang dihitung dari hasil analisis abu,
yaitu:
a) Silica Ratio = SiO2
SiO2 Fe2O3 CaO
MgO

Harga silica ratio umumnya berkisar antara 0,4 sampai 0,8. Harga yang lebih rendah
memberikan harga T250 yang lebih rendah.

Fe2O3 CaO MgO Na2O


b) Base-to-Acid Ratio = K2 O SiO2 Al2O3
TiO2

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 56


Gambar 3.5
Hubungan Viskositas – Temperatur Slag

Harga base-to-acid-ratio umumnya sekitar 0,1 sampai 1.0, harga base-to-acid ratio
yang lebih tinggi memberikan harga T250 yang lebih rendah. Hubungan ini biasanya digunakan
untuk abu yang bersifat asam dimana harga base-to-acid ratio lebih rendah dari 0.6.

CaO MgO
c) Dolomite Ratio = Fe2O3 CaO MgO NaO
K2O
Harga dolomite ratio berkisar antara 0.5 sampai0.9. Harga dolomite ratio yang lebih
rendah memberikan harga T250 yang lebih rendah. Hubungan ini biasanya sering digunakan
untuk batubara lignit yang bersifat basa dimana harga base-to- acid ratio lebih basa dari
0.6.

Fe2O3
d) Ferritic Ratio = Fe2O3 1,11 FeC
1,43 Fe

Harga ferritic ratio berkisar antara 0.1 sampai 0.8. Harga ferritic ratio yang
semakin rendah memberikan harga T250 yang semakin rendah pula.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 57


3.2.3. Deposisi Abu dalam Tanur dan Boiler

A. Pembentukan Klinker

Dalam suatu tanur pembakaran (fuel bed furnace), dapat terbentuk klinker massif
(campuran partikel-partikel abu dan batubara yang lebih halus) pada kisi-kisi sehingga
dapat menyebabkan terhalanginya aliran udara. Dalam kasus-kasus tertentu, pabrik harus
dihentikan dank linker harus dikeluarkan secara manual. Abu dengan harga ash fusion
temperature rendah (harga ISO-A lebih rendah dari
1100oC) cenderung membentuk klinker massif, sementara itu abu dengan harga ash
fusion temperature tinggi (harga ISO-A lebih tinggi dari 1300oC) dianggap aman pada
kondisi operasi normal.

B. Fused Slag Deposits (Slagging)

Slagging berkaitan dengan masalah transportasi patikel abu yang meleleh atau lengket
oleg gas pembakaran dan masalah benturan partikel abu tersebut pada permukaan tanur dan
permukaan-permukaan lain. Deposit abu yang berbentuk terak ini bisa terus bertambah
dan untuk mengendalikannya biasanya secara berkala digunakan sootblowers yaitu suatu alat
untuk menghilangkan terak yang menempel pada permukaan dengan menggunakan uap atau
udara sebagai media penghempus (blowing medium).
Kecenderungan abu untuk membentuk terak diperkirakan dari harga slagging index
dengan persamaan berikut:
Slagging index = Base-to-Acid Ratio x Kadar Sulfur Batubara
Jika kadar sulfur di atas 2% harga slagging index bervariasi antara 0,1 sampai
2.0. Harga slagging index yang semakin besar menunjukan kecenderungan abu untuk
membentuk deposit terak (fused slag deposits). Pada kondisi operasi normal abu dengan
harga slagging index di bawah 0,5 tidak akan menimbulkan masalah dengan pembentukan
terak, tetapi bilamana harga slagging index lebih besar dari 1,5 fasilitas soot-blowing
yang memadai harus tersedia untuk mengatasii pembentukan deposit terak.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 58


C. Deposit yang Terikat pada Temperatur Tinggi (High Temperature Bonded
Deposits/Fouling)

Umumnya bonded deposits terbentuk akibat kadar alkali yang tinggi. Garam- garam
sodium dan potassium, akan terbang (tervolatilisasi) selama pembakaran, kemudian
terkondensasi pada partikel-partikel abu terbang dan boiler membentuk lapisan yang
lengket (sticky layer). Benturan partikel-partikel tersebut dapat membentuk deposit
teraglomerasi pada dinding dan selanjutnya membentuk sinter. Akhirnya menjadi keras
dan menempel dengan sangat kuat. Oksidasi sulfur terabsorpsi oleh lapisan yang kaya
dengan kandungan alkali sehinggga menyebabkan korosi pada dinding boiler.
Pada dasarnya, semakin rendah kadar alkali dari batubara, semakin rendah pula
kecenderungan untuk membentuk foul. Kandungan alkali batubara biasanya dinyatakan
sebagai Na2O ekivalen. Batubara dengan kandungan alkali lebih rendah dari 0,1% dianggap
sebagai non fouling; batubara dengan kandungan alkali antara 0,1%-0,4% biasanya
menimbulkan tumbuhnya deposit (fouling tetapi masih bisa dikendalikan dengan soot-
blowing secara berkala, batubara dengan kandungan alkali diatas 0,5% cenderung
membentuk deposit (fouling) dan menghasilkan sinter sehingga sulit di hilangkan. Harga
fouling index dapat dihitung dari rumus berikut:

Fouling Index = base-to-acid ratio x kadar alkali total (Na2O) batubara

Harga fouling index ini memberikan gambaran kecenderungan batubara untuk


membentuk deposit yang lengket (foul). Harga fouling index sampai 0,5 masih dalam
toleransi yang dibolehkan.

D. Deposit Yang Terbentuk Pada Temperatur Rendah (Low Temperature


Deposits)

Serangan asam pada temperature sub-dewpoint dalam economizer dan pemanas udara
dapat membentuk deposit basah dan lengket sehingga partikel- partikel abu terbang yang
terbentur pada deposit ini bisa tertarik. Keadaan asam deposit tersebut dapat
menyebabkan reaksi dengan beberapa komponen abu

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 59


seperti besi, sodium, dan kalsium sehingga menambah ikatan deposit dan meningkatkan
jumlah ruahnya. Deposit ini sebagai larut dalam air sehingga dapat dikendalikan dengan
penyemprotan air secara periodic, walaupun sebagian lagi larut seperti ikatan kalsium
sulfat.

3.3. SIFAT-SIFAT SULFUR DALAM BATUBARA

3.3.1. Pengaruh dalam Pembakaran

Jika batubara dibakar, semua sulfur organic dan sebagian sulfur piritik akan
teroksidasi menjadi SO3 karena adanya beberapa komponen abu yang bertindak sebagai
katalis. Sulfur piritik dan sulfur sulfat yang tertinggal berubah menjadi sulfide inorganic yang
lebih stabil dan tertinggal dalam batubara. Sebagai tambahan, abu terbang yang dihasilkan
dari pembakaran batubara pulverized mempunyai kemampuan untuk mengedsorpsi SO3 dari
aliran gas pembakaran.
Kecenderungan sulfur tertinggal dalam abu juga tergantung pada metoda
pembakaran. Untuk tanur pulverized fuel, 10-15% sulfur tertinggal dalamabu, untuk tanur
siklon hanya 5% (kemungkinan disebabkan oleh karena temperature yang lebih tinggi). Dan
stroke bisa sampai 30%-sulfur yang tertinggal dalam batubara.
Pengaruh adanya senyawa sulfur dalam abu dan gas-gas pembakaran terahadap operasi
tanur dan boiler adalah sebagai berikut:
 Sulfur sebagai besi sulfide, dalam abu dapat memperbesar perbedaan antara ash fusion
temperature yang diukur pada kondisi mengoksidasi dan mereduksi dan menurunkan
initial deformation temperature (ISO-A). Pengaruh ini disebabkan aksi fluxing
(bertindak sebagai flux) dari besi.
 Absorpsi sulfur oksida, dalam bentuk SO3, oleh lapisan deposit abu (fouling) yang
bersifat basa dan kaya alkali akan memberikan kontribusi semakin kuatnya lapisan
fouling serta terus tumbuh. Selanjutnya bisa menimbulkan korosi setempat pada dinding
boiler.
 SO3 bersama uap air dalam gas-gas pembakaran dapat membentuk asam sulfat (H2SO4).
Uap asam sulfat ini dapat terkondensasi pada temperatur rendah sehingga bersifat
korosif.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 60


 Efisiensi penangkapan abu terbang oleh electrostatic precipitators sebagian tergantung
pada konduktivitas listrik aliran gas dan partikel-partikel abu dimana konduktivitas
listrik tersebut dapat lebih tinggi dengan adanya senyawa ionic seperti SO3. Dalam kasus
konduktivitas gas dan partikel rendah, kadang-kadang diijeksikan senyawa ionic
termasuk SO2 atau SO3 ke dalam gas buang untuk menjaga menjadi efisiensi
penangkapan partikulat oleh electrostatic precipitator.

3.3.2. Pengendalian Emisi Sulfur

Pengendalian emisi sulfur dapat dilakukan dengan system-sistem berikut ini :


 Penambahan limestone (kapur)
Limestone (dolomite), diinjeksikan kedalam tanur selanjutnya terkalsinasi oleh gas-gas
pembakaran yang panas untuk membentuk kalsium sulfat yang selanjutnya
dikeluarkan dari aliran gas dengan system penangkap partikulat konvensional. Efisiensi
penghilangan SO2 ini umumnya rendah, berkisar 25- 45%.

 Wet Scrubbing
Slurry dari limestone atau larutan magnesium oksida digunakan sebagai sistem
penangkap gas untuk menghilangkan SO2 sebesar 80-95%, bisa sampai 99%.

 Dry Sorbent Systems


Material-material pengabsorp seperti karbon aktif, char atau alumina yang di
campur dengan tembaga, mengabsorpsi SO2 dengan efisiensi sebesar 90% atau lebih.

3.3.3. Pengaruh dalam Pabrik Semen

Kadar sulfur dalam batubara sebagai bahan bakar bukan merupakan masalah kritis
dalam pabrik semen. Sulfur memasuki kiln semen melalui material umpan dan bahan bakar
serta keluar sebagai kalsium sulfat dalam produk klinker dan sebagian

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 61


dalam jumlah lebih kecil keluar melalui gas buang. Standar industri membatasi jumlah
kalsium sulfat dalam klinker tetap secara normal kandungan kalsium sulfat tersebut
memang cukup tinggi. Batubara dengan kadar sulfat sampai 3% atau 4% masih bisa
digunakan tanpa menimbulkan masalah yang berarti.

3.4. SIFAT-SIFAT PLASTIS DAN SIFAT MUAI BATUBARA

Apabila batubara bituminous dipanaskan ia akan mengalami suatu seri perubahan fasa:
a. Partikel batubara melunak (pada temperature + 400oC) dan mencair.
b. Akan terjadi pemuaian segera setelah partikel menyatu dan melebur.
c. Pemuaian berhenti pada temperature disekitar 500oC ketika batubara kehilangan
plastisitasnya dan mulai membeku membentuk stuktur porous yang disebut kokas.
Tingkah laku batubara antara lain temperatur pelunakan dan temperatur pembekuan
kembali (resolidification) umumnya disebut sifat plastis dari batubara. Plastisitas akan
teramati ketika telah terjadi proses dekomposisi, mula-mula terjadi proses depolimerisasi
batubara, diikuti dengan munculnya produk cair yang akan merubah komponen lain
menjadi plastis dan gas yang membentuk gelembung- gelembung ketika gelembung-
gelembung lewat melalui pori-pori besar dan rekahan dari partikel batubara, ia melawan
tahanan dari batubara plastis tersebut. Hasilnya seluruh batubara memuai (swell).
Pemuaian berhenti ketika batubara kembali membeku ketika produk cair selanjutnya
terdekomposisi membentuk zat terbang, membeku ketika produk cair selanjutnya
terdekomposisi membentuk zat terbang.
Data-data dari plastisitas batubara digunakan untuk mengetahui coking properties
batubara, demikian juga swelling properties. Swelling properties di ukur dengan free
swelling index (FSI) yaitu ukuran pembesar volume batubara apabila ia dipanaskan dibawah
kondisi pemanasan tertentu. Pembesaran volume ini ada kaitannya dengan sifat plastis
batubara. Batubara yang tidak menunjukan sifat pemuai. Sungguhpun hubungan antara
pemuaian dan plastisitas sangat komplek dan sulit dipelajari, diyakini bahwa gas yang
terbentuk selama batubara berada

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 62


dalam bentuk plastis atau semi plastis, bertanggung jawab akan terjadinya
pemuaian.
Free swelling index digunakan untuk meramalkan kecenderungan batubara membentuk
kokas bila dipanaskan pada alt tertentu. Batubara yang FSI nya 2 atau kurang, bukan
merupakan coking coal yang baik, sedangkan yang menunjukan index antara 4 sampai 8
akan menunjukan sifat coking yang baik (FSI dapat mulai dari 0-9).

3.5. PARAMETER KUALITAS / ANALISA BATUBARA

3.5.1. Parameter Kualitas Batubara

Analisa batubara dapat dikelompokan menjadi 3 kategori, yaitu analisis proksimat,


analisis ultimat, dan analisis lainnya.
Termasuk dalam analisis proksimat ialah analisis: moisture, zat terbang, abu dan
fixed carbon (dihitung). Analisis ultimat meliputi analisis penentuan kandungan karbon,
hydrogen, oksigen, nitrogen, total sulfur dan klor. Analisis lainnya berkaitan dengan nilai
kalori, temperature pelunakan abu, bentuk sulfur, mineral karbon dioksida, dan uji khusus
seperti free swelling index, plastic properties, grindability dan analisis ukuran.
Hasil analisis batubara yang mencerminkan parameter kualitas batubara akan sangat
menentukan pemanfaatan dari batubara tersebut. Seperi telah disinggung sebelumnya, ada
sekitar 16 atau lebih parameter penentu kualitas batubara yang secara umum disajikan
pada Tabel 3.3. Walaupun ada sekitar 16 atau lebih parameter penentu kualitas batubara
namun dalam pemanfaatannya, tidak semua parameter dijadikan patokan tetapi hanya
sebagai parameter yang persyaratannya harus dipenuhi sesui kebutuhan pemanfaatannya.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 63


Tabel 3.3
Daftar Parameter-Parameter Kualitas Batubara yang Umum

No Parameter Unit Basis Keterangan


Pelaporan
1. Total Moisture % As received Penting dalam hal
(ar) pengangkutan dan
perhitungan parameter-
parameter dengan basis as
2. Analisis Proksimat Air dried (ad) received (ar) dasar
Data dalam
Inherent Moisture % mendeskripsikan jenis
Abu % batubara. Jumlahnya sama
Volatile Matter % dengan 100%
Fixed carbon %

3. Nilai Kalor MJ/kg Gross, air dried Menyatakan nilai batubara


sebagai bahan bakar. Juga
dinyatakan sebagai Btu/lb dan
kcals/kg. 1 MJ/kg = 430 Btu/lb
= 239 kcals/kg.

4. Total Sulfur % Air dried Penting dalam kaitannya


dengan masalah lingkungan.

5. Analisis Ultimat Dmmf Biasanya ditentukan dengan


Carbon % analisis contoh air dried dan
Hydrogen % hasilnya dihitung menjadi basis
Nitrogen % dmmf dengan koreksi kadar air
Sulfur % dan mineral matter dari contoh
Oksigen CO2 % tersebut. Jumlahnya sama dengan
% 100%. Kadar hydrogen dan
oksigen penting dalam
memperkirakan net calonfic
value dari gross calorific value.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 64


6. Analisis Abu Total abu Penting dalam memperkirakan
SiO2 % Ignited at sifat-sifat dari abu, khususnya
Al2O3 % 8150C dalam mengidentifikasi kadar
Fe 2O3 % komponen-komponen tertentu
TiO2 % yang tinggi yang dapat
Mn3O2 % memberikan masalah dalam
CaO % pemakaiannya.
MgO %
Na2O %
K2O %
P 2O5 %
SO3 %

7. Ash Fusion Temperature Penting dalam memperkirakan


Deformation Spherical o sifat-sifat abu. Umumnya diukur
C
Hemispere o dibawah kondisi oxidizing dan
C
Flow o
reducing.
C
o
C

8. Bentuk-bentuk Sulfur Air dried Memberikan informasi tentang


Sulfur Piritik Sulfur % disposisi sulfur selama berefisian
Organik Sulfur % dan produkta sulfur selama
Sulfat % pembakaran
(combustion) dan karbonisasi.
Jumlahnya sama dengan sulfur
total.

9. Trace Elements Air dried Untuk mengindentifikasi


Arsen % substansi yang mengganggu dan
Boron % berkadar tinggi. Elemen- elemen
Klon % lain dapat dimasukan bilamana
Fluor % dianggap perlu.
Fosfor %

10. Hardgrove Grindability - Air dried Penting dalam memperkirakan


index (HGI) sulit atau mudahnya batubara
untuk digerus.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 65


11. Abrasive Index (Yancey, Penting dalam memperkirakan
Geer and Price) keausan mesin penggerus

12. Wash Ability Test Untuk memprediksi seberapa jauh


(Float and Sink Test) suatu batubara dapat dicuci

13. Free Swelling Index


(Crucible swelling number)

14. Roga Index


15. Gray-king Coke Type
16. Dilatometry
Softening Temp o
C
Resolidifying Temp Max. o
Pada dasarnya penting dalam
C
Contraction mengevaluasi secara rinci sifat-
%
Max. Dilation sifat coking dan caking batubara
%
dan potensi batubara tersebut
17. Plastometry untuk dibuat kokas.
Max. dial division/min
Temp. initial fluidity
o
Temp. max. fluidity C
Temp. final fluidity o
C
Fluidity temp. range o
C
o
C

Kebanyakan dari uji ini sifatnya empiris. Sifat yang diuji pada uji empiris tidak
mempunyai harga absolute dan hasilnya sangat bergantung pada kondisi-kondisi melakukan
uji. Diperlukan suatu kondisi arbitrary sebagai standar untuk meyakinkan data yang
diperoleh akan sama bila ujinya diulang. Kondisi ini antara lain ukuran partikel,
temperature, waktu dan laju pemanasan, kondisi atmosfer, ukuran dan bentuk tempat
sample. Adanya prosedur standar yang diakui oleh organisasi yang berkaitan sangat
penting.
Kebanyakan negara penghasil dan memperdagangkan batubara menerima dan
menerapkan + 50 standar (International Organization of Standardization). Tetapi beberapa
negara / importir masih memakai ASTM (American Society for Testing material), JIS
(Japanese Industrial Standard). British Standard, dll.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 66


3.5.2. Dasar Melaporkan Hasil Analisis

Untuk tujuan tertentu, hasil analisis dilaporkan atas dasar yang berbeda sebagai
berikut:
a. Air dried basis (adb) atau as analysed basis
Hasil ini diperoleh dari analisis batubara setelah pengeringan. Kebanyakan analisis
mula-mula dilaporkan atas dasar ini, dan dapat diubah dengan perhitungan pada
dasar lain.
b. As sampled basis (asb) atau As Received (ar), dihitung atas dasar lokasi dimana
sample diambil
c. Dry basis (db)
Analisis didasarkan atas dasar persen bebas air untuk menghindari variasi pada
analisis proksimat yang disebabkan oleh perbedaan kandungan air dry.
d. Dry. Ash free basis (daf)
Dasar yang dipakai untuk menunjukan kondisi hipotesis dimana batubara tersebut
bebas dari air dan abu. Biasanya digunakan untuk zat terbang, nilai kalor, carbon
dan hydrogen.
e. Dry. Mineral matter free basis (dmmf)
Dasar ini juga untuk menunjukan kondisi hipotesis dimana batubara bebas dari semua
air dan mineral matter. Dasar ini biasa dipakai pada analisis ultimat, zat terbang dan
nilai kalori.

Pada Tabel 3.4 berikut, disajikan faktor-faktor pengali yang dibutuhkan untuk
mengkonversi hasil anlisis pada suatu basis (dasar pelaporan) tertentu ke basis yang lain.
Biasanya, rumusan tersebut tidak berlaku untuk parameter kualitas seperti sifat-sifat abu,
sifat-sifat fisik, seperti gridability index, abrasion index, dan sifat-sifat coking dan caking
batubara.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 67


Tabel 3.4
Rumusan Untuk Perhitungan Hasil-Hasil Analisis
Dengan Basis Yang Berbeda
Required As received Air dried Dry Dry, mineral matter
(ar) (ad) (dry) Dry, ash free (daf) free (dmmf)
Given
Ash 100 - M1 100 100(100- M1) 100(100- M1) (100
received - (100- M)(100- M1- A) - M)(100- M1- B)
100 - M 100 - M
(ar)
Air dried 100 - M - 100 100 100
(ad) 100 - M1 100 - M1 100 - M1- A 100 - M1- B
Dry 100 - M 100 - M1 - 100 - M1 100 - M1
(dry) 100 100 100 - M1- A 100 - M1- B
Dry, ash (100 - M)(100- M1- A) 100 - M - A 100 - M1- A 100 - M1- A
Free (daf) -
100(100- M1) 100 100 - M1 100 - M1- B
Dry, mineral (100- M)(100- M1- B)
matter free 100(100- M1) -
100 - M - B 100 - M1- B 100 - M1- B
(dmmf)
100 100 - M1 100 - M1- A

Keterangan : M = Kandungan total moisture (as received)


M1 = kandungan inherent moisture (air dried)
A = kandungan abu (air dried)
B = kandungan mineral matter (air dried)

Untuk lebih memahami dasar pelaporan yang berbeda pada suatu hasil analisis
batubara pada Tabel 3.5 diberikan komponen-komponen batubara yang ada pada suatu dasar
pelaporan yang berbeda.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 68


Tabel 3.5
Komponen-Komponen Batubara Yang Ada Dalam Suatu Hasil Analisis
Dengan Dasar Pelaporan Yang Berbeda

Surface moisture (free moisture)


Total
Moisture
Inherent moisture

Ash

Mineral Volatile mineral


Matter Matter
Volatile
Volatile
matter
Organic
Matter
Pure
Coal

Fixed carbon
Dry, mineral matter free
Dry ash free

As received
Air dried
Dry

3.5.3. Analisa Batubara

A. Analisis Proksimat
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 69
Analisis Proksimat adalah analisis kimia yang paling sering dilakukan pada batubara dan
caranyapun sederhana. Pada analisis ini diperlukan contoh berukuran minus 0,250 mm.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 70


1. Moisture

Kandungan air ditentukan dengan menetapkan kehilangan berat air dari contoh bila
dipanaskan di bawah kondisi terkendali dari temperature, waktu dan atmosfir, berat contoh
dan peralatan.
Contoh dengan berat kira-kira 5 gram dibiarkan mongering didalam atmosfer oven
yang dipanaskan pada 105-110 oC didalam atmosfer yang inert sampai beratnya constant.
Berat yang hilang dihitung sebagai kandungan air. (Gambar 3.6)

Gambar 3.6
Tungku Moisture dan Kapsul Untuk Menentukan Moisture

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 70


2. Abu (ash)

Abu ditentukan dengan menimbang sisa pembakaran contoh batubara di bawah


kondisi terkendali dari berat contoh, temperature, waktu dan atmosfer. Temperatur
pembakaran agak berbeda-beda menurut standar seperti 700-750 oC
dari ASTM, B.S. 815oC, dll.

3. Zat Terbang (Volatile Matter)

Zat terbang ditentukan dengan cara kehilangan berat hasil dari pemanasan batubara,
dibawah kondisi terkendali. Kehilangan berat dikoreksi terhadap air. Ada dua faktor yang
mempengaruhi hasil yaitu temperature akhir dan laju pemanasan.
Contoh dengan berat 1 gram yang ditempatkan dalam crucible platinum dimasukan
ke dalam furnace yang dapat dipanaskan sampai 950oC + 20oC. Nyala api yang terlihat
menunjukan terjadinya pembakaran zat terbang. Nyala api akan menghilang pada waktu
kira-kira 7 menit, saat analisis dianggap selesai. Contoh dikeluarkan, dibiarkan dingin dan
ditimbang. (Gambar 3.7).

Gambar 3.7
Tungku Listrik Untuk Menentukan Volatile Matter

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 71


4. Fixed Carbon

Fixed Carbon adalah sisa karbon yang ada setelah analisis zat terbang. Dia tidak
terbentuk seperti itu di dalam batubara, tetapi berupa hasil dekomposisi panas.
FC = 100- (% Air + % Abu + % Zat terbang)
Data-data fixed carbon dimanfaatkan pada klasifikasi, combustion dan karbonisasi
batubara. Mungkin saja pada fixed carbon masih ada sedikit N, S, H dan oksigen sebagai
material yang masih terikat secara kimia dengan karbon. Data fixed carbon merupakan
ukuran dari material padat yang tersisa di dalam alat pembakaran setelah zat terbangnya
keluar.

B. Analisis Ultimat

Analisis ultimat ialah penentuan karbon dan hidrogen yang ada di dalam material yang
diperoleh dari produk gas dari hasil combustion yang sempurna, dan penentuan sulfur,
nitrogen dan abu yang ada didalam material, serta perhitungan kandungan oksigen.

1. Karbon dan Hidrogen

Karbon dan hidrogen ada di dalam batubara dalam bentuk senyawa organic
kompleks pada batubara. Dengan cara combustion, karbon diubah menjadi carbon dioksida
dan hidrogen menjadi air dibawah kondisi terkendali. Kedua produk ini diserap oleh reagent
tertentu. Karbon dan hidrogen dihitung dari tambahan berat reagent tersebut.
Beberapa kesulitan akan timbul selama analisis ini :
(1) Combustion yang tidak sempurna akan menyebabkan tidak sempurnanya pengubahan
karbon menjadi karbon monoksida dan hidrogen menjadi air, akan menghasilkan
perhitungan yang tidak betul.
(2) Selama combustion, sulfur berubah menjadi oksida dan harus diambil lebih dahulu
sebelum karbon dioksida diserap.
Kandungan karbon dan hidrogen dimanfaatkan sebagai parameter pada beberapa
klasifikasi.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 72


2. Nitrogen

Nitrogen ada di dalam batubara dalam bentuk senyawa organik batubara. Senyawa
organik nitrogen ini stabil, mungkin berasal dari protein tumbuh-tumbuhan asal batubara.
Penentuan nitrogen pada batubara didasarkan pada reaksi kimia kuantitatif. Pertama-tama
nitrogen dibebaskan dari material organik dimana ia berada, dengan cara mengubahnya
menjadi ammonia atau unsur nitrogen (N2). Tetapi yang umum dipakai ialah metoda
Kjeldahi dimana nitrogen diubah menjadi ammonium sulphate dengan H2SO4 panas.
Kemudian ammonia dibebaskan dengan menambahkan natrium hidroksida berlebihan.

3. Total Sulphur

Sulfur ada di dalam batubara sebagai bagian dari bahan organic dan sebagai bahan
anorganik, sulfur terbentuk sebagai bahan yang stabil. Sulfur ini sering disebut sulfur
organic dan tersebar secara merata ke seluruh batubara. Sulfur yang terikat secara anorganik
di dalam pirit dan markasit yang secara umum disebut pyntic sulphur, tidak terdisbusi
secara merata didalam batubara, tetapi terdesiminasi sebagai kristal sangat halus di dalam
material organic. Dalam jumlah sangat kecil sulfur dapat terbentuk sebagai sulfat seperti
kalsium sulfat atau besi sulafat.
Penentuan total sulfat melibatkan beberapa kondisi kimia yang diakhiri mengubahnya
menjadi sulfat dan hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metoda.
a. Metode Eschka
Contoh dengan berat tertentu bersama campuran Eschka (campuran antara 2 bagian
MgO dan 1 bagian Na2CO3) dibakar bersama-sama dan sulfur diendapkan dari larutan
sebagai Barium Sulfat (BaSO4). Filtrat disaring,bakar dan timbang.
b. Cara Bomb Washing
Disini sulfur diendapkan sebagai BaSO4 dari oxygen-bomb calorimeter washing Filtrat
disaring, bakar dan timbang.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 73


c. Metoda High-Temperatur Combustion
Contoh dengan berat tertentu dibakar dalam tube furnace pada temperature 1350oC
didalam aliran oksigen. Sulfur oksida dan klor yang terbentuk diserap dengan larutan
hydrogen peroksida (H2O2), menghasilkan asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida
(HCI). Jumlah kandungan asam total ditentukan oleh titrasi dengan natrium
hidroksida (NaOH). (Gambar 3.10)

4. Oksigen
Oksigen pada batubara diperkirakan dari 100% dikurangi jumlah persen karbon,
hydrogen, nitrogen, total sulfur dan abu.

C. Analisis Lainnya

1. Nilai kalori

Nilai kalori atau panas atau kadang-kadang disebut energi spesifik, ditentukan dengan
membakar contoh dengan berat tertentu di dalam bomb calorimeter dengan cara adiabatic.
Nilai kalori dihitung dari pengamatan temperature yang dilakukan sebelum dan sesudah dan
sesudah combustion. Gross calorific value adalah panas yang dihasilkan oleh pembakaran
satu satuan bahan bakar padat. Pada volume konstan, sedangkan net calorific value adalah
panas yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar padat pada tekanan konstan.
Untuk penentuan nilai kalor diperlukan alat (Gambar 3.9)
a. oxigen bomb, yang dirancang dari material yang tidak akan dipengaruhi oleh proses
pembakaran, tahan tekanan hidrostatik sampai 3000 psig.
b. Kalorimeter
c. Adiabatic calorimeter jacket
d. Termometer
e. Sistem otomatis untuk mengendalikan temperature jacket
f. Sample holder
g. Kawat penyala

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 74


Gambar 3.8
High - Temperature Combutions Furnace and Adsorption Train For Total
Sulfur in Coal Determination

Contoh yang beratnya kira-kira 1 gram ditempatkan di crucible platinum di dalam


bomb. Kawat penyala dihubungkan dan harus kontak dengan contoh. Bomb ditutup dan
diisi dengan oksigen. Contoh dibakar di dalam bomb dengan menggunakan oksigen
bertekanan sampai 40 atmosfer. Bomb dirangkai dengan calorimeter bucket yang didalanya
ada 2 liter air. Pengadukan dilakukan dengan pengaduk yang diturunkan kedalam bucket
setelah calorimeter ditutup. Pengendalian temperatur dari jacket dilakukan secara otomatik.
Nilai kalori atau energi spesifik penting untuk ditentukan dan digunakan untuk
kepentingan pemanasan, untuk menentukan besarnya suberdaya dan cadangan energi. Nilai
kalori juga digunakan sebagai parameter untuk klasifikasi batubara.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 75


Gambar 3.9 Adiabatic
Bomb Calorimeter

Nilai kalor batubara dianggap sebagai jumlah panas pembakaran dari material yang
dapat dibakar karbon, hydrogen dan sulfur (dikurangi panas dekomposisi dari carbonaceous
material dan ditambah reaksi eksotermis atau dikurangi reaksi endotermis yang terjadi
dalam pengotor). Pada dasar (basis) dmmf, nilai kalor berhubungan langsung dengan
komposisi substansi batubnara dan peringkat batubara serta dapat diperkirakan dari analisis
ultimat dengan keakuratan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mineral matter dan air dianggap sebagai material pengganggu dan keberadaannya
dalam batubara dapat menurunkan nilai kalor secara proporsional. Oleh karenanya, sangat
penting mendefinisikan dasar perhitungan apakah dmmf, dry, air dried atau as received.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 76


Tabel 3.6
Harga Nilai Kalor Berbagai Batubara
Lignit batubara Bituminus Antrasit
Total moisture (as received) % 30.0 12.0 8.0 4.0
Inherent Moisture (air dried) % 20.0 8.0 3.0 1.0
Mineral Matter (air dried) % 8.0 8.0 8.0 8.0
Volatile Matter (air dried) % 50.0 35.0 25.0 5.0
Hidrogen (dmmf) % 5.5 5.0 4.5 3.0
Oksigen (dmmf) % 23.0 12.0 5.0 1.5

Gross Calorific Value pada volume


Konstan

MJ/kg (dmmf)
27.0 31.0 35.0 36.0
(dry) 24.84 28.52 32.20 33.12
(air dried) (as 19.44 26.04 31.33 32.76
received)
17.01 24.91 29.27 31.77

Net Calorific Value pada tekanan


konstan
MJ/kg (air dried)
18.10 24.95 30.40 32.16
Reduksi GVC ke NCV (air dried)
Sebagai % dari GVC 6.89 4.19 2.97 1.83

2. Gross dan Net Calorific value

Gross Calorific Value menyatakan panas total yang diperolah dari suatu batubara
melalui pengukuran standard semua produk pembakaran dikembalikan pada temperatur
rungan (ambient temperatures). Net calorific value menyatakan panas yang diperoleh dari
suatu batubara dan yang dapat digunakan (useful heat) dan NCV ini dihitung dari GCV
dikurangi panas yang hilang seperti panas sensible dan panas laten produk pembakaran.
Secara praktis, perhitungan NCV biasanya hanya didasarkan pada panas yang hilang
dikarenakan kadar air produk pembakaran yang tinggal sebagian uap dan panas laten
dari air. Beberapa persamaan standar yang direkomendasikan untuk menghitung NCV ini
diberikan sebagai beriikut:

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 77


- ISO Recommendations R 1928
Qnp = Qgv – 0.212 ( H ) – 0.0008 ( 0 ) – 0.0245 M (MJ/kg)

- BSI Recommendations 526


Qnp = Qgv – 91.2 (H ) – 0.3 [ 0] – 10.5 M (Btu/lb)
= Qgv – 0.212 [ H ] – 0.0007 [ 0 ] – 0.0244 (MJ/kg)

- ASTM Recommendations D-407


Qnp = Qgv – 1030 W (Btu/lb)
= Qgv – 0.024 ( 9 [ H ] + M ) (MJ/kg)

dengan
Qgv = gross calorific value pada volume konstan yang diukur dari sample
Qnp = net calorific value pada tekanan konstan
[ H ] = prosentasi berat hydrogen dalam sample, diluar air [ O ]
= prosentasi berat oksigen dalam sample, diluar air M
= prosentasi berat air dalam sample
W = kadar air total prodak pembakaran dinyatakan sebagai lb air / lb bahan bakar
Perhitungan NCV dengan tiga persamaan standar di atas memberikan hasil yang
kurang lebih sama.

3. Grindability Batubara

Ketergerusan adalah sifat fisik batubara yang dihitung untuk mengetahui mudah
tidaknya batubara untuk digerus. Index yang paling umum digunakan adalah yang dihitung
dengan menggunakan metode mesin hardgrove. Metode ini didasarkan pada hukum fisika
dari Rittinger yang menyatakan: “Selesainya pekerjaan penghancuran sebanding dengan
produksi baru dipermukaan”. Prosedur dari metode ini adalah mula-mula disiapkan sampel
batubara seberat 45 kg yang telah dipraparasi seberat 50 gr berukuran 16 x 30 mesh,
kemudian digerus dalam mesin penggerus sebanyak 60 kali putaran. Setelah digerus,
batubara tersebut di ayak dengan menggunakan ayakan berukuran 200 mesh. Nilai
hardgrove

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 78


grindability index sama dengan 13 + 6,3 W, dimana W adalah berat material yang lolos
ayakan 200 mesh.

Gambar 3.10
Hardgrove Grindability Testing Machine

4. Metode penentuan ash fusibility

Penentuan ash fusibility meliputi memanaskan dengan mengamati temperatur dimana


pyramid segitiga (cone) yang disiapkan dari abu mendapatkan dan melewati tingkatan
tertentu dari peleburan dan mengalir di dalam udara reducing atau udara oxidizing bila
dikehendaki.
Dari pengamatan tentukan temperatur deformasi awal yaitu temperatur saat apex dari
cone mulai membulat atau melengkung. Softening temperature yaitu temperatur dimana cone
telah membentuk tumpukan spherical Fluid temperatur (temperatur cair) dimana cone mulai
melebar membentuk lapis tipis.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 79


5. Free Swelling Index

Uji ini dilakukan dengan memanaskan pada temperatur + 850oC contoh batubara (+
20 gram) dengan cara pemanasan dengan gas atau pemanasan dengan listrik. Contoh
ditempatkan didaam crucible tertutup dan dipanaskan dibawah kondisi terkendali hingga
membentuk coke button. Alat uji Free Swelling Index dapat dilihat pada Gambar 3.11.
Ukuran coke button merupakan indikasi dari karakteristik pemuaian dari batubara. Buat 5
button dan bandingkan dengan nomor profil standard rata-rata dari kelima nomor propel
yang peling mendekati standar, diambil sebagai free swelling index (Gambar 3.12). Ada 17
profil standar yang ditandai dengan nomor dari 1 hingga 9.

Gambar 3.11
Alat Uji Free Sweeling Index (FSI)

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 80


Gambar 3.12
Profil Free Sweeling Index (FSI)

6. Sifat Plastis (Plastic properties)

Apabila coking coal dipanaskan, bagian yang reaktif dari batubara menjai cair dan
o
pada kebanyakan batubara, ini dimulai pada temperature 300 C dan pada temperatur 500oC,
ia akan mulai membeku kembali. Masa yang emmbeku kembali
disebut semi coke. Tingkatan fluiditas diukur dengan plastometer. Plastometer juga
mengukur selang temperatur selama batubara mencair. Satuan fluiditas ialah dial division
per minute (ddpm). Batubara dengan 60 - 1000 ddpm dipandang cocok untuk coking.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 81


Gambar 3.13 Gieseler
Piastometer

Uji dengan Gieseler plastometer sebagai berikut (Gambar 3.13): Tempatkan pengaduk
dan crucible ke dalam loading divice. Masukkan contoh batubara sebanyak 4.5 gram,
padatkan. Hubungan crucible pada alat pengukur plastometer. Sealanjutnya turunkan
crucible ke dalam molten metal bath dari furnace. Atur temperature furnace mencapai
300oC dalam waktu 10 + 2 menit, selanjutnya laju
pemanasan diatur 3oC/min. Ketika batubara menjadi plastis, pengaduk mulai
berputar. Laju gerakan pengaduk diukur dengan ddpm. Besaran-besaran yang biasanya
ditentukan oleh Gieseler plastometer:
a. Temperatur pelunakan awal-yaitu temperature ketika putaran stirrer (pengaduk) sama
dengan 1 ddpm.
b. Temperatur fluiditas maksimum – yaitu temperatur dimana gerakan pengaduk
mencapai maksimum dalam ddpm.
c. Temperatur pembeku – yaitu temperature pada saat pengaduk berhenti
bergerak.
d. Fluiditas maksimum – yaitu laju gerakan pengaduk maksimum dalam ddpm.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 82


7. Dilatation Test

Perubahan volume selama masa mencair diukur dengan menggunakan alat dilatometer.
Dengan uji ini tingkah laku pengerutan/pemuaian daru batubara akan diketahui. Hasil dari
uji dapat digunakan untuk menghitung apa yang disebut faktor
G. Setiap faktor G menunjukan harga tertentu dari zat terbang yang digunakan
menentukan index dari coking powe dari batubara yang diuji.
Dilatometer test dilakukan untuk menentukan variasi dari panjang contoh batubara
ketika dipanaskan menurut laju yang telah ditentukan. Dalam hal ini 2 gram contoh bubuk
batubara dicetak membentuk pensil dengan panjang 60 mm dan diameter 6.5 mm, diletakkan
di dalam tabung sempit dan diberi piston yang berdiameter 7.5 mm dan berat 150 gram di
atasnya. Suatuu pointer yang dipasang
pada piston dapat mengamati gerakan vertical. Tabung sempit bersama contoh dalamya
dimasukan ke dalam tungku listrik dan dipanaskan mulai dari 300oC dengan laju 3oC per
menit. Pengamatan/pembacaan dilakukan secara teratur terhadap perpindahan piston
sebagai fungsi temperature dan panjang pensil
semula. (Gambar 3.14).
Data yang penting adalah:
a. Ts, temperatur pelunakan
b. Tc, temperatur penyusutan (contraction temperatur)
c. Tm, temperature pemuaian (dilatation temperatur)
d. C, penyusunan maksimum %
e. E, pemuaian maksimum %

8. Drop-shatter test
Uji ini untuk menentukan stabilitas ukuran relative atau friability dari batubara. Data
hasil uji ini dianggap sebagai menyatakan kemampuan batubara menahan benturan (remuk)
selama handling dan pencucian. Pengujiannya meliputi menjatuhkan batubara dari beberapa
selang ukuran pada ketinggian tetap 6 ft ke atas plat metal. Produk hasil jatuhan
dianalisis ayak dan hitung friability atau size stability-nya.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 83


Gambar 3.14
Audibert-Amu Dilatometer

9. Tumbler test
Ini adalah cara lain untuk menentukan friability atau size stability dari batubara
berukuran tertentu. Pengujian dilakukan di dalam jar porselen berukuran diameter 7 1/4.
Bagian dalam ada rangka besi lifting selve 3 buah berukuran 6 ½ lebar dan ¾ tinggi.
Contoh sebanyak 1 kg dimasukan ke dalam jar dan diputar selama 1 jam dengan
kecepatan 40 + 1 rpm (total 2.400 putaran). Hasil uji dianalisis ayak dan tentukan
friability atau size stability.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 84


Gambar 3.15
Kurva Dilatometer dan Perhitungan Harga – G

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 85


BAB IV
KEGIATAN PENAMBANGAN BATUBARA

4.1. TEKNIK EKSPLORASI BATUBARA

Batubara terdapat dalam satuan sediment klastik, penyebarannya tidak merata.


Penyebaran dan pengendapan batubara yang mempunyai nilai ekonomi sangat dipengaruhi
oleh keadaan geologi daerah yang bersangkutan.
Besarnya cadangan dan keadaan geologi dari endapan batu-bara tersebut akan sangat
mempengaruhi besaran produksi yang akan dicapai serta berapa besar investasi yang
diperlukan.
Suatu usaha pertambangan dikatakan berhasil apabila dapat dilakukan konservasi dari
suatu keadaan yang bersifat alamiah menjadi keadaan dan situasi yang dapat dikendalikan
dan terencana serta dapat diperkirakan sebelumnya. Keberhasilan eksplorasi sangat
menentukan dalam perencanaan eksploitasi. Pengambilan endapan batubara yang dilakukan
secara ekonomis menuntut digunakannya secara intensif beberapa disiplin ilmu sejak mulai
dari tahap penyelidikan umum sampai pada saat dilakukan pengambilannya.

4.1.1. TAHAPAN PENYELIDIKAN

a. Penyelidikan Umum

Penyelidikan umum diawali dengan studi pustaka atau disebut pula sebagai desk
study. Studi ini menyangkut mengenai keadaan geologi regional, tektonik dan yang
berkaitan dengan paleogeographic setting suatu daerah penyelidikan.
Maksud penyelidikan umum adalah untuk memperoleh informasi dan menentukan
batasan luas daerah. Setelah itu selesai, dilakukan penelitian lapangan dengan tujuan
pengecekan lapangan hasil studi pustaka. Dalam penelitian lapangan diusahakan pula
mencari kemungkinan adanya singkapan batubara, mengambil contoh batuan dan contoh
batubaranya.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 86


b. Penyelidikan Pendahuluan

Pelaksanaan eksplorasi pendahuluan dilakukan dengan memetakan daerah penyelidikan,


baik dengan pemetaan topografi maupun dengan foto udara dengan tujuan mendapatlkan
peta yang benar dan baik sebagai dasar penyelidikan selanjutnya.
Tahap berikutnya melakukan pemetaan geologi dengan menggunakan peta permukaan
dan foto udara dimaksudkan untuk melakukan interpresi keadaan singkapan, struktur, dan
kedudukan stratigrafi dari batubara. Untuk mengetahui kedudukan stratigrafi lapisan-lapisan
batubara dilakukan pemboran dangkala ataupun pemboran dalam di beberapa tempat.
Tujuan untuk mendapatkan data tentang ketebalan dan kedududkan formasi batubara.
Dengan melakukan korelasi terlebih dahulu dari titik-titik pemboran dapat diketahui arah
dan bentuk penyebaran lapisan batubara. Disamping itu diperoleh pula data pendahuluan
tentang kualitas batubara
Pada akhir program ini, apbila sekiranya daerah tersebut mempunyai nilai ekonomi
yang potensial, maka akan diperoleh data sebagai berikut:
- Hasil perhitungan cadangan sampai tingkat indikatif.
- Perkiraan tentang kualitas
- Interpretasi tentang geometrid an struktur endapan
- Laporan tentang sumber cadangan secara lengkap untuk studi pemasaran dan financial.
Di samping itu sudah dapat ditentukan pula:
- keadaan geologi endapan batubara dan perkiraan stuktur bawah permukaan
- Alternatif cara penambangan baik secara tambang terbuka atau tambang dalam.

c. Penyelidikan Detail

Pada tingkat ini kegiatan eksplorasi lebih terpusat pada kegiatan pemboran yang
bertujuan untuk lebih mengetahui bentuk geometri endapan batubara, kualitas dari lapisan
batubara dan kemungkinan adanya anomaly geologi yang mungkin akan menimbulkan
kesulitan dalam proses penambangan yang akan dilaksanakan. Apabila diperlukan dapat
pula dilakukan penyelidikan geofisika dengan tujuan untuk

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 87


mengetahui secara rinci keadaan geologi bawah permukaan yang meliputi keadaan sratigrafi
dan struktur geologi yang tidak terekam dari kegiatan pemboran. Pengumpulan dan
pendokumentasian semua data yang diperoleh berikut peta-peta yang telah dibuat serta
rencana penambangan akan dipergunakan sebagai dasar dan rencana kerja aktifitas
penambangan yang akan datang. Pada akhir kegiatan program ini akan dihasilkan hal-hal
sebagai berikut:
- Perhitungan cadangan sampai tingkat yang dapat diambil recoverable reserve, sedang
ketepatan perkiraan perhitungan batubara yang dapat dijual sudah mendekati 20 %.
- Data lengkap mengenai kualitas, baik secara statistic dan variasi yang terdapat secara
regional, data yang menyangkut batuan ikutan.
- Data tentang penggunaan batubara dan laporan tentang hasil test pembakaran baik
dalam laboratorium maupun dalam skala komersial di sector industri.
- Data yang menyangkut tentang pencucian batubara (washability test).
Bilamana data yang telah dikumpulkan tersebut dan pada kenyataannya sudah
konprehensif maka berarti pengembangan sumber cadangan batubara tersebut telah
memperoleh prioritas yang tinggi untuk diajukan ketingkat yang lebih lanjut. Tingkat
selanjutnya akan dilakukan pengumpulan data mengenai penambangan dan masalah yang
menyangkut bidang-bidang yang bersifat engineering seperti masalah geoteknik, hidrologi
dan perencanaan proses pencucian, hal yang menyangkut pengangkutan dan penimbunan
batubara.
Semua data tersebut dikompilasi dan dijadikan bahan untuk membuat studi
kelayakan pengembangan endapan batubara tersebut kearah pembukaan tambang. Pekerjaan
eksplorasi akan tetap dilakukan terus selama masa umur tambang tersebut berjala.
Pekerjaan eksplorasi ini dikenal sebagai commercial exploration programme, menyangkut
pula pekerjaan pemboran produksi (production drilling) yang bertujuan untuk lebih
meningkatkan ketelitian yang dapat diambil (recoverable reerve) sampai pada tingkat 5 %.
Apabila uraian tersebut di atas dibuat dalam
bentuk diagram kerja seperti terlihat pada Gambar 4.1.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 88


Penyelidikan Umum

- studi pustaka
- keadaan geologi regional
- keadaan tektonik
- keadaan "paleography setting"
- batasan luas daerah kerja
- pengecekan dilapangan

- mencari singkapan batuan dan batubara


- mengambil contoh batuan
- mengambil contoh batubara
Penyelidikan Pendahuluan

- memetakan daerah kegiatan


- pemetaan topografi
- pemetaan foto udara
- interpretasi keadaan geologi
- stratigrafi kedudukan batubara
- struktur geologi
- pemboran
- korelasi
- hasil perhitungan cadangan
- bentuk geometri cadangan
- perkiraan kualitas
Penyelidikan Detail

- pemboran
- bentuk geometri endapan batubara
lebih teliti dan perhitungan cadangan
- anomali geologi
- sesar
- kualitas batubara
- analisa laboratorium
- sifat batubara
- geofisika
- stratigrafi kedudukan batubara
- struktur geologi
- bentuk endapan batubara
Commercial Exploration Programme

- pemboran lanjutan

Gambar 4.1.
Diagram Kerja Tahapan Penyelidikan

4.1.2. POTENSI CADANGAN BATUBARA


Salah satu hal yang mentukan dalam pengusahaan batubara adalah besaran potensi
cadangan (reserves) batubara di daerah yang bersangkut. Beberapa terminologi cadangan
(reserve) adalah sebagai berikut:

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 89


a. Potensi cadangan Tereka (Inferred reserves)

Potensi cadangan tereka dari suatu lapangan prospek batubara adalah jumlah batubara
dalam ton yang perhitungannya mendasarkan pada data geologi hasil penelitian lapangan
dalam bentuk peta geologi, geofisika dan kualitas batubara tyang telah dapat memberikan
model tentative dari pola sedimentasi lapisan batubara.

b. Potensi cadangan Terkira (Indicated Reserves)

Potensi cadangan terkira dari satu lapangan prospek batubara adalah jumlah batubara
dalam ton yang perhitungannya mendasarkan atas model tentative batubara dari keterpaduan
penelitian lapangan dan penelitian laboratorium serta telah dibuktikan dengan beberapa
pemboran eksplorasi. Indicated reserves perlu diketahui untuk perencanaan tambang.

c. Mineable In-situ Reserves

Jumlah ton batubara in-situ dari penampang lapisan batubara yang direncanakan
dapat ditambang. Dari padanya diperoleh cukup informasi yang berguna dalam
perencanaan. Mineable in-situ reserves dapat diperhitungkan dari indicated reserves.

d. Potensi Cadangan Terambil (Recoverable Reserves)

Potensi cadangan terambil dari satu lapangan prospek batubara adalah jumlah batubara
dalam ton yang perhitungan potensi diperoleh secara rinci dari beberapa pemboran
eksplorasi teknis maupun pertimbangan keekonomiannya. Besaran cadangan batubara
merupakan hasil perkalian luas pelamparan, ketebalan dan berat jenis batubara dari suatu
daerah prospek batubara. Recoverable Reserves ditambah dengan Dilution sama dengan Run
of Mine Tonage. Termasuk dilution adalah batubara yang hilang sewaktu proses
penambangan.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 90


Dengan mengetahui berbagai potensi cadangan batubara di suatu daerah maka
program pengembangan dalam rangka pengusahaan batubara akan lebih terarah.

e. Marketable Reserves

Jumlah ton batubara yang akan dapat dipasarkan atau dijual, dapat berupa run of mine
tonnage (kalau tidak dilakukan pengolahan) maupun setelah dilakukan pengolahan.

4.2. TEKNIK EKSPLOITASI BATUBARA

Metode penambangan batubara sangat tergantung pada :


- Keadaan geologi daerah antara lain sifat lapisan batuan penutup, batuan lantai
batubara, struktur geologi.
- Keadaan lapisan batubara dan bentuk deposit.
Pada dasarnya dikenal dua cara penambangan batubara yaitu cara tambang dalam
dan tambang terbuka.
Cara tambang dalam, dilakukan pertama-tama dengan jalan membuat lubang
persiapan baik berupa lubang sumuran ataupun berupa lubang mendatar atau menurun
menuju ke lapisan batubara yang akan ditambang. Selanjutnya dibuat lubang bukaan pada
lapisan batubaranya sendiri. Cara penambangannya sendiri dapat dilakukan:
a. Secara manual, yaitu menggunakan banyak alat yang memakai kekuatan tenaga
manusia.
b. Secara mekanis, yaitu mempergunakan alat sederhana sampai menggunakan system
elektronos dengan pengendalian jarak jauh.
Cara tambang terbuka, dilakukan pertama-tama dengan mengupas tanah penutup.
Pada saat ini metode penambangan mana yang akan dipilih dan kemungkinaan mendapatkan
peralatan tidak mengalami masalah. Peralatan yang ada sekarang dapat dimodifikasi
sehinggga berfungsi ganda. Perlu diketahui pula

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 91


bahwa berbagai jenis batubara memerlukan jenis dan peralatan yang berbeda pula. Mesin-
mesin tambang modern sudah dapat digunakan untuk pekerjaan kegiatan penambangan
dengan jangkauan kerja yang lebih luas dan mampu melaksanakan berbagai macam
pekerjaan tanpa perlu dilakukan perubahan dan modifikasi yang besar. Pemilihan metode
penambangan batubara baik yang akan ditambang secara tambang dalam ataupun tambang
terbuka ditentukan oleh faktor:
- Biaya penambangan
- Batubara yang dapat diambil (coal recovery)
- Pengotoran hasil produksi oleh batuan ikutan.
Dalam memperhitungkan biaya penambangan dengan metode tambang terbuka harus
termasuk juga biaya pembuangan tanah penutup batubara sampai pada kemiringan lereng
yang seaman mungkin (slope angle).
Perbandingan antara lapisan batuan tanah penutup dengan batubara merupakan faktor
penentu dalam memilih metode penambangan. Untuk itu perlu dihitung terlebih dahulu
break even stripping ratio, yaitu perbandingan antara selisih biaya untuk penambangan satu
ton batubara secara tambang dalam dan tambang terbuka dibagi dengan biaya
pembuangan setiap ton tanah penutup lapisan batubara.

Contoh:
Suatu rencana penambangan batubara diperhitungkan apabila dilaksanakan secara
tambang dalam memerlukan biaya Rp 20.000 setiap ton. Apabila dilakukan secara tambang
terbuka Rp 8.000, sedang biaya pengupasan tanah pada tambang terbuka adalah Rp 2.000
pertonnya.
Stripping ratio antara tambang terbuka yang menghasilkan perbedaan biaya impas (brek
even cost) dengan penambangan secara tambang dalam adalah:
Break even stripping ratio 20.000 - 8.000

6
2.000

Dengan demikian break even stripping ratio adalah 6 : 1, yang berarti bahwa untuk
mengambil 1 ton batubara maksimum jumlah tanah penutup harus dibuang adalah 6 ton.
Dengan demikian maka cara penambangannya sudah harus di tinjau kembali karena
secara ekonomis sudah tidak menguntungkan lagi.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 92


4.2.1. METODE PENAMBANGAN SECARA TAMBANG DALAM

Pada penambangan batubara dengan metoda tambang dalam yang terpenting adalah
bagaimana mempertahankan lubang buka seaman mungkin agar terhindar dari
kemungkinan :
- Keruntuhan atap batuan
- Ambruknya dinding lubang (rib spalling)
- Penggelembungan lantai lapisan batubara (floor heave)
Kejadian tersebut di atas disebabkan oleh terlepasnya energi yang tersimpan secara
alamiah dalam endapan batubara. Energi yang terpendam tersebut merupakan akibat
terjadinya perubahan atau deformasi bentuk endapan batubara selama berlangsunganya
pembentukan deposit tersebut. Pelepasan energi tersebut disebabkan oleh adanya perubahan
keseimbangan tegangan yang terdapat pada massa batuan akibat dilakukannya kegiatan
pembuatan lubang-lubang bukaan tambang. Disamping itu kegagalan dapat disebabkan
batuan dan batubara itu tidak mempunyai daya penyangga di samping faktor-faktor alami
dari keadaan geologi endapan batubara tersebut.
Penambangan batubara secara tambang dalama kenyataannya sangat ditentukan oleh
cara mengusahakan agar lubang bukaan dapat dipertahankan selama mungkin pada saat
berlangsungnya penambangan batubara dengan biaya rendah atau seekonomis mungkin.
Untuk mencapai keinginan tersebut maka pada setiap pembuatan lubang bukaan selalu
diusahan agar:
- Kemampuan penyangga dari atap lapisan
- Kekuatan lantai lapisan batubara
- Kemampuan daya dukung pilar penyangga.
Dimanfaatkan semaksimal mungkn. Namun apabila cara manfaat sifat alamiah tersebut
sulit untuk dicapai, maka beberapa cara penyanggaan buatan telah diciptakan oleh ahli
tambang.
Metode penambangan secara tambang dalam pada garis besarnya dapat dibedakan
yaitu:
a. Room and Pillar atau disebut pula Bord and Pillar
b. Longwall.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 93


Kedua metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri
terutama pada keadaan endapan batubara yang dihadapi di samping faktor lainnya yang
perlu diperhatikan dalam pemilihan metode penambangan tersebut.

A. Metode Room and Pillar

Cara penambangan ini mengandalkana endapan batubara yang tidak diambil sebagai
penyangga dan endapan batubara yang diambil sebagai room. Pada metode ini
penambangan batubara sudah dilakukan sejak pada saat pembuatan lubang maju. Selanjutnya
lubang maju tersebut dibesarkan menjadi ruangan- ruangan dengan meninggalkan batubara
sebagai tiang penyangga. Besar dan bentuk ruangan sebagai akibat pengambilan
batubaranya harus diusahakan agar penyangga yang dipakai cukup memadai kuat
mempertahankan ruangan tersebut tetap aman sampai saatnya dilakukan pengambilan
penyangga yang sebenarnya yaitu tiang penyangga batubara (coal pillars). Metoda ini
mempunyai keterbatasan- keterbatasan dalam besaran jumlah batubara yang dapat diambil
dari suatu cadangan batubara karena tidak semua tiang penyangga batubara dapat diambil
secara ekonomis maupun secara teknik.
Dari seluruh total cadangan terukur batubara yang dapat diambil dengan cara
penambangan metode Room and Pillar ini paling besar lebih kurang 30 – 40 % saja. Hal ini
disebabkan banyak batubara tertinggal sebagai tiang-tiang pengaman yang tidak dapat
diambil. Gambar 4.2 memperlihatkan Sketsa Sistem Penambangan dengan cara Room and
Pillar.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 94


Gambar 4.2
Skema Sistem Penambangan Room And Pillar

B. Metode Longwall

Ada dua cara penambangan dengan menggunakan metoda Longwall yaitu :


- Cara maju (advancing)
- Cara mundur (retreating)
Pada penambangan dengan metoda advancing Longwall terlebih dahulu dibuat lubang
maju yang nantinya akan berfungsi sebagai lubang utama (main gate) dan lubang
pengiring (tail gate), dibuat bersamaan pada pengambilan batubara dari lubang buka
tersebut.
Kedua lubang tersebut digunakan sebagai saluran udara yang diperlukan untuk
menyediakan udara bersih pada lubang bukanya di samping untuk keperluan
transportasi batubaranya dan keperluan penyediaan material untuk lubang bukanya. Metoda
ini akan memberikan hasil lebih cepat karena tidak memerlukan waktu menunggu lubang
yang diperlukan yaitu lubang utama (main gate) dan lubang
pengiring (tail gate).

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 95


Pada metode retreating longwall merupakan kebalikan dari metode advancing
longwall, karena pengambilan batubara belum dapat dilakukan sebelum selesai dibuat suatu
panel yang akan memberikan batasan lapisan batubara yang akan diesktraksi (diambil).
Pemilihan salah satu dari 2 metode tersebut harus memperhatikan keadaan dan
kondisi alami yang ditemukan pada endapan batubara itu sendiri agar nantinya tidak akan
menghadapi kesulitan-kesulitan selama dilakukan ekstraksi yang pada akhirnya tentu
bertujuan mencari biaya serendah mungkin. Gambar 4.2 adalah Skema Sistim Penambangan
Longwall.

Gambar 4.3.
Skema Sistem Penambangan Loongwall.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 96


Selain kedua metode tersebut terdapat pula beberapa variasi metode penambangan yang
dapat diterapkan. Hal ini tergantung pada macam dan jenis serta ketebalan lapisan di
samping kemiringan lapisan batubara yang perlu juga diperhatikan. Gambar 4.3 adalah
Kegiatan pada Sistim Penambangan Longwall.

Gambar 4.4
Kegiatan Pada Penambangan Loongwall.
Tampak Pekerja Sedang Mengoperasikan Shearing Machine.

Peralatan yang digunakan pada penambangan tambang dalam dapat dibagi dalam dua
kategori yaitu:
- Peralatan untuk pekerjaan persiapan
- Peralatan untuk ekstraksi batubara
Pada saat ini kemampuan peralatan tambang dalam sudah demikian maju sehingga
seluruh kegiatan pekerjaan fisik yang dilakukan oleh manusia, praktis sudah digantikan oleh
mesin atau alat bantu mekanis.

1. Peralatan Untuk Pekerjaan Persiapan

Kegunaan utama alat ini untuk membuat lubang buka, kemudian lubang maju baik
dilapisan batuan yang menuju ke lapisan batubara maupun dalam batubaranya sendiri.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 97


Alat atau mesin yang dipakai untuk pembuatan lubang ini dapat dibedakan dari sifat
pekerjaan, apakah mesin tersebut dapat langsung menggali dan membuang pecahan batuan
hasil galian atau hanya memecah saja sedang pembuangan dan pengambilan pecahan
batuan dilakukan mesin lain.
Pada tipe yang pertama mesin ini disebut road heading machine, yang dapat
memotong dan mengerat batuan atau batubara yang pecahnya dapat dikorek dan diangkut
untuk selanjutnya dibuang dan ini dilakukan oleh satu unit mesin.
Pada tipe yang kedua pekerjaan pemecahan dan pelepasan batuan dari formasi
lapisan dilakukan oleh mesin lain yang pada umumnya berupa peralatan bor. Alat
tersebut merupakan 1 unit maupun dapat terdiri beberapa unit mesin bor atau apa yang
dikenal sebagai jumbo drill pekerjaannya hanya membuat lubang bor dan nanti diisi dengan
bahan peledak dan selanjutnya diledakkan. Pecahan batuan akibat peledakan tersebut
diangkut dan dibuang dengan mesin lain, yaitu alat muat dan angkut load hail dump loader
atau gathering arm loader yang langsung membuang ke ban berjalan yang dipasang
dibelakangnya dan selanjutnya dibawa ke luar tambang.

Gambar 4.5
Kenampakkan Tambang Bawah Tanah Di Ombilin, Sumatra Barat.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 98


2. Peralatan Untuk Ekstraksi Batubara

Pada lubang-lubang transport dan lubang atau lubang lainnya ada bermacam- macam
penyanggaan yang dipakai tergantung kesediaannya ditempat. Di samping itu faktor
ekonomi juga merupakan pertimbangan.
Penyangga lubang dapat dari kayu maupun besi baja kontruksi dan bentuknya ada
yang persegi ataupun berbentuk arch. Selain cara-cara konvensional yang digunakan dalam
penyanggaan, pada tambang batubara telah juga dipakai cara penyanggaan yang dinamakan
roof bolting (Gambar 4.5). Cara ini digunakan untuk mengikat batubara yang lemah
(immediate roof) dengan lapisan yang kuat di atasnya dan juga mengikat lapisan-lapisan
batuan yang lemah menjadi beratnya sendiri sepanjang lebar bukaan lubang yang dibuat.
Jenis dan tipe penyanggaan dengan memakai roof bolt ada dua macam yaitu:
1. Mechanical roof bolt-wedge type atau expandable shell
2. Chemical roof bolt- memakai resin.
Penyanggaan yang digunakan pada daerah penggalian batubara dapat terdiri dari
balok-balok kayu maupun dari batang besi baja. Penyangga pemakaiannya hanya bersifat
sementara karena nantinya penyangga tersebut akan tergeser atau dibiarkan tertinggal
sehingga atap lapisan batubara dibiarkan runtuh.
Pada metode Longwall penyangga lapisan atap batubara digunakan penyangga
mekanis dengan memakai tenaga hidrolis untuk menahan tekanan lapisan atap batubara
yang dikenal sebagai Power roof support (PSR). Penyangga mekanis ini menggantikan
penyangga konvensional yang memakai seperti ini dapat dipergunakan berulang-ulang.
Penyangga mekanis ini dapat dibuat menurut kebutuhan tergantung kekuatan yang
diinginkan. Power Roof Support yang dipakai di unit produksi Ombilin mempunyai
kekuatan daya dukung setiap unitnya sebesar 325 ton, dan pada saat ini telah dibuat PRS
yang berkekuatan sampai 900 ton. Gambar 4.6 adalah Penyangga dengan Sistim Hidrolik.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 99


Gambar 4.6
Skema Sistem Penyanggaan Dengan Roof Bolt.

Gambar 4.7
Penyanggaan Dengan Sistem Hidrolik Pada Penambangan Loongwall.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 100


4.2.2. METODE PENAMBANGAN SECARA TAMBANG TERBUKA

Kelebihan tambang terbuka dibandingkan dengan tambang dalam adalah relatif lebih
aman, relatif lebih sederhana, dan mudah pengawasannya. Pada saat ini sebagain besar
penambangan batubara dilakukan dengan metode tambang terbuka, lebih-lebih setelah
digunakannya alat-alat besar yang mempunyai kapasitas muat dan angkut yang besar untuk
membuang lapisan tanah penutup batubara. Dengan demikian pekerjaan pembuangan lapisan
penutup batubara menjadi lebih murah dan menekan biaya ekstraksi batubara.
Selain itu prosentasi batubara yang diambil jauh lebih besar dibandingkan dengan
batubara yang dapt diekstraksi dengan cara tambang dalam. Penambangan batubara dengan
metode tambang terbuka saat ini diperoleh 85% dari total mineable reserve, sedang
dengan metode tambang dalam paling besar hanya 15% saja.
Walaupun demikian penambangan secara tambang terbuka mempunyai keterbatasan
yaitu:
- Dengan peralatan yang ada pada saat sekarang ini keterbatasan kedalaman lapisan
batubara yang dapat ditambang.
- Pertimbangan ekonomi antar biaya pembuangan batuan penutup dengan biaya
pengambilan batubara.

Tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka tergantung pada letak
dan kemiringan serta banyaknya lapisan batubara dalam satu cadangan. Disamping itu
metode tambang terbuka dapat dibedakan juga dari cara pemakaian alat mesin yang
digunakan dalam penambangan.
Beberapa tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka adalah:

a. Contour Mining

Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada endapan batubara yang terdapat
di pegunungan atau perbukitan. Penambangan batubara dimulai pada suatu singkapan
lapisan batubara dipermukaan atau crop line dan selanjutnya mengikuti garis kontur
sekeliling bukit atau pegunungan tersebut.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 101


Lapisan batuan penutup batubara dibuang kearah lereng bukit dan selanjutnya batuan
yang telah tersingkap diambil dan diangkut. Kegiatan penambangan berikutnya dimulai lagi
seperti tersebut di atas pada lapisan batubara yang lain sampai pada suatu ketebalan lapisan
penutup batubara yang menetukan batas maksimum ke dalaman di mana peralatan tambang
tersebut dapat bekerja. Batas ekonomis ini ditentukan oleh beberapa variabel antara lain :
- Ketebalan lapisan batubara
- Kualitas
- Pemasaran
- Sifat dan keadaan lapisan batuan penutup
- Kemampuan peralatan yang digunakan
- Persyaratan reklamasi

Gambar 4.8
a. Tipe Mountaintop Mining b. Tipe Countour Mining

Peralatan yang digunakan untuk cara penambangan ini pada umumnya memakai
peralatan yang mempunyai mobilitas tinggi atau dikenal sebagai mobil equipment.
Peralatan mekanis yang digunakan seperti alat muat (Wheel Loader, Track Loader, Front
Shovel, dan Backhoe), alat angkut jarak jauh (Off Highway Dump Truck), alat angkut jarak
dekat (Power Scraper), dan peralatan lainnya.
Alat-alat tersebut dipergunakan untuk pekerjaan pembuang lapisan penutup batubara
sedang untuk pengambilan batubaranya dapat digunakan dengan alat yang sama atau yang
lebih kecil tergantung tingkat produksinya. Kapasitas alat angkut berupa Off Highway
Dump Truck antara 18 ton sampai 170 ton. Di

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 102


Indonesia, tipe contour mining diterapkan antara lain di Tambang Batubara Ombilin
Sawahlunto, Sumatera Barat. Ditempat ini penambangan secara besar-besaran telah dimulai
sejak tahun 1977 dengan menggunakan mobile equipment berupa alat muat yang terdiri front
end loader berkapasitas 5-6 m3 dan front shovel 7 m3, sedang untuk alat angkut diguanakan
Off High Dump truck berkapasitas 35 ton dan 50 ton.
Selain itu dipergunakan Power Scraper kapasitas 15 m3.
Mengingat batuan penutupnya sangat keras maka digunakan peledakan, dengan
menggunakan beberapa unit alat bor drill blasthole machine yang mempunyai kemampuan
bor berdiameter sampai 6 inches, sedang bahan peledaknya dipergunakan Ammonium
Nitrate dan Solar (ANFO). Pengekstrasian batubara digunakan excavator berukuran 4 m3
dengan alat angkut berupa Coal Hauler kapasitas 18 ton. Gambar 4.9 adalah Wheel Loader
sebagai alat pengupas.

Gambar 4.9
Wheel Loader Sebagai Alat Muat.

b. Open Pit Mining

Open pit mining adalah penambangan secara terbuka dalam pengertian umum. Apabila
hal ini diterapkan pada endapan batubara dilakukan dengan jalan membuang lapisan batuan
penutup sehingga lapisan batubaranya tersingkap dan selanjutnya siap untuk diekstraksi.
Peralatan yang dipakai pada penambangan secara open pit dapat bermacam-macam
tergantung pada jenis dan keadaan batuan penutup yang akan dibuang. Dalam memilih
peralatan perlu dipertimbangkan:

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 103


 Kemiringan Lapisan batuan
Pada lapisan dengan kemiringan cukup tajam, pembuangan lapisan penutup dapat
menggunakan alat muat baik berupa face shovel, front end loader atau alat muat
lainnya.
 Masa operasi tambang.
Penambangan tipe open pit biasanya dilakukan pada endapan batubara yang
mempunyai lapisan tebal / dalam dan dilakukan dengan menggunakan beberapa bench.
Peralatan yang digunakan untuk pembuangan lapisan penutup batubara dibedakan
sebagai berikut:
1. Peralatan yang bersifat mobil antara lain Track Shovel, loader, bulldozer,
scraper.

Gambar 4.10.
Wheel Dozer sebagai Alat Pengupas.

2. Peralatan yang bersifat bekerja secara kontinu membuang lapisan penutup tanpa
dibantu alat angkut antara lain :
a. Dragline baik yang dengan crawler maupun walking dragline. Alat ini mengeruk
dan langsung membuang sendiri. Kapasitasnya bervariasi mulai dari yang kecil
kurang darii 5 m3 sampai dengan yang kapasitas mangkok di
atas 40 m3 dan jarak buang lebih dari 75 m.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 104


b. Front Shovel ada dua tipe:
1. Stripping shovel: mempunyai kapasitas mangkok (bucket) yang besar dan
jangkauan yang panjang digunakan sebagai alat pembuang lapisan penutup
batubara tanpa perlu bantuan alat angkut yang lain. Pada umunya kapasitas
mangkok berukuran lebih besar dari 20 m3, dengan jangkauan buang lebih dari 25
m.
2. Loading shovel: yang dipergunakan sebagai alat muat pada umumnya kapasitas isi
mangkok dan panjang jangkauan lebih pendek.
c. Bucket Wheel Excavator: adalah alat penggali dan pengangkut sekaligus. Alat ini
dapat bekerja sendiri atau dibantu alat lain berupa belt conveyor dan dapat dibantu
dengan alat yang dinamakan belt transfer, dan selanjutnya pada ujung belt conveyor
dipasang alat yang dinamakan belt spreader yang berguna untuk menyebarkan hasil
galian batuan penutup ketempat pembuangan dumping disposal area. Di Indonesia
cara penambangan Open pit dengan memakai Bucket Wheel Excanator ini
dilaksanakan antara lain di Tambang Batubara Bukit Asam di Sumatera Selatan
yang terdapat 5 unit Bucket Wheel Excavator, 5 unit Belt Transfer (Belt Wagon), 2
unit Speader dan Belt Conveyor dengan panjang lebih kurang 3 km. Gambar 4.13
adalah Sketsa Penambangan Open Pit.

Gambar 4.11
Track Loader sebagai Alat Muat.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 105


Gambar 4.12
Backhoe Lengan Panjang Sedang Memuatkan Ke Dump Truck

Gambar 4.13.
Penambangan Open Pit.

d. Striping Mining

Tipe penambangan terbuka yang diterapkan pada endapan batubara yang lapisannya
datar dekat permukaan tanah. Alat yang digunakan dapat berupa alat yang sifatnya mobil
atau alat penggalian yang dapat membuang sendiri. Penambangan batubara khususnya di
Kalimantan akan dimulai dengan cara Tambang Terbuka yang memakai alat kerja bersifat
mobil.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 106


4.2.3 TEKNIK PENAMBANGAN LAPISAN BATUBARA TIPIS

Penyebaran batubara tidak selalu seiring oleh kualitas dan ketebalan yang
menggembirakan, karena sering dijumpai kualitas batubara di suatu daerah cukup tinggi
sementara ketebalannya kurang dari 1 m, atau sebaliknya.
Ketebaan lapisan batubara berhubungan erat dengan teknik penggaliannya yang sudah
barang tentu diarahkan pada efisiensi sistem penambangan yang secara ekonomi layak
diterapkan. Sampai saat ini untuk menggali lapisan batubara dengan ketebalan kurang dari 1
m, baik pada tambang bawah tanah maupun terbuka, terbentur pada masalah pemilihan
sistem penambangan yang ekonomis. Misalnya pada sistem longwall, alat pemotong
batubara (shearer) paling kecil yang diproduksi mempunyai ketinggian 0.81 m, tentu alat
ini tidak dapat digunakan pada lapisan batubara yang lebih tipis dari 0.81m. Pada tambang
terbuka, lapisan penutup yang tebal umumnya menjadi kendala untuk menambang lapisan
batubara yang tipis, bila ditinjau dari aspek ekonomi. Tetapi kendala pemilihan alat
penggali lapisan batubara tipis telah dapat diatasi berkat kemajuan teknologi untuk
merancang suatu alat pembajak batubara (flow) yang dapat digunakan untuk mengekstrak
lapisan batubara dengan ketebalan 0.46m. Masalah yang timbul kemudian adalah
bagaimana memanfaatkan alat bajak ini pada suatu sistem penambangan lapisan batubara
yang tipis.
Diperkenalkan sistem penambangan Titik, yaitu suatu sistem yang dioperasikan
secara jarak jauh (remote operations) dari suatu jenjang tempat meletakkan peralatan
penambangan sehingga tidak ada personel dan penyangga yang diperlukan di dalam
tambang. Sistem tersebut sampai sekarang masih dikaji dan terus dikembangkan dari segala
aspek di beberapa Negara maju. Ada beberapa Negara yang telah mengoperasikan beberapa
sistem penambangan lapisan batubara tipis, tetapi tidak menggunakan sistem penambangan
yang sedang beroperasi tersebut merupakan bagian atau ide dari sistem penambangan Titik
yang sedang dikaji. Cara penambangan lapisan batubara yang sedang beroperasi saat ini
secara ekonomi sulit dapat diterima, tetapi cara tersebut terus dilakukan karena setiap
pemerintah mempunyai kebijaksanaan berbeda dalam mengelola sumberdaya alam yang
strategis yang dimilikinya. Beberapa system penambangan lapisan batubara tipis yang akan
diperkenalkan pada tulisan ini adalah:

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 107


a. Sistem Tarik Kabel-Rantai
b. Sistem Backfilling
c. Sistem Roof-fall Tolerant
Sistem pertama dari 3 sistem tersebut diatas telah diterapkan di Korea dan di bekas
Negara Uni Soviet. Sedangkan dua sistem yang disebut kemudian masih merupakan konsep
yang sedang dipelajari dan dikaji di Amerika Serikat.

a. Sistem Penambangan Tarik Kabel-Rantai

Sistem penambangan ini telah diterapkan di Korea untuk mengekstrak lapisan


batubara dengan ketebalan antara 0.3 – 0.5 m dengan kemiringan 45o. Pada tahap persiapan
penambangannya, bagian penting yang harus dibuat di samping komponen lain adalah pilar-
pilar berdimensi 15,2 x 30,5 m diantara dua raise, yaitu pilar-pilar batubara yang kan
dipotong menggunakan gesekan rantai penggali. Gambar 4.14. mengilustrasikan sistem
penambangan tarik kabel-rantai di Korea.

Gambar 4.14.
Skema sistem Penambangan Tarik Kabel Rantai di Korea.

Pilar-pilar ini juga berfungsi sebagai penyangga sementara pada saat salah satu pilar
sedang dipotong. Disamping itu harus dirancang pula dua corongan dibagian bawah pilar
untuk menampung serpihan batubara.
Rantai pemotong batubara disambung dengan kabel yang dihubungkan ke mesin
penggerak yang dapat menjalankan rantai pemotong tersebut maju mundur.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 108


Mesin penggerak diletakkan pada level atas, sedangkan pada level bawah tersedia
kendaraan penampung serpihan batubara hasil pemotongan. Penggalian dimulai dari bagian
bawah pilar bergerak ke atas sehingga serpihan batubara mengalir karena gravitasi menuju
dua buah corongan yang dapat menampung serpihan batubara tersebut dan siap dimuatkan
secara periodic ke dalam kendaraan penampung. Diameter nominal rantai pemotong berkisar
antara 100 sampai 200 mm yang sangat efektif digunakan untuk menggali lapisan batubara
dengan ketebalan 0,5 m.
Sistem Tarik-Kabel Rantai yang diterapkan di bekas Negara Uni Soviet berbeda
dalam hal cara penyanggaan dan arah penambangannya. Arah penggalian lapisan batubara
dimulai dari level atas bergerak ke level bawah, sehingga serpihan batubara menumpuk pada
level bawah dan siap diangkut ke permukaan. Pengontrolan lapisan atap menggunakan
penyangga bertekanan udara (pneumatic support) yang dapat mengembang sampai
ketinggian antara 0,2 – 0,4 m. Gambar
4.15 mengilustrasikan penerapan sistem penyangga bertekanan udara (pneumatic support)
di bekas Uni Soviet.

Gambar 4.15
Skema Penerapan Sistem Penyangga Bertekanan Udar
a
(Pneumatic Support)

Sistem penyanggaan ini terdiri dari satu set berisi empat kantong udara bagian dalam,
satu set berisi empat kantong udara bagian luar dan sebuah kantong udara lebar pembatas.
Penyangga dapat bergerak maju dengan cara sebagai berikut:

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 109


1. Pada posisi awal kantong udara bagian dalam dan luar mengembang dan menyangga
atap, sedangkan kantong pembatas kosong (tidak diisi uadara).
2. Kantong udara bagian dalam dikosongkan dan batuan atap kemungkinan akan runtuh.
Setelah kantong tersebut benar-benar kosong, maka kantong udara bagian luar sedikit
dikurangi volumenya, bersamaan dengan itu kantong pembatas diisi udara bagian luar
bergerak maju.
3. Pada posisi akhir, kantong udara bagian luar dikembangkan lagi sampai maksimum.
Kantong pembatas dikosongkan dan pada saat yang bersamaan kantong udara bagian
dalam dikembangkan. Gambar 4.15 adalah Sketsa Penyangga Bertekanan Udara.

b. Sistem Penambangan Backfilling

Dua sistem yang disebutkan terdahulu hanya dapat diterapkan secara efektif pada
lapisan batubara yang mempunyai kemiringan cukup tajam, sehingga serpihan batubara dapat
mengalir hanya karena gaya gravitasi. Konsep system backfilling dipersiapkan untuk lapisan
batubara tipis yang relatif datar, untuk itu harus dipersiapkan suatu sistem pengangkutan
yang sesuai dengan ketebalan lapsan batubaranya. Gambar 4.16 merupakan sketsa sistem
penambangan backfilling.
Teknik penggalian dan penyanggaan yang akan diterapkan mengacu pada sistem
longwall, yaitu suatu sistem dengan proses penambangan dan pengangkutan bergerak maju
dan meninggalkan runtuhan lapisan atap di belakang penyangga. Dengan pertimbangan
tipisnya lapisan batubara dan penyangga yang harus dapat bergerak maju, maka sistem
penyangga bertekanan udara diharapkan sebagai jawaban yang tepat. Dasar konsep ini
menggunakan seoptimal mungkin teknik pengontrolan jarak jauh, baik terhadap mobilitas
penyangga maupun penggalian, sehingga tidak diperlukan personil yang bekerja di dalam
tambang.
Sebagai alat angkut serpihan batubara ke luar tambang akan digunakan Armoured
Face Conveyor (AFC) yang lazim digunakan pada sistem longwall. Sedangkan alat
galiannya adalah pembajak (plow) dipilih karena kemampuannya menggali batubara yang
mempunyai ketebalan 0,46 m.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 110


Gambar 4.16
Sketsa Sistem Penambangan Backfilling

c. Sistem Roof-fall Tolerant

Seperti halnya sistem backfilling, sistem Roof-fall Tolerant juga merupakan konsep
yang sasaran utamanya tidak memerlukan adanya karyawan yang bekerja didalam tambang.
Bahkan sistem ini dirancang tidak memerlukan penyangga sama sekali. Konsep sistem
Rooffall Tolerant dibuat atas dasar hipotesis sisipan tipis, yaitu akan terbentuknya rongga
dibelakang alat pemotong secara bertahap dan runtuhan atap terjadi pada toleransi jarak yang
cukup aman.
Adanya toleransi jarak runtuhan tersebut merupakan keuntungan karena alat potong
dan alat angkut tidak akan terjepit oleh runtuhan atap. Konsep sisipan tipis ini meliputi
seluruh perangkat penambangan yang diperlukan antara lain rantai pemotong yang panjang
dan bergerak memutar (looping) serta sistem pengangkutannya. Penggalian batubara
bergerak darii satu arah sampai jarak tertentu, kemudian berbaliknya kearah yang
berlawanan, begitu seterusnya sampai lapisan batubaranya habis.
Seluruh perangkat penambangan batubara digerakkan oleh mesin-mesin yang terletak
di atas jenjang. Mesin penggerak rantai pemotong dan alat angkut terletak pada satu
jenjang, sedangkan pada jenjang yang berseberangan terdapat mesin pembalik perangkat
penambangan tersebut, pada saat yang sama juga terus bergerak maju untuk memberikan
gaya dorong terhadap rantai pemotong yang berdiameter antara 100 – 150 mm. Gambar 4.17
adalah Sistem Penambangan Roof-Fall Tolerant.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 111


Gambar 4.17
Sketsa Sistem Penambangan Roof-fall Tolerant

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 112


BAB V
PENGOLAHAN BATUBARA

5.1. METODE PENCUCIAN BATUBARA

Pencucian batubara ialah usaha yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas batubara,
agar ia memenuhi syarat penggunaan tertentu. Termasuk di dalamnya (1) pembersihan untuk
mengurangi impurities anorganic (2) peremukan-pengayakan atau kedua-duanya atau (3)
pengolahan khusus seperti dedusting.
Karakteristik batubara dan impurities yang utama ditinjau dari segi pencucian
mechanis ialah komposisi ukuran partikel yang umum disebut Size Consisti, perbedaan
berat jenis dari material yang akan dipisahkan, kimia permukaan friability relatif dari
batubara dan impuritiesnya, serta kekuatan dan kekerasan. Faktor lain yang juga
berpengaruh pada pencucian ialah komposisi petrografik dan rank.
Parameter umum untuk kualitas batubara adalah kandungan abunya. Batubara yang
datang dari tambang mengandung fragmen material dengan berat jenis sangat bervariasi,
mulai dari terendah (antara 1,25 – 1,35 dengan kandungan abu antara 1% - 5%) hingga
tertinggi 2,5 untuk material shale murni. Umumnya berat jenis akan membesar dengan
meningkatnya kandungan impurities didalam batubara. Gambar
5.1 menunjukan satu contoh hubungan impurities dengan jenis pada selang ukuran yang
sama dari batubara (ROM).
Adalah umum mendefinisikan material buangan sebagai material yang akan tenggelam
pada media denagn berat jenis 1.6 dan batubara bersih sebagai material yang mengandung
pada media yang sama.
Untuk menentukan metode dan alat yang akan digunakan untuk mencuci batubara
perlu dilakukan pemeriksaan uji yang lengkap terhadap batubara mentah untuk
memperoleh data ukuran distribusi berat jenis, deskripsi petrografi batubara kandungan
air, abu dan sulfur serta ash-fusibility characteristic.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 113


Gambar 5.I
Hubungan Antara Berat Jenis Partikel Batubara dan Kandungan Abunya

Pengkajian ketercucian dilakukan terutama untuk menentukan berapa banyak batubara


dapat dihasilkan pada berat jenis pemisahan tertentu, serta bagaimana dan tingkat kesulitan
pemisahannya.
Data-data ketercucian didapat dari hasil uji enadap apung yang dilakukan pada contoh
batubara yang telah terseleksi (sized) pada selang ukuran kecil. Umumnya rata-rata ukuran
pada setiap fraksi berbanding 2:1. Berikut ini selang ukuran yang umum dan memenuhi
persyaratan 6”-4”: 4”-2”: 2”-1”:……1/16 – 0,5 mm. Fraksi- fraksi berat jenis yang
diperoleh dikeringkan, timbang dan analisis kanungan abunya. Analisis lainnya seperti
kandungan sulfur perlu juga dilakukan, apabila pemnafaatan batubara tercuci yang akan
dihasilkan mempersyaratkan demikian.
Dalam pencucian batubara, yang pertama harus dipertimbangkan ialah metode
pencucian mana yang akan diterapkan untuk mempersiapkan batubara untuk keperluan
pasar, dan apakah pencucian masih diperlukan, karena pada prinsifnya batubara dapat
dijual langsung setelah ditimbang. Kenyataannya penjualan langsung setelah ditimbang
tidak berarti prosedur memperoleh keuntungan

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 114


maksimum. Oleh karena itu dalam memutuskan ini perlu dimasukan juga
pertimbangan komersial.
Atas asumsi bahwa batubara itu perlu diolah dengan keuntungan maksimum dan
memenuhi kriteria kualitas yang dikehendaki pasar seperti kandungan abu, air dan sulfur,
material yang lebih kasar dari 0,5 mm diolah dengan cara konsentrasi gravitasi. Untuk
batubara yang lebih kecil dari 0,5 mm, apakah perlu diolah atau tidak, perlu
dipertimbangkan dengan teliti karena modal dan ongkos operasi pengolahan sangat besar,
4 sampai 5 kali besar dari mengelola batubara kasar. Jika berdasarkan pertimbangan memang
diperlukan pengolahan maka metode yang tersedia ialah flotasi buih.
Pencucian batubara menghendaki juga suatu operasi tambahan seperti peremukan
dengan menggunakan rotary breaker, roll crusher, pengayakan dan lain- lain.

5.2. KONSENTRASI GRAVITASI

Umumnya dari seluruh batubara yang dicuci 90% dilakukan dengan cara konsentrasi
gravitasi dan kira-kira 10% dengan cara floats buih. Nisbah konsentrasi umumnya kecil,
artinya pada pencucian batubara produk batubara bersih jauh lebih besar jumlahnya
dibandingkan dengan material buangan.
Dari data ketercucian kita dapat membaca nilai perolehan yang didasarkan pada
pemisahan yang sempurna, oleh karena itu disebut perolehan teoritis. Perolehan
sesungguhnya dari hasil pencucian selalu kurang baik tergantung pada tingkat efisiensi dari
keseluruhan operasi. Hal ini disebabkan karena:
1. Operasi pencucian dilakukan secara kontinu, bukan batch seperti uji endap apung, dan
tidak dapat beroperasi secara se,purna. Dalam praktek ini berarti unjuk kerja alat
dipengaruhi oleh material near-gravity yang dapat masuk kesalah satu jalur. Oleh karena
itu misplacement selalu terjadi.
2. Operasi pencucian makin sulit dengan makin kecilnya ukuran butir-umpan pengolahan,
dan setiap alat mempunyai selang ukuran tertentu dimana ia dapat beroperasi secara
efisien. (Gambar 5.2).
3. Partikel sangat halus bila diolah, masih akan hilang pada operasi terakhir yaitu
dewatering. Gambar 5.3 dan 5.4 menunjukan hubungan antara efisiensi

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 115


pengolahan dengan ukuran partikel dan hubungan antara efisiensi berbagai alat pemisah
pada pengolahan batubara berukuran relatif sama.

Gambar 5.2
Selang Ukuran Operasi Unit Proses Pencucian Batubara

Gambar 5.2 menunjukan metoda pencucian yang umum dikaitkan dengan ukuran
partikel. Untuk batubara besar Baum jig dan dense medium bath yang lebih efisien, dan
banyak dipakai. Dense medium cyclone, cyclone hanya dengan air, meja goyang banyak
dipakai untuk partikel berukuran sedang. Sedangkan berukuran halus flotasi buih.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 116


Gambar 5.3
Pengaruh Komposisi Ukuran Pada Efisiensi Pencucian Batubara

Gambar 5.4
Kurva Unjuk Kerja Tromp Berbagai Alat Pencucian Batubara
Pada Ukuran Batubara yang Sama (6 x 0.5 mm)

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 117


Gambar 5.5
Pengaruh Ukuran Partikel Batubara Pada
Efisiensi Dense Medium Separation

Macam-macam gravitasi konsentrasi adalah:

5.2.1. Dense Medium Separation

Operasi pencucian batubara dengan dense medium dilakukan dengan mencelupkan


batubara mentah ke dalam media yang berat jenisnya terletak diantara berat jenis batubara
bersih dan berat jenis impurities yang lebih berat Dense medium separation yang beroperasi
secara komersial menggunakan suspensi padatan di dalam air untuk mengolah batubara
mulai dari ukuran 0.5 mm sampai berukuran 150 mm. Partikel berukuran lebih besar dari 6
mm biasanya diolah dengan static dense medium separator (dense medium vessels atau
dense medium baths), sedangkan yang berukuran mulai 0,5 mm sampai 40 mm diolah
dalam separator yang menerapkan gaya centrifugal ( dense medium cyclone). Contoh dense
medium bath seperti terlihat pada Gambar 5.6 – 5.10 adalah Chance Cone separator, Barvoys
Separator Bath, Tromp Static Bath, Wemco Separating Bath dan Drewboy Separating
Bath. Sementara itu contoh dense medium cyclone seperti terlihat pada Gambar 5.11 –
5.15 adalah DSM Cyclone Separator, Bretby Vorsyl Separator, Dynawhirfpool Separator,
Larcodems dan Triflo Separator.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 118


Karakteristik yang diinginkan dari media pemisah adalah
(1) Murah
(2) Stabil selama operasi pencucian
(3) Inert
(4) Viskositas rendah pada kondisi operasi dan
(5) Mudah di recover kembali setelah dipakai.
Padatan dengan berat jenis tinggi seperti magnetit (b.j. 5) dan barit (b. j. 4.4) banyak
dipakai sebagai media walaupun menghasilkan suspensi yang kurang stabil tetapi sangat
bermanfaat untuk menghasilkan suspensi dengan berat jenis sampai
2.1. Kestabialan dari suspensi sebagian dapat diperbaiki denngan menambahkan lempung
sampai 10%, yang dapat mengecilkan kecepatan pengendapan suspensi sampai 50%.
Efisiensi operasi static dense medium separation Ep = 0.025 dan untuk dense medium
cyclone 0.035.

Gambar 5.6 Change


Cone Separator

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 119


Gambar 5.7 Barvoys
Separating Bath

Gambar 5.8 Tromp


Static Bath

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 120


Gambar 5.9
Wemco Separating Baths
(a) Wemco Separator Types (b) Wemco Drum Separator Types

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 121


Gambar 5.10
Drewboy Separating Bath

Gambar 5.11

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 122


DSM Cyclone Separator

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 123


Gambar 5.12
Bretby Vorsyl Separator

Gambar 5.13

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 124


Dynawhirlpool Separator

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 125


Gambar 5.14
Larcodems

Gambar 5.15

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 126


Tri – Flo Separator

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 127


5.2.2. Jigging

Jigging adalah proses stratifikasi partikel yang menghasilkan lapisa-lapisan dngan berat
jenis partikel makin membesar dari atas kebawah oleh suatu gerakan bolak-balik fluida, ia
dapat mengolah batubara kelemahan dari jigging.
1. Efisiensi pemisahan tidak sebaik dense medium separation.
2. Berat jenis pemisahan (cut point) tidak terkendali sampai ke batas yang kecil,
misalnya jigging dengan umpan 15 cm-0, akan dipisahkan menurut berat jenis
pemisah.

Ukuran Cut point Selang Cp Ep


15 cm – 5 cm 1.5 1.45 – 1.55 0.09
5 cm – 2.5 cm 1.6 1.55 – 1.65 0.12
2.5 cm – 12.5 1.7 1.65 – 1.75 0.14
mm 1.8 1.75 – 1.85 0.18
12 mm – 1 mm 1.9 1.85 – 1.95 0.25
1 mm – 0.25 mm

Jig yang umumnya dipakai ialah Baum jig dengan berbagai variasinya. Batas jig juga
banyak dipakai. Jig bekerja dengan dasar sederhana dengan 3 mekanisme pemisahan yaitu
percepatan awal yang hanya tergantung pada berat jenis partikel, hindered settling
classification dan consolidation trickling tergantung pada ukuran berat jenis dan bentuk
partikel. Gerakan yang besar, mula-mula dipengaruhi oleh percepatan awal, diikuti
hindered settling sedangkan partikel halus disamping dipengaruhi oleh percepatan awal
dan hindered settling gerakannya berlanjut dengan consolidation trickling, sehingga
akhirnya partikel halus berat berada di lapisan paling bawah. Mekansme ini muncul karena
adanya gerakan bolak-balik vertikel dari air. Hasil akhir dipengaruhi oleh faktor alat
(panjang pukulan jig, frequency, cara mengeluarkan buangan, pengendalian air) dan
karakteristik batubara (washability, distribusi ukuran, jumlah buangan)
Tidak ada pemisahan sempurna yangn terjadi pada jigging, karena sifat gerakan acak
dari partikel ketika membentuk lapisan, dan terganggunya lapisan yang terbentuk sebagai
akibat pengeluaran produk.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 128


Ada 4 unsur pada siklus udara yang akan menimbulkan gerakan bolak-balik vertikal
(lihat Gambar 5.16)

Gambar 5.16
Elemen-elemen Siklus Baum Jig

(1) Katup udara terbuka, udara tekan masuk dan segera menciptakan aliran vertikal
kearah atas.
(2) Pemuaian ; ini adalah waktu antara berhentinya supply udara hingga ia keluar dari
ruang udara masuk ke atmosfer. Selama masa ini tinggi air pada komportemen
pencucian lebih tinggi dari yang ada diruang udara, dan dilasi terhenti sementara.
(3) Pengeluaran, ini adalah masa pengeluran udara dari ruang udara yang terjadi setelah
katup dibuka, diikuti turunnya tekanan di dalam ruang. Tinggi air pada komponen
pencucian turun karena air kembali masuk ruang udara, menghasilkan gerakan hisap
(suction). Selama masa ini terjadi stratifikasi dari partikel-partikel yang ada di dalam
kompartemen pencucian.
(4) Lap atau compression, waktu ketika katup dibuka dan tekanan udara di dalam ruang
berubah dari 1 atmosfer menjadi sama dengan tekanan udara tekan yang masuk. Ini
adalah saat akan memulai siklus baru dan bed yang terbentuk masih kompak.

Box pencucian berupa saluran berisi air yang penampangnya berbentuk U (Gambar
5.17). Saluran ini terbagi dua bagian, satu bagian tertutup tempat terpasangnya katup
udara dan pada bagian lain ditutup dengan plat saringan. Pada daerah inilah terjadi proses
pencucian batubara. Material buangan dikeluarkan dari dasar lapisan bed dengan bucket
elevator. Laju pengeluaran material buangan

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 129


harus dikendalikan dengan teliti untuk memelihara ketebalan yang konstan dan ini
dilakukan secara otomatic oleh system.

Gambar 5.17
Original Baum Jig

Ada beberapa tipe Baum jig misalnya yang dirancang untuk mengolah partikel kecil,
misalnya ½ - 0. Rancangan umumnya sama seperti di atas, tetapi meggunakan alas jig
(ragging) dari feldspar.
Box pencuci dapat berukuran sampai 30 ft x 10 ft (daerah pencucian) dan kapasitas dapat
sampai 500 t/jam pada ukuran ini.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 130


Gambar 5.18
Faktor-faktor yang Berpengaruh Pada Jigging yang Ideal

Gambar 5.19
Grafik Pengaruh Udara dan Aliran Pada Pulsion dan Suction dari Baum Jig

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 131


Gambar 5.20
Gambar Irisan Baum Washbox

Gambar 5.21
The British Coal – Preferred Baum Jig

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 132


Gambar 5. 22
Longitudinal Section of Acco Baum Jig

Gambar 5.23
Lateral Section of ACCO Baum Jig

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 130


Gambar 5.24
ACCO ataumatic shal-discharg system
(a) operating with thin shale bed;
(b) operating with thick shale bed (courtesy simonacco)

Gambar 5.25
Modern Version Of The ACCO System Of Shale Discharge (Courtesy

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 131


Simonacco)

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 132


Gambar 5.26
Gate and Dam Discharge (Hand Operated)

Gambar 5.27
Principle of Balanced Density Discard Control

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 133


Gambar 5.28
ACCO Automatic Control Gear for Discard Extraction

Gambar 5.29
Mc Nally Shale – Discharge System (Courtesy Mc Nally, Pittsburgh)

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 134


Gambar 5.30 Unjuk
Kerja Baum Jig

Gambar 5.31

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 135


BATAC Coarse – Size Jig

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 136


Gambar 5.32
BATAC Fine – Size Jig

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 137


Gambar 5.33
Perbedaan antara Baum Jig (Kiri) dan Batac Jig (Kanan)

Gambar 5.34
ROM JIG – Movable Screen Jig

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 138


Gambar 5.35 Unjuk
Kerja Spiral

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 139


Gambar 5.36
A Modern Twin – start Coal Spiral

Gambar 5.37
300 t/h Spirals Plant at German Creek Coal Preparation Plant

5.2.3. Konsentrasi Pada Aliran Tipis

Konsentrasi batubara pada aliran tipis (flowing- film) hanya diterapkan pada batubara
berukuran kecil yaitu minus 2 mm dan dengan laju yang rendah pula (kapasitas alat kecil).
Oleh karena itu tidak semua alat konsentrasi flowing-film digunakan pada pencucian
batubara. Di bidang yang pemakaiannya semakin banyak ialah spiral. Dibidang pencucian
batubara alat ini baru dipakai sejak 1950 dan dapat melakukan fungsinya dengan baik

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 140


apabila:

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 141


- ukuran partikel yang diolah antara -2.0-0.15
- perbedaan berat jenis sedikitnya 1
Mekanisme pemisahan pada spiral yaitu effek sluicing dikombinasikan dengan gaya
centrifugal yang timbul karena gerakan slurry mengitari spiral helix. Unjuk kerja spiral yang
dilakukan pada selang ukuran kecil dapat dilihat pada Gambar 5.36. Gambar tersebut
menunjukan bahwa pemisahan menjadi kurang efisisen dengan makin mengecilnya ukuran.
Kerugian utama dari spiral ialah:
- partikel yang kecil dari 0,1 mm menghasilkan yang kurang baik.
- Cut point umumnya terbatas pada selang 1.6 – 1.8 kapasitas alat kecil.

5.2.4. Flotasi

Flotasi diterapkan pada batubara halus yang berukuran di bawah 0,5 mm dan hanya
sebagai pelengkap saja dari alat lain seperti Baum jig.
Batubara seperti beberapa mineral lain seperti sulfur, talc adalah mineral hydrophobic
yaitu bila dicelupkan kedalam air ia tidak basah. Partikel yang tidak dibasahi ini
(hydrophobic) bila berbenturan dengan gelembung udara akan langsung menempel. Prinsip
ini yang dipakai pada flotasi. Pada kenyataannya permukaan partikel batubara tidak betul-
betul hydrophobic. Oleh karena itu ia perlu diolah lebih dahulu untuk mengubah
permukaannya menjadi betul-betul hydrophonic. Pengolahan seperti ini disebut conditioning
yaitu partikel padatan diolah dengan reagent kimia untuk permukaannya menjadi
hydrophonic.
Proses flotasi terjadi di dalam alat yang disebut sel flotasi. Umpan yang telah
dicondition lebih dahulu untuk memastikan permukaan batubara telah hydrophobic masuk
ke sel flotasi melalui jalur pemasukan umpan. Udara masuk ke dalam sel melalui
impeller, dan terbentuk gelembung-gelembung udara berukuran halus. Gelembung udara
berbenturan dengan partikel batubara, menemapel dan naik ke permukaan. Gelembung
yang naik berkumpul di atas pulp dan dikeluarkan dengan batuan scraper.
Unjuk kerja flotasi batubara, bila beroperasi dengan baik akan memberikan perolehan
batubara bersih yang tinggi, tetapi kandungan abu yang relative tinggi

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 142


pila. Dibandingkan dengan spiral, perolehan dengan cara flotasi akan memberikan angka
1-5% lebih tinggi pada kandungan abu 11 – 12.5%.

Gambar 5.38
Sketsa Sel Flotasi Mekanical (Denver)

Gambar 5.39 Sketsa


Sel Flotasi Kolom

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 140


Gambar 5.40
The Packed Column Cell

Gambar 5.41
Instalasi Flotasi Batubara, Laju Umpan 130 ton/jam
Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 141
Gambar 5.42
Pneumatic Flotation EKOPLOT

Gambar 5.43
The Hydrochem Agitated Column

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 142


Gambar 5.44
The Air Sparged Hydrocyclone

Gambar 5.45 The


Jameson Cell

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 143


Gambar 5.46
The MAN Gutehoffnungshuette Cell

Gambar 5.47
The Outokumpu HG Cell

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 144


5.3. UJI KETERCUCIAN BATUBARA

Didalam pekerjaan pencucian batubara terdapat dua kegiatan analisis yang penting untuk
dilakukan yaitu:
a. Analisis distribusi ukuran (size distribution analysis)
b. Analisis endap apung (sink-float analysis)
Analisis distribusi ukuran pada umumnya dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi:
a. Jumlah batubara halus
b. Komposisi berat pada berbagai ukuran
c. Neraca material bagi setiap alat yang terdapat di dalam pabrik instalasi
pencucian.
Analisis kualitas (analisis proksimat dan ultimat) dapat saja dilakukan terhadap setiap
fraksi ukuran, tetapi pada umumnya yang terpenting untuk dianalisis adalah kadar setiap
fraksi ukuran.
Analisis endap-apung dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh:
a. Perolehan teoritis fraksi terendapkan maupun terapung.
b. Indikasi derajat kesukaran yang mungkin timbul pada saat dilakukan pencucian,
misalnya adanya sejumlah material yang densitas relatifnya mendekati densitas relative
media pencuci (disebut near density material).
c. Indikasi efektivitas pada suatu tahap proses pencucian ataupun efektivitas
keseluruhan pabrik (misal adanya pengotor di dalam batubara bersih).
d. Indikasi karakteristik distribusi kualitas batubara dikaitkan dengan berbagai fraksi
densitas, misalnya kadar abu, belerang, nilai bahang (kalor).
Kedua kegiatan ini selain sangat berguna bagi perencanaan pendirian suatu pabrik
pencucian batubara juga sangat diperlukan dalam mengevaluasi unjuk kerja (performance)
suatu pabrik yang telah bekerja, selain itu kedua analisis di atas juga dilakukan dengan
tujuan untuk memperoleh:
a. Evaluasi rinci untuk membuka tambang baru ataupun untuk rencana pengembangan
(ekspansi). Analisis dilakukan terhadap percontohan inti bor (drillcore sample),
percontoh bulk.
b. Data kualitas batubara harian, dari berbagai seam, berbagai titik di pabrik.
c. Data bagi perencanaan pabrik misalnya pengembangan peta air.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 145


5.3.1. Pemercontohan

Data yang diperoleh dari suatu analisis sangat tergantung pada mewakili (representatif)
atau tidaknya percontoh (sample) yang dianalisis. Terdapat berbagai standar pemercontohan
agar dapat diperoleh percontoh yang mewakili (pembahasan secara rinci terdapat pada bab-
bab sebelumnya). Beberapa faktor penting yang patut diperhatikan pada saat melakukan
pemercontohan batubara adalah:
a. Pemilihan metode pemercontohan.
b. Pemilihan lokasi pemercontohan.
c. Pemercontohan dilakukan pada kondisi yang steady-state.
d. Jumlah percontoh harus cukup semua kebutuhan analisis.
e. Pemilihan metode mereduksi jumlah/berat percontoh.
f. Penomoran.
Berbagai pemercontohan standar telah diterbitkan oleh Negara-negara pengekspor
batubara, yang pada umumnya mementingkan agar jumlah (berat) percontoh selalu cukup
untuk dipakai pada analisis endap-apung maupun distribusi ukuran (lebih baik berlebih
daripada kekurangan).
Sampai saat ini belum ada kepastian berat percontoh maupun jumlah increment yang
diperlukan untuk analisis endap-apung. Rekomendasi dari ISO (International Standard
Organaization) adalah minimum 40 increment dari setiap percontoh, meskipun nilai sangat
tergantung pada kondisi percontoh, yang akhirnya rekomendasi ini betul-betul hanya dipakai
sebagai petunjuk (quideline) saja.
Dengan asumsi bahwa bentuk butiran-butiran batubara mendekati bola dan
keseluruhannya hamper sama besar densitas relatifnya 1,5 maka persamaan dapat dipakai
untuk menentukan berat percontoh:
P = 5,24 D
Dimana: P = berat percontoh dalam kg
D = diameter rataan dalam mm

Berat percontoh yang diberikan di atas adalah berat minimum dan harus diperbesar
apabila ternyata di dalam batubara terdapat material asing (pengotor) seperti batu,
shale. Pemercontohan terhadap recect harus dengan

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 146


memperhitungkan jumlah yang 50% lebih banyak. Menurut AS1661 (Australian Standard)
berat percontoh batubara yang disesuaikan dengan ukurannya dan tujuan pemercontohan
adalah seperti diberikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1
Berat Percontoh (Kg) Menurut AS 1661

Fraksi
ukuran Uji komprehensif Kontrol
(mm)
Raw coal Clean Reject Clean Reject
coal coal
- 125 + 63 400 600 1200 200 400
- 63 + 31,5 100 150 300 50 100
- 31,5 + 25 35 70 15 35
16.0
-16.0+8.0 7 10 20 4 10
-8.0+4.0 3 4.5 9 2 5
-4.0+2.0 1.5 2.5 5 15 2.5
-2.0+0.5 1.0 1.5 3 1 1
-0.5 0.5 0.5 1 0.5 0.5

5.3.2. Analisis Ukuran

Pengertian sieve umumnya dibedakan dengan pengertian screen. Yang dimaksud


dengan sieve adalah pengayak berukuran kecil yang umumnya dipakai di laboratorium (skala
laboratorium), sedang yang dimaksud dengan screen adalah pengayak berukuran besar (skala
insustri). Terdapat berbagai macam standar sieve yang dikeluarkan oleh Canada, Inggeris,
Perancis ataupun Jerman. Standar yang banyak dipakai di Indonesia adalah standar Tyler
dan ASTM.
Berbagai macam standar untuk melakukan (metode) dan cara pelaporan hasil analisis
ukuran (sieve analysis) telah diterbitkan, diantaranya ISO 2591, British Standard
Specification (BSS) 1796. American Society for Testing and Materials (ASTM) E-11-70.
Pada Tabel IV.2 diberikan pengayak yang umumnya dipakai. Didalam tabel tersebut yang
dimaksud dengan mesh adalah jumlah lubang sepanjang 1 inch linier.
Hasil pengayakan dapat dilaporkan dengan cara membuat tabel maupun dengan cara
mengeluarkan pada kertas grafik. Pada dasarnya pelaporan

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 147


memberikan data hubungan antara ukuran partikel (sumbu horizontal) dengan persen
material tertampung di atas pengayak, atau persen material lolos suatu ukuran (sumbu
vertical). Selain itu pada sumbu vertical dapat juga dialurkan kumulatifnya.
Apabila pelaporan dengan mengalurkan frekuensi kumulatif, maka kurva
frekuensinya (= f(x) ) dapat diperoleh dengan melakukan diferensial dari kurva kumulatif (=
F(x) ) atau sebaliknya kurva kumulatif diperoleh dengan melakukan integral kurva frekuensi.

dF (x)
f (x) = dx atau F (x) oversize = 1 – F(x) undersize

Metode yang paling umum dipakai adalah mengalurkan kurva kumulatif, F(x),
sebagai sumbu tegak terhadap in x sebagai sumbu mendatar. Dengan cara ini apabila
distribusi partikel bersifata normal maka akan diperoleh garis lurus atau garis yang hampir
lurus. Percontohan batubara pada umumnya memberikan selang ukuran yang lebar.
Karakteristik ini bersama-sama dengan adanya pemecahan alamiah.
Kominusi mekanikal dan heterogenitas batuan pembentuk mineral-mineral lain,
mengakibatkan distribusi ukuran menjadi tidak normal.
Fungsi distribusi Rosin-Rammler dinyatakan sebagai yang paling mendekati untuk
menyatakan distribusi, ukuran batubara sampai pada ukuran 50 mm. Kumulatif persen
oversize dinyatakan dengan persamaan:
n

F(x) = exp
x
1
Dimana:
F(x) = residue atau persen oversize pada ukuran minimum x, yaitu persen berat
tertampung pada ukuran x
x = ukuran lubang sieve, atau diameter partikel x1
= konstanta selang ukura
n = konstanta distribusi ukuran (tanpa dimensi), menyatakan derajat dispersi
ukuran butir.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 148


Persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan garis lurus yaitu apabila log [In
1/F(x)] dialurkan terhadap log x:

Log [In 1/F(x) ] = n log x – n log x1

Pada kenyataannya persamaan Rosin-Rammler hanya berlaku untuk partikel batubara


yang berukuran kecil. Untuk partikel batubara yang berukuran lebih besar maka sebaliknya
dipakai persamaan Bennet yang merupakan modifikasi persamaan Rosin-Rammler, yaitu:

x
R = 100 exp –
x1

Disini R adalah persen oversize pada ukuran yang terkecil atau secara umum adalah
persen berat tertampung pada suatu sieve yang berukuran x. Selanjutnya x disebut
konstanta ukuran absolute dan n disebut konstanta distribusi ukuran. Dengan mengambil
nilai logaritma sebanyak dua kali maka persamaan Bennet akan menjadi.
Log log R = n log x + c

Tabel 5.2 Standard


Sieve Series
U.S.A.(1) TYLER (2) CANADIAN (3) BRITISH (4) FRENCH (6) GERMAN
(7)
Standart Alternate Mesh Standart Alternate Nominal Nominal One No
Designation Aparture M.M
125 mm 5 125 mm 5
106 mm 4.24 106 mm 4.24
100 mm 4 100 mm 4
90 mm 3 1/2 90 mm 31/2
75 mm 3 75 mm 3
63 mm 2 1/2 63 mm 2 1/2
53 mm 2.12 53 mm 2.12
50 mm 2 50 mm 2
45 mm 1¾ 45 mm 1¾
37.5 mm 1 1/2 37.5 mm 1½
31.5 mm 31.5 mm 1¼
26.5 mm 1.05 26.5 mm 1.06
25.0 mm 25.0 mm 1
25.0 mm
22.4 mm .883 22.4 mm 1/8
19.0 mm .742 19.0 mm ¼ 20.0 mm

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 149


18.0 mm
16.0 mm 3/2 .624 16.0 mm 3/2 16.0 mm
13.2 mm .530 .525 13.2 mm .530
12.5 mm ½ 12.5 mm ½ 12.5 mm
11.2 mm 1/16 .441 11.2 mm 1/16
10.0 mm
9.5 mm 3/8 .371 9.5 mm 3/8 8.0 mm
8.0 mm 5/16 2½ 8.0 mm 5/16 6.3 mm
6.7 mm .265 3 6.7 mm .265
6.3 mm 2/4 6.3 mm 2/4
5.6 mm No.3 ½ 3½ 5.6 mm No.3 ½
5.000 38 5.0 mm
4.75 mm 4 4 4.75 mm 4
4.00 mm 5 5 4.00 mm 5 4.000 37 4.0 mm
3.35 mm 6 6 3.35 mm 6
3.35 mm 5 3.150 36 3.15
2.80 mm 7 7 2.80 mm 7 2.80 mm 6 mm
2.36 mm 8 8 2.36 mm 8 2.40 mm 7 2.500 35
2.00 mm 10 10 2.00 mm 10 2.00 mm 8 2.000 34 2.5 mm
1.70 mm 12 12 1.70mm 12 1.68 mm 10 1.600 33 2.0 mm
1.6 mm
1.40 mm 14 12 1.40 mm 14 1.40 mm 12
1.250 32 1.25 mm
1.18 mm 16 14 1.18 mm 16 1.18 mm 14
1.00 mm 18 16 1.00 mm 18 1.00 mm 16 1.000 31 1.0 mm
850 m 20 20 850 m 20 850 m 18
.800 30 800 m
710 m 25 24 710 m 25 710 m 22
.630 29 650 m
600 m 30 28 600 m 30 600 m 25
500 m 35 32 500 m 35 500 m 30 .500 28 500 m
425 m 40 35 425 m 40 420 m 36
.400 27 400 m
355 m 45 42 355 m 45 355 m 44
.315 26 315 m
300 m 50 48 300 m 50 300 m 52
250 m 60 60 250 m 60 250 m 60 .250 25 250 m
212 m 70 65 212 m 70 212 m 72
.200 24 200 m
180 m 80 80 180 m 80 180 m 85
.160 23 160 m
150 m 100 100 150 m 100 150 m 100
125 m 120 120 125 m 120 125 m 120 .120 22 125 m
105 m 140 140 105 m 140 105 m 140 105 m
.100 21
90 m 170 170 90 m 170 90 m 170 90 m
.080 20 80 m
75 m 200 200 75 m 200 75 m 200
71 m
63 m 230 250 63 m 230 63 m 240 .063 19 63 m
63 m
53 m 270 270 53 m 270 53 m 300
.050 15 50 m
45 m 325 325 45 m 325 45 m 350 45 m
.040 17 40 m
38 m 400 400 38 m 400

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 150


Persamaan terakhir yang linear ini, yaitu antara log R dengan log x menghasilkan
kemiringan sebesar n. Nilai limit untuk n adalah nol dan tak berhingga. Nilai n yang
mendekati satu menunjukan bahwa seluruh butiran hamper seragam ukurannya. Sebaliknya
bila n mendekati nol maka distribusi ukuran akan lebar.
Pada gambar 5.48 dilukiskan kurva berbagai distribusi ukuran dari berbagai
percontoh batubara. Kurva ini sangat penting dalam mendisain suatu pabrik pencucian
batubara. MIsalnya, dengan menetukan bahwa batas ukuran (cut size) adalah 5 mm yaitu
ukuran di atas mana batubara harus dicuci dengan cara konsentrat gravitasi partikel kasar,
maka hamper 60% dari batubara yang digambarkan pada kurva C harus dicuci dengan
menggunakan jig, sedang sisanya sebesar 40% harus dicuci dengan peralatan yang mampu
menangani partikel haluis yaitu meja goyang (shaking table) ataupun sel-sel flotasi. Apabila
terhadap batubara ini dilakukan pengecilan ukuran maka perbandingan di atas juga akan
berubah.

Gambar 5.48 Kurva


Distribusi Ukuran

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 151


Gambar 5.49
Sieve Series

5.3.3. Analisis Endap-Apung (Sink-Float Analysis)

Didalam uji ini batubara pada fraksi ukuran tertentu dipisah-pisahkan berdasarkan
densitasnya. Prinsip pemisahannya adalah batubara berukuran + 0,5 mm (28 mesh)
dicelupkan kedalam larutan organik berat dengan densitas tertentu. Fraksi yang terapung
kemudian dipisahkan untuk selanjutnya dicelupkan kembali kedalam larutan berat yang
densitasnya lebih besar (+0,05) daripada yang pertama.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 152


Demikian seterusnya dimulai dari densitas yang paling rendah (biasanya 1,2) sampai
yang terbesar (biasanya 2,0).
Densitas medium pemisah ditentukan dengan hydrometer. Pada umumnya medium
larutan organik yang sering dipakai pada uji endap-apung adalah perchloroethylene, densitas
relatif 1,60 yang dapat diencerkan oleh petroleum spirit (densitas relatif 0,7), white spirit
(densitas relatif 0.77), naphta (densitas relatif 0,7). Ataupun toluene (densitas relatif 0,86)
dan untuk membuatnya lebih berat dapat ditambahkan bromoform (densitas relatif 2,9).
Tetrabromoethane (densitas relatif 2,96).
Selain liquid di atas, likuid lain yang juga sering dipakai adalah carbon tetrachloride,
acetylene tetrabromide, pentachloroetnane. Pemakaian likuid ini cukup berbahaya, sering
diperlukan ventilasi ruangan yang sangat baik. Untuk keperluan pekerjaan skala besar
larutan organik zinc chloride dapat dipakai pada densitas relatif 1,3 sampai 1,75 karena di
atas nilai ini viskositasnya menimbulkan masalah.
Untuk pengujian ketercucian (washbility), interval densitas relatif (untuk selanjutnya dr
= densitas relatif) yang umum dipakai adalah 0,05 untuk selang dari 1,25 sampai 1,7 atau
0,1 untuk dr yang lebih besar. Hasil pengujian yang diperoleh kemudian dianalisis sesuai
dengan tujuan pengujian. PAda umumnya dibuat suatu tabel fraksi individu (dalam persen
berat), kemudian dari setiap fraksi ini dilakukan analisis kadar abu agar kemudian dapat
ditentukan kadar abu total.

5.3.4. Perlengkapan Dan Prosedur Uji Endap-Apung

Kriteria utama yang dipakai untuk pemilihan alat agar dicapai hasil yang memuaskan
adalah:
a. Pengujian tidak dipengaruhi oleh media pemisah
b. Convenient dan aman untuk dipakai
c. Mudah pengiprasiannya
Untuk material berukuran + 0,5 mm, alat yang dipakai uji endap-apung terdiri dari
suatu keranjang (disebut keranjang percontoh) berbentuk segiempat yang terbuat dari kain
dan sebuah tangki (disebut tangki larutan) terbuat dari baja tahan karat berbentuk empat
persegi panjang yang dibagi atas beberapa segmen (Gambar 5.50). Di bagian bawah
tangki ini dibuat saluran sedemikian rupa untuk

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 153


mengalirkan gas/uap larutan pemisah, yang dihisap untuk kemudian dialirkan keluar ruangan
kedalam segmen-segmen ini dimasukan larutan pemisah yang dr-nya berbeda-beda,naik
secara teratur.

Gambar 5.50
Tangki Kelarutan dan Keranjang Contoh

Percontohan batubara dimasukan ke dalam keranjang percontohan kemudian


dicelupkan kedalam satu segmen (densitas larutan pemisah terkecil) ditangki larutan.
Fraksi yang terapung dikeluarkan sedikit demi sedikit sampai tidak ada lagi yang terapung.
Bagian yang terendam diangkat bersama-sama dengan tangki percontoh, dicuci dengan
pelarut khusus, lalu ditiriskan (diteteskan), agar menjadi kering. Setelah itu dicelupkan ke
segmen lain dengan densitas yang lebih besar.
Untuk fraksi material yang lebih kecil dari 0,5 mm, percobaan dilakukan dengan
memakai gelas beaker (Gambar 5.52). Perbedaannya adalah bahwa di sini fraksi yang
dikeluarkan adalah yang tenggelam. Pada umumnya berat percontoh untuk percobaan
pada fraksi ukuran halus berkisar 100 sampai 200 gram. Percobaan disini lebih sulit
dilakukan karena diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengendapkan batubara berukuran
-0,5 mm.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 154


Gambar 5.51
Pengujian Endap-Apung untuk Fraksi – 0,5 mm

5.3.5. Pembuatan Dan Kegunaan Kurva Washability

Batubara ROM (run of mine) terdiri dari barbagai macam material yang densitasnya
juga bervariasi dari yang terkecil sampai terbesar, dengan komposisi berbeda-beda.
Kurva ketercucian menunjukan hubungan antara abu dalam suatu fraksi ukuran dengan
jumlah material yang dapat terapungkan atau terendapkan pada suatu densitas relatif
tertentu. Untuk membuat kurva-kurva ketercucian diperlukan suatu tabel yang menunjukan
hubungan antara persen berat terapungkan dengan kadar abunya. Pada Tabel 5.3
dicontohkan data perhitungan uji endap-apung. Didalam Tabel 5.3 tersebut terdapat 12
kolom.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 155


Kolom 1 :
Kolom ini memberikan fraksi densitas relatif. Nilai-nilai limit maupun selangnya
ditentukan dari percobaan.

Kolom 2 :
Persen berat setiap fraksi densitas relatif. Kolom ini diperoleh dengan cara membagi
berat setiap fraksi densitas dengan jumlah berat seluruh fraksi densitas (bukan berat
percontoh). Perbedaan berat percontoh dengan jumlah berat seluruh fraksi densitas dapat
dipakai untuk memeriksa ketelitian uji ini.

Kolom 3 :
Kadar abu pada setiap fraksi densitas relatif. Kadar abu dianalisis dilaboratorium
dengan metode standar tertentu.

Kolom 4:
Kadar abu pada (dalam persen) di fraksi terapung pada densitas pemisahan tertentu
terhadap berat percontoh total. Kadar di kolom ini diperoleh dengan cara, misal untuk
fraksi densitas relative 1,30 – 1,40 :
(kolom 2 x Kolom 3) / 100 = 20,5 x 5,1 / 100 = 1,05 %
Penjumlahan nilai-nilai yang terdapat di kolom 4 ini akan menghasilkan kadar abu
percontoh (27,62 %). Nilai ini dapat dicek kembali dengan kadar abu yang diperoleh dengan
cara menganalisis langsung percontoh. Apabila perbedaannya terlalu besar berarti ada
kesalahan dalam menghitungnya.

Kolom 5 :
Kumulatif berat abu (dalam persen). Kolom ini diperoleh dengan cara menjumlahkan
nilai pada kolom 4 secara kumulatif. Nilai pada kolom ini menunjukan berat abu, sebagai
bagian dari total percontoh, yang akan diperoleh pada densitas pemisahan tertentu, sebagai
contoh berat abu (dinyatakan dalam persen) yang akan diperoleh pada fraksi terapung dr 1,40
adalah 1,60%.

Kolom 6 :
Kumulatif persen berat terapung. Kolom ini diperoleh dengan menjumlahkan angka-
angka pada kolom 2. Nilai pada kolom ini menunjukan persen berat yang

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 156


akan diperoleh pada densitas pemisahan tertentu, sebagai contoh apabila
pemisahan dilakukan pada dr 1,4 akan diperoleh fraksi terapung sebanyak 59,61 %.

Kolom 7 :
Persen kadar abu dari kumulatif fraksi yang terapung, yaitu persen kadar abu yang
akan diperoleh pada fraksi terapunglan pada densitas pemisahan tertentu.Misal pada dr 1,40
:
(Kolom 5 / kolom 6) x 100 = (1,60 / 59,61) x 100 = 2,7 %

Kolom 8 :
Berat abu (dalam persen berat) didalam fraksi terendapkan pada densitas pemisahan
tertentu. Nilai di kolom ini diperoleh dengan cara, misal pada dr 1,4 :
(Jumlah Kolom 4) – Kolom 5 = 27,62 – 1,60 = 26,02 %

Kolom 9 :
Kumulatif persen berat terendapkan, yaitu nilai kumulatif persen berat dari fraksi-fraksi
yang terendapkan pada setiap densitas pemisahan. Pada densitas pemisahan 1,40 akan
diperoleh 59,61% terapung (Kolom 6) maka kumulatif yang terendapkan :
100 – Kolom 6 = 100 – 59,61% = 40,39 %

Kolom 10 :
Persen kadar abu dari kumulatif fraksi yang terendapkan, yaitu persen kadar abu
yang akan diperoleh pada fraksi tenggelam pada densitas pemisahan tertentu. Misal pada dr
1,40 :
(Kolom 8 / Kolom 9) x 100 = (62,02/40,39) x 100 = 64,4 %

Kolom 11:

Densitas relatif

Kolom 12 :
Persen berat percontoh yang densitas relatifnya terletak antara +0,10 dan -0,10 dari
densitas pemisahan. Pada densitas pemisahan 1,40, maka:
Kolom 6 (dr = 1,50) – Kolom 6 (dr = 1,30) = 64,27 – 39,11 = 25,16 %

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 157


Diktat Kuliah Batubara (MKB-530)

Tabel 5.3
Contoh Data Ketercucian

Relative Cumulative Cumulative ±0.1 r.d


density Direct % Wt Cum Floats Sink sinks distribution Z = x + y/2

(r.d) Wt % Ash Wt % Ash % Wt % Ash % r.d Wt %


Of ash Wt. of Wt. of
fraction %
1 2 3 Of total
4 Ash5 % 6 7 Ash8 % 9 10 11 12
100 27.62
1.30 39.11 1.4 0.55 0.55 39.11 1.41 27.07 60.89 44.5 1.30 59.61 19.55
1.30 – 1.40 20.50 5.1 1.05 1.60 59.61 2.68 26.02 40.39 64.4 1.40 25.16 49.36
1.50 – 1.60 4.66 13.8 0.64 2.24 64.27 3.48 25.38 35.73 71.0 1.50 7.05 61.94
1.50 – 1.60 2.39 23.1 0.55 2.79 66.66 4.19 24.83 33.34 74.5 1.60 3.76 65.47
1.60 – 1.80 2.73 37.5 1.02 3.81 69.39 5.49 23.81 30.61 77.8 1.70 2.73 68.03
1.80 – 2.00 1.82 50.7 0.92 4.73 71.21 6.64 22.89 28.79 79.5 1.80 2.27 70.30
- 2.00 28.79 79.5 22.89 27.62 100.00 27.62 - - - 1.90 1.82 85.61

Total I00.00 27.62


Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 158
Secara umum, untuk dapat menggambarkan karakteristik suatu batubara yang
dikaitkan dengan sifat-sifat ketercuciannya maka dapat dialurkan lima jenis kurva, yaitu:
(1). Kurva primer (primary curve) atau kurva elementary (elementary curve) atau kurva
abu instantaneous (instantaneous ash curve). Kurva ini diperoleh dengan cara
mengalurkan. Kolom 6 (kumulatif terapung) yang ditambahkan dengan setengah persen
berat fraksi densitas di atasnya pada sumbu tegak di sebelah kiri dan kolom 3 (kadar
abu ) sebagai sumbu mendatar. Sumbu Z = X + Y/2 di sini ; X adalah kumulatf persen
terapung dan Y adalah persen berat fraksi diatas X.
Kurva abu instantaneous ini bertujuan untuk menggambarkan kecepatan perubahan
kadar abu pada berbagai densitas relatif. Tujuan adalah untuk mengetahui kadar abu
terbesar di dalam partikel batubara (dirtiest particle).
(2). Kurva kumulatif terapung (cumulative floats curve), mengalurkan kolom 6 (kumulatif
terapung) pada sumbu tegak di sebelah kiri dan kolom 7 (kadar abu) pada sumbu
mendatar (kurva B).
(3). Kurva kumulatif tenggelam (cumulative sinks curve), mengalurkan kolom 9 (kumulatif
tenggelam) pada sumbu tegak di sebelah kanan dan kolom 10 (kadar abu) pada sumbu
mendatar (kurva C).
(4). Kurva densitas relatif – yield, mengalurkan kolom 6 pada sumbu tegak sebelah kiri dan
densitas relative (kolom 1) pada sumbu mendatar (batas atas dari selang dr). Perhatikan
kurva D.
(5). Kurva distribusi plus atau minus 0,1 densitas relatif, mengalurkan kolom 12 pada sumbu
tegak sebelah kiri dan kolom 11 (densitas relatif) di sumbu mendatar. Perhatikan
kurva E.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 159


Gambar 5.52
Kurva Ketercucian (Washability Curves)

5.3.6. Interpretasi dan Pemakaian Kurva-kurva Ketercucian

Dengan mengasumsikan bahwa pemisahan dapat berlangsung dengan sempurna,


artinya semua material berdensitas lebih besar dari densitas pemisahan akan terendapkan
dan material yang lebih kecil dari densitas pemisahan akan terapung, kurva kumulatif
terapung (kurva b) akan menunjukan persentasi teoritis batubara bersih yang akan
diperoleh (perolehan = yield) pada berbagai kadar abu, sedang kurva kumulatif tenggelam
(kurva c) akan menunjukan kadar abu di dalam fraksi reject (terendapkan) berikut dengan
fraksi baratnya. Sebagai contoh (Gambar 5.52).
Diinginkan kadar abu di dalam batubara bersih = 6%; berdasarkan kurva b maka
perolehan teoritis batubara bersih adalah 70% yang berarti 30% akan menjadi reject dengan
kadar abu 80%. Berdasarkan kurva d (kurva densitas relatif – yield) maka pemisahan akan
sangat baik bila dilakukan pada densitas 1,88.
Kurva elementary (kurva primer, kurva abu instantaneous) selain menggambarkan
kondisi batubara awala pada berbagai limit kadar abu juga menggambarkan perbandingan
dari impurities bebas dengan middling. Mudah

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 160


tidaknya pencucian batubara awal untuk mendapatkan perolehan teoritis dan kadar abunya
sangat tergantung pada jumlah middling yang ada, yang akhirnya menentukan bentuk
karakteristik kurva. Pada kurva elementary ini dapat ditunjukan kadar abu yang terbesar
untuk batubara bersih (dirtiest clean-coal particle) yang saling berhimpit dengan kadar abu
terkecil untuk reject (cleanest reject particle). Sebagai contoh pada gambar 5.53 kadar abu
terbesar di dalam batubara bersih adalah 50 %.
Metode untuk mengalurkan kurva elementary sering dirasakan tidak tepat terutama di
daerah di mana arah kurvanya berubah dengan cepat. Di daerah ini diperlukan beberapa
titik ekstra yang dapat diperoleh dari perhitungan kurva kumulatif terapung yang
digambarkan pada skala yang lebih besar agar mudah membacanaya.
Kurva distribusi densitas relatif plus atau minus 0,1 menunjukan secara langsung
berat material yang densitasnya terletak di anatara plus/minus 0,1 densitas pemisahan.
Besar kecilnya material ini (disebut near density material) menggambarkan sulit tidaknya
pemisahan dilakukan. Makin kecil near density material berarti pencucian dapat dilakukan
dengan mudah.
Pada Tabel 5.53, ditunjukan skala yang menunjukan tingkat kesulitan relative pada
pencucian batubara dengan jig pada berbagai banyaknya near gravity material.
Tabel 5.4
Skala Tingkatan Kesulitan

Berat yang berada diantara dr + Masalah


0,1 Pemisahan

0–7 Mudah
7 – 10 Agak sulit
10 – 15 Sulit
15 – 20 Sangat sulit
20 – 25 Luar biasa sulit
di atas 25 ?

Apabila digunakan jig sebagai alat pencuci maka near density material harus
serendah mungkin. Andaikan untuk suatu batubara bersih telah ditentukan kadar abunya
dan dipilih jig sebagai alat pencuci. Agar diperoleh near density material

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 161


serendah mungkin maka pencucian yang efisien harus dilakukan pada densitas yang agak
tinggi (biasanya near density material akan rendah pada densitas yang relative tinggi),
akibatnya kadar abu pada batubara bersih akan menjadi tinggi juga. Lain halnya apabila
dipilih pencucian dengan dense-medium, pemisahan ideal umumnya dapat dicapai dan near
density material yang diperoleh juga cukup rendah. Pada kondisi ini, kurva distribusi
densitas relatif plus atau minus 0.02 dapat dipakai sebagai pembanding kesulitan pencucian
yang dihadapi.
Pada Gambar 5.53 apabila densitas pemisahan dipilih pada S = 1,88 maka
persentasi batubara yang densitasnya terletak di antara 1,98 (S+0,1) dan 1,78 (S- 0,1)
dapat dibaca secara langsung pada absis yaitu 1,8%. Nilai ini cukup rendah sehingga
pencuciannya dapat memakai JIG (baum feldspar jig).
Kurva-kurva pada Gambar 5.54 menggambarkan jumlah middling yang tidak terlalu
banyak (moderate). Kadar abu pada fraksi yang lebih ringan, ternyata lebih rendah dari
pada ratanya, sehingga dua produk pemisahan dapat diperoleh secara langsung untuk
memperoleh batubara bersih dengan kadar abu 6-7%.
Kurva ketercucian yang menggambarkan bahwa pencucian mudah dilakukan
dilkuskan pada Gambar 5.53. Kurva elementary di sini dengan mengecilnya densitas
relative (sumbu x) berubah dengan lebih tajam (hamper tegak lurus) dan daerah
mendatarnya cukup panjang, selain itu kurva distribusi dr + 0, 1 menunjukan bahwa
pemisahan yang sangat efisien dapat dilakukan pada densitas berapa saja di atas 1,5.
Pada Gambar 5.54 dilukiskan kurva-kurva ketercucian batubara yang pencuciannya
sulit dilakukan. Kurva-kurva disini sangat berbeda dengan yang dilukiskan pada Gambar
5.53 Kemiringan berubah secara teratur dengan berubahnya densitas relatif, yang
menggambarkan adanya jumlah middling yang cukup besar. Kenyataan ini makin jelas pada
kurva distribusi dr + 0,1 di mana angka yang ditunjukan cukup tinggi. Sebagai gambaran
apabila diinginkan kadar abu di dalam batubara bersih adalah 8% maka:
Yieid teoritisnya adalah 60% (Reject 40%). Kadar abu partikel terkotor di batubara
bersih dan partikel terbersih di reject adalah 16,8%. Kadar abu di dalam reject adalah
50%. Densitas relative pemisahan 1,41 dengan near density material 51%.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 162


Rendahnya kadar abu di dalam reject menunjukan kehilangan batubara sehingga
usaha untuk mengambil kembali fraksi middling (yang terbawa bersama- sama reject) perlu
dilakuakan.
Kadar abu minimum di dalam reject yang diizinkan adalah 65%. Dari kurva
kumulatif tenggelam (kurva c), berat reject teoritis adalah 22%. Yield dari produk
middling intermediate adalah 18% (40-22); densitas relatif pemisahan yang kedua adalah
1,79 dan jumlah material near density adalah 6,8%.
Kadar abu didalam partikel middling akan berkisar antara 16,8% sampai 49%, tetapi
kandungan abu di dalam produk ini tidak dapat diperoleh dari kurva secara langsung
melainkan harus dihitung dengan berdasarkan neraca (keseimbangan) abu.
Andaikan kadar abu didalam middling adalah A%, maka berat abu (yang dinyatakan
dalam persentasi terhadap batubara koror total) di dalam batubara bersih adalah (60 x
8/100)% = 48%, di dalam middling adalah (18 x A/100)% = 0,18A % dan didalam reject
adalah (22 x 65/100)% = 14,30%.
Kandungan abu di dalam batubara kotor yang diperoleh dari kurva kumulatif
terapung (pada 100% terapung) adalah 25% sehingga dengan memperhatikan berat abu yang
konstan yaitu berat abu di dalam batubara kotor harus sama besar dengan berat abu di alam
produk-produk pencucian, maka:
4,80 + 0,18A + 14,30 = 25,0 sehingga A = 32,8

Dengan demikian kadar abu di dalam middling adalah 32,8% yang artinya middling ini
perlu diolah kembali, baik dengan cara diperkecil ukurannya ataupun dipakai untuk
keperluan lain yang masih dapat menerima kadar abu yang tinggi.
Adanya sejumlah besar material near density mengakibatkan pemakaian Baum jig
menjadi tidak mungkin demikian juga halnya dengan dense-medium process. Pada
kemungkinan yang kedua, dimana jumlah material near densitynya cukup rendah. Baum jig
dapat dipakai, tetapi hasil pencuciannya akan cukup berbeda dengan yang dihitung secara
teoritis. Dengan demikian terhadap batubara ini akan lebih sesuai bila dipakai pemisahan
dense-medium yang akan menghasikan tiga produk yaitu batubara bersih, middling, dan
reject. Terhadap middling dapat dilakukan crushing untuk kemudian diproses kembali atau
dipakai apa adanya (batubara dengan kadar abu tinggi).

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 163


Gambar 5.53
Kurva Ketercucian Batubara yang Pencuciannya Mudah Dilakukan

Gambar 5.54
Kurva Ketercucian Batubara yang Pencuciannya Sulit Dilakukan

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 164


5.3.7. Kurva Partisi (Partition Curves)

Didalam pencucian batubara, kurva partisi adalah suatu metoda untuk menganalisis
efesiansi pemisahan suatu alat yang tidak berhubungan dengan data ketercuciannya. Tetapi
metode dengan kurva partisi ini hanya berlaku untuk pencucian yang menggunakan
metoda perbedaan densitas relatif, sehingga pencucian yang memakai proses flotasi tidak
dianalisis dengan cara ini. (Dengan cara yang sama, cara ini dapat pula dipakai pada
classifier tetapi tidak dibahas pada kursus ini).
Didalam materi ini akan dibahas penggunaan dan pembuatan kurva partisi. Metode ini
pertama kali diusulkan oleh TROMP yang kemudian disebut kurva Tromp, nama lain yang
sering dipakai adalah kurva distribusi (Distribution Curve), kurva kesalahan (error curve),
kurva perolehan kadar (grade recovery curve).
Di dalam setiap proses pencucian akan selalu terjadi salah penempatan
(misplacement), yang terutama disebabkan oleh adanya material near density. Dengan
demikian kesalahan pencucian akan makin besar dengan makin besarnya jumlah material
near density.
Untuk membuat kurva Tromp diperlukan perhitungan koefisien partisi (atau faktor
distribusi). Untuk memudahkan pembuatan kurva ini, pada Tabel 5.5, dicantumkan data
ketercucian dua produk pencucian, yaitu batubara bersih dan reject.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 165


Tabel 5.5
Data Ketercucian Dua Produk Pencucian

Relative % Weight % of feed Calculated Mean Partition


Density feed r.d. coefficient

Clean reject Clean Reject


coal coal

1 2 3 4 5 6 7
-1,30 55.52 0.27 39.03 0.08 39.11 - 0.2
1.30-1.40 28.99 0.40 20.38 0.12 20.50 1.35 0.6
1.40-1.50 6.34 0.67 4.46 0.20 4.66 1.45 4.3
1.50-1.60 2.99 0.98 2.10 0.29 2.39 1.55 12.1
1.60-1.70 1.34 155 0.94 0.46 1.40 1.65 32.9
1.70-1.80 0.67 2.89 0.47 0.86 1.33 1.75 64.7
1.80-1.90 0.20 2.56 0.14 0.76 0.90 1.85 84.4
1.90-2.00 0.15 2.73 0.11 0.81 0.92 1.95 88.0
2.00- 3.80 87.95 2.67 26.12 28.79 - 90.7
100.00 10000 70.30 29.70 100.00

Kolom 1 : Fraksi densitas relative. Angka-angka di sini diperoleh dari uji


enadap- apung.
Kolom 2 : Persen berat fraksi batubara bersih.
Kolom 3 : Persen berat fraksi reject.
Kolom 4 : Persentasi dari umpan terhadap batubara bersih (kolom 2 x %
perolehan batubara bersih)/ 100
Kolom 5 : Persentasi dari umpan terhadap reject (kolom 3 x % perolehan
reject)/100
Pada fraksi dr 1,60-1,70 : (1,55 x 29,70)/100 = 0,46%
Kolom 6 : Hitungan (calculated) persen berat dari fraksi densitas relative di dalam
umpan awal.
Persen berat pada fraksi densitas 1,60-1,/0 didalam umpan awal adalah :
kolom 4 + kolom 5 = 0,94 + 0,46 = 1,40%

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 166


Kolom 7 : Densitas relative rataan untuk setiap fraksi densitas.
Untuk fraksi densitas 1,60-1,70 nilai rataanya adalah 1,65
Kolom 8 : Koefisien partisi (=faktor partisi atau faktor distribusi)
Nilai disini adalah persen dari setiap fraksi densitas yang dilaporkan terhadap
reject.
Koefisien partisi untuk densitas rataan 1,65 adalah: (kolom 5 /
kolom 6) x 100 = (0,46 / 1,40 x 100 = 32,9%

Perhatikan kurva partisi pada Gambar 5.55 Didalam gambar ini kurva partisi dibuat
dengan cara mengalurkan nilai densitas rataan (kolom 7) pada sumbu absis (sumbu x)
terhadap koefisien partisi (kolom 8) pada sumbu ordinat (sumbu y), Kurva partisi dapat pula
dibuat dengan cara dibalik yaitu memutar pada angka 50% sehingga nilai yang terkecil akan
terletak di bawah. Apabila kurva partisi dibuat dengan mengatur agar jarak (skala) pada
sumbu x sedemikian sehingga 1 cm adalah sama dengan 0.1 densitas relatif dan pada
sumbu y sedemikian rupa sehingga jarak 1 cm adalah sama dengan nilai 2% maka luas
daerah di bawah
kurva dalam satuan cm2 dikenal dengan nama daerah kesalahan (=error area).

Densitas partisi, dp, adalah densitas relatif pada mana koefisien partisinya 50%. Pada
densitasnya relative ini pemisahan terjadi dengan baik yaitu 50% akan tertangkap sebagai
batubara bersih dan 50% sisanya sebagai reject.

Nilai probable erroe, epm, ditentukan dari :

E p m = (d75 – d25) / 2

Dan pada Gambar 5.54 nilainya adalah o.105. nilai ini dikenal dengan sebutan ecart
probable moyen (epm), dan nilainya memberikan indikasi kuantitas kesalahan yang terjadi
pada densitas pemisahan tertentu.

Nilai imperfeksi (= imperfection), 1, untuk proses basah ditentukan dari :

epm
I
(d. p 1)

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 167


Pada Gambar 5.54 nilainya adalah 0,105/(1,7-1) = 0.150. Nilai imperfeksi untuk proses
kering tidak didefinisikan oleh ISO tetapi logika nilainya haruslah epm/(dp).

Gambar 5.55

Kurva Partisi Ideal dan Tak Ideal

Kurva partisi tidak bebas dari karakteristik batubara kotor. (Ekor) kurva baik yang
terletak di atas maupun yang terletak di bawah berubah (bervariasi) tidak hanya dengan
macam/jenis separator yang dipakai, tetapi juga dengan jenis batubaranya. Jelas sekali
bahwa friability batubara sangat mempengaruhi bentuk ekor.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 168


Gambar 5.56
Kurva Partisi

Pada umumnya bagian tengah kurva hampir mendekati garis lurus karena berkaitan
dengan zona frekuensi tinggi untuk kurva Gaussian normal. Pada umumnya kurva tengah
terletak di antara nilai d25 dan d75, konsekuensinya nilai epm untuk kurva kumulatif yang
mengikuti distribusi normal, akan tidak tergantung (independent) pada karakteristik
batubara kotor, sedangkan daerah kesalahan yang berhubungan dengan bentuk ekor kurva
akan dipengaruhi oleh keadaan alamiah batubara kotor. Daerah kesalahan bebas dari
kerugian bahwa pemisahan pada densitas yang tinggi akan menghasilkan koefisien partisi
yang rendah sehingga diperlukan selang densitas yang cukup lebar. Untuk suatu ukuran
tertentu, nilai

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 169


probable error. Akan naik dengan naiknya nilai densitas partisi (dp) dan akan juga naik
dengan berkurangnya ukuran batubara kotor. Untuk proses basah kenaikan ini sebanding
dengan (dp – 1), akibatnya istilah imperfeksi (imperfection) merupakan suatu ukuran
efisiensi pemisahan dan nilainya tidak tergantung pada densitas partisi.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 170


BAB VI
PEMANFAATAN BATUBARA

6.1. PEMANFAATAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR

Batubara dapat dibakar dengan tiga cara: di unggun tetap (fixed bed), di unggun
terfluidakan (fluidized bed) dan pulverized atau di entrained bed. Ketiga sistem pembakaran
batubara tersebut dibedakan atas dasar kinematika partikel.
Dalam fixed bed, partikel dan gas bergerak secara counter flow. Keadaan partikel bisa
diperkirakan dengan baik sehingga memudahkan dalam pemodelan. Dalam fluidized bed,
partikel teraduk dengan baik dan kelakuan partikel lebih sulit ditentukan/diperkirakan.
Dalam entrained bed, partikel bergerak dengan cepat bersama-sama dengan gas, partikel-
partikel dan gas yang mengelilinginya cenderung bergerak bersama-sama.

6.1.1. Pembakaran Dalam Unggun Tetap (Fixed Bed Combustion)

Dalam semua stokers, bilamana batubara dipanaskan, akan mengeluarkan air dan
volatile matter-nya. Residu padat, air dan volatile matter yang lepas, dan udara pembakaran
bereaksi dengan cara-cara yang berbeda. Tergantung pada konfigurasi aliran. Ada tiga pola
dasar cara pengumpanan batubara dan udara yang telah dikembangkan. Tiga pola tersebut
adalah Overfeed (Spreader), Underfeed, Crossfeed (Vibrating).

6.1.2. Pulverized Coal Combustion

Pada pembakaran pulverized coal partikel-partikel batubara harus cukup halus agar
bisa dimasukan oleh udara pembakaran. Ukuran batubara untuk pembakaran bahan bakar
pulverized adalah -200 mesh (-74 um) dengan jumlah partikel batubara berukuran -200 mesh
semakin banyak dari 65-70% untuk lignit dan sub-bituminous yang mudah terbakar sampai
80-85% untuk batubara bituminous. Untuk menjaga

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 171


nyala api yang stabil dan mencegah berbaliknya ke bitner. Batubara harus diinjeksi kedalam
tanah pada kecepatan yang paling tinggi sekitar 15 m/detik.

6.1.3. Slurry Firing

Pembakaran dalam bentuk slurry bertujuan agar bahan bakar lebih mudah
ditransportasikan, disimpan an digunakan dibandingkan dalam bentuk padat. Bahan bakar
dalam bentuk slurry ini diantaranya coal-water mixtures (CWM), Coal Water Fuel (CWF)
dan coal-oil mixtures (COM).

A. Coal-Water Mixtures (CWM)

CWM merupakan campuran antara batubara berukuran halus dan air dengan
perbandingan tertentu, serta dengan penambahan aditif tertentu untuk menjaga kestabilan
fluida agar batubara tidak cepat mengenadap. Tujuan utama CWM adalah agar dapat
ditransportasikan biaya transportasi batubara dalam keadaan padat. Yang perlu diperhatikan
dalam CWM ini adalah dalam masalah penyimpanan yang membutuhkan tempat khusus,
kestabilan fluida dalam waktu tertentu, masalah dewatering baik secara termal maupun
mekanik dan masalah kebersihan dalam pembakaran.

B. Coal-Oil Mixtures (COM)

Pada saat krisis minyak terjadi, para ahli berusaha menemukan bahan bakar yang
dapat menggantikan Bunker C. Oil atau Fuel No.6. Penemuan tidak hanya didasarkan
pada kemampuan teknologi saja namun harus dibuktikan secara ekonomis bahwa bahan
bakar pengganti ini memang ekonomis lebih murah dari Bunker C. Oil. Salah satu
penemuan ini adalah Coal Oil Mixture (COM). Beberapa proses dilakukan sebagai berikut:

1. Proses Ultrasonic

Proses ini dikembangkan oleh Coal Liquid International of USA dengan prinsip dasar
sebagai berikut: Batubara digerus dalam pulverizer sampai ukuran 2000

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 172


mesh. Dengan komposisi batubara gerus 50 %, Bunker C Oil 40 % dan air tawar 10
%, dimasukan dalam mixing tank dan diaduk. Dipergunakan air karena air mempunyai
kemampuan pembakaran (combustion capability). Adukan COM ini belum stabil, oleh
sebab itu dialirkan melalui ultrasonic device yang dikembangkan. Ultrasonic berfungsi
untuk melepas molekul air dari batubara kemudian diselimuti oleh Bunker C. Oil. Di
alam alat ultrasonic, butiran-butiran sangat kecil, sehingga tidak terjadi agresi pada
butiran-butiran itu. Setelah melalui proses ultrasonic, COM yang dihasilkan menjadi stabil
dan dapat disimpan dalam tangki penyimpanan yang dilengkapi dengan pemanas stabilisasi
yang dilakukan oleh alat ultrasonic ini biayanya sangat minimum, kurang dari satu sen
dollar per million Btu.
Ini dapat memecahkan masalah bahan bakar yang menunjukan stabilitas statis dan
stabilitas dinamis. Stabilitas statis adalah kemampuan campuran itu (COM) untuk tetap
homogen, baik ketika ditrabport ataupun ketika dalam penyimpanan sampai diperlukan.
Stabilitas dinamis adalah ketentian retensi bahan bakar (COM) ketika mengalir melalui
pipa pembakaran.

2. Proses Umum

Pada proses ini batubara yang sudah digerus, Bunker C. Oil. Air dan additive (zat
penambah) diaduk secara mekanis di dalam tangki campur (mixing tank) dengan cara
agitasi. Adukan yang selesai dan sudah stabil dialirkan ke tanki penyimpan.
Aditif ini berupa cairan (surface active agent = SAA). Molekul surface active agent
ini pada satu sisi bersifat hydrophilic, affinitas terhadap air, baik, sedangkan sisi satunya
bersifat hydrophotic. Sifat SAA ini seperti sabun, disatu pihak molekul sabun dapat
membersihkan minyak dari permukaan, tetapi juga dapat berbusa dengan air, kedua sifat ini
bekerja bersamaan. Sabun memang mempunyai sifat hydrophilic dan hydrophotic. Molekul
SAA beroperasi pada interface antara molekul minyak dan air, antara minyak dan
batubara. Tanpa SAA interfacenya tidak akan stabil, setelah dengan SAA interfacenya
menjadi stabil.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 173


3. Proses Penggilingan Basah

Dalam proses ini batubara tidak perlu digerus, melainkan raw coal, bersama- sama
Bunker C oil, air dan ditambah additive active agent (SAA) digiling dalam ballmill. COM
yang sudah stabil dialirkan ke tanki penyimpan.
Perbedaan pokok antara COM boiler dan B/C oil boiler adalah :
- Fuel feeding equipmentnya berbeda
- Struktur pembakaran (burner) juga berbeda
Boiler harus ditambah peralatan kantong filter untuk menampung abu yang harus
dihasilkan oleh batubara di dalam COM. Pada percobaan dengan COM ini masuh
didapatkan masalah-masalah antara lain:
- Abu yang terbentuk hasil pembakaran COM
- Nozzle burnernya cepat aus, lubangnya cepat besar.
Di ujung-ujung lubang selalu terdapat kerak yang berwarna hitam. Juga di dalam pipa
burner selalu mengendap zat yang berwarna putih, diduga SiO2, Nozzle burner ini ada tujuh
dan harus dibersihkan setiap hari sekali.
COM tidak menyebabkan polusi, abu hasil pembakaran di boiler ditampung di bawah
boiler, sedangkan fly ashnya ditutup dengan flute gas ke kantong filter. COM Demonstration
Plant yang Incon Korea lebih menyukai bituminous coal yang tinggi nilai kalornya, rendah
kadar abunya < 4 % dan volatile matter (VM) masih dapat ditolerir sampai 45 %. Bila
VM nya tinggi, maka ketika terjadi penggerusan batubara, dialirkan udara yang bebas O2
dalam air heater.
Nilai ekonomis penggunaan COM tergantung pada harga minyak. Katika harga
minyak US $ 25 / barel harga COM ini 15 % di bawah harga bunker C oil. Saat harga
minyak antara US $ 10-US $ 15 barrel program pengembangan COM agak terganggu,
namun berjalan terus.

C. Coal Water Fuel (CWF)

Seperti diketahui minyak tanah, solar dan bensin dapat diperoleh dengan proses
konversi pencairan batubara. Bahan bakar gas dapat diperoleh dengan proses gasifikasi
batubara. Salah satu proses yang sederhana adalah modifikasi

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 174


batubara menjadi suatu campuran batubara yang bersifat cair yaitu Coal Water Fuel dapat
menggantikan minyak bakar yang merupakan salah satu produk minyak bumi.

1. Bahan baku CWF

Sebagai bahan baku dipergunakan batubara yang mempunyai nilai kalor tinggi (kurang
lebih 7.000 kcal/kg) sebagai kompensasi pemakaian air sehingga nilai kalor CWF yang
diperoleh cukup tinggi pula. Bahan baku batubara jenis bitumen dengan nilai kalor tinggi
dan kandungan air bawaan (inherent moisture) yang rendah disarankan sehingga kendala
rendahnya nilai kalor CWF yang diperoleh dapat diatasi. Sebetulnya dapat pula
dipergunakan subbitumen ataupun lignit, tetapi kedua jenis tersebut mempunyai kandungan
air bawaan yang tinggi sehingga CWF yang dihasilkan akan mempunyai nilai kalor yang
rendah. Untuk mengatasi hal tersebut harus dilakukan pengeringan pada suhu dan tekanan
tinggi.
Persyaratan bahan baku CWF adalah:
- Kadar abu yang rendah
- Kandungan zat terbang lebih besar dari 20 %
- Angka HGI harus tinggi
- Titik leleh abu harus tinggi
- Fouling dan slagging indeks yang rendah
- Kandungan belerang kurang dari 1 %.
Di samping tidak mencemari udara, kadar abu harus rendah untuk mengurangi ongkos
modifikasi tungku pada pembuangan abu dasar (bottom ash). Kandungan zat terbang >
20 % untuk mempermudah penyalaan. Di dalam pembuatan CWF mempergunakan
batubara halus (-75 mikron) maka diperlukan penggilingan. Oleh sebab itu angka HGI
harus tinggi untuk mengurangi ongkos giling. Titik leleh abu harus tinggi untuk
menghindari pengendapan abu yang mudah meleleh pada bagian dalam tungku (boiler).
Terjadinya fouling dan slagging dapat menghentikan operasi, oleh sebab itu fouling dan
slagging perlu dibersihkan untuk mengembalikan alih panas yang tinggi. Indeks fouling
dan slagging dipenngaruhi oleh kandungan alkali dan belerang dalam abu. Disamping itu
kandungan belerang harus rendah untuk mencegah pencemaran lingkungan dan korosi
bagian dalam boiler.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 175


2. Aditif

Aditif adalah bahan yang ditambahkan ke dalam campuran CWF dan berfungsi untuk
menambah kestabilannya, artinya butiran batubaranya tidak mengendap dalam waktu yang
lama (2 bulan atau lebih). Adapun aditif yang berfungsi untuk mendispersikan butiran
batubara tersebut. Penambahan aditif berkisar antara 0,1 sampai 1,5 % tergantung macam
aditifnya. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa aditif yang baik berupa surfactant ionic
(anionic atau kationik) dan surfactant non- ionik. Adapun adiktif lain yang fungsinya
untuk membuat campuran yang bersifat emusi dan stabil. Karena jenis surfactant ini
banyak variasinya, maka diperlukan penelitian khusus yang cocok untuk batubara yang
sedang dipakai untuk bahan baku CWF. Persyaratan aditif yang baik ialah harus efektif, ikut
terbakar dalam proses pembakaran yang murah.

3. Pembuatan CWF

Teknologi pembuatan CWF termasuk sederhana terutama apabila memakai bahan baku
batubara yang mempunyai nilai kalor tinggi (kurang lebih 7.000 kcal/kg). Batubara yang
mempunyai kadar abu rendah (< 10 %) digerus menjadi – 10 mm, dan kemudian digiling
dengan ball mill. Penggilingan dilakukan dalam konsentrat padatan tinggi (kurang lebih 70
% batubara). Hasil gilingan dilakukan pada suatu pemisah ukuran (size classifier) pada
ukuran pemisah 75 mikron. Ukuran lebih besar 75 mikron diteruskan kealat pengurangan
air (dewatering) apabila diperlukan. Ukuran partikel terbesar batubara tidak terpaku pada
75 mikron saja, dapat juga lebih besar atau halus tergantung dari jenis batubaranya.
Besarnya konsentrasi campuran pada pengadukan (mixing) ditentukan pada waktu optimasi
skala laboratorium sebelumnya. Untuk batubara dengan mutu tinggi, proses pembutan CWF
dapat lebih sederhana. Setelah penggilingan dapat langsung dilakukan pengadukan di
mana pada tahap ini adiktif ditambahkan. Pada batubara tingkatan rendah dengan
kandungan air bawaan tinggi perlu dilakukan pengeringan lebih dahulu pada suhu tinggi.
Pengadukan berlangsung hanya dalam waktu beberapa menit dengan putaran tinggi (>
6000) dan menghasilkan kestabilan yang tinggi (> 2 bulan).

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 176


6.2. PEMANFAATAN BATUBARA DALAM INDUSTRI SEMEN

Energi merupakan kebutuhan utama dalam industri. Dalam industri semen, energi panas
merupakan kebutuhan yang paling utama, yaitu untuk operasi pembakaran dalam tanur
putar.

6.2.1. Uraian Teknis Tentang Jenis Bahan Bakar

Operasi pembakaran pada tanur putar merupakan langkah yang paling kritis dalam
setiap industri semen, baik ditinjau secara teknis maupun secara ekonomis. Operasi
pembakaran di tanur putar menentukan operasi pada unit-unit yang lain, serta
memerlukan pemakaian energi panas yang nilainya dapat mencapai 30 % dari biaya operasi
keseluruhan. Produktifitas dari industri semen umumnya ditentukan oleh produktifitas unit
tanur putarnya. Sedangkan produktifitas tanur putar umumnya ditentukan pada run
factornya, yang umumnya ditentukan oleh ketahanan lapisan batu tahan apinya.
Aspek utama, yang paling berpengaruh terhadap ketahanan lapisan batu tahan api dan
efisiensi operasi pembakaran dalam tanur putar, adalah dalam jenis bahan bakar yang
dipakai. Untuk kedua tujuan tersebut diperlukan operasi pembakaran yang dapat
menghasilkan nyala yang stabil dan suhu yang setinggi mungkin.
Pemakaian bahan bakar dengan jenis batubara tertentu dalam operasi pembakaran dalam
tanur putar dapat menghasilkan produktivitas yang berbeda apabila dibandingkan dengan
pemakaian bahan bakar jenis lain. Misalnya operasi pembakaran dengan bahan bakar
batubara akan memerlukan konsumsi panas persatuan produk yang lebih besar,
dibandingkan pemakaian bahan bakar minyak atau bahan bakar gas. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan pola operasi pembakaran dari ketiga jenis bahan bakar tersebut yaitu
bahan bakar gas, cair dan padat. Operasi pembakaran batubara akan memerlukan pemakaian
udara dingin yang jauh lebih besar, sedangkan sebaliknya operasi pembakaran memakai
bahan bakar minyak (BBM) atau gas alam, akan memakai udara pada suhu tinggi yang
lebih besar.
Di samping itu, operasi pembakaran batubara juga akan menghasilkan suhu nyala
yang lebih rendah serta stabilitas yang kurang baik dibandingkan BBM atau

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 177


gas alam, kedua hal ini akan memperpendek unsure dari lapisan bata tahan api. Keadaan
inilah yang menyebabkan operasi pembakaran dengan memakai batubara akan kurang
produktif dibandingkan dengan operasi pembakaran dengan Bahan Bakar Minyak atau gas
alam, ketidak produktifan dari segi teknis antara lain karena:
- Konsumsi panas per satuan produk.
- Umur lapisan batu tahan api, atau dengan kata lain produktifitas tanur putar yang
berarti produktifitas pabrik semen keseluruhan.
Secara ekonomis dapat dinyatakan bahwa operasi dengan memakai batubara akan
kurang ekonomis dibandingkan dengan memakai BBM atau gas alam, antara lain:
- Naiknya biaya operasi pembakaran
- Naiknya biaya operasi batu tahan api
- Naiknya biaya produksi semen akibat penurunan produksi semen.
Mengingat jenis dan kualitas batubara di Indonesia sangat beragam, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa produktivitas pemakaian batubara dalam operasi pembakaran pada
tanur putar akan menurun sebanyak 10-20 % dibandingkan dengan pemakaian BBM atau
gas alam.

6.2.2. Batubara Sebagai Bahan Bakar Dalam Industri Semen

Seperti diketahui bahwa batubara merupakan suatu campuran padatan yang sangat
heterogen dan terdapat di alam dengan tingkat/grade yang berbeda, mulai dari lignit,
subbitumine, bitumine sampai anrasit. Sebagai padatan, batu-batu terdiri atas kumpulan
material (vitrinite, eksinite dan enertinite) dan mineral (clay, kalsit dan lain-lain).
Dilihat dari unsur-unsur pembentukan batubara terdiri atas carbon, oksigen, nitrogen,
sedikit sulfat, phosphor dan lain-lain, sedangkan dari segi struktur molekul, dapat dibedakan
atas aromatic dan aliphatic. Oleh karena itu dalam industri semen, batubara digunakan
sebagai bahan bakar, maka panas pembakaran, hasil-hasil pembakaran, dan sisa-sisa
pembakaran perlu diketahui, terutama apabila hal-hal tersebut dapat mengganggu kualitas
semen yang dihasilkan.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 178


Sifat-sifat batubara dapat dilihat dengan analisis sebagai berikut:
1. Analisis Prosikmat
Terdiri dari Analisis Lengas (moisture) yang berupa lengas bebas (free moisture),
lengas bawaan (inherent moisture) dan lengas total (total moisture); Kadar abu (ash);
Carbon tertambat (fixed carbon); dan Zat terbang (volatile matter).

2. Analisis Ultimat
Terdiri atas analisis untuk unsure-unsur : C, H, O, N juga S dan Phospor serta
CI.

3. Nilai Kalor
Terdapat dua macam nilai kalor, yaitu: nilai kalor net, yaitu kalor pembakaran
dihitung dalam keadaan semua air (H2O) berujud gas. Nilai kalor gross, yaitu nilai kalor
pembakaran diukur dalam keadaan semua air (H2O) berwujud cair.

4. Total Sulphur
Sulpur atau belerang dapat berbeda dalam batubara sebagai mineral pirit, markasitt, Ca
sulphat, atau belerang organik, yang pada pembakarannya akan berubah menjadi SO2.

5. Analisis Abu
Abu yang terjadi dalam pembakaran batubara akan membentuk oksida-oksida sebagai
berikut SiO2, Al2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O. Abu inilah yang terutama
akan secara padatan bercampur dengan klinker dan mempengaruhi kualitas semen. Namun
demikian kadar abu batubara di Indonesia biasanya hanya berkisar antara 5 % sampai 20 %
saja.

6. Hardgrove Grindability Index


Merupakan suatu bilangan yang dapat menunjukan mudah sukarnya batubara digerus
menjadi bahan bakar serbuk. Makin kecil bilangnnya, maka keras keadaan batubaranya.
Sesuai dengan sifatnya, batubara umumnya dibagi atas empat macam, yaitu:
- Antrasit, mengandung sedikit volatile matter
- Bitumine, mengandung medium volatile matter

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 179


- Lignit, mengandung banyak volatile matter
- Peat

Apabila kita membakar batubara dengan fire grate, maka panjang nyala yang
dihasilkan, tergantung besarnya kandungan volatile matternya, batubara dengan kadar
volatile matter yang tinggi, akan menghasilkan nyala yang panjang di atas grate fire dan
batubara dengan kadar volatile matter yang rendah, akan menghasilkan nyala yang pendek.
Oleh karenanya antrasit biasa disebut dengan short flaming coal, dan bitumine sebagai long
flaming coal.
Akan tetapi batubara akan menghasilkan hasil yang berbeda bila dibakar dalam bentuk
batubara dalam tanur putar sebagai batubara halus akan terurai dengan segera dan volatile
matter yang menguap akan terbakar dengan cepat. Sedangkan partikel coke yang sudah
tersegresikan akan mempunyai luas permukaan yang sangat besar sehingga serbuk
batubaranya dapat terbakar secara cepat. Hal ini menyebabkan long flaming coal di dalam
tanur putar akan terbakar hanya dalam daerah yang pendek dari tanur atau dengan kata lain
akan menghasilkan nyala pendek. Short flaming coal mengandung sedikit volatile matter, bila
dibakar di dalam tanur putar, sebagai batubara halus akan terurai secara lambat, sehingga akan
terbakar dalam jarak yang lebih panjang.
Dengan demikian, batubara yang disebut Short Flaming Coal bila dibakar sebagai
batubara halus di dalam tanur putar, akan menghasilkan nyala yang panjang. Operasi
pembakaran dalam tanur putar membutuhkan pembakaran
dengan suhu nyala yang sangat tinggi, karena proses klinkerisasi memerlukan suhu material
sekitar 1450oC. Disamping itu suhu nyala yang tinggi akan menghasilkan heat transfer
yang lebih besar. Kedua hal ini sangat berpengaruh dalam hal efektifitas dan efisiensi
operasi pembakaran dalam tanur putar. Walaupun antrasit memiliki nilai kalor yang
tinggi, penggunaannya sebagai bahan bakar dalam tanur
putar kurang disukai, karena antrasit menghasilkan nyala yang lebih panjang dengan suhu
yang relatif lebih rendah.
Demikian juga lignit, yang disamping mempunyai kandungan volatile matter yang
tinggi dan berheating value rendah, tidak disuakai, karena akan menghasilkan suhu nyala
yang lebih rendah. Bitumine adalah jenis batubara yang disukai pemakainya sebagai bahan
bakar dalam tanur putar, karena mempunyai kandungan volatile matter yang cukup, tetapi
nilai kalorinya pun relatif tinggi.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 180


Oleh karena itu bitumine dapat menghasilkan suhu nyala yang lebih tinggi. Akan
tetapi bitumine yang berkandungan abu yang lebih besar (akibat adanya impurities yang
biasanya dari clay dan sebagainya), atau berkandungan air yang tinggi juga tidak
disukai, karena hal-hal tersebut akan menurunkan suhu nyala di samping membutuhkan
juga excess air yang akan lebih besar. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya efektifitas
dan efisiensi operasi pembakaran dalam tanur putar.
Sebenarnya secara teoritis diharapkan bituminous coal yang bersih dari non
combustible material akan menghasilkan suhu nyala yang pendek dan lebih tinggi
dibandingkan dengan non combustible material baik berupa ash atau moisture tidak dapat
dihindari, sehingga membutuhkan operasi dengan excess air yang lebih tinggi dan
membutuhkan primary air (yang suhunya rendah) yang lebih besar.
Hal ini akan menurunkan suhu nyala di samping memperbesar flow rate gas bakar
yang mengakibatkan lebih pendeknya retention time gas dalam tanur putar dari preheater
sistem dan akan menurunkan heat transfer rate, yang berarti akan memperbesar
terbuangnya panas melalui preheater gas.

6.2.3. Penyiapan Batubara Dan Sistem Pengumpan Ke Dalam Kiln

Diantara semua bahan bakar yang umumnya dipakai, batubara merupakan bahan bakar
yang memerlukan investasi awal yang sangat tinggi baik untuk grinding maupun pengumpan.
Flow Sheet dasar dari instalasi batubara hampir sama disemua tingkat.

a. Penyimpanan (Stock Pilling)

Sesudah dibongkar di suatu pabrik, batubara disimpan di suatu gudang penyimpanan.


Perhatian utama yang harus diberikan pada tahap ini adalah mengurangi resiko self
ignition dan kehilangan (losses) material selama penyimpanan. Karena salah satu karakter
bahan bakar padat adalah tidak homogen, maka sebelum digiling perlu dilakukan pre-
homogenization, yang antara lain dengan cara pengaturan tumpukan dan penampilan dari
gudang penyimpanan.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 181


Aturan FIFO (First In First Out) perlu dilaksanakan di sini untukk mencegah oksidasi
batubara yang berlebihan.

b. Primary Crushing

Primary Crushing dapat dilakukan secara Open Circuit atau Close Circuit. Kehalusan
produk dari primary crushing ini tergantung kepada macam grinding mil yang dipakai.

c. Grinding & Drying (Penggilingan dan Pengeringan)

Untuk batubara yang mempunyai kadar air di bawah 20 %, pengeringannya


dilakukan pada coal mill. Untuk batubara yang kadar airnya lebih dari 20%, biasanya ada alat
pengering tambahan ebelum coal mill. Coal mill dibedakan dalam dua tipe, yaitu:
- Ball Mill/Tube Mill
- Vertical Mill
Proses pengeringan di sini adalah mengeringkan raw coal maksimal sampai pada
inherent moisturenya. Di dalam pengoprasian system coal mill ini yang harus menjadi
perhatian utama adalah mengurangi risiko peledakan, yang disebabkan :
- Umpan batubara yang tidak lancar
- Ketidak lancaran pengumpanan menyebabkan material kasar (kering) yang kembali
dari separator, akan langsung kontak dengan udara panas.
- Perubahan kadar air batubara yang terlalu besar
- Kadar air produk terlalu rendah, jauh di bawah inherent moisturenya.
Resiko-resiko peledakan tersebut diperbesar oleh kandungan volatile matter yang tinggi
dari batubara. Pengendalian operasi coal mill didasarkan pada desain kehalusan batubara
yang telah diperhitungkan sesuai kebutuhan pembakaran dalam tenur putar.

d. Penangkapan Debu

Penangkapan debu batubara umumnya dilakukan dengan filter atau electrostatic


presipitator. Untuk mengurangi kehilangan material, alat penangkap

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 182


debu ini harus dijaga agar beroperasi secara optimal. Yang harus diperhatikan di sini
ialah debu yang halus cenderung menyebabkan reaksi peledakan. Campuran
batubara/udara akan explosive dalam daerah konsentrasi tertentu. Beberapa ahli menyebutkan
bahwa interval 40-150 g/Nml sebagai daerah kritis untuk terjadinya peledakan tersebut,
yang biasanya terjadi di saat start up atau stop peralatan.

e. Sistem Pengumpanan Batubara Halus ke Dalam Tanur Putar

Sistem pengumpanan batubara halus ke dalam tanur putar dapat dibedakan sebagai
berikut:
- Direct System
- Semi indirect system
- Indirect system
Pada Direct System, semua batubara yang dihasilkan digrinding mill langsung
diumpankan ke dalam tanur putar bersama udara pengeringnya. Pada semi indirect sistem,
batubara dari mill untuk sementara disimpan dalam intermediate silo sebelum diumpankan
ke dalam tanur putar. Untuk sistem ini ada dua macam versi yang tergantung pada kadar
air batubara. Yang mempunyai kadar air rendah, udara pengering dari mill sebagian
diinjeksikan ke tanur putar sebagai udara primer, dan sebagian disirkulasikan ke mill. Bila
kadar air tinggi, sebagian gas dari mill dikeluarkan melalui alat penangkap debu.
Pada indirect sistem, semua batubara dari mill disimpan di intermediate silo
sebelum diumpankan, dan gas dari mill tidak diumpankan ke tanur putar sebagai udara
primer, kecuali bila diinginkan.

6.2.4. Operasi Pemakaian Batubara Pada Tanur Putar

Dalam pemakaian batubara sebagai bahan bakar dalam operasi tanur putar, terdapat
beberapa hal yang spesifik perlu diperhatikan.

a. Pemakaian Udara Primer

Udara primer berperan antara lain sebagai sarana transportasi untuk injeksi batubara
ke dalam tanur putar dan suatu alat pengendali nyala.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 183


Dengan pemakaian udara primer yang temperaturnya rendah ini, maka udara
pembakaran yang terdiri dari primary air dan secondary air, akan mempunyai temperatur
campuran relatif rendah. Oleh karena itu sebenarnya secara ekonomis pemakaian udara
primer ini kurang menguntungkan. Di dalam operasi pemakaian batubara, pemakaian udara
primer ini dapat berkisar antara 15-20 % dari kebutuhan udara pembakaran.

b. Pemakaian Excess Air yang besar

Berdasarkan teori kinetika reaksi, bahan bakar gas dan cair lebih reaktif dengan
oksigen, dibandingkan oksigen dengan batubara.
Hal ini mudah dimengerti karena pembakaran batubara akan melalui tahapan- tahapan
sebagai berikut:
- Perpindahan panas dari burning zone ke partikel batubara secara konveksi dan radiasi.
- Perpindahan panas melalui lapisan abu yang bersifat isolator menuju front
oksidasi secara konduksi.
- Reaksi kimia antara C, S, H2, dengan H2, CO, H2O, dan SO2.
- CO2, SO2, CO dan H2 berdifusi dari front oksidasi ke bagian luar partikel
batubara.
- Abu pembungkus sekeliling partikel batubara terdekomposisi secara termis dan
mekanis.
Oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan pembakaran yang menggunakan
batubara sebagai bahan bakar diperlukan excess air yang relatif besar. Dengan pemakaian
udara yang lebih besar ini, maka akan dihadapkan pada permasalahan:
- Kerugian panas karena terserap oleh kelebihan udara tersebut.
- Transfer panas antar udara dan material di dalam kiln kurang sempurna, karena
waktu tinggal udara panas yang relatif rendah.

c. Kandungan Air Dalam Batubara

Air yang terdapat dalam batubara, baik sebagai inherent moisture maupun sebagaian
kecil moisture yang lain, tentunya akan merugikan karena mengurangi panas yang
dihasilkan.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 184


d. Stabilitas Umpan

Karena batubara merupakan bahan bakar dalam bentuk powder (bubukan) maka sangat
sulit diperoleh kondisi pengumpanan yang benar-benar stabil ke dalam kiln. Ketidakstabilan
umpan ini berarti, ketidakstabilan panas di dalam kiln, akan mengakibatkan ketidakstabilan
coating sebagai pelindung batu tahan api. Dengan demikian akan mengakibatkan umur
batu yang relatif pendek.

e. Impurities Dalam Batubara

Bila proses pencucian batubara tidak baik, maka akan ditemui impurities (misal clay).
Dengan adanya impurities ini, tentunya akan mengacaukan jumlah umpan panas ke dalam
tanur putar, yang akan memberi akibat-akibat seperti yang telah dibahas.

6.2.5. Persyaratan Mutu Batubara Dalam Industri Semen

Pada dasarnya semua jenis batubara dapat dipakai sebagai bahan bakar tanur putar.
Seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan persyaratan-persyaratan
mutu batubara yang dibutuhkan oleh industri semen unit operasi dengan efektifitas yang
cukup tinggi, yaitu:
1. Nilai bakar net cukup tinggi, yaitu > 6.000 cal/gr
2. Voalitile matter medium, maksimum 36-42 %
3. Total moisture, maksimum 12 %
4. Kadar abu maksimum 6 %
5. Kadar sulpur, maksimum 0,8 %
6. Kadar alkali dalam abu, maksimum 2 %
7. Ukuran batubara (raw coal)
- Diatas saringan 100 mm =0%
- 100 mm – 50 mm = 70 %
- 50 mm – 25 mm = 25 %
- 25 mm – 15 mm = 15 %
- lolos 15 mm =0%
8. Variasi kualitas di atas tidak lebih dari 10 %

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 185


Batubara dengan kualitas, yang tidak memenuhi persyaratan di atas akan menghasilkan
produktifitas yang lebih rendah. Persyaratan-persyaratan di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
- Nilai kalor net minimum 6.000 cal/gr, dan volatile matter antara 36-42 % serta kadar
abu maksimum 8 %, dimaksudkan agar pemakian batubara tersebut dalam tanur putar,
dapat menghasilkan target-target yang diharapkan pada operasi pembakaran.
- Total sulphur maksimal 12 % dan kadar abu maksimal 6 % serta ukuran batubara
seperti dicantumkan di atas, dimaksudkan agar tidak menyulitkan pada operasi
handling.
- Kadar sulphur maksimal 0,8 % dan kadar alkali pada abu maksimal 2 %, dimaksudkan
agar tidak terjadi gangguan pada operasi tanur putar dan tidak terjadi penurunan
kualitas semen.
- Ukuran batubara dan volatile matter seperti dicantumkan di atas, juga dimaksudkan agar
tidak terjadi kebakaran selama pengumpanan, makin banyak mengandung butiran-
butiran halus, maka tumpukan batubara akan mudah terbakara.
- Variasi kualitas 10 % dari nilai-nilai yang dicantumkan di atas, dimaksudkan agar
persyaratan untuk mencapai operasi pembakaran yang stabil dapat terpenuhi.

6.2.6. Pencemaran Lingkungan

Pada bab-bab terdahulu telah disinggung bahwa untuk mencapaii kesempurnaan


pembakaran batubara, diperlukan excess air yang relatif banyak. Dan sayangnya bahwa
dengan excess air yang lebih tinggi mengakibatkan temperatur di dalam kiln akan lebih
rendah. Oleh karena itu dalam kenyataan praktik sering ditemukan bahwa proses reaksi
pembakaran belum berlangsung sempurna, meskipun gas telah keluar dari Suspension
Preheater. Hal ini ditunjukan dengan adanya kandungan CO dari gas tersebut. Bahkan tidak
jarang terjadi, terutama pada saat heating up, atau adanya fluktuasi umpan batubara yang
cukup besar, gas keluar cerobong pun masih berwarna hitam. Hal ini menunjukan bukan
hanya CO saja yang terkandung dalam gas tersebut, melainkan batubara yang belum
terbakar.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 186


Apabila kandungan gas CO dari gas menuju electro presipitator sebagai alat
penangkap debu lebih besar dari 0,6 %, maka untuk menghindari peledakan, alat
penangkap debu, yang berarti sekitar 7 % dari umpan raw meal akan terbang bersama-sama
gas yang keluar cerobong, yang tentunya menimbulkan masalah- masalah antara lain:
- Pencemaran udara, baik debu maupun gas CO
- Kerugian karena hilangnya material
Seperti yang disinggung di atas bahwa proses reaksi pembakaran batubara ini dapat
berkelanjutan hingga di seluruh saluran gas panas, mengakibatkan temperatur gas tersebut
bisa sangat tinggi. Dalam kondisi seperti ini tidak jarang mengakibatkan kerusakan
impeller dari fan-fan yang dilalui atau kerusakan expansion joint dari ducting atau terhadap
ducting itu sendiri.
Resiko-resiko pencemaran lingkungan, kehilangan material dan kerusakan peralatan
ini dapat dikurangi, atau dihindari antara lain dengan cara:
- Mengusahakan kesempurnaan pembakaran di burning zone dalam kiln dengan
memahami kinetika proses pembakaran.
- Perencanaan sistem kiln dan injeksi batubara yang baik.
Hal tersebut di atas merupakan sumber pencemaran lingkungan melalui gas buang.
Di samping itu sumber pencemaran lain terjadi selama penyimpanan dan selama operasi
eksplotasi lain terjadi selama penyimpanan dan selama operasi eksploitasi dan preparasi
batubara, juga kebocoran-kebocoran yang menimbulkan pencemaran lingkungan.

6.3. PEMANFAATAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR


PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP

Mengangkat PLTU Suralaya yang beroperasi semenjak tahun 1984 sebagai contoh studi
kasus. PLTU Suralaya ini dirancang bangun dengan menggunakan bahan bakar batubara
Bukit asam pada tingkat kualitas average dan worst.
Sampai tahun 1988 batubara Bukit Asam masih belum dapat memenuhi kebutuhan
yang terus meningkat dari 156.000 ton pada tahun 1985, 936.000 ton,

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 187


1.500.000 ton pada tahun-tahun berikutnya dan pada tahun 1987 kebutuhan tersebut
telah mencapai 2,055 juta ton mestinya akan meningkat lagi.
Kualitas batubara pengganti tersebut telah diusahakan sedapat mungkin memenuhi
kualitas batubara Bukit Asam tersebut. Hal-hal yang diperhitungkan di dalam pemakaian
batubara pada PLTU adalah :
- Perfomance (unjuk kerja)
- Availability, reliability
- Dampak lingkungan
- Kendala dan karakteristik operasi, serta dampaknya terhadap tingkat
pemeliharaan
Tinjauan terhadap aspek tersebut di atas semata-mata mempertimbangkan peralatan
terpasang sesuai dengan rancang bangunnya dan selanjutnya pengalaman tersebut dasar
dalam penyempurnaan masa mendatang.

6.3.1. Pengenalan Umum Kualitas Batubara

Batubara yang ada dipasaran unsur kualitasnya sekurang-kurangnya terdiri

dari :
a. High heating value (kgcal/ka)
b. Total moisture (%)
c. Inherent moisture (%)
d. Volatile matter (%)
e. Ash content (%)
f. Sulphur content (%)
g. Coal Size < 3 mm, 40 mm, 50 mm
h. Hardgrove grindability index
Unsur lainnya diperlukan sesuai kebutuhan yang bersifat umum maupun khusus.
Untuk melengkapi data di atas biasanya diperlukan unsur kualitas seperti :
- Fixed carbon (%)
- Phosphorous/Chlorine (%)
- Ultimate analiysis : Carbon, Hydrogen, Oxigen, Nitrogen, Sulphur dan Ash
kadang-kadang diperlakukan Ash Fushing Temperatur

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 188


6.3.2. Pengaruh Kualitas Batubara

a. High Heating Value (HHV)

High heating value (HHV) sangat berpengaruh terhadap pengoprasian aspek


Pulverizer, Pipa batubara, wind box, dan Burner
Semakin tinggi HHV maka aliran batubara setiap jam-nya semakin rendah, sehingga
kecepatan coal feeder harus disesuaikan, untuk batubara dengan moisture content dan HGI
yang sama, dengan HHV tinggi maka mill akan beroperasi di bawah kapasitas nominalnya
(menurut desain) atau dengan kata lain operating rationya menjadi lebih rendah.

b. Moisture Content

Kandungan moisture mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya. Pada


batubara dengan kandungan moisture tinggi akan membutuhkan udara lebih banyak guna
mengeringkan batubara tersebut pada suhu ke luar mill tetap.

c. Volatile Matter

Kandungan volatile matter mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas


api.
Fuel ratio = Fixed carbon / Volatile matter
Semakin tinggi fuel ratio maka carbon yang tidak terbakar semakin banyak.

d. Ash Content

Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan
daerah konversi dalam bentuk abu terbang dan abu dasar. Sekitar 20 % dalam bentuk abu
dasar dan 80 % dalam bentuk abu terbang. Semakin tinggi kandungan abu dan tergantung
komposisinya mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan dan korosi peralatan
yang dilalui.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 189


e. Sulphur Content

Kandungan sulphur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada
elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari titik embun
sulphur, disamping berpengaruh terhadap efektifitas penangkapan abu pada peralatan
electrostatic precipator.

f. Coal Size

Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus dan butir kasar. Butir paling
halus untuk ukuran < 3 mm, sedangkan ukuran butir paling kasar sampai dengan 50
mm. Butir paling halus dibatasi oleh tingkat dustness dan tingkat kemudahan diterbangkan
angina sehingga mengotori lingkungan. Tingkat dustness dan kemudahan berterbangan
masih ditentukan pula oleh kandungan moisture batubara.

g. Hardgrove Grindability Index (HGI)

Kapasitas mill (pulverizer) dirancang pada HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah
kapasitasnya lebih rendah dari nilai patoknya agar menghasilkan fineness yang sama.

h. Ash Fushion Temperatur

Ash fushion temperature akan mempengaruhi tingkat fouling, slagging dan operasi soot
blower.

6.3.3. Pemanfaatan Batubara Sebagai Briket Batubara

Teknologi pembuatan briket batubara dari batubara bubuk yang dapat menimbulkan
kesulitan pada waktu pengangkutan ternyata sudah banyak dilakukan di beberapa negara.
Hal yang mendorong pemanfaatan briket untuk masalah dan industri kecil di Indonesia
antara lain :

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 190


- Potensi batubara Indonesia yang sangat besar.
- Penduduk Indonesia sebagian besar tinggal di pedesaan.
- Dapat dilaksanakan dengan teknologi sederhana, dengan investasi sedikit.
- Batubara Indonesia mudah pecah dan bernilai kalori tinggi.
- Memanfaatkan batubara bubuk yang tidak dipakai sukar ditransport, menjadi lebih
bermanfaat.
- Adanya endapan batubara dengan cadangan terbatas (10 juta ton) yang dapat
dimanfaatkan secara skala kecil untukk daerah sekitarnya.
- Kebijakan pemerintah untuk mengurangi pemakian minyak dan kayu bakar.

a. Teknik Pembriketan Batubara

1. Sifat briket yang baik :


- Tidak berasap dan tidak berbau pada saat pembakaran.
- Mempunyai kekuatan tertentu sehingga tidak mudah pecah waktu diangkat dan
dipindah-pindah.
- Mempunyai suhu pembakaran yang tetap (± 350oC) dalam jangka waktu yang
cukup panjang (8-10 jam).
- Setelah pembakaran masih mempunyai kekuatan tertentu sehingga mudah untuk
dikeluarkan dari dalam tungku masak.
- Gas hasil pembakaran tidak mengandung gas karbon monoksida yang tinggi.

2. Jenis briket
Dikenal 2 jenis briket yaitu :
- Tipe Yontan (silinder) untuk keperluan rumah tangga.
Tipe ini lebih dikenal dan popular, disebut dengan Yontan, suatu nama lokal,
terbentuk silinder dengan garis tengah 150 mm, tinggi 142 mm, berat 3,5 kg dan
mempunyai lubang-lubang sebanyak 22 lubang.
- Tipe Egg (telor) untuk keperluan industri dan rumah tangga. Tipe ini juga
dipergunakan untuk bahan bakar industri kecil seperti untuk pembakaran kapur, bata,
genteng, gerabah, pandai besi dan sebagainya, tetapi juga untuk keperluan rumah
tangga. Jenis ini mempunyai lebar 32-39 mm, panjang 46-58 mm, dan tebal 20-24
mm.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 191


3. Teknik pembuatan
Proses pembuatan briket Yontan cukup sederhana. Batubara bubuk (5 mm) diberi (10
%) ditekan dengan mesin tekan pembriketan pada tekanan 120 Kg/cm2 sehingga diperoleh
briket. Untuk tipe telor perlu ditambah molasses (7%) dan diroll pada mesin briket tipe roll.

4. Parameter dalam pembuatan briket


Beberapa parameter dalam pembuatan briket antara lain sebagai berikut :
- Ukuran butiran batubara.
- Tekanan mesin pada waktu pembuatan briket.
- Kadar air yang terkandung dalam batubara.
Beberapa pengalaman, briket dengan kuat tekan > 6 kg/cm2 cukup kuat dan tidak
mudah pecah pada saat dibawa, diangkut dan diangkat.

5. Karakteristik pembakaran
Sifat pembakaran adalah sangat penting disamping tergantung dari sifat batubaranya.
Karakteristik pembakaran briket ini (lama dan suhu sifat batubaranya. Karakteristik
pembakaran briket ini (lama dan suhu pembakaran) tergantung pula dari besarnya udara
yang terbakar (air supply) dan nilai kalori batubaranya. Makin besar udara yang ikut
terbakar makin pendek lama pembakarannya briket dan makin tinggi nilai kalori batubara
yang dibuat briket makin lama waktu pembakaran. Makin besar udara yang diberikan
(dengan membuka udara kompor masak) makin pendek waktu pembakaran briket walaupun
diperoleh suhu maksimum yang tinggi.

b. Pembuatan Briket Dari Batubara

Contoh batubara digerus sampai ukuran 5 mm, selanjutnya ditambah lempung (20 %)
sebagai bahan pengikat dan air 10 %. Analisis batubara contoh dapat dilihat pada Tabel 6.5.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 192


Tabel 6.5
Analisis kimia batubara contoh Korea

Sifat Contoh Korea


Atom 8,19 39,50
Fixed Carbon 50,24 53,70
Nilai Kalori 7160 4570
S (Belerang) 0,47 0,29
Moisture 1,91 3,70
Volatile matter 39,66 3,20
Kelas Subbitumine Antrasit

Penambahan lempung dimaksudkan untuk memperoleh kukuatan dan


besarnya relatif didekatkan dengan kadar ash dan briket Yontan Korea.

c. Kuat Tekan

Dari hasil penekanan dengan pembriketan yang sama diperoleh data sebagai berikut :
Bahan pengikat lempung Kuat Tekan (kg/cm2)
20 % 7,5
30 % 10,2

Hasil yang diperoleh memberikan data bahwa kuat tekan berikut adalah cukup baik (> 6
kg/cm2).

d. Karakteristik Pembakaran

Dari hasil pembakaran diperoleh data sebagai berikut :


- Berasap cukup banyak dan berbau tajam.
- Suhu pembakaran tertinggi sedikit lebih tinggi daripada briket korea yaitu 650o C –
700o C (briket Korea 600o C).
- Lama waktu pembakaran pada suhu 350o C ternyata jauh lebih pendek + 2,5 jam,
sedang briket Korea 8 jam.
Dengan mengatur pipa bukaan udara lebih kecil diharapkan waktu pembakaran dapat
lebih panjang.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 193


Catatan : Penambahan lempung dapat menyerap bau dan mempertinggi kualitas briket
walaupun dapat mengurangi nilai kalorinya. Sebaiknya dipergunakan batubara yang
mengandung ash tinggi.

e. Meniadakan Asap dan Abu

Percobaan untuk mengurangi/ meniadakan asap dan bau dari briket batubara telah
dilakukan dengan mengurangi volatile matter. Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan
karbonisasi terhadap batubara pada suhu rendah, dan ternyata berhasil baik. Hanya masalah
lama waktu pembakaran dari briket batubara ini masih relatif lebih pendek yaitu ± 4 jam.
Mengangkat PLTU Suralaya yang beroperasi semenjak tahun 1984 sebagai contoh studi
kasus. PLTU Suralaya ini dirancang bangun dengan menggunakan bahan bakar batubara
Bukit asam pada tingkat kualitas average dan worst.

6.3.4. Gasifikasi Batubara

Proses gasifikasi mengubah semua material organik batubara menjadi bentuk gas,
peringkat batubara dan temperatur hanya mempengaruhi laju gasifikasi dan jika diinginkan
bisa diperoleh gas yang kesemuanya mengandung CO, CO2 dan H2 disamping pengotor
hidrogen sulfida. Perbedaan yang mencolok ini disebutkan pada proses gasifikasi terjadi
rainan yang jauh dan interaksi lebih lanjut yang dapat dikendalikan antara volatile matter dan
char (atau kokas) dengan oksigen.
Gas yang dibuat diklasifikasikan atas nilai kalornya. Gas High Btu merupak sinonim
dari subituminus natural gas (SGN) dan mempunyai nilai kalor antara 970 sampai 1000
Btu per standars cubic foot (Scf). Komposisi gas sebagian besar terdiri dari CH4 (lebih dari
90%) dan sebagian kecil terdiri dari CO, CO2 dan N2. Gas high Btu pada umumnya dapat
dipertukarkan dengan gas alam dan dapat dibuat dari batubara pada skala yang besar.
Gas medium Btu mempunyai nilai kalor 270 hingga 600 Btu/Scf. Pada nilai kalor
yang lebih rendah dari rentang ini gas umumnya terdiri dari CO dan H2 serta sejumlah
kecil CO2. Pada nilai kalor yang lebih tinggi dari rentang diatas, nilai kalor meningkat
seiring dengan masuknya CH4 atau hidrokarbon yang lain. Gas medium

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 194


Btu banyak digunakan dalam industri manufaktur karena dapat terbakar dengan cepat dan
menghasilkan temperatur nyala yang sama atau lebih tinggi dari gas alam. Akan tetapi gas
medium Btu ini tidak dapat dimasukkan ke dalam jaringan distribusi gas alam karena
tidak dapat dipertukarkan dengan gas alam dan karena distribusi karbon monoksidanya.
Gas medium Btu dapat digunakan sebagai sumber hidrogen untuk liquefaksi batubara
secara langsung menjadi bahan bakar cair atau untuk sintesa metanol dan bahan bakar
cair lainya. Gas medium Btu juga dapat digunakan untuk produksi gas high Btu.
Gas low Btu normalnya mempunyai nilai kalor sekitar 90 sampai 150 Btu/Scf.
Komponen-komponen yang dapat dibakar terdiri dari CO dan H2 yang dilarutkan oleh
CO2 dan N2. Gas ini mempunyai temperatur nyala yang rendah, kecuali jika udara
pembakaran dilakukan pra-pemanasan dengan kuat. Gas ini bisa menjadi bahan bakar turbin
yang ideal yang kemungkinannya dimanfaatkan secara besar- besaran dalam gas stream
combined power cycle untuk pembangkitan listrik di lokasi dimana gas tersebut dihasilkan.
Ada dua prinsip rute konversi batubara menjadi gas. Perbedaannya terletak pada
panas yang dipasok dari pembakaran dengan udara secara langsung dalam proses, sehingga
nitrogen dalam udara tercampur kedalam gas yang dihasilkan. Produk gas ini merupakan gas
low-Btu. Alternatif lain, panas dapat dipasok dengan cara dimana nitrogen tidak
diintroduksikan kedalam gas produk. Oksigen digunakan dan panas dipasok melalui
perpindahan panas tak langsung dari gas-gas panas atau padatan yang dihasilkan reaksi
gasifikasi, atau rute hidrogasifikasi diikuti dimana panas gasifikasi dipasok oleh reaksi
eksotermis hidrogen dengan karbon dan karbon monoksida membentuk metan. Rute-rute
ini untuk menghasilkan gas medium-Btu, gas high-Btu (SNG), hidrogen dan gas sintesis.
Satu lagi teknologi gasifikasi adalah gasifikasi bawah tanah (underground gasification)
atau gasifikasi setempat (in-situ gasification). Dalam metode ini gasifikasi terjadi secara
langsung pada endapan batubara yang belum ditambang. Reaktan-reaktan dimasukkan ke
dalam lapisan batubara dan gas-gas yang terbentuk dikeluarkan ke permukaan melalui
lubang-lubang bor pada endapan batubara.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 195


BAB VII
PENGAMANAN DALAM PENANGANAN BATUBARA

Batubara adalah bahan bakar padat yang mengandung abu. Oleh sebab itu
pemanfaatan batubara akan melibatkan biaya yang tinggi untuk alat yang diperlukan bagi
penanganan (coal handling) dan pembakaran batubara. Kesemuanya tersebut bertujuan
untuk mengeliminir abu dan debu. Penanganan batubara memerlukan pengamanan, karena
ada beberapa masalah dalam penanganan batubara antara lain:
 batubara dapat terbakar sendiri
 batubara dapat menimbulkan ledakan
 batubara menyebabkan pencemaran, kalau ada angina kencang debunya
beterbangan kemana-mana.

7.1. TERBAKAR SENDIRI

Batubara dapat terbakar sendiri setelah mengalami proses bertahap. Tahap pertama:
mula-mula batubara akan menyerap oksigen dari udara secara perlahan- lahan dan
kemudian temperatur batubara akan naik. Tahap kedua: sebagai akibat
temperatur naik kecepatan batubara menyerap oksigen dari udara bertambah dan
temperatur kemudian akan mencapai 100-140oC. Tahap ketiga: setelah mencapai
temperatur 140 C, uap dan CO2 akan terbentuk. Tahap keempat: sampai temperatur 230o C
o

isolasi CO2 akan berlanjut. Tahap kelima: bila temperatur telah berada di atas 350oC, ini
berarti batubara telah mencapai titik sulutnya dan akan cepat
terbakar.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 196


7.2. SEBAB-SEBAB TERBAKAR SENDIRI

Batubara merupakan bahan bakar organik, dan apabila bersinggungan langsung


dengan udara dalam keadaan temperatur tinggi (misalnya musim kemarau yang
berkepanjangan) akan terbakar sendiri.
Keadaan ini akan dipercepat oleh:
 reaksi eksothermal (uap dan oksigen di udara). Hal ini yang paling sering terjadi.
 Bacteria
 Aksi katalitis dari benda-benda anorganik.
Sedangkan kemungkinan terjadinya terbakar sendiri terutama antara lain:
 karbonisasi yang rendah (low carbonization)
 kadar belerangnya tinggi (> 2%). Ambang batas kadar belerang sebaiknya 1,2
% saja.

7.3. PENANGGULANGAN BATUBARA YANG TERBAKAR


SENDIRI

Bilamana batubara ditimbun di tempat penimbunan yang tertutup (indoor strorage)


maka harus dibuat peraturan agar gudang penimbunan tersebut bersih dari endapan-endapan
debu batubara, terutama yang ditemukan di permukaan alat- alat. Dengan demikian maka
perlu ada perawatan yang terus menerus dan konstan. Apabila tempat penimbunan ini
terbuka (outdoor stroge) maka sebaiknya dipilihkan tempat yang rata dan tidak lembab. Hal
ini untuk menghindari penyusupan kotoran- kotoran (impurities).
Untuk batubara yang berzat terbang tinggi, perlu dipergunakan siraman air (sprinkler).
Penyimpanan batubara yang terlalu lama juga membahayakan. Paling lama sebaiknya I
bulan.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 197


7.4. TINGGI ONGGOKAN

Tingginya onggokan tumpukan batubara memang sulit untuk ditentukan, sebab masing-
masing tempat penimbunan memiliki kondisi sendiri-sendiri antara lain iklim, kelembaban,
penyinaran.

7.5. PENGECEKAN DINI TERHADAP GEJALA TERBAKAR

7.5.1. Pengecekan Temperatur

Untuk mengetahui temperatur maksimum dari onggokan batubara dapat ditentukan 1-2
m di bawah permukaan dari tumpukan. Caranya buat lubang vertikal dibantu dengan pipa
yang berperforasi. Kegunaan pipa agar lubang tidak tertimbun batubara lagi sedang
kegunaan perforasi agar temperatur di dalam lubang sama dengan temperatur dalam
onggokan.

Lubang pengecekan temperatur


(dibantu dengan berpofarasi)
Onggokan
batubara
Benang penggantung termometer
0

Termometer alkohol
0

7.5.2. Batubara Dapat Menimbulkan Ledakan

Ledakan debu batubara disebabkan oleh:


 ukuran partikel debu : < 20 mesh (=0,833 mm)
 terdapat hubungan antara zat terbang dan derajat peledakan.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 198


Volatile(%)
Volatile.ratio Volatile(%)
fixed.carbon(FC)(%)

Apabila volatile ratio > 0,12 maka kemungkinan terjadinya ledakan debu batubara
selalu ada. Bila komponen abu dalam debu batubara > 70 – 80 % maka tidak perlu takut
bahaya ledakan. Kondisi untuk meledak akan terjai bila partikel- partikel halus cukup
waktu mengembangnya (floating time). Juga adanya gas pembakaran dalam udara dapat
membantu terjadinya peledakan.

7.5.3. Cara Penanggulangan Ledakan

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mnanggulangi ledakan
adalah sebagai berikut:
 Gunakan gas inert (gas N2). Gas ini cukup mahal harganya, selain itu juga cepat
menguap, sehingga selalu harus diperiksa valvepressurenya. Tempatkan tabung gas N2
ini di dalam tempat penyimpanan batubara gerus (pulverized coal bin). Juga
dibagikan filter (B/F).
 Dilakukan pembersihan secara periodik untuk menghindari pembentukan endapan
batubara.
 Menghilangkan kemungkinan sumber tercapainya titik sulut batubara (ignition point)
di dalam instalasi.
 Perhatikan, dicari dan temukan sumber kebakaran sedini mungkin.
 Dalam hal timbunan batubara ditutupi dengan plastik usahakan agar konstrasi O2
kurang dari 12 %. Pada timbunan terbuka, penggunaan siraman air dengan
menggunakan sprinkler sistem yang otomatis akan sangat membantu dalam usaha
mencegah kebakaran batubara.
Caranya : Control Operator Panel (COP) di pipa ditaruh di dalam timbunan
batubara, kemudian distel pada temperatur tertentu. Apabila temperatur timbunan
batubara meningkat dan melebihi temperatur yang distel di COP, maka sprinkler
automatis akan bekerja sendiri, menyirami timbunan batubara tersebut.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 199


7.5.4. Perawatan debu batubara

Lembaran plastik penutup timbunan batubara adalah yang terbaik, diusahakan tidak
menggunakan plastik berwarna gelap. Timbunan dipadatkan dengan bulldozer untuk
mengurangi hadirnya Oksigen di dalam sela-sela batubara. Pada timbunan batubara
terbuka permukaan timbunan sebaiknya disemprot dengan cairan yang mengeraskan
permukaan. Cairan ini adalah produk tambahan dari pengilangan minyak.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 200


DAFTAR PUSTAKA

1. Zimmerman, Raymond E, “ Evaluating and Testing The Coking Properties Of Coal”,


Copyright, USA, 1979.
2. Cassidy, Samuel M, “ Elements Of Practical Coal Mining”, Society of Mining Enginees of
The American Institute Of Mining, Metallurgical, And Petroleum Engineers, Inc, New
York, 1973.
3. Yakub, Arbie, “Bahan Kursus Tentang Mutu Batubara”, Bandung, 2000
4. Sanwani, Edy Ir., Ibrahim, Alwi Ir., Sudarsono, Arief Dr. Ir, “Pencucian Batubara”,
Ciloto, 1998.
5. Sukandarumidi, “Batubara dan Gambut”, Gajahmada University Press, Yogyakarta,
1995.
6. PT. Sucofindo, “ Kursus Batubara Untuk PT. Adaro Dan Kontraktor Di Training
Room PAMA Km 64”, 2001.

Program Studi Teknik Pertambangan- Fakultas Teknik UNLAM 201

Anda mungkin juga menyukai