Anda di halaman 1dari 11

TUGAS RESUME PROSES PEMBATUBARAAN

Dosen pengampu : Jarwinda, S.Si., M.T

Muhammad Agung Yulizar


122370047
Teknik Pertambangan
Kelas Genesa Batubara RA

INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA


LAMPUNG SELATAN
2024
A. Pengertian Batubara
Batubara dikenal adalah batuan yang terbentuk secara proses organik, dengan bahan
baku berupa tumbuhan yang telah mati dan tertimbun pada kondisi lingkungan yang
memiliki cekungan dan Tingkat air yang tinggi. Batubara juga banyak mengandung
karbon dan air dalam proses pembentukannya.
Adapun pengertian lain yaitu senyawa organik dari tumbuhan, tersebar sebagai
partikel zat mineral yang terpisah di seluruh senyawa batubara. Batubara secara umum
didefinisikan sebagai batuan yang berwarna hitam, organik, terbentuk dari tumbuhan
dan memiliki nilai ekonomis.
Di Inggris black stone, yang saat ini dikenal dengan nama batubara, telah dikenal
sejak abad 9. Batubara di negara tersebut pada awal mula diambil dari singkapan
batubara yang muncul dipermukaan tanah. Oleh sebab itu keberadaan batubara dialam
mudah dikenal. Pada awalnya pemanfaatan batubara hanya terbatas sebagai bahan
bakar untuk rumah tangga dan sebagai bahan bakar pemanas ruangan pada musim
dingin.

B. Faktor Yang Berpengaruh dan Prosesnya


Secara umum batubara memiliki 2 proses pembagiannya, yaitu Pada proses
penggambutan terjadi perubahan yang disebabkan oleh mahkluk hidup, atau disebut
dengab proses biokimia, sedangkan pada proses pembatubaraan prosesnya adalah
bersifat geokimia. Cara terbentuknya batubara melalui proses yang sangat Panjang
dan lama, disamping dipengaruhi factor alamiah yang tidak mengenal batas waktu,
terutama ditinjau dari segi fisika, kimia maupun biologis.
Dikenal sebagai serangkaian factor yang akan berpengaruh dan menentukan
terbentuknya batubara. Faktor-faktor tersebut antara lain (Hutton and Jones, 1995)
posisi geotektonik, keadaan topografi daerah, iklim daerah, proses penurunan
cekungan sedimentasi, umur geologi, jenis tumbuh-tumbuhan, proses dekomposisi,
Sejarah setelah pengendapan, struktur geologi atau cekungan, dan metamorfosa
organik.
Secara rinci, hal-hal tersebut diatas diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Posisi Geoteknik
Posisi geoteknik adalah letak suatu tempat yang merupakan cekungan sedimentasi
yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik lempeng. Adanya gaya-
gaya tektonik ini akan mengakibatkan cekungan sedimentasi menjadi lebih luas
apabila terjadi penurunan dasar cekungan, atau menjadi lebih sempit apabila terjadi
penaikan dasar cekungan.
Proses tektonik dapat pula diikuti oleh perlipatan perlapisan batuan ataupun
patahan. Apabila proses yang disebut terakhir ini terjadi, satu cekungan sedimentasi
akan dapat terbagi menjadi dua atau lebih sub cekungan sedimentasi dengan luasan
yang relative lebih kecil. Kejadian ini juga akan berpengaruh pada penyebaran
batubara yang terbentuk. Makin dekat cekungan sedimentasi batubara terbentuk atau
terakumulasi, terhadap posisi kegiatan tektonik lempeng, kualitas batubara yang
dihasilkan akan semakin baik.
2. Keadaan Topografi Daerah
Daerah tempat tumbuhan berkembang baik, merupakan daerah yang relative
tersedia air. Oleh karenanya tempat tersebut mempunyai topografi yang relatif lebih
rendah dibandingkan daerah yang mengelilinginya. Makin luas daerah dengan
topografi lebih rendah, makin banyak tanaman tumbuh, sehingga makin banyak
terdapat bahan pembentuk batubara. Apabila keadaan topografi daerah ini
dipengaruhi oleh gaya tektonik, baik yang mengakibatkan penaikan ataupun
penurunan topografi, maka akan berpengaruh juga terhadap luasan tanaman yang
merupakan komponen pembentuk batubara.

3. Iklim daerah
Iklim berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Di daerah beriklim tropis
dengan curah hujan silih berganti sepanjang tahun, di samping tersedianya sinar
matahari sepanjang waktu, merupakan tempat yang cukup baik untuk pertumbuhan
tanaman. Didaerah ber- iklim tropis hampir semua jenis tanaman dapat hidup dan
berkembang baik. Oleh karenanya di daerah yang mempunyai iklim tropis pada masa
lampau, sangat dimungkinkan didapatkan endapan batubara dalam jumlah banyak,
sebaliknya daerah yang beriklim sub tropis mempunyai penyebaran endapan
batubara relatif terbatas. Kebanyakan luas tanaman yang keberadaannya sangat
ditentukan oleh iklim akan menentukan penyebaran dan ketebalan batubara yang
nantinya akan terbentuk.

4. Proses penurunan cekungan sedimentasi


Cekungan sedimentasi yang ada di alam bersifat dinamis, artinya dasar
cekungannya akan mengalami proses penurunan atau pengangkatan. Apabila proses
penurunan dasar cekungan sedimentasi lebih sering terjadi, akan terbentuk
penambahan luas permukaan tempat tanaman mampu hidup dan berkembang. Selain
itu penurunan dasar cekungan akan mengakibatkan terbentuknya batubara yang cukup
tebal. Makin sering dasar cekungan sedimentasi mengalami proses penurunan,
batubara yang terbentuk akan makin tebal. Di Indonesia batubara yang mempunyai
nilai ekonomi (artinya meng- untungkan apabila ditambang) terdapat pada cekungan
sedimentasi yang berumur tersier, dengan luasan ratusan hingga ribuan hektar.
terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan. Kenyataan tersebut, mem- berikan pola
pikir pada kita bahwa cekungan sedimentasi di kedua pulau tersebut, proses
penurunan dasar cekungan lebih sering terjadi, sehingga suatu hal yang wajar apabila
ketebalan endapan batubara di kedua pulau tersebut dapat mencapai ratusan meter.

5. Umur geologi
Jaman Karbon (kurang lebih berumur 350 juta tahun yang lalu), diyakini
merupakan awal munculnya tumbuhan-tumbuhan di dunia untuk pertama kali. Sejalan
dengan proses tektonik yang terjadi di dunia selama sejarah geologi berlangsung, luas
daratan tempat tanam- an hidup dan berkembang biak, telah mengalami proses
coalification cukup lama, sehingga mutu batubara yang dihasilkan sangat baik Jenis
batubara ini pada umumnya terdapat di daerah benua seperti Australia, Asia, Afrika,
Eropa dan Amerika.
Di Indonesia, batubara didapatkan pada cekungan sedimentasi yang berumur
Tersier (kurang lebih berumur 70 juta tahun yang lalu). Dalam hitungan waktu
geologi, 70 tahun yang lalu masih dianggap terlalu muda apabila dibandingkan
dengan jaman Karbon. Batubara yang terdapat di cekungan sedimentasi di pulau
Sumatra dan Kaliman- tan belum mengalami proses coalification sempurna. Hal ini
akan berakibat, mutu batubara yang didapatkan di kedua pulau tersebut belum
mempunyai kualitas baik, masih tergolong pada jenis bitumina, belum sampai pada
jenis antrasit (yang dianggap rank batubara tertinggi). Dari uraian tersebut,
disimpulkan bahwa makin tua lapisan batuan sedimen yang mengandung batubara,
makin tinggi rank batubara yang akan diperoleh.

6. Jenis tumbuh-tumbuhan
Present is the key to geologi yang mampu menjelaskan kaitan antara mutu
batubara dengan utama pembentuk tumbuhan semula diproses dari kayu yang keras
misalnya kayu dari Arang kayu yang diakan mempunyai mutu yang relatif lebih baik
tumbuhan Lampabila arang kayu tersebut diproses dari kayu yang dibandingkan
misalnya kayu dari tumbuhan Gliricidae. Bertitik tolak pada analogi, batubara yang
terbentuk dari tanaman keras dan berumur tua akan lebih baik dibandingkan dengan
batubara yang terbentuk dari tanaman berbentuk semak dan hanya berumur semusim.

7. Proses dekomposisi
Proses dekomposisi pada tumbuhan merupakan bagian dari transformasi biokimia
pada bahan organik, merupakan titik awal rantai panjang proses alterasi. Selama
proses pembentukan gambut (yang merupakan tahap awal dalam proses pembentukan
batubara), Sisa tumbuhan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimia
Setelah tumbuhan mati proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan
(decay) akan terjadi sebagai akibat kinerja dari mikrobiologi dalam bentuk bakteri
anaerobic. Jenis bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen, menghancurkan
bagian lunak dari tumbuhan seperti cellulosa, protoplasma dan karbohidrat. Proses
ter- sebut membuat kayu berubah menjadi lignit, bitumina.

Selama proses biokimia berlangsung, dalam keadaan kekurang- an oksigen


(kondisi reduksi), berakibat keluarnya air (H₂O) dan sebagian unsur karbon (C) akan
hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon mono oksida (CO) dan metana
(CH₁). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon (C)
akan bertambah dibandingkan dengan unsur lainnya. Kecepatan pemben- tukan
gambut tergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan.
Apabila tumbuhan yang telah mati tertutup oleh air dan sedimen berbutir halus
dengan cepat, maka akan terhindar dari proses pembusukan, dan terjadilah proses
desintegrasi atau penguraian oleh mikrobia anaerobic. Di lain pihak apabila tumbuhan
yang telah mati terlalu lama di udara terbuka, kecepatan pembentukan gambut akan
berkurang, hanya bagian tumbuhan yang keras saja tertinggal, sehingga menyulitkan
penguraian lebih lanjut oleh bakteri.
8. Sejarah setelah pengendapan
Sejarah cekungan tempat terjadi pembentukan batubara salah satu faktor di
antaranya ditentukan oleh posisi cekungan sedimentasi tersebut terhadap posisi
geoteknik. Makin dekat posisi cekungan sedi- mentasi terhadap posisi geoteknik yang
selalu dinamis, akan mempe- ngaruhi perkembangan batubara dan cekungan letak
batubara berada. Selama waktu itu pula proses geokimia dan metamorfisme organik
akan ikut berperan dalam mengubah gambut menjadi batubara. Apa- bila dinamika
geoteknik memungkinkan terbentuk perlipatan pada lapisan batuan yang mengandung
batubara, dan terjadi pensesaran, proses ini akan mempercepat terbentuknya batubara
dengan rank yang lebih tinggi.
Proses ini akan dipercepat apabila dalam cekungan atau berdekatan dengan
cekungan tempat batubara tersebut berada terjadi proses intrusi magmatis. Panas yang
ditimbulkan selama terjadi proses perlipatan, pensesaran ataupun proses intrusi
magmatis, akan memper- cepat terjadinya proses coalification atau sering disebut
sebagai proses permuliaan terbentuk batubara dengan kadar C cukup tinggi dengan
kandungan H:O yang relatif rendah. mengakibatkan

9. Struktur geologi cekungan


Batubara terbentuk pada cekungan sedimentasi yang sangat luas, hingga mencapai
ratusan hingga ribuan hektar, Dalam sejarah bumi, batuan sedimen yang merupakan
bagian kulit bumi, akan bengalami deformasi akibat gaya tektonik. Cekungan akan
meng alami deformasi lebih hebat apabila cekungan tersebut berada dalam satu sistem
geantiklin atau geosinklin. Akibat gaya tektonik yang terjadi pada waktu-waktu
tertentu, batubara bersama dengan batuan sedimen yang merupakan perlapisan di
antaranya akan terlipat dan tersesarkan. Proses perlipatan dan pensesaran tersebut
akan mengha silkan panas. Panas yang dihasilkan akan berpengaruh pada proses
metamorfosis batubara, dan batubara akan menjadi lebih keras dan lapisannya
terpatah-patah. Makin banyak perlipatan dan pensesaran terjadi di dalam cekungan
sedimentasi yang mengandung batubara, secara teoritis akan meningkatkan mutu
batubara. Oleh sebab itu, pencarian batubara bermutu baik, diarahkan pada daerah
geosinklin atau geantiklin, karena di kedua daerah tersebut diyakini kegiatan tektonik
berjalan cukup intensif.

10. Metamorfosa organik


Tingkat kedua dalam proses pembentukan batubara adalah penimbunan atau
penguburan oleh sedimen baru. Apabila telah terjadi proses penimbunan, proses
degradasi biokimia tidak berperan lagi. tetapi mulai digantikan dan didominasi oleh
proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi
batu bara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan ait lembab,
oksigen dan senyawa kimia lainnya antara lain CO, CO₂, CH serta gas lainnya, Di lain
pihak terjadi pertambahan prosentase karbon (C), belerang (S) dan kandungan abu.
Peningkatan mutu batubara sangat ditentukan oleh faktor tekanan dan waktu. Tekanan
dapat diakibatkan oleh lapisan sedimen penutup yang tebal, atau karena tektonik.
Waktu ditunjukkan, bilamana bahan utama pembentuk batubara mulai bergradasi.
Makin lama selang waktu semenjak saat mulai bergradasi hingga berubah menjadi
batubara, makin baik mutu batubara yang diperoleh.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan ber- tambahnya tekanan dan percepatan
proses metamorfosa organik. Proses ini akan mengubah gambut menjadi batubara
sesuai dengan perubahan kimia, fisika dan tampak pula pada sifat optiknya.

C. Berbagai Bentuk Lapisan Batubara Berdasarkan Proses Pembentukannya


1. Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang
menutupinya melengkung kearah atas, akibat adanya gaya kompresi. Tingkat
pelengkungan sangat ditentukan oleh besaran gaya kompresi. Makin kuat gaya
kompresi yang berpengaruh, makin besar tingkat pelengkungannya. Kearah lateral
lapisan batubara mung- kin akan sama tebalnya atau menjadi lebih tipis. Kenampakan
ini da- pat terlihat langsung pada singkapan lapisan batubara yang tampak/ dijumpai
di lapangan (dalam skala kecil), atau dapat diketahui dari hasil rekonstruksi beberapa
lubang pemboran eksplorasi pada saat dilakukan coring secara sistematis. Akibat dari
pelengkungan ini, lapisan batubara terlihat terpecah-pecah akibatnya batubara
menjadi kurang kompak.
Pengaruh air hujan, yang selanjutnya menjadi air tanah, akan mengakibatkan
sebagian dari butiran batuan sedimen yang terletak di atasnya, bersama air tanah akan
masuk di antara rekahan lapisan batubara. Kejadian ini akan mengakibatkan apabila
batubara tersebut ditambang, batubara mengalami pengotoran (kontaminasi) dalam
bentuk butiran-butiran batuan sedimen sebagai kontaminan anorganik, sehingga
batubara menjadi tidak bersih. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan, apabila
batubara tersebut akan diper- gunakan sebagai bahan bakar. Pada gambar di bawah
ini, tampak lapisan batu bara berbentuk Horse Back.
2. Bentuk Pinch

Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara yang menipis di bagian tengah. Pada
umumnya bagian bawah (dasar) dari lapisan batubara bentuk ini merupakan batuan yang plastis
(misal batu lempung), sedang bagian atas dari lapisan batubara secara setempat- setempat
ditutupi oleh batupasir, yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur. Sangat
dimungkinkan, bentuk pinch ini bukan merupakan penampakan tunggal, melainkan merupakan
penampakan yang berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch bervariasi dari beberapa meter sampai
puluhan meter. Dalam proses penambangan batubara batupasir yang mengisi pada alur-alur
tersebut tidak terhindarkan ikut tergali, sehingga keberadaan fragmen-fragmen batupasir
tersebut juga dianggap sebagai pengotor anorganik. Keberadaan pengotor ini tidak diinginkan
apabila batubara tersebut akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
3. Bentuk Clay Vein

Bentuk ini terjadi apabila di antara 2 bagian (secara lateral) endapan batubara terdapat
urat lempung ataupun pasir. Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri endapan batubara
mengalami patahan, dan di antara 2 bidang patahan tersebut yang merupakan rekahan
terbuka terisi oleh lempung ataupun pasir. Apabila batubaranya ditambang, bentukan Clay
Vein ini dipastikan ikut tergali dan merupakan pengotor anorganik yang tidak diinginkan.
Pengotor ini harus dihilangkan apabila batubara tersebut akan dimanfaatkan sebagai bahan
bakar.

4. Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila di daerah batubara terbentuk, terdapat suatu kulminasi, seolah-
olah lapisan batubaranya seperti "terintrusi". Sangat dimungkinkan lapisan batubara pada
bagian yang "terintrusi" menjadi menipis atau hampir hilang sama sekali. Bentukan "intrusi"
mempunyai ukuran dari beberapa meter sampai puluhan meter (lihat gambar 2.4.) Data hasil
pemboran inti pada saat eksplorasi akan banyak membantu dalam menentukan dimensi
bentukan tersebut.
Apabila bentukan "intrusi" tersebut merupakan batuan beku, pada saat proses
penambangan dapat dihindarkan, tetapi apabila bentukan terse- but merupakan tubuh batupasir,
dalam proses penambangan sangat dimungkinkan akan ikut tergali. Oleh sebab itu ketelitian
dalam peren- canaan penambangan sangat diperlukan, agar fragmen-fragmen batuan "intrusi"
tersebut dalam batubara yang dihasilkan dari kegiatan penambangan dapat dikurangi sehingga
keberadaan pengotor an- organik tersebut jumlahnya dapat diperkecil.
5. Bentuk Fault (Patahan)

Bentuk ini terjadi apabila di daerah endapan batubara meng- alami beberapa seri patahan.
Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan perhitungan cadangan batubara. Hal
ini disebabkan telah terjadi pergeseran perlapisan batubara ke arah vertikal. Dalam
melaksanakan eksplorasi batubara di daerah yang memperlihatkan banyak gejala patahan,
diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, tidak dibenarkan hanya berpedoman pada hasil
pemetaan geologi permuka- an saja. Oleh sebab itu, di samping kegiatan pemboran inti, akan
lebih baik apabila ditunjang oleh data hasil penelitian geofisika.
Dengan demikian rekonstruksi perjalanan lapisan batubara dapat diikuti dengan bantuan
hasil interpretasi dari data geofisika. Apabila patahan- patahan secara seri didapatkan, keadaan
batubara pada daerah patahan akan ikut hancur. Akibatnya keberadaan kontaminan anorganik
pada batubara tidak terhindarkan. Makin banyak patahan yang terjadi pada satu seri sedimentasi
endapan batubara, makin banyak kontaminan anorganik terikut pada batubara pada saat
ditambang.
6. Bentuk Fold (Perlipatan)

Bentuk ini terjadi apabila di daerah endapan batubara didapat- kan, mengalami proses
tektonik hingga terbentuk perlipatan. Perli- patan tersebut dimungkinkan masih dalam bentuk
sederhana, misalnya bentuk antiklin atau bentuk sinklin, atau sudah merupakan kombinasi dari
kedua bentuk tersebut Pada lapangan batubara yang sangat luas. bentuk-bentuk tersebut dapat
berupa sinklinorium ataupun antikli- norium. Lapisan batubara ber bentuk fold, memberi
petunjuk awal pada kita bahwa batubara yang terdapat di daerah tersebut telah mengalami
proses coalification relatif lebih sempurna. akibatnya batubara yang diperoleh kualitasnya
relatif lebih baik Sering kali terjadi. lapisan batubara bentuk fold berasosiasi dengan lapisan
batubara berbentuk fault. Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak
perlipatan dan patahan, kegiatan pemboran inti perlu mendapat prioritas utama agar ahli geologi
mampu membuat rekonstruksi struktur dalam usaha menghitung jumlah cadangan batubara.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, L.O.M., 1998. Pemanfaatan Teknologi Desulfurisasi pada


Pembangkit Listrik, WEC, Jakarta

Daulay, B., 1967. Pengenalan Petrologi Batubara, Berita PPTM., Bandung, 1-8.

Harijono, D., 1993. Pengembangan Teknologi Pemanfaatan Batubara di Indonesia: Status,


Peluang dan Tantangan, Seminar Nasional Batubara Indonesia. Yogyakarta.

Indratno, B.,1994. Pengembangan Gambut di Indonesia, Berita Batubara dan Gambut,


Jakarta, nomor 2, th,10. 6-7.

Kardono, 1998. Desulfurisasi Batubara dengan Mikrobia, WEC., Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai