Anda di halaman 1dari 10

2.1.

2 Tinjauan Umum Mengenai Batubara


Sebagaimana diketahui bahwa batubara merupakan suatu endapan yang
tersusun dari bahan-bahan organik yang pembentuknya merupakan hasil akumulasi
sisa-sisa tanaman yang telah mengalami pemadatan melalui proses ubahan secara
kimia serta metamorfosa oleh panas dan tekanan selama waktu geologi (Wood, 1938).
Bahan organik yang dihasilkan dari sisa-sisa tumbuhan yang telah mengalami
tingkat pembusukan dan perubahan sifat fisik serta kimia baik sebelum maupun
sesudah tertutup oleh endapan lain di atasnya. Bahan organik utama pembentuk
batubara dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan seperti dari kulit pohon, akar, batang, daun,
spora, pollen, resin dan lain-lain.

2.1.2.1 Perkembangan Evolusi Tumbuh-tumbuhan


Evolusi tumbuhan akan menentukan jenis tumbuh-tumbuhan yang nantinya
dapat dirubah menjadi gambut. Pada daerah dengan iklim kering, tumbuhan yang dapat
menjadi gambut dicirikan oleh pohon-pohon gymnosperm, lycopod dan jenis semak-
semak.

2.1.2.2 Lingkungan Pengendapan Batubara


Diessel (1984), menyatakan bahwa lebih dari 90% endapan batubara terbentuk
pada lingkungan paralis, yaitu daerah rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai.
Daerah seperti ini biasanya dijumpai di sekitar dataran pantai, lagun, delta dan ke arah
darat berupa endapan sungai.
Lingkungan pengendapan sungai (fluvial), selalu dikaitkan dengan system
pengendapan yang medianya adalah air sungai. Umumnya endapan fluvial terdiri dari
fragmen batuan yang berukuran lempung sampai bongkah dan mengandung fosil non-
marine, ukuran dari fragmen batuan sangat erat hubungannya dengan arus yan terjadi
di daerah tersebut.
Lingkungan delta, merupakan daerah muara sungai atau bentuk teminal sungai
yang menuju ke laut. Daerah ini umumnya relatif datar atau sangat landai dengan
kondisi arusnya sangat tenang, pertumbuhan daerah ini ditentukan oleh keseimbangan
antara kecepatan sediment supply oleh sungai dengan kerja dari ombak dan arus. Delta
akan terbentuk apabila arus dan ombak bekerja lebih lambat dari kecepatan sediment
supply, apabila terjadi sebaliknya maka delta tidak akan terbentuk. Lingkungan
pengendapan delta dianggap terletak pada transisi antar lingkungan kontinental dan
marine. Endapan delta merupakan sedimen yang tertranspor oleh sungai dan
diendapakan pada perbatasan antara lingkungan kontinental dan marine.
Lingkungan pengendapan di daerah lagun bisa terjadi karena daerah ini
mempunyai suasana yang tenang, disebabkan karena laut lepas tidak begitu
berpengaruh, letaknya terhalang oleh bar. Sedangkan batubara di daratan pantai
terbentuk pada rawa-rawa di belakang pematang pasir pantai yang ke arah darat
berasosiasi dengan system lagun yang merupakan suatu daerah yang baik untuk
terbentuknya batubara dan gambut. Hal ini disebabkan oleh buruknya sistem sirkulasi
air karena adanya pulau-pulau penghalang (barrier island) dan hubungan dengan laut
terbuka hanya terjadi dengan melaui tidal channel.

2.1.2.3 Sedimentasi Batubara


Taichmuller (1982), menyatakan bahwa banyak faktor yang menentukan fasies
batubara. Fasies ini menunjukkan tipe-tipe genetika batubara yang didalamnya
termasuk diagenetis, penentuan kompsisi mineral dan bahan-bahan organik. Hal ini
ditentukan oleh beberapa faktor yang sangat menentukan antara lain
1. Tipe pengendapan
2. Komunitas tumbuh-tumbuhan
3. Susunan endapan batubara
4. Potensi reduksi-oksidasi

2.1.2.3.1 Tipe Pengendapan


Wilson (1957) dan Taichmuller (1982), menyatakan bahwa secara teoritis
batubara dapat terbentuk secara insitu (autochtchonus) dan secara transported
(allochthonus).
Batubara insitu terbentuk akibat tumbuh-tumbuhan yang tumbang pada
tempatnya, kemudian mengalami proses pembatubaraan (coalification) dan dicirikan
oleh adanya jejak-jejak akar pada lapisan lempung yang berada di bawah lapisan
batubara, disebut underclay.
Batubara transported terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang tumbang pada
tempatnya kemudian mengalami transportasi dan sedimentasi pada batuan sedimen
klastik yang selanjutnya diendapkan di suatu tempat atau di suatu cekungan membentuk
endapan batubara. Batubara transported dicirikan oleh banyaknya material berupa
mineral dan tidak ditemukannya jejak-jejak akar pada lapisan lempung di bawah lapisan
batubara, serta kualitas batubaranya kurang baik.

2.1.2.3.2 Komunitas Tumbuh-tumbuhan


Jenis komunitas tumbuh-tumbuhan pada suatu rawa dapat bervariasi sesuai
dengan kondisi atau keadaan ekologi terutama water table, salinitas dan iklim. Fisher
(1961) dan Taichmuller (1982), mengemukakan tentang jenis-jenis rawa yang
dikelompokkan berdasarkan komunitas tumbuhannya, yaitu :
1. Rawa-rawa dengan tumbuhan air
2. Rawa-rawa dengan alang-alang dan tumbuhan berkayu
3. Rawa dengan pohon-pohon
4. Rawa dengan jenis tumbuhan lumut
Urutan tersebut di atas mewakili secara alamiah didalam pengisian suatu
cekungan sedimentasi, mulai dari tumbuhan berkayu sampai jenis tumbuhan tingkat
rendah, yaitu lumut.

2.1.2.3.3 Susunan Endapan Batubara


Susunan bahan pembentuk endapan batubara akan berpengaruh terhadap
komposisi dari batubara itu sendiri yang dipengaruhi oleh PH, kandungan sulfur, aktifitas
bakteri dan suplai makanan.
Batubara dan gambut yang diendapkan pada lingkungan payau umumnya kaya
akan kandungan sulfur, hidrogen, nitrogen dan abu. Sedangkan nilai PH yang tinggi
dipengaruhi oleh adanya penetralan air laut serta besarnya perkembangan bakteri di
lingkungan payau. Semakin besar kandungan sulfur dan pirit suatu endapan batubara
menandakan semakin dalam pula batubara tersebut diendapkan.
Kandungan oksigen dan nitrogen yang tinggi pada endapan batubara di
lingkungan payau dengan pengaruh air laut disebabkan oleh bercampurnya protein yang
berasal dari bakteri dan hasil-hasil metabolismenya. Sedangkan tingginya kadar abu
disebabkan oleh pengrusakan terhadap bahan organik dan banyaknya material-material
organik. Batubara yang diendapkan pada lingkunagn air tawar akan memiliki PH, sulfur,
nitrogen, hidrogen dan kadar abu yang lebih rendah daripada batubara yang diendapkan
pada lingkungan payau dan dipengaruhi oleh air laut.
2.1.2.3.4 Potensial Reduksi-Oksidasi
Faktor ini merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan
batubara karena sangat berperan dalam pembusukan sisa-sisa organik serta
penambahan kandungan gas pada batubara dan gambut, terutama jika berhubungan
langsung dengan udara terbuka dan aliran air tanah. Tingginya kadar oksigen dalam
proses pembentukan batubara akan berpengaruh terhadap kandungan metan,
karbondioksida dan hydrogen yang yang terdapat dalam batubara dan gambut yang
akibatnya akan berpengaruh terhadpa kualitas batubara itu sendiri.

2.1.2.4 Proses Pembentukan Batubara


Batubara merupakan batuan yang terbentuk dari akumulasi bahan-bahan
anorganic dan bahan-bahan organik berupa sisa-sisa tanaman yang telah mengalami
proses ubahan secara fisika dan kimia yang dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan
selama waktu geologi. Secara umum pembentukan batubara melalui 2 tahapan, yaitu :
1. Tahap penggambutan (peatification)
2. Tahap Pembatubaraan (coalification)

2.1.2.4.1 Tahap Penggambutan (Peatification)


Tahap ini merupakan tahap awal dari pembentukan batubara, dimana sisa-sisa
tanaman yang akan mengalami proses perubahan terlebih dulu menjadi gambut. Pada
proses ini sisa-sisa tanaman tersimpan pada kondisi reduksi di daerah rawa-rawa
dengan system pengeringan buruk (selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 m
(Stach, 1982).
Selanjutnya oleh adanya aktifitas dari bakteri anaerob dan fungi maka sisa-sisa
tanaman tersebut akan diubah menjadi gambut. Pada tahap ini yang berperan adalah
proses biokimia (Diessel, 1984).

2.1.2.4.2 Tahap Pembatubaraan (Coalification)


Tahap pembatubaraan merupakan suatu tahap dimana gambut akan berubah
membentuk batubara (lignit sampai antrasit) melaluin serangkaian proses geokimia dan
fisika. Proses pembatubaraan ini akan membentuk batubara dengan kualitas yang
berbeda-beda sesuai dengan tingkat pembatubaraannya.
Stach (1982), menyatakan bahwa posisi tektonik dan paleogeografi serta
keadaan iklim merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pembentukan rawa-
rawa pembentuk batubara karena posisi tektonik cekungan tempat terbentuknya
batubara mempengaruhi kecepatan penurunan dan bentuk morfologi suatu cekungan,
sedangkan iklim dibutuhkan oleh proses geografisnya, hal tersebut akan mempengaeuhi
jenis tumbuhan sebagi pembentuk endapan batubara.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Proses Analisis Batubara
Penelitian terhadap batubara meliputi studi kepustakaan dan telaah berbagai
literatur serta dilakukan pula pendekatan-pendekatan secara deduktif dengan
melakukan pemeriksaan di laboratorium yaitu melakukan analisis petrografi dan analisis
kimia terhadap berbagai contoh batubara yang telah diambil dari lapangan.

2.2.1.1 Analisis Kimia


Dalam analisis kimia terhadap batubara terdapat dua metoda analisis yaitu
analisis Proksimat dan Ultimat. Metoda analisis proksimat yang dilakukan terhadap
beberapa contoh batubara adalah untuk menentukan beberapa parameter antara lain,
kandungan zat terbang, kelembaban, kandungan air total, berat jenis dan kandungan
sulfur. Sedangkan metoda analisis ultimat merupakan kelanjutan dari analisis proksimat,
dimana unsur-unsur yang terdapat di dalam abu dianalisa meliputi temperatur pelelehan
abu. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis kimia dengan metoda ultimat.

2.2.1.2 Analisis Petrografi Batubara


Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah penelitian dengan menggunakan
sinar pantul, hal ini disebabkan oleh :
1. Contoh yang dipersiapkan lebih mudah.
2. Pengamatan dapat dilakukan dengan cepat.
3. Perhitungan komposisi-komposisi maseral dalam suatu lapisan batubara lebih cepat
dan lebih akurat.
4. Dapat dipakai untuk menentukan tingkatan batubara berdasarkan harga sinar pantul
maseral vitrinit.
Sinar pantul pada maseral dapat diukur pada setiap contoh batubara, akan tetapi
pada penelitian ini analisis petrografi yang dilakukan berupa pengamatan sinar pantul
yang diukur pada maseral vitrinit, dikarenakan :
1. Maseral vitrinit tidak terpengaruh oleh pelapukan sehingga contoh yang agak lapuk
pun dapat dimanfaatkan.
2. Maseral vitrinit menunjukkan penambahan nilai refleksi sejalan dengan pertambahan
tingkat pembatubaraan.
3. Maseral vitrinit selalu terdapat pada suatu lapisan batubara dalam jumlah yang
cukup banyak.

2.2.1.2.1 Komposisi Batubara Berdasarkan Analisa Petrografi


Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral,
analog dengan mineral-mineral dalam batuan. Maseral-maseral ini dikelompokkan
menjadi kelompok maseral hard coal dan brown coal. Pengelompokkan ini berdasarkan
pada bentuk, ukuran, relif, struktur, komposisi kimia, warna pantulan, intensitas pantulan
dan tingkat pembatubaraan.

Grup Vitrinit
Penyusun utama dari grup ini berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung
serat kayu seperti batang, dahan, serat daun dan akar. Berdasarkan struktur bagian
dalam grup vitrinit dapat dibagi menjadi tiga jenis maseral yaitu :
1. Maseral Telinit, dicirikan oleh adanya dinding sel yang biasanya diisi oleh getah
(resin), kaolinit dan lempung.
2. Kaolinit, tidak memperlihatkan bentuk struktur, didapat sebagai perekat dan pengisi
ruang antar jaringan sel.
3. Maseral Vitrodetrinit, merupakan fragmen-fragmen yang terkurung dalam kaolinit.
Kandungan-kandungan yang terdapat dalam vitrinit menurut Stach (1953),
antara lain adalah :
karbon (C) …………………………… 81,50% - 91,20%
Hidrogen (H) …………………………… 5,20% - 4,60%
Oksigen (O) …………………………… 11,70% - 2,60%
Nitrogen (N) …………………………… 1,30% - 1,20%
Sulfur (S) …………………………… 0,40% - 0,50%
Volatile Matter …………………………… 39,00% - 8,00%

Grup Eksinit (Liptinit)


Grup liptinit berasal dari tumbuhan tingkat rendah seperti spora, alga, kulit luar
(kutikula), getah tanaman dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan
asalnya maka grup ini dibedakan menjadi beberapa jenis maseral seperti sporinit,
kutinit, alginit, resinit, suberinit dan liptodetrinit.
1. Sporinit, berasal dari spora dan biasanya menunjukkan kolom batubara lignit dan
bitumina.
2. Kutinit, berasal dari daun, kulit, pucuk dan ranting yang volatile matter pada maseral
ini berkisar antara 76% - 86%, kandungan karbon sekitar 75%, kandungan hidrogen
antara 8% - 10% dan nilai kalori sekitar 16.730 BTU atau 4.218 Kcal (Neavel dan
Miller, 1960).
3. Resinit, berasal dari getah tumbuh-tumbuhan dan bahan pembentuk minyak dalam
daun-daunan yang diubah menjadi oil resinit. Pada maseral ini terkandung karbon
sekitar 77% - 85%, hidrogen 8% - 11%, oksigen 3% - 13% dan nilai kalori sekitar
9.300 Kcal.
4. Alginit, berasal dari ganggang dan biasanya menunjukkan kandungan hidrogen yang
tinggi.
5. Suberinit, berasal dari kulit kayu, akar dan batang serta biasanya volatile matter-nya
tinggi.
6. Liptodetrinit, bersal dari spora, serbuk sari, kulit, resin dan ganggang serta biasanya
mengandung hidrogen dan volatile matter yang tinggi.

Grup Inertinit
Grup inertinit diduga berasal dari tumbuhan yang sudah tebakar dan sebagian
lagi diperkirakan akibat proses oksidasi dari maseral lainnya atau proses decarboxilation
yang disebabkan oleh jamur dan bakteri (proses biokimia).
Dalam proses karbonisasi, grup ini sangat lamban bereaksi. Berdasarkan
struktur, tingkat pengawetan (preservation) dan intensitas pembakaran, grup ini
dibedakan atas fusinit, semi fusinit, makrinit, skelerinit dan inertodetrinit.

1. Fusinit, berasal dari tumbuhan yang telah terbakar ataupun hasil dari pembusukan
atau mengandung unsur karbon yang tinggi, kandungan hidrogen rendah, volatile
matter akan turun apabila tingkat pembatubaraan naik.
2. Semifusinit, berasal dari bahan-bahan kelompok vitrinit dan jenis fusinit yang
mempunyai kandungan karbon lebih tinggi dan kandungan hidrogen yang lebih
rendah dari vitrinit, tetapi apabila dibandingkan dengan fusinit kandungan karbon
lebih rendah dan kandungan hidrogrn labih tinggi.
3. Mikrinit, diduga berasal dari tummbuhan yang mengalami pembusukan kuat,
sehingga jenis tumbuhannya sulit dikenali, volatile matter dipengaruhi temperatur
dan oksidasi.
4. Makrinit, biasanya disebut mikrinit yang masif, masih berupa maseral mikrinit tetapi
tidak memperlihatkan struktur sel.
5. Skelerotinit, berasal dari sisa fungi dan mengandung karbon tinggi serta kandungan
hidrogen rendah.
6. Inertodetrinit, berasal dari fragmen-fragmen sisa fusinit, semifusinit, makrinit dan
skelerotinit. Biasanya maseral ini menunjukkan kandungan karbon yang tinggi dan
hidrogen rendah.
Untuk maseral brown coal dibedakan dengan kelompok hard coal hanya pada
kelompok huminitnya saja, sedangkan untuk yang lainnya tetap sama. Secara umum
grup huminit dibedakan dari grup vitrinit berdasarkan pada kenampakan strukturnya
yang lebih utuh pada grup huminit dan struktur yang tidak jelas pada grup vitrinit.
Grup huminit dibedakan menjadi tiga sub-grup maseral, yaitu :
1. Humotelinit, memperlihatkan struktur-struktur sel yang masih utuh. Berdasarkan
tingkat vitrinisasi, sub-grup ini dibedakan menjadi dua jenis maseral, yaitu textinit
(tingkat vitrinisasi rendah) dan ulminit.
2. Humodetrinit, berasal dari humus yang sangat halus dan dapat dibedakan menjadi
atrinit (memperlihatkan hubungan antar-partikel yang tidak begitu kuat) dan desinit
(memperlihatkan adanya penyemenan terhadap komponen-komponennya).
3. Humokolinit, terdiri dari humotelinit dan humodetrinit serta dapat dibedakan menjadi
gelinit (tidak mempunyai bentuk stuktur) dan korpohuminit (memperlihatkan adanya
bentuk struktur dan bentuk sel).

2.2.1.2.2 Litotipe dan Mikrolitotipe


Litotipe
Maseral adalah bahan dasar pembentuk batubara, namun maseral ini bukan
merupakan bongkah-bongkah terpisah akan tetapi berasosiasi dengan maseral-maseral
lain dengan perbandingan yang berbeda. Asosiasi maseral-maseral ini secara
megaskopis disebut litotipe. Persentase litotope dalam suatu lapisan batubara
tergantung dari jenis tumbuhan dan kondisi lingkungan pengendapannya pada saat
pembentukan batubara itu sendiri.

Mikrolitotipe
Jenis dari maseral-maseral yang telah disebutkan di atas merupakan
kenampakan bahan dasar pembentuk batubara secara individu, sedangkan
kenampakan dari kumpulan maseral-maseral secara mikroskopis disebut mikrolitotipe.
Dalam pengelompokan dari maseral-maseral ini didasarkan pada kandungan
mineralnya, maka terdapat tiga kelompok utama mikrolitotipe, yaitu monomaseral,
bimaseral dan trimaseral yang masing-masing kelompok terdiri dari beberapa
mikrolitotipe.
Penamaan mikrolitotipe tersebut didasarkan pada asosiasi maseral yang
dikandungnya, misalnya; apabila jenis maseral yang dikandungnya adalah maseral
vitrinit maka penamaan mikrolitotipe-nya adalah vitrinit.

Tabel 2.1 Ringkasan Mikrolitotipe Batubara (dimodifikasi dari ICCP, 1963 dan Bustin,
1983)
Mikrolitotipe Komposisi Kelompok Maseral
1. Maseral Vitrit Vitrinit > 95%
Maseral Liptid Liptinit > 95%
Maseral Inertid Inertinit > 95%
2. Maseral Klarit vitrinit + liptinit > 95%
Maseral Vitrinerit vitrinit + inertinit > 95%
Maseral Durit liptinit + inertinit > 95%
3. Maseral Duroklarit vitrinit > liptinit dan inertinit
Maseral Klarodorit inertinit > vitrinit dan liptinit
Maseral Vitrinerto-liptit liptinit > vitrinit dan inertinit
Tabel 2.2 Ringkasan Litotipe Batubara (dimodifikasi dari Stopes, 1919)

Litotipe Keterangan Pemeriksaan Pada


Mikroskop
Berbentuk lapisan atau lensa, sangat
Vitrit dan sedikit klarit
Vitrain cemerlang, ketebalan berkisar 3 – 5 cm,
(kaya akan vitrit).
pecah dengan sisten kubik.

Lapisan-lapisan tipis yang cemerlang dan Klarit, sedikit vitrit (kaya


Klarain
buram. akan viterit dan eksinit).

Hitam atau abu-abu hitam, kilap sutera,


Fusain Fusit (kaya fusinit)
berserabut, gampang diremas.

Abu-abu hitam kecoklatan, permukaan Durit (kaya eksinit dan


Durain
kasar, kilap greasy. inertinit).

Anda mungkin juga menyukai