Anda di halaman 1dari 7

Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang

mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama
jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang
mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification).
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat
tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh
tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan
terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbedabeda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) dikenal sebagai
zaman batu bara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari
setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut
sebagai maturitas organik. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang
selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara coklat (brown coal).
Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu bara
muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah
batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus
berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk
bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas
organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.
Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari
setiap unsur utama pembentuk batubara.

Komposisi Batubara
20 Dec 2014
Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat yang terdapat di alam dengan komposisi
yang cukup kompleks. Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat ditengarai
berupa jejak kulit pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, pollen, damar, dan lain-lain.
Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat pembusukan
(dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik maupun kimia baik
sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya.
Pada dasarnya terdapat dua jenis material yang membentuk batubara, yaitu:
Combustible Material, yaitu bahan atau material yang dapat dibakar/ dioksidasi oleh
oksigen. Material tersebut umumnya terdiri dari karbon padat (Fixed Carbon), senyawa
hidrokarbon, total Sulfur, senyawa Hidrogen, dan beberapa senyawa lainnya dalam jumlah
kecil.
Non Combustible Material, yaitu hahan atau material yang tidak dapat dibakar/dioksidasi
oleh oksigen. Material tersebut umurnnya terdiri dan senyawa anorganik (Si02, A1203,

Fe203, Ti02, Mn304, CaO, MgO, Na20, K20 dan senyawa logam lainnya dalam jumlah kecil)
yang akan membentuk abu dalam batubara. Kandungan non combustible material ini
umumnya tidak diingini karena akan mengurangi nilai bakarnya.
Pada proses pembentukan batubara, dengan bantuan faktor fisika dan kimia alam,
cellulosa (C49H7O44) yang berasal dan tanaman akan mengalami perubahan menjadi
Lignite (C70H5O25), Subbituminous (C75H5O20), Bituminous (C80H5O15) atau Anthracite
(C94H3O3).
Untuk proses pembatubaraan fase lanjut dengan waktu yang cukup lama atau dengan
bantuan pemanasan, maka unsur senyawa karbon padat yang terbentuk akan bertambah
sehingga grade batubara akan menjadi lebih tinggi. Pada fase ini unsur Hidrogen yang
terikat pada molekul air yang terbentuk akan menjadi semakin sedikit.
Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya
cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya
dengan berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin,
dll. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi bergantung pada spesies dari
tumbuhan penyusunnya.

Genesa Batu Bara


Komposisi kimia batu bara hampir sama dengan komposisi kimia jaringan
tumbuhan, keduanya terdiri dari unsur C, H, O, N, S, P. Hal ini disebabkan batu bara terbentuk dari jaringan
tumbuhan yang mengalami proses pembatubaraan (coalification).
Teori pembentukan batu bara dikenal dengan dua istilah : Teori insitu dan Teori drift (Krevelen, 1993 dalam
Sukandarrumidi, 2005).
Teori insitu menjelaskan tempat dimana batu bara terbentuksama dengan
tempat terjadinya proses coalification dan sama pula tempat dimana tumbuhan asalnya berkembang. Beberapa
ciri yg digunakan dalam memberlakukan teori insitu pada daerah tambang batu bara:
Terdapatnya Harz
= geteh tumbuhan yang telah membatu. Warna harz kuning tua sampai kuning kehitaman, relative lunak jika
dibandingkan dengan kuku manusia dan mudah digerus menjadi butir-butir halus, jika dibakar berbau
kemenyan
Terdapatnya imprint : tikas tulang daun tumbuhan yg tumbang dan tertutup oleh batuan
sedimen, umumnya sedimen berbutir halus/jenis batu lempung Kedua kenampakan diatas banyak didapatkan
didaerah tambang batu bara Samarinda dan Tenggarong (sukandarrumidi, 2005). Teori drift menjelaskan
bahwa endapan batu bara yg berada pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata lain tempat
terbentuknya batu bara berbeda dengan tempat semula tumbuhan asal batu bara. Oleh kerena itu bahan
pembentuk batu bara telah mengalami proses transportasi, sortasi dan terakumulasi pd suatu cekungan
sedimen, dimana keberadaan herz dan imprint tidak didapatkan, selain itu lapisan batu bara dengan lapisan
statigrafi yg diatasnya berbeda. A.
Faktor yang Berpengaruh dalam Pembentukan Batu bara Dikenal
serangkaian faktor yg akan berpengaruh dan akan menentukan terbentuknya batu bara (Hutton dan Jones,
1995 dalam Sukandarrumidi, 2005) diantaranya :
Posisisi Geoteknik : letak suatu tempat yg merupakan
cekungan sedimentasi yg keberadaannya dipengaruhi oleh tektonik lempeng. Makin dekat cekungan
sedimentasi batu bara terbentuk/terakumulasi, terhadap posisi kegiatan tektonik lempeng, kualitas batu bara
yg dihasilkan akan semakin baik
Keadaan topografi daerah : Daerah tempat tumbuhan berkembang
baik, merupakan daerah yg relative tersedia air,yaitu daerah dengan topografi yg relative rendah. Keadaan
topografi ini jika dipengaruhi oleh gaya tektonik, maka akan berpengaruh terhadap luas penyebaran tanaman
yg merupakan bahan utama pembentuk batu bara, hal inilah yg menyebabkan penyebaran terbentuknya batu
bara.
Iklim daerah : iklim berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Pada daerah beriklim tropis
pada masa lampau dimungkinkan terbentuk endapan batu bara yg banyak. Sebab pada daerah dgn iklim tropis
hampir semua jenis tumbuhan dapat hidup dan proses pelapukan dapat mudah terjadi.
Proses
Penurunan Cekungan Sedimen : cekungan sedimentasi di alam bersifat dinamis (dasar cekungan dpt mngalami
penurunan atau pengankatan), apabila proses penurunan dasar cekungan lebih banyak terjadi akan menambah

luas permukaan tempat tanaman mampu hidup dan berkembang, juga diprediksi batu bara yg terbentuk akan
tebal. dengan proses hal ini terlihat di P. Sumetera dan Kalimantan.
Umur Geologi : Di Indonesia batu
bara didapat pada ckungan sedimen yg berumur tersier ( 70 jt tahun yg lalu), hal ini masih muda jika
dibanding dengan jaman karbon, sehingga mempengaruhi tingkat pembatubaraan/rank batu bara yg terbentuk.
Makin tua lapisan batu bara, makin tinggi rank batu bara yg diperoleh.
Jenis tumbuh-tumbuhan : Jenis
kayu yg keras (mis; lamtoro) dan berumur tua akan menghasdilkan mutu arang yg bagus (dalam proses
pembuatan arang) jika dibanding dengan jenis kayu yg agak lunak dan berumur muda (mis; gliricidae). Di
Indonesia khususnya P. Sumatera dan Kalimantan didapatkan jenis batu bara Bitumina dlm jumlah yg besar,
Peat yg dikenal jg sebgai gambut yg banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera yg terbentuk dri tanaman
semak dan rumput.
proses Dekomposisi : Setelah tanaman mati proses degradasi biokimia lebih
berperan, proses pembusukan akan terjadi akibat kinerja mikrobiologi dalam bentuk bakteri anaerobic (jenis
bakteri yg bekerja tanpa oksigen). Selama proses biokimia berlangsung dalam keadaan kurang oksigen (kondisi
reduksi) mengakibatkan : keluarnya air (H2O) dan unsur-unsur karbon akan hilang dalam bentuk CO2, CO, dan
metana (CH4). akibatnya jumlah unsur karbon (C) relative akan bertambah. kecepatan pembentukan gambut
tergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukannya. semakin tumbuhan yg telah
mati tertutup oleh air dan sedimen berbutir halus dgn cepat maka proses disintegrasi/ penguraian olh mikrobia
anaerobic ini lebih intensif, berbeda dgn tumbuhan yg terlalu lama berada diudara terbuka.
Sejarah
Pengendapan : Makin dekat posisi cekungan sedimentasi dengan posisi geoteknik yg selalu dinamis, akan
mempengaruhi perkembangan batu baradan cekungan letak batu bara, selama itu pula proses geokimia dan
metamorfisme organic akan ikut berperan dalam mengubah gambut menjadi batu bara. apabila dinamika
geoteknik memungkinkan terbentuknya perlipatan pada lapisan batu bara yg mengandung batu bara dan
terjadi pensesaran maka proses ini akan mempercepat terbentuknya batu bara dgn rank yg lebih tinggi, juga
pada daerah cekungan yg dekat dgn intrusi magmatis. proses-proses tersebut akan mempercepat terjadinya
proses coalification/proses permuliaan batu bara. Hasil akhir dari proses ini akan menghasilkan batu bara dgn
kandungan C yg tinggi dan H2O yg relative rendah.
Struktur geologi cekungan : Cekungan sedimen akan
mengalami deformasi yg lbh hebat oleh tektonik apabila berada pada sistem Geantiklin dan geosinklin. apabila
terjadi tektonik batu bara bersamaan dgn bt.sedimen yg merupakan perlapisan diantaranya akn terlipat dan
tersesarkan yg akan menghasilkan panas yg akan mengakibatkan metamorfosis batu bara dan bt.bara akan
menjadi lbh keras dan lapisannya terpatah-patah
Metamorfisme Organik : tingakat kedua dlam proses
pembentukan batu bara adalah penimbunan dan penguburan oleh sedimen baru, apabila penimbunan telah
terjadi maka proses biokimia tidak berperan lagi, tetapi mulai digantikan dengan proses dinamokimia. ini akan
menyebabkan perubahan gambut menjadi bt.bara dlm berbagai mutu. selama proses ini terjadi akan terjadinya
pengurangan air lembab, oksigen, dan senyawa kimia lainnya antara lain : CO, CO2, CH4 dan gas lainnya,
disaping itu akan terjadi peningkatan persentase karbon (C ), belerang (S) dan kandungan abu. peningkatan
muu batu bara sangat ditentukan oleh faktor tekanan dan waktu B.
Reaksi Pembentukan Batu Bara Bt.
Bara terbentuk dari sisa tumbuhan yg sudah mati dng komposisi utama terdiri dari Cellulosa. Proses
pembentukan batu bara disebut Coalification/pembatubaraan. Faktor fisika dan kimia akan mengubah Cellulosa
menjadi lignit,subbitumina, bitumina atau antrasit. Reaksinya sebagai berikut : 5(C6H10O5)
C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO Cellulosa
Lignit
Gas Metan
Keterangan :
Cellulosa (senyawa organic), merupakan senyawa pembentuk batu bara
Unsur C pd
lignit jumlahnya relative sedikit dibanding pd bitumina
Unsur H pd lignit relative lbih bnyk dibanding pd
bitumina, semakin bnyak unsur H pd lignit semakin rendah kualitasnya
Senyawa gas metan (CH4)pd
lignit jumlahnya relative lebih sedikit dibanding pada bitumina, semakin bnyak CH4 lignit semakin baik
kualitasnya. C.
Penciri Lapisan Batu Bara Tebal Salah satu syarat agar terbentuknya batu bara yg tebal
adalah apabila cekungan sedimentasi tempat batu bara terbentuk mengalami proses penutunan lebih dominan
oleh tektonik. penurunan dasar cekungan selalu diikuti oleh perluasan sisi pinggir dari cekungan. keadaan ini
akan menambah luasnya tempat bagi bahan baku pembentuk batu bara yaitu tumbuhan. Apabila semua faktor
yg mempengaruhi pembentukan batu bara telah terpenuhi, hasil yg diperoleh akan diperoleh lapisan Bt. bara
yg tebal. Salah satu Penciri kemungkinan disuatu daerah terdapat lapisan Bt, bara tebal adalah : apabila
diantara lapisan bt.bara yg relative tebal( 5 m) terdapat lapisan dlm bentuk batu lempung (Clay band atau
clay pating). Keberadaan batu bara selalu berselang seling dgn clay band. dapat jg ditemukan batu gamping pd
lapisan bt.bara. ini menunjukkan bahwa cekungan bt.bara tersebut pernah berhubungan dg laut. JENIS DAN
ANALISA BATU BARA A. Klasifikasi Batu Bara 1.
Klasifikasi Secara Umum Secara umum batu bara
digolongkan menjadi 5 bagian (dari tingkat yg paling tinngi hingga tingkat yg rendah). Penggolongan ini
menekankan pada kandungan relative antara unsur C dan H2O, diantaranya: a.
Anthracite Warna
: Hitam, sangat mengkilat Kekompkan
: kompak Kandungan Karbon
:
sangat tinggi Kandungan air
: sangat sedikit Kandungan abu
: Sangat sedikit Kandungan
sulfur
: Sangat sedikit b.
Bituminous/sub bituminous coal Warna
: Hitam
mengkilap Kekompkan
:kurang kompak Kandungan Karbon
: relatif tinggi Kandungan
air
: sedikit Kandungan abu
: sedikit Kandungan sulfur
: sedikit c.
lignite (brown
coal) Warna
: Hitam, Kekompkan
: sangat rapuh Kandungan Karbon
:

sedikit Kandungan air


: tinggi Kandungan abu
: banyak Kandungan sulfur
:sedikit
Juga biasa terdapat istilah pengklasifikasian Batu bara berdasarkan Volatile matter, terdiri atas dua :

Long Flaming Coal : Batu bara dengan volatile matter tinggi, apabila batu bara dalam keadaan
serbuk dibakar dalam tanur putar, maka akan terurai dengan segera dan menghasilkan nyala yang pendek dan
suhunya juga rendah.
Short Flaming Coal : Batu bara dengan Volatile matter rendah. Di dunia juga
dikenal istilah hard coal : yaitu batu bara yg dapat mengghasilkan Gross Calorific value lebih dari 5.700 Kkal
/Kg (kalornya lebih tinggi dari batu bara jenis bituminous dan sub bituminous). Jenisnya dibagi dua : Jika
kandungan zat terbang/volatile matter hingga 33% ( 33%) termasuk kelas 1-5. Jika kandungan Zat
terbang/volatile matter (> 33%). termasuk kelas 6-9. 2. Klasifikasi Batu bara berdasarkan atas nilai kalornya :

Batu bara tingkat tinggi (high rank) : meta anthtacite, anthracite, semi anthracite)
Batu
bara tingkat menengah (moderate rank) : low volatile Bituminous coal, high volatile bituminous.
Batu bara tingkat rendah (low rank): Sub bituminous coal, lignite. 3. Klasifikasi menurut ASTM Tabel 1.
Klasifikasi batu bara menurut ASTM (Geiger and Gibson,1981) No. Class Grup Fixed Carbon Limit, % (dry Min.
matter water free basis) Vol.Matter Limit % (dry min.mat.water free basis) Calory value limit (moist. min.water
free basis) Agglomerating character < > < 1 Anthacite 1. Meta anthrac. 98 - - 2 - - Non
Agglomerating 2. Antrac. 92 98 2 8 - - 3. Semi antrac. 86 92 8 14 - - 2. Bituminous 1. Low.Vol.Bit.Coal 78 86
14 22 - - 2. Med.Vol.bit.coal 69 78 22 31 - - 3. High Vol.A bit.coal - 69 31 - 14000 - commonly 4. High Vol.B
bit.coal - - - - 13000 14000 agglomerating 5. High Vol.C bit.coal - - - - 11000 13000 Agglomerating 3. SubBit
1.
Subbit. A Coal - - - - 10500 11500 Non agglomerating 2.
Subbit B coal - - - - 9500 10500 3.
Subbit
C coal - - - - 8300 9500 4 Lignite 1.
Lignite A - - - - 6300 11300 2.
Lignite B - - - - - 6300 B. KUALITAS
BATU BARA Batu bara yang diperoleh dari hasil penambangan pasti mengandung bahan pengotor (impurities).
Dikenal dua jenis impurities yaitu : a. Inherent Impurities : merupakan pengotor bawaaan yg terdapat dalam
batu bara. ketika batu bara dibakar habiss, maka akam menyisahkan abu, pengotor bawaan ini terjadi
bersama-sama pada waktu pada waktu proses pembentukan batu bara. diantara pengotor tersebut ; gypsum
(CaSO42H2O), anhidrit (CaSO4), Pyrit (FeS2), Silika (SiO2)dapat juga berupa tulang binatang (yg diketahui
adanya kualitas Phosfor pada abu). Pengotor bawaan ini tidak dapat dihilangkan sama sekali tetapi dapat
dikurangi dengan pembersihan (teknologo batu bara bersih). b. External Impurities : Pengotor yg berasal dari
luar, terjadi pada saat proses penambangan, antara lain terbawanya tanah dari hasil penambanganyg berasal
dari tanah penutup. Batu bara merupakan endapan organic yg mutunya sangat ditentukan oleh beberapa
faktor: tempat terdapatnyacekungan, umur, banyaknya pengotor/kontaminasi. Dalam memperhatikan mutu
batu bara perlu diperhatikan beberapa hal : Heating Value (Calorofic value/nilai kalor) ; dinyatakan dalam
Kkal/Kg. banyaknya jumlah kalori yg dihasilkan oleh batu bara tiap satuan berat (dalam Kg). Dikenal nilai kalor
dalam net (Net calorific value atau low heating calorific value) yaitu nilai kalor dari hasil pembakaran dimana
semua air dihitung dalam keadaan gas. Nilai kalor gross (gross calorific value atau high heating value)yaitu nilai
kalor hasil pembakaran dimana semua air dihitung dalam keadaan ujud cair. semakin tinggi nilai Heating Value
(HV), maka makin lambat jalannya batu bara yg diumpan sebagai bahan bakar setiap jamnya. oleh karena itu
kecepatan umpan batu bara (coal feeder) perlu disesuaikan. Moisture Content (kandungan lengas) : Jumlah
lengas dalam batu bara akan mempengaruhi penggunaan udara primer. semakin tinggi jumlah lengasnya akan
memerlukan lebih banyak udara primer untuk mengeringkan batu bara tersebut. Lengas batu bara ditentukan
oleh jumlah kandungan air yg terdapat dalam batu bara. jenis air yg terdapat dalam batu bara :
Air
Internal (air senyawa/unsur) yaitu air yg terikat secara kimiawi. jenis air ini sulat untuk dilepaskan tapi dapat
dikurangi dgn cara memperkecil ukuran butir batu bara.
Air external (mekanikal) : air yg menempel
pada permukaan batu bara. Satu hal yg menguntungkan bahwa batu bara memeiliki sifat hydrophobic: apabila
batu bara dikeringkan, maka batu bara tersebut sulit menyerap air, sehingga tidak akan menambah air internal.
Ash Content (kandungan Abu): Komposisi batu bara bersifat heterogen, terdiri dari unsur organic (berasal
dari tumbuhan) dan senyawa anorganik yang merupakan hasil rombakan batuan yg ada disekitarnya,
bercampur selama proses transportasi, sedimentasi dan proses pembatubaraan (coalification). Apabila batu
bara dibakar senyawa anorganik yg ada diubah menjadi senyawa oksida berukuran butir halus dalam bentuk
abu, Abu hasil batu bara ini dikenal dengan ash content (kandungan abu). Abu ini merupakan kumpulan dari
bahan-bahan pembentuk batu bara yg tidak dapat terbakar (non conbusitible materials) atau yg dioksidasi oleh
oksigen. Bahan sisa dalam bentuk padatan ini antara lain: senyawa SiO2, AlO3, TiO2, Mn3O4, CaO, Fe2O3,
MgO, K2O, Na2O, P2O, SO3 dan oksida unsur lain, selain itu terdapat juga abu dari bahan organic yg terbakar.
kualitas abu sangat berperan dalam penggunaannya pada industry misalnya pada industry semen jika abu
(dalam bentuk padatan) bercampur dengan klinker dan akan mempengaruhi kualitas semen yg dihasilkan,
apabila abu ini bercampur dengan udara makaa akan menimbulkan korosi/karatan pada peralatan yg dilaluinya.
Sulfur Content (kandungan belerang) : Belerang dalam batu bara dibedakan menjadi 2; dalam bentuk
senyawa anorganik (Mineral pirit (FeS2), markasit (Fes2)) dan senyawa organic yg terbentuk selama terjadinya
proses coalification. Adanya S dalam batu bara akan berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin (bagian
luar) yg terjadi pd element pemanas udara, juga berpengaruh terhadap efektivitas peralatan penangkap abu
(electrostatic presipitator). adanya kandungan S di atmosfir dipicu oleh keberadaan air hujan yg mengakibatkan
terbentuknya air asam (dlm dunia pertambangan batu bara dikenal sbgai air asam tambng, dgn pH < 7).

Volatille Matter (bahan mudam menguap) : Kandungan VM terkait dgn proses pembatu baraan akibat adanya
overburden pressure, kandungan air dlm batu bara akan berkurang, sebalinya calorific value akan meningkat.
pada saat bersamaan batu bara mengalami proses devolatisation, diman semua sisa oksigen, hydrogen, sulfur
dan nitrogen berkurang sehingga kandungan VM jg berkurang. Kandungan VM akan mengurangi kesemournaan
pembakaran dan intensitas nyala api. Kesempurnaan nyala api dinyatakan oleh Fixed carbon.
Hubungan
antara Fuel ratio, fixed carbon dan VM.
Fixed carbon Fuel Ratio =
Volatile matter nilai FR Untuk anthracite = (10-60); semi anthrachite = (6-10),, semi
bituminous =(3-7), bituminous =(0,5-3).
Fixed Carbon : merupakan material yg tersisa setelah
berkurangnya moisture, VM dan ash. hubungan ketiganya ditunjukkan sebagai berikut : Fixed Carbon (%) =
100 % - moisture content ash content
Apabila nilai moisture content dan ash disamakan dgn nilai VM,
persamaan tersebut diats mnjadi : Fixed Carbon (%) = 100 - Volatile matter (%)
dari rumus diatas
tampak bahwa makin berkurang kandungan air berarti moisture content makin kecil, nilai FC makin tinggi.
Hardgrove Grindability Index (HGI): Suatu bilangan yg menunjukkan mudah atau sukarnya batu bara
digiling/digerus menjadi bahan bakar serbuk. makin kecil nilai HGI maka makin keras keadaan batu baranya :
HGI + 13,6 + 6,93 W
dimana W adalah berat (gram) dari batu bara halus berukuran 200 mesh, sebagai
catatan harga HGI di Indonesia berkisar antara 35-60. Dalam penelitian Amperiadi (2005) terhadap batu bara
dari daerah sebulu, Kalimantan Timur didapatkan nilai HGI antara 41-45.
Ash Fusion Character of Coal: Batu
bara apabila dipanaskan bersama-sama terutama material anorganik impurities akan melebur/meleleh . apabila
hal ini sampai terjadi akan berpengaruh pada tingkat pengotor (fouling) , pembentukan terak (slagging) dan
akan terjadi gangguan pd blower. SIFAT BATU BARA DAN DAMPAK PEMANFAATANNYA Batu bara di Alam Batu
bara berasal dari tumbuh-tumbuhan, melalui proses coalification yg cukup lama akan terbentuk batu bara, pada
saat yg sama akan membentuk gas metana (CH4) yg mudah terbakar jika dipicu dengan panas misalnya
pergesekan. Secara alamiah dalam batu bara terdapat kandungan sulfur anorganik (pirit dan markasit) dan S
organik yg ketika beraeaksi dgn oksigen dan air hujan secara bersama-sama akan membentuk larutan asam
sulfat (H2SO4). jika air dgn kandungan asam sulfat ini (pH 5-6) mengalir ke badan air (Sungai dan rawa) maka
akan mematikan biota air, oleh karena itu salah satu cara yg dilakukan adalah dgn menetralkan air tsb dgn
menggunakan kapur tohor. Batu bara mulai ditambang Land clearing, dalam proses ini batu bara akan bnyak
bercampur dgn tanah pengotor. pada saat penambangan berlangsung, masih terikut kotoran dlm bentuk
fragmen batu lempung, fragmen batu pasir,. pengetor tsb pd saat proses grinding bt. bara akan menjadi debu
yg akan mengotori butiran batu bara. Penambangan batu bara dapat dilakukan secara terbuka (surface
mining) atau tambang bawah tanah (underground mining. satu hal yg perlu diperhatikan dalam tambang
bawah tanah adalah pengadaan ventilasi udara untuk para penambang batu bara,sebab jika tidak maka akan
terjadi tekanan gas metana (CH4) yg terakumulasi dan ketika akumulasi gas itu bereaksi dgn oksigen maka
itulah yg menyebabkan timbulnya ledakan, disamping itu sangat mungkin timbulnya gas CO2 yg beracun dan
mematikan. Pengangkutan batu bara
Dari tempat penambangan, fragmen batu bara dgn
berbagai ukuran diangkut dgn truk ke tempat penimbunan (stock pile). biasanya batu bara yg diangkut dgn
truk akan ditutup oleh terpal agar batu bara tidak berceceran dijalan, sebab fragmen batu bara di jalan apabila
diinjak oleh kendaraan akan hancur dan menghasilkan debu. di stock pile batu bara akan digiling dengan mesin
penggiling/penghancur (crusher) yg bekerja dgn ayakan (sieve), batu bara yg dihasilkan dgn ukuran tertentu
sesuai permintaan buyer. Apabila batu bara hasil penggilingan belum diangkut disarankan agar timbunan batu
bara tsb. diaduk dgn wheel loader, agar udara dlm tumpukan batu bara dapat dikendalikan shingga tidak timbul
panas, jika hal itu tidak dilakukan boleh jd akan timbulnya kebakaran sebab salah satu sifat batu bara adalah
Self Ignition (terbakar sendirinya). Batu bara yg digiling, diangkut oleh belt conveyor kemudian dicurahkan ke
pontoon. jarak vertical ujung akhir belt conveyor ke pontoon antara 5-10 m. pada jarak tsb. saat batu bara
dicurahkan, maka debu batu bara secara alamiah tertiup angin, hasil yg diperoleh batu bara yg tertampung di
ponon menjadi bersih Batu Bara ditempat timbunan konsumen
Konsentrasi gas metan (CH4) yg tinggi
sngat memungkinkan sbgai salah satu penyebab kebakaran batu bara, oleh karena itu diperlukan pengontrolan
suhu pada onggokan batu bara. Salah satu metode yg paling sederhana adalah sebagai berikut :
Pada onggokan batu bara ditanamkan secara vertical batang pipa pralon yg dindingnya sudah dilubangi ,
panjang pipa pralon sama dgn tinggi tumpukan onggokan batu bara, disarankan tinggi dari tumpukan
onggokan batu bara tidak lebih dari 3 m.
Lubang pada pipa pralon dimaksudkan supaya udara yg
berada dalam onggokan batu bara dapat masuk kedalam ruang pipa pralon, diasumsikan udara yg ada didalam
onggokan fragmen batu bra sama dgn udara yg masuk kedalam ruang pipa pralon.
Didalam pipa
pralon digantungkan thermometer alcohol(yg dpt menunjukkan temperature maksimum). pada angka yg
menunjukkan temperature kritis dipasang rangkaian kabel, yg dihub dgn alat penyemprot air otomatis

Apabila telah mencapai temp. kritis maka secara otomatis aliran listrik akan menggerakkan kelep
penutup penyemprot air dan air akan memancar pada tumpukan batu bara. Namun demikian usaha mengadukaduk onggokan batu bara jg tetap dilakukan. TEKNOLOGI DESULFURISASI PADA PLTU BATU BARA PLTU
Batu bara merupakan salah satu jenis pembangkit listrik yg paling banyak menghsailkan debu, SO2 dan NOx.
Emisi debu dan gas tersebut apabila tidak dikendalikan dan berhasil lepas ke atmosfer akan mengakibatkan
dampak lingkungan oleh karena itu perlu dikembangkan teknologi Desulfurisasi pada PLTU batu bara.

Pemnafaatan teknologi desulfurisasi boiler batu bara / minyak telah dikenal sejak pertengahan tahun 1960
dijepang. Saat ini dikenal 3 tipe desulfurisasi, adalah sebagai berikut : A.
Tipe Basa Dikatakan tipe basa
sebab dalam proses pengurangan gas SO2. gas tsb. disemprotkan dgn air yg telah dicampur dgn kpur tohor yg
akan menghasilkan gypsum dan limbah air. beberapa modelnya yg dikenal
Model limestone
gypsum process dgn menggunakan limestone/lime sbgai absorben. medel jenis ini umumnya digunakan pada
pembangkit listrik dgn kapasitas 150 MW atau lebih. secara umum desulfurisasi jenis ini berlangsung sebagai
berikut: CaCo3
+ SO3 ----- CaSO3 + CO2 Ca(OH)2 + SO2 ---- CaSO3 + H2O CaSo3
+ O2 ---
CaSO42H2O dari persamaan tersebut, terlihat bahwa gypsum diperoleh dgn menyemprotkan udara kedalam
slurry sulfit yg terbentuk dari hasil ikatan antara sulfur dioksida dgn kapur. Prinsip kerja Model ini : melalui
pencampuran limestone/lime dalam tangki air yg membentuk slurry dan diteruskan kedalam scrubber, ditempat
ini slurry akan disemburkan dan beraeaksi dgn gas buang hasil pembakaran batu bara dari boiler guna
mengurangi kandungan SO2 dari gas buang tersebut. Di Jepang dikembangkan 3 jenis scrubber untuk Flue gas
Desulfurisasi (FGD), diantaranya:
Jenis packet tower Dikembangkan oleh Mitsubishi Heavy
Industries (MHI); menghasilkan kontak antara gas dan liquid (slurry) yg sangat baik. teknologinya sederhana
dgn permukaan licin sehingga tidak mengahasilkan scaling (terak)
Jet Bubbling Reactor
Scrubber Oxidezer System banyak florida dan alumina yg dapat menurunkan efisiensi pengurangan gas buang
dan kadar abu. untuk menaggulanginya ditambahkan zat additivies (zat tambahan) seperti sodium,
magnesium, dan senyawa lainnya yg jg memiliki kemampuan yg sama. Sistem F tidak mempunyai oxidizer yg
dapat mempengaruhi kualitas gypsum. Untuk itu perlu pengaturan proses oksidasi melalui pengaturan pH
sekitar 5 dan konsentrasi gas sebesar 1.000 ppm. B.
Tipe kering tipe ini dalam pengoperasiaannya
banyak memerlukan limestone/lime untuk mengikat gas SO2. Abserben batu kapur diinjeksikan kedalam ruang
pembakaran (boiler/ semacam ketel uap), sedangkan absoben kapur diinjeksikan kedalam duct( pipa/saluran
buangan). disamping itu air dalam proses ini tidak diperlukan, sehingga setelah penginjeksian limestone atau
lime, gas buang tsb. langsung diteruskan kecerobong untuk dibuang ke atmosfer. Walaupun teknologi ini
cukups sederhana, namun kenyataanyan tidak banyak Negara yg memanfaatkan teknologi tsb. hal ini
disebabkan oleh:
Efisiensi pengurangan gas SO2 sangat tergantung dari volume injeksi limestone
atau lime (semakin banyak injeksi limestone/lime, semakin besar efisiensi pengurangan gas SO2
SEmakin memperbesar penurunan produksi listrik yg diakibatkan oleh endapan yg terjadi di boiler atau duct.

produk sampingan berupa gypsum kurang dapat dimanfaatkan seab bnyak mengandung abu
terbang, kapur, kasium sulfat dan sulfit. C.
Tpe Semi Kering Sistem ini merupakan pengembangan dari
sistem kering ke sistem basah, yg menggunakan limestone/lime sebagai absorben serta air yg disemprotkan
kedalam spray cooler. guna membantu proses pendinginan gas buang hingga mecapai 70 oC. pada dasranya
tipr ini bekerja dengan dua tahap desulfurisasi yaitu yg berlangsung diruang pembakaran dan yg beralngsungdi
spray cooler. SO2 + H2O ---------- H2SO4
_______________ (1) H2SO3 + CaO --------
CaSO3 + H2O + H2O ____________ (2) CaO + H2O -------- Ca(OH)2
____________ (3) Ca(OH)2 + SO2 ------ CaSO3.1/2 H2O +H2O
____________(4) Efisiensi Desulfurisasi
tipe semi kering dapat dicapai hingga 80 %. DESULFURISASI BATU BARA SECARA MIKROBIAL Sulfur dalam
btubara dibedakan dalam 2 jenis; sulfur anorganik (sulfur sulfat dan besi disulfida; pirit (Fe2S) dan markasit
dan sulfur organic. Sulfur sulfat tidak akan terlibat dalam pembentukan oksida sulfur (Sox), yg merupakan
salah satu polusi udara. meskipun harga batu bara relative murah, penggunaan batu bara sebagai bahan ebergi
melalui pembakaran menghasilkan limbah berupa gas yg dianggap sebagai bahan polusi, diantaranya; gas
nitrogen dioksida (NO2) dan oksida sulfur (SOx). banyak penelitian telah dilakukan untuk menurunkan kadar
oksida sulfur dari hasil pembakaran batu bara. Teknologi pemisahan batuabara dpt dilakukan pd tahap
sebelumnya, selama atau sesudah pembakaran atau kombinasi diantaranya. Ditinjau dari prosesnya
desulfurisasi selalu melibatkan proses kimia, fisika dan biologi atau kombinasi ketiga proses. Saat sekarang
teknik desulfurisasi batu bara yg umum dilakukan adalah dgn pembersihan secara fisik seperti pembusaan
(froth flotation), penggumpalan dgn minyak (oil Angglomeratin) dan pemisahan scr gravitasi (gravitasi
separation) (Min and Wheellock,1977. dalam sukandarrumidi 2005) Froth flotation dan oil anglomerating
menggunakan teknik pemisahan akibat dari perbedaan sifat permukaan batu bara dan partikel mineral
anorganik yg terendapkan dalam air. pada Froth flotation partikel batu bara yg bersifat hydrophobic (yg sulit
mengikat air) dgn partikel batu bara yg bersifat hydrophilic (mudah mengikat air) Dalam proses oil
anglomerating partikel batu bara secara selektif dilapisi dan digumpalkan oleh minyak, kemudian dipisahkan
dgn jalan penyaringan. pemisahan secara gravitasi dapat menghasilkan yg tinggi untuk partikel batu bara yg
kasar (ukuran besar) dan kurang selectif untuk batu bara dgn ukuran kecil, oleh sebab itu pemisahan secara
gravitasi merupakan proses pelengkap pd cara pembersihan dgn cara pengapungan maupun penggumpalan
minyak. Walaupun demikian tidak satu pun pemisahan csra fisik ini akan bekerja secara efektif kecuali kotoran
mineral hrus dibersihkan dari batubara terlebih dahulu. Kerugian utama dari pembersihan secara fisik adalah
kehilangan energy secara tidak langsung dalam pemisahan partikel batubara yg mengandung sulfur pirit halus
dan terikat didalam batu bara. Proses desulfurisasi kedua adalah dgn metode kimia. Proses tsb antara lain :
proses Meyers (Hamersma.1977), desulfurisasi dgn oksidasi Friesnab, 1977) hidrodesulfurisasi,(Lening, 1977).
Proses Meyers merupakan proses leacing secara kima menggunakan cairan sulfat besi, yg digunakan untuk

mengambil kandungan sulfur pirit dan bukan sulfur organic. Proses desulfurisasi dgn oksidasi yaitu dgn udara.
Dimana kadar S dikurangi melalui konversi dengan udara. menjamin hasil yg mudah menguap (terutama sulfur
dioksida) dan sulfat-sulfat yg mudah larut dan dapat dipindahkan dgn medium air pencuci pada tahap
berikutnya.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu

Anda mungkin juga menyukai