Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Industri pertambangan batubara di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang


sangat pesat. Hal ini didorong dengan adanya tuntutan bahwa perlu tersedianya persediaan
batubara untuk mencukupi permintaan pasar. Oleh karena itu kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi terhadap batubara semakin meningkat pula.
Dari kegiatan eksploitasi yang besar-besaran ini tidak terlepas dari dampak yang
ditimbulkan terhadap lingkungan, baik itu dampak positif maupun negatif. Hal yang sering
dipermasalahkan dari dampak negatif berupa terjadinya pencemaran lingkungan. Salah
satunya adalah pencemaran Air Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD).
Pencemaran yang ditimbulkan akibat air asam tambang adalah adanya logam terlarut yang
akan mengurangi kesuburan tanah, korosi pada peralatan dan timbul masalah kesehatan pada
masyarakat di sekitar penambangan. Untuk itu kegiatan penambangan harus dikelola dengan
baik agar tidak merugikan terhadap lingkungan.
Timbulnya air asam tambang ini disebabkan adanya kandungan sulfur pada lapisan
batuan. Sulfur dalam batuan terdapat dalam ikatan organik dan sebagai mineral anorganik
yang terbentuk bersamaan dengan pembentukan batuan itu sendiri. Selain itu adanya mineral
pengotor yaitu pyrit yang teroksida sehingga terbentuk air asam tambang tersebut.

1.2 Maksud dan tujuan

Maksud dan tujuan dari penyusunan seminar ini adalah untuk mengenal dan mengetahui
lebih dalam tentang pengaruh air asam tambang terhadap penambangan batubara

1.3. Batasan Masalah


Adapun batasan-batasan masalah dalam penulisan ini, yaitu:

1
a) Pengenalan umum batubara.
b) Proses terbentuknya Air Asam Tambang(AAT)
c) Proses pencegahan serta pananggulangannya
1.4. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini menggunakan metode pengumpulan data dengan melakukan
studi yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas. penulisan ini dilakukan
dengan mencari bahan-bahan pustaka yang menunjang diperoleh dari:
Perpustakaan;
Brosur-brosur, buletin;
Informasi-informasi;
Gambar dan tabel.
Metode Download Data merupakan metode atau teknik pengumpulan data dengan
memanfaatkan situs-situs internet untuk mendapatkan file atau data yang berhubungan dengan
materi yang akan dibahas.

1.5. Manfaat Penulisan


a. Sebagai langkah awal untuk mengetahui awal untuk mengenal secara umum Pengaruh
Air Asam Tambang (AAT) terhadap penambangan batubara
b. Lebih mengenal proses pembentukan, pecegahan serta penanggulangan Air Asam
Tambang (AAT)

2
BAB II

GENESA BATUBARA DAN PROSES TERBENTUKNYA AIR ASAM TAMBANG


BATUBARA SERTA DAMPAKNYA TERHADAP LINGKUNGAN

2.1. Genesa Batubara


Pada prinsipnya terbentuknya endapan batubara karena adanya pembusukan dari
tumbuhan yang terakumulasi dalam jangka waktu yang sangat lama. Karena adanya proses
pemanasan dan tekanan yang berbeda beda maka akan terbentuk lapisan dengan peringkat
berbeda yang dimana mempunyai kandungan C, H, O (utama), N, S, P (sekunder). Untuk
memahami bagaimana batubara terbentuk dari tumbuh tumbuhan perlu diketahui dimana
batubara terbentuk dan faktor faktor yang akan mempengaruhi.

2.1.1. Pembentukan Batubara


Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba
yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang
berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar
fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan
pembatubaraan (coalification).
Ada dua teori yang menyatakan tentang terbentuknya batubara berdasarkan dari asal tumbuhan,
dimana kedua teori ini di terapkan di Australia. Kedua teori tersebut adalah :
Insitu teori : Teori insitu menjelaskan, tempat dimana batubara terbentuk sama dengan tempat
terjadinya proses coalification dan sama pula dengan tempat dimana tumbuhan
tersebut berkembang. Oleh sebab itu beberapa penciri yang dapat dipergunakan
untuk mengetahui berlakunya teori insitu pada suatu daerah tambang batubara,
antara lain didapatkannya getah tumbuhan yang telah mengeras (membatu), dalam
istilah geologi disebut Harz (istilah setempat dikenal sebagai damar
selo/gandarukem). Warna Harz, kuning tua sampai kuning kehitaman, relatif lunak
dibandingkan dengan kekerasan kuku manusia, dan mudah digerus menjadi butir-
butir halus, apabila dibakar berbau seperti kemenyan. Pada saat tumbuhan tumbang,
mati dan tertutup oleh batuan sedimen, seringkali daun masih terdapat bersama
dengan kayunya. Oleh sebab itu didapatkannya tikas tulang daun (disebut pula

3
sebagai imprint) pada batuan sedimen yang menutupinya (pada umumnya terdapat
pada batuan sedimen yang berbutir halus, jenis batu lempung). Tikas ini
memperlihatkan bekas jaringan tulang daun. Kedua kenampakan tersebut diatas,
yaitu keterdapatan Harz dan imprint tulang daun, banyak didapatkan di daerah
tambang batubara Samarinda dan Tenggarong (Amperadi dan Sukandarrumidi,
2005)

Bahan- bahan pembentuk lapisan batubara terbentuk ditempat dimana tumbuh-


tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan mati, belum
mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami
proses coalification.

Drift teori : Teori drift menjelaskan, bahwa endapan batubara yang terdapat pada cekungan
sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata lain tempat terbentuknya batubara
berbeda dengan tempat tumbuhan semula berkembang kemudian mati. Oleh sebab
itu bahan pembentuk batubara tersebut telah mengalami proses transportasi, sortasi
dan terakumulasi pada suatu cekungan sedimen. Oleh karenanya keberadaan Harz
dan tikas daun tidak pernah didapatkan, disamping kualitas batubara antara lapisan
yang satu dengan lapisan stratigrafi diatasnya berbeda. Hal ini mudah dimengerti
karena selama terjadi proses transportasi yang berkaitan dengan kekuatan arus air,
pada saat arus kuat akan terhanyutkan pokok pohon yang besar, sedang pada saat
arus air kekuatan berkurang yang diangkut bagian pohon yang lebih kecil (ranting
dan daun). Penyebaran batubara dengan konsep teori drift, mungkin luas ataupun
sempit, tergantung pada luas cekungan sedimentasi. (Krevelen, 1993).

2.2. Proses Pembentukan Batubara

Pembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi bahwa material


tanaman terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama, mengalami peluruhan sebagian
kemudian hasilnya teralterasi oleh berbagai macam proses kimia dan fisika. Selain itu juga,
dinyatakan bahwa proses pembentukan batubara harus ditandai dengan terbentuknya peat.

4
2.2.1 Pembentukan Lapisan Source

a. Teori Rawa Peat (Gambut) Autocthon


Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batubara berasal dari akumulasi sisa-sisa tanaman
yang kemudian tertutup oleh sedimen diatasnya dalam suatu area yang sama. Dan dalam
pembentukannya harus mempunyai waktu geologi yang cukup, yang kemudian teralterasi
menjadi tahapan batubara yang dimulai dengan terbentuknya peat yang kemudian berlanjut
dengan berbagai macam kualitas antrasit. Kelemahan dari teori ini adalah tidak mengakomodasi
adanya transportasi yang bisa menyebabkan banyaknya kandungan mineral dalam batubara.

b. Teori Transportasi Allotocton


Teori ini mengungkapkan bahwa pembentukan batubara bukan berasal dari degrades /
peluruhan sisa-sisa tanaman yang insitu dalam sebuah lingkungan rawa peat, melainkan
akumulasi dari transportasi material yang terkumpul didalam lingkungan aqueous seperti danau,
laut, delta, hutan bakau. Teori ini menjelaskan bahwa terjadi proses yang berbeda untuk setiap
jenis batubara yang berbeda pula.

c. Proses Geokimia dan Metamorfosis


Setelah terbentuknya lapisan source, maka berlangsunglah berbagai macam proses.
Proses pertama adalah diagenesis, berlangsung pada kondisi temperatur dan tekanan yang normal
dan juga melibatkan proses biokimia. Hasilnya adalah proses pembentukan batubara akan terjadi,
dan bahkan akan terbentuk dalam lapisan itu sendiri. Hasil dari proses awal ini adalah peat, atau
material lignit yang lunak. Dalam tahap ini proses biokimia mendominasi, yang mengakibatkan
kurangnya kandungan oksigen. Setelah tahap biokimia ini selesai maka berikutnya prosesnya
didominasi oleh proses fisik dan kimia yang ditentukan oleh kondisi temperatur dan tekanan.
Temperatur dan tekanan berperan penting karena kenaikan temperatur akan mempercepat proses
reaksi, dan tekanan memungkinkan reaksi terjadi dan menghasilkan unsur-unsur gas. Proses
metamorfisme (temperatur dan tekanan) ini terjadi karena penimbunan material pada suatu
kedalaman tertentu atau karena pergerakan bumi secara terus-menerus dalam skala waktu
geologi.

5
2. 2.2. Heteroatom Dalam Batubara

Heteroatom dalam batubara bisa berasal dari dalam (sisa-sisa tumbuhan) dan berasal dari
luar yang masuk selama terjadinya proses pematangan. Nitrogen pada batubara pada umumnya
ditemukan dengan kisaran 0,5 1,5 % w/w yang kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk
selama proses pembentukan batubara.

Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 30 % w/w terdapat pada lignit atau 1,5
2,5 % w/w untuk antrasit, berasal dari bermacam-macam material penyusun tumbuhan yang
terakumulasi ataupun berasal dari inklusi oksigen yang terjadi pada saat kontak lapisan source
dengan oksigen di udara terbuka atau air pada saat terjadinya sedimentasi. Variasi kandungan
sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 5 % w/w yang muncul dalam bentuk sulfur organik
dan sulfur inorganik yang umumnya muncul dalam bentuk pirit. Sumber sulfur dalam batubara
berasal dari berbagai sumber. Pada batubara dengan kandungan sulfur rendah, sulfurnya berasal
material tumbuhan penyusun batubara. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan sulfur
menengah-tinggi, sulfurnya berasal dari air laut.

Adapun proses pembentukannya adalah sebagai berikut :


TUMBUHAN GEL PEAT LIGNIT SUBITUMINOUS BITUMINOUS
ANTRASIT

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi terbentuknya Batubara

Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang kompleks, dalam arti harus dipelajari
dari berbagai sudut yang berbeda. Terdapat serangkaian faktor yang diperlukan pembentukan
batubara yaitu :

a. Posisi Geoteknik : Suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya - gaya
tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi
geoteknik merupakan faktor yang dominan. Posisi ini akan
mempengaruhi iklim total dan morfologi cekungan pengendapan
batubara maupun kecepatan penurunannya.

6
b. Topografi : Topografi dari cekungan pada saat pembentukkan gambut sangat
penting karena menentukan penyebaran rawa rawa dimana
batubara tersebut terbentuk.
c. Iklim : Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukkan
batubara dan merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora.
Iklim tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi
dipengaruhi oleh posisi geoteknik.
d. Umur geologi : Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan
berbagai macam tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi
secara tidak langsung membahas sejarah pengendapan batubara
dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan makin dalam
penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk batubara yang
bermutu tinggi.
f. Tumbuhan : Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan
dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi
dengan iklim dan topografi tertentu. Flora merupakan faktor
penentu terbentuknya berbagai tipe batubara.
g. Dekomposisi : Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi
biokimia dari organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi.
Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami
perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan
mati proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan
akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob).

Akibat faktor faktor yang mempengaruhi tersebut secara tidak langsung mempengaruhi
klasifikasi batubara berdasarkan peringkatnya. Peringkat batubara, seperti yang dikemukan oleh
Hilfs (Hilfs rules) dan tergantung dari tektonik serta panas dari Igneous rocks ( Robert
Whites Law). Hal itu dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

7
TABEL 1

KLASIFIKASI BATUBARA BERDASARKAN PERINGKAT


(Hilfs rules dan Robert Whites Law)
Polish American classification Fixed Volatile CV Reflecteness
Classification Carbon Matter d.a.f Rom (%)
on general Class Group d.a.f (%) d.a.f (%) BTU/lb

Soft brown Lignit B < 6300


coal A 6300 6800
Hard brown Subbituminous C 8300 9500
coal 10.000 B 9500 -10.500
btu/lb
A 10500-11500
Below 0,5 %

Black coal Bituminous High vol. C 11.500 13.000


High vol. B 13.000 14.000
High vol. A Below 69 Over 31 Over 14.000
Med vol 69 78 22 31
Low vol 78 - 86 14 22 0,5 2,5
Antracite Antacite Semi ant. 86 92 8 14
Antacite 92 98 28
Meta ant. Over 98 Below 8 Over 2,5

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi
tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi)
tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung
kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh
karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field)
dan lapisannya (coal seam). Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan
Karbon (Carboniferous Period), yang dikenal sebagai zaman batubara pertama, berlangsung
antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas setiap endapan batubara ditentukan
oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas
organik'. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya

8
berubah menjadi batubara muda (lignite) atau disebut pula batubara coklat (brown coal).
Batubara muda adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun,
maka batubara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas
organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara sub-bituminus (sub-bituminous).
Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan
warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite).
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membentuk antrasit.
Semakin tinggi tingkat pembatubaraan kadar karbon akan meningkat, sedangkan
hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat pembatubaraan secara umum dapat
diasosiasikan dengan mutu atau kualitas batubara, maka batubara dengan tingkat
pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah, contohnya lignite dan sub-
bituminus yang biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti
tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah,
sehingga kandungan energinya juga rendah.
Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta
warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang
sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin
besar.
Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari masing masing unsur yang terdapat dalam setiap
tahapan pembatubaraan.
Tabel 2. Contoh Analisis Batubara

Jenis batubara C (%) H (%) O (%) N (%) C/O


Wood 50.0 6.0 43.0 1.0 1.2
Peat 59.0 6.0 33.0 2.0 1.8
Lignite 69.0 5.5 25.0 0.5 2.8
Bituminous 82.0 5.0 12.2 0.8 6.7
Anthracite 95.0 2.5 2.5 0.0 38.0

Sumber: Sekitan no Kiso Chishiki

9
Data data di atas apabila ditampilkan dalam bentuk grafik hasilnya adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Hubungan Tingkat Pembatubaraan Kadar Unsur Utama

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pembatubaraan, maka
kadar karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Semakin tinggi
mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam
mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan
meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.

2.2.4 Kimiawi Pembentukan Batubara

Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari cellulose.
Proses pembentukan batubara yang dibantu oleh faktor fisika, kimia alam akan mengubah
cellulose menjadi lignit, subbitumine, bitumine dan antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat
digambarkan sebagai berikut :
5(C6H10O5) C20H22O4 + 3 CH4 8 H2O + 6 CO2 + CO
Cellulosa lignit gas metan
Keterangan : - Cellulosa merupkan zat pembentuk batubara
- Unsur C dalam lignit lebih sedikit di banding bitumine
- Semakin banyak unsure C lignit semakin baik mutunya
- Unsur H dalam lignit lebih banyak dibandingkan pada bitumine
- Semakin banyak unsur H lignit makin kurang baik mutunya.

10
2.2.5. Komponen penyusun Batubara

Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya
cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan
berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignit, dan
sebagainya. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari
tumbuhan penyusunnya. Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap sruktur kimia batubara
dapat diambil kesimpulan bahwa batubara terbentuk dari unsur :

1. Lignit
Beberapa peneliti yaitu Sarkanen dan Ludwig tahun 1971 yang mengacu pada
penelitian sebelumnya yaitu Francis dan van Krevelen tahun 1961, menyatakan
bahwa sebagian besar batubara terbentuk karena adanya lignit pada tumbuhan. Lignit
adalah salah satu komponen penyusun tanaman. Secara umum, tanaman terbentuk
dari selulosa, hemiselulosa, dan lignit. Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda
bergantung pada jenis tanaman. Pada batang tanaman, lignit berfungsi sebagai bahan
pengikat komponen penyusun lainnya, sehingga suatu pohon bisa bisa berdiri tegak
(Seperti semen pada sebuah batang beton). Berbeda dengan selulosa yang terutama
terbentuk dari gugus karbohidrat, lignit terbentuk dari gugus aromatik yang saling
dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon . Pada proses pirolisa
lignit, dihasilkan senyawa kimia aromatis yang berupa fenol, terutama kresol. Lignit
merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah susunan sisa
tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan molekul umum dari lignit belum
diketahui dengan pasti, namun susunannya dapat diketahui dari lignit yang terdapat
pada berbagai macam jenis tanaman. Sebagai contoh lignit yang terdapat pada rumput
mempunyai susunan p-koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya lignit
merupakan polimer dari satu atau beberapa jenis alkohol.
2. Karbohidrat
Karbohidrat terbentuk dari beberapa monosakarida (gula) yang terdapat pada
tumbuhan. Beberapa bentukan dari monosakarida yang akan membentuk

11
polisakarida yang dalam tumbuhan terdapat pada cellulose dan starch. Polisakarida
inilah yang nantinya akan ikut juga berubah dan membentuk struktur pada batubara.
3. Protein
Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan
polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain
dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen dan kadang kala sulfur serta fosfor. Struktur dari protein pada umumnya
adalah rantai asam amino yang dihubungkan oleh rantai amida. Protein pada
tumbuhan umunya muncul sebagai steroid, lilin. Protein selalu terkandung di
protoplasma dalam flora dan sel dalam fauna. Dimana unsur ini akan menghasilkan
abu apabila dibakar.
4. Oil, Fats dan Waxes
Dimana Oils, fats, dan waxes semuanya terkandung dalam tanaman. Ketiganya
akhirnya akan juga membentuk batubara. Unsur lain yang juga akan membentuk
batubara adalah inorganic material yang terdapat dalam tanaman. Dimana unsur ini
nantinya akan membentuk inherent mineral matter.
5. Resin
Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka pada
batangnya. Resin atau dammar adalah suatu campuran yang kompleks dari ekskret
tumbu-tumbuhan dan insekta, biasanya berbentuk padat dan amorf dan merupakan
hasil terakhir dari metabolisme dan dibentuk dari ruang-ruang skizogen dan
skizolisigen. Secara fisis, resin (damar) ini biasanya keras, transparan plastis dan pada
pemanasan menjadi lembek. Secara kimiawi, resin adalah campuran yang kompleks
dari asam-asam resinat, alkoholresinat, resinotannol, ester-ester dan resene-resene.
Bebas dari zat lemas dan mengandung sedikit oksigen karena mengandung zat karbon
dalam kadar tinggi, maka kalau dibakar menghasilkan angus.

6. Tanin

Tanin nama komponen zat organik yang sangat komplek dan terdiri dari senyawa
fenolik yang mempunyai berat molekul 500 - 3000, dapat bereaksi dengan protein
membentuk senyawa komplek larut yang tidak larut. Tanin dapat dikategorikan

12
sebagai "true artrigen" adalah rasa sepat. Rasa sepat timbul karena kuagulasi dari
protein dari protein air liur dan mukosa ephitelium dengan tanin. Tanin atau
sesungguhnya lebih tepat disebut asam tanat (tanic acid), monomer dari tanin adalah
untuk penyamak kulit. Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan,
khususnya pada bagian batangnya.

7. Alkaloida

Alkaloida berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang
menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis
isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Reaksi utama yang
mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi mannich antara suatu aldehida
dan suatu amina primer dan sekunder, dan suatu senyawa enol atau fenol. Biosintesis
alkaloid juga melibatkan reaksi rangkap oksidatif fenol dan metilasi. Jalur poliketida
dan jalur mevalonat juga ditemukan dalam biosintesis alkaloid. Alkaloida merupakan
komponen organik penting terakhir yang menyusun batubara. Alkaloida sendiri terdiri
dari molekul nitrogen dasar yang muncul dalam bentuk rantai.
8. Porphirin
Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole. Porphirin
biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang
tergabung dengan jembatan methin. Kandungan unsur porphirin dalam batubara ini
telah diajukan sebagai marker yang sangat penting untuk mendeterminasi
perkembangan dari proses coalifikasi.
9. Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)
Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya material
inorganik yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat dibagi menjadi
dua jenis, yaitu unsur mineral inheren dan unsur mineral eksternal. Unsur mineral
inheren adalah material inorganik yang berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan
organik yang terdapat dalam lapisan batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal
merupakan unsur yang dibawa dari luar kedalam lapisan batubara, pada umumya
jenis inilah yang menyusun bagian inorganik dalam sebuah lapisan batubara.

13
2.3 Lingkungan Pengendapan Batubara
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan
pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary dan
post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat
(rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.

Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan,


komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan
suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara
perlahan-lahan namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat
sirkulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi
demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).

Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di
lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat
dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.

Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk


batubara (Tabel 2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta
plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan
mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara yang berbeda.

14
Tabel 3. Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara (Diesel, 1992)

Environment Subenvironment Coal Characteristics


Gravelly braid Bars, channel, overbank mainly dull coals, medium to
plain plains, swamps, raised bogs low TPI, low GI, low
sulphur
Sandy braid plain Bars, channel, overbank mainly dull coals, medium to
plains, swamp, raised bogs, high TPI, low to medium GI,
low sulphur
Alluvial valley and channels, point bars, mainly bright coals, high
upper delta plain floodplains and basins, TPI, medium to high GI, low
swamp, fens, raised bogs sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays, mainly bright coals, low to
channel, swamps, fans and medium TPI, high to very
marshes high GI, high sulphur
Backbarrier Off-, near-, and backshore, transgressive : mainly bright
strand plain tidal inlets, lagoons, fens, coals, medium TPI, high GI,
swamp, and marshes high sulphur

regressive : mainly dull


coals, low TPI and GI, low
sulphur
Estuary channels, tidal flats, fens and mainly bright coal with high
marshes GI and medium TPI

Proses pengendapan batubara pada umumnya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood
plain dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk
delta dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).

Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang
terletak di atas permukaan laut (sub aerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta
plain ialah endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing
endapan tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen.

Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded
bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di
bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmen-
fragmen batubara dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara berangsur

15
menjadi endapan flood plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam
(natural levee) yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel. Endapan levee
yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan batulanau dengan struktur sedimen ripple
lamination dan paralel lamination.

Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk
crevase play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus sedang dengan struktur
sedimen cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan
batulempung juga umum ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel
utamanya dan umumnya memperlihatkan pola mengasar ke atas.

Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood
plain. Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi
dari air limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan
batubara berlapis.

Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena
lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok
untuk akumulasi gambut.

Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon
keras dan akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai
didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen,
1985).

2.3.1 Bentuk Lapisan Batubara


Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses
coalification akan menentukan bentuk lapisan batubara. Dikenal beberapa bentuk lapisan
batubara, yaitu :
a. Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung
kearah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan kearah lateral lapisan batubara kemungkinan sama
ataupun menjadi lebih kecil atau menipis.

16
b. Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis dibagian tengah. Pada umumnya dasar
dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis misalnya batulempung, sedang diatas
lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian
suatu alur.
c. Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila diantara 2 bagian deposit batubara terdapat urat lempung.
Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri deposit batubara mengalami patahan, kemudian pada
bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung ataupun pasir.
d. Bentuk Burried Hill

Bentuk ini terjadi apabila didaerah dimana batubara semula terbentuk terdapat suatu kulminasi
sehingga lapisan batubara seperti terintrusi.

e. Bentuk Fault
Bentuk ini terjadi apabila didaerah dimana deposit batubara mengalami beberapa seri
patahan. Keadaan ini akan mengacaukan didalam perhitungan cadangan, akibat adanya
perpindahan perlapisan akibat pergeseran kearah vertikal.
f. Bentuk Fold

Bentuk ini terjadi apabila didaerah dimana deposit batubara mengalami perlipatan. Makin
intensif gaya yang bekerja pembentuk perlipatan akan makin kompleks perlipatan tersebut
terjadi.

2.3.2 Kelas dan jenis Batubara

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu,
batubara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan
gambut.

17
Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik,
mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya.
Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi
sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-
75% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.

2.3.3 Sifat batubara


Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat dialam dalam
tingkat (grade) yang berbeda mulai dari lignit, subbituminus, antrasit. Berdasarkan atas
kandungan zat terbang (volatil matter) dan besarnya kalori panas yang dihasilkan batubara dibagi
menjadi 9 kelas utama. Dalam perdagangan dikenal istilah Hard Coal dan brown Coal. Hard
Coal adalah jenis batubara yang menghasilkan gross kalori lebih dari 5.700 kcal/kg dan dibagi :
a. Kandungaan zat terbang (volatile matter) hingga 33 %
b. Kandungan zat terbang (volatile matter) lebih besar 33 %
Hard coal merupakan jenis batubara dengan hasil kalori yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bituminus / sub-bituminus dan lignit (brown coal).

Sifat batubara jenis Antrasit :


1. Warna hitam sangat mengkilat dan kompak
2. Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon sangat tinggi.
3. Kandungan air sangat sedikit.
4. Kandungan abu sangat sedikit.
5. Kandungan sulfur sangat sedikit.

Sifat batubara jenis bituminus / sub-bituminus :


1. Warna hitam mengkilat, kurang kompak.
2. Nilai kalor tinggi, kandungan karbon relatif tinggi.

18
3. Kandungan air sedikit.
4. Kandungan abu sedikit.
5. Kandungan sulfur sedikit.

Sifat batubara jenis lignit (brown coal) :


1. Warna hitam, sangat rapuh.
2. Nilai kalor rendah, kandungan karbon sedikit.
3. Kandungan air tinggi.
4. Kandungan abu banyak.
5. Kandungan sulfur banyak.

Sifat Batubara dapat dilihat dengan analisa sebagai berikut :


a. Analisa Proksimate, terdiri dari :
Analisis proksimate batubara bertujuan untuk menentukan kadar fixed carbon, volatile
matters, moisture, dan abu (ash).
1. Fixed carbon ialah kadar karbon tetap yang terdapat dalam batubara setelah volatile
matters dipisahkan dari batubara. Kadar fixed carbon ini berbeda dengan kadar karbon
(C) hasil analisis ultimate karena sebagian karbon berikatan membentuk senyawa
hidrokarbon volatile.
2. Volatile matters adalah kandungan batubara yang terbebaskan pada temperatur tinggi
tanpa keberadaan oksigen (misalnya CxHy, H2, SOx, dan sebagainya).
3. Moisture ialah kandungan air yang terdapat dalam batubara.

4. abu (ash) merupakan kandungan residu non-combustible yang umumnya terdiri dari
senyawa-senyawa silika oksida (SiO2), kalsium oksida (CaO), karbonat, dan mineral-
mineral lainnya.

b. Analisa Ultimate,

Analisis ultimate dilakukan untuk menentukan kadar karbon (C), hidrogen (H), oksigen
(O), nitrogen, (N), dan sulfur (S) dalam batubara. Seiring dengan perkembangan teknologi,

19
analisis ultimate batubara sekarang sudah dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Analisa
ultimate ini sepenuhnya dilakukan oleh alat yang sudah terhubung dengan komputer.

c. Nilai kalor

Salah satu parameter penentu kualitas batubara ialah nilai kalornya, yaitu seberapa
banyak energi yang dihasilkan per satuan massanya, terdapat 2 macam nilai kalor yaitu :

1. Nilai kalor net (net calorific value atau low heating value), yaitu nilai kalor pembakaran
dimana semua air (H2O) dihitung dalam keadaan wujud gas.

2. Nilai kalor gross (grosses calorific value atau high heating value), yaitu nilai kalor
pembakaran dimana semua air (H2O) dihitung dalam keadaan wujud cair. Nilai kalor ini
dinyatakan dalam cal/gram, Btu/lb atau Mj/kg.
d. Total sulfur
Sulfur atau belerang dalam batubara dapat dijumpai sebagai mineral pirit, markasit,
kalsium sulfat atau belerang organik yang pada saat pembakaran akan berubah menjadi SO2.
e. Analisa abu
Abu (ash) merupakan produk samping proses pembakaran batubara. Apabila proses
pembakaran terjadi pada temperatur di atas titik leleh abu, abu yang terbentuk akan meleleh dan
menimbulkan penyumbatan di dalam reaktor (slagging). Hal tersebut menyebabkan nilai titik
leleh abu penting sangat penting untuk diketahui secara pasti. Titik leleh abu merupakan suhu
yang menunjukkan perubahan karakteristik abu batubara apabila dipanaskan pada kondisi
standar.

f. Indeks gerus (Hardgrove Index)


Merupakan suatu bilangan yang dapat menunjukan mudah atau tidaknya batubara digerus
menjadi bahan bakar serbuk. Makin kecil bilangannya makin keras keadaan batubaranya. Harga
hardgrove index untuk batubara Indonesia berkisar antara 35-60.

g. Sifat batubara kaitannya dengan volatile matter


Sesuai dengan sifatnya, batubara umumnya dibagi atas 4 macam :
1. Antrasit, mengandung sedikit volatile matter

20
2. Bitumine, mengandung medium volatile matter
3. Lignit, mengandung banyak volatile matter

4. Gambut (peat).

h. Kandungan air dalam Batubara


Air yang terdapat dalam batubara, baik secara inherent moisture maupun sebagian kecil
moisture yang lain, akan merugikan karena mengurangi panas yang dihasilkan.
i. Impurities dalam Batubara
Bila proses pencucian batubara tidak baik, akan ditemui impurities misal clay. Dengan
adanya impurities ini, tentunya akan mengacaukan jumlah umpan panas ke dalam tanur putar.

2.3.4 Kualitas Batubara


Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi
kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh maceral dan mineral matter penyusunnya, serta
oleh derajat coalification (rank). Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan
analisa kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat.
Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile
matter), karbon padat (fixed carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan
untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.

Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut


menguntungkan untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan batubara di daerah
penelitian.

Batubara merupakan bahan baku pembangkit energi dipergunakan untuk industri. Mutu
dari batubara akan sangat penting dalam menentukan peralatan yang dipergunakan. Untuk
menentukan kualitas batubara, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah : High heating value
(kcal.kg), Total moisture (%), Inherent moisture (%), Volatile matter (%), Ash content (%),
Sulfur content (%), Coal size (%), Hardgrove grindability index (<3mm, 40mm, 50mm), Fixed
carbon (%), Phosposrus/chlorine (%), Ultimate analysis : (carbon, hydrogen, oxygen, nitrogen,
sulfur, ash), ash fusion temperature.

21
a. High Heating Value (HHV)
High heating value sangat berpengaruh terhadap pengoperasian alat, seperti : pulverizer,
pipa batubara, wind box, burner. Semakin tinggi high heating value maka aliran batubara setiap
jamnya semakin rendah sehingga kecepatan coal feeder harus disesuaikan.
b. Moisture Content
Kandungan moisture mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya, pada batubara
dengan kandungan moisture tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak guna
mengeringkan batubara tersebut pada suhu keluar mill tetap.

c. Volatile Matter
Kandungan volatile matter mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas
nyala api. Kesempurnaan pembakaran ditentukan oleh :

(1)

semakin tinggi fuel ratio maka carbon yang tidak terbakar semakin banyak.

d. Ash Content dan Komposisi


Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan daerah
konveksi dalam bentuk abu terbang atau abu dasar. Sekitar 20% dalam bentuk abu dasar dan
80% dalam bentuk abu terbang. Semakin tinggi kandungan abu dan tergantung komposisinya
mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan dan korosi peralatan yang dilalui.
e. Sulfur Content
Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada
elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari letak embun sulfur,
disamping berpengaruh terhadap efektifitas penangkapan abu pada peralatan electrostatic
precipator.
f. Coal Size
Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus dan butir kasar. Butir paling halus
untuk ukuran <3mm, sedang ukuran paling kasar 50mm. Butir paling halus dibatasi dustness dan

22
tingkat kemudahan diterbangkan angin sehingga mengotori lingkungan. Tingkat dustness dan
kemudahan beterbangan masih ditentukan pula oleh kandungan moisture batubara.

g. Hardgrove Grindability Index (HGI)


Kapasitas mill (pulverizer) dirancang pada Hardgrove grindability index tertentu, maka
untuk Hardgrove grindability index (HGI) lebih rendah kapasitasnya lebih rendah dari nilai
patoknya untuk menghasilkan fineness yang sama. Hardgrove Grindability Index merupakan
petunjuk mengenai mudah sukarnya batubara untuk digerus. Harga Hardgrove Grindability
Index diperoleh dengan rumus :

Hardgrove grindability index (HGI) = 13,6 + 6,93 W (2)

W adalah berat dalam gram dari batubara lembut berukuran 200 mesh. Makin tinggi harga
Hardgrove grindability index (HGI) makin lunak batubara tersebut. Suatu pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) biasanya disiapkan untuk menggunakan kapasitas penggerusan terhadap
suatu jenis batubara dengan Hardgrove grindability index (HGI) tertentu.

h. Ash Fusion Characteristic


Ash Fusion Characteristic akan mempengaruhi tingkat fouling, slagging dan operasi
blower.

2.4 Klasifikasi Batubara

Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American Society for Testing
and Material (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983).

Klasifikasi ini dibuat berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry,
mineral matter free (dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb) menjadi dry, mineral matter
free (dmmf) maka digunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983) dimana :

FC = % karbon padat (adb)

VM = % zat terbang (adb)

23
M = % air total (adb)

A = % Abu (adb)

S = % sulfur (adb)

Btu = british termal unit = 1,8185*CV adb.

Tabel 4.Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)

Volatile Matter
Fixed Carbon Calorific Value Limits BTU per
Limits, % ,
,% , dmmf pound (mmmf)
dmmf
Class Group Equal Equal Equal Less
or Less Greater or or Agglomerating
Greater Than Than Less Greater Character
Than Than Than Than
1.Meta-anthracite 98 2 nonagglomerating
2.Anthracite
I Anthracite* 92 98 2 8
3.SemianthraciteC
86 92 8 14
1.Low volatile
78 86 14 22
bituminous coal
2.Medium
volatilebituminous 69 78 22 31
coal
3.High volatile A
II Bituminous bituminous coal 69 31 14000D commonly

4.High volatile B
13000D 14000 agglomerating**E
bituminous coal
5.High volatile C
11500 13000
bituminous coal
10500 11500 agglomerating
1.Subbituminous A
10500 11500
coal
III 2.Subbituminous B
9500 10500
Subbituminous coal
3.Subbituminous C
8300 9500 nonagglomerating
coal
1.Lignite A 6300 8300
IV. Lignite
1.Lignite B 6300

24
2.4.1 PARAMETER KUALITAS BATUBARA

Cukup banyak parameter untuk menentukan kualitas batubara antara lain :

1. Total moisture (%)


2. Inherent moisture (%)
3. Ash content (%)
4. Volatile matter (%)
5. Fixed carbon
6. Calorific value (kcal/kg)
7. Total sulphur (%)
8. Index hardgrove
9. Index muai bebas
10. Roga index
11. Gray king
12. Diatometri
13. Nitrogen (%)
14. Phosphor
15. P2O5
16. Plastometri

25
TABEL 5 PARAMETER KUALITAS BATUBARA

Parameter Unit Basis pelaporan Catatan


Total moisture % As received (ar) Sangat penting dalam
penjualan batubara
Diperlukan untuk para meter ke
as received basis
Proximate
Moisture % Air dried (adb) Analisis dasar
Ash %
Volatile matter %
Flixed carbon %
Nilai kalor Kal/gr Sebagai bahan bakar
1 MJ/kg = 430 btu/lb=239
kkal/kg
Total sulpur % Air dried (adb)
Ultimate
carbon % Dry ash free (daf) Hasil analisisnya dalam adb
hydrogen % tetapi
Nitrogen % dalam pelaporannya daf
Sulpur % Oxygen didapat dari
Oxigen % pengurangan
C, H, N, dan S

Carbin dioxide % Air dried (adb) Dipergunakan untuk mengoreksi


Carbon
Ash anlyis
SiO2 % Ignited at Diperlukan untuk memperidiksi
Al2O3 % 8150C Perilaku abu sewaktu
Fe2O3 5 pembakaran
TiO2 %
Mn3O4 %

Sumber : Sukandarrumidi, 2008, Batubara dan Gambut, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

26
2.4.2 PROSES TERBENTUKNYA AIR ASAM TAMBANG

AAT terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral sulfida tertentu (misalnya pirit, markasit,
kalkopirit, dll) yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara dalam lingkungan berair
(Gautama, 2007). Oksidasi ini menghasilkan asam sulfat yang termasuk asam kuat dan
melepaskan ion hidrogen, kedua senyawa inilah yang mengakibatkan meningkatnya kemasaman
pada lingkungan tersebut. Reaksi oksidasi dapat diringkas:

2 FeS2 (s) + 7 O2 (g) + 2 H2O (l) 2 Fe++ (aq) + 4 SO4= (aq) + 4 H+ (aq)

Tempat-tempat yang berpotensi menghasilkan AMD adalah tanah yang tertinggal (di bawah
deposit bahan galian), overburden pill (tumpukan lapisan batuan di atas deposit bahan galian),
stock pill (tumpukan bahan galian), fasilitas pemurnian, tempat pencucian, limbah batubara,
lumpur tailling.

Pada kawasan yang menerapkan penambangan terbuka, seluruh lapisan tanah di atas deposit
bahan galian disingkirkan sehingga lapisan tanah yang mengandung bahan organik menjadi
hilang. Hilangnya bahan organik dan meningkatnya kemasaman lahan akan sangat
menguntungkan bagi populasi bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) seperti Thiobacillus spp dan
Leptospirillum spp, karena bakteri ini merupakan bakteri yang suka asam (acidophillic) dan
memerlukan sumber C dari bahan anorganik (chemo-litho-autotroph) (Wentzel, 2004). Aktivitas
bakteri ini akan meningkatkan laju terjadinya AMD 500.000 1.000.000 kali lipat jika
dibandingkan dengan laju AMD karena aktivitas geokimia (Evangelou and Chang, 1995 dalam
Mills, 2004). Dengan demikian, sekali terjadi inisiasi AMD yang dikatalis BOS maka fenomena
tersebut hampir-hampir unstoppable. Pemerintah USA dan Kanada memerlukan waktu ratusan
tahun untuk mengatasi masalah AMD. Saat ini di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi
fenomena tersebut mulai terjadi.

27
(A)

(B)

Gambar 1. Tanah sisa galian batubara yang mengandung sulfur elementer (A) dan fenomena
AMD pada timbunan overburden. (B) (Foto: Enny, 2006)

Menurut Untung (1993) proses terbentuknya AMD sangat dipengaruhi oleh karakteristik batuan,
kondisi iklim lingkungan dan populasi BOS pada lingkungan tersebut. Gautama (2007)
menyebutkan bahwa tambang di Indonesia 95% menerapkan sistem terbuka. Sehingga, sangat
diperlukan pemahaman karakteristik hujan, batuan induk, potensi pengasaman biologis di
masing-masing wilayah pertambangan.

28
Gambar 2. Koloni Thiobacillus ferrooxidans, insert bentuk sel Th. ferrooxidans sang BOS
biokatalisator AMD (www.cfu.edu/infomine/Thiobacillus.htm)

2. 4.3 DAMPAK LINGKUNGAN TERBENTUKNYA AAT

Reaksi AMD berdampak secara langsung terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun
sangat tajam. Hasil penelitian Widyati (2006) pada lahan bekas tambang batubara. menunjukkan
pH tanah mencapai 3,2 dan pH air berada pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH tanah akan
mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak
tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan,
1993). Menurut Hards and Higgins (2004) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan
kelarutan logam-logam berat pada lingkungan tersebut.

Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari
besi atau baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik pada
kegiatan pengadaan maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat
mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan bekas tambang maupun kehidupan yang
berada di sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini
menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang
kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada dapat mengganggu kesehatan manusia.

29
BAB III
DASAR TEORI

3.1 Air Asam Tambang (AAT)


Air Asam Tambang (AAT) atau disebut juga Acid Mine Drainage (AMD), yang disebut juga
Acid Rock Drainage (ARD) terjadi sebagai akibat proses fisika dan kimia yang cukup kompleks
yang melibatkan beberapa faktor dalam kegiatan pertambangan. Kegiatan pertambangan ini
dapat berupa tambang terbuka maupun tambang dalam (bawah tanah). Umumnya keadaan ini
terjadi karena sulfur yang terjadi dalam batuan teroksidasi secara alamiah (pada proses
pembukaan tambang). Selanjutnya dengan kondisi kelembaban lingkungan yang cukup tinggi
akan menyebabkan oksida sulfur tersebut berubah menjadi asam.
Kualitas air digunakan sebagai pembanding dalam usaha pemantauan ketika tambang
sedang berjalan. Pengukuran kualitas air dapat ditentukan dari beberapa faktor yaitu :
1. Temperatur
Temperatur yang terukur adalah suhu yang dianggap normal pada daerah tersebut.
2. Derajat keasaman (pH)
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman dalam air dinyatakan sebagai logaritma
konsentrasi ion H+. Larutan bersifat asam bila nilai pH kurang dari 7 dan larutan
bersifat basa bila nilai pH lebih dari 7.
3. Kekeruhan dan padatan terlarut
Kekeruhan, muatan padat tersuspensi dan residu terlarut merupakan sifat fisik air
yang saling berkait. Semakin tinggi muatan padat tersuspensi maka semakin tinggi
nilai residu terlarut dan kekeruhan air.
4. Daya hantar listrik (DHL) atau electroconductivity
Daya hantar listrik menggambarkan jumlah ion-ion yang terlarut dalam air.
5. DO
Oksigen terlarut merupakan O2 bebas yang terdapat dalam perairan dan secara kimia
tidak bereaksi dengan air serta berperan dalam proses penguraian bahan organik
secara biologis.
6. Logam

30
Kandungan logam-logam dapat mempengaruhi kehidupan biota air terutama logam
berat yang dapat meracuni manusia.
Sumber-sumber air asam tambang ini antara lain berasal dari kegiatan-kegiatan
sebagai berikut :
a. Air dari lokasi penambangan
Lapisan batuan akan terbuka sebagai akibat dari terkupasnya lapisan tanah penutup,
sehingga sulfur yang terdapat dalam batubara akan mudah teroksidasi dan bila
bereaksi dengan air akan membentuk air asam tambang.
b. Air dari lokasi penimbunan
Timbunan batubara dapat menghasilkan air asam tambang karena adanya kontak
langsung dengan udara bebas yang selanjutnya terjadi pelarutan akibat adanya air.
Masalah ini berkaitan erat dengan proses pembentukan batubara dimana
pembentukan batubara terdapat sulfur dan mineral pengotor yang berupa mineral
sulfida (pyrit). Air lokasi penimbunan ini merupakan sumber air utama air asam
tambang.

3.2 Proses Terjadinya Air Asam Tambang


Prinsip terjadinya air asam tambang adalah adanya reaksi pembentukan H+ yang
merupakan ion pembentuk asam akibat oksidasi mineral-mineral sulfida dan bereaksi
dengan air (H2O). Kemudian oksidasi dari Fe2+, hidrolisis Fe3+ dan pengendapan logam
hidroksida. Prinsip tersebut bila dilihat secara kimia, sedangkan secara biologi terjadi air
asam tambang akibat adanya bakteri-bakteri tertentu yang sanggup untuk mempercepat
proses (katalisator) dari oksida mineral-mineral sulfida dan oksidasi-oksidasi besi.
Berikut reaksi pembentukan air asam tambang secara kimia dan secara biologi :
1. Secara Kimia
Oksidasi mineral-mineral sulfida (dalam bentuk pyrit) yang menyebabkan keasaman
dari air asam tambang dapat digambarkan dengan tiga reaksi :
a. FeS2 + 7/2 O2 + H2O Fe2+ + 2 SO42- + 2 H+
b. Fe2+ + O2 + H+ Fe3+ + H2O
c. Fe3+ + 3 H2O Fe(OH)3 + 3 H+ +
d. FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O 2 H2SO4 + Fe(OH)3

31
Persamaan a. menunjukkan oksidasi dari kristal pyrit oleh oksigen, persamaan b.
menunjukkan oksidasi dari ferrous iron (Fe2+) menjadi Ferric iron dan persamaan c.
menunjukkan hidrolisis ferric iron dan pengendapannya menjadi besi hidroksida
Fe(OH)3. Bila ketiga persamaan tersebut dijumlah akan memberikan hubungan
stokiometri secara menyeluruh, yaitu persamaan d.
2. Secara Biologi
Kondisi keasaman dari pelapukan ion-ion hidrogen selama oksidasi dapat pula disebabkan
karena adanya aktivitas biologi oleh bakteri-bakteri. Bakteri tersebut mampu untuk
mempercepat proses oksidasi dari mineral-mineral sulfida dan oksidasi besi serta
mendapat energi hasil pelepasan energi dari proses oksidasi. Bakteri ini termasuk dalam
subgroup strick aerobes, genus trobhasillus, species thiobasillus, ferroxidans (kadang-
kadang dijumpai Ferrobacillus ferroxidans).
Persamaan reaksi terbentuknya air asam tambang berdasarkan aktivitas biologi
sebagai berikut :
FeS2 + H2O + 7/2 O2 Fe2+ + 2 SO42-
Fe2+ + O2 + 5/2 H2O T.Ferroxidans Fe(OH)3 + 2 H+ +
FeS2 + 7/2 H2O + 15/4 O2 Fe(OH)3 + 2 H2SO4
Dari reaksi kimia dan biologi di atas dapat dilihat bagaimana terbentuk asam sulfat
(H2SO4) yang merupakan asam kuat, dengan adanya kadar asam sulfat ini
menyebabkan air yang mengalir pada daerah yang terjadi proses kimia dan biologi
tersebut akan bersifat asam, inilah yang disebut air asam tambang. Air asam tambang
ini dapat dikenal dari warna jingga atau merah dari endapan besi hidroksida di dasar
aliran atau bau belerang, tetapi ini tidak selalu terjadi karena ada air asam tambang
yang warnanya agak jernih.

3.3 Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Air Asam Tambang (AAT)


Dampak yang dapat ditimbulkan akibat air asam tambang adalah terjadinya pencemaran
lingkungan, dimana komposisi atau kandungan air di daerah yang terkena dampak tersebut akan
berubah sehingga dapat mengurangi kesuburan tanah, mengganggu kesehatan masyarakat
sekitarnya, dan dapat mengakibatkan korosi pada peralatan tambang.

32
Derajat keasaman tanah yang telah tercemar akibat air asam tambang ini akan
semakin meningkat, sehingga tanaman tidak dapat tumbuh karena derajat keasaman
tanahnya terlalu tinggi. Apabila air asam tersebut mencemari air tanah maupun aliran air
sungai dimana masyarakat memanfaatkan air tersebut maka dapat mengganggu kesehatan
masyarakat sekitar, diantaranya dapat menimbulkan penyakit diare maupun penyakit
lainnya yang berhubungan dengan pencernaan. Sedangkan air asam tambang juga dapat
mempercepat proses pengkaratan pada peralatan tambang, sehingga perlu penanganan
agar pengaruh yang ditimbulkan dari air asam tersebut tidak merusak peralatan tambang.

3.4 Pengendalian Air Asam Tambang


Pengendalian air asam tambang secara umum dapat dilakukan dengan cara :
1. Pencegahan atau pengendalian proses pembentukan asam
Upaya mencegah dapat dilakukan dengan cara :
a. Mengisolasi mineral sulfida
Dengan memisahkan material yang mengandung mineral sulfida dari air dan
udara akan mencegah terjadinya reaksi oksidasi.
b. Mengendalikan aliran air

- Mencegah aliran air permukaan masuk ke material asam


- Mencegah penyerapan air hujan pada material asam
- Mencegah aliran air tanah masuk pada lokasi material asam
2. Mengendalikan perpindahan air asam yang telah terbentuk
Hal ini dapat dilakukan dengan :
Pembuatan saluran penirisan di sepanjang daerah sumber air asam
Pemasangan sistem pipa penirisan di bawah timbunan penghasil air asam untuk
selanjutnya dialirkan ke dalam kolam pengendapan
3. Menampung dan menetralkan air asam yang telah terbentuk
Komposisi air asam tambang terdiri dari asam sulfat dan besi sulfat. Dalam hal ini besi
sulfat berada dalam bentuk ferro (Fe2+) ataupun ferri (Fe3+). Salah satu proses
pengolahan terhadap air asam tambang ini adalah proses netralisasi asam dengan

33
senyawa alkali, oksida besi (II) menjadi besi (III) yang tidak larut dan proses
sedimentasi untuk menghasilkan endapan yang berbentuk Fe3+.
Air asam yang terjadi ditampung pada kolam pengendapan yang berfungsi
sebagai sarana pemantauan kualitas air sekaligus tempat penetralan air asam sebelum
dilepaskan ke alam.

3.5 kegiatan sistem penyaliran air asam tambang

sistem penyaliran tambang merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan penambangan
karena sangat berpengaruh terhadap kegiatan produksi nantinya. ketika melakukan kegiatan
penambangan. mengamati kegiatan penyaliran tambang bagaiman proses penanganan air asam
yang terdapat di tambang batubara

kegiatan pertama yang dilakukan adalah menyediakan pompa untuk menyedot air asam dan
lumpur keluar dari tambang. pompa yang digunakan sesuai dengan target dan kondisi lapangan
sehingga hasil kerja akan optimal. pompa yang digunakan harus banyak agar sesuai dengan
jumlah air yang akan disedot. selanjutnya meletakkan pompa ke dalam sump. pemindahan
dilakukan dengan menggunakan alat berat excavator karena akan lebih mudah pada saat
pengangkatan.

34
a.pemindahan di lakukan dendan alat berat

Gambar b. selanjutnya membuat parit untuk mengalirkan air,

35
proses selanjutnya yaitu merakit selang/pipa

selanjutnya pembuatan settling pond,untuk mengalirkan air asam tambang m

36
selanjutnya mengalirkan air menuju settling pond

proses terakhir adalah menetralkan air asam tambang sebelum di alirkan menuju perairan bebas

37
BAB V
PEMBAHASAN

4.1 Penanganan Potensi Air Asam Tambang


Pembentukan air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini dapat
dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida pada udara bebas. Secara
kimia kecepatan pembentukan asam tergantung pada pH, suhu, kadar, oksigen udara dan air,
kejenuhan air, aktifitas kimia Fe3+, dan luas permukaan dari mineral sulfida yang terpapar pada
udara. Sementara kondisi fisika yang mempengaruhi kecepatan pembentukan asam, yaitu cuaca,
permeabilitas dari batuan, pori-pori batuan, tekanan air pori, dan kondisi hidrologi.
Penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan mencegah pembentukannya dan
menetralisirkannya.
Pencegahan pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida sebagai
bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak terpapar pada udara bebas.
Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari
terjadinya proses pelarutan baik oleh air permukaan maupun air tanah.
Produksi air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat ditangani untuk
mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Air asam diolah pada instalasi pengolah untuk
menghasilkan keluaran air yang aman untuk dibuang ke dalam badan air. Penanganan dapat
dilakukan juga dengan bahan penetral, umumnya menggunakan batugamping, yaitu air asam
dialirkan melewati bahan penetral untuk menurunkan tingkat keasaman.

4.2 Pengaturan Drainase


Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari
efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan
rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase
harus memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar
yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun
pendek.
Arah aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung sulfida logam, perlu

38
pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeabel. Hal ini untuk
menghindarkan pelarutan sulfida logam yang potensial
menghasilkan air asam tambang.
4.3 Penempatan Selektif
Menempatkan batuan yang berpotensi membentuk air asam tambang dengan batuan yang
tidak berpotensi ke tempat yang terpisah dengan cara ditimbun. Kemudian lokasi penimbunan
batuan yang berpotensi membentuk air asam tambang ditempatkan sejauh mungkin dari aliran
air. Selanjutnya rembesan-rembesan dikumpulkan pada satu lokasi.

4.4 In hibisi Bakteri

Thiobaccilus ferrooxidans merupakan bakteri yang berperan dalam proses pembentukan


air asam tambang. Dengan menghambat perkembangan bakteri ini dapat mengurangi proses
pembentukan air asam. Thiobaccilus ini dapat bertahan dalam kondisi lingkungan asam karena
memiliki lapisan film yang melindunginya

4.5 Manajemen Tanah

Dalam program restorasi tanah areal pertambangan diperlukan manajemen tanah yang
baik. Manajemen tanah ini bertujuan untuk :

1. Memaksimalkan sumberdaya yang terbatas


2. Memisahkan tipe tanah secara benar sehingga pencampuran dan
degredasi kualitas tanah pucuk tidak terjadi
3. Menjamin kualitas tanah pucuk sebagaimana adanya(struktur,
nutrisi dan bank bibit) tersedia dan digunakan dalam rehabilitasi

4.6 Penanganan Air Asam Tambang secara pasif

Untuk menetralisasi air asam tambang dapat digunakan kapur. Metode ini efektif dan
menawarkan biaya yang lebih murah. Penanganan air asam tambang dengan metode pasif ini
dengan cara air dialirkan ke areal lahan basah yang telah di bangun dengan cara ini kandungan

39
logam dan keasaman dapat dikurangi. Jumlah aliran air dan komposisi kimia air tambang,
substrat lahan basah, komposisi vegetasi lahan basah,

komposisi mikroba dan aktivitas yang terdapat dalam lahan basah merupakan faktor
penting untuk dipertimbangkan.

40
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. pembentukan air asam tambang melalui dua proses reaksi yaitu


Reaksi kimia dan biologi
2. Dampak dari air asam tambang diantaranya,pencemaran lingkungan,serta
kerusakan pada peralatan Tambang
3.Agar dapat menghindari dampak dari air asam tambang maka usaha pencegahan
permasalahan ini dilakukan dengan cara: pengendalian proses pembentukan
asam,mengendalikan perpindahan air asam yang telah terbentuk dan menampung dan
menetralkan air asam yang telah terbentuk.
4.penanganan air asam tambang dapat dilakukan dengan cara menetralisir air asam
tambang yang telah terbentuk.

SARAN

Upaya pencegahan seharusnya diperhatikan agar tidak harus sampai upaya


pengendalian karena lebih beresiko pada peralatan Tambang serta lingkungan sekitar
daerah penambangan

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Gibcus, (1996) ,Studi Kasus Air Asam Tambang, Bandung.


2. Hadiyan, (2006),Air asam Tambang, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas
Teknologi Mineral, UPN VETERAN Yogyakarta, Yogyakarta.
3. Munarto, (1995),Perencanaan Pengolahan Air Limbah, PT. Wahana Ilmu
Sarana Hakiki, Jakarta.

42
43

Anda mungkin juga menyukai