Anda di halaman 1dari 21

MANAJEMEN STOCK ROM DI PIT 1 BLOK 24 DI PT.

SENAMAS ENERGINDO MINERAL DESA JAWETEN


KECAMATAN DUSUN TIMUR KABUPATEN BARITO
TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

LAPORAN KERJA PRAKTIK

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Terbentuknya Batubara

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan

waktu yang sangat lama (puluhan atau ratusan juta tahun) di bawah pengaruh

fisika, kimia ataupun keadaan geologi.

Menurut Standar Nasional Indonesia (1998), batubara adalah akumulasi

menurut buku Coal Geology and Coal Technology karangan Colin R. Ward

tahun 1984, batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk

dari sisa-sisa tumbuhan yang telah terkonsolidasi di bawah tekanan dan suhu

tinggi dalam waktu yang sangat lama.

Proses perubahan yang terjadi terhadap sisa-sisa tumbuhan, secara

umum dapat dibagi menjadi proses pembusukan dan proses pembatubaraan.

Pada proses pembusukan, sisa-sisa tumbuhan yang berada pada lingkungan

dimana terdapat air (H2O) dan oksigen (O2) dari udara bebas yang cukup akan

diuraikan oleh bakteri pembusuk. Setelah melewati suatu waktu tertentu, sisa-

sisa tumbuhan ini berubah menjadi gas (CO2, metan, dan lain-lain) dan air.

1
2

Selain kandungan abu dalam jumlah yang kecil, tidak dijumpai lagi sisa-sisa

berupa padatan.

Di sisi lain, pada proses pembatubaraan (coalification), sisa-sisa

tumbuhan berada pada lingkungan yang hampir tidak tersentuh oleh udara

dan ditunjang oleh pengaruh bakteri pembusuk yang sangat kecil sehingga

setelah melewati masa geologi yang panjang, barulah sisa-sisa tumbuhan tadi

perlahan terurai dan berubah menjadi zat yang kaya akan kandungan karbon.

Sebagai contoh, misalkan saja di suatu daerah rawa atau di tepi pantai

terdapat tumbuhan yang tumbuh subur. Saat tumbuhan tersebut layu,

mengering dan mati maka sebagian atau keseluruhan pohon akan jatuh ke

dalam air dan terendam. Setelah itu, proses ini terjadi berulang-ulang dengan

adanya tumbuhan lain yang hidup, tumbuh, lalu mati. Proses yang berulang

serta adanya jumlah tumbuhan yang sangat banyak, akan menyebabkan

timbunan sisa tumbuhan menjadi semakin tebal. Penambahan timbunan sisa

tumbuhan, tidak hanya berasal dari tumbuhan yang kering yang mati saja.

Mungkin saja terjadi, misalnya adanya tanah longsor yang menyebabkan

tumbuhan di sekitarnya banyak yang tumbang atau adanya banjir besar yang

membawa sisa-sisa tumbuhan dari tempat lain, sehingga kemudian terkumpul

di daerah tersebut.

Selain itu, naik-turunnya lapisan tanah atau pergeseran maju

mundurnya garis pantai akan menyebabkan perubahan pada tingkat

ketinggian air yang kemudian diikuti dengan terbawanya batuan atau pasir
3

laut bersama aliran air sehingga akhirnya menutupi lapisan endapan sisa-sisa

tumbuhan tersebut.

Dengan kondisi seperti itu, dimana sisa-sisa tumbuhan berada pada

lingkungan yang tidak bersentuhan dengan udara bebas, maka yang

mengalami perubahan adalah unsur-unsur yang ada pada tumbuhan asal,

seperti oksigen, hidrogen, karbon, dan lain-lain.

Batubara hasil penambangan bukanlah batubara yang bersih, tetapi

masih banyak mengandung material pengotor. Pengotor batubara salah

satunya dapat berupa pengotor homogen yang terjadi di alam saat

pembentukan batubara itu sendiri, yang disebut dengan Inherent Impurities.

Inherent Impurities merupakan pengotor bawaan yang terdapat dalam

batubara. Batubara yang sudah dicuci bersih (bentuk bongkah), ketika dibakar

habis ternyata masih memberikan sisa abu. Pengotor bawaan ini terjadi

bersama-sama pada waktu terjadi proses pembentukan batubara (ketika masih

berupa gelly). Pengotor ini dapat berupa mineral seperti :

1. Pirit dan Markasit

Pirit dan Markasit merupakan mineral sulfida yang paling umum

dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi

kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit

berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik

(Taylor G.H, et.al., 1998).

Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh

organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil
4

reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi

kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama

batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan

frekuensi cleat/rekahan karena kation-kation yang terlarut (dalam hal

ini ion Fe) akan terbawa ke dalam batubara oleh aliran air tanah melalui

cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah

tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam

International Journal of Coal Geology, 1992). Kandungan pirit

berhubungan dengan kandungan sulfur yang ada dalam batubara,

semakin banyak pirit makin banyak sulfurnya dan kualitasnya semakin

menurun atau kurang baik.

2. Gipsum (CaSO4.2H2O) dan Anhidrit (CaSO4)

Merupakan Kalsium sulfat dimana kalsium sulfat adalah

pengendapan dari air laut ketika penguapan menyebabkan air

terkonsentrasi hingga 19% dari volume asli. Gipsum adalah bentuk

hydrous (mengandung unsur air atau H2O) dari mineral. Gipsum

terendapkan di permukaan di semua kondisi kecuali kondisi yang

sangat kering dan Gipsum juga dapat terdehidrasi menjadi anhidrit

ketika tertimbun. Anhidrit tidak memiliki air dalam struktur kristalnya

dan terbentuk oleh pengendapan langsung dalam garis pantai yang ada

pada daerah kering atau sebagai hasil ubahan Gipsum. Anhidrit

mungkin mengalami hidrasi menjadi Gipsum jika masuk ke air. Gipsum

primer terdapat sebagai kristal memanjang selenit ketika terbentuk dari


5

pengendapan di air. Jika Gipsum terbentuk sebagai hasil hidrasi

kembali anhidrit, Gipsum memiliki bentuk kristal kecil dalam nodul-

nodul batu marmer yang berwarna putih (alabaster). Gipsum juga

terdapat sebagai bentuk serat (fibrous) dalam urat-urat sekunder.

3. Silika (SiO2)

Silika (SiO2) dapat pula berbentuk tulang-tulang binatang yang

diketahui mengandung senyawa fosfor dari hasil analisa abu.

Dengan demikian Inherent Impurities adalah material pengotor yang

terdapat pada batubara yang terjadi pada saat pembentukan batubara. Untuk

menjelaskan terbentuknya batubara dikenal 2 (dua) macam teori, yaitu:

a. Teori Insitu

Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan

batubara, terbentuknya di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu

berada. setelah tumbuhan tersebut mati, dan sebelum mengalami proses

transportasi lebih dahulu tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami

proses coalification. Jenis batu bara yang terbentuk dengan cara ini

mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena

kadar abunya relatif kecil.

b. Teori Drift

Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan

batubara terjadinya di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan


6

semula hidup dan berkembang. Tumbuhan yang telah mati di angkut

oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan

sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang

terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi

dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak

mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses

pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi.

2.2 Klasifikasi Batubara

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh

tekanan, suhu dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas:

antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut (Diessel, 1981).

1. Anthracite adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam

berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86 – 98 % unsur karbon

(C) dengan kadar air kurang dari 8 %.

2. Bituminous mengandung 68–86 % unsur karbon (C) dan berkadar air 8-

10 % dari beratnya.

3. Sub-bituminous mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh

karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan

dengan bituminous.

4. Lignite atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang

mengandung air 35-75% dari beratnya.

5. Peat (Gambut), berpori dan memiliki kadar air di atas 75 % serta nilai

kalori yang paling rendah.


7

Berdasarkan atas nilai kalori, batubara digolongkan menjadi:

a. Batubara tingkat tinggi (high rank) meliputi meta anthracite,

anthracite, semi anthracite.

b. Batubara tingkat menengah (moderate rank), meliputi low

volatile bituminous coal, high volatile coal.

c. Batubara tingkat rendah (low rank), meliputi sub bituminous coal,

lignite.

Batubara dapat diamati baik pada tingkat makroskopik (dapat diamati

dengan mata telanjang atau lensa tangan) dan mikroskopis. Ketika mencoba

untuk menggambarkan sebuah spesimen batubara, memulai pada tingkat

makroskopik merupakan pilihan terbaik. Pada tingkat ini, batubara akan

muncul secara banded atau nonbanded. Batubara masif nonbanded termasuk

di dalamnya batubara cannel dan batubara boghead, yang keduanya berwarna

kusam dan blocky.

Batubara banded dikelompokkan menjadi dull banded (splint coal)

hingga bright banded, tergantung pada apakah pita kusam atau pita terang

yang dominan.

Gambar 2.1 Batubara banded dan nonbanded


8

Pita dibagi menjadi empat litotipe utama: durain (kusam, tekstur kasar,

keras), fusain (kusam hitam, tekstur arang), clarain (cerah, tekstur sehalus

satin, rapuh), dan vitrain (terang, hitam, kaca , rapuh). Batubara cerah

memiliki banyak vitrain dan clarain; batubara kusam kaya pita durain.

Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American

Society for Testing and Material (ASTM, 1981, op cit wood et al., 1983).

Klasifikasi ini dibuat berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam

basis dry, mineral matter free (dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb)

menjadi dry mineral matter free (dmmf), maka digunakan Parr formulas

(ASTM, 1981, op cit wood et al., 1983) :

(Btu − 50 𝑆)
Moist, Mm − free Btu = 𝑥 100
(100 − (1,08 𝐴 + 0,55 𝑆))

Keterangan: FC = % Karbon padat (adb)


VM = % Zat terbang (adb)
M = % Air total (adb)
A = % Abu (adb)
S = % Sulfur (adb)
Btu = British thermal Unit ( 1,8185 x CVadb )
1 Btu = 251.995 gram kalori

Tabel 2.1 Klasifikasi Batubara Berdasarkan Peringkatnya Dalam American


Society For Testing And Material (ASTM)
Fixed Carbon Limits(Dry Volatil Matterr Limits Gross Calorific Value Limits (Moist,mineral-matter-
mineral-matter- Free (Dry,Mineral-Matter- Free Basis)

Class/Group basis)% Free Basis


Btu/lb Mj/Kg
Equal or Less Equa lor Less Equal or Less Equal or Less
Greater than Than Greater than Than Greater Than Than Greater Than Than
Anthracite
9

Meta -anthracite 98 - - 2
Anthracite 92 98 2 8
Semianthracite 86 92 8 14

Bituminous

Low Volatile 78 86 14 22
Medium Volatile 69 78 22 31
High Volatile A - 69 31 - 14.000 - 32.6 -
High Volatile B 13000 14.000 30.2 32.6
High Volatile C 11.500 13.000 26.7 30.2

Subbituminous

Subbituminous A 10.500 11.500 24.4 26.7


Subbituminous B 9.500 10.500 22.1 24.4
Subbituminous C 8.300 9.500 19.3 22.1

Lignite

Lignite A 6.300 8 .300 14.7 19.3


Lignite B - 6.300 - 14.7

Sumber : ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983

2.3 Arti Penting Kualitas Batubara

Salah satu tahapan penting dalam rangkaian proses eksploitasi dan

produksi batubara adalah memahami benar karakteristik batubara dalam hal

ini kualitasnya. Mengingat biaya eksploitasi yang tinggi, aspek ekonomis

harus diperhitungkan. Hanya batubara dengan kualitas yang bagus dan seam-

nya (lapisan) tebal akan menjadi titik target untuk dilakukan penambangan.

Demikian juga dalam rangkaian proses produksi yang pada ujungnya

akan berhubungan dengan marketing dimana customer/buyer (pembeli) kita

akan membeli produk batubara dengan parameter kualitas tertentu sesuai


10

dengan kebutuhan. Dengan demikian kualitas batubara merupakan faktor

yang sangat penting selain aspek besar cadangan dan lain-lain.

2.4 Analisis Kualitas Batubara

Batubara merupakan bahan baku pembangkit energi dipergunakan

untuk industri. Kualitas dari batubara akan sangat penting dalam menentukan

peralatan yang dipergunakan. Untuk menentukan kualitas batubara, analisis-

analisis yang dilakukan antara lain :

2.4.1. Proximate Analysis

Analisis proksimat meliputi penentuan moisture dalam sampel

yang dianalisis, kandungan ash, volatile matter, dan fixed carbon

(Muchjidin, 2006). Hasil dari analisis proksimat memberikan

gambaran banyaknya senyawa organik ringan (volatile matter) secara

relatif, karbon dalam bentuk padatan (fixed carbon), kadar moisture,

dan zat anorganik (ash), hingga mencakup keseluruhan komponen

batubara, yakni batubara murni ditambah bahan-bahan pengotornya

(impurities)

2.4.2. Ultimate Analysis

Analisis Ultimat didefinisikan sebagai analisis batubara yang

dinyatakan dalam kandungan unsur karbon, hidrogen, nitrogen, sulfur,

dan oksigen (Muchjidin, 2006).

1. Sulphur
11

Sulfur dalam batubara terdapat dalam tiga bentuk, yaitu

mineral sulfat, mineral sulfida dan sulfur organik. Analisis forms

of sulphur dilakukan untuk mengetahui komposisi penyusun sulfur.

Sulfur organik terdapat pada seluruh material carbonaceous

dalam batubara dan jumlahnya tidak dapat dikurangi dengan teknik

pencucian. Sulfur dalam bentuk mineral sulfida dan mineral sulfat

merupakan bagian dari mineral-matter yang terdapat dalam

batubara yang jumlahnya kemungkinan masih dapat dikurangi

dengan teknik pencucian. Persen mineral sulfida dan mineral sulfat

didapat melalui analisis di laboratorium, sedangkan sulfur organik

didapat dengan cara mengurangi % total sulphur dengan mineral

sulfat dan mineral sulfida:

S(o) = TS - S(p) - S(s)

Keterangan: S(o) = sulfur organik (%)


TS = total sulfur (%)
S(p) = mineral sulfida (%)
S(s) = mineral sulfat (%)
Terdapatnya mineral sulfat dalam suatu batubara sering

dipergunakan sebagai penunjuk bahwa batubara tersebut telah

teroksidasi, sedangkan mineral sulfida dianggap sebagai salah satu

penyebab timbulnya spontaneous combustion yaitu proses

terjadinya kebakaran pada batubara secara spontan.

Sebelum dilakukan proses pencucian batubara sebaiknya

dilakukan analisis forms of sulphur terlebih dahulu, untuk


12

mengetahui % sulfur organiknya. Apabila sulfur organiknya lebih

besar dari 1.00 %, kita harus menyadari bahwa sebaik apapun

proses pencucian batubara tersebut, produknya tetap akan

mengandung total sulfur lebih besar dari 1.00% sehingga kita dapat

menentukan apakah proses pencucian batubara efektif untuk

dilakukan atau tidak.

2. Karbon dan hidrogen

Untuk menentukan karbon dan hidrogen, ada dua cara yang

diajukan oleh ISO yaitu cara Liebig dan metode suhu tinggi.

Dengan metode suhu tinggi atau high temperature method (ISO

609-1975), ditimbang 0,5 g sampel batubara halus dan dipanaskan

pada suhu 1350C dalam oksigen yang telah dimurnikan. Gas klor

dan sulfur oksida ditahan oleh silver gauze, air diabsorpsi dalam

magnesium perklorat, dan karbon dioksida diabsorpsi dalam soda

asbestos. Pada suhu 1350C ini, nitrogen oksida tidak terbentuk

sehingga tidak memerlukan tabung absorpsi berisi mangan

dioksida.

Untuk penentuan karbon dan hidrogen dalam batubara yang

mempunyai rank rendah digunakan secara Liebig, karena batubara

yang mengandung banyak volatile matter dapat meledak bila

dipanaskan sampai suhu tinggi seperti pada metode suhu tinggi.

Dalam cara Liebig, sebanyak 0,2- 0,3 g sampel batubara

halus dibakar bersama gas oksigen murni pada suhu 800C. Gas
13

yang wterbentuk dialirkan melalui tembaga oksida, air yang

terbentuk diabsorpsi oleh magnesium perklorat, sedangkan karbon

dioksida diabsorpsi oleh soda asbestos. Agar hasil penentuan

mempunyai ketelitian yang tinggi, maka dalam cara ini dipasang

pula sederetan tabung absorpsi.

3. Penentuan nitrogen

Nitrogen dalam batubara hanya terdapat sebagai senyawa

organik. Tidak dikenal adanya mineral pembawa nitrogen dalam

batubara, hanya ada beberapa senyawa nitrogen dalam air kapiler,

terutama dalam batubara muda.

Prinsip penentuan nitrogen dalam batubara semuanya

menggunakan cara Kjeldahl. Prinsipnya, nitrogen diubah menjadi

amonium sulfat dengan cara mendestruksi zat organik pembawa

nitrogen dalam batubara. Dalam cara ini digunakan asam sulfat dan

katalisator.

4. Penentuan oksigen

Oksigen merupakan komponen pada beberapa senyawa

organik dalam batubara. Oksigen ini didapatkan pula dalam

moisture, lempung, karbonat, dan sebagainya. Dalam analisis

ultimat, oksigen ditentukan dengan perhitungan: 100% dikurangi


14

dengan jumlah persentase karbon, hidrogen, dan nitrogen dan

sulfur organik dalam basis kering, bebas zat mineral.

2.5 Parameter Kualitas Batubara Berdasarkan Karakteristik Pengamatan


di Lapangan

1. Warna

Warna batubara bervariasi dari coklat hingga hitam legam. Warna

batubara yang hitam, mengkilap, penyusunnya terdiri dari vitrain

(berbentuk lapisan, sangat mengkilap, pecahan konkoidal; kaya akan

maseral vitrinite yang berasal dari kayu dan serat kayu) dan clarain

(berbentuk lapisan-lapisan tipis, sebagian mengkilap dan kusam; kaya

akan maseral vitrinite dan liptinite yang berasal dari spora, kutikula,

serbuk sari, getah).

Warna hitam : bituminous – antrasit (high rank)

Warna coklat kehitaman : sub bituminous (medium rank)

Warna coklat : lignite (low rank)

2. Pelapukan

Batubara ada yang cepat lapuk (low rank) dan tidak cepat lapuk (high

rank). Proses penguapan air lembab menyebabkan pecahnya batubara,

sehingga mempercepat proses oksidasi dan penghancuran tekstur umum

batubara.

3. Gores
15

Warna gores bervariasi dari hitam legam hingga coklat. Lignite

mempunyai gores coklat, sedangkan bituminous goresnya hitam sampai

hitam kecoklatan.

4. Kilap

Kilap tergantung dari tipe dan derajat batubara. Kilap kusam

umumnya berderajat rendah (low rank), batubara berderajat tinggi (high

rank) umumnya mengkilap.

5. Kekerasan

Kekerasan berhubungan dengan struktur batubara, yaitu komposisi

dan jenisnya. Keras atau lemahnya batubara juga terkandung pada

komposisi dan jenis batubaranya. Uji kekerasan batubara dapat dilakukan

dengan mesin Hardgrove Grindibility Index (HGI). Nilai HGI menunjukan

nilai kekerasan batubara. Nilai HGI berbanding terbalik dengan kekerasan

batubara. Semakin tinggi nilai HGI , maka batubara tersebut semakin

lunak. Sebaliknya, jika nilai HGI batubara tersebut semakin rendah maka

batubara tersebut semakin keras.

6. Pecahan

Pecahan memperlihatkan bentuk dari potongan batubara dalam sifat

memecahnya. Antrasit atau high bituminous pecahannya konkoidal,

sedangkan bituminous dan lignite pecahannya tidak teratur.

7. Pengotor atau Parting


16

Berupa lapisan tipis (bisa berupa batupasir, lanau, lempung) di

dalam lapisan batubara, tebalnya bervariasi mulai dari beberapa milimeter

hingga beberapa centimeter.

8. Cleat

Merupakan rekahan di dalam lapisan batubara khususnya batubara

bituminous yang umumnya berupa rekahan paralel dan tegak lurus

terhadap lapisan batubaranya. Di dalam cleat sering terisi material klastik

seperti batulempung atau batupasir, hal ini menyebabkan meningkatnya

kandungan mineral matter, volatile matter dan abu sehingga nilai

kalorinya menjadi rendah. Semakin banyak cleat maka batubara tersebut

semakin rendah kalorinya.

2.6 Pengendalian Kualitas

Pengendalian kualitas batubara berfungsi untuk menjaga kualitas

batubara agar sesuai dengan spesifikasi yang diminta oleh customer. Batubara

tersebut di disiapkan di stock ROM. Proses penyiapan diharapkan jangka

waktunya tidak lama, karena akan berakibat pada penurunan kualitas

batubara. Proses penurunan kualitas biasanya lebih dipengaruhi oleh proses

oksidasi serta kondisi alam lainnya.

1. Perencanaan Pengembangan Tambang (Eksplorasi)

Dalam perencanaan pengembangan tambang batubara, kondisi

lapisan batubara dapat diketahui melalui pengeboran eksplorasi. Selain

itu, perlu dilakukan analisis kualitas terhadap inti (core) pengeboran,


17

yang berguna pula dalam menentukan jumlah cadangan. Bila terdapat

lapisan batubara dengan ketebalan yang berubah-ubah secara drastis, kita

pun perlu waspada terhadap perubahan kualitas yang mungkin terjadi.

Bila hal tersebut tidak diperhatikan, maka keseragaman kualitas

tidak terjaga sehingga dapat terjadi product reject dari buyer yang akan

mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.

2. Perencanaan Penambangan (Expose)

Dalam beberapa tahun terakhir bahkan untuk tambang batubara

dengan skala produksi yang kecil, mulai dilakukan upaya untuk

meminimalkan biaya produksi, yang dilakukan dengan cara

mengintensifkan blok penambangan yang ada. Untuk melakukan hal ini,

tentunya perlu dipikirkan terlebih dahulu pengaruh perubahan kualitas

yang terjadi pada satu blok penambangan terhadap kualitas batubara

produk secara keseluruhan.

Dengan melakukan channel sampling, kita dapat memprediksi

kualitas batubara yang akan dihasilkan dari suatu blok penambangan. Bila

terdapat kondisi khusus, misalnya kualitas yang menyimpang di bagian

atap atau atap yang lunak, maka dilakukan perencanaan dengan selective

mining.

3. Kontrol Terhadap Penyimpanan Produk

Berdasarkan kenyataan bahwa batubara adalah suatu kumpulan dari

mineral yang beragam, maka untuk mendapatkan kualitas batubara dan


18

kualitas produk hasil yang seragam, perlu dilakukan pencampuran

(blending) dengan metode yang tepat dan berulang-ulang. Bila hanya

memindahkan tumpukan saja, hal ini tidak bisa disebut blending. Blending

dilakukan melalui penumpukan (piling), yang biasanya diwakili oleh

metode Windrow atau Chevron, ditambah proses loading dan pengulangan

terhadap bagian tertentu. Akan tetapi, bila waktu penyimpanan menjadi

terlalu lama, maka kondisi batubara akan menurun. Karena itu, perlu dicari

titik temu antara tuntutan pembeli dengan kondisi batubara hasil blending.

Di sisi lain, batubara dengan umur pembentukan yang relatif muda

cenderung mudah teroksidasi dan penurunan kualitasnya tergolong cepat.

Dengan memikirkan kondisi saat sampai ke tangan end-user (konsumen),

maka perlu ditegakkan prinsip FIFO (first-in first-out).

Gambar 2.2 Sistem FIFO (First In First Out)

Karena kontrol kualitas batubara produk merupakan aktivitas

penambangan itu sendiri, maka perencanaan penambangan merupakan

faktor yang penting.


19

2.7 Hal Yang Perlu Diperhatikan Saat Penanganan Batubara

Masalah yang sering ditemui pada kegiatan produksi dan cara

penanganan batubara adalah debu, spontaneous combustion, fluktuasi

kenaikan Total Moisture (TM), dan tingginya parameter Hardgrove

Grindability Index (HGI) yang dapat menyebabkan timbulnya fine coal atau

butiran halus batubara penyebab debu. Beberapa hal yang perlu diperhatikan

dalam pengendalian kualitas batubara adalah sebagai berikut:

1. Pengawasan yang ketat terhadap kontaminasi, meliputi pelaksanaan

housekeeping dan inspeksi langsung adanya pengotor yang terdapat di

stock ROM.

2. Menanggulangi batubara yang terbakar di stock ROM. Dalam hal ini

penanganan yang dianjurkan sebagai berikut:

a. Melakukan spreading atau penyebaran untuk mendinginkan suhu

batubara.

b. Bila kondisi cukup parah, maka bagian batubara yang terbakar dapat

dibuang.

c. Memadatkan batubara yang mengalami self heating.

3. Terjadinya Impurities

Seperti diketahui batubara yang diambil dari hasil penambangan selalu

mengandung bahan–bahan pengotor (impurities), diketahui 2 jenis

impurities yaitu inherent impurities dan external impurities.


20

a. Inherent impurities merupakan pengotor bawaan yang terdapat di

dalam batubara, pengotor ini dapat berupa mineral seperti: clay , black

sill, damar.

b. External impurities merupakan pengotor secara tidak langsung seperti

: puntung rokok, plastik makanan.


21

Anda mungkin juga menyukai