Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN BATUBARA
Batubara adalah batuan sedimen organik, yang dapat terbakar
sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi. Batubara terbentuk
dari hasil pengawetan sisa - sisa tanaman purba dan menjadi padat
setelahtertimbun oleh lapisan di atasnya. Batubara merupakan bahan
galian strategis dan salah satu sumber energi yang mempunyai peran
besar dalam pembangunan nasional.

Gambar Batubara
Batubara adalah sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari
sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang
selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama
jutaan tahun hingga mengakibatkan pengkayaan kandungan C (Wolf,
1984 dalam Anggayana 2002).

Cook (1999) menerangkan bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan


yang terakumulasi menjadi gambut yang kemudian tertimbun oleh
sedimen, setelah pengendapan terjadi peningkatan temperatur dan
tekanan yang nantinya mengontrol kualitas batubara.

1
Pembentukan tanaman menjadi gambut dan batubara melalui dua
tahap, yaitu tahap diagenesa gambut (peatilification) dan tahap
pembatubaraan (coalification). Tahap diagenesa gambut disebut juga
dengan tahap biokimia dengan melibatkan perubahan kimia dan
mikroba, sedangkan tahap pembatubaraan disebut juga dengan tahap
geokimia atau tahap fisika-kimia yang melibatkan perubahan kimia dan
fisika serta batubara dari lignit sampai antracit (Cook, 1982)

Ditinjau dari cara terbentuknya, batubara dapat dibedakan menjadi


batubara ditempat (insitu) dan batubara yang bersifat apungan (drift).
Batubara ditempat terbentuk di tempat tumbuhan itu terbentuk,
mengalami proses dekomposisi dan tertimbun dalam waktu yang cepat,
batubara ini dicirikan dengan adanya bekas – bekas akar pada seat
earth serta memiliki kandungan pengotor yang rendah, sedangkan
batubara apungan terbentuk dari timbunan material tanaman yang
telah mengalami perpindahan selanjutnya terdekomposisi dan
tertimbun, pada batubara ini tidak dijumpai bekas-bekas akar pada seat
earth dan memiliki kandungan pengotor yang tinggi.

Diessel (1992, dalam Mendra, 2008) menyatakan enam parameter yang


mengendalikan pembentukan endapan batubara, yaitu : adanya sumber
vegetasi, posisi muka air tanah, penurunan yang terjadi dengan
pengendapan, penurununan yang terjadi setelah pengendapan, kendali
lingkungan geoteknik endapan batubara dan lingkungan pengendapan
terbentuknya batubara.

Batubara dapat dikenal dari kenampakan sifat fisiknya yaitu berwarna


coklat sampai hitam, berlapis, padat, mudah terbakar, kedap cahaya,
non kristalin, berkilap kusam sampai cemerlang, bersifat getas, pecahan
kasar sampai konkoidal. Unsur kimia utama pembentuk batubara
adalah karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N) dan sulfur (S).

Proses pembentukan batubara diawali oleh adanya pertumbuhan


tanaman pembentuk batubara di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan

2
tersebut kemudian mati dan terbenam di rawa. Tumbuhan baru hidup
dan mati. Pada akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang mati membentuk
suatu lapisan, yang kemudian menghilang di bawah permukaan air. Dan
terawetkan melalui proses biokimia. Ketebalan lapisan tumbuhan
tersebut tergantung dari lamanya tumbuhan hidup. Lapisan tumbuhan
yang telah mati dapat ditemukan dalam ketebalan yang bervariasi mulai
dari beberapa meter hingga lebih dari 60 meter.

Jika diakibatkan oleh adanya penurunan muka tanah (subsidence) yang


disebabkan oleh proses tektonik, hutan berakhir dibawah muka air,
kehidupan tumbuhanpun berakhir. Selanjutnya material klastik yang
dibawa oleh sungai diendapkan diatas sisa-sisa tumbuhan yang telah
mati tersebut. Material klastik tersebut dapat berupa lapisan batupasir,
batulempung atau batulanau yang kemudian menjadi tebal jika
pengendapan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Lapisan-lapisan
tersebut dikenal sebagai lapisan pembawa batubara yang ketebalannya
bisa mencapai ratusan meter. Jika penurunan tanah (subsidence)
berkurang atau adanya proses pengangkatan tanah, daratan dapat
muncul kembali diatas muka air sehingga tumbuhan dapat hidup
kembali. Daurpun berulang kembali. Dengan cara seperti ini akan
terbentuk beberapa lapisan sisa-sisa tanaman dengan kehadiran
batupasir, batulanau atau batulempung berselingan mengendap
diatasnya.

Dalam proses biokimia, adanya aktifitas bakteri mengubah bahan sisa-


sisa tumbuhan menjadi gambut (peat). Gambut yang telah terbentuk
lambat laun tertimbun oleh endapan-endapan lainnya seperti
batulempung, batulanau dan batupasir. Dengan perjalanan waktu yang
mungkin berpuluh juta tahun, gambut ini akan mengalami perubahan
sifat fisik dan kimia akibat pengaruh tekanan (P) dan temperatur (T),
sehingga berubah menjadi batubara. Proses perubahan dari gambut
menjadi batubara dikenal dengan nama proses pembatubaraan
(coalification). Sebagai gambaran untuk batubara dengan tebal +2m,
dibutuhkan lapisan sisa-sisa tumbuhan dengan ketebalan + 60m. Pada
tahap ini proses pembentukan batubara lebih didominasi oleh proses

3
fisika dan geokimia. Pada proses pembatubaraan, gambut berubah
menjadi batubara lignit, batubara bituminous sampai batubara antrasit.

Kondisi paleogeografi, tektonik, serta iklim berperan penting dalam


proses pembentukan batubara. Kondisi Paleogeografi dan Tektonik
harus membentuk suatu cekungan yang memudahkan proses
penumpukan sisa-sisa tumbuhan disamping melindungi rawa-rawa dari
laut terbuka. Kondisi paleografi dan tektonik juga harus mendukung
agar rawa-rawa tempat penumpukan tumbuhan yang mati, mengalami
kenaikan muka air tanah secara perlahan dan lambat. Kondisi ini akan
sangat mendukung bagi perkembangan endapan gambut yang tebal,
yang pada akhirnya akan menentukan pembentukan lapisan-lapisan
batubara. Sedangkan iklim berpengaruh besar terhadap jenis tumbuhan
sebagai sumber pembentuk batubara. Iklim juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman serta kecepatan dekomposisi.

Sekitar 90% batubara didunia termasuk Indonesia terbentuk pada


lingkungan paralism yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai.
Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, laguna, paparan
dan fluviátil/sungai.Pengendapan batubara di dataran pantai terjadi
pada rawa-rawa dibelakang pematang pasir pantai, yang kearah darat
berasosiasi dengan sistem laguna. Daerah ini tertutup hubungan dengan
laut terbuka, pengaruh oksidasi air laut tidak ada, sehingga menunjang
pembentukan batubara.

Pengendapan batubara pada lingkungan sungai dapat terjadi pada rawa-


rawa dataran banjir (flood plain) dan belakang tanggul alam (natural
levee). Batubara yang terbentuk pada lingkungan seperti ini biasanya
membentuk lensa-lensa yang membaji ke segala arah mengikuti bentuk
cekungan limpahnya. Ditinjau dari proses terbentuknya, batubara dapat
dibagi atas dua golongan yaitu:

Batubara insitu atau autochtonous, yaitu batubara yang terbentuk


ditempat dimana tanaman itu berasal. Pada umumnya batubara jenis ini
memiliki lapisan yang cukup tebal dengan kandungan abu rendah.

4
Batubara tertransportasi (transported) atau allochthonous, yaitu
batubara yang terbentuk tidak pada tempat dimana tanaman asal
terdapat, sehingga harus melalui proses transportasi ke tempat
pengendapan. Batubara jenis ini biasanya memiliki lapisan yang tipis
dan mengandung mineral (abu) cukup tinggi dibandingkan dengan
batubara insitu.

Jenis Batubara berdasarkan tahapan pembentukannya, batubara dapat


dikelompokan kedalam 5 jenis, mulai dari yang memiliki kalori terendah
sampai tertinggi, yaitu :
1. Gambut (peat)
2. Lignit
3. Batubara sub bituminous
4. Batubara bitominous
5. Batubara antrasit

 Lignite atau juga dikenal dengan sebutan batubara coklat,


adalah jenis batubara yang paling rendah kualitasnya. Salah satu dimana
endaoan bagian kayu dari tanaman di air diselesaikan dan ditransmisikan
secara biokimia oleh jamur. Tidak seperti bagian yang dikubur kemudian
dibentuk oleh panas bumi dan tekanan bumi untuk waktu yang lama.
Begitulah penguraian lignin dan selulosa di permukaan bumi yang
merupakan bahan utama bahan nabati. Batubara ini berwarna coklat
yang berkualitas rendah karena tingkat karbonosasi rendah juga disebut
bown lignit secara akademis. Lignit merupakan batubara bitumen kering
dengan nilai kalor 3000 – 4000 Kcal / kg yang digunakan sebagai bahan
bakar di beberapa wilayah. Lignite akan menyusut ketika kandungan air
didalamnya dikeringkan, bagian kayu lignite (butiran kayu terlihat sebagai
organ kayu yang diawetkan) dikupas seperti piring, batu bara lignite (yang
memiliki hal kecil terbuat dari batubara berkualitas mineral) diubah
menjadi buruk dengan cepat untuk menghasilkan retakan acak.

 Sub-bituminous adalah jenis batubara sedang di antara


jenis lignite dan jenis bituminous. Secara fisik memiliki ciri-ciri berwarna
coklat gelap cenderung hitam. Sub-bituminous juga merupakan kelas

5
batubara yang mengandung sedikit karbon dan banyak air serta dengan
kandungan kalori yang lebih rendah rendah yaitu antara 4611 kcal/kg –
5833 kcal/kg, oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien
dibandingkan dengan bituminous.

 Bituminous, adalah jenis batubara yang lebih tinggi tingkatan


kualitasnya. Mayoritas berwarna hitam, namun kadang masih ada yang
berwarna coklat tua. Dinamakan bituminous dikarenakan adanya
kandungan bitumen/aspal. Bituminous juga merupakan kelas batubara
yang memiliki kandungan kalori antara 5833 kcal/kg – 7777 kcal/kg,
dengan unsur karbon (C) 68% – 86% dan kadar air 8% – 10% dari
beratnya. Bituminous paling banyak ditambang di Australia.

 Anthracite adalah jenis batubara yang paling baik


kualitasnya. Penggunaan batubara anthracite pada pembangkit listrik
tenaga uap, masuk ke dalam jenis batubara High Grade dan Ultra High
Grade. Namun persediaannya masih sangat terbatas, yaitu sebanyak 1%
dari total penambangan batubara. adalah kelas batubara tertinggi dengan
warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% – 98%
unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%. Antarsit memiliki
kandungan kalori yang paling tinggi yaitu diatas 7777 kcal/kg.
Standar Nasional Indonesia menetapkan jenis batubara berdasarkan
nilai kalorinya, yaitu :
Batubara Kalori Rendah : < 5100 (gambut dan lignite)
Batubara Kalori Sedang : 5100 - 6100 (batubara sub bituminous)
Batubara Kalori Tinggi : 6100 - 7100 (batubara bituminous
Batubara Kalori Sangat Tinggi : > 7100 (batubara bituminus dan antrasit)

6
Gambar Jenis-jenis batubara

Dalam penggunaannya di dunia industri, batubara dapat dibagi menjadi


dua kelompok yaitu batubara kokas (coking coal) dan batubara uap
(steaming coal). Batubara kokas dipergunakan untuk pembuatan kokas
(metallurgical coke), sedangkan batubara uap adalah bahan baku untuk
menghasilkan uap yang selanjutnya dipergunakan menggerakkan turbin
untuk menghasilkan listrik.

B. KETERDAPATAN BATUBARA INDONESIA


Di Indonesia batubara terbentuk pada cekungan-cekungan sedimentasi
berumur Permo-Karbon sampai Terrier (Neogen dan Paleogen). Sebagian
besar batubara Indonesia berumur muda (Neogen), berupa batubara
lignite dan subbituminus dengan nilai kalori yang rendah dan sedang.
Akan tetapi di beberapa tempat, seperti di daerah Bukit Asam dan
Kubah Pinang (Sangata), batubara peringkat rendah tersebut mendapat
pengaruh panas dari intrusi magma, yang menyebabkan kualitasnya
meningkat, sehingga ada yang mencapai peringkat antrasit.

Endapan batubara Neogen yang bernilai ekonomis ditemukan di


Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan Bengkulu, Cekungan Kutai dan
Tarakan (Kalimantan Timar) serta Cekungan Barito (Kalimantan
Selatan). Sedangkan batubara Indonesia yang berumur Paleogen dengan
nilai kalori yang tinggi serta bernilai ekonomis lebih sedikit jumlahnya
daripada batubara Neogen, diantaranya terdapat di Cekungan Ombilin
Sumatra Barat, Cekungan Sumatra Tengah (Riau), Cekungan Pasir dan
Asam-Asam (Kalimantan Timar dan Selatan), Cekungan Barito

7
(Kalimantan Tengah dan Selatan) serta Cekungan Ketungau (
Kalimantan Barat). Endapan batubara Paleogen juga ditemukan di
Sulawesi dan Jawa Barat, walaupun tidak terdapat dalam jumlah yang
banyak.

Pada tahun 2006, jumlah sumberdaya batubara Indonesia tercatat


sebanyak 90.451,87 juta ton. Dari jumlah tersebut sebanyak 67%
berupa batubara dengan kalori sedang, 22% berupa batubara dengan
kalori rendah, 10% berupa batubara dengan kalori tinggi dan 1% berupa
batubara dengan kalori sangat tinggi.

Batubara Indonesia ditinjau dari penggunaannya dalam dunia industri


dan perdagangan termasuk kedalam jenis batubara uap (steam
coal/termal coal).Hingga saat ini, di Indonesia belum pernah ditemukan
batubara kokas. Walaupun demikian batubara bituminus Indonesia
sangat bagus digunakan sebagai bahan campuran kokas.
Batubara Indonesia tergolong batubara yang bersih dengan kandungan
abu (<5%) dan kandungan sulfur yang rendah (<1%), sehingga tidak
terlalu mencemari lingkungan. Karakteristik tersebut membuat batubara
Indonesia mampu bersaing di dunia perdagangan Internasional.
Batubara Indonesia yang memiliki kalori tinggi sebagian besar diekspor
ke luar negeri, sedangkan batubara peringkat rendah dan sedang
dipergunakan sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik maupun
sebagai bahan bakar pada berbagai industri di Indonesia, seperti
industri semen, teksil maupun pupuk.

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati


yang sangat melimpah. Indonesia juga terletak pada zona lempeng yang
aktif, sehingga sangat berpotensi terdapat eandapan batubara. Hampir
di setiap pulau di Indonesia terdapat lapisan batubara, mulai dari pulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua dengan
karakteristik masing-masing yang berbeda. Biasanya batubara terdapat
di cekungan-cekungan atau lembahlembah. Cekungan batubara adalah
penurunan akibat tekanan yang dialami oleh formasi batuan yang lebih
tua yang telah mengandung endapan batubara. Cekungan batubara

8
yang besar dapat mengandung satu atau lebih lapangan-lapangan
batubara dengan penyebaran dapat mencapai ribuan kilometer persegi.
Untuk mengetahui lapisan suatu batuan diperlukan pemahaman
tentang stratigrafi, litologi dan formasi. Stratigrafi adalah lapisan batuan
atau susunan batuan yang didasarkan pada umur batuan. Sedangkan
litologi adalah lapisan atau susunan batuan yang didasarkan pada
kenyataan di lapangan. Formasi adalah kelompok batuan yang memiliki
ciri tertentu yang diberi nama khusus sebagai unit untuk keperluan
pemetaan, referensi dan analisis. Formasi dapat diartikan sebagai unit
batuan terkecil dalam klasifikasi stratigrafi yang dicirikan adanya
persamaan litologi. Pada umumnya formasi diberi nama menurut daerah
pertama kali unit tersebut ditemukan. Berikut ini akan dibahas formasi-
formasi yang berpotensi terdapat batubara di Indonesia :

Cekungan-Cekungan di Pulau Sumatra Di Sumatera Selatan, endapan


batubara berumur Miosen-Pliosen tersebar pada cekunganSumatra
Selatan dan terdapat pada formasi Muara Enim. Endapan tersebut telah
mengalami intrusi andesit pada masa orogenesa Plio-Pleistosen, yang
singkapannya dapat dijumpai di Bukit Asam, Air Laya, Suban, dan Bukit
Tapuan. Endapan batubara terdiri dari lima lapisan yaitu Lapisan A
(Lapisan Mangus), Lapisan B (Lapisan Suban), Lapisan C (Lapisan Petai),
Lapisan Keladi, dan Lapisan Batubara Gantung (coal hanging seam). Ciri
khusus endapan batubara tersebut adalah sebarannya yang terbatas,
yang diduga disebabkan oleh banyaknya kelokan sungai yang mengalir
ke dalam daerah pengendapan yang terdapat di ujung atau di antar
endapan kipas aluvium.Di Sumatra Tengah, khususnya daerah di
Sumatera Barat, endapan batubara tersebar pada cekungan antar
gunung, atau yang lebih dikenal dengan Cekungan Ombilin yang
memanjang searah dengan struktur utama Pulau Sumatera (barat
lauttenggara). Endapan batubara terdapat pada formasi Sawah Lunto
yang berumur Eosen-Oligosen, terdiri dari tujuh lapisan batubara yang
bila diurut dari yang berumur muda ke tua adalah Lapisan A, B (tiga
lapisan), C dan D (dua lapisan). Jumlah cadangan batubara di
Sumatera, termasuk yang terdapat di daerah Bengkulu dan Aceh

9
diperkirakan sebesar 24,7 miliar ton, atau mencapai sekitar 67,9% dari
cadangan Indonesia.

Batubara di Indonesia
Pertambangan batubara di Indonesia sudah di mulai semenjak
zaman belanda, yaitu di daerah sawahlunto. Saat Ir. Soekarno menjabat
sebagai presiden, semua perusahaan pertambangan dinasionnalisasikan
dan batubara di kuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu
Perusahaan Negara Tambang Batubara (PN Tambang Batubara). Pada
tahun 1980an PN Tambang Batubara mulai menjual konsesi batubara.
Kemudian mulaii berdirilah perusahaan swasta seperti PT. Arutmin
Indonesia, PT. Kaltim Prima Coal, dan satu perusahaan BUMN PT. Bukit
Asam. Perjanjian penambangan batubara dulu di kenal dengan PKP2B
(Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Kontrak
PKP2b dimulai dari generasi I sampai VII, dan sekarang sudah berganti
menjadi izin usaha pertambangan sesuai UU Minerba yang baru.

Pada masa mendatang, produksi batubara Indonesia diperkirakan akan


terus meningkat; tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
(domestik), tetapi juga untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor).
Hal ini mengingat sumber daya batubara Indonesia yang masih
melimpah, di lain pihak harga BBM yang tetap tinggi, menuntut industri
yang selama ini berbahan bakar minyak untuk beralih menggunakan
batubara. Adanya rencana pembangunan PLTU baru di dalam dan luar
Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.000 MW, meningkatnya produksi
semen setiap tahun, dan semakin berkembangnya industri-industri lain
seperti industri kertas (pulp) dan industri tekstil merupakan indikasi
permintaan dalam negeri akan semakin meningkat. Demikian pula
halnya dengan permintaan batubara dari negara-negara pengimpor
mengakibatkan produksi akan semakin meningkat pula. Terkait dengan
hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN)
melalui PP No.5 Tahun 2006 sebagai pembaruan Kebijaksanaan Umum
Bidang Energi (KUBE) tahun 1998. KEN mempunyai tujuan utama
untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara
berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien, serta terwujudnya

10
bauran energi yang optimal pada tahun 2025. Untuk itu
ketergantungan terhadap satu jenis sumber energi seperti BBM harus
dikurangi dengan memanfaatkan sumber energi alternatif di antaranya
batubara. Untuk mendukung pencapaian sasaran bauran energi
nasional yang dicanangkan pemerintah, salah satunya adalah
melakukan kajian batubara secara nasional untuk mengetahui kondisi
sumberdaya, pengusahaan, dan pemanfaatan batubara, serta
permasalahannya, yang dapat digunakan untuk membuat langkah-
langkah yang diperlukan seperti pengumpulan data baik sekunder
maupun primer.

Jumlah sumber daya batubara Indonesia tahun 2005 berdasarkan


perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral adalah sebesar 61,366 miliar ton. Sumber daya
batubara tersebut tersebar di 19 propinsi. Dalam kebijakan energi
nasional 2025, pemakaian batubara diharapkan mencapai 33%,
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang digunakan sebagai
landasan di dalam kebijakan pengusahaan batubara, yaitu :

- Kepmen ESDM No.1128 Tahun 2004, tentang Kebijakan Batubara


Nasional.
- Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Inpres
No.2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara
yang Dicairkan Sebagai Bahan Bakar Lain.

Di dalam sasaran bauran energi nasional tersebut, batubara


menempati urutan pertama di dalam penggunaan energi. Hal tersebut
dikarenakan oleh sumber daya batubara cukup melimpah, yaitu 61,3
miliar ton, dengan cadangan 6,7 miliar ton (Pusat Sumber Daya Geologi,
2005). Dapat digunakan langsung dalam bentuk padat, atau dikonversi
menjadi gas (gasifikasi) dan cair (pencairan). Harga batubara kompetitif
dibandingkan energi lain. Teknologi pemanfaatan batubara yang ramah
lingkungan telah berkembang pesat, yang dikenal sebagai Teknologi
Batubara Bersih.

11
C. PENAMBANGAN BAWAH TANAH DAN METODE PENGEMBANGAN
Secara umum pengertian tambang bawah tanah adalah suatu
sistim penambangan mineral atau batubara dimana seluruh aktivitas
penambangan tidak berhubungan langsung dengan udara terbuka.
Kegiatan penambangan yang mengacu pada metode pengambilan bahan
mineral yang dilakukan dengan membuat terowongan menuju lokasi
mineral tersebut. Berbagai macam bahan galian bisa diambil melalui
metode ini seperti emas, tembaga, seng, nikel, dan batubara. Karena
letak cadangan yang umumnya berada jauh dibawah tanah, jalan masuk
perlu dibuat untuk mencapai lokasi cadangan.

1. Syarat-syarat Penerapan tambang Bawah Tanah

Prinsip pokok eksploitasi tambang bawah tanah adalah memilih


metode penambangan yang paling cocok dengan keunikan karakter
(sifat alamiah, geologi, lingkungan, dll) endapan mineral dan batuan
yang akan ditambang, dengan memperhatikan batasan tentang
keamanan, teknologi dan ekonomi. Batasan keekonomian berarti
bahwa dengan biaya produksi yang rendah tetapi diperoleh
keuntungan pengembalian yang maksimum (return the maximum
profit ataupun rate of return ROR) serta lingkungan.

Untuk menentukan tambang bawah tanah harus memperhatikan:

a. Karakteristik penyebaran deposit atau geometri deposit


(massive, vein, disseminated, tabular, platy, sill, dll)
b. Karakteristik geologi dan hidrologi (patahan, sesar, air tanah,
permeabilitas)
c. Karakteristik geoteknik (kuat tekan, kuat tarik, kuat geser,
kohesi, Rock Mass Rating, Q-System, dll)
d. Faktor-faktor teknologi (hadirnya teknologi baru, penguasaan
teknologi, Sumber Daya Manusia, dll)
e. Faktor lingkungan (limbah pencucian, tailing, amblesan,
sedimentasi, dll).
2. Potensi Bahaya di Tambang Bawah Tanah

12
Salah satu karakteristik kegiatan pertambangan adalah padat modal,
padat teknologi dan memiliki risiko yang besar. Kemudian sebagai
aktivitas ekstraktif, banyak aktivitas dilakukan pada kondisi ekstim
sehingga potensi terjadinya kecelakaan sangat besar. Kemudian
salah satu acuan utama dalam praktek penambangan yang baik dan
benar termasuk di dalamnya pelaksanaan budaya keselamatan dan
kesehatan kerja adalah Kepmentamben No. 555K/MPE/1995 tentang
Pedoman Kesehatan Keselamatan Kerja di Wilayah Pertambangan.

Tambang bawah tanah memiliki resiko keselamatan karakteristik


dibandingkan dengan tambang terbuka dikarenakan keterbatasan
kondisi yang disesaikan dengan aktivitas bawah tanahnya. Tingkat
resiko yang tinggi ini maka keselamatan kerja haruslah menjadi
perhatian utama dalam pelaksanaan kegiatan tambang.

Di dalam aktivitas pertambangan bawah tanah, potensi bahaya dari


aktivitas yang dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan
tambang terbuka. Ini dikarenakan kondisi dan lokasi kerja yang
sangat terbatas dibanding tambang terbuka. Beberapa keterbatasan
tersebut adalah:

a. Ruang Kerja yang Terbatas

Bekerja di bawah tanah tentunya jauh berbeda dibanding


bekerja normal diatas permukaan. Dimensi bukaan tunneling
mesti dihitung cermat agar efisien dari sudut biaya, dan aman
dilihat dari pertimbangan teknis. Tunneling yang terlalu besar
akan akan membutuhkan biaya tinggi disertai dengan
kerumitan-kerumitan teknis. Pekerja tambang dituntut untuk
bekerja dalam lingkungan yang terbatas. Terbatasnya ruang
sudah jelas akan mempertinggi resiko yang dapat mengancam
keselamatan. Bahaya tertabrak kendaraan bergerak (LHD, Wheel
Loader, Mine Truck, Jumbro Drill dan lain sebagainya) dapat
saja terjadi akibat keterbatasan ruang gerak.

13
b. Cahaya yang terbatas

Bekerja di bawah tanah berarti bekerja tanpa penyinaran yang


alami dan di bawah keterbatasan cahaya. Cahaya bantuan
hanya didapat dari penerangan dengan lampu atau melalui Mine
Spot Lamp (MSL). Tetapi jika cahaya bantuan ini dibandingkan
dengan panjang tunneling yang dapat mencapai beberapa
kilometer maka penerangan tidak mungkin dipasang di seluruh
tempat. Bekerja dengan cahaya terbatas atau diterangi oleh MSL
tentunya sangat riskan. Oleh karena itu para pekerja tambang
bawah tanah tidak diperbolehkan untuk bekerja sendirian.
Setidaknya ditemani oleh satu orang untuk mengantisipasi jika
salah satu MSL tersebut mati.

c. Kondisi batuan yang rawan

Batuan rapuh adalah musuh terbesar miners. Telah dilakukan


beragam metode terapan untuk memperkuat batuan tetapi
pekerja tambang tetap harus waspada akan bahaya ini.
Runtuhan batuan, sekecil apapun akan beresiko. Runtuhan
batuan kecil mungkin saja merupakan awal dari aktivitas yang
memancing ambrukan lebih besar lagi. Untuk meminimalkan
resiko keselamatan kerja, selain penyanggaan yang harus teliti
dan akurat, berbaga macam prosedur kerja juga diperlukan
untuk melengkapi keamanan aktivitas.

d. Gas berbahaya

Berbagai macam jenis gas berbahaya, tumpah ruah dan banyak


terdapat di dalam tambang bawah tanah. Metan adalah gas
berbahaya yang ditemui di tambang batubara bawah tanah.
Sedangkan utuk tambang bijih bawah tanah, gas yang paling
berbahaya adalah carbonmonodioxide (CO). Para pekerja
tambang bawah tanah rawan terpapar dengan gas beracun.
Akibat sirkulasi udara terowongan yang terbatas, gas-gas
beracun tidak bisa langsung terlepas ke atmosfer. Beberapa gas
beracun ini antara lain CO, CO2, H2S, NOx, dan SO2. Gas ini

14
dapat terjadi akibat proses peledakan, emisi kendaraan dan alat
berat maupun gas yang terlepas alami oleh kondisi batuan.
Pada banyak kondisi, sulit membuat kadar masing-masing gas
itu menjadi benar-benar nol. Oleh karena itu ditetapkanlah
ambang batas. Tidak ada satupun pun gas yang boleh melebihi
ambang batas ini. Jika terdapat dalam kadar tinggi, gas-gas ini
dapat menyebabkan kematian.

3. Kelemahan dan Keunggulan Tambang Bawah Tanah


a. Keunggulan tambang bawah tanah
 Tidak terpengaruh cuaca karena bekerja dibawah permukaan
tanah
 Kedalaman penggalian hampir tak terbatas karena tidak berkait
dengan SR
 Secara umum beberapa metode tambang bawah tanah lebih
ramah lingkungan (misal:cut and fill, shrinkage stoping, stope
and pillar)
 dapat menambang deposit dengan model yang tidak beraturan
 bekas penggalian dapat ditimbun dengan tailing dan waste.

b. Kelemahan tambang bawah tanah

 perlu penerangan
 Semakin dalam penggalian maka resiko ambrukan semakin
besar
 produksi relatif lebih kecil dibandingkan tambang terbuka
 problem ventilasi, bahan peledak harus yang permissible
explossive, debu, gas&gas beracun.
 Masalah safety dan kecelakaan kerja menjadi kendala
 mining recovery yang umumnya lebih kecil

4. Metode Penambangan Bawah Tanah


a. Pemilihan Metode
Secara umum penambangan batubara terdiri dari
pemotongan batubara, pemuatan, pemasangan penyangga,
penanganan gob (ambrukan), transportasi permuka kerja serta

15
gateaway dan penanganan gas serta debu batubara dipermuka
kerja, dimana diantara pekerjaan tambang batubara merupakan
pekerjaan yang paling penting dan menjadi masalah pokok dalam
produksi.

Oleh karena itu, metode penambangan batubara harus dipilih


dengan hati-hati sesuai dengan rencana produksi jangka panjang
batubara tersebut. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :

 Penentuan struktur pit yang sesuai dengan kondisi alam serta


dana yang diinvestasikan.
 Penentuan sistem penambangan batubara.
 Cara penanganan transportasi, ventilasi, penimbunan kembali,
keselamatan kerja serta masalah lingkungan.
 Pekerjaan persiapan.
 Penggunaan mesin penambangan batubara.
 Cara penambangan batubara.
 Penetapan produksi batubara dan rencana ketenagakerjaan
melalui pelaksanaan butir 1 – 6 secara terintegrasi.
 Kondisi alam
 Ketebalan lapisan batubara
 Kemiringan lapisan batubara
 Sifat atap dan lantai
 Hubungan multiple seam
 Kondisi Geologi (Parting dan patahan)
 Banyak tidaknya air dan gas yang keluar dan ada tidaknya
swabakar
 Kedalaman lapisan dan kekerasan batubara

b. Jenis Metode
1. Metode Room And Pillar
Metode penambangan batubara yang menetapkan suatu
plane/blok penambangan tertentu, kemudian menggali maju
2 sistem (jalur) terowongan, masing-masing melintang dan

16
memanjang, untuk melakukan penambangan batubara
dengan pembagian pilar batubara.

Gambar Metode Room and Pillar

2. Metode Longwall Mining


Adalah metode penambangan batubara bawah tanah dengan
membuat lorong membentuk suatu panel atau blok panjang
yang merupakan bidang penambangannya. Metode ini
banyak digunakan pada penambangan batubara bawah
tanah, karena dapat diharapkan jumlah produksi yang besar
dari satu permuka kerja.

Gambar Metode Longwall Mining

17
Tabel 1. Kualitas, Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia Tiap Propinsi, 2005

Cada
Kualitas Sumberdaya ( Juta Ton) ngan
Te
Krit Hip Te Ter ru Ju
Provinsi eria ote re tun ku ml (Juta
Kelas (Kal/gr tik ka juk r ah Ton)
, adb)

5100 – 2,7 0,0 10,


Kalori Sedang 6100 5,47 8 0,00 0 34 0,00
6100 – 2,9 0,0 2,9
BANTEN Kalori Tinggi 7100 0,00 7 0,00 0 7 0,00
5,7 0,0 13,
5,47 5 0,00 0 31 0,00
0,8 0,0 0,8
Kalori Rendah <5100 0,00 2 0,00 0 2 0,00
JAWA TENGAH 0,8 0,0 0,8
0,00 2 0,00 0 2 0,00
5100 – 0,0 0,0 0,0
Kalori Sedang 6100 0,00 8 0,00 0 8 0,00
JAWA TIMUR 0,00 0,0 0,00 0,0 0,0 0,00

18
8 0 8
20, 64, 91,
NANGROE Kalori Rendah <5100 0,00 92 6,70 14 76 0,00
ACEH 35
5100 – 325 26, 1,6
Kalori Sedang 6100 0,00 ,43 6,70 26 9 0,00
DARUSALAM 44
346 13,4 90, 3,4
0,00 ,35 0 40 5 0,00

0,0 19, 19,


Kalori Rendah <5100 0,00 0 0,00 97 97 0,00
SUMATERA 5100 – 7,0 0,0 7,0
UTARA Kalori Sedang 6100 0,00 0 0,00 0 0 0,00
7,0 19, 26,
0,00 0 0,00 97 97 0,00
1.3 26 1.6
45, 8,0 13,
Kalori Rendah <5100 0,00 69 0,00 6 75 0,00
5100 – 30, 51, 82,
Kalori Sedang 6100 0,00 62 0,00 57 19 0,00
RIAU 6100 - 12,7 359 16, 38
Kalori Tinggi 7100 9 ,60 0,00 99 9,3 16,54

19
8
1.7 33 2.0
12,7 35, 6,6 85,
9 91 0,00 2 32 16,54
5100 – 19,1 284 42,7 22, 369
Kalori Sedang 6100 9 ,36 2 97 ,24 2,83
14
6100 – 164 4,2 314
SUMATERA Kalori Tinggi 7100 5,76 ,58 0,00 7 ,61 19,24
BARAT 27, 14, 41,
Kalori Sangat Tinggi > 7100 0,00 00 0,00 00 00 14,00
18
24,9 475 42,7 1,2 724
5 ,94 2 4 ,85 36,07
51, 0,0 51,
Kalori Rendah <5100 0,00 13 0,00 0 13 0,00
1.2 1.5
5100 – 190, 00, 36,3 90, 17,
Kalori Sedang 6100 84 09 2 24 49 18,00
JAMBI 29
6100 – 210 82, 3,7
Kalori Tinggi 7100 0,00 ,81 0,00 96 7 0,00
190, 1.4 36,3 17 1.8 18,00

20
84 62, 2 3,2 62,
03 0 39

21
Lanjutan Tabel 1

Sumberdaya ( Juta Cada


Kualitas Ton) ngan
T T
Kriteri Hi e er
Provinsi a po r Te u
te e rtu k Ju (Jut
ti k nj u ml a
Kelas (Kal/gr k a uk r ah Ton)
, adb)
11 10
0,0 ,3 0,0 ,5 21,
Kalori Rendah <5100 0 4 0 8 92 0,00
5100 – 0,0 0, 0,0 5, 6,6
Kalori Sedang 6100 0 81 0 86 7 3,79
10 45
6100 – 15, 0, 8,1 ,4 169
BENGKULU Kalori Tinggi 7100 15 62 1 9 ,37 17,33
Kalori Sangat 0,0 0, 0,0 0, 0,6
Tinggi > 7100 0 32 0 37 9 0,00
15, 11 8,1 62 198
15 3, 1 ,3 ,65 21,12

22
09 0
7. 1.
32 40 2.3 35 11.
6,5 0, 00, 8, 384 2.426
Kalori Rendah <5100 5 27 07 00 ,89 ,00
1.
19 62 9.1 36 11.
5100 – 8,9 9, 39, 6, 334 186,0
SUMATERA Kalori Sedang 6100 3 28 87 01 ,10 0
SELATAN 31 14
6100 – 0,0 ,0 433 ,0 478
Kalori Tinggi 7100 0 0 ,89 0 ,89 67,00
9. 1.
52 06 11. 73 23.
5,4 0, 873 8, 197 2.679
8 55 ,83 01 ,88 ,00
14
5100 – 0,0 ,0 0,0 0, 14,
Kalori Sedang 6100 0 0 0 00 00 0,00
92
6100 – 0,0 ,9 0,0 0, 92,
LAMPUNG Kalori Tinggi 7100 0 5 0 00 95 0,00
0,0 10 0,0 0, 106 0,00

23
0 6, 0 00 ,95
95

37
6100 – 42, 8, 0,0 0, 420
Kalori Tinggi 7100 12 60 0 00 ,72 0,00
10
KALIMANTAN Kalori Sangat 0,0 4, 1,3 1, 106
BARAT Tinggi > 7100 0 00 2 48 ,80 0,00
48
42, 2, 1,3 1, 527
12 60 2 48 ,52 0,00
48
0,0 3, 0,0 0, 483
Kalori Rendah <5100 0 92 0 00 ,92 0,00
29 44
5100 – 0,0 6, 5,0 ,3 354
Kalori Sedang 6100 0 75 8 6 ,80 4,05
11 26 72
KALIMANTAN 6100 – 4,1 2, 0,0 ,6 449
TENGAH Kalori Tinggi 7100 1 72 0 4 ,47 0,00
Kalori Sangat > 7100 0,0 24 0,0 77 324 44,54

24
Tinggi 0 7, 0 ,0 ,64
62 2
1.
11 29 19 1.6
4,1 1, 5,0 4, 12,
1 01 8 02 83 48,59
37 60
0,0 0, 0,0 0, 971 536,3
Kalori Rendah <5100 0 87 0 99 ,86 3
4. 2.
79 52 7.6
5100 – 0,0 3, 301 6, 20, 1.287
Kalori Sedang 6100 0 13 ,36 46 95 ,01
33 10
KALIMANTAN 6100 – 0,0 6, 33, 9, 478
SELATAN Kalori Tinggi 7100 0 19 12 64 ,95 44,36
17 12
Kalori Sangat 0,0 ,6 0,0 ,0 29,
Tinggi > 7100 0 2 0 0 62 0,14
5. 3.
51 24 9.1
0,0 7, 334 9, 01, 1.867
0 81 ,48 09 38 ,84

25

Anda mungkin juga menyukai