Anda di halaman 1dari 19

Batubara

Batubara merupakan bahan bakar fosil. Batubara dapat terbakar, terbentuk dari
endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.
Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan
lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan
tahun sehingga membentuk lapisan batubara.

Berdasarkan klasifikasi Badan Standardisasi Nasional Indonesia batubara adalah


endapan yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang telah
mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorfosis oleh panas dan
tekanan selama waktu geologi, yang berat kandungan bahan organiknya lebih dari
50% atau volume bahan organik lebih dari 70 %.

Batubara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang
awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut.

Batubara ialah batuan sedimen yang secara kimia dan fisika adalah heterogen yang
mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen sebagai unsur utama dan
belerang serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat lain, yaitu senyawa anorganik
pembentuk (ash) tersebar sebagai partikel zat mineral terpisah pisah di seluruh
senyawa batubara (Elliott, 1981).

Secara kimia, batubara tersusun atas tiga komponen utama, yaitu:

air yang terikat secara fisika, dapat dihilangkan pada suhu sampai 105C, disebut
moisture

senyawa batubara atau coal substance atau coal matter, yaitu senyawa organik yang
terutama terdiri atas atom karbon, hidrogen, oksigen, sulfur dan nitrogen

zat mineral atau mineral matter, yaitu suatu senyawa anorganik

Susunan Maseral dalam Batubara

Maseral adalah zat dasar yang dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Susunan
maseral batubara tidak sama antara batubara yang satu dengan batubara yang
lainnya karena perbedaan tipe dan susunan komponen yang bergantung pada
material tumbuhan asalnya serta pada perkembangan selama pembentukan
batubara tersebut. Maseral dibagi menjadi tiga golongan utama, yakni vitrinit,
inertinit, dan eksinit.

Susunan kimia dari batubara akan menunjukkan adanya perbedaan rank dan
lithotype. Jadi, batubara adalah suatu istilah umum dan padatan yang terkandung di
dalamnya serupa tapi tak sama. Batubara merupakan senyawa yang heterogen.
Vitrinit merupakan maseral terbanyak, umumnya berasal dari kayu dan merupakan
konstituen utama dari batubara yang keras, terang dan lebih berkilau. Apabila
dipanaskan, vitrinit menjadi lunak dan plastis, membentuk kokas yang meleleh.

Inertinit berasal dari jaringan kayu dan jaringan tanaman yang lunak. Dinamakan
inertinit karena bila dipanaskan masih tetap 'inert' dan tidak menjadi lunak.

Eksinit merupakan golongan maseral yang sedikit jumlahnya, berasal dari spora
tanaman, bijih tepungsari serta daun dan resin. Eksinit relatif banyak mengandung
hidrogen dan pada pemanasan akan menghasilkan gas dan tar.

Ditinjau dari maseral yang dikandungnya, setiap jenis batubara diberi nama dengan
akhiran "-ain" yang menerangkan jenis serta bagian dari maseral yang dikandungnya.
Dikenal empat kategori utama, yakni vitrain, clarain, durain, dan fusain.

Vitrain mengandung maseral golongan vitrinit lebih dari 95% dan nampak sebagai
pita berkilauan terang di dalam lapisan batubara

Clarain mengandung campuran maseral golongan vitrinit, gabungan vitrinit/eksinit


yang disebut clarit, dan maseral yang berasal dari spora tanaman yang disebut
sporit. Seperti halnya vitrain, clarain juga merupakan batubara yang terang

Durain umumnya mengandung campuran semua golongan maseral. Penampakannya


seperti pita redup berwarna hitam kelabu.

Fusain hampir seluruhnya tersusun oleh golongan inertinit. Seperti halnya durain,
fusain nampak redup.

Petrografi batubara banyak dipakai dalam pemilihan dan blending (cara mencampur
beberapa jenis batubara yang kualitasnya berbeda). Cara-cara atau teknik petrografi
batubara juga digunakan dalam penyelidikan geologi.

Proses Pembentukan Batubara

Tanpa memandang perbedaan antara batubara yang satu dengan yang lainnya,
dapat dikatakan bahwa semua batubara merupakan hasil suatu proses dasar yang
sama. Kebanyakan batubara di dunia terbentuk beberapa juta tahun yang silam yang
menurut para ahli geologi disebut Zaman Batubara (Coal Age). Ada dua periode
Zaman Batu bara, yang pertama Zaman pra-Tertier, dimulai 345 juta tahun yang
silam (selama Periode Karbon) dan berakhir pada 280 juta tahun yang silam dan yang
kedua, Era Bosen Miosen, dimulai sekitar 100 juta tahun yang silam dan berakhir
45 juta tahun yang silam.
Dua tahapan dalam genesa batu bara:

Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan
hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup
udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 75% (berat) dan
kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering.

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari
tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya terkena
proses fisika dan kimia sehingga mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya

Tahap pertama : Pembentukan gambut

Iklim bumi selama Zaman Batubara adalah tropis dan berjenis-jenis tumbuhan
tumbuh subur di daerah rawa membentuk suatu hutan tropis. Setelah banyak
tumbuhan yang mati dan menumpuk di atas tanah, tumpukan itu semakin lama
semakin tebal menyebabkan bagian dasar dari rawa turun secara perlahan-lahan dan
material tetumbuhan tersebut diuraikan oleh bakteri dan jamur. Tahap ini
merupakan tahap awal dari rangkaian pembentukan batubara (coalification) yang
ditandai oleh reaksi biokimia yang luas. Selama proses penguraian tersebut, protein,
kanji dan selulosa mengalami penguraian lebih cepat bila dibandingkan dengan
penguraian material berkayu (lignin) dan bagian tumbuhan yang berlilin (kulit ari
daun, dinding spora, dan tepung sari). Karena itulah, dalam batu bara yang muda
masih terdapat ranting, daun, spora, bijih, dan resin, sebagai sisa tumbuhan. Bagian-
bagian tumbuhan itu terurai di bawah kondisi aerob menjadi karbon dioksida, air,
dan amoniak, serta dipengaruhi oleh iklim. Proses ini disebut proses pembentukan
humus (humification) dan sebagai hasilnya adalah gambut.

Tahap kedua : Pembentukan lignit

Dengan berubahnya topografi daerah di sekelilingnya, gambut menjadi terkubur


dibawah lapisan lanau (silt) dan pasir yang diendapkan oleh sungai dan rawa.
Semakin dalam terkubur, semakin bertambah timbunan sedimen yang
menghimpitnya sehingga tekanan pada lapisan gambut bertambah serta suhu naik.
Tahap ini merupakan tahap kedua dari proses pembentukan batu bara atau yang
disebut tahap metamorfik.

Penutupan rawa gambut memberikan kesempatan pada bakteri untuk aktif dan
melakukan penguraian sehingga kandungan hidrogen dan karbon bertambah. Tahap
kedua dari proses pembentukan batu bara ini adalah tahap pembentukan lignit,
yaitu batu bara rank rendah yang dalam keadaan kering mengandung karbon 80,4%,
hidrogen 0,5%, dan oksigen 19,1 %.

Tahap ketiga : Pembentukan batubara sub-bitumen


Tahap selanjutnya dari proses pembentukan batu bara ialah pengubahan batu bara
bitumen rank rendah menjadi batu bara bitumen rank pertengahan dan rank tinggi.
Selama tahap ketiga, kandungan hidrogen akan tetap konstan dan oksigen turun.
Tahap ini merupakan tahap pembentukan batu bara sub-bitumen (sub-bituminous
coal).

Tahap keempat : Pembentukan batubara bitumen

Dalam tahap keempat atau tahap pembentukan batu hara bitumen (bituminous
coal), kandungan hidrogen turun dengan menurunnya jumlah oksigen secara
perlahan-Iahan, tidak secepat tahap-tahap sebelumnya. Produk sampingan dari
tahap ketiga dan keempat ini ialah CH4, CO2, dan mungkin H2O.

Tahap kelima : Pembentukan antrasit

Tahap kelima adalah antrasitisasi. Dalam tahap ini, oksigen hampir konstan,
sedangkan hidrogen turun lebih cepat dibandingkan tahap-tahap sebelumnya.
Jenis Batubara
Tingakat perubahan yang dialami batubara, dari gambut sampai menjadi antrasit
disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan yang penting dan hubungan
tersebut disebut sebagai tingkat mutu batubara. Batubara dengan mutu yang
rendah, seperti batubara muda dan sub-bitumen biasanya lebih lembut dengan
materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Barubara muda memilih
tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah sehingga
kandungan energinya rendah. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya
lebih keras dan kuat dan seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara
dengan mutu yang lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak,
tingkat kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak.
Antrasit adalah batu bara dengan mutu yang paling baik karena memiliki kandungan
karbon dan energi yang lebih tinggi serta tingkat kelembaban yang lebih rendah.
Batubara dengan mutu rendah
Batubara muda 17%, digunakan sebagai pembangkit listrik
dan sub bitumen 30%, pembangkit listrik, produksi semen, penggunaan untuk
industri
Batubara keras
bitumen 52%, pembangkit listrik, produksi semen, penggunaan untuk industri
antrasit 1%, digunakan sebagai bahan bakar minyak tanpa asap
Bitumen
termal (Batubara bara ketel uap), pembangkit listrik, produksi semen, penggunaan
untuk industri
metalurgi (batubara kokas), digunakan dalam industri pembuatan besi dan baja
Sumber daya Batubara
Jumlah batubara yang dapat ditemukan di suatu endapan atau tambang batubara.
Biasa disebut sebagai cadangan. Cadangan batubara terdiri dari cadangan yang telah
terbukti (terukur) dan cadangan yang diperkirakan (terindikasi). Cadangan
terindikasi memiliki tingkat keyakinan yang lebih rendah dibanding cadangan
terukur. Cadangan terukur merupakan cadangan yang tidak hanya dipertimbangkan
untuk sekedar dapat ditambang namun juga dapat ditambang secara ekonomis.
Cadangan batubara ditemukan melalui kegiatan eksplorasi. Proses tersebut biasanya
mencakup pembuatan peta geologi dari daerah yang bersangkutan, kemudian
melakukan survey geokimia dan geofisika, yang dilanjutkan dengan pengeboran
eksplorasi. Proses demikian memungkinkan diperolehnya gambaran yang tepat dari
daerah yang akan dikembangkan.
Daerah tersebut hanya akan menjadi suatu tambang jika daerah tersebut memiliki
cadangan batubara yang cukup banyak dan mutu yang memadai sehingga batubara
dapat diambil secara ekonomis.
Penambangan Batubara
Batubara dapat ditambang dengan dua metode yaitu tambang permukaan atau
terbuka dan tambang bawah tanah atau dalam. Akan tetapi sebagian besar
tambang batubara menggunakan metode tambang terbuka.
Tambang Bawah Tanah
Ada dua metode tambang bawah tanah: tambang room and pillar dan tambang
longwall. Dalam tambang room and pillar, penambangan batubara dapat dilakukan
dengan cara retreat mining (penambangan mundur), dimana batubara diambil dari
pilar-pilar yang telah terbentuk pada saat para penambang kembali ke atas. Atap
tambang kemudian dibiarkan ambruk dan tambang tersebut ditinggalkan. Sedangkan
tambang longwall dilakukan pada kedalaman permukaan batubara bervariasi (100-
350 m). Penyangga yang dapat bergerak maju secara otomatis dan digerakkan secara
hidrolik sementara menyangga atap tambang selama pengambilan batubara. Setelah
batubara diambil dari daerah tersebut, atap tambang dibiarkan ambruk.
Keuntungan dari tambang room and pillar daripada tambang longwall adalah dapat
memproduksi batubara jauh lebih cepat dengan biaya produksi yang lebih kecil.
Tambang Terbuka
Tambang terbuka (tambang permukaan) hanya memiliki nilai ekonomis apabila
lapisan batubara berada dekat dengan permukaan tanah. Metode tambang terbuka
memberikan proporsi endapan batubara yang lebih banyak daripada tambang
bawah tanah karena seluruh lapisan batu bara dapat dieksploitasi (hampir 90% atau
lebih). Batuan permukaan (terdiri dari tanah dan batuan) dipisahkan pertama kali
dengan bahan peledak, setelah lapisan batubara terlihat, lapisan batubara tersebut
digali, dipecahkan kemudian ditambang secara sistematis dalam bentuk jalur-jalur.
Kemudian batu bara dimuat ke dalam truk besar atau ban berjalan untuk diangkut ke
pabrik pengolahan batu bara atau langsung ke tempat dimana batu bara tersebut
akan digunakan.
Batubara di Indonesia
Secara umum, batubara Indonesia termasuk batubara bahan bakar. Bila dibagi
menurut rank-nya, jumlah antrasit adalah 0,36%, bitumen 14,38%, sub-bitumen
26,63%, dan lignit sebesar 58,63%.
Batubara Indonesia terbentuk paling belakang bila dibandingkan dengan batu bara
negara lain. Lapisan batubara yang terdapat di Indonesia umumnya tergolong
berumur muda, berasal dari dua periode Tersier, bahkan banyak di antaranya
berasal dari periode Tersier muda. Endapan batubara yang tersebar cukup luas
dalam sedimen berumur Tersier ada di Sumatera dan Kalimantan. Endapan-endapan
kecil terdapat di Jawa, Sulawesi dan Irian Jaya.
Sumatera. Di Pulau Sumatera, batubara ditemukan di Meulaboh (4,7%), di Sumatera
bagian tengah (6,8%). Sumber daya terbesar (sampai 33,2%) terdapat di Sumatera
Selatan sedangkan di Bengkulu hanya terdapat 0,43%.
Kalimantan. Sumber daya batubara yang besar terdapat di Kalimantan Timur dan
Selatan. Batubara di Kalimantan Timur (35,4%) sedangkan batubara Kalimantan
Selatan (16,4%). Di Kalimantan Barat terdapat di daerah Melawi dan Ketungau
dengan jumlah persediaan sebesar 0,5%, sedangkan di Kalimantan Tengah sebesar
2,4%.
Jawa. Batubara di Pulau Jawa jumlahnya hanya sedikit, yakni 0,02% yang
kebanyakan terdapat di Jawa Barat dan sedikit di Jawa Tengah.
Sulawesi. Batubara di Sulawesi jumlahnya hanya 0,3% dari jumlah batubara
Indonesia.
Papua. Jumlah batubara di Papua hanya 0,06% dari jumlah seluruh batubara di
Indonesia

Berdasarkan data dari World Coal Association, pada tahun 2012 Indonesia adalah
negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Ekspor batubara Indonesia pada
tahun itu mencapai 383 juta ton. Dari segi produksi batubara, Indonesia berada pada
posisi ke empat setelah Cina, Amerika, dan India dengan memproduksi 443 juta ton.
Sebanyak 383 juta ton batubara dari total produksi (sekitar 86%) di ekspor ke luar
negeri. Jadi hanya sekitar 14% saja dari total produksi batu bara yang dimanfaatkan
untuk kebutuhan dalam negeri. Mayoritas pemanfaatan di Indonesia masih
menggunakan batubara secara langsung sebagai bahan bakar terutama untuk PLTU,
pabrik semen, tekstil, dan pabrik kertas.
Saat ini, industri batubara Indonesia sedang lesu. Permintaan impor dari negara-
negara langganan batubara Indonesia menurun terutama dari Cina dan India. Kedua
negara ini telah menggenjot produksi batubaranya secara gila-gilaan untuk
mengurangi ketergantungannya terhadap impor batu bara. Produksi batu bara ikut
merosot seiring dengan harganya yang meluncur perlahan.
Karakteristik Batubara
Nilai kalor batubara merupakan penjumlahan panas pembakaran dari unsur-unsur
yang dapat terbakar dalam batubara (seperti karbon dan hidrogen) dikurangi dengan
panas peruraian zat carbonaceous dan ditambah atau dikurangi dengan reaksi
eksotermis dan endotermis dari pembakaran zat pengotor dalam batubara.
Nilai kalor dinyatakan sebagai heating value.
Gross Heating Value (GHV) diperoleh dengan membakar sempurna suatu sampel
batubara di dalam bomb calorimeter menghasilkan gas CO2, SO2, air dan nitrogen.
Net Heating Value (NHV) adalah nilai kalor sebenarnya yang dimanfaatkan pada
saat pembakaran). NHV dihitung dari GHV dengan mendinginkan gas hasil
pembakaran ke temperatur standar dan airnya dipertahankan tetap sebagai uap.
NHV biasanya antara 93 - 97 % dari GHV dan tergantung dari kandungan uap air
terikat serta uap air bebas dalam batubara.

Nilai Kalor Batubara


Efisiensi Pembakaran batubara

Kebutuhan Udara

Kebutuhan excess air


Metode pembakaran batubara terdiri dari :
Pembakaran lapisan tetap (fixed bed combustion)
Pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion, PCC)
Pembakaran lapisan mengambang (fluidized bed combustion, FBC)
Pembakaran lapisan tetap (fixed bed combustion)
Proses pembakaran menggunakan stoker boiler
Ukuran partikel batubara maks 30 mm
Batubara dibakar di atas lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api (traveling
fire grate) pada stoker boiler
Kadar abu batubara sekitar 10 15%
Tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk pembakaran adalah 5cm
Fly ash yang dihasilkan 30%
Kadar NOx dapat diturunkan hingga sekitar 250 300 ppm
Pulverized coal combustion (PCC)
Batubara yang digunakan berukuran 200 mesh (diameter 74m)
Batubara bersama sama dengan udara pembakaran disemprotkan ke boiler untuk
dibakar
Menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker ash sebanyak 15% dan sisanya
berupa fly ash
Bekerja pada suhu 1400 1500 C
Pembakaran menghasilkan Nox sehingga perlu dilakukan tindakan denitrasi
di boiler saat proses pembakaran berlangsung
Denitrasi
Kecepatan injeksi campuran batubara serbuk dan udara ke dalam boiler dikurangi
sehingga pengapian bahan bakar dan pembakaran juga melambat
Bahan bakar tidak semuanya dimasukkan ke zona pembakaran utama, tapi sebagian
dimasukkan ke bagian di sebelah atas burner utama. NOx yang dihasilkan dari
pembakaran utama selanjutnya dibakar melalui 2 tingkat, pembakaran reduksi
(reducing combustion) dimana kandungan nitrogen dalam bahan bakar akan diubah
menjadi N2 dan pembakaran oksidasi (oxidizing combustion), berupa pembakaran di
zona pembakaran sempurna. Dengan tindakan ini, NOx dalam gas buang dapat
ditekan hingga mencapai 150 200 ppm.
Fluidized bed combustion (FBC)
Batubara yang digunakan berukuran maksimum 25 mm
Butiran batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara melewatkan
angin berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler.
Kadar air yang menempel di permukaannya (free moisture) tidak lebih dari 4%
Suhu pembakaran berkisar antara 850 900 sehingga kadar thermal NOx yang
timbul dapat ditekan
Desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan proses pembakaran di boiler dengan
cara mencampur batu kapur (lime stone, CaCO3) dan batubara
Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 :
Bubbling FBC
Circulating FBC (CFBC)
Bubbling FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan
pengembangannya.
Berdasarkan tekanan, FBC dapat diklasifikasikan menjadi :
Atmospheric FBC (AFBC), bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara
luar
Pressurized FBC (PFBC), bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan udara luar
Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap perkembangan
teknologi FBC :
Bubbling FBC berkembang dari PFBC menjadi Advanced PFBC (A-PFBC)
CFBC berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan Pressurized ICFBC (PICFBC).
Untuk mengurangi gas SO2 yang dihasilkan pada proses pembakaran batubara dapat
dilakukan dengan mengurangi kandungan sulfur sebelum batubara dibakar
(desulfurisasi) atau dengan mengurangi kandungan sulfur setelah batubara dibakar
(flue gas desulfurization).
Desulfurisasi
Kimia = Terdiri dari 3 tahapan, yaitu oksidatif, caustic dan reduksi
Biologi = Dilakukan dengan bantuan desulfurization microbial
Fisik = Dengan bantuan kapur untuk mengikat S

Flue gas desulfurization

Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian
disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3.
Gas buang selanjutnya direaksikan dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam
sulfat direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum.

Sistem FGD dapat diklasifikasikan ke dalam 2 jenis, yaitu : Sistem basah (Wet Flue Gas
Desulfurizatio) dan Sistem kering (Dry Flue Gas Desulfurizatio)

Limbah Pembkaran Batubara

Beberapa polutan yang terbentuk pada pembakaran batubara diantaranya :

Abu

Pada pembakaran batubara, terdapat limbah padat yaitu abu terbang (fly ash) dan abu
dasar (bottom ash). Dampak negatif abu terhadap lingkungan, diantaranya adalah terhadap
pertanian, yakni tertutupnya daun oleh endapan abu sehingga respirasi tanaman terganggu
dan akibatnya produksi (pertanian) menurun. Apabila abu batubara terhisap oleh manusia
maka pernapasan dapat terganggu karena mengandung kadar silika tinggi dapat
menyebabkan silikosis. Abu yang dihasilkan dari pembakaran batubara terutama terdiri dari
silikon dioksida (SiO2), besi oksida (Fe2O3) dan aluminium oksida (Al2O3).

Oksida belerang

Sebagian SO2 yang diemisikan ke udara dapat teroksidasi menjadi SO3 yang apabila bereaksi
dengan uap air menjadi kabut asam sulfat (H2SO4) yang selanjutnya menjadi sumber hujan
asam. Dampak negatif oksida belerang adalah terbentuknya hujan asam yang mengganggu
pertanian, yakni menurunkan produktivitas karena rusaknya daun dan hilangnya zat hara
dalam tanah serta mengganggu pernapasan pekerja atau penduduk di sekitar titik emisi dan
juga menyebabkan terjadinya korosi terhadap peralatan yang terbuat dari bahan logam,
terutama besi.

Oksida nitrogen

Pengaruh oksida nitrogen (NO2) terhadap lingkungan mirip dengan oksida belerang, yakni
dapat bereaksi dengan uap air menjadi kabut asam nitrat (HNO3) yang menyebabkan hujan
asam, gangguan pernapasan pekerja atau penduduk di sekitar titik emisi, dan terjadinya
korosi peralatan juga dapat diakibatkan oleh emisi oksida nitrogen.

Karbon monoksida

Karbon monoksida terbentuk karena pembakaran tidak sempurna karbon karena


kekurangan jumlah oksigen. Dampanya terhadap manusia adalah adalah dapat
menyebabkan sesak napas, karena kemampuan CO bereaksi dengan hemoglobin darah
sehingga terbentuk carboxyhaemoglobin. Akibatnya kemampuan darah untuk membawa
oksigen menjadi menurun.

Asap dan gas hidrokarbon

Akan menurunkan efisiensi pembakaran serta membentuk asap dan gas dapat mengganggu
lingkungan. Asap yang tebal akan menutup cahaya matahari sehingga mengganggu proses
photosintesis daun tanaman dan pembentukan vitamin D kulit (manusia). Partikel-partikel
karbon yang terserap manusia dapat mengganggu pernapasan. Gas hidrokarbon seperti poli
aromatik hidrokarbon (PAH) bersifat karsinogen, menyebabkan kanker.

Karbon dioksida

Gas CO2 sendiri sebetulnya bukan merupakan polutan berbahaya yang langsung
mengganggu kesehatan karena gas ini juga terbentuk pada pernapasan manusia. Pengaruh
gas CO2 terhadap lingkungan adalah sebagai unsur utama pembentuk efek rumah kaca
(green house effect). CO2 adalah gas yang transparan dan dapat tertembus oleh cahaya
matahari, tetapi gas ini juga menyerap sebagian radiasi sinar infra merah. Sebagian energi
sinar infra merah tersebut kemudian dilepaskan kembali sehingga terjadi pemanasan bumi.
Selanjutnya meningkatnya suhu bumi mengakibatkan pemanasan global dan dapat
mencairkan es di kutub sehingga permukaan air laut naik.

Teknologi Batubara Bersih (Clean Coal Technology

Teknologi batubara bersih merupakan sekumpulan teknologi yang dikembangkan untuk


mitigasi dampak lingkungan dari penggunaan batubara. Teknologi batubara bersih dapat
dilakukan sebelum, saat dan setelah proses pembakaran batubara berlangsung.

Teknologi batubara bersih sebelum pembakaran meliputi pengolahan batubara


untuk mendapatkan batubara bersih melalui proses penurunan kadar air, kadar abu
dan belerang serta pengotor lainnya ataupun melalui proses konversi, yaitu merubah
batubara kedalam bentuk gas (gasifikasi) atau cair (likuifaksi).

Teknologi batubara bersih saat pembakaran berlangsung berupa pemilihan peralatan


pembakaran batubara, misalnya low Nox burner, fluidized bed, dan lain-lain.

Penangkapan polutan merupakan teknologi batubara bersih setelah batubara


tersebut dibakar.

Pengolahan Batubara

Pengurangan kandungan sulfur

Pencucian batu bara

Dengan cara memecah batu bara ke bongkahan yang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa
sulfur yang ada sebagai bintik kecil di batu bara disebut sebagai pyritic sulfur. Bongkahan
batu bara dimasukkan ke dalam tangki besar yang terisi air, batu bara mengambang ke
permukaan ketika kotoran sulfur tenggelam. Fasilitas pencucian ini dinamakan "coal
preparation plants" yang membersihkan batu bara dari pengotor-pengotornya. Namun,
tidak semua sulfur bisa dibersihkan dengan cara ini. Terdapat sulfur yang secara kimia
benar-benar terikat dengan molekul karbonnya, tipe sulfur ini disebut organic sulfur, dan
pencucian tak akan menghilangkannya.

Desulfurisasi

Merupakan penanganan (penguranganan atau penghilangan) kandungan sulfur yang


terdapat di batubara. Metode desulfurisasi dapat dibagi menjadi dua jenis : Metode basah
dan Metode kering

Pengurangan kandungan nitrogen

Denitrifikasi merupakan treatment atau penanganan terhadap gas nitrogen yang berasal
dari batubara maupun dari proses pembakaran batubara.

Metode desulfurisasi dan denitrifikasi simultan


Desufurisasi dan denitrifikasi menggunakan karbon aktif serta Metode irridasi sinar elektron

Konversi Batubara

Pirolisis

Pirolisis batubara pada dasarnya adalah proses pemanasan batubara dengan suhu
meningkat dengan tanpa adanya atau sedikit udara atau reagen lainnya yang tidak
memungkinkan terjadinya reaksi gasifikasi. Selama proses pirolisis terjadi, batubara akan
terdekomposisi dan menghasilkan condensable gases yang disebut dengan tar, non-
condensable gases yang disebut dengan gas dan padatan mikrokristalin yang disebut dengan
char. Produk hasil pirolisis batubara tidak hanya menghasilkan energi yang bersih tetapi juga
dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kimia.

Liquifaksi

Pencairan batubara (coal liquefaction) adalah pengubah batubara padat menjadi bahan
bakar cair. Jika batubara yang solid dikonversi ke dalam cairan dengan membuatnya
bereaksi dengan hidrogen pada suhu tinggi dan tekanan tinggi. Akibatnya, batubara cair
dapat digunakan dalam hampir semua sektor pasar produk minyak bumi.

Gasifikasi

Penggasan batubara (gasifikasi) merupakan proses konversi materi organik (batubara,


biomass atau natural gas) biasanya padat menjadi CO dan H2 (synthesis gases) dengan
bantuan uap air dan oksigen pada tekanan atmosfer atau tinggi. Keseluruhan proses
gasifikasi terjadi di dalam reaktor gasifikasi yang dikenal dengan nama gasifier. Di dalam
gasifier inilah terjadi suatu proses pemanasan sampai temperatur reaksi tertentu dan
selanjutnya bahan bakar tersebut melalui proses pembakaran dengan bereaksi terhadap
oksigen untuk kemudian dihasilkan gas mampu bakar dan sisa hasil pembakaran lainnya.

Liquifaksi

Pencairan Batubara (Coal liquefaction ) adalah pengubah batubara padat menjadi bahan
bakar cair. Jika batubara, yang solid dikonversi ke dalam cairan dengan membuatnya
bereaksi dengan hidrogen pada suhu tinggi dan tekanan tinggi. Akibatnya, batubara cair
dapat digunakan dalam hampir semua sektor pasar produk minyak bumi yang hadir.
Pencairan Batubara (Coal liquefaction ) terminologi yang dipakai secara umum mencakup
pemrosesan batubara menjadi BBM sintetik (synthetic fuel).

Peralatan Pembakaran Batubara

Teknologi batu bara bersih yang dapat dilakukan saat proses pembakaran, antara lain :

Integrated Coal Gasification Combined Cycle (IGCC)


Mengubah batubara kedalam gas yang mudah terbakar untuk penggerak turbin gas.
Batubara tanpa gas, dibakar di tungku pembakaran menghasilkan uap, untuk penggerak
steam turbin. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk memperoleh peningkatan efisiensi.

Pressurized Fluidized Bed Combustion Combined Cycle (PFBCC)

Uap yang digunakan untuk menggerakkan turbin diperoleh dari panas yang dialirkan dari
boiler. Pada saat yang bersamaan gas dari hasil pembakaran dialirkan untuk menggerakkan
turbin yang berbeda pada tekanan dan temperatur yang tinggi. PFBCC mampu menghasilkan
efisiensi yang tinggi (gross thermal effisiency 43%) cukup tinggi dibandingkan dengan
sistem pembangkit konvensional dengan tekanan normal.

Fluidized-Bed Combustion (FBC)

FBC mengurangi emisi SOx dan NOx dengan pembakaran batubara bubuk secara terkontrol
di fluidized-bed. Sulfur dilepaskan dari batubara sebagai SOx, diserap oleh sorbent seperti
batu gamping yang disuntikkan ke dalam ruang pembakaran bersama dengan batubara.
Sekitar 90% belerang dapat diubah menjadi senyawa padat. FBC yang beroperasi pada
temperatur yang jauh lebih rendah daripada boiler batubara bubuk konvensional,
mengurangi jumlah NOx termal dalam jumlah besar.

Penangkapan Polutan

Polutan padat/debu

Cyclone

Merupakan sistem yang mengakibatkan perubahan arah aliran gas buang yang memisahkan
dan mengumpulkan partikel terbang dalam gas buang dengan memanfaatkan daya
sentrifugal partikel. Cyclone biasa digunakan sebagai ESP pretreatment dalam beberapa
industri.

Electrostatic Precipitator

Pada metode ini elektron ditambahkan ke debu dalam gas buang yang menyebabkan debu
tersebut melekat dan terkumpul pada precipitator.

Bag Filter

Metode ini adalah metode pengumpul debu yang menggunakan bahan saringan kain.
Metode ini sedikit dipengaruhi oleh tipe batubara dan mengandalkan performa perangkap
debu yang efisien dan stabil.
Polutan karbon

Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi ini mencoba dan menangkap karbon yang
dikeluarkan oleh emisi batubara. Karbon kemudian disimpan dalam gua-gua bawah tanah
atau sumur minyak tua.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi dalam kandungan mineral fly ash (abu terbang)
dari batu bara adalah:

Komposisi kimia batu bara, Proses pembakaran batu bara dan Bahan tambahan yang
digunakan termasuk bahan tambahan minyak untuk stabilisasi nyala api dan bahan
tambahan untuk pengendalian korosi.

Senyawa-senyawa penyusun abu terbang sebenarnya sangat ditentukan oleh mineral-


mineral pengotor bawaan yang terdapat pada batu bara itu sendiri yang disebut dengan
inherent mineral matter. Mineral pengotor yang terdapat dalam batu bara dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu :

1. Syngenetic atau disebut dengan mineral matter : pada dasarnya mineral-mineral ini
terendapkan di tempat tersebut bersamaan dengan saat prosespembentukan paet.
2. Epigenetica juga disebut dengan extraneous mineral matter: pada prinsipnya
mineral-mineral pengotor ini terakumulasi pada cekungan setelah proses
pembentukan lapisan peat tersebut selesai.

a. Proses Pembentukan Fly Ash (Abu Terbang)

Sistem pembakaran batubara umumnya terbagi 2 yakni sistem unggun


terfluidakan (fluidized bed system) dan unggun tetap (fixed bed system atau grate
system). Disamping itu terdapat system ke-3 yakni spouted bed system atau yang dikenal
dengan unggun pancar. Fluidized bed system adalah sistem dimana udara ditiup dari
bawah menggunakan blower sehingga benda padat di atasnya berkelakuan mirip fluida.
Teknik

b. Sifat-sifat Fly Ash (Abu Terbang)

Abu terbang mempunyai sifat-sifat yang sangan menguntungkan di dalam


menunjang pemanfaatannya yaitu :

1.Sifat Fisik

Abu terbang merupakan material yang di hasilkan dari proses pembakaran


batubara pada alat pembangkit listrik, sehingga semua sifat-sifatnya juga ditentukan oleh
komposisi dan sifat-sifat mineral-mineral pengotor dalam batubara serta proses
pembakarannya. Dalamproses pembakaran batubara ini titik leleh abu batu bara lebih
tinggi dari temperatur pembakarannya. Dan kondisi ini menghasilkan abu yang memiliki
tekstur butiran yang sangat halus. Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang
umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil
pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075mm. Kerapatan abu terbang
berkisar antara 2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan
metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg. Adapun sifat-sifat
fisiknya antara lain :

a) Warna : abu-abu keputihan

b) Ukuran butir : sangat halus yaitu sekitar 88 %

2. Sifat Kimia

Komponen utama dari abu terbang batubara yag berasal dari pembangkit listrik
adalah silikat (SiO2), alumina(Al2O3), dan besi oksida(Fe2O3), sisanya adalah karbon,
kalsium, magnesium, dan belerang.

Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara yan
dibakar dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Pembakaran batubara lignit dan
sub/bituminous menghasilkan abu terbang dengan kalsium dan magnesium oksida lebih
banyak daripada bituminus. Namun, memiliki kandungan silika, alumina, dan karbon yang
lebih sedikit daripada bituminous. Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang
umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil
pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075 mm. Kerapatan abu terbang
berkisar antara 2100-3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya antara 170-1000 m2/kg.

Tabel 3. Komposisi kimia abu terbang batubara

Komponen Bituminous Sub- Lignite


bituminous
SiO2 20-60% 40-60% 15-45%
Al2O3 5-35% 20-30% 10-25%
Fe2O3 10-40% 4-10% 4-15%
CaO 1-12% 5-30% 15-40%
MgO 0-5% 1-6% 3-10%
SO3 0-4% 0-2% 0-10%
Na2O 0-4% 0-2% 0-6%
K2O 0-3% 0-4% 0-4%
LOI 0-15% 0-3% 0-5%
c. Pemanfaatan Fly Ash (Abu Terbang)

Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang


dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya
terhadap lingkungan. Saat ini umumnya abu terbang batubara digunakan dalam pabrik
semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton selain itu, sebenarnya abu
terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang amat beragam:

1. penyusun beton untuk jalan dan bendungan


2. penimbun lahan bekas pertambangan
3. recovery magnetik, cenosphere dan karbon
4. bahan baku keramik, gelas, batubata, dan refraktori
5. bahan penggosok (polisher)
6. filler aspal, plastik, dan kertas
7. pengganti dan bahan baku semen
8. aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization)
9. konversi menjadi zeolit dan adsorben
10. Refraktori

d. Dampak Fly Ash (Abu Terbang) di Lingkungan

1. Dampak positif.

Fly ash (abu terbang/abu layang) dimanfaatkan sebagai adsorben limbah


sasirangan dan logam berat berbahaya, bahan pembuat beton, bahan pembuat
refaktori cor tahan panas, Hal itu didasari oleh struktur abu layang yang berpori dan
luas permukaan yang besar, sehingga dengan sedikit perlakuan dan modifikasi
manjadikan abu layang sebagai bahan yang cukup potensial untuk berbagai
keperluan sehingga dapat menghemat biaya dan tanpa disadari dapat mengurangi
pencemeran lingkungan akibat fly ash itu sendiri. Bagi industry yang menggunakan
bahan bakar batu bara, seperti PLTU dapat memanfaatkan fly ash sebagai sumber
ekonomi sampingan.

2. Dampak negatif.

Apabila fly ash didiamkan dan tidak diolah maka akan berdampak pada
lingkungan dan manusia, karna fly ash merupakan salah satu limbah B3.

Anda mungkin juga menyukai