Batubara merupakan bahan bakar fosil. Batubara dapat terbakar, terbentuk dari
endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.
Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan
lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan
tahun sehingga membentuk lapisan batubara.
Batubara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang
awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut.
Batubara ialah batuan sedimen yang secara kimia dan fisika adalah heterogen yang
mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen sebagai unsur utama dan
belerang serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat lain, yaitu senyawa anorganik
pembentuk (ash) tersebar sebagai partikel zat mineral terpisah pisah di seluruh
senyawa batubara (Elliott, 1981).
air yang terikat secara fisika, dapat dihilangkan pada suhu sampai 105C, disebut
moisture
senyawa batubara atau coal substance atau coal matter, yaitu senyawa organik yang
terutama terdiri atas atom karbon, hidrogen, oksigen, sulfur dan nitrogen
Maseral adalah zat dasar yang dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Susunan
maseral batubara tidak sama antara batubara yang satu dengan batubara yang
lainnya karena perbedaan tipe dan susunan komponen yang bergantung pada
material tumbuhan asalnya serta pada perkembangan selama pembentukan
batubara tersebut. Maseral dibagi menjadi tiga golongan utama, yakni vitrinit,
inertinit, dan eksinit.
Susunan kimia dari batubara akan menunjukkan adanya perbedaan rank dan
lithotype. Jadi, batubara adalah suatu istilah umum dan padatan yang terkandung di
dalamnya serupa tapi tak sama. Batubara merupakan senyawa yang heterogen.
Vitrinit merupakan maseral terbanyak, umumnya berasal dari kayu dan merupakan
konstituen utama dari batubara yang keras, terang dan lebih berkilau. Apabila
dipanaskan, vitrinit menjadi lunak dan plastis, membentuk kokas yang meleleh.
Inertinit berasal dari jaringan kayu dan jaringan tanaman yang lunak. Dinamakan
inertinit karena bila dipanaskan masih tetap 'inert' dan tidak menjadi lunak.
Eksinit merupakan golongan maseral yang sedikit jumlahnya, berasal dari spora
tanaman, bijih tepungsari serta daun dan resin. Eksinit relatif banyak mengandung
hidrogen dan pada pemanasan akan menghasilkan gas dan tar.
Ditinjau dari maseral yang dikandungnya, setiap jenis batubara diberi nama dengan
akhiran "-ain" yang menerangkan jenis serta bagian dari maseral yang dikandungnya.
Dikenal empat kategori utama, yakni vitrain, clarain, durain, dan fusain.
Vitrain mengandung maseral golongan vitrinit lebih dari 95% dan nampak sebagai
pita berkilauan terang di dalam lapisan batubara
Fusain hampir seluruhnya tersusun oleh golongan inertinit. Seperti halnya durain,
fusain nampak redup.
Petrografi batubara banyak dipakai dalam pemilihan dan blending (cara mencampur
beberapa jenis batubara yang kualitasnya berbeda). Cara-cara atau teknik petrografi
batubara juga digunakan dalam penyelidikan geologi.
Tanpa memandang perbedaan antara batubara yang satu dengan yang lainnya,
dapat dikatakan bahwa semua batubara merupakan hasil suatu proses dasar yang
sama. Kebanyakan batubara di dunia terbentuk beberapa juta tahun yang silam yang
menurut para ahli geologi disebut Zaman Batubara (Coal Age). Ada dua periode
Zaman Batu bara, yang pertama Zaman pra-Tertier, dimulai 345 juta tahun yang
silam (selama Periode Karbon) dan berakhir pada 280 juta tahun yang silam dan yang
kedua, Era Bosen Miosen, dimulai sekitar 100 juta tahun yang silam dan berakhir
45 juta tahun yang silam.
Dua tahapan dalam genesa batu bara:
Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan
hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup
udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 75% (berat) dan
kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering.
Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari
tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya terkena
proses fisika dan kimia sehingga mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya
Iklim bumi selama Zaman Batubara adalah tropis dan berjenis-jenis tumbuhan
tumbuh subur di daerah rawa membentuk suatu hutan tropis. Setelah banyak
tumbuhan yang mati dan menumpuk di atas tanah, tumpukan itu semakin lama
semakin tebal menyebabkan bagian dasar dari rawa turun secara perlahan-lahan dan
material tetumbuhan tersebut diuraikan oleh bakteri dan jamur. Tahap ini
merupakan tahap awal dari rangkaian pembentukan batubara (coalification) yang
ditandai oleh reaksi biokimia yang luas. Selama proses penguraian tersebut, protein,
kanji dan selulosa mengalami penguraian lebih cepat bila dibandingkan dengan
penguraian material berkayu (lignin) dan bagian tumbuhan yang berlilin (kulit ari
daun, dinding spora, dan tepung sari). Karena itulah, dalam batu bara yang muda
masih terdapat ranting, daun, spora, bijih, dan resin, sebagai sisa tumbuhan. Bagian-
bagian tumbuhan itu terurai di bawah kondisi aerob menjadi karbon dioksida, air,
dan amoniak, serta dipengaruhi oleh iklim. Proses ini disebut proses pembentukan
humus (humification) dan sebagai hasilnya adalah gambut.
Penutupan rawa gambut memberikan kesempatan pada bakteri untuk aktif dan
melakukan penguraian sehingga kandungan hidrogen dan karbon bertambah. Tahap
kedua dari proses pembentukan batu bara ini adalah tahap pembentukan lignit,
yaitu batu bara rank rendah yang dalam keadaan kering mengandung karbon 80,4%,
hidrogen 0,5%, dan oksigen 19,1 %.
Dalam tahap keempat atau tahap pembentukan batu hara bitumen (bituminous
coal), kandungan hidrogen turun dengan menurunnya jumlah oksigen secara
perlahan-Iahan, tidak secepat tahap-tahap sebelumnya. Produk sampingan dari
tahap ketiga dan keempat ini ialah CH4, CO2, dan mungkin H2O.
Tahap kelima adalah antrasitisasi. Dalam tahap ini, oksigen hampir konstan,
sedangkan hidrogen turun lebih cepat dibandingkan tahap-tahap sebelumnya.
Jenis Batubara
Tingakat perubahan yang dialami batubara, dari gambut sampai menjadi antrasit
disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan yang penting dan hubungan
tersebut disebut sebagai tingkat mutu batubara. Batubara dengan mutu yang
rendah, seperti batubara muda dan sub-bitumen biasanya lebih lembut dengan
materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah. Barubara muda memilih
tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah sehingga
kandungan energinya rendah. Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya
lebih keras dan kuat dan seringkali berwarna hitam cemerlang seperti kaca. Batubara
dengan mutu yang lebih tinggi memiliki kandungan karbon yang lebih banyak,
tingkat kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih banyak.
Antrasit adalah batu bara dengan mutu yang paling baik karena memiliki kandungan
karbon dan energi yang lebih tinggi serta tingkat kelembaban yang lebih rendah.
Batubara dengan mutu rendah
Batubara muda 17%, digunakan sebagai pembangkit listrik
dan sub bitumen 30%, pembangkit listrik, produksi semen, penggunaan untuk
industri
Batubara keras
bitumen 52%, pembangkit listrik, produksi semen, penggunaan untuk industri
antrasit 1%, digunakan sebagai bahan bakar minyak tanpa asap
Bitumen
termal (Batubara bara ketel uap), pembangkit listrik, produksi semen, penggunaan
untuk industri
metalurgi (batubara kokas), digunakan dalam industri pembuatan besi dan baja
Sumber daya Batubara
Jumlah batubara yang dapat ditemukan di suatu endapan atau tambang batubara.
Biasa disebut sebagai cadangan. Cadangan batubara terdiri dari cadangan yang telah
terbukti (terukur) dan cadangan yang diperkirakan (terindikasi). Cadangan
terindikasi memiliki tingkat keyakinan yang lebih rendah dibanding cadangan
terukur. Cadangan terukur merupakan cadangan yang tidak hanya dipertimbangkan
untuk sekedar dapat ditambang namun juga dapat ditambang secara ekonomis.
Cadangan batubara ditemukan melalui kegiatan eksplorasi. Proses tersebut biasanya
mencakup pembuatan peta geologi dari daerah yang bersangkutan, kemudian
melakukan survey geokimia dan geofisika, yang dilanjutkan dengan pengeboran
eksplorasi. Proses demikian memungkinkan diperolehnya gambaran yang tepat dari
daerah yang akan dikembangkan.
Daerah tersebut hanya akan menjadi suatu tambang jika daerah tersebut memiliki
cadangan batubara yang cukup banyak dan mutu yang memadai sehingga batubara
dapat diambil secara ekonomis.
Penambangan Batubara
Batubara dapat ditambang dengan dua metode yaitu tambang permukaan atau
terbuka dan tambang bawah tanah atau dalam. Akan tetapi sebagian besar
tambang batubara menggunakan metode tambang terbuka.
Tambang Bawah Tanah
Ada dua metode tambang bawah tanah: tambang room and pillar dan tambang
longwall. Dalam tambang room and pillar, penambangan batubara dapat dilakukan
dengan cara retreat mining (penambangan mundur), dimana batubara diambil dari
pilar-pilar yang telah terbentuk pada saat para penambang kembali ke atas. Atap
tambang kemudian dibiarkan ambruk dan tambang tersebut ditinggalkan. Sedangkan
tambang longwall dilakukan pada kedalaman permukaan batubara bervariasi (100-
350 m). Penyangga yang dapat bergerak maju secara otomatis dan digerakkan secara
hidrolik sementara menyangga atap tambang selama pengambilan batubara. Setelah
batubara diambil dari daerah tersebut, atap tambang dibiarkan ambruk.
Keuntungan dari tambang room and pillar daripada tambang longwall adalah dapat
memproduksi batubara jauh lebih cepat dengan biaya produksi yang lebih kecil.
Tambang Terbuka
Tambang terbuka (tambang permukaan) hanya memiliki nilai ekonomis apabila
lapisan batubara berada dekat dengan permukaan tanah. Metode tambang terbuka
memberikan proporsi endapan batubara yang lebih banyak daripada tambang
bawah tanah karena seluruh lapisan batu bara dapat dieksploitasi (hampir 90% atau
lebih). Batuan permukaan (terdiri dari tanah dan batuan) dipisahkan pertama kali
dengan bahan peledak, setelah lapisan batubara terlihat, lapisan batubara tersebut
digali, dipecahkan kemudian ditambang secara sistematis dalam bentuk jalur-jalur.
Kemudian batu bara dimuat ke dalam truk besar atau ban berjalan untuk diangkut ke
pabrik pengolahan batu bara atau langsung ke tempat dimana batu bara tersebut
akan digunakan.
Batubara di Indonesia
Secara umum, batubara Indonesia termasuk batubara bahan bakar. Bila dibagi
menurut rank-nya, jumlah antrasit adalah 0,36%, bitumen 14,38%, sub-bitumen
26,63%, dan lignit sebesar 58,63%.
Batubara Indonesia terbentuk paling belakang bila dibandingkan dengan batu bara
negara lain. Lapisan batubara yang terdapat di Indonesia umumnya tergolong
berumur muda, berasal dari dua periode Tersier, bahkan banyak di antaranya
berasal dari periode Tersier muda. Endapan batubara yang tersebar cukup luas
dalam sedimen berumur Tersier ada di Sumatera dan Kalimantan. Endapan-endapan
kecil terdapat di Jawa, Sulawesi dan Irian Jaya.
Sumatera. Di Pulau Sumatera, batubara ditemukan di Meulaboh (4,7%), di Sumatera
bagian tengah (6,8%). Sumber daya terbesar (sampai 33,2%) terdapat di Sumatera
Selatan sedangkan di Bengkulu hanya terdapat 0,43%.
Kalimantan. Sumber daya batubara yang besar terdapat di Kalimantan Timur dan
Selatan. Batubara di Kalimantan Timur (35,4%) sedangkan batubara Kalimantan
Selatan (16,4%). Di Kalimantan Barat terdapat di daerah Melawi dan Ketungau
dengan jumlah persediaan sebesar 0,5%, sedangkan di Kalimantan Tengah sebesar
2,4%.
Jawa. Batubara di Pulau Jawa jumlahnya hanya sedikit, yakni 0,02% yang
kebanyakan terdapat di Jawa Barat dan sedikit di Jawa Tengah.
Sulawesi. Batubara di Sulawesi jumlahnya hanya 0,3% dari jumlah batubara
Indonesia.
Papua. Jumlah batubara di Papua hanya 0,06% dari jumlah seluruh batubara di
Indonesia
Berdasarkan data dari World Coal Association, pada tahun 2012 Indonesia adalah
negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Ekspor batubara Indonesia pada
tahun itu mencapai 383 juta ton. Dari segi produksi batubara, Indonesia berada pada
posisi ke empat setelah Cina, Amerika, dan India dengan memproduksi 443 juta ton.
Sebanyak 383 juta ton batubara dari total produksi (sekitar 86%) di ekspor ke luar
negeri. Jadi hanya sekitar 14% saja dari total produksi batu bara yang dimanfaatkan
untuk kebutuhan dalam negeri. Mayoritas pemanfaatan di Indonesia masih
menggunakan batubara secara langsung sebagai bahan bakar terutama untuk PLTU,
pabrik semen, tekstil, dan pabrik kertas.
Saat ini, industri batubara Indonesia sedang lesu. Permintaan impor dari negara-
negara langganan batubara Indonesia menurun terutama dari Cina dan India. Kedua
negara ini telah menggenjot produksi batubaranya secara gila-gilaan untuk
mengurangi ketergantungannya terhadap impor batu bara. Produksi batu bara ikut
merosot seiring dengan harganya yang meluncur perlahan.
Karakteristik Batubara
Nilai kalor batubara merupakan penjumlahan panas pembakaran dari unsur-unsur
yang dapat terbakar dalam batubara (seperti karbon dan hidrogen) dikurangi dengan
panas peruraian zat carbonaceous dan ditambah atau dikurangi dengan reaksi
eksotermis dan endotermis dari pembakaran zat pengotor dalam batubara.
Nilai kalor dinyatakan sebagai heating value.
Gross Heating Value (GHV) diperoleh dengan membakar sempurna suatu sampel
batubara di dalam bomb calorimeter menghasilkan gas CO2, SO2, air dan nitrogen.
Net Heating Value (NHV) adalah nilai kalor sebenarnya yang dimanfaatkan pada
saat pembakaran). NHV dihitung dari GHV dengan mendinginkan gas hasil
pembakaran ke temperatur standar dan airnya dipertahankan tetap sebagai uap.
NHV biasanya antara 93 - 97 % dari GHV dan tergantung dari kandungan uap air
terikat serta uap air bebas dalam batubara.
Kebutuhan Udara
Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian
disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3.
Gas buang selanjutnya direaksikan dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam
sulfat direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum.
Sistem FGD dapat diklasifikasikan ke dalam 2 jenis, yaitu : Sistem basah (Wet Flue Gas
Desulfurizatio) dan Sistem kering (Dry Flue Gas Desulfurizatio)
Abu
Pada pembakaran batubara, terdapat limbah padat yaitu abu terbang (fly ash) dan abu
dasar (bottom ash). Dampak negatif abu terhadap lingkungan, diantaranya adalah terhadap
pertanian, yakni tertutupnya daun oleh endapan abu sehingga respirasi tanaman terganggu
dan akibatnya produksi (pertanian) menurun. Apabila abu batubara terhisap oleh manusia
maka pernapasan dapat terganggu karena mengandung kadar silika tinggi dapat
menyebabkan silikosis. Abu yang dihasilkan dari pembakaran batubara terutama terdiri dari
silikon dioksida (SiO2), besi oksida (Fe2O3) dan aluminium oksida (Al2O3).
Oksida belerang
Sebagian SO2 yang diemisikan ke udara dapat teroksidasi menjadi SO3 yang apabila bereaksi
dengan uap air menjadi kabut asam sulfat (H2SO4) yang selanjutnya menjadi sumber hujan
asam. Dampak negatif oksida belerang adalah terbentuknya hujan asam yang mengganggu
pertanian, yakni menurunkan produktivitas karena rusaknya daun dan hilangnya zat hara
dalam tanah serta mengganggu pernapasan pekerja atau penduduk di sekitar titik emisi dan
juga menyebabkan terjadinya korosi terhadap peralatan yang terbuat dari bahan logam,
terutama besi.
Oksida nitrogen
Pengaruh oksida nitrogen (NO2) terhadap lingkungan mirip dengan oksida belerang, yakni
dapat bereaksi dengan uap air menjadi kabut asam nitrat (HNO3) yang menyebabkan hujan
asam, gangguan pernapasan pekerja atau penduduk di sekitar titik emisi, dan terjadinya
korosi peralatan juga dapat diakibatkan oleh emisi oksida nitrogen.
Karbon monoksida
Akan menurunkan efisiensi pembakaran serta membentuk asap dan gas dapat mengganggu
lingkungan. Asap yang tebal akan menutup cahaya matahari sehingga mengganggu proses
photosintesis daun tanaman dan pembentukan vitamin D kulit (manusia). Partikel-partikel
karbon yang terserap manusia dapat mengganggu pernapasan. Gas hidrokarbon seperti poli
aromatik hidrokarbon (PAH) bersifat karsinogen, menyebabkan kanker.
Karbon dioksida
Gas CO2 sendiri sebetulnya bukan merupakan polutan berbahaya yang langsung
mengganggu kesehatan karena gas ini juga terbentuk pada pernapasan manusia. Pengaruh
gas CO2 terhadap lingkungan adalah sebagai unsur utama pembentuk efek rumah kaca
(green house effect). CO2 adalah gas yang transparan dan dapat tertembus oleh cahaya
matahari, tetapi gas ini juga menyerap sebagian radiasi sinar infra merah. Sebagian energi
sinar infra merah tersebut kemudian dilepaskan kembali sehingga terjadi pemanasan bumi.
Selanjutnya meningkatnya suhu bumi mengakibatkan pemanasan global dan dapat
mencairkan es di kutub sehingga permukaan air laut naik.
Pengolahan Batubara
Dengan cara memecah batu bara ke bongkahan yang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa
sulfur yang ada sebagai bintik kecil di batu bara disebut sebagai pyritic sulfur. Bongkahan
batu bara dimasukkan ke dalam tangki besar yang terisi air, batu bara mengambang ke
permukaan ketika kotoran sulfur tenggelam. Fasilitas pencucian ini dinamakan "coal
preparation plants" yang membersihkan batu bara dari pengotor-pengotornya. Namun,
tidak semua sulfur bisa dibersihkan dengan cara ini. Terdapat sulfur yang secara kimia
benar-benar terikat dengan molekul karbonnya, tipe sulfur ini disebut organic sulfur, dan
pencucian tak akan menghilangkannya.
Desulfurisasi
Denitrifikasi merupakan treatment atau penanganan terhadap gas nitrogen yang berasal
dari batubara maupun dari proses pembakaran batubara.
Konversi Batubara
Pirolisis
Pirolisis batubara pada dasarnya adalah proses pemanasan batubara dengan suhu
meningkat dengan tanpa adanya atau sedikit udara atau reagen lainnya yang tidak
memungkinkan terjadinya reaksi gasifikasi. Selama proses pirolisis terjadi, batubara akan
terdekomposisi dan menghasilkan condensable gases yang disebut dengan tar, non-
condensable gases yang disebut dengan gas dan padatan mikrokristalin yang disebut dengan
char. Produk hasil pirolisis batubara tidak hanya menghasilkan energi yang bersih tetapi juga
dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kimia.
Liquifaksi
Pencairan batubara (coal liquefaction) adalah pengubah batubara padat menjadi bahan
bakar cair. Jika batubara yang solid dikonversi ke dalam cairan dengan membuatnya
bereaksi dengan hidrogen pada suhu tinggi dan tekanan tinggi. Akibatnya, batubara cair
dapat digunakan dalam hampir semua sektor pasar produk minyak bumi.
Gasifikasi
Liquifaksi
Pencairan Batubara (Coal liquefaction ) adalah pengubah batubara padat menjadi bahan
bakar cair. Jika batubara, yang solid dikonversi ke dalam cairan dengan membuatnya
bereaksi dengan hidrogen pada suhu tinggi dan tekanan tinggi. Akibatnya, batubara cair
dapat digunakan dalam hampir semua sektor pasar produk minyak bumi yang hadir.
Pencairan Batubara (Coal liquefaction ) terminologi yang dipakai secara umum mencakup
pemrosesan batubara menjadi BBM sintetik (synthetic fuel).
Teknologi batu bara bersih yang dapat dilakukan saat proses pembakaran, antara lain :
Uap yang digunakan untuk menggerakkan turbin diperoleh dari panas yang dialirkan dari
boiler. Pada saat yang bersamaan gas dari hasil pembakaran dialirkan untuk menggerakkan
turbin yang berbeda pada tekanan dan temperatur yang tinggi. PFBCC mampu menghasilkan
efisiensi yang tinggi (gross thermal effisiency 43%) cukup tinggi dibandingkan dengan
sistem pembangkit konvensional dengan tekanan normal.
FBC mengurangi emisi SOx dan NOx dengan pembakaran batubara bubuk secara terkontrol
di fluidized-bed. Sulfur dilepaskan dari batubara sebagai SOx, diserap oleh sorbent seperti
batu gamping yang disuntikkan ke dalam ruang pembakaran bersama dengan batubara.
Sekitar 90% belerang dapat diubah menjadi senyawa padat. FBC yang beroperasi pada
temperatur yang jauh lebih rendah daripada boiler batubara bubuk konvensional,
mengurangi jumlah NOx termal dalam jumlah besar.
Penangkapan Polutan
Polutan padat/debu
Cyclone
Merupakan sistem yang mengakibatkan perubahan arah aliran gas buang yang memisahkan
dan mengumpulkan partikel terbang dalam gas buang dengan memanfaatkan daya
sentrifugal partikel. Cyclone biasa digunakan sebagai ESP pretreatment dalam beberapa
industri.
Electrostatic Precipitator
Pada metode ini elektron ditambahkan ke debu dalam gas buang yang menyebabkan debu
tersebut melekat dan terkumpul pada precipitator.
Bag Filter
Metode ini adalah metode pengumpul debu yang menggunakan bahan saringan kain.
Metode ini sedikit dipengaruhi oleh tipe batubara dan mengandalkan performa perangkap
debu yang efisien dan stabil.
Polutan karbon
Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi ini mencoba dan menangkap karbon yang
dikeluarkan oleh emisi batubara. Karbon kemudian disimpan dalam gua-gua bawah tanah
atau sumur minyak tua.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi dalam kandungan mineral fly ash (abu terbang)
dari batu bara adalah:
Komposisi kimia batu bara, Proses pembakaran batu bara dan Bahan tambahan yang
digunakan termasuk bahan tambahan minyak untuk stabilisasi nyala api dan bahan
tambahan untuk pengendalian korosi.
1. Syngenetic atau disebut dengan mineral matter : pada dasarnya mineral-mineral ini
terendapkan di tempat tersebut bersamaan dengan saat prosespembentukan paet.
2. Epigenetica juga disebut dengan extraneous mineral matter: pada prinsipnya
mineral-mineral pengotor ini terakumulasi pada cekungan setelah proses
pembentukan lapisan peat tersebut selesai.
1.Sifat Fisik
2. Sifat Kimia
Komponen utama dari abu terbang batubara yag berasal dari pembangkit listrik
adalah silikat (SiO2), alumina(Al2O3), dan besi oksida(Fe2O3), sisanya adalah karbon,
kalsium, magnesium, dan belerang.
Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara yan
dibakar dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Pembakaran batubara lignit dan
sub/bituminous menghasilkan abu terbang dengan kalsium dan magnesium oksida lebih
banyak daripada bituminus. Namun, memiliki kandungan silika, alumina, dan karbon yang
lebih sedikit daripada bituminous. Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang
umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil
pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075 mm. Kerapatan abu terbang
berkisar antara 2100-3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya antara 170-1000 m2/kg.
1. Dampak positif.
2. Dampak negatif.
Apabila fly ash didiamkan dan tidak diolah maka akan berdampak pada
lingkungan dan manusia, karna fly ash merupakan salah satu limbah B3.