Anda di halaman 1dari 65

phttp://iptekduniapertambangan.blogspot.com/2011/12/geologi-batubara.

html

Geologi Batubara
Istilah batubara merupakan istilah yang luas untuk keseluruhan bahan yang bersifat karbon
yang terjadi secara alamiah. Batubara dapat pula didefinisikan sebagai batuan yang bersifat
karbon berbentuk padat, rapuh, berwarna coklat tua sampai hitam, dapat terbakar, yang
terjadi akibat perubahan atau pelapukan tumbuhan secara kimia dan fisika (dalam Kamus
Pertambangan, Teknologi dan Pemanfaatan Batuabara, Silalahi, 2002). Sedangkan dalam
pengertian geologi batubara oleh Schoft (1956) dan Bustin, dkk (1983) (dikutip dari Rahmad,
B., 2001) lebih spesifik mendefinisikan batubara sebagai bahan atau batuan yang mudah
terbakar, mengandung lebih dari 50% hingga 70% volume kandungan karbon yang berasal
dari sisa-sisa material tumbuhan yang terakumulasi dalam cekungan sedimentasi dan
mengalami proses perubahan kimia dan fisika, sebagai reaksi terhadap pengaruh pembusukan
bakteri, temperatur, tekanan dan waktu geologi.
II.1.1 Tempat Pembentukan Batubara
Dalam geologi batubara dikenal dua macam teori untuk menjelaskan tempat terbentuknya
batubara (Sukandarrumidi, 1995), yaitu :
1. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya
di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Pada saat tumbuhan tersebut mati
sebelum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses pembatubaraan (coalification). Jenis batubara yang terbentuk
dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya relatif baik
karena kadar abunya relatif kecil.
2. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya
ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang,
dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi
disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan.
Batubara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat,
kualitas kurang baik.
II.1.2 Tahap Pembentukkan Batubara
Pada dasarnya proses pembentukan batubara dapat dibagi menjadi dua tahap (Diessel, 1986),
yaitu :
a) Tahap Biokimia (Biochemical Stage)
Merupakan tahap pertama dalam proses pembentukan batubara. Pada tahap ini terjadi
proses pembusukan sisa-sisa material tumbuhan dan penggambutan (peatification),
yang disebabkan oleh bakteri ataupun organisme tingkat rendah lainnya. Oleh karena
proses tersebut maka terjadi pelepasan kandungan hidrokarbon, zat terbang dan
oksigen disertai penyusunan kembali molekul-molekul bahan tersisa, dan sebagai
akibatnya terjadi penambahan kandungan karbon pada maseral batubara .
b) Tahap Fisika-Kimia (Physico-Chemical Stage)
Setelah tahap biokimia, kemudian dilanjutkan dengan tahap fisika-kimia. Pada tahap
ini terjadi proses pembatubaraan yang mana gambut yang sudah terbentuk berubah
menjadi berbagai macam peringkat batubara oleh akibat pengaruh temperatur, tekanan
dan waktu geologi. Peningkatan peringkat batubara pada proses ini ditandai dengan

bertambah gelapnya warna, kekerasan dan perubahan pada bidang belah batubara,
seturut peningkatan temperatur, tekanan dan lama waktu geologi.
II.1.3 Faktor-faktor Pembentukan Batubara
Dari berbagai teori yang menerangkan tentang terbentuknya batubara, terdapat kesepakatan
mengenai faktor-faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yang mempunyai
peranan penting didalam pembentukkan batubara dalam suatu cekungan (Gambar 2.1).
Faktor-faktor tersebut yaitu:
a) Akumulasi Sisa Tumbuhan-Tumbuhan (Bahan Organik)
Akumulasi sisa tumbuh-tumbuhan dapat secara insitu maupun hasil hanyutan
(allochotonous), namun akumulasi ini harus terdapat dalam jumlah yang cukup besar
dan terletak pada daerah yang digenangi oleh air, yang mana nantinya dapat dijadikan
daerah pengendapan bagi batuan sedimen klastik. Keadaan ini dapat dicapai dari
produksi tumbuhan yang tinggi, penimbunan secara perlahan dan menerus yang
diikuti dengan penurunan dasar cekungan secara perlahan. Produksi tumbuhan yang
tinggi terdapat pada iklim tropis dan sub tropis, sedangkan penimbunan secara
perlahan dan menerus hanya terjadi dalam lingkungan paralik dan limnik, yang
memiliki kondisi tektonik relatif stabil.
b) Bakteri dan Organisme Tingkat Rendah Lain
Merupakan faktor yang menyebabkan perubahan sisa tumbuhan-tumbuhan menjadi
bahan pembentuk gambut (peat). Kegiatan bakteri dan organisme tingkat rendah lain
akan merusak akumulasi sisa tumbuh-tunbuhan yang telah ada dan merubahnya
menjadi bahan pembentuk gambut berupa massa berbentuk agar-agar (gel), yang
kemudian terakumulasi menjadi gambut.
c) Temperatur
Temperatur panas terbentuk oleh timbunan sedimen diatas lapisan batubara dan
gradien panas bumi. Efek panas dari faktor ini menimbulkan proses kimia dinamis
(geokimia) yang mampu manghasilkan perubahan fisik dan kimia, dalam hal ini
merubah gambut menjadi berbagai jenis dan peringkat batubara. Proses ini merupakan
tahap kedua pada proses pembatubaraan (coalification). Selain panas yang dihasilkan
karena timbunan sedimen diatas lapisan batubara dan gradien panas bumi, juga dapat
dihasilkan oleh adanya intrusi batuan beku, sirkulasi larutan hidrotermal dan struktrur
geologi.
d) Tekanan
Tekanan sangat penting sebagai penghasil panas, namun juga dapat membantu
melepaskan unsur-unsur zat terbang dari lapisan batubara, yang dikenal sebagai
proses devolatilisasi. Proses ini akan lebih efektif apabila lapisan batuan diatasnya
bersifat permeabel dan porous, sehingga batubara yang berada pada lapisan batupasir
akan mengalami proses devolatilisasi yang lebih efektif dibandingkan lapisan
batulempung.
e) Waktu Geologi
Pengaruh pembentukkan batubara tidak terlepas dari lamanya waktu pemanasan
dalam cekungan. Pemanasan dalam waktu yang lama, pada temperatur yang sama
akan menghasilkan batubara yang lebih tinggi peringkatnya. Jadi harus ada
keseimbangan yang baik antara panas, tekanan dan waktu geologi.
II.1.4 Tipe Batubara Berdasarkan Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan batubara akan mempengaruhi tipe batubara yang dihasilkan.
Berdasarkan lingkungan pengendapan, maka dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis tipe

batubara, yaitu tipe batubara humik (humic coal), sapropelik (sapropelic coal) dan
humospropelik (humosapropec coal).
a) Tipe Batubara Humik (Humic Coal)
Batubara humik biasanya diendapkan di lingkungan darat (limnic), dengan proses
pengendapan secara insitu, yang mana material organik pembentuk batubara berasal dari
tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada (autochthonous). Batubara tipe ini
memiliki kualitas batubara yang baik dengan peringkat batubara bituminus hingga
antrasit. Komposisi maseral 90% lebih terdiri dari vitrinit (vitrite), memiliki kandungan
hidrogen dan zat terbang yang sangat rendah.
b) Tipe Batubara Sapropelik (Sapropelic Coal)
Batubara sapropelik biasanya diendapkan di lingkungan laut (paralic) seperti pada
daerah delta, laguna, lestuarin, marsh, rawa-rawa air payau. Proses pengendapannya
secara drift, yang mana material organik pembentuk batubara berasal dari tempat lain
(allochthonous). Batubara tipe ini memiliki kualitas batubara kurang baik dibandingkan
batubara humik, sedangkan peringkat batubaranya adalah sub bituminus hingga lignit
dengan kandungan hidrogen dan zat terbang yang tinggi sedangakan kandungan karbon
rendah. Batubara sapropelik dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu batubara cannel dan
boghead.
Batubara jenis cannel dan boghead dapat dibedakan dari komposisi maseralnya, terutama
kelompok liptinit. Batubara cannel memiliki maseral sporinite lebih banyak
dibandingkan maseral alginite (sporinite > alginite). Sedangkan batubara boghead lebih
dibanyak disusun oleh maseral alginite dibandingkan sporinite (sporinite < alginite).
c) Tipe Batubara Humosapropelik (Humosapropec Coal)
Batubara humosapropelik merupakan batubara yang dihasilkan dari rangkaian humik dan
spropelik, tetapi rangkaian humik lebih dominan. Asal material organik pembentuk
batubara berasal dari tempat dimana material organik diendapkan dan dari tempat lain.
II.2

Endapan Batubara Indonesia

Endapan batubara Indonesia pada umumnya berkaitan erat dengan pembentukan cekungan
sedimentasi Tersier (Paleogen-Neogen), yang diakibatkan proses tumbukan lempeng Eurasia,
Hindia-Australia dan Pasifik pada zaman kapur. Berdasarkan perkembangan tektonik Tersier
oleh Sudarmono (1997) (dalam Koesoemadinata, 2000) endapan batubara Indonesia
diklasifikasikan menjadi:
1. Endapan batubara Paleogen (Eosen Oligosen), dan
2. Endapan batubara Neogen (Oligosen Akhir Miosen);
3. Sedangkan dalam tatanan tektono-stratigrafi pengendapan batubara oleh
Koesoemadinata (2000) diklasifikasikan menjadi tiga kategori.
4. Endapan Batubara Paleogene Syn-Rift
Batubara syn-rift berasosiasi dengan sedimen fluvial dan lakustrin, biasanya batubara yang
diendapkan pada tipe ini menghasilkan batubara dengan nilai kalori yang tinggi (~7000
Kcal/kg), rendah kandungan air lembab dan sulfur. Sebagai contoh untuk tipe ini adalah
Formasi Sawahlunto di Cekungan Ombilin, Sumetera Tengah.
1. Endapan Batubara Paleogene PostRift Transgression
Batubara postrift transgression diendapkan pada lingkungan paparan yang stabil
selama kala Eosen Akhir hingga Awal Miosen. Sebagai contoh tipe ini adalah
batubara dari Cekungan Sumatera Tengah (Awal Miosen), dan lebih tepat diwakili
dengan batubara Senakin di Formasi Tanjung bagian bawah dalam Cekungan Barito

dan Pasir-Asem-asem. Batubara pada lingkungan ini diendapkan secara lateral dan
menerus, dengan nilai kalori dan kandungan sulfur tinggi.
2. Endapan Batubara Neogene Syn-Orogenic Regressive
Batubara syn-orogenic regressive terjadi pada Miosen Tengah hingga Plio-Pleistosen
dan merupakan hasil dari pengangkatan cekungan. Endapan batubara biasanya
terdapat cekungan belakang busur (back-arc basin) dan cekungan depan busur (forearc basin) pada busur kepulauan. Endapan batubara pada syn-orogenic regressive
biasanya tidak terlalu tebal, tetapi akan terdiri dari beberapa lapisan. Nilai kalori ratarata adalah rendah (~5000 kcal/kg), kandungan air lembab tinggi dan kandungan
sulfur juga rendah
Dalam kerangka tatanan tektono-stratigrafi pengendapan batubara ini dapat
memberikan pendekatan mengenai gambaran umum kualitas, kuantitas maupun
karakteristik lapisan batubara dalam suatu cekungan. Selain itu juga dapat
memberikan pendekatan tentang kondisi geologi lokal yang mengontrol kualitas,
kuantitas maupun karakteristik lapisan batubara tersebut. Dari hal tersebut juga dapat
diperoleh pengertian bahwa kualitas, kuantitas maupun karakteristik lapisan batubara
pada tiap-tiap cekungan sedimentasi batubara akan berbeda-beda karena kontrol
geologi dari tiap-tiap cekungan juga berbeda-beda pula.
II.3

Endapan Batubara Telitian

Penelitian ini mengambil beberapa contoh endapan batubara (raw coal) dari cekungancekungan Sumatera Selatan, Tarakan (Sub-Cekungan Tarakan dan Berau), Kutai dan Barito
(Sub-Cekungan Pasir), pada lapisan batubara berumur Miosen yang merupakan endapan
batubara Neogen (Gambar 2.3).
II.3.1 Endapan Batubara Cekungan Sumatera Selatan
Menurut De Coster, 1974 (dikutip dari Bachtiar. T., 2001) Cekungan Sumatera Selatan telah
mengalami tiga kali orogenesa, yaitu pada Mesozoikum Tengah, Kapur Akhir Tersier
Awal dan Plio-Pliestosen. Setelah orogenesa terakhir (Plio-Pliestosen) telah menghasilkan
kondisi dan struktur geologi seperti yang terlihat saat ini. Endapan batubara yang ada
sekarang juga merupakan hasil dari kendali geologi saat itu, diendapakan di cekungan
belakang busur saat pada Tersier Akhir.
Startigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan menurut beberapa peneliti terdahulu dibagi
menjadi beberapa formasi dan satuan batuan dari tua sampai muda adalah sebagai berikut :
a) Batuan Dasar Pra Tersier, terdiri dari andesit, breksi andesit, filit, kuarsit, batu
gamping, granit dan granodiorit.
b) Formasi Lahat; terdiri dari tufa, aglomerat, breksi tufaan, andesit, serpih, batu lanau
dan batubara. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar PraTersier pada kala Paleosen Oligosen Awal di lingkungan darat.
c) Formasi Talang Akar ; terdiri dari batupasir berukuran butir kasar sangat kasar, batu
lanau dan batubara. Formasi ini diendapkan tidak selaras diatas Formasi Lahat pada
kala Oligosen Akhir Miosen Awal di lingkungan fluviatil sampai laut dangkal.
d) Formasi Baturaja; terdiri dari batugamping terumbu, serpih gampingan dan napal.
Formasi ini terletak diatas Formasi Talang Akar, diendapkan pada kala Miosen Awal
dilingkungan litoral sampai neritik.
e) Formasi Gumai; terdiri dari serpih gampingan dan serpih lempungan, diendapkan
dilingkungan laut dalam pada kala Miosen Awal Miosen Tengah.

f) Formasi Air Benakat; dicirikan oleh batupasir yang terbentuk selaras di atas Formasi
Gumai, diendapkan di lingkungan neritik sampai laut dangkal pada kala Miosen
Tengah Miosen Akhir.
g) Formasi Muara Enim; terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung dan batubara.
Formasi ini berumur kala Mio-Pliosen, diendapkan selaras diatas Formasi Air Benakat
di lingkungan delta.
h) Formasi Kasai; terdiri dari batupasir tufaan dan tufa, terletak selaras diatas Formasi
Muara Enim, diendapkan di lingkungan darat pada kala Pliosen Akhir Pleistosen
Awal.
i) Endapan Kuarter; terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berupa material
berukuran kerakal hingga lempung, menumpang tidak selaras di atas Formasi Kasai.
j) Secara khusus mengenai pengendapan batubara di Cekungan Sumatera Selatan oleh
Koesoemadinata, 2000 menyebutkan bahwa pengendapan di Formasi Talang Akar
bagian atas (Oligosen Akhir Miosen Awal) berhubungan pengendapan batubara
paleogene postrift transgression yang menghasilkan batubara dengan nilai kalori
tinggi (>6000 kal/gr), kadar abu rendah (<15%), dan kandungan sulfur tinggi (>1%).
Sedangkan pada pengendapan di Formasi Muara Enim (Miosen Pliosen) dan
neogene syn-orogenic regressive yang menghasilkan lapisan batubara dengan
ketebalan 20 meter Batubara Suban (dalam Koesoemadinata, 2000). Lebih dari 20
lapisan batubara hadir di sekitar lapangan Tanjung Enim (PTBA) yang mana batubara
tersebut ditambang. Batubara yang dihasilkan memiliki rata-rata nilai kalori 5504
5347 kkal/kg (as received), air lembab keseluruhan 23,6% (as received), kandungan
sulfur 0,5%, kadar abu 4%, zat terbang 32,1% dan karbon padat 40,3%.Pada beberapa
batubara di Tanjung Enim terdapat batubara peringkat antrasit dengan nilai kalori
8000 kkal/kg, hal ini diakibatkan oleh intrusi andesit di daerah tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa endapan batubara Miosen di Cekungan
Sumatera Selatan memiliki penyebaran lapisan batubara yang luas, namun memiliki
peringkat batubara yang tidak terlalu tinggi, kecuali disekitar intrusi andesit. Contoh
endapan batubara yang dipakai dalam penelitian termasuk pada Formasi Muara Enim,
yang selanjutnya disebut Batubara Banko.
II.3.2 Endapan Batubara Cekungan Kalimantan Bagian Timur
Endapan batubara Indonesia yang cukup potensial juga tersebar luas di cekungan-cekungan
belakang busur yang terdapat di sepanjang pantai Timur Kalimantan dan tergolong dalam
cekungan-cekungan yang berumur Tersier. Endapan-endapan batubara di cekungan
Kalimantan bagian timur umumnya berumur Paleogen (Eosen) dan Neogen (Mio-Pliosen
hingga Plio-Pleistoen) dan proses pengendapannya berhubungan dengan regresi air laut.
Peringkat batubara umumnya berupa lignite hingga high volatile bituminous dengan nilai
kalori rendah, kandungan air lembab tinggi, kadar abu dan sulfur relatif rendah.
Secara regional, endapan batubara tersebut berhubungan dengan empat aktifitas tektonik
utama selama zaman Tersier yang mempengaruhi pembentukan cekungan-cekungan tersebut,
yaitu :
a) aktifitas tektonik awal Tersier, mengakibatkan pengangkatan tinggian mangkaliat dan
Suikerbrood ridge yang membagi Cekungan Kaliamantan bagian timur menjadi
Cekungan Tarakan dan Cekungan Kutai;
b) aktifitas tektonik pada kala Oligosen Bawah, merupakan gerak tektonik fleksur
sepanjang Paternoster Cross High atau Barito Kutai Cross High yang memisahkan
Cekungan Kutai dengan Cekungan Barito;

c) aktifitas tektonik pada kala Miosen Tengah, mengakibatkan pengangkatan


Pegunungan Meratus yang berarah Timurlaut Baratdaya, pungungan ini
memisahkan Cekungan Barito dan Sub-Cekungan Pasir dan Asem-asem;
d) aktifitas tektonik kala Plio-Pleistosen, mengakibatkan seluruh cekungan di
Kalimantan terangkat, membentuk konfigurasi seperti sekarang ini.
Secara umum dikenal adanya tiga cekungan sedimentasi utama dari utara hingga selatan,
yaitu :
1. Cekungan Tarakan, yang terdiri dari Sub-Cekungan Tidung, Tarakan, Berau dan
Muara;
2. Cekungan Kutai, dan Cekungan Barito, termasuk juga Sub-Cekungan Pasir dan
Asem-asem.
II.3.2.1 Endapan Batubara Cekungan Tarakan
Cekungan Tarakan terdiri dari Sub-Cekungan Tidung, Tarakan, Berau dan Muara. Contoh
endapan batubara yang diambil termasuk pada Sub-Cekungan Tarakan dan Berau. SubCekungan Tarakan berada dan berkembang di lepas pantai timur bagian utara yang meliputi
Pulau Tarakan dan Bunyu. Endapan batubara di sub-cekungan ini terjadi selama kala PlioPleistosen, di sungai Sesayap purba menghasilkan sedimen fluvio-marin yang sangat tebal
terutama terdiri dari perlapisan betupasir delta, serpih dan batubara, yang kemudian dikenal
dengan Formasi Sajau atau Formasi Tarakan-Bunyu. Sedangkan Sub-Cekungan Berau berada
di sebelah selatan Sub Cekungan Tarakan, yang sebagian besar terletak di daratan.
Menurut beberapa peneliti terdahulu urut-urutan lithostratigrafi regional di Cekungan Tarakan
dibagi menjadi beberapa formasi dan satuan batuan dari tua sampai muda adalah sebagai
berikut :
a) Formasi Sebakung; terdiri dari batuan meta sedimen yang terlipat kuat, diendapkan di
lingkungan fluviatil hingga delta pada kala Eosen.
b) Formasi Sailor; terdiri dari batugamping berfosil gangang dan koral, terletak tidak
selaras di atas Formasi Sembakung dan diendapkan di lingkungan neritik hingga laut
terbuka pada Oligosen Awal.
c) Formasi Tempilan; terdiri dari perselingan batupasir, napal dan serpih, terletak selaras
di atas Foramasi Sailor dan diendapkan di lingkungan laut dangkal pada Oligosen
Awal.
d) Formasi Mesaloi; terdiri dari batulampung lanauan yang berselingan dengan
batupasir, batulanau dan napal, terletak selaras diatas Formasi Tempilan dan
diendapkan di lingkungan neritik hingga laut terbuka pada Oligosen Akhir.
e) Formasi Naintupo; terdiri dari batupasir, batulempung, napal dan batugamping,
terletak selaras diatas Formasi Mesaloi dan diendapkan di lingkungan neritik pada
Miosen Awal.
f) Formasi Meliat; terdiri dari batupasir lanauan, batupasir konglomeratan, batulempung
dan batubara, terletak selaras di atas Formasi Naintupo dan diendapkan di lingkungan
paralik pada Miosen Tengah.
g) Formasi Tabul; terdiri dari batulempung, batupasir lanauan, batupasir dan batubara,
terletak selaras diatas Formasi Meliat dan diendapkan di lingkungan prodelta pada
kala Miosen.
h) Formasi Tarakan; terdiri dari perselingan batubara, batulempung dan batulanau,
terletak selaras di atas Formasi Tabul dan diendapkan di lingkungan lagunal pada kala
Pliosen.

i) Formasi Bunyu; terdiri dari batubara yang berselingan dengan batupasir dan
batulempung karbonan, terletak tidak selaras di atas Formasi Tarakan dan diendapkan
di lingkungan delta pada Pleistosen hingga Holosen.
j) Untuk mewakili contoh batubara di cekungan ini, dipakai contoh batubara Formasi
Bunyu pada Sub-Cekungan Tarakan, selanjutnya disebut Batubara Bunyu; sedangkan
pada Sub-Cekungan Berau diwakili dengan contoh batubara Formasi Tabul,
selanjutnya disebut Batubara Berau.
II.3.2.2 Endapan Batubara Cekungan Kutai
Endapan batubara dan sedimen Tersier lainnya yang terdapat di Cekungan Kutai,
proses pengendapannya diperkirakan berhubungan dengan gerak pemisahan Pulau
Kalimantan dan Sulawesi yang kemungkinan terjadi pada akhir Kapur hingga awal Paleogen.
Sehingga secara keseluruhan batuan-batuan sedimen yang diendapkan pada cekungan
tersebut mencerminkan adanya pengaruh siklus transgresi dan regresi air laut.
Urutan transgresi yang ada di Cekungan Kutai menghasilkan sedimen-sedimen klastik kasar
dan serpih yang diendapkan pada lingkungan paralik hingga laut dangkal. Pengendapan ini
berlangsung hingga kala Oligosen yang memperlihatkan periode genag laut maksimum dan
pada umumnya terdiri dari endapan serpih laut dalam dan batugamping serara lokal.
Sedangkan pada urutan regresi menghasilkan lapisan-lapisan sedimen klastik dan lapisanlapisan batubara yang diendapkan pada lingkungan delta hingga paralik. Sistem Delta yang
berumur Miosen Tengah berkembang baik ke arah timur dan tenggara daerah cekungan.
Berdasarkan urut-urutan litostratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke muda dibagi menjadi
beberapa Formasi batuan yaitu sebagai berikut :
a) Formasi Pamaluan; berumur Miosen Bawah, terletak selaras di atas Formasi Gunung
Sekerat, terutama terdiri dari batulempung dengan sisipan-sisipan tipis batupasir,
batubara, dan batugamping, diendapkan pada lingkungan delta marine.
b) Formasi Bebuluh; berumur Miosen Awal bagian atas, terletak beda fasies dengan
Formasi Pamaluan, terutama terdiri atas batugamping, sisipan batugamping pasiran
dan serpih, diendapkan pada lingkungan marine.
c) Formasi Pulau Balang; berumur Miosen Tengah, terletak selaras di atas Formasi
Pemaluan terutama terdiri dari batulempung, batupasir lempungan dan batupasir, yang
merupakan endapan deltafront.
d) Formasi Balikpapan.; berumur Miosen Tengah, terletak selaras di atas Formasi Pulau
Balang, terdiri dari batupasir, batupasir lempungan, batulempung dan batubara.
Lapisan batupasir dan batupasir lempungan terutama dijumpai pada bagian bawah.
Lingkungan pengendapannya adalah delta (delta front sampai delta plain).
e) Formasi Kampungbaru; berumur Miosen Atas sampai Pliosen. diendapkan selaras di
atas Formasi Balikpapan, bagian bawahnya terdiri dari batulempung, batupasir,
batupasir gampingan yang diendapkan pada lingkungan litoral, sedangkan pada
bagian atasnya terdiri dari batulempung, batubara dan konkresi-konkresi lempung
bagian (clay stone), diendapkan pada lingkungan transisi paralik.
f) Endapan Kuarter; tersusun oleh lempung, pasir, kerikil dan sisa tumbuh-tumbuhan,
bersifat lepas. Endapan ini disebabkan oleh adanya limpahan banjir Sungai Bontang,
Sungai Guntur, Sungai Nyerakat dan Sungai Santan yang membentuk rawa-rawa.
g) Untuk mewakili cekungan ini dipakai contoh endapan batubara dari Formasi
Kampungbaru, selanjutnya disebut Batubara Kutai.

II.3.2.3 Endapan Batubara Cekungan Barito (Sub-Cekungan Pasir)


Sub-Cekungan Pasir berada di bagian timur Cekungan Barito yang dibatasai Pegunungan
Meratus. Sub Cekungan Pasir memiliki tatanan stratigrafi yang rumit sehingga oleh beberapa
peneliti Sub-Cekungan Pasir dimasukkan ke dalam bagian Cekungan Barito, selain itu juga
karena litologi yang terdapat dalam cekungan ini memiliki posisi menjari dan kesamaan
dengan Cekungan Barito.
Adapun urutan litostratigrafi Cekungan Barito (Sub-Cekunan Pasir) dari tua hingga muda
sebagai berikut :
a) Formasi Tanjung; diendapkan pada kala Eosen, terletak tidak selaras di atas batuan dasar
yang yang merupakan batuan beku dan metamorf berumur Pra-Tersier. Pada bagian
bawah formasi ini terdiri dari konglomerat, batupasir, batulempung dan sisipan batubara,
sedangkan bagian bawah terdiri dari batulempung dan napal dengan sisipan batupasir
dan batugamping.
b) Formasi Berai; diendapkan selaras diatas Formasi Tanjung pada kala Oligosen hingga
Miosen Bawah, terdiri dari Anggota Berai Bawah yang disusun oleh napal, batulanau,
batugamping dan sisipan batubara; Anggota Berai Tengah dicirikan oleh batugamping
masif dengan interklas napal; dan Anggota Berai Atas tersusun oleh serpih dengan
sisipan batugamping berselingan dengan napal, batulempung napalan dan sedikit
batubara.
c) Formasi Warukin; diendapkan selaras diatas Formasi Berai pada kala Miosen Tengah
hingga Miosen Atas, terdiri dari Anggota Warukin Bawah yang disusun oleh napal,
batulempung dan sisipan batupasir; Anggota Warukin Tengah relatif sama dengan
Warukin Bawah, hanya pada batupasirnya menjadi tebal dan banyak dijumpai lapisan
tipis batubara; dan Anggota Warukin Atas dicirikan lapisan batubara yang tebal hingga
20 meter dan juga batupasir dan batulempung karbonan. Formasi ini dfiendapakan pada
lingkungan paralik hingga delta pada fase regresi.
d) Formasi Dahor; diendapkan tidak selaras diatas Formasi Warukin pada Mio-Pliosen,
terdiri dari batupasir, batulempung, batubara dan lensa-lensa konglomerat. Formasi ini
diendapkan di lingkungan paralik-lagunal.
e) Endapan Kuarter; terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berupa material
berukuran kerakal hingga lempung, menumpang tidak selaras di atas Formasi Dahor.
f) Secara keseluruhan, sistem sedimentasi yang berlangsung di cekungan ini melalui siklus
transgresi dan regresi serta beberapa sub siklus yang bersifat lokal. Turunnya bagian
tengah cekungan dan erosi yang aktif di bagian Tinggian Meratus menyebabkan
pengendapan sedimen yang banyak, membentuk urutan endapan paralik hingga delta.
Hal tersebut juga tercermin endapan batubara yang relatif tebal pada Formasi Warukin.
Kualitas endapan batubara di cekungan ini termasuk pada batubara peringkat rendah
(lignit) dengan nilai kalori rendah (<5000 kcal/kg), kandungan sulfur hingga 0,2%,
karbon padat 31,4%, zat terbang 37,6%, kadar abu 3,3%, kandungan air lembab bawaan
27,7% dan air lembab keseluruhan mencapai 34,5% (dalam Koesoemadinata, 2000).
Untuk mewakili cekungan ini dipakai contoh batubara dari Formasi Warukin dan
selanjutnya disebut Batubara Pasir.
II.4

Teknologi Upgraded Brown Coal (UBC)

II.4.1 Permasalahan Batubara Peringkat Rendah di Indonasia


Bumi Indonesia memiliki jumlah cadangan batubara yang cukup banyak. Menurut data dari
Direktorat Inventaris Sumber Daya Mineral pada tahun 2003, batubara tersebut sebagian

besar tersebar luas di daerah Sumatera dan Kalimantan. Data tersebut juga menunjukkan
bahwa sebagian besar merupakan batubara peringkat rendah (Gambar 2.4).
Dengan kenyataan tersebut, maka sampai saat ini batubara di Indonesia belum banyak
dimanfaatkan dan masih merupakan lahan tidur. Jumlah kandungan air yang sangat tinggi
dalam batubara mengakibatkan biaya angkutan perkalorinya tinggi, efisiensi pembakaran
rendah, titik bakar abu yang cenderung membentuk slagging dan memiliki sifat swabakar
yang tinggi. Dampaknya, jumlah batubara yang dibutuhkan akan lebih banyak dan
memerlukan ukuran boiler yang lebih besar untuk menghasilkan panas yang sama dengan
batubara bituminus, menghasilkan emisi gas yang lebih besar untuk proses yang sama dan
membutuhkan stockpile yang besar bila dipergunakan untuk kebutuhan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU).
Dengan demikian teknologi peningkatan kualitas yang dilakukan berupa teknologi UBC,
yaitu suatu teknologi untuk meningkatkan nilai kalori batubara peringkat rendah melalui
penurunan kadar air bawaan (inherent moisture) dalam batubara. Dalam hal ini dipakai istilah
raw coal untuk batubara mentah peringkat rendah yang belum ditingkatkan kualitasnya dan
produk UBC untuk batubara yang sudah ditingkatkan kualitasnya.
II.4.2 Prinsip UBC
Pada prinsipnya proses UBC dirancang untuk menghasilkan produk batubara dengan nilai
kalor 6000 6500 kkal/kg dari batubara peringkat rendah yang mempunyai nilai kalor 3500
4500 kkal/kg, melalui teknik pengurangan kandungan air total dari 25 45% menjadi <5% .
II.4.3 Proses UBC
Proses UBC dilakukan dengan cara mencampurkan antara batubara asal dan minyak residu
kemudian dipanaskan pada suhu 150C dengan tekanan hanya 350 kPa (35 atm) seperti pada
Gambar 2.6. Penambahan minyak residu adalah untuk menjaga kestabilan kadar air.
Keunggulan proses ini selain suhu dan tekanan yang cukup rendah, juga batubara yang
dihasilkan cukup bersih karena minyak residu yang ditambahkan pada saat proses dipisahkan
dan dapat digunakan kembali. Batubara produk proses UBC dapat berupa serbuk ataupun
bongkah (aglomerat) yang kemudian dibuat briket atau dalam bentuk slurry. Polusi pada air
buangan akan sangat minimum karena proses yang berlangsung adalah secara fisika,
sehingga tidak terjadi reaksi kimia atau pirolisa
II.4.4 Pilot Plant UBC Palimanan
Pilot plant UBC dengan kapasitas 5 ton perhari ini sedang dibangun di Palimanan Cirebon,
Jawa Barat. Di tempat ini pula direncanakan akan dibangun Pusat Teknologi Pemanfaatan
Batubara Bersih (Coal Center) yang akan mencakup semua kegiatan penelitian teknologi
pemanfaatan batubara seperti pencairan, gasifikasi, karbonisasi, coal water mixture dan lainlain. Pilot plant UBC di Palimanan ini merupakan pilot plant pertama di dunia, sehingga
keberadaannya menjadi sangat penting dan strategis.
Pilot plant ini terdiri dari 5 (lima) unit utama, yaitu penyiapan batubara (coal
preparation), penghilangan air (slurry dewatering), pemisahan batubara- minyak (coal oil
separation), penangkapan ulang minyak (oil recovery) dan pembuatan briket (briquetting) .
II.4.5 Hasil UBC
Dengan berhasilnya penelitian pilot plant ini, diharapkan batubara peringkat rendah yang
merupakan cadangan terbesar dimiliki Indonesia ( 70% dari total cadangan 39 milyar ton)
dapat ditingkatkan kualitasnya sehingga mempunyai sifat menyerupai batubara peringkat
tinggi (bituminous), yaitu jenis batubara yang ideal untuk diekspor. Dengan kata lain proses
UBC dapat menyiapkan batubara yang sesuai dengan spesifikasi pasar, sehingga industri

pertambangan batubara di Indonesia dapat terus tumbuh memberikan kontribusinya sebagai


pemasok energi dalam negeri dan untuk meningkatkan ekspor di masa mendatang.
II.5.

Petrografi Batubara

Petrografi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen-komponen organik (maceral)


dan anorganik (mineral matter) secara mikroskopik. Seperti pada petrografi mineral,
petrografi batubara memerikan komponen-komponen penyusun batubara secara kualitatif dan
kuantitatif untuk mengetahui asal mula dan genesa pembentukkan batubara .
II.5.1 Gambaran Sejarah
Lahirnya ilmu petrografi batubara sering dihubungkan dengan dua nama tokoh
penting yaitu M. Stope (1919) dan Thiessen (1920) (dikutip dari Nining, N.S., 2001).
Keduanya adalah ahli paleobotani. Selain mereka juga ada dua ahli dari Jerman yaitu H.
Potonie (1920) dan yang banyak memberikan pemikiran penting dalam ilmu ini.
Stope dan Thiessen mengembangkan ide-ide dalam hal terminalogi dan klasifikasi batubara
dengan menggunakan mikroskop cahaya tembus, tetapi kemudian Stope lebih lanjut
memperdalam pengamatannya menggunakan cahaya pantul. Pemikiran Thiessen menganai
klasifikasi batubara berdasarkan sistem U.S. Bureau of Mines. Salah satu hasil penelitian
mereka yang sangat penting adalah informasi mengenai tanaman asal pembentuk batubara.
Awal tahun 1930, Thiessen, Stopes dan beberapa peneliti dari Perancis dan Jerman, yang
tergabung dalam ahli-ahli mineral dan tanaman, menyelidiki komponen-komponen batubara
dengan metoda petrografi. Untuk memadukan pemikiran-pemikiran yang berbeda latar
belakang keahlian maka diadakan konferensi di Heerlen Netherland pada tahun 1935. Salah
satu keputusan penting konferensi tersebut adalah terbentuknya susatu sistem penamaan
sistem Stope-Heerlen.
Pada tahun 1932 diperkenalkan teknik baru mengenai pengukuran reflektan yang digunakan
sebagai petunjuk peringkat batubara. Tokoh yang pertama kali memperkenalkan metoda ini
adalah Hoofmann dan Jenker dari Jerman.
Di tahun 1930-an, para peneliti memulai penelitian mengenai hubungan antara komposisi
petrografi dengan karakteristik batubara dalam suatu proses pengolahan. Salah satu hasil
penelitian menyatakan bahwa dalam batuabara yang kaya vitrinit dan eksinit mempunyai
perbedaan karakteristik dalam proses pencairan, gasifikasi dan ekstrasi, dibandingkan dengan
batubara yang kaya inertinit.
Selanjutnya, pada tahun 1950 dibentuk komite yang bertujuan menstandarkan metoda dan
terminalogi petrologi batubara (coal petrology) yaitu International Commite for Coal
Petrology (ICCP). Kemudian di tahun 1965, petrologi batubara mulai digunakan untuk
memprediksi kualitas kokas. Pada periode tahun 1960 hingga 1969 ditemukan komponenkomponen yang reaktif dan inert dalam batubara, penemuan ini diperoleh dari pengamatan
terhadap sifat-sifat batubara selama proses karbonisasi. Sejak penemuan tersebut, jumlah
peneliti yang turut berpartisipasi dalam petrologi batubara semakin meningkat, sehingga
cakupan penelitian juga semakin melebar, diantaranya mempelajari sifat-sifat kimia dan
fisika maseral, hubungan langsung dengan teknologi pemanfaatan batuabara.
Dua teknik terbaru yang dipakai dalam petrografi batubara ditemukan pada tahun 1970-an,
yaitu teknik penggunaan mikroskop otomatis dan pemakaian sinar fluorence untuk
mengidentifikasi meseral tertentu, terutama kelompok maseral liptinit/eksinit.
II.5.2 Konsep Maseral
Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral (maceral),
analog dengan mineral dalam batuan. Istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh M. Stopes

(1935) (dalam buku Stach dkk, 1982) untuk menunjukkan material terkecil penyusun
batubara yang hanya dapat diamati dibawah mikroskop sinar pantul.
Dalam petrografi batubara, maseral dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok (group) yang
didasarkan pada bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia warna
pantul, intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraannya (dalam Coal Petrology oleh Stach
dkk, 1982), yaitu :
1. Kelompok Vitrinit
Vitrinit berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissue)
seperti batang, akar, dahan dan serat daun, umumnya merupakan bahan pembentuk
utama batubara (>50%), melalui pengamatan mikroskop refleksi, kelompok ini berwarna
coklat kemerahan hingga gelap, tergantung dari tingkat ubahan maseralnya .
2. Kelompok Liptinit / Exinit
Liptinit berasal dari organ-organ tumbuhan (algae, spora, kotak spora, kulit luar
(cuticula), getah tumbuhan (resine) dan serbuk sari (pollen). Dibawah mikroskop
menunjukkan pantulan berwarna abu-abu hingga gelap, mempunyai refleksivitas rendah
dan flourensis tinggi (Gambar 2.10). Berdasarkan morfologi dan sumber asalnya
dibedakan menjadi beberapa sub-maseral .
3. Kelompok Inertinit
Inertinite berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar (charcoal) dan sebagian lagi
diperkirakan berasal dari maseral lain yang telah mengalami proses oksidasi atau proses
dekarbok silasi yang disebabkan oleh jamur atau bakteri (proses biokimia). Kelompok ini
berwarna kuning muda, putih sampai kekuningan bila diamati dengan mikroskop sinar
pantul, karakteristik lainnya adalah reflektansi dan reliefnya tinggi dibanding maseral
yang lain (Gambar 2.11). Berdasarkan struktur dalam, tingkat dan intensitas pembakaran,
kelompok ini dibagi menjadi beberapa sub-maseral .
II.5.3 Klasifikasi
Banyak klasifikasi kelompok maseral, sub-maseral dan jenis maseral dalam petrografi
batubara, tetapi yang sering dipakai oleh peneliti di Indonesia adalah Australian Standart (AS
2856-1986) (Tabel 2.1). Kelebihan sistem ini yaitu pembagiannya berlaku untuk semua
peringkat batubara, baik untuk hard coal maupun brown coal, selain itu juga cukup sederhana
dibandingkan sistem yang lain : International Organisation for Standardisation (ISO);
American Society for Testing Materials (ASTM); dan British Standards Institution (BSI)
classifications.
Table 2.1 Klasifikasi maseral ke dalam subkelompok dan kelompok, berdasarkan pada
Australian Standard System (AS2856-1986) [* pada brown coal macerals]
SUB KELOMPOK
KELOMPOK MASERAL
MASERAL
MASERAL
Textinite* Texto-ulminite*
Telovitrinite
E-ulminite*
(Humotelinite)
Telocollinite
VITRINITE
Detrovitrinite
Attrinite* Densinite*
(HUMINITE)
(Humodetrinite)
Desmocollinite
Gelovitrinite
Corpogelinite Porigelinite*
(Humocolinite)
Eugelinite
LIPTINITE
Sporinite Cutinite
(EXINITE)
Resinite
Liptodetrinite
Alginite

Telo-inertinite
INERTINITE

Detro-inertinite
Gelo-inertinite

Suberinite
Fluorinite
Exsudatinite
Bituminite
Fusinite Semifusinite
Sclerotinite
Inertodetrinite Micrinite
Macrinite

II.5.4 Sifat Fisik dan Kimia Kelompok Maseral


1. Sifat Fisik
Sifat fisik utama kelompok maseral adalah berat jenis. Kelompok vitrinit
mempunyai berat jenis yang bervariasi tergantung peringkat batubara. Dalam
batubara bituminus yang mempunyai zat terbang sedang, vitrinit memiliki berat jenis
1,27 g/ml; sedangkan dalam batubara bituminus yang mempunyai berzat terbang
tinggi memiliki berat jenis 1,3 g/ml; dan yang terbesar adalah 1,8 g/ml untuk
antrasit.
Liptinit mempunyai berat jenis mulai dari 1,18 g/ml dalam batubara peringkat rendah
hingga mencapai 1,25 g/ml dalam batubara bituminus. Berat jenis inertinit
kenaikannnya sedikit mulai dari 1,35 sampai dengan 1,7 g/ml sesuai dengan
kenaikan peringkat batubara.
2. Sifat Kimia
Pada batubara yang berperingkat sama, vitrinit mempunyai lebih sedikit kandungan
oksigen dan lebih banyak kandungan karbon bila dibandingkan dengan kelompok
inertinit, sedangkan liptinit banyak mengandung karbon dan hidrogen tetapi sedikit
mengandung oksigen. Bila jumlah kandungan hidrogen dan karbon dihubungan
dengan zat terbang, liptinit memproduksi zat terbang tertinggi, yang diikuti oleh
vitrinit. Inertinit relatif kecil memiliki kandungan zat terbang. Hal tersebut akan
berubah dengan kenaikan peringkat batubara.
a. Vitrinit dalam batubara peringkat rendah tersusun dari bermacam-macam humus yang
terdiri dari cincin aromatik dikelilingi oleh gugusan alipatik. Makin naik peringkat
batubara, kelompok peripheral luar seperti OH, COOH, CH3 akan hilang dan cincin
aromatik menjadi lebih besar. Akibatnya kearomatikan dan kandungan karbon
meningkat sedangkan kandungnan oksigen menurun.
Perubahan kandungan karbon, zat terbang dan peringkat batubara berhubungan dengan
jumlah cahaya reflektansi vitrinit. Pengaruhnya, semakin tinggi kadar karbon, semakin
tinggi pula reflektansi vitrinit. Oleh karena itu peringkat batubara dapat secara langsung
ditetapkan dengan pengukuran reflektan vitrinit. Dalam batubara yang mempunyai
kandung vitrinit >80%, peringkat batubara dapat ditetapkan berdasarkan kandungan zat
terbang dan zat karbon.
b. Liptinit dalam batubara peringkat rendah mempunyai lebih sedikit senyawa aromatik
dibandingkan dengan vitrinit. Pada umumnya eksinit/liptinit mempunyai suatu kerangka
alifatik-aromatik dengan rantai luar alifatik dan mempunyai kelompok periperal yang
tinggi, serta menghasilkan lebih banyak zat terbang apabila dipanaskan dibandingkan
dengan kelompok lainnya. Selain itu liptinit menghasilkan bitumen dan ter yang tinggi
terutama dalam batubara sub-bituminus dan bituminus.
Pada batubara peringkat rendah, inertinit memiliki lebih banyak senyawa aromatik
dibandingkan dengan vitrinit atau liptinit. Kelompok ini sangat sedikit berubah sifat
fisika dan kimianya karena kenaikan peringkat. Pada umumnya inertinit mempunyai

oksigen tinggi dan hidrogen randah, tetapi kandungan oksigen akan turun cepat dengan
naiknya peringkat batubara.
II.5.5 Mineral Pengotor
Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik sebagai butiran halus yang menyebar
maupun sebagai butiran kasar yang mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu :
a) mineral pengotor yang terdapat dalam sel tanaman asal,
b) mineral pengotor utama yang terbentuk selama atau segera setelah pengendapan
batubara dan, mineral pengotor yang terbentuk setelah pengendapan batubara, mineral
pengotor kelompok pertama pada umumnya tidak dapat diketahui secara petrografi
kecuali dengan SEM (Scanning Electron Microscope) karena sangat kecil. Mineral
pengotor kelompok kedua dan ketiga dengan mudah dapat diidentifikasi dengan
mikroskop.
Mineral utama berbentuk bersamaan dengan pembentukan batubara, sedangkan mineral
pengotor lainnya cenderung kasar dan bergabung dalam lubang, celah dan rongga. Mineralmineral pengotor yang banyak terdapat dalam batubara adalah lempung, karbonat, besi
sulfida dan kuarsa. Mineral lain yang terdapat pada batubara dalam jumlah kecil adalah
oksida-oksida, hidroksida-hidroksida, sulfida-sulfida yang lainnya, fosfat dan sulfat.
a) Mineral lempung adalah mineral yang paling banyak terdapat dan tersebar luas di
dalam batubara serta berukuran butir sangat kecil antara 1-2 m. Sekitar 60 80%
dari mineral pengotor dalam batubara adalah lempung berupa kaonit, illit dan smektit.
Komposisi kimia pada saat pengendapan berpengaruh terhadap tipe lempung yang
mengendapan dalam batubara. Pada umumnya mineral lempung illit terdapat dalam
batubara yang diendapkan dengan adanya pengaruh air laut, sedangkan kaolinit
tidak dipengaruhi oleh air laut. Dibawah sinar refleksi, lempung mempunyai
lempung bermacam-macam warna mulai dari yang hampir putih sampai sampai
orange kecoklat-coklatan. Dibawah sinar fluorescent mineral lempung tidak
berwarna sampai oranye.
b) Karbonat dalam batubara terdapat sebagai masa dasar atau pengisi lubang-lubang
kecil/celahan, diantaranya adalah siderit, kalsit, ankerit dan dolomit. Dibawah sinar
refleksi, karbonat tersebut berwarna abu-abu kecoklatan dan sangat anisotop. Di
bawah sinar fluorescent karbonat menunjukkan warna hijau sampai oranye kehijauan.
c) Sulfida besi didominasi oleh pirit termasuk markasit dan melnikovit. Mineralmineral tersebut terjadi sebagi butiran kristal yang halus dan butiran-butiran halus,
dan kadang-kadang mengisi lubang yang terbuka, terutama terdapat dalam lapisan
batubara yang dipengaruhi oleh air laut. Dalam sinar refleksi, pirit terlihat sangat
terang kekuning-kuningan.
d) Mineral kuarsa dalam batubara terdapat dalam jumlah kecil, berukuran butir antara 520 m. Dibawah sinar refleksi, kuarsa terlihat hitam terang. Batubara yang
mempunyai mineral dalam ukuran butir besar dapat dengan mudah dipisahkan
dengan penggerusan atau dengan proses pengolahan. Mineral tersebut dinamakan
adventitious. Sedangkan mineral-mineral yang tidak terlepas dari batubara baik
dengan penggerusan maupun dengan proses pengolahan yang disebut inherant.
II.5.6.1 Peringkat Batubara (Coal Rank)
Pada tahap pembentukan batubara dari gambut menjadi batubara yang lebih tinggi derajatnya
yaitu dari lignit sampai sub bituminus, bituminus hingga antrasit, yang berlangsung adalah
tekanan, temperatur dan waktu tertentu (Cook, 1982). Tahap pembatubaraan merupakan
perubahan dari rombakan sisa-sisa tumbuhan pada kondisi reduksi, yang mana persentase
karbon semakin besar, sedangkan persentase oksigen dan hidrogen semakin berkurang. Cook

(1982) menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri dari pematangan bahan organik pada
fase metamorfosa tingkat rendah seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.12. Material organik
lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah daripada mineral anorganik.
Dalam menentuan peringkat batubara dapat dilakukan dengan berbagai metoda dan
parameter, antara lain : kadar air lembab (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon
padat (fixed carbon), nilai kalori (caloritific value), reflektansi vitrinit serta karbon dan
oksigen (Gambar 2.13). Pada metoda petrogarfi batubara penentuan peringkat batubara
mengacu pada hasil pengukuran reflektansi vitrinit. Selain dalam prakteknya lebih cepat dan
mudah, metoda ini juga lebih tepat dalam menentukan peringkat batubara dibandingkan
dengan metoda yang lain. Hal ini dikarenakan reflektansi vitrinit lebih berkaitan langsung
dengan pengamatan kondisi maupun struktur maseral batubara, yang mana struktur maseral
batubara tersebut lebih mencerminkan seri pembatubaraan yang dipengaruhi oleh tekanan dan
temperatur.
II.5.6.2 Tipe Batubara (Coal Type)
Parks dan Donnel (dalam Cook, 1982) menjelaskan bahwa batasan tipe batubara
dipergunakan untuk mengklasifikasi berbagai jenis tumbuhan pembentuk batubara,
sedangkan menurut Shierly (dalam Cook, 1982) tipe batubara merupakan dasar klasifikasi
petrografi batubara yang terdiri dari berbagai unsur tumbuhan penyusun batubara dengan
kejadian yang berbeda-beda.
Petrografi batubara memberikan dasar pemahaman genesa, sifat dan unsur organik batubara.
Material organik berasal dari berbagai macam tumbuhan dan sebagian bercampur dengan
sedimen anorganik selama penggambutan, sehingga tipe batubara ditentukan pada tahap
biokimia untuk mengetahui lingkungan pengendapan batubara, terutama berdasarkan material
organiknya. Penentuan jenis batubara secara makroskopis didasarkan pada litotipe, sedangkan
secara mikroskopis menggunakan konsep maseral dan mikrolitotipe (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Klasifikasi mikrolitotipe pada batubara (dari Stach dkk, 1982)
MIKROLITOTIPE
KOMPOSISI MASERAL
KELOMPOK
Vitrite
>95% Vitrinite
Liptite
>95% Liptinite
Monomaceralic
Inertite
>95% Inertinite
Clarite
>95% Vitrinite + Liptinite
Durite
>95% Inertinite + Liptinite Bimaceralic
Vitrinertite
>95% Vitrinite + Inertinite
(Vitrinite+Liptinite+Inertinite
each >5%)
Vitrinite > Liptinite,
Duroclarite
Inertinite
Vitrinertoliptite
Trimaceralic
Liptinite > Vitrinite,
Clarodurite
Inertinite
Inertinite > Vitrinite,
Liptinite
II.5.7 Metoda Penentuan dan Model Lingkungan Pengendapan
Penafsiran lingkungan pengendapan batubara dalam petrografi batubara menggunakan model
lingkungan pengendapan dari Diessel (1986), Calder (1991) dan Mukhopadhyay (1989).
Penafsiran lingkungan pengendapan pada model-model tersebut didasarkan pada konsep
maseral, yang mana kehadiran beberapa maseral tertentu dalam batubara akan memberikan
pendekatan mengenai awal terbentuknya batubara.

1.
Model lingkungan pengendapan menurut Diesel (1986)
Diesel (1986) telah menerapkan modelnya pada batubara yang berumur Perm di lembah
Hunter dan Gunnedah yang termasuk dalam cekungan Sydney, Australia. Model ini juga telah
banyak diaplikasikan dibeberapa lapangan batubara di dunia. Penentuan lingkungan
pengendapan pada model ini digunakan perbandingan antara harga Gelification Index (GI)
dengan Tissue Preservation Index (TPI) yang kemudian diplotkan dalam diagram.
2.
Model lingkungan pengendapan menurut Calder,dkk (1991)
Calder, dkk (1991) mengusulkan perbandingan antara Vegetation Index (VI) dan Ground
Water Index (GWI) dipakai sebagai parameter untuk menentukan lingkungan pengendapan.
Model ini secara lebih rinci mengklasifikasikan lingkungan pengendapan batubara ditinjau
dari asal material organik pembentuk batubara dan kedalaman muka air (hydrologic regime).
3.
Model lingkungan pengendapan modifikasi Mukhopadhyay (1989)
Mukhopadhyay (1989) mendasarkan asosiasi maseral untuk menentukan fasies batubara di
cekungan Mosehopotanus, Greece, Athena, Yunani pada endapan batubara Tersier. Asosiasi
maseral yang dipakai merupakan meseral-maseral yang dapat memberikan gambaran
mengenai komunitas tumbuhan, tipe pengendapan, potensi reduksi-oksidasi, dan susunan
batubara pada sistem lingkungan pengendapan batubara (Gambar 2.16). Hal ini juga sesuai
dengan pernyataan Teichmuller, 1982 (dalam Stach dkk, 1982), yang menyatakan bahwa
faktor yang menentukan fasies batubara yaitu komunitas tumbuhan, tipe pengendapan,
potensi reduksi-oksidasi, dan susunan batubara.
Diposkan oleh Bara Mukthi Pratama di 12/15/2011 05:04:00 AM
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

http://smiagiunmul.wordpress.com/2013/08/12/batubara/http://smiagiunmul.wordpress.com/2
013/08/12/batubara/
BATUBARA
Batubara adalah termasuk salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan
sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa
tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari
karbon, hidrogen dan oksigen.
Batubara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang
kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus
formula empiris seperti : C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.
Umur Batubara
Pembentukan batubara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada
era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu
(jtl), adalah masa pembentukan batubara yang paling produktif dimana hampir seluruh
deposit batubara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk.
a) Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batubara
yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung
terus hingga ke Zaman Tersier (70 13 jtl) di pelbagai belahan bumi lain.
b) Materi Pembentuk Batubara
c) Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan
pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

d) Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat
sedikit endapan batubara dari perioda ini.
e) Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit
endapan batubara dari perioda ini.
f) Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batubara
berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji,
berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
g) Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah.
Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung
kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan
glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian seperti di Australia, India dan
Afrika.
h) Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah
yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding
gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.
Kelas dan Jenis Batubara
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan
waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit
dan gambut.
a) Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster)
metalik, mengandung antara 86% 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang
dari 8%.
b) Bituminus mengandung 68 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari
beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
c) Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya
menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
d) Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air
35-75% dari beratnya.
e) Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling
rendah.
Pembentukan Batubara
Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batubara disebut dengan istilah
pembatubaraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:
Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit
terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat
oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi)
dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan
akhirnya antrasit.
Batubara di Indonesia
Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang
terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada
umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara
berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau
sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.
Batubara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang mirip
dengan kondisi kini. Beberapa diantaranya tegolong kubah gambut yang terbentuk di atas

muka air tanah rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut
ini terbentuk pada kondisi dimana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk
ke dalam sistem dan membentuk lapisan batubara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan
menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batubara Miosen. Sebaliknya,
endapan batubara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur
endapan batubara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip
dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan
sebagian besar Kalimantan.
Endapan Batubara Eosen
Endapan ini terbentuk pada tatanan tektonik ekstensional yang dimulai sekitar Tersier Bawah
atau Paleogen pada cekungan-cekungan sedimen di Sumatera dan Kalimantan.
Ekstensi berumur Eosen ini terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari sebelah barat
Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Dari batuan sedimen yang
pernah ditemukan dapat diketahui bahwa pengendapan berlangsung mulai terjadi pada Eosen
Tengah. Pemekaran Tersier Bawah yang terjadi pada Paparan Sunda ini ditafsirkan berada
pada tatanan busur dalam, yang disebabkan terutama oleh gerak penunjaman Lempeng IndoAustralia.[2] Lingkungan pengendapan mula-mula pada saat Paleogen itu non-marin, terutama
fluviatil, kipas aluvial dan endapan danau yang dangkal.
Di Kalimantan bagian tenggara, pengendapan batubara terjadi sekitar Eosen Tengah Atas
namun di Sumatera umurnya lebih muda, yakni Eosen Atas hingga Oligosen Bawah. Di
Sumatera bagian tengah, endapan fluvial yang terjadi pada fasa awal kemudian ditutupi oleh
endapan danau (non-marin).[2] Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan bagian tenggara
dimana endapan fluvial kemudian ditutupi oleh lapisan batubara yang terjadi pada dataran
pantai yang kemudian ditutupi di atasnya secara transgresif oleh sedimen marin berumur
Eosen Atas.[3]
Endapan batubara Eosen yang telah umum dikenal terjadi pada cekungan berikut: Pasir dan
Asam-asam (Kalimantan Selatan dan Timur), Barito (Kalimantan Selatan), Kutai Atas
(Kalimantan Tengah dan Timur), Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Tarakan
(Kalimantan Timur), Ombilin (Sumatera Barat) dan Sumatera Tengah (Riau).
Dibawah ini adalah kualitas rata-rata dari beberapa endapan batubara Eosen di Indonesia.
Kadar air Kadar air
Kadar abu Zat terbang Belerang Nilai energi
Tambang Cekungan Perusahaan
total
inheren
(%ad)
(%ad)
(%ad) (kkal/kg)(ad)
(%ar)
(%ad)
PT Arutmin
Satui
Asam-asam
10.00
7.00
8.00
41.50
0.80
6800
Indonesia
PT Arutmin
Senakin
Pasir
9.00
4.00
15.00
39.50
0.70
6400
Indonesia
PT BHP
Petangis
Pasir
11.00
4.40
12.00
40.50
0.80
6700
Kendilo Coal
PT Bukit
0.50
Ombilin
Ombilin
12.00
6.50
<8.00
36.50
6900
Asam
0.60
PT Allied
Parambahan Ombilin
4.00
10.00 (ar) 37.30 (ar) 0.50 (ar)
6900 (ar)
Indo Coal
(ar) as received, (ad) air dried,
Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998
Endapan Batubara Miosen

Pada Miosen Awal, pemekaran regional Tersier Bawah Tengah pada Paparan Sunda telah
berakhir. Pada Kala Oligosen hingga Awal Miosen ini terjadi transgresi marin pada kawasan
yang luas dimana terendapkan sedimen marin klastik yang tebal dan perselingan sekuen
batugamping. Pengangkatan dan kompresi adalah kenampakan yang umum pada tektonik
Neogen di Kalimantan maupun Sumatera. Endapan batubara Miosen yang ekonomis terutama
terdapat di Cekungan Kutai bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan Barito
(Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera bagian selatan. Batubara Miosen juga secara
ekonomis ditambang di Cekungan Bengkulu.
Batubara ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai
yang mirip dengan daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur. Ciri utama
lainnya adalah kadar abu dan belerang yang rendah. Namun kebanyakan sumberdaya
batubara Miosen ini tergolong sub-bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis kecuali
jika sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi geografisnya menguntungkan. Namun batubara
Miosen di beberapa lokasi juga tergolong kelas yang tinggi seperti pada Cebakan Pinang dan
Prima (PT KPC), endapan batubara di sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur dan
beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian selatan.
Tabel dibawah ini menunjukan kualitas rata-rata dari beberapa endapan batubara Miosen di
Indonesia.
Kadar air
Zat
Kadar air
Kadar abu
Belerang Nilai energi
Tambang Cekungan Perusahaan
inheren
terbang
total (%ar)
(%ad)
(%ad) (kkal/kg)(ad)
(%ad)
(%ad)
PT Kaltim
Prima
Kutai
9.00
4.00
39.00
0.50
6800 (ar)
Prima Coal
PT Kaltim
Pinang
Kutai
13.00
7.00
37.50
0.40
6200 (ar)
Prima Coal
PT Kideco
Roto South Pasir
24.00
3.00
40.00
0.20
5200 (ar)
Jaya Agung
PT Berau
Binungan Tarakan
18.00
14.00
4.20
40.10
0.50
6100 (ad)
Coal
PT Berau
Lati
Tarakan
24.60
16.00
4.30
37.80
0.90
5800 (ad)
Coal
Sumatera
PT Bukit
Air Laya
bagian
24.00
5.30
34.60
0.49
5300 (ad)
Asam
selatan
Paringin
Barito
PT Adaro 24.00
18.00
4.00
40.00
0.10
5950 (ad)
(ar) as received, (ad) air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998
Sumber daya Batubara
Potensi sumberdaya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan
dan Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batubara walaupun dalam
jumlah kecil dan belum dapat ditentukan keekonomisannya, seperti di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Papua, dan Sulawesi.
Di Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah
umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batubara jauh lebih hemat
dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori
sedangkan batubara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp.
6.200/liter).
Dari segi kuantitas batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia.
Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup

untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya,
Indonesia tidak mungkin membakar habis batubara dan mengubahnya menjadi energis listrik
melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara
ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.
Batubara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika dikonversi
menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara
yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi
(penyubliman) batubara.
Membakar batubara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya
secara continue, yang bertujuan untuk mencapai efisiensi pembakaran yang maksimum, caracara pembakaran langsung seperti: fixed grate, chain grate, fluidized bed, pulverized, dan
lain-lain, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya.
Gasifikasi Batubara
Coal gasification adalah sebuah proses untuk merubah batubara padat menjadi gas batu bara
yang mudah terbakar (combustible gases), setelah proses pemurnian gas-gas ini CO (karbon
monoksida), karbon dioksida (CO2), hidrogen (H), metan (CH4), dan nitrogen (N2) dapat
digunakan sebagai bahan bakar. hanya menggunakan udara dan uap air sebagai reacting-gas
kemudian menghasilkan water gas atau coal gas, gasifikasi secara nyata mempunyai tingkat
emisi udara, kotoran padat dan limbah terendah.
Tetapi, batubara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat didalamnya adalah
sulfur dan nitrogen, bila batubara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke udara,
bila mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung dengan uap air (seperti contoh
kabut) dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk asam sulfurik dan nitrit, disebut
sebagai hujan asam acid rain. Disini juga ada noda mineral kecil, termasuk kotoran yang
umum tercampur dengan batubara, partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat debu yang
tertinggal di coal combustor, beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di putaran
combustion gases bersama dengan uap air, dari asap yang keluar dari cerobong beberapa
partikel kecil ini adalah sangat kecil setara dengan rambut manusia.
Bagaimana membuat batubara bersih
Ada beberapa cara. Contoh sulfur, sulfur adalah zat kimia kekuningan yang ada sedikit di
batubara, pada beberapa batubara yang ditemukan di Ohio, Pennsylvania, West Virginia dan
eastern states lainnya, sulfur terdiri dari 3 sampai 10 % dari berat batu bara, beberapa batu
bara yang ditemukan di Wyoming, Montana dan negara-negara bagian sebelah barat lainnya
sulfur hanya sekitar 1/100ths (lebih kecil dari 1%) dari berat batubara. Penting bahwa
sebagian besar sulfur ini dibuang sbelum mencapai cerobong asap.
Satu cara untuk membersihkan batubara adalah dengan cara mudah memecah
batubara ke bongkahan yang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa sulfur yang ada sebagai
bintik kecil di batu bara disebut sebagai pyritic sulfur karena ini dikombinasikan dengan
besi menjadi bentuk iron pyrite, selain itu dikenal sebagai fools gold dapat dipisahkan dari
batubara. Secara khusus pada proses satu kali, bongkahan batubara dimasukkan ke dalam
tangki besar yang terisi air , batubara mengambang ke permukaan ketika kotoran sulfur
tenggelam. Fasilitas pencucian ini dinamakan coal preparation plants yang membersihkan
batubara dari pengotor-pengotornya.
Tidak semua sulfur bisa dibersihkan dengan cara ini, bagaimanapun sulfur pada
batubara adalah secara kimia benar-benar terikat dengan molekul karbonnya, tipe sulfur ini
disebut organic sulfur, dan pencucian tak akan menghilangkannya. Beberapa proses telah
dicoba untuk mencampur batubara dengan bahan kimia yang membebaskan sulfur pergi dari

molekul batubara, tetapi kebanyakan proses ini sudah terbukti terlalu mahal, ilmuan masih
bekerja untuk mengurangi biaya dari prose pencucian kimia ini.
Kebanyakan pembangkit tenaga listrik modern dan semua fasilitas yang dibangun setelah
1978 telah diwajibkan untuk mempunyai alat khusus yang dipasang untuk membuang
sulfur dari gas hasil pembakaran batubara sebelum gas ini naik menuju cerobong asap. Alat
ini sebenarnya adalah flue gas desulfurization units, tetapi banyak orang menyebutnya
scrubbers karena mereka men-scrub (menggosok) sulfur keluar dari asap yang
dikeluarkan oleh tungku pembakar batubara.
Membuang NOx dari batubara
Nitrogen secara umum adalah bagian yang besar dari pada udara yang dihirup, pada
kenyataannya 80% dari udara adalah nitrogen, secara normal atom-atom nitrogen
mengambang terikat satu sama lainnya seperti pasangan kimia, tetapi ketika udara dipanaskan
seperti pada nyala api boiler (3000 F=1648 C), atom nitrogen ini terpecah dan terikat dengan
oksigen, bentuk ini sebagai nitrogen oksida atau kadang kala itu disebut sebagai NOx. NOx
juga dapat dibentuk dari atom nitrogen yang terjebak didalam batubara.
Di udara, NOx adalah polutan yang dapat menyebabkan kabut coklat yang kabur yang
kadang kala terlihat di seputar kota besar, juga sebagai polusi yang membentuk acid rain
(hujan asam), dan dapat membantu terbentuknya sesuatu yang disebut ground level ozone,
tipe lain dari pada polusi yang dapat membuat kotornya udara.
Salah satu cara terbaik untuk mengurangi NOx adalah menghindari dari bentukan
asalnya, beberapa cara telah ditemukan untuk membakar barubara di pemabakar dimana ada
lebih banyak bahan bakar dari pada udara di ruang pembakaran yang terpanas. Di bawah
kondisi ini kebanyakan oksigen terkombinasikan dengan bahan bakar daripada dengan
nitrogen. Campuran pembakaran kemudian dikirim ke ruang pembakaran yang kedua dimana
terdapat proses yang mirip berulang-ulang sampai semua bahan bakar habis terbakar. Konsep
ini disebut staged combustion karena batubara dibakar secara bertahap. Kadang disebut
juga sebagai low-NOx burners dan telah dikembangkan sehingga dapat mengurangi
kangdungan Nox yang terlepas di uadara lebih dari separuh. Ada juga teknologi baru yang
bekerja seperti scubbers yang membersihkan NOX dari flue gases (asap) dari boiler batu
bara. Beberapa dari alat ini menggunakan bahan kimia khusus yang disebut katalis yang
mengurai bagian NOx menjadi gas yang tidak berpolusi, walaupun alat ini lebih mahal dari
low-NOx burners, namun dapat menekan lebih dari 90% polusi Nox.
MENGENAL TIPE BENTANG ALAM KARS DI INDONESIA
Batuan karbonat merupakan batuan yang penyusun utamnya adalah mineral karbonat.
Secara umum, batuan karbonat dikenal sebagai batugamping, walaupun sebenarnya terdapat
jenis yang lain yaitu dolostone. Batuan karbonat dapat terbentuk di berbagai lingkungan
pengendapan. Namun umumnya batuan ini terbentuk pada lingkungan laut, terutama laut
dangkal. Hal tersebut dikarenaka batuan karbonat dibentuk ole zat organic yang umumnya
subur di daerah yang masih mendapat sinar matahari, kaya akan nutrisi, dll. Laut dangkal
dimana batuan karbonat terbentuk disebut sebagai paparan karbonat (carbonate platform).
Menurut Tucker & Wright (1991), paparan karbonat dapat dibagi menjadi rimmed shelf,
ramp, epeiric, isolated platform d an drowned platform.
Karena faktor yang mempengaruhi pembentukan batuan karbonat bermacam-macam
menyebabkan bentang alam yang dibentuk oleh batan karbonat juga beraneka ragam. Batuan
karbonat, khususnya batugamping, memiliki sifat mudah larut dalam air. Hali ini dapat
dijumpai terutama pada batugamping yang berkadar CO2 tinggi. Pelarutan tersebut akan
menghasilkan bentukan-bentukan yang khas yang tidak dapat dijumpai pada batuan jenis lain.

Gejala pelarutan ini merupakan awal dari proses karstifikasi. Morfologi yag dihasilkan oleh
batuan karbonat yang mengalami karstifikasi dikenal dengan sebutan bentang alam kars.
Hampir semua daerah yang memiliki bentang alam kars mempunyai bentukan-bentukan yang
khas di setiap daerah. Perbedaan-perbedaan tersebut menjadi dasar pengelompokan kawasan
kars di Indonesia, yang antara lain adalah :
a) Tipe Gunung Sewu
Tipe ini hadir berupa kawasan kars yang luas dan dicirikan bukit gamping berbentuk
kerucut (konical) dan kubah yang jumlahnya ribuan. Selain itu di dapati adanya lembah
dolina dan polje diantara bukit-bukit tersebut. Di dalam dolina didapati adanya terrarosa
yang menahan air sehingga tidak bocor ke dalam tanah. Terrarosa juga digunakan untuk
lahan pertanian. Sungai-sungai yang mengalir masuk kebawah permukaan tanah melalui
mulut-mulut gua (through caves) maupun dari sink yang ada. Sungai-sungai yang
mengair di bawah tanah akan bergabung membentuk sistem besar. Arah aliran sungai
umumnya dikendalikan oleh struktur geologi. Tipe ini berkembang di sepanjang jalur
pegunungan selatan dari Jawa Timur hingga Yogyakarta.
b) Tipe Gombong
Bentang alam kars dicirikan oleh pembentukan cockpit, terutama yang dijumpai di
daerah selatan Gombong (daerah Karangbolong). Bentukan depresi yang ada umumnya
dibatasi oleh lereng yang terjal dan kadang dijumpai bentukan seperti bintang. Karena
batugamping berada di atas lapisan batuan yang kedap air maka batas antara keduanya
menjadi tempat keluarnya mata air.
c) Tipe Maros
Tipe ini dicirikan oleh bukit-bukit yang berbentuk menara (tower karst/magote).
Pembentukan bentan alam ini berkaitan dengan bidang retakan (kekar dan sesar) yang
arahnya berkedudukan tegak atau hanpir tegak. Tinggi menara antara 50-200 meter,
berlereng terjal dan datar pada bagian puncaknya. Diantara bukit-bukit tersebut terdapat
lembah-lembah sempit, berdasar rata, berbentuk memanjang. Bentukan yang khas ini
dijumpai di daerah Maros, Sulawesi Selatan.
d) Tipe Wawolesea
Tipe ini dicirikan adanya lorong-lorong yang terisi oleh air panas dan di beberapa tempat
terdapat jem batan alam (natural bridge). Tipe ini dicirikan terutama oleh kontrol
hidrologi air panas sehingga terjadi proses pengendapan ulang larutan kalsit yang
membentuk undak travertin yang beraneka ragam serta jarang dijumpai di tempat lain.
e) Tipe Semau
Tipe ini merupakan tipe kawasan kars yang melibatkan batugamping yang berumur muda
(Kala Kwarter). Bentang alam yang dijumpai berupa rucutan (sink) dan lorong-lorongg
gua yang pendek.
f) Undak-undak pantai yang disusun oleh koral dapat mencapai tebal 25-100 meter dan
mengalami pengangkatan 2,5 cm/tahun. Tipe Semau dijumpai pada P. Semau sebelah
barat Kupang, NTT.
g) Tipe Nusa Penida
Pulau Nusa Penida yang terletak di sebelah selatan P. Bali memiliki kawasan karst yang
tersusun atas batugamping klastik dan non klastik. Pada batugamping klastik terdapat
sisipan batuan berukuran halus dan kedap air. Adanya perulangan jenis batuan
menyebakan terjadi keluaran air tanah yang bertingkat. Bentan alam dolina dan bukit
kerucu t tidak berkembang dengan baik. Gua-gua juga tidak berkembang dengan baik.
Petrofisik
Petrofisik adalah salah satu cabang geofisika yang mempelajari tentang sifat fisik dari suatu
batuan.

Beberapa sifat fisik tersebut adalah :


1. Porositas (primer dan sekunder),
2. Permeabilitas (absolut, relatif),
Tingkat kejenuhan Air (water saturation)dan beberapa sifat fisik lainnya.
Mempelajari karakteristik fisik suatu batuan sangat penting karena kita akan lebih mengenal
batuan yang akan kita amati tersebut. Di industri oil & gas misalnya, sifat fisik batuan sangat
penting dipelajari mengetahui karakter reservoar (batuan tempat menyimpan hidrokarbon)
sebagai batuan yang layak untuk dilakukan pengeboran ataupun perforasi (produksi) lebih
lanjut
Mengenal Jenis Batuan
Batuan terbentuk dari kombinasi dari satu atau lebih mineral yang biasanya terdiri
dari unsur seperti oksigen, karbon, dan besi. Saat ini dikenal sekitar 3.000 jenis mineral yang
berbeda di bumi. Berdasarkan kandungan mineral yang terdapat di dalamnya, teksturnya,
serta strukturnya, batuan dibedakan menjadi tiga jenis.
1. Pertama, batuan bekuan tercipta sebagai hasil proses pendinginan bahan cair pijar yang
berasal dari dalam bumi (magma). Batu jenis ini biasanya berbentuk hablur, tidak
berlapis-lapis, dan tidak mengandung fosil. Berdasarkan cara terjadinya, batuan jenis
ini terbagi atas batuan beku plutonik dan vulkanik.
Batuan beku plutonik berada di bawah kerak bumi dan berproses secara perlahan-lahan
sehingga terjadi hablur yang mudah terlihat. Diorit, granit, dan gabro adalah batuan
jenis ini. Sementara itu, batuan beku vulkanik berasal dari lava gunung berapi yang
terlempar ke permukaan bumi, kemudian membeku sehingga memiliki hablur halus.
Basal, obsidian, dan andesit adalah jenis batuan beku vulkanik yang banyak dijumpai.
Ciri khas batuan bekuan adalah keras dan kokoh sehingga biasanya digunakan sebagai
bahan bangunan atau nisan kuburan.
2. Kedua, batuan endapan merupakan hasil proses pengendapan rombakan batuan yang
diangkut oleh air (sungai) dan terendapkan pada suatu cekungan seperti laut, danau,
sungai, atau rawa. Oleh sebab itu, batuan jenis ini biasanya berlapis-lapis dengan
ketebalan yang berbeda, mulai dari beberapa sentimeter hingga beberapa meter. Batuan
jenis ini tidak berhablur dan seringkali mengandung fosil binatang atau tumbuhan.
Karena cara terbentuknya yang unik, batuan jenis ini biasanya dibedakan berdasarkan
umurnya.
Menurut asal kejadiannya, batuan endapan terbagi atas batuan endapan mekanik yang
terjadi akibat percampuran bahan-bahan yang terkumpul, batu endapan organik yang
terbuat dari fosil hewan atau tumbuhan, dan batuan endapan kimia yang terjadi akibat
endapan yang terjadi secara kimiawi. Batu pasir, batu kapur, zeolit, batu bara, dan
lempung adalah beberapa jenis batuan yang masuk dalam jenis ini.
3. Ketiga, batuan malihan atau metamorf berasal dari batuan bekuan dan batuan endapan
yang terubah susunan mineralnya atau batuan malihan yang terubah ulang. Pemalihan
susunan mineral disebabkan karena tekanan gerakan bumi dan mendapat panas yang
sangat tinggi saat terjadi pergerakan bumi. Batuan jenis ini memiliki tekstur yang
sangat padat dan kedap air. Suhu yang dibutuhkan untuk menciptakan batuan malihan
100-800 derajat Celsius. Dalam suhu setinggi ini batuan melembut sehingga mengubah
susunan mineralnya. Dengan cara ini batu kapur berubah menjadi batu marmer, batu
pasir menjadi kuarzit, batu granit menjadi genes, arang batu menjadi grafit, dan grafit
menjadi berlian.
Pertambangan

Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan


(penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara,
panasbumi, migas). Paradigma baru Kegiatan Industri Pertambangan ialah mengacu pada
konsep Pertambangan Yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan, yang meliputi :
a. Penyelidikan Umum (prospecting)
b. Eksplorasi : eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci
c. Studi kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal)
d. Persiapan produksi (development, construction)
e. Penambangan (Pembongkaran, Pemuatan,Pengangkutan, Penimbunan)
f. Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
g. Pengolahan (mineral dressing)
h. Pemurnian / metalurgi ekstraksi
i. Pemasaran
j. Corporate Social Responsibility (CSR)
k. Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
l. Ilmu Pertambangan : ialah ilmu yang mempelajari secara teori dan praktek hal-hal
yang berkaitan dengan industri pertambangan berdasarkan prinsip praktek
pertambangan yang baik dan benar (good mining practice)
m. Eksplorasi minyak bumi

Abu-abu adalah pasir


Biru adalah air
Hitam adalah minyak
Eksplorasi atau pencarian minyak bumi merupakan suatu kajian panjang yang melibatkan
beberapa bidang kajian kebumian dan ilmu eksak. Untuk kajian dasar, riset dilakukan oleh
para geologis, yaitu orang-orang yang menguasai ilmu kebumian. Mereka adalah orang yang
bertanggung jawab atas pencarian hidrokarbon tersebut.
Perlu diketahui bahwa minyak di dalam bumi bukan berupa wadah yang menyerupai danau,
namum berada di dalam pori-pori batuan bercampur bersama air. Ilustrasinya seperti gambar
di bawah ini
Kajian Geologi
Secara ilmu geologi, untuk menentukan suatu daerah mempunyai potensi akan minyak bumi,
maka ada beberapa kondisi yang harus ada di daerah tersebut. Jika salah satu saja tidak ada
maka daerah tersebut tidak potensial atau bahkan tidak mengandung hidrokarbon. Kondisi itu
adalah:
Batuan Sumber (Source Rock)
Yaitu batuan yang menjadi bahan baku pembentukan hidrokarbon. biasanya yang berperan
sebagai batuan sumber ini adalah serpih. batuan ini kaya akan kandungan unsur atom karbon
(C) yang didapat dari cangkang cangkang fosil yang terendapkan di batuan itu. Karbon
inilah yang akan menjadi unsur utama dalam rantai penyusun ikatan kimia hidrokarbon.
Tekanan dan Temperatur
Untuk mengubah fosil tersebut menjadi hidrokarbon, tekanan dan temperatur yang tinggi di
perlukan. Tekanan dan temperatur ini akan mengubah ikatan kimia karbon yang ada dibatuan
menjadi rantai hidrokarbon.
Migrasi
Hirdokarbon yang telah terbentuk dari proses di atas harus dapat berpindah ke tempat dimana
hidrokarbon memiliki nilai ekonomis untuk diproduksi. Di batuan sumbernya sendiri dapat
dikatakan tidak memungkinkan untuk di ekploitasi karena hidrokarbon di sana tidak
terakumulasi dan tidak dapat mengalir. Sehingga tahapan ini sangat penting untuk
menentukan kemungkinan eksploitasi hidrokarbon tersebut.
Reservoar
Adalah batuan yang merupakan wadah bagi hidrokarbon untuk berkumpul dari proses
migrasinya. Reservoar ini biasanya adalah batupasir dan batuan karbonat, karena kedua jenis
batu ini memiliki pori yang cukup besar untuk tersimpannya hidrokarbon. Reservoar sangat
penting karena pada batuan inilah minyak bumi di produksi.
Perangkap (Trap)
Sangat penting suatu reservoar di lindungi oleh batuan perangkap. tujuannya agar
hidrokarbon yang ada di reservoar itu terakumulasi di tempat itu saja. Jika perangkap ini
tidak ada maka hidrokarbon dapat mengalir ketempat lain yang berarti ke ekonomisannya

akan berkurang atau tidak ekonomis sama sekali. Perangkap dalam hidrokarbon terbagi 2
yaitu perangkap struktur dan perangkap stratigrafi.
Kajian geologi merupakan kajian regional, jika secara regional tidak memungkinkan untuk
mendapat hidrokarbon maka tidak ada gunanya untuk diteruskan. Jika semua kriteria di atas
terpenuhi maka daerah tersebut kemungkinan mempunyai potensi minyak bumi atau pun gas
bumi. Sedangkan untuk menentukan ekonomis atau tidaknya diperlukan kajian yang lebih
lanjut yang berkaitan dengan sifat fisik batuan. Maka penelitian dilanjutkan pada langkah
berikutnya.
Kajian Geofisika
setelah kajian secara regional dengan menggunakan metoda geologi dilakukan, dan hasilnya
mengindikasikan potensi hidrokarbon, maka tahap selanjutnya adalah tahapan kajian
geofisika. Pada tahapan ini metoda metoda khusus digunakan untuk mendapatkan data yang
lebih akurat guna memastikan keberadaan hidrokarbon dan kemungkinannya untuk dapat di
ekploitasi. Data-data yang dihasilkan dari pengukuran pengukuran merupakan cerminan
kondisi dan sifat-sifat batuan di dalam bumi. Ini penting sekali untuk mengetahui apakan
batuan tersebut memiliki sifat sifat sebagai batuan sumber, reservoar, dan batuan perangkap
atau hanya batuan yang tidak penting dalam artian hidrokarbon. Metoda-metoda ini
menggunakan prinsip-prinsip fisika yang digunakan sebagai aplikasi engineering.
Metoda tersebut adalah:
Eksplorasi seismik
Ini adalah ekplorasi yang dilakukan sebelum pengeboran. kajiannya meliputi daerah yang
luas. dari hasil kajian ini akan didapat gambaran lapisan batuan didalam bumi.
Data resistiviti
Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap batuan berpori akan di isi oleh fluida. Fluida ini bisa
berupa air, minyak atau gas. Membedakan kandungan fluida didalam batuan salah satunya
dengan menggunakan sifat resistan yang ada pada fluida. Fluida air memiliki nilai resistan
yang rendah dibandingkan dengan minyak, demikian pula nilai resistan minyak lebih rendah
dari pada gas. dari data log kita hanya bisa membedakan resistan rendah dan resistan tinggi,
bukan jenis fluida karena nilai resitan fluida berbeda beda dari tiap daerah. sebagai dasar
analisa fluida perlu kita ambil sampel fluida didalam batuan daerah tersebut sebagai acuan
kita dalam interpretasi jenis fluida dari data resistiviti yang kita miliki.
Data porositas
Data berat jenis
Data berat jenis
Data ini diambil dengan menggunakan alat logging dengan bantuan bahan radioaktif yang
memancarkan sinar gamma. Pantulan dari sinar ini akan menggambarkan berat jenis batuan.
Dapat kita bandingkan bila pori batuan berisi air dengan batuan berisi hidrokarbon akan
mempunyai berat jenis yang berbeda
Mengenal Batubara
Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki riwayat pemanfaatan
yang sangat panjang. Beberapa ahli sejarah yakin bahwa batubara pertama kali digunakan
secara komersial di Cina. Ada laporan yang menyatakan bahwa suatu tambang di timur laut
Cina menyediakan batu bara untuk mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang logam
sekitar tahun 1000 SM. Bahkan petunjuk paling awal tentang batubara ternyata berasal dari
filsuf dan ilmuwan Yunani yaitu Aristoteles, yang menyebutkan adanya arang seperti batu.
Abu batu bara yang ditemukan di reruntuhan bangunan bangsa Romawi di Inggris juga
menunjukkan bahwa batubara telah digunakan oleh bangsa Romawi pada tahun 400 SM.
Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama penambangan batu bara di
Eropa, bahkan suatu perdagangan internasional batu bara laut dari lapisan batu bara yang
tersingkap di pantai Inggris dikumpulkan dan diekspor ke Belgia. Selama Revolusi Industri

pada abad 18 dan 19, kebutuhan akan batubara amat mendesak. Penemuan revolusional
mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan pada tahun 1769, sangat berperan dalam
pertumbuhan penggunaan batu bara. Oleh karena itu, riwayat penambangan dan penggunaan
batu bara tidak dapat dilepaskan dari sejarah Revolusi Industri, terutama terkait dengan
produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.
Namun tingkat penggunaan batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang seiring
dengan semakin meningkatnya pemakaian minyak. Dan akhirnya, sejak tahun 1960 minyak
menempati posisi paling atas sebagai sumber energi primer menggantikan batubara.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa batubara akhirnya tidak berperan sama sekali
sebagai salah satu sumber energi primer.
Krisis minyak pada tahun 1973 menyadarkan banyak pihak bahwa ketergantungan yang
berlebihan pada salah satu sumber energi primer, dalam hal ini minyak, akan menyulitkan
upaya pemenuhan pasokan energi yang kontinyu. Selain itu, labilnya kondisi keamanan di
Timur Tengah yang merupakan produsen minyak terbesar juga sangat berpengaruh pada
fluktuasi harga maupun stabilitas pasokan. Keadaan inilah yang kemudian mengembalikan
pamor batubara sebagai alternatif sumber energi primer, disamping faktor faktor berikut ini:
Cadangan batubara sangat banyak dan tersebar luas.
Diperkirakan terdapat lebih dari 984 milyar ton cadangan batubara terbukti (proven coal
reserves) di seluruh dunia yang tersebar di lebih dari 70 negara. Dengan asumsi tingkat
produksi pada tahun 2004 yaitu sekitar 4.63 milyar ton per tahun untuk produksi batubara
keras (hard coal) dan 879 juta ton per tahun untuk batubara muda (brown coal), maka
cadangan batubara diperkirakan dapat bertahan hingga 164 tahun. Sebaliknya, dengan tingkat
produksi pada saat ini, minyak diperkirakan akan habis dalam waktu 41 tahun, sedangkan gas
adalah 67 tahun. Disamping itu, sebaran cadangannya pun terbatas, dimana 68% cadangan
minyak dan 67% cadangan gas dunia terkonsentrasi di Timur Tengah dan Rusia.
Negara-negara maju dan negara-negara berkembang terkemuka memiliki banyak cadangan
batubara.
Berdasarkan data dari BP Statistical Review of Energy 2004, pada tahun 2003, 8 besar negara
negara dengan cadangan batubara terbanyak adalah Amerika Serikat, Rusia, China, India,
Australia, Jerman, Afrika Selatan, dan
Ukraina.
Batubara dapat diperoleh dari banyak sumber di pasar dunia dengan pasokan yang stabil.
Harga batubara yang murah dibandingkan dengan minyak dan gas.
Batubara aman untuk ditransportasikan dan disimpan.
Batubara dapat ditumpuk di sekitar tambang, pembangkit listrik, atau lokasi sementara.
Teknologi pembangkit listrik tenaga uap batubara sudah teruji dan handal.
Kualitas batubara tidak banyak terpengaruh oleh cuaca maupun hujan.
Pengaruh pemanfaatan batubara terhadap perubahan lingkungan sudah dipahami dan
dipelajari secara luas, sehingga teknologi batubara bersih (clean coal technology) dapat
dikembangkan dan diaplikasikan.
Melihat pemaparan di atas, dapat dimengerti bahwa peranan batubara dalam penyediaan
kebutuhan energi sangatlah penting. Disini penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang
hal tersebut, tapi akan mengenalkan tentang batubara dan parameter umum yang menjadi
penilaian kualitas batubara.
Pembentukan Batubara
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba
yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang
berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan
bakar fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan
pembatubaraan (coalification).

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi
tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi)
tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang
berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacammacam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan
batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period)
dikenal sebagai zaman batu bara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta
tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan
serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik. Proses awalnya,
endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu
bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah
batu bara dengan jenis maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka
batu bara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas
organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous).
Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan
warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite).
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membentuk antrasit.
Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan
konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh
analisis dari masing masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan.
Imam Budi Raharjo, Entrepreneur di bidang peralatan tambang batubara. Email:
imamharjo@yahoo.com
Mengenal Bumi Lebih Dekat
SEBAGAI masyarakat ilmiah, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) berpe-ran dalam
pembangunan di segala bidang yang berhubungan dengan geologi di Indonesia. Kajian-kajian
ilmiah yang dikemukakan para pakar geologi telah ikut memajukan perkembangan
pendayagunaan aspek geologi dalam pembangunan nasional yang notabene untuk
kesejahteraan masyarakat. Bagi masyarakat umum, bisa jadi kiprah yang dilakukan IAGI
tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya, karena fungsi yang dijalankan IAGI
adalah lebih kepada pengembangan keprofesian bidang geologi.
Geologi, apa itu?
Biasanya kata geologi sering diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tanah dan batu-batuan.
Secara lebih lengkap, geologi adalah ilmu yang mempelajari Bumi dalam hal mulajadi,
struktur, komposisi, sejarah perkembangannya dan proses-proses yang berlangsung di dalam
dan di permukaannya, sehingga Bumi mencapai bentuknya yang sekarang.
Benda geologi yang paling sering diamati adalah yang sehari-hari kita sebut sebagai batu
atau batuan. Melalui penyelidikan batuan yang dilakukan dengan berbagai cara dan peralatan,
maka diketahuilah berbagai gejala alam, seperti gempa bumi, letusan gunung api,
pembentukan mineral, minyak dan gas bumi, dan peristiwa alam lainnya.
Sederhananya, Bumi selain menyimpan kandungan sumber daya alam, Bumi pun memiliki
potensi kebencanaan. Begitu pula Kepulauan Indonesia yang terbentuk sejak jutaan tahun
yang lalu adalah wilayah yang secara geologis selain menyimpan berbagai sumber daya mineral dan energi juga merupakan wilayah yang berpotensi sekaligus rawan bencana, antara
lain gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir dan tanah longsor.
Banjir dan tanah longsor
Di antara bentuk bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia adalah banjir dan tanah
longsor. Peristiwa banjir dan tanah longsor, apakah murni sebagai fenomena alam atau karena

ada campur tangan manusia, memang bisa menjadi perdebatan panjang. Banjir dan tanah
longsor adalah persoalan yang selalu membuntuti kita sepanjang tahun, khususnya pada satu
dekade terakhir ini. Di musim hujan, banyak daerah di Indonesia yang dilanda banjir dan
tanah longsor, sebaliknya di musim ke-ring banyak orang berteriak kekurangan air.
Menurut Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(Bakornas PBP), bencana alam yang berkaitan dengan kebumian pada periode 1998 hingga
Mei 2004 telah merenggut korban jiwa sebanyak 2232 orang. Dari jumlah korban tersebut
yang paling banyak adalah akibat bencana banjir (1.117 orang) dengan jumlah kejadian
sebanyak 379 kali. Korban berikutnya adalah akibat dari bencana tanah longsor (765 orang;
288 kejadian).
Sedangkan korban akibat bencana gempa bumi mencapai 350 orang dengan 52 kali kejadian,
serta dari bencana gunung api adalah dua orang di antara 17 kali kejadian. Sementara itu,
penanggulangan bencana di Indonesia lebih banyak pada upaya tanggap darurat di setiap
kejadian pascabencana. Menyadari hal ini, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh
pengetahuan tentang fenomena alam yang dapat menimbulkan bencana itu, sebagai upaya
mengantisipasi bencana.
Mengenal lebih dekat
Menyimak bencana alam akibat kejadian banjir dan tanah longsor, atau bencana alam
lainnya, kita patut berpikir, mengapa muncul bencana alam? Bagaimana sesungguhnya
fenomena alam itu terjadi? Dengan mencoba mengenal Bumi lebih dekat, kita akan melihat
Bumi selain mengandung bahan-bahan sumber daya mineral dan energi yang kita butuhkan,
Bumi pun harus dicermati karena ia menyimpan potensi kebencanaan. Dan sudah selayaknya
masyarakat umum termasuk anak-anak diperkenalkan dengan pengetahuan dasar ilmu
kebumian.
Sebagai contoh, untuk lebih mengembangkan kreativitas anak-anak, kita dapat mengajaknya
melakukan percobaan tentang peristiwa erosi tanah. Material yang dibutuhkan adalah sebuah
kaleng biskuit yang dipotong diagonal menjadi dua bagian dan ke dalam rongganya diisi
tanah hingga membentuk lereng. Salah satu lereng itu kita tanami dengan rumput. Setelah
rumput tumbuh subur kemudian lakukan percobaan berikut ini. Hujani kedua lereng itu
dengan air mancur dari air yang diisi pada kaleng susu yang dilubangi.
Apa yang terjadi? Lereng yang mana yang mudah tererosi? Lumpur dan air pada lereng yang
mana yang mudah menggelontor ke bawah? Silakan anak-anak memperoleh kesempatan
untuk mengamati dan menyimpulkannya. Dengan melakukan percobaan semacam ini,
diharapkan anak-anak dapat meresapinya, bagaimana peristiwa erosi terjadi, terutama pada
kejadian sesungguhnya di alam.
Berbagai kegiatan yang pada intinya mengenal bumi lebih dekat, baik yang berhubungan
dengan geologi maupun ilmu hayati, bukan tidak ada yang melakukannya. Lihat saja
misalnya, aktivitas sekolah yang berorientasi ke alam (Sekolah Alam), kegiatan ecoschool
yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa di ITB bagi siswa SMP, klub Bicons (Bird
Conservation Society) Mahasiswa Biologi Unpad, pendidikan tentang Gunung Merapi oleh
Pusat Studi Bencana UPN-Veteran Yogyakarta bagi masyarakat sekitar Gunung Merapi, dan
yang lainnya, termasuk kegiatan sosialisasi geologi yang dilaksanakan IAGI.
Di mana mengamatinya?
Kita juga dapat mengamati Bumi di hotel, di mal, di gedung-gedung pertokoan atau di
gedung perkantoran. Lho, kok? Benar. kita dapat mempelajari tekstur dan mineral penyusun
batuan granit pada permukaan dinding atau lantai gra-nit di sebuah hotel atau mal yang
berkaitan dengan geologi. Dari tekstur dan susunan mine-ral itulah dapat diketahui,
bagaimana batuan itu terbentuk. Kita juga bisa mengamati fosil foraminifera, koral atau
algae pada batu gam-ping yang ditempel di dinding dan lantai gedung pertokoan, gedung

perkantoran atau rumah sendiri. Kita dapat mengetahui tentang lingkungan laut di mana
batuan itu terbentuk dahulu kala berdasarkan fosil-fosil itu.
Untuk mengamati Bumi secara lebih lengkap dan sistematik, kita bisa mengunjungi Museum
Geologi di Bandung. Di museum ini kita dapat belajar mengenali kehidupan prasejarah,
proses gunung api, cara terbentuknya mineral, minyak bumi, juga benda dan peralatan yang
kita pakai sehari-hari, yang tidak pernah dikira barang-barang itu berasal dari bahan dan
mineral dari perut Bumi. Kita dapat pula mengajak anak-anak mengamati Bumi secara
langsung di alam, atau seraya berekreasi ke tempat-tempat wisata alam seperti Gunung
Merapi, Gunung Tangkuban Perahu, tempat wisata air panas Ciater, dan di tempat yang lain.
Untuk mengenal Bumi dapat dimulai dengan mengenal batuan, dan itu bisa dilakukan dengan
cara yang menyenangkan. Salah satu tempat menyaksikan bermacam batuan bermunculan isi
perut Bumi ke permukaan adalah daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Di sana
anak-anak dapat menikmati mengumpulkan kerikil berbagai macam batuan pembentuk Bumi
yang berserakan di Sungai Luk Ulo, atau bahkan mereka bisa menjejakkan kaki di atas
batuan lantai samudra purba.
Peran IAGI
Tujuan dari memperkenalkan Bumi lebih dekat kepada masyarakat umum adalah memberi
pemahaman. Bumi selain sebagai tempat memperoleh sumber daya alam untuk kehidupan,
Bumi pun bisa memunculkan bencana. Selain itu, eksploitasi sumber daya alam tanpa
didukung dengan kaidah-kaidah pengelolaan berkelanjutan dan kelestarian alam hanya akan
merusak keseimbangan tatanan alam.
Pentingnya menjaga kelestarian Bumi dalam skala regional dapat dimulai dengan tindakan
memahami lingkungan yang menyentuh persoalan-persoalan dari skala lokal, yaitu dari skala
hunian manusia. Khusus kepada anak-anak, pengenalan ini dinilai tepat sasaran, karena
pemahaman tentang alam sejak usia dini diprediksi akan lebih memberi ingatan tentang alam
yang akan melekat hingga mereka besar nanti.
IAGI sebagai salah satu asosiasi profesi bidang kebumian memiliki peran besar untuk
menyebarluaskan keahliannya kepada masyarakat umum. Agar kiprah IAGI terasa lebih
membumi, IAGI perlu meningkatkan porsi kegiatan sosialisasi geologi dalam dua arah.
Kepada pemerintah, IAGI bisa mengusulkan tentang materi-materi ilmu kebumian ke dalam
kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Sementara bagi masyarakat umum, IAGI melalui
anggota-anggotanya dapat turun langsung atau melalui media masa secara simultan dan
terprogram menyosialisasikan geologi.
Kita semua tentu berharap agar tidak terjadi kesenjangan antara (meriahnya) aktivitas IAGI
dengan (dinginnya) pemahaman masyarakat Indonesia akan peran IAGI dan arti penting
geologi untuk kehidupan.***
Dr.Ir. Munasri,
LITBANG TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BATUBARA
7 Oktober 2006
Kegiatan Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara meliputi litbang,
perekayasaan dan pelayanan jasa di bidang karakterisasi, teknologi pengolahan, konversi dan
pembakaran batubara.
Litbang ini dilakukan secara terpadu dengan kelompok-kelompok litbang lain yang ada di
tekMIRA dengan sasaran utama mendukung program pemerintah dalam mengurangi subsidi
BBM/kayu bakar melalui diversifikasi energi, peningkatan penggunaan batubara dalam
negeri, penghematan dan peningkatan devisa melalui ekspor serta peningkatan PNBP seperti
terlihat dalam Gambar 1.
Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara telah dirintis sejak awal tahun
1970-an, dan terus berkembang mengingat batu bara yang semula hanya dibakar untuk

diambil panasnya, kemudian diproses untuk mendapatkan batubara dengan kualitas yang
lebih baik atau bahan yang lebih bersih dan ramah terhadap lingkungan.
Sampai dengan akhir tahun 1980 sebagian besar kegiatan litbang teknologi pengolahan dan
pemanfaatan batubara masih dalam skala laboratorium. Namun sesudah itu kegiatan litbang
sudah mengarah kepada aplikasi dengan membangun berbagai pilot plant yang diharapkan
dapat mengetahui optimalisasi proses, pengujian produk pada pengguna dan kelayakan
ekonomi dari proses tersebut.
Untuk mempercepat implementasi hasil litbang teknologi pengolahan dan pemanfaatan
batubara pada skala industri, tekMIRA sedang dan akan membangun beberapa pilot plant di
Palimanan Cirebon dalam suatu Pusat Teknologi Batubara Bersih yang disebut Clean Coal
Technology Centre atau disingkat Coal Centre.
Kegiatan unggulan Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara terdiri dari
peningkatan kualitas batubara peringkat rendah melalui proses Upgraded Brown Coal (UBC),
pengembangan briket, gasifikasi, pencairan dan pembuatan kokas. Sedangkan hasil yang
sudah dapat diimplementasikan diantaranya penggunaan briket untuk peternakan ayam,
pemindangan ikan, ekstraksi daun nilam dan penggunaan batubara sebagai bahan bakar
langsung pada industri bata, genteng, kapur dan industri gula merah.
Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara didukung oleh fasilitas :
Laboratorium penelitian dan penerapan.
Laboratorium pengujian sifat kimia dan fisika yang telah terakreditasi berdasarkan ISO
17025.
51 orang tenaga fungsional terdiri dari peneliti, perekayasa dan teknisi dari berbagai keahlian
berdasarkan disiplin ilmu, yang berbeda-beda antara lain : kimia dan fisika batubara,
pengolahan batu bara dan teknologi pemanfaatan batu bara.
Untuk lebih mempercepat program Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara
telah dilakukan kerjasama dengan berbagai institusi litbang baik di dalam negeri maupun luar
negeri, antara lain :
Pembangunan pilot plant briket bio batubara kerjasama dengan NEDO-METI, (Jepang).
Pembangunan pilot plant peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan proses UBC
kerjasama dengan Kobe Steel (Jepang), JCOAL (Jepang) dan BPPT.
Pencairan batubara Indonesia kerjasama dengan NEDO (Jepang) dan BPPT.
Daur ulang minyak bekas dengan menggunakan batubara sebagai absorban, kerjasama
dengan KOBE Steel (Jepang) dan LEMIGAS.
Proses pengeringan teh dengan batubara melalui gasifikasi kerjasama dengan PPTK
Gambung.
Pengujian sifat kimia dan fisika batubara kerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia, PTBA
dan perusahaan batubara lainnya.
Pembangunan dan kegiatan litbang pilot plant briket biobatubara dan pilot plant UBC
dilakukan di SENTRA TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA DI PALIMANAN
CIREBON.
Karya Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara yang meliputi teknologi
pengolahan, teknologi konversi dan teknologi pembakaran yang diaplikasikan, diantaranya :
1. Teknologi Pengolahan
Peningkatan kualitas batubara peringkat rendah dengan proses Upgraded Brown Coal (UBC).
Percobaan penerapan teknologi coal water fuel sebagai bahan bakar boiler pada industri
tekstil.
Pengembangan metode penurunan kadar natrium batubara Lati, Berau, Kalimantan Timur.
Pengembangan metode pencampuran batubara (coal blending) Kalimantan Tengah untuk
pembuatan kokas metalurgi.
Pencucian batubara.

Desulfurisasi limbah batubara dengan flotasi kolom.


2. Teknologi Konversi
Pengembangan briket kokas dari batubara dan green coke.
Proyek pencairan batubara 2002 : uji tuntas (due diligence) pre-FS Batu Bara Banko.
Pengembangan briket bio coal Palimanan.
Pemanfaatan produk gasifikasi batubara untuk pengeringan teh di Gambung Ciwidey, Jawa
Barat.
Briket kokas untuk pengecoran logam.
3. Teknologi Pemanfaatan Batubara
3.1. Bahan Bakar Langsung
Penyerapan gas SO2 dari hasil pembakaran briket bio batubara dengan unggulan zeolit.
Pengembangan model fisik tungku pembakaran briket biocoal untuk industri rumah tangga,
pembakaran bata/genteng, boiler rotan dan pengering bawang.
Tungku hemat energi untuk industri rumah tangga dengan bahan bakar batubara/briket bio
batubara.
Pembakaran kapur dalam tungku tegak system terus menerus skala komersial dengan
batubara halus menggunakan pembakar siklon.
Tungku pembuatan gula merah dengan bahan bakar batubara.
Pembakaran kapur dalam tungku system berkala dengan kombinasi bahan bakar batubara
kayu.
Pembakaran bata-genteng dengan batubara.
3.2. Non Bahan Bakar
Pengkajian pemanfaatan batubara Kalimantan Selatan untuk pembuatan karbon aktif.
Daur ulang minyak pelumas bekas dengan menggunakan batubara peringkat rendah sebagai
penyerap.
sumber : Tekmira http://www.tekmira.esdm.go.id/
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Asal-usul Peat (Gambut)
Lapisan batubara umumnya berasal dari peat(gambut) deposit di suatu rawa. Faktor-faktor
penting dalam pembentukkan peat:
Evolusi perkembangan flora
Iklim
Geografi dan struktur daerah
Evolusi Perkembangan Flora
Batubara tertua yang berumur Hurorian Tengah dari Michigan berasal dari alga dan fungi.
Sedangkan pada jaman Devon Bawah dan Atas, batubara kebanyakan berasal dari
Psilophites (spt: Taeniocrada decheniana (lower devon)). Kebanyakan batubara dari jaman
ini memiliki rata-rata lapisan yang tipis(3-4m) dan tidak punya nilai ekonomis.
Pada Carbon Atas, tumbuhan mulai tinggi-tinggi hingga mencapai ketinggian lebih dari 30m
namun belum seberagam sekarang. Pada jaman ini didominasi oleh: Lepidodendron,
Sigillaria, Leginopteris oldhamia, Calamitea. Jaman Upper Carboniferous dikenal sebagai
perioda bituminous coal.
Lapisan penting batubara berumur Perm terdapat di USSR, dominan terbentuk dari
Gymnosperm cordaites.
Pada jaman Mesozoic terutama Jura dan Cretaceous Bawah, Gymnosperm(Ginkcophyta,
Cycadophyta dan Cornifers) merupakan tumbuhan penting pembentuk batubara, terutama di
Siberia dan Asia Tengah.
Pada rawa-rawa berumur Cretaceous Atas dan Tersier tumbuhan Angiosperm tumbuh dengan
pesat di N. America, Europe, Japan dan Australia.

Jika dibandingkan dengan tumbuhan pada masa Carbon, tumbuhan pada jaman Mesozoic
terutama jaman Tersier lebih beragam dan spesifik serta menghasilkan deposit peat yang
tebal dan beragam dalam tipe fasiesnya.
Perkembangan dan evolusi flora akan berpengaruh pada keragaman jenis dan tipe batubara
yang dihasilkan.
Iklim
Pada iklim yang lebih hangat dan basah tumbuhan tumbuh lebih cepat dan beragam. Lapisanlapisan kaya batubara berumur Carbon Atas, Cretaceous Atas dan Tersier Awal diendapkan
pada iklim seperti ini. Namun pada hemisphere selatan dan Siberia juga terdapat endapan
batubara yang kaya yang diendapakan pada iklim yang sedang hingga dingin, contohnya
batubara inter-post glacial PermoCarbon Gondwana (dari Ganganopteris glossopteris) dan
batubara umur Perm dan Jura Bawah dari Angara konitnen.
Lapisan batubara yang diendapkan pada iklim hangat dan basah biasanya lebih terang dan
tebal dibandingkan dengan yang diendapkan pada iklim basah.
Paleogeografi dan Tectonic Requirement
Formasi lapisan tergantung pada hubungan paleogeografi dan struktur pada daerah
sedimentasi. Pembentukan peat(gambut) terjadi pada daerah yang depresi permukaan dan
memerlukan muka air yang relatif tetap sepanjang tahun diatas atau minimal sama dengan
permukaan tanah. Kondisi ini banyak muncul pada flat coastal area dimana banyak rawa yang
berasosiasi dengan persisir pantai. Selain itu rawa-rawa juga muncul di darat(shore or inland
lakes). Tergantung pada posisi asli geografinya, endapan batubara paralic(sea coast) dan
limnic(inland) adalah berbeda.
Paralic coal swamps memiliki sedikit pohon atau bahkan tanpa pohon dan terbentuk diluar
distal margin pada delta. Pembentukkannya merupakan akibat dari regresi dan transgresi air
laut. Banyak coastal swamps besar yang berkembang dibawah perlindungan sand bars dan
pits sehingga dapat menghasilkan endapan batubara yang tebal.
Back samps terbentuk dibelakang tanggul alam sungai besar. Pada back swamps,
peats(gambut) kaya dengan mineral matter akibat banjir yang sering terjadi. Peat deposits
hanya dapat terawetkan pada daerah subsidence. Akibatnya endapan yang kaya batubara
banyak berhubungan dengan daerah ini, seperti yang sering muncul pada foredeep pada suatu
pegunungan lipatan yang besar.
Sikuen sediment yang tebal dimana didalamnya terdapat lapisan tipis batubara(<2m) dengan
penyebaran yang besar dan keberadaan intercalation dari marine bed adalah karakteristik dari
batubara yang diendapkan di foredeeps dari suatu pegunungan lipatan yang besar. Cyclothem
adalah perulangan antara peat dengan inorganic sediment dan sekuen ini sering berulang.
Pada bagian backdeeps dari suatu pegunungan lipatan yang besar, subsidence biasanya lebih
sedikit dan jumlah lapisan batubara lebih sedikit. Ketika paralic coals diendapkan di
foredeeps, kebanyakan limnic coals diendapkan di dalam cekungan kontinen yang besar.
Limnic coals memiliki karakter: terbentuk pada kontinen graben, jumlah lapisannya sedikit
tapi setiap lapisannya sangat tebal.
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Disimpan di Kuliah Umum
5 Komentar
UJI MEKANIK
7 Oktober 2006
Selain analisis kimia, juga dilakukan sejumlah tes untuk menentukan parameter fisik
batubara, seperti uji densitas relatif , distribusi ukuran partikel, dll.
1. Densitas relatif:
Densitas relatif batubara tergantung pada rank dan mineral pengotornya. Data densitas relatif
diperlukan untuk membuat sampel komposit dalam menentukan banyaknya asap (seam).

Selain itu diperlukan juga sebagai faktor penting dalam mengubah cadangan batubara dari
unit volume menjadi unit massa.
Penentuan dilakukan dengan menghitung banyaknya kehilangan berat pada saat dicelupkan
ke dalam air. Cara terbaik adalah dari data berat batubara dengan menggunakan piknometer.
Grafik di bawah ini memberikan hubungan antara densitas relatif terhadap kandungan abu
untuk batubara dan serpih karbon di cekunagn Agades.
2. Distribusi Ukuran Partikel:
Distribusi ukuran pertikal pada batubara yang rusak tergantung pada metode penambangan,
cara penanganannya, serta derajat perekahan material tersebut. Distribusi ukuran merupakan
faktor kritis yang dapat menunjukkan bagian tumbuhan penyusunnya. Penentuan dilakukan
dengan metode ayakan. Grafik data pengeplotan menghasilkan data rata-rata ukuran partikel
dan derajat keseragaman partikel.
3. Uji Pengapungan (Float-sink testing):
Uji ini dilakukan untuk menentukan distribusi densitas partikel sampel dengan cara
mencelupkan sampel batubara ke dalam larutan yang diketahui densitas relatif. Selain itu
dilakukan juga penelitian lain seperti penghitungan energi spesifik.
Larutan yang digunakan biasanya mempunyai densitas berkisar antara 1,3 2,0. Campuran
larutan organik ini antara lain tetrabromoethane (R.D.2,89), perchlorethylene (R.D.1,60), dan
Toluena (R.D.1,60) yang sering digunakan karena viscositasnya rendah dan sifat pengeringan
yang baik.
Grafik yang diplot menunjukkan persentase material yang mengapung dan yang tenggelam
yang dihitung dalam basis kumulatif. Akhirnya dapat digunakan untuk menentukan fraksi
pengapungan dengan kandungan spesifik abu.
4. Uji Kerusakan Serpih (Shale breakdown test):
Ada beberapa masalah pada saat ekstraksi batubara, misalnya akibat pengotor (abu,dll) yang
biasanya diakibat oleh hadirnya mineral lempung, contoh montmorilonit pada komponen
non-batubara. Jumlah shale breakdown didapat dari proporsi material yang ditentukan dengan
analisis sedimentasi residu.
UJI LAINNYA UNTUK KARBONISASI
Karbonisasi adalah proses pemanasan batubara pada temperatur beberapa ratus derajat untuk
menghasilkan material-material:
Padatan yang mengalami pengayaan karbon yang disebut coke.
Larutan yang merupakan campuran hidrokarbon tar dan amoniacal liquor.
Hidrokarbon lain dalam bentuk gas yang didinginkam ke temperatur normal.
1. Free Swelling Index:
Tes ini dilakukan untuk menentukan angka peleburan dengan cara memanaskan sejumlah
sampel pada temperatur peleburan normal (kira-kira 800C). Setelah pemanasan atau sampai
semua semua volatile dikelurkan, sejumlah coke tersisa dari peleburan. Swelling number
dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel dan kecepatan pemanasan.
2. Tes karbonisasi Gray-King dan tipe coke:
Tes Gray-King menentukan jumlah padatan, larutan dan gas yang diproduksikan akibat
karbonisasi. Tes dilakukan dengan memenaskan sampel didalam tabung tertutup dari
temperatur 300C menjadi 600C selama 1 jam untuk karbonisasi temperatur rendah atau dari
300C menjadi 900C selama 2 jam untuk karbonisasi temperatur tinggi.
3. Tes Karbonisasi Fischer:
Prinsipnya sama dengan metode Gray-King, perbedaan terletak pada peralatan dan kecepatan
pemanasan. Pemanasan dilakukan di dalam tabung alumunium selama 80 menit. Tar dan
liquor dikondensasikan ke dalam air dingin. Akhirnya didapatkan persentase coke, tar dan, air
sedangkan jumlah gas didapat dengan cara mengurangkannya. Tes Fischer umum digunakan
untuk batubara rank rendah (brown coal dan lignit) untuk karbonisasi temperatur rendah.

Data perbandingan Tes Gray-King dan Fischer:


4. Plastometer Gieseler:
Plastometer Gieseler adalah viskometer yang memantau viscositas sampel batubara yang
telah dileburkan. Dari tes ini direkam data-data sbb:
Initial softening temperature.
Temperatur viscositas maksimum
Viskositas maksimum.
Temperatur pemadatan resolidifiation temperatur.
5. Indeks Roga:
Indeks Roga menyatakan caking capacity. Ditentukan dengan cara memanaskan 1 gram
sampel batubara yang dicampur dengan 5 gram antrasit pada 850C selama 15 menit.
6. Tes lain yang dilakukan:
Biasanya dilakukan untuk menentukan:
Komposisi kimia (analisis proksimat, total belerang, analisis abu,dll)
Parameter fisik (distribusi ukuran, densitas relatif)
Uji kekuatan.
Tes Metalurgi.
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
BATUBARA SEBAGAI SEDIMEN ORGANIK
7 Oktober 2006
Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri dari
kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang
membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawarawa. Kondisi tersebut yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan
yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara.
Selain tumbuhan yang ditemukan bermacam-macam, tingkat kematangan juga bervariasi,
karena dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lokal. Kondisi lokal ini biasanya kandungan oksigen,
tingkat keasaman, dan kehadiran mikroba. Pada umumnya sisa-sisa tanaman tersebut dapat
berupa pepohonan, ganggang, lumut, bunga, serta tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa.
Ditemukannya jenis flora yang terdapat pada sebuah lapisan batubara tergantung pada kondisi
iklim setempat. Dalam suatu cebakan yang sama, sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat
berbeda, selain karena tumbuhan asalnya yang mungkin berbeda, juga karena banyaknya
reaksi kimia yang mempengaruhi kematangan suatu batubara.
Secara umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi tertentu yang
mendukung (banyak air), pembentukan dari peat (gambut) umumnya terjadi. Dalam hal ini
peat tidak dimasukkan sebagai golongan batubara, namun terbentuknya peat merupakan
tahap awal dari terbentuknya batubara. Proses pembentukan batubara sendiri secara singkat
dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa tumbuhan yang ada, mulai dari
pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi berbagai macam tingkat
batubara, disebut juga sebagai proses coalifikasi, yang kemudian berubah menjadi antrasit.
Pembentukan batubara ini sangat menentukan kualitas batubara, dimana proses yang
berlangsung selain melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada
keadaan pada waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Jadi
pembentukan batubara berlangsung dengan penimbunan akumulasi dari sisa tumbuhan yang
mengakibatkan perubahan seperti pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan kandungan
air, dalam tahap awal pengaruh dari mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat
penting.
PENYUSUN BATUBARA
Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya cetakan
tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan

berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun
komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan
penyusunnya.
Lignin
Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah susunan sisa
tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan molekul umum dari lignin belum
diketahui dengan pasti, namun susunannya dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada
berbagai macam jenis tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput mempunyai
susunan p-koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya lignin merupakan polimer dari
satu atau beberapa jenis alkohol.
Hingga saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa lignin merupakan
unsur organik utama yang menyusun batubara.
Karbohidrat
Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang mengandung antara lima sampai
delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul sebagai kombinasi antara gugus karbonil
dengan hidroksil yang membentuk siklus hemiketal. Bentuk lainnya mucul sebagai
disakarida, trisakarida, ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya
menyusun batubara, karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling banyak mengandung
polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan membentuk batubara.
Protein
Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu hadir sebagai
protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein pada umumnya adalah rantai asam
amino yang dihubungkan oleh rantai amida. Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai
steroid, lilin.
Material Organik Lain
Resin
Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka pada batangnya.
Tanin
Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian batangnya.
Alkaloida
Alkaloida merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun batubara.
Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang muncul dalam bentuk rantai.
Porphirin
Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole. Porphirin
biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang
tergabung dengan jembatan methin. Kandungan unsur porphirin dalam batubara ini telah
diajukan sebagai marker yang sangat penting untuk mendeterminasi perkembangan dari
proses coalifikasi.
Hidrokarbon
Unsur ini terdiri atas bisiklik alkali, hidrokarbon terpentin, dan pigmen kartenoid. Sebagai
tambahan, munculnya turunan picene yang mirip dengan sistem aromatik polinuklir dalam
ekstrak batubara dijadikan tanda inklusi material sterane-type dalam pembentukan batubara.
Ini menandakan bahwa struktur rangka tetap utuh selama proses pematangan, dan tidak
adanya perubahan serta penambahan struktur rangka yang baru.
Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)
Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya material inorganik
yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
unsur mineral inheren dan unsur mineral eksternal. Unsur mineral inheren adalah material
inorganik yang berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam
lapisan batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur yang dibawa dari luar

kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah yang menyusun bagian inorganik dalam
sebuah lapisan batubara.
PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA
Pembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi bahwa material tanaman
terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama, mengalami peluruhan sebagian kemudian
hasilnya teralterasi oleh berbagai macam proses kimia dan fisika. Selain itu juga, dinyatakan
bahwa proses pembentukan batubara harus ditandai dengan terbentuknya peat.
Pembentukan Lapisan Source
Teori Rawa Peat (Gambut) Autocthon
Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batubara berasal dari akumulasi sisa-sisa tanaman
yang kemudian tertutup oleh sedimen diatasnya dalam suatu area yang sama. Dan dalam
pembentukannya harus mempunyai waktu geologi yang cukup, yang kemudian teralterasi
menjadi tahapan batubara yang dimulai dengan terbentuknya peat yang kemudian berlanjut
dengan berbagai macam kualitas antrasit. Kelemahan dari teori ini adalah tidak
mengakomodasi adanya transportasi yang bisa menyebabkan banyaknya kandungan mineral
dalam batubara.
Teori Transportasi Allotocton
Teori ini mengungkapkan bahwa pembentukan batubara bukan berasal dari
degradasi/peluruhan sisa-sisa tanaman yang insitu dalam sebuah lingkungan rawa peat,
melainkan akumulasi dari transportasi material yang terkumpul didalam lingkungan aqueous
seperti danau, laut, delta, hutan bakau. Teori ini menjelaskan bahwa terjadi proses yang
berbeda untuk setiap jenis batubara yang berbeda pula.
Proses Geokimia dan Metamorfosis
Setelah terbentuknya lapisan source, maka berlangsunglah berbagai macam proses. Proses
pertama adalah diagenesis, berlangsung pada kondisi temperatur dan tekanan yang normal
dan juga melibatkan proses biokimia. Hasilnya adalah proses pembentukan batubara akan
terjadi, dan bahkan akan terbentuk dalam lapisan itu sendiri. Hasil dari proses awal ini adalah
peat, atau material lignit yang lunak. Dalam tahap ini proses biokimia mendominasi, yang
mengakibatkan kurangnya kandungan oksigen. Setelah tahap biokimia ini selesai maka
berikutnya prosesnya didominasi oleh proses fisik dan kimia yang ditentukan oleh kondisi
temperatur dan tekanan. Temperatur dan tekanan berperan penting karena kenaikan
temperatur akan mempercepat proses reaksi, dan tekanan memungkinkan reaksi terjadi dan
menghasilkan unsur-unsur gas. Proses metamorfisme (temperatur dan tekanan) ini terjadi
karena penimbunan material pada suatu kedalaman tertentu atau karena pergerakan bumi
secara terus-menerus didalam waktu dalam skala waktu geologi.
HETEROATOM DALAM BATUBARA
Heteroatom dalam batubara bisa berasal dari dalam (sisa-sisa tumbuhan) dan berasal dari
luar yang masuk selama terjadinya proses pematangan.
Nitrogen pada batubara pada umumnya ditemukan dengan kisaran 0,5 1,5 % w/w yang
kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk selama proses pembentukan batubara.
Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 30 % w/w terdapat pada lignit atau 1,5 2,5
% w/w untuk antrasit, berasal dari bermacam-macam material penyusun tumbuhan yang
terakumulasi ataupun berasal dari inklusi oksigen yang terjadi pada saat kontak lapisan
source dengan oksigen di udara terbuka atau air pada saat terjadinya sedimentasi.
Variasi kandungan sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 5 % w/w yang muncul dalam
bentuk sulfur organik dan sulfur inorganik yang umumnya muncul dalam bentuk pirit.
Sumber sulfur dalam batubara berasal dari berbagai sumber. Pada batubara dengan
kandungan sulfur rendah, sulfurnya berasal material tumbuhan penyusun batubara.
Sedangkan untuk batubara dengan kandungan sulfur menengah-tinggi, sulfurnya berasal dari
air laut.

Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya


Sumber Daya dan Cadangan
23 September 2006
Sumber daya batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan batubara yang
diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batu bara ini dibagi dalam kelas-kelas sumber
daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi
geologi/tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini
dapat meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan
layak.
Cadangan batubara (Coal Reserves) adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah
diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakan
dinyatakan layak untuk ditambang.
Klasifikasi sumber daya dan cadangan batubara didasarkan pada tingkat keyakinan geologi
dan kajian kelayakan. Pengelompokan tersebut mengandung dua aspek, yaitu aspek geologi
dan aspek ekonomi.
Kelas Sumber Daya
1. Sumber Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)
Sumber daya batu bara hipotetik adalah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari
daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan untuk tahap penyelidikan survei tinjau.
Sejumlah kelas sumber daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan batubara yg
diharapkan mungkin ada di daerah atau wilayah batubara yang sama dibawah kondisi geologi
atau perluasan dari sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya, sumberdaya berada pada
daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk ketebalan dan
keberadaan batubara diambil dari distant outcrops, pertambangan, lubang-lubang galian, serta
sumur-sumur. Jika eksplorasi menyatakan bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan
mengungkapkan informasi yg cukup tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka
akan di klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi (identified resources).
2. Sumber Daya Batubara Tereka (inferred Coal Resource)
Sumber daya batu bara tereka adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi.
Titik pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari sumber daya
tidak dapat diandalkan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah
penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi
dalam daerah antara 1,2 km 4,8 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35
cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150
cm atau lebih.
3. Sumber Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)
Sumber daya batu bara tertunjuk adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan.
Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran secara relistik dari
ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah insitu batubara dan dengan alasan sumber daya
yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika eksplorasi yang lebih detail
dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup,
rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti gteologi dalam
daerah antara 0,4 km 1,2 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau
lebih, sib bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.
4. Sumber Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)

Sumber daya batu bara terukur adalah jumlah batu bara di daerah peyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syaratsyarat yang
ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.
Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan penafsiran
ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah sumber daya ini
ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik
pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4 km. Termasuk antrasit
dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm
atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.
Penghitungan Sumber Daya
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara di
daerah penelitian. Pemakaian metode disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang
diperoleh, dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut penambangan).
Karena data yang digunakan dalam penghitungan hanya berupa data singkapan, maka metode
yang digunakan untuk penghitungan sumber daya daerah penelitian adalah metode Circular
(USGS) (Gambar).
Aturan Penghitungan Sumberdaya Batubara dengan Metode Circular (USGS) (Wood et al.,
1983)
Penghitungan sumber daya batubara menurut USGS dapat dihitung dengan rumus
Tonnase batubara = A x B x C, dimana
A = bobot ketebalan rata-rata batubara dalam inci, feet, cm atau meter
B = berat batubara per stuan volume yang sesuai atau metric ton.
C = area batubara dalam acre atau hektar
Kemiringan lapisan batubara juga memberikan pengaruh dalam perhitungan sumber daya
batubara. Bila lapisan batubara memiliki kemiringan yang berbeda-beda, maka perhitungan
dilakukan secara terpisah.
1.
Kemiringan 00 100
Perhitungan Tonase dilakukan langsung dengan menggunakan rumus Tonnase = ketebalan
batubara x berat jenis batubara x area batubara
2.
Kemiringan 100 300
Untuk kemiringan 100 300, tonase batubara harus dibagi dengan nilai cosinus kemiringan
lapisan batubara.
3.
Kemiringan > 300
Untuk kemiringan > 300, tonase batubara dikali dengan nilai cosinus kemiringan lapisan
batubara.
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Kualitas Batubara
23 September 2006
Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi
kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter penyusunnya,
serta oleh derajat coalification (rank).
Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara yang
diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan
untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed
carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan
kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur,
unsur tambahan dan juga unsur jarang.
Kualitas dan Klasifikasi Batubara
Kualitas batubara ditentukan dengan analisis batubara di laboraturium, diantaranya adalah
analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan

jumlah air, zat terbang, karbon padat, dan kadar abu, sedangkan analisis ultimat dilakukan
untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.
Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut menguntungkan
untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan batubara di daerah penelitian.
Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American Society for Testing and
Material (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)(Tabel 5.2). Klasifikasi ini dibuat
berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry, mineral matter free
(dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb) menjadi dry, mineral matter free (dmmf) maka
digunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983) :
dimana :
FC = % karbon padat (adb)
VM = % zat terbang (adb)
M = % air total (adb)
A = % Abu (adb)
S = % sulfur (adb)
Btu = british termal unit = 1,8185*CV adb
Tabel 5.2
Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)
Volatile
Fixed
Matter
Calorific Value Limits BTU
Carbon ,% ,
Limits, % , per pound (mmmf)
dmmf
dmmf
Class
Group
Equal
Equal Equal
or
Less Greater or
or
Less
Greater Than Than Less Greater
Than
Than Than
ThanAgglomerating Character
I Anthracite*
1.Meta-anthracite
98
2
nonagglomerating
2.Anthracite

92
98
2
8
3.SemianthraciteC

86
92
8
14
II Bituminous
1.Low volatile bituminous coal
78
86
14
22
2.Medium volatilebituminous coal

69
78
22
31
3.High volatile A bituminous coal
69
31
14000D
commonly
4.High volatile B bituminous coal
13000D
14000
agglomerating**E
5.High volatile C bituminous coal
11500
13000
10500
11500
agglomerating
III Subbituminous
1.Subbituminous A coal
10500
11500
2.Subbituminous B coal
9500
10500
3.Subbituminous C coal
8300
9500
nonagglomerating
IV. Lignite
1.Lignite A
6300
8300
1.Lignite B
6300
Contoh hasil analisa batubara
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Lingkungan Pengendapan Batubara
23 September 2006
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan
pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary

dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan


tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan,
komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan
suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan
secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana
terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat
terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan
limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di
lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat
dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.
Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk
batubara (Tabel 2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper
delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan
pengendapan mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara yang berbeda.
Tabel 2.1
Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara
(Diesel, 1992)
Environment
Subenvironment
Coal Characteristics
Gravelly braid plainBars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to
swamps, raised bogs
low TPI, low GI, low sulphur
Sandy braid plain Bars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to
swamp, raised bogs,
high TPI, low to medium GI,
low sulphur
Alluvial valley and channels, point bars, floodplains mainly bright coals, high TPI,
upper delta plain and basins, swamp, fens, raised medium to high GI, low
bogs
sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays,
mainly bright coals, low to
channel, swamps, fans and
medium TPI, high to very high
marshes
GI, high sulphur
Backbarrier strand Off-, near-, and backshore, tidal transgressive : mainly bright
plain
inlets, lagoons, fens, swamp, and coals, medium TPI, high GI,
marshes
high sulphur
regressive : mainly dull coals, low TPI and GI, low sulphurEstuarychannels, tidal flats, fens
and marshesmainly bright coal with high GI and medium TPI
Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood plain
dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk
delta dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).
Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di
atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain
ialah endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing
endapan tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen.
Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded
bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di
bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmenfragmen batubara dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara
berangsur menjadi endapan flood plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat
tanggul alam (natural levee) yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel.

Endapan levee yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan batulanau dengan struktur
sedimen ripple lamination dan paralel lamination.
Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase
play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus sedang dengan struktur sedimen
cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan
batulempung juga umum ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel
utamanya dan umumnya memperlihatkan pola mengasar ke atas.
Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain.
Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari
air limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara
berlapis.
Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena
lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat
cocok untuk akumulasi gambut.
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon keras
dan akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai
didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen,
1985).
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Disimpan di Kuliah Umum
Batubara
23 September 2006
Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya
merupakan bahan organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture.
Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit pohon, daun, akar,
struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain-lain. Selanjutnya bahan organik tersebut
mengalami berbagai tingkat pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan
sifat-sifat fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan lainnya.
Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan
tahap geokimia (pembatubaraan).
peatification
coalification
Endapan
organik
Gambut
Batubara
Biokimia
geokimia
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang
terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan
yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 10 meter. Material tumbuhan yang
busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk
menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach,
1982, op cit Susilawati 1992).
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika
yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur,
tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati
1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan
oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan
menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari
lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Up-grading Minyak Batubara
12 Juni 2005

PENGARANG :
Hartiniati
SUMBER :
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 2000, Vo. 2, No. 1 hal. 1-8. /HUMAS-BPPT/ANY
RINGKASAN :
As a transportation fuel, coal Liquefied oil requires certain quality improvement known as
upgrading due to its higher concentrations of nitrogen, sulfur, oxygen dan aromatics than
petroleum fraction. Experiments using small-scale fixed bed reactor show that there is an
improvement in the quality of recycle-solvent used for coal liquefaction after first
hydrotreatment. Coal slurry using first hydrotreated oil as solvent shows lower viscosity than
that of non-hydrotreated oil, and if it is mixed with Banko coal, the coal concentration could
achieve as high as 50%. Nitrogen and sulfur contents in hydrotreated oil are reduced to
negligible level and the storage stability remarkably improves after hydrotreatment. The
quality of fuel from second hydrotreatment is still lower than that of petroleum product in
terms of cetane number, smoke point, contents of sulfur and aromatics.
KATA KUNCI :
hydrotreatment, pencairan batubara, heteroatom, Banko, Yallourn
PENDAHULUAN :
Riset Pencairan Batubara untuk memproduksi BBM sintetis di Indonesia sudah berlangsung
sejak awal tahun 1990-an, namun perkembangannya secara nyata dengan target komersial
baru dimulai sejak awal tahun 1994, setelah perjanjian kerjasama riset ditandatangani antara
BPPT dan NEDO.
Berbagai jenis batubara muda Indonesia telah diuji, dengan hasil yang sangat menjanjikan,
hasil tertinggi diperoleh dari batubara Banko dengan produk minyak sekitar 70%.
Dibandingkan dengan batubara Yallourn dari Australia yang hanya menghasilkan minyak
<60%, hasil tersebut memang sangat signifikan, terutama dilihat dari segi biaya, dan harga
minyak batubara yang semakin kompetitif. Hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa
batubara Banko dapat memproduksi BBM, produk setengah jadi, dengan harga sekitar US $
18/barrel. Melihat harga minyak dewasa ini yang telah mencapai US$ 30- 32/barel, maka
studi pencairan batubara ini sangat dirasa perlu untuk dilanjutkan hingga tingkat
komersialisasi.
KESIMPULAN :
Hasil pengujian produk batubara cair melalui proses up-grading atau hydrotreatment
menggunakan reaktor fixed bed dengan katalis Ni-Mo-P/Al2O, secara ringkas dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Proses hydrotreatment tahap 1 ternyata dapat meningkatkan kualitas pelarut tertersirkulasi
(recycle solvent) sebagai donor hidrogen pada proses pencairan batubara.
Slurry batubara dengan menggunakan minyak hasil hydrotreatment tahap 1 menunj
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Untuk Gantikan BBM Pemerintah akan Gunakan Batubara Cair
5 April 2005
sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=193264&kat_id=4
JAKARTAButuh payung hukum yang kuat dan dukungan dari presiden. emerintah
berencana menggunakan batubara cair untuk mengurangi beban penggunaan bahan bakar
minyak (BBM) yang semakin meningkat. Kita harus mengurangi konsumsi Bahan bakar
Minyak, salah satunya adalah bagaimana batubara bisa kita cairkan kemudian kita jadikan
BBM dimana nantinya bisa menggantikan pemakaian BBM, kata Menteri ESDM Purnomo
Yusgiantoro seusai bertemu wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Senin.
Menurut Purnomo untuk itu, ia membutuhkan payung hukum yang kuat dan kebijakan secara
nasional oleh Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Namun ketika ditanyakan payung

hukum seperti apa yang diinginkannya, Purnomo belum bisa menjawab karena ia harus
mempresentasikan hal ini kepada Presiden Yudhoyono setelah kunjungan ke luar negeri.
Yang jelas hal itu perlu dukungan dari Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
untuk keluarkan kebijakan untuk menggantikan BBM ini, kata Purnomo.
Menurut rencana produksi batubara cair tersebut akan dilakukan di Sumatra Selatan karena
memiliki cadangan batubara yang sangat besar. Saat ini cadangan batubara Indonesia sangat
besar masih sekitar 70 tahun. Untuk itu bisa digunakan sebagai pengganti BBM yang untuk
kebutuhan nasional saat ini mencapai 85,6 juta kilo liter per tahun. Penggunaan batubara cair,
tambah Purnomo, saat ini juga telah dilakukan di Afrika Selatan.
Sementara itu menanggapi peran OPEC akibat harga minyak dunia yang terus meningkat,
Purnomo mengatakan OPEC tidak bisa lagi lakukan kontrol atas harga minyak dunia.
OPEC, tambahnya saat ini hanya memiliki pangsa pasar minyak dunia sebesar 40 persen.
OPEC tidak bisa berdaya dengan penjualan minyak yang tak bisa dikontrol, katanya.
Meskipun, tambahnya saat ini OPEC telah berusaha untuk menaikan produksinya hingga 500
ribu barel. Sejauh ini, tambahnya pemerintah Indonesia setuju dengan segala usaha apapun
juga untuk menurunkan harga minyak dunia.
Seiring dengan meningkatnya permintaan dan ketatnya produksi minyak dunia, harga minyak
di pasar dunia pada triwulan keempat tahun 2005 menurut perkiraan pengamat perminyakan,
Dr Kurtubi, bisa mencapai 60 dolar AS per barel.
Sekarang kita sudah masuk ke triwulan kedua tetapi harga minyak masih bertahan pada 55
dolar AS. Saya khawatir kalau selama triwulan ini harga tetap bertahan pada kisaran itu,
harga minyak pada triwulan ketiga dan keempat akan jauh melebihi perkiraan saya, katanya
kemarin.
Jika pada triwulan kedua tahun 2005 harga minyak dunia masih berkisar 55 dolar per barel
maka, menurut dia, Indonesia dan dunia harus bersiap-siap menerima kenyataan
melambungnya harga minyak West Texas Intermediate/WTI (yang menjadi acuan
perdagangan minyak mentah dunia-red) selama tahun
2005-2006 akan mencapai 60 dolar per barel.
Biasanya, kata dia, berdasarkan perilaku permintaan minyak di pasar dunia, pada triwulan
kedua harga minyak akan tertekan sehingga menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga
minyak pada triwulan sebelumnya meskipun tidak akan lebih rendah dari 40 dolar per barel
(batas bawah patokan harga minyak OPEC).
Namun hingga memasuki masa-masa awal triwulan kedua tahun 2005 harga minyak di
pasaran dunia sama sekali tidak mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena faktor
fundamental dimana permintaan minyak dunia sangat tinggi tahun 2005. Saya perkirakan
jumlahnya mencapai 84 juta barel per hari atau sekitar
2 juta barel lebih banyak dibandingkan permintaan minyak tahun 2003 yang hanya 82,5 juta
barel per hari, katanya. Tingginya laju permintaan minyak pada tahun 2005 itu menurut dia
disebabkan oleh masih tingginya laju permintaan minyak dari China yang belakangan ini juga
diikuti oleh India.
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya
Lingkungan Pengendapan Batubara
23 September 2006
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan
pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary
dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan
tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan,
komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan
suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan

secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana
terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat
terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan
limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di
lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat
dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.
Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk
batubara (Tabel 2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper
delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan
pengendapan mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara yang berbeda.
Tabel 2.1
Lingkungan Pengendapan Pembentuk Batubara
(Diesel, 1992)
Environment
Subenvironment
Coal Characteristics
Gravelly braid plainBars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to
swamps, raised bogs
low TPI, low GI, low sulphur
Sandy braid plain Bars, channel, overbank plains, mainly dull coals, medium to
swamp, raised bogs,
high TPI, low to medium GI,
low sulphur
Alluvial valley and channels, point bars, floodplains mainly bright coals, high TPI,
upper delta plain and basins, swamp, fens, raised medium to high GI, low
bogs
sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays,
mainly bright coals, low to
channel, swamps, fans and
medium TPI, high to very high
marshes
GI, high sulphur
Backbarrier strand Off-, near-, and backshore, tidal transgressive : mainly bright
plain
inlets, lagoons, fens, swamp, and coals, medium TPI, high GI,
marshes
high sulphur
regressive : mainly dull coals, low TPI and GI, low sulphurEstuarychannels, tidal flats, fens
and marshesmainly bright coal with high GI and medium TPI
Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood plain
dan delta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk
delta dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).
Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di
atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain
ialah endapan channel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing
endapan tersebut dapat diketahui dari litologi dan struktur sedimen.
Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded
bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di
bagian bawah berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmenfragmen batubara dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara
berangsur menjadi endapan flood plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat
tanggul alam (natural levee) yang terbentuk ketika muatan sedimen melimpah dari channel.
Endapan levee yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan batulanau dengan struktur
sedimen ripple lamination dan paralel lamination.
Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase
play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus sedang dengan struktur sedimen
cross bedding, ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan

batulempung juga umum ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh dari channel
utamanya dan umumnya memperlihatkan pola mengasar ke atas.
Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain.
Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari
air limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara
berlapis.
Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena
lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat
cocok untuk akumulasi gambut.
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plain akan didominasi oleh pohon-pohon keras
dan akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai
didominasi oleh tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen,
1985).
Kualitas Batubara
23 September 2006
Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang mempengaruhi potensi
kegunaannya. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral matter penyusunnya,
serta oleh derajat coalification (rank).
Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara yang
diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan
untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed
carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan
kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur,
unsur tambahan dan juga unsur jarang.
Kualitas dan Klasifikasi Batubara
Kualitas batubara ditentukan dengan analisis batubara di laboraturium, diantaranya adalah
analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan
jumlah air, zat terbang, karbon padat, dan kadar abu, sedangkan analisis ultimat dilakukan
untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, unsur tambahan dan juga unsur jarang.
Kualitas batubara ini diperlukan untuk menentukan apakah batubara tersebut menguntungkan
untuk ditambang selain dilihat dari besarnya cadangan batubara di daerah penelitian.
Untuk menentukan jenis batubara, digunakan klasifikasi American Society for Testing and
Material (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)(Tabel 5.2). Klasifikasi ini dibuat
berdasarkan jumlah karbon padat dan nilai kalori dalam basis dry, mineral matter free
(dmmf). Untuk mengubah basis air dried (adb) menjadi dry, mineral matter free (dmmf) maka
digunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983) :
dimana :
FC = % karbon padat (adb)
VM = % zat terbang (adb)
M = % air total (adb)
A = % Abu (adb)
S = % sulfur (adb)
Btu = british termal unit = 1,8185*CV adb
Tabel 5.2
Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)
Class
Group
Fixed
Volatile
Calorific Value Limits BTU
Carbon ,% , Matter
per pound (mmmf)
dmmf
Limits, % ,
dmmf

Equal
Equal Equal
or
Less Greater or
or
Less
Greater Than Than Less Greater
Than
Than Than
ThanAgglomerating Character
I Anthracite*
1.Meta-anthracite
98
2
nonagglomerating
2.Anthracite

92
98
2
8
3.SemianthraciteC

86
92
8
14
II Bituminous
1.Low volatile bituminous coal
78
86
14
22
2.Medium volatilebituminous coal
69
78
22
31
3.High volatile A bituminous coal
69
31
14000D
commonly
4.High volatile B bituminous coal
13000D
14000
agglomerating**E
5.High volatile C bituminous coal
11500
13000
10500
11500
agglomerating
III Subbituminous

1.Subbituminous A coal
10500
11500
2.Subbituminous B coal
9500
10500
3.Subbituminous C coal
8300
9500
nonagglomerating
IV. Lignite
1.Lignite A
6300
8300
1.Lignite B
6300
Contoh hasil analisa batubara
Ditulis oleh Fariz Tirasonjaya

http:// http://teknikpertambangan.wordpress.com/2009/11/27/propertis-fisikbatubara/teknikpertambangan.wordpress.com/2009/11/27/propertis-fisik-batubara/
Propertis Fisik Batubara
Posted on 27/11/2009

Sama halnya evaluasi batubara dapat dicapai dengan penentuan dari beberapa propertis yang
penting, disinipun berbagai propertis batubara telah disediakan banyak informasi yang
bernilai tentang potensi penggunaan batubara (Van Krevelen, 1957). Tentu saja, itu juga
merupakan propertis dari material-material organik yang merupakan informasi bernilai yang
menawarkan tentang perilaku lingkungan (Lyman et al., 1990). Karenanya, adalah alasan
yang baik untuk mempelajari ciri khas daripada batubara tersebut.
Dalam pengertian yang lebih luas, merupakan suatu hal yang telah diterima bahwa pada
butiran alamiah dari batubara berperingkat tinggi adalah penting untuk dapat dipahami sifat
fisik alamiahnya jika ingin dimodelkan dengan medium butiran yang mana terdiri dari
graphite-like material embedded dalam batasan matriks organik.
Propertis Fisik
Sebagai pertimbangan awal, perlunya mengenal sifat fisik secara tidak langsung juga
menerangkan tentang hubungannya dengan sifat kimia. Sebagai contoh, ukuran pori
batubara, yang mana merupakan sifat fisik batubara, merupakan faktor utama dalam
penentuan reaktivitas kimiawi batubara (Walker, 1981). Dan efek kimiawi dari swelling
indeks dan pengkokasan batubara memiliki efek substansial pada penanganan batubara atau
selama operasi konversi batubara.
A. Densitas (spesifik grafiti)
Padatan yang porous seperti batubara, memiliki tiga perbedaan dalam pengukuran
densitasnya; true density, particle density, dan apparent density.
Apparent density batubara dapat dilakukan dengan cara membenamkan sampel batubara di
dalam cairan dan kemudian mengukur cairan yang terpindahkan. Untuk prosedur ini, cairan
harus: (1) membasahi permukaan batubara, (2) tidak ada absorbsi yang kuat pada permukaan,
(3) tidak menyebabkan pengembangan, dan (4) menetrasi pori batubara.
True density batubara ditentukan dengan menggunakan prisip pemindahan helium. Helium
baik digunakan sebab dapat menetrasi pori-pori sampel batubara tanpa menyebabkan
interaksi secara kimiawi.
Particle density adalah berat suatu unit volume padatan termasuk pori dan rekahan (Mahajan
dan Walker, 1978). Densitas partikel dapat ditentukan dengan cara satu dari tiga metode; (1)
mercury displacement (Gan et al, 1982), (2) aliran gas (Ergun, 1951), atau (3) Silanization
(Ettinger dan Zhupakhina, 1960).
Densitas batubara dapat bervariasi yang menunjukkan hubungan antara rank dan kandungan
karbon. Batubara dengan kandungan karbon 85% biasanya menunjukkan suatu derajat ciri
hidropobik yang lebih besar dari batubara berank paling rendah.
Bagaimanapun, hasil temuan terbaru pada prediksi sifat hidropobik batubara
mengindikasikan bahwa korelasi kharakteristik kandungan air lebih baik dari pada kandungan
karbon dan begitupun rasio kandungan air/karbon lebih baik daripada rasio atomik
oksigen/karbon. Begitupun, terdapat suatu hubungan antara sifat hidropobik batubara dan
kandungan air ((Labuschagne, 1987; Labuschagne, 1988).
Kecenderungan bahwa density batubara bernilai minimum pada kandungan karbon 85%.
Sebagai contoh, karbon batubara 50-55% akan memiliki densiti sekitar 1,5 g/cm 3, dan
cenderung berkurang hingga 1,3 g/cm 3 untuk batubara mengandung 85% karbon diikuti
dengan peningkatan 1,8 g/cm 3 untuk batubara dengan kandungan karbon 87%. Sebagai
pembanding, densitas graphite (2,25 g/cm 3) juga mengikuti kecenderungan ini.
Walaupun variasi densitas tidak begitu besar, umumnya densitas untuk maseral (memilki
kandungan karbon yang sama) adalah exinite<vitrinite<micrinite.
B. In-Place Density
Densiti insitu batubara memberikan pengertian bahwa lapisan batubara lapisan dapat
ditunjukkan sebagai ton per volume.

Dalam standar ASTM D291 dinyatakan dalam berat batubara tercrusher per kubik feet, yang
mana bervariasi dengan ukuran partikel batubara dan dengan cara pengisian dalam sebuah
container.
C. Porositas dan Luas Permukaan
Batubara merupakan suatu material yang bersifat porous. Dengan demikian porositasnya dan
luas permukaannya (Manhajan dan Walker, 1978) memiliki pengaruh yang dapat
dipertimbangkan terhadap perilaku selama penambangan, preparasi, dan penanganannya.
Walaupun porositas mempengaruhi laju difusi metan keluar dari batubara (dalam lapisan
batubara), dan terdapat juga beberapa pengaruh selama preparasi batubara dalam arti
pemindahan mineral matter, tetapi efek yang banyak berpengaruh dari porositas batubara
adalah pada penanganan batubara. Sebagai contoh, selama proses konversi batubara, reaksireaksi kimiawi yang terjadi antara produk-produk gas (dan atau cairan) dan permukaan yang
menonjol, banyak secara inheren di dalam sistim pori.
Sistim pori batubara yang dipertimbangkan pada umumnya bersifat mikroskopis dengan
ukuran sekitar 100 Angstrom dan bersifat makroskopis dengan ukuran lebih besar dari 300
Angstrom (Gan et al. 1972; Mahajan dan Walker, 1978). Peneliti lain (Kalliat et al, 1981),
yang menyertakan investigasi sinar-X terhadap porositas dalam batubara, telah mengajukan
beberapa keraguan terhadap hipotesis ini dengan mengemukakan suatu usul yang mana data
adalah tidak konsisten dengan saran bahwa pori-pori mempunyai diameter dalam beberapa
ratus Angstrom tetapi mempunyai batasan akses dalam kaitan dengan bukaan-bukaan kecil
yang mana mengeluarkan zat lemas atau nitrogen (dan unsur lainnya) pada temperatur
rendah. Melainkan, suatu interpretasi yang mana merupakan penekanan terhadap luas
permukaan yang besar yang diperoleh oleh hasil adsorbsi sebagai hasil dalam jumlah besar
dari pori-pori dengan minimum dimensi pori tidak lebih besar dari ca. 30 Angstrom.
Ada juga suatu indikasi bahwa penyerapan molekul-molekul kecil, seperti methanol,
padabatubara terjadi oleh mekanisme site-specific (Ramesh et al., 1992). Dalam kasus
demikian, muncul penyerapan yang terjadi pertama kali pada high-energy sites tetapi dengan
meningkatnya kontinuitas penyerapan adsorbat (e.g., methanol) untuk mengikat permukaan
dibanding molekul-molekul polar lainnya dari spesis yang sama, dan ini adalah suatu bukti
penyerapan terjadi baik secara kimia maupun penyerapan secara fisika. Ditambahkan, pada
selubung penutup permukaan kurang dari suatu bentuk monolayer, muncul sebagai lapisan
aktivasi terhadap proses penyerapan. Apakah ditemukan mempunyai konsekuensi atau tidak
untuk studi luas permukaan dan distribusi pori tetap dapat dilihat. Tetapi fenomena dari
aktivasi penutup permukaan adalah sangat menarik, yang mana juga memilki konsekuensi
untuk interpretasi efek permukaan selama proses pembakaran. Sebagai salah satu sisi efek ini,
studi penyerapan dari molekul-molekul kecil pada permukaan batubara adalah di klaim
terhadap struktur copolymeric batubara (Milewska-Duda, 1991).
Porositas batubara berkurang dengan meningkatnya kandungan karbon (King dan Wilkins,
1944) dan mempunyai nilai minimum sekitar 89% karbon lalu diikuti dengan meningkatnya
porositas. Ukuran pori-pori juga bervariasi dengan meningkatnya kandungan karbon (rank);
sebagai contoh, macrospore selalu utama dalam batubara dengan kandungan karbon yang
paling rendah (rank) sedangkan batubara dengan kandungan karbon yang paling tinggi
utamanya merupakan microspore. Begitupun, volume pori, yang mana dapat dihitung dari
hubungan
Dimana
adalah density merkuri dan
adalah densiti helium, berkurang dengan
kenaikan kadar karbon. Sebagai tambahan, luas permukaan batubara bervariasi antara 10
200 m2 / g dan begitupun kecenderungan berkurang dengan bertambahnya kandungan
karbon.

Porositas dan luas permukaan adalah dua propertis batubara yang sangat penting pada proses
gassifikasi batubara, ketika reaktivitas batubara meningkat sama sepertiketika porositas dan
luas permukaan batubara meningkat. Begitupun, laju gassifikasi adalah lebih besar untuk
batubara peringkat rendah daripada batubara peringkat tinggii.Porositas batubara dihitung
dengan persamaan dari hubungan.
Dengan menentukan apparent density batubara dalam fluidsa yang berbeda, tetapi diketahui,
dimensi, adalah mungkin untuk menghitung ukuran dari distribusi pori Bukaan volume pori
(V), misalnya, volume pori dapat diakses untuk partikular fluida, dapat dihitung dari
hubungan:
Dimana
adalah apparent density dalam fluida.
Distribusi ukuran dari pori di dalam batubara dapat ditentukan dengan cara membenamkan
batubara di dalam larutan merkuri dan tekanan meningkat secara progressif. Efek tegangan
permukaan mencegah merkuri dari memasuki pori-pori yang memiliki diameter adalah lebih
kecil dari nilai d yang diberikan untuk tiap tekanan partikular p seperti itu bahwa
Dimana adalah tegangan permukaan fluida.
Berdasarkan jumlah merkuri yang masuk batubara untuk incremental dari tekanan, adalah
mungkin untuk membentuk suatu gambaran distribusi ukuran (Van krevelen, 1957).
Bagimanapun, total volume pori yang dihitung dengan metode ini adalah secara substansial
kurang dari yang diturunkan dari densiti helium, dengan demikian memberikan suatu
konsepbahwa batubara mengandung dua sistem pori: (1) sistim pori makro yang dapat
diakses terhadap merkuri pada tekanan rendah dan (2) sistem pori mikro yang mana tidak
dapat di akses oleh merkuri tetapi oleh helium. Dengan menggunakan cairan yang berbeda
variasi ukuran molekulnya adalah mungkin untuk menentukan distribusi ukuran pori mikro.
Bagaimanapun, aturan yang berperan tepat atau fungsi pori mikro sebagai bagian dari model
struktur batubara adalah tidak dapat dipahami secara penuh, walaupun telah ditunjang bahwa
batubara bertindak seperti suatu saringan molekular.
D. Reflektan
Adalah mengherankan untuk kebanyakan peneliti batubara, sering batubara digolongkan
sebagai padatan hitam yang tak dapat ditembus oleh cahaya, sehingga harus ditetapkan
sebagai salah satu propertis secara optik. Tentu saja, adalah benar bahwa beberapa preparasi
atau pengkondisian dari batubara adalah penting untuk dikenali melalui berbagai propertis.
Batubara dapat diuji dalam bentuk seperti tembus cahaya dengan cara transmisi atau reflektan
(Tschamler dan de Ruiter, 1963). Transmisi adalah suatu pengukuran absorbansi cahaya pada
berbagai gelombang dan dapat ditentukan untuk sayatan tipis batubara.
Reflektansi batubara (ASTM D2798) adalah sangat bermanfaat sebab memberi beberapa
indikasi penting tentang propertis batubara (Davis, 1978). Kandungan beberapa maseral
(ASTM D2799) dan temperatur karbonisasi. Reflektansi batubara ditentukan melalui derajat
relatif terhadap yang mana berkas sinar yang terpolarisasi adalah direfleksikan dari
permukaan batubara yang telah dipoles. Batubara tersebut dihancurkan hingga berukuran 850
dengan sedikit kandungan halus, dan kemudian partikel-partikel dibentuk semacam briket.
Salah satu permukaannya dipoles hingga halus, bebas dari kerusakan dan bebas dari char.
Secara metallurgi, atau opaque-ore, mikroskop digunakan untuk menentukan reflektansi
sampel, yang mana adalah diterangiu secara vertikal dengan sinar terpolarisasi.
Sebelum mengukur reflektansi, permukaan sampel diselubungi dengan minyak Sedar atau
minyak immersi komersial, dan kemudian membaca berulang-ulang reflektansi maksimum
komponen batubara (vitrinit, dll). Nilai yang diperoleh kemudian diperbandingkan dengan

estndar high-index glass (yang telah diketahui reflektansinya), yang mana telah disediakan
dengan dengan nilai reflektansi secara tipikal antara 0,302% 1,815%.
Begitu juga, walaupun batubara selalu muncul sebagai massa hitam, lapisan tipis dan
permukaan yang dipoles memancarkan berbagai macam warna. Sebagai contoh, dengan sinar
sekilas, fusinite dan macrinite berwarna putih, sedangkan exinite berwarna kuning tembus
cahaya; dalam cahaya tertransmisi, exinite berwarna jingga. Adalah sangat jelas, perbedaan
warna tersebut dapat diterapkan untuik membedakan tipe-tipe maseral. Sebagai tambahan,
reflekstansi batubara bervariasi terhadap peringkat batubara tersebut, dan data reflektansi
untuk udara adalah ditetapkan lebih tinggi dari medium minyak.
Reflektansi batubara adalah penting dalam menopang penentuan dari komposisi maseral
batubara, yang mana pada gilirannya adalah sangat membantu dalam memprediksi perilaku
selama mengproses batubara (Davis et. Al., 1991).
E. Indeks Refraksi
Indeks refraksi batubara dapat ditentukan dengan membandingkan reflektansi udara terhadap
minyak sedar. Untuk vitrinite, indeks refraksi selalu antara 1,68 2,02 (kandungan karbon 58
96%).

http://slamatysf.blogspot.com/2012/10/batu-bara.html

Batu Bara
Posted by : slamat cb Sabtu, 20 Oktober 2012
Gambar Batu Bara:

Fosil tumbuhan atau yang lebih dikenal dengan nama "batubara"


merupakan bahan galian organik padat yang terdapat cukup banyak di Indonesia. Sebelum

Perang Dunia kedua meletus, batubara merupakan bahan bakar utama, hal ini dapat dilihat
bahwa kapal laut, kereta api dan mesin-mesin industri digerakkan dengan bahan bakar
batubara.
Setelah Perang Dunia kedua selesai peranan batubara tergeser oleh minyak, yang pada saat
itu mulai didapatkan baik didaratan maupun dilepas pantai. Tersedianya minyak yang
melimpah mengakibatkan keberadaan tambang batubara mulai dilupakan diikuti dengan
terjadinya revolusi industry dan diciptakannya mesin dengan bahan bakar minyak bumi.
Krisis minyak sebagai akibat terjadinya Perang Teluk pada tahun 1979 menyebabkan
berkurangnya persediaan minyak yang berhasil diproduksi oleh negara-negara Timur Tengah,
sedang permintaan minyak sebagai bahan bakar di negara industri semakin meningkat. Hal
tersebut mengakibatkan kenaikan harga minyak sehingga untuk mengimbanginya orang
menengok kembali ke batubara sebagai bahan bakar alternative yang sudah cukup lama
dilupakan. Sebagai tindak lanjut negara-negara penghasil batubara mulai aktif kembali
melakukan eksplorasi batubara guna mendapatkan deposit batubara yang baru disamping
meningkatkan eksploitasi pada deposit-deposit batubara yang telah diketahui.
1. PROSES TERBENTUKNYA BATUBARA
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba
yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang
berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan
bakar fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan
pembatubaraan (coalification).
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi
tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi)
tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang
berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam
macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan
batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period)
dikenal sebagai zaman batu bara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta
tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan
serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik'. Proses awalnya,
endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu
bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara coklat (brown coal).
Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Setelah mendapat
pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu bara muda
akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan
mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan
kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya
lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam
kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung
hingga membentuk antrasit.
Reaksi pembentukan batubara :
5 (C6H1005) C20H22O4 + 3 CH4 + 8 H2O + 6 CO2 + CO
Cellulosa
lignit
gas metan
6 (C6H1005) C22H20O4 + 5 CH4 + 8 H2O + 6 CO2 + CO
Cellulosa
bitumine gas metan
Cellulosa (zat organic) yang merupakan zat pembentuk batubara. Unsur C dalam lignit sedikit
disbanding bitumine. Semakin banyak unsure C lignit semakin baik mutunya. Unsur H dalam
lignit lebih banyak dibandingkan pada bitumine. Semakin banyak unsur H lignit makin

kurang baik mutunya. Senyawa CH4 (gas metan) dalam lignit lebih sedikit disbanding dalam
bitumine. Semakin banyak CH4 lignit semakin baik kualitasnya.
1. KOMPONEN PENYUSUN BATUBARA
Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya cetakan
tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan
berbagai macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dan
sebagainya. Namun komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies
dari tumbuhan penyusunnya.
a. Lignin
Lignin adalah salah satu komponen penyusun tanaman. Secara umum, tanaman terbentuk
dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda
bergantung pada jenis tanaman. Pada batang tanaman, lignin berfungsi sebagai bahan
pengikat komponen penyusun lainnya, sehingga suatu pohon bisa bisa berdiri tegak (Seperti
semen pada sebuah batang beton.
Berbeda dengan selulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin terbentuk
dari gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri dari 23 karbon . Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia aromatis yang berupa fenol,
terutama kresol.
Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah susunan sisa
tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan molekul umum dari lignin belum
diketahui dengan pasti, namun susunannya dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada
berbagai macam jenis tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput mempunyai
susunan p-koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya lignin merupakan polimer dari
satu atau beberapa jenis alkohol.
b. Karbohidrat
Karbohidrat adalah polihidroksi aldehid atau keton atau senyawa yang menghasilkan
senyawa-senyawa ini bila dihidrolisa. Molekul karbohidrat terdiri atas atmo-atom karbon,
hidrogen dan oksigen. Pada senyawa yang termasuk karbohidrat terdapat gugus OH, gugus
aldehid atau gugus keton. Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang
mengandung antara lima sampai delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul sebagai
kombinasi antara gugus karbonil dengan hidroksil yang membentuk siklus hemiketal. Bentuk
lainnya mucul sebagai disakarida, trisakarida, ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah
yang umumnya menyusun batubara, karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling banyak
mengandung polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan membentuk
batubara.
c. Protein
Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang
merupakanpolimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain
denganikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan
kadang kala sulfur serta fosfor. Struktur dari protein pada umumnya adalah rantai asam
amino yang dihubungkan oleh rantai amida. Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai
steroid, lilin.
d. Resin
Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka pada batangnya.
Resin atau dammar adalah suatu campuran yang kompleks dari ekskret tumbu-tumbuhan dan
insekta, biasanya berbentuk padat dan amorf dan merupakan hasil terakhir dari metabolisme
dan dibentuk dari ruang-ruang skizogen dan skizolisigen. Secara fisis, resin (damar) ini
biasanya keras, transparan plastis dan pada pemanasan menjadi lembek. Secara kimiawi,

resin adalah campuran yang kompleks dari asam-asam resinat, alkoholresinat, resinotannol,
ester-ester dan resene-resene. Bebas dari zat lemas dan mengandung sedikit oksigen karena
mengandung zat karbon dalam kadar tinggi, maka kalau dibakar menghasilkan angus.
e. Tanin
Tanin nama komponen zat organik yang sangat komplek dan terdiri dari senyawa fenolik
yang mempunyai berat molekul 500 3000, dapat bereaksi dengan protein membentuk
senyawa komplek larut yang tidak larut. Tanin dapat dikategorikan sebagai "true artrigen"
adalah rasa sepat. Rasa sepat timbul karena kuagulasi dari protein dari protein air liur dan
mukosa ephitelium dengan tanin. Tanin atau sesungguhnya lebih tepat disebut asam tanat
(tanic acid), monomer dari tanin adalah untuk penyamak kulit. Tanin umumnya banyak
ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian batangnya.
f. Alkaloida
Alkaloida berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan
alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan
triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa
alkaloid adalah reaksi mannich antara suatu aldehida dan suatu amina primer dan sekunder,
dan suatu senyawa enol atau fenol. Biosintesis alkaloid juga melibatkan reaksi rangkap
oksidatif fenol dan metilasi. Jalur poliketida dan jalur mevalonat juga ditemukan dalam
biosintesis alkaloid. Alkaloida merupakan komponen organik penting terakhir yang
menyusun batubara. Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang muncul dalam
bentuk rantai.
g. Porphirin
Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole. Porphirin
biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang
tergabung dengan jembatan methin. Kandungan unsur porphirin dalam batubara ini telah
diajukan sebagai marker yang sangat penting untuk mendeterminasi perkembangan dari
proses coalifikasi.
h. Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)
Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya material inorganik
yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
unsur mineral inheren dan unsur mineral eksternal. Unsur mineral inheren adalah material
inorganik yang berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam
lapisan batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur yang dibawa dari luar
kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah yang menyusun bagian inorganik dalam
sebuah lapisan batubara.
Daftar Pustaka :
<http://pengembanganintelektual.wordpress.com/2011/02/13/batubara-sebagai-batuaninduk-hidrokarbon/
< http://www.google.com/imgres?
hl=id&sa=X&biw=1280&bih=667&tbm=isch&prmd=imvns&tbnid=btqs-a8OErZmM:&imgrefurl=http://indonetwork.co.id/banten_abadi/957280/batubara.htm&docid=Rv7BU3uq7xESFM&imgurl=http://w20.indonetwork.co.id/pdimage/80/95
7280_btbara5856.jpg&w=1600&h=1200&ei=dkaDUNr2Nc6IrAfntoH4Aw&zoom=1&iact=hc&vpx=203&v
py=243&dur=2036&hovh=194&hovw=259&tx=179&ty=107&sig=10797483925767741472
5&page=5&tbnh=147&tbnw=218&start=81&ndsp=20&ved=1t:429,r:66,s:20,i:336

Batu bara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk kegunaan lain, lihat Batubara (disambiguasi)

Contoh batu bara


Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen
yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan
terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen
dan oksigen.
Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang
kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk.
Analisis unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan
C240H90O4NS untuk antrasit.
Daftar isi
1 Batu bara secara umum
1.1 Umur batu bara
1.2 Materi pembentuk batu bara
1.3 Penambangan
1.4 Kelas dan jenis batu bara
1.5 Pembentukan batu bara
2 Batu bara di Indonesia
2.1 Endapan batu bara Eosen
2.2 Endapan batu bara Miosen
2.3 Sumberdaya batu bara
3 Gasifikasi batu bara
4 Bagaimana membuat batu bara bersih
4.1 Membuang NOx dari batu bara
5 Cadangan batu bara dunia
6 Negara pengekspor batu bara utama
7 Lihat pula
8 Referensi
9 Pranala luar
Batu bara secara umum
Umur batu bara
Pembentukan batu bara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era
tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu (jtl),
adalah masa pembentukan batu bara yang paling produktif dimana hampir seluruh deposit
batu bara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk.

Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batu bara yang
ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke
Zaman Tersier (70 - 13 jtl) di berbagai belahan bumi lain.
Materi pembentuk batu bara
Hampir seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan
pembentuk batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:
Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit
endapan batu bara dari perioda ini.
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit
endapan batu bara dari perioda ini.
Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk batu bara
berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang
biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan
heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin)
tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama
batu bara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang
menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae
sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.
Penambangan

Tambang batu bara di Bihar, India.


Penambangan batu bara adalah penambangan batu bara dari bumi. Batu bara digunakan
sebagai bahan bakar. Batu bara juga dapat digunakan untuk membuat coke untuk pembuatan
baja.[1]
Tambang batu bara tertua terletak di Tower Colliery di Inggris.
Kelas dan jenis batu bara
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu,
batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan
gambut.
Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik,
mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya.
Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi
sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75%
dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.
Pembentukan batu bara
Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batu bara disebut dengan istilah
pembatu baraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:

Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit
terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat
oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi)
dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan
akhirnya antrasit.
Batu bara di Indonesia
Di Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang
terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada
umumnya endapan batu bara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batu bara
berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau
sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.
Batu bara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang mirip
dengan kondisi kini. Beberapa diantaranya tegolong kubah gambut yang terbentuk di atas
muka air tanah rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut
ini terbentuk pada kondisi dimana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk
ke dalam sistem dan membentuk lapisan batu bara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan
menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batu bara Miosen. Sebaliknya,
endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur
endapan batu bara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip
dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan
sebagian besar Kalimantan.[2]
Endapan batu bara Eosen
Endapan ini terbentuk pada tatanan tektonik ekstensional yang dimulai sekitar Tersier Bawah
atau Paleogen pada cekungan-cekungan sedimen di Sumatera dan Kalimantan.
Ekstensi berumur Eosen ini terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari sebelah barat
Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Dari batuan sedimen yang
pernah ditemukan dapat diketahui bahwa pengendapan berlangsung mulai terjadi pada Eosen
Tengah. Pemekaran Tersier Bawah yang terjadi pada Paparan Sunda ini ditafsirkan berada
pada tatanan busur dalam, yang disebabkan terutama oleh gerak penunjaman Lempeng IndoAustralia.[3] Lingkungan pengendapan mula-mula pada saat Paleogen itu non-marin, terutama
fluviatil, kipas aluvial dan endapan danau yang dangkal.
Di Kalimantan bagian tenggara, pengendapan batu bara terjadi sekitar Eosen Tengah - Atas
namun di Sumatera umurnya lebih muda, yakni Eosen Atas hingga Oligosen Bawah. Di
Sumatera bagian tengah, endapan fluvial yang terjadi pada fase awal kemudian ditutupi oleh
endapan danau (non-marin).[3] Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan bagian tenggara
dimana endapan fluvial kemudian ditutupi oleh lapisan batu bara yang terjadi pada dataran
pantai yang kemudian ditutupi di atasnya secara transgresif oleh sedimen marin berumur
Eosen Atas.[4]
Endapan batu bara Eosen yang telah umum dikenal terjadi pada cekungan berikut: Pasir dan
Asam-asam (Kalimantan Selatan dan Timur), Barito (Kalimantan Selatan), Kutai Atas
(Kalimantan Tengah dan Timur), Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Tarakan
(Kalimantan Timur), Ombilin (Sumatera Barat) dan Sumatera Tengah (Riau).
Dibawah ini adalah kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Eosen di Indonesia.
Kadar Kadar
Kadar Zat
air
air
Belerang Nilai energi
Tambang
Cekungan Perusahaan
abu
terbang
total inheren
(%ad)
(kkal/kg)(ad)
(%ad) (%ad)
(%ar) (%ad)
AsamPT Arutmin
Satui
10.00 7.00
8.00 41.50 0.80
6800
asam
Indonesia

PT Arutmin
9.00 4.00
15.00 39.50 0.70
6400
Indonesia
PT BHP
Petangis
Pasir
Kendilo
11.00 4.40
12.00 40.50 0.80
6700
Coal
PT Bukit
0.50 Ombilin
Ombilin
12.00 6.50
<8.00 36.50
6900
Asam
0.60
PT Allied
10.00 37.30
Parambahan Ombilin
4.00 0.50 (ar) 6900 (ar)
Indo Coal
(ar)
(ar)
(ar) - as received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998
Endapan batu bara Miosen
Pada Miosen Awal, pemekaran regional Tersier Bawah - Tengah pada Paparan Sunda telah
berakhir. Pada Kala Oligosen hingga Awal Miosen ini terjadi transgresi marin pada kawasan
yang luas dimana terendapkan sedimen marin klastik yang tebal dan perselingan sekuen
batugamping. Pengangkatan dan kompresi adalah kenampakan yang umum pada tektonik
Neogen di Kalimantan maupun Sumatera. Endapan batu bara Miosen yang ekonomis
terutama terdapat di Cekungan Kutai bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan Barito
(Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera bagian selatan. Batu bara Miosen juga secara
ekonomis ditambang di Cekungan Bengkulu.
Batu bara ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang
mirip dengan daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur. Ciri utama
lainnya adalah kadar abu dan belerang yang rendah. Namun kebanyakan sumberdaya batu
bara Miosen ini tergolong sub-bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis kecuali jika
sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi geografisnya menguntungkan. Namun batu bara Miosen
di beberapa lokasi juga tergolong kelas yang tinggi seperti pada Cebakan Pinang dan Prima
(PT KPC), endapan batu bara di sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur dan
beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian selatan.
Tabel dibawah ini menunjukan kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Miosen di
Indonesia.
Kadar Kadar
Kadar Zat
air
air
Belerang Nilai energi
Tambang Cekungan Perusahaan
abu
terbang
total inheren
(%ad)
(kkal/kg)(ad)
(%ad) (%ad)
(%ar) (%ad)
PT Kaltim
Prima
Kutai
9.00 4.00 39.00 0.50
6800 (ar)
Prima Coal
PT Kaltim
Pinang Kutai
13.00 7.00 37.50 0.40
6200 (ar)
Prima Coal
Roto
PT Kideco
Pasir
24.00 3.00 40.00 0.20
5200 (ar)
South
Jaya Agung
PT Berau
Binungan Tarakan
18.00 14.00
4.20 40.10 0.50
6100 (ad)
Coal
PT Berau
Lati
Tarakan
24.60 16.00
4.30 37.80 0.90
5800 (ad)
Coal
Sumatera
PT Bukit
Air Laya bagian
24.00 5.30 34.60 0.49
5300 (ad)
Asam
selatan
Paringin Barito
PT Adaro 24.00 18.00
4.00 40.00 0.10
5950 (ad)
(ar) - as received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998
Sumberdaya batu bara
Senakin

Pasir

Pengisian batu bara ke dalam kapal tongkang.


Potensi sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan
dan Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam
jumlah kecil dan belum dapat ditentukan keekonomisannya, seperti di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Papua, dan Sulawesi.
Badan Geologi Nasional memperkirakan Indonesia masih memiliki 160 miliar ton cadangan
batu bara yang belum dieksplorasi. Cadangan tersebut sebagian besar berada di Kalimantan
Timur dan Sumatera Selatan. Namun upaya eksplorasi batu bara kerap terkendala status lahan
tambang. Daerah-daerah tempat cadangan batu bara sebagian besar berada di kawasan hutan
konservasi.[5] Rata-rata produksi pertambangan batu bara di Indonesia mencapai 300 juta ton
per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 10 persen digunakan untuk kebutuhan energi dalam negeri,
dan sebagian besar sisanya (90 persen lebih) diekspor ke luar.
Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah
umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara jauh lebih hemat
dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori
sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp.
6.200/liter).
Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia.
Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan miliar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup
untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya,
Indonesia tidak mungkin membakar habis batu bara dan mengubahnya menjadi energis listrik
melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara
ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.
Batu bara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika dikonversi
menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara
yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi
(penyubliman) batu bara.
Membakar batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya
secara continue, yang bertujuan untuk mencapai efisiensi pembakaran yang maksimum, caracara pembakaran langsung seperti: fixed grate, chain grate, fluidized bed, pulverized, dan
lain-lain, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya.
Gasifikasi batu bara
Coal gasification adalah sebuah proses untuk mengubah batu bara padat menjadi gas batu
bara yang mudah terbakar (combustible gases), setelah proses pemurnian gas-gas ini karbon
monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), hidrogen (H), metan (CH4), dan nitrogen (N2)
dapat digunakan sebagai bahan bakar. hanya menggunakan udara dan uap air sebagai
reacting-gas kemudian menghasilkan water gas atau coal gas, gasifikasi secara nyata
mempunyai tingkat emisi udara, kotoran padat dan limbah terendah.
Tetapi, batu bara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat di dalamnya adalah sulfur
dan nitrogen, bila batu bara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke udara, bila

mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung dengan uap air (seperti contoh kabut)
dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk asam sulfurik dan nitrit, disebut sebagai
"hujan asam" acid rain. Disini juga ada noda mineral kecil, termasuk kotoran yang umum
tercampur dengan batu bara, partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat debu yang
tertinggal di coal combustor, beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di putaran
combustion gases bersama dengan uap air, dari asap yang keluar dari cerobong beberapa
partikel kecil ini adalah sangat kecil setara dengan rambut manusia.
Bagaimana membuat batu bara bersih
Ada beberapa cara untuk membersihkan batu bara. Contoh sulfur, sulfur adalah zat kimia
kekuningan yang ada sedikit di batu bara, pada beberapa batu bara yang ditemukan di Ohio,
Pennsylvania, West Virginia dan eastern states lainnya, sulfur terdiri dari 3 sampai 10 % dari
berat batu bara, beberapa batu bara yang ditemukan di Wyoming, Montana dan negara-negara
bagian sebelah barat lainnya sulfur hanya sekitar 1/100ths (lebih kecil dari 1%) dari berat
batu bara. Penting bahwa sebagian besar sulfur ini dibuang sebelum mencapai cerobong asap.
Satu cara untuk membersihkan batu bara adalah dengan cara mudah memecah batu bara ke
bongkahan yang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa sulfur yang ada sebagai bintik kecil di
batu bara disebut sebagai "pyritic sulfur " karena ini dikombinasikan dengan besi menjadi
bentuk iron pyrite, selain itu dikenal sebagai "fool's gold dapat dipisahkan dari batu bara.
Secara khusus pada proses satu kali, bongkahan batu bara dimasukkan ke dalam tangki besar
yang terisi air , batu bara mengambang ke permukaan ketika kotoran sulfur tenggelam.
Fasilitas pencucian ini dinamakan "coal preparation plants" yang membersihkan batu bara
dari pengotor-pengotornya.
Tidak semua sulfur bisa dibersihkan dengan cara ini, bagaimanapun sulfur pada batu bara
adalah secara kimia benar-benar terikat dengan molekul karbonnya, tipe sulfur ini disebut
"organic sulfur," dan pencucian tak akan menghilangkannya. Beberapa proses telah dicoba
untuk mencampur batu bara dengan bahan kimia yang membebaskan sulfur pergi dari
molekul batu bara, tetapi kebanyakan proses ini sudah terbukti terlalu mahal, ilmuan masih
bekerja untuk mengurangi biaya dari prose pencucian kimia ini.
Kebanyakan pembangkit tenaga listrik modern dan semua fasilitas yang dibangun setelah
1978 telah diwajibkan untuk mempunyai alat khusus yang dipasang untuk membuang
sulfur dari gas hasil pembakaran batu bara sebelum gas ini naik menuju cerobong asap. Alat
ini sebenarnya adalah "flue gas desulfurization units," tetapi banyak orang menyebutnya
"scrubbers" karena mereka men-scrub (menggosok) sulfur keluar dari asap yang
dikeluarkan oleh tungku pembakar batu bara.
Membuang NOx dari batu bara
Nitrogen secara umum adalah bagian yang besar dari pada udara yang dihirup, pada
kenyataannya 80% dari udara adalah nitrogen, secara normal atom-atom nitrogen
mengambang terikat satu sama lainnya seperti pasangan kimia, tetapi ketika udara dipanaskan
seperti pada nyala api boiler (3000 F=1648 C), atom nitrogen ini terpecah dan terikat dengan
oksigen, bentuk ini sebagai nitrogen oksida atau kadang kala itu disebut sebagai NOx. NOx
juga dapat dibentuk dari atom nitrogen yang terjebak di dalam batu bara.
Di udara, NOx adalah polutan yang dapat menyebabkan kabut coklat yang kabur yang
kadang kala terlihat di seputar kota besar, juga sebagai polusi yang membentuk acid rain
(hujan asam), dan dapat membantu terbentuknya sesuatu yang disebut ground level ozone,
tipe lain dari pada polusi yang dapat membuat kotornya udara.
Salah satu cara terbaik untuk mengurangi NOx adalah menghindari dari bentukan asalnya,
beberapa cara telah ditemukan untuk membakar batu bara di pemabakar dimana ada lebih
banyak bahan bakar dari pada udara di ruang pembakaran yang terpanas. Di bawah kondisi
ini kebanyakan oksigen terkombinasikan dengan bahan bakar daripada dengan nitrogen.
Campuran pembakaran kemudian dikirim ke ruang pembakaran yang kedua dimana terdapat

proses yang mirip berulang-ulang sampai semua bahan bakar habis terbakar. Konsep ini
disebut "staged combustion" karena batu bara dibakar secara bertahap. Kadang disebut juga
sebagai "low-NOx burners" dan telah dikembangkan sehingga dapat mengurangi kangdungan
Nox yang terlepas di uadara lebih dari separuh. Ada juga teknologi baru yang bekerja seperti
"scubbers" yang membersihkan NOX dari flue gases (asap) dari boiler batu bara. Beberapa
dari alat ini menggunakan bahan kimia khusus yang disebut katalis yang mengurai bagian
NOx menjadi gas yang tidak berpolusi, walaupun alat ini lebih mahal dari "low-NOx
burners," namun dapat menekan lebih dari 90% polusi Nox.
Cadangan batu bara dunia

Daerah batu bara di Amerika Serikat


Pada tahun 1996 diestimasikan terdapat sekitar satu exagram (1 1015 kg atau 1 trilyun ton)
total batu bara yang dapat ditambang menggunakan teknologi tambang saat ini, diperkirakan
setengahnya merupakan batu bara keras. Nilai energi dari semua batu bara dunia adalah 290
zettajoules.[6] Dengan konsumsi global saat ini adalah 15 terawatt,[7] terdapat cukup batu bara
untuk menyediakan energi bagi seluruh dunia untuk 600 tahun.
British Petroleum, pada Laporan Tahunan 2006, memperkirakan pada akhir 2005, terdapat
909.064 juta ton cadangan batu bara dunia yang terbukti (9,236 1014 kg), atau cukup untuk
155 tahun (cadangan ke rasio produksi). Angka ini hanya cadangan yang diklasifikasikan
terbukti, program bor eksplorasi oleh perusahaan tambang, terutama sekali daerah yang di
bawah eksplorasi, terus memberikan cadangan baru.
Departemen Energi Amerika Serikat memperkirakan cadangan batu bara di Amerika Serikat
sekitar 1.081.279 juta ton (9,81 1014 kg), yang setara dengan 4.786 BBOE (billion barrels of
oil equivalent).[8]
Cadangan batu bara dunia pada akhir 2005 (dalam juta ton)[9][10][11][12]
Negara
Bituminus (termasuk antrasit) Sub-bituminus Lignit TOTAL
Amerika Serikat
115.891
101.021
33.082 249.994
49.088
97.472
10.450 157.010
Rusia
62.200
33.700
18.600 114.500
Tiongkok
82.396
2.000 84.396
India
Australia
42.550
1.840
37.700 82.090
Jerman
23.000
43.000 66.000
49.520
49.520
Afrika Selatan
16.274
15.946
1.933 34.153
Ukraina
Kazakhstan
31.000
3.000 34.000
20.300
1.860 22.160
Polandia
Serbia dan Montenegro 64
1.460
14.732 16.256
11.929
11.929
Brasil
6.267
381
6.648
Kolombia

Kanada
Ceko
Indonesia
Botswana
Uzbekistan
Turki
Yunani
Bulgaria
Pakistan
Iran
Britania Raya
Rumania
Thailand
Meksiko
Chili
Hongaria
Peru
Kirgizstan
Jepang
Spanyol
Korea Utara
Selandia Baru
Zimbabwe
Belanda
Venezuela
Argentina
Filipina
Slovenia
Mozambik
Swaziland
Tanzania
Nigeria
Greenland
Slowakia
Vietnam
Republik Kongo
Korea Selatan

3.471
2.114
790
4.300
1.000
278

871
3.414
1.430

13

233
2.265

Niger
Afganistan
Aljazair
Kroasia
Portugal
Perancis

70

70

66
40
6
3
22

66
40
39
36
36

1.710
1.000
1
860
31

761

35
300
1.150
80

960
773
200
300
33
502
497
479

400
300
206

430
232
40
212
208
200
21

150
88
78

169
183

2.236 6.578
150
5.678
3.150 5.370
4.300
3.000 4.000
2.650 3.689
2.874 2.874
2.465 2.711
2.265
1.710
500
1.500
1.421 1.457
1.268 1.268
51
1.211
1.181
1.017 1.097
100
1060
812
812
773
60
660
600
333
572
502
497
479
430
100
332
235
275
212
208
200
190
183
172
172
150
88
78

33
33
14

Italia
Austria
Ekuador
Mesir
Irlandia
Zambia
Malaysia
Republik Afrika Tengah
Myanmar
Malawi
Kaledonia Baru

27

7
25
24

22
14
10
4
3
2
2
2
2

34
25
24
22
14
10
4
3
2
2
2
2

Nepal
1
1
Bolivia
1
1
Norwegia
1
1
Taiwan
1
1
Swedia
Negara pengekspor batu bara utama
Pengekspor batu bara berdasarkan negara dan tahun
(dalam juta ton)[13]
Negara
2003
2004
Australia
238,1
247,6
Amerika Serikat
43,0
48,0
78,7
74,9
Afrika Selatan
Uni Soviet
41,0
55,7
16,4
16,3
Polandia
Kanada
27,7
28,8
103,4
95,5
Tiongkok
Amerika Selatan
57,8
65,9
200,8
131,4
Indonesia
Total
713,9
764,0
Lihat pula
Daftar perusahaan batu bara Indonesia
Skala waktu geologi
Yayasan Batu Bara Dunia en
Referensi
^ BHP Billiton Mitsubishi Alliance - Glossary
^ Frederich, Langford and Moore, 1999
^ a b Cole and Crittenden, 1997
^ Frederich et al, 1995
^ Indonesia Miliki Cadangan Batubara 160 Miliar Ton - PortalKBR.com
^ Sustainable Energy" 2005 page 303 The MIT Press by Jefferson W. Tester et al. ISBN 0262-20153-4
^ BP2006 energy report, and US EIA 2006 overview
^ (Inggris) "International Energy Annual 2003: Reserves". Badan Informasi Energi AS.
Unknown parameter |accessdaymonth= ignored (help); Unknown parameter |accessyear=
ignored (help)

^ (Inggris) "Reserves-Coal page 1". Dewan Energi Dunia. Unknown parameter |


accessdaymonth= ignored (help); Unknown parameter |accessyear= ignored (help)
^ (Inggris) "Resources-bituminous". Dewan Energi Dunia. Unknown parameter |
accessdaymonth= ignored (help); Unknown parameter |accessyear= ignored (help)
^ (Inggris) "Resources-sub-bitum". Dewan Energi Dunia. Unknown parameter |
accessdaymonth= ignored (help); Unknown parameter |accessyear= ignored (help)
^ (Inggris) "Resources-lignite". Dewan Energi Dunia. Unknown parameter |
accessdaymonth= ignored (help); Unknown parameter |accessyear= ignored (help)
^ http://www.eia.doe.gov/oiaf/aeo/supplement/pdf/suptab_114.pdf

Anda mungkin juga menyukai