Anda di halaman 1dari 8

KEBERADAAN CEKUNGAN BATUBARA DI INDONESIA

A.Lingkungan Pengendapan Batubara

Interpretasi Lingkungan Pengendapan dari Litotipe dan Viikrolitotipe

Tosch (1960) dalam Bustin dkk. (1983), Teichmuller and Teichmuller (1968) dalam
Murchissen (1968) berpendapat bahwa litotipe dan mikrolitotipe batubara berhubungan erat
dengan lingkungan pengendapannya. Lingkungan pengendapan dari masing-masing litotipe
adalah sebagi berikut :
1. Vitrain dan Clarain, diendapkan di daerah pasang surut dimana terjadi perubahan muka air laut
2. Fusain, diendapkan pada lingkungan dengan kecepatan pengendapan rendah, yaitu lingkungan
air dangkal yang dekat dengan daratan.
3. Durain, diendapkan dalam lingkungan yang lebih dalam lagi, diperkirakan lingkungan laut
dangkal
Sedangkan interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan mikrolitotipe adalah sebagai
berikut :
1.
2.
3.
4.

Vitrit, berasal dari kayu-kayuan seperti batang, dahan, akar, yang menunjukkan lingkungan
rawa berhutan
Clarit, berasal dari tumbuhan yang mengandung serat kayu dan diperkirakan terbentuk pada
lingkungan rawa
Durit, kaya akan jejak jejak akar dan spora, hal ini diperkirakan terbentuk pada lingkungan
laut dangkal
Trimaserit, yang kaya akan vitrinit terbentuk di lingkungan rawa, sedangkan yang kaya akan
liptinit terbentuk di lingkungan laut dangkal clan yang kaya akan inertinit terbentuk dekat
daratan
Lingkungan Pengendapan Batubara

Pembentukan batubara terjadi pada kondisi reduksi di daerah rawa-rawa lebih dari 90%
batubara di dunia terbentuk pada lingkungan paralik. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran
pantai,
laguna,
delta,
dan
fluviatil.
Di dataran pantai, pengendapan batubara terjadi pada rawa-rawa di lelakang pematang pasir
pantai yang berasosiasi dengan sistem laguna ke arah darat. Di daerah ini tidak berhubungan
dengan laut terbuka sehingga efek oksidasi au laut tidak ada sehingga menunjang pada
pembentukan batubara di daerah rawa-rawa pantai.
Pada lingkungan delta, batubara terbentuk di backswamp clan delta plain. Se-dangkan di
delta front dan prodelta tidak terbentuk batubara disebabkan oleh adanya pengaruh air laut
yang besar clan berada di bawah permulcaan air laut.
Pada lingkungan fluviatil terjadi pada rawa-rawa dataran banjir atau ,th.-alplain dan
belakang tanggul alam atau natural levee dari sistem sungai yang are-ander. Umumnya
batubara di lingkungan ini berbentuk lensa-lensa karena membaii ke segala arah mengikuti
bentuk cekungan limpahnya.

1. Endapan Batubara Paralik


Lingkungan paralik terbagi ke dalam 3 sub lingkungan, yakni endapan lmuhara belakang
pematang (back barrier), endapan batubara delta, endapan Dwubara antar delta dan dataran
pantai (Bustin, Cameron, Grieve, dan Kalkreuth, Ketiganya mempunyai bentuk lapisan
tersendiri, akan tetapi pada , wnumnya tipis-tipis, tidak menerus secara lateral, mengandung
kadar sulfur, abu dar. nitrogen yang tinggi.
2. Endapan Batubara Belakang Pematang (back barrier)
Batubara belakang pematang terakumulasi ke arah darat dari pulau-pulau pcmatang
(barrier island) yang telah ada sebelumnya dan terbentuk sebagai ai.:hat dari pengisian
laguna. Kemudian terjadi proses pendangkalan cekungan antar pulau-pulau bar sehingga
material yang diendapkan pada umumnya tergolong ke dalam klastika halus seperti
batulempung sisipan batupasir dan batugamping. Selanjutnya terbentuk rawa-rawa air asin
dan pada keadaan ini cn.iapan sedimen dipengaruhi oleh pasang surut air laut sehingga
moluska dapat berkembang dengan baik sebab terjadi pelemparan oleh ombak dari laut
terbuka le laguna yang membawa materi organik sebagai makanan yang baik bagi penghuni
laguna. Sedangkan endapan sedimen yang berkembang pada umumnya tcrdiri dari
perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan batubara dan batugamping. Struktur
sedimen yang berkembang ialah lapisan bersusun, silang siur dan laminasi halus. Endapan
batubara terbentuk akibat dari meluasnya Nrmukaan rawa dari pulau-pulau gambut (marsh)
yang
ditumbuhi
oleh
tumbuhan
air
tawar.
3. Endapan Batubara Delta
Berdasarkan bentuk dataran deltanya, batubara daerah ini terbentuk pada beberapa sub
lingkungan yakni delta yang dipengaruhi sungai, gelombang pasang surut. dataran delta
bawah dan atas, dan dataran aluvium. Kecepatan pengendapan sangat berpengaruh pada
penyebaran dan ketebalan endapan batubara. Batubara daerah ini tidak menerus secara lateral
akibat dari perubahan fasies yang relatif pendek dan cepat yang disebabkan oleh kemiringan
yang tajam sehingga ketebalan dan kualitasnya bervariasi. Pada umumnya batubara tersebut
berasal dari alang-alang dan tumbuhan paku.
4. Endapan Batubara Antar Delta dan Dataran Pantai
Batubara daerah ini terbentuk pada daerah rawa yang berkembang di :jerah pantai yang
tenang dengan water table tinggi dan pengaruh endapan liaaik sangat kecil. Daerah rawa
pantai biasanya banyak ditumbuhi oleh :umbuhan air tawar dan air payau. Batubara ini pada
umumnya tipis-tipis dan secara lateral tidak lebih dari 1 km.
Batubara lingkungan ini kaya akan abu, sulfur, nitrogen, dan mengandung fosil laut. Di
daerah tropis biasanya terbentuk dari bakau dan kaya sulfur. Kandungan sulfur tinggi akibat
oleh naiknya ion sulfat dari air laut dan oleh salinitas bakteri anaerobik.
Endapan batu bara Eosen
Endapan ini terbentuk pada tatanan tektonik ekstensional yang dimulai sekitar Tersier Bawah atau
Paleogen pada cekungan-cekungan sedimen di Sumatera dan Kalimantan.
Ekstensi berumur Eosen ini terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari sebelah barat Sulawesi,
Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Dari batuan sedimen yang pernah ditemukan

dapat diketahui bahwa pengendapan berlangsung mulai terjadi pada Eosen Tengah. Pemekaran Tersier
Bawah yang terjadi pada Paparan Sunda ini ditafsirkan berada pada tatanan busur dalam, yang
disebabkan terutama oleh gerak penunjaman Lempeng Indo-Australia.[2] Lingkungan pengendapan
mula-mula pada saat Paleogen itu non-marin, terutama fluviatil, kipas aluvial dan endapan danau yang
dangkal.
Di Kalimantan bagian tenggara, pengendapan batu bara terjadi sekitar Eosen Tengah - Atas
namun di Sumatera umurnya lebih muda, yakni Eosen Atas hingga Oligosen Bawah. Di Sumatera
bagian tengah, endapan fluvial yang terjadi pada fase awal kemudian ditutupi oleh endapan danau
(non-marin).[2] Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan bagian tenggara dimana endapan fluvial
kemudian ditutupi oleh lapisan batu bara yang terjadi pada dataran pantai yang kemudian ditutupi di
atasnya secara transgresif oleh sedimen marin berumur Eosen Atas. [3]
Endapan batu bara Eosen yang telah umum dikenal terjadi pada cekungan berikut: Pasir dan
Asam-asam (Kalimantan Selatan dan Timur), Barito (Kalimantan Selatan), Kutai Atas (Kalimantan
Tengah dan Timur), Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Tarakan (Kalimantan Timur), Ombilin
(Sumatera Barat) dan Sumatera Tengah (Riau).
Dibawah ini adalah kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Eosen di Indonesia

Endapan Batu Bara Miosen

Pada Miosen Awal, pemekaran regional Tersier Bawah - Tengah pada Paparan Sunda telah
berakhir. Pada Kala Oligosen hingga Awal Miosen ini terjadi transgresi marin pada kawasan yang luas
dimana terendapkan sedimen marin klastik yang tebal dan perselingan sekuen batugamping.
Pengangkatan dan kompresi adalah kenampakan yang umum pada tektonik Neogen di Kalimantan
maupun Sumatera. Endapan batu bara Miosen yang ekonomis terutama terdapat di Cekungan Kutai
bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan Barito (Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera
bagian selatan. Batu bara Miosen juga secara ekonomis ditambang di Cekungan Bengkulu.
Batu bara ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang mirip
dengan daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur. Ciri utama lainnya adalah
kadar abu dan belerang yang rendah. Namun kebanyakan sumberdaya batu bara Miosen ini tergolong
sub-bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis kecuali jika sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi
geografisnya menguntungkan. Namun batu bara Miosen di beberapa lokasi juga tergolong kelas yang
tinggi seperti pada Cebakan Pinang dan Prima (PT KPC), endapan batu bara di sekitar hilir Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian
selatan.

Tabel dibawah ini menunjukan kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Miosen di
Indonesia.

A. SUMBERDAYA BATU BARA

Potensi sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan
Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah kecil
dan belum dapat ditentukan keekonomisannya, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan
Sulawesi.
Badan Geologi Nasional memperkirakan Indonesia masih memiliki 160 miliar ton cadangan batu
bara yang belum dieksplorasi. Cadangan tersebut sebagian besar berada di Kalimantan Timur dan
Sumatera Selatan. Namun upaya eksplorasi batu bara kerap terkendala status lahan tambang. Daerahdaerah tempat cadangan batu bara sebagian besar berada di kawasan hutan konservasi. [1] Rata-rata
produksi pertambangan batu bara di Indonesia mencapai 300 juta ton per tahun. Dari jumlah itu,
sekitar 10 persen digunakan untuk kebutuhan energi dalam negeri, dan sebagian besar sisanya (90
persen lebih) diekspor ke luar.
Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah umum
digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara jauh lebih hemat dibandingkan solar,
dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batu bara hanya Rp
0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter).
Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia.
Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan miliar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk
memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak
mungkin membakar habis batu bara dan mengubahnya menjadi energis listrik melalui PLTU. Selain
mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan
kurang memberi nilai tambah tinggi.
Batu bara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika dikonversi
menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara yang
dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batu bara.

Membakar batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya secara
continue, yang bertujuan untuk mencapai efisiensi pembakaran yang maksimum, cara-cara
pembakaran langsung seperti: fixed grate, chain grate, fluidized bed, pulverized, dan lain-lain,
masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya.

PETA PERSEBARAN CEKUNGAN BATUBARA DI INDONESIA

BATUBARA

PERSEBARAN CEKUNGAN BATUBARA DI INDONESIA

Oleh :

Nama

Wa Ode Nurul Annisa

Nim

1306432

TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2015

Anda mungkin juga menyukai