SKRIPSI
Universitas Trisakti
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2018
BIOSEQUENCE STRATIGRAPHY ANALYSIS IN
LARIANG BASIN OFFSHORE , WEST SULAWESI,
INDONESIA
THESIS
Completed By:
TRISAKTI UNIVERSITY
JAKARTA
2018
SARI
Kata Kunci: Geologi, Pulau Pakal, Struktur Geologi, Fault Fracture Density,
Bauan Beku Ultrabasa, Endapan Nikel Laterit
BAB I
PENDAHULUAN
2
Secara administrasi, lokasi penelitian terletak di Pulau Pakal, Kecamatan
Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Daerah
penelitian merupakan daerah tambang nikel milik UBP Nikel Maluku Utara PT.
Antam (Persero) Tbk. Daerah penelitian juga termasuk ke dalam Peta Geologi
Regional Lembar Ternate dengan skala 1 : 250.000 yang diterbitkan oleh Seksi
Publikasi dan Dokumentasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG),
Bandung (T. Apandi dan D. Sudana, 1980). Proyeksi UTM (Universal Traverse
Mercator) pada daerah penelitian adalah datum WGS 1984 zona 520 N dan berada
dalam koordinat x: 424370.8480 - 426917.8675 dan y:87966.34394 – 85943.94668.
1.5 Hipotesa
Penelitian ini memiliki hipotesa yaitu endapan nikel laterit yang tebal akan
berada pada daerah yang memiliki nilai kerapatan struktur yang tinggi. Daerah yang
memiliki nilai kerapatan struktur yang tinggi akan terdapat endapan nikel laterit
4
yang tebal dikarenakan rekahan-rekahan pada batuan akan berperan sebagai jalur
air meteorik masuk ke dalam batuan dan melapukan batuan ultrabsa sehingga
endapan laterit terbentuk.
5
Data sekunder di dapat dari data yang sudah di miliki oleh UBP
Nikel Maluku Utara PT. Antam (Persero) Tbk berupa peta
isograde,dan peta topografi.
c) Tahap Analisis Data
Tahap analisis data dilakukan dengan mengumpulkan seluruh
data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis dan interpretasi
terhadap data tersebut. Tahap analisis ini meliputi analisis data
struktur geologi data pemetaan zona persebaran batuan asal (bedrock),
analis kelurusan yang di olah menjadi peta fault fracture density.
d) Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap terakhir adalah penyusunan laporan berdasarkan data
yang telah diperoleh selama penelitian di perusahaan atau lapangan
dengan bimbingan dari perusahaan dan pihak Universitas, diberikan
kepada perusahaan sebagai laporan penelitian dan sebagai Laporan
Tugas Akhir Sarjana Strata-1 di Program Studi Teknik Geologi
Universitas Trisakti.
6
stratigrafi regional, dan struktur geologi regional dimana
bahasan ini dapat menjadi modal dan gambaran awal kondisi
geologi regional daerah penelitian guna mengetahui
gambaran umum kondisi geologi daerah penelitian.
BAB III Teori Dasar
Bab ini menjelaskan secara umum gambaran
mengenai karakteristik endapan nikel laterit, metode fraktal
dan bentuk-bentuk rekahan. Bab ini diperoleh dari studi
pustaka dari beberapa buku maupun jurnal dan paper yang
sudah di publikasikan.
BAB IV Geologi Daerah Penelitian
Bab ini berisi tentang kondisi geologi daerah
penelitian berupa penyebaran batuan, geomorfologi,
stratigrafi, dan struktur geologi daerah penelitian dimana
hasil ini diperoleh dari hasil lapangan yang didapat dari
pemetaan geologi permukaan. Adapun hasil yang didapat
mengenai geologi daerah penelitian adalah peta
geomorfologi, penampang atau sayatan geomorfologi, peta
lintasan dan lokasi pengamatan, peta geologi, penampang
atau sayatan geologi, peta serpentinisasi, kolom stratigrafi,
dan analisis struktur geologi.
7
1.7 Diagram Alir
8
BAB II
TEORI DASAR
b. Zona Limonit
Zona limonit berada pada bagian bawah tanah penutup. Ketebalan zona ini
berkisar antara 0,80 m hingga 5,5 m. Zona limonit berwarna coklat dan pada
umumnya berukuran butir lempung. Zona ini terdiri dari mineral hematite,
kelompok mineral lempung, serta terdapat goethite pada zona dengan
kelembaban yang tinggi. Zona limonit yang berkomposisi hematite yang
berlimpah, memiliki warna coklat kemerahan. Komposisi Fe pada zona
limonit memiliki kadar sedang hingga tinggi yang berkisar antara > 25%,
dengan Al2O3 yang berkisar antara 5 – 7%. Daerah peralihan ke zona
selanjutnya yaitu zona saprolit, dicirikan oleh perubahan warna tanah dan
perubahan ukuran butir bergradasi ke ukuran yang lebih besar.
c. Zona Saprolit
Zona saprolit merupakan zona yang kaya akan nikel dan merupakan
zona paling ekonomis. Zona ini berada di bawah zona limonit. Ketebalan
9
zona saprolit pada umumnya berkisar antara 1 m hingga 10m. Zona ini
biasanya berwarna abu-abu, coklat kehijauan, hingga kuning muda. Ukuran
butir yang menyusun zona ini dominan merupakan material halus
berukuran pasir hingga kerakal, namun terlihat bongkah-bongkah batuan
dasar yang telah mengalami pelapukan antara 20 – 50%. Zona saprolit
memiliki komposisi nikel yang paling banyak diantara lapisan lainnya yaitu
dengan kadar antara 1,7 – 1,8% . Rekahan pada lapisan ini terisi silika,
krisopras, atau mineral garnierit.
d. Batuan Dasar (Bedrock)
Zona ini merupakan zona paling dasar dari profil penampang nikel laterit.
Warna pada zona ini umumnya hitam kehijauan, tergantung dari protolith atau
batuan induk yang ditemukan. Rekahan-rekahan diantara batuan ini terisi oleh
silika, krisopras, atau mineral garnierit. Pada batuan dasar, komposisi Ni dan
Co sangat sedikit, sedangkan komposisi MgO dan SiO2 mulai melimpah
antara 35 – 38% sehingga dikatakan tidak ekonomis lagi.
10
2.1.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pembentukan Endapan Nikel Laterit
Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan endapan nikel laterit adalah
sebagai berikut :
a. Batuan Asal
Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan
nikel laterit, macam batuan asalnya adalah batuan beku ultrabasa. Dalam hal
ini pada batuan beku ultrabasa tersebut, terdapat elemen nikel (Ni) yang paling
banyak diantara batuan beku lainnya dan mempunyai mineral-mineral yang
paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti olivin dan piroksen yang
mempunyai komponen-komponen mudah larut sehingga memberikan
lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel.
b. Iklim dan Airtanah
Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana terjadi
kenaikan dan penurunan permukaan airtanah juga dapat menyebabkan
terjadinya proses pemisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur
yang cukup besar akan membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan
terjadi rekahan-rekahan dalam batuan yang akan mempermudah proses atau
reaksi kimia pada batuan.
c. Reagen-Reagen Kimia dan Vegetasi
Yang dimaksud dengan reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan
senyawa-senyawa yang membantu mempercepat proses pelapukan. Airtanah
yang mengandung CO2 memegang peranan penting di dalam proses pelapukan
kimia. Asam-asam humus menyebabkan dekomposisi batuan dan dapat
merubah pH larutan. Asam-asam humus ini erat kaitannya dengan vegetasi
daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan penetrasi air dapat lebih
dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar pohon-pohonan,
akumulasi air hujan akan lebih banyak, humus akan lebih tebal. Keadaan ini
merupakan suatu petunjuk, dimana hutannya lebat pada lingkungan yang baik
akan terdapat endapan nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi.
Selain itu, vegetasi dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap
erosi mekanis.
11
d. Struktur Geologi
Struktur geologi yang sangat dominan adalah struktur kekar (joint)
dibandingkan terhadap struktur patahannya. Seperti diketahui, batuan beku
mempunyai porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi
air sangat sulit, maka dengan adanya rekahan-rekahan tersebut akan lebih
memudahkan masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif.
Adanya struktur kekar mempercepat proses pelapukan mekanis.
e. Topografi
Keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air
beserta reagen-reagen lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak
perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan
penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan.
Akumulasi andapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai
kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan
mengikuti bentuk topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah
air yang meluncur (run off) lebih banyak daripada air yang meresap ini dapat
menyebabkan pelapukan kurang intensif.
12
Posisi dari muka airtanah biasanya rendah, menyebabkan kemungkinan
terjadinya pelindian yang baik sehingga dapat menghasilkan horizon residual
dan akumulasi saprolit yang dalam. Pada daerah dengan relief yang rendah,
drainase menjadi terhalang dan muka airtanah dangkal (tinggi). Adanya aliran
air yang lambat menyebabkan larutan-larutan hasil pelapukan berpindah
kembali, sehingga konsentrasi nikel lebih banyak pada zona-zona residual,
kecuali pada daerah-daerah tertentu yang dikontrol oleh sesar memungkinkan
berkembangnya perlindian, dengan adanya beberapa perangkap tersebut
menyebabkan secara lokal dapat terbentuk zona-zona yang kaya. Keadaan
topografi setempat akan sangat memengaruhi sirkulasi air beserta reagen-
reagen lain. Pada daerah yang landai, maka air akan bergerak perlahan-lahan
sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih
dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi endapan
umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai kemiringan sedang,
hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk topografi.
Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang meluncur (run off)
lebih banyak daripada air yang meresap dimana hal ini dapat menyebabkan
pelapukan yang kurang intensif.
f. Waktu
Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup
intensif karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi. Laju pembentukan profil
endapan nikel laterit diperkirakan tidak terlalu menjadi pembatas. Melalui
perhitungan secara teoritis, dengan laju pelapukan 5-50 mm per 1000 tahun,
laju rata-rata 20 mm per 1000 tahun, dan ketebalan dari profil laterit yang telah
diketahui dapat diperkirakan waktu untuk pembentukan laterit, terjadi selama
1 – 6 juta tahun (Gleeson, 1999). Laju dari pelapukan ini sangat bergantung
pada proses-proses secara lokal dan sangat berbeda dari satu tempat dengan
tempat lain.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas menyebabkan karakteristik
endapan nikel yang berbeda untuk lokasi yang berbeda.
13
2.3 Struktur Geologi
Struktur berasal dari kata Latin struere yang artinya untuk membangun dan
struktur geologi didefinisikan oleh (Fossen, 2010) sebagai: “Struktur geologi
merupakan konfigurasi geometrik dari batuan, dan ilmu geologi struktur
berhubungan dengan geometri, distribusi, dan pembentukan struktur”. Struktur
geologi berkaitan erat dengan tektonik, dimana tektonik merupakan proses yang
membentuk struktur geologi dan dapat didefinisikan sebagai: “Proses regional yang
menghasilkan kumpulan karakteristik struktur pada suatu kawasan atau daerah”
(Fossen, 2010). Pembentukan struktur didasari oleh adanya proses deformasi yang
disebabkan oleh stress dan menghasilkan strain yang berupa deformasi, deformasi
adalah perubahan bentuk geometri batuan dari kondisi awal menjadi bentuk
geometri yang sekarang melalui proses translasi, rotasi, distorsi, dan dilatasi
(Fossen, 2010). Menurut Earle (2015) stress dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Compressive (kompresi)
2. Tension (ekstensi)
Gaya ekstensi adalah gaya yang sifatnya menarik (tensile)
sehingga menyebabkan batuan bergerak ke arah yang
berlawanan atau saling menjauh (diverging). Batuan yang
mengalami gaya ekstensi akan mengalami pemanjangan
(elongation). Struktur yang dihasilkan adalah sesar turun
(normal fault).
3. Shear
Gaya shear adalah gaya yang bekerja secara paralel terhadap
suatu bidang. Batuan yang mengalami shearing akan bergerak
14
secara paralel satu dengan lainnya (sliding). Struktur yang
dihasilkan adalah sesar geser jurus (strike-slip fault)
2.3.1 Lipatan
15
merupakan pencerminan dari suatu lengkungan yang mekanismenya disebabkan
oleh dua proses, yaitu bending (melengkung) dan buckling (melipat). Pada gejala
buckling, gaya yang bekerja sejajar dengan bidang perlapisan, sedangkan pada
bending, gaya yang bekerja tegak lurus terhadap bidang permukaan lapisan.
Menurut Billing (1959) lipatan merupakan bentuk undulasi atau suatu gelombang
pada batuan permukaan.
2.3.2 Kekar
Kekar adalah retakan pada batuan yang sisi – sisinya tidak mengalami
pergerakan. Kekar sering menjadi tempat mengalirnya fluida hidrotermal, ditandai
dengan kehadiran urat (vein) mineral tertentu hasil presipitasi atau kristalisasi dari
fluida tersebut. Kekar diklasifikasikan menjadi beberapa macam berdasarkan
penyebabnya, reaksi batuan terhadap stress, dan kedudukan relatifnya.
Kekar juga dapat dibagi menjadi 3 macam menurut reaksi batuan terhadap
stress, antara lain:
16
3. Kekar Rilis (release joint)
Pembentukan kekar ini agak berbeda dengan
kekar gerus maupun kekar ekstensi. Kekar gerus dan kekar
ekstensi terbentuk selama berlangsungnya stress,
sedangkan kekar rilis terbentuk setelah berlangsungnya
stress. Awalnya, compressional stress menekan
batuan.Saat compressional stress menghilang, tubuh
batuan berusaha kembali ke volume semula. Namun,
deformasi yang berlangsung menyebabkan terbentuknya
jajaran bidang retakan yang arahnya tegak lurus dengan
arah datangnya gaya eksternal yang dominan. Dilihat dari
formasi rekahannya, kekar rilis agak mirip dengan kekar
lembaran.
Gambar 3.6 Tiga macam kekar menurut reaksi batuan terhadap stress
17
2.3.3 Sesar
Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami
“pergeseran yang berarti” pada bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa bidang
sesar (fault plain) atau rekahan tunggal. Tetapi sesar dapat juga dijumpai sebagai
semacam jalur yang terdiri dari beberapa sesar minor. Jalur sesar atau jalur
penggerusan, mempunyai dimensi panjang dan lebar yang beragam, dari skala
minor sampai puluhan kilometer. Kekar yang memperlihatkan pergeseran bisa juga
disebut sebagai sesar minor. Terdapat beberapa klasifikasi sesar, antara lain:
18
Gambar 3.7 Determinasi penentuan jenis sesar (Rickard, 1972, op. citragan, 1973).
1. Rona (tone): rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek
pada citra (Sutanto, 1986) atau merupakan warna/ kecerahan relatif objek pada
foto (Lillesand dan Kiefer, 1979).
19
2. Tekstur (texture): adalah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan
Kiefer, 1979) atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk
dibedakan secara individual (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986).
6. Ukuran (size): ukuran adalah atribut objek yang antara lain berupa jarak,
luas, tinggi, lereng, dan volume (Sutanto, 1986). Menurut Soejitno (1995),
ukuran bentuk-bentuk geologi kadang-kadang sangat menolong penafsiran
geologi.
20
erosi, pelapukan, dll. Suatu bentang alam memberi gambaran umum daripada
tipe batuan dan atau struktur geologi yang mungkin hadir pada suatu daerah.
2. Pola aliran (drainage pattern): menurut Soejitno (1995), pola aliran dapat
menggambarkan tipe batuan secara umum (lunak/padat) serta kemungkinan
adanya struktur geologi yang hadir pada suatu daerah(antiklin, sinklin, sesar,
dome), dikarenakan pola aliran akan mencerminkan faktor-faktor tersebut.
21
komputerisasi yang umumnya digunakan adalah triangulated irregular networks
(TIN), regular grids, garis kontur, dan scattered data points. DEM umumnya terdiri
dari model wireframe atau matriks gambar (raster) di mana nilai setiap piksel
diasosiasikan dengan ketinggian spesifik topografi suatu daerah (Sulebak, 2000).
Kelurusan atau lineament adalah fitur linier sederhana dan atau majemuk di
permukaan bumi yang dapat terpetakan pada skala ≥ 1:25.000, di mana fitur linier
tersebut memiliki arah penjajaran yang rectilinear atau curvilinear, serta memiliki
pola yang berbeda dengan fitur di sekitarnya yang dianggap dapat mencerminkan
fitur dan fenomena bawah permukaan (O ‘Leary dan Friedman, 1978 dalam
“Lineament interpretation Short review and methodology”, 2010) . Sementara
menurut Hobbs (1903 dan 1912) dalam Lineament interpretation Short review and
methodology (2010), kelurusan adalah garis signifikan di permukaan bumi yang
dapat menyingkap arsitektur tersembunyi dari batuan dasar (basement), oleh Hobbs
kelurusan yang dianggap penting adalah kelurusan yang menggambarkan: puncak
dari punggungan bukit/pegunungan atau batas dari daerah yang tinggi dengan yang
rendah, drainase sungai, garis pesisir, dan batas satuan/formasi batuan. Studi yang
berhubungan dengan kelurusan mulai dipelajari sejak awal abad ke 19, di mana para
ahli geologi mulai menyadari hubungan antara rekahan (fractures) dan bentukan
lahan yang terutama dikontrol oleh sistem rekahan, sehingga erosi batuan dan
bentukan bentang alam mencerminkan proses struktur geologi yang bekerja pada
suatu daerah (Lineament interpretation Short review and methodology, 2010).
Pada awalnya peta dasar yang digunakan untuk studi kelurusan adalah peta
topografi, namun seiring berjalannya waktu maka tersedia alternatif lain berupa foto
udara dan citra satelit yang dapat memberikan resolusi gambar lebih baik dan jelas
dibandingkan dengan peta topografi, penggunaan data survei geofisika seperti
Airborne geophysics survey (magnetic, electromagnetic, radiation, gravimetric)
berfungsi untuk mendukung interpretasi kelurusan (Lineament interpretation Short
review and methodology , 2010)
22
interpretasi kelurusan dapat dibuat secara visual dengan cara memperhatikan aspek-
aspek berikut:
23
Mendala Fisiografi Halmahera Barat sebagian besar meliputi perbukitan
batuan sedimen dengan morfologi karst pada batugamping yang berumur Neogen.
Pegunungan bermorfologi kasar terdapat di beberapa tempat, mencermikan batuan
gunungapi Oligosen-Miosen.
Deretan pula di sebelah Halmahera membentuk busur kepulauan Gunungapi
Kuarter. Sebagian besar pulaunya berbentutk kerucut gunungapi yang masih
bekerja,seperti Gunung Ternate, Gunung Tidore, dan Gunung Makian.
24
Gambar 3.2. Peta Geologi Regional Lembar Ternate T. Apandi dan D. Sudana
(1980).
25
zaman Kuarter sebagaimana ditunjukan oleh batugamping terumbu di pantai daerah
Lengan Timur Halmahera.
Batuan tertua di daerah Mendala Geologi Halmahera Barat berupa batuan
gunungapi Oligosen-Miosen Formasi Bacan (Tomb). Batuan sedimen dan karbonat
berumut Miosen-Pliosen tersebar luas di mandala ini; kebanyakan sedimennya bersifat
tufaan. Selain itu di vagian utarabta ditemukan pula batuan gunungapi Kuarter (Qpk
dan Qht).
Deretan pulau yang membentuk Busur Kepulauan Gunungapi di barat
Halmahera, sebagian besar tertutup rempah-rempah gunungapi Holosen. Hanyadi
pulau Kayoa, di selatan, Tersingkap batuan gunungapo Oligosen-Miosen Formasi
Bacan, yang tertinfih batugamping koral (Ql).
Gambar 3.3. Kolom Stratigrafi Regional Lembar Ternate T. Apandi dan D. Sudana.
26
2.8 Struktur Geologi Regional
Halmahera dan pulau- pulau sekitar Indonesia bagian timur merupakan suatu
konfigurasi busur kepulauan sebagia hasil pertumbukan lempeng di bagian barat
Pasifik. Berdasarkan kondisi geologi dan tektonik ( Gambar 3.5 ), pulau Halmahera
cukup unik, karena pulau ini terbentuk akibat pertemuan tiga lempeng yaitu : Eurasia,
Pasifik dan Indo – Australia. Di bagian Selatan Halmahera terdapat zona sesar Sorong
yang merupakan “ strike slip fault ”. Sepanjang zona sesar ini Halmahera bergerak ke
arah barat bersamaan dengan lempeng Indo – Australia.
Kegiatan tektonik kemungkinan dimulai pada Kapur Akhir dan Awal Tersier,
ditandakan oleh adanya komponen batulempung berumur Kapur dan batuan beku
ultrabasa didalam konglomerat yang membentuk Formasi Dorosagu. Ketidak
selarasan antara batuan berumur Paleosen - Eosen, yaitu Formasi Dorosagu dengan
batuan lebih muda yang terjadi berkisar pada Eosen Akhir sampai Oligosen Awal,
mencerminkan kegiatan tektonik yang kemudian diikuti kegiatan gunungapi yang
membentuk Formasi Bacan, namun kenampakan struktur yang ada terbentuk pada
peristiwa tektonik berikutnya khususnya terjadi pada akhir Pliosen sampai Awal
Pliosen.
27
benturan dengan lempeng Eurasia dan lempeng Hindia-Australia dimana lempeng
pasifik menunjam dan mengalami pengangkatan yang mana Satuan Ultrabasa (Ub)
yang tersingkap memiliki kekar dengan orientasi arah relatif Tenggara-Barat Laut.
Selain itu pada Satuan Ultrabasa (Ub) juga terdapat struktur geologi berupa sesar naik
dan sesar mendatar dengan arah relatif Timur Laut-Barat Daya dan Tenggara-Barat
Laut dimana struktur geologi ini terbentuk setelah pembentukan satuan ini.
Pembentukan struktur geologi pada fase tektonik yang bekerja pada zaman Eosen-
Oligosen pada Satuan Ultrabasa (Ub) ini dilanjutkan dengan pengendapan satuan-
satuan batuan yang lebih muda di atasnya secara tidak selaras. Adapun satuan batuan
yang lebih muda tersebut terendapkan dan menutupi sebagian Satuan Ultrabasa (Ub)
tersebut. Terendapkannya satuan batuan yang lebih muda di atas batuan dasar tersebut
terus berlanjut hingga terjadi fase tektonik kedua pada zaman Miosen-Pliosen yang
menyebabkahn terjadinya bidang ketidakselarasan antara Satuan Ultrabasa (Ub)
beserta satuan batuan berumur geologi sebelum Miosen dengan satuan batuan berumur
geologi setelah Pliosen.
Gambar 3.5. Gambar Tektonik Indonesia Timur ( after silver & Moore,1979,
Hamilton, 1979; Sukamto dkk., 1981).
28
BAB III
DATA DAN ANALISIS DATA
4.1 Data
Data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data primer, dengan
melakukan pengambilan data langsung di lapangan,. Data yang di ambil di lapangan
berupa sampel batuan, pencatatan arah kekar dan kondisi endapan nikel laterit pada
setiap lokasi penambangan yang akan di sajikan pada lampiran. Data – data yang
disiapkan adalah peta dari data ASTGDEM daerah penelitian (Gambar 3.1),
reverensi studi terdahulu berupa peta geologi Regional Lembar Ternate ( Gambar
3.2), peta topografi Daerah Pulau Pakal dan sekitarnya, Kabupaten Halmahera Timur,
Provinsi Maluku Utara (Gambar 3.3)
Pada gambar di atas (Gambar 3.1) menunjukan citra satelit daerah penelitian,dimana
kotak merah menunjukan luas wilayah analisa kelurusan daerah penelitian.
29
Gambar 3.2 Lokasi Daerah Penelitian ( T. Apandi dan D. Sudana 1980)
Pada gambar di atas (Gambar 3.2) menunjukan peta geologi reginal Lembar
Maluku yang disusun oleh T. Apandi dan D. Sudana, 1980. Di mana kotak biru
menunjukan batas lokasi penelitian dan formasi yang ada di dalamnya. Pada daerah
penelitian terdapat satu formasi, yaitu Formasi Ultra Basa (Ub).
30
3.2 Analisis Data
31
Gambar 3.4 Peta penarikan kelurusan daerah penelitian
Pada gambar di atas (Gambar 3.4) dapat dilihat daerah dengan densitas yang
tinggi menunjukkan daerah yang memiliki kelurusan yang lebih panjang dan lebih
rapat dalam satuan km/km². Pada gambar tersebut dapat dilihat lokasi-lokasi
penambangan berada pada daerah dengan nilai lebih dari 8,0 km/km². Pada daerah
penelitian lokasi penambangan berada pada densitas sedang hingga tinggi yang
menandakan bawah lokasi yang memiliki endapan laterit yang tebal terdapat pada
daerah yang kekar – kekarnya rapat dan terhubung ke sumber satu sama lain dibawah
permukaan sehingga menyebabkan fluida ataupun air meteorik dapat masuk ke dalam
batuan sehingga melapukan batuan dan membentuk endapan laterit.
32
Gambar 3.5 Peta Fault Fracture Density daerah penelitian
33
BAB IV
- Morfografi
Secara garis besar morfografi memiliki arti gambaran bentuk permukaan
bumi atau arsitektur permukaan bumi dan dapat dibedakan menjadi
bentuk lahan perbukitan/punggungan, pegunungan, atau gunungapi,
lembah dan dataran. Beberapa pendekatan lain untuk pemetaan
geomofologi selain morfografi adalah pola punggungan, pola pengaliran
dan bentuk lereng.
- Morfogenetik
34
Aspek ini merupakan proses atau asal – usul terbentuknya permukaan
bumi seperti bentuk lahan perbukitan/pegunungan, bentuk lahan lembah,
atau bentuk lahan dataran. Proses yang berkembang terhadap
pembentukkan permukaan bumi tersebut adalah proses eksogen dan
proses endogen.
- Morfometri
Aspek ini merupakan penilaian kuantitatif dari suatu bentuk lahan dan
merupakan unsur pendukung dalam geomorfologi yang sangat berarti
terhadap morfografi dan morfogenetik. Penelitian kuantitatif terhadap
bentuk lahan memberikan penajaman tata nama bentuk lahan dan akan
sangat membantu terhadap analisis lahan untuk tujuan tertentu, seperti
tingkat erosi, kestabilan lereng dan menentukan nilai dari kemiringan
lereng tersebut.
Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian dilakukan
berdasarkan aspek deskriptif dan genetik. Penamaan satuan geomorfologi
daerah penelitian berdasarkan atas parameter deskriptif, litologi, dan proses
genetik baik secara endogen maupun eksogen yang terjadi didaerah
penelitian tersebut. Pembahasan geomorfologi bermaksud untuk
mengelompokkan bentang alam secara sistematis berdasarkan
Kenampakkan bentuk-bentuk relief di lapangan, kemiringan lereng, beda
tinggi serta variasi litologi, pola aliran sungai, genetik sungai dan struktur
geologi yang mengontrolnya.
Pengklasifikasian bentang alam tersebut dilakukan dengan mengacu
kepada parameter-parameter relief yang disusun oleh van Zuidam (1983)
(Tabel 4.2). Secara umum geomorfologi daerah penelitian memperlihatkan
perbukitan dan bergelombang berdasarkan dari perhitungan kelerengan
(Gambar 4.1 dan Tabel 4.4). Untuk analisis genetik daerah penelitian ini
menggunakan klasifikasi van Zuidam (1983) yang dimodifikasi oleh
Handaya dan Hidartan (1994) yaitu bentukan bentang alam yang dibagi
menjadi dua, yaitu bentukan bentang alam asal endogen dan bentukan
bentang alam asal eksogen (Tabel 4.3).
35
Tabel 4.2 Pembagian tingkat` kelerengan dan beda
tinggi oleh van Zuidam (1983).
Beda
Kemiringan
No Relief Ketinggian
Lereng (%)
(m)
1 Topografi Dataran 0-2 <5
2 Topografi Dataran Berombak 3–7 5 – 50
Topografi Dataran
3 8 – 13 25 - 75
Bergelombang
Topografi Perbukitan
4 14 - 20 50 - 200
Bergelombang
5 Topografi Perbukitan Terjal 21 - 55 200- 500
Topografi Pegunungan Sangat
6 56 - 140 500 - 1000
Tajam
Topografi Pegunungan Sangat
7 >140 < 1000
Curam
36
Berdasarkan beberapa aspek penunjang tersebut, maka daerah
37
Tabel 4.4 Tabel Geomorfologi Daerah Penelitian.
30
Foto 4.1 Satuan Geomorfologi Dataran Berombak Marine
31
Foto 4.2 Satuan Dataran Bergelombang Denudasional
32
Foto 4.3 Satuan Perbukitan Bergelombang Denudasional
33
mayor pada daerah pemetaan sehingga diklasifikasikan ke dalam bentuk lahan
struktural.
batuan dan data struktur geologi maka dapat di bentuk peta geologi. Dari peta
34
Gambar 4.2 Peta Geologi Daerah Penelitian
33
Tabel IV.6 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian Tanpa Skala
Berikut akan dijelaskan satu per satu secara rinci yang meliputi penyebaran
dan ketebalan, ciri-ciri litologi, umur, lingkungan pengendapan, serta hubungan
stratigrafi dan kesebandingan setiap satuan yang telah disebutkan sebelumnya.
Satuan ini meliputi ± 25% dari total luas daerah penelitian, dan
satuan ini dominan pada bagian tangah sebelah utara daerah penelitian.
Penyebaran satuan ini meliputi daerah penambangan Jara-jara, Wato-
wato, Para-Para dan Waste dump Utara. Ketebalan dari satuan ini tidak
dapat diukur dari penampang dikarenakan tidak diketahui penyebaran
batuan dibawah permukaan.
33
b. Litologi
Satuan ini merupakan jenis batuan beku ultrabasa. Secara
megaskopis, pada kondisi segar (fresh) batuan berwarna kehijauan dan
pada kondisi lapuk berwarna hijau kecoklatan hingga coklat. Kristalinitas
berupa holokristalin, granularitas fanerik, fabrik euhedral – subhedral,
relasi equigranular, komposisi mineral didominasi olivine, dengan
sedikit piroxen. Pada sebagian singkapan yang ditemui dilapangan,
terlihat ada urat-urat garnerit.
34
Foto 4.6 Sayatan Tipis Satuan Dunit Pada LP 12
35
yang di tulis oleh J.L. Bodinier and M. Godard (2004) yang berjudul
Orogenic, Ophiolitic, and Abyssal Peridotites, in The Mantle and Core .
d. Kesebandingan
a. Penyebaran
Satuan ini meliputi ± 20% dari total luas daerah penelitian, dan
satuan ini dominan pada bagian tangah sebelah selatan daerah penelitian.
Penyebaran satuan ini meliputi daerah penambangan Best dan Subaim
dan Exportable Transit Ore (ETO). Ketebalan dari satuan ini tidak dapat
diukur dari penampang dikarenakan tidak diketahui penyebaran batuan
dibawah permukaan.
36
b. Litologi
37
Foto 4.8 Sayatan Tipis Satuan Peridotit Pada LP 8
38
yang di tulis oleh J.L. Bodinier and M. Godard (2004) yang berjudul
Orogenic, Ophiolitic, and Abyssal Peridotites, in The Mantle and Core .
d. Kesebandingan
Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya di
daerah penelitian, maka satuan peridotit ini disebandingkan dengan
regional yang mengacu pada T. Apandi dan D. Sudana (1980) pada Peta
Geologi Lembar Ternate kerena memiliki pencirian yang sama dan yang
menyebutkan bahwa satuan ini yaitu formasi komplek utrabasa (Ub).
a. Penyebaran
Satuan ini meliputi ± 50% dari total luas daerah penelitian, dan
satuan ini dominan pada bagian tepi mengitari daerah penelitian..
Ketebalan dari satuan ini tidak dapat diukur dari penampang dikarenakan
tidak diketahui penyebaran batuan dibawah permukaan.
b. Litologi
Satuan ini merupakan jenis batuan malihan. Secara megaskopis,
pada kondisi segar (fresh) batuan berwarna Hijau Kehitaman dan pada
kondisi lapuk berwarna hijau keabu-abuan. Batuan ini memiliki struktur
nonfoliasi, bertekstur granuloblastik.
39
Komposisi mineral dari batuan ini di dominasi oleh olivin dan piroxen yang
sudah terubahkan menjadi serpentin sekitar 80% dan sisanya merupakan
mineral olivine dan piroxen.
40
Foto 4.8 Sayatan Tipis Satuan Serpentinit Pada S02
41
d. Kesebandingan
Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya di
daerah penelitian, maka satuan serpentinit ini disebandingkan dengan
regional yang mengacu pada T. Apandi dan D. Sudana (1980) pada Peta
Geologi Lembar Ternate kerena memiliki pencirian yang sama yang
menyebutkan bahwa satuan ini yaitu formasi komplek utrabasa (Ub).
Satuan ini dinamakan sebagai satuan endapan pantai (Tabel 4.6) karena
pada daerah ini di dominasi oleh fragmen berukuran pasir halus hingga pasir kasar
terendapkan pada daerah ini dan belum terlitifikasi.
a. Penyebaran
Satuan ini meliputi ± 5% dari total luas daerah penelitian, dan satuan
ini dominan pada bagian pesisir pantai daerah penelitian. Penyebaran
satuan ini meliputi daerah pesisir pantai bagian barat daerah penelitian
dan pesisir pantai bagian tenggara daerah penelitian.
b. Litologi
Satuan ini merupakan endapan dari fragmen batuan yang berasal
dari batuan asal yang tererosi dan fragmen tersebut tertransportasi dan
terendapkan pada daerah ini. Endapan ini memiliki ukuran butir dari
pasir halus hingga pasir kasar dan memiliki warna putih kecoklatan.
42
Foto 4.11 Satuan Endapan Pantai
c. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Penentuan umur dari satuan ini menggunakan acuan kesebandingan
oleh T. Apandi dan D. Sudana (1980), untuk penentuan umur relatif.
Umur relatif dari satuan ini diperkirakan Holosen dan proses
pengendapannya pun masih berjalan hingga saat ini.
d. Kesebandingan
Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya
di daerah penelitian, maka satuan serpentinit ini disebandingkan dengan
regional yang mengacu pada T. Apandi dan D. Sudana (1980) pada Peta
Geologi Lembar Ternate kerena memiliki pencirian yang sama yang
menyebutkan bahwa satuan ini yaitu formasi Aluvium dan Endapan
Pantai (Qa).
43
bukit ataupun pembelokan sungai secara tiba-tiba, yang dijadikan data penunjang
dalam penentuan struktur geologi di daerah penelitian.
Sesar Naik Best terdapat di bagian barat sampai utara daerah penelitian.
Sesar ini membentang dengan arah relatif Barat Daya – Timur Laut. Sesar naik
mensesarkan satuan dunit, peridotit dan serpentinit. Indikasi-Indikasi yang diamati
adalah:
44
.
45
Berdasarkan hasil stereografi dari kelurusan kontur dekat daerah
penambangan Best sebagai arah bidang sesar dan data shear joint pada LP 7 serta
LP8 didapatkan hasil berupa rake 59° dan strike/dip N 202°E/71°NW. Sesar ini
merupakan sesar naik mengiri berdasarkan bentuk stereografi, nilai rake dan
strike/dip. Menurut klasifikasi Rickard (1972) sesar ini masuk ke dalam Left Thrust
slip fault.
46
a) Kelurusan Topografi di daerah lokasi penambangan Wato-wato.
b) Analisa stereografi dari data shear joint pada LP19.
47
Berdasarkan hasil stereografi dari kelurusan kontur dekat daerah
penambangan Wato-wato sebagai arah bidang sesar dan data shear joint pada LP
19 serta didapatkan hasil berupa rake 76° dan strike/dip N 333°E/43°NE. sesar ini
merupakan sesar naik mengiri berdasarkan bentuk stereografi, nilai rake dan
strike/dip. Menurut klasifikasi Rickard (1972) sesar ini masuk ke dalam right thrust
slip fault.
48
Gambar 4.6 Lokasi dan Stereografi Sesar Mendatar Mengiri Jara-jara
49
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
Hasil dari analisis kelurusan yang di olah menjadi peta FFD, yang kemudian
nilai FFD tersebut akan di bandingkan dengan kondisi endapan nikel laterit pada
setiap lokasi penambangan dan struktur geologi apa saja yang mempengaruhi
ketebalan endapan nikel laterit pada lokasi penambangan tersebut. .
50
endapan laterit. Rekahan pada lokasi penambangan best di dominasi oleh
rekahan shear joint. Rekahan pada lokasi ini di hasilkan dari sesar naik best
hal ini di buktikan dari analisis kinematik pada lokasi penambangan best
(LP9) memiliki arah yang sama dengan kekar pada LP 7 dan LP 8 sebagai
sampel data untuk analisis kinematik sesar naik best.
51
Foto 5.2 Profil Nikel Laterit Pada Lokasi Penambangan Harmoni
52
Foto 5.3 Profil Nikel Laterit Pada Lokasi Penambangan Para-para
53
E. Lokasi Penambangan Jara-Jara
54
ini menyababkan air meteorik tidak dapan melakukan penetrasi ke dalam
batuan induk, akan tetapi air yang melewari lereng hanya akan mengalir
megikuti lerengnya (run off). Lokasi penambangan utara karena memiliki
endapan laterit yang tipis maka materialnya di manfaatkan sebagai
penimbun jalan. Topografi yang terjal ini di pengaruhi oleh sesar naik best
dan sesar naik wato-wato.
LP6 memiliki nilai kerapatan struktur yang cukup tinggi yaitu pada
kisaran 8,7km/km² sampai 9,0 km/km². Walaupun memiliki nilai
kerapatan struktur yang tinggi tetapi lokasi ini tidak memiliki
endapan laterit yang tebal hal ini di sebabkan oleh kondisi
topografinya yang sangat terjal dan berada hal ini menyababkan air
meteorik tidak dapan melakukan penetrasi ke dalam batuan induk,
akan tetapi air yang melewari lereng hanya akan mengalir megikuti
lerengnya (run off). Topografi yang terjal ini di pengaruhi oleh
struktur sesar naik best.
55
Foto 5.4 Singkapan pada LP6
Hasil dari pemetaan ini selain peta geologi penulis juga membuat peta
yang menunjukan batas antara Bed Rock dengan endapan laterit.
56
Peta yang memisahkan antara Bed Rock dan endapan Laterit dapat di
kembagkan menjadi peta sebaran potensi ketebalan endapan nikel laterit dengan
membandingkan densitas struktur, geomorfologi dan kondisi endapan nikel laterit
yang terdapat pada setiap lokasi nemanbangan dapat di buat ”Peta Potensi Sebaran
Endapan Nikel Laterit” berdasarkan hasil analisis yang telah di buat dan masih
berupa intepretasi dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
57
5.1.2 Pemodelan Penampang Tektonik
Batuan beku ultrabasa yang terbentuk di Mid Oceanic Rigde (MOR) dan
sebagai batuan pembentuk kerak samudra. Umumnya Batuan ultrabasa terdapat
pada kerak samudra yang seharusnya batuan ini berada di dasar samudra. Pada
daerah penelitian terdapat endapan nikel laterit yang di mana terbentuk dari batuan
ultrabasa . Batuan ultrabasa pada daerah penelitian dapat tersingkap di permukaan
dan mengalami pelapukan di karenakan terjadi tumbukan atau tabrakan antara 2
lempeng yaitu lempeng laut philipina dan lempeng molluca. ( Gambar 5.3).
Akibat dari lempeng laut philipina yang terbentuk dari batuan ultrabasa
memiliki pergerakan relatif ke barat dan berturukan dengan lempeng molluca.
Lempeng laut philipine yang telatif menunjam mengakibatkan terjadinya proses
Lifting yang membuat sebagian dari lempeng laut philipina yang merupakan batuan
ultrabasa terangkat ke permukaan.
58
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Pada daerah penelitian terdapat empat satuan batuan dengan urutan tua
kemuda yaitu Satuan Dunit, Satuan Peridotit, Satuan Serpentinit dan Satuan
Endapan Pantai.
2. Struktur geologi yang mengkontrol sebaran endapan nikel laterit yaitu sesar
mendatar mengiri jara-jara, sesar naik wato-wato dan sesar naik best. Selain
ketiga patahan tersebut rekahan rekahan pada batuan juga sangat
mempengaruhi terbentuknya endapan nikel laterit.
3. Struktur patahan sesar naik kurang baik untuk penbentukan endapan nikel
laterit karena sesar naik menyebabkan topografi yang curam sehingga air
meteorik tidak melepukan bagian dalam batuan asal karena air meteorik
yang meliwati lereng hanya akan runoff .
4. Daerah yang memiliki endapan nikel laterit yang tebal berada pada daerah
yang memiliki nilai densitas struktur yang menengah hingga tinggi dan juga
kemiringan lereng yang tidak terlalu terjal.
59
6.2 Saran
60
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.M, 1951, The Dynamics of Faulting. Oliver and Boyd, Edinburgh, 241
pp. Hill (1953)
Apandi, T dan Sudana. D. 1980. Peta Geologi Lembar Ternate, Maluku Utara Skala 1
: 250.000,: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, P3G. Bandung.
Bemmelen, van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Martinus Nyhoff, The Haque,
Netherland.
Billings, M.P., 1959. Structural Geology, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New
Jersey
Darman, Herman dan Sidi, F. Hasan. 2000. An Out Line Of The Geologi Of Indonesia
: Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Jakarta
Fossen, Haakon, 2010, Structural Geology. Cambridge University Press, New York.
Guilbert, J.M., dan Park Jr, C. F., 1986. The Geology of Ore Deposits. New
York: W.H. Freeman and Company.
Hammilton, W.R., 1979, Tectonics of The Indonesia Region. United States Geological
Survey.
Hidartan dan Handaya, Agung. 1994. Pemetaan Geomorfologi Sistematis untuk Studi
Geologi. Jakarta: Majalah IAGI.
Hobbs, B., 1912., An Outline Structural Geology, Wiley and sons, New York
60
Lillesand, T.M. Dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Di
Indonesia-kan oleh Dulbahri, P. Suharsono, Hartono, Dkk.). Gajah MadaUniversity
Press. Yogyakarta.
Marlundu, P, 2012, Kontrok Struktur Pada Mineralisasi Laterit Nikel Site T. Buli, Buli-
HalTim
Moody, J.D., Hill, M.J., 1956, Wrench Fault Tectonics, Bulletin of The Geological
Society of America.
Rohrbaugh et al., 2002.Estimating Fracture Trace Intensity, Density, And Mean Length
Using Circular Scan Lines And Windows.AAPG Bull., 86 (12) (2002), pp. 2089-2104
Sutanto. (1986). Pengideraan Jauh Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Thornbury, W.D. (1969), Principles of Geomorphology. John Wiley & Sons, New
York, 594 pages.
Turus Soejitno, 1995, Teknik dan Aplikasi Geologi Foto, PT. Rosda Jayaputra, Jakarta.
61
O ‘Leary dan Friedman, 1978. Lineament interpretation Short review and
methodology, 2010 .
Van Zuidam, R. A.., 1985. Aerial Photo – Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. Smith Publisher, The Hague, ITC.
Verstappen, H.Th. and R.A. van Zuidam, 1968. ITC System Of Geomorphological
Survey. Delf:ITC
62