Anda di halaman 1dari 77

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN

KETEBALAN ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA PULAU


PAKAL KECAMATAN MABA SELATAN, KABUPATEN
HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 dari

Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi

Universitas Trisakti

Disusun Oleh:

I GDE WAYAN SUNTA DI WISESA


072001300056

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2018
BIOSEQUENCE STRATIGRAPHY ANALYSIS IN
LARIANG BASIN OFFSHORE , WEST SULAWESI,
INDONESIA
THESIS

This report is completed as a graduation requirement of Bachelor Degree of

Geological Engineering Study Program, Faculty of Earth Science Technology and

Energy, Trisakti University

Completed By:

I GDE WAYAN SUNTA DI WISESA


072001300056

GEOLOGICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM

FACULTY OF EARTH SCIENCE TECHNOLOGY AND ENERGY

TRISAKTI UNIVERSITY

JAKARTA

2018
SARI

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN


KETEBALAN ENDAPAN NIKEL LATERIT PULAU PAKAL,
KECAMATAN MABA SELATAN, KABUPATEN HALMAHERA
TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA

I GDE WAYAN SUNTA DI WISESA

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi,


Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia

Daerah penelitian terletak di Pulau Pakal, Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten


Halmahera Timur,Provinsi Maluku Utara . Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
keadaan geologi yang difokuskan pada struktur – struktur geologi dan pengaruhnya
terhadap penyebaran ketebalan endapan nikel laterit, menggunakan data pengukuran
kekar di lapangan yang dibantu dengan metode FFD (fault fracture density).
Geomorfologi daerah penelitian terbagi atas empat satuan berdasarkan kenampakan
morfologi dari hasil tersebut terdapat satuan Denudasional, Struktural dan marin.
Penarikan kelurusan morfologi pada daerah penelitian memiliki arah dominan berupa
Barat laut – Tenggara dan timur laut - barat daya yang menghasilkan peta densitas
dengan arah kontur dominan berada pada lokasi yang berpotensi memiliki endapan
nikel laterit yang tebal jika meiliki lereng yang tidak curam. Geologi daerah penelitian
terbagi atas empat satuan, yang di dominasi oleh batuan beku ultrabasa yaitu satuan
dunit, satuan peridotit, satuan serpentinit dan satuan endapan pantai yang dibagi
berdasarkan ciri-ciri dan kesamaan litologi pada pengambilan data di lapangan.
Struktur daerah penelitian dianalisis melalui kelurusan morfologi untuk pengambilan
arah sesar yang didukung dengan data kekar, setelah itu dilakukan analisa kinematik.
Didapatkan tiga struktur geologi yang berupa sesar naik best, sesar naik wato-wato
dan sesar geser mengiri jara-jara. Dari hasil yang didapat, peta potensi sebaran
ketebalan endapan nikel laterit dapat di buat berdasarkan data lapangan, hal ini masih
berupa interpretasi dan butuh penelitian lebih lanjut.

Kata Kunci: Geologi, Pulau Pakal, Struktur Geologi, Fault Fracture Density,
Bauan Beku Ultrabasa, Endapan Nikel Laterit
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Halmahera Timur merupakan salah satu daerah di Maluku Utara yang
memiliki prospek keterdapatan mineral logam terutama nikel. Beberapa lokasi
penambangan nikel terdapat di Halmahera Timur di antaranya Tanjung Buli, Pulau
Gee, dan Pulau Pakal.
Daerah Halmahera Timur termasuk dalam fisiografi mandala geologi
Halmahera Timur yang terletak dalam circum pacific orogenic belt, yang batuan
dasarnya terdiri dari batuan berumur PraTersier (strata upper mesozoic sampai
dengan lower tertiary). Mandala geologi Halmahera Timur tersusun oleh berbagai
formasi batuan baik batuan beku maupun batuan sedimen. Adapun batuan dasar
pada daerah ini adalah Satuan Ultrabasa (Ub). Berdasarkan penyelidikan terdahulu
(T. Apandi dan D. Sudana, 1980) menyebutkan bahwa Satuan Ultrabasa (Ub)
tersusun atas grup peridotit dan serpentinit. Satuan Ultrabasa (Ub) yang terdapat di
daerah ini merupakan satuan batuan yang berpotensi menghasilkan mineral logam
hal ini sangat dipengaruhi oleh lempeng Pasifik yang dikenal sangat kaya membawa
endapan bahan galian logam sebagaimana diketahui bahwa daerah ini terbentuk
akibat konvergensi antara tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Eurasia,
lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik. Akibat proses konvergensi pada
bidang-bidang batas lempeng tersebut, maka daerah ini merupakan suatu zona lebar
yang telah mengalami tektonik intensif yang ditandai oleh struktur geologi
kompleks khususnya daerah Halmahera Timur yang mana batuan dasarnya berasal
dari lempeng Pasifik. Oleh karena sebagian daerah Halmahera Timur merupakan
daerah yang memiliki batuan beku ultrabasa, maka daerah ini termasuk daerah
strategis untuk prospek cebakan sumber daya mineral dimana batuan beku ultrabasa
dapat menjadi sumber pelapukan laterit. Batuan beku ultrabasa pada daerah ini
berupa grup peridotit yang merupakan batuan sebagai sumber pembawa nikel (Ni).
Batuan ini dapat mengalami perubahan dan pelapukan yang intensif diikuti oleh
proses laterisasi sehingga menghasilkan mineral-mineral pembawa unsur nikel.
1
Berdasarkan informasi di atas, penulis tertarik untuk mempelajari kondisi
geologi di Halmahera Timur khususnya Pulau Pakal yang merupakan suatu
komplek batuan beku ultrabasa seagai batuan tertua pada daerah ini dan merupakan
batuan sebagai pembawa unsur nikel dimana penulis melaksanakan pemetaan
geologi permukaan dan analisis struktur geologi yang mana hasil dari kedua
kegiatan tersebut dianalisis untuk mengetahui kontrol struktur geologi terhadap
penyebaran nikel (Ni) dalam endapan nikel laterit sehingga diketahui persebaran
dan potensi nikel di daerah tersebut. Tugas Akhir yang dimaksudkan disini adalah
melaksanakan kegiatan di lapangan dan analisis struktur geologi yang sesuai
dengan bidang geologi. Tugas Akhir dilaksanakan di PT. Antam (Persero) Tbk.
Unit Bisnis Pertambangan Nikel Maluku Utara yang bergerak dalam bidang
penambangan nikel.

1.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dari pembahasan Tugas Akhir ini adalah untuk melakukan pemetaan
pada daerah Pulau Pakal, Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur,
Provinsi Maluku Utara, dikarenakan kondisi geologi pada daerah tersebut yang
unik serta menarik dalam segi keterdapatan litologi dan keterdapatan endapan nikel
laterit yang mendorong dilakukannya penelitian aspek-aspek geologi pada daerah
Pulau Pakal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek – aspek geologi yang
berfokus pada struktur geologi pada daerah penelitian dan pengaruhnya terhadap
penyebaran ketebalan endapan nikel laterit pada daerah penelitian yang akhirnya
dapat di gunakan untuk keperluan eksplorasi nikel pada daerah penelitian dan lokasi
lain yang memiliki potensi keterdapatan endapan lateritnya.

1.3 Judul, Lokasi dan Waktu Penelitian


Judul yang di ajukan pada Tugas Akhir ini adalah “ KONTROL
STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN KETEBALAN ENDAPAN
NIKEL LATERIT PADA PULAU PAKAL KECAMATAN MABA SELATAN,
KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, PROVINSI MALUKU UTARA”

2
Secara administrasi, lokasi penelitian terletak di Pulau Pakal, Kecamatan
Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Daerah
penelitian merupakan daerah tambang nikel milik UBP Nikel Maluku Utara PT.
Antam (Persero) Tbk. Daerah penelitian juga termasuk ke dalam Peta Geologi
Regional Lembar Ternate dengan skala 1 : 250.000 yang diterbitkan oleh Seksi
Publikasi dan Dokumentasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG),
Bandung (T. Apandi dan D. Sudana, 1980). Proyeksi UTM (Universal Traverse
Mercator) pada daerah penelitian adalah datum WGS 1984 zona 520 N dan berada
dalam koordinat x: 424370.8480 - 426917.8675 dan y:87966.34394 – 85943.94668.

Gambar 1.2 Peta Lokasi Penelitian

Daerah penelitian merupakan suatu pulau dengan ketinggian 0-245 m di


atas permukaan laut. Adapun batas administrasi daerah penelitian di Pulau Pakal,
yaitu :
Utara : Pulau Gee
Selatan : Pulau Halmahera
Timur : Laut Halmahera
Barat : Pulau Belimsili dan Pulau Wefmelaos
3
Penelitian ini di lakukan pada minggu ke dua bulan Mei 2017 sampai
minggu ke 2 bulan Juli 2017.

1.4 Batasan Masalah

Penelitian yang di lakukan ini di harapkan dapat memberikan gambaran


tentang keadaan geologi pada daerah Pulau Pakal.

1. Keadaan geologi pada daerah Pulau Pakal berupa stratigrafi,


geomorfologi dan struktur geologi.
2. Penelitian ini menitik beratkan pada pengaruh struktur geologi terhadap
penyebaran ketebalan endapan nikel laterit pada daerah Pulau Pakal yang
merupakan areal penambangan terbuka milik PT. Antam Tbk.
Menggunakan data pengukuran kekar yang di bantu dengan metode FFD
(Fault Fracture Density) melalui metode stereografi dan diagram roseset.
Penelitian ini akan menghasilkan informasi tentang hubungan struktur
geologi dengan ketebalan endapan nikel laterit yang terdapat daerah
penelitian.
3. Ketebalan endapan nikel laterit sebagai pembanding di fokuskan pada
lokasi penambangan terbuka pulau pakal yaitu pada Lokasi Penambangan
Jara-jara, Lokasi Penambangan Utara, Lokasi Penambangan Harmoni,
Lokasi Penambangan Best dan Jalan Alur 1.
4. Penelitian hanya berfokus pada densitas struktur geologi dan
pengaruhnya terhadap ketebalan endapan nikel laterit yang kemudian
akan di buat peta potensi ketebalan endapan nikel laterit berdasarkan
perbandingan nilai pada peta FFD dan ketebalan endapan nikel laterit
pada lokasi penambangan yang telah di sebutkan di poin ke tiga.

1.5 Hipotesa

Penelitian ini memiliki hipotesa yaitu endapan nikel laterit yang tebal akan
berada pada daerah yang memiliki nilai kerapatan struktur yang tinggi. Daerah yang
memiliki nilai kerapatan struktur yang tinggi akan terdapat endapan nikel laterit
4
yang tebal dikarenakan rekahan-rekahan pada batuan akan berperan sebagai jalur
air meteorik masuk ke dalam batuan dan melapukan batuan ultrabsa sehingga
endapan laterit terbentuk.

1.6 Metedologi Penelitian


1.6.1 Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah pemetaan geologi
permukaan, analisa struktur geologi dan analisa laboratorium. Pemetaan
geologi permukaan meliputi pengambilan sample batuan dan
pengambilan data struktur geologi. Sedangkan metode penelitian
struktur geologi meliputi metode F.F.D, stereonet dan roset sehingga
dari semua data tersebut dapat dianalisis untuk mengetahui struktur
geologi, arah gaya utama,intensitas struktur geologi dan arah umum
kekar sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap sebaran ketebalan
endapan nikel laterit.
1.6.2 Tahap Penelitian
Tahap penelitian yang dilakukan dalam Tugas Akhir ini adalah
sebagai berikut:
a) Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi studi literatur mengenai sifat fisik
suatu material batuan dan struktur geologi daerah Halmahera Timur
berdasarkan kajian pustaka dan literatur penelitian sebelumnya.
b) Tahap Pengambilan Data Primer dan Data Sekunder
Tahap ini meliputi pengambilan data-data di daerah penelitian
Tugas Akhir meliputi data lapangan. Data lapangan yaitu data
pemetaan zona batuan dasar berupa data pengamatan pada kondisi
geologi daerah penelitian dan juga data pada kondisi fisik singkapan,
data sampel batuan, serta kondisi endapan nikel laterit yang terdapat
pada setiap lokasi penambangan.

5
Data sekunder di dapat dari data yang sudah di miliki oleh UBP
Nikel Maluku Utara PT. Antam (Persero) Tbk berupa peta
isograde,dan peta topografi.
c) Tahap Analisis Data
Tahap analisis data dilakukan dengan mengumpulkan seluruh
data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis dan interpretasi
terhadap data tersebut. Tahap analisis ini meliputi analisis data
struktur geologi data pemetaan zona persebaran batuan asal (bedrock),
analis kelurusan yang di olah menjadi peta fault fracture density.
d) Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap terakhir adalah penyusunan laporan berdasarkan data
yang telah diperoleh selama penelitian di perusahaan atau lapangan
dengan bimbingan dari perusahaan dan pihak Universitas, diberikan
kepada perusahaan sebagai laporan penelitian dan sebagai Laporan
Tugas Akhir Sarjana Strata-1 di Program Studi Teknik Geologi
Universitas Trisakti.

1.7 Sistematika Penulisan Laporan


Agar penulisan dan pembahasan Laporan Tugas Akhir berurutan, mudah
dimengerti pembaca, dan tidak terjadi kerancuan atau pembahasan masalah
secara berulang-ulang, maka penulisannya dibagi dalam sistematika sebagai
berikut :
BAB I Pendahuluan
Berisi mengenai latar belakang, maksud dan tujuan,
ruang lingkup permasalahan dan ruang lingkup spasial,
sistematika penulisan laporan Tugas Akhir, dan metodologi
pelaksanaan Tugas Akhir.
BAB II Geologi Regional
Bab ini menjelaskan tentang geologi regional daerah
penelitian Tugas Akhir dimana dijelaskan kondisi geologi
regional daerah penelitian seperti fisiografi regional,

6
stratigrafi regional, dan struktur geologi regional dimana
bahasan ini dapat menjadi modal dan gambaran awal kondisi
geologi regional daerah penelitian guna mengetahui
gambaran umum kondisi geologi daerah penelitian.
BAB III Teori Dasar
Bab ini menjelaskan secara umum gambaran
mengenai karakteristik endapan nikel laterit, metode fraktal
dan bentuk-bentuk rekahan. Bab ini diperoleh dari studi
pustaka dari beberapa buku maupun jurnal dan paper yang
sudah di publikasikan.
BAB IV Geologi Daerah Penelitian
Bab ini berisi tentang kondisi geologi daerah
penelitian berupa penyebaran batuan, geomorfologi,
stratigrafi, dan struktur geologi daerah penelitian dimana
hasil ini diperoleh dari hasil lapangan yang didapat dari
pemetaan geologi permukaan. Adapun hasil yang didapat
mengenai geologi daerah penelitian adalah peta
geomorfologi, penampang atau sayatan geomorfologi, peta
lintasan dan lokasi pengamatan, peta geologi, penampang
atau sayatan geologi, peta serpentinisasi, kolom stratigrafi,
dan analisis struktur geologi.

BAB V Data Dan Analisis


Berisi tentang bahasan lanjutan dari data lapangan
dan analisis struktur geologi dimana hasilnya adalah bahasan
mengenai kontrol struktur geologi terhadap endapan nikel
laterit, peta korelasi endapan laterit.
BAB VI Kesimpulan
Berisi tentang kesimpulan dari hasil kegiatan di
lapangan dan laboratorium.

7
1.7 Diagram Alir

8
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Profil Endapan Nikel Laterit


Secara umum, endapan nikel laterit dibedakan menjadi beberapa zona. Zona-
zona tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
a. Tanah Penutup ( Iron cap)
Tanah penutup terletak pada bagian paling atas zona pelapukan. Zona ini
berwarna gelap (merah hingga hitam) karena kehadiran besi (Fe) sebagai
lapisan penutup. Ketebalan zona ini bervariasi mulai dari 0,75 m hingga 1 m.
Ditemukan material organik berupa akar-akaran dari pohon yang tertanam di
atas zona ini. Kandungan besi (Fe) pada zona ini berkisar antara 40 – 43 %,
dan Al2O3 berkisar antara 6 – 8 %. Pergantian lapisan ditandai oleh perubahan
warna dan semakin berkurang material organik serta ukuran butir bergradasi
menjadi lebih halus menuju ke ukuran lempung.

b. Zona Limonit
Zona limonit berada pada bagian bawah tanah penutup. Ketebalan zona ini
berkisar antara 0,80 m hingga 5,5 m. Zona limonit berwarna coklat dan pada
umumnya berukuran butir lempung. Zona ini terdiri dari mineral hematite,
kelompok mineral lempung, serta terdapat goethite pada zona dengan
kelembaban yang tinggi. Zona limonit yang berkomposisi hematite yang
berlimpah, memiliki warna coklat kemerahan. Komposisi Fe pada zona
limonit memiliki kadar sedang hingga tinggi yang berkisar antara > 25%,
dengan Al2O3 yang berkisar antara 5 – 7%. Daerah peralihan ke zona
selanjutnya yaitu zona saprolit, dicirikan oleh perubahan warna tanah dan
perubahan ukuran butir bergradasi ke ukuran yang lebih besar.

c. Zona Saprolit
Zona saprolit merupakan zona yang kaya akan nikel dan merupakan
zona paling ekonomis. Zona ini berada di bawah zona limonit. Ketebalan

9
zona saprolit pada umumnya berkisar antara 1 m hingga 10m. Zona ini
biasanya berwarna abu-abu, coklat kehijauan, hingga kuning muda. Ukuran
butir yang menyusun zona ini dominan merupakan material halus
berukuran pasir hingga kerakal, namun terlihat bongkah-bongkah batuan
dasar yang telah mengalami pelapukan antara 20 – 50%. Zona saprolit
memiliki komposisi nikel yang paling banyak diantara lapisan lainnya yaitu
dengan kadar antara 1,7 – 1,8% . Rekahan pada lapisan ini terisi silika,
krisopras, atau mineral garnierit.
d. Batuan Dasar (Bedrock)
Zona ini merupakan zona paling dasar dari profil penampang nikel laterit.
Warna pada zona ini umumnya hitam kehijauan, tergantung dari protolith atau
batuan induk yang ditemukan. Rekahan-rekahan diantara batuan ini terisi oleh
silika, krisopras, atau mineral garnierit. Pada batuan dasar, komposisi Ni dan
Co sangat sedikit, sedangkan komposisi MgO dan SiO2 mulai melimpah
antara 35 – 38% sehingga dikatakan tidak ekonomis lagi.

Gambar 3.1. Profil Laterit Nikel di Daerah Soroako, Sulawesi


Selatan(Osborne, 1996 dalam Elias, 2001)

10
2.1.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pembentukan Endapan Nikel Laterit
Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan endapan nikel laterit adalah
sebagai berikut :
a. Batuan Asal
Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan
nikel laterit, macam batuan asalnya adalah batuan beku ultrabasa. Dalam hal
ini pada batuan beku ultrabasa tersebut, terdapat elemen nikel (Ni) yang paling
banyak diantara batuan beku lainnya dan mempunyai mineral-mineral yang
paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti olivin dan piroksen yang
mempunyai komponen-komponen mudah larut sehingga memberikan
lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel.
b. Iklim dan Airtanah
Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana terjadi
kenaikan dan penurunan permukaan airtanah juga dapat menyebabkan
terjadinya proses pemisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur
yang cukup besar akan membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan
terjadi rekahan-rekahan dalam batuan yang akan mempermudah proses atau
reaksi kimia pada batuan.
c. Reagen-Reagen Kimia dan Vegetasi
Yang dimaksud dengan reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan
senyawa-senyawa yang membantu mempercepat proses pelapukan. Airtanah
yang mengandung CO2 memegang peranan penting di dalam proses pelapukan
kimia. Asam-asam humus menyebabkan dekomposisi batuan dan dapat
merubah pH larutan. Asam-asam humus ini erat kaitannya dengan vegetasi
daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan penetrasi air dapat lebih
dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar pohon-pohonan,
akumulasi air hujan akan lebih banyak, humus akan lebih tebal. Keadaan ini
merupakan suatu petunjuk, dimana hutannya lebat pada lingkungan yang baik
akan terdapat endapan nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi.
Selain itu, vegetasi dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap
erosi mekanis.

11
d. Struktur Geologi
Struktur geologi yang sangat dominan adalah struktur kekar (joint)
dibandingkan terhadap struktur patahannya. Seperti diketahui, batuan beku
mempunyai porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi
air sangat sulit, maka dengan adanya rekahan-rekahan tersebut akan lebih
memudahkan masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif.
Adanya struktur kekar mempercepat proses pelapukan mekanis.
e. Topografi
Keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air
beserta reagen-reagen lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak
perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan
penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan.
Akumulasi andapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai
kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan
mengikuti bentuk topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah
air yang meluncur (run off) lebih banyak daripada air yang meresap ini dapat
menyebabkan pelapukan kurang intensif.

Gambar 3.2. Simplified Laterite Landforms (Ahmad, 2005)

12
Posisi dari muka airtanah biasanya rendah, menyebabkan kemungkinan
terjadinya pelindian yang baik sehingga dapat menghasilkan horizon residual
dan akumulasi saprolit yang dalam. Pada daerah dengan relief yang rendah,
drainase menjadi terhalang dan muka airtanah dangkal (tinggi). Adanya aliran
air yang lambat menyebabkan larutan-larutan hasil pelapukan berpindah
kembali, sehingga konsentrasi nikel lebih banyak pada zona-zona residual,
kecuali pada daerah-daerah tertentu yang dikontrol oleh sesar memungkinkan
berkembangnya perlindian, dengan adanya beberapa perangkap tersebut
menyebabkan secara lokal dapat terbentuk zona-zona yang kaya. Keadaan
topografi setempat akan sangat memengaruhi sirkulasi air beserta reagen-
reagen lain. Pada daerah yang landai, maka air akan bergerak perlahan-lahan
sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih
dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi endapan
umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai kemiringan sedang,
hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk topografi.
Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang meluncur (run off)
lebih banyak daripada air yang meresap dimana hal ini dapat menyebabkan
pelapukan yang kurang intensif.
f. Waktu
Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup
intensif karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi. Laju pembentukan profil
endapan nikel laterit diperkirakan tidak terlalu menjadi pembatas. Melalui
perhitungan secara teoritis, dengan laju pelapukan 5-50 mm per 1000 tahun,
laju rata-rata 20 mm per 1000 tahun, dan ketebalan dari profil laterit yang telah
diketahui dapat diperkirakan waktu untuk pembentukan laterit, terjadi selama
1 – 6 juta tahun (Gleeson, 1999). Laju dari pelapukan ini sangat bergantung
pada proses-proses secara lokal dan sangat berbeda dari satu tempat dengan
tempat lain.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas menyebabkan karakteristik
endapan nikel yang berbeda untuk lokasi yang berbeda.

13
2.3 Struktur Geologi

Struktur berasal dari kata Latin struere yang artinya untuk membangun dan
struktur geologi didefinisikan oleh (Fossen, 2010) sebagai: “Struktur geologi
merupakan konfigurasi geometrik dari batuan, dan ilmu geologi struktur
berhubungan dengan geometri, distribusi, dan pembentukan struktur”. Struktur
geologi berkaitan erat dengan tektonik, dimana tektonik merupakan proses yang
membentuk struktur geologi dan dapat didefinisikan sebagai: “Proses regional yang
menghasilkan kumpulan karakteristik struktur pada suatu kawasan atau daerah”
(Fossen, 2010). Pembentukan struktur didasari oleh adanya proses deformasi yang
disebabkan oleh stress dan menghasilkan strain yang berupa deformasi, deformasi
adalah perubahan bentuk geometri batuan dari kondisi awal menjadi bentuk
geometri yang sekarang melalui proses translasi, rotasi, distorsi, dan dilatasi
(Fossen, 2010). Menurut Earle (2015) stress dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Compressive (kompresi)

Gaya kompresi adalah gaya yang menekan batuan dan


menyebabkan batuan bergerak ke arah yang sama atau saling
mendekat (converging). Batuan yang mengalami gaya
kompresi akan mengalami pemendekan (shortening). Struktur
yang dihasilkan berupa sesar naik (reverse fault).

2. Tension (ekstensi)
Gaya ekstensi adalah gaya yang sifatnya menarik (tensile)
sehingga menyebabkan batuan bergerak ke arah yang
berlawanan atau saling menjauh (diverging). Batuan yang
mengalami gaya ekstensi akan mengalami pemanjangan
(elongation). Struktur yang dihasilkan adalah sesar turun
(normal fault).

3. Shear
Gaya shear adalah gaya yang bekerja secara paralel terhadap
suatu bidang. Batuan yang mengalami shearing akan bergerak

14
secara paralel satu dengan lainnya (sliding). Struktur yang
dihasilkan adalah sesar geser jurus (strike-slip fault)

Gambar 3.4 Hubungan antara orientasi arah gaya utama (stress


regimes) dan tectonic regimes. Stereonet
menggambarkan kompresi (P) dan tension (T)
(Anderson, 1951 dalam Fossen, 2010).

Material yang terkena deformasi bersifat elastis bila kembali ke bentuk


semula ketika stress dihilangkan. Saat batas elastisitas terlampaui, material akan
mengalami deformasi yang bersifat permanen. Deformasi permanen itu bersifat
plastis bila material bersifat liat (ductile) dan menghasilkan lipatan, atau bersifat
patah bila material bersifat rapuh (brittle) dan menghasilkan patahan. Sifat batuan
yang ductile atau brittle tergantung pada berapa banyak deformasi plastis yang
dialaminya.

2.3.1 Lipatan

Lipatan merupakan pembengkokan pada batuan. Struktur geologi ini


terbentuk jika batuan mengalami deformasi plastis akibat bekerjanya compressional
stress (kompresi) selama selang waktu tertentu pada batuan tersebut. Tidak hanya
batuan yang bersifat ductile, batuan yang bersifat brittle pun dapat mengalami
perlipatan jika laju deformasinya (strain rate) rendah. Menurut Hill (1953), lipatan

15
merupakan pencerminan dari suatu lengkungan yang mekanismenya disebabkan
oleh dua proses, yaitu bending (melengkung) dan buckling (melipat). Pada gejala
buckling, gaya yang bekerja sejajar dengan bidang perlapisan, sedangkan pada
bending, gaya yang bekerja tegak lurus terhadap bidang permukaan lapisan.
Menurut Billing (1959) lipatan merupakan bentuk undulasi atau suatu gelombang
pada batuan permukaan.

Gambar 3.5 Mekanisme bending dan buckling (Hill, 1953).

2.3.2 Kekar

Kekar adalah retakan pada batuan yang sisi – sisinya tidak mengalami
pergerakan. Kekar sering menjadi tempat mengalirnya fluida hidrotermal, ditandai
dengan kehadiran urat (vein) mineral tertentu hasil presipitasi atau kristalisasi dari
fluida tersebut. Kekar diklasifikasikan menjadi beberapa macam berdasarkan
penyebabnya, reaksi batuan terhadap stress, dan kedudukan relatifnya.

Kekar juga dapat dibagi menjadi 3 macam menurut reaksi batuan terhadap
stress, antara lain:

1. Kekar Gerus (shear joint)


Pola retakan yang terbentuk pada kekar gerus adalah
menyilang dengan sepasang sudut lancip dan sepasang sudut
tumpul. Sepasang retakan yang berbentuk sudut lancip searah
dengan arah datangnya gaya eksternal yang dominan.

2. Kekar Ekstensi (extension joint)


Pada kekar ini, terbentuk jajaran bidang retakan yang
searah dengan arah datangnya gaya eksternal yang dominan.

16
3. Kekar Rilis (release joint)
Pembentukan kekar ini agak berbeda dengan
kekar gerus maupun kekar ekstensi. Kekar gerus dan kekar
ekstensi terbentuk selama berlangsungnya stress,
sedangkan kekar rilis terbentuk setelah berlangsungnya
stress. Awalnya, compressional stress menekan
batuan.Saat compressional stress menghilang, tubuh
batuan berusaha kembali ke volume semula. Namun,
deformasi yang berlangsung menyebabkan terbentuknya
jajaran bidang retakan yang arahnya tegak lurus dengan
arah datangnya gaya eksternal yang dominan. Dilihat dari
formasi rekahannya, kekar rilis agak mirip dengan kekar
lembaran.

Gambar 3.6 Tiga macam kekar menurut reaksi batuan terhadap stress

(Haakon Fossen, 2010).

17
2.3.3 Sesar

Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami
“pergeseran yang berarti” pada bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa bidang
sesar (fault plain) atau rekahan tunggal. Tetapi sesar dapat juga dijumpai sebagai
semacam jalur yang terdiri dari beberapa sesar minor. Jalur sesar atau jalur
penggerusan, mempunyai dimensi panjang dan lebar yang beragam, dari skala
minor sampai puluhan kilometer. Kekar yang memperlihatkan pergeseran bisa juga
disebut sebagai sesar minor. Terdapat beberapa klasifikasi sesar, antara lain:

1. Strike Slip Fault


Sesar yang arah pergerakannya relatif paralel dengan strike
bidang sesar. (Pitch 0° - 10°). Sesar ini disebut juga sebagai sesar
mendatar. Sesar mendatar terbagi lagi atas:

 Sesar Mendatar Mengiri (Sinistral), yaitu sesar mendatar


yang blok batuan kirinya lebih mendekati pengamat.
 Sesar Mendatar Menganan (Dekstral), yaitu sesar
mendatar yang blok batuan kanannya lebih mendekati
pengamat.
2. Dip Slip Fault
Sesar yang arah pergerakan nya relatif tegak lurus
strike bidang sesar dan berada pada dip bidang sesar. (Pitch
80° - 90°). Dip slip fault terbagi lagi atas:

 Sesar Normal, yaitu sesar yang pergerakan hanging-


wallnya relatif turun terhadap foot-wall.
 Sesar Naik, yaitu sesar yang pergerakan hanging-wall nya
relatif naik terhadap foot-wall.
3. Strike-Dip Slip Fault atau (Oblique Fault)
Sesar yang vektor pergerakannya terpengaruh arah strike
dan dip bidang sesar. (Pitch 10° - 80°).

18
Gambar 3.7 Determinasi penentuan jenis sesar (Rickard, 1972, op. citragan, 1973).

2.4 Citra Satelit


Inderaja mempunyai tiga konsep dasar yaitu: spektral, spatial, dan temporal
(Lillesand dan Kiefer, 1979). Spektral merupakan sifat objek di dalam kemampuan
benda untuk menyerap dan memantulkan tenaga EM/cahaya, spatial adalah sifat
objek yang berbeda karena perbedaam aspek ruang atau dimensi, dan temporal
adalah sifat suatu objek yang berbeda karena waktu (Lillesand dan Kiefer, 1979).
Dalam geologi citra penginderaan jarak jauh dikenal 2 unsur dasar interpretasi
(USGS School of Photogeology, 1959 dalam Soejitno, 1995), yaitu unsur dasar
interpretasi citra dan unsur dasar interpretasi geologi.

2.4.1 Unsur dasar interpretasi citra


Dalam interpretasi inderaja dikenal ada 7 unsur dasar pengenalan citra
(Sutanto, 1986), yaitu:

1. Rona (tone): rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek
pada citra (Sutanto, 1986) atau merupakan warna/ kecerahan relatif objek pada
foto (Lillesand dan Kiefer, 1979).

19
2. Tekstur (texture): adalah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan
Kiefer, 1979) atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk
dibedakan secara individual (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986).

3. Pola (pattern): pola adalah hubungan susunan spasial objek, dimana


pengulangan bentuk umum tertenu atau hubungan merupakan karakteristik bagi
banyak objek alamiah maupun artifisial seperti bangunan, penyebaran batuan
pada antiklin dan sinklin ( Lillesand dan Kiefer, 1979)

4. Hubungan dengan keadaan sekitarnya (relation to the surrounding site):


menurut Sutanto (1986) dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang
satu dengan objek lainnya, dikarenakan adanya keterkaitan ini maka terlihatnya
suatu objek pada citra seringkali merupakan petunjuk bagi adanya objek lain.

5. Bentuk (shape): bentuk adalah konfigurasi atau kerangka suatu objek


(Lillesand dan Kiefer, 1979). Sedangkan menurut Soejitno (1994),
beberapa bentuk tertentu pada foto udara sangat erat hubungannya dengan
keadaan geologinya.

6. Ukuran (size): ukuran adalah atribut objek yang antara lain berupa jarak,
luas, tinggi, lereng, dan volume (Sutanto, 1986). Menurut Soejitno (1995),
ukuran bentuk-bentuk geologi kadang-kadang sangat menolong penafsiran
geologi.

7. Bayangan (shadow): bayangan bersifat menyembunyikan detail atau objek


yang berada di daerah gelap, walau demikian bayangan sering kali menjadi
kunci pengenalan yang penting bagi beberapa objek yang justru tampak lebih
dari bayangan (Sutanto, 1986).

2.4.2 Unsur dasar interpretasi geologi


Menurut Soejitno (1995), unsur dasar interpretasi geologi dapat dibagi menjadi empat,
yaitu:
1. Bentang alam (land form): menurut Soejitno (1995), bentang alam sangat erat
hubungannya dengan geomorfologi, struktur geologi, daya tahan batuan terhadap

20
erosi, pelapukan, dll. Suatu bentang alam memberi gambaran umum daripada
tipe batuan dan atau struktur geologi yang mungkin hadir pada suatu daerah.

2. Pola aliran (drainage pattern): menurut Soejitno (1995), pola aliran dapat
menggambarkan tipe batuan secara umum (lunak/padat) serta kemungkinan
adanya struktur geologi yang hadir pada suatu daerah(antiklin, sinklin, sesar,
dome), dikarenakan pola aliran akan mencerminkan faktor-faktor tersebut.

3. Tumbu-tumbuhan (vegetation): menurut Soejitno (1995), setiap tumbuh-


tumbuhan memerlukan unsur kimia yang termasuk macronutrient dan sedikit
micronutrient, dimana sebagian besar unsur-unsur kimia datangnya dari
pelapukan batu yang merupakan tanah. Sehingga ada hubungan sangat erat
antara unsur kimia tanah dan batuan asalnya.

4. Kebudayaan (culture): kebudayaan alam menurut Soejitno (1995) adalah


bentuk-bentuk alam yang terjadi oleh pekerjaan buatan/aktifitas manusia.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan data SRTM (Shuttle Radar


Topography Mission) yang sudah diolah menjadi data DEM (Digital Elevation Model)
untuk keperluan analisis dan interpretasi kelurusan (lineament) pada daerah penelitian.
Data citra SRTM merupakan satu dari beragam citra satelit, di mana tujuan utama
SRTM adalah untuk menghasilkan model elevasi digital (DEM) yang sifatnya hampir
global (dari 60° North hingga 56° South latitude) menggunakan metode radar
interferometry (SRTM Topography, USGS). Keuntungan dari penggunaan radar
interferometry adalah tidak dipengaruhi oleh tutupan awan, arah pencahayaan, dan
kontras rona muka bumi (Sulebak, 2000).
SRTM tersedia dalam varian 1 arcsecond, 3 arcsecond, dan 30 arcsecond di
mana masing-masing data memiliki resolusi 30 meter, 90 meter, dan 900 meter. Untuk
penelitian ini, peneliti menggunakan data 1 arcsecond (30 meter) untuk mendapatkan
resolusi terbaik sehingga detail-detail pada permukaan bumi yang mungkin
menunjukkan kelurusan dapat terlihat. Menurut Sulebak (2000), DEM merupakan
representasi dari relief muka bumi yang dikomputerisasi dalam format digital, format

21
komputerisasi yang umumnya digunakan adalah triangulated irregular networks
(TIN), regular grids, garis kontur, dan scattered data points. DEM umumnya terdiri
dari model wireframe atau matriks gambar (raster) di mana nilai setiap piksel
diasosiasikan dengan ketinggian spesifik topografi suatu daerah (Sulebak, 2000).

2.5 Kelurusan (Lineament)

Kelurusan atau lineament adalah fitur linier sederhana dan atau majemuk di
permukaan bumi yang dapat terpetakan pada skala ≥ 1:25.000, di mana fitur linier
tersebut memiliki arah penjajaran yang rectilinear atau curvilinear, serta memiliki
pola yang berbeda dengan fitur di sekitarnya yang dianggap dapat mencerminkan
fitur dan fenomena bawah permukaan (O ‘Leary dan Friedman, 1978 dalam
“Lineament interpretation Short review and methodology”, 2010) . Sementara
menurut Hobbs (1903 dan 1912) dalam Lineament interpretation Short review and
methodology (2010), kelurusan adalah garis signifikan di permukaan bumi yang
dapat menyingkap arsitektur tersembunyi dari batuan dasar (basement), oleh Hobbs
kelurusan yang dianggap penting adalah kelurusan yang menggambarkan: puncak
dari punggungan bukit/pegunungan atau batas dari daerah yang tinggi dengan yang
rendah, drainase sungai, garis pesisir, dan batas satuan/formasi batuan. Studi yang
berhubungan dengan kelurusan mulai dipelajari sejak awal abad ke 19, di mana para
ahli geologi mulai menyadari hubungan antara rekahan (fractures) dan bentukan
lahan yang terutama dikontrol oleh sistem rekahan, sehingga erosi batuan dan
bentukan bentang alam mencerminkan proses struktur geologi yang bekerja pada
suatu daerah (Lineament interpretation Short review and methodology, 2010).

Pada awalnya peta dasar yang digunakan untuk studi kelurusan adalah peta
topografi, namun seiring berjalannya waktu maka tersedia alternatif lain berupa foto
udara dan citra satelit yang dapat memberikan resolusi gambar lebih baik dan jelas
dibandingkan dengan peta topografi, penggunaan data survei geofisika seperti
Airborne geophysics survey (magnetic, electromagnetic, radiation, gravimetric)
berfungsi untuk mendukung interpretasi kelurusan (Lineament interpretation Short
review and methodology , 2010)

22
interpretasi kelurusan dapat dibuat secara visual dengan cara memperhatikan aspek-
aspek berikut:

 Perubahan ketinggian secara tiba-tiba.


 Perubahan pada pola.
 Perubahan gradien kelerengan/kecuraman.
 Perpindahan daripada bidang referensi/datum (e.g bidang
datar pada batuan)

2.6 Fisiografi Regional


Dataran di lembar Morotai terutama meliputi daerah Halmahera bagian tengah,
daretan pulau di sebelah barat, dan beberapa pulau kecil di sebelah timurnya. Daerah
Halmahera bagian tengah termasuk sebagian dari lengan utara, sebagian dari lengan
selatan, sebagia dari lengan timurlaut, dan seluruh lengan tenggara. Lengan timurlaut
dan lengan tenggara Halmahera, termasuk beberapa pulau kecil di sebelah timurnya,
merupakan. Mendala Fisiografi Halmahera Timur; lengan utara dan lengan selatan
membentuk Mendala Fisiografi Halmahera Barat; dan deretan pulau di sebelah
baratnya merupakan Busur Kepulauan Gunungapi Kuarter. Semua mandala fisiografi
tersebut berhubungan erat dengan mandala geologinya.
Mendala Fisiografi Halmahera Timur bagian terbesar terdiri dari pegunungan
berlereng curam dengan toheran sungai yang dalam, dan sebagian bermorfologi karst.
Morfologi pegunungan berlereng curam cerminan batuan Ultrabasa, batuan sedimen
dan batuan gunungapi Oligosen-Miosen dan yang lebih tua. Morfologi karst terdapat
pada daerah batu gamping, baik yang berumur Paleosen-Eosen, Oligosen-Miosen
maupun Miosen-Paleosen. Batuan sedimen Miosen-Pliosen membentuk
morfologidengan perbukitan yang relative lebih rendah dan lerengnya yang lebih
landau daripada batuan yang lebih tua.
Hubungan antara Mendala Halmahera Timur dan Mendala Halmahera Barat
berupa jalur tektonik yang kuat berbatuan sedimen neogen. Perlipatan kuat dan
persesaran terdapat pada jalur ini.

23
Mendala Fisiografi Halmahera Barat sebagian besar meliputi perbukitan
batuan sedimen dengan morfologi karst pada batugamping yang berumur Neogen.
Pegunungan bermorfologi kasar terdapat di beberapa tempat, mencermikan batuan
gunungapi Oligosen-Miosen.
Deretan pula di sebelah Halmahera membentuk busur kepulauan Gunungapi
Kuarter. Sebagian besar pulaunya berbentutk kerucut gunungapi yang masih
bekerja,seperti Gunung Ternate, Gunung Tidore, dan Gunung Makian.

Gambar 3.1.Pembagian Fisiografi pulau Halmahera (Apandi dan Sudana, 1980 ).

2.7 Stratigrafi Regional


Daerah penelitian termasuk dalam geologi regional Secara lembar Ternate
menurut T. Apandi dan D. Sudana (1980) terdiri dari mandala Geologi Halmahera
Timur,Mendala Geologi Halmahera Barat, dan Busur Kepulauan Gunungapi Kuarter.
Mendala geologi tersebut berbeda dalam gabungan batuan dan tektoniknya.

24
Gambar 3.2. Peta Geologi Regional Lembar Ternate T. Apandi dan D. Sudana

(1980).

Mendala Geologi Halmahera Timur terutama di bentuk oleh satuan batuan


Ultrabasa yang sebarannya cukup luas. Batuan sedimen berumur Kapur (Kd) da
berumur Paleosen-Eosen (Tped,Tpec, dan Tpel) di endapkan tak selaras di atas batuan
Ultrabasa.
Setelah rumpang pengendapan sejak Eosen Akhir hingga OLigosen Awal,
kegiatan gungungapi terjadi selama Oligosen Atas-Miosen Bawah, dan membentuk
rempah-rempah yang disatukan sebagai Formasi Bacan (Tomb). Batuan gunungapi
Formamsi Bacan ini terlampar luas baik di Mendala Halmahera Timur maupun di
Mendala Halmahera Barat. Bersamaan dengan itu terbentuk pula batuan karbonat,
yaitu batugamping Formasi Tutuli (Tomt). Setelah terjadi rumpang dalam
pengendapan selama Miosen Bawah bagian atas, Terbentuklah cekungan luas yang
berkembang sejak Miosen Atas sampai Pliosen. Didalam cekungan itu diendapkan
batupasir berselingan dengan napal, tufa, konglomerat yang membentuk Formasi
Weda(Tmpw), batuan konglomerat yang membentuk satuan Tmpc, dan batuan
karbonat yang membentuk Formasi Tingteng (Tmpt). Pengangkatan terjadi pada

25
zaman Kuarter sebagaimana ditunjukan oleh batugamping terumbu di pantai daerah
Lengan Timur Halmahera.
Batuan tertua di daerah Mendala Geologi Halmahera Barat berupa batuan
gunungapi Oligosen-Miosen Formasi Bacan (Tomb). Batuan sedimen dan karbonat
berumut Miosen-Pliosen tersebar luas di mandala ini; kebanyakan sedimennya bersifat
tufaan. Selain itu di vagian utarabta ditemukan pula batuan gunungapi Kuarter (Qpk
dan Qht).
Deretan pulau yang membentuk Busur Kepulauan Gunungapi di barat
Halmahera, sebagian besar tertutup rempah-rempah gunungapi Holosen. Hanyadi
pulau Kayoa, di selatan, Tersingkap batuan gunungapo Oligosen-Miosen Formasi
Bacan, yang tertinfih batugamping koral (Ql).

Gambar 3.3. Kolom Stratigrafi Regional Lembar Ternate T. Apandi dan D. Sudana.

26
2.8 Struktur Geologi Regional

Halmahera dan pulau- pulau sekitar Indonesia bagian timur merupakan suatu
konfigurasi busur kepulauan sebagia hasil pertumbukan lempeng di bagian barat
Pasifik. Berdasarkan kondisi geologi dan tektonik ( Gambar 3.5 ), pulau Halmahera
cukup unik, karena pulau ini terbentuk akibat pertemuan tiga lempeng yaitu : Eurasia,
Pasifik dan Indo – Australia. Di bagian Selatan Halmahera terdapat zona sesar Sorong
yang merupakan “ strike slip fault ”. Sepanjang zona sesar ini Halmahera bergerak ke
arah barat bersamaan dengan lempeng Indo – Australia.

Halmahera Timur dicirikan oleh batuan ultrabasa sedangkan Halmahera Barat


dicirikan oleh batuan gunungapi. Zona perbatasan antara kedua daerah tersebut terisi
oleh batuan Formasi Weda yang terlipat dan tersesarkan, dimana zona ini disebut garis
median.Struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin terlihat jelas pada Formasi Weda
yang berumur Miosen Tengah – Pliosen Awal. Sumbu lipatan berarah Utara – Selatan,
dan Barat Laut – tenggara. Struktur sesar terdiri dari sesar normal dan sesar naik,
umumnya berarah Utara – Selatan dan Barat Laut – Tenggara.

Kegiatan tektonik kemungkinan dimulai pada Kapur Akhir dan Awal Tersier,
ditandakan oleh adanya komponen batulempung berumur Kapur dan batuan beku
ultrabasa didalam konglomerat yang membentuk Formasi Dorosagu. Ketidak
selarasan antara batuan berumur Paleosen - Eosen, yaitu Formasi Dorosagu dengan
batuan lebih muda yang terjadi berkisar pada Eosen Akhir sampai Oligosen Awal,
mencerminkan kegiatan tektonik yang kemudian diikuti kegiatan gunungapi yang
membentuk Formasi Bacan, namun kenampakan struktur yang ada terbentuk pada
peristiwa tektonik berikutnya khususnya terjadi pada akhir Pliosen sampai Awal
Pliosen.

Pada lengan timur Pulau Halmahera didominasi singkapan Satuan Ultrabasa


(Ub) dengan struktur geologi dominan berupa sesar naik dan sesar mendatar dengan
arah relatif Timur Laut - Barat Daya dan Tenggara-Barat Laut. Pembentukan Satuan
Ultrabasa (Ub) ini berasal dari lempeng Pasifik yang bergerak dan mengalami

27
benturan dengan lempeng Eurasia dan lempeng Hindia-Australia dimana lempeng
pasifik menunjam dan mengalami pengangkatan yang mana Satuan Ultrabasa (Ub)
yang tersingkap memiliki kekar dengan orientasi arah relatif Tenggara-Barat Laut.
Selain itu pada Satuan Ultrabasa (Ub) juga terdapat struktur geologi berupa sesar naik
dan sesar mendatar dengan arah relatif Timur Laut-Barat Daya dan Tenggara-Barat
Laut dimana struktur geologi ini terbentuk setelah pembentukan satuan ini.
Pembentukan struktur geologi pada fase tektonik yang bekerja pada zaman Eosen-
Oligosen pada Satuan Ultrabasa (Ub) ini dilanjutkan dengan pengendapan satuan-
satuan batuan yang lebih muda di atasnya secara tidak selaras. Adapun satuan batuan
yang lebih muda tersebut terendapkan dan menutupi sebagian Satuan Ultrabasa (Ub)
tersebut. Terendapkannya satuan batuan yang lebih muda di atas batuan dasar tersebut
terus berlanjut hingga terjadi fase tektonik kedua pada zaman Miosen-Pliosen yang
menyebabkahn terjadinya bidang ketidakselarasan antara Satuan Ultrabasa (Ub)
beserta satuan batuan berumur geologi sebelum Miosen dengan satuan batuan berumur
geologi setelah Pliosen.

Gambar 3.5. Gambar Tektonik Indonesia Timur ( after silver & Moore,1979,
Hamilton, 1979; Sukamto dkk., 1981).

28
BAB III
DATA DAN ANALISIS DATA

4.1 Data
Data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data primer, dengan
melakukan pengambilan data langsung di lapangan,. Data yang di ambil di lapangan
berupa sampel batuan, pencatatan arah kekar dan kondisi endapan nikel laterit pada
setiap lokasi penambangan yang akan di sajikan pada lampiran. Data – data yang
disiapkan adalah peta dari data ASTGDEM daerah penelitian (Gambar 3.1),
reverensi studi terdahulu berupa peta geologi Regional Lembar Ternate ( Gambar
3.2), peta topografi Daerah Pulau Pakal dan sekitarnya, Kabupaten Halmahera Timur,
Provinsi Maluku Utara (Gambar 3.3)

Gambar 3.1 Peta ASTGDEM daerah penelitian

Pada gambar di atas (Gambar 3.1) menunjukan citra satelit daerah penelitian,dimana
kotak merah menunjukan luas wilayah analisa kelurusan daerah penelitian.

29
Gambar 3.2 Lokasi Daerah Penelitian ( T. Apandi dan D. Sudana 1980)

Pada gambar di atas (Gambar 3.2) menunjukan peta geologi reginal Lembar
Maluku yang disusun oleh T. Apandi dan D. Sudana, 1980. Di mana kotak biru
menunjukan batas lokasi penelitian dan formasi yang ada di dalamnya. Pada daerah
penelitian terdapat satu formasi, yaitu Formasi Ultra Basa (Ub).

Gambar 3.3 Peta topografi daerah penelitian

30
3.2 Analisis Data

Dalam penelitian ini terdapat beberapa analisis yang di lakukan penulis,


terutama analisis permukaan yaitu analisis geologi, analisis litologi dan analisis
struktur geologi yang akan di bahas pada BAB III Geologi Daerah Penelitian. Analisis
citra satelit berupa fault fracture density (FFD).

3.2.1 Analisis Kelurusan

Dalam mengidenfitikasi kelurusan di seluruh daerah penelitian akan


menyulitkan. Sebagai contoh, kelurusan yang searah dengan sinar matahari akan sulit
di lihat karena bidangnya akan menjadi terang dan tersamarkan bahkan sampai tidak
terlihat sama sekali. Maka dari itu dalam intepretasi arah kelurusan di bantu dengan
mengubah arah pencahayaan horizontalnya agar kelurusan yang searah dengan
pencahayaan akan terlihat ketika arah pencahayaannya di ubah. Arah pencahayaan di
ubah dengan kelipatan 45° yaitu 0°, 45°, 90°, 135°, 180°, 225°, 270°, 315° pada arah
horizontal serta 45° pada arah vertical.

Dalam pengambilan kelurusan penarikan kelurusan atau lineament, pada


rosette diagram dapat dilihat bahwa lineament memiliki beberapa orientasi yang
berbeda namun memiliki arah dominan timur laut – barat daya dan barat laut –
tenggara , timur laut – barat daya dan utara – selatan yang merupakan arah
sekundernya.
Hasil penarikan lineament ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam
pembuatan peta densitas, di mana setiap kelurusan yang ada disetiap 1km2 dihitung
jumlah dan panjangnya. Batasan ini berfungsi untuk membantu dalam perhitungan saat
pengambilan data. Untuk pembuatan peta densitas akan digunakan data panjang (km)
kelurusan persatuan luas (km²). Setelah mendapatkan perhitungan tersebut, lalu dibuat
menjadi kontur yang akan menunjukkan daerah dengan jumlah terbanyak dan/atau
kelurusan terpanjang disetiap 1km².

31
Gambar 3.4 Peta penarikan kelurusan daerah penelitian

3.2.2 Peta Densitas Struktur

Pada peta densitas menggunakan data berupa panjang penarikan setiap


kelurusan yang ada disetiap 1km². Setiap data tersebut akan menghasikan kelurusan
dengan satuan km/km². Setelah didapatkan perhitungan tersebut, data tersebut akan
dibuat menjadi peta kontur (peta fault fracture density).

Pada gambar di atas (Gambar 3.4) dapat dilihat daerah dengan densitas yang
tinggi menunjukkan daerah yang memiliki kelurusan yang lebih panjang dan lebih
rapat dalam satuan km/km². Pada gambar tersebut dapat dilihat lokasi-lokasi
penambangan berada pada daerah dengan nilai lebih dari 8,0 km/km². Pada daerah
penelitian lokasi penambangan berada pada densitas sedang hingga tinggi yang
menandakan bawah lokasi yang memiliki endapan laterit yang tebal terdapat pada
daerah yang kekar – kekarnya rapat dan terhubung ke sumber satu sama lain dibawah
permukaan sehingga menyebabkan fluida ataupun air meteorik dapat masuk ke dalam
batuan sehingga melapukan batuan dan membentuk endapan laterit.

32
Gambar 3.5 Peta Fault Fracture Density daerah penelitian

33
BAB IV

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian

Pengklasifikasian bentang alam (geomorfologi) pada daerah


penelitian ini mengacu kepada klasifikasi van Zuidam (1983) (Tabel IV.1),
yang terdiri dari beberapa aspek yang meliputi :
Tabel 4.1 Aspek utama dalam Geomofologi (van Zuidam, 1983).

- Morfografi
Secara garis besar morfografi memiliki arti gambaran bentuk permukaan
bumi atau arsitektur permukaan bumi dan dapat dibedakan menjadi
bentuk lahan perbukitan/punggungan, pegunungan, atau gunungapi,
lembah dan dataran. Beberapa pendekatan lain untuk pemetaan
geomofologi selain morfografi adalah pola punggungan, pola pengaliran
dan bentuk lereng.
- Morfogenetik

34
Aspek ini merupakan proses atau asal – usul terbentuknya permukaan
bumi seperti bentuk lahan perbukitan/pegunungan, bentuk lahan lembah,
atau bentuk lahan dataran. Proses yang berkembang terhadap
pembentukkan permukaan bumi tersebut adalah proses eksogen dan
proses endogen.
- Morfometri
Aspek ini merupakan penilaian kuantitatif dari suatu bentuk lahan dan
merupakan unsur pendukung dalam geomorfologi yang sangat berarti
terhadap morfografi dan morfogenetik. Penelitian kuantitatif terhadap
bentuk lahan memberikan penajaman tata nama bentuk lahan dan akan
sangat membantu terhadap analisis lahan untuk tujuan tertentu, seperti
tingkat erosi, kestabilan lereng dan menentukan nilai dari kemiringan
lereng tersebut.
Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian dilakukan
berdasarkan aspek deskriptif dan genetik. Penamaan satuan geomorfologi
daerah penelitian berdasarkan atas parameter deskriptif, litologi, dan proses
genetik baik secara endogen maupun eksogen yang terjadi didaerah
penelitian tersebut. Pembahasan geomorfologi bermaksud untuk
mengelompokkan bentang alam secara sistematis berdasarkan
Kenampakkan bentuk-bentuk relief di lapangan, kemiringan lereng, beda
tinggi serta variasi litologi, pola aliran sungai, genetik sungai dan struktur
geologi yang mengontrolnya.
Pengklasifikasian bentang alam tersebut dilakukan dengan mengacu
kepada parameter-parameter relief yang disusun oleh van Zuidam (1983)
(Tabel 4.2). Secara umum geomorfologi daerah penelitian memperlihatkan
perbukitan dan bergelombang berdasarkan dari perhitungan kelerengan
(Gambar 4.1 dan Tabel 4.4). Untuk analisis genetik daerah penelitian ini
menggunakan klasifikasi van Zuidam (1983) yang dimodifikasi oleh
Handaya dan Hidartan (1994) yaitu bentukan bentang alam yang dibagi
menjadi dua, yaitu bentukan bentang alam asal endogen dan bentukan
bentang alam asal eksogen (Tabel 4.3).

35
Tabel 4.2 Pembagian tingkat` kelerengan dan beda
tinggi oleh van Zuidam (1983).
Beda
Kemiringan
No Relief Ketinggian
Lereng (%)
(m)
1 Topografi Dataran 0-2 <5
2 Topografi Dataran Berombak 3–7 5 – 50
Topografi Dataran
3 8 – 13 25 - 75
Bergelombang
Topografi Perbukitan
4 14 - 20 50 - 200
Bergelombang
5 Topografi Perbukitan Terjal 21 - 55 200- 500
Topografi Pegunungan Sangat
6 56 - 140 500 - 1000
Tajam
Topografi Pegunungan Sangat
7 >140 < 1000
Curam

Tabel 4.3 Klasifikasi ITC (Varstappen dan Zuidam, 1968)


Bentukan Asal Warna
Ungu
Struktural
Merah
Vulkanik
Hijau
Fluvial
Biru Gelap
Marine
Orange
Karst
Kuning
Aeolian
Biru Terang
Glasial
Coklat
Denudasional

36
Berdasarkan beberapa aspek penunjang tersebut, maka daerah

penelitian dibagi menjadi empat satuan geomorfologi (Table 4.4) yaitu

antara lain adalah Satuan Geomorfologi Perbukitan Terjal Struktural,

Satuan Geomorfologi Perbukitan Bergelombang Denudasional, Satuan

Geomorfologi Dataran Bergelombang Denudasional dan Satuan

Geomorfologi Dataran Berombak Marin (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Peta Geomorfologi Daerah Penelitian

37
Tabel 4.4 Tabel Geomorfologi Daerah Penelitian.

4.1.1 Satuan Gemorfologi Dataran Berombak Marin

Satuan dataran berombak marin memiliki luas penyebaran sekitar 5 %


dari total daerah penelitian yang ditandai dengan warna biru terang pada peta
geomorfologi. Satuan ini meliputi hampir secara keseluruhan bagian pesisir daerah
pemetaan geologi di Pulau Pakal. Beda ketinggian yang terlihat pada satuan ini
mencapai 5 meter dan pola kontur yang terlihat pada peta topografi daerah ini
adalah sangat renggang dimana hal ini menunjukan kemiringan lereng yang relatif
hampir datar. Satuan geomorfologi ini memiliki persen lereng berkisar antara 3%
sampai dengan 5 % dan jika dilihat klasifikasi relief berdasarkan morfografi (van
Zuidam, 1983), termasuk dalam satuan dataran berombak.
Diklasifikasikan ke dalam bentuk lahan marin dikarenakan pada daerah
tersebut terdapat kumpulan material lepas hasil rombakan dari satuan batuan
sebelumnya atau berasal dari hasil proses arus gelombang air laut yang membawa
material-material sedimen dengan ukuran lempung sampai dengan pasir sangat
kasar.

30
Foto 4.1 Satuan Geomorfologi Dataran Berombak Marine

2.1.2 Satuan Geomorfologi Dataran Bergelombang Denudasional

Satuan geomorfologi dataran bergelombang Denudasional memiliki


luas penyebaran sekitar 25 % dari total daerah penelitian yang ditandai dengan
warna coklat muda pada peta geomorfologi. Satuan ini meliputi sekitar setengah
dari bagian tengah Pulau Pakal. Tata Guna lahan daerah ini sebagian kecil adalah
hutan dan sebagian besar merupakan daerah tambang nikel. Beda ketinggian yang
terlihat pada satuan ini mencapai 30 m. Satuan geomorfologi ini memiliki persen
lereng berkisar antara 8 % sampai dengan 13 % dan jika dilihat klasifikasi relief
berdasarkan morfografi (van Zuidam, 1983), termasuk dalam satuan dataran
bergelombang.
Daerah ini memiliki kontrol struktur geologi (gaya endogen), akan
tetapi bentuk lahan ini juga mengalami proses pelapukan dan erosi secara intensif
dengan terdapatnya struktur geologi berupa kekar dimana rekahan-rekahan ini
dapat mempercepat proses pelapukan dan erosi. karena lebih dominannya kontrol
tenaga eksogen (erosi) maka daerah ini di klasifikasikan sebagai denudasional.

31
Foto 4.2 Satuan Dataran Bergelombang Denudasional

2.1.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Bergelombang Denudasional

Satuan geomorfologi pernukitan bergelombang denudasional memiliki


luas penyebaran sekitar 20 % dari total daerah penelitian yang ditandai dengan
warna coklat tua pada peta geomorfologi. Satuan ini mencakup kurang dari
setengah bagian tengah pulau pakal. Tata Guna lahan daerah ini sebagian kecil
adalah hutan dan sebagian besar merupakan daerah tambang nikel. Beda ketinggian
yang terlihat pada satuan ini mencapai 75 m. Satuan geomorfologi ini memiliki
persen lereng berkisar antara 14 % sampai dengan 20 % dan jika dilihat klasifikasi
relief berdasarkan morfografi (van Zuidam, 1983), termasuk dalam satuan
perbukitan bergelombang.
Daerah ini memiliki kontrol struktur geologi (gaya endogen), akan
tetapi bentuk lahan ini juga mengalami proses pelapukan dan erosi secara intensif
dengan terdapatnya struktur geologi berupa kekar dimana rekahan-rekahan ini
dapat mempercepat proses pelapukan dan erosi. karena lebih dominannya kontrol
tenaga eksogen (erosi) maka daerah ini di klasifikasikan sebagai denudasional.

32
Foto 4.3 Satuan Perbukitan Bergelombang Denudasional

2.1.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Terjal Sruktural

Satuan pegunungan sangat Terjal struktural denudasional memiliki luas


penyebaran sekitar 50 % dari total daerah penelitian yang ditandai dengan warna
ungu pada peta geomorfologi. Satuan ini meliputi hampir secara keseluruhan daerah
pesisir pemetaan geologi di Pulau Pakal. Tata guna lahan pada satuan ini sebagian
besar adalah hutan. Beda ketinggian yang terlihat pada satuan ini mencapai 200 m
dan pola kontur yang terlihat pada peta topografi daerah ini adalah sangat rapat
dimana hal ini menunjukan kemiringan lereng yang sangat terjal. Satuan
geomorfologi ini memiliki persen lereng berkisar antara 45% sampai dengan 60%
dan jika dilihat klasifikasi relief berdasarkan morfografi (van Zuidam, 1983),
termasuk dalam satuan perbukitan terjal.
Morfogenetik yang berkembang pada satuan geomorfologi ini berupa struktur
geologi dimana pada daerah ini berkembang struktur geologi berupa kekar dengan
orientasi arah relatif tenggara-barat laut dan terdapat shear joint dan breksiasi pada
suatu alur yang mana hal ini dapat menandakan keterdapatan struktur geologi

33
mayor pada daerah pemetaan sehingga diklasifikasikan ke dalam bentuk lahan
struktural.

Foto 4.4 Satuan Perbukitan Terjal Struktural

4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian

Stratigrafi daerah pemetaan bersifat lokal karena tidak terlalu luas


sehingga di dalam pembagiannya digunakan istilah satuan batuan (rock unit).
Pembagian satuan batuan pada daerah pemetaan ini dibuat berdasarkan pada
litostratigrafi tidak resmi menurut SSI (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Satuan
batuan ditentukan oleh batuan yang dominan, ciri litologi, dan terpetakannya pada
peta lintasan. Batas satuan batuan umumnya dapat diketahui melalui kontak
batuan yang terdapat di beberapa tempat di daerah pemetaan dan kedudukan
lapisan pada satuan batuan.
Dari data data yang di dapat di daerah penelitian berupa penyebaran

batuan dan data struktur geologi maka dapat di bentuk peta geologi. Dari peta

geologi tersebut dan berdasarkan analisa kesembandingan regional serta hukum

superposisi, daerah pemetaan terbagi menjadi empat susunan satuan

34
Gambar 4.2 Peta Geologi Daerah Penelitian

33
Tabel IV.6 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian Tanpa Skala

Berikut akan dijelaskan satu per satu secara rinci yang meliputi penyebaran
dan ketebalan, ciri-ciri litologi, umur, lingkungan pengendapan, serta hubungan
stratigrafi dan kesebandingan setiap satuan yang telah disebutkan sebelumnya.

4.2.1 Satuan Dunit

Satuan ini dinamakan sebagai satuan dunit (Tabel 4.6) karena


litologi yang mendominasi adalah batuan beku dunit Kondisi singkapan
yang dijumpai pada satuan ini bervariasi, dari cukup segar (fresh) hingga
lapuk, dan dominan sudah ditutupi oleh vegetasi dan endapan laterit.
Penentuan penyebaran satuan ini ditentukan berdasarkan keterdapatan data
di lapangan (primer), dari referensi dari penulis sebelumnya (sekunder), dan
juga dari interpretasi kontur.
a. Penyebaran

Satuan ini meliputi ± 25% dari total luas daerah penelitian, dan
satuan ini dominan pada bagian tangah sebelah utara daerah penelitian.
Penyebaran satuan ini meliputi daerah penambangan Jara-jara, Wato-
wato, Para-Para dan Waste dump Utara. Ketebalan dari satuan ini tidak
dapat diukur dari penampang dikarenakan tidak diketahui penyebaran
batuan dibawah permukaan.

33
b. Litologi
Satuan ini merupakan jenis batuan beku ultrabasa. Secara
megaskopis, pada kondisi segar (fresh) batuan berwarna kehijauan dan
pada kondisi lapuk berwarna hijau kecoklatan hingga coklat. Kristalinitas
berupa holokristalin, granularitas fanerik, fabrik euhedral – subhedral,
relasi equigranular, komposisi mineral didominasi olivine, dengan
sedikit piroxen. Pada sebagian singkapan yang ditemui dilapangan,
terlihat ada urat-urat garnerit.

Foto 4.5 Singkapan Satuan Dunit Pada LP 12 (Penambangan Wato-wato)

Di lihat dari sayatan tipis batuan menggunakan mikroskop batuan ini


memiliki warna colourless pada nikol sejajar, dan biru kemerahan pada
nikol silang. Holokristalin, dengan bentuk subhedral-anhedral dan
berukuran 0,1mm – 3 mm .Komposisi primer terdiri dari mineral olivin
dan piroxen Terlihat rekahan-rekahan yang menandakan pada daerah ini
merupakan zona hancuran akibat gaya endogen. Memiliki komposisi
mineral 90% olivin dan 9% piroxen. Penamaan Petrografis: Dunit
(IUGS,1976).

34
Foto 4.6 Sayatan Tipis Satuan Dunit Pada LP 12

c. Umur dan Lingkungan Pembentukan


Penentuan umur dari satuan ini menggunakan acuan kesebandingan
oleh T. Apandi dan D. Sudana (1980), untuk penentuan umur relatif.
Umur relatif dari satuan ini diperkirakan berumur Kapur dan memiliki
umur absolut yang diperkirakan sekitar 144 juta tahun yang lalu.
Lingkungan pembentukan dari satuan ini tidak dapat ditentukan
karena tidak ditemukannya fosil benthonik, lalu kemudian ditafsirkan
berdasarkan dari ciri litologi dan juga komposisi batuan yaitu dengan
lingkungan pembentukannya di dalam mantel bumi hal ini mengacu pada

35
yang di tulis oleh J.L. Bodinier and M. Godard (2004) yang berjudul
Orogenic, Ophiolitic, and Abyssal Peridotites, in The Mantle and Core .

d. Kesebandingan

Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya di


daerah penelitian, maka satuan dunit ini disebandingkan dengan regional
yang mengacu pada T. Apandi dan D. Sudana (1980) pada Peta Geologi
Lembar Ternate kerena memiliki pencirian yang sama dan yang
menyebutkan bahwa satuan ini yaitu formasi komplek utrabasa (Ub).

4.2.2 Satuan Peridotit

Satuan ini dinamakan sebagai satuan peridotit (Tabel 4.6) karena


litologi yang mendominasi adalah batuan beku peridotit. Kondisi singkapan
yang dijumpai pada satuan ini bervariasi, dari cukup segar (fresh) hingga
lapuk, dan dominan sudah ditutupi oleh vegetasi dan endapan laterit.
Penentuan penyebaran satuan ini ditentukan berdasarkan keterdapatan data
di lapangan (primer), dari referensi dari penulis sebelumnya (sekunder), dan
juga dari interpretasi kontur.

a. Penyebaran
Satuan ini meliputi ± 20% dari total luas daerah penelitian, dan
satuan ini dominan pada bagian tangah sebelah selatan daerah penelitian.
Penyebaran satuan ini meliputi daerah penambangan Best dan Subaim
dan Exportable Transit Ore (ETO). Ketebalan dari satuan ini tidak dapat
diukur dari penampang dikarenakan tidak diketahui penyebaran batuan
dibawah permukaan.

36
b. Litologi

Satuan ini merupakan jenis batuan beku ultrabasa. Secara


megaskopis, pada kondisi segar (fresh) batuan berwarna Hijau Kehitaman
dan pada kondisi lapuk berwarna coklat Kehitaman hingga coklat.
Kristalinitas berupa holokristalin, granularitas fanerik, fabrik euhedral –
subhedral, relasi equigranular, komposisi mineral didominasi olivine, dan
piroxen. Pada sebagian singkapan. Pada sebagian lokasi pengamatan terlihat
mineral olivin dan piroxen terubah menjadi serpentin.

Foto 4.7 Singkapan Satuan Peridotit Pada LP 8

Dilihat sayatan tipis batuan dari mikroskop memiliki warna


kecoklatan pada nikol sejajar, dan abu-abu pada nikol silang. Holokristalin,
dengan bentuk subhedral-anhedral dan berukuran 0,1mm – 1,5mm
.Komposisi primer terdiri dari mineral olivin 45% dan piroxen 50% serta
mineral opak 5% Terdapat juga rekahan rekahan pada sayatan tipis.
Penamaan Petrografis: Peridotit (IUGS,1976)

37
Foto 4.8 Sayatan Tipis Satuan Peridotit Pada LP 8

c. Umur dan Lingkungan Pembentukan


Penentuan umur dari satuan ini menggunakan acuan kesebandingan
oleh T. Apandi dan D. Sudana (1980), untuk penentuan umur relatif.
Umur relatif dari satuan ini diperkirakan berumur Kapur dan memiliki
umur absolut yang diperkirakan sekitar 144 juta tahun yang lalu.
Lingkungan pembentukan dari satuan ini tidak dapat ditentukan
karena tidak ditemukannya fosil benthonik, lalu kemudian ditafsirkan
berdasarkan dari ciri litologi dan juga komposisi batuan yaitu dengan
lingkungan pembentukannya di dalam mantel bumi hal ini mengacu pada

38
yang di tulis oleh J.L. Bodinier and M. Godard (2004) yang berjudul
Orogenic, Ophiolitic, and Abyssal Peridotites, in The Mantle and Core .

d. Kesebandingan
Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya di
daerah penelitian, maka satuan peridotit ini disebandingkan dengan
regional yang mengacu pada T. Apandi dan D. Sudana (1980) pada Peta
Geologi Lembar Ternate kerena memiliki pencirian yang sama dan yang
menyebutkan bahwa satuan ini yaitu formasi komplek utrabasa (Ub).

4.2.2 Satuan Serpentinit

Satuan ini dinamakan sebagai satuan serpentinit (Tabel 4.6) karena


litologi yang mendominasi adalah malihan serpentinit. Kondisi singkapan
yang dijumpai pada satuan ini bervariasi, dari cukup segar (fresh) hingga
lapuk, dan dominan sudah ditutupi oleh vegetasi dan endapan laterit.
Penentuan penyebaran satuan ini ditentukan berdasarkan keterdapatan data
di lapangan (primer), dari referensi dari penulis sebelumnya (sekunder), dan
juga dari interpretasi kontur.

a. Penyebaran
Satuan ini meliputi ± 50% dari total luas daerah penelitian, dan
satuan ini dominan pada bagian tepi mengitari daerah penelitian..
Ketebalan dari satuan ini tidak dapat diukur dari penampang dikarenakan
tidak diketahui penyebaran batuan dibawah permukaan.

b. Litologi
Satuan ini merupakan jenis batuan malihan. Secara megaskopis,
pada kondisi segar (fresh) batuan berwarna Hijau Kehitaman dan pada
kondisi lapuk berwarna hijau keabu-abuan. Batuan ini memiliki struktur
nonfoliasi, bertekstur granuloblastik.

39
Komposisi mineral dari batuan ini di dominasi oleh olivin dan piroxen yang
sudah terubahkan menjadi serpentin sekitar 80% dan sisanya merupakan
mineral olivine dan piroxen.

Foto 4.9 Singkapan Satuan Peridotit Pada LP 14

Di lihat dari sayatan tipis batuan menggunakan mikroskop


mempunyai warna kecoklatan pada nikol sejajar, dan abu-abu pada nikol
silang. Holokristalin, dengan bentuk subhedral-anhedral dan berukuran
0.5mm- 1.5mm.Komposisi primer terdiri dari mineral olivin 5% dan
piroxen 3% dan mineral opak 7%. Mineral ubahan terdiri dari mineral
serpentin 85%. Terdapat tekstur Sea and island. Terdapat rekahan rekahan
yang menandakan zona hancuran. Berdasarkan deskripsi tersebut batu
memiliki nama petrografis Serpentinit.

40
Foto 4.8 Sayatan Tipis Satuan Serpentinit Pada S02

c. Umur dan Lingkungan Pembentukan


Penentuan umur dari satuan ini menggunakan acuan kesebandingan
oleh T. Apandi dan D. Sudana (1980), untuk penentuan umur relatif.
Umur relatif dari satuan ini diperkirakan berumur Kapur dan memiliki
umur absolut yang diperkirakan sekitar 144 juta tahun yang lalu.
Berdasarkan dari ciri litologi dan juga komposisi batuan yaitu
dengan lingkungan pembentukannya di batas antara mantel dan kerak
bumi, hal ini mengacu pada buku yang di terbitkan oleh Simon dan
Schuster’s yang berjudul Rocks and Minerals.

41
d. Kesebandingan
Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya di
daerah penelitian, maka satuan serpentinit ini disebandingkan dengan
regional yang mengacu pada T. Apandi dan D. Sudana (1980) pada Peta
Geologi Lembar Ternate kerena memiliki pencirian yang sama yang
menyebutkan bahwa satuan ini yaitu formasi komplek utrabasa (Ub).

4.2.2 Satuan Endapan Pantai

Satuan ini dinamakan sebagai satuan endapan pantai (Tabel 4.6) karena
pada daerah ini di dominasi oleh fragmen berukuran pasir halus hingga pasir kasar
terendapkan pada daerah ini dan belum terlitifikasi.

a. Penyebaran
Satuan ini meliputi ± 5% dari total luas daerah penelitian, dan satuan
ini dominan pada bagian pesisir pantai daerah penelitian. Penyebaran
satuan ini meliputi daerah pesisir pantai bagian barat daerah penelitian
dan pesisir pantai bagian tenggara daerah penelitian.

b. Litologi
Satuan ini merupakan endapan dari fragmen batuan yang berasal
dari batuan asal yang tererosi dan fragmen tersebut tertransportasi dan
terendapkan pada daerah ini. Endapan ini memiliki ukuran butir dari
pasir halus hingga pasir kasar dan memiliki warna putih kecoklatan.

42
Foto 4.11 Satuan Endapan Pantai
c. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Penentuan umur dari satuan ini menggunakan acuan kesebandingan
oleh T. Apandi dan D. Sudana (1980), untuk penentuan umur relatif.
Umur relatif dari satuan ini diperkirakan Holosen dan proses
pengendapannya pun masih berjalan hingga saat ini.
d. Kesebandingan
Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya
di daerah penelitian, maka satuan serpentinit ini disebandingkan dengan
regional yang mengacu pada T. Apandi dan D. Sudana (1980) pada Peta
Geologi Lembar Ternate kerena memiliki pencirian yang sama yang
menyebutkan bahwa satuan ini yaitu formasi Aluvium dan Endapan
Pantai (Qa).

4.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian

Struktur geologi pada daerah penelitian dapat ditentukan berdasarkan data


lapangan dalam bentuk bukti-bukti berupa pengukuran jurus dan kemiringan kekar,
breksiasi dan offset litologi. Bukti-bukti tersebut disesuaikan dengan pola
penyebaran kontur pada peta topografi berskala 1:10.000, baik berupa kelurusan

43
bukit ataupun pembelokan sungai secara tiba-tiba, yang dijadikan data penunjang
dalam penentuan struktur geologi di daerah penelitian.

Penamaan struktur pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan jenis struktur


geologi dan untuk membedakan jenis struktur yang sama maka akan di tambahkan
nama lokasi penambangan pada daerah penelitian.

4.3.1 Sesar Naik Best

Sesar Naik Best terdapat di bagian barat sampai utara daerah penelitian.
Sesar ini membentang dengan arah relatif Barat Daya – Timur Laut. Sesar naik
mensesarkan satuan dunit, peridotit dan serpentinit. Indikasi-Indikasi yang diamati
adalah:

a) Kelurusan topografi di daerah penambangan Best dan Waste Dump


Utara yang kemudian diikuti oleh adanya perbedaan kerapatan dan
ketinggian kontur secara signifikan pada daerah tersebut.
b) Analisa stereografi dari data shear joint dari LP7,LP8 dan LP20

Foto 4.15 Kenampakan Kekar Pada LP7

44
.

Foto 4.16 Kenampakan Kekar Pada LP 20

Gambar 4.3 Lokasi dan Stereografi Sesar Naik Best 1

45
Berdasarkan hasil stereografi dari kelurusan kontur dekat daerah
penambangan Best sebagai arah bidang sesar dan data shear joint pada LP 7 serta
LP8 didapatkan hasil berupa rake 59° dan strike/dip N 202°E/71°NW. Sesar ini
merupakan sesar naik mengiri berdasarkan bentuk stereografi, nilai rake dan
strike/dip. Menurut klasifikasi Rickard (1972) sesar ini masuk ke dalam Left Thrust
slip fault.

Gambar 4.4 Lokasi dan Stereografi Sesar Naik Best 2

Gambar 4.4 Lokasi dan Stereografi Sesar Naik Best 2

Berdasarkan hasil stereografi ke dua dari kelurusan kontur dekat Waste


Dump Utara sebagai arah bidang sesar dan data shear joint pada LP20 didapatkan
hasil berupa rake 59° dan strike/dip N 239°E/56°NW. Sesar ini merupakan sesar
naik mengiri berdasarkan bentuk stereografi, nilai rake dan strike/dip. Menurut
klasifikasi Rickard (1972) sesar ini masuk ke dalam Left Thrust slip fault.

4.3.2 Sesar Naik Wato-Wato

Sesar Naik Wato-wato terdapat di bagian Timur Laut daerah penelitian.


Sesar ini membentang dengan arah relatif Barat Laut - Tenggara. Sesar Naik Wato-
wato mensesarkan satuan serpentinit dan dunit. Indikasi-Indikasi yang diamati
adalah:

46
a) Kelurusan Topografi di daerah lokasi penambangan Wato-wato.
b) Analisa stereografi dari data shear joint pada LP19.

Foto 4.17 Kenampakan Kekar Pada LP19

Gambar 4.5 Lokasi dan Stereografi Sesar Naik Wato-wato

47
Berdasarkan hasil stereografi dari kelurusan kontur dekat daerah
penambangan Wato-wato sebagai arah bidang sesar dan data shear joint pada LP
19 serta didapatkan hasil berupa rake 76° dan strike/dip N 333°E/43°NE. sesar ini
merupakan sesar naik mengiri berdasarkan bentuk stereografi, nilai rake dan
strike/dip. Menurut klasifikasi Rickard (1972) sesar ini masuk ke dalam right thrust
slip fault.

4.3.3 Sesar Mendatar Mengiri Jara-Jara

Sesar mendatar mengiri jara-jara membentang pada bagian tengah daerah


penelitian. Sesar ini membentang dengan arah relatif Barat - Timur. Sesar mendatar
mengiri jara-jara mensesarkan satuan serpentinit dan dunit. Indikasi-Indikasi yang
diamati adalah:

a) Bentukan bukit yang bergeser di dekat lokasi penambangan Jara-jara.


b) Analisa stereografi dari data shear joint pada LP2.

. Gambar 4.6 Kenampakan Kekar Pada LP2

48
Gambar 4.6 Lokasi dan Stereografi Sesar Mendatar Mengiri Jara-jara

Berdasarkan hasil stereografi dari kelurusan kontur dekat daerah


penambangan Jara-jara sebagai arah bidang sesar dan data shear joint pada LP1
serta didapatkan hasil berupa rake 14° dan strike/dip N 249°E/68°SW. sesar ini
merupakan sesar naik mengiri berdasarkan bentuk stereografi, nilai rake dan
strike/dip. Menurut klasifikasi Rickard (1972) sesar ini masuk ke dalam normal
left slip fault.

49
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan

Hasil dari analisis kelurusan yang di olah menjadi peta FFD, yang kemudian
nilai FFD tersebut akan di bandingkan dengan kondisi endapan nikel laterit pada
setiap lokasi penambangan dan struktur geologi apa saja yang mempengaruhi
ketebalan endapan nikel laterit pada lokasi penambangan tersebut. .

5.1.1 Struktur Geologi Terhadap Penyabaran Nikel Laterit

Pembentukan endapan nikel laterit di pengaruhi oleh rekahan rekahan yang


terdapat pada batuan. Karena untuk melapukan batuan ultrabasa yang hampir tidak
memiliki porositas di butuhkan rekahan sebagai porositas sekundernya dan sebagai
zona lemah untuk melapukan batuan tersebut.

Lokasi penambangan pada daerah penelitianpun yang memiliki endapan


laterit tebal berada pada daerah yang memiliki nilai kerapatan struktur yang sedang
hingga tinggi menurut peta FFD. Struktur geologi pada daerah penelitian yang
mengkontrol penyebaran endapan nikel laterit di dominasi oleh rekahan (shear
joint) terbentuk akibat terbentuknya sesar-sesar pada daerah penelitian. Rekahan
inilah yang meyebabkan air dapat masuk dan batuan beku ultrabasa terlapukan dan
membentuk endapan nikel laterit.

A. Lokasi Penambangan Best

Lokasi penambanga best berada di sebelah selatan daerah penelitian


(LP9). Lokasi ini memiliki batuan asal peridotit (Gambar 4.3). Lokasi
penambangan best memiliki endapan laterit yang tebal yaitu ± 30m. Lokasi
ini memiliki endapan laterit yang tebal di karenakan memiliki nilai
kerapatan struktur sedang berada pada kisaran 8,2 km/km² sampai 8,5
km/km² lokasi ini juga memiliki topografi yang tidak terlalu curam sehingga
air meteorik dapat melakukan penetrasi ke dalam batuan asal melalui
rekahan-rekahan dan melapukan batuan asalnya sehingga membentuk

50
endapan laterit. Rekahan pada lokasi penambangan best di dominasi oleh
rekahan shear joint. Rekahan pada lokasi ini di hasilkan dari sesar naik best
hal ini di buktikan dari analisis kinematik pada lokasi penambangan best
(LP9) memiliki arah yang sama dengan kekar pada LP 7 dan LP 8 sebagai
sampel data untuk analisis kinematik sesar naik best.

Foto 5.1 Profil Nikel Laterit Pada Lokasi Penambangan Best

B. Lokasi Penambangan Harmoni

Lokasi penambangan harmoni terletak sebelah barat lokasi


penambangan best (LP13). Lokasi ini memiliki batuan asal peridotit
(Gambar 4.3) Lokasi penambangan harmoni memiliki ketebalan endapan
laterit ±35m Lokasi ini memiliki endapan laterit yang tebal karena memiliki
nilai kerapan struktur sedang yaitu pada nilai 8,2 km/km² dan di dukung
dengan topografi yang tidak curam sehingga pelapukan pada batuan asal
cukup tinggi dan dapat membentuk endapan laterit. Rekahan pada lokasi ini
di dominasi oleh rekahan shear joint, rekahan-rekahan ini di terbentuk
akibat adanya sesar naik best hal ini di buktikan oleh hasil analisis kinematik
pada lokasi ini memiliki arah yang sama dengan analisis kinematik LP7 dan
LP8 sebagai lokasi pengambilan sampel kekar untuk analisis kinematic
sesar naik best.

51
Foto 5.2 Profil Nikel Laterit Pada Lokasi Penambangan Harmoni

C. Lokasi Penambangan Para Para


Lokasi penambangan para-para terletak pada bagian Utara peta
(LP12). Lokasi ini memiliki batuan asal dunit (Gambar 4.3). Lokasi
penambangan wato-wato memiliki ketebalan endapan laterit ± 35 meter.
Lokasi ini memiliki endapan laterit yang tebal karena memiliki nilai
kerapatan struktur yang tinggi yaitu pada kisaran 9,7 km/km² sampai 10
km/km² di dukung lagi dengan topografinya yang tidak curam sehingga air
meteorik dapat dengan baik melapukan bagian dalam batuan asal melalui
rekahan rekahan yang ada sehingga membentuk endapan laterit yang tebal.
Rekahan pada lokasi penambangan wato-wato di perkirakan terbentuk
akibat berada pada 2 bidang sesar yaitu sesar naik best dan sesar naik. Maka
dari itu lokasi ini memiliki nilai kerapatan struktur yang besar. Pada lokasi
ini sulit untuk melihat struktur rekahan rekahan karena bed rock atau batuan
asal masih belum terlihat pada lokasi penambangan ini.

52
Foto 5.3 Profil Nikel Laterit Pada Lokasi Penambangan Para-para

D. Lokasi Penambangan Wato-Wato

Lokasi penambangan wato-wato terletak di bagian tengah peta


(LP3). Lokasi penambangan wato-wato memiliki ketebalan endapan nikel
laterit ± 25m. Lokasi ini memiliki endapan laterit yang tebal di dukung
dengan nilai kerapatan struktur yang tinggi yaitu pada kisaran nilai 9,2
km/km² dan juga di dukung oleh topografi yang tidak terjal. Pada lokasi ini
rekahan rekahan terbentuk akibat adanya sesar geser mengiri jara-jara hal
ini terbukti dari hasil analisis kinematik menggunakan data shear joint pada
lokasi ini menghasilkan sesar geser mengiri yang sudah di bahas pada bab
empat. Rekahan-rekahan pada lokasi ini berperan sebagai porositas batuan
sekunder batuan beku sehingga air meteorik dapat melapukkan dan
membentuk endapan laterit pada lokasi penambangan ini.

Foto 5.4 Profil Nikel Laterit Pada Lokasi Penambangan Wato-wato

53
E. Lokasi Penambangan Jara-Jara

Lokasi penambangan jara-jara (LP1) terletak pada bagian timur peta


berada pada sebelah timur lokasi penambangan wato-wato. Lokasi ini
memiliki ketebalan endapan laterit ±35m. Lokasi penambangan jara-jara
memiliki endapan laterit yang tebal karena berada pada lokasi yang
memiliki nilai kerapatan struktur yang tinggi yaitu ada kisaran nilai 8,8
km/km² sampai 9,0 km/km² selain itu juga lokasi penambangan jara-jara
memiliki bentukan topografi yang tidak curam sehingga mendukung untuk
membentuk endapan laterit yang tebal. Rekahan pada lokasi penambangan
jara-jara di dominasi oleh rekahan Shear joint, rekahan rekahan ini di
kontrol oleh sesar datar mengiri jara-jara. Berdasarkan hasil kinematik shear
joint pada LP1 memiliki arah yang relatif sama dengan hasil analisis
kinematik pada LP2.

Foto 5.4 Profil Nikel Laterit Pada Lokasi Penambangan Jara-jara

F. Lokasi Penambangan Utara

Lokasi penambangan utara (LP11) terletak pada bagian tengah peta


pada sebelah barat lokasi penambangan wato-wato. Lokasi ini memiliki
endapan laterit yang sangat tipis. Lokasi ini memiliki nilai kerapatan
struktur yang cukup tinggi yaitu pada kisaran 9,2 km/km². Lokasi ini
menarik walaupun memiliki nilai kerapatan struktur yang tinggi tetapi
lokasi ini tidak memiliki endapan laterit yang tebal hal ini di sebabkan oleh
kondisi topografinya yang cukup terjaldan berada di puncak ketinggian hal

54
ini menyababkan air meteorik tidak dapan melakukan penetrasi ke dalam
batuan induk, akan tetapi air yang melewari lereng hanya akan mengalir
megikuti lerengnya (run off). Lokasi penambangan utara karena memiliki
endapan laterit yang tipis maka materialnya di manfaatkan sebagai
penimbun jalan. Topografi yang terjal ini di pengaruhi oleh sesar naik best
dan sesar naik wato-wato.

Foto 5.4 Profil Nikel Laterit Pada Lokasi Penambangan Utara

G. Bed Rock LP6

LP6 memiliki nilai kerapatan struktur yang cukup tinggi yaitu pada
kisaran 8,7km/km² sampai 9,0 km/km². Walaupun memiliki nilai
kerapatan struktur yang tinggi tetapi lokasi ini tidak memiliki
endapan laterit yang tebal hal ini di sebabkan oleh kondisi
topografinya yang sangat terjal dan berada hal ini menyababkan air
meteorik tidak dapan melakukan penetrasi ke dalam batuan induk,
akan tetapi air yang melewari lereng hanya akan mengalir megikuti
lerengnya (run off). Topografi yang terjal ini di pengaruhi oleh
struktur sesar naik best.

55
Foto 5.4 Singkapan pada LP6

Hasil dari pemetaan ini selain peta geologi penulis juga membuat peta
yang menunjukan batas antara Bed Rock dengan endapan laterit.

Gambar 5.1 Peta Batas Bed Rock dan Endapan Laterit

56
Peta yang memisahkan antara Bed Rock dan endapan Laterit dapat di
kembagkan menjadi peta sebaran potensi ketebalan endapan nikel laterit dengan
membandingkan densitas struktur, geomorfologi dan kondisi endapan nikel laterit
yang terdapat pada setiap lokasi nemanbangan dapat di buat ”Peta Potensi Sebaran
Endapan Nikel Laterit” berdasarkan hasil analisis yang telah di buat dan masih
berupa intepretasi dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

Gambar 5.2 Peta Potensi Ketebalan Endapan Nikel Laterit

57
5.1.2 Pemodelan Penampang Tektonik

Batuan beku ultrabasa yang terbentuk di Mid Oceanic Rigde (MOR) dan
sebagai batuan pembentuk kerak samudra. Umumnya Batuan ultrabasa terdapat
pada kerak samudra yang seharusnya batuan ini berada di dasar samudra. Pada
daerah penelitian terdapat endapan nikel laterit yang di mana terbentuk dari batuan
ultrabasa . Batuan ultrabasa pada daerah penelitian dapat tersingkap di permukaan
dan mengalami pelapukan di karenakan terjadi tumbukan atau tabrakan antara 2
lempeng yaitu lempeng laut philipina dan lempeng molluca. ( Gambar 5.3).

Gambar 5.3 Penampang Tektonik Halmahera modifikasi dari ( Cardwell et al.,


1980)

Akibat dari lempeng laut philipina yang terbentuk dari batuan ultrabasa
memiliki pergerakan relatif ke barat dan berturukan dengan lempeng molluca.
Lempeng laut philipine yang telatif menunjam mengakibatkan terjadinya proses
Lifting yang membuat sebagian dari lempeng laut philipina yang merupakan batuan
ultrabasa terangkat ke permukaan.

58
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap data ASTGDEM, geomorfologi,


kelurusan (lineament), struktur, geologi, hubungan struktur geologi dengan
ketebalan endapan nikel laterit dan sistem panasbumi pada daerah Pulau Pakal,
Kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara,
maka dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:

1. Pada daerah penelitian terdapat empat satuan batuan dengan urutan tua
kemuda yaitu Satuan Dunit, Satuan Peridotit, Satuan Serpentinit dan Satuan
Endapan Pantai.
2. Struktur geologi yang mengkontrol sebaran endapan nikel laterit yaitu sesar
mendatar mengiri jara-jara, sesar naik wato-wato dan sesar naik best. Selain
ketiga patahan tersebut rekahan rekahan pada batuan juga sangat
mempengaruhi terbentuknya endapan nikel laterit.
3. Struktur patahan sesar naik kurang baik untuk penbentukan endapan nikel
laterit karena sesar naik menyebabkan topografi yang curam sehingga air
meteorik tidak melepukan bagian dalam batuan asal karena air meteorik
yang meliwati lereng hanya akan runoff .
4. Daerah yang memiliki endapan nikel laterit yang tebal berada pada daerah
yang memiliki nilai densitas struktur yang menengah hingga tinggi dan juga
kemiringan lereng yang tidak terlalu terjal.

59
6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang di dapat penulis


menyarankan untuk :

1. Melakukan penelitian serupa pada daerah yang belum menjadi areal


tambang terbuka.
2. Melakukan penelitian lebih lanjut pada daerah daerah yang memiliki
kriteria sebagai sebaran endapan nikel laterit yang tebal berupa uji
pengeboran.
3. Melakukan penelitian serupa pada site Mornopo dan Tanjung Buli untuk
mengetahui kontrol strukur geologi terhadap sebaran endapan nikel
laterit pada daerah tersebut sehingga dapat mengetahui daerah yang
berpotensi terdapat endapan nikel laterit.
4. Memantau rutin daerah-daerah zona sesar dan yang memiliki intensitas
struktur tinggi guna mencegah terjadinya bencana longsoran.

60
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.M, 1951, The Dynamics of Faulting. Oliver and Boyd, Edinburgh, 241
pp. Hill (1953)

Apandi, T dan Sudana. D. 1980. Peta Geologi Lembar Ternate, Maluku Utara Skala 1
: 250.000,: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, P3G. Bandung.

Bemmelen, van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Martinus Nyhoff, The Haque,
Netherland.

Billings, M.P., 1959. Structural Geology, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New
Jersey

Boldt, Joseph. R, 1979 , The Winning Of Nickel

Darman, Herman dan Sidi, F. Hasan. 2000. An Out Line Of The Geologi Of Indonesia
: Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Jakarta

Fossen, Haakon, 2010, Structural Geology. Cambridge University Press, New York.

Guilbert, J.M., dan Park Jr, C. F., 1986. The Geology of Ore Deposits. New
York: W.H. Freeman and Company.

Hammilton, W.R., 1979, Tectonics of The Indonesia Region. United States Geological
Survey.

Hidartan dan Handaya, Agung. 1994. Pemetaan Geomorfologi Sistematis untuk Studi
Geologi. Jakarta: Majalah IAGI.

Hobbs, B., 1912., An Outline Structural Geology, Wiley and sons, New York

60
Lillesand, T.M. Dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Di
Indonesia-kan oleh Dulbahri, P. Suharsono, Hartono, Dkk.). Gajah MadaUniversity
Press. Yogyakarta.

Marlundu, P, 2012, Kontrok Struktur Pada Mineralisasi Laterit Nikel Site T. Buli, Buli-
HalTim

Moody, J.D., Hill, M.J., 1956, Wrench Fault Tectonics, Bulletin of The Geological
Society of America.

Ragan, D. M. 1973. Structural Geology, an Introduction to Geometrical Techniques :


John Wiles & Sons, New York.
Rickard, M. J. 1972. Fault Classification Discussion. Geological Society of American
Bulletin, 83, 2545-2546.

Rohrbaugh et al., 2002.Estimating Fracture Trace Intensity, Density, And Mean Length
Using Circular Scan Lines And Windows.AAPG Bull., 86 (12) (2002), pp. 2089-2104

Setiawan, T, 2011, Delineasi Kelurusan Morfologi, Buletin Geologi Tata Lingkungan


Vol 21 NO.2 :105-106
Sukandar rumidi., 2009 , Geologi Mineral Logam, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

Sulebak, J.R. (2000) Applications of Digital Elevation Models. DYNAMAP


project,Oslo.

Sutanto. (1986). Pengideraan Jauh Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Thornbury, W.D. (1969), Principles of Geomorphology. John Wiley & Sons, New
York, 594 pages.

Turus Soejitno, 1995, Teknik dan Aplikasi Geologi Foto, PT. Rosda Jayaputra, Jakarta.

61
O ‘Leary dan Friedman, 1978. Lineament interpretation Short review and
methodology, 2010 .

Van Zuidam, R. A.., 1985. Aerial Photo – Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. Smith Publisher, The Hague, ITC.

Verstappen, H.Th. and R.A. van Zuidam, 1968. ITC System Of Geomorphological
Survey. Delf:ITC

62

Anda mungkin juga menyukai