Anda di halaman 1dari 34

BAB I

RINGKASAN
1.1. Ringkasan
Timah merupakan logam yang sangat di perlukan dalam kehidupan manusia.
Sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui sedangkan kebutuhannya
yang terus meningkat maka diperlukan eksplorasi cadangan komoditas logam
timah terbaru. Lokasi penelitian berada di daerah Bukit Bais, Kecamatan Belinyu,
Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Daerah penelitian memiliki luas 8
km² atau 795 Ha (4 x 2 km), secara geografis berada pada koordinat UTM zona
48S X: 592600 – 596200, Y: 9811400 – 9813600. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik endapan timah primer dengan meninjau aspek geologi,
alterasi, dan mineralisasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu pemetaan
geologi permukaan. Analisis yang digukaan untuk mengolah data geologi
permukaan yaitu analisis XRF (X-Ray Fluorosence) menggunakan alat Vanta
XRF Portable dengan cafra ditembakkan langsung ke contoh batuan dan soil dan
analisa XRD (X-Ray Difraction). Stratigrafi daerah penelitian dari umur tua ke
paling muda tersusun dari Satuan Granit Klabat (Trias Akhir – Jura Tengah), dan
Endapan Aluvial (Kuarter). Himpunan mineral ubahan pada daerah penelitian
berdasarkan pengamatan lapangan dan hasil analisis XRD menunjukan mineral
ubahan akibat proses hidrotermal yang terdiri dari empat zonasi himpunan
mineral yaitu Zona Kaolinite ± Illite ± Montmorilonite, Zona Sericite + Quartz ±
Dickite, Zona Albite + Quartz ± Microcline ± Muscovite dan Zona Tourmaline
+ Quartz ± Muscovite. Keterdapatan timah primer pada daerah penelitian memilii
pola mineralisasi diseminasi pada batuan dan juga urat, berdasarkan analisis XRF
keterdapatan timah primer pada pola mineralisasi urat lebih tinggi kadar nya. Pada
daerah penelitian alterasi dan mineralisasi di kontrol oleh struktur geologi yang
yang berkembang pada deformasi kedua yang memiliki tegasan utama Baratlaut –
Tenggara. Berdasarkan data lapangan dan hasil analisis laboratorium tipe endapan
pada lokasi penelitian, menurut Pollard (1987) adalah Tipe Endapan Greisen
dalam Fase Pengendapan Urat.
1.2. Kepemilikan

Bagian barat daerah penelitian seluas 571 hectare merupakan termasuk kedalam
wilayah konsensi PT. Timah Tbk, dan bagian timur daerah penelitian seluas 224
hectare lahan masyarakat.

1.3. Strategi Eksplorasi


Penelitian pada daerah penelitian di lakukan dengan pemetaan permukaan dengan
luasan kavling 7,95 km² atau 800 Ha (3,97 x 2 km), pemetaan dilakukan dengan
metode grid mapping, yaitu pengambilan data-data berdasarkan lintasan yang
telah ditentukan. Pada daerah penelitian terdapat 35 garis lintasan dengan panjang
masing – masing lintasan 2,4 km. Data yang di ambil pada daerah penelitian
berupa Outcrop, Float, dan soil. Sampel outcrop diambil setiap spasi 25 meter,
sedangkan sampel float dan soil diambil setiap spasi 50 meter. Kemudian setelah
pengambilan data selesai maka masuk ketahap selanjutnya yaitu proses data.
Proses data dilakukan dengan membuat peta geomorfologi, peta geologi, peta
alterasi dan mineralisasi, peta kadar, dan peta struktur geologi. Peta dibuat dalam
skala 1 : 10.000. Tahap akhir dari proses data berupa pembuatan laporan.
BAB II
PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Timah merupakan logam yang sangat di perlukan dalam kehidupan
manusia karena memiliki berbagai manfaat sehingga memiliki harga jual yang
tinggi. Sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui sedangkan
kebutuhannya yang terus meningkat maka diperlukan eksplorasi atau pencarian
cadangan komoditas logam timah terbaru. Komoditas logam timah akan terbentuk
tergantung dengan mineral pembawa mineral bijih yang akan mengandung unsur
logam timah, yang dipengaruhi oleh lingkungan terbentuknya.

Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang timah dunia, Pulau


Bangka merupakan satu dari sekian banyak daerah di Indonesia yang memiliki
potensi sumberdaya mineral yang cukup melimpah. Produksi timah merupakan
komoditas utama dalam eksplorasi endapan mineral logam di Pulau Bangka yang
membuat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil timah terbesar di
dunia. Pembentukan endapan timah yang tersebar di sepanjang Pulau Bangka
secara umum berasal dari pembentukan magma asam akibat proses peleburan
kerak benua pada proses kolisi. Blok Lembah Jambu, Tempilang, Bangka Barat,
Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah yang kaya akan
mineralisasi. Jenis dan tipe batuan yang terdapat di daerah ini sebagian besar telah
terubah akibat kerja intrusi yang membentuk tipe endapan greisen.

2.2. Cakupan Pekerjaan


Penulisan laporan ini dibatasi pada hal – hal sebagai berikut:

1. Melakukan penelitian pada daerah Bukit Bais, Kecamatan Belinyu,


Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian
dilakukan dengan cara pemetaan detail.

2. Hasil pemetaan digunakan untuk mengetahui kondisi geologi,


geomorfologi, alterasi, mineralisasi, dan potensi yang terdapat pada daerah
penelitian.

3. Hasil akhir berupa peta dan laporan diharapkan dapat menjadi


pertimbangan eksplorasi timah pada daerah penelitian.
2.3. Maksud dan Tujuan
Kegiatan penelitian skripsi ini memiliki maksud yaitu melakukan
pemetaan geologi pada daerah eksplorasi PT Timah Tbk, yang kemudian
dilanjutkan dengan analisis sehingga dapat menentukan fenomena geologi yang
berkembang pada daerah penelitian serta dapat menambah wawasan pada bidang
alterasi dan mineralisasi yang berkaitan dengan endapan greisen, sebagai syarat
tugas akhir pada Jurusan Teknik Geologi Universitas Halu Oleo untuk lulus dan
mendapatkan gelar sarjana program pendidikan Strata 1 (S1)

Tujuan dari kegiatan penelitian skripsi ini yaitu untuk mengkaji informasi
geologi, struktur geologi, alterasi dan mineralisasi yang berkembang pada daerah
telitian, sehingga dapat diketahui sebaran alterasi, mineralisasi yang berkembang
pada daerah telitian dan menentukan hubungan struktur geologi dengan sebaran
alterasi dan mineralisasi. Mengetahui zonasi endapan timah primer dan
melakukan analisis kandungan unsur, sehingga didapatkan zona prospek untuk
ditambang.

2.4. Lokasi dan Kesampaian Wilayah


Lokasi penelitian berada di daerah Bukit Bais, Desa Riding Panjang,
Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Daerah penelitian memiliki luas 7,95 km² atau 795 Ha (3,95 x 2 km). Secara
geografis daerah penelitian berada pada koordinat UTM zona 48S X: 592600 –
596200, Y: 9811400 – 9813600. Jarak daerah penelitian dari Kota Pangkalpinang
sejauh 86 km dengan waktu tempuh 1 jam 40 menit menggunakan kendaraan roda
empat menggunakan bus tujuan Pangkalpinang - Belinyu, sedangkan jarak daerah
penelitian dari Kantor UPLB Timah sejauh 10 km dengan waktu tempuh 15 menit
menggunakan kendaraan roda dua.

Tabel 2. 1 Koordinat kavling daerah penelitian di Bukit Bais, Belinyu, Bangka


KOORDINAT
1 2 3 4
X 592600 596200 596200 592600
Y 9811400 9811400 9813600 9813600
Gambar 2. 1 Peta kesampaian lokasi dari kantor PT. Timah Tbk di Kota
Pangkalpinang menuju kantor UPLB Timah.

Gambar 2. 2 Peta Kesampaian lokasi dari kantor UPLB Timah menuju kavling
daerah penelitian, kotak merah merupakan kavling daerah penelitian

2.5. Keadaan Lingkungan


Masyarakat yang menghuni daerah penelitian di dominasi oleh ras Melayu
dan China yang juga berpengaruh dalam istilah-istilah penambang lokal seperti
taikong, kaksa, bulur, sakan. Sebagian merupakan wilayan IUP PT Timah Tbk,
pada sebelah Timur, sedangkan pada sebelah timur bukan merupakan IUP PT
Timah Tbk. Daerah penelitian sebagian merupakan lahan bebas dan sebagian
merupakan wilayan hutan produksi, tambang rakyat banyak terdapat pada daerah
penelitian dengan metode hydraulic mining.

2.6. Waktu Kegiatan


Pelaksanaan penelitian tugas akhir dilaksanakan selama empat setengah
bulan yaitu dari tanggal 1 April – 14 Agustus. Tabel waktu kegiatan penelitian
tugas akhir sebagai berikut:

Tabel 2. 2 Jadwal kegiatan penelitian tugas akhir di PT Timah Tbk


2.7. Metode dan Peralatan
2.7.1. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu: tahap pra-pemetaan, tahap pemetaan,
dan tahap pasca pemetaan.

2.7.1.1. Rencana Persiapan Pemetaan Geologi (Pra-pemetaan)


Rencana persiapan pemetaan geologi merupakan tahap pra-pemetaan
dimana merupakan tahap paling awal dan paling penting didalam suatu pemetaan
geologi. Adapun rencana persiapan pemetaan adalah sebagai berikut:

1. Kajian pustaka, yaitu mempelajasi hasil penelitian pada lokasi oleh


peneliti terdahulu. Media yang digunakan untuk mempelajari hasil penelitian
terdahulu yaitu berupa paper, jurnal, dan textbook. Hal-hal penting dalam
mengkasi penelitian terdahulu yaitu: geologi regional, geomorfologi regional,
struktur geologi regional, alterasi dan mineralisasi yang berkembang pada daerah
penelitian.

2. Interpretasi daerah penelitian, meliputi interpretasi geomorfologi,


melakukan interpretasi kondisi morfologi daerah penelitian dengan menggunakan
peta topografi dan DEM/SRTM, kemudian membagi bentuk lahan berdasarkan
klasifikasi Van Zuidam (1985) atau Verstappen (1975).

2.7.1.2. Pelaksanaan Pemetaan Geologi


Pelaksanaan pemetaan geologi dilakukan setelah melakukan tahap
prapemetaan, dimana dalam tahap ini peneliti akan terjun langsung ke lapangan
untuk melakukan field check dan mengambil data dilapangan, tahapan
pelaksanaan pemetaan geologi akan dilakukan sebagai berikut:

1. Melakukan survey dan observasi kavling daerah telitian untuk mengetahui


rute yang terbaik dalam melakukan pemetaan dan mencari singkapan dengan
kondisi baik.

2. Melakukan pengambilan data langsung dilapangan berupa data


geomorfologi, litologi, struktur geologi, alterasi dan mineralisasi, serta
dokumentasi yang menunjang penelitian.
2.7.1.3. Kerja Studio (Pasca-pemetaan)
Kerja Studio merupakan tahapan paling akhir dalam suatu pemetaan
geologi yang dilakukan setelah melakukan pengambilan data dilapangan atau field
check.
Tahapan pelaksanaan kerja studio adalah sebagai berikut:

1. Analisis Laboratorium

Analisis laboratorium merupakan kegiatan menganalisis litologi yang didapatkan


dilapangan untuk mengetahui alterasi, mineralisasi yang terdapat dilapangan
sehingga dapat diketahui genetisnya, analisis laboratorium yang digunakan yaitu:

- Analisis Petrografi Analisis Petrografi

Analisis Petrografi merupakan analisis batuan secara mikroskopis dalam sayatan


tipis. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui mineralogi batuan
samping, urat maupun mineral yang terah mengalami alterasi hidrotermal,
sehingga dapat ditentukan tipe alterasinya.

- Analisis XRF (X-Ray Fluorosence)

Analisis XRF dilakukan untuk mengetahui unsur dalam mineral atau batuan
sehingga dapat diketahui kadar unsur logam yang terkandung.

- Analisis XRD (X-Ray Diffraction)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui fase kristalin dalam material dengan cara
menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel,
Penentuan kristal tunggal dan Penentuan struktur kristal dari material yang tidak
diketahui.

2. Pengolatan Data

Setelah analisa laboratorium selesai maka akan dilakukan pengolahan data yang
merupakan kegiatan mengolah data-data lapangan seperti data stuktur geologi,
data geomorfologi, data struktur geologi, data alterasi dan mineralisasi.

3. Interpretasi Hasil Penelitian


Merupakan tahap penelitian yang terakhir, hasil berupa pembuatan peta daerah
telitian dan penyusunan laporan akhir yang akan menjadi hasil akhir dari
penelitian.

2.7.2. Peralatan
1. Peta topografi daerah penelitian
2. Peta geologi regional dan peta geologi lokal
3. Palu geologi
4. Kompas geologi
5. GPS
6. Meteran
7. Kamera
8. Buku lapangan
9. Peralatan tulis lengkap
10. Loupe
11. Plastik sampel dan plastic peta
12. HCL 0,01 M
13. Komparator batuan beku dan batuan sedimen
14. Parameter foto
15. Jas hujan
16. Papan jalan
17. Mikroskop
18. Komputer
19. XRF Portable

2.8. Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan pada 1 April 2021, pengambilan data lapangan
yaitu kegiatan lapangan dimulai pada tanggal 14 April 2021 dan selesai pada
tanggal 29 Juni 2021. Pengolahan data lapangan dimulai pada tanggal 30 Juni –
31 Juli 2021. Presentasi Akhir dilakukan pada bulan Agustus.
2.7. Metode dan Peralatan
2.7.1. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu: tahap pra-pemetaan, tahap pemetaan,
dan tahap pasca pemetaan.

2.7.1.1. Rencana Persiapan Pemetaan Geologi (Pra-pemetaan)


Rencana persiapan pemetaan geologi merupakan tahap pra-pemetaan
dimana merupakan tahap paling awal dan paling penting didalam suatu pemetaan
geologi. Adapun rencana persiapan pemetaan adalah sebagai berikut:

3. Kajian pustaka, yaitu mempelajasi hasil penelitian pada lokasi oleh


peneliti terdahulu. Media yang digunakan untuk mempelajari hasil penelitian
terdahulu yaitu berupa paper, jurnal, dan textbook. Hal-hal penting dalam
mengkasi penelitian terdahulu yaitu: geologi regional, geomorfologi regional,
struktur geologi regional, alterasi dan mineralisasi yang berkembang pada daerah
penelitian.

4. Interpretasi daerah penelitian, meliputi interpretasi geomorfologi,


melakukan interpretasi kondisi morfologi daerah penelitian dengan menggunakan
peta topografi dan DEM/SRTM, kemudian membagi bentuk lahan berdasarkan
klasifikasi Van Zuidam (1985) atau Verstappen (1975).

2.7.1.2. Pelaksanaan Pemetaan Geologi


Pelaksanaan pemetaan geologi dilakukan setelah melakukan tahap
prapemetaan, dimana dalam tahap ini peneliti akan terjun langsung ke lapangan
untuk melakukan field check dan mengambil data dilapangan, tahapan
pelaksanaan pemetaan geologi akan dilakukan sebagai berikut:

3. Melakukan survey dan observasi kavling daerah telitian untuk mengetahui


rute yang terbaik dalam melakukan pemetaan dan mencari singkapan dengan
kondisi baik.

4. Melakukan pengambilan data langsung dilapangan berupa data


geomorfologi, litologi, struktur geologi, alterasi dan mineralisasi, serta dokumentasi
yang menunjang penelitian.
2.7.1.3. Kerja Studio (Pasca-pemetaan)
Kerja Studio merupakan tahapan paling akhir dalam suatu pemetaan geologi
yang dilakukan setelah melakukan pengambilan data dilapangan atau field check.
Tahapan pelaksanaan kerja studio adalah sebagai berikut:

4. Analisis Laboratorium

Analisis laboratorium merupakan kegiatan menganalisis litologi yang didapatkan


dilapangan untuk mengetahui alterasi, mineralisasi yang terdapat dilapangan
sehingga dapat diketahui genetisnya, analisis laboratorium yang digunakan yaitu:

- Analisis Petrografi Analisis Petrografi

Analisis Petrografi merupakan analisis batuan secara mikroskopis dalam sayatan


tipis. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui mineralogi batuan
samping, urat maupun mineral yang terah mengalami alterasi hidrotermal,
sehingga dapat ditentukan tipe alterasinya.

- Analisis XRF (X-Ray Fluorosence)

Analisis XRF dilakukan untuk mengetahui unsur dalam mineral atau batuan sehingga
dapat diketahui kadar unsur logam yang terkandung.

- Analisis XRD (X-Ray Diffraction)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui fase kristalin dalam material dengan cara
menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel,
Penentuan kristal tunggal dan Penentuan struktur kristal dari material yang tidak
diketahui.

5. Pengolatan Data

Setelah analisa laboratorium selesai maka akan dilakukan pengolahan data yang
merupakan kegiatan mengolah data-data lapangan seperti data stuktur geologi,
data geomorfologi, data struktur geologi, data alterasi dan mineralisasi.

6. Interpretasi Hasil Penelitian

Merupakan tahap penelitian yang terakhir, hasil berupa pembuatan peta daerah telitian
dan penyusunan laporan akhir yang akan menjadi hasil akhir dari penelitian.
2.7.2. Peralatan

 Peta topografi daerah penelitian


 Peta geologi regional dan peta geologi lokal
 Palu geologi
 Kompas geologi
 GPS
 Meteran
 Kamera
 Buku lapangan
 Peralatan tulis lengkap
 Loupe
 Plastik sampel dan plastic peta
 HCL 0,01 M
 Komparator batuan beku dan batuan sedimen
 Parameter foto
 Jas hujan
 Papan jalan
 Mikroskop
 Komputer
 XRF Portable
2.8. Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan pada 1 April 2021, pengambilan data lapangan
yaitu kegiatan lapangan dimulai pada tanggal 14 April 2021 dan selesai pada
tanggal 29 Juni 2021. Pengolahan data lapangan dimulai pada tanggal 30 Juni –
31 Juli 2021. Presentasi Akhir dilakukan pada bulan Agustus.
BAB III
STUDI PUSTAKA

3.1. Geologi Regional Pulau Bangka


3.1.1. Fisiografi Regional Pulau Bangka

Menurut Van Bemmelen (1949), Pulau Bangka termasuk kedalam gugusan pulau
yang berada di Paparan Sunda (Sunda Shelf), dimana pulau-pulau ini dahulunya
merupakan bagian dari Daratan Sunda (Sunda Land). Bagian dari Daratan Sunda
yang kini dikenal sebagai Paparan Sunda tersusun oleh Pulau Bangka bersama
dengan Pulau Belitung, Lingga dan Singkep, Kepulauan Natuna, Anambas dan
Tambelan, Riau, Karimata, Karimunjawa dan Bawean. Akibat dari proses
peneplainasi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, banyak dari
tinggian pada pulau-pulau ini lapuk dan tererosi. Hal ini dibuktikan dengan
tebalnya profil tanah yang dapat dijumpai di pulau-pulau ini. Selain proses
peneplainasi, fenomena naik-turun muka air laut yang terjadi pada Zaman Kuarter
juga mengakibatkan gugusan pulau ini terpisah oleh perairan dangkal seperti
sekarang. Meskipun sekarang pulau-pulau ini dipisahkan oleh perairan dangkal,
susunan dari pulau-pulau ini terlihat mengindikasikan arah struktur utama yang
menghubungkan Asia Tenggara dengan tiga pulau besar yang termasuk dalam
Daratan Sunda yakni Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Pulau dengan luas
11.534,142 Km2 ini dikelilingi oleh Pulau Sumatera dan Selat Bangka di sebelah
barat daya, Pulau Belitung di sebelah timur, Pulau Kalimantan di sebelah timur
laut, Kepulauan Riau di sebelah barat laut, Pulau Anambas dan Laut Cina Selatan
di sebelah utara serta Laut Jawa di sebelah tenggara

Secara fisiografi Pulau Bangka merupakan pulau terbesar dalam Paparan


Sunda (Sundaland) dan merupakan Sunda Peneplain, dicirikan oleh daerah
berbukit dengan ketinggian batuan dasar yang membatasi Cekungan Sumatra
Selatan dibagian timur dan Cekungan Sunda di bagian utara. Pulau Bangka
termasuk dalam jalur timah (tin belt) yang membentang dari Myanmar, Thailand,
Daerah Telitian
Kamboja, Semenanjung Malaysia, Kepulauan Riau, Bangka dan Belitung sampai
Kalimantan. Keberadaan pulau-pulau timah erat kaitannya dengan sabuk bagian
tengah Semenajung Malaysia yang mempunyai umur kisaran 207 – 230 ma
(Cobbing, 1992).
Gambar 3. 1 Sabuk timah Asia-Tenggara dengan 3 jenis granite utama (Cobbing
1992). Garis hijau merepresentasikan suture Bentong-Raub, yang
merupakan suture Paleo-Tethis pada Semenanjung Malaysia. Garis biru
merupakan suture Paleo-Tethis (Wai-Pan, 2017)
3.1.2. Stratigrafi Regional Pulau Bangka

Daerah Bukit Bais termasuk dalam Peta Geologi lembar Bangka Utara
1114 & 1113, dengan skala 1:250.000 (Mangga dan Djamal, 1994) yang termasuk
didalamnya daerah-daerah dibagian utara Pulau Bangka seperti Belinyu, Muntok,
Tempilang dan pulau - pulau lainnya di sekitar Teluk Klabat dan Teluk Kampa.
Dan secara regional, formasi yang kemungkinan besar berkaitan dengan daerah
penelitian yaitu Kompleks Pemali (CPp), Diabas Penyabung (PRd), Granit Klabat
(TRJkg), Formasi Tanjunggenting (Trt), Formasi Ranggam (TQr), Alluvium (Qa)

Kompleks Pemali (CPp) , filit dan sekis dengan sisipan kuarsit dan lensa
batugamping, dengan struktur kekar, sesar dan lipatan dan diterobos oleh Granit
Klabat (TRJkg). Umur satuan diduga Perem berdasarkan fosil yang dijumpai oleh
de Roever (1951) pada batugamping di daerah Air Duren sebelah Selatan –
Tenggara Pemali.

Diabas Penyabung (PRd), diabas terkekarkan dan tersesarkan, diterobos oleh


Granit Klabat (TRJkg) dan menerobos Kompleks Malihan Pemali (CPp). Umur
diperkirakan perem.

Granit Klabat (TRJkg), satuan ini tersusun atas granis, granodiorit, adamalit, diorit
dan diorit kuarsa setempat dijumpai retas aplit dan pegmatit, satuan ini
tersesarkan, terkekarkan dan juga menerobos Diabase Penyabung. Satuan ini
berumur Trias Akhir berdasarkan hasil analisa radiometri.

Formasi Tanjunggenting (TRt), perselingan batupasir malih, batupasir, batupasir


lempungan dan batulempung dengan lensa batugamping, setempat dijumpai oksida
besi. Berlapis baik, terlipat kuat, terkekarkan dan tersesarkan, formasi ini berumur
Trias berdasarkan pada fosil Montlivautia molukkana, Peronidella G, Entrochus
sp., dan Encrinus sp. yang hadir dalam batugamping. Diterobos oleh granit klabat
dan menindih tidak selaras Kompleks Pemali (CPp).

Formasi Ranggam (TQr), perselingan batupasir, batulempung dan batulempung


tufan dengan sisipan batulanau dan bahan organik; berlapis baik, struktur sedimen
berupa perairan sejajar dan perlapisan silang-siur. Fosil yang dijumpai antara lain
moluska, Amonia sp., Quingueloculina sp., dan menunjukkan umur relatif tidak
lebih tua dari Miosen Akhir. Lingkungan pengendapan diduga fluviatil sampai
peralihan. Lokasi tipe terdapat di daerah Ranggam.

Aluvium (Qa), bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lempung dan gambut.

Gambar 2.3 Stratigrafi Regional Pulau Bangka (dimodifikasi dari Mangga

dan Djamal, 1994).

3.1.3. Tektonik dan Struktur Regional Pulau Bangka

Pulau Bangka dilihat dari tatanan tektoniknya termasuk bagian dari blok
Indocina dan Blok Malaya timur dimana kedua blok tersebut termasuk dalam
Paparan Sunda yang berasal dari bagian timurlaut Gondwana. Blok benua ini
mulai memisahkan diri dari Gondwana pada Silur Akhir dan bergerak hingga
membentuk kerangka dari Asia Tenggara pada Devon Awal. Paparan Sunda
tersusun atas beberapa blok lempeng benua yang mengalami amalgamasi satu
dengan lainnya.

Kerangka tektonik Asia Tenggara pada Resen, terlihat bahwa blok


Indocina - Malaya Timur dibatasi oleh batas-batas tektonik di sekelilingnya. Di
bagian timur, blok ini berbatasan dengan blok Kalimantan Baratdaya (Southwest
Borneo block). Di bagian selatan dan barat, blok ini berbatasan dengan blok
Sibumasu. Sedangkan di bagian utara, blok ini berbatasan dengan blok Cina

Selatan (South China block). Blokblok tersebut, bersama dengan blok Burma
Barat (West Burma block) dan blok Sumatera Barat (West Sumatra block)
membentuk Daratan Sunda.
Gambar 3. 3 Distribusi dari blok-blok continental, fragmen dan terranes, dan
suture utama dari Sundaland dan Asia tenggara. Penomoran blok-blok
mikro kontinen: 1.East Java 2. Bawean 3. Paternoster 4. Mangkalihat 5.
West Sulawesi 6. Semitau 7. Luconia 8. Kelabit–Longbowan 9. Spratly
Islands–Dangerous Ground 10. Reed Bank 11. North Palawan 12.
Paracel Islands 13. Macclesfield Bank 14. East Sulawesi 15.Banggai–
Sula 16. Buton 17. Obi–Bacan 18. Buru– Seram 19. West Irian Jaya. LT
= Lincang Terrane, ST = Sukhothai Terrane and CT = Chanthaburi
Terrane. C–M =Changning– Menglian Suture, C.-Mai-C. Rai = Chiang
Mai-Chiang Rai Suture, andNan–Utt. = Nan–Uttaradit Suture. (Metcalfe,
2017).
Evolusi tektonik Paparan Sunda menurut Metcalfe (2017) dimulai pada Zaman

Devon, yaitu terjadinya pemisahan Indocina dari Gondwana ke arah utara, pemisahan

ini menyebabkan pembukaan Paleo-Tethys. Pada Perm Awal, Paleo-Thetys

mengalami penunjaman ke arah utara di bawah Indocina dan menyebabkan

terbentuknya Sukhotai Arc pada tepian Indocina. Sukhotai Arc ini kemudian

terpisahkan dari Indocina akibat adanya pemekaran belakang busur dan membentuk

cekungan belakang busur. Sibumasu mulai memisah dari Gondwana pada Pemian

Awal dan menyebabkan pembukaan Meso-Tethys sehingga terjadi pelebaran

samudera ke arah selatan. Subduksi Paleo-Tethys pada Indocina yang terjadi pada

Perm Tengah hingga Trias Awal, menyebabkan terbentuknya intrusi-intrusi granit

Tipe-I (salah satunya Granit Kelapa) yang mengintrusi Sukhotai Arc dan Indocina.

Pada Trias Tengah hingga Trias Akhir Sibumasu mengalami kolisi dengan

Sukhotai Arc dan Indochina dan Paleo-Thetys tertutup menjadi Bentong-Raub Suture

Zone. Terjadinya kolisi ini menyebabkan kerak benua pada Sibumasu mengalami

penebalan dan juga pelelehan yang kemudian menghasilkan pluton-pluton granit tipe

S (Granit Belinyu, Pangkalpinang, Menumbing dan Pemali) pada Akhir Trias. Kolisi

ini juga menyebabkan terjadinya subduksi Meso-Tethys dengan Sibumasu. Pulau

Bangka bila mengacu pada Cobbing dkk (1986) merupakan bagian dari Sibumasu,

namun posisi Paleo-Thetys pada Pulau Bangka hingga saat ini masih diperdebatkan

oleh para ahli.


Gambar 2.4 Model evolusi tektonikpaparan sunda (Metcalfe, 2017).

Struktur di Pulau Bangka ini berupa sesar naik, sesar geser, sesar normal,

lipatan, kekar, dan kelurusan (Mangga dan Djamal, 1994). Analisis struktur yang
dilakukan oleh Katili (1967) berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan oleh

Westerveld (1938) pada Pulau Bangka bagian utara menunjukkan adanya beberapa

pola struktur, baik dari foliasi, kekar-kekar, serta lipatan. Lipatan pada bagian utara

Pulau Bangka ini sebagian besar berarah barat laut-tenggara hingga timurbarat yang

mengenai batuan pada Formasi Pemali dan Formasi Tanjung Genting. Struktur lain

yang dapat ditemukan pada Pulau Bangka ini adalah sesar-sesar naik terimbrikasi

(Cobbing, 1986) yang menyebabkan tersingkapnya Formasi Pemali, sesar-sesar naik

ini juga mengenai Formasi Tanjung Genting dan memiliki arah dominan barat laut-

tenggara. Kehadiran sesar naik tidak hanya mengangkat batuan dasar Formasi Pemali

ke permukaan namun juga batuan diabas bagian dari Diabas Penyabung sehingga

terjepit di antara pluton-pluton granit yang bersatu karena kontak sesar naik. Pluton-

pluton granit di Pulau Bangka memiliki arah yang sejajar dan memanjang searah

dengan sesar-sesar naik ini, hal ini menyebabkan adanya dua penafsiran, yaitu pluton

terbawa oleh sesarsesar naik atau adanya pluton yang diakibatkan oleh sesar-sesar

naik. Pada daerah Koba tidak ditemukan pluton yang terpotong oleh sesar naik. Hal

ini diintrepetasikan bahwa umur dari sesar - sesar naik ini sedikit lebih tua dari pluton

atau bersamaan dengan pluton.

Struktur termuda yang diperkirakan ada pada Pulau Bangka adalah berupa sesar-sesar

mendatar dengan arah pergerakan menganan yang berarah utara-selatan. Sesar-sesar

mendatar ini ditemukan memotong sesar-sesar naik terimbrikasi pada beberapa

wilayah. Paparan Sunda dinilai stabil sejak Zaman Jura ditandai dengan tidak adanya

sedimentasi yang berarti, namun pada Tersier terjadi perubahan kondisi dan terjadi

sedimentasi tebal yang diperkirakan akibat adanya sesar sesar mendatar ini. Sesar-

sesar mendatar ini mengakibatkan adanya bagian Pulau Bangka yang naik dan turun,
bagian turun berfungsi sebagai cekungan sedimentasi. Sesar-sesar ini diperkirakan

berumur Mesozoikum Akhir-Tersier Awal (Cobbing, 1986).


3.3. Hidrothermal
Menurut Bateman (1951 dalam Riyanto 1988) proses pembentukan mineral dapat

dibagi atas beberapa proses yang menghasilkan jenis mineral tertentu baik yang

bernilai ekonomis maupun mineral yang hanya bersifat sebagai gaunge mineral yaitu

proses magmatis, pegmatisme, pneumatolisis, hydrotermal, replacement, sedimenter,

evaporasi, konsentrasi residu dan mekanik serta supergen enrichment.

Proses hidrotermal merupakan salah satu proses pembentukan mineral yang terjadi

oleh pengaruh temperatur dan tekanan yang sangat rendah dan larutan magma yang

terbentuk ini merupakan unsur volatil yang sangat encer yang terbentuk setelah tiga

tahapan sebelumnya yaitu magmatis, pegmatisme dan pneumatolisis. Secara garis

besar endapan hidrotermal dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu endapan hipotermal,

mesotermal dan epitermal.

Endapan hidrotermal dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan saja atas komposisi

mineraloginya (Lingrend, 1933 dalam Riyanto, 1988), yaitu : Hipotermal, Mesotermal

dan Epitermal

- Hipotermal dengan temperatur 450° - 300° C

- Mesotermal dengan temperatur 300° - 200° C

- Epitermal dengan temperatur 200° - 50° C

Interaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya (wallrock) akan

menyebabkan terubahnya mineral – mineral primer menjadi mineral ubahan

(alteration minerals) maupun fluida itu sendiri.


Ubahan hidrotermal merupakan proses yang kompleks, melibatkan perubahan

mineralogi, kimiawi, tekstur dan hasil interaksi fluida dengan batuan yang yang

dilewatinya (Pirajno, 2009). Perubahan – perubahan tersebut akan tergantung pada

karakter batuan samping, karakter fluida (Eh,Ph), kondisi tekanan dan temperatur

pada saat reaksi berlangsung (Guilbert dan Park, 1986).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses alterasi hydrothermal menurut Corbett dan

Leach (1997):

- Temperatur dan tekanan

Peningkatan suhu membentuk mineral yang terhidrasi lebih stabil, suhu juga

berpengaruh terhadap tingkat kristalinitas mineral, pada suhu yang lebih tinggi. akan

membentuk suatu mineral menjadi lebih kristalin, menurut Noel White (1996), kondisi

suhu dengan tekanan dapat dideterminasi berdasarkan tipe alterasi yang terbentuk.

Temperatur dan tekanan juga berpengaruh terhadap kemampuan larutan hidrotermal

untuk bergerak, bereaksi dan berdifusi, melarutkan serta membawa bahan–bahan yang

akan bereaksi dengan batuan samping.

- Permeabilitas

Permeabilitas akan menjadi lebih besar pada kondisi batuan yang terekahkan serta

pada batuan yang berpermeabilitas tinggi hal tersebut akan mempermudah pergerakan

fluida yang selanjutnya akan memperbanyak kontak reaksi antara fluida dengan

batuan.

- Komposisi kimia dan konsentrasi larutan hidrothermal


Komposisi kimia dan konsentrasi larutan panas yang bergerak, bereaksi dan berdifusi

memiliki pH yang berbeda-beda sehingga banyak mengandung klorida dan sulfida,

konsentrasi encer sehingga memudahkan untuk bergerak.

- Komposisi batuan samping

Komposisi batuan samping sangat berpengaruh terhadap penerimaan bahan larutan

hidrotermal sehingga memungkinkan terjadinya alterasi.

Walaupun faktor – faktor diatas saling terkait, tetapi temperatur dan kimia fluida

kemungkinan merupakan faktor yang saling berpengaruh pada proses ubahan

hidrotermal (Corbett dan Leach, 1997).

2.4 Zona Alterasi dan Mineralisasi Hidrotermal

Alterasi dapat diartikan sebagai perubahab yang terjadi pada suatu batuan dan

mineral penyusunnya, baik terjadi perubahan sifat kimia maupun sifat fisiknya dimana

yang disebabkan oleh larutan hidrotermal (Pirajno, 1992).

Secara alami alterasi hidrotermal batuan juga agak bervariasi dengan

temperatur formasi dari bijih maupun dengan batuannya. Kehadiran demikian dari

lingkaran alterasi dari batuan teralterasi mengindikasikan aksi hidrotermal, yang

secara umum berarti keberadaan endapan mineral hidrotermal yang boleh jadi

tersembunyi atau belum tersingkap ke permukaan. Jadi, sebuah lingkaran alterasi

hidrotermal dapat digunakan sebagai petunjuk praktis didalam menemukan mineral

bijih (Bateman, 1951).

Pada kesetimbangan tertentu, proses hidrotermal akan menghasilkan kumpulan

mineral tertentu yang dikenal sebagai kumpulan mineral (mineral assemblage)


(Guilbert dan Park, 1986). Setiap himpunan mineral akan mencerminkan tipe ubahan

(type of alteration) yang secara umum dikelompokkan menjadi tipe potassik, filik,

argilik, profilik, advanced argilic, skarn dan greisen.

Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan mineral alterasi

disebut sebagai zona alterasi (Guilbert dan Park, 1986). Berikut adalah beberapa zona

alterasi yang dibedakan berdasarkan kumpulan mineral, temperature, dan pH larutan

hidrotermal (Morrisson, 1995):

1. Potasik

Merupakan zona alterasi yang berada dekat dengan intrusi. Zona ini dibentuk oleh

fluida hidrotermal dengan temperatur lebih dari 300˚C dan salinitas tinggi. Penciri dari

zona ini adalah terbentuknya mineral sekunder berupa K-feldspar, biotit, kuarsa, dan

magnetit. Selain itu aktinolit, epidot, klorit, dan anhidrit, serta sedikit rutil dan albit

juga dapat terbentuk dalam zona ini.

2. Propilitik

Merupakan zona fase alterasi lanjutan dari alterasi potasik yang terbentuk akibat

fluida hidrotermal yang memiliki pH netral sampai alkali dengan temperatur berkisar

antara 200˚C-300˚C. Mineral-mineral yang terbentuk dan menjadi penciri zona ini di

antaranya adalah klorit, kalsit, dan epidot yang dapat disertai dengan kuarsa, adularia,

albit, serisit, dan anhidrit.

3. Filik

Merupakan zona yang terbentuk pada daerah yang permeabel dan berdekatan dengan

urat. Zona alterasi ini terbentuk akibat fluida hidrotermal yang bersifat netral sampai
asam, dengan suhu berkisar antara 200˚C-400˚C . Mineral penciri zona alterasi ini

antara lain serisit dan kuarsa. Selain itu, pirit dan anhidrit juga dapat muncul.
4. Argilik

Merupakan zona alterasi yang terbentuk akibat fluida hidrotermal yang memiliki sifat

netral sampai asam, dengan temperature rendah yaitu kurang dari 230˚C. Mineral

penciri dari zona ini yaitu mineral lempung temperatur rendah seperti kaolinit,

montmorilonit, smektit, ilit.

5. Argilik Lanjut

Merupakan zona alterasi yang terbentuk pada fluida asam (pH<4) yang ditandai

dengan hadirnya alunit, diaspor, pirofilit, bersama dengan kuarsa, kalsedon, kaolinit,

dan dikit.

6. Skarn

Merupakan zona yang terbentuk akibat fluid hidrotermal yang memiliki salinitas

tinggi dan temperatur yang tinggi dengan kisaran sekitar 300˚ - 700 ˚C. Terdapat

mineralogi yang sangat umum yang sering didapatkan pada batuan skarn, yaitu

kelompok garnet, piroksen, amfibol, epidot dan magnetit. Mineral lain yang umum

adalah wolastonit, klorit, biotit dan kemungkinan vesuvianit (idokras). Amfibol

umumnya hadir pada skarn sebagai mineral tahap akhir yang meng-overprint mineral-

mineral tahap awal. Aktinolit (CaFe) dan tremolit (CaMg) adalah mineral amfibol

yang paling umum hadir pada skarn.Jenis piroksen yang sering hadir adalah diopsid

(CaMg) dan hedenbergit (CaFe).

7. Greisen

Himpunan mineral pada greisen adalah kuarsa – muskovit (atau lipidolit) dengan

sejumlah mineral asesori seperti topas, tourmalin, dan fluorit. (Corbett dan Leach,

1997). Greisen mengacu pada alterasi pada batuan granitic dengan himpunan mineral
khususnya quartz-muscovite dengan satu atau lebih mineral pembawa F dan B seperti

fluorite, topaz, tourmaline. (Ridley, 2013).


Gambar 2.5 Himpunan mineral berdasarkan pH dan temperature pembentukannya
(Corbett dan Leach, 1997)
3.4. Greisen
Endapan greisen adalah endapan yang terbentuk pada tahap post-magmatic

dimana batuan diubah oleh cairan yang kaya akan volatil dan berkaitan saat

pendinginan intrusi granit. Pada saat pendinginan intrusi granit batuan yang terbentuk

memeiliki cairan sisa dari magma pembentuk batuan yang mengandung gas dan cairan

. Cairan sisa yang bergerak menjauhi sumber magma masih memliki kandungan gas

berada pada fase pneumatolitis, ketika gas telah habis dan hanya tersisa cairan disebut

fase hidrotermal.

Greisen adalah batuan granit yang diubah secara hidrotermal yang terdiri dari

campuran kuarsa dan mika , dengan variasi topaz , turmalin, fluorit, atau mineral kaya

F dan B lainnya. Logam bijih litofil terkait biasanya termasuk timah, tungsten,

berilium, dan molibdenum. Istilah greisen telah diperluas ke ubahan kaya fluor jenis

batuan selain granit, termasuk batuan karbonat, sehingga penggunaan yang baik

adalah memodifikasi istilah dengan mineral dominan, seperti dalam "greisen kuarsa-

topaz" atau "greisen mika-fluorit" (Burt, 1981).

Berdasarkan komposisi kimianya, fluida pada endapan greisen memiliki

kandungan fluorine (F) dan boron (B) yang melimpah. (Ridley, 2013). Fluida hasil

granitic melt pada endapan greisen mengalami pengayaan komponen volatile seperti

Cl, B, F, dan unsur logam seperti Sn, W, Mo, Bi, U, Be. (Pirajno, 1992). Fluida

greisen memiliki sifat yang bervariasi mulai dari suhu 600 to 400°C dan salinitas >40

wt. % NaCI hingga suhu ± 200°C dan salinitas 10-15 wt.%. Menurut Pirajno (1992),

pengayaan unsur Sn, W, Mo, Bi, U, Be dapat diakibatkan oleh melting dari protolith

yang sudah kaya akan kandungan unsur-unsur tersebut.


Tahapan Greisen
Alterasi Greisen biasanya diawali dengan metasomatisme Na (Albitisasi)
dimana ion H terbentuk lalu memicu terjadinya greisenisasi. Proses ini melibatkan
destabilisasi dan penghancuran feldspar dan biotite untuk membentuk himpunan
mineral quartz + muscovite. Silisifikasi dapat terjadi bersamaan atau setelah
greisenisasi yang ditandai dengan quartz flooding pada batuan yang mengalami
greisenisasi. (Pirajno, 1992).

Secara umum, greisen terbagi menjadi 3 tahapan yaitu:

 Alkali Metasomatism

Pada saat pembekuan magma akhir, larutan sisa yang kaya akan Na akan
menyebabkan terjadinya proses alkali metasomatism khususnya albitisasi.

 H+ Metasomatism

Setelah albitisasi selesai, ion H+ akan terbentuk dimana seiring dengan


meningkatnya kandungan H+ maka akan menyebabkan terjadinya H+
Metasomastism yaitu greisenisasi yang ditandai dengan munculnya himpunan
mineral kuarsa dan muskovit.

 Advanced H+ Metasomatism

Apabila kandungan H+ bertambah banyak seiring dengan penambahan ion H+

baik akibat dari fluida sisa ataupun air meteorik, maka akan menyebabkan terjadinya

silisifikasi.
Gambar 2.5 Zonasi alterasi greisen berkaitan dengan pendinginan intusi

granit (Scherba 1970)

Anda mungkin juga menyukai