Anda di halaman 1dari 85

TUGAS AKHIR

GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK ENDAPAN SINTER TRAVERTIN


DAERAH BATURRADEN DAN SEKITARNYA
KECAMATAN BATURRADEN KABUPATEN BANYUMAS
JAWA TENGAH

Oleh :
KUKUH SEPRI HANDYARKO
H1F007035

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK JURUSAN TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
PURWOKERTO
2014

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


LEMBAR PENGESAHAN
GEOLOGI DAI\ KARAKTERISTIK ENDAPAFTSINTER TRAVERTIN
DAERAH BATURRADEN DAN SEKITAR}TYA
KECAMATAI\I BATURRADEN KABUPATEN BAFtytJMAS
JAWA TENGAII

DiajukanOleh :

KUKUH SEPRIHANDYARKO

H11007035
persyaratan
Diajukanuntukmemenuhi gelarsarjanateknikpada
memperoleh
ProgramStudiTeknikGeologi,JurusanTeknik,FakultasSainsdanTeknik,
UniversitasJenderalSoedirman,Purwokerto.

TelahDiterima dan Disetujui:

Hari, Tanggal: Kamis,28 Agustus2014

PenbtgLfr Pembimbingll
,/
di4/ &-*&
MochammadAziz. S.T..M.T. Adi Candra. S.T..M.T.
NrP. 19720202200501100r I[IP. 1980030620081210

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.

l2tml
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gunung Slamet (3.428 meter di atas permukaan laut) adalah gunung

berapi yang terdapat di Pulau Jawa. Gunung ini berada di perbatasan Kabupaten

Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang,

Provinsi Jawa Tengah, dan merupakan yang tertinggi di Jawa Tengah serta kedua

tertinggi di Pulau Jawa. Gunung ini terletak pada posisi 7o14’30" LS dan

109o12’30" BT, Kawah IV merupakan kawah terakhir yang masih aktif sampai

sekarang, dan terakhir aktif hingga pada level SIAGA medio pertengahan 2009.

Sebagaimana gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Slamet terbentuk

akibat subduksi Lempeng Indo-Australia pada Lempeng Eurasia di selatan Pulau

Jawa. Retakan pada lempeng membuka jalur lava ke permukaan. Catatan letusan

diketahui sejak abad ke-19. Gunung ini aktif dan sering mengalami erupsi skala

kecil. Aktivitas terakhir adalah pada bulan Mei 2009 dan sampai Juni masih terus

mengeluarkan lava pijar. Sebelumnya Gunung Slamet tercatat meletus pada tahun

1999.

Evolusi tubuh volkanik dan karakteristik bentang alam Gunung Slamet

dapat dibagi menjadi tiga periode kegiatan, yaitu G. Slamet Tua, G. Slamet

Menengah, dan G. Slamet Muda. Pada G. Slamet Tua terdapat beberapa bekas

kawah dan sumbat lava. Batuan Slamet Menengah menyebar ke tenggara,

sedangkan batuan Slamet Muda melampar ke timur-timur laut-utara dan sebagian

kecil ke barat laut. Secara keseluruhan Gunung Slamet masih memiliki kegiatan

1
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
kawah pusat, aktivitasnya masih berlangsung yaitu berupa hembusan solfatara,

pembentukan kubah lava, serta letusan abu.

Gunung Slamet merupakan gunung api yang memiliki prospek geotermal

di dua tempat yang berbeda, yakni di lereng utara, Guci, dan di lereng selatan,

Baturraden. Pada dua daerah ini terdapat manifestasi beberapa mata air panas.

Meskipun dua daerah ini telah dijadikan tempat wisata, namun belum dilakukan

eksplorasi lanjut mengenai sistem geotermal di kedua daerah ini. Hal yang

menarik adalah pada daerah Baturraden yang terletak di lereng bagian selatan

terdapat sinter travertin dalam dimensi yang luas, sementara di lereng utara

hampir tidak ditemukan sinter travertin. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian karena sebelumnya belum pernah ada penelitian mengenai

karakteristik sinter travertin di daerah Baturraden.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud penelitian yang ingin dicapai oleh penulis yaitu untuk memenuhi

syarat kelulusan Sarjana strata satu pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas

Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman.

Penulis memiliki beberapa tujuan yang ingin diraih dalam pembuatan

tugas akhir ini, antara lain :

a. Mengetahui tatanan geologi dan litologi daerah penelitian.

b. Mengetahui tatanan morfologi daerah penelitian.

c. Mengetahui struktur geologi daerah penelitian.

d. Mengetahui karakteristik endapan sinter travertin daerah penelitian.

e. Mengetahui sejarah geologi daerah penelitian.

2
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
1.3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan mulai dilaksanakan pada bulan Oktober 2013. Lokasi

pemetaan masuk ke dalam peta geologi regional lembar Purwokerto-Tegal dengan

sKala 1:100.000 (Djuri, dkk., 1996). Daerah penelitian meliputi Desa Ketenger,

Desa Melung, Desa Kemutug Lor, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah.

Daerah penelitian memiliki luas 5 x 5 Km2 yang terletak pada posisi geografis

antara 07018’00” – 07020’00” LS dan 109012’30” – 109014’00” BT.

Lokasi penelitian terletak di lereng Gunung Slamet bagian selatan,

tepatnya di Pancuran 3 dan Pancuran 7. Daerah ini memiliki dua manifestasi

berupa mata air panas dengan endapan sinter travertin.

3
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
4
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 1.1. Lokasi dan Peta Topografi Daerah Penelitian tugas akhir (Peta
Administrasi Jawa tengah)

1.4. Aksesibilitas Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian berada di daerah Baturraden dan sekitarnya yang

berjarak ± 14 Km dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang dapat

ditempuh dalam waktu ± 20 menit menggunakan sepeda motor.

1.5. Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada tinjauan masalah geologi

dengan melakukan pemetaan data permukaan. Permasalahan tersebut antara lain:

geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, serta studi mengenai karakteristik

endapan sinter travertin yang muncul di mata air panas Pancuran 3 dan Pancuran

7, Baturraden.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa

sudut pandang yaitu:

1.6.1. Manfaat Keilmuan

Manfaat penelitian ini bagi bidang keilmuan adalah:

5
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
a) Menambah informasi seputar geologi dan karakteristik geologi

endapan sinter travertin daerah Baturraden dan sekitarnya,

khususnya Pancuran 3 dan Pancuran 7.

b) Memperkuat pemahaman mengenai penerapan aplikasi metoda

geologi lapangan yang riil dalam kaitannya dengan kerangka

berfikir yang disesuaikan dengan konsep-konsep serta kaidah-

kaidah geologi yang berlaku.

1.6.2. Manfaat Institusi

Manfaat penelitian ini bagi pihak institusi adalah:

a. Melengkapi dan menambah hasil studi maupun data yang belum

terlengkapi dari penelitian terdahulu, khususnya yang terkait

dengan daerah penelitian.

b. Memberikan masukan mengenai karakteristik endapan sinter

travertin daerah penelitian.

c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memajukan dunia

pendidikan yang terkait dengan ilmu kebumian, Program Studi

Teknik Geologi, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto khususnya dan bagi kemajuan bangsa dan

negara pada umumnya.

6
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
BAB II

GEOLOGI REGIONAL

2.1. Fisiografi Regional

Secara fisiografis Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah dengan

enam satuan (Gambar 2.1 ), yaitu Satuan Gunungapi Kuarter, Dataran Aluvial

Jawa Utara, Antiklinorium Bogor-Serayu Utara-Kendeng, Depresi Jawa Tengah,

Pegunungan Serayu Selatan, Pegunungan Selatan. Berdasarkan pembagian

fisiografi diatas, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Depresi Jawa Tengah

(Van Bemmelen, 1949) yang mana daerah ini didominasi oleh bentukan

morfologi perbukitan. Daerah Jawa Tengah terbentuk oleh dua pegunungan, yaitu

Pegunungan Serayu Utara yang berbatasan dengan jalur Pegunungan Bogor di

sebelah barat dan Pegunungan Kendeng di sebelah timur serta Pegunungan Serayu

Selatan yang merupakan terusan dari Depresi Bandung di Jawa Barat. Menurut

Van Bemmelen (1949), lebar Jawa bagian tengah secara fisiografi lebih sempit

dibandingkan dengan bagian timur dan bagian barat.

7
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 2.1. Zona Fisiografi Jawa Tengah menurut van Bemmelen (1949) yang
telah dimodifikasi

2.2. Geomorfologi Regional

Pulau Jawa memiliki sifat fisiografi yang khas, dan hal ini disebabkan

karena beberapa keadaan. Satu di antaranya adalah iklim tropis, disamping itu

ciri-ciri geografisnya disebabkan karena merupakan geosinklinal muda dan

jalur orogenesa dengan banyak vulkanisme yang kuat. Karena kekuatan inilah

mengakibatkan Pulau Jawa berbentuk memanjang dan sempit.

Perubahannya dalam bagian-bagian tertentu sepanjang dan searah

dengan panjangnya pulau, dari tepi satu ke tepi yang lainnya. Sifat relief yang

disebabkan oleh iklim tropis sudah diketahui dan dipetakan di Indonesia.

Curah hujan yang besar dan temperatur yang tinggi menyebabkan pelapukan

8
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
yang cepat dan intensif, juga denudasi, gejala yang mengikuti adalah erosi

vertical (Gambar 2.2).

Secara fisiografis sendiri, Jawa Tengah dapat terbagi menjadi 4 bagian

dari selatan ke utara masing-masing adalah:

a) Dataran Pantai Selatan

b) Pegunungan Serayu Selatan

c) Pegunungan Serayu utara dan,

d) Dataran Pantai Utara

Gambar 2.2 Sketsa Fisografi Jawa menurut van Bemmmelen, (1949) dan
Citraan Landsat (SRTM NASA, 2004)

Daerah penelitian Secara regional wilayahnya terletak di dalam zona

fisiografi Pegunungan Serayu Utara Jalur Pegunungan Serayu Utara mempunyai

9
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
lebar antara 30-50 km. Pada bagian barat berupa volkan (Gunung Slamet) dan

bagian timur ditutup oleh produk gunungapi muda seperti Rogojembangan,

komplek Dieng (Gunung Perahu dan sebagainya) dan Gunung Ungaran. Garis

batas dengan Zone Bogor (Jawa Barat) merupakan garis lurus Prupuk-Bumiayu-

Ajibarang dan berhubungan dengan Kendeng Ridge di Jawa Timur. Antara bagian

utara dan selatan Serayu Range terdapat depresi memanjang yang dinamakan

Zone Serayu yang sekarang adalah tempat-tempat di Majenang, Ajibarang,

Purwokerto, Banjarnegara dan Wonosobo. Antara Purwokerto dan Banjarnegara

memiliki lebar ± 15 km. Sebelah timur Wonosobo merupakan batasnya, berupa

depresi yang sebagian diisi oleh gunungapi muda Sindoro dan Sumbing, yang

secara geografis merupakan dataran antar pegunungan Temanggung-Magelang

(Van Bemmelen, 1970).

2.3. Stratigrafi Regional

Berdasarkan karakteristik bentang alam, tubuh volkanik Gunung Slamet

terdiri atas Gunung Slamet Tua, Gunung Slamet Muda, dan Gunung Slamet

Menengah. Kelompok endapan volkanik produksi erupsi Gunung Slamet Tua

terdiri atas leleran lava andesit dan endapan piroklastik yang telah mengalami

ubahan hydrothermal, dan kelompok endapan Gunung Slamet Muda yang terdiri

atas leleran lava basaltik dan piroklastik jatuhan yang tidak terubah. Kelompok

Slamet Tua diwakili oleh lava Mingkrik, lelerannya tersingkap terbatas di bagian

barat kawah Gunung Slamet, satuan batuan ini adalah pembentukan tubuh Slamet

Tua, ditindih oleh produk Slamet Muda yang diwakili oleh leleran lava andesit

piroksin. Sektor barat laut dari tubuh gunung api ini telah mengalami deformasi

vulkano-tektonik dan ubahan hydrothermal, yang membentuk depresi (graben)

10
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Guci pada lereng barat laut (Sutawidjaja 1985). Batuan volkanik Slamet

Menengah menyebar ke tenggara, sedangkan Slamet Muda melampar ke timur-

timur laut-utara dan sebagian kecil ke barat laut. Antara batuan volkanik Slamet

Muda dengan Slamet Tua dibagian utara dan Slamet Menengah dibagian selatan

dibatasi oleh system sesar yang membuka kea rah timur, yang disebabkan oleh

adanya struktur berarah barat daya-timur laut.

Stratigrafi regional yang digunakan mengacu pada Djuri dkk. (1996),

Kastowo dan Suwarna (1996) dan Condon dkk. (1996). Batuan tertua pada daerah

penelitian adalah Formasi Pemali. Diatas Formasi Pemali secara berurutan ke atas

diendapkan selaras dengan Formasi Rambatan, Formasi Halang, dan Formasi

Kumbang. Hubungan Formasi Kumbang adalah menjari. Formasi-formasi ini

tersebut diendapkan melalui mekanisme turbidit. Di atas Formasi Kumbang

diendapkan selaras di atas Formasi Tapak dan Formasi Kalibiuk. Formasi

Kaliglagah diendapkan selaras di atas Formasi Kalibiuk. Di atas Formasi

Kaliglagah diendapkan Formasi Ligung, Formasi Mengger pada lingkungan darat.

Selaras di atas Formasi Mengger diendapkan Formasi Linggopodo pada

lingkungan darat pada Kala Plistosen Akhir. Setelah itu diendapkan produk

volkanik Gunung Slamet Muda dan endapan alluvial pada lingkungan darat pada

Kala Holosen.

1. Formasi Pemali

Formasi tersusun atas napal globigerina berwarna abu-abu muda dan abu-

abu kehijauan, terdapat sisipan batugamping pasiran, batupasir tufan, dan

batupasir kasar. Umur dari Formasi Pemali adalah Miosen awal. Tebal

formasi ini diperkirakan mencapai 900 meter.

11
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
2. Formasi Rambatan

Tersusun atas serpih, napal, dan batupasir gampingan. Napal berselang-

seling dengan batupasir gampingan berwarna kelabu muda. Pada bagian

atas terdiri dari batupasir gampingan berwarna abu-abu muda sampai biru

keabu-abuan. Umur dari Formasi Rambatan adalah Miosen Tengah dan

tebalnya diperkirakan 300 meter.

3. Formasi Halang

Tersusun atas batupasir andesit, konglomerat tufan, dan napal bersisipan

batupasir. Terdapat jejak organism di atas bidang perlapisan batupasir.

Formasi Halang merupakan jenis endapan sedimen turbidit pada zona

batial atas (Kastowo dan Suwarna, 1996). Umur Formasi Halang adalah

Miosen Akhir dan mempunyai ketebalan 390-2600 meter. Praptisih dan

Kamtono (2009) menyatakan Formasi Halang Bagian Atas disusun oleh

batupasir, batulempung, dan perselingan antara batupasir dan

batulempung, dicirikan oleh batupasir yang berwarna abu-abu, halus-kasar,

tebal lapisan 10-20 cm, struktur sedimen perlapisan bersusun, laminasi

sejajar, dan bergelombang. Batulempung berwarna kehitaman, tebal 0,5-10

cm.

4. Formasi Kumbang

Terdiri dari breksi, lava andesit, tuf, di beberapa tempat breksi batuapung

dan tuf pasiran (Djuri dkk.,1996). Terdapat juga aliran lava andesit dan

basalt (Condon dkk., 1996) menyatakan umur formasi ini Miosen Tengah-

Pliosen Awal. Formasi Kumbang merupakan endapan turbidit dari suatu

12
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
system kipas bawah laut (upper fan) yang dipengaruhi oleh kegiatan

volkanisme (Kertanegara dkk., 1987).

5. Formasi Tapak

Tersusun atas batupasir berbutir kasar berwarna kehijauan dan

konglomerat, setempat breksi andesit. Di bagian atas terdiri dari batupasir

gampingan dan napal berwarna hijau yang mengandung kepingan moluska

(Djuri dkk., 1996). Anggota Breksi Formasi Tapak terdiri dari breksi

gunung api dan batupasir tufan (Condon dkk., 1996). Anggota

Batugamping Formasi Tapak merupakan lensa-lensa gamping tak berlapis

yang berwarna kelabu kekuningan. Umur dari Formasi Tapak adalah

Pliosen Awal-Pliosen Tengah. Ketebalan dari formasi ini berkisar antara

500-1650 meter (Kartanegara dkk., 1996).

6. Formasi Kalibiuk

Tersusun atas napal lempungan bersisipan batupasir, kaya moluska.

Kelompok moluska tersebut mengindikasikan tidal zone facies yang

berumur Pliosen. Umur dari Formasi Kalibiuk adalah Pliosen Awal.

7. Formasi Kaliglagah

Tersusun atas batulempung, napal, batupasir, dan konglomerat, di

beberapa tempat lignit setebal 10-100 cm (Djuri dkk., 1996). Pada bagian

bawah tersusun atas batulempung hitam, napal hijau, batupasir bersusunan

andesit, konglomerat. Pada umumnya batupasir memperlihatkan struktur

silang siur dan mengandung sisipan lignit. Tebal diperkirakan mencapai

350 meter (Kastowo dan Suwarna, 1996).

8. Formasi Ligung

13
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Tersusun atas aglomerat andesit, breksi, dan tuf berwarna abu-abu di

beberapa tempat. Terdapat Anggota Lempung Formasi Ligung yang

tersusun atas batulempung tufan, batupasir tufan, dan konglomerat,

setempat sisa tumbuhan dan batubara muda yang menunjukan bahwa

anggota ini diendapkan di lingkungan bukan marin.

9. Formasi Mengger

Tersusun atas tufa abu-abu muda dan batupasir tufan dengan sisipan

konglomerat dan lapisan tipis magnetit. Pada formasi ini juga ditemukan

fosil mammalian yang termasuk kategori upper vertebrate zone yang

menunjukan umur Plistosen Awal. Ketebalan satuan ini diperkirakan

mencapai 150 meter.

10. Formasi Linggopodo

Tersusun atas breksi gunung api, tuf, dan lahar-lahar yang berasal dari

gunungapi Slamet Tua dan GunungCopet (Van Bemmelen, 1949). Formasi

ini tersebar di Pemalang, Pekalongan, Batang hingga Ungaran.

14
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 2.3 Korelasi satuan Peta menurut Asikin, (1992)
2.4. Struktur Geologi Regional

Menurut Asikin dalam bukunya Geologi Struktur Indonesia,

perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi

dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola

yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek sejarah

penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan volkanisme di bawah pengaruh stress

regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola

umum struktur yaitu arah Timur Laut-Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola

Meratus, arah Utara-Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur-Barat (E-W).

Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut-Barat Daya

(NE-SW) menjadi relatif Timur-Barat (E-W) sejak Kala Oligosen sampai

sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat

rumit disamping mengundang mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut

dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya.

15
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 2.4. Perkembangan Tektonik Jawa menurut Sujanto dan
Sumantri, (1977)

Arah yang pertama adalah arah timurlaut-baratdaya (NE-SW) yang disebut

dengan pola Meratus. Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar

Cimandiri, di bagian tengah terekspresikan dari pola penyebaran singkapan batuan

pra-Tersier di daerah Karang Sambung. Di bagian timur ditunjukkan oleh sesar

pembatas Cekungan Pat i,“Florence ” timur,“Central Deep ”, Cekungan Tuban

dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian

Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan

terekspresikan di bagian timur. Pola struktur dengan arah Meratus ini merupaka

pola dominan yang berkembang di Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo,

1994) terbentuk pada 80 sampai 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen

Awal).

Arah yang kedua adalah pola struktur yang dijabarkan oleh sesar-sesar

yang berarah utara-selatan. Arah ini diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi

Cekungan Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna. Pola ini disebut dengan

Pola Sunda. Pola Sunda terbentuk sekitar 53 sampai 32 juta tahun yang lalu

(Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola Sunda pada umumnya berupa struktur

regangan.

Arah yang ketiga adalah arah barat-timur yang umumnya dominan berada

di dataran Pulau Jawa dan dinamakan dengan Pola Jawa. Pola Jawa terbentuk

sejak 32 juta tahun yang lalu. Pola Jawa di bagian barat diwakili oleh sesar-sesar

naik seperti sesar Beribis dan sesar-sesar dalam Cekungan Bogor (Van

Bemmelen, 1949 dalam Pulunggono dan Martodjojo, 1994). Di bagian tengah

16
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu

Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang

berupa sesar naik.

Gambar 2.5. Pola struktur geologi Pulau Jawa menurut Van Bemmelen, (1949)
dalam Pulunggono dan Martodjojo, (1994)

Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus

merupakan pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini

berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa

menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar

17
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda. Pola Sunda lebih

muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda telah

mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir hingga

Oligosen Akhir. Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali

seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik

menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga

sekarang.

Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan

persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu

pula. Penampang stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata (1975 dalam

Pulunggono, 1994) menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu

Cekungan Jawa Utara bagian barat dan Cekungan Jawa Utara bagian timur yang

terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa. Kelompok cekungan Jawa Utara bagian

barat mempunyai bentuk geometri memanjang relatif utara-selatan dengan batas

cekungan berupa sesar-sesar dengan arah utara selatan dan timur-barat.

Sedangkan cekungan yang terdapat di kelompok cekungan Jawa Utara Bagian

Timur umumnya mempunyai geometri memanjang timur-barat dengan peran

struktur yang berarah timur-barat lebih dominan.

Pada Akhir Cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah

Karangsambung menerus hingga Pegunungan Meratus di Kalimantan. Zona ini

membentuk struktur kerangka struktur geologi yang berarah timurlaut-baratdaya.

Kemudian selama tersier pola ini bergeser sehingga zona penunjaman ini berada

di sebelah selatan Pulau Jawa.Pada pola ini struktur yang terbentuk berarah timur-

barat. Tumbukan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan

18
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
gaya utama kompresi utara-selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser (oblique

wrench fault) dengan arah baratlaut-tenggara, yang kurang lebih searah dengan

pola pegunungan akhir Cretasisus. Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan

utama masih sama, utara-selatan. Aktifitas tektonik periode ini menghasillkan

pola struktur naik dan lipatan dengan arah timur-barat yang dapat dikenali di Zona

Kendeng.

Volkanisme

Posisi pulau Jawa dalam kerangka tektonik terletak pada batas aktif

(zona penunjaman) sementara berdasarkan konfigurasi penunjamannya

terletak pada jarak kedalaman 100 km di selatan hingga 400 km di utara zona

Benioff. Konfigurasi memberikan empat pola busur atau jalur magmatisme,

yang terbentuk sebagai formasi-formasi batuan beku dan volkanik. Empat

jalur magmatisme tersebut menurut Soeria Atmadja dkk., 1991 adalah:

 Jalur volkanisme Eosen hingga Miosen Tengah, terwujud sebagai Zona

Pegunungan Selatan.

 Jalur volkanisme Miosen Akhir hingga Pliosen. Terletak di sebelah utara

jalur Pegunungan Selatan. Berupa intrusi lava dan batuan beku.

 Jalur volkanisme Kuarter Busur Samudera yang terdiri dari sederetan

gunungapi aktif.

 Jalur volkanisme Kuarter Busur Belakang, jalur ini ditempati oleh

sejumlah gunungapi yang berumur Kuarter yang terletak di belakang

busur volkanik aktif sekarang.

19
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metodologi Penelitian dan Landasan Teori

3.1.1. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode orientasi

lapangan. Metode orientasi lapangan dilakukan dengan menarik garis-garis terarah

dari titik pengamatan terhadap suatu objek yang jelas dan dapat diketahui di peta

atau dengan mengamati serta mencocokan bentang alam di sekitar titik

pengamatan, misalnya : garis ketinggian, sungai, jembatan, gunung dan lain-lain.

Metode ini sesuai dengan daerah terbuka dengan ciri bentang alam yang

sudah dikenali dan lokasi pengamatan yang relatif berjauhan. Pada tahap

penelitian lapangan ini didukung dengan alat-alat lapangan yaitu : peta geologi

daerah penelitian, palu geologi, kompas, GPS, plastik sampel, HCL dan air,

kamera, komparator, papan clipboard, tas dan meteran. Pada tahap penelitian

lapangan yang dilakukan adalah melakukan pengambilan data lapangan

berdasarkan peta lintasan yang telah direncanakan sebelumnya. Pengambilan data

20
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
ini berupa pengambilan contoh batuan yang selanjutnya akan dilakukan penelitian

atau dianalisis di laboratorium dan pengambilan data geologi seperti pengukuran

strike/dip perlapisan batuan, pengukuran data struktur, plotting lokasi penelitian,

pencatatan, pengambilan foto dan pengamatan geomorfologi. Tahapan ini sangat

penting untuk memperoleh data yang akan digunakan untuk menguji hipotesis dan

interpretasi yang dilakukan tahap sebelumnya.

3.1.2. Landasan Teori

Dalam istilah geotermal, secara sederhana sinter travertin merupakan jenis

batuan karbonat kimiawi hasil pengendapan air panas bertipe bikarbonat (Renaut

dan Jones, 2000 dalam Sant’Anna dkk., 2004). Rumus kimia pembentukan

travertin adalah sebagai berikut :

Ca2+(aq) + H2O(l) + CO2(aq) ↔ CaCO3(s) + 2H+(aq)

Sinter travertin terbentuk oleh air yang kaya akan CO2 atau air bikarbonat

(HCO3). Air ini bereaksi dengan Ca yang terlarut dari batuan, sehingga

membentuk CaCO3, yakni karbonat atau travertin.

Sinter travertin memiliki tekstur internal yang kompleks yang berubah

dalam jarak aliran yang dekat, baik secara lateral maupun vertikal. Tekstur

internal yang beragam ini diakibatkan dari banyak faktor, yakni posisi sumber

mata air panas, topografi daerah yang berkaitan, aktivitas organisme dan kondisi

air permukaan (Özkul, dkk., 2002). Tujuan dari studi khusus ini terbatas, yaitu

untuk mendeskripsikan perbedaan tekstur dan litofasies berdasarkan kenampakan

di lapangan dan petrografi. Selain itu, ditentukan pula lingkungan pengendapan

21
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
dari litofasies-litofasies yang terendapkan seperti yang dilakukan Özkul, dkk.

(2002) pada sinter travertin di Denizli, Turki.

Pembagian litofasies dilakukan berdasarkan Sant’Anna, dkk. (2004) dan

Özkul, dkk., (2002). Litofasies diidentifikasi berdasarkan kenampakan petrografi

serta kenampakan di lapangan, yakni letak (morfologi) lingkungan pengendapan

sinter travertin. Sementara, tekstur hanya diidentifikasi berdasarkan kenampakan

lapangan secara umum, seperti crustiform-colloform, granular, dan sebagainya.

Sant’Anna, dkk. (2004) membagi litofasies menjadi crystalline crust, pisoid,

lithoclast, tufa dan litofasies micritic. Özkul, dkk., (2002) membagi litofasies

menjadi crystalline crust, shrub, pisolith, raft, reed, pebbly, lithoclast, palaeosol

dan litofasies.

3.2. Peralatan yang Digunakan

 Peralatan Lapangan

Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan data lapangan

adalah:

a. Peta dasar skala 1:25.000 hasil penyalinan beberapa komponen

program antara lain MapInfo 7.5, Global Mapper 1, dan Corel Draw

X4.

b. Peta Geologi Regional skala 1:100.000 Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi Lembar Peta Banyumas 1308-3.

c. Kompas geologi, disewa dari laboratorium Teknik Geologi Unsoed

untuk menentukan lokasi singkapan pada peta dasar dan mengukur

arah jurus dan kemiringan unsur-unsur struktur geologi.

22
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
d. Palu geologi, meliputi palu batuan beku dan palu batuan sedimen

disewa dari laboratorium Teknik Geologi Unsoed untuk mengambil

sampel. Loupe dengan pembesaran 20 X, disewa dari laboratorium

Teknik Geologi Unsoed digunakan untuk mengamati batuan secara

makroskopis. Komparator besar butir dan komparator mineral.

e. Larutan HCl 0,1 N, disewa dari laboratorium Teknik Geologi Unsoed

digunakan untuk menguji kandungan karbonat contoh batuan yang

diamati.

f. Kantong sample, sebagai tempat contoh batuan yang akan dibawa.

g. Alat tulis (buku catatan lapangan, pensil, pensil warna, busur derajat,

karet penghapus, dan lainnya) untuk mencatat data yang didapat di

lapangan.

h. Kamera, digunakan untuk mengambil Gambar singkapan,

kenampakan geomorfologi, dan kenampakan khusus lainnya.

i. Peralatan lain yang mendukung, seperti pakaian lapangan, tas

lapangan, sepatu boot, makanan, minuman dan lain-lain.

 Peralatan Laboratorium

Alat-alat yang umumnya digunakan untuk analisis mikrofosil

adalah:

a. Lumpang besi dan mortir.

b. Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Natrium Hidroksida (NaOH).

c. Ayakan Tyler 60, 80, dan 120 mesh.

d. Oven.

e. Cawan, tempat fosil, kuas, jarum, dan lem.

23
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
f. Mikroskop binokuler.

g. Alat tulis dan alat Gambar.

h. Kamera.

Alat-alat yang digunakan untuk analisis petrografi sayatan tipis

adalah:

a. Penyayat batuan.

b. Mikroskop polarisasi dan lampu.

c. Komparator mika ataupun gips.

d. Diagram klasifikasi petrografi batuan.

e. Alat tulis dan alat Gambar dan kamera

3.3. Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan langkah awal sebelum pemetaan lapangan.

Tahap ini meliputi penentuan kapling pemetaan dan kegiatan pendahuluan

sebelum melakukan kegiatan pemetaan. Untuk mencapai target yang maksimal

dalam penelitian ini, maka dilakukan beberapa tahapan sistematis dan terencana

yang terdiri atas beberapa sub tahapan kegiatan, yaitu:

3.3.1. Pengurusan Administrasi

Pengurusan masalah administrasi meliputi pengurusan perijinan

kegiatan penelitian, yang terdiri atas pengurusan perijinan kepada pihak

Jurusan Teknik Geologi dan Fakultas Sains dan Teknik Universitas

Jenderal Soedirman. Selain itu, permohonan perijinan juga di lakukan

kepada pihak desa tempat penelitian dilakukan.

3.3.2. Studi Pustaka

24
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh Gambaran umum

keadaan geologi daerah penelitian secara regional. Dari sejumlah pustaka

didapatkan data geologi regional yang berhubungan dengan daerah

penelitian. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan Gambaran keadaan

geologi umum daerah penelitian yang mencakup fisiografi regional dari

Van Bemmelen (1949), stratigrafi regional dari Asikin (1992), geologi

struktur regional dari Asikin (1974) dan struktur regional Jawa dari Jurnal

oleh Satyana (2007).

3.3.3. Pembuatan Proposal Penelitian

Taapan ini merupakan kegiatan pembuatan proposal penelitian

kepada pihak jurusan teknik geologi Universitas Jenderal Soedirman.

Proposal ini merupakan syarat untuk dapat melakukan kegiatan pemetaan

geologi.

3.3.4. Pengadaan Data Base

Pengadaan data base meliputi pengadaan peta dasar. Peta dasar

yang dimaksud adalah peta topografi dari daerah yang akan dipetakan

dengan skala 1:25.000. Peta ini dibuat dengan cara melay out dengan

menggunkan program Map Info 7.5 dengan luas 25 km2. Lokasi pemetaan

yang dipilih terletak pada koordinat 07018’00” – 07020’00” LS dan

109012’30” – 109014’00” BT, selanjutnya dapat dilakukan digitasi untuk

peta lintasan dan lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi serta

25
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
peta potensi sumberdaya dan bencana geologi dengan menggunakan Corel

Draw X4.

3.3.5. Konsep Pemetaan

Tahap ini merupakan suatu program untuk mengefisienkan

pekerjaan lapangan dan dilakukan untuk memudahkan teknis pekerjaan

lapangan, dimana sebelum melakukan pekerjaan lapangan peneliti sudah

mengetahui lokasi-lokasi mana yang akan dikunjungi. Hal ini dengan

berdasar pada studi pustaka yang dilakukan sebelumnya yang mencakup

analisis geomorfologi pendahuluan, analisis stratigrafi pendahuluan dan

analisis geologi struktur pendahuluan. Dalam pembuatan peta kerangka

lokasi juga wajib dipertimbangkan aksesibilitas jalan menuju lokasi

pengamatan dan perkiraan waktu dalam setiap lokasi agar menjadi lebih

efisien dan efektif.

3.4. Tahap Penelitian Lapangan

Setelah tahap persiapan telah dilakukan, maka kegiatan selanjutnya yaitu

tahap penelitian lapangan. Tahap penelitian lapangan ini dibagi menjadi dua

metode pengambilan data yaitu pengambilan data dengan cara pencatatan data

lapangan dan pengambilan data lapangan dengan alat. Pengambilan data dengan

cara pencatatan data lapangan direkam dengan tulisan dalam buku catatan

lapangan, baik data yang dilihat secara langsung maupun data yang diperoleh

dengan pengukuran. Pengambilan data dengan alat meliputi kegiatan pengambilan

rekaman Gambar singkapan, batuan, kondisi morfologi dengan menggunakan

kamera. Pengukuran data lapangan menggunakan kompas untuk pengukuran arah

kedudukan batuan dan pengambilan contoh batuan dengan menggunakan palu

26
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
geologi. Terlebih dahulu persiapkan peralatan lapangan yang dibutuhkan seperti

yang telah disebutkan di bagian peralatan lapangan. Secara teknis urutan

pengambilan data dan pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Menentuan titik pengamatan pada peta dasar 1: 25.000.

2. Mengamati kondisi singkapan dan hubungannya dengan batuan sekitar.

3. Mengamati dan mengambil data geomorfologi dan sifat fisik batuan yang

meliputi: warna batuan, tekstur batuan, struktur batuan dan komposisi

mineral penyusun batuan.

4. Menentukan dan mengukur strike dan dip lapisan batuan serta unsur-

unsur struktur geologi lainnya.

5. Mengambil contoh batuan untuk analisa laboratorium, mengamati potensi

bahan galian dan potensi bencana yang ada pada daerah penelitian.

6. Mengambil dokumentasi berupa sketsa dan foto.

7. Mengecek lapangan untuk mengevaluasi hasil penelitian pemetaan detail

dan untuk melengkapi data yang dianggap kurang.

3.5. Tahap Analisis Data

3.5.1. Analisis Petrografi

Analisis petrografi dan petrologi dimaksudkan untuk melihat secara rinci

kenampakan makroskopis batuan pada sayatan tipis yang meliputi jenis, tekstur,

struktur batuan, ukuran, komposisi dan presentase mineral penyususn batuan.

Sehingga dapat menentukan penamaan batuan secara petrografis dan interpretasi

petrogenesis berdasarkan klasifikasi batuan sedimen klastik (Pettijohn, 1975),

klasifikasi batuan menurut (Schmid, 1981 dalam Buku Panduan Geologi

Lapangan 2007) dan klasifikasi batuan beku menurut William 1953/1982.

27
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 3.1. Klasifikasi batuan piroklastik dan epiklastik menurut Schmid (1981)

28
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 3.2. Klasifikasi batupasir dan batulempung menurut Pettijohn (1975)
dengan modifikasi
Pettijohn (1975), mengklasifikasi batupasir berdasarkan presentase tiga

komponen bentuk segitiga (Toblerone plot) yang digabungkan dengan presentase

jumlah kandungan matriksnya (Gambar 3.2). Ketiga komponen tersebut adalah

Quartz (Q), Feldspar (F), Lithic Fragmen (L).

Klasifikasi Williams, (1982), membagi batuan beku berdasarkan ukuran

besar butir dan tempat terbentuknya, batuan beku vulkanik adalah batuan beku

yang memiliki ukuran kristal kurang dari 1mm dan hadirnya massa dasar.

Sedangkan batuan beku yang memiliki ukuran kristal lebih dari 1mm adalah

batuan beku plutonik.

Batuan beku vulkanik adalah batuan beku yang terbentuk di atas atau di

dekat permukaan bumi (intrusi dangkal). Penamaan batuan vulkanik

mempertimbangkan warna dan fenokrisnya. Misalnya pada Rhyolit dan Dasit,

memiliki fenokris kuarsa dan feldspar alkali bersama dengan plagioklas asam dan

sedikit biotit. Jika dalam batuan tersebut fenokris plagioklas asam lebih banyak

daripada feldspar alkali maka batuan tersebut adalah Rhyolit, begitu sebaliknya

jika kehadiran fenokris feldspar alkali lebih banyak dari pada plagioklas asam

maka batuan tersebut cenderung Dasit. Pada batuan beku berkomposisi

intermediet misalnya Andesit memiliki fenokris hornblende yang melimpah.

disertai oleh biotit dan piroksen. Basalt adalah batuan vulkanik basa yang

memiliki fenokris olivin dan piroksen.

Williams membagi batuan plutonik berdasarkan indeks warna atau jumlah

mineral mafic dalam mineral. Indeks warna 10% yaitu Granodiorit, Adamelit dan

Granit. Indeks warna 10% - 40% diwakili oleh Diorit, Monzonit dan Syenit.

29
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Batuan beku basa dengan indeks warna 40% - 70% yaitu Gabro dan Diabas.

Gabro memiliki tekstur ofitik yaitu plagioklas dilingkupi oleh piroksen sedangkan

Diabas bertekstur diabasik yaitu plagioklas tumbuh bersama piroksen dimana

plagioklas tumbuh menyebar. Batuan beku ultrabasa dengan indeks warna lebih

dari 70%, yaitu Dunit dan Peridotit. Dunit adalah batuan beku ultrabasa yang

tersusun dari mineral olivin, sedangkan Peridotit adalah batuan beku ultrabasa

yang tersusun oleh olivin dan piroksen.

3.5.2. Analisis Geomorfologi

Tahap ini meliputi analisa dalam pembagian satuan bentang alam pada

daerah penelitian menggunakan klasifikasi BMB (Bentuk Muka Bumi),

(Brahmantyo, B., dan Bandono, 2006). Pada prinsipnya klasifikasi BMB adalah

didasarkan pada gejala-gejala geologis, baik diamati melalui peta topografi, foto

udara, maupun citra satelit, ataupun dari pengamatan morfologi langsung di

lapangan. Berikut adalah beberapa acuan pembagian klasifikasi BMB, yaitu :

a) Secara umum dibagi berdasarkan satuan bentangalam yang dibentuk akibat

proses-proses endogen/struktur geologi (pegunungan lipatan, pegunungan

plateau/lapisan datar, Pegunungan Sesar, dan gunungapi) dan proses-proses

eksogen (pegunungan karst, dataran sungai dan danau, dataran pantai, delta,

dan laut, gurun, dan glasial), yang kemudian dibagi ke dalam satuan bentuk

muka bumi lebih detil yang dipengaruhi olehproses-proses eksogen.

b) Dalam satuan pegunungan akibat proses endogen, termasuk di dalamnya

adalah lembah dan dataran yang bisa dibentuk baik oleh proses endogen

maupun oleh proses eksogen.

30
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
c) Pembagian lembah dan bukit adalah batas atau titik belok dari bentuk

gelombang sinusoidal ideal. Di alam, batas lembah dicirikan oleh tekuk lereng

yang umumnya merupakan titik-titik tertinggi endapan koluvial dan/atau

alluvial.

d) Penamaan satuan paling sedikit mengikuti prinsip tiga kata, atau paling

banyak empat kata bila ada kekhususan; terdiri dari bentuk/ geometri/

morfologi, genesa morfologis (proses-proses endogen–eksogen), dan nama

geografis. Contoh: Lembah Antiklin Welaran, Punggungan Sinklin Paras,

Perbukitan Bancuh Seboro, Dataran Banjir Lokulo; Bukit Jenjang Volkanik

Selacau, Kerucut Gunungapi Guntur, Punggungan Aliran Lava Guntur, Kubah

Lava Merapi, Perbukitan Dinding Kaldera Maninjau, Perbukitan Menara Karst

Maros, Dataran Teras Bengawan Solo, Dataran Teras Terumbu Cilauteureun,

dsb.

Tabel 3.1. Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (BMB) untuk peta geomorfologi 1:25.000
menurut Brahmantyo dan Bandono, (2006)

31
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta topografi atau foto udara.

Pola pengaliran berhubungan erat dengan jenis batuan, struktur geologi, kondisi

erosi dan sejarah bentuk bumi. Howard (1967) dalam Van Zuidam (1985) yang

ditunjukkan pada Gambar 3.3 dengan penjelasannya pada table 3.1 membagi pola

pengaliran menjadi dua, yaitu pola pengaliran dasar dan pola pengaliran

modifikasi. Pola dasar merupakan pola yang terbaca dan dapat di pisahkan dengan

pola lain. Pola pengaliran modifikasi ialah pola dengan memperlihatkan ciri pola

dasar. Sungai dapat dibagi berdasarkan tingkatan orde sungai tersebut.

32
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 3.3. Tipe pola pengaliran dasar menurut Howard, (1967) dalam Van
Zuidam, R.A. (1985)

Tabel 3.2. Pola pengaliran sungai menurut Howard, (1967) dalam Van Zuidam,
R.A. (1985)
Pola

Pengaliran Karakteristik

Dasar

Perlapisan batuan sedimen relatif datar atau paket

batuan kristalin yang tidak seragam dan memiliki

ketahanan terhadap pelapukan. Secara regional, daerah


Dendritik
aliran memiliki kemiringan landai. Jenis pola

pengaliran membentuk percabangan menyebar seperti

pohon rindang.

Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng

sedang sampai agak curam dan dapat ditemukan pula

pada daerah bentuk lahan perbukitan yang

memanjang. Sering terjadi pola peralihan antara pola


Paralel
dendritik dengan parallel atau trellis. Bentuk lahan

perbukitan yang memanjang dengan pola pengaliran

parallel mencerminkan perbukitan tersebut

dipengaruhi oleh perlipatan.

33
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Batuan sedimen yang memiliki kemiringan perlapisan

(dip) atau terlipat, batuan volkanik atau batuan

Trellis metasedimen derajat rendah dengan perbedaan

pelapukan yang jelas. Jenis pola pengaliran biasanya

berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen.

Kekar atau sesar yang memiliki sudut kemiringan,

Rektangular tidak memiliki perulangan lapisan batuan, dan sering

memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus.

Daerah volkanik, kerucut (kubah) intrusi dan sisa-sisa

erosi. Pola pengaliran radial pada daerah volkanik


Radial
disebut sebagai pola pengaliran multi radial.

Struktur kubah / kerucut, cekungan dan kemungkinan


Anular
retas.

Endapan berupa gumuk hasil longsoran dengan

perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar.


Multibasinal
Merupakan daerah gerakan tanah, volkanisme,

pelarutan batugamping dan lelehan.

3.5.3. Analisis Stratigrafi

Analisis stratigrafi dilakukan di lapangan secara megaskopis. Pembagian

satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak resmi, yaitu penamaan

satuan batuan didasarkan pada ciri fisik batuan yang dapat diamati di lapangan

meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi dan posisi stratigrafinya (Sandi

34
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Stratigrafi Indonesia, pasal 15). Sedangkan penentuan batas penyebaran satuannya

harus memenuhi persyaratan Sandi Stratigrafi Indonesia (1996) pasal 17, yaitu :

1. Batas satuan litostratigrafi adalah sentuhan antara dua satuan yang

berlainan ciri litologinya yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan

tersebut.

2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya

atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan

bidang yang diperkirakan kedudukannya.

3. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjemari peralihannya

dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan

sandi.

4. Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh

kelanjutan ciri ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.

5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh

batasan cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.

6. Batas-batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai

alasan berakhirnya penyebaran lateral suatu satuan. Berdasarkan pasal

tersebut, kontak antar satuan batuan atau sentuh stratigrafi dapat bersifat

tajam ataupun berangsur. Ada tiga macam sentuh stratigrafi, yaitu :

 Selaras, yaitu sedimentasi berlangsung menerus tanpa gangguan dari

satuan stratigrafi yang berada di bawah lapisan tersebut.

 Tidak selaras, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan

oleh pengangkatan.

35
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
 Diasterm, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh

erosi atau tidak adanya pengendapan.

Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan atas jenis litologi yang paling

dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di lapangan

dilakukan secara megaskopis yang meliputi warna batuan baik warna segar

maupun warna lapuknya, ukuran butir, bentuk butir, kemas, pemilahan,

kekerasan, mineral tambahan, struktur sedimen, kandungan fosil dan lain-lain.

3.5.4. Analisis Struktur Geologi

Analisis struktur geologi dilakukan untuk mengetahui jenis struktur yang

bekerja pada daerah penelitian, sehingga dapat menceritakan mekanisme

pembentukan struktur geologi daerah penelitian. Dengan foto udara maupun citra

penginderaan jauh dilakukan analisis pendahuluan terutama tentang pola struktur

daerah penelitian. Pola struktur yang didapatkan dari analisis ini dibantu dengan

peta geologi regional dipakai sebagai dasar menentukan lintasan-lintasan terpilih

untuk penelitian lapangan. Analisis struktur dilakukan berdasarkan data

pengukuran unsur-unsur struktur primer (bidang perlapisan) maupun struktur

sekunder (kekar dan sesar) yang diperoleh dari pengukuran di lapangan. Data

kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan metoda stereografi.

Secara teoritis, hasil interpretasi struktur dapat pula didukung oleh ciri-ciri

dari pensesaran mendatar yang besar dapat membentuk struktur penyerta dan juga

teori permodelan sesar berdasarkan Moody dan Hill (1959, dalam Sukendar

Asikin,1977) yang dapat dilihat pada Gambar 3.4. Disamping itu, kedudukan atau

letak regional daerah penelitian yang berada di Pulau jawa juga dapat didukung

36
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
dengan menggunakan teori simple shear menurut Harding (1973) yang dapat

dilihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3.4. Pemodelan sesar berdasarkan Moody dan Hill (1959), dalam
Sukendar Asikin, (1977)

37
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 3.5. Model Simple Shear menurut Harding (1973)

Selain didasarkan pada struktur penyerta, analisis struktur dari data

lapangan juga didukung dari teori klasifikasi sesar menurut Rickard, (1972) dalam

Haryanto, (2003).

Gambar 3.6. Diagram klasifikasi sesar menurut Rickard (1972) dalam Haryanto,
(2003)

3.5.5. Analisis Sejarah Geologi

38
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Analisis sejarah geologi bertujuan untuk menguraikan suatu seri kejadian

geologi yang disusun secara berurutan berdasarkan kejadiannya, dimulai dari yang

pertama terbentuk hingga yang terakhir ataupun yang sekarang tengah terjadi.

3.6. Tahap Pembuatan Peta

Pada tahap ini dilakukan pembuatan peta tahap akhir dengan melihat hasil

analisis data yang telah dilakukan, baik data geomorfologi, startigrafi maupun

struktur geologi. Hasil dari tahap ini berupa peta lintasan, peta geomorfologi, peta

geologi, kolom stratigrafi, peta potensi bencana dan peta sumber daya serta peta

kelayakan guna lahan yang dibagi berdasarkan aspek-aspek geologinya masing-

maisng.

3.7. Tahap Penyusunan Laporan

Tahap ini dilakukan setelah semua tahapan selesai dilakukan (digambarkan

dalam Gambar 3.7), selanjutnya adalah penyusunan laporan yang dilakukan dalam

dua proses penulisan, yaitu :

1. Pembuatan laporan yang meliputi bab satu, dua, dan tiga, dilakukan

sebelum pelaksanaan pekerjaan di lapangan.

2. Pembuatan laporan yang meliputi bab empat dan lima, yang menguraikan

tentang hasil pemetaan, pembahasan dan kesimpulan, lampiran berupa

analisis laboratorium, peta lintasan dan lokasi pengamatan, peta

geomorfologi, peta geologi, kolom stratigrafi serta peta potensi

sumberdaya dan bencana geologi dibuat sesudah melakukan pekerjaan

lapangan.

3.8. Tahap Presentasi Laporan

39
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Tahap ini dilakukan setelah semua tahapan selesai dilakukan, selanjutnya

adalah penyusunan laporan yang dilakukan dalam dua proses penulisan yang

meliputi bab satu, dua dan tiga dilakukan sebelum pelaksanaan pekerjaan di

lapangan. Penulisan bab empat, lima dan enam disusun setelah melakukan

pekerjaan lapangan.

PENENTUAN KAPLING

PERSIAPAN

Administrasi Pustaka Proposal Perlengkapan

PENELITIAN LAPANGAN

40
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
ANALISIS DATA

Petrografi Geomorfologi Stratigrafi Struktur Sejarah Fasies


Geologi Geologi Sinter
Travertin

PEMBUATAN PETA

Peta Peta Peta Kolom


Lintasan dan Geomorfologi Geologi Stratigrafi
hasil
pengamatan

PENYUSUNAN LAPORAN

PRESENTASI LAPORAN

Gambar 3.7. Diagram alir penelitian tugas akhir

41
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
BAB IV

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

4.1. Geomorfologi Daerah Penelitian

Analisis kondisi geomorfologi merupakan rangkaian penjelasan terhadap

kenampakan situasi dan kondisi morfologi sesungguhnya pada daerah penelitian

yang terekam sebagai akibat dari proses-proses geologi yang pernah terjadi pada

masa lampau ataupun sekarang. Analisis yang dilakukan berupa analisis pada peta

topografi, citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) maupun pengamatan

langsung di lapangan. Interpretasi berdasarkan kenampakan susunan kontur pada

peta topografi yang ada, didukung dengan kemampuan menganalisa karakteristik

geomorfologi daerah penelitian sehingga dapat memperoleh hasil antara lain

berupa data pola perbukitan, punggungan dan lembah, jurus dan kemiringan

lapisan, serta gejala sesar. Berdasarkan data-data tersebut, morfologi daerah

penelitian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi bentuk muka bumi

(Brahmantyo dan Bandono, 1999).

Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian dibagi secara genetik

dikontrol oleh struktur, proses, dan tahapan penyusunnya berupa batuan sedimen

yang memperlihatkan bentukan morfologi seperti Lembah, Perbukitan, dan

dataran. Secara umum daerah penelitian merupakan daerah perbukitan karst yang

di dominasi oleh pola kontur rapat.

4.1.1. Pola Aliran Sungai

Pola aliran sungai pada daerah penelitian terdapat dua Pola Aliran Sungai.

Pertama pola aliran denritik. Pola aliran denritik seperti percabangan pohon,

percabangan tidak teratur dengan arah dan sudut yang beragam. Berkembang di

43
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
batuan yang homogen dan tidak terkontrol oleh struktur. Umumnya pada batuan

beku dan batuan kristalin yang homogen. Pola aliran denritik terletak sebagian

kecil di sebelah barat pada daerah penelitian (Gambar 4.1).

Pola aliran denritik merupakan pola aliran yang cabang-cabang sungainya

menyerupai struktur pohon. Pada umumnya pola aliran sungai dendritik dikontrol

oleh litologi batuan yang homogen. Pola aliran dendritik dapat memiliki tekstur

atau kerapatan sungai yang dikontrol oleh jenis batuannya. Sebagai contoh sungai

yang mengalir diatas batuan yang tidak atau kurang resisten terhadap erosi akan

membentuk tekstur sungai yang halus (rapat) sedangkan pada batuan yang resisten

(seperti granit) akan membentuk tekstur kasar (renggang). Tekstur sungai

didefinisikan sebagai panjang sungai per satuan luas. Hal ini dapat dijelaskan

bahwa resistensi batuan terhadap erosi sangat berpengaruh pada proses

pembentukan alur - alur sungai, batuan yang tidak resisten cenderung akan lebih

mudah dierosi membentuk alur-alur sungai. Jadi suatu sistem pengaliran sungai

yang mengalir pada batuan yang tidak resisten akan membentuk pola jaringan

sungai yang rapat (tekstur halus), sedangkan sebaliknya pada batuan yang resisten

akan membentuk tekstur kasar.

Kedua adalah Pola Aliran Sungai Paralel. Pola aliran ini terletak sebagian

besar sibelah tengah sampai ke timur pada daerah penelitian (Gambar 4.1). Pola

aliran sungai paralel adalah suatu sistem aliran yang terbentuk oleh lereng yang

curam atau terjal. Ini dapat dikarenakan morfologi lereng yang terjal maka bentuk

aliran-aliran sungainya akan berbentuk lurus mengikuti arah lereng dengan cabang

- cabang sungainya yang sangat sedikit. Pola aliran paralel terbentuk pada

morfologi lereng dengan kemiringan lereng yang seragam. Pola aliran paralel

44
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
dapat mengindikasikan adanya suatu patahan besar yang memotong daerah yang

batuan dasarnya terlipat dan kemiringan yang curam. Semua bentuk dari transisi

dapat terjadi antara pola aliran trellis, dendritik, dan paralel.

a b

Gambar 4.1. (a) Pola Aliran Sungai Denritik, (b) Pola Aliran Sungai Paralel menurut
Howard, (1967) dalam Van Zuidam, R.A. (1985)

4.1.2. Tahapan Geomorfik Daerah Penelitian

Tahapan geomorfik di daerah penelitian adalah muda hingga dewasa yang

ditunjukkan dengan adanya lembah sungai yang berbentuk “V” dan “U”. Tahapan

geomorfik muda dicirikan oleh bentuk sungai “V” dengan lembah sungai yang

relatif sempit dan erosi yang dominan berarah vertikal. Tahapan geomorfik

dewasa ditunjukkan dengan ciri-ciri lembah sungai berbentuk “U” dengan erosi

lateral yang lebih dominan, namun pada daerah penelitian belum sampai pada

tahap terbentuknya meander, dan belum terbentuk dataran banjir.

4.2. Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian

Daerah penelitian memiliki beberapa karakteristik geomorfologi, mengacu

pada Budi Brahmantyo dan Bandono (2006). Pembagian satuan geomorfologi

pada daerah penelitian dibagi menjadi dua satuan menurut Budi Brahmanto dan

Bandono, (2006), yaitu :

45
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
1. Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik Ketenger

2. Satuan Perbukitan Aliran Lava Munggangsari

4.2.1. Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik Ketenger

4.2.1.1 Penyebaran

Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik menempati 40% dari seluruh daerah

penelitian. Satuan ini menempati bagian barat daerah penelitian dengan

penyebaran relatif utara – selatan. Penyebaran satuan ini dapat dilihat di Peta

Geomorfologi (Lampiran C) yang ditandai dengan merah marun. Satuan

Perbukitan Aliran Piroklastik Ketenger memiliki ketinggian topografi berkisar

600 – 1.325 mdpl dan memiliki kontur yang rapat di peta topografi.

4.2.1.2 Ciri Litologi

Material penyusun satuan ini terdiri dari lava basalt, andesit, breksi

piroklastik, sinter travertin, di beberapa tempat terdapat tuff. Material penyusun

ini kemungkinan berasal dari letusan Gunung Slamet yang mengeluarkan material

– materialnya serta lava dan membentuk perbukitan yang terjal (Gambar 4.1).

Satuan ini memiliki litologi yang relatif tahan terhadap pelapukan dan

erosi, bias dilihat dari relief yang tinggi dipeta topografi. Karena relatif tahan

terhadap pelapukan dan erosi, maka dapat terbentuk perbukitan yang memanjang

berarah barat – sebagian ke arah timur. Pola erosi sungai di satuan ini hampir

berarah vertikal, dengan pengikisan cenderung ke arah bawah sungai.

Bentukan lembah sungai yang terdapat pada satuan morfologi ini

berbentuk V. Bentuk lembah sungai berbentuk V ini menunjukan tahapan

geomorfik sungai muda. Pada umumnya sungai – sungai dengan bentukan lembah

46
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
V merupakan sungai yang bersifat intermiten atau sungai – sungai kecil yang

merupakan percabangan dari sungai – sungai yang lebih besar.

Gambar 4.2. Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik Ketenger, foto diambil menghadap ke
Utara, di Desa Ketenger.

4.2.2. Satuan Perbukitan Aliran Lava Munggangsari

4.2.2.1 Penyebaran

Satuan Perbukitan Aliran Lava Munggangsari menempati 60% luas dari

daerah penelitian. Satuan ini menempati bagian timur daerah penelitian dengan

penyebaran relatif utara – selatan. Penyebaran satuan ini dapat dilihat di Peta

Geomorfologi (Lampiran C) yang ditandai dengan warna merah. Satuan ini

memiliki ketinggian topografi berkisar 425 – 1.125 mdpl, dicirikan oleh kontur

yang tidak terlalu rapat.

4.2.2.2 Ciri Litologi

Bentukan lembah sungai yang terdapat pada satuan ini berbentuk V.

Lembah sungai dengan bentukan V merupakan sungai yang bersifat intermiten

atau sungai – sungai kecil yang merupakan percabangan dari sungai – sungai yang

lebih besar (Gambar 4.2).

47
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
U

Gambar 4.3. Satuan Perbukitan Aliran Lava Munggangsari, foto menghadap kearah
Utara, di daerah Desa Munggangsari

4.3. Stratigrafi Daerah Penelitian

Klasifikasi penamaan satuan stratigrafi daerah penelitian menggunakan

sistem penamaan litostratigrafi tidak resmi (SSI,1996) yaitu penamaan

berdasarkan ciri – ciri fisik litologi yang teramati di lapangan, kehadiran fragmen

penciri, kesebandingan umur, dan sebarannya, serta hasil analisis laboratorium.

Stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi empat satuan tidak resmi, dari tua ke

muda, yaitu:

1. Satuan Breksi Piroklastik (coklat)

2. Satuan Lava Andesit (merah)

3. Satuan Lava Basalt (merah marun)

4. Satuan Endapan Sinter Travertin (biru)

Tabel 4.1. Kesebandingan stratigrafi daerah penelitian


Stratigrafi Serayu Utara Pusat Erupsi Stratigrafi Daerah

Periode Bagian Barat (Sutawidjaja, dkk., Penelitian

(van Bemmelen, 1949) 1985) (satuan tidak resmi)

Zaman Kala

Kuarter Plistosen Formasi Linggopodo Slamet Tua Satuan Breksi Piroklastik

Satuan Lava Andesit

48
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Holosen
Aluvial dan Volkanik
- Slamet Muda Satuan Lava Basalt
Muda
Resen

Satuan Endapan Sinter

Travertin

4.3.1. Satuan Breksi Piroklastik

4.3.1.1 Penyebaran

Satuan ini terdapat di bagian barat, dari utara menuju selatan daerah

penelitian tepatnya di Desa Melung, dan Desa Ketenger. Luas satuan berkisar

25% dari total daerah penelitian, terletak pada satuan geomorfologi perbukitan

aliran piroklastik. Satuan ini berwarna coklat pada Peta Geologi.

4.3.1.2 Ciri Litologi

Satuan ini hasil dari aktivitas volkanisme Gunung Slamet Tua

(Sutawidjaja, dkk., (1985). Satuan ini tidak selaras dengan satuan batuan yang

lainnya, yang merupakan hasil dari aktivitas volkanisme Gunung Slamet Muda.

Namun, satuan ini selaras dengan satuan lava andesit yang akan di bahas setelah

satuan ini.

Kenampakan dilapangan, satuan ini terlihat membentuk suatu bentuk

topografi tersendiri yang agak tinggi dan terpisah. Pengamatan secara megaskopis

dilapangan, breksi berwarna abu-abu agak gelap, masif, afanitik, ukuran fragmen

berkisar 4-15cm. Deskripsi petrografi untuk matriks breksi, sayatan tuf ini berupa

49
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
fragmen (50%), terdiri dari fragmen batuan (10%), kuarsa (9%), felspar (11%),

piroksen (3%), mika (2%), mineral oksida (5%), dan mineral opak (10%), dan

matriks (50%) berupa gelas volkanik, berdasarkan klasifikasi menurut Schmid

(1981) sayatan ini bernama tuff litick. Sedangkan fragmen breksi berupa batuan

beku andesit dan tuf. Secara mikroskopis sayatan batuan beku, berukuran 0.1-

1.5mm tersusun oleh fenokris (60%) yaitu plagioklas (30%), piroksen (25%),

mineral opak (5%), sebagai massa dasar (40%) terdiri dari gelas (25%) dan

mineral lempung (15%), berdasarkan klasifikasi Streckeisen (1976) sayatan ini

bernama andesit. Kemudian fragmen breksi berupa tuf, secara mikroskopis

sayatan ini mencakup butiran kuarsa (10%), felspar (12%), piroksen (10%),

hornblenda (5%), fragmen batuan (13%), mineral opak (10%), dan mineral oksida

(7%), serta matriks (30%) berupa gelas volkanik, berdasarkan klasifikasi menurut

Schmid (1981) sayatan ini bernama Tuf Kristal.

Gambar 4.4. Kenampakan breksi piroklastik, foto diambil di daerah Ketenger,


menghadap ke arah barat

4.3.1.4 Kesebandingan Stratigrafi

Berdasarkan ciri – ciri litologi dan penyebaran yang diamati di daerah

penelitian, satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Linggopodo menurut

50
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
van Bemmelen, (1949) yang merupakan produk Gunung Slamet Tua menurut

Sutawidjaja, dkk., (1985) dan berumur Plistosen.

4.3.2. Satuan Lava Andesit

4.3.2.1 Penyebaran

Satuan lava andesit ini dijumpai di bagian sebelah barat dari daerah

penelitian membentuk morfologi perbukitan yang tidak terlalu terjal. Satuan ini

menempati 20% dari daerah penelitian. Singkapan ini terdapat disepanjang sungai

daerah penelitian pada bagian barat. Penyebaran satuan ini dapat dilihat di Peta

Geologi dengan warna merah.

4.3.2.2 Ciri Litologi

Pada satuan ini terdapat litologi yang dominan, yaitu lava andesit.

Kenampakan di lapangan secara megaskopis, satuan ini terlihat membentuk suatu

bentuk topografi menyerupai lidah, memiliki struktur aliran dibeberapa tempat,

lava berwarna abu-abu agak gelap, masif, afanitik, segar-lapuk (Gambar 4.5).

Secara mikroskopis sayatan batuan beku, berukuran 0.1 – 1.5 mm tersusun

oleh fenokris (40%) yaitu plagioklas (30%) dan piroksen (10%) dan mineral opak

(5%) . Masa dasar (60%) terdiri dari gelas dan mikrolit plagioklas, berdasarkan

penamaan menggunakan klasifikasi Streckeisen (1976) sayatan ini bernama

andesit.

51
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 4.5. Kenampakan singkapan lava andesit, foto diambil di Desa Melung pada
bagian baratdaya daerah penelitian menghadap ke arah utara

4.2.2.4 Kesebandingan Stratigrafi

Berdasarkan kesamaan litologi, satuan ini disetarakan dengan Formasi

Linggopodo menurut van Bemmelen, (1949) yang merupakan produk Gunung

Slamet Tua menurut Sutawidjaja, dkk., (1985) dan berumur Plistosen.

4.3.3. Satuan Lava Basalt

4.3.3.1 Penyebaran

Satuan lava basalt meliputi 50% dari daerah penelitian, dan tersingkap

baik di Desa Munggangsari bagian Utara-Selatan daerah penelitian. Penyebaran

satuan ini dapat dilihat di Peta Geologi dengan warna merah marun. Satuan ini

berupa hasil dari erupsi Gunungapi Slamet berupa lava.

4.3.3.2 Ciri Litologi

Kenampakan dilapangan secara megaskopis, satuan ini berwarna abu-abu

gelap, massif, segar-lapuk, memiliki struktur vesikuler, terdiri dari piroksen, dan

mineral mafik lainnya. Basalt pada beberapa tempat hadir sebagai autobreksia

lava. Dibeberapa tempat dijumpai produk piroklastik jatuhan berwarna coklat

52
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
kemerahan hingga abu-abu oleh pengaruh oksidasi, segar-lapuk, fragmennya

bersudut, scoria, berwarna abu-abu lepas, pada bagian atasnya ditutupi lapukan

permukaan.

Secara mikroskopis sayatan lava, hipokristalin, bertekstur intergranular,

berukuran 0.3 – 3 mm tersusun oleh fenokris (40%), yaitu berupa plagioklas

(20%), piroksen (8%), olivin (2%), dan mineral hasil ubahan berupa mineral

lempung yang tertanam dalam masa dasar (60%) yang terdiri dari mikrolit-

mikrolit plagioklas, piroksen, dan olivin, berdasarkan klasifikasi Streckeisen

(1976) sayatan ini bernama Basalt.

b
a
U
c

Gambar 4.6. Kenampakan singkapan lava basalt, (a) menunjukan vesikuler (lingkaran
: Vesikuler
merah), (b) menunjukan struktur mengulit bawang, dan (c) menunjukan

53
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
kekar kolom, foto diambil di Lokawisata Baturraden, foto mengahadap
kearah utara

4.3.3.3 Kesebandingan Stratigrafi

Berdasarkan kesamaan litologi, satuan lava basalt disetarakan dengan

satuan endapan aluvial dan volkanik muda menurut van Bemmelen, (1949) yang

merupakan produk Gunung Slamet Muda menurut Sutawidjaja, dkk., (1985) dan

berumur Holosen.

4.3.4. Satuan Endapan Sinter Travertin

4.3.6.1 Penyebaran

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan, satuan

endapan sinter travertin terdapat di Lokawisata Baturraden, tepatnya di pancuran 3

dan pancuran 7. Penyebaran satuan ini dapat dilihat di Peta Geologi (Lampiran B)

dengan warna biru. Berdasarkan rekonstruksi penampang pada peta geologi, tebal

satuan ini diperkirakan lebih dari 50m. Satuan ini melampar sekitar 5% pada luas

daerah penelitian.

4.3.6.1 Ciri Litologi

Sinter travertin ini merupakan produk hidrotermal, berwarna coklat muda,

getas-kompak, ukuran butir pasir, memiliki tekstur bervariasi, terdiri dari mineral

kalsit dan mikrit (Gambar 4.7). Satuan ini akan dibahas lebih detail sebagai studi

khusus daerah penelitian.

54
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 4.7. Satuan endapan sinter travertin foto diambil di sekitar tempat Lokawisata
Pancuran 7, arah foto menghadap ke timur

4.3.6.2 Kesebandingan Stratigrafi

Satuan endapan sinter travertin disetarakan dengan satuan endapan aluvial

dan volkanik muda menurut van Bemmelen, (1949) yang merupakan produk

hidrotermal Gunung Slamet Muda menurut Sutawidjaja, dkk., (1985) dan berumur

Holosen – Resen.

4.4. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Struktur geologi di daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan

citra SRTM dan peta topografi serta pengamatan langsung di lapangan.

Berdasarkan hasil dari pengamatan, struktur geologi di daerah penelitian terdiri

dari struktur primer yang berupa kekar kolom dan kekar berlembar, dan struktur

sekunder yang berupa sesar.

4.4.1. Analisis Citra SRTM

Pola kelurusan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan kelurusan yang

ditarik dari peta topografi dan citra SRTM (Gambar 4.8). Berdasarkan data

kelurusan sungai dan punggungan (Gambar 4.9), dapat dilihat bahwa pola

kelurusan di daerah penilitian memiliki arah dominan baratlaut-tenggara.

55
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 4.8. Kelurusan struktur daerah penelitian dari peta SRTM

Gambar 4.9. Diagram roset daerah penelitian yang menunjukan arah umum kelurusan
Jumlah
(a) data : 18
punggungan danbuah Jumlah
(b) sungai. Keduanya berarah data–:Tenggara
Baratlaut 63

4.4.2. Sesar Daerah Penelitian

Secara umum daerah penelitian merupakan zona kekar gerus yang

berkembang menjadi zona hancuran dan zona sesar. Berdasarkan data-data

tersebut, dapat dilakukan intrepretasi struktur geologi yang berkembang didaerah

penelitian terutama kekar, sesar dan arah tegasan yang bekerja. Penentuan jenis

sesar didasarkan pada sudut pitch atau rake dan net slip terhadap bidang

sesardengan sudut 45° dijadikan batas antara sesar mendatar dan dip-slip fault.

Untuk sesar dengan pitch 0°-45° digolongkan sebagai sesar mendatar, sedangkan

sesar dengan pitch 45°-90° digolongkan sebagai dip-slip fault (Rickard, 1972

dalam Ragan 1973).

Struktur geologi yang berkembang didaerah penelitian adalah sesar

mendatar dan sesar turun. Berdasarkan analisis kinematika menggunakan

stereonet dan Penamaan sesar menurut Rickard (1972) yang terdapat didaerah

penelitian didasarkan atas nama geografis, dimana sesar-sesar tersebut dijumpai.

56
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Sesar yang ditemukan di daerah penelitian merupakan Sesar Baturraden.

Bukti keberadaan sesar ini pertama adalah pembelokan sungai secara tiba – tiba,

kemudian membeloknya satuan litologi di dekat zona sesar (terlihat pada peta

geologi pada satuan breksi piroklastik dan satuan lava basalt). Bukti selanjutnya

adalah terdapatnya zona hancuran serta shear fracture (Gambar 4.10).

a b

Gambar 4.10. Foto (a) zona hancuran, (b) shear fracture. Kedua foto diambil di daerah
wisata Baturraden pada daerah penelitian bagian timur laut, di sungai
Kali Gumawang, foto menghadap kearah timur
Pada data shear fracture sebanyak 27 pasang dilakukan analisis stereonet

menggunakan perangkat lunak Dips (Gambar 4.11). Berdasarkan analisis,

didapatkan pitch sebesar 200 dengan arah tegasan utama relative utara-selatan.

Sesar ini merupakan sesar geser menganan naik. Di perkirakan berumur Holosen.

57
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 4.11. Analisis stereonet kinematika sesar Baturraden pada daerah
penelitian menunjukkan arah sesar menganan naik

4.5. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan pengamatan lapangan dan literature, sejarah geologi daerah

penelitian pada kala Pleistosen, Gunung Cowet (Slamet Tua) mengalami erupsi

sehingga menghasilkan Satuan Breksi Piroklastik dan Satuan Lava Andesit yang

disetarakan dengan Formasi Linggopodo (van Bemmelen, 1949). Satuan breksi

piroklastik terdiri dari fragmen andesit dan tuff. Breksi ini terbentuk dari jatuhan

piroklastik yang tersingkap di aliran sungai maupun pada perbukitan. Menurut

Sutawidjaja (1985), Gunung Cowet (Slamet Tua) produk magmatisme yang

dihasilkan cenderung bersifat andesitik.

Aktifitas volkanisme berikutnya terjadi pada Kala Holosen, setelah

aktivitas volkanisme pada Gunung Cowet berhenti disebabkan oleh proses

konvergen lempeng yang mengalami perubahan kecepatan, sehingga pada kala ini

dapur magma baru terbentuk dan kemudian muncullah Gunungapi Slamet yang

sekarang (Slamet Muda). Aktivitas volkanisme Gunung Slamet (Slamet Muda)

menghasilkan produk volkanik pada daerah penelitian berupa Satuan Lava Basalt.

Pada satuan lava basalt dibeberapa tempat terdapat produk piroklastik berwarna

coklat kemerahan akibat pengaruh oksidasi dengan fragmen scoria dan telah

mengalami pelapukan. Pusat erupsi Gunung Slamet Muda diduga berada di

daerah timur laut – utara daerah penelitian. Produk volkanik tertua dari Slamet

Muda pada daerah penelitian yaitu satuan lava basalt.

58
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Setelah itu, tegasan utama utara – selatan dari struktur regional pola Jawa

mengakibatkan sesar menganan naik dengan arah tenggara – baratlaut pada daerah

penelitian.

Aktivitas hidrotermal di Gunung Api Slamet yang berumur Kuarter

menghasilkan keluaran air panas bertipe klorida bikarbonat sulfat, disertai dengan

pembentukan endapan travertin di Pancuran 3 dan Pancuran 7 sebagai satuan

endapan sinter travertin yang berumur Holosen – Resen.

59
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
BAB V

KARAKTERISTIK ENDAPAN SINTER TRAVERTIN

5.1. Latar Belakang

Travertin adalah bentuk batu kapur yang didepositkan oleh mata air

mineral, terutama mata air panas. Penyebaran travertin ini biasanya ditemukan

didaerah yang mempunyai manifestasi panas bumi atau geothermal.

Dalam istilah geothermal, secara sederhana sinter travertin merupakan

jenis batuan karbonatan kimiawi hasil pengendapan air panas bertipe bikarbonat.

Rumus kimia pembentukan travertin adalah sebagai berikut :

Ca2+(aq) + H2O(l) + CO2(aq) ↔ CaC3(s) + aH+(aq)

Sinter travertin terbentuk oleh air yang kaya akan CO2 atau air bikarbonat

(HCO3). Air ini bereaksi dengan Ca yang terlarut dari batuan, sehingga

membentuk CaCO3, yakni karbonat atau travertin.

5.2. Metode dan Analisis Sinter Travertin

5.2.1. Metode X-Ray Diffraction (XRD)

Untuk mendukung karakteristik sinter travertin, di penelitian ini

menggunakan metode XRD, yang mana metode XRD merupakan salah satu

metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga

sekarang. Metode XRD digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam

material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan

ukuran partikel. Komponen utama XRD yaitu terdiri dari tabung katoda (tempat

terbentuknya sinar-X), sampel holder dan detektor.

5.2.2. Analisis Sinter Travertin

62
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Pembagian litofasies dilakukan berdasarkan Sant’Anna, dkk. (2004) dan

Ozkul, dkk. (2002). Litofasies diidentifikasikan berdasarkan kenampakan

petrografi serta kenampakan di lapangan, yakni letak (morfologi) lingkungan

pengendapan sinter travertin. Sementara, tekstur hanya diidentifikasi berdasarkan

kenampakan lapangan secara umum, granular, dan sebagainya. Sant’Anna, dkk.

(2004) membagi litofasies menjadi crystalline crust, pisoid, lithoclast, tufa, dan

litofasies micritic. Ozkul, dkk. (2002) membagi litofasies menjadi crystalline

crust, shrub, pisolith, raft, reed, pebbly, lithoclast, palaeosol (Gambar 5.1)

Gambar 5.1. Pemodelan litofasies travertin menurut Ozkul, dkk., (2002)


5.3. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis yang dilakukan peneliti pada

daerah penelitian didapatkan endapan sinter travertin di daerah Baturraden

tepatnya di Pancuran 3 dan Pancuran 7.

Pada Pancuran 3 terdapat sinter travertin pada dinding dan atap menutupi

batuan breksi yang terdiri dari satu macam litofasies. Sinter travertin secara

megaskopis berwarna putih dengan dimensi 7 x 3 m (Gambar 5.2), hanya terdapat

63
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
di bagian luar permukaan breksi dengan tebal 1 – 2 cm, granular, stalaktit-

stalakmit, segar-lapuk, sebagian besar getas namun sebagian kompak.

Gambar 5.2. Sinter travertin Pancuran 3, Foto diambil di daerah Lokawisata Pancuran
3, arah foto menghadap utara

Secara miroskopis (Gambar 5.3) sinter travertin terlihat kristalin, ukuran

kristal halus-kasar (0,01 – 0,5 mm), anhedral-euhedral, terdiri dari silica amorf

bentuk radial, kalsit bentuk bulu dan mikrokristalin kalsit. Rongga antar butir

cukup besar. Litofasies sinter travertin pada Pancuran 3 adalah crystalline crust

(Ozkul, dkk., (2002) dan Sant’Anna, dkk. (2004)).

64
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 5.3. Foto sayatan tipis sinter travertin Pancuran 3 (a) kalsit menunjukkan
tekstur bulu, (b) silika amorf menunjukkan tekstur radial

Dari hasil pengamatan dan analisis didapatkan empat tahapan litofasies

yang terbentuk. Litofasies ini di jumpai diendapan sinter travertin yang terletak

pada Lokawisata Pancuran 7. Perubahan litofasies ini berkaitan dengan perubahan

kemiringan lereng atau morfologi. Pada Pancuran 7 terdapat sinter travertin

dengan litofasies yang beragam, yaitu litofasies I sampai IV, meliputi: litofasies

crystalline crust, crystalline crust-shrub, pisolith dan litofasies micritic.

a) Litofasies I

Pada litofasies pertama memiliki dua kenampakan megaskopis yang

berbeda. Pertama, sinter travertin memiliki dimensi panjang sekitar 54,56 m,

lebar 35,74 m dan tebal 0,5 – 3 m, berwarna coklat kekuningan, getas, kecuali

pada bagian yang tidak terkena aliran air. Warna hijau pada permukaan

travertin adalah lumut, sedangkan warna jingga pada permukaan travertin

diakibatkan kandungan sulfur dari air panas yang mengalir deras di sebelah

kanan pada gambar .

Pada lereng yang landai pH berkisar 7,5 – 8,1 dengan temperatur berkisar

35 – 500C. Sinter travertin tekstur ini diendapkan pada lereng yang landai.

65
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 5.4. Sinter travertin litofasies pertama pada lereng yang landai, foto diambil di
Pancuran 7 menghadap utara

Gambar 5.5. Sinter travertin litofasies pertama pada bagian yang tidak terkena aliran air

Pemerian mikroskopis (Gambar 5.6) dari sampel yang diambil

menunjukan kristalin, ukuran kristal halus-sedang (0,01 – 0,2 mm),

subhedral-euhedral, relative segar, bentuk seperti dedaunan atau bulu, terdiri

dari kalsit dan mikrokristalin kalsit. Kalsit berwarna putih-coklat muda,

ukuran 0,1 – 0,2 mm, subhedral-euhedral, bentuk seperti pohon dan

mikrokristalin kalsit coklat tua, ukuran 0,01 – 0,05 mm. litofasies ini

termasuk crystalline crust.

Gambar 5.6. Foto sayatan tipis sinter travertin Pancuran 7, litofasies 1, pada
lereng yang landai
Kenampakan megaskopis kedua pada litofasies pertama ditunjukan

gambar 5.7. Sinter travertin memiliki dimensi panjang 9,45 m, lebar 20,30 m

dan tebal 1-2 m, berwarna coklat gelap-pucat, kompak, membentuk tekstur

66
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
stalaktit-stalakmit (Gambar 5.7), dan diendapkan pada lereng yang lebih

terjal, yakni tebing air terjun. Pada lingkungan pengendapan ini pH berkisar

7,3 – 7,5 dengan temperatur berkisar 27 - 300C.

a
b

Gambar 5.7. Sinter travertin pada tebing air terjun yang menunjukkan tekstur
stalaktit-stalakmit
Pemerian mikroskopis travertin bertekstur stalaktit-stalakmit (Gambar 5.8)

menunjukann kristalin, ukuran Kristal halus-kasar (0,01 – 1 mm), subhedral-

euhedral, agak lapuk, terdiri dari kalsit, tekstur yang mengandung besi

berseling dengan mikrokristalin kalsit. Kalsit berwarna coklat muda-putih,

ukuran 0,1 – 0,2 mm, subhedral-anhedral. Mikrit berwarna coklat tua, ukuran

0,01 – 0,05 mm dan berwarna coklat gelap. Litofasies ini termasuk crystalline

crust.

Gambar 5.8. Foto sayatan tipis sinter travertin Pancuran 7, litofasies 1

67
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
b) Litofasies II

Sinter travertin litofasies kedua (gambar 5.9) memiliki dimensi panjang

17,65 m, lebar 5,42 m, dan tebal sekitar 30 cm, berwarna coklat gelap –

coklat pucat, kompak, membentuk tekstur tabular atau tekstur akar tanaman.

Pada litofasies ini pH berkisar 7,6 – 7,7 dengan temperatur berkisar 31 –

330C.

Gambar 5.9. Sinter travertin litofasies kedua (a), menunjukkan (b) tekstur
tabular atau (c) tekstur akar tanaman
Pemerian mikroskopis litofasies kedua (Gambar 5.10) adalah kristalin,

ukuran Kristal halus-sedang (0,05 – 0,5 mm), subhedral-euhedral, relativ

lapuk, bentuk kalsit, terdiri dari kalsit dan mikrit. Terdapat kalsit berwarna

putih – coklat muda, ukuran 0,05 - 0,5 mm, dan mikrit berwarna coklat

ukuran 0,01 – 0,05 mm. Litofasies II termasuk pada crystalline crust-shrub.

Shrub merupakan litofasies yang memiliki gabungan karakteristik antara

crystalline crust dan pisolith.

68
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 5.10. Foto sayatan tipis sinter travertin Pancuran 7, litofasies II

c) Litofasies III

Sinter travertin litofasies ketiga (Gambar 5.11) memiliki dimensi panjang

11,28 m, tebal 2,5 m, tinggi 5 m, berwarna coklat muda, kompak, membentuk

tekstur globular dan sukros pada permukaan atasnya. Pada litofasies ini pH

berkisar 7,7 dengan temperatur berkisar 32 - 340C.

a b

Gambar 5.11. Sinter travertin litofasies ketiga (a) dengan dimensi panjang 11,28 m,
tebal 2-5 m,tinggi 5 m, (b) menunjukkan tekstur globular dan sukros
pada permukaan atasnya, warna hijau – hitam pada permukaan
travertin adalah lumut
Pemerian mikroskopis litofasies ketiga (Gambar 5.12) adalah kristalin,

ukuran Kristal halus (0,01 – 0,1 mm), subhedral-euhedral, segar, bentuk

membulat, ronga antar butir besar. Terdapat kalsit berwarna putih-coklat

muda, kuran 0,01 – 0,1 mm, subhedral-euhedral, dan mikrokristalin kalsit.

Litofasies III adalah pisolith.

69
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Gambar 5.12. Foto sayatan tipis sinter travertin Pancuran 7, litofasies III

d) Litofasies IV

Litofasies keempat (Gambar 5.13) memiliki dimensi panjang 53,65 m,

lebar 36,73 m, dan tebal 4 – 6 m, berwarna coklat kekuningan, getas, kecuai

pada bagian yang tidak terkena aliran air, terdapat tekstur akar tumbuhan.

Pada litofasies keempat pH berkisar 7,4 – 7,7 dengan temperatur berkisar 30 -

310C.

Tekstur
akar
tumbuhan
Gambar 5.13. Sinter travertin litofasies keempat
Pemerian mikroskopis litofasies keempat (Gambar 5.14) adalah kristalin,

ukuran kristal halus-sedang (0,01 – 0,2 mm), subhedral-euhedral, terdiri dari

kalsit dan mikrokristalin kalsit. Ronga antar butir besar, terdiri dari kalsit

berwarna putih-coklat muda, ukuran 0,1 – 0,2 mm, subhedral-euhedral,

70
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
bentuk seperti kipas atau bulu dan mikrokristalin kalsit berwarna coklat,

ukuran 0,01 – 0,05 mm. litofasies keempat adalah micritic.

Gambar 5.14. Foto sayatan tipis sinter travertin Pancuran 7, litofasies IV

5.4. Pemodelan Litofasies Sinter Travertin Daerah Penelitian

Pada (Gambar 5.15) ditunjukkan sinter travertin secara megaskopis secara

keseluruhan. Sinter travertin berwarna coklat muda dengan dimensi 95 x 110 m.

71
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
BAB VI
KESIMPULAN
Secara umum dari penelitian ini telah terpenuhi, yaitu merekontruksi

sejarah perkembangan pembentukan atau sejarah geomorfologi, merekontruksi

sejarah tektonik dalam ruang dan waktu. Daerah pemetaan seluas 25 km2,

memberikan data geologi yang menghasilkan kesimpulan informasi geologi

sebagai berikut :

 Geomorfologi daerah Baturraden dapat dibagi menjadi dua satuan, yaitu :

Satuan Perbukitan Aliran Piroklastik Ketenger, dan Satuan Perbukitan

Aliran Lava Munggangsari.

 Stratigrafi daerah Baturraden dikelompokkan menjadi 4 satuan batuan,

berturut – turut dari tua ke muda, yaitu : Satuan Breksi Piroklastik

(berumur Plistosen), Satuan Lava Andesit (berumur Plistosen), Satuan

Lava Basalt (berumur Holosen), dan Satuan Endapan Sinter Travertin

(berumur Holosen-Resen).

 Sesar Baturraden merupakan sesar geser mendatar berarah tenggara-

baratlaut dengan pergerakan menganan naik. Arah tegasan utama relativ

utara-selatan.

 Endapan Sinter Travertin pancuran 7 memiliki karakteristik yang berubah

berdasarkan litofasies yang berbeda, yakni : litofasies crystalline crust,

crystalline crust-shurb, pisolith dan litofasies micritic. Endapan sinter

travertine dengan karakteristik beragam ini dihasilkan dari mata air panas

outflow Gunung Slamet berupa air klorida bikarbonat sulfat dengan pH

7,5. Dan temperature permukaan 500C.

75
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, S., 1977, Diktat Struktur (tektonik) Indonesia. Kelompok Bidang Keahlian
(KBK) Geologi Dinamis, Jurusan Teknik Geologi ITB.

Bemmelen, R. W. van., 1949, The Geology of Indonesia. Martinus Nijhoff The


Hague.

Bemmelen, R.W van.1970a, The Geology of Indonesia, Vol. IA. Martinus Nijhoff,
The Hague, 2nd ed.

Brahmantyo, B., Bandono, 2006, Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk
Pemetaan Geomorfologi pada skala 1:25.000 dan Aplikasi untuk Penataan
Ruang.Jurnal Geoaplik, Volume 1, Nomor 2, hal.071-078.

Djuri, M., Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa, Direktorat
Geologi.

Hamilton, W. 1979, Tectonic of the Indonesian region. Geol. Surv. Prof. Paper.
1078.

Kusumadinata, K. 1979, Data Dasar Gunung Api Indonesia. Direktorat


Vulkanologi.

McPhie, J., Doyle, M. dan Allen, R., 1993, Volcanic Textures:A Guide To The
Interpretation of Textures In Volcanic Rocks. Centre For Ore Deposits and
Exploration Studies, University of Tasmania, hal. 113-114.

Mulyadi Deddy, 2007, Laporan Pemetaan Terpadu Gunung api, Gunung Slamet,
Jawa Tengah, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Bandung.

Ozkul, dkk., 2002, Depositional environments and petrography of Denizi


travertines, Mineral Resource Exploration Bulletin, 125.

Pardyanto, L. 1971, Peta geologi daerah gunung Slamet dan sekitarnya -


penafsiran potret udara.

Pardyanto, 1971, Volkanologi Edisi Gunung Slamet. Bandung : Pusat Penelitian


dan Pengembangan Geologi

Pettijohn, F. J.1975, Sedimentary Rocks, Harper & Row, ISBN 0-9604519-1-2.

Pulunggono, A., Martodjojo, S., 1994, Perubahan Tektonik Paleogene-Neogene


Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceeding Geologi dan
Geoteknik Pulau Jawa Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter, Teknik Geologi
UGM, Yogyakarta.

76
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
Rickard, M.J. 1972, A classification diagram for fold orientations. Geol. Mag.
V.108. p 23-26.

Rickard, W.H., 1972, Physical modeling of structural, pp. RH-I -RH-9 In Federal
Research Natural Areas in Oregon and Washington.

San’t Anna, dkk. 2004,The Paleocene travertine system of the Itaborai basin,
Southeastern Brazil. Jurnal of South American Earth Sciences, 18.

Satyana. A.H., 2006, Pola Indentasi Struktur Geologi di Jawa Tengah. Presentasi
Seminar Nasional Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Schmid, R., 1981. Descriptive nomenclature and classification of pyroclastic


deposits and fragments: Recommendations of the International Union of
Geological Sciences Subcommission on the Systematics of Igneous Rocks.
Geology. The Geological Society of America. Boulder. Vol. 9, p. 41-43

Streckeseisen, A. L., 1978, IUGS Subcommission on the Systematics of Igneous


Rocks. Neues Jahrbuch fur Mineralogie : Stuttgart.

Sutawidjaja. IS., D. Aswin dan K. Sitorus, 1985, Geologic map of Slamet volcano,
Central Java.

Sutawidjaja, IS. dan R. Sukhyar. 2009, Cinder cones of Mount Slamet, Central
Java, Indonesia, Jurnal Geologi Indonesia.

Soetoyo, 1991. Laporan Geologi Panas Bumi. Bandung : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi : Bandung

Vulkadinovic, D., dan Sutawidjaja, 1995. Geology, Mineralogy, and Magma


Evolution of Gunung Slamet Volcano, Java, Indonesia, Journal of South
Asian Earth Science, Vol.11, No.2, hal 135-164.

Yuwono Y. S., 2004, Pemetaan Daerah Volkanik, Bandung, 2004, hal. 19.

Williams, H., Turner, F.J and Gilbert, C.M., 1982, Petrography. An Introduction
to The Study of Rocks in Thin Section, University of California, Berkeley,
W.H. Freeman and Company, San Fransisco.

77
.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.
LAMPIRAN D
DATA PENGUKURAN UNTUK ANALISIS STRUKTUR
No. Shear Fracture No. Shear Fracture
Jurus Kemiringan Jurus Kemiringan
1 335 53 28 190 72
2 335 55 29 5 57
3 25 84 30 340 66
4 215 77 31 180 58
5 200 60 32 170 55
6 355 62 33 165 64
7 232 58 34 173 61
8 215 77 35 180 7
9 165 64 36 170 69
10 327 33 37 180 71
11 315 69 38 160 50
12 173 61 39 180 75
13 320 65 40 285 285
14 27 72 41 280 66
15 130 72 42 280 62
16 345 78 43 277 56
17 50 74 44 285 72
18 35 41 45 100 69
19 190 50 46 120 61
20 340 66 47 113 11
21 150 65 48 98 53
22 215 51 49 112 36
23 353 43 50 102 56
24 45 63 51 105 44
25 235 45 52 115 37
26 55 67 53 95 63
27 145 26 54 185 57

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


LAMPIRAN E
ANALISIS PETROGRAFI

Pancuran 3
Sampel: K.1.8

Secara mikroskopis sinter travertine terlihat kristalin, anhedral-euhedral, terdiri


dari silica amorf entuk radial, kalsit bentuk bulu dan mikrokristalin kalsit. Rongga
antar butir cukup besar.
Mikrokristalin kalsit 20% dengan deskripsi putih, ukuran 0,1 – 0,5 mm.
Kalsit 40% dengan deskripsi putih-coklat, ukuran 0,01 – 0,1 mm, subhedral-
euhedral.
Silika amorf (E6) sebanyak 40% dengan deskrispi bentuk radial, warna putih.

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


Litofasies sinter travertine Pancuran 3 adalah crystalline crust (Ozkul, dkk.,
(2002) dan Sant’ Anna, dkk. (2004)).
Pancuran 7
Sampel: K.1.9a

Secara mirkoskopis litofasies pertama menunjukkan kristalin, ukuran Kristal


halus-sedang (0,01 – 0,2), subhedral-euhedral, relative segar, bentuk seperti
dedaunan atau bulu, terdiri dari kalsit dan mikrokristalin kalsit.
Kalsit sebanyak 85% berwarna putih-coklat muda, ukuran 0,1 - 0,2 mm,
subhedral-euhedral, bentuk seperti pohon.
Mikrokristalin kalsit sebanyak 15%, coklat tua, ukuran 0,01 – 0,02 mm
Litofasies ini adalah crystalline crust ( Ozkul, dkk. (2002)).

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


Sampel: K.1.9b

Secara mikroskopis travertine bertekstur stalakti-stalakmit, menunjukan kistalin,


ukuran Kristal halus-kasar (0,01 – 1 mm), subhedral-euhedral, agak lapuk, terdiri
dari kalsit, tekstur yang mengandung besi berseling dengan mikrokristalin kalsit.
Kalsit sebanyak 70% berwarna coklat muda-putih, berukuran 0,1 – 0,2 mm,
subhedral-euhedral.
Mikrit sebanyak 25%, coklat tua, berukuran 0,01 – 0,05 mm dan mengandung
besi 5%, warna coklat gelap.
Litofasies ini adalah crystalline crust (Ozkul, dkk. (2002)).

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


Sampel: K.1.9c

Mikroskopis litofasies kedua menunjukkan kristalin, ukuran kristal halus-sedang


(0,005 – 0,5), subhedral, relative lapuk, bentuk kalsit: equant crystal calcite
hingga membundar seperti pisolith, terdiri dari kalsit dan mikrit.
Kalsit 75%, berwarna putih-coklat muda berukuran 0,05 – 0,5 mm.
Mikrit 25%, berwarna coklat, berukuran 0,01 – 0,05 mm.
Litofasies ini adalah crystalline crust-shrub (Ozkul, dkk. (2002)).
Shrub merupakan litofasies yang memiliki gabungan karakteristik antara
crystalline crust dan pisolith ( Ozkul, dkk. (2002)).

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


Sampel: K.1.9d

Mikroskopis litofasies ketiga menunjukkan kristalin, berukuran Kristal halus (0,01


– 0,1mm), subhedral-euhedral, segar, bentuk membulat, rongga antar butir besar.
Kalsit 85%, putih-coklat muda, berukuran 0,01 – 0,1 mm, subhedral-euhedral.
Mikrokristalin kalsit 15%.
Litofasies ini adalah Pisolith (Ozkul, dkk (2002)).

Sampel: K.1.9e

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


Mikroskopis litofasies keempat menunjukka kristalin, ukuran Kristal halus-sedang
(0,01 – 0,2mm), subhedral-euhedral, terdiri dari kalsit dan mikrokristalin kalsit.
Rongga antar butir besar.
Terdiri dari Kalsit 60%, berwarna putih-coklat muda, berukuran 0,1 – 0,2 mm,
subhedral-euhedral, bentuk eperti kipas atau bulu.
Mikrokristalin kalsit 40%, berwarna coklat, berukuran 0,01 – 0,05 mm.
Litofasies ini adalah Micritic (Sant’Anna, dkk. (2004) dan Ozkul, dkk. (2002)).

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


ANALISIS PETROGRAFI

Kode Sampel : K.4.1 Satuan Batuan : Breksi (matriks)


Klasifikasi : Schmid, (1981) Nama Batuan : Tuff litick

Sayatan tuf ini berupa fragmen (50%), terdiri dari fragmen batuan (10%), kuarsa
(9%), felspar (11%), piroksen (3%), mika (2%), mineral oksida (5%), dan mineral opak
(10%), dan matriks (50%) berupa gelas volkanik.

Fragmen (50%):
- Fragmen batuan (10%), didominasi oleh fragmen batuan beku dan sedimen, hadir
berukuran 0,2 – 1 mm, membundar (G9-H9).
- Kuarsa (9%) yang terdiri dari kuarsa monokristalin, berukuran 0,1 – 0,2 mm, menyudut
tanggung (C3).
- Felspar (11%) hadir berukuran 0,1 – 0,6 mm, menyudut tanggung (A4).
- Piroksen (3%) hadir berukuran 0,1 – 0,2 mm, menyudut tanggung (C8).
- Mika (2%) hadir berukuran 0,2 – 0,3 mm, menyudut tanggung (B8).
- Mineral opak (10%), bentuk anhedral, berukuran 0,1 – 0,3 mm, membundar tanggung.
(E4-F4)
- Mineral oksida (5%),berukuran 0,2 – 0,4 mm, membundar tanggung. (I2-I3)

Matriks(50%) :
- Gelas volkanik (50%), hadir sebagai matriks, berwarna bening, mulai mengalami
devitrifikasi (A8).

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


ANALISIS PETROGRAFI

Kode Sampel : K.4.7 Satuan Batuan : Breksi (fragmen)


Klasifikasi : Schmid, (1981) Nama Batuan : Tuff kristal

Sayatan tuf kristal ini mencakup butiran kuarsa (10%), felspar (12%), piroksen (10%),
hornblenda (5%), fragmen batuan (13%), mineral opak (10%), dan mineral oksida (7%), serta
matriks (30%) berupa gelas volkanik.

Fragmen :
- Kuarsa (10%) yang terdiri dari kuarsa monokristalin, berukuran 0,1 – 0,25 mm,
membundar tanggung – membundar (C6).
- Felspar (12%) hadir berukuran 0,125 – 0,25 mm, menyudut tanggung (F2).
- Piroksen (10%) hadir berukuran 0,125 – 0,25 mm, menyudut tanggung – membundar
tanggung (F4-G4).
- Hornblenda (5%) hadir berukuran 0,075 – 0,125 mm, menyudut tanggung (H7-H8).
- Fragmen batuan (13%) hadir berukuran 0,05 – 0,375 mm, terdiri dari fragmen
batulempung, membundar (I4).

Matriks :
- Gelas volkanik (30%) hadir sebagai matriks, berwarna bening, mulai mengalami
devitrifikasi (I6).
Mineral sekunder :
- Mineral opak (5%), bentuk anhedral, berukuran 0,05 – 0,175 mm. (A5)
- Mineral oksida (5%), berukuran 0,125 – 0,25 mm, membundar tanggung. (D6)

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


ANALISIS PETROGRAFI

Kode Sampel : K.6.3 Satuan Batuan : Lava


Klasifikasi : Streckeisen, (1976) Nama Batuan : Andesite

Sayatan andesit, berukuran 0.1 – 1.5 mm tersusun oleh fenokris (40%) yaitu
plagioklas (30%) dan piroksen (10%) dan mineral opak (5%) . Masa dasar (60%) terdiri dari
gelas dan mikrolit plagioklas.

Fenokris :
- Plagioklas (30%), hadir sebagai fenokris, hadir berbentuk prismatik subhedral - euhedral,
berukuran 0,1- 1.5 mm, memperlihatkan kembaran albit, An38 (andesine). (C2)
- Piroksen (10%), hadir sebagai fenokris, berbentuk prismatik subhedral, berukuran 0.2 –
1.5 mm, pemadaman bersudut. (H4, I7).
- Mineral opak (5%), berbentuk anhedral – subhedral, berukuran 0.05 – 0.3 mm (H3)

Massa dasar :
- Gelas (60%), berwarna coklat keruh, hadir sebagai masa dasar dan sebagian kecil sudah
terubah menjadi mineral lempung dan oksida besi.

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


ANALISIS PETROGRAFI

Kode Sampel : K.5.4 Satuan Batuan : Lava


Klasifikasi : Streckeisen, (1976) Nama Batuan : Basalt

Sayatan lava, hipokristalin, bertekstur intergranular, berukuran 0.3 – 3 mm tersusun


oleh fenokris (40%), yaitu berupa plagioklas (20%), piroksen (8%), olivin (2%), dan mineral
hasil ubahan berupa mineral lempung yang tertanam dalam masa dasar (60%) yang terdiri
dari mikrolit-mikrolit plagioklas, piroksen, dan olivin.

Fenokris :
- Plagioklas (20%), Sebagai fenokris, hadir berbentuk prismatik subhedral, berukuran 0.1-3
mm, memperlihatkan kembaran carlsbad-albit, An64 (labradorit). (E4)
- Piroksen (8%), Sebagai fenokris, terdiri dari klinopiroksen, berbentuk prismatik subhedral,
berukuran 0.6-1 mm, segar. (J2)
- Olivin (2%), segar, subhedral - anhedral, berukuran 0.5-1.2 mm.(A4)
- Mineral lempung (10%), hadir sebagai fenokris hasil ubahan, berbentuk subhedral,
berwarna coklat keruh, berukuran 0.2-0.5 mm, (E8)

Massa dasar :
- Mikrolit plagioklas (30%): Berupa mikrolit-mikrolit plagioklas, sebagian terubah manjadi
mineral lempung. (C7)
- Mikrolit piroksen (22%): Sebagai massa dasar hadir dalam jumlah yang sedikit, berbentuk
butiran halus. (G2)
- Mikrolit olivin (8%): Sebagai massa dasar hadir dalam jumlah yang sedikit, berbentuk
butiran halus. (D3)

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.


LAMPIRAN F
ANALISIS XRD

A. Pancuran 3
(sumber: Wilda Aini N, Teknik Geologi ITB)

B. Pancuran 7
(sumber: Wilda Aini N, Teknik Geologi ITB)

.::: DIGITAL COLLECTION UPT PERPUSTAKAAN UNSOED :::.

Anda mungkin juga menyukai