Anda di halaman 1dari 183

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

GEOLOGI DAERAH UEPAKATU KECAMATAN MAMOSALATO


KABUPATEN MOROWALI UTARA PROVINSI SULAWESI TENGAH

LAPORAN PEMETAAN

HALAMAN SAMPUL

OLEH : MUH. IHSAN


NO. MHS : D611 14 011

GOWA
2019

i
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

GEOLOGI DAERAH UEPAKATU KECAMATAN MAMOSALATO


KABUPATEN MOROWALI UTARA PROVINSI SULAWESI TENGAH

HALAMAN TUJUAN

LAPORAN PEMETAAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Matakuliah Pemetaan Geologi


Pada Program Studi (S1) Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin

Oleh : MUH. IHSAN


No. Mhs : D611 14 011

GOWA
2019

ii
GEOLOGI DAERAH UEPAKATU KECAMATAN MAMOSALATO
KABUPATEN MOROWALI UTARA PROVINSI SULAWESI TENGAH

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PEMETAAN

Gowa, Mei 2019

Disetujui Oleh :
Pembimbing, Mahasiswa ybs,

Dr. Ir. M. Fauzy Arifin M.Si MUH. IHSAN


NIP. 19581203 198601 1 000 NIM. D611 14 011

iii
SARI

Pemetaan geologi adalah suatu keterampilan wajib yang harus dimiliki


oleh seorang ahli geologi. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi
geologi suatu daerah dan merupakan bentuk aplikasi di lapangan dari seluruh ilmu
geologi yang telah dipelajari sebelumnya diperkuliahan. Secara administratif
daerah penelitian termasuk dalam Daerah Uepakatu dan sekitarnya Kecamatan
Mamosalato Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah pada
koordinat 121° 50' 13.44" BT - 121° 55' 14.32" Bujur Timur (BT) dan 1° 25'
34.38" LS - 1° 29' 35.23" Lintang Selatan (LS). Maksud dari penelitian ini untuk
melakukan pemetaan geologi permukaan secara detail pada peta skala 1 : 25.000
terhadap aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, dan
aspek bahan galian dengan tujuan untuk membuat laporan pemetaan geologi yang
dirancang berdasarkan akumulasi seluruh data yang dikumpulkan di lapangan dan
intepretasi berdasarkan teori pendukung yang disadur dari berbagai literatur
geologi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengambilan data
geomorfologi, litologi, struktur geologi dan potensi bahan galian secara langsung
di lapangan. Selanjutnya, dilakukan analisa petrografi dan paleontologi terhadap
sayatan tipis sampel batuan.
Geomorfologi daerah penelitian terdiri atas 4 satuan bentangalam yaitu
satuan geomorfologi perbukitan struktural, satuan geomorfologi perbukitan
rendah denudasional dan satuan geomorfologi pedataran alluvial. Jenis sungai
yang berkembang adalah sungai sungai periodik dan permanen, sedangkan secara
genetik terdiri dari sungai insekuen, konsekuen, sub sekuen, dan obsekuen dengan
pola aliran rektangular, paralel dan trellis. Stadia daerah penelitian adalah stadia
muda menjelang dewasa. Berdasarkan litostratigrafi tidak resmi, stratigrafi daerah
penelitian dibagi menjadi empat (4) satuan batuan dari urutan muda hingga tua
yaitu satuan alluvial, satuan konglomerat, satuan peridotit, satuan batupasir,
satuan batugamping, dan satuan batulempung.
Struktur geologi daerah penelitian terdiri dari lipatan, kekar dan sesar.
Jenis lipatan berupa lipatan antiklin Uepakatu, Lipatan Sinklin Uuepakatu, lipatan
antiklin Parangisi, lipatan sinklin Parangisi, dan lipatan antiklin minor. Jenis kekar
berupa kekar non sistematik, kekar gerus. Sesar berupa sesar naik Buyu Kanato,
sesar sinistral Uepakatu, sesar dekstral Kuala Bongka, sesar dekstral dan Lijo.
Bahan galian pada daerah penelitian tergolong dalam golongan bahan
galian batuan berupa pasir dan batu (Sirtu).

iv
ABSTRACT

Geological mapping is a mandatory skill that must be possessed by a


geologist. Geological mapping is carried out to decide the geological conditions
of an area and is a form of application in the field of all geological sciences
that have been studied before in lectures. Administratively the research area is
included in the Uepakatu and surrounding areas of Mamosalato Subdistrict,
North Morowali Regency, Central Sulawesi Province at the coordinates 121 ° 50
'13.44 "BT - 121 ° 55' 14.32" East Longitude (BT) and 1 ° 25 '34.38 "LS - 1 ° 29
'35.23 "South Latitude (LS). The purpose of this study is to carry out detailed
geological mapping of maps on a scale of 1: 25,000 on geomorphological aspects,
stratigraphy, geological structure, geological history, and The potential of natural
resources to make geological mapping reports designed based on the
accumulation of all data collected in the field and interpretation based on
supporting theories adapted from various geological literature. The method used
in this study is the collection of geomorphological data, lithology, geological
structure and potential of natural resources the area of researches.
Furthermore, petrographic and paleontological analyzes of thin rock samples
were performed.
The geomorphology of the study area consisted of four unit. The units
namely structural hill geomorphological units, low hill denominational
geomorphological units and alluvial plain geomorphological units. The type of
river that develops is a periodic and permanent streams, while genetically it
consists of an inclusent streams, consequent, sub sequent, and obsequent with
rectangular, parallel and trellis drainage patterns. stage area of studied area is
young to mature stage. Based on unofficial lithography, the stratigraphy of the
research area is divided into four rock units from the order of young to old,
namely alluvial units, conglomerate units, peridotite units, sandstone units,
limestone units, and claystone units.
The geological structure of the study area consisted of folds, joints and
faults. The types of folds are Uepakatu anticline folds, Uuepakatu syncline
folds, Parangisi anticline folds, Parangisi syncline folds, and minor anticline
folds. Stumpy types in the form of non-systematic joint, shear joint. Faults in the
form of Buyu  kanato thrust fault,  Uepakatu,
synistral faults, Kuala Bongka dextral faults, and Lijo  dextral faults.
The potential of natural resources in the area of researches is classifying
in rocks category, there is sand and stone.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pemetaan geologi

yang berjudul “ Geologi Daerah Uepakatu Kecamatan Mamosalato

Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah“.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada semua pihak yang telah telah membimbing, mengarahkan dan membantu

penulis dalam menyusun laporan penelitian ini, antara lain :

1. Kedua orang tua atas segala kasih sayang yang selalu tercurah kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. M. Fauzy Arifin M.Si sebagai Dosen Pembimbing Pemetaan

Geologi.

3. Bapak Dr. Eng. Asri Jaya, H.S, S.T., M.T sebagai Ketua Departemen Teknik

Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin sekaligus yang telah

memberikan saran dan masukan saat pengambilan data lapangan.

4. Bapak Dr. Sultan, ST., MT sebagai Dosen Penasehat Akademik dan atas

bimbingannya selama ini.

5. Dosen Penguji Seminar Pemetaan Geologi Ibu Dr. Ir. Rohaya Langkoke., M.T

Bapak Ir. Jamal Rauf, M.T, Bapak Safruddim S.T., M.Eng

6. Bapak Dr. Eng. Adi Maulana, ST., M.Phil sebagai yang telah memberikan

saran dan masukan saat pengambilan data lapangan.

7. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Departemen Teknik Geologi Universitas

Hasanuddin yang telah memberikan bimbingannya.

8. Staf Departemen Teknik Geologi Universitas Hasanuddin.

vi
9. Bapak Zulqadar Mursida, ST., yang telah banyak membantu penulis dalam

menyususun database selama di lokasi penelitian.

10. Bapak Dedi Irfan, ST., yang telah banyak membantu penulis tentang savety

induction selama di lokasi penelitian.

11. Kanda Tri Angga Putra, ST., Kanda M. Dzulhuzair B, ST., Kanda Mika

Suryadi, ST., dan Kanda Moh. Adil yang telah banyak membantu penulis

selama di lokasi penelitian.

12. Bapak Aswar dan sekeluarga, yang telah banyak membantu penulis selama di

Mamosalato.

13. Lalu Kamaruddin Huda yang telah menemani penulis ke lokasi penelitian.

14. Kepala Desa Winangabino, Desa Lijo, Desa Parangisi, Desa Uepakatu, dan

Desa Sea yang telah memberikan penginapan selama di lapangan.

15. Muhammad Jabir Arif (Bang Abi) yang senantiasa mengantar keluar masuk ke

lokasi saat pengambilan data lapangan.

16. Teman-teman mahasiswa Geologi angkatan 2014 atas bantuan dan dukungan

kepada penulis.

17. Himpunan Mahasiwa Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

18. Satuan Komando Lapangan BE HMG FT-UH, untuk segala suka duka dan

kebersamaan yang telah dilalui selama ini.

19. Teman-teman pemetaan Tokala, Waiyah, Tirta, Oan, Edo, Imam, Nurdin,

Huda, Arfah, Gunawan, Syafi’i , Ulfa, Uswatun, Gery, Ayu, Rivai, Rey,

Nurul, Afrisal, dan Asyhari atas bantuan dan kerjasamanya selama di

lapangan.

vii
20. Pak Kadir, Dg. Sikki dan Kak Ade yang telah membantu preparasi sampel thin

section.

21. Nur Ikhwana, Paul Kalaba, Merlin, Asripa dan Baiq Safika yang telah

membantu penulis dalam menyusun lampiran.

22. A.L Adlyansyah dan Sandy Tias Setiawan yang telah banyak memberikan

referensi pemetaan geologi.

23. AAPG yang meminjamkan printernya.

24. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuan

dan dorongan yang diberikan selama ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki kekurangan di

dalamnya, baik dalam penulisan maupun penyusunan, oleh karenanya penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan

tulisan selanjutnya.

Semoga apa yang dilakukan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat

bernilai ibadah disisi Allah SWT. Aamiin.

Gowa, Mei 2019

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
HALAMAN TUJUAN...........................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................iii
SARI.......................................................................................................................iv
ABSTRACT.............................................................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI..........................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xi
DAFTAR FOTO.................................................................................................xiii
DAFTAR TABEL...............................................................................................xix
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan..................................................................................2
1.3 Batasan Masalah........................................................................................2
1.4 Letak, Waktu dan Kesampaian Daerah.....................................................2
1.5 Metode Penelitian......................................................................................4
1.5.1 Tahapan Pendahuluan........................................................................4
1.5.2 Tahapan Penelitian Lapangan............................................................5
1.5.3 Tahapan Pengolahan Data..................................................................6
1.5.4 Tahapan Analisis dan Interpretasi Data.............................................7
1.6 Alat dan Bahan........................................................................................11
1.7 Peneliti terdahulu.....................................................................................12
BAB II GEOMORFOLOGI................................................................................13
2.1 Geomorfologi Regional...........................................................................13
2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian.............................................................14
2.1.1 Satuan Geomorfologi.......................................................................15
2.1.2 Sungai...............................................................................................54
2.1.3 Stadia Daerah...................................................................................66
BAB III STRATIGRAFI.....................................................................................71

ix
3.1 Stratigrafi Regional.................................................................................71
3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian...................................................................80
3.2.1 Satuan Batulempung........................................................................81
3.2.2 Satuan Batugamping........................................................................87
3.2.3 Satuan Batupasir..............................................................................93
3.2.4 Satuan Peridotit................................................................................97
3.2.5 Satuan Konglomerat.......................................................................105
3.2.6 Satuan Alluvial...............................................................................111
BAB IV STRUKTUR GEOLOGI....................................................................119
4.1 Struktur Geologi Regional.....................................................................119
4.2 Struktur Geologi Daerah Penelitian......................................................123
4.2.1 Lipatan...........................................................................................124
4.2.2 Kekar..............................................................................................134
4.2.3 Sesar...............................................................................................141
4.3 Mekanisme Struktur Geologi Daerah Penelitian...................................154
BAB V SEJARAH GEOLOGI..........................................................................159
BAB VI BAHAN GALIAN................................................................................162
6.1. Indikasi Bahan Galian daerah Penelitian...............................................164
6.2. Pemanfaatan Bahan Galian daerah Penelitian.......................................165
BAB VII PENUTUP...........................................................................................167
7.1. Kesimpulan............................................................................................167
7.2. Saran......................................................................................................168
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................169
LAMPIRAN
 Peta Stasiun Pengamatan
 Peta Geomorfologi
 Peta Pola Aliran dan Tipe Genetik
 Peta Geologi
 Kolom Stratigrafi
 Peta Kerangka Struktur Geologi
 Peta Potensi Bahan Galian
 Deskripsi Petrografi
 Deskripsi Fosil Foram besar
 Range Chart Umur Relatif Satuan Batuan

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian......................................................................4


Gambar 1.2 Diagram alir penelitian.....................................................................9

Gambar 3.1 Peta Geologi Regional daerah penelitian pada Lembar


Batui (Surono,dkk 1994)................................................................71
Gambar 3.2 Kesebandingan formasi antara geologi regional
(Surono,dkk, 1994) dan satuan batuan pada daerah
penelitian......................................................................................114

Gambar 4.1 Peta Geologi Sulawesi dan tatanan tektoniknya


(dimodifikasi) (Hall & Wilson, 2000)..........................................123
Gambar 4.2 Klasifikasi lipatan Berdasarkan hinge surface dan sudut
penunjaman hinge line (Rickard, 1971 dalam Ragan,
2009).............................................................................................126
Gambar 4.3 Klasifikasi lipatan Berdasarkan hinge surface dan sudut
penunjaman hinge line (Rickard, 1971 dalam Ragan,
2009).............................................................................................127
Gambar 4.4 Gambar Klasifikasi Lipatan (Biliing, 1972 dalam Ragan,
2009).............................................................................................129
Gambar 4.5 Hasil Analisis Lipatan Pada Stasiun 18-BPKB-BP5-012............132
Gambar 4.6 Hasil Analisis Lipatan Pada Stasiun 18-BPLM-BP5-033............133
Gambar 4.7 Hasil Analisis Lipatan Pada Stasiun 18-BPKB3-BP5-002..........133
Gambar 4.8 Tipe – tipe dasar kekar berdasarkan bentuknya (Mc
Clay,1987)....................................................................................136
Gambar 4.9 Gambar 4. 9 Tipe – tipe dasar kekar berdasarkan
bentuknya (Mc Clay,1987)........................................................136
Gambar 4.10 Hasil analisis kekar pada stasiun 18-BPKB-BP5-011..................140
Gambar 4.11 Hasil analisis kekar pada stasiun 18-BPLM-BP5-020.................140
Gambar 4.12 Hasil plotting data fault slip menurut Rickard, 1972 dalam
Ragan, 2009..................................................................................146
Gambar 4.13 Hasil plotting data fault slip menurut Rickard, 1972
menunjukkan sesar naik Reverse right slip fault.........................147
Gambar 4.14 Pelurusan topografi pada DEM yang menunjukkan
perubahan model topografi dan pergeseran pada daerah
penelitian......................................................................................149
Gambar 4.15 Hasil analisis tegasan menggunakan diagram Triangular
State (Frolich, 1992) menghasilkan Sesar Naik...........................149
Gambar 4.16 Mekanisme terjadinya sesar, berdasarkan sistem Reidel,
modifikasi dari Teori Harding (1974) dalam Mc Clay
(1987)...........................................................................................155

xi
Gambar 4.17 Mekanisme pembentukan struktur geologi sesar naik Buyu
Kanato menunjukkan gaya kompresi yang berarah
timurlaut – baratdaya....................................................................157
Gambar 4.18 Mekanisme pembentukan struktur geologi struktur geologi
sesar dekstral kuala bongka, sesar sinistral Ueapakatu, dan
sesar dekstral Lijo menunjukkan gaya kompresi yang
berarah baratlaut – tenggara.........................................................158

xii
DAFTAR FOTO

Halaman

Foto 2.1 Litologi batupasir pada stasiun 18-BPKB-BP5-021 yang


mengalami proses pelapukan yang intensif. Arah Foto N 43o
E........................................................................................................21
Foto 2.2 Relief bergelombang dari bentang alam perbukitan
denudasional. Foto diambil dari bukit daerah desa Lijo
sekitar arah N 300E...........................................................................22
Foto 2.3 Pelapukan biologi akibat akar tumbuhan dan soil warna
cokelat pada litologi Batupasir. Foto diambil pada stasiun
18-BPKB-BP5-010 N 300o E............................................................22
Foto 2.4 Pelapukan biologi akibat lumut pada litologi batupasir
dstasiun 18-BPKB-BP5-021 arah foto N 183o E..............................23
Foto 2.5 Kenampakan hasil erosi parit yang terisi oleh air
membentuk sungai kecil pada sekitar stasiun 18-BPKB-
BP5-007. Bentuk penampang sungai yang berbentuk huruf
U menandakan erosi lateral lebih dominan dari erosi
vertikal. Arah foto N3320E...............................................................24
Foto 2.6 Kenampakan point bar di anak sungai Kuala Bongka. Foto
diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-011. Arah Foto sekitar
N 260o E............................................................................................24
Foto 2.7 Kenampakan Channel bar di anak sungai Kuala Bongka.
Foto diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-012. Arah Foto
sekitar N 275o E.................................................................................25
Foto 2.8 Pelapukan litologi batupasir yang dicirkan warna soil
cokelat kekuningan pada stasiun 18-BPKB-BP5-021
dengan tebal soil sekitar 5 meter. Arah foto N 190oE......................25
Foto 2.9 Tataguna lahan perkebunan kelapa sawit yang menempati
satuan perbukitan denudasional. Foto diambil pada stasiun
18-BPKB-BP5-027 ke arah N 270oE...............................................26
Foto 2.10 Tataguna lahan perkebunan nilam pada satuan perbukitan
denudasional. Foto diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-021
ke arah N182oE.................................................................................26
Foto 2.11 Pada stasiun 18-BPKB-BP5-021 menunjukkan morfologi
perbukitan struktural (g). Arah Foto N 2430E..................................30
Foto 2.12 Kenampakan sungai berbentuk V pada stasiun 18-BPLM-
BP5-019 pada litologi peridotit. Pada foto tampak bahwa
erosi vertikal mendominasi dibanding proses erosi lateral
pada satuan ini. Arah foto N320E.....................................................31
Foto 2.13 Pada stasiun 18-BPLM-BP5-027 dijumpai erosi alur (rill
erosion) pada litologi batulempung..................................................31
Foto 2.14 Kenampakan lipatan antiklin pada stasiun 18-BPKB3-BP5-
002 pada litologi peridotit, dengan arah foto N 2200E.....................32
Foto 2.15 Kenampakan Breksi Sesar Pada stasiun 18-BKB3-BP5-009...........32

xiii
Foto 2.16 Kenampakan Lipatan Seret (Dragfold) Pada stasiun 18-
BPLM-BP5-054................................................................................33
Foto 2.17 Disintegrasi litologi batulanau akibat thermal expansion
pada stasiun 18-BPLM-BP5-051......................................................34
Foto 2.18 Pada stasiun 18-BPLM-BP5-032 dijumpai pelapukan
mengulit bawang (spheroidal weathering) pada litologi
batupasir. Arah foto N500E...............................................................34
Foto 2.19 Akar tumbuhan sebagai faktor pelapukan biologi pada
litologi batugamping di stasiun 18-BPLM-BP5-052........................35
Foto 2.20 Tanah berwarna cokelat kemerahan dengan tebal sekitar 1.9
m pada stasiun 18-BPLM-BP5-031 dengan arah foto N
45oE...................................................................................................36
Foto 2.21 Kenampakan soil berwarna abu-abu dengan tebal 1,8 m
pada stasiun 18-BPLM-BP5-025 dengan arah foto N 240oE............36
Foto 2.22 Debris slide pada stasiun 18-BPKB3-BP5-011 dengan arah
foto N 275oE.....................................................................................37
Foto 2.23 Kenampakan channel bar pada anak sungai kuala bongka
sebelah barat daya desa Uepakatu di stasiun 18-BPKB3-
BP5-018. Arah foto sekitar N 920E...................................................38
Foto 2.24 Tataguna lahan perkebunan cokelat pada bentang alam
perbukitan struktural. Foto diambil pada staiun 18-BPLM-
BP5-029 sekitar arah N 2170E.........................................................38
Foto 2.25 kenampakan morfologi pegunungan struktural pada stasiun
18-BPKB-BP5-026 dengan arah foto sekitar N 30E.........................40
Foto 2.26 Kenampakan bentuk sungai berbentuk V pada stasiun 18-
BPLM-BP5-008 pada litologi peridotit. Pada foto tampak
bahwa erosi vertikal mendominasi dibanding proses erosi
lateral pada satuan ini. Arah foto N 1500E.......................................43
Foto 2.27 Pada stasiun 18-BPLM-BP5-015 dijumpai erosi alur (rill
erosion).............................................................................................43
Foto 2.28 Kenampakan mata air pada stasiun 18-BPLM-BP5-046
pada litologi peridotit........................................................................44
Foto 2.29 Kenampakan Breksi Sesar Pada stasiun 18-BPKB-BP5-009...........44
Foto 2.30 Kenampakan gores garis dan (Slicken Line) Pada stasiun
18-BPLM-BP5-022...........................................................................45
Foto 2.31 Akar tumbuhan sebagai pelaku pelapukan biologi pada
litologi peridotit di stasiun 18-BPKB-BP5-003................................46
Foto 2.32 Debris slide pada stasiun 18-BPKB-BP5-006 dengan arah
foto N 271oE.....................................................................................46
Foto 2.33 Tataguna lahan termasuk kawasan hutan lindung pada
bentang alam perbukitan struktural..................................................47
Foto 2.34 Pada stasiun 18-BPKB-BP5-023 menunjukkan morfologi
pedataran alluvial dengan arah foto sekitar N 410E..........................51
Foto 2.35 Kenampakan dataran banjir (g) pada stasiun 18-BPLM-
BP5-030 ke arah N 2220E...............................................................51

xiv
Foto 2. 36 Kenampakan proses erosi lateral pada stasiun 18-BPKB-
BP5-025. Tanda panah menunjukkan penampang sungai
yang melebar akibat erosi lateral yang dominan. Arah foto
N320E................................................................................................52
Foto 2.37 Kenampakan material beraneka ragam dari bongkah sampai
lempung akibat proses fluvial di sungai Kuala Bongka pada
stasiun 18-BPKB-BP5-025...............................................................53
Foto 2.38 Kenampakan point bar, dan flood plain pada anak sungai
Kuala Menandar sebelah timur desa Lijo di stasiun 18-
BPPL-BP5-020. Arah foto N 2600E.................................................53
Foto 2.39 Tataguna lahan persawahan pada bentang alam pedataran
alluvial. Foto diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-026 ke
arah N 330E.......................................................................................54
Foto 2.40 Kenampakan sungai permanen pada sungai Kuala Bongka
Pada stasiun 18-BPKB-BP5-023, lebar foto sekitar 20 meter
dengan arah aliran N 1830E Arah Foto N 400E...............................56
Foto 2.41 Kenampakan sungai permanen pada sungai Kuala
Menandar sebelah timur desa Lijo di stasiun 18-BPPL-BP5-
020. Arah foto N 600E......................................................................56
Foto 2.42 Kenampakan sungai periodik pada anak sungai Kuala
Bongka sebelah barat desa Uepakatu di stasiun 18-BPKB3-
BP5-018. Arah foto N 400E..............................................................57
Foto 2.43 Tipe genetik insekuen pada litologi peridotit. Foto diambil
pada stasiun 18-BPKB-BP5-005. Arah foto N 100E........................60
Foto 2.44 Tipe genetik subsekuen pada litologi batulempung. Foto
diambil pada stasiun 18-BPLM-BP5-023. Arah foto N 350E...........60
Foto 2.45 Tipe genetik konsekuen pada litologi batulempung. Foto
diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-010. Arah foto N
1750E.................................................................................................61
Foto 2.46 Tipe genetik obsekuen pada litologi batulempung. Foto
diambil pada stasiun 18-BPLM-BP5-003. Arah foto N
3150E.................................................................................................61
Foto 2.47 Kenampakan anak sungai Kuala Bongka dengan
penampang sungai berbentuk “V” pada stasiun 18-BPLM-
BP5-008, difoto arah N 920 E...........................................................63
Foto 2.48 Kenampakan sungai Kuala Bongka dengan penampang
sungai berbentuk “U” pada stasiun 18-BPKB3-BP5-024,
difoto arah N 1720 E.........................................................................64
Foto 2.49 Kenampakan point bar (x) pada anak sungai Kuala Bongka
dengan penampang sungai berbentuk “V” pada stasiun 18-
BPLM-BP5-020, difoto arah N 1450 E.............................................65
Foto 2.50 Kenampakan point bar pada sungai Kuala Bongka dengan
penampang sungai berbentuk “U” pada stasiun 18-BPKB-
BP5-024 , difoto arah N 3510 E.........................................................65

xv
Foto 3.1 kenampakan batulempung pada stasiun 18-BPLM-BP5-003
pada anak sungai Kuala Bongka daerah desa Uepakatu................83
Foto 3.2 kenampakan mikroskopis batulempung pada stasiun 18-
BPLM-BP5-018. Komposisi material terdiri dari grain yang
disusun oleh grain bentuk vein Kalsit (cal), dan mud (Mud)........84
Foto 3.3 kenampakan batulempung pada stasiun 18-BPLM-BP5-002
pada anak sungai Kuala Bongka daerah desa Uepakatu................85
Foto 3.4 Kenampakan mikroskopis batugamping pada stasiun 18-
BPLM-BP5-002. Komposisi material terdiri dari grain yang
disusun oleh skeletal grain bentuk foraminifera (foram), dan
kalsit (kal). mud (Mud) terdiri atas material karbonatan...............85
Foto 3.5 kenampakan batugamping bioklastik pada stasiun 18-
BPLM-BP5-052 jalan menuju desa Parangisi...............................89
Foto 3.6 Kenampakan mikroskopis batugamping pada stasiun 18-
BPLM-BP5-052. Komposisi material terdiri dari grain yang
disusun oleh skeletal grain yaitu coral, dan kalsit (kal). mud
(Mud) terdiri atas material karbonatan..........................................90
Foto 3.7 kenampakan batugamping pada stasiun 18-BPLM-BP5-025
jalan menuju desa Uepakatu..........................................................91
Foto 3.8 Kenampakan mikroskopis batugamping pada stasiun 18-
BPLM-BP5-025. Komposisi material terdiri dari grain yang
disusun oleh skeletal grain yaitu foraminifera (foram), dan
kalsit (kal). mud (Mud) terdiri atas material karbonatan...............91
Foto 3.9 kenampakan batupasir sisipan batubara pada stasiun 18-
BPLM-BP5-054 dengan arah foto N282˚E...................................95
Foto 3.10 Kenampakan mikroskopis batupasir pada stasiun 18-BPLM-
BP5-021. Komposisi material terdiri dari kuarsa (Otz),
biotit (Bio), dan Rock fragmen (Rf)..............................................95
Foto 3.11 kenampakan batulanau kontak batupasir dan batugamping
pada stasiun 18-BPLM-BP5-054 dengan arah foto N272˚E.........96
Foto 3.12 Kenampakan singkapan peridotit di anak sungai kuala
bongka desa Uepakatu pada stasiun 18-BPKB3-BP5-002............100
Foto 3.13 Kenampakan singkapan basalt di anak sungai Kuala Bongka
desa Uepakatu pada stasiun 18-BPLM-BP5-010...........................100
Foto 3.14 Kenampakan singkapan serpentinit di anak sungai Kuala
Bongka sebelah selatan Buyu Kanato pada stasiun 18-
BPKB-BP5-004.............................................................................101
Foto 3.15 Kenampakan mikroskopis peridotit pada stasiun 18-BPLM-
BP5-011. Komposisi mineral terdiri dari Olivin (Ol) dan
Piroksin (Prx).................................................................................102
Foto 3.16 Kenampakan mikroskopis serpentinit pada stasiun 18-
BPKB-BP5-004. Komposisi mineral terdiri dari Serpentin
(Ser), dan Mineral Opaq (OP)........................................................103
Foto 3.17 Kenampakan mikroskopis basalt pada stasiun 18-BPKB-
BP5-021. Komposisi mineral terdiri dari Plagioklas (Pl)
Piroksin (Prx), dan Mikrolit Plagioklas (mPl)...............................103

xvi
Foto 3.18 kenampakan batupasir dengan struktur sedimen coarsening
upward pada stasiun 18-BPKB-BP5-009......................................107
Foto 3.19 kenampakan batupasir dengan struktur sedimen flute cast
dengan sisipan serpih pada stasiun 18-BPKB-BP5-008................107
Foto 3.20 kenampakan batupasir dengan struktur sedimen Convulute
Laminasi pada stasiun 18-BPKB-BP5-010....................................108
Foto 3.21 kenampakan kenampakan konglomerat berselingan dengan
batupasir, dimana batupasir memperlihatkan struktur
sedimen flaser dan lensa batubara pada konglomerat pada
stasiun 18-BPKB-BP5-012............................................................108
Foto 3.22 Kenampakan konglomerat berselingan batupasir pada
stasiun 18-BPKB-BP5-012............................................................109
Foto 3.23 Kenampakan konglomerat berselingan batupasir, dimana
batupasir dijumpai lensa batubara pada stasiun 18-BPPL-
BP5-020.........................................................................................109
Foto 3.24 Kenampakan mikroskopis batupasir pada stasiun 18-BPKB-
BP5-009. Komposisi mineral terdiri dari Ortoklas (ort),
Mud, Piroksin (prx), dan Biotit (Bio)............................................110
Foto 3.25 Kenampakan material beraneka ragam dari bongkah sampai
lempung akibat proses fluvial di sungai Kuala Bongka pada
stasiun 18-BPKB-BP5-025............................................................112

Foto 4.1 kenampakan lipatan pada batupasir di stasiun 18-BPKB-


BP5-012 dengan arah foto N183˚E................................................130
Foto 4.2 Foto kenampakan lipatan pada batupasir di stasiun 18-
BPLM-BP5-033 dengan arah foto N135˚E...................................130
Foto 4.3 kenampakan Lipatan pada Peridotit di stasiun 18-BPKB3-
BP5-002 dengan arah foto N 318˚E...............................................131
Foto 4.4 kenampakan shear joint pada Peridotit di stasiun 18-BPLM-
BP5-020 dengan arah foto N145˚E................................................138
Foto 4.5 kenampakan kekar non sistematik pada Serpentinit di
stasiun 18-BPKB-BP5-011 dengan arah foto N255˚E..................139
Foto 4.6 Kenampakan breksi sesar pada litologi basalt stasiun 18-
BPKB-BP5-001 di lereng Buyu Kanato........................................145
Foto 4.7 Kenampakan Slicken Line pada stasiun 18-BPKB-BP5-006
di Buyu Kanato..............................................................................145
Foto 4.8 Kenampakan Slicken Line pada stasiun 18-BPLM-BP5-022
di anak sungai Kuala Bongka........................................................146
Foto 4.9 Kenampakan kontak struktur peridotit dengan batupasir
stasiun 18-BPLM-BP5-047 di Uepakatu.......................................147
Foto 4.10 Kenampakan peridotit yang terbentuk pada kerak oseanik
tersingkap di permukaan akibat proses struktur pada stasiun
18-BPKB3-BP5-023 di Uepakatu..................................................148
Foto 4.11 Kenampakan mata air pada litologi peridotit stasiun 18-
BPLM-BP5-046.............................................................................148

xvii
Foto 4.12 Kenampakan gouge pada litologi basalt stasiun 18-BPLM-
BP5-022.........................................................................................151
Foto 4.13 Kenampakan breksi sesar pada litologi basalt stasiun 18-
BPKB3-BP5-006...........................................................................152
Foto 4.14 Kenampakan breksi sesar pada litologi peridotit stasiun 18-
BPKB-BP5-006.............................................................................153
Foto 4.15 Kenampakan lipatan seret (Dragfold) pada litologi batupasir
stasiun 18-BPLM-BP5-054............................................................154

Foto 6.1 Kenampakan potensi bahan galian sirtu di sungai Kuala


Bongka pada stasiun 18-BPKB-BP5-025......................................166
Foto 6.2 Kenampakan potensi bahan galian laterit soil lapukan
batuan peridotit pada stasiun 18-BPLM-BP5-047.........................166

xviii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik pada


sistem ITC (Van Zuidam, 1985).......................................................16

Tabel 3.1 Kesebandingan formasi antara geologi regional


(Surono,dkk, 1994) dan satuan batuan pada daerah
penelitian.........................................................................................115

Tabel 4.1 Tabel Klasifikasi lipatan Berdasarkan interlimb angle


(Fluety, 1964 dalam Ragan, 2009 )................................................125
Tabel 4.2 Tabel Klasifikasi lipatan Berdasarkan hinge surface dan
sudut penunjaman hinge line (Fluety, 1964 dalam Ragan,
2009)...............................................................................................125
Tabel 4.3 Hasil pengukuran lipatan yang berkembang pada daerah
penelitian.........................................................................................131
Tabel 4.4 Jenis lipatan yang berkembang pada daerah penelitian..................132
Tabel 4.5 Data pengukuran kekar di Stasiun 18-BPKB-BP5-011..................139
Tabel 4.6 Data pengukuran kekar di stasiun 18-BPLM-BP5-020.................140
Tabel 4.7 Hasil analisis kekar pada daerah penellitian...................................140
Tabel 4.8 Tabel hasil pengukuran Fault slip pada daerah penelitian..............146

xix
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemetaan geologi adalah suatu keterampilan wajib yang harus dimiliki oleh

seorang ahli geologi. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi

geologi suatu daerah dan merupakan bentuk aplikasi di lapangan dari seluruh ilmu

geologi yang telah dipelajari sebelumnya diperkuliahan.

Berdasarkan Peta Geologi lembar Batui daerah penelitian yang berada pada

daerah Desa Uepakatu dan sekitarnya Kecamatan Mamosalato Kabupaten

Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah yang tersusun oleh batuan sedimen

Formasi Tokala (TRJt) terdiri dari Batugamping dan Napal, bersisipan Serpih dan

Batupasir. Kemudian batuan Kelompok Molasa Sulawesi Formasi Bongka

(Tmpb) terdiri dari perselingan antara konglomerat, batupasir, serpih, napal, dan

batugamping; setempat bersisipan tuf dan lignit. dan Ofiolit Sulawesi Timur yaitu

Kompleks Ultramafik (Ku) yang tersusun atas Batuan Ultramafik yang terdiri

serpentinit, harzburgit, dunit, hornblendit, lhezorlit dan piroksenit serta batuan

Mafik yang terdiri diorit, diabas, gabro dan basal. (Surono, dkk, 1994).

Namun, penelitian yang dilakukan masih dalam cakupan regional.

Sehingga perlu dilakukan suatu penelitian yang lebih detail. Untuk itu, penulis

melakukan pemetaan geologi permukaan pada daerah penelitian dengan skala 1 :

25.000 untuk menampilkan data dalam skala lokal, yang mencakup aspek

geomorfologi, tatanan stratigrafi, struktur geologi sehingga dapat membuat

1
2

sejarah geologi daerah penelitian, dan mengetahui potensi bahan galian pada

daerah penelitian.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud diadakannya penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan detail

geologi permukaan pada daerah penelitian dengan menggunakan peta topografi

skala 1 : 25.000.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi daerah

penelitian, yang meliputi aspek geomorfologi, tatanan stratigrafi, struktur geologi,

sejarah geologi, dan potensi bahan galian pada Daerah Uepakatu Kecamatan

Mamosalato Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah.

1.3 Batasan Masalah

Pada penelitian ini penulis membatasi masalah pada daerah penelitian

berdasarkan pengamatan pada aspek-aspek geologi yang terpetakan pada skala

1 : 25.000, aspek-aspek tersebut meliputi aspek geomorfologi, tatanan stratigrafi,

struktur geologi, sejarah geologi dan bahan galian yang terdapat pada daerah

Uepakatu Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi

Tengah.

1.4 Letak, Waktu dan Kesampaian Daerah

Secara administratif daerah penelitian termasuk dalam wilayah daerah

Uaepakatu Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi


3

Tengah. Secara geografis terletak pada koordinat 121° 50' 13.44" BT - 121° 55'

14.32" BT dan 1° 25' 34.38" LS - 1° 29' 35.23" LS.

Daerah penelitian termasuk dalam Lembar Lijo, nomor 2114 - 42 Peta

Rupa Bumi Indonesia sekala 1 : 50.000 yang diterbitkan BAKOSURTANAL

edisi I tahun 1992 (Cibinong, Bogor).

Luas daerah penelitian mencakup wilayah kurang lebih + 68,77 km2 yang

dihitung dari peta topografi daerah penelitian skala 1 : 25.000 yang diperbesar

dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 Lembar Lijo dengan Nomor 2214-

42 yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL Tahun 1991. Daerah penelitian

berjarak kurang lebih 383 Km dari Kota Makassar ke arah utara menuju Daerah

Kolonodale Kabupaten Morowali utara selama 24 jam, kemudian menyeberang

menguunakan kapal laut selama 6 jam menuju pelabuhan Kolo Bawah kemudian

naik kendaraan darat selama 1 jam menuju daerah Baturube sebagai Camp induk.

Lalu untuk memasuki daerah penelitian dibutuhkan kendaraan roda 4 ataupun

roda 2 yang berspesifikasi khusus kurang lebih 2 jam dari Camp induk.
4

.
Gambar 1. 1 Peta Lokasi Penelitian

1.5 Metode Penelitian

Metode Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tiga

tahapan, yaitu; tahapan pendahuluan, tahapan penelitian lapangan, tahapan

pengumpulan data lapangan, tahapan pengolahan data, tahapan analisis dan

interpretasi dan tahapan penyusunan laporan.

1.5.1 Tahapan Pendahuluan

Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan mencakup tiga kegiatan, yaitu :

1. Persiapan perlengkapan lapangan meliputi pengadaan peta dasar (peta

topografi), persiapan peralatan lapangan dan rencana kerja.

2. Pengurusan administrasi, meliputi pengurusan surat izin guna legalitas

kegiatan penelitian, terdiri atas pengurusan perizinan kepada Departemen

Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Fakultas Teknik Universitas


5

Hasanuddin, Pemerintahan Provinsi Tk. I Badan Koordinasi Penanaman

Modal Daerah Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi

Sulawesi Selatan, Pemerintahan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan

Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tegah yang kemudian diberikan

tembusan untuk disampaika kepada Gubernur Sulawesi Tengah, Dirjen

Kesbangpol Linmas Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, Kepala Badan

Kesbangpol Daerah Provinsi Sulawesi Tengah di Palu, Kepala Badan

Kesbangpol Kabupaten Morowali Utara di Kolonodale, Camat Se- Kabupaten

Morowali Utara di Kolonodale, Lurah Se- Kabupaten Morowali Utara di

Kolonodale, Kepala Desa Se- Kabupaten Morowali Utara di Kolonodale.

3. Studi literatur, mencari referensi yang berkaitan dengan daerah penelitian,

untuk mengenal daerah penelitian secara singkat dan menjadi bahan

pertimbangan dalam pengambilan data di lapangan.

1.5.2 Tahapan Penelitian Lapangan

Tahap penelitian lapangan berupa pemetaan geologi yaitu untuk

mendapatkan data lapangan secara deskriptif dan sistematis.

a. Pengamatan dan pengambilan data serta penentuan lokasi pada peta dasar

skala 1 : 25.000 yang disesuaikan dengan kondisi medan dan kondisi

singkapan.

b. Pengamatan dan pengukuran terhadap aspek-aspek geomorfologi seperti:

relief (bentuk puncak dan lembah, serta keadaan lereng), pelapukan (jenis

dan tingkat pelapukan), soil (warna, jenis dan tebal soil), erosi (jenis dan

tingkat erosi), gerakan tanah, sungai (jenis sungai, arah aliran, bentuk
6

penampang dan pola aliran sungai serta pengendapan yang terjadi),

tutupan dan tataguna lahan.

c. Pengamatan unsur-unsur geologi untuk penentuan stratigrafi daerah

penelitian, antara lain meliputi: kondisi fisik singkapan batuan yang

diamati langsung di lapangan dan hubungannya terhadap batuan lain di

sekitarnya, dan pengambilan conto batuan yang dapat mewakili tiap

satuan untuk analisis petrografi dan mikropaleontologi. Conto batuan

yang digunakan untuk analisis petrografi adalah sampel yang masih segar

sedangkan sampel untuk analisis paleontologi dipilih berupa conto batuan

sedimen yang segar.

d. Pengamatan dan pengukuran terhadap unsur-unsur struktur geologi yang

meliputi kedudukan batuan, kekar, dan lain-lain.

e. Pengamatan potensi bahan galian yang terdapat di daerah penelitian, serta

data pendukung lainnya seperti keberadaan bahan galian, jenis dan

pemanfaatan bahan galian.

1.5.3 Tahapan Pengolahan Data

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap pengolahan data mencakup

kegiatan-kegiatan pengolahan data yang telah diperoleh di lapangan, yaitu :

1. Data Geomorfologi, meliputi pembuatan peta geomorfologi, peta pola aliran

dan tipe genetik sungai.

2. Data Petrografi, meliputi pengamatan sayatan tipis dari conto batuan yang

telah diambil dari lapangan untuk mengetahui karakteristik batuan


7

berdasarkan sifat-sifat optisnya ; jenis mineral, tekstur, ukuran mineral,

persentase kandungan mineral, dll.

3. Data Stratigrafi, meliputi pengamatan fosil makro yang diamati dari sampel

sayatan tipis dari conto batuan yang telah diambil dari lapangan untuk

mengetahui kandungan fosilnya.

4. Data Struktur Geologi, meliputi pengukuran kedudukan batuan untuk

mengetahui perubahan pola kedudukan batuan dalam menentukan struktur

geologi pada daerah penelitian, pengolahan data kekar yang dijumpai di

lapangan dengan metode stereonet untuk menentukan arah gaya umum dan

memperkirakan jenis sesar yang terbentuk, pengolahan data lipatan yang

dijumpai di lapangan dengan metode stereonet untuk menentukan arah gaya

umum dan jenis lipatan.

1.5.4 Tahapan Analisis dan Interpretasi Data

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap analisis dan interpretasi data

mencakup kegiatan-kegiatan analisa dan interpretasi dari data yang telah diolah

sebelumnya, yaitu :

1. Analisa Geomorfologi, meliputi analisa morfografi dan morfogenesa dalam

menentukan satuan bentangalam, pola aliran dan tipe genetik sungai serta

interpretasi stadia sungai dan stadia daerah penelitian.

2. Analisa Petrografi, meliputi analisa dalam menentukan nama batuan secara

mikroskopis untuk mengidentifikasi tekstur, struktur, dan komposisi mineral

penyusun batuan.
8

3. Analisa Stratigrafi, meliputi analisa dalam menentukan batas dan

pengelompokkan setiap satuan batuan berdasarkan litostratigrafi tidak resmi,

serta analisis umur dan lingkungan pengendapan dari kandungan fosil makro

yang dijumpai serta interpretasi tatanan stratigrafi daerah penelitian.

4. Analisa Struktur geologi, meliputi analisa data lipatan, kekar serta data

struktur lainnya yang dijumpai di lapangan, data DEM, data geomorfologi

dan interpretasi jenis struktur geologi dan mekanisme struktur yang

berkembang di daerah penelitian.

1.5.2 Tahap Penyusunan Laporan

Kegiatan dalam tahap penyusunan laporan ini merupakan hasil tulisan

ilmiah secara deskriptif dari hasil pengolahan, analisis dan interpretasi yang

dijadikan acuan dalam penarikan kesimpulan mengenai kondisi geologi daerah

penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan pembuatan peta geologi, geomorfologi,

struktur geologi, bahan galian, serta pola aliran dan tipe genetik sungai, serta

lampiran berupa deskripsi petrografis dan deskripsi fosil yang tergabung dalam

satu bentuk, yang kemudian disusun dalam bentuk laporan pemetaan geologi.

Penyajian data dan hasil laporan berupa laporan pemetaan geologi tersebut

diseminarkan di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas

Hasanuddin.
9

Gambar 1. 2 Diagram alir penelitian


11

1.6 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan selama kegiatan penelitian ini terbagi

dalam dua kategori yakni alat yang digunakan pada saat di lapangan dan alat yang

digunakan pada saat analisa laboratorium. Alat yang digunakan pada saat di

lapangan, yaitu ;

1. Peta topografi berskala 1 : 25.000 yang merupakan hasil perbesaran dari

peta rupa bumi skala 1 : 50.000 terbitan Bakosurtanal Edisi I tahun 1991,

2. Global positioning system (GPS tipe Garmin 76),

3. Kompas geologi

4. Palu geologi

5. Lup dengan pembesaran 10 x

6. Buku catatan lapangan

7. Kamera digital 16 MP,

8. Larutan Hcl (0,1 M)

9. Pita meter

10. Komparator

11. Kantung sampel

12. Alat tulis menulis, busur, penggaris, clipboard, ransel lapangan dan

perlengkapan pribadi.

Sedangkan alat dan bahan yang akan digunakan selama analisis

laboratorium, yaitu :

1. Software digitasi peta Arc Gis 10x

2. Laptop
12

3. Mikroskop binokuler untuk analisis fosil

4. Mikroskop polarisasi untuk analisis petrografi sayatan tipis batuan

5. Alat tulis-menulis

6. Literatur.

1.7 Peneliti terdahulu

Peneliti terdahulu yang pernah mengadakan penelitian yang sifatnya

regional diantaranya sebagai berikut :

 Surono, T.O. Simandjuntak, R.L. Situmorang dan Sukido (1994) yang

meneliti tentang Geologi Lembar Batui, Sulawesi Tengah.

 H. Panggabean dan Surono (2011) yang meneliti tentang tektono-

stratigrafi Lengan Timur Sulawesi.

 Sompotan (2012) meneliti tentang Struktur Geologi Sulawesi.

 Hall dan Wilson (2000) meniliti tentang Neogen Sutures in Eastern


Indonesia.
BAB II GEOMORFOLOGI
GEOMORFOLOGI

Menurut Sukamto (1975) dalam Hall & Wilson (2000) Sulawesi dibagi

menjadi beberapa provinsi tektonik, dari barat ke timur ; Busur Pluton-Vulkanik

Sulawesi Barat, Lajur Metamorfik Sulawesi Tengah, Ofiolit Sulawesi Timur dan

Mikro-kontinen Banggai-Sula dan Buton-Tukang Besi. Daerah penelitian

termasuk dalam provinsi Ofiolit Sulawesi Timur.

Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi Lembar

Batui skala 1 : 250.000 yang dipetakan oleh Surono, dkk (1994).

2.1 Geomorfologi Regional

Berdasarkan Surono, dkk (1994) kenampakan geomorfologi pada daerah

ini dapat dibagi menjadi empat satuan, yaitu dataran rendah, perbukitan,

pegunungan, dan daerah karst. Pada umumnya punggung pegunungan membujur

dari timurlaut-baratdaya dan sebagian kecil timur-barat.

Dataran rendah berketinggian antara 0 dan 50 m di atas muka laut. Di

bagian hilir, sungai umumnya mengalir lewat tanah berawa.

Perbukitan berketinggian antara 50 dan 500 m di atas muka laut. Satuan

ini terdapat di daratan Sulawesi, menempati bagian hilir S. Bongka, hilir S.

Balingara, dan memanjang dari Kinton sampai Boba.

Pegunungan berketinggian dari 500 hingga melibihi 2400 m di atas muka

laut. Satuan ini menempati bagian tengah seluas lebih dari separuh daratan daerah

13
14

Lembar, puncak dengan ketinggian melebihi 200 m diantaranya ialah G. Lumut

(2284 m) dan G. Bulutumpu (2401 m).

Karst, ketinggiannya sangat beragam hingga mencapai 2000 m dari muka

air laut. Daerah ini dicirikan oleh morfologi yang kasar dan pola aliran umumnya

berlangsung di bawah permukaan tanah. Daerah karst itu meliputi Pegunungan

Tokala dibagian baratdaya Lembar, dan dari Batui sampai ke batas utara Lembar,

serta di bagian timur P. Peleng.

Pola aliran secara umum adalah denritik, tetapi ada beberapa yang berpola

parallel. Ini merupakan pencerminan keadaan batuan yang mengalasinya, yang

pada umumnya terlipat kuat dan tersesarkan. S. Bongka dan S. Balingara mengalir

ke Teluk Tomini; S. Batui dan S. Toili mengalir ke teluk Tolo merupakan sungai

utama di daerah Ibi. Pada umumnya sungai-sungai tersebut mengalir berbelok-

belok. Erosi umumnya lebih kuat di bawah dari pada ke samping.

Dilihat dari corak morfologi dan pola salirannya, daerah Lembar Batui ini

berada pada tingkat erosi remaja menjelang dewasa.

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Geomorfologi daerah penelitian membahas mengenai kondisi

geomorfologi daerah Uepakatu Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali

Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi geomorfologi yang dimaksud yaitu

pembagian satuan bentangalam, relief, tingkat dan jenis pelapukan, tipe erosi,

jenis gerakan tanah, soil, analisis sungai yang meliputi ; jenis sungai, pola aliran

sungai, klasifikasi sungai dan tipe genetik sungai. Berdasarkan dari kumpulan data

diatas yang dijumpai di lapangan, serta interpretasi peta topografi dan studi
15

literatur yang mengacu pada teori dari beberapa ahli maka dapat diketahui stadia

daerah penelitian.

2.1.1 Satuan Geomorfologi

Geomorfologi (Geomorphology) berasal bahasa Yunani, yang

terdiri dari tiga kata yaitu: Geos (earth/bumi), morphos (shape/bentuk), logos

(knowledge atau ilmu pengetahuan). Menurut Lobeck (1939) dalam bukunya

“Geomorphology: An Introduction to the study of landscapes”. Landscapes yang

dimaksudkan disini adalah bentangalam alamiah (natural landscapes). Dalam

mendeskripsi dan menafsirkan bentuk-bentuk bentangalam (landform atau

landscapes) ada tiga faktor yang diperhatikan dalam mempelajari geomorfologi,

yaitu: struktur, proses dan stadia. Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan

dalam mempelajari geomorfologi. Adapun menurut Van Zuidam et al. (1985),

geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan

proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan

keruangannya. Geomofologi juga didefinisikan sebagai ilmu tentang bentuk lahan

(Thornbury, 1969). Dari beberapa definisi mengenai geomorfologi, maka dapat

disimpulkan bahwa geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang roman

muka bumi beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya termasuk deskripsi,

klasifikasi, genesa, perkembangan dan sejarah permukaan bumi.

Pengelompokan satuan geomorfologi pada daerah penelitian dilakukan dengan

melakukan tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan morfografi

2. Pendekatan morfogenesa
16

Satuan bentangalam daerah penelitian didasarkan pada pendekatan

morfogenesa yaitu pendekatan berupa analisis yang didasarkan pada asal usul

pembentukan atau proses yang membentuk bentangalam dipermukaan bumi

dengan proses pembentukan yang dikontrol oleh proses eksogen, proses endogen

dan proses ekstra terrestrial (Thornbury, 1954).

Pendekatan morfografi (bentuk) mengelompokkan bentang alam

berdasarkan pada bentuk bumi ysng dijumpai di lapangan yakni berupa topografi

pedataran, bergelombang, miring, landai, perbukitan dan pegunungan. Aspek ini

memperhatiakn parameter dari setiap topografi seperti bentuk puncak, bentuk

lembah, dan bentuk lereng (Thornbury, 1969).

Van Zuidam (1985) menjelaskan bahwa proses endogen dan eksogen

masa lalu dan sekarang merupakan faktor-faktor perkembangan yang paling

menonjol dari suatu bentanglahan, sehingga harus digambarkan dengan jelas dan

menggunakan simbol warna.

Klasifikasi bentangalam berdasarkan genetiknya, dikemukakan oleh

sistem ITC (International Terrain Classification) dalam Van Zuidam, 1985,

adalah sebagai berikut.

Tabel 2. 1 Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik pada


sistem ITC (Van Zuidam, 1985)

N Bentuk Asal Warna


o.
1 Struktural Ungu
2 Vulkanik Merah
3 Denudasi Coklat
4 Marine Hijau
5 Fluvial Biru tua
17

6 Glasial Biru muda


7 Aeolian Kuning
8 Karst Orange

Klasifikasi bentangalam berdasarkan pendekatan genetik digunakan

klasifikasi ITC (International Terrain Classification) dalam Van Zuidam (1985)

yang menjelaskan bahwa untuk menginterpretasikan geomorfologi suatu daerah

disesuaikan dengan kondisi batuan pembentuknya/ penyusunnya. Selanjutnya

warna ditampilkan untuk mewakili kondisi geomorfologi suatu daerah.

Pendekatan morfogenesa ini dapat berupa proses denudasional yaitu

proses penelanjangan/pengelupasan yang meliputi pelapukan serta tingkatannya,

erosi dan mass wasting (gerakan tanah), gejala – gejala karst, kontrol struktur,

fluvial, marine, aeolian, vulkanik dan glasial. Proses denudasi adalah sekelompok

proses yang mana jika berlangsung cukup lama akan menghasilkan

ketidaksamarataan semua permukaan bumi. Proses utama yang bekerja yaitu

degradasi berupa disintegrasi batuan (pelapukan), pengelupasan, pelapukan

material dari permukaan bumi oleh berbagai proses erosi dan mass wasting.

Sedangkan proses agradasi, yaitu berupa proses sedimentasi dan seringkali

membangun suatu lahan dan akhirnya akan megalami degradasi kembali. Dua

proses utama yang terjadi pada proses degradasi yaitu pelapukan (debris dan soil)

dan transportasi material hasil pelapukan oleh erosi dan gerakan tanah, sedangkan

pada agradasi dua proses utama yang terjadi yaitu akumulasi debris oleh erosi dan

gerakan tanah seperti pengendapan colluvial, alluvial, aeolian, glacial dan


18

akumulasi makhluk hidup seperti gambut dan tumbuhan coral (Van Zuidam,

1985).

Berdasarkan persetujuan oleh American Geological Institute’s Dictionary

of Geological Terms dalam Van Zuidam (1985), erosi adalah serangkaian proses

dimana material bumi atau batuan dipecahkan atau dilepaskan dan diangkut dari

beberapa bagian permukaan bumi . Menurut Van Zuidam (1985), erosi permukaan

pada proses denudasional dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu erosi splash,

erosi rill, erosi gully, erosi valley, erosi sheet dan erosi sungai.

Erosi jenis splash merupakan erosi oleh air hujan yang jatuh ke tanah dan

menghempaskan partikel–pertikel tanah yang halus, kemudian aliran air

permukaan yang mengalir diatas permukaan tanah ini akan membentuk alur – alur

kecil dan relatif dangkal yang disebut sebagai erosi rill. Alur - alur ini biasanya

hanya beberapa centimeter lebar dan kedalamannya (maksimum 50 cm),

dimensinya dikontrol oleh ketahanan soil terhadap erosi (biasanya pada material

berukuran halus) serta biasanya terbentuk pada kemiringan lereng sekitar 18o. Jika

rill ini mengalami perkembangan lebih lanjut dengan dimensi yang lebih besar

akan membentuk erosi gully (erosi parit). Gully adalah saluran – saluran erosi

yang dalam, dengan kedalaman berkisar dari 0,5 – 5 m dengan kemiringan lereng

berkisar antara 10o – 180.Kegiatan hasil erosi gully akan bertemu dan membentuk

erosi valley dengan kemiringan berkisar antara 5o – 15o. Ketika valley ini bertemu

pada kemiringan lebih kecil dari 5o, akan membentuk erosi sheet yang selanjutnya

bermuara pada suatu tempat mengalirnya air yang dikenal sebagai sungai.
19

Gerakan tanah (mass wasting) didefinisikan sebagai gerakan massa batuan

atau tanah/soil (regolith) ke arah bawah lereng diatas lereng permukaan bumi

disebabkan oleh gravitasi / gaya berat (Varnes, 1978 dalam Van Zuidam 1985).

Agen geomorfologi tertentu antara lain air, es/gletser, angin dan gelombang akan

membantu beban gravitasi material memicu pergerakan tanah yang pada akhirnya

akan meratakan permukaan bumi.

Selain itu juga terjadi Bentuk lahan alluvial, Bentuk lahan ini ditunjukkan

oleh bentuk penyebaran alluvial yang terbatas pada cekungan atau daerah yang

rendah, seperti pada bentuk penyebaran endapan rawa, delta, sungai lekuk – lekuk

bukit atau lembah dan lain – lain. Daerah ini terbentuk oleh pengendapan pada

zaman alluvium. Menurut Lobeck (1939) bentuk lahan hasil pekerjaan air yang

mengalir (erosi) dikelompokkan atas tiga golongan besar, yaitu : Bentuk - bentuk

hasil erosi (erosional form), lembah (valley), ngarai (canyon) dan spot holes.

Bentuk – bentuk sisa erosi (residual form); gunung, bukit, mesa, butte, needle,

teras – teras sungai. Bentuk – bentuk hasil pengendapan (depositional form and

sedimentasional form); kipas alluvial (alluvial fan), dataran alluvial seperti

dataran banjir (floodplain), tanggul alam (natural levee), dan delta.

Berdasarkan hal tersebut maka satuan bentangalam pada daerah penelitian

menggunakan pendekatan morfografi dan morfogenesa, karena proses

geomorfologi yang berbeda menghasilkan bentangalam yang berbeda pula, yang

didasarkan atas karakteristik topografi yang mengacu kepada tingkatan tertentu

kondisi iklim yang membentuk topografi (Thornbury, 1969).


20

Berdasarkan pendekatan diatas maka geomorfologi daerah Uepakatu

Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Selatan

dibagi menjadi empat satuan Geomorfologi, yaitu :

1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional

2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Struktural

3. Satuan Geomorfologi Pegunungan Struktural

4. Satuan Geomorfologi Pedataran Alluvial

2.1.1.1 Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional

Satuan bentangalam perbukitan denudasional menempati 7,7 km2 (11 %)

dari luas keseluruhan daerah penelitian. Dengan daerah penyebaran sepanjang

bagian Barat daerah penelitian dari timur ke selatan, mencakup Desa Lijo dan

bagian selatan Buyu Kanato.

Dasar penamaan satuan bentangalam ini menggunakan pendekatan

morfografi berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui pengamatan

langsung di lapangan serta pengamatan peta topografi; dan pendekatan

morfogenesa dengan melakukan analisis proses-proses geomorfologi yang

dominan bekerja pada daerah penelitian.

Berdasarkan pendekatan morfografi yaitu melalui pengamatan secara

langsung di lapangan daerah ini memiliki kenampakan topografi yang perbukitan

bergelombang, dengan bentuk lembah U (Foto 2.2), berdasarkan kenampakan

tersebut maka tipe morfologinya perbukitan. Sedangkan berdasarkan pendekatan

morfogenesa satuan bentangalam ini didominasi oleh proses denudasional yang

ditandai dengan proses pelapukan yang intensif (Foto 2.1).


21

Foto 2. 1 Litologi batupasir pada stasiun 18-BPKB-BP5-021 yang


mengalami proses pelapukan yang intensif. Arah Foto N
43o E.

Area ini digolongkan dalam bentangalam Perbukitan karena bentuk

lahannya yang relatif berbukit dan secara setempat dijumpai topografi relatif

bergelombang (Foto 2.2). Proses geomorfologi yang dominan pada satuan

perbukitan denudasional ini yaitu pelapukan pelapukan biologi yang disebabkan

oleh akar tumbuhan (Foto 2.3) dan lumut (Foto 2.4). Selain itu, erosi parit (gully

erosion) juga berkembang pada satuan ini yang kemudian berkembang menjadi

sungai kecil (Foto 2.5). Secara umum tipe soil pada daerah penelitian berupa

residual soil yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan yang ada di bawahnya

dengan ketebalan sekitar beberapa puluh centimeter hingga 5 meter dengan

kenampakan warna variatif, yaitu warna merah, coklat muda, coklat tua, dan

coklat kehitaman (Foto 2.8)


22

Foto 2. 2 Relief bergelombang dari bentang alam perbukitan


denudasional. Foto diambil dari bukit daerah desa Lijo
sekitar arah N 300E

Foto 2. 3 Pelapukan biologi akibat akar tumbuhan dan soil warna


cokelat pada litologi Batupasir. Foto diambil pada stasiun
18-BPKB-BP5-010 N 300o E.
23

Foto 2. 4 Pelapukan biologi akibat lumut pada litologi batupasir


dstasiun 18-BPKB-BP5-021 arah foto N 183o E

Proses sedimentasi yang ada pada satuan bentangalam ini yaitu adanya

endapan sungai berupa point bar dan channel bar (Foto 2.6 dan Foto 2.7) dengan

ukuran material berupa pasir halus – bongkah. Adapun pemanfaatan satuan

bentangalam ini oleh warga setempat digunakan sebagai areal perkebunan kelapa

sawit (Foto 2.9) dan perkebunan nilam (Foto 2.10).


24

Foto 2. 5 Kenampakan hasil erosi parit yang terisi oleh air


membentuk sungai kecil pada sekitar stasiun 18-BPKB-
BP5-007. Bentuk penampang sungai yang berbentuk
huruf U menandakan erosi lateral lebih dominan dari
erosi vertikal. Arah foto N3320E

Poin Bar

Foto 2. 6 Kenampakan point bar di anak sungai Kuala Bongka. Foto


diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-011. Arah Foto
sekitar N 260o E
25

Channel Bar

Foto 2. 7 Kenampakan Channel bar di anak sungai Kuala Bongka.


Foto diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-012. Arah Foto
sekitar N 275o E

Foto 2. 8 Pelapukan litologi batupasir yang dicirkan warna soil


cokelat kekuningan pada stasiun 18-BPKB-BP5-021
dengan tebal soil sekitar 5 meter. Arah foto N 190oE
26

Foto 2. 9 Tataguna lahan perkebunan kelapa sawit yang menempati


satuan perbukitan denudasional. Foto diambil pada
stasiun 18-BPKB-BP5-027 ke arah N 270oE

Foto 2. 10 Tataguna lahan perkebunan nilam pada satuan perbukitan


denudasional. Foto diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-
021 ke arah N182oE.
27

2.1.1.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Struktural

Satuan ini menempati 22,63 km2 (33%) dari luas keseluruhan daerah

penelitian. Dengan daerah penyebaran menempati bagian tengah sampai ke barat

daya daerah penelitian yang menempati desa Parangisi hingga desa Uepakatu.

Dasar penamaan satuan bentangalam ini menggunakan pendekatan

morfografi berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui pengamatan

langsung di lapangan serta pengamatan peta topografi; pendekatan morfogenesa

dengan melakukan analisis proses-proses geomorfologi yang dominan yang

bekerja pada daerah penelitian.

Berdasarkan pendekatan morfografi yaitu melalui pengamatan secara

langsung di lapangan daerah ini memang memiliki kenampakan topografi

perbukitan (Foto 2.11). Proses-proses geomorfologi yang dominan bekerja pada

daerah penelitian yaitu kondisi pelapukan yang umumnya dijumpai yaitu

pelapukan dengan derajat lapuk sedang – rendah, penampang sungai berbentuk V

(Foto 2.12) erosi yang bekerja didominasi oleh erosi vertikal (Foto 2.13).

Litologi penyusun pada satuan perbukitan struktural ini terdiri dari litologi

batupasir, batugamping, batulanau, batulempung, basalt, dan peridotit.

Kenampakan morfologi secara langsung di lapangan memperlihatkan bentuk

topografi berupa relief perbukitan.

Berdasarkan pendekatan morfogenesa satuan bentangalam ini terbentuk

proses struktur yang dicirikan dengan dijumpainya lipatan (Foto 2.14), breksi

sesar (Foto 2.15) dan Lipatan Seret (dragfold) (Foto2.16). Selain itu geomorfologi

perbukitan struktural ditandai pola aliran sungai membentuk pola rektangular.


29

Foto 2. 11 Pada stasiun 18-BPKB-BP5-021 menunjukkan morfologi perbukitan struktural (g). Arah Foto N 243 0E.
31

Foto 2. 12 Kenampakan sungai berbentuk V pada stasiun 18-BPLM-


BP5-019 pada litologi peridotit. Pada foto tampak bahwa
erosi vertikal mendominasi dibanding proses erosi lateral
pada satuan ini. Arah foto N320E

Foto 2. 13 Pada stasiun 18-BPLM-BP5-027 dijumpai erosi alur (rill


erosion) pada litologi batulempung
32

Foto 2. 14 Kenampakan lipatan antiklin pada stasiun 18-BPKB3-


BP5-002 pada litologi peridotit, dengan arah foto N
2200E

Foto 2. 15 Kenampakan Breksi Sesar Pada stasiun 18-BKB3-BP5-


009
33

Foto 2. 16 Kenampakan Lipatan Seret (Dragfold) Pada stasiun 18-


BPLM-BP5-054

Secara umum, proses pelapukan pada daerah penelitian yaitu pelapukan

fisika dan pelapukan kimia. Hal ini dibuktikan dengan dijumpainya hasil dari

proses pelapukan berupa disintegrasi batuan akibat thermal expansion (Foto 2.17)

dan pengelupasan kulit bawang pada litologi batupasir (Gambar 2.18) yang

merupakan akibat dari proses pelapukan kimia fisika dari mineral feldspar yang

ada pada batuan. Adanya akar tanaman yang tumbuh pada celah batuan yang

menyebabkan akar tanaman memberikan tekanan ke segala arah pada batuan

(Foto 2.19) menunjukkan akibat dari proses aktivitas organik. Selain itu, dijumpai

pula perubahan warna pada litologi yang berubah menjadi kemerahan yang

disebabkan oleh proses oksidasi yang menunjukkan pelapukan kimia.


34

Foto 2. 17 Disintegrasi litologi batulanau akibat thermal expansion


pada stasiun 18-BPLM-BP5-051

Foto 2. 18 Pada stasiun 18-BPLM-BP5-032 dijumpai pelapukan


mengulit bawang (spheroidal weathering) pada litologi
batupasir. Arah foto N500E
35

Foto 2. 19 Akar tumbuhan sebagai faktor pelapukan biologi pada


litologi batugamping di stasiun 18-BPLM-BP5-052

Secara umum tipe soil pada daerah penelitian berupa residual soil yang

terbentuk dari hasil pelapukan batuan yang ada di bawahnya dengan ketebalan

beberapa puluh sentimeter hingga lebih dari 1 meter dengan kenampakan warna

coklat kemerahan dan abu-abu (Gambar 2.20 dan 2.21). Kondisi derajat

pelapukan lapuk tinggi ditunjukkan dengan residual soil dan kondisi derajat

pelapukan lapuk sedang ditunjukkan dengan kondisi pelapukan fisika dan kimia.
36

Foto 2. 20 Tanah berwarna cokelat kemerahan dengan tebal sekitar


1.9 m pada stasiun 18-BPLM-BP5-031 dengan arah foto
N 45oE

Foto 2. 21 Kenampakan soil berwarna abu-abu dengan tebal 1,8 m


pada stasiun 18-BPLM-BP5-025 dengan arah foto N
240oE

Pada satuan bentang alam ini juga dijumpai gerakan massa tanah

(masswasting) berupa debris slide pada stasiun 18-BPKB3-BP5-011 (Foto 2.22).


37

Hal tersebut disebabkan oleh tebalnya tanah hasil pelapukan litologi basalt. Selain

itu, proses antropogenik berupa pengupasan tanah untuk keperluan pembuatan

jalan lokal menyebabkan tingginya sudut lereng yang memicu terjadinya

longsoran.

Proses sedimentasi yang ada pada satuan bentangalam ini yaitu adanya

endapan sungai berupa channel bar (Foto 2.23) dengan ukuran material berupa

pasir halus – bongkah. Adapun pemanfaatan satuan bentangalam ini oleh warga

setempat digunakan sebagai areal perkebunan cokelat (Foto 2.24).

Foto 2. 22 Debris slide pada stasiun 18-BPKB3-BP5-011 dengan arah


foto N 275oE
38

Foto 2. 23 Kenampakan channel bar pada anak sungai kuala bongka


sebelah barat daya desa Uepakatu di stasiun 18-BPKB3-
BP5-018. Arah foto sekitar N 920E

Foto 2. 24 Tataguna lahan perkebunan cokelat pada bentang alam


perbukitan struktural. Foto diambil pada staiun 18-
BPLM-BP5-029 sekitar arah N 2170E
39

2.1.1.3 Satuan Geomorfologi Pegunungan Struktural

Satuan ini menempati 32,03 km2 (47%) dari luas keseluruhan daerah

penelitian. Dengan daerah penyebaran menempati bagian utara sampai ke barat

daerah penelitian yang menempati sepanjang pegunungan Buyu Kanato.

Dasar penamaan satuan bentangalam ini menggunakan pendekatan

morfografi berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui pengamatan

langsung di lapangan serta pengamatan peta topografi; pendekatan morfogenesa

dengan melakukan analisis proses-proses geomorfologi yang dominan yang

bekerja pada daerah penelitian.

Berdasarkan pendekatan morfografi yaitu melalui pengamatan secara

langsung di lapangan daerah ini memang memiliki kenampakan topografi

Pegunungan (Foto 2.25). Proses-proses geomorfologi yang dominan bekerja pada

daerah penelitian yaitu kondisi pelapukan yang umumnya dijumpai yaitu

pelapukan dengan derajat lapuk sedang – rendah, erosi yang bekerja didominasi

oleh erosi vertikal (Foto 2.26) yaitu jenid rill erosion (Foto 2.27). Litologi

penyusun pada satuan pergungan struktural ini terdiri dari litologi basalt, diorit,

dan peridotit.

Kenampakan morfologi secara langsung di lapangan memperlihatkan

bentuk topografi berupa relief pegunungan terjal. Berdasarkan pendekatan

morfogenesa satuan bentangalam ini terbentuk akibat proses struktur. Pada satuan

ini dijumpai banyak penciri primer struktur geologi berupa lipatan (Foto 2.28),

mata air (Foto 2.29), breksi sesar (Foto 2.30) dan gores garis (Slicken Line) (Foto

2.31). dan adanya pola aliran sungai membentuk pola trellis dan pola parallel.
40

Foto 2. 25 kenampakan morfologi pegunungan struktural pada stasiun 18-BPKB-BP5-026 dengan arah foto sekitar N 3 0E
43

Foto 2. 26 Kenampakan bentuk sungai berbentuk V pada stasiun 18-


BPLM-BP5-008 pada litologi peridotit. Pada foto tampak
bahwa erosi vertikal mendominasi dibanding proses erosi
lateral pada satuan ini. Arah foto N 1500E

Foto 2. 27 Pada stasiun 18-BPLM-BP5-015 dijumpai erosi alur (rill


erosion)
44

Foto 2. 28 Kenampakan mata air pada stasiun 18-BPLM-BP5-046


pada litologi peridotit

Foto 2. 29 Kenampakan Breksi Sesar Pada stasiun 18-BPKB-BP5-


009
45

Foto 2. 30 Kenampakan gores garis dan (Slicken Line) Pada stasiun


18-BPLM-BP5-022

Secara umum, proses pelapukan pada daerah penelitian yaitu pelapukan

pelapukan biologi. Hal ini dibuktikan dengan dijumpainya hasil dari proses

pelapukan berupa adanya akar tanaman yang tumbuh pada celah batuan yang

menyebabkan akar tanaman memberikan tekanan ke segala arah pada batuan

(Foto 2.31) menunjukkan akibat dari proses aktivitas organik.

Pada satuan bentang alam ini juga dijumpai gerakan massa tanah

(masswasting) berupa longsoran tanah yaitu debris slide pada stasiun 18-BPLM-

BP5-003 (Foto 2.32). Hal tersebut disebabkan karena pada litologi peridotit yang

tidak resisten terhadap pelapukan dan rekahan yang ada pada litologi tersebut.

Adapun pemanfaatan satuan bentangalam ini termasuk kawasan hutan lindung.

(Foto 2.34).
46

Foto 2. 31 Akar tumbuhan sebagai pelaku pelapukan biologi pada


litologi peridotit di stasiun 18-BPKB-BP5-003

Foto 2. 32 Debris slide pada stasiun 18-BPKB-BP5-006 dengan arah


foto N 271oE
47

Foto 2. 33 Tataguna lahan termasuk kawasan hutan lindung pada


bentang alam perbukitan struktural.
48

2.1.1.4 Satuan Geomorfologi Pedataran Alluvial

Satuan ini menempati 6,39 km2 9%) dari luas keseluruhan daerah

penelitian. Dengan daerah penyebaran menempati bagian tengah sampai ke barat

daerah penelitian dari utara hingga Selatan, yang menempati sepanjang sungai

Kuala Bongka

Dasar penamaan satuan bentangalam ini menggunakan pendekatan

morfografi berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui pengamatan

langsung di lapangan serta pengamatan peta topografi; pendekatan morfogenesa

dengan melakukan analisis proses-proses geomorfologi yang dominan yang

bekerja pada daerah penelitian.

Berdasarkan pendekatan morfografi yaitu melalui pengamatan secara

langsung di lapangan daerah ini memang memiliki kenampakan topografi

pedataran yang dipengaruhi proses alluvial (Foto 2.34). Proses-proses

geomorfologi yang dominan bekerja pada daerah penelitian yaitu proses

sedimentasi yang intensif dan adanya dataran banjir (flood plain) (Foto 2.35) hasil

dari proses erosi yang bekerja. erosi yang bekerja didominasi oleh erosi lateral dan

vertikal (Foto 2.36). adapun material penyusun pada satuan pedataran alluvial ini

terdiri dari material lepas (unconsolidate) yang beraneka ragam dari ukuran

bongkah sampai lempung (Foto 2.37).

Berdasarkan pendekatan morfogenesa satuan bentangalam ini terbentuk

akibat proses sedimentasi dan erosi yang bekerja dari sungai atau proses fluvial

sehingga dimasukkan dalam bentang alam alluvial. Pada satuan ini dijumpai

dataran banjir (Foto 2.39) dan point bar (Foto 2.40 dan 2.41).
51

Foto 2. 34 Pada stasiun 18-BPKB-BP5-023 menunjukkan morfologi


pedataran alluvial dengan arah foto sekitar N 410E

Foto 2. 35 Kenampakan dataran banjir (g) pada stasiun 18-BPLM-


BP5-030 ke arah N 2220E
52

Foto 2. 36 Kenampakan proses erosi lateral pada stasiun 18-BPKB-


BP5-025. Tanda panah menunjukkan penampang sungai
yang melebar akibat erosi lateral yang dominan. Arah
foto N320E

Secara umum, proses pelapukan pada daerah penelitian yaitu pelapukan

fisika. Hal ini dibuktikan dengan dijumpainya hasil dari proses pelapukan berupa

disintegrasi batuan akibat proses fluvial berupa material beraneka ragam dari

bongkah sampai lempung.(Foto 2.40) .

Proses sedimentasi yang ada pada satuan bentangalam ini yaitu adanya

endapan sungai berupa flood plain dan point bar (Foto 2.38) dengan ukuran

material berupa pasir halus – bongkah. Adapun pemanfaatan satuan bentangalam

ini oleh warga setempat digunakan sebagai areal perkebunan persawahan (Foto

2.39).
53

Foto 2. 37 Kenampakan material beraneka ragam dari bongkah


sampai lempung akibat proses fluvial di sungai Kuala
Bongka pada stasiun 18-BPKB-BP5-025.

Flood Plain

Arah Aliran Sungai


Point Bar

Foto 2. 38 Kenampakan point bar, dan flood plain pada anak sungai
Kuala Menandar sebelah timur desa Lijo di stasiun 18-
BPPL-BP5-020. Arah foto N 2600E
54

Foto 2. 39 Tataguna lahan persawahan pada bentang alam pedataran


alluvial. Foto diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-026 ke
arah N 330E.

2.1.2 Sungai

Sungai adalah tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu pola

dan jalur tertentu di permukaan (Thornbury,1969). Pembahasan tentang sungai

pada daerah penelitian meliputi pembahasan tentang klasifikasi sungai yang

didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh sungai sepanjang

waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti kemiringan

lereng, kontrol struktur, vegetasi dan kondisi iklim. Tipe genetik menjelaskan

tentang hubungan arah aliran sungai dan kedudukan batuan. Dari hasil

pembahasan di atas maka pada akhirnya dapat dilakukan penentuan stadia sungai

daerah penelitian.
55

2.1.2.1 Jenis Sungai

Sungai dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian tergantung pada

dasar pembagiannya. Berdasarkan sifat alirannya sungai dikelompokkan menjadi

dua yaitu sungai internal dan sungai eksternal. Sungai internal adalah sungai yang

alirannya berasal dari bawah permukaan seperti terdapat pada daerah karst,

endapan eolian, atau gurun pasir; sedangkan sungai eksternal adalah sungai yang

alirannya berasal dari aliran air permukaan yang membentuk sungai, danau, dan

rawa. Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai, sungai dibagi menjadi tiga

yaitu sungai permanen/normal/perenial, sungai periodik/intermitten, dan sungai

episodik/ephermal. Sungai permanen adalah sungai yang debit airnya

tetap/normal sepanjang tahun; sungai periodik adalah sungai yang kandungan

airnya tergantung pada musim, dimana pada musim hujan debit airnya menjadi

besar dan pada musim kemarau debit airnya menjadi kecil; sedangkan sungai

episodik adalah sungai yang hanya dialiri air pada musim hujan, pada musim

kemarau sungainya menjadi kering (Thornbury, 1969).

Berdasarkan klasifikasi tersebut sungai yang terdapat pada daerah

penelitian termasuk dalam sungai eksternal dan berdasarkan kandungan airnya

pada tubuh sungai termasuk dalam sungai periodik. Sungai pada daerah penelitian

yang bersifat permanen seperti yaitu Sungai Kuala Bongka (Foto 2.40) dan

sungai Kuala Menandar (Foto 2.41) dengan lebar sungai sekitar 20 meter, yang

arahnya alirannya mengarah ke selatan. Sedangkan sungai Periodik terdapat pada

anak sungai Kuala Bongka sebelah barat desa Uepakatu. (Foto 2.42)
56

Foto 2. 40 Kenampakan sungai permanen pada sungai Kuala Bongka


Pada stasiun 18-BPKB-BP5-023, lebar foto sekitar 20
meter dengan arah aliran N 1830E Arah Foto N 400E

Foto 2. 41 Kenampakan sungai permanen pada sungai Kuala


Menandar sebelah timur desa Lijo di stasiun 18-BPPL-
BP5-020. Arah foto N 600E
57

Foto 2. 42 Kenampakan sungai periodik pada anak sungai Kuala


Bongka sebelah barat desa Uepakatu di stasiun 18-
BPKB3-BP5-018. Arah foto N 400E

2.1.2.2 Pola Aliran Sungai

Pola aliran sungai (drainage pattern) merupakan penggabungan dari

beberapa individu sungai yang saling berhubungan membentuk suatu pola dalam

kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Pola aliran sungai daerah penelitian yang

terdapat pada daerah penelitian ada tiga, yaitu :

 Pola aliran rektangular, yaitu pola aliran yang menyudut disebabkan oleh

pengaruh struktur. Pola aliran ini terdapat pada anak sungai Kuala Bongka

daerah Uepakatu.

 Pola aliran paralel, yaitu pola aliran relatif sejajar yang telah sedikit

berkembang membentuk pola aliran dendritik, namun pola parallel masih

dapat teridentifikasi. Pola aliran ini terdapat di lereng bagian selatan Buyu
58

Kanato dan bermuara pada Sungai Kuala Bongka pada bagian timur laut –

barat.

 Pola aliran trelis, yaitu pola aliran bagian dari pola aliran trellis secara

umum. Pola aliran trellis adalah pola aliran yang anak – anak sungainya

relatif sejajar akibat pengaruh struktur geologi (biasanya lipatan). Pola ini

berkembang pada daerah lereng sebelah barat laut Buyu Kanato yang

bermuara di sungai Kuala Bongka.

2.1.2.3 Tipe Genetik Sungai

Tipe genetik sungai merupakan salah satu jenis sungai yang didasarkan

atas genesanya yang merupakan hubungan antara arah aliran sungai dan terhadap

kedudukan batuan (Thornbury, 1969). Secara umum tipe genetik yang

berkembang pada daerah penelitian yaitu sebagai berikut :

a. Tipe genetik Insekuen

Tipe genetik sungai insekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah

alirannya tidak dikontrol oleh kedudukan batuan di sekitar daerah penelitian dan

litologi penyusun daerah penelitian yang dilalui oleh sungai berupa batuan beku..

Tipe genetik ini dijumpai pada anak sungai Kuala Bongka sebelah selatan Buyu

Kanato (Foto 2.43) pada bentangalam pegunungan struktural.

b. Tipe genetik subsekuen

Tipe genetik ini memiliki arah aliran sungai relatif sejajar dengan jurus

perlapisan batuan. Tipe genetik ini berkembang sebagian pada anak sungai Kuala

Bongka sebelah barat laut desa Uepakatu. Tipe genetik tersebut berkembang pada
59

litologi batuan sedimen berupa batulempung (foto 2.44) pada bentangalam

pegunungan struktural.

c. Tipe genetik konsekuen

Tipe genetik ini memiliki arah aliran sungai relatif searah dengan

kemiringan lapisan batuan. Tipe genetik ini dijumpai pada anak sungai Kuala

Bongka sebelah selatan Buyu Kanato (Foto 2.45) pada bentangalam perbukitan

denudasional.

d. Tipe genetik obsekuen

Tipe genetik ini memiliki arah aliran sungai yang relatif berlawanan arah

dengan kemiringan lapisan batuan. Tipe genetik ini berkembang sebagian pada

anak sungai Kuala Bongka sebelah barat laut desa Uepakatu. Tipe genetik tersebut

berkembang pada litologi batuan sedimen berupa batulempung (foto 2.46) pada

bentangalam pegunungan struktural.


60

Foto 2. 43 Tipe genetik insekuen pada litologi peridotit. Foto diambil


pada stasiun 18-BPKB-BP5-005. Arah foto N 100E

Foto 2. 44 Tipe genetik subsekuen pada litologi batulempung. Foto


diambil pada stasiun 18-BPLM-BP5-023. Arah foto N
350E
61

Foto 2. 45 Tipe genetik konsekuen pada litologi batulempung. Foto


diambil pada stasiun 18-BPKB-BP5-010. Arah foto N
1750E

Foto 2. 46 Tipe genetik obsekuen pada litologi batulempung. Foto


diambil pada stasiun 18-BPLM-BP5-003. Arah foto N
3150E
62

2.2.2.4 Stadia Sungai

Penentuan stadia sungai daerah penelitian didasarkan atas kenampakan

lapangan berupa profil lembah sungai, pola saluran sungai, jenis erosi yang

bekerja dan proses sedimentasi di beberapa tempat di sepanjang sungai.

Thornbury (1969) membagi stadia sungai kedalam tiga jenis yaitu sungai

muda (young river), dewasa (mature river), dan tua (old age river).

Sungai muda (young river) memiliki karakteristik dimana dinding-dinding

sungainya berupa bebatuan, dengan dinding yang sempit dan curam, terkadang

dijumpai air terjun, aliran air yang deras, dan biasa pula dijumpai potholes yaitu

lubang-lubang yang dalam dan berbentuk bundar pada dasar sungai yang

disebabkan oleh batuan yang terbawa dan terputar-putar oleh arus sungai. Selain

itu, pada sungai muda (young river) proses erosi masih berlangsung dengan kuat

karena kecepatan dan volume air yang besar dan deras yang mampu mengangkut

material-material sedimen dan diwaktu yang sama terjadi pengikisan pada saluran

sungai tersebut. Karakteristik sungai dewasa (mature river) biasanya sudah tidak

ditemukan adanya air terjun, arus air relatif sedang, dan erosi yang bekerja relatif

seimbang antara erosi vertikal dan lateral, dan sudah dijumpai sedimentasi

setempat-setempat, serta dijumpai pula adanya dataran banjir. Sedangkan sungai

tua (old age river) memiliki karakteristik berupa, profil sungai memiliki

kemiringan landai dan sangat luas, lebar lembah lebih luas dibandingkan dengan

meander belts, arus sungai lemah yang disertai dengan sedimentasi, erosi lateral

mendominasi, dijumpai adanya oxbow lake atau danau tapal kuda.


63

Secara umum sungai yang berkembang pada daerah penelitian yaitu

memiliki profil lembah sungai berbentuk “V” dan “U”. Profil lembah sungai “V”

dijumpai pada semua anak sungai Kuala Bongka (Foto 2.47), dengan penampang

yang curam dan relatif sempit dan pola saluran yang berkelok-kelok. Sedangkan

profil lembah sungai berbentuk “U” dijumpai pada sungai induk, yaitu sungai

Kuala Bongka (Foto 2.48) dan dengan pola sungai yang relatif berkelok.

Foto 2. 47 Kenampakan anak sungai Kuala Bongka dengan


penampang sungai berbentuk “V” pada stasiun 18-
BPLM-BP5-008, difoto arah N 920 E
64

Foto 2. 48 Kenampakan sungai Kuala Bongka dengan penampang


sungai berbentuk “U” pada stasiun 18-BPKB3-BP5-024,
difoto arah N 1720 E

Pada sungai-sungai di daerah penelitian, yaitu pada sungai dengan profil

lembah sungai berbentuk “V” masih dijumpai singkapan batuan dasar sungai yang

menunjukkan erosi yang bekerja adalah erosi vertikal, sedangkan profil lembah

sungaui berbentuk “U” pada dinding sungai masih dijumpai singkapan dan

residual soil yang menunjukkan erosi lateral juga bekerja , sehingga erosi yang

berkembang pada sungai-sungai dengan profil lembah sungai berbentuk “U”

yaitu erosi vertikal dan lateral.

Endapan material sedimen akibat aktivitas arus sungai pada sungai-sungai

dengan profil penampang sungai berbentuk “V” yang tersusun oleh material

sedimen berukuran bongkah hingga pasir (Gambar 2.49) dan pada sungai-sungai

dengan profil penampang sungai berbentuk “U” yang membentuk endapan sungai

berupa point bar (Gambar 2.50).


65

Foto 2. 49 Kenampakan point bar (x) pada anak sungai Kuala


Bongka dengan penampang sungai berbentuk “V” pada
stasiun 18-BPLM-BP5-020, difoto arah N 1450 E

Foto 2. 50 Kenampakan point bar pada sungai Kuala Bongka dengan


penampang sungai berbentuk “U” pada stasiun 18-
BPKB-BP5-024 , difoto arah N 3510 E

Berdasarkan data-data lapangan tersebut, maka dapat diinterpretasikan

bahwa stadia sungai pada daerah penelitian adalah stadia sungai muda - dewasa.
66

2.1.3 Stadia Daerah

Menurut Thornbury (1969) penentuan stadia suatu daerah harus

memperlihatkan hasil kerja proses-proses geomorfologi yang diamati pada

bentuk-bentuk permukaan bumi yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi

dan pelapukan yang bekerja pada suatu daerah mulai saat terangkatnya hingga

pada terjadinya perataan bentangalam. Sedangkan menurut Van Zuidam (1985),

dalam penentuan stadia suatu daerah aspek yang digunakan disebut

morfokronologi dimana penentuan umur relatif suatu daerah dilakukan dengan

melihat perkembangan dari proses geomorfologi yaitu morfografi di lapangan dan

analisis morfometri sebagai pembandingnya.

Tingkat erosi pada daerah penelitian dapat dilihat dari bentuk profil

lembah sungainya yang berbentuk ”V” dan “U” dengan artian bahwa telah terjadi

proses erosi secara lateral dan vertikal di sepanjang sungai Kuala Bongka dan

Kuala Menandar yang mengalir dari utara ke selatan daerah penelitian dan erosi

vertikal yang bekerja pada umumnya dijumpai pada anak sungai Kuala Bongka

bagian timur laut sebelah selatan Buyu Kanato dan anak sungai Kuala Bongka

bagian barat daerah penelitian.

Secara umum pada daerah penelitian memiliki bentuk puncak dan lembah

dominan berbentuk “V”. Dijumpai pula adanya bidang-bidang erosi berupa riil

erosion dan gully erosion serta gerakan tanah berupa debris slide (material

longsoran). Aktivitas sedimentasi pada daerah penelitian ditandai dengan

dijumpainya material-material sungai yang berukuran pasir hingga bongkah di

sepanjang sungai Kuala Bongka dan sungai Kuala Menandar yang kemudian
67

setempat-setempat membentuk point bar. Sungai yang terdapat pada daerah

penelitian berupa sungai permanen dan periodik.

Ketebalan soil di daerah penelitian mulai dari beberapa sentimeter hingga

lebih dari dua meter tergantung pada resistensi batuan penyusunnya sehingga pada

soil yang tebal dimanfaatkan oleh warga setempat sebagai areal pertanian dan

perkebunan. Berdasarkan data tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa stadia

daerah penelitian adalah stadia muda menjelang dewasa.


69

Tabel. 2 1 Aspek Geomorfologi daerah penelitian


Satuan Geomorfologi
Perbukitan Perbukitan Pegunungan Pedataran Alluvial
Aspek Geomorfologi
Denudasional Struktural Struktural
Bergelombang -
Bentuk Puncak Bergelombang datar Bergelombang
Relief terjal
Bentuk Lembah "U" "V" “V” -
Jenis Residual Soil Residual soil Residual soil Transported soil
Tebal 1- 5 meter 1- 2 meter ±30 cm -
Soil
Cokelat kemerahan Abu-abu sampai
Warna Cokelat -
dan abu-abu kehitaman
Vertikal -Lateral
Tipe Erosi Vertikal Vertikal -Lateral Lateral – Vertikal
Lateral
Gully erosion dan Rill Gully erosion dan -
Jenis Erosi Gully erosion
erosion Rill erosion
Gerakan Tanah Debris slide Debris slide Debris slide -
Bongkah -
Pengendapan Bongkah - Pasir Bongkah - Pasir
Bongkah - Pasir Lempung
Subsekuen,
Tipe Subsekuen, Insekuen Insekuen dan Obsekuen,
Insekuen
Genetik dan Konsekuen Konsekuen Insekuen dan
Konsekuen -
Sungai Permanen dan Permanen
Jenis Periodik Periodik
Periodik
Penampang "U-V" "V-U" "V-U" “U”
Pola Relatif lurus, Relatif berkelok – Relatif lurus dan Relatif berkelok –
Saluran penampang sungai kelok, penampang sejajar terhadap kelok, penampang
70

anak sungai yang sungai lebar dengan


sungai relatif lainnya, debit air yang besar.
relatif sempit, debit air sempit, debit air penampang sungai
yang sedikit kecuali cukup besar relatif sempit, debit
musim hujan. terutama musim air cukup besar
hujan. terutama musim
hujan.
Muda menjelang Muda menjelang Muda menjelang Dewasa menjelang
Stadia
Dewasa Dewasa Dewasa tua
Peridotit, Basalt, Peridotit, Basalt,
Batupasir, Serpentinit, Serpentinit,
Litologi Penyusun Konglomerat, Peridotit Batulempung, Batulempung, Alluvial
dan Serpentinit Batupasir, dan Batupasir, dan
Batugamping Batugamping.
Perkebunan dan Perkebunan dan
Tata Guna Lahan Hutan Lindung Persawahan
Permukiman Permukiman
Lipatan, Kekar dan Kekar, Lipatan dan
Struktur Geologi Kekar dan Sesar -
Sesar Sesar
Stadia Daerah Muda menjelang Dewasa
BAB III STRATIGRAFI
STRATIGRAFI

3.1 Stratigrafi Regional

Gambar 3. 1 Peta Geologi Regional daerah penelitian pada Lembar


Batui (Surono,dkk 1994)

Daerah Lembar Batui, berdasarkan himpunan batuan, struktur, dan umur,

secara regional merupakan tempat pertemuan dari dua mandala geologi yang

saling berbeda, yakni Mintakat Platform Banggai-Sula dan Jalur Ofiolit Sulawesi

timur.

Berdasarkan peta geologi regional daerah penelitian pada lembar Batui

(Surono,dkk 1994) batuan tertua di daerah ini, terdapat di Platform Banggai-Sula,

berupa batuan sekis alas (Pzm) berumur Karbon dan batuan granitan (PTg)

berumur Permo-Trias, yang menerobos batuan malihan tersebut. Kedua batuan ini

tersingkap baik di P. Peleng.

71
72

Pada zaman Trias, Formasi Tokala (TRJt) yang dikuasai oleh batuan

hemipelagos karbonat dan Formasi Meluhu (TRJm) yang berupa hemipelagos

meta, diendapkan secara tak selaras diatas batuan sekis alas yang berumur Karbon

(Pzm). Kemudian pada zaman Jura diendapkan Formasi Nanaka (Jn) dan formasi

Nambo (Jnm) secara selaras diatas Fromasi Tokala (TR Jt). Formasi Nanaka (Jn)

berupa sedimen klastika kasar, sedangkan formasi Nambo (Jnm) adalah batuan

sedimen berbutir halus, terdiri atas napal pasiran dan napal yang terendapkan

dalam lingkungan laut dangkal tepian benua. Batuan sedimen Mesozoikum

tersebut, tertindih secara tak selaras oleh Formasi Salodik (Tems) yang berumur

Eosen sampai Miosen Awal dan Formasi Poh (Tomp) yang berumur Oligosen

sampai Miosen Tengah, berupa platform karbonat yang diendapkan dalam

paparan benua.

Di bagian lain, menurut Simandjuntak (1983) dalam (Surono,dkk 1994)

jauh kearah barat dari Platform Banggai-Sula, pada zaman Kapur terjadi

pemekaran dan pembentukan kerak samudera, yang sebagian darinya teralih

tempatkan pada Kala Miosen Tengah dan menjadi lajur Ofiolit Sulawesi Timur.

Bersamaan dengan pembentuksn kerak samudera tersebut, terjadi pengendapan

Formasi Matano (Km) yang terdiri atas sedimen pelagos dilingkungan laut dalam.

Pada kerak samudera tersebut, dibeberapa tempat, terjadi peleleran lava bawah

laut hingga zaman Paleogen.

Batuan sedimen klastik Neogen tipe molasa, yang dikenal dengan

Kelompok Molasa Sulawesi, menindih secara tidak selaras kedua mandala geologi

tersebut diatas. Kelompok Molasa Sulawesi didaerah Lembar Batui terdiri atas
73

Formasi Bongka (Tmpb) dan formasi Kintom (Tmpk). Formasi Bongka (Tmpb)

terjadi atas perselingan antara konglomerat, batupasir, lanau, napal, dan

batugamping. Umur Formasi Bongka berkisar antara Miosen Akhir dan Pliosen.

Formasi Kintom (Tmpk) terdiri atas batulempung gampingan dan batupasir,

umurnya berkisar dari Miosen Akhir sampai Pliosen.

Formasi Terumbu Koral (QI) yang berumur Pliosen sampai Holosen,

menindih secara tidak selaras semua formasi batuan yang lebih tua. Formasi ini

terdiri atas batugamping koral dan bersisipan napal. Terumbu koral di sepanjang

pantai antara Luwuk dan Batui yang tumbuh sejak Plistosen sampai sekarang,

membentuk undak yang semakin tua kearah darat. Diantara Morowali dan Batui

terdapat endapan alluvium (Qa) yang cukup luas, yaitu berupa endapan sungai,

rawa dan pantai.

Pemerian Satuan Peta

ENDAPAN PERMUKAAN

Qa ALUVIUM : lumpur, pasir dan kerakal.

Berupa endapan sungai, rawa dan pantai; melampar luas disekitar

Morowali, rata sampai ke Batui. Satuan ini menempati dataran rendah.

Mandala Geologi Platform Banggai-Sula

BATUAN SEDIMEN
TR Jt FORMASI TOKALA : batugamping dan napal, bersisipan serpih dan
batupasir.
Batugamping, abu-abu sampai merah bata; padat. Pada umumnya, terlipat

kuat. Banyak urat kalsit memotong lapisan. Sebagian berupa batugamping

berlapis (umumnya kalsilutit) dengan ketebalan dari beberapa sentimeter sampai


74

beberapa meter. Fosil radiolarian yang terhablur ulang terdapat di beberapa

lapisan. Napal, kelabu-putih kecoklatan; padat; keras, berbutir halus, dan banyak

mengandung urat kalsit. Ketebalan berkisar antara beberapa puluh sentimeter

sampai 5 m. Sepih, kelabu sampai coklat kemerahan, padat dan keras; berukuran

halus; perairan masih tampak; ketebalan sampai 3 m.

Batupasir, berwarna putih kekuningan-kelabu; agak padat sampai padat;

keras; kepingan berukuran sedang hingga kasar dan terdiri atas kuarsa (sampai

55%), plagioklas jenis albit, muskovit, biotit dan terekat oleh karbonat. Ketebalan

setiap lapisan beberapa puluh sentimeter sampai 4 m. setempat ditemukan argilit,

merah kecoklatan, padat dan sangat keras. Perlapisan dengan ketebalan 5-10 cm.

Tokala banyak mengandung fosil koral dan moluska, Kundig (1956) dalam

(Surono,dkk 1994) menemukan Misolia dan Rynchonella yang menunjukkan

umur Trias Akhir, dengan pengendapan laut dangkal hingga dalam.

Satuan ini tersebar di Peg. Tokala, Boba, Ondolean dan disekitar G.

Batulumpu. Tebal satuan ini diperkirakan melebihi 900m, bagian bawahnya tidak

tersingkap, sedang batas atasnya tertindih Formasi Nanaka secara selaras. Nama

satuan didasarkan pada singkapan yang baik di Pegunungan Tokala.

Jn FORMASI NANAKA : konglomerat, batupasir bersisipan serpih.

Konglomerat, coklat kemerahan-coklat; padat; kemas terbuka. Kepingan,

berbentuk membulat hingga membbulat benar, dengan diameter 5-15 cm,

kebanyakan terdiri atas granit merah. Tebal setiap lapisan ± 1 m. Batupasir kuarsa,

putih kekuningan-coklat; padat hingga sangat padat; ukuran butir pasir sedang
75

hingga kasar, berlapis baik. Umumnya sudah terlipat kuat; ketebalan tiap lapisan

30 cm-1 m.

Serpih, kelabu sampai coklat kemerahan, padat, keras; tampak perarian.

Tebal lapisan 30-50 cm. Pada Formasi Nanaka sering ditemukan kanta batubara,

di Kolo-Kolo ditemukan dua lapisan setebal 10 dan 60 cm. Dalam satuan ini tidak

ditemukan fosil; umur diperkirakan Jura berdasarkan keserupaan dengan satuan

batupasir dan konglomerat yang dijumapi di Kep. Banggai dan Sula (Sukamto,

1975a) dalam (Surono,dkk, 1994) yang berumur Jura.

Lamparan yang luasnya terdapat disepanjang S. Salubuko (anak S.

Bongka) dan di hulu S. Balaang. Ketebalannya diperkirakan melebihi 800 m.

Formasi Nanaka tertindih tidak selaras oleh sedimen Tersier. Penamaan satuan ini

berdasarkan singkapan yang baik di P. Nanaka, dekat Kolonodale di Lembar Poso

(Simandjuntak,dkk, 1992) dalam (Surono,dkk, 1994)

BATUAN BEKU
Ku OFIOLIT SULAWESI TIMUR : batuan ultramafik dan mafik.

Ku BATUAN ULTRAMAFIK :
serpentinit, harzburgit, dunit, hornblendit, lhezorlit dan piroksenit.

Serpentinit, kelabu kehijauan-kelabu kehitaman; pejal berhablur kasar. Pada

umumnya berhablur penuh dengan tekstur afanitik-fanerik. Mineralnya terdiri atas

serpentin (sampai 90%) dari jenis krisotil dan antigorite, olivine, piroksen dan

bijih. Sebagiann besar sebagai ubahan peridotite pada jalur sesar. Di beberapa

tempat masih tampak batuan ini berasal dari peridotit.

Harzburgit, kelabu-kelabu kehitaman; pejal; berhablur penuh denagan

ukuran hablur berukuran 4 mm, tekstur membutir hipidiomorf. Mineralnya terdiri


76

atas olivine (sampai 70%), ortopiroksen dan serpentin, sebagian telah

terserpentinkan.

Dunit, kuning kehijauan, pejal, dan keras. Hablur berukuran kasar,

berbentuk subhedral, bertekstur membutir hipidiomorf. Mineralnya terdiri atas

olivine (sampai 95%), serpentin dan bijih. Setempat terserpentinkan, sehingga

jumlah serpentin mencapai 50%.

Hornblendit, hitam, pejal dan keras; menghablur penuh; hablur berukuran

kasar, antara 0,3-1,5 cm. Tekstur membutir hipidiomorf. Mineralnya terdiri atas

hornblende (mencapai 98%), plagioklas dan bijih; berwarna kelabu-kelabu

kehitaman; pejal dank eras; menghablur penuh dengan ukuran sampai 5 mm.

Piroksenit, berwarna hitam; pejal dan kasar. Menghablur penuh dengan

ukuran hablur rata-rata 2 mm. Tekstur porfirit, mineralnya terdiri atas

klinopiroksen (sampai 90%), bijih dan mineral ubahan serpentin. Kompleks

ultramafik dan mafik merupakan bagian ofiolit di Mendala Sulawesi Timur.

Umur kompleks batuan terpecahkan, karena struktur geologinya sangat

rumit. Dalam buku lembar geologi regional Batui (Surono,dkk 1994) pendapat

para penyelidik sebelumnya mengenai umur satuan batuan ini, berbeda-beda

misalnya Mesozoikum (Rutten, 1927; Koolhoven, 1930; Umbgrove, 1935; Hetzel,

1936; Bemmelen, 1949), Mesozoikum dan Tersier (Brouwer, 1947; Suria Atmaja,

drr., 1972), lewat Jura-sebelum Miosen (Bothe, 1927), Miosen Tengah (Hopper,

1941), lebih muda dari Miosen (Wanner, 1910; Hotz, 1913), Paleozoikum

(Simandjuntak, drr., 1981a, 1981b, 1981c), dan lebih tua dari Trias (Sukamto.

1975a; 1975b). Batas antara ofiolit dengan batuan sedimen Mesozoikum dan
77

Paleogen berupa sentuhan sesar. Kompleks ultramafik ini paling luas, mulai dari

bagian selatan sampai utara lembar, Lembar, kecuali di bagian timurlaut P.

Peleng.

Ku BATUAN MAFIK : diorite, diabas, gabro dan basal.

Diorit, putih kotor, berbintik hitam; pejal; pada umumnya menghablur

penuh, kasatmata; dengan ukuran sampai dengan 50 mm. Tekstur, membutir

alotriomorf-hidiomorf. Mineral penyusunnya terdiri atas plagioklas jenis

andesine, hornblende, bijih dan klorit ubahan. Setempat mineral hornblende

sampai 45% dan piroksen. Pengkloritan di beberapa tempat sangat kuat, sehingga

batuannya dikuasai oleh klorit. Batuan ini selain merupakan bagian dari ofiolit,

juga berupa retas kecil-kecil dalam batuan ultramafik.

Diabas, hijau kehitaman, berbintik putih; pejal, menghablur penuh dengan

ukuran hablur sampai 40 mm; tekstur diabas. Mineralnya terdiri atas plagioklas

jenis andesine-labradorit (62%-75%), piroksen (20%), amfibol, ubahan klorit,

mineral lempung dan epidot.

Gabro, kelabu kehitaman; pejal; dan berhablur penuh, dengan hablur

ukuran kasar-sangat kasar. Umumnya membutir, berteksutr hipidiomorf-

alotriomorf. Mineralnnya terdiri atas plagioklas jenis labradorit, piroksen, olivine,

hornblende dan klorit ubahan. Setempat olivin mencapai 15%. Di beberapa tempat

terdapat gabro malih yang memperlihatkan haluan mineral mafik (tersekiskan).

Basal, berwarna kelabu-kelabu kehitaman; pejal, menghablur penuh,

bertekstur porfirit. Mineralnya terdiri atas plagioklas, piroksen, olivine dan bijih.
78

Setempat olivine sampai 16%. Batuan ini dijumpai sebagai bagian dari ofiolit dan

juga berupa retas setebal 5-40 cm pada gabro dan diabas.

Kelompok mafik dan ultramafik merupakan bagian dari ofiolit yang sama

dengan batuan ofiolit di daerah Balantak pada Lembar Luwuk (Rusmana, drr.,

1983); merupakan kelompok batuan paling tua di Terrain Sulawesi Timur, dan

diduga berumur tidak lebih tua dari Kapur Awal (Simandjuntak, 1986); dan dialih

tempatkan pada Miosen Tengah. Sebaran satuan ini terutama di bagian utara dan

beberapa tempat di bagian selatan Lembar.

Sedimen Klastik Pasca Orogenesa Neogen

KELOMPOK MOLASA SULAWESI


Batuan sedimen klastika Neogen yang bertipe Molasa dapat dibagi

menjadi beberapa formasi, masing-masing tercirikan oleh jenis dan sumber yang

berbeda-beda.

Tmpb FORMASI BONGKA : perselingan antara konglomerat, batupasir,

serpih, napal, dan batugamping; setempat bersisipan tuf dan lignit.

Konglomerat, kelabu kehitaman; mampat dan keras. Komponennya

berukuran 3-40 cm, berbentuk membulat tanggung hingga membulat, terdiri atas

batuan ultramafik, batuan mafik, batugamping, dan rijang yang terpilah buruk;

berlapis, dengan tebal antara 20 cm dan 2 m.

Batupasir, kelabu kehijauan-coklat; mampat agak keras. Kepingan

berukuran pasir sedang hingga kasar, berbentuk membulat tanggung-membulat,

terdiri atas mafik, ultramafik, feldspar, kuarsa, dan piroksen yang terpilah buruk.

Setempat berfosil moluska dan brakiopoda. Struktur silang-siur di beberapa


79

tempat berkembang baik. Pada umumnya berlapis baik dengan tebal 20-75 cm. Di

bagian bawah satuan, beberapa lapisan batupasir memperlihatkan struktur

sedimen yang mencirikan endapan turbidit.

Serpih, kuning kecoklatan-kelabu; mampat; agak lunak hingga agak keras;

berstektur perarian; tebal lapisan antarabeberapa cm dan 5 cm. Setempat

gampingan dan berbintal karbonat.

Napal, kuning kecoklatan-coklat kelabu; agak mampat hingga mampat;

agak keras hingga keras; berlapis baik denga tebal 20-150 cm.

Batugamping, kuning muda hingga putih; mampat. Umumnya berupa

kalkarenit, berbutir pasir sedang; berlapis baik, ketebalan 4-20 cm. Setempat

ditemukan batugamping koral.

Tuf, kuning kecoklatan; mampat dan keras. Umumnya terdiri dari tuf

lapilli dengan kepingan berukuran 0,3-1,5 cm, membulat; terdiri atas batuapung

dan basal; berlapis baik, dengan tebal lapisannya 50 cm-3 m.

Lignit, hitam; agak padat hingga lepas; agak lunak; ditemukan di dekat

Desa Uematopa dengan tebal 5-30 cm.

Fosil foraminifera yang terdapat pada napal di antaranya : Globorotalia

crassaformis (GALLOWAY & WISSLER), Grt, crassaformis ronda BLOW, Grt.

minardii D,ORBIGNY, Grt. multicamerata CUSHMAN & JARVIS, Grt. tumida

(BRADY), Globigerina venezuelana HEDBERG, G. altispira (CUSHMAN &

JARVIS), Globigerinoides immaturus LEROY, Gs. oblicuus BOLLI, Pulleniatina

primalis BLOW, Sphaerodinella dehiscens (PARKER & JONE), Orbulina

universa D’ORBIGNY, yang menunjukkan umur Miosen Akhir-Pliosen


80

(Budiman, 1981; hubungan tertulis) dalam (Surono,dkk 1994). Formasi Bongka

terendapkan pada lingkungan payau-laut dangkal. Bagian bawah satuan ini

merupakan endapan sedimen aliran gaya berat yang terendapkan dalam

lingkungan kipas bawah laut. Formasi Bongka terutama tersebar di bagian

Baratlaut dan Barat daerah pemetaan dan sedikit di Selatan Peg. Tokala. Tebalnya

diperkirakan sekitar 600 m. Formasi ini menindih tidak selaras oleh Formasi

Luwuk. Penamaan satuan berdasarkan singkapan terbaik di sepanjang S. Bongka,

terutama di dekat Desa Uematopa. Formasi Bongka dapat dinasabahkan dengan

Formasi Kintom, dan juga dengan Formasi Tomata, Formasi Bone-Bone, dan

Formasi Larona di Lembar Malili (Simandjuntak, dkk., 1981; Surono, 1981).

dalam (Surono,dkk 1994).

3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian

Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian

didasarkan atas litostratigrafi tidak resmi yang bersendikan pada ciri-ciri litologi,

dominasi batuan, keseragaman gejala litologi, hubungan stratigrafi antara batuan

yang satu dengan batuan yang lain dan dapat dipetakan dalam skala 1:25.000

(Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).

Secara umum litologi penyusun daerah penelitian merupakan batuan

sedimen dan batuan beku. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan ciri litologi yang

nampak di lapangan, (ciri-ciri litologi yang dimaksud yaitu karakteristik fisik,

komposisi kimia dan kandungan fosil) dan kontak batuan dimana batas kontak
81

tersebut dapat ditempatkan pada suatu bidang nyata atau jika terjadi perubahan

yang tidak jelas maka batasnya merupakan suatu bidang diperkiraan.

Berdasarkan interpretasi, pengamatan terhadap data lapangan dan analisis

laboratorium maka urut-urutan stratigrafi daerah penelitian dibagi enam satuan

batuan, yaitu diuraikan sebagai berikut (dari muda ke tua) :

1. Satuan alluvial

2. Satuan konglomerat

3. Satuan peridotit

4. Satuan batupasir

5. Satuan batugamping

6. Satuan batulempung

Pembahasan dan uraian dari urutan satuan stratigrafi daerah penelitian dari

tua ke muda adalah sebagai berikut :

3.2.1 Satuan Batulempung

Pembahasan satuan batulempung pada daerah penelitian meliputi

penjelasan mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang

mencakup karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis dan

mikroskopis, umur dan lingkungan pembentukan, serta hubungan stratigrafi

dengan geologi regional, serta hubungan dengan satuan batuan diatasnya.

3.2.1.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
82

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata. Kemudian penamaannya

menggunakan klasifikasi batuan karbonat Grabau (1904) dalam Condon (1953)

dan klasifikasi Selley (1976) dalam Selley (2000) sebagai penamaan batugamping

dan untuk klasifikasi batuan sedimen klastik menggunakan klasifikasi

Wenthworth (1922) dalam Blatt, dkk., (2006).

Secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian penamaan menggunakan klasifikasi batuan karbonat menurut

Dunham (1975) dalam Boggs (1987). Berdasarkan data lapangan, satuan ini

disusun oleh dominasi litologi batulempung sehingga penamaan satuan batuan ini

adalah satuan batulempung.

3.2.1.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 5 % dari keseluruhan luas daerah penelitian

atau sekitar 3,58 Km2. Satuan ini tersebar pada bagian barat laut daerah penelitian.

Penentuan ketebalan satuan ini didasarkan pada ketebalan di penampang

geologi sayatan C – D, yang mencapai ±487,5 m.

3.2.1.3 Ciri Litologi

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu batulempung dan batugamping.

Secara megaskopis, batulempung memiliki kenampakan segar berwarna abu-abu


83

sampai kemerahan, kenampakan lapuk hitam, tekstur klastik, ukuran material

lempung, komposisi material semen karbonatan, struktur berlapis. Berdasarkan

klasifikasi Grabau (1904), nama batuan ini yaitu Kalsilutit (Foto 3.1).

Batulempung yang dijadikan sampel untuk pengamatan petrografi yaitu sampel

dengan nomor 18-BPLM-BP5-003.

Secara umum, kenampakan mikroskopis batulempung memiliki Warna

absorbsi kecokelatan, dengan warna interferensi abu-abu (Orde I ). Tekstur batuan

adalah klastik dengan komponen material antara lain grain dan mud. Adapun

grain yang dijumpai meliputi kalsit yang dijumpai dalam bentuk vein.Berdasarkan

sifat fisik dan komposisi materialnya maka nama batuan ini adalah Mudstone

(Dunham, 1962) (Foto 3.2).

Foto 3. 1 kenampakan batulempung pada stasiun 18-BPLM-BP5-003


pada anak sungai Kuala Bongka daerah desa Uepakatu
84

Foto 3. 2 kenampakan mikroskopis batulempung pada stasiun 18-


BPLM-BP5-018. Komposisi material terdiri dari grain
yang disusun oleh grain bentuk vein Kalsit (cal), dan mud
(Mud).

Batugamping memiliki warna abu-abu, kenampakan lapuk hitam, tekstur

klastik, ukuran material pasir sedang, komposisi material semen karbonatan,

struktur berlapis. Berdasarkan klasifikasi Grabau, 1904 nama batuan ini yaitu

Kalkarenit Grabau (1904). (Foto 3.3).

Batugamping yang dijadikan sampel untuk pengamatan petrografi yaitu

sampel dengan nomor 18-BPLM-BP5-002. Secara umum, kenampakan

mikroskopis batugamping memiliki Warna absorbsi kecokelatan, dengan warna

interferensi abu-abu. Tekstur batuan adalah bioklastik dengan komponen material

antara lain grain (70%) dan mud (20%). Adapun grain yang dijumpai meliputi

skeletal grain (45%) dan kalsit (35%). skeletal grain berupa foraminifera dalam

bentuk mold. Kalsit dijumpai dalam bentuk semen yang mengganti dan mengisi

bagian tubuh dari foraminifera yang telah mengalami pelarutan. Berdasarkan sifat

fisik dan komposisi materialnya maka nama batugamping adalah Packstone

(Dunham, 1962) (Foto 3.4).


85

Foto 3. 3 kenampakan batulempung pada stasiun 18-BPLM-BP5-002


pada anak sungai Kuala Bongka daerah desa Uepakatu

Foto 3. 4 Kenampakan mikroskopis batugamping pada stasiun 18-


BPLM-BP5-002. Komposisi material terdiri dari grain
yang disusun oleh skeletal grain bentuk foraminifera
(foram), dan kalsit (kal). mud (Mud) terdiri atas material
karbonatan.

3.2.1.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan batulempung pada daerah penelitian ditentukan

berdasarkan pada ciri-ciri fisik litologi dan posisi stratigrafi yang bersendikan
86

pada kesebandingan dengan umur relatif batuan secara regional yaitu Formasi

Tokala. Menurut Surono, dkk (1994).

Formasi Tokala memiliki ciri khas Tokala banyak mengandung fosil koral

dan moluska dengan batugamping, putih kotor sampai merah bata; padat. Pada

umumnya, terlipat kuat. Banyak urat kalsit memotong lapisan. Sebagian berupa

batugamping berlapis (umumnya kalsilutit) dengan ketebalan dari beberapa

sentimeter sampai beberapa meter. Napal, kelabu-putih kecoklatan; padat; keras,

berbutir halus, dan banyak mengandung urat kalsit. Ketebalan berkisar antara

beberapa puluh sentimeter sampai 5 m.

Berdasarkan hal tersebut adanya kesamaan dengan ciri litologi yang

dijumpai pada daerah penelitian yaitu berupa lempung karbonatan (kalsilutit) dan

banyak mengandung urat kalsit (foto 3.3).

Berdasarkan kesamaan ciri fisik yang ada pada daerah penelitian maka

satuan batulempung dapat disebandingkan dengan anggota Formasi Tokala atau

TR Jt (Trias Jura Tokala) (Surono, dkk, 1994).

Umur satuan ini didasarkan umur relatif dari large foraminifera dari

sayatan batugamping (lihat lampiran range chart), dijumpai fosil Triadodiscus cf.

eomesozoicus (Oberhauser) yang menunjukkan umur Trias Tengah bagian bawah

(Anisian).

Untuk lingkungan pengendapannya, didasarkan komposisi karbonatan

pada litologi penyusun satuan batuan yang menandakan bahwa satuan ini

terbentuk pada lingkungan laut dangkal.


87

3.2.1.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan batugamping pada daerah penelitian

secara geologi regional dikorelasikan dengan dengan Formasi Tokala (Surono,

dkk, 1994). Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di bawahnya tidak

diketahui sedangkan hubungan dengan satuan batugamping diatasnya berupa

ketidakselarasan jenis disconformity dibuktikan adanya jeda pengendapan

berdasarkan umur relatif kandungan fosil (lihat lampiran deskripsi fosil dan range

chart).

3.2.2 Satuan Batugamping

Pembahasan satuan batugamping pada daerah penelitian meliputi

penjelasan mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang

mencakup karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis dan

mikroskopis, umur dan lingkungan pembentukan, serta hubungan stratigrafi

dengan geologi regional, serta hubungan dengan satuan batuan diatasnya.

3.2.2.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata. Kemudian penamaannya


88

menggunakan Kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi batuan karbonat

Grabau (1904) dalam Condon (1953) dan klasifikasi batuan sedimen klastik

menurut Wenthworth (1922) dalam Blatt, dkk., (2006).

Secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian penamaan menggunakan klasifikasi batuan karbonat menurut

Dunham (1975) dalam Boggs (1987). Berdasarkan data lapangan, satuan ini

disusun oleh dominasi litologi batugamping sehingga penamaan satuan batuan ini

adalah satuan batugamping.

3.2.2.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 14 % dari keseluruhan luas daerah penelitian

atau sekitar 9,52 Km2. Satuan ini tersebar pada bagian barat laut daerah penelitian.

Penentuan ketebalan satuan ini didasarkan pada ketebalan pada limb kiri

pada lipatan parangisi 2 yang ditelah di rekonstruksi di penampang geologi

sayatan A – B, yang mencapai ±960 m.

3.2.2.3 Ciri Litologi

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu batugamping. Batugamping

memiliki berwarna abu-abu, kenampakan lapuk hitam, tekstur klastik, ukuran

material pasir sedang, komposisi material semen karbonatan, porositas buruk,

permebilitas baik, sortasi sedang, bentuk butir subrounded - rounded, kemas

tertutup, struktur berlapis. Berdasarkan klasifikasi Grabau, 1904, nama batuan ini

yaitu Kalkarenit (Foto 3.7) selain itu pada batugamping yang berbeda yaitu
89

batugamping terumbu memiliki kenampakan warna segar abu-abu, warna lapuk

cokelat, tekstur bioklastik, struktur berlapis. Berdasarkan klasifikasi Selley (1976)

batuan ini dinamakan Batugamping bioklastik. (Foto 3.5)

Batugamping yang dijadikan sampel untuk pengamatan petrografi yaitu

sampel dengan nomor 18-BPLM-BP5-024, 18-BPLM-BP5-025 dan 18-BPLM-

BP5-052 . Secara umum, kenampakan mikroskopis batugamping stasiun 18-

BPLM-BP5-052 memiliki warna absorpsi cokelat dan warna interferensi abu-abu

kehitaman. Tekstur batuan bioklastik, komposisi material terdiri dari grain

(skeletal grain) berupa fosil foraminifera besar Opthalmidium Danneri Igo and

Adachi 1992, dan mud berupa mineral – mineral karbonat (kalsit). Berdasarkan

sifat fisik dan komposisi materialnya maka nama batugamping adalah Packstone

(Dunham, 1962) (Foto 3.6).

Foto 3. 5 kenampakan batugamping bioklastik pada stasiun 18-


BPLM-BP5-052 jalan menuju desa Parangisi.
90

Foto 3. 6 Kenampakan mikroskopis batugamping pada stasiun 18-


BPLM-BP5-052. Komposisi material terdiri dari grain
yang disusun oleh skeletal grain yaitu coral, dan kalsit
(kal). mud (Mud) terdiri atas material karbonatan

Kenampakan mikroskopis batugamping stasiun 18-BPLM-BP5-025

memiliki warna absorpsi cokelat dan warna interferensi abu-abu kehitaman.

Tekstur batuan bioklastik, komposisi material terdiri dari grain (skeletal grain)

berupa fosil foraminifera besar, dan mud berupa mineral – mineral karbonat

(kalsit). Berdasarkan sifat fisik dan komposisi materialnya maka nama

batugamping adalah Packstone (Dunham, 1962) (Foto 3.8).


91

Foto 3. 7 kenampakan batugamping pada stasiun 18-BPLM-BP5-025


jalan menuju desa Uepakatu

Foto 3. 8 Kenampakan mikroskopis batugamping pada stasiun 18-


BPLM-BP5-025. Komposisi material terdiri dari grain
yang disusun oleh skeletal grain yaitu foraminifera
(foram), dan kalsit (kal). mud (Mud) terdiri atas material
karbonatan

3.2.2.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan batugamping pada daerah penelitian ditentukan

berdasarkan pada ciri-ciri fisik litologi dan posisi stratigrafi yang berdasarkan
92

fosil yang dijumpai, kemudian disebandingan dengan umur relatif batuan secara

regional yaitu Formasi Tokala.

Formasi Tokala memiliki ciri khas Tokala banyak mengandung fosil koral

dan moluska dengan batugamping, putih kotor sampai merah bata; padat. Pada

umumnya, terlipat kuat. Banyak urat kalsit memotong lapisan. Sebagian berupa

batugamping berlapis (umumnya kalsilutit) dengan ketebalan dari beberapa meter.

Napal, kelabu-putih kecoklatan; padat; keras, berbutir halus, dan banyak

mengandung urat kalsit.

Berdasarkan hal tersebut adanya kesamaan dengan ciri litologi yang

dijumpai pada daerah penelitian yaitu berupa batugamping yang mengandung

koral (foto 3.6).

Berdasarkan umur relatif dari large foraminifera dari sayatan batugamping

menunjukkan umur Zaman Trias Akhir bagian atas (Rhaetian). Maka pada daerah

penelitian pada satuan batugamping dapat disebandingkan dengan anggota

Formasi Tokala atau TR Jt (Trias Jura Tokala).

Untuk lingkungan pengendapannya, didasarkan komposisi karbonatan

pada litologi penyusun satuan batuan yang menandakan bahwa satuan ini

terbentuk pada lingkungan laut dangkal.

3.2.2.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan batugamping pada daerah penelitian

secara geologi regional dapat dikorelasikan dengan dengan Formasi Tokala

(Surono, dkk, 1994). Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batupasir di

atasnya yaitu tidakselarasan jenis disconformity dibuktikan dengan umur relatif


93

fosil pada satuan ini. Satuan ini tidak selaras jenis disconformity dengan satuan

batulempung dibawahnya berdasarkan kandungan umur relatif dari kandungan

fosil.

3.2.3 Satuan Batupasir.

Pembahasan satuan batupasir pada daerah penelitian meliputi penjelasan

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang mencakup

karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis dan mikroskopis, umur

dan lingkungan pembentukan, serta hubungan stratigrafi dengan geologi regional,

serta hubungan dengan satuan batuan diatasnya.

3.2.3.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata. Kemudian penamaannya

menggunakan klasifikasi batuan sedimen klastik menurut Wenthworth (1922)

dalam Blatt, dkk., (2006).

Secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian penamaan menggunakan klasifikasi batupasir menurut Pettijohn


94

(1975) dalam Boggs (1987). Berdasarkan data lapangan, satuan ini didominasi

oleh litologi batupasir sehingga penamaan satuan batuan ini adalah satuan

batupasir.

3.2.3.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 14 % dari keseluruhan luas daerah penelitian

atau sekitar 9,38 Km2. Satuan ini tersebar pada bagian timur daerah penelitian

secara setempat - setempat.

Penentuan ketebalan satuan ini didasarkan pada ketebalan di penampang

geologi sayatan E – F, yang mencapai ±655 m.

3.2.3.3 Ciri Litologi

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu batupasir, batulanau dan

batugamping. Secara megaskopis, batupasir memiliki kenampakan segar berwarna

kuning kecokelatan, kenampakan lapuk hitam, tekstur klastik, ukuran material

pasir sedang - kasar, komposisi kimia silika, komposisi mineral ortoklas,

muskovit, dan kuarsa, porositas baik, permebilitas buruk, sortasi baik, betuk butir

rounded - well rounded, kemas tertutup, struktur parallel laminasi beberapa

batupasir terdapat lensa batubara dan sisipan batubara. (Foto 3.9). Batupasir yang

dijadikan sampel untuk pengamatan petrografi yaitu sampel dengan nomor 18-

BPLM-BP5-54 dan 18-BPKB-BP5-021. Secara umum, kenampakan mikroskopis

batupasir memiliki warna absorbsi kecokelatan, dengan warna interferensi abu-

abu. Tekstur batuan adalah klastik, dengan komponen material antara lain Rock

Fragmen, kuarsa, dan biotit, ukuran butir 0.025 – 0.45 mm, bentuk mineral
95

angular –subrounded. Berdasarkan sifat fisik dan komposisi materialnya maka

nama batupasir ini adalah Arkosic Arenite (Pettijohn, 1975) (Foto 3.4).

Sisipan batubara

Foto 3. 9 kenampakan batupasir sisipan batubara pada stasiun 18-


BPLM-BP5-054 dengan arah foto N282˚E.

Foto 3. 10 Kenampakan mikroskopis batupasir pada stasiun 18-


BPLM-BP5-021. Komposisi material terdiri dari kuarsa
(Otz), biotit (Bio), dan Rock fragmen (Rf).

Batulanau memiliki kenampakan segar berwarna cokelat, kenampakan

lapuk hitam, tekstur klastik, ukuran material lanau, komposisi material semen

silikaan, sortasi baik, struktur berlapis.


96

Batugamping memiliki berwarna abu-abu, kenampakan lapuk hitam,

tekstur klastik, ukuran material pasir sedang, komposisi material semen

karbonatan, porositas buruk, permebilitas baik, sortasi sedang, bentuk butir

subrounded - rounded, kemas tertutup, struktur berlapis.

2,5 M
BATUPASIR
8M

BATULANAU
5,5 M

BATUGAMPING

2,5 M
BATUPASIR

Foto 3. 11 kenampakan batulanau kontak batupasir dan batugamping


pada stasiun 18-BPLM-BP5-054 dengan arah foto
N272˚E.

3.2.3.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan batupasir pada daerah penelitian ditentukan

berdasarkan pada ciri-ciri fisik litologi dan posisi stratigrafi yang bersendikan

pada kesebandingan dengan umur relatif batuan secara regional yaitu Formasi

Nanaka..

Formasi Nanaka memiliki ciri khas batupasir kuarsa, putih kekuningan-

coklat; padat hingga sangat padat; ukuran butir pasir sedang hingga kasar, berlapis

baik. Umumnya sudah terlipat kuat; ketebalan tiap lapisan 30 cm-1 m. Pada

Formasi Nanaka sering ditemukan kanta batubara.


97

Berdasarkan hal tersebut adanya kesamaan dengan ciri litologi yang

dijumpai pada daerah penelitian yaitu berupa batupasir dijumpainya lensa dan

sisipan batubara (foto 3.9) yang sama dengan ciri regional.

Berdasarkan kesamaan ciri fisik yang ada pada daerah penelitian maka

satuan batupasir dapat disebandingkan dengan anggota Formasi Nanaka atau Jn

(Jurasic Nanaka) yang berumur Jura (Surono, dkk, 1994).

Untuk lingkungan pengendapannya, didasarkan ciri fisik litologi yang

dijumpai dilapangan berupa sisipan batubara dan komposisi kimia silikaan yang

menandakan bahwa batuan ini terbentuk pada lingkungan transisi.

3.2.3.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan batupasir pada daerah penelitian

dengan geologi regional dapat dikorelasikan dengan dengan Formasi Nanaka,

(Surono, dkk, 1994). Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan di atasnya

yaitu ketidakselarasan jenis non conformity dengan satuan peridotit dan

ketidakselarasan jenis disconformity dengan satuan batugamping di bawahnya.

3.2.4 Satuan Peridotit

Pembahasan satuan peridotit pada daerah penelitian meliputi penjelasan

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang mencakup

karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis dan mikroskopis, umur

dan lingkungan pembentukan, serta hubungan stratigrafi dengan geologi regional,

serta hubungan dengan satuan batuan diatasnya.


98

3.2.4.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata, Kemudian penamaannya

menggunakan klasifikasi beku menurut Fenton (1940) dalam Graha (1987).

Secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian penamaan menggunakan klasifikasi batuan metamorf menurut

Travis (1955), klasifikasi batuan beku menurut Travis (1955) dan batuan beku

ultrabasa menurut Streckeisen (1974). Berdasarkan data lapangan, satuan ini

disusun oleh litologi peridotit, serpentinit, dan basalt. Secara karakteristik dan

kesebandingan dengan formasi, satuan ini memiliki kemiripan litologi dengan

anggota dari Kompleks Ultramafik. sehingga penamaan satuan batuan ini adalah

satuan Peridotit.

3.2.4.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 53 % dari keseluruhan luas daerah penelitian

atau sekitar 36,76 Km2. Satuan ini tersebar pada bagian utara sampai barat daerah

penelitian dan memanjang dari timur ke barat. Satuan ini meliputi Buyu Kanato

dan desa Uepakatu.


99

Penentuan ketebalan satuan ini tidak dapat ditentukan dengan dasar

interpretasi karena satuan ini merupakan batuan beku yang batas bawahnya tidak

dapat ditentukan dilapangan.

3.2.4.3 Ciri Litologi

Litologi yang menyusun satuan ini terdiri dari peridotit, lhezorlite, basalt,

dan serpentinit. Secara megaskopis, peridotit memiliki kenampakan segar

berwarna hijau gelap, kenampakan lapuk berwarna hitam, tekstur kristalinitas

holokristalin, granularitas faneritik, fabrik bentuk subhedral - euhedral, relasi

inequigranular, komposisi mineral olivin 60%, piroksin 25%, dan serpentin 15%,

struktur massif. (Foto 3.12).

Secara megaskopis, Basalt memiliki Kenampakan segar berwarna abu-

abu sampai hijau, kenampakan lapuk cokelat, tekstur kristalinitas holohyalin,

granularitas afanitik, fabrik bentuk anhedral - subhedral relasi equigranular,

komposisi mineral plagioklas 30% piroksin 30%, massa dasar 60%, struktur

massif. (Foto 3.13).

Secara megaskopis, Serpentinit memiliki Kenampakan segar berwarna

hijau gelap, kenampakan lapuk cokelat, tekstur relict, struktur non foliasi yaitu

granulose , komposisi mineral serpentin 95% dan olivin 5%. (Foto 3.14).
100

Foto 3. 12 Kenampakan singkapan peridotit di anak sungai kuala


bongka desa Uepakatu pada stasiun 18-BPKB3-BP5-002

Foto 3. 13 Kenampakan singkapan basalt di anak sungai Kuala


Bongka desa Uepakatu pada stasiun 18-BPLM-BP5-010.
101

Foto 3. 14 Kenampakan singkapan serpentinit di anak sungai Kuala


Bongka sebelah selatan Buyu Kanato pada stasiun 18-
BPKB-BP5-004.

Kenampakan mikroskopis dari peridotit dengan nomor sayatan 18-BPLM-

BP5-011. Secara umum, kenampakan petrografinya menunjukkan Warna absorbsi

abu-abu hingga transparan, dengan warna interferensi abu-abu kekuningan hingga

biru (Orde II). Tekstur batuan adalah kristalinitas holokristalin, granularitas

faneritik, bentuk mineral anhedral-subhedral, fabrik inequigranular. Komposisi

mineral penyusun batuan ini adalah olivin (65%), dan piroksin (35%). Ukuran

mineral berkisar antara 0.02-0.75mm. Tekstur khusus intergrowth (kenampakan

olivin dan piroksin yang saling tumbuh bersama.Berdasarkan sifat optik dan

komposisi mineralnya maka nama batuannya adalah Lherzolite Streckeisen

(1974). (Foto 3.15).


102

Foto 3. 15 Kenampakan mikroskopis peridotit pada stasiun 18-


BPLM-BP5-011. Komposisi mineral terdiri dari Olivin
(Ol) dan Piroksin (Prx).

Kenampakan mikroskopis dari serpentinit dengan nomor sayatan 18-

BPLM-BP5-004. Secara umum, kenampakan petrografinya menunjukkan warna

absorbsi abu-abu hingga transparan, dengan warna interferensi abu-abu

kehitaman. Tekstur batuan adalah kristaloblastik, struktur non foliasi yaitu

granulose. Komposisi mineral penyusun batuan ini adalah serpentin (98%) dan

mineral opaq (2%). Ukuran mineral berkisar antara 0.02-0.1 mm.

Tekstur khusus mesh (kenampakan mineral serpentin menyerupai serat

yang nampak pada rekahan dan membentuk seperti jala), tekstur ini menunjukkan

bahwa batuan telah mengalami serpentinisasi dan menggantikan sebagian hingga

hampir seluruhnya mineral primer melalui rekahan. Berdasarkan sifat optik dan

komposisi mineralnya maka nama batuannya adalah Serpentinit (Travis, 1955).

(Foto 3.16).
103

Foto 3. 16 Kenampakan mikroskopis serpentinit pada stasiun 18-


BPKB-BP5-004. Komposisi mineral terdiri dari
Serpentin (Ser), dan Mineral Opaq (OP).

Kenampakan mikroskopis dari basalt dengan nomor sayatan 18-BPLM-

BP5-021. Secara umum, kenampakan petrografinya menunjukkan warna absorbsi

kuning kecoklatan, warna interferensi abu-abu kehitaman. Bentuk mineral

anhedral – subhedral. Tekstur batuan afanitik. Komposisi mineral terdiri dari

mineral Piroksin (25%), plagioklas (10%) dan massa dasar yang terdiri dari massa

dasar Mikrolit Plagioklas (65%). Ukuran mineral < 0,05 mm – 1,20 mm..

Berdasarkan sifat optik dan komposisi mineralnya maka nama batuannya adalah

Basalt (Travis, 1955). (Foto 3.17).

Foto 3. 17 Kenampakan mikroskopis basalt pada stasiun 18-BPKB-


BP5-021. Komposisi mineral terdiri dari Plagioklas (Pl)
Piroksin (Prx), dan Mikrolit Plagioklas (mPl).
104

3.2.4.4 Umur dan Lingkungan Pembentukan

Penentuan umur satuan peridotit pada daerah penelitian ditentukan

berdasarkan pada ciri-ciri fisik litologi dan posisi stratigrafi yang bersendikan

pada kesebandingan dengan umur relatif batuan secara regional.

Ciri fisik satuan peridotit pada daerah penelitian memperlihatkan

kenampakan segar berwarna hijau gelap, kenampakan lapuk berwarna hitam,

tekstur kristalinitas holokristalin, granularitas faneritik, fabrik bentuk subhedral -

euhedral, relasi inequigranular, komposisi mineral olivin, piroksin dan serpentin

struktur massif. Hal tersebut sama dengan penciri dari ofiolit Sulawesi Timur

berupa batuan-batuan ultramafik dan mafik. Maka berdasarkan kesamaan ciri fisik

dan posisi stratigrafinya serta letak geografis, maka satuan peridotit pada daerah

penelitian dapat disebandingkan dengan anggota Ofiolit Sulawesi Timur atau Ku

(Kompleks Ultramafic) yang berumur Kapur (Surono, dkk, 1994).

Untuk lingkungan pembentukan, didasarkan ciri fisik litologi yaitu tekstur

batuan yang tersusun oleh kristal dan komposisi mineral yang dominan berupa

olivin, serpentin dan piroksin menandakan bahwa batuan merupakan batuan yang

terbentuk pada kerak oseanik.

3.2.4.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan peridotit pada daerah penelitian dengan

geologi regional dapat dikorelasikan dengan Ofiolit Sulawesi Timur yang

umumnya berumur Kapur (Surono, dkk, 1994). Hubungan stratigrafi satuan

batuan ini dengan batuan di bawahnya yaitu ketidakselarasan dalam bentuk


105

kontak struktur dan sedangkan berdasarkan umur, satuan ini tidak selaras dengan

satuan di atasnya.

3.2.5 Satuan Konglomerat

Pembahasan satuan konglomerat pada daerah penelitian meliputi

penjelasan mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang

mencakup karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis dan

mikroskopis, umur dan lingkungan pembentukan, serta hubungan stratigrafi

dengan geologi regional, serta hubungan dengan satuan batuan diatasnya.

3.2.5.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata. Kemudian penamaannya

menggunakan klasifikasi batuan sedimen klastik menurut Wenthworth (1922)

dalam Blatt, dkk., (2006).

Secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian penamaan menggunakan klasifikasi batupasir Pettijohn (1975).

Berdasarkan data lapangan, satuan ini disusun oleh batupasir dan konglomerat.
106

3.2.5.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 10 % dari keseluruhan luas daerah penelitian

atau sekitar 6.98 Km2. Satuan ini tersebar pada timur sampai tenggara daerah

penelitian dan memanjang dari utara ke selatan. Satuan ini meliputi sungai Kuala

Menandar, dan kaki gunung Buyu Kanato.

Penentuan ketebalan satuan ini didasarkan pada ketebalan di penampang

geologi sayatan E – F, yang mencapai ±465,5 m.

3.2.5.3 Ciri Litologi

Litologi yang menyusun satuan ini terdiri dari batupasir dan konglomerat.

Secara megaskopis batupasir kenampakan segar berwarna hitam kehijauan dan

kuning kemerahan, kenampakan lapuk hitam, tekstur klastik, ukuran material

pasir sedang, komposisi kimia silika, porositas baik, permebilitas buruk, sortasi

baik, betuk butir rounded - well rounded, kemas tertutup, dijumpai sisipan serpih

pada batupasir, struktur sedimen corsening upward (Foto 3.18), flute cast (Foto

3.19), convolute laminasi (Foto 3.20), flaser (Foto 3.21), dan dijumpai lensa

batubara (Foto 3.21).

Secara megaskopis, konglomerat Kenampakan segar berwarna cokelat

kehitaman, kenampakan lapuk hitam, tekstur klastik, ukuran material kerikil -

kerakal, komposisi material fragmen, matriks berupa batupasir dan batulempung,

semen silika, porositas buruk, permebilitas baik, sortasi sedang, betuk butir

subrounded - rounded, kemas terbuka, struktur berlapis (Foto 3.13).


107

Foto 3. 18 kenampakan batupasir dengan struktur sedimen coarsening


upward pada stasiun 18-BPKB-BP5-009

Sisipan serpih

Foto 3. 19 kenampakan batupasir dengan struktur sedimen flute cast


dengan sisipan serpih pada stasiun 18-BPKB-BP5-008
108

Foto 3. 20 kenampakan batupasir dengan struktur sedimen Convulute


Laminasi pada stasiun 18-BPKB-BP5-010

Konglomerat
Konglomerat Batupasir

Batupasir

LENSA BATUBARA FLASER

Foto 3. 21 kenampakan kenampakan konglomerat berselingan dengan


batupasir, dimana batupasir memperlihatkan struktur
sedimen flaser dan lensa batubara pada konglomerat pada
stasiun 18-BPKB-BP5-012
109

Batupasir

Konglomerat

Batupasir Batupasir
Konglomerat

Foto 3. 22 Kenampakan konglomerat berselingan batupasir pada


stasiun 18-BPKB-BP5-012

SOIL

Batupasir Batupasir

Konglomerat

Lensa batubara
Konglomerat

Foto 3. 23 Kenampakan konglomerat berselingan batupasir, dimana


batupasir dijumpai lensa batubara pada stasiun 18-BPPL-
BP5-020

Kenampakan mikroskopis dari batupasir dengan nomor sayatan 18-BPKB-

BP5-009. Secara umum, kenampakan petrografinya menunjukkan warna absorbsi


110

kecokelatan, dengan warna interferensi abu-abu (Orde I ). Tekstur batuan adalah

klastik halus, dengan komponen material antara lain Piroksin, Muscovit, Mineral

Opaq, Ortoklas, Mud, dan Biotit., ukuran butir 0.025 – 0.25 mm, bentuk mineral

angular –subrounded.. Berdasarkan sifat optik dan komposisi mineralnya maka

nama batuannya adalah Lithic Wacke (Pettijohn, 1975). (Foto 3.24)

Foto 3. 24 Kenampakan mikroskopis batupasir pada stasiun 18-


BPKB-BP5-009. Komposisi mineral terdiri dari Ortoklas
(ort), Mud, Piroksin (prx), dan Biotit (Bio)

3.2.5.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan konglomerat pada daerah penelitian ditentukan

berdasarkan pada ciri-ciri fisik litologi dan posisi stratigrafi yang bersendikan

pada kesebandingan dengan umur relatif batuan secara regional.

Satuan konglomerat pada daerah penelitian dapat disebandingkan dengan

formasi yang dekat dengan daerah penelitan, yaitu Formasi Bongka. Menurut

Surono, dkk (1994), formasi bongka merupakan kelompok batuan molasa yang

terbentuk pasca orogenesa. Formasi bongka memiliki ciri khas perselingan

batupasir berwarna abu-abu kehijauan dengan konglomerat berfragmen batupasir,

batulempung, dan batuan beku, kemudian pada perselingan tersebut dijumpai


111

sisipan serpih dengan tebal 5 cm sampai berpuluh-puluh cm. selain itu batupasir

pada formasi Bongka mencirikan struktur sedimen endapan Turbidit. Berdasarkan

hal tersebut adanya kesamaan dengan ciri litologi yang dijumpai pada daerah

penelitian dengan karakteristik regional berupa batupasir berselingan dengan

konglomerat berwarna kehijauan.

Berdasarkan kesamaan ciri fisik dan posisi stratigrafinya serta letak

geografis dengan lokasi tipe maka satuan konglomerat pada daerah penelitian

dapat disebandingkan dengan anggota Formasi Bongka atau Tmpb (Tertiary

Miosen Pliosen Bongka) yang berumur Miosen akhir – Pliosen (Surono, dkk,

1994).

Untuk lingkungan pengendapannya, didasarkan struktur sedimen yang

dijumpai dilapangan menandakan bahwa batuan ini terbentuk pada lingkungan

transisi.

3.2.5.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan konglomerat pada daerah penelitian

dengan geologi regional dapat dikorelasikan dengan Formasi Bongka yang

umumnya berumur Miosen Akhir – Pliosen (Surono, dkk, 1994). Hubungan

stratigrafi satuan batuan ini dengan batuan di bawahnya yaitu ketidakselarasan

dengan satuan peridotit yang berada dibawahnya.

3.2.6 Satuan Alluvial

Pembahasan satuan Alluvial pada daerah penelitian meliputi penjelasan

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang mencakup
112

karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis, umur dan lingkungan

pengendapan, serta hubungan stratigrafi dengan geologi regional, serta hubungan

dengan satuan batuan dibawahnya.

Foto 3. 25 Kenampakan material beraneka ragam dari bongkah


sampai lempung akibat proses fluvial di sungai Kuala
Bongka pada stasiun 18-BPKB-BP5-025.

3.2.6.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini berdasarkan dominasi

material penyusunnya. Satuan aluvial tersusun atas material – material yang

berukuran lempung sampai bongkah yang tidak terkonsolidasi dengan baik.

Secara umum berasal dari pengendapan material hasil transportasi aliran sungai

pada sungai Kuala Bongka dan sungai Kuala Menandar.


113

3.2.6.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 4 % dari keseluruhan luas daerah penelitian

atau sekitar 2,52 Km2. Satuan ini tersebar pada bagian tengah daerah penelitian.

Satuan ini meliputi sungai Kuala Bongka dan sungai Kuala Menandar.

Penentuan ketebalan satuan ini berdasarkan beda tinggi hasil dari

perhitungan penampang geologi E – F yaitu ± 20 m (Lihat peta geologi).

3.2.6.3 Ciri Litologi

Secara umum material penyusun satuan ini terdiri atas lempung, pasir dan

bongkah batuan yang berwarna abu-abu sampai coklat yang berasal dari batuan

beku ultrabasa seperti peridotit dan batuan sedimen seperti batugamping.

3.2.6.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Satuan Alluvial merupakan satuan batuan termuda pada daerah penelitian.

Yang dapat disebandingkan dengan Quarter Alluvial (Qa) yang terdiri dari

material unconsolidate yang berukuran lempung sampai bongkah.

Lingkungan pengendapan dari satuan ini merupakan lingkungan

pengendapan darat yang dihasilkan oleh endapan hasil erosi yang kemudian

tertransportasi oleh aliran sungai dan melalui proses sedimentasi di daerah sungai

Kuala Bongka dan sungai Kuala Menandar. Satuan ini tebentuk pada Kala

Holosen yang berlangsung hingga sekarang (Surono, dkk 1994).

3.2.6.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan alluvial dengan satuan batuan

dibawahnya yaitu satuan batupasir adalah hubungan ketidakselarasan.


114

Gambar 3. 2 Kesebandingan formasi antara geologi regional (Surono,dkk, 1994) dan satuan batuan pada daerah penelitian
115

Tabel 3. 1 Kesebandingan formasi antara geologi regional (Surono,dkk, 1994) dan satuan batuan pada daerah penelitian.

SATUAN CIRI – CIRI KHUSUS KESEBANDINGAN BUKTI


FORMASI
Satuan Kenampakan batulempung memiliki karakteristik Satuan ini disebandingkan dengan Kenampakan batulempung karbonatan
Batulempung secara umum tersusun atas batulempung karbonatan Formasi Tokala. Hal ini didasarkan (kalsilutit) pada stasiun 18-BPLM-BP5-
atau kalsilutit yang terdapat vein, sedangkan secara pada penelitian Surono (1994) yang 003 pada anak sungai Kuala Bongka
mikroskopis batulempung memiliki ciri fisik memasukkan batuan karbonatan yang daerah desa Uepakatu (Foto 3.1 ) ,
dengan warna absorbsi kecokelatan, dengan warna berbutir sangat halus berupa Napal, kenampakan fosil pada sayatan batuan
interferensi abu-abu (Orde I ). Tekstur batuan Kalsilutit, dan Batulempung stasiun 18-BPLM-BP5-018 (Foto 3.4)
adalah klastik dengan komponen material antara karbonatan yang memiliki urat kalsit
lain grain dan mud. Adapun grain yang dijumpai anggota dari Formasi Tokala (TRJt)
meliputi kalsit yang dijumpai dalam bentuk vein.
Berdasarkan sifat fisik dan komposisi materialnya
maka nama batugamping adalah Mudstone
(Dunham, 1962)

Dijumpai fosil berupa large foram pada pada


sayatan batugamping stasiun 18-BPLM-BP5-002
yang menunjukan umur relatif Trias Tengah
(Anisian)
Satuan Satuan ini memiliki karakteristik Secara umum Satuan ini disebandingkan dengan Kenampakan batugamping pada stasiun
Batugamping tersusun atas batugamping yang pada kenampakan Formasi Tokala. Hal ini didasarkan 18-BPLM-BP5-052 pada jalan menuju
mikroskopis batugamping memiliki warna absorpsi pada penelitian Surono (1994) yang desa Parangisi (Foto 3.5 ) dan dan
116

cokelat dan warna interferensi abu-abu kehitaman. memasukkan memasukkan batuan kenampakan sayatan batuan stasiun 18-
Tekstur batuan bioklastik, komposisi material terdiri karbonatan yang berbutir sangat halus BPLM-BP5-052 (Foto 3.6).
dari grain (skeletal grain) berupa fosil foraminifera berupa Napal, Kalsilutit, dan kenampakan fosil pada sayatan batuan
besar dan foraminifera kecil, dan mud berupa Batulempung karbonatan yang stasiun 18-BPLM-BP5-025 dan 18-
mineral – mineral karbonat (kalsit). Berdasarkan memiliki urat kalsit serta batugamping BPLM-BP5-052 (lihat deskripsi
sifat fisik dan komposisi materialnya maka nama yang banyak megandung fosil koral petrografi dan deskripsi fosil)
batugamping adalah Packstone (Dunham, 1962). dan moluska sebagai anggota dari
Formasi Tokala (TRJt).
Dijumpai fosil berupa large foram pada pada
sayatan batugamping stasiun 18-BPLM-BP5-025,
18-BPLM-BP5-052 yang menunjukan umur relatif
Trias Akhir (Rhaetian)
Satuan Secara megaskopis, batupasir memiliki Satuan ini disebandingkan dengan kenampakan batupasir sisipan batubara
Batupasir Kenampakan segar berwarna kuning kecokelatan, Formasi Nanaka. Hal ini didasarkan pada stasiun 18-BPLM-BP5-047 (foto
kenampakan lapuk hitam, tekstur klastik, ukuran pada penelitian Surono (1994) yang 3.9)
material pasir sedang, komposisi kimia silika, memasukkan batupasir kuarsa ukuran
komposisi mineral kuarsa, porositas baik, pasir sedang-kasar, dan dijumpai kenampakan petrografi Quartz Arenite
permebilitas buruk, sortasi baik, betuk butir rounded lensis batubara, sebagai anggota dari batubara pada stasiun 18-BPLM-BP5-021
- well rounded, kemas tertutup, struktur paralel Formasi Nanaka. (foto 3.10)
laminasi beberapa batupasir terdapat lensa batubara
dan sisipan batubara.
Satuan Peridotit Berdasarkan data lapangan, satuan ini disusun oleh Satuan ini disebandingkan dengan Kenampakan singkapan peridotit di anak
litologi peridotit, serpentinit, dan basalt. Struktur kelompok ofiolit Sulawesi Timur sungai kuala bongka desa Uepakatu pada
117

batuan yang dijumpai pada daerah penelitian berupa Kompleks Ultramafik karena pada stasiun 18-BPKB3-BP5-002 (foto 3.12)
terkekarkan dan tergerus akibat proses struktur penelitian Surono (1994) kompleks
geologi. ultramafik dicirikan oleh kehadiran Kenampakan mikroskopis peridotit pada
batuan-batuan ultramafik berupa stasiun 18-BPLM-BP5-011 dengan nama
peridotit, Harzburgit, dan Lhezorlit batuan Lhezorlite (foto.3.15)
Satuan satuan ini disusun oleh batupasir berselingan Satuan ini disebandingkan dengan kenampakan konglomerat berselingan
Konglomerat konglomerat, batupasir sisipan serpih, batupasir, kelompok Mollasa Sulawesi, Formasi dengan batupasir, dimana batupasir
konglomerat berselingan batupasir dan Bongka, karena pada penelitian memperlihatkan struktur sedimen flaser
konglomerat. Struktur sedimen yang dijumpai Surono (1994) Formasi bongka dan lensa batubara pada konglomerat pada
berupa flaser, flute cast, convolute laminasi, memiliki ciri khas perselingan stasiun 18-BPKB-BP5-012 (foto 3.11)
coarsening upward, dan juga lensis batubara. batupasir berwarna abu-abu kehijauan
dengan konglomerat berfragmen Kenampakan struktur sedimen yang
batupasir, batulempung, dan batuan dijumpai pada satuan konglomerat
beku, kemudian pada perselingan corsening upward (Foto 3.18), flute cast
tersebut dijumpai sisipan serpih (Foto 3.19), convolute laminasi (Foto
dengan tebal 5 cm sampai berpuluh- 3.20), flaser (Foto 3.21), dan dijumpai
puluh cm. selain itu batupasir pada lensa batubara (Foto 3.21).
formasi Bongka mencirikan struktur
sedimen endapan Turbidit.
Satuan Alluvial Satuan aluvial tersusun atas material – material Merupakan endapan Holosen – Resen Kenampakan material beraneka ragam
yang berukuran lempung sampai bongkah yang berupa material unconsolidate dari bongkah sampai lempung akibat
tidak terkonsolidasi dengan baik. Secara umum berukuran lempung – bongkah akibat proses fluvial di sungai Kuala Bongka
berasal dari pengendapan material hasil transportasi proses geomorfologi berupa erosi, pada stasiun 18-BPKB-BP5-025 (foto
118

aliran sungai pada sungai Kuala Bongka dan sungai pelapukan dan sedimentasi yang 3.25)
Kuala Menandar berlangsung sampai sekarang.
BAB IV STRUKTUR GEOLOGI
STRUKTUR GEOLOGI

4.1 Struktur Geologi Regional

Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah yang kompleks karena

merupakan tempat pertemuan tiga lempeng besar yaitu; lempeng Indo-Australia

yang bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan

lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan-tenggara serta lempeng yang lebih

kecil yaitu lempeng Filipina (Sompotan, 2012).

Menurut Sukamto (1975) dalam Hall dan Wilson (2000) Sulawesi dibagi

menjadi beberapa provinsi tektonik, dari barat ke timur ; Busur Pluton-Vulkanik

Sulawesi Barat, Lajur Metamorphic Sulawesi Tengah, Ofiolit Sulawesi Timur dan

Mikro-kontinen Banggai Sula dan Buton - Tukang Besi (Gambar 4.1).

Menurut Sompotan (2012) berdasarkan struktur litotektonik, Sulawesi dan

pulau-pulau sekitarnya dibagi menjadi empat, yaitu ; Mandala barat (West &

North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) sebagai jalur magmatik yang merupakan

bagian ujung timur Paparan Sunda, Mandala tengah (Central Sulawesi

Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh

sebagai bagian dari blok Australia, Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt)

berupa ofiolit yang merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan

batuan sedimen berumur Trias-Miosen dan yang keempat adalah Fragmen Benua

Banggai-Sula-Tukang Besi, kepulauan paling timur dan tenggara Sulawesi yang

merupakan pecahan benua yang berpindah ke arah barat karena sesar strike-slip

fault dari New Guinea.


120

Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan umur, daerah Lembar Batui

dapat dibagi menjadi 2 domain struktur yang berbeda, yakni: 1) Batuan allohton,

termasuk ofiolit berumur Kapur, dan batuan sedimen pinggiran benua yang

berumur Trias hingga Paleogen serta batuan alas malihan (Permo-Karbon) dan

granitan (Permo Trias), dan 2) Batuan autokton yang terdiri atas Kelompok

Molasa Sulawesi berumur Neogen.

Struktur geologi daerah pemetaan, terutama struktur batuan alokton

(Mesozoikum-Paleozoikum) sangat rumit. Hal ini disebabkan deformasi beberapa

kali, sehingga struktur terdahulu telah dimodifikasi, atau berubah oleh deformasi

yang terjadi kemudian.

Batuan ultramafik dan mafik dianggap berasal dari kerak samudera dan

merupakan runtunan ofiolit yang disebut Lajur Ofiolit Sulawesi Timur

(Simandjuntak, drr., 1982). Sekis glaukofan di Komplek Pompangeo (Rover,

1947; Simandjuntak, drr., 1981, 1983) dan batuan bancuh di Wasuponda

(Simandjuntak, 1980) memperlihatkan ciri lajur penunjaman yang diduga terjadi

pada Zaman Kapur.

Diperkirakan paling tidak empat kali pencenaggaan regional telah terjadi

dan mempengaruhi batuan alokton di daerah ini. Akibatnya struktur menjadi

sangat rumit, stratigrafi batuan sedimen Mesozoikum menjadi ruwet, serta

sebagian batuan Mesozoikum termalihkan.

Struktur penting di Lembar ini diantaranya, sesar, lipatan, kekar, dan

perdaunan. Sesar dan lipatan ukurannya dari renik sampai berskala regional.
121

Sesar yang dijumpai berupa sesar sungkup, sear turun, sesar jurus

mendatar, dan sesar bongkah. Sesar yang utama adalah Sesar Toili., Sesar Batui,

dan Sesar Pasini, yang merupakan sesar sungkup. Terjadinya diperkirakan pada

Miosen Tengah. Sesar Batui berarah Baratdaya-Timurlaut, dan berlanjut ke Timur

dan bersambung dengan Sesar Poh di Lembar Luwuk (Rusmana, drr., 1983),

McCaffrey, drr., (1981) menamakan rangkaian sesar Pasini dan Sesar Batui ini

“Sesar Sungkup Batui” Sesar Toili berarah Tenggara-Baratdaya dan kemudian

berlanjut di Lembar yang berdampingan di Utara. Diperkirakan sesar ini aktif

pada Miosen Tengah dengan arah pergerakan mendatar.

Sesar penting lainnya ialah sesar sungkup di daerah Peg. Tokala. Sesar ini

yang melibatkan kompleks ultramafik dan mafik, Formasi Tokala, dan Formasi

Nanaka memperlihatkan pergentengan. Keadaan serupa terlihat juga di Selatan

Batui. Semuannya itu merupakan bagian dari Sesar Pasini dan Sesar Batui, atau

mungkin mengikutinya.

Sesar lain dalam ukuran yang lebih kecil, merupakan sesar ikutan tingkat

pertama, kedua, dan ketiga. Pembentukannya bersamaan dengan sesar utama atau

mungkin setelah itu. Kompleks Ultramafik dan Sedimen Mesozoikum telah

terlibat penyesaran lebih dari satu kali. Sesar berukuran besar maupun kecil

terdapat dalam batuan ultramafik, mafik, dan Sedimen Mesozoikum. Sesar

bongkah yang terjadi pada Kala Plio-Plistosen merupakan struktur yang

mempengaruhi bentuk bentangalam daerah Batui sekarang.

Lipatan yang dijumpai di daerah ini dapat terbagi dalam tiga golongan :

1. Lipatan lemah terbuka,


122

2. Lipatan tertutup, dan

3. Lipatan tumpang (superimposed fold).

Jenis pertama lapisannya berkemiringan kurang dari 30°, dengan sumbu

berkembang dalam Batuan Neogen. Jenis yang kedua, lapisannya miring antara

30° dan 60° dan sumbunya menggelombang sedang dan ada yang menunjam.

Lipatan ini terdapat pada batuan sedimen Paleogen dan Mesozoikum. Pada jenis

ketiga, lapisannya hampir tegak sampai terbalik, dengan sumbu umumnya

menggelombang kuat dan menunjam kuat. Terdapat juga lipatan rebahdengan

sumbu yang landau atau hampir mendatar. Lipatan ini biasanya terdapat pada

batuan malihan, dan batuan serpentinit yang terdaunkan. Lipatan ini tampaknya

telah terlipat kambali oleh pencenangaan berikutnya.

Pencenangaan terakhir yang terjadi pada Plio-Plistosen menghasilkan

lipatan yang berarah hampir Utara Selatan, serupa dengan lipatan yang terdapat

pada batuan sedimen Neogen. Jenis lipatan ini dalam ukuran besar dan kecil

berkembang dengan baik dalam batuan malihan dan serpentinit yang terdaunkan.

Dalam hal ini perdaunan terlipat dengan sumbu berarah Utara-Selatan.


123

Gambar 4. 1 Peta Geologi Sulawesi dan tatanan tektoniknya


(dimodifikasi) (Hall & Wilson, 2000)

4.2 Struktur Geologi Daerah Penelitian

Pembahasan tentang struktur geologi daerah penelitian menjelaskan

tentang pola struktur geologi, identifikasi jenis struktur, umur dari struktur yang

dihubungkan dengan stratigrafi daerah penelitian dan interpretasi mekanisme gaya

yang menyebabkan terjadinya struktur pada daerah penelitian. Penentuan struktur

geologi didasarkan pada data yang diperoleh berupa data yang bersifat primer

maupun sekunder dan interpretasi pada peta topografi daerah penelitian.


124

Berdasarkan pengamatan di lapangan maka diperoleh data penciri struktur

geologi primer berupa gores garis (slicken line), perubahan kedudukan batuan,

lipatan, tersingkapnya batuan tua dipermukaan dan breksi sesar serta data penciri

struktur geologi sekunder berupa pelurusan topografi, kekar, kelokan sungai,

pergeseran punggung bukit/offset ridges dan mineralisasi. Struktur geologi yang

berkembang pada daerah penelitian berdasarkan penciri struktur yang dijumpai di

lapangan adalah :

1. Struktur Lipatan

2. Struktur kekar

3. Struktur sesar

4.2.1 Lipatan

Lipatan merupakan suatu bentuk distorsi dari volume material yang

ditunjukan dalam bentuk pelengkungan atau sekumpulan lengkungan pada suatu

unsur garis dan bidang (Hansen, 1971 dalam Ragan, 1973).

Bentuk pelengkungan yang terjadi pada suatu benda atau material tersebut

disebabkan oleh dua mekanisme (Asikin, 1979), yaitu buckling dan bending.

1. Buckling (melipat) adalah lipatan yang disebabkan gaya tekanan yang arahnya

sejajar permukaan lempeng.

2. Bending (pelengkungan) adalah pelengkungan yang arah gayanya tegak lurus

permukaan lempeng.

4.2.1.1 Klasifikasi Lipatan

1. Klasifikasi menurut Fleuty (1964)


125

 Berdasarkan kisaran besarnya sudut antarsayap (interlimb angle)

Tabel 4. 1 Tabel Klasifikasi lipatan Berdasarkan interlimb angle


(Fluety, 1964 dalam Ragan, 2009 )

 Berdasarkan besarnya sudut kemiringan hinge surface dan sudut


penunjaman hinge line:

Tabel 4. 2 Tabel Klasifikasi lipatan Berdasarkan hinge surface dan


sudut penunjaman hinge line (Fluety, 1964 dalam
Ragan, 2009)
126

2. Klasifikasi menurut Rickard (1971):

Klasifikasi ini berdasarkan dua hal, yaitu: (1) kemiringan hinge surface

atau dip axial plane (2) penunjaman hinge line dan pitch dari hinge line atau

pluge. Cara mendapatkan nama atau jenis lipatan dengan menggunakan

diagram-diagram pada gambar 4.2 berikut ini.

Gambar 4. 2 Klasifikasi lipatan Berdasarkan hinge surface dan sudut


penunjaman hinge line (Rickard, 1971 dalam Ragan,
2009)
127

Gambar 4. 3 Klasifikasi lipatan Berdasarkan hinge surface dan sudut


penunjaman hinge line (Rickard, 1971 dalam Ragan,
2009)

3. Klasifikasi Billings (1977):

Disusun berdasarkan pada :

 Bentuk penampang tegak, tegak lurus sumbu lipatan, dalam hal ini

yang diperhatikan adalah kedudukan dari bidang sumbu dan

kedudukan dari sayap- sayapnya.

 Intensitas perlipatan.

 Pola dari pada sumbu lipatan yang terdapat pada suatu daerah.

 Sifat sifat dari pada lipatan dengan kedalaman.

Jenis Lipatan Billings (1977):

 Lipatan simetris: bidang sumbu vertikal (Gambar a).

 Lipatan asimetris: bidang sumbu miring (Gambar b).


128

 Lipatan overturned atau overfold: bidang sumbu miring namun kedua

sayap telah miring kearah yang sama dengan besar sudut yang berbeda

(Gambar c).

 Lipatan rebah atau recumbent fold: bidang sumbu horisontal (Gambar d).

 Lipatan isoklinal:kedua sayap memiliki besar dip yang sama dan

miring kearah yang sama (Gambar e) untuk lipatan isoklinal vertikal,

(Gambar f) untuk lipatan isoklinal miring, dan (Gambar g ) untuk lipatan

isoklinal rebah).

 Lipatan chevron: hinge bersifat menyudut tajam (Gambar h).

 Lipatan kotak: crest bersifat lebar dan datar sehingga memiliki dua

hinge pada kedua ujung crest (Gambar i).

 Lipatan kipas: kedua sayap bersifat overturned; pada antiklin kipas

kedua sayap akan saling mendekat sedangkan pada sinklin kipas

kedua sayap akan saling menjauh (Gambar j).

 Kink band: varian dari lipatan chevron dengan panjang kedua limb

yang saling berbeda (Gambar k).

 Monoklin: terbentuk pada lapisan horisontal yang secara lokal memiliki

kemiringan (Gambar l).

 Teras struktural: terbentuk pada lapisan miring yang secara lokal memiliki

lapisan horisontal (Gambar m).


129

Gambar 4. 4 Gambar Klasifikasi Lipatan (Biliing, 1972 dalam Ragan,


2009)

4.2.1.2 Lipatan Pada Daerah Penelitian

Gejala struktur lipatan pada suatu daerah penelitian dapat dikenali dengan

melihat variasi kedudukan batuan, kemudian direkonstruksi dengan menggunakan

penampang sayatan untuk melihat kondisi perlipatan (Billings, 1968).

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran yang dilakukan di lapangan maka

dapat diintepretasikan bahwa struktur lipatan yang terdapat pada daerah penelitian

berupa lipatan antiklin minor dan lipatan seret.


130

Lipatan minor dijumpai pada stasiun 18-BPKB-BP5-012, 18-BPLM-BP5-

022, 18-BPKB3-BP5-002, (foto 4.1, 4.2 , dan 4.3).

Foto 4. 1 kenampakan lipatan pada batupasir di stasiun 18-BPKB-


BP5-012 dengan arah foto N183˚E.

Foto 4. 2 Foto kenampakan lipatan pada batupasir di stasiun 18-


BPLM-BP5-033 dengan arah foto N135˚E.
131

Foto 4. 3 kenampakan Lipatan pada Peridotit di stasiun 18-BPKB3-


BP5-002 dengan arah foto N 318˚E.

Analisis dengan menggunakan streonet (gambar 4.5, 4.6, dan 4.7).

diperoleh jenis lipatan yang ada pada daerah penelitian berdasarkan bentuknya

yaitu lipatan asimetris, sedangkan berdasarkan sudut antar limb yaitu open fold

dan close fold, sedangkan berdasarkan nilai plunge dan dip axial plane menurut

rickhard yaitu inclined fold dan upright fold, berdasarkan nilai plunge dan dip

axial plane menurut fluety Uprigt Horizontal Fold, Steeply gently plunging fold,

Steeply inclined moderately plunging fold.

Tabel 4. 3 Hasil pengukuran lipatan yang berkembang pada daerah


penelitian

Limb kiri Limb kanan Axial line


Interlimb
No Stasiun Di Di Axial Plane
Strike Strike Direction Plunge (°)
p p
(N...E°) (N...E°) (N...E°) (°)
(°) (°)
18-BPKB-BP5- N 18O / N 116O /
1 310 34 240 50 26 33,3 47,2
012 77,2O E 9O E
18-BPKB3- N 36O / N 305O /
2 210 50 45 31 215 5,9 80,2
BP5-002 80,4O E 0O E
18-BPLM- N 212O / N 308O /
3 56 52 185 36 218  21,6 78,1
BP5-033 75,1O E 0O E
Tabel 4. 4 Jenis lipatan yang berkembang pada daerah penelitian
132

Jenis Lipatan

No Stasiun Fluety (1964) Rickard (1971)


Fluety (1964) Billing (1972)
Dip Axial Plane vs Dip Axial Plane vs
Sudut Interlimb Bentuk
Plunge Plunge

Steeply inclined
1 18-BPKB-BP5-012 close moderately plunging Asimetris inclined fold
fold

2 18-BPKB3-BP5-002 Open Uprigt Horizontal Fold Asimetris Upright Fold

Steeply inclined gently


3 18-BPLM-BP5-033 Open Asimetris inclined fold
plunging fold

Trend N 26O E
σ 1 = N 116 O
/ 9O E

Plunge 33,3O

Axial Plane
N 18O / 77,2O E

Gambar 4. 5 Hasil Analisis Lipatan Pada Stasiun 18-BPKB-BP5-012


133

σ 1 = N 308 O
/ 0O E

Axial Plane
N 212O / 75,1O E

Plunge 33,3O

Trend N 218O E

Gambar 4. 6 Hasil Analisis Lipatan Pada Stasiun 18-BPLM-BP5-033

σ 1 = N 305 O
/ 0O E

Axial Plane
N 36O / 80,4O E

Trend N 215O E
Plunge 5,9O

Gambar 4. 7 Hasil Analisis Lipatan Pada Stasiun 18-BPKB3-BP5-


002
134

Analisis terhadap gaya yang menyebabkan terbentuknya lipatan pada

daerah penelitian mengacu pada Teori sistem Reidel dalam Mc Clay (1987), yang

menyatakan bahwa arah umum gaya tektonik yang membentuk lipatan adalah

tegak lurus sumbu lipatan atau searah dengan kemiringan batuan. Berdasarkan

hasil rekonstruksi lipatan diperoleh arah sumbu lipatan, yaitu pada lipatan antiklin

yang berarah relatif timur laut –barat daya. Berdasarkan struktur lipatan tersebut

maka dapat disimpulkan arah gaya pembentuk lipatan adalah relatif barat laut –

tenggara.

Penentuan umur lipatan pada daerah penelitian yakni didasarkan pada

umur satuan batuan yang paling muda terlipat yaitu satuan konglomerat yaitu

berumur Miosen Akhir - Pliosen, sehingga dapat dinterpretasikan umur lipatan

pada daerah penelitian adalah post Pliosen.

4.2.2 Kekar

Kekar adalah susunan regular dari sepanjang retakan yang mana tidak

mengalami pergerakan (Mc Clay, 1987). Menurut Asikin (1979) kekar adalah

sebutan untuk struktur rekahan dalam batuan dimana tidak ada atau sedikit sekali

mengalami pergeseran. Penentuan jenis kekar pada daerah penelitian didasarkan

pada bentuk dan cara terjadinya. Pengelompokkan kekar berdasarkan pada

bentuknya, Hodgson dalam Asikin (1979) membedakan kekar menjadi dua bentuk

kekar, yaitu; kekar sistematik dan kekar yang tak sistematik. Kekar sistematik

selalu dijumpai dalam pasangan (set), tiap pasangan ditandai oleh arahnya yang

serba sejajar, atau hampir sejajar bila dilihat dari kenampakan di atas permukaan.
135

Kekar tak sistematik dapat dijumpai saling bertemu, tetapi tidak selalu memotong

kekar lainnya.

4.2.2.1 Klasifikasi Kekar

1. Klasifikasi menurut Mc Clay, 1987

Ada 3 tipe dasar kekar – kekar yang umum ditemukan didasarkan pada

bentuknya (Mc Clay, 1987) (gambar 4.8 dan 4.9) yaitu :

 Dilatation joints : kekar tarikan (extension joint) dengan bidang rekahan

normal terhadap tegasan minimum paling sedikit selama pembentukan

kekar (gambar 4.2 9 dan 4.9 a).

 Shear joints : sering berubah, berbentuk menyilang dengan sudut 60o atau

lebih. Bidang kekar dapat menunjukkan jumlah yang kecil dari

penggantian gerus (gambar 4.9 c dan 4.9 c).

 Kombinasi dari shear dan extension joints : diistilahkan hybrid joint

karena menunjukkan komponen keduanya yaitu shear dan extension

(gambar 4.9 f dan 4.9 e).

 Irregular extension joints : kekar tarikan terjadi pada segala arah.

extension joints (sering terjadi akibat tekanan fluida yang tinggi pada pori

batuan) (gambar 4.9 g).


136

Gambar 4. 8 Tipe – tipe dasar kekar berdasarkan bentuknya (Mc


Clay,1987)

Gambar 4. 9 Gambar 4. 9 Tipe – tipe dasar kekar berdasarkan


bentuknya (Mc Clay,1987)

2. Klasifikasi kekar menurut Hodgson dalam Asikin (1979)

Klasifikasi kekar berdasarkan bentuknya, menurut Hodgson dalam Asikin

(1979) terdiri atas :

a. Kekar Sistematik yaitu kekar yang umumnya selalu dijumpai dalam

bentuk pasangan. Tiap pasangannya ditandai oleh arahnya yang serba

sejajar atau hampir sejajar jika dilihat dari kenampakan di atas permukaan.

b. Kekar Tak Sistematik yaitu kekar yang tidak teratur susunannya, dan

biasanya tidak memotong kekar yang lainnya dan permukaannya selalu

lengkung dan berakhir pada bidang perlapisan.

Pengelompokan kekar berdasarkan genetiknya terdiri atas :


137

a. Compression Joints atau kekar gerus yaitu kekar yang diakibatkan oleh

adanya tekanan biasanya dikenal juga dengan shear joints.

b. Extention Joints atau kekar tarik merupakan kekar yang diakibatkan oleh

tarikan, terbagi atas dua jenis yaitu:

- Extention joint yaitu kekar yang disebabkan oleh tarikan / pemekaran.

- Release joints yaitu kekar yang disebabkan karena berhentinya gaya

bekerja.

4.2.2.2 Kekar Pada Daerah Penelitian

Kekar yang dijumpai di lapangan diidentifikasi dengan melakukan

pengukuran terhadap kedudukan kekar, posisi kekar pada batuan, serta

pengambilan foto kenampakan kekar tersebut. Berdasarkan pengelompokan kekar

berdasarkan bentuknya, pada lokasi penelitian dijumpai kekar nonsistematik.

Kekar non sistematik ditemukan pada litologi peridotit pada stasiun 18-BPLM-

BP5-020, dan pada litologi serpentinit di stasiun 18-BPKB-BP5-011. Berdasarkan

genetisnya, kekar – kekar tersebut terbentuk akibat gaya kompresi.

Pengelompokkan kekar berdasarkan cara terjadinya, Asikin (1979)

membedakan kekar menjadi dua yaitu ; shear/compression joints atau kekar yang

terbentuk disebabkan oleh tekanan dan tension joints atau kekar yang terbentuk

disebabkan oleh tarikan. Sifat-sifat khas yang dijumpai pada shear/compression

joints yaitu ; umumnya lurus-lurus, mempunyai permukaan yang rata/licin,

memotong fragmen pada batuan. Sifat-sifat khas yang dijumpai pada tension

joints yaitu ; umumnya melengkung, permukaan tidak rata/kasar, relatif tidak

memotong fragmen pada batuan.


138

Berdasarkan pengelompokan di atas, maka pada daerah penelititan

dijumpai shear joints (kekar gerus) pada stasiun 18-BPLM-BP5-020 dan 18-

BPKB-BP5-011.

Foto 4. 4 kenampakan shear joint pada Peridotit di stasiun 18-BPLM-


BP5-020 dengan arah foto N145˚E.
139

Foto 4. 5 kenampakan kekar non sistematik pada Serpentinit di


stasiun 18-BPKB-BP5-011 dengan arah foto N255˚E.

Pengukuran kekar pada daerah penelitian dilakukan pada stasiun 18-

BPKB-BP5-011 dan stasiun 18-BPLM-BP5-020 dimana data hasil pengukuran

kekar dianalisis dengan metode stereonet. Pengolahan data kekar digunakan untuk

mengetahui tegasan utama maksimum (σ1), tegasan utama menengah (σ2) dan

tegasan utama minimum (σ3) serta perkiraan jenis sesar yang terbentuk.

Tabel 4. 5 Data pengukuran kekar di Stasiun 18-BPKB-BP5-011


No Strike Dip No Strike Dip No Strike Dip
N…..oE N…..oE N…..oE
1 357 56 11 350 51 21 350 65
2 70 49 12 70 40 22 357 60
3 114 45 13 300 49 23 300 61
4 92 39 14 105 39 24 359 61
5 92 56 15 345 54 25 315 75
6 350 50 16 349 50 26 356 61
7 340 39 17 321 49 27 296 76
8 359 59 18 178 48 28 340 70
9 340 59 19 115 50 29 101 40
10 45 40 20 82 43 30 50 23

Tabel 4. 6 Data pengukuran kekar di stasiun 18-BPLM-BP5-020


No Strike Dip No Strike Dip No Strike Dip
N…..oE N…..oE N…..oE
1 331 26 11 350 23 21 50 42
2 210 41 12 335 56 22 346 35
3 180 54 13 356 21 23 2 21
4 350 29 14 2 21 24 356 30
5 340 61 15 325 45 25 10 30
6 350 80 16 353 24 26 331 26
7 356 56 17 320 20 27 210 41
8 357 25 18 21 30 28 180 54
9 354 60 19 2 23 29 350 29
10 340 23 20 343 41 30 340 61

Jenis
No Stasiun σ1 σ2 σ3
Sesar
140

18-BPKB-BP5- N 38O E / 4O N 128O E / N 33O E / 80O Sesar


1
011 E 18O E E Naik
18-BPLM-BP5- N 285o E / N 158o E / Sesar
2 N 21o E / 5o E
020 18o E 86o E Naik
Tabel 4. 7 Hasil analisis kekar pada daerah penellitian

σ1
σ3

σ2

Gambar 4. 10 Hasil analisis kekar pada stasiun 18-BPKB-BP5-011

σ2
σ1

σ3

Gambar 4. 11 Hasil analisis kekar pada stasiun 18-BPLM-BP5-020


Berdasarkan hasil analisa data kekar di atas, dapat diperoleh dua arah

tegasan utama maksimum yang bekerja pada daerah penelitian, yaitu relatif

berarah utara timur laut - selatan barat daya dan baratlaut – tenggara.

4.2.3 Sesar

Menurut Van der Pluijm, 2004, sesar adalah setiap permukaan atau zona

di Bumi yang mengalami slip yang terukur (shear displacement). Sedangkan

menurut Asikin (1979), sesar atau fault merupakan rekahan pada batuan yang
141

telah mengalami pergeseran sehingga terjadi perpindahan antara bagian yang

saling berhadapan, dengan arah yang sejajar dengan bidang patahan.

4.2.3.1 Klasifikasi Sesar

Berdasarkan pergerakan relatif dan jenis gaya yang menyebabkannya,

struktur sesar terbagi atas tiga bagian menurut Billings, 1968 yaitu :

1. Sesar naik, merupakan sesar yang “hanging wall”nya relatif bergerak naik dan

diakibatkan oleh gaya kompresi.

2. Sesar normal, merupakan sesar yang “hanging wall”nya relatif bergerak turun,

diakibatkan oleh gaya tension.

3. Sesar geser, merupakan sesar dimana kedua blok yang patah bergerak secara

mendatar, diakibatkan oleh gaya kompresi, terbagi atas sesar geser menganan

(dekstral) dan sesar geser mengiri (sinistral).

Sedangkan berdasarkan gaya-gaya tekan pada suatu sesar (Anderson, 1951

dalam McClay, 1987), sruktur sesar terbagi atas :

 Sesar Normal (normal fault), 1 adalah vertikal dan 2 dan 3 adalah

horizontal. Kemiringan dari bidang sesar adalah lebih dari 45°

 Sesar Geser (strike-slip fault), 2 adalah vertikal dan 1 dan 3 adalah

horizontal. Dalam hal ini bidang sesar adalah vertikal dan arah pergerakannya

adalah horizontal.

 Sesar Naik (reverse fault), 3 adalah vertikal dan 1 dan 2 adalah horizontal.

Kemiringan dari bidang sesar adalah kurang dari 45° sampai horizontal.

Untuk mengidentifikasi struktur sesar pada daerah penelitian dilakukan

dengan mengenali ciri-ciri primer yang dijumpai di lapangan ataupun ciri


142

sekunder yang mendukung keberadaan sesar tersebut. Selain itu identifikasi

struktur sesar juga harus tetap mengacu terhadap setting tektonik regional yang

mempengaruhi daerah penelitian.

Sesar dapat dikenali melalui indikasi atau ciri berdasarkan kenampakan

secara langsung di lapangan, kenampakan morfologi, serta interpretasi pada peta

topografi. Kenampakan morfologi secara langsung di lapangan serta pada peta

topografi dapat dikenali seperti dengan adanya pelurusan sungai, kelokan sungai

yang sangat tajam, dan perbandingan kerapatan kontur yang menyolok.

Sedangkan pengamatan singkapan di lapangan dapat dikenali berupa breksi sesar,

zona hancuran, perubahan kedudukan batuan, pergeseran batas litologi, kontak

litologi yang berbeda umur dan genetiknya.

4.2.3.2 Sesar Pada Daerah Penelitian

Berdasarkan hasil analisa terhadap data lapangan berupa data primer

ataupun data sekunder serta korelasi terhadap tektonik regional maka sesar yang

bekerja pada daerah penelitian berupa sesar naik dan sesar geser. Untuk

mempermudah pembahasan maka sesar ini diberi nama belakang berdasarkan

nama geografis daerah yang dilalui sesar tersebut.

Keterdapatan sesar pada suatu daerah ditandai dengan terdapatnya gejala–

gejala sesar yang terdapat pada daerah tersebut. Gejala ini berupa gejala primer

dan gejala sekunder. Gejala primer merupakan bukti keterdapatan sesar pada suatu

daerah, dimana terbentuk oleh pengaruh langsung dari sesar itu sendiri.

Sedangkan gejala sekunder merupakan indikasi terdapatnya sesar pada suatu

daerah, akan tetapi bukan terbentuk dari pengaruh langsung dari sesar tersebut.
143

Pengamatan gejala struktur geologi di lapangan dapat menjadi terganggu

dan terhambat oleh faktor-faktor, diantaranya ; tingkat pelapukan yang tinggi,

gangguan tektonik berantai yang aktif, proses geomorfologi, medan dan vegetasi

yang lebat dan lain-lain.

Adapun indikasi primer suatu sesar / patahan dapat dikenal melalui : a)

gawir sesar atau bidang sesar; b) breksiasi, gouge, milonit, ; c) deretan mata air; d)

sumber air panas; e). penyimpangan / pergeseran kedudukan lapisan; f) gejala-

gejala struktur minor seperti: cermin sesar, gores garis, lipatan dsb (Noor, 2011).

Sedangkan gejala sekunder sesar pergeseran punggung bukit dan

kenampakan adanya pergeseran aliran sungai (bentuk sungai membelok tiba-tiba

melalui jalur sesar yang lurus).

Berdasarkan gejala sesar yang dijumpai pada daerah penelitian, baik

indikasi primer maupun sekunder, maka dapat sesar pada daerah penelitian dapat

terbagi atas tiga, yaitu :

4.2.3.2.1 Sesar Naik Buyu Kanato

Sesar Naik Buyu Kanato yang bekerja pada daerah penelitian memanjang

dari arah timur ke barat sepanjang pegunungan Buyu Kanato. Jalur sesar ini

melewati Daerah Uepakatu dan sungai Kuala Bongka. Adapun Indikasi sesar yang

dijumpai pada zona sesar dan daerah sekitarnya adalah sebagai berikut :

1. Indikasi primer penciri sesar adalah terdapat breksi sesar dengan

komposisi fragmen, matriks dan semennya berasal dari basalt dan peridotit

yang mengalami pensesaran (Foto 4.6).


144

2. Dijumpai Gores Garis (Slicken Line) (Foto 4.7 dan 4.8).dengan hasil

pengolahan menunjukkan sesar yang bekerja adalah sesar naik (Gambar

4.12 dan 4.13)

3. Kontak struktur batuan kristalin dengan batuan sedimen (foto 4.9)

4. Tersingkapnya peridotit yang terbentuk pada kerak oseanik tersingkap di

permukaan (foto 4.10)

5. Dijumpai mata air pada stasiun 18-BPLM-BP5-046. (foto 4.11)

6. Indikasi sekunder penciri sesar adalah:

a. Hasil analisis data kekar stasiun stasiun 18-BPLM-BP5-020, dan pada

litologi serpentinit di stasiun 18-BPKB-BP5-011 diperoleh tegasan

utama maksimum baratlaut – menenggara dan timurlaut - baratdaya

yang merupakan indikasi sesar naik menurut teori Anderson (1951)

(Gambar 4.10 dan 4.11).

b. Pelurusan topografi pada peta DEM (gambar 4.14)

c. Nilai tegasan yang dimasukkan kedalam diagram Triangular State

(Frolich, 1992) dan dianalisis menggunakan teori Strain Elipsoid

menghasilkan Sesar Naik (Gambar 4.15).


145

Foto 4. 6 Kenampakan breksi sesar pada litologi basalt stasiun 18-


BPKB-BP5-001 di lereng Buyu Kanato

Foto 4. 7 Kenampakan Slicken Line pada stasiun 18-BPKB-BP5-006


di Buyu Kanato
146

Foto 4. 8 Kenampakan Slicken Line pada stasiun 18-BPLM-BP5-022


di anak sungai Kuala Bongka

Tabel 4. 8 Tabel hasil pengukuran Fault slip pada daerah


penelitian

Fault
Striae/Slickenline
Plane/Slickenside Rake Sense
No. Stasiun
Strike Dip Direction Plunge (°) of Shear
(N...E°) (°) (N...E°) (°)
1 18-BPKB-BP5-006 271 56 159 - 29 Dekstral
2 18-BPLM-BP5-022 39 78 325 - 60 Dekstral

Gambar 4. 12 Hasil plotting data fault slip menurut Rickard, 1972


dalam Ragan, 2009
147

Gambar 4. 13 Hasil plotting data fault slip menurut Rickard, 1972


menunjukkan sesar naik Reverse right slip fault

Peridotit
Batupasir

Foto 4. 9 Kenampakan kontak struktur peridotit dengan batupasir


stasiun 18-BPLM-BP5-047 di Uepakatu
148

Foto 4. 10 Kenampakan peridotit yang terbentuk pada kerak oseanik


tersingkap di permukaan akibat proses struktur pada
stasiun 18-BPKB3-BP5-023 di Uepakatu

Foto 4. 11 Kenampakan mata air pada litologi peridotit stasiun 18-


BPLM-BP5-046.
149

Gambar 4. 14 Pelurusan topografi pada DEM yang menunjukkan


perubahan model topografi dan pergeseran pada daerah
penelitian

Gambar 4. 15 Hasil analisis tegasan menggunakan diagram


Triangular State (Frolich, 1992) menghasilkan Sesar
Naik
150

4.2.3.2.2 Sesar Geser Dekstral Kuala Bongka

Sesar Dekstral Kuala Bongka yang bekerja pada daerah penelitian

memanjang dari arah utara baratlaut hingga selatan menenggara. Jalur sesar ini

melewati daerah Uepakatu, sungai Kuala Bongka, dan sungai Kuala Menandar.

Sesar ini memotong Satuan Peridotit, satuan Batulempung, satuan Batugamping,

dan satuan Batupasir. Adapun Indikasi sesar yang dijumpai pada zona sesar dan

daerah sekitarnya adalah sebagai berikut :

1. Indikasi primer penciri sesar adalah terdapat gouge dengan komposisi

fragmen, matriks dan semennya berasal dari peridotit yang mengalami

pensesaran (Foto 4.12). Pada stasiun 18-BPLM-BP5-013

2. Perubahan Kedudukan Batuan yang signifikan pada stasiun 18-BPLM-BP5-

009, 18-BPLM-BP5-023, 18-BPLM-BP5-027, dan 18-BPLM-BP5-028 (lihat

peta struktur).

3. Indikasi sekunder penciri sesar adalah:

a. Adanya kelokan sungai yang signifikan.

b. Rekonstruksi sesar dari arah gaya tegasan pengolahan kekar.

c. Pelurusan topografi pada peta DEM (gambar 4.14)


151

Foto 4. 12 Kenampakan gouge pada litologi basalt stasiun 18-BPLM-


BP5-022

4.2.3.2.3 Sesar Geser Sinistral Uepakatu

Sesar sinistral Uepakatu memanjang dari arah utara hingga barat daya

yang memanjang dari sungai Kuala Bongka kearah desa Uepakatu. Jalur sesar ini

melewati satuan Peridotit. Adapun Indikasi sesar yang dijumpai pada zona sesar

dan daerah sekitarnya adalah sebagai berikut :

1. Indikasi primer penciri sesar adalah terdapat breksi sesar dengan

komposisi fragmen, matriks dan semennya berasal dari peridotit yang

mengalami pensesaran (Foto 4.13).

2. Indikasi sekunder penciri sesar adalah:

a. Adanya kelokan sungai yang signifikan.

b. Pola aliran sungai rektangular yang mencirikan zona struktur (lihat peta

pola aliran sungai).

c. Pelurusan topografi pada peta DEM (gambar 4.14)


152

d. Rekonstruksi sesar dari arah gaya tegasan pengolahan kekar.

Foto 4. 13 Kenampakan breksi sesar pada litologi basalt stasiun 18-


BPKB3-BP5-006

4.2.3.2.4 Sesar Geser Dekstral Lijo

Sesar dekstral Lijo memanjang dari arah utara timurlaut hingga barat daya

yang memanjang dari sungai lereng Buyu Kanato kearah desa Parangisi. Jalur

sesar ini melewati satuan Peridotit, satuan Konglomerat, satuan batupasir dan

satuan batugamping. Adapun Indikasi sesar yang dijumpai pada zona sesar dan

daerah sekitarnya adalah sebagai berikut :

1. Indikasi primer penciri sesar adalah terdapat breksi sesar dengan

komposisi fragmen, matriks dan semennya berasal dari peridotit yang

mengalami pensesaran (Foto 4.14).

2. Dijumpai lipatan seret (Dragfold) pada stasiun 18-BPLM-BP5-054 (Foto

4.15)
153

3. Perubahan Kedudukan Batuan yang signifikan pada stasiun 18-BPLM-

BP5-030 dan 18-BPLM-BP5-032 (lihat peta struktur)

4. Indikasi sekunder penciri sesar adalah:

a. Adanya kelokan sungai yang signifikan.

b. Pola aliran sungai rektangular yang mencirikan zona struktur (lihat peta

pola aliran sungai).

c. Rekonstruksi sesar dari arah gaya tegasan pengolahan kekar.

d. Pelurusan topografi pada peta DEM (gambar 4.14)

Foto 4. 14 Kenampakan breksi sesar pada litologi peridotit stasiun 18-


BPKB-BP5-006
154

Foto 4. 15 Kenampakan lipatan seret (Dragfold) pada litologi


batupasir stasiun 18-BPLM-BP5-054

4.3 Mekanisme Struktur Geologi Daerah Penelitian

Mekanisme pembentukan struktur geologi pada daerah penelitian

didasarkan pada pendekatan teori Reidel (dalam McClay 1987) yang merupakan

modifikasi dari teori Harding 1974 (gambar 4.16) serta penggabungan dengan

data hasil analisis kekar dan penciri sesar yang dijumpai di lapangan.

Pembentukan struktur geologi pada daerah penelitian sangat erat hubungannya

dengan struktur regional. Gaya yang bekerja pada pembentukan struktur secara

regional mengakibatkan gaya imbas yang menghasilkan arah gaya secara lokal

sehingga menyebabkan terbentuknya struktur geologi pada daerah penelitian.

Berdasarkan hasil pengukuran kekar dan pengukuran lipatan arah tegasan

utama maksimum (σ1) yang bekerja pada daerah penelitian ada dua arah gaya

yaitu relatif berarah baratlaut – menenggara dan berarah relatif timurlaut – barat

daya. Penentuan arah tegasan utama yang bekerja pada daerah penelitian
155

didasarkan pada pola umum hasil pengolahan dan analisa data kekar dan lipatan

dengan menggunakan streografi. Sehingga diinterpretasikan ada dua periode

tegasan yang bekerja pada daerah penelitian.


σ3
3

σ
EXTENSION
R2
FAULTS THRUST
P FAULTS

R1
R1
FOLDS

THRUST
P
FAULTS

R2 EXTENSION FAULTS
σ1

σ3

Gambar 4. 16 Mekanisme terjadinya sesar, berdasarkan sistem


Reidel, modifikasi dari Teori Harding (1974) dalam Mc
Clay (1987).

Pada periode pertama terjadi gaya kompresi berarah timulaut - baratdaya

terus bekerja hingga melampaui batas elastisitas batuan, sehingga mengakibatkan

batuan mengalami fase deformasi plastis sehingga terbentuknya lipatan pada

batuan. Selanjutnya tekanan pada batuan terus meningkat sehingga batuan

mencapai fase deformasi plastis, dimana rekahan pada batuan mengalami

pergeseran, membentuk sesar naik Buyu Kanato pada satuan peridotit. Sesar ini

sesuai dengan teori riedel yang searah dengan tegasan utama maksimum (σ1) akan

membentuk sesar naik sebagai thrust , dalam teori riedel disebut Major Fault.
156

Kemudian Pada periode kedua setelah satuan periodit teralihtempatkan,

terjadi gaya kompresi datang dari arah baratlaut - tenggara bekerja hingga yang

menyebabkan batuan melampaui batas elastisitasnya, sehingga mengakibatkan

batuan mengalami fase deformasi plastis sehingga terbentuknya lipatan antiklin

dan sinklin pada daerah penelitian. Selanjutnya tekanan pada batuan terus

meningkat sehingga batuan mencapai fase deformasi brittle, dimana rekahan pada

batuan mengalami pergeseran, membentuk sesar geser dekstral Kuala Bongka.

Dalam teori riedel disebut dengan synthetic faults. Dalam teori riedel synthetic

faults adalah sesar yang berarah kurang lebih 30o dari arah tegasan utama

maksimum (σ1) yang berkembang setelah Major Fault.

Kemudian pada masih periode kedua gaya kompresi berarah timurlaut –

barat daya masih bekerja hingga melampaui batas elastisitas batuan, sehingga

mengakibatkan batuan mengalami fase deformasi plastis sehingga batuan

mencapai fase deformasi brittle, dimana rekahan pada batuan kembali mengalami

pergeseran, membentuk geser sinistral Uepakatu. dalam teori riedel disebut

antithetic faults yang pergerakannya memotong Major fault. Dan berkembang

setelah terbentuknya synthetic faults.

Kemudian pada masih periode kedua, gaya kompresi berarah timurlaut –

barat daya masih bekerja hingga melampaui batas elastisitas batuan, sehingga

mengakibatkan batuan mengalami fase deformasi plastis membentuk dragfold

sehingga batuan mencapai fase deformasi brittle, dimana rekahan pada batuan

kembali mengalami pergeseran, membentuk geser dekstral Lijo. dalam teori riedel
157

sesar ini disebut synthetic faults P adalah sesar yang berkembang setelah synthetic

faults dan antithetic faults.

Penentuan umur struktur geologi daerah penelitian ditentukan secara

relatif melalui pendekatan umur satuan batuan termuda yang dilewati dan

hubungan struktur lokal daerah penelitian terhadap struktur geologi regional.

Pada sesar periode pertama pada satuan peridotit yang terlalih tempatkan

diintpretasikan terbetuk pada akhir miosen tengah bersamaan dengan sesar

regional sesar Batui yang juga berarah timurlaut – baratdaya sebagai sesar periode

pertama.

Pada sesar periode kedua, sesar-sesar geser yang bekerja pada daerah

penelitian diinterpretasikan terbentuk melalui pendekatan umur satuan batuan

termuda yang dilewati yaitu satuan konglomerat yang berumur Miosen akhir –

pliosen. Sehingga diinterpretasikan umur sesar pada periode kedua adalah post

pliosen.

Gambar 4. 17 Mekanisme pembentukan struktur geologi sesar naik


Buyu Kanato menunjukkan gaya kompresi yang berarah
timurlaut – baratdaya.
158

Gambar 4. 18 Mekanisme pembentukan struktur geologi struktur


geologi sesar dekstral kuala bongka, sesar sinistral
Ueapakatu, dan sesar dekstral Lijo menunjukkan gaya
kompresi yang berarah baratlaut – tenggara.
BAB V SEJARAH GEOLOGI
SEJARAH GEOLOGI

Sejarah geologi daerah Uepakatu dan sekitarnya dimulai pada Zaman

Trias Tengah bagian bawah (Anisian) dimana daerah penelitian merupakan laut

dangkal, terjadi terjadi pengendapan material karbonat pada cekungan laut

dangkal yang berukuran lempung. Material tersebut selanjutnya mengalami

litifikasi membentuk Satuan Batulempung. Pengendapan diperkirakan berakhir

pada Zaman yang sama.

Selanjutnya, terjadi jeda pengendapan pada daerah penelitian selama

zaman Trias (Lanisian sampai Norian).

Kemudian pada Zaman Trias Akhir bagian atas (Rhaetian) dimana daerah

penelitian masih pada cekungan laut dangkal berlanjut pengendapan material

karbonat yang kaya organisme. Organisme ini menyisakan cangkang – cangkang

sebagai material grain. Material tersebut selanjutnya mengalami litifikasi

membentuk Satuan Batugamping. Pengendapan diperkirakan berakhir pada

Zaman yang sama, yaitu Zaman Trias Akhir bagian atas (Rhaetian).

Selanjutnya pada Zaman Jura terjadi perubahan muka air laut menjadi dari

cekungan laut dangkal menjadi lingkungan transisi kemudian terjadi pengendapan

material yang kaya akan silika yang berukuran pasir sedang. Material tersebut

selanjutnya mengalami litifikasi membentuk Satuan Batupasir. Pengendapan

diperkirakan berakhir pada zaman yang sama, yaitu Zaman Jura.

Selanjutnya pada Zaman Kapur ditempat yang lain terjadi pergerakan

lempeng oseanik yang bersifat divergen menyebabkan terjadinya proses

159
160

pemekaran dasar samudera (sea floor spreading) kemudian mengakibatkan

magma yang bersifat primitif pada astenosfer kemudian naik dan mengalami

kristalisasi pada dasar samudera membentuk satuan peridotit.

Selanjutnya, terjadi jeda pengendapan pada daerah penelitian selama

zaman Paleogen.

Kemudian pada kala post Miosen tengah terjadi terjadi aktivitas tektonik

dengan arah gaya kompresi yang bekerja yaitu dengan arah umum tegasan

maksimumnya (σ1) relatif berarah Timutlaut – Baratdaya. Gaya kompresi yang

bekerja secara terus – menerus terhadap batuan menyebabkan pergeseran atau

patah sehingga menyebabkan terjadinya terjadinya sesar naik Buyu Kanato

dibagian utara daerah penelitian. Sesar ini kemudian mengalihtempatkan satuan

Peridotit muncul kepermukaan. Sesar ini mengakibatkan kontak struktur antara

Satuan Peridotit dan Satuan Batupasir. Proses tersebut terhenti pada kala itu juga.

Selanjutnya pada kala Miosen Akhir pada cekungan transisi kemudian

terjadi pengendapan material yang kaya akan silika yang berukuran pasir sedang -

Bogkah. Material tersebut selanjutnya mengalami litifikasi membentuk Satuan

Konglomerat. Pengendapan diperkirakan berakhir pada kala Pliosen.

Selanjutnya, pada kala post Pliosen terjadi aktivitas tektonik dengan arah

gaya kompresi yang bekerja yaitu dengan arah umum tegasan maksimumnya (σ1)

relatif berarah Baratlaut – Tenggara. Gaya kompresi yang bekerja secara terus –

menerus terhadap batuan menyebabkan lipatan berkembang pada daerah

penelitian, kemudian karena masih bekerja menyebabkan terjadinya pergeseran

atau patah sehingga menyebabkan terjadinya sesar dekstral Kuala Bongka,


161

kemudian gaya masih berlanjut membentuk sesar sinistral Uepakatu dan diikuti

sesar dekstral Lijo, yang kemudian mensesarkan satuan Peridotit, Batugamping,

Batupasir, dan Batulempung. Sesar ini mengakibatkan daerah penelitian

mengalami pengangkatan dasar cekungan yang mengubah daerah penelitian

menjadi daratan.

Selanjutnya proses geologi pada daerah penelitian terjadi sedimentasi,

erosi dan pelapukan pada selang waktu yang relatif lama, hingga memasuki kala

Holosen terendapkan material – material yang berukuran lempung hingga

Bongkah membentuk satuan Aluvial.

Proses geologi muda tersebut berlangung hingga sekarang yang kemudian

mempengaruhi bentuk bentanglam pada daerah penelitian.

.
162

BAB VI BAHAN GALIAN


BAHAN GALIAN

Bahan galian adalah segala jenis bahan yang terdapat di alam, baik yang

berbentuk padat, cair dan gas, dengan kandungan mineral dan unsur kimia tertentu

serta mempunyai nilai ekonomis bila dilakukan penggalian sesuai dengan

teknologi yang tersedia. Berdasarkan keterjadian dan sifatnya bahan galian dapat

dibagi menadi tiga kelompok : mineral logam, mineral industri serta batubara dan

gambut (SNI 13-6606-2001).

Penggolongan bahan galian diatur dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 4 tahun 2009 pada bab VI pasal 34 tentang usaha pertambangan.

Dalam pasal tersebut usaha pertambangan dibagi menjadi 3 ayat, yaitu :

1. Usaha pertambangan dikelompokkan atas :

a. Pertambangan mineral, dan

b. Pertambangan batubara.

2. Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

digolongkan atas :

a. Pertambangan mineral radioaktif,

b. Pertambangan mineral logam,

c. Pertambangan mineral bukan logam dan

d. Pertambangan batuan.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu komoditas tambang ke dalam

suatu golongan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diatur dengan peraturan pemerintah.


163

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang

pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara pada bab I

ketentuan umum pasal 2 ayat 2 mengelompokkan bahan galian ke dalam 5 (lima)

golongan komoditas tambang, yaitu :

a. mineral radioaktif meliputi radium, rhodium, uranium, monasit, dan bahan

galian radioaktif lainnya;

b. mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium,

emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangan, platina, bismut,

molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium,

kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium,

magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, krom,

erbium, yterbium, dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium,

neodymium, hafnium, scandium, aluminium, palladium, osmium,

ruthenium, iridium, selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin;

c. mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa,

fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk,

mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin,

feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon,

wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batugamping

untuk semen;

d. batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah

diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit,


164

gabro, peridotit, basal, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung,

opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan

e. gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian

dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir

urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan

(tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batugamping, onik,

pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau

unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi

ekonomi pertambangan; dan

f. batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut.

6.1. Indikasi Bahan Galian daerah Penelitian

Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, bab VI pasal 34

tentang usaha pertambangan, maka dapat diindikasikan bahan galian pada daerah

penelitian termasuk dalam ayat (2) yaitu pertambangan batuan. dan berdasarkan

PP Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha

pertambangan mineral dan batubara pada bab I ketentuan umum pasal 2 ayat 2,

maka bahan galian pada daerah penelitian termasuk dalam point d yaitu golongan

komoditas tambang batuan dan point b yaitu golongan mineral logam.

Keberadaan bahan galian pada daerah penelitian tidak terlepas dari jenis

litologi penyusunnya serta aktivitas geologi yang berlangsung di daerah

penelitian. Kedua hal tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan,

penyebaran, jumlah atau volume serta mutu bahan galian tersebut.


165

Pemetaan bahan galian daerah penelitian didasarkan atas beberapa faktor

yaitu keterjangkauan lokasi oleh sarana transportasi, ketersediaan bahan galian

dalam jumlah yang cukup untuk dikelola dan pemanfaatannya oleh penduduk

setempat.

6.2. Pemanfaatan Bahan Galian daerah Penelitian

Penentuan pemanfaatan bahan galian pada suatau daerah membutuhkan

informasi mengenai bahan galian di daerah penelitian seperti lokasi keterdapatan,

genesa, asosiasi litologi penyusun bahan galian tersebut, karakteristik fisik serta

keterdapatan bahan galian tersebut apakah ekonomis untuk dikelola atau tidak.

Bahan galian yang dijumpai pada daerah penelitian adalah kelompok bahan galian

pertambangan batuan dengan golongan komoditas tambang sirtu dan laterit.

Pada daerah penelitian, potensi bahan galian yang dapat dijumpai adalah

sirtu. Bahan galian sirtu ini terdapat di sungai Kuala Bongka dan Kuala Menandar

yang berada di tengah daerah penelitian sebelah timur desa Lijo dan potensi

bahan galian laterit yang berada pada buyu kanato.

Kenampakan fisik dari bahan galian sirtu berupa material sedimen

berukuran kerakal – bongkah yang dapat dikenali yaitu batugamping, peroditit,

dan basalt, serta material berukuran pasir dan lempung. Bahan galian ini sangat

memungkinkan digunakan sebagai bahan pondasi campuran pondasi bangunan..

Kenampakan fisik dari bahan galian laterit dijumpainya soil hasil lapukan

dari batuan ultrabasa berupa peridotit yang mengindikasikan adanya laterit pada

daerah penelitian.
166

Foto 6. 1 Kenampakan potensi bahan galian sirtu di sungai Kuala


Bongka pada stasiun 18-BPKB-BP5-025.

Foto 6. 2 Kenampakan potensi bahan galian laterit soil lapukan


batuan peridotit pada stasiun 18-BPLM-BP5-047.
BAB VII PENUTUP
PENUTUP

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada daerah Uepakatu dan

sekitarnya, maka dapat diketahui kondisi geologi daerah penelitian secara umum

adalah sebagai berikut :

1. Daerah penelitian tersusun oleh empat satuan geomorfologi pegunungan

struktural, satuan geomorfologi yaitu satuan geomorfologi perbukitan

struktural, satuan geomorfologi perbukitan denudasional dan satuan

geomorfologi pedataran alluvial. Jenis sungai yang berkembang adalah sungai

periodik dan sungai permanen sedangkan secara genetik berupa sungai

insekuen, subsekuen, obsekuen dan konsekuen dengan pola aliran berupa pola

aliran rektangular, paralel dan trellis. Stadia daerah adalah muda menjelang

dewasa.

2. Stratigrafi daerah penelitian tersusun atas enam satuan batuan, dari yang tertua

ke yang termuda yaitu :

- Satuan batulempung

- Satuan batugamping

- Satuan batupasir

- Satuan Peridotit

- Satuan konglomerat

- Satuan Alluvial

167
168

3. Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian adalah lipatan, kekar

dan sesar, Kekar dapat dikelompokkan atas kekar non sistematis dan kekar

gerus. Sedangkan untuk lipatan berupa lipatan antiklin, sinklin, antiklin minor,

dan lipatan seret. Kemudian unutuk sesar dapat dikelompokkan atas sesar naik

Buyu Kanato, sesar geser dekstral Kuala Bongka, sesar geser sinistral

Parangisi, sesar geser dekstral Uepakatu

4. Indikasi bahan galian pada daerah penelitian berupa bahan galian laterit dan

sirtu (pasir dan batu).

7.2. Saran

Daerah penelitian memiliki topografi yang tinggi dan terjal, sehingga

daerah penelitian memiliki resiko gerakan tanah, selain itu luasnya dataran banjir

yang ada pada daerah penelitian menjadi perhatian utama, karena untuk

menjangkau lokasi ini apabila musim hujan dapat menganggu akses transportasi

karena rawan akan bencana geologi seperti longsor dan banjir. Saran ini ditujukan

untuk pihak terkait dalam hal ini pemerintah setempat di daerah penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, S., 1979. Dasar-Dasar Geologi Struktur, Jurusan Teknik Geologi Institut
Teknologi Bandung, Bandung.

Badan Standarisasi Nasional.2001.Tata Cara Umum Penyusunan Laporan


Eksplorasi Bahan Galian. SNI 13-6606-2001.

Bakosurtanal., 1991. Peta Rupa bumi Lembar Lijo nomor 2214-42, Cibinong,
Bogor.

Blatt, H., Tracy, R.J., dan Owens, B.E., 2006. Petrology ; Igneous, Sedimentary
and Metamorphic Third Edition. W. H Freeman & Company, New York.

Boggs, S.,1987. Principles of Sedimentology and Stratigraphy – Fourth Edition.


Pearson Education. Inc: New Jersey.Fisher, R.V., & Schmincke, H.U.,
1984. Pyroclastic Rocks. Springer-Verlag.New York.

Condon, M.A, 1953. Nomenclature of sedimentary rocks. Departmen of National


development. Bureu of Mineral Resources Geology dan Geophysics.
Australia

Fleuty, M. J. 1964. The description of folds,Geologists’ Association, London.

Graha, D. S., 1987, Batuan dan Mineral, Nova, Bandung

Hall, R., Wilson, M.E.J., 2000. Neogen Sutures in Eastern Indonesia. SE Asia
Reserach Group, Department of geology, Royal Halloway University of
London, Egham, Surrey TW20 0EX, UK. Journal of Asian Earth Sciences
18 (2000) 781-808

Ikatan Ahli Geologi Indonesia., 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Bidang


Geologi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta. Indonesia.

Kobayashi, F , Martini, R, and Zaninetti, L., 2005. Anisian foraminifers from


allochthonous limestones of the Tanoura formation (Kurosegawa Terrane,
West Kyushu, Japan). Japan. Elsevier, Jurnal of Geobios,, no. 38, p. 715-
763.

Lobeck, A.K., 1939. Geomorphology An Intruduction to the Study of Landscapes,


McGraw-Hill Book Company, Inc New York and London

McClay K., 1987,The Mapping of Geological Structures, John Wiley and Sons
Ltd., West Sussex, England

169
170

McClay, K. R.., 1987. The Mapping of Geological Structures, University of


London, John Wiley & Sons Ltd, Chichester, England.

Panggabean, H,. 2011. Tektono-stratigrafi Lengan Timur Sulawesi, Badan


Geologi Jl. Diponegoro 57, Bandung

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang


Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

R. Rettori, L. Angiolini and G. Muttoni,. 2012.Lower and Middle Triassic


foraminifera from the Eros Limestone, Hydra Island, Greece. The
Geological Society of London 2012, Lyell Collection. London

Ragan, D.M., 1973. Structure Geology An Introduction to Geometrical Tecniques,


Second Edition, Departement of Geology Arizona State University.

Ragan, D.M., 2009. Structure Geology An Introduction to Geometrical Tecniques,


Fourth Edition, Departement of Geology Arizona State University.

Rossana Martini, Bernard Peybernes, and Patrice Moix,. 2009. Late Triassic
Foraminifera in Reefal limestones of SW Cyprus. Jurnal of foraminiferas
research, v. 39, no. 3, p. 218-230.

Selley, R.C., 2000. Applied Sedimentology Second Edition. Academic Press :San
Diego, San Fransisco, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo

Sompotan, A.F., 2012. Struktur Geologi Sulawesi.Perpustakaan Sains Kebumian


Institut Teknologi Bandung.Bandung

Surono, T.O., Simandjuntak, R.L., Situmorang., dan Sukido. 1994. Peta Geologi
Lembar Batui, Sulawesi. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Depatemen
Pertambangan dan Energi.

Thornburry, W.D., 1969. Principles of Geomorphology, Second edition, John


Willey & Sons, Inc, New York, USA.

Travis, R.B., 1955, Classification of Rock, Colorado School of Mines, Volume 50

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Usaha


Pertambangan.

Van der Pluijm,Ben A.,.2004.Earth Structure:an introduction to structural


geology and tectonics.W.W.Norton & Company Ltd.London
171

Van Zuidam, R. A., 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and


Geomorphologic Mapping, Smith Publisher – The Hague, Enschede,
Netherlands.
LAMPIRAN

172

Anda mungkin juga menyukai