PENDAHULUAN
Berdasarkan pembagian zona fisiografi daerah Jawa Timur dan Madura oleh
Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa.
Daerah ini mempunyai topografi yang dibentuk oleh batugamping dan vulkanik
dan sering di jumpai gejala karst. Daerah penelitian yang terletak di Desa
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur
pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Lebar
sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Di antara Parangtritis dan Pacitan merupakan
tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan
2
luas kurang lebih 1400 km . Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun
oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanisme
berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,
1949).
1
Hasil kajian survei awal (reconaissance) yang meliputi berbagai aspek baik
regional, sehingga menjadikan daya tarik tersendiri bagi peneliti. Lava Andesit
pada daerah penelitian juga sangat menarik untuk dilakukan penelitian yang lebih
rinci, dimana lava andesit pada daerah penelitian termasuk kedalam Formasi
litostratigrafi. Hal tersebut merupakan hasil pemerian dari data geologi berupa
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi yang
berwujud peta geologi (rinci) pada daerah penelitian dengan skala 1 : 25.000. Peta
Peta Geologi dan naskah laporan akhir yang memuat data geologi meliputi
Lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk
gangguan dari luar (eksogen) maupun dalam (endogen) bumi yang dapat diketahui
2
secara perhitungan dan pengolahan data - data lapangan yang didapat dengan
Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Gambar 1.1). Secara astronomis terletak
0 ’ 0 ’ 0 ’ 0
pada koordinat 112 37 04,9” - E 112 50 37,3” LS dan 8 17 13,6” - 8 22’
2
05,6” BT. Luas daerah penelitian ± 54 km (6 km x 9 km) membujur Utara-
Selatan. Daerah penelitian termasuk dalam Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar
Wetan 1607-14 dengan skala 1 : 25.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi
3
1.4. Kesampaian Daerah Penelitian
kendaraan roda dua maupun roda empat. Daerah penelitian dapat ditempuh
Blitar – Wlingi – Kepanjen – Turen - Gedangan dengan jarak tempuh kurang lebih
439 km selama kurang lebih 10 jam perjalanan. Kondisi medan daerah penelitian
bervariasi dari dataran, perbukitan hingga pegunungan dengan kondisi jalan yang
sebagian besar berupa jalan bebatuan, tetapi terdapat beberapa ruas jalan
penghubung antar kecamatan yang relatif cukup baik pada bagian selatan dan
1.5. Permasalahan
Sebaran data geologi yang ada pada Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto,
dkk, 1992) terlihat tidak relevan dengan kondisi geologi yang ada pada daerah
penelitian dikarenakan tidak adanya data geologi yang rinci dan sebaran data
ketebalan batuan, dan hubungan antar satuan dari tua ke muda), permasalahan
4
1.6. Rumusan Masalah
permasalahan yang akan dibahas pada pemetaan geologi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kondisi bentang alam yang ada di daerah penelitian? Ada berapa
morfogenesisnya?
5
lingkungan, dan proses – proses geologi yang berkembang sampai sekarang. Serta
yang dibatasi hanya pada anaisis paleontologi untuk penentuan umur relatif dan
yang telah ditetapkan oleh Direktorat Teknik Geologi Institut Teknologi Nasional
umum metode penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu metode penelitian lapangan
Tugas Akhir 1 meliputi input yang terdiri dari pendahuluan (studi pustaka,
penyiapan peta dasar dan perijinan) dan reconnaissance (pengenalan medan dan
mengetahui keadaan singkapan), proses ini dimulai dari pengurusan surat izin ke
legalitas penelitian. Hal ini sangat penting mengingat bahwa sebaik-baik data
geologi yang diperoleh dalam suatu penelitian, tanpa surat izin yang sah maka
6
penelitian itu sama dengan illegal dan tidak dapat diakui keabsahanya, kemudian
melakukan digitasi peta daerah penelitian, interpretasi awal daerah penelitian dan
geomorfologi tentatif, peta geologi tentatif dan naskah tertulis berupa laporan
Kemudian melakukan studi pustaka, digitasi peta, dan survei awal. Dalam
7
perlapisan batuan, pengambilan contoh batuan, dan sketsa langsung di lapangan.
dijumpai singkapan.
penelitian dan penyusunan laporan Tugas Akhir 1 yang hasilnya berupa peta hasil
rencana lintasan dan draft laporan Tugas Akhir 1. Tahapan selanjutnya merupakan
penelitian geologi rinci yang bertujuan untuk meneliti permasalahan khusus pada
Pada tahapan ini terdiri dari input berupa pemetaan rinci (perapatan data
struktur geologi) dan pekerjaan laboratorium (sayatan tipis). Proses dari Tugas
Akhir 2 ini meliputi penelitian mengenai kondisi geologi rinci, sortasi lokasi
peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi dan laporan Tugas Akhir
2 yang disertai hasil dari masalah khusus yang diambil. Setelah semua tahap
8
Secara lebih jelas diuraikan tahapan pengerjaan tugas akhir pada subbab
Tahap ini merupakan tahap paling awal dalam melakukan penelitian, antara
lain meliputi:
4. Studi literatur yang relevan dengan kondisi geologi daerah yang akan diteliti
struktur geologi, dan petrologi yang juga tidak lepas dari kajian peneliti.
9
Daerah Istimewa Yogyakarta dilanjutkan kepada KESBANGPOL Provinsi
secara baik. Pemetaan geologi rinci ini bertujuan untuk mendatakan data
daerah penelitian.
3. Analisis studio, tahapan ini merupakan tahap analisis data di studio seperti
secara langsung daerah penelitian dan memeriksa hasil kerja lapangan yang
5. Re-mapping atau pemetaan ulang oleh peneliti untuk melengkapi data yang
masih kurang.
10
mempertimbangkan kelengkapan data yang didapatkan, serta meninjau nilai
lebih baik dari segi ilmiah maupun aplikasi kemajuan ilmu geologi.
7. Tahap penelitian rinci adalah tahap yang dilakukan setelah tahap penelitian
awal, dimana hasil kajian dari tahap awal menyatakan daerah penelitian
b. Analisis laboratorium
c. Analisis studio
kelerengan serta perekaman data di lapangan yang berupa kenampakan data dan
meliputi data singkapan yang dideskripsi secara megaskopis seperti jenis batuan,
warna, tekstur, struktur batuan, komposisi batuan, kedudukan batuan atau arah
jurus dan kemiringan batuan, bentang alam, batas kontak, geologi lingkungan dan
menerapkan konsep “The Present Is The Key To The Past”, yakni dengan
memperhatikan data dan kondisi geologi pada masa kini untuk mengidentifikasi
kondisi geologi masa lampau pada daerah penelitian. Untuk penelitian ini
11
Dalam melakukan pengamatan dan penentuan arah lintasan,
memperhatikan kondisi litologi secara umum yang didapat dari data sekunder
perlapissan atau searah dengan arah dari kemiringan batuan. Metode tersebut
dengan kondisi yang lebih baik, segar dan variasi batuannya terlihat jelas.
lapuk, tidak teroksidasi, dapat mewakili tiap batuan di lapangan dan layak sebagai
Paleontologi untuk penentuan umur relatif berdasarkan data fosil dan petrografi
untuk pengamatan batuan berdasarkan pada sayatan tipis. Dari data yang lebih
12
A. Analisis Paleontologi
makro dan mikro yang terdapat dalam batuan. Umumnya fosil yang dianalisis
berupa fosil mikro yang mempunyai umur tertentu atau sebagai fosil indek.
Analisis ini dilakukan secara mikroskopis untuk dapat mengetahui jenis, nama dan
meliputi dinding, jumlah kamar, bentuk kamar, aperture, hiasan dan menentukan
umur relatif menggunakan tabel penentuan umur (Blow, 1969). Apabila fosil yang
dianalisis termasuk sebagai fosil indek, maka umur relatif (Blow, 1969) dari
13
B. Analisis Petrografi
contoh batuan yang didapat dari daerah penelitian yang kemudian disayat pada
seri CX-31. Metode yang dilakukan pada pengamatan ini ada 2, yaitu nikol sejajar
dan nikol silang, perbedaan dari kedua pengamatan ini adalah pada analisatornya.
cahaya yang bergetar pada arah tertentu saja yang dapat diteruskan. Untuk nikol
sejajar, arah getaran yang diteruskan searah dengan getaran polarisator, sedangkan
untuk nikol bersilang, arah getaran yang diteruskan tegak lurus dengan arah
getaran polarisator.
a b
14
Diagram QAPF (Streckeisen, 1974, dalam Le Maitre, dkk, 2005) (Gambar
15
Dunham hanya memakai sebagai dasar pengklasifikasian antara batugamping
kelompok, yaitu framestone, bindstone, dan bafflestone, maka dari itu klasifikasi
(Embry & Klovan, 1971) lebih detail dan terbarui dengan cara menentukan
komposisi batuan melihat dari komponen besar butir, banyaknya butir, dan
diketahui nama batuan karbonat tersebut yang dapat mengarah pada beberapa hal
16
mineral kuarsa. Setelah diketahui prosentase selanjutnya diplot pada diagram
C. Analisis Studio
dilakukan analisis studio, untuk pembuatan peta geologi dilakukan kedua analisis
D. Analisis Geomorfologi
analisis kelurusan dan bentuk khusus (pola circular, bentukan tapal kuda,
1. Pola Pengaliran
17
ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang
saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Pola
dasar aliran sungai oleh Howard, 1976 dalam Thornbury, 1969 (Tabel 1.1).
antara lain adalah kemiringan lereng, perbedaan resisten batuan, proses vulkanik
kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage
basin).
Table 1.1. Jenis-jenis pola aliran dasar sungai (Howard, 1967 dalam Thornbury, 1969)
Pola ini dibentuk dari cabang-cabang sungai kecil yang berukuran sama,
dengan aliran tegak lurus sepanjang sungai induk subsekuen yang
parallel, terdapat pada daerah lipatan, patahan yang parallel, serta daerah
blok punggungan pantai hasil pengangkatan dasar laut.
Pola ubahan ini memiliki anak sungai lebih panjang dari sungai utama,
dijumpai pada daerah homoklin dengan kemiringan landai.
Pola ini berbentuk aliran seolah memancar dari suatu titik pusat
berasosiasi dengan tubuh gunung api atau kubah bertahap muda. Dalam
konsep pola radial ini adalah menyebar dari suatu titik pusat sedangkan
klasifikasi lain menyatakan pola radial mencakup dua sistem pola
pengaliran yaitu sentrifugal dan sentripental.
Pola ini berada pada daerah endapan antar bukit, batuan dasar yang
tererosi, dilandai dengan adanya cekungan-cekungan yang kering atau
tersisi air yang saling terpisah, aliran yang terputus-putus dan arah aliran
yang berbeda-beda. Biasanya mencirikan batuan karbonat atau
batugamping.
Pola ini dibentuk dari aliran cabang-cabang sungai yang sejajar atau
parallel pada bentang alam yang memanjang dan mencerminkan
kemiringan lereng yang cukup besar dan hampir seragam.
Ubahan pola ini mempunyai kemiringan lereng sedang atau dikontrol oleh
bentuk lahan subparallel serta dikontrol oleh kelerengan, litologi dan
struktur. Lapisan batuan relatif seragam resistensinya.
Pola ini memiliki aliran cabang sungai yag tegak lurus terhadap sungai
induk, aliran memotong daerah secara tidak kontinyu, serta
mencerminkan kekar atau sesar yang saling tegak lurus dan tidak serumit
pola trellis. Ubahan pola ini memiliki kelokan tajam dari sungai
kemungkinan akibat sesar, kelurusan anak sungai akibat kekar pada
litologi yang berbutir kasar dengan kedudukan horizontal, biasanya
angulate dan rectangular terdapat bersama pada suatu daerah.
Pola ini memiliki aliran cabang sungai yag tegak lurus terhadap sungai
induk, subsekuen yang melingkar, pada struktur kubah dan cekungan,
diatrema dan kemungkinan pada intrusi stock yang tererosi, sungai
dikontrol pada sesar atau kekar pada bedrock.
Pola ini dibentuk dari aliran cabang-cabang sungai yang relatif tegak lurus
terhadap sungai induk subsekuen yang melengkung, dibedakan dari
recurved trellis dari ciri daerah yang tidak teratur. Kontrol struktur sesar
atau daerah tersebut labil, serta adanya lipatan yang menunjam.
18
2. Stadia Sungai
litologi, kemiringan lereng atau lembah, tektonik, dan proses eksogenik seperti
pelapukan batuan, gerakan masa, erosi, dan sedimentasi. Sungai yang ada saat ini
merupakan proses yang terus menerus berlangsung dan akan terus berkembang.
Stadia sungai muda memiliki kemiringan lereng yang sangat tinggi, dengan
kecepatan aliran tinggi, jenis aliran air adalah turbulent, proses yang bekerja
berupa erosi, bentuk atau pola sungai lurus, dengan bentuk penampang atau
lembah “V”, kerapatan anak sungai jarang, dan mempunyai kenampakan lain,
seperti banyak air terjun, tidak ada dataran banjir, dan mengalir diatas batuan
induk.
proses yang bekerja berupa erosi dan deposisi, bentuk atau pola sungai lurus
“U”, kerapatan anak sungai sedang atau mulai banyak, dan mempunyai
kenampakan lain, seperti air terjun sedikit, mulai terbentuk dataran banjir,
Stadia sungai tua memiliki kemiringan lereng yang rendah bahkan datar,
dengan kecepatan aliran rendah, jenis aliran air adalah laminar, proses yang
19
bekerja berupa deposisi, bentuk atau pola sungai meander sampai komplek,
dengan bentuk penampang atau lembah “U” sampai datar, kerapatan anak sungai
besar atau banyak, dan mempunyai kenampakan lain, seperti tidak ada air terjun,
dataran banjir luas, dan mulai ada oxbow lake atau tapal kuda.
3. Satuan Geomorfologi
pada daerah penelitian masih relatif sama dengan pola kontur. Hal tersebut
dikarenakan tidak ada aktifitas penambangan maupun aktifitas lain yang merubah
morfologi secara singkat di lapangan. Oleh karena itu peneliti melakukan analisis
pada peta topografi dengan melihat pola – pola kontur dan kemudian melakukan
sayatan morfometri pada peta topografi dan tidak dilakukan langsung di lapangan.
pada kemiringan lereng dan beda tinggi (Tabel 1.2) menurut van Zuidam dan van
kesamaan relatif harga sudut lereng dan beda tinggi dari puncak sampai dasar
pengontrol utama proses geologi, hal tersebut mengacu pada klasifikasi van
Zuidam (1983) yang membagi satuan geomorfologi menjadi 8 satuan (Tabel 1.3),
20
Tabel 1.2. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam
dan van Zuidam - Cancelado, 1979)
Kemiringan Beda
No Relief Lereng ( %) Tinggi
(m)
1 Topografi dataran 0– 2 <5
2 Topografi bergelombang lemah 3– 7 5 – 50
3 Topografi bergelombang lemah-kuat 8 – 13 25 – 75
4 Topografi bergelombang kuat- perbukitan 14 – 20 50– 200
5 Topografi perbukitan –tersayat kuat 21 – 55 200– 500
6 Topografi tersayat kuat- pegunungan 56 – 140 500– 1000
7 Topografi pegunungan > 140 > 1000
jenis unit pada satuan geomorfologinya, antara lain: klasifikasi unit geomorfologi
bentuklahan asal vulkanik (Tabel 1.4), unit geomorfologi bentuklahan asal kars
(Tabel 1.5), dan unit geomorfologi bentuklahan asal struktural (Tabel 1.6).
21
Tabel 1.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal vulkanik (van
Zuidam,1983)
Tabel 1.5. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal kars (van Zuidam,1983)
Kode Unit Karakteristik
Karst Plateaus Topografi bergelombang –
K1 bergelombang kuat dengan
(Dataran Tinggi Karst) sedikit depresi hasil pelarutan
dan lembah mengikuti kekar.
Karstic/Denudational Slope Topografi dengan lereng
and Hills (Lereng Karst menengah – curam,
K2 Denudasional, lereng bergelombang kuat – berbukit,
kastified pada batugamping permukaan tak teratur dengan
kemungkinan dijumpai lapis,
yang relatif keras) depresi hasil pelarutan dan
23
sedikit lembah kering.
24
Lembah dengan lereng landai
curam – menengah, sering
K11 Dry Valleys (Major) dijumpai sisi lembah yang curam
– sangat curam, depresi hasil
pelarutan (ponors) dapat muncul.
Lembah berlereng landai curam –
K12 Karst Canyons/Collapsed menengah dengan sisi lembah
Valleys sangat curam – teramat curam,
dasar lembah tak teratur dan
jembatan dapat terbentuk.
4. Stadia Daerah
berbagai aspek seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia sungai yang telah
26
Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi empat dan
a. Pertama, stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan
lembah sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan,
dijumpai air terjun dan danau, kondisi geologi masih orisinil atau umumnya
b. Kedua, stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang membesar
dan dalam dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai
dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi-
c. Ketiga, stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak
terbentuk pulau-pulau tapal kuda, arus sungai tidak kuat dan litologi relatif
27
seragam. Ke-empat, proses peremajaan ulang (rejuvenation) terbentuk
apabila pada daerah yang sudah mengalami stadia tua terjadi suatu proses
terangkat kembali.
E. Analisis Stratigrafi
batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian yang berdasarkan ciri litologi
konsep litostratigrafi.
bersistem menjadi satuan – satuan bernama yang bersendi pada ciri litologi
penamaan satuan batuan tidak resmi tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia
pada Bab II pasal 14 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Hal tersebut juga dengan
28
yang diaplikasikan di lapangan. Untuk memperkirakan batas satuan yang tidak
memberikan pola singkapan yang berbeda meskipun dalam lapisan dengan tebal
b. Lapisan dengan dip berlawanan arah dengan slope akan membentuk pola
29
c. Lapisan tegak akan membentuk pola singkapan berupa garis lurus, dimana
pola singkapan ini tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi (Gambar 1.9.c).
d. Lapisan dengan dip searah dengan arah slope dimana dip lapisan lebih besar
dari pada slope, akan membentuk pola singkapan dengan huruf “V"
e. Lapisan dengan dip searah dengan slope dan besarnya dip sama dengan
f. Lapisan dengan dip yang searah dengan slope, dimana besar dip lebih kecil
dari slope, maka pola singkapannya akan membentuk huruf "V" yang
DEM, peta topografi, peta geologi regional serta pengamatan unsur – unsur
struktur geologi regional dan hasil analisis dari data – data pengukuran di
pada batuan sebagai akibat adanya gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik.
Tahap awal yang dilakukan dalam analisis geomorfologi daerah penelitian adalah
analisis pola kelurusan (bukit, lembah dan sungai). Pada tahap analisis ini
digunakan software Global Mapper v.16.00 dan ArcGIS v.10.3 yang dengan
dukungan data berupa citra DEM (Digital Elevation Model). Penarikan pola
kelurusan dan bentuk khusus dilakukan pada citra DEM yang diolah di Global
30
ArcGIS. Pola kelurusan lembah dan bukit digunakan sebagai dasar indikasi
Gambar 1.10. Model struktur geologi a. Pure shear dan b. Simple shear (Harding,
1979).
1. Kekar
Menurut Billings (1974) kekar (joint) adalah struktur rekahan dalam batuan
yang belum mengalami pergeseran, merupakan hal yang umum bila terdapat pada
batuan dan bisa terbentuk pada setiap waktu. Pada batuan sedimen, kekar bisa
dalam batuan beku bisa terbentuk akibat proses pendinginan maupun setelah
pendinginan. Dalam proses deformasi, kekar bisa terjadi pada saat mendekati
proses akhir atau bersamaan dengan terbentuknya struktur lain, seperti sesar atau
lipatan. Selain itu kekar bisa terbentuk sebagai struktur penyerta dari struktur
sesar maupun lipatan yang diakibatkan oleh tektonik. Pemodelan dan analisis
mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat adanya gaya kompresi yang
disebabkan oleh tektonik (Gambar 1.11). Berdasarkan cara terjadinya kekar dapat
31
Gambar 1.11. Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings,1974).
Tabel 1.7. Jenis dan karakteristik kekar berdasarkan cara terjadinya (Twiss
dan Moore, 1992).
Jenis Kekar Karakteristik
Data lapangan yang berupa kekar gerus akan dihubungkan dengan model
Riedel Shear (Gambar 1.12) dimana dalam model ini suatu sesar akan
menghasilkan shear zone yang akan memiliki arah sama dengan pergerakan sesar
utama (R = synthetic shear bands) dan satu lagi akan memiliki arah yang
32
didasarkan dari penentuan gaya utama yang diketahui dari sudut lancip yang
Gambar 1.12. Urut-urutan pembentukan sintetik Riedel Shear pada sesar mendatar
mengkiri, a) Zona R shear yang searah pergerakan sesar utama
(sintetik), b) Pembentukan antitetik R’ shear, c) Pembentukan P
shear (Ahlgren, 1999).
2. Sesar
Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami
pergeseran melalui bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa bidang sesar (fault
plane), atau rekahan tunggal. Tetapi lebih sering berupa jalur sesar (fault zone)
yang terdiri dari lebih dari satu sesar. Dalam penelitian ini digunakan klasifikasi
33
Gambar 1.13. Diagram klasifikasi sesar (Rickard, 1972).
rake of net slip dan dip of fault, nilai tersebut didapat dari analisis kekar yang
selanjutnya dilakukan analisis arah gerakan dari sesar tersebut. Arah gerakan
Gambar 1.14. Pergerakan relatif blok-blok sesar (Twiss dan Moore, 1992)
34
Berdasarkan pergerakan blok dibagi menjadi beberapa kelas sebagai
berikut:
c. Sifat gerak terhadap bidang sesar: Dip slip, Strike slip, Oblique
slip.
3. Lipatan
(inhomogeneous) yang terjadi pada suatu bahan yang mengandung unsur garis
atau bidang. Walaupun demikian, suatu deformasi yang menghasilkan lipatan pada
suatu keadaan, tidak selalu demikian pada kondisi yang lain. Suatu masa batuan
yang tidak mempunyai unsur struktur garis atau bidang, tidak menunjukkan tanda
perlipatan.
lengkungan dapat berubah menjadi bidang atau garis lurus, atau suatu unsur dapat
tetap sebagai struktur bidang atau garis lurus setelah terjadi deformasi. Penamaan
lipatan dan bidang sumbu lipatan Fluety (1964) membuat klasifikasi berdasarkan
35
Tabel 1.8. Klasifikasi perlipatan (Fleuty, 1964)
geologi.
36
1.8.4. Tahap Presentasi
Tahap ini merupakan tahap presentasi hasil penelitian yang telah dilakukan
Peralatan yang akan digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan yang
a. Peta topografi Lembar Turen No. 1607 – 432 dan lembar Sumbermanjing
pengamatan di lapangan.
batuan di lapangan.
singkapan.
37
h. Kaca pembesar (loupe), digunakan untuk membantu dalam pengamatan
k. Alat tulis dan gambar serta buku catatan lapagan, digunakan untuk mencatat
penelitian.
m. Jas hujan, digunakan untuk melindungi peneliti, peralatan yang dibawa, dan
A. Peralatan Paleontologi
b. Ayakan mesh 30, 80, 100, untuk memisahkan fraksi halus dengan kasar dan
deskripsi fosil.
38
e. Tabel umur relatif (Blow, 1969), digunakan untuk menentukan umur relatif
B. Peralatan Petrografi
adakah Mikroskop Olympus seri CX-31 yang sudah memiliki perbesaran 40%,
100% dan 400%. Mikroskop ini cukup baik untuk analisis petrografi karena sudah
tidak memerlukan cahaya matahri lagi, melainkan cahaya lampu yang suda ada
Peralatan yang digunakan untuk analisis studio sangat beragam dari analisis
a. Peta topografi Lembar Turen No. 1607 – 432 dan lembar Sumbermanjing
e. Diagram kalsbeek counting area net, polar equal net, schmidt net dan
wulfnet.
39