Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan pembagian zona fisiografi daerah Jawa Timur dan Madura oleh

van Bemmelen (1949), daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan

Selatan. Zona Pegunungan Selatan memanjang sepanjang pantai selatan Jawa

Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa.

Daerah ini mempunyai topografi yang dibentuk oleh batugamping dan vulkanik

dan sering di jumpai gejala karst. Daerah penelitian yang terletak di Desa

Gedangan dan sekitarnya, Kecamatam Gedangan, Kabupaten Malang, Provinsi

Jawa Timur merupakan bagian dari Zona Pegunungan Selatan.

Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona

Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk.,

1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur

pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Lebar

maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan

sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Di antara Parangtritis dan Pacitan merupakan

tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan

2
luas kurang lebih 1400 km . Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun

oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanisme

berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,

1949).

1
Hasil kajian survei awal (reconaissance) yang meliputi berbagai aspek baik

geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi serta geologi lingkungan masih

memerlukan penelitian yang lebih rinci apabila dibandingkan data geologi

regional, sehingga menjadikan daya tarik tersendiri bagi peneliti. Lava Andesit

pada daerah penelitian juga sangat menarik untuk dilakukan penelitian yang lebih

rinci, dimana lava andesit pada daerah penelitian termasuk kedalam Formasi

Mandalika (Saujanto, dkk,. 1992).

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi

berdasarkan data geologi permukaan pada daerah penelitian yang berlandaskan

litostratigrafi. Hal tersebut merupakan hasil pemerian dari data geologi berupa

geomorfologi, pengelompokan batuan, susunan stratigrafi, struktur geologi,

sejarah geologi dan geologi lingkungan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi yang

berwujud peta geologi (rinci) pada daerah penelitian dengan skala 1 : 25.000. Peta

tersebut disajikan dalam bentuk Peta Lokasi Pengamatan, Peta Geomorfologi,

Peta Geologi dan naskah laporan akhir yang memuat data geologi meliputi

Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi, Sejarah Geologi dan Geologi Tata

Lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk

kepentingan keilmuan maupun kepentingan pengembangan sumber daya alam.

Manfaat dari penelitian ini adalah memahami geomekanika batuan di daerah

penelitian khususnya tentang potensi gerakan massa akibat adanya suatu

gangguan dari luar (eksogen) maupun dalam (endogen) bumi yang dapat diketahui

2
secara perhitungan dan pengolahan data - data lapangan yang didapat dengan

metode Rock Mass Rating (RMR).

1.3. Lokasi dan Luas Daerah Penelitian

Secara administratif daerah penelitian terletak di daerah Gedangan dan

sekitarnya, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, serta

sebagian kecil termasuk dalam wilayah Kecamatan Sumbermanjing Wetan,

Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur (Gambar 1.1). Secara astronomis terletak

0 ’ 0 ’ 0 ’ 0
pada koordinat 112 37 04,9” - E 112 50 37,3” LS dan 8 17 13,6” - 8 22’

2
05,6” BT. Luas daerah penelitian ± 54 km (6 km x 9 km) membujur Utara-

Selatan. Daerah penelitian termasuk dalam Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar

Balikambang 1607-411, Sitiarjo 1607-412, Bantur 1607-413, dan Sumbermanjing

Wetan 1607-14 dengan skala 1 : 25.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi

Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL).

Gambar 1.1. Peta daerah penelitian (tanpa skala)

3
1.4. Kesampaian Daerah Penelitian

Daerah penelitian dapat dicapai dari Yogyakarta dengan menggunakan

kendaraan roda dua maupun roda empat. Daerah penelitian dapat ditempuh

melalui jalur Yogyakarta – Klaten – Ponorogo – Trenggalek – Tulungagung –

Blitar – Wlingi – Kepanjen – Turen - Gedangan dengan jarak tempuh kurang lebih

439 km selama kurang lebih 10 jam perjalanan. Kondisi medan daerah penelitian

bervariasi dari dataran, perbukitan hingga pegunungan dengan kondisi jalan yang

sebagian besar berupa jalan bebatuan, tetapi terdapat beberapa ruas jalan

penghubung antar kecamatan yang relatif cukup baik pada bagian selatan dan

utara Kecamatan Gedangan sehingga masih dimungkinkan menggunakan

kendaraan untuk menempuhnya.

1.5. Permasalahan

Sebaran data geologi yang ada pada Peta Geologi Lembar Turen (Sujanto,

dkk, 1992) terlihat tidak relevan dengan kondisi geologi yang ada pada daerah

penelitian dikarenakan tidak adanya data geologi yang rinci dan sebaran data

geologi secara pasti dari peneliti sebelumnya. Permasalahan yang diidentifikasi

oleh peneliti terkait permasalahan geologi secara umum meliputi; permasalahan

geomorfologi (satuan geomorfik, pola pengaliran dan faktor pengontrol bentuk

serta penyebaran bentang alam), permasalahan stratigrafi (litologi penyusun,

ketebalan batuan, dan hubungan antar satuan dari tua ke muda), permasalahan

struktur geologi (pola dan kedudukan struktur serta dimensinya) dan

permasalahan sejarah geologi (tektonik, mekanisme dan perkembangan proses

pengendapan dalam ruang dan waktu geologi).

4
1.6. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari data kajian sekunder dan survei pendahuluan maka

permasalahan yang akan dibahas pada pemetaan geologi ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana kondisi bentang alam yang ada di daerah penelitian? Ada berapa

satuan bentang alam apabila dibagi secara morfometri dan

morfogenesisnya?

2. Bagaimana kondisi stratigrafi daerah penelitian jika dibagi menggunakan

konsep litostratigrafi? Bagaimana korelasinya dengan geologi regional?

3. Bagaimana pola dan kontrol sruktur dapat mempengaruhi morfologi dan

litologi penyusun yang berkembang pada daerah penelitian?

4. Dari permasalahan sebelumnya, bagaimana kajiannya secara komprehensif?

Bagaimana sejarah geologi daerah penelitian?

5. Bagaimana geomekanik sebagai dasar dalam menetukan ketahanan batuan

terhadap suatu gangguan struktur pada lava andesit?

1.7. Batasan Masalah

Penelitian dibatasi pada pengambilan data geologi permukaan (geological

surface mapping) dengan mengumpulkan data singkapan di lapangan berupa

pengamatan, penafsiran, pengukuran, penggambaran, dokumentasi dan

pengambilan data geologi permukaan. Data geologi tersebut meliputi pengamatan

dan pendeskripsian singkapan batuan, pengukuran jurus dan kemiringan

perlapisan batuan (strike/dip), kelerengan (slope), pengambilan contoh batuan dan

interpretasi mengenai kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, geologi

5
lingkungan, dan proses – proses geologi yang berkembang sampai sekarang. Serta

sebagai data penunjang peneliti juga menggunakan hasil analisis laboratorium

yang dibatasi hanya pada anaisis paleontologi untuk penentuan umur relatif dan

analisi petrografi dari contoh batuan pada daerah penelitian.

1.8. Metode Penelitian

Metoda penelitian merupakan cara yang digunakan untuk menyelesaikan

permasalahan – permasalahan geologi yang ada di dearah penelitian. Pelaksanaan

penelitian dilakukan sesuai dengan standart operational procedure Tugas Akhir

yang telah ditetapkan oleh Direktorat Teknik Geologi Institut Teknologi Nasional

Yogyakarta. Adapun metode yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan

geologi di daerah penelitian adalah metode pemetaan geologi permukaan. Secara

umum metode penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu metode penelitian lapangan

dan metode penelitian laboratorium. Dalam pelaksanaannya, metode ini dibagi

menjadi beberapa tahapan yaitu tahap 1 dan tahap 2 meliputi tahapan

pendahuluan, tahap penelitian lapangan, tahap penelitian laboratorium dan studio,

tahap penyusunan laporan akhir dan tahap presentasi (Gambar 1.2).

Tugas Akhir 1 meliputi input yang terdiri dari pendahuluan (studi pustaka,

penyiapan peta dasar dan perijinan) dan reconnaissance (pengenalan medan dan

mengetahui keadaan singkapan), proses ini dimulai dari pengurusan surat izin ke

PEMDA Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Malang, Kecamatan Gedangan dan

Desa di sekitarnya. Pembuatan surat perizinan ini dilakukan sebagai syarat

legalitas penelitian. Hal ini sangat penting mengingat bahwa sebaik-baik data

geologi yang diperoleh dalam suatu penelitian, tanpa surat izin yang sah maka

6
penelitian itu sama dengan illegal dan tidak dapat diakui keabsahanya, kemudian

melakukan digitasi peta daerah penelitian, interpretasi awal daerah penelitian dan

penyusunan proposal laporan Usulan Tugas Akhir 1, selanjutnya akan

mendapatkan hasil berupa peta lokasi pengamatan survei pendahuluan, peta

geomorfologi tentatif, peta geologi tentatif dan naskah tertulis berupa laporan

Usulan Tugas Akhir 1. Setelah semua tahap terlaksana selanjutnya akan

dipresentasikan pada saat sidang pandadaran di hadapan dosen penguji.

Gambar 1.2. Diagram skema alur penelitian tugas akhir (dimodifikasi da ri


Hartono, 1991)

Proses ini diawali dari pengurusan perijinan ke Pemerintah Daerah Provinsi

Jawa Timur, Kabupaten Malang, Kecamatan Gedangan dan Desa Gedangan.

Kemudian melakukan studi pustaka, digitasi peta, dan survei awal. Dalam

penentuan keadaan geologi secara umum pada daerah penelitian digunakan

metode pemetaan geologi permukaan dengan pengamatan, pengukuran kedudukan

7
perlapisan batuan, pengambilan contoh batuan, dan sketsa langsung di lapangan.

Pengamatan lapangan dilakukan dengan melintasi daerah-daerah yang mungkin

dijumpai singkapan.

Setelah itu dilakukan perhitungan morfometri, interpretasi awal daerah

penelitian dan penyusunan laporan Tugas Akhir 1 yang hasilnya berupa peta hasil

survei lapangan, peta geomorfologi sementara, peta geologi sementara, peta

rencana lintasan dan draft laporan Tugas Akhir 1. Tahapan selanjutnya merupakan

penelitian geologi rinci yang bertujuan untuk meneliti permasalahan khusus pada

daerah penelitian yang dikerjakan pada Tugas Akhir 2.

Pada tahapan ini terdiri dari input berupa pemetaan rinci (perapatan data

lapangan, pengukuran unsur - unsur struktur geologi dan pengambilan contoh

batuan), pekerjaan studio (identifikasi data geomorfologi, stratigrafi dan data

struktur geologi) dan pekerjaan laboratorium (sayatan tipis). Proses dari Tugas

Akhir 2 ini meliputi penelitian mengenai kondisi geologi rinci, sortasi lokasi

pengamatan, analisis geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, pengukuran

ketebalan dan perhitungan volume komposisi batuan, pengelompokan satuan

batuan, analisis petrografi serta penyusunan laporan Tugas Akhir 2.

Setelah melakukan proses - proses tersebut akan menghasilkan nama batuan,

peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi dan laporan Tugas Akhir

2 yang disertai hasil dari masalah khusus yang diambil. Setelah semua tahap

terlaksana, selanjutnya akan dipresentasikan pada saat kolokium dan pandadaran

di hadapan dosen penguji untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian.

8
Secara lebih jelas diuraikan tahapan pengerjaan tugas akhir pada subbab

berikutnya. Penjelasan masing-masing tahapan sebagai berikut:

1.8.1. Tahap Persiapan (Tugas Akhir 1)

Tahap ini merupakan tahap paling awal dalam melakukan penelitian, antara

lain meliputi:

1. Pengajuan lembar peta topografi daerah penelitian yang akan dipetakan.

2. Pengajuan permohonan dosen pembimbing dari ketua jurusan teknik

geologi kepada dosen pembimbing.

3. Pengajuan surat tugas dari ketua ITNY untuk dosen pembimbing.

4. Studi literatur yang relevan dengan kondisi geologi daerah yang akan diteliti

dengan melakukan pengumpulan buku – buku pedoman dan mengkaji satu –

persatu sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan dalam penyelesaian

masalah. Kajian juga dilakukan dengan mengevaluasi peta geologi oleh

peneliti terdahulu dan juga menggunakan Peta DEM (Digital Elevation

Model). Literatur lain yang digunakan oleh peneliti seperti geomorfologi,

struktur geologi, dan petrologi yang juga tidak lepas dari kajian peneliti.

5. Penyusunan dan pengajuan Proposal Tugas Akhir kepada dosen

pembimbing. Dalam penyusunan proposal ini dilakukan interpretasi peta

topografi daerah penelitian dan hasil analisis tersebut merupakan gambaran

umum tentang keadaan geologi daerah penelitian, adapun aspek geologi

yang ditafsirkan yaitu geomorfologi, jenis dan penyebaran satuan batuan,

dan struktur geologi.

6. Perizinan tugas akhir dari kampus ke daerah penelitian untuk mendapatkan

izin dalam melakukan penelitian. Dari kampus kepada KESBANGPOL

9
Daerah Istimewa Yogyakarta dilanjutkan kepada KESBANGPOL Provinsi

Jawa Timur dilanjutkan kepada KESBANGPOL Kabupaten Malang.

1.8.2. Tahap Penelitian Rinci (Tugas Akhir 2)

Tahap penelitian rinci terdiri atas:

1. Pemetaan geologi rinci, dilakukan dengan cara melewati lintasan yang

melalui singkapan – singkapan batuan dan pengambilan contoh batuan

secara baik. Pemetaan geologi rinci ini bertujuan untuk mendatakan data

secara langsung di lapangan yang meliputi unsur litologi dan

penyebarannya, struktur geologi, keadaan dan pola singkapan yang dapat

diketahui, pola penyebaran batuan dan geologi lingkungan yang ada di

daerah penelitian.

2. Analisis laboratorium, tahapan ini merupakan tahap analisis yang dilakukan

di laboratorium yaitu analisis petrografi dan analisis paleontologi dari

contoh batuan yang didapat di lapangan.

3. Analisis studio, tahapan ini merupakan tahap analisis data di studio seperti

analisis geomorfologi, analisis stratigrafi, analisis struktur geologi,

penggambaran peta geomorfologi dan peta geologi serta penyusunan

interpretasi untuk penyelesaian permasalahan yang ada di daerah penelitian.

4. Checking lapangan dengan dosen pembimbing yang bertujuan untuk melihat

secara langsung daerah penelitian dan memeriksa hasil kerja lapangan yang

dilakukan oleh peneliti.

5. Re-mapping atau pemetaan ulang oleh peneliti untuk melengkapi data yang

masih kurang.

6. Studi khusus dari permasalahan yang ada di daerah penelitian dengan

10
mempertimbangkan kelengkapan data yang didapatkan, serta meninjau nilai

lebih baik dari segi ilmiah maupun aplikasi kemajuan ilmu geologi.

7. Tahap penelitian rinci adalah tahap yang dilakukan setelah tahap penelitian

awal, dimana hasil kajian dari tahap awal menyatakan daerah penelitian

layak untuk dipetakan. Tahapan ini meliputi:

a. Penelitian lapangan rinci

b. Analisis laboratorium

c. Analisis studio

1.8.2.1. Penelitian Lapangan Rinci

Penelitian lapangan dilakukan dengan metode pemetaan geologi

permukaan (geological surface mining). Metode ini meliputi pengamatan,

pemerian, pengukuran langsung seperti struktur geologi, ketebalan singkapan, dan

kelerengan serta perekaman data di lapangan yang berupa kenampakan data dan

kondisi geologi yang tersingkap di permukaan bumi. Data geologi tersebut

meliputi data singkapan yang dideskripsi secara megaskopis seperti jenis batuan,

warna, tekstur, struktur batuan, komposisi batuan, kedudukan batuan atau arah

jurus dan kemiringan batuan, bentang alam, batas kontak, geologi lingkungan dan

berbagai aspek geologi yang menyertainya. Dalam metode penelitian ini

menerapkan konsep “The Present Is The Key To The Past”, yakni dengan

memperhatikan data dan kondisi geologi pada masa kini untuk mengidentifikasi

kondisi geologi masa lampau pada daerah penelitian. Untuk penelitian ini

menggunakan konsep litostratigrafi berdasarkan Sandi Stratigrafi Indonesia

(Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).

11
Dalam melakukan pengamatan dan penentuan arah lintasan,

memperhatikan kondisi litologi secara umum yang didapat dari data sekunder

maupun studi pustaka. Untuk batuan yang mempunyai kedudukan ataupun

perlapisan, jalur lintasan pemetaan diusahakan tegak lurus terhadap arah

perlapissan atau searah dengan arah dari kemiringan batuan. Metode tersebut

dimaksudkan untuk mendapatkan variasi batuan dan gejala struktur geologi.

Kemudian penelurusan sungai dimaksudkan agar menemukan singkapan batuan

dengan kondisi yang lebih baik, segar dan variasi batuannya terlihat jelas.

Pengambilan contoh batuan dilakukan pada singkapan yang segar tidak

lapuk, tidak teroksidasi, dapat mewakili tiap batuan di lapangan dan layak sebagai

contoh batuan untuk dilakukan analisis lebih lanjut di laboratorium. Pengambilan

contoh batuan bertujuan untuk melakukan penelitian laboratorium agar

mendapatkan data yang lebih rinci seperti paleontologi dan petrografi.

Paleontologi untuk penentuan umur relatif berdasarkan data fosil dan petrografi

untuk pengamatan batuan berdasarkan pada sayatan tipis. Dari data yang lebih

rinci tersebut memudahkan peneliti untuk menginterpretasi secara lanjut kondisi

geologi pada daerah penelitian maupun diskusi dengan dosen pembimbing.

1.8.2.2. Analisis Laboratorium

Terdapat dua tahapan dalam pengerjaan laboratorium, yaitu analisis

mikrofosil untuk memperoleh data mikropaleontologi dan preparasi sayatan tipis

yang nantinya untuk pengamatan petrografi.

12
A. Analisis Paleontologi

Analisis paleontologi dilakukan dengan mengamati keberadaan fosil

makro dan mikro yang terdapat dalam batuan. Umumnya fosil yang dianalisis

berupa fosil mikro yang mempunyai umur tertentu atau sebagai fosil indek.

Analisis ini dilakukan secara mikroskopis untuk dapat mengetahui jenis, nama dan

lingkungan pengendapan fosil tersebut.

Gambar 1.3. Bagian – bagian dari cangkang foraminifera

Pengamatan yang dilakukan untuk fosil foraminifera (Gambar 1.3)

meliputi dinding, jumlah kamar, bentuk kamar, aperture, hiasan dan menentukan

umur relatif menggunakan tabel penentuan umur (Blow, 1969). Apabila fosil yang

dianalisis termasuk sebagai fosil indek, maka umur relatif (Blow, 1969) dari

batuan akan dapat diketahui.

13
B. Analisis Petrografi

Pada tahapan ini peneliti melakukan analisis petrografi, yaitu pengamatan

contoh batuan yang didapat dari daerah penelitian yang kemudian disayat pada

preparat setebal 0,03 mm untuk kemudian diamati di bawah mikroskop

polarisator. Mikroskop polarisator yang digunakan adalah Mikroskop Olympus

seri CX-31. Metode yang dilakukan pada pengamatan ini ada 2, yaitu nikol sejajar

dan nikol silang, perbedaan dari kedua pengamatan ini adalah pada analisatornya.

Analisator berfungsi untuk menyerap cahaya secara terpilih, sehingga hanya

cahaya yang bergetar pada arah tertentu saja yang dapat diteruskan. Untuk nikol

sejajar, arah getaran yang diteruskan searah dengan getaran polarisator, sedangkan

untuk nikol bersilang, arah getaran yang diteruskan tegak lurus dengan arah

getaran polarisator.

Diagram klasifikasi penamaan batuan piroklastik menurut Fisher &

Schmincke (1984) pada gambar 1.4 digunakan untuk penamaan batuan

piroklastika dengan menentukan ukuran butir. Diagram klasifikasi Schmid (1981)

digunakan untuk penamaan batuan piroklastika berdasarkan prosentase dari

komposisi penyusun batuan tersebut.

a b

Gambar 1.4. Di agram k lasifikasi penamaan batuan piroklastik berdasarkan:


(a) ukuran butir (Fisher dan Scmincke, 1984 dalam Gillespie dan
Styles, 1999) dan (b) jenis material (Schmid, 1981)

14
Diagram QAPF (Streckeisen, 1974, dalam Le Maitre, dkk, 2005) (Gambar

1.5) digunakan dengan cara menentukan presentase jumlah dari kandungan

mineral kuarsa, alkali feldspar, plagioklas dan felspathoid. Dari prosentase

tersebut didapatkan nama batuan secara mikroskopis dengan mengeplot

prosentase yang ada.

Gambar 1.5. Diagram QAPF klasifikasi penamaan batuan vulkanik. Q = kuarsa, A


= alkali feldspar, P = Plagioklas, F = felspathoid. (Streckeisen, 1974,
dalam Le Maitre, dkk, 2005)
Klasifikasi penamaaan batuan karbonat (Embry & Klovan, 1971) adalah

pengembangan dari Dunham (1962) (Gambar 1.6) dimana dalam klasifikasi

15
Dunham hanya memakai sebagai dasar pengklasifikasian antara batugamping

yang tidak terikat (packstone, mudstone, wackestone, grainstone) dan terikat

(boundstone). Sedangkan Embry & Klovan ) membagi lagi boundstone menjadi 3

kelompok, yaitu framestone, bindstone, dan bafflestone, maka dari itu klasifikasi

(Embry & Klovan, 1971) lebih detail dan terbarui dengan cara menentukan

komposisi batuan melihat dari komponen besar butir, banyaknya butir, dan

keterdapatan banyaknya fosil. Setelah semua didapatkan komposisinya maka akan

diketahui nama batuan karbonat tersebut yang dapat mengarah pada beberapa hal

penting mengenai lingkungan laut purba, kondisi paleoekologi, serta evolusi

bentuk dari organisme laut.

Gambar 1.6. Klasifikasi Batugamping Koral (Embry & Klovan, 1971)

Diagram klasifikasi penamaan batupasir (Pettijohn, 1975) (Gambar 1.7)

digunakan dengan cara menentukan prosentase dari komponen atau komposisi

batupasir tersebut. Komponen – komponen tersebut berupa feldspar, lithic dan

16
mineral kuarsa. Setelah diketahui prosentase selanjutnya diplot pada diagram

klasifikasi penamaan batupasir (Pettijohn, 1975).

Gambar 1.7. Diagram klasifikasi penamaan batupasir (Pettijohn, 1975)

C. Analisis Studio

Dalam penelitian studio dilakukan untuk pembuatan peta geomorfologi, peta

geologi dan penyusunan naskah. Dalam pembuatan peta geomorfologi hanya

dilakukan analisis studio, untuk pembuatan peta geologi dilakukan kedua analisis

baik analisis studio dan analisis laboratorium.

D. Analisis Geomorfologi

Tahap analisis geomorfologi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi

analisis kelurusan dan bentuk khusus (pola circular, bentukan tapal kuda,

morfologi sisa gunungapi), pembagian satuan geomorfologi (morfometri dan

morfogenesa), penentuan pola pengaliran, proses geomorfologi dan stadia daerah.

1. Pola Pengaliran

Pola pengaliran (drainage patern) merupakan suatu pola dalam kesatuan

17
ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang

saling berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Pola

dasar aliran sungai oleh Howard, 1976 dalam Thornbury, 1969 (Tabel 1.1).

Perkembangan dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain adalah kemiringan lereng, perbedaan resisten batuan, proses vulkanik

kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage

basin).

Table 1.1. Jenis-jenis pola aliran dasar sungai (Howard, 1967 dalam Thornbury, 1969)

Bentuknya menyerupai cabang pohon yang mencerminkan kekerasan


batuan yang homogen, lapisan sedimen yang horizontal atau miring landai
serta kontrol struktur yang tidak tampak jelas.
Ubahan dari pola denritik karena pengaruh topografi dan struktur kekar
berperan tetapi sudah sangat kecil.

Pola ini dibentuk dari cabang-cabang sungai kecil yang berukuran sama,
dengan aliran tegak lurus sepanjang sungai induk subsekuen yang
parallel, terdapat pada daerah lipatan, patahan yang parallel, serta daerah
blok punggungan pantai hasil pengangkatan dasar laut.
Pola ubahan ini memiliki anak sungai lebih panjang dari sungai utama,
dijumpai pada daerah homoklin dengan kemiringan landai.

Pola ini berbentuk aliran seolah memancar dari suatu titik pusat
berasosiasi dengan tubuh gunung api atau kubah bertahap muda. Dalam
konsep pola radial ini adalah menyebar dari suatu titik pusat sedangkan
klasifikasi lain menyatakan pola radial mencakup dua sistem pola
pengaliran yaitu sentrifugal dan sentripental.

Pola ini berada pada daerah endapan antar bukit, batuan dasar yang
tererosi, dilandai dengan adanya cekungan-cekungan yang kering atau
tersisi air yang saling terpisah, aliran yang terputus-putus dan arah aliran
yang berbeda-beda. Biasanya mencirikan batuan karbonat atau
batugamping.

Pola ini dibentuk dari aliran cabang-cabang sungai yang sejajar atau
parallel pada bentang alam yang memanjang dan mencerminkan
kemiringan lereng yang cukup besar dan hampir seragam.
Ubahan pola ini mempunyai kemiringan lereng sedang atau dikontrol oleh
bentuk lahan subparallel serta dikontrol oleh kelerengan, litologi dan
struktur. Lapisan batuan relatif seragam resistensinya.

Pola ini memiliki aliran cabang sungai yag tegak lurus terhadap sungai
induk, aliran memotong daerah secara tidak kontinyu, serta
mencerminkan kekar atau sesar yang saling tegak lurus dan tidak serumit
pola trellis. Ubahan pola ini memiliki kelokan tajam dari sungai
kemungkinan akibat sesar, kelurusan anak sungai akibat kekar pada
litologi yang berbutir kasar dengan kedudukan horizontal, biasanya
angulate dan rectangular terdapat bersama pada suatu daerah.

Pola ini memiliki aliran cabang sungai yag tegak lurus terhadap sungai
induk, subsekuen yang melingkar, pada struktur kubah dan cekungan,
diatrema dan kemungkinan pada intrusi stock yang tererosi, sungai
dikontrol pada sesar atau kekar pada bedrock.

Pola ini dibentuk dari aliran cabang-cabang sungai yang relatif tegak lurus
terhadap sungai induk subsekuen yang melengkung, dibedakan dari
recurved trellis dari ciri daerah yang tidak teratur. Kontrol struktur sesar
atau daerah tersebut labil, serta adanya lipatan yang menunjam.

18
2. Stadia Sungai

Pembentukan pola pengaliran dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

litologi, kemiringan lereng atau lembah, tektonik, dan proses eksogenik seperti

pelapukan batuan, gerakan masa, erosi, dan sedimentasi. Sungai yang ada saat ini

merupakan proses yang terus menerus berlangsung dan akan terus berkembang.

Tahap perkembangan sungai dibagi menjadi 3 (Lobeck, 1939), antara lain:

a. Stadia Sungai Muda

Stadia sungai muda memiliki kemiringan lereng yang sangat tinggi, dengan

kecepatan aliran tinggi, jenis aliran air adalah turbulent, proses yang bekerja

berupa erosi, bentuk atau pola sungai lurus, dengan bentuk penampang atau

lembah “V”, kerapatan anak sungai jarang, dan mempunyai kenampakan lain,

seperti banyak air terjun, tidak ada dataran banjir, dan mengalir diatas batuan

induk.

b. Stadia Sungai Dewasa

Stadia sungai dewasa memiliki kemiringan lereng yang relatif tinggi,

dengan kecepatan aliran sedang, jenis aliran air adalah turbulent-laminar,

proses yang bekerja berupa erosi dan deposisi, bentuk atau pola sungai lurus

sampai mempunyai meander, dengan bentuk penampang atau lembah “V” –

“U”, kerapatan anak sungai sedang atau mulai banyak, dan mempunyai

kenampakan lain, seperti air terjun sedikit, mulai terbentuk dataran banjir,

dan mulai ada endapan sungai.

c. Stadia Sungai Tua

Stadia sungai tua memiliki kemiringan lereng yang rendah bahkan datar,

dengan kecepatan aliran rendah, jenis aliran air adalah laminar, proses yang

19
bekerja berupa deposisi, bentuk atau pola sungai meander sampai komplek,

dengan bentuk penampang atau lembah “U” sampai datar, kerapatan anak sungai

besar atau banyak, dan mempunyai kenampakan lain, seperti tidak ada air terjun,

dataran banjir luas, dan mulai ada oxbow lake atau tapal kuda.

3. Satuan Geomorfologi

Dalam menganalisis kondisi geomorfologi dan melakukan pembagian

satuan geomorfologi pada daerah penelitian, penulis melihat kondisi morfologi

pada daerah penelitian masih relatif sama dengan pola kontur. Hal tersebut

dikarenakan tidak ada aktifitas penambangan maupun aktifitas lain yang merubah

morfologi secara singkat di lapangan. Oleh karena itu peneliti melakukan analisis

pada peta topografi dengan melihat pola – pola kontur dan kemudian melakukan

sayatan morfometri pada peta topografi dan tidak dilakukan langsung di lapangan.

Pembagian satuan geomorfologi dilakukan dengan 2 metode yaitu satuan

geomorfik morfometri dan satuan geomorfik morfogenesa. Satuan geomorfologi

morfometri yaitu pembagian kenampakan satuan geomorfologi yang didasarkan

pada kemiringan lereng dan beda tinggi (Tabel 1.2) menurut van Zuidam dan van

Zuidam – Cancelado (1979). Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui

kesamaan relatif harga sudut lereng dan beda tinggi dari puncak sampai dasar

lekukan dari suatu morfologi. Pembagian morfogenesa didasarkan pada faktor

pengontrol utama proses geologi, hal tersebut mengacu pada klasifikasi van

Zuidam (1983) yang membagi satuan geomorfologi menjadi 8 satuan (Tabel 1.3),

untuk setiap satuan dicantumkan kode huruf, untuk subsatuan dengan

penambahan angka di belakang.

20
Tabel 1.2. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam
dan van Zuidam - Cancelado, 1979)
Kemiringan Beda
No Relief Lereng ( %) Tinggi
(m)
1 Topografi dataran 0– 2 <5
2 Topografi bergelombang lemah 3– 7 5 – 50
3 Topografi bergelombang lemah-kuat 8 – 13 25 – 75
4 Topografi bergelombang kuat- perbukitan 14 – 20 50– 200
5 Topografi perbukitan –tersayat kuat 21 – 55 200– 500
6 Topografi tersayat kuat- pegunungan 56 – 140 500– 1000
7 Topografi pegunungan > 140 > 1000

Tabel 1.3. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem


pewarnaan (van Zuidam, 1983).
No Genesa Pewarnaan
1 Denudasional (D) Coklat

2 Struktural (S) Ungu

3 Vulkanik (V) Merah

4 Fluvial (F) Biru gelap

5 Marine (M) Hijau

6 Karst (K) Jingga

7 Glasial (G) Biru terang

8 Eolian (E) Kuning

Klasifikasi unit geomorfologi didasarkan pada karakteristik masing –

masing bentukanlahan asal. Memperhatikan klasifikasi bentuk muka bumi yakni

unit geomorfologi bentukanlahan asal tersebut maka dapat membantu

menganalisa morfogenesis untuk mengetahui karakteristik dari masing – masing

jenis unit pada satuan geomorfologinya, antara lain: klasifikasi unit geomorfologi

bentuklahan asal vulkanik (Tabel 1.4), unit geomorfologi bentuklahan asal kars

(Tabel 1.5), dan unit geomorfologi bentuklahan asal struktural (Tabel 1.6).

21
Tabel 1.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal vulkanik (van
Zuidam,1983)

Kode Unit Karakteristik


Dasar depresi cekung datar
V1 Kawah gunungapi hingga curam dengan dinding
yang curam hingga sangat curam.
Tersayat menengah.
Perbukitan tebing yang sangat
Kerucut gunungapi (abu, curam hingga curam. Sangat
V2 curam, lereng atas gunung api
atau kerucut berhamburan) dan curam, tengah dan lereng
bawah gunung api. Tersayat
lemah hingga menengah.
Perbukitan tebing yang sangat
curam hingga curam. Lereng atas
V3 Lereng gunungapi gunung api sangat curam dan
tengah curam dan lereng bawah
gunung api. Tersayat kuat.
Kerucut strato-vulkano / Perbukitan tebing yang sangat
V4 kemiringan lereng atas dan curam hingga curam. Tersayat
tengan gunungapi lemah hingga menengah.

Kerucut strato-vulkano / Perbukitan tebing yang sangat


V5 kemiringan lereng atas dan curam hingga curam. Tersayat
tengan gunungapi kuat.

Kaki Lereng Fluvial


V6 Gunung Api Atas / Lereng Lereng curam menengah hingga
Bawah Gunung Api tersayat lemah. Tersayat lemah hingga
menengah.
lemah hingga menengah

Kaki Lereng Fluvial


V7 Gunung Api Atas / Lereng Lereng curam menengah hingga
Bawah Gunung Api tersayat lemah. Tersayat kuat. (Bagian
Teras & Non-Teras)
kuat

Lereng landai-curam. Tersayat


V8 Dataran & Kaki Lereng lemah. Biasanya terbentuk oleh
Fluvial Gunung Api lahar dan deposit tuf. Agak
miring, topografi perbukitan
hingga landai. Tidak atau
22
tersayat lemah.
Kaki Lereng Fluvial Biasanya terbentuk oleh banjir
Gunung Api Bawah,
dan deposit tuff. Agak miring,
V9 Dataran Antara Gunung Api topografi bergelombang. Tidak
& Dataran Fluvial Gunung atau tersayat lemah; jika masih
Api aktif, tergenang hingga banjir.

V10 Padang Furmarol Lereng curam, topografi


& atau Solfatara bergelombang sampai berputar
Padang Lava / Aliran / Lereng curam menengah hingga
V11 Dataran Tinggi / Titik lemah. Topografi landai hingga
Letusan Lava bergelombang.

Debu, Tuff & atau Lereng curam menengah hingga


V12 lemah. Topografi landai hingga
Dataran / Padang Lapilli bergelombang. Tersayat
menengah.
Lereng curam-sangat cuuram
V13 Panezes mirip dengan flat-irons, tersayat
sangat kuat oleh jurang atau
barrancos
Pebukitan Denudasional
V14 Gunung Api (Gunung Tebing landai-curam, tersayat
Berapi Terkikis & Kaldera) kuat

V15 Leher gunungapi Lereng landai-sangat curam,


bukit terisolasi, tersayat kuat

Tabel 1.5. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal kars (van Zuidam,1983)
Kode Unit Karakteristik
Karst Plateaus Topografi bergelombang –
K1 bergelombang kuat dengan
(Dataran Tinggi Karst) sedikit depresi hasil pelarutan
dan lembah mengikuti kekar.
Karstic/Denudational Slope Topografi dengan lereng
and Hills (Lereng Karst menengah – curam,
K2 Denudasional, lereng bergelombang kuat – berbukit,
kastified pada batugamping permukaan tak teratur dengan
kemungkinan dijumpai lapis,
yang relatif keras) depresi hasil pelarutan dan
23
sedikit lembah kering.

Karstic/Denudational Hills Topografi dengan lereng


K3 and Mountains menengah sangat curam,
(Perbukitan & Pegunungan berbukit, pegunungan, lapis,
depresi hasil pelarutan, cliff ,
Karst Denudasional)
permukaan berbatu.
Labyrint or Starkarst Zone Topografi dengan lereng curam –
K4 sangat curam, permukaan sangat
(Labirin atau star kars) kasar dan tajam dan depresi hasil
pelarutan yang tak teratur.
Topografi dengan lereng
menengah – sangat curam,
K5 Conical Karst Zone bergelombang kuat – berbukit,
perbukitan membundar bentuk
conic & pepino & depresi
polygonal (cockpits & glades).
Tower Karst Hills or Hills Perbukitan terisolir dengan lereng
K6 Zone/Isolated Limestone sangat curam – amat sangat
Remnant curam (towers, hums, mogots
atau haystacks).
Topografi datar – hampir datar
mengelilingi sisa batugamping
K7 Karst Aluvium Plains terisolasi / zona perbukitan
menara karst atau perbukitan
normal atau terajam lemah.
K8 Karst Border / Marginal Lereng hampir datar – landai,
Plain (Tepian Kars) terajam dan jarang atau sangat
jarang banjir.
Sering ditamukan depresi
K9 Major Uvala/Glades polygonal atau hasil pelarutan
dengan tepi lereng curam
menengah – curam, jarang banjir.
Bentuk depresi memanjang dan
luas, sering berkembang pada
K10 Poljes sesar dan kontak litologi, sering
banjir oleh air sungai, air hujan &
mata air karst.

24
Lembah dengan lereng landai
curam – menengah, sering
K11 Dry Valleys (Major) dijumpai sisi lembah yang curam
– sangat curam, depresi hasil
pelarutan (ponors) dapat muncul.
Lembah berlereng landai curam –
K12 Karst Canyons/Collapsed menengah dengan sisi lembah
Valleys sangat curam – teramat curam,
dasar lembah tak teratur dan
jembatan dapat terbentuk.

Tabel 1.6. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal struktural (van


Zuidam,1983)

Kode Unit Karakteristik Umum


Topografi bergelombang
sedang hingga Rendah sampai cukup miring.
S1 bergelombang kuat dengan
Tersayat menengah
pola aliran berhubungan
dengan kekar, dan patahan
Topografi bergelombang Rendah sampai topografi tebing
sedanghingga bergelombang
yang cukup miring dengan
S2 kuat dengan pola aliran
berbentuk linear. Tersayat
berkaitan dengan singkapan
menengah – kuat
batuan berlapis
Topografi bergelombang Topografi sedang sampai
kuat hingga perbukitan
S3 topografi tersayat kuat, tebing
dengan pola aliran berkaitan
yang cukup miring.
dengan kekar dan patahan
Topografi perbukitan Cukup curam sampai topografi
S4 hingga pegunungan dengan tebing yang sangat miring curam
pola aliran berkaitan dengan dengan berbentuk linear.
singkapan batuan berlapis Tersayat menengah sampai kuat
Topografi datar hingga
S5 Mesas / Dataran Tinggi bergelombang lemah di atas
yang Dikontrol Struktur plateau dan perbukitan di bagian
tebing
Bergelombang lemah di bagian
S6 Cuestas lereng belakang dan perbukitan
pada lereng depan. Tersayat
lemah.
25
S7 Hogbacks & Flatirons Tinggian berupa topografi
perbukitan tersayat.
Teras Denudasional Topografi bergelombang lemah
S8 hingga perbukitan. Tersayat
Struktural
menengah.
S9 Perbukitan Antiklin & Topografi bergelombang kuat
Sinklin hingga perbukitan.
Lereng yang cukup curam hingga
S10 Depresi Sinklin & Combes rendah / topografi landai sampai
bergelombang. Tersayat lemah –
menengah.
S11 Kubah / Perbukitan Sisa Topografi bergelombang kuat
hingga perbukitan.
Topografi bergelombang kuat
S12 Dykes hingga perbukitan. Tersayat
menengah.
Gawir Sesar & Topografi bergelombang kuat
S13 Gawir Garis Sesar hingga perbukitan. Tersayat
(Tebing yang Curam) menengah sampai kuat.
S14 Depresi Graben Topografi bergelombang lemah
hingga kuat.
S15 Tinggian Horst Topografi bergelombang kuat
hingga perbukitan.

4. Stadia Daerah

Penentuan stadia geomorfologi suatu daerah sangat penting memperhatikan

berbagai aspek seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia sungai yang telah

terbentuk. Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui proses -

proses geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut.

Proses tersebut dapat berupa proses endogen (sesar, lipatan, intrusi,

magmatisme) dan proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi). Stadia daerah

penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi.

Perkembangan stadia daerah akan dapat menggambarkan seberapa jauh morfologi

di daerah telah berubah dari morfologi aslinya.

26
Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi empat dan

mempunyai ciri tersendiri (Gambar 1.8), yaitu:

Gambar 1.8. Stadia daerah (Lobeck, 1939)

a. Pertama, stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan

lembah sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan,

gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk V, terkadang

dijumpai air terjun dan danau, kondisi geologi masih orisinil atau umumnya

belum mengalami proses deformasi.

b. Kedua, stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang membesar

dan dalam dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai

sedang, aliran sungai berkelok-kelok, terdapat meander, umumnya tidak

dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi-

lateral, lembahnya berbentuk U.

c. Ketiga, stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak

berpola, sungai berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai,

terbentuk pulau-pulau tapal kuda, arus sungai tidak kuat dan litologi relatif

27
seragam. Ke-empat, proses peremajaan ulang (rejuvenation) terbentuk

apabila pada daerah yang sudah mengalami stadia tua terjadi suatu proses

epirogenesis atau orogenesis, maka daerah dengan stadia tua tersebut

terangkat kembali.

E. Analisis Stratigrafi

Analisis stratigrafi menggunakan metode pengelompokan penyebaran

batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian yang berdasarkan ciri litologi

yang dominan dan dapat dikenali di lapangan. Metode pengelompokan lapisan -

lapisan batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan berdasarkan

konsep litostratigrafi.

Metode pengelompokan batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian

dilakukan berdasarkan ciri-ciri litologi yang ada di daerah penelitian yang

kemudian disebandingkan dengan stratigrafi regional. Pembagian berdasarkan

litostratigrafi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di bumi secara

bersistem menjadi satuan – satuan bernama yang bersendi pada ciri litologi

dominan yang dapat dikenali di lapangan. Pengelompokan dengan sistem

penamaan satuan batuan tidak resmi tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia

pada Bab II pasal 14 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Hal tersebut juga dengan

memperhatikan urutan stratigrafi yang dilakukan beberapa peneliti sebelumnya

Sujanto, dkk (1992).

Penarikan batas satuan batuan dilakukan dengan cara interpolasi dan

ekstrapolasi. Hal tersebut memperhatikan keadaan dan karakteristik singkapan

yang dijumpai di lapangan dengan mempertimbangkan logika dan konsep geologi

28
yang diaplikasikan di lapangan. Untuk memperkirakan batas satuan yang tidak

tegas, dilakukan pendekatan hukum V (Gambar 1.12). Hukum ini menyatakan

hubungan antara lapisan yang mempunyai kemiringan dengan relief topografi

yang menghasilkan suatu pola singkapan. Morfologi yang berbeda akan

memberikan pola singkapan yang berbeda meskipun dalam lapisan dengan tebal

dan dip yang sama.

Gambar 1.9. Ekspresi Hukum “V” yang menunjukkan hubungan kedudukan


lapisan dengan morfologi (Ragan, 1973)

Hukum V digunakan untuk mengetahui pola penyebaran dari singkapan

sehingga memudahkan untuk mendeterminasi kearah mana kira-kira singkapan

berlanjut. Hukum tersebut sebagai berikut:

a. Lapisan horisontal akan membentuk pola singkapan yang mengikuti pola

garis kontur (Gambar 1.9.a).

b. Lapisan dengan dip berlawanan arah dengan slope akan membentuk pola

singkapan berbentuk huruf "V" yang memotong lembah dimana pola

singkapannya berlawanan dengan arah kemiringan lembah (Gambar 1.9.b).

29
c. Lapisan tegak akan membentuk pola singkapan berupa garis lurus, dimana

pola singkapan ini tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi (Gambar 1.9.c).

d. Lapisan dengan dip searah dengan arah slope dimana dip lapisan lebih besar

dari pada slope, akan membentuk pola singkapan dengan huruf “V"

mengarah sama (searah) dengan arah slope (Gambar 1.9.d).

e. Lapisan dengan dip searah dengan slope dan besarnya dip sama dengan

slope, maka pola singkapannya terpisah oleh lembah (Gambar 1.9.e.)

f. Lapisan dengan dip yang searah dengan slope, dimana besar dip lebih kecil

dari slope, maka pola singkapannya akan membentuk huruf "V" yang

berlawanan dengan arah slope (Gambar 1.9.f).

F. Analsis Struktur Geologi

Struktur geologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan analisis citra

DEM, peta topografi, peta geologi regional serta pengamatan unsur – unsur

struktur geologi regional dan hasil analisis dari data – data pengukuran di

lapangan. Dalam mempelajari struktur yang berkembang pada daerah penelitian

dilakukan pendekatan dengan model struktur yang dikemukakan oleh Harding

(1979) (Gambar 1.10). Konsep tersebut menerangkan mengenai struktur geologi

pada batuan sebagai akibat adanya gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik.

Tahap awal yang dilakukan dalam analisis geomorfologi daerah penelitian adalah

analisis pola kelurusan (bukit, lembah dan sungai). Pada tahap analisis ini

digunakan software Global Mapper v.16.00 dan ArcGIS v.10.3 yang dengan

dukungan data berupa citra DEM (Digital Elevation Model). Penarikan pola

kelurusan dan bentuk khusus dilakukan pada citra DEM yang diolah di Global

Mapper untuk diatur shadingnya, kemudian digitasi pola kelurusan dilakukan di

30
ArcGIS. Pola kelurusan lembah dan bukit digunakan sebagai dasar indikasi

keberadaan sesar dari offset kelurusan.

Gambar 1.10. Model struktur geologi a. Pure shear dan b. Simple shear (Harding,
1979).

1. Kekar

Menurut Billings (1974) kekar (joint) adalah struktur rekahan dalam batuan

yang belum mengalami pergeseran, merupakan hal yang umum bila terdapat pada

batuan dan bisa terbentuk pada setiap waktu. Pada batuan sedimen, kekar bisa

terbentuk mulai pada saat pengendapan atau terbentuk setelah pengendapan,

dalam batuan beku bisa terbentuk akibat proses pendinginan maupun setelah

pendinginan. Dalam proses deformasi, kekar bisa terjadi pada saat mendekati

proses akhir atau bersamaan dengan terbentuknya struktur lain, seperti sesar atau

lipatan. Selain itu kekar bisa terbentuk sebagai struktur penyerta dari struktur

sesar maupun lipatan yang diakibatkan oleh tektonik. Pemodelan dan analisis

kekar menggunakan pendekatan klasifikasi Billings (1974) yang menerangkan

mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat adanya gaya kompresi yang

disebabkan oleh tektonik (Gambar 1.11). Berdasarkan cara terjadinya kekar dapat

dikelompokan menjadi kekar tekanan dan kekar tarikan (Tabel 1.7).

31
Gambar 1.11. Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings,1974).

Tabel 1.7. Jenis dan karakteristik kekar berdasarkan cara terjadinya (Twiss
dan Moore, 1992).
Jenis Kekar Karakteristik

Bidangnya licin/rata Memotong


seluruh batuan memotong butir-butir
komponen pada konglomerat
Tekanan / Gerus (Compression / Shear Berpasangan Memotong bidang
perlapisan dengan sudut tertentu Pada
fracture) batuan metamorfis akan memotong
foliasi.
Tarikan (Tension joints / Joints) Bentuk terbuka Bidang yang tidak rata
dan pola kekar tidak teratur.
Mengelilingi butir-butir komponen
pada konglomerat.

Data lapangan yang berupa kekar gerus akan dihubungkan dengan model

Riedel Shear (Gambar 1.12) dimana dalam model ini suatu sesar akan

menghasilkan shear zone yang akan memiliki arah sama dengan pergerakan sesar

utama (R = synthetic shear bands) dan satu lagi akan memiliki arah yang

berlawanan (R’ = antithetic shear bands). Indikasi pergerakan sesar akan

32
didasarkan dari penentuan gaya utama yang diketahui dari sudut lancip yang

dibentuk oleh kekar gerus tersebut.

Gambar 1.12. Urut-urutan pembentukan sintetik Riedel Shear pada sesar mendatar
mengkiri, a) Zona R shear yang searah pergerakan sesar utama
(sintetik), b) Pembentukan antitetik R’ shear, c) Pembentukan P
shear (Ahlgren, 1999).

2. Sesar

Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami

pergeseran melalui bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa bidang sesar (fault

plane), atau rekahan tunggal. Tetapi lebih sering berupa jalur sesar (fault zone)

yang terdiri dari lebih dari satu sesar. Dalam penelitian ini digunakan klasifikasi

sesar menurut Rickard (1972) (Gambar 1.13). Klasifikasi sesar umumnya

berdasarkan pergerakan blok sesar (Gambar 1.14).

33
Gambar 1.13. Diagram klasifikasi sesar (Rickard, 1972).

Diagram klasifikasi sesar digunakan dengan cara menentukan nilai dari

rake of net slip dan dip of fault, nilai tersebut didapat dari analisis kekar yang

dijumpai dilapangan menggunakan diagram stereografi. Setelah nilai didapat

selanjutnya dilakukan analisis arah gerakan dari sesar tersebut. Arah gerakan

didapat berdasarkan gerak relatif dari gaya utama.

Gambar 1.14. Pergerakan relatif blok-blok sesar (Twiss dan Moore, 1992)

34
Berdasarkan pergerakan blok dibagi menjadi beberapa kelas sebagai

berikut:

a. Umum: Normal/turun, reverse/naik (termasuk “thrust” sesar

anjakan/sungkup), Sesar mendatar.

b. Sifat pergeseran: Slip (gerak sebenarnya), Separation (gerak semu).

c. Sifat gerak terhadap bidang sesar: Dip slip, Strike slip, Oblique

slip.

3. Lipatan

Lipatan menurut Flutey (1964) adalah deformasi yang tak seragam

(inhomogeneous) yang terjadi pada suatu bahan yang mengandung unsur garis

atau bidang. Walaupun demikian, suatu deformasi yang menghasilkan lipatan pada

suatu keadaan, tidak selalu demikian pada kondisi yang lain. Suatu masa batuan

yang tidak mempunyai unsur struktur garis atau bidang, tidak menunjukkan tanda

perlipatan.

Perlu juga dipertimbangkan bahwa, suatu unsur yang sebelumnya berbentuk

lengkungan dapat berubah menjadi bidang atau garis lurus, atau suatu unsur dapat

tetap sebagai struktur bidang atau garis lurus setelah terjadi deformasi. Penamaan

perlipatan menggunakan kedudukan lipatan dinyatakan dari kedudukan sumbu

lipatan dan bidang sumbu lipatan Fluety (1964) membuat klasifikasi berdasarkan

kecondongannya kemiringan bidang sumbu dan penunjamannya garis sumbu

(Tabel 1.8) dapat juga dilihat pada (Gambar 1.15).

35
Tabel 1.8. Klasifikasi perlipatan (Fleuty, 1964)

Sumbu (…..0) Istilah Dip Bidang Sumbu Plunge Garis Sumbu


0 Horizontal Recumbent fold Horizontal fold
1 – 10 Subhorizontal Recumbent fold Subhorizontal fold
10 – 30 Gentle Gently inclined fold Gentle plunging fold
30 – 60 Moderate Moderately inclined fold Moderate plunging fold
60 – 80 Steep Steeply inclined fold Steeply inclined fold
80 – 89 Subvertical Upright fold Vertical fold
90 Vertical Upright fold Vertical fold

Gambar 1.15. Klasifikasi perlipatan (Fluety, 1964)

1.8.3. Tahap Penyusunan Laporan

Tahap penyusunan laporan meliputi:

a. Penggambaran peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi dan peta

geologi.

b. Penyelesaian penampang geologi, dan penampang geomorfologi

c. Penyelesaian atau pengetikan naskah laporan

36
1.8.4. Tahap Presentasi

Tahap ini merupakan tahap presentasi hasil penelitian yang telah dilakukan

untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian dihadapan dosen pembimbing

dan dosen penguji.

1.8.5. Peralatan yang Digunakan

Peralatan yang akan digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan yang

digunakan untuk penelitian di lapangan, laboratorium dan studio. Masing –

masing peralatan tersebut akan disebutkan pada subbab berikutnya.

1.8.5.1. Peralatan Lapangan

Peralatan yang diperlukan dalam pekerjaan lapangan ini adalah:

a. Peta topografi Lembar Turen No. 1607 – 432 dan lembar Sumbermanjing

Wetan No. 1607 – 414 dengan skala 1:25.000 terbitan BAKORSUTANAL.

b. Peta Geologi Regional Lembar Turen dengan skala 1:100.000.

c. Kompas geologi sistem azimuth untuk menentukan lokasi pengamatan,

pengukuran arah jurus dan kemiringan perlapisan batuan, bidang kekar,

bidang sesar, pengukuran kemiringan lereng dan sebagainya.

d. GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi koordinat lokasi

pengamatan di lapangan.

e. Palu geologi jenis batuan sedimen dan batuan beku.

f. Larutan HCl, digunakan untuk mengetahui kandungan karbonat dalam

batuan di lapangan.

g. Tongkat Jacob, digunakan sebagai pembanding dan untuk mengukur tebal

singkapan.

37
h. Kaca pembesar (loupe), digunakan untuk membantu dalam pengamatan

kandungan mineral atau fosil dari contoh batuan di daerah penelitian.

i. Parameter ukuran butir untuk batuan sedimen dan batuan piroklastik.

j. Kantong contoh batuan, digunakan untuk menyimpan contoh batuan yang

diambil di daerah penelitian.

k. Alat tulis dan gambar serta buku catatan lapagan, digunakan untuk mencatat

semua data yang ada pada lokasi pengamatan.

l. Kamera, digunakan untuk memotret semua data yang ada di daerah

penelitian.

m. Jas hujan, digunakan untuk melindungi peneliti, peralatan yang dibawa, dan

contoh batuan pada saat hujan.

1.8.5.2. Peralatan Analisis Laboratorium

Peralatan yang diperlukan untuk analisis laboratorium dibagi menjadi 2

yaitu untuk analisis fosil dan analisis petrografi.

A. Peralatan Paleontologi

Peralatan yang digunakan untuk analisis fosil adalah:

a. Larutan H2O2, digunakan untuk melarutkan atau memisahkan mikrofosil

dengan matrik berupa lempung.

b. Ayakan mesh 30, 80, 100, untuk memisahkan fraksi halus dengan kasar dan

disesuaikan dengan kebutuhan.

c. Oven, mengeringkan batuan yang sudah dihancurkan dalam 5 jam.

d. Mikroskop binokuler, mengamati hasil ayakan dan untuk melakukan

deskripsi fosil.

38
e. Tabel umur relatif (Blow, 1969), digunakan untuk menentukan umur relatif

pada batuan melalui fosil.

B. Peralatan Petrografi

Peralatan yang digunakan untuk analisis petrografi adalah mikroskop

polarisasi. Mikroskop polarisasi yang dipakai untuk analisis laboratorium ini

adakah Mikroskop Olympus seri CX-31 yang sudah memiliki perbesaran 40%,

100% dan 400%. Mikroskop ini cukup baik untuk analisis petrografi karena sudah

tidak memerlukan cahaya matahri lagi, melainkan cahaya lampu yang suda ada

pada mikroskop ini.

C. Peralatan Analisis Studio

Peralatan yang digunakan untuk analisis studio sangat beragam dari analisis

geomorfologi, analisis stratigrafi, analisis struktur geologi, serta beberapa

referensi untuk penyelesaian interpretasi geologi daerah penelitian. Peralatan

tersebut diantaranya adalah:

a. Peta topografi Lembar Turen No. 1607 – 432 dan lembar Sumbermanjing

Wetan No. 1607 – 414 dengan skala 1:25.000 terbitan BAKORSUTANAL

dan peta DEM (Digital Elevation Model).

b. Peta Geologi Regional Lembar Turen dengan skala 1:100.000.

c. Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).

d. Literatur geologi (geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi).

e. Diagram kalsbeek counting area net, polar equal net, schmidt net dan

wulfnet.

39

Anda mungkin juga menyukai