OLEH:
Kelompok III
Nama Anggota:
Ferdyansyah (163610209)
Ganda Kusuma (163610236)
Rebiana Urbaningrum (163610078)
Roby Samuel (163610649)
1
struktur dan sifat batuan yang terdapat pada singkapan yang nantinya akan
digunakan untuk memetakan kondisi geologi suatu daerah.
Dalam upaya penerapan ilmu geologi yang merupakan ilmu yang
mempelajari material penyusun kerak bumi, proses-proses yang berlangsung
selama atau setelah pembentukannya maupun sejarah geologi yang dapat
terungkap melalui informasi batuan yang ada, maka dilakukan berbagai metode
analisis, namun pendekatan dan penelitian geologi dasar (basic geology) harus
menjadi yang terdepan, karena jika terjadi kesalahan pada geologi dasar, pada
tahap selanjutnya akan mengalami kekeliruan (Barnes, 1981). Salah satu bentuk
pendekatan dan penelitian geologi dasar tersebut adalah pemetaan geologi.
Selain geologi dasar, tentunya ilmu geomorfologi, petrologi, stratigrafi dan
geologi struktur merupakan ilmu dasar dari pemetaan geologi. Daerah Desa
Kolok Mudik , Kecamatan Berangin, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat
merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki keanekaragaman proses
geologi sehingga daerah tersebut masih sering diperdebatkan maka pemetaan
geologi pun dilakukan untuk memperoleh informasi mencakup geomorfologi,
litologi, stratigrafi dan struktur geologi. Hasil dari memperoleh data-data tersebut
maka akan dapat dilakukan pendekatan analisis yang lebih rinci.
2
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian di Daerah Desa Kolok
Mudik , Kecamatan Berangin, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat dan
sekitarnya adalah untuk mengetahui berbagai aspek geologi yang ada berupa :
1. Aspek geomorfologi, meliputi unsur-unsur geomorfologi seperti pola aliran
sungai, perbukitan, patahan, dan penarikan batas-batas satuan geomorfologi
berdasarkan klasifikasi yang ada.
2. Aspek litostratigrafi dan sedimentologi, mendeskripsikan batuan pada
singkapan, urut-urutan perlapisan batuan penyusun di lokasi penelitian yang
dihubungkan dengan penamaan satuan batuan dan mengkorelasikannya
dengan satuan-satuan stratigrafi resmi yang ada, serta umur dan lingkungan
pengendapan.
3. Aspek struktur geologi, mengukur dan menganalis indikasi yang ada serta
menentukan jenis dan pola strukturnya,
4. Aspek sejarah geologi, meliputi kronologis peristiwa perkembangan
pembentukan batuan di lokasi penelitian yang dihubungkan dengan tektonik
serta skala waktu geologi berdasarkan analisis data yang ada.
5. Potensi geologi, meliputi keberadaan sumberdaya alam yang berpotensi untuk
dapat dimanfaatkan.
3
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar.
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Solok.
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Sijunjung.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Solok.
4
Gambar 1.1 Peta Administrasi Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat
(Sumber : Zulfikar Basmoesa, 2008)
Kondisi topografi, wilayah Kota Sawahlunto merupakan daerah perbukitan
dengan ketinggian antara 250–650 meter diatas permukaan laut. Pada bagian
Timur dan Selatan mempunyai topografi yang relatif curam (kemiringan lebih dari
40 %) yang luasnya 28,52 % dari luas wilayah keseluruhan. Sedangkan bagian
Utara mempunyai keadaan topografi bergelombang dan relatif datar.
Kemiringan dan keterjalan bentang alam ini menjadi kendala atau faktor
pembatas pengembangan wilayah Kota Sawahlunto. Bentang alam yang landai
terletak hampir di tengah daerah Kota Sawahlunto, tetapi umumnya merupakan
jalur -jalur sempit sehingga dirasa sulit untuk dikembangkan menjadi permukiman
5
perkotaan. Posisi daerah kegiatan penelitian memanjang sepanjang Sesar
Sawahlunto, memisahkan perbukitan terjal yang terletak dikedua sisinya. Kondisi
kelerengan lahan di kota Sawahlunto dapat dilihat pada (Tabel 1.1) di bawah ini :
Tabel 1.1 Kondisi Kelerengan Lahan di Kota Sawahlunto (Sumber: BPN Kota
Sawahlunto)
No Kecamatan Luas Lahan (Ha) dengan Kemiringan Lereng(%) Jumlah
0-2 2-15 15-25 25-40 >40 (Ha)
1 Talawi 991.00 1420.00 2680.00 3195.00 1653.00 9939.00
2 Barangin 343.00 1514.00 1432.00 3450.00 2136.00 8875.00
3 Lembah 24.00 358.00 694.00 1836.00 2110.00 5238.00
Segar
4 Silungkang 29.00 288.00 735.00 340.00 1901.00 3293.00
Jumlah 1603.00 3580.00 5541.00 8821.00 7800.00 27345.00
1. Bagi keilmuan:
1. Mengetahui kondisi geologi daerah penelitian.
2. Mengetahui Potensi geologi daerah penelitian.
2. Bagi pemerintah :
1. Mengetahui lokasi keberadaan daerah daerah yang berpotensi.
2. Sebagai acuan pengembangan lokasi penambanganbah
3. Sebagai tata guna lahan
6
Demi kelancaran kerja lapangan, peneliti menjadikan rumah warga Kolok
Mudik sebagai basecamp dengan pertimbangan akomodasi dan pencapaian lokasi
yang mendukung kelancaran kerja.Adapun kendala yang dihadapi saat melakukan
pengambilan data di lapangan adalah vegetasi yang lebat, kontur yang berbukit-
bukit terjal serta kesampaian lokasi yang jauh dari pemukiman dan tidak dapat
dilalui oleh kendaraan, dan akses jalan yang kurang memadai.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiografi
Menurut Tobler (1922) dalam van Bemmelen (1949), secara fisiografis
daerah Sumatra Tengah dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu Dataran
Aluvial Pantai Timur, Cekungan Tersier Sumatra Tengah, Zona Depresi
Tengah dari Daerah Barisan, Pegunungan Barisan Depan, Sekis Barisan
atau Daerah Barisan Timur, Daerah Dataran Tinggi Barisan, Dataran
Aluvial Pantai Barat. Berdasarkan klasifikasi 7 zona tersebut cekungan
ombilin termasuk kedalam zona Pegunungan Barisan Depan. Cekungan
Ombilin merupakan cekungan yang diapit oleh 2 pegunungan, yaitu
pegunungan barisan barat dan pegunungan barisan timur. Gambar 2.1.
menunjukan klasifikasi zona fisiografi menurut van Bemmelen, 1949
8
Secara stratigrafi, berdasarkan para peneliti terdahulu (Koesoemadinata
dan Matasak,1981) Cekungan Ombilin memiliki batuan dengan umur Pra-
Tersier (Perm dan Trias) hingga Kuarter (Gambar 2.2).
Berikut urutan stratigrafi Cekungan Ombilin dari tua ke muda dengan umur
Pra- Tersier (Perm dan Trias) hingga batuan berumur Kuarter :
9
Batuan Pra-Tersier merupakan batuan yang mendasari Cekungan
Ombilin Batuan ini tersingkap di bagian barat dan timur cekungan.
B. Batuan Tersier
1. Formasi Brani
Formasi ini terdapat pada bagian tepi cekungan yang terdiri dari
konglomerat bewarna coklat sampai violet, berukuran kerakal hingga
berakal, terpilah sangat buruk, bentuk butirnya menyudut tanggung sampai
membundar tanggung dan umumnya perlapisan batuannya tidak
berkembang dengan baik.Formasi ini mempunyai dua anggota, yaitu
anggota selo dan anggota kualampi.
2. Formasi Sangkarewang
10
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang
terdiri dari serpih berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai
hitam, plastis, gampingan mengandung material karbon, mika, pirit, dan
sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisan- lapisan
batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen
kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam, matriks
lempung terpilah buruk mengandung mika dan material karbon dan
terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir ini menunjukan
pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa polen umur dari formasi ini
diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam
Koesomadinata dan Matasak, 1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985),
berumur Eosen Atas (Himawan, 1991 dalam Situmorang, dkk.,1991),
berumur Paleosen-Eosen (Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen-
Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993), berumur Eosen-Oligosen
(Whateley dan Jordan, 1989, Howells, 1997 dalam Barber, 2005). Menurut
Koesomadinata dan Matasak (1981) berdasarkan hubungannya dengan
Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang berdasarkan analisa polen
Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen
diperkirakan Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi
Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan danau.
3. Formasi Sawahlunto
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terdiri dari
sekuen serpih berwarna abu-kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau
dengan sisipan batupasir kuarsa berwarna abu-kecoklatan dan dicirikan
dengan hadirnya batubara. Serpih umumnya karbonan. Batupasir memiliki
ciri sekuen menghalus ke atas, memiliki struktur sedimen berlapis silang-
siur, ripple lamination dan dasar erosi tegas yang menunjukkan suatu sekuen
point bar. Batubara umumnya berselingan dengan batulanau berwarna
kelabu dan lempung karbonan.
11
Paleosen sampai Eosen, sedangkan menurut Himawan (1991) dalam
Situmorang, dkk. (1991) dan Bartman dalam Yarmanto dan Fletcher (1993)
berdasarkan analisa polen, umur formasi ini diperkirakan Oligosen hingga
Miosen Awal.
4. Formasi SawahTambang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh
sekuen massif yang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan
batulanau berkembang secara setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang
sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar, sebagian besar
konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah sangat
buruk, menyudut tanggung, keras dan masif. Ciri sekuen Formasi
Sawahtambang terdiri dari siklus- siklus atau seri pengendapan dimana
setiap siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti
oleh kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan paralel laminasi dengan
sekuen yang menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan terdapat
12
lensa-lensa batupasir yang bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya
berskala besar dan memiliki bentuk gelombang (trough crossbedded).
Secara setempat, pada bagian bawah Formasi Sawahtambang, terdapat
sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang membentuk
unit tersendiri yaitu sebagai Anggota Rasau. Sedangkan, pada bagian atas
formasi ini dengan sisipan lapisan- lapisan batulempung dengan kandungan
laminasi batubara yang terjadi secara setempat, membentuk unit sendiri,
yaitu Anggota Poro.
Menurut Whateley dan Jordan (1989) dan Howells (1997) dalam Barber,
dkk. (2005) sumber sedimen dari Formasi Sawahtambang ini berasal dari
barat cekungan Ombilin. Menurut Barber, dkk. (2005) proses pengendapan
13
dari Formasi Sawahtambang ini bersamaan dengan pengangkatan dari Bukit
Barisan.
5. Formasi Ombilin
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari
serpih atau napal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila
lapuk menjadi berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik.
Termasuk kedalam sekuen ini adalah lapisan-lapisan batupasir yang
mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu kehijauan, secara
umum terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada bagian bawah
dari formasi ini terdapat nodul-nodul batugamping dan lensa batugamping
foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas sisipan lapisan batupasir tufaan,
diselingi oleh batulanau bersifat karbonan, mengandung glaukonit dan fosil
moluska.
14
fragmen dari batubara dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir
pantai. Proses pengendapan Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini
terjadi akibat adanya proses transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin
yang berhubungan dengan fase transgressi pada cekungan busur belakang
Sumatra (Situmorang, dkk., 1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak
selaras di atas Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di
beberapa tempat. Sedangkan, Formasi Ombilin terletak selaras di atas
Formasi Sawahtambang. Menurut Koning (1985) antara Formasi Ombilin
dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan
reflektansi vitrinit terhadap kedalaman pada sumur bor di subcekungan
Sinamar yang mengindikasikan terdapatnya bagian Sawahtambang yang
telah tererosi. Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi
Ombilin memiliki ketebalan antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning
(1985) berdasarkan data seismik, tebal formasi ini 2740 meter.
6. Formasi Ranau
Menurut Van Bemmelen (1943) pada beberapa lokasi di Cekungan
Ombilin, didapatkan formasi berupa tufa yang disebut sebagai Tufa Ranau.
Tufa ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen
(Koesomadinata dan Matasak, 1981), sedangkan menurut Bellon, dkk.
(2004) dalam Barber, dkk. 2005 umur dari formasi ini diperkirakan antara
5,5 hingga 2,4 juta tahun yang lalu (Pliosen).
15
Sitangkai di utara dan Sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang lebih
paralel terhadap sistem Sesar Sumatra dapat dilihat pada (Gambar 2.6).
Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan Neogen,
dibatasi oleh Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan.Secara lokal ada tiga
bagian struktur yang bisa dikenal pada Cekungan Ombilin.
a) Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk
bagian dari sistem Sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi
oleh Sesar Sitangkai dan Sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang
ke arah tenggara menjadi Sesar Takung. Bagian selatan dari cekungan
dibatasi oleh Sesar Silungkang.
b) Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat
pada timur laut dari cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola
tangga (step-like fault), dari utara ke selatan: Sesar Kolok, Sesar
Tigotumpuk, dan Sesar Tanjung Ampalu. Perkembangan dari sesar ini
berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari pembentukan
cekungan dan terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan.
16
Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar antitetik mengiri dengan
komponen dominan dip-slip. Pola struktur keseluruhan dari Cekungan Ombilin
menunjukan sistem transtensional atau pull-apart yang terbentuk diantara offset
lepasan dari Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-
tenggara yang mana sistem sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan
sistem sesar yang berarah baratlaut-tenggara.Adanya fase ekstensional dan
kompresional yang ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena
umum untuk Cekungan Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan
ini mengalami pergantian fase ekstensional pada satu sisi yang diikuti oleh
pemendekan pada sisi yang lain
BAB III
17
METODOLOGI PENELITIAN
18
3. Kompas geologi
4. Palu geologi (beku dan sedimen)
5. GPS dan baterai
6. Lensa lup tangan (perbesaran 10x atau 20x atau lainnya)
7. Buku catatan lapangan (termasuk lembar deskripsi batuan)
8. Alat tulis (pensil 2B, spidol, dan lain-lain)
9. Larutan HCl 0,1 N
10. Komparator batuan dan Stereonet saku
11. Meteran ukur atau pita ukur (measuring tape)
12. Clip board
13. Kantong contoh batuan
14. Kamera
15. Tas lapangan
2. Perizinan
19
Perizinan dilakukan baik dari pihak Universitas Islam Riau maupun
pemerintah daerah di Lokasi Pemetaan.
3. Pembuatan Peta Topografi dan Peta Geomorfologi
Peta topografi adalah suatu peta yang menunjukkan maklumat topografi
dan fitur-fitur yang ada di atas permukaan bumi, seperti bukit, sungai, jalan dan
lainnya. Skala peta topografi yang digunakan yaitu 1:12.500, dengan luas daerah
penelitian yaitu 3 × 2 km2 , maka akan didapatkan ukuran peta dengan panjang
dan lebar yaitu 24 × 16 cm. Peta dibuat berdasarkan peta Bakos dengan nilai
countour interval yaitu 6.25
Peta geomorfologi adalah suatu peta yang menampilkan informasi satuan
geomorfologi atau kenampakann alam. Pada penentuan satuan geomorfologi
digunakan ukuran grid 1 × 1 cm, dengan menggunakan acuan dari klasifikasi Van
Zuidam.
20
Kekurangan :
a. Ketelitian kurang
b. Hasil plotting sulit dicek kembali
c. Tidak terencana secara matang
1. Metode GPS
Metode GPS dapat digunakan untuk memploting posisi dimana
kita berada, dapat pula digunakan untuk menunjukan gambaran
lintasan selama kita melakukan perjalanan.
Cara :
a. Untuk menentukan lintasan perjalanan, aktifkan GPS dari
kita memulai perjalanan dan memasuki daerah penelitan.
Selanjutnya ploting di GPS setiap berapa meter sampai kita
selesai melakukan perjalanan.
b. Untuk menentukan posisi kita di peta, aktifkan GPS lalu
lakukan ploting setiap kita akan memplot posisi kita di peta.
Keuntungan :
a. Cepat
b. Arah lintasan bebas
c. Data terpercaya dan mudah dicek
d. Mudah mengetahui data penelitian
Kekurangan :
a. Penggunaannya sangat tergantung pada sinyal dari satelit.
b. Keterbatasan penggunaan pada dearah vegatasi lebat.
c. Cuaca dapat mempengaruhi metode ini.
2. Metode Kompas
21
lembu (bull eyes), jarum kompas, klinometer, lingkaran pembagian
derajat. Dan keadaan kompas harus selalu horizontal atau mendatar.
b. Pengukuran azimuth (arah) dapat menggunakan dua cara :
• Kompas dibuka dengan sudut 135° , tangan petunjuk dibuat tegak,
kompas dipegang dipinggang. Sasaran dilihat melalui lubang tangan
petunjuk di garis tengah cermin. Setelah bull eye berada di tengah,
baca angka lingkaran.
• Pembagian derajat yang berhimpit dengan jarum Utara kompas,
sehingga didapatlah harga azimuth/ arah ke depan.
• Kompas geologi dibuka dengan sudut 300, dipegang dekat mata,
sasaran dilihat melalui lubang pengintip dan jendela pandang, dan
melalui cermin dibaca angka lingkaran pembagian derajat yang
berhimpit dengan jarum Utara kompas. Maka didapat harga back
azimuth/ arah belakang.
Kelebihan :
1. Sangat baik dilakukan pada medan apapun,karena daya penyesuaian
metode ini terhadap berbagai medan besar sekali
2. Keputusan yang diambil cepat dapat langsung diambil dilapangan,
untukketelitian,kecepatan,dan ketetapan hasil kerja yang maksimum.
3. Data terpercaya,baik plotting maupun ketersediaan data yang memadai
4. Pengecekan lebih mudah rekonstruksi peta tematik,kolom stratigrafi
terukur,pengambilan sampel batuan terkontrol dengan baik.
Kekurangan :
1. Karena diperlukan pengukuran beberapa elemen parameter lintasan,
pekerjaan menjadi lebih lama.
2. Diperlukan data pendukung tambahan seperti pita ukur,formulir lintasan,
dan kampas yang cocok.
3. Pekerjaan lapangan dilakukan minimal oleh 2 orang.
22
3.3.2.2 Pengamatan Singkapan
Pada pengamatan setiap singkapan dapat dilakukan pengeplotan lokasi
stasiun pengamatan di peta kerangka serta pendeskripsian singkapan batuan secara
megaskopis.
Pengamatan singkapan meliputi :
1 Pengukuran dimensi singkapan, foto, dan sketsa.
2 Deskripsi litologi, strike-dip, ketebalan lapisan, dan struktur sedimen.
3 Pengambilan sampel.
Dalam pengamatan lapisan dilapangan dilakukan beberapa metode yaitu
metode orientasi lapangan dan metode lintasan Kompas / GPS. Metode orientasi
lapangan dilakukan dengan menarik garis-garis searah dari titik pengamatan dari
suatu objek yang jelas dikenal pada peta atau dengan mengamati serta
mencocokkan bentang alam di sekitar titik pengamatan, misalnya garis ketinggian,
sungai, jembatan, jalan, dan lain-lain. Metode ini sesuai untuk daerah terbuka
dengan ciri bentang alam yang sudah dikenal dan lokasi pengamatan yang relatif
berjauhan, sehingga dapat menghemat waktu dan tenanga.
Metode lintasan dan pita ukur dilakukan dengan memperhitungkan arah
dan jarak lintasan terhadap titik patokan yang dapat dilakukan pada peta,
misalkan jembatan atau percabangan sungai. Metode ini sesuai untuk lintasan
tertutup dengan ciri bentang alam yang tidak dapat dikenal, misalnya di lembah
sungai atau pada daerah yang vegetasinya rapat. Dengan metode ini dapat
dilakukan pengamatan secara lebih teliti dan teterperinci, dalam hal ini kami juga
menggunakan GPS sebagai alat bantu yang sangat baik karena dengan
meningkatnya teknologi maka semakin memudahkan penulis dalam hal plotting
dan penentuan lintasan dengan menggunakan GPS.
23
Secara garis besar gambaran bentuk muka bumi dapat dibedakan
menjadi:
1. Bentuk Lahan Pedataran.
2. Bentuk Lahan Perbukitan atau Pegunungan.
3. Bentuk Lahan gunung Api dan Lembah.
24
Gambar 3.1 Pola Dasar Pengaliran Sungai Menurut Zenith (1932) (A) dan Pola
Modifikasi Pengaliran Sungai Menurut A.D.Howard (1967) (B dan C)
POLA KETERANGAN
KARAKTERISTIK
PENGALIRAN GAMBAR
DASAR
25
landai, jenis pola pengaliran membentuk
percabangan menyebar seperti pohon
rindang.
26
pengaliran yang tidak menerus.
2. Morfogenetik
Suatu proses terbentuknya permukaan bumi sehingga membentuk
dataran, perbukitan, pegunungan, gunungapi, plato, lembah, lereng, pola
pengaliran. Proses geologi yang telah dikenal yaitu proses endogen dan
eksogen.
27
Proses endogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan
atau tenaga dari dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan
bumi. Proses dari dalam kerak bumi antara lain intrusi, tektonik dan
volkanisme. Proses intrusi akan menghasilkan perbukitan intrusi, proses
tektonik akan menghasilkan perbukitan terlipat, tersesarkan dan
erkekarkan, proses volkanisme akan menghasilkan gunungapi dan gumuk
tephra.
Proses eksogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh faktor
dari luar bumi seperti iklim, dan vegetasi. Akibat pengaruh iklim dapat
disebut sebagai pengaruh fisika dan kimia. Proses eksogen cenderung
merubah permukaan bumi secara bertahap, yaitu pelapukan batuan.
3. Morfometri
28
kemiringan lereng yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan
klasifikasi kemiringan lereng menurut van Zuidam (1983, dalam
Hindartan, 1994) sehingga diperoleh penamaan kelas lerengnya. Teknik
perhitungan kemiringan lerengnya dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik grid cell berukuran 2 x 2 cm pada peta topografi skala 1
:12.500.Kemudian dalam mendapatkan hasil kemiringannya digunakan
rumus:
(𝑛 − 1) 𝐼𝑐
𝑆= × 100%
𝑑𝑥. 𝑠𝑝
Keterangan : S = Kemiringan lereng
n = nilai jumlah kontur yang terpotong (cm)
Ic = interval kontur
dx = panjang garis potong (cm)
sp = skala peta
Tabel 3.4 Klasifikasi Kemiringan Lereng Berdasarkan van Zuidam (1983, dalam
Hindartan, 1994)
Kemiringan
Klasifikasi Beda tinggi (m)
Persen (%) Derajat ( o)
Datar 0–2 0 – 1,15 <5m
AgakLandai 2–7 1,15 – 4 5 – 25 m
Landai 7 -15 4 – 8,5 25 – 75 m
Agakcuram 15 -30 8,5 – 16, 7 75 – 200 m
Curam 30 – 70 16,7 – 35 200 – 500 m
Terjal 70 – 140 35 – 54,5 500 – 1000 m
SangatTerjal > 140 > 54,5 > 1000 m
29
b. Analisis Stratigrafi
1. Jenis Litologi
30
Gambar 3.2 Klasifikasi Batupasir Menurut Pettyjohn, 1987.
31
B. Batuan Beku
Batuan beku terbentuk karena proses pendinginan magma yang dapat terdiri
atas berbagai jenis batuan tergantung pada komposisi mineralnya. Magma merupakan
cairan silikat pijar yang terbentuk secara alamiah, mempunyai temperatur
yang tinggi(900° C - 1600° C) dan berasal dari bagian dalam bumi yang disebut
selubung bumi ( mantel ) bagian atas.Komposisi magma terdiri dari 8 unsur
utama yaitu O, Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na, K dan jugamengandung senyawa H2O
dan CO2 serta beberapa komponen gas H2S, HCl, CH4 dan CO.
32
Keterangan gambar yaitu : a. Klasifikasi umum, b. Batuan
ultramafik, gabroik & anortosit, c.Batuan ultramafik. I. Granitoid; II.
Syenitoid; III. Dioritoid; IV. Gabroid; V. Foid Syenitoid; VI. Foid
Dioritoid & Gabroid; VII. Foidolit; VIII. Anortosit; IX. Peridotit; X.
Piroksenit; XI. Hornblendit; II-IV. The Qualifier ‘Foid-Bearing’,
digunakan bila feldspatoid hadir; IX-XI. Batuan Ultramafik.
b. Golongan Afanitik
33
Gambar 3.5 Diagram Klasifikasi Batuan Beku Afanitik
34
c. Analisis Struktur Geologi
Patahan atau Sesar (fault) adalah satu bentuk rekahan pada lapisan batuan
bumi yg menyebabkan satu blok batuan bergerak relatif terhadap blok yang lain.
Pergerakan bisa relatif turun, relatif naik, ataupun bergerak relatif mendatar
terhadap blok yg lain. Pergerakan yg tiba-tiba dari suatu patahan atau sesar bisa
mengakibatkan gempa bumi. Sesar (fault) merupakan bidang rekahan atau zona
rekahan pada batuan yang sudah mengalami pergeseran (Williams, 2004). Sesar
terjadi sepanjang retakan pada kerak bumi yang terdapat slip diantara dua sisi
yang terdapat sesar tersebut (Williams, 2004). Beberapa istilah yang dipakai
dalam analisis sesar antara lain:
35
a. Jurus sesar (strike of fault) adalah arah garis perpotongan bidang sesar
dengan bidang horisontal dan biasanya diukur dari arah utara.
b. Kemiringan sesar (dip of fault) adalah sudut yang dibentuk antara bidang
sesar dengan bidang horisontal, diukur tegak lurus strike.
c. Net slip adalah pergeseran relatif suatu titik yang semula berimpit pada
bidang sesar akibat adanya sesar.
d. Rake adalah sudut yang dibentuk oleh net slip dengan strike slip (pergeseran
horisontal searah jurus) pada bidang sesar.
36
menghasilkan kenampakan salah satu sisinya lebih curam.
3. Lipatan Rebah (Overturned Folds) adalah lipatan yang arah lipatannya
mendatar. Lipatan ini terjadi karena arah tenaga horizontal hanya dari satu arah.
4. Lipatan Menutup (Recumbent Folds) adalah lipatan yang terbentuk pada
saat lipatan yang satu menekan sisi yang lain dan menyebabkan sumbu lipat
hampir datar.
5. Lipatan Sesar Sungkup (Overthrust) adalah lipatan yang terbentuk
ketika tenaga tekan menekan satu sisi dengan kuat sehingga menyebabkan lipatan
menjadi retak.
Didalam analisa struktur lipatan, hubungan sudut antara garis dan bidang
dapat diselesaikan dengan deskripsi geometri. Cara yang lebih praktis adalah
dengan menggunakan jaring stereografi, terutama bila kita berhadapan dengan
struktur yang kompleks.Suatu hasil pengukuran kedudukan bidang-bidang
perlapisan diplot pada jaring stereografi. Hasil perpotongan dari proyeksi-proyeksi
tersebut akan mengumpul pada satu titik yang disebut Diagram Beta (β), yang
menunjukan kedudukan sumbu lipatan (gambar 3.2 a). Apabila diplot kutub-kutub
dari bidangnya, akan menghasilkan kelompok titik-titik proyeksi yang
penyebarannya mengikuti garis lingkaran besar. Titik-titik proyeksi ini disebut
Diagram S-Pole (gambar 3.6).
N
N N
3 3
1 1
2
P5
P4
P6
P3
5 P1
4 P2
(a) (b)
Gambar 3.6 Proyeksi stereografi dari bidang-bidang pada suatu lipatan (a),
Diagram Beta (b) Diagram Phi
37
3. Kekar
Kekar merupakan salah satu struktur yang paling umum dijumpai pada
batuan. Kekar atau joint adalah rekahan-rekahan pada batuan yang berbentuk
lurus, planar dan tidak terjadi pergeseran. Joint set adalah kumpulan kekar pada
satu tempat atau pada suatu batuan yang memiliki ciri khas yang dapat dibedakan
dengan joint set lainnya.
Kekar adalah struktur retakan/rekahan terbentuk pada batuan akibat suatu
gaya yang bekerja pada
batuan tersebut dan belum mengalami pergeseran. Secara umum dicirikan oleh:
a). Pemotongan bidang perlapisan batuan;
b). Biasanya terisi mineral lain (mineralisasi) seperti kalsit, kuarsa dsb;
c) Kenampakan breksiasi. Struktur kekar dapat dikelompokkan
berdasarkan sifat dan karakter retakan / rekahan serta arah gaya yang
bekerja pada batuan tersebut.
Didalam analisa, kekar dapat dipakai untuk membantu menentukan pola
tegasan, dengan anggapan bahwa kekar-kekar tersebut pada keseluruhan daerah
terbe ntuk sebelum atau pada saat pembentukan sesar (gambar 3.3).Cara ini sangat
lemah dan umumnya dipakai pada daerah yang lebih luas (regional) dan data yang
dipakai tidak hanya kekar, tetapi juga sesar yang dapat diamati dari peta topografi,
foto udara dan citra landsat.
38
Gambar 3.7 a. Diagram frekuensi dan diagram kontur dari kekar-kekar yang
dapat dipergunakan untuk menentukan tegasan utama b. Diagram blok pola-pola
kekar dan hubungannya dengan tegasan regional disuatu wilayah.
Cara pendekatan lain untuk menganalisa kekar yaitu dengan melihat gejala
yang terdapat pada jalur sesar. Mengingat bahwa akibat gerak dari sesar, struktur
kekar juga dapat terbentuk. Beberapa contoh gerak sesar dapat menimbulkan pola
kekar “pinnate” (struktur bulu ayam), “en echelon” fractures seperti pada (gambar
3.8). Kekar-kekar ini umumnya merupakan kekar regangan yang sudut lancip
searah dengan gerak sesar.
Gambar 3.8 Pola kekar regangan yang dapat dipakai untuk menentukan gerak
sesar.
Pada tahap ini cara yang digunakan untuk menentukan geologi sejarah dari
daerah penelitian berdasarkan geologi regional daerah peneliti terdahulu.
Berdasarkan litostratigrafinya, kita dapat mengetahui kronologis peristiwa serta
perkembangan pembentukan batuan di lokasi penelitian yang dihubungkan
dengan tektonik beserta skala waktu geologi yang kemudian didapatkan hasil dari
satu kesatuan data - data tersebut sehingga bisa diinterpretasikan sejarah geologi
regional yang terbentuk pada daerah penelitian tersebut.
39
3.3.4 Tahap Penyusunan Laporan
Pada tahap ini hasil penelitian yang meliputi interpretasi dan rekonstruksi
data yang diperoleh dari lapangan serta hasil dari studi regional yang disajikan
dalam bentuk laporan pemetaan. Pada laporan ini, disertakan juga peta kerangka,
peta geomorfologi, peta pola jurus perlapisan batuan, dan peta geologi.
Pengamatan
Lokasi
Tahap
Penelitian Pengamatan
Lapangan Singkapan
Morfografi
Geomorfologi Morfogenetik
2 Morfometri
Stratigrafi
Tahap Analisis
Satuan Batuan
Struktur
Sesar
Geologi
Sejarah Lipatan
Peta : Kekar
Peta Kerangka dan
Tahap Lintasan
Penyusunan Peta Pola Jurus
Laporan dan Peta Geomorfologi
Pembuatan Peta Peta Geologi
Laporan
Pemetaan
Geologi
Pendahuluan
40
DAFTAR PUSTAKA
Barber, A.J., Crow, M.J., dan Milsom, J.S., 2005, Sumatra : Geology, Resources
and Tectonic Evolution, Geological Society Memoir, No.31, hal 93-94, 223-
228.
Barnes, J., 1981. Basic Geological Mapping.2nd Edition. John Wiley & Sons,
New York, 118p
Bott, M.H.P., 1959. The mechanics of oblique slip faulting. Geological Magazine
96, 109±117
Petti john, F.J. 1975. Sedimentary Rock.Marker and Bow Publisher. Third Edition
Silitonga P.H. & Kastowo, 1995 :Peta Geologi Lembar Solok, Sumatera, Peta
Geologi bersistem Sumatera, PPPG, Bandung.
Situmorang, B., Yulihanto, B., Guntur, A., Himawan, R.S., & Jacob, T.G., 1991,
Structural Basin Development of the Ombilin Basin, Proceedings Indonesian
Petroleum Association 21th Annual Convention, hal 1 – 15.
Streckeisen,A.1979. To Each Plutonic Rock its Proper Name. Earth Sci. Rev.,12.
hlm:1-34.
Zuidam, R.A, van., 1985, Aerial Photo Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping, The Hague: Smits
41
Zulfikar Basmoesa, 2008. Peta Administrasi Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
42