Anda di halaman 1dari 43

PROPOSAL

PEMETAAN GEOLOGI PENDAHULUAN


“ Geologi Daerah Kolok Mudik,
Kecamatan Berangin, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat ”

OLEH:
Kelompok III

Nama Anggota:

Ferdyansyah (163610209)
Ganda Kusuma (163610236)
Rebiana Urbaningrum (163610078)
Roby Samuel (163610649)

PRODI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya pemetaan geologi merupakan rangkaian dari hasil berbagai


kajian lapangan yang bertujuan mengidentifikasi penyebaran batuan dan endapan
lainnya di suatu lokasi. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa pemetaan
geologi diartikan sama dengan geologi lapangan. Pemetaan geologi ber-output
Peta Geologi yang umumnya dibuat diatas suatu peta dasar (peta
topografi/rupabumi) dengan cara memplot singkapan-singkapan batuan beserta
unsur struktur geologinya diatas peta dasar tersebut.
Saat ini bidang ilmu geologi mulai memiliki peranan sangat penting
dikalangan masyarakat, khususnya informasi mengenai kondisi geologi yang
berkembang dan bekerja di daerah tersebut. Namun masih diperlukan pemetaan
geologi guna melengkapi data geologi yang telah ada mencakup kondisi
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi serta aspek geologi lainnya. Pemetaan
Geologi merupakan suatu kegiatan untuk memetakan kondisi geologi suatu daerah
sehingga menghasilkan peta geologi yang bertujuan untuk menyingkap sejarah
dan proses-proses geologi yang terjadi di daerah penelitian.
Pemetaan merupakan hal yang sangat dasar tetapi sangat penting untuk
seorang geologist. Karena pada dasarnya, peta merupakan nyawa dari ilmu
geologi. Tanpa peta, baik peta dasar maupun peta geologi, seorang geologist tidak
akan dapat melaksanakan tugasnya seperti eksplorasi atau lain sebagainya.
Pemetaan geologi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk
menghasilkan peta geologi. Peta geologi merupakan sarana untuk
menggambarkan pola penyebaran batuan dan hubungan antar satuan batuan. Peta
geologi mengandung informasi yang bersifat objektif dan interpretatif yang akan
mencerminkan sejarah pembentukan daerah pemetaan.
Bagi seorang geologis, lapangan merupakan tempat dimana batuan dan
tanah dapat diamati secara langsung. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan
mengenai geologi lapangan yang digunakan untuk mempelajari dan menafsirkan

1
struktur dan sifat batuan yang terdapat pada singkapan yang nantinya akan
digunakan untuk memetakan kondisi geologi suatu daerah.
Dalam upaya penerapan ilmu geologi yang merupakan ilmu yang
mempelajari material penyusun kerak bumi, proses-proses yang berlangsung
selama atau setelah pembentukannya maupun sejarah geologi yang dapat
terungkap melalui informasi batuan yang ada, maka dilakukan berbagai metode
analisis, namun pendekatan dan penelitian geologi dasar (basic geology) harus
menjadi yang terdepan, karena jika terjadi kesalahan pada geologi dasar, pada
tahap selanjutnya akan mengalami kekeliruan (Barnes, 1981). Salah satu bentuk
pendekatan dan penelitian geologi dasar tersebut adalah pemetaan geologi.
Selain geologi dasar, tentunya ilmu geomorfologi, petrologi, stratigrafi dan
geologi struktur merupakan ilmu dasar dari pemetaan geologi. Daerah Desa
Kolok Mudik , Kecamatan Berangin, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat
merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki keanekaragaman proses
geologi sehingga daerah tersebut masih sering diperdebatkan maka pemetaan
geologi pun dilakukan untuk memperoleh informasi mencakup geomorfologi,
litologi, stratigrafi dan struktur geologi. Hasil dari memperoleh data-data tersebut
maka akan dapat dilakukan pendekatan analisis yang lebih rinci.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan di ungkap pada


penelitian ini adalah :

1. Bagaimana permasalahan geomorfologi pada daerah penelitian?


2. Bagaimana permasalahan litostratigrafi dan sedimentologi daerah
penelitian?
3. Bagaimana permasalahan sejarah geologi daerah penelitian?
4. Bagaimana permasalahan struktur geologi daerah penelitian?.
5. Bagaimana permasalahan potensi geologi daerah penelitan?

2
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian di Daerah Desa Kolok
Mudik , Kecamatan Berangin, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat dan
sekitarnya adalah untuk mengetahui berbagai aspek geologi yang ada berupa :
1. Aspek geomorfologi, meliputi unsur-unsur geomorfologi seperti pola aliran
sungai, perbukitan, patahan, dan penarikan batas-batas satuan geomorfologi
berdasarkan klasifikasi yang ada.
2. Aspek litostratigrafi dan sedimentologi, mendeskripsikan batuan pada
singkapan, urut-urutan perlapisan batuan penyusun di lokasi penelitian yang
dihubungkan dengan penamaan satuan batuan dan mengkorelasikannya
dengan satuan-satuan stratigrafi resmi yang ada, serta umur dan lingkungan
pengendapan.
3. Aspek struktur geologi, mengukur dan menganalis indikasi yang ada serta
menentukan jenis dan pola strukturnya,
4. Aspek sejarah geologi, meliputi kronologis peristiwa perkembangan
pembentukan batuan di lokasi penelitian yang dihubungkan dengan tektonik
serta skala waktu geologi berdasarkan analisis data yang ada.
5. Potensi geologi, meliputi keberadaan sumberdaya alam yang berpotensi untuk
dapat dimanfaatkan.

1.4 Geografi Umum dan Kesampaian Wilayah

Secara administratif, daerah penelitian termasuk ke dalam Daerah Desa


Kolok Mudik , Kecamatan Berangin, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat
yang termasuk dalam lembar peta geologi daerah Solok dengan skala 1 : 12.500.
Kota Sawahlunto terletak sekitar 100 Km sebelah timur Kota Padang dan dalam
lingkup Propinsi Sumatera Barat berlokasi pada bagian tengah propinsi ini. Secara
geografis letak Kota Sawahlunto adalah 0034' - 0 046' LS dan 1000 41' – 1000 49'
BT. Secara geografis daerah penelitian terletak pada koordinat 0°38'22.98" -
0°39'27.73" LS dan 100°42'41.43" - 100°44'18.57" BT. Dengan luas derah 3 ×
2 km2 . Sedangkan daerah penelitian dilihat dari letak administrasi berbatasan
dengan :

3
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar.
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Solok.
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Sijunjung.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Solok.

Jarak untuk mencapai lokasi penelitian dari Pekanbaru dapat dilakukan


dengan menggunakan transportasi darat seperti bus atau kendaraan pribadi ke
Kota Sawahlunto, Sumatera Barat dengan jarak yang ditempuh 261,2 km,
kemudian diteruskan ke Desa Kolok Mudik dengan menempuh perjalanan selama
kurang lebih 20 menit.
Dari aspek jarak tempuh desa/kelurahan ke Pusat Pemerintahan Ibu Kota
Sawahlunto, Kecamatan Berangin adalah kecamatan yang memiliki jarak tempuh
ke Pusat Pemerintahan Ibu Kota Sawahlunto diatas 9,2 KM. Namun akses di desa
Kolok Mudik tidak begitu sulit.
Sedangkan dari segi kepadatan penduduk, berdasarkan hasil Sensus
Penduduk Tahun 2010, dapat dilihat distribusi penduduk Kota Sawahlunto,
dimana Kecamatan Berangin merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk
terbanyak, yaitu 16.852 Jiwa (29,66%).

4
Gambar 1.1 Peta Administrasi Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat
(Sumber : Zulfikar Basmoesa, 2008)
Kondisi topografi, wilayah Kota Sawahlunto merupakan daerah perbukitan
dengan ketinggian antara 250–650 meter diatas permukaan laut. Pada bagian
Timur dan Selatan mempunyai topografi yang relatif curam (kemiringan lebih dari
40 %) yang luasnya 28,52 % dari luas wilayah keseluruhan. Sedangkan bagian
Utara mempunyai keadaan topografi bergelombang dan relatif datar.
Kemiringan dan keterjalan bentang alam ini menjadi kendala atau faktor
pembatas pengembangan wilayah Kota Sawahlunto. Bentang alam yang landai
terletak hampir di tengah daerah Kota Sawahlunto, tetapi umumnya merupakan
jalur -jalur sempit sehingga dirasa sulit untuk dikembangkan menjadi permukiman

5
perkotaan. Posisi daerah kegiatan penelitian memanjang sepanjang Sesar
Sawahlunto, memisahkan perbukitan terjal yang terletak dikedua sisinya. Kondisi
kelerengan lahan di kota Sawahlunto dapat dilihat pada (Tabel 1.1) di bawah ini :

Tabel 1.1 Kondisi Kelerengan Lahan di Kota Sawahlunto (Sumber: BPN Kota
Sawahlunto)
No Kecamatan Luas Lahan (Ha) dengan Kemiringan Lereng(%) Jumlah
0-2 2-15 15-25 25-40 >40 (Ha)
1 Talawi 991.00 1420.00 2680.00 3195.00 1653.00 9939.00
2 Barangin 343.00 1514.00 1432.00 3450.00 2136.00 8875.00
3 Lembah 24.00 358.00 694.00 1836.00 2110.00 5238.00
Segar
4 Silungkang 29.00 288.00 735.00 340.00 1901.00 3293.00
Jumlah 1603.00 3580.00 5541.00 8821.00 7800.00 27345.00

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun dari penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh manfaat-manfaat


sebagai berikut :

1. Bagi keilmuan:
1. Mengetahui kondisi geologi daerah penelitian.
2. Mengetahui Potensi geologi daerah penelitian.
2. Bagi pemerintah :
1. Mengetahui lokasi keberadaan daerah daerah yang berpotensi.
2. Sebagai acuan pengembangan lokasi penambanganbah
3. Sebagai tata guna lahan

1.6 Waktu Kegiatan Penelitian dan Kelancaran Kerja

Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2018.


Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan November 2018 selama lebih
kurang 10 hari (Tabel 1.2).

6
Demi kelancaran kerja lapangan, peneliti menjadikan rumah warga Kolok
Mudik sebagai basecamp dengan pertimbangan akomodasi dan pencapaian lokasi
yang mendukung kelancaran kerja.Adapun kendala yang dihadapi saat melakukan
pengambilan data di lapangan adalah vegetasi yang lebat, kontur yang berbukit-
bukit terjal serta kesampaian lokasi yang jauh dari pemukiman dan tidak dapat
dilalui oleh kendaraan, dan akses jalan yang kurang memadai.

Tabel 1.2 Jadwal Kegiatan Pemetaan Secara Umum

KEGIATAN AGUST SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER


US
III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1. Pra Pemetaan Geologi
a. Pendaftaran Peserta
b. Pengarahan Umum
dan Pembagian
Kelompok
c. Survei Lokasi dan
Perizinan
d. Kuliah Pra Pemetaan
e. Studi Literatur dan
Pembuatan Proposal
f. Bimbingan kepada
Dosen Pembimbing
2. Tahap Pengerjaan
Lapangan
a. Berangkat
b. KegiatanLapangan
c. Checking
d. Pulang
3. Tahap Pembuatan
Laporan
4. Kolokium

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiografi
Menurut Tobler (1922) dalam van Bemmelen (1949), secara fisiografis
daerah Sumatra Tengah dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu Dataran
Aluvial Pantai Timur, Cekungan Tersier Sumatra Tengah, Zona Depresi
Tengah dari Daerah Barisan, Pegunungan Barisan Depan, Sekis Barisan
atau Daerah Barisan Timur, Daerah Dataran Tinggi Barisan, Dataran
Aluvial Pantai Barat. Berdasarkan klasifikasi 7 zona tersebut cekungan
ombilin termasuk kedalam zona Pegunungan Barisan Depan. Cekungan
Ombilin merupakan cekungan yang diapit oleh 2 pegunungan, yaitu
pegunungan barisan barat dan pegunungan barisan timur. Gambar 2.1.
menunjukan klasifikasi zona fisiografi menurut van Bemmelen, 1949

Gambar 2.1: Fisiografi Sumatera Tengah (van Bemmelen, 1949)

2.2 Stratigrafi Daerah Penelitian

8
Secara stratigrafi, berdasarkan para peneliti terdahulu (Koesoemadinata
dan Matasak,1981) Cekungan Ombilin memiliki batuan dengan umur Pra-
Tersier (Perm dan Trias) hingga Kuarter (Gambar 2.2).

Gambar 2.2: Stratigrafi Cekungan Ombilin Berdasarkan Koesoemadinata (1981)


dan PH. Silitonga & Kastowo (1995).

Berikut urutan stratigrafi Cekungan Ombilin dari tua ke muda dengan umur
Pra- Tersier (Perm dan Trias) hingga batuan berumur Kuarter :

A. Batuan Pra- Tersier

9
Batuan Pra-Tersier merupakan batuan yang mendasari Cekungan
Ombilin Batuan ini tersingkap di bagian barat dan timur cekungan.

1. Batuan Pra- Tersier yang tersingkap di bagian barat cekungan


a. Formasi Silungkang
Terdiri dari litologi batuan vulkanik, batugamping
koral.Batuan vulkanik ini terdiri dari lava andesitik, basaltik dan
tufa.Formasi ini berumur Perm-Karbon berdasarkan kandungan
fosil Fusulinida pada batugamping.
b. Formasi Tuhur

Terdiri dari litologi batusabak, anggota serpih dan


batugamping.Formasi ini berumur Trias.

2. Batuan Pra- Tersier yang tersingkap di bagian timur cekungan


a. Formasi Kuantan
Terdiri dari litologi batugamping oolit yang mengalami
rekristalisasi, marmer, batusabak, filit serta kuarsit.

B. Batuan Tersier

Batuan Tersier Cekungan Ombilin terbagi menjadi enam formasi,


yaitu:

1. Formasi Brani
Formasi ini terdapat pada bagian tepi cekungan yang terdiri dari
konglomerat bewarna coklat sampai violet, berukuran kerakal hingga
berakal, terpilah sangat buruk, bentuk butirnya menyudut tanggung sampai
membundar tanggung dan umumnya perlapisan batuannya tidak
berkembang dengan baik.Formasi ini mempunyai dua anggota, yaitu
anggota selo dan anggota kualampi.

2. Formasi Sangkarewang

10
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang
terdiri dari serpih berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai
hitam, plastis, gampingan mengandung material karbon, mika, pirit, dan
sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisan- lapisan
batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen
kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam, matriks
lempung terpilah buruk mengandung mika dan material karbon dan
terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir ini menunjukan
pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa polen umur dari formasi ini
diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam
Koesomadinata dan Matasak, 1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985),
berumur Eosen Atas (Himawan, 1991 dalam Situmorang, dkk.,1991),
berumur Paleosen-Eosen (Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen-
Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993), berumur Eosen-Oligosen
(Whateley dan Jordan, 1989, Howells, 1997 dalam Barber, 2005). Menurut
Koesomadinata dan Matasak (1981) berdasarkan hubungannya dengan
Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang berdasarkan analisa polen
Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen
diperkirakan Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi
Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan danau.

3. Formasi Sawahlunto
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terdiri dari
sekuen serpih berwarna abu-kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau
dengan sisipan batupasir kuarsa berwarna abu-kecoklatan dan dicirikan
dengan hadirnya batubara. Serpih umumnya karbonan. Batupasir memiliki
ciri sekuen menghalus ke atas, memiliki struktur sedimen berlapis silang-
siur, ripple lamination dan dasar erosi tegas yang menunjukkan suatu sekuen
point bar. Batubara umumnya berselingan dengan batulanau berwarna
kelabu dan lempung karbonan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) Formasi Sawahlunto ini


berumur Eosen berdasarkan analisa polen yang menunjukkan umur

11
Paleosen sampai Eosen, sedangkan menurut Himawan (1991) dalam
Situmorang, dkk. (1991) dan Bartman dalam Yarmanto dan Fletcher (1993)
berdasarkan analisa polen, umur formasi ini diperkirakan Oligosen hingga
Miosen Awal.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), hadirnya serpih karbonan,


batubara, khususnya batupasir yang bertipe point bar menunjukkan
lingkungan pengendapan dari formasi ini merupakan suatu dataran banjir
dengan sungai yang berkelok dimana batubara terdepositkan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto terletak


selaras di atas Formasi Brani dan secara setempat juga terletak selaras
dengan Formasi Sangkarewang dan juga diperkirakan menjemari dengan
Formasi Sangkarewang di beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk (1981)
dalam Koning (1985) proses pengangkatan dan erosi yang berhubungan
dengan tektonik sesar mendatar terjadi pada saat pengendapan Formasi
Sawahlunto. Proses hiatus ini menurut Koning (1985) ditemukan tersingkap
di beberapa tempat dan sebagai bukti adanya ketidakselarasan bersudut pada
beberapa hasil seismik pada pinggir cekungan.Menurut Koesomadinata dan
Matasak (1981), Formasi Sawahlunto memiliki ketebalan 274 meter.
Sedangkan, menurut Koning (1985) berdasarkan sumur bor, tebal formasi
ini 170 meter.

4. Formasi SawahTambang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh
sekuen massif yang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan
batulanau berkembang secara setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang
sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar, sebagian besar
konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah sangat
buruk, menyudut tanggung, keras dan masif. Ciri sekuen Formasi
Sawahtambang terdiri dari siklus- siklus atau seri pengendapan dimana
setiap siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti
oleh kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan paralel laminasi dengan
sekuen yang menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan terdapat

12
lensa-lensa batupasir yang bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya
berskala besar dan memiliki bentuk gelombang (trough crossbedded).
Secara setempat, pada bagian bawah Formasi Sawahtambang, terdapat
sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang membentuk
unit tersendiri yaitu sebagai Anggota Rasau. Sedangkan, pada bagian atas
formasi ini dengan sisipan lapisan- lapisan batulempung dengan kandungan
laminasi batubara yang terjadi secara setempat, membentuk unit sendiri,
yaitu Anggota Poro.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terletak selaras di


atas Formasi Brani dan memiliki hubungan selaras dan menjari dengan
Formasi Sawahlunto di beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk. (1981)
dalam Koning (1985) berdasarkan pemetaan lapangan yang telah dilakukan
oleh Cameron, dkk. menunjukkan antara Formasi Sawahtambang dengan
Formasi Sawahlunto memiliki hubungan ketidakselarasan bersudut.
Sedangkan, menurut Situmorang, dkk (1991) secara keseluruhan antara
Formasi Sawahlunto dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan
menjari berdasarkan lingkungan pengendapan dari kedua formasi tersebut
yang merupakan sistem sungai, yang mana Formasi Sawahtambang
memiliki lingkungan pengendapan sungai teranyam pada bagian fasies
proksimal yang berubah secara lateral menjadi fasies distal yang
membentuk endapan sungai berkelok dari Formasi Sawahlunto.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) umur dari formasi ini


berdasarkan posisi stratigrafi di bawah Formasi Ombilin dan hubungan yang
selaras di atas Formasi Sawahlunto diperkirakan berumur Oligosen.
Menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991) berdasarkan
analisa polen formasi ini juga menunjukan berumur Oligosen. Menurut
Koesomadinata dan Matasak (1981) dan Situmorang, dkk. (1991), formasi
ini diendapkan pada lingkungan sistem sungai teranyam.

Menurut Whateley dan Jordan (1989) dan Howells (1997) dalam Barber,
dkk. (2005) sumber sedimen dari Formasi Sawahtambang ini berasal dari
barat cekungan Ombilin. Menurut Barber, dkk. (2005) proses pengendapan

13
dari Formasi Sawahtambang ini bersamaan dengan pengangkatan dari Bukit
Barisan.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahtambang


memiliki ketebalan antara 625 meter sampai 825 meter, dan menunjukan
terjadinya penebalan dari utara cekungan ke arah selatan. Sedangkan,
menurut (Koning, 1985) berdasarkan sumur bor tebal formasi ini 1420
meter.

5. Formasi Ombilin
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari
serpih atau napal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila
lapuk menjadi berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik.
Termasuk kedalam sekuen ini adalah lapisan-lapisan batupasir yang
mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu kehijauan, secara
umum terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada bagian bawah
dari formasi ini terdapat nodul-nodul batugamping dan lensa batugamping
foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas sisipan lapisan batupasir tufaan,
diselingi oleh batulanau bersifat karbonan, mengandung glaukonit dan fosil
moluska.

Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) napal dari formasi ini


mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut.Umur dari
formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal (Koesomadinata dan
Matasak, 1981, Humpreys, dkk., 1991 dalam Situmorang, dkk., 1991).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan fosil
bentonik serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan
diendapkan pada lingkungan neritik luar sampai batial atas. Menurut Howell
(1997) dalam Barber, dkk. (2005) Formasi Ombilin terendapkan pada
lingkungan laut, yang terdiri dari batupasir halus, batulanau dan
batulempung yang sering kali karbonatan dengan batugamping secara
setempat memiliki ketebalan 50 meter sampai 100 meter yang termasuk ke
dalam lentikuler koral dan batugamping alga. Batupasir halus dengan

14
fragmen dari batubara dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir
pantai. Proses pengendapan Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini
terjadi akibat adanya proses transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin
yang berhubungan dengan fase transgressi pada cekungan busur belakang
Sumatra (Situmorang, dkk., 1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak
selaras di atas Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di
beberapa tempat. Sedangkan, Formasi Ombilin terletak selaras di atas
Formasi Sawahtambang. Menurut Koning (1985) antara Formasi Ombilin
dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan
reflektansi vitrinit terhadap kedalaman pada sumur bor di subcekungan
Sinamar yang mengindikasikan terdapatnya bagian Sawahtambang yang
telah tererosi. Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi
Ombilin memiliki ketebalan antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning
(1985) berdasarkan data seismik, tebal formasi ini 2740 meter.

6. Formasi Ranau
Menurut Van Bemmelen (1943) pada beberapa lokasi di Cekungan
Ombilin, didapatkan formasi berupa tufa yang disebut sebagai Tufa Ranau.
Tufa ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen
(Koesomadinata dan Matasak, 1981), sedangkan menurut Bellon, dkk.
(2004) dalam Barber, dkk. 2005 umur dari formasi ini diperkirakan antara
5,5 hingga 2,4 juta tahun yang lalu (Pliosen).

2.3 Struktur Geologi Regional


Menurut Situmorang, dkk (1991) perkembangan struktur pada Cekungan
Ombilin dikontrol oleh pergerakan sistem Sesar Sumatera yang membuat sesar tua
yang telah terbentuk ditimpa oleh sesar yang lebih muda dengan sistem sesar yang
sama. Keseluruhan geometri Cekungan Ombilin memanjang dengan arah umum
baratlaut-tenggara, dibatasi oleh 2 sesar yang berarah baratlaut-tenggara.Sesar

15
Sitangkai di utara dan Sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang lebih
paralel terhadap sistem Sesar Sumatra dapat dilihat pada (Gambar 2.6).

Gambar 2.5: Pola Struktur Regional Cekungan Ombilin, Sumatra


Barat(modifikasi dari Situmorang, dkk., 1991).

Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan Neogen,
dibatasi oleh Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan.Secara lokal ada tiga
bagian struktur yang bisa dikenal pada Cekungan Ombilin.
a) Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk
bagian dari sistem Sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi
oleh Sesar Sitangkai dan Sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang
ke arah tenggara menjadi Sesar Takung. Bagian selatan dari cekungan
dibatasi oleh Sesar Silungkang.
b) Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat
pada timur laut dari cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola
tangga (step-like fault), dari utara ke selatan: Sesar Kolok, Sesar
Tigotumpuk, dan Sesar Tanjung Ampalu. Perkembangan dari sesar ini
berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari pembentukan
cekungan dan terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan.

16
Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar antitetik mengiri dengan
komponen dominan dip-slip. Pola struktur keseluruhan dari Cekungan Ombilin
menunjukan sistem transtensional atau pull-apart yang terbentuk diantara offset
lepasan dari Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-
tenggara yang mana sistem sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan
sistem sesar yang berarah baratlaut-tenggara.Adanya fase ekstensional dan
kompresional yang ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena
umum untuk Cekungan Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan
ini mengalami pergantian fase ekstensional pada satu sisi yang diikuti oleh
pemendekan pada sisi yang lain

2.4 Geologi Sejarah Regional


Berdasarkan Geologi Derah Kolok Mudik dan Sekitarnya,Kecamatan
Barngin, Kotamadya Sawahlunto, Sumatera Barat, sejarah geologi daerah
penelitian merupakan gambaran yang terjadi pada ruang dan waktu. Penentuan ini
berdasarkan kepada data-data geologi yang ada di lapangan, interpretasi,
penafsiran hingga data-data berupa ciri-ciri litologi, umu, lingkungan
pengendapan serta pola struktur. Penentuan sejarah geologi ini juga didasarkan
terhadap peneliti-peneliti sebelumnya. Sejarah geologi yang ditampilkan
merupakan urut-urutan kejadian geologi yang terjadi sejak zaman Pre-Tersier
hingga Tersier. Satuan-satuan ini kemudian disetarakan dengan formasi-formasi
yang terbentuk pada Cekungan Ombilin. Pada Zaman Pra-Tersier, sejarah geologi
daerah penelitian merupakan batuan dasar berupa batolit dengan Satuan Granit
Pra-Tersier.
Kemudian setelah pengendapan, terjadi aktivitas tektonik yang
mempengaruhi daerah penelitian yaitu terjadi pengangkatan. Fase deformasi
komprsional ini menyebabkan terbentuknya struktur – struktur geologi yang ada
berupa sesar. Pengangkatan ini menyebabkan satuan – satuan batuan yang
diendapkan sebelumnya di daerah penelitian tersingkap dan mengalami beberapa
sesar mendatar.

BAB III

17
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian


Pada pemetaan geologi ini, yang menjadi objek penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Unsur-unsur geomorfologi, seperti pola kontur, bentuk bukit, elevasi,
sudut lereng, pola pengaliran, dan lain-lain.
2. Singkapan batuan, termasuk di dalamnya ciri-ciri litologi, struktur batuan
dari seluruh singkapan batuan yang ada di daerah pemetaan.
3. Stratigrafi dan lingkungan pengendapan daerah penelitian, untuk
mempermudah penjelasan, penulis merujuk kepada satu tatanama satuan
litostratigrafi, yaitu yang dibuat oleh PH. Silitonga & Kastowo, 1995.
Serta bertujuan menentukan dilingkungan mana litologi yang didapat
terendapkan.
4. Unsur tektonik dan struktur geologi regional, yang dapat digunakan untuk
menentukan jenis dan pola struktur yang berkembang di daerah pemetaan,
seperti data kekar dan cermin sesar untuk melukiskan karakteristik
hubungan antara unsur-unsur struktur hasil pengukuran di lapangan
penelitian dengan struktur geologi regional daerah penelitian.
5. Geologi sejarah daerah penelitian yang berkaitan dengan tatanan
stratigrafi, tektonik dan struktur yang berkembang di daerah penelitian
dengan mengacu kepada geologi regional.
6. Potensi geologi, meliputi keberadaan sumber daya alam yang berpotensi
untuk dapat dimanfaatkan.

3.2 Peralatan yang Digunakan


Untuk mempermudah dan memperlancar kerja mahasiswa dalam
pelaksanaan pemetaan geologi ini sehingga diperlukan alat–alat yang lengkap di
lapangan. Peralatan– peralatan yang digunakan tersebut adalah :

1. Peta dasar (peta topografi) dengan skala 1 : 12.500.


2. Peta geologi

18
3. Kompas geologi
4. Palu geologi (beku dan sedimen)
5. GPS dan baterai
6. Lensa lup tangan (perbesaran 10x atau 20x atau lainnya)
7. Buku catatan lapangan (termasuk lembar deskripsi batuan)
8. Alat tulis (pensil 2B, spidol, dan lain-lain)
9. Larutan HCl 0,1 N
10. Komparator batuan dan Stereonet saku
11. Meteran ukur atau pita ukur (measuring tape)
12. Clip board
13. Kantong contoh batuan
14. Kamera
15. Tas lapangan

3.3 Langkah-Langkah Penelitian


Dalam melakukan penelitian geologi perlu adanya rencana kerja yang
matang sebelum ke lapangan, selama di lapangan maupun setelah kembali dari
lapangan. Rencana kerja tersebut meliputi beberapa tahap, antara lain : tahap
persiapan, tahap penelitian lapangan, dan tahap penyusunan laporan.

3.3.1 Tahap Persiapan


Tahap persiapan dilakukan sebelum melakukan pekerjaan lapangan. Pada
tahap ini dilakukan beberapa persiapan yang menunjang kelancaran pada saat
melakukan pekerjaan lapangan. Persiapan tersebut meliputi hal–hal sebagai
berikut :
1. Studi Pustaka.
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh gambaran umum keadaan
geologi daerah penelitian secara regional.Hasil dari sejumlah pustaka peneliti
terdahulu, didapatkan data–data geologi regional yang berhubungan dengan
daerah penelitian.

2. Perizinan

19
Perizinan dilakukan baik dari pihak Universitas Islam Riau maupun
pemerintah daerah di Lokasi Pemetaan.
3. Pembuatan Peta Topografi dan Peta Geomorfologi
Peta topografi adalah suatu peta yang menunjukkan maklumat topografi
dan fitur-fitur yang ada di atas permukaan bumi, seperti bukit, sungai, jalan dan
lainnya. Skala peta topografi yang digunakan yaitu 1:12.500, dengan luas daerah
penelitian yaitu 3 × 2 km2 , maka akan didapatkan ukuran peta dengan panjang
dan lebar yaitu 24 × 16 cm. Peta dibuat berdasarkan peta Bakos dengan nilai
countour interval yaitu 6.25
Peta geomorfologi adalah suatu peta yang menampilkan informasi satuan
geomorfologi atau kenampakann alam. Pada penentuan satuan geomorfologi
digunakan ukuran grid 1 × 1 cm, dengan menggunakan acuan dari klasifikasi Van
Zuidam.

3.3.2 Tahap Penelitian Lapangan


Tahap penelitian lapangan bertujuan memperoleh data lapangan
selengkapnya sesuai dengan materi penelitian untuk dianalisa. Pada tahap ini
dilakukan beberapa pekerjaan yang dilakukan, meliputi penentuan lokasi
pengamatan dan pengamatan singkapan.
3.3.2.1 Pengamatan Lokasi
Beberapa metode yang digunakan selama penelitian :
1. Metode Orientasi Lapangan
a. Plotting stasiun pengamatan berdasarkan orientasi terhadap sungai,
gunung, bukit dan lain-lain, sebagai patokan yang mudah dikenal
dilapangan
b. Mengandalkan peta topografi dan titik patokan yang mudah dikenal
c. Menggunakan (Global Positioning System) GPS
Keuntungan :
a. Lintasan bebas
b. Cepat
c. Baik pada lahan berbukit-bukit dan jarang tanaman
d. Sebagai peta tinjau untuk pemeriksaan lapangan
e. Mengetahui alam sekitar penelitian.

20
Kekurangan :
a. Ketelitian kurang
b. Hasil plotting sulit dicek kembali
c. Tidak terencana secara matang

1. Metode GPS
Metode GPS dapat digunakan untuk memploting posisi dimana
kita berada, dapat pula digunakan untuk menunjukan gambaran
lintasan selama kita melakukan perjalanan.

Cara :
a. Untuk menentukan lintasan perjalanan, aktifkan GPS dari
kita memulai perjalanan dan memasuki daerah penelitan.
Selanjutnya ploting di GPS setiap berapa meter sampai kita
selesai melakukan perjalanan.
b. Untuk menentukan posisi kita di peta, aktifkan GPS lalu
lakukan ploting setiap kita akan memplot posisi kita di peta.
Keuntungan :
a. Cepat
b. Arah lintasan bebas
c. Data terpercaya dan mudah dicek
d. Mudah mengetahui data penelitian
Kekurangan :
a. Penggunaannya sangat tergantung pada sinyal dari satelit.
b. Keterbatasan penggunaan pada dearah vegatasi lebat.
c. Cuaca dapat mempengaruhi metode ini.

2. Metode Kompas

Cara Penggunaan Kompas Geologi


Untuk pengukuran komponen arah (azimuth, jurus, dll.)Bagian-
bagian kompas yang harus diperhatikan adalah lubang pengintip, mata

21
lembu (bull eyes), jarum kompas, klinometer, lingkaran pembagian
derajat. Dan keadaan kompas harus selalu horizontal atau mendatar.
b. Pengukuran azimuth (arah) dapat menggunakan dua cara :
• Kompas dibuka dengan sudut  135° , tangan petunjuk dibuat tegak,
kompas dipegang dipinggang. Sasaran dilihat melalui lubang tangan
petunjuk di garis tengah cermin. Setelah bull eye berada di tengah,
baca angka lingkaran.
• Pembagian derajat yang berhimpit dengan jarum Utara kompas,
sehingga didapatlah harga azimuth/ arah ke depan.
• Kompas geologi dibuka dengan sudut  300, dipegang dekat mata,
sasaran dilihat melalui lubang pengintip dan jendela pandang, dan
melalui cermin dibaca angka lingkaran pembagian derajat yang
berhimpit dengan jarum Utara kompas. Maka didapat harga back
azimuth/ arah belakang.
Kelebihan :
1. Sangat baik dilakukan pada medan apapun,karena daya penyesuaian
metode ini terhadap berbagai medan besar sekali
2. Keputusan yang diambil cepat dapat langsung diambil dilapangan,
untukketelitian,kecepatan,dan ketetapan hasil kerja yang maksimum.
3. Data terpercaya,baik plotting maupun ketersediaan data yang memadai
4. Pengecekan lebih mudah rekonstruksi peta tematik,kolom stratigrafi
terukur,pengambilan sampel batuan terkontrol dengan baik.

Kekurangan :
1. Karena diperlukan pengukuran beberapa elemen parameter lintasan,
pekerjaan menjadi lebih lama.
2. Diperlukan data pendukung tambahan seperti pita ukur,formulir lintasan,
dan kampas yang cocok.
3. Pekerjaan lapangan dilakukan minimal oleh 2 orang.

22
3.3.2.2 Pengamatan Singkapan
Pada pengamatan setiap singkapan dapat dilakukan pengeplotan lokasi
stasiun pengamatan di peta kerangka serta pendeskripsian singkapan batuan secara
megaskopis.
Pengamatan singkapan meliputi :
1 Pengukuran dimensi singkapan, foto, dan sketsa.
2 Deskripsi litologi, strike-dip, ketebalan lapisan, dan struktur sedimen.
3 Pengambilan sampel.
Dalam pengamatan lapisan dilapangan dilakukan beberapa metode yaitu
metode orientasi lapangan dan metode lintasan Kompas / GPS. Metode orientasi
lapangan dilakukan dengan menarik garis-garis searah dari titik pengamatan dari
suatu objek yang jelas dikenal pada peta atau dengan mengamati serta
mencocokkan bentang alam di sekitar titik pengamatan, misalnya garis ketinggian,
sungai, jembatan, jalan, dan lain-lain. Metode ini sesuai untuk daerah terbuka
dengan ciri bentang alam yang sudah dikenal dan lokasi pengamatan yang relatif
berjauhan, sehingga dapat menghemat waktu dan tenanga.
Metode lintasan dan pita ukur dilakukan dengan memperhitungkan arah
dan jarak lintasan terhadap titik patokan yang dapat dilakukan pada peta,
misalkan jembatan atau percabangan sungai. Metode ini sesuai untuk lintasan
tertutup dengan ciri bentang alam yang tidak dapat dikenal, misalnya di lembah
sungai atau pada daerah yang vegetasinya rapat. Dengan metode ini dapat
dilakukan pengamatan secara lebih teliti dan teterperinci, dalam hal ini kami juga
menggunakan GPS sebagai alat bantu yang sangat baik karena dengan
meningkatnya teknologi maka semakin memudahkan penulis dalam hal plotting
dan penentuan lintasan dengan menggunakan GPS.

3.3.3 Tahap Analisis Data


a. Analisis Geomorfologi
1. Morfografi
Morfografi berasal dari dua kata yaitu morfo yang berarti bentuk dan
graphos yang berarti gambaran, sehingga memiliki arti gambaran
bentuk permukaan bumi.

23
Secara garis besar gambaran bentuk muka bumi dapat dibedakan
menjadi:
1. Bentuk Lahan Pedataran.
2. Bentuk Lahan Perbukitan atau Pegunungan.
3. Bentuk Lahan gunung Api dan Lembah.

Pemerian bentuk lahan absolute berdasarkan perbedaan ketinggian


dapat dilihat pada (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Pemerian Bentuk Lahan Absolute Berdasarkan


Perbedaan Ketinggian
Ketinggian (meter) Keterangan
< 50 Dataran rendah
50 – 100 Dataran rendah pedalaman
100 – 200 Perbukitan rendah
200 – 500 Perbukitan
500 – 1.500 Perbukitan tinggi
1.500 – 3.000 Pegunungan
> 3000 Pegunungan tinggi

Selain bentuk-bentuk yang telah disebutkan, terdapat beberapa aspek


pendekatan dalam pemetaan geologi seperti bentuk lereng, pola punggungan dan
pola pengaliran. Howard (1967) telah membagi pola pengaliran menjadi pola
pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi ( Gambar 3.1 ).Pola pengaliran
dasar merupakan suatu pola pengaliran yang mempunyai ciri khas tertentu yang
dapat dibedakan dengan pola pengaliran lainnya, sedangkan pola pengaliran
modifikasi merupakan pola pengaliran yang agak berbeda dan berubah dari pola
dasarnya, namun pola umumnya tetap tergantung pada pola dasarnya. Pola dasar
pengaliran sungai menurut Zenith (1932) (A) dan pola modifikasi pengaliran
sungai menurut A.D.Howard (1967) (B dan C).

24
Gambar 3.1 Pola Dasar Pengaliran Sungai Menurut Zenith (1932) (A) dan Pola
Modifikasi Pengaliran Sungai Menurut A.D.Howard (1967) (B dan C)

Penjelasan dari gambar pola pengaliran sungai di atas dapat dilihat di


bawah ini :
Tabel 3.2 Pola Pengaliran Sungai dan Karakteristiknya (van Zuidam, 1985).

POLA KETERANGAN
KARAKTERISTIK
PENGALIRAN GAMBAR
DASAR

DENDRITIK Perlapisan batuan sedimen relatif datar


atau paket batuan kristalin yang tidak
seragam dan memiliki ketahanan
terhadap pelapukan. Secara regional
daerah aliran memiliki kemiringan

25
landai, jenis pola pengaliran membentuk
percabangan menyebar seperti pohon
rindang.

PARALEL Pada umumnya menunjukkan daerah


yang berlereng sedang sampai agak
curam dan dapat ditemukan pula pada
daerah bentuk lahan perbukitan yang
memanjang. Sering terjadi pola peralihan
antara pola dendritik dengan pola paralel
atau tralis. Bentuk lahan perbukitan yang
memanjang dengan pola pengaliran
paralel mencerminkan perbukitan
tersebut dipengaruhi oleh perlipatan.

TRELLIS Batuan sedimen yang memiliki


kemiringan perlapisan (dip) atau terlipat,
batuan vulkanik atau batuan
metasedimen derajat rendah dengan
perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis
pola pengaliran biasanya berhadapan
pada sisi sepanjang aliran subsekuen.

REKTANGULAR Induk sungai dengan anak sungai


memperlihatkan arah lengkungan
menganan, pengontrol struktur atau sesar
yang memiliki sudut kemiringan, tidak
memiliki perulangan perlapisan batuan,
dan sering memperlihatkan pola

26
pengaliran yang tidak menerus.

RADIAL Bentuk menyebar dari satu pusat,


biasanya terjadi pada kubah intrusi,
kerucut vulkanik serta sisa-sisa erosi.
Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan
arah penyebaran keluar dari pusat
(berbentuk kubah) dan sentripetal dengan
arah penyabaran menuju pusat
(cekungan).

ANULAR Bentuk seperti cincin yang disusun oleh


anak-anak sungai, sedangkan induk
sungai memotong anak sungai hampir
tegak lurus. Mencirikan kubah dewasa
yang telah terpotong atau terkikis,
disusun perselingan batuan keras dan
lunak.

MULTIBASINAL Endapan berupa gumuk hasil longsoran


dengan perbedaan penggerusan atau
perataan batuan dasar, merupakan daerah
gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan
gamping dan lelehan salju (permafrost)

2. Morfogenetik
Suatu proses terbentuknya permukaan bumi sehingga membentuk
dataran, perbukitan, pegunungan, gunungapi, plato, lembah, lereng, pola
pengaliran. Proses geologi yang telah dikenal yaitu proses endogen dan
eksogen.

27
Proses endogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan
atau tenaga dari dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan
bumi. Proses dari dalam kerak bumi antara lain intrusi, tektonik dan
volkanisme. Proses intrusi akan menghasilkan perbukitan intrusi, proses
tektonik akan menghasilkan perbukitan terlipat, tersesarkan dan
erkekarkan, proses volkanisme akan menghasilkan gunungapi dan gumuk
tephra.
Proses eksogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh faktor
dari luar bumi seperti iklim, dan vegetasi. Akibat pengaruh iklim dapat
disebut sebagai pengaruh fisika dan kimia. Proses eksogen cenderung
merubah permukaan bumi secara bertahap, yaitu pelapukan batuan.

Tabel 3.3 Warna yang direkomendasikan untuk dijadikan simbol satuan


geomorfologi berdasarkan aspek genetik (Van Zuidam, 1985).

Kelas Genetik Simbol Warna

Bentuk lahan asal structural Ungu / violet

Bentuk lahan asal vulkanik Merah

Bentuk lahan asal denudasional Coklat

Bentuk lahan asal laut (marine) Hijau

Bentuk lahan asal sungai (fluvial) Biru tua

Bentuk lahan asal es (glacial) Biru muda

Bentuk lahan asal angin (aeolian) Kuning

Bentuk lahan asal gamping (karst) Jingga (Orange)

3. Morfometri

Merupakan penilaian kuantitatif dari bentuklahan sebagai aspek


pendukung dari morfografi dan morfogenetik sehingga klasifikasi
kualitatif akan semakin tegas dengan angka-angka yang jelas. Variasi nilai

28
kemiringan lereng yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan
klasifikasi kemiringan lereng menurut van Zuidam (1983, dalam
Hindartan, 1994) sehingga diperoleh penamaan kelas lerengnya. Teknik
perhitungan kemiringan lerengnya dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik grid cell berukuran 2 x 2 cm pada peta topografi skala 1
:12.500.Kemudian dalam mendapatkan hasil kemiringannya digunakan
rumus:
(𝑛 − 1) 𝐼𝑐
𝑆= × 100%
𝑑𝑥. 𝑠𝑝
Keterangan : S = Kemiringan lereng
n = nilai jumlah kontur yang terpotong (cm)
Ic = interval kontur
dx = panjang garis potong (cm)
sp = skala peta

Klasifikasi dari kemiringan lereng dapat di lihat pada (Tabel 3.4.1.4) di


bawah ini.

Tabel 3.4 Klasifikasi Kemiringan Lereng Berdasarkan van Zuidam (1983, dalam
Hindartan, 1994)

Kemiringan
Klasifikasi Beda tinggi (m)
Persen (%) Derajat ( o)
Datar 0–2 0 – 1,15 <5m
AgakLandai 2–7 1,15 – 4 5 – 25 m
Landai 7 -15 4 – 8,5 25 – 75 m
Agakcuram 15 -30 8,5 – 16, 7 75 – 200 m
Curam 30 – 70 16,7 – 35 200 – 500 m
Terjal 70 – 140 35 – 54,5 500 – 1000 m
SangatTerjal > 140 > 54,5 > 1000 m

29
b. Analisis Stratigrafi

Pembagian satuan batuan berdasarkan pada satuan litostratigrafi tidak


resmi, yaitu penamaan satuan batuan yang didasarkan pada ciri fisik batuan serta
kenampakan posisi satu sama lainnya yang dapat diamati di lapangan, meliputi
jenis batuan, kumpulan jenis batuan, serta keseragaman gejala litologi.
Pada batuan sedimen yang biasanya terdapat beberapa jenis batuan, maka
penamaan satuan batuan berdasarkan jumlah persentase yang paling besar
(dominan) dianggap sebagai satuan yang dapat mewakili dari perselingan satuan
batuan, harus dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Jenis Litologi

Aspek litologi ini digunakan sebagai pengontrol dalam menentukan batas-


batas satuan geomorfologi. Litologi dapat mempengaruhi morfologi sungai dan
jaringan topologi yang memudahkan terjadinya pelapukan dan ketahanan batuan
terhadap erosi.
A. Batuan Sedimen
Klasifikasi batupasir menurut Pettyjohn (1987) memakai dasar
komposisi dari batupasir tersebut. Klasifikasi menggunakan dasar segitiga
sama sisi dimana setiap sudutnya terdiri dari kuarsa, feldspar dan fragmen
batuan. Klasifikasi ini terbagi menjadi 3 luasan segitiga penamaan yaitu :

Luasan segitiga pertama sampai kedua yaitu dimana terdapat


kandungan matriks 0-15% dinamakan arenit. Luasan segitiga kedua
sampai ketiga yaitu terdapat kandungan matriks antara 15%-75%, batuan
yang terdapat di daerah tersebut dinamkan wacke. Luasan segitiga ketiga
dan seterusnya yaitu terdapat kandungan matriks lebih dari 75% batuan itu
disebut mudstone.

30
Gambar 3.2 Klasifikasi Batupasir Menurut Pettyjohn, 1987.

Klasifikasi Dunham, 1962 dapat dilihat pada (Gambar 3.3). Berdasarkan


tekstur proporsi dari butiran dan matriks. Grainstone merupakan butiran tanpa
matriks (biosparit/oosparit), Mudstone merupakan matriks dengan butiran sedikit,
Wackestone merupakan matriks lebih banyak dari butiran dan butiran
mengambang di dalam matriks biomikrit, Packstone merupakan butiran lebih
banyak dari matriks dan butiran saling bersinggungan, hadir matriks biomikrit.

Gambar 3.3 Klasifikasi Batuan Karbonat Berdasarkan Dunham, 1962

31
B. Batuan Beku
Batuan beku terbentuk karena proses pendinginan magma yang dapat terdiri
atas berbagai jenis batuan tergantung pada komposisi mineralnya. Magma merupakan
cairan silikat pijar yang terbentuk secara alamiah, mempunyai temperatur
yang tinggi(900° C - 1600° C) dan berasal dari bagian dalam bumi yang disebut
selubung bumi ( mantel ) bagian atas.Komposisi magma terdiri dari 8 unsur
utama yaitu O, Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na, K dan jugamengandung senyawa H2O
dan CO2 serta beberapa komponen gas H2S, HCl, CH4 dan CO.

Klasifikasi Batuan Beku Secara Megaskopis IUGS 1973 :


a. Golongan Fanerik
Batuan bertekstur fanerik, dapat teramati secara megaskopik (mata
biasa), berbutir sedang-kasar (lebih besar dari 1 mm).Dasar pembagiannya
adalah kandungan mineral kuarsa (Q), atau mineral felspatoid (F), Felsfar
alkali (A), serta kandungan mineral plagioklas (P) dapat dilihat pada
(Gambar3.4).

Gambar 3.4 Diagram Klasifikasi Batuan Beku Fanerik


(IUGS, 1973, Disesuaikan dengan Streckeisen,A .1976)

32
Keterangan gambar yaitu : a. Klasifikasi umum, b. Batuan
ultramafik, gabroik & anortosit, c.Batuan ultramafik. I. Granitoid; II.
Syenitoid; III. Dioritoid; IV. Gabroid; V. Foid Syenitoid; VI. Foid
Dioritoid & Gabroid; VII. Foidolit; VIII. Anortosit; IX. Peridotit; X.
Piroksenit; XI. Hornblendit; II-IV. The Qualifier ‘Foid-Bearing’,
digunakan bila feldspatoid hadir; IX-XI. Batuan Ultramafik.

b. Golongan Afanitik

Batuan beku bertekstur afanitik (berbutir halus < 1 mm), mineral-


mineralnya tidak dapat dibedakan dengan mata biasa / loupe, sehingga
batuan beku jenis ini tidak dapat ditentukan prosentase mineraloginya
secara megaskopik.Komposisi mineralnya diperkirakan berdasarkan warna
batuan karena umumnya mencerminkan proporsi mineral yang dikandung,
proporsi mineral felsik (berwarna terang) dan mineral mafik (berwarna
gelap).
Semakin banyak mineral mafik, semakin gelap warna batuannya.
Penentuan nama / jenis batuan beku afanitik masih dapat dilakukan bagi
batuan yang bertekstur porfiritik / vitrofirik, dimana fenokrisnya masih
dapat terlihat dan dapat dibedakan, sehingga dapat ditentukan jenis
batuannya. Menghitung presentase mineral yang hadir sebagai fenokris,
serta didasarkan pada warna batuan / mineral, maka dapat diperkirakan
presentase masing-masing mineral Q / F,A, P, maka nama batuan dapat
ditentukan (Gambar 3.5).

33
Gambar 3.5 Diagram Klasifikasi Batuan Beku Afanitik

Keterangan gambar yaitu Q. Kuarsa; A. Alkali Felspar (termasuk ortoklas,


sanidin, pertit dan anortoklas); P. Plagioklas; F. Felspatoid; Mel. Melilit;
Ol.Olivin; Px. Piroksen; M. Mineral mafik. I. Rhyolitoid; II. Dacitoid; III.
Trachytoid; IV. Andesitoid, Basaltoid; V. Phonolitoid; VI. Tephritoid; VII.
Foiditoid; VIII. Ultramafitit.

2. Batas Satuan Stratigrafi


Batas satuan stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri
satuan tersebut sebagaimana didefenisikan. Batas satuan stratigrafi jenis tertentu
tidak harus berhimpit dengan batas satuan stratigrafi jenis lain, bahkan dapat
memotong satu sama lain.
3. Batas-Batas Daerah dan Hukum Stratigrafi

Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya


atau perubahan tersebut tidak nyata, maka batasnya merupakan bidang yang
diperkirakan kedudukannya.
4. Lingkungan Pengendapan

Ini bertujuan untuk mengetahui daerah diendapkannya lapisan yang akan


diteliti.

34
c. Analisis Struktur Geologi

Analisis struktur geologi diperlukan untuk memperkirakan gaya atau


deformasi yang telah terjadi pada batuan di suatu singkapan. Untuk menganalisa
struktur geologi diperlukan beberapa metode seperti Hukum V dan pola jurus
serta Stereonet.
Hukum V ( V Rule ) adalah hukum yang menjelaskan hubungan antara
lapisan yang mempunyai kemiringan dengan bentuk topografi berelief akan
menghasilkan suatu pola singkapan yang beraturan, dimana aturan tersebut
dikenal dengan hukum v.
Pola jurus pada dasarnya ialah perlapisan batuan yang merupakan kontur
dari strike / dip (kesamaan arah jurus dan kemiringan batuan). Dalam rekonstruksi
pola jurus perlapisan batuan, data jurus dan kemiringan lapisan batuan
ditampilkan dalam bentuk symbol pada peta topografi. Selanjutnya berdasarkan
jurus perlapisan ditarik garis kelurusan nya ( setelah dilakukan koreksi topografi )
dengan cara ini akan diketahui beberapa hal yakni :
 Pola lapisan batuan nya
 Ada / tidak nya sumbu lipatan, jika ada lipatan tersebut sinklin atau
antiklin.
 Jika dikompilasikan dengan data jenis batuan ( dominasi batuan ) dan
umur batuan nya, akan diketahui penyebaran satuan batuan nya.
1. Sesar

Patahan atau Sesar (fault) adalah satu bentuk rekahan pada lapisan batuan
bumi yg menyebabkan satu blok batuan bergerak relatif terhadap blok yang lain.
Pergerakan bisa relatif turun, relatif naik, ataupun bergerak relatif mendatar
terhadap blok yg lain. Pergerakan yg tiba-tiba dari suatu patahan atau sesar bisa
mengakibatkan gempa bumi. Sesar (fault) merupakan bidang rekahan atau zona
rekahan pada batuan yang sudah mengalami pergeseran (Williams, 2004). Sesar
terjadi sepanjang retakan pada kerak bumi yang terdapat slip diantara dua sisi
yang terdapat sesar tersebut (Williams, 2004). Beberapa istilah yang dipakai
dalam analisis sesar antara lain:

35
a. Jurus sesar (strike of fault) adalah arah garis perpotongan bidang sesar
dengan bidang horisontal dan biasanya diukur dari arah utara.
b. Kemiringan sesar (dip of fault) adalah sudut yang dibentuk antara bidang
sesar dengan bidang horisontal, diukur tegak lurus strike.
c. Net slip adalah pergeseran relatif suatu titik yang semula berimpit pada
bidang sesar akibat adanya sesar.
d. Rake adalah sudut yang dibentuk oleh net slip dengan strike slip (pergeseran
horisontal searah jurus) pada bidang sesar.

Unsur – unsur sesar terdiri dari :


1. Bidang sesar, yaitu bidang rekahan tempat terjadinya pergeseran yang
kedudukannya dinyatakan dengan jurus dan kemiringan .
2. Hanging-Wall, yaitu blok bagian terpatahkan yang berada relative diatas sesar.
3. Foot-Wall, yaitu blok bagian terpatahkan yang relatif berada di bawah bidang
sesar.
4. Throw, yaitu besarnya pergeseran vertikal pada sesar.
5. Heave, yaitu besarnya pergeseran horizontal pada sesar.
6. Pitch, yaitu besarnya sudut yang terbentuk oleh perpotongan antara gores garis
(Slicken line) dengan garis horizontal (garis horizontal diperoleh dari
penandaan kompas pada bidang sesar saat pengukuran strike bidang sesar).
2. Lipatan

Lipatan merupakan pencerminan dari suatu lengkungan yang mekanismenya


disebabkan oleh dua proses, yaitu bending (melengkung) dan buckling (melipat).
Pada gejala buckling, gaya yang bekerja sejajar dengan bidang perlapisan,
sedangkan pada bending gaya yang bekerja tegak lurus terhadap bidang
permukaan lapisan (Hill, 1953).
Lipatan memiliki beberapa bentuk - bentuk yang tersingkap baik pada saat
pengamatan di lapangan yaitu :
1. Lipatan tegak (Symmetric Folds) merupakan lipatan tegak yang
dihasilkan dari kekuatan yang sama yang mendorong dua sisi dengan seimbang.
2. Lipatan Miring (Asymmetric Folds) adalah lipatan yang dihasilkan
ketika kekuatan tenaga pendorong di salah satu sisinya lebih kuat, sehingga akan

36
menghasilkan kenampakan salah satu sisinya lebih curam.
3. Lipatan Rebah (Overturned Folds) adalah lipatan yang arah lipatannya
mendatar. Lipatan ini terjadi karena arah tenaga horizontal hanya dari satu arah.
4. Lipatan Menutup (Recumbent Folds) adalah lipatan yang terbentuk pada
saat lipatan yang satu menekan sisi yang lain dan menyebabkan sumbu lipat
hampir datar.
5. Lipatan Sesar Sungkup (Overthrust) adalah lipatan yang terbentuk
ketika tenaga tekan menekan satu sisi dengan kuat sehingga menyebabkan lipatan
menjadi retak.
Didalam analisa struktur lipatan, hubungan sudut antara garis dan bidang
dapat diselesaikan dengan deskripsi geometri. Cara yang lebih praktis adalah
dengan menggunakan jaring stereografi, terutama bila kita berhadapan dengan
struktur yang kompleks.Suatu hasil pengukuran kedudukan bidang-bidang
perlapisan diplot pada jaring stereografi. Hasil perpotongan dari proyeksi-proyeksi
tersebut akan mengumpul pada satu titik yang disebut Diagram Beta (β), yang
menunjukan kedudukan sumbu lipatan (gambar 3.2 a). Apabila diplot kutub-kutub
dari bidangnya, akan menghasilkan kelompok titik-titik proyeksi yang
penyebarannya mengikuti garis lingkaran besar. Titik-titik proyeksi ini disebut
Diagram S-Pole (gambar 3.6).

N
N N

3 3

1  1 

2
P5
P4
P6

P3
5 P1
4 P2

(a) (b)

Gambar 3.6 Proyeksi stereografi dari bidang-bidang pada suatu lipatan (a),
Diagram Beta (b) Diagram Phi

37
3. Kekar

Kekar merupakan salah satu struktur yang paling umum dijumpai pada
batuan. Kekar atau joint adalah rekahan-rekahan pada batuan yang berbentuk
lurus, planar dan tidak terjadi pergeseran. Joint set adalah kumpulan kekar pada
satu tempat atau pada suatu batuan yang memiliki ciri khas yang dapat dibedakan
dengan joint set lainnya.
Kekar adalah struktur retakan/rekahan terbentuk pada batuan akibat suatu
gaya yang bekerja pada
batuan tersebut dan belum mengalami pergeseran. Secara umum dicirikan oleh:
a). Pemotongan bidang perlapisan batuan;
b). Biasanya terisi mineral lain (mineralisasi) seperti kalsit, kuarsa dsb;
c) Kenampakan breksiasi. Struktur kekar dapat dikelompokkan
berdasarkan sifat dan karakter retakan / rekahan serta arah gaya yang
bekerja pada batuan tersebut.
Didalam analisa, kekar dapat dipakai untuk membantu menentukan pola
tegasan, dengan anggapan bahwa kekar-kekar tersebut pada keseluruhan daerah
terbe ntuk sebelum atau pada saat pembentukan sesar (gambar 3.3).Cara ini sangat
lemah dan umumnya dipakai pada daerah yang lebih luas (regional) dan data yang
dipakai tidak hanya kekar, tetapi juga sesar yang dapat diamati dari peta topografi,
foto udara dan citra landsat.

38
Gambar 3.7 a. Diagram frekuensi dan diagram kontur dari kekar-kekar yang
dapat dipergunakan untuk menentukan tegasan utama b. Diagram blok pola-pola
kekar dan hubungannya dengan tegasan regional disuatu wilayah.

Cara pendekatan lain untuk menganalisa kekar yaitu dengan melihat gejala
yang terdapat pada jalur sesar. Mengingat bahwa akibat gerak dari sesar, struktur
kekar juga dapat terbentuk. Beberapa contoh gerak sesar dapat menimbulkan pola
kekar “pinnate” (struktur bulu ayam), “en echelon” fractures seperti pada (gambar
3.8). Kekar-kekar ini umumnya merupakan kekar regangan yang sudut lancip
searah dengan gerak sesar.

Gambar 3.8 Pola kekar regangan yang dapat dipakai untuk menentukan gerak
sesar.

d. Analisis Geologi Sejarah

Pada tahap ini cara yang digunakan untuk menentukan geologi sejarah dari
daerah penelitian berdasarkan geologi regional daerah peneliti terdahulu.
Berdasarkan litostratigrafinya, kita dapat mengetahui kronologis peristiwa serta
perkembangan pembentukan batuan di lokasi penelitian yang dihubungkan
dengan tektonik beserta skala waktu geologi yang kemudian didapatkan hasil dari
satu kesatuan data - data tersebut sehingga bisa diinterpretasikan sejarah geologi
regional yang terbentuk pada daerah penelitian tersebut.

39
3.3.4 Tahap Penyusunan Laporan
Pada tahap ini hasil penelitian yang meliputi interpretasi dan rekonstruksi
data yang diperoleh dari lapangan serta hasil dari studi regional yang disajikan
dalam bentuk laporan pemetaan. Pada laporan ini, disertakan juga peta kerangka,
peta geomorfologi, peta pola jurus perlapisan batuan, dan peta geologi.

Tabel 3.4 Diagram Alir Penelitian

Studi Pustaka Data Regional Jurnal Penelitian


Tahap
Perizinan
Persiapan
Pembuatan
Peta

Pengamatan
Lokasi
Tahap
Penelitian Pengamatan
Lapangan Singkapan
Morfografi

Geomorfologi Morfogenetik
2 Morfometri
Stratigrafi
Tahap Analisis
Satuan Batuan
Struktur
Sesar
Geologi
Sejarah Lipatan

Peta : Kekar
Peta Kerangka dan
Tahap Lintasan
Penyusunan Peta Pola Jurus
Laporan dan Peta Geomorfologi
Pembuatan Peta Peta Geologi

Laporan
Pemetaan
Geologi
Pendahuluan

40
DAFTAR PUSTAKA

Barber, A.J., Crow, M.J., dan Milsom, J.S., 2005, Sumatra : Geology, Resources
and Tectonic Evolution, Geological Society Memoir, No.31, hal 93-94, 223-
228.

Barnes, J., 1981. Basic Geological Mapping.2nd Edition. John Wiley & Sons,
New York, 118p

Bemmelen, R.W. van., 1949, The Geology of Indonesia vol. 1 A. Government


Printing Office, The Hague, MartinusNijhoff, vol. 1A, Netherlands.

Bott, M.H.P., 1959. The mechanics of oblique slip faulting. Geological Magazine
96, 109±117

BPN. 2008. Kondisi Kelerengan Lahan di Kota Sawahlunto

Dunham, R.J.1962. Spectral Subdivision of Limestone Type.Dalam W.E Ham


(Ed), classification of carbonate rocks, Am.Assoc.Pet.Mem,1,hlm 62-84.

Howard, A.D, 1967, Drainage Analysis In Geologic Interpretation: A


Summation, AAPG Bulletin, Vol.51 No.11 November 1967, p 2246-2259

Katili, J. A. dan Koesoemadinata, P. 1962. Structural Pattern of South Banten and


It’s Relation to The Ore Bearing Veins. Bandung : ITB. Kastowo dan
Silitonga, 1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981

Kastowo dan Silitonga, P.H., 1973, Peta Geologi Bersistim LembarSolok,


Sumatera: Direktorat Geologi, Bandung

Koesoemadinata, R.P., dan Matasak, T., 1981, Stratigraphy and Sedimentation


Ombilin Basin Central Sumatra (West Sumatra Province), Proceedings
Indonesian Petroleum Association 10th Annual Convetion, hal 217 – 249.

Petti john, F.J. 1975. Sedimentary Rock.Marker and Bow Publisher. Third Edition

Silitonga P.H. & Kastowo, 1995 :Peta Geologi Lembar Solok, Sumatera, Peta
Geologi bersistem Sumatera, PPPG, Bandung.

Situmorang, B., Yulihanto, B., Guntur, A., Himawan, R.S., & Jacob, T.G., 1991,
Structural Basin Development of the Ombilin Basin, Proceedings Indonesian
Petroleum Association 21th Annual Convention, hal 1 – 15.

Streckeisen,A.1979. To Each Plutonic Rock its Proper Name. Earth Sci. Rev.,12.
hlm:1-34.

Zuidam, R.A, van., 1985, Aerial Photo Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping, The Hague: Smits

41
Zulfikar Basmoesa, 2008. Peta Administrasi Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.

42

Anda mungkin juga menyukai