Anda di halaman 1dari 129

TUGAS AKHIR

PEMETAAN GEOLOGI DAN ANALISIS FASIES ANGGOTA


BATUGAMPING PADA FORMASI GUNUNGAPI TAPAKTUAN DI
DAERAH LABUHANHAJI BARAT DAN SEKITARNYA, KABUPATEN
ACEH SELATAN, PROVINSI ACEH

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana S1 pada


Program Studi Teknik Geologi Jurusan Teknik Kebumian Fakultas Teknik
Universitas Syiah Kuala

Disusun oleh:
AMATUL FIRDHA (1704109010001)

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI JURUSAN TEKNIK KEBUMIAN


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH 20
LEMBAR PENGESAHAN

PEMETAAN GEOLOGI DAN ANALISIS FASIES ANGGOTA


BATUGAMPING PADA FORMASI GUNUNGAPI TAPAKTUAN DI
DAERAH LABUHANHAJI BARAT DAN SEKITARNYA, KABUPATEN
ACEH SELATAN, PROVINSI ACEH

Disusun oleh:
AMATUL FIRDHA
1704109010001

Disetujui Oleh,
Dosen Pembimbing Co. Pembimbing

Fahri Adrian, B.Sc., M.Sc. Rifqan, S.Si., M.T


NIP: 199004292016011101 NIP: 199101242019031007

Tugas Akhir ini telah diterima sebagai salah satu


persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
17 Juni 2022

Mengetahui
Ketua Prodi Teknik Geologi

Dr. Halida Yunita, S.T., M.T


NIP: 197806132002122002

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, yang telah
menciptakan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi berserta isi diantara keduanya
dan telah memberikan kemudahan dalam penyusunan tugas akhir yang berjudul
“Pemetaan Geologi dan Analisis Fasies Anggota Batugamping pada Formasi
Gunungapi Tapaktuan di Daerah Labuhanhaji Barat, Kabupaten Aceh Selatan,
Provinsi Aceh”.

Selawat berangkaikan salam tidak lupa pula kita hadiahkan kepada Rasullah
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat sekalian yang telah membawa
perubahan dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan seperti yang kita
rasakan pada saat sekarang ini.

Penulisan tugas akhir ini dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Geologi, Falkutas
Teknik, Universitas Syiah Kuala, dalam penyusunan tugas akhir ini penulis
menyadari tanpa adanya bimbingan, bantuan dan dorongan dari Bapak Fahri Adrian,
B.Sc., M.Sc dan Bapak Rifqan, S.Si., M.T selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis. Tidak lupa pula terima kasih kepada kedua orang tua yang
telah berperan penting dalam proses pembelajaran penulis.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Alfiansyah Yulianur BC. selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Syiah Kuala.
2. Bapak Dr. Bambang Setiawan, S.T., M.Eng.Sc selaku Ketua Jurusan Kebumian
Universitas Syiah Kuala;
3. Ibu Dr. Halida Yunita, S.T., M.T selaku Ketua Prodi Teknik Geologi Jurusan
Kebumian Universitas Syiah Kuala;

iii
iv

4. Bapak Ibnu Rusydy, S.Si., M.Sc. sebagai Ketua Bidang Geologi Rekayasa dan
Lingkungan Prodi Teknik Geologi Jurusan Kebumian Universitas Syiah Kuala;
5. Bapak Hidayat Syah Putra, S.T., M.Sc dan Ibu Dewi Sartika, S.T., M.Eng sebagai
Penguji dalam seminar proposal dan sidang buku tugas akhir;
6. Bapak Akmal Muhni, S.T., M.T. Sebagai Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam proses penyelesaian tugas akhir;
7. Seluruh dosen Prodi Teknik Geologi Jurusan Kebumian Fakultas Teknik
Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan saran, masukan, dan ilmu
kepada penulis;
8. Orang tua dan keluarga besar penulis yang selalu memberikan do’a dan dukungan
untuk dapat menyelesaikan proposal tugas akhir ini;
9. Seluruh mahasiswa Teknik Geologi 2017 yang telah memberi semangat dan
motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi ini;

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa pada penulisan tugas akhir ini masih
jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat terkhususnya untuk mahasiswa
geologi.

Banda Aceh, 17 Juni 2022


Penulis

Amatul Firdha
1704109010001
ABSTRAK

Secara administratif daerah penelitian berada di Kecamatan Labuhanhaji


Barat, Kabupaten Aceh Selatan, dengan luas blok daerah penelitian 25 km2 dan
berada pada koordinat 3033’35” - 30 36’21” Lintang Utara (LU) dan 96059’56” -
96057’15” Bujur Timur (BT). Daerah penelitian didominasi oleh batuan beku dan
batugamping yang tersebar pada Formasi Gunungapi Tapaktuan yang berumur
Mesozoikum yaitu pada kala Jura Akhir – Kapur Awal. Hal tersebut menjadikan
penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian pada daerah yang diteliti, selain
dari umurnya yang sudah tua daerah tersebut adalah bagian dari Woyla grup dan
daerah tersebut sebelumnya belum pernah melakukan penelitian secara detail. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian dan
mengetahui jenis batugamping berdasarkan Klasifikasi Embry dan Klovan (1971)
yang kemudian dianalisis mengenai fasies dari batugamping tersebut. Ruang lingkup
penelitian meliputi kajian mengenai kondisi geologi, geomorfologi, dan analisis
fasies batugamping pada daerah penelitian. Metode yang dilakukan dalam penelitian
ini berupa pemetaan geologi yang dilakukan dengan pengambilan data langsung di
lapangan. Kemudian dilakukan analisis petrologi dan petrografi pada sampel batuan
yang bertujuan untuk mengetahui proses pembentukkan dan fasies dari batugamping
pada daerah penelitian. Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian menghasilkan
9 satuan bentang alam yaitu Satuan Bentang Alam Denudasional (D5), Satuan
Bentang Alam Karst (K5), Satuan Bentang Alam Struktural (S3 Dan S1), Satuan
Bentang Alam Fluvial (F1,F3, Dan F4), dan Satuan Bentang Alam Marine (M3 dan
M14). Adapun kondisi litologi batuan pada daerah penelitian terdiri dari 5 satuan
batuan yaitu, Satuan Batuan Basal Labuhanhaji, Satuan Batuan Andesit Labuhanhaji,
Satuan Batuan Batugamping, Satuan Batuan Endapan Pasir Qpm, dan Satuan Batuan
Endapan Aluvium. Untuk analisis petrografi dilakukan pada 5 sampel batuan yaitu 3
sampel batuan batugamping dan 2 sampel batuan beku. Dari 3 sampel batuan tersebut
batugamping hanya terdapat 1 jenis batugamping yaitu batugamping mudstone berada
pada fasies fore reef berdasarkan Zona Fasies Terumbu Menurut James (1979) dan
pada zona 1 yaitu Basin berdasarkan Wilson, A.J.E, (1975). Untuk lingkungan
pengendapannya yaitu Fringing Reef berdasarkan Nichols (2009). Kemudian 2
sampel batuan beku yaitu basal dan andesit berdasarkan klasifikasi IUGS (1973).
Kata kunci : Pemetaan, Geologi, Petrologi, Petrografi, Batugamping, Fasies.

v
ABSTRACT

Administratively, the research area is located in West Labuhanhaji District,


South Aceh Regency, with a block area of 25 km2 and is located at coordinates
3033'35” - 30 36'21” North Latitude (LU) and 96059'56” - 96057'15” East Longitude
(BT). The study area is dominated by igneous rocks and limestones scattered in the
Mesozoic Tapaktuan Volcanic Formation, namely the Late Jurassic - Early
Cretaceous. This makes the author very interested in conducting research in the area
under study, apart from its old age, the area is part of the Woyla group and the area
has never done detailed research before. The purpose of this study was to determine
the geological conditions of the study area and to determine the type of limestone
based on the Embry and Klovan Classification (1971) which was then analyzed
regarding the facies of the limestone. The scope of the research includes studies on
geological conditions, geomorphology, and analysis of limestone facies in the
research area. The method used in this research is geological mapping which is
carried out by taking data directly in the field. Then petrological and petrographic
analyzes were carried out on rock samples aimed at knowing the formation process
and facies of limestone in the study area. Geomorphological observations in the study
area resulted in 9 landscape units, namely the Denudasional Landscape Unit (D5),
Karst Landscape Unit (K5), Structural Landscape Units (S3 And S1), Fluvial
Landscape Units (F1, F3, And F4), and Marine Landscape Units (M3 and M14). The
rock lithology conditions in the study area consist of 5 rock units, namely,
Labuhanhaji Basal Rock Unit, Labuhanhaji Andesite Rock Unit, Limestone Unit,
Qpm Sand Sedimentary Rock Unit, and Alluvium Sedimentary Rock Unit. For
petrographic analysis carried out on 5 rock samples, namely 3 samples of limestone
and 2 samples of igneous rock. Of the 3 limestone samples, there is only 1 type of
limestone, namely mudstone in the fore reef facies based on the Reef Facies Zone
according to James (1979) and in zone 1, namely Basin based on Wilson, AJE,
(1975). The depositional environment is Fringing Reef based on Nichols (2009). And
two samples of igneous rock, namely basalt and andesite based on the IUGS
classification (1973).
Keywords : Mapping, Geology, Petrology, Petrography, Limestone, Facies.

vi
DAFTAR ISI

TUGAS AKHIR ............................................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iii
ABSTRAK .................................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................................. vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 3
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................................. 4
1.6 Hasil yang Diharapkan ....................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 5
2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian .................................................................. 5
2.1.1 Fisiografi Regional ....................................................................................... 5
2.1.2 Sejarah Geologi Regional ............................................................................. 7
2.2 Geomorfologi...................................................................................................... 9
2.3 Pemetaan Geologi ............................................................................................. 21
2.4 Struktur Geologi ............................................................................................... 21
2.5 Petrografi Batuan .............................................................................................. 23
2.5.1 Klasifikasi Batuan Beku ............................................................................. 24

vii
viii

2.5.2 Klasifikasi Batuan Karbonat Berdasarkan Klasifikasi Embry dan Klovan


(1971) ................................................................................................................... 25
2.6 Batugamping ..................................................................................................... 28
2.6.1 Mineral Penyusun Batuan Karbonat ........................................................... 29
2.6.2 Komponen Utama Penyusun Batugamping ................................................ 30
2.6.3 Pembentukan Batugamping ........................................................................ 32
2.6.4 Syarat Pembentukan Batuan Karbonat ....................................................... 33
2.7 Lingkungan Pengendapan dan Fasies Batuan Karbonat................................... 34
2.7.1 Klasifikasi Lingkungan Pengendapan ........................................................ 34
2.7.2 Penyebab yang Mempengaruhi Lingkungan Pengendapan ........................ 35
2.7.3 Lingkungan Pengendapan Batugamping .................................................... 36
2.8 Paleontologi ...................................................................................................... 40
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................................. 41
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 41
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................. 42
3.3 Metode dan Tahap Penelitian ........................................................................... 43
3.4 Diagram Alir Penelitian.................................................................................... 51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 52
4.1 Kondisi Lokasi Penelitian ................................................................................. 52
4.2 Geomorfologi Daerah Penelitian ...................................................................... 52
4.2.1 Satuan Bentang Alam Denudasional D5 .................................................... 53
4.2.2 Satuan Bentang Alam Karst K5.................................................................. 54
4.2.3 Satuan Bentang Alam Struktural S3 ........................................................... 55
4.2.4 Satuan Bentang Alam Struktural S1 ........................................................... 57
4.2.5 Satuan Bentang Alam Fluvial F1................................................................ 58
4.2.6 Satuan Bentang Alam Fluvial F3................................................................ 59
4.2.7 Satuan Bentang Alam Fluvial F4................................................................ 59
4.2.8 Satuan Bentang Alam Marine M3 .............................................................. 60
4.2.9 Satuan Bentang Alam Marine M14 ............................................................ 61
ix

4.3 Kondisi Litologi daerah penelitian ................................................................... 61


4.3.1 Satuan Batuan Basal Labuhanhaji .............................................................. 62
4.3.2 Satuan Batuan Andesit Labuhanhaji........................................................... 62
4.3.3 Satuan Batuan Batugamping ...................................................................... 63
4.3.4 Satuan Batuan Endapan pasir Qpm ............................................................ 69
4.3.5 Satuan Batuan Endapan Aluvium ............................................................... 69
4.4 Struktur Geologi di Daerah penelitian .............................................................. 71
4.5 Stratigrafi, Vulkanostratigrafi dan Sejarah Geologi ......................................... 78
4.5.1 Stratigrafi Daerah Penelitian ...................................................................... 78
4.5.2 Vulkanostratigrafi Daerah Penelitian ......................................................... 78
4.6 Analisis Petrografi ............................................................................................ 79
4.6.1 Analisis Petrografi Batugamping................................................................ 79
4.6.2 Analisis Petrografi Batu Beku .................................................................... 87
4.7 Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan Batugamping Daerah Penelitian .
.......................................................................................................................... 94
4.7.1 Analisis Fasies Berdasarkan James (1979) dalam Sholle (1989) dan Wilson
A.J.E, (1975). ....................................................................................................... 94
4.7.2 Lingkungan Pengendapan Batugamping Kristalin ..................................... 96
BAB V KESIMPULAN .............................................................................................. 98
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 98
5.2 Saran ........................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 100
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Zona Fisiografi Pulau Sumatera (Hamilton, 1979) ................................... 6


Gambar 2.2 Peta Geologi Regional Lembar Tapaktuan (Cameron Dkk., 1982) .......... 7
Gambar 2.3 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian, Dimodifikasi dari Peta Geologi
Regional Lembar Tapaktuan (Cameron Dkk, 1982) ..................................................... 8
Gambar 2.4 Klasifikasi Penamaan Sesar (Rickard, 1972) .......................................... 23
Gambar 2.5 Diagram QAPF (IUGS, 1973) ................................................................. 24
Gambar 2.6 Klasifikasi Embry Dan Klovan (1971).................................................... 27
Gambar 2.7 Variasi Bentuk Umum Komponen Non-Skeletal Grain (Tucker, 1981) . 31
Gambar 2.8 Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat (James dan Bourque, 1992)
..................................................................................................................................... 33
Gambar 2.9 Ilustrasi Lingkungan Pengendapan James (1979) ................................... 37
Gambar 2.10 Zona Fasies dengan Model Paparan Karbonat Terbatas (Wilson, A,J,E,
1975) ........................................................................................................................... 38
Gambar 3.1 Peta Topografi Daerah Penelitian yang Dimodifikasi dari Rupa Bumi
Indonesia (RBI) (2021) ............................................................................................... 41
Gambar 3.2 Pengamatan Geomorfologi Daerah Penelitian (Sumber Penulis:2022) .. 45
Gambar 3.3 Langkah Memasukkan Data Strike dan Dip pada Aplikasi Dips (Sumber
Penulis:2022) .............................................................................................................. 45
Gambar 3.4 Langah Membuat Data Proyeksi Stereografis (Sumber Penulis:2022) ... 46
Gambar 3.5 Langkah Membuat Diagram Rosette (Sumber Penulis:2022) ................. 46
Gambar 3.6 Pengamatan Singkapan Litologi pada Lokasi Penelitian S6 (Sumber
Penulis:2022) .............................................................................................................. 47
Gambar 3.7 Proses Pemotongan Sampel Batuan Menggunakan Mesin Gerinda
(Sumber Penulis:2022) ................................................................................................ 49
Gambar 3.8 Proses Penempelan Sampel Batuan Menggunakan Lem Epoxy (Sumber
Penulis:2022) .............................................................................................................. 49

x
xi

Gambar 3.9 Proses Analisis Sampel Batuan Menggunakan Mikroskop Polarisasi


(Sumber Penulis:2022) ................................................................................................ 50
Gambar 3.10 Diagram Alir Penelitian ........................................................................ 51
Gambar 4.1 Kenampakan Satuan Bentang Alam Denudasional D5 ........................... 54
Gambar 4.2 Kenampakan Satuan Bentang Alam Karst K5 ........................................ 55
Gambar 4.3 Kenampakan Satuan Bentang Alam Struktural S3 ................................ 56
Gambar 4.4 Kekar – kekar Sebagai Penciri Bentuk Lahan Struktural S3 .................. 56
Gambar 4.5 Kenampakan Satuan Bentang Alam Sruktural S1 ................................. 57
Gambar 4.6 Kekar – kekar Sebagai Penciri Bentuk Lahan Struktural S1 .................. 58
Gambar 4.7 Kenampakan Satuan Bentang Alam Fluvial F1 ...................................... 58
Gambar 4.8 Kenampakan Satuan Bentang Alam Fluvial F3 ...................................... 59
Gambar 4.9 Kenampakan Satuan Bentang Alam Fluvial F4 ...................................... 60
Gambar 4.10 Kenampakan Satuan Bentang Alam Marine M3 .................................. 60
Gambar 4.11 Kenampakan Satuan Bentang Alam Marine M14 ................................ 61
Gambar 4.12 Kenampakan Satuan Batuan Basal Labuhanhaji pada Singkapan S18 di
Desa Cacang, Kec. Labuhanhaji ................................................................................. 62
Gambar 4.13 Kenampakan Satuan Batuan Andesit Labuhanhaji pada Singkapan S34
di Desa Bate Meucanang, Kec. Labuhanhaji Barat..................................................... 63
Gambar 4.14 Kenampakan Satuan Batuan Batugamping pada Singkapan S5 di Desa
Bate Meucanang, Kec. Labuhanhaji Barat .................................................................. 64
Gambar 4.15 Kenampakan Kulit Gajah (Elepant’s Skin Weathering) ....................... 65
Gambar 4.16 Kenampakan Joint (Kekar) Gerus pada Singkapan S6 ......................... 66
Gambar 4.17 Kenampakan Stylolite Arah Tegasannya............................................... 66
Gambar 4.18 Secondary Porosity Berupa Vuggy atau Cavities ................................. 67
Gambar 4.19 Kenampakan Stalatite (Berwarna Biru) dan Stalamite (Berwarna
Merah) ......................................................................................................................... 68
Gambar 4.20 Kenampakan Urat atau Vein Kalsit ....................................................... 68
Gambar 4.21 Kenampakan Satuan Batuan Endapan Pasir Qpm pada Singkapan S2 di
Desa Tengah Iboeh, Kec. Labuhanhaji Barat.............................................................. 69
xii

Gambar 4.22 Kenampakan Lempung pada Singkapan S53 di Desa Pante Geulima,
Kec. Labuhanhaji Barat ............................................................................................... 70
Gambar 4.23 Kenampakan Kerikil dan Pasir pada Singkapan S53 di Desa Pante
Geulima, Kec. Labuhanhaji Barat ............................................................................... 71
Gambar 4.24 Kenampakan Kekar Gerus di Singkapan S3 ......................................... 71
Gambar 4.25 Diagram Rosette Memperlihatkan Jurus (Strike) Kekar Berarah Timur
Laut - Barat dan Barat Laut - Tenggara ..................................................................... 72
Gambar 4.26 Kenampakan Kontak Litologi yang Merupakan Zona Indikasi Sesar
pada Singkapan S25 .................................................................................................... 74
Gambar 4.27 Kenampakan Sesar Geser yang Berada di Luar Blok Daerah Penelitian
..................................................................................................................................... 75
Gambar 4.28 Klasifikasi Penamaan Sesar (Rickard, 1972) ........................................ 76
Gambar 4.29 Kenampakan Air Terjun di Desa Bate Meucanang, Kec.Labuhanhaji
Barat ............................................................................................................................ 77
Gambar 4.30 Kenampakan Mata Air di Daerah Penelitian......................................... 77
Gambar 4.31 Sayatan Tipis pada Singkapan S5 ......................................................... 80
Gambar 4.32 Sayatan Tipis pada Singkapan S10 ....................................................... 82
Gambar 4.33 Sayatan Tipis pada Singkapan S40 ....................................................... 85
Gambar 4.34 Penamaan Batugamping Berdasarkan Embry dan Klovan (1971) ........ 86
Gambar 4.35 Sayatan Tipis pada Singkapan S18 ....................................................... 88
Gambar 4.36 Penamaan Batuan Basal Berdasarkan Diagram QAPF (IUGS, 1973) .. 90
Gambar 4.37 Sayatan Tipis pada Singkapan S37 ....................................................... 92
Gambar 4.38 Penamaan Batuan Andesit Berdasarkan Diagram QAPF (IUGS, 1973)
..................................................................................................................................... 94
Gambar 4.39 Zona Fasies Terumbu Menurut James (1972) ...................................... 95
Gambar 4.40 Kenampakam Zona Fasies pada Batugamping Berdasarkan Zona Fasies
dengan Model Paparan Karbonat Terbatas (Wilson, A.J.E,1975) ............................. 96
Gambar 4.41 Ilustrasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batuan yang Ada di Daerah
Penelitian (Sumber : Penulis, 2022) ........................................................................... 97
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Bentukan Asal Berdasarkan Genesa dan Sistem Pewarnaan
(Verstappen & Van Zuidam, 1968 dan 1975) ............................................................... 9
Tabel 2.2 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Denudasional (van
Zuidam, 1983) ............................................................................................................. 10
Tabel 2.3 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Struktural (Van Zuidam,
1983) ........................................................................................................................... 12
Tabel 2.4 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Fluvial (van Zuidam,
1983) ........................................................................................................................... 15
Tabel 2.5 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Karst (van Zuidam, 1983)
..................................................................................................................................... 16
Tabel 2.6 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Marine (van Zuidam,
1983) ........................................................................................................................... 19
Tabel 2.7 Komposisi Mineral dari Mineral Karbonat yang Umum Dijumpai (Sam
Boggs,2014) ................................................................................................................ 29
Tabel 3.1 Alat dan Bahan Lapangan ........................................................................... 42
Tabel 3.2 Alat dan Bahan Laboratorium ..................................................................... 42
Tabel 4.1 Data Observasi Lapangan ........................................................................... 73
Tabel 4.2 Stratigrafi Batugamping di Daerah Penelitian ............................................ 78
Tabel 4.3 Vulkanostatigrafi Batuan Basal dan Andesit di Daearah Penelitian ........... 79

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Morfometri Bentang Alam ................................................................... 103


Lampiran 2. Deskripsi Batuan .................................................................................. 107
Lampiran 3. Peta Lintasan......................................................................................... 113
Lampiran 4. Peta Geomorfologi ................................................................................ 114
Lampiran 5. Peta Geologi ......................................................................................... 115

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemetaan geologi yaitu penelitian lapangan yang melakukan semua aspek
ilmu geologi pada kondisi yang sebenarnya. Pemetaan geologi tersebut dilakukan
dengan pengamatan geologi secara baik dan benar yang bertujuan untuk memberikan
informasi berupa kondisi geologi, persebaran batuan, struktur geologi, dan
kenampakan morfologi suatu bentang alam yang dijumpai di lapangan merupakan
suatu kondisi geologi (Hutton, 1726).
Daerah penelitian dilakukan di daerah Labuhanhaji Barat dan sekitarnya,
Kabupaten Aceh Selatan. Labuhanhaji Barat, Aceh Selatan terdiri atas tiga formasi
yaitu formasi yang paling tua adalah formasi Gunungapi Tapaktuan (Muvt) dan
anggotanya (Mult), Formasi Meulaboh (Qpm), dan yang paling muda yaitu endapan
Aluvium (Qh) (Zulfikar dkk, 2006). Hal yang menjadikan penulis sangat tertarik
untuk melakukan penelitian pada daerah yang akan diteliti ialah formasi pada daerah
tersebut berumur cukup tua yaitu Jura Akhir – Kapur Awal pada era Mesozoikum
sehingga batugamping pada daerah tersebut bisa dijadikan sebagai bahan baku semen,
keramik, peleburan baja, ornamen, dan lain-lain. Selain dari umurnya yang sudah tua
formasi tersebut adalah bagian dari Woyla grup, dan daerah tersebut sebelumnya
belum pernah melakukan penelitian secara detail.
Batugamping atau Limestone merupakan salah satu mineral industri non
logam. Bahan galian non logam ini memiliki cadangan yang cukup banyak di Aceh
Selatan sekitar 117 juta ton disembilan lokasi, mulai dari Kecamatan Bakongan
sampai ke daerah Kecamatan Labuhanhaji (Zulfikar dkk, 2006). Oleh karena itu,
kehadiran litologi batugamping di daerah tersebut semakin memperkuat penulis untuk
melakukan penelitian tentang fasies batugamping dengan menggunakan beberapa
metode penelitian.

1
2

Tubuh batuan yang hadir di lapangan dicirikan oleh litologi, biologi dan
struktur fisik batuan yang berperan sebagai tubuh batuan yang menjadi pembeda
disebut dengan fasies. Fasies adalah cerminan dari mekanisme pengendapan, bukan
hanya satu mekanisme lingkungan saja tetapi bisa lebih dari satu mekanisme
pengendapan (Walkel, dkk (1992)). Diperlukan komponen-komponennya seperti
litologi, struktur sedimen, dan fosil dalam menganalisis fasies dari batugamping
tersebut. Pada penelitian ini menggunakan analisis fasies klasifikasi Batuan Karbonat
oleh Embry dan Klovan (1971) yang kemudian diinterpretasikan fasies pada
batugamping tersebut berdasarkan berdasarkan James (1979) dan berdasarkan Wilson
(1975).
Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan studi kasus ini ialah studi
kasus yang diteliti oleh Adrian, dkk (2020) dengan judul “Analisis Lingkungan
Pengendapan Batuan Karbonat di Kecamatan Montasik”, menggunakan metode
analisis petrologi dan petrografi dan hasil dari penelitian tersebut ialah pesebaran
litologi batuan dari daerah penelitian. Studi kasus yang diteliti oleh Agustina (2020)
dengan judul “Pemetaan Geologi dan Analisis Lingkungan Pengendapan
Batugamping di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh,
menggunakan metode analisis petrologi dan petrografi dan hasil dari penelitian
tersebut ialah kondisi geologi, jenis batugamping, dan lingkungan pengendapan
batugamping di daerah penelitian. Studi kasus yang diteliti oleh Pratiwi (2020)
dengan judul “Geologi dan Analisis Litofasies serta Lingkungan Pengendapan
Anggota Batugamping, Formasi Gunungapi Tapaktuan di Kecamatan Tapaktuan dan
Sekitarnya, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh” menggunakan metode analisis
petrologi dan petrografi dan hasil dari penelitian tersebut ialah kondisi geologi, jenis
batugamping, dan litofasies dari betugamping tersebut, dan studi kasus lainnya.
Pada penelitian ini menggunakan metode petrologi dan petrografi yang
dilakukan dengan pengamatan sayatan tipis. Petrografi adalah cabang ilmu petrologi
yang mempelajari tentang pengelompokkan batuan dengan mendeskripsi dan
3

klasifikasi batuan yang dilakukan berdasarkan hasil pengamatan sayatan tipis dengan
menggunakan mikroskop (Boggs, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi geologi dan geomorfologi pada daerah penelitian ?
2. Bagaimana jenis batugamping pada daerah penelitian menggunakan
metode petrografi berdasarkan Klasifikasi Embry dan Klovan (1971)?
3. Bagaimana fasies dari batugamping di daerah penelitian berdasarkan
James (1979) dan berdasarkan Wilson (1975)?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kondisi geologi dan geomorfologi pada daerah
penelitian.
2. Untuk mengetahui jenis batugamping pada daerah penelitian
menggunakan metode petrografi berdasarkan Klasifikasi Embry dan
Klovan (1971).
3. Untuk mengetahui fasies dari batugamping di daerah penelitian
berdasarkan James (1979) dan berdasarkan Wilson (1975).

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai salah satu informasi mengenai kondisi geologi dan geomorfologi
pada daerah penelitian dan sekitarnya.
2. Sebagai syarat untuk memenuhi salah satu mata kuliah dan tahap untuk
persiapan skripsi tugas akhir.
3. Dapat dijadikan sebagai acuan pada studi literatur dalam penelitian
selanjutnya.
4

4. Dapat dijadikan referensi data bagi kepentingan industri mengenai


batugamping pada pada daerah penelitian dan sekitarnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan di daerah Labuhanhaji Barat, Kabupaten Aceh
Selatan dengan luasan blok 25 km2. Ruang lingkup dari penelitian ini mencakupi
tentang kondisi geologi, geomorfologi, dan analisis fasies batugamping pada daerah
penelitian yang dilakukan dengan pengambilan sampel batuan yang kemudian
diidentifikasikan dan dilakukan metode petrografi untuk melihat karakteristik dari
batugamping tersebut dengan pengamatan mikroskopis pada batugamping. Kemudian
dilanjutkan dengan pengklasifikasian batugamping berdasarkan Klasifikasi Embry
dan Klovan (1971) sehingga didapatkan batugamping berjenis mudstone dan kajian
analisis fasies batugamping berdasarkan James (1979) dan berdasarkan Wilson
(1975) sehingga didapatkan zona fasiesnya yaitu batugamping mudstone berada pada
fasies fore reef berdasarkan Zona Fasies Terumbu Menurut James (1979) dan pada
zona 1 yaitu Basin berdasarkan Wilson, A.J.E, (1975). Untuk lingkungan
pengendapannya yaitu Fringing Reef yang berada di Laut (marine) berdasarkan
Nichols (2009). Kemudian 2 sampel batuan beku yaitu basal dan andesit berdasarkan
klasifikasi IUGS (1973).

1.6 Hasil yang Diharapkan


Hasil dari penelitian ini berupa peta lintasan, peta geomorfologi, peta geologi,
dan analisis fasies batugamping berdasarkan Klasifikasi Embry dan Klovan (1971)
yaitu dengan jenis batugamping mudstone dan analisis fasies batugamping mudstone
berada pada fasies fore reef berdasarkan Zona Fasies Terumbu Menurut James
(1979) dan pada zona 1 yaitu Basin berdasarkan Wilson, A.J.E, (1975). Untuk
lingkungan pengendapannya yaitu Fringing Reef yang berada di Laut (marine)
berdasarkan Nichols (2009). Kemudian 2 sampel batuan beku yaitu basal dan andesit
berdasarkan klasifikasi IUGS (1973).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian


Daerah penelitian secara administratif terletak di Labuhanhaji Barat,
Kabupaten Aceh Selatan berada di wilayah pantai barat-selatan Aceh dan terletak
antara 3033’35” - 3036’21” Lintang Utara (LU) dan 96059’56 - 960 57’15” Bujur
Timur (BT) dengan luas 25 km2 (Cameron, dkk., 1982). Koordinat tersebut diambil
dari hasil pengamatan pada citra satelit (google earth). Dari sisi letaknya Kabupaten
Aceh Barat Daya di sebelah Utara, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam
di sebelah Selatan, Samudra Hindia di sebelah Barat, dan Kabupaten Aceh Tenggara
di sebelah Timur.

2.1.1 Fisiografi Regional


Menurut Hamilton (1979) pulau Sumatera itu terbentuk atas dua lempeng
utama, yaitu lempeng Samudra yang berada disebelah barat dan lempeng benua yang
berada disebelah timur. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik
ketebalan lempeng samudra sekitar 20 kilometer dan ketebalan lempeng benua sekitar
40 kilometer (Hamilton, 1979).
Pulau Sumatera terdiri dari empat elemen tektonik, yaitu komplek akresi,
cekungan busur depan (Fore Acr Basin) dan cekungan busur belakang (Back Arc
Basin), Bukit Barisan, Zona Sesar Sumatera (Baber dan Crow, 2005).

5
6

Daerah Penelitian

Gambar 2.1 Zona Fisiografi Pulau Sumatera (Hamilton, 1979)

Seperti yang terlihat pada Gambar 2.1 menjelaskan tentang keadaan


Fisiografi Pulau Sumatera yang tersusun oleh Zona Jajaran Barisan yang memanjang
sepanjang Sesar Semangko, Zona Semangko yaitu daerah yang memanjang dari Utara
ke Selatan akibat dari terbentuknya Sesar Sumatera atau Sesar Semangko, Zona
Pegunungan Tiga Puluh, Zona Kepulauan Busur Luar yang merupakan akibat adanya
interaksi lempeng India Australia dan lempeng Eurasia yang menerus mulai dari
Pulau Nias, Simelue dan Tanimbar, Zona Paparan Sunda, dan Zona Dataran Rendah
yang disebabkan oleh kepulauan yang terangkat dan Berbukit adalah berupa daratan
lembah dan terdiri dari cekungan sedimen (Baber dan Crow, 2005).
7

2.1.2 Sejarah Geologi Regional


Sejarah geologi regional daerah penelitian dimulai dari periode Jura Akhir –
Kapur Awal pada era Mesozoikum (Cameron dkk, 1982). Pada periode ini kerak
samudra mengalami pergeseran yang meliputi proses kovergen dan divergen (Baber
dan Crow, 2005). Secara divergen kerak samudra mengalami pergerakan di
sepanjang low-Tthys Ocean. sedangkan secara konvergen kerak samudra mengalami
pergerakan yang menyebabkan terjadinya penunjaman dan menghasilkan serangkaian
busur vulkanik (Baber dan Crow, 2005). Proses penunjaman ini terjadi di bagian
barat sehingga muncullah patahan transfor disepanjang Meso-Tethys Ocean yang
dikenal dengan busur Woyla (Baber dkk, 2005). Woyla grup dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu Woyla Timur dan Woyla Barat (Cameron dkk, 1980). Kedua
kelompok tersebut dibatasi oleh Geumpang Line yaitu zona subduksi timur.
Kelompok Woyla Barat adalah urutan busur vulkanik (Volkanik Arc Sequence)
(Cameron dkk, 1980), Busur vulkanik dengan terumbu karang tepi (Volkanik Arc
with Fringing Reef) dan busur pulau Sumatera (Ocean Island Arc) (Barber dkk,
2005).

Gambar 2.2 Peta Geologi Regional Lembar Tapaktuan (Cameron dkk, 1982)
8

Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Tapaktuan (Cameron, dkk., 1982)


yang telah dimodifikasikan, daerah penelitian termasuk kedalam tiga Formasi yaitu:
1. Formasi Gunungapi Tapaktuan (Muvt/Mult) :
- Muvt, terdiri atas Basalt dan Andesit Epidot, Aglomerat, Breksi, Tufa, dan
sedimen kurang penting.
- Mult, terdiri atas Anggota Batugamping (kalsilutit dan sparit).
2. Formasi Meulaboh (Qpm) terdiri atas kerikil, pasir dan lempung berumur
berumur Plistosen.
3. Endapan Aluvium (Qh), terdiri atas kerikil, pasir, dan lempung berumur Holosen.
Endapan aluvium atau disebut juga dengan endapan recent merupakan
endapan yang berumur Holosen (Cameron, dkk., 1982). Formasi Meulaboh
merupakan formasi yang berumur kala Plistosen (Cameron, dkk., 1982) yang bersifat
batuan semikonsolidasi. Formasi Gunungapi Tapaktuan (Muvt/Mult) berumur zaman
Mesozoikum dan merupakan bagian dari Woyla Group (Cameron, dkk., 1982) seperti
(Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian, dimodifikasi dari


Peta Geologi Regional Lembar Tapaktuan (Cameron dkk, 1982)
9

2.2 Geomorfologi
Geomorfologi adalah cabang ilmu kebumian yang mempelajari tentang
bentang alam dan proses perubahan yang ada di bumi. Geomorfologi merupakan
suatu bentuk lahan yang tertata atau tersusun pada permukaan bumi baik itu
ketinggian permukaan bumi maupun kedalaman permukaan laut, serta proses
pembentukan dan perubahan dengan melihat faktor lingkungannya (Verstappen,
1983). Berdasarkan konsep geomorfologi di atas memberikan kesimpulan
geomorfologi mempunyai hubungan dengan bentuk lahan, proses geomorfologi, dan
material penyusunnya (Van Zuidam, 1983).
Dalam perhitungan morfometri, digunakan rumus seperti berikut :
1
1. Indeks Kontur = 2000 𝑥 𝑆kala Peta

2. d = panjang garis x skala peta (meter)


3. presentase kelerengan,
% lereng = ∆h/d x 100 %

4. Beda tinggi = Titik Tertinggi (Top Hill) – Titik Terendah (Low Hill)

Tabel 2.1 Klasifikasi Bentukan Asal Berdasarkan Genesa Dan Sistem Pewarnaan
(Verstappen & Van Zuidam, 1968 dan 1975)
10

Bentuklahan asal denudasional terdiri dari beberapa unit klasifikasi


geomorfologi berdasarkan Van Zuidam (1983), klasifikasi tersebut dibedakan dari
ciri-ciri umumnya, baik itu D1,D2,D3, dan lainnya. Klasifikasi denudasional ini dapat
dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Denudasional


(Van Zuidam,1983)
Kode Warna Unit Karakteristik Umum
D1 Perbukitan & Lereng Lereng landai – curam
Denudasional dengan erosi menengah (topografi
kecil bergelombang kuat),
tersayat lemah –
menengah.
D2 Perbukitan & Lereng Lereng curam menengah
Denudasional dengan erosi - curam (topografi
sedang sampai parah bergelombang kuat –
berbukit), tersayat
menengah tajam.
D3 Pegunungan & Perbukitan Lereng berbukit curam –
Denudasional sangat curam hingga
topografi pegunungan,
tersayat menengah
tajam.
D4 Bukit Sisa Terisolasi Lereng yang berbukit
curam – sangat curam,
tersayat menengah.
(Borhardts: membundar,
11

curam, halus;
Monadnocks:
memanjang, curam;
Bentuk yang tidak rata
dengan atau tanpa blok
penutup.)
D5 Dataran (Peneplains) Hampir datar, topografi
landai sampai
bergelombang. Elevasi
rendah.
D6 Dataran yang Terangkat / Hampir datar, topografi
Dataran Tinggi (Raized landai sampai
Peneplains / Plateaus) bergelombang. Elevasi
tinggi.
D7 Kaki Lereng Relatif rendah, lereng
hampir horizontal
sampai rendah. Hampir
datar, topografi
bergelombang dalam
tahap aktif.
D8 Piedmonts Tebing yang rendah
sampai cukup
bergelombang ke
topografi landai di kaki
bukit dan dataran tinggi
pegunungan.
D9 Gawir (Scarp) Lereng yang curam
sampai sangat curam.
12

D10 Kipas Rombakan Lereng Lereng agak curam


sampai rendah.
D11 Daerah dengan Gerakan Tidak rata, tebing landai
Massa Batuan yang Kuat sampai sedang ke
topografi perbukitan.
(Slides, Slumps, dan
Flows)
D12 Lahan Rusak / Daerah Curam hingga topografi
dengan erosi parit aktif dan miring yang sangat
parah curam. (Ujung runcing,
puncak membulat dan
tipe castellite)

Bentuklahan asal struktural terdiri atas beberapa unit klasifikasi geomorfologi


dan memiliki ciri-ciri umum pada klasifikasi bentuklahan asal struktural berdasarkan
Van Zuidam (1983). Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini.

Tabel 2.3 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Struktural


(Van Zuidam, 1983)

Warna Unit Karakteristik Umum


Kode

Topografi bergelombang
sedang hingga
Rendah sampai cukup
S1 bergelombang kuat dengan
miring. Tersayat menengah.
pola aliran berhubungan
dengan kekar, dan patahan
13

Topografi bergelombang
Rendah sampai topografi
sedang hingga
tebing yang cukup miring
S2 bergelombang kuat dengan
dengan berbentuk linear.
pola aliran berkaitan dengan
Tersayat menengah – kuat.
singkapan batuan berlapis

Topografi bergelombang
Sedang sampai topografi
kuat hingga perbukitan
S3 tebing yang cukup miring.
dengan pola aliran berkaitan
Tersayat kuat.
dengan kekar dan patahan

Cukup curam sampai


Topografi perbukitan hingga
topografi tebing yang sangat
pegunungan dengan pola
S4 miring curam dengan
aliran berkaitan dengan
berbentuk linear. Tersayat
singkapan batuan berlapis
menengah sampai kuat.

Topografi datar hingga


Mesas / Dataran Tinggi yang bergelombang lemah di atas
S5
Dikontrol Struktur plateau dan perbukitan di
bagian tebing.

Bergelombang lemah di
bagian lereng belakang dan
S6 Cuestas
perbukitan pada lereng
depan. Tersayat lemah.

S7 Hogbacks & Flatirons Tinggian berupa topografi


14

perbukitan tersayat.

Topografi bergelombang
Teras Denudasional
S8 lemah hingga perbukitan.
Struktural
Tersayat menengah.

Perbukitan Antiklin & Topografi bergelombang


S9
Sinklin kuat hingga perbukitan.

Lereng yang cukup curam


hingga rendah / topografi
S10 Depresi Sinklin & Combes
landai sampai bergelombang.
Tersayat lemah – menengah.

Topografi bergelombang
S11 Kubah / Perbukitan Sisa
kuat hingga perbukitan.

Topografi bergelombang
S12 Dykes kuat hingga perbukitan.
Tersayat menengah.

Gawir Sesar & Topografi bergelombang


kuat hingga perbukitan.
S13 Gawir Garis Sesar
Tersayat menengah sampai
(Tebing yang Curam) kuat.

Topografi bergelombang
S14 Depresi Graben
lemah hingga kuat.

Topografi bergelombang
S15 Tinggian Horst
kuat hingga perbukitan.
15

Bentuklahan asal fluvial terdiri atas beberapa unit geomorfologi berdasarkan


klasifikasi Van Zuidam (1983). Klasifikasi tersebut dapat ditinjau dari ciri-ciri umum
yang sesuai dengan klafikasi bentuklahan asal fluvial. Klasifikasi bentuklahan asal
fluvial ini dapat dilihat pada tabel 2.4 dibawah ini

Tabel 2.4 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Fluvial


(Van Zuidam, 1983)
Karakteristik
Kode Warna Unit

Hampir datar, topografi


teratur dengan garis batas
F1 Rivers beds permukaan yang bervariasi
mengalami erosi dan bagian
yang terakumulasi.

F2 Lakes Tubuh air

Hampir datar, topografi tidak


F3 Flood plains
teratur dan banjir musiman

Topografi dengan lereng


Fluvial levees, alluvial landai, berhubungan erat
F4
ridges and point bar dengan peninggian dasar oleh
akumulasi fluvial

Topografi landai-hampir
F5 Swamps, fluvial basin landai (swamps, tree
vegetation)

F6 Fluvial terraces Topografi dengan lereng


hampir datar-landai, tersayat
16

lemah-menengah

Lereng landai-curam
menengah, biasanya banjir
F7 Active alluvial fans dan berhubungan dengan
peninggian dasar oleh
akumulasi fluvial

Lereng curam-landai
menengah, jarang banjir dan
F8 Inactive alluvial fans
pada umumnya tersayat
lemah-menengah

Topografi tidak teratur lemah


karena banjir, peninggian
F9 Fluvial-deltaic
dasar fluvial dan pengaruh
marine

Bentuklahan Asal Karst terdiri dari beberapa unit klasifikasi geomorfologi


yaitu K1,K2, K3, dan lainnya. Bentuklahan asal ini dapat dibedakan dengan tinjauan
dari ciri-ciri umum pada klasifikasi bentuklahan asal berdasarkan Van Zuidam
(1983). Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.5 dibawah ini.

Tabel 2.5 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Karst


(Van Zuidam, 1983)
Kode Warna Unit Karakteristik

Karst Plateaus Topografi bergelombang –


K1 bergelombang kuat dengan
(Dataran Tinggi Karst)
sedikit depresi hasil pelarutan
17

dan lembah mengikuti kekar.

Karst/Denudation Slope Topografi dengan lereng


and Hills menengah – curam,
(Lereng Karst bergelombang kuat – berbukit,
K2 Denudasional , lereng permukaan tak teratur dengan
kastified pada kemungkinan dijumpai lapis,
batugamping yang relatif depresi hasil pelarutan dan
keras) sedikit lembah kering.

Karstic/Denudational Topografi dengan lereng


Hills and Mountains menengah sangat curam,
K3 berbukit, pegunungan, lapis,
(Perbukitan & Lereng depresi hasil pelarutan,cliff,
Karst Denudasional) permukaan berbatu.

Topografi dengan lereng curam


Labyrint or Starkarst – sangat curam, permukaan
K4 Zone (Labirin atau star sangat kasar dan tajam dan
kars) depresi hasil pelarutan yang tak
teratur.

Topografi dengan lereng


menengah – sangat curam,
bergelombang kuat – berbukit,
K5 Conical Karst Zone
perbukitan membundar bentuk
conic & pepino & depresi
polygonal (cockpits & glades).

Perbukitan terisolir dengan


Tower Karst Hills or Hills
lereng sangat curam – amat
K6 Zone/Isolated Limestone
sangat curam (towers, hums,
Remnant
mogots atau haystacks).

Topografi datar – hampir datar


K7 Karst Aluvium Plains mengelilingi sisa batugamping
terisolasi / zona perbukitan
18

menara karst atau perbukitan


normal atau terajam lemah.

Lereng hampir datar – landai,


Karst Border/Marginal
K8 terajam dan jarang atau sangat
Plain (Tepian Kars)
jarang banjir.

Sering ditamukan depresi


polygonal atau hasil pelarutan
K9 Major Uvala/Glades dengan tepi lereng curam
menengah – curam, jarang
banjir.

Bentuk depresi memanjang dan


luas, sering berkembang pada
K10 Poljes sesar dan kontak litologi, sering
banjir oleh air sungai, air hujan
& mata air karst.

Lembah dengan lereng landai


curam – menengah, sering
K11 Dry Valleys (Major) dijumpai sisi lembah yang curam
– sangat curam, depresi hasil
pelarutan (ponors) dapat muncul.

Lembah berlereng landai curam


– menengah dengan sisi lembah
Karst Canyons/Collapsed
K12 sangat curam – teramat curam,
Valleys
dasar lembah tak teratur dan
jembatan dapat terbentuk.

Bentuklahan asal Marine terdiri dari beberapa unit geomorfologi berdasarkan


klasifikasi Van Zuidam (1983), klasifikasi bentuklahan asal ini dibedakan dengan
melihat ciri-ciri umumnya. Ciri-ciri umum tersebut diberi kode M1, M2, M3, dan
19

lain-lain. Klasifikasi bentuklahan asal Marine dapat dilihat pada tabel 2.6 dibawah
ini.

Tabel 2.6 Klasifikasi Unit Geomorfologi Bentuklahan Asal Marine


(Van Zuidam, 1983)
Kode Warna Unit Karakteristik

Hamper datar, lereng landai,


M1 Marine wave cut platforms banjir saat air pasang, sering
terlihat morfologi tidak teratur

M2 Tebing dan zona kedudukan Lereng curam-sangat curam,


laut topografi tidak teratur

Hampir datar, lereng landau,


terkena banjir saat pasang,
topografi tidak teratur karena
M3 Beaches garis pantai, bars, swales and
sand deposits reworked by
wind. Pasir, shingle, kerikil,
brangkal, dan batuan pantai

Topografi landi-cukup curam,


Pematang pantai, spits and
M4 bentuk memanjang dengan
tombolo bars, possibly
cekungan deflasi dan bukit
slightly reworked by wind
pasir

Depresi memanjang 19amper


M5 rata antara pematang pantai,
Swales
yang sekarang sering banjir dan
yang lampau jarang banjir

Lereng landau-curam dengan


topografi memanjang (fore
M6 Active coastal dunes (bukit
dunes), seperti bulan sabi
pasir pesisir aktif)
(barchans dunes dan parabolic
dunes), non-vegetasi
20

Lereng landau-curam dengan


Inactive or dormant coastal topografi memanjang (fore
M7 dunes (bukit pasir pesisir dunes), seperti bulan sabit
tidak aktif) (parabolic dunes), sering padat
vegetasi

Topografi hamper datar tersyat


oleh pasang surut air laut yang
M8 Non-vegetated tidal flats /
berbatasan dengan tanggul
mud flats
kecil dan cekungan dangkal,
secara teratur banjir

Topografi hamper datar tersyat


oleh pasang surut air laut yang
berbatasan dengan tanggul
M9 dengan baik dan cekungan
vegetated tidal flats dangkal, secara teratur banjir
(swampy tidal flats :
mangroves, marshy tidal flats :
grasses and shrubs)

M10 Marine flood plains Topografi Lereng datar-landai,


(dataran banjir laut) tersayat lemah

Topografi lereng hamper datar-


M11 landai, tersayat lemah oleh
Marine terraces
aktivitas fluvial, pada dasarnya
tidak dibanjiri lagi oleh air laut

Tempat hiduo koral disekitar


M12 Lithothamnium ridges/reef zona pantai dengan topografi
rings/atolls tidak teratur, permanen
ttertutup oleh air laut

Tempat hidup koral di zona


M13 Coral reefs (batu karang) pasang surut dengan topografi
tidak teratur
21

Datar, topografi yang tidak


V14 teratur karang terutama mati,
Reef flats
pada dasarnya di atas zona
pasang surut

Datar, berteras, topografi


sedikit miring atau
M15 Reef caps/uplifted reefs bergelombang dimana tempat
karang mati, biasanya terkena
banjir

Hamper datar, topografi


M16 Ramparts and cays bergelombang, dengan endapan
linear
M17 Lagoons Water filled depression

2.3 Pemetaan Geologi


Pemetaan geologi adalah suatu kegiatan penelitian lapangan yang menerapkan
semua studi geologi pada kondisi yang sebenarnya. Pemetaan geologi tersebut
dilakukan dengan pengamatan geologi secara baik dan benar yang bertujuan untuk
mengetahui kondisi geologi. Kondisi geologi yang dijumpai di lapangan berupa
penyebaran batuan, struktur geologi, dan kenampakan morfologi bentang alam
(Hutton, 1726).

2.4 Struktur Geologi


Menurut Twiss dan Moores (1992), geologi struktur adalah suatu ilmu yang
mengkaji tentang deformasi batuan yang membentuk lapisan atas bumi. Deformasi
adalah suatu proses yang menyebabkan perubahan ukuran dan bentuk sehingga
menghasilkan hasil yang permanen pada batuan (Twiss dan Moores, 1992). Twiss
dan Moores (1992), secara umum membagikan struktur geologi dalam tiga jenis,
yaitu sebagai berikut:
22

1. Bidang Kontak adalah bidang antar jenis batuan.


2. Struktur Primer adalah struktur utama yang terbentuk ketika terbentuknya suatu
batuan tersebut.
3. Struktur Sekunder adalah struktur dalam batuan yang terbentuk setelah proses
pembentukan batuan tersebut. Struktur-struktur sekuder tersebut, meliputi :
a) Kekar (joint) adalah struktur geologi yang berupa rekahan pada batuan yang
belum mengalami pergeseran. Berdasarkan cara terbentuknya dibagi menjadi
dua yaitu, kekar tectonic dan kekar non tectonic.
b) Lipatan (fold) adalah struktur yang terbentuk melengkung yang dipengaruhi
oleh tegasan pada suatu batuan (stress). Lipatan dibagi menjadi dua
berdasarkan posisi bidang sumbu, yaitu lipatan simetri dan lipatan asimetri.
Lipatan umumnya terbentuk pada batuan sedimen yang belum mengalami
pembatuan seperti lipatan longsoran (slump) yang benyak dijumpai pada
endapan turbidit.
c) Sesar (fault) merupakan suatu zona rekahan pada batuan yang sudah
mengalami pergeseran sehingga menimbulkan perpindahan antara bidang
yang satu dengan bidang yang lainnya. Sesar terbagi menjadi tiga yaitu, sesar
normal, sesar naik, sesar mendatar. Sesar dapat terbentuk sebagai rekahan
tunggal maupun rekahan patahan minor. Sesar memiliki klasifikasi yang
diklasifikasikan oleh Rickard (1972). Klasifikasi tersebut berdasarkan dip dari
bidang sesar serta picth dari perpotongan gores garis dengan bidang
perlapisan.
23

Gambar 2.4 Klasifikasi Penamaan Sesar (Rickard,1972)

2.5 Petrografi Batuan


Petrografi adalah cabang ilmu petrologi yang mempelajari tentang
pengelompokkan batuan dengan mendeskripsi dan klasifikasi batuan yang dilakukan
berdasarkan hasil pengamatan sayatan tipis dengan menggunakan mikroskop (Boggs,
2009). Analisis petrografi adalah salah satu dasar dalam memperoleh
pengelompokkan dan mengklasifikasi batuan termasuk batuan karbonat (Boggs,
2009).
Analisa petrografi batuan bertujuan untuk mengetahui karakteristik, tekstur,
struktur, dan komposisi dari suatu batuan berdasarkan berdasarkan Klasifikasi IUGS
24

(1973) untuk batuan beku dan Klasifikasi Batuan Karbonat oleh Embry dan Klovan
(1971) untuk mengetahui fasies dari batugamping di daerah penelitian berdasarkan
James (1979) dan Wilson (1975).

2.5.1 Klasifikasi Batuan Beku


Ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam analisis mikroskopis batuan
beku yaitu, tekstur, komposisi mineral, dan klasifikasi batuan beku. Tujuan dari
klasifikasi batuan beku adalah untuk mengetahui kondisi dan komposisi dari suatu
batuan.
Salah satu klasifikasi batuan beku adalah Klasifikasi IUGS 1973
(International Union of Geological Science). QAPF adalah suatu singkatan dari
beberapa kelompok mineral yaitu (Kuarsa, Alkali, Plagioklas, dan Felspatoid) dalam
parameter klasifikasi ini (IUGS, 1973). Klasifikasi ini dilakukan dengan memasukkan
persentase mineral yang ada dalam tubuh batuan. Secara megaskopik batuan beku
terbagi menjadi dua yaitu, batuan beku faneritik dengan ciri mineral yang terlihat oleh
mata telanjang atau dapat diamati secara makroskopis dengan ukuran butir kasar
hingga sedang (>1 mm) dan batu beku afanitik dengan ciri mineral yang tidak terlihat
oleh mata telanjang atau hanya dapat diamati secara mikroskopis (Bas, 1991).

Gambar 2.5 Diagram QAPF (IUGS, 1973)


25

2.5.2 Klasifikasi Batuan Karbonat Berdasarkan Klasifikasi Embry dan Klovan


(1971)
Klasifikasi Embry dan Klovan (1971) adalah klasifikasi yang merupakan
modifikasi atau pembaharuan dari klasifikasi sebelumnya yang merupakan klasifikasi
Dunham (1962). Klasifikasi Dunham (1962) didasarkan pada kandungan lumpur atau
mud dan grain pada tekstur deposisi batugamping. Hal tersebut menjadikan kriteria
dasar tekstur deposisi menurut Dunham (1962). Jika kandungan lumpur atau butiran
dalam suatu batugamping tersebut tidak ditemukan, maka penamaannya bisa merujuk
ke batugamping kristalin. Klasifikasi Dunham (1962) membagi enam jenis batuan
karbonat, yaitu mudstone, wackstone, packstone, grainstone dan boundstone dan
batugamping kristalin. Dunham (1962) berpendapat bahwa pada lingkungan yang
berarus tenang akan menghasilkan lumpur karbonat (mud supported) sedangkan pada
lingkungan yang berarus kuat atau bergelombang kuat akan menghasilkan grain
supported sehingga komponen butirannya saja yang mengalami pengendapan.
Menurut Dunham (1962), ada beberapa pembagian dalam mengklasifikasikan
batugamping, yaitu:
1. Mudstone, yaitu batugamping yang dicirikan dengan ukuran butir yang halus,
keterdapatan fragmen kurang dari 10% di dalam matriks lumpur karbonat .
Batuan ini berjenis batuan sedimen non klastik dengan warna segar putih abu-
abu dan warna lapuknya berwarna putih kecoklatan. Komposisi pada batuan
ini adalah komposisi kimia karbonat dengan struktur tidak berlapis dan
teksturnya yaitu non kristalin. Salah satu contoh dari batuan ini adalah
kalsilutit (Grabau) atau Mudstone (Dunham, 1962).
2. Wackstone, yaitu batugamping dengan karakteristik ukuran butir yang sangat
halus (lumpur/kalsilutit), tetapi batuan ini masih berasosiasi dengan fragmen
klastik (tidak dominan), keterdapan fragmen kurang dari 10% dan tidak saling
bersinggungan.
3. Grainstone, yaitu batugamping yang komponen-komponennya saling
bersinggungan dan tidak ada keterdapan lumpur sehingga sering disebut
26

batuan karbonat tanpa lumpur. Menurut Dunham batuan ini berasal dari 2
proses, yaitu:
- Grainstone merupakan batugamping yang terbentuk pada energi yang
tinggi, sehingga keterdapatan lumpur terbilang minim.
- Grainstone terdapat pada arus yang putus butir dan melewati lumpur
pada lingkungan pengendapannya, memiliki tekstur berpori yang
biasanya banyak terdapat pada sekitaran pantai.
4. Packstone, yaitu batugamping yang komponen-komponennya saling
bersinggungan, mempunyai tekstur grain-supported, butir-butirnya terdiri dari
batuan karbonat berlumpur, dan memiliki banyak betolit (Dunham, 1962).
5. Boundstone yaitu batugamping dimana komponennya terbentuk ketika proses
deposisi berlangsung dan mengalami perekatan bersama selama proses
deposisi (pada lingkungan pengendapan terumbu).
6. Crystalline Carbonate, yaitu batugamping yang tidak memperlihatkan tekstur
pengendapan.

Kemudian klasifikasi Embry dan Klovan (1971) diperbaharui dari klasifikasi


Dunham (1962) dimana batugamping terbagi atas dua kelompok, yaitu Allochtonus
dan Autochtonus. Allochtonus merupakan batugamping yang memiliki komponen-
komponennya tidak terikat secara organis selama proses deposisi, sedangkan
Autochtonus merupakan batugamping dengan komponen-komponennya saling terikat
yang berasal dari organisme asal dan belum mengalami transportasi selama proses
deposisi Embry dan Klovan (1971). Kemudian klasifikasi Embry dan Klovan (1971)
dibuat lebih rinci lagi dengan memperhatikan jenis, ukuran, dan banyaknya
organisme yang terkandung di dalam matriks batuan karbonat. Dari klasifikasi
Dunham (1962), klasifikasi Embry dan Klovan (1971) membagi tiga kelompok dari
pembagian Boundstone, yaitu Framestone, Bindstone, Bafflestone. Pembagian
tersebut merupakan bagian dari Autochtonus dengan perangkap sedimen komponen
utama berupa terumbu (Embry dan Klovan, 1971). Selain itu, kelompok batuan yang
27

mengandung komponen berukuran lebih dari 2 mm sebanyak 10% dinamakan dengan


Rudstone dan Floatstone.

Gambar 2.6 Klasifikasi Embry dan Klovan (1971)

1. Allochtonous
Allochtonous adalah komponen-komponen batugamping tidak terikat secara
organis atau komponen yang berasal dari luar cekungan kemudian tertransportasi dan
terendapkan kembali menjadi partikel padat. Biasanya mengandung butiran dengan
ukuran lebih besar dari 2 mm lebih dari > 10%, kemudian dibagi dua lagi oleh Embry
dan Klovan (1971), yaitu :
- Floatstone
Floatstone adalah suatu tekstur dari batugamping yang berasal dari potongan-
potongan kerangka organik yang berukuran lebih besar dari 2 mm dengan ukuran
matriks kurang dari 10% dan masih didominasikan oleh semen.
- Rudstone
Rudstone adalah suatu tekstur batugamping yang berasal dari potongan-
potongan kerangka organik (batugamping klastik) yang berukuran lebih besar dari 2
mm dengan ukuran matriks bisa lebih besar dari 20% dan masih tetap didominasikan
oleh semen.
28

2. Autochtonous
Autochtonous adalah komponen-komponen yang berasal dari organisme asal
dengan komponen-komponennya terikat dan belum tertransportasi selama proses
pengendapannya (Embry dan Klovan, 1971). Pada saat proses deposisi, aktivitas
organisme juga terjadi yang mengakibatkan komponen-komponen yang terikat oleh
mud (micrite) dan semen (sparite) yang kemudian terkompaksi menjadi batuan
karbonat (Embry dan Klovan, 1971).
- Bafflestone
Bafflestone adalah batugamping yang berasal dari kerangka organik seperti
koral (branching coral) dalam keadaan tumbuh berdiri dan dilapisi oleh lumpur
(mud). Biasanya kerangka organik berperan sebagai penjebak yang menjebak lumpur
karbonat.
- Bindstone
Bindstone adalah suatu tekstur batugamping yang berasal dari kerangka
organik maupun dari pecahan-pecahannya seperti koral dan pecahan organik lainnya.
Kemudian kerangka organik tersebut diikat kembali oleh kerak lapisan-lapisan
(encrustation) gamping yang dikeluarkan ganggang merah dan lainnya.
- Framestone
Framestone adalah suatu tekstur batugamping yang berasal dari semua aneka
kerangka seperti koral, bryozoa, ganggang, dan lainya. Framestone memiliki matriks
yang kurang dari 10% dan dibagian kerangka kemungkinan terisi semen (sparry
calcite) ataupun bisa jadi kosong.

2.6 Batugamping
Batugamping adalah batuan sedimen non klastik yang mengandung mineral
kalsit dan aragonit yang merupakan dua varian berbeda dari kalsium karbonat
(CaCO3), dengan warna fisik putih keabu-abuan, dan terkadang berwarna putih
kekuningan. Mineral kalsit dan aragonit adalah mineral karbonat yang menjadi
mineral penting dari penyusun batugamping dan dolomit (Boggs, 2014).
29

Penyusun batugamping adalah batuan karbonat yang terbentuk di laut


dangkal. Sedangkan batuan karbonat adalah batuan yang tersusun atas mineral
karbonat lebih dari 50% yang berasal dari organisme laut (Lisitzin, 1971 dan Flugel,
1982).

2.6.1 Mineral Penyusun Batuan Karbonat


Menurut Boggs (2012), batuan karbonat disusun oleh mineral berupa aragonit
(CaCO3), kalsit (CaCO3) dan dolomite (CaMg(CO3)2). Selain mineral utama, mineral
penyusun lainnya juga sering dijumpai seperti magnesit (MgCO3), rhodochrosite
(MnCO3) dan siderite (FeCO3). Sedangkan dolomit merupakan batuan karbonat yang
terbentuk oleh hasil diagenesa batuan karbonat yang telah ada sebelumnya dan telah
mengalami pelapukan lalu tertransportasi yang kemudian terjadi resedimentasi
(Boggs, 2012). Pada proses tersebut banyak terjadi lagi proses penurunan kualitas
CaCO3 oleh material pengotor dan mulai masuk unsur MgO. Maka dari itu dolomit
sering dijumpai pada daerah transisi atau evaporasi (Pettijohn, 1956). Dolomit
merupakan mineral batuan karbonat yang stabil di dalam air laut dan dekat dengan
permukaan (Pettijohn, 1956).

Tabel 2.7 Komposisi Mineral dari Mineral Karbonat yang Umum Dijumpai (Sam
Boggs, 2014)
30

2.6.2 Komponen Utama Penyusun Batugamping


Beberapa komponen batugamping yaitu sebagai berikut :
1. Allochem (Grain)
Menurut istilah dari Folk (1962), allochem merupakan bagian dari batuan
karbonat yang memiliki butiran yang berukuran lebih dari atau sama dengan ukuran
pasir. Beberapa komponen dari allochem adalah sebagai berikut:
a. Skeletal Grain
Skeletal grain merupakan fragmen. karbonat. yang. berasal. dari. bagian
cangkang atau tubuh. dari organisme.
b. Non Skeletal Grain
Non. skeletal.grain. adalah butiran yang menyusun batuan kerbonat yang tidak
berasal dari tubuh atau cangkang organisme . Beberapa grain atau butiran tersebut
adalah sebagai berikut:
- Ooid (ooith/coated) graind, merupakan butiran dengan.diameter.0,25 – 2 mm
(berukuran.pasir) yang berbentuk bulat hingga lonjong, biasanya.partikel inti
berupa fragmen cangkang atau butiran kuarsa yang kemudian terlingkupi oleh
karbonat halus karena proses agitasi gelombang.
- Pisoid (pisolite), merupakan butiran karbonat yang berukuran > 2 mm dan <
10 mm berbentuk bulat kecil, berlapis, dengan struktur laminasi konsentris.
pisolite merupakan batuan banyak mengandung pisoid.
- Extraclast, merupakan butiran. karbonat yang sudah tersingkap. ke.permukaan
dan berasal dari luar daerah pengendapan. oleh. arus. sedimentasi. dan
terlitifikasi (lithoclast) serta tererosi (Folk, 1959).
- Intraclast, merupakan fragmen dari batuan karbonat yang terendapkan
kembali sebagai grain dalam batugamping yang lebih muda dan sudah ada
sebelumnya lalu tererosi dan biasanya di dekat sumbernya (Folk, 1959).
- Oncoid, merupakan butiran karbonat berasal dari. mikroba. yang. kasar
dengan ukuran > 2 mm yang. dilapisi.oleh.alga.atau Stromatolite.mikroba
31

berbentuk. bulat. dan memperlihatkan serangkaian laminasi konsentris yang


sering tidak teratur.
- Peloid/Pellet, merupakan butiran kerangka organik (pengisian dan
rekristalisasi), dengan. ukuran < 1 mm. berbentuk. bulat, lonjong atau runcing,
tidak mempunyai struktur dalam.seperti.ooid dan terbentuk dari mikrit. Dalam
arti sempit, Peloid/Pellet adalah. hasil dari kotoran organisme yang berbentuk
seperti batang, ooid. yang. termikritkan/fragmen.fosil.

Gambar 2.7 Variasi bentuk umum komponen Non-Skeletal grain


(Tucker, 1981)

2. Non-Allochem (Orthochem)
Non-Allochem adalah salah satu bagian dari batuan karbonat yang
mineralnya tidak memiliki butiran-butiran bawaan yang disebabkan oleh
terkristalisasi langsung di tempat pengendapan Folk (1962). Non-Allochem terbagi
menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Mikrokristalin kalsit (Micrite)
Berupa lumpur (mud) karbonat, yang tersusun oleh interlocking anhedral
calcite/aragonite yang berukuran halus. Umumnya, mikrit bertindak sebagai matriks
dan mengisi ruang-ruang kosong antar butir Folk (1962).
b. Sparit (Sparry Calcite)
Sparit disebut juga sebagai semen karbonat yang mengisi ruang kosong pada
batuan karbonat, dengan tekstur berupa kristal-krital kalsit yang lebih besar dari
32

micrite. Sparit terbentuk akibat proses dari hasil pelarutan karbonat yang kemudian
mengkristal yang disebut dengan proses diagenesis Folk (1962).

2.6.3 Pembentukan Batugamping


Pembentukan batugamping dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
1. Pembentukan batugamping pada lingkungan laut.
Pada umumnya kebanyakan batugamping terbentuk pada lingkungan laut
dangkal, mendapatkan sinar matahari sehingga perairan menjadi hangat, dan tenang.
Lingkungan ini adalah lingkungan yang ideal dikarenakan organisme mampu
membentuk cangkang kalsium karbonat dan skeleton sebagai sumber bahan dari
pembentukan batugamping. Diketika organisme itu mati maka cangkang dan skeleton
dari organisme tersebut akan menumpuk lalu terlitifikasi menjadi batugamping. Sisa
dari organisme itu akan menjadi bahan untuk pembentukan dari massa sedimen.
Proses dari sisa organisme tersebut merupakan proses dari pembentukan batuan
sedimen biologis yang biasanya ditandai dengan kehadiran fosil. Sedangkan proses
pembentukan batuan sedimen kimia adalah proses yang terbentuk karena
pengendapan langsung oleh kalsium karbonat dari air laut. Batuan sedimen biologis
lebih banyak keberadaannya dibandingkan dengan batuan sedimen kimia.
2. Pembentukan batugamping pada lingkungan evaporasi.
Batugamping yang terbentuk pada lingkungan evaporasi adalah batugamping
yang terbentuk melalui penguapan. Pada umumnya proses dari penguapan tersebut
terjadi di daerah gua (speleothems) yang disebut dengan stalaktit dan stalakmit.
Stalaktit merupakan suatu proses dimana air menguap dan kalsium karbonat yang
terlarut dalam air akan tersimpan langit-langit gua, kemudian proses dari penguapan
tersebut menghasilkan akumulasi seperti es kalsium karbonat pada langit-langit gua.
Sedangkan stalakmit adalah proses tetesan air yang jatuh ke lantai lalu menguap serta
tumbuh dan berkembang ke atas depositnya.
33

2.6.4 Syarat Pembentukan Batuan Karbonat


Pembentukan batuan karbonat harus berada di lingkungan pengendapan laut
dan ada syarat-syarat lain untuk memenuhi kriteria pembentukan batuan karbonat,
yaitu :
1. Jernih
Batuan karbonat sangat tergantung pada organisme laut. Pembentukan batuan
karbonat dihasilkan oleh proses organisme laut dan presipitasi dari air secara
kimiawi. Hal tersebut menyebabkan organisme laut juga sangat membutuhkan sinar
matahari yang cukup dengan kondisi laut yang jernih.
2. Dangkal
Organisme laut sangat memerlukan sinar matahari yang cukup untuk proses
fotosintesis. Sinar matahari yang cukup berada pada dearah yang dangkal, maka dari
itu proses fotosintesis berproses pada lingkungan pengendapan laut dangkal.
3. Hangat
Organisme laut seperti kerang/siput (Mollusca) foraminifera, alga/ganggang,
dan bintang laut biasanya hidup pada temperatur lebih kurang dari 36̊ C. Pada suhu
tersebut merupakan kondisi lingkungan yang hangat dan mendapatkan matahari yang
cukup. Apabila matahari mulai hilang maka organisme laut susah untuk hidup.
4. Salinitas
Salinitas batuan karbonat berkisaran 22% - 40%, namun terbentuk berkisaran
25 - 35%. Oleh karena itu batuan karbonat terbentuk pada lingkungan pengendapan
laut dengan kondisi dan salinitas yang relatif tinggi sehingga batuan karbonat
terbentuk dengan baik.

2.8 Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat (James and Bourque, 1992)


34

2.7 Lingkungan Pengendapan dan Fasies Batuan Karbonat


Menurut Gould (1972) dan Boggs (1987) Lingkungan pengendapan
merupakan tempat sedimentasi material sedimen yang tediri dari kondisi fisik, kimia,
dan biologi dan menandakan karakteristik suatu proses terjadi mekanisme
pengendapan tertentu. Proses tersebut terjadi selama proses pembentukan,
transportasi, dan pengendapan sedimen. Di dalam proses pengendapan terdapat sisa-
sisa organisme dan tumbuhan yang tertimbun dan terawetkan, selama proses
pembentukkannya tetap utuh dan menjadi bagian dari pembentukkan lapisan batuan
sedimen tersebut. Sisa-sisa dari organisme yang telah membatu dan terawetkan
disebut sebagai fosil.
Menurut Walker, dkk (1992) Fasies merupakan suatu kenampakan yang
dikarateristikkan oleh litologi, biologi, dan struktur fisik batuan dan berperan sebagai
pembeda dari tubuh batuan tersebut. Fasies adalah gambaran dari mekanisme
pengendapan dan bisa terdiri dari lebih dari satu mekanisme pengendapan di
dalamnya. Dibutuhkan komponen-komponennya yaitu seperti litologi, struktur
sedimen dan fosil dalam penentuan analisis fasies tersebut. Analisa fasies pada
penelitian ini menggunakan Klasifikasi Batuan Karbonat oleh Dunham (1962) dan
Embry dan Klovan (1971) yang kemudian diinterpretasikan lingkungan
pengendapannya.

2.7.1 Klasifikasi Lingkungan Pengendapan


Menurut Nichols (2009) klasifikasi lingkungan pengendapan ada tiga tempat, yaitu:
1. Darat (Continental)
Beberapa contoh dari lingkungan pengendapan darat yaitu Sungai (fluvial
termasuk braided driver dan point bar river), rawa, danau, gurun, dan glacier.
2. Peralihan (Transition)
Lingkungan pengendapan transisi merupakan lingkungan pengendapan
peralihan yang merupakan peralihan antara darat dan laut. Contoh dari lingkungan
35

pengendapan ini seperti delta, esturine, lagoon dan litoral (termasuk pantai, offshore
bar, tidal flat, dan barrier island).
3. Laut (Marine)
Lingkungan pengendapan ini berada pada daerah reef atau terumbu, neritic
atau laut dangal dengan kedalaman 0 – 200 meter, batial dengan kedalaman 200 –
2000 meter, dan abisal dengan kedalaman lebih dari 2000 meter.

2.7.2 Penyebab yang Mempengaruhi Lingkungan Pengendapan


Enam komponen pengontrol dari Lingkungan pengendapan, yaitu:
1. Parameter Fisik
Parameter fisik meliputi material yang diendapkan yang terdiri dari karakal,
silisiklastik, pasir, dan lumpur, serta geometri cekungan, arah aliran (air, angin, dan
es), suhu, air hujan, kedalaman air, kelembapan pengaruh dari media energinya dan
salju.
2. Organisme biologis
Aktifitas organisme salah satu penyebab pembentukan batuan sedimen
karbonat, contohnya seperti penggalian (burrowing), pertumbuhan tanaman, material
kerangka yang terbentuk karena pengoboran serta sisa-sisa kalsium karbonat dan
silika.
3. Iklim
Batuan karbonat hanya dapat bertahan hidup pada laut yang hangat dan
beriklim eksrim. Oleh karena itu, sangat bergantung pada iklim karena dapat
mempengaruhi proses tumbuh dan perkembangan batuan karbonat itu sendiri.
4. Suplai oksigen
Suplai oksigen sangat diperlukan dalam proses pembentukkan dan
perkembangan batuan karbonat untuk perkembangan organisme biologis.
5. Salinitas
Peningkatan salinitas menyebabkan jumlah keanekaragaman organisme
biologis berkurang.
36

6. Aktifitas tektonik
Suplai sedimen klastik terrigenous dapat terpengaruhi karena kondisi
paleotektonik, hal tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan batuan karbonat.

2.7.3 Lingkungan Pengendapan Batugamping


A. Lingkungan Pengendapan Terumbu
James (1979) dalam Sholle (1989) menentukan bahwa lingkungan
pengendapan batugamping dibagi menjadi empat fasies, yaitu :
1. Lingkungan Terumbu Belakang (Back Reef)
Lingkungan Terumbu Belakang (Back reef) adalah daerah yang berbatasan
langsung dengan daratan (pantai) termasuk juga laguna. Oleh karena itu, di daerah ini
djumpai sedimen yang mengandung kuarsa dan silika. Biasanya terlindungi oleh
terumbu inti yang berarus dan bergelombang, kondisi fasies pada lingkungan ini
relatif tenang. Pada lingkungan ini terbentuknya batuan karbonat (batugamping)
tersebut tersusun atas pecahan cangkang dari molusca serta lebih banyak semen
dibandingkan fragmen atau skeletal.
2. Lingkungan Terumbu Inti (Reef Crest & Reef Flat)
Fasies. ini. dicirikan dengan lingkungan dengan pertumbuhan terumbu secara
sempurna. Lingkungan. pada. fasies ini merupakan. lingkungan. yang. bergelombang
dan.berenergi.kuat.atau.berarus.dan. merupakan.laut.dangkal. Akibat dari energi yang
kuat menjadikan agitasi.yang kuat pula.sehingga.menyebabkan sirkulasi air laut yang
bagus. Jenis terumbu.yang.mempunyai kemampuan menahan energi yang kuat
disebut dengan Head coral dan encrusting algae. Pada lingkungan ini terbentuk
batuan karbonat dengan jenis batugamping terumbu, jenis ini tersusun oleh
organisme-organisme laut seperti koral yang utuh, ciri-ciri khas batuan dari
lingkungan ini adalah alga.
37

3. Lingkungan Muka Terumbu (Reef Front)


Fasies ini merupakan fasies dengan organisme yang kurang tahan terhadap
gelombang dan merupakan bagian depan dari terumbu. Fasies.ini.lebih terjal dari
pada kemiringan. morfologi. belakang.
4. Lingkungan Terumbu Cekungan (Fore Reef)
Pada. fasies. ini. kehadiran organisme. berkurang. dengan. endapan. sedimen
karbonat yang berbutir halus. Planton dan mikro organisme lain adalah organisme
yang umum dijumpai pada fasies ini.

Gambar 2.9 Ilustrasi Lingkungan Pengendapan James (1979)

Hal yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah analisis fasies
batugamping. Fasies adalah tubuh batuan yang dapat dibedakan oleh ciri fisik,
kombinasi litologi, dan biologi yang dapat membedakannya tubuh batuan yang
berdekatan (Walker, 192). Dalam suatu lingkungan pengendapan, suatu batuan yang
berdekatan belum tentu memiliki fasies yang sama. Penentuan fasies pada penelitian
ini berdasarkan lingkungan pengendapan terumbu berdasarkan James (1979) dalam
Sholle (1989).
38

B. Lingkungan Pengendapan Zona Fasies


Dalam.penentuan. lingkungan. pengendapan. dari. batuan. karbonat terdapat
beberapa aspek. yang. perlu. diperhatikan Menurut Wilson (1975) dalam Sholle
(1989) yaitu:
1. Kelimpahan.material.penyusun.utamanya.yaitu.antara.butiran, semen, matriks.
2. Bentuk, ukuran, sortasi, dan. karakteristik. lain dari.butiran.karbonat.termasuk
jenis.fosilnya.
3. Kandungan semen.
4. Asal mikritnya.
5. Asal.mula.dari.kemas. (grain supported, maktix supported, dan mud
supported).
Menurut Wilson (1975), terdapat. 10. zona. fasies. utama. yang mencirikan
lingkungan. pengendapan. karbonat. utama. Zona-zona fasies.tersebut. adalah.sebagai
berikut:

Gambar 2.10 Zona Fasies dengan Model Paparan Karbonat Terbatas


(Wilson, A.J.E, 1975)

1. Zona.Fasies 1 : Terdiri dari batuan serpih gelap. dan. mudstone. karbonat.


Terendapkan pada. lingkungan. laut. dalam. atau. biasanya. pada.kondisi tanpa
oksigen (reduksi).
39

2. Zona.Fasies 2 : Batugamping.dengan sisipan shale yang sangat berfosil.


Terdeposisi pada lingkungan laut terbuka dibawah strom-wave base namun
diatas batas oksigen di air.
3. Zona.Fasies 3 : Batugamping yang berada pada bagian bawah dari foreslope.
begradasi dan non.gradasi, bebutir halus, berkemungkinan.mengandung.blok
jatuhan.dari foreslope.
4. Zona Fasies 4 : Batugamping dengan bongkahan jatuhan dan breksi berbutir
halus hingga kasar merupakan.debris.karbonat.dari.zona.fasies 5.
5. Zona.Fasies.5 : Batugamping terumbu yang terdiri dari boundstone,
framestone, dan grainstone dan bioherm serta merupakan bagian dari
carbonate shelf, dengan bentukan dari komplek terumbu.
6. Zona.Fasies.6 : Pasir karbonatan tersortasi yang didominasi oleh butiran
cangkang-cangkang hewan yang. berasal dari zona fasies 4 dan 5. Ooid
umumnya dijumpai. Berada pada laut yang. sangat. dangkal. dan dipengaruhi
oleh. pasang-surut.air.laut.
7. Zona Fasies 7 : Endapan campuran karbonat.yang berada. pada.laut dangkal
dengan.sirkulasi air.normal.dan.masih terhubung dengan laut terbuka yang
terdiri dari wackstone, mudstone, dengan. sisipan. shale atau silt.
8. Zona Fasies 8 : Berada. pada. laut. dangkal. dengan. sirkulasi. air.yang.kurang
baik yang terdiri dari Bioclastic wackstone, pasir bioklastik. dan. litokalstik,
mudstone, stromatolites, sisipan shale dan silt. Material. pasir. berlumpur,
kurang terhubung dengan laut terbuka.
9. Zona fasies 9 : Anhidrit, dan nodular dolomit, stromatolit, lumpur. dan. lanau
silisiklastik.yang berada. pada.zona tidal (intertidal.hingga.supratidal) dimana
jarang. terhubung. dengan. laut. terbuka, kondisi kering/evaporit, kadang air
payau.
10. Zona.Fasies.10 : Batugamping. pada. kondisi. subearial. atau. subaquatic yang
telah terpengaruh air.meteoric dibawah zona vadose.
40

2.8 Paleontologi
Paleontologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan
dimasa lalu yang.berhubungan dengan sejarah geologi berdasarkan fosil hewan,
tumbuhan, dan organisme yang didapati pada masa sekarang. serta. termasuk. studi
yang membahas tentang jaringan antara kelompok-kelompok organisme yang
menggambarkan kronologi sejarah bumi (Beates dan Jackson, 1987).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Area penelitian terletak di Kecamatan Labuhanhaji Barat, Kabupaten Aceh
Selatan, dengan luas 25 km2. Secara geografis daerah penelitian terletak 3033’35” - 30
36’21” Lintang Utara (LU) dan 96059’56” - 96057’15” Bujur Timur (BT) yang
ditunjukkan pada peta topografi daerah penelitian (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Peta Topografi Daerah Penelitian yang dimodifikasi dari Rupa Bumi
Indonesia (RBI)
Sumber : Penulis (2022)

41
42

3.2 Alat dan Bahan


Beberapa alat dan bahan yang dilakukan dalam penelitian ini tercantum dalam
tabel 3.1 dan tabel 3.2.
Tabel 3.1 Alat dan Bahan Lapangan

Tabel 3.2 Alat dan Bahan Laboratorium


43

3.3 Metode dan Tahap Penelitian


Dalam. melakukan penelitian ini, tahapannya terdiri atas empat. tahapan, yaitu
tahap persiapan, tahap pengambilan data, tahap pengolahan dan analisis data, dan
tahap penyusunan laporan.
1. Tahap persiapan.
Tahap persiapan adalah tahapan awal dikerjakan.sebelum melakukan
pemetaan. Tahapan ini melibatkan studi. literatur dan jalur. lintasan. Studi. literatur
dilakukan dengan pengumpulan data sekunder yang bertujuan. untuk. menghasilkan
data-data geologi daerah penelitian berlandaskan penelitian terdahulu berupa peta
geologi regional dan informasi lainnya. Selanjutnya pembuatan jalur lintasan yang
dilakukan dengan tujuan untuk pengumpulan data langsung lapangan. Selain dari itu
persiapan yang lain juga dilakukan seperti perizinan yang bertujuan untuk pernyataan
bahwa kegiatan ini tidak ilegal.
2. Tahap pengambilan data.
Tahap pengambilan data adalah tahapan kedua dari penelitian ini. Tahapan ini
dilakukan penyelidikan langsung dilapangan dengan cara pengamatan pada singkapan
batuan. Tujuan dari pengamatan langsung dilapangan tersebut adalah untuk
pengumpulan data primer yang akan diolah menjadi peta geomorfologi, peta lintasan,
peta geologi, dan hasil analisis fasies pada batugamping.
3. Tahap pengolahan dan analisis data.
Tahapan. ini dilaksanakan dengan melakukan pengamatan sampel yang
diambil dari pengamatan di lapangan, kemudian berikutnya adalah menganalisis
kembali. secara. makropis dan mikroskopis. Tahapan-tahapan yang dilakukan
dilapangan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pengamatan Singkapan Litologi
Titik.koordinat disetiap singkapan.diplot sehingga didapatkan 69 titik
singkapan, lalu dimasukan.kedalam Peta Lintasan dan Peta Geologi dengan.
menggunakan Arcgis. Dimana pada daerah penelitian didapat 5 satuan batuan, yaitu
Satuan Batuan Basal Labuhanhaji, Satuan Batuan Andesit Labuhanhahaji, Satuan
44

Batuan Batugamping, Satuan Batuan Endapan Pasir Qpm, Satuan Batuan Aluvium.
Kemudian dilakukan pengambilan sampel, disketsa, identifikasi secara makropis dan
akan dilanjutkan lebih detail secara mikroskopis pada sampel yang sudah diambil dari
lapangan. Sampel tersebut di beri kode S5, S10 dan S40 untuk batuan batugamping
berjenis mudstone, S18 untuk batuan beku basal, dan S37 untuk batuan beku andesit.
Selain dari pada itu hal-hal yang berhubungan dengan struktur geologi seperti sesar,
kekar, lipatan, dan lain-lain juga diperlukan sebagai pelungkap data. Struktur geologi
yang didapat pada daerah penelitian berupa kekar (joint) dan Sesar Normal Right Slip
Fault (Sesar normal dekstral dip > 45⁰) dengan Strike/Dip yaitu N 289⁰ E/87⁰ dan
pitch 32⁰ berdasarkan klasifikasi Rickard (1972).
b. Pembuatan Jalur Lintasan
Jalur lintasan dibuat dengan cara pengeplotan koordinat yang bertujuan untuk
memudahkan akses pemetaan dan pengambilan data sampel singkapan yang lebih
detail. Jalur lintasan dibuat menyilang (Crossing).
c. Pengamatan Geomorfologi
Pengamatan geomorfologi dilakukan dengan cara pengeplotan koordinat
terlebih dahulu, pengambilan sketsa atau foto bentang alam sehingga didapat 9 satuan
bentang alam, yaitu Satuan Bentang Alam Denudasional (D5), Satuan Bentang Alam
Karst (K5), Satuan Bentang Alam Struktural (S3), Satuan Bentang Alam Struktural
(S1), Satuan Bentang Alam Fluvial (F1), Satuan Bentang Alam Fluvial (F3), Satuan
Bentang Alam Fluvial (F4), Satuan Bentang Alam Marine (M3) dan Satuan Bentang
Alam Marine (M14).Setelah pengambilan.data di lapangan, maka tahap berikutnya
merupakan membuat Peta Geomorfologi. berdasarkan bentang alam yang telah
diamati.
45

3⁰34’22,627”N 96⁰59’32,784”E
U

Gambar 3.2 Pengamatan Geomorfologi pada Daerah Penelitian


Sumber : Penulis (2022)

d. Pembuatan Data Kekar dan Arah Tegasannya


Untuk analisis arah tegasan pada kekar yang ada di daerah penelitian
menggunakan aplikasi Dips sehingga mendapatkan data diagram Rosette. Langkah-
langkah dari metode ini adalah sebagai berikut:
- Memasukan data strike dan dip pada Aplikasi Dips dengan mengubah strike
(Right)/Dip pada Project Settings.

Gambar 3.3 Langkah Memasukkan Data Strike dan Dip pada Aplikasi Dips
Sumber : Penulis (2022)
46

- Klik Contour Preset, kemudian klik Add User Plane untuk pembuatan Seet
Joint 1 (SJ1), Seet Joint 2 (SJ1), Bidang Bantu (BB).
- Klik Add Text untuk pembuatan Sigma 1,2,3 (T1,T2,T3).
- Klik Add User Plane untuk pembuatan East Joint (EJ), Release Joint (RJ)

Gambar 3.4 Langkah Membuat Data Proyeksi Stereografis


Sumber : Penulis (2022)

- Klik Rosette Preset untuk pembuatan Diagram Rosette

Gambar 3.5 Langkah Membuat Diagram Rosette


Sumber : Penulis (2022)
47

e. Analisa Petrologi
Analisa petrologi merupakan salah satu metode untuk mendeskripsikan batuan
secara megaskopis atau dengan mata telanjang. Dilakukan dengan cara menganalisa
batuan itu sendiri, seperti warna, struktur, tekstur, sifat, dan komposisi, batuan secara
keseluruhan. Langkah-langkah dari metode ini adalah sebagai berikut:
- Menyediakan sampel yang akan dianalisis.
- Menganalisis dengan cara menuliskan ciri-ciri, sifat dan karakteristik batuan
tersebut dan dibantu dengan melihat menggunakan lup (kaca pembesar).
- Hasil yang didapatkan adalah hasil secara megaskopis.

Gambar 3.6 Pengamatan Singkapan litologi pada Daerah Penelitian S6


Sumber : Penulis (2022)
48

f. Analisa Petrografi
Untuk. memperhatikan. kandungan dari. suatu batuan.berupa mineral, matriks
penyusun dan fragmen dari mikrofosil diperlukan tahapan selanjutnya.yaitu
melakukan analisis petrologi. dan. pengamatan.. sampel. secara. mikroskopis. dengan
melakukan. sayatan. tipis menggunakan. metode. Petrografi. Tujuan dari pengamatan
secara mikroskopis pada batugamping adalah untuk pengklasifikasikan batugamping
berdasarkan klasifikasi Embry & Klovan (1971) sehingga didapatkan hasil petrografi
pada kode sampel S5, S10 dan S40 untuk batuan batugamping berjenis mudstone.
Sedang pada batuan beku berdasarkan diagran IUGS (1973) pada kode sampel S18
untuk batuan beku basal, dan S37 untuk batuan beku andesit. Kemudian tahap
selanjutnya menganalisis fasies batugamping tersebut sehingga didapatkan hasil
fasies batugamping mudstone berada pada fasies fore reef berdasarkan Zona Fasies
Terumbu Menurut James (1979) dan pada zona 1 yaitu Basin berdasarkan Wilson,
A.J.E, (1975). Untuk lingkungan pengendapannya yaitu Fringing Reef berdasarkan
Nichols (2009).
Analisa petrografi merupakan salah satu metode untuk mendeskripsikan
batuan dengan menggunakan bantuan mikroskop (mikroskopis). Pendeskripsikan
batuan tersebut berupa warna, tekstur, dan komposisinya. Langkah-langkah dalam
metode ini adalah sebagai berikut:
- sampel batuan yang akan dianalisis disiapkan.
- sampel batuan tersebut dipotong dengan menggunakan mesin gerinda
- sampel batuan tesebut dihaluskan menggunakan mesin
- gerinda.
49

Gambar 3.7 Proses Pemotongan Sampel Batuan Menggunakan Mesin Gerinda


Sumber : Penulis (2022)

- sampel batuan ditempelkan ke slide dengan menggunakan lem Epoxy.

Gambar 3.8 Proses Penempelan Sampel Batuan Menggunakan lem Epoxy


Sumber : Penulis (2022)
50

- Menghaluskan kembali sampel batuan sampai halus sehingga terlihat jelas


pada mikroskop.
- Hasil yang didapatkan adalah analisis dari mikroskop yang akan
dideskripsikan mengenai komposisi dan kandungan dari batuan tersebut.

Gambar 3.9 Proses Analisis Sampel Batuan Menggunakan Mikroskop Polarisasi


Sumber : Penulis (2022)

4. Penyusunan Laporan
Pada tahap ini adalah tahap merangkum semua data ke dalam bentuk laporan
tugas akhir. Laporan tugas akhir ini berisi tentang hasil yang telah dilaksanakan
selama pengambilan data sampai akhir dan mendapatkan hasil berupa peta
geomorfologi, peta lintasan, dan peta geologi.
51

3.4 Diagram Alir Penelitian


Berikut digram alir dari penelitian ini dapat dilihat seperti gambar 3.2
dibawah ini.

Mulai
Tahap Persiapan

Studi Literatur :
 Peta Geologi Regional
 Peta Topografi
 Penelitian Sebelumnya
Tahap Pengambilan Data

Data Primer Data Sekunder

1. Pengamatan Bentang Alam 1. Peta Geologi Regional Lembar Tapaktuan


2. Pengamatan Struktur Geologi (Cameron dkk, 1982)
3. Pengamatan Litologi 2. Peta Topografi (RBI, 2021)
4. Pengambilan Sampel Batuan
Tahap Pengolahan dan Analisis Data

Topografi
Kenampakan Singkapan
Bentang Alam Batuan
Petrologi dan Stratigrafi dan
Petrografi Vulkanostratigrafi

Peta Peta Peta


Geomorfologi Lintasan Geologi
Analisis Fasies

Kesimpulan
Penyusunan
Tahap

Selesai

Gambar 3.10 Diagram Alir Penelitian


Sumber : Penulis (2022)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan yang didapatkan pada penelitian ini adalah suatu hasil
data untuk diolah dan sudah didapatkan di lapangan. Pada bab ini hasil dan
pembahasan akan diuraikan secara keseluruhan dan mendetail. Hasil dan pembahasan
tersebut berupa geomorfologi, litologi, geologi, petrografi, dan analisis fasies
batugamping pada daerah penelitian.

4.1 Kondisi Lokasi Penelitian


Setelah dilakukan penelitian secara pengamatan langsung di lapangan yang
berada di daerah Labuhanhaji Barat, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh dengan
menggunakan 2 peta yaitu peta Topografi dan peta Geologi Regional Lembar
Tapaktuan (Cameron dkk, 1982). Berdasarkan pengamatan langsung dilapangan
daerah penelitian termasuk kedalam 9 bentang alam berdasarkan bentang lahan asal
oleh Van Zuidam (1985), yaitu bentang alam Denudasional D5, bentang alam Karts
K5, bentang alam Struktural unit S1 dan S3, bentang alam Fluvial unit F1, F3, dan
F4, dan bentang alam Marine unit M3 dan M14. Litologi satuan batuan pada daerah
penelitian terdiri atas 5 satuan batuan yaitu satuan batuan Basal Labuhanhaji, satuan
batuan Andesit Labuhanhaji, satuan batuan Endapan pasir Qpm, dan Aluvium. Dari
hasil yang sudah didapat pada pengamatan langsung di lapangan akan menghasilkan
3 peta yaitu Peta Geomorfologi, Peta Lintasan, dan Peta Geologi.

4.2 Geomorfologi Daerah Penelitian


Geomorfologi pada daerah penelitian didasarkan klasifikasi bentuk lahan asal
menurut Van Zuidam (1983), interval lereng atau kemiringan, dan beda lereng.
Bentuk lahan asal tersebut terdiri atas beberapa bentang alam yaitu Denudasional,
Karst, Struktural, dan Fluvial.

52
53

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan peta topografi, geomorfologi


pada daerah penelitian terdiri atas 9 bentuk lahan asal,yaitu satuan bentang alam
Denudasional D5, satuan bentang alam Karst K5, satuan bentang alam Struktural S1,
satuan bentang alam Struktual S3, satuan bentang alam Fluvial F1, satuan bentang
alam fluvial F2, satuan bentang alam fuvial F4, satuan bentang alam marine M3, dan
bentang alam marine M14 seperti pada Peta Geomorfologi (lampiran 3.2).

4.2.1 Satuan Bentang Alam Denudasional D5


Satuan bentang alam ini memiliki unit geomorfologi berupa hampir datar
dengan topografi landai sampai bergelombang dan berelevasi rendah. Morfologi
untuk satuan bentang alam ini adalah berupa dataran (peneplain) dengan kelerengan
rata-rata yang didapat dari perhitungan morfometri sebesar 7%. Luasan untuk satuan
bentang alam ini adalah diperkirakan sebesar 30%.
Selain itu, pola aliran untuk satuan bentang alam Denudasional D5 tersebut
adalah memiliki pola berupa dendritik dengan litologi penyusun berupa aluvium dan
endapan pasir Qpm. Tata guna lahan yang terdapat pada satuan bentang alam ini
didominasi oleh persawahan tempat penduduk bercocok tanam, perkebunan dan
pemukiman juga mencirikan tata guna lahan untuk satuan bentang alam ini.
Ketinggian kontur di satuan bentang alam Denudasional dengan unit D5 tersebut
bervariasi, sehingga didapatlah perbedaan tinggi sebesar 12,5 m.
Di peta geomorfologi, bentang alam Denudasional D5 tersebut dicirikan
dengan warna coklat sesuai dengan klasifikasi van zuidam (1983).
54

3⁰33’48,016”N 96⁰59’32,784”E U

Gambar 4.1 Kenampakan Satuan Bentang Alam Denudasional D5

4.2.2 Satuan Bentang Alam Karst K5


Satuan bentuk lahan atau bentang alam Karst K5 memiliki unit geomorfologi
dengan lereng menengah sampai sangat curam, bergelombang kuat sampai berbukit,
perbukitan membundar. Biasanya dicirikan dengan bukit kerucut atau dengan
morfologi Conical Karst Zone. Kelerengan rata-rata yang didapat dari perhitungan
morfometri sebesar 40%. Luasan untuk satuan bentang alam ini adalah diperkirakan
sebesar 20%. Pola aliran untuk satuan bentang alam Karst K5 adalah memiliki pola
berupa dendritik dengan litologi penyusun berupa batugamping. Tata guna lahan yang
terdapat pada satuan bentang alam ini didominasi oleh persawahan tempat penduduk
bercocok tanam. Selain dari persawahan, perkebunan dan pemukiman tata guna
lahan untuk satuan bentang alam ini juga sebagai tempat wisata yaitu Goa Bate
Meucanang dan Air terjun Bate Meucanang.
Ketinggian kontur di satuan bentang alam Karst K5 tersebut bervariasi,
sehingga didapatlah perbedaan tinggi sebesar 300 m.
55

Kerucut karst merupakan bukit karst yang berbentuk kerucut yang dicirikan
dengan lereng yang terjal dan dikelilingi oleh depresi. Kerucut karst disebabkan oleh
pelarutan yang menghasilkan ngarai terjal dan membagi massa kapur menjadi blok-
blok yang terisolasi. Blok-blok yang menghalangi menjadi bukit-bukit kerucut yang
berjarak dekat atau disebut juga dengan kerucut karst.

3⁰34’22,627”N 96⁰59’32,784”E U

Gambar 4.2 Kenampakan Satuan Bentang Alam Karst K5

4.2.3 Satuan Bentang Alam Struktural S3


Satuan bentuk lahan Struktural S3 memiliki unit geomorfologi bergelombang
kuat hingga perbukitan dengan pola aliran berhubungan dengan kekar dan patahan.
Morfologi untuk bentang alam ini adalah Perbukitan gelombang miring hingga
perbukitan terjal. Luasan bentang alam ini diperkirakan sebesar 15% dari luas total
satuan bentang alam geomorfologi dengan kelerengan rata-rata yang didapat yaitu
35%. Pola aliran bentang alam ini adalah pola dendritik dengan litologi penyusun
yaitu Andesit. Untuk tata guna lahan pada bentang alam ini adalah Galian A (emas)
dan perkebunan (Durian, Pala , dll). Ketinggian dari bentang alam ini adalah 300 m.
56

U
3⁰34’16,62”N 96⁰59’26,24”E

Gambar 4.3 Kenampakan Satuan Bentang Alam Struktural S3

Berdasarkan Van Zuidam (1983) penciri dari bentang alam ini berupa patahan
dan kekar sehingga bentang alam struktural ini dikatagorikan ke dalam bentuk lahan
Struktural S3. Kekar dan patahan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.4 dibawah ini.
3⁰36’3,86”N 96⁰59’3,53”E

Gambar 4.4 Kekar-kekar sebagai Penciri Bentuk Lahan Struktural S3


57

4.2.4 Satuan Bentang Alam Struktural S1


Satuan bentuk lahan atau bentang alam ini memiliki unit geomorfologi
bergelombang sedang hingga bergelombang kuat dengan pola aliran berkaitan dengan
kekar dan patahan. Morfologi bentang alam ini adalah Perbukitan bergelombang
hingga bergelombang kuat dengan luasan bentang alam ini diperkirakan sebesar 25%
dari luas total satuan bentang alam geomorfologi. Untuk Pola aliran bentang alam ini
berupa pola dendritik dengan litologi penyusunnya yaitu endapan pasir Qpm,
Andesit, basal. Tata guna lahan pada bentang alam ini adalah Galian A (emas) dan
perkebunan (Durian, Pala dll). Ketinggian dari bentang alam ini adalah 112,5 m dan
kelerengan rata-ratanya yaitu 20%.

3⁰33’48,016”N 96⁰59’32,784”E U

Gambar 4.5 Kenampakan Satuan Bentang Alam Struktural S1

Satuan bentang alam struktural S1 dicirikan dengan adanya kekar dan patahan, hal
yang membedakan bentang alam struktural S1 dengan S3 adalah kelerangan dan
ketinggian. Dimana bentang alam struktural S3 jauh lebih tinggi dari pada bentang
alam struktural S1. Kekar-kekar yang ada pada bentang alam ini dapat dilihat pada
gambar 4.6 dibawah ini.
58

3⁰35’49,31”N 96⁰57’41,21”E U

Gambar 4.6 Kekar-kekar sebagai penciri Bentuk lahan Struktural S1

4.2.5 Satuan Bentang Alam Fluvial F1


Satuan bentuk lahan atau bentang alam ini memiliki unit geomorfologi hampir
datar topografi tidak teratur dan tertutup air bervariasi, mempunyai bagian-bagian
tererosi dan terakumulasi. Morfologi bentang alam ini adalah Tubuh atau dasar
sungai dengan luasan yang diperkirakan sebesar 2% dari total luasan satuan bentang
alam geomorfologi. Pola alirannya adalah pola dendritik dengan litologi penyusun
Aluvium berupa pasir, kerikil, dan lempung yang ada di sepanjang sungai. Tata guna
lahan pada bentang alam ini adalah galian c.

3⁰36’12,46”N 96⁰57’31,15”E U

Gambar 4.7 Kenampakan Satuan Bentang Alam Fluvial F1


59

4.2.6 Satuan Bentang Alam Fluvial F3


Satuan bentuk lahan atau bentang alam ini memiliki unit geomorfologi agak
landai, banjir musiman/jarang, ada akumulasi landai lumpur fluvial. Morfologi
bentang alam ini adalah dataran banjir (floodplains) dengan luasan diperkirakan
sebesar 1% dari total luasan satuan bentang alam geomorfologi. Pola aliran pada
bentang alam ini adalah pola dendritik dan litologi penyusunnya berupa pasir, kerikil,
dan lempung yang ada di sepanjang sungai. Tata guna lahan pada bentang alam ini
yaitu perkebunan dan galian c.
3⁰36’12,46”N 96⁰57’31,15”E U

Gambar 4.8 Kenampakan Satuan Bentang Alam Fluvial F3

4.2.7 Satuan Bentang Alam Fluvial F4


Satuan bentang alam Fluvial F4 memiliki unit geomorfologi hampir datar,
topogragi agak tak beraturan banjir musiman, akumulasi lanau dan lumpur. Morfologi
bentang alam ini adalah cannel bar/point bar dengan luasan yang diperkirakan
sebesar 1% dari luas total satuan bentang alam geomorfologi. Untuk pola aliran pada
bentang alam ini adalah pola dendritik dengan litologi penyusun berupa alluvium
(pasir,kerikil, dan lempung) yang ada dipanjang sungai. Tata guna lahan untuk
bentang alam ini yaitu galian c.
60

3⁰33’47,89”N 96⁰59’49,93”E U

Gambar 4.9 Kenampakan Satuan Bentang Alam Fluvial F4

4.2.8 Satuan Bentang Alam Marine M3


Satuan bentang alam Marine M3 memiliki unit geomorfologi hampir datar,
lereng landai, terkena banjir saat pasang, topografi tidak teratur karena garis pantai.
Ciri-ciri dari bentang alam ini adalah ditandai dengan pasir, kerakal, brangkal, dan
batuan pantai atau disebut beaches. Pola aliran pada bentang alam ini adalah pola
dendritik dengan litologi penyusun endapan pasir. Tata guna lahan pada bentang alam
ini adalah galian c. Satuan bentang alam Marine M3 tersebut diperkirakan sebesar 1%
dari luas total satuan bentang alam geomorfologi.

3⁰33’54,316”N 96⁰57’53,413”E U

Gambar 4.10 Kenampakan Satuan Bentang Alam M3


61

4.2.9 Satuan Bentang Alam Marine M14


Satuan bentang alam Marine M14 memiliki unit geomorfologi datar topografi
yang tidak teratur karang terutama mati, pada dasarnya di atas zona pasang suru. Pola
aliran pada bentang alam ini adalah pola dendritik dengan litologi penyusun endapan
pasir. Satuan bentang alam Marine M14 tersebut diperkirakan sebesar 5% dari luas
total satuan bentang alam geomorfologi.

3⁰33’55”N 96⁰57’54”E U

Gambar 4.11 Kenampakan satuan bentang alam M14

4.3 Kondisi Litologi daerah penelitian


Kondisi geologi daerah penelitian ini terdiri atas beberapa formasi dari tua ke
muda adalah Formasi Gunungapi Tapaktuan (Muvt) yang terdiri dari satuan Batuan
Basal Labuhanhaji dan Satuan Andesit Labuhanhaji yang berumur kala Jura ke kapur,
Anggota gunungapi Tapaktuan (Mult) yang terdiri dari satuan batugamping yang
berumur kala Jura ke Kapur, Formasi Meulaboh (Qpm) yang terdiri dari satuan
Endapan Pasir Qpm yang berumur kala Plistosen, dan Endapan Aluvium yang terdiri
dari satuan aluvium yang berumur kala Holosen. Seperti yang terdapat pada Peta
Lintasan (Lampiran 3.1) dan Peta Geologi (Lampiran 3.3).
62

4.3.1 Satuan Batuan Basal Labuhanhaji


Satuan ini mencakupi ±5% dari total luas satuan batuan di daerah penelitian.
Satuan batuan ini berumur Jura Akhir ke Kapur Awal (Cameron dkk, 1982) pada
Formasi Gunungapi Tapaktuan. Litologi yang terdapat pada satuan ini adalah batuan
beku ekstrusif berupa basal dengan deskripsi secara megaskopis adalah berwarna
abu-abu kehitaman dengan tekstur afanitik, dan struktur masif. Batuan basal termasuk
ke dalam batuan beku basa dengan warna yang gelap. Jumlah singkapan batuan basal
di dearah penelitian dijumpai sebanyak 3 singkapan yang berada di daerah tenggara
blok penelitian, yaitu S18, S19, S20. Untuk analisis Thin Section dilakukan pada
singkapan S18.

3⁰33’37,80”N 96⁰59’50,71”E

Gambar 4.12 Kenampakan Satuan Batuan Basal Labuhanhaji


pada Singkapan S18 di Desa Cacang, Kec.Labuhanhaji

4.3.2 Satuan Batuan Andesit Labuhanhaji


Satuan batuan Andesit Labuhanhaji merupakan batuan beku ekstrusif yang
termasuk ke dalam batuan intermediet dangan deskripsi secara megaskopis yang
berwarna hijau keabu-abuan, tekstur afanitik, dan berstruktur masif. Luasan satuan
batuan mencakup ±30% dari total luas satuan batuan di daerah penelitian. Satuan
63

batuan ini berumur Jura Akhir ke Kapur Awal (Cameron dkk, 1982) pada Formasi
Gunungapi Tapaktuan. Singkapan andesit di daerah penelitian berjumlah 40
singkapan yang berada di utara blok penelitian, yaitu S1, S3, S8, S11, S14, S15, S21,
S22, S23, S24, S25, S26, S27, S28, S29, S30, S31, S33, S34, S35, S36, S37, S38,
S39, S41, S42, S43, S44, S45, S46, S47, S48, S49, S50, S60, S61, S62, S63, S64,
S69. Untuk analisis Thin Section dilakukan pada singkapan S37.

3⁰35’30,02”N 96⁰58’30,02”E

Gambar 4.13 Kenampakan Satuan Batuan Andesit Labuhanhaji pada


Singkapan S34 di Desa Bate Meucanang, Kec.Labuhanhaji Barat

4.3.3 Satuan Batuan Batugamping


Satuan batuan Batugamping mencakup ±25% dari luas total satuan batuan di
daerah penelitian. Satuan batuan ini berumur Jura Akhir ke Kapur Awal (Cameron
dkk, 1982) pada Formasi Gunungapi Tapaktuan. Satuan Batugamping di daerah
penelitian setelah dilakukan analisis petrografi digolongkan sebagai Batugamping
jenis mudstone. Batugamping tersebut dapat dideskripsikan dengan warna abu-abu
keputih-putihan, ukuran butir silt, pemilahan sangat baik, kemas tertutup, kebundaran
membundar hingga sangat membundar, bereaksi dengan HCL, porositas dan
permeabelitas buruk. Batugamping ini terendapkan secara bertindihan dengan satuan
batuan Andesit Labuhanhaji dan Basal Labuhanhaji yang merupakan bagian dari
64

Formasi Gunungapi Tapaktuan (Muvt). Jumlah singkapan pada litologi ini berjumlah
15 singkapan sehingga penulis mengkategorikan sebagai satuan batugamping,
singkapan tersebut yaitu S4, S5, S6, S7, S8, S9, S10, S17, S25, S40, S53, S54, S55,
S67, S68. Selain itu, analisis Thin Section dilakukan pada singkapan S5, S10, dan
S40.

3⁰35’17,81”N 96⁰59’12,21”E

Gambar 4.14 Kenampakan Satuan Batuan Batugamping pada


Singkapan S5 di Desa Bate Meucanang, Kec.Labuhanhaji Barat

Kondisi dari kebanyakan singkapan pada satuan batuan ini adalah


batugamping yang sudah mengalami perubahan atau deformasi. Faktor dari deformasi
itu adalah suhu dan tekanan sehingga batuan tersebut memiliki Secondary Structure.
Selain dari pada itu faktor dari deformasi tersebut membentuk mineral dolomit
(CaMg(CO3)2) dan mineral kalsit (CaCO3) yang mudah larut. Mineral dolomit
(CaMg(CO3)2) adalah mineral karbonat yang stabil dan dekat dengan permukaan
yang menyebabkan mineral ini sudah mengalami pelapukan karena resedimentasi.
Pada proses resedimentasi mineral kalsit (CaCO3) mengalami penurunan. Pelapukan
yang terjadi berupa pelupakan kulit gajah (Elephant’s Skin Weathering) seperti pada
gambar 4.15 yang berada pada singkapan S10.
65

3⁰35’46,22”N 96⁰59’34,44”E

Gambar 4.15 Kenampakan Kulit Gajah (Elephant’s Skin Weathering)

Pelapukan kulit gajah terbentuk karena adanya aktifitas air hujan yang bersifat
asam mengakibatkan permukaan batugamping menjadi kasar dan mudah lapuk. Air
hujan adalah air yang mengandung karbon dioksida (CO2), kemudian lama kelamaan
air hujan larut dengan H2O menjadi air yang mengandung asam karbonat (H2CO3).
Proses dari air tersebut memerlukan waktu yang cukup lama selama bertahun-tahun,
dimana air yang sudah mengandung asam karbonat (H2CO3) masuk kedalam
batugamping memalui rekahan-rekahan pada batuan sehingga menjadi senyawa
bikarbonat. Proses tersebut menjadikan batugamping memiliki struktur kulit gajah
atau Elephant’s Skin Weathering.
Selain dari struktur kulit gajah, batuan ini juga memiliki Secondary Structure
berupa Joint (kekar) dan Stylolite.Kekar yang terdapat pada batugamping di lokasi
penelitian merupakan jenis kekar gerus seperti pada Gambar 4.16 pada singkapan S7.
66

3⁰59’12,51”N 96⁰35’22,67”E

Gambar 4.16 Kenampakan Joint (Kekar) Gerus pada Singkapan S6

Selain itu, kenampakan Stylolite pada singkapan S5 mengindikasikan bahwa


batugamping tersebut sudah mengalami tekanan dan pelarutan yang menyebabkan
mineral-mineral akan lebih mudah larut ketika terkena tekanan. Selain itu, dari
Stylolite ini akan diketahui arah gaya yang menyebabkan terbentuknya struktur ini.
Pada gambar 4.17 , struktur ini dapat diinterpretasikan dengan kompresi berarah
Barat Laut – Tenggara (NW-SE).

3⁰35’17,81”N 96⁰59’12,21”E

Gambar 4.17 Kenampakan Stylolite dan Arah Tegasannya

Kenampakan porositas sekunder berupa vuggy atau cavities mengindikasikan


bahwa batugamping di lokasi penelitian sudah mengalami dissolution (pelarutan)
yang disebabkan oleh fluida yang sudah bercampur dengan air meteorik atau.senyawa
67

kimia yang bercampur dalam di bawah permukaan yang mengakibatkan lubang atau
pori-pori. pada batuan tersebut. seperti pada gambar 4.18.

3⁰35’27,05”N 96⁰59’19,59”E

3⁰35’29,35”N 96⁰59’41,24”E

Gambar 4.18 Secondary Porosity berupa Vuggy atau Cavities

Kehadiran.stalaktit.dan stalagmit di dalam gua karst seperti pada.gambar 4.19


memberikan. informasi. akan. adanya pengaruh pelarutan yang sangat kuat pada
batugamping di daerah penelitian. Stalaktit.terbentuk oleh Ca(HCO2)2 yang telah
terurai dan berasal dari atas. gua yang terkontaminasi dengan air hujan dimana
sebelum menetes. ke dasar gua. akan mengendapkan CaCO3 terlebih dahulu di atas
68

gua. Sama halnya dengan stalaktit yang berasal dari tetesan dari pelarutan air CaCO 3,
namun stalagmit akan mengendapkan CaCo3 di dasar gua.

3⁰35’27,05”N 96⁰59’19,59”E

Gambar 4.19 Kenampakan Stalatite (Berwarna Biru) dan


Stalamite (Berwarna Merah)

Batugamping di daerah penelitian dicirikan dengan adanya urat kalsit yang


mengisi rekahan (calcite veins). Konsentrasi dari urat kalsit di zona patahan
menginfromasikan bahwa mineral telah mengisi rekahan yang terjadi selama patahan
aktif atau bergerak. Umumnya, urat kalsit di lokasi penelitian memiliki panjang ±10
cm, yang ditunjukan pada Gambar 4.20.

3⁰35’17,81”N 96⁰59’12,21”E

Gambar 4.20 Kenampakan Urat atau Vein Kalsit


69

4.3.4 Satuan Batuan Endapan pasir Qpm


Satuan batuan ini mencakup ±10% dari luas total satuan batuan di daerah
penelitian. Litologi penyusun Endapan pasir Qpm dengan deskripsi berwarna kuning
kecoklat-coklatan, besar butir fine sand hingga very fine sand, kebundaran rounded,
pemilahan baik, kemas terbuka, porositas permeabilitas baik, kekompakan soft, dan
tidak bereaksi HCL. Satuan batuan ini berumur Plistosen (Cameron dkk, 1982).
Jumlah singkapan pada litologi ini berjumlah 9 singkapan, yaitu S2, S12, S13, S16,
S32, S56, S57, S58, S65.

3⁰34’18,26”N 96⁰59’5,67”E

Gambar 4.21 Kenampakan Satuan Batuan Endapan Pasir Qpm pada


Singkapan S2 di Desa Tengah Iboeh, Kec.Labuhanhaji Barat

4.3.5 Satuan Batuan Endapan Aluvium


Satuan Batua Endapan Aluvium mencakup ±30% dari luas total satuan batuan
di daerah penelitian. Umur dari satuan batuan ini berumur Holosen (Cameron dkk,
1982). Litologi penyusun satuan batuan ini adalah kerikil, pasir, dan lempung yang
berada di sekitar persawahan dan di sepanjang sungai. Di Daerah Penelitian endapan
Aluvium dijumpai berupa lempung, kerikil dan pasir. Untuk Lempung memiliki
karakteristik berwarna abu-abu kehitaman, besar butir berukuran lempung atau clay,
kebundaran sangat membundar, pemilahan baik, porositas dan permeabelitas buruk,
kemas tertutup dan tidak bereaksi dengan HCL. Seperti pada Gambar 4.22 di
70

singkapan S53. Jumlah dari singkapan pada litologi ini berjumlah 5 singkapan, yaitu
S53, S54, S55, S59, S66.

3⁰35’4,76”N 96⁰57’32,21”E
U

Gambar 4.22 Kenampakan Lempung pada Singkapan S53


di Desa Pante Geulima, Kec.Labuhanhaji Barat

Sedangkan untuk karakteristik kerikil dan pasir memiliki karakteristik


berwarna putih keabu-abuan, besar butir berukuran bongkah (boulder) hingga pasir
kasar (coarse), kebundaran membundar tanggung (sub-rounded) hingga membundar
(rounded), pemilahan sangat buruk, porositas dan permeabelitas baik, kemas terbuka,
dan tidak bereaksi dengan HCL. Seperti Gambar 4.23 di singkapan S59.
Perbedaan mendasar diantara Endapan Pasir Aluvium dan Endapan Pasir
Qpm adalah warna, ukuran butir dan kekompakan. Khusus untuk kekompakan,
Endapan Pasir Aluvium memiliki kekompakan berupa friable (rapuh) yang berarti
endapan yang bersifat loose material.
71

3⁰35’6,28”N 96⁰57’24,16”E

Gambar 4.23 Kenampakan Kerikil dan Pasir pada Singkapan S59


di Desa Krung Baru, Kec.Labuhanhaji Barat

4.4 Struktur Geologi di Daerah penelitian


Struktur di daerah penelitian dilakukan dengan cara pengamatan secara
langsung di lapangan. Dari hasil penelitian tersebut struktur geologi yang didapatkan
adalah kekar (joint) di lapangan. Struktur geologi yang mengontrol di daerah
penelitian berupa sesar utama sumatera (Great Sumateran fault Zone) yang berarah
dekstral atau sesar menganan. Sesar utama ini menciptakan beberapa sesar-sesar kecil
atau disebut dengan segmen. Segmen sesar di lokasi penelitian termasuk ke dalam
Segmen Anu-batee Fault.

3⁰34’18,26”N 96⁰59’5,67”E

Gambar 4.24 Kenampakan Kekar Gerus di Singkapan S3


72

Berdasarkan data jurus (strike) dan dip kekar yang didapat di lapangan, data
tersebut kemudian diolah dan didapatkan data proyeksi stereografisnya dengan
menggunakan Aplikasi Dips yaitu menghasilkan Diagram Rosette dari data kekar
yang sudah diolah. Diagram Rosette tersebut memperlihatkan bahwa jurus (strike)
kekar berarah Timur Laut – Barat Daya dan Barat Laut – Tenggara. Menurut
Cameron dkk. (1982), struktur yang bekerja pada Formasi Gunungapi Tapaktuan
adalah struktur dengan arah penunjaman Barat Laut – Tenggara (NW-SE) atau
disebut dengan Segmen Anu-batee Fault (Trans Sumatera Fault System). Sedangkan
untuk arah penunjaman Timur Laut dan Barat Daya (NE-SW) disebut juga dengan
Crosscutting Fault sangat berhubungan erat dengan arah penunjaman Barat Laut –
Tenggara (NW-SE) dimana adanya asosiasi arah tegasan yang menghasilkan aktifitas
Oblique Subdction dari Lempeng Samudera ke arah barat Pulau Sumatera. Berikut
adalah gambaran Diagram Rosette yang dihasilkan, seperti gambar 4.25.

Gambar 4.25 Diagram Rosette Memperlihatkan Jurus (Strike) Kekar


Berarah Timur Laut – Barat Daya dan Barat Laut - Tenggara.
73

Gambar 4.25 Diagram Rosette Menunjukkan Jurus (Strike) Kekar


Berarah Timur Laut – Barat Daya Dan Barat Laut - Tenggara.

Tabel 4.1 Data Observasi Lapangan


No Strike Dip
1 150 84
2 220 46
3 103 51
4 174 72
5 223 72
6 318 44
7 230 46
8 358 44
9 155 60
10 7 85
74

Di daerah penelitian terdapat Indikasi sesar yang terletak pada singkapan S25
dengan koordinat 3⁰34’31,73”N 96⁰59’45,25”E yaitu kontak antara 2 litologi,
disebelah kanan batugamping dan sebelah kiri andesit. Diantara 2 kontak tersebut
terdapat Indikasi sesar atau bidang lemahnya yang menimbulkan ada aliran air atau
sungai kecil seperti pada gambar 4.26 di bawah ini.

Batugamping

Andesit
3⁰34’31,73”N 96⁰59’45,25”E

Gambar 4.26 Kenampakan Kontak 2 Litologi yang Merupakan


Zona Indikasi Sesar pada Singkapan S25

Di luar dari daerah penelitian yang saling berdekatan dijumpai sesar geser
pada Anggota Formasi Gunungapi Tapaktuan (Mult) dengan litologi batugamping
yang dapat dilihat pada gambar 4.27 di bawah ini. Sesar yang dijumpai berkoordinat
3⁰36’33,25”N 96⁰59’15,58”E dengan Strike/Dip yaitu N 289⁰ E/87⁰ yang berarah
Barat Laut – Tenggara (NW-SE). Indikasi sesar atau bidang lemah dari sesar tersebut
adalah Slickenside yang terdapat pada sesar tersebut. Dimana, Slickenside memiliki
75

bidang halusnya yang merupakan arah pergeseran dari sesar itu sendiri. Sesar tersebut
disebut sesar menganan (dekstral).

Bidang Halus

Gambar 4.24 Kenampakan Sesar Geser di Luar Daerah Penelitian

3⁰36’33,25”N 96⁰59’15,58”E

Gambar 4.27 Kenampakan Sesar Geser


yang Berada di Luar Blok Daerah Penelitian

Menurut klasifikasi Rickard (1972) penamaan sesar di atas adalah Sesar


Normal Right Slip Fault (Sesar normal dekstral dip > 45⁰) dengan Strike/Dip yaitu N
289⁰ E/87⁰ dan pitch 32⁰. Sesar jenis ini merupakan sesar geser menganan seperti
yang terdapat pada gambar 4.27. Kenampakan sesar geser menganan ini dilihat dari
cermin sesar (Slickenside) yang terdapat di daerah penelitian. Dari cermin sesar
(Slickenside) tersebut dapat dilihat bidang gesek halus dan kasar.
76

Gambar 4.28 Klasifikasi Penamaan Sesar (Rickard, 1972)

Di daerah penelitian juga dijumpai struktur Stylolite berarah Barat Laut –


Tenggara (NW-SE) pada gambar 4.17 yang menyatakan bahwa arahnya searah
dengan diagram Rosette dan sesar pada gambar 4.25. Selain dari pada itu, air terjun
dan mata air juga menjadi ciri-ciri dari adanya suatu patahan. Air terjun biasanya
muncul akibat dari erosi dan pergerakan tektonik disepanjang patahan. Pada
umumnya air terjun adalah penciri dari sesar normal, dimana air terjun tersebut
terbentuk akibat adanya patahan atau turunnya suatu perlapisan batuan secara tiba-
tiba yang dilalui oleh aliran air.
Air terjun tersebut dijumpai berdekatan dengan Singkapan S6 dengan litologi
batugamping dan S18 dengan litologi batu beku yaitu Andesit, seperti pada Gambar
4.29.
77

3⁰35’24,29”N 96⁰59’10,89”E

Gambar 4.29 Kenampakan Air Terjun di Desa Bate Meucanang,


Kec.Labuhanhaji Barat

Sedangkan untuk mata air dijumpai berdekatan dengan Singkapan S2 dan


S74, seperti Gambar pada 4.30. Mata air muncul akibat adanya perpotongan suatu
formasi akuifer yang dapat menunjukkan suatu indikasi sesar, dimana indikasi sesar
terbentuk akibat adanya gesekan atau tekanan yang membesar pada kedalaman yang
mana formasi akuifer terpotong oleh sesar sehingga air muncul kepermukaan.

3⁰34’28,25”N 96⁰59’22,45”E 3⁰35’49,31”N 96⁰57’41,21”E

Gambar 4.30 Kenampakan Mata Air di Daerah Penelitian


78

4.5 Stratigrafi, Vulkanostratigrafi dan Sejarah Geologi


4.5.1 Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi Satuan Batuan Batugamping diambil pada Desa Batee Meucanang,
Kecamatan Labuhanhaji Barat, Kabupaten Aceh Selatan. Satuan batuan batugamping
tersebut berada pada singkapan S10 dengan Koordinat 3⁰35’46,22”N dan
95⁰59’34,44”E. Berikut kolom Stratigrafi pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Stratigrafi Batugamping di Daerah Penelitian

Kulit Gajah Stylolith

4.5.2 Vulkanostratigrafi Daerah Penelitian


Berdasarkan kolom Vulkanostratigrafi pada Tabel 4.3 daerah penelitian
terletak pada Desa Batee Meucanang dan Desa Hulu Pisang, Kecamatan Labuhanhaji
Barat, Kabupaten Aceh Selatan terdapat 2 jenis Satuan Batuan beku pada Formasi
Gunungapi Tapaktuan, yaitu Satuan Batuan Basal Labuhanhaji yang berada pada
79

singkapan S29 dengan koordinat 3⁰33’38,51”N dan 96⁰59’51,05”E. sedangkan


untSatuan Batuan Andesit Labuhanhaji berada pada singkapan S60 dengan koordinat
3⁰35’52,77”N dan 96⁰58’55,58”E.

Tabel 4.3 Vulkanostratigrafi Batuan Basal dan Andesit di Daerah Penelitian

Umur Batuan Ketebalan


(meter)
Zaman Kala Primer Sekunder
Aliran Lava Jatuhan Lahar

Piroklastik
Kapur Awal
2-7
Jura Akhir

4.6 Analisis Petrografi


Analisis petrografi untuk batugamping dilakukan pada singkpan S5, S10, dan
S40 dan untuk batu beku dilakukan pada singkapan S18, dan S37.

4.6.1 Analisis Petrografi Batugamping


1. Batugamping S5
Untuk singkapan S5 pada batugamping (Mudstone), pengamatan sayatan
tipis dilakukan dengan pembesaran 10x, berwarna putih. kecoklatan, ukuran. butir
pasir. halus, (0,125mm-0,25mm) dan porositas moldic. Komposisi.batuan.
tersusun oleh Mikrit, Urat kalsit, lempung, ooid dan mineral opak.
80

Komposisi :
Mikrit (66%) : (//) Warna abu-abu berukuran <1mm atau halus, relief sedang,
pleokroisme monokroik.
(X) Warna interferensi abu-abu, orde 1, gelapan miring.
Urat Kalsit (27%) : (//) warna abu-abu kehitaman berukuran halus (<1mm), relief
sedang, pleokroisme monokroik.
(X) Warna interferensi abu-abu, orde 1.
Opak (1%) : (//) hitam, berukuran halus (<1mm), bentuk kristal euhedral,
relief tinggi.
(X) Warna interferensi hitam, orde 1.
Moldic (2%) : (//) putih, sebagai porositas.
(X) Warna hitam.
Lempung (3%) : (//) Berwarna coklat kehitaman.
(X) Warna coklat kehitaman.
Ooid (1%) : (//) warna hitam dengan inti berbentuk spherical hingga
elipsoid, relief tinggi, berukuran 0,25 hingga 2 mm.
(X) Warna interferensi hitam dengan inti.
Nama batuann : Batugamping Mudstone berdasarkan Embry dan Klovan (1971).

A B C D E F A B C D E F
1 1
Urat kalsit
2 2
Opc
3 3 Moldic

4 4 Matri
Sparit
5 5

6 6
// X
Gambar 4.31 Sayatan Tipis pada Singkapan S5
81

A B C D E F A B C D E F
Urat kalsit
1 1
2 2 Ooid

3 3
Urat kalsit
4 4 Opc
Sparit

5 5 Mikrit

Ooid
6 6 Moldic
// X

A B C D E F A B C D E F

1 1 Opc
Matri Lempung
2 2

3 3 Ooid
Sparit Opc Opc
4 4 e

5 5

6 6

// X

Gambar 4.31 Sayatan Tipis pada Singkapan S5


82

2. Batugamping S10
Untuk singkapan S10 pada batugamping (Mudstone), pengamatan sayatan
tipis dilakukan dengan pembesaran 10x, berwarna putih kecoklatan, ukuran. butir.
pasir halus, (0,125mm-0,25mm). Komposisi.batuan. tersusun.oleh mikrit, ooid dan
sprit kalsit.
Komposisi :
Mikrit (88%) : (//) Warna abu-abu berukuran <1mm atau halus, relief sedang,
pleokroisme dikroik.
(X) Warna interferensi abu-abu, orde 1, gelapan miring.
Sparit Kalsit (10%) : (//) tanpa warna berukuran halus (<1mm), relief sedang,
pleokroisme monokroik.
(X) Warna interferensi abu-abu dan tanpa warna, orde 1.
Ooid (2%) : (//) warna hitam dengan inti berbentuk spherical hingga
elipsoid, relief tinggi, berukuran 0,25 hingga 2 mm.
(X) Warna interferensi hitam.
Nama batuann : Batugamping Mudstone berdasarkan Embry dan Klovan (1971).

A B C D E F A B C D E F
1 1
Sparit
2 2 e
Matrix
3 3
Matrix
4 4

5 5
Ooid Ooid
6 6
// X
Gambar 4.32 Sayatan Tipis pada Singkapan S10
83

A B C D E F A B C D E F
1 1
2 2

3 3
Mikrit
4 4 Sparit

5 5

6 6

// X

A B C D E F A B C D E F
1 1
2 2

3 3

4 4 Mikrit

5 5

6 6

// X

Gambar 4.32 Sayatan Tipis pada Singkapan S10


84

3. Batugamping S40
Untuk singkapan S40 pada batugamping (Mudstone), pengamatan sayatan
tipis dilakukan dengan pembesaran 10x, dan ukuran butir pasir halus, (0,125mm-
0,25mm). Komposisi batuan tersusun oleh Dolomit, dan Sparit Kalsit, Mikrit,
Quartz.
Komposisi :
Dolomit (20%) : (//) tanpa warna berukuran halus (<1mm), bentuk kristal
subhedral, belahan tiga arah, relief tinggi, pleokroisme trikroik.
(X) Warna interferensi biru, merah, orde 2, gelapan miring, dan
kembaran albit.
Sparit Kalsit (37%) : (//) tanpa warna berukuran halus (<1mm), relief rendah,
pleokroisme trikroik.
(X) Warna interferensi abu-abu kehitaman, orde 1.
Mikrit (41%) : (//) tanpa warna berukuran halus (<1mm), relief sedang,
pleokroisme dikroik.
(X) Warna interferensi putih keabu-abuan, orde 1, gelapan
paralel.
Quartz (1%) : (//) warna absorbsi tanpa warna, relief sedang, pleokroisme tidak
ada, bentuk kristal subhedral – anhedral, belahan tidak ada.
(X) Warna interferensi putih keabu-abuan, orde 1.
Opak (1%) : (//) hitam, berukuran halus (<1mm), bentuk kristal euhedral,
relief tinggi.
(X) Warna interferensi hitam, orde 1.
Nama batuan : Batugamping Mudstone berdasarkan Embry dan Klovan (1971).
85

A B C D E F A B C D E F

1 1
mikrit Dolomit
2 2

3 3 Opc

4 Dolomit Sparit Kalsit

5 5
Qz
Dolomit
6 6
// X

A B C D E F A B C D E F
1 1
2 2 mikrit

3 3 Dolom

4 4
Sparite Dolom
5 5

6 6
// X

Gambar 4.33 Sayatan Tipis pada Singkapan S40


86

A B C D E F A B C D E F

1 1
Mikrit
2 2

3 3 Sparit
Dolomit
4 4
Dolomit
5 5

6 6

// X
Gambar 4.33 Sayatan Tipis pada Singkapan S40

Penamaan batugamping didasarkan pada Klasifikasi Embry dan Klovan


(1971) seperti pada. gambar 4.34

Gambar.4.34 Penamaan Batugamping Berdasarkan Embry dan Klovan (1971)


87

4.6.2 Analisis Petrografi Batu Beku


1. Basal S18
Pada.pengamatan S18 dilakukan.pada perbesaran 10x dan pada
pengamatan.struktur masif, tekstur porfiritik ukuran.mineral sedang – halus.
Komposisi :
Plagioklas (50%) : (//) warna. absorbsi. tidak. berwarna, relief rendah,
pleokroisme sedang, bentuk kristal euhedral – anhedral,
belahan 2 arah – tidak ada.
(X) Warna. interferensi. abu-abu, orde 1, kembaran.albit.
Quartz (5%) : (//) warna absorbsi putih keabu-abuan, relief rendah,
pleokroisme tidak ada, bentuk kristal subhedral – anhedral,
belahan tidak ada.
(X) Warna interferensi putih keabu-abuan, orde 1.
Piroksen (10%) : (//) warna absorbsi putih keabu-abuan, relief tinggi,
pleokroisme sedikit samar saat meja diputar, bentuk kristal
subhedral – anhedral, belahan 2 arah.
(X) Warna interferensi biru, orde 2, belahan 2 arah sekitar
90⁰.
Opak (15%) : (//) hitam, berukuran halus (>1mm), bentuk kristal euhedral,
relief tinggi.
(X) Warna interferensi hitam, orde 1.
Massa Dasar (20%) : (//) Warna absorbsi abu-abu kehitaman, hijau berada
diantara plagioklas, quartz, piroksen, ampibol, opak.
(X) Warna interferensi abu-abu kehitaman, hijau.
Nama Batuan : Basal.
88

A B C D E F A B C D E F
1 1
Pg
2 2
Pg Pg Qz
3 3 Prx

4 4 Pg

Pg
5 5 Massa
Pg
Prx
6 6
// X

A B C D E F A B C D E F
1 1 Pg
Massa dasar
2 2
Pg
3 3
Pg
4 4
Opc
5 5 Pg

6 6 Pg

// X

Gambar 4.35 Sayatan Tipis pada Singkapan S18


89

A B C D E F A B C D E F
1 1 Pg
Pg
2 2 Pg

Pg
3 3 Pg
Massa
4 4 Pg

Pg Pg Pg
5 5

6 6 Qz

// X
Gambar 4.35 Sayatan Tipis pada Singkapan S18

Penamaan batuan Basal pada singkapan S18 didasarkan pada Diagram


QAPF (IUGS, 1973) dengan menggunakan mineral Quartz, Alkali feldspar,
Plagioklas. Kemudian dilakukan perhitungan antara ketiga mineral tersebut seperti
di bawah ini :
Dik : P = 50%, Q = 5%, A = 0%
Perhitungan :
P = P’ (100/Q+A+P) A = A’ (100/Q+A+P)
P = 50% (100/5%+0%+50%) A = 0% (100/5%+0%+50%)
P = 50% (1,82) = 91% A = 0% (1,82) = 0%

Q = Q’ (100/Q+A+P)
Q = 5% (100/5%+0%+50%)
Q = 5% (1,82) = 9,1%

Kemudian dilakukan normalisasi kembali antara P dan A karena mineral


tersebut berada pada garis yang sama, normalisasi tersebut sebagai berikut:
90

P = P’ (100/A+P) A = A’ (100/A+P)
P = 91% (100/91%) A = 0% (100/90%)
P = 100% A = 0%

Gambar 4.36 Penamaan Batuan Basal


Berdasarkan Diagram QAPF (IUGS, 1973)

1. Andesit S37
Pada.pengamatan S37 dilakukan pada.perbesaran 10x dan pada.pengamatan
struktur masif, tekstur afanitik ukuran.mineral sedang – halus.
Komposisi :
Plagioklas (42%) : (//) warna.absorbsi.tidak.berwarna, relief rendah,
pleokroisme sedang, bentuk kristal euhedral – anhedral,
belahan 2 arah – tidak ada.
(X) Warna interferensi abu-abu, orde 1, kembaran albit.
91

Quartz (10%) : (//) warna absorbsi putih keabu-abuan, relief rendah,


pleokroisme.tidak ada, bentuk kristal subhedral – anhedral,
belahan tidak ada.
(X) Warna. interferensi putih keabu-abuan, orde. 1.
Piroksen (5%) : (//) warna absorbsi putih keabu-abuan,biru, relief tinggi,
pleokroisme sedikit samar saat meja diputar, bentuk kristal
subhedral – anhedral, belahan 2 arah.
(X) Warna interferensi biru, orde 2, belahan 2 arah sekitar
90⁰.
Orthoklas (15%) : (//) warna absorbsi putih keabu-abuan, relief. rendah,
pleokroisme. tidak ada, bentuk kristal subhedral – anhedral,
belahan tidak ada.
(X) Warna interferensi. abu-abu kehitaman, orde 1.
Ampibol (3%) : (//) warna absorbs coklat kekuningan, relief tinggi,
pleokroisme ada, bentuk kristal suhedral – anhedral, belahan
tidak ada.
(X) Warna interferensi coklat kekuningan, orde 2.
Opak (10%) : (//) hitam, berukuran halus (>1mm), bentuk kristal euhedral,
relief tinggi.
(X) Warna interferensi hitam, orde 1.
Massa Dasar (15%) : (//) Warna absorbsi abu-abu kehitaman, hijau berada
diantara plagioklas, quartz, piroksen, ampibol, opak.
(X) Warna interferensi abu-abu kehitaman, hijau.
Nama Batuan : Andesit.
92

A B C D E F A B C D E F
opc
1 1 Pg
opc Qz
2 2 Pg
Orth
3 3 Pg Massa dasar
Prx Pg
Qz
4 4 Pg Pg Prx

5 5
Amp
opc Qz Orth
6 6
// X

A B C D E F A B C D E F
1 1 Pg
Pg
2 2 Opc
Pg
3 3 Prx
Pg Pg
4 4 Prx
Pg
5 5
Pg Orth
Prx
6 6 Pg
// X

Gambar 4.37 Sayatan Tipis pada Singkapan S37


93

A B C D E F A B C D E F
1 1 Opc
Qz
Qz
2 2 Qz
Pg
3 3
Pg Massa dasar
4 4
Qz
Pg
5 5 Qz Qz
Opc
6 6

// X
Gambar 4.37 Sayatan Tipis pada Singkapan S37

Untuk penamaan batuan Andesit Pada singkapan S37 didasarkan Diagram


QAPF (IUGS, 1973) dengan menggunakan mineral Quartz, Alkali feldspar,
Plagioklas. Kemudian dilakukan perhitungan antara ketiga mineral tersebut seperti
di bawah ini :
Dik : P = 42%, Q = 10%, A = 15%
Perhitungan :
P = P’ (100/Q+A+P) Q = Q’ (100/Q+A+P)
P = 42% (100/10%+15%+42%) Q = 10% (100/10%+15%+42%)
P = 42% (1,5) = 63% Q = 10% (1,5) = 15%

A = A’ (100/Q+A+P)
A = 15% (100/10%+15%+42%)
A = 15% (1,5) = 22

Kemudian dilakukan normalisasi kembali antara P dan A karena mineral


tersebut berada pada garis yang sama, normalisasi tersebut sebagai berikut:
P = P’ (100/A+P) A = A’ (100/A+P)
94

P = 63% (100/85%) A = 22% (100/85%)


P = 74% A = 26%

Gambar 4.38 Penamaan Batuan Andesit


Berdasarkan Diagram QAPF (IUGS, 1973)

4.7 Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan Batugamping Daerah


Penelitian
4.7.1 Analisis Fasies Berdasarkan James (1979) dan Wilson A.J.E, (1975).

1. Fasies Berdasarkan Zona Fasies Terumbu Menurut James (1979) dalam


Sholle (1989)
Setelah dilakukan analisis petrografi, maka didapatkan litologi batugamping
di lokasi penelitian yang terdiri dari batugamping mudstone (Embry dan Klovan,
1971). Batugamping mudstone berdasarkan Zona Fasies Terumbu Menurut James
(1979) termasuk dalam fasies fore reef. Zona fasies ini dicirikan dengan kehadiran
95

organisme. berkurang. dengan. endapan. sedimen karbonat yang berbutir halus.


Plankton dan mikroorganisme lain adalah organisme yang umum dijumpai pada
fasies ini. Zona fasies ini dikenal juga dengan daerah cekungan laut dimana tempat
batuan sedimen dengan ukuran halus terbentuk yang disebabkan oleh jarak
transportasi yang sudah jauh dari batuan asal nya dan telah terklastikkan.

Gambar 4.39 Zona Fasies Terumbu Menurut James (1979)

2. Fasies Berdasarkan Zona Fasies dengan model Paparan Karbonat Terbatas


(Wilson, A.J.E, 2004).

Batugamping mudstone pada daerah penelitian berada pada zona fasies 1 dan
2. Zona fasies 1 terdiri dari batuan serpih gelap. dan. mudstone. Karbonat yang
terendapkan pada. lingkungan. laut. dalam. atau. biasanya. pada.kondisi tanpa
oksigen (reduksi). Sedangkan zona fasies 2 berupa batugamping.dengan sisipan shale
yang sangat berfosil dengan terdeposisi pada lingkungan laut terbuka dibawah strom-
wave base namun diatas batas oksigen di air. Jangkauan antara kedua fasies ini
diperkirakan merupakan tempat terbentuknya batugamping mudstone. Hal ini dapat
dibedakan dari ukuran butir mudstone yang terdiri dari lanau, serpih, dan lempung.
Urutan ketiga batuan yang termasuk ke dalam mudstone tersebut mencerminkan pula
jarak lokasi terbentuk yang ditinjau dari produk asal suatu sedimen yang kemudian
tertransport.
96

Gambar 4.40 Kenampakan Zona Fasies pada Batugamping


Berdasarkan Zona Faises dengan Model Paparan Karbonat Terbatas
(Wilson, A.J.E,1975)

4.7.2 Lingkungan Pengendapan Batugamping

Lingkungan pengendapan batugamping mudstone berdasarkan Nichols (2009)


adalah upper bthyal hingga ke open marine. Daerah ini selaras dengan zona fasies
batugamping mudstone berdasarkan Wilson, A.J.E, (1975). Keterdapatan fragmen
cangkang yang sangat sedikit juga memberikan gambaran sudah jauhnya dari sumber
batuan gamping asal yang secara umum terendapkan di lingkungan berupa laut
dangkal.

Terbentuknya batugamping mudstone tersebut merupakan bagian dari anggota


Formasi GunungApi Tapaktuan (Mult) yang dimulai dengan berasosiasi dengan
batuan beku Gunungapi Tapaktuan (Muvt) dikarenakan batugamping tersebut berada
di tepi laut/pantai. Proses terbentuknya, dimulai dari terbentuknya batuan basal yang
berasal dari lava yang ada di lantai samudera, kemudian dalam waktu yang
bersamaan juga terbentuk batuan Andesit. Kedua batuan tersebut merupakan hasil
dari proses subduksi pada Zaman Mesozoikum yang terjadi pada periode Jura Akhir –
Kapur Awal (Cameron dkk, 1982). Proses subduksi yang terjadi membentuk patahan
transform disepanjang Meso Tethys Ocean yang disebut dengan busur Woyla (Barber
dkk, 2005). Kemudian secara bertindihan terbentuklah batugamping mudstone pada
lingkungan pengendapan Fringing Reef yang mengelilingi Gunungapi Tapaktuan
97

dan batugamping mudstone tersebut pada upper bthyal hingga ke open marine.
Peristiwa transgresi atau kenaikan air laut telah membawa material laut dalam berupa
material yang berukuran halus (mudstone) yang terendapkan di daerah fringing reef.

Gambar 4.41 Ilustrasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batuan


yang ada di Daerah Penelitian (Sumber : Penulis)
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang sudah didapatkan pada bab hasil dan pembahasan di
atas dapat tarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Satuan batuan daerah penelitian terdiri dari 5 satuan batuan, yaitu Satuan Batuan
Basal Labuhanhaji, Satuan Batuan Andesit Labuhanhaji, Satuan Batuan
Batugamping, Satuan Batuan Endapan Pasir Qpm, Satuan Batuan Aluvium.
Struktur geologi pada daerah penelitian berupa kekar (joint) dan Sesar Normal
Right Slip Fault (Sesar normal dekstral dip > 45⁰) dengan Strike/Dip yaitu N 289⁰
E/87⁰ dan pitch 32⁰ berdasarkan klasifikasi Rickard (1972). Satuan geomorfologi
daerah penelitian terdiri atas 9 satuan, yaitu Satuan Bentang Alam Denudasional
(D5), Satuan Bentang Alam Karst (K5), Satuan Bentang Alam Struktural (S3),
Satuan Bentang Alam Struktural (S1), Satuan Bentang Alam Fluvial (F1), Satuan
Bentang Alam Fluvial (F3), Satuan Bentang Alam Fluvial (F4), Satuan Bentang
Alam Marine (M3) dan Satuan Bentang Alam Marine (M14).
2. Jenis batugamping pada daerah penelitian hanya memiliki 1 jenis batugamping,
yaitu mudstone berdasarkan Embry dan Klovan (1971).
3. Zona Fasies batugamping mudstone berada pada fasies fore reef berdasarkan
Zona Fasies Terumbu Menurut James (1979) dan pada zona 1 yaitu Basin
berdasarkan Wilson, A.J.E, (1975). Untuk lingkungan pengendapannya yaitu
Fringing Reef yang berada di Laut (marine) berdasarkan Nichols (2009).

98
5.2 Saran
Pada penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, data-data masih belum
akurat, maka dari pada itu diharapkan untuk penelitian selanjutnya lebih akurat lagi.
Dalam ilmu petrografi, menganalisis sampel batuan adalah suatu hal yang tidak
mudah dalam membedakan mineral-mineral dan fosil-fosil yang terkandung dalam
batuan, sebaiknya dipelajari lebih dalam atau dilakukan pratikum khusus untuk
mahasiswa teknik geologi agar lebih paham dan benar dalam menganalisis sampel
batuan menggunakan mikroskop.

99
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Y. 2020. Pemetaan Geologi dan Analisis Lingkungan Pengendapan


Batugamping di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Teknik Geologi Universitas Syiah Kuala.
Adrian, F. 2020. Analisis Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat di Kecamatan
Montasik. J. Aceh Phys. Soc., Vol.9, No.3 pp.72-77.
Barber, A.J dan Crow, M.J. 2005. Pre-Tertiary Stratigraphy dalam Crow, M.J. dan
Milson, J.S. Sumatra: Geology, Resources, and Tectonic Evolution. London :
Geological Society, p.40.
Bas, M. J. LE., dan Streckeisen, A. L. 1991. The IUGS systematics of igneous rocks.
London: Journal of the Geological Society. Vol.148, page 825-833.
Beates, R.L., and Jackson, J.A., 1987. Glossary of Geology, second edition, American
Geological Institute. Falls Church. Virginia.
Boggs Sam, R.J., 2009. Petrology of Sedimentary Rocks. University of Oregon.
Cambridge University Press. Second Edition.
Boggs, Sam Jr. 2014. Principles of Sedimentology and Stratigraphy 5th edition.
London:Pearson Education Limited.
Cameron, et.all., 1982, Peta Geologi Lembar Tapaktuan, Sumatera, Skala 1:250.000,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Cameron, N.R., and Pulunggono, A., 1984, Sumatra Microplates, their Characteristic
and their Roll in the Evolution of the Central and South Sumatra Basins: 13th
Annual IPA Proceedings, v. 1, p. 121-143.
Dunham, R.J. 1962. Classification of Carbonate Rock According to Deposotional
Texture, dalam Ham W. E. (editor) Classification of Carbonate Rock: AAPG
Memoir No.1.Tusla, Oklahoma.

100
101

Embry, A.F. dan Kloven, J.E. 1971. A late Devonia Reef Trect on Northeastren
Island Northwest Territories. Bulletin Canadania Petroleum Geologists.
Folk, R.L. 1962. Spectral Subdivision of Limestone Types. In: Classification of
Carbonate Rock (Ed. By W. E. Ham). American Association Petroleum Geologist
Telsa, 1, p.62-84.
Folk, A. 1959. Practical Petrological Clasification of Limestone. Austin, Texas.
Gould, H. R. 1972. Enviromental Indicators- a Key to the Stratigraphic record,
dalam J. K. Rigby dan Hamblin W. K. Recognition of ancient sedimentary
environments: Soc. Econ. Paleontologist and Mineralogist Spec. Pub. 16, p.1-3.
Hamilton, W. 1979. Tektonic of Indonesian Region. U.S. Geological Survey
Professional Paper 1078, 345 pp. J. Hutton dan J. Playfair. 1726-1797. Granite
from Igneous Origin (Plutonist) “The Presentis is the Key to the Past”. Doctrin
“Uniformitarianism”.
J. Hutton dan J. Playfair. 1726-1797. Granite from Igneous Origin (Plutonist) “The
Presentis is the Key to the Past”. Doctrin “Uniformitarianism”.
James, N.P., dan Pierre-A. B. 1992. Reefs and Mounds dalam Roger G. Walker dan
Noel P. James. 1992. Fasies Model: Response to Sea Level Change. Geological
Association of Canada.
Kapid, R. 2000. Foraminifera, Pengenalan Mikrofosil dan Aplikasi Biostratigrafi.
Bandung: ITB. Indonesia. 183 hal.
Natawidjaja, D.H. 1994. Quantitative geological assements of Liwa earthquake 1994,
Proceeding of Annual Convention of Indonesian Association of Geophysicists
(HAGI). Diakses tanggal 2 April 2015.
Nichols, G. 2009. Sedimentology and Stratigraphy. Wiley-Blackwell, Oxford, 2nd ed.,
419h.
Pettijohn, F.J. 1956. Sedimentary Rocks, Texas: Rice Institute.
Pratiwi, A. 2020. Geologi dan Analisis Litofasies serta Lingkungan Pengendapan
Anggota Batugamping, Formasi Gunungapi Tapaktuan di Kecamatan Tapaktuan
102

dan Sekitarnya, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Teknik Geologi


Universitas Syiah Kuala.
Rickard, M. J., 1972. Fault Classification-Discussion. Geological Society of America
Bulletin, v. 83, pp. 2545-2546.
Scholle, Peter A., Noel P. James and J. F. Read, 1989. Carbonate Sedimentology and
petrology, Washington, D.C: American Geophysical Union.
Scholle, P. A., dan Ulmer-Scholle, Dana S. 2003. A Colour Guide to the Petrography
of Carbonate Rocks. Canada: Buletin American Association of Petroleum
Geologists (AAPG) Memoir 77.
Twiss, R. J. and Moores, E. M., 1992, Structural Geology: W.H. Freeman and
Company, New York.
Tucker, M.E., dan Wright, V.P 1990. Carbonate Sedimentology. London : Blackwell
Scientif Publications, Oxford.
Van Zuidam, et, al 1983. Guide to Geomorphologic aerial photographic
interpretation and mampping.
Verstappen, H.Th, 1983. Applied Geomorphology. Geomorphological Surveys for
Environmental Development. New York, El sevier.
Walker R.G., dan James, N.P. 1992. Fasies Models : Response To Sea Level Change.
Geological Association of Canada: Ontario.
Wilson, J. L. (1975). Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic
Mapping. Enschede, The Haque: ITC, Smits Publ.
Zulfikar, H.A.I., Karangan Carry, Sayekti Bayu. 2006. Inventarisasi dan
Penyelidikan Mineral Non Logam Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Proceeding Pemaparan Hasil-Hasil Kegiatan Lapangan dan
Non Lapangan Tahun 2006, Pusat Sumber Daya Geologi. Kelompok Program
Penelitian Mineral.
Lampiran 1. Morfometri Bentang Alam

1. Satuan Bentang Alam Denudasional (D5)


a. Perhitungan morfometri
1
IK = 2000 x Skala peta
1
IK = 2000 x 25.000 = 12,5

d = 1 cm x 25.000 = 25.000 cm = 250 m


 Sayatan 1
∆h = JK x IK = 1 x 12,5 = 12,5
% lereng = ∆h/d x 100% = 12,5/250 x 100% = 5%
 Sayatan 2
∆h = JK x IK = 1 x 12,5 = 12,5
% lereng = ∆h/d x 100% =12,5/250 x 100% = 5%
 Sayatan 3
∆h = JK x IK = 1 x 12,5 = 12,5
% lereng = ∆h/d x 100% =12,5/250 x 100% = 5%
 Sayatan 4
∆h = JK x IK = 2 x 12,5 = 25
% lereng = ∆h/d x 100% = 25/250 x 100% = 10%
 Sayatan
∆h = JK x IK = 2 x 12,5 = 25
% lereng = ∆h/d x 100% = 25/250 x 100% = 10%

Persentase Kelerengan Total


5+5+5+10+10
% lereng rata-rata = = 7%
5

Beda Tinggi (∆H) = Top Hill – Low Hill


= 25 – 12,5 = 12,5 m

103
104

2. Satuan Bentang Alam Karst (K5)


1
IK = 2000 x Skala peta
1
IK = 2000 x 25.000 = 12,5

d = 1 cm x 25.000 = 25.000 cm = 250 m


 Sayatan 1
∆h = JK x IK = 11 x 12,5 = 137,5
% lereng = ∆h/d x 100% = 137,5/250 x 100% = 55%
 Sayatan 2
∆h = JK x IK = 9 x 12,5 = 112,5
% lereng = ∆h/d x 100% =112,5/250 x 100% = 45%
 Sayatan 3
∆h = JK x IK = 8 x 12,5 = 100
% lereng = ∆h/d x 100% =100/250 x 100% = 40%
 Sayatan 4
∆h = JK x IK = 6 x 12,5 = 75
% lereng = ∆h/d x 100% = 75/250 x 100% = 30%
 Sayatan 5
∆h = JK x IK = 6 x 12,5 = 75
% lereng = ∆h/d x 100% = 75/250 x 100% = 30%

Persentase Kelerengan Total


55+45+40+30+30
% lereng rata-rata = = 40%
5

Beda Tinggi (∆H) = Top Hill – Low Hill


= 400 – 100 = 300
105

3. Satuan Bentang Alam Struktural S3


1
IK = 2000 x Skala peta
1
IK = 2000 x 25.000 = 12,5

d = 1 cm x 25.000 = 25.000 cm = 250 m


 Sayatan 1
∆h = JK x IK = 6 x 12,5 = 75
% lereng = ∆h/d x 100% = 75/250 x 100% = 30%
 Sayatan 2
∆h = JK x IK = 9 x 12,5 = 112,5
% lereng = ∆h/d x 100% =112,5/250 x 100% = 45%
 Sayatan 3
∆h = JK x IK = 6 x 12,5 = 75
% lereng = ∆h/d x 100% =75/250 x 100% = 30%
 Sayatan 4
∆h = JK x IK = 4 x 12,5 = 50
% lereng = ∆h/d x 100% = 50/250 x 100% = 20%
 Sayatan 5
∆h = JK x IK = 10 x 12,5 = 125
% lereng = ∆h/d x 100% = 125/250 x 100% = 50%

Persentase Kelerengan Total


30+45+30+20+50
% lereng rata-rata = = 35%
5

Beda Tinggi (∆H) = Top Hill – Low Hill


= 400 – 100 = 300
106

4. Satuan Bentang Alam Struktural S1


1
IK = 2000 x Skala peta
1
IK = 2000 x 25.000 = 12,5

d = 1 cm x 25.000 = 25.000 cm = 250 m


 Sayatan 1
∆h = JK x IK = 5 x 12,5 = 62,5
% lereng = ∆h/d x 100% = 62,5/250 x 100% = 25%
 Sayatan 2
∆h = JK x IK = 6 x 12,5 = 75
% lereng = ∆h/d x 100% = 75/250 x 100% = 30%
 Sayatan 3
∆h = JK x IK = 4 x 12,5 = 20
% lereng = ∆h/d x 100% = 20/250 x 100% = 20%
 Sayatan 4
∆h = JK x IK = 3 x 12,5 = 37,5
% lereng = ∆h/d x 100% = 37,5/250 x 100% = 15%
 Sayatan 5
∆h = JK x IK = 3 x 12,5 = 37,5
% lereng = ∆h/d x 100% = 37,5/250 x 100% = 15%

Persentase Kelerengan Total


25+30+20+15+15
% lereng rata-rata = = 21%
5

Beda Tinggi (∆H) = Top Hill – Low Hill


= 125 – 12,5 = 112,5
Lampiran 2. Deskripsi Batuan

1. Lokasi Penelitian : Desa cacang, Kec.Labuhanhaji, Kab.Aceh Selatan,


Provinsi Aceh.
2. Warna Segar : Abu-abu Kehitaman.
3. Struktur : Masif.
4. Granulitas : Afanitik.
5. Komposisi : Mafic (plagioklas, quartz,orthoklas, piroksen,
ampibol, opak,dan massa dasar).
6. Kekompakan : Hard.
7. Jenis batuan : Ekstrusif.
8. Nama Batuan : Basal.

107
108

1. Lokasi Penelitian : Desa Bate Meucanang, Kec.Labuhanhaji


Barat, Kab.Aceh Selatan.
2. Warna Segar : Hijau Kehitaman
3. Struktur : Masif
4. Granulitas : Afanitik
9. Komposisi : Intermediet (plagioklas, olivin,orthoklas, piroksen,
ampibol, opak,dan massa dasar).
10. Kekompakan : Hard.
11. Jenis Batuan : Ekstrusif.
12. Nama Batuan : Andesit
109

1. Lokasi Penelitian : Desa Bate Meucanang, Kec.Labuhanhaji


Barat, Kab.Aceh Selatan.
2. Warna Segar : Putih Keabu-abuan.
3. Struktur : Kulit gajah (Elephant’s Skin Weathering),
Stylolite.
4. Besar butir : Lempung (clay).
5. Pemilahan : Terpilah sangat baik (very well sorting).
6. Kebundaran : Membundar – sangat membundar
(rounded-very rounded).
7. Kemas : Tertutup.
8. Porositas : Buruk
9. Kompaksi : Hard.
10. Reaksi HCL : Bereaksi.
11. Fosil : tidak ditemukan.
12. Nama Batuan : Batugamping kristalin.
110

1. Lokasi Penelitian : Desa Tengah Iboeh, Kec. Labuhanhaji Barat,


Kab.Aceh Selatan.
2. Warna Segar : Kuning kecoklat-coklatan.
3. Struktur : Masif.
4. Besar butir : Finesand-very finesand.
5. Pemilahan : Terpilah baik.
6. Kebundaran : Membundar (rounded).
7. Kemas : Terbuka.
8. Porositas : Baik.
9. Kompaksi : Soft.
10. Reaksi HCL : Tidak bereaksi.
11. Fosil :-
12. Nama Batuan : Endapan pasir.
111

1. Lokasi Penelitian : Desa Pante Geulima, Kec.Labuhanhaji Barat,


Kab.Aceh Selatan.
2. Warna Segar : Abu-abu kehitaman.
3. Struktur : Masif.
4. Besar butir : Lempung (clay).
5. Pemilahan : Terpilah sangat baik (very well sorting).
6. Kebundaran : Sangat membundar ( well rounded).
7. Kemas : Tertutup.
8. Porositas : Buruk
9. Kompaksi : Rapuh (friable).
10. Reaksi HCL : Tidak bereaksi.
11. Fosil :-
12. Nama Batuan : Endapan Lempung.
112

1. Lokasi Penelitian : Kreung Baru, Kec.Labuhanhaji Barat,


Kab.Aceh Selatan.
2. Warna Segar : Putih keabu-abuan.
3. Struktur :-
4. Besar butir : Bongkah (boulder) – pasir kasar (coarse).
5. Pemilahan : Sangat buruk.
6. Kebundaran : Membundar tanggung (sub-rounded).
7. Kemas : Terbuka.
8. Porositas : Baik.
9. Kompaksi : Rapuh (friable).
10. Reaksi HCL : Tidak bereaksi.
11. Fosil :-
12. Nama Batuan : Endapan kerikil.
Lampiran 3. Peta

113
114
115

Anda mungkin juga menyukai