Anda di halaman 1dari 25

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FIELDTRIP GEOLOGI STRUKTUR


DAERAH BILI-BILI KABUPATEN GOWA PROVINSI SULAWESI
SELATAN

LAPORAN

OLEH :
RUZIK WIRDANDO MUSFA
D061191012

GOWA
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bumi merupakan suatu objek yang sangat luas dan menarik untuk dikaji.
Permukaan bumi terdiri dari atas dua bagian, yakni daratan dan lautan. Salah satu
disiplin ilmu yang mempelajari tentang bumi adalah geologi. Geologi merupakan
kelompok ilmu yang membahas tentang sifatsifat dan bahan-bahan yang
membentuk bumi, struktur, proses-proses yang bekerja baik didalam maupun
diatas permukaan bumi, kedudukannya di alam semesta serta sejarah
perkembangannya sejak bumi ini lahir di alam semesta hingga sekarang. Geologi
memiliki berbagai cabang ilmu, salah satunya adalah geologi struktur.
Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang
bentuk (arsitektur) batuan sebagai hasil dari proses deformasi. Pada geologi
struktur hal yang paling menjadi perhatian adalah struktur pada batuan tersebut.
Pada prinsipnya, struktur batuan atau yang sering disebut struktur geologi mudah
dipelajari dengan melihat perubahan ciri fisik dari suatu perlapisan batuan.
Geologi struktur juga mencakup bentuk permukaan yang juga dibahas pada
studi geomorfologi, metamorfisme dan geologi rekayasa. Dengan mempelajari
struktur tiga dimensi batuan dan daerah, dapat dibuat kesimpulan mengenai
sejarah tektonik, lingkungan geologi pada masa lampau dan kejadian
deformasinya. Hal ini dapat dipadukan pada waktu dengan menggunakan kontrol
stratigrafi maupun geokronologi, untuk menentukan waktu pembentukan struktur
tersebut. struktur geologi tidak dapat selalu dilihat dengan keadaan berbentuk
utuh. Agar mempermudah meneliti dan menganalisa kenampakan suatu struktur
secara langsung dilapanga maka dilakukanlh field trip Geologi struktur ini yang
berlokasi pada Daerah Bili-Bili Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan untuk
dapat memberikan penggambaran struktur geologi secara proyeksi baik itu
struktur garis maupun struktur bidang baik pada struktur yang terlihat maupun
struktur semu pada daerah penelitian tersebut.

2
1.2 Maksud & Tujuan
Adapun maksud yang menjadi sasaran pada praktikum kali ini adalah agar
praktikan dapat mengetahui jenis struktur geologi daerah penelitian dari hasil
proyeksi dari sebuah data bidang, sedangkan tujuan pada praktikum kali ini adalah
sebagai berikut:
1. Peserta mampu melakukan pengambilan data struktur daerah penelitian.
2. Peserta menentukan nilai tegasan utama (σ1), tegasan menengah (σ2) dan
tegasan minimum (σ3).
3. Peserta dapat menginterpretasi jenis struktur apa saja yang bekerja di
wilayah kerja berdasarkan hasil penentuan nilai tegasan utama (σ1), tegasan
menengah (σ2) dan tegasan minimum (σ3).
1.3 Batasan Masalah

Pada laporan ini membahas tentang struktur geologi daerah penelitian


mulai dari data strike/dip dan jenis-jenis kekar pada setiap stasiun.
1.4 Waktu, Letak dan Kesampaian

Fieldtrip geologi struktur ini dilaksanakan pada hari jumat tanggal 20


Oktober 2019. Fieldtrip ini dilaksanakan di Daerah Bili-Bili Kabupaten Gowa
Provinsi Sulawesi Sela. Lokasi ini di tempuh sekitar 1 jam dari kampus Fakultas
Teknik Universits Hasanuddin sampai di Daerah Bili-Bili dari jam 07.00-08.00
dengan menggunakan kendaraan pribadi, jarak yang ditempuh sekitar 12 km.
1.5 Alat dan Bahan

1.5.1 Alat

1. ATK 7. GPS
2. Kamera 8. Komparator
3. Pita meter 9. Lup
4. Clipboard 10. Roll meter
5. Penggaris dan Busur 11. Spidol permanen
6. Kompas dan palu

3
1.5.2 Bahan

1. Bulap 5. Kertas
2. HCL 6. Buku Gambar A3
3. Kantong sampel
4. Peta
1.6 Peneliti Terdahulu

Beberapa peneliti yang pernah melakukan penelitian di daerah ini baik


secara detail maupun regional antara lain:
1. Sarasin (1901), melakukan penelitian geografi dan geologi di pulau Sulawesi.
2. Van Bemmelen (1949), melakukan penelitian geologi umum di Indonesia,
termasuk Sulawesi Selatan.
3. Rab Sukamto, (1975) mengadakan penelitian tentang perkembangan tektonik
Sulawesi dan sekitarnya, yang merupakan sintesis yang berdasarkan tektonik
lempeng.
4. S. Sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti geologi kuarter Sulawesi
Selatan dan Tenggara.
5. Rab Sukamto (1982), membuat peta geologi regional lembar Ujung Pandang,
Benteng dan Sinjai, provinsi Sulawesi Selatan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Fisiografi Regional

Secara umum Hamilton (1979), Sukamto (1975a; 1975b), dan Smith (19
83) telah membagi wilayah Sulawesi ke dalam tiga bagian fisiografi (Gambar 2.
1) yaitu :
1. Busur Vulkanik Neogen (Neogene Volcanic Arc), terdiri dari kompleks b
asement Paleozoikum Akhir dan Mesozoikum Awal pada bagian utara da
n tengahnya, batuan melange pada awal Kapur Akhir di bagian selatan (S
ukamto, 2000), sedimen flysch berumur Kapur Akhir hingga Eosen yang
kemungkinan diendapkan pada fore arc basin (cekungan muka busur) (S
ukamto, 1975a;1975c) pada bagian utara dan selatan, volcanic arc (busur
vulkanik) berumur Kapur Akhir hingga pertengahan Eosen, sekuen batua
n karbonat Eosen Akhir sampai Miosen Awal dan volcanic arc (busur vu
lkanik) Miosen Tengah hingga Kuarter (Silver dkk, 1983). Batuan pluton
ik berupa granitik dan diorit berumur Miosen Akhir hingga Pleistosen, se
dangkan batuan vulkanik berupa alkali dan kalk-alkali berumur Paleosen
sampai Pleistosen. Sulawesi bagian barat memiliki aktifitas vulkanik kuat
yang diendapkan pada lingkungan submarine sampai terestrial selama pe
riode Pliosen hingga Kuarter Awal di bagian selatan, namun pada Sulawe
si Utara aktifitas vulkanik masih berlangsung hingga saat ini.
2. Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi (Central Schist Belt), tersusunat
as fasies metamorfik sekis hijau dan sekis biru. Bagian barat merupakan t
empat terpisahnya antara sekis tekanan tinggi dengan sekis temperatur tin
ggi, genes, dan batuan granitik (Silver dkk, 1983). Fasies sekis biru meng
andung glaukofan, krosit, lawsonit, jadeit, dan aegerine.
3. Kompleks Ofiolit (Ophiolite), merupakan jalur ofiolit dan sedimen terim
brikasi serta molasse. Pada lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) d

5
idominasi oleh batuan ultramafik (van Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979;
dan Smith, 1983), harzburgit dan serpentin harzburgit (Silver dkk, 1983),
sedangkan pada lengan Timur Sulawesi (segmen utara) merupakan segm
en ofiolit lengkap, berupa harzburgit, gabro, sekuen dike diabas dan basal
t, yang merupakan hasil dari tumbukan antara platform Sula dan Sulawes
i pada saat Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smit
h, 1983), serta batuan sedimen pelagos dan klastik yang berhubungan den
gan batuan ultramafik (Silver dkk, 1983). Berdasarkan pembagian di ata
s, maka daerah penelitian terletak pada Jalur Sekis dan Batuan Terdeform
asi (Central Schist Belt). Jalur ini merupakan fasies metamorfik sekis hija
u dan sekis biru yang penyebarannya mulai dari Sulawesi Tengah meman
jang hingga Sulawesi Tenggara.

Gambar 2. 1 Pembagian jalur fisiografi Sulawesi (Smith, 1983)


2.1.2 Stratigrafi Regional

Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan umur batuan, terdapat 3 kelom


pok batuan (Simandjuntak, 1983), pada daerah penelitian yaitu :
1. Batuan Malihan Kompleks Mekongga
Batuan malihan berderajat rendah (low grade metamorphic) ini merupa
kan batuan alas di lengan tenggara Sulawesi. Batuan malihan kompleks Mekong
ga ini diperkirakan berumur Permo-Karbon. Dan termasuk kepada batuan metam
orf fasies epidot-amfibolit. Batuan malihan ini terjadi karena adanya proses buri
al metamorphism. Batuan penyusunnya berupa sekis mika, sekis kuarsa, sekis kl
orit, sekis mika-amfibol, sekis grafit dan genes.

6
2. Kelompok Batuan Sedimen Mesozoikum
Di atas batuan malihan itu secara tak selaras menindih batuan sedimen
klastika, yaitu Formasi Meluhu dan sedimen karbonat Formasi Laonti. Keduanya
diperkirakan berumur Trias Akhir hingga Jura Awal. Formasi Meluhu tersusun
dari batusabak, filit dan kuarsit, setempat sisipan batugamping hablur. Formasi
Laonti terdiri atas batugamping hablur bersisipan filit di bagian bawahnya dan
setempat sisipan kalsilutit rijangan.
3. Kelompok Mollasa Sulawesi
Pada Neogen tak selaras di atas kedua mendala yang saling bersentuhan
itu, diendapkan Kelompok Molasa Sulawesi. Batuan jenis Molasa yang tertua di
daerah penelitian adalah Formasi Langkowala yang diperkirakan berumur akhir
Miosen Tengah. Formasi ini terdiri dari batupasir konglomerat. Formasi
Langkowala mempunyai Anggota Konglomerat yang keduanya berhubungan
menjemari. Di atasnya menindih secara selaras batuan berumur Miosen Akhir
hingga Pliosen yang terdiri dari Formasi Eemoiko dan Formasi Boepinang.
Formasi Eemoiko dibentuk oleh batugamping koral, kalkarenit, batupasir
gampingan dan napal. Formasi Boepinang terdiri atas batulempung pasiran, napal
pasiran, dan batupasir. Secara tak selaras kedua formasi ini tertindih oleh Formasi
Alangga dan Formasi Buara yang saling menjemari. Formasi Alangga berumur
Pliosen, terbentuk oleh konglomerat dan batupasir yang belum padat. Formasi
Buara dibangun oleh terumbu koral, setempat terdapat lensa konglomerat dan
batupasir yang belum padat. Formasi ini masih memperlihatkan hubungan yang
menerus dengan pertumbuhan terumbu pada pantai yang berumur Resen. Satuan
batuan termuda yaitu endapan sungai, rawa, dan kolovium.
2.1.3 Struktur Geologi Regional
Struktur geologi di Sulawesi didominasi oleh arah barat laut – tenggara y
ang berupa sesar mendatar sinistral dan sesar naik

7
Gambar 2. 2 Struktur utama di Sulawesi, Hamilton (1979)

Sesar Palu–Koro memotong Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus


ke bagian utara hingga ke Palung Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi ben
ua di Laut Sulawesi. Jalur Sesar Palu – Koro merupakan sesar mendatar sinistral
dengan pergeseran lebih dari 750 km (Tjia, 1973; Sukamto, 1975), arah gerak se
suai dengan jalur Sesar Matano dan jalur Sesar Sorong. Sesar Sadang yang terlet
ak di bagian barat dan sejajar dengan Sesar Palu berada pada lengan Selatan Sula
wesi, menghasilkan lembah Sungai Sadang dan Sungai Masupu yang sistemnya
dikontrol oleh sesar mendatar (Hamilton, 1979).
Sesar Gorontalo merupakan sesar mendatar dekstral (Katili, 1969; Sukam
to, 1975) yang berlawanan arah dengan Sesar Palu – Koro dan pola sesar sungku
pnya memperlihatkan arah yang konsekuen terhadap platform Banggai – Sula se
hingga memberikan gambaran adanya kemungkinan kompresi mendatar yang di
sebabkan oleh dorongan platform Banggai – Sula kearah barat. Sesar Matano me
rupakan sesar mendatar sinistral berarah barat laut – timur memotong Sulawesi
Tengah dan melalui Danau Matano, merupakan kelanjutan dari Sesar Palu ke ara
h timur yang kemudian berlanjut dengan prisma akresi Tolo di Laut Banda Utar
a. Sistem Sesar Lawanopo berarah barat laut – tenggara, melewati Teluk Bone d
an Sulawesi Tenggara. Sesar ini kemungkinan berperan dalam pembukaan Teluk
Bone, seperti pembukaan yang terjadi di daratan Sulawesi Tenggara yang merup
akan zona sesar mendatar sinistral Neogen. Sesar Lawanopo memisahkan mintak

8
at benua Sulawesi Tenggara pada lengan Tenggara Sulawesi dengan metamorf S
ulawesi Tengah.
Sesar naik Batui terletak pada bagian timur lengan Timur Sulawesi, meru
pakan hasil dari tumbukan platform Banggai – Sula dengan Sulawesi yang meny
ebabkan pergeseran secara oblique sehingga Cekungan Gorontalo menjadi teran
gkat.
Kompleks Pompangeo diduga telah beberapa kali mengalami masa perlip
atan. Perlipatan tua diperkirakan berarah utara – selatan atau baratdaya – timurla
ut, sedangkan lipatan muda berarah baratlaut – tenggara atau barat – timur, serta
ada pula yang berarah hampir sama dengan lipatan tua. Perdaunan atau foliasi ju
ga umumnya berkembang baik dalam satuan batuan malihan Kompleks Pompan
geo dan di beberapa tempat dalam amfibolit, sekis glaukofan dan serpentin yang
tersekiskan dalam Kompleks Ultramafik. Secara umum perdaunan berarah barat
– timur dan baratlaut – tenggara. Di beberapa tempat perdaunan terlipat dan pada
jalur sesar mengalami gejala kink banding. Belahan umumnya berupa belahan bi
dang sumbu dan di beberapa tempat berupa belahan retak (fracture cleavage). B
elahan retak umumnya dijumpai dalam batupasir malih dan batugamping malih.
Secara umum bidang belahan berarah sejajar atau hampir sejajar dengan bidang
perlapisan; oleh karenanya belahan ini digolongkan sebagai berjajar bidang sum
bu.
Kekar dijumpai hampir pada semua batuan, terutama batuan beku (Komp
leks Ultramafik dan Mafik), batuan sedimen malih Mesozoikum, dan batuan mal
ihan (Kompleks Pompangeo). Dalam batuan Neogen kekar kurang berkembang.
Sejarah pengendapan batuan di daerah Sulawesi Tenggara diduga sangat erat hu
bungannya dengan perkembangan tektonik daerah Indonesia bagian timur, temp
at Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia dan Lempeng Benua E
urasia saling bertumbukkan.

2.1.4 Sejarah Geologi Regional

Pada Zaman Kapur, Cekungan Sulawesi Barat dan Sulawesi Timur dipis
ahkan oleh palung yang merupakan zona subduksi bagian barat, menghasilkan m

9
agmatisma (Miosen Awal) di Sulawesi Barat dan metamorfisma pada bagian bar
at Sulawesi Timur (Sukamto dan Simandjuntak, 1981). Pergerakan relatif berara
h baratlaut dari benua Australia pada Kala Eosen (60- 40 juta tahun lalu), mengh
asilkan perpindahan lempeng Australia, mintakat Meratus dan Sulawesi Barat ya
ng tumbuh oleh akresi pada saat subduksi awal lantai samudera Pasifik (Daly dk
k, 1987) sehingga menghasilkan sedimen flysch di Sulawesi Barat bagian selatan
dan utara pada Kala Paleosen sampai Eosen.
Di bawah pengaruh pergerakan Lempeng Pasifik, busur vulkanik bergese
r ke arah barat dan kerak samudera menunjam ke bawah perputaran lengan Sula
wesi Utara dan di bawah Sulawesi Timur. Pada Eosen Akhir, perubahan arah ger
ak Lempeng Pasifik dari utara-baratlaut menjadi barat-baratlaut menghasilkan ba
nyak lempeng-lempeng kecil di sebelah barat Pasifik oleh transform utara-baratl
aut dan zona rekahan yang merupakan zona subduksi (Hilde dkk, 1977), diantara
nya Lempeng Filipina yang memunculkan Busur Filipina dan Sulawesi Barat (S
eno dan Maruyama, 1984). Subduksi di bagian selatan dari kerak Hindia-Austral
ia yang terperangkap dihentikan oleh tumbukan fragmen benua Australia (Buton
dan Banggai-Sula) dengan Sulawesi Timur. Buton merupakan bagian dari oroge
nesa akhir Tersier di Sulawesi, pada saat itu Sulawesi aktif membentuk sistem su
bduksi di sebelah timur. Pada Miosen Awal sistem busur kepulauan antara Austr
alia dan Pasifik mulai bertumbukan dengan paparan utara Australia sehingga me
ngakibatkan pergerakan langsung dengan sistem lempeng Pasifik/Filipina ke ara
h barat. Pada saat yang sama pemekaran Lempeng Pasifik bertambah (Hilde dkk,
1977) dan pemekaran Lempeng Caroline berhenti (Weissel dan Anderson, 197
8).
Tumbukan antara Australia Utara dan Pasifik menyebabkan terpisahnya
mikrokontinen Banggai-Sula dan Buton dari Kepala Burung dan terangkut ke ba
rat akibat rotasi Sulawesi Utara serta tarikan dari subduksi di Sulawesi Barat. Te
rjadinya magmatisma berhubungan pula dengan proses tekanan batuan di Sulaw
esi Timur akibat pergerakan ke arah barat dari mikrokontinen Banggai-Sula.
Pada Miosen Tengah fragmen Buton dan Banggai-Sula bertumbukan den
gan Sulawesi Timur dan kontaraksi dari tumbukan tersebut berakhir pada 15 juta

10
tahun yang lalu, sebagai bagian dari sabuk sesar naik yang ditutupi sedimen tak t
erdeformasi (Kundig, 1956), lalu diikuti fase sesar mendatar mengiri berarah tim
urlaut yang memotong sabuk sesar naik dan menempatkan Banggai-Sula pada ba
ratlaut. Smith (1983), mengungkapkan model kinematik yang dapat menjelaskan
evolusi tumbukan di Sulawesi Timur yaitu:
1. Tumbukan terjadi antara dua fragmen benua yang terpisah (platform
Tukangbesi dan Sula) dengan Sulawesi.
2. Penyatuan secara oblique antara platform Sula dengan Sulawesi
menghasilkan tumbukan dengan arah pergerakan ke utara diawali dari
Buton dan berakhir pada Lengan Timur Sulawesi.
Rekonstruksi tentang dinamika platform Tukangbesi dan Sula (Gambar 2.
3) menurut Smith (1983) :
1. Fragmen Tukangbesi dan fragmen Sula merupakan fragmen benua yang
berasal dari paparan utara New Guinea (Irian Jaya) (Visser dan Hermes,
1962; Hamilton, 1979). Pada Miosen Awal bertumbukan dengan muka
busur kepulauan bagian selatan (Jacques dan Robinson, 1977; Hamilton,
1979) sehingga terlepas dan bergerak ke arah barat mengikuti jalur
sesar mendatar mengiri Sorong. Australia yang bergerak ke arah utara
menuju Eurasia sejak kala Eosen (Johnson dkk, 1976; Smith dkk, 1981)
mendorong terjadinya tumbukan antara fragmen Tukangbesi dengan Buton
pada Miosen Tengah, sedangkan fragmen Sula yang terlepas lebih akhir
dibanding fragmen Tukangbesi bertumbukan dengan Sulawesi di lengan
Tenggara dan lengan Timur pada Kala Miosen Akhir.
2. Tukangbesi dan Sula merupakan fragmen yang berbeda. Tumbukan antara
fragmen Sula yang merupakan fragmen benua dengan Sulawesi di Buton
dimulai pada Miosen Tengah dan terus bergerak ke utara sehingga
bersentuhan dengan lengan Timur Sulawesi pada akhir Miosen Akhir.
Fragmen Sula bergerak ke utara dan meninggalkan batuan sedimen yang
terdeformasi kuat, membentuk jejak tumbukan. Tukangbesi yang
merupakan fragmen kerak yang belum jelas bertumbukan dengan Buton
pada Miosen Akhir, dan peristiwa ini sebagai akibat dari berlanjutnya

11
konvergensi Buton pada Miosen Tengah dan Miosen Akhir.
3. Tukangbesi dan Sula merupakan fragmen benua yang pada awalnya
bersatu. Fragmen ini bertumbukan dengan Sulawesi pada Miosen Awal di
Buton sehingga terpecah dan bagian selatannya tertinggal sebagai platform
Tukangbesi, sedangkan bagian yang lainnya terus bergerak ke utara
sebagai platform Sula.

Gambar 2. 3 Rekonstruksi dinamika mintakat Tukangbesi dan Sula (Smith, 1983).


Tumbukan antara busur kepulauan Sulawesi dan platform Banggai-Sula
menghasilkan ofiolit di lengan Timur dan lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 2.
4). Ofiolit lengan Timur Sulawesi (segmen utara) yang dihasilkan akibat tumbuk
an antara platform Sula dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai Miosen
Akhir (Hamilton, 1979; Smith, 1983), merupakan sekuen ofiolit lengkap dan um
umnya merupakan kompleks ofiolit tektonik ekstensif. Ofiolit tersebut tersingka
p di daerah Poh Head yang didominasi oleh gabro dan diabas pada bagian bawah
dari unit ofiolit di bagian utara sesar naik Batui.
Berdasarkan penanggalan radiometri K-Ar pada gabro, dolerit dan basal,
ofiolit Sulawesi Timur berumur antara 93.4±2 dan 32.2±2 yang diinterpretasikan
sebagai indikasi lantai samudera Kapur dengan gunung bawah laut berumur Eos
en atau Oligosen (Simandjuntak, 1986). Ofiolit tersebut dibentuk oleh punggung
an tengah samudra Kapur Akhir – Eosen pada koordinat 17-24 LS (Surono & Su
karna, 1995). Ofiolit Lengan Tenggara Sulawesi terdiri dari batuan ultramafik (v
an Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; Smith, 1983) dan mélange yang dipisahka
n oleh Sesar Lawanopo dengan metamorf Sulawesi Tengah serta dipisahkan oleh
Sesar Labengke dengan sedimen karbonat paparan benua Zaman Paleogen. Ofiol

12
it lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh serpentin hasburg
it (Silver dkk, 1983), hasburgit, batugamping, chert, serpih merah dan hornblend
a (Silver dkk, 1983; Endharto & Surono, 1991).
Sekuen sedimen di Lengan Timur Sulawesi terdiri dari sekuen paparan b
enua Trias – Paleogen yang terdiri dari sedimen klastik kaya karbonat dan kuars
a, sekuen sedimen laut dalam yang terdiri dari rijang dan radiolaria kaya kalsiluti
t berumur Kapur dan merupakan bagian dari ofiolit, serta sekuen sedimen klastik
post-orogenic Neogen atau tipe sedimen molasse yang diendapkan pada bagian a
tas kompleks tumbukan dan terdiri dari material yang berasal dari kompleks bas
ement benua yang dicirikan dengan kehadiran fragmen vulkanik menengah-asa
m, fragmen kuarsit, K- feldspar, muskovit, biotit serta genes dan sekuen ofiolit T
ektonik selama Miosen Tengah telah membelokan Sulawesi Barat menjadi bentu
knya saat ini dan memunculkan metamorf pada bagian leher pulaunya (Sukamto
dan Simandjuntak, 1981). Banyaknya batuan karbonat tebal di bagian selatan Sul
awesi mengindikasikan paparan yang stabil selama Eosen sampai Miosen. Kejad
ian tektonik pada Pliosen Awal merupakan tumbukan ke arah utara dari paparan
pasif Australia dengan Palung Sunda dan muka busur Banda (Audley dan Charle
s, 1981). Kontraksi arah utara-baratlaut menghasilkan zona tegasan mendatar dar
i utara Busur Banda di Sulawesi Selatan dan deformasi ini memotong sesar naik
yang lebih tua dan sesar mendatar berarah timur - timurlaut sebagai zona sesar P
alu dan Walanae. Kedua zona sesar tersebut berasosiasi dengan sesar naik dan st
ruktur ekstensional yang terletak di pusat vulkanik aktif Sulawesi (Berry dan Gra
dy, 1986) dan sesar Walanae bertanggung jawab untuk lahirnya Cekungan pull-a
part Bone dan depresi Walanae, Sulawesi Selatan. ……
2.2 Geologi Struktur

Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tenta
ng bentuk (arsitektur) batuan sebagai hasil dari proses deformasi. Adapun defor
masi batuan adalah perubahan bentuk dan ukuran pada batuan sebagai akibat dar
i gaya yang bekerja di dalam bumi. Secara umum pengertian geologi struktur ad
alah ilmu yang mempelajari tentang bentuk arsitektur batuan sebagai bagian dari
kerak bumi serta menjelaskan proses pembentukannya. Beberapa kalangan berpe

13
ndapat bahwa geologi struktur lebih ditekankan pada studi mengenai unsur-unsu
r struktur geologi, seperti perlipatan (fold), rekahan (fracture), patahan (fault), da
n sebagainya yang merupakan bagian dari satuan tektonik (tectonic unit), sedang
kan tektonik dan geotektonik dianggap sebagai suatu studi dengan skala yang leb
ih besar, yang mempelajari obyek-obyek geologi seperti cekungan sedimentasi, r
angkaian pegunungan, lantai samudera, dan sebagainya.
2.3 Proyeksi Stereografis

Gambar 2.4 Proyeksi Stereografis


Proyeksi stereografi merupakan suatu aplikasi dalam geometri yang
memproyeksikan poin bola dari lingkup utara ketitik dalam bidang bersinggungan
dengan kutub selatan. Secara intuitif, proyeksi stereografi adalah cara
membayangkan sebuah bola sebagai bidang datar sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan. Poyeksi Stereografi dalam prakteknya sering dilakukan menggunakan
komputer atau dengan tangan menggunkan jenis khusus dari kertas grafik yang
biasa disebut Stereonet atau Wulff Net dan juga Schmidtt Net.
2.3 Macam Macam Proyeksi Stereografis

Proyeksi stereografi ada beberapa macam, yaitu :


A. Equal Angle Projection
Proyeksi ini memproyeksikan setiap titik pada permukaan bola ke bidang
proyeksi pada tutuh zinith yang letaknya pada sumbu vertikal melalui pusat bola
bagian puncak. Sudut yang sama digambarkan semakin rapat ke arah pusat. Hasil
pengambaran pada bidang proyeksi disebut stereogram sedangkan hasil dari equal
angle projection adalah Wulff Net.

14
Gambar 2.5 Wulff Net
Equal Area Projection
Proyeksi ini digunakan dalam analisi data statistik karena karapatan
ploting menunjukan suatu keadaan yang sebenarnya. Proyeksi ini merupakan
poyeksi yang menghasilkan jarak titik pada bidang proyeksi yang sama dan
sebanding dengan sebenarnya. Hasil dari proyeksi ini adalah stereogram yang
disebut Schmidt Net.

Gambar 2.6 Schmidt Net


A. Orthogonal Projection
Proyeksi ini merupakan kebalikan dari equal angle projection karena pada
proyeksi ortogonal, titik-titik pada permukaan bola akan diproyeksi tegak lurus
pada bidang proyeksi dan lingkaran hasil proyeksinya akan semakin renggang ke
arah pusat. Stereogram dari proyeksi ini disebut Orthographic Net.
B. Polar Projection
Pada proyeksi ini baik unsur garis maupun bidang tergambar suatu titik.
Stereografi dari proyeksi ini adalah Polar Net. Stereografi dari proyeksi ini

15
didapatkan dari equal are projection, sehingga untuk mendapatkan proyeksi
bidang dari suatu titik pada Polar Net harus menggunakan Schmidts Net.

Gambar 2.7 Polar Net


2.4 Kekar

Kekar adalah struktur retakan/rekahan terbentuk pada batuan akibat suatu


gaya yang bekerja pada batuan tersebut dan belum mengalami pergeseran. Secara
umum dicirikan oleh:
a) Pemotongan bidang perlapisan batuan;
b) Biasanya terisi mineral lain (mineralisasi) seperti kalsit, kuarsa atau
sejenisnya
c) Kenampakan breksiasi.
Struktur kekar dapat dikelompokkan berdasarkan sifat dan karakter
retakan/rekahan serta arah gaya yang bekerja pada batuan tersebut. Kekar yang
umumnya dijumpai pada batuan adalah sebagai berikut:
1. Shear Joint (Kekar Gerus) adalah retakan / rekahan yang membentuk pola
saling berpotongan membentuk sudut lancip dengan arah gaya utama.
Kekar jenis shear joint umumnya bersifat tertutup.
2. Tension Joint adalah retakan/rekahan yang berpola sejajar dengan arah
gaya utama, Umumnya bentuk rekahan bersifat terbuka.
3. Extension Joint (Release Joint) adalah retakan/rekahan yang berpola tegak
lurus dengan arah gaya utama dan bentuk rekahan umumnya terbuka

2.5 Patahan/Sesar

16
Patahan / sesar adalah struktur rekahan yang telah mengalami pergeseran.
Umumnya disertai oleh struktur yang lain seperti lipatan atau rekahan. Adapun di
lapangan indikasi suatu sesar / patahan dapat dikenal melalui :
a. Gawir sesar atau bidang sesar
b) Breksiasi, gouge, milonit
c) Deretan mata air
d) Sumber air panas
e) Penyimpangan / pergeseran kedudukan lapisan
f) Gejala-gejala struktur minor seperti: cermin sesar, gores garis, lipatan atau
sejenisnya.
Sesar dapat dibagi kedalam beberapa jenis/tipe tergantung pada arah relatif
pergeserannya. Selama patahan/sesar dianggap sebagai suatu bidang datar, maka
konsep jurus dan kemiringan juga dapat dipakai, dengan demikian jurus dan
kemiringan dari suatu bidang sesar dapat diukur dan ditentukan.
1. Dip Slip Faults – adalah patahan yang bidang patahannya menyudut
(inclined) dan pergeseran relatifnya berada disepanjang bidang patahannya
atau offset terjadi disepanjang arah kemiringannya. Sebagai catatan bahwa
ketika kita melihat pergeseran pada setiap patahan, kita tidak mengetahui
sisi yang sebelah mana yang sebenarnya bergerak atau jika kedua sisinya
bergerak, semuanya dapat kita tentukan melalui pergerakan relatifnya.
Untuk setiap bidang patahan yang yang mempunyai kemiringan, maka
dapat kita tentukan bahwa blok yang berada diatas patahan sebagai
hanging wall block dan blok yang berada dibawah patahan dikenal sebagai
footwall block.
2. Normal Faults adalah patahan yang terjadi karena gaya tegasan tensional
horisontal pada batuan yang bersifat retas dimana hangingwall block telah
mengalami pergeseran relatif ke arah bagian bawah terhadap footwall
block.
3. Horsts & Gabens Dalam kaitannya dengan sesar normal yang terjadi
sebagai akibat dari tegasan tensional, seringkali dijumpai sesar-sesar
normal yang berpasang pasangan dengan bidang patahan yang berlawanan.

17
Dalam kasus yang demikian, maka bagian dari blok-blok yang turun akan
membentuk graben sedangkan pasangan dari blok-blok yang terangkat
sebagai horst. Contoh kasus dari pengaruh gaya tegasan tensional yang
bekerja pada kerak bumi pada saat ini adalah East African Rift Valley
suatu wilayah dimana terjadi pemekaran benua yang menghasilkan suatu
Rift. Contoh lainnya yang saat ini juga terjadi pemekaran kerak bumi
adalah wilayah di bagian barat Amerika Serikat, yaitu di Nevada, Utah,
dan Idaho
4. Half-Grabens adalah patahan normal yang bidang patahannya berbentuk
lengkungan dengan besar kemiringannya semakin berkurang kearah
bagian bawah sehingga dapat menyebabkan blok yang turun mengalami
rotasi.
5. Reverse Faults adalah patahan hasil dari gaya tegasan kompresional
horisontal pada batuan yang bersifat retas, dimana hangingwall block
berpindah relatif kearah atas terhadap footwall block.
6. Thrust Fault adalah patahan reverse fault yang kemiringan bidang
patahannya lebih kecil dari 15. Pergeseran dari sesar Thrust fault dapat
mencapai hingga ratusan kilometer sehingga memungkinkan batuan yang
lebih tua dijumpai menutupi batuan yang lebih muda
7. Strike Slip Faults adalah patahan yang pergerakan relatifnya berarah
horisontal mengikuti arah patahan. Patahan jenis ini berasal dari tegasan
geser yang bekerja di dalam kerak bumi. Patahan jenis strike slip fault
dapat dibagi menjadi 2(dua) tergantung pada sifat pergerakannya. Dengan
mengamati pada salah satu sisi bidang patahan dan dengan melihat kearah
bidang patahan yang berlawanan, maka jika bidang pada salah satu sisi
bergerak kearah kiri kita sebut sebagai patahan left-lateral strike-slip fault.
Jika bidang patahan pada sisi lainnya bergerak ke arah kanan, maka kita
namakan sebagai right-lateral strikeslip fault. Contoh patahan jenis strike
slip fault yang sangat terkenal adalah patahan San Andreas di California
dengan panjang mencapai lebih dari 600 km
8. Transform-Faults adalah jenis patahan strike-slip faults yang khas terjadi

18
pada batas lempeng, dimana dua lempeng saling berpapasan satu dan lain
nya secara horisontal. Jenis patahan transform umumnya terjadi di pemat
ang samudra yang mengalami pergeseran (offset), dimana patahan transf
orm hanya terjadi diantara batas kedua pematang, sedangkan dibagian lua
r dari kedua batas pematang tidak terjadi pergerakan relatif diantara kedu
a bloknya karena blok tersebut bergerak dengan arah yang sama. Daerah
ini dikenal sebagai zona rekahan (fracture zones). Patahan San Andreas d
i California termasuk jenis patahan transform fault
2.3 Lipatan

Pengertian lipatan (fold) adalah suatu gelombang pada lapisan tanah yang
terjadi karena adanya diatropisme. Proses diatropisme merupakan suatu proses
pembentukan pada lapisan bumi yang tidak dicampuri oleh aktivitas vulkanisme.
Lipatan juga dapat diartikan sebagai suatu struktur geologi yang sering dijumpai
pada batuan sedimen

2.3.1 Macam – Macam Lipatan

Lipatan dapat dibagi kedalam beberapa bentuk, Lipatan ini yaitu:


1. Lipatan tegak, Lipatan ini disebut juga dengan symmetric fold. Sesuai
dengan namanya, posisi bidang sumbu lipatan ini tegak lurus terhadap
bidang lipatan. Bidang sumbu juga membagi antiklin dan sinklin sama besar
atau simetris.
2. Lipatan miring, Lipatan miring merupakan lipatan tegak yang mendapat
tekanan terus- menerus sehingga bentuknya tidak lagi tegak melainkan
miring ke salah satu sisi. Lipatan ini dikenal juga dengan sebutan
asymmetric fold.
3. Lipatan menggantung, Lipatan ini adalah kelanjutan dari lipatan miring
yang terus mendapat dorongan. Sesuai dengan namanya, lipatan ini
mempunyai puncak yang menggantung.
4. Lipatan isoklinal, Isoclinal fold mempunyai bidang sumbu yang sejajar satu
dengan yang lainnya. Lipatan ini disebabkan oleh adanya dorongan yang
terjadi secara berkelanjutan.

19
5. Lipatan rebah, Lipatan ini disebut juga overtuned fold. Puncak lipatan rebah
berbentuk landai seperti suatu benda yang merebah. Penyebabnya adalah
adanya dorongan secara melintang yang berasal dari satu arah saja.
6. Lipatan sesar sungkup, Lipatan ini merupakan kelanjutan dari lipatan rebah
yang terus menerus mendapat tekanan. Nama lain lipatan sesar sungkup
adalah overthrust. Jika lapisan tanah yang mengalami lipatan sesar sungkup
tidak cukup elastis, maka akan terjadi patahan.

Gambar 2.8 Macam – Macam Lipatan


2.3.2 Unsur Geometri Lipatan

1. Antiklin atau dikenal juga dengan sebutan punggung lipatan, adalah unsur
geometri lipatan yang memiliki permukaan cembung (conveks) dengan arah
cembungan ke atas. Bagian ini mempunyai 2 buah limb yang arah
kemiringannya berlainan dan saling menjauh satu dengan yang lainnya.
Dibagian tengah antiklin terdapat core atau inti antiklin.
2. Sinklin atau atau dikenal juga dengan sebutan lembah lipatan, yakni unsur
geometri lipatan yang memiliki permukaan cekung (konkav) dengan arah
cekungan ke atas. Bagian ini mempunyai 2 buah limb yang arah kemiringan
yang saling mendekat. Dibagian tengah antiklin terdapat core atau inti
sinklin.
3. Limb atau sayap, ialah bidang miring yang membangun struktur sinklinal atau
antiklinal. Limb juga dapat diartikan sebagai bagian dari lipatan yang
posisinya menurun mulai dari lengkungan maksimal sebuah antiklinal
sampai lengkungan maksimal suatu sinklinal. Limb memiliki bentuk yang
panjang dari axial plane pada suatu lipatan ke axial plane pada lipatan

20
lainnya. Terdapat dua jenis limb yakni back limb yakni sayap yang landai
dan fore limb yaitu sayap yang curam pada lipatan simetris.
4. Axial plane ialah suatu bidang yang memotong puncak suatu lipatan. Karena
perpotongan tersebut maka bagian samping dari suatu lipatan menjadi
kurang simetris.
5. Axial surface atau hinge surface, merupakan bidang imajiner yang mana
terdapat semua axial line dari suatu lipatan.
6. Crest adalah suatu garis yang menghubungkan titik-titik tertinggi dari sebuah
lipatan pada satu bidang yang sama. Crest mempunyai sebutan lain yakni
hinge line Garis ini mempunyai letak pada bagian tertinggi dari sebuah
lipatan. Crest terbentuk pada crestal plane. Crestal plane ini merupakan
suatu bidang pada lipatan.
7. Through ialah suatu garis yang menghubungkan titik-titik paling rendah dari
bidang yang sama. Through merupakan kebalikan dari crest. Garis ini
teretak pada bagian paling rendah dari sebuah lipatan. Through terbentuk
pada suatu bidang pada lipatan yang disebut dengan trough line.
8. Pluge merupakan sebuah sudut yang terbentuk karena adanya pertemuan
poros dengan garis horizantal pada suatu bidang vertikal.
9. Inflection point ialah suatu titik yang mana terjadi perubahan pada sebuah
lengkungan yang masih termasuk bagian dari limb.
10. Wavelenght atau disebut juga dengan half, merupakan jarak antara dua buah
inflection point.
11. Core merupakan bagian dari sebuah lipatan yang posisinya berada disekitar
sumbu lipatan.
12. Depresion adalah daerah paling rendah dari puncak sebuah lipatan.

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode eksplorasi


permukaan yang meliputi pengambilan data pada stasiun-stasiun yang dilalui pada
daerah penelitian. Serta digunakan metode yang umumnya dilakukan untuk
pengambilan data yaitu pengambilan data strike/dip dan juga metode pengamatan
yang mencakup penggambaran keadaan singkapan, data litologi, data
geomorfologi dan data struktur sedimen yang disertai pengambilan foto.
3.2 Tahapan Penelitian

1. Tahap Persiapan

Tahap ini merupakan tahap persiapan sebelum melakukan penelitian dan


pengambilan data di lapangan, meliputi studi regional termasuk studi literatur
mengenai karakteristik data geologi secara langsung di lapangan sehingga
mempermudah dalam kegiatan penelitian serta penyediaan segala kelengkapan
untuk penelitian di lapangan. Dalam tahap ini, juga dilakukan pengurusan
administrasi persuratan meliputi surat perizinan kegiatan penelitian yang
ditujukan kepada beberapa pihak, yang terdiri atas pengurusan perizinan kepada
pihak Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin. Selain itu tahap persiapan ini meliputi tahap pengadaan
perlengkapan peralatan dan bahan yang akan digunakan. Dalam hal ini
perlengkapan terdiri dari perlengkapan pribadi, kelompok, dan angkatan yang
bertujuan untuk mempermudah dan melancarkan kegiatan penelitian tersebut.
2. Tahap Penelitian Lapangan

Pada tahap penelitian lapangan dilakukan proses pengambilan data baik


untuk data struktur bidang ataupun pada buku lapangan, foto dan pengambilan
sampel pada tiap lapisan.

22
3. Tahap Pengolahan Data

Tahap pengolahan data ini dilakukan setelah pengambilan data lapangan


dilakukan. Tahapan ini meliputi pengolahan data berupa jumlah struktur, jenis
struktur, dan nilai tegasan.
4. Tahap Analisis Data Lapangan

Data-data lapangan selanjutnya diolah untuk dianalisis dan interpretasi


lebih lanjut . Data tersebut mencakup data strike/dip dan sketsa.
5. Tahap Penyusunan Laporan

Pengolahan data akhir, yaitu data yang telah diperoleh, dianalisis secara
detail dan diinterpretasi serta dilakukan penarikan kesimpulan mengenai kondisi
geologi daerah penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan pembuatan, laporan, , dan
table data lapisan. Tahapan ini merupakan akhir dari penelitian yang diharapkan
dapat memberikan informasi dan penjelasan mengenai tatanan geologi daerah
penelitian yang disusun secara sistematis dalam bentuk tulisan ilmiah berupa
laporan lapangan.

Tahap Persiapan

Tahap Penelitian Lapangan

Tahap Pengolahan Data

Tahap Analisis Data


Lapangan

Tahap Penyusunan
Laporan

Gambar 3.1 Diagram Alir

23
24
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Sukendar. 1979. Dasar-Dasar Geologi Struktur. Departemen Teknik


Geologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung
Balfas, Muhammad Dahlan. 2015. Geologi Untuk Pertambangan Umum.
Yogyakarta : Graha Ilmu
Noor, Djauhari., 2009, Pengantar Geologi. Bogor. Program Studi Teknik Geologi
Fakultas Tekni Universitas Pakuan.

25

Anda mungkin juga menyukai