Anda di halaman 1dari 141

SKRIPSI

GEOLOGI DAN PETROGENESA BATUAN GABRO


DAERAH RANTE BALLA KECAMATAN LATIMOJONG
KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN

Disusun dan diajukan oleh

FERDIANSYAH SEPTIAWAN ASNAWI


D061171001

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022

i
ii
iii
SARI

Secara administratif daerah penelitian termasuk dalam wilayah Daerah Rante


balla Kecamatan Latimojong Provinsi Sulawesi Selatan dan secara geografis terletak
pada koordinat 120° 7' 00" BT - 120° 10' 00" BT dan 3° 19' 00" LS - 3° 23' 00" LS.
Penelitian dengan judul “Geologi dan Petrogenesa Batuan Gabro Daerah Rante Balla
Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan” dimaksudkan
untuk membuat peta dengan skala 1:25.000 yang mencakup kondisi geomorfologi,
stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi serta bahan galian pada daerah penelitian
dan mengetahui petrogenesa batuan gabro. Metode penelitian yang dilakukan adalah
penelitian lapangan dan penelitian laboratorium yang mencakup analisis petrografis dan
analisis geokimia menggunakan XRF.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa satuan
geomorfologi daerah penelitian terdiri atas satuan geomorfologi perbukitan denudasional
denudasional dan satuan gemorfologi satuan pegunungan denudasional. Sungai yang
berkembang pada daerah penelitian adalah sungai periodik. Tipe genetik sungai daerah
penelitian yaitu tipe genetik insekuen, subsekuen dan obsekuen. Pola aliran sungai
dendritik. Berdasarkan aspek-aspek geomorfologi dapat disimpulkan bahwa stadia sungai
dan stadia daerah termasuk stadia muda menjelang dewasa. Stratigrafi daerah penelitian
berdasarkan litostratigrafi tidak resmi dari tua ke muda terdiri atas; satuan batusabak,
satuan basal, dan satuan gabro. Struktur geologi yang dijumpai yaitu kekar. Bahan galian
pada daerah penelitian termasuk golongan bahan sirtu (pasir dan batu).
Berdasarkan analisis geokimia, berupa komposisi dari SiO2 dan Na2O + K2O
dalam klasifikasi yang didasarkan atas perbandingan silica versus alkali maka batuan
gabro penyusun daerah penelitian adalah Gabbro dan Gabbroic Diorite. Afinitas magma
termasuk dalam Tholeiite Series. Berdasarkan hasil pengolahan data geokimia pada
mayor element, batuan gabro pada daerah penelitian terbentuk pada lingkungan tektonik
Ocean Island dan Ocean Ridge and Floor.

Kata kunci: Geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, petrogenesa,


gabro

iv
ABSTRACT

Administratively, research area was located in Rante Balla Region, Latimojong


District, South Sulawesi Province and is located at coordinates 120° 7 00"-120° 10' 00"
Longitude and 3° 19' 00"-3° 23' 00" Latitude. Research with the title "Geology and
Petrogenesis of Gabbro in Rante Balla Area Latimojong District, Luwu Regency, South
Sulawesi Province to make a map with a scale of 1:25,000 which includes
geomorphological conditions, stratigraphy, geological structures, geological history, as
well as excavated materials in the research area and to determine the petrogenesis of
gabbro rocks. Research methods used were field observation and laboratory
observation that consist of petrographic analysis and geochemical analysis using XRF.
Based on the anaysis we have made, the conclusions of this reasearch is: the
geomorphological unit of the research area consists of a denudational hills
geomorphological unit and denudasional mountains geomorphological unit. The river
that develops in the research area is a periodic river. The genetic type of the river in the
research area, namely the genetic type of insequent, subsequent and obsequent.
Dendritic river flow pattern. Based on the geomorphological aspects, it can be
ascertained that the river stadia and regional stadia are young to mature. The
stratigraphy of the research area based on unofficial lithostratigraphy consist from old
to young unit is; slate stone units, basalt units, and gabbro units. The geological
structure found is joint. Excavated materials in the research area are classified as sirtu
materials (sand and stones).
Based on geochemical analysis, in the form of the composition of SiO2 and Na2O -
K2O in a classification based on the ratio of silica versus alkali, the gabbro rocks that
make up the research area are Gabbro and Gabroic Diorite. Magma affinity belongs to
the Tholeiit Series. Based on geochemical data processing on major elements, gabbro
rocks in the study area were formed in the tectonic environment of Ocean Island and
Ocean Ridge and Floor.

Keywords: Geomorphology, stratigraphy, geological structure, geological history,


petrogenesis, gabbro

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Tiada untaian kata yang lebih indah selain ucapan syukur kehadirat Allah

SWT. Yang telah melimpahkan karunia, taufik, hidayah serta inayah-Nya

sehingga skripsi yang berjudul “Geologi Dan Petrogenesa Batuan Gabro

Daerah Rante Balla Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu Provinsi

Sulawesi Selatan” dapat terselesaikan. Tidak pula senantiasa kita panjatkan

salawat serta salam kepada junjungan dan panutan kita Nabi Muhammad SAW.

Dalam tahapan penyelesaian skripsi ini, tidak lepas dari berbagai kendala yang

menghambat penyusunan. Namun, berkat bantuan, motivasi dan semangat dari

berbagai pihak, sehingga kendala dan halangan tersebut dapat teratasi. Untuk itu

pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Rer. Nat. Ir. A. M. Imran sebagai pembimbing utama dalam

penelitian ini yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan

dalam penelitian ini.

2. Bapak Safruddim, S. T., M. Eng selaku pembimbing pendamping dalam

penelitian ini yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan

dalam penelitian ini.

3. Bapak Dr. Ir. H. Hamid Umar MS dan Bapak Dr. Adi Tonggiroh, S. T., M.

T. Sebagai dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan demi

perbaikan laporan penelitian kedepannya.

4. Bapak Dr. Eng. Hendra Pachri, S. T., M. Eng selaku Ketua Departemen

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Unversitas Hasanuddin.

vi
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Departemen Teknik Geologi Universitas

Hasanuddin atas segala ilmu yang bermanfaat yang telah diberikan.

6. Seluruh Staf Departemen Teknik Geologi Universitas Hasanuddin yang

telah banyak memberikan bantuan demi kelancaran pengurusan administrasi

dan kebutuhan dalam penelitian ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa geologi terutama angkatan 2017 atas segala

kebersamaan, dukungan dan bantuannya.

8. Bapak Kepala Desa Rante Balla yang telah memberikan kesempatan

bermukim sementara selama pengambilan data lapangan.

9. Seluruh Anggota Himpunan Mahasiswa Geologi Fakultas Teknik

Universitas Hasanuddin (HMG FT-UH) atas segala pembelajaran sebagai

seorang Mahasiswa.

10. Saudara-saudaraku di Satuan Komando Lapangan Badan Eksekutif

Himpunan Mahasiswa Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin

(SKL BE HMG FT-UH) untuk segala kebersamaan yang telah dilalui

selama proses pembelajaran dalam peningkatan kemampuan lapangan.

11. Terkhusus kepada Ayahanda Alm. Asnawi Magani, S. E dan Dra. Mas

Intang atas segala pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis dengan

segala ketulusan hati. Serta saudara (i) dan seluruh keluarga atas segala

cinta, do’a dan segala bantuan moril dan materil yang senantiasa tercurah

kepada penulis.

12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas segala bantuan

dan dorongan yang telah diberikan selama ini.

vii
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

belum mendekati kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan

koreksi dan saran yang sifatnya membangun sebagai bahan masukan yang

bermanfaat demi perbaikan dan peningkatan diri dalam bidang ilmu pengetahuan.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan

sumbangsih pemikiran untuk perkembangan pengetahuan bagi penulis maupun

bagi pihak yang berkepentingan.

Wasalamu’alaikum Wr.Wb.

Gowa, Mei 2022

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
SARI........................................................................................................................ii
ABSTRACT............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI........................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xii
DAFTAR FOTO..................................................................................................xiv
DAFTAR TABEL...............................................................................................xvii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Tujuan Penelitian...................................................................................2
1.3 Batasan Masalah....................................................................................3
1.4 Letak, Waktu dan Kesampaian Daerah.................................................3
1.5 Manfaat Penelitian.................................................................................4
1.6 Alat dan Bahan......................................................................................5
1.7 Peneliti terdahulu...................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................8
2.1 Geomorfologi Regional.........................................................................8
2.1.1 Sungai....................................................................................................9
2.1.2 Jenis Sungai...........................................................................................9
2.1.3 Jenis Endapan Sungai............................................................................9
2.1.4 Pola Aliran Sungai...............................................................................10
2.1.5 Tipe Genetik Sungai............................................................................10
2.1.6 Stadia Sungai dan Stadia Daerah.........................................................10
2.2 Stratigrafi Regional..............................................................................12
2.3 Struktur Geologi Regional...................................................................13
2.4 Magma.................................................................................................17
2.4.1 Evolusi Magma....................................................................................18

ix
2.4.2 Diferensiasi Magma.............................................................................19
2.4.3 Komposisi Magma...............................................................................21
2.5 Lingkungan Tektonik..........................................................................23
2.6 X-Ray Flourescence (XRF)..................................................................26
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................29
3.1 Persiapan..............................................................................................29
3.2 Pengambilan Data................................................................................30
3.3 Analisis Data.......................................................................................32
3.4 Penyusunan Laporan............................................................................33
BAB IV GEOLOGI DAERAH PENELITIAN..............................................35
4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian.........................................................35
4.1.1 Satuan Geomorfologi...........................................................................35
4.1.1.1 Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional.................................40
4.1.1.2 Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional...............................45
4.1.2 Sungai..................................................................................................49
4.1.2.1 Jenis Sungai.........................................................................................49
4.1.2.2 Pola Aliran Sungai...............................................................................50
4.1.2.3 Tipe Genetik Sungai............................................................................51
4.1.2.3 Stadia Sungai.......................................................................................54
4.1.3 Stadia Daerah.......................................................................................55
4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian...............................................................56
4.2.1 Satuan Slate.........................................................................................57
4.2.1.1 Dasar Penamaan...................................................................................58
4.2.1.2 Penyebaran dan Ketebalan...................................................................58
4.2.1.3 Ciri Litologi.........................................................................................59
4.2.1.4 Umur dan Lingkungan Pembentukan...................................................60
4.2.1.5 Hubungan Stratigrafi............................................................................63
4.2.2 Satuan Basal........................................................................................63
4.2.2.1 Dasar Penamaan...................................................................................64
4.2.2.2 Penyebaran dan Ketebalan...................................................................64
4.2.2.3 Ciri Litologi.........................................................................................65

x
4.2.2.4 Umur dan Lingkungan Pembentukan...................................................66
4.2.2.5 Hubungan Stratigrafi............................................................................67
4.2.3 Satuan Gabro.......................................................................................67
4.2.3.1 Dasar Penamaan...................................................................................68
4.2.3.2 Penyebaran dan Ketebalan...................................................................68
4.2.3.3 Ciri Litologi.........................................................................................69
4.2.3.4 Umur dan Lingkungan Pembentukan...................................................70
4.2.3.5 Hubungan Stratigrafi............................................................................71
4.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian.....................................................71
4.4 Mekanisme Struktur Geologi Daerah Penelitian.................................77
4.5 Sejarah Geologi Daerah Penelitian.......................................................79
4.6 Indikasi Bahan Galian daerah Penelitian.............................................80
4.7 Pemanfaatan Bahan Galian daerah Penelitian.....................................80
BAB V PETROGENESA BATUAN GABRO.............................................83
5.1 Petrologi dan Petrografi Batuan Gabro...............................................83
5.2 Geokimia Batuan Gabro......................................................................86
5.3 Penamaan Batuan................................................................................86
5.4 Jenis dan Afinitas Magma...................................................................88
5.5 Evolusi Magma....................................................................................89
5.6 Petrogenesa dan Geotektonik Batuan..................................................91
BAB VI PENUTUP..........................................................................................94
6.1 Kesimpulan..........................................................................................94
6.2 Saran....................................................................................................95
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................96

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi penelitian.............................................................4


Gambar 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Dalam Sebagian Peta Geologi Regional
daerah penelitian pada Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar
Palopo, Sulawesi Selatan (Djuri, dkk 1998)...................................12
Gambar 2. 2 Peta Geologi Sulawesi dan tatanan tektoniknya (Hall & Wilson,
2000)...............................................................................................16
Gambar 2.3 Proses diferensiasi magma Crystallization and settling..................20
Gambar 2.4 Kisaran komposisi (persen berat) jenis batuan beku dan dibedakan
menjadi tiga kelompok utama jenis magma yang ada dibumi (Flint,
1977)...............................................................................................22
Gambar 2.5 Jenis-jenis tatanan tektonik batuan beku (Wilson, 1989)...............26
Gambar 3.1 Diagram alir metode penelitian.......................................................34
Gambar 4.1 Pola aliran sungai paralel pada daerah penelitian...........................51
Gambar 4.2 Diagram fasies metamorfisme yang memperlihatkan hubungan
antara temperatur dan tekanan menurut Yardley (1989) yang
perbaharui oleh Liou, dkk (2001)...................................................62
Gambar 4.3 Ilustrasi skema penampang fasies metamorfisme pada busur
kepulauan (Ernst, 1976)..................................................................62
Gambar 4.4 Tipe – tipe dasar kekar berdasarkan bentuknya (Mc Clay,1987) 73
Gambar 4.5 Pengolahan data kekar: (a) plot data kekar pada stereonet (Shcmidt
Net); (b) pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) tegasan
maksimum (σ1), tegasan menengah (σ2) dan tegasan
mininmum(σ3)
........................................................................................................77
Gambar 4.6 Mekanisme terjadinya sesar, berdasarkan sistem Reidel, modifikasi
dari Teori Harding (1974) dalam Mc Clay (1987).........................78
Gambar 4.7 Mekanisme pembentukan struktur pada daerah penelitian.............78
Gambar 5.1 Hasil plotting major element (SiO2 vs Na2O + K2O) pada klasifikasi
batuan beku plutonik (Middlemost, 1994)......................................87
Gambar 5.2 Plotting data afinitas batuan gabro daerah penelitian (diagram
menurut Peccerillo dan Taylor, 1976) menunjukan Tholeiite series .
........................................................................................................89

xii
Gambar 5.3 Hasil plotting Al2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O, TiO2 dan Fe2O3
terhadap SiO2 pada diagram variasi (Harker, 1909 dalam Rollinson,
1993)...............................................................................................91
Gambar 5.4 Diagram Fe2O3 vs MgO vs Al2O3, untuk batuan ultrabasa dan basa
merujuk pada Pearce et al, 1977, dimana tektonik setting
pembentukan batuan terletak pada Ocean Island dan Ocean Ridge
and Floor........................................................................................92
Gambar 5.5 Lingkungan tektonik pembentukan batuan gabro pada daerah
penelitian (Wilson, 1989)................................................................93

xiii
DAFTAR FOTO

Halaman

Foto 4.1 Satuan morfologi perbukitan denudasional pada daerah penelitian


ditandai dengan adanya hasil erosi pada lereng bukit (x) yang
difoto ke arah N 25° E....................................................................40
Foto 4.2 Residual soil yang dijumpai pada stasiun 29 dengan arah
pengambilan foto N 78o N..............................................................41
Foto 4.3 Residual soil yang dijumpai pada stasiun 26 dengan arah foto N 52o
E......................................................................................................42
Foto 4.4 Kenampakan foto gully erosion (erosi saluran) pada stasiun 51 yang
difoto ke arah N 257o E...................................................................42
Foto 4.5 Salah satu jenis gerakan tanah yang dijumpai pada stasiun 6 berupa
debris slide (luncuran batuan bercampur dengan tanah) dengan arah
foto N 111° E..................................................................................43
Foto 4.6 Kenampakan point bar (x) di Sungai Rante Balla. Foto diambil pada
stasiun 43 dengan arah foto N 198° E............................................44
Foto 4.7 Kenampakan channel bar (x) di Sungai Rante Balla. Foto diambil
pada stasiun 52 dengan arah foto N 135° E....................................44
Foto 4.8 Penggunaan lahan sebagai pemukiman dan perkebunan cengkeh di
sekitar Desa Rante Balla dengan arah pengambilan foto N 25° E.
45
Foto 4.9 Satuan morfologi pegunungan denudasional pada daerah penelitian
ditandai dengan adanya erosi (x) yang difoto ke arah N 265° E 45
Foto 4.10 Residual soil yang dijumpai pada stasiun 36 dengan arah foto N
262o E..............................................................................................46
Foto 4.11 Singkapan basal yang telah mengalami pelapukan fisika pada stasiun
30 dengan arah pengambilan foto N 53°E......................................47
Foto 4.12 Kenampakan foto gully erosion (erosi saluran) pada stasiun 51 yang
difoto ke arah N 257o E...................................................................48
Foto 4.13 Salah satu jenis gerakan tanah yang dijumpai pada stasiun 33 berupa
debris slide (luncuran batuan bercampur dengan tanah) dengan arah
foto N 105° E..................................................................................48
Foto 4.14 Kenampakan sungai periodik pada anak sungai Rante Balla pada
stasiun 48, lebar sungai ±4 meter dengan arah aliran N 210o E.
Arah foto N 210o E.........................................................................50

xiv
Foto 4.15 Kenampakan Sungai Rante Balla dengan tipe genetik insekuen. Foto
diambil pada stasiun 52 dengan arah foto N 10° E.........................52
Foto 4.16 Kenampakan anak Sungai Tuara dengan tipe genetik subsekuen
dengan kedudukan batuan N 5° E/31°. Foto diambil pada stasiun 15
dengan arah foto N 90° E................................................................53
Foto 4.17 Kenampakan anak Sungai Tuara dengan tipe genetik obsekuen
dengan kedudukan batuan N 308° E/ 46°. Foto diambil pada stasiun
16 dengan arah foto N 270° E.........................................................53
Foto 4.18 Kenampakan anak Sungai Tuara dengan penampang sungai
berbentuk “V” pada stasiun 15, difoto arah N 248° E....................54
Foto 4.19 Kenampakan sungai Rante Balla dengan penampang sungai
berbentuk “U” pada stasiun 44, difoto arah N 150° E....................55
Foto 4.20 Kenampakan slate pada stasiun 17 diambil dengan arah foto N
240°E..............................................................................................59
Foto 4.21 Kenampakan mikroskopis slate pada stasiun 21. Komposisi mineral
terdiri dari mineral lempung (Ml), kuarsa (Qz) dan mineral opaque
(Opq)...............................................................................................60
Foto 4.22 Kenampakan basal pada stasiun 5 diambil dengan arah foto N 170°
E......................................................................................................65
Foto 4.23 Kenampakan mikroskopis basal pada stasiun 22. Komposisi mineral
terdiri dari massa dasar (Gm), plagioklas (Pl), Piroksin (Prx), dan
mineral opaque (Opq).....................................................................66
Foto 4.24 Kenampakan gabro pada stasiun 3 diambil dengan arah foto N 62°
E......................................................................................................69
Foto 4.25 Kenampakan mikroskopis gabro pada stasiun 2. Komposisi mineral
terdiri dari bitownit (Pl), augit (Aug), diopsid (Di), dan mineral
opaque (Opq)..................................................................................70
Foto 4.26 Kekar tidak sistematik dari singkapan basal pada stasiun 13 dengan
arah pengambilan foto N 220° E....................................................74
Foto 4.27 Kenampakan potensi bahan galian sirtu di Sungai Rante Balla pada
stasiun 52........................................................................................81
Foto 4.28 Kenampakan potensi bahan galian gabro pada stasiun 2................82
Foto 5.1 Kenampakan gabro pada stasiun ST-01 diambil dengan arah foto N
260° E.............................................................................................83

xv
Foto 5.2 Kenampakan mikroskopis gabro pada stasiun 1. Komposisi mineral
terdiri dari bitownit (Pl), augit (Aug), diopsid (Di), dan mineral
opaque (Opq)..................................................................................84
Foto 5.3 Kenampakan gabro pada stasiun ST-53 diambil dengan arah foto N
260° E.............................................................................................85
Foto 5.4 Kenampakan mikroskopis gabro pada stasiun 1. Komposisi mineral
terdiri dari plagioklas (Pl), augit (Aug), diopsid (Di), dan mineral
opaque (Opq)..................................................................................86

xvi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Ciri-ciri seri magma yang berasosiasi dengan tatanan tektonik
khusus (Wilson 1989).....................................................................18
Tabel 4.1 Klasifikasi satuan bentangalam berdasarkan genetik pada sistem
ITC (Van Zuidam, 1985)................................................................37
Tabel 4.2 Urutan fasies metamorfisme beserta kumpulan mineral penciri serta
batuan asalnya menurut Yardley (1989).........................................60
Tabel 4.3 Data kekar yang diukur pada stasiun 13.........................................74
Tabel 4.4 Hasil Analisis Kekar pada stasiun 13.............................................76
Tabel 5.1 Hasil uji nilai unsur oksida mayor pada daerah penelitian (Lab.
Geokimia PT. Jasa Mutu Mineral Indonesia).................................86
Tabel 5.2 Komposisi SiO2 (wt%) versus Na2O + K2O (wt%) pada setiap
batuan..............................................................................................87
Tabel 5.3 Klasifikasi magma berdasarkan kandungan SiO2 (%) atau derajat
keasaman (Le Maitre et al., 1989 dalam Rollinson, 1993).............88

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Geologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari

tentang bumi, mulai dari asal, struktur, komposisi, sejarah (termasuk

perkembangan kehidupan) dan proses alami yang telah ada dan sedang

berlangsung, yang mempengaruhi kondisi bumi hingga saat ini. Geologi menelaah

segala sesuatu yang mencakup gejala, proses dan unsur- unsur geologi yang

ditunjukkan di permukaan bumi. Salah satu metode penelitian untuk memahami

karakteristik geologi suatu daerah yaitu dengan melakukan suatu pemetaan

geologi.

Pemetaan geologi merupakan salah satu metode pengaplikasian ilmu-ilmu

geologi yang telah dipelajari sebelumnya, yang pada akhirnya menghasilkan suatu

output berupa peta yang memberikan informasi mengenai kondisi geologi suatu

daerah. Pemetaan geologi pada Kabupaten Luwu telah banyak dilakukan oleh ahli

geologi, namun masih bersifat regional. Maka dari itu diperlukan suatu pemetaan

yang lebih detail untuk mengetahui kondisi geologi di daerah tersebut yang

mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan aspek geologi

lainnya.

Geokimia adalah ilmu yang mempelajari kandungan unsur dan isotop dalam

lapisan bumi, terutama yang berhubungan dengan kelimpahan (abundant),

penyebaran serta hukum-hukum yang mengaturnya. Secara terperinci studi

geokimia mempelajari jumlah dan penyebaran dari unsur-unsur kimia di dalam

mineral, batuan, cebakan, tanah, air tanah dan di atmosfer serta daur dari unsur-
1
unsur kimia di alam berdasarkan sifat-sifat atom atau ionnya. Dengan mengetahui

kandungan unsur serta karakteristik petrologi dan petrografi suatu batuan beku

kita dapat mengetahui evolusi magma, jenis dan afinitias magma, serta

petrogenesa batuan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian pada Daerah

Rante Balla, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi

Selatan. Penelitian yang dilakukan berupa pemetaan geologi berskala 1:25.000

dan studi petrogenesa batuan gabro pada daerah penelitian. Informasi geologi dan

geokimia yang diperoleh diharapkan dapat memenuhi kebutuhan data geologi dan

geokimia daerah yang bersangkutan, terutama untuk pengembangan daerah

setempat.

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui kondisi geologi daerah penelitian, yang meliputi aspek

geomorfologi, tatanan stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, dan

potensi bahan galian pada Daerah Rante Balla Kecamatan Latimojong

Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Mengetahui nilai kadar senyawa oksida mayor (SiO2, TiO2, AlO2, Fe2O3,

FeO, MnO, MgO, CaO, Na2O, K2O, H2O+, dan P2O5) pada batuan gabro

untuk penentuan nama batuan secara geokimia, jenis dan afinitas magma,

evolusi magma dan petrogenesa batuan di daerah penelitian.

2
1.3 Batasan Masalah

Pada penelitian ini penulis membatasi masalah pada daerah penelitian

berdasarkan pengamatan pada aspek-aspek geologi yang terpetakan pada skala

: 25.000, identifikasi jenis dan afinitas magma, penamaan batuan gabro, evolusi

magma serta petrogenesa batuan gabro Daerah Rante Balla Kecamatan

Latimojong Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan

metode analisis XRF dan sayatan tipis dengan menggunakan analisis petrografi.

1.4 Letak, Waktu dan Kesampaian Daerah

Secara administratif daerah penelitian termasuk dalam wilayah Daerah

Rante Balla Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan.

Secara geografis terletak pada koordinat 120° 7' 00" BT - 120° 10' 00" BT dan 3°

19' 00"

LS - 3° 23' 00" LS.

Daerah penelitian termasuk dalam Lembar Bonelemo, Nomor 2112 – 41,

Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi

Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Edisi I Tahun 1991 (Cibinong,

Bogor).

Luas daerah penelitian mencakup wilayah kurang lebih + 31 km2 yang

dihitung dari peta topografi daerah penelitian skala 1 : 25.000 yang diperbesar dari

Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 Lembar Bonelemo, Nomor 2112 – 41

yang diterbitkan oleh Bakosurtanal Tahun 1991. Daerah penelitian berjarak

kurang lebih 367 Km dari Kota Makassar menuju Desa Rante Balla Kabupaten

3
Luwu dan dapat ditempuh menggunakan transportasi darat dengan waktu tempuh

+ 8 jam.

4
Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi penelitian

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat pada penelitian ini yakni memberikan pengembangan

ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu geologi yang berkaitan dengan kadar

unsur pada batuan daerah penelitian serta kondisi geologi pada daerah penelitian.

5
1.6 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan selama kegiatan penelitian ini terbagi

dalam dua kategori yakni alat yang digunakan pada saat di lapangan dan alat yang

digunakan pada saat analisa laboratorium. Alat yang digunakan pada saat di

lapangan, yaitu;

1. Peta Topografi berskala 1 : 25.000 yang merupakan hasil pembesaran dari

peta rupa bumi skala 1 : 50.000 terbitan Bakosurtanal.

2. Kompas Geologi

3. Palu Geologi

4. Global Positioning System (GPS)

5. Loupe dengan pembesaran 10x

6. Komparator

7. Pita Meter

8. Buku catatan lapangan

9. Kantong sampel

10. Larutan HCl (0,1 M)

11. Kamera digital

12. Alat tulis menulis

13. Clipboard

14. Ransel lapangan

15. Busur dan Penggaris

16. Roll meter

17. Perlengkapan pribadi

6
Alat dan bahan yang digunakan selama analisis laboratorium adalah sebagai

berikut :

1. Mikroskop polarisasi untuk analisis petrografi

2. Sampel

3. Preparat

4. Album Mineral Optik

5. Tabel Michael Levy

6. Kamera digital

7. Alat tulis menulis

8. Kertas A4

9. Sayatan tipis batuan

10. Literatur

1.7 Peneliti terdahulu

Peneliti terdahulu yang pernah mengadakan penelitian yang sifatnya

regional diantaranya sebagai berikut :

 Djuri, 1998 Geologi lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo,
Geol. Res. and Dev. Centre, Bandung
 Sarasin (1901), melakukan penelitian geografi dan geologi di Pulau
Sulawesi.
 Van Bemmelen (1949), meneliti tentang Evolusi zaman Tersier dan
Kwarter Sulawesi bagian Selatan.
 Rab Sukamto (1975), penelitian perkembangan tektonik sulawesi dan

sekitarnya yang merupakan sistem sintesis berdasarkan tektonik lempeng.

7
 Sartono Astadireja (1981), mengadakan penelitian geologi Kuarter

Sulawesi Selatan dan Tenggara.

 Sukamto dan Simanjuntak (1983) membahas tentang perkembangan

daerah Sulawesi dan sekitarnya yang ditinjau dari aspek sedimentologi.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geomorfologi Regional

Tinjauan Geomorfologi regional daerah penelitian termasuk dalam wilayah

Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo, Sulawesi Selatan

dengan koordinat 118o45’00” – 120o30’00” BT dan 3o00’00” – 4o00’00” LS yang

meliputi Kabupaten Pare – Pare, Sidrap, Wajo, Pinrang, Enrekang, Luwu, Palopo

dan Tana Toraja, Majene yang termasuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan

serta Majene, Polmas dan Mamasa, yang termasuk dalam wilayah Propinsi

Sulawesi Barat. Lembar peta geologi ini berbatasan dengan Lembar Mamuju di

bagian utara, Lembar Pangkajene dan Watampone bagian barat di bagian selatan,

Selat Makassar di bagian barat dan Teluk Bone di bagian timur (Djuri dan

Sudjatmiko, 1974 ; Djuri dkk, 1998). Daerah penelitian juga termasuk dalam

wilayah Peta Geologi Lembar Enrekang, Sulawesi dengan koordinat 119o25’00” –

120o00’00” BT dan 3o30’00” – 4o00’00” LS meliputi daerah Sidrap, Enrekang dan

Pinrang yang termasuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan (Sukido dkk,

1997).

Sukido dkk, 1997 membagi satuan geomorfologi daerah penelitian yang

terdiri dari pegunungan (mountainous), perbukitan bergelombang (rolling hills)

dan dataran rendah (plain area). Daerah pegunungan menyusun bagian utara

hingga timur laut daerah penelitian, daerah perbukitan bergelombang umumnya

menempati bagian tengah dan timur daerah penelitian serta sedikit di bagian

8
selatan. Sedangkan daerah dataran rendah menempati bagian barat yang

memanjang hingga bagian tenggara daerah penelitian.

2.1.1 Sungai

Sungai merupakan tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu

pola dan jalur tertentu di permukaan, dapat berupa alur-alur memanjang, sempit

dan mengikuti bagian bentang alam yang lebih rendah dari sekitarnya (Thornbury,

1969).

2.1.2 Jenis Sungai

Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai (Thornbury, 1969) maka

jenis sungai dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Sungai permanen/normal (perenial), merupakan sungai yang volume

airnya sepanjang tahun selalu normal.

b. Sungai periodik (intermitten), merupakan sungai yang kandungan airnya

tergantung pada musim, dimana pada musim hujan debit alirannya menjadi

besar dan pada musim kemarau debit alirannya menjadi kecil.

c. Sungai episodik (ephermal), merupakan sungai yang hanya dialiri air pada

musim hujan, tetapi pada musim kemarau sungainya menjadi kering.

2.1.3 Jenis Endapan Sungai

Pada sepanjang aliran sungai kemungkinan besar akan ditemukan banyak

endapan pasir dan kerikil yang biasa disebut dengan channel bar, meander bar,

delta bar dan point bar tergantung pada tempat terbentuk dan sumber endapannya.

Channel bar teletak persis pada aliran sungai dan biasanya merupakan ciri khas

dari
9
braided stream. Istilah meander bar digunakan untuk menunjukkan endapan

sungai yang terbentuk di bagian dalam kelokan sungai dan meluas ke kurva

meander/kelokan sungai. Delta bar merupakan endapan sungai yang dibentuk

oleh aliran anak-anak sungai yang membentuk delta menuju ke aliran sungai

utama. Point bar merupakan endapan sungai yang berkembang di bagian dalam

tikungan meander dan meluas secara perlahan oleh akresi. Ini kira-kira setara

dengan apa yang disebut dengan meander bar (Thornbury, 1969).

2.1.4 Pola Aliran Sungai

Pola pengaliran sungai (drainage pattern) adalah penggabungan dari

beberapa individu sungai yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu

pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969).

2.1.5 Tipe Genetik Sungai

Tipe genetik sungai merupakan hubungan antara kedudukan perlapisan

batuan sedimen terhadap arah aliran sungai (Thornbury, 1969). Tipe genetik

sungai pada suatu daerah diakibatkan oleh adanya perubahan bentuk permukaan

bumi karena adanya pengaruh dari gaya-gaya yang bekerja dari dalam bumi (gaya

endogen). Perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur batuan dapat

menyebabkan perubahan arah aliran sungai, hal ini diakibatkan oleh kemiringan

lapisan batuan dapat pula menyebabkan perubahan pada pola saluran sungai.

2.1.6 Stadia Sungai dan Stadia Daerah

Penentuan stadia sungai daerah penelitian didasarkan atas kenampakan

lapangan berupa profil lembah sungai, pola saluran sungai, jenis erosi yang

bekerja
10
dan proses sedimentasi di beberapa tempat di sepanjang sungai. Thornbury (1969)

membagi stadia sungai kedalam tiga jenis yaitu sungai muda (young river),

dewasa (mature river), dan tua (old age river).

Sungai muda (young river) memiliki karakteristik dimana dinding-dinding

sungainya berupa batuan masif, dengan dinding yang sempit dan curam, terkadang

dijumpai, aliran air yang deras, dan biasa pula dijumpai potholes yaitu lubang-

lubang yang dalam dan berbentuk bundar pada dasar sungai yang disebabkan oleh

batuan yang terbawa dan terputar-putar oleh arus sungai. Selain itu, pada sungai

muda (young river) proses erosi masih berlangsung dengan kuat karena kecepatan

dan volume air yang besar dan deras yang mampu mengangkut material-material

sedimen dan diwaktu yang sama terjadi pengikisan pada saluran sungai tersebut.

Karakteristik sungai dewasa (mature river) biasanya sudah tidak ditemukan

adanya air terjun, arus air relatif sedang, dan erosi yang bekerja relatif seimbang

antara erosi vertikal dan lateral, dan sudah dijumpai sedimentasi setempat-

setempat, serta dijumpai pula adanya dataran banjir. Sedangkan sungai tua (old

age river) memiliki karakteristik berupa, profil sungai memiliki kemiringan landai

dan sangat luas, lebar lembah lebih luas dibandingkan dengan meander belts, arus

sungai lemah yang disertai dengan sedimentasi, erosi lateral mendominasi.

Menurut Thornbury (1969) penentuan stadia suatu daerah harus

memperlihatkan hasil kerja proses-proses geomorfologi yang diamati pada

bentuk- bentuk permukaan bumi yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi

dan pelapukan yang bekerja pada suatu daerah mulai saat tersingkapnya hingga

proses terjadinya perataan bentang alam. Sedangkan menurut Van Zuidam (1985),

dalam

11
penentuan stadia suatu daerah aspek yang kita gunakan disebut morfokronologi

dimana penentuan umur relatif suatu daerah dengan melihat perkembangan dari

proses geomorfologi itu sendiri yaitu morfogenesa dilapangan serta analisis

morfometri sebagai pembandingnya.

2.2 Stratigrafi Regional

Gambar 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Dalam Sebagian Peta Geologi


Regional daerah penelitian pada Lembar Majene dan
Bagian Barat Lembar Palopo, Sulawesi Selatan (Djuri,
dkk 1998)

Daerah Rante Balla Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu Provinsi

Sulawesi Selatan termasuk Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat

Lembar Palopo (Sudjatmiko, dkk 1998). Stratigrafi Regional daerah penelitian

terdiri atas Formasi Latimojong, Batuan Gunungapi Lamasi dan Batuan

Terobosan.

12
Tmpi: Batuan Terobosan: Umumnya batuan beku bersusunan asam

sampai menengah seperti granit, granodiorit, diorit, senit, monzonit kuarsa den

riolit; setempat dijumpai gabro di G. Pangi. Singkapan terbeser di daerah G.

Paroreang yang menerus sampai daerah G. Gandadiwata di Lembar Mamuju

(Ratman dan Atmawinata, 1993). Umumya diduga Pliosen karena menerobos

Batuan Gunungapi Walimbong yang berumur MioPliosen, serta berdasarkan

kesebandingan dengan granit di Lembar Pasangkayu yang berumur 3,35 juta

tahun (Sukamto, I975a).

Tolv: Batuan Gunungapi Lamasi: Lava andesit, gabro, breksi gunungapi,

batupasir dan batulanau; setempat mengandung feldspatoid; umumnya

terkloritkan dan terkersikan; umurnya diduga Oligosen karena menindih Formasi

Toraja (Tets) yang berumur Eosen, sedang Formasi Toraja menurut Simandjuntak,

drr. (1991) berumur Paleosen. Tebal satuan tidak kurang dari 500m.

Kls: Formasi Latimojong: Secara umum formasi ini mengalami

pemalihan lemah - sedang; terdiri atas serpih, batusabak, filit, rijang, marmer,

kuarsit dan breksi terkersikkan; diterobos oleh batuan beku menengah sampai

basa; di Lembar Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993) juga dijumpai

batulempung mengandung fosil Globotruncana berumur Kapur Akhir, dengan

lingkungan pengendapan laut dalam. Tabal formasi lebih dari 1000m.

2.3 Struktur Geologi Regional

Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah yang kompleks karena

merupakan tempat pertemuan tiga lempeng besar yaitu; lempeng Indo-Australia

yang bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan

13
lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan-tenggara serta lempeng yang lebih

kecil yaitu lempeng Filipina (Sompotan, 2012).

Menurut Sukamto (1975) dalam Hall dan Wilson (2000) Sulawesi dibagi

menjadi beberapa provinsi tektonik, dari barat ke timur; Busur Pluton-Vulkanik

Sulawesi Barat, Lajur Metamorphic Sulawesi Tengah, Ofiolit Sulawesi Timur dan

Mikro-kontinen Banggai Sula dan Buton - Tukang Besi (Gambar 2.2).

Menurut Sompotan (2012) berdasarkan struktur litotektonik, Sulawesi dan

pulau-pulau sekitarnya dibagi menjadi empat, yaitu ; Mandala barat (West &

North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) sebagai jalur magmatik yang merupakan

bagian ujung timur Paparan Sunda, Mandala tengah (Central Sulawesi

Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh

sebagai bagian dari blok Australia, Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite

Belt) berupa ofiolit yang merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi

dan batuan sedimen berumur Trias-Miosen dan yang keempat adalah Fragmen

Benua Banggai-Sula-Tukang Besi, kepulauan paling timur dan tenggara

Sulawesi yang merupakan pecahan benua yang berpindah ke arah barat karena

sesar strike-slip fault dari New Guinea. Lembar Majene dan bagian barat Palopo

terletak di Mendala Geologi Sulawesi Barat. Mendala ini dicirikan oleh batuan

sedimen laut dalam berumur Kapur - Paleogen yang kemudian berkembang

menjadi batuan gunungapi bawah laut dan akhirnya gunungapi darat di akhir

Tersier. Batuan terobosan granitan berumur Miosen-Pliosen juga mencirikan

mendale ini. Sejarah tektoniknya dapat diuraikan mulai dari jaman Kapur, yaitu,

saat Mendala Geologi Sulawesi Timur bergerak ke barat mengikuti gerakan

tunjaman landai ke barat di bagian timur

14
Mendala Gaologi Sulawesi Barat. Penunjaman ini berlangsung hingga Miosen

Tengah, saat kedua mendala tersebut bersatu. Pada akhir Miosen - Tengah sampai

Pliosen terjadi pengendapan sedimen molasa secara tak selaras di atas seluruh

mendala geologi di Sulawesi, serta terjadi terobosan batuan granitan di Mendala

Geologi Sulawesi Barat, Pada Plio-Pliosen seluruh daerah Sulawesi tercenangga.

Di daerah pemetaan, percenanggaan ini diduga telah mengakibatkan terbentuknya

lipatan dengan sumbu berarah barat laut - tenggara, serta sesar naik dengan bidang

sesar miring ke timur. Setelah itu seluruh daerah Sulawesi terangkat dan

membentuk bentangalam seperti saat ini (Simandjuntak, dkk, 1998).

Menurut Ratman dan Atmawinata (1993), pada Kapur Akhir terbentuk

Formasi Latimojong dalam lingkungan laut dalam, terutama terbentuk di bagian

timur. Tektonika selanjutnya terjadi pada Paleosen, yang mengakibatkan satuan

Batuan Malihan terlipat dan termalih lagi serta Formasi Latimojong termalih

regional derajat rendah.

Analisis biostratigrafi, geokronologi dan geokimia baru telah memberikan

informasi tentang sejarah tektonik dari Wilayah Latimojong Sulawesi Selatan. Ini

dimulai dengan pengembangan kompleks akresi (Kompleks Metamorf

Latimojong) yang dirakit selama Kapur. Batuan ini kemudian mengalami

deformasi dan terangkat di atas permukaan laut di beberapa titik sebelum Eosen.

Hal ini kemungkinan berasosiasi dengan obduksi batuan yang berumur Eosen-

Oligosen (Kompleks Lamasi). Pengendapan material klastik dimulai kembali

selama Eosen, pertama dalam pengaturan terestrial, yang kemudian berkembang

menjadi terumbu dan endapan laut dekat pantai (Formasi Toraja). Selanjutnya fase

vulkanisme terjadi

15
selama Miosen hingga Pliosen (Seri Vulkanik Enrekang/Palopo Pluton) dan

sezaman dengan perkembangan patch reef (Formasi Makale). Sebagian besar

urutan ini kemudian secara tektonik disandingkan di sepanjang zona sesar

mendatar yang berkembang karena gaya transpresional terkait pembukaan Teluk

Bone. Periode deformasi ini mungkin juga mendorong pengangkatan wilayah

Latimojong, yang pada gilirannya menyebabkan terbentuknya endapan aluvial

selama pertengahan Pliosen hingga sekarang (White, dkk, 2017).

Gambar 2. 2 Peta Geologi Sulawesi dan tatanan tektoniknya(Hall


& Wilson, 2000)

16
2.4 Magma

Magma adalah cairan atau larutan silikat pijar yang terbentuk secara

alamiah, bersifat mudah bergerak (mobile), bersuhu antara 900 – 1.0000 C dan

berasal atau terbentuk pada kerak bumi bagian bawah hingga selubung bagian

atas (Alzwar, dkk., 1988).

Definisi magma tersebut menggambarkan adanya sifat fisik magma dan

sifat kimia magma. Sifat fisik magma berhubungan dengan magma sebagai bahan

cair kental pijar, mengandung gas, dan bersuhu tinggi, oleh sebab itu magma

mudah bergerak dan arah pergerakannya mempunyai kecendrungan menuju arah

permukaan bumi membentuk gunung api. Jika magma terbentuk jauh didalam

permukaan bumi (deep seated intrusion) maka membentuk batuan beku dalam

atau batuan plutonik, sedangkan magma yang terbentuk didekat permukaan (sub

volcanic intrusion; shallow magma intrusions and hypabyssal intrusions) atau di

dalam tubuh gunung api sampai membeku di permukaan bumi mebentuk batuan

intrusi dangkal atau batuan gunung api.

Wilson (1989) menjelaskan bahwa lingkungan tatanan tektonik pembentuk

magma meliputi tepi lempeng konstruktif, tepi lempeng destruktif, tatanan bagian

tengah lempeng samudra dan tatanan bagian tengah lempeng benua (Tabel 2.1).

17
Tabel 2.1 Ciri-ciri seri magma yang berasosiasi dengan tatanan tektonik
khusus (Wilson 1989).

2.4.1 Evolusi Magma

Pembentukan magma sebenarnya adalah suatu proses yang sangat rumit.

Proses proses ini berlangsung tahap demi tahap yang kemudian membentuk

sebuah rangkaian khusus yang meliputi proses pemisahan atau differentiation,

pencampuran atau assimilation, dan anateksis atau peleburan batuan pada

kedalaman yang sangat besar. Sementara itu, faktor atau hal-hal yang selanjutnya

akan menentukan komposisi suatu magma adalah bahan-bahan yang meleleh,

derajat fraksinasi, dan jumlah material-material pengotor dalam magma oleh

batuan samping (parent rock).

Magma pada perjalanannya dapat mengalami perubahan atau disebut

dengan evolusi magma. Proses perubahan ini menyebabkan magma berubah

menjadi magma yang bersifat lain oleh proses-proses sebagai berikut :

 Hibridasi yaitu proses pembentukan magma baru karena pencampuran 2

magma yang berlainan jenis.

 Sintetis yaitu pembentukan magma baru karena adanya proses asimmilasi

dengan batuan samping.

 Anateksis yaitu proses pembentukan magma dari peleburan batu-batuan

18
pada kedalaman yang sangat besar.

 Dan dari proses-proses diatas, magma akan berubah sifatnya, dari yang

awalnya bersifat homogen pada akhirnya akan menjadi suatu tubuh batuan

beku yang bervariasi melalui proses diferensiasi magma.

2.4.2 Diferensiasi Magma

Diferensiasi magma adalah suatu tahapan pemisahan atau pengelompokan

magma dimana material-material yang memiliki kesamaan sifat fisika maupun

kimia akan mengelompok dan membentuk suatu kumpulan mineral tersendiri

yang nantinya akan mengubah komposisi magma sesuai penggolongannya

berdasarkan kandungan magma. Proses ini dipengaruhi banyak hal. Tekanan,

suhu, kandungan gas serta komposisi kimia magma itu sendiri dan kehadiran

pencampuran magma lain atau batuan lain juga mempengaruhi proses diferensiasi

magma ini. Secara umum, proses diferensiasi magma terbagi menjadi:

1. Fraksinasi (Fractional Crystallization), proses ini merupakan suatu proses

pemisahan kristal-kristal dari larutan magma karena proses kristalisasi

berjalan tidak seimbang atau kristal-kristal tersebut pada saat pendinginan

tidak dapat mengubah perkembangan. Komposisi larutan magma yang baru

ini terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan temperatur dan tekanan yang

mencolok serta tiba-tiba.

2. Crystal Settling/Gravitational Settling, proses ini meliputi pengendapan

kristal oleh gravitasi dari kristal-kristal berat yang mengandung unsur Ca,

Mg, Fe yang akan memperluas magma pada bagian dasar magma chamber.

Disini, mineral-mineral silikat berat akan berada di bawah. Dan

akibat dari

19
pengendapan ini, akan terbentuk suatu lapisan magma yang nantinya akan

menjadi tekstur kumulat atau tekstur berlapis pada batuan beku.

Gambar 2.3 Proses diferensiasi magma Crystallization and


settling

3. Liquid Immisbility, larutan magma yang memiliki suhu rendah akan pecah

menjadi larutan yang masing- masing akan membentuk suatu bahan yang

heterogen.

4. Crystal Flotation, pengembangan kristal ringan dari sodium dan potasium

akan naik ke bagian atas magma karena memiliki densitas yang lebih rendah

dari larutan kemudian akan mengambang dan membentuk lapisan pada

bagian atas magma.

5. Vesiculation, proses dimana magma yang pmengandung komponen seperti

CO2, SO2, S2, Cl2, dan H2O sewaktu-waktu naik ke permukaan sebagai

gelembung-gelembung gas dan membawa komponen-komponen sodium (Na)

dan potassium (K).

6. Asimilasi magma, proses ini dapat terjadi pada saat terdapat material asing

dalam tubuh magma seperti adanya batuan disekitar magma yang kemudian

bercampur, meleleh dan bereaksi dengan magma induk dan kemudian akan

mengubah komposisi magma.

20
2.4.3 Komposisi Magma

Secara umum batuan beku disusun oleh enam kelompok mineral seperti

olivin, piroksen, amfibol, mika, feldspar dan kuarsa. Kita ketahui bahwa batuan

beku merupakan hasil pembekuan langsung magma baik didalam bumi maupun

diatas permukaan bumi, jadi komposisi magma dapat diketahui dari studi batuan

beku. Contoh magma dipermukaan bumi adalah lava. Unsur-unsur yang

terkandung didalam mineral-mineral penyusun batuan beku adalah Si (silikon), Al

(Aluminium), Ca (Kalsium), Na (Sodium), K (Potasium), Fe (Besi), Mg

(Magnesium), H (Hidrogen), O (Oksigen), unsur-unsur ini sering dijumpai dalam

ion oksida sebagai SiO2, Al2O3, dan unsur-unsur yang ada dalam periode 3. Oleh

sebab itu unsur-unsur ini merupakan unsur-unsur terpenting didalam magma

sehingga unsur ini sering dipakai para ahli sebagai komponen pembanding untuk

klasifikasi batuan.

Secara mendasar komposisi kimia dan mineralogi daerah sumber

memperlihatkan proses-proses penting yang mengedalikan komposisi batuan

beku. Komposisi unsur-unsur utama dan jejak ditentukan oleh proses peleburan

dan derajat partial melting, walaupun komposisi peleburan dapat berubah dalam

jumlah besar selama menuju permukaan bumi (Rollinson, 1993).

Flint (1977) menjelaskan bahwa komposisi magma hasil analisis kimia

menunjukkan kisaran 45% berat dan sampai 75% berat SiO2. Hanya sedikit lava

yang komposisi SiO2 mencapai serendah 30% berat dan setinggi 80% berat, tetapi

variasu ini terbentuk apabila magma terasimilasi oleh fragmen batuan sedimen

dan batuan malihan atau ketika diferensiasi magma sehingga menyebabkan

komposisi
21
magma berubah. Berdasarkan analisis kimia tersebut diperoleh tiga jenis magma

(Gambar 2.4) yaitu:

 Magma mengandung sekitar 50% SiO2 membentuk batuan beku basal,

diabas dan gabro.

 Magma mengandung sekitar 60% SiO2 membentuk batuan beku andesit

dan diorit

 Magma mengandung sekitar 70% SiO2 membentuk batuan beku riolit dan

granit.

Selain komposisi senyawa SiO2, pada gambar juga memperlihatkan bahwa

batuan beku basal/gabro didominasi oleh mineral yang berkomposisi Al 2O3, FeO,

MgO, dan CaO, sedangkan batuan riolit/granit didominasi oleh mineral yang

mempunyai komposisi Al2O3, Na2O3, dan K2O.

Gambar 2.4 Kisaran komposisi (persen berat) jenis batuan beku dan
dibedakan menjadi tiga kelompok utama jenis magma yang
ada dibumi (Flint, 1977)

22
2.5 Lingkungan Tektonik

Lingkungan tektonik menurut Wilson (1989) terbagi menjadi tiga jenis

magmatisme yaitu:

1. Constructive Plate Margin, merupakan tatanan tektonik yang terletak pada

zona divergen yaitu zona antara dua lempeng atau lebih yang saling menjauh

sehingga magma dapat terbentuk pada dua daerah yakni pematang tengah

samudera (Mid Oceanic Ridge) dan Back Arc Basin.

a. Pematang tengah samudera (Mid Oceanic Ridge), merupakan daerah

dimana dua lempeng samudera yang saling menjauhi, magma pada

tektonik ini berasal dari pelelehan sebagian mantel bagian atas karena

adanya pelepasan tekanan oleh batuan induk karena proses divergen.

Batuan yang terbentuk pada tatanan ini tektonik ini bersifat mafik-

ultramafik seperti peridotit, basal, atau gabro, batuan beku bertekstur lava

bantal dan kekar tiang.

b. Back Arc Basin, merupakan tatanan tektonik yang terbentuk dibelakang

busur kepulauan, hal ini dapat terjadi akibat adanya rifting dibelakang

zona penunjaman selama proses subduksi berlangsung sehingga

terbentuklah cekungan. Magma yang dihasilkan pada zona ini bersifat

basa seperti batuan beku basal.

2. Destructive Plate Margin, merupakan tatanan tektonik yang terletak pada

zona konvergen dimana dua lempeng atau lebih saling bertumbukan satu

sama lain. Magma yang dapat terbentuk pada dua daerah yaitu busur

kepulauan (Island Arc) dan tepi benua aktif (Active Continental Margin).

23
a. Busur kepulauan atau Island Arc, merupakan daerah dimana lempeng

samudera dan lempeng samudera atau lempeng benua yang tipis

bertumbukan. Zona ini disebut zona subduksi atau zona penunjaman.

Magma akan terbentuk akibat dari pelelehan sebagian mantel atas atau

baji mantel atau kerak samudera yang menunjam. Daerah Island Arc

ditandai dengan munculnya busur kepulauan dengan deretan gunungapi

yang masih aktif. Batuan beku yang terbentuk umumnya bersifat

intermediet sampai basaltik seperti andesit atau basal. Diferensiasi

magma tidak terjadi secara dominan di daerah ini sehingga batuan

tersebut memiliki tekstur yang sedikit akan fenokris. Batuan vulkanik

juga banyak terbentuk akibat aktivitas vulkanisme yang intensif.

b. Tepi benua aktif atau Active Continental Margin, merupakan daerah

dimana terjadi tumbukan antara lempeng benua yang tebal. Magma dapat

berasal dari pelelehan sebagian mantel atas atau kerak benua bagian

bawah. Pada daerah ini gunungapi jarang ditemukan. Batuan beku yang

terbentuk pada zona ini pada umumnya intermediet sampai felsik seperti

granit atau diorit. Diferensiasi magma terjadi secara dominan dan lanjut

sehingg butiran kristal yang terbentuk berukuran besar.

3. Within plate adalah lingkungan tektonik pada daerah pertengahan yaitu intra–

continental dan intra–oceanic.

a. Continental Intra-plate Margin, merupakan tatanan tektonik yang

terbentuk di tengah lempeng benua. Magmatisme dapat terbentuk di dua

tempat yaitu Continental Flood Basalt Province yakni hasil dari erupsi

24
besar-besaran gunungapi yang menyebabkan terjadinya pelamparan lava

basal di lantai samudera atau daratan, sebagai contoh yaitu batuan beku

yang terdapat di Siberia dan Antartika berupa batuan beku basal dan

Continental Rift Zone merupakan zona dimana dua kerak saling menjauh,

magma berasal dari pelelehan sebagian kerak benua bagian atas atau

bagian tengah sehingga magma bersifat asam-intermediet.

b. Oceanic Intra-plate Margin, merupakan tatanan tektonik yang terbentuk

di tengah-tengah lempeng samudera dan biasanya akan membentuk

kepulauan gunungapi. Sumber magma berasal dari pelelehan sebagian

mantel atas. Magma akan berkumpul di suatu tempat yang disebut

hostspot. Magma tersebut dapat keluar ke permukaan bumi dan

membentuk gunungapi, contohnya pada Kepulauan Hawaii dimana

terdapat Gunungapai Mauna Kea hasil dari aktivitas hotspot. Pada zona

ini terbentuk batuan beku volkanik yang bersifat mafik - ultramafik

karena magma berasal dari diferensiasi lempeng samudera yang bersifat

basa.

25
Gambar 2.5 Jenis-jenis tatanan tektonik batuan beku (Wilson, 1989)

2.6 X-Ray Flourescence (XRF)

Anaslisis XRF merupakan analisis geokimia yang digunakan untuk

mendeterminasikan unsur – unsur utama dan unsur jejak pada batuan. Unsur

utama merupakan unsur dominan pada batuan yaitu Si, Ti, Al, Fe, Mg, Ca, Na, K

dan P yang biasanya diukur dalam bentuk komposisi oksida utama (SiO2, TiO2,

Al2O3, Fe2O, CaO, MgO, MnO, Na2O, K2O dan P2O5) dalam konsentrasi

satuan wt% (weight percent). Sedangkan untuk unsur jejak (trace element) yaitu

unsur yang keterdapatannya <0,1 % dan konsentrasinya dinyatakan dalam ppm

(part per million).

26
Spektrometri X-Ray Flourescence (XRF) adalah suatu metode analisis

berdasarkan pengukuran tenaga dan intensitas sinar-X suatu unsur di dalam

cuplikan hasil eksitasi sumber radioisotop (Masrukan dkk, 2007). Spektrometer

XRF didasarkan pada lepasnya elektron bagian dalam dari atom akibat dikenai

sumber radiasi dan pengukuran intensitas pendar sinar-X karakteristik yang

dipancarkan oleh atom unsur dalam sampel. Metode ini tidak merusak bahan yang

dianalisis baik dari segi fisik maupun kimiawi sehingga sampel dapat digunakan

untuk analisis berikutnya. (Mulyono dkk, 2012).

Mekanisme kerja XRF secara umum yaitu sampel dalam bentuk batuan

dipreparasi menjadi seperti bubuk atau disebut dengan pulp. Setelah dalam bentuk

bubuk kemudian dipreparasi membentuk kepingan pellet atau disebut fuse bead.

Kemudian dilakukan proses XRF dimana sample yang dalam bentuk pellet

ditembak dengan menggunakan sinar-X dari sumber pengeksitasi, selanjutnya

akan mengenai cuplikan dan menyebabkan interaksi antara sinar-X untuk setiap

unsur. Sinar-X tersebut selanjutnya mengenai detector Si (Li) yang akan

menimbulkan pulsa listrik yang lemah, pulsa tersebut kemudian diperkuat dengan

preamplifier dan amplifier lalu disalurkan pada penganalisis saluran ganda atau

Multi Chanel Analyzer (MCA). Tenaga sinar-X karakteristik yang muncul tersebut

dapat dilihat dan disesuaikan dengan tabel tenaga sehingga dapat diketahui unsur

yang ada di dalam cuplikan yang dianalisis (Iswani, 1983 dalam Mulyono dkk,

2012).

Unit pemprosesan data pada XRF terdiri dari preamplifier, linier amplifier,

counter, timer serta MCA. Alat-alat ini dibutuhkan dalam mengolah pulsa output

suatu detektor. Preamplifier berfungsi dalam pembentukan ritme pulsa dengan rise

27
time pendek. Linier Amplifier berfungsi untuk memperkuat dan membentuk pulsa

yang keluar dari detektor. Timer berfungsi untuk membatasi waktu cacah serta

MCA berfungsi untuk mengklasifikasikan pulsa yang masuk ke dalam saluran-

saluran (Wisnu, 1988 dalam Masrukan dkk, 2007).

28
BAB III
METODE PENELITIAN

Adapun metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi

empat tahapan yaitu; studi literatur, pengumpulan data lapangan dan data

laboratorium, analisis data dan penyusunan laporan.

3.1 Persiapan

Tahap persiapan yang dilakukan sebelum penelitian lapangan terdiri dari:

1. Pengurusan administrasi, meliputi pembuatan proposal penelitian Tugas

Akhir, guna dapat melakukan penelitian tugas akhir di daerah penelitian.

Selain itu sebelumnya dilakukan pembuatan surat yang terdiri atas

pengurusan perizinan kepada pihak Departemen Teknik Geologi, Fakultas

Teknik Universitas Hasanuddin.

2. Studi literatur, pada tahap ini merupakan tahap pendahuluan sebelum

melakukan penelitian dan pengambilan data di lapangan, meliputi studi

regional daerah penelitian untuk mengetahui gambaran umum tentang data

geologi pada daerah penelitian. Studi pendahuluan ini juga termasuk studi

literatur yaitu untuk mempelajari karakteristik dari setiap data secara

langsung di lapangan sehingga mempermudah dalam kegiatan penelitian.

Selain itu tahap ini juga meliputi pengadaan peta dasar untuk ploting

terhadap pengambilan data di lapangan. Pengolahan database selanjutnya

akan dilakukan setelah tahap pengambilan data lapangan, pengolahan data,

dan tahap analisa data.

29
3. Persiapan perlengkapan lapangan, meliputi pengadaan peta dasar,

persiapan peralatan lapangan dan rencana kerja. Peta yang digunakan pada

penelitian ini adalah peta dengan skala 1 : 10.000.

3.2 Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan melalui pengambilan data lapangan dan juga


pengambilan data laboratorium.

a. Data Lapangan

Pengamatan dan pengambilan data lapangan serta penentuan lokasi

dilakukan pada peta dasar skala 1 : 25.000 yang disesuaikan dengan kondisi

medan dan kondisi singkapan.

Pengamatan dan pengukuran terhadap aspek-aspek geomorfologi seperti:

relief (bentuk puncak dan lembah, serta keadaan lereng), pelapukan (jenis dan

tingkat pelapukan), soil (warna, jenis dan tebal soil), erosi (jenis dan tingkat

erosi), gerakan tanah, sungai (jenis sungai, arah aliran, bentuk penampang dan

pola aliran sungai serta pengendapan yang terjadi), tutupan dan tataguna lahan.

Pengambilan data geomorfologi dilakukan di 15 stasiun yaitu pada stasiun 6, 9,

10, 19, 20, 24,

26, 28, 29, 31, 33, 36, 43, 49 dan 51.

Pengamatan unsur-unsur geologi untuk penentuan stratigrafi daerah

penelitian, antara lain meliputi: kondisi fisik singkapan batuan yang diamati

langsung di lapangan dan hubungannya terhadap batuan lain di sekitarnya, dan

pengambilan contoh batuan yang dilakukan di 46 stasiun di daerah penelitian

dimana untuk masing-masing jenis batuan yaitu basal sebanyak 26 stasiun yaitu

pada stasiun 5, 7, 8, 12, 13, 15, 18, 25, 27, 30, 32, 34, 35, 37, 39, 40, 41, 42, 56,

30
57,

31
58, 59, 60, 61, 62 dan 63, gabro 16 stasiun yaitu pada stasiun 1, 2, 3, 4, 32, 38, 44,

45, 46, 47, 48, 50, 52, 53, 54 dan 55, serta slate 7 stasiun yaitu pada stasiun 13, 14,

16, 17, 21, 22, 23.

Pengamatan dan pengukuran terhadap unsur-unsur struktur geologi yang

meliputi pengukuran foliasi di 7 stasiun, pengukuran data kekar sebanyak 70 data

kekar di satu stasiun, dan pengamatan mata air yang dilakukan di 1 stasiun di

daerah penelitian.

Pengamatan potensi bahan galian yang terdapat di daerah penelitian, serta

data pendukung lainnya seperti keberadaan bahan galian, jenis dan pemanfaatan

bahan galian.

Pengambilan sampel batuan gabro untuk keperluan analisis geokimia

dilakukan di 4 stasiun pada daerah penelitian yaitu pada stasiun 1, 45, 46 dan 53

dengan jarak antar titik pengambilan sampel yang bervariasi yang nantinya akan

dilakukan analisis geokimia pada 4 sampel batuan yang dianggap mewakili satuan

gabro pada daerah penelitian.

b. Data Laboratorium

Pengambilan data laboratorium meliputi pembuatan sayatan tipis batuan

yang dilakukan pada masing-masing dua sampel yang mewakili setiap litologi

yang didapatkan. Pembuatan sayatan tipis dilakukan di Laboratorium Preparasi

Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin yang

kemudian dilakukan pengamatan dan pendeskripsian petrografi dengan

menggunakan bantuan mikroskop polarisasi.

32
Selain itu dilakukan pengambilan data geokimia batuan dengan metode

analisis XRF (X- Ray Fluorescence) untuk mengetahui kandungan unsur oksida

mayor batuan. Analisis XRF dilakukan pada 4 sampel batuan dari berbagai tempat

yang dianggap mewakili litologi gabro pada daerah penelitian. Analisis XRF

dilakukan di Laboratorium Geokimia PT. Jasa Mutu Mineral Indonesia.

3.3 Analisis Data

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap analisis dan interpretasi data

mencakup kegiatan-kegiatan analisis dari data yang telah diolah sebelumnya,

yaitu:

1. Analisis geomorfologi, meliputi analisis morfografi dan morfogenesa

dalam menentukan satuan bentangalam, pola aliran dan tipe genetik sungai

serta interpretasi stadia sungai dan stadia daerah penelitian.

2. Analisis petrografi, meliputi analisis dalam menentukan nama batuan

secara mikroskopis untuk mengidentifikasi tekstur, struktur, komposisi

mineral penyusun batuan dan fasies serta zona pembentukan batuan slate.

Analisis petrografi dilakukan pada masing-masing dua sampel untuk setiap

satuan batuan.

3. Analisis stratigrafi, meliputi analisis dalam menentukan batas dan

pengelompokkan setiap satuan batuan berdasarkan litostratigrafi tidak

resmi, dan interpretasi tatanan stratigrafi daerah penelitian.

4. Analisis struktur geologi, meliputi analisis data kekar sebanyak 70 data

untuk memperoleh arah tegasan utama dari gaya yang bekerja di daerah

penelitian dan mekanisme struktur yang berkembang di daerah penelitian.

33
5. Analisis geokimia XRF, digunakan untuk mengetahui nilai kadar unsur

oksida mayor (SiO2, TiO2, AlO2, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, CaO, Na2O,

K2O, H2O+, dan P2O5) pada batuan gabro di daerah penelitian. Hasil

analisis XRF digunakan untuk mengetahui jenis dan afinitas magma,

evolusi magma serta petrogenesa batuan gabro pada daerah penelitian.

3.4 Penyusunan Laporan

Tahap akhir dari seluruh rangkaian penelitian adalah penyusunan skripsi

berdasarkan data geologi hasil penelitian lapangan, dengan bahan acuan literatur

dan laporan peneliti terdahulu.

Selama penyusunan laporan dilakukan pengoreksian dan pengecekan

ulang terhadap semua data dan hasil analisa yang kemudian dituangkan menjadi

suatu laporan ilmiah yang memuat semua data lapangan, hasil analisa dan

interpretasi secara sistematik berupa uraian deskriptif maupun gambar/foto dan

peta dan dipresentasikan dalam bentuk ujian seminar skripsi di Program Studi

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.

34
Gambar 3.1 Diagram alir metode penelitian

35
BAB IV
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

2.5 Geomorfologi Daerah Penelitian

Geomorfologi daerah penelitian membahas mengenai kondisi

geomorfologi daerah Rante Balla Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu

Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi geomorfologi yang dimaksud yaitu pembagian

satuan bentangalam, relief, tingkat dan jenis pelapukan, tipe erosi, jenis gerakan

tanah, soil, analisis sungai yang meliputi; jenis sungai, pola aliran sungai,

klasifikasi sungai dan tipe genetik sungai. Berdasarkan data geomorfologi di atas

yang didapatkan di lapangan, serta interpretasi peta topografi dan studi literatur

yang mengacu pada teori dari beberapa ahli maka dapat diketahui stadia daerah

penelitian.

4.1.1 Satuan Geomorfologi

Geomorfologi banyak didefinisikan oleh para ahli geomorfologi dalam

bukunya. Menurut Lobeck (1939), geomorfologi didefinisikan sebagai studi

tentang bentuk lahan. Geomofologi juga di definisikan sebagai ilmu tentang

bentuk lahan (Thornburry,1969). Sedangkan menurut van Zuidam et al.(1985),

geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan

proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan

keruangannya. Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat di simpulkan

bahwa geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsi secara genetis bentuk lahan

dan proses – proses yang dipengaruhi oleh batuannya dan mencari korelasi

hubungan antara bentuk – bentuk lahan tersebut dengan proses – proses dalam

35
susunan keruangannya yang membentuk bentangalam tersebut. Pembentukan

bentangalam dari suatu daerah merupakan hasil akhir dari proses geomorfologi

yang disebabkan oleh gaya endogen dan eksogen. Bentangalam tersebut

mempunyai bentuk yang bervariasi dan dapat diklasifikasikan berdasarkan faktor-

faktor tertentu antara lain proses, stadia, jenis litologi penyusun serta pengaruh

struktur geologi atau tektonik yang bekerja (Van Zuidam, 1985). Dari beberapa

definisi mengenai geomorfologi, maka dapat disimpulkan bahwa geomorfologi

dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang roman muka bumi beserta aspek-aspek

yang mempengaruhinya termasuk deskripsi, klasifikasi, genesa, perkembangan

dan sejarah permukaan bumi.

Pengelompokan satuan geomorfologi pada daerah penelitian

dilakukan dengan melakukan dua pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan morfografi

2. Pendekatan morfogenesa

Satuan bentangalam daerah penelitian didasarkan pada pendekatan

morfogenesa yaitu pendekatan berupa analisis yang didasarkan pada asal usul

pembentukan atau proses yang membentuk bentangalam dipermukaan bumi

dengan proses pembentukan yang dikontrol oleh proses eksogen, proses endogen

dan proses ekstra terrestrial (Thornbury, 1954).

Pendekatan morfografi (bentuk) mengelompokkan bentangalam

berdasarkan pada bentuk bumi yang dijumpai di lapangan yakni berupa topografi

pedataran, bergelombang, miring, landai, perbukitan dan pegunungan. Aspek ini

36
memperhatiakn parameter dari setiap topografi seperti bentuk puncak, bentuk

lembah, dan bentuk lereng (Thornbury, 1969).

Van Zuidam (1985) menjelaskan bahwa proses endogen dan eksogen masa

lalu dan sekarang merupakan faktor-faktor perkembangan yang paling menonjol

dari suatu bentanglahan, sehingga harus digambarkan dengan jelas dan

menggunakan simbol warna.

Klasifikasi bentangalam berdasarkan genetiknya, dikemukakan oleh sistem

ITC (International Terrain Classification) dalam Van Zuidam, 1985, adalah

sebagai berikut:

Tabel 4. 1 Klasifikasi satuan bentangalam berdasarkan genetik pada


sistem ITC (Van Zuidam, 1985)
No. Bentuk Asal Warna

1 Struktural Ungu

2 Vulkanik Merah

3 Denudasi Coklat

4 Marine Hijau

5 Fluvial Biru tua

6 Glasial Biru muda

7 Aeolian Kuning

8 Karst Orange

Klasifikasi bentangalam berdasarkan pendekatan genetik digunakan

klasifikasi ITC (International Terrain Classification) dalam Van Zuidam (1985)

yang menjelaskan bahwa untuk menginterpretasikan geomorfologi suatu daerah

37
disesuaikan dengan kondisi batuan pembentuknya/ penyusunnya. Selanjutnya

warna ditampilkan untuk mewakili kondisi geomorfologi suatu daerah.

Pendekatan morfogenesa ini dapat berupa proses denudasional yaitu proses

penelanjangan/pengelupasan yang meliputi pelapukan serta tingkatannya, erosi

dan mass wasting (gerakan tanah), gejala – gejala karst, kontrol struktur, fluvial,

marine, aeolian, vulkanik dan glasial. Proses denudasi adalah sekelompok proses

yang mana jika berlangsung cukup lama akan menghasilkan ketidaksamarataan

semua permukaan bumi. Proses utama yang bekerja yaitu degradasi berupa

disintegrasi batuan (pelapukan), pengelupasan, pelapukan material dari

permukaan bumi oleh berbagai proses erosi dan mass wasting. Sedangkan proses

agradasi, yaitu berupa proses sedimentasi dan seringkali membangun suatu lahan

dan akhirnya akan megalami degradasi kembali. Dua proses utama yang terjadi

pada proses degradasi yaitu pelapukan (debris dan soil) dan transportasi material

hasil pelapukan oleh erosi dan gerakan tanah, sedangkan pada agradasi dua proses

utama yang terjadi yaitu akumulasi debris oleh erosi dan gerakan tanah seperti

pengendapan colluvial, alluvial, aeolian, glacial dan akumulasi makhluk hidup

seperti gambut dan tumbuhan coral (Van Zuidam, 1985).

Berdasarkan persetujuan oleh American Geological Institute’s Dictionary

of Geological Terms dalam Van Zuidam (1985), erosi adalah serangkaian proses

dimana material bumi atau batuan dipecahkan atau dilepaskan dan diangkut dari

beberapa bagian permukaan bumi . Menurut Van Zuidam (1985), erosi permukaan

pada proses denudasional dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu erosi splash,

erosi rill, erosi gully, erosi valley, erosi sheet dan erosi sungai.

38
Erosi jenis splash merupakan erosi oleh air hujan yang jatuh ke tanah dan

menghempaskan partikel–pertikel tanah yang halus, kemudian aliran air

permukaan yang mengalir diatas permukaan tanah ini akan membentuk alur – alur

kecil dan relatif dangkal yang disebut sebagai erosi rill. Alur - alur ini biasanya

hanya beberapa centimeter lebar dan kedalamannya (maksimum 50 cm),

dimensinya dikontrol oleh ketahanan soil terhadap erosi (biasanya pada material

berukuran halus) serta biasanya terbentuk pada kemiringan lereng sekitar 18°. Jika

rill ini mengalami perkembangan lebih lanjut dengan dimensi yang lebih besar

akan membentuk erosi gully (erosi parit). Gully adalah saluran – saluran erosi

yang dalam, dengan kedalaman berkisar dari 0,5 – 5 m dengan kemiringan lereng

berkisar antara 10° – 18°.Kegiatan hasil erosi gully akan bertemu dan membentuk

erosi valley dengan kemiringan berkisar antara 5° – 15°. Ketika valley ini bertemu

pada kemiringan lebih kecil dari 5°, akan membentuk erosi sheet yang selanjutnya

bermuara pada suatu tempat mengalirnya air yang dikenal sebagai sungai.

Gerakan tanah (mass wasting) didefinisikan sebagai gerakan massa batuan

atau tanah/soil (regolith) ke arah bawah lereng diatas lereng permukaan bumi

disebabkan oleh gravitasi / gaya berat (Varnes, 1978 dalam Van Zuidam 1985).

Agen geomorfologi tertentu antara lain air, es/gletser, angin dan gelombang akan

membantu beban gravitasi material memicu pergerakan tanah yang pada akhirnya

akan meratakan permukaan bumi.

Berdasarkan hal tersebut maka satuan bentangalam pada daerah penelitian

menggunakan pendekatan morfografi dan morfogenesa, karena proses

geomorfologi yang berbeda menghasilkan bentangalam yang berbeda pula, yang

39
didasarkan atas karakteristik topografi yang mengacu kepada tingkatan tertentu

kondisi iklim yang membentuk topografi (Thornbury, 1969).

Berdasarkan pendekatan diatas maka geomorfologi daerah Rante Balla

Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan dibagi

menjadi dua satuan Geomorfologi, yaitu:

1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional

2. Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional

4.1.1.1 Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional

Satuan morfologi perbukitan denudasional menempati 71,35% atau sekitar

21,96 km2 dari keseluruhan luas daerah penelitian. Menempati bagian tengah dan

Timur sepanjang Utara ke Selatan daerah penelitian yang mencakup daerah Desa

Rante Balla. Satuan morfologi ini secara topografi memiliki ketinggian antara 500

- 900meter diatas permukaan laut (Foto 4.1).

Foto 4. 1 Satuan morfologi perbukitan denudasional pada daerah penelitian


ditandai dengan adanya hasil erosi pada lereng bukit (x) yang difoto
ke arah N 25° E

40
Berdasarkan pendekatan morfografi yaitu melalui pengamatan secara

langsung di lapangan, topografi daerah ini adalah perbukitan, dimana proses

geomorfologi yang dominan bekerja pada satuan bentangalam ini adalah

pelapukan dan erosi. Proses pelapukan dan erosi merupakan faktor utama yang

mengontrol perubahan bentuk suatu bentangalam karena adanya kontak langsung

pada litologi penyusun satuan dengan atmosfer yang mengakibatkan litologi

penyusun satuan mengalami penurunan resistensi.

Tingkat pelapukan pada satuan ini cukup tinggi yang dapat dijumpai pada

beberapa tempat dengan soil cukup tebal antara 2-4m. (Foto 4.2 dan Foto 4.3).

Foto 4. 2 Residual soil yang dijumpai pada stasiun 29 dengan arah


pengambilan foto N 78o N.

41
Foto 4. 3 Residual soil yang dijumpai pada stasiun 26 dengan arah foto N 52o
E.

Selain pelapukan pada batuan, proses eksogenik yang berlangsung ialah

erosi dan mass wasting (pergerakan massa batuan). Proses erosi yang berlangsung

cukup intensif membentuk saluran-saluran dengan lebar lebih dari satu meter,

sehingga proses erosi ini dapat dikategorikan sebagai gully erosion atau erosi

saluran (Foto 4.4).

80cm 60cm

Foto 4. 4 Kenampakan foto gully erosion (erosi saluran) pada stasiun 51 yang
difoto ke arah N 257o E.

42
Pada satuan bentangalam ini dijumpai juga mass wasting atau gerakan

tanah pada beberapa titik dengan kondisi lereng tidak stabil akibat dari batuan

yang megalami pelapukan cukup tinggi sehingga membentuk debris slide seperti

yang dijumpai pada stasiun 6 (Foto 4.5).

Foto 4. 5 Salah satu jenis gerakan tanah yang dijumpai pada stasiun 6 berupa
debris slide (luncuran batuan bercampur dengan tanah) dengan arah
foto N 111° E.

Proses sedimentasi yang ada pada satuan bentangalam ini yaitu adanya

endapan sungai berupa point bar dan channel bar (Foto 4.6 dan Foto 4.7) dengan

ukuran material berupa pasir halus – bongkah.

43
x

Foto 4. 6 Kenampakan point bar (x) di Sungai Rante Balla. Foto diambil pada
stasiun 43 dengan arah foto N 198° E

Foto 4. 7 Kenampakan channel bar (x) di Sungai Rante Balla. Foto diambil pada
stasiun 52 dengan arah foto N 135° E

Adapun pemanfaatan lahan pada satuan geomorfologi ini umumnya

digunakan sebagai lahan perkebunan dan pemukiman. Secara umum lahan

perkebunan berupa perkebunan cengkeh (foto 4. 8).

44
Foto 4. 8 Penggunaan lahan sebagai pemukiman dan perkebunan cengkeh di
sekitar Desa Rante Balla dengan arah pengambilan foto N 25° E.

4.1.1.2 Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional

Satuan morfologi pegunungan denudasional menempati 28,65% atau

sekitar 8,83km2 dari keseluruhan luas daerah penelitian. Menempati bagian Barat

memanjang dari Utara ke Selatan daerah penelitian. Satuan morfologi ini secara

topografi memiliki ketinggian hingga 1400 meter diatas permukaan laut (Foto 4.

9).

Foto 4. 9 Satuan morfologi pegunungan denudasional pada daerah


penelitian ditandai dengan adanya erosi (x) yang difoto ke
arah N 265° E
45
Berdasarkan pendekatan morfografi yaitu melalui pengamatan secara

langsung di lapangan, topografi daerah ini adalah pegunungan, dimana proses

geomorfologi yang dominan bekerja pada satuan bentangalam ini adalah

pelapukan dan erosi. Proses pelapukan dan erosi merupakan faktor utama yang

mengontrol perubahan bentuk suatu bentangalam karena adanya kontak langsung

pada litologi penyusun satuan dengan atmosfer yang mengakibatkan litologi

penyusun satuan mengalami penurunan resistensi.

Adapun tingkat pelapukan pada satuan ini tergolong cukup tinggi hal ini

dibuktikan dengan tebal soil di beberapa tempat memiliki ketebalan ±3 meter

(Foto 4. 10).

Foto 4. 10 Residual soil yang dijumpai pada stasiun 36 dengan arah foto N
262o E

Pada satuan ini proses pelapukan yang terjadi yaitu pelapukan secara

fisika. Pelapukan fisika dicirikan oleh adanya retakan-retakan pada batuan

mengakibatkan batuan tersebut terpisah menjadi bagian yang lebih kecil

tanpa mengubah

46
komposisi kimianya, faktor yang mepengaruhinya yaitu perubahan iklim dan

cuaca (Foto 4. 11).

Foto 4. 11 Singkapan basal yang telah mengalami pelapukan fisika pada


stasiun 30 dengan arah pengambilan foto N 53°E.

Selain pelapukan pada batuan, proses eksogenik yang berlangsung ialah

erosi dan mass wasting (pergerakan massa batuan). Proses erosi yang berlangsung

cukup intensif membentuk saluran-saluran dengan lebar lebih dari satu meter,

sehingga proses erosi ini dapat dikategorikan sebagai gully erosion atau erosi

saluran (Foto 4. 12).

47
1m

Foto 4. 12 Kenampakan foto gully erosion (erosi saluran) pada stasiun 51


yang difoto ke arah N 257o E.

Pada satuan bentangalam ini dijumpai juga mass wasting atau gerakan

tanah pada beberapa titik dengan kondisi lereng tidak stabil akibat dari batuan

yang megalami pelapukan cukup tinggi sehingga membentuk debris slide. (Foto 4.

13).

Foto 4. 13 Salah satu jenis gerakan tanah yang dijumpai pada stasiun 33 berupa
debris slide (luncuran batuan bercampur dengan tanah) dengan arah
foto N 105° E

48
4.1.2 Sungai

Sungai adalah tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu pola

dan jalur tertentu di permukaan (Thornbury,1969). Pembahasan mengenai sungai

pada daerah penelitian meliputi pembahasan tentang klasifikasi sungai yang

didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh sungai sepanjang

waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti kemiringan

lereng, struktur geologi, vegetasi dan iklim. Tipe genetik sungai adalah penjelasan

mengenai hubungan antara arah aliran sungai dan kedudukan batuan. Berdasarkan

hasil pembahasan di atas maka pada dapat dilakukan penentuan stadia sungai

daerah penelitian.

4.1.2.1 Jenis Sungai

Berdasarkan debit air pada tubuh sungai (kuantitas air sungai), maka jenis

sungai pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi sungai periodik.

Sungai periodik berkembang pada anak Sungai Rante Balla dengan lebar sungai

±4 meter dan arah alirannya mengarah ke Barat (Gambar 4. 14).

49
Foto 4.14 Kenampakan sungai periodik pada anak Sungai Rante Balla pada
stasiun 48, lebar sungai ±4 meter dengan arah aliran N 210o E.
Arah Foto N 210o E

4.1.2.2 Pola Aliran Sungai

Berdasarkan kenampakan lapangan dan interpretasi peta topografi, maka

pola aliran sungai yang berkembang pada daerah penelitian yaitu pola aliran

paralel. Pembentukan pola aliran ini dipengaruhi oleh lereng yang curam sehingga

terbentuk sungai dengan arah aliran sungai yang relatif sejajar.

50
Gambar 4.1 Pola aliran sungai paralel pada daerah penelitian

4.1.2.3 Tipe Genetik Sungai

Tipe genetik sungai merupakan salah satu jenis sungai yang didasarkan

atas genesanya yang merupakan hubungan antara arah aliran sungai dan terhadap

kedudukan batuan (Thornbury, 1969). Secara umum tipe genetik yang

berkembang pada daerah penelitian yaitu sebagai berikut:

a. Tipe genetik Insekuen

Tipe genetik sungai insekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah

alirannya tidak dikontrol oleh kedudukan batuan di sekitar daerah penelitian dan

litologi penyusun daerah penelitian yang dilalui oleh sungai berupa batuan beku.

Tipe genetik ini dijumpai pada Sungai Rante Balla (Foto 4.15).

b. Tipe genetik subsekuen

Tipe genetik ini memiliki arah aliran sungai relatif sejajar dengan jurus

perlapisan batuan. Tipe genetik ini berkembang sebagian pada anak sungai Rante

51
Balla sebelah Barat Daya daerah penelitian. Tipe genetik tersebut berkembang

pada litologi batuan metamorf berupa slate (foto 4. 16) pada bentangalam

pegunungan struktural.

d. Tipe genetik obsekuen

Tipe genetik ini memiliki arah aliran sungai yang relatif berlawanan arah

dengan kemiringan lapisan batuan. Tipe genetik ini berkembang sebagian pada

anak sungai Salu Tuara sebelah Barat Daya daerah penelitian. Tipe genetik

tersebut berkembang pada litologi batuan metamorf berupa slate (foto 4. 17) pada

bentangalam pegunungan struktural.

Foto 4.15 Kenampakan Sungai Rante Balla dengan tipe genetik insekuen. Foto
diambil pada stasiun 52 dengan arah foto N 10° E

52
Foto 4. 16 Kenampakan anak Sungai Tuara dengan tipe genetik subsekuen
dengan kedudukan batuan N 5° E/31°. Foto diambil pada stasiun
15 dengan arah foto N 90° E

Foto 4. 17 Kenampakan anak Sungai Tuara dengan tipe genetik obsekuen


dengan kedudukan batuan N 308° E/ 46°. Foto diambil pada
stasiun 16 dengan arah foto N 270° E

53
4.1.2.4 Stadia Sungai

Penentuan stadia sungai daerah penelitian didasarkan atas kenampakan

lapangan berupa profil lembah sungai, pola saluran sungai, jenis erosi yang

bekerja dan proses sedimentasi di beberapa tempat di sepanjang sungai.

Secara umum sungai yang berkembang pada daerah penelitian yaitu

memiliki profil lembah sungai berbentuk “V” dan “U”. Profil lembah sungai “V”

dijumpai pada semua anak sungai Rante Balla (Foto 4.18), dengan penampang

yang curam dan relatif sempit dan pola saluran yang berkelok-kelok. Sedangkan

profil lembah sungai berbentuk “U” dijumpai pada sungai induk, yaitu Sungai

Rante Balla (Foto 4. 19) dan dengan pola sungai yang relatif berkelok.

Foto 4. 18 Kenampakan anak Sungai Tuara dengan penampang sungai


berbentuk “V” pada stasiun 15, difoto arah N 248° E

54
Foto 4.19 Kenampakan sungai Rante Balla dengan penampang sungai
berbentuk “U” pada stasiun 44, difoto arah N 150° E

Pada sungai-sungai di daerah penelitian, yaitu pada sungai dengan profil

lembah sungai berbentuk “V” masih dijumpai singkapan batuan dasar sungai yang

menunjukkan erosi yang bekerja adalah erosi vertikal, sedangkan profil lembah

sungai berbentuk “U” pada dinding sungai masih dijumpai singkapan dan residual

soil yang menunjukkan erosi lateral juga bekerja, sehingga erosi yang berkembang

pada sungai-sungai dengan profil lembah sungai berbentuk “U” yaitu erosi

vertikal dan lateral.

Berdasarkan data lapangan tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa

stadia sungai pada daerah penelitian adalah stadia sungai muda menjelang dewasa.

4.1.3 Stadia Daerah

Menurut Thornbury (1969) penentuan stadia suatu daerah harus

memperlihatkan hasil kerja proses-proses geomorfologi yang diamati pada

bentuk- bentuk permukaan bumi yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi

dan pelapukan yang bekerja pada suatu daerah mulai saat terangkatnya hingga

pada terjadinya perataan bentangalam. Sedangkan menurut Van Zuidam (1985),

dalam
55
penentuan stadia suatu daerah aspek yang digunakan disebut morfokronologi

dimana penentuan umur relatif suatu daerah dilakukan dengan melihat

perkembangan dari proses geomorfologi yaitu morfografi di lapangan dan analisis

morfometri sebagai pembandingnya.

Tingkat erosi pada daerah penelitian dapat dilihat dari bentuk profil

lembah sungainya yang berbentuk ”V” dan “U” dengan artian bahwa telah terjadi

proses erosi secara lateral dan vertikal di sepanjang Sungai Rante Balla yang

mengalir dari Barat ke Timur daerah penelitian dan erosi vertikal yang bekerja

pada umumnya dijumpai pada anak sungai Rante Balla. Tingkat pelapukan pada

daerah penelitian cukup tinggi ditandai dengan ketebalan soil yang variatif.

Pada daerah penelitian dijumpai adanya bidang-bidang erosi berupa gully

erosion serta gerakan tanah berupa debris slide (material longsoran). Aktivitas

sedimentasi pada daerah penelitian ditandai dengan dijumpainya endapan-

endapan sungai yang berukuran pasir hingga bongkah di sepanjang sungai Rante

Balla yang kemudian setempat-setempat membentuk point bar dan channel bar.

Sungai yang terdapat pada daerah penelitian berupa sungai periodik.

Berdasarkan karakteristik daerah penelitian, maka dapat diinterpretasikan

bahwa stadia daerah penelitian adalah stadia muda menjelang dewasa.

4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian

Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian

didasarkan pada litostratigrafi tidak resmi yang bersendikan pada ciri-ciri litologi,

dominasi batuan, keseragaman gejala litologi, hubungan stratigrafi antara batuan

56
yang satu dengan batuan yang lain dan dapat dipetakan dalam skala 1:25.000

(Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).

Secara umum litologi penyusun daerah penelitian merupakan batuan

metamorf dan batuan beku. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan ciri litologi yang

nampak di lapangan, (ciri-ciri litologi yang dimaksud yaitu karakteristik fisik,

komposisi kimia) dan kontak batuan dimana batas kontak tersebut dapat

ditempatkan pada suatu bidang nyata atau jika terjadi perubahan yang tidak jelas

maka batasnya merupakan suatu bidang diperkiraan.

Berdasarkan interpretasi, pengamatan terhadap data lapangan dan analisis

laboratorium maka urut-urutan stratigrafi daerah penelitian dibagi tiga satuan

batuan, yaitu diuraikan sebagai berikut (dari muda ke tua):

1. Satuan gabro

2. Satuan basal

3. Satuan slate

Pembahasan dan uraian dari urutan satuan stratigrafi daerah penelitian dari

tua ke muda adalah sebagai berikut:

4.2.1 Satuan Slate

Pembahasan satuan slate pada daerah penelitian meliputi penjelasan

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang mencakup

karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis dan mikroskopis, umur

dan lingkungan pembentukan, serta hubungan stratigrafi dengan geologi regional,

serta hubungan dengan satuan batuan diatasnya.

57
4.2.1.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersendikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata. Kemudian penamaannya

menggunakan klasifikasi batuan metamorf menurut Travis (1955).

Secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian penamaan menggunakan klasifikasi batuan metamorf menurut

Travis (1955). Berdasarkan data lapangan, satuan ini disusun oleh dominasi

litologi slate sehingga penamaan satuan batuan ini adalah satuan slate.

4.2.1.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 17,4% dari keseluruhan luas daerah

penelitian atau sekitar 5,38km2. Satuan ini tersingkap di bagian barat daya daerah

penelitian. Jurus daripada foliasi batuan berarah barat laut-tenggara hingga utara

timur laut- selatan barat daya kemiringan batuan relatif ke arah barat daya dengan

sudut 30o – 70o. Berdasarkan data lapangan, sehingga dilakukan perhitungan

ketebalan berdasarkan penampang geologi A-B sehingga diperoleh tebal satuan

yaitu 1025 m.

58
4.2.1.3 Ciri Litologi

Secara megaskopis, litologi slate memiliki kenampakan segar berwarna

merah kecokelatan, kenampakan lapuk berwarna hitam, tekstur sisa berupa tekstur

blastopelitik, struktur slaty cleavage, komposisi mineral yaitu kuarsa dan mineral

lempung. Berdasarkan klasifikasi Travis (1955), nama batuan ini yaitu Slate (Foto

4. 20). Slate yang dijadikan sampel untuk pengamatan petrografi yaitu sampel

dengan nomor ST 21.

Kenampakan petrografis slate pada stasiun 21 dengan kode sampel ST 21

memperlihatkan sayatan tipis dengan warna absorpsi cokelat, tekstur

menunjukkan tekstur sisa, struktur foliasi berupa slaty cleavage, bentuk mineral

anhedral- subhedral, warna interferensi putih keabu-abuan. Komposisi mineral

kuarsa, mineral lempung, dan mineral opaque. Ukuran mineral <0,025-0,3 mm.

Berdasarkan sifat optik dan komposisi mineralnya maka nama batuannya adalah

slate (R. B. Travis, 1955) (Foto 4. 21).

Foto 4.20 Kenampakan slate pada stasiun 17 diambil dengan arah foto N
240°E

59
Foto 4.21 Kenampakan mikroskopis slate pada stasiun 21. Komposisi mineral
terdiri dari mineral lempung (Ml), kuarsa (Qz) dan mineral opaque
(Opq)

4.2.1.4 Umur dan Lingkungan Pembentukan

Penentuan lingkungan pembentukan dari satuan slate ini ditentukan

berdasarkan fasies metamorfisme. Penentuan fasies metamorfisme dari satuan ini

bedasarkan kumpulan mineral penciri dan asal batuannya menurut Yardley (1989).

Tabel 4. 2 Urutan fasies metamorfisme beserta kumpulan mineral penciri serta batuan
asalnya menurut Yardley (1989)

Facies Metabasic Rock Pelitic Rock (with quartz)

Zeolit Laumonite (Most typical), analcite, Mixed layer clays


heulandite, wairakite
Albite- Epidote Albite + epidote + actinolite + Muscovite + biotite + chlorite
chlorite
Hornfels
Actinolite + oligoclase

Hornbelnde Hornblende + plagioclase ± Cordierite + chlorite + biotite +


Hornfels cummingtonite muscovite

Andalusite + biotite + muscovite

Cordierite + andalusite + muscovite


(higher temperature zone)

60
Pyroxene Clinopyroxene + orthopyroxene + Cordierite + andalusit + K-felsdpar
plagioclase ± olivine ± hornblende
Hornfels

Greenschist Actinolite + epidote ± albite ± Chlorite + muscovite + albite (lower


chlorite ± stilpnomelane (lower temperature zone)
temperature zone)
Chlorite + muscovite + biotite +
Hornblende ± actinoloute + albite + albite
chlorite + epidote ± garnet (high
temperature zone) Garnet + chlorite + muscovite +
biotite + albite ( highest temperature
zone)

Chloritoid, paragonite + muscovite +


albite

Amphibolite Hornblende + plagioclase ± epidote Staurolite, kyanite or illimanite +


± garnet muscovite (lowest temperature zone)

Sillimanite + K-Feldspar ±
muscovite + cordierete or garnet

Sillimanite + garnet + cordierite + no


K-feldspar (high temperature zone)

Granulite Orthopyroxene + clinopyroxene + Cordierite + garnet + K- feldspar +


plagioclase ± olivine ± hornblende sillimanite (moderate pressure)
(low pressure)
Kyanite + K-Feldspar (high pressure)
Garnet + clinopyroxene +
orthopyroxene + plagioclase ± Hyperstene, saphirine + quartz (high
hornblende (medium pressure) temperature)

Garnet + clinopyroxene + quartz +


plagioclase ± hornblende (high
pressure)

Blueschist Glaucophane + lawsonite Phengite + chlorite or talc + garnet,


no biotite

Eclogite Omphacite + garnet, no plagioclase, Talc + kyanite ± garnet ± muscovite


no lawsonite

61
Gambar 4. 2 Diagram fasies metamorfisme yang memperlihatkan hubungan
antara temperatur dan tekanan menurut Yardley (1989) yang
perbaharui oleh Liou, dkk (2001)

Gambar 4. 3 Ilustrasi skema penampang fasies metamorfisme pada busur


kepulauan (Ernst, 1976)

Berdasarkan kehadiran mineral kuarsa, dan mineral lempung maka satuan

ini terbentuk pada fasies Zeolite serta berdasarkan diagram fasies metamorfisme

62
memperlihatkan bahwa fasies ini terbentuk pada kedalaman 0-20 km dan tekanan

antara 0-0.6 GPa, dengan temperatur berkisar antara 100oC-200oC (Yardley,1989).

Penentuan umur pada satuan ini ditentukan berdasarkan pada ciri fisik

litologi dan posisi stratigrafi yang disebandingkan dengan umur batuan pada

geologi regional lembar Majene dan Palopo Bagian Barat. Karakteristik batuan

pada Formasi Latimojong (Kls), terdiri atas serpih, slate, filit, rijang, marmer,

kuarsit dan breksi terkersikkan (Sudjatmiko, dkk,1998). Menurut Ratman dan

Atmawinata (1993), pada Kapur Akhir terbentuk Formasi Latimojong dalam

lingkungan laut dalam, terutama terbentuk di bagian timur.

Berdasarkan kesamaan ciri fisik dan posisi stratigrafinya serta letak

geografis maka satuan slate pada daerah penelitian dapat disebandingkan dengan

anggota Formasi Latimojong, yang berumur Kapur Akhir (Sudjatmiko, dkk,1998).

4.2.1.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi satuan slate pada daerah penelitian secara geologi

regional dikorelasikan dengan Formasi Latimojong (Sudjatmiko, dkk, 1998).

Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan yang lebih tua tidak diketahui

karena tidak tersingkap di daerah penelitian. Sedangkan hubungan dengan satuan

yang lebih muda yaitu berupa ketidakselarasan (kontak lelehan) dengan satuan

basal dan kontak intrusi dengan satuan gabro pada daerah penelitian.

4.2.2 Satuan Basal

Pembahasan satuan basal pada daerah penelitian meliputi penjelasan

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang mencakup

63
karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis dan mikroskopis, umur

dan lingkungan pembentukan, serta hubungan stratigrafi dengan geologi regional,

serta hubungan dengan satuan batuan diatasnya.

4.2.2.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersendikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata, kemudian penamaannya

menggunakan klasifikasi beku menurut Fenton (1940) dalam Graha (1987).

Secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian penamaan menggunakan klasifikasi batuan beku menurut Travis

(1955). Berdasarkan data lapangan, satuan ini disusun oleh litologi basal sehingga

penamaan satuan batuan ini adalah satuan basal.

4.2.2.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 41,6% dari keseluruhan luas daerah

penelitian atau sekitar 12,81km2. Satuan ini tersebar pada bagian Tenggara hingga

Barat Laut. Satuan ini meliputi Buntu Posi, Buntu Karua dan Buntu Kajubulan.

64
Ketebalan satuan ini tidak dapat ditentukan dengan dasar interpretasi

karena satuan ini merupakan batuan beku yang batas bawahnya tidak dapat

ditentukan di lapangan.

4.2.2.3 Ciri Litologi

Secara megaskopis, litologi basal pada daerah penelitian memiliki

kenampakan segar berwarna abu-abu sampai hijau, kenampakan lapuk cokelat,

tekstur kristalinitas holohyalin, granularitas afanitik, fabrik bentuk anhedral -

subhedral relasi equigranular, komposisi mineral plagioklas 30% piroksin 20%,

massa dasar 60%, struktur massif. Berdasarkan ciri fisik dan komposisi mineral

maka nama batuan yaitu basal (Fenton, 1940) (Foto 4.22).

Foto 4. 22 Kenampakan basal pada stasiun 5 diambil dengan arah foto N


170°E

Kenampakan mikroskopis dari basal dengan nomor sayatan 60. Secara

umum, kenampakan petrografinya menunjukkan Warna absorbsi abu-abu

kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehitaman, bentuk mineral anhedral-

subhedral. Tekstur batuan afanitik serta nampak tekstur aliran mineral plagioklas

65
dan piroksin yang menandakan batuan ini terbentuk melalui proses ekstrusif atau

lelehan. Komposisi material terdiri dari piroksin, plagioklas, mineral opaque dan

massa dasar. Ukuran mineral 0,025 mm – 0,5 mm. Berdasarkan sifat optik dan

komposisi mineralnya maka nama batuannya adalah Basal (R. B. Travis, 1955).

(Foto 4. 23).

Foto 4. 23 Kenampakan mikroskopis basal pada stasiun 60. Komposisi


mineral terdiri dari massa dasar (Gm), plagioklas (Pl),
Piroksin (Prx), dan mineral opaque (Opq).

4.2.2.4 Umur dan Lingkungan Pembentukan

Penentuan umur pada satuan ini ditentukan berdasarkan pada ciri fisik

litologi dan posisi stratigrafi yang disebandingkan dengan umur batuan pada

geologi regional lembar Majene dan Palopo Bagian Barat. Karakteristik Batuan

Gunungapi Lamasi (Tolv) pada geologi regional terdiri atas lava andesit, basal,

breksi gunungapi, batupasir dan batulanau; setempat mengandung feldspatoid

(Sudjatmiko, dkk, 1998).

Ciri fisik satuan basal pada daerah penelitian memperlihatkan kenampakan

segar berwarna abu-abu sampai hijau, kenampakan lapuk cokelat, tekstur

kristalinitas holohyalin, granularitas afanitik, fabrik bentuk anhedral - subhedral

66
relasi equigranular, komposisi mineral plagioklas piroksin, massa dasar, struktur

massif. Berdasarkan kesamaan ciri fisik dan posisi stratigrafinya serta letak

geografis maka satuan basal pada daerah penelitian dapat disebandingkan dengan

anggota Batuan Gunungapi Lamasi yang berumur Oligosen.

Untuk lingkungan pembentukan, didasarkan ciri fisik litologi yaitu tekstur

batuan yang tersusun oleh massa dasar dan komposisi mineral yang dominan

berupa plagioklas dan piroksin menandakan bahwa batuan merupakan batuan

yang terbentuk pada kerak samudera.

4.2.2.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi satuan basal pada daerah penelitian secara geologi

regional dikorelasikan dengan Batuan Gunungapi Lamasi (Sudjatmiko, dkk,

1998). Hubungan satuan batuan ini dengan satuan batuan yang lebih tua yaitu

tidak selaras berupa kontak ekstrusif dengan satuan slate. Sedangkan hubungan

dengan satuan yang lebih muda yaitu tidak selaras berupa kontak intrusi dengan

satuan gabro.

4.2.3 Satuan Gabro

Pembahasan satuan gabro pada daerah penelitian meliputi penjelasan

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang mencakup

karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis dan mikroskopis, umur

dan lingkungan pembentukan, serta hubungan stratigrafi dengan geologi regional,

dan hubungan dengan satuan batuan diatasnya.

67
4.2.3.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersendikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata, kemudian penamaannya

menggunakan klasifikasi beku menurut Fenton (1940) dalam Graha (1987).

Secara mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk

pengamatan sifat fisik mineral serta pemerian komposisi mineral secara spesifik

yang kemudian penamaan menggunakan klasifikasi batuan beku menurut Travis

(1955). Berdasarkan data lapangan, satuan ini disusun oleh litologi gabro sehingga

penamaan satuan batuan ini adalah satuan gabro.

4.2.3.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 41% dari keseluruhan luas daerah penelitian

atau sekitar 12,59km2. Satuan ini tersebar pada bagian Utara dan Timur Laut

hingga Barat daerah penelitian.

Ketebalan satuan ini tidak dapat ditentukan dengan dasar interpretasi

karena satuan ini merupakan batuan beku yang batas bawahnya tidak dapat

ditentukan di lapangan.

68
4.2.3.3 Ciri Litologi

Secara megaskopis, litologi gabro pada daerah penelitian memiliki

kenampakan segar berwarna abu-abu sampai hitam, kenampakan lapuk cokelat,

tekstur kristalinitas holokristalin, granularitas faneritik, fabrik bentuk euhedral-

subhedral relasi equigranular, komposisi mineral piroksin 60%, plagioklas 40%

struktur massif. Berdasarkan ciri fisik dan komposisi mineral maka nama batuan

yaitu gabro (Fenton, 1940) (Foto 4.24).

Foto 4. 24 Kenampakan gabro pada stasiun 3 diambil dengan arah foto N


62° E
Kenampakan mikroskopis dari gabro dengan nomor sayatan ST 01. Secara

umum, kenampakan petrografinya menunjukkan warna absorbsi abu-abu

kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehitaman. Bentuk mineral subhedral-

anhedral. Tekstur batuan faneritik. Komposisi mineral terdiri dari mineral

bitownit, augit, diopsid, olivin dan mineral opaque. Ukuran mineral 0,05mm –

1,75 mm.. Berdasarkan sifat optik dan komposisi mineralnya maka nama

batuannya adalah Gabro (R. B. Travis, 1955). (Foto 4. 25).

69
Foto 4.25 Kenampakan mikroskopis gabro pada stasiun 1. Komposisi
mineral terdiri dari bitownit (Pl), augit (Aug), diopsid (Di), dan
mineral opaque (Opq)

4.2.3.4 Umur dan Lingkungan Pembentukan

Penentuan umur pada satuan ini ditentukan berdasarkan pada ciri fisik

litologi dan posisi stratigrafi yang disebandingkan dengan umur batuan pada

geologi regional lembar Majene dan Palopo Bagian Barat. Karakteristik Batuan

Terobosan (Tmpi) pada geologi regional terdiri atas Umumnya batuan beku

bersusunan asam sampai menengah seperti granit, granodiorit, diorit, senit,

monzonit kuarsa den riolit; setempat dijumpai gabro (Sudjatmiko, dkk, 1998).

Ciri fisik satuan gabro pada daerah penelitian memperlihatkan

kenampakan segar berwarna abu-abu sampai hitam, kenampakan lapuk cokelat,

tekstur kristalinitas holokristalin, granularitas faneritik, fabrik bentuk euhedral-

subhedral relasi equigranular, komposisi mineral piroksin, hornblede, plagioklas,

struktur massif. Berdasarkan kesamaan ciri fisik dan posisi stratigrafinya serta

letak geografis maka satuan basal pada daerah penelitian dapat disebandingkan

dengan anggota Batuan Terobosan yang berumur Pliosen.

70
Untuk lingkungan pembentukan, didasarkan ciri fisik litologi yaitu tekstur

batuan yang tersusun oleh piroksin, hornblende dan plagioklas dan juga

berdasarkan hasil analisis geokimia menunjukkan bahwa batuan merupakan

batuan yang terbentuk pada kerak samudera.

4.2.3.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi satuan gabro dengan satuan yang lebih tua yaitu

satuan slate dan satuan basal adalah tidak selaras berupa kontak intrusi sedangkan

untuk batuan yang lebih muda tidak diketahui karena tidak tersingkap pada daerah

penelitian.

4.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian

Pembahasan tentang struktur geologi daerah penelitian menjelaskan

tentang pola struktur geologi, identifikasi jenis struktur geologi, umur dari struktur

geologi yang dihubungkan dengan stratigrafi daerah penelitian dan interpretasi

mekanisme gaya yang menyebabkan terjadinya struktur geologi pada daerah

penelitian. Penentuan struktur geologi didasarkan pada data yang diperoleh berupa

data primer maupun sekunder dan interpretasi pada peta topografi daerah

penelitian. Berdasarkan pengamatan di lapangan maka diperoleh data penciri

struktur geologi primer adanya mata air, perubahan kedudukan batuan,

tersingkapnya batuan tua dipermukaan serta data penciri struktur geologi sekunder

berupa kondisi topografi dan kekar. Struktur geologi yang berkembang pada

daerah penelitian

berdasarkan penciri struktur yang dijumpai di lapangan adalah struktur kekar.

71
Kekar adalah susunan regular dari sepanjang retakan yang mana tidak

mengalami pergerakan (Mc Clay, 1987). Menurut Asikin (1979) kekar adalah

sebutan untuk struktur rekahan dalam batuan dimana tidak ada atau sedikit sekali

mengalami pergeseran. Penentuan jenis kekar pada daerah penelitian didasarkan

pada bentuk dan cara terjadinya. Pengelompokkan kekar berdasarkan pada

bentuknya, Hodgson dalam Asikin (1979) membedakan kekar menjadi dua bentuk

kekar, yaitu; kekar sistematik dan kekar yang tak sistematik. Kekar sistematik

selalu dijumpai dalam pasangan (set), tiap pasangan ditandai oleh arahnya yang

serba sejajar, atau hampir sejajar bila dilihat dari kenampakan di atas permukaan.

Kekar tak sistematik dapat dijumpai saling bertemu, tetapi tidak selalu memotong

kekar lainnya.

Ada 3 tipe dasar kekar – kekar yang umum ditemukan didasarkan pada

bentuknya (Mc Clay, 1987) (gambar 4.4) yaitu :

 Dilatation joints: kekar tarikan (extension joint) dengan bidang rekahan

normal terhadap tegasan minimum paling sedikit selama pembentukan

kekar (gambar 4.4 a).

 Shear joints: sering berubah, berbentuk menyilang dengan sudut 60 o atau

lebih. Bidang kekar dapat menunjukkan jumlah yang kecil dari

penggantian gerus (gambar 4.4 c).

 Kombinasi dari shear dan extension joints: diistilahkan hybrid joint karena

menunjukkan komponen keduanya yaitu shear dan extension (Gambar 4.4

e).

72
Gambar 4.4 Tipe – tipe dasar kekar berdasarkan bentuknya (Mc
Clay,1987)

Klasifikasi kekar berdasarkan bentuknya, menurut Hodgson dalam Asikin

(1979) terdiri atas:

a. Kekar Sistematik yaitu kekar yang umumnya selalu dijumpai dalam bentuk

pasangan. Tiap pasangannya ditandai oleh arahnya yang serba sejajar atau

hampir sejajar jika dilihat dari kenampakan di atas permukaan.

b. Kekar Tak Sistematik yaitu kekar yang tidak teratur susunannya, dan

biasanya tidak memotong kekar yang lainnya dan permukaannya selalu

lengkung dan berakhir pada bidang perlapisan.

Pengelompokan kekar berdasarkan genetiknya terdiri atas :

a. Compression Joints atau kekar gerus yaitu kekar yang diakibatkan oleh

adanya tekanan biasanya dikenal juga dengan shear joints.

b. Extention Joints atau kekar tarik merupakan kekar yang diakibatkan oleh

tarikan, terbagi atas dua jenis yaitu:

- Extention joint yaitu kekar yang disebabkan oleh tarikan / pemekaran.

- Release joints yaitu kekar yang disebabkan karena berhentinya gaya

bekerja.

73
Pada daerah penelitian sistem kekar menunjukkan kecenderungan tak

sistematis. Data kekar daerah penelitian diukur pada litologi basal yaitu pada

stasiun 13 dengan data sebagaimana dicantumkan pada Tabel 4.1. Pengolahan

data kekar pada daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan software

stereonet.

Foto 4. 26 Kekar tidak sistematik dari singkapan basal pada stasiun 13 dengan
arah pengambilan foto N 220° E

Tabel 4.3 Data kekar yang diukur pada stasiun 13

Strike/dip Strike/dip

No (N...°E/…) No (N...°E/…)

Strike Dip Strike Dip

1 6 33 36 147 44

2 328 24 37 142 44

3 324 32 38 141 41

4 212 61 39 139 44

5 203 54 40 146 45

6 204 67 41 97 41

74
7 160 49 42 95 44

8 168 43 43 149 48

9 166 41 44 162 34

10 171 34 45 132 31

11 168 39 46 215 46

12 103 35 47 206 52

13 128 40 48 189 36

14 123 40 49 210 40

15 125 31 50 210 36

16 126 28 51 223 60

17 105 39 52 189 59

18 82 40 53 193 38

19 192 47 54 193 48

20 201 42 55 193 49

21 177 42 56 221 43

22 198 44 57 230 59

23 187 50 58 226 64

24 190 44 59 210 49

25 181 46 60 184 54

26 185 43 61 183 42

27 144 46 62 212 43

28 183 53 63 206 55

29 175 55 64 203 39

30 180 53 65 226 45

31 205 47 66 230 51

32 177 44 67 240 54

33 113 47 68 195 38

75
34 125 42 69 219 29

35 133 41 70 218 59

Berdasarkan hasil pengolahan data kekar pada litologi basal dengan

menggunakan software stereonet memperlihatkan tegasan utama maksimum (1)

N 260o E, tegasan utama menengah (2) N 168o E, dan tegasan utama minimum

(3) N 349o E (gambar 4.5).

Tabel 4.4 Hasil Analisis Kekar pada stasiun 13


𝛔𝟏 𝛔𝟐 𝛔𝟑

N 260O E / 5O E N 168O E / 43O E N 349O E / 44O E

Gambar 4. 5 Pengolahan data kekar: (a) plot data kekar pada stereonet
(Shcmidt Net); (b) pola kontur berdasarkan frekuensi kekar;
(c) tegasan maksimum (σ1), tegasan menengah (σ2) dan
tegasan mininmum(σ3).

76
Berdasarkan hasil analisa data kekar di atas, maka diperoleh arah tegasan

utama maksimum yang bekerja pada daerah penelitian yaitu relatif berarah Barat

Barat Daya – Timur Timur Laut.

4.4 Mekanisme Struktur Geologi Daerah Penelitian

Mekanisme pembentukan struktur geologi yang bekerja pada daerah

penelitian dapat dijelaskan melalui pendekatan teori Reidel (dalam McClay 1987)

yang merupakan modifikasi dari teori Harding 1974 (Gambar 4. 6) serta

digabungkan dengan data hasil analisis kekar dan penciri sesar yang dijumpai di

lapangan.

Berdasarkan hasil pengukuran kekar arah tegasan utama maksimum (σ1)

yang bekerja pada daerah penelitian yaitu relatif berarah barat barat laut – timur

timur laut. Penentuan arah tegasan utama yang bekerja pada daerah penelitian

didasarkan pada pola umum hasil pengolahan dan analisa data kekar dengan

menggunakan stereografi.

Gambar 4. 6 Mekanisme terjadinya sesar, berdasarkan sistem Reidel,


modifikasi dari Teori Harding (1974) dalam Mc Clay
(1987).

77
Mekanisme pembentukan struktur daerah penelitian berdasarkan teori

Reidel dalam McClay (1987), diawali oleh kegiatan tektonik secara regional yaitu

gaya endogen yang berarah timur laut menghasilkan tegasan utama maksimum

(σ1) yang berarah N 260o E sehingga terbentuk rekahan-rekahan yang belum

bergeser pada batuan yang disebut dengan kekar. (Gambar 4. 7).

Gambar 4. 7 Mekanisme pembentukan struktur pada daerah penelitian

4.5 Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Sejarah geologi daerah Rante Balla dimulai pada kala Kapur Akhir. Proses

ini diawali dengan terjadinya proses metamorfisme pada batulempung yang

menyebabkan batulempung berubah menjadi slate dan membentuk satuan slate.

Keberadaan slate (Formasi Latimojong) kemungkinan disebabkan oleh aktivitas

pengangkatan yang terjadi selama kala Paleosen.

Setelah satuan slate terangkat pada lokasi penelitian, tidak terjadi

pembentukan batuan hingga kala Oligosen. Pada kala Oligosen terjadi aktivitas

vulkanik pada Gunungapi Lamasi berupa erupsi yang bersifat efusif mengeluarkan

78
aliran lava yang mengandung magma basaltik dan membentuk batuan beku basal.

Proses pembentukan satuan ini berakhir pada kala Oligosen.

Setelah satuan basal terbentuk pada lokasi penelitian, tidak terjadi lagi

pembentukan batuan hingga kala Pliosen. Pada kala Pliosen terjadi intrusi magma

yang bersifat basa menuju permukaan pada kerak benua, mengintrusi satuan slate

dan basal. Proses ini menyebabkan terbentuknya satuan gabro pada daerah

penelitian. Pembentukan satuan ini berkahir pada kala Pliosen.

Akhir dari proses geologi yaitu pada kala Holosen dimana terjadi proses

geologi muda berupa proses erosi, pelapukan dan sedimentasi yang menyebabkan

terbentuknya endapan - endapan sungai. Adapun proses ini masih terus

berlangsung hingga sekarang yang kemudian mengontrol pembentukan

bentangalam pada daerah penelitian.

4.6 Indikasi Bahan Galian Daerah Penelitian

Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, bab VI pasal

34 tentang usaha pertambangan, maka dapat diindikasikan bahan galian pada

daerah penelitian termasuk dalam ayat (2) yaitu pertambangan batuan.

Berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan

kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara pada bab I ketentuan umum

pasal 2 ayat 2, maka bahan galian pada daerah penelitian termasuk dalam point d

yaitu golongan komoditas tambang batuan.

Keterdapatan bahan galian pada daerah penelitian tidak terlepas dari jenis

litologi penyusunnya serta proses geologi yang berlangsung di daerah penelitian.

79
Hal tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan, penyebaran, jumlah atau

volume serta mutu bahan galian tersebut.

Pemetaan bahan galian daerah penelitian didasarkan atas beberapa faktor

yaitu keterjangkauan lokasi oleh sarana transportasi, ketersediaan bahan galian

dalam jumlah yang cukup untuk dikelola dan dimanfaatkan oleh penduduk

setempat.

4.7 Pemanfaatan Bahan Galian Daerah Penelitian

Penentuan pemanfaatan bahan galian suatu daerah membutuhkan

informasi mengenai bahan galian di daerah penelitian seperti lokasi keterdapatan,

genesa, asosiasi litologi penyusun bahan galian tersebut, karakteristik fisik serta

dinilai ekonomis untuk dilakukan pengelolaan lebih lanjut.

Pada daerah penelitian, potensi bahan galian yang dapat dijumpai adalah

sirtu dan gabro. Bahan galian sirtu terdapat di sungai Rante Balla yang terletak di

tengah daerah penelitian (Gambar 4.27) sedangkan bahan galian gabro tersebar

pada bagian utara dan timur laut daerah penelitian.

Kenampakan fisik dari bahan galian sirtu berupa material sedimen

berukuran kerakal hingga bongkah yang dapat dikenali yaitu sekis, filit, slate,

gabro, dan basalt, serta material berukuran pasir dan lempung. Bahan galian ini

dapat digunakan sebagai bahan campuran dari pondasi bangunan.

Berdasarkan sifat fisik batuan gabro maka bahan galian ini berpotensi

untuk digunakan sebagai bahan bangunan terutama untuk pondasi dan dapat

dipoles menjadi ubin (Gambar 4.28).

80
Foto 4. 27 Kenampakan potensi bahan galian sirtu di Sungai Rante
Balla pada stasiun 52

Foto 4. 28 Kenampakan potensi bahan galian gabro pada stasiun 2

81
BAB V
PETROGENESA BATUAN GABRO

5.1 Petrologi dan Petrografi Batuan Gabro

Secara megaskopis, litologi gabro pada stasiun ST-01 daerah penelitian

memiliki kenampakan segar berwarna abu-abu sampai hitam, kenampakan lapuk

cokelat, kristalinitas holokristalin, granularitas faneritik, bentuk mineral euhedral-

subhedral, relasi equigranular, komposisi mineral piroksin 60%, plagioklas 40%

struktur massif. Berdasarkan ciri fisik dan komposisi mineral maka nama batuan

yaitu gabro (Fenton, 1940) (Foto 5.1).

Foto 5.1 Kenampakan gabro pada stasiun ST-01 diambil dengan arah foto
N 260° E

Kenampakan mikroskopis dari gabro dengan nomor sayatan ST-01. Secara

umum, kenampakan petrografinya menunjukkan warna absorbsi abu-abu

kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehitaman. Bentuk mineral subhedral-

anhedral. Tekstur batuan faneritik. Komposisi mineral terdiri dari mineral

bitownit,

82
augit, diopsid, olivin dan mineral opaque. Ukuran mineral 0,05mm-1,75 mm.

Berdasarkan sifat optik dan komposisi mineralnya maka nama batuannya adalah

gabro (R. B. Travis, 1955). (Foto 5.2).

Foto 5.2 Kenampakan mikroskopis gabro pada stasiun 1. Komposisi mineral terdiri
dari bitownit (Pl), augit (Aug), diopsid (Di), dan mineral opaque (Opq)

Secara megaskopis, litologi gabro pada stasiun ST-53 daerah penelitian

memiliki kenampakan segar berwarna abu-abu sampai hitam, kenampakan lapuk

cokelat, kristalinitas holokristalin, granularitas faneritik, bentuk mineral euhedral-

subhedral, relasi equigranular, komposisi mineral piroksin 65%, plagioklas 35%

struktur massif. Berdasarkan ciri fisik dan komposisi mineral maka nama batuan

yaitu gabro (Fenton, 1940) (Foto 5.3).

83
Foto 5.3 Kenampakan gabro pada stasiun ST-53 diambil dengan
arah foto N 260° E

Kenampakan mikroskopis dari gabro dengan nomor sayatan ST-53. Secara

umum, kenampakan petrografinya menunjukkan warna absorbsi abu-abu

kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehitaman. Bentuk mineral subhedral-

anhedral. Tekstur batuan faneritik. Komposisi mineral terdiri dari mineral

bitownit, dan diopsid. Ukuran mineral 0,3mm-3mm. Berdasarkan sifat optik dan

komposisi mineralnya maka nama batuannya adalah gabro (R. B. Travis, 1955).

(Foto 5.4).

84
Foto 5.4 Kenampakan mikroskopis gabro pada stasiun 1. Komposisi mineral terdiri
dari bitownit (Pl), augit (Aug), diopsid (Di), dan mineral opaque (Opq)

5.2 Geokimia Batuan Gabro

Berdasarkan hasil uji geokimia menggunakan metode X-Ray Flourescence

pada 4 sampel batuan (ST-01, ST-45, ST-46 dan ST-53) yang dilakukan di

laboratorium geokimia PT. Jasa Mutu Mineral Indonesia. Diperoleh konsentrasi

nilai unsur oksida mayor seperti Fe2O3, Al2O3, CaO, MgO, MnO, Cr2O3, Na2O,

K2O, TiO2, SiO2 dan P2O5 (Tabel 5.1)

Tabel 5.1 Hasil uji nilai unsur oksida mayor pada daerah penelitian (Lab.
Geokimia PT. Jasa Mutu Mineral Indonesia)
SiO2 TiO2 Al2O3 Fe2O3 MnO MgO CaO Na2O K2O Cr2O3 P2O5 Total
Sampel (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
(%) (%) (%) (%)
ST-01 46.89 0.48 18.1 5.08 0.09 10.04 15.02 <0.01 0.02 0.11 0.01 95.85
ST-45 50.24 1.19 15.75 6.57 0.11 7.73 12.64 <0.01 0.12 0.08 0.04 94.48
ST-46 50.02 1.22 12.88 12.36 0.22 8.46 9.14 <0.01 0.16 0.06 0.07 94.60
ST-53 49.22 1.36 15.73 7.6 0.12 8.36 12.37 <0.01 0.16 0.08 0.05 95.06

5.3 Penamaan Batuan

Penentuan nama batuan dilakukan berdasarkan komposisi SiO2 dan Na2O

+ K2O dalam klasifikasi Middlemost 1994 yang didasarkan atas perbandingan

terhadap nilai dari silika dengan alkali. Pada sampel ST-01 dengan komposisi

85
(SiO2) 46,89 wt% versus (Na2O + K2O) 0,03 wt% menunjukkan bahwa jenis

batuannya yaitu gabbro. Pada sampel ST-45 komposisi (SiO2) 50,24 wt% versus

(Na2O + K2O) 0,13 wt%, berdasarkan nilai tersebut menunjukan bahwa jenis

batuannya yaitu gabbroic diorite. Pada sampel ST-46 komposisi (SiO2) 50,02 wt

% versus (Na2O + K2O) 0,17 wt%, berdasarkan nilai tersebut menunjukan bahwa

jenis batuannya yaitu gabbroic diorite. Pada sampel ST-53 komposisi (SiO2)

49,22 wt% versus (Na2O + K2O) 0,17 wt%, berdasarkan nilai tersebut

menunjukan bahwa jenis batuannya yaitu gabbro (Gambar 5.1). Pada setiap

sampel yang telah dianalisis didapatkan perbedaan pada penamaan batuan dimana

hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kandungan SiO2.

Tabel 5.2 Komposisi SiO2 (wt%) versus Na2O + K2O (wt%) pada setiap batuan

Sampel SiO2 (wt%) Na2O+ K2O (wt%)

ST-01 46.89 0.03


ST-45 50.24 0.13
ST-46 50.02 0.17
ST-53 49.22 0.17

86
Gambar 5.1 Hasil plotting major element (SiO2 vs Na2O + K2O) pada
klasifikasi batuan beku plutonik (Middlemost, 1994)

5.4 Jenis dan Afinitas Magma

Penentuan jenis magma mengacu pada nilai kandungan SiO2 pada batuan

penyusun. Berdasarkan hasil analisis geokimia maka kandungan SiO2 pada batuan

penyusun daerah penelitian berkisar 46,89 wt % - 50,24 wt% (Tabel 5.1) maka

jenis magma dari batuan ini adalah magma basa (Le Maitre et al., 1989 dalam

Rollinson, 1993) (Tabel 5.2). Hal ini juga diperkuat dengan hasil analisis

petrografi yang menunjukkan adanya mineral-mineral silikat yang bersifat basa

hingga ultrabasa seperti bitownit, augit, diopsid hingga olivin.

Tabel 5.3 Klasifikasi magma berdasarkan kandungan SiO 2 (%) atau derajat
keasaman (Le Maitre et al., 1989 dalam Rollinson, 1993)
Nama Batuan Kandungan Silika
Batuan Asam > 63%
Batuan Intermediet 52–63%
Batuan Basa 45–52%
Batuan Ultrabasa < 45%

87
Pada diagram afinitas magma Peccerillo and Taylor (1976),

memperlihatkan bahwa batuan gabro pada daerah penelitian termasuk dalam

Tholeiite Series (Gambar 5.2). Tingginya nilai MgO yang berkisar antara 7,73 wt

% - 10,04 wt% menandakan batuan tersebut tersusun utama atas mineral

magnesium seperti olivin dan piroksen. Rendahnya nilai K2O yang berkisar antara

0,02 wt% - 0,16 wt% pada batuan sangat mungkin disebabkan karena batuan

berasal dari lempeng samudra (Hartono, 2009).

Gambar 5.2 Plotting data afinitas batuan gabro daerah penelitian (diagram menurut
Peccerillo dan Taylor, 1976) menunjukan Tholeiite series

5.5 Evolusi Magma

Dalam penentuan evolusi magma dapat dilihat dalam diagram variasi

kandungan major element (oksida) terhadap senyawa SiO2 (Harker, 1909 dalam

Rollinson, 1993). Dalam diagram ini akan menampilkan korelasi positif atau

negative dari kandungan oksida major element terhadap SiO2. Dari hasil

88
pengeplotan unsur mayor pada diagram Harker menunjukan korelasi positif pada

senyawa TiO2, K2O, dan Fe2O3 terhadap SiO2 yang ditandai oleh bertambahnya

kandungan senyawa oksida saat terjadi penambahan senyawa SiO 2 sedangkan

untuk korelasi negatif pada senyawa Al2O3, MgO, CaO dan Na2O terhadap SiO2

yang ditandai oeh berkurangnya kandungan senyawa oksida saat terjadi

penambahan senyawa SiO2. Korelasi positif ditunjukkan dengan garis linear yang

condong kekanan dan untuk korelasi negatif ditunjukkan dengan garis linear yang

condong kekiri dimana variabel senyawa oksida sebagai ordinat berbanding lurus

dengan variabel SiO2 sebagai absis.

Korelasi positif mengindikasikan unsur tersebut mengalami pengayaan dan

belum mengalami proses kristalisasi fraksinasi dan masih berada dalam larutan

magma, sedangkan korelasi negatif mengindikasikan unsur ataupun senyawa

tersebut telah mengalami proses kristalisasi fraksinasi yang menyebabkan

senyawa atau unsur tersebut tidak lagi berada dalam larutan dan mengalami proses

kristalisasi membentuk mineral.

Hasil analisis pada diagram memperlihatkan adanya korelasi negatif pada

senyawa Al2O3, MgO, CaO dan Na2O dengan silika (SiO2) dimana ketika

senyawa Al2O3, MgO, CaO dan Na2O mengalami peningkatan maka SiO2

mengalami penurunan, hal ini mengingikasikan terjadinya proses kristalisasi

fraksinasi pada magma yang diinterpretasi membentuk mineral bitownit (Ca, Na)

[Al(Al,Si)Si2O8], diopside (CaMgSi2O6) dan olivin [(Mg Fe)2SiO4]. Sedangkan

korelasi positif terlihat pada pada senyawa TiO2, K2O dan Fe2O3 dengan silika

(SiO2) dimana ketika senyawa TiO2, K2O dan Fe2O3 mengalami

89
peningkatan maka terjadi pula

90
peningkatan pada SiO2, hal ini mengindikasikan terjadinya proses pembentukan

mineral augit [(Ca Na) (Mg Fe Al Ti)(Si Al)2O6] dan olivin [(Mg Fe)2SiO4].

Gambar 5.3 Hasil plotting Al2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O, TiO2 dan Fe2O3 terhadap
SiO2 pada diagram variasi (Harker, 1909 dalam Rollinson, 1993)

5.6 Petrogenesa dan Geotektonik Batuan

Berdasarkan hasil pengamatan petrografis yang dilakukan, dapat

91
diinterpretasikan bahwa batuan yang berada pada daerah penelitian adalah gabro

berdasarkan kandungan mineral pada batuan tersebut. Berdasarkan pengamatan

92
petrografis, dijumpai mineral penyusun batuan seperti olivin dan piroksin yang

merupakan mineral silikat yang kaya akan magnesium dan miskin besi.

Kehadiran mineral olivin dan piroksin serta tekstur dan struktur mineral pada

sayatan gabro dapat menjadi indikasi bahwa batuan gabro pada daerah penelitian

berasal dari kerak samudera (oceanic crust).

Penentuan lingkungan tekntonik pembentukan batuan dilakukan

berdasarkan analisis senyawa Al2O3 vs FeO vs MgO yang diplot pada diagram

Pierce et al, 1977. Pada sampel ST-01 dengan komposisi (Al2O3) 18,1 wt% versus

(FeO) 5,08 wt% versus (MgO) 10,04 wt% menunjukkan bahwa batuan terbentuk

pada lingkungan tektonik Ocean Ridge and Floor. Pada sampel ST-45 dengan

komposisi (Al2O3) 15,75 wt% versus (FeO) 6,57 wt% versus (MgO) 7,73 %wt

menunjukkan bahwa batuan terbentuk pada lingkungan tektonik Ocean Ridge and

Floor. Pada sampel ST-46 dengan komposisi (Al 2O3) 12,88 wt% versus (FeO)

12,36 wt% versus (MgO) 8,46 %wt menunjukkan bahwa batuan terbentuk pada

lingkungan tektonik Ocean Island. Pada sampel ST-53 dengan komposisi (Al2O3)

15,73 wt% versus (FeO) 7,6 wt% versus (MgO) 8,36 %wt menunjukkan bahwa

batuan terbentuk pada lingkungan tektonik Ocean Ridge and Floor (Gambar 5.4).

93
Gambar 5.4 Diagram Fe2O3 vs MgO vs Al2O3, untuk batuan ultrabasa dan basa
merujuk pada Pearce et al, 1977, dimana tektonik setting pembentukan
batuan terletak pada Ocean Island dan Ocean Ridge and Floor

Berdasarkan lingkungan tektonik pembentukan batuan (Gambar 5.5), maka

dapat diinterpretasi bahwa magma pembentuk batuan berasal dari pelelehan

sebagian mantel bagian atas karena adanya pelepasan tekanan oleh batuan induk

karena proses divergen (Wilson, 1989).

Gambar 5.5 Lingkungan tektonik pembentukan batuan gabro pada


daerah penelitian (Wilson, 1989)

94
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada daerah Rante Balla,

maka dapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Daerah penelitian tersusun oleh satuan geomorfologi perbukitan

denudasional dan satuan geomorfologi pegunungan denudasional. Jenis

sungai yang berkembang adalah sungai periodik, sedangkan secara genetik

berupa sungai subsekuen, obsekuen dengan pola aliran berupa pola aliran

paralel. Stadia daerah adalah muda menjelang dewasa.

2. Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan litostratigrafi tidak resmi tersusun

atas tiga satuan yaitu satuan slate, satuan basal dan satuan gabro.

3. Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian adalah kekar.

Kekar yang terbentuk pada daerah penelitian termasuk dalam kekar non

sistematis.

4. Indikasi bahan galian pada daerah penelitian berupa bahan galian sirtu

(pasir dan batu) dan gabro.

5. Nama batuan pada sampel ST-01 dan ST-53 yaitu gabbro (Middlemost,

1994) dan pada sampel ST-45 dan ST-46 yaitu gabbroic diorite

(Middlemost, 1994).

6. Jenis magma pembentuk batuan yaitu magma basa. Afinitas magma

pembentuk batuan gabro di daerah penelitian menurut Peccerillo dan

Taylor, 1976 dalam Rollinson, 1993 termasuk dalam Tholeiite Series.

93
7. Batuan gabro pada daerah penelitian berasal dari kerak samudera pada

lingkungan tektonik Ocean Island dan Ocean Ridge and Floor serta

magma pembentuk batuan berasal dari pelelehan sebagian mantel bagian

atas karena adanya pelepasan tekanan oleh batuan induk karena proses

divergen.

6.2 Saran

Sebaiknya penelitian yang dilakukan dapat lebih baik dan hasilnya

semakin akurat maka perlu dilakukan pengambilan data dan analisis sampel yang

lebih banyak serta mewakili sebaran litologi gabro di daerah Rante Balla. Selain

itu, diharapkan dengan menggunakan metode analisis ICP–MS (Inductively

Coupled Plasma Mass Spectrometry) sehingga hasil yang diperoleh lebih detail.

Hal ini mengingat analisis tersebut dapat mengidentifikasi unsur REE (Rare Earth

Element) yang mana unsur tersebut tidak dapat diidentifikasi dengan metode

analisis XRF (X–Ray Fluorescence spectrometry) seperti pada penelitian ini.

94
DAFTAR PUSTAKA

Alzwar, M., Samodra, H., dan Tarigan, J.J. 1988. Pengantar Dasar Ilmu
Gunungapi, Nova, Bandung

Asikin, S., 1979. Dasar-Dasar Geologi Struktur. Jurusan Teknik Geologi Institut
Teknologi Bandung, Bandung

Badan Standarisasi Nasional. 2001. Tata Cara Umum Penyusunan Laporan


Eksplorasi Bahan Galian. SNI 13-6606-2001

Bakosurtanal. 1991. Peta Rupa bumi Lembar Bonelemo nomor 2212-41.


Cibinong, Bogor

Graha, D. S., 1987, Batuan dan Mineral. Nova, Bandung

Djuri, dkk. 1998. Peta Geologi Lembar Majene dan Palopo Bagian Barat,
Sulawesi. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Depatemen Pertambangan dan
Energi

Flint. 1977. Chemical Variability ang Petrogenesis of Lava. Columbia University,


New York

Hartono, H. G. 2009. Petrologi Batuan Beku dan Gunung Api. UNPAD Press,
Bandung

Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Bidang Geologi
dan Sumber Daya Mineral. Jakarta. Indonesia

Lobeck, A. K., 1939. Geomorphology An Intruduction to the Study of Landscapes.


McGraw-Hill Book Company, Inc., New York and London

Masrukan., Rosika., Anggraini, D., dan Kisworo, J. 2007. Komparasi Analisis


Komposisi Paduan AlMgSI1 dengan Menggunakan Teknik X-Ray
Fluorocency (XRF) dan Emission Spectrometry. Yogyakarta: Pusat
Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Batan

McClay K., 1987. The Mapping of Geological Structures. John Wiley and Sons
Ltd., West Sussex, England

McClay, K. R.., 1987. The Mapping of Geological Structures. University of


London, John Wiley and Sons Ltd., Chichester, England

95
Mulyono, Sukadi, Sihono, Rosidi, dan Irianto, Bambang. 2012. Kalibrasi Tenaga
dan Standar Menggunakan Alat X-Ray Fluoresence (XRF) untuk Analisis
Zirkonium dalam Mineral. Yogyakarta: Penelitian dan Pengelolahan
Perangkat Nuklir.

Pearce, T. H., B. E. Gorman dan T. C. Birkett. 1977. The Relationship Between


Major Element Chemistry and Tectonic Environment of Basic and
Intermediate Volcanic Rocks. Earth and Planetary Science Letters. 36
(121- 132)

Peccerillo, Angelo dan S. R. Taylor. 1976. Geochemistry of Eocene Calc-Alkaline


Volcanic Rocks from the Kastamonu Area, Northern Turkey. Contrib.
Mineral. Petrol 58 (63-81)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang


Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

Ragan, D.M., 1973. Structure Geology An Introduction to Geometrical Tecniques,


Second Edition. Departement of Geology Arizona State University

Ragan, D.M., 2009. Structure Geology An Introduction to Geometrical Tecniques,


Fourth Edition. Departement of Geology Arizona State University

Ratman, N. dan Atmawinata, S. 1993. Peta Geologi Lembar Mamuju, Sulawesi.


Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum Depatemen Pertambangan dan Energi, Bandung

Rollinson, H.R. 1993. Using Geochemical Data: Evaluation, Presentation,


Interpretation. J. Wiley & Sons Inc., New York, USA

Sompotan, A.F., 2012. Struktur Geologi Sulawesi. Perpustakaan Sains Kebumian


Institut Teknologi Bandung. Bandung

Thornburry, W. D., 1954. Principles of Geomorphology. Wiley Eastern Limited.


New Delhi, India

Thornburry, W. D., 1969. Principles of Geomorphology, Second edition. John


Willey and Sons, Inc., New York, USA

Travis, R. B., 1955. Classification of Rock, Colorado School of Mines, Volume

50 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Usaha
Pertambangan

96
Van der Pluijm, Ben A., 2004. Earth Structure:an introduction to structural
geology and tectonics. W. W. Norton & Company Ltd., London

Van Zuidam, R. A. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and


Geomorphologic Mapping. Smith Publisher – The Hague, Enschede,
Netherlands

White, dkk. 2017. The Geological History of The Latimojong Region of Western
Sulawesi, Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences. 138 (72–91)

Wilson, M. 1989. Igneous Petrogenesis, A Global Tectonic Approach. Department


of Earth Sciences. University of Leeds, Netherland

Yardley, Bruce W. D. 1989. An Introduction to Metamorphic Petrology. John


Wiley and Sons, Inc., Newyork

97
L
A
M
P
I
R
A
N
KOLOM STRATIGRAFI

DAERAH RANTE BALLA KECAMATAN LATIMOJONG KABUPATEN LUWU PROVINS! SULAWESI SELATAN

SKALA TIDAK SEBENARNYA

UMUR
-
Cl)

!
<i:: LINGKUNGAN
a:l LITOLOGI PEMERIAN FASIES
<
Cl) < J:,Ll
I I PEMEBNTUKAN
I
0 E-<
I N µ... Cl)

Satuan gabro dengan ciri Satuan basal dengan ciri fisik dalam kenampakan segar

fisik dalam kenampakan berwarna abu-abu, kenampakan lapuk cokelat, tekstur

·1q segar berwarna abu-abu kristalinitas holohyalin, granularitas afanitik, fabrik bentuk
8
..:j sampai hitam, kenampakan anhedral - subhedral relasi equigranular, komposisi mineral
J ... ·
.
;
ffi
0
.-
"..' " a lapuk cokelat, tekstur plagioklas piroksin dan terdapat massa dasar, struktur masif.

.
N
0
Oil -.;
" "'
0 Oil
§
J
C-•
Ila kristalinitas holokristalin,
CZl
granularitas faneritik, fabrik

".
2
bentuk euhedral- subhedral
;;i

·N·N·N'HH
relasi equigranular,
Ila

;
µ.:i

] t fi komposisi mineral
] 0

o o
1 :.=
ij $ cc , dan plagioklas, Satuan batusabak dengan ciri fisik dalam
e 2R
(

strukturmasif. segar berwarna merah kecokelatan, kenampakan lapuk


al
berwarna hitam, tekstur sisa berupa tekstur blastopelitik,

Oil struktur slaty cleavage, komposisi mineral yaitu kuarsa dan


"
J
0

!
-
"
mineral lempung.
0
3 .
. 8 E-<

!
N
5l ., . ...:l
0
(I.)

.,
.
:::E
] l
·;;; 1
Ila N
N

I
No. Sayatan : ST 21 Satuan : Slate
Lokasi : Rante Balla Nama Batuan : Slate
Foto

Ml Ml

Qz Qz
Opq Opq

// - Nikol X – Nikol
Lensa Okuler : 10x Lensa Objektif : 5x Perbesaran Total : 50x
Tipe Batuan : Batuan Metamorf
Tipe Stuktur : Slaty Cleavage
Mikroskopis :
Warna absorpsi cokelat, tekstur menunjukkan tekstur sisa, struktur foliasi berupa slaty cleavage, bentuk mineral
anhedral-subhedral, warna interferensi putih keabu-abuan. Komposisi mineral kuarsa, mineral lempung, dan
mineral opaque. Ukuran mineral <0,025 - 0,5 mm.
Deskripsi Mineral
Komposisi Mineral Jumlah Keterangan Optik Mineral
(%)
Warna absorpsi cokelat, warna interferensi abu-abu kehitaman, relief
Mineral lempung (Ml) 65
rendah, ukuran mineral <0,025 mm
Warna absorpsi transparan, warna interferensi maksimum putih, relief
Kuarsa (Qz) 30 rendah, bentuk mineral subhedral - anhedral, ukuran mineral ± 0,25 mm
– 0,5 mm, tidak memiliki belahan, jenis gelapan bergelombang.
Warna absorpsi hitam, warna interferensi hitam, ukuran mineral 0,01-
Mineral Opaque (Opq) 5
0,025mm.
Nama Batuan : Slate (Travis,1955)
NO1'"IHRECTIONAL
DIRECTIONAL
STRUCTURE STRUCTu"RE (Lineated Or
CARACTERIZIN"Gl-(C 05 NNITTAA
ACCESSORYC Tr----i U,JrF<EC HA1""N UmCALi"A'Tl :_:: : ::;::::::, J
IINERALS IETA..."\IORPfilS IIETAMORFREGIONAL•IEA..."\'10RFmS '1PLUTONIC

-
Medium IETA..."\IORF
l,:;OLOR CHIEF IINERAL Fine Grain
Grained Schiscose

- - !.11.rble

-- -­
Qua.rtz Feldspa.r Calcite Dolomite Tak Ua.rble !..tuble
LiPf !.1■:sc-O'rife Ua.rble !.b.rble
Sertdce Soa.p:sfont!­
Onl}" !.1arble
Ca_k-Siliu.ft!
Rock:sWifh

-
Cll:idlyCalc-
M1ucoTite Seridre Silim.1.D.i-&!
SttuctlU1! .Silic.afe
Kyu.ite Tcemolife Wollufo:aite Albice

-­ -
.-lnadaltuife P.11.logite Diopsit@ En.sfa.fife
Stau.rolice

=
)..la.role
G-laucopb.a.me A.nfhopll:rllite Pllyropbyllice Clllorifoid Acfi::aolite Tourm.a_li■e Epidofe
Olirtae Supl!llti..me Cldorite Biotice Cn.pbife

- -­
Proporti.011:1 of Soapll0Dt!-
CllidTa.lc Marble Tll @f11Cb 11.ana

=
Lipf-Cololm
and Darl.:- gaftllm. .SttMl.:.@d, oriTI1!glll.a.r
Scllllf
Colofffl
Only :struduu
:ueta.morpbic Supe:afi::ae
byi.llfiau.f!!d m.w.11
?t..li:nenh DI.UfG-nl.lllitl!
Rocl.:. if!I
:O.,,U,Diorice f------1-----_J of aefa.morpbic
lllfermediafe (lndud Co.11-gloD1m1.fe a.ad
Sfrudull!
A!d or S@rnf'.Dfi.ne
mafuiili
bnnton) G-nin

=
Ua.cble

QH.rtz G-n.ph.i1e

--
Ua.rble Clllorife

-
Calcite
).fa.rble
Dolomite

-
Serpe:al':i:ae
Ffid:spar Ua.cble ).111.rble

-
Sc.II.lit
Hormble..mdt! SoapltOIH Supmfi::ae
Sffl]e:mfi::ae Cb.idl:rTalc Rod:.
PJTill:e..me
O•1:r Ut!ll.morpbic Rod:.Wifn
-.w.
Olin:De
!..lag:aetite Struchl.rt!
5efl)t!llfi::al!

Da.rl.:. (iad11dn G-fft.11)


No. Sayatan : ST 16 Satuan : Batusabak
Lokasi : Rante Balla Nama Batuan : Batusabak
Foto

Qz Qz
Ml Ml

Qz
Qz

// - Nikol X – Nikol
Lensa Okuler : 10x Lensa Objektif : 5x Perbesaran Total : 50x
Tipe Batuan : Batuan Metamorf
Tipe Stuktur : Slaty Cleavage
Mikroskopis :
Warna absorpsi cokelat, tekstur menunjukkan tekstur sisa, struktur foliasi berupa slaty cleavage, bentuk mineral
anhedral-subhedral, warna interferensi putih keabu-abuan. Komposisi mineral kuarsa, mineral lempung, dan
mineral opaque. Ukuran mineral <0,025-0,3 mm.
Deskripsi Mineral
Komposisi Mineral Jumlah Keterangan Optik Mineral
(%)

Mineral lempung (Ml) 65Warna absorpsi cokelat, warna interferensi abu-abu kehitaman, relief
rendah, ukuran mineral <0,025 mm
Warna absorpsi transparan, warna interferensi maksimum putih, relief
Kuarsa (Qz) 35 rendah, bentuk mineral subhedral - anhedral, ukuran mineral ± 0,1 mm
– 0,3 mm, tidak memiliki belahan, jenis gelapan bergelombang.
Nama Batuan : Batusabak (Travis,1955)
NO1'"IHRECTIONAL
DIRECTIONAL
STRUCTURE STRUCTu"RE (Lineated Or
CARACTERIZIN"Gl-(C 05 NNITTAA
ACCESSORYC Tr----i U,JrF<EC HA1""N UmCALi"A'Tl :_:: : ::;::::::, J
IINERALS IETA..."\IORPfilS IIETAMORFREGIONAL•IEA..."\'10RFmS '1PLUTONIC

-
Medium IETA..."\IORF
l,:;OLOR CHIEF IINERAL Fine Grain
Grained Schiscose

- - !.11.rble

-- -­
Qua.rtz Feldspa.r Calcite Dolomite Tak Ua.rble !..tuble
LiPf !.1■:sc-O'rife Ua.rble !.b.rble
Sertdce Soa.p:sfont!­
Onl}" !.1arble
Ca_k-Siliu.ft!
Rock:sWifh

-
Cll:idlyCalc-
M1ucoTite Seridre Silim.1.D.i-&!
SttuctlU1! .Silic.afe
Kyu.ite Tcemolife Wollufo:aite Albice

-­ -
.-lnadaltuife P.11.logite Diopsit@ En.sfa.fife
Stau.rolice

=
)..la.role
G-laucopb.a.me A.nfhopll:rllite Pllyropbyllice Clllorifoid Acfi::aolite Tourm.a_li■e Epidofe
Olirtae Supl!llti..me Cldorite Biotice Cn.pbife

- -­
Proporti.011:1 of Soapll0Dt!-
CllidTa.lc Marble Tll @f11Cb 11.ana

=
Lipf-Cololm
and Darl.:- gaftllm. .SttMl.:.@d, oriTI1!glll.a.r
Scllllf
Colofffl
Only :struduu
:ueta.morpbic Supe:afi::ae
byi.llfiau.f!!d m.w.11
?t..li:nenh DI.UfG-nl.lllitl!
Rocl.:. if!I
:O.,,U,Diorice f------1-----_J of aefa.morpbic
lllfermediafe (lndud Co.11-gloD1m1.fe a.ad
Sfrudull!
A!d or S@rnf'.Dfi.ne
mafuiili
bnnton) G-nin

=
Ua.cble

QH.rtz G-n.ph.i1e

--
Ua.rble Clllorife

-
Calcite
).fa.rble
Dolomite

-
Serpe:al':i:ae
Ffid:spar Ua.cble ).111.rble

-
Sc.II.lit
Hormble..mdt! SoapltOIH Supmfi::ae
Sffl]e:mfi::ae Cb.idl:rTalc Rod:.
PJTill:e..me
O•1:r Ut!ll.morpbic Rod:.Wifn
-.w.
Olin:De
!..lag:aetite Struchl.rt!
5efl)t!llfi::al!

Da.rl.:. (iad11dn G-fft.11)


No. Sayatan : ST 12 Satuan : Basal
Lokasi : Rante Balla Nama Batuan : Basal
Foto

Opq Opq

Gm Gm
Pl Prx Pl Prx

// - Nikol X – Nikol
Lensa Okuler : 10x Lensa Objektif : 5x Perbesaran Total : 50x
Tipe Batuan : Batuan Beku
Tipe Stuktur : Masif
Mikroskopis :
Warna absorpsi abu-abu kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehitaman, bentuk mineral anhedral-
subhedral. Tekstur batuan afanitik. Komposisi material terdiri dari piroksin, plagioklas, mineral opaque dan
massa dasar. Ukuran mineral 0,2 mm – 0,7 mm.
Deskripsi Mineral
Komposisi Mineral Jumlah Keterangan Optik Mineral
(%)
Warna absorpsi cokelat, warna interferensi kuning kecoklatan, relief
sedang, intensitas sedang, belahan satu arah, bentuk mineral anhedral-
Piroksin (Prx) 20
subhedral, ukuran mineral 0,2 – 0,4mm, sudut gelapan 25°, jenis
gelapan miring, jenis piroksin augit
Warna absorpsi tidak berwarna, pleokroisme tidak ada, belahan ada,
bentuk anhedral-subhedral, relief rendah, intensitas tinggi, ukuran 0,2 –
Labradorit (Pl) 30
0,7mm, warna interferensi abu-abu, indeks bias nmin>ncb, kembaran
kalsbad, sudut gelapan 28°. Jenis plagioklas Labradorit.
Warna absorpsi hitam, warna interferensi hitam, ukuran mineral 0,1-
Mineral Opaque (Opq) 10
0,3mm.
Massa dasar mikrokristalin dengan warna absorpsi kuning kecoklatan,
Massa dasar (Gm) 40
warna interferensi abu-abu kehitaman.
Nama Batuan : Basal (R. B. Travis,1955)
Ji.. Fehpa.r > 2/3 :Selu.ru.11FUdspa.r Sredikitrrida.L:. •ilaTip!!
K..Fehpa.r 1/3- 2/3 sdu:ru.bFel.1:bpa.c Fehp.a.r Pl okllu > 2/3 sdu:ru.bFd-dsp a.c
Fdds a.r Kbu:sus
Tr!!rnb.m
Tierutuna:
KlVARSA k."1\'...\RSA
!.JJ ERAL UTA!.JA
k.""TI.'AR<:.10% F.ELSPATO ID <:.10% FEL:SPATOJ D ,fiamu
SAFELSPATO >l.0% <.10% Pimhi:n Du ab.a Oliiri:a
Fe.l!..lg
>10% ID D
<:.10% Febp.afoi
d

TUll·fa.1111. : Hornblmd@,Biofi, T uu fama :Priohin,


Tierub.ma: Suprl!llfi::a Bijill b@Si J11ga: Biofi1, Hm::ablmde
l'erufama. : Hon11blmd,e,Biofi, Honblm
Pirohil (dalam ...\.mde.i) Un.li1,Oliovi::a
!.Im"'ERU. Pimhin, !.fu:W:omt TU11·ta.1111. :Honblmde,BDfit,Pnl::mi
Ju,-ga:
T.-U'mAH..-LI\' K1IA.S Jgga :!'ia-Ampbibol!,Eigiria, K,uL:ri::ai1, Tu:rmal.ia, : F-ehpaioid, N"a­ Amp1n""bol Biofif Biji]I b.,_;
:Sod.di Jug a :N:a-Amfibol,Eigri:a Ho:rnblmde,Bio Kw•na, Eigiri:ll, a-A.rn 11.iboJ
20 3000 PECUATIT
10 20 30 20 20
APLn
::a:: Ek.""TI.'1GRA..1'Ul...AR

a.:
GABRO P:ERJDOTIT
;:Bafolit Lapollt LM!PROPll
:"Sfod.f" GRA!'lil T :SJ.-Ll\lT !.ION:SOl\"'JT !.IO!'tiSO!\lT GR-Ll\""O DJORJT llI °:' ■rgit lJOLIT
ji!:;La.L:.oiif hus SL-L"l\"'JT !\"'EFELTh. (AD· A.m.slELAIT) !,,IQN":SOJ't,"'JT !'li"'EFELTh"" DJORIT k.""TI.'ARSA DJORJ'T Tn..kfoli:f -;: TER-UJT IDunit !. orift!
. -.:,, (IO!'iALITAnorl:°ntlf'irobm O.b

>-;:;+- :-:,-'•-.s-al-->----+-----+------+----+-----+--------<---+----+----+--:;',,_ -::.,e..


:UASADASAR FA..1'"'ERITJK
upe..afi.Dif

La.L:.oiif
R"1,
;;
PORFIRIPORFIRI
Sill PORFIR PORFIRI P= PORFJR1 PORFIE1 :: PORFIE1 PORFJR1
"mu.t'"' GR.4...1\TI SL-L"l\"'JT
:SJAI'\"lTUOXZ.01\Tr
!\"'EFELTh. k.""'\1'.ARSA k."ViARSA DJORJT GABRO = TER.Un PERJDOTIT

;;:n IU
-. f-c-'1 A'=.sA "D,;A;,SA'ccR="°'-+----t----t----+-----+----+-----+-- ----+---t---+-+----+---f-f---+,
:.: AFA.1\TIJK
oR"1, PORFIRJ LATn Kl\'..m.5A PORFJRJ LATJT PORFJR1 DA:sJT
Sill PORFIRI
Lakoiif Alin.JI Pm11111.kaa.ll PORFIRI PORFIRI PORFIRI PORJ'1R1 PORFJRJ PORFJRJ PORJ'1R1
RJOLIT TRAKJT FOKOLJT LA.TIT 1'-:EF.ELL - Al'\"l>E.SJT BASAL TEFRJT it-U.fflD"RCir
?l.BKROKRIST.-\.Lll'
R.w Sill Alil11.111
TP@filllllillmkau&.a.Illl.au
!\"l!felit
Leitit TRAP
LAT]'[ LATIT (IR.u:::JT-LATJT 1'-:EF.ELTh" !..lelil'.ifif OiiTIJII
RJOLir TR.u.:JT FO!\"OLJT k.""l1'•.m.5A Al\"l>ESIT DASJT .-Ll\"l>E.SJT BAS.U TEFRJT LJ!.mii"R,Gn FELSIT
l'i ii
(DELEJ't,"'JT)

f---=,, ,..-. ' \ -::': '>""- ''--''"''-----f-co B S=m L--!-"1 "----'------_j----_j_---_j_----L_------_j_---'----_j_---L_---_Lj


Alin.JI"PJTCB.STOJ't,"F'
pfilllllka8.lllVJTROFJRn l'@piffludu PERLJT
SillBATUAPD"l\"G
uWt!.ldt!d tufb SK.OREA
No. Sayatan : ST 27 Satuan : Basal
Lokasi : Rante Balla Nama Batuan : Basal
Foto

Gm Gm

Pl Pl

Prx
Prx

Opq Opq

// - Nikol X – Nikol
Lensa Okuler : 10x Lensa Objektif : 5x Perbesaran Total : 50x
Tipe Batuan : Batuan Beku
Tipe Stuktur : Masif
Mikroskopis :
Warna absorpsi abu-abu kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehitaman, bentuk mineral anhedral-
subhedral.Tekstur batuan afanitik. Komposisi material terdiri dari piroksin, plagioklas, mineral opaque dan
massa dasar. Ukuran mineral ≤0,05 mm – 0,4 mm.
Deskripsi Mineral
Komposisi Mineral Jumlah Keterangan Optik Mineral
(%)
Warna absorpsi cokelat, warna interferensi kuning, relief sedang,
intensitas sedang, belahan satu arah, bentuk mineral anhedral-
Piroksin (Prx) 20
subhedral, ukuran mineral 0,15-0,25mm, sudut gelapan 23°, jenis
gelapan miring, jenis piroksin augit
Warna absorpsi tidak berwarna, pleokroisme tidak ada, belahan ada,
bentuk anhedral-subhedral, relief rendah, intensitas tinggi, ukuran 0,2 –
Labradorit (Pl) 25
0,4mm, warna interferensi abu-abu, indeks bias nmin>ncb, kembaran
kalsbad, sudut gelapan 32°. Jenis plagioklas Labradorit.
Warna absorpsi hitam, warna interferensi hitam, ukuran mineral 0,05-
Mineral Opaque (Opq) 5
0,2mm.
Massa dasar mikrokristalin dengan warna absorpsi kuning kecoklatan,
Massa dasar (Gm) 50
warna interferensi abu-abu kehitaman.
Nama Batuan : Basal (R. B. Travis,1955)
K. Fehpa.r > 2/3 Se.lun.11 Fe.ldspa.r
K. Ffflpu l/3-1/3 mun.IIFe.ldlpU Ffflpu Pl oL:Ju > 2/3 le.lUfllll Fe.ldlpU Sedi..L:itrridLL:a. da Tipe
KllUlU:l
Tuutam

Jr..-n'.-\RSA Jr..-n'.-\RSA TUDtama:


<.10% FELSPATO <.10% FELSPATOI D
ID <.10% !..ti::aen.J.
F.e,i,;
!.Jl !'riE RAL UTA!.JA <.10%
FELSPATO »
ID PirokliD DUI atau Olin:D Fehpafoi
>10%
KWARSA d
>10%
Tl!nltl.m.t : Horablmde,Bioti, Tuut1.m.1. :Hon1blmde,Bioti, :Priob:ta, Horablm
!.fl!\"ER.-U. Pirobta. !.JujJ,:_OlilTuut1.m.1. : Horablodl!, BDtit, PnUJI Pirobill Un1.lit,OloTI:a.S!!rp1!11ti.11I!
.Jug•
·.l\"t-Ampllibol,Eigirill, (dal•m.And .Jug•. Biji.llb iBiotit
:: !!,1!11E i:,ii;! !:II
T,UfflAIIAi\'
KHA.S Ka.al..'.ri.llit, Turm.alill, .Ju g a·.l\"a-Amfibol,Eigiri-a .Jug• ·Fehpatoid,.l\"t-
.Sodalil Amplli.bol !\"a-•- 11.iboJHro:ablode PEG-!.1ATIT
::;11 "" ;:EK.S ·;;:','.w ·= !\"A =t==1 •==+===1 •===+===, •=== ===220 ==::;===2,. ===+===JO ===t==, •===+===, •==:ir:===, •==t===JO§':: ': :=Soo APLJT == ===• •E=:E == » =
L.-UfPROPJJ
; E:K\ :-f!}l't,U"J. \R K G-;t3RO PERIDOTJT
Lapolii () ill-:- =u?p-f
G-RA..1'til T Sl.-l.1'tilT !.ID!'ri:SO1'lT !.ID!'ri:SO1'lT G-R.-l.l'\"O DJORJT l.JOLJT
!.W:1oriie
luu Retuiebal
: SL-l.1'tilT1'"EFELTh" Jr..-n'.-\RSA !.ID!'ri:SO1'"'JT 1'"EFELTh" DJORJT Jr..-n'.-\RSA DJORJT Tn..kioli:i -;: trER.-U.JT Du.a.ii
(...\D.-U.IELJT) (I01"ALJT - : :if 1: .i-f
D,b

e-,e,,-IA.S-s-:-»-A.s AR--+---+----+-----+-----+----+----+---+------,f---+-k-w_=,ef---+----+<
F.Ai'ti"ERJTJK
LLL:.olit
PORFJRJ
PORFlRJPORFJRJ SJA.1'tilT 1'"EFELL"I\'
"" "
PORFlR PORFlRJ PORFlRJ
. S il l G-R,IU\lT
.SlA1'lT
!.10.!\"LO.l'Tf
KWARSA TERALil PERJIXlTIT
"=g"
;; "'Stock"L:.t!d..l
Teoimualu.u
!.1-\.SADASAR

..
,;r.
:a: AFA.1'tilTJK
0 Rew PORFlRJ RJOLJT
PORFlRJ
PORFJRl PORFlRJ
Sill
PORFlRJ
TRAKIT FO.l\"OLJT LATIT LATJT PORFJRJ DASJT
La.L:.olii 1'"EFELH1tl
K,\'ARSA
.-llinul
Pfillnl_L:.aUI
PORFlRJ PORFlRJ PORFlRJ PORFlRJ PORFlRJ
LN"die.t1i.itt
"" "
. S il l RJOLIT TRAKJT LATIT
FO.l\"OLJT
LATJT
LATIT
(I'RAKJT­ LATJT 1'"EFELTh'
Ai'ti"])ESJT BASAL
AJ\"])E.SJT
TEFRJT n.mir"RG-IT
:ale.l.ilitit
";:' PTerempui.Lm:.uI.UalIu.u
Alin1.a K"'ARSA
(DELE1'lT) A.l\"])ESJT
DASJT BASAL TEFRJT Ll!.tBir"RGil
Olirt-a
.l\"!!pe.l.i:'ait
;z:
.. welded tuffs" CELAS D,b
AlinB pumu.L:.aU1 TepifflUdUI
OBSJDJA.1'"Sill
<\"\'e.ldt!d fufb ''PlTCHST{)11r,"F"
!.DXROKRJ..STALil'
VJTROFJR""
PERLJT BATUAPir1'"G­ SKOREA
TR.-\P FELSJT
No. Sayatan : ST 60 Satuan : Basal
Lokasi : Rante Balla Nama Batuan : Basal
Foto

Prx Prx

Opq Opq

Pl Pl
Gm Gm

// - Nikol X – Nikol
Lensa Okuler : 10x Lensa Objektif : 5x Perbesaran Total : 50x
Tipe Batuan : Batuan Beku
Tipe Stuktur : Masif
Mikroskopis :
Warna absorpsi abu-abu kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehitaman, bentuk mineral anhedral-
subhedral. Tekstur batuan afanitik. Komposisi material terdiri dari piroksin, plagioklas, mineral opaque dan
massa dasar. Ukuran mineral 0,025 mm – 0,5 mm.
Deskripsi Mineral
Komposisi Mineral Jumlah Keterangan Optik Mineral
(%)
Warna absorbsi berwarna coklat, warna interferensi berwarna orange,
bentuk mineral subhedral-anhedral, intensitas sedang, mineral ini
Piroksin (Prx) 30
berukuran 0,5 mm – 0,025 mm, sudut gelapan 250, jenis gelapan
miring,
relief sedang, indeks bias Nm>Nmin.
Warna absorpsi tidak berwarna, pleokroisme tidak ada, belahan ada,
bentuk anhedral-subhedral, relief rendah, intensitas tinggi, ukuran 0,025
Labradorit (Pl) 35
– 0,3mm, warna interferensi abu-abu, indeks bias nmin>ncb, kembaran
kalsbad, sudut gelapan 29°. Jenis plagioklas Labradorit.
Warna absorbsi dan interferensi yaitu hitam dan ukuran mineral 0,375-
Mineral Opaque (Opq) 10
0,175 mm.
Massa dasar mikrokristalin dengan warna absorpsi kuning kecoklatan,
Massa dasar (Gm) 25
warna interferensi abu-abu kehitaman.
Nama Batuan : Basal (R. B. Travis,1955)
K. Fehpa.r > 2/3 Se.lun.11 Fe.ldspa.r
K. Ffflpu l/3-1/3 mun.IIFe.ldlpU Ffflpu Pl oL:Ju > 2/3 le.lUfllll Fe.ldlpU Sedi..L:itrridLL:a. da Tipe
KllUlU:l
Tuutam

Jr..-n'.-\RSA Jr..-n'.-\RSA TUDtama:


<.10% FELSPATO <.10% FELSPATOI D
ID <.10% !..ti::aen.J.
F.e,i,;
!.Jl !'riE RAL UTA!.JA <.10%
FELSPATO »
ID PirokliD DUI atau Olin:D Fehpafoi
>10%
KWARSA d
>10%
Tl!nltl.m.t : Horablmde,Bioti, Tuut1.m.1. :Hon1blmde,Bioti, :Priob:ta, Horablm
!.fl!\"ER.-U. Pirobta. !.JujJ,:_OlilTuut1.m.1. : Horablodl!, BDtit, PnUJI Pirobill Un1.lit,OloTI:a.S!!rp1!11ti.11I!
.Jug•
·.l\"t-Ampllibol,Eigirill, (dal•m.And .Jug•. Biji.llb iBiotit
:: !!,1!11E i:,ii;! !:II
T,UfflAIIAi\'
KHA.S Ka.al..'.ri.llit, Turm.alill, .Ju g a·.l\"a-Amfibol,Eigiri-a .Jug• ·Fehpatoid,.l\"t-
.Sodalil Amplli.bol !\"a-•- 11.iboJHro:ablode PEG-!.1ATIT
::;11 "" ;:EK.S ·;;:','.w ·= !\"A =t==1 •==+===1 •===+===, •=== ===220 ==::;===2,. ===+===JO ===t==, •===+===, •==:ir:===, •==t===JO§':: ': :=Soo APLJT == ===• •E=:E == » =
L.-UfPROPJJ
; E:K\ :-f!}l't,U"J. \R K G-;t3RO PERIDOTJT
Lapolii () ill-:- =u?p-f
G-RA..1'til T Sl.-l.1'tilT !.ID!'ri:SO1'lT !.ID!'ri:SO1'lT G-R.-l.l'\"O DJORJT l.JOLJT
!.W:1oriie
luu Retuiebal
: SL-l.1'tilT1'"EFELTh" Jr..-n'.-\RSA !.ID!'ri:SO1'"'JT 1'"EFELTh" DJORJT Jr..-n'.-\RSA DJORJT Tn..kioli:i -;: trER.-U.JT Du.a.ii
(...\D.-U.IELJT) (I01"ALJT - : :if 1: .i-f
D,b

e-,e,,-IA.S-s-:-»-A.s AR--+---+----+-----+-----+----+----+---+------,f---+-k-w_=,ef---+----+<
F.Ai'ti"ERJTJK
LLL:.olit
PORFJRJ
PORFlRJPORFJRJ SJA.1'tilT 1'"EFELL"I\'
"" "
PORFlR PORFlRJ PORFlRJ
. S il l G-R,IU\lT
.SlA1'lT
!.10.!\"LO.l'Tf
KWARSA TERALil PERJIXlTIT
"=g"
;; "'Stock"L:.t!d..l
Teoimualu.u
!.1-\.SADASAR

..
,;r.
:a: AFA.1'tilTJK
0 Rew PORFlRJ RJOLJT
PORFlRJ
PORFJRl PORFlRJ
Sill
PORFlRJ
TRAKIT FO.l\"OLJT LATIT LATJT PORFJRJ DASJT
La.L:.olii 1'"EFELH1tl
K,\'ARSA
.-llinul
Pfillnl_L:.aUI
PORFlRJ PORFlRJ PORFlRJ PORFlRJ PORFlRJ
LN"die.t1i.itt
"" "
. S il l RJOLIT TRAKJT LATIT
FO.l\"OLJT
LATJT
LATIT
(I'RAKJT­ LATJT 1'"EFELTh'
Ai'ti"])ESJT BASAL
AJ\"])E.SJT
TEFRJT n.mir"RG-IT
:ale.l.ilitit
";:' PTerempui.Lm:.uI.UalIu.u
Alin1.a K"'ARSA
(DELE1'lT) A.l\"])ESJT
DASJT BASAL TEFRJT Ll!.tBir"RGil
Olirt-a
.l\"!!pe.l.i:'ait
;z:
.. welded tuffs" CELAS D,b
AlinB pumu.L:.aU1 TepifflUdUI
OBSJDJA.1'"Sill
<\"\'e.ldt!d fufb ''PlTCHST{)11r,"F"
!.DXROKRJ..STALil'
VJTROFJR""
PERLJT BATUAPir1'"G­ SKOREA
TR.-\P FELSJT
No. Sayatan : ST 01 Satuan : Gabro
Lokasi : Rante Balla Nama Batuan : Gabro
Foto

Pl Pl

Ol Ol

Aug Aug
Di Di

Opq Opq

// - Nikol X – Nikol
Lensa Okuler : 10x Lensa Objektif : 5x Perbesaran Total : 50x
Tipe Batuan : Batuan Beku
Tipe Stuktur : Masif
Mikroskopis :
Warna absorbsi abu-abu kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehitaman. Bentuk mineral subhedral-
anhedral. Tekstur batuan faneritik. Komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas, augit, diopsid, olivin dan
mineral opaque. Ukuran mineral 0,05mm – 1,75 mm.
Deskripsi Mineral
Komposisi Mineral Jumlah Keterangan Optik Mineral
(%)
Warna absorbsi abu-abu kehijauan, bentuk subhedral - anhedral,
ukuran mineral 0,25 mm, belahan tidak ada, pecahan rata, relief tinggi,
Olivin (Ol) 7
intensitas sedang, tidak ada pleokroisme, warna interferensi biru tua,
sudut gelapan 32°, jenis gelapan miring
warna abu-abu kehijauan, pleokroisme lemah, bentuk anhedral, relief
tinggi, intensitas sedang, belahan satu arah, pecahan tidak rata, ukuran 1
Augit (Au) 23
– 1,75 mm, warna interferensi kuning kecoklatan/biru tua/kuning
kehijauan, sudut gelapan 45° – 50°
Warna absorpsi abu-abu kecokelatan, pleokroisme lemah, bentuk
subhedral- anhedral, relief tinggi, intensitas sedang, belahan satu arah,
Diopsit (Di) 10
pecahan tidak rata, ukuran 0,4 mm, warna interferensi kuning
kecoklatan, sudut gelapan 32°
Warna absorpsi tidak berwarna, pleokroisme tidak ada, bentuk
subhedral, relief sedang, intensitas kuat, belahan tidak ada, pecahan
Bitownit (Pl) 55 tidak ada, ukuran 0,5-1,5 mm, warna interferensi abu-abu, indeks bias
nmin>ncb, kembaran kalsbad, sudut gelapan 20°. Jenis plagioklasnya
adalah Bitownit.
Warna absorpsi hitam, warna interferensi hitam, ukuran mineral 0,05-
Mineral Opaque (Opq) 5
0,1mm.
Nama Batuan : Gabro (R. B. Travis, 1955)
K. Fehpa.r > 2/3 Se.lun.11 Fe.ldspa.r
K. Ffflpu l/3-1/3 mun.IIFe.ldlpU Ffflpu Pl oL:Ju > 2/3 le.lUfllll Fe.ldlpU Sedi..L:itrridLL:.ada Tipe
KllUlU:l
Tuutam

Jr..-n'.-\RSA Jr..-n'.-\RSA TUDtama:


<.10% FELSPATO <.10% FELSPATOI D !..ti::aen.J.
ID <.10% F.e,i,;
!.Jl !'riE RAL UTA!.JA <.10%
FELSPATO »
ID PirokliD DUI atau Olin:D Fehpafoi
>10%
KWARSA d
>10%
Tl!nltl.m.t : Horablmde,Bioti, Tuut1.m.1. :Hon1blmde,Bioti, :Priob:ta, Horablm
!.fl!\"ER..U. Tuut1.m.1. :Horablodl!,BDtit,PnUll Pirobill (dal•m.And Un1.lit,OloTI:a .S!!rp1!11ti.11I!
Pirobia, !.JujJ,:_Olit
.Jug• ·.l\"t-Ampllibol,Eigirill, Ka.al..'.ri.llit, Turm.alill, · Fehpatoid, .l\"t- Amplli.bol .Jug•. Biji.ll b iBiotit
! !:
TA].fflAJIAi\'
KHA.S .Soda.Iii .Ju g a· .l\"a-Amfibol, Eigiri-a .Jug• :: !!,1!11E i:,ii; II
!\"a-•- 11.iboJ Hro:ablode
::;ll ""I> ;:EK.S ·;;:','.w ·ARJ !\"A =t==l O==+===l >===+===2 0=== ===220 ==::;===22> ===+===JO ===t==2 0==::;===2 0==:ir===2 >==t:::JO =:= ==OO == ===• >E== == » =
:::,:: E:Jr..-n'lGR.-l.l\U'"L.-m
;: Bafolit Lapolii "Stock" LLL:.oliilu.u Refu iebal Sill
GRA..l\l T !.ID!'ri:S01'lT
Sl.-l.l\lT 1'"'EFELTh" DJORJT
!.ID!'ri:S01'lT GR.-l.1'"0 1'"'EFELTh" DJORJT l.JOLJT
SL-l.l\lT Jr..-n'.-\RSA !.ID!'ri:S01'"'JT (.-U>,U.IELJT) Jr..-n'.-\RSA DJORJT (IO!'li'ALJT !.W:1oriie
D,b

!.IA.SADA.SAR F.Ai'ti"ERJTJK
LLL:.olit
R""
.Sill PORFlRJ PORFl:RI TERALil PE:RIIXlTIT
"=g"
PEG-!.1ATIT APLJT L,UfPROPJJ
"'Stock"L:.t!d..l PORFlR PORFlRJ PORFJRJ PORFJ:RI
;; Teoimualu.u G-R,i,\l\lT .SlA1'lT SJA.l\lT !.10.!\"LO.l'Tf
KWARSA
1'"EFELL"I\'
!.1-\.SADASAR AFA.l\lTJK

..
,;r.
:a: Rew
0
Sill PORFlRJ LATJT 1'"EFELH1tl
La.L:.olii PORFJRJ DASJT
.-llinul Pfillnl_L:.aUI
PORFlRJ RJOLJT
PORFlRJ TRAKIT
PORFlRJ FO.l\"OLJT
PORFJRJ LATITPORFlRJ
K,\'ARSALATJT PORFlRJ PORFlRJ Ai'ti"])E.SJT
PORFlRJ
BASAL
PORFlRJ TEFRJT n.mir"RG-IT

!.DXB.OKRJ..STAl..Il'
N"t!fe.1.it
R"" L itit
.Sill Alin1.a LATITLATIT LATJT 1'"EFELTh' TEFRJT Ll!.tBir"RGil :ale.l.iliti t
";:Tepimualu.u
' Permu.L:..I.UI :RIOLIT TRAKJT FO.l\"OLJT K"'ARSA
(DELE1'lT)
(I'RAKJT­
A.l\"])ESJT
DASJT AJ\"])E.SJT BASAL
Olirt-a
.l\"epe.l.tait D,b
;z: .. welded tuffs"
CELAS
OBSJDJA.1'" ''PlTCHST{)11r,"F" VJTROFJR"" PERLJT BATUAPir1'"G SKOREA
AlinB pumu.L:.aU1 TepifflUdUI Sill
<\"\'e.ldt!d fufb

TR.-\P FELSJT
No. Sayatan : ST 53 Satuan : Gabro
Lokasi : Rante Balla Nama Batuan : Gabro
Foto

Pl
Pl
Di Di

Pl
Pl

// - Nikol X – Nikol
Lensa Okuler : 10x Lensa Objektif : 5x Perbesaran Total : 50x
Tipe Batuan : Batuan Beku
Tipe Stuktur : Masif
Mikroskopis :
Warna absorbsi abu-abu kecokelatan, warna interferensi abu-abu kehijauan. Bentuk mineral euhedral-
subhedral. Tekstur batuan faneritik. Komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas dan diopsid. Ukuran
mineral 0,05mm
– 1,75 mm.
Deskripsi Mineral
Komposisi Mineral Jumlah Keterangan Optik Mineral
(%)
Warna absorpsi abu-abu kehijauan, pleokroisme lemah, bentuk
subhedral- anhedral, relief tinggi, intensitas sedang, belahan satu arah,
Diopsit (Di) 25
pecahan tidak rata, ukuran 0,3-2mm, warna interferensi kuning/kuning
kecoklatan, sudut gelapan 31°
Warna absorpsi tidak berwarna, pleokroisme tidak ada, bentuk
subhedral-anhedral, relief sedang, intensitas kuat, belahan tidak ada,
Bitownit (Pl) 75 pecahan tidak ada, ukuran 1-3 mm, warna interferensi abu-abu, indeks
bias nmin>ncb, kembaran kalsbad, sudut gelapan 24°. Jenis
plagioklasnya adalah Bitownit.
Nama Batuan : Gabro (R. B. Travis, 1955)
K. Fe.bpa.r > 2/3 Se.lun1.II Fe.ldspa.r Sedi..L:itrTidLL:. ada Tipe
K. Ffflpu l/3-1/3 ffiufllll Fe.ldlpU Ffflpu Pl oL:Ju >2/3le.lUfllll Fe.ldlpU
Fe.Ids a.r KllUlU:l
Tuutam
Jr..""'·..\RS--' Jr..""'·..\RS--' Tuutama:
!.Jl !'riE RAL <.10% <.10%
FELSPATO !.fi:aen.J.
UTA!.JA KWARSA
FELSPATO ID FELSPATOI Pirokli:a F.e,i,;
>10%
D
ID
<.10%
>10%
<.10%
DUI atau
Olin:D
»
Fehpafoi
d

Tuut1.ma : Hor:ablende,Bioti, Tuut1.ma :Hornblende,Bioti,


Pirobill
T@n1t1.ma :Priob:ta,
Un1.lit,OloTI:a
T@n1t1.ma. Horablm
.S!!rp1!11fi'D I!
!.Il!\"ER.-U. Pirobia, !.JujJ;:_Olil Tuut1.ma :Horablodl!,BDfit,PnUJI
(da.l•mA.nd .Juga. Biji.11 bgi Biotit
TMfflAHA1''
KHA.S
.Juga · N"t-Ampllibo.l,Eigirill,
Ka.al..Ti.llit, Turm.a.lill,
.Sod.I.lit
.Jug • ·1'-.1.-Amfibol, Eigiri• .Jug• · Fehpatoid, •- :: !!,1!11E i:,ii; ! !: II

;l! "" I> E K.S;;· , V ARJ M =t==l O== ===l >=== ===2 0'.:==+=== 20'.:== ===22> === ===J0 ===+==2 0'.:= ===2 0== ==2 >==t:::JO ::: ==OO ==+===•
Amplli.bo.l !\"a-•- 11.iboJ Hro:ablode
PEG-!.1ATIT

>E== == » =
APLJT

L.-UfPROPJJ
; J'.K\ :-f!-:-1\U'l. . . . . \R K G-;iiRO PERIDOTJT

Lapolit GR.-l.l\l Sl.-l.l\lT !.ID!'ri:S01'lT !.ID1'":S01'lT G-R.-l.1\"0 DJORJT () ill -:- =•?pi l.JOLJT
: luu T Sl.-l.l\lT !'ti"'EFELTh" Jr..'°"'·..\RSA !.ID1'":S01'lT 1'"'EFELTh" DJORJT Jr..'°"'·..\RSA DJORJT Tnkfoli:i -;: trER.-U.JT Du.a.ii !.Wloriie
Retu febal (AD.-U.IELJT) (I01"ALJT - : :if 1: .ii
D,b

H,,.J. A.S-..s":"D"A.s.,-.AR.,---+---+----+-----+-----t----t----+----+---f-f--- .•..-w=_"""ef---+----+-------<


FAI'\"'ERJTJK ;;
"""
LLL:.olit
.Si ll G-RA1'lT
PORFlE.: PORFlE.l
PORFIRI PORFIRI PORFlE.l PORFIRI lf'ORFIRI
PORFIRI PORFlE.l PORFlE.l ;; PORFlE.l PORFlE.l

"=g"
.SJA1'lT
SJA.l\lT
!'to"EFELHltl
!.10.!\"LO.!'Uf
K,YARSA
AKJ1'".Z.01'Tf !.;'i :,T G-RA.l\"O
DJORJT
-:.. TA DJORJT G-ABRO i= TERALil PERJIXlTIT

;; "Stock"L:.t!Ci.l
Tt!Oimualu.u
!.1-\.SADASAR AFA.l\

..
,;
lTJK
r. R,w PORFD<l PORFJE1
:a: PORFlE.l PORFlE.l PORFlE.l PORFlE.l PORFlE.l PORFlE.l PORFlE.l PORFlE.l
Sill FO OLJT
LATJT LATIT PORFIRI DASJT
0
La.L:.olit E.JOLJT TRAKJT LATJT Al'\"DESJT BASAL TEFRJT n.mir"RG-IT
K,YARSA 1'"EFELJ1\"
.-llinul
Pemru.L:.aU1
ADXB.OKE.l..STAI.Jl"
N"de.1.it
"""
.Si ll LATJT LATIT
LATJT
L itit
Ale.l.ilitit
TR.-\P

" Altn.a RJOLIT TRAKJT FOI\"OLJT KWAR.SA (I'RAKJT DASJT A1'"DE.SJT BASAL TEFRJT LJAfflir"RG-Il
1'"EFELTh' Olirt• FELSJT
Permu.L:..I.UI (DELE.!\lT) A.l\"DESJT
l'"!!pe.l.i:'ait
Tepimualu.u
;:' "welded tune D,b
CELAS OBSJDJA.1'"
;z: AlinB <<pJTCHSTO!'•iF"
pumu.L:.aU1 ,'JTROFJR,..,
T!!piffi&ldUI PERLJT
p J
t,C'1ION •

-
,. ..
Coal & Mineral Services
,0 .. ;
JI. R. Soeprapto RT.10 RW04 No.151 8 Punggolaka Kel Tobuuha Kee. Pwwatu, Kendari Sulawesi
Tenggara Telp. 0401 3420485
Email : marketing@mutuenergy.com,www.mutuenergy.com

REPORT OF ANALYSIS

Report No.
Principle : 127 /ROA· MESKOR/ IV/ 2022
: PT. Teknik Geologi Unhas
Address
: Kampus II Fakultas Tekn1k Unhas., JI.PorosMalino KM.6 8ontomarannu Gowa, 8orongloe, Kee. Bontomarannu, Kabupaten Gowa,
Sulawesi Selatan 92171
Report to
: Mr.Ferdlansyah Septiawan Asnawi
Email
: ferdiseptla.wanasnawi@gmail.com
Receiving Date
: Apnl 13, 2022
TestingDate
Number of Sample
: April 14, 2022
Type Of Sample :4
Description Sample : Wet samples
: Nickel sample were packed in plastic bag
Job Number
: 127/lAB/KOR/IV/2022

-
Result of Analysis

.,.. ,. , . C o,1 12 03
CaO C,203 Fe203
...
F1I
...
Mg()MnO002
,. ,.
T o 02 2 0
P205
... ,.
N a 20 S.Mg

ST01-G8RA
0.03
0.01 0.01018.10 "
1 502 "
0,11 5.re 3 S5 "
10,0' "
009 39" 0.48 0,02 0.01 <0,-01
<0,01
4.67
0,01 0,00115.73 0.08 7,60 5.31 8.36 0,12 49.22 1,36 _o,16 0.05 S,39 6,50
STS3-GBRA ST.◄$-GBRA ST.46-GBRA 0,00115,75
12,37
1,19 0.12 0.01
0,01 1Z64 0.08 _6.57 4,59 7.73 0,11 50.24 0,0'
-- 0,00212,8,1 9,14 006 12,36 8,64 -8,46 0,22 50,02
1,22 0,07
< 0.01 !!!_

TntMtthodt
Mol1ture Content (%) , JIS8109 • 1996
XRFFuston Be.ad(%) :1 MES·305ST

Kendi¥\ Aj)f'I18, 2022

Syaha-udd>nBalv)IA>Ag
laboratoryMaoage,

• This report refers to the testedsample cntvandreflectsour findingat the tune andplaceof analysis only
• This rt>port fsissued without prejudice and our responsiblUty islimltedto the exerciseof duecare and diligence

MES-Sill ST
KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS HASANU
FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

PETA STASIUN
DAERAH RANTE BALLA KECAMATAN LATIMOJONG KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI S

SKALA 1:25.000 IK 25 M
OLEH FERDIANSYAH SEPTIAWAN ASNAWI
D061171001
GOWA 2022

KETERANGAN
Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel Batuan Stasiun Pengamatan Geomorfo
54
Gabro
Basal
51 Batusabak

52
30

47 70

34
Foliasi Kekar
Mata air Air Terjun Gully Erosion Debris Slide Channel Bar
41
Titik Ketinggian
Garis Kontur
34 Garis Kontur Indeks Anak Sungai
Sungai Besar
Jalan Pemukiman

46

708

PETA TUNJUK LOKASI PETA INDEKS SUDUT DEKLINASI


KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN
TEKNOLOGI UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK
GEOLOGI

PETA GEOLOGI
DAERAH RANTE BALLA KECAMATAN LATIMOJONG
KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN

SKALA 1:25.000
IK 25 M
OLEH
FERDIANSYAH SEPTIAWAN
ASNAWI
D061171001
GOWA
2022
B

KETERANGAN
Satuan Batuan Umur

Basal Oligosen

Pliose
Gab
kontak lelehan

Slate Kapur Akhir


52
30

47
Batas Satuan Litologi
70
B
Garis Sayatan
41

34 Foliasi
34
Kekar
A
Mata air

Air Terjun
46

708 Titik Ketinggian

Garis Kontur

Garis Kontur Indeks

PETA TUNJUK LOKASI PETA INDEKS SUDUT DEKLINASI Anak Sungai

Sungai Besar

Jalan

Pemukiman

PENAMPANG GEOLOGI A-
BH:V=1:1

B
KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN
TEKNOLOGI UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK
GEOLOGI

PETA STRUKTUR GEOLOGI


DAERAH RANTE BALLA KECAMATAN LATIMOJONG
KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN

SKALA 1:25.000
IK 25 M
OLEH
FERDIANSYAH SEPTIAWAN
ASNAWI
D061171001
GOWA
2022

KETERANGAN

34 Kedudukan Batuan

Kekar
52
30 Mata air

47
Air Terjun
70
708 Titik Ketinggian
41

Garis Kontur
34
Garis Kontur Indeks
Anak Sungai

46 Sungai Besar

Jalan
Pemukiman

PETA TUNJUK LOKASI PETA INDEKS SUDUT DEKLINASI

MEKANISME PEMBENTUKAN STRUKTUR GEOLOGI DAERAH


TEORI “STRAIN ELIPSOIDE” PENELITIAN
MENURUT REIDEL DALAM
McCLAY 1987 KONDISI NORMAL TAHAP II

σ1 σ1

σ1 σ1
KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN
TEKNOLOGI UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK
GEOLOGI

PETA GEOMORFOLOGI
DAERAH RANTE BALLA KECAMATAN LATIMOJONG
KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN

SKALA 1:25.000
IK 25 M
OLEH
FERDIANSYAH SEPTIAWAN
ASNAWI
D061171001
GOWA
2022
B
KETERANGAN

Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional

Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional


B
Garis Sayatan Geomorfologi

Gully Erosion

Debris Slide

Channel Bar
708 Titik Ketinggian

Garis Kontur
A Garis Kontur Indeks

Anak Sungai

Sungai Besar

Jalan

Pemukiman

PETA TUNJUK LOKASI PETA INDEKS SUDUT DEKLINASI

PENAMPANG GEOMORFOLOGI A-
BH:V=1:1

A
B
KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS HASAN
FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

PETA POLA ALIRAN DAN TIPE GENETIK SUNGAI


DAERAH RANTE BALLA KECAMATAN LATIMOJONG KABUPATEN LUW

SKALA 1:25.000 IK 25 M
OLEH FERDIANSYAH SEPTIAWAN ASNAWI
D061171001
GOWA 2022

KETERANGAN
Pola Aliran Paralel Tipe Genetik Subsekuen Tipe Genetik Obsekuen
Foliasi Anak Sungai Sungai Besar
Titik Ketinggian

708

PETA TUNJUK LOKASI PETA INDEKS SUDUT DEKLINASI


KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS HASAN
FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

PETA POTENSI BAHAN GALIAN


DAERAH RANTE BALLA KECAMATAN LATIMOJONG KABUPATEN LUWU PROVINSI SULAWESI S

SKALA 1:25.000 IK 25 M
OLEH FERDIANSYAH SEPTIAWAN ASNAWI
D061171001
GOWA 2022

KETERANGAN
Potensi Bahan Galian Titik Ketinggian Garis Kontur
Garis Kontur Indeks Anak Sungai Sungai Besar
Jalan
708
Pemukiman

PETA TUNJUK LOKASI PETA INDEKS SUDUT DEKLINASI

Anda mungkin juga menyukai