Anda di halaman 1dari 134

SKRIPSI

GEOLOGI DAN ANALISIS POTENSI BENCANA TANAH LONGSOR


DAERAH TOVIA TAMBU KECAMATAN TOVIA TAMBU KABUPATEN
DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH

1 HALAMAN SAMPUL
Disusun dan diajukan oleh

MUHAMMAD FAHMI SALIM


D61116306

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

i
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

GEOLOGI DAN ANALISIS POTENSI BENCANA TANAH LONGSOR


DAERAH TOVIA TAMBU KECAMATAN TOVIA TAMBU KABUPATEN
DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH

HALAMAN TUJUAN

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Matakuliah Pemetaan Geologi


pada Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin

OLEH
MUHAMMAD FAHMI SALIM
D611 16 306

MAKASSAR
2021

ii
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : MUHAMMAD FAHMI SALIM

NIM : D611 16 306

Program studi : Teknik Geologi

Jenjang : S1

Menyatakan dengan ini bahwa karya tulisan saya yang berjudul :

“GEOLOGI DAN ANALISIS POTENSI BENCANA TANAH LONGSOR


DAERAH TOVIA TAMBU KECAMATAN TOVIA TAMBU KABUPATEN
DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH"

Adalah karya tulis saya sendiri dan bukan merupakan pengambil alihan tulisan
orang lain bahwa skripasi/tesis/disertasi yang saya tulis ini merupakan hasil karya
saya sendiri.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dibuktikan bahwa sebagian atau


keseluruhan skripsi/tesis/disertasi ini hasil karya orang lain, maka saya siap
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

iii
GEOLOGI DAN ANALISIS POTENSI BENCANA TANAH LONGSOR
DAERAH TOVIA TAMBU KECAMATAN TOVIA TAMBU KABUPATEN
DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH

Disusun dan diajukan oleh :

MUHAMMAD FAHMI SALIM


2 D61116306

Diajukan sebagai syarat untuk mencapai Penyelesaian Studi Program Sarjana


Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin pada
tanggal 20 November 2021 dan dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan

Menyetujui,

Mengetahui

iv
SARI

Secara administratif daerah penelitian termasuk dalam Daerah Tovia Tambu


Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah dan secara
astronomis terletak pada koordinat 0°4'00"LS – 0°9'00"LS (Lintang Selatan) dan
119°52'00"LS – 119°56'00" BT (Bujur Timur). Penelitian dengan judul “Geologi dan
analisis potensi bahaya tanah longsor daerah tovia tambu kecamatan tovia tambu
kabupaten donggala provinsi sulawesi tengah” dimaksudkan untuk membuat peta dengan
skala 1:25.000 yang mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah
geologi serta bahan galian pada daerah penelitian. Metode yang digunakan pada
penelitian ini ialah metode geologi lapangan dan pengolahan data baik menggunakan
software maupun menggunakan alat laboratorium.

Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa satuan


geomorfologi daerah penelitian terdiri atas satuan Bentang Alam Perbukitan
Denudasional, satuan Bentang Alam Pegunungan Denudasional dan satuan Bentang Alam
Fluvial. Sungai yang berkembang pada daerah penelitian adalah sungai periodik dan
episodik. Tipe genetik sungai daerah penelitian yaitu tipe genetik subsekuen, konsekuen
dan insekuen. Pola aliran sungai sub paralel. Berdasarkan aspek-aspek geomorfologi
dapat disimpulkan bahwa stadia sungai dan stadia daerah termasuk stadia dewasa.
Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan litodemik dari tua ke muda terdiri atas; satuan
genes, satuan granit, dan satuan satuan andesit. Struktur geologi yang berkembang ialah
Sesar geser maruri. Bahan galian pada daerah penelitian termasuk golongan bahan galian
nonlogam, analisis potensi bencana tanah longsor pada daerah penelitian ialah tingkat
pelapukan pada daerah penelitian sangatlah tinggi. Mengingat kondisi iklim tropis
menyebabkan terjadinya curah hujan yang relatif tinggi dan disimpulkan bahwa daerah
penelitian sangat rawan terjadinya longsor.

Kata kunci : Tovia tambu, geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi,
analisis tanah longsor.

v
ABSTRACT

Administratively, the research area is included in the Tovia Tambu area, Tovia
Tambu district, Donggala district, Central Sulawesi province and is astronomically
located at coordinates 0°4'00"LS – 0°9'00"LS (South Latitude) and 119°52'00"LS –
119°56'00" E (East Longitude). . The research entitled "Geology and Overview of
Landslide Hazards in the Tovia Tambu Region, Tovia Tambu District, Donggala
Regency, Central Sulawesi Province" is intended to make a map with a scale of 1:25,000
covering geomorphological conditions, stratigraphy, geological structure, geological
history and excavation materials in the research area. The method used in this research
is the field geology method and data processing either using software or using laboratory
equipment.

From the results of the analysis, it was concluded that the geomorphological
unit of the study area consisted of a Denudational Hills Landscape unit and a Fluvial
Plain Landscape unit. Rivers that develop in the study area are periodic and episodic
rivers. The genetic types of the river in the research area are sub-sequence, consequent
and insequent genetic types. Sub-parallel river flow pattern. Based on the
geomorphological aspects, it can be concluded that the river stage and the regional stage
include the young stage towards adulthood. Stratigraphy of the research area based on
unofficial lithostratigraphy from old to young consists of; genes units, granite units, and
andesite units. The geological structure that develops is the Maruri shear fault. The
minerals in the research area are classified as non-metallic minerals, analysis of the
potential for landslides in the research area is the level of weathering in the research
area is very high. Considering the tropical climate conditions cause relatively high
rainfall and it is concluded that the research area is very prone to landslides.

Keywords: Tovia Tambu, geomorphology, stratigraphy, geological structure, geology


history, landslide analysis.

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Azza Wa Jalla. Hanya

kepada-Nyalah tempat memohon berkah dan rahmat serta dengan izin-Nya jualah

sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan tugas akhir dengan judul “Geologi

Dan Analisis Potensi Bahaya Tanah Longsor Daerah Tovia Tambu

Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah”

ini bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam penulis

haturkan kepada manusia terbaik sepanjang zaman Baginda Nabi Muhammad

Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang merupakan rasul Allah yang bertugas

membawa dan membimbing umat manusia sehingga dapat mengenal dan

beribadah kepada Rabbnya.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

seluruh pihak yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu penulis

dalam penyusunan laporan ini, antara lain kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Busthan Azikin, M.T. selaku Dosen Pembimbing I yang

senantiasa membimbing dan mengarahkan penulis,

2. Bapak Safruddim,S.T, M.Eng selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa

membimbing dan memberikan pengajaran kepada penulis,

3. Bapak Dr. Eng. Asri Jaya, ST., MT. selaku Ketua Departemen Teknik

Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin atas segala bimbingannya,

vii
4. Bapak Prof.Dr.rer.nat. Ir. A.M. Imran, dan Bapak Dr. Eng. Hendra Pachri,

S.T.,M.Eng

5. Seluruh Dosen Departemen Teknik Geologi yang telah memberikan banyak

ilmu selama proses perkuliahan.

6. Seluruh Staff Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas

Hasanuddin,

7. Bapak Salim Abdurrahman dan Ibu Aminah Muchdar selaku orangtua penulis

yang terkasih tiada hentinya memberikan dukungan baik moral maupun

materil kepada penulis,

8. Segenap warga Himpunan Mahasiswa Geologi FT-UH khususnya angkatan

2016 (Jurassic16), yang tak pernah absen memberikan dukungan disaat suka

maupun duka,

9. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas

segala bantuan dan dorongan yang diberikan selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan pemetaan ini masih sangat

jauh dari sempurna. Masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunannya,

oleh karena itu penulis mengharapkan adanya masukan dari pembaca baik berupa

saran maupun kritikan yang membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Akhir kata, semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh

pembaca, khususnya bagi penulis. Aamiin.

Makassar, Agustus 2021

Penyusun

Muhammad Fahmi Salim

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………….................... i

HALAMAN TUJUAN …………………………………………................. ii

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………..... iii

SARI ………………………………………….............................................. iv

ABSTRACT …………………………………………................................... v

KATA PENGANTAR ………………………………………….................. vi

DAFTAR ISI …………………………………………...………………….. viii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xii

DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xv

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….... 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 1

1.2 Maksud dan Tujuan …………………………………………... 3

1.3 Batasan Masalah………………………………………………. 3

1.4 Waktu, Letak dan Kesampaian Daerah …….………………… 4

1.5 Metode dan Tahapan Penelitian ……………………..……...... 5

1.5.1 Tahapan Pendahuluan……..………...........…………............ 5

1.5.2 Tahapan Penelitian Lapangan............…………………..…...... 5

1.5.3 Tahap Pengumpulan Data Lapangan................................…...... 7

1.5.4 Tahap Pengolahan Data…..………………………….….…...... 8

1.5.5 Tahap Analisis Laboratorium …..………………….................. 10

1.5.6 Tahap Analisis dan Interpretasi Data……………………......... 10

1.5.7 Tahap Penyusunan Laporan………...........…………................ 11

1.6 Alat dan Bahan........................................................................... 13

viii
1.7 Peneliti Terdahulu...................................................................... 14

BAB II GEOMORFOLOGI ………………….….....……………...... 15

2.1 Geomorfologi Regional …………………………….………… 15

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian …………………….……….. 15

2.2.1 Satuan Geomorfologi ………………………………………… 16

2.2.1.1 Satuan Geomorfologi Pedataran Fluvial …..……….............… 21

2.2.1.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional ………........... 24

2.2.1.3 Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional ………......... 28

2.2.2 Sungai …………………………………………........................ 30

2.2.2.1 Klasifikasi Sungai ……………………………………………. 30

2.2.2.2 Pola Aliran Sungai ………………………………………….... 33

2.2.2.3 Tipe Genetik Sungai ………………………………………….. 35

2.2.2.4 Stadia Sungai …………………………………………............. 36

2.2.3 Stadia Daerah Penelitian ……………………………………... 38

BAB III STRATIGRAFI …………………………………………....... 40

3.1 Stratigrafi Regional …………………………………………... 40

3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian ………………………………… 42

3.2.1 Satuan Genes ............………………………………….……… 42

3.2.1.1 Dasar Penamaan ……………………………………………… 43

3.2.1.2 Penyebaran dan Ketebalan …………………………………… 43

3.2.1.3 Ciri Litologi …………………………………………............... 44

3.2.1.4 Lingkungan Pembentukan dan Umur ………………………… 45

3.2.1.5 Hubungan Stratigrafi …………………………………………. 45

3.2.2 Satuan Intrusi Granit….….....…………………………............ 46

ix
3.2.2.1 Dasar Penamaan …………………………………………........ 46

3.2.2.2 Penyebaran dan Ketebalan …………………………………… 46

3.2.2.3 Ciri Litologi …………………………………………............... 47

3.2.2.4 Lingkungan Pembentukan dan Umur ………………………… 48

3.2.2.5 Hubungan Stratigrafi …………………………………………. 49

3.2.3 Satuan Intrusi Andesit…..….....………………………………. 49

3.2.3.1 Dasar Penamaan …………………………………………........ 49

3.2.3.2 Penyebaran dan Ketebalan …………………………………… 50

3.2.3.3 Ciri Litologi …………………………………………............... 50

3.2.3.4 Lingkungan Pembentukan dan Umur ………………………… 52

3.2.3.5 Hubungan Stratigrafi …………………………………………. 52

3.2.4 Satuan Aluvial……………...…………………………………. 53

3.2.4.1 Dasar Penamaan …………………………………………........ 53

3.2.4.2 Penyebaran dan Ketebalan …………………………………… 54

3.2.4.3 Ciri Litologi …………………………………………............... 54

3.2.4.4 Lingkungan Pembentukan dan Umur ………………………… 54

3.2.4.5 Hubungan Stratigrafi …………………………………………. 55

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI …………………………………… 57

4.1 Struktur Regional ……………………………………………. 57

4.2 Struktur Geologi Daerah Penelitian …………………………. 60

4.2.1 Struktur Kekar (Joint) ............................…………………….. 61

4.2.2 Struktur Sesar (Fault) ………………………………………... 69

4.2.2.1 Klasifikasi Sesar……………………………………………… 69

x
4.2.2.1 Sesar Daerah Penelitian ……………………………………..... 71

4.2.2.2.1 Sesar Geser Maruri ……………………………………............ 72

BAB V SEJARAH GEOLOGI……………………………………… 77

BAB VI BAHAN GALIAN…………………………………………… 79

6.1 Bahan Galian…………………………………………………. 79

6.2 Potensi Bahan Galian daerah Penelitian ……..........…………. 81

6.2.1 Granit………………………………………………………… 82

6.2.2 Bahan Galian Sirtu (Pasir dan Batu) ......................................... 83

BAB VII ANALISIS KESTABILAN LERENG …...........…………… 85

7.1 Lereng dan Longsoran ……………………………………....... 85

7.2. Faktor Yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng……………… 93

7.2.1 Kekuatan Massa Batuan……………………………………… 93

7.2.2 Struktur Batuan……………………………………………….. 94

7.2.3 Geometri Lereng……………………………………………… 95

7.2.4 Kondisi Air Tanah……………………………………………. 96

7.3 Analisis Kestabilan Lereng…………………………………… 96

7.4 Kelas Pelapukan………………………………………………. 98

7.5 Hasil Penelitian dan Pembahasan…………………………....... 100

7.5.1 Geometri Lereng Daerah Penelitian ……………………….... 100

7.4.2.1 Analisis Tingkat Pelapukan Daerah Penelitian ……………… 104

BAB VIII PENUTUP …............………………………………………… 108

8.1 Kesimpulan ................................................................................ 108

8.2 Saran .......................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 110

xi
LAMPIRAN

1. Deskripsi Petrografis Batuan

2. Kolom Stratigrafi

LAMPIRAN LEPAS

1. Peta Stasiun Pengamatan

2. Peta Geomorfologi

3. Peta Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai

4. Peta Geologi

5. Peta Struktur Geologi

6. Peta Bahan Galian

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1.1 Peta Tunjuk Lokasi Daerah Penelitian...................................................... 4

2.1 Kenampakan morfologi pedataran fluvial pada daerah tovia tambu, difoto
ke arah barat (N293oE)..............................................................................20

2.2 Kenampakan sungai Sidolupa yang menunjukkan profil sungai


berbentuk “U” lebar, difoto ke arah Barat daya (338o) .............................21

2.3 Pemanfaatan lahan perkebunan, difoto ke arah timur (N1180E)..............22

2.4 Kenampakan geomorfologi perbukitan Denudasional difoto dari daerah


Tambu dengan arah N 2540 E...................................................................23

2.5 Residual soil dengan tebal ± 2 meter dan Pelapukan kimia yang
menunjukkan perubahan warna pada litologi granit.................................24

2.6 Pelapukan biologi yang menunjukkan adanya rekahan-rekahan pada


litologi granit yang diakibatkan oleh pertumbuhan akar pohon pada stasiun
16 difoto relatif arah N 90o E.....................................................................24

2.7 Rill erosion pada selatan Desa Tambu pada ST 17 difoto relatif arah N 85o
E.................................................................................................................25

2.8 Kenampakan gerakan tanah berupa debris slide pada stasiun 5 difoto arah
N 349oE......................................................................................................26

2.9 Jenis Sungai periodik pada sungai dengan arah Foto N 66oE...................28

2.10 Pola aliran sungai subparalel pada daerah penelitian................................29

2.11 Singkapan genes dengan foliasi relatif searah dengan arah aliran sungai
yang menandakan tipe genetik subsekuen dengan arah foto N 240oE .....31

2.12 Singkapan genes dengan dip foliasi relatif searah dengan arah aliran sungai
yang menandakan tipe genetik konsekuen dengan arah foto N 84oE........31

2.13 Kenampakan point bar dan flood plain pada sungai sidolupa dengan arah
foto N 338oE..............................................................................................33

2.14 Kenampakan chanel bar pada anak sungai pada perbukitan denudasional
dengan arah foto N 256oE..........................................................................33

xii
3.1 Peta geologi tinjau Lembar Palu ..............................................................36

3.2 Foto singkapan genes pada stasiun 72 dengan arah pengambilan foto N
53OE ..........................................................................................................40

3.3 Kenampakan petrografis genes pada sayatan ST 72, yang memperlihatkan


Kuarsa (Qtz), Ortoklas (Ort), Muskovit (Ms), Biotit (Bt), Mineral Opaq 41

3.4 Foto singkapan granit pada stasiun 80 dengan arah pengambilan foto N
88O E..........................................................................................................43

3.5 Kenampakan petrografis pada sayatan ST11, yang memperlihatkan


kandungan mineral berupa kuarsa (Qtz), biotit (Bt), ortoklas (Or),
Plagioklas (Pl) dan mineral opaq (Opaq)..................................................44

3.6 Foto singkapan andesit pada stasiun 4 dengan arah pengambilan foto N
47OE ..........................................................................................................47

3.7 Kenampakan petrografis pada sayatan ST 4, yang memperlihatkan


kandungan mineral berupa Kuarsa (Qtz), plagioklas (Pl), Piroksin (Px),
ortoklas (Ort), Mineral opaq, dan massa dasar gelas (Md) ......................48

3.8 Kenampakan sungai dan material akibat proses fluvial di sungai Sidolupa
...................................................................................................................49

4.1 Peta Geologi Sulawesi dan tatanan tektoniknya (dimodifikasi) (Hall


&Wilson, 2000).........................................................................................54

4.2 Tipe bentuk kekar : (a) Dilational Joint (Extension Joint), (b) Shear Joint,
(c) Hybrid joint (McClay, 1987)...............................................................58

4.3 Sistem Kekar memiliki kecenderungan non sistematis dari singkapan


granit pada stasiun 17 dengan arah pengambilan foto N 90OE .................59

4.4 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net);
(b) Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minumum .................................61

4.5 Sistem Kekar memiliki kecendrungan non sistematis dari singkapan granit
pada stasiun 24 dengan arah pengambilan foto N 324OE..........................62

4.6 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net);
(b) Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minimum...................................63

xiii
4.7 Sistem Kekar memiliki kecendrungan non sistematis dari singkapan
Andesit pada stasiun 4 dengan arah pengambilan foto N 313OE..............64

4.8 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net);
(b) Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minimum...................................65

4.9 Kenampakan kelurusan topografi yang signifikan pada daerah Kuala


Maruri........................................................................................................69

4.10 Foto mata air pada stasiun 46 dengan arah pengambilan foto N 100OE....70

4.11 Foto Breksi Sesar stasiun 15 dengan arah pengambilan foto N 230OE.....70

4.12 Mekanisme struktur geologi, berdasarkan model teori “Strain Elipsoide”


menurut Reidel dalam Mc. Clay,1987.......................................................71

4.13 Mekanisme dan urutan perkembangan Struktur Geologi pada daerah


penelitian...................................................................................................72

6.1 Kenampakan bahan galian granit daerah Tambu dengan arah foto N680E
...................................................................................................................78

6.2 Kenampakkan indikasi bahan galian sirtu (pasir dan batu) pada Binagga
Sidolupa dengan arah foto N 189oE..........................................................80

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1.1 Diagram Alir Metode Penelitian...............................................................10

2.1 Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik pada sistem ITC (Van
Zuidam, 1985.............................................................................................16

4.1 Data kekar yang diukur pada stasiun 17....................................................60

4.2 Data kekar yang diukur pada stasiun 24....................................................64

4.3 Data kekar yang diukur pada stasiun 4......................................................65

xv
3 BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Geologi merupakan kelompok ilmu yang membahas tentang sifat-sifat dan

bahan-bahan yang membentuk bumi, struktur, proses-proses yang bekerja baik di

dalam maupun diatas permukaan bumi, kedudukannya di alam semesta serta

sejarah perkembangannya sejak bumi ini lahir di alam semesta hingga sekarang.

Geologi dapat digolongkan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang kompleks,

mempunyai pembahasan materi yang beraneka ragam namun juga merupakan

suatu bidang ilmu pengetahuan yang menarik untuk dipelajari. Ilmu ini

mempelajari dari benda-benda sekecil atom hingga ukuran benua, samudra,

cekungan dan rangkaian pegunungan. (Djauhari Noor, 2009).

Dalam penentuan daerah dengan indikasi cadangan sumber daya alam

yang potensial dan ekonomis dibutuhkan tahap awal dalam kegiatan eksplorasi

dimana para calon geologist dituntut untuk dapat memahami metode dan tahapan

pengambilan data geologi di lapangan. untuk memberikan informasi geologi yang

relevan. Informasi ini yang kemudian akan digunakan untuk penelitian

selanjutnya inilah yang dapat diperoleh melalui kegiatan pemetaan geologi.

Pemetaan geologi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengetahui kondisi geologi serta aspek-aspek geologi daerah penelitian dengan

menguraikan masalah kebumian yang mencakup susunan batuan, bentangalam,

struktur, bahan galian serta berbagai prospek alam lainnya yang dapat

dikembangkan bersama dengan disiplin ilmu lainnya.

1
2

Indonesia khususnya Pulau Sulawesi merupakan kawasan yang memiliki

tatanan geologi yang cukup kompleks. Hal tersebut menuntut adanya pekerjaan

lapangan untuk mengetahui kondisi geologi suatu daerah secara langsung yang

pada umumnya tidak seideal seperti dalam teori dan membutuhkan rekonstruksi

geologi dalam bentuk peta geologi. Peta geologi regional yang telah ada di

Indonesia hanya memiliki skala 1:100.000 untuk Jawa dan skala 1:250.000 untuk

luar Jawa. Skala tersebut dinilai kurang detail, sehingga dibutuhkan peta geologi

dengan skala yang lebih besar. Oleh karena itu, kegiatan pemetaan geologi dengan

skala 1:25.000 yang merupakan salah satu mata kuliah wajib dalam kurikulum

perkuliahan di Departemen Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, menjadi

suatu kegiatan yang penting untuk dilakukan dalam upaya mengetahui kondisi

geologi yang ada di suatu daerah, khususnya di lokasi penelitian.

Ancaman bencana alam sangat dipengaruhi oleh kondisi geologi suatu

daerah. Pada daerah yang memiliki morfologi perbukitan dan pegunungan akan

memungkinkan terjadinya longsor. Tanah longsor merupakan faktor utama dalam

proses geomorfologi yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, terutama

permukaan relief pegunungan yang berlereng terjal, maupun permukaan lereng

bawah laut (Zakaria, 2009).

Berbicara tentang tanah longsor erat kaitannya dengan kestabilan lereng.

Menurut Wyllie dan Mah (2004), lereng merupakan bagian dari permukaan bumi

atau bidang yang berbentuk miring terhadap bidang horizontal. Kestabilan lereng

merupakan suatu kondisi atau keadaan yang stabil terhadap suatu bentuk dan

dimensi lereng.
3

Khususnya pada daerah Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten

Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, daerah ini memperlihatkan kenampakan

morfologi perbukitan hingga pegunungan yang disusun oleh batuan beku dengan

tingkat pelapukan daerah penelitian yang cukup tinggi sehingga memungkinkan

adanya lereng yang kurang stabil, dimana pelapukan yang tinggi juga sangat

mempengaruhi kestabilan suatu lereng.

Oleh karena itu hal inilah yang kemudian melatarbelakangi sehingga

dilakukanlah penelitian berupa pemetaan geologi dan analisis potensi bencana

alam pada Daerah Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala

Provinsi Sulawesi Tengah.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian pada Daerah Tovia Tambu Kecamatan Tovia

Tambu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah dengan menggunakan

peta dasar skala 1:25.000, dan mengetahui analisis potensi bencana tanah longsor

pada daerah penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi daerah

penelitian yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah

geologi dan potensi bahan galiannya, serta mengetahui tinjauan potensi bahaya

tanah longsor sehingga dapat menghasilkan peta geologi daerah penelitian.

1.3 Batasan Masalah

Penelitian geologi ini dilakukan dengan membatasi masalah pada

penelitian yang berdasarkan aspek – aspek geologi dan terpetakan pada skala
4

1:25.000. Aspek – aspek geologi tersebut mencakup geomorfologi, stratigrafi,

struktur geologi, sejaran geologi dan bahan galian, serta dilakukannya penelitian

menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan data geometri lereng dan

analisis menggunakan klasifikasi tingkat pelapukan batuan menurut Wyllie dan

Mah, 2004.

1.4 Waktu, Letak, dan Kesampaian Daerah

Secara administratif daerah penelitian termasuk dalam Daerah Tovia

Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah

dan secara astronomis terletak pada koordinat 0°4'00"LS – 0°9'00"LS (Lintang

Selatan) dan 119°52'00"LS – 119°56'00" BT (Bujur Timur).

Daerah penelitian termasuk dalam Lembar Tompe nomor 2015-64 Peta

Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000 yang diterbitkan BAKOSURTANAL edisi

I tahun 1988 (Cibinong, Bogor). Daerah penelitian mencakup luas wilayah kurang

lebih 68,07 km².

Daerah penelitian dapat dicapai dengan menggunakan transportasi udara,

darat dan laut, dari Makassar menuju ke Palu menggunakan bus yang ditempuh

sekitar kurang lebih 24 jam, dari Kota Palu menuju Kabupaten Donggala

menggunakan kendaraan darat roda empat maupun roda dua yang di tempuh

sekitar kurang lebih 4 jam, dari Kabupaten Donggala menuju Kecamatan Tovia

Tambu menggunakan kendaraan roda dua yang di tempuh sekitar 1 jam.


5

Gambar 1.1. Peta Tunjuk Lokasi Daerah Penelitian

1.5 Metode dan Tahapan Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tujuh

tahapan, yaitu; tahapan pendahuluan, tahapan penelitian lapangan, tahapan

pengumpulan data lapangan, tahapan pengolahan data, tahapan analisis

laboratorium, tahapan analisis dan interpretasi dan tahapan penyusunan laporan.

1.5.1 Tahapan Pendahuluan

Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan mencakup tiga kegiatan, yaitu :

1. Persiapan perlengkapan lapangan meliputi pengadaan peta dasar (peta

topografi), persiapan peralatan lapangan dan rencana kerja.

2. Pengurusan administrasi, meliputi pengurusan surat izin guna legalitas

kegiatan penelitian, terdiri atas pengurusan perizinan kepada pihak Jurusan

Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Fakultas Teknik Universitas

Hasanuddin.

3. Studi literatur, mencari referensi yang berkaitan dengan daerah penelitian,

untuk mengenal daerah penelitian secara singkat dan menjadi bahan


6

pertimbangan dalam pengambilan data di lapangan.

1.5.2 Tahapan Penelitian Lapangan

Tahap penelitian lapangan terdiri dari 2 yaitu pemetaan pendahuluan dan

pemetaan detail. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data lapangan secara

deskriptif dan sistematis.

1. Pemetaan Pendahuluan, yaitu pemetaan dengan melakukan orientasi lapangan

untuk mengetahui kondisi lapangan pada daerah penelitian, serta lintasan

yang akan dilalui untuk mendapatkan data yang akurat dengan memanfaatkan

waktu seefisien mungkin dan dengan sebaik – baiknya.

2. Pemetaan Detail, yaitu pemetaan dengan melakukan pengamatan dan

pengambilan data langsung di lokasi penelitian, yang meliputi :

a. Pengamatan dan pengambilan data serta penentuan lokasi pada peta dasar

skala 1 : 25.000 yang disesuaikan dengan kondisi medan dan kondisi

singkapan.

b. Pengamatan dan pengukuran terhadap aspek-aspek geomorfologi seperti:

relief (bentuk puncak dan lembah, serta keadaan lereng), pelapukan (jenis

dan tingkat pelapukan), soil (warna, jenis dan tebal soil), sungai (jenis

sungai, arah aliran, bentuk penampang dan pola aliran sungai serta

pengendapan yang terjadi), tutupan dan tataguna lahan.

c. Pengamatan unsur-unsur geologi untuk penentuan stratigrafi daerah

penelitian, antara lain meliputi: kondisi fisik singkapan batuan yang diamati

langsung di lapangan dan hubungannya terhadap batuan lain di sekitarnya,

dan pengambilan contoh batuan yang dapat mewakili tiap satuan untuk

analisis petrografi.
7

d. Pengamatan dan pengukuran terhadap unsur-unsur struktur geologi yang

meliputi kedudukan batuan, kekar.

e. Pengamatan potensi bahan galian yang terdapat di daerah penelitian, serta

data pendukung lainnya seperti keberadaan bahan galian, jenis dan

pemanfaatan bahan galian.

1.5.3 Tahapan Pengambilan Data Lapangan

Kegiatan tahap pengumpulan data lapangan menggunakan metode

eksploratif yaitu pengambilan data pada objek-objek geologi dipermukaan,

meliputi kegiatan orientasi lapangan dan pengambilan data geomorfologi,

stratigrafi dan struktur geologi pada lintasan terbuka serta pengambilan sampel

untuk analisa laboratorium. Adapun metode pengumpulan data, meliputi :

1. Pengambilan data dengan cara pencatatan data lapangan, artinya semua data

lapangan yang dijumpai di rekam ke dalam buku pencatatan lapangan.

2. Pengambilan data lapangan dengan menggunakan alat, artinya proses

pengambilan data dilapangan menggunakan bantuan alat seperti pengambilan

titik lokasi tiap stasiun pengamatan dengan menggunakan GPS (Global

Positioning System), pengambilan foto singkapan batuan dan morfologi dari

satuan bentangalam dengan menggunakan kamera, pengambilan conto batuan

dengan menggunakan palu dan pengukuran data kedudukan batuan dengan

kompas geologi.

3. Pemetaan geologi secara detail dimaksudkan untuk memperoleh data geologi

secara terperinci. Secara umum, urutan pengambilan dan pengukuran data

geologi di lapangan, yaitu : penentuan titik pengamatan pada peta dasar skala

1: 25.000, pengamatan kondisi singkapan dan hubungannya dengan batuan


8

sekitar, pengamatan dan pengambilan data geomorfologi, pengamatan sifat

fisik batuan, meliputi: warna, tekstur batuan, struktur batuan, komposisi

mineral penyusun dan penamaan lapangan dan mikroskopisnya, penentuan

dan pengukuran unsur-unsur struktur geologi, pengambilan contoh batuan

untuk analisa laboratorium, serta pengamatan bahan galian yang ada pada

daerah penelitian. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap jenis soil

serta vegetasi yang ada di sekitar singkapan. Setelah semua data dicatat dan

diukur, maka dilakukan pengambilan dokumentasi, baik berupa foto maupun

sketsa.

4. Pada tahap pengambilan data pada analisis potensi bencana tanah longsor

dilakukan dengan mengamati lereng pada ruas jalan yang terlihat rentan

terjadi longsor. Penentuan lereng berdasarkan kenampakan lereng yang belum

dan telah mengalami pergerakan tanah. Adapun data yg diperoleh di

lapangan.

1.5.4 Tahapan Pengolahan Data

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap pengolahan data mencakup

kegiatankegiatan pengolahan data yang telah diperoleh di lapangan, yaitu :

1. Data Geomorfologi, meliputi pembuatan peta pola aliran dan tipe genetik
sungai.

2. Data Petrografi, meliputi pengamatan sayatan tipis dari contoh batuan yang

telah diambil dari lapangan untuk mengetahui karakteristik batuan


9

berdasarkan sifatsifat optisnya : jenis mineral, tekstur, ukuran mineral,

persentase kandungan mineral, dll.

3. Data Stratigrafi, meliputi pengukuran foliasi untuk mengetahui arah umum

penyebaran batuan, dan deskripsi megaskopis singkapan batuan serta

hubungannya dengan batuan lain yang ada di sekitarnya.

4. Data Struktur Geologi, meliputi pengolahan data kekar yang dijumpai di

lapangan dengan metode proyeksi stereonet untuk mengetahui arah gaya

pembentuk struktur.

5. Data Analisis Potensi Bencana Tanah Longsor, meliputi tahap pengolahan

data geometri lereng berupa data dimensi lereng selanjutnya akan

digambarkan melalui software AutoCAD 2021.

1.5.5 Tahapan Analisis Laboratorium

Data petrografi pada penelitian ini diambil 9 sampel dari ST4 mewakili

litologi andesit,ST 27B, ST 30, ST 41 dan ST 80 mewakili litologi granit, ST

27A, ST 36, ST 66 dan ST 72 mewakili litologi genes. Sampel dipreparasi

dan disayat pada laboratorium preparasi di kampus teknik geologi universitas

hasanuddin, Pengamatan data petrografi dilakukan di laboratorium mineral

optik di kampus teknik geologi Universitas Hasanuddin dan menggunakan

mikroskop polarisasi untuk mengamati batuan dalam bentuk sayatan tipis.


10

1.5.6 Tahapan Analisis dan Interpretasi Data

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap analisis dan interpretasi data

mencakup kegiatan-kegiatan analisa dan interpretasi dari data yang telah diolah

sebelumnya, yaitu :

1. Analisa Geomorfologi, meliputi analisa dalam menentukan satuan

bentangalam, pola aliran dan tipe genetik sungai serta interpretasi stadia

sungai dan stadia daerah penelitian.

2. Analisa Petrografi, meliputi analisa dalam menentukan nama batuan secara

mikroskopis menggunakan klasifikasi Travis 1955 dan interpretasi

petrogenesa pembentukan batuan.

3. Analisa Stratigrafi, meliputi analisa dalam menentukan batas dan

pengelompokkan setiap satuan batuan berdasarkan litostratigrafi tidak resmi,

serta analisis umur dan lingkungan pengendapan dari kandungan fosil mikro

yang dijumpai serta interpretasi tatanan stratigrafi daerah penelitian.

4. Analisa Struktur geologi, meliputi analisa data kedudukan batuan, data kekar

serta data-data struktur lainnya yang dijumpai di lapangan dan interpretasi

jenis struktur geologi dan mekanisme struktur yang berkembang di daerah

penelitian.

5. Interpretasi Peta Topografi, tahapan ini dilakukan karena kurangnya data

dalam penarikan batas litologi pada daerah penelitian, maka dilakukannya

interpretasi peta topografi dalam penelitian ini untuk memperkuat data yang

didapatkan dilapangan.

6. Analisis Tingkat Pelapukan, Tingkat pelapukan merupakan salah satu faktor

penyebab terjadinya longsor, semakin tinggi tingkat pelapukan semakin


11

banyak mineral pembentuk batuan yang hancur sehingga mempengaruhi

terjadinya longsor. Analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis

tingkat pelapukan menurut Wyllie dan Mah (2004), tingkat pelapukan dibagi

menjadi 6, dari batuan segar (unweathered) hingga residual soil.

Dari seluruh tahapan analisis pengolahan data, analisis laboratorium,

hingga interpretasi data, dilakukannya pembuatan peta geologi, geomorfologi,

struktur geologi, bahan galian, serta pola aliran dan tipe genetik sungai, serta

lampiran berupa deskripsi petrografis.

1.5.7 Tahap Penyusunan Laporan

Kegiatan dalam tahap penyusunan laporan ini merupakan hasil tulisan

ilmiah secara deskriptif dari hasil pengolahan, analisis dan interpretasi yang

dijadikan acuan dalam penarikan kesimpulan mengenai kondisi geologi daerah

penelitian. Penyajian data dan hasil laporan berupa laporan pemetaan geologi

tersebut diseminarkan di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik,

Universitas Hasanuddin.
12

Tabel 1.1 Diagram Alir Metode Penelitian


13

1.6 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang akan digunakan selama kegiatan penelitian ini

di bagi atas dua, yaitu yang akan digunakan di lapangan dan yang akan digunakan

saat pengolahan data atau analisis laboratorium.

Alat dan bahan yang digunakan di lapangan terdiri dari:

• Peta topografi bersekala 1 : 25.000 yang merupakan hasil pembesaran dari

peta rupa bumi sekala 1 : 50.000 terbitan Bakosurtanal

• Global Positioning System (GPS)

• Kompas geologi

• Palu geologi

• Komparator

• Buku catatan lapangan

• Loupe perbesaran 10x

• Larutan HCl ( 0,1 M )

• Kamera digital

• Pita meter

• Kantung sampel

• Clipboard

• Alat tulis menulis

• Ransel lapangan

• Busur dan penggaris

• Roll meter

• Perlengkapan pribadi
14

Sedangkan alat dan bahan yang akan digunakan selama pengolahan data

dan analisis laboratorium, adalah sebagai berikut:

• Mikroskop polarisasi untuk analisis petrografi

• Penuntun dan referensi yang berhubungan dengan penelitian

• Tabel deskripsi

• Table Michael Levy

• Sayatan tipis batuan

• Alat tulis-menulis dan gambar

1.7 Peneliti Terdahulu

Beberapa ahli geologi yang pernah mengadakan penelitian di daerah ini

yang sifatnya regional diantaranya adalah sebagai berikut :

 Van Bemmelen (1949), melakukan penelitian geologi umum di Indonesia,

termasuk Sulawesi Tengah.

 Rab Sukamto (1973), Peta geologi tinjau daerah Palu, Sulawesi Tengah

(Reconnaissance geologic map of Palu area, Central Sulawesi; scale

1:250000.

 Hall And Robert (2018) , penelitian tentang Late Cenozoic

palaeogeography of Sulawesi, Indonesia.

 Kaharuddin dkk, 2011. Penelitian tentang Perkembangan Tektonik dan

Implikasinya Terhadap Potensi Gempa dan Tsunami di Kawasan Pulau

Sulawesi.
BAB II
GEOMORFOLOGI

2.1. Geomorfologi Regional

Geomorfologi Regional secara fisiografi daerah palu terdiri dari

pematang timur dan pematang barat, kedua-duanya berarah Utara- Selatan dan

terpisahkan oleh Lemba Palu. Pematang Barat di dekat Palu hingga lebih dari

200 meter tingginya, tetapi di Donggala menurun hingga muka air laut.

Pematang Timur dengan tinggi puncak dari 400 meter hingga 1900 meter, dan

menghubungkan pegunungan Sulawesi Tengah dengan Lengan Utara.

Dataran tinggi memiliki keterdapatan yang terpisah-pisah di bagian barat,

tengah dan timur Lembar. Ketinggian lebih dari 600 m di atas muka laut,

umumnya merupakan daerah pertanian yang subur dengan banyak pemukiman.

Daerah pebukitan terdapat di bagian utara dan tengah selatan Lembar

Sungai di Lembar Palu sebagian besar mengalir ke utara menuju ke Teluk

Tomini, selebihnya mengalir ke Teluk Tomori di timur, dan Selat Makasar di

barat. Sungai yang besar adalah S. Palu, S. Koro dan S. La. Pada umumnya

lurus; karena pengikisan ke bawah kuat, lembah umumnya berbentuk V. Hanya

beberapa sungai yang alirannya berliku-liku, terutama di dekat muara. Secara

umum saliran di daerah ini berpola dendritik, sebagian berpola siku-siku dan

kisi. (Rab Sukamto,dkk 1973).

15
16

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Geomorfologi daerah penelitian membahas mengenai kondisi

geomorfologi

meliputi pembagian satuan geomorfologi, jenis pola aliran sungai, klasifikasi

sungai, tipe genetik dan stadia sungai pada daerah penelitian yang akhirnya dapat

mengetahui stadia daerah penelitian. Pembahasan terhadap unsur-unsur

geomorfologi tersebut berdasarkan pada kondisi geologi di lapangan, hasil

interprestasi peta topografi, studi literatur yang mengacu pada konsep dasar

geomorfologi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli sehingga dapat dibuat

kesimpulan tentang stadia daerah penelitian.

Pembagian satuan geomorfologi serta analisis kondisi geomorfologi pada

daerah penelitian digunakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan

suatu bentangalam. Faktor tersebut adalah proses-proses geomorfologi, stadia

dan jenis batuan penyusun daerah tersebut, serta struktur geologi (Thornbury,

1969).

2.2.1 Satuan Geomorfologi

Menurut Thornbury (1969), geomofologi didefinisikan sebagai ilmu

tentang bentuk lahan. Menurut Lobeck (1939), geomorfologi juga didefinisikan

sebagai studi tentang bentuk lahan. Sedangkan menurut Van Zuidam (1985),

geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan

proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan

keruangannya. Dari beberapa definisi para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsi secara genetis bentuk lahan
17

dan proses – proses yang dipengaruhi oleh batuannya dan mencari korelasi

hubungan antara bentuk – bentuk lahan tersebut dengan proses – proses dalam

susunan keruangannya yang membentuk bentang alam tersebut.

Proses geomorfologi merupakan perubahan-perubahan baik secara fisik

maupun kimiawi yang dialami permukaan bumi. (Thornbury, 1969). Penyebab

dari proses perubahan tersebut dikenal sebagai agen geomorfologi, yang

disebabkan oleh faktor tenaga asal dalam (endogen) dan tenaga asal luar

(eksogen). Proses endogen ini meliputi vulkanisme, pembentukan pegunungan

lipatan, patahan yang cenderung untuk bersifat membangun (bersifat

konstruktif), sedangkan proses eksogen meliputi erosi, abrasi, gerakan tanah,

pelapukan (kimia, fisika, biologi), serta campur tangan manusia yang cenderung

bersifat merusak (bersifat destruktif). Kenampakan bentangalam dari suatu

daerah merupakan hasil akhir dari proses-proses geomorfologi yang bekerja.

Proses degradasi menyebabkan penurunan permukaan bumi, sedangakan

agradasi menyebabkan penaikan permukaan bumi. Pada proses degradasi

didalamnya terdapat proses pelapukan, gerak massa dan erosi (Thornbury, 1969).

Morfografi merupakan pembagian satuan bentang alam yang didasarkan

pada aspek kualitatif dari bentuk permukaan bumi mencakup dataran,

perbukitan, dan pegunungan. Perbedaan tersebut didasarkan pada ketinggian

(elevasi) yang diukur dari permukaan laut. Dataran merupakan bentuk lahan

dengan dengan ketinggian 0-50 meter dan kemiringan lereng 0-2 % biasanya

digunakan untuk bentuklahan asal marin (laut), fluvial (sungai), delta, dan plato.

Perbukitan memiliki ketinggian 50-500 meter dengan kemiringan lereng antara


18

7-20 % biasanya digunakan terhadap bentuk lahan kubah intrusi, karst, dan

perbuktian yang dikontrol oleh struktural (Zuidam, 1985). Pegunungan dengan

ketinggian lebih dari 500 meter yang biasanya digunakan untuk bentuk lahan

gunungapi atau bentuk lahan yang dipengaruhi oleh tektonik yang cukup kuat.

Satuan bentangalam daerah penelitian didasarkan pada pendekatan

morfogenesa yaitu pendekatan berupa analisis yang didasarkan pada asal usul

pembentukan atau proses yang membentuk bentangalam dipermukaan bumi

dengan proses pembentukan yang dikontrol oleh proses eksogen, proses endogen

dan proses ekstra terrestrial (Thornbury, 1954).

Van Zuidam (1985) menjelaskan bahwa proses endogen dan eksogen

masa lalu dan sekarang merupakan faktor-faktor perkembangan yang paling

menonjol dari suatu bentanglahan, sehingga harus digambarkan dengan jelas dan

menggunakan simbol warna.

Klasifikasi bentangalam berdasarkan genetiknya, dikemukakan oleh

sistem ITC (International Terrain Classification) dalam Van Zuidam, 1985,

adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1 Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik pada sistem ITC (Van
Zuidam, 1985)
No. Bentuk Asal Warna
1 Struktural Ungu
2 Vulkanik Merah
3 Denudasi Coklat
4 Marine Hijau
5 Fluvial Biru tua
6 Glasial Biru muda
7 Aeolian Kuning
8 Karst Orange
19

Klasifikasi bentangalam berdasarkan pendekatan genetik digunakan

klasifikasi ITC (International Terrain Classification) dalam Van Zuidam (1985)

yang menjelaskan bahwa untuk menginterpretasikan geomorfologi suatu daerah

disesuaikan dengan kondisi batuan pembentuknya/ penyusunnya. Selanjutnya

warna ditampilkan untuk mewakili kondisi geomorfologi suatu daerah.

Pendekatan morfogenesa ini dapat berupa proses denudasional yaitu

proses penelanjangan/pengelupasan yang meliputi pelapukan serta tingkatannya,

erosi dan mass wasting (gerakan tanah), gejala – gejala karst, kontrol struktur,

fluvial, marine, aeolian, vulkanik dan glasial. Proses denudasi adalah sekelompok

proses yang mana jika berlangsung cukup lama akan menghasilkan

ketidaksamarataan semua permukaan bumi. Proses utama yang bekerja yaitu

degradasi berupa disintegrasi batuan (pelapukan), pengelupasan, pelapukan

material dari permukaan bumi oleh berbagai proses erosi dan mass wasting.

Sedangkan proses agradasi, yaitu berupa proses sedimentasi dan seringkali

membangun suatu lahan dan akhirnya akan megalami degradasi kembali. Dua

proses utama yang terjadi pada proses degradasi yaitu pelapukan (debris dan soil)

dan transportasi material hasil pelapukan oleh erosi dan gerakan tanah, sedangkan

pada agradasi dua proses utama yang terjadi yaitu akumulasi debris oleh erosi dan

gerakan tanah seperti pengendapan colluvial, alluvial, aeolian, glacial dan

akumulasi makhluk hidup seperti gambut dan tumbuhan coral (Van Zuidam,

1985).

Berdasarkan persetujuan oleh American Geological Institute’s Dictionary

of Geological Terms dalam Van Zuidam (1985), erosi adalah serangkaian proses
20

dimana material bumi atau batuan dipecahkan atau dilepaskan dan diangkut dari

beberapa bagian permukaan bumi . Menurut Van Zuidam (1985), erosi permukaan

pada proses denudasional dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu erosi splash,

erosi rill, erosi gully, erosi valley, erosi sheet dan erosi sungai.

Erosi jenis splash merupakan erosi oleh air hujan yang jatuh ke tanah dan

menghempaskan partikel–pertikel tanah yang halus, kemudian aliran air

permukaan yang mengalir diatas permukaan tanah ini akan membentuk alur – alur

kecil dan relatif dangkal yang disebut sebagai erosi rill. Alur - alur ini biasanya

hanya beberapa centimeter lebar dan kedalamannya (maksimum 50 cm),

dimensinya dikontrol oleh ketahanan soil terhadap erosi (biasanya pada material

berukuran halus) serta biasanya terbentuk pada kemiringan lereng sekitar 18 o. Jika

rill ini mengalami perkembangan lebih lanjut dengan dimensi yang lebih besar

akan membentuk erosi gully (erosi parit). Gully adalah saluran – saluran erosi

yang dalam, dengan kedalaman berkisar dari 0,5 – 5 m dengan kemiringan lereng

berkisar antara 10o – 180.Kegiatan hasil erosi gully akan bertemu dan membentuk

erosi valley dengan kemiringan berkisar antara 5o – 15o. Ketika valley ini bertemu

pada kemiringan lebih kecil dari 5o, akan membentuk erosi sheet yang selanjutnya

bermuara pada suatu tempat mengalirnya air yang dikenal sebagai sungai.

Gerakan tanah (mass wasting) didefinisikan sebagai gerakan massa batuan

atau tanah/soil (regolith) ke arah bawah lereng diatas lereng permukaan bumi

disebabkan oleh gravitasi / gaya berat (Varnes, 1978 dalam Van Zuidam 1985).

Agen geomorfologi tertentu antara lain air, es/gletser, angin dan gelombang akan
21

membantu beban gravitasi material memicu pergerakan tanah yang pada akhirnya

akan meratakan permukaan bumi.

Selain itu juga terjadi Bentuk lahan aluvial, Bentuk lahan ini ditunjukkan

oleh bentuk penyebaran alluvial yang terbatas pada cekungan atau daerah yang

rendah, seperti pada bentuk penyebaran endapan rawa, delta, sungai lekuk – lekuk

bukit atau lembah dan lain – lain. Daerah ini terbentuk oleh pengendapan pada

zaman alluvium. Menurut Lobeck (1939) bentuk lahan hasil pekerjaan air yang

mengalir (erosi) dikelompokkan atas tiga golongan besar, yaitu : Bentuk - bentuk

hasil erosi (erosional form), lembah (valley), ngarai (canyon) dan spot holes.

Bentuk – bentuk sisa erosi (residual form); gunung, bukit, mesa, butte, needle,

teras – teras sungai. Bentuk – bentuk hasil pengendapan (depositional form and

sedimentasional form); kipas alluvial (alluvial fan), dataran alluvial seperti

dataran banjir (floodplain), tanggul alam (natural levee), dan delta.

Berdasarkan pendekatan diatas maka geomorfologi daerah Tovia Tambu

Kecamatan Tambu Kabupaten Donggala Utara Provinsi Sulawesi Tengah dibagi

menjadi dua satuan Morfologi, yaitu :

1. Satuan Geomorfologi Pedataran Fluvial

2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional

3. Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional

2.2.1.1 Satuan Geomorfologi Pedataran Fluvial

Dasar penamaan satuan morfologi ini menggunakan pendekatan

morfogenesa yaitu bentuk asal atau proses geomorfologi yang mengontrol daerah

penelitian, pendekatan morfografi yaitu karakteristik topografi daerah penelitian.


22

Satuan pedataran fluvial ini menempati sekitar 4 % dari keseluruhan

daerah penelitian, dengan luas sekitar 2,76 Km2. Penyebaran satuan ini

menempati bagian utara daerah penelitian, meliputi daerah tovia tambu dengan

ketinggian 0-50m. Kenampakan morfologi secara langsung di lapangan

memperlihatkan bentuk topografi pedataran dengan bentuk topografi datar

(Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Kenampakan morfologi pedataran fluvial pada daerah tovia tambu, difoto
ke arah barat (N293oE).

Pada satuan ini banyak dikontrol oleh pengaruh erosi dari sungai dan

pelapukan secara fisika. Sungai pada satuan ini memiliki arus sedang,

mengalami erosi lateral lebih besar dibandingkan erosi vertikal, profil

penampang sungai berbentuk “U” (Gambar 2.2).


23

Gambar 2.2 Kenampakan sungai Sidolupa yang menunjukkan profil sungai


berbentuk “U” lebar, difoto ke arah Barat daya (338oE).

Sungai yang mengalir pada satuan morfologi ini terdiri atas Sungai

Sidolupa. Jenis sungainya berupa Sungai periodik. Sungai periodik yaitu sungai

yang kandungan airnya tergantung musim, dimana pada musim hujan volume

dan debit airnya besar, sedangkan pada musim kemarau volume dan debit airnya

mengecil (berkurang) secara drastis hingga hampir kering. Tipe genetik

sungai pada satuan morfologi ini berupa insekuen dengan penampang sungainya

secara umum berbentuk “U”, pola salurannya umumnya lurus dan sebagian

berkelok, sungainya relatif lebar, dan cenderung memperlihatkan gejala

rejuvinasi (terlihat seperti tapal kuda). Berdasarkan karakteristik tersebut maka

stadia sungai pada satuan ini yaitu stadia dewasa.

Gambar 2.3 Pemanfaatan lahan perkebunan, difoto ke arah


timur s pada daerah tovia tambu (N1180E).
24

Satuan morfologi pedataran fluvial ini disusun oleh material berupa

pasir, kerikil, dan soil. Tata guna lahan dimanfaatkan sebagai lahan

perkebunan (gambar 2.3) dan areal pemukiman penduduk. Berdasarkan

parameter di atas maka stadia daerah satuan morfologi ini yaitu stadia dewasa.

2.2.1.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional

Satuan geomorfologi perbukitan denudasional menempati sekitar 74,4%

dari seluruh daerah penelitian dengan luas 52,6 km2. Satuan geomorfologi ini

meliputi bagian barat hingga timur daerah penelitian yang mencakup daerah

Tovia Tambu, dan Tambu. Pada lampiran peta geomorfologi satuan ini ditandai

dengan warna coklat muda.

Secara umum kenampakan topografi dari satuan ini digambarkan oleh

bentuk kontur yang agak rapat, dengan puncak tertinggi 465 meter diatas

permukaan laut, bentuk puncak cembung (tumpul) dengan lembah berbentuk

huruf “U”, (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Kenampakan geomorfologi perbukitan Denudasional difoto dari daerah


Tambu dengan arah N 2540 E
25

Analisis morfogenesa daerah penelitian merupakan analisis terhadap

karakteristik bentukan alam hasil dari proses-proses yang merubah bentuk muka

bumi. Adapun proses morfogenesa yang bekerja pada satuan geomorfologi ini

merupakan morfogenesa denudasional. Proses geomorfologi yang dominan pada

satuan geomorfologi ini berupa proses pelapukan, dan erosi. Jenis pelapukan

yang terjadi umumnya pelapukan kimia dan biologi dengan tingkat pelapukan

sedang hingga tinggi. Pelapukan kimia ditandai dengan adanya perubahan warna

pada litologi granit pada daerah penelitian. Perubahan warna pada batuan

disebabkan karena adanya perubahan komposisi kimia akibat oksidasi dan pada

akhirnya akan menjadi soil (Gambar 2.5). Pelapukan biologi terjadi oleh adanya

pertumbuhan akar dan batang tumbuhan melalui retakan pada batuan dan

kemudian memberikan tekanan kesegala arah, akibatnya batuan akan pecah-

pecah menjadi fragmen- fragmen (Gambar 2.6).

Gambar 2.5 Residual soil dengan tebal ± 2 meter dan Pelapukan kimia
yang s menunjukkan perubahan warna pada litologi granit.
26

Tingkat pelapukan pada daerah penelitian adalah sedang-tinggi yang

ditandai dengan ketebalan soil yang dijumpai yaitu ±2,2 meter dengan warna soil

coklat kemerahan dan jenis soil yang dijumpai adalah residual soil yang

terbentuk dari hasil lapukan batuan dibawahnya (Gambar 2.5). Jenis erosi yang

berkembang pada daerah penelitian berupa erosi alur (rill erosion) (Gambar 2.7).

Rill erosion adalah erosi yang berbentuk alur yang tidak lebih dari 50 cm dan

belum mengalami pelebaran. (Noor, 2012).

Gambar 2.6 Pelapukan biologi yang menunjukkan adanya


pertumbuhan akar pohon yang diakibatkan adanya
rekahan pada litologi granit pada stasiun 16 difoto
relatif arah N 90oE.
27

Gambar 2.7 Rill erosion pada selatan Desa Tambu pada


stasiun s 17 difoto relative arah N 85 o E. (Noor,
2012).

Proses gerakan tanah yang dapat dijumpai berupa debris slide atau

perpidahan material campuran batuan dan tanah pada bidang gelincir

(Thornbury, 1969) (Gambar 2.8).Proses gerakan tanah ini banyak ditemukan

pada daerah lereng yang relatif terjal. Hal itu disesbabkan karena pada daerah

dengan lereng terjal, kemiringan lereng akan semakin besar. Dengan

bertambahnya kemiringan lereng, maka kondisi tanah akan semakin tidak stabil,

menyebabkan terjadinya gerakan tanah.

Proses eksogen lebih banyak bekerja pada daerah penelitian yaitu berupa

pelupakan, erosi, dan terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan kesimpulan

terhadap uraian karakteristik morfogenesa pada daerah penelitian maka proses

yang mendominasi pada daerah perbukitan ini berupa proses denudasi.


28

Gambar 2.8 Kenampakan gerakan tanah berupa debris slide pada stasiun 5
s difoto arah N 349o E. (Thornbury, 1969)

2.2.1.3 Satuan Geomorfologi Pegunungan Denudasional

Satuan geomorfologi pegunungan denudasional menempati sekitar 21,6%

dari seluruh daerah penelitian dengan luas 15,2 km2. Satuan geomorfologi ini

meliputi bagian selatan daerah penelitian yang mencakup daerah Tambu. Pada

lampiran peta geomorfologi satuan ini ditandai dengan warna coklat tua.

Secara umum kenampakan topografi dari satuan ini digambarkan oleh

bentuk kontur yang agak rapat, dengan puncak tertinggi 878 meter diatas

permukaan laut, bentuk puncak cembung (tumpul) dengan lembah berbentuk

huruf “U”, (Gambar 2.9).


29

Gambar 2.9 Kenampakan geomorfologi Pegunungan Denudasional difoto dari daerah


d d Tambu dengan arah N 1120 E

Analisis morfogenesa daerah penelitian merupakan analisis terhadap

karakteristik bentukan alam hasil dari proses-proses yang merubah bentuk muka

bumi. Adapun proses morfogenesa yang bekerja pada satuan geomorfologi ini

merupakan morfogenesa denudasional.

Proses geomorfologi yang dominan pada satuan geomorfologi ini berupa

proses pelapukan, dan erosi. Jenis pelapukan yang terjadi umumnya pelapukan

kimia dan biologi dengan tingkat pelapukan sedang hingga tinggi. Pelapukan

kimia ditandai dengan adanya perubahan warna pada litologi genes pada daerah

penelitian. Perubahan warna pada batuan disebabkan karena adanya perubahan

komposisi kimia akibat oksidasi. Pelapukan biologi terjadi oleh adanya

pertumbuhan akar dan batang tumbuhan melalui retakan pada batuan dan

kemudian memberikan tekanan ke segala arah, akibatnya batuan akan pecah-

pecah menjadi fragmen- fragmen.


30

Gambar 2.10 Pelapukan biologi yang menunjukkan adanya


ssssssssssspertumbuhan akar pohon yang diakibatkan adanya
sssssssssssrekahan pada litologi granit pada stasiun 60 difoto
sssssssssssrelatif arah N 215oE.

Proses eksogen lebih banyak bekerja pada daerah penelitian yaitu berupa

pelupakan dan erosi. Berdasarkan kesimpulan terhadap uraian karakteristik

morfogenesa pada daerah penelitian maka proses yang mendominasi pada daerah

pegunungan ini berupa proses denudasi.

Gambar 2.11 Residual soil dengan tebal ± 2,2 meter dan Pelapukan
sssssssskimia yang menunjukkan perubahan warna pada litologi
ssssssssgenes.

2.2.2 Sungai

Sungai didefinisikan sebagai tempat air mengalir secara alamiah

membentuk suatu pola dan jalur tertentu dipermukaan, dan mengikuti bagian

bentangalam yang lebih rendah dari daerah sekitarnya (Thornbury,1969).

Pembahasan mengenai sungai atau aliran permukaan pada daerah penelitian


31

meliputi uraian tentang klasifikasi sungai, jenis pola aliran sungai, tipe genetik

sungai serta penentuan stadia sungai.

2.2.2.1 Klasifikasi Sungai

Sungai dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa tinjauan, yakni

berdasarkan aspek sifat aliran sungai, kandungan air pada tubuh sungai, maupun

struktur geologi dan tekntonik suatu daerah. Berdasarkan sifat alirannya sungai

dikelompokkan menjadi dua yaitu sungai internal dan sungai eksternal. Sungai

internal adalah sungai yang alirannya berasal dari bawah permukaan seperti

terdapat pada daerah karst, endapan eolian, atau gurun pasir ; Sedangakn sungai

eksternal adalah sungai yang alirannya berasal dari aliran air permukaan yang

membentuk sungai, danau, dan rawa. Berdasarkan sifat alirannya, maka aliran

sungai pada daerah penelitian termasuk dalam aliran eksternal, yaitu aliran air

yang mengalir pada permukaan bumi yang membentuk sungai.

Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai (Thornbury, 1969) maka

jenis sungai dapaat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

a. Sungai permanen/normal (perenial), merupakan sungai yang volume airnya

sepanjang tahun selalu normal.

b. Sungai periodik (intermitten), merupakan sungai yang kandungan airnya

tergantung pada musim, dimana pada musim hujan debit alirannya menjadi

besar dan pada musim kemarau debit alirannya menjadi kecil.

c. Sungai episodik (ephermal), merupakan sungai yang hanya dialiri air pada

musim hujan, tetapi pada musim kemarau sungainya menjadi kering.


32

Berdasarkan debit air pada tubuh sungai (kuantitas air sungai), maka jenis

sungai pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi sungai periodik dan

sungai episodik. Sungai periodik berkembang (Gambar 2.12) , dan sungai

epiosdik (Gambar 2.13).

Gambar 2.12 Jenis Sungai periodik pada sungai sidolupa dengan arah
Foto N66oE(Thornbury, 1969)

Gambar 2.13 Jenis Sungai episodik pada anak sungai maruri dengan arah
33

Foto N 318oE(Thornbury, 1969)

2.2.2.2 Pola Aliran Sungai

Pola aliran sungai (drainage pattern) merupakan penggabungan dari

beberapa individu sungai yang saling berhubungan membentuk suatu pola dalam

kesatuan ruang (Thornbury, 1969).

Pola pengaliran (drainage pattern) yang berkembang akan berbeda di

setiap daerah. Pola aliran yang berkembang pada suatu daerah baik secara regional

maupun secara lokal dikontrol oleh jenis litologi, tingkat resistensi litologi, bentuk

awal morfologi setempat dan sruktur geologi yang berkaitan dengan genesa dan

evolusi perkembangan sistem pengaliran sungai tersebut (Howard, 1967, dalam

Van Zuidam, 1985)

Berdasarkan klasifikasi pola aliran sungai menurut Howard (1967)

dalam Van Zuidam (1985) dan hasil interpretasi peta topografi, maka pola aliran

sungai yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola aliran sub-paralel.

Pola aliran sub-paralel menunjukkan anak sungai yang cenderung sejajar atau

hampir sejajar.
34
35

Gambar 2. 14 Pola aliran sungai subparalel pada daerah penelitian


36

Secara umum tipe genetik yang berkembang pada daerah penelitian

yaitu tipe genetik subsekuen, konsekuen dan insekuen.

Tipe genetik subsekuen memiliki arah aliran sungai relatif sejajar

dengan jurus perlapisan batuan. Pada daerah penelitian tipe genetik sungai ini

terdapat pada bagian utara timur laut daerah penelitian, yang dijumpai foliasi

genes yang searah dengan arah aliran sungai.(Gambar 2.15)


37

Gambar 2.15 Singkapan genes dengan foliasi relatif searah dengan arah aliran sungai
yang menandakan tipe genetik subsekuen dengan arah foto N 240oE
(Thornbury,1969)

Gambar 2.16 Singkapan genes dengan dip foliasi relatif searah dengan arah aliran
sungai yang menandakan tipe genetik konsekuen dengan arah foto N 84
oE (Thornbury,1969)
Tipe genetik konsekuen memiliki arah aliran sungai relatif searah dengan

foliasi batuan. Pada daerah penelitian tipe genetik sungai ini terdapat pada

bagian timurlaut daerah penelitian, yang dijumpai foliasi genes yang searah

dengan arah aliran sungai (Gambar 2.16)

Tipe genetik insekuen memiliki arah aliran sungai tidak dipengaruhi oleh

kedudukan maupun foliasi batuan. Pada daerah penelitian tipe genetik sungai ini

terdapat pada sebagian besar daerah penelitian. (Gambar 2.17).


38

Gambar 2.17 Singkapan genes yang memiliki aliran sungai yang tidak dipengaruhi
kedudukan batuan menunjukkan tipe genetik insekuen. (Thornbury,1969)

2.2.2.4 Stadia Sungai

Penentuan stadia sungai yaitu didasarkan atas kenampakan profil lembah

sungai, pola saluran sungai, jenis, tingkat erosi dan sedimentasi di sungai serta

analisis tentang perkembangan sungai yang didasarkan pada perbandingan

tingkat erosi vertikal dan erosi lateral.

Sungai Sidolupa merupakan sungai utama pada satuan morfologi

pedataran fluvial. Umumnya memiliki penampang sungai berbentuk huruf “U”

sempit hingga lebar, dengan bentuk simetri. Pola salurannya relatif lurus –

berkelok atau bermeander. Penampang sungai relatif lebar-sempit,

menunjukan bahwa erosi secara lateral lebih cenderung dibanding dengan erosi

secara vertikal. dijumpai adanya proses pengendapan yang terjadi pada sekitar

sungai seperti flood plain, chanel bar dan point bar. Berdasarkan analisis

terhadap pola saluran, bentuk profil sungai dan tingkat erosi maka stadia sungai

pada satuan ini yaitu stadia dewasa.


39

Gambar 2.14 Kenampakan point bar dan flood plain pada sungai sidolupa
dengan arah foto N 338oE (Noor, 2012).

Gambar 2.15 Kenampakan chanel bar pada sungai pada perbukitan denudasional
dengan arah foto N 260oE (Hudson, 2017).

Stadia sungai daerah penelitian berdasarkan kompilasi data morfogenesa

sungai dari satuan morfologi pedataran fluvial, satuan perbukitan denudasional ,

dan satuan pegunungan denudasional maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

stadia sungainya mengarah kepada stadia dewasa.

2.2.3 Stadia Daerah Penelitian

Penentuan stadia suatu daerah harus memperhatikan hasil kerja

prosesproses geomorfologi yang diamati pada bentuk-bentuk permukaan bumi

yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi dan pelapukan yang bekerja

pada suatu daerah mulai saat terangkatnya sampai terjadi perataan bentangalam

(Thornbury,1969).
40

Geomorfologi pada daerah penelitian telah mengalami perubahan akibat

proses deformasi, pelapukan, dan erosi yang terjadi di daerah tersebut. Perubahan

geomorfologi yang terjadi pada daerah penelitian menghasilkan suatu bentukan

relief pedataran dan perbukitan, dengan kenampakan bentuk lembah “U” pada

relief perbukitan, bentuk penampang melintang dari lembah sungainya

memperlihatkan bentuk profil menyerupai huruf “U” dimana dijumpai adanya

dataran banjir, endapan sungai, dan tingkat pelapukan dengan ketebalan soil

antara 0,7 sampai 2.2 meter. Hasil sedimentasi di sekitar sungai umumnya lebih

didominasi oleh material berupa endapan pasir dan lempung yang merupakan

material–material sedimen yang dijumpai sepanjang aliran sungai membentuk

point bar dan channel bar. Kenampakan tersebut menunjukkan bahwa daerah

penelitian memiliki tingkat erosi yang relatif sedang sampai tinggi dimana dapat

diamati pada proses pengikisan lembah-lembah sungai, yang menghasilkan

bentuk melintang sungai dengan seimbangnya antara erosi lateral dan erosi

vertikal. Erosi vertikal mulai menurun dan erosi lateral mulai meningkat.

Struktur geologi yang terjadi pada daerah penelitian yaitu berupa kekar

dan sesar, dimana kontrol struktur geologi turut membantu dalam pembentukan

satuan bentangalam pada daerah penelitian.

Berdasarkan ciri-ciri yang dijumpai, maka dapat disimpulkan bahwa

perkembangan daerah penelitian telah berada pada stadia dewasa.


BAB III

STRATIGRAFI

3.1 Stratigrafi Regional

Sulawesi memiliki keanekaragaman geologi yang kompleks yang telah

menarik ahli geologi untuk mempelajari daerah tersebut sejak abad ke-19

(misalnya Wallace, 1860, 1869; Sarasin dan Sarasin, 1901). Pulau Sulawesi

terletak dekat dengan pertemuan lempeng Eurasia, Australia, dan Pasifik atau

berada ditengah-tengah kepulauan Indonesia dan menyerupai huruf K. Bentuk

tersebut dipengaruhi oleh aktivitas pergerakan ketiga lempeng utama di atas.

Berdasarkan posisi tersebut, kondisi geologi Sulawesi sangatlah kompleks.

: Lokasi Pemetaan

Gambar 3.1 Peta Geologi Tinjau Lembar Palu (Sukamto dkk, 1973).

41
42

Kompleks Batuan Metamorf (km) stratigrafi regional batuan tertua di

daerah yang di petakan adalah metamorf dan tersingkap hanya pada pematang

timur yang merupakan intinya. Kompleks itu terdiri dari Sekis Ampibolit, Sekis,

Geneis, dan, Pulam. Sekis terdapat banyak di Sisi Barat. Sedangkan Geneis

dan Pulam tedapat banyak di Sisi Timur. Tubuh-tubuh intrusi tak terpetakan,

umumnya selebar kurang dari 50 meter, menerobos kompleks Batuan

Metamorf, dengan berjangka dari Diorit hingga Granodiorit. Umum

metamorfisme tak diketahui, tetapi boleh jadi Pra-Tersier. Brouwer (1947)

berpendapat, bahwa Sekis yang tersingkap di Saentero Sulawesi berumur

Palezoikum.

Alluvium dan Endapan Pantai (Qal), berupa kerikil, pasir, lumpur dan

batu gamping koral terbentuk dalam lingkup sungai, delta dan laut

dangkal merupakan sedimen di daerah ini. Endapan itu boleh jadi seluruhnya

berumur Holosen. Di daerah dekat Labean dan Tambu terumbu koral

membentuk bukit-bukit rendah.

Batuan Intrusi telah diamati beberapa generasi intrusi, dimana yang

tertua ialah Andesit dan Basal kecil-kecil di semenanjung Donggala. Intrusi-

intrusi ini mungkin merupakan saluran-saluran batuan vulkanik di dalam

Formasi Tinombo. Intrusi-intrusi kecil (selebar 50 meter) yang umumnya terdiri

dari Diorit, Diorit Porfiry dan Granodiorit menerobos Formasi Tonombo. Yakni

sebelum endapan Molasa, dan tersebar luas diseluruh daerah. Semuanya tak

terpetakan, Granit dan Granodiorit yang telah dipetakan tercirikan oleh

Fenokris Feldspar Kalium sepanjang hingga 8 cm. Penanggalan


43

Kalium/Argon telah dilakukan contoh oleh Gulf Oil Company terhadap dua

contoh Granodiorit didaerah ini. Intrusi yang tersingkap diantara Palu dan

Donggala memberikan penanggalan 31.0 juta tahun pada analisa kadar K/Ar

dari Feldspar. Yang lainnya adalah suatu intrusi yang tidak dipetakan terletak

kira-kira 15 km Timur Laut dari Donggala, tersingkap dibawah koral Kuarter,

memberikan penanggalan 8,6 juta tahun pada analisa K/Ar dari biotit. (Sukamto

dkk, 1973).

3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian

Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian

didasarkan atas litostratigrafi tidak resmi yang bersendikan pada ciri fisik yang

dapat diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, kombinasi jenis batuan,

keseragaman gejala litologi batuan dan gejala-gejala lain tubuh batuan di

lapangan, serta dapat terpetakan pada skala 1 : 25.000 (Sandi Stratigrafi

Indonesia, 1996).

Berdasarkan litostratigrafi tidak resmi, maka satuan batuan pada daerah

penelitian diurutkan dari yang paling muda hingga paling tua terdiri atas:

1. Satuan Aluvial

2. Satuan Andesit

3. Satuan Granit

4. Satuan Genes

Uraian mengenai satuan batuan akan dibahas dari yang paling tua hingga

paling muda sebagai berikut.

3.2.1 Satuan Genes


44

Pembahasan tentang satuan Genes pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pembentukan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

3.2.1.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan berdasarkan pada litostratigrafi tidak resmi

yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada satuan

batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara

yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan secara mikroskopis

(petrografis). Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung di

lapangan terhadap sifat fisik dan komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata

yang kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi batuan metamorf

(Travis,1955) sebagai dasar penamaan. Secara mikroskopis dengan menggunakan

mikroskop polarisasi untuk pengamatan sifat optik mineral serta pemerian

komposisi mineral secara spesifik yang kemudian penamaannya menggunakan

klasifikasi batuan metamorf menurut Travis (1955).

3.2.1.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini memiliki luas sekitar 19,7 km2 atau menempati sekitar 28,9%

dari keseluruhan luas daerah penelitian. Satuan ini tersingkap pada bagian timur

daerah penelitian yaitu Daerah Tambu hingga Daerah Kasimbar. Batuan berarah

Utara hingga barat, Berdasarkan data lapangan, dilakukan perhitungan ketebalan


45

berdasarkan penampang geologi C-D sehingga diperoleh tebal satuan yaitu 453

m.

3.2.1.3 Ciri Litologi

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu genes. Secara megaskopis, genes

pada daerah penelitian menampakkan ciri fisik dalam keadaan lapuk berwarna

coklat, sedangkan dalam keadaan segar batuan berwarna abu-abu, memiliki

struktur foliasi berupa gneissic, tesktur kristaloblastik berupa granoblastik dengan

bentuk mineral granular. komposisi mineral yaitu kuarsa, ortoklas, muskovit, dan

biotit. Berdasarkan klasifikasi Travis (1955), litologi ini dinamakan Genes

(Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Foto singkapan genes pada stasiun 72 dengan arah pengambilan foto N 53
O
E

Kenampakan petrografis genes pada stasiun 72 dengan kode sampel ST 72

memperlihatkan sayatan tipis dengan warna absorbsi tidak berwarna hingga


46

kecokelatan, warna interferensi bervariasi, tekstur kristaloblastik berupa

granuloblastik, relasi inequigranular, komposisi mineral terdiri dari Kenampakan

petrografis genes pada sayatan ST 72, yang memperlihatkan kuarsa 40%, ortoklas

20%, muskovit 10%, biotit 20% , mineral opaq 10%.

Gambar 3.3 Kenampakan petrografis genes pada sayatan ST 72, yang memperlihatkan
kuarsa 40% (qtz), ortoklas 20% (ort), muskovit 10% (ms), biotit 20% (bt),
mineral opaq 10%.

3.2.1.4 Lingkungan Pembentukan dan Umur

Penentuan umur pada satuan ini ditentukan berdasarkan pada ciri fisik

litologi dan posisi stratigrafi yang disebandingkan dengan umur batuan pada

Geologi Regional Lembar Palu. Karakteristik batuan pada Kompleks Batuan

Metamorf (km), terdiri dari sekis amfibolit, sekis mika, genes, dan pualam

(Sukamto dkk, 1973).

Berdasarkan kesamaan ciri fisik dan posisi stratigrafinya serta letak

geografis maka satuan genes pada daerah penelitian dapat disebandingkan dengan

anggota batuan Kompleks Batuan Metamorfis pada Geologi Regional Lembar

Palu Tinjau, yang berumur Trias Atas (Leeuwen dkk, 2016)

3.2.1.5 Hubungan Stratigrafi


47

Hubungan stratigrafi satuan genes dengan satuan yang lebih muda yaitu

kontak ketidakselarasan dengan satuan granit. Sedangkan batuan yang lebih tua

tidak diketahui karena tidak tersingkap didaerah penelitian.

3.2.2 Satuan Granit

Pembahasan tentang satuan granit pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pembentukan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

3.2.2.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan berdasarkan pada litostratigrafi tidak resmi

yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada satuan

batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Dasar penamaan satuan intrusi granit yaitu melalui pengamatan

megaskopis yang ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang dapat diamati secara langsung. Selain itu, untuk

mengetahui jenis mineral dan persentase kandungan mineral yang terdapat dalam

batuan secara lebih spesifik, dilakukan analisis petrografi. Adapun pada analisis

petrografis granit menggunakan mikroskop polarisasi untuk pemerian sifat optis

serta penamaan batuan menggunakan klasifikasi batuan beku Travis (1955).

3.2.2.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini memiliki luas sekitar 45,36 km2 atau menempati sekitar 66,6%

dari keseluruhan luas daerah penelitian. satuan ini tersingkap pada daerah barat
48

daya hingga timur laut daerah tovia tambu. dilakukan perhitungan ketebalan

berdasarkan penampang geologi C-D sehingga diperoleh tebal satuan yaitu 559

m.

3.2.2.3 Ciri Litologi

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu granit Secara megaskopis, granit

pada daerah penelitian menampakkan ciri fisik dalam keadaan lapuk berwarna

coklat kehitaman, sedangkan dalam keadaan segar batuan berwarna abu-abu,

struktur batuan masif, tesktur kristanilitas holokristaslin, granularitas faneritik,

bentuk euhedral-subhedral, relasi equigranular. Komposisi mineral kuarsa,

ortoklas, biotit, plagioklas. Berdasarkan klasifikasi Fenton (1940), litologi ini

dinamakan Granit (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Foto singkapan granit pada stasiun 80 dengan arah pengambilan foto
N 88 OE
49

Kenampakan petrografis granit pada stasiun 80 dengan kode sampel ST 80

memperlihatkan sayatan tipis warna absorbsi tidak berwarna hingga keabuan,

warna interferensi abu-abu hingga kehitaman, tekstur kristalinitas holokristalin,

granularitas faneritik, bentuk anhedral-subhedral, relasi inequigranular, komposisi

mineral terdiri dari kuarsa 40% (qtz), biotit 5% (bt), ortoklas 30% (or), plagioklas

20% (pl) dan mineral opaq 5% (opaq). Berdasarkan klasifikasi Travis (1955)

maka sampel ini dinamakan Granit (Gambar 3.5)

Gambar 3.5 Kenampakan petrografis pada sayatan ST11, yang memperlihatkan


kandungan mineral berupa kuarsa 40% (qtz), biotit 5% (bt), ortoklas 30%
(or), Plagioklas 20% (pl) dan mineral opaq 5% (opaq).

3.2.2.4 Lingkungan Pembentukan dan Umur

Penentuan lingkungan pembentukan dari satuan granit ini ditentukan

berdasarkan tekstur, struktur, dan komposisi mineral yang dijumpai. Kenampakan

lapangan memperlihatkan tekstur faneritik, satuan granit utamanya tersusun atas

mineral kuarsa, ortoklas, biotit, plagioklas. serta struktur masif.

Penentuan umur pada satuan ini ditentukan berdasarkan pada ciri fisik

litologi dan posisi stratigrafi yang disebandingkan dengan umur batuan pada
50

Geologi Regional Lembar Palu. Karakteristik batuan terobosan pada Geologi

Regional Lembar Palu terdiri atas granit, diorit, diorite porfiri, andesit,

mikrodiorit, dan granodiorit. (Sukamto dkk, 1973).

Berdasarkan kesamaan ciri fisik yang tercirikan memiliki fenokris

feldspar, posisi stratigrafinya serta letak geografis maka satuan granit pada daerah

penelitian dapat disebandingkan dengan anggota batuan terobosan yang berumur

Oligosen atas-Miosen bawah. (Sukamto dkk, 1973). Lingkungan pembentukan

granit berada pada kerak benua karena granit termasuk dalam batuan beku

intrusive yang terbentuk dibawah permukaan bumi.

3.2.2.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi satuan granit dengan satuan yang lebih tua yaitu

satuan kontak ketidakselarasan dengan satuan genes. Sedangkan batuan yang

lebih muda yaitu kontak ketidakselarasan dengan satuan aluvial.

3.2.3 Satuan Andesit

Pembahasan tentang satuan andesit pada daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi meliputi

karakteristik megaskopis dan petrografis, umur, lingkungan pembentukan dan

hubungan stratigrafi dengan satuan batuan lainnya.

3.2.3.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan berdasarkan pada litostratigrafi tidak resmi

yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada satuan

batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
51

Dasar penamaan satuan intrusi andesit yaitu melalui pengamatan

megaskopis yang ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan

komposisi mineral yang dapat diamati secara langsung. Selain itu, untuk

mengetahui jenis mineral dan persentase kandungan mineral yang terdapat dalam

batuan secara lebih spesifik, dilakukan analisis petrografi. Adapun pada analisis

petrografis andesit menggunakan mikroskop polarisasi untuk pemerian sifat optis

serta penamaan batuan menggunakan klasifikasi batuan beku Travis (1955).

3.2.3.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini memiliki luas sekitar 4.3 km2 atau menempati sekitar 0.63%

dari keseluruhan luas daerah penelitian. Satuan ini tersingkap pada bagian utara

hingga daerah penelitian yaitu desa tovia tambu. Berdasarkan data topografi,

dilakukan perhitungan ketebalan berdasarkan kontur tertinggi dikurang kontur

terendah yang termasuk ke batas satuan andesit sehingga diperoleh tebal satuan

yaitu 378 meter.

3.2.3.3 Ciri Litologi

Litologi yang menyusun satuan ini yaitu andesit. Secara megaskopis,

andesit pada daerah penelitian menampakkan ciri fisik dalam keadaan lapuk

berwarna coklat, sedangkan dalam keadaan segar batuan berwarna putih kebua-

abuan, struktur batuan masif, tesktur kristanilitas hipokristaslin, granularitas

porfiroafanitik, bentuk euhedral-subhedral, relasi inequigranular. Komposisi

kuarsa, plagioklas, piroksin, dan ortoklas. Berdasarkan klasifikasi Travis (1955),

litologi ini dinamakan Andesit (Gambar 3.6).


52

Gambar 3.6 Foto singkapan andesit pada stasiun 4 dengan arah pengambilan foto N
47OE
53

Gambar 3.7 Kenampakan petrografis pada sayatan ST 4, yang memperlihatkan


kandungan mineral berupa kuarsa 8% (qtz), plagioklas 40% (pl), piroksin
10% (px), ortoklas (ort), mineral opaq 2%, dan massa dasar 30% (md).

Kenampakan petrografis andesit pada stasiun 4 dengan kode sampel ST 4

memperlihatkan sayatan tipis dengan Warna absorpsi abu-abu kehitaman,

kristanilitas porfiro afanitik, granularitas hipokristalin, bentuk subhedral-anhedral,

warna interferensi putih kehitaman. terdiri dari kuarsa 8% (qtz), plagioklas 40%

(pl), piroksin 10% (px), ortoklas (ort), mineral opaq 2%, dan massa dasar 30%

(md). Berdasarkan klasifikasi Travis (1955) maka sampel ini dinamakan Andesit

(Gambar 3.7).

3.2.3.4 Lingkungan Pembentukan dan Umur

Penentuan lingkungan pembentukan dari satuan andesit ini ditentukan

berdasarkan tekstur, struktur, dan komposisi mineral yang dijumpai. Kenampakan

lapangan memperlihatkan satuan andesit utamanya tersusun atas mineral piroksin,

kuarsa, plagioklas, ortoklas, mineral opaq dan massa dasar gelas. serta struktur

masif. Maka berdasarkan tersebut maka lingkungan pembentukan satuan andesit

yaitu pada daerah kerak benua.

Penentuan umur pada satuan ini ditentukan berdasarkan pada posisi

stratigrafi serta letak geografis yang disebandingkan dengan umur batuan pada

Geologi Regional Lembar Palu. Karakteristik batuan terobosan pada Geologi

Regional Lembar Palu terdiri atas granit, diorit, diorite porfiri, andesit,

mikrodiorit, dan granodiorit. (Sukamto dkk, 1973).


54

Berdasarkan kesamaan posisi stratigrafinya serta letak geografis maka

satuan andesit pada daerah penelitian dapat disebandingkan dengan anggota

batuan terobosan yang berumur Oligosen atas-Miosen bawah. (Sukamto dkk,

1973)

3.2.3.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi satuan andesit dengan satuan yang lebih muda yaitu

kontak ketidak selarasan dengan satuan aluvial, sedangkan batuan yang lebih tua

yaitu satuan genes yaitu kontak ketidakselarasan.

3.2.4 Satuan Aluvial

Pembahasan satuan aluvial pada daerah penelitian meliputi penjelasan

mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang mencakup

karakteristik batuan pada pengamatan secara megaskopis, umur dan lingkungan

pengendapan, serta hubungan stratigrafi dengan geologi regional, serta hubungan

dengan satuan batuan dibawahnya.


55

Gambar 3.8 Kenampakan sungai dan material akibat proses fluvial di


sungai Sidolupa.

3.2.4.1 Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada litostratigrafi tidak

resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada

satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.

Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini berdasarkan dominasi material

penyusunnya. Satuan aluvial tersusun atas material – material yang berukuran

lempung sampai bongkah yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Secara umum

berasal dari pengendapan material hasil transportasi aliran sungai pada sungai

sidolupa dan sungai maruri.


56

3.2.4.2 Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati sekitar 3.80 % dari keseluruhan luas daerah

penelitian atau sekitar 4.36 Km2. Satuan ini tersebar pada bagian utara daerah

penelitian. Satuan ini meliputi sungai sidolupa.

Penentuan ketebalan satuan ini berdasarkan beda tinggi hasil dari

perhitungan penampang geologi A - B yaitu ± 20 m.

3.2.4.3 Ciri Litologi

Secara umum material penyusun satuan ini terdiri atas lempung, pasir dan

bongkah batuan yang berwarna abu-abu sampai coklat yang berasal dari batuan

beku hingga batuan matamorf yang tersingkap didaerah penelitian.

3.2.4.4 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Satuan Aluvial merupakan satuan batuan termuda pada daerah penelitian.

Yang dapat disebandingkan dengan Alluvium dan Endapan Pantai (Qal) yang

terdiri dari material unconsolidate yang berukuran lempung sampai bongkah.

Lingkungan pengendapan dari satuan ini merupakan lingkungan

pengendapan darat yang dihasilkan oleh endapan hasil erosi yang kemudian

tertransportasi oleh aliran sungai dan melalui proses sedimentasi di daerah sungai

sungai sidolupa. Satuan ini tebentuk pada Kala Holosen yang berlangsung hingga

sekarang (Sukamto dkk, 1973).

3.2.4.5 Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan alluvial dengan satuan batuan yang

lebih tua yaitu kontak ketidakselarasan dengan satuan granit.


57
BAB IV
STRUKTUR GEOLOGI

4.1 Struktur Regional

Struktur geologi di Sulawesi didominasi oleh arah barat laut – tenggara

yang

berupa sesar mendatar sinistral dan sesar naik. Sesar Palu–Koro memotong

Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus ke bagian utara hingga ke Palung

Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di Laut Sulawesi. Jalur Sesar

Palu – Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan pergeseran lebih dari 750

km, arah gerak sesuai dengan jalur Sesar Matano dan jalur Sesar Sorong. Sesar

Sadang yang terletak di bagian barat dan sejajar dengan Sesar Palu berada pada

lengan Selatan Sulawesi, menghasilkan 8 lembah Sungai Sadang dan Sungai

Masupu yang sistemnya dikontrol oleh sesar mendatar (Hamilton, 1979). Sesar

Gorontalo merupakan sesar mendatar dekstral (Katili, 1975) yang berlawanan

arah dengan Sesar Palu – Koro dan pola sesar sungkupnya memperlihatkan arah

yang konsekuen terhadap platform Banggai – Sula sehingga memberikan

gambaran adanya kemungkinan kompresi mendatar yang disebabkan oleh

dorongan platform Banggai – Sula ke arah barat.

Sesar Matano merupakan sesar mendatar sinistral berarah barat laut –

timur memotong Sulawesi Tengah dan melalui Danau Matano, merupakan

kelanjutan dari Sesar Palu ke arah timur yang kemudian berlanjut dengan prisma

akresi Tolo di Laut Banda Utara.

58
59

Gambar 4.1 Peta Geologi Sulawesi dan tatanan tektoniknya


(dimodifikasi) (Hall & Wilson, 2000).

Sistem Sesar Lawanopo berarah barat laut – tenggara, melewati Teluk

Bone dan Sulawesi Tenggara. Sesar ini kemungkinan berperan dalam pembukaan

Teluk Bone, seperti pembukaan yang terjadi di daratan Sulawesi Tenggara yang

merupakan zona sesar mendatar sinistral Neogen. Sesar Lawanopo memisahkan


60

mintakat benua Sulawesi Tenggara pada lengan Tenggara Sulawesi dengan

metamorf Sulawesi Tengah. Sesar naik Batui terletak pada bagian timur lengan

Timur Sulawesi, merupakan hasil dari tumbukan platform Banggai – Sula dengan

Sulawesi yang menyebabkan pergeseran secara oblique sehingga Cekungan

Gorontalo menjadi terangkat. Kompleks Pompangeo diduga telah beberapa kali

mengalami masa perlipatan. Perlipatan tua diperkirakan berarah utara – selatan

atau baratdaya – timurlaut, sedangkan lipatan muda berarah baratlaut – tenggara

atau barat – timur, serta ada pula yang berarah hampir sama dengan lipatan tua.

Perdaunan atau foliasi juga umumnya berkembang baik dalam satuan batuan

malihan Kompleks Pompangeo dan di beberapa tempat dalam amfibolit, sekis

glaukofan dan serpentin yang tersekiskan dalam Kompleks Ultramafik. Secara

umum perdaunan berarah barat – timur dan baratlaut – tenggara. Di beberapa

tempat perdaunan terlipat dan pada jalur sesar mengalami gejala kink banding. 10

Belahan umumnya berupa belahan bidang sumbu dan di beberapa tempat berupa

belahan retak (fracture cleavage). Belahan retak umumnya dijumpai dalam

batupasir malih dan batugamping malih. Secara umum bidang belahan berarah

sejajar atau hampir sejajar dengan bidang perlapisan; oleh karenanya belahan ini

digolongkan sebagai berjajar bidang sumbu. Kekar dijumpai hampir pada semua

batuan, terutama batuan beku (Kompleks Ultramafik dan Mafik), batuan sedimen

malih Mesozoikum, dan batuan malihan (Kompleks Pompangeo). Dalam batuan

Neogen kekar kurang berkembang. Sejarah pengendapan batuan di daerah

Sulawesi Tenggara diduga sangat erat hubungannya dengan perkembangan


61

tektonik daerah Indonesia bagian timur, tempat Lempeng Samudera Pasifik,

Lempeng Benua Australia dan Lempeng Benua Eurasia saling bertumbukkan.

Secara fisiografi daerah Palu terdiri dari pematang timur dan pematang

harat; kedua-duanya berarah utara-selatan dan terpisahkan oleh Lembah Palu.

Pematang barat di dekat Palu hingga lebih dari 2000 meter tingginya, tetapi di

Donggala menurun hingga muka laut. Pematang timur dengan tinggi puncak dari

400 meter hingga 1900 meter, dan menghubungkan pegunungan di Sulawesi

Tengah dengan lengan utara Struktur daerah ini didominasi oleh lajur sesar Palu

yang berarah utara baratlaut. Bentuknya yang sekarang ialah menyerupai terhan

yang dibatasi oleh sesar sesar hidup, diantaranya yang bermata air panas di

sepanjang kenampakannya pada permukaan. Sesar-sesar dan kelurusan lainnya

yang setengah sejajar dengan arah lajur Palu serdapat di pematang timur. Banyak

sesar dan kelurusan lainnya yang kurang penting lebih kurang tegak lurus pada

arah ini, sehagaimana terlihat di seluruh daerah. Sesar naik berkemiringan ke

timur dalam kompleks batuan metamorf dan dalam Formasi Tinombo

menunjukkan akan sifat pemampatan pada beberapa diantaranya sesar yang lebih

tua. Sesar termuda yang tercatat terjadi pada tahun 1968 didekat Tambo, timbul

setelah ada gempabumi, berupa sesar normal berarah baratlaut yang permukaan

tanahnya turun 5 meter. Pada bagian yang menurun, daerah pantai seluas kira-kira

5 kilometer persegi masuk ke dalam laut. (Van Leeuwen, 2005)

4.2 Struktur Geologi Daerah Penelitian

Pembahasan mengenai struktur geologi daerah penelitian meliputi

pembahasan mengenai indikasi pola struktur yang dijumpai di lokasi penelitian,


62

jenis struktur yang dijumpai, umur dari struktur tersebut yang berhubungan

dengan kronologi urutan pembentukan struktur serta interprestasi mekanisme

pembentukan struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian. Penentuan

struktur geologi didasarkan pada data yang diperoleh berupa data yang bersifat

primer maupun sekunder dan interpretasi pada peta topografi daerah penelitian.

Analisa dan penentuan jenis struktur geologi pada daerah penelitian

dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan interprestasi pola kontur pada peta

topografi dan kenampakan citra DEM daerah penelitian, mengamati dan

mengukur unsur-unsur struktur yang dijumpai di lapangan yaitu mata air,

kedudukan batuan, kedudukan kekar, dan sebagainya, menganalisa parameter

struktur terukur dengan melakukan pengolahan data kekar menggunakan metode

proyeksi stereografis untuk mengetahui gambaran umum pola strukturnya.

Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian berdasarkan hal

tersebut diatas dan penciri struktur yang dijumpai di lapangan adalah :

1. Struktur Kekar

2. Struktur Sesar.

4.2.1 Struktur Kekar (Joint)

Kekar (Joint) dapat didefinisikan sebagai bidang atau permukaan yang

membelah batuan dan belum nampak pergerakan parallel terhadap bidang atau

permukaan tersebut (Billings, 1968), sedangkan menurut McClay (1987) joint

merupakan susunan kekar, sepanjang belum atau telah terjadi sedikit pergerakan.
63

Kekar akibat proses deformasi sangat berhubungan dengan gaya yang

menyebabkannya, yaitu tegasan dan keretakan (stress dan strain) dibagi menjadi

tiga jenis (Mc. Clay, 1987) yaitu:

1. Kekar gerus (shear joint/ compression joint), kekar yang terjadi akibat

takanan/kopresi.

2. Kekar tarik (tension joint), kekar yang terbentuk akibat tarikan. Disebut

juga extension fracture, tension gashes (terisi mineral).

3. Kekar hybrid (hybrid joint), merupakan campuran dari kedua kekar di atas,

dan umumnya terisi mineral sekunder.

Gambar 4.2 Tipe bentuk kekar : (a) Dilational Joint (Extension Joint), (b) Shear Joint,
(c) hybrid joint (McClay, 1987)

Jika kekar pada bidang planar dan membentuk set yang parallel hingga

sub-paralel, maka kekar dikatakan sistematik. Kekar yang dapat ditelusuri

hinggapuluhan bahkan ratusan meter dikatakan sebagai master joint. Kekar yang

ukurannya lebih kecil namun tetap mudah diamati dikatakan sebagai major joint.

Adapun kekar dengan ukuran lebih halus akan diamati di bawah mikroskop

(McClay, 1987).
64

Extension joints dapat dianalisis dengan mem-plot bidang kekar dan

kutubnya pada proeyeksi streografis. Arah dari σ3 merupakan kutub dari bidang

kekar ini dan sumbu σl dan σ2 berada di dalamnya. Jika extension joints dijumpai

sendirian, maka tidak dapat ditentukan orientasi dari σ l dan σ2 Shear joints

umumnya membntuk susunan atau sistem conjugate dengan sudut perpotongan (a)

lebih besar dari 60°. Jika diplot pada proyeksi stereografis, garis perpotongan dari

bidang kekar ini adalah sumbu σ2 dan σ1 (McClay, 1987)

Pada beberapa lokasi didaerah penelitian sistem kekar menujukkan

sistematis. Data kekar pada daerah penelitian di ukur pada stasiun 17, 24 dengan

litologi granit dan litologi andesit pada stasiun 4 sebagaimana di cantumkan pada

Tabel 4.1, Tabel 4.2, dan Tabel 4.3. Pengolahan data kekar dilakukan dengan

menggunakan software stereonet.


65

Gambar 4.3 Sistem Kekar memiliki kecenderungan sistematis dari singkapan


granit pada stasiun 17 dengan arah pengambilan foto N 90OE

Tabel 4.1 Data kekar yang diukur pada stasiun 17

No. Batuan Stike Dip


1 Granit 315 71
2 261 72
3 356 51
4 282 48
5 275 84
6 312 60
7 306 57
8 233 74
9 220 72
10 211 70
11 205 69
12 310 73
13 300 68
14 270 75
15 250 73
16 245 66
17 340 53
18 260 70
19 321 69
20 220 72
21 306 58
22 302 61
23 285 48
24 275 79
25 270 84
26 305 59
27 302 65
28 210 70
29 231 67
30 220 65
31 210 69
66

32 315 71
33 261 72

Dari hasil pengolahan data kekar pada litologi granit dengan menggunakan

software streonet memperlihatkan tegasan utama maksimum (σ1) N 261OE/10O,

tegasan utama (σ2) N 12OE/62 O, dan tegasan utama minimum (σ3) N 164OE/26O

(Gambar 4.5)

σ2

σ1

σ3

Gambar 4.4 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net); (b)
Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minumum
67

Gambar 4.5 Sistem Kekar memiliki kecendrungan non sistematis dari singkapan granit
pada stasiun 24 dengan arah pengambilan foto N 324OE

Tabel 4.2 Data kekar yang diukur pada stasiun 24

No. Batuan Strike Dip


1 309 80
2 262 54
3 270 49
4 232 65
5 195 34
6 72 56
7 78 54
8 384 59
9 304 81
10 82 35
11 2 41
12 25 40
13 75 62
14 310 82
15 255 57
16 281 41
17 Granit 232 60
18 195 34
19 71 56
20 80 54
21 385 71
22 310 81
23 86 41
24 6 46
25 28 46
26 79 67
27 321 61
28 310 71
29 230 57
30 193 37
31 89 51
32 70 57
33 278 52

Dari hasil pengolahan data kekar pada litologi granit dengan menggunakan

software streonet memperlihatkan tegasan utama maksimum (σ1) N 215/60 OE,


68

tegasan utama (σ2) N 327/12 OE, dan tegasan utama minimum (σ3) N 71/46 OE

seperti pada Gambar 4.7

Gambar 4.6 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt
Net); (b) Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan
tegasan maksimum, tegasan menengah, tegasan minumum
Gambar 4.7 Sistem Kekar memiliki kecendrungan sistematis dari singkapan andesit
pada stasiun 4 dengan arah pengambilan foto N 313OE

Tabel 4.3 Data kekar yang diukur pada stasiun 4

No. Batuan Strike Dip


1 Andesit 315 56
2 280 35
3 290 40
4 345 61
5 175 39
6 82 69
69

7 168 21
8 162 34
9 162 34
10 152 47
11 321 4
12 302 52
13 302 52
14 302 52
15 302 52
16 332 79
17 333 88
18 333 88
19 333 88
20 333 88
21 312 74
22 330 74
23 5 90
24 327 90
25 312 46
26 343 90
27 285 32
28 150 51
29 142 90
30 354 82
31 318 7
32 318 84
33 318 84

Dari hasil pengolahan data kekar pada litologi Andesit dengan

menggunakan software streonet memperlihatkan tegasan utama maksimum (σ1)

N 261/31 OE, tegasan utama (σ2) N 167/8 OE, dan tegasan utama minimum (σ3)

N 55/68 OE seperti pada Gambar 4.9.


70

Gambar 4.8 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net); (b)
Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minimum

4.2.2 Sesar

Menurut Van der Pluijm, 2004, sesar adalah setiap permukaan atau zona

di Bumi yang mengalami slip yang terukur (shear displacement). Sedangkan

menurut Asikin (1979), sesar atau fault merupakan rekahan pada batuan yang

telah mengalami pergeseran sehingga terjadi perpindahan antara bagian yang

saling berhadapan, dengan arah yang sejajar dengan bidang patahan.

4.2.2.1 Klasifikasi Sesar

Berdasarkan pergerakan relatif dan jenis gaya yang menyebabkannya,

struktur sesar terbagi atas tiga bagian menurut Billings, 1968 yaitu :

1. Sesar naik, merupakan sesar yang “hanging wall”nya relatif bergerak naik dan

diakibatkan oleh gaya kompresi.

2. Sesar normal, merupakan sesar yang “hanging wall”nya relatif bergerak turun,

diakibatkan oleh gaya tension.

3. Sesar geser, merupakan sesar dimana kedua blok yang patah bergerak secara

mendatar, diakibatkan oleh gaya kompresi, terbagi atas sesar geser menganan

(dekstral) dan sesar geser mengiri (sinistral).

Sedangkan berdasarkan gaya-gaya tekan pada suatu sesar (Anderson, 1951 dalam

McClay, 1987), sruktur sesar terbagi atas :


71

 Sesar Normal (normal fault), 1 adalah vertikal dan 2 dan 3 adalah

horizontal. Kemiringan dari bidang sesar adalah lebih dari 45°

 Sesar Geser (strike-slip fault), 2 adalah vertikal dan 1 dan 3 adalah

horizontal. Dalam hal ini bidang sesar adalah vertikal dan arah pergerakannya

adalah horizontal.

 Sesar Naik (reverse fault), 3 adalah vertikal dan 1 dan 2 adalah horizontal.

Kemiringan dari bidang sesar adalah kurang dari 45° sampai horizontal.

Untuk mengidentifikasi struktur sesar pada daerah penelitian dilakukan

dengan mengenali ciri-ciri primer yang dijumpai di lapangan ataupun ciri

sekunder yang mendukung keberadaan sesar tersebut. Selain itu identifikasi

struktur sesar juga harus tetap mengacu terhadap setting tektonik regional yang

mempengaruhi daerah penelitian.

Sesar dapat dikenali melalui indikasi atau ciri berdasarkan kenampakan

secara langsung di lapangan, kenampakan morfologi, serta interpretasi pada peta

topografi. Kenampakan morfologi secara langsung di lapangan serta pada peta

topografi dapat dikenali seperti dengan adanya pelurusan sungai, kelokan sungai

yang sangat tajam, dan perbandingan kerapatan kontur yang menyolok.

Sedangkan pengamatan singkapan di lapangan dapat dikenali berupa breksi sesar,

zona hancuran, perubahan kedudukan batuan, pergeseran batas litologi, kontak

litologi yang berbeda umur dan genetiknya.

4.2.2.2 Sesar Pada Daerah Penelitian


72

Berdasarkan hasil analisa terhadap data lapangan berupa data primer

ataupun data sekunder serta korelasi terhadap tektonik regional maka sesar yang

bekerja pada daerah penelitian berupa sesar geser. Untuk mempermudah

pembahasan maka sesar ini diberi nama belakang berdasarkan nama geografis

daerah yang dilalui sesar tersebut.

Keterdapatan sesar pada suatu daerah ditandai dengan terdapatnya gejala–

gejala sesar yang terdapat pada daerah tersebut. Gejala ini berupa gejala primer

dan gejala sekunder. Gejala primer merupakan bukti keterdapatan sesar pada suatu

daerah, dimana terbentuk oleh pengaruh langsung dari sesar itu sendiri.

Sedangkan gejala sekunder merupakan indikasi terdapatnya sesar pada suatu

daerah, akan tetapi bukan terbentuk dari pengaruh langsung dari sesar tersebut.

Pengamatan gejala struktur geologi di lapangan dapat menjadi terganggu

dan terhambat oleh faktor-faktor, diantaranya ; tingkat pelapukan yang tinggi,

gangguan tektonik berantai yang aktif, proses geomorfologi, medan dan vegetasi

yang lebat dan lain-lain.

Adapun indikasi primer suatu sesar / patahan dapat dikenal melalui : a)

gawir sesar atau bidang sesar; b) breksiasi, gouge, milonit, ; c) deretan mata air; d)

sumber air panas; e). penyimpangan / pergeseran kedudukan lapisan; f) gejala-

gejala struktur minor seperti: cermin sesar, gores garis, lipatan dsb (Noor, 2010).

Sedangkan gejala sekunder sesar pergeseran punggung bukit dan kenampakan

adanya pergeseran aliran sungai (bentuk sungai membelok tiba-tiba melalui jalur

sesar yang lurus).


73

Berdasarkan gejala sesar yang dijumpai pada daerah penelitian, baik

indikasi primer maupun sekunder, yaitu :

4.2.2.2.1 Sesar Geser Maruri

Sesar Maruri yang bekerja pada daerah penelitian memanjang dari arah

utara hingga baratdaya. Sesar ini memliki sifat mengiri (sinistral), jalur sesar ini

melewati daerah sungai kuala maruri, Sesar ini memotong satuan granit dan

satuan aluvial. Adapun Indikasi sesar yang dijumpai pada zona sesar dan daerah

sekitarnya adalah sebagai berikut :

1. Dijumpai Breksi sesar pada stasiun 15.

2. Dijumpai pelurusan kontur.

3. Hasil analisis data kekar stasiun stasiun 17 dan 24 pada litologi granit.
74

Gambar 4.9 Kenampakan kelurusan topografi yang signifikan pada daerah Kuala

Maruri

Gambar 4.10 Foto mata air pada stasiun 46 dengan arah pengambilan foto
N 100 OE
75

Gambar 4.11 Foto Breksi Sesar pada stasiun 15 dengan arah pengambilan foto
N 230OE

4.3 Mekanisme Struktur Geologi Daerah Penelitian

Mekanisme pembentukan struktur geologi yang bekerja pada daerah

penelitian dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan pola strain ellipsoid

yang dikemukakan oleh Reidel dalam McClay, 1987 (Gambar 4.12).


76

Gambar 4.12 Mekanisme struktur geologi, berdasarkan model teori


“Strain Elipsoide” menurut Reidel dalam Mc. Clay,1987

Mekanisme pembentukan struktur daerah penelitian dimulai pada kala

Post Oligosen setelah pembentukan satuan granit dengan mekanisme struktur

sebagai berikut:

Terjadi aktivitas tektonik mengakibatkan adanya suatu gaya kompresi

dengan arah umum tegasan utama maksimum relatif ke arah utara – selatan

baratdaya yang mengakibatkan perubahan kedudukan batuan pada daerah

penelitian dari keadaan semula. Gaya tersebut terus bekerja sehingga batas

elastisitas batuan terlampaui dan menyebabkan batuan membentuk rekahan

(joint). Gaya yang terus meningkat menyebabkan batuan mengalami pergeseran

dari posisi awalnya dan merubah batuan yang ada pada daerah penelitian, gaya ini

kemudian terus berlanjut sehingga batuan mencapai fase deformasi menyebabkan

rekahan pada batuan mengalami pergeseran/patah membentuk Sesar Geser

Maruri. Mekanisme sesar dapat dilihat pada Gambar 4.13.


77

Gambar 4.13 Mekanisme dan urutan perkembangan Struktur Geologi pada daerah
penelitian.

Penentuan umur struktur geologi daerah penelitian ditentukan secara

relatif melalui pendekatan umur dari satuan batuan termuda yang dilewati.

Struktur sesar geser Maruri melewati satuan aluvial sehingga dapat disimpulkan

bahwa umur relatif dari sesar geser Maruri yaitu Kala Holosen,
BAB V
SEJARAH GEOLOGI

Sejarah geologi daerah penelitian tidak lepas dari proses tektonik regional

palu yang berlangsung pada zaman itu, dimana daerah penelitian merupakan

wilayah tektonik yang sangat kompleks yang terdiri dari tiga lempeng utama telah

berinteraksi dari Mesozoikum hingga saat ini. Sulawesi yang sebelumnya Celebes

yang terdiri dari empat semenanjung sempit yang dikelilingi oleh teluk yang

dalam.

Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada zaman trias atas, terjadi

aktivitas tektonik yang menyebabkan proses pemalihan batuan oleh tekanan dan

suhu yang tinggi terhadap batuan pada kerak benua sehingga membentuk satuan

genes. Proses pembentukan satuan ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya

zaman trias atas.

Periode selanjutnya terdapat selang waktu pembentukan batuan, dimana

pada kala oligosen atas terjadi intrusi magma bersifat asam yang kemudian

membentuk satuan granit.

masih pada kala yang sama yaitu kala oligosen atas, terjadi aktifitas

tektonik dimana gaya kompresi bekerja membentuk kekar yang kemudian

mengalami sesar geser maruri yang bersifat sinistral (mengiri).

Sebelum berakhirnya kala oligosen atas terjadi intrusi magma bersifat

intermediet yang kemudian membentuk satuan andesit.

Proses geologi muda yang berlangsung pada daerah penelitian berupa

sedimentasi, erosi dan pelapukan pada selang waktu yang relatif lama, hingga

78
79

memasuki kala holosen terendapkan material–material yang berukuran lempung

hingga bongkah membentuk satuan aluvial. Proses ini masih terus berlangsung

hingga sekarang yang kemudian mengontrol pembentukan bentangalam pada

daerah penelitian.
BAB VI
BAHAN GALIAN

6.1 Bahan Galian

Bahan galian adalah segala jenis bahan yang terdapat di alam, baik yang

berbentuk padat, cair dan gas, dengan kandungan mineral dan unsur kimia tertentu

serta mempunyai nilai ekonomis bila dilakukan penggalian sesuai dengan

teknologi yang tersedia. Berdasarkan keterjadian dan sifatnya bahan galian dapat

dibagi menadi tiga kelompok : mineral logam, mineral industri serta batubara dan

gambut.

Penggolongan bahan galian diatur dalam Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 4 tahun 2009 pada bab VI pasal 34 tentang usaha

pertambangan. Dalam pasal tersebut usaha pertambangan dibagi menjadi 3

ayat, yaitu :

1. Usaha pertambangan dikelompokkan atas :

a. Pertambangan mineral, dan

b. Pertambangan batubara.

2. Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

digolongkan atas :

a. Pertambangan mineral radioaktif,

b. Pertambangan mineral logam,

c. Pertambangan mineral bukan logam dan

d. Pertambangan batuan.

80
81

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu komoditas tambang ke

dalam suatu golongan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010

tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara

pada bab I ketentuan umum pasal 2 ayat 2 mengelompokkan bahan galian

ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang, yaitu :

a. mineral radioaktif meliputi radium, rhodium, uranium, monasit, dan

bahan galian radioaktif lainnya;

b. mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium,

kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangan,

platina, bismut, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium,

barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium,

galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium,

zirkonium, ilmenit, krom, erbium, yterbium, dysprosium, thorium,

cesium, lanthanum, niobium, neodymium, hafnium, scandium,

aluminium, palladium, osmium, ruthenium, iridium, selenium,

telluride, stronium, germanium, dan zenotin;

c. mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir

kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit,

asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay,

zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang,


82

pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam

batu, clay, dan batugamping untuk semen;

d. batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah

diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit,

gabro, peridotit, basal, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu

apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu

terkersikan

e. gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil

galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa

pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan

timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah

(laterit), batugamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak

mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam

dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan;

dan

f. batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut.

6.2 Potensi Bahan Galian daerah Penelitian

Penentuan pemanfaatan bahan galian pada suatau daerah

membutuhkan informasi mengenai bahan galian di daerah penelitian seperti

lokasi keterdapatan, genesa, asosiasi litologi penyusun bahan galian tersebut,

karakteristik fisik serta keterdapatan bahan galian tersebut apakah ekonomis

untuk dikelola atau tidak.


83

6.2.1 Granit

Keberadaan bahan galian pada daerah penelitian tidak terlepas dari

jenis litologi penyusunnya serta aktivitas geologi yang berlangsung di daerah

penelitian. Kedua hal tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan,

penyebaran, jumlah atau volume serta mutu bahan galian tersebut. Bahan

galian berupa granit terdapat pada bagian barat daerah penelitian yaitu

daerah Tambu (Gambar 6.1) .

Batuan granit adalah potensi geologi yang memiliki nilai ekonomis

yang cukup tinggi. Sebagai contoh di daerah ini memiliki potensi Bahan

galian batuan yang belum diolah sama sekali berupa granit. Granit dapat
84

Gambar 6.1 Kenampakan bahan galian granit daerah


Tambu dengan arah foto N680E.
dimanfaatkan sebagai berbagai material dari ubin, meubel hingga

ornament pelapis dinding bangunan dengan nilai jual yang cukup tinggi,

oleh sebab itu potensi ini sangat menjanjikan untuk dikembangkan. (Gambar

6.1)

6.2.2 Bahan Galian Sirtu (Pasir dan Batu)

Sirtu merupakan singkatan pasir dan batu, hal ini dipertimbangakan

untuk digunakan karen sirtu mempunyai komposisi mineralogi dan ukuran

yang beragam. Sirtu merupakan material campuran dari beberapa ukuran

mulai dari ukuran pasir sampai bongkah. (Sukandarumidi, 1999).

Potensi bahan galian barupa pasir dan batu pada daerah penelitian

dijumpai pada daerah sepanjang aliran Binangga Sidulupa. Bahan galian ini

tersebar sebagai hasil aktivitas sungai yakni transportasi dan pengendapan.

Sebagian besar potensi tersingkap baik di sepanjang sungai. Berdasarkan

penyebarannya maka bahan galian ini ekonomis untuk ditambang karena

secara kuantitatif penyebarannya cukup luas dan didukung dengan akses

trasnportasi untuk pengangkutan hasil tambang. Bahan galian sirtu ini dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan pengerasan jalan dan

kostruksi bangunan berupa pondasi. Kurangnya pemanfaatan bahan galian

sirtu pada daerah penelitian dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang

kurang memahami cara penambangan sirtu serta fokus masyarakat pada

bidang matapencaharian yang lain. (Gambar 6.2)


85

Gambar 6.2 Kenampakkan indikasi bahan galian sirtu (pasir dan batu) pada
Binagga Sidolupa dengan arah foto N 189oE.
86
87

BAB VII

ANALISIS KESTABILAN LERENG

7.1 Lereng dan Longsoran

Suatu permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu

terhadap bidang horizontal disebut sebagai lereng (slope). Menurut Wyllie dan

Mah (2004), lereng merupakan bagian dari permukaan bumi yang berbentuk

miring. Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan

lereng buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya dijumpai

pada perbukitan. Sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia yang biasanya

untuk keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, tanggul untuk jalan kereta

api (Pujianto, 2017).

Longsoran (landslide) adalah luncuran atau gelinciran (sliding) atau

jatuhan (falling) dari massa batuan/tanah atau campuran keduanya. Pengertian

longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass movement) mempunyai

kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran perlu penjelasan keduanya.

Gerakan tanah mencakup gerak rayapan dan aliran maupun longsoran. Menurut

Varnes (1978 dalam Zakaria 2009), gerakan tanah adalah (mass movement)

adalah gerakan perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas atau

perpindahan massa tanah maupun batuan pada arah tegak, mendatar atau miring

dari kedudukan semula. Longsoran (landslide) merupakan bagian dari gerakan

tanah, jenisnya terdiri atas jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide),
88

nendatan (slump), aliran (flow), gerak horisontal atau bentangan lateral (lateral

spread), rayapan (creep) dan longsoran majemuk (Tabel 7.1).


89

Tabel 7.1 Tipe gerakan tanah dan prosesnya oleh (Varnes,1978)

Berbagai jenis longsoran (landslide) dalam klasifikasi di atas dapat

dijelaskan sebagai berikut (Varnes,1978) :

1. Jatuhan (fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara,

termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu

dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain.

Termasuk jenis gerakan ini adalah runtuhan batu, bahan rombakan

maupun tanah (Zakaria, 2009).


90

Gambar 7.2 Jatuhan (USGS. 2004)

2. Longsoran-longsoran gelinciran (slides) adalah gerakan yang disebabkan

oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati

ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi dua jenis. Disebut luncuran

(slide) bila dipengaruhi gerak translasi dan susunan materialnya yang

banyak berubah. Bila longsoran gelinciran dengan susunan materialnya

tidak banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasi, maka

disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran adalah luncuran

bongkah tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan tanah (Zakaria,

2009).
91

Gambar 7.3 (a) Longsoran translasi dan (b) longsoran rotasi (USGS. 2004)

3. Gerak horisontal/bentangan lateral (lateral spread), merupakan jenis

longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material batuan

secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan batuan,

nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa dimasukkan dalam kategori

complex landslide - longsoran majemuk. Prosesnya berupa rayapan

bongkah-bongkah di atas batuan lunak. Pada bentangan lateral tanah

maupun bahan rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan

(gumpalan tanah), luncuran atau aliran yang berkembang selama maupun

setelah longsor terjadi. Material yang terlibat antara lain lempung (quick

clay) atau pasir yang mengalami luncuran akibat gempa (Van Asch, 1997)
92

Gambar 7.4 Gerak horizontal atau bentangan lateral (USGS. 2004)

4. Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal

kecepatan gerakannya yang secara alami biasanya lambat. Untuk

membedakan longsoran dan rayapan, maka kecepatan gerakan tanah perlu

diketahui (Tabel 7.2). Rayapan (creep) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

rayapan musiman yang dipengaruhi iklim, rayapan berkesinambungan

yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan rayapan melaju yang

berhubungan dengan perpindahan massa lainnya (Hansen, 1984)

Tabel 7.2 Laju kecepatan gerakan tanah (Hansen, 1984)


93

Gambar 7.5 Gerakan tanah rayapan (USGS. 2004)

5. Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan

atau kadar air tanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang

longsor antara material yang bergerak umumnya tidak dapat dikenali.

Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering adalah sand run (larian pasir),

aliran fragmen batu, aliran loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah

adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran

lumpur, dan aliran bahan rombakan (Zakaria, 2009).

Gambar 7.6 Gerakan tanah aliran (USGS. 2004)

6. Longsoran majemuk (complex landslide) adalah gabungan dari dua atau

tiga jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran majemuk terjadi di


94

alam, tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol atau

lebih dominan. Longsoran majemuk diantaranya adalah bentangan lateral

batuan, tanah maupun bahan rombakan (Zakaria, 2009)

Gambar 7.7 Longsoran majemuk (Sumber: www.eiu.edu)

Berdasarkan bentuk suatu longsoran, maka tatanama tubuh longsoran dapat

diberikan dengan melihatnya dari bagian atas lereng atau di mahkota. Tatanama

tersebut secara sederhana dapat diuraikan (Gambar 7.8) yang mengacu pada

Varnes, 1978 (Highland, 2008).

Gambar 7.8 Bagian-bagian longsoran (USGS. 2004)


95

Secara umum, tubuh longsoran dibagi menjadi 13 bagian, antara lain:

 Mahkota (crown), material yang tidak bergerak dan letaknya di atas lereng

curam yang terbentuk akibat longsor

 Rekahan mahkota (crown crack), rekahan yang terdapat pada bagian atas

lereng curam. Rekahan ini merupakan dampak dari robeknya permukaan

tanah.

 Lereng curam utama (main scrap), permukaan yang terjal pada tanah yang

tidak terganggu pada bagian atas tubuh longsoran yang disebabkan oleh

pergerakan material. Bagian ini akan tampak ketika tanah robek.

 Kepala (head), bagian paling atas dari tubuh longsoran yang merupakan

kontak antara material yang bergerak dengan lereng curam utama.

 Permukaan dari robekan (surface of rupture), permukaan yang terbentuk

pada bagian dasar dari material yang bergerak pada tubuh longsoran.

 Tubuh utama (main body), bagian dari material lepas longsoran yang

menumpuk pada permukaan dari robekan dan di antara lereng curam

utama dengan ujung dari permukaan robekan.

 Ujung dari permukaan robekan (toe of surface of rupture), perpotongan

antara bagian bawah permukaan dari robekan dan permukaan tanah.

 Permukaan tanah asli (original ground surface), permukaan lereng yang

ada sebelum longsor terjadi.

 Lereng curam tambahan (mirror scarp), lereng curam pada material yang

bergerak dan terbentuk akibat perbedaan arah dan kecepatan gerakan

material yang longsor.


96

 Rekahan melintang (transverse cracks), rekahan yang terbentuk

berlawanan atau tegak lurus dengan arah longsoran.

 Permukaan dari sebaran (surface of separation), bagian dari permukaan

tanah asli pada bagian permukaan lereng yang tertutupi material

longsoran.

 Kaki (foot), bagian dari longsoran yang melebihi atau melewati toe of

surface of rupture dan menutupi tanah asli bagian bawah lereng.

 Ujung (toe), bagian paling bawah, terbentuk akibat material longsoran dan

posisinya paling jauh dengan main scarp.

 Right flank, sisi/bagian kanan bidang lereng

7.2. Faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng

7.2.1 Kekuatan Massa Batuan

Kekuatan massa batuan yang sangat berperan dalam analisis kestabilan

lereng terdiri atas sifat fisik dan mekanik batuan/tanah tersebut. Sifat fisik

batuan/tanah yang digunakan dalam analisis kestabilan lereng adalah bobot isi,

sedangkan sifat mekaniknya adalah kuat geser batuan yang dinyatakan dengan

parameter kohesi (c), dan sudut geser dalam (φ).

Kohesi merupakan kekuatan tarik menarik antara butiran batuan yang

dinyatakan dalam satuan berat per satuan luas. Kohesi batuan akan semakin besar

jika kekuatan gesernya makin besar. Sudut geser dalam merupakan sudut yang

terbentuk dari hubungan tegangan normal dan tegangan geser di dalam material
97

batuan. Semakin besar sudut geser dalam suatu material, maka material tersebut

akan lebih tahan menerima tegangan luar yang dikenakan (Saputra, 2019).

7.2.2 Struktur Batuan

Struktur batuan yang sangat mempengaruhi kestabilan lereng adalah

bidang- bidang sesar, perlapisan dan rekahan. Struktur batuan tersebut merupakan

bidang-bidang lemah (diskontinuitas) dan sekaligus sebagai tempat merembesnya

air, sehingga batuan lebih mudah longsor. Jika orientasi umum bidang-bidang

lemah tersebut searah dengan arah lereng dan kemiringan bidang lemah lebih

landai dari kemiringan bidang lereng. Maka struktur tersebut mempunyai

pengaruh langsung yang lebih besar terhadap stabilitas lereng, sebaliknya jika

arah dan kemiringan bidang lereng berlawanan maka struktur bidang lemah

tersebut mempunyai pengaruh langsung yang lebih kecil terhadap stabilitas

lereng. (Kasim dkk, 2019)

Struktur geologi mempunyai kemantapan lereng adalah adanya bidang

ketidakmenerusan. Hal yang paling penting dalam bidang ketidakmenerusan

adalah adanya pengaruh tekanan air yang berbeda pada saat rekahan ditarik.

Selain adanya rembesan air pada bidang ketidakmenerusan tersebut, rekahan tarik

juga akan terisi oleh material pengisi yang dapat memisahkan dua sisi batuan,

batuan tersebut akan memiliki kuat geser yang kecil untuk menahan potensi

longsoran. Kondisi bidang lemah dan penyebaran perlu diketahui untuk

menentukan arah dan jenis longsoran yang terjadi pada massa batuan tersebut.

Bila jenis longsoran diketahui, maka lebih mudah untuk menentukan geometri

yang mantap dengan melakukan analisa kestabilan lereng (Kasim dkk, 2019).
98

7.2.3 Geometri Lereng

Geometri lereng adalah tinggi (h) dan kemiringan lereng (α), baik itu

secara individu (single slope) maupun secara keseluruhan (overall slope). Suatu

lereng disebut lereng individu apabila dibentuk oleh satu jenjang saja, dan disebut

keseluruhan apabila dibentuk oleh beberapa jenjang. Sudut kemiringan lereng

untuk jenjang pada lereng keseluruhan diperoleh dengan menarik garis dari batas

bawah (toe) jenjang terbawah ke batas atas (crest) jenjang teratas menurut Hoek

dan Bray (1981) (Gambar 7.11).

Geometri lereng mencakup tinggi lereng dan sudut kemiringan lereng.

Lereng yang terlalu tinggi menjadi tidak mantap dan cenderung mudah longsor

dibandingkan lereng yang tidak terlalu tinggi bila susunan batuannya sama.

Demikian juga sudut kemiringan lereng, lereng akan menjadi kurang mantap jika

kemiringannya besar.

Pada kondisi batuan/tanah yang sama dengan kemiringan yang tetap,

penambahan tinggi lereng ini akan berpengaruh terhadap menurunnya kestabilan

lereng tersebut karena berat lereng yang harus ditahan oleh kekuatan geser

batuan/tanah semakin bertambah besar. Oleh karena itu penambahan ketinggian

lereng harus diikuti dengan pengurangan sudut lereng (Saputra, 2019).


99

Gambar 7.11 Penampang lereng individu (a) dan penampang lereng total (b) (Hoek &
Bray, 1981)

7.2.4 Kondisi Air Tanah

Kandungan air tanah sebagai moisture (kelembaban) tanah pada lereng

yang bersangkutan akan memberikan tambahan beban yang besar pada lereng.

Selain itu juga, kondisi material yang jenuh dengan air tanah akan mengalami

penurunan kekuatan geser akibat adanya tekanan air pori di dalam tubuh material

tersebut.

Penambahan air tanah pada pori-pori tanah atau batuan akan memperbesar

beban dan pada akhirnya menimbulkan gaya penggerak yang dapat

mengakibatkan terjadinya longsor. Kondisi air tanah yang dimaksud disini adalah

ketinggian level air tanah yang berada di bawah permukaan lereng. Pengaruh air

tanah terhadap kestabilan lereng yaitu adanya tekanan ke atas dari air pada

bidang-bidang lemah yang secara efektif mengurangi kekuatan geser dan

mempercepat proses pelapukan dari batuan (Kasim, 2019).

7.3 Analisis Kestabilan Lereng

Analisis Kestabilan Lereng (slope stability analysis) adalah proses

menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk sepanjang

permukaan longsor yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari tanah yang

bersangkutan (Das, 2002). Analisis kestabilan lereng dilakukan untuk menentukan

faktor aman dari bidang longsor yang potensial, yaitu dengan menghitung

besarnya kekuatan geser untuk mempertahankan kestabilan lereng dan

menghitung kekuatan geser yang menyebabkan kelongsoran kemudian keduanya


100

dibandingkan. Dari perbandingan yang ada didapat nilai Faktor Keamanan yang

merupakan nilai kestabilan lereng yang dinyatakan dalam angka (Turangan,

2014).

Analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat

dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu cara pengamatan visual, cara komputasi dan

cara grafik (Batlitbang Dan Pekerjaan Umum, 1986) sebagai berikut:

1. Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di

lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau

diperkirakan bergerak dan yang yang tidak. Cara ini memperkirakan

lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan

(Batlitbang Dan Pekerjaan Umum, 1986). Cara ini kurang teliti, tergantung

dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor

terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan indikasi

gerakan tanah dalam suatu peta lereng.

2. Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus

(Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara

Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan (FK) lereng dan

dianalisis kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci

utama gerakan tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi; (a) tak

terdrainase; (b) efektif untuk beberapa kasus pembebanan; (c) meningkat

sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau dengan

kedalaman, (d) berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan

dengan waktu) atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi
101

peningkatan air tanah. Menghitung besar faktor keamanan lereng dalam

analisis lereng tanah melalui metode sayatan, hanya longsoran yang

mempunyai bidang gelincir saja yang dapat dihitung.

3. Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar

(Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini

dilakukan untuk material homogen dengan struktur sederhana. Material

yang heterogen (terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan

penggunaan rumus (cara komputasi). Stereonet, misalnya diagram jaring

Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat menjelaskan arah longsoran atau

runtuhan batuan dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar (joints) dan

strike/dip lapisan batuan.

7.4 Kelas Pelapukan

Pelapukan sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, temperatur dan

komposisi kimia dari mineral-mineral penyusun. Pelapukan adalah proses

perubahan dan penguraian batuan dan tanah pada atau di dekat permukaan bumi

secara fisik, kimiawi, dan biologi menjadi lempung, oksida besi, dan hasil

pelapukan lainnya (Undul, 2012 dalam Azikin, 2020).

Menurut Noor (2010), ada 3 jenis pelapukan, yaitu pelapukan fisik

(mekanis), pelapukan kimiawi, dan pelapukan biologis.

1. Pelapukan mekanis adalah semua mekanisme yang dapat mengakibatkan

terjadinya proses pelapukan sehingga batuan dapat hancur menjadi beberapa

bagian yang kecil yang lebih halus. Mekanisme dari proses pelapukan

mekanis antara lain adalah abrasi, kristalisasi es dalam batuan, perubahan


102

panas secara cepat, proses hidrasi, dan eksfoliasi/pengelupasan yang

disebabkan pelepasan tekanan pada batuan karena perubahan tekanan.

2. Pelapukan kimiawi adalah terurai/pecahnya batuan melalui mekanisme

kimiawi, seperti karbonisasi, hidrasi, hidrolisis oksidasi dan pertukaran ion-

ion dalam larutan. Pelapukan kimiawi merubah komposisi mineral mineral

dalam batuan menjadi mineral permukaan seperti mineral lempung. Air

merupakan agen yang sangat penting dalam terhadinya proses pelapukan

kimia, seperti pengelupasan cangkang (spheroidal weathering) pada batuan.

3. Pelapukan biologis merupakan istilah yang umum dipakai untuk

menjelaskan proses pelapukan biologis yang terjadi pada penghancuran

batuan, termasuk proses penetrasi akar tumbuhan kedalam batuan dan

aktivitas organisme dalam membuat lubang-lubang pada batuan

(bioturbation), termasuk didalamnya aksi dari berbagai jenis asam yang ada

dalam mineral melalui proses leaching. Pada hakekatnya pelapukan organis

merupakan perpaduan antara proses pelapukan mekanis dan pelapukan

kimiawi.
103

Tabel 7.3 Klasifikasi tingkat pelapukan batuan (Wyllie dan Mah, 2004)

Menurut Wyllie dan Mah (2004), tingkatan pelapukan dibagi menjadi 6

tingkat, dari batuan segar (unweathered) hingga tanah residu. Kelas pelapukan

akan dijelaskan pada tabel sebagai berikut (Tabel 7.3).

Menurut Azikin (2015 dalam Azikin 2020), salah satu faktor penyebab

terjadinya longsor adalah faktor pelapukan karena semakin tinggi tingkat

pelapukan maka semakin banyak mineral pembentuk batuan yang hancur dan jika

terjadi di suatu daerah lereng maka daerah tersebut akan rawan longsor.
104

7.5 Hasil Penelitian dan Pembahasan

7.5.1 Geometri Lereng Daerah Penelitian

Geometri lereng merupakan kenampakan visual lereng di lapangan.

Pengukuran geometri lereng dilakukan dengan menggunakan roll meter,

kompas, dan GPS untuk mengetahui panjang lereng, sudut lereng, dan elevasi

lereng. Data geometri lereng yang diperoleh di lapangan kemudian diolah

menggunakan software AutoCAD 2021. Adapun hasil geometri lereng sebagai

berikut:

1. Stasiun 3

Pengukuran dan pengambilan sampel stasiun 3 berlokasi pada Jalan

Poros Desa Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil

atau tanah yang dijumpai pada stasiun 3 merupakan hasil dari pelapukan

batuan andesit. (pada gambar 7.15).

Kenampakan Lereng Model geometri lereng (AutoCAD 2021)

Gambar 7.15 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)
105

2. Stasiun 4

Pengukuran dan pengambilan sampel stasiun 4 berlokasi pada Jalan

Poros Desa Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil

atau tanah yang dijumpai pada stasiun 4 merupakan hasil dari pelapukan

batuan andesit. (pada gambar 7.16).

Kenampakan Lereng Model geometri lereng (AutoCAD 2021)

Gambar 7.16 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)

3. Stasiun 16

Pengukuran dan pengambilan sampel stasiun 16 berlokasi pada Jalan

Desa Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil atau

tanah yang dijumpai pada stasiun 4 merupakan hasil dari pelapukan batuan

granit (pada gambar 7.17).

Kenampakan Lereng Model geometri lereng (AutoCAD 2021)


106

Gambar 7.17 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)

4. Stasiun 80

Pengukuran dan pengambilan sampel stasiun 80 berlokasi pada Jalan

Desa Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil atau

tanah yang dijumpai pada stasiun 4 merupakan hasil dari pelapukan batuan

granit. (pada gambar 7.18).

Kenampakan Lereng Model geometri lereng (AutoCAD 2021)

Gambar 7.18 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)

5. Stasiun 81

Pengukuran dan pengambilan sampel stasiun 81 berlokasi pada Jalan

Desa Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil atau tanah
107

yang dijumpai pada stasiun 4 merupakan hasil dari pelapukan batuan granit.

(pada gambar 7.19).

Kenampakan Lereng Model geometri lereng (AutoCAD 2021)

Gambar 7.19 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)

Adapun tabel hasil pengukuran geometri lereng secara keseluruhan

sebagai berikut.

Tabel 7.4 Hasil pengukuran geometri lereng


Kondisi Lereng
Stasiu
Panjang Tinggi Jarak dari Kemiringan Arah
n
Lereng Lereng Jalan Lereng Lereng
ST. 3 25 Meter 18 Meter 10 Meter 68° 47°
ST. 4 16.7 Meter 21.5 Meter 4.2 Meter 79° 349°
ST. 16 15.2Meter 20.7 Meter 6.6 Meter 65° 90°
ST. 80 8.7 Meter 9.8 Meter 6 Meter 85° 320°
ST. 81 7.2 Meter 5.3 Meter 3 Meter 80° 145°

7.5.2 Analisis Tingkat Pelapukan Daerah Penelitian

Analisis mengenai tingkat pelapukan pada lokasi penelitian merupakan

salah satu hal yang perlu diperhatikan. Selain faktor geometri lereng, faktor

litologi khususnya pelapukan merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi
108

kestabilan lereng. Pelapukan dapat menyebabkan mineral pada batuan hancur dan

jika hal itu terjadi pada lereng maka akan rentan terjadi longsor.

Berikut pengamatan tingkat pelapukan tiap stasiun ditunjukkan pada (tabel

7.5)

Tabel 7.5 Tingkat pelapukan daerah penelitian berdasarkan klasifikasi tingkat perlapukan
(Wyllie dan Mah,2004)
Tingkat Pelapukan
Batuan Agak Lapuk Lapuk Lapuk
Stasiun Tanah
Segar Lapu Sedang Tinggi Sempurna
Residu (VI)
(I) k (II) (III) (IV) (V)
ST. 3 √ √
ST. 4 √ √
ST. 16 √ √
ST. 80 √ √
ST. 81 √

Dari hasil pengamatan yang dimuat pada tabel 7.5 diketahui bahwa tingkat

pelapukan pada daerah penelitian berdasarkan klasifikasi tingkat pelapukan dari

Wyllie dan Mah (2004) digolongkan menjadi dua tingkat, yaitu lapuk sempurna

(V).Pada stasiun ST 3, ST,4, ST 16, dan ST 80 memiliki tingkat pelapukan lapuk

sempurna. Hal ini dicirikan dengan seluruh massa batuan berubah menjadi tanah

oleh dekomposisi kimia atau disintegrasi fisik. Struktur massa asli sebagian masih

utuh dan masih dijumpai sedikit agregat berukuran kerikil. Sedangkan pada

stasiun 81 memiliki tingkat pelapukan sedang. Hal ini dicirikan dengan kurang

dari setengah agregat batuan terdekomposisi dan atau terdisintegrasi menjadi

tanah. Agregat mengalami perubahan warna yang jauh lebih kontras hingga

mencapai bagian yang lebih dalam.


109

Dari hasil analisis tingkat pelapukan pada daerah penelitian, dapat

diketahui bahwa lokasi penelian memiliki tingkat pelapukan yang sangat tinggi.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Jenis batuan

Perbedaan jenis dan kuantitas mineral yang mendominasi komposisi

batuan sangat mempengaruhi kecepatan pelapukan. Misalnya, kuarsa dan

beberapa mineral mika memiliki kecepatan pelapukan yang terbilang lambat

dari mineral feldspar yang sama-sama menghasilkan tanah liat.

Diketahui bahwa dilokasi penelitian secara litologi disusun oleh litologi

andesit dan dominan litologi granit. Sehingga dapat disimpulkan mineral

penyusun batuan berupa mineral feldspar yang diketahui merupakan mineral

yang mudah lapuk.

2. Topografi

Suatu tubuh batuan akan cepat mengalami pelapukan jika berada pada

topografi yang miring ataupun curam. Hal ini disebabkan karena pelapukan

pada topografi yang miring akan mudah tercuci oleh aliran air permukaan yang

bersumber dari hujan sehingga mempercepat kenampakan batuan segar kepada

senyawa pelapuk. Beda halnya dengan topografi yang relatif datar, karena

senyawa pelapuk tidak langsung mengalami kontak langsung dengan tubuh

batuan sehingga proses pelapukan berjalan dengan lambat.

Pada lokasi penelitian, topografi berbentuk perbukitan hingga

pegunungan. Topografi tersebut mencirikan adanya beda tinggi. Sehingga pada


110

lokasi penelitian banyak dijumpai lereng yang menyebabkan tubuh/bidang pada

lereng dapat mengalami pelapukan dengan cepat.

3. Iklim

Adanya perbedaan suhu dan curah hujan merupakan faktor yang

mempercepat proses pelapukan batuan. Iklim dapat menghasilkan curah hujan

yang cukup tinggi. Mengingat curah hujan adalah salah satu faktor yang

menyebabkan terjadinya dekomposisi pada batuan.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tingkat pelapukan pada daerah

penelitian sangatlah tinggi. Mengingat kondisi iklim tropis menyebabkan

terjadinya curah hujan yang relatif tinggi. Melalui media air hujan batuan akan

mudah mengalami pelapukan.

Jadi dari hasil analisis tingkat pelapukan dapat disimpulkan lokasi

penelitian yang berada pada Desa Tovia Tambu, Kecamatan Tovia Tambu,

Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah memiliki tingkat pelapukan yang

tinggi, sehingga daerah penelitian disimpulkan sebagai daerah rawan longsor, jika

terjadi longsor, maka jenis longsor yang terjadi adalah longsoran debris slide.
111

BAB VIII
PENUTUP

8.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka diperoleh

kesimpulan mengenai kondisi geologi darah penelitian sebagai berikut :

1. Geomorfologi daerah penelitian disusun oleh satuan Geomorfologi

Perbukitan Denudasional dan satuan geomorfologi Pedataran Fluvial. Jenis

sungai yang berkembang ialah sungai periodik dan sungai episodik,

dengan tipe genetik secara umum merupakan tipe genetik subsekuen,

konsekuen dan insekuen. Pola aliran yang berkembang ialah sub paralel.

Berdasarkan karakter geomorfologi yang dijumpai, stadia daerah penelitian

termasuk dalam tahapan dewasa.

2. Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan lithostratigrafi tidak resmi yang

terbagi menjadi satuan genes, satuan intrusi granit, satuan intrusi andesit, dan

satuan aluvial.

3. Struktur geologi pada daerah penelitian ialah kekar dengan jenis kekar

sistematis, non sistematis dan sesar yaitu sesar maruri.

4. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010

tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara,

potensi bahan galian pada daerah penelitian termasuk dalam bahan galian non

logam dan batuan, yakni granit & pasir dan batu (Sirtu).
112

5. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tingkat pelapukan pada daerah

penelitian sangatlah tinggi. Mengingat kondisi iklim tropis menyebabkan

terjadinya curah hujan yang relatif tinggi. Melalui media air hujan batuan

akan mudah mengalami pelapukan. Hasil analisis tingkat pelapukan dapat

disimpulkan lokasi penelitian yang berada pada Desa Tovia Tambu,

Kecamatan Tovia Tambu, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi

Tengah memiliki tingkat pelapukan yang tinggi, sehingga daerah

penelitian disimpulkan sebagai daerah rawan longsor.

8.2 Saran

Ditinjau dari kesampaian daerah penelitian yang cukup sulit dan akses

jalan yang sering terputus akibat karena rentannya pada lokasi terjadi longsor

sehingga saran kepada pemerintah agar melakukan mitigasi terkait longsor

khususnya pada daerah Tovia Tambu yang merupakan daerah padat penduduk.

Daerah penelitian memiliki keterdapatan bahan galian yang cukup

potensial, sehingga penulis menyarankan kepada pemerintah dan masyarakat

setempat untuk mengkaji lebih lanjut potensi dari lokasi-lokasi bahan galian yang

belum dimanfaatkan.
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Sukendar., 1979. Dasar-Dasar Geologi Struktur. Jurusan Teknik Geologi


Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Azikin, B, Safruddim, dan Pachri, H. 2020. Identification of Landslide Disaster
Potential based on Weathering Grade of Rock in Parepare City South
Sulawesi, Indonesia. IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering. 875.

Bowles JE. 1989. Sifat sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Hainim JK, editor.
Jakarta (ID). Erlangga
Batlitbang Dan Pekerjaan Umum. 1986. Petunjuk Penyelidikan &
Penanggulangan Gerakan Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pengairan, Balitbang Departemen Pekerjaan Umum
Badan Informasi Geospasial. 2013. Peta Rupa Bumi Lembar Tompe 2015-64
Edisi 1. Pusat promosi dan kerja sama, Bogor.
Billings, M. P., 1968. Structural Geology, Second edition, Prentice of India
Private Limited, New Delhi.
Brouwer, H. A., 1934. Geologische onderzoekingen op het eiland Celebes, Verb.
Geol. Mijnb. Gen. Ned. & Kol.Geol. Serie 10, Blz. 39-171
Fleuty, M.J. 1964. The description of folds, Geologist Association, London
Fossen, H., 2010. Structural Geology. Cambridge University press.
Hall, R. & Robert, , 2018, Late Cenozoic palaeogeography of Sulawesi, Indonesia
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region: U.S. Geological Survey
Professional Paper 1078, 345 p.
Hennig, J., Hall, R., Armstrong, R.A., 2014. U-Pb zircon geochronology of rocks
from west Central Sulawesi, Indonesia: Extension-related metamorphism
and magmatism during the early stages of mountain building. Journal of
Asian Earth Sciences, Austalia.

113
114

Kasim, T, Marlina, R, dan Naufal, M. 2019. Analisis Kestabilan Lereng dengan


Metode RMR dan Slope Mass Rating pada Lereng Zona 1 Tambang
Andesit PT. Bintang Sumatera Pasific. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Teknik
Pertambangan.
Katili, J.A., 1978. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia,
45: 289-322.
Katili, JA., 1975. Volcanism and plate tectonics in indonesia island arcs.
Tectonophysics, 26: 165-188
Keer, A. K., 1939. Optical Mineralogy. Mc Graw – Hill Book Co., Inc., New
York.
Komisi Sandi Stratigrafi IAGI, 2010. Sandi Stratigrafi Indonesia Edisi 1996,
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta.
Kemenkum dan Ham, 2009., Undang - Undang Republik Indonesia No.4 Tahun
2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta.
Kaharuddin dkk. 2011. Perkembangan Tektonik dan Implikasinya terhadap
Potensi Gempa dan Tsunami di Kawasan Pulau Sulawesi. Proceedings
JCM Makassar 2011 The 36th HAGI and 40th IAGI Annual Convention
and Exhibition Makassar, 26-29 September 2011.
Lobeck, AK., 1939, Geomorphology, New York and London: Mc Graw-Hill
Book Company Inc.
McClay, K. R., 1987. The Mapping of Geological Structures, Butler and Tanner
Ltd, London.
Noor, D., 2009. Pengantar Geologi, Pakuan University Press, Bogor.
Noor, D., 2010. Geomorfology, Pakuan University Press, Bogor.
Pujianto, H, Muslih, Y, Surjandari, N. 2017. Analisis Pengaruh Beban Gempa
Terhadap Stabilitas Lereng di Desa Sendangmulyo, Tirtomoyo,
Wonogiri. Matriks Teknik Sipil. 202-207
Ratman, N., Atmawinata, S., 1993. Geology of the Mamuju quadrangle,
Scale 1:250,000 Geological Survey of Indonesia. 1993.
115

Saputra, R dan Heriyadi, B. 2019. Analisis Klasifikasi Massa Batuan dan Potensi
Longsor Pada Area Pit Timur Tambang Terbuka PT. Allied Indo Coal
Jaya, Kota Sawalunto, Sumatera Barat. Jurnal Bina Tambang. 4(3)

Sukamto, R., Sumadirdja, H., Suptandar, T., Hardjoprawiro, S. and Sudana, D.,
1973. Peta geologi tinjau daerah Palu, Sulawesi Tengah
(Reconnaissance geologic map of Palu area, Central Sulawesi; scale
1:250000). Direktorat Geologi (GSI), Bandung.
Turangan, V. 2014. Analisis Kestabilan Lereng Metode Fellenius. Jurnal Sipil
Statistik. 2(1): 37-46

Thornbury, W. D., 1969. Principles of Geomorphology. Edisi Kedua, John Wiley


& Sons Inc., New York, USA.
Travis, R. B., 1955, Classification of Rocks, Volume 50, Number 1, Quarterly of
The Colorado School of Mines, U. S. A.
USGS. 2004. Slope Processes, Landslide, And Subsidence (Landslide Types and
Processes). http://pubs.usg.gov/fs/2004/3072/pdf/fs2004-3072.pdf

Van Asch and Buma. 1997. Modelling Groundwater Fluctuations and The
Frequency of Movement of a Landslide in The Terres Noires Region of
Barcelonnette. Earth Surface Processes and Landform. 22: 131-141

Van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia Vol IA: The General
Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Government Printing
Office, The Hague.
Van der Pluijm. 2004. Earth Structure:an introduction to structural geology and
tectonics.W.W.Norton & Company Ltd.London
Van Leeuwen, Theo M, Muhardjo. 2003. Stratigraphy and tectonic setting of the
Cretaceous and Paleogene volcanic-sedimentary successions in
northwest Sulawesi, Indonesia: implications for the Cenozoic evolution
of Western and Northern Sulawesi, Journal of Asian Earth Sciences,
Jakarta.
Van Leeuwen, Charlotte, Marlina, Hans, Palin, M., Hennig, J. 2015. The Palu
Metamorphic Complex, NW Sulawesi, Indonesia: Origin and evolution
116

of a young metamorphic terrane with links to Gondwana and Sundaland,


Journal of Asian Earth Sciences, Jakarta.
Van Zuidam, R. A., 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. Smith Publisher, The Hague, Enschede,
Netherlands.
Wyllie, D and Mah. 2004. Rock Slope Engineering: Civil and Mining. Spon Pres.
London

Varnes, D.J. 1978. Slope Movement Type and Processes in Landslide Analysis
and Control. Transportation Research Board, National Academy of
Science, Wasington

Zakaria, Z. 2009. Analisis Kestabilan Lereng. Fakultas Teknik Teknik Geologi


Universitas Padjadjaran. Jatinangor.
117

Anda mungkin juga menyukai