1 HALAMAN SAMPUL
Disusun dan diajukan oleh
i
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
HALAMAN TUJUAN
SKRIPSI
OLEH
MUHAMMAD FAHMI SALIM
D611 16 306
MAKASSAR
2021
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Jenjang : S1
Adalah karya tulis saya sendiri dan bukan merupakan pengambil alihan tulisan
orang lain bahwa skripasi/tesis/disertasi yang saya tulis ini merupakan hasil karya
saya sendiri.
iii
GEOLOGI DAN ANALISIS POTENSI BENCANA TANAH LONGSOR
DAERAH TOVIA TAMBU KECAMATAN TOVIA TAMBU KABUPATEN
DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH
Menyetujui,
Mengetahui
iv
SARI
Kata kunci : Tovia tambu, geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi,
analisis tanah longsor.
v
ABSTRACT
Administratively, the research area is included in the Tovia Tambu area, Tovia
Tambu district, Donggala district, Central Sulawesi province and is astronomically
located at coordinates 0°4'00"LS – 0°9'00"LS (South Latitude) and 119°52'00"LS –
119°56'00" E (East Longitude). . The research entitled "Geology and Overview of
Landslide Hazards in the Tovia Tambu Region, Tovia Tambu District, Donggala
Regency, Central Sulawesi Province" is intended to make a map with a scale of 1:25,000
covering geomorphological conditions, stratigraphy, geological structure, geological
history and excavation materials in the research area. The method used in this research
is the field geology method and data processing either using software or using laboratory
equipment.
From the results of the analysis, it was concluded that the geomorphological
unit of the study area consisted of a Denudational Hills Landscape unit and a Fluvial
Plain Landscape unit. Rivers that develop in the study area are periodic and episodic
rivers. The genetic types of the river in the research area are sub-sequence, consequent
and insequent genetic types. Sub-parallel river flow pattern. Based on the
geomorphological aspects, it can be concluded that the river stage and the regional stage
include the young stage towards adulthood. Stratigraphy of the research area based on
unofficial lithostratigraphy from old to young consists of; genes units, granite units, and
andesite units. The geological structure that develops is the Maruri shear fault. The
minerals in the research area are classified as non-metallic minerals, analysis of the
potential for landslides in the research area is the level of weathering in the research
area is very high. Considering the tropical climate conditions cause relatively high
rainfall and it is concluded that the research area is very prone to landslides.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Azza Wa Jalla. Hanya
kepada-Nyalah tempat memohon berkah dan rahmat serta dengan izin-Nya jualah
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan tugas akhir dengan judul “Geologi
1. Bapak Dr. Ir. Busthan Azikin, M.T. selaku Dosen Pembimbing I yang
3. Bapak Dr. Eng. Asri Jaya, ST., MT. selaku Ketua Departemen Teknik
vii
4. Bapak Prof.Dr.rer.nat. Ir. A.M. Imran, dan Bapak Dr. Eng. Hendra Pachri,
S.T.,M.Eng
Hasanuddin,
7. Bapak Salim Abdurrahman dan Ibu Aminah Muchdar selaku orangtua penulis
2016 (Jurassic16), yang tak pernah absen memberikan dukungan disaat suka
maupun duka,
9. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas
oleh karena itu penulis mengharapkan adanya masukan dari pembaca baik berupa
Akhir kata, semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh
Penyusun
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………….................... i
SARI ………………………………………….............................................. iv
ABSTRACT …………………………………………................................... v
viii
1.7 Peneliti Terdahulu...................................................................... 14
ix
3.2.2.1 Dasar Penamaan …………………………………………........ 46
x
4.2.2.1 Sesar Daerah Penelitian ……………………………………..... 71
6.2.1 Granit………………………………………………………… 82
xi
LAMPIRAN
2. Kolom Stratigrafi
LAMPIRAN LEPAS
2. Peta Geomorfologi
4. Peta Geologi
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Peta Tunjuk Lokasi Daerah Penelitian...................................................... 4
2.1 Kenampakan morfologi pedataran fluvial pada daerah tovia tambu, difoto
ke arah barat (N293oE)..............................................................................20
2.5 Residual soil dengan tebal ± 2 meter dan Pelapukan kimia yang
menunjukkan perubahan warna pada litologi granit.................................24
2.7 Rill erosion pada selatan Desa Tambu pada ST 17 difoto relatif arah N 85o
E.................................................................................................................25
2.8 Kenampakan gerakan tanah berupa debris slide pada stasiun 5 difoto arah
N 349oE......................................................................................................26
2.9 Jenis Sungai periodik pada sungai dengan arah Foto N 66oE...................28
2.11 Singkapan genes dengan foliasi relatif searah dengan arah aliran sungai
yang menandakan tipe genetik subsekuen dengan arah foto N 240oE .....31
2.12 Singkapan genes dengan dip foliasi relatif searah dengan arah aliran sungai
yang menandakan tipe genetik konsekuen dengan arah foto N 84oE........31
2.13 Kenampakan point bar dan flood plain pada sungai sidolupa dengan arah
foto N 338oE..............................................................................................33
2.14 Kenampakan chanel bar pada anak sungai pada perbukitan denudasional
dengan arah foto N 256oE..........................................................................33
xii
3.1 Peta geologi tinjau Lembar Palu ..............................................................36
3.2 Foto singkapan genes pada stasiun 72 dengan arah pengambilan foto N
53OE ..........................................................................................................40
3.4 Foto singkapan granit pada stasiun 80 dengan arah pengambilan foto N
88O E..........................................................................................................43
3.6 Foto singkapan andesit pada stasiun 4 dengan arah pengambilan foto N
47OE ..........................................................................................................47
3.8 Kenampakan sungai dan material akibat proses fluvial di sungai Sidolupa
...................................................................................................................49
4.2 Tipe bentuk kekar : (a) Dilational Joint (Extension Joint), (b) Shear Joint,
(c) Hybrid joint (McClay, 1987)...............................................................58
4.4 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net);
(b) Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minumum .................................61
4.5 Sistem Kekar memiliki kecendrungan non sistematis dari singkapan granit
pada stasiun 24 dengan arah pengambilan foto N 324OE..........................62
4.6 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net);
(b) Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minimum...................................63
xiii
4.7 Sistem Kekar memiliki kecendrungan non sistematis dari singkapan
Andesit pada stasiun 4 dengan arah pengambilan foto N 313OE..............64
4.8 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net);
(b) Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minimum...................................65
4.10 Foto mata air pada stasiun 46 dengan arah pengambilan foto N 100OE....70
4.11 Foto Breksi Sesar stasiun 15 dengan arah pengambilan foto N 230OE.....70
6.1 Kenampakan bahan galian granit daerah Tambu dengan arah foto N680E
...................................................................................................................78
6.2 Kenampakkan indikasi bahan galian sirtu (pasir dan batu) pada Binagga
Sidolupa dengan arah foto N 189oE..........................................................80
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Diagram Alir Metode Penelitian...............................................................10
2.1 Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik pada sistem ITC (Van
Zuidam, 1985.............................................................................................16
xv
3 BAB I
PENDAHULUAN
sejarah perkembangannya sejak bumi ini lahir di alam semesta hingga sekarang.
suatu bidang ilmu pengetahuan yang menarik untuk dipelajari. Ilmu ini
yang potensial dan ekonomis dibutuhkan tahap awal dalam kegiatan eksplorasi
dimana para calon geologist dituntut untuk dapat memahami metode dan tahapan
struktur, bahan galian serta berbagai prospek alam lainnya yang dapat
1
2
tatanan geologi yang cukup kompleks. Hal tersebut menuntut adanya pekerjaan
lapangan untuk mengetahui kondisi geologi suatu daerah secara langsung yang
pada umumnya tidak seideal seperti dalam teori dan membutuhkan rekonstruksi
geologi dalam bentuk peta geologi. Peta geologi regional yang telah ada di
Indonesia hanya memiliki skala 1:100.000 untuk Jawa dan skala 1:250.000 untuk
luar Jawa. Skala tersebut dinilai kurang detail, sehingga dibutuhkan peta geologi
dengan skala yang lebih besar. Oleh karena itu, kegiatan pemetaan geologi dengan
skala 1:25.000 yang merupakan salah satu mata kuliah wajib dalam kurikulum
suatu kegiatan yang penting untuk dilakukan dalam upaya mengetahui kondisi
daerah. Pada daerah yang memiliki morfologi perbukitan dan pegunungan akan
proses geomorfologi yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, terutama
Menurut Wyllie dan Mah (2004), lereng merupakan bagian dari permukaan bumi
atau bidang yang berbentuk miring terhadap bidang horizontal. Kestabilan lereng
merupakan suatu kondisi atau keadaan yang stabil terhadap suatu bentuk dan
dimensi lereng.
3
morfologi perbukitan hingga pegunungan yang disusun oleh batuan beku dengan
adanya lereng yang kurang stabil, dimana pelapukan yang tinggi juga sangat
alam pada Daerah Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala
peta dasar skala 1:25.000, dan mengetahui analisis potensi bencana tanah longsor
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi daerah
geologi dan potensi bahan galiannya, serta mengetahui tinjauan potensi bahaya
penelitian yang berdasarkan aspek – aspek geologi dan terpetakan pada skala
4
struktur geologi, sejaran geologi dan bahan galian, serta dilakukannya penelitian
Mah, 2004.
I tahun 1988 (Cibinong, Bogor). Daerah penelitian mencakup luas wilayah kurang
darat dan laut, dari Makassar menuju ke Palu menggunakan bus yang ditempuh
sekitar kurang lebih 24 jam, dari Kota Palu menuju Kabupaten Donggala
menggunakan kendaraan darat roda empat maupun roda dua yang di tempuh
sekitar kurang lebih 4 jam, dari Kabupaten Donggala menuju Kecamatan Tovia
Hasanuddin.
pemetaan detail. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data lapangan secara
yang akan dilalui untuk mendapatkan data yang akurat dengan memanfaatkan
a. Pengamatan dan pengambilan data serta penentuan lokasi pada peta dasar
singkapan.
relief (bentuk puncak dan lembah, serta keadaan lereng), pelapukan (jenis
dan tingkat pelapukan), soil (warna, jenis dan tebal soil), sungai (jenis
sungai, arah aliran, bentuk penampang dan pola aliran sungai serta
penelitian, antara lain meliputi: kondisi fisik singkapan batuan yang diamati
dan pengambilan contoh batuan yang dapat mewakili tiap satuan untuk
analisis petrografi.
7
stratigrafi dan struktur geologi pada lintasan terbuka serta pengambilan sampel
1. Pengambilan data dengan cara pencatatan data lapangan, artinya semua data
kompas geologi.
geologi di lapangan, yaitu : penentuan titik pengamatan pada peta dasar skala
untuk analisa laboratorium, serta pengamatan bahan galian yang ada pada
daerah penelitian. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap jenis soil
serta vegetasi yang ada di sekitar singkapan. Setelah semua data dicatat dan
sketsa.
4. Pada tahap pengambilan data pada analisis potensi bencana tanah longsor
dilakukan dengan mengamati lereng pada ruas jalan yang terlihat rentan
lapangan.
1. Data Geomorfologi, meliputi pembuatan peta pola aliran dan tipe genetik
sungai.
2. Data Petrografi, meliputi pengamatan sayatan tipis dari contoh batuan yang
pembentuk struktur.
Data petrografi pada penelitian ini diambil 9 sampel dari ST4 mewakili
mencakup kegiatan-kegiatan analisa dan interpretasi dari data yang telah diolah
sebelumnya, yaitu :
bentangalam, pola aliran dan tipe genetik sungai serta interpretasi stadia
serta analisis umur dan lingkungan pengendapan dari kandungan fosil mikro
4. Analisa Struktur geologi, meliputi analisa data kedudukan batuan, data kekar
penelitian.
interpretasi peta topografi dalam penelitian ini untuk memperkuat data yang
didapatkan dilapangan.
tingkat pelapukan menurut Wyllie dan Mah (2004), tingkat pelapukan dibagi
struktur geologi, bahan galian, serta pola aliran dan tipe genetik sungai, serta
ilmiah secara deskriptif dari hasil pengolahan, analisis dan interpretasi yang
penelitian. Penyajian data dan hasil laporan berupa laporan pemetaan geologi
Universitas Hasanuddin.
12
Adapun alat dan bahan yang akan digunakan selama kegiatan penelitian ini
di bagi atas dua, yaitu yang akan digunakan di lapangan dan yang akan digunakan
• Kompas geologi
• Palu geologi
• Komparator
• Kamera digital
• Pita meter
• Kantung sampel
• Clipboard
• Ransel lapangan
• Roll meter
• Perlengkapan pribadi
14
Sedangkan alat dan bahan yang akan digunakan selama pengolahan data
• Tabel deskripsi
Rab Sukamto (1973), Peta geologi tinjau daerah Palu, Sulawesi Tengah
1:250000.
Sulawesi.
BAB II
GEOMORFOLOGI
pematang timur dan pematang barat, kedua-duanya berarah Utara- Selatan dan
terpisahkan oleh Lemba Palu. Pematang Barat di dekat Palu hingga lebih dari
200 meter tingginya, tetapi di Donggala menurun hingga muka air laut.
Pematang Timur dengan tinggi puncak dari 400 meter hingga 1900 meter, dan
tengah dan timur Lembar. Ketinggian lebih dari 600 m di atas muka laut,
barat. Sungai yang besar adalah S. Palu, S. Koro dan S. La. Pada umumnya
umum saliran di daerah ini berpola dendritik, sebagian berpola siku-siku dan
15
16
geomorfologi
sungai, tipe genetik dan stadia sungai pada daerah penelitian yang akhirnya dapat
interprestasi peta topografi, studi literatur yang mengacu pada konsep dasar
geomorfologi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli sehingga dapat dibuat
dan jenis batuan penyusun daerah tersebut, serta struktur geologi (Thornbury,
1969).
sebagai studi tentang bentuk lahan. Sedangkan menurut Van Zuidam (1985),
proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan
keruangannya. Dari beberapa definisi para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsi secara genetis bentuk lahan
17
dan proses – proses yang dipengaruhi oleh batuannya dan mencari korelasi
hubungan antara bentuk – bentuk lahan tersebut dengan proses – proses dalam
disebabkan oleh faktor tenaga asal dalam (endogen) dan tenaga asal luar
pelapukan (kimia, fisika, biologi), serta campur tangan manusia yang cenderung
didalamnya terdapat proses pelapukan, gerak massa dan erosi (Thornbury, 1969).
(elevasi) yang diukur dari permukaan laut. Dataran merupakan bentuk lahan
dengan dengan ketinggian 0-50 meter dan kemiringan lereng 0-2 % biasanya
digunakan untuk bentuklahan asal marin (laut), fluvial (sungai), delta, dan plato.
7-20 % biasanya digunakan terhadap bentuk lahan kubah intrusi, karst, dan
ketinggian lebih dari 500 meter yang biasanya digunakan untuk bentuk lahan
gunungapi atau bentuk lahan yang dipengaruhi oleh tektonik yang cukup kuat.
morfogenesa yaitu pendekatan berupa analisis yang didasarkan pada asal usul
dengan proses pembentukan yang dikontrol oleh proses eksogen, proses endogen
menonjol dari suatu bentanglahan, sehingga harus digambarkan dengan jelas dan
Tabel 2.1 Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik pada sistem ITC (Van
Zuidam, 1985)
No. Bentuk Asal Warna
1 Struktural Ungu
2 Vulkanik Merah
3 Denudasi Coklat
4 Marine Hijau
5 Fluvial Biru tua
6 Glasial Biru muda
7 Aeolian Kuning
8 Karst Orange
19
erosi dan mass wasting (gerakan tanah), gejala – gejala karst, kontrol struktur,
fluvial, marine, aeolian, vulkanik dan glasial. Proses denudasi adalah sekelompok
material dari permukaan bumi oleh berbagai proses erosi dan mass wasting.
membangun suatu lahan dan akhirnya akan megalami degradasi kembali. Dua
proses utama yang terjadi pada proses degradasi yaitu pelapukan (debris dan soil)
dan transportasi material hasil pelapukan oleh erosi dan gerakan tanah, sedangkan
pada agradasi dua proses utama yang terjadi yaitu akumulasi debris oleh erosi dan
akumulasi makhluk hidup seperti gambut dan tumbuhan coral (Van Zuidam,
1985).
of Geological Terms dalam Van Zuidam (1985), erosi adalah serangkaian proses
20
dimana material bumi atau batuan dipecahkan atau dilepaskan dan diangkut dari
beberapa bagian permukaan bumi . Menurut Van Zuidam (1985), erosi permukaan
pada proses denudasional dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu erosi splash,
erosi rill, erosi gully, erosi valley, erosi sheet dan erosi sungai.
Erosi jenis splash merupakan erosi oleh air hujan yang jatuh ke tanah dan
permukaan yang mengalir diatas permukaan tanah ini akan membentuk alur – alur
kecil dan relatif dangkal yang disebut sebagai erosi rill. Alur - alur ini biasanya
dimensinya dikontrol oleh ketahanan soil terhadap erosi (biasanya pada material
berukuran halus) serta biasanya terbentuk pada kemiringan lereng sekitar 18 o. Jika
rill ini mengalami perkembangan lebih lanjut dengan dimensi yang lebih besar
akan membentuk erosi gully (erosi parit). Gully adalah saluran – saluran erosi
yang dalam, dengan kedalaman berkisar dari 0,5 – 5 m dengan kemiringan lereng
berkisar antara 10o – 180.Kegiatan hasil erosi gully akan bertemu dan membentuk
erosi valley dengan kemiringan berkisar antara 5o – 15o. Ketika valley ini bertemu
pada kemiringan lebih kecil dari 5o, akan membentuk erosi sheet yang selanjutnya
bermuara pada suatu tempat mengalirnya air yang dikenal sebagai sungai.
atau tanah/soil (regolith) ke arah bawah lereng diatas lereng permukaan bumi
disebabkan oleh gravitasi / gaya berat (Varnes, 1978 dalam Van Zuidam 1985).
Agen geomorfologi tertentu antara lain air, es/gletser, angin dan gelombang akan
21
membantu beban gravitasi material memicu pergerakan tanah yang pada akhirnya
Selain itu juga terjadi Bentuk lahan aluvial, Bentuk lahan ini ditunjukkan
oleh bentuk penyebaran alluvial yang terbatas pada cekungan atau daerah yang
rendah, seperti pada bentuk penyebaran endapan rawa, delta, sungai lekuk – lekuk
bukit atau lembah dan lain – lain. Daerah ini terbentuk oleh pengendapan pada
zaman alluvium. Menurut Lobeck (1939) bentuk lahan hasil pekerjaan air yang
mengalir (erosi) dikelompokkan atas tiga golongan besar, yaitu : Bentuk - bentuk
hasil erosi (erosional form), lembah (valley), ngarai (canyon) dan spot holes.
Bentuk – bentuk sisa erosi (residual form); gunung, bukit, mesa, butte, needle,
teras – teras sungai. Bentuk – bentuk hasil pengendapan (depositional form and
morfogenesa yaitu bentuk asal atau proses geomorfologi yang mengontrol daerah
daerah penelitian, dengan luas sekitar 2,76 Km2. Penyebaran satuan ini
menempati bagian utara daerah penelitian, meliputi daerah tovia tambu dengan
(Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Kenampakan morfologi pedataran fluvial pada daerah tovia tambu, difoto
ke arah barat (N293oE).
Pada satuan ini banyak dikontrol oleh pengaruh erosi dari sungai dan
pelapukan secara fisika. Sungai pada satuan ini memiliki arus sedang,
Sungai yang mengalir pada satuan morfologi ini terdiri atas Sungai
Sidolupa. Jenis sungainya berupa Sungai periodik. Sungai periodik yaitu sungai
yang kandungan airnya tergantung musim, dimana pada musim hujan volume
dan debit airnya besar, sedangkan pada musim kemarau volume dan debit airnya
sungai pada satuan morfologi ini berupa insekuen dengan penampang sungainya
secara umum berbentuk “U”, pola salurannya umumnya lurus dan sebagian
pasir, kerikil, dan soil. Tata guna lahan dimanfaatkan sebagai lahan
parameter di atas maka stadia daerah satuan morfologi ini yaitu stadia dewasa.
dari seluruh daerah penelitian dengan luas 52,6 km2. Satuan geomorfologi ini
meliputi bagian barat hingga timur daerah penelitian yang mencakup daerah
Tovia Tambu, dan Tambu. Pada lampiran peta geomorfologi satuan ini ditandai
bentuk kontur yang agak rapat, dengan puncak tertinggi 465 meter diatas
karakteristik bentukan alam hasil dari proses-proses yang merubah bentuk muka
bumi. Adapun proses morfogenesa yang bekerja pada satuan geomorfologi ini
satuan geomorfologi ini berupa proses pelapukan, dan erosi. Jenis pelapukan
yang terjadi umumnya pelapukan kimia dan biologi dengan tingkat pelapukan
sedang hingga tinggi. Pelapukan kimia ditandai dengan adanya perubahan warna
pada litologi granit pada daerah penelitian. Perubahan warna pada batuan
disebabkan karena adanya perubahan komposisi kimia akibat oksidasi dan pada
akhirnya akan menjadi soil (Gambar 2.5). Pelapukan biologi terjadi oleh adanya
pertumbuhan akar dan batang tumbuhan melalui retakan pada batuan dan
Gambar 2.5 Residual soil dengan tebal ± 2 meter dan Pelapukan kimia
yang s menunjukkan perubahan warna pada litologi granit.
26
ditandai dengan ketebalan soil yang dijumpai yaitu ±2,2 meter dengan warna soil
coklat kemerahan dan jenis soil yang dijumpai adalah residual soil yang
terbentuk dari hasil lapukan batuan dibawahnya (Gambar 2.5). Jenis erosi yang
berkembang pada daerah penelitian berupa erosi alur (rill erosion) (Gambar 2.7).
Rill erosion adalah erosi yang berbentuk alur yang tidak lebih dari 50 cm dan
Proses gerakan tanah yang dapat dijumpai berupa debris slide atau
pada daerah lereng yang relatif terjal. Hal itu disesbabkan karena pada daerah
bertambahnya kemiringan lereng, maka kondisi tanah akan semakin tidak stabil,
Proses eksogen lebih banyak bekerja pada daerah penelitian yaitu berupa
Gambar 2.8 Kenampakan gerakan tanah berupa debris slide pada stasiun 5
s difoto arah N 349o E. (Thornbury, 1969)
dari seluruh daerah penelitian dengan luas 15,2 km2. Satuan geomorfologi ini
meliputi bagian selatan daerah penelitian yang mencakup daerah Tambu. Pada
lampiran peta geomorfologi satuan ini ditandai dengan warna coklat tua.
bentuk kontur yang agak rapat, dengan puncak tertinggi 878 meter diatas
karakteristik bentukan alam hasil dari proses-proses yang merubah bentuk muka
bumi. Adapun proses morfogenesa yang bekerja pada satuan geomorfologi ini
proses pelapukan, dan erosi. Jenis pelapukan yang terjadi umumnya pelapukan
kimia dan biologi dengan tingkat pelapukan sedang hingga tinggi. Pelapukan
kimia ditandai dengan adanya perubahan warna pada litologi genes pada daerah
pertumbuhan akar dan batang tumbuhan melalui retakan pada batuan dan
Proses eksogen lebih banyak bekerja pada daerah penelitian yaitu berupa
morfogenesa pada daerah penelitian maka proses yang mendominasi pada daerah
Gambar 2.11 Residual soil dengan tebal ± 2,2 meter dan Pelapukan
sssssssskimia yang menunjukkan perubahan warna pada litologi
ssssssssgenes.
2.2.2 Sungai
membentuk suatu pola dan jalur tertentu dipermukaan, dan mengikuti bagian
meliputi uraian tentang klasifikasi sungai, jenis pola aliran sungai, tipe genetik
berdasarkan aspek sifat aliran sungai, kandungan air pada tubuh sungai, maupun
struktur geologi dan tekntonik suatu daerah. Berdasarkan sifat alirannya sungai
dikelompokkan menjadi dua yaitu sungai internal dan sungai eksternal. Sungai
internal adalah sungai yang alirannya berasal dari bawah permukaan seperti
terdapat pada daerah karst, endapan eolian, atau gurun pasir ; Sedangakn sungai
eksternal adalah sungai yang alirannya berasal dari aliran air permukaan yang
membentuk sungai, danau, dan rawa. Berdasarkan sifat alirannya, maka aliran
sungai pada daerah penelitian termasuk dalam aliran eksternal, yaitu aliran air
tergantung pada musim, dimana pada musim hujan debit alirannya menjadi
c. Sungai episodik (ephermal), merupakan sungai yang hanya dialiri air pada
Berdasarkan debit air pada tubuh sungai (kuantitas air sungai), maka jenis
sungai pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi sungai periodik dan
Gambar 2.12 Jenis Sungai periodik pada sungai sidolupa dengan arah
Foto N66oE(Thornbury, 1969)
Gambar 2.13 Jenis Sungai episodik pada anak sungai maruri dengan arah
33
beberapa individu sungai yang saling berhubungan membentuk suatu pola dalam
setiap daerah. Pola aliran yang berkembang pada suatu daerah baik secara regional
maupun secara lokal dikontrol oleh jenis litologi, tingkat resistensi litologi, bentuk
awal morfologi setempat dan sruktur geologi yang berkaitan dengan genesa dan
dalam Van Zuidam (1985) dan hasil interpretasi peta topografi, maka pola aliran
sungai yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola aliran sub-paralel.
Pola aliran sub-paralel menunjukkan anak sungai yang cenderung sejajar atau
hampir sejajar.
34
35
dengan jurus perlapisan batuan. Pada daerah penelitian tipe genetik sungai ini
terdapat pada bagian utara timur laut daerah penelitian, yang dijumpai foliasi
Gambar 2.15 Singkapan genes dengan foliasi relatif searah dengan arah aliran sungai
yang menandakan tipe genetik subsekuen dengan arah foto N 240oE
(Thornbury,1969)
Gambar 2.16 Singkapan genes dengan dip foliasi relatif searah dengan arah aliran
sungai yang menandakan tipe genetik konsekuen dengan arah foto N 84
oE (Thornbury,1969)
Tipe genetik konsekuen memiliki arah aliran sungai relatif searah dengan
foliasi batuan. Pada daerah penelitian tipe genetik sungai ini terdapat pada
bagian timurlaut daerah penelitian, yang dijumpai foliasi genes yang searah
Tipe genetik insekuen memiliki arah aliran sungai tidak dipengaruhi oleh
kedudukan maupun foliasi batuan. Pada daerah penelitian tipe genetik sungai ini
Gambar 2.17 Singkapan genes yang memiliki aliran sungai yang tidak dipengaruhi
kedudukan batuan menunjukkan tipe genetik insekuen. (Thornbury,1969)
sungai, pola saluran sungai, jenis, tingkat erosi dan sedimentasi di sungai serta
sempit hingga lebar, dengan bentuk simetri. Pola salurannya relatif lurus –
menunjukan bahwa erosi secara lateral lebih cenderung dibanding dengan erosi
secara vertikal. dijumpai adanya proses pengendapan yang terjadi pada sekitar
sungai seperti flood plain, chanel bar dan point bar. Berdasarkan analisis
terhadap pola saluran, bentuk profil sungai dan tingkat erosi maka stadia sungai
Gambar 2.14 Kenampakan point bar dan flood plain pada sungai sidolupa
dengan arah foto N 338oE (Noor, 2012).
Gambar 2.15 Kenampakan chanel bar pada sungai pada perbukitan denudasional
dengan arah foto N 260oE (Hudson, 2017).
yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi dan pelapukan yang bekerja
pada suatu daerah mulai saat terangkatnya sampai terjadi perataan bentangalam
(Thornbury,1969).
40
proses deformasi, pelapukan, dan erosi yang terjadi di daerah tersebut. Perubahan
relief pedataran dan perbukitan, dengan kenampakan bentuk lembah “U” pada
dataran banjir, endapan sungai, dan tingkat pelapukan dengan ketebalan soil
antara 0,7 sampai 2.2 meter. Hasil sedimentasi di sekitar sungai umumnya lebih
didominasi oleh material berupa endapan pasir dan lempung yang merupakan
point bar dan channel bar. Kenampakan tersebut menunjukkan bahwa daerah
penelitian memiliki tingkat erosi yang relatif sedang sampai tinggi dimana dapat
bentuk melintang sungai dengan seimbangnya antara erosi lateral dan erosi
vertikal. Erosi vertikal mulai menurun dan erosi lateral mulai meningkat.
Struktur geologi yang terjadi pada daerah penelitian yaitu berupa kekar
dan sesar, dimana kontrol struktur geologi turut membantu dalam pembentukan
STRATIGRAFI
menarik ahli geologi untuk mempelajari daerah tersebut sejak abad ke-19
(misalnya Wallace, 1860, 1869; Sarasin dan Sarasin, 1901). Pulau Sulawesi
terletak dekat dengan pertemuan lempeng Eurasia, Australia, dan Pasifik atau
: Lokasi Pemetaan
Gambar 3.1 Peta Geologi Tinjau Lembar Palu (Sukamto dkk, 1973).
41
42
daerah yang di petakan adalah metamorf dan tersingkap hanya pada pematang
timur yang merupakan intinya. Kompleks itu terdiri dari Sekis Ampibolit, Sekis,
Geneis, dan, Pulam. Sekis terdapat banyak di Sisi Barat. Sedangkan Geneis
dan Pulam tedapat banyak di Sisi Timur. Tubuh-tubuh intrusi tak terpetakan,
Palezoikum.
Alluvium dan Endapan Pantai (Qal), berupa kerikil, pasir, lumpur dan
batu gamping koral terbentuk dalam lingkup sungai, delta dan laut
dangkal merupakan sedimen di daerah ini. Endapan itu boleh jadi seluruhnya
dari Diorit, Diorit Porfiry dan Granodiorit menerobos Formasi Tonombo. Yakni
sebelum endapan Molasa, dan tersebar luas diseluruh daerah. Semuanya tak
Kalium/Argon telah dilakukan contoh oleh Gulf Oil Company terhadap dua
contoh Granodiorit didaerah ini. Intrusi yang tersingkap diantara Palu dan
Donggala memberikan penanggalan 31.0 juta tahun pada analisa kadar K/Ar
dari Feldspar. Yang lainnya adalah suatu intrusi yang tidak dipetakan terletak
memberikan penanggalan 8,6 juta tahun pada analisa K/Ar dari biotit. (Sukamto
dkk, 1973).
didasarkan atas litostratigrafi tidak resmi yang bersendikan pada ciri fisik yang
Indonesia, 1996).
penelitian diurutkan dari yang paling muda hingga paling tua terdiri atas:
1. Satuan Aluvial
2. Satuan Andesit
3. Satuan Granit
4. Satuan Genes
Uraian mengenai satuan batuan akan dibahas dari yang paling tua hingga
yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada satuan
batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara
lapangan terhadap sifat fisik dan komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata
Satuan ini memiliki luas sekitar 19,7 km2 atau menempati sekitar 28,9%
dari keseluruhan luas daerah penelitian. Satuan ini tersingkap pada bagian timur
daerah penelitian yaitu Daerah Tambu hingga Daerah Kasimbar. Batuan berarah
berdasarkan penampang geologi C-D sehingga diperoleh tebal satuan yaitu 453
m.
Litologi yang menyusun satuan ini yaitu genes. Secara megaskopis, genes
pada daerah penelitian menampakkan ciri fisik dalam keadaan lapuk berwarna
bentuk mineral granular. komposisi mineral yaitu kuarsa, ortoklas, muskovit, dan
(Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Foto singkapan genes pada stasiun 72 dengan arah pengambilan foto N 53
O
E
petrografis genes pada sayatan ST 72, yang memperlihatkan kuarsa 40%, ortoklas
Gambar 3.3 Kenampakan petrografis genes pada sayatan ST 72, yang memperlihatkan
kuarsa 40% (qtz), ortoklas 20% (ort), muskovit 10% (ms), biotit 20% (bt),
mineral opaq 10%.
Penentuan umur pada satuan ini ditentukan berdasarkan pada ciri fisik
litologi dan posisi stratigrafi yang disebandingkan dengan umur batuan pada
Metamorf (km), terdiri dari sekis amfibolit, sekis mika, genes, dan pualam
geografis maka satuan genes pada daerah penelitian dapat disebandingkan dengan
Hubungan stratigrafi satuan genes dengan satuan yang lebih muda yaitu
kontak ketidakselarasan dengan satuan granit. Sedangkan batuan yang lebih tua
yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada satuan
batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
megaskopis yang ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan
komposisi mineral yang dapat diamati secara langsung. Selain itu, untuk
mengetahui jenis mineral dan persentase kandungan mineral yang terdapat dalam
batuan secara lebih spesifik, dilakukan analisis petrografi. Adapun pada analisis
Satuan ini memiliki luas sekitar 45,36 km2 atau menempati sekitar 66,6%
dari keseluruhan luas daerah penelitian. satuan ini tersingkap pada daerah barat
48
daya hingga timur laut daerah tovia tambu. dilakukan perhitungan ketebalan
berdasarkan penampang geologi C-D sehingga diperoleh tebal satuan yaitu 559
m.
Litologi yang menyusun satuan ini yaitu granit Secara megaskopis, granit
pada daerah penelitian menampakkan ciri fisik dalam keadaan lapuk berwarna
Gambar 3.4 Foto singkapan granit pada stasiun 80 dengan arah pengambilan foto
N 88 OE
49
mineral terdiri dari kuarsa 40% (qtz), biotit 5% (bt), ortoklas 30% (or), plagioklas
20% (pl) dan mineral opaq 5% (opaq). Berdasarkan klasifikasi Travis (1955)
Penentuan umur pada satuan ini ditentukan berdasarkan pada ciri fisik
litologi dan posisi stratigrafi yang disebandingkan dengan umur batuan pada
50
feldspar, posisi stratigrafinya serta letak geografis maka satuan granit pada daerah
granit berada pada kerak benua karena granit termasuk dalam batuan beku
Hubungan stratigrafi satuan granit dengan satuan yang lebih tua yaitu
yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada satuan
batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
51
megaskopis yang ditentukan secara langsung di lapangan terhadap sifat fisik dan
komposisi mineral yang dapat diamati secara langsung. Selain itu, untuk
mengetahui jenis mineral dan persentase kandungan mineral yang terdapat dalam
batuan secara lebih spesifik, dilakukan analisis petrografi. Adapun pada analisis
Satuan ini memiliki luas sekitar 4.3 km2 atau menempati sekitar 0.63%
dari keseluruhan luas daerah penelitian. Satuan ini tersingkap pada bagian utara
hingga daerah penelitian yaitu desa tovia tambu. Berdasarkan data topografi,
terendah yang termasuk ke batas satuan andesit sehingga diperoleh tebal satuan
andesit pada daerah penelitian menampakkan ciri fisik dalam keadaan lapuk
berwarna coklat, sedangkan dalam keadaan segar batuan berwarna putih kebua-
Gambar 3.6 Foto singkapan andesit pada stasiun 4 dengan arah pengambilan foto N
47OE
53
warna interferensi putih kehitaman. terdiri dari kuarsa 8% (qtz), plagioklas 40%
(pl), piroksin 10% (px), ortoklas (ort), mineral opaq 2%, dan massa dasar 30%
(md). Berdasarkan klasifikasi Travis (1955) maka sampel ini dinamakan Andesit
(Gambar 3.7).
kuarsa, plagioklas, ortoklas, mineral opaq dan massa dasar gelas. serta struktur
stratigrafi serta letak geografis yang disebandingkan dengan umur batuan pada
1973)
Hubungan stratigrafi satuan andesit dengan satuan yang lebih muda yaitu
kontak ketidak selarasan dengan satuan aluvial, sedangkan batuan yang lebih tua
mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang mencakup
resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada
satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini berdasarkan dominasi material
lempung sampai bongkah yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Secara umum
berasal dari pengendapan material hasil transportasi aliran sungai pada sungai
penelitian atau sekitar 4.36 Km2. Satuan ini tersebar pada bagian utara daerah
Secara umum material penyusun satuan ini terdiri atas lempung, pasir dan
bongkah batuan yang berwarna abu-abu sampai coklat yang berasal dari batuan
Yang dapat disebandingkan dengan Alluvium dan Endapan Pantai (Qal) yang
pengendapan darat yang dihasilkan oleh endapan hasil erosi yang kemudian
tertransportasi oleh aliran sungai dan melalui proses sedimentasi di daerah sungai
sungai sidolupa. Satuan ini tebentuk pada Kala Holosen yang berlangsung hingga
yang
berupa sesar mendatar sinistral dan sesar naik. Sesar Palu–Koro memotong
Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus ke bagian utara hingga ke Palung
Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di Laut Sulawesi. Jalur Sesar
Palu – Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan pergeseran lebih dari 750
km, arah gerak sesuai dengan jalur Sesar Matano dan jalur Sesar Sorong. Sesar
Sadang yang terletak di bagian barat dan sejajar dengan Sesar Palu berada pada
Masupu yang sistemnya dikontrol oleh sesar mendatar (Hamilton, 1979). Sesar
arah dengan Sesar Palu – Koro dan pola sesar sungkupnya memperlihatkan arah
kelanjutan dari Sesar Palu ke arah timur yang kemudian berlanjut dengan prisma
58
59
Bone dan Sulawesi Tenggara. Sesar ini kemungkinan berperan dalam pembukaan
Teluk Bone, seperti pembukaan yang terjadi di daratan Sulawesi Tenggara yang
metamorf Sulawesi Tengah. Sesar naik Batui terletak pada bagian timur lengan
Timur Sulawesi, merupakan hasil dari tumbukan platform Banggai – Sula dengan
atau barat – timur, serta ada pula yang berarah hampir sama dengan lipatan tua.
Perdaunan atau foliasi juga umumnya berkembang baik dalam satuan batuan
tempat perdaunan terlipat dan pada jalur sesar mengalami gejala kink banding. 10
Belahan umumnya berupa belahan bidang sumbu dan di beberapa tempat berupa
batupasir malih dan batugamping malih. Secara umum bidang belahan berarah
sejajar atau hampir sejajar dengan bidang perlapisan; oleh karenanya belahan ini
digolongkan sebagai berjajar bidang sumbu. Kekar dijumpai hampir pada semua
batuan, terutama batuan beku (Kompleks Ultramafik dan Mafik), batuan sedimen
Secara fisiografi daerah Palu terdiri dari pematang timur dan pematang
Pematang barat di dekat Palu hingga lebih dari 2000 meter tingginya, tetapi di
Donggala menurun hingga muka laut. Pematang timur dengan tinggi puncak dari
Tengah dengan lengan utara Struktur daerah ini didominasi oleh lajur sesar Palu
yang berarah utara baratlaut. Bentuknya yang sekarang ialah menyerupai terhan
yang dibatasi oleh sesar sesar hidup, diantaranya yang bermata air panas di
yang setengah sejajar dengan arah lajur Palu serdapat di pematang timur. Banyak
sesar dan kelurusan lainnya yang kurang penting lebih kurang tegak lurus pada
menunjukkan akan sifat pemampatan pada beberapa diantaranya sesar yang lebih
tua. Sesar termuda yang tercatat terjadi pada tahun 1968 didekat Tambo, timbul
setelah ada gempabumi, berupa sesar normal berarah baratlaut yang permukaan
tanahnya turun 5 meter. Pada bagian yang menurun, daerah pantai seluas kira-kira
jenis struktur yang dijumpai, umur dari struktur tersebut yang berhubungan
struktur geologi didasarkan pada data yang diperoleh berupa data yang bersifat
primer maupun sekunder dan interpretasi pada peta topografi daerah penelitian.
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan interprestasi pola kontur pada peta
1. Struktur Kekar
2. Struktur Sesar.
membelah batuan dan belum nampak pergerakan parallel terhadap bidang atau
merupakan susunan kekar, sepanjang belum atau telah terjadi sedikit pergerakan.
63
menyebabkannya, yaitu tegasan dan keretakan (stress dan strain) dibagi menjadi
1. Kekar gerus (shear joint/ compression joint), kekar yang terjadi akibat
takanan/kopresi.
2. Kekar tarik (tension joint), kekar yang terbentuk akibat tarikan. Disebut
3. Kekar hybrid (hybrid joint), merupakan campuran dari kedua kekar di atas,
Gambar 4.2 Tipe bentuk kekar : (a) Dilational Joint (Extension Joint), (b) Shear Joint,
(c) hybrid joint (McClay, 1987)
Jika kekar pada bidang planar dan membentuk set yang parallel hingga
hinggapuluhan bahkan ratusan meter dikatakan sebagai master joint. Kekar yang
ukurannya lebih kecil namun tetap mudah diamati dikatakan sebagai major joint.
Adapun kekar dengan ukuran lebih halus akan diamati di bawah mikroskop
(McClay, 1987).
64
kutubnya pada proeyeksi streografis. Arah dari σ3 merupakan kutub dari bidang
kekar ini dan sumbu σl dan σ2 berada di dalamnya. Jika extension joints dijumpai
sendirian, maka tidak dapat ditentukan orientasi dari σ l dan σ2 Shear joints
umumnya membntuk susunan atau sistem conjugate dengan sudut perpotongan (a)
lebih besar dari 60°. Jika diplot pada proyeksi stereografis, garis perpotongan dari
sistematis. Data kekar pada daerah penelitian di ukur pada stasiun 17, 24 dengan
litologi granit dan litologi andesit pada stasiun 4 sebagaimana di cantumkan pada
Tabel 4.1, Tabel 4.2, dan Tabel 4.3. Pengolahan data kekar dilakukan dengan
32 315 71
33 261 72
Dari hasil pengolahan data kekar pada litologi granit dengan menggunakan
tegasan utama (σ2) N 12OE/62 O, dan tegasan utama minimum (σ3) N 164OE/26O
(Gambar 4.5)
σ2
σ1
σ3
Gambar 4.4 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net); (b)
Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minumum
67
Gambar 4.5 Sistem Kekar memiliki kecendrungan non sistematis dari singkapan granit
pada stasiun 24 dengan arah pengambilan foto N 324OE
Dari hasil pengolahan data kekar pada litologi granit dengan menggunakan
tegasan utama (σ2) N 327/12 OE, dan tegasan utama minimum (σ3) N 71/46 OE
Gambar 4.6 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt
Net); (b) Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan
tegasan maksimum, tegasan menengah, tegasan minumum
Gambar 4.7 Sistem Kekar memiliki kecendrungan sistematis dari singkapan andesit
pada stasiun 4 dengan arah pengambilan foto N 313OE
7 168 21
8 162 34
9 162 34
10 152 47
11 321 4
12 302 52
13 302 52
14 302 52
15 302 52
16 332 79
17 333 88
18 333 88
19 333 88
20 333 88
21 312 74
22 330 74
23 5 90
24 327 90
25 312 46
26 343 90
27 285 32
28 150 51
29 142 90
30 354 82
31 318 7
32 318 84
33 318 84
N 261/31 OE, tegasan utama (σ2) N 167/8 OE, dan tegasan utama minimum (σ3)
Gambar 4.8 Pengolahan data kekar : (a) Plot data kekar pada streonet (Schmidt Net); (b)
Pola kontur berdasarkan frekuensi kekar; (c) Kenampakan tegasan
maksimum, tegasan menengah, tegasan minimum
4.2.2 Sesar
Menurut Van der Pluijm, 2004, sesar adalah setiap permukaan atau zona
menurut Asikin (1979), sesar atau fault merupakan rekahan pada batuan yang
struktur sesar terbagi atas tiga bagian menurut Billings, 1968 yaitu :
1. Sesar naik, merupakan sesar yang “hanging wall”nya relatif bergerak naik dan
2. Sesar normal, merupakan sesar yang “hanging wall”nya relatif bergerak turun,
3. Sesar geser, merupakan sesar dimana kedua blok yang patah bergerak secara
mendatar, diakibatkan oleh gaya kompresi, terbagi atas sesar geser menganan
Sedangkan berdasarkan gaya-gaya tekan pada suatu sesar (Anderson, 1951 dalam
horizontal. Dalam hal ini bidang sesar adalah vertikal dan arah pergerakannya
adalah horizontal.
Sesar Naik (reverse fault), 3 adalah vertikal dan 1 dan 2 adalah horizontal.
Kemiringan dari bidang sesar adalah kurang dari 45° sampai horizontal.
struktur sesar juga harus tetap mengacu terhadap setting tektonik regional yang
topografi dapat dikenali seperti dengan adanya pelurusan sungai, kelokan sungai
ataupun data sekunder serta korelasi terhadap tektonik regional maka sesar yang
pembahasan maka sesar ini diberi nama belakang berdasarkan nama geografis
gejala sesar yang terdapat pada daerah tersebut. Gejala ini berupa gejala primer
dan gejala sekunder. Gejala primer merupakan bukti keterdapatan sesar pada suatu
daerah, dimana terbentuk oleh pengaruh langsung dari sesar itu sendiri.
daerah, akan tetapi bukan terbentuk dari pengaruh langsung dari sesar tersebut.
gangguan tektonik berantai yang aktif, proses geomorfologi, medan dan vegetasi
gawir sesar atau bidang sesar; b) breksiasi, gouge, milonit, ; c) deretan mata air; d)
gejala struktur minor seperti: cermin sesar, gores garis, lipatan dsb (Noor, 2010).
adanya pergeseran aliran sungai (bentuk sungai membelok tiba-tiba melalui jalur
Sesar Maruri yang bekerja pada daerah penelitian memanjang dari arah
utara hingga baratdaya. Sesar ini memliki sifat mengiri (sinistral), jalur sesar ini
melewati daerah sungai kuala maruri, Sesar ini memotong satuan granit dan
satuan aluvial. Adapun Indikasi sesar yang dijumpai pada zona sesar dan daerah
3. Hasil analisis data kekar stasiun stasiun 17 dan 24 pada litologi granit.
74
Gambar 4.9 Kenampakan kelurusan topografi yang signifikan pada daerah Kuala
Maruri
Gambar 4.10 Foto mata air pada stasiun 46 dengan arah pengambilan foto
N 100 OE
75
Gambar 4.11 Foto Breksi Sesar pada stasiun 15 dengan arah pengambilan foto
N 230OE
sebagai berikut:
dengan arah umum tegasan utama maksimum relatif ke arah utara – selatan
penelitian dari keadaan semula. Gaya tersebut terus bekerja sehingga batas
dari posisi awalnya dan merubah batuan yang ada pada daerah penelitian, gaya ini
Gambar 4.13 Mekanisme dan urutan perkembangan Struktur Geologi pada daerah
penelitian.
relatif melalui pendekatan umur dari satuan batuan termuda yang dilewati.
Struktur sesar geser Maruri melewati satuan aluvial sehingga dapat disimpulkan
bahwa umur relatif dari sesar geser Maruri yaitu Kala Holosen,
BAB V
SEJARAH GEOLOGI
Sejarah geologi daerah penelitian tidak lepas dari proses tektonik regional
palu yang berlangsung pada zaman itu, dimana daerah penelitian merupakan
wilayah tektonik yang sangat kompleks yang terdiri dari tiga lempeng utama telah
berinteraksi dari Mesozoikum hingga saat ini. Sulawesi yang sebelumnya Celebes
yang terdiri dari empat semenanjung sempit yang dikelilingi oleh teluk yang
dalam.
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada zaman trias atas, terjadi
aktivitas tektonik yang menyebabkan proses pemalihan batuan oleh tekanan dan
suhu yang tinggi terhadap batuan pada kerak benua sehingga membentuk satuan
pada kala oligosen atas terjadi intrusi magma bersifat asam yang kemudian
masih pada kala yang sama yaitu kala oligosen atas, terjadi aktifitas
sedimentasi, erosi dan pelapukan pada selang waktu yang relatif lama, hingga
78
79
hingga bongkah membentuk satuan aluvial. Proses ini masih terus berlangsung
daerah penelitian.
BAB VI
BAHAN GALIAN
Bahan galian adalah segala jenis bahan yang terdapat di alam, baik yang
berbentuk padat, cair dan gas, dengan kandungan mineral dan unsur kimia tertentu
teknologi yang tersedia. Berdasarkan keterjadian dan sifatnya bahan galian dapat
dibagi menadi tiga kelompok : mineral logam, mineral industri serta batubara dan
gambut.
ayat, yaitu :
b. Pertambangan batubara.
digolongkan atas :
d. Pertambangan batuan.
80
81
asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay,
gabro, peridotit, basal, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu
terkersikan
e. gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil
galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa
pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan
dan
6.2.1 Granit
penyebaran, jumlah atau volume serta mutu bahan galian tersebut. Bahan
galian berupa granit terdapat pada bagian barat daerah penelitian yaitu
yang cukup tinggi. Sebagai contoh di daerah ini memiliki potensi Bahan
galian batuan yang belum diolah sama sekali berupa granit. Granit dapat
84
ornament pelapis dinding bangunan dengan nilai jual yang cukup tinggi,
oleh sebab itu potensi ini sangat menjanjikan untuk dikembangkan. (Gambar
6.1)
Potensi bahan galian barupa pasir dan batu pada daerah penelitian
dijumpai pada daerah sepanjang aliran Binangga Sidulupa. Bahan galian ini
trasnportasi untuk pengangkutan hasil tambang. Bahan galian sirtu ini dapat
Gambar 6.2 Kenampakkan indikasi bahan galian sirtu (pasir dan batu) pada
Binagga Sidolupa dengan arah foto N 189oE.
86
87
BAB VII
terhadap bidang horizontal disebut sebagai lereng (slope). Menurut Wyllie dan
Mah (2004), lereng merupakan bagian dari permukaan bumi yang berbentuk
miring. Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan
lereng buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya dijumpai
pada perbukitan. Sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia yang biasanya
untuk keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, tanggul untuk jalan kereta
Gerakan tanah mencakup gerak rayapan dan aliran maupun longsoran. Menurut
Varnes (1978 dalam Zakaria 2009), gerakan tanah adalah (mass movement)
adalah gerakan perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas atau
perpindahan massa tanah maupun batuan pada arah tegak, mendatar atau miring
tanah, jenisnya terdiri atas jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide),
88
nendatan (slump), aliran (flow), gerak horisontal atau bentangan lateral (lateral
1. Jatuhan (fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara,
dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain.
oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati
ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi dua jenis. Disebut luncuran
2009).
91
Gambar 7.3 (a) Longsoran translasi dan (b) longsoran rotasi (USGS. 2004)
setelah longsor terjadi. Material yang terlibat antara lain lempung (quick
clay) atau pasir yang mengalami luncuran akibat gempa (Van Asch, 1997)
92
diketahui (Tabel 7.2). Rayapan (creep) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan rayapan melaju yang
atau kadar air tanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang
Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering adalah sand run (larian pasir),
aliran fragmen batu, aliran loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah
adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran
alam, tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol atau
diberikan dengan melihatnya dari bagian atas lereng atau di mahkota. Tatanama
tersebut secara sederhana dapat diuraikan (Gambar 7.8) yang mengacu pada
Mahkota (crown), material yang tidak bergerak dan letaknya di atas lereng
Rekahan mahkota (crown crack), rekahan yang terdapat pada bagian atas
tanah.
Lereng curam utama (main scrap), permukaan yang terjal pada tanah yang
tidak terganggu pada bagian atas tubuh longsoran yang disebabkan oleh
Kepala (head), bagian paling atas dari tubuh longsoran yang merupakan
pada bagian dasar dari material yang bergerak pada tubuh longsoran.
Tubuh utama (main body), bagian dari material lepas longsoran yang
Lereng curam tambahan (mirror scarp), lereng curam pada material yang
longsoran.
Kaki (foot), bagian dari longsoran yang melebihi atau melewati toe of
Ujung (toe), bagian paling bawah, terbentuk akibat material longsoran dan
lereng terdiri atas sifat fisik dan mekanik batuan/tanah tersebut. Sifat fisik
batuan/tanah yang digunakan dalam analisis kestabilan lereng adalah bobot isi,
sedangkan sifat mekaniknya adalah kuat geser batuan yang dinyatakan dengan
dinyatakan dalam satuan berat per satuan luas. Kohesi batuan akan semakin besar
jika kekuatan gesernya makin besar. Sudut geser dalam merupakan sudut yang
terbentuk dari hubungan tegangan normal dan tegangan geser di dalam material
97
batuan. Semakin besar sudut geser dalam suatu material, maka material tersebut
akan lebih tahan menerima tegangan luar yang dikenakan (Saputra, 2019).
bidang- bidang sesar, perlapisan dan rekahan. Struktur batuan tersebut merupakan
air, sehingga batuan lebih mudah longsor. Jika orientasi umum bidang-bidang
lemah tersebut searah dengan arah lereng dan kemiringan bidang lemah lebih
pengaruh langsung yang lebih besar terhadap stabilitas lereng, sebaliknya jika
arah dan kemiringan bidang lereng berlawanan maka struktur bidang lemah
adalah adanya pengaruh tekanan air yang berbeda pada saat rekahan ditarik.
Selain adanya rembesan air pada bidang ketidakmenerusan tersebut, rekahan tarik
juga akan terisi oleh material pengisi yang dapat memisahkan dua sisi batuan,
batuan tersebut akan memiliki kuat geser yang kecil untuk menahan potensi
menentukan arah dan jenis longsoran yang terjadi pada massa batuan tersebut.
Bila jenis longsoran diketahui, maka lebih mudah untuk menentukan geometri
yang mantap dengan melakukan analisa kestabilan lereng (Kasim dkk, 2019).
98
Geometri lereng adalah tinggi (h) dan kemiringan lereng (α), baik itu
secara individu (single slope) maupun secara keseluruhan (overall slope). Suatu
lereng disebut lereng individu apabila dibentuk oleh satu jenjang saja, dan disebut
untuk jenjang pada lereng keseluruhan diperoleh dengan menarik garis dari batas
bawah (toe) jenjang terbawah ke batas atas (crest) jenjang teratas menurut Hoek
Lereng yang terlalu tinggi menjadi tidak mantap dan cenderung mudah longsor
dibandingkan lereng yang tidak terlalu tinggi bila susunan batuannya sama.
Demikian juga sudut kemiringan lereng, lereng akan menjadi kurang mantap jika
kemiringannya besar.
lereng tersebut karena berat lereng yang harus ditahan oleh kekuatan geser
Gambar 7.11 Penampang lereng individu (a) dan penampang lereng total (b) (Hoek &
Bray, 1981)
yang bersangkutan akan memberikan tambahan beban yang besar pada lereng.
Selain itu juga, kondisi material yang jenuh dengan air tanah akan mengalami
penurunan kekuatan geser akibat adanya tekanan air pori di dalam tubuh material
tersebut.
Penambahan air tanah pada pori-pori tanah atau batuan akan memperbesar
mengakibatkan terjadinya longsor. Kondisi air tanah yang dimaksud disini adalah
ketinggian level air tanah yang berada di bawah permukaan lereng. Pengaruh air
tanah terhadap kestabilan lereng yaitu adanya tekanan ke atas dari air pada
permukaan longsor yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari tanah yang
faktor aman dari bidang longsor yang potensial, yaitu dengan menghitung
dibandingkan. Dari perbandingan yang ada didapat nilai Faktor Keamanan yang
2014).
Analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu cara pengamatan visual, cara komputasi dan
(Batlitbang Dan Pekerjaan Umum, 1986). Cara ini kurang teliti, tergantung
dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor
utama gerakan tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi; (a) tak
dengan waktu) atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi
101
(Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini
perubahan dan penguraian batuan dan tanah pada atau di dekat permukaan bumi
secara fisik, kimiawi, dan biologi menjadi lempung, oksida besi, dan hasil
bagian yang kecil yang lebih halus. Mekanisme dari proses pelapukan
(bioturbation), termasuk didalamnya aksi dari berbagai jenis asam yang ada
kimiawi.
103
Tabel 7.3 Klasifikasi tingkat pelapukan batuan (Wyllie dan Mah, 2004)
tingkat, dari batuan segar (unweathered) hingga tanah residu. Kelas pelapukan
Menurut Azikin (2015 dalam Azikin 2020), salah satu faktor penyebab
pelapukan maka semakin banyak mineral pembentuk batuan yang hancur dan jika
terjadi di suatu daerah lereng maka daerah tersebut akan rawan longsor.
104
kompas, dan GPS untuk mengetahui panjang lereng, sudut lereng, dan elevasi
berikut:
1. Stasiun 3
Poros Desa Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil
atau tanah yang dijumpai pada stasiun 3 merupakan hasil dari pelapukan
Gambar 7.15 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)
105
2. Stasiun 4
Poros Desa Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil
atau tanah yang dijumpai pada stasiun 4 merupakan hasil dari pelapukan
Gambar 7.16 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)
3. Stasiun 16
Desa Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil atau
tanah yang dijumpai pada stasiun 4 merupakan hasil dari pelapukan batuan
Gambar 7.17 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)
4. Stasiun 80
Desa Tovia Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil atau
tanah yang dijumpai pada stasiun 4 merupakan hasil dari pelapukan batuan
Gambar 7.18 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)
5. Stasiun 81
Desa Tambu Kecamatan Tovia Tambu Kabupaten Donggala. Soil atau tanah
107
yang dijumpai pada stasiun 4 merupakan hasil dari pelapukan batuan granit.
Gambar 7.19 Kenampakan lereng di lapangan dan bentuk 2 dimensi (AutoCAD 2021)
sebagai berikut.
salah satu hal yang perlu diperhatikan. Selain faktor geometri lereng, faktor
litologi khususnya pelapukan merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi
108
kestabilan lereng. Pelapukan dapat menyebabkan mineral pada batuan hancur dan
jika hal itu terjadi pada lereng maka akan rentan terjadi longsor.
7.5)
Tabel 7.5 Tingkat pelapukan daerah penelitian berdasarkan klasifikasi tingkat perlapukan
(Wyllie dan Mah,2004)
Tingkat Pelapukan
Batuan Agak Lapuk Lapuk Lapuk
Stasiun Tanah
Segar Lapu Sedang Tinggi Sempurna
Residu (VI)
(I) k (II) (III) (IV) (V)
ST. 3 √ √
ST. 4 √ √
ST. 16 √ √
ST. 80 √ √
ST. 81 √
Dari hasil pengamatan yang dimuat pada tabel 7.5 diketahui bahwa tingkat
Wyllie dan Mah (2004) digolongkan menjadi dua tingkat, yaitu lapuk sempurna
sempurna. Hal ini dicirikan dengan seluruh massa batuan berubah menjadi tanah
oleh dekomposisi kimia atau disintegrasi fisik. Struktur massa asli sebagian masih
utuh dan masih dijumpai sedikit agregat berukuran kerikil. Sedangkan pada
stasiun 81 memiliki tingkat pelapukan sedang. Hal ini dicirikan dengan kurang
tanah. Agregat mengalami perubahan warna yang jauh lebih kontras hingga
diketahui bahwa lokasi penelian memiliki tingkat pelapukan yang sangat tinggi.
1. Jenis batuan
2. Topografi
Suatu tubuh batuan akan cepat mengalami pelapukan jika berada pada
topografi yang miring ataupun curam. Hal ini disebabkan karena pelapukan
pada topografi yang miring akan mudah tercuci oleh aliran air permukaan yang
senyawa pelapuk. Beda halnya dengan topografi yang relatif datar, karena
3. Iklim
yang cukup tinggi. Mengingat curah hujan adalah salah satu faktor yang
terjadinya curah hujan yang relatif tinggi. Melalui media air hujan batuan akan
penelitian yang berada pada Desa Tovia Tambu, Kecamatan Tovia Tambu,
tinggi, sehingga daerah penelitian disimpulkan sebagai daerah rawan longsor, jika
terjadi longsor, maka jenis longsor yang terjadi adalah longsoran debris slide.
111
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
konsekuen dan insekuen. Pola aliran yang berkembang ialah sub paralel.
terbagi menjadi satuan genes, satuan intrusi granit, satuan intrusi andesit, dan
satuan aluvial.
3. Struktur geologi pada daerah penelitian ialah kekar dengan jenis kekar
potensi bahan galian pada daerah penelitian termasuk dalam bahan galian non
logam dan batuan, yakni granit & pasir dan batu (Sirtu).
112
terjadinya curah hujan yang relatif tinggi. Melalui media air hujan batuan
8.2 Saran
Ditinjau dari kesampaian daerah penelitian yang cukup sulit dan akses
jalan yang sering terputus akibat karena rentannya pada lokasi terjadi longsor
khususnya pada daerah Tovia Tambu yang merupakan daerah padat penduduk.
setempat untuk mengkaji lebih lanjut potensi dari lokasi-lokasi bahan galian yang
belum dimanfaatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bowles JE. 1989. Sifat sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Hainim JK, editor.
Jakarta (ID). Erlangga
Batlitbang Dan Pekerjaan Umum. 1986. Petunjuk Penyelidikan &
Penanggulangan Gerakan Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pengairan, Balitbang Departemen Pekerjaan Umum
Badan Informasi Geospasial. 2013. Peta Rupa Bumi Lembar Tompe 2015-64
Edisi 1. Pusat promosi dan kerja sama, Bogor.
Billings, M. P., 1968. Structural Geology, Second edition, Prentice of India
Private Limited, New Delhi.
Brouwer, H. A., 1934. Geologische onderzoekingen op het eiland Celebes, Verb.
Geol. Mijnb. Gen. Ned. & Kol.Geol. Serie 10, Blz. 39-171
Fleuty, M.J. 1964. The description of folds, Geologist Association, London
Fossen, H., 2010. Structural Geology. Cambridge University press.
Hall, R. & Robert, , 2018, Late Cenozoic palaeogeography of Sulawesi, Indonesia
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region: U.S. Geological Survey
Professional Paper 1078, 345 p.
Hennig, J., Hall, R., Armstrong, R.A., 2014. U-Pb zircon geochronology of rocks
from west Central Sulawesi, Indonesia: Extension-related metamorphism
and magmatism during the early stages of mountain building. Journal of
Asian Earth Sciences, Austalia.
113
114
Saputra, R dan Heriyadi, B. 2019. Analisis Klasifikasi Massa Batuan dan Potensi
Longsor Pada Area Pit Timur Tambang Terbuka PT. Allied Indo Coal
Jaya, Kota Sawalunto, Sumatera Barat. Jurnal Bina Tambang. 4(3)
Sukamto, R., Sumadirdja, H., Suptandar, T., Hardjoprawiro, S. and Sudana, D.,
1973. Peta geologi tinjau daerah Palu, Sulawesi Tengah
(Reconnaissance geologic map of Palu area, Central Sulawesi; scale
1:250000). Direktorat Geologi (GSI), Bandung.
Turangan, V. 2014. Analisis Kestabilan Lereng Metode Fellenius. Jurnal Sipil
Statistik. 2(1): 37-46
Van Asch and Buma. 1997. Modelling Groundwater Fluctuations and The
Frequency of Movement of a Landslide in The Terres Noires Region of
Barcelonnette. Earth Surface Processes and Landform. 22: 131-141
Van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia Vol IA: The General
Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Government Printing
Office, The Hague.
Van der Pluijm. 2004. Earth Structure:an introduction to structural geology and
tectonics.W.W.Norton & Company Ltd.London
Van Leeuwen, Theo M, Muhardjo. 2003. Stratigraphy and tectonic setting of the
Cretaceous and Paleogene volcanic-sedimentary successions in
northwest Sulawesi, Indonesia: implications for the Cenozoic evolution
of Western and Northern Sulawesi, Journal of Asian Earth Sciences,
Jakarta.
Van Leeuwen, Charlotte, Marlina, Hans, Palin, M., Hennig, J. 2015. The Palu
Metamorphic Complex, NW Sulawesi, Indonesia: Origin and evolution
116
Varnes, D.J. 1978. Slope Movement Type and Processes in Landslide Analysis
and Control. Transportation Research Board, National Academy of
Science, Wasington