Anda di halaman 1dari 78

TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI ZONA KERENTANAN TANAH LONGSOR


MENGGUNAKAN METODE SKORING DAN OVERLAY DI DAERAH
TOSALE KECAMATAN BANAWA SELATAN, KABUPATEN
DONGGALA

Diajukan Kepada Universitas Tadulako Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Strata satu Teknik Geologi

Oleh:

SEPTHIAN DWI CIPTO


F 121 16 089

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEOLOGI


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU, 28 JULI 2022

i
HALAMAN PERSETUJUAN TUGAS AKHIR

Judul Tugas Akhir:


IDENTIFIKASI ZONA KERENTANAN TANAH LONGSOR
MENGGUNAKAN METODE SKORING DAN OVERLAY DI DAERAH
TOSALE KECAMATAN BANAWA SELATAN, KABUPATEN
DONGGALA

Diajukan Kepada Universitas Tadulako untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Teknik Geologi

Oleh:
Septhian Dwi Cipto
F121 16 089

Disetujui Untuk Diseminarkan/ Dibahas oleh tim yang ditunjuk oleh Jurusan
dalam forum Seminar Hasil

Palu, 22 November 2022

Yang Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Muslimin U Botjing, ST. MT Ir. Asrafil S.Si., M.Eng


Nip. 197003122000121002 Nip. 198704182019031014
Tanggal : 22 November 2022 Tanggal : 22 November 2022

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kami kehadirat Tuhan yang Maha


Esa atas nikmat, rahmat dan hidayahnya sehingga tugas akhir yang berjudul
“Identifikasi Zona Kerentanan Tanah Longsor Menggunakan Metode Skoring Dan
Overlay Di Daerah Tosale Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala”
dapat terselesaikan. Allahumma sholli ala Muhammad, wa ala ali Muhammad,
shalawat dan taslim tak lupa kami kirimkan kepada suri tauladan kita, Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Penulisan tugas akhir ini merupakan
syarat untuk memperoleh gelar sarjana teknik pada program studi S1 teknik geologi,
jurusan teknik sipil, fakultas teknik, universitas tadulako.
Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis menyadari bahwa penulis
membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Olehnya, penulis menyampaikan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terkhusus kepada orang tua
penulis bapak Jafar dan ibu Fitriani yang senantiasa sabar dan terus memberikan
motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing tugas akhir
ini yaitu bapak Ir. Muslimin U Botjing, ST. MT dan bapak Ir. Asrafil, S.Si. M.Eng
atas kesabarannya dalam membimbing penulis hingga tugas akhir ini dapat
terselesaikan.
Sebagai wujud terima kasih, kami menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dosen penguji saya, Ibu Tati Fitriana, S.T., M.T, Ibu Ajeng Listianti, S.T.,
M.T dan Ibu Nunik Rezkiarti Janat, S.Si., M.Eng, yang telah memberikan
banyak saran dalam penyusunan tugas akhir ini.
2. Bapak Ir. Irianto Uno, M.Sc. sebagai ketua program studi teknik geologi
jurusan teknik sipil fakultas teknik universitas tadulako
3. Ibu Dr. Ir. Zeffitni, S.Pd. MT, sebagai dosen wali yang telah membimbing
saya dari awal masuk kuliah ampai dengan sekarang.
4. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh civitas akademika yang berada di
universitas tadulako pada umumnya dan program studi teknik geologi pada
khusunya yang telah membantu penulis.
5. Teman-teman teknik geologi angkatan 2016 yang telah memberikan
dukungan selama penyusunan tugas akhir ini
Penulisan tugas akhir ini diharapkan dapat memberi sumbangsih baik pemikiran
maupun gagasan bagi pembacanya.

iii
IDENTIFIKASI ZONA KERENTANAN TANAH LONGSOR
MENGGUNAKAN METODE SKORING DAN OVERLAY DI DAERAH
TOSALE KECAMATAN BANAWA SELATAN, KABUPATEN
DONGGALA

Septhian Dwi Cipto, Ir. Muslimin U Botjing, Asrafil

SARI

Tanah longsor sering terjadi kecamatan Banawa lebih tepatnya Banawa Tengah.
Untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor di wilayah Banawa Selatan yang
merupakan kecamatan yang berada tepat di sebelah kecamatan Banawa Tengah di
masa mendatang, maka dibuatlah peta kerentanan tanah longsor yang menunjukkan
daerah berpotensi longsor menggunakan metode Paimin (2009) dengan parameter
formula kerentanan tanah longsor. Delapan peta sebagai parameter formula
kerentanan tanah longsor dipergunakan untuk mengembangkan sebuah peta
kerentanan tanah longsor yang meliputi hujan tiga harian kumulatif maksimum
dalam 10 tahun terakhir, kemiringan lereng, litologi, keberadaan sesar/patahan,
kedalaman tanah/regolit, penggunaan lahan, keberadaan infrastruktur jalan, dan
kepadatan penduduk. Penentuan nilai kerentanan merupakan hasil penjumlahan dari
perkalian skor tiap parameter dengan bobot masing-masing parameter. Berdasarkan
nilai kerentanan, peta kerentanan tanah longsor dihasilkan dari analisa overlay hasil
perkalian skor dan bobot kedelapan parameter dengan program Sistem Informasi
Geografis (SIG). Hasil penelitian ini adalah potensi tanah longsor di daerah Tosale
terdiri dari 4 (empat) kelas kerentanan tanah longsor yaitu tingkat kerentanan
tanah longsor kelas sedikit rentan dengan luas 195,62 ha presentase luas 6,3%,
tingkat kerentanan tanah longsor kelas agak rentan dengan luas 2662,37 ha
presentase luas 86,7 %, tingkat kerentanan tanah longsor kelas rentan dengan luas
211,97 ha presentase luas 6,9 % dan tingkat kerentanan tanah longsor kelas sangat
rentan dengan luas 0,73 ha presentase luas 0,02 %. Daerah yang berpotensi
terjadinya longsor yaitu berada pada bagian Timur yang menyebar dari arah Utara
ke Selatan dan di bagian Selatan yang menyebar dari arah Timur ke Barat dan
sebagian kecil di bagian barat daerah penelitian. Namun, hal yang perlu menjadi
perhatian bersama adalah di bagian Timur karena wilayah ini menjadi pusat
permukiman desa Tosale.
Kata Kunci: Banawa, kerentanan, longsor, overlay, scoring

iv
IDENTIFICATION OF LANDSLIDE VULNERABILITY ZONE USING
SCORRING AND OVERLAY METHODS IN THE TOSALE AREA, BANAWA
SELATAN DISTRICT, DONGGALA DISTRICT

Septhian Dwi Cipto, Ir. Muslimin U Botjing, Asrafil

ABSTRACT

Landslides often occur in Banawa sub-district, more precisely Central Banawa. To


anticipate the future occurrence of landslides in the South Banawa area which is a
sub-district right next to the Central Banawa sub-district in the future, a landslide
susceptibility map was made showing potential areas for landslides using the
Paimin method (2009) with the landslide vulnerability formula parameters. Eight
maps as parameters of the landslide vulnerability formula are used to develop a
landslide vulnerability map which includes maximum cumulative three-day rain in
the last 10 years, slope, lithology, presence of faults/faults, soil depth/regolith, land
use, presence of road infrastructure, and population density. Determination of the
value of vulnerability is the result of the sum of the multiplication of the score of
each parameter with the weight of each parameter. Based on the vulnerability
value, the landslide vulnerability map is generated from an overlay analysis of the
results of multiplying the scores and weights of the eight parameters with the
Geographic Information System (GIS) program. The results of this study are that
the potential for landslides in the Tosale area consists of 4 (four) landslide
vulnerability classes, namely the slightly vulnerable class of landslide vulnerability
with an area of 195.62 ha with an area percentage of 6.3%, the level of landslide
vulnerability of the slightly vulnerable class with an area of 2662.37 ha with an
area percentage of 86.7%, the level of vulnerability to landslides for the vulnerable
class with an area of 211.97 ha, an area percentage of 6.9% and the level of
vulnerability for very vulnerable class landslides with an area of 0.73 ha, an area
percentage of 0.02%. Areas that have the potential for landslides to occur are in
the eastern part which spreads from north to south and in the south which spreads
from east to west and a small part in the western part of the study area. However,
the thing that needs to be of common concern is in the eastern part because this
area is the center of Tosale village settlements.
Keywords: Banawa, vulnerability, landslide, overlay, scoring

v
DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
SARI ...................................................................................................................... iv
ABSTRACT ........................................................................................................... v
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 3
1.6 Lokasi Penelitian ........................................................................................... 3
1.7 Peneliti Terdahulu ......................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 6
2.1 Geologi Regional ........................................................................................... 6
2.1.1 Geomorfologi Regional .......................................................................... 6
2.1.2 Stratigrafi Regional ................................................................................. 7
2.1.3 Struktur Geologi Regional .................................................................... 10
2.2 Kerentanan ................................................................................................... 11
2.3 Kerentanan Tanah Longsor ......................................................................... 12
2.4 Tanah Longsor ............................................................................................. 12
2.4.1 Jenis Tanah Longsor ................................................................................. 12
2.4.2 Faktor Faktor Penyebab Tanah Longsor .................................................. 15
2.5 Sistem Informasi Geografis ......................................................................... 19
2.5.1 Komponen SIG ..................................................................................... 20
2.5.2 Overlay.................................................................................................. 24
2.6 Metode perhitungan landslide vulnerability formula .................................. 25
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 28

iii
3.1 Peralatan Dan Bahan ................................................................................... 28
3.2 Tahap Penelitian .......................................................................................... 28
3.2.1 Tahap Persiapan .................................................................................... 29
3.2.2 Tahap Pengumpulan Data ..................................................................... 29
3.2.3 Tahap Pengolahan Dan Analisis Data .................................................. 30
3.2.4 Tahap Penyusunan Laporan .................................................................. 33
3.3 Diagram Alir Penelitian............................................................................... 34
3.4 Waktu Pelaksanaan Penelitian ..................................................................... 35
BAB IV ................................................................................................................. 36
4.1 Geologi Daerah Penelitian........................................................................... 36
4.1.1 Staratigrafi ............................................................................................ 36
4.1.2 Struktur Geologi ................................................................................... 40
4.2 Hasil Pengolahan Data ................................................................................ 42
4.2.1 Curah Hujan .......................................................................................... 42
4.2.2 Kemiringan Lereng ............................................................................... 43
4.2.3 Geologi (Litologi) ................................................................................. 44
4.2.4 Keberadaaan Sesar/Patahan .................................................................. 46
4.2.5 Kedalaman Tanah/Regolith .................................................................. 48
4.2.6 Penggunaan Lahan ................................................................................ 49
4.2.7 Infrastruktur (Jalan) .............................................................................. 50
4.2.8 Kepadatan Pemukiman ......................................................................... 52
4.2.2 Analisis Tingkat Kerentanan Tanah Longsor ....................................... 53
BAB V................................................................................................................... 65
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 65
5.2 Saran ............................................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67

iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta Tunjuk Lokasi.............................................................................. 3
Gambar 2.1 Peta Regional Geologi tinjau lembar Palu .......................................... 6
Gambar 2.2 Longsoran tipe translasi (ESDM, 2005) ............................................ 13
Gambar 2.3 Longsoran tipe rotasi (ESDM, 2005) ................................................ 13
Gambar 2.4 Longsoran tipe Pergerakan blok (ESDM, 2005) ............................... 14
Gambar 2.5 Longsoran tipe runtuhan batu (ESDM, 2005) ................................... 14
Gambar 2.6 Longsoran tipe rayapan tanah (ESDM, 2005) ................................... 15
Gambar 2.7 Longsoran tipe aliran bahan rombakan (ESDM, 2005) ................ 15
Gambar 2.8 Data Vektor (Sumantri, dkk Edisi I-2019) ........................................ 22
Gambar 2.9 Data Raster (Sumantri, dkk Edisi I-2019) ......................................... 22
Gambar 3.1 Diagram Alir ..................................................................................... 34
Gambar 4. 1 Peta Geologi Daerah Penelitian........................................................ 36
Gambar 4.2 Singkapan Sabak ............................................................................... 37
Gambar 4.3 Singkapan Andesit ............................................................................ 38
Gambar 4.4 Singkapan Konglomerat .................................................................... 39
Gambar 4.5 Singkapan Konglomerat .................................................................... 40
Gambar 4.6 Kenampakan kekar tarik dan Kenampakan kekar gerus ................... 41
Gambar 4.7 kenampakan breksi sesar, air terjun dan gawir sesar. ...................... 41
Gambar 4.8 Peta Curah Hujan Daerah penelitian ................................................. 43
Gambar 4.9 Peta kemiringan lereng daerah penelitian ......................................... 44
Gambar 4.10 Peta Litologi Daerah Penelitian....................................................... 46
Gambar 4.11 Peta Keberadaan Struktur/Patahan Daerah Penelitian .................... 47
Gambar 4.12 Peta Kedalaman Tanah/Regolith Daerah Penelitian ....................... 49
Gambar 4.13 Peta Tutupan Lahan Daerah Penelitian ........................................... 50
Gambar 4.14 Peta Infrastruktur Daerah Penelitian ............................................... 51
Gambar 4.15 Peta Kepadatan Penduduk Daerah Penelitian ................................. 53
Gambar 4.16 Tumpang Susun (overlay) Tiap Parameter Longsor ....................... 54
Gambar 4.17 Peta Kerentanan Longsor Daerah Penelitian ................................... 55
Gambar 4.18 Kondisi lereng dan kenampakan singkapan konglomerat ............... 56
Gambar 4.19 Kenampakan soil, dan Kenampakan tutupan lahan belukar ........... 56
Gambar 4.20 Kenampakan titik berpotensi sedikit rentan terhadap longsor ........ 57
Gambar 4.21 Kondisi lereng, Kenampakan singkapan Andesit dan Sabak. ......... 58
Gambar 4.22 Air terjun, breksi sesar, gawir, soil, belukar dan titik longsor ........ 59
Gambar 4.23 Kondisi lereng, Kenampakan singkapan Andesit dan Sabak .......... 60
Gambar 4.24 Breksi sesar. soil, belukar, jalan dan titik longsor........................... 61
Gambar 4.25 Kondisi Lereng, singkapan Andesit dan Sabak ............................... 63
Gambar 4.26 Kenampakan soil, belukar, jalan dan longsor ................................. 64

v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Metode perhitungan landslide vurnerability formula ........................... 26
Tabel 3.1 Kelas kerentanan tanah longsor ............................................................ 32
Tabel 3.2 Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian ................................................ 35
Tabel 4.1 Data curah hujan bulanan Banawa Selatan ........................................... 42
Tabel 4.2 Data curah hujan tertinggi 3 hari berturut turut Banawa Selatan .......... 42
Tabel 4.3 Luas Parameter Kemiringan Lereng ..................................................... 43
Tabel 4.4 Parameter Jenis Litologi........................................................................ 45
Tabel 4.5 Parameter Keberadaan Sesar/Patahan Daerah Penelitian ..................... 47
Tabel 4.6 Parameter Kedalaman Tanah/Regolith ................................................. 48
Tabel 4.7 Parameter Penggunaan Lahan ............................................................... 49
Tabel 4.8 Parameter Infrastruktur Daerah Penelitian ............................................ 51
Tabel 4.9 Data kepadatan penduduk Banawa Selatan .......................................... 52
Tabel 4.10 Kelas kerentanan tanah longsor pada daerah penelitian ..................... 54

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2021) mencatat sebanyak
3.739 kejadian bencana gerakan tanah sepanjang tahun 2017 hinggah 2021
dengan lokasi kejadian bencana tersebar di berbagai wilayah indonesia salah
satunya di Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah adalah salah satu provinsi yang
mempunyai indeks resiko bencana tinggi, sehingga banyak kejadian bencana yang
terjadi seperti, gempa bumi, tsunami, banjir bandang, dan gerakan tanah (BNPB
2021).

Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa


batuan, bahan rombakan tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah
atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor, air yang meresap ke dalam
tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap
air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah
pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng (ESDM,
2005).

Penelitian ini dilakukan pada daerah Tosale, Kecamatan Banawa Selatan,


Provinsi Sulawesi Tengah. Hal ini dikarenakan Banawa Selatan adalah salah satu
daerah yang sering terjadi longsor dan banjir. Daerah Banawa Tengah dan Banawa
Selatan juga terkenal sebagai daerah yang apabila curah hujan tinggi pada kurun
waktu tertentu sangat rentan terjadi nya banjir disertai tanah longsor. Beberapa
lokasi juga terlihat memiliki lereng yang curam yang tentu saja menjadi salah satu
faktor penting terjadinya tanah longsor. Batuan di daerah banawa selatan yang
merupakan kecamatan di kabupaten donggala juga memiliki batuan sedimen yang
berpengaruh pada kerentanan terjadinya tanah longsor di daerah tersebut.
Kecamatan Banawa Selatan termasuk wilayah yang terdampak gempa Palu 2018
yang berpotensi besar meninggalkan jejak struktur yang mempengaruhi
kerentanan tanah longsor di daerah tersebut. Berdasarkan website resmi BNPB
pada 2020 lalu 995 rumah warga terendam banjir dan terjadi longsor di kecamatan

1
Banawa, Longsor juga terjadi pada jalan poros Palu – Donggala pada 2019 dan
Longsor yang menutupi jalan di Kecamatan Banawa Selatan. Untuk
mengantisipasi terjadinya longsor di daerah pemukiman terutama di daerah Tosale
yang masuk dalam Kecamatan Banawa Selatan, maka dilakukan penelitian
mengenai pemetaan daerah rawan tanah longsor dengan pemanfaatan Sistem
Informasi Geografis (SIG) dengan metode scoring dan overlay menggunakan
metode perhitungan landslide vurnerability formula. Parameter menggunakan
curah hujan, kemiringan lereng, litologi batuan, keberadaan sesar/patahan,
kedalaman tanah regolith, penggunaan lahan, infrastruktur dan kepadatan
penduduk sebagai penyebab terjadinya longsor yang selanjutnya akan dibuat
zonasi kerentanan tanah longsor. Metode dan parameter ini sangat relevan dengan
kondisi diwilayah Sulawesi Tengah khusus nya daerah penelitian yang merupakan
salah satu daerah yang terdampak pada gempa bumi 2018 silam.

1.2 Rumusan Masalah


Sebagaimana latar belakang yang telah di jelaskan sebelumnya maka rumusan
masalah dari tulisan ini adalah:

1. Apa parameter yang dapat mempengaruhi tingkat kerentanan tanah longsor


pada daerah penelitian ?
2. Bagaimana identifikasi zonasi kerentanan tanah longsor di daerah
Penelitian?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menentukan parameter yang mempengaruhi tingkat kerentanan tanah


longsor.
2. Mengidentifikasi daerah yang paling berpotensi terjadinya tanah longsor
pada daerah penelitian menggunakan metode scoring dan overlay dengan
metode perhitungan landslide vurnerability formula.

2
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi
mengenai daerah yang memiliki kerentanan terjadinya bencana tanah longsor
bagi instansi terkait tentang keadaan kerentanan tanah longsor di daerah Tosale,
Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Adapun ruang lingkup dari penelitian ini yaitu tertuang dalam beberapa poin,
diantaranya adalah :
1. Parameter yang digunakan penelitian ini adalah parameter yang menjadi
faktor pemicu bencana tanah lonsor seperti kemiringan lereng, curah hujan,
litologi, struktur geologi, kedalaman tanah regolith, penggunahan lahan,
infrastruktur dan kepadatan penduduk.
2. Mengidentifikasi tingkat zona rawan longsor pada daerah penelitian
menggunakan metode skoring dan overlay, dengan parameter landslide
vulnerability formula berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG).

1.6 Lokasi Penelitian

Gambar 1.1 Peta Tunjuk Lokasi

3
Secara Administratif daerah penelitian termasuk dalam Desa Tosale
Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi
Tengah (Gambar 1.1). Secara astronomis daerah ini terletak pada 119º
41’00” - 119º 44’00” Bujur Timur dan 00º 45’00” - 00º 48’00’’ Lintang
Selatan.

Daerah penelitian ini berjarak ±56,8 KM melalui jalur darat berupa


kendaraan roda empat atau roda dua dengan waktu tempuh 1 jam 40 menit
perjalanan dari Kota Palu.

1.7 Peneliti Terdahulu


Peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian yang serupa dengan
penelitian tugas akhir ini diantaranya sebagai berikut:
1. Pratiwi dkk, (2021). Melakukan penelitian tentang “Pemetaan Rawan
Longsor Daerah Palu Dengan Metode Weight Overlay”. Adapun hasil dari
penelitian ini yaitu terdapat lima faktor utama yang mempengaruhi tingkat
kerawanan longsor pada wilayah Kota Palu diantaranya yaitu jenis tanah,
curah hujan, jenis batuann dan penggunaan lahan.
2. Nirmayanti, Andi, dkk. (2021). Identifikasi Daerah Rawan Bencana
Longsor Kecamatan Angkona Kabupaten Luwu Timur. Menggunakan
metode landslide vurnerability formula Adapun hasil dari penelitian ini
diperoleh tiga kelas kerawanan longsor di Kecamatan Angkona yaitu kelas
kerawanan tinggi dengan luas 12.186 Ha (41.86%), kelas kerawanan sedang
dengan luas 8.718 Ha (29.95%), kelas kerawanan rendah dengan luas 8.208
Ha (28.19%).
3. Haribulan, Renhard, dkk. (2019). Kajian Kerentanan Fisik Bencana Longsor
Di Kecamatan Tomohon Utara. Menggunakan metode scoring and overlay.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah menghasilkan 3 klasifikasi tingkat
kerentanan yakni tingkat kerentanan longsor tinggi seluas 633.99 Ha atau
14.97%, tingkat kerentanan longsor sedang seluas 3091.13 Ha atau 73%,
dan tingkat kerentanan longsor rendah seluas 509.65 Ha atau 12.03% dari
luas total wilayah Kecamatan Tomohon Utara.

4
4. Wahyuningrum, N,. & Agung, B, S. (2016). Identifikasi Tingkat Bahaya
Longsor Dengan Skala Data Berbeda Untuk Perencanaan DAS Mikro
Naruwan Sub DAS Keduang. Menggunakan metode landslide vurnerability
formula Adapun hasil dari penelitian ini adalah penggunaan skala detil
diperlukan dalam perencanaan pengelolaan DAS mikro dan menentukan
skala prioritas penanganan. Longsor pada kategori agak rentan paling luas
berada di Desa Bubakan (36%), disusul Wonokeling (19,0%) dan Wonorejo
(8,6%). Secara fisik, prioritas penanggulangan bencana longsor
secaranberurutan lebih banyak di lakukan di Desa Bubakan, kemudian di
Wonokeling dan Wonorejo.

Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa metode


scoring dan overlay dengan menggunakan metode perhitungan landslide
vurnerability formula yang tepat digunakan di daerah penelitian karena
selain memperhatikan faktor alam juga memperhatikan faktor manajemen
dari manusia itu sendiri. Pada parameter ini struktur geologi juga menjadi
salah satu penyebab terjadinya tanah longsor, seperti yang kita ketahui
daerah penelitian adalah salah satu daerah yang terkena dampak dari
bencana gempa bumi 2018 silam, maka dari metode scoring dan overlay
dengan menggunakan parameter landslide vurnerability formula sangat
tepat digunakan dalam penelitian ini.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Gambar 2.1 Peta Regional Geologi tinjau lembar Palu (Oleh Sukamto, 1973) dan Peta Regional

Geologi tinjau lembar Pasangkayu (Oleh Sukarna dan Sutistan, 1993)

Daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi Lembar Palu 2015-2115


yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi oleh
(Sukamto.,dkk,1973). Geologi regional ini membahas tentang Fisiografi /
Geomorfologi, Stratigrafi dan Struktur dengan penjelasan sebagai berikut:

2.1.1 Geomorfologi Regional


Pulau Sulawesi mempunyai luas sekitar 188.000 km2, apabila digabung
dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Bentuknya menyerupai huruf K dengan
empat cabang atau lengan yang sempit, dipisahkan oleh teluk-teluk yang dalam,
dan menyatu di bagian tengah pulau (Sukamto.,dkk,1973).

Pulau Sulawesi terletak pada zone peralihan antara dangkalan Sunda dan
dangkalan Sahul dan dikelilingi oleh laut yang dalam. Di bagian Utara dibatasi oleh

6
Basin Sulawesi (5000–5500) m. Di bagian Timur dan Tenggara di batasi oleh laut
Banda Utara dan Laut Banda Selatan dengan kedalaman mencapai (4500– 5000)m.
Sedangkan untuk bagian Barat di batasi oleh Palung Makasar (2000- 2500)m.
Sebagian besar daerahnya terdiri dari pegunungan dan dataran rendah yang terdapat
secara sporadik, terutama terdapat disepanjang pantai. Dataran rendah yang relatif
lebar dan padat penduduknya adalah di bagian lengan Selatan. (Van Bemmenlen,
1949).

Rab Sukamto.,dkk,1973 menjelaskan bahwa daerah Palu terdiri dari jajaran


pegunungan Barat dan jajaran pegunungan Timur yang keduanya berarah Utara
Selatan dan terpisahkan oleh Lembah Palu (Fosa Sarasina). Jajaran pegunungan
Barat berada di dekat Palu dengan ketinggian hingga lebih dari 2000 meter, namun
di Donggala menurun hingga muka laut. Jajaran pegunungan Timur dengan tinggi
puncak dari 400 meter hingga 1900 meter yang menghubungkan pegunungan di
Sulawesi Tengah dengan lengan Utara (Sukamto.,dkk,1973).

2.1.2 Stratigrafi Regional


Daerah penelitian dimulai dari yang tertua terdiri atas kompleks
metamorf (km), intrusi granit (gr), Molasa Celebes Sarasin (qtms), Aluvium dan
Endapan Pantai (qap) (Sukamto., dkk, 1973).

a. Komplek Metamorf

Kompleks metamorf merupakan stratigrafi regional yang tertua di


daerah penelitian yang beranggotakan Sekis amfibolit, sekis genes dan pualam.
Keterdapatan litologi-litologi ini dapat dijumpai pada sisi barat dan timur dari
daerah penelitian. Pada sisi barat daerah penelitian dapat dijumpai litologi Sekis
sedangkan pada sisi timur terdapat litologi sekis genes dan pualam. Tubuh-
tubuh intrusi yang tak terpetakan umumnya selebar kurang dari 50 meter.
Menerobos kompleks batuan metamorf, dengan berjangka dari diorit hingga
ke granodiorit. Umur metamorfisme tidak diketahui, kemungkinan berumur
Pra-Tersier. Sekis yang tersingkap di wilayah Sulawesi sebagian berumur
Paleozoikum (Sukamto., dkk, 1973).

7
b. Formasi Tinombo

Formasi Tinombo seperti yang dipakai oleh brouwer (1934)


Rangkaian ini tersingkap luas, baik di pematang timur maupun barat. Batuan ini
menindih kompleks batuan metamorf secara tidak selaras. Di dalamnya
terkandung rombakan yang berasal dari batuan metamorf. Endapan itu
terdiri terutama dari serpih, batupasir, konglomerat,, batugamping. rijang
radiolaria dan batuan gunungapi, yang diendapkan di dalam lingkungan laut. Di
dekat intrusi terdapat sabak dan batuan terkersikkan, dan lebih dekat pada
persentuhan terbentuk filit dan kuarsit. Bagian barat pematang barat
mengandung lebih banyak batupasir rijang daripada tempat lain. Diabas, spilit,
dan andesit di selatan Donggala dan di selatan Kasimbar dipetakan dengan
endapan itu. Rombakan batuan gunungapi biasa terdapat di dalam
batupasirnya. Batugamping diamati hanya sebagai lapis-lapis tipis dalam
rangkaian sedimen tersebut; Kadar (Dit Geol) mengenali Discocyclina sp.,
Nummulites sp., Alveolina sp, Miliolidae, Asterocyclina sp. Assilina sp.,
Operculina sp. Globorotaloid, Globigerina, dan ganggang gampingan, yang
menunjukkan akan umur Eosen. Pekerjaan selanjutnya oleh Socal (Standard Oil
Company of California) sebagai tambahan mengenali Pellastipira?, ef.? P
inflata, cf. Pararotalia sp. Eofabiania, Pellatispira crassicolumnata?,
Sphaerogypsina sp., Orbitolites sp., Rotalia sp, dan Carpenteria hamiltonensis.
Umur fosil-fosil terakhir ini adalah Eosen Tengah hingga Atas Calciphaerula
innominata yang ditemukan di dalam klastika batugamping dinterpretasikan
oleh Socal sebagai suatu fosil rombakan dari formasi Kapur. Batuan-batuan
itu serupa dengan Formasi Tinombo yang menyerupai flysch yang telah
diperikan oleh Brouwer (1934), dikira-kira 55 kilometer sebelah timur laut
Labuan bajo. Intrusi-intrusi kecil yang diuraikan di atas juga menerobos
endapan ini Batuan menindih kompleks metamorf secara tidak selaras. Di
dalamnya terkandung rombakan yang berasal dari Batuan Metamorf. Endapan
ini terutama terdiri dari Serpih, Batupasir, Konglomerat, Batugamping, Rijang,
Radiolaria, dan Batuan Gunungapi yang diendapkan di dalam lingkungan
laut.

8
c. Molasa Celebes Sarasin (Qtms)

Molasa Celebes Sarasin/ (Tms), menurut (Sarasin, P. & Sarasin,


S., 1901), batuan ini terdapat pada ketinggian lebih rendah pada sisi-sisi kedua
pematang, menindih secara tidak selaras Formasi Tinombo dan Kompleks
Metamorf, mengandung rombakan yang berasal dari formasi-formasi
yang lebih tua, dan terdiri dari Konglomerat, Batupasir, Batulumpur,
Batugamping, Koral dan Napal yang semuanya hanya mengeras lemah. Di
dekat kompleks Batuan Metamorf pada bagian Barat Pematang Timur
endapan itu terutama dari Bongkah-bongkah kasar dan agaknya di endapkan di
dekat sesar. Batuan-batuan itu ke arah laut beralih jadi batuan klastika berbutir
halus. Di dekat Donggala sebelah Utara Enu dan sebelah Barat Labean
batuannya terutama terdiri dari Batugamping dan Napal dan mengandung
Operculina sp., Cycloclypeussp., Rotalia sp., Orbulins Universa., Amphistegina
sp., Miliolidae, Globigerina, foraminifera Pasiran, Ganggang Gamping,
pelesipoda dan gastropoda. Sebuah contoh yang dipungut dari Tenggara
Laebago selain fosil-fosil tersebut juga mengandung Miogypsina sp, dan
Lepidocylina sp, yang menunjukan umur Miosen (pengenalan oleh Kadar,
Dorektorat Geologi). Foram tambahan yang dikenali oleh Socal meliput i
Planorbulina sp, Solenomeris sp, Textularia sp, Siroclypeus sp, Lethoporella
dan Amphiroa. Socal mengirakan bahwa fauna- fauna tersebut menunjukan
umur Miosen Tengah, dan pengendapannya di dalam laut dangkal. Pada kedua
sisi Teluk Palu, dan kemungkinan juga di tempat lain, endapan sungai Kuarter
juga dimasukan kedalam satuan ini.

d. Alluvium dan endapan pantai

Kerikil, pasir, lumpur dan Batugamping koral terbentuk dalam


lingkungan dangkal, delta dan laut dangkal merupakan sedimen termuda
didaerah ini. Endapan itu boleh jadi seluruhnya berumur Holosen,
didaerah dekat Labean dan Tambu membentuk bukit-bukit rendah.

9
2.1.3 Struktur Geologi Regional
Struktur geologi di Sulawesi didominasi arah barat laut – tenggara yang
berupa sesar mendatar sinistral dan sesar naik. Sesar Palu–Koro memotong
Sulawesi bagian Barat dan Tengah, menerus ke bagian Utara hingga ke Palung
Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di Laut Sulawesi. Jalur Sesar Palu
– Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan pergeseran lebih dari 750 km
(Tjia, 1973; Sukamto, 1975), arah gerak sesuai dengan jalur Sesar Matano dan jalur
Sesar Sorong. Sesar Sadang yang terletak di bagian barat dan sejajar dengan Sesar
Palu berada pada lengan Selatan Sulawesi, menghasilkan 8 lembah Sungai Sadang
dan Sungai Masupu yang sistemnya dikontrol oleh sesar mendatar.

Kompleks Pompangeo diduga telah beberapa kali mengalami masa


perlipatan. Perlipatan tua diperkirakan berarah utara – selatan atau baratdaya –
timurlaut, sedangkan lipatan muda berarah baratlaut – tenggara atau barat – timur,
serta ada pula yang berarah hampir sama dengan lipatan tua. Perdaunan atau foliasi
juga umumnya berkembang baik dalam satuan batuan malihan Kompleks
Pompangeo dan di beberapa tempat dalam amfibolit, sekis glaukofan dan
serpentin yang tersekiskan dalam Kompleks Ultramafik. Secara umum perdaunan
berarah barat – timur dan baratlaut – tenggara. Di beberapa tempat perdaunan
terlipat dan pada jalur sesar mengalami gejala kink banding. 10 Belahan
umumnya berupa belahan bidang sumbu dan di beberapa tempat berupa belahan
retak (fracture cleavage). Belahan retak umumnya dijumpai dalam batupasir
malih dan batugamping malih. Secara umum bidang belahan berarah sejajar atau
hampir sejajar dengan bidang perlapisan; oleh karenanya belahan ini digolongkan
sebagai berjajar bidang sumbu. Kekar dijumpai hampir pada semua batuan,
terutama batuan beku (Kompleks Ultramafik dan Mafik), batuan sedimen malih
Mesozoikum, dan batuan malihan (Kompleks Pompangeo). Dalam batuan Neogen
kekar kurang berkembang.

Sejarah pengendapan batuan di daerah Sulawesi Tenggara diduga sangat


erat hubungannya dengan perkembangan tektonik daerah Indonesia bagian timur,
tempat Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia dan Lempeng

10
Benua Eurasia saling bertumbukkan. Secara fisiografi daerah Palu terdiri dari
pematang timur dan pematang barat; kedua-duanya berarah utara-selatan dan
terpisahkan oleh Lembah Palu (Fossa Sarasina). Pematang barat di dekat Palu
hingga lebih dari 2000 meter tingginya, tetapi di Donggala menurun hingga muka
laut. Pematang timur dengan tinggi puncak dari 400 meter hingga 1900 meter, dan
menghubungkan pegunungan di Sulawesi Tengah dengan lengan utara Struktur
daerah ini didominasi oleh lajur sesar Palu yang berarah utara barat laut. Sesar-sesar
dan kelurusan lainnya yang setengah sejajar dengan arah lajur Palu terdapat di
pematang timur. Banyak sesar dan kelurusan lainnya yang kurang penting lebih
kurang tegak lurus pada arah ini, sebagaimana terlihat di seluruh daerah. Sesar naik
berkermiringan ke timur dalam kompleks batuan metamorf dan dalam Formasi
Tinombo menunjukkan akan sifat pemampatan pada beberapa diantaranya sesar
yang lebih tua. Sesar termuda yang tercatat terjadi pada tahun 1968 didekat Tambo,
timbul setelah ada gempa bumi, berupa sesar normal berarah barat laut yang
permukaan tanahnya turun 5 meter. Pada bagian yang menurun, daerah pantai
seluas kira-kira 5 kilometer persegi masuk ke dalam laut.

2.2 Kerentanan
Kerentanan adalah suatu keadaan penurunan ketahanan akibat pengaruh
eksternal yang mengancam kehidupan, mata pencaharian, sumber daya alam,
infastruktur, produktifitas ekonomi dan kesejahteraan. Hubungan antara bencana
dan kerentanaan menghasilkan suatu kondisi resiko, apabila kondisi tersebut
tidak dikelola dengan baik (Wignyosukarto, 2007).

Kerentanan juga sebagai rawan bencana, dimana definisinya adalah


kondisi atau karakteristik geologi, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis,
social, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka
waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai
kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menangani dampak buruk bahaya
tertentu. (Haribulan, Gosal, & Karongkong, 2019)

11
2.3 Kerentanan Tanah Longsor
Kerentanan tanah longsor menggambarkan keadaan kecenderungan
lereng alami atau potensi suatu medan untuk terjadinya gerakan massa atau
ketidak seimbangan yang dibentuk oleh lingkungan fisik maupun non fisik.
Kerentanan tanah longsor menurut Paimin, Sukresno dan Pramono (2009) terjadi
pada kondisi: 1) lereng curam, 2) adanya bidang luncur (kedap air) di lapisan
bawah permukaan tanah, dan 3) terdapat air tanah diatas lapisan kedap jenuh
air. Selain itu, paimin et al, (2009) juga menambahkan dua variable/faktor
penentu kerentanan longsor, yaitu: Faktor alami dan faktor manajemen. Faktor
alami diantaranya: 1) curah hujan harian kumulatif 3 hari berturutan, 2)
kemiringan lahan, 3) geologi/batuan, 4) keberadaan sesar/ patahan/gawir, 5)
kedalaman tanah sampai lapisan kedap; sedangkan dari social manajemen
diantaranya: 1) penggunaan lahan, 2) infrastruktur, 3) kepadatan permukiman.

2.4 Tanah Longsor


Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa
batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke
bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai
berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air
tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir,
maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti
lereng dan keluar lereng (ESDM, 2005).

2.4.1 Jenis Tanah Longsor


Menurut ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) ada 6 jenis tanah
longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan
batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi
paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak
memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.

12
1. Longsoran translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan


pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landau (Gambar 2.1).

Gambar 2.2 Longsoran tipe translasi (ESDM, 2005)

2. Longsoran rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada


bidang gelincir berbentuk cekung (Gambar 2.2).

Gambar 2.3 Longsoran tipe rotasi (ESDM, 2005)

3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada


bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran
translasi blok batu (Gambar 2.3)

13
Gambar 2.4 Longsoran tipe Pergerakan blok (ESDM, 2005)

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material


lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada
lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-
batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah (Gambar
2.4).

Gambar 2.5 Longsoran tipe runtuhan batu (ESDM, 2005)

5. Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat.


Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini
hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis
rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah
miring ke bawah (Gambar 2.5).

14
Gambar 2.6 Longsoran tipe rayapan tanah (ESDM, 2005)

6. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong
oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan
tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah
dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Dibeberapa tempat bisa
sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunungapi.
Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak (Gambar 2.6).

Gambar 2.7 Longsoran tipe aliran bahan rombakan (ESDM, 2005)

2.4.2 Faktor Faktor Penyebab Tanah Longsor


Menurut Anwar (2003), tanah longsor/Gerakan tanah adalah fenomena alam
untuk mencapai kondisi baru akibat gangguan keseimbangan lereng yang terjadi,
baik secara alamiah maupun akibat ulah manusia.

Tanah longsor/gerakan tanah akan terjadi pada lereng, jika ada keadaan
tidak seimbang yang menyebabkan terjadinya proses mekanisme, mengakibatkan

15
sebagian dari lereng bergerak mengikuti gaya gravitasi, dan setelah terjadi tanah
longsor lereng akan seimbang atau stabil kembali. Jadi tanah longsor merupakan
gerakan massa tanah atau berbatuan yang menuruni lereng mengikuti gaya gravitasi
akibat terganggunya kestabilan lereng (Depertemen ESDM, 2005).

“Proses terjadinya tanah longsor/gerakan tanah melibatkan interaksi yang


kompleks antara aspek geologi, geomorfologi, hidrologi, curah hujan dan tata guna
lahan. Pengetahuan tentang kontribusi masing-masing faktor tersebut pada kejadian
gerakan tanah sangat diperlukan dalam menentukan daerah-daerah rawan longsor
berdasarkan jenis gerakan tanahnya” (ESDM, 2005). Berikut adalah faktor-faktor
pemicu tanah longsor :

1. Kondisi Morfologi

a. Kemiringan lereng

Menurut Rahim, (2000). Sala-satu faktor yang paling mempengaruhi


terjadi gerakan tanah yaitu lereng yang curam. Gerakan tanah akan meningkat
seiring dengan bertambahnya kemiringan lereng dari suatu wilayah. Menurut
Effendi dan Hariyanto, (2016). Kemiringan lereng yang hampir tegak lurus
mengakibatkan banyak lereng yang tidak stabil. Karena semakin terjal atau
semakin curam suatu lereng akan semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
tanah longsor.

Menurut (Suherlan,2001). Kemiringan lereng merupakan


perbandingan presentasi antara jarak vertikal (ketinggian lahan) dengan
jarak horisontal (panjang jarak datar). Kemiringan lereng berpengaruh besar
terhadap potensi gerakan tanah, hal ini karena semakin curam lereng, maka
potensi terjadinya longsor makin tinggi (Ahmad & Buchori 2019).

Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik


yang berjarak horisontal seratus meter mempunyai selisih tinggi sepuluh meter
membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng seratus persen sama dengan
kecuraman lereng 450. Selain memperbesar jumlah aliran permukaan,
makin curam lereng makin memperbesar kecepatan aliran permukaan. Selain

16
dari itu semakin curam lereng juga akan memperbesar jumlah butiran tanah
yang terangkut ke bawah (Sugiharyanto, 2009).

b. Geologi (Jenis Batuan)

Menurut Bate (2018), jenis tanah atau batuan yang dapat meloloskan
air akan mempengaruhi terjadinya longsor dibandingkan jenis tanah yang
padat, seperti lempung. Batuan yang memiliki daya tahan kuat, seperti batuan
beku dan batuan metamorf memiliki tingkatan yang rendah akan terjadinya
longsor. Litologi merupakan kenampakan batuan pada singkapan yang
didasarkan pada karakteristiknya berupa warna, tektur, ukuran butir dan
komposi yang terdapat dalam batuan. Pengaruh jenis litologi pada suatu
wilayah akan mempengaruhi kondisi geologi pada daerah tersebut.

Pengertian tanah menurut (Soil Survey Staff, 1990; Mega dkk 2010)
mendefinisikan sebagai kumpulan benda-benda alam yang terdapat di
permukaan bumi, setempat-setempat dimodifikasi atau bahkan dibuat oleh
manusia dari bahan-bahan yang berasal dari tanah, mengandung jasad hidup
dan mendukung atau mampu mendukung tanaman atau tumbuh- tumbuhan
yang hidup di alam terbuka.

c. Jenis Tanah

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat
dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 22º. Tanah jenis
ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan.
Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi
lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas (Depertemen
ESDM,2005).

d. Pelapukan

Proses pelapukan merupakan hal yang umum di jumpai pada batuan.


Apalagi di daerah yang beriklim tropis, adanya pelapukan akan terlihat lebih
intensif bahkan dapat terjadi secara simultan (Zhao et al., 1994). Hal ini akan

17
tercermin pada tebalnya tanah residu (residual soil) yang menjadi hasil akhir
dari suatu proses pelapukan. Kondisi iklim tropis ikut berperan dalam
mempengaruhi sifat keteknikan batuan, terutama kekuatan batuan. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada proses pelapukan kebanyakan berlangsung secara
gradual dan biasanya diikuti oleh pola-pola perubahan yang teratur. Namun
demikian profil pelapukan yang terbentuk umumnya berkembang tidak seragam
sebagai akibat dari adanya pengaruh yang kompleks, baik secara internal dalam
batuan itu sendiri atau pengaruh lain yang bersifat eksternal seperti kondisi
iklim, topografi atau morfologi, air tanah dan aktifitas organisme (Sadisun dan
Bandono, 1998)

2. Curah Hujan

Menurut (Karnawati,2006) bahwa lebih dari 70% kejadian longsor yang


terjadi di Indonesia di sebabkan oleh pengaruh curah hujan. Curah hujan
sendiri merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam penakar hujan
pada tempat yang datar, tidak menyerap, tidak meresap dan tidak mengalir.
Unsur hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada
tempat yang datar tertampung air hujan setinggi satu milimeter atau tertampung
air hujan sebanyak satu liter (BMKG,2021). Intensitas curah hujan
merupakan ukuran jumlah hujan per satuan waktu tertentu selama hujan
berlangsung.

Adapun intensitas curah hujan yang tinggi dapat menambah beban


pada lereng yang mengakibatkan peningkatan air didalam tanah, sehingga dapat
memicu terjadinya longsoran (Pierson,1980; Ahmad & Buchori 2019). Semakin
tinggi intensitas curah hujan di suatu daerah, maka dapat menyebabkan air yang
tertahan semakin tinggi volume dan debitnya dan akibatnya air dalam lereng
semakin menekan butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk
bergerak atau bergeser (Ahmad & Buchori 2019).

Iklim juga mempengaruhi kemantapan suatu lereng. Hal ini disebabkan


karena iklim mempengaruhi perubahan temperatur, jumlah hujan per tahun, dan

18
yang terpenting, iklim juga mempengaruhi tingkat pelapukan, maka kekuatan
batuan atau tanah menjadi semakin kecil. Menurut BMKG (Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika) Wilayah III Denpasar (2017) curah hujan (mm)
adalah ketinggian air hujan yang terkumpul dalam penakar hujan pada tempat
yang datar, tidak menyerap, tidak meresap dan tidak mengalir. Unsur hujan 1
(satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar
tertampung air hujan setinggi satu milimeter atau tertampung air hujan
sebanyak satu liter.

3. Tutupan Lahan

Penutupan lahan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi


terjadinya longsor, seperti adanya pemukiman yang berada pada sisi lereng,
pemotong lereng untuk pembuatan jalan, kebun dan sawah. Penutupan lahan
memiliki pengaruh dan tingkat yang berbeda-beda terhadap terjadinya longsor
(Nurrahman, 2021).

2.5 Sistem Informasi Geografis


Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang
selanjutnya disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis
(Aronoff, 1989; Sumantri., dkk, 2019). Secara umum pengertian SIG adalah suatu
komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan
sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan,
menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi
berbasis geografis. Adapun manfaat sistem informasi geografis (SIG) secara
umum yaitu dapat memberikan informasi yang mendekati kondisi dunia nyata,
memprediksi suatu hasil dan perencanaan strategis.

Menurut Effendi & Hariyanto, (2016) dengan menggunakan sistem


informasi geografis (SIG) diharapkan agar dapat memberikan kemudahan seperti:

19
1. Penanganan data geospasial menjadi lebih baik dalam format baku.
2. Revisi dan pemutakhiran data menjadi lebih mudah.
3. Data geospasial dan informasi menjadi lebih mudah dicari, dianalisis
dan direpresentasikan.
4. Menjadi produk yang mempunyai nilai tambah.
5. Kemampuan menukar data geospasial.
6. Penghematan waktu dan biaya.
7. Keputusan yang diambil menjadi lebih baik.

Pada dasarnya SIG dapat dikerjakan secara manual, namun dalam


pembahasan selanjutnya SIG selalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis
komputer. SIG yang berbasis komputer sangat membantu ketika data geografis
yang tersedia merupakan data dalam jumlah dan ukuran besar, dan terdiri dari
banyak tema yang saling berkaitan. SIG mempunyai kemampuan untuk
menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi,
menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang
diolah pada SIG merupakan data spasial. Ini adalah sebuah data yang berorientasi
geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai
dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan,
seperti lokasi, kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang
membedakan SIG dari sistem informasi lainnya.

2.5.1 Komponen SIG


Sistem informasi geografis memiliki komponen utama dalam proses
pekerjaanya yang nantinya akan menjadi satu kesatuan unit pokok penting untuk
pembuatan SIG, adapun komponen SIG yaitu:

1. Manusia

Teknologi SIG tidaklah menjadi bermanfaat tanpa manusia yang


mengelola sistem dan membangun perencanaan yang dapat diaplikasikan sesuai
kondisi dunia nyata. Sama seperti pada sistem informasi yang lain pemakai SIG
pun memiliki tingkatan tertentu, dari tingkat spesialis teknis yang mendesain

20
dan memelihara sistem sampai pada pengguna yang menggunakan SIG untuk
menolong pekerjaan mereka sehari-hari.

2. Data

Data yang penting dalam SIG mengandung data geografis dan data
atribut. Ketersediaan dan keakuratan data mempengaruhi hasil analisis.
Sebagian besar data yang akan ditangani dalam SIG merupakan data spasial,
data yang berorientasi geografis.
a. Data Spasial
Data ini memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya
dan mempunyai dua bagian penting yang berbeda dari data lain, yaitu informasi
lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (atribut) yang dijelaskan berikut ini:

1) Informasi lokasi (spasial), berkaitan dengan suatu koordinat baik koordinat


geografi (lintang dan bujur) dan koordinat XYZ, termasuk diantaranya
informasi datum dan proyeksi.
2) Informasi deskriptif (atribut) atau informasi nonspasial, suatu lokasi yang
memiliki beberapa keterangan yang berkaitan dengannya. Contoh jenis
vegetasi, populasi, luasan, kode pos, dan sebagainya.

b. Format Data Spasial


Secara sederhana format dalam bahasa computer berarti bentuk dan
kode penyimpanan data yang berbeda antara file satu dengan lainnya. Dalam
SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format, yaitu:
1) Data Vektor
Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan ke dalam
kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir
pada titik yang sama), titik dan nodes (titik perpotongan antara dua buah garis).

21
Gambar 2.8 Data Vektor (Sumantri, dkk Edisi I-2019)

Keuntungan utama dari format data vektor adalah ketepatan dalam


merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus. Hal ini sangat berguna
untuk analisa yang membutuhkan ketepatan posisi, misalnya pada basis data
batas-batas kadaster. Contoh penggunaan lainnya adalah untuk
mendefinisikan hubungan spasial dari beberapa feature. Namun kelemahan
data vektor yang utama adalah ketidakmampuannya dalam mengakomodasi
perubahan gradual.

2) Data Raster

Data raster (sel grid) adalah data yang dihasilkan dari sistem
penginderaan jauh. Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan
sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel (picture element).

Gambar 2.9 Data Raster (Sumantri, dkk Edisi I-2019)

22
Pada data raster, resolusi (definisi visual) tergantung pada ukuran
pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi pixel menggambarkan ukuran
sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel pada citra.
Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang direpresentasikan oleh satu sel,
semakin tinggi resolusinya. Data raster sangat baik untuk
merepresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti jenis
tanah, kelembaban tanah, vegetasi, suhu tanah dan sebagainya.
Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file. Semakin
tinggi resolusi grid-nya, semakin besar ukuran file-nya, dan ini sangat
bergantung pada kapasitas perangkat keras yang tersedia.

3. Hardware

SIG membutuhkan hardware atau perangkat komputer yang


memiliki spesifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan sistem informasi
lainnya untuk menjalankan software- software SIG, seperti kapasitas RAM
(Random Access Memory), Hard-disk, Processor serta VGA Card. Hal
tersebut disebabkan karena data-data yang digunakan dalam SIG baik data
vektor maupun data raster penyimpanannya membutuhkan ruang yang besar
dan dalam proses analisanya membutuhkan memori yang besar dan prosesor
yang cepat.

4. Software

Komponen ini tidak hanya mencakup software SIG, tetapi


termasuk software database, statistik, pencitraan dan lainnya.

5. Metode

SIG yang baik memiliki keserasian antara rencana desain yang baik
dan aturan dunia nyata, dimana metode, model dan implementasi akan
berbeda-beda untuk setiap permasalahan. Dimana komponen yang satu dan
yang lainnya saling berkaitan, metode digunakan dalam penggunaan sistem
informasi geografis. Baik dengan cara penggunaan maupun melakukan
operasi dari serangkaian komponen tersebut.

23
6. Network

Jaringan yang baik akan mendukung proses pengambilan dan


pengolahan data spasial dalam berbagi informasi digital

2.5.2 Overlay
Overlay merupakan cara yang sangat penting dalam melakukan analisis
pada Sistem Informasi Geografi. Overlay adalah kemampuan yang menempatkan
visual satu peta di atas visual peta yang lain serta dengan menampilkan hasil yang
ada pada plot. Sederhananya Overlay akan menumpang tindihkan layer satu ke
layer yang lainya beserta dengan data atribut dari masing-masing layernya hingga
akan menghasilkan layer gabungan yang memiliki informasi pada data atribut dari
masing-masing layer gabungan oleh karena itu Overlay membutuhkan lebih dari
satu layer ataupun peta (Ramadhan & Chernovita, 2021).

Ada beberapa fasilitas yang dapat digunakan pada overlay untuk


menggabungkan atau melapiskan dua peta dari satu daerah yang sama namun
beda atributnya yaitu :

1. Dissolve Themes Dissolve

Proses untuk menghilangkan batas antara poligon yang mempunyai data


atribut yang identik atau sama dalam poligon yang berbeda. Peta input yang telah
di digitasi masih dalam keadaan kasar, yaitu poligon- poligon yang berdekatan dan
memiliki warna yang sama masih terpisah oleh garis poligon. Kegunaan
dissolve yaitu menghilangan garis-garis poligon tersebut dan menggabungkan
poligon- poligon yang terpisah tersebut menjadi sebuah poligon besar dengan
warna atau atribut yang sama.

2. Merge Themes Merge themes

Suatu proses penggabungan 2 atau lebih layer menjadi 1 buah layer dengan
atribut yang berbeda dan atribut-atribut tersebut saling mengisi atau bertampalan,
dan layer-layernya saling menempel satu sama lain.

24
3. Clip One Themes Clip One themes

Proses menggabungkan data namun dalam wilayah yang kecil, misalnya


berdasarkan wilayah administrasi desa atau kecamatan. Suatu wilayah besar
diambil sebagian wilayah dan atributnya berdasarkan batas administrasi yang
kecil, sehingga layer yang akan dihasilkan yaitu layer dengan luas yang kecil
beserta atributnya.

4. Intersect Themes

Intersect yaitu suatu operasi yang memotong sebuah tema atau layer input
atau masukan dengan atribut dari tema atau overlay untuk menghasilkan output
dengan atribut yang memiliki data atribut dari kedua theme.

5. Union Themes Union

Menggabungkan fitur dari sebuah tema input dengan poligon dari tema
overlay untuk menghasilkan output yang mengandung tingkatan atau kelas
atribut.

6. Assign Data Themes

Yaitu operasi yang menggabungkan data untuk fitur theme kedua ke fitur
theme pertama yang berbagi lokasi yang sama secara mudahnya yaitu
menggabungkan kedua tema dan atributnya.

2.6 Metode perhitungan landslide vulnerability formula


Formula ini dikemukakan oleh Paimin dkk yang membagi parameter
menjadi 2 bagian besar yaitu parameter alami dengan presentase sebesar 60% dan
parameter menejemen sebesar 40%. Parameter alami penyusun formula tersebut
adalah : (1) hujan harian kumulatif 3 hari berurutan, (2) lereng lahan, (3)
geologi/batuan, (4) keberadaan sesar/patahan/gawir, (5) kedalaman tanah sampai
lapisan kedap; sedangkan faktor manajemen meliputi : (1) penggunaan lahan, (2)
infrastruktur, dan (3) kepadatan pemukiman.

25
Tabel 2.1 Metode perhitungan landslide vurnerability formula

No. Parameter/Bobot KLasifikasi Kategori Skor


A ALAMI (60 %)
a. Hujan harian kumulatif < 50 Rendah 1
3 hari berurutan (mm/3 50 - 99 Agak rendah 2
hari) 100 - 199 Sedang 3
(25 %) 200 - 300 Agak tinggi 4
> 300 Tinggi 5

b. Lereng lahan (%) < 25 Rendah 1


(15 %) 25 - 44 Agak rendah 2
45 - 64 Sedang 3
65 - 85 Agak tinggi 4
> 85 Tinggi 5
c. Geologi (Batuan) Dataran aluvial Rendah 1
(10 %) Perbukitan kapur Agak rendah 2
Perbukitan granit Sedang 3
Bukit batuan sedimen Agak tinggi 4
Bukit basal - Clay shale Tinggi 5
d. Keberadaan sesar/ Tidak ada Rendah 1
patahan/gawir Ada Tinggi 5
(5 %)
e. Kedalaman tanah (regolit) <1 Rendah 1
sampai lapisan kedap 1-2 Agak rendah 2
(5 %) 2-3 Sedang 3
3-5 Agak tinggi 4
>5 Tinggi 5

B MANAJEMEN (40 %)
Penggunaan lahan Hutan alam Rendah 1
(20 %) Semak/Belukar/Rumput Agak rendah 2
Hutan/Perkebunan Sedang 3
Tegal/Pekarangan Agak tinggi 4
Sawah/Pemukiman Tinggi 5
Infrastruktur (Jika lereng Tidak ada Jalan Rendah 1
< 25 % = skore 1) Memotong lereng/Lereng Tinggi
(15 %) terpotong jalan 5
Kepadatan pemukiman < 2000 Rendah 1
(orang/km2) (Jika lereng 2000 - 5000 Agak rendah 2
< 25 % = skore 1) 5000 - 10000 Sedang 3
(5 %) 10000 - 15000 Agak tinggi 4
> 15000 Tinggi 5

26
Untuk mengetahui tingkat rawan bencana longsor, metode yang dapat
digunakan ialah metode skoring atau penilaian. Metode skoring adalah pemberian
nilai untuk merepresentasikan tingkat kedekatan, keterkaitan atau beratnya dampak
tertentu pada suatu fenomena secara spasial. Untuk itu diperlukan suatu tolak ukur
agar penilaian dapat lebih objektif dalam penentuan tingkat kerusakan tersebut.
Berikut parameter-parameter yang digunakan dalam metode Paimin, et.al (2009)
yang diterbitkan oleh Tropenbos International Indonesia Programme yang
digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan tanah longsor terkait penelitian ini
(Tabel 2.1)

Model yang digunakan untuk mengidentifikasi kerentanan tanah longsor adalah


sebagai berikut :

Skor Total = 0.25FH + 0.10FLL + 0.10FG + 0.05FKS + 0.05FK +


0.20FPL + 0.15FI + 0.05FKP……………………………………(1)
Keterangan :
FH = Faktor Hujan Harian Maksimal 3 Harian
FLL = Faktor Lereng Lahan
FG = Faktor Geologi
FKS = Faktor Keberadaan Sesar
FK = Faktor Kegempaan
FPL = Faktor Penggunaan Lahan
FI = Faktor Insfrastruktur Jaringan Jalan
FKP = Faktor Kepadatan Pemukiman

27
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Peralatan Dan Bahan


Alat dan bahan sangat penting digunakan selama penelitian berlangsung
baik pada saat observasi lapangan/validasi data maupun pada saat proses analisis
dan penyusunan laporan. Adapun alat dan bahan tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Peta RBI skala 1:50.000, lembar Palu (2015-34) (Bakosurtanal, 1991)


digunakan untuk menentukan lokasi pengamatan.
2. Peta Geologi skala 1:250.000 (2015 & 2115) lembar Palu,(Sukamto.,
dkk,1973) digunakan sebagai informasi untuk mengetahui formasi dan
penyebaran litologi daerah penelitian.
3. Palu geologi digunkan untuk mengambil conto batuan yang segar, agar
dapat diamati secara megaskopis.
4. GPS (Global Positioning System), digunakan untuk mengetahui
posisi/letak koordinat geografis pengukuran dilokasi penelitian.
5. Kompas geologi, digunakan untuk mengukur nilai kemiringan lereng pada
lokasi penelitian
6. Lup geologi untuk membantu mengamati komposisi mineral penyusun
batuan di lapangan.
7. Kertas HVS untuk mencatat data tambahan di lapangan.
8. Buku lapangan untuk mencatat lokasi, data geomorfologi, data singkapan,
data litologi.
9. Alat tulis untuk mencatat data lapangan.
10. Kamera sebagai alat dokumentasi lokasi pengamatan singkapan, conto
batuan, bentng alam, struktur geologi yang dijumpai dilokasi penelitian.
11. Komputer/laptop untuk mengolah data hasil penelitian.

3.2 Tahap Penelitian


Tahap penelitian terbagi menjadi tahap pendahuluan, tahap pengumpulan
data, tahap pengolahan dan analisis data dan tahap penyusunan laporan

28
3.2.1 Tahap Persiapan
Pada tahapan ini terdiri dari tahap administrasi, studi literatur, dan persiapan
perlengkapan. Adapun tahap-tahap tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Administrasi

Sebelum melaksanakan penelitian hal yang perlu dilakukan adalah


pengurusan administrasi yang meliputi pengurusan surat izin, surat keterangan (SK)
pembimbing Tugas Akhir.

b. Studi Pustaka

Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah studi pustaka, yang mana
studi pustaka ini bertujuan untuk mengetahui kondisi-kondisi geologi dan
kebencanaan daerah penelitian dari literatur ataupun tulisan-tulisan yang berisi
tentang hasil penelitian terdahulu, termasuk interpretasi awal dari peta topografi
maupun dari foto udara untuk mendapatkan gambaran ataupun informasi awal
tentang kondisi daerah penelian.

c. Persiapan Perlengkapan

Pada tahapan ini meliputi pengumpulan dan pembuatan peta-peta dasar


daerah penelitian dan menyiapkan alat dan bahan yang digunakan pada saat di
lokasi penelitian.

3.2.2 Tahap Pengumpulan Data


Pada tahapan ini dibagi menjadi dua tahap pengumpulan data yaitu data
lapangan dan data Instansi.

a. Data Lapangan

Data yang didapatkan di lapangan merupakan data pengambilan contoh


sampel jenis batuan dan kedalaman tanah regolith yang merujuk pada hasil
penelitian geologi detail. Pengambilan dokumentasi titik-titik daerah yang rawan
atau telah terjadi longsor pada daerah penelitian.

29
b. Data Instansi

Data Instansi seperti curah hujan, kemiringan lereng, jenis tanah, dan
tutupan lahan didapatkan dari berbagai sumber, Adapun data tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :

1. Peta administrasi daerah Kecamatan Banawa Selatan (Sumber:


DUKCAPIL KEMENDAGRI, 2019).
2. Data kemiringan lereng daerah Tosale (Sumber: DEMNAS, 2014).
3. Data curah hujan daerah Kabupaten Donggala 1 (satu) tahun terakhir (2021-
2022) (sumber : Stasiun Meteorologi Mutiara Palu di Kota Palu).
4. Data tutupan lahan daerah Tosale (Sumber: Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, 2019).
5. Data jenis tanah daerah Tosalen(Sumber : Kementerian Pertanian dan
Esri (Environmental Systems Research Institute)).

3.2.3 Tahap Pengolahan Dan Analisis Data


Adapun rangkaian proses atau tahapan dalam pengelohan data dalam
penelitian ini meliputi antara lain:

3.2.3.1 Pembuatan Peta Parameter


Dalam penelitian ini, ada 8 (delapan) parameter yang digunakan dalam
penentuan tingkat kerentanan tanah longsor yaitu antara lain:

a. Peta Curah Hujan


Data curah hujan yang digunakan pada daerah penelitian yaitu
data 10 tahun terakhir ( 2012 – 2021 ) yang diperoleh dari Stasiun
metereologi Donggala yang bertempat di wilayah Kabupaten Donggala,
data ini didapatkan dari BMKG Mutiara Palu.
b. Peta Kemiringan Lereng
Proses pembuatan peta kemiringan lereng pada daerah penelitian
didapatkan dari data DEM (Digital Elevation Model) tahun 2014, yang
kemudian diubah dalam bentuk data raster. Untuk mendapatkan nilai tiap
kemiringan lereng digunakan bantuan software arcgis 10.8 dalam proses 3D

30
Analyst Tools → Raster Surface → Slope → Reclassify → Export format
Shp → Dissolve
c. Peta Jenis Litologi
Proses pembuatan peta jenis litologi pada daerah penelitian
berdasarkan data litologi yang telah didapatkan dari pemetaan geologi detail
sebelumnya dan juga berasal dari peta geologi regional lembar Palu
(Sukamto., dkk,1973). Dalam parameter yang ditentukan terdapat 5
kelasifikasi yaitu dataran alluvial, perbukitan kapur, perbukitan granit, bukit
satuan sedimen dan bukit basal dimana satuan batuan beku dan metamorf
masuk dalam klasifikasi perbukitan granit.
d. Peta Keberadaan Patahan/Gawir
Proses pembuatan peta ini berdasarkan data struktur yang telah
didapatkan dari pemetaan geologi detail sebelumnya dan survey langsung
di lapangan dengan melihat kenampakan kenampakan patahan/gawir di
lokasi penelitian.
e. Peta Kedalaman Tanah
Proses pembuatan peta kedalaman tanah berdasarkan data survey
langsung di lapangan dengan melihat kedalaman tanah di beberapa titik
pada lokasi penelitian.
f. Peta Penggunaan Lahan
Proses pembuatan peta penggunaan lahan (tutupan lahan) dihasilkan
dari pengolahan data Shapefile (Shp) penutupan lahan Provinsi Sulawesi
Tengah yang bersumber dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan) tahun 2019. Kemudian Shp tersebut didipotong menggunakan
tools clip sehingga menjadi shp tutupan lahan daerah penelitian dengan
bantuan software arcgis 10.8. Selanjutnya menampilkan variasi warna
untuk mempermudah pembacaan peta dari masing-masing jenis tutupan
lahan berdasarkan data pada attribute table dengan menggunakan cara klik
kanan file shp→ Layers Properties → Symbology → Categories → Value
Field → Add All Value → Color Ramp.

31
g. Peta Infrastruktur dan kepadatan penduduk
Proses pembuatan pet aini cukup menggunakan peta RBI dan data
kependudukan daerah Tosale, Kecamatan Banawa Selatan.

3.2.3.2 Pembobotan Dan Skoring


Dalam penentuan kelas kerentanan perlu melakukan pembobotan dan
skoring dengan memasukan model pembobotan dan skoring landslide vurnerability
formula (Persamaan 1.)

3.2.3.3 Penetapan Kelas Kerentanan Tanah Longsor


Klasifikasi hasil akhir dengan analisis skor dilakukan dengan membuat 5
(lima) kelas kerentanan longsor yaitu: Tidak Rentan, Sedikit Rentan, Agak Rentan,
Rentan dan Sangat Renta. Berdasarkan jumlah skor akhir, Semakin besar jumlah
skor maka Semakin tinggi tingkat kerentanan, begitupun sebaliknya.

Tabel 3.1 Kelas kerentanan tanah longsor

No. Total Skor Kategori


1. <1.7 Tidak Rentan

2. 1.7 – 2.5 Sedikit Rentan

3. 2.6 – 3.4 Agak Rentan

4. 3.5 – 4.3 Rentan

5. >4.3 Sangat Rentan

3.2.3.4 Tumpang Susun (Overlay)


Metode tumpang susun (overlay) digunakan untuk menggabungkan 8
(delapan) peta parameter tingkat kerawanan tanah longsor yang sudah diberikan
bobot dan skor yaitu peta kemiringan lereng, peta curah hujan, peta tutupan lahan,
peta jenis tanah dan peta jenis batuan, adapun tahapannya dengan cara buka
Arctoolbox → Spatial Analyst → Overlay → Intersect → Input Feature kelima
parameter → Output Feature Class untuk mengganti nama data raster menjadi
zona rawan longsor.

32
3.2.4 Tahap Penyusunan Laporan
Tahapan penyusunan laporan merupakan tahapan terakhir dari semua
tahapan yang ada dalam sebuah penelitian. Tahapan ini dilakukan setelah semua
data terkumpul baik data primer maupun data sekunder, menghasilkan peta seluruh
parameter, dan peta zona rawan longsor hasil overlay. Skema alur penelitian
disajikan dalam diagram alir penelitian.

33
3.3 Diagram Alir Penelitian

Gambar 3. 1 Diagram Alir

34
3.4 Waktu Pelaksanaan Penelitian

Tabel 3.2 Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian

WAKTU PELAKSANAAN

KEGIATAN September 2022 Oktober 2022 November 2022 Desember 2022

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Tahap Persiapan

Tahap Pengumpulan Data

Tahap Pengolahan Dan Analisis Data

Tahap Penyusunan Laporan

35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Geologi Daerah Penelitian
Informasi mengenai kondisi geologi yang berada di daerah Tosale,
Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala merujuk pada hasil penelitian
regional yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sukamto dkk, (1973) (Gambar 2.1)
dan juga hasil penelitian geologi detail pada tahun 2021 yang dilakukan oleh
Rahmawati Dalle untuk mengetahui kondisi geologi terbaru pada daerah penelitian
(Gambar 4.1)

Gambar 4. 1 Peta Geologi Daerah Penelitian (sumber : Rahmawati, 2021)

4.1.1 Staratigrafi
Berdasarkan pemetaan geologi oleh Rahmawati Dalle tahun 2021 dan
pengamatan langsung di lapangan batuan penyusun yang berada di daerah penelitian
dapat dikelompokkan kedalam 4 (empat) satuan batuan dan akan diuraikan di
bawah ini dari tertua ke termuda yaitu :

36
4.1.1.1 Satuan Sabak
Secara megaskopis, pada daerah penelitian batusabak dijumpai dalam
kondisi segar memperlihatkan ciri fisik berwarna abu-abu kehitaman dan warna
lapuk abu-abu, tekstur lepidoblastik, struktur slaty. Berdasarkan sifat fisik dan
komposisi mineralnya maka nama batuannya adalah Batusabak (SCMR,2007).

Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung di lapangan


terhadap sifat fisik dan komposisi mineral yang bisa diamati oleh mata,
Penyebaran satuan ini menempati 32,2 % dari luas keseluruhan daerah penelitian,
dengan luas penyebaran 988,80 ha . Penyebaran satuan metamorf ini menempati
bagian Timur lokasi penelitian yang memanjang dari Selatan ke Utara. (Gambar
4.1)

Berdasarkan kesamaan ciri fisik litologi dan penyebaran geografisnya


maka satuan metamorf ini dapat disebandingkan Formasi Tinombo yang berumur
Eosen.

Gambar 4.2 Singkapan Sabak yang dijumpai di lokasi penelitian. Arah foto N 5º E

4.1.1.2 Satuan Andesit


Penamaan dari litologinya didasarkan atas pengamatan secara megaskopis
Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisik dan

37
komposisi mineralnya yang kemudian penamaanya menggunakan klasifikasi
Travis 1955. Pada kenampakan lapangan satuan ini dijumpai warna segar kuning
warna lapuk coklat, tekstur holokristalin/Porfiroafanitik/subhedral/equigranular,
struktur masif. Secara megaskopis mineral-mineral yang dapat diamati antara lain
massa dasar, plagioklas, muskovit, ortoklas, dan hornblende. Dimana mineral
plagioklas mendominasi ± 50 % dan piroksen batuan ini sehingga penamaan satuan
ini yaitu Andesit (Travis,1955). Penyebaran satuan Andesit ini meliputi 1760,11
ha atau sekitar 57,3 % dari luas daerah penelitian. Satuan ini terdapat pada Selatan
Barat daya mengarah ke Utara Barat laut daerah penelitian. (Gambar 4.1)

Penentuan umur batuan Andesit pada daerah penelitian dari letak geografis
dan kesebandingan terhadap stratigrafi regional daerah penelitian (gr), generasi
Intrusi dimana yang tertua ialah Andesit dan Basal kecil-kecil di semenanjung
Donggala. Intrusi-intrusi ini mungkin merupakan saluran-saluran batuan vulkanik
di dalam Formasi Tinombo yang diperkirakan berumur Oligosen Atas.

Gambar 4.3 Singkapan Andesit yang dijumpai di lokasi penelitian. Arah foto N 276º E

4.1.1.3 Satuan Konglomerat


Penamaan litologi pada satuan ini didasarkan pada penamaan secara
megaskopis. Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap

38
ciri fisik dan komposisi mineral yang bisa teramati secara langsung dengan mata
biasa, kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi ukuran butir Wentworth
(1922). Kenampakan megaskopis memiliki warna coklat, ukuran fragmen dari
kerikil sampai bongkah, terdiri dari fragmen batuan beku andesit, batuan metamorf
yaitu Batusabak, ukuran butir membundar, kemas terbuka, terpilah buruk,
porositas buruk, matriks terdiri dari pasir kasar. Berdasarkan ciri fisik tersebut
maka nama batuan ini adalah Konglomerat (Wentworth,1922). Litologi yang
menyusun satuan konglomerat ini beranggotakan konglomerat dan batupasir.

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 279,69 ha atau 9,1 % dari luas
keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini secara umum menempati bagian tengah
aerah penelitian yang menyebar relatif dari Utara ke Selatan (Gambar 4.1)
Penentuan umur dilakukan berdasarkan kesebandingan terhadap geologi regional
pada satuan endapan Molasa yaitu memiliki umur Miosen.

Gambar 4.4 Singkapan Konglomerat yang dijumpai di lokasi penelitian. Arah foto N 12º E

4.1.1.4 Satuan Alluvial


Satuan Alluvial pada daerah penelitian yang tersebar sepanjang 42,07 ha
atau 1,2 % yang berada dilokasi penelitian dimana satuan ini terdiri dari Bongkah,
kerikil, kerakal, dan pasir. Satuan ini berasal dari rombakan berbagai macam jenis
batuan dari tua sampai muda, kemudian terendapkan di daerah rendah seperti di

39
sepanjang aliran sungai dan lembah-lembah pegunungan. Proses pembentukan
alluvial berlangsung hingga saat ini maka satuan ini berumur Holosen.

Gambar 4.5 Singkapan Konglomerat yang dijumpai di lokasi penelitian. Arah foto N 95º E

4.1.2 Struktur Geologi


Struktur geologi yang ada di daerah pemetaan yakni pada Daerah Tosale dan
sekitarnya terdiri dari Sesar geser dan Sesar turun, dimana Sesar geser dicirikan
oleh breksi sesar sedangkan Sesar turun dicirikan oleh Gawir dan air terjun.
Penarikan struktur didaerah penelitian didasarkan pada bukti nyata yang langsung
didapatkan di lapangan dimana struktur tersebut sangat berpengaruh terhadap
kenampakan morfologi dan penyebaran batuan di daerah pemetaan.
4.1.2.1 Kekar
Jenis kekar pada daerah penelitian yaitu terdiri kekar sistematik berupa
kekar tarik dimana pada daerah penelitian kekar yang dijumpai dalam bentuk
berpasangan. Dimana kekar berpasangan,ditandai dengan memotong batuan
dengan membentuk pola tertentu serta berpotongan maupun sejajar dengan bidang-
bidang permukaan yang relatif rata dan licin. Selain itu ditemukan pula kekar
nonsistematik berupa kekar gerus pada daerah penelitian.

40
Gambar 4. 6 (a) Kenampakan kekar tarik pada litologi Andesit. Arah foto N 260º E (b)
Kenampakan kekar gerus pada litologi Sabak Arah foto N 25º E

4.1.2.2 Sesar
Interpretasi struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian
didasarkan pada data-data primer maupun sekunder yang di jumpai. Sesar dapat
dikenali melalui indikasi atau ciri berdasarkan kenampakan secara langsung di
lapangan. Struktur sesar yang dijumpai pada daerah penelitian adalah Sesar Geser
Sinistral Powelua dan Sesar Geser Dekstral Lampo yang dicirikan ditemukan nya
breksi sesar pada daerah penelitian. Dijumpai juga kenampakan Gawir dan air
Terjun sebagai penciri Sesar Turun Tosale

Gambar 4. 7 (a) kenampakan breksi sesar pada lokasi Sesar Geser Sinistral Powelua. Arah foto N
10º E (b) kenampakan breksi sesar pada lokasi Sesar Geser Dekstral Lampo Arah foto N 7º E (c)
kenampakan air terjun pada lokasi Sesar turun Tosale. Arah foto N 273º E (d) kenampakan gawir
sesar pada lokasi Sesar Turun Tosale. Arah foto N 95º E.

41
4.2 Hasil Pengolahan Data
4.2.1 Curah Hujan
Data curah hujan yang didapatkan berasal dari BMKG Mutiara Palu
berupa data curah hujan bulanan Banawa Selatan dalam kurun waktu 10 tahun
(Tabel 4.1) dan data curah hujan tertinggi 3 hari berturut turut selama periode 10
(sepuluh) tahun terakhir. (Tabel 4.2)

Tabel 4. 1 Data curah hujan bulanan Banawa Selatan

Tabel 4.2 Data curah hujan tertinggi 3 hari berturut turut Banawa Selatan

Curah Hujan
Hari Ke- Bulan Tahun
(Mm/Hari)
17 Juli 2013 902,5
18 Juli 2013 822,7
19 Juli 2013 617,0
Rata - Rata 780,7

Dalam proses pembuatan peta parameter curah hujan dilakukan


klasifikasi berdasarkan studi kasus penelitian. Dari studi kasus tersebut
didapatkan nilai rata-rata curah hujan tertinggi 3 hari berturut turut dalam
10 tahun terakhir di kecamatan Banawa Selatan yaitu 780,7 mm/hari
Intensitas curah hujan harian tertinggi dalam 10 tahun terakhir ini terjadi
pada 17 Juli 2013 dengan intensitas curah hujan mencapai 902,7 mm/tahun,
sedangkan intensitas curah hujan tertinggi setelahnya terjadi pada 18 dan
19 Juli 2013 yaitu 822,7 mm/hari dan 617,0 mm/hari. Selanjutnya nilai
intensitas curah hujan rata-rata yang diperoleh diolah untuk menentukan

42
nilai pengkelasan. Dari data tersebut memperlihatkan sebaran intensitas
curah hujan daerah penelitian berada di kelas tinggi >300 mm/3hari. Adapun
peta distribusi curah hujan hasil dari klasifikasi yang telah di
lakukan dapat dilihat pada gambar 4.8.

Gambar 4.8 Peta Curah Hujan Daerah penelitian

4.2.2 Kemiringan Lereng


Berdasarkan hasil pengolahan dari data DEM yang dikelaskan
menggunakan klasifikasi kemiringan lereng yang dibuat oleh Paimin dkk pada
tahun 2009 , maka didapatkan data kemiringan lereng daerah penelitian :

Tabel 4.3 Luas Parameter Kemiringan Lereng. (Sumber : Hasil perhitungan)

Nilai Kemiringan Slope Kelas Presentase Luas (Ha)


1 0 - 25 % Rendah (%)
6,3 196,16
2 26 - 44 % Agak Rendah 8 248,50
3 45 - 64 % Sedang 16,2 499,60
4 65 - 85 % Agak Tinggi 41,4 1271,86
5 > 85 % Tinggi 27,8 854,56
Total 3070.68

43
Berdasarkan pada tabel 4.3 presentase data kemringan lereng yang
diperoleh dari tertinggi sampai terendah yaitu untuk kelas agak tinggi dengan
kemiringan 65-85% sebesar 41.4 %, kelas tinggi dengan kemiringan >85% sebesar
27,8 %, kelas sedang dengan kemiringan 45-64 % sebesar 16,2%, kelas agak
rendah dengan kemiringan 26-44 % sebesar 8 %, dan kelas rendah dengan
kemiringan 0-25 % sebesar 6,3 %.

Pengolahan data DEM menghasilkan peta dua dimensi yang


menggambarkan kondisi kemiringan lereng di daerah penelitian (Gambar 4.9). Dari
peta kemiringan lereng didapatkan bentuk kelas lereng yang sangat bervariasi, hal
ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh kondisi geologi daerah penelitian yang
dikontrol oleh struktur geologi. Semakin curam kondisi suatu lereng maka semakin
besar pula resiko terjadinya longsor.

Gambar 4.9 Peta kemiringan lereng daerah penelitian

4.2.3 Geologi (Litologi)


Litologi pada daerah penelitian didasarkan pada peta geologi hasil dari
penelitian geologi detail Rahmawati Dalle yang telah dilakukan pada tahun 2021
(Gambar 4.1) dan pengamatan langsung di lapangan. Adapun litologi yang

44
dijumpai pada daerah penelitian terbagi atas 4 (empat) satuan batuan, diantaranya
satuan Sabak yang beranggotakan Batusabak, satuan Andesit yang beranggotakan
Andesit, satuan Konglomerat yang beranggotakan Konglomerat dan Batupasir dan
satuan Alluvial yang beranggotakan kerikil, kerakal dan Batupasir. Adapun luasan
dari masing-masing satuan batuan ini dapat dilihat pada (Tabel 4.4):

Tabel 4.4 Parameter Jenis Litologi (Sumber : Hasil Perhitungan)


Satuan Batuan Litologi Presentase (%) Luas (ha)
Sabak Batusabak 32,2 988,80
Andesit Andesit 57,3 1760,11
Konglomerat dan
Konglomerat 9,1 279,69
Batupasir
Kerikil, Kerakal,
Alluvial 1,2 42,07
dan Batupasir
Total 3070,69

Berdasarkan pada tabel 4.4 data litologi yang diperoleh persentase luasan
penyebaran litologi daerah penelitian. Persentase luas litologi yaitu untuk satuan
Sabak sebesar 32,2 %, Satuan Andesit 57,3 %, Satuan Konglomerat sebesar 9,1 %,
dam satuan Alluvial 1,2 %. Dari tabel tersebut menunjukan bahwa satuan Andesit
adalah satuan dengan luasan penyebaran yang mendominasi pada daerah penelitian.

Dalam pengolahan kondisi litologi daerah penelitian digunakan data primer


berupa hasil penelitian geologi detail Rahmawati Dalle yang dilakukan pada tahun
2021 dan pengamatan langsung di lapangan. Dalam hal ini pemanfaatan software
arcgis sangat diperlukan untuk melihat kondisi dan penyebaran satuan batuan dalam
bentuk peta pada daerah penelitian. Dari gambaran peta kondisi litologi yang
diperoleh dari hasil pengolahan memperlihatkan penyebaran empat satuan batuan
yang bervariasi, hal ini tentunya tidak lepas dari pengaruh sturktur dan kondisi
geologi sebagai faktor pemicu utama.

45
Pada peta litologi (Gambar 4.10) satuan Sabak tersebar pada bagian Timur
lokasi penelitian yang memanjang dari Selatan ke Utara, sedangkan untuk satuan
Andesit tersebar pada Selatan Barat daya mengarah ke Utara Barat laut daerah
penelitian, adapun satuan Konglomerat tersebar bagian tengah dan Barat daerah
penelitian yang menyebar relatif dari Utara ke Selatan dan satuan Alluvial yang
tersebar di bagian Utara daerah penelitian yang menyebar relative dari Utara ke
Selatan.

Gambar 4.10 Peta Litologi Daerah Penelitian

4.2.4 Keberadaaan Sesar/Patahan


Keberadaan sesar/patahan didasarkan atas penelitian geologi detail
Rahmawati Dalle yang dilakukan tahun 2021. Struktur geologi yang ada di daerah
pemetaan yakni pada Daerah Tosale dan sekitarnya terdiri dari Sesar geser dan
Sesar turun, dimana Sesar geser terdiri dari breksi sesar, sedangkan Sesar turun
terdiri dari, air terjun, dan gawir. Penarikan struktur didaerah penelitian didasarkan
pada bukti nyata yang langsung didapatkan dilapangan dimana struktur tersebut
sangat berpengaruh terhadap kenampakan morfologi dan penyebaran batuan di
daerah pemetaan. Adapun hasil klasifikasi keberadaan sesar/patahan pada daerah

46
penelitian yaitu terdapat keberadaan sesar dan tidak terdapat keberadaan sesar.
Berikut adalah luas daerah terdapat keberadaan sesar dan tidak terdapat keberadaan
sesar (Tabel 4.5)

Tabel 4.5 Parameter Keberadaan Sesar/Patahan Daerah Penelitian

Keberadaan Sesar/Patahan Presentase (%) Luas (Ha)


Terdapat keberadaan sesar/patahan 24,1 742,97
Tidak terdapat keberadaan sesar/patahan 75,8 2327,72
Total 2070,69

Berdasarkan pada peta struktur geologi daerah penelitian (Gambar 4.11)


dibuatlah presentase daerah keterdapatan keberadaan sesar dan daerah yang tidak
terdapat keberadaan sesar. Berdasarkan table 4.5 presentase keberadaan
sesar/patahan menggambarkan terdapat 24,1 % atau 742,97 ha daerah yang terdapat
keberadaan sesar dan terdapat 75,8 % atau 2327,72 ha daerah yang tidak terdapat
keberadaan sesar.

Gambar 4. 11 Peta Keberadaan Struktur/Patahan Daerah Penelitian

47
4.2.5 Kedalaman Tanah/Regolith
Kedalaman tanah/regolith didapatkan dari hasil pengamatan langsung
dilapangan dengan mengukur secara langsung kedalaman tanah dibeberapa titik di
daerah penelitian, dari hasil pengukuran tersebut didapatkan daerah dengan luas
149,46 ha dengan kedalaman tanah 1-2 meter masuk dalam kelas agak rendah
adapun daerah dengan luas 1647,70 ha dengan kedalaman tanah 2-3 meter masuk
dalam kelas sedang dan daerah dengan luas 1420,64 ha dengan kedalaman tanah 3-
5 meter masuk dalam kelas agak tinggi.

Adapun hasil klasifikasi kedalaman tanah/regolith pada daerah penelitian


yaitu 1-2 meter, 2-3 meter dan 3-5 meter. Berikut adalah luas daerah kedalaman
tanah/regolith (Tabel 4.6)

Tabel 4.6 Parameter Kedalaman Tanah/Regolith

Kedalaman Tanah/Regolith Presentase (%) Luas (Ha)


1-2 meter 3,43 105,51
2-3 meter 52,06 1598,66
3-5 meter 44,66 1371,60
Total 3070,69

Berdasarkan table 4.6 presentase kedalaman tanah/regolith sebesar 3,43 %


daerah yang memiliki kedalaman tanah 1-2 meter, sebesar 52,06 % daerah yang
memiliki kedalaman tanah 2-3 meter dan sebesar 44,66 % daerah yang memiliki
kedalaman tanah 3-5 meter. Hasil dari pengamatan dapat dilihat pada peta
kedalaman tanah/regolith (Gambar 4.12) yang dimana terdapat 3 pembagian kelas
kedalaman tanah/regolith.

48
Gambar 4.12 Peta Kedalaman Tanah/Regolith Daerah Penelitian

4.2.6 Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi atau
meningkatkan resiko terjadinya longsor apabila penggunaan suatu lahan tersebut
tidak sesuai sehingga akan berpengaruh terhadap kestabilan suatu lereng. Adapun
hasil klasifikasi penggunaan lahan pada daerah penelitian yaitu hutan, belukar dan
pemukiman. Berikut adalah luas dari tutupan lahan yang berada di daerah penelitian
(Tabel. 4.7).

Tabel 4.7 Parameter Penggunaan Lahan

Penggunaan Lahan Presentase (%) Luas (Ha)


Hutan 4 123,8
Belukar 95,8 2942,62
Pemukiman 0,13 4,18
Total 3070,69

49
Berdasarkan pada tabel 4.7 presentase data penggunaan lahan tertinggi
sampai terendah yaitu untuk daerah belukar sebesar 95,8 %, hutan sebesar 4 %, dan
pemukiman sebesar 0,13 %.

Dalam pengolahan penggunaan lahan daerah penelitian digunakan data


tutupan lahan yang diporoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan
tahun 2021. Untuk mendapatkan gambaran tutupan lahan daerah penelitian dalam
bentuk peta dua dimensi, Penyebaran tutupan lahan dapat dilihat pada peta
penggunaan lahan daerah penelitian (Gambar 4.13)

Gambar 4.13 Peta Tutupan Lahan Daerah Penelitian

4.2.7 Infrastruktur (Jalan)


Infrastuktur pada suatu daerah akan mempengaruhi atau meningkatkan
resiko terjadinya longsor apabila infrastruktur tersebut tidak sesuai sehingga akan
berpengaruh terhadap kestabilan suatu lereng. Dalam hal ini adalah infrastruktur
berupa jalan yang memotong lereng, maka dilakukan pengamatan secara langsung
jalan jalan yang memotong lereng di daerah penelitian. Adapun hasil klasifikasi
infrastruktur pada daerah penelitian yaitu jalan memotong lereng dan jalan tidak

50
memotong lereng. Berikut adalah luas daerah jalan yang memotong lereng dan jalan
yang tidak memotong lereng (Tabel 4.8)

Tabel 4.8 Parameter Infrastruktur Daerah Penelitian

Infrastruktur Presentase (%) Luas (Ha)


Jalan memotong lereng 95,7 305,38
Jalan tidak memotong lereng 4,3 13,46
Total 318,84

Berdasarkan pada tabel 4.8 presentase data infrastruktur dari tertinggi


sampai terendah yaitu untuk daerah jalan memotong lereng 95,7 % dan jalan tidak
memotong lereng 4,3 %. Penyebaran infrastruktr pada derah penelitian dapat dilihat
pada peta infrastruktur (Gambar 4.14)

Gambar 4.14 Peta Infrastruktur Daerah Penelitian

51
4.2.8 Kepadatan Pemukiman
Kepadatan penduduk pada suatu daerah akan mempengaruhi atau
meningkatkan resiko terjadinya longsor apabila jumlah penduduk yang terlalu
banyak sehigga pembangunan pemukiman nya tidak teratur. Data dari kepadatan
penduduk pada derah penelitian diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi
Sulawesi Tengah Tahun 2020 yang diterbitkan secara resmi Tahun 2021 dalam
dokumen Banawa Selatan Dalam Angka 2020.

Tabel 4.9 Data kepadatan penduduk Banawa Selatan (Sumber : Banawa Selatan Dalam Angka
2020)

Jumlah Kepadatan
No. Desa/Kelurahan
Penduduk Penduduk/Km2
1. Mbuwu 1639 36
2. Salumpaka 1243 22
3. Watatu 3362 164
4. Surumana 1429 164
5. Lalombi 1770 154
6. Tanah Mea 1604 327
7. Bambarimi 1129 34
8. Salungkaenu 997 19
9. Lumbumamara 1673 41
10. Tolongano 1769 218
11. Tosale 2160 172
12. Lumbutarombo 1274 199
13. Malino 1022 17
14. Ongulara 746 32
15. Lumbulama 992 51
16. Salusumpu 784 73
17. Sorambaya 772 241
18. Lembasada 739 156
19. Tanampulu 681 44

Daerah Tosale memiliki kepadatan penduduk 172/km2 yang dimana masuk


dalam kelas rendah kurang dari 2000/km2. Penyebaran kepadatan penduduk pada
daerah penelitian dapat dilihat pada peta kepadatan penduduk (Gambar 4.15)

52
Gambar 4.15 Peta Kepadatan Penduduk Daerah Penelitian

4.2.2 Analisis Tingkat Kerentanan Tanah Longsor


Analisis potensi terjadinya longsor pada daerah penelitian diperoleh dari
hasil pembobotan dan skoring berdasarkan pada klasifikasi longsor Paimin,dkk
tahun 2009 pada tiap-tiap parameter yang digunakan. Parameter tersebut berupa
data curah hujan, kemiringan lereng, litologi, keberadaan sesar/patahan, kedalaman
tanah/regolith, kepadatan penduduk, infrastruktur dan tutupan lahan. Selanjutnya
melakukan overlay atau tumpang susun dengan pemanfaatan bantuan software
arcgis untuk masing-masing parameter (Gambar 4.24).

Setelah memperoleh hasil dari overlay kedelapan parameter longsor,


selanjutnya melakukan klasifikasi tingkat kerentanan tanah longsor dan terdapat 4
(empat) kelas yaitu sedikit rentan, agak rentan, rentan, sangat rentan, serta
menentukan luasan daerah yang berpotensi terjadinya longsor pada daerah
penelitian (Tabel 4.8).

53
Tabel 4.10 Kelas kerentanan tanah longsor pada daerah penelitian

Tingkat Kerentanan Tanah Longsor Presentase Luas (Ha)


(%)
Sedikit Rentan 6,3 195,62
Agak Rentan 86,7 2662,37
Rentan 6,9 211,97
Sangat Rentan 0,02 0,7320
Total 3070,69

Berdasarkan pada tabel 4.10 presentase tingkat kerentanan longsor dari


sangat rentan sampai agak rentan yaitu untuk tingkat kerentanan kelas sangat rentan
sebesar 0,02 %, tingkat kerentanan kelas rentan sebesar 6,9 %, tingkat kerentanan
kelas agak rentan sebesar 86,7 % dan tingkat kerentanan kelas sedikit rentan 6,3 %

Gambar 4. 16 Tumpang Susun (overlay)Tiap Parameter Longsor Daerah Penelitian

54
Tahap akhir dari pengolahan potensi bencana longsor daerah penelitian
adalah menggambarkan kondisi kerentanan longsor dalam bentuk peta dua dimensi
dengan menggabungkan parameter-parameter yang menjadi pemicu bencana
longsor (Gambar 4.24), sehingga dapat meminimalisir korban bencana longsor
dengan menerapkan upaya dan strategi mitigasi bencana oleh masyarakat dan
pemerintah setempat.

Gambar 4.17 Peta Kerentanan Longsor Daerah Penelitian

4.2.2.1 Tingkat Kerentanan Tanah Longsor Kelas Sedikit Rentan


Berdasarkan pada gambar 4.17 tingkat kerentanan tanah longsor kelas
sedikit rentan paling banyak tersebar dibagian barat, utara dan selatan pada daerah
penelitian dengan presentase 6,3 % Tentunya hal ini menunjukan bawah potensi
terjadinya bencana longsor tidak begitu signifikan. Pada musim penghujan tiba
dengan intensitas rata-rata 3 hari berturut turut tertinggi dalam 10 tahun terakhir
600 – 903 mm/hari. potensi terjadinya longsor pada daerah ini tergolong sedikit
rentan terjadinya longsor akibat parameter lainnya sebagai pemicu tidak memiliki
peran yang besar untuk ikut mengganggu kestabilan suatu lereng. Misalnya saja
kemiringa lereng pada daerah ini hanya berkisar antara 25-44 % yang masih
dikategorikan agak rendah, dengan kondisi litologi yang didominasi oleh

55
konglomerat dengan tekstur yang tidak terlalu membuat daerah ini tergolong sedikit
rentan mengalami tanah longsor.

Gambar 4.18 (a) Kondisi lereng dengan kemiringan agak rendah. Arah foto N 102º E (b)
kenampakan singkapan konglomerat Arah foto N 13º E

Daerah ini juga tidak didominasi adanya kenampakan sesar/patahan dan


berdasarkan pengamatan di lapangan, pelapukan litologi didominasi kategori agak
tinggi dengan kenampakan soil yang dijumpai tidak terlalu tebal berkisar 1-3 meter
sehingga daerah ini sedikit rentan terjadinya tanah longsor. Adapun tutupan lahan
untuk daerah ini didominasi belukar yang cukup mampu berperan dalam menjaga
kestabilan lereng. Daerah ini tidak memiliki jalan yang memotong lereng sehingga
tidak berpengaruh terhadap potensi terjadinya longsor dan juga kepadatan
penduduk yang masih rendah yaitu kurang dari 2000/km2. Dalam pengamatan
ditemukan titik yang sedikit rentan terjadi nya longsor (Gambar 4.20).

Gambar 4.19 (a) kenampakan soil dengan tebal ± 1 meter pada lokasi penelitian Arah foto N 87º E
(b) Kenampakan tutupan lahan belukar. Arah foto N 125º E

56
Luas daerah dengan potensi tanah longsor sedikit rentan terbilang yang
cukup kecil jika dibandingkan dengan luas daerah potensi tanah longsor lainnya.
Daerah ini cukup cocok untuk menjadi pusat pembangunan karena selain cukup
aman dari bencana tanah longsor juga daerah ini ada yang dekat dengan jalan.
masyarakat yang melakukan pembangunan dekat dengan jalan tentu akan
mempermudah berbagai urusan mereka. Maka dari itu jika daerah ini cocok
dilakukan pembangunan dengan tetap memperhatikan aspek aspek pemicu dari
tanah longsor.

Gambar 4.20 Kenampakan titik berpotensi sedikit rentan terhadap longsor. Arah foto N 97º E

4.2.2.2 Tingkat Kerentanan Tanah Longsor Kelas Agak Rentan


Berdasarkan pada gambar 4.17 tingkat kerentanan tanah longsor kelas ini
paling banyak tersebar hampir diseluruh daerah penelitian dengan presentase 86,7
%. Tentunya hal ini menunjukan bahwa potensi agak rentan terjadinya bencana
longsor masih perlu di waspadai. Pada musim penghujan tiba dengan intensitas
rata-rata 3 hari berturut turut tertinggi dalam 10 tahun terakhir 600 – 903 mm/hari.
potensi terjadinya longsor pada daerah ini tergolong agak rentan terjadinya longsor
akibat parameter lainnya sebagai pemicu memiliki peran yang cukup besar untuk
ikut mengganggu kestabilan suatu lereng. Misalnya saja kemiringa lereng berkisar

57
antara 25-85 % dikategorikan agak rendah - tinggi, dengan kondisi litologi yang
didominasi oleh batuan andesit dan batuan sabak membuat daerah ini tergolong
agak rentan mengalami tanah longsor.

Gambar 4.21 (a) Kondisi lereng dengan kemiringan sedang. Arah foto N 117º E (b) Kenampakan
singkapan Andesit. Arah foto N 283º E (c) Kenampakan singkapan Sabak. Arah foto N 122º E

Daerah ini juga terdapat kenampakan sesar/patahan berupa air terjun, breksi
sesar dan gawir, berdasarkan pengamatan di lapangan, pelapukan litologi
didominasi kategori sedang sampai agak tinggi dengan kenampakan soil yang
dijumpai cukup tebal berkisar 2-5 meter sehingga daerah ini agak rentan terjadinya
tanah longsor. Adapun tutupan lahan untuk daerah ini didominasi belukar yang
cukup mampu berperan dalam menjaga kestabilan lereng. Daerah ini tidak memiliki
jalan yang memotong lereng sehingga tidak berpengaruh terhadap potensi
terjadinya longsor dan juga kepadatan penduduk yang masih rendah yaitu kurang
dari 2000/km2. Dalam pengamatan ditemukan titik yang agak rentan terjadi nya
longsor (Gambar 4.22).

58
Gambar 4.22 (a) Kenampakan air terjun. Arah foto N 273º E (b) Kenampakan breksi sesar. Arah
foto N 7º E (c) Kenampakan gawir. Arah foto N 95º E (d) Kenampakan soil dengan tebal ± 2
meter. Arah foto N 111º E (e) Kenampakan tutupan lahan belukar. Arah foto N 72º E (f)
Kenampakan titik berpotensi sedikit rentan terhadap longsor. Arah foto N 100º E

Luas daerah dengan potensi tanah longsor agak rentan menjadi daerah yang
paling luas jika dibandingkan dengan luas daerah potensi tanah longsor lainnya, Hal
ini tentu nya bisa menjadi perhatian khusus untuk melakukan pembangunan karena
di wilayah ini bisa dilakukan banyak pembangunan mengingat daerahnya yang
sangat luas. maka dari itu perlu memperhatikan hal – hal penyebab tanah longsor
dalam melakukan pembangunan.

59
4.2.2.3 Tingkat Kerentanan Tanah Longsor Kelas Rentan
Berdasarkan pada gambar 4.17 tingkat kerentanan tanah longsor kelas
rentan banyak tersebar di timur dan selatan dengan presentase 6,9 %. Tentunya hal
ini menunjukan bahwa potensi terjadinya bencana cukup rentan terjadi. Pada musim
penghujan tiba dengan intensitas rata-rata 3 hari berturut turut tertinggi dalam 10
tahun terakhir 600 – 903 mm/hari. potensi terjadinya longsor pada daerah ini
tergolong rentan terjadinya longsor akibat parameter lainnya sebagai pemicu
memiliki peran yang besar untuk ikut mengganggu kestabilan suatu lereng.
Meskipun memiliki kondisi litologi yang didominasi oleh batuan beku dan batuan
metamorf namun kemiringa lereng pada daerah ini berkisar antara 65-85 % kategori
agak tinggi, membuat daerah ini tergolong rentan mengalami tanah longsor.

Gambar 4.23 (a) Kondisi lereng dengan kemiringan agak landai. Arah foto N 65º E (b)
Kenampakan singkapan Andesit. Arah foto N 262º E (c) Kenampakan singkapan Sabak. Arah foto
N 17º E

Daerah ini juga terdapat kenampakan sesar/patahan berupa breksi sesar,


berdasarkan pengamatan di lapangan, meskipun tutupan lahan untuk daerah ini

60
didominasi belukar yang cukup mampu berperan dalam menjaga kestabilan lereng,
namun pelapukan litologi di daerah ini didominasi kategori agak tinggi dengan
kenampakan soil yang dijumpai sangat tebal berkisar 3-5 meter sehingga daerah ini
rentan terjadinya tanah longsor. Daerah ini memiliki jalan yang memotong lereng
sehingga sangat berpengaruh terhadap potensi terjadinya longsor. Daerah ini
memiliki kepadatan penduduk yang masih rendah yaitu kurang dari 2000/km2.
Dalam pengamatan ditemukan titik yang agak rentan terjadi nya longsor (Gambar
4.47). Pada daerah ini ditemukan mobil yang jatuh ke jurang akbiat dari jalan yang
longsor (Gambar 4.24)

Gambar 4.24 (a) Kenampakan breksi sesar. Arah foto N 10º E (b) Kenampakan soil dengan
ketebalan ± 3 meter. Arah foto N 22º E (c) Kenampakan tutupan lahan belukar. Arah foto N 217º
E (d) Kenampakan jalan memotong lereng. Arah foto N 277º E (e) Kenampakan titik berpotensi
rentan terhadap tanah longsor. Arah foto N 252º E (f) Kenampakan truk yang jatuh ke jurang.
Arah foto N 220º E

61
Luas daerah dengan potensi tanah longsor rentan terbilang kecil jika
dibandingkan dengan luas daerah potensi tanah longsor agak rentan, Meskipun
demikian daerah ini yang paling berpotensi menjadi tempat pembangunan karena
letak nya sangat dekat dengan jalan. Maka dari itu jika daerah ini tidak diperhatikan
dalam proses pembangunan nya maka akan sangat berbahaya bagi masyarakat
setempat. Hal tersebut sudah dibuktikan dari temuan adanya truk yang jatuh ke
jurang karena jalan yang memotong lereng tersebut longsor.

4.2.2.4 Tingkat Kerentanan Tanah Longsor Kelas Sangat Rentan


Berdasarkan pada gambar 4.17 tingkat kerentanan tanah longsor kelas
sangat rentan tersebar di Selatan dengan presentase 0,02 %. hal ini menunjukan
bahwa potensi sangat rentan terjadinya bencana tanah longsor kecil terjadi. Pada
musim penghujan tiba dengan intensitas rata-rata 3 hari berturut turut tertinggi
dalam 10 tahun terakhir 600 – 903 mm/hari. potensi terjadinya longsor pada daerah
ini tergolong sangat rentan terjadinya longsor akibat parameter lainnya sebagai
pemicu memiliki peran yang besar untuk ikut mengganggu kestabilan suatu lereng.
Meskipun memiliki kondisi litologi yang didominasi oleh batuan dan batuan
metamorf namun kemiringan lereng pada daerah ini >85 % yang dikategorikan
tinggi, membuat daerah ini tergolong sangat rentan mengalami tanah longsor
(Gambar 4.25)

Daerah ini juga dilalui garis sesar/patahan. Berdasarkan pengamatan di


lapangan, meskipun tutupan lahan untuk daerah ini didominasi belukar yang cukup
mampu berperan dalam menjaga kestabilan lereng, namun pelapukan litologi di
daerah ini didominasi kategori agak tinggi dengan kenampakan soil yang dijumpai
cukup tebal berkisar 2-3 meter sehingga daerah ini rentan terjadinya tanah longsor.
Daerah ini memiliki jalan yang memotong lereng sehingga sangat berpengaruh
terhadap potensi terjadinya longsor. Daerah ini memiliki kepadatan penduduk yang
masih rendah yaitu kurang dari 2000/km2. Dalam pengamatan ditemukan titik yang
agak rentan terjadi nya longsor (Gambar 4.26).

62
Gambar 4.25 (a) Kondisi Lereng dengan kemiringan tinggi. Arah foto N 322º E (b) Kenampakan
singkapan Andesit. Arah foto N 260º E (c) Kenampakan singkapan Sabak. Arah foto N 3º E

Luas daerah dengan potensi tanah longsor sangat rentan terbilang yang
paling kecil jika dibandingkan dengan luas daerah potensi tanah longsor lainnya.
Meskipun demikian daerah ini bisa saja menjadi pusat pembangunan karena dekat
dengan sungai, masyarakat tentu akan lebih memilih melakukan pembangunan
dekat dengan sungai karena akan mempermudah berbagai urusan mereka. Maka
dari itu jika daerah ini tidak diperhatikan dalam proses pembangunan nya maka
akan sangat berbahaya bagi masyarakat setempat.

63
Gambar 4.26 (a) Kenampakan soil dengan tebal ± 3 meter. Arah foto N 45º E (b) Kenampakan
tutupan lahan belukar. Arah foto N 57º E (c) Kenampakan jalan memotong lereng. Arah foto N
342º E (d) Kenampakan titik sangat rentan berpotensi tanah longsor. Arah foto N 284º E

64
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor yang berperan meningkatkan potensi bencana longsor pada daerah


penelitian adalahcurah hujan, kemiringan lereng, litologi batuan, keberadaan
sesar/patahan, kedalaman tanah/regolith, penggunaan jalan, infrastruktur jalan
yang memotong lereng dan kepadatan penduduk. Namun yang paling
mempengaruhi terjadinya tanah longsor pada daerah penelitian adalah struktur
geologi dan Infrastruktur jalan yang memotong lereng. Diketahui bahwa
keterdapatan jalur sesar disertai tanda keberadaan sesar mengakibatkan banyak
terdapat kekar yang mempercepat proses pelapukan batuan dan mengakibatkan
pembentukan perbukitan tinggi yang memiliki kemiringan lereng agak tinggi
sampai tinggi. Jalan yang memotong lereng yang menyebabkan hilangnya
kemampuan lereng untuk menopang beban tanah diatasnya juga sangat
berpengaruh terhadap proses terjadinya longsor.
2. Berdasarkan hasil pengolahan data parameter longsor didapatkan 4 (empat)
kelas kerentanan tanah longsor yaitu tingkat kerentanan tanah longsor kelas
sedikit rentan dengan luas 195,62 ha, tingkat kerentanan tanah longsor kelas
agak rentan dengan luas 2662,37 ha, tingkat kerentanan tanah longsor kelas
rentan dengan luas 211,97 ha dan tingkat kerentanan tanah longsor kelas sangat
rentan dengan luas 0,73 ha. Daerah yang berpotensi terjadinya longsor yaitu
berada pada bagian Timur yang menyebar dari arah Utara ke Selatan dan di
bagian Selatan yang menyebar dari arah Timur ke Barat dan sebagian kecil di
bagian barat daerah penelitian. Namun, hal yang perlu menjadi perhatian
bersama adalah di bagian Timur karena wilayah ini menjadi pusat permukiman
desa Tosale.

65
5.2 Saran
Peta zona kerentanan Tanah longsor daerah Tosale Kecamatan Banawa
Selatan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pemerintah dan
masyarakat setempat dalam upaya dan strategi mitigasi bencana tanah longsor
kedapannya. Hal ini dikarenakan data yang digunakan cukup relevan antara data
sekunder dan data primer yang dipadukan dengan kondisi geologi daerah penelitian.

66
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad,K.,& Buchori, I. (2019). Identifikasi Daerah Rawan Longsor Berbasis


SIG di Kecamatan Sumowono. Teknik PWK (Perencanaan Wilayah
Kota), 8(2), 59-70.

Aronoff, Stanley. 1989. Geographic Information System : A Managemnet


Perspektive. WDL Publication,Ottawa,Canada,1989.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Mutiara Palu (2022). Data


Curah Hujan Bulanan Periode 10 Tahun Terakhir dan Data Curah Hujan
Kumulatif 3 Hari Berturut-turut

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (a) (2021). Resiko Bencana Indonesia

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (b) (2021). Resiko Bencana Indonesia

Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala (2020). Kecamatan banawa Selatan


Dalam Angka 2020
Bate, D. V. (2018). Analisis Risiko dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di
Kecamatan Cibal Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. Tesis.

Effendi, A. Y., & Hariyanto, T. (2016). Pembuatan Peta Daerah Rawan


Bencana Tanah Longsor Dengan Menggunakan Metode Fuzzy
Logic.(Studi Kasus: Kabupaten Probolinggo). Jurnal Teknik ITS, 5(2),
A714-A722.

ESDM. (2005). Pengenalan Gerakan Tanah. Jakarta: Vulcanological Survey of


Indonesia, Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Haribulan, R., Gosal, P. H., & Karongkong, H. H. (2019). KAJIAN


KERENTANAN FISIK BENCANA LONGSOR DI KECAMATAN.
Jurnal Spasial, 714-724.
Hall, R. and M.E.J. Wilson. 2000. Neogene Sutures in Eastern Indonesia.
Journal of Asian Earth Sciences, 18, 781–808.

67
Karnawati, D. (2006). Pengaruh Kondisi Vegetasi Dan Geologi Terhadap
Gerakan Tanah Dengan Pemicu Hujan. Media Teknik, 28(2006).

Mega, I. M., Dibia, I. N., Ratna, I. G. P., & Kusmiyarti, T. B. (2010). Klasifikasi
Tanah dan Kesesuaian Lahan. Fakultas Pertanian.
Nirmayanti, A., Surur, F., & Fatimah, S. (2021). Identifikasi Daerah Rawan
Bencana Longsor Kecamatan Angkona Kabupaten Luwu Timur. Jurnal
Planoearth, 77-81.
Nurrahman, M. G. (2021). Analisis Rawan Bencana Longsor Daerah Cisimeut Dan
Sekitarnya, Kabupaten Lebak, PROVINSI BANTEN. Palembang:
Universitas Sriwijaya.

Paimin, Sukresno, & Pramono, I. B. (2009). Teknik Mitigasi Banjir Dan Tanah
Longsor. Tropenbos International Indonesia Programme.
Rahmawati Dalle (2021). Geologi Daerah Tosale Dan Sekitarnya Kecamatan
Banawa Selatan Kabupaten Donggala Provinsi sulawesi tengah.
Sadisun, I.A., dan Bandono, 1998. Pengenalan derajat pelapukan batuan guna
menunjang pelaksanaan berbagai pekerjaan sipil 13 dan operasi
pertambangan. Gakuryoko, Vol. IV, No. 2, 10-23
Sarasin, P. & Sarasin, S. (1901). Entwurf einer geografisch-geologischen
beschreibung der Insel Celebes. Wiesbaden, Deutschland
Sukamto., dkk. (1973). Peta Geologi Lembar Palu 2015-2115 Skala
1:250.000. Bandung: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi
Sugiharyanto, N. B. M., & Khotimah, N. (2009). Studi Kerentanan Longsor
Lahan di Kecamatan Samigaluh dalam Upaya Mitigasi Bencana
Alam. Yogyakarta: Universitas Negeri.

Suherlan, E. (2001). Zonasi tingkat kerentanan banjir Kabupaten Bandung


menggunakan sistim informasi geografis (Doctoral dissertation, IPB
(Bogor Agricultural University)).

68
Sumantri, S. H., Supriyatno, M., Sutisna, S., & Ketut Widana, I. D. (2019). Sistem
Informasi Geografis Kerentanan Bencana. Bogor: CV.Makmur Cahaya
Ilmu.

Susanti, P. D., Miardini, A., & Harjadi, B. (2017). ANALISIS KERENTANAN


TANAH LONGSOR SEBAGAI DASAR MITIGASI. Jurnal Penelitian
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 49-59.
Wahyuningrum, N., & Supangat, A. B. (2016). IDENTIFIKASI TINGKAT
BAHAYA LONGSOR DENGAN SKALA DATA BERBEDA UNTUK
PERENCANAAN DAS MIKRO NARUWAN, SUB DAS KEDUANG.
Majalah Ilmiah Globe, 53-60.
Wignyosukarto, (2007). Kajian Kerentanan di Kawasan Permukiman Rawan
Bencana Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. “Penelitian”
Mukhammad Arief1 dan Bitta Pigawati2

Zhao, J., Broms, B.B., Zhou, Y., dan Choa, V., 1994. A study of the weathering of
the Bukit Timah Granit; Part A: review, field observations and geophysical
survey. Bull. Int. Assoc. Eng. Geol., 49: 97-106.

69

Anda mungkin juga menyukai