Anda di halaman 1dari 41

GEOLOGI DAERAH NANGGULAN DAN SEKITARNYA

KABUPATEN KULON PROGO


DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAPORAN PEMETAAN GEOLOGI

Oleh :

MICHAEL M. PANDIA
No. Mahasiswa : F1D214020

PRODI TEKNIK GEOLOGI


JURUSAN TEKNIK KEBUMIAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
2017
i
GEOLOGI DAERAH NANGGULAN DAN SEKITARNYA
KABUPATEN KULON PROGO
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh :

MICHAEL M. PANDIA
F1D214020

Menyetujui,
Tim Dosen

1. Ir. Yulia Morsa Said, MT. 1.


NIP. 196207011989021001

2. D. M. Magdalena Ritonga, ST., MT. 2.


NIK. 201501072007

3. Agus Kurniawan M., SP., M.Si. 3.


NIK. 201405031001

4. Eko Kurniantoro, SP., MT 4.


NIK. 201512071043

5. Wahyudi Zahar, ST., MT. 5.


NIK. 201609071008

6. Rahmi Mulyasari, S.Pd., MT. 6.


NIK.

Jambi, 31 Juli 2017


Mengetahui,
Ketua Prodi Teknik Geologi

Ir. Yulia Morsa Said, MT.


NIP. 196207011989021001

ii
Halaman Persembahan

Pada halaman ini penulis mempersembahkan laporan kuliah lapangan pemetaan


geologi 2 ini kepada:
1. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan kepada penulis.
2. Dosen – dosen Teknik Geologi, Teknik Kebumian, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Jambi.
3. Asisten dosen lapangan STTNAS.
4. Saudara-saudari dari kelompok 5.
5. Saudara-saudari seperjuangan, MENGKARANG 02.
6. Keluarga besar Teknik Geologi Mengkarang Universitas Jambi
7. Pihak – pihak yang membantu dalam pembuatan laporan ini
8. Para pembaca sekalian.

iii
Kata Pengantar

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan laporan kuliah lapangan
pemetaan geologi 2 di Kulon Progo ini.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada orangtua yang
selalu mendoakan dan mendukung penulis dari awal kuliah lapangan 2 dilaksanakan
hingga penyusunan laporan ini selesai. Ucapan rasa terimakasih sebesar-besarnya penulis
sampaikan juga kepada dosen-dosen teknik geologi yang dengan penuh kesabaran telah
membimbing penulis selama kuliah lapangan pemetaan geologi ini berlangsung.
Penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. Yulia Morsa Said, MT., selaku Ketua Program Studi Teknik Geologi,
Universitas Jambi.
2. Seluruh dosen Teknik Geologi yang selalu memberikan dorongan dan
bimbingan kepada kami.
3. Asisten Dosen Lapangan yang sabar dalam membantu kami melakukan
pemetaan hingga laporan lapangan, Bang Hafidz, Mas Flo, Mas Robi dan
Mas Felix.
4. Saudara-saudari kelompok 5 yaitu Atjie dan Cici yang telah bersama-sama
ikut dalam menyelesaikan kuliah lapangan ini.
5. Saudara-saudari terbaik MENGKARANG 02 yang ikut berjuang maupun
yang senantiasa memotivasi, mendoakan dan membantu penulis dalam
menyelesaikan laporan ini dengan baik.
6. Kakak-kakak Angkatan Teknik Geologi, Universitas Jambi, yang senantiasa
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis
berharap kritik dan saran dari para pembaca sebagai referensi perbaikan laporan-laporan
berikutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Jambi, 31 Juli 2017
Penulis

Michael M. Pandia
F1D214020

iv
SARI

Berdasarkan letak geografis daerah pemetaan berada di koordinat UTM 49M X =


0410000-0413000 mE dan Y = 9141000-9144000 mN. Secara administratif, daerah
pemetaan termasuk ke dalam Kecamatan Nanggulan dan sekitarnya, Kabupaten Kulon
Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Satuan geomorfologi dibagi menjadi tiga satuan
bentuk asal yaitu Satuan Bentukasal Struktural, Satuan Bentukasal Denudasional dan
Satuan Bentukasal Fluvial. Pola pengaliran yang berkembang di daerah penelitian adalah
subdendritik dan trelis dengan stadia daerah dewasa yang sungainya agak konsekuen,
berdasarkan debit tergolong sungai intermiten. Satuan batuan stratigrafi dibagi menjadi
tiga satuan batuan, yaitu Satuan Breksi Andesit Formasi Andesit Tua, Satuan Batulempung
Formasi Nanggulan, dan Endapan Koluvial Kuarter. Struktur geologi yang terdapat di
daerah pemetaan adalah struktur kekar dan sesar dengan nama right normal slip fault.
Potensi geologi di daerah pemetaan adalah potensi air, lahan dan tambang pasir.
Sedangkan potensi bencana geologi berupa tanah longsor dan gerakan massa.

Kata kunci: pemetaan geologi, Kulon Progo

v
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………………i
Lembar Pengesahan………………… …………………………………………..ii
Halaman Persembahan ........................................................................................ iii
Kata Pengantar ..................................................................................................... iv
SARI........................................................................................................................ v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………….xi
DAFTAR LAMPIRAN…..………………………………………………………x
PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 2
1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................................. 2
1.3 Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian .............................................. 3
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 3
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 3
METODOLOGI PENELITIAN........................................................................... 4
2.1 Metodologi penelitian .................................................................................... 4
2.2 Studi Pustaka.................................................................................................. 5
2.3 Analisis Data ............................................................................................. 6
2.4 Hasil Penelitian ......................................................................................... 6
GEOLOGI REGIONAL ....................................................................................... 7
3.1 Fisiografi Regional ........................................................................................ 7
3.2 Geomorfologi Regional ................................................................................. 7
3.3 Stratigrafi Regional ........................................................................................ 8
3.4 Struktur Geologi Regional ......................................................................... 113
GEOLOGI DAERAH TELITIAN ................................................................... 265
4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian ............................................................ 265
4.1.1 Bentukan Asal Struktural……………………………………………...265
4.1.2 Bentukan Asal Fluvial…………………………………………………28
4.1.3 Pola Pengaliran Daerah Penelitian…………………………………….31
4.1.4 Stadia Daerah………………………………………………………….31
4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian .................................................................. 319

vi
4.2.1 Satuan Batupasir Formasi Mengkarang…………..……………………329
4.2.2. Satuan Batulanau Formasi Mengkarang………………………………340
4.3 Struktur Geologi Daerah Telitian .......................................................... 361
4.3.1 Struktur Perlapisan……………………………………………...…371
4.3.2 Struktur Kekar…………………………………...………………...38
POTENSI GEOLOGI ......................................................................................... 25
5.1 Potensi Sumberdaya Geologi ................................................................... 4125
5.2 Potensi Kebencanaan Geologi ................................................................. 4125
KESIMPULAN ................................................................................................ 2727
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta Lokasi Pemetaan Geologi 1 Dalam Kawasan Geopark Merangin 2
Gambar 3.1. Peta geologi kawasan Mengkarang-Merangin 8
Gambar 4.1. Perbukitan Struktural di Lokasi Pengamatan 1 15
Gambar 4.2 Perbukitan Struktural di Sungai Karing 15
Gambar 4.3. Lembah V yang berada di lokasi pengamatan 1 16
Gambar 4.4. Tubuh Sungai Karing 17
Gambar 4.6. Sungai Stadia Muda di Sungai Karing 18
Gambar 4.6. Sungai Stadia Muda di Sungai Mengkarang 18
Gambar 4.7 Singkapan batupasir di lokasi pengamatan 1 19
Gambar 4.8 Satuan batulanau di Sungai Mengkarang 20
Gambar 4.9. Struktur Perlapisan di LP 1 dan di Sungai Karing 21
Gambar 4.10. Struktur Kekar di Sungai Karing 22
Gambar 4.11. Proyeksi Diagram Kipas Data Kekar 24
Gambar 4.12. Proyeksi Stereografis Data Kekar 24
Gambar 5.1. Sungai Karing dan Sungai Mengkarang 25
Gambar 5.2. Potensi kebencanaan geologi di daerah penelitian 26

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi geomorfologi 14


Tabel 2. Data Hasil Pengukuran Kekar 22
Tabel 3. Data Hasil Perhitungan Sesar 23

ix
DAFTAR LAMPIRAN

- Tabel Tabulasi Measure Section (MS)


- Measure Section (MS) Stratigrafi
- Lintasan Measure Section (MS)
- Penampang Stratigrafi Profil
- Pengukuran Struktur Kekar
- Pengukuran Struktur Sesar
- Peta Lintasan
- Peta Geomorfologi
- Peta Pola Pengaliran
- Peta Geologi
- Tabulasi Deskripsi Lokasi Pengamatan

x
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Geologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai bumi, materi penyusunnya,
sejarah dan proses pembentukannya, serta proses yang terjadi dan hasil proses tersebut.
Ilmu geologi sendiri meliputi beberapa cabang ilmu seperti : geomorfologi, stratigrafi,
geologi struktur, geologi sejarah, petrologi dan sebagainya yang peranannya saling
berhubungan dan menunjang satu sama lain dalam pemahaman di bidang geologi.
Untuk mempelajari ilmu geologi, dibutuhkan kemampuan dalam teori maupun
lapangan yang cukup agar dapat mengumpulkan dan mengolah data-data geologi.
Teori didapatkan dari perkuliahan dan pengumpulan data didapatkan dari kegiatan
lapangan, kemudian diaplikasikan ke dalam sebuah pemetaan geologi, kegiatan
pengumpulan data lapangan yang kemudian akan diolah sesuai teori menjadi sebuah
sejarah geologi yang menceritakan proses dan hasil proses suatu wilayah dengan
keadaan geologi tertentu.
Pemetaan geologi merupakan sebuah aspek penting dalam pembelajaran dan
pengembangan kemampuan seorang geologist karena dalam pemetaan geologi seorang
ahli geologi tidak hanya mempraktikkan teori yang telah dipelajarinnya, melainkan
juga mengasah kemampuan pengamatan di lapangan untuk dapat mendapatkan data-
data yang lengkap dan akurat. Kelengkapan data tersebut kemudian akan
mempengaruhi hasil penafsiran yang logis, tepat, dan akurat.
Oleh karena itu, untuk memperoleh ilmu mengenai pemetaan geologi, maka
dilakukan Kuliah Lapangan 2 yang dilakukan di Kabupaten Kulon Progo ini agar calon
geologist dapat mengetahui cara melakukan pemetaan yang benar, dimulai dari analisis
topografi, pengumpulan data-data geologi serta analisisnya yang akhirnya akan
menghasilkan peta geologi dan peta pendukung lainnya.

1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud dan tujuan dilakukan pemetaan awal geologi ini adalah :
1. Mengetahui kondisi geomorfologi dan proses pembentukannya di daerah pemetaan
2. Menentukan pola pengaliran dan stadia daerah yang berkembang di daerah
pemetaan

2
3. Mengetahui stratigrafi daerah pemetaan hingga penentuan satuan batuan dan
hubungan antar satuan batuannya
4. Megetahui struktur yang berkembang di daerah penelitian dan cara analisisnya
5. Mengetahui potensi geologi positif dan negatif yang ada di daerah pemetaan

1.3 Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian


Secara administratif, daerah penelitian terletak di Kecamatan Nanggulan dan
sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis,
daerah penelitian berada pada koordinat 07o40’27,7” LS dan 110o15’46,0” BT. Daerah
penelitian ini termasuk ke dalam lembar Wates, nomor 1408-214 Peta Rupa Bumi
Indonesia skala 1:25.000 oleh BAKOSURTANAL edisi 1 tahun 1999.
Perjalanan ke Yogyakarta dari Jambi selama 2 jam dengan menggunakan pesawat
udara, dari Yogyakarta ke Kulon Progo selama 1 jam menggunakan bus, dan dari
kampus lapangan ke daerah pemetaan selama 10 menit menggunakan angkot. Pada
pelaksanaan pemetaan ini, semua lokasi pengamatan dicapai dengan berjalan kaki.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian meliputi Kecamatan Girimulyo dan Kecamatan
Nanggulan seluas 3 x 3 km. Daerah pemetaan terletak di koordinat UTM 49M X =
0410000-0413000 mE dan Y = 9141000-9144000 mN. Penelitian yang dilakukan
adalah geomorfologi, pola pengaliran, stratigrafi, geologi struktur dan potensi geologi.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat dari pemetaan geologi ini antara lain untuk memberikan gambaran dan
pengalaman bagi mahasiswa geologi dalam melakukan pemetaan geologi dan
aplikasinya di dunia kerja nantinya dan mendapatkan informasi-informasi tentang
geologi di daerah penelitian.

3
BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Metodologi penelitian


Pengamatan yang dilakukan antara lain melakukan pengumpulan data dengan
mengamati topografi daerah pemetaan, geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi,
sejarah geologi, litologi serta potensi geologinya. Metodologi penelitian terdiri dari
empat tahap yaitu studi pendahuluan, pengamatan lapangan, pengolahan data, dan
penyusunan laporan. Peta dasar yang digunakan dalam pemetaan adalah peta topografi
berskala 1:12.500.
1. Studi Pendahuluan
 Analisis peta topografi
2. Pengamatan Lapangan
 Orientasi medan untuk pengenalan daerah pemetaan secara umum serta
pengecekan batas peta geologi dan geomorfologi yang dilakukan bersama
dosen pembimbing selama 5 hari pada tanggal 4-8 Juli 2017.
 Pengamatan detail berupa pemetaan geologi yang mencakup penelusuran
lintasan dan pendokumentasian data geologi di sepanjang lintasan selama 10
hari pada tanggal 9-18 Juli 2017. Adapun dokumentasi tersebut berupa catatan
mengenai lokasi pengamatan, kondisi geomorfologi di sekitar lapangan
pengamatan, pemerian deskripsi batuan, pengukuran data struktur geologi,
sketsa, foto dan pengambilan sampel batuan.
3. Pengolahan Data
 Pembuatan peta lintasan pengamatan, peta geomorfologi, penampang
geomorfologi, peta lintasan MS, peta pola aliran, penampang profil batuan,
peta geologi, penampang geologi, analisis struktur kekar dan sesar.
4. Penyusunan Laporan
 Pembuatan laporan disertai lampiran berupa peta lintasan, peta geomorfologi,
peta pola pengaliran, MS (Measure Section), penampang profil batuan, peta
geologi, analisis kekar, sesar dan tabulasi deskripsi lokasi pengamatan.

4
2.2 Studi Pustaka
Studi pustaka yang digunakan peneliti untuk membantu pemetaan geologi ini
berdasarkan studi pustaka yang didapat, beberapa studi pustaka tersebut yaitu :
Menurut Lobeck, 1939, membagi stadia daerah geomorfologi suatu daerah
menjadi 3. Pembagian didasarkan berdasarkan ciri-ciri tertentu, yaitu:
a. Stadia muda, dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai
yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan dan kondisi geologi
masih origin.
b. Stadia dewasa, dicirikan dengan bentuk bukit sisa erosi dan erosi lateral lebih
dominan, sungai bermeander dengan point bar, pola pengaliran berkembang baik,
kondisi geologi mengalami pembalikan topografi seperti punggungan sinklin atau
lembah antiklin.
c. Stadia tua, dicirikan dengan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak berpola,
sungai berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai dan litologi
relatif seragam.
(Zakaria, 2008)
Berdasarkan hubungannya dengan perlapisan batuan, terdapat beberapa sistem
sungai yaitu, sistem sungai konsekuen, obsekuen, resekuen dan subsekuen. Sungai
konsekuen adalah sungai yang mengikuti arah kemiringan perlapisan batuan. Sungai
obsekuen adalah sungai yang mengikuti arah tegak lurus kemiringan perlapisan batuan.
Sungai resekuen merupakan sungai hasil dari kemenerusan dari sungai konsekuen. Hal ini
dapat dilihat dari arah kemiringan lapisan. Kemudian sungai subsekuen adalah sungai yang
arah alirannya mengikuri arah jurus dari batuan dalam di daerah pemetaan sungai ini
dibuktikan dengan searahnya aliran sungai dengan jurus sumbu lipatan
(Zufialdi, 2008)
Menurut Lobeck (1939), klasifikasi pola aliran sungai dibedakan menjadi lima jenis,
yaitu :
a. Pola Dendritik, menyerupai bentuk pohon dengan cabang dan homogen, misal daerah
aluvial.
b. Pola Rectangular, anak-anak sungai membentuk sudut 90° terhadap induk sungai:
pada umunya terdapat di daerah patahan/retakan yang berbatuan kristalin.
c. Pola Annular, anak-anak sungai membentuk sudut diagonal terhadap induk sungai;
terdapat di daerah pegunungan kubah (dome) stadia dewasa.

5
d. Pola Radial bentuknya menjari. Dibedakan menjadi:
1). Sentrifugal, menjari menjauhi pusat, terdapat di daerah volkan muda dan kubah
muda.
2). Sentripetal, menjari menuju pusat, terdapat di suatu basin, cekungan atau depressi
bagian terendah).
e. Pola Trellis, menyerupai batang pohon anggur dengan cabang-cabangnya, terdapat pada
pegunungan lipatan stadia dewasa.
(Zakaria, 2008)

2.3 Analisis Data


Dalam pemetaan ini, peneliti melakukan beberapa analisis data untuk
melengkapi dalam pembuatan laporan. Analisis yang dilakukan yaitu ;
1. Melakukan analisis struktur geologi yang didapat dari lapangan yang berupa data
arah jurus dan kemiringan perlapisan batuan dan struktur kekar batuan hingga
analisis sesar sampai penentuan nama sesar.
2. Melakukan analisis stratigrafi dengan menggunakan prinsip-prinsip stratigrafi
untuk mengetahui umur dan mengelompokkan satuan batuan serta kesebandingan
dengan formasi yang ada pada literatur.
3. Melakukan analisis petrologi untuk mengetahui pemerian deskripsi batuan secara
megaskopis melalui singkapan di lapangan dan sampel batuan kemudian
diklasifikasi menurut jenis batuannya.

2.4 Hasil Penelitian


Hasil penelitian ini merupakan hasil akhir peneliti dari data-data yang telah di
analisa. Hasil penelitian yang diperoleh ini dapat berupa :
1. Peta Lokasi Pengamatan
Peta yang menunjukkan lokasi-lokasi pengamatan pada daerah penelitian.
2. Peta Geomorfologi
Peta yang menunjukkan kondisi geomorfik dan aspek-aspek geomorfologi
meliputi, bentukasal dan bentuklahan serta hubungannya dengan struktur geologi
di daerah penelitian.
3. Peta Pola Pengaliran
Peta yang menunjukkan pola pengaliran yang berkembang dalam suatu daerah
serta mengindikasikan stadia umur suatu daerah.
6
4. Peta Geologi
Peta yang menunjukkan satuan batuan dari setiap formasi serta hubungan antar
satuan batuannya.
5. Potensi geologi
Potensi geologi di daerah telitian yang bernilai positif maupun bernilai negatif.

7
BAB III

GEOLOGI REGIONAL
3.1 Fisiografi Regional
Fisiografi dan geomorfologi regional dataran Yogyakarta termasuk dalam
Pegunungan Kulon. Pegunungan Kulon di bagian utara dan timur dibatasi oleh lembah
Progo, dan di bagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Dan
pada bagian barat-laut pegunungan ini memiliki hubungan dengan Pegunungan
Serayu.

Gambar 3.1. Peta fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

Menurut Van Bemmelen (1949), Pegunungan Kulon ditafsirkan sebagai dome


(kubah) besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai
“Oblong Dome”. Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya, dan
diameter pendek 15-20 Km, dengan arah barat laut-timur tenggara. Inti dome terdiri
dari 3 gunung api Andesit tua yang pada sekarang ini telah tererosi cukup dalam, dan
mengakibatkan beberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Bagian
tengah dari dome ini adalah Gunung Gajah yang merupakan gunung api tertua yang
menghasilkan kandungan Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api Ijo adalah
gunung api yang terbentuk setelahnya yang berada dibagian selatan.
3.2 Geomorfologi Regional
Pegunungan Kulon Progo merupakan bagian dari Satuan Pegunungan Serayu
Selatan (Van Bemmelen, 1949). Satuan Pegunungan Serayu Selatan secara umum
berarah barat-timur, tetapi Pegunungan Kulon Progo sendiri mempunyai arah sebaran
hampir utara-selatan yang berarti menyimpang dari arah umum Pegunungan Serayu

8
Selatan tersebut. Pegunungan Kulon Progo merupakan suatu kubah berbentuk
menyerupai dome (dome like) dengan sumbu panjangnya berarah utara timurlaut-
selatan baratdaya dengan panjang 32 km, sedangkan sumbu pendek berarah barat
baratlaut-timur tenggara, panjang 15-20 km.

Gambar 3.2 Diagram Blok Kubah Kulon Progo (van Bemmelen, 1949)

Kompleks pegunungan Kulon Progo, bagian utara dibatasi oleh dataran rendah
Kedu (Magelang) yang merupakan endapan Gunung Merapi dan Gunung Sumbing,
bagian timur dibatasi oleh lembah Progo dengan dataran Yogyakarta yang tersebar ke
arah selatan sampai Pantai Selatan, bagian selatan dibatasi oleh endapan aluvial dan
bagian barat dibatasi endapan aluvial Bagelan yang terbentang luas. Bentuk
Pegunungan Kulon Progo membelok ke arah baratlaut dan bersambung dengan
deretan Pegunungan Serayu Selatan.
Dataran tinggi Jonggrangan merupakan tempat tertinggi di seluruh daerah Kulon
Progo dengan ketinggian mencapai 750 m di atas permukaan air laut. Dataran tinggi
ini tersusun oleh litologi batugamping terumbu menempati bagian atas, sehingga
menampakkan adanya gejala topografi karst berupa gua, stalagtit dan stalagmit dan
sungai bawah tanah. Bagian Punggungan Pegunungan Kulon Progo hampir semuanya
terkikis oleh sejumlah sungai membentuk serangkaian lembah. Lembah-lembah sungai
umumnya berbentuk huruf V dengan tebing relatif terjal. Di beberapa tempat terdapat
air terjun yang mencapai ketinggian 30 m. Daerah dengan litologi lunak mempunyai
jurus dan kemiringan berubah-ubah sehingga akan berkembang sesuai dengan pola
trelis.
Stadia erosi di Pegunungan Kulon Progo sangat dipengaruhi oleh susunan litologi,
semakin keras dan kompak litologi penyusunnya akan semakin tahan terhadap proses
pelapukan. Daerah yang tersusun oleh batupasir akan mempunyai tingkat pelapukan
lebih intensif dibandingkan dengan daerah yang mempunyai litologi penyusun breksi.

9
Morfologi di kompleks Pegunungan Kulon Progo terbentuk pada awal Pleistosen
bersama-sama dengan pembentukan struktur sesar yang tersebar di daerah ini.

3.3 Stratigrafi Regional


Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi
regional menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan Mac
Donald dan partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 formasi, yaitu :

a. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir,
sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu
gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan
300 m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur formasi
nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di
daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian timur Kali Progo. Formasin
Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu

1. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari
abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya
berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
2. Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras
denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta
beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
3. Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta
beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang
terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian
terinterklasi lagi dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada
discocyclina beds adalah discocyclina.
b. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang

10
tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras
dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini
formasi ini berumur oligosen – miosen.

c. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi,
batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada bagian
atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan napal dan
batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini
tidak selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan
berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini ialah poraminifera,
pelecypoda dan gastropoda.

d. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan
dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan.
Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras dengan
formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen bawah
sampai pleistosen.

Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri termasuk
dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang penyusunnya berupa
breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava andesit. Dari penelitian
yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat beberapa fosil plankton seperti
Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria Yeguaensis” weinzeierl dan applin dan
Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut menunjukka batuan berumur Oligosen atas.
Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pada bagian terbawah gunung
berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen andesit tua diperkirakan berumur
oligosen atas sampai miosen bawah dengan ketebalan 660 m

3.4 Struktur Geologi Regional


Suyanto dan Roskamil (1975) mengemukakan, tektonostratigrafi wilayah Jawa
Tengah bagian selatan, terutama merupakan tinggian di bagian barat dibatasi tinggian dan
rendahan Kebumen serta di bagian timur dibatasi oleh rendahan Yogyakarta. Tinggian
Kulon Progo dicirikan oleh komplek Gunung Api purba yang berada diatas batuan

11
berumur Paleogen dan ditutupi oleh batuan karbonat yang berumur Neogen. Cekungan
Kulon Progo telah mengalami beberapa kali tektonik. Van Bemmelen (1949)
mengemukakan bahwa tektonik pertama terjadi setelah formasi Nanggulan terendapkan
pada Kala Oligosen-Miosenn. Pada kala ini juga terbentuk tiga buah Gunung Api yaitu G.
Gadjah, G. Ijo dan G. Menoreh yang merupakan inti Kubah Kulon Progo. Ketiga Gunung
Api tersebut mengahasilkan Formasi Andesit Tua. G. Gadjah merupakan gunung yang
paling tua dan terletak dibagian tengah. Gunung ini mempunyai kubah dengan sumbu
panjang mengarah utara-selatan dengan panjang 15 km dengan sumbu pendek mengarah
ke barat-timur dengan panjang 3-5 km. Gunung Ijo terletak di bagian selatan dan terbentuk
setelah G. Gadjah. Inti dari G. Ijo tersingkap berbentuk bundar dengan diameter sekitar 10
km. G. Ijo dikelilingi oleh breksi augit-hiperstand dengan kemiringan 15°-20°. G. Menoreh
terletak di bagian utara dan terbentuk paling akhir. Adanya intrusi dasit dari kegiatan yang
lebih dalam mengakibatkan G.. Menoreh membentuk stratur kubah dengan pusat di G.
Gandul. Kubah ini tertutup lapisan breksi yang mempunyai kemiringan sebesar 40° kearah
selatan.

Pada awal Miosen Atas terjadi pengangkatan beberapa kali, terjadi transgresi dan
terjadi pengendapan Formasi Jonggrangan yang memounyai hubungan menjari dengan
Formasi Senrtolo. Pada awal Pleistosen daerah Kulon Progo mengalami tektonik aktif yang
mengakibatkan pembentukan bentang alam tinggian serta terjadinya pelipatan dan sesar,
seperti terlihat di bagian utara Pegunungan Kulon Progo (Daerah Salaman Magelang) yang
tersesarkan dan sebagian tenggelam di bawah kaki G. Merapi. Juga dibagian timur dan
barat Pegunungan Kulon Progo yang berbatasan dengan dataran Yogyakarta dan dataran
Pantai Jawa Tengah dengan memperlihatkan elevasi yang sangat tajam. Kubah Kulon
Progo dikelilingi sesar-sesar yang membentul pola redier sebagai akibat peristiwa naiknya
kubah (updoming) pada Kala Pleistosen. Sesar-sesar di bagian selatan yang paling banyak
dijumpai di sekitaran G. Ijo. Disebelah utara G. Menoreh terdapat sesar turun yang
memisahkan kompleks Pegunungan Kulon Progo dengan dataran rendah Kedu
(Magelang).

Budiadi (2008) mempresentasikan keberadaan geologi Kulon Progo berdasarkan


pengamatan hilistik (keserbacakupan) pola struktur, pola sungai, pola morfologi, kegiatan
magma dan lingkungan tektonik yang teruji secara statistic.

12
Kesimpulan umum menunjukkan bahwa tektonik aktif berpengaruh terhadap
pembentukan geomorfologi Pegunungan Kulon Progo, yang terindikasi sebagai akibat Pola
Meratus, Pembahasan khusus menyimpulkan bahwa arah kelurusan sungai memiliki
hubungan genesis dengan arah kelurusan struktur yang dibangun sejak Zaman Tersier
hingga masa kini.

13
BAB IV

GEOLOGI DAERAH TELITIAN

4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian


Berdasarkan analisis topografi studio dan pengamatan langsung di lapangan,
geomorfologi daerah enelitian dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk satuan
geomorfik, yaitu satuan geomorfik asal struktural, satuan geomorfik asal denudasi dan
satuan geomorfik asal fluvial.

Tabel 1. Klasifikasi geomorfologi

4.1.1 Bentukan Asal Struktural


a. Satuan Geomorfik Perbukitan Tersayat Kuat
Satuan geomorfik perbukitan tersayat kuat terletak di Gunung Prau, sebelah
barat wilayah pemetaan. Perbukitan tersayat kuat ini memiliki relief yang terjal
dengan kerapatan kontur yang sangat rapat, slope 40-45%. Satuan ini berada di
ketinggian 175-275 mdpl. Pola pengaliran yang berkembang adalah subdendritik.
Proses endogenik yang mendominasi adalah tektonik, sedangkan proses eksogenik
pelapukan dan erosi. Litologi pada daerah ini adalah breksi andesit dengan
resistensi batuan tinggi. Tataguna lahan digunakan sebagai perkebunan warga.

26
Gambar 4.1. Perbukitan Tersayat Kuat, Gunung Prau (Difoto oleh Atjie
Lesmana, arah foto N 260oE)

b. Satuan Geomorfik Perbukitan Tersayat Sedang


Satuan geomorfik perbukitan tersayat sedang terletak di Daerah Desa
Giripurwo, meliputi Gunung Bengkung dan Gunung Sokogelap yang terletak di
bagian barat daya wilayah pemetaan, dengan pelamparan barat laut-tenggara.
Perbukitan tersayat sedang ini memiliki relief yang terjal dengan kerapatan kontur
yang tidak terlalu rapat, slope 25-30%. Satuan ini berada di ketinggian 162,5-250
mdpl. Pola pengaliran yang berkembang adalah subdendritik. Proses endogenik
yang mendominasi adalah tektonik, sedangkan proses eksogenik pelapukan dan
erosi. Pada bagian pinggir, terlihat pola kelurusan pada topografi yang menandakan
adanya gejala gawir sesar. Terlihat juga di lapangan adanya gejala perubahan
ketinggian yang sangat drastis antara Gunung Bengkung dan Kali Kamal di
bawahnya. Litologi pada daerah ini adalah breksi andesit dengan resistensi batuan
sedang-tinggi. Tataguna lahan digunakan sebagai perkebunan warga dan
pemukiman warga.

27
Gambar 4.2. Perbukitan Tersayat Sedang (Difoto oleh Atjie Lesmana, arah foto
N 160oE)

4.1.2 Bentukan Asal Denudasional


a. Satuan Geomorfik Bukit Terisolir
Satuan geomorfik bukit terisolir sedang terletak di Timur Laut Desa
Pendoworejo, di Gunung Mujil yang terletak di bagian utara wilayah pemetaan.
Perbukitan terisolir ini memiliki relief yang tidak terlalu terjal dengan kerapatan
kontur yang tidak terlalu rapat. Satuan ini berada di ketinggian 175-200 mdpl.
Pola pengaliran yang berkembang adalah subdendritik. Proses endogenik yang
mendominasi adalah tektonik, sedangkan proses eksogenik erosi. Bukit terisolir
ini adalah bukit yang tidak habis terkena erosi, dilihat dari dataran di sekitarnya
yang datar, yaitu habis tererosi. Litologi pada daerah ini adalah breksi andesit
dengan resistensi batuan tinggi. Tataguna lahan sebagai bukit.

28
Gambar 4.3. Bukit Terisolir, Gunung Mujil (Difoto oleh Atjie Lesmana,
arah foto N 281oE)

b. Satuan Geomorfik Dataran Denudasi


Satuan geomorfik Dataran Denudasi terletak di hampir seluruh wilayah
pemetaan, di Kecamatan Nanggulan dan sebagian Kecamatan Girimulyo. Dataran
Denudasi ini memiliki relief yang datar dengan kerapatan kontur sangat renggang.
Satuan ini berada di ketinggian 87,5-175 mdpl. Pola pengaliran yang berkembang
adalah trellis, di sekitar persawahan sebelah barat Kecamatan Nanggulan. Proses
endogenik yang mendominasi adalah tektonik, sedangkan proses eksogenik erosi.
Dataran Denudasi ini adalah bukit yang habis tererosi. Litologi pada daerah ini
adalah endapan koluvial dan material lepasan dari bukit di sekitarnya, dengan
resistensi batuan rendah. Tataguna lahan sebagai persawahan dan pemukiman.

Gambar 4.4. Dataran Denudasi (Difoto oleh Atjie Lesmana, arah foto N 138oE)

4.1.3 Bentukan Asal Fluvial


a. Satuan Geomorfik Tubuh Sungai
Satuan geomorfik Tubuh Sungai terletak memanjang berarah barat laut-
tenggara di wilayah pemetaan, Kali Kamal. Perbukitan terisolir ini memiliki relief
memanjang dan berkelok. Satuan ini berada di ketinggian 87,5-112,5 mdpl. Pola
pengaliran yang berkembang adalah subdendritik. Proses endogenik yang
mendominasi adalah tektonik, sedangkan proses eksogenik sedimentasi dan erosi..
Litologi pada daerah ini adalah endapan koluvial yang terakumulasi akibat
material lepas dari sumber yang terbawa arus dengan resistensi batuan rendah. Di
29
bagian ujung sungai dekat Gunung Sokogelap terakumulasi gosong sungai.
Tataguna lahan sebagai sungai.

Gambar 4.5. Tubuh Sungai, Kali Kamal (Difoto oleh Atjie Lesmana, arah
foto N 116oE)
b. Satuan Geomorfik Gosong Sungai
Satuan geomorfik Gosong Sungai terletak di tengah Kali Kamal, tepatnya di
tengah tubuh sungai. Gosong sungai ini memiliki relief datar dan hanya di satu
spot saja. Satuan ini berada di ketinggian 87,5-112,5 mdpl. Pola pengaliran yang
berkembang adalah subdendritik. Proses yang mendominasi adalah sedimentasi,
akumulasi endapan yang dibawa oleh tubuh sungai. Litologi pada daerah ini
adalah endapan koluvial yang terakumulasi akibat material lepas dari sumber yang
terbawa arus dengan resistensi batuan rendah.

30
Gambar 4.6. Gosong Sungai, Kali Kamal (Difoto oleh Atjie Lesmana,
arah foto N 346oE)

4.1.4 Pola Pengaliran Daerah Penelitian


Pola pengaliran yang berkembang di wilayah pemetaan ada dua, yaitu
subdendritik dan trellis. Pola pengaliran subdendritik berkembang secara umum
hampir di seluruh wilayah pemetaan, sedangkan trellis hanya di persawahan di
sebelah barat Kecamatan Nanggulan.
Pola pengaliran subdendritik terlihat pada peta topografi menyerupai cabang
pohon tetapi arah percabangannya acak. Terlihat juga di lapangan bahwa cabang
dari pola pengaliran ini tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh pengaruh topografi
dan struktur yang berkembang di wilayah pemetaan, yaiu berkembang di wilayah
topografi miring dan ada pengaruh struktur sangat kecil.
Pola pengaliran trellis terlihat berupa cabang-cabang sungai kecil berukuran
sama dan alirannya tegak lurus pada sungai utama. Tetapi pada saat peninjauan ke
lapangan, sungai trellis tersebut sudah tak terlihat jelas lagi, karena sudah menjadi
selokan dan daerah persawahan.

4.1.5 Stadia Daerah


Stadia daerah pemetaan ini termasuk ke dalam stadia dewasa. Hal ini
dibuktikan dengan adanya bukit tererosi yang berkembang hampir di seluruh
wilayah pemetaan, mencirikan proses yang sudah berlangsung lama. Selain itu,
dilihat dari sungai yang terdapat di daerah ini, yaitu Kali Kamal yang merupakan
sungai dengan sistem sungai hampir konsekuen, yaitu sungai yang mengikuti arah
kemiringan perlapisan batuan. Hal ini dapat dilihat dari arah kemiringan lapisan
yang terdapat di tebing sepanjang Kali Kamal, dan juga ada terbentuk gosong
sungai, yang dapat terbentuk dari akumulasi material yang cukup lama. Sungai ini
juga mengalir di atas endapan (sediment stream). Dilihat dari debitnya, sungai ini
termasuk ke sungai intermiten.

4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian


Penentuan serta penamaan dari satuan batuan pemetaan ini mengacu kepada
satuan litostratigrafi yang tidak resmi, yaitu penamaan satuan batuan yang didasarkan
pada ciri-ciri dan jenis batuan yang ditemukan di lapangan, dan yang mendominasi
dalam wilayah tertentu. Dengan melakukan kesebandingan terhadap stratigrafi

31
regional, daerah pemetaan termasuk ke dalam tiga formasi, yaitu Formasi Andesit Tua,
Formasi Nanggulan dan Endapan Kuarter Koluvial. Berdasarkan hasil pemetaan ini,
daerah penelitian ini dapat dibagi menjadi tiga satuan batuan, yaitu Satuan Breksi
Andesit Formasi Andesit Tua, Satuan Batulempung Nanggulan, dan Endapan Koluvial
Kuarter.
4.2.1 Satuan Breksi Andesit Formasi Andesit Tua
a. Karakteristik dan Persebaran Litologi
Singkapan ini banyak ditemukan di bagian barat kapling pemetaan, rata-
rata pada morfologi perbukitan. Secara umum, singkapan ini memiliki warna
lapuk abu-abu kecoklatan dan warna fresh abu-abu terang. Warna lapuk dari
tiap singkapan juga ditentukan oleh lokasinya. Pada lokasi yang kering, warna
lapuk akan cenderung coklat, sedangkan pada lokasi yang lembap dan
tertutup cahaya, warna lapuk cenderung hitam. Jenis batuannya adalah
sedimen klastik, dengan struktur masif. Ukuran butir kerikil-bongkah,
tergantung dari jauhnya tertranspor dari sumber. Dari yang kami amati,
singkapan yang ditemukan di gunung-gunung berukuran besar, dan semakin
kecil di bagian dataran hingga sungai. Semakin jauh jarak tertranspor, maka
semakin kuat tererosi fragmennya. Hal ini juga berhubungan dengan derajat
kebundaran, yaitu menyudut.

Gambar 4.7 Breksi Andesit Kerakal-Bongkah (kiri, difoto oleh Michael arah
foto N 57oE) dan Breksi Andesit Kerikil-Kerakal (kanan, difoto oleh Atjie
arah foto N 180oE)
Sesuai bentuknya, fragmen dari breksi adalah menyudut, hal ini
disebabkan fragmen tersebut belum tertranspor terlalu jauh sehingga
bentuknya belum membulat. Jika proses transpor terus berlangsung, bisa saja
fragmen tersebut akan membundar dan menjadi konglomerat. Untuk derajat

32
pemilahannya terpilah buruk, dilihat dari ukuran fragmen yang umumnya
beragam ukurannya, dengan kemas terbuka dan porositas baik.
Fragmennya berupa batuan beku, tekstur afanitik, holokristalin. Mineral
yang biasa mengisi adalah plagioklas, hornblende, dan sedikit kuarsa, yaitu
penciri andesit. Matriks nya rata-rata adalah tuff di singkapan bagian bukit,
tetapi di singkapan bagian dataran rendah hingga sungai berupa pasir. Dapat
dilihat bahwa pada daerah perbukitan, material gunungapi lebih berperan
dalam pembentukan breksi tersebut, tetapi di bagian sungai sedimentasi biasa
lebih berperan. Semen nya non-karbonatan, tetapi di bagian dataran rendah
dan sungainya ada yang karbonatan. Hal ini menggambarkan adanya
perbedaan lingkungan pengendapan dari singkapan yang ada di bukit dengan
singkapan yang ada di sungai, yaitu lingkungan darat dan laut. Singkapan ini
adalah Breksi Andesit.
Beberapa singkapan mengalami deformasi, seperti erosi vertikal
(menjarum) dan pelapukan mengkulit bawang (spheroidal). Erosi vertikal
terjadi akibat adanya perbedaan resistensi batuan, sehingga bagian singkapan
yang resistensi batuannya tinggi tidak tererosi, tetapi bagian yang
resistensinya lemah akan tererosi, sehingga membentuk pola menjarum.
Pelapukan mengkulit bawang terjadi akibat proses kimiawi, dimana rekahan
pada singkapan akan diisi oleh air hujan (zona hidrasi) dan melarutkan
mineral di dalamnya (seperti feldspar) sehingga membentuk seperti kulit
bawang dengan inti fragmen nya berada di tengah.

Gambar 4.8 Pelapukan mengkulit bawang (kiri, arah foto N 326oE) dan
erosi vertikal (kanan, arah foto N 320oE) (Difoto oleh Atjie)

33
b. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan kesebandingan dengan geologi regional Kulon Progo,
Breksi Andesit ini adalah bagian dari Formasi Andesit Tua (OAF), di mana
penciri dari OAF itu sendiri adalah material gunung api dan piroklastik.
Satuan batuan ini berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal dengan lingkungan
pengendapan laut dangkal-darat.

4.2.2. Satuan Batulempung Formasi Nanggulan


a. Karakteristik dan Persebaran Litologi
Singkapan berikutnya adalah batuan sedimen klastik yang ditemukan di
bagian barat laut kaplingan, di bagian hilir Kali Kamal dan di cabang sungai
daerah persawahan warga. Singkapan ini memiliki warna lapuk abu-abu
kecoklatan, fresh abu-abu gelap. Ukuran butirnya berukuran lempung, dengan
struktur perlapisan (LP 5 dan 56), masif (LP 67 dan 68), dan laminasi di LP
21 (sisipan). Derajat pemilahan singkapan ini baik, tidak terlihat adanya
perbedaan keseragaman butir, dengan kemas tertutup, porositasnya buruk,
dan non karbonatan, tetapi pada LP 5 karbonatan (bereaksi dengan HCl).
Batuan ini adalah Batulempung.

Gambar 4.9 Singkapan Batulempung (Difoto oleh Cici, arah foto N 76oE)
Pada LP 5, terdapat kontak antara Breksi Andesit dengan Batulempung,
yaitu kontak gradasi dengan hubungan ketidakselarasan nonconformity.
Kontak ini merupakan kontak formasi antara OAF dengan Formasi
Nanggulan dengan kedudukan N 208oE/16o.

34
Batulempung

Breksi Andesit

Gambar 4.10. Kontak berangsur Breksi Andesit dan Batulempung (Difoto


oleh Atjie, arah foto N 116oE)
b. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Dilihat dari kedudukan yang ada pada gambar 4.11, kedudukannya
adalah N 208oE/16o, dengan dip mengarah ke barat daya (mengarah ke
breksi). Maka dapat disimpulkan bahwa umur Breksi Andesit lebih muda
daripada Batulempung (ke arah dip lebih muda). Dilihat dari geologi regional,
formasi dengan umur yang lebih tua dari OAF adalah Formasi Nanggulan,
dan penciri litologinya termasuk Batulempung. Pendukung lainnya adalah
kedudukan batulempung di LP 56, yaitu N 281oE/40o, dip mengarah ke Timur
Laut, yaitu ke arah breksi andesit juga. Maka, batulempung ini adalah Satuan
Batulempung Formasi Nanggulan dengan umur Eosen Tengah – Miosen
Awal. Singkapan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan neritik.

4.2.3. Endapan Koluvial Kuarter


Pada kaplingan di daerah bagian timur, Kecamatan Nanggulan, litologi
yang dominan adalah endapan. Dapat dilihat dari sebaran bongkah-bongkah
batuan beku yang berada di hulu kali kamal, sebagian cabang sungai dan di
persawahan warga. Endapan ini memiliki warna dominan abu-abu, tekstur
klastik, dengan struktur gradasi. Pada daerah persawahan dan yang dekat dari
bukit, ukuran butir endapannya kerakal-bongkah. Tetapi semakin mendekati
hulu sungai, ukurannya semakin kecil, kerikil-kerakal. Hal ini dipengaruhi

35
oleh jauhnya tertranspor bongkah batuan sumber, semakin jauh maka
semakin kecil ukurannya.

Gambar 4.11. Endapan Koluvial Kerakal-Bongkah (kiri, arah foto N 315oE)


dan Endapan Koluvial Kerikil-Kerakal (kanan, arah foto N 144oE) (Difoto
oleh Atjie Lesmana)
Karena ukuran endapan yang termasuk besar dan dapat dilihat jenis
batuannya, serta dapat diperikirakan sumbernya maka endapan ini termasuk
ke dalam endapan koluvium, yaitu endapan yang belum tertranspor jauh dari
sumbernya, yaitu bongkahan andesit dari gunung – gunung di sebelah barat.
Maka, endapan ini adalah Endapan Koluvial Kuarter, berumur kuarter
(plistosen-holosen). Endapan koluvial ini diendapkan di lingkungan darat,
menumpang tidak selaras di atas formasi lainnya.

4.3 Struktur Geologi Daerah Telitian


Pengamatan struktur yang dilakukan pada tanggal 17 Juli 2017, yaitu di Kali Niten,
di luar kaplingan wilayah pemetaan. Struktur yang berkembang di daerah tersebut
adalah struktur kekar dan struktur sesar. Pengukuran yang dilakukan adalah 100
pasang shear fracture dan 50 gash fracture. Analisis dimulai dari pengeplotan ke
tabulasi dan menentukan arah umum dengan diagram kipas, lalu lanjut ke analisis
menggunakan stereonet hingga ke penentuan arah dan nama dari kekar dan sesar.

36
4.3.1 Struktur Kekar
Tabel 2. Data Hasil Pengukuran Kekar
Arah Notasi Jumlah Prosentase
N....oE N....oE
0-5 181-185 IIIII I 6 3
6-10 186-190 III 3 1,5
11-15 191-195 IIIII I 6 3
16-20 196-200 II
21-25 201-205 IIII 2 1
26-30 206-210 II 4 2
31-35 211-215 IIII 4 2
36-40 216-220 IIIII 5 2,5
41-45 221-225 IIIII III 8 4
46-50 226-230 IIII 4 2
51-55 231-235 III 3 1,5
56-60 236-240 IIIII IIIII 10 5
61-65 241-245 IIIII IIIII IIIII III 18 9
66-70 246-250 IIIII III 8 4
71-75 251-255 IIIII II 7 3,5
76-80 256-260 IIIII IIIII III 13 6,5
81-85 261-265 IIIII II 7 3,5
86-90 266-270 IIIII IIIII I 11 5,5
91-95 271-275
96-100 276-280 I 1 0,5
101-105 281-285 III 3 1,5
106-110 286-290 I 1 0,5
111-115 291-295 II 2 1
116-120 296-300 III 3 1,5
121-125 301-305 III 3 1,5
126-130 306-310 IIII 4 2
131-135 311-315 II 2 1
136-140 316-320 IIIII 5 2,5
141-145 321-325 III 3 1,5
146-150 326-330 IIIII IIII 9 4,5
151-155 331-335 IIIII IIIII 10 5
156-160 336-340 IIIII III 8 4
161-165 341-345 IIIII III 8 4
166-170 346-350 IIIII 5 2,5
171-175 351-355 IIIII III 8 4
176-180 356-360 IIIII I 6 3

37
Gambar 4.14. Proyeksi Diagram Kipas Data Kekar

Gambar 4.15. Proyeksi Stereografis Data Kekar


Shear 1 : N 68oE / 65o δ1 : 51o, N 108oE
Shear 2 : N 325oE / 61o δ2 : 20o, N 289oE
Release Joint : N 100oE / 22o δ3 : 86o, N 198oE
Extension Joint : N 15oE / 20o

4.3.2 Struktur Sesar


Tabel 3. Data Hasil Pengukuran Sesar
Arah Notasi Jumlah Prosentase
N....oE N....oE
0-5 181-185 IIIII I 6 2,4
6-10 186-190 III 3 1,2
11-15 191-195 IIIII II 7 2,8
16-20 196-200 II 2 0,8
21-25 201-205 IIIII 5 2
26-30 206-210 III 3 1,2
31-35 211-215 IIIII 5 2

38
36-40 216-220 IIIII I 6 2,4
41-45 221-225 IIIII IIIII IIIII I 16 6,4
46-50 226-230 IIIII II 7 2,8
51-55 231-235 IIIII IIII 9 3,6
56-60 236-240 IIIII IIIII I 11 4,4
61-65 241-245 IIIII IIIII IIIII IIIII I 21 8,4
66-70 246-250 IIIII IIIII IIIII II 17 6,8
71-75 251-255 IIIII IIIII IIII 14 5,6
76-80 256-260 IIIII IIIII IIIII II 17 6,8
81-85 261-265 IIIII IIIII 10 4
86-90 266-270 IIIII IIIII II 12 4,8
91-95 271-275
96-100 276-280 II 2 0,8
101-105 281-285 IIII 4 1,6
106-110 286-290 I 1 0,4
111-115 291-295 II 2 0,8
116-120 296-300 III 3 1,2
121-125 301-305 III 3 1,2
126-130 306-310 IIII 4 1,6
131-135 311-315 II 2 0,8
136-140 316-320 IIIII 5 2
141-145 321-325 III 3 1,2
146-150 326-330 IIIII 5 2
151-155 331-335 IIIII IIIII 10 4
156-160 336-340 IIIII III 8 3,2
161-165 341-345 IIIII III 8 3,2
166-170 346-350 IIIII 5 2
171-175 351-355 IIIII III 8 3,2
176-180 356-360 IIIII I 6 2,4

Gambar 4.16. Proyeksi Diagram Kipas Data Sesar

39
Gambar 4.17. Proyeksi Stereografis Data Sesar
Shear Fracture : N 325oE / 65o Net Slip : 10o, N 346oE
Gash Fracture : N 52oE / 70o δ1 : 57o, N 316oE
Bidang Sesar : N 160oE / 60o δ2 : 25o, N 179oE
Rake : 11o δ3 : 60o, N 54oE

Penamaan sesar ditentukan berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 dengan


merekontruksi pergeseran sesar berdasarkan net slipnya. Net slip pada proyeksi
stereografis menunjukkan arah pergerakan sesar menurun dan cenderung ke kanan, maka
pada diagram Rickard yang ditutup pada bagian kiri atas. Setelah itu diplot data dip sesar
dan rake net slip, lalu dilihat arsirannya di bagian mana. Nama sesarnya adalah Right
Normal Slip Fault.

40
BAB V

POTENSI GEOLOGI

5.1 Potensi Positif


Pada daerah pemetaan ini, potensi geologi positif yang ada dapat dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu potensi air, lahan dan tambang pasir. Potensi air yang dimaksud adalah
aliran sungai yang dimanfaatkan sebagai irigasi untuk persawahan, dan untuk rumah
yang belum dilalui jalur PDAM. Sistem irigasi di wilayah pemetaan ini menggunakan
katup pengatur sehingga suplai air yang masuk dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
Potensi lahan yang dimanfaatkan adalah sebagai pemukiman dan persawahan
warga. Daerah dataran denudasi yang datar dapat dimanfaatkan untuk membangun
rumah dan juga tempat bercocok tanam warga sekitar. Untuk daerah perbukitan
tersayat kuat, ada yang dimanfaatkan sebagai perkebunan warga.
Potensi bahan galian berada di ujung Kali Kamal, yaitu berupa tambang pasir.
Penambangan pasir ini hanya dalam skala kecil, dimana bagian aliran sungai yang
bercabang ditutup dengan batu sehingga arah aliran hanya dominan ke satu arah, dan
di ujung aliran deras peralihan ke aliran tenang dipasang jaring untuk menyaring dan
mengumpulkan pasir yang terbawa oleh aliran sungai.

5.2 Potensi Negatif


Dari pengamatan yang dilakukan terhadap kondisi geologi di wilayah pemetaan,
dapat disimpulkan bahwa di beberapa tempat pada daerah pemetaan terdapat potensi
bencana geologi yaitu longsor dan gerakan massa. Gejala gerakan massa dapat dilihat
dari condongnya pohon-pohon ke arah jalan, dan terlihat retakan-retakan di jalan.
Bencana longsor juga terlihat di beberapa tempat, dipicu oleh curah hujan
mengakibatkan batuan yang sudah mengalami pelapukan akan rentan terhadap
longsor. Selain itu, faktor kemiringan lereng juga berpengaruh akan terjadinya tanah
longsor.

41
Gambar 5.3 Tanah longsor (kiri, arah foto N 320oE) dan gejala gerakan massa (kanan,
arah foto N 185oE) (Difoto oleh Atjie)

42
BAB VI

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemetaan dan analisis data yang sudah dilakukan, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Geomorfologi di wilayah pemetaan terdiri dari tiga satuan geomorfologi bentukasal
yaitu satuan bentukasal struktural (perbukitan tersayat kuat dan sedang), satuan
bentukasal denudasional (bukit terisolir dan dataran denudasi) dan satuan bentukasal
fluvial (tubuh sungai dan gosong sungai).
2. Pola pengaliran yang berkembang di wilayah pemetaan adalah pola pengaliran
subdendritik dan trellis, dengan tipe sungai hampir konsekuen, berdasarkan debit air
sungai intermiten dan stadia daerah tergolong ke dalam stadia dewasa.
3. Stratigrafi wilayah pemetaan dibagi menjadi tiga satuan batuan, yaitu Satuan Breksi
Andesit Formasi Andesit Tua, Satuan Batulempung Formasi Nanggulan dan Endapan
Koluvial Kuarter.
4. Struktur geologi yang berkembang di dekat wilayah pemetaan adalah struktur kekar
dan struktur sesar right normal slip fault.
5. Potensi geologi positif di wilayah pemetaan adalah potensi air (irigasi dan sumber air),
lahan (pemukiman, persawahan dan perkebunan) dan bahan galian (tambang pasir).
Sedangkan potensi negatif di wilayah pemetaan ini antara lain gerakan massa dan
tanah longsor.

27
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia. vol. IA, Martinus Nijhoff, the
Hague.
IAGI. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia: Bandung.
Prawiro, Suroso Sastro dkk. 2007. Buku Panduan Praktikum Geomorphology.
Yogyakarta: UPN “Veteran” Yogyakarta.
Raziq, Ilham Abdul. 2017. Buku Panduan Lapangan Pegunungan Selatan dan
Karangsambung. Jambi: Universitas Jambi.
Team Teknik Geologi STTNAS dan UNJA. 2017. Buku Panduan Praktikum
Pemetaan Perbukitan Kulonprogo. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi
Nasional.
Zakaria, Zufialdi. 2008. Manajemen Pemetaan Geologi: Teori & Latihan

Pemetaan Geologi. Laboratorim Geoteknik Universitas Padjadjaran:

Bandung.

Anda mungkin juga menyukai