Anda di halaman 1dari 63

IDENTIFIKASI KEBERADAAN RONGGA BAWAH

PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE VERY


LOW FREQUENCY DI DAERAH KARST
DESA MONGGOL, GUNUNGKIDUL

SKRIPSI

MEILAN DEA FRISCA


F1D317024

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA


JURUSAN TEKNIK KEBUMIAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JAMBI
2021
HALAMAN PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Meilan Dea Frisca
NIM : F1D317024
Program Studi : Teknik Geofisika
Fakultas : Sains dan Teknologi
Universitas : Jambi
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini yang berjudul “Identifikasi
Keberadaan Rongga Bawah Permukaan Menggunakan Metode Very Low
Frequency di Daerah Karst Desa Monggol, Gunungkidul” merupakan hasil
karya sendiri, tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan
orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan
karya ilmiah yang telah lazim. Tanda tangan yang tertera dalam halaman
pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Jambi, 5 Januari 2022
Penulis

Meilan Dea Frisca


F1D317024

ii
RINGKASAN

Desa Monggol merupakan daerah dengan dominan karst yang secara


fisiografis termasuk ke dalam Zona Pegunungan Selatan Jawa. Ketersediaan air
di daerah karst merupakan masalah yang hingga kini belum terselesaikan. Air
di kawasan karst banyak tersimpan di bawah permukaan dan hanya sedikit
yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Keberadaan rongga-rongga yang
berisi air bawah permukaan di kawasan karst dapat teindentifikasi dengan
menggunakan metode geofisika untuk memetakan nilai konduktifitas suatu
medium melalui peta penampang Rapat Arus Ekuivalen (RAE) dengan parameter
tilt (%) dan ellips (%). Litologi bawah permukaan di daerah karst Desa Monggol
yaitu batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping
terumbu. Nilai RAE berkisar (-14) – (2) yg divisualisasikan dari warna hijau
menuju kuning diinterpretasikan sebagai batugamping terumbu, nilai RAE
berkisar (2) – (10) yg divisualisasikan dari warna kuning menuju merah
diinterpretasikan sebagai batugamping berlapis. Nilai < -18 yg divisualisasikan
dari warna biru menuju ungu diinterpretasikan sebagai Rongga yang berisi
udara, nilai > 16 yg divisualisasikan dari warna kuning menuju merah
diinterpretasikan sebagai Rongga yang berisi air. Keberadaan rongga bawah
tanah pada lintasan 1 yaitu antara titik 400 meter dan 1000 meter di
kedalaman 50 meter, pada lintasan 2 yaitu antara titik 400 meter di kedalaman
50 meter.

Kata kunci : Karts, Very Low Frequency (VLF), Elektromagnetik, Rongga, Tilt,
Ellips

iii
SUMMARY

Monggol Village is an area with dominant karst which is physiographically


included in the Mountain Zone of Southern Java. The availability of water in karst
areas is a problem that has not been resolved until now. A lot of water in the karst
area is stored below the surface and only a little can be used directly. The
existence of cavities containing subsurface water in karst areas can be identified
using geophysical methods to map the conductivity value of a medium through a
cross-sectional map of Equivalent Current Density (RAE) with tilt (%) and ellipse
(%). The subsurface lithology in the karst area of Monggol Village is carbonate rock
consisting of layered limestone and reef limestone. RAE values ranging from (-14)
– (2) which are visualized from green to yellow are interpreted as reef limestones,
RAE values ranging from (2) – (10) which are visualized from yellow to red are
interpreted as layered limestones. Values < -18 which are visualized from blue to
purple are interpreted as voids filled with air, values > 16 which are visualized
from yellow to red are interpreted as voids filled with water. The existence of an
underground cavity on track 1 is between points 400 meters and 1000 meters at a
depth of 50 meters, on track 2 which is between points 400 meters at a depth of
50 meters.

Keywords : Karts, Very Low Frequency (VLF), Electromagnetik, Caves, Tilt, Ellips

iv
IDENTIFIKASI KEBERADAAN RONGGA BAWAH
PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE VERY
LOW FREQUENCY DI DAERAH KARST
DESA MONGGOL, GUNUNGKIDUL

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana pada Program Studi Teknik Geofisika

MEILAN DEA FRISCA


F1D317024

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA


JURUSAN TEKNIK KEBUMIAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JAMBI
2021

v
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul IDENTIFIKASI KEBERADAAN RONGGA BAWAH


PERMUKAAN MENGGUNAKAN METODE VERY LOW FREQUENCY DI DAERAH
KARST DESA MONGGOL, GUNUNGKIDUL yang disusun oleh MEILAN DEA
FRISCA, NIM: F1D317024 telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada
tanggal 5 Januari 2022 dan dinyatakan lulus.

Susunan Tim Penguji:


Ketua : Dr. Yatini, M. Sc
Sekretaris . : Ira Kusuma Dewi, S.Si., M.T
Anggota : 1. Dr. Lenny Marlinda, S.T., M.T
.

2. Dm Magdalena Ritonga, S.T., M.T


3. Drs. H. Nasri MZ, M.S

Disetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Yatini, M. Sc Ira Kusuma Dewi, S.Si., M.T


NIP. 196305221990032001 NIP. 198701172019082015

Diketahui:

Dekan Ketua Jurusan


Fakultas Sains dan Teknologi Teknik Kebumian

Prof. Drs. Damris M, M.Sc., Ph.D Dr. Lenny Marlinda, S.T., M.T
NIP. 199605191991121001 NIP. 197907062008122002

vi
RIWAYAT HIDUP

MEILAN DEA FRISCA, dilahirkan di Bengkulu pada tanggal


29 Mei 1999 dari pasangan Bapak Alda Mardiansyah dan Ibu
Deni Armiyati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Saudara kedua bernama Viona Vivi Liano dan
saudara ketiga bernama Adhitia Aldi Saputra. Penulis telah
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD No. 03
Mukomuko pada tahun 2006 sampai 2012. Selanjutnya
penulis bersekolah di SMP N 03 Mukomuko pada tahun 2011 sampai 2014.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA N 01 Mukomuko pada tahun
2014 hingga 2017. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Geofisika,
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi pada tahun 2017. Selama
menjadi mahasiswa penulis aktif di beberapa unit kegiatan bidang
kemahasiswaan dan keilmuan.
Selama menjadi mahasiswa Teknik Geofisika, dibidang kemahasiswaan
dan organisasi penulis ikut serta sebagai anggota muda Himpunan Teknik
Geofisika (HMTGF) Antareja pada tahun 2019-2020, penulis menjadi anggota
divisi kewirausahaan HMTGF Antareja periode 2020-2021, dan sebagai
sekretaris di Society of Exploration Geophysics Jambi University Student
Chapter (SEG UNJA-SC) periode 2019-2020. Penulis juga pernah menjadi
asisten laboratorium di mata kuliah Survey dan Pemetaan. Dibidang keilmuan
penulis pernah meraih peringkat 3 Lomba Cerdas Cermat (LCC) tingkat
Fakultas Sains dan Teknologi, selain itu penulis juga meraih pendanaan dalam
kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa Riset Eksata (PKM-RE) 2021.
Penulis menyelesaikan kerja praktik (KP) di Dinas Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Jambi pada Februari hingga April 2020
dengan judul “Pendugaan Sebaran Lapisan Akuifer Air Tanah Menggunakan
Metode Geolistrik Resistivitas Konfigurasi Schlumberger di Desa Pijoan
Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi”. Kemudian penulis
menyelesailan tugas akhir dengan judul “Identifikasi Keberadaan Rongga Bawah
Permukaan Menggunakan Metode Very Low Frequency (VLF) di Daerah Karst
Desa Monggol, Gunungkidul” skripsi ini juga dipertahankan di depan tim
penguji pada 5 Januari 2022 dan dinyatakan lulus serta berhak menyandang
gelar Sarjana Teknik (S.T).

vii
PRAKARTA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan berkah-Nya, yang telah melimpahkan kesehatan akal pikiran dan
jasmani kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Identifikasi Keberadaan Rongga Bawah Permukaan Menggunakan Metode
Very Low Frequency di Daerah Karst Desa Monggol, Gunungkidul”.
Penulisan ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Teknik Geofisika Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Jambi. Dalam penyelesaian penulisan skripsi ini
penulis telah mendapatkan bimbingan, arahan, dan dorongan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama pengerjaan hingga
penyelesaian skripsi ini, diantaranya :
1. Kedua Orangtua dan seluruh keluarga yang senantiasa selalu
mendoakan, memberikan motivasi, dan membantu baik dari segi moril
dan materil kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Prof. Drs. Damris M, M.Sc., Ph.D selaku Dekan, Dr. Tedjo Sukmono, S.
Si., M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Kerjasama dan Sistem
Informasi, Dr. Revis Asra, S.Si., M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Umum,
Perencanaan, dan Keuangan, dan Ir. Yulia Morsa Said, M.T selaku Wakil
Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Jambi yang telah memberikan izin dalam
pelaksanaan penelitian.
3. Ibu Ira Kusuma Dewi, S.Si., M.T selaku Ketua Prodi Teknik Geofisika
yang telah banyak membimbing penulis selama menempuh Pendidikan
di Universitas Jambi.
4. Bapak Juventa, S.T., M.T selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh Pendidikan di
Universitas Jambi.
5. Ibu Dr. Yatini, M. Sc selaku Pembimbing utama dan Ibu Ira Kusuma
Dewi, S.Si., M.T. selaku Pembimbing pendamping skripsi yang telah
memberikan masukan, nasehat, dan arahan dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
6. Ibu Dr. Lenny Marlinda, S.T., M.T, Ibu Dm Magdalena Ritonga, S.T., M.T,
dan Bapak Drs. H. Nasri MZ, M.S selaku anggota penguji yang telah
memberikan saran dan masukan yang membangun dalam skripsi ini.
7. M Daris Rasyid selaku teman seperjuangan yang selalu setia membantu

viii
ix

8. dari awal perkuliahan dalam kala susah maupun senang.


9. Teman-teman dari Teknik Geofisika Universitas Jambi yang selalu
memberikan dukungan dan semangat.
10. Debi Septiani Hikmah selaku rekan selama tugas akhir yang selalu
memberi dukungan dan semangat.
11. Arisan girl’s yaitu Nada Hamidah, Diah Pratiwi Yolanda Mutiah, Debi
Septiani Hikmah yang selalu memberi dukungan dan semangat.
12. Ciwi tekbum yaitu Nezha Naufaldilla dan Danda Jeliza Putri yang selalu
memberi dukunngan dan semangat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka
dari itu kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun akan
diterima dengan segala kerendahan hati demi kesempurnaan skripsi ini.

Jambi, 5 Januari 2022

Meilan Dea Frisca


F1D317024
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN.................................................................................. ii
RINGKASAN .................................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ vi
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ vii
PRAKARTA .....................................................................................................viii
DAFTAR ISI...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah ...................................................... 2
1.3 Hipotesis ................................................................................................ 2
1.4 Tujuan ................................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4
2.1 Penelitian Relevan .................................................................................. 4
2.2 Geologi Regional ..................................................................................... 7
2.3 Karst.................................................................................................... 12
2.4 Dasar Teori VLF-EM ............................................................................. 14
2.5 Metode Very Low Frequency (VLF) ........................................................ 16
2.6 Teknik Pengukuran VLF ....................................................................... 19
III.METODE PENELITIAN ............................................................................... 22
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 22
3.2 Peralatan Penelitian .............................................................................. 22
3.3 Software............................................................................................... 23
3.4 Data Penelitian..................................................................................... 23
3.5 Metode Penelitian ................................................................................. 24
3.6 Interpretasi Data .................................................................................. 26
3.7 Diagram Alir ........................................................................................ 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 28
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 36
3.2 Kesimpulan .......................................................................................... 36
3.3 Saran ................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 37
LAMPIRAN A DATA LAPANGAN METODE VLF TILT MODE.............................. 40

x
xi

LAMPIRAN B PENGOLAHAN VLF TILT MODE MENGGUNAKAN FILTER KAROUS


HJELT ........................................................................................................... 42
LAMPIRAN C PENGOLAHAN KOREKSI TOPOGRAFI, FILTER MOVING AVERAGE,
DAN FILTER FRASER ..................................................................................... 44
LAMPIRAN D GRAFIK PERBANDINGAN TILT SEBELUM DAN SESUDAH
KOREKSI TOPOGRAFI VS JARAK ................................................................... 46
LAMPIRAN E GRAFIK PERBANDINGAN TILT SEBELUM DAN SESUDAH FILTER
MOVING AVERAGE VS JARAK ........................................................................ 47
LAMPIRAN F GRAFIK PERBANDINGAN TILT, ELLIPS, DAN FRASER VS JARAK 48
LAMPIRAN G PETA PENAMPANG RAE ............................................................ 49
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo et al., 1995) ............................. 8
2. Lokasi Penelitian pada Pembagian Fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur
oleh Van Bemmelen (1949) ........................................................................ 9
3. Bentang Alam Karst (Von Engeln, 1942)................................................... 12
4. Stalagtit dan Stalagmit (Ford dan Williams, 1989) .................................... 13
5. Distribusi Medan Elektromagnet Metode VLF di atas Medium Konduktif
(Bosch & Muller, 2001) ............................................................................ 17
6. Hubungan Fase Medan Primer dan Medan Sekunder (Kaikonen,1979) ..... 18
7. Parameter Polarisasi Ellips (Smith & Ward, 1974)..................................... 18
8. Posisi Lintasan Pengukuran, Strike Target, dan Arah Pemancar yang ideal
dalam pengukuran Metode VLF mode tilt angle (Kearey, et al., 2002) ........ 19
9. Ilustrasi Pengukuran VLF dengan Mode Resistivity .................................. 20
10. Gambar set alat mode VLF yang digunakan pada akuisisi datam terdiri dari
sensor unit, T-console dan kabel konektor. .............................................. 22
11. Diagram Alir Penelitian ............................................................................ 27
12. Lintasan Pengukuran Desa Monggol, Gunungkidul .................................. 28
13. Grafik Perbandingan tilt (%) Sebelum dan Sesudah Koreksi Topografi pada
Lintasan 1 Pemancar Australia ................................................................ 29
14. Grafik Perbandingan Tilt (%) Sebelum dan Sesudah Koreksi Topografi pada
Lintasan 2 Pemancar Australia ................................................................ 30
15. Grafik Perbandingan Nilai Tilt Terkoreksi Topografi Sebelum dan Setelah
Moving Average Ordo 3 pada Lintasan 1 Desa Monggol, Gunungkidul ...... 31
16. Grafik Perbandingan Nilai Tilt Terkoreksi Topografi Sebelum dan Setelah
Moving Average Ordo 3 pada Lintasan 2 Desa Monggol, Gunungkidul ...... 31
17. Grafik Perbandingan Nilai Tilt, Ellips, dan Fraser Pada Lintasan 1 Desa
Monggol, Gunungkidul ............................................................................ 32
18. Grafik Perbandingan Nilai Tilt, Ellips, dan Fraser Pada Lintasan 2 Desa
Monggol, Gunungkidul ............................................................................ 32
19. Peta RAE lintasan 1 Desa Monggol, Gunungkidul .................................... 33
20. Peta RAE Lintasan 2 Desa Monggol .......................................................... 34
21. Gabumgam Plot 2D Pada Peta Lintasan Desa Monggol, Gunungkidul ....... 35
22. Data Lapangan Lintasan 1 Desa Monggol Metode VLF Tilt mode ............... 40
23. Data Lapangan Lintasan 2 Desa Monggol Metode VLF Tilt mode ............... 41
24. Gambar Pengolahan VLF Tilt Mode Lintasan 1 Menggunakan Filter Karous
Hjelt ........................................................................................................ 42

xii
25. Gambar Pengolahan VLF Tilt Mode Lintasan 2 Menggunakan Filter Karous
Hjelt ........................................................................................................ 43
26. Pengolahan Koreksi Topografi, Filter Moving Average, dan Filter Fraser pada
Lintasan 1 Desa Monggol ......................................................................... 44
27. Pengolahan Koreksi Topografi, Filter Moving Average, dan Filter Fraser pada
Lintasan 2 Desa Monggol ......................................................................... 45
28. Grafik Perbandingan Tilt Sebelum dan Sesudah Koreksi Topografi Vs Jarak
Lintasan 1 Desa Monggol ......................................................................... 46
29. Grafik Perbandingan Tilt Sebelum dan Sesudah Koreksi Topografi Vs Jarak
Lintasan 2 Desa Monggol ......................................................................... 46
30. Gambar Perbandingan Tilt Sebelum dan Sesudah Filter Moving Average vs
Jarak Lintasan 1 Desa Monggol ............................................................... 47
31. Gambar Perbandingan Tilt Sebelum dan Sesudah Filter Moving Average vs
Jarak Lintasan 2 Desa Monggol ............................................................... 47
32. Grafik Perbandingan Tilt, Ellips, dan Fraser vs Jarak Lintasan 1 Desa
Monggol ................................................................................... 48
33. Grafik Perbandingan Tilt, Ellips, dan Fraser vs Jarak Lintasan 2 Desa
Monggol .................................................................................................. 48
34. Peta Penampang RAE Lintasan 1 Desa Monggol ....................................... 49
35. Peta Penampang RAE Lintasan 2 Desa Monggol ....................................... 49

xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Stratigrafi Daerah Penelitian (Rahardjo et al., 1995). ................................... 11
2. Rincian Kegiatan Penelitian ........................................................................ 22
3. Tabel klasifikasi nilai RAE Desa Monggol, Gunungkidul .............................. 35

xiv
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Desa Monggol Kecamatan Saptosari, Gunungkidul merupakan daerah
dengan dominan karst yang secara fisiografis termasuk ke dalam Zona
Pegunungan Selatan Jawa. Zona ini mengalami pengangkatan dari dasar laut,
sehingga terbentuk dataran tinggi dengan lereng pada sesarnya yang terjal (Van
Bemmelen, 1949). Daerah karst pada umumnya memiliki permasalahan
kekeringan pada musim kemarau. Air di kawasan karst banyak tersimpan di
bawah permukaan dan hanya sedikit yang dapat dimanfaatkan secara langsung
(Adji, 2010).
Karst merupakan suatu kenampakan dengan karakteristik hidrologi dan
bentuk lahan yang diakibatkan oleh kombinasi batuan yang mudah larut dan
mempunyai porositas sekunder yang berkembang dengan baik (Ford dan
Williams, 1992). Proses pelarutan membentuk suatu sistem hidrologi yang unik,
di mana sistem hidrologi kawasan karst sangat dipengaruhi oleh porositas
sekunder yang menyebabkan air masuk ke dalam sistem aliran bawah tanah
dengan melewati lorong-lorong goa dan menyebabkan kondisi kering di
permukaan (Cahyadi et al, 2017). Berdasarkan kondisi tersebut pada musim
penghujan, air hujan yang jatuh pada daerah karst tidak dapat tertahan di
permukaan tanah tetapi akan langsung masuk Lorong-lorong bawah
permukaan tanah (Karunia et al, 2012).
Ketersediaan air di daerah karst merupakan masalah yang hingga kini
belum terselesaikan, seperti halnya dengan daerah penelitian yang berada di
Desa Monggol, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul. Kekeringan
menjadi masalah klasik dari tahun ke tahun. Masyarakat setempat sejak
dahulu bertahan hidup dengan memanfaatkan air yang diperoleh dari telaga
karst ataupun penampungan air hujan. Setiap musim kemarau tiba, timbul
masalah kekurangan air di daerah ini karena mengeringnya sumber air di
permukaan. Padahal aliran sungai bawah permukaan di daerah ini sebagian
telah ditemukan di dalam gua dan berpotensi mengandung banyak air, tetapi
usaha pencarian terhadap sungai bawah tanah belum maksimal.
Dengan adanya keadaan geologi daerah karst yang sebagian besar
tersusun atas batugamping (limestone) kemudian mengalami proses karstifikasi
dengan topografi yang unik yaitu berupa perbukitan, luweng (sinkhole), gua,
dan sungai bawah tanah (Ford dan Williams, 1992) ini sangat menarik untuk
diteliti, salah satunya keberadaan rongga bawah permukaan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan survei geofisika untuk mengetahui keberadaan rongga-rongga

1
2

bawah permukaan. Pengukuran geofisika yang digunakan untuk estimasi


bawah tanah sangat bervariasi dalam metode pengukurannya. Jenis metode
geofisika yang digunakan adalah metode Very Low Frequency (VLF). Metode VLF
dipilih karena kemampuan metode ini untuk memetakan nilai konduktifitas
suatu medium melalui peta penampang Rapat Arus Ekuivalen (RAE). Metode ini
diharapkan dapat membantu untuk mengetahui keberadaan rongga-rongga
yang berisi air bawah permukaan di kawasan karst (Santos, 2006).
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik melakukan
penelitian dengan judul “Identifikasi Keberadaan Rongga Bawah Permukaan
Menggunakan Metode Very Low Frequency di Daerah Karst Desa Monggol,
Gunungkidul” untuk melihat keberadaan rongga-rongga terutama yang berisi
air di bawah permukaan menjadi sungai-sungai bawah tanah yang pola
alirannya mirip dengan sungai-sungai di permukaan.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dapat
diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Gunungkidul merupakan daerah karst sehingga kemungkinan membentuk
rongga di bawah permukaan akibat proses pelarutan pada batugamping.
2. Belum banyak penelitian tentang eksplorasi keberadaan rongga yang
menjadi sungai bawah tanah menggunakan metode elektromagnetik Very
Low Frequency (VLF) di daerah Gunungkidul.
Berdasarkan dengan pemaparan masalah pada latar belakang di atas,
maka dapat dirumuskan permasalan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana litologi bawah permukaan daerah karst Desa Monggol?
2. Bagaimana identifikasi keberadaan rongga bawah tanah dengan metode VLF
di daerah karst Desa Monggol?
3. Apakah dapat teridentifikasi keberadaan air pada keberadaan rongga di
daerah karst Desa Monggol?
1.3 Hipotesis
Diduga daerah penelitian Desa Monggol merupakan kawasan karst yang
dominan berbatuan karbonat. Batuan karbonat pada dasarnya mudah larut
sehingga mudah sekali terbentuk rongga-rongga bawah permukaan tanah dari
celah dan retakan. Air yang mengalir menembus batuan kapur di bawah
permukaan akan membentuk suatu pola aliran menyerupai sungai permukaan
dengan melewati lorong-lorong gua yang dikenal sebagai aliran sungai bawah
tanah. Keberadaan rongga yang berisi air diperkirakan pada kedalaman >50
meter dengan lebar ±100 meter.
3

1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui litologi bawah permukaan di daerah karst Desa Monggol.
2. Mengindentifikasi keberadaan rongga bawah tanah di daerah karst Desa
Monggol serta kedalaman rongga tersebut.
3. Mengindentifikasikan keberadaan air pada keberadaan rongga tersebut.

1.5 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi peneliti
Penelitian ini membantu untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesempatan untuk menerapkan teori-teori yang diperoleh di bangku kuliah
universitas. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu penelitian lain
yang membutuhkan referensi terkait dengan topik penelitian yang sama.
2. Bagi masyarakat
Penelitian ini akan memberikan informasi kepada masyarakat sekitar
dengan menambah informasi keberadaan rongga-rongga bawah tanah di
daerah survey.
3. Bagi pemerintah atau instansi terkait
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran kepada pemerintah
daerah untuk pengembangan masyarakat di kawasan karst desa Monggol,
yang menghadapi kesulitan air bersih selama musim kemarau panjang.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Relevan


Nugroho et al. (2012) telah melakukan penelitian tentang Klasifikasi
Geoteknik Goa Sungai Bawah Tanah Daerah Seropan Wonosari-Gunungkidul,
Yogyakarta bertujuan untuk memetakan sistem lorong goa (caving) dengan
aman. Hasil analisis yang didapatkan berupa analisis geologi teknik berupa
pemetaan struktur sungai bawah tanah. Berdasarkan pengukuran dari ASC,
sebagai gambaran awal, dimensi dari Goa Seropan ini memiliki Panjang sekitar
888 m dengan kedalaman sekitar 62 m dari permukaan tanah setempat. Pintu
goa terletak pada dasar dari sebuah cekungan tertutup. Panjang lorong dari
mulut goa sampai ke badan sungai bawah tanah sekitar 211 meter. Lorong ke
arah hulu, hampir seluruhnya terendam air dengan ketinggian 1–1,5 meter
akibat dibangunnya bendungan di percabangan. Pada bagian sisi dalam
belokan sungai, biasanya air lebih dalam. Lorong ini berakhir pada sebuah
sump (lorong goa yang seluruhnya tertutup air dari dasar sampai atap). Ke arah
hilir kedalaman air relatif lebih dangkal. Lorong ini berakhir pada sebuah
chamber (ruang besar di dalam goa) dimana terdapat air terjun pertama dengan
ketinggian sekitar 7 meter. Setelah air terjun pertama ini lorong masih berlanjut
sekitar 200 meter sebelum berakhir pada air terjun kedua setinggi 9 meter
kemudian aliran air berakhir pada sebuah sump.
Rismaningsih (2013) telah melakukan penelitian tentang Estimasi
Keterhubungan Sungai Bawah Tanah Antara Seropan dan Bribin dengan
Metode Geofisika Very Low Frequency di Daerah Gunungkidul, bertujuan untuk
menentukan arah dan pola aliran sungai bawah tanah serta menentukan posisi
keterhubungan antara sungai Seropan dan Bribin. Interpretasi dilakukan dari
data VLF sudut tilt dan ellips untuk memperkirakan aliran sungai bawah tanah
yang diinterpretasi secara kualitatif dan kuantitatif. Interpretasi kualitatif
dilakukan berdasarkan pengolahan data yang telah dikoreksi topografi,
selanjutnya menggunakan Filter Moving Average untuk penghalusan. Filter
Fraser dan filter Karous H-Jelt untuk memperlihatkan anomali benda konduktif
bawah tanah. Sedangkan interpretasi kuantitatif menggunakan program
Inv2DVLF untuk menentukan posisi sungai bawah tanah. Berdasarkan hasil
penelitian dapat diketahui arah aliran sungai bawah tanah dari Utara menuju
Selatan. Aliran Seropan dan Bribin bertemu pada koordinat 8° 2’ 20,73” LS dan
110° 40’ 48,51” BT. Sungai Seropan berada di atas sungai Bribin, saling
menyilang bertingkat dan tidak saling berhubungan.

4
5

Rizqi et al (2021) telah melakukan penelitian tentang penelitian


Identifikasi Keberadaan Rongga sebagai Pemicu Amblesan (Sinkhole) di Desa
Bedoyo yang bertujuan untuk memetakan kondisi geologi dan bawah tanah.
Menentukan ada tidaknya rongga pada batuan berdasarkan nilai resistivitas
berdasarkan citra bawah tanah. Dari gambar bawah tanah 2D/3D, jenis
subsidensi dan penyebabnya juga dapat ditentukan. Metode penelitian
menggunakan pemetaan geologi dan bawah tanah menggunakan geolistrik
schlumberger. Berdasarkan hasil penelitian geolistrik, kondisi bawah
permukaan di lokasi penelitian dapat dijelaskan memiliki zona-zona rongga
(cavity zones) yang diduga menjadi faktor pemicu terjadinya amblesan di
permukaan. Desa Bedoyo dan sekitarnya dibagi menjadi dua (dua) jenis
subsidensi menurut ganesanya, yaitu: tipe dropout sinkhole dan suffosion
sinkhole. Pada amblesan dengan tipe suffosion sinkhole dipengaruhi oleh
struktur geologi berupa sesar naik. Hasil pemodelan geologi dan penurunan
muka tanah di daerah penelitian menunjukkan bahwa daerah tersebut
merupakan daerah rawan amblesan, yang terbagi menjadi tiga daerah yaitu
mudah, sedang dan aman. Daerah rawan permukiman meliputi desa Sigorejo,
Gombong, Pucanganom dan Bedoyo, daerah tengah meliputi desa Sumbergiri
dan Karangasem, dan daerah rendah meliputi Dusun Asem Lulang.
Cahyadi et al. (2016) telah melakukan penelitian tentang Pemetaan
Potensi Airtanah di Daerah Aliran Sungai Juwet, bertujuan untuk melakukan
pemetaan potensi airtanah di DAS Juwet yang terletak di Kabupaten
Gunungkidul. Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan karakteristik
hidrogeomorfologi wilayah. Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah kajian
dapat dibagi menjadi beberapa zona potensi airtanah, yaitu Zona Potensi
Airtanah Sedang dengan Hambatan Lereng, Zona Potensi Airtanah Tinggi, Zona
Potensi Airtanah Rendah dengan Hambatan Lereng dan Material, dan Zona
Potensi Airtanah Sedang dengan Hambatan Material.
Amrin et al. (2018) telah melakukan penelitian tentang Identifikasi
Sistem Sungai Bawah Tanah Daerah Karst menggunakan Metode VLF di Daerah
Pacitan, bertujuan untuk untuk mengidentifikasikan kemenurusan sistem
bawah bawah tanah daerah Karst, Pacitan. Hasil penelitian ini diperoleh nilai
Rapat Arus Ekivalen (RAE), dimana nilai RAE sebanding dengan konduktifitas
dan berbanding terbalik dengan resistivitas, nilai anomali tinggi dianggap
sebagai rongga berisikan air.
Saputra (2016) telah melakukan penelitian tentang Identifikasi
Keberadaan Rongga menggunakan Metode Elektromagnetik Very Low Frequency
(VLF) di Daerah Girijati, bertujuan untuk mengetahui penyebaran sungai bawah
6

tanah. Penelitian geofisika dengan menggunakan metode Elektromagnetik Very


Low Frequency (VLF) Di Desa Girijati. Data yang diperoleh merupakan data
sekunder yang terdiri dari 6 lintasan, dengan panjang lintasan sekitar 200-500
meter. Pengukuran pengolahan data menggunakan perangkat lunak Matlab
peruntuk mendapatkan penampang bawah permukaaan secara 2D. Pada
metode VLF mendapat sinyal langsung dari bumi untuk mendapatkan nilai tilt
dan nilai ellips. Nilai tilt digunakan untuk mendapatkan respon nilai
konduktivitas untuk mengetahui rongga bawah permukaan. Berdasarkan
informasi geologi, daerah penelitian terdiri dari litologi berupa batugamping,
pasir gampingan dan gamping masif. Dari hasil pengolahan dan interpretasi ke
6 lintasan dapat diketahui bahwa litologi batugamping yang terdapat adanya
rongga-rongga dibawah permukaan yang terisi air dengan nilai konduktivas
yang tinggi, dan persebaran rongga cenderung dari arah Barat laut ke tenggara
pada lokasi daerah penelitian dengan kedalaman rata-rata 20-40 meter.
Salim (2016) telah melakukan penelitian tentang Analisis Ketersediaan
Air di Kawasan Karst, bertujuan untuk mengetahui ketersediaan air pada
kawasan karst Gunungkidul. Kawasan karst mendominasi wilayah Kabupaten
Gunungkidul hingga 60% dari luas wilayah kabupaten tersebut secara
keseluruhan. Secara biologi, terdapat vegetasi yang mampu bertahan dan
toleran terhadap kondisi kering, hidup di lapisan tanah yang tipis bahkan
mampu menembus celah rekahan batuan hingga mencapai batas sumber air.
Hasil analisis pada penelitian ini yaitu di bawah permukaan terdapat goa
dengan speleothem yang unik dan aliran sungai bawah permukaan. Jumlah air
yang tersedia di dekat permukaan sebesar 7.28 x 108 m3/tahun. Nilai tersebut
diperoleh dari surplus air tahunan yang terjadi di kawasan karst. Kawasan karst
Gunungkidul berada dalam kondisi yang belum kritis berdasarkan perhitungan.
Andi et al. (2020) telah melakukan penelitian tentang Identifikasi Rongga
Menggunakan Metode Geolistrik Dipole-dipole yaitu identifikasi rongga di pulau
Nusakambangan menggunakan metode geolistrik ini digunakan untuk
memetakan nilai resistivitas secara lateral pada masing-masing lintasan.
Pengujian geolistrik dilakukan dengan menggunakan 4 lintasan dengan
bentangan 200-400 meter. Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa pola
yang diinterpretasikan sebagai rongga sepanjang lintasan yang di survey. Pola-
pola tersebut yaitu 3 pola klosur pada lintasan A dengan rentang resistivitas
lebih dari 4000 Ω.m, dua pola klosur pada lintasan B dengan rentang
resistivitas lebih dari 10000 Ω.m satu pola klosur pada lintasan C dengan
resistivitas lebih dari 2000 Ω.m. Hasil penelitian bisa menjadi gambaran untuk
7

menandai lokasi-lokasi di permukaan yang rawan atau berpotensi terjadinya


bencana amblesan/sinkhole.
Rhamadianto et al. (2020) telah melakukan penelitian tentang Pemetaan
Potensi Sinkhole dengan Metode VLF-EM ini digunakan untuk dapat
memetakan zona potensi sinkhole berdasarkan parameter konduktivitas yang
dimiliki tanpa bantuan medium dan injeksi sumber energi. Lintasan akuisisi
sebanyak 5 buah sepanjang 500-515 meter mengikuti aliran sungai dan 1 buah
sepanjang 220 meter yang memotong sungai di ujung area pengukuran. Dari
pengolahan data tipper, menjadi model kualitatif dan kuantitatif, diperoleh titik
dugaan sinkhole berisi air dengan resistivitas 100-300 Ω.m dan berisi udara
dengan resistivitas 550-650 Ω.m. Sinkhole berisi air terlihat pada lintasan 1
offset 100-200 meter dan kedalaman 45-50 meter, lintasan 4 pada offset 50-150
meter dan kedalaman 50-150 meter dan pada offset 440 meter dan kedalaman
45 meter. Sedangkan sinkhole berisi udara terlihat pada lintasan 5 pada offset
350 meter dan kedalaman 30-40 meter.
Husni et al. (2019) telah melakukan penelitian tentang Analisis data
yang dilakukan berupa interpretasi data geolistrik hasil pengolahan software
Res2Dinv. Interpretasi data geolistrik dapat ditelaah sebagai menerjemahkan
bahasa fisis dengan berupa nilai tahanan jenis menjadi bahasa geologi yang
lebih umum. Dari hasil yang didapat dari model 2D dan model 3D maka dapat
diidentifikasi model sungai bawah tanah pada kawasan karst di Danau Tarusan
Kamang. Sistem sungai tanah pada Danau Karst Tarusan Kamang diduga
berada pada arah Barat laut menuju tenggara, yaitu dari lintasan pertama
menuju lintasan kedua yang ditemukan pada kedalaman antara 20 sampai 30
meter lebih dari permukaan tanah. Jalur sungai bawah tanah dengan lorong
paling besar ditemukan pada lintasan 1 sedangkan lorong paling kecil
ditemukan pada lintasan 3. Pada saat muka air tanah semakin naik, maka air
ini akan muncul ke permukaan yang kemudian membentuk sebuah danau.
Peristiwa inilah yang diduga sebagai penyebab adanya danau unik di kawasan
karst, Tarusan Kamang.

2.2 Geologi Regional


Menurut Wartono Rahardjo et al. (1995) Daerah Geologi Lembar
Yogyakarta merupakan suatu daerah sedimentasi yang di tempati oleh endapan
laut dalam, laut dangkal, dan darat, yang berumur Oligosen-Kuarter. Secara
geologi Formasi yang terdapat di daerah penelitian mulai dari tua ke muda yaitu
disusun oleh Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu dan Formasi Wonosari.
Formasi ini menurut Wartono Rahardjo et al, (1995) diendapkan secara selaras.
8

Kabupaten Gunungkidul memiliki luas sekitar 1.485,36 km 2 atau sekitar


46,63% dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang membentang
di Selatan Pulau Jawa mulai dari kawasan tersebut ke arah Timur hingga
Kabupaten Tulungagung. Secara geografis terletak pada 7°46' sampai 8°09' LS
dan 110°21′ sampai 110°50′ BT. Kabupaten Gunungkidul sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo, sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Wonogiri, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
Bantul dan Kabupaten Sleman, dan sebelah Selatan berbatasan dengan
Samudera Hindia.

Gambar 1. Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo et al., 1995)

Berdasarkan peta geologi regional pada lembar Yogyakarta, daerah


penelitian termasuk kedalam Formasi Wonosari, formasi ini tersingkap baik di
daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam subzona Wonosari
dan topografi karst Subzona Gunung Sewu. Formasi ini didominasi oleh batuan
karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu,
dengan memperhatikan hal tersebut bahwa fasies yang nantinya akan diamati
kemungkinan memiliki beragam fasies dilihat dari keterdapatan litologi
batugamping yang berbeda didasarkan dari konsep fasies yang diamati
batugamping terumbu merupakan batugamping dengan kemungkinan
keterdapatan fasies boundstone atau grainstone sedangkan batugamping
berlapis klastik dengan fasies packstone, wackestone atau mudstone.
9

Tektonik
Tektonik regional wilayah Jawa dikontrol oleh tektonik tunjaman Selatan
Jawa. Akibat tunjaman tersebut terbentuk struktur-struktur geologi regional di
wilayah daratan Jawa. Struktur tersebut dapat diamati di daratan Jawa bagian
Barat hingga Jawa bagian Timur, di antaranya Sesar Banten, Sesar Cimandiri,
Sesar Citarik, Sesar Baribis, Sesar Citanduy, Sesar Bumiayu, Sesar Kebumen-
Semarang-Jepara, Sesar Lasem, Sesar Rawapening, Sesar Opak, Sesar Pacitan,
Sesar Wonogiri, Sesar Pasuruan, dan Sesar Jembe.
Fisiografi
Menurut Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah dan Jawa Timur
menjadi 7 zona fisiografi (Gambar 2), yaitu Gunung Api Kuarter, Dataran Aluvial
Pantai Utara, Antiklinorium Rembang-Madura, Antiklinorium Bogor-Serayu
Utara dan Kendeng, Kubah dan perbukitan pada Depresi Sentral, Depresi
Sentral Jawa Solo dan Randublatung, dan Pegunungan Selatan. Berdasarkan
ciri-ciri morfologi daerah penelitian yang berupa perbukitan dengan gawir
subzona Wonosari serta dijumpainya morfologi karst, maka menurut fisiografi
R.W. Van Bemmelen (1949), daerah penelitian masuk ke dalam Zona
Pegunungan Selatan yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Lokasi Penelitian pada Pembagian Fisiografi Jawa Tengah dan Jawa
Timur oleh Van Bemmelen (1949)

Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu


Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Bronto,
10

et al., 2001). Daerah penelitian ini berada pada subzona Wonosari. Subzona
Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian tengah
Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran
ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah Barat dan Utara, sedangkan di
sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran
sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke Barat dan menyatu
dengan K. Opak. Sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah lempung
hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah
batugamping.
Stratigrafi
Surono (2009), mengatakan bahwa litostratigrafi Pegunungan Selatan
pada umumnya dibentuk oleh sedimen klastika dan karbonat yang bercampur
dengan batuan hasil kegiatan gunung berapi berumur tersier. Stratigrafi
regional Pegunungan Selatan tersebut dapat dibagi berdasarkan periodenya
menjadi 3, yaitu:
1. Periode pra-vulkanisme, berlangsung sebelum aktivitas vulkanisme
berjalan secara intensif. Satuan batuan yang terbentuk pada periode ini
adalah batuan malihan yang ditindih secara tidak selaras oleh kelompok
Jiwo
2. Periode vulkanisme, berlangsung saat kegiatan vulkanisme berjalan
secara intensif. Satuan batuan yang terbentuk pada periode ini adalah
kelompok Kebo-Butak yang secara berurutan ditindih selaras oleh
Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran
3. Periode pasca-vulkanisme (disebut juga periode karbonat), berlangsung
setelah kegiatan vulkanisme berakhir dan organisme karbonat tumbuh
dengan subur. Satuan batuan yang terbentuk meliputi Formasi
Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, dan
formasi Kepek Dari peta geologi regional lembar Yogyakarta, Jawa
(Surono et al., 1992)
Daerah penelitian terletak pada formasi Wonosari dan Wunung. Kedua
formasi tersebut termasuk ke dalam stratigrafi periode Karbonat (Surono, 2009).
Stratigrafi daerah penelitian yaitu satuan batuan batugamping, Satuan batuan
batugamping di daerah penelitian pada umumnya berupa batugamping
terumbu dan batugamping berlapis klastik. Secara megaskopis batugamping
terumbu berwarna abu-abu cerah, ukuran butir fosil >2mm (rudite), sedangkan
batugamping berlapis klastik mempunyai ukuran lempung (lutite), pasir (arenite)
sampai butiran (rudite). Berdasarkan analisis petrografi diperoleh nama batuan
Grainstone dan Packstone (Dunham, 1962).
11

Berdasarkan persebaran kisaran umur dari fosil-fosil foraminifera


planktonik diperoleh kisaran umur satuan batuan batugamping adalah N10-N13
atau kala Miosen Tengah. Penentuan lingkungan pengendapan dari satuan
batuan batugamping ini adalah lingkungan laut dangkal (Zona Neritik Tepi)
kedalaman 3-15 meter. Hubungan stratigrafi satuan batuan batugamping
dengan satuan batuan yang ada dibawahnya yaitu selaras. Sedangkan
hubungan stratigrafi dengan yang diatasnya yaitu satuan endapan aluvial
adalah tidak selaras, satuan ini termasuk kedalam Formasi Wonosari.

Tabel 1. Stratigrafi Daerah Penelitian (Rahardjo et al., 1995).

Umur Formasi Deskripsi Litologi


Napal dan batugamping
AKHIR Formasi Kepek berlapis
MIOSEN

Batugamping terumbu,
kalkarenit dan kalkarenit
TENGAH Formasi Wonosari tufan

AWAL

Struktur Geologi
Daerah Pegunungan Selatan termasuk perpotongan dua pola struktur
utama, yaitu Pola Meratus (Timur laut-Barat daya) dan Pola Jawa (Timur-
Barat). Arah struktur utama Pola Meratus umumnya sejajar dengan struktur
bawah permukaan Pegunungan Selatan. Arah umum tersebut ditafsirkan dari
gaya berat. Periode tektonik yang menghasilkan sesar berpola Meratus tersebut
merupakan perioda terkuat yang dialami daerah Pegunungan Selatan
(Prasetyadi et al., 2011).
Struktur geologi daerah penelitian berumur Intra-Miosen. Fasies
batugamping Formasi Wonosari daerah penelitian berdasarkan mikrofasies
dibedakan menjadi 3 litofasies yaitu litofasies grainstone, packstone, dan
wackestone dilihat dari penyebarannya dengan asumsi bahwa bila semakin
jauh dari sumber maka ukuran butirnya akan semakin halus maka jika dilihat
secara vertikal daerah penyebarannya litofasies grainstone berada diatas bagian
tubuh batugamping terumbu kemudian dibawahnya terdapat litofasies
packstone di bagian kaki terumbu sampai perlapisan kasar dan dibawahnya lagi
terdapat litofasies wackestone dengan struktur perlapisan yang halus, litofasies
daerah penelitian termasuk pada bagian back reef bagian Sand Apron
(Pematang) dan Lagoon menurut (Tucker & Wright, 1990) di lingkungan
pengendapan laut dangkal.
12

2.3 Karst
Menurut Von Engeln (1942) mengemukakan bahwa kondisi batuan yang
menunjang terbentuknya topografi karst ada 4, yaitu
- Mudah larut dan berada di permukaan atau dekat dengan permukaan.
- Masif, tebal dan terkekarkan
- Berada di daerah dengan curah hujan yang sedang hingga tinggi
- Dikelilingi oleh lembah sehingga memudahkan air permukaan mengalir

Gambar 3. Bentang Alam Karst (Von Engeln, 1942)

Pembentukan topografi karst dimulai pada saat air permukaan


memasuki rekahan diikuti oleh pelarutan batuan pada zona rekahan tersebut.
Karena adanya pelarutan tersebut, rekahan akan menjadi lebar dan pada
akhirnya akan membentuk sungai bawah permukaan hingga membentuk gua.
Air yang melewati bautan tersebut akan menetes dari langit-langit gua ke lantai
gua yang pada akhirnya akan mengendapkan kalsit dan akan terbentuk
stalaktit dan stalagmit (Sanders, 1981).
Karst merupakan istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari
bahasa Slovenia, kata karst dapat disebut “Krs atau Kras” yang berarti wilayah
yang daerahnya gersang berbatu. Ford dan Williams (1989) mendefinisikan
karst sebagai medan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari
batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang
baik.
Ciri-ciri Bentang Alam Karst:
1. Terdapat sejumlah cekungan atau depresi dengan bentuk dan ukuran yang
bervariasi, cekungan–cekungan tersebut digenangi air atau tanpa air,
kedalaman dengan jarak yang berbeda–beda.
2. Bukit–bukit kecil yang merupakan sisa–sisa erosi akibat pelarutan kimia
pada batugamping, sehingga terbentuk bukit–bukit karst berbentuk kerucut
(conical hill).
13

3. Sungai tidak mengalami perkembangan pada permukaan.


4. Terdapat sungai–sungai bawah permukan, adanya goa–goa kapur pada
permukaan atau bawah permukaan atau stalagmit dan stalagtit seperti pada
Gambar 4.

Gambar 4. Stalagtit dan Stalagmit (Ford dan Williams, 1989)

Stalagtit dan stalagmit yang sering kita jumpai di goa-goa berasal dari
senyawa CaCO3 dengan persamaan reaksi :
Ca(HCO3)2 (l) > CaCO3 (s) + H2O (l) + CO2 (g)
Ca(HCO3)2 berupa air yang merembes ke dalam tanah.Ca(HCO3)2 yang
merembes ke tanah menetes ke dasar goa dan terurai menjadi CaCO3, H2O
dan CO2. Ca(HCO3)2 terus menetes dan mengakibatkan penumpukan CaCO3
(CaCO3 mengendap). Penumpukan CaCO3 inilah yang nantinya tumbuh
sebagai stalagmit. Sedangkan stalagtit muncul karena Ca(HCO3)2 sudah
terurai terlebih dahulu sebelum menetes ke dasar goa sehingga terjadi
penumpukan CaCO3 di atap goa. Stalagtit dan stalagmit yang tumbuh di
dalam goa umunya berwarna putih. Hal ini dikarenakan pengaruh atom Ca
dalam CaCO3. Atom Ca yang tidak memiliki orbital d tidak memberikan
warna yang khas atau hanya putih saja.
5. Terdapat tanah lempung tak larut berwarna merah kecoklatan sebagai
endapan residual akibat pelarutan batugamping oleh air tanah. Endapan
residual yaitu endapan hasil pelapukan dimana proses pelapukan dan
pengendapan terjadi di tempat yang sama, dengan kata lain tanpa
mengalami transportasi (baik dengan media air atau angin) seperti endapan
sedimen yang lainnya.
6. Permukaan yang kasar, pecah–pecah atau lubang–lubang karena pelarutan
air tanah pada batugamping yang tidak tertutup oleh terrarosa.
Terrarosa adalah tanah yang terbentuk dari batuan kapur. Tanah ini
terdapat di dasar dolina-dolina dan merupakan tanah pertanian yang subur
di daerah batu kapur. Dolina adalah lubang yang berbentuk corong yang
terjadi karena erosi (pelarutan) atau karena runtuhan.
14

2.4 Dasar Teori VLF-EM


Persamaan yang digunakan untuk menjelaskan prinsip dasar medan
elektromagnetik dalam suatu medium yang konduktif adalah dengan persamaan
Maxwell. Persamaan Maxwell dapat ditulis sebagai berikut (Vozoff, 1990):
𝜕𝐵 ⃗
𝛻 × 𝐸⃗ = − (Hukum Faraday) (1)
𝜕𝑡

𝜕𝐷
⃗ =𝐽+
𝛻×𝐻 (Hukum Ampere) (2)
𝜕𝑡

⃗ =𝑞
𝛻. 𝐷 (Hukum Gauss Listrik) (3)
⃗ =0
𝛻. 𝐵 (Hukum Gauss Magnet) (4)
dengan 𝐸⃗ : Medan listrik (V/m)
⃗ : Induksi magnetik (W/m)
𝐵
⃗ : Medan magnetik (A/m)
𝐻
𝐽 : Rapat arus listrik (A/m2)
𝑞 : densitas muatan listrik (C/m3)
D : pergeseran listrik (C/m2)
Hukum Faraday (persamaan 1) menjelaskan bahwa perubahan medan
magnet terhadap waktu akan menginduksi adanya medan listrik. Begitu pula
Hukum Ampere (persamaan 2), bahwa medan magnet tidak hanya terjadi
karena adanya sumber berupa arus listrik, akan tetapi dapat juga disebabkan
oleh medan listrik yang berubah terhadap waktu (Slater dan Frank, 1947).
Hukum Gauss Listrik (persaman 3) menyatakan bahwa medan listrik
disebabkan oleh adanya muatan listrik sebagai sumbernya. Sedangkan Hukum
Gauss Magnet (persamaan 4) menyatakan bahwa tidak ada medan magnet
monopol (Reitz et al., 1993).
Untuk menjabarkan persamaan gelombang EM diperlukan hubungan
yang dapat menjelaskan sifat fisik medium dengan medan yang ditimbulkan.
Pada keadaan homogen isotropis berlaku hubungan berikut (Grant dan West,
1965) :
⃗ = 𝜀𝐸⃗
𝐷 (5)
⃗ = 𝜇𝐻
𝐵 ⃗ (6)
𝐽 = 𝜎𝐸⃗ (7)

dengan ε : Permivitas listrik (F/m)


μ : Permeabilitas magnet (H/m)
σ : Konduktivitas medium (S/m)

Persamaan Maxwell dapat dituliskan kembali sebagai berikut:


15

𝛻 × 𝐸⃗ = −𝜇
 ⃗
𝐻
(8)
 𝑡

⃗ = 𝜎𝐸⃗ + 𝜀
𝛻×𝐻
 𝐸⃗
(9)
 𝑡

𝛻 ∙ 𝐸⃗ = 0 (10)
⃗ =0
𝛻∙𝐻 (11)

Dengan operasi curl terhadap persamaan (8) dan persamaan (9) serta
mensubstitusikan besaran-besaran yang ada, maka akan diperoleh pemisahan
medan listrik (𝐸⃗ ) dan medan magnet (𝐵
⃗ ).

𝛻 × 𝛻 × 𝐴 = (𝛻 . 𝛻. 𝐴) − 𝛻 2 𝐴 (12)

𝜕𝐻 𝜕𝐸⃗
𝛻 × 𝛻 × 𝐸⃗ = (𝛻 . 𝛻.
⏟ 𝐸⃗ ) − 𝛻 2 𝐸⃗ = −𝛻𝜇 = 𝜇0 𝜎 (13)
𝜕𝑡 𝜕𝑡
0
𝜕𝐸⃗
𝛻 2 𝐸⃗ + 𝜇0 𝜎 =0 (14)
𝜕𝑡

Persamaan (14) merupakan perambatan gelombang yang memiliki penetrasi


dengan frekuensi rendah. Dari persamaan tersebut, dapat dicari hubungan
𝜕
antara bilangan gelombang dengan kedalaman penetrasi yaitu = −i , maka
𝜕𝑡

persamaan (3.14) dapat dituliskan kembali sebagai berikut:


𝛻 2 𝐸⃗ + 𝑖𝜔𝜇0 𝜎𝐸⃗ = 0 (15)
⃗ + 𝑖𝜔𝜇0 𝜎𝐻
𝛻 2𝐻 ⃗ =0 (16)
Kuat medan listrik didalam bumi mengalami penurunan secara
eksponensial terhadap kedalaman, sehingga persamaan (15) dapat dituliskan
sebagai berikut:
𝜕2 𝐸⃗
+ 𝑖𝜔𝜇0 𝜎𝐸⃗ = 0 (17)
𝜕𝑧 2

dengan 𝐸⃗ = 𝐸⃗0 𝑒 −𝑖𝜔𝑡 𝑒 𝑘𝑧 , dimana ⃗⃗⃗⃗


𝐸0 medan listrik permukaan, sehingga
persamaan (3.17) dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝐸⃗ 𝑘 2 + 𝑖𝜔𝜇0 𝜎𝐸⃗ = 0 (18)
𝐸⃗ (𝑘 2 + 𝑖𝜔𝜇0 𝜎) = 0 (19)
k merupakan bilangan gelombang yang dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝜔𝜇0 𝜎
𝑘 = ± (1 − 𝑖 )√ (20)
2

Sehingga penjalaran medan listrik di dalam bumi dapat dituliskan sebagai


berikut:
𝑖 𝜔𝜇𝜎 − 𝜔𝜇𝜎
√ 𝑧 √ 𝑧
𝐸⃗ = 𝐸⃗0 𝑒 −𝑖𝜔𝑡 𝑒 2
𝑒 2
(21)
16

Skin Depth
Gelombang elektromagnetik dan konduktivitas batuan akan berpengaruh
terhadap kedalaman. Besarnya kedalaman penetrasi gelombang elektromagnet
dipengaruhi oleh skin depth. Skin depth merupakan ukuran kedalaman ideal
dari perambatan gelombang, dikarenakan gelombang elektromagnet akan
berkurang sebesar 𝑒 −1 atau sekitar 37% ketika melewati konduktor. Semakin
kecil frekuensi yang yang digunakan makan akan semakin dalam penetrasi
yang diperoleh (Simpson et al, 2005). Persamaan (21) menunjukkan penurunan
amplitudo terhadap kedalaman, sehingga besarnya skin depth dapat dituliskan
sebagai berikut (Cheng, 1989).
− 𝜔𝜇𝜎
√ 𝛿
𝑒 2
= 𝑒 −1 (22)
Dengan mengasumsikan harga permeabilitas 𝜇 = 𝜇0 = 4𝜋 𝑥 10 Ω. 𝑑𝑡 dan −7

mensubtitusikan frekuensi dari kecepatan sudut 𝜔 = 2𝜋𝑓, maka persamaan (22)


dapat dituliskan menjadi :
2 𝜌
𝛿=√ = 503 √ . (23)
𝜔𝜇𝜎 𝑓

dengan δ : Skin depth (m)


ρ : Resistivitas (Ohm.m)
f : Frekuensi gelombang elektromagnetik (Hz)

2.5 Metode Very Low Frequency (VLF)


Metode VLF-EM merupakan salah satu dari berbagai macam metode
geofisika yang memanfaatkan parameter frekuensi. Metode VLF tergolong
metode geofisika pasif, karna prinsip kerjanyanya dengan menangkap sinyal
satu frekuensi dari stasiun-stasiun yang ada di dunia (Holt, 1967). Metode VLF
ini menggunakan frekuensi radio yang sangat rendah, sekitar 15-30 kHz, karna
frekuensinya rendah, gelombang ini memiliki penetrasi yang cukup dalam
(Febria, 2009).
Medan elektromagnet dari pemancar menjalar ke segala arah dan
terukur di permukaan bumi dengan komponen medan listrik vertikal dan
medan magnet horizontal yang tegak lurus arah penjalaran. Pemancar akan
memancarkan medan elektromagnet. Medan elektromagnet merupakan medan
magnet primer. Medan magnet primer dapat menginduksi arus listrik pada
benda atau medium konduktif dari jarak ribuan kilometer. Arus listrik pada
benda atau medium konduktif tersebut menciptakan medan magnet sekunder.
Besar medan magnet sekunder ini tergantung dari sifat kelistrikan bedan atau
medium yang terinduksi. Semakin konduktif suatu benda atau medium yang
terinduksi, maka medan magnet sekunder yang terbentuk akan semakin besar.
17

Dengan mengukur resultan dari kedua medan (primer dan sekunder) di


permukaan maka dapat diketahui benda atau medium konduktif di bawahnya.
Pada jarak yang cukup jauh dari antena pemancar, komponen medan
elektromagnet primer dapat dianggap sebagai gelombang yang berjalan secara
horizontal. Jika di bawah permukaan terdapat suatu medium yang konduktif,
maka komponen medan magnet dari gelombang elektromagnet primer akan
menginduksi medium tersebut, sehingga akan menimbulkan arus induksi (Eddy
Current). Arus induksi tersebut akan menimbulkan medan elektromagnet baru
yang disebut dengan medan elektromagnet sekunder, yang mempunyai
komponen medan listrik vertikal 𝑬𝑠𝑧 dan komponen medan magnet horizontal
𝑯𝑠𝑥. Medan magnet ini mempunyai bagian yang sefase (in-phase) dan berbeda
fase (out-of-phase) dengan medan primer. Distribusi medan elektromagnet
sekunder sangat tergantung dari sifat konduktivitas benda di bawah permukaan
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5.Distribusi Medan Elektromagnet Metode VLF di atas Medium


Konduktif (Bosch & Muller, 2001)

Fase dan Polarisasi Ellips


Metode VLF-EM dapat dijelaskan melalui perambatan gelombang
elektromagnet dari pemancar (transmitter) yang merupakan medan primer (P).
Saat gelombang elektromagnet masuk ke dalam medium, gaya gerak listrik (ggl)
induksi es akan muncul dengan frekuensi yang sama dan beda fase terhadap
medan primer sebesar 90° (Kaikonen, 1979). Medan primer mampu
menginduksi bawah permukaan hingga terjadi arus induksi (Eddy Current).
18

Gambar 6.Hubungan Fase Medan Primer dan Medan Sekunder (Kaikonen,1979)

Jika medan magnet horizontal adalah Hx dan medan magnet vertikalnya adalah
Hz, maka besar sudut tilt dapat ditunjukkan seperti Gambar 6, yang besarnya
adalah :
𝐻𝑧
2( )𝑐𝑜𝑠𝜃
tan(2θ) = 𝐻𝑥
𝐻𝑧 2
× 100% (5)
1−( )
𝐻𝑥

Dan eliptisitasnya diberikan sebagai :


𝑏 𝐻𝑧 𝐻𝑥 sin ∅
𝜀= = (6)
𝑎 [𝐻𝑧 𝑒 sin 𝜃+ 𝐻𝑥 cos 𝜃]2
𝑖∅

Sehingga tangen dari sudut tilt dan eliptisitas dapat digunakan untuk
membandingan komponen medan magnetik sekunder S vertikal dengan medan
magnetik primer P horizontal, serta membandingkan komponen kuadrat dari
medan sekunder S vertikal terhadap medan primer P horizontal (Peterson &
Ronka, 1971).

Gambar 7. Parameter Polarisasi Ellips (Smith & Ward, 1974)


19

2.6 Teknik Pengukuran VLF


Ada dua teknik pengukuran VLF, yaitu mode tilt-angle dan mode
resistivity. Mode tilt-angle mengukur polarisasi komponen medan magnetik,
sedangkan mode resistivity mengukur polarisasi komponen medan magnetik
dan medan listrik.

Mode Tilt-angle
Mode tilt-angle (Gambar 8) digunakan untuk mengetahui struktur
konduktif dan kontak geologi seperti zona alterasi, patahan, dan dike konduktif.
Dalam mode ini, arah strike target memiliki sudut ±45° dengan lokasi pemancar.
Pada konfigurasi pengukuran semacam ini, medan primer akan memberikan
fluks yang maksimum jika memotong struktur, sehingga memberikan
kemungkinan anomali yang paling besar.

Gambar 8. Posisi Lintasan Pengukuran, Strike Target, dan Arah Pemancar yang
ideal dalam pengukuran Metode VLF mode tilt angle (Kearey, et al., 2002)

Medan magnet yang memiliki komponen horizontal dan vertikal


membentuk sebuah ellips yang dapat ditunjukkan dengan sudut tilt dari sumbu
mayor dan sumbu horizontalnya, dan eliptisitas (perbandingan sumbu
minor/sumbu mayor). Alat akan mengukur dua besaran tersebut dari
pengukuran komponen in-phase dan out-of-phase medan magnetik vertikal dari
medan horizontalnya. Data tilt biasanya disajikan dalam Fraser derivatif.
Parameter eliptisitas kadang digunakan untuk mengetahui bahwa struktur di
bawah memiliki konduktivitas tinggi (berharga kurang dari nilai tilt tetapi
bertanda terbalik) atau memiliki konduktivitas rendah (bernilai dan bertanda
sama dengan nilai tilt).
20

Mode Resistivity
Mode ini digunakan untuk mengetahui dike resistif dan di sisi lain untuk
membatasi satuan geologi melalui pemetaan tahanan jenisnya. Mode ini sangat
baik jika arah pemancar tegak lurus strike geologinya (±45°) seperti terlihat pada
Gambar 9.
Arah pemancar

Lintasan Strike struktur


Ukur

E Hz

Gambar 9. Ilustrasi Pengukuran VLF dengan Mode Resistivity

Alat akan langsung mengukur besarnya tahanan jenis medium dan


besarnya sudut fase medium. Letak anomali secara kasar berada di bawah
puncak anomali tahanan jenis. Sedangkan harga fase > 45° menunjukkan
tahanan jenis semakin dalam maka semakin kecil, dan harga fase <45°
menunjukkan tahanan jenis semakin dalam maka makin besar.
Noise
Berdasarkan dari pengaruh bentuk bumi yang bulat ini, dapat
mengakibatkan sinyal VLF terdektesi di jarak yang cukup jauh. Hal tersebut
dapat terjadi karena akibat dari keberadaan elektron bebas di ionosfer yang
menyebabkan reaksi pada lapisan pemantul di frekuensi VLF (Ghufron, 2010).
Sehingga sumber utama noise tersebut adalah radiasi medan elektromagnetik
yang diakibatkan dari pelepasan petir di atmosfer yang berada didekat ataupun
jauh dari lokasi pengukuran, hal ini menyebabkan melemahnya sinyal yang
dipancarkan oleh pemancar. Ganggoan ini dicirikan dengan naiknya kuat
medan listrik vertikal dan medan magnet horizontal secara tiba-tiba jika sumber
medan cukup dekat dengan pengukur. Noise kedua adalah variasi diurnal
medan elektromagnetik bumi, dimana terjadi pergerakan badai dari arah Timur
ke Barat yang terjadi pada siang hari hingga petang hari.
RAE (Rapat Arus Ekuivalen)
Rapat arus adalah aliran muatan pada suatu luas penampang tertentu
di suatu titik penghantar. Dalam SI, rapat arus memiliki satuan Ampere per
21

𝐼
meter persegi (A/m2). Rapat arus : , dimana I adalah kuat arus (A) dan α
𝛼

adalah luas penampang (m2). Hubungan antara RAE dengan konduktivitas dan
resistivitas dapat dilihat pada persamaan berikut:
𝐼 𝑣
=σ (7)
𝛼 𝑙
1
Dimana σ =
𝜌

Dengan
I= kuat arus (A)
a=luas penampang (m2)
σ= konduktivitas (Mho/m)
V= beda potensial (volt)
L= panjang (m)
Ρ= resistivitas (Ωm)
Resistivitas (ρ) adalah kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan arus
listrik yang bergantung terhadap besarnya medan istrik dan kerapatan arus.
Semakin besar resistivitas suatu bahan maka semakin besar pula medan listrik
yang dibutuhkan untuk menimbulkan sebuah kerapatan arus. Konduktivitas
adalah kebalikan dari resistivitas. Nilai konduktivitas adalah perbandingan
antara sifat kelistrikan dengan konduktivitas termal.
Akuisisi data VLF dengan instrumen T-IRIS yang diukur adalah nilai
sudut tilt dan elliptisitas. Untuk mendapatkan nilai RAE dalam metode VLF,
rumus yang digunakan sebagai berikut:
∆𝑧 ∆𝑥
𝐼𝑎 = −0.102𝐻−3 + 0.059𝐻−2 − 0.561𝐻−1 + 0.561𝐻1 − 0.059𝐻2 + 0.102𝐻3 (8)
2𝜋 2

dengan
∆z = kedalaman (m),
Iɑ = Rapat Arus Ekuivalen (%),
∆x = spasi pengukuran (m), dan
H = data sudut kemencengan/tilt angle (%).
Hasil pengolahan data tilt angle menggunakan filter linier persamaan (8)
yang dihitung untuk berbagai kedalaman menunjukkan kontur Rapat Arus
Ekuivalen untuk berbagai kedalaman sepanjang lintasan. Sumbu arah
horizontal kontur menunjukkan posisi titik-titik stasiun pengukuran,
sedangkan sumbu arah vertikal menunjukkan kedalaman terhadap spasi tiap
stasiun pengukuran.
III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Monggol Kecamatan Saptosari
dengan rincian kegiatan terdapat di Tabel 2.
Tabel 2. Rincian Kegiatan Penelitian
Waktu (Bulan Ke-)
Kegiatan September Oktober November Desember
III IV I II III IV I II III IV I II III IV
Studi Literatur
Permintaan
Data Sekunder
Pengolahan dan
Interpretasi
Data
Penyusunan
Skripsi

3.2 Peralatan Penelitian


Peralatan dan bahan yang digunakan untuk dalam penelitian ini yaitu:
a. T-VLF
Satu set T-VLF digunakan untuk menghitung parameter sudut tilt dan
eliptisitas dari pengukuran komponen in-phase dan out-of phase medan magnet
vertikal terhadap komponen horizontalnya sehingga mendapatkan data seperti
tilt (%), ellips (%), H ver dan H hor. Tampilan T-VLF seperti Gambar 10.

Gambar 10. Gambar set alat mode VLF yang digunakan pada akuisisi datam
terdiri dari sensor unit, T-console dan kabel konektor.

22
23

a. Baterai
Baterai yang digunakan dalam penelitian ini enam buah baterai besar
1.5 volt (untuk pemakaian 8 jam) dan satu baterai 9 volt sebagai cadangan.
b. Meteran
Meteran digunakan untuk mengukur spasi antar titik, panjang lintasan
dan jarak antar lintasan.
c. Kompas Geologi
Kompas geologi digunakan untuk pengukuran data struktur geologi
setempat atau pengukuran arah lintasan.
d. GPS
GPS digunakan untuk mengetahui posisi titik ukur.
3.3 Software
Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Microsoft Excel
Microsoft Excel digunakan untuk melakukan perhitungan dan
pengumpulan data-data. Dalam penelitian ini digunakan untuk menyimpan
dan memudahkan dalam melakukan perhitungan data lapangan yang
telah didapatkan
2. Surfer
Surfer adalah salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk
pembuatan peta kontur dan pemodelan tiga dimensi dengan mendasarkan
pada grid.
3. RockWorks
RockWorks adalah perangkat lunak yang digunakan untuk menampilkan
profil bawah permukaan posisi horizontal dari dara lapangan yang telah
diolah menggunakan Microsoft Excel.

3.4 Data Penelitian


Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Antara lain data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Peta Geologi daerah penelitian, digunakan sebagai informasi geologi daerah
penellitian yang meliputi, formasi, litologi dan struktur geologi.
2. Peta Administrasi daerah penelitian, digunakan untuk memperkirakan
kondisi lokasi penelitin dan menentukan titik pengukuran data.
3. Data Topografi daerah penelitian, digunakan sebagai informasi ketinggian,
lereng dan kontur daerah penelitian.
4. Data hasil pengukuran data menggunakan alat T-VLF di lokasi penelitian.
24

3.5 Metode Penelitian


Secara umum kegiatan penelitian ini merupakan kegiatan penelitian
terapan. Metode yang digunakan untuk mempermudah pemecahan masalah
dalam penelitian dengan melakukan observasi dan pengukuran data lapangan
dengan tahapan penelitian sebagai berikut :
Persiapan
Persiapan penelitian yang dilakukan sebagai berikut :
a. Studi Literatur, yaitu mempelajari teori yang berhubungan dengan
keberadaan rongga daerah karst dan jurnal-jurnal penelitian mengenai Very
Low Frequency (VLF).
b. Mengurus surat ijin untuk keperluan data sekunder penelitian.
Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian sebagai berikut :
a. Koreksi Topografi
Pengolahan data yang dilakukan baik secara manual ataupun
menggunakan perangkat lunak mengabaikan pengaruh dari topografi. Hal
tersebut dikarenakan pengaruh topografi tidak signifikan. Namun pada
kenyataannya pengaruh topografi cukup mempengaruhi data apabila survei
yang dilakukan berada pada daerah dengan topografi berupa bukit-bukit
(berundulasi). Jika topografi daerah penelitian tidak datar, maka akan ada yang
mempengaruhi hasil pengukuran VLF-EM. Pada bidang miring, medan
sekunder akan sejajar dengan bidang miring tersebut, sedangkan medan primer
akan tetap horizontal. Akibatnya resultan kedua medan tersebut akan
mengikuti kemiringan topografi (Baker & Myers, 1980).
Pada penelitian ini, data VLF-EM terkoreksi topografi Baker Myers.
Koreksi ini berdasarkan studi laboratorium, yaitu dengan meletakkan benda
konduktif pada kemiringan topografi yang bervariasi, dimana pengaruh
topografi berbanding lurus terhadap kemiringannya. Model dari koreksi tersebut
merupakan model empiris yang membandingkan antara nilai tilt satu (R1)
dengan nilai tilt sesudahnya (R2) pada lintasan yang memiliki kemiringan atau
slope (Baker & Myers, 1980).
𝑅1+𝑅2
(1,2) =( )± TC (1)
2

dimana R1 adalah pembacaan data VLF di titik 1 (%), R2 adalah pembacaan


data VLF di titik 2 (%), dan TC adalah koreksi topografi (%).
b. Filter
Data VLF-EM yang diperoleh dapat mengandung gangguan (noise)
sehingga perlu dilakukan filter. Selain berfungsi untuk menghilangkan noise,
25

filter juga mampu memperjelas anomali. Berikut ini adalah jenis filter yang
digunakan dalam pengolahan data VLF-EM mode tilt angle antara lain; filter
moving average, filter fraser, dan filter karous hjelt.
Filter Moving Average adalah filter yang digunakan untuk menghilangkan
noise yang bersifat lokal dengan memisahkan data yang mengandung frekuensi
tinggi dan rendah. Data yang mengandung frekuensi tinggi diasumsikan sebagai
sinyal, sedangkan data yang berfrekuensi rendah diasumsikan sebagai noise.
Metode ini dilakukan dengan cara merata-rata nilai anomalinya kemudian
dibagi dengan jumlah jendela yang digunakan, atau secara matematis dapat
ditulis sebagai berikut (Nabighian, 1991):
1 (M−1)/2
𝑦[𝑖] = ∑j=−(M−1)/2 𝑥[𝑖 + 𝑗]
𝑀

dimana 𝑦[𝑖] adalah sinyal output hasil Filter Moving Average, 𝑥[𝑖 + 𝑗]
adalah sinyal input, dan M adalah orde filter
Titik dimana tilt mengalami persilangan dari polaritas positif menjadi
negatif diinterpretasikan sebagai posisi konduktor yang menyebabkan anomali.
Dalam satu profil persilangan ini terlihat cukup jelas, namun ketika diplot ke
dalam bentuk peta, letak dari semua titik nol (inflection point) tidak dapat
diidentifikasi dengan mudah. Salah satu cara untuk menyelesaikan adalah
dengan menggunakan filter yang ditemukan oleh Fraser pada tahun 1969 yang
kemudian dinamakan Filter Fraser. Filter Fraser berfungsi untuk
memperlihatkan daerah anomali yang sebelumnya tersebar pada beberapa
daerah menjadi sedikit dan lebih fokus dengan cara mengurangi titik-titik yang
ambigu pada saat penentuan titik anomali. Interpretasi data sebelum
menggunakan Filter Fraser akan sulit dikarenakan penentuan titik perubahan
tidak terfokus pada satu titik. Selain itu, jika daerah tersebut memiliki banyak
bahan konduktif maka titik perubahan akan lebih sulit untuk ditentukan.
Mn+Mn+1−Mn+2−Mn+3
𝐹𝑟 =
4
dimana Fr adalah sinyal output hasil Filter Fraser dan 𝑀𝑛 adalah data ke-n.
Filter Karous Hjelt merupakan filter yang dikembangkan dari konsep
medan magnet yang berhubungan dengan aliran arus. Filter ini menghitung
rapat arus pada kedalaman tertentu yang umumnya dikenal sebagai Rapat Arus
Ekuivalen (RAE). Posisi rapat arus ini dapat digunakan untuk menginterpretasi
lebar dan kemiringan sebuah benda anomali dengan kedalaman tertentu
(Karous & Hjelt, 1983).
Hasil Filter Karous Hjelt memperlihatkan profil kedalaman dari rapat
arus yang diturunkan dari nilai komponen vertikal medan magnet pada setiap
26

titik pengukuran. Secara matematis Filter Karous Hjelt dapat ditulis dengan
persamaan sebagai berikut (Karous & Hjelt, 1983):
𝐻0 = 0.102𝑀𝑛-0.059𝑀𝑛+1 + 0.561𝑀𝑛+2 − 0.561𝑀𝑛+4+0.059𝑀𝑛+5 − 0.102𝑀𝑛+6
dimana 𝐻0 adalah sinyal output hasil Filter Karous Hjelt dan 𝑀𝑛 adalah data ke-
n.
3.6 Interpretasi Data
Pada tahap interpretasi ini dilakukan setelah mendapatkan pemetaan
aliran sungai bawah tanah dari software Surfer dan software RockWorks yang
kemudian membandingkan dengan data geologi daerah tersebut. Dari
interpretasi ini dapat dianalisis penyebab terjadinya sungai bawah tanah di
daerah penelitian, kedalaman litologi batugamping yang terdapat di rongga-
rongga bawah permukaan yang terisi air dan arah persebaran rongga.
3.7 Diagram Alir
Adapun prosedur pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode
Geofisika Very Low Frequency-Electromagnetic (VLF-EM), dapat dilihat pada
diagram alir seperti pada gambar 11 :
27

Mulai

Informasi Geologi

Desain Akuisisisi

:
Tilt (%) Data Sekunder
Ellips (%)
S
Koreksi Topografi

Filter Moving Average

Filter Fraser Filter Karous


Hjelt

Grafik Fraser
Kontur Model
2D Karous hjelt

Interpretasi
Model 3D
Karous Hjelt

Kesimpulan

Selesai

Diagram Alir Penelitian


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran data dilakukan di Desa Monggol, Kecamatan Saptosari,


Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Wilayah tersebut merupakan bagian dari
daerah karst Pegunungan Selatan dan dicirikan dengan terdapatnya goa, bukit,
luweng, dan sungai bawah tanah. Bentangan alam daerah penelitian berupa
Kawasan perbukitan karst. Oleh karena itu pengukuran data menggunakan
metode VLF-EM dengan mode tilt angle yang merupakan salah satu metode
efektif untuk diterapkan di lokasi tersebut. Pengukuran data dilakukan
sebanyak 2 lintasan akuisisi VLF-EM menggunakan 2 pemancar yang berbeda
yaitu Australia dan Norwegia yang diambil dari arah Timur Laut berakhir di
Barat Daya. Lintasan 1 memiliki panjang lintasan 2000 meter sebanyak 41 titik
dan jarak antar titiknya sepanjang 50 meter, lintasan 2 memiliki panjang
lintasan 1200 meter sebanyak 25 titik dan jarak antar titiknya sepanjang 50
meter, dan jarak antar lintasan 1 dan 2 yaitu 300 meter.

Gambar 12. Lintasan Pengukuran Desa Monggol, Gunungkidul

Pada penelitian ini, data pengukuran yang didapat dari lapangan berupa
koordinat (longitude dan latitude), ketinggian (elevasi), nilai tilt (%) dan ellips (%).
Informasi yang diperoleh dari nilai tilt dan ellips menunjukkan kondisi geologi
setempat yang lebih konduktif atau lebih resistif. Interpretasi nilai tilt dan
eliptisitas terhadap geologi lokal daerah penelitian didasarkan pada nilai Rapat

28
29

Arus Ekuivalen (RAE). Nilai RAE mampu mampu menampilkan distribusi rapat
arus di bawah permukaan yang memberikan informasi mengenai zona
konduktif. Struktur bawah permukaan yang memiliki nilai RAE tinggi
menandakan konduktivitasnya tinggi, dikarenakan nilai RAE berbanding lurus
dengan nilai konduktivitas. Konduktivitas dipengaruhi oleh material yang ada
pada struktur bawah permukaan daerah penelitian.
Saat pengukuran data tentu terdapat berbagam noise berupa gangguan
elektromagnet di sekitar daerah penelitian akibat adanya bahan konduktif yang
bisa menciptakan medan magnet ataupun medan listrik baru seperti kabel
listrik, pipa besi saluran air, atau cuaca yang tidak bagus. Noise yang
mempengaruhi data penelitian ini direduksi dengan dilakukan filter untuk
proses smoothing data. Proses pengolahan data VLF-EM ini dilakukan dengan
tahap-tahap berikut; koreksi topografi, Filter Moving Average, Filter Fraser, dan
filter karous hjelt yang kemudian diolah model bawah permukaan dalam bentuk
2D maupun 3D.
Koreksi Topografi
Daerah penelitian memiliki topografi berupa bukit-bukit (berundulasi)
dan mempengaruhi hasil pengukuran VLF-EM. Sehingga, langkah pertama
dalam pengolahan data VLF-EM yaitu menghilangkan undulasi pada daerah
penelitian dengan koreksi topografi. Koreksi topografi yang digunakan yaitu
menggunakan persamaan Baker dan Myers (1980), parameter yang digunakan
untuk koreksi topografi yaitu parameter tilt (%). Adapun koreksi topografi pada
lintasan 1 ditunjukkan pada gambar 13.

40

20

0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
-20
%

-40

-60

-80
Jarak (Meter)

Tilt Sebelum Koreksi Topografi Tilt Terkoreksi Topografi

Gambar 13. Grafik Perbandingan tilt (%) Sebelum dan Sesudah Koreksi
Topografi pada Lintasan 1 Pemancar Australia
30

Warna hitam menunjukkan tilt setelah korekai topografi dan warna


merah menunjukkan nilai tilt sebelum dilakukan koreksi topografi. Koreksi
topografi mempengaruhi semua nilai tilt pada setiap titik pengukuran.
Perubahan nilai tilt yang signifikan dapat dilihat pada jarak 150-375m dan 425-
600m akibat pengaruh perubahan slope yang cukup tinggi pada lintasan 1.
Adapun koreksi topografi yang dilakukan pada lintasan 2 dapat dilihat pada
gambar 14.

50
40
30
20
10
0
%

0 200 400 600 800 1000 1200


-10
-20
-30
-40
-50
Jarak (Meter)

Tilt Sebelum Koreksi Topografi Tilt Terkoreksi Topografi

Gambar 14. Grafik Perbandingan Tilt (%) Sebelum dan Sesudah Koreksi
Topografi pada Lintasan 2 Pemancar Australia

Warna hitam menunjukkan tilt setelah korekai topografi dan warna


merah menunjukkan nilai tilt sebelum dilakukan koreksi topografi. Koreksi
topografi mempengaruhi semua nilai tilt pada setiap titik pengukuran.
Perubahan nilai tilt yang signifikan pada lintasan 2 dapat dilihat pada jarak
250-300m dan 700-950m akibat pengaruh perubahan slope pada setiap titik-
titik pengukuran lintasan 2.
Filter Moving Average
Noise berupa gangguan elektromagnet di sekitar daerah penelitian perlu
dipisah agar data yang dihasilkan lebih halus, untuk memisahkan sinyal yang
berasal dari anomali dan gangguan (noise) maka dilakukan Filter Moving
Average. Parameter yang digunakan yaitu nilai tilt terkoreksi topografi dan tilt
terkoreksi topografi setelah moving average orde 3. Dapat dilihat gambar 15
untuk lintasan 1 pada perbedaan grafik sebelum moving average yang masih
banyak terdapat spike dengan grafik yang sudah dilakukan Filter Moving
Average orde 3 yang terjadi penghalusan data pada puncakan maupun
lembahan.
31

40

20

0
0 500 1000 1500 2000
-20
%

-40

-60

-80
Jarak (Meter)

Tilt Terkoreksi Topografi Tilt Terkoreksi Topografi Moving Average Ordo 3

Gambar 15. Grafik Perbandingan Nilai Tilt Terkoreksi Topografi Sebelum dan
Setelah Moving Average Ordo 3 pada Lintasan 1 Desa Monggol, Gunungkidul

Pada grafik perbandingan nilai tilt terkoreksi topografi sebelum dan


sesudah moving average ordo 3 pada lintasan 1, warna merah menunjukkan
nilai tilt setelah moving average orde 3, warna hitam menunjukkan nilai tilt
terkoreksi topografi sebelum Filter Moving Average orde 3. Filter Moving Average
orde 3 dipilih karena jumlah data yang berkurang pada Filter Moving Average
orde 5 lebih banyak dibandingkan ordo 3, pemilihan orde Filter Moving Average
didasarkan pada kemenerusan data tanpa menghilangkan trend data. Adapun
Filter Moving Average yang dilakukan pada lintasan 2 dapat dilihat pada gambar
16.

30
20
10
0
0 200 400 600 800 1000 1200
-10
%

-20
-30
-40
-50
Jarak (Meter)

Tilt Terkoreksi Topografi Tilt Terkoreksi Topografi Moving Average Orde 3

Gambar 16. Grafik Perbandingan Nilai Tilt Terkoreksi Topografi Sebelum dan
Setelah Moving Average Ordo 3 pada Lintasan 2 Desa Monggol, Gunungkidul
32

Filter Fraser
Tahap setelah melakukan Filter Moving Average yaitu menggunakan
Filter Fraser untuk memperjelas dan mengoptimalkan posisi anomali yang
tersebar sebelumnya. Parameter yang digunakan pada tahap ini yaitu nilai tilt,
ellips, dan fraser yang diolah pada excel. Filter Fraser dapat digunakan pada
data yang sudah melalui Filter Moving Average. Adapun Filter Fraser yang
dilakukan pada lintasan 1 dapat dilihat pada gambar 17.

40

20

0
%

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800


-20

-40

-60
Jarak (Meter)
Tilt Ellips Fraser

Gambar 17. Grafik Perbandingan Nilai Tilt, Ellips, dan Fraser Pada Lintasan 1
Desa Monggol, Gunungkidul

Warna biru menunjukkan nilai tilt yang sudah dilakukan koreksi


topografi dan Filter Moving Average, nilai ellips ditunjukkan dengan warna
merah, dan nilai fraser ditunjukkan dengan warna hijau. Posisi anomali pada
Filter Fraser ditunjukkan ketika mengalami puncakan dan ditunjukkan dengan
lingkaran hitam. Dapat dilihat pada gambar 17, titik-titik yang menunjukkan
adanya anomali konduktif pada lintasan 1 Desa Monggol, Gunungkidul antara
lain titik 400 meter, 800 meter, 1100 meter dan 1400 meter. Adapun Filter
Fraser yang dilakukan pada lintasan 2 dapat dilihat pada gambar 18.
20

10

0
0 200 400 600 800 1000 1200
-10
%

-20

-30

-40
Jarak (Meter)
Tilt ellips Fraser

Gambar 18. Grafik Perbandingan Nilai Tilt, Ellips, dan Fraser Pada Lintasan 2
Desa Monggol, Gunungkidul
33

Pada gambar 18 dapat dilihat grafik berwarna biru menunjukkan nilai


tilt yang telah melalui koreksi topografi dan Filter Moving Average, nilai ellips
ditunjukkan warna merah, dan nilai fraser ditunjukkan dengan warna hijau.
Posisi anomali pada lintasan 2 Desa Monggol ditunjukkan dengan lingkaran
hitam. Titik-titik yang menunjukkan adanya anomali yaitu pada titik 400 meter
dan 700 meter.
Filter Karous Hjelt
Pada filter karous hjelt dapat diperoleh peta penampang Rapat Arus
Ekuivalen (RAE). Parameter yang digunakan pada tahap filter karous hjelt yaitu
nilai tilt yang sudah dikoreksi topografi dan di moving average, nilai RAE yang
telah diolah di excel, dan nilai koordinat titik pengukuran data lintasan. Nilai
RAE didapatkan dari hasil olahan nilai tilt angle (%) menggunakan rumus RAE.
Peta RAE ini diolah dengan menggunakan aplikasi software Surfer 12.8
dengan memasukkan nilai x,y, serta RAE. Tujuan dari penggunaan software
Surfer ialah untuk mempertegas akurasi perbedaan kontras warna dari yang
menunjukkan struktur bawah permukaan. Metode yang digunakan yaitu
metode gridding natural neighbor. Pada aplikasi software surfer 12.8 terdapat
pilihan satu paket skala warna sesuai yang diinginkan. Warna tersebut akan
menunjukkan nilai konduktivitas dari suatu daerah. Pada pengolahan data ini,
penulis memilih paket skala warna rainbow yang akan menunjukkan daerah
konduktif dengan warna merah dan warna biru yang menampilkan daerah
resistif. Adapun peta RAE dari lintasan 1 Desa Monggol yang telah diolah dapat
dilihat pada gambar 19.

Gambar 19. Peta RAE lintasan 1 Desa Monggol, Gunungkidul

Gambar 19 merupakan peta penampang RAE pada Lintasan 1 Desa


Monggol. Pada Lintasan 1 ini, hasil data ditampilkan dalam bentuk degradasi
warna konduktivitas dari nilai -18 hingga +16 dan ditunjukkan dari warna ungu
34

menuju warna merah. Semakin tinggi nilai RAE yang ditunjukkan dengan
warna merah, menunjukan wilayah daerah dengan konduktivitas yang lebih
tinggi dan diinterpretasikan sebagai rongga yang berisi air, kebalikannya
dengan nilai RAE yang berwarna ungu menujukkan wilayah daerah yang nilai
konduktivitasnya lebih rendah atau resistif dan diinterpretasikan sebagai
rongga kosong berisi udara. Dilihat dari peta RAE gambar 19, anomali rongga
berisi air terletak pada jarak 400 meter, 800 meter, 1100 meter, dan 1400
meter. Sedangkan untuk anomali batugamping berlapis ditunjukkan dengan
warna kuning menuju orange yang bernilai (2) sampai (10) dan anomali berupa
batugamping terumbu ditunjukkan dengan warna biru menuju hijau yang
bernilai (-14) sampai (2).

Gambar 20. Peta RAE Lintasan 2 Desa Monggol

Gambar 20 merupakan peta penampang RAE pada Lintasan 1 dan 2


Desa Monggol. Pada Lintasan 1 ini, hasil data ditampilkan dalam bentuk
degradasi warna konduktivitas dari nilai -18 hingga +16 dan ditunjukkan dari
warna ungu menuju warna merah. Semakin tinggi nilai RAE yang ditunjukkan
dengan warna merah, menunjukan wilayah daerah dengan konduktivitas yang
lebih tinggi dan diinterpretasikan sebagai rongga yang berisi air, kebalikannya
dengan nilai RAE yang berwarna ungu menujukkan wilayah daerah yang nilai
konduktivitasnya lebih rendah atau resistif dan diinterpretaskan sebagai rongga
kosong berisi udara. Dilihat dari peta RAE gambar 20, anomali rongga berisi air
terletak pada jarak 400 meter dan 700 meter. Sedangkan untuk anomali
batugamping berlapis ditunjukkan dengan warna kuning menuju orange yang
bernilai (2) sampai (10) dan anomali berupa batugamping terumbu ditunjukkan
dengan warna biru menuju hijau yang bernilai (-14) sampai (2).
Hasil interpretasi berdasarkan tabel klasifikasi ditunjukkan pada tabel 3.
35

Tabel 3. Tabel klasifikasi nilai RAE Desa Monggol, Gunungkidul

No Klasifikas Rentang RAE (Rapat Interpretasi Warna


. i Arus Ekuivalen) (%)
1 Rendah < -18 Rongga kosong berisi Ungu
udara
2 Medium (-14) – (2) Batugamping Hijau-Kuning
terumbu
3 Tinggi (2) – (10) Batugamping berlapis Kuning-Jingga
4 Sangat > 16 Rongga yang berisi air Merah
Tinggi

Korelasi Sayatan Penampang 2D


Dua lintasan yang sudah diolah di surfer kemudian dikorelasikan untuk
melihat arah kemenerusannya. Lintasan 1 dan lintasan 2 dilakukan overlay
dengan peta lintasan daerah pengukuran. Model sayatan tersebut memudahkan
interpretasi mengenai pola persebaran nilai RAE tinggi yang menandakan
adanya rongga-rongga bawah permukaan. Adapun gambar hasil overlay olahan
2D dengan peta lintasan pengukuran dapat dilihat pada gambar 21.

Gambar 21. Gabumgam Plot 2D Pada Peta Lintasan Desa Monggol,


Gunungkidul

Dugaan keberadaan rongga berisi air yang terpetakan berada pada


kedalaman 50-100 meter di bawah permukaan dan mengalir dari utara menuju
selatan. Namun berdasarkan data kenampakan di lapangan, pada jarak 400
meter terdapat keberadaan goa bernama Gondang yang ditandai simbol “+”
pada gambar 21.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

3.2 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Litologi bawah permukaan di daerah karst Desa Monggol yaitu batuan
karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping
terumbu. Batugamping terumbu merupakan batugamping dengan
kemungkinan keterdapatan fasies boundstone atau grainstone dan
batugamping berlapis klastik dengan fasies packstone, wackestone atau
mudstone.
2. Hasil penelitian menunjukkan Nilai RAE (-14) – (2) diinterpretasikan
sebagai batugamping terumbu, rentang (2) – (10) sebagai batugamping
lapis, rentang < -18 sebagai Rongga yang berisi udara, dan > 16 sebagai
Rongga yang berisi air
3. Keberadaan rongga bawah tanah pada lintasan 1 baru yaitu antara titik
400 meter dan 1000 meter dengan kedalaman rongga pada 50 meter.
Keberadaan rongga bawah tanah pada lintasan 2 yaitu antara titik 400
meter dengan kedalaman rongga pada 50 meter.
4. Konduktifitas tinggi diidentifikasikan sebagai anomali rongga-rongga dan
diduga berupa batuan dalam struktur bawah tanah yang mengalirkan
air. Konduktifitas rendah merupakan rongga-rongga kosong yang berisi
udara

3.3 Saran
Saran pada penelitian ini adalah perlu dilakukan korelasi dengan metode
lain untuk membantu dalam mengidentifikasi kemenerusan rongga bawah
permukaan.

36
DAFTAR PUSTAKA

Adji, T.N. 2010. Kondisi Daerah Tangkapan Sungai Bawah Tanah Karst
Gunungsewu dan Kemungkinan Dampak Lingkungannya terhadap
Sumberdaya Air (Hidrologis) Karena Aktivitas Manusia. Seminar
Pelestarian Sumberdaya Airtanah Kawasan Karst Gunungkidul.
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Amrin, Ikmal. 2018. Identifikasi Kemenerusan Sistem Sungai Bawah Tanah
Menggunakan Metode Very Low Frequency (VLF) Di Kuniran, Pacitan.
Undergraduate thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Andi and Setiahadiwibowo, A. P. 2020. Identifikasi Rongga Menggunakan
Metode Geolistrik Konfigurasi Dipole-dipole Daerah Nusakambangan
Cilacap Jawa Tengah. Journal Technology of Civil, Electrical, Mechanical,
Geology, Mining, and Urban Design. Vol 5, No 2, pp. 47–54. Yogyakarta:
Institut Nasional Yogyakarta Indonesia.
Bani, Nugroho and Pulung Arya, Pranantya. 2012. Klasifikasi geoteknik goa
sungai bawah tanah daerah seropan Wonosari – Gunungkidul, daerah
istimewa yogyakarta. Prosiding Simposium dan Seminar Nasional
Geomekanika ke-1: Menganggas Masa Depan Rekayasa Batuan dan
Terowongan di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Teknologi Mineral. pp. 1–
11.
Bemmelen R.W.V. 1949. The Geology of Indonesia, Vol IA. Martinus Nijhoff: The
Hague.
Bosch, F.P. and Muller, I., 2001, Continuous Gradient VLF Measurements: A
New Possibility For High Resolution Mapping Of Karst Structures, First
Break, vol 19.6: 343-350. Departemen Pertambangan Indonesia,
Bronto, S. dan Hartono, H.G. 2001. Panduan Ekskursi Geologi Kuliah
Lapangan2. STTNAS: Yogyakarta.
Cahyadi, A. and Rofi, A. 2016. Pemetaan Potensi Airtanah di DAS Juwet
Kabupaten Gunungkidul. Conference: Seminar Nasional Geografi
Lingkungan I, 27 November 2016. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Cahyadi, A. 2017. Pengelolaan Kawasan Karst dan Perannya dalam Siklus
Karbon di Indonesia. Seminar Nasional Perubahan Iklim di Indonesia, 13
Oktober 2010. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Dunham, R.J., 1962, Classification of Carbonate Rocks According to
Depositional Texture, American Association of Petroleum Geologist Memoir
1,. 108 – 121.

37
38

Engeln, O.D. Von. 1942. Geomorphology : Systematic and Regional. NewYork :


The Macmillan Company.
Febria, A. & Sismanto. 2009. Estimasi Aliran Sungai Bawah Tanah dengan
Menggunkan Metode Geofisika VLF em, Mode Sudut Tilt di Daerah Dengok
dan Ngrejok Wetan, Gunungkidul Yogyakarta.Prosiding Pertemuan Ilmiah
XXV HFI Jateng &DIY : ISSN 0853-0823.
Ford, D. and Williams, P. 1992. Karst Geomorphology and Hydrology. London:
Chapman and Hall.
Husni, Y. F. and Ansosry. 2019. Identifikasi Sungai Bawah Tanah Berdasarkan
Nilai Resistivitas Batuan Pada Danau Karst Tarusan Kamang. Jurnal Bina
Tambang Vol 4, No 1:ISSN: 2302-3333.
Karunia, D.N., Darsono, & Darmanto. 2012. Identifikasi Pola Aliran Sungai
Bawah Tanah di Mudal, Pracimantoro dengan Metode Geolistrik.
Indonesian Journal of Applied Physics Vol.2 No.2 halaman 91 : ISSN:2089
– 0133.
Kearey, P., Brooks, M. & Hill, I., 2002. An Intruduction to Geophysical
Exploration: Third Edition. Blackwell Science, Osne Mead: s.n.
Peterson, N.R. & V. Ronka. 1971. Five Years of Surveying With The Very Low
Frequency-Electromagnetics Method. Geoexploration 9, page 7-26.
Rahardjo, W., Sukandarrimidi dan Rosidi, H. M., 1995. Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa, Skala 1:100.000. Bandung: Puslitbang Geologi.
Rhamadianto and Yogic Wahyu. 2012. Pemetaan Potensi Sinkhole dengan
Metode VLF-EM. Prosiding Indonesia Young Geoscientis Paper
Competition. Yogyakarta: Himpunan Mahasiswa Geofisika Indonesia
Wilayah III.
Rismaningsih, F. 2013. Estimasi Keterhubungan Sungai Bawah Tanah antara
Seropan Dan Bribin Dengan Metode Geofisika Very Low Frequency Di
Daerah Gunungkidul, Yogyakarta. Prosiding: Seminar Nasional Sains dan
Teknik. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta pp. 1–2. November
2017.
Rizqi, A. H. F. and Yudhana, W. B. M. 2021. Identifikasi Keberadaan Rongga
sebagai Pemicu Amblesan (Sinkhole) Berdasarkan Data Geologi dan
Geolistrik Di Daerah Bedoyo, Kecamatan Ponjong, Kabupaten
Gunungkidul. Jurnal Mineral Energi dan Lingkungan 4(2):32.
doi: 10.31315/jmel.v4i2.3446.
Salim, A. F. 2016. Analisis Ketersediaan Air di Kawasan Karst (Studi Kasus:
Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta). Bogor: Bogor
Agricultural University (IPB).
39

Santos, Fernando A.M. at al. 2006. Mapping groundwater contamination around


a landfill facility using a VLF-EM method-A case study. Centro de
Geofisika da Universiadade lisboa. Lisbon.
Santosa, L.W., 2015. Keistimewaan Yogyakarta dari Sudut Pandang
Geomorfologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Saputra, L. A. 2016. Identifikasi Keberadaan Rongga Menggunakan Metode
Electromagnetic Very Low Frequency di Desa Girijati, Kecamatan Purwosari
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Other Thesis, UPN “Veteran”
Yogyakarta.
Surono, Toha, B., dan Sudarno. 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta –
Giritontro. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Surono. 2009. Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Publikasi Khusus Geologi
Pegunungan Selatan Bagian Timur. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Badan Geologi, Pusat Survei Geologi. Bandung
Tucker, M. E. dan Wright, V. P. 1990. Carbonate Sedimentology. London :
Blackwell Scientific Publications.
Vozoff, K. 1990. Magnetotellurics: Principles and Practice. Earth and Planet
Science, 99, 441–471
LAMPIRAN A
DATA LAPANGAN METODE VLF TILT MODE
1. Lintasan 1

Gambar 22. Data Lapangan Lintasan 1 Desa Monggol Metode VLF Tilt mode

40
2. Lintasan 2

Gambar 23. Data Lapangan Lintasan 2 Desa Monggol Metode VLF Tilt mode

41
LAMPIRAN B
PENGOLAHAN VLF TILT MODE MENGGUNAKAN FILTER KAROUS HJELT

1. Lintasan 1

Gambar 24. Gambar Pengolahan VLF Tilt Mode Lintasan 1 Menggunakan Filter
Karous Hjelt

42
2. Lintasan 2

Gambar 25. Gambar Pengolahan VLF Tilt Mode Lintasan 2 Menggunakan Filter
Karous Hjelt

43
LAMPIRAN C
PENGOLAHAN KOREKSI TOPOGRAFI, FILTER MOVING AVERAGE, DAN
FILTER FRASER
1. Lintasan 1

Gambar 26. Pengolahan Koreksi Topografi, Filter Moving Average, dan Filter
Fraser pada Lintasan 1 Desa Monggol

44
2. Lintasan 2

Gambar 27. Pengolahan Koreksi Topografi, Filter Moving Average, dan Filter
Fraser pada Lintasan 2 Desa Monggol

45
LAMPIRAN D
GRAFIK PERBANDINGAN TILT SEBELUM DAN SESUDAH KOREKSI
TOPOGRAFI VS JARAK

1. Lintasan 1

40

20

0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
-20
%

-40

-60

-80
Jarak (Meter)

Tilt Sebelum Koreksi Topografi Tilt Terkoreksi Topografi

Gambar 28. Grafik Perbandingan Tilt Sebelum dan Sesudah Koreksi Topografi
Vs Jarak Lintasan 1 Desa Monggol

2. Lintasan 2

50

40

30

20

10

0
%

0 200 400 600 800 1000 1200


-10

-20

-30

-40

-50
Jarak (Meter)

Tilt Sebelum Koreksi Topografi Tilt Terkoreksi Topografi

Gambar 29. Grafik Perbandingan Tilt Sebelum dan Sesudah Koreksi Topografi
Vs Jarak Lintasan 2 Desa Monggol

46
LAMPIRAN E
GRAFIK PERBANDINGAN TILT SEBELUM DAN SESUDAH FILTER MOVING
AVERAGE VS JARAK

1. Lintasan 1

40

20

0
0 500 1000 1500 2000
-20
%

-40

-60

-80
Jarak (Meter)

Tilt Terkoreksi Topografi Tilt Terkoreksi Topografi Moving Average Ordo 3

Gambar 30. Gambar Perbandingan Tilt Sebelum dan Sesudah Filter Moving
Average vs Jarak Lintasan 1 Desa Monggol

2. Lintasan 2

30
20
10
0
0 200 400 600 800 1000 1200
-10
%

-20
-30
-40
-50
Jarak (Meter)

Tilt Terkoreksi Topografi Tilt Terkoreksi Topografi Moving Average Orde 3

Gambar 31. Gambar Perbandingan Tilt Sebelum dan Sesudah Filter Moving
Average vs Jarak Lintasan 2 Desa Monggol

47
LAMPIRAN F

GRAFIK PERBANDINGAN TILT, ELLIPS, DAN FRASER VS JARAK


1. Lintasan 1

40

20
RAE (%)

0
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800
-20

-40

-60
Jarak (Meter)
Tilt Ellips Fraser

Gambar 32. Grafik P erbandingan Tilt, Ellips, dan Fraser vs Jarak Lintasan 1
Desa Monggol

2. Lintasan 2

20

10

0
RAE (%)

0 200 400 600 800 1000 1200


-10

-20

-30

-40
Jarak (Meter)
Tilt ellips Fraser

Gambar 33. Grafik Perbandingan Tilt, Ellips, dan Fraser vs Jarak Lintasan 2
Desa Monggol

48
LAMPIRAN G

PETA PENAMPANG RAE


1. Lintasan 1

Rongga Berisi Air

Gambar 34. Peta Penampang RAE Lintasan 1 Desa Monggol

2. Lintasan 2

Rongga Berisi Air

Gambar 35. Peta Penampang RAE Lintasan 2 Desa Monggol

49

Anda mungkin juga menyukai