Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/316627853

Analisis Tipologi Longsor untuk Mitigasi Bencana Studi Kasus Dusun Sidorejo,
Desa Tieng, Kejajar Wonosobo

Chapter · September 2013

CITATIONS READS

0 827

4 authors, including:

Dhandhun Wacano Danang Sri Hadmoko


Universitas Islam Indonesia Gadjah Mada University
32 PUBLICATIONS   8 CITATIONS    80 PUBLICATIONS   400 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

I Made Made Susmayadi


Gadjah Mada University
5 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Urban Risk Assessment of Lahar Flows in Merapi Volcano (Study Case: Muntilan Urban Area, Central Java) Article Coupling between Video and Seismic Data Analysis for
the Study of Lahar Dynamics at Merapi Volcano, Indonesia View project

Modeling the effect of terraces on land degradation in tropical upland agricultural area View project

All content following this page was uploaded by Dhandhun Wacano on 02 May 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

IDENTIFIKASI TIPOLOGI LONGSOR UNTUK ANALISIS MITIGASI BENCANA


DI DUSUN SIDOREJO, DESA TIENG, KEJAJAR WONOSOBO
Dhandhun Wacano1) Danang Sri Hadmoko1,2) I Made Susmayana2) Sulkhan Nurohman3

Bakhtiar Arif Mujianto3) Agung Satriyo N3)

1. MPPDAS 2011 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada


2. Staf Peneliti PSBA Universitas Gadjah Mada
3. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

Email: dhancano@gmail.com1, hadmokoo@yahoo.com2

INTISARI

Tipologi longsor merupakan bagian terpenting dalam analisis bahaya dan mitigasi bencana longsorlahan. Tipe dan
karakteristik longsorlahan yang terjadi pada suatu wilayah menjadi informasi yang berharga dalam usaha mengurangi risiko. Essay ini
bermaksud memberikan contoh kasus identifikasi tipologi longsor tersebut agar lebih mudah dipahami dan diaplikasikan. Sehingga dalam
essay ini diambil contoh kasus bencana longsor yang terjadi di Desa Tieng Wonosobo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah survei dan pengukuran langsung dilapangan. Survei dan Pengukuran langsung meliputi pengukuran morfometri longsor dan
perekaman data hujan pada saat longsor terjadi. Data morfometri dan data hujan digunakan sebagai analisis dalam penentuan tipologi
longsor yang terjadi. Analisis diskriptif kualitatif dilakukan untuk menjelaskan korelasi dan hubungan antara morfologi, proses
geomorfologi, dan kondisi meteorologis pada saat terjadinya longsor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan dengan intensitas
tinggi yang terjadi pada wilayah dengan relief/topografi pegunungan dengan material permukaan berupa tanah dengan solum yang
dangkal dengan proses geomorfologi pelapukan dan erosi menyebabkan gerakmassa tipe shallow landslide dan debris flow. Mitigasi
bencana longsor tipe shallow dan debris flow di daerah penelitian adalah dengan menghindari lokasi tempat tinggal berdekatan dengan
lembah-lembah erosional (baranco). Selain itu early warning sistem longgsor dengan pendekatan intensitas curah hujan dapat membantu
memberikan peringatan terhadap kemungkinan terjadinnya bencana longsorlahan tipe debris flow.

1. Pendahuluan
Pengetahuan tentang karakteristik longsor lahan terutama tipe longsor merupakan kunci penting dalam
mengaplikasikan teknologi untuk mengurangi risiko bencana longsor lahan. Essay ini ditulis untuk memberikan gambaran
mengenai cara yang mudah dan cepat untuk mengidentifikasi tipologi longsor lahan mendasarkan pada pengamatan
dilapangan. Setelah mengatahui tipologi longaor lahan yang kita identifikasi maka tahap mitigasi tinggal menyesuiakan
dengan tabiat longsor tersebut. Dalam essay ini kami mengambil kasus longsor yang terjadi di Desa Tieng Wonosobo.
Akumulasi hujan yang terjadi sejak pukul 11.00 sampai 13.30 pada hari minggu tanggal 18 Desember 2011
menyebabkan terdinya bencana longsorlahan di Dusun Sidorejo Desa Tieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo
Jawa Tengah. Kronologi kejadian berdasarkan keterangan warga menyebutkan bahwa sebelum kejadian bencana ini telah
terjadi hujan lebat pada hari minggu yang dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Kemudian sekitar 2 (dua) jam lebih yakni pada
pukul 13.30 WIB terjadi longsor di area puncak dari Gunung Pakuwojo. Longsor di kawasan ini yang kemudian
menyebabkan terjadinya bencana banjir bandang yang mengalir melalui Kali (sungai) Ngesong dan menerjang permukiman
warga yang berjarak sekitar 1 km di bawahnya.
Aries Fatoni kepala Dusun Sidorejo saat dilakukan wawancara menyebutkan bahwa longsor dan banjir yang
terjadi telah menyebabkan sebelas orang meninggal dunia lima orang luka berat dan enam orang luka ringan serta
duabelas rumah hancur. Pada saat dilakukan survei telah ditemukan sembilan orang korban, dimana satu orang ditemukan
di tempat kejadian, sedangkan delapan orang lainya yang sempat hilang kemudian ditemukan disekitar aliran sungai putih.
Sementara itu sisa korban yang berjumlah dua orang masih dalam pencarian. Namun pencarian telah dihentikan sejak
tanggal 25 Desember 2011. Beberapa permukiman yang terkena terjangan dari banjir ini berada di area RT 01 dan RT 02,
RW 08 Dusun Sidorejo. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa dampak bencana ini mengakibatkan 19 rumah hilang
tersapu terjangan banjir bandang. Kondisi lainnya yakni 1 fasilitas umum berupa TPA (Tempat Pembelajaran Al-Quran)
yang rusak akibat banjir tersebut, dan 6 rumah warga juga mengalami rusak berat. Sampai saat ini warga yang diungsikan
mencapai 554 jiwa atau sekitar 172 KK. Lokasi pengungsian dari warga di area terdampak ini masih berada di Balai Desa
Tieng, serta beberapa warga lain berada di Huntara (hunian sementara).

99
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

Pada saat sebelum bencana, beberapa peneliti dari UGM telah meletakkan beberapa peralatan EWS (early
warning system) di kawasan ini. Alat early warning ini mendasarkan pada intensitas hujan yang jatuh dalam kurun waktu
tertentu akan menyebabkan stabilitas lereng terganggu. Intensitas hujan yang tercatat sebelum hujan dari alat yang
dipasang menunjukkan nilai lebih dari 60 mm/jam. Padahal ambang batas yang digunakan untuk warning system adalah 40
mm/jam itu sudah dipastikan terjadi longsor. Alat early warning dengan sistem penakar curah hujan yang dipasang memang
berbunyi, akan tetapi terjadi kelalaian pada warga yang disebabkan alat EWS tersebut tidak disambungkan ke pengeras
suara, akibatnya suara peringatan tidak lekas sampai di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan uraian kejadian bencana
longsorlahan di Desa Tieng yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, survei longsorlahan dan penulisan paper ini
dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan sebagai berikut:
a. Mengetahui kronologis kejadian bencana longsor, dampak yang ditimbulkan akibat kejadian bencana, dan data
historis kejadian yang pernah terjadi pada lokasi bencana.
b. Mengetahui tipologi longsorlahan yang terjadi di lokasi bencana
c. Memberikan bantuan kepada korban bencana longsorlahan di Desa Tieng.

2. Metode Survei Cepat Terintegrasi


Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa tahapan. Secara garis besar metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei cepat terintegrasi. Survei cepat terintegrasi ini dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan persiapan data-ddata tentatif seperti peta dan citra sebagai bekal untuk pengukuran dilapangan,
sehingga pengukuran dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efisien. Adapun metode yang digunakan dalam kegiatan ini
adalah dengan survei langsung di lapangan meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a. Persiapan peta kerja meliputi: Peta Rupabumi Lembar Kejajar Wonosobo, Peta Penggunaan lahan, Peta Geologi,
Peta Kontur, Citra Satelit,
b. Persiapan alat ukur lapangan meliputi: laser ace, kompas geologi, meteran, GPS, Abney level, dan kamera.
c. Wawancara korban/ kepala Desa dan Kepala Dusun
d. Pengukuran morfologi longsorlahan dan penentuan tipologi longsorlahan
e. Pengeplotan bangunan terdampak
f. Pembuatan reka ulang kejadian berdasarkan analisis data lapangan.
Secara terstruktur metode penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema tahapan penelitian

3. Letak dan kondisi fisik daerah bencana

Lokasi kejadian bencana longsor ini terletak di Dusun Sidorejo Desa Tieng Kecamatan Kejajar Kabupaten
Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis lokasi kejadian terletak pada 109o 56’ 11,934” - 109o 56’ 15,159” BT
dan 7o 14’ 8,095” - 7o 14’ 9,435” LS. Desa Tieng berada pada jalur utama Jalan Dieng-Wonosobo. Lokasi bencana longsor
berada di Dusun Sidorejo yang letaknya berada di sebelah kiri jalur utama tersebut. Desa Tieng memiliki luas 96,25 hektar
dan merupakan bagian administrasi yang masuk pada DAS Serayu bagian hulu Gambar 1. Peta administrasi di tunjukkan
100
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

pada Gambar 2. DAS Serayu bagian hulu merupakan daerah bergunung dengan topografi yang curam. Pada peta terlihat
bahwa garis kontur terlihat rapat yang menunjukkan kecuraman lereng tersebut. Dusun sidorejo sendiri teletak pada lembah
erosional atau yang sering kita kenal dengan baranco. Letak dusun ini memang disesuaikan dengan kedekatan dengan
sumberdaya air yang mengalir melalui dasar lembah sebagai aliran sungai kecil yang muncul dari rembesan-rembesan
batuan permukaan yang mengalami pelapukan.

Gambar 3. Letak administrasi lokasi bencana

Kondisi iklim pada lokasi bencana termasuk pada kondisi iklim tropis. Namun curah hujan yang jatuh pada saat
musim hujan sangat tinggi. Ini dikarenakan pengaruh faktor ketinggian tempat, dimana. Ketinggian tempat di lokasi bencana
mencapai 1800 mdpal. Sehingga hujan yang terjadi sangat tinggi dikarenakan pengaruh orografis. Menurut peta geologi
skala 1: 100.000, lokasi bencana merupakan bagian dari pegunungan tinggi Dieng yang terdiri dari Formasi Dieng dan
Formasi Jambangan. Dua Formasi ini merupakan Formasi batuan dengan materialnya berupa material volkan yang
berumur tua. Batuan yang ditemui selama survei merupakan batuan volkanik berupa batuan beku andesit dalam bentuk
bongkah ataupun dalam bentuk massif dengan campuran material piroklastik yang telah lapuk. Gambar 3 (a) merupakan
peta geologi daerah survei. Selain itu material piroklastika berukuran halus sampai kasar juga ditemui pada lokasi
penelitian. Material piroklastika ini menjadi bahan induk tanah bagian permukaan menumpang pada batuan beku andesit
yang lebih resisten.

Desa Tieng di dominasi oleh Formasi Dieng yang mencakup hampir seluruh area. Sejarah mencatat bahwa
Gunung Pakuwojo yang mengalami longsoran pernah meletus pada tahun 1450 dan tahun 1825-1826 dengan tipe letusan
normal yang mengeluarkan abu vulkanik dan material piroklastik berupa pasir dan debu (Vulcanology Survey of Indonesia,
2012). Kondisi iklim yang basah dengan curah hujan tinggi menyebabkan proses pelapukan material piroklastik menjadi
semakin intensif. Hal ini menyebabkan perkembangan tanah di lokasi bencana cenderung lebih cepat. Akan tetapi karena
material dasarnya merupakan batuan beku, maka tubuh tanah yang terbentuk hanya memiliki solum tanah yang tidak terlalu
tebal. Sehingga hal ini akan berpengaruh pada tipologi dan karakteristik longsorlahan yang terjadi di lokasi bencana.

Longsor juga dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Hal ini terutama terkait dengan pemotongan lereng untuk jalan,
permukiman, perkebunan, lahan pertanian dan lain sebagainya. Penggunaan lahan pada wilayah-wilayah yang seharusnya
bukan menjadi tempat yang sesuai untuk pengembangan kawasan permukiman menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan tingginya risiko saat terjadinya longsor lahan meskipun longsor tersebut terjadi jauh dari area permukiman.
Namun kebutuhan manusia akan bahan makanan dan pendapatan untuk menopang kehidupan menjadikan manusia sering
memanfaatkan lahan-lahan yang sebenarnya masuk pada kelas kemampuan lahan untuk kawasan lindung. Sebagai contoh
pada kasus ini adalah Desa Tieng merupakan Kawasan Lindung yang kemudian berkembang menjadi wilayah permukiman
yang cukup padat dengan penggunaan lahan lainya adalah untuk perkebunan. Selain memperbesar risiko erosi pada

101
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

bagian permukaan, aktivitas manusia memanfaatkan lahan untuk perkebunan juga memperbesar dan mempercepat proses
gerak massa batuan atau sering kita kenal sebagai longsorlahan.

Gambar 3. (a) Peta geologi lokasi survei, (b) Peta penggunaan lahan lokasi survei

Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan dipermukaan bumi (Thornbury, 1954).
Terkait dengan itu, kondisi geomorfologi lokasi bencana termasuk dalam bentuklahan asala proses vokanik yang sudah
tidak aktif lagi. Melihat ketinggian tempat yang mencapai lebih dari 1500 mdpal, lokasi bencana termasuk kedalam topografi
pegunungan. Kondisi lerengya bervariasi mulai dari miring sampai sangat terjal. Ini sesuai dengan letaknya yang berada di
lereng atas Gunung Pakuwaja yang dulu pernah sempat meletus pada 600 tahun yang lalu. Proses geomorfologi yang
terjadi pada lokasi survey berjalan internsif dan sangat dikontrol oleh faktor iklim dan manusia (anthropogenic). Material
piroklastik yang lapuk pada kemiringan lereng curam, namun tidak terdapat vegetasi utama sebagai penutup lahan sangat
rawan terjadi erosi dan longsorlahan. Terlebih lagi faktor anthropogenic seperti campur tangan manusia dalam pemanfaatan
lahan pertanian terasiring dilokasi bencana, semakin memperbesar proses geomorfologi yang berjalan. Kondisi iklim yang
basah dengan intensitas yang tinggi kemudian mempengaruhi relief yang terbentuk di daerah survei. Proses erosi
merupakan awal dari terbentuknya lembah-lembah yang kemudian menjadi sungai-sungai intermitten pada saat musim
hujan terjadi.
Kawasan Dieng merupakan penghasil sayuran dataran tinggi untuk wilayah Jawa Tengah. Kentang adalah
komoditi utamanya, selain itu juga wortel, kubis, dan berbagai bawang-bawangan dihasilkan dari kawasan ini. Selain
sayuran, Dieng juga merupakan sentra penghasil pepaya gunung (carica) dan jamur. Namun demikian, akibat aktivitas
pertanian yang pesat kawasan hutan di puncak-puncak pegunungan hampir habis dikonversi menjadi lahan pertanian dan
perkebunan sayur. Terlebih lagi teknik terasiring yang diterapkan di daerah seperti ini sebenarnya sangat tidak cocok dan
dapat mempercepat proses degradasi lahan. Gambar 4 merupakan peta penggunaan lahan lokasi survey.

4. Dampak yang ditimbulkan akibat bencana longsorlahan di Tieng


Dampak yang diakibatkan oleh longsor dan banjir bandang ini adalah kerugian material dan non material.
Kerugian non material berupa korban jiwa sebanyak sebelas orang meninggal dunia lima orang luka berat dan enam orang
luka ringan. Kerusakan material berupa hancurnya bangunan rumah di area RT 01 dan RT 02, RW 08 Dusun Sidorejo.
Berdasarkan data yang diperoleh bahwa dampak bencana ini mengakibatkan 19 rumah hilang tersapu terjangan banjir
bandang. Kondisi lainnya yakni 1 fasilitas umum berupa TPA (Tempat Pembelajaran Al-Quran) yang rusak akibat banjir
tersebut, dan 6 rumah warga juga mengalami rusak berat (Gambar 5). Sampai saat ini warga yang diungsikan mencapai
554 jiwa atau sekitar 172 KK.
Lokasi pengungsian dari warga di area terdampak ini masih berada di Balai Desa Tieng, serta beberapa warga
lain berada di Huntara (hunian sementara). Besarnya kerugian merupakan risiko yang harus diterima ketika terjadi suatu
bencana. Risiko berbanding lurus dengan kondisi keretanan dan kerawanan. Kerentanan masyarakat terhadap informasi,
pengetahuan tentang tipe bencana dan karakteristiknya menjadikan tingkat kerentanan menjadi tinggi. Tingkat kerentanan

102
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

yang tinggi ini akan berakibat pada risiko yang diterima saat terjadi bencana seperti dalam kasus ini adalah longsor yang
terjadi di Desa Tieng.

Gambar 5. Dampak kerusakan pada bangunan rumah

5. Data historis kejadian longsorlahan di Tieng dan hasil wawancara warga


Secara historis, bencana yang diakibatkan oleh tanah longsor di kawasan ini memang cukup sering terjadi.
Terbukti pada lokasi yang sama pernah terjadi tanah longsor pula pada Bulan Februari tahun 1986, dengan korban jiwa
sebanyak 3 orang. Selain itu tidak lama sebelum bencana bulan desember ini melanda, pernah pula terjadi longsor pada
bulan januari tahun 2010 dengan lokasi berbeda akan tetapi masih terdapat di kawasan ini pula. Bencana pada bulan ini
mengakibatkan kerusakan beberapa infrastruktur warga pada RT 3 dan 4, RW 8 dan RT 1, RW 9. Berdasarkan bencana ini,
penanganan terhadap tanggap darurat sampai dengan pasca bencana oleh beberapa pihak telah menghasilkan lokasi
huntara (hunian sementara) untuk warga sebanyak 90 KK di area terdampak bencana tersebut.

Tabel 1. Catan sejarah longsor Tieng Wonosobo


Tanggal kejadian Dampak kerugian
1986 3 orang meninggal
2008 4 rumah hancur
30 Agustus 2009 Putusnya jembatan kejajar
Januari 2010 6 rang meninggal, 12 rumah hancur
18 Desember 2011 11 orang meninggal, 5 luka berat, 6 luka ringan, total 19 rumah rusak, 554 jiwa
mengungsi (172 KK)
Sumber: Pengumpulan data tahun 2011

Pada bencana tanah longsor dan banjir bandang pada tahun 2011 ini. Beberapa anggapan warga menyebutkan
bahwa penyebab dari bencana dipengaruhi oleh aktivitas pertanian yang merambah sampai kawasan lindung di puncak
gunung. Disisi lain beberapa lahan pertanian milik warga banyak terdapat di lokasi lain di luar area terdampak. Hal ini dapat
dijadikan sebagai modal bagi pemulihan kondisi penghidupan warga selain dari beberapa bantuan yang mengalir dari
penanganan bencana oleh pemerintah. Akan tetapi yang menjadi polemik di kawasan ini, banyak lahan pertanian warga
yang terdapat di lereng-lereng pegunungan dan lokasinya berada di kawasan lindung maupun kawasan penyangga area
permukiman di bawahnya. Komoditas dari pertanian ini yaitu tanaman kentang, yang notabene masih lemah dalam
memperkuat struktur tanah pada kemiringan yang terjal. Oleh sebab itu banyak lokasi permukiman warga di kawasan ini
yang masih rawan terhadap bencana tanah longsor maupun banjir bandang. Terutama beberapa waktu ke depan menginjak
musim penghujan yang merupakan salah satu penyebab potensial dari terjadinya tanah longsor.
Pada prinsipnya warga pada lokasi tersebut telah mengetahui resiko ini, akan tetapi diperlukan data yang akurat
dalam melakukan sebuah kebijakan untuk penanganan area potensial bencana. Seperti pada kasus bencana desember
2011, penanganan rumah hilang untuk 19 KK akan segera dilakukan pembangunan rumah baru. Akan tetapi yang menjadi

103
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

permasalahan warga yaitu 53 KK lain yang terdapat di area bencana masih menunggu hasil penelitian, apakah
diperbolehkan untuk dihuni kembali atau dilakukan relokasi besar-besaran bersamaan dengan 187 KK lain di lokasi
potensial bencana di Dusun Sidorejo, Desa Tieng.

6. Reka ulang kejadian dari analisis data lapangan


Identifikasi tipologi longsorlahan yang telah dilakukan memasukkan longsorlahan yang terjadi merupakan
akumulasi dari beberapa tipe yang akhirnya membentuk tipe debris flow. Tahap pertama yang tejadi adalah tipe shallow
landslide karena bidang rupture terlihat dangkal dan relative berukuran kecil Gambar 6.

Gambar 6. Proses terjadinya longsor tipe debris flow (USGS, 2008)

Longsor tahap pertama terjadi pada lereng Gunung Pakuwaja sisi barat. Longsor fase pertama ini runtuh
mengarah ke arah selatan kemudian runtuhan materialnya masuk ke dalam lembah sungai kecil yang menjadi hulu dari
Sungai Putih. Karena konsentrasi air yang tinggi, material ini mulai bergerak menjadi aliran lumpur mengikuti lembah Sungai
Putih mengarah kearah Dusun Sidorejo yang berjarak 1 km arah Timur kurang lebih 110 o dari arah azimuth (Gambar 7).
Karena kemiringan lereng yang besar yang bisa kita lihat dari penampang profil, maka kecepatan aliran runtuhan ini sangat
bersifat merusak setiap bangunan yang diterjangya.

Besarnya kemiringan lereng berpengaruh sangat besar pada kecepatan material debris flow meluncur melintasi
lembah-lembah antar pegunungan ( Berti, 2007 ). Jika kita lihat penampang melintang pada garis berwarna kuning, kita bisa
mengetahui bahwa kemiringan lereng yang terbentuk hampir mencapai 100% atau 45 o. Sudut dengan besar lereng 45o
merupakan sudut lereng yang memiliki nilai simpangan tertinggi jika suatu benda dilempar atau dalam hal ini material tanah
yang runtuh karena kondisi yang sudah sangat jenuh oleh air hujan. Sehingga turunya material longsoran yang disertai
dengan banjir bandang memiliki waktu tempuh yang sangat singkat sampai di lokasi bencana. Walaupun jaraknya kurang
lebih satu kilometer, namun longsor tipe ini sangat cepat bergerak menyusuri lembah sungai terlebih lagi dengan kemiringan
lereng yang besar dan tanpa hambatan apapun. Tipe debris flow banyak dijumpai pada bentukan-bentukan erosi lanjut
yang sudah berubah menjadi lembah sungai (Wacano, 2010). Tipe ini terjadi terutama pada saat curah hujan yang jatuh di
lokasi penelitian sangat tinggi.

Longsor tipe debris flow ini sangat membahayakan dan tidak terduga. Hal ini sangat dimungkinkan karena boleh
jadi suatu lokasi tidak mengalami hujan, namun mendapat kiriman material runtuhan dengan akumulasi cairan lebih tinggi
dari 30%. Sistem lembah erosional yang berada diwilayah yang memiliki topografi penunungan sangat memungkinkan
terjadinya aliran runtuhan dari bagian lain dari satu alur lembah terssebut. Hujan yang terjadi secara lokal pada wilayah
104
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

bagian atas menjadi salah satu penyebab kemunkinan tersebut. Sehingga tipe longsor ini sangat berbahaya dan tak
terduga meskipun pemukiman terletak dibagian bawah jauh dari lokasi terjdinya hujan. Namun demikian, area permukiman
yang berada pada jalur lembah erosional menjadikan tingkat risiko saat terjadinya bencana semakin tinggi.

Gambar 7. Reka ulang dan ilustrasi kejadian bencana

7. Sistem peringatan dini (early warning system) bencana longsor Tieng


Secara proses dan karakteristik longsor yang terjadi, sebenarnya lonsgorlahan ini tidak akan menimbulkan
dampak kerugian yang berarti karena kecilnya magnitude longsor dan tipe longsor yang memiliki tebal bidang rupture yang
tipis. Namun karena akumulasi material tercampur dengan air hujan, maka tipe longsor ini menjadi tipe aliran yang disertai
banjir bandang. Risiko yang terjadi juga diperparah dengan pola permukiman yang berhimpit disepanjang sungai yang
menjadi lintasan banjir bandang dan aliran runtuhan tersebut. Namun karena masyarakat sudah terlanjur membangun
permukiman di area yang sangat berisiko jika terjadi kejadian yang sama, maka sebagai tindakan mitigasi bencana, alat
early warning system sangatlah penting untuk menjawab permasalahan tersebut (Hadmoko, 2010).
Pada awalnya bantuan yang akan diserahkan untuk korban adalah sejumlah uang yang bisa dugunakan untuk
membeli perlengkapan logistik sebagai tambahan bagi pasokan di posko pengungsian. Namun sebagai kalangan akademisi
hal ini tentu akan sama halnya dengan bantuan-bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak. Sehingga keputusan
diambil untuk memberikan bantuan berupa alat early warning system yang diambil dari alokasi dana yang akan
disumbangkan. Alat early waning yang disumbangkan merupakan alat peringatan dini longsor dengan system penakar
hujan. Alat ini mendasarkan pada intensitas hujan dengan durasai tertentu dapat menyebabkan stabilitas lereng terganggu.
Secara sistematika, rangkaian sistem peringatan dini ini diilustrasikan pada Gambar 7. Sistem kerja EWS diuraikan melalui
urutan sebagai berikut:

a. Penentuan threshold wilayah  tebal hujan maksimum yang dapat mengakibatkan longsor (misal : tebal hujan 50 mm)

105
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

b. Penentuan standard cup collector. Di Indonesia pada umumnya menggunakan cup collector dengan luas 100 cm 2 atau
200 cm2 (metric unit)
c. Perhitungan volume tabung prosesor apabila tercapai tebal hujan 50mm maka alarm akan berbunyi.  50mm (5cm) X
luas collector (100cm2) = volume 500cc
d. Akumulasi hujan yang terjadi dalam 24 jam kurang dari 50 mm akan dibuang dengan secara otomatis setiap jam 05.00
pagi.
e. Apabila tercapai tebal hujan 50mm, maka alarm akan berbunyi selama 60 detik (adjustable) sekaligus air dalam tabung
prosessor dibuang
f. Motor washer yang berfungsi untuk membuang air dalam tabung akan bekerja pada saat alarm berbunyi dan cut off
pada saat air habis (vol = 0cc)

Gambar 7. Sistem Kerja Early Warning System Longsor Berbasis Data Curah Hujan

Pemasangan alat telah dilakukan di Kelurahan Desa Tieng dengan terlebih dahulu menyerahkanya pada pihak
perangkat desa. Pemasangan alat dilaksanakan pada tanggal 7 Januari 2012. Selang waktu pemasangan alat dengan
survei terakhir kurang lebih 2 minggu, hal ini dikarenakan alat yang dipasang harus dirakit terlebih dahulu. Perakitan alat
dilakukan dengan bantuan dari teman-teman teknik sipil UGM. Karena alat ini merupakan rakitan, maka perlu mengetahui
kalibrasi alat dan durabilitynya di lapangan. Namun dalam pemasangan alat di Desa Tieng walaupun alat peringatan dini
yang dipasang masih rakitan, di Desa Tieng juga sudah dipasang alat yang lebih bagus karena langsung dibeli dari luar
negri. Sistemnya pun sudah canggih dengan pengoperasian system digital. Sehingga diharapakan jika alat rakitan tidak
bejalan sesuai dengan prosedur pemrograman, masih ada satu alat lagi yang masih bisa diandalkan. Namun belajar dari
kurangnya koordinasi pada saat alat yang sama berbunyi ketika bencana pada tanggal 18 Desember 2011, maka hal ini
perlu menjadi perhatian yang serius baik dari pihak perangkat desa dan warga Desa Tieng secara keseluruhan dalam hal
mitigasi bencana yang baik dan terarah.

8. Kesimpulan
Dari hasil survei yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa longsor yang terjadi merupakan tipe debris
flow dengan akumulasi banjir bandang yang melintasi Sungai Putih dan menghancurkan bangunan rumah di sebagian area
permukiman yang berada tepa ditepi Sungai Putih. Kombinasi antara variabel curah hujan dengan intensitas tinggi yang
terjadi pada wilayah dengan relief/topografi pegunungan dengan material permukaan berupa tanah dengan solum yang
dangkal dengan proses geomorfologi pelapukan dan erosi menyebabkan gerakmassa tipe shallow landslide dan debris flow.
Mitigasi bencana longsor tipe shallow dan debris flow di daerah penelitian adalah dengan menghindari lokasi tempat tinggal
berdekatan dengan lembah-lembah erosional (baranco). Selain itu early warning sistem longsor dengan pendekatan
intensitas curah hujan dapat membantu memberikan peringatan terhadap kemungkinan terjadinnya bencana longsorlahan
tipe debris flow.

106
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3
Chapter Buku Seri Bunga Rampai
Pengelolaan Lingkungan Zamrud Khatulistiwa

Daftar Pustaka

Berti, M., Simoni, A. 2007. Prediction of debris flow inundation areas using empirical mobility relationships. Elsevier B.V
GEOMOR-02226; No of Pages 18.
Hadmoko, D.S., Sartohadi, J., Lavigne, F., Hadi, P. Winaryo. (2010) . Landslide hazard and risk assessment and their
application in risk management and landuse planning in eastern flank of Menoreh Mountains, Yogyakarta
Province, Indonesia. Journal of Nat Hazards (2010) 54: page 623-642.
Thornbury,W.D. (1954). Principle of Geomorfology. London: John Wiley and Sons Inc.
USGS. 2008. The Landslide Handbook-A Guide to Understanding Landslides. Reston: Virginia.
Vulcanology Survey of Indonesia. 2012. Sejarah Plateu Dieng. Paper. Diakses dari http:// www. Vulcanology survey of
Indonesia.com pada tanggal 19 Januari 2012 pukul 14.05 WIB.
Wacano, D. 2010. Kajian Kerawanan Longsorlahan Menggunkan Metode Analytical Hierarchy Process di DAS Tinalah
Kulon Progo. Skripsi. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Widiyati, C.N., 2011. Application Of Us-Scs Curve Number Method And Gis For Determining Suitable Land Cover Of Small
Watershed: A Case Study Of Pakuwojo Sub-Watershed (Part Of Dieng Plateau Area ), Wonosobo Regency,
Central Java, Indonesia. Tesis. Graduate School Gadjah Mada University Yogyakarta.

107
Percetakan Kanisius Yogyakarta September 2013
ISBN: 978-602-7797-25-3

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai