Oleh :
Oleh :
TUBAGUS IRFAN RAMAZEN
111.160.116
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana 1 (S1)
di Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta, tahun akademik 2020/2021
Menyetujui,
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan Tugas Akhir
dengan judul “Geologi dan Evaluasi Kestabilan Lereng Pada Tambang Terbuka Nikel, Desa
Keuno, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah”.
Oleh sebab itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu :
1. Kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang telah senantiasa memberikan rahmat dan
nikmatnya sehingga saya telah diberi kesehatan dan kemampuan dalam pengerjaan
laporan ini, dan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi panutan saya dalam
beribadah maupun menjalani hidup ini, mengajari untuk dapat mendapatkan berkah dan
rahmat-Nya.
2. Dr. Ir. Purwanto, M.T., dan Dr. Ir. Jatmika Setiawan, M.T sebagai pembimbing tugas
akhir yang telah memberikan izin, semangat, serta saran dalam perjalanan saya untuk
mengerjakan tugas akhir ini.
3. Bapak H. Yul Widiasentosa selaku General Manager PT. Bukit Makmur Istindo
Nikeltama, Bapak H. Alwansyah selaku Kepala Teknik Tambang, dan Bapak Gunawan
selaku Manager Operasional yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk saya
dapat melaksanakan Tugas Akhir di PT. Bumanik.
4. Keluarga dan teman-teman yang sudah banyak membantu melalui do’a dan semangat
setiap harinya, dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu yang
telah membantu peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, walaupun peneliti menyadari bahwa tentunya masih terdapat beberapa kekurangan
dalam penyusunan Tugas Akhir ini. Peneliti berharap semoga Tugas Akhir ini bisa menjadi
ilmu yang bermanfaat untuk seluruh pihak yang telah membaca dan mempelajarinya.
ii
GEOLOGI DAN EVALUASI KESTABILAN LERENG
PADA TAMBANG TERBUKA NIKEL
DESA KEUNO, KECAMATAN PETASIA TIMUR,
KABUPATEN MOROWALI UTARA, PROVINSI SULAWESI TENGAH
SARI
111.160.116
Lokasi penelitian secara administratif berada pada daerah Desa Keuno, Kecamatan
Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa Keuno berada
pada UTM WGS84 Zona 51S dengan X = 331325 - 332487 dan Y = 9758849 - 9759777.
Secara geografis daerah ini terletak pada : 121°28’59”-121°29’37” Bujur Timur dan 02°10’21”
- 02°10’51” Lintang Selatan. Lokasi penelitian termasuk ke dalam daerah pertambangan PT.
Bukit Makmur Istindo Nikeltama.
Penelitian ini membahas perihal kestabilan lereng pada lokasi pengamatan. Lereng
aktual membutuhkan perhatian yang lebih, dikarenakan daerah pertambangan merupakan
berada pada daerah perbukitan yang memiliki beberapa lereng yang cukup curam dan
berbahaya. Khususnya pada lokasi penelitian yang pernah mengalami kejadian longsor yang
pada tahun 2019 saat musim hujan terjadi, akibat dari kejadian tersebut membuat resah para
pekerja tambang dan merugikan perusahaan. Serta pada lokasi penelitian ini, terdapat lahan
yang direncanakan akan dibuka sebagai target penambangan yang baru. Oleh karena itu,
evaluasi kestabilan lereng dan rencana konstruksi lereng harus dilakukan dengan seksama oleh
peneliti.
Data primer yang didapatkan peneliti merupakan hasil dari melakukan pemetaan
geologi permukaan, dan data sekunder di dapatkan melalui data bor eksplorasi perusahaan.
Dengan data - data tersebut, peneliti bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari kondisi
geomorfologi lokasi penelitian, kondisi geologi lokasi penelitian, dan kondisi geologi teknik
lokasi penelitian menggunakan metode kesetimbangan batas umum pada software SLIDE 6.0.
Pada kegiatan analisis, peneliti membuat tiga penampang lereng aktual yang untuk dievaluasi
kestabilan lerengnya, lalu penentuan material properties dari penampang tersebut didasarkan
oleh dua kriteria keruntuhan yang berbeda, yaitu kriteria keruntuhan Mohr Coulomb dan
kriteria keruntuhan Generalized Hoek and Brown. Serta untuk mendapatkan hasil yang
optimum, peneliti membutuhkan metode yang mempertimbangkan kesetimbangan gaya dan
kesetimbangan momen pada lereng, oleh karena itu digunakanlah metode menurut
Morgenstern - Price. Setelah itu, dari hasil penelitian tersebut akan diketahui kelas kestabilan
lerengnya, yang dikategorikan berdasarkan nilai Faktor Keamanan menurut Bowles (1991).
Geomorfologi daerah telitian dibagi menjadi dua bentuk asal dan tiga bentuk lahan yang
terdiri dari Bentuk Lahan Bukit Denudasional (D1), Bentuk Lahan Lereng Denudasional (D2),
dan Bentuk Lahan Bukaan Tambang (A1). Stratigrafi daerah telitian dibagi menjadi dua satuan
Litodemik tak resmi, yaitu Satuan Peridotit dan Satuan Serpentinit, yang berumur Kapur Awal
iii
- Kapur Akhir menurut Simandjuntak, dkk (1993). Struktur geologi yang berkembang pada
daerah telitian adalah struktur sesar dan kekar, dengan hasil analisis struktur kekar memiliki
arah tegasan relatif Barat – Timur, sedangkan pada analisis sesar didapatkan nama jenis sesar
yaitu Left Slip Fault dan Right Reverse Slip Fault menurut Rickard (1972).
Menurut analisis, hasil yang diperoleh peneliti mengatakan bahwa 1 lereng aktual yang
berada pada daerah aktif kegiatan tambang merupakan lereng labil / tidak stabil dengan nilai
Faktor Keamanan sebesar < 1 berdasarkan Bowles (1991), sedangkan pada lereng aktual daerah
rencana lahan penambangan baru merupakan lereng yang cenderus kritis yang memiliki nilai
Faktor Keaman > 1,25. Maka dari itu, diperlukan rekomendasi lereng yang bisa digunakan
sebagai acuan lereng buatan pada lokasi penelitian, yang diharapkan dapat mementingkan
keamanan kegiatan penambangan mengingat keamanan lereng aktual yang kurang baik jika
dibiarkan begitu saja. Setelah peneliti melakukan Trial and Error untuk menentukan geometri
lereng yang stabil untuk digunakan pada lokasi penelitian, ditemukan bahwa dengan
menggunakan geometri : Sudut Bench Face Angle 55o, Lebar Bench 3,5 meter, dan Jarak antara
Cresh and Toe 6 meter, lereng buatan tersebut memiliki nilai Faktor Keamanan sebesar > 1,2
menurut Bowles (1991), yang berarti merupakan lereng stabil dan cukup menguntungkan bagi
perusahaan, serta dapat diterapkan pada seluruh lokasi penampang lereng yang sebelumnya
sudah di evaluasi.
iv
DAFTAR ISI
v
2.6.9 Kriteria Keruntuhan Mohr Coulomb ...................................................................... 24
2.6.10 Metode Analisis Kesetimbangan Batas ................................................................ 25
2.6.11 Desain Perencanaan Lereng Tambang ................................................................. 26
2.7 Tabel Dasar Teori.......................................................................................................... 27
BAB III KAJIAN PUSTAKA ................................................................................................ 28
3.1 Fisiografi Regional ........................................................................................................ 28
3.2 Tektonik Regional .................................................................................................... 29
3.3 Stratigrafi Regional ....................................................................................................... 31
BAB IV GEOLOGI DESA KEUNO ...................................................................................... 37
4.1 Geomorfologi Desa Keuno ........................................................................................... 37
4.1.1 Satuan Bentuk Lahan Bukit Denudasional ............................................................. 38
4.1.2 Satuan Bentuk Lahan Lereng Denudasional .......................................................... 39
4.1.3 Satuan Bentuk Lahan Bukaan Tambang ................................................................ 40
4.2 Stratigrafi Desa Keuno .................................................................................................. 41
4.2.1 Satuan Peridotit....................................................................................................... 41
4.2.2 Satuan Serpentinit ................................................................................................... 45
4.3 Struktur Geologi Desa Keuno ....................................................................................... 48
4.3.1 Kekar ...................................................................................................................... 49
4.3.2 Sesar........................................................................................................................ 55
4.4 Sejarah Geologi Desa Keuno ........................................................................................ 58
4.5 Potensi Geologi Desa Keuno ........................................................................................ 61
4.5.1 Potensi Positif Geologi Desa Keuno ...................................................................... 61
4.5.2 Potensi Negatif Geologi Desa Keuno ..................................................................... 66
BAB V EVALUASI KESTABILAN LERENG DESA KEUNO .......................................... 67
5.1 Kestabilan Lereng ......................................................................................................... 67
5.2 Lokasi Lereng Yang Dikaji Pada Tambang Terbuka Nikel .......................................... 68
5.3 Data Mekanika Tanah dan Mekanika Batuan ............................................................... 70
5.3.1 Data Sekunder Bor Geotek ..................................................................................... 70
5.3.2 Data Primer Pengukuran Scanline .......................................................................... 73
5.4 Kestabilan Lereng Aktual dan Rekomendasi Lereng ................................................... 78
5.5 Lereng A – A’ ............................................................................................................... 78
vi
5.5.1 Kestabilan Lereng A – A’ ....................................................................................... 80
5.5.2 Rekomendasi Lereng A – A’ Tanpa Beban ............................................................ 82
5.5.3 Rekomendasi Lereng A – A’ Dengan Beban ......................................................... 85
5.6 Lereng B – B’................................................................................................................ 87
5.6.1 Kestabilan Lereng B – B’ ....................................................................................... 87
5.6.2 Rekomendasi Lereng B – B’ .................................................................................. 90
5.6.3 Rekomendasi Lereng B – B’ Dengan Beban .......................................................... 93
5.7 Lereng C – C’................................................................................................................ 95
5.7.1 Kestabilan Lereng C – C’ ....................................................................................... 95
5.7.2 Rekomendasi Lereng C – C’ .................................................................................. 98
5.7.3 Rekomendasi Lereng C – C’ Dengan Beban ........................................................ 101
BAB VI KESIMPULAN ...................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 105
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
Gambar 4.17 Kenampakan Singkapan Bidang Sesar ........................................................... 55
Gambar 4.18 Hasil Analisis Stereografis Sesar Naik Kanan Keuno.................................... 56
Gambar 4.19 Kenampakan Zona Hancuran ......................................................................... 57
Gambar 4.20 Hasil Analisis Stereografis Sesar Mendatar Kiri Keuno ................................ 58
Gambar 4.21 Awal Pembentukan Sekuen Ofiolit Pada Zona MOR Pada Zaman Kapur .... 59
Gambar 4.22 Obduksi Zona Ofiolit Terangkat Pada Kala Eosen-Oligosen ........................ 59
Gambar 4.23 Tumbukan Sulawesi Pada Kala Miosen Akhir .............................................. 60
Gambar 4.24 Tumbukan yang Mengasilkan Sesar Naik pada Lokasi Penelitian ................ 60
Gambar 4.25 Pembentukan Sesar Mendatar Keuno Pada Kala Pliosen .............................. 61
Gambar 4.26 Singkapan Top Soil LP 2 ................................................................................ 62
Gambar 4.27 Singkapan Limonit LP 40 ............................................................................... 63
Gambar 4.28 Singkapan Saprolit LP 43 ............................................................................... 64
Gambar 4.29 Singkapan Bedrock LP 68 .............................................................................. 65
Gambar 4.30 Singkapan Profil Laterit LP 38 Dengan Arah Kamera N 341° E................... 66
Gambar 4.31 Singkapan Profil Laterit LP 47 Dengan Arah Kamera N 322° E................... 66
Gambar 4.32 Daerah Rawan Material Lepas Dengan Arah Kamera N 173°E .................... 67
Gambar 4.33 Perubahan Bentuk Morfologi Dengan Arah Kamera N 143°E ...................... 67
Gambar 5.1 Penampang Sayatan Lokasi Lereng yang Dikaji............................................ 68
Gambar 5.2 Kenampakan Lereng Penampang Sayatan A – A’ ......................................... 69
Gambar 5.3 Kenampakan Lereng Penampang Sayatan B – B’ ......................................... 69
Gambar 5.4 Kenampakan Lereng Penampang Sayatan C-C’ ............................................ 70
Gambar 5.5 Pengukuran Bidang Diskontinuitas Menggunakan Metode Scanline ............ 74
Gambar 5.6 Material Properties Penampang Lereng A – A’ ............................................ 78
Gambar 5.7 Geometri Penampang Lereng A – A’ ............................................................. 79
Gambar 5.8 Kestabilan Lereng Aktual Penampang A – A’ ............................................... 81
Gambar 5.9 Geometri Single Slope Rekomendasi Lereng A – A’..................................... 82
Gambar 5.10 Geometri Overall Slope Rekomendasi Lereng A – A’ .................................. 83
Gambar 5.11 Rekomendasi Lereng Penampang A – A’ Tanpa Beban ............................... 84
Gambar 5.12 Rekomendasi Lereng Penampang A – A’ Dengan Beban ............................. 86
Gambar 5.13 Material Properties Penampang Lereng B – B’ ............................................ 87
Gambar 5.14 Geometri Penampang Lereng Aktual B – B’ ................................................. 88
Gambar 5.15 Kestabilan Lereng Aktual Penampang B – B’ ............................................... 89
ix
Gambar 5.16 Geometri Single Slope Rekomendasi Lereng B – B’ ..................................... 90
Gambar 5.17 Geometri Overall Slope Rekomendasi Lereng B – B’................................... 91
Gambar 5.18 Rekomendasi Lereng Penampang A – A’ Tanpa Beban ............................... 92
Gambar 5.19 Rekomendasi Lereng Penampang B – B’ Dengan Beban ............................. 94
Gambar 5.20 Material Properties Penampang Lereng C – C’ ............................................ 95
Gambar 5.21 Geometri Penampang Lereng C – C’ ............................................................. 96
Gambar 5.22 Kestabilan Lereng Aktual Penampang C – C’ ............................................... 97
Gambar 5.23 Geometri Single Slope Rekomendasi Lereng C – C’ ..................................... 98
Gambar 5.24 Geometri Overall Slope Rekomendasi Lereng C – C’................................... 99
Gambar 5.25 Rekomendasi Lereng Penampang C – C’ Tanpa Beban .............................. 100
Gambar 5.26 Rekomendasi Lereng Penampang C – C’ Dengan Beban ........................... 102
x
DAFTAR TABEL
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Penambangan merupakan salah satu usaha yang diperlukan untuk mendapatkan Sumber
Daya Alam dari suatu tubuh batuan. PT Bukit Makmur Istindo Nikeltama merupakan
perusahaan pertambangan yang bergerak dalam eksplorasi dan eksploitasi bahan galian nikel
ekonomis yang sudah bergerak sejak 2007. Perusahaan ini melakukan kegiatan penambangan
nikel pada Desa Keuno dan sekitarnya, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara,
Provinsi Sulawesi Tengah.
Genesis nikel dipengaruhi oleh hubungan batuan ultramafik dan faktor pelapukan fisik
maupun kimia pada tubuh batuan, dimana hal tersebut dapat menimbulkan pelapukan dan
menurunkan sifat resistensi batuan. Sehingga saat terjadi pelapukan, resistensi batuan yang
menurun akan mempengaruhi kestabilan lereng - lereng alami maupun buatan. Oleh sebab itu,
diperlukan desain kestabilan lereng pada dinding lereng tambang yang akan dibentuk, baik
lereng kerja saat pengambilan bahan tambang maupun lereng tahap akhir penambangan, agar
dapat terbentuk geometri lereng yang stabil, serta dapat bertahan dari alat - alat berat dan cuaca
pada daerah tambang.
Penambangan nikel sangat dipengaruhi oleh kondisi geologi setempat. Kondisi geologi
tersebut mencakup kondisi permukaan maupun bawah permukaan. Metode yang dilakukan
dalam kegiatan penambangan, dilakukan dengan menggunakan metode Open Pit maupun Open
Case. Penambangan dengan metode tersebut biasanya dilakukan dengan membuang lapisan
overburden-nya terlebih dahulu, yaitu Top Soil. Setelah itu akan dibuat lereng - lereng buatan
baru yang dibentuk untuk mengambil nikel tersebut. Lereng buatan tersebut harus diperhatikan,
sehingga tidak membahayakan para pekerja yang berada di tambang.
Pada lokasi penelitian yang merupakan daerah penambangan nikel, salah satu hal yang
tidak bisa dihindari adalah kebutuhan untuk membuka lahan baru dan merubah geomorfologi
alami yang ada, dan dikarenakan hal tersebut, diperlukan perhatian yang seksama pada lereng
- lereng buatan pada daerah tambang agar bisa menjamin keamanan kegiatan tambang. Karena
pada lokasi penelitian ini, pernah terjadi musibah longsor yang menimpa daerah tambang pada
saat musim hujan pada Bulan Juni Tahun 2019. Diduga longsor terjadi karena kemiringan
1
2
lereng yang cukup curam dan di puncak lereng tersebut kegiatan tambang secara aktif
dilakukan setiap harinya, sehingga saat musim hujan material pada lereng sudah tak sanggup
menahan akumulasi dari beban yang ada dan akhirnya terjadi longsor. Maka dari itu, kestabilan
lereng menjadi tema yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul
berupa “Geologi dan Evaluasi Kestabilan Lereng Pada Tambang Terbuka Nikel, Desa Keuno,
Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah”.
Maksud dari penelitian tugas akhir ini adalah untuk melakukan pengamatan dan
pengambilan data geologi, maupun geomorfologi, serta meneliti nilai faktor keamanan lereng
berdasarkan kondisi aktual di lokasi penelitian, guna mempelajari, mengkaji, dan memberikan
beberapa saran menurut ilmu Geologi Teknik yang sudah dipelajari selama di kampus.
1. Mengkaji dan memberikan hasil penelitian data berdasarkan kondisi geologi yang
meliputi geomorfologi, litologi, dan struktur geologi pada lokasi penelitian.
2. Mengkaji dan mengevaluasi kestabilan lereng berdasarkan sifat fisik dan mekanik
tanah/batuan, serta geometri lereng aktual pada lokasi penelitian.
3. Mengkaji dan memberikan rekomendasi lereng yang aman untuk lereng buatan pada
lokasi penelitian.
Lokasi penelitian secara administratif berada pada Tambang Nikel Terbuka pada Desa
Keuno, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah dan
merupakan bagian dari wilayah kerja PT Bukit Makmur Istindo Nikeltama. Desa Keuno berada
3
pada UTM WGS84 Zona 51S dengan koordinat X = 331325 - 332487 dan Y = 9758849 -
9759777. Secara geografis daerah ini terletak pada : 121°28’59” - 121°29’37” Bujur Timur dan
02°10’21” - 02°10’51” Lintang Selatan. Luas lokasi penelitian yaitu ± 1 km2 (1 km x 1 km)
dengan skala 1 : 5.000. Lokasi penelitian dapat dicapai dari Kota Yogyakarta menuju Kota
Morowali dengan menggunakan penerbangan komersial dengan waktu tempuh ± 2,5 jam,
dilanjutkan dengan kendaraan roda empat menuju Desa Keuno dengan waktu tempuh ± 1 jam.
Peneliti melakukan kegiatan ini selama ± 2 bulan di lapangan, dimulai sejak 29 Februari 2020
sampai dengan 29 April 2020 (Gambar 1.1).
Dengan melakukan pemetaan dan studi kasus secara mendetail pada lokasi penelitian,
peneliti dapat mencari, mengumpulkan dan mengolah data, serta menginterpretasinya sehingga
bisa menghasilkan suatu kajian atau sekedar informasi geologi yang berguna pada lokasi
penelitian. Hasil yang diharapkan dari peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan, 4. Peta Persebaran laterit,
2. Peta Geomorfologi, 5. Evaluasi Lereng Aktual,
3. Peta Geologi, 6. Dan Rekomendasi Desain Lereng.
4
Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk berbagai bidang, antara lain sebagai
berikut:
1. Manfaat Bagi Peneliti
a. Sebagai syarat kelulusan kuliah peneliti, untuk membuat penelitian tugas akhir yang
berhubungan dengan jurusam yang diambil, yaitu Program Studi Teknik Geologi,
Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta dan mendapatkan gelar sarjana pada program pendidikan strata satu
(S1).
b. Mempraktekan ilmu yang sudah didapat dari rangkaian mata kuliah, guna mengerti
tujuan sebenarnya dari ilmu yang dipelajari.
c. Menambah wawasan, informasi, dan pengetahuan mengenai pertambangan nikel,
baik secara umum, geologi, maupun geologi teknik.
2. Manfaat Bagi Institusi
a. Menjalin kerja sama dalam bidang keilmuan dan sekaligus memperkenalkan institusi
yaitu Program Studi Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta kepada masyarakat maupun aparatur negara sekitar daerah telitian.
b. Menambah koleksi penelitian tentang studi kestabilan lereng di perpustakaan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta khususnya Program
Studi Teknik Geologi.
3. Manfaat Bagi Perusahaan
a. Memberikan informasi data-data geologi secara detil melalui pengambilan data
primer maupun sekunder yang telah diolah tujuan penelitian.
b. Memberikan informasi kestabilan lereng aktual pada lokasi penelitian berdasarkan
hasil analisis yang telah dilakukan.
c. Merekomendasikan geometri lereng yang sesuai menurut peneliti, hasil analisi ini
diharapkan dapat meningkatkan keamanan kegiatan tambang pada lokasi penelitian.
BAB II
METODE PENELITIAN
Data penelitian ini didapatkan oleh peneliti dengan melakukan pemetaan pada lokasi
penelitian dan data bor yang peneliti peroleh dari perusahaan tambang, yang kemudian diolah
menggunakan Program Arcgis dan Program Slide 6.0. Sehingga dalam perkembangannya,
tahap-tahap melakukan analisis tersebut bisa mengikuti diagram alir berikut. (Gambar 2.1)
2.1 Diagram Alir
5
6
Tahap pertama dalam melakukan sebuah penelitian adalah dengan melakukan studi
pustaka sebelum pergi ke lokasi penelitian. Dimana studi pustaka disini meliputi :
a. Menentukan tema penelitian
b. Menentukan lokasi penelitian
c. Melakukan perizinan dan administrasi
d. Melakukan studi pustaka lokasi penelitian
e. Membuat proposal penelitian serta jadwal kegiatan
Tahap setelah itu dilakukan saat sudah mencapai lokasi penelitian, lalu melakukan
observasi, dan barulah peneliti melakukan pengumpulan data primer maupun sekunder. Data-
data yang diperlukan untuk pelaksanaan penelitian ini yaitu :
Tahapan ini dilakukan setelah mendapatkan semua data yang diperlukan sebelumnya.
Kemudian di analisis untuk mencapai hasil dan tujuan penelitian sesuai dengan yang kita
temukan di lapangan. Analisis yang dilakukan yaitu :
1. Analisis Bentuk Lahan
Analisis ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung selama melakukan
pemetaan dan dibantu oleh kajian peta topografi yang sesuai lokasi penelitian, lalu
diinterpretasikan sebagai menjadi bentuk lahan/morfologi apa saja yang berada di lokasi
penelitian. Analisis ini dapat membantu untuk memahami genesis nikel laterit pada lokasi
penelitian serta dapat menginterpretasi permodelan profil endapan nikel laterit.
7
Tahapan ini merangkum semua kegiatan yang telah dilakukan baik di lapangan maupun
pada saat analisis di laboratorium menjadi satu kesatuan. Penyajian data pada akhirnya berupa:
a. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan
b. Peta Geomorfologi dan penampang
c. Peta Geologi dan penampang
d. Peta Sebaran Laterit dan penampang
e. Hasil Evaluasi Kestabilan Lereng menggunakan Slide 6.0
f. Rekomedasi Desain Lereng
g. Laporan Akhir
8
Menurut Waheed (2009), batuan ultramafik adalah batuan yang kaya akan kandungan
mineral mafik (ferromagnesia), dan pada dasarnya batuan ini terdiri dari olivin, piroksen,
hornblenda, dan mika. Batuan ultramafik memiliki indeks bias lebih dari 70. Sebagian besar
batuan ultramafik berasal dari pembekuan magma dibawah permukaan. Berat jenis magma
yang tinggi mengakibatkan magma tidak dapat menembus kerak bumi dan keluar
kepermukaan, atau terbentuk akibat proses diferensiasi magma dasar.
Istilah ultramafik tidak identik dengan ultrabasa, sebagian besar batuan ultramafik
adalah batuan ultrabasa, namun tidak semua batuan ultrabasa adalah batuan ultramafik. Sebagai
contoh batuan yang kaya akan feldspatoid adalah batuan ultrabasa namun tidak termasuk
batuan ultramafik, karena tidak mengandung mineral ferromagnesia. Sedangkan piroksen
enstatit mempunyai kandungan silika tinggi (60%), yang termasuk batuan ultramafik namun
bukan batuan ultrabasa.
Klasifikasi batuan ultrabasa plutonik (Gambar 2.2) menurut Streckeisen (1973), dalam
Le Maitre (2002) adalah sebagai berikut:
1. Dunit
2. Peridotit
Peridotit merupakan batuan yang memiliki kandungan olivin dibawah 90% (tidak
dominan), sisanya adalah mineral piroksen, baik ortopiroksen maupun klinopiroksen. Dibagi
menjadi tiga, yaitu lherzolit, harzburgit, dan wherlit.
9
Gambar 2.2 Diagram Klasifikasi Batuan Ultrabasa Plutonik Menurut Streckeisen (1974)
Menurut (Waheed, 2009), mobilitas dari suatu unsur yang dijumpai pada batuan
ultramafik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Elemen yang bersifat sangat larut dan sangat mobile. Mudah hilang dalam profil
pelapukan dan sangat larut dalam air tanah (sedikit asam), seperti Mg, Si, Ca, Na.
2. Elemen bersifat tidak larut dan tidak mobile. Tidak dapat larut dalam air tanah,
sebagian besar unsur-unsurnya merupakan penyusun dari residu tanah (residual
soil), seperti Fe3+ (ferric), Co, Al, Cr.
10
3. Elemen dengan daya larut terbatas dan mobilitas terbatas. Sebagian larut dalam air
tanah yang bersifat asam, seperti Ni, Fe2+ (ferrous).
Pada umumnya endapan nikel terdapat dalam dua bentuk, yaitu berupa nikel sulfida dan
nikel laterit. Smith (1992) menjelaskan bahwa laterit merupakan regolith atau tubuh batuan
yang mempunyai kandungan Fe yang tinggi dan telah mengalami pelapukan, termasuk di
dalamnya profil endapan material hasil transportasi yang masih tampak batuan asalnya.
Endapan nikel laterit terbentuk setelah batuan beku yang tersingkap di permukaan dan
mengalami pelapukan secara terus-menerus yang mengakibatkan batuan menjadi rentan
terhadap proses pencucian. Sedangkan menurut Evans (1933), endapan nikel residual terbentuk
karena tingginya intensitas pelapukan kimia batuan yang mengandung Ni di daerah tropis,
batuan tersebut adalah Peridotit, Serpentinit, dan beberapa batuan lainnya. Serpentinisasi
Peridotit akan merubah Olivin menjadi Serpentin dan akan membentuk mineral pembawa Ni
berupa Garnierit.
Menurut Waheed (2009), pelapukan adalah alterasi fisik dan kimia batuan atau mineral
yang berlangsung pada permukaan atau dekat dengan permukaan bumi. Proses alterasi ini
bekerja terhadap fase pembentukan mineral / batuan baru yang keseimbangannya lebih baik
dengan kondisi kelembapan suhu, dan aktivitas biologis tertentu. (Gambar 2.2). Pelapukan
dapat berlangsung dalam dua cara :
a. Fisik, penghancuran mekanis batuan melalui perantara angin, es, air, tumbuhan, dan
binatang.
b. Kimia, penghancuran batuan melalui proses kimia karena kontak dengan air, oksigen,
karbondioksida, dan asam organik maupun anorganik.
Pelapukan fisik mendominasi di iklim kering dan dingin, sedangkan pelapukan kimia
cenderung mendominasi di iklim yang relatif basah dan hangat. Pelapukan kimia utamanya
terjadi pada batuan mafik dan ultamafik yang mengawali pembentukan nikel laterit. Pelapukan
kimia dapat dijelaskan sebagai suatu proses dimana batuan bereaksi dengan perantara atmosfer,
hidrosfer dan biologis untuk menghasilkan fase mineral yang lebih stabil (Waheed, 2009).
Pelapukan kimia terbagi dalam 4 proses :
a. Hidrolisis, air tanah dan larutan asam yang menghancurkan mineral-mineral dalam
batuan dan menghancurkan struktur kristal.
11
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan nikel laterit dan antara faktor -
faktor tersebut saling terkait. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Batuan Asal
Dalam hal ini pada batuan ultramafik mempunyai unsur Ni yang paling banyak diantara
batuan lainnya, mempunyai mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti
12
Olivin dan Piroksen, mempunyai komponen - komponen yang mudah larut dan memberikan
lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel.
2. Resistensi mineral pembentuk batuan
Mineral yang terbentuk pada temperatur tinggi, sangat tidak stabil di bawah kondisi
atmosfer, sehingga mineral olivin adalah mineral yang memiliki resistensi rendah.
Mineral berukuran besar memiliki resistensi yang lebih tinggi dibandingkan mineral
berukuran halus.
4. Iklim
Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana terjadi kenaikan dan
penurunan permukaan air tanah juga dapat menyebabkan terjadinya proses pemisahan dan
akumulasi unsur-unsur.
6. Struktur
Batuan beku mempunyai porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga
penetrasi air sangat sulit, maka dengan adanya rekahan-rekahan tersebut akan lebih
memudahkan masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif.
7. Topografi
Topografi berperan pada tingkat pelapukan dan akumulasi dari residu. Pada saat
bersamaan, proses dari laterisasi mengawali perkembangan dari beberapa bentang alam yang
tidak biasa (Gambar 2.3).
a. Run off dari air hujan vs penyerapan air hujan pada profil laterit. Pada lereng curam,
banyak air hujan mengalami run off dan sedikit merembes ke dalam batuan. Hal ini
menunjukkan pelapukan fisik dibandingkan pelapukan kimia. Pada slope yang relatif
landai, air hujan mempunyai kesempatan untuk merembes ke dalam tanah.
13
b. Tingkat pengaliran bawah permukaan. Tempat yang tinggi dan curam memiliki
pengaliran yang lebih baik dibandingkan daerah landai dan datar.
c. Tingkat erosi hasil pelapukan. Tingkat erosi tinggi berusaha memunculkan permukaan
baru akibat pelapukan kimia dan berusaha menghilangkan apapun akumulasi residu.
Umumnya slope dibawah 20⁰ mampu menahan laterit dari erosi.
Gambar 2.4 Pengaruh topografi terhadap proses pembentukan nikel laterit (Waheed 2009)
4. Waktu
Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena
akumulasi unsur nikel cukup tinggi.
Di bawah ini adalah urutan profil nikel laterit dari bawah ke atas menurut Waheed, 2009
(Gambar 2.4) :
Zona ini tersusun oleh batuan dasar yang belum terubah dan merupakan zona terbawah
dalam profil laterit. Pada zona ini pelapukan hanya terjadi pada sepanjang rekahan dan kekar
14
pada batuan. Batas antara batuan dasar dengan saprolit yang berada di atasnya tidak terlalu
terlihat, batas ini tidak merupakan garis lurus horizontal tetapi mengikuti kontur dari
pelapukan.
b. Zona Saprolit
Zona dimana batuan dasar telah mengalami proses pelapukan kimia paling aktif. Zona
saprolit pada umumnya terdapat disekitar muka air tanah, dimana terjadi kondisi yang selalu
basah. Pada zona ini masih dapat terlihat tekstur dan struktur batuan asalnya. Mineral batuan
asalnya pun masih dapat dikenali. Zona saprolit terbagi menjadi bagian yang kasar (hard
saprolite) yang masih berfragmen pada bagian bawah dan berangsur - angsur menjadi lebih
halus pada bagian atas (soft saprolite).
c. Zona transisi
Merupakan zona diantara limonit bagian bawah dengan saprolit bagian atas. Zona ini
mengandung mineral halus seperti Smectite/lempung dan kristal yang keras yaitu kuarsa. Zona
transisi/intermediet mempunyai porositas level tertinggi dalam profil laterit.
Pada zona ini terdapat konsentrasi residual yang maksimal dari unsur - unsur yang tidak
mobile contohnya Fe. Secara ekstrim mineral - mineral yang tak terlarut dapat hadir dalam
zona ini seperti Spinel, Magnetit, dan Talk primer. Struktur batuan dasar sudah tidak dapat
dikenali. Bagian atas dari zona Limonit kaya akan Goethite. Goethite dapat terakumulasi dekat
permukaan dan membentuk ferricrete / iron cap.
Akibat penggalian pada massa batuan ini maka akan terjadi ketidakseimbangan pada
lereng yang terbentuk. Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan akibat perubahan
tegangan pada sisi lereng yang terbentuk, yang disebabkan hilangnya beban pada sisi lain
massa batuan akibat pemotongan. Kondisi ini akan menyebabkan terkonsentrasinya tegangan
pada suatu daerah sempit sehingga akan menyebabkan terlampauinya kekuatan massa batuan
oleh tegangan yang terjadi, yang pada akhirnya batuan yang bersangkutan akan pecah/failure.
Adapun maksud analisis kestabilan lereng adalah untuk menentukan faktor keamanan
dari bidang longsor yang potensial. Dalam analisis kestabilan lereng beberapa anggapan telah
dibuat, yaitu :
1. Kelongsoran lereng terjadi di sepanjang permukaan bidang longsor tertentu dan dapat
dianggap sebagai masalah bidang 2 dimensi.
3. Tahanan geser dari massa tanah pada setiap titik sepanjang bidang longsor tidak
tergantung dari orientasi permukaan longsoran, atau dengan kata lain kuat geser tanah
dianggap isotropis.
Dalam bidang keteknikan ada 3 macam lereng yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Lereng alami yaitu lereng yang terbentuk karena proses-proses alam, misalnya lereng
suatu bukit.
2. Lereng yang dibuat dalam tanah asli, misalnya tanah yang dipotong untuk pembuatan
jalan atau saluran air untuk keperluan irigasi.
16
3. Lereng yang dibuat dari tanah yang dipadatkan, misalnya tanggul untuk jalan atau
bendungan tanah.
Persamaan kestabilan blok pada bidang miring telah dituliskan untuk kondisi
kesetimbangan batas, artinya gaya penggerak dan gaya penahan longsoran pada keadaan
setimbang. Lereng merupakan suatu permukaan tanah atau batuan yang miring dan memiliki
suatu sudut tertentu terhadap bidang horisontal. Secara prinsip, pada suatu lereng sebenarnya
berlaku dua macam gaya, yaitu gaya penahan dan gaya penggerak. Gaya penahan, yaitu gaya
yang menahan massa dari pergerakan sedangkan gaya penggerak adalah gaya yang
menyebabkan massa bergerak. Lereng akan longsor jika gaya penggeraknya lebih besar dari
gaya penahan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dan studi desain lereng tambang yang dilakukan
dan meliputi tentang faktor keamanan kestabilan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang
faktor keamanan (FK) ditinjau dari intensitas kelongsorannya (Tabel 2.1) menurut Bowles,
1991 yaitu:
Lereng yang stabil memiliki nilai FK (faktor keamanan) yang tinggi dan lereng yang
tidak stabil memiliki nilai FK (faktor keamanan) yang rendah. Faktor keamanan lereng tersebut
nilainya tergantung pada besaran ketahanan geser dan tegangan geser, dimana keduanya
bekerja saling berlawanan arah disepanjang bidang gelincir. Bidang gelincir tersebut terletak
17
pada zona terlemah didalam tubuh lereng. Jika harga FK = 1,25 maka longsor akan berhenti
jika ketahanan geser batuan penyusun mampu menopang geometri lereng yang baru (yang lebih
landai) maka FK nya menjadi lebih tinggi.
Klasifikasi massa batuan terdiri dari beberapa parameter untuk mewakili karakteristik
massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang diskontinuitas dan tingkat pelapukan massa batuan.
Bieniawski (1989) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan yang disebut klasifikasi
geomekanika atau disebut Rock Mass Rating (RMR). Parameter yang digunakan dalam
klasifikasi RMR antara lain:
Tabel 2.2 Tabel Pembobotan Rock Mass Rating (RMR) (Bieniawski, 1989)
18
Rock Quality Designation (RQD) digunakan sebagai indeks untuk menentukan kualitas
massa batuan yang dikembangkan oleh Deere pada tahun 1967 (Bieniawski, 1989). Data yang
diperoleh berasal dari pengeboran geoteknik dalam bentuk inti bor.
Tabel 2.4 Klasifikasi RQD dan kualitas massa batuan (Bieniawski, 1989)
19
Menurut Bieniawski (1989) jarak antar spasi bidang diskontinuitas adalah jarak tegak
lurus antara bidang-bidang lemah seperti kekar dan bidang perlapisan pada massa batuan.
Pengukuran spasi bidang diskontinuitas dilakukan disepanjang garis bentangan (scanline)
pada singkapan batuan.
Hoek, dkk (1995) mengusulkan metode untuk mendapatkan estimasi kekuatan massa
batuan terkekarkan (joint rock mass), berdasarkan pada penilaian ikatan antar struktur pada
massa batuan dan kondisi permukaan struktur geologi tersebut, yang dikenal sebagai Original
Hoek-Brown Criterion. Kriteria ini dimulai dari kekuatan batuan utuh dan kemudian
diperkenalkan faktor-faktor untuk mengurangi kekuatan tersebut berdasarkan pada
karakteristik pada bidang diskontinuitas (joints) didalam massa batuan. Kriteria ini terus
dikembangkan oleh Hoek, dkk (1995) dimasukkan konsep Geological Strength Index (GSI)
21
yang memberikan estimasi pengurangan kekuatan massa batuan karena perbedaan kondisi
geologi. Untuk lebih jelasnya, grafik nilai GSI dapat dilihat pada gambar (Tabel 2.5).
Kekuatan massa batuan tidak hanya bergantung pada kekuatan batuan utuh saja, namun
juga tergantung pada kondisi struktur pada massa batuan tersebut. Massa batuan jika terdiri
dari material yang berbentuk menyudut dengan permukaaan struktur kasar akan lebih kuat dari
pada material yang berbentuk bulat dan permukaan struktur halus. Nilai GSI diperoleh dari
hasil deskripsi geologi dengan berdasarkan struktur dan kondisi permukaan struktur. Nilai GSI
dapat juga didekati dari nilai Rock Mass Rating (RMR) yang diperoleh dari klasifikasi massa
batuan menurut Bieniawski (1989) dengan persamaan sebagai berikut.
Pada tahun 1980, Hoek-Brown mengusulkan suatu hubungan antara tegangan utama
maksimum dan minimum untuk menentukan runtuhan yang terjadi pada batuan utuh (intact
rock) dan batuan retak (broken rock). Kriteria keruntuhan Hoek-Brown juga dikembangkan
untuk dapat memperkirakan kekuatan geser dalam massa batuan yang terkekarkan (jointed rock
mass). Kriteria keruntuhan ini berawal dari hasil penelitian oleh Hoek dan Brown mengenai
mekanisme pecahan batuan utuh dan perilaku massa batuan yang terkekarkan. Hoek - Brown
membuat suatu persamaan yang menggambarkan hubungan antar tegangan utama yaitu (Evert
Hoek, Hoek - Brown Failure Criterion, 2002):
………………………….....……………………………………(2.3)
Keterangan :
σ1’ dan σ3’ adalah tegangan utama efektif mayor dan minor pada runtuhan (failure).
Hoek memperkenalkan konsep kriteria Generalized Hoek - Brown dimana bentuk plot
dari tegangan utama dalam lingkaran Mohr dapat disesuaikan dengan adanya nilai konstanta a
yang dimasukkan dalam Persamaan 2.3 sehingga persamaannya menjadi (Evert Hoek, Hoek -
Brown Failure Criterion, 2002):
22
………...………………………………………………………..…(2.4)
dimana mb merupakan nilai reduksi dari konstanta material mi (Tabel 2.6) dan didapat
dari (Evert Hoek, Hoek - Brown Failure Criterion, 2002):
……………………….....……………………………………………(2.5)
s dan a merupakan konstanta untuk massa batuan yang diberikan dari hubungan (Evert
Hoek, Hoek - Brown Failure Criterion, 2002) :
………………..…………………………...……………………………..(2.6)
23
…………………………..……………...…………………………..(2.7)
D adalah suatu faktor yang tergantung pada tingkat gangguan terhadap massa batuan
akibat dari efek peledakan dan redistribusi tegangan. Nilai faktornya bervariasi mulai dari 0
untuk massa batuan yang tidak terganggu (undisturbed) hingga 1 untuk massa batuan yang
terganggu (disturbed). Kekuatan tekan uniaksial diperoleh dengan σ3 = 0, dalam Persamaan
2.4 sehingga (Evert Hoek, Hoek - Brown Failure Criterion, 2002):
………………………………………..……………………………………...…(2.8)
………………………...………………………………………………………..(2.9)
Persamaan 2.9 diperoleh berdasarkan nilai σ1 = σ3 = σt. Sebagai catatan bahwa pada
GSI= 25 untuk koefisien-koefisien s dan a (Hoek dan Brown) sudah dieliminasi di dalam
Persamaan 2.6 dan Persamaan 2.7.
Nilai numeris dari a dan s, yang diperoleh dari persamaan ini, sangat dekat dengan nilai
pada persamaan sebelumnya. Tegangan normal dan geser dihubungkan dengan tegangan utama
sehingga menghasilkan persamaan (Evert Hoek, Hoek - Brown Failure Criterion, 2002):
………………...………………………………………….(2.10)
…………………………………………………………………….(2.11)
……………………………………………………………(2.12)
Modulus deformasi pada massa batuan diperoleh dari (Evert Hoek, Hoek - Brown
Failure Criterion, 2002) :
………………………………………………………...(2.13a)
Persamaan di atas (Persamaan 2.13a) berlaku untuk σci 100 MPa. Sedangkan σci >
100 MPa gunakan Persamaan 2.13b (Evert Hoek, Hoek-Brown Failure Criterion, 2002).
……………………………………………………………..(2.13b)
24
Catatan bahwa persamaan yang diusulkan oleh Hoek dan Brown sudah dimodifikasi,
dengan memasukkan faktor D sebagai perwujudan efek peledakan dan redistribusi tegangan
akibat penggalian.
Coulomb (1773) membuat sebuah kriteria kuat geser yang cukup sederhana tetapi
sangat banyak digunakan hingga saat ini. Coulomb berpendapat bahwa runtuhan (failure)
sepanjang bidang permukaan geser dapat ditahan oleh kohesi material serta sebuah konstanta
yang dikalikan dengan tegangan normal.
Banyak nama peneliti yang digunakan untuk menyebutkan Persamaan 2.14 seperti,
kriteria Coulomb-Navier. Penulis-penulis lainnya menyebutnya dengan kriteria Mohr-
Coulomb karena garis linier pada selubung kekuatan Mohr memiliki kriteria yang sama dengan
garis linier pada kriteria Coulomb. Tetapi perlu diingat bahwa kriteria Mohr dan Coulomb pada
dasarnya berbeda. Grafik kriteria Mohr-Coulomb dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.6 Kurva Hubungan Tengangan Geser dan Tegangan Normal Kriteria Keruntuhan
Mohr-Coulomb
Kriteria Coulomb (1773) merupakan kriteria linier yang menunjukkan bahwa tegangan
geser τ bergantung pada o yang merupakan kekuatan geser dalam material dan konstanta τ
yang merupakan koefisien geser internal sedangkan kriteria Mohr (1900), berbentuk selubung
yang cekung ke bawah yang menunjukkan bahwa tegangan geser τ merupakan fungsi dari
tegangan τ~.
…………………………………………………………………………...(2.14)
25
a. Metode yang tidak memenuhi semua kondisi kesetimbangn gaya dan momen antara
lain Metode Irisan Biasa, Metode Bishop yang Disederhanakan, dan Metode Janbu yang
Disederhanakan.
b. Metode yang memenuhi semua kondisi kesetimbangan gaya dan momen antara lain
Metode Spencer, Metode Morgenstern-Price, dan Metode Kesetimbangan Batas
Umum.
Pada pengupasan tanah lapisan penutup atau top soil pada penambangan nikel laterit
akan terbentuk lereng highwall yang terdiri dari lereng tunggal (single slope) dan lereng
keseluruhan (overall slope) (Gambar 2.8).
Dalam mendesain lereng tambang terbuka ada terdapat tiga komponen utama. Yang
pertama adalah sudut kemiringan pit secara keseluruhan (overall pit slope angel) puncak (crest)
hingga (toe), gabungan ramp dan bench. Hal ini memungkinkan variasi dalam mendesain
kemiringan lereng. Lereng dibuat lebih landai pada material lemah dan lebih curam pada
material yang kompak. Variasi slope angel juga bergantung pada kondisi geologi dan layout
ramp. Komponen yang kedua adalah inter- ramp slope yaitu sudut yang dibentuk antara dua
ramp. Dan komponen ketiga adalah bench face angel yaitu sudut lereng yang dibentuk oleh
gabungan beberapa jenjang diantara dua jalan angkut ( Wyllie dkk, 2004).
27
KAJIAN PUSTAKA
Sulawesi terletak pada zona konvergen antara tiga lempeng lithosfer, yaitu Lempeng
Australia yang bergerak ke utara, pergerakan ke barat Lempeng Pasifik, dan pergerakan
Lempeng Eurasia ke selatan-tenggara (Sidi dkk, 2000) (Gambar 3.1).
Batuan dan struktur dari bagian timur dan tenggara Sulawesi terdiri dari busur
asimetrik dari ofiolit, melange, sedimen imbrikasi, dan batuan metamorf hasil dari subduksi
(Hamilton, 1979). Geologi Sulawesi timur tersusun oleh dua zona melange, yang terangkat
sebelum dan sesudah Miosen. Melange yang terletak pada bagian selatan dan barat tersusun
dari batuan sekis yang berorentasi ke arah tenggara dengan disertai beberapa batuan ultramafik
relatif kecil yang penyebarannya terbatasMelange berumur (Miosen-Miosen akhir) menutupi
bagian tengah dan timur laut Sulawesi. Proses pengangkatan secara intensif terjadi di sini
(Golightyl, 1979 dalam Suratman, 2000). Diperkirakan bahwa pengangkatan ini disebabkan
oleh sesar turun dari kerak lautan sekitar kepulauan Banggai. Di bagian selatan zona melange
ini terdapat kompleks batuan ultramafik Sorowako-Bahudopi yang dimana merupakan
termasuk ke dalam lokasi penelitian, pada daerah Sorowako-Bahudopi pengangkatannya relatif
tidak terlalu intensif dengan luas sekitar 11.000 km, diselingi oleh blok-blok sesar dari
batugamping laut dalam yang berumur Kapur dan diselingi rijang.
28
29
Daerah Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah dengan tatanan geologi yang sangat
kompleks. Menurut Sompotan (2012), Selama Kapur Awal terjadi pemekaran lantai samudera
pada Samudera Pasifik di sebelah timur Pulau Sulawesi yang sekarang. Kemudian pada Kapur
Akhir, daerah sulawesi bagian timur berkembang sebagai cekungan laut dalam, tempat sedimen
pelagik diendapkan sejak zaman Jura di atas batuan dasar ofiolit.
Pada Kala Paleosen, Sulawesi bagian timur mengalami shoaling dan diendapkan batuan
karbonat air dangkal (Formasi Lerea). Pengendapan batuan karbonat di daerah ini berlanjut
hingga Miosen Awal (Formasi Takaluku). Pada Kala Eosen hingga Oligosen terjadi obduksi
pada Zona Ofiolit dengan Mikrokontinen Australia pada bagian barat yang menyebabkan
ofiolit terangkat sebagian ke permukaan. Lalu pada kala Miosen Awal terjadi subduksi akibat
pergerakan mikrokontinen Banggai Sula ke arah barat. Zona subduksi dengan kemiringan ke
barat yang dimulai sejak Miosen ini menghasilkan vulkanik Tersier Awal di Daerah Sulawesi
30
Bagian Barat, dan proses shoaling laut di daerah Sulawesi Bagian Timur, begitu pula di Daerah
Banggai-Sula.
Magmatisme yang kuat di Daerah Sulawesi Bagian Barat selama Miosen Tengah
berkaitan dengan dengan proses tekanan batuan dalam Daerah Sulawesi Bagian Timur akibat
pergerakan Mikro Benua Banggai-Sula ke arah barat. Saat Miosen Akhir terjadi kolisi akibat
tumbukan Mikrokontinen Banggai Sula dengan Mikrokntinen Australia. Peristiwa tektonik ini
mengangkat dan menganjak hampir keseluruhan material di dalam Daerah Sulawesi Timur,
batuan ofiolit teranjak dan terimbrikasi dengan batuan yang berasosiasi termasuk melange.
Pada bagian lain, ofiolit di bagian timur menyusup ke arah timur ke dalam sedimen
Mesozoikum dan Paleogen dari Daerah Banggai-Sula. Selama pengangkatan seluruh daerah
Sulawesi yang terjadi sejak Miosen Akhir, sesar turun (block-faulting) terbentuk di berbagai
tempat membentuk cekungan berbentuk graben (Gambar 3.2).
Lokasi
Penelitian
Lokasi
Penelitian
Lokasi
Penelitian
Lokasi
Penelitian
Saat Pliosen, seluruh area didominasi oleh block faulting dan sesar utama seperti sesar
Palu-Koro dan sesar Matano. Pergerakan epirogenik setelahnya membentuk morfologi Pulau
Sulawesi yang sekarang. Peristiwa tektonik ini menghasilkan cekungan laut dangkal dan sempit
di beberapa tempat dan beberapa cekungan darat terisolasi. Batuan klastik kasar terendapkan
di cekungan-cekungan ini dan membentuk Molasse Sulawesi.
Pulau Sulawesi juga memiliki banyak sesar yang berkembang di dalamnya. Menurut
Sompotan (2012), pemicu terbentuknya sesar-sesar di Sulawesi adalah gabungan antara Mikro-
kontinen Benua Australia dan Mikro-kontinen Sunda yang terjadi sejak Miosen. Pergerakan
dari pecahan lempeng Benua Australia tersebut relatif ke arah barat. Adanya sesar utama seperti
Sesar Palu-Koro, Sesar Matano, dan Sesar Walanae juga memberikan peranan dalam
pembentukan sesar-sesar kecil di sekitarnya.
Daerah penelitian termasuk kedalam Formasi Kompleks Ultramafik pada Geologi Lembar
Bungku (Simandjuntak,dkk.1993) (Gambar 3.3). Satuan Batuan yang ditemukan pada Lembar
Bungku dapat dikelompokkan dan ditempatkan dalam dua Mandala, yaitu Mandala Banggai-
Sula dan Mandala Sulawesi Timur. Mandala Banggai-Sula meliputi Formasi Tokala (TR Jt)
terdiri atas batugamping klastika dengan sisipan batupasir sela, diduga berumur Trias - Jura
Awal. Formasi Tokala ditindih secara selaras oleh Formasi Nanaka (Jn) yang terdiri atas
konglomerat, batupasir kuarsa mikaan, serpih dan lensa batubara yang diperkirakan berumur
Jura Akhir. Formasi Masiku (KJn) terdiri dari batusabak, filit, batupasir, batugamping, berumur
Jura Akhir - Kapur Awal. Formasi Salodik (Tems) diendapkan pada Eosen Akhir - Miosen
Awal terdiri atas kalsilutit, batugamping pasiran dan batupasir.
Mandala Sulawesi Timur meliputi Kompleks Ultramafik (Ku) yang sampai saat ini
umumya masih dianggap yang paling tua. Batuannya terdiri dari harzburgit, lherzolit, wehrlit,
websterlit, serpentinit, dunit dan gabro. Secara tektonik Kompleks Ultramafik menindih
satuan batuan yang berumur Mesozoikum, baik dari Mandala Banggai-Sula ataupun Mandala
Sulawesi Timur. Formasi Matano (Km) terdiri atas kalsilutit hablur bersisipan napal, serpih
dan rijang diduga berumur Kapur Akhir. Formasi Matano secara tak selaras tertindih oleh
Formasi Tomata (Tmpt) yang terdiri dari atas batupasir, lempung, tuf, dan konglomerat dengan
sisipan lignit, yang diperkirakan berumur Miosen Akhir - Pliosen. Di beberapa tempat terdapat
aluvium (Qa) yang menindih secara tak selaras Formasi Tomata. Aluvium berupa endapan
sungai, pantai rawa dan danau, terdiri dari atas kerikil, kerakal, pasir lempung dan sisa
32
tumbuhan. Endapan muda tersebut diduga berumur Plistosen - Holosen. Batuan yang
tersingkap di daerah penelitian berumur Kapur (Simandjuntak, dkk. 1993) (Gambar 3.3).
Lokasi
Penelitian
Gambar 3.3 Daerah Penelitian Pada Peta Geologi Lembar Bungku, Sulawesi Oleh
Simandjuntak, dkk (1993)
Stratigrafi regional pada Geologi Lembar Bungku menurut Simandjuntak, dkk (1993)
disusun oleh:
a. Endapan Alluviual : Lumpur, lempung, pasir, kerikil, dan kerakal. Lempung, berwarna
coklat muda sampai coklat tua; kelabu tua sampai kehitaman berselingan dengan pasir,
kerikil dan kerakal. Sebagian endapan danau agak padat. Tebal lapisannya beberapa cm
sampai puluhan cm. Pasir, berwarna coklat, berbutir halus sampai kasar, perlapisan
buruk dan tidak padat. Tebalnya dari beberapa cm sampai puluhan cm. Setempat
membentuk struktur perlapisan bersusun, mengandung sisa tumbuhan. Kerikil dan
kerakal, bersifat lepas dan kemas terbuka; komponennya berukuran sampai 5 cm,
membulat-tanggung sampai membulat, terdiri atas kepingan batuan ultramafik,
sedimen malih, kuarsit, batugamping terdaunkan dan rijang. Aluvium berupa endapan
33
sungai, rawa, danau dan pantai; diperkirakan berumur Plistosen - Holosen. Sebarannya
terdapat di sepanjang tepi danau dan pantai timur Lembar Bungku.
b. Formasi Matano : Kalsilutit, napal, serpih dan rijang. Kalsilutit, berbutir halus,
berwarna kelabu, padat dan keras, lapisannya baik, tebal lapisan berkisar antara 10 -
15 cm. Napal, berwarna, kelabu, berlapis baik, padat dan keras. Tebal masing-masing
lapisan mencapai 15 cm. Setempat sisipan rijang setebal 10 cm. Serpih, benvama
kelabu, berlapis baik, padat. Tebal tiap lapisannya sampai 5 cm. Rijang, berupa sisipan
dalam batugamping dan napal. Tebal sisipan sampai 10 cm, berwarna merah sampai
coklat kemerahan. Berdasarkan kandungan fosil Heterohelix sp., dalam batugamping,
dan Radiolaria dalam rijang, Formasi Matano diduga berumur Kapur Akhir (Budiman,
1980, hubungan tertulis); berlingkungan pengendapan laut dalam.
c. Formasi Tomata : Perselingan batupasir konglomerat, batulempung dan tuf dengan
sisipan lignit. Batupasir, berwarna kelabu kuning kecoklatan, kelabu sampai coklat,
berbutir halus sampai kasar kerikilan, berlapis baik, di beberapa tempat terdapat lapisan
bersusun tebal lapisan mencapai 30 cm, kurang padat sampai padat, komponen
kepingan batuan, kuarsa dan mineral hitam; setempat gampingan. Juga ditemukan
batupasir hijau berbutir kasar, hampir seluruhnya terdiri dari batuan
ultramafik. Konglomerat, berkomponen sampai 10 cm, sesekali 30 cm; membulat-
tanggung sampai membulat; terekat padu oleh batupasir kasar berwarna kecoklatan;
setempat gampingan; komponen berupa batuan ultramafik, batugamping terdaunkan,
kuarsit, dan rijang. Pilahan dan kemas umumnya kurang baik. Tebal lapisan minimum
40 cm; ditemukan perlapisan bersusun. Batulempung, bewarna kelabu, kecoklatan
sampai coklat kemerahan; setempat bersifat gampingan; mengandung fosil moluska.
Setempat ada jejak daun, sering ada kongkresi oksida besi, berukuran mencapai 10 cm,
atau berupa sisipan setebal 3 cm. Perlapisan kurang baik sampai cukup baik, umumnya
kurang padu, kecual di beberapa tempat. Tebal tiap lapisan sampai 400 cm. Tuf,
berbutir halus sampai sedang, berwarna kelabu muda sampai kelabu tua, kurang padu
sampai padu, perlapisan cukup baik, dengan tebal masing-masing lapisan sampai 15
cm. Lignit, berwarna kelabu kehitaman; kurang padat; berupa sisipan dalam
batulempung dengan tebal sampai 200 cm.
d. Kompleks Ultramafik : Harzburgit, lherzolit, wehrlit, websterit, serpentinit, dunit,
diabas dan gabro.
34
Gambar 3.4 Korelasi Satuan Peta Dari Peta Geologi Regional Lembar Bungku
(Simandjuntak, dkk 1993)
Harzburgit, berwana hijau sampai kehitaman, padat dan pejal setempat ada perhaluan
mineral; tersusun dan mineral halus sampai kasar, terdiri atas olivin (sekitar 55%), dan piroksen
(sekitar 35%), serta mineral serpentin sebagai hasil ubahan piroksen dan olivin (sekitar 10%).
Lherzolit, berwarna hijau kehitaman, pejal dan padat, berbutir sedang sampai kasar
hipidiomorf. Batuan terutama terdiri dari mosaik olivin dan piroksen-klino atau piroksenorto;
epidot merupakan mineral ikutan. Nampaknya batuan ini telah mengalami gejala penggerusan
yang dicirikan oleh pelengkungan pada kembaran polisintesis dan pada mineral piroksen.
Werhlit berwarna kehitaman, pejal dan padat, berbutir halus sampai kasar, alotriomoif. Batuan
terutama terdiri atas olivin, dan kadang-kadang piroksen klino. Mineral olivin, dan piroksen
hampir seluruhnya memperlihatkan retakan dalam jalur memanjang yang umumnya terisi
serpentin dan talkum, strukturnya menyerupai jala. Mineral olivine selain terubah jadi serpentin
35
dan talk, juga jadi igningsit coklat kemerahan. Websterit, berwarna hijau kehitaman, padat dan
pejal. Serpentin hasil ubahan olivin dan piroksen terutama mengisi rekahan kristal tembah, dan
membentuk struktur jala. Serpentinit, berwarna kelabu tua sampai hijau kehitaman, pejal dan
padat. Mineral penyusunnya terdiri dari antigont, lempung dan magnetit, berbutir halus, dengan
retakan tidak teratur, yang umumnya terisi magnetit hitam kedap. Mineral lempung berwarna
kelabu, sangat halus, berkelompok pada beberapa tempat. Diabas, berwarna kelabu, kelabu
kehijauan sampai hitam kehijauan, padat dan pejal, berbutir halus sampai sedang, setempat
hablur penuh. Mineral penyusunnya terdiri atas plagioklas, ortoklas, piroksen dan bijih, jenis
plagioklasnya labradorit. Di beberapa tempat batuan terubah kuat. Dunit, berbutir halus sampai
kasar, berwarna kehijauan, kelabu kehijauan sampai kehitaman, pejal dan padat. Setempat
tampak porfiroblastik. Susunan mineral terdiri atas olivin (sekitar 90%), piroksen, plagiokias,
dan bijih; mineral ubahan terdiri dari serpentin, talkum, dan klorit, masing-masing hasil ubahan
olivin dan piroksen.
37
BAB IV
a) Morfografi adalah susunan dari objek alami yang ada di permukaan bumi, bersifat
pemerian atau deskriptif suatu bentuk lahan, yaitu lembah, bukit, perbukitan, dataran
pegunungan, teras sungai, tebing pantai, kipas aluvial, plato, dan lain–lain.
b) Morfometri adalah aspek kuantitatif dari suatu aspek bentuk lahan, yaitu kelerengan,
bentuk lereng, panjang lereng, ketinggian, bentuk lembah, dan pola pengaliran.
Berikut klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam, 1983).
2. Morfogenesis adalah asal usul pembentukan dan perkembangan bentuk lahan serta proses -
proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalah struktur geologi, litologi penyusun,
dan proses geomorfologi. Morfogenesis meliputi:
dinamis termasuk gunung api, tektonik (lipatan dan sesar), seperti: gunung api,
pegunungan antiklin, dan gawir sesar.
c) Morfodinamik, berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga air, es,
gerakan masa, dan kegunungapian. Bentuk lahan yang berkaitan erat dengan hasil
kerja gaya eksogen (air, es, angin, dan gerakan tanah) seperti gumuk pasir, undak
sungai, pematang pantai, dan lahan kritis.
Berdasarkan pembagian satuan bentuk lahan, maka lokasi penelitian dibagi menjadi 3
satuan bentuk lahan menurut Van Zuidam (1983) dan Lourant (2003), yaitu Bentuk Lahan
Bukitan Denudasional (D1), Bentuk Lahan Lereng Denudasional (D2), dan Bentuk Lahan
Bukaan Tambang (A1) .
Satuan bentuk lahan dengan bentuk asal Denudasional ini menempati luasan 25% dari
seluruh lokasi penelitian. Penyebaran bentuk lahan ini dengan pola utara-selatan, dengan
litologi dominan penyusunnya adalah batuan ultramafik yaitu Batuan Beku Peridotit dan
Serpentinit yang telah mengalami proses pelapukan (laterisasi).
Satuan ini dicirikan dengan morfografi perbukitan dan morfometri memiliki lereng
datar-miring dan berada pada ketinggian 300-350 mdpl, dan memiliki bentuk lembah U. Satuan
ini dicirikan dengan morfogenesis yaitu, morfostruktur aktif pengangkatan (obduksi),
morfosturktur pasif tersusun atas batuan peridotit dan serpentinit yang telah mengalami proses
pelapukan menjadi tanah laterit, morfodinamik pelapukan (laterisasi). Proses-proses yang
berkaitan dengan hasil kerja struktur geologi berupa kekar tidak terlalu banyak pada bentuk
lahan ini. (Gambar 4.1)
39
Bukit Denudasional
Gambar 4.1 Kenampakan Bentuk Lahan Perbukitan Laterit, Diambil Dari LP 48 Dengan
Arah Kamera N 283° E
Satuan bentuk lahan dengan bentuk asal Denudasional ini menempati luasan 45% dari
seluruh lokasi penelitian. Penyebaran bentuk lahan ini memiliki pola kemiringan dengan arah
relatif barat dan timur, dengan litologi dominan penyusunnya adalah batuan ultramafik yaitu
Batuan Beku Peridotit dan Serpentinit yang telah mengalami proses pelapukan (laterisasi).
Satuan ini dicirikan dengan morfografi lereng dan morfometri memiliki lereng miring-
sangat curam dan berada pada ketinggian 200-300 mdpl, dan memiliki bentuk lembah U-V.
Satuan ini dicirikan dengan morfogenesis yaitu, morfostruktur aktif pengangkatan (obduksi),
morfosturktur pasif tersusun atas batuan peridotit dan serpentinit yang telah mengalami proses
pelapukan menjadi tanah laterit, morfodinamik pelapukan (laterisasi). Proses – proses yang
berkaitan dengan hasil kerja struktur geologi berupa kekar cukup banyak ditemukan pada
bentuk lahan ini. (Gambar 4.2)
40
Lereng Denudasional
Gambar 4.2 Kenampakan Bentuk Lahan Lereng Laterit, Diambil dari LP 64 Dengan Arah
Kamera N 278° E
Satuan bentuk lahan ini menempati luasan 30% dari seluruh lokasi penelitian.
Penyebaran bentuk lahan ini pada daerah selatan, dengan litologi dominan penyusunnya adalah
batuan ultramafik yaitu Batuan Beku Peridotit dan Serpentinit yang telah mengalami proses
pelapukan (lateritisasi) dan terkena hasil aktivitas tambang menjadi lahan bukaan
pertambangan nikel.
Satuan ini dicirikan dengan morfografi perbukitan dan morfometri memiliki lereng
landai-curam dan berada pada ketinggian 250-330 mdpl, dan memiliki bentuk lembah U-V.
Satuan ini dicirikan dengan morfogenesis yaitu, morfostruktur aktif pengangkatan (obduksi),
morfosturktur pasif tersusun atas batuan peridotit dan serpentinit yang telah mengalami proses
pelapukan menjadi tanah laterit, morfodinamik pelapukan (laterisasi). Proses – proses yang
berkaitan dengan hasil kerja struktur geologi berupa kekar cukup banyak ditemukan pada
bentuk lahan ini. (Gambar 4.3)
41
Lahan Bukaan
Tambang
Dalam penyusunan laporan tugas akhir ini penenliti menyusun urutan stratigrafi
berdasarkan satuan litodem mengacu pada SSI (Sandi Stratigrafi Indonesia). Pembagian satuan
litodemik dimaksudkan untuk menggolongkan batuan beku, metamorf dan batuan lain yang
terubah kuat menjadi satuan-satuan bernama yang bersendi kepada ciri litologinya. Penentuan
satuan litostratigrafi di daerah telitian didasarkan pada kesatuan ciri-ciri litologi yang dominan.
Daerah telitian tersusun atas satu satuan litodemik.
Satuan peridotit didominasi oleh singkapan peridotit baik yang sudah mengalami proses
laterisasi sebagai Zona Saprolit dan Zona Limonit maupun yang belum mengalami laterisasi
yang disebut sebagai Zona Bedrock.
Sebaran secara horisontal satuan ini menempati 35 % dari luas lokasi penelitian.
Persebaran batuan yang masih fresh dipermukaan dapat ditemukan di Hauling Road ataupun
lereng-lereng bukit yang belum mengalami laterisasi secara sempurna, dan dapat
42
diinterpretasikan bahwa basement dari daerah persebaran ini adalah batuan ultramafik yang
dibuktikan dengan ditemukan soil hasil laterisasi batuan ultramafik.
Ciri litologi Litodem Peridotit adalah mayoritas mineralnya yang dipenuhi piroksen.
Kadang, pada batuan ini ditemukan memiliki tingkat serpentinisasi rendah yang mengisi pada
rekahan - rekahan. Berdasarkan pengamatan pada singkapan Lokasi Pengamatan 26, satuan
Peridotit dicirikan dengan : warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat kekuningan,
Derajat Kristalisasi holokristalin, Derajat Granuralitas Fanerik halus-kasar, Bentuk Kristal
Subhedral-Anhedral, Relasi Equigranular Hipidiomorfik Granular, komposisi mineral Olivin
15%, Piroksen 65%, 10% garnierit (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 (A) Kenampakan Singkapan Peridotit LP 26 Dengan Arah Kamera N 302° E,
(B) Kenampakan Batuan Peridotit
43
Pada daerah Satuan Peridotit juga ditemukan beberapa litologi Serpentinit, seperti pada
singkapan Lokasi Penelitian 30, ditemukan batuan Serpentinit dengan deskripsi : warna segar
hijau kebiruan, warna lapuk coklat, struktur non-foliasi, tekstur kristaloblastik - nematoblastik
dengan komposisi mineral Olivin 5%, Piroksen 10%, Serpentin 55%, dan Chrysotille 25%.
(Gambar 4.5).
Gambar 4.5 (A) Kenampakan Singkapan Peridotit LP 30 Dengan Arah Kamera N 29° E,
(B) Kenampakan Batuan Serpentinit
Dilakukan analisis petrografi pada batuan yang berada pada lokasi pengamatan 26 untuk
mengetahui lebih jauh tentang karakteristik dan komposisi mineral yang ada pada batuan
dengan pendekatan secara mikroskopis. Analisis dilakukan di laboratorium menggunakan
mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 4x dan lensa okuler 10x. Sayatan tipis batuan beku
plutonik ultramafik ini memiliki deskripsi batuan sebagai berikut : warna absorbsi netral -
kecoklatan, indeks warna 80%, Derajat Kristalinitas Holokristalin, Granularitas Fanerik
sedang-kasar, Bentuk Kristal Subhedral-Anhedral, Ukuran Kristal 0,5mm-5mm, Relasi
44
Inequigranular Hipidiomorfik, memiliki tesktur khusus Mesh Structure pada mineral Olivin.
Disusun oleh mineral Olivin (5L) 60%, Clinopiroksen (2D) 7%, Orthopiroksen (4C) 25%,
Antigorit (3E) 5%, dan Opaq (7I) 3 %. Nama batuannya adalah Hazburgit menurut Streckeisen
(1973) (Gambar 4.6).
Penentuan umur mengacu pada stratigrafi Lembar Bungku (Simandjuntak dkk, 1993).
Daerah telitian yang termasuk kedalam Formasi Kompleks Ultramafik yang tersusun atas
batuan ultramafik dan batuan metamorf, didapatkan bahwa umur batuan ultramafik di daerah
Keuno berkisar antara 141 + sampai 100 juta tahun yang lalu (Kapur awal – Kapur akhir).
(Gambar 4.7).
Gambar 4.7 Korelasi Satuan Peta (Umur berdasarkan Simandjuntak, dkk. 1993)
45
Penentuan lingkungan pengendapan pada satuan ini berdasarkan ciri-ciri litologi yaitu
dengan kandungan mineral mafik yang tinggi. Litodem ini termasuk kedalam batuan ofiolit
dengan kandungan mineral mafik yang mendominasi dan hanya dapat terbentuk akibat
pembekuan magma di bawah permukaan yaitu pada kerak samudra.
Penamaan satuan serpentinit didasarkan kepada litodemik yang didasarkan oleh ciri
litologi yang dominan. Litodem serpentinit didominasi oleh mineral serpentin.
Sebaran secara horisontal satuan ini menempati 65 % dari luas lokasi penelitian.
Persebaran batuan yang masih fresh dipermukaan dapat ditemukan di lereng - lereng, alur liar
ataupun daerah sekitar pit, dan dapat diinterpretasikan bahwa basement dari daerah persebaran
ini adalah batuan ultramafik yang dibuktikan dengan ditemukan soil hasil laterisasi batuan
ultramafik.
Ciri litologi Litodem Serpentinit yang dominan adalah batuan peridotit yang sudah
mengalami serpentinisasi. Tingkat serpentinisasi pada satuan ini ditemukan kebanyakan
mengisi pada rekahan - rekahan dengan tingkat serpentinisasi mulai dari serpentinisasi rendah
sampai serpentinisasi tinggi, dan dipenuhi mineral mineral serpentin. Berdasarkan pengamatan
pada singkapan Lokasi Pengamatan 85, satuan Serpentinit dicirikan dengan : warna segar hijau
kebiruan, warna lapuk coklat, Struktur Non-Foliasi, Tekstur Kristaloblastik-Nematoblastik,
dengan komposisi mineral Serpentin 60%, Chrysotille 25%, dan Piroksen 15% (Gambar 4.8).
46
Gambar 4.8 (A) Kenampakan singkapan Serpentinit LP 85 Dengan Arah Kamera N 77° E,
(B) Kenampakan Batuan Serpentinit
Pada daerah Satuan Serpentinit juga ditemukan beberapa litologi Peridotit, seperti pada
singkapan Lokasi Penelitian 86, ditemukan batuan Peridotit dengan deskripsi : warna segar abu-
abu kehitaman, warna lapuk coklat kekuningan, Derajat Kristalisasi Holokristalin, Derajat
Granuralitas Fanerik halus-kasar, Bentuk Kristal Subhedral-Anhedral, Relasi Equigranular
Hipidiomorfik Granular, komposisi mineral Olivin 15%, Piroksen 50%, Garnierit 25%, 10%
Chrysotille (Gambar 4.9).
47
Gambar 4.9 (A) Kenampakan Singkapan Peridotit LP 86 Dengan Arah Kamera N 85° E,
(B) Kenampakan Batuan Peridotit
Dilakukan analisis petrografi pada batuan yang berada pada lokasi pengamatan 85 untuk
mengetahui lebih jauh tentang karakteristik dan komposisi mineral yang ada pada batuan
dengan pendekatan secara mikroskopis. Analisis dilakukan di laboratorium menggunakan
mikroskop dengan perbesaran lensa objektif 4x dan lensa okuler 10x. Sayatan tipis batuan
metamorf non-foliasi ini memiliki deskripsi batuan sebagai berikut : warna absorbsi netral –
kecoklatan, Struktur Liniasi, Tekstur Nematoblastik, disusun oleh mineral Olivin (7L) 10%,
Chrysotille (4G) 35%, Antigorit (2F) 50%, dan Opaq (9J) 5%. Nama batuannya adalah
Serpentinit Winkler (1979) (Gambar 4.10).
48
Penentuan umur mengacu pada stratigrafi Lembar Bungku (Simandjuntak dkk, 1993).
Daerah telitian yang termasuk kedalam Formasi Kompleks Ultramafik yang tersusun atas
batuan ultramafik dan batuan metamorf, didapatkan bahwa umur batuan metamorf di daerah
Keuno berkisar antara 141 + sampai 100 juta tahun yang lalu (Kapur awal – Kapur akhir).
(Gambar 4.7).
Penentuan lingkungan pengendapan pada satuan ini berdasarkan ciri-ciri litologi yaitu
dengan kandungan mineral mafik yang tinggi. Litodem ini termasuk kedalam batuan ofiolit
dengan kandungan mineral mafik yang mendominasi dan hanya dapat terbentuk akibat
pembekuan magma di bawah permukaan yaitu pada kerak samudra.
4.3.1 Kekar
Kekar ini berada di lokasi pengamatan 59. Kekar ini didapatkan pada batuan peridotit
terserpentinisasi yang menjadi bedrock pada lokasi pengamatan. Data gambar lokasi
pengamatan dan singkapan serta kekar-kekar berpasangan disajikan dalam bentuk gambar dan
tabel di bawah (Gambar 4.11) (Tabel 4.2).
Gambar 4.11 (A) Kenampakan Struktur Kekar LP 59 Dengan Arah Kamera N 93° E,
(B) Kenampakan Parameter Kekar Berpasangan
50
310 51 258 56
319 52 254 65
306 45 266 60
303 47 270 49
298 49 277 62
323 40 264 70
309 50 297 55
317 41 274 63
321 39 260 59
305 51 271 60
Berdasarkan analisis kekar pada lokasi pengamatan 59 maka didapatkan : shear joint 1
N 308° E/ 48°, shear joint 2 N 274° E/ 66°, tegasan maksimum (T1) 37°, N 292° E, tegasan
menengah (T2) 43°, N 68° E, tegasan minimum (T3) 35°, N 202°E (Gambar 4.12).
Kekar ini berada di lokasi pengamatan 72. Kekar ini didapatkan pada batuan peridotit
terserpentinisasi yang menjadi bedrock pada lokasi pengamatan. Data gambar lokasi
pengamatan dan singkapan serta kekar-kekar berpasangan disajikan dalam bentuk gambar dan
tabel di bawah (Gambar 4.13) (Tabel 4.3).
Gambar 4.13 (A) Kenampakan Struktur Kekar LP 72 Dengan Arah Kamera N 240° E,
(B) Kenampakan Parameter Kekar Berpasangan
230 62 205 46
52
233 59 197 34
235 68 180 40
240 49 220 38
239 51 200 35
255 55 212 44
258 57 208 38
237 59 207 35
243 44 194 39
242 60 193 31
Berdasarkan analisis kekar pada lokasi pengamatan 72 maka didapatkan : shear joint 1
N 236° E/ 58°, shear joint 2 N 202° E/ 39°, tegasan maksimum (T1) 46°, N 38° E, tegasan
menengah (T2) 35°, N 262° E, tegasan minimum (T3) 44°, N 128°E (Gambar 4.14).
Kekar ini berada di lokasi pengamatan 53. Kekar ini didapatkan pada batuan peridotit
terserpentinisasi yang menjadi bedrock pada lokasi pengamatan. Data gambar lokasi
pengamatan dan singkapan serta kekar-kekar berpasangan disajikan dalam bentuk gambar dan
tabel di bawah (Gambar 4.15) (Tabel 4.4).
Gambar 4.15 (A) Kenampakan Struktur Kekar LP 53 Dengan Arah Kamera N 139° E,
(B) Kenampakan Parameter Kekar Berpasangan
265 80 120 75
54
251 78 145 85
255 80 125 70
265 85 140 78
249 77 133 77
252 76 135 80
258 80 136 72
250 82 134 66
261 75 138 71
256 79 129 74
Berdasarkan analisis kekar pada lokasi pengamatan 53 maka didapatkan : shear joint 1
N 255° E/ 79°, shear joint 2 N 133° E/ 74°, tegasan maksimum (T1) 31°, N 97° E, tegasan
menengah (T2) 58°, N 273° E, tegasan minimum (T3) 3°, N 7° E (Gambar 4.16).
4.3.2 Sesar
Struktur sesar yang terdapat di lapangan khususnya lokasi penelitian didasarkan pada
ciri-ciri dari sesar seperti bidang sesar, arah breksiasi, offset batuan dan bukti pergerakan di
lapangan. Analisis sesar dilakukan pada lokasi penelitian dengan menggunakan data
pengukuran bidang sesar dan bukti pergerakan di lapangan. Kemudian dilakukan pengolahan
data dengan metode stereografis sedangkan penamaan menggunakan klasifikasi Rickard,1972.
Sesar Kanan Naik Keuno ini merupakan sesar-sesar minor yang terbentuk dari sesar-
sesar utama yang membentuk daerah Sulawesi Tengah, sesar ini berada di utara di LP 64. Sesar
ini dijumpai pada Satuan peridotit terserpentinisasi. Sesar keuno ini ditandai dengan adanya
pembelokkan alur liar ke arah barat laut melalui kenampakan peta topografi (Gambar 4.17).
Gambar 4.17 (A) Kenampakan Singkapan Bidang Sesar Dengan Arah Kamera N 201°E,
(B) Kenampakan bidang sesar dan gores garis
56
Indikasi sesar yang dijumpai di Lokasi Penelitian 64 yaitu berupa bidang sesar dan
gores garis. Kedudukan bidang sesar yaitu N 200° E/ 72°, netslip 67°, N 249° E dan rake 68°
dengan arah pergerakan relatif ke kanan. Berdasarkan data lapangan dan hasil analisis
stereografis diperoleh nama sesar Right Reverse Slip Fault (Rickard, 1972) (Gambar 4.18).
Indikasi sesar ini ditemukan di luar lokasi penelitian, tepatnya berada di alur liar pada
daerah timur dari lokasi penelitian. Sesar ini merupakan sesar yang terbentuk hasil produk dari
sesar-sesar utama yang membentuk daerah Sulawesi Tengah. Sesar ini dijumpai pada Satuan
Serpentinit. Indikasi sesar yang dijumpai di daerah telitian yaitu berupa struktur breksiasi
beserta shear fracture dan gash fracture (Gambar 4.19).
57
Gambar 4.19 (A) Kenampakan Zona Hancuran Dengan Arah Kamera N 83o E, (B)
Kenampakan Breksiasi, Shear Fracture, dan Gash Fracture
Daerah keuno tersusun dari peridotit dan serpentinit yang mulai terbentuk pada zaman
Kapur Awal (120 Ma.), batuan ini diperkirakan berasal dari Mid Oceanic Ridge Samudra
Pasifik yang dikenal dengan nama Pacific Superplume (Kadarusman et al., 2004). Pada zaman
Kapur Akhir (80-85 Ma.) bagian dari East Sulawesi Ophiolite (ESO) bergerak ke arah baratlaut
sehingga mendekati kerak benua Sundaland. (Mubroto et al., 1994) (Gambar 4.21).
59
Gambar 4.21 Awal Pembentukan Sekuen Ofiolit Pada Zona MOR Pada Zaman Kapur
Kemudian, pada kala Eosen (40 Ma.) daerah Keuno (ESO) bergerak kearah barat
mendekat dengan batas dari sub-kontinen Australia yang merupakan pecahan kerak benua
Australia, dimana sub-kontinen Autralia tersebut diapit oleh kerak samudra di belakangnya.
Kerak samudra ini merupakan bagian dari kerak samudra Pasifik berdasarkan afinitas
magmanya, menurut Hall (1996). Pada kala Oligosen (30 Ma.) daerah Keuno (ESO)
mengalami obduksi dengan batas kerak samudra sehingga terdapat beberapa bagian dari daerah
Keuno (ESO) yang mengalami pengangkatan di permukaan (Parkinson, 1998) (Gambar 4.22).
Gambar 4.22 Obduksi yang Menyebabkan Zona Ofiolit Terangkat ke Permukaan Pada Kala
Eosen-Oligosen (Modifikasi Model menurut Kadarusman, 2004)
Pada kala Miosen Akhir (10 Ma.) daerah Keuno (ESO) mengalami akresi dan kolisi
akibat adanya pergerakan mikrokontinen Banggai-Sula kearah barat sehingga menyebabkan
60
daerah Keuno (ESO) terangkat ke permukaan dan membentuk sesar naik yang menyebabkan
pembentukan batuan peridotit yang berubah menjadi batuan serpentinit atau sekedar
meningkatkan mineral serpentin pada batuan serpentinit yang telah terbentuk sebelumnya,
karena pengaruh proses metamorfisme (Gambar 4.23 dan Gambar 4.24).
Gambar 4.23 Tumbukan Mikrokontinen Banggai Sula dan Sulawesi Pada Kala Miosen
Akhir (Modifikasi Model menurut Kadarusman, 2004)
Gambar 4.24 Tumbukan yang Mengasilkan Sesar Naik pada Lokasi Penelitian
Saat Pliosen, seluruh area didominasi oleh block faulting dan sesar utama seperti sesar
Palu-Koro dan sesar Matano. Pergerakan struktur sesar ini membentuk morfologi Pulau
Sulawesi yang sekarang (Sompotan, 2012). Sesar mendatar kiri pada lokasi penelitian berkaitan
dengan segmen dari sesar regional Matano (Gambar 4.25).
61
Gambar 4.25 Pembentukan Sesar Mendatar Keuno Yang Relatif Berarah Barat - Timur Pada
Berkaitan Dengan Segmen Sesar Regional Matano Pada Kala Pliosen
tanah yang masuk kedalam batuan melalui celah-celah rekahan. Pada saat air tanah masuk
kedalam batuan, unsur Ni (Nikel) yang bersifat mobile ikut terlarutkan dan terkonsentrasi pada
Zona Saprolit, sedangkan unsur Fe (Besi) yang bersifat immobile kurang mudah terbawa
pergerakan agen air tanah sehingga terkonsentrasi pada Zona Limonit. Pada Zona Top Soil
terbentuk karena residual pada zona tersebut mengalami pelapukan secara maksimal dan
tercampur unsur hara.
Gambar 4.26 (A) Singkapan Top Soil LP 2 Dengan Arah Kamera N 62° E
(B) Kenampakan Zona Laterit - Top Soil
63
B. Zona Limonit, merupakan zona laterisasi yang tersusun atas soil bewarna merah
kecoklatan, merupakan soil hasil dari proses laterisasi berukuran lempung-pasir halus,
pada zona ini tersusun dari mineral hematit dan manganit. Pada Lokasi Pengamatan 40
ditemuka Limonit yang berwarna coklat dan memiliki ukuran butir lempung-pasir
halus, kaya akan unsur Fe (Gambar 4.27).
C. Zona Saprolit, merupakan zona laterisasi yang tersusun atas soil bewarna coklat muda,
merupakan soil hasil dari proses laterisasi berukuran pasir halus-bongkah, pada zona
64
ini dapat ditemukan mineral garnierit dan krisopras yang mengisi rekahan rekahan pada
batuan asal dan pada zona ini mempunyai kandungan Ni yang tinggi. Pada Lokasi
Pengamatan 43 ditemukan Saprolit dengan warna abu-abu kecoklatan yang berada di
Pit yang sudah dibuka, kaya akan unsur Ni (Gambar 4.28).
D. Zona Bedrock, merupakan zona laterisasi yang berada paling bawah pada profil laterit
dan merupakan batuan asal dari endapan nikel laterit yang berupa batuan peridotit.
Ditemukan Bedrock pada Lokasi Pengamatan 68 yang berupa batuan serpentinit dengan
warna abu-abu. Berada di alur liar, batuan dasar pada lokasi pengamatan ini rekahan -
rekahannya terisi oleh mineral garnierit (Gambar 4.29).
65
Profil laterit merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan eksplorasi nikel
untuk mengetahui persebaran nikel pada daerah telitian. Dengan mengetahui persebaran nikel
pada daerah telitian kita bisa mengetahui hubungan, ketebalan beserta perbedaan karakteristik
fisik dari masing-masing zona. Profil laterit dilakukan berdasarkan keterdapatan singkapan
laterit pada daerah telitian.
A. Lokasi Pengamatan 38. Lokasi pengamatan ini berada di timur laut pit yang sudah
dibuka, kenampakan zona saprolit sudah dapat dijumpai pada lokasi ini. Pada lokasi ini
zona limonit ditandai dengan bewarna merah kecoklatan dan beukuran lempung - pasir
66
halus, pada lokasi ini saprolit yang di jumpai berupa saprolit berukuran pasir kasar –
bongkah (Gambar 4.30).
B. Lokasi Pengamatan 47 lokasi pengamatan ini berada di timur laut pit yang sudah
dibuka, kenampakan zona saprolit sudah mulai tidak terlihat pada lokasi ini. Pada lokasi
ini zona limonit ditandai dengan bewarna merah kecoklatan dan beukuran lempung -
pasir halus, pada lokasi ini saprolit yang di jumpai berupa saprolit berukuran pasir kasar
- bongkah. Pada lapisan zona bedrock ditemukan mineral-mineral penyerta yaitu
mineral garnierit (Gambar 4.31).
pertambangan, sehingga material lepas tidak akan akan membahayakan makhluk hidup atau
merusak keadaan sekitar. Misalnya setelah melakukan Land Clearing dan Grubbing, material
material runtuhan seperti tanah atau batuan bisa dikumpulkan dan ditempatkan di Waste Dump
atau digunakan untuk Backfill nantinya (Gambar 4.32).
Gambar 4.32 Daerah Rawan Material Lepas Dengan Arah Kamera N 173°E
B. Kondisi Morfologi
Dengan adanya proses penambangan dapat merubah morfologi daerah sekitar. Menurut
peneliti, disarankan untuk dilakukan reklamasi bekas tambang, bisa dengan melakukan Backfill
pada lubang bekas tambang, atau dengan melakukan penumpukan top soil dan revegetasi yang
bisa membalikkan keadaan seperti semula nantinya. Dengan begitu walaupun morfologinya
tidak kembali seperti semula, tapi tidak menimbulkan kerusakan yang berlebihan baik dari segi
kebersihan, kesehatan, maupun keamanan lingkungan sekitar dan yang hidup di dalamnya
(Gambar 4.33).
Pada lokasi penelitian khususnya, terdapat beberapa tempat yang menjadi target
perusahaan untuk pembukaan lahan tambang yang baru, dan untuk itu dibutuhkan rencana
lereng - lereng buatan yang bisa memaksimalkan keuntungan dan keamanan perusahaan, yaitu
ada pada lokasi lereng B - B’ dan lereng C - C’. Dan pada lokasi lereng A - A’, pernah terjadi
peristiwa yang merugikan keuntungan perusahaan bahkan keselamatan para pekerja saat
musim hujan pada Bulan Juni Tahun 2019, dikarenakan lereng curam yang tidak bisa menahan
beban lalu mengalami peristiwa longsor yang berskala cukup besar. Untuk itu dibutuhkan
evaluasi untuk lereng lereng curam dan berbahaya di lokasi penelitian, serta pada tempat
dibukanya lahan baru pertambangan.
Peneliti melakukan identifikasi sifat mekanik tanah pada lereng yang akan diteliti faktor
keamanan lereng aktual, lalu merekomendasi geometri lereng yang aman menurut peneliti.
Geometri lereng sebagai dasar dalam membuat desain lereng pit meliputi slope, tinggi lereng,
dan lebar bench serta juga memperhitungkan alat-alat yang akan dioperasikan pada area sekitar
lereng tambang. Sifat fisik tanah dan sifat mekanik tanah diperoleh dari hasil pengujian sampel
tanah undisturbed di laboratorium yang akan digunakan sebagai parameter dalam analisis
kestabilan lereng. Analisis dilakukan menggunakan software Slide 6.0 dengan menggunakan
metode Limit Equilibrium (LEM) untuk mengetahui nilai faktor keamanan yang sesuai untuk
pembuatan desain lereng tambang.
67
68
Lokasi lereng penelitian terletak di Desa Keuno, Kecamatan Petasia timur, Kabupaten
Morowali utara. Terdapat 3 lereng pada lokasi penelitian untuk di evaluasi kestabilan lerengnya
dan setelah itu peneliti bisa memberikan saran desain kontruksi lereng yang bermanfaaat bagi
studi faktor keamanan lereng. Ketiga lereng tersebut adalah lereng A – A’ (Gambar 5.2),
lereng B – B’(Gambar 5.3), dan lereng C – C’ (Gambar 5.4), merupakan lereng yang diambil
sebagai contoh permodelan Slide 6.0.
Gambar 5.4 Kenampakan Lereng Yang Akan Menjadi Lokasi Tambang Baru
(Penampang Sayatan C-C’) Dengan Arah Kamera N 252° E
Dibutuhkan dua kriteria keruntuhan yang menjadi dasar nilai – nilai material properties
untuk menganalisis kestabilan lereng pada Slide 6.0. Kriteria keruntuhan yang pertama
merupakan kriteria keruntuhan Hoek and Brown yang membahas tentang suatu hubungan
antara tegangan utama maksimum dan minimum untuk menentukan runtuhan yang terjadi pada
batuan utuh (intact rock) maupun batuan retak (broken rock), serta dapat memperkirakan
kekuatan geser dalam massa batuan yang terkekarkan (jointed rock mass), kriteria keruntuhan
ini digunakan untuk zona BedRock. Sedangkan pada krtieria keruntuhan kedua, yaitu kriteria
keruntuhan Mohr-Coulomb yang berpendapat bahwa runtuhan (failure) sepanjang bidang
permukaan geser dapat ditahan oleh kohesi material serta sebuah konstanta yang dikalikan
dengan tegangan normal. Kriteria keruntuhan ini digunakan untuk zona laterit Top Soil,
Limonit, dan Saprolit yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan batuan sedimen.
Geoteknik merupakan salah satu pengujian atau penelitian dalam lingkup teknik sipil,
dimana dalam pengujian atau penelitian tersebut adalah untuk mengetahui sifat-sifat atau
karakteristik dan jenis lapisan tanah serta daya dukung tanah tersebut, yang mana data dari
71
hasil pengujian atau penelitian itu sangat dibutuhkan untuk perencanaan lereng. Maka untuk
memenuhi kebutuhan informasi tersebut diperlukan indentifikasi Geoteknik yang mencakup
survei di lapangan dan pengujian di laboratorium. Keberhasilan suatu proyek atau bangunan
sangat ditentukan oleh keakuratan data yang dihasilkan dari survei di lapangan dan pengujian
di laboratorium.
Untuk meneliti geoteknik tersebut, peneliti mendapatkan data sekunder berupa 3 bor
geoteknik yang sebelumnya sudah pernah diambil disaat pertambangan nikel ini dibuka.
Namun jumlah bor yang digunakan sesuai dengan bor geoteknik yang berada di penampang
sayatan lereng, dan bor geoteknik tersebut terdiri dari : GT 01, GT 07, dan GT 08. Bor ini sudah
diakui keabsahannya karena diberi juga bukti proses penelitian pengambilan sampel, dan
penelitian selama berada di laboratorium. Dari data geotek tersebut dapat diketahui :
Kedalaman bor geotek, deskripsi batuan (zona laterit) di setiap meter, dan Basic Properties,
Atterberg Limit, Direct Shear Test, maupun Unconfined Compressive Strenght Test setiap zona
laterit yang ada pada bor tersebut.
Dari data sekunder yang didapat tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu satuan pada data yang belum sesusai untuk dimasukkan dalam program Slide 6.0. Sesuai
dengan kriteria keruntuhan yang digunakan maka permainan satuan dan Material Properties
yang digunakan akan berbeda pula. Oleh karena itu, data yang harus dipersiapkan untuk lebih
lanjutnya dan satuan yang harus diubah terlebih dahulu untuk bisa sesuai dengan pada program
Slide 6.0 adalah :
famili untuk dilakukan Scanline pada setiap lokasi penelitian. Keadaan pada LP 59 berada di
dekat jalan transportasi kendaraan tambang (Gambar 5.5), sedangkan LP 53 berada di sungai.
Hasil analisis pengukuran Scanline bisa dilihat pada tabel dan gambar di bawah berikut ini
(Tabel 5.4 dan Tabel 5.5).
Setelah mendapatkan hasil data rata-rata jumlah kekar yang ada per meter, nilai hasil
tersebut kita akan gunakan sebagai perhitungan nilai Rock Quality Designation (RQD). RQD
juga merupakan salah satu parameter pembobotan dalam tabel Klasifikasi Massa Batuan / Rock
Mass Rating (RMR) menurut Bieniawski (1989). Menurut Priest dan Hudson, (1976)
mengajukan sebuah persamaan untuk menentukan RQD sebagai berikut:
Nilai RQD yang didapatkan setelah menghitung sesuai rumus tersebut adalah:
Setelah itu nilai ini akan kita hubungkan dengan kualitas batuan yang dikemukakan oleh
Deere (1968), ia mengklasifikasikan kualitas batuan sesuai dengan setiap nilai RQD yang ada,
dengan nilai 100 sebagai acuan nilai maksimal (Tabel 5.6).
76
Lalu dengan mengetahu nilai RQD yang ada, akhrinya baru kita akan melakukan
Pembobotan Massa Batuan/ Rock Mass Rating (RMR). Sesuai yang telah diklasifikasikan oleh
Bienawsiki (1989) dimana dia telah membuat parameter parameter yang harus dimasukan ke
dalam tabel klasifikasi dibawah ini untuk menentukan nilai RMR (Tabel 5.7 dan Tabel 5.8).
Pembobotan harus sesuai dengan keadaan aktual selama lapangan, hal itu diperlukan
untuk keabsahan nilai akhir RMR, dimana sangat memerdulikan kondisi lingkungan sekitar
batuan. Dan menurut klasifikasi RMR tersebut, didapakatkan nilai 55 dan 60, sesuai dengan
kondisi lapangan. Terakhir untuk mengetahui nilai Geological Strength Index (GSI), nilai yang
dibutuhkan untuk dimasukkan ke dalam program Slide 6.0, bisa kita temukan dengan
menggunkan rumus :
GSI = RMR – 5
Pada LP 59 = 55 - 5 = 50
Pada LP 53 = 50 - 5 = 45
78
Pada Lokasi penelitian terdapat 3 lokasi yang berbeda yang menjadi target evaluasi
kestabilan lerengnya, lalu peneliti akan memberikan rekomendasi lereng yang aman dan stabil
menurut peneliti. Dikarenakan lingkungan lereng yang panjang dan curam, maka dilakukan
pembuatan penampang sayatan pada program ArcGis, untuk mengetahui geometri lereng pada
lokasi penelitian. Setelah dilakukan pembuatan penampang sayatan pada lereng yang dituju,
dilakukan pembagian daerah zona laterit yang diketahui sesuai dari data Core (data bor) yang
didapatkan dari data sekunder. Penelitian untuk mengetahui nilai kestabilan lereng peneliti
menggunakan program Slide 6.0., dimana pada program ini secara otomatis akan
mempertimbangkan analisis kesetimbangan batas (LEM). Kestabilan lereng yang dilakukan
pada program ini juga akan diperhitungkan secara circular, karena mempertimbangkan zona
laterit yang cenderung memiliki karakteristik yang sama dengan batuan sedimen. Perhitungan
faktor keamanan kestabilan lereng pada penelitian ini membutuhkan metode yang memenuhi
semua kondisi kesetimbangan gaya dan kesetimbangan momen, yaitu metode Morgensten -
Price.
Setelah mengetahui nilai kestabilan lereng aktual pada lokasi penelitian, maka akan
dilakukan penelitian geometri lereng yang aman dan stabil sebagai rekomendasi lereng yang
bisa meningkatkan nilai faktor keamanan lereng, atau sekedar menjadi pertimbangan sebagai
rencana permodelan lereng yang dibentuk saat melakukan pertambangan nikel.
5.5 Lereng A – A’
Dalam data bor tersebut terdapat keterangan tentang posisi pengeboran, kedalaman
pengeboran dan zona laterit yang dilalui bor. Bor yang berada pada penampang tersebut
merupakan bor : P162913, P162911, P162909, P162707, P162505, dan BOR GEOTEK GT -
01 (Gambar 5.6). Sedangkan untuk Material Properties pada lereng ini menggunakan bor
geoteknik GT 01, yang bisa dilihat pada Gambar 5.5.
Selatan
Gambar 5.7 Geometri Penampang Lereng A – A’ serta Keterangan Bor Pada Lereng
80
Lereng ini berada pada selatan lokasi penelitian, merupakan lereng yang
menghubungkan puncak bukit pada daerah selatan lokasi penelitian menuju ke Hauling Road
dibawahnya. Pada lereng ini kurang diperhatikan keamanan lerengnya karena sudah terlanjur
berada pada daerah pertambangan dan memiliki perbedaan elevasi yang cukup besar dan juga
sangat curam, maka dari itu memang pernah terjadi kelongsoran pada lereng tersebut.
Lereng ini memiliki geometri lereng dengan sudut lereng sebesar 57o, panjang lereng
292 meter, dan berada pada elevasi 219 – 327 meter (memiliki perbedaan elevasi 108 meter),
lereng ini cenderung mengarah utara - selatan dengan sayatan arah Azimuth N 0⁰ E/ N 180⁰ E.
Daerah sudah menjadi daerah olahan dimana lereng dibuat pada zona saprolit-Bedrock,.
Ketebalan zona saprolitnya sekitar 8 meter. Pada lereng ini ditemukan nilai Faktor Keamanan
yaitu 0,869 (menurut Morgenstern – Price) yang dikategorikan sebagai Lereng Tidak Stabil
oleh Bowles, 1989 (Gambar 5.7).
81
Selatan
Gambar 5.8 Kestabilan Lereng Aktual Penampang A – A’ (Kriteria Keruntuhan Morgenstern - Price)
82
Pada operasi penambangan dengan cara Open Case, rekomendasi lereng yang diberikan
akan tergantung pada geometri lereng alami sesuai yang ada pada lokasi penelitian. Walaupun
bidang gelincirnya semakin bisa di perkirakan, namun penanggulangannya akan lebih susah
dari yang dikira karena jika lereng alami saja sudah tidak stabil, maka saat proses melakukan
pembenahan pada lereng pun akan sulit selama prosesnya. Model dibuat berdasarkan
percobaan Trial and Error peneliti yang memasukkan Material Properties yang sama seperti
lereng aktual, lalu mencoba untuk membuat sudut, panjang, dan tinggi lereng yang kritis tapi
sekiranya masih mencakup nilai faktor keamanan 1,2. Sehingga model ini adalah model paling
kritis yang bisa dilakukan menurut peneliti, maka dari itu dianjurkan untuk keadaan lereng
aktualnya bisa menyesuaikan dengan keadaan selama di lapangan ataupun jika ada faktor lain.
Pada lereng tersebut, yang memiliki ketebalan saprolit sekitar 8 meter, merupakan
bekas terjadinya longsor, maka dari itu peneliti membuat bentuk geometri lereng yang bisa
digunakan dalam penambangan nikel (Gambar 5.8 dan Gambar 5.9). Dalam keadaan tersebut
geometri yang telah di analisis oleh peneliti memiliki ketentuan seperti ini :
Selatan
Selatan
Gambar 5.11 Rekomendasi Lereng Penampang A – A’ Tanpa Beban (Kriteria Keruntuhan Morgenstern – Price)
85
Dari geometri yang dibuat oleh peneliti, ketinggian lereng berkurang menjadi 99 meter.
Pada lereng tersebut dibangun 5 jenjang bench yang berturut-turut dengan Inter–ramp Angle
sebesar 41o , lalu terdapat lagi 2 jenjang bench dengan Inter–ramp Angle sebesar 45o, kemudian
ditambahkan dengan 2 jenjang bench dengan Inter–ramp Angle sebesar 40o yang setelah itu
bersambung dengan lereng aktual terbuat dari BedRock, sehingga ditemukan Overall Slope
pada lereng ini adalah sebesar 35o. Pada lereng tersebut ditemukan nilai faktor keamanan lereng
sebesar 1,476 (menurut Morgenstern – Price) yang berarti masuk dalam kategori lereng stabil
menurut Bowles, 1989 (Gambar 5.10).
Peneliti melakukan dua simulasi pada satu lereng, yakni ketika lereng tidak diberi beban
dan ketika lereng diberi beban. Pada lereng yang diberi beban, peneliti mengasumsikan setiap
bench menerima tekanan dari excavator tipe PC 300 dengan lebar track 3 meter sebesar 21,67
KN/m2 yang dipakai untuk kegiatan produksi penambangan dan maintenance lereng. Setiap
bench dapat dilalui satu unit excavator tipe PC 300. Pada rekomendasi sebelumnya, nilai faktor
keamanan tersebut apabila lereng tidak diberikan beban unit excavator di atas bench-nya.
Pada lereng tersebut ditemukan nilai faktor keamanan lereng sebesar 1,443 (menurut
Morgenstern – Price) yang berarti mengacu pada tabel intensitas kelongsoran berdasarkan nilai
faktor keamanan (Bowles, 1991) maka lereng tersebut termasuk ke dalam kelas stabil (FK >
1,25) (Gambar 5.11).
86
Selatan
Gambar 5.12 Rekomendasi Lereng Penampang A – A’ Dengan Beban (Kriteria Keruntuhan Morgenstern – Price)
87
5.6 Lereng B – B’
Dalam data bor tersebut terdapat keterangan tentang posisi pengeboran, kedalaman
pengeboran dan zona laterit yang dilalui bor. Bor yang berada pada penampang tersebut
merupakan bor : P160731, P160931, P161131, P161329R, P161527, P161727, P161927, dan
BOR GEOTEK GT - 08 (Gambar 5.13). Sedangkan untuk Material Properties pada lereng ini
menggunakan bor geoteknik GT 08, yang bisa dilihat pada Gambar 5.12.
Lereng ini berada di timur daerah bukit utara, merupakan penampang dari puncak bukit
di barat laut lokasi penelitian kea rah timur menuju daerah alur liar. Pada lereng ini vegetasi
sudah cukup sedikit karena sudah ditebang sebagai jalan pengeboran. Lereng ini memiliki
luasan daerah yang cukup besar, dimana daerah ini masih banyak ditutup oleh Top Soil dan
memiliki topografi landai dari puncak bukit hingga pertengahan lereng, namun pada lereng
paling timur topografi menjadi curam dan sudah ditemukan zona BedRock. Dan menurut data
tersebut, lokasi ini merupakan target penambangan nikel berikutnya dikarenakan ketebalan
saprolit yang cukup mengungtungkan.
Lereng ini memiliki geometri dengan sudut lereng sebesar 23 o, panjang lereng 358
meter, dan berada pada elevasi 243 – 332 meter (memiliki perbedaan elevasi 89 meter), lereng
ini cenderung mengarah barat laut – tenggara dengan sayatan arah Azimuth N 109⁰ E/ N 289⁰
E. Diatas bukit memiliki permukaanya masih dipenuhi oleh Top Soil, namun setelah menuruni
sungai lebih dalam, permukaannya sudah masuk ke zona Bedrock. Ketebalan zona saprolitnya
cukup tebal, sekitar 25 meter pada daerah puncak bukit-pertengahan lereng, namun pada saat
menuruni sungai menjadi tipis sekitar 7 meter. Pada lereng ini ditemukan nilai Faktor
Keamanan yaitu 2,313 (menurut Morgenstern – Price) yang dikategorikan sebagai Lereng
Stabil oleh Bowles, 1989. (Gambar 5.14).
88
Timur
Gambar 5.14 Geometri Penampang Lereng Aktual B – B’ serta Keterangan Bor Pada Lereng
89
Timur
Gambar 5.15 Kestabilan Lereng Aktual Penampang B – B’ (Kriteria Keruntuhan Morgenstern - Price)
90
Pada Open Pit ini biasanya akan memiliki nilai faktor keamanan yang cenderung lebih
tinggi dan stabil tentunya untuk keselamatan lingkungan dan sekitar. Dikarenakan bidang
gelincir yang dihasilkan tentu saja kan sedikit berbeda dari yang seharusnya mengikuti arah
lereng alami. Pada Lereng ini diketahui merupakan daerah yang memiliki saprolit paling tebat
dan cenderung aman di permukaannya, sehingga peneliti memutuskan untuk mencoba
melakukan analisis geometri lereng yang aman untuk melakukan penambangan secara Open
Pit tersebut. Namun pada daerah yang landai, muka air tanah akan cenderung juga akan
menjadi sebuah gangguan, maka dari itu harus diperhatikan benar benar dan di analisis secara
teliti, karena muka air tanah pada daerah landau juga akan lebih dalam dari biasanya dan bisa
mengganggu kegiatan tambang dan mengahncurkan lereng buatan.
Pada lereng tersebut, yang memiliki ketebalan saprolit sekitar 25 meter, bisa saja
menjadi target penambangan yang menguntungkan (Gambar 5.15 dan Gambar 5.16). Maka
dari itu peneliti membuat bentuk geometri lereng yang bisa digunakan dalam penambangan
nikel. Dalam keadaan tersebut geometri yang telah di analisis oleh peneliti memiliki ketentuan
seperti ini :
Timur
Timur
Gambar 5.18 Rekomendasi Lereng Penampang A – A’ Tanpa Beban (Kriteria Keruntuhan Morgenstern – Price)
93
Dari geometri yang dibuat oleh peneliti, ketinggian lereng berkurang menjadi 80 meter.
Pada lereng tersebut dibangun 5 jenjang bench yang berturut-turut dengan Inter–ramp Angle
sebesar 41o , lalu akhrinya dibuat lagi 2 jenjang bench dengan Inter–ramp Angle sebesar 45o,
sehingga ditemukan Overall Slope pada lereng ini adalah sebesar 37o. Pada lereng tersebut
ditemukan nilai faktor keamanan lereng sebesar 1,346 (menurut Morgenstern – Price), yang
berarti masuk dalam kategori lereng stabil menurut Bowles, 1989 (Gambar 5.17).
Peneliti melakukan dua simulasi yakni ketika lereng tidak diberi beban dan ketika
lereng diberi beban. Pada lereng yang diberi beban, peneliti mengasumsikan setiap bench
menerima tekanan dari excavator tipe PC 300 dengan lebar track 3 meter sebesar 21,67 KN/m2
yang dipakai untuk kegiatan produksi penambangan dan maintenance lereng. Setiap bench
dapat dilalui satu unit excavator tipe PC 300. Pada rekomendasi sebelumnya, nilai faktor
keamanan tersebut apabila lereng tidak diberikan beban unit excavator di atas bench-nya.
Pada lereng tersebut ditemukan nilai faktor keamanan lereng sebesar 1,316 (menurut
Morgenstern - Price), yang berarti mengacu pada tabel intensitas kelongsoran berdasarkan nilai
faktor keamanan (Bowles, 1991) maka lereng tersebut termasuk ke dalam kelas stabil (FK >
1,25). (Gambar 5.18).
94
Sudut Geser UCS (KPa)
Nama Material Warna Berat Volume Kriteria Keruntuhan Kohesi mi GSI
(kN/m3) (KPa) Dalam (KPa)
Timur
Gambar 5.19 Rekomendasi Lereng Penampang B – B’ Dengan Beban (Kriteria Keruntuhan Morgenstern – Price)
95
5.7 Lereng C – C’
Dalam data bor tersebut terdapat keterangan tentang posisi pengeboran, kedalaman
pengeboran dan zona laterit yang dilalui bor. Bor yang berada pada penampang tersebut
merupakan bor : P160525, P160321, P160119, O163919, O163917 dan BOR GEOTEK GT -
07 (Gambar 5.20). Sedangkan untuk Material Properties pada lereng ini menggunakan bor
geoteknik GT 07, yang bisa dilihat pada Gambar 5.19.
Lokasi lereng ditemukan di daerah bukit barat laut dari lokasi penelitian, penampang
sayatan lereng dilakukan dari pertengahan bukit ke arah barat hingga menuju jurang di daerah
barat bukit. Pada lereng ini vegetasi sudah cukup berkurang karena sudah ditebang sebagai
jalan pengeboran dulunya. Pada lereng ini memiliki luasan daerah yang cukup besar, dimana
daerah ini masih banyak ditutup oleh Top Soil yang masih landai dari puncak bukit hingga
pertengahan lereng, lalu saat menurun menuju sungai mulai menjadi curam dan sudah
ditemukan zona Saprolit, lereng inilah yang akan di analisis nilai kestabilan lerengnya. Dan
menurut data tersebut, lokasi ini merupakan target penambangan nikel berikutnya dikarenakan
ketebalan saprolit yang cukup mengungtungkan.
Pada lereng ini memiliki geometri lereng dengan sudut lereng sebesar 21o, panjang
lereng 229 meter, dan berada pada elevasi 256 – 306 meter (memiliki perbedaan elevasi 50
meter), lereng ini cenderung mengarah barat daya – timur laut dengan sayatan arah Azimuth N
36⁰ E/ N 216⁰ E. Ketebalan zona saprolitnya cukup tebal, sekitar 25 meter pada daerah puncak
bukit-pertengahan lereng, namun pada saat menuruni daerah curam menjadi tipis sekitar 7
meter. Pada lereng ini ditemukan nilai Faktor Keamanan yaitu 1,926 (menurut Morgenstern –
Price) yang dikategorikan sebagai Lereng Stabil oleh Bowles, 1989. (Gambar 5.21).
96
Barat
Gambar 5.21 Geometri Penampang Lereng C – C’ serta Keterangan Bor Pada Lereng
97
Barat
Gambar 5.22 Kestabilan Lereng Aktual Penampang C – C’ (Kriteria Keruntuhan Morgenstern - Price)
98
Pada Open Pit ini biasanya akan memiliki nilai faktor keamanan yang cenderung lebih
tinggi dan stabil tentunya untuk keselamatan lingkungan dan sekitar. Dikarenakan bidang
gelincir yang dihasilkan tentu saja kan sedikit berbeda dari yang seharusnya mengikuti arah
lereng alami. Pada Lereng ini diketahui merupakan daerah yang memiliki saprolit paling tebat
dan cenderung aman di permukaannya, sehingga peneliti memutuskan untuk mencoba
melakukan analisis geometri lereng yang aman untuk melakukan penambangan secara Open
Pit tersebut. Namun pada daerah yang landai, muka air tanah akan cenderung juga akan
menjadi sebuah gangguan, maka dari itu harus diperhatikan benar benar dan di analisis secara
teliti, karena muka air tanah pada daerah landau juga akan lebih dalam dari biasanya dan bisa
mengganggu kegiatan tambang dan mengahncurkan lereng buatan.
Lereng tersebut memiliki ketebalan saprolit sekitar 25 meter, bisa saja menjadi target
penambangan yang menguntungkan. Oleh sebab itu peneliti akan memberikan bentuk geometri
lereng yang bisa digunakan dalam penambangan nikel yang bisa memaksimalkan keamanan
dan kestabilan lereng (Gambar 5.22 dan Gambar 5.23). Dalam keadaan tersebut geometri
yang telah di analisis oleh peneliti memiliki ketentuan seperti ini :
Barat
Barat
Gambar 5.25 Rekomendasi Lereng Penampang C – C’ Tanpa Beban (Kriteria Keruntuhan Morgenstern – Price)
101
Dari geometri yang dibuat oleh peneliti, dibuat 5 jenjang bench yang berturut-turut.
Rekomendasi lereng ini memiliki Overall Slope sebesar 41o. Pada lereng tersebut ditemukan
nilai faktor keamanan lereng sebesar 1,324 (menurut Morgenstern – Price), yang berarti masuk
dalam kategori lereng stabil menurut Bowles, 1989 (Gambar 5.24).
Peneliti melakukan dua simulasi yakni ketika lereng tidak diberi beban dan ketika
lereng diberi beban. Pada lereng yang diberi beban, peneliti mengasumsikan setiap bench
menerima tekanan dari excavator tipe PC 300 dengan lebar track 3 meter sebesar 21,67 KN/m2
yang dipakai untuk kegiatan produksi penambangan dan maintenance lereng. Setiap bench
dapat dilalui satu unit excavator tipe PC 300. Pada rekomendasi sebelumnya, nilai faktor
keamanan tersebut apabila lereng tidak diberikan beban unit excavator di atas bench-nya.
Pada lereng tersebut ditemukan nilai faktor keamanan lereng sebesar 1,314 (menurut
Morgenstern - Price), yang berarti mengacu pada tabel intensitas kelongsoran berdasarkan nilai
faktor keamanan (Bowles, 1991) maka lereng tersebut termasuk ke dalam kelas stabil (FK >
1,25) (Gambar 5.25).
102
Sudut Geser UCS (KPa)
Nama Material Warna Berat Volume Kriteria Keruntuhan Kohesi mi GSI
(kN/m3) (KPa) Dalam (KPa)
Barat
Gambar 5.26 Rekomendasi Lereng Penampang C – C’ Dengan Beban (Kriteria Keruntuhan Morgenstern – Price)
BAB VI
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tambang terbuka nikel Desa Keuno,
Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, maka
didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
a. Kondisi geomorfologi dibagi menjadi dua bentukasal dan tiga bentuklahan. Bentukasal
antropogenik terdiri dari Lahan Bukaan Tambang (A1). Bentukasal denudasional terdiri
dari Bukit Denudasional (D1) dan Lereng Denudasional (D2).
b. Satuan Peridotit menempati 35% dari luas daerah penelitian. Satuan Serpentinit
menempati 65% dari luas daerah penelitian. Kedua satuan ini termasuk dalam formasi
Komplek Ultramafik yang terbentuk akibat pemekaran lantai samudera pada Kapur Awal
- Kapur Akhir (+141 - 100 juta tahun yang lalu).
c. Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian yakni kekar gerus dengan arah
tegasan utama relatif barat-timur dan timur laut-barat daya, dan Sesar Naik Kanan LP 64
berkedudukan N 255 °E/ 70° dengan nama Right Reverse Slip Fault (Rickard, 1972).
d. Daerah Keuno tersusun dari batuan Peridotit dan Serpentinit yang mulai terbentuk pada
Zaman Kapur Awal (120 Ma.), batuan ini diperkirakan terbentuk dari pembekuan magma
pada Mid Oceanic Ridge Samudra Pasifik. Pada Zaman Kapur Akhir (80- 85 Ma) bagian
dari East Sulawesi Ophiolite (ESO) bergerak kearah barat sehingga mendekati kerak
benua Sundaland, yang membentuk sekuen ofiolit penyusun utama batuan Peridotit dan
Serpentinit pada daerah penelitian. Pada Kala Eosen (40 Ma.) daerah Keuno (ESO)
bergerak kearah barat mendekati dengan batas dari mikrokontinen Australia yang diapit
oleh kerak samudra di belakangnya. Pada kala Oligosen (30 Ma.) daerah Keuno (ESO)
mengalami obduksi dengan batas kerak samudra sehingga terdapat beberapa bagian dari
daerah Keuno (ESO). Pada kala Miosen Akhir (10 Ma.) daerah Keuno (ESO) mengalami
kolisi dan akresi akibat adanya pergerakan mikrokontinen Banggai-Sula kearah barat
sehingga menyebabkan daerah Keuno (ESO) terbentuk sesar naik yang dapat dijumpai
di daerah penelitian yang meningkatkan tingkat serpentinisasi. Saat Pliosen, seluruh area
103
104
didominasi oleh block faulting dan sesar utama seperti sesar PaluKoro dan sesar Matano.
Pergerakan struktur sesar ini membentuk morfologi Pulau Sulawesi yang sekarang.
e. Potensi geologi positif pada daerah telitian adalah keterdapatan endapan nikel dimana
pada daerah telitian mempunyai penyebaran nikel yang cukup luas. Kegiatan tambang
nikel secara ekonomis sangat meguntungkan untuk perusahaan dan warga sekitar.
Potensi negatif geologi daerah penelitian adalah adanya daerah rawan gerakan massa
yang terbentuk akibat aktivitas penambangan. Selain itu, dengan adanya proses
penambangan dapat merubah morfologi daerah sekitar.
a. Kelas massa batuan pada zona Bedrock memiliki nilai dengan nilai Geological Strength
Index sebesar 50 dan 45.
a. Terdapat 2 Rekomenasi Lereng, tidak diberi beban dan diberi beban. Pada lereng yang
diberi beban, peneliti mengasumsikan setiap bench menerima tekanan dari excavator tipe
PC 300 dengan lebar track 3 meter sebesar 21,67 KN/m2. Dari hasil penelitian semua
lereng mendapatkan FK > 1,25 yang termasuk lereng stabil menurut Bowles, 1991.
Rekomendasi yang diberikan yakni mengubah geometri lereng dengan lebar tiap bench
selebar 3,5 m, beda tinggi crest dan toe setinggi 6 meter, dan Bench Face Angle sebesar
55°.
105
DAFTAR PUSTAKA
Bieniawski, Z.T., 1989. Engineering Rock Mass Classification. Canada : John Willey &
Sons, Inc.
Bowles, J. E., 1991. Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah). Jakarta :
Erlangga.
Cho, E., 2002. Evaluation of Surficial Stability for Homogenous Slopes Considering
Rainfall Characteristics. Journal of Geotechnical and Geoenvironmental
Engineering. Vol. 128(9). hlm. 756-763.
Giani., G.P., 1992. Rock Slope Stability Analysis. Turin: A.A.Balkema Publishers.
Herman, D., dan Sidi, H. F., 2000. An Outline Of The Geology of Indonesis. Jakarta :
Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Hoek, E., and Bray, J.W., 1974. Rock Slope Engineering (3rd ed.). London: The
Institution of Mining & Metallurgy.
Hoek, E., and Brown, E.T., 1980. Empirical Strength Criterion for Rock Masses.
Journal of the Geotechnical Engineering Division : Proceedings of American
Society of Civil Engineers, Vol. 106, Issue 9, pp. 1013-1035.
Hoek, E., Kaiser, P.K. and Bawden, W.F., 1995. Support of Underground Excavations
in Hard Rock. Rotterdam : Balkema.
Hoek, E., Torres,C., and Corkum, B., 2002. Hoek Brown Failure Criterion, Proceedings
of the 5th North American Rock Mechanics Symposium and 17th Tunnelling
Association of Canada Conference, Toronto, Vol. 1, pp. 267-273.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C. D., dan Ishikawa, A., 2004.
Petrology: Geochemistry and paleogeographic Reconstruction of the East Sulawesi
Ophiolite, Indonesia, Techtonophysics Vol 392, pp 55-83.
106
Karnawati, D., 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Le Maitre, W.R., (2002), Igneous Rocks: A Classification and Glossary of Terms, 2nd
Edition, Cambridge University Press.
Le Bas, M.J. dan A.L. Streckeisen. 1991. The IUGS Systematics of Igneous Rocks.
Journal of the Geological Society, vol. 148, h. 825 – 833
Parkinson, C.D., 1996. Emplacement of the East Sulawesi Ophiolite: Evidence from
Subophiolite Metamorphic Rocks. Journal of Asian Earth Sciences, Vol. 16, No. 1,
pp. 13-28.
Prijono, A., 1977. The Indonesian Mining Industry : Its Present and Future. Jakarta :
Indonesian Mining Association.
Rocscience Inc. 2010. Slide Version 6.0 [Software]. Rocscience Inc., Toronto.
Smith, R. E., Anand, R. R., Churcward, H. M., Robertson, I. D. M., and Grunsky, E. C.,
1998. Laterite Geochemistry for Detecting Concealed Mineral Deposits, Yilgran
Craton, Western Australia – Final Report. Perth : CSIRO Division of Exploration
Geoscience, Restricted Report 236R (Reissued as Open File Report 50, CRC
LEMME, Perth).
Sompotan, A. F., 2012. Struktur Geologi Sulawesi. Bandung : Perpustakaan Sains dan
Kebumian Isntitut Teknologi Bandung.
Van Zuidam, R.A., 1983. Guide to Geomorphologic Interpretation and Mapping, Section
of Geology and Geomorphology. Amsterdam : ITC Finschede The Nederland.
107
Waheed, A., 2002. Nickel Laterite - A Short Course On The Chemistry, Mineralogy And
Formation Of Nickel Laterites. Sorowako : PT INCO Indonesia.
Wyllie, D.C and Mah, C., 2004. Rock Slope Engineering Civil and Mining 4th Edition.
London : Spon Press Taylor and Francis Group.
2021
Tersusun atas batuan ultramafik yang Tersusun atas batuan ultramafik yang Tersusun atas batuan ultramafik yang
telah mengalami proses laterisasi telah mengalami proses laterisasi telah mengalami proses laterisasi
2021
67
48
66
SKALA 1 : 5.000
0 1 2 4 6 8 CM
58
39
a
b a. Kontur Indeks Lokasi Pengamatan
79 74 b. Interval Kontur
72
67 Jurus dan
KemiringanSesar
LAMPIRAN 3
2021
48
66
SKALA 1 : 5.000
58
39
0 1 2 4 6 8 CM
Ultramafik
Kompleks
Kapur
A (A) Litodem
Serpentinit
Tengah
B Litodem
Awal (B)
Peridotit
Umur berdasarkan Lembar Bungku (Simandjuntak, dkk. 1993)
Pemerian Satuan Batuan :
Litodem Peridotit :
Tersusun atas Hazburgit, Lherzolit, dan Serpentinit. Pada batuan Peridotitnya deskripsi megaskopis berupa : warna segar abu-abu
kehitaman, warna lapuk coklat kekuningan, Derajat Kristalisasi holokristalin, Derajat Granuralitas Fanerik kasar, Bentuk Kristal Subhedral-
Anhedral, Relasi Equigranular Hipidiomorfik Granular, komposisi mineral Olivin, Piroksen, Garnierit.
Sedangkan pada batuan serpentinitnya ditemukan kenampakan megaskopis berupa : warna segar hijau kebiruan, warna lapuk coklat,
150 150 struktur non-foliasi, tekstur kristaloblastik - nematoblastik dengan komposisi mineral Olivin, Piroksen, Serpentin, dan Chrysotille. Satuan
peridotit pada daerah penelitian memiliki struktur masif, dimana secara umum telah mengalami pelapukan sedang hingga kuat, sehingga
100 100 terbentuk soil berwarna coklat kemerahan.
50 50 Litodem Serpentinit :
Tersusuan atas Serpentinit dan Hazburgit. Pada batuan Serpentinitnya deskripsi megaskopis berupa : warna segar hijau kebiruan, warna
lapuk coklat, Struktur Non-Foliasi, Tekstur Kristaloblastik-Nematoblastik, dengan komposisi mineral Serpentin, Chrysotille, dan Piroksen.
0 0
Sedangkan pada batuan Peridotitnya ditemukan kenampakan megaskopis berupa : warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk coklat
? ? kekuningan, Derajat Kristalisasi Holokristalin, Derajat Granuralitas Fanerik halus-kasar, Bentuk Kristal Subhedral-Anhedral, Relasi
Equigranular Hipidiomorfik Granular, komposisi mineral Olivin, Piroksen, Garnierit, Chrysotille. Telah mengalami pelapukan yang intensif
(tinggi).
KETERANGAN :
b a. Kontur Indeks
a
b. Interval Kontur
150 150
100 100
50 50
0 0
? 79 Jurus dan
Kemiringan Kekar
LAMPIRAN 4
2021
SKALA 1 : 5.000
0 1 2 4 6 8 CM
b a. Kontur Indeks
a
b. Interval Kontur
LAMPIRAN 5
EVALUASI KESTABILAN LERENG PADA TAMBANG TERBUKA NIKEL DESA KEUNO
KECAMATAN PETASIA TIMUR, KABUPATEN MOROWALI UTARA PROVINSI SULAWESI TENGAH
OLEH : TUBAGUS IRFAN RAMAZEN / NIM 111.160.116 / TEKNIK GEOLOGI
MATERIAL PROPERTIES DIAGRAM ALIR EVALUASI KESTABILAN LERENG
Nama Material Warna Berat Volume Kohesi Sudut Geser UCS (KPa) mi
Kriteria Keruntuhan GSI
3
(kN/m ) (KPa) Dalam (KPa)
B
Top Soil 18.338 Mohr-Coulomb 26.086 35.678
C GT - 08 B’
Saprolit 17.162 Mohr-Coulomb 11.081 28.236 Penampang dari software Arcgis Menggunakan software Slide untuk
Generalised melakukan log bor untuk mengetahui Batasi material boundary, lalu isi material properties yang
BedRock 20.692 649.396 20 50
Hoek-Brown litologi bawah permukaan, lalu disimpan
sebagai external boundary
GT - 07
Nama Material Warna Berat Volume Kohesi Sudut Geser UCS (KPa) mi
Kriteria Keruntuhan GSI
3
(kN/m ) (KPa) Dalam (KPa)
Nama Material Warna Berat Volume Kohesi Sudut Geser UCS (KPa) mi
Kriteria Keruntuhan GSI
3
(kN/m ) (KPa) Dalam (KPa)
A
18.338
Top Soil 18.338 Mohr-Coulomb 26.086 35.678
BedRock 20.692
Generalised
Hoek-Brown
649.396 20 50
Selatan
BedRock 20.692
Generalised
Hoek-Brown
649.396 20 50
Selatan
A
B
GEOMETRI OVERALL SLOPE GEOMETRI OVERALL SLOPE
GEOMETRI OVERALL SLOPE
LERENG’ LERENG’ B LERENG’
Nama Material Warna Berat Volume Kohesi Sudut Geser UCS (KPa) Nama Material Warna Berat Volume Kriteria Keruntuhan Kohesi
Sudut Geser Kohesi Sudut Geser UCS (KPa)
Kriteria Keruntuhan mi GSI 3
(KPa) Dalam (KPa)
UCS (KPa) mi GSI Nama Material Warna Berat Volume Kriteria Keruntuhan mi GSI
(kN/m 3) (KPa) Dalam (KPa) (kN/m ) 3
(kN/m ) (KPa) Dalam (KPa)
Top Soil
Limonit
18.338
17.162
Mohr-Coulomb
Mohr-Coulomb
26.086
21.575
35.678
Limonit
Saprolit
17.848
16.671
16.475
Mohr-Coulomb
Mohr-Coulomb
Mohr-Coulomb
19.417
25.401
11.866
26.990
29.294
31.440
Top Soil
Limonit
18.535
17.554
Mohr-Coulomb
Mohr-Coulomb
24.439
26.401
31.346
28.911
BedRock
16.475
20.692
Mohr-Coulomb
Generalised
12.650 30.243
644.787 20 45
BedRock 20.692 649.396 20 50 Hoek-Brown
Hoek-Brown
Timur
Selatan Barat
PENAMPANG B - B’
BedRock
16.475
20.006
Mohr-Coulomb
Generalised
Hoek-Brown
11.866 31.440
639.197 20 45
BedRock 20.006
Generalised
Hoek-Brown
639.197 20 45
KESTABILAN LERENG REKOMENDASI
Timur Timur
Selatan
FK LERENG AKTUAL (FK 2,313 ) Barat
Timur
Top Soil
3
(kN/m )
Kriteria Keruntuhan
18.535
Kohesi Sudut Geser UCS (KPa)
(KPa) Dalam (KPa)
30
45
7
20
Mineral Opaq 81
LP 43 Tubagus Irfan Ramazen
Peridotit 111.160.116
4 Mineral Opaq
LP 61 Tubagus Irfan Ramazen
Serpentinit 111.160.116
Opaq
Mineral Opaq 2F
LP 39 Tubagus Irfan Ramazen
Peridotit 111.160.116
Mineral Opaq
LP 85 Tubagus Irfan Ramazen
Serpentinit 111.160.116
Opaq
2C
4M
Mineral Opaq 5A
LAMPIRAN 8
TABEL DATA BOR EKSPLORASI PT. BUKIT MAKMUR ISTINDO NIKELTAMA
8 9 1 LIM 1.3 100
9 10 1 SAP 1.1 100
10 11 1 SAP 1 100
11 12 1 SPR 1 100
12 13 1 SPR 1 100
13 14 1 RSP 1 100
14 15 1 SPR 1 100
15 16 1 SPR 1 100
16 17 1 BRK 0.9 0.1 90
17 18 1 BRK 1 100
6 2017 KEUNO 50 P161707 9759000 331902 303 25 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 25 Ridwan Razak 07/08/2017 07/09/2017 COMPLETE COMPLETE P161707
1 2 1 LIM 1.25 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1.25 100
5 6 1 LIM 1.25 100
6 7 1 LIM 1.05 100
7 8 1 LIM 1 100
8 9 1 LIM 1.3 100
9 10 1 LIM 1.3 100
10 11 1 LIM 1.3 100
11 12 1 LIM 1 100
12 13 1 LIM 1 100
13 14 1 LIM 1 100
14 15 1 LIM 1 100
15 16 1 SAP 1 100
16 17 1 SAP 1.3 100
17 18 1 SAP 1 100
18 19 1 SAP 1 100
19 20 1 SAP 0.8 0.2 80
20 21 1 RSP 1 100
21 22 1 RSP 1 100
22 23 1 BRK 1 100
23 24 1 BRK 1 100
24 25 1 BRK 1 100
7 2017 KEUNO 50 P161501 9758848 331853 294 12 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 12 Muhammad Ridwan 07/06/2017 07/07/2017 COMPLETE COMPLETE P161501
1 2 1 LIM 1.1 100
2 3 1 LIM 1.2 100
3 4 1 LIM 1.2 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 RSP 1 100
6 7 1 SPR 1 100
7 8 1 SPR 1 100
8 9 1 SPR 1 100
9 10 1 SPR 1 100
10 11 1 BRK 1 100
11 12 1 BRK 1 100
8 2017 KEUNO 50 P161503 9758902 331853 293 25 0 1 1 TPS 1.1 100 LINEAR SPU SPU 02 26 Muhammad Ridwan 07/08/2017 07/10/2017 COMPLETE COMPLETE P161503
1 2 1 LIM 1.2 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1.3 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.2 100
6 7 1 LIM 1.3 100
7 8 1 LIM 1 100
8 9 1 LIM 1.2 100
9 10 1 LIM 1.3 100
10 10.4 0.4 LIM 1 100
10.4 11 0.6 SAP 1.2 100
11 12 1 SAP 1.25 100
12 13 1 SAP 0.4 60 40
13 14 1 RSP 0.6 60
14 15 1 RSP 1 100
15 16 1 SPR 1 100
16 17 1 SPR 1 100
17 18 1 RSP 1 100
18 19 1 RSP 1 100
19 20 1 RSP 0.9 0.1 90
20 21 1 RSP 1 100
21 22 1 SPR 1 100
22 23 1 RSP 1 0.05 100
23 24 1 SPR 1 100
24 25 1 SPR 1 100
9 2017 KEUNO 50 P161301 9758848 331808 304 11 0 1 1 TPS 0.9 90 LINEAR SPU SPU 03 13 Nanang S 07/08/2017 07/10/2017 COMPLETE COMPLETE P161301
1 2 1 LIM 0.9 90
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 6.5 0.5 LIM 1 100
6.5 7 0.5 SAP 1 100
7 7.4 0.4 SAP 1 100
7.4 8 0.6 BRK 0.8 0.2 80
8 9 1 BRK 1 100
9 10 1 BRK 0.8 0.2 80
10 11 1 BRK 1 100
10 2017 KEUNO 50 P161101 9758855 331757 284 12 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 14 Nanang S 07/11/2017 07/11/2017 COMPLETE COMPLETE P161101
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 0.1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 LIM 1 100
7 7.5 0.5 LIM 0.5 100
7.5 8 0.5 SAP 0.5 100
8 8.5 0.5 SAP 0.5 100
8.5 9 0.5 BRK 0.5 100
9 10 1 BRK 1 100
10 11 1 BRK 1 100
11 12 1 BRK 1 100
11 2017 KEUNO 50 P161909 9759051 331953 310 18 0 1 1 TPS 1 100 SPU SPU 01 18 RIDWAN RAZAK 10 Juli 2017 11 Juli 2017 COMPLETE COMPLETE P161909
1 2 1 LIM 1.2 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.15 100
6 7 1 LIM 1.3 100
7 8 1 LIM 1.2 100
8 9 1 LIM 1 100
9 10 1 LIM 1.3 100
10 11 1 LIM 1.3 100
11 12 1 LIM 1.3 100
12 13 1 LIM 1.3 100
13 14 1 LIM 1 100
14 15 1 RSP 1 100
15 16 1 BRK 1 100
16 17 1 BRK 1 100
17 18 1 BRK 1 100
12 2017 KEUNO 50 P161703 9758900 331904 278 18 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 18 Muhammad Ridwan 07/10/2017 07/11/2017 COMPLETE COMPLETE P161703
1 2 1 LIM 1.05 100
2 3 1 LIM 1.15 100
3 4 1 LIM 1.2 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 LIM 1.2 100
7 8 1 LIM 0.9 0.1 90
8 9 1 LIM 1.25 100
9 10 1 SAP 1.3 100
10 11 1 RSP 1.1 100
11 12 1 RSP 1.1 100
12 13 1 RSP 1 100
13 14 1 RSP 0.85 0.15 85
14 15 1 SPR 1 100
15 16 1 RSP 0.8 0.2 80
16 17 1 RSP 1 100
17 18 1 SPR 1 100
13 2017 KEUNO 50 P161103 9758897 331755 288 17 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 18 Nanang S 07/12/2017 13/7/17 COMPLETE COMPLETE P161103
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1.4 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 SAP 1 100
7 8 1 SAP 1 100
8 9 1 RSP 1 100
9 10 1 SPR 0.9 0.1 90
10 11 1 RSP 1 100
11 12 1 RSP 1 100
12 13 1 RSP 0.9 0.1 90
13 13.5 0.5 RSP 0.4 0.1 80
13.5 14 0.5 BLD 0.4 0.1 80
14 15 1 RSP 0.8 0.2 80
15 16 1 BRK 0.8 0.2 80
16 17 1 BRK 0.8 0.2 80
14 2017 KEUNO 50 P161505 9758949 331854 298 20 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 20 Muhammad Ridwan 07/12/2017 13/7/17 COMPLETE COMPLETE P161505
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1.1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.1 100
6 7 1 LIM 1.1 100
7 8 1 LIM 1 100
8 9 1 LIM 1.1 100
9 10 1 LIM 1 100
10 11 1 LIM 1.2 100
11 12 1 LIM 1.2 100
12 13 1 LIM 1.2 100
13 14 1 LIM 1 100
14 15 1 LIM 1 100
15 16 1 RSP 0.75 0.25 75
16 17 1 SPR 1 100
17 18 1 SPR 1 100
18 19 1 BRK 1 100
19 20 1 BRK 1 100
15 2017 KEUNO 50 P161911 9759100 331954 315 18 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 18 Ridwan Razak 12/717 13/7/17 COMPLETE COMPLETE P161911
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.1 100
3 4 1 LIM 1.1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.25 100
6 7 1 LIM 1.25 100
7 8 1 LIM 1.1 100
8 9 1 LIM 1.25 100
9 10 1 LIM 1.15 100
10 11 1 LIM 1 100
11 12 1 LIM 1.3 100
12 13 1 LIM 1.1 100
13 14 1 LIM 1.2 100
14 15 1 LIM 1.2 100
15 16 1 BRK 1 100
16 17 1 BRK 1 100
17 18 1 BRK 1 100
16 2017 KEUNO 50 P161507 9758999 331854 304 20 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 21 Muhammad Ridwan 13/7/17 14/7/17 COMPLETE COMPLETE P161507
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 LIM 1 100
7 8 1 LIM 1 100
8 9 1 LIM 1 100
9 10 1 LIM 1 100
10 11 1 LIM 1 100
11 12 1 LIM 1.2 100
12 13 1 LIM 1 100
13 14 1 LIM 1.1 100
14 14.5 0.5 LIM 0.5 100
14.5 15 0.5 SAP 0.5 100
15 16 1 RSP 1.1 100
16 17 1 SPR 1 100
17 18 1 SPR 0.95 0.05 95
18 19 1 SPR 1 100
19 20 1 SPR 0.9 0.1 90
17 2017 KEUNO 50 P161711 9759101 331907 308 21 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 21 Ridwan Razak 14/07/17 15/07/17 COMPLETE P161711
1 2 1 LIM 1.1 100
2 3 1 LIM 1.2 100
3 4 1 LIM 1.3 100
4 5 1 LIM 1.3 100
5 6 1 LIM 1.2 100
6 7 1 LIM 1.2 100
7 8 1 LIM 1.2 100
8 9 1 LIM 1.1 100
9 10 1 LIM 1.2 100
10 11 1 LIM 1.1 100
11 12 1 LIM 1 100
12 13 1 LIM 1 100
13 14 1 SAP 1 100
14 15 1 SAP 1 100
15 16 1 SAP 1 100
16 17 1 RSP 0.8 80
17 18 1 SPR 0.9 90
18 19 1 SPR 1 100
19 20 1 BRK 1 100
20 21 1 BRK 1 100
18 2017 KEUNO 50 P161303 9758904 331801 294 19 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 19 Nanang. S 15/07/17 16/07/17 P161303
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.05 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1.2 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 SAP 1.2 100
7 8 1 SAP 1.15 100
8 9 1 SAP 1.1 100
9 10 1 SAP 1.05 100
10 11 1 SAP 1 100
11 12 1 SAP 1 100
12 13 1 SAP 1 100
13 14 1 SAP 0.85 0.15 85
14 15 1 SAP 0.9 0.1 90
15 16 1 SAP 1 100
16 17 1 SAP 1 100
17 18 1 SAP 1 100
18 19 1 BRK 1 100
19 2017 KEUNO 50 P161509 9759049 331853 303 24 0 1 1 TPS 1 100 LINIER SPU SPU 02 24 Muhammad Ridwan 15007017 16/07/17 P161509
1 2 1 LIM 0.95 0.5 95
2 3 1 LIM 1.3 100
3 4 1 LIM 1.3 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.4 100
6 7 1 LIM 1.2 100
7 8 1 LIM 1.2 100
8 9 1 LIM 1.2 100
9 10 1 LIM 1.15 100
10 11 1 LIM 1.3 100
11 12 1 LIM 1.1 100
12 13 1 LIM 1.3 100
13 14 1 LIM 1.5 100
14 15 1 LIM 1.5 100
15 16 1 LIM 1.3 100
16 17 1 LIM 1.2 100
17 18 1 LIM 1 100
18 19 1 LIM 1 100
19 20 1 LIM 1 100
20 21 1 SPR 1 100
21 22 1 SPR 1 100
22 23 1 BRK 1 100
23 24 1 BRK 1 100
20 2017 KEUNO 50 P161511 9759100 331854 301 21 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 21 Muhammad Ridwan 16/07/17 17/07/17 P161511
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.2 100
3 4 1 LIM 1.2 100
4 5 1 LIM 1.2 100
5 6 1 LIM 1.2 100
6 7 1 LIM 1.2 100
7 8 1 LIM 1.2 100
8 9 1 LIM 1.2 100
9 10 1 LIM 1.2 100
10 11 1 LIM 1.2 100
11 12 1 LIM 1.2 100
12 13 1 LIM 1.2 100
13 14 1 LIM 1.2 100
14 15 1 LIM 1.2 100
15 16 1 LIM 1.2 100
16 17 1 RSP 1.2 100
17 18 1 RSP 1 100
18 19 1 SPR 0.9 0.1 90
19 20 1 BRK 1 100
20 21 1 BRK 1 100
21 2017 KEUNO 50 P161713 9759147 331903 310 20 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 20 Ridwan Razak 15/07/17 16/07/17 P161713
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1.15 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.15 100
6 7 1 LIM 1.25 100
7 8 1 LIM 1.25 100
8 9 1 LIM 1.15 100
9 10 1 LIM 1 100
10 11 1 LIM 1 100
11 12 1 LIM 1.25 100
12 13 1 LIM 1 100
13 14 1 SAP 1 100
14 15 1 SAP 1 100
15 16 1 SPR 1 0.1 90
16 17 1 RSP 1 100
17 18 1 BRK 1 100
18 19 1 BRK 1 100
19 20 1 BRK 1 0.1 90
22 2017 KEUNO 50 P161913 9759150 331951 315 22 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 22 Ridwan Razak 16/07/17 18/07/17 P161913
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.1 100
3 4 1 LIM 1.15 100
4 5 1 LIM 1.1 100
5 6 1 LIM 1.25 100
6 7 1 LIM 1.2 100
7 8 1 LIM 1.2 100
8 9 1 LIM 1 100
9 10 1 LIM 1 100
10 11 1 LIM 1.2 100
11 12 1 LIM 1.15 100
12 13 1 LIM 1.2 100
13 14 1 LIM 1.2 100
14 15 1 LIM 1 100
15 16 1 SAP 1 100
16 17 1 SAP 1 100
17 18 1 RSP 1 100
18 19 1 SPR 1 100
19 20 1 BRK 1 0,.2 80
20 21 1 BRK 1 100
21 22 1 BRK 1 100
23 2017 KEUNO 50 P161305 9758954 331805 298 27 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 27 Nanang. S 17/07/17 18/07/17 P161305
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.3 100
3 4 1 LIM 1.3 100
4 5 1 LIM 1.3 100
5 6 1 LIM 1.3 100
6 7 1 LIM 1.2 100
7 8 1 LIM 1.1 100
8 9 1 LIM 1.2 100
9 10 1 LIM 1 100
10 11 1 LIM 1 100
11 12 1 LIM 1.1 100
12 13 1 LIM 1 100
13 14 1 LIM 1.35 100
14 15 1 SAP 1 100
15 16 1 SAP 0.9 0.1 90
16 17 1 SAP 0.9 0.1 90
17 18 1 RSP 1 100
18 19 1 RSP 1 100
19 20 1 SPR 1 100
20 21 1 SPR 1 100
21 22 1 RSP 1 100
22 23 1 RSP 1 100
23 24 1 RSP 1 100
24 25 1 RSP 0.9 0.1 90
25 26 1 SPR 1 100
26 27 1 BRK 1 100
24 2017 KEUNO 50 P161513 9759149 331855 302 20 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 21 Muhammad Ridwan 17/07/17 18/07/17 P161513
1 2 1 LIM 0.9 90
2 3 1 LIM 1.1 100
3 4 1 LIM 1.2 100
4 5 1 LIM 1.22 100
5 6 1 LIM 1.2 100
6 7 1 LIM 1.2 100
7 8 1 LIM 1.25 100
8 9 1 LIM 1.3 100
9 10 1 LIM 1.25 100
10 11 1 LIM 1.2 100
11 12 1 LIM 1.2 100
12 13 1 LIM 1.2 100
13 14 1 LIM 1.2 100
14 15 1 LIM 1.2 100
15 15.3 1 LIM 0.3 100
15.3 16 1 SPR 0.6 0.1 60
16 17 1 SPR 1 100
17 18 1 RSP 0.5 0.5 50
18 19 1 RSP 1 0.1 90
19 20 1 BRK 0.1 100
25 2017 KEUNO 50 P161915 9759203 331953 290 16 0 0.5 0.5 TPS 0.5 100 LINEAR SPU SPU 01 19 Ridwan Razak 19/07/17 20/07/17 P161915
0.5 1 0.5 BLD 0.4 0.1 80
1 2 1 LIM 0.5 100
2 2.5 0.5 BLD 0.4 0.1 80
2.5 3 0.5 LIM 1 100
3 4 1 BLD 0.5 100
4 4.5 0.5 LIM 0.5 100
4.5 5 0.5 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.15 115
6 7 1 LIM 1.1 110
7 8 1 SAP 1.15 115
8 9 1 SAP 1 100
9 10 1 SAP 1 100
10 11 1 RSP 1.1 110
11 12 1 RSP 0.8 0.1 80
12 13 1 SPR 1 100
13 14 1 BRK 1 100
14 15 1 BRK 1 100
15 16 1 BRK 1 100
26 2017 KEUNO 50 P161105 9758952 331758 284 18.5 0 1 1 TPS 0.6 0.4 60 LINEAR SPU SPU 03 21 Nanang. S 19/07/17 21/07/17 P161105
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 LIM 1 100
7 8 1 LIM 1 100
8 9 1 LIM 1 100
9 10 1 LIM 1 100
10 11 1 RSP 0.8 0.2 80
11 12.3 1.3 SAP 1.3 100
12.3 13 0.7 LIM 0.7 100
13 13.5 0.5 LIM 0.5 100
13.5 14 0.5 SAP 0.5 100
14 15 1 SAP 1 100
15 15.6 0.6 SAP 0.6 100
15.6 16 0.4 RSP 0.4 100
16 17 1 SPR 1 100
17 18 1 SPR 1 100
18 18.5 0.5 SPR 0.5 100
27 2017 KEUNO 50 P161107 9758997 331753 285 12 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 12 Nanang. S 21/07/2017 22/07/2017 P161107
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 RSP 1 100
7 8 1 RSP 1 100
8 9 1 RSP 1 100
9 10 1 RSP 1 100
10 11 1 RSP 1 100
11 12 1 RSP 1 100
28 2017 KEUNO 50 P161515 9759206 331856 285 21 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 23 RUSTAM 27/07/2017 28/07/2017 P161515
1 2 1 TPS 0.95 0.05 95
2 2.5 0.5 LIM 0.5 100
2.5 3 0.5 LIM 0.5 100
3 3.5 0.5 LIM 0.4 0.1 80
3.5 4 0.5 RSP 0.5 100
4 5 1 SPR 1 100
5 6 1 RSP 1 100
6 7 1 RSP 1 100
7 8 1 RSP 1 100
8 9 1 SPR 1 100
9 10 1 SPR 1 100
10 11 1 SPR 1 100
11 12 1 SPR 1 100
12 13 1 SPR 1 100
13 14 1 SPR 1 100
14 15 1 RSP 0.75 0.25 75
15 16 1 SPR 1 100
16 17 1 RSP 1 100
17 18 1 SPR 1 100
18 19 1 SPR 1 100
19 20 1 SPR 1 100
20 21 1 BRK 0.85 0.15 85
29 2017 KEUNO 50 P162313 9759148 332053 325 25 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 23 RIDWAN RAZAK 21/07/17 23/07/17 P162313
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.1 110
3 4 1 LIM 1.2 120
4 5 1 LIM 1.2 120
5 6 1 LIM 1.1 110
6 7 1 LIM 1.1 110
7 8 1 LIM 1.1 110
8 9 1 LIM 1.2 120
9 10 1 LIM 1.2 120
10 11 1 LIM 1.05 105
11 12 1 LIM 1 100
12 13 1 LIM 1.1 110
13 14 1 LIM 1.2 120
14 15 1 LIM 1 100
15 16 1 LIM 1 100
16 17 1 LIM 1 100
17 18 1 1 100
18 19 1 SAP 0.9 0.1 90
19 20 1 SPR 1 100
20 21 1 SPR 1 100
21 22 1 SPR 1 100
22 23 1 SPR 1 100
23 24 1 BRK 1 100
24 25 1 BRK 1 100
30 2017 KEUNO 50 P161307 9759001 331807 298 30 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 32 Nanang. S 23/07/2017 26/07/2017 P161307
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.3 130
3 4 1 LIM 1.1 110
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 LIM 1 100
7 8 1 LIM 1.1 110
8 9 1 LIM 1.2 120
9 10 1 LIM 1.2 120
10 11 1 LIM 1.1 110
11 12 1 LIM 1 100
12 13 1 LIM 1.1 110
13 14 1 LIM 1 100
14 15 1 LIM 1 100
15 16 1 LIM 1.2 120
16 17 1 LIM 1 100
17 18 1 LIM 1 100
18 18.4 0.4 LIM 0.4 100
18.4 19 0.6 SAP 0.6 100
19 20 1 SAP 1 100
20 21 1 SAP 1 100
21 22 1 RSP 1 100
22 23 1 SAP 1 100
23 24 1 RSP 1 100
24 25 1 RSP 1 100
25 26 1 SPR 1 100
26 27 1 SPR 0.9 0.1 90
27 28 1 SPR 1 100
28 29 1 SPR 1 100
29 29.5 0.5 SPR 0.5 100
29.5 30 0.5 BRK 0.5 100
31 2017 KEUNO 50 P161715 9759197 331904 299 35 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 35 Muhammad Ridwan 24/07/2017 25/07/2017 P161715
1 2 1 LIM 0.95 0.05 95
2 3 1 LIM 0.9 0.1 90
3 4 1 LIM 1.13 113
4 5 1 LIM 1.13 113
5 6 1 LIM 1.2 120
6 7 1 LIM 1.2 120
7 8 1 LIM 1.2 120
8 9 1 LIM 1.2 120
9 10 1 LIM 1.2 120
10 11 1 LIM 1.2 120
11 12 1 LIM 1.2 120
12 13 1 LIM 1 100
13 14 1 LIM 1.2 120
14 15 1 LIM 1.1 110
15 16 1 LIM 1.2 120
16 17 1 LIM 1.2 120
17 18 1 LIM 1 100
18 19 1 RSP 0.9 0.1 90
19 20 1 LIM 1 100
20 21 1 LIM 0.9 0.1 90
21 22 1 LIM 1 100
22 23 1 RSP 1 100
23 24 1 RSP 1.1 110
24 25 1 RSP 0.55 0.45 55
25 26 1 RSP 1.2 120
26 27 1 RSP 1.2 120
27 28 1 SPR 1 100
28 29 1 SPR 1 100
29 30 1 SPR 1 100
30 31 1 RSP 0.8 0.2 80
31 32 1 RSP 0.9 0.1 90
32 33 1 RSP 0.85 0.15 85
33 34 1 SPR 0.9 0.1 90
34 35 1 SPR 0.8 0.2 80
32 2017 KEUNO 50 P162311 9759097 332056 313 16 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 16 RIDWAN RAZAK 24/07/17 25/07/17 P162311
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.1 110
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1.15 115
5 6 1 LIM 1.15 115
6 7 1 LIM 1 100
7 8 1 LIM 1.2 120
8 9 1 LIM 1.1 110
9 10 1 SAP 1 100
10 11 1 SPR 1 100
11 12 1 RSP 1.05 105
12 13 1 SPR 1 100
13 14 1 BRK 1 100
14 15 1 BRK 1 100
15 16 1 BRK 1 100
33 2017 KEUNO 50 P162111 9759096 332007 313 17 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 18 RIDWAN RAZAK 25/07/17 26/07/17 P162111
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1.1 110
3 4 1 LIM 1.15 115
4 5 1 LIM 1.15 115
5 6 1 LIM 1.2 120
6 7 1 LIM 1.15 115
7 8 1 LIM 1.15 115
8 9 1 LIM 1.15 115
9 10 1 LIM 1.05 105
10 11 1 LIM 1.05 105
11 12 1 LIM 1.05 105
12 13 1 SAP 1.05 105
13 13.5 0.5 RSP 0.5 100
13.5 14 0.5 BRK 0.5 100
14 15 1 BRK 1 100
15 16 1 BRK 1 100
16 17 1 BRK 1 100
34 2017 KEUNO 50 P161309 9759048 331809 298 23 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 25 Nanang S 26/07/2017 28/07/2017 P161309
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 LIM 1 100
7 8 1 LIM 1.2 120
8 9 1 LIM 1.2 120
9 10 1 LIM 1.2 120
10 11 1 LIM 1 100
11 11.4 0.4 BLD 0.4 100
11.4 12 0.6 SAP 0.6 100
12 12.3 0.3 BLD 0.3 100
12.3 13 0.7 SAP 0.7 100
13 14 1 SAP 1 100
14 15 1 SAP 1 100
15 16 1 SAP 1 100
16 17 1 RSP 1 100
17 18 1 RSP 1 100
18 19 1 SAP 1 100
19 20 1 SPR 1 100
20 21 1 SPR 0.9 10 90
21 22 1 BRK 1 100
22 23 1 BRK 1 100
35 2017 KEUNO 50 P162109 9759051 332004 301 12 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 12 RIDWAN RAZAK 26/07/17 27/07/17 P162109
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 SAP 1 100
6 7 1 RSP 1 100
7 8 1 SPR 1 100
8 9 1 SPR 1 100
9 10 1 BRK 1 100
10 11 1 BRK 1 100
11 12 1 BRK 1 100
36 2017 KEUNO 50 P161717 9759241 331914 277 7 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 9 Muhammad Ridwan 27/07/2017 28/07/2017 P161717
1 2 1 LIM 1.1 110
2 2.55 0.55 RSP 0.55 100
2.55 3 0.45 SPR 0.45 100
3 4 1 SPR 1 100
4 4.5 0.5 RSP 0.5 100
4.5 5 0.5 SPR 0.5 100
5 6 1 BRK 1 100
6 7 1 BRK 1 100
37 2017 KEUNO 50 P162309 9759056 332055 307 8 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 8 RIDWAN RAZAK 29/07/17 29/07/17 P162309
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1.05 105
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 BRK 1 100
6 7 1 BRK 1 100
7 8 1 BRK 1 100
38 2017 KEUNO 50 P161311 9759095 331795 302 26 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 27 NANANG.S 28/07/2017 30/07/2017 P161311
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1.1 110
5 6 1 LIM 1.2 120
6 7 1 LIM 1.2 120
7 8 1 LIM 1.2 120
8 9 1 LIM 1.1 110
9 10 1 LIM 1.1 110
10 11 1 LIM 1.15 115
11 12 1 LIM 1 100
12 12.7 0.7 LIM 0.7 100
12.7 13 0.3 SAP 0.3 100
13 14 1 SAP 1.1 110
14 15 1 SAP 1 100
15 16 1 LIM 1.3 130
16 17 1 SAP 1 100
17 18 1 RSP 1 100
18 19 1 RSP 1 100
19 20 1 RSP 1 100
20 21 1 RSP 1 100
21 22 1 RSP 1 100
22 23 1 SPR 1 100
23 24 1 SPR 1 100
24 25 1 BRK 1 100
25 26 1 BRK 1 100
39 2017 KEUNO 50 P162307 9759001 332054 306 16 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 18 RIDWAN RAZAK 29/07/17 30/07/17 P162307
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.1 110
6 7 1 LIM 1.1 110
7 8 1 LIM 1.05 105
8 9 1 LIM 1.05 105
9 10 1 RSP 1 100
10 11 1 RSP 1 100
11 11.5 0.5 BLD 0.5 100
11.5 12 0.5 RSP 0.5 100
12 12.5 0.5 RSP 0.5 100
12.5 13 0.5 BRK 0.5 100
13 14 1 BRK 1 100
14 15 1 BRK 1 100
15 16 1 BRK 1 100
40 2017 KEUNO 50 P161919 9759302 331958 247 20 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 02 24 Muhammad Ridwan 29/07/2017 31/07/2017 P161919 P161919
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 3.3 0.3 RSP 0.3 100
3.3 4 0.7 SPR 0.7 100
4 5 1 SPR 1 100
5 6 1 RSP 1 100
6 7 1 SPR 0.9 0.1 90
7 8 1 SAP 1.1 110
8 9 1 SAP 1.2 120
9 9.45 0.45 SAP 0.45 100
9.45 10 0.55 RSP 0.55 100
10 11 1 SPR 1 100
11 11.5 0.5 SAP 0.5 100
11.5 12 0.5 RSP 0.5 100
12 13 1 SAP 1 100
13 13.4 0.4 SAP 0.4 100
13.4 14 0.6 SPR 0.6 100
14 15 1 SPR 1 100
15 16 1 SPR 1 100
16 17 1 SPR 0.9 0.1 90
17 18 1 SPR 1 100
18 19 1 BRK 1 100
19 20 1 BRK 1 100
41 2017 KEUNO 50 P162107 9758999 332005 295 19 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 20 RIDWAN RAZAK 30/07/17 08/01/2017 P162107 P162107
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1.1 110
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 LIM 1 100
7 8 1 LIM 1 100
8 9 1 LIM 1 100
9 10 1 LIM 1 100
10 11 1 LIM 1.1 110
11 12 1 LIM 1 100
12 13 1 LIM 1 100
13 14 1 LIM 1 100
14 14.5 0.5 BLD 0.5 100
14.5 15 0.5 LIM 0.5 100
15 16 1 RSP 1 100
16 17 1 SPR 1 100
17 18 1 BRK 1 100
18 19 1 BRK 1 100
42 2017 KEUNO 50 P161109 9759057 331762 299 15 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 17 NANANG.S 31/07/2017 31/07/2017 P161109 P161109
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1 100
6 7 1 LIM 1.2 120
7 8 1 LIM 1.2 120
8 9 1 LIM 1.1 110
9 9.4 0.4 LIM 0.4 100
9.4 10 0.6 RSP 0.6 100
10 11 1 SPR 1 100
11 12 1 SPR 1 100
12 13 1 RSP 1 100
13 13.6 0.6 SPR 0.6 100
13.6 14 0.4 BRK 0.4 100
14 15 1 BRK 1 100
43 2017 KEUNO 50 P160909 9759036 331713 287 5 0 0.5 0.5 TPS 0.5 100 LINEAR SPU SPU 03 6 NANANG.S 08/01/2017 08/01/2017 P160909 P160909
0.5 1 0.5 LIM 0.5 100
1 2 1 SAP 1 100
2 3 1 SAP 1 100
3 4 1 RSP 1 100
4 5 1 RSP 1 100
44 2017 KEUNO 50 P162105 9758952 332006 305 15 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 15 RIDWAN RAZAK 08/01/2017 08/02/2017 P162105 P162105
1 2 1 LIM 1.3 130
2 3 1 LIM 1.2 120
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1.2 120
5 6 1 LIM 1.3 130
6 7 1 LIM 1.1 110
7 8 1 BLD 1 100
8 9 1 SAP 1.2 120
9 10 1 SPR 1 100
10 11 1 SPR 1.3 130
11 12 1 SPR 1 100
12 13 1 SPR 1 100
13 14 1 BRK 0.9 0.1 90
14 15 1 BRK 1 100
45 2017 KEUNO 50 P162121 9759349 332006 231 12 0 0.6 0.6 TPS 0.6 100 LINEAR SPU SPU 02 14 MUHAMMAD RIDWAN
08/01/2017 08/07/2017 P162121 P162121
0.6 1 0.4 LIM 0.4 100
1 1.7 0.7 LIM 0.7 100
1.7 2 0.3 SAP 0.3 100
2 3 1 RSP 1 100
3 4 1 SPR 1 100
4 5 1 SPR 1.2 120
5 6 1 RSP 1 100
6 7 1 SPR 1 100
7 8 1 SPR 1 100
8 9 1 SPR 1 100
9 10 1 BRK 1 100
10 11 1 BRK 1 100
11 12 1 BRK 1 100
46 2017 KEUNO 50 P160907 9759000 331702 290 16 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 16 NANANG.S 08/02/2017 08/03/2017 P160907 P160907
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1.15 115
5 6 1 LIM 1.05 105
6 7 1 RSP 0.9 0.1 90
7 8 1 RSP 1 100
8 9 1 RSP 1 100
9 10 1 RSP 1 100
10 11 1 RSP 1 100
11 12 1 RSP 1 100
12 13 1 RSP 1 100
13 14 1 SPR 1 100
14 15 1 SPR 0.9 0.1 90
15 16 1 BRK 1 100
47 2017 KEUNO 50 P160707 9758993 331651 306 21 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 22 NANANG.S 08/03/2017 08/05/2017 P160707 P160707
1 2 1 LIM 1 100
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1 100
4 5 1 LIM 1 100
5 6 1 LIM 1.1 110
6 7 1 LIM 1 100
7 8 1 LIM 1.15 115
8 9 1 LIM 1.15 115
9 10 1 LIM 1.2 120
10 11 1 LIM 1.2 120
11 12 1 LIM 1.15 115
12 13 1 LIM 1.15 115
13 14 1 LIM 1 100
14 15 1 LIM 1 100
15 16 1 RSP 1 100
16 17 1 SPR 0.9 0.1 90
17 18 1 SPR 0.8 0.2 80
18 18.5 0.5 SPR 0.5 100
18.5 19 0.5 SPR 0.5 100
19 20 1 SPR 1 100
20 21 1 SPR 1 100
48 2017 KEUNO 50 P162505 9758954 332104 267 8 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 9 RUSTAM 08/03/2017 08/04/2017 P162505 P162505
1 1.5 0.5 LIM 0.5 100
1.5 2 0.5 RSP 0.5 100
2 3 1 RSP 1 100
3 4 1 SPR 0.8 0.2 80
4 5 1 SPR 1 100
5 6 1 BRK 1 100
6 7 1 BRK 1 100
7 8 1 BRK 1 100
49 2017 KEUNO 50 P162707 9759001 332157 292 10 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 01 11 HENDRA 08/05/2017 08/06/2017 P162707 P162707
1 1.5 0.5 LIM 0.5 100
1.5 2 0.5 BLD 0.5 100
2 3 1 RSP 1 100
3 4 1 SPR 1 100
4 5 1 SPR 1 100
5 6 1 SPR 1 100
6 7 1 SPR 1 100
7 8 1 BRK 1 100
8 9 1 BRK 1 100
9 10 1 BRK 1 100
50 2017 KEUNO 50 P160705 9758949 331654 298 26 0 1 1 TPS 1 100 LINEAR SPU SPU 03 27 NANANG.S 08/05/2017 08/07/2017 P160705 P160705
1 2 1 LIM 1.2 120
2 3 1 LIM 1 100
3 4 1 LIM 1.2 120
4 5 1 LIM 1.05 105
5 6 1 LIM 1.15 115
6 6.6 0.6 LIM 0.6 100
6.6 7 0.4 SAP 0.4 100
7 8 1 RSP 1 100
8 9 1 SPR 0.9 0.1 90
9 10 1 RSP 0.9 0.1 90
10 11 1 RSP 1 100
11 12 1 RSP 1 100
12 13 1 SPR 1 100
13 14 1 SPR 1 100
14 15 1 SPR 0.9 0.1 90
15 16 1 RSP 1 100
16 17 1 SPR 1 100
17 18 1 SPR 1 100
18 19 1 RSP 1 100
19 20 1 RSP 1 100
20 21 1 SPR 1 100
21 22 1 SPR 0.8 0.2 80
22 23 1 SPR 0.9 0.1 90
23 24 1 RSP 1 100
24 25 1 RSP 1 100
25 26 1 BRK 1 100
LAMPIRAN 9
LAPORAN PENGEBORAN GEOTEKNIK GT-7
PROJECT ID : PEMBORAN GEOTEKNIK TOTAL DEPTH : 18 m LOKASI elevasi: 301
HOLE ID : GT 07 START : 10.48 WITA / 13.10.2019 E 331908
OPERATOR BOR : SYAHFUDDIN FINISH : 10.11 WITA / 14.1.2019 N 9759197
WELSITE : ARHAM.S
0,113
KODE SAMPEL
0,259 0,121