Anda di halaman 1dari 12

BAB II

GEOLOGI REGIONAL

2.1 Fisiografi Regional

Van Bemmelen (1949) membagi Jawa bagian timur dan Madura menjadi
tujuh zona fisiografi (Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut: Zona
Pegunungan Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung,
Zona Rembang, Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunungapi Kuarter.

1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur


Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur volkanik
Eosen-Miosen yang terdiri dari endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat
dan volkanik dengan kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk.,
2005). Zona ini tidak menerus, yaitu terdiri dari paling tidak tiga bagian yang
terisolasi (van Bemmelen, 1949). Zona Pegunungan Selatan Jawa Bagian Timur
memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta
sampai ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya mempunyai
topografi yang dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai gejala
karst.

2. Zona Solo
Pada Zona Solo, formasi berumur tersier ditutupi oleh beberapa
gunungapi kwarter. Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu:
• Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur
depresi yang sempit di antara pegunungan selatan dan gunungapi muda, serta
ditutupi oleh endapan aluvial.
• Subzona Solo Bagian Tengah. Subzona ini dibentuk oleh deretan
gunungapi vulkanik muda dan dataran–dataran antar pegunungan. Gunungapi
tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger
dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar
gunungapinya adalah Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri.
Dataran antar gunungapi ini pada umumnya dibentuk oleh endapan lahar.

5
• Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi
yang berbatasan dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di
bagian utara. Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan endapan
gunungapi yang kecil.

3. Zona Kendeng
Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari
Semarang yang kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di
bagian utara. Antiklinorium ini merupakan perpanjangan ke arah timur dari
Pegunungan Serayu Utara di Jawa Tengah. Smyth dkk. (2005) menyatakan bahwa
Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur. Zona ini pada
umumnya dibentuk oleh endapan volkanik, batupasir, batulempung, dan napal.

4. Zona Randublatung
Zona Randublatung merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari
Semarang di sebelah barat sampai Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan
dengan Zona Kendeng di bagian selatan dan Zona Rembang di bagian utara.

5. Zona Rembang
Zona Rembang merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah
barat-timur, mulai dari sebelah timur Semarang sampai Pulau Madura dan Kangean.
Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala
tektonik Tersier akhir (Pringgoprawiro, 1983). Zona ini terdiri dari sikuen Eosen-
Pliosen berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona ini
terdapat suatu tinggian (Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor berarah
ENE-WSW (Smyth dkk., 2005).

6. Dataran Aluvial Jawa Utara


Dataran Aluvial Jawa Utara menempati dua bagian, yaitu bagian barat
dan bagian timur. Di bagian barat mulai dari Semarang ke timur sampai ke Laut Jawa
dan berbatasan dengan Zona Rembang di bagian timur. Di bagian timur mulai dari
Surabaya ke arah barat laut, di sebelah barat berbatasan dengan Zona Randublatung,
di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan Zona Rembang.

6
7. Gunung Api Kuarter
Gunung Api Kuarter menempati bagian tengah di sepanjang Zona Solo.
Gunungapi yang tidak menempati Zona Solo adalah Gunung Muria.
Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini sebagai Busur Volkanik
Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir.

Berdasarkan pembagian zona fisiografi tersebut, daerah penelitian termasuk


ke dalam Zona Rembang, yang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk
antiklinorium yang memanjang pada arah barat–timur. Pegunungan lipatan ini
memanjang mulai dari utara Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban, dan berakhir
di P. Madura (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Timur (van Bemmelen, 1949).

2.2 Stratigrafi Regional

Mandala pengendapan rembang masuk ke dalam Zona Fisiografi Rembang


dari van Bemmelen (1949). Tidak seperti sedimen-sedimen pada Zona Kendeng,
Mandala Rembang tidak mengandung unsur volkanik serta merupakan endapan khas
paparan (Pringgoprawiro, 1983). Paparan ini memiliki kemiringan landai ke arah
selatan dan diisi oleh endapan relatif tipis (ketebalan rata-rata kurang dari 1850 m).

7
Mandala Rembang mengandung urut-urutan endapan-endapan Kenozoikum yang
tebal dan tak terputus hingga Pleistosen (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Kolom Stratigrafi Umum Mandala Rembang (Pringgoprawiro, 1983).

Berikut ini adalah beberapa formasi yang diendapkan pada Mandala


Rembang menurut Pringgoprawiro (1985):

1. Formasi Kujung

Penamaan formasi pertama kali digunakan oleh Trooster (1937; dalam


Pringgoprawiro, 1982). Lokasi tipenya ada di sekitar Desa Kujung, sepanjang Sungai
Secang, Tuban. Litologi khas untuk formasi ini ialah napal, lempung napalan,
berwarna abu-abu, dengan sisipan batugamping bioklasttik dan mengandung

8
foraminifera besar. Batas bawahnya tidak diketahui karena tidak tersingkap, akan
tetapi data sumur Ngimbang-1 menunjukkan adanya kedudukan selaras antara
Formasi Kujung dan Formasi Ngimbang yang terletak di bawahnya. Penyebarannya
terbatas di sekitar Tuban. Di lokasi tipenya, ketebalan mencapai 680 meter.
Berdasarkan kehadiran foraminifera plankton dan foraminifera besarnya, umur
Formasi Kujung adalah Oligosen atas dan diendapkan pada lingkungan laut terbuka
pada zona batial atas.

2. Formasi Prupuh

Penamaan formasi pertama kali diusulkan oleh Pringgoprawiro (1982).


Lokasi tipenya ada di sekitar Desa Prupuh, 5 km arah barat laut dari Desa Panceng,
Paciran, dengan ciri–ciri litologi terdiri dari perselingan antara batugamping
bioklastik yang kaya akan foraminifera dengan batugamping kapuran yang kompak
dan getas. Formasi Prupuh diendapkan selaras di atas Formasi Kujung dan terletak
selaras di bawah Formasi Tuban. Menempati jalur sempit dan memanjang pada
tinggian Tuban, mulai dari Panceng di timur hingga Palang, Tuban di sebelah barat.
Tebal terukur di lokasi tipe ialah 76 meter. Formasi Tuban juga tersebar ke arah lepas
pantai dan dijumpai di sumur–sumur pemboran lepas pantai. Umurnya adalah
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal bagian bawah atau zona N3–N5 dan
lingkungan pengendapannya adalah zona neritik luar berdasarkan foraminifera yang
ada.

3. Formasi Tuban

Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Pringgoprawiro (1983), dan


nama diambil dari tinggian Tuban. Tipe lokasinya adalah Desa Drajat, Paciran,
Tuban, tersingkap baik di sepanjang Kali Suwuk, Desa Drajat. Ciri litologinya adalah
endapan lempung yang monoton dengan sisipan batugamping. Formasi Tuban
diendapkan secara selaras di atas Formasi Prupuh sedangkan bagian atasnya ditutupi
secara tidak selaras oleh Formasi Paciran. Di Jawa Timur utara formasi ini
mempunyai penyebaran terbatas dan hanya tersingkap di Tinggian Tuban saja. Tapi
ke arah timur endapan Formasi Tuban dijumpai di Dataran Madura, sedangkan di
lepas pantai hanya dijumpai pada sumur–sumur pemboran. Tebal di lokasi tipe
mencapai 665 meter. Formasi Tuban berumur N5–N.6 (Miosen Awal) berdasarkan

9
hadirnya Globigerinoides primordius, serta diendapkan pada paparan zona sublitoral
luar dengan kedalaman 50-150 meter.

4. Formasi Tawun

Penamaannya pertama kali digunakan oleh Brouwer (1957; dalam


Pringgoprawiro, 1982). Stratotipenya adalah sumur pemboran BPM Tawun-5.
Formasi ini terdiri atas batulempung bersisipan batugamping dan batupasir. Bagian
bawah formasi ini didominasi oleh batulempung hitam-kelabu yang bergradasi
hingga batulanau pasiran berwarna kelabu. Bagian atas dari formasi ini ditandai oleh
akumulasi batugamping bioklastik yang ketebalannya mencapai 100 meter di
beberapa tempat. Hubungan stratigrafi dengan Formasi Tuban di bawahnya dan
Formasi Bulu di atasnya adalah selaras. Penyebaran Formasi ini cukup luas di
Mandala Rembang Barat dan di Pulau Madura. Dijumpai pula pada sumur pemboran
lepas pantai Jawa Timur Utara dan Madura. Tebal Formasi ini di sumur Tawun-5
adalah 1500 meter. Di permukaan tebalnya sekitar 730 meter seperti pada
penampang Sumberan–Brangkal. Analisa mikropaleontologi yang dilakukan
menunjukkan umur Miosen Awal teratas hingga Miosen Tengah, zona N8–N12
ditentukan dengan menggunakan foraminifera plangton, sedangkan menggunakan
foraminifera besar didapatkan umur Te-5. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun
adalah paparan dangkal pada zona sublitoral pinggir.

5. Formasi Bulu

Penamaannya diusulkan oleh Pringgoprawiro (1983) sebagai pengganti


nama “Platen Komplex” oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro, 1982). Tipe
lokasinya adalah di Desa Bulu, Rembang, yaitu sepanjang Gunung Gendruwo. Ciri
litologi pada stratotipenya terdiri dari batugamping pasiran yang berlapis, berbentuk
plat (tebal 10 cm–33 cm) dan sisipan napal di bagian tengah. Hubungan stratigrafi
Formasi Bulu dengan Formasi Tawun di bawahnya adalah selaras (Pringgoprawiro,
1982), seperti yang dapat diamati sepanjang Sungai Kemadu dan Sungai Besek,
Bulu. Formasi Wonocolo yang diendapkan di atasnya juga mempunyai hubungan
yang selaras. Penyebarannya cukup luas di Mandala Rembang mulai dari daerah
Todanan di bagian barat hingga Madura di bagian timur. Endapan Formasi Bulu juga
ditemukan pada sumur–sumur pemboran lepas pantai. Pada lokasi tipe tebalnya

10
sampai 248 meter, sedangkan di daerah lain ketebalannya berkisar antara 55 meter
hingga 200 meter. Umur formasi ini ialah Miosen Tengah, zona N14–N15 atau Tf
bawah berdasarkan atas kandungan foraminiferanya, sedangkan lingkungan
pengendapannya adalah zona litoral sampai zona sublitoral pinggir berdasarkan
kandungan biotanya.

6. Formasi Wonocolo

Penamaannya pertama kali oleh Trooster (1937; dalam Pringgoprawiro,


1982), dengan lokasi tipe di sekitar Desa Wonocolo, 20 kilometer arah timur laut dari
Cepu. Ciri litologinya terdiri dari perulangan antara napal, napal lempungan hingga
napal pasiran dengan perselingan kalkarenit. Napalnya kaya akan foraminifera
plangton. Formasi ini terletak secara selaras dengan Formasi Ledok pada
stratotipenya. Formasi Wonocolo mempunyai penyebaran yang luas di Mandala
Rembang dengan arah barat–timur, mulai dari Todanan sampai tinggian Tuban. Di
daerah Rembang tebalnya sekitar 100 meter. Di daerah Manjung bahkan dapat
mencapai 600 meter. Umurnya adalah bagian bawah dari Miosen Akhir dan
diendapkan pada lingkungan laut terbuka pada zona bathyal atas.

7. Formasi Ledok

Penamaannya pertama kali diusulkan oleh Trooster (1937) dengan lokasi


tipe di Antiklin Ledok, yaitu berjarak 10 km Utara Cepu. Pada lokasi tipenya, ciri
litologinya adalah perulangan antara napal pasiran, kalkarenit dengan napal dan
batupasir. Glaukonit yang berlimpah ditemukan di bagian atas formasi. Setempat
kalkarenit dan napal pasiran memperlihatkan struktur silang siur. Hubungan
stratigrafi dengan Formasi Wonocolo di bawahnya dan Formasi Mundu di atasnya
adalah selaras pada lokasi tipenya. Formasi Ledok memiliki persebaran yang terbatas
di Mandala Rembang. Di bagian barat endapannya ditemukan di daerah Todanan,
akan tetapi ke arah timur tidak ditemukan di daerah Tinggian Tuban. Ketebalan
terukur pada lokasi tipe sekitar 190 meter, sedangkan di daerah lain ketebalannya
berkisar antara 82 hingga 220 meter. Berdasarkan kehadiran Globorotalia
plesiotumida, umur Formasi Ledok adalah Miosen Akhir atau zona N17. Lingkungan
pengendapannya adalah sublitoral pinggir berdasarkan rasio plangton/bentos yang
berkisar 27% sampai 30%.

11
8. Formasi Mundu

Penamaannya pertama kali digunakan oleh Klein (1918), berasal dari


nama Desa Mundu. Lokasi tipe Formasi Mundu berada di Sungai Kalen, Desa
Mundu, 10 km arah barat dari Cepu, Sedangkan stratotipenya ialah lintasan
sepanjang 1,5 km pada sayap Utara Antiklin Kedinding, 3 km arah barat Desa
Mundu. Ciri litologinya ialah Napal kehijuan yang masif. Bagian atasnya ditempati
oleh batugamping pasiran. Formasi Mundu diendapkan selaras di atas Formasi Ledok
dan dengan Formasi Lidah di atasnya. Penyebarannya sempit di kawasan Mandala
Rembang, yaitu di sekitar Todanan dan Tinggian Tuban. Ketebalan rata–rata Formasi
Mundu adalah 255 meter hingga 342 meter. Umurnya adalah Miosen Akhir hingga
pliosen atau zona N.18–N.20 dari analisa foraminifera plangtonnya. Lingkungan
pengendapannya adalah lingkungan laut terbuka dengan kedalaman antara 700 meter
hingga 1000 meter. Semakin ke atas kedalamannya berkurang hingga laut dangkal
pada zona sublitoral pinggir.

9. Formasi Paciran

Penamaannya diambil dari Kota Paciran (Pringgoprawiro, 1983), Tuban.


Stratotipenya adalah batugamping terumbu di sekitar Bukit Piramid. Formasi ini
terdiri dari batugamping terumbu yang masif, seringkali memperlihatkan gejala karst.
Formasi Paciran diendapkan tidak selaras di atas Formasi Mundu dan mempunyai
hubungan yang menjemari dengan Formasi Lidah. Endapan formasi ini banyak
ditemukan di Tinggian Tuban dan di Pulau Madura dengan ketebalan berkisar antara
105 meter hingga 150 meter. Umurnya diketahui berkisar antara Pliosen dan
Pleistosen. Lingkungan pengendapannya adalah di laut dangkal, jernih, hangat, dekat
pantai, zona litoral–sublitoral pinggir.

10. Formasi Lidah

Penamaan Lidah Formation pertama kali digunakan Brouwer (1957),


sedangkan van Bemmelen (1949) menyebutnya Blue Clays. Stratotipe hipo Formasi
Lidah berada di Banyuurip, Kawengan, Cepu (Pringgoprawiro, 1983). Ciri litologi

12
terdiri dari batulempung yang monoton, berwarna biru tua, plastis, dan berlapis
buruk. Formasi ini selaras diendapkan di atas Formasi Sonde. Penyebarannya sempit
yaitu hanya di depresi Randublatung (Mandala Rembang), mulai dari Pati hingga
Surabaya. Ketebalan formasi berkisar antara 130 meter hingga 575 meter. Umurnya
berkisar antara pliosen hingga pleistosen berdasarkan atas foraminifera plankton.

Sejak Oligosen Akhir terjadi fasa transgresi. Fasa transgresi ini berlangsung
sejak N.4 sampai N.10 yang kemudian mencapai puncaknya selama interval N.8-
N.10 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002). Pada kala akhir Miosen Awal, Formasi Tawun
mulai diendapkan.

Pada kala Miosen Tengah, terjadi fasa regresi disebabkan karena adanya
suatu pengangkatan yang meliputi daerah yang luas di Indonesia (Umbgrove, 1949
dalam Pringgoprawiro, 1983). Pengangkatan ini menyebabkan terjadinya
pembentukan sedimen berupa batupasir kuarsa dengan sisipan-sisipan lapisan
batubara dan gipsum, yaitu Formasi Ngrayong. Formasi Ngrayong diendapkan secara
selaras dan kadang-kadang menjari dengan Formasi Tawun. Formasi ini diendapkan
pada lingkungan fluvial (non-marine), daerah pasang surut sampai dengan neritik
tengah. Batupasir mendominasi formasi ini dengan sisipan-sisipan batulempung dan
batugamping, serta kadang-kadang dijumpai lapisan batubara tipis atau batulempung
karbonan (Kadar dan Sudijono, 1994). Hampir 50% kuarsa pada batupasir Formasi
Ngrayong berasal dari batuan metamorf, kemungkinan dari Busur Karimunjawa dan
Busur Bawean (Smyth dkk., 2003). Datun (1982) menyatakan bahwa arah
sedimentasi pada saat pembentukan batupasir Formasi Ngrayong pada kala Miosen
Tengah adalah dari utara ke selatan. Pada kala tersebut, sebagian basement yang
terdiri dari gneis, sekis, dan granit muncul di atas permukaan laut sebagai daratan.

Fasa transgresi terjadi pada akhir Miosen Tengah sehingga daerah Rembang
tenggelam lagi di bawah permukaan (Pringgoprawiro, 1983). Proses pengendapan
berlangsung pada lingkungan laut dangkal neritik tepi sampai neritik tengah yang
ditandai dengan diendapkannya Formasi Bulu dan Formasi Wonocolo. Formasi Bulu
diendapkan secara selaras di atas Formasi Ngrayong, terdiri atas batugamping,
kadang-kadang berlapis dan pasiran, sering membentuk pelat-pelat (platy) atau
berlapis tipis, dengan sisipan napal dan batupasir. Formasi Bulu ditindih secara

13
selaras oleh atau menjari dengan Formasi Wonocolo. Formasi Wonocolo dicirikan
oleh batulempung gampingan dengan sisipan batugamping dan lapisan-lapisan tipis
batupasir glaukonit di lapisan bagian bawah (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa
transgresi mencapai maksimumnya pada N.15/N.16 dan kemudian diikuti fasa
regresi pada interval N.16 - N.17 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

Pada kala Miosen Akhir,diendapkan Formasi Ledok secara tidak selaras


diatas Formasi Wonocolo pada lingkungan laut terbuka, tepatnya pada zona neritik
tengah sampai batial atas. Formasi ini memiliki ciri litologi batuan sedimen klastik
seperti batulempung, napal, dan batulanau dengan sisipan batugamping yang
berumur Miosen Akhir. Ketidakselarasan disini ditandai dengan hilangnya Zona
N.15 dan bagian bawah Zona N.16 karena proses erosi atau ketiadaan pengendapan
(hiatus) (Kadar dan Sudijono, 1994). Formasi Mundu kemudian diendapkan secara
selaras diatas Formasi Ledok pada kala Miosen Akhir sampai Pliosen pada fasa
transgresi. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam, batial sampai abisal.
Maksimum transgresi berlangsung pada interval N.19-N.20, yang juga sebagai
interval genang-laut terbesar selama Tersier di Cekungan Jawa Timur Utara
(Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

Setelah Formasi Mundu, tepatnya pada kala Pliosen sampai Pleistosen


diendapkan Formasi Lidah secara tidak selaras pada lingkungan laut dangkal, neritik
tepi. Pada bagian bawah formasi ini dijumpai Anggota Solorejo yang memiliki ciri
litologi kalkarenit dan batupasir glaukonit gampingan. Pada kalkarenitnya banyak
dijumpai fosil-fosil foraminifera plangton hasil rombakan (reworked fossils) dari
formasi yang lebih tua. Hal tersebut mengindikasikan turunnya permukaan laut atau
merupakan hasil erosi daerah-daerah yang terangkat akibat pengangkatan dan
perlipatan Cekungan Jawa Timur Utara (Kadar dan Sudijono, 1994). Fasa regresi
berlangsung pada interval N.21-N.23 (Djuhaeni dan Nugroho, 2002).

Formasi Paciran diperkirakan terendapkan pada kala yang sama dengan


Formasi Lidah karena sama-sama menindih Anggota Solorejo Formasi Lidah.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, mungkin sekali neritik tengah.
Kadar dan Sudijono (1994) memperkirakan Gunungapi Lasem dan Gunungapi Muria
mulai aktif sejak Pliosen Akhir. Kegiatan vulkanik ini menghasilkan endapan

14
Gunungapi Kuarter di daerah ini. Endapan Gunungapi Lasem tersebar di sekitar
lereng barat Gunung Lasem (806 m di atas permukaan laut), terdiri atas andesit
berupa aliran lava, aglomerat, breksi volkanik, tuf lapili, tuf halus, dan
lahar,sedangkan Gunung Muria menghasilkan Endapan Gunungapi Muria yang
didominasi oleh tuf, lahar, dan tuf pasiran. Endapan Gunungapi Lasem dan Endapan
Gunungapi Muria terletak secara tak selaras di atas satuan-satuan yang lebih tua.
Endapan termuda adalah Aluvium yang terdiri dari endapan sungai dan endapan
pantai. Endapan pantai menempati daerah pantai.

Pada daerah penelitian tersingkap batuan, berurut dari tua ke muda, dari
Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, dan Formasi Wonocolo.

2.3 Struktur Regional

Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa tidak terlepas dari teori
tektonik lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga
lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Samudera Pasifik
yang bergerak relatif kearah baratlaut, dan Lempeng Indo-Australia yang relatif
bergerak ke arah utara (Hamilton, 1979).

Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur,
yaitu Geosinklin Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut
memanjang berarah barat-timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama
Cekungan Jawa Timur Utara.

Struktur-struktur yang berkembang tersebut diakibatkan oleh pengangkatan


yang terjadi pada kala Intra Miosen dan pada kala Plio-Pleistosen (van Bemmelen,
1949).

Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan


yang berkembang di Pulau Jawa adalah (Gambar 2.3):

• Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80


sampai 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).Pola ini
ditunjukkan oleh Tinggian Karimunjawa di kawasan Laut Jawa yang

15
diperkirakan menerus ke arah baratdaya ke daerah antara Luk Ulo (Jawa
Tengah) sampai Sesar Cimandiri (Jawa Barat).

• Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta


tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini
adalah yang paling dominan di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini
merupakan sesar-sesar yang dalam dan menerus sampai Sumatra. Pola ini
merupakan pola yang berumur lebih muda sehingga keberadaannya
mengaktifkan kembali Pola Meratus.

• Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang
lalu sampai sekarang (Oligosen Akhir-Resen).Pola ini adalah pola
termuda yang mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada
sebelumnya.

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sribudiyani dkk. (2003),


pola struktur permukaan yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola
struktur yang mempunyai kelurusan berarah timur laut-barat daya dan barat-timur.

16

Anda mungkin juga menyukai