Anda di halaman 1dari 18

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Geologi Regional

Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan berada pada formasi geologi
regional Lembar Banjarmasin seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Struktur
geologi Provinsi Kalimantan Selatan berupa sinklin, antiklin, sesar mendatar,
sesar naik dan sesar turun. Sumbu lipatan pada daerah ini umumnya berarah
Timur Laut–Barat Daya dan umumnya sejajar dengan arah sesar normal. Kegiatan
tektonik yang terjadi di daerah ini diduga telah berlangsung sejak Zaman Jura,
yang menyebabkan bercampurnya batuan ultramafik dan batuan malihan. Pada
Zaman Kapur Awal atau sebelumnya terjadi penerobosan granit dan diorit yang
menerobos batuan ultramafik dan batuan malihan. Kemudian saat Kala Paleosen
kegiatan tektonik yang terjadi menyebabkan terangkatnya batuan Mesozoikum,
disertai penerobosan batuan andesit porfiri.

Formasi Tanjung terendapkan dalam lingkungan paralas saat awal Eosen


(Sikumbang dan Heryanto, 1994). Di waktu yang sama Kompleks Meratus telah
terbentuk, namun hanya berupa endapan lapisan sedimen yang lebih tipis dari
daerah sekitarnya dan daerah yang sedikit lebih tinggi di bagian cekungan
(Rusmarwanto dkk., 2015). Pada Kala Oligosen terbentuk Formasi Berai yang
terjadi karena adanya genang laut. Kemudian terbentuk Formasi Warukin pada
Kala Miosen akibat susut laut (Sikumbang dan Heryanto, 1994). Struktur geologi
regional dan sebaran batuan pada daerah Banjarmasin dapat dilihat pada Peta
Geologi Regional Lembar Banjarmasin di Gambar 2.1.

Gerakan tektonik terakhir kali terjadi pada Kala Miosen yang mengakibatkan
batuan dengan umur yang lebih tua terangkat naik membentuk Tinggian Meratus
dan melipat kuat batuan Tersier dan Pra-Tersier. Pada saat ini pula terjadi sesar
naik dan sesar geser yang diikuti sesar turun dan terbentuknya Formasi Dahor
pada Kala Pliosen (Sikumbang dan Heryanto, 1994). Terdapat dua cekungan besar
di Kalimantan Selatan, yaitu Cekungan Barito dan Cekungan Asam-asam yang

4
keduanya dibatasi oleh Pegunungan Meratus yang melintang dari Utara ke Barat
daya.

Gambar 2.1 Peta geologi Lembar Banjarmasin (modifikasi dari Sikumbang dan Heryanto, 1994).

2.2 Geologi Daerah Penelitian

Daerah penelitian terletak di Desa Karang Rejo, Kecamatan Jorong, Kabupaten


Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Peta geologi regional daerah penelitian
ditunjukkan oleh Gambar 2.2. Berdasarkan peta geologi Provinsi Kalimantan
Selatan, Kabupaten Tanah Laut berumur antara Mesozoik, Tersier Dan Kuarter.
Secara fisiografis Kabupaten Tanah Laut terletak pada bagian ujung Barat Daya
Pegunungan Meratus dan di bagian Selatan Cekungan Barito dan Anak Cekungan
Asam-Asam. Pegunungan Meratus terdiri dari batuan Pra-Tersier, sedangkan
Cekungan Barito dan Anak Cekungan Asam-Asam terdiri dari batuan sedimen
Tersier. Pada informasi dari peta geologi regional Lembar Banjarmasin oleh
Sikumbang dan Heryanto (1994), daerah penelitian didominasi oleh Aluvium dan
Formasi Dahor. Terdapat beberapa satuan batuan di daerah penelitian, yaitu
sebagai berikut:

5
a) Aluvium (Qa) merupakan formasi yang tersusun oleh kerikil, lanau, pasir,
lempung dan lumpur; dan
b) Formasi Dahor (TQd) merupakan suatu formasi batuan yang terdiri dari
batupasir kuarsa kurang padu, konglomerat dan batulempung lunak, dengan
sisipan lignit (5-10 cm), kaolin (30-100 cm) dan limonit. Formasi Dahor
diperkirakan memiliki tebal sekitar 250m dan terendapkan dalam lingkungan
paralas dengan dugaan umur Plio-Plistosen.

Gambar 2.2 Peta geologi daerah penelitian (modifikasi dari Sikumbang dan Heryanto, 1994).

Berdasarkan hasil survey lokasi penelitian saat akuisisi data, batuan pada daerah
survey termasuk kedalam formasi aluvium dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Terdapat singkapan pada parit, kedalaman 4 hingga 5 meter berupa soil dan
endapan aluvial dengan tebal lebih dari 2 meter, konglomerat yang
mengandung kepingan kuarsit dan basalt, lapisan lempung berwarna abu-abu,
lunak; pasir berbutir sangat halus. Satuan ini disebandingkan dengan Peta
Geologi Regional termasuk kedalam Formasi Dahor (Pliosen-Plistosen).
2. Keterangan dari pekerja “excavator” untuk pengerukan kolam air, selama
pengerukan, mereka mendapatkan adanya lapisan batubara berupa lignit
setelah batu lempung berwarna lunak abu-abu pada kedalaman 10 meter.
Keterangan dari pekerja “excavator” ini disebandingkan dengan Peta Geologi
Regional termasuk kedalam Formasi Dahor (Pliosen-Plistosen).

6
3. Keterangan sumur yang berada di sebelah Mess karyawan stockpile PT. JIM,
keberadaan air berada pada kedalaman 15 meter dari permukaan, tetapi
memiliki debit yang sangat kecil. Pengambilan air dengan menggunakan mesin
jet-pump hanya mampu dilakukan selama 15 menit, setelah itu persediaan air di
sumur itu habis dan harus menunggu beberapa saat agar sumur tersebut terisi
air kembali.
4. Keterangan Sumur yang berada sekitar 2 kilometer dari di luar lokasi stockpile
PT. JIM, ketersediaan air di sumur tersebut sangat melimpah meski diambil
terus menurus dalam jumlah yang banyak. Kedalaman sumur tersebut di atas
100 meter dari permukaan. Dari keterangan pada sumur ini, kemungkinan
besar pemboran telah mencapai bedrock dari Formasi Dahor. Letak sumur
yang terletak dekat daerah penelitian ditunjukkan oleh Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Lokasi sumur dekat daerah penelitian

2.2.1 Fisiografi

Menurut RPIJM (2016), berbagai bentuk lahan yang terdapat di wilayah


Kabupaten Tanah Laut adalah: dataran aluvial (alluvial plain), dataran aluvial
rawa-rawa (swamp alluvial plain), dataran banjir (flood plain), pematang pantai
(beachridges) dan dataran pasang surut (tidal flat), dataran nyaris (peneplain),
perbukitan struktural lipatan (folded hills), pegunungan struktural lipatan (folded
mountain), dan bukit-bukit intrusif (intrusion hills). Akibat proses pengendapam

7
material-material aluvium seperti kerikil, pasir, lempung, dan lanau oleh aliran
sungai, terbentuklah satuan bentuk lahan dataran aluvial (alluvial plain). Sungai-
sungai yang berperan penting dalam proses pembentukan bentuk lahan ini antara
lain: Sungai Maruka (Bati-Bati dan Tambang Ulang), Sungai Tabanio (Pelaihari
dan Takisung), dan Sungai Batanggayang (Takisung dan Panyipatan). Satuan
bentuk lahan ini milikiki ciri yaitu relief datar yang memiliki kemiringan lereng 0-
3%. Material yang terdapat pada satuan ini berupa endapan aluvium, berstruktur
horizontal dengan perlapisan yang teratur (endapan material yang kasar berada di
bagian bawah dan semakin halus saat semakin ke atas). Satuan ini hanya
menempati area yang sempit di sekitar aliran sungai-sungai yang telah disebutkan
di atas. Penyebaran yang dominan terdapat di wiilayah bagian Barat Kabupaten
Tanah Laut, yaitu di Kecamatan Kecamatan Bati-Bati, Kurau, Tambang Ulang,
Pelaihari, dan Takisung.

2.2.2 Hidrogeologi

Di daerah Provinsi Kalimantan Selatan, sebaran daerah imbuhan air tanahnya


secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe (RPIJM, 2016), yaitu sebagai
berikut :
a. Sebaran daerah imbuhan air tanah tertekan terdapat di morfologi dataran
bergelombang hingga morfologi perbukitan bergelombang sedang. Sebaran
daerah imbuhan air tanah tertekan ini ditutupi oleh material lepas dan setengah
padu seperti batupasir kuarsa yang mudah hancur, dengan sisipan lempung
lignit, kerakal, basal, limonit, dan kuarsa asap; dan
b. Sebaran daerah imbuhan air tanah tidak tertekan yang terdapat pada batu
gamping. Menurut kaidah hidrogeologi apabila air tanah tidak tertekan maka
daerah imbuhan air tanah akan bertindak sebagai daerah lepasan air tanah.

2.3 Metode Geolistrik


2.3.1 Konsep Metode Geolistrik Resistivitas

Ada beberapa metode pada eksplorasi geofisika yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi struktur bawah permukaan serta sifat-sifat fisikanya untuk

8
mencari berbagai sumber daya alam. Salah satu metode geofisika yang dapat
digunakan sebagai investigasi pemetaan lapisan di bawah permukaan adalah
metode resistivitas. Metode geolistrik resistivitas didasarkan pada prinsip dimana
distribusi nilai tahanan jenis tiap litologi batuan di bawah permukaan mempunyai
nilai yang berbeda-beda. Nilai tahanan jenis yang diperoleh merupakan hasil dari
penginjeksian arus listrik Direct Current (DC) menggunakan tegangan tinggi ke
dalam tanah pada lokasi yang diinginkan. Tahanan dari tanah yang diukur saat
injeksi arus menghasilkan perbedaan potensial pada permukaan (Kirsch, 2009).
Nilai resistivitas batuan inilah yang menjadi perhatian khusus yang
memungkinkan untuk membedakan antara litologi batuan satu dan lainnya, serta
lapisan batuan yang merupakan akuifer.

Prinsip pengukuran pada metode geolistrik ditunjukkan pada Gambar 2.4 yang
menunjukkan penginjeksian arus listrik ke dalam tanah pada pengukuran
geolistrik di lapangan, yaitu melalui 2 elektroda arus (A dan B) dan responsnya
berupa nilai beda potensial diukur menggunakan 2 elektroda lainnya (M dan N).
Sifat kelistrikan batuan di bawah permukaan pada lokasi penelitian dapat
diperkirakan berdasarkan konfigurasi elektroda yang digunakan dan respons yang
terukur pada saat pengukuran (Lowrie, 2007).

Gambar 2.4 Prinsip pengukuran geolistrik (Lowrie, 2007).

Konsep dari pengukuran geolistrik didasari dari hukum ohm yang dipelopori oleh
George Simon Ohm. Hukum ohm mengatakan bahwa arus yang muncul di ujung-
ujung suatu medium akan berbanding lurus terhadap beda potensial yang muncul
di ujung-ujung suatu medium tersebut, dan tahanan listrik medium tersebut akan

9
berbanding lurus dengan panjang medium serta berbanding terbalik dengan luas
penampangnya. Dari konsep tersebut, maka dapat dikatakan bahwa semakin besar
jarak antar elektroda arus A dan B akan membuat arus listrik yang diinjeksikan
menembus lapisan batuan semakin dalam di bawah permukaan. Tegangan listrik
akan muncul saat arus listrik dialirkan ke dalam tanah. Multim yang terhubung
melalui dua elektroda tegangan M dan N yang jarak keduanya lebih kecil daripada
jarak dua elektroda arus A dan B akan mengukur tegangan listrik yang muncul di
permukaan tanah. Tegangan listrik yang diukur oleh elektroda M dan N akan
berubah sesuai dengan informasi batuan yang terinjeksi saat spasi elektroda arus
A dan B diubah menjadi lebih besar hingga diperoleh kedalaman yang lebih besar.
Kedalaman yang diperoleh besarnya setengah dari jarak elektroda A dan B yang
biasa disebut AB/2, sehingga diasumsikan bahwa injeksi arus membentuk
setengah bola dengan jari-jari AB/2.

Metode Geolistrik umumnya menggunakan 4 buah elektroda. Susunan elektroda


arus dan potensial diatur dengan susunan eletroda seperti pada Gambar 2.5. Empat
buah elektoda berada pada satu garis lurus yang letaknya simetris terhadap titik
tengah, dimana elektroda MN di bagian dalam dan elektroda AB di bagian luar.
Nilai resistivitas semu yang diperoleh serta target lapisan dengan sensitivitas
horizontal dan vertikal akan sangat dipengaruhi oleh penyusunan elektorda ini.

Gambar 2.5 Susunan elektroda arus dan potensial dalam pengukuran resistivitas (Mantiri dan
Ngaderman, 2019).

2.3.2 Konsep Resistivitas

Tahanan jenis (resistivitas) dengan simbol 𝜌 adalah suatu besaran yang


menunjukkan tingkat hambatan suatu bahan terhadap arus listrik. Dalam metode
geolistrik, bumi diasumsikan sebagai medium setengah tak berhingga. Hal ini
dikarenakan jarak elektroda yang digunakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan

10
jari-jari bumi. Konfigurasi apapun yang digunakan saat pengukuran (pada
medium setengah tak berhingga) akan memberikan nilai true resistivity yang
sama. Namun, kenyataannya seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.6, objek
yang diukur adalah bumi yang di bawah permukaannya terdiri dari lapisan-lapisan
dengan nilai tahanan jenis yang berbeda-beda, sehingga pengasumsian medium
homogen tersebut tidak terpenuhi. Lapisan-lapisan di bawah permukaan bumi
akan memengaruhi nilai potensial yang terukur. Karenanya, nilai resistivitas hasil
pengukuran tersebut merupakan nilai resistivitas semu (apparent resistivity), yaitu
nilai resistivitas untuk satu lapisan saja. Nilai resistivitas semu bergantung pada
nilai resistivitas batuan-batuan pembentuk formasi geologi (subsurface geology)
dan besarnya jarak antar elektroda serta faktor geometri. Setiap konfigurasi yang
digunakan pada metode resistivitas akan menghasilkan nilai resistivitas semu (𝜌a)
yang berbeda. Pada medium berlapis, nilai resistivitas semu adalah fungsi jarak
antar elektroda arus. Untuk spasi elektroda yang kecil akan menghasilkan nilai 𝜌a
yang mendekati 𝜌 batuan di dekat permukaan. Sedangkan saat spasi elektroda
yang besar, akan diperoleh 𝜌a yang nilainya akan mendekati 𝜌 lapisan batuan yang
lebih dalam (Kirsch, 2009).

Gambar 2.6 Susunan elektroda pada lapisan tanah berlapis (Kirsch, 2009).

Bentuk umum persamaan resistivitas semu adalah:

𝜌a = (2.1)

Dengan keterangan sebagai berikut:


𝜌a = Resistivitas semu (Ωm)
ΔV = Beda potensial (V)
I = Kuat arus (A)
K = Faktor geometri

11
Nilai tahanan jenis atau resistivitas suatu lapisan batuan dipengaruhi oleh macam-
macam material yang terdapat didalamnya, densitas, kemampuan dalam
menyimpan air (porositas), kandungan air, kualitas, suhu serta ukuran dan bentuk
pori-pori batuan. Oleh sebab itu, tidak ada nilai resistivitas yang pasti untuk
batuan pada lapisan akuifer yang tersusun dari material lepas (Telford dkk., 1990).
Nilai tahanan jenis beberapa material dapat dilihat dari kemampuannya
menghantarkan arus listrik seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 2.1. Terdapat tiga
golongan mineral dan batuan secara umum yang dilihat dari nilai resistivitasnya,
yaitu:
1. 10-8 < 𝜌 < 1 Ωm merupakan koduktor baik;
2. 1 < 𝜌 < 107 Ωm merupakan konduktor menengah; dan
3. 𝜌 > 107 Ωm merupakan isolator.

Tabel 2.1 Nilai resistivitas batuan sedimen (Telford dkk., 1990).


Batuan Resistivitas Batuan(Ωm)
Consolidated shales 20–2 x103
Argillites 10–8 x102
Conglomerates 2 x103–104
Sandstones 1–6,4 x108
Limestones 50–107
Dolomite 3,5 x102 – 5x103
Unconsolidated wet clay 20
Marls 3–70
Clays 1–100
Alluvium and sands 10–800
Oil sands 4–800

Menurut Hurun (2016), nilai resisitivitas semu dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti berikut:
1. Ukuran butir, kecilnya ukuran butir penyusun batuan maka semakin baik
batuan tersebut meloloskan arus listrik dan dapat mereduksi nilai resistivitas;
2. Komposisi mineral, tingginya kandungan mineral menyebabkan meningkatnya
nilai resistivitas;
3. Kandungan air, semakin banyak air yang terdapat dalam pori batuan akan
semakin mereduksi nilai resistivitas;
4. Kelarutan garam dalam air, semakin tinggi kandungan garam menyebabkan
tingginya kandungan ion dalam air yang membuatnya semakin konduktor; dan

12
5. Kepadatan, semakin padat suatu batuan menyebabkan tingginya nilai
resistivitas.

2.3.3 Vertical Electrical Sounding (VES)

Salah satu teknik pengukuran pada metode geolistrik resistivitas yang berfungsi
untuk mengetahui distribusi nilai resistivitas di bawah permukaan yang sensitif
secara vertikal dibawah permukaan adalah pengukuran Vertical Electrical
Sounding (VES). Teknik ini dianggap paling efektif dalam menentukan
resistivitas dan kedalaman untuk struktur batuan yang berlapis rata, seperti lapisan
sedimen. Konfigurasi yang paling umum dipakai dalam pengukuran VES adalah
konfigurasi Schlumberger. Sementara spasi antara elektroda semakin meningkat,
titik tengah akan dijaga tetap. Hal ini akan membuat garis arus yang dihasilkan
menembus secara vertikal. Spasi elektroda yang digunakan berbanding lurus
terhadap kedalaman lapisan batuan yang diperoleh. Apabila jarak antar elektroda
yang digunakan semakin besar, akan semakin besar pula kedalaman lapisan
batuan yang teridentifikasi (Lowrie, 2007). Alur pengukuran VES dapat dilihat
pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Alur pengukuran VES (a) Menentukan konfigurasi (b) Menentukan titik datum (c)
Pengukuran pada satu titik sounding dengan variasi jarak elektroda dari kecil ke besar secara
bertahap (d) Rekonstruksi kurva AB/2 dan ρa pada grafik (Rizka dan Setiawan, 2019).

13
Kurva sounding dapat menganalisis variasi nilai tahanan jenis lapisan batuan
secara kualitatif berdasarkan kedalaman. Kurva sounding didapat dari plot AB/2
sebagai sumbu x dan nilai resistivitas sebagai sumbu y. Berdasarkan kurva
sounding pada variasi nilai resistivitas dan kedalaman dengan asumsi tiga lapisan
di bawah permukaan, terdapat empat tipe kurva, yaitu kurva dengan tipe H, tipe
K, tipe A, dan tipe Q seperti pada Gamber 2.8 (Rizka dan Setiawan, 2019).

Gambar 2.8 Tipe kurva sounding (Saminu, 1999).

2.3.4 Kofigurasi Schlumberger

Pada metode geolistrik resistivitas, ada beberapa konfigurasi yang dapat


digunakan, salah satunya yaitu konfigurasi Schlumberger dengan susunan yang
ditunjukkan oleh Gambar 2.9. Susunan elektroda pada konfigurasi Schlumberger
bergantung pada perbedaan jarak spasi antara elektroda arus AB dan elektroda
potensial MN. Nilai jarak MN lebih kecil daripada nilai jarak AB. Jarak MN yang
lebih kecil, tidak mengalami perubahan secara teoritis, namun karena alat
pengukuran yang memiliki keterbatasan kepekaan alat, jarak MN akan diubah
menjadi lebih besar dari sebelumya ketika nilai jarak AB sudah relatif semakin
besar. Peningkatan jarak MN yang dilakukan sepatutnya tidak melebihi 1/5 jarak
AB (Asharo dkk., 2014). Namun, ketika spasi elektroda AB yang jauh lebih besar,

14
nilai beda potensial yang dihasilkan menjadi sangat kecil hingga diperlukan
peningkatan jarak MN dengan kriteria MN/2 < 0,2 AB/2.

Gambar 2.9 Konfigurasi Schlumberger (Tatas dan Aziz, 2014).

Faktor geometri (K) setiap konfigurasi memiliki yang berbeda-beda. Adapun


besarnya nilai K pada konfigurasi Schlumberger menurut Syofyan dkk. (2017)
dapat ditentukan sebagai berikut:

𝐾= (2.2)

𝐾= (2.3)

𝐾= (2.4)

𝐾= (2.5)
Dengan keterangan sebagai berikut:
K = Faktor geometri (m)
r1 = Jarak C1 ke P1 (m)
r2 = Jarak C2 ke P1 (m)
r3 = Jarak C1 ke P2 (m)
r4 = Jarak C2 ke P2 (m)
a = Jarak antara titik tengah ke A atau B (m)
b = Jarak antara titik tengah ke M atau N (m)

Meskipun umum digunakan untuk pengukuran VES, konfigurasi Schlumberger


juga memiliki kekurangan, yaitu pada saat jarak elektroda AB relatif besar
pembacaan nilai tegangan pada elektroda MN akan semakin kecil, sehingga
diperlukan alat ukur dengan tingkat akurasi data yang lebih tinggi dan detail

15
hingga mampu menampilkan nilai skala milivolt. Kekurangan ini juga dapat
diatasi menggunakan alat injeksi arus yang memiliki tegangan listrik DC yang
sangat tinggi. Konfigurasi ini juga memiliki kelebihan yaitu dengan melihat
perbandingan nilai resistivitas semu yang diperoleh saat dilakukan perubahan
jarak elektroda potensial, dapat dideteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan
di bawah permukaan (Kirsch, 2009).

2.3.5 Sifat Kelistrikan Batuan

Di bumi, seluruh batuan yang ada terbentuk dari berbagai jenis mineral dan
memiliki sifat kelistrikan masing-masing. Sifat kelistrikan batuan merupakan
karakteristik suatu batuan dalam menghantarkan arus listrik. Aliran listrik
bergantung pada sifat atau karakteristik dari batuan yang dilewatinya. Salah satu
sifat atau karakteristik batuan yang memengaruhi aliran listrik adalah resistivitas.
Resistivitas merupakan karakteristik bahan yang menunjukkan kemampuan bahan
tersebut dalam menghantarkan arus listrik. Tingginya nilai resistivitas suatu
batuan menandakan bahwa sulit untuk bahan tersebut menghantarkan arus listrik.
Sebaliknya, nilai resistivitas yang kecil menandakan bahwa batuan tersebut
mudah dalam menghantarkan arus listrik. Resistivitas dan resistansi (hambatan)
memiliki pengertian yang berbeda. Resistivitas dan resistansi tergantung pada
bahan penyusunnya, namun faktor geometri akan mempengaruhi nilai resistivitas
sedangkan resistansi tidak (Hadi dan Virgo, 2007). Terdapat tiga jenis aliran arus
listrik pada mineral dan batuan, yaitu konduksi elektronik, konduksi dielektrik,
dan konduksi elektrolitik (Telford dkk., 1990).

a. Konduksi Elektronik
Konduksi elektronik merupakan konduksi ketika mineral atau batuan memiliki
banyak elektron bebas. Elektron-elektron bebas inilah yang mengalirkan arus
listrik dalam mineral atau batuan tersebut.

b. Konduksi Elektrolitik
Konduksi elektrolitik merupakan konduksi ketika batuan yang bersifat porous
terisi oleh larutan elektrolit pada pori-pori batuan tersebut., dimana ion-ion
elektrolitik pada cairan elektrolit lah yang menghantarkan arus listrik secara

16
perlahan-lahan. Resistivitas dan konduktivitas batuan berpori bergantung pada
susunan dan volume pori-porinya. Kandungan air yang semakin banyak akan
mengakibatkan meningkatnya konduktivitas dan sebaliknya resistivitasnya
akan semakin rendah.
c. Konduksi Dielektrik
Konduksi dielektrik merupakan konduksi ketika hanya ada sedikit elektron
bebas pada batuan atau bahkan tidak ada sama sekali. Konduksi ini sangat
dipengaruhi oleh konstanta dielektrik batuan yang bersangkutan. Pada
konduksi ini terjadi polarisasi karena adanya pengaruh medan listrik dari luar
yang mengakibatkan elektron-elektron dalam atom batuan dipaksa berpindah
dan berkumpul terpisah dengan intinya. Konduksi ini dipengaruhi oleh besar,
distribusi pori, fluida pengisi pori, struktur, serta konduktivitas antar pori
batuan, kecuali pada batuan yang sifatnya konduktif seperti lempung
(Reynolds, 2006).

2.3.6 Inversi Data Geolistrik 1-D

Permodelan inversi (inverse modeling) sering disebut sebagai kebalikan dari


permodelan ke depan (forward modeling) karena pada permodelan inversi
parameter model diperoleh dari data secara langsung. Permodelan inversi pada
dasarnya adalah proes memodifikasi model agar data perhitungan dan data
pengamatan memiliki kecocokan yang lebih baik dilakukan secara otomatis.
Pemodelan inversi sering dikatakan pula sebagai data fitting karena dalam
prosesnya parameter model yang dicari adalah yang menghasilkan respons yang
fit dengan data pengamatan (Grandis, 2009).

Kesesuaian antara data pengamatan dan respon model biasanya dinyatakan oleh
suatu fungsi obyektif yang nilainya harus diminimumkan. Proses pencarian model
yang optimum berasoisasi dengan proses meminimumkan fungsi obyektif
tersebut. Apabila fungsi obyektif menjadi minimum maka turunannya terhadap
variabel yang tidak diketahui di titik minimum tersebut adalah bernilai nol.
Karakteristik minimum suatu fungsi tersebut digunakan untuk pencarian
parameter model. Secara umum, pemodelan inversi melakukan modifikasi model

17
sedemikian hingga respon menjadi fit dengan data. Inversi yang dilakukan pada
software IPI2Win mencari solusi/model optimum dengan kriteria kesalahan
kuadrat terkecil/minimum yang merupakan inversi non-linier dengan pendekatan
inversi least-square.

2.4 Air Tanah


2.4.1 Pengertian Air Tanah

Air tanah adalah air yang mengisi rongga-rongga pori pada batuan yang terdapat
di bawah permukaan tanah pada zona jenuh air. Air tanah adalah salah satu
komponen dalam siklus hidrologi yang berlangsung di alam saat ini. Air tanah
berasal dari air hujan yang jatuh di daerah hulu atau daerah atas hingga berada di
kaki pegunungan yang disebut daerah tangkapan hujan (catchment area). Air
kemudian masuk dan mengalir dalam tanah ke sebagai lapisan pembawa air dalam
suatu cekungan air tanah yang berada di bawah permukaan tanah menuju ke
daerah keluaran serta menempati lapisan batuan yang lolos air. Akuifer adalah
lapisan batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air dengan baik. Pada
lapisan bagian atas dan bawah akuifer dibatasi oleh lapisan batuan yang kedap air.
Air tanah dapat berada dirongga batuan sedimen yang berpori dan terkonsolidasi
maupun tidak terkonsolidasi. Akuifer juga bisa ditemukan di lapisan lapuk, zona
sesar, kekar serta celah-celah batuan, dan pada goa karst (Lowrie, 2007).

2.4.2 Klasifikasi Reservoar Air Tanah

Air tanah berada di lapisan batuan dengan berbagai formasi geologi yang ada,
yang biasanya disebut sebagai akuifer. Umumnya, akuifer merupakan lapisan
yang sangat luas dan dapat tumpang tindih, yang dapat dikatakan sebagai lapisan
impermeabel yang letaknya saling berdekatan satu dan lainnya (Todd dan Mays,
2005). Menurut Saputra (2019), reservoar air tanah atau akuifer dapat
diklasifikasikan berdasarkan perlakuan batuan dalam menyimpan dan meloloskan
air menjadi 4 jenis, yaitu akuifer (aquifer), akuiklud (aquiclude), akuitard
(aquitard), dan akuifug (aquifuge).

18
a. Akuifer (aquifer) merupakan lapisan batuan dengan porositas dan
permeabilitas yang tinggi sehingga lapisan ini dapat menyimpan dan
meloloskan air dengan baik. Akuifer memiliki suatu besaran konduktivitas
hidraulik hingga air dapat mengalir secara alami. Akuifer biasa disebut sebagai
lapisan pembawa air. Akuifer dapat berupa lapisan pasir, batugamping rekahan,
batupasir dan kerikil.
b. Akuiklud (aquiclude) adalah lapisan batuan dengan porositas tinggi dan
permeabilitas rendah sehingga lapisan ini dapat menyimpan air namun tidak
bisa meloloskan air dengan baik. Nilai konduktivitas hidraulik lapisan akuiklud
sangat kecil yang mengakibatkan kemampuan mengalirkan airnya rendah.
Akuiklud bersifat kedap air. Contoh akuiklud adalah lempung, tuff, dan serpih.
c. Akuitard (aquitard) merupakan lapisan batuan dengan porositas tinggi dan
permeabilitas yang cukup rendah sehingga dapat menyimpan air namun tidak
cukup baik untuk meloloskan air. Nilai konduktivitas hidraulik lapisan akuitard
kecil yang mengakibatkan air masih tetap dapat mengalir dengan jumlah yang
terbatas. Akuitard dapat disebut sebagai lapisan lambat air. Contoh akuitard
adalah lempung pasiran.
d. Akuifug (aquifuge) merupakan lapisan batuan dengan porositas dan
permeablilitas rendah sehingga tidak dapat menyimpan serta meloloskan air
dengan baik sehingga dapat dikatakan bahwa akuifug bersifat kebal air. Contoh
akuifug adalah batuan kristalin dan batuan metamorf.

2.4.3 Tipe Akuifer

Akuifer menurut Muchamad (2016), digolongkan menjadi 3 tipe yaitu akuifer


bebas, akuifer tertekan, dan akuifer semi tertekan.

a. Akuifer Bebas
Akuifer jenuh air yang memiliki lapisan pembatas dibawahnya berupa
akuiklud. Akuifer ini biasa disebut dengan akuifer tidak tertekan. Akuifer ini
memiliki muka air tanah yang bergantung pada musim dan bersifat bebas untuk
naik turun. Akuifer ini terdiri dari beberapa jenis seperti akuifer lembah atau

19
valley, perched aquifer dan alluvial aquifer. Gambaran sistem akuifer ini dapat
ditunjukkan oleh Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Sistem akuifer bebas (Muchamad, 2016).

b. Akuifer Tertekan
Akuifer jenuh air yang lapisan pembatasnya berupa akuiklud dibagian atas dan
bawahnya. Tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan air pada akuifer ini.
Gambaran sistem akuifer ini ditunjukkan oleh Gambar 2.11. Lapisan
pembatasnya yang berupa lapisan impermeabel tidak dapat mengalirkan air,
namun ada beberapa keadaan lapisan pembatas ini masih bisa mengalirkan air
namun dengan jumlah yang terbatas. Akuifer ini tidak memiliki muka air tanah
yang bersifat bebas karena terisi penuh oleh air tanah, sehingga apabila
dilakukan pengeboran yang menembus lapisan akuifer ini akan terjadi
kenaikan muka air tanah dalam sumur bor yang melebihi kedudukan semula.

Gambar 2.11 Sistem akuifer tertekan (Muchamad, 2016).

20
c. Akuifer Semi Tertekan
Akuifer jenuh air yang lapisan pembatas atasnya berupa akuitard dan lapisan
bawahnya berupa akuiklud. Akuifer ini dapat menyimpan dan meloloskan air
melalui salah satu atau kedua pembatas lapisannya baik lapisan atas atau
lapisan bawah. Akuifer ini biasa disebut sebagai akuifer bocor (leacky aquifer).
Pada lapisan pembatas atas, air masih dapat mengalir ke akuifer namun dengan
jumlah yang terbatas. Ilustrasi akuifer semi tertekan dapat dilihat pada Gambar
2.12.

Gambar 2.12 Sistem akuifer semi tertekan (Muchamad, 2016).

21

Anda mungkin juga menyukai