Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geomorfologi
Pengelompokan satuan geomorfologi dilakukan dengan menganalisis serta
menghubungkan berbagai aspek berdasarkan kemiringan, beda tinggi,
karakteristik kontur, pola pengaliran hingga morfogenesa. Pendekatan secara
kuantitatif menggunakan perhitungan kemiringan lereng (morfometri) secara tidak
langsung pada kontur peta topografi. Sedangkan pendekatan secara kualitatif
dilakukan dengan pengamatan proses–proses geomorfik yang mempengaruhi
pembentukan morfologi di lapangan. Deliniasi satuan bentuklahan pada daerah
penelitian menerapkan klasifikasi van Zuidam (1983) (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Klasifikasi bentuk relief menurut van Zuidam (1983).


Klasifikasi Relief Persen lereng (%) Beda tinggi (m)
Datar/hampir datar 0-2 <50
Bergelombang landau 3-7 5-50
Bergelombang miring 8-13 25-75
Berbukit bergelombang 14-20 50-200
Berbukit terjal 21-55 200-500
Pegunungan sangat terjal 56-140 500-1.000
Pegunungan sangat curam >140 >1.000

2.2 Geologi Regional Daerah Penelitian


Daerah Cekungan Airtanah (CAT) Majenang dan sekitarnya terdapat pada
peta geologi regional lembar Majenang (Kastowo dan Suwarna, 1996).
Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui bahwa litologi yang terdapat di CAT
Majenang didominasi oleh Endapan Aluvium. Selain Endapan Aluvium, terdapat
beberapa batuan berumur tersier (Tabel 2.2). Batuan tersier tersebut
dikelompokkan ke dalam beberapa formasi berdasarkan karakteristiknya, yaitu
Formasi Tapak (Tpt), Formasi Halang (Tmph) dan Formasi Kumbang (Tmpk).
Berikut merupakan penjelasan litologi-litologi pada CAT Majenang berdasarkan
stratigrafi dari yang termuda:

6
7

Tabel 2.2 Stratigrafi CAT Majenang dan sekitarnya (Kastowo dan Suwarna, 1996).
FORMASI LITOLOGI STRATIGRAFI UMUR
Endapan Sedimen berukuran kerikil, - Kuarter
Aluvium (Qa) pasir & lempung.
Kipas Aluvium Sedimen berukuran kerikil & - Kuarter
(Qf) bongkah, pasir tufa & andesit
berukuran kerakal. Tanah
laterit
Tapak (Tpt) Batupasir, batupasir sisipan Selaras diatas Fm. Pliosen
napal pasiran & batugamping. Kumbang Tengah
Halang (Tmph) Batupasir tufaan, Menjemari dengan Fm. Miosen
konglomerat, napal, Kumbang Tengah –
batulempung, breksi andesit Pliosen Awal
Kumbang (Tmpk) Lava andesit, breksi, tufa, Menjemari dengan Fm. Miosen
napal Halang Tengah –
Pliosen Awal

Struktur geologi yang berkembang di daerah CAT Majenang dan


sekitarnya adalah Sesar Naik, Sesar Geser dan Antiklin. Struktur tersebut
terbentuk akibat adanya kegiatan tektonik yang terjadi selama Pliosen-Pleistosen.
Berdasarkan peta geologi regional (Gambar 2.1), proses pembentukan Cekungan
Airtanah Majenang berawal dari terbentuknya sesar naik dan sesar geser. Sesar
tersebut menjadikan bagian utara dan selatan cekungan menjadi daerah tinggian.
Proses selanjutnya adalah terbentuknya Endapan Aluvium akibat adanya proses
transportasi batuan yang berada di wilayah tinggian dan terbawa oleh arus sungai,
sehingga terendapkan di wilayah rendahan cekungan.
8

Gambar 2.1 P
9

2.3 Karakteristik Hidrogeologi


Daerah Cekungan Airtanah Majenang terdapat pada Peta Hidrogeologi
Lembar Pekalongan (Tabrani, 1984). Berdasarkan peta hidrogeologi, CAT
Majenang dan sekitarnya memiliki akuifer dengan keterdapatan airtanah dan
produktivitas yang dibedakan menjadi 4 jenis (Tabel 2.3), yaitu:

Tabel 2.3 Tipe akuifer CAT Majenang dan sekitarnya (Tabrani, 1984).
Tipe
Produktivitas Penyebaran Keterusan Litologi
Akuifer
Aliran Tinggi Luas (Kec. Cimanggu, Kec. Sedang- Endapan Aluvium
melalui Majenang Kec. Cipari, dan Tinggi dataran dan sungai
ruang antar Kec. Wanareja) (pasir, kerikil, lanau,
butir lempung)
Aliran Sedang Setempat (Kec. Majenang Sedang- Endapan vulkanik
melalui dan Kec. Cimanggu bagian Rendah tua (aliran lava
ruang antar utara) andesit-basalt,
butir breksi)
Aliran Kecil Setempat (Kec. Karang Sedang Endapan vulkanik
melalui Pucung, Kec. Cipari bagian tua (aliran lava
celahan, selatan, Kec. Wanareja andesit-basalt,
rekahan dan bagian selatan) breksi)
saluran
Daerah Kecil Setempat (Kec. Karang Rendah Batulempung, breksi,
airtanah Pucung bagian tenggara) tuga, konglomerat
langka

Data karakteristik hidrogeologi ini dapat dijadikan sebagai data awal


dalam mengetahui kondisi hidrogeologi daerah CAT Majenang. Data awal
tersebut dibuktikan dengan observasi lapangan. Berikut adalah peta hidrogeologi
(Gambar 2.2) yang menggambarkan penyebaran dari tipe-tipe akuifer di CAT
Majenang:
10

Gambar 2.2 Pe
11

2.4 Airtanah
2.4.1 Keterdapatan Airtanah
Menurut Irawan dan Puradimaja (2015), air yang berada di bawah
permukaan tanah terbagi menjadi 2, yaitu air yang berada pada zona jenuh dan
zona tidak jenuh. Dengan demikian, airtanah adalah air yang berada pada zona
jenuh, dibatasi bagian bawahnya oleh lapisan kedap air dan bagian atasnya oleh
muka airtanah.
Airtanah merupakan salah satu komponen dari sistem peredaran air di
alam yang disebut siklus hidrologi. Siklus hidrologi meliputi proses berkelanjutan
dimana air bergerak dari bumi ke atmosfer dan kemudian kembali ke bumi lagi
(Triatmodjo, 2008).
Siklus merupakan rangkaian kejadian yang terjadi berulang-ulang,
sehingga dapat didefinisikan bahwa siklus hidrologi adalah suatu kejadian yang
terjadi pada keadaan hidrologi yang terus menerus terjadi di bumi. Siklus
hidrologi berawal dari adanya air permukaan yang terpapar sinar matahari,
kemudian menguap dan tertransportasi akibat adanya media angin. Air permukaan
tersebut dapat berasal dari daratan maupun laut. Uap air yang tertransportasi oleh
angin akan mengalami proses pendinginan. Ketika pendinginan ini, uap air
mengalami pengembunan menjadi butiran air. Butiran air tersebut yang kemudian
kita kenal sebagai air hujan ketika turun ke bumi. Setelah air dalam bentuk air
hujan turun ke bumi dan mencapai permukaan tanah, sebagian air akan mengalir
di permukaan sebagai air permukaan dan sebagian lainnya akan meresap ke
bawah permukaan menjadi airtanah. Airtanah sebagian akan tersimpan dalam
formasi geologi pembawa air (akuifer) dan sebagian lainnya akan mengalir di
bawah permukaan atau keluar kembali sebagai air permukaan melalui media
sungai. Aliran air permukaan maupun airtanah ini, nantinya akan kembali ke laut
dan membentuk siklus hidrologi kembali secara menerus.

2.4.2 Sifat Batuan Terhadap Airtanah


Berdasarkan sifat batuan terhadap airtanah, batuan dapat dikelompokan
menjadi 4 macam (Danaryanto dkk, 2005), yaitu:
12

a. Akuifer
Akuifer merupakan lapisan pembawa air yang jenuh air dan dapat menyimpan
dan meneruskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis.
b. Akuiklud
Akuiklud merupakan lapisan batuan kedap air yang jenuh air dan dapat
menyimpan air, tetapi tidak mampu meneruskan airtanah tersebut dalam
jumlah berarti.
c. Akuitar
Akuitar merupakan lapisan batuan yang dapat menyimpan air dan mampu
mengalirkan air kearah vertikal, tetapi tidak kearah horizontal secara berarti.
d. Akuifug
Akuifug merupakan lapisan batuan kedap air yang tidak dapat menyimpan dan
mengalirkan airtanah.

2.4.3 Jenis Akuifer


Menurut Todd (1980), berdasarkan litologinya, akuifer dapat dibagi
menjadi 4 macam, yaitu:
a. Akuifer Bebas (Unconfined Aquifer)
Akuifer bebas adalah lapisan pembawa air yang berada di atas lapisan
kedap air. Bagian atas akuifer bebas disebut sebagai water table. Water
table dapat diartikan sebagai permukaan air yang memiliki tekanan
hidrostatik sama dengan tekanan atmosfer.
b. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer)
Akuifer tertekan adalah lapisan pembawa air yang berada diantara lapisan
kedap air. Tekanan pada akuifer tertekan diketahui lebih besar dari pada
tekanan atmosfer. Hal ini berkaitan dengan keberadaan akuifer tertekan
yang berada diantara 2 lapisan batuan kedap air.
c. Akuifer Semi Tertekan (Semi Confined Aquifer)
Akuifer semi tertekan adalah lapisan pembawa air yang berada diantara
lapisan semi permeabel (lapisan akuitar) di bagian atas dan atau di bagian
bawahnya.
13

d. Akuifer Semi Bebas (Semi Unconfined Aquifer)


Akuifer semi bebas adalah lapisan pembawa air yang berada diantara
lapisan kedap air dan lapisan litologi berbutir halus, sehingga akibat
adanya lapisan litologi berbutir halus di bagia atasnya, pada akuifer semi
bebas masih ada kemungkinan gerakan air.

2.4.4 Karakteristik Akuifer


Batuan yang bertindak sebagai media aliran airtanah mempunyai sifat-sifat
meluluskan, menyimpan, dan menentukan air dalam jumlah tertentu. Penentuan
nilai karakteristik akuifer digunakan besaran konduktivitas hidrolika (K),
storativitas (S), transmisivitas (T), dan kapasitas jenis (Sc) (Ghafour, 2005).
1. Konduktivitas hidrolika (K) merupakan kemampuan batuan untuk dapat
dilalui oleh air melalui rongga-rongganya. Konduktivitas hidrolika
menjadi fungsi dari nilai permeabilitas, sehingga besarnya dapat
dipengaruhi oleh besar porositas batuan. Besar nilai K digunakan sebagai
evaluasi dari nilai properti akuifer.
2. Storativitas (S) merupakan volume air yang berada pada akuifer yang
dapat dilepaskan atau disimpan per satuan luas akuifer ketika perubahan
kedudukan muka airtanah, baik airtanah pada akuifer bebas maupun
airtanah pada akuifer tertekan.
3. Transmisivitas (T) merupakan jumlah air yang dapat mengalir melalui
akuifer.
4. Kapasitas jenis (Sc) merupakan debit air yang dapat diperoleh oleh setiap
penurunan permukaan airtanah bebas dan tertekan.

2.4.5 Kuantitas Airtanah


Kuantitas airtanah merupakan jumlah air yang dapat tersimpan pada suatu
batuan ataupun tanah di bawah permukaan. Kuantitas airtanah berkaitan dengan
volume batuan maupun volume tanah. Volume batuan maupun volume tanah
merupakan faktor penting yang harus diketahui dalam mengetahui kuantitas
14

airtanah pada bawah permukaan. selain volume, perlu diketahui debit air yang
masuk ataupun keluar ke bawah permukaan.
Kuantitas airtanah terbagi menjadi dua yaitu cadangan statis dan cadangan
dinamis. Cadangan statis dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
(Persamaan 2.1):
V = Sy x V batuan .................................................................... (2.1)
Dimana:
V = Volume air yang bisa diambil
Sy = Kesarangan efektif
Vbatuan = Volume total batuan

Cadangan statis dihitung berdasarkan jumlah air yang berasal dari aliran
airtanah secara horizontal yang melalui akuifer (Tabel 2.1). Rumus yang dipakai
untuk menghitung cadangan dinamis sebagai berikut (Persamaan 2.2):
Q = T x i x L ..................................................(2.2)
Dimana:
Q = Debit aliran airtanah
T = Keterusan air
i = Landaian hidrolika
L = Panjang daerah yang dihitung

Harga keterusan air (trasmisivity) didapatkan dari hasil perkalian antara


kelulusan air dengan ketebalan akuifer. Untuk menghitung besarnya harga
keterusan air (T) dapat dilihat dari persamaan berikut (Persamaan 2.3):
T = K x b ....................................................(2.3)
Dimana:
T = Keterusan air (m2/hari)
K = Koefisien kelulusan air (m/hari)
b = Tebal akuifer (m)

Untuk menghitung besarnya harga kelulusan air (K) menggunakan rumus


berikut (Persamaan 2.4):

(k 1 b1 +k 2 b2 +...+k n b n) (K 1 b 1+ K 2 b 2+ K 3 b3 +...+ K n b n)
K= K= ...............................
b + b2 +...+bn b 1 +b 2 +b 3+ ...+ bn
(2.4)
15

Dimana:
k = Koefisien kelulusan air (m/hari) (Tabel 2.4)
b = Tebal akuifer (m) (Tabel 2.5)

Tabel 2.4 Koefisien kelulusan air dari berbagai batuan (Bisri, 2008).
Material (batuan) k (m/hr) Material (batuan) k (m/hr)
Kerikil 450 Batupasir sedang 3.1
Kerikil Menengah 270 Batupasir halus 0,2
Kerikil Kasar 150 Lanau 0,08
Pasir kasar 45 Lempung 0,0002
Pasir sedang 12 Batugamping 0,94
Pasir halus 3 Dolomit 0,001

Tabel 2.5 Specific Yield dari berbagai macam batuan (Johnson dalam Todd, DK, 1980).
Material (batuan) Sy (%) Material (batuan) Sy (%)
Kerakal kasar 23 Lempung 3
Kerakal 24 Batupasir halus 21
Kerikil 25 Batupasir sedang 27
Pasir kasar 27 Sanddune 38
Pasir sedang 28 Sekis 28
Pasir halus 23 Batugamping 14
Lumpur 8 Tufa 21

2.5 Penyelidikan Geolistrik


Penyelidikan geolistrik merupakan salah satu metode yang menggunakan
prinsip geofisika dalam pengerjaanya. Penyelidikan geolistrik menerapkan prinsip
pendugaan kondisi bawah permukaan dengan membandingan kondisi permukaan.
Metode ini mempelajari sifat aliran listrik di bawah permukaan bumi dengan cara
melakukan pendeteksian dari permukaan (Kanata, dkk, 2008).
Penyelidikan geolistrik dilakukan dengan mendeteksi nilai medan
potensial, medan elektromagnetik dan arus listrik yang mengari di dalam bumi.
Penyelidikan geolistrik dilakukan secara aktif (metode aktif) dengan cara
menginjeksikan arus buatan dengan menggunakan alat ke dalam bumi.
Penyelidikan geolistrik mengirimkan arus ke bawah permukaan, kemudian diukur
kembali potensial yang diterima dari permukaan.
Tujuan dilakukannya penyelidikan geolistrik adalah untuk mengetahui
kondisi geologi bawah permukaan berdasarkan nilai tahanan jenis. Perbedaan nilai
tahanan jenis dapat mewakili perbedaan karakteristik setiap lapisan.
16

Metode geolistrik lebih efektif apabila digunakan untuk eksplorasi yang


sifatnya dangkal. Keunggulan secara umum adalah harga perlatan untuk
melakukan akuisisi geolistrik relatif murah, sehingga biaya dalam melakukan
survei akan menjadi lebih murah. Selain itu, waktu yang dibutuhkan dalam
pengambilan data relatif cepat dan mudah.
Setiap lapisan batuan memiliki nilai tahanan jenis yang berbeda. Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan nilai tahanan jenis tersebut (Bisri,
2012), antara lain:
1. Kandungan air
Kandungan air yang ada dalam batuan akan menurunkan harga tahanan jenis,
sehingga nilai daya hantar listrik pada batuan tersebut akan semakin besar.
2. Porositas batuan
Batuan yang pori-porinya mengandung air mempunyai tahanan jenis yang
lebih rendah daripada batuan yang kering.
3. Kelarutan garam di dalam air dalam batuan
Kelarutan garam di dalam air di dalam batuan, akan mengakibatkan
meningkatnya kandungan ion dalam air, sehingga tahanan jenis suatu batuan
menjadi rendah.

2.5.1 Konfigurasi Schlumberger


Konfigurasi Schlumberger merupakan salah satu jenis konfigurasi dalam
penyelidikan geolistrik. Di dalam konfigurasi Schlumberger terdapat 2 elektroda
arus (C1, C2) dan 2 elektroda potensial (P1, P2). Elektroda tersebut dialirkan
kedalam bumi. Kemudian kedua elektroda akan mengukur besar arus dan
potensial media yang dilaluinya. Dengan mengetahui besaran arus dan potensial,
nilai dari tahanan jenis tiap batuan yang dilalui akan diketahui (Gambar 2.3).
Dalam melakukan akuisisi, 4 elektroda (2 elektroda arus dan 2 elektroda
potensial) akan ditempatkan dengan jarak yang sudah diperhitungkan. Elektroda
potensial tidak ikut dipindahkan bersamaan dengan elektroda arus. Elektroda
potensial hanya beberapa kali dipindahkan, agar tegangan listrik yang terjadi pada
elektroda arus dapat menjadi lebih besar dan ikut berubah sesuai dengan jenis
17

batuan pada kedalaman yang lebih dalam. Konfigurasi ini memiliki asumsi bahwa
kedalaman lapisan batuan yang dapat ditembus oleh arus listrik sama dengan
separuh dari jarak elektroda arus (C1-C2) atau dapat disebut C1C2/2. Konfigurasi
schlumberger memiliki keunggulan dalam mendeteksi adanya sifat tidak homogen
lapisan batuan di permukaan (Broto, 2008).

Gambar 2.3 Ilustrasi metode pengukuran geolistrik konfigurasi schlumberger (Telford, dkk,
2004).

2.5.2 Matching Curves


Matching Curves merupakan suatu bagian dari proses interpretasi secara
vertikal (Vertical Electric Sounding) yang diperoleh dari data horisontal. Dalam
metode ini digunakan perbandingan dari pengukuran beberapa kurva (Sharma, P.
V, 1997 dalam Broto, 2008). Kurva yang digunakan dalam analisis data geolistrik
dengan metode matching curves adalah kurva lapangan (Gambar 2.4) kurva baku
(Gambar 2.5) dan kurva bantu dengan 4 macam tipe berbeda (Gambar 2.6, 2.7,
2.8 dan 2.9).
a. Kurva lapangan merupakan kurva yang digunakan dalam tahap
pertama pengolahan data geolistrik menggunakan matching curves.
Data yang digunakan dalam pengeplotan pertama pada teknik
matching curves adalah data resistivitas semu yang didapat ketika
melakukan akuisisi. Setelah data resistivitas dan data AB/2 di plot
dalam kurva ini, dibuat sebuah kurva yang menghubungkan data,
sehingga terlihat penyebaran dari data yang didapat.
18

Gambar 2.4 Kurva lapangan

b. Kurva baku merupakan kurva yang digunakan setelah tahap pertama,


menggunakan kurva lapangan. Kurva baku digunakan untuk
menentukan kurva bantu tipe apa yang sesuai dengan kurva yang
sudah dibuat dengan kurva lapangan. Selain itu, dalam pengeplotan
kurva baku, akan didapat nilai tahanan jenis awal sebelum dikoreksi.
19

Gambar 2.5 Kurva baku (Patra, H.P dan Nath, S. K, 1999 dalam Broto 2008)

c. Kurva bantu tipe Q digunakan apabila lengkung resistivitas semu


terlihat menunjukan nilai yang selalu turun.
20

Gambar 2.6 Kurva bantu tipe Q

d. Kurva bantu tipe H digunakan apabila lengkung resistivitas semu


terlihat turun di bagian depan dan naik di bagian belakang.
21

Gambar 2.7 Kurva bantu tipe H

e. Kurva bantu tipe A digunakan apabila lengkung resistivitas semu


terlihat selalu naik.
22

Gambar 2.8 Kurva bantu tipe A

f. Kurva bantu tipe K digunakan apabila lengkung resistivitas terlihat


seperti berbentuk bel.
23

Gambar 2.9 Kurva bantu tipe K

Setelah penggunaan matching curves, langkah selanjutnya adalah


menggunakan software Progress 3.0. Progress 3.0 merupakan program yang
digunakan untuk interpretasi data bawah permukaan menggunakan data geolistrik.
Dalam pengolahan data menggunakan Progress data yang digunakan adalah nilai
tahanan jenis yang didapat dari hasil matching curves dan nilai AB/2 atau nilai
setengah jarak elektroda arus. Hasil dari kedua data tersebut akan ditampilkan
kurva lapangan tahanan jenis dengan nilai AB/2. Dari pencocokan data, akan di
24

dapat nilai kedalaman dan nilai tahanan jenis dari setiap kedalaman tersebut. Pada
software ini juga akan ditampilkan nilai eror/RMS (Root Mean Square) hasil
pengukuran geolistrik sehingga menambah tingkat keyakinan dari data yang
dihasilkan oleh pengukuran geolistrik.
Setelah mendapatkan nilai tahanan jenis sebenarnya dari metode matching
curves dan kemudian dikoreksi menggunakan software Progress 3.0, akan didapat
nilai tahanan jenis dari lapisan batuan. Nilai tahanan jenis tersebut kemudian
disamakan dengan nilai resistivitas dari berbagai macam tipe batuan (Tabel 2.6),
sehinga kemudian akan diketahui litologi apa saja yang berada di bawah
permukaan. Langkah berikutnya adalah menentukan jenis litologi di setiap lapisan
berdasarkan nilai tahanan jenisnya.

Tabel 2.6 Nilai resistivitas dari berbagai tipe batuan.


Tahanan Jenis (Ωm)
Material Musset dan Khan Todd dan Mays
Telford, dkk (2004)
(2000) (2005)
Lempung 1-100 1-100 1-500
Lanau 1-100 3-70 -
Batupasir 1-108 1-6,4x108 1-5x103
Pasir 5-5x103 - 1-103
Batugamping 50-107 50-107 102-106
Konglomerat - 2x103-104 102-105
Lava - 100-5x104 102-105
Andesit - 1,7x102-4,5x104 102-105
Gabro 10 -10
3 6
103-106 102-105
Basalt 10-107 10-1,3x107 102-105
Breksi - - 102-105
Tuff - 2x102-103 102-105

Klasifikasi nilai tahanan jenis yang dibuat oleh para ahli umumnya
mengikuti konsep ideal dan homogen dari kondisi bawah permukaan. Walaupun,
pada kenyataannya, kondisi bawah permukan tidak homogen dan tidak seideal
seperti teori yang ada. Sehingga, dibutuhkan penyusuaian nilai resistivitas di
setiap lapangan. Perbedaan formasi, umur, kondisi permukaan dapat digunakan
sebagai dasar penyesuaian nilai resistivitas batuan bawah permukaan.
Setelah diketahui litologi bawah permukaan tiap titik geolistrik yang
diselidiki, dapat dibuat log geolistrik di software RockWorks15. Penggunaan
software ini bertujuan untuk mempermudah penggambaran log litologi setelah
25

diketahui litologi penyusun daerah bawah permukaan. penggunaan software


RockWorks15 akan digabungkan dengan penggunaan software CorelDrawX6,
agar pembuatan log maupun penampang litologi bawah permukaan dapat tersusun
lebih teratur.

2.6 Perhitungan Proyeksi Pertumbuhan Penduduk


Perhitungan proyeksi penduduk merupakan salah satu tahap yang harus
dilalui dalam perhitungan kebutuhan airtanah dalam suatu daerah. Pertumbuhan
penduduk merupakan pertumbuhan langsung dan terus-menerus, sehingga dapat
dihitung dengan rumus (Mantra, 1985):

Pt =Po (1+ r )t ……………………(2.5)

Dimana:
Pt : jumlah penduduk untuk tahun ke t
Po : jumlah penduduk untuk tahun awal perhitungan
r : persen pertumbuhan jumlah penduduk
t : interval waktu

2.7 Proyeksi Kebutuhan Airtanah


Proyeksi atau perkiraan kebutuhan airtanah di tahun-tahun mendatang
dapat dianalisis dengan menggunakan standar perhitungan yang telah ditetapkan.
Faktor utama dalam analisis kebutuhan air adalah jumlah penduduk. Jumlah
penduduk dapat dihitung menggunakan persamaan 2.5. Untuk menganalisis
proyeksi kebutuhan airtanah dapat digunakan metode aritmatik dan metode
geometrik. Dari metode tersebut dapat dihitung jumlah kebutuhan air dari
berbagai sektor (Ditjen Cipta Karta PU, 1996).
Salah satu sektor yang dapat dianalisis adalah sektor rumah tangga.
Analisis sektor rumah tangga untuk tahun-tahun mendatang dilaksanakan dengan
dasar analisis pertumbuhan penduduk pada wilayah yang direncanakan. Analisis
ini dapat dengan mudah menggambarkan kondisi kebutuhan air bersih di suatu
perkotaan, baik perkotaan yang sudah jadi atau perkotaan yang sedang
26

direncanakan. Analisis ini juga dapat digunakan oleh para pemilik tanah yang
akan dijadikan sebuah pemukiman, dalam rangka perhitungan kebutuhan air
bersih. Menurut Ditjen Cipta Karya PU (1996), kebutuhan air rumah tangga untuk
sebuah kota dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:

Tabel 2.7 Standar kebutuhan air bersih untuk rumah tangga.


Kebutuhan Air Bersih
Kategori Kota Jumlah Penduduk (jiwa)
(L/orang/hari)
I Metropolitan >1.000.000 150
II Besar 500.000 – 1.000.000 120
III Sedang 100.000 – 500.000 90
IV Kecil 20.000 – 100.000 80
V Desa 3.000 – 20.000 60

2. 8 Tingkat Pemanfaatan Airtanah


Tingkat pemanfaatan airtanah merupakan nilai perbandingan penggunaan
airtanah dengan nilai cadangan dinamis airtanah di suatu daerah. Nilai ini dapat
ditentukan dengan mempertimbangan perbandingan dari total kedua nilai tersebut
(pemanfaatan airtanah dan cadangan dinamis). Tingkat pemanfaatan airtanah
dapat dibagi menjadi 4 tingkatan (Hendrayana dan Vicente, 2011):
a. Rendah : Perbandingan ≤10%
b. Sedang : Perbandingan >10%-≤20%
c. Tinggi : Perbandingan >20%-≤30%
d. Sangat tinggi : Perbandingan >30%

Anda mungkin juga menyukai