GEOMORFOLOGI
Bemmelen (1949) yang membagi fisiografi Jawa bagian timur menjadi tujuh zona
3. Antiklinorium Rembang-Madura.
5. Antiklinorium Kendeng.
7. Pegunungan Selatan.
Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen, 1949)
9
JAWA TIMUR
Geologi Jawa timur dibagi atas beberapa zona, menurut van Bemmelen (1949) pada
Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat bagian zona, antara lain sebagai berikut:
Daerah pemetaan berada pada Zona Rembang dimana Zona ini meliputi
pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui
Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah
dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan
berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan
puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat
mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras.
10
2.2 Geomorfologi Daerah Pemetaan
penyususn, dan proses genetik baik secara endogen maupun eksogen. Penamaan geomorfologi
berdasarkan kenampakan bentuk-betuk relief di lapangan, kemiringan lereng, beda tinggi, pola
Zuidam (1983) (tabel 2.1.) Peta dibuat berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983)Tabel 2.1
Bergelombang/Miring 8 – 13 25 – 75
11
Untuk analisa genetik daerah penelitian menggunakan klasifikasi
Berdasarkan deskriptif (Van Zuidam, 1983) dan genetik (Verstappen, 1983) maka
daerah penelitian dibagi menjadi 2 satuan geomorfologi, yaitu (1) satuan geomorfologi
12
2.2.1 Satuan Geomorfologi Miring Landai Denudasional Kumpulrejo dan
Lajulor
Satuan geomorfologi miring landai denudasional (foto 2.1 dan 2.2), secara
deskriptif dicirikan dengan beda tinggi 40 meter, dengan nilai kemiringan 6-9 %,
ketinggian mencapai 10-50 meter, satuan geomorfologi ini menempati ± 65% daerah
pemetaan, satuan ini terletak dibagian utara dan selatan peta, mulai dari desa
Kumpulrejo dan Lajulor. Bentuk kontur datar dan pola penyebaran konturnya saling
berpotongan, stadia sungai pada satuan geomorfologi ini adalah muda-dewasa dan
stadia daerah pada satuan geomorfologi ini adalah dewasa-tua.
Satuan ini didominasi oleh litologi batupasir, proses eksogen yang bekerja pada
daerah ini adalah erosi, dengan pola aliran sungai sub dendritik.
13
Foto 2.2 Kenampakan Geomorfologi miring landa denudasional. Foto diambil dari
Daerah Lajulor menghadap kearah selatan.
Satuan geomorfologi ini (foto 2.3 dan 2.4) secara deskriptif dicirikan dengan
beda tinggi 150meter dengan nilai kelerengan 46%, serta ketinggian mencapai 100-
250m, satuan ini menempati ±35 daerah pemetaan dan menempati daerah Desa
Kwasen, G. Kembangan, Gomang dan Gegunung,
Bentuk kontur dan pola penyebaran pada satuan ini adalah membulat dan
berpotongan, stadia sungai pada daerah ini adalah muda-dewasa dan stadia daerah ini
adalah dewasa-tua
Satuan litologi pada daerah ini didominasi oleh batupasir dan batugamping,
proses endogen yang bekerja pada daerah ini adalah patahan dan lipatan dan proses
eksogen yang bekerja adalah erosi, dengan pola aliran sungai sub dendritik.
14
Foto 2.3 Kenampakan geomorfologi berbukit tersayat tajam struktural. Foto
diambil dari Daerah Gegunung mengadap ke selatan.
15
2.3 Genetik dan Pola Aliran Sungai Daerah Penelitian
Menurut Thornburry (1969) pola aliran sungai pada suatu daerah dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain kontrol struktur, jenis dan variasi kekerasan batuan, landai lereng
asal, sejarah geologi, dan sejarah geomorfologi daerah tersebut.
Dari pengamatan lapangan serta analisa peta topografi skala 1: 25.000, berdasarkan
klasifikasi Howard (1967) maka pola aliran sungai pada daerah pemetaan termasuk dalam pola
aliran sungai sub- dendritik.
Pola aliran sungai sub-dendritik ini mendominasi bagian utara daerah penelitian
dengan sungai Tempur sebagai sungai utama, Pada pola aliran sub – dendritik terlihat dari
percabangan yang dibentuk anak sungainya yang berada pada daerah Desa Tuwiyan dan
Kwasen yang pola pengalirannya berbentuk seperti pohon, dengan anak anak sungainya yang
mempunyai pola tidak beraturan.
Berdasarkan Lobeck (1989), secara genetik aliran sungai pada daerah pemetaan dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) jenis sungai yang implikasinya menunjukkan tingkat erosi sedang
sampai kuat, antara lain;
1. Jenis aliran sungai subsekuen, ditemukan pada sungai – sungai induk yang mengalir
sejajar dengan jurus pelapisan batuan. Contoh: kali Kening dan kali Gegunung
2. Jenis aliran sungai obsekuen, ditemukan pada anak – anak sungai yang mengalir
berlawanan arah dengan kemiringan pelapisan batuan. Contoh: anak – anak sungai di
daerah Kwasen
3. Jenis aliran sungai konsekuen, ditemukan pada anak – anak sungai yang mengalir
searah dengan kemiringan pelapisan batuan di kali Lajulor, dan kali Tempur.
16
Gambar 2.3 Klasifikasi Howard (1967).
17
2.4 Stadia Sungai Daerah Penelitian
Sungai utama seperti Kali Tempur dan Kali Kening menunjukkan pola aliran yang
lurus dan bermeander dengan kecepatan aliran yang sedang, bentuk penampang U. Percabang
dari Kali Tempur dan Kali Kening menunjukkan pola aliran relatif lurus dengan kecepatan
aliran sedang, bentuk penampang relatif U. Berdasarkan ciri-ciri diatas, maka dapat kita
simpulkan stadia sungai daerah pemetaan adalah berstadia dewasa hingga tua.
Foto 2.5 Kenampakan Sungai Kening menunjukan stadia dewasa-tua dengan bentuk
lembah “U”, Foto diambil menghadap ke barat.
18
Tabel 2.2 Ciri-ciri stadia sungai secara umum (Nugroho, 2000).
Stadia Sungai
Parameter
Muda Dewasa Tua
Kecepatan
Tinggi Sedang Rendah
Aliran
Proses yang
Erosi Erosi dan deposisi Deposisi
bekerja
Bentuk
-V- -V sampai U- - U sampai datar-
Penampang
Kerapatan anak
Kecil/Jarang Sedang/Mulai banyak Besar/ banyak
sungai
19
Tak ada air terjun
Banyak air terjun, tidak ada Air terjun sedikit, endapan sungai
Kenampakan
dataran Banjir, mengalir di mulai ada endapan luas, mulai ada
lain
atas batuan dasar sungai oxbow lake dan
bermeander
Dari pengamatan yang dilakukan terhadap daerah penelitian secara langsung dan
menggunakan peta topografi 1:12.500, diketahui bahwa daerah penelitian secara umum
memiliki stadia sungai dewasa-tua, relief yang “maksimum”, bentuk penampang lembah “U-
Relatif Datar” dan bentuk bentang alam yang terjal. Berdasarkan parameter klasifikasi diatas
maka tingkat stadia daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam stadia daerah dewasa-tua.
20
Tabel 2.3 Parameter Stadia Daerah berdasarkan Nugroho (2000).
STADIA DAERAH
PARAMETER
MUDA DEWASA TUA
Sedikit
Relief Maksimum Hampir datar
bergelombang
Bentuk Penampang
‘V’ ‘U’-‘V’ ‘U’-Hampir datar
Lembah
21
Tabel 2.4 Kolom Geomorfologi Daerah Penelitian
Proses Stadia
Relief Pola Aliran
Luas Litologi Daerah
Pembagian Satuan
penyebar Penyusun
Geomorfologi ∆h Slope Pola Bentuk Stadia
an (%) h (m) Bentuk Eksogen Endogen (Dominan) Pola Aliran
(m) (%) Penyebaran Penampang Sungai
Satuan
Geomorfologi
Lipatan
Berbukit Tersayat Batupasir dan Dewasa- Dewasa-
35 100-250 150 30 - 46 Berpotongan Membulat Erosi dan Sub-dendritik
Tajam Struktural Batugamping Tua Tua
patahan U
Kwasen dn
Gegunung
Satuan
Geomorfologi
dataran miring Dewasa- Dewasa-
65 10-50 40 6-9 Berpotongan Datar Erosi Batupasir U Sub-dendritik
denudasional Lipatan Tua Tua
Kumpulrejo.
22