Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dan terutama tentang kulit bumi
baik mengenai komposisi struktur dan sejarahnya. Ilmu geologi memiliki cabang yang luas,
salah satunya yang dipakai untuk pengembangan sarana dan infrastruktur. Geologi Teknik
adalah penerapan ilmu geologi dalam praktik rekayasa untuk tujuan menjamin faktor - faktor
geologi yang memengaruhi lokasi, disain, konstruksi, operasi dan perawatan pekerjaan
rekayasa telah dikenali dan diperhitungkan dengan matang.

Geologi teknik mengkaji gejala geologi dari aspek kekuatan dan/atau kelemahan
geologi untuk keperluan pembangunan infrastruktur atau diterapkan pada tahap desain (tahap
pra-konstruksi) dan tahap konstruksi bangunan- bangunan. Penelitian geologi teknik dapat
dilakukan pada waktu perencanaan, analisis dampak lingkungan, disain rekayasa sipil,
rekayasa optimasi dan tahapan konstruksi proyek umum dan swasta, serta pada tahap setelah
konstruksi dan penyelidikan proyek.

1.2. Geologi Daerah Pemetaan


Fisiografi Regional

Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi
lima bagian besar, yaitu Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Antiklinorium Bogor, Kubah dan
Pegunungan pada Zona Depresi Tengah, Zona Depresi Tengah Jawa Barat, dan Pegunungan
Selatan Jawa Barat. Daerah penelitian terletak pada Zona Bandung, tepatnya pada Kubah dan
Pegunungan pada Zona Depresi Tengah.

Gambar 1.1 Fisiografi Jawa Barat (menurut van Bemmelen, 1949).

1
Zona Bandung merupakan daerah gunung api yang relatif memiliki bentuk depresi
dibandingkan zona yang mengapitnya yaitu Zona Bogor dan Zona Pegunungan Selatan.
Sebagian besar terisi oleh endapan aluvial dan vulkanik muda (Kuarter) dari produk
gunungapi yang terletak pada dataran rendah di daerah perbatasan dan membentuk barisan.
Walaupun Zona Bandung membentuk depresi, ketinggiannya masih terbilang cukup besar
seperti misalnya depresi Bandung dengan ketinggian 700-750 mdpl (meter di atas permukaan
laut). Di beberapa tempat pada zona ini merupakan campuran endapan Kuarter dan Tersier,
pegunungan Tersier tersebut yaitu Pegunungan Bayah (Eosen), bukit di Lembah Cimandiri
(kelanjutan dari Pegunungan Bayah), Bukit Rajamandala (Oligosen) dan plateau Rongga
termasuk dataran Jampang (Pliosen), dan Bukit Kabanaran.

Stratigrafi Regional

Martodjojo (2003) dalam tesis doktornya membagi daerah Jawa Barat menjadi 3
mandala sedimentasi yaitu Mandala Paparan Kontinen, Mandala Cekungan Bogor, dan
Mandala Banten. Dasar pembagian mandala ini umumnya berdasarkan ciri dan penyebaran
sedimen Tersier dari stratigrafi regional di Jawa bagian barat. Berdasarkan pembagian
mandala sedimentasi, daerah penelitian terletak pada Mandala Cekungan Bogor. Mandala
sedimentasi Cekungan Bogor meliputi zona fisiografi van Bemmelen (1949) yaitu Zona
Bogor, Zona Bandung dan Pegunungan Selatan. Mandala ini dicirikan oleh endapan aliran
gravitasi yang umumnya berupa fragmen batuan beku dan sedimen, seperti andesit, basalt,
tufa dan gamping. Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (2003) mengalami
perubahan dari waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier-Kuarter.

Menurut Silitonga (1973), Satuan Hasil Gunungapi Muda (Qyu) tersusun atas litologi
pasir tufan, lapili, breksi, lava, aglomerat. Sebagian berasal dari Gunung Tangkubanparahu
dan sebagian dari Gunung Tampomas. Antara Sumedang dan Bandung, batuan ini
membentuk dataran-dataran kecil atau bagian-bagian rata dan bukit-bukit rendah yang
tertutup oleh tanah yang berwarna abu-abu kuning dan kemerah-merahan. Satuan Hasil
Gunungapi Muda (Qyu) diendapkan diatas Satuan Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan
(Qvu) yang berumur kuarter.

Struktur Geologi Regional

Di daerah Jawa Barat terdapat banyak pola kelurusan bentang alam yang diduga
merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-timur, utara-

2
selatan, timur laut-barat daya, dan barat laut-tenggara. Secara regional, struktur sesar berarah
timurlaut-barat daya dikelompokkan sebagai Pola Meratus, sesar berarah utara-selatan
dikelompokkan sebagai Pola Sunda, dan sesar berarah barat-timur dikelompokkan sebagai
Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur umumnya berjenis sesar naik, sedangkan
struktur sesar dengan arah lainnya berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan
arah bervariasi.

Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga struktur
regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis, dan Sesar
Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh van Bemmelen
(1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga sekarang.Struktur sesar yang termasuk ke
dalam Pola Sunda umumnya berkembang di utara Jawa (Laut Jawa). Sesar ini termasuk
kelompok sesar tua yang memotong batuan dasar (basement) dan merupakan pengontrol dari
pembentukan cekungan Paleogen di Jawa Barat.

Mekanisme pembentukan struktur geologi Jawa Barat terjadi secara simultan di bawah
pengaruh aktifitas tumbukan Lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia yang
beralangsung sejak Zaman Kapur hingga sekarang. Posisi jalur tumbukan (subduction zone)
dalam kurun waktu tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada saat sekarang,
posisi jalur subduksi berada Samudra Hindia dengan arah relatif barat-timur. Kedudukan jalur
subduksi ini menghasilkan aktifitas magmatik berupa pemunculan sejumlah gunungapi aktif.
Beberapa gunungapi aktif yang berkaitan dengan aktifitas subduksi tersebut, antara lain G.
Salak, G. Gede, G. Malabar, G. Tanggubanperahu, dan G. Ciremai. Walaupun posisi jalur
subduksi berubah-ubah, namun jalur subduksinya relatif sama, yaitu berarah barat-timur.
Posisi tumbukan ini selanjutnya menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah utara-selatan.

Gambar 1.2 Lokasi Pemetaan Geologi Teknik pada Peta Geologi Regional Bandung

3
1.3. Geologi Teknik Daerah Pemetaan

Gambar 1.3 Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah


Menurut Djaja dan Hermawan (1996) dalam Peta Geologi Teknik Lembar Bandung,
daerah pemetaan termasuk ke dalam satuan litologi dan karakteristik keteknikan R(mc)(cm),
Lempung Lanauan dan Lanau Pasiran, yaitu tanah residu yang merupakan hasil pelapukan
batupasir tufan, tufa, konglomerat, aglomerat, lapili, dan breksi dengan ketebalan antara 2
hingga 20 meter. Di bagian tengah dan selatan satuan ini banyak mengandung kerakal dan
bongkah batuan beku, warna coklat kemerahan, plastisitas sedang-tinggi, permeabilitas
rendah, teguh hingga kaku, daya dukung tanah diijinkan rendah-sedang, penggalian mudah
sampai agak sulit jika menggunakan peralatan non mekanik, kedalaman muka air tanah bebas
sedang sampai dalam.

Pada daerah Jatinangor dan sekitarnya, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat,
yang merupakan salah satu contoh daerah vulkanik yang memiliki sumber daya air yang
kemungkinan berpotensi baik. Bentuk bentang alamnya yang berupa lembah dan perbukitan
merupakan suatu wilayah yang cukup baik bagi keterdapatan zona resapan (recharge zones)
dan zona luahan (discharge zones) airtanah. Tetapi, karakteristik geologi endapan vulkanik
yang selalu berubah dalam jarak yang cukup dekat dan struktur geologinya yang kompleks
cukup berpengaruh pada sistem aliran airtanah di wilayah tersebut. Keluarnya airtanah ke
permukaan dapat diakibatkan oleh pemotongan muka airtanah akibat kontak antara batuan

4
permeabel dengan batuan impermeabel, dan adanya kehadiran sesar. Hampir semua
daerahnya memperlihatkan kondisi sebagai berikut: Bagian paling atas dari horizon tanah
yang masih dipengaruhi oleh material organic, lempung organik, lempung-lanau sebagian
pasiran, kelembaban tinggi, plastisitas sedang-tinggi, simbol OH, MH-CH; Lanau, lempung-
pasir lanauan, warna cokelat tua, plastisitas rendah-tinggi, kelembaban rendah-tinggi,
medium strength, simbol MH-CH; Pasir lempungan s.d. lanauan,warna cokelat kemerahan,
bentuk partikel sub angular-angular, plastisitas sedang, kelembaban sedang, medium strength,
sebagian memperlihatkan berlapis, simbol SM, SC; Pasir lempungan-lanauan, warna cokelat
kemerahan, kerikilan-bongkah, bentuk partikel sub angular - angular, plastisitas sedang,
medium strength, simbol SM, SC, GW.

1.4. Geomorfologi Daerah Pemetaan

Gambar 1.4 Peta Geomorfologi


Daerah pemetaan berada di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat tepatnya di Kecamatan
Jatinangor. Berdasarkan hasil pengamatan pada peta, daerah pemetaan merupakan daerah
dengan bentuk lahan berupa perbukitan dan dengan kemungkinan pola pengaliran daerah
pemetaan adalah Pola Pengaliran Paralel. Kabupaten Sumedang merupakan daerah dataran,
perbukitan sampai pegunungan dengan ketinggian tempat berkisar 25 – 1.667 m di atas
permukaan laut. Wilayah Jatinangor memiliki kondisi topografi berupa daerah berbukit
hingga bergunung. Kecamatan Jatinangor memiliki kemiringan lereng sekitar 25% - 45%.
Material penyusun bentuk lahan pada daerah pemetaan adalah Breksi Vulkanik. Berdasarkan

5
Klasifikasi Satuan Geomorfologi menurut Van Zuidam 1985, daerah pemetaan terbagi
menjadi dua satuan geomorfologi sebagai berikut:
 Satuan Perbukitan Vulkanik Tinggi Agak Curam
Penyebaran satuan geomorfologi perbukitan tinggi vulkanik agak curam mencapai
45% dari luas keseluruhan daerah pemetaan. Ketinggian absolut daerah ini berkisar
antara 650 - 850 mdpl maka dikategorikan sebagai perbukitan tinggi. Kemiringan
lereng pada satuan geomorfologi ini agak curam dengan persentase kemiringan 10 –
15.
 Satuan Perbukitan Vulkanik Tinggi Landai
Penyebaran satuan geomorfologi perbukitan tinggi vulkanik landai mencapai 55%
dari luas keseluruhan daerah pemetaan. Ketinggian absolut daerah ini berkisar antara
650 - 700 mdpl maka dikategorikan sebagai perbukitan tinggi. Kemiringan lereng
pada satuan geomorfologi ini landai dengan persentase kemiringan 7 – 15.

Anda mungkin juga menyukai