Anda di halaman 1dari 23

BAB I

GEOMORFOLOGI REGIONAL

1.1 Fisiografi Regional

Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh Van Bemmelen, (1949)

dibagi menjadi enam fisiografi yaitu 1). Dataran Aluvial Jawa Utara,

2).Gunungapi Kuarter, 3). Antiklinorium Bogor-Serayu Selatan-Kendeng, 4).

Depresi Jawa Tengah, 5). Pegunungan Serayu Selatan, dan 6). Pegunungan

Selatan Jawa. Berikut pemaparan enam fisiografi tersebut oleh Van Bemmelen

(1949) (Gambar 2.1).

LetakLokasiPenelitian

Gambar 2.1 Fisiografi Regional Pulau Jawa menurut van Bemmelen (1949)

1. Dataran Aluvial Jawa Utara, membentuk lebar maksimum 40 km kearah

15
selatan. Semakin kearah Timur, lebarnya menyempit hingga 20 km.

2. Gunungapi Kuarter di Jawa Tengah antara lain Gunung Slamet, Gunung

Dieng, Gunung Sundoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung

Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Muria.

3. Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50km. Di selatan tegal, zona ini

tertutupi oleh produk Gunungapi Kuarter dari Gunung Slamet. Di bagian

tengah tertutupi oleh produk volkanik kuarter Gunung Rojo gembangan,

Gunung Dieng, Gunung Ungaran. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi

zona Bogor dengan batas antara keduanya terletak di Prupuk, Bumi ayu

hingga Ajibarang, persis di sebelah barat Gunung Slamet, sedangkan kearah

timur membentuk Zona Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di

selatan Dataran Alluvial Jakarta berupa anitiklinorium dari lapisan Neogen

yang terlipat kuat dan terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas

antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwoda di dengan singkapan

batuan tertua berumur Oligosen-Miosen Bawah yang diwakili oleh Formasi

Pelang.

4. Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan.

Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai

ini cukup kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan JawaTimur yang

relative lebih terjal.

5. Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa

membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona ini

terputus oleh Depresi Jawa Tengah.

16
6. Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah

yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari Pegunungan

Serayu Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentukan tiklinorium

yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di Pulau

Jawa, yaitu daerah Luk-ulo, Kebumen.

Jika dilihat dari versi Van Bemmelen (1949), maka secara regional daerah

Jawa Tengah dapat terlihat dibawah ini (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Sebagian peta fisiografi Jawa Tengah - Van Bemmelen, 1949

Secara umum, pada regional Jawa Tengah dapat 3 fisiografi secara umum,

yakni dataran rendah, daerah perbukitan, dan daerah pegunungan.

2.1.1 Fisiografi Dataran Rendah

Fisiografi ini pada regional, yaitu dataran pantai bergumuk pasir seperti

yang terlihat pada warna kuning peta. Dataran pantai bergumuk pasir dengan

batuan pasir, lumpur, dan lempung, dengan genesanya adalah endapan pantai dan

delta.

17
2.1.2 Fisiografi Daerah Perbukitan

Fisiografi ini terbagi menjadi 2 pada regional, yaitu perbukitan tinggi seperti

yang terlihat pada warna hijau muda peta dan hijau pucat menunjukkan

perbukitan kars. Perbukitan tinggi dengan batuan vulkanik dan sedimen klastika

dengan genesanya adalah kegiatan vulkanik, penerobosan magma, pengendapan,

perlipatan, dan pengangkatan. Perbukitan kars dengan batuan karbonat dan

sedimen gampingan dengan genesanya pengendapan karbonat, perlipatan,

pengangkatan, danerosi.

2.1.3 Fisiografi Daerah Pegunungan

Fisiografi ini terbagi menjadi 2 pada regional, yaitu pegunungan seperti

yang terlihat pada warna coklat tua peta dan ungu pucat menunjukkan

pegunungan kars. Pegunungan dengan batuan vulkanik muda dengan genesanya

adalah kegiatan magmatisme dan pengangkatan. Pegunungan kars dengan batuan

karbonatdengan genesanya pengendapan karbonat, perlipatan, pengangkatan, dan

erosi.

Secara geomorfologi regional, daerah Jawa Tengah dapat dilihat seperti

dibawah ini (Gambar 2.3).

18
Gambar 2.3 Geomorfologi regional Jawa Tengah menurut Verstappen (2000)

Menurut Verstappen (2000), terdapat 3 morfogenetik utama yang ada pada

peta regional Jawa Tengah, yaitu bentukan lahan volkanik, bentukan lahan

struktural, dan bentukan lahan deposisi.

a. Bentukan lahan volkanik

Bentuk lahan ini dapat dibagi menjadi 3 pada peta regional, yaitu kerucut

volkanik yang berhubungan dengan relief yang ditunjukkan pada warna merah tua

pada peta, lembaran – lembaran ignimbrit/tuff yang ditunjukkan pada warna

merah cabai pada peta, dan terrain volkanik yang tua dan secara kuat tererosi

yang ditunjukkan pada warna merah muda pada peta.

b. Bentukan lahan struktural

Bentuk lahan ini dapat dibagi menjadi 2 pada peta regional, yaitu dissected

tilted block mountains yang ditunjukkan pada warna ungu pada peta dan folded

hills and mountains yang ditunjukkan pada warna ungu tua pada peta.

c. Bentukan lahan deposisi

Bentuk lahan ini dapat dibagi menjadi 3 pada peta regional, yaitu piedmonts,

intramontane basinfills and Pleistocene terraces yang ditunjukkan pada warna

emas pada peta, alluvial plain yang ditunjukkan pada warna hijau tua pada peta,

dan terumbu koral yang tumbuh yang ditunjukkan pada warna biru pada peta.

1.2 Geologi Regional

19
Mandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara

historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula hanya

digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan perusahaan

minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij), yaitu pendahulu

perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah Cepu. Nama-nama formasi

secara resmi baru mulai digunakan oleh Van Bemmelen (1949) dan Stratigraphic

Lexicon of Indonesia oleh Marks (1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari

nama-nama tak resmi seperti globigerina marl atau Orbitoiden-Kalk dengan

memberikan nama yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi

Stratigrafi Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan

menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan oleh

Harsono (1983).

  Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak,

memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur, memanjang

melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau Kangean. Arah

memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu lipatan, yang pada

umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat sumbu-sumbu ini mengikuti

pola en echelon yang menandakan adanya sesar geser lateral kiri (left lateral

wrenching faulting).

  Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi batuan

berumur miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi. Suatu kelompok

antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal sebagai zona rembang tengah dan

selatan, juga sering disebut sebagai Cepu Trend. Batuan tertua yang tersingkap di

20
bagian ini berumur miosen akhir, yang kebanyakan mengandung minyak. Batuan

yang berfungsi sebagai reservoar hidrokarbon yang utama di daerah rembang adalah

batupasir ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau (seal)nya adalah

batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir.

  Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu

Gunung Muria dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai komposisi

batuan yang lain apabila dibandingkan dengan gunung api yang lain. Komposisinya

bukan andesit tetapi berupa batuan beku yang kaya akan leucite (feldspatoid), mirip

dengan batuan yang tergolong pada kelompok gunung api mediteranian suite, seperti

yang dijumpai di Atlantika.

  Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan oleh

depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium yang berarah

barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir membentuk perbukitan

dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata kurang dari 500 m. Beberapa

antiklin tersebut merupakan pegunungan antiklin yang muda dan belum mengalami

erosi lanjut dan nampak sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona

patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih

dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara

karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam.

  Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F.

Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F.

Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah.

21
Formasi Kujung

  Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa

batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam

sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.

Formasi Tuban

  Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin

ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam

PanduanFieldtrip GMB 2006). Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik

dalam.

Formasi Tawun

  Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas

formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara

setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai

Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak dalam sampai laut dangkal

di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam

Panduan Fieldtrip GMB 2006).

  Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk (Lower

OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds (Van Bemmelen, 1949).

Selanjutnya Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari

Formasi Tuban. Pada tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi

Formasi (tabel III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan

22
antara gypsiferous carbonaceous shale dengan struktur gelembur arus, serta batu

gamping yang kaya akan foraminifera besar

golongan Orbitoidae seperiLepidocyclina.

  Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari Formasi ini,

tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan

batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal

30 m. Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan

umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies : Globigerinoides

diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan

kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan

pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah

atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala

struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.

Formasi Ngrayong

  Anggota ini juga disebut “Upper Orbitoiden-Kalak” oleh Trooster (1937),

Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds.Nama batupasir anggota

Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada

desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan utamanya batu pasir

dengan intercalation batu bara dan sandy clay.

  Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun,

terdiri dariorbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan batupasir dengan

intercalation batugamping dan lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen

23
Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau

submarine dalam singkapan di sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi

lingkungan laut pada bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut

yang mendangkal ke atas darishore face ke pantai akan terlihat anggota ini mungkin

berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan

reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanya shale yang hadir

di bagian selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih

dari 300 m).

Formasi Bulu

  Semula formasi ini disebut sebagai Platen–Complex oleh Trooster (1937).

Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-

abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak

foraminifera yang berukuran sangat besar dari spesies Cycloclypeus

(Katacycloclypeus) annulatus berasosiasi dengan fragmen koral dan alga serta

foramnifera kecil. Harsono (1983) menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama

Resmi, dengan memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten

Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.

  Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas

terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat,

mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai

Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan

24
fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka

pada Kala Miosen Tengah – Awal Miosen Akhir (N 13 – N 15).

Formasi Wonocolo

  Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan

kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam Panduan Fieldtrip GMB

2006) lingkungan pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal

tengah pada Miosen Tengah-Miosen Atas (N14-N16).

  Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari

Formasi Globigerina oleh Trooster (1937) .Formasi ini menumpang secara selaras di

atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok . Pada umumnya tersusun oleh

napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan kandungan foraminifera

plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai sisipan batugamping pasiran dan

batupasir gampingan dengan ketebalan bervariasi antara 5–20 cm. Urutan ini

menunjukkan bahwa selama pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks

(1957) dan Harsono (1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah

Miosen Tengah – Miosen Akhir kisaran umur N 14 – N 16. (lihat tabel III.1).

  Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo,

barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi

ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna

plangtonik pada batuan penyusun formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya

berlangsung pada laut yang relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.

Formasi Ledok

25
  Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster

(1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari Formasi Globigerina, namun

para peneliti sesudahnya menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono,

1983).  Formasi Ledok secara umum tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan

sisipan kalkarenit yang berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen

Akhir (N 16–N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel

III.1.

  Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya,

yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai

Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya

kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan struktur silang siur. Di beberapa

tempat batupasir tersebut terutama tersusun oleh hanya oleh test foraminifera

plangtonik dengan sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari

formasi ini cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas,

menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal

(shallowing-upward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo,

Formasi Ledok ini juga mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari

formasi Paciran.

Formasi Mundu

  Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster

(1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Globigerina Marls.

26
Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh

napal masif berwarna putih abu-abu, kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara

stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok,

penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m–300 m di daerah antiklin Cepu area,

ke arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen

Akhir hingga Pliosen (N 17–N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial).

Formasi Selorejo

  Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937, yang

telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro

(1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983) tidak melakukan

pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan Mundu. Dia memasukkan

anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa Selorejo dekat

Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan

glaukonit. Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam.

  Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo beds.

Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya

sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo

ini merupakan anggota dari Formasi Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo

dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping

keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.

  Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi

daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati.

27
Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter. Berdasarkan kandungan

foraminifera palngtonik, umur dari Anggota Selorejo adalah Pliosen ( N 21).

Formasi Lidah

  Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan

batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai

Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan Turi–Domas.

Harsono (1983) kemudian meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu

Formasi Lidah (tabel III.1).

  Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah

hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih

mengandung foraminifera bentonik yang mencirikan air relatif dangkal

seperti pseudorotalia sp. danAsterorotalia sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang

mendangkal ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-

lapisan yang kaya akan moluska.

Formasi Paciran

  Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren

Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan

permukaan singkapan-singkapannya mengalami erosi membentuk apa yang disebut

sebagai karren surface. Harsono (1983) secara resmi menggunakan nama Paciran

dan menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah

bukit piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya

dibagian utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat

28
dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan.

Harsono (1983) menempatkannya pada Kala Pliosen–Awal Pleistosen, yang secara

lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat

bukti umur yang menunjukkan bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat

pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo.

BAB II

GEOMORFOLOGI DAERAH PEMETAAN

2.1 Satuan geomorfologi pemetaan

Pengelompokkan bentang alam di daerah pemetaan dilakukan secara

29
sistimatis berdasarkan kenampakan bentuk relief di lapangan, kemiringan lereng,

serta struktur geologi yang mengontrolnya. Pembahasan konsep dasar

geomorfologi bentuk bentang alam suatu daerah merupakan pencerminan dari

proses endogen dan eksogen yang mempengaruhi dimana setiap proses

menghasilkan suatu bentuk bentang alam yang khas.

Secara umum geomorfologi daerah pemetaan memperlihatkan satuan

geomorfologi perbukitan sampai dengan bergelombang. Pengklasifikasian

bentang alam ini dilakukan dengan mengacu pada parameter – parameter relief

yang disusun oleh Van Zuidam (1983) (Tabel 2.1) dan, menggunaka Metode

International Training Centre atau ITC (Zuidam, 1985), dan penggambaran karya

dengan mengacu standarisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan

oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN).

Tabel 2.1 Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (Van Zuidam-
Cancelado, 1979)

Kemiringan BedaTinggi

Relief Lereng ( %) (m)


1 Topografi dataran 0–2 <5
2 Topografi dataran berombak 3–7 5 – 50
3 Topografi dataran bergelombang 8 – 13 25 – 75
4 Topografi perbukitan bergelombang
30 14 – 20 50– 200

6 Topografipegunungan tersayat tajam 56 – 140 500– 1000


7 Topografipegunungan curam > 140 > 1000
Maka berdasarkan kondisi geomorfologi disebandingkan dengan

klasifikasi), Verstapen (2000) serta klasifikasi Van Zuidam (1983), proses yang

dominan dan waktu maka daerah pemetaan dapat dibagi menjadi 3 satuan

geomorfologi yaitu:

a. Satuan Geomorfologi Berbukit Bergelombang Struktural

Satuan geomorfologi ini memiliki luas penyebaran ±40% dari keseluruhan

daerah pemetaan. Satuan geomorf ini tersebar pada daerah Sidomulto,

Telgawah, Ndagnsili, dan sekitarnya.

b. Satuan Geomorfologi Berbukit Tersayat Tajam Struktural

Satuan geomorfologi ini memiliki luas penyebaran ±10% dari keseluruhan

daerah pemetaan. Satuan geomorf ini tersebar pada bagian utara dari daerah

telgawah.

c. Satuan Geomorfologi Denudiasional

Satuan geomorfologi Denudasional ini memiliki luas penyebaran ±50% dari

keseluruhan daerah pemetaan. Satuan geomorf ini tersebar pada daerah

Karangduwur, Tambakselo, Kadiwono, Bangpuser, dan sekitarnya.

31
2.2 Pola Aliran Sungai

Daerah pemetaan memiliki satu sungai utama yaitu Sungai Grubugan yang

mengalir dari barat hingga timur daerah pemetaan. Sungai Grubugan telah

memperlihatkan alur lurus hingga berkelok-kelok yang menunjukkan sungai ini

telah memasuki stadium dewasa Berdasarkan pengamatan disimpulkan bahwa

daerah pemetaan memiliki pola aliran sungai jenis dendritic. Secara genetik anak-

anak sungai dari daerah pemetaan terbagi atas:

a) Subsekuen, yaitu sungai mengalir searah dengan arah jurus perlapisan batuan.

b) Konsekuen, yaitu sungai mengalir searah dengan arah kemiringan lapisan

batuan.

c) Obsekuen, yaitu sungai mengalir berlawanan dengan arah kemiringan lapisan

batuan.

2.3 Stadia sungai

Stadia sungai ditentukan untuk mengetahui derajat atau tingkat erosi sungai

yang terjadi pada daerah pemetaan. Stadia sungai ditentukan oleh beberapa

parameter dalam klasifikasi stadia sungai (Nugroho,2004) dibawah ini (Tabel

2.3).

Tabel 2.3 Klasifikasi stadia sungai (Nugroho,2004)

Stadia Erosi Sungai


Parameter
Muda Dewasa Tua
Kecepatan Aliran Tinggi Sedang Rendah
Jenis Erosi Vertikal Vertikal-Horisontal Horisontal
Proses yang
Erosi Erosi dan Deposisi Deposisi
Bekerja

32
Bentuk Pola Sungai Lurus Lurus-Bermeander Bermeander
Bentuk Penampang V V-U U - Datar
Kerapatan Anak Sedang dan Mulai
Kecil dan Jarang Besar dan Banyak
Sungai Banyak
- Banyak Air - Air Terjun - Tidak Ada Air
Terjun Sedikit Terjun
-Tidak Ada - Mulai Terbentuk - Dataran Banjir
Kenampakan Lain
Dataran Banjir Dataran Banjir Luas
-Mengalir di Atas - Mulai Terbentuk - Mulai Terbentuk
Batuan Induk Endapan Sungai Oxbow Lake

Pengenalan stadia sungai dilakukan berdasarkan beberapa parameter

menurut Nugroho (2001). Daerah pemetaan dicirikan dengan lembah alur sungai

yang bervariasi seperti sempit, lurus (menyerupai huruf U – V). Berdasarkan

diatas maka dapat diperkirakan bahwa memberikan indikasi yang menunjukan

daerah pemetaan memiliki stadia sungai dewasa - tua.

2.3. Stadia Daerah Pemetaan

Penenentuan suatu stadia sungai membutuhkan beberapa parameter-

parameter. Berikut ini ciri-ciri stadia daerah yang digunakan sebagai parameter-

parameter yang untuk penentuan stadia (Tabel 2.4).

Stadia Daerah
Parameter
Muda Dewasa Tua

Stadia Sungai Muda Muda-Dewasa Tua

Sedikit
Relief Maksimum Hampir Datar
Bergelombang

Bentuk “V” “V”-“U” “U” hampir Datar


Penampang

33
Lembah

Bentang alamnya
datar, hasil dari
Bentang alam
Bentang alam proses
bergelombang
bergelombang, pengendapan,
Kenampakan Lain sampai datar
banyak gawir, gawir sudah mulai
mempunyai relief
relief tinggi rata, tidak ada
tinggi-sedang
relief. Sungai
bermeander

Tabel 2.4Tabel ciri-ciri stadia daerah secara umum, Nugroho (2001)

Daerah pemetaan tergolong memiliki stadia sungai yang dewasa karena

memiliki bentuk penampang U dan V. Relief daerah pemetaan umumnya berbukit

bergelombang hingga bergelombang/ miring dilihat dari kenampakan morfologi yang

bergelombang/miring struktural akan tetapi terlihat juga bentuk meander pada sungai

ini maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah pemetaan ini adalah dewasa-tu

34
BAB III

KESIMPULAN

Dari analisa peta yang telah dilaksanakan, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :

1. Berdasarkan klasifikasi van zuidam dapat disimpulkan bahwa klasifikasi geomorfologi

dari peta tersebut adalah satuan geomorfologi denudasional, satuan geomorfologi

berbukit tersayat tajam struktural, dan satuan geomorfologi berbukit bergelombang

structural.

2. Pola aliran sungai pada daerah tersebut adalah parallel dan rectangular.

3. Sungai besar atau sungai utama pada daerah tersebut merupakan sungai yang termasuk

stadia dewasa hingga tua.

35
LAPORAN PETA GEOMORFOLOGI

DESA SIDOMULYO KECAMATAN GUNEM


KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH

SHAFA KARINA PUTRI HARSONO


072001500106

TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2016

36
37

Anda mungkin juga menyukai