TINJAUAN PUSTAKA
Secara fisiografi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi empat bagian besar (van
Bemmelen, 1949) yaitu Jawa Barat (bagian barat dari Kota Cirebon), Jawa
Tengah (antara Kota Cirebon dan Kota Semarang), Jawa Timur (antara Kota
Semarang dan Kota Surabaya), dan bagian Pulau Jawa paling timur beserta Selat
Madura dan Pulau Madura.Fisiografi Jawa Tengah – Jawa Timur oleh Van
Bemmelen (1949) dibagi berdasarkan kondisi litologi penyusun, pola struktur dan
morfologi yang ada menjadi 7 zona fisiografi dari utara-selatan (Gambar 3.1)
42
mengetahui proses geologi yang terjadi pada daerah penelitian, baik berskala
regional maupun lokal yang meliputi tatanan tektonik, fisografi, stratigrafi, dan
struktur geologi daerah penelitian.
Lokasi
Penelitian
Zona Gunung Api Kuarter, zona ini menempati bagian tengah disepanjang
Zona Depresi Jawa. Gunungapi yang tidak menempati Zona Depresi Jawa adalah
Gunung Muria. Zona ini meliputi gunung – gunung yang berumur Kuarter,
seperti: Gunung Ungaran, Lawu, Semeru, Bromo, Slamet, Merbabu, Merapi,
Sumbing, Sindoro, Muria dan gunung – gunung lainnya. Zona ini membujur barat
– timur sejajar di tengah Pulau Jawa. Di Jawa Tengah dan Timur, zona ini
dibatasi di bagian utara oleh Zona Kendeng dan di bagian selatan oleh Zona
Pegunungan Selatan. Zona ini berupa endapan primer maupun sekunder aktifitas
gunungapi – gunungapi di dalamnya, umumnya berupa lava, breksi vulkanik,
piroklastik, lahar dan lain-lain.
43
3.1.2 Zona Dataran Aluvial Pantai Utara
Zona ini terletak di tepi utara Pulau Jawa bagian tengah yang berbatasan
langsung dengan Laut Jawa. Zona ini merupakan zona pada sekeliling Gunung
Muria dan berada di sekitar Provinsi Surabaya. Zona ini merupakan zona endapan
aluvial produk sedimentasi dari sungai yang bermuara di Laut Jawa.
44
Pleistosen Bawah yaitu Gunung Suntak (tenggara Rembang). Gunungapi Suntak
muncul tepat pada kelurusan sumbu Antiklin Brama yang menyingkapkan
Formasi Ngrayong berusia Miosen Tengah. Namun berbeda dengan Gunungapi
Pandan di Zona Kendeng yang diduga muncul bersamaan dengan aktivitas
tektonisme pengangkatan Kendeng dan mempengaruhi pembentukan struktur
perlipatan, Gunungapi Suntak diduga muncul setelah proses tektonisme
pengangkatan Rembang dan tidak mempengaruhi pembentukan Antiklinorium
Rembang. Hal ini dapat dilihat dari pola perlipatan di sekitar gunungapi tersebut
yang tidak mengalami pembelokan atau perubahan dari sumbu antiklin
regionalnya.
Proses erosi permukaan tidak seintensif Zona Kendeng, sehingga
pembalikan topografi tidak lazim dijumpai di zona ini. Hal ini disebabkan oleh 56
litologi penyusun Zona Rembang didominasi batugamping yang bersifat lebih
resisten terhadap erosi. Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya
dilakukan oleh sungai-sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau
Jawa, sehingga tidak terbentuk delta-delta yang cukup signifikan.
45
perlipatan dan sesar naik yang berarah barat - timur. Intensitas perlipatan dan
anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian
barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut,
batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan
dan anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya
retakan, sesar dan 57 zona lemah lainnya pada arah tenggara - baratlaut, baratdaya
- timurlaut dan utara selatan.
46
Bengawan Solo berbelok ke utara, memotong sabuk antiklinorium Kendeng yang
lebarnya 15 km seraya tetap mempertahankan arah alirannya. Fenomena
bertahannya Bengawan Solo terhadap proses pengangkatan tektonik Kendeng
menyebabkannya dapat dikelompokkan sebagai sungai anteseden.
Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral secara fisiografi terdiri
dari beberapa tinggian dan rendahan yang pembentukannya dikontrol oleh proses
endogenik maupun proses eksogenik. Tinggian dan rendahan dari barat ketimur
yaitu Tinggian Gabon, Rendahan Citanduy, Tinggian Besuki, Depresi Majenang,
Depresi Wangon, Tinggian Majenang, Rendahan Kroya, Tinggian Karang
Bolong, Rendahan Kebumen, Tinggian Kebumen dan Tinggian Kulonprogo.
47
c. Subzona Ngawi, subzona ini merupakan depresi yang berbatasan
dengan Pegunungan Kendeng di bagian utara. Subzona ini pada
umumnya dibentuk oleh endapan alluvial dan endapan gunung api
yang kecil.
Daerah paling utara dari Pegunungan Selatan yang tersusun oleh batuan
vulkanik dengan kelerengan terjal hingga sedang disebut sebagai Igir Baturagung.
Bagian utara dari Igir Baturagung berbatasan dengan Zona Solo. Pegunungan
Selatan Jawa Timur bagian barat merupakan suatu cekungan sedimenter
gunungapi berumur Eosen - Miosen Tengah yang ditutupi oleh berbagai fasies
batugamping berumur Miosen Tengah - Pliosen, yang kemudian mengalami
pengangkatan dan penyesaran bongkah hingga kedudukannya relatif termiringkan
ke arah selatan (Husein dan Srijono, 2007).
48
sebagai jaringan sungai bawah tanah (sub-terranean drainage system). Di sebelah
barat Teluk Pacitan, terdapat alur lembah kering memanjang relatif utara - selatan
yang diduga sebagai jejak aliran Sungai Bengawan Solo Purba yang dirompak
(stream piracy) oleh penurunan blok Depresi Baturetno (Husein dan
Srijono,2007). Berdasarkan kajian fisiografi regional di atas, daerah penelitian
termasuk Zona Gunung Api Kuarter (van Bemmelen, 1949). Daerah penelitian
berdekatan dengan gunung api, tepatnya bagian timur dari daerah penelitian, yaitu
Gunung Merbabu dan bagian tenggara dari daerah penelitian, yaitu Gunung
Merapi.
49
3.2 Stratigrafi Regional
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa Tengah.
(Djuri, M dkk, (1996) diketahui susunan stratigrafi regional dari termuda hingga
tertua yang berada dilokasi penelitian adalah sebagai berikut:
1. Aluvial (Qa): kerikil, pasir, lanau dan lempung. Merupakan endapan sungai
dan pantai dengan ketebalan hingga 150 meter.
2. Endapan Lahar Gunung Slamet (Qls): lahar dengan bongkah batuan
gunungapi bersusunan andesit-basal, bergaris tengah 10-50 cm, dihasilkan oleh
gunung Slamet tua. Sebarannya meliputi daerah datar.
3. Lava Gunung Slamet (Qvls): lava andesit berongga, terdapat di lereng timur
gunung Slamet.
4. Batuan Gunungapi Slamet Tak Terurai (Qvs): breksi gunungapi, lava dan
tufa. Sebarannya membentuk dataran dan perbukitan.
5. Endapan Undak (Qps): lapisan-lapisan batupasir tufaan, pasir, tufa,
konglomerat dan breksi tufaan. Di sebelah timurlaut dan tenggara merupakan
dataran yang bergelombang.
6. Formasi Linggopodo (Qpl): breksi gunungapi, tufa dan lahar. Diduga hasil
kegiatan gunungapi Slamet atau Copet.
7. Formasi Gintung (Qpg): konglomerat andesit, dibeberapa tempat batupasir
berwarna kehijauan sampai kelabu, lempung dengan kongkresi batupasir
gampingan dan tufa. Didalam konglomerat kadang ditemukan kayu
tersilisifikasi. Tersingkap di sepanjang sungai Gintung ke arah barat dengan
ketebalan 800 meter. Terdapat pada beberapa singkapan kecil di dekat batas
barat peta.
8. Formasi Mengger (Qpm): tufa berwarna kelabu muda dan batupasir tufaan,
bersisipan konglomerat dan batupasir magnetit. Tebal sekitar 150 meter.
9. Formasi Ligung (Qtlb): agglomerat andesit, breksidan tufa berwarna kelabu
dibeberapa tempat. Sebelumnya dinamakan anggota atas formasi Ligung.
10. Anggota Lempung Formasi Ligung (QTlc): batulempung tufaan, batupasir
tufaan berlapis silang silur dan konglomerat. Setempat sisa tumbuhan dan
50
batubara muda yang menunjukkan bahwa anggota ini diendapkan di
lingkungan bukan laut.
11. Formasi Kaliglagah (Tpk): batulempung, napal, batupasir dan konglomerat di
beberapa tempat dijumpai lensa lignit setebal 10-100 cm.
12. Formasi Kalibiuk (Tpb): napal lempungan bersisipan baupasir, kaya akan
moluska. Tebal sekitar 175 meter.
13. Formasi Tapak (Tpt): batupasir berbutir kasar berwarna kehijauan dan
konglomerat setempat dijumpai breksi andesit. Dibagian atas terdiri dari
51
mengandung foraminifera kecil dengan ketebalan sekitar 300 meter.
23. Formasi Pemali (Tmp): napal globigerina berwarna kelabu muda dan kelabu
kehijauan bersisipan batugamping pasiran, batupasir tufaan dan batupasir
kasar. Umumnya merupakan runtunan batulempung berwarna
kelabu yang monoton, bagian bawah tidak tersingkap. Tebal lebih dari 900
meter.
24. Batuan Terobosan Tersier : Terdiri atas porfiri mikrodiorit (m) dan diorit
(d) berbutir sedang hingga kasar. Porfiri mikrodiorit berwarna coklat berbintik
coklat tua dan hitam, pejal, lapuk. Bertekstur holokristalin subdiabas porfiri
dengan fenokris feldspar dan mineral-mineral femic. Sebagian mineral femik
lapuk sehingga terbentuk rongga-rongga.
52
Berdasarkan data geologi regional daerah penelitian masuk pada
formasi tertua sampai muda yaitu formasi Rambatan, Formasi Halang, Batuan
Gunungapi Slamet Tak Terurai (Qvs), dan Batuan Terobosan Tersier diorit (d)
Memahami tektonisme Pulau Jawa secara umum dan Jawa Timur khususnya
membutuhkan rekonstruksi tektonik lempeng regional semenjak awal Yura Atas
(160 juta tahun lampau), dimana lempeng - lempeng mikro Paparan Sunda
(Sundaland) mulai terpisah dari Kontinen Induk Gondwana. Lempeng - lempeng
mikro asal Gondwana tersebut bertumbukan dan bergabung dengan inti Sundaland
pada akhir Kapur Bawah - awal Kapur Atas (Albian – Turonian, 110 - 90 jt).
Semenjak itu, Pulau Jawa berada dalam kondisi tepian benua pasif (passive
margin). Tatanan seperti ini bertahan hingga Awal Eosen (gambar 3.3)
Gambar 3. 3 Tataan lempeng tektonik di awal Tersier (Paleosen) (kiri), dan saat
Eosen Tengah (kanan) (Hall, 2012)
53
sedimentasi syn-rift di proto Pegunungan Selatan. Di Jawa Timur bagian utara,
Formasi pre-Ngimbang dan Ngimbang diendapkan dengan baik. Seluruh formasi
tersebut merekam pengaruh fluktuasi muka laut global dengan adanya
ketidakselarasan di akhir Eosen Tengah (gambar 3.4). Di akhir Eosen Atas,
sedimentasi syn-rift terhenti akibat peristiwa transgresi global. Secara regional,
gaya tektonik regangan juga turut berkurang dengan mulainya proses kolisi Benua
India dengan Asia (Gambar 3.4). Hal ini juga ditandai dengan berakhirnya proses
pemekaran Selat Makassar. Pada akhir Oligosen Bawah proses penunjaman
Palung Sunda yang terjadi semenjak Eosen Tengah mulai membentuk busur
gunungapi (volcanic arc), yang berada di Zona Pegunungan Selatan.
Gambar 3. 4 Tatanan lempeng tektonik di Eosen Akhir (kiri), dan saat Oligosen
Awal (kanan) (Hall, 2012).
Saat Oligosen Akhir (gambar 3.5) kolisi Benua Australia dan Sundaland
54
dimulai. Akibatnya Sundaland mulai mengalami rotasi berlawanan arah jarum jam
(anti-clockwise rotation), yang dapat mengaktifkan patahan - patahan batuan alas
(basement faults) yang sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat periode
pemekaran di Eosen Tengah menjadi sesar geser. Rotasi pada kala Oligo - Miosen
ini terekam dengan baik di Zona Rembang, dimana sedimentasi batugamping
Prupuh di lingkungan terumbu menempati tinggian - tinggian batuan alas
(basement horst) yang terinversi naik akibat penyesaran geser mengiringi
naiknya genang laut saat itu. Di Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut
mempengaruhi karakter vulkanisme yang terjadi, ditandai dengan munculnya
Formasi Nglanggeran yang bersifat lebih basaltik dibandingkan Formasi Semilir
yang juga diendapkan saat itu.Selain itu, rotasi ini diduga menyebabkan
kelanjutan penurunan tektonik Zona Kendeng, yang kemudian memicu
munculnya kompleks batuan alas (basement corecomplex) Bayat di tepian
cekungan akibat peluncuran gaya-berat (gravitational gliding) (Husein, 2013).
Memasuki akhir Miosen Awal, slab kerak samudera Albian-Turonian telah habis
dikonsumsi Palung Sunda.
Gambar 3. 5 Tataan lempeng tektonik di Oligosen Akhir (kiri), dan akhir Miosen
Bawah (kanan) (Hall, 2012).
Akibatnya slab tersebut terputus dan segmen slab yang baru kemudian
tertarik memasuki Palung Sunda dalam sudut penunjaman yang lebih landai.
Meskipun slab kerak samudera tersebut berumur Oxfordian-Albian, lebih tua
55
daripada slab sebelumnya, namun ujungnya lebih pendek hingga mampu
mengungkit segmen lempeng Sundaland diatasnya. Peristiwa ini menyebabkan
berakhirnya periode puncak volkanisme Pegunungan Selatan. Pengangkatan
terjadi merata, di Pegunungan Selatan ditandai dengan sedimentasi batupasir
kuarsa Formasi Jaten, di Zona Rembang ketidakselarasan yang dihasilkan
peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama Tuban Event, yang memicu
sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Ngrayong secara masif dan luas, di Zona
Kendeng meski tidak sedramatik di Zona Rembang maupun Pegunungan Selatan,
ditandai dengan sedimentasi Formasi Kerek yang diendapkan pada lingkungan
yang lebih dangkal dibandingkan Formasi Pelang (gambar 3.6)
Gambar 3. 6 Tataan lempeng tektonik di Miosen Akhir (kiri), dan akhir Pleistosen
(kanan) (Hall, 2012).
56
(basement grabens) mengontrol sedimentasi Formasi Kepek. Demikian juga di
Zona Rembang, dimana penurunan sebagian bongkah - bongkah batuan alas
mengontrol pengendapan sikuen Ledok - Mundu - Selorejo bersamaan dengan
naiknya genang laut saat awal Pliosen. Peristiwa penyesaran bongkah ini ,Jawa
Timur bagian utara dikenal dengan nama Rembang Event.
Berdasarkan kajian tataan tektonik di atas, daerah penelitian yang terletak di Pulau
Jawa sudah terbentuk sejak akhir Zaman Kapur yang masih berada di tepian
benua pasif. Tataan tektonik daerah penelitian terbentuk akibat dari tumbukan
Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke utara dengan Lempeng Eurasia
akibat pemekaran Lempeng Samudera Hindia di Selatan Benua Australia pada
Eosen Tengah.Penunjaman tersebut yang mengakibatkan terbentuknya jajaran
gunungapi di Pulau Jawa yang terjadi sampai saat ini. Daerah penelitian
merupakan hasil dari aktivitas vulkanisme pada Zaman Kuarter akibat dari
penunjaman tersebut.
57
gunungapi berarah Barat - Timur di Pulau Jawa. Selain itu terbentuk juga intra-
arc basin dan kemudian back-arc basin di Jawa Barat bagian Utara. Back-arc
basin ini secara progresif semakin berpindah ke arah Utara sejalan dengan
perpindahan jalur gunungapi selama Tersier hingga Kuarter (gambar 3.7).
Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), terdapat tiga pola struktur dominan
yang berkembang di Pulau Jawa, yaitu:
Pola Meratus (Kapur Akhir–Eosen Awal), berarah Arah Timur Laut –Barat Daya
(NE-SW) . Pola Meratus dihasilkan oleh tatanan tektonik kompresi akibat
Lempeng Samudera India yang menunjam ke bawah Lempeng Benua Eurasia
Arah tumbukan dan penunjaman yang menyudut menjadi penyebab sesar-sesar
utama pada Pola Meratus bersifat sesar mendatar mengiri.
a. Pola Sunda (Eosen Awal–Oligosen Awal) berarah Arah Utara – Selatan (N-S).
Pola Sunda dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan inidisebabkan oleh
penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan Eurasia
yang menimbulkan rollback.
b. Pola Jawa (Oligosen Akhir–Resen) berarah Arah Timur – Barat (E-W). Di Jawa
Tengah hampir semua sesar di Jalur Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah
yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan
di utara Pulau Lombok. Kemenerusan ini mengakibatkan Pulau Jawa
menghasilkan Zona Anjakan-Lipatan (Thrust Fold Belt) di sepanjang Pulau Jawa
dan berlangsung sampai sekarang.
58
Gambar 3. 7 Pola umum struktur di Jawa (Pulunggono dan Martodjojo,1994).
59
Gambar 3. 8 Pola sesar mendatar jawa tengah (Satyana dan purwaningsih 2002
60
3.4.2 Lipatan
Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang yang
bersifat plastis, dan tidak mudah untuk patah, oleh karena itu lipatan pada batuan
biasanya terjadi sebelum terbentuknya patahan pada batuan, ditunjukkan sebagai
lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di dalam
bahan tersebut. Pada daerah berstruktur lipatan, disebabkan oleh tenaga endogen
yang arahnya mendatar berupa tekanan, sehingga batuan sedimen yang letak
lapisan-lapisannya mendatar berubah menjadi terlipat atau bergelombang. Daerah
yang berstruktur demikian disebut daerah lipatan, dalam bahasa Inggris disebut
folded zone. suatu lipatan memiliki beberapa bagian, sebagai akibat dari adanya
lipatan tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah antiklinal, sinklinal, sayap antiklin
(Sudardja & Akub,1977: 115).
61
lembah yang berkembang sepanjang sumbu antiklinal. Bentukan ini benar-
benar menunjukkan pembalikan relief.
d. Bentukan lembah sinklinal (synclinal valley), merupakan lembah yang
berkembang sepanjang sumbu sinklinal.
e. Bentukan punggungan sinklinal (synclinal ridge), Merupakan punggungan
yang berkembang sepanjang sumbu sinklin. Ini pun menunjukkan adanya
pembalikan relief yang sempurna. Punggungannya biasanya lebar dengan
lereng yang curam.
f. Bentukan berupa punggungan homoklinal (homoclinal ridge), Punggungan
homoklinal merupakan punggungan yang terdapat disetiap antiklinal/sinklinal
akibat pengirisan lembah pada sayap dan sepanjang sayap itu, dengan
sendirinya punggungan ini akan berupa cuesta atau hogback tergantung kepada
besarnya kemiringan struktur. Bisanya bentukan ini dibatasi oleh adanya
pergantian kekerasan lapisan batuan yang berselang-seling antara lapisan
batuan lunak dan lapisan yang keras. Cuesta adalah bentuk punggungan atau
bukit yang kemiringan lerengnya tidak sama sebagai akibat dari kedudukan
lapisan-lapisan batuan pembentuknya yang landai. Cuesta mempunyai lereng
belakang (back slope) yang landai dan lereng muka (inface) lebih curam.
Apabila Cuesta dengan kedudukan lapisan batuan itu cukup curam dan kedua
lereng bukit mempunyai kemiringan yang hampir sama, maka dinamakan
Hogback. Sedangkan bila kedudukan lapisan itu mendatar, bukit yang
demikian dinamakan messa. Messa yang berukuran kecil disebut Butte.
62
ukuran. Variasi geometri lipatan terutama tergantung pada sifat dan keragaman
bahan, dan asal kejadian mekanik pada saat proses perlipatan. Beberapa titik pada
profil permukaan dideskriksikan antara lain (Gambar 3.10):
- Hinge point adalah titik maksimun pelengkungan pada lapisan yang terlipat
- Crest adalah titik tertinggi pada pelengkungan
- Trough adalah titik terendah pada pelengkungan
- Inflection point adalah titik batas dari dua pelengkungan yang berlawanan
- Fold axis (sumbu lipatan/hinge line) adalah garis maksimum pelengkungan
pada suatu permukaan bidang yang terlipat.
- Axial plane (bidang sumbu) adalah bidang yang dibentuk melalui garis-garis
sumbu pada suatu lipatan. Bidang ini tidak selalu berupa bidang lurus (planar),
tetapi dapat melengkung yang umum disebut sebagai axial surface.
- Fold limb (sayap lipatan) adalah sisi-sisi dari bidang yang terlipat yang berada
diantara daerah pelengkungan (hinge zone) dan batas pelengkungan (inflection
line).
63
Gambar 3.9 Rangkaian bentuk punggungan dan lembah pada daerah berstruktur
lipatan (Lobeck, 1939)
64
Dalam rekontruksi lipatan dilakukan berdasarkan hasil pengukuran
kedudukan lapisan dari lapangan, atau pembuatan penampang dari peta geologi.
Metode yang digunakan adalah metode busur lingkar (arc method), dasar dari
metode ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu
lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu–sumbu kemiringan
yang berdekatan.
65
Gambar 3.11 Rekonstruksi lipatan dengan metode busur lingkar (arc methode)
(Busk, 1928).
66