Anda di halaman 1dari 25

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan kajian berbagai penelitian yang telah


dilakukan guna mengetahui dinamika geologi maupun proses yang terjadi pada
daerah penelitian, baik secara regional maupun lokal meliputi tataan tektonik,
fisiografi, stratigrafi, dan struktur geologi pada daerah penelitian dan sekitarnya.
Kegunaan tinjauan pustaka adalah untuk mengetahui kondisi secara umum daerah
penelitian, agar saat dilakukan pemetaan rinci lebih terarah. Penelitian yang
dilakukan menggunakan berbagai metode maupun pendekatan yang bermacam-
macam, khususnya dari bidang geologi. Pulau Jawa memiliki sifat fisiografi yang
khas, dan hal ini disebabkan karena beberapa keadaan. Satu diantaranya adalah
iklim tropis, disamping itu ciri-ciri geografisnya disebabkan karena merupakan
geosinklinal muda dan jalur orogenesa dengan banyak vulkanisme yang kuat.
Karena kekuatan inilah mengakibatkan Pulau Jawa berbentuk memanjang dan
sempit. Kajian Fisiografi mengacu pada pembagian zona Jawa tengah oleh van
Bemmelen (1949), stratigrafi regional mengacu dari Djuri,dkk (1996), struktur
geologi regional mengacu dari Pulunggono dan Martodjojo (1994).

3.1 Fisiografi Regional

Secara fisiografi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi empat bagian besar (van
Bemmelen, 1949) yaitu Jawa Barat (bagian barat dari Kota Cirebon), Jawa
Tengah (antara Kota Cirebon dan Kota Semarang), Jawa Timur (antara Kota
Semarang dan Kota Surabaya), dan bagian Pulau Jawa paling timur beserta Selat
Madura dan Pulau Madura.Fisiografi Jawa Tengah – Jawa Timur oleh Van
Bemmelen (1949) dibagi berdasarkan kondisi litologi penyusun, pola struktur dan
morfologi yang ada menjadi 7 zona fisiografi dari utara-selatan (Gambar 3.1)

Tinjauan pustaka merupakan kajian geologi dari berbagai peneliti untuk

42
mengetahui proses geologi yang terjadi pada daerah penelitian, baik berskala
regional maupun lokal yang meliputi tatanan tektonik, fisografi, stratigrafi, dan
struktur geologi daerah penelitian.

Lokasi
Penelitian

Gambar 3. 1 Peta Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

3.1.1 Zona Gunungapi Kuarter

Zona Gunung Api Kuarter, zona ini menempati bagian tengah disepanjang
Zona Depresi Jawa. Gunungapi yang tidak menempati Zona Depresi Jawa adalah
Gunung Muria. Zona ini meliputi gunung – gunung yang berumur Kuarter,
seperti: Gunung Ungaran, Lawu, Semeru, Bromo, Slamet, Merbabu, Merapi,
Sumbing, Sindoro, Muria dan gunung – gunung lainnya. Zona ini membujur barat
– timur sejajar di tengah Pulau Jawa. Di Jawa Tengah dan Timur, zona ini
dibatasi di bagian utara oleh Zona Kendeng dan di bagian selatan oleh Zona
Pegunungan Selatan. Zona ini berupa endapan primer maupun sekunder aktifitas
gunungapi – gunungapi di dalamnya, umumnya berupa lava, breksi vulkanik,
piroklastik, lahar dan lain-lain.

43
3.1.2 Zona Dataran Aluvial Pantai Utara
Zona ini terletak di tepi utara Pulau Jawa bagian tengah yang berbatasan
langsung dengan Laut Jawa. Zona ini merupakan zona pada sekeliling Gunung
Muria dan berada di sekitar Provinsi Surabaya. Zona ini merupakan zona endapan
aluvial produk sedimentasi dari sungai yang bermuara di Laut Jawa.

3.1.3 Zona Antiklinorium Rembang – Madura

Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang


memanjang dengan arah timur - barat di sisi utara Pulau Jawa. Zona ini
membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan
lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur - barat, dengan panjang dari
beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara
Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang
Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan (van Bemmelen, 1949). Antiklinorium
Rembang Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona
antiklinorium tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat,
dan lembah aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur.
Perbukitan lipatan di Zona Rembang umumnya tersusun secara en-echelonke arah
kiri (left-stepping), mengindikasikan kontrol patahan batuan alas (basement faults)
geser sinistral berarah timur-timurlaut - barat-baratdaya yang 55 membentuk
antiklinorium Rembang tersebut. Pola ini dapat diamati pada rangkaian perbukitan
deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan (baratlaut Tuban) di Zona
Rembang bagian utara, dan rangkaian perbukitan deretan Antiklin Gabus
(baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara Cepu).

Pola susunan lipatan en-echelon lainnya, yaitu bersifat ke arah kanan


(right- stepping), adalah berarah baratlaut - tenggara, yaitu Antiklin
Banyubang(timur Blora) hingga Antiklin Kindangan (baratlaut Bojonegoro). Pola
kedua ini mengindikasikan adanya kontrol patahan batuan alas (basement faults)
geser kanan yang memanjang baratlaut tenggara. Sebagaimana Zona Kendeng,
Perbukitan Rembang juga diterobos oleh sebuah gunungapi tua berumur

44
Pleistosen Bawah yaitu Gunung Suntak (tenggara Rembang). Gunungapi Suntak
muncul tepat pada kelurusan sumbu Antiklin Brama yang menyingkapkan
Formasi Ngrayong berusia Miosen Tengah. Namun berbeda dengan Gunungapi
Pandan di Zona Kendeng yang diduga muncul bersamaan dengan aktivitas
tektonisme pengangkatan Kendeng dan mempengaruhi pembentukan struktur
perlipatan, Gunungapi Suntak diduga muncul setelah proses tektonisme
pengangkatan Rembang dan tidak mempengaruhi pembentukan Antiklinorium
Rembang. Hal ini dapat dilihat dari pola perlipatan di sekitar gunungapi tersebut
yang tidak mengalami pembelokan atau perubahan dari sumbu antiklin
regionalnya.
Proses erosi permukaan tidak seintensif Zona Kendeng, sehingga
pembalikan topografi tidak lazim dijumpai di zona ini. Hal ini disebabkan oleh 56
litologi penyusun Zona Rembang didominasi batugamping yang bersifat lebih
resisten terhadap erosi. Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya
dilakukan oleh sungai-sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau
Jawa, sehingga tidak terbentuk delta-delta yang cukup signifikan.

3.1.4 Zona Kendeng


Zona Kendeng meliputi deretan pegunungan dengan arah memanjang
timurbarat yang terletak langsung di sebelah utara Subzona Ngawi. Pegunungan
ini tersusun oleh batuan sedimen laut yang telah mengalami deformasi secara
intensif membentuk suatu antiklinorium (rangkaian perbukitan antiklin kecil yang
tersusun secara paralel dan membentuk struktur antiklin lebih besar). Pegunungan
ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km (de Genevraye dan
Samuel, 1972) membentang dari Gunungapi Ungaran di bagian barat ke timur
melalui Ngawi hingga daerah Mojokerto. Di bawah permukaan, kelanjutan zona
ini masih dapat diikuti hingga di Selat Madura.
Ciri morfologi Zona Kendeng berupa rangkaian perbukitan rendah dengan
morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200 meter.
Morfologi perbukitan yang berarah barat - timur ini mencerminkan adanya

45
perlipatan dan sesar naik yang berarah barat - timur. Intensitas perlipatan dan
anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian
barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut,
batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan
dan anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya
retakan, sesar dan 57 zona lemah lainnya pada arah tenggara - baratlaut, baratdaya
- timurlaut dan utara selatan.

Di bagian tengah Zona Kendeng, yaitu di baratlaut Nganjuk, sabuk


Antiklinorium Kendeng diterobos oleh tubuh Gunungapi Pandan yang berumur
Pleistosen Awal (Lunt, dkk.,1998). Meski demikian, pola struktur perlipatan
Zona Kendeng di sekitar Gunung Pandan yang mengalami pembelokan relatif
simetris terhadap tubuh gunungapi tersebut mengindikasikan bila volkanismenya
terjadi bersamaan dengan proses pengangkatan tektonik Zona Kendeng (Pliosen
Akhir). Ditinjau dari jarak relatif terhadap deretan busur gunungapi dan palung
subduksi, Gunungapi Pandan berada satu deretan dengan Gunungapi Ungaran,
yaitu menempati posisi vulkanisme belakang busur dekat (near back-arc).
Gunungapi Ungaran juga mulai aktif pada waktu bersamaan dengan Gunungapi
Pandan, yaitu Pleistosen Awal (van Bemmelen, 1949).
Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan
sangat intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi
penyusun Zona Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai
kompaksitas rendah, misalnya pada Formasi Pelang, Formasi Kerek dan Formasi
Kalibeng yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter. Proses
eksogenik yang intensif juga mampu membalik topografi struktural yang ada
(inversed topography), misalkan bukit antiklin menjadi lembah antiklin dan
lembah sinklin menjadi bukit sinklin.
Karena proses pengangkatan tektonik yang terus berjalan mulai dari akhir
Tersier hingga sekarang,banyak dijumpai teras-teras sungai di Zona Kendeng
yang menunjukkan adanya perubahan temporary base level. Sungai utama yang
mengalir melalui Zona Kendeng adalah Bengawan Solo yang sebelumnya
mengaliri Subzona Ngawi dengan arah aliran barat-timur. Di Kota Ngawi

46
Bengawan Solo berbelok ke utara, memotong sabuk antiklinorium Kendeng yang
lebarnya 15 km seraya tetap mempertahankan arah alirannya. Fenomena
bertahannya Bengawan Solo terhadap proses pengangkatan tektonik Kendeng
menyebabkannya dapat dikelompokkan sebagai sungai anteseden.

3.1.5 Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral

Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral secara fisiografi terdiri
dari beberapa tinggian dan rendahan yang pembentukannya dikontrol oleh proses
endogenik maupun proses eksogenik. Tinggian dan rendahan dari barat ketimur
yaitu Tinggian Gabon, Rendahan Citanduy, Tinggian Besuki, Depresi Majenang,
Depresi Wangon, Tinggian Majenang, Rendahan Kroya, Tinggian Karang
Bolong, Rendahan Kebumen, Tinggian Kebumen dan Tinggian Kulonprogo.

3.1.6 Zona Depresi Jawa, Solo dan Randublatung


Zona depresi merupakan daerah jajaran gunung api tersier. Dulunya zona
depresi merupakan daerah berbukit/bertopografi tinggi lalu runtuh dan muncul
gunung api. Zona ini meliputi subzona Blitar, subzona Solo bagian tengah, dan
subzona Ngawi.
a. Subzona Blitar, subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit
di
antar pegunungan selatan dan gunungapi muda, serta ditutupi oleh
endapan alluvial.
b. Subzona Solo bagian tengah, subzona ini dibentuk oleh daratan
gunungapi 59 vulkanik muda dan dataran – dataran antar
pegunungan. Gunung api tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung
Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger, dan Gunung Ijen di
ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan dataran – dataran antar gunung
apinya adalah Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran
Kediri. Dataran antar gunung api pada umumnya dibentuk oleh
endapan lahar.

47
c. Subzona Ngawi, subzona ini merupakan depresi yang berbatasan
dengan Pegunungan Kendeng di bagian utara. Subzona ini pada
umumnya dibentuk oleh endapan alluvial dan endapan gunung api
yang kecil.

3.1.7 Zona Pegunungan Selatan


Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur merupakan rangkaian pegunungan
yang berada di sisi selatan Pulau Jawa di bagian timur dan memanjang relatif
berarah timur - tenggara – barat - baratlaut, mulai dari Parangtritis hingga Ujung
Purwo dengan lebar yang tidak selalu sama. Pegunungan Selatan Jawa Timur
bagian barat oleh van Bemmelen (1949) dibagi lagi menjadi tiga satuan
geomorfologi. Paling selatan yang tersusun oleh perbukitan karst yang
didominasioleh kerucut karst (conical hill) dan langsung berbatasan dengan
Samudera Hindia disebut sebagai Perbukitan Sewu. Sedangkan daerah yang
berada di sebelah utaranya yang berupa dataran tinggi (plato) disebut sebagai
Dataran Tinggi Wonosari (Plato Wonosari).

Daerah paling utara dari Pegunungan Selatan yang tersusun oleh batuan
vulkanik dengan kelerengan terjal hingga sedang disebut sebagai Igir Baturagung.
Bagian utara dari Igir Baturagung berbatasan dengan Zona Solo. Pegunungan
Selatan Jawa Timur bagian barat merupakan suatu cekungan sedimenter
gunungapi berumur Eosen - Miosen Tengah yang ditutupi oleh berbagai fasies
batugamping berumur Miosen Tengah - Pliosen, yang kemudian mengalami
pengangkatan dan penyesaran bongkah hingga kedudukannya relatif termiringkan
ke arah selatan (Husein dan Srijono, 2007).

Sungai yang mengerosi Pegunungan Selatan umumnya mengalir ke selatan


dan bermuara di Samudera Hindia. Igir - igir utara Pegunungan Selatan umumnya
dierosi oleh sungai - sungai yang mengalir ke arah Zona Solo. Pengecualian
terjadi di Pegunungan Selatan bagian barat, sungai permukaan yang berhulu di
Igir Baturagung dan mengalir ke selatan melalui Plato Wonosari melanjutkan
perjalanannya melalui jalur di bawah permukaan kawasan karst Gunung Sewu

48
sebagai jaringan sungai bawah tanah (sub-terranean drainage system). Di sebelah
barat Teluk Pacitan, terdapat alur lembah kering memanjang relatif utara - selatan
yang diduga sebagai jejak aliran Sungai Bengawan Solo Purba yang dirompak
(stream piracy) oleh penurunan blok Depresi Baturetno (Husein dan
Srijono,2007). Berdasarkan kajian fisiografi regional di atas, daerah penelitian
termasuk Zona Gunung Api Kuarter (van Bemmelen, 1949). Daerah penelitian
berdekatan dengan gunung api, tepatnya bagian timur dari daerah penelitian, yaitu
Gunung Merbabu dan bagian tenggara dari daerah penelitian, yaitu Gunung
Merapi.

Secara umum Pannekoek (1949), telah membagi fisiografi Pulau Jawa


menjadi beberapa zona fisiografi. Zona Fisiografi tersebut membujur dari barat
sampai timur yang dibedakan menjadi tiga zona yaitu :
a. Zona Selatan/Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan
kemiringan kearah selatan menuju Samudera Indonesia dan
umumnya dibagian utara dipotong oleh gawir. Di beberapa tempat
gawir tesebut hampir tidak terlihat lagi, untuk kemudian berganti
menjadi dataran alluvial
b. Zona Tengah/Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi
yang disusun oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena
pada daerah tersebut banyak tumbuh GunungApi Kuarter
c. Zona Utara/Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan
lipatan yang diselingi oleh beberapa gunungapi dan sering
berbatasan dengan aluvial. Zona utara ini dibagi lagi menjadi dua
sub-zona, yaitu: Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang.
Kedua perbukitan ini dipisahkan oleh depresi yang memanjang
dengan arah barat – timur, yang oleh Van Bemmelen (1949) depresi
ini disebut sebagai Zona Randublatung.

Berdasarkan kajian fisiografi regional ini, daerah penelitian termasuk dalam


Zona Gunungapi Kuarter dan Zona Serayu Utara (van Bemmelen, 1949).

49
3.2 Stratigrafi Regional
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa Tengah.
(Djuri, M dkk, (1996) diketahui susunan stratigrafi regional dari termuda hingga
tertua yang berada dilokasi penelitian adalah sebagai berikut:

1. Aluvial (Qa): kerikil, pasir, lanau dan lempung. Merupakan endapan sungai
dan pantai dengan ketebalan hingga 150 meter.
2. Endapan Lahar Gunung Slamet (Qls): lahar dengan bongkah batuan
gunungapi bersusunan andesit-basal, bergaris tengah 10-50 cm, dihasilkan oleh
gunung Slamet tua. Sebarannya meliputi daerah datar.
3. Lava Gunung Slamet (Qvls): lava andesit berongga, terdapat di lereng timur
gunung Slamet.
4. Batuan Gunungapi Slamet Tak Terurai (Qvs): breksi gunungapi, lava dan
tufa. Sebarannya membentuk dataran dan perbukitan.
5. Endapan Undak (Qps): lapisan-lapisan batupasir tufaan, pasir, tufa,
konglomerat dan breksi tufaan. Di sebelah timurlaut dan tenggara merupakan
dataran yang bergelombang.
6. Formasi Linggopodo (Qpl): breksi gunungapi, tufa dan lahar. Diduga hasil
kegiatan gunungapi Slamet atau Copet.
7. Formasi Gintung (Qpg): konglomerat andesit, dibeberapa tempat batupasir
berwarna kehijauan sampai kelabu, lempung dengan kongkresi batupasir
gampingan dan tufa. Didalam konglomerat kadang ditemukan kayu
tersilisifikasi. Tersingkap di sepanjang sungai Gintung ke arah barat dengan
ketebalan 800 meter. Terdapat pada beberapa singkapan kecil di dekat batas
barat peta.
8. Formasi Mengger (Qpm): tufa berwarna kelabu muda dan batupasir tufaan,
bersisipan konglomerat dan batupasir magnetit. Tebal sekitar 150 meter.
9. Formasi Ligung (Qtlb): agglomerat andesit, breksidan tufa berwarna kelabu
dibeberapa tempat. Sebelumnya dinamakan anggota atas formasi Ligung.
10. Anggota Lempung Formasi Ligung (QTlc): batulempung tufaan, batupasir
tufaan berlapis silang silur dan konglomerat. Setempat sisa tumbuhan dan

50
batubara muda yang menunjukkan bahwa anggota ini diendapkan di
lingkungan bukan laut.
11. Formasi Kaliglagah (Tpk): batulempung, napal, batupasir dan konglomerat di
beberapa tempat dijumpai lensa lignit setebal 10-100 cm.
12. Formasi Kalibiuk (Tpb): napal lempungan bersisipan baupasir, kaya akan
moluska. Tebal sekitar 175 meter.
13. Formasi Tapak (Tpt): batupasir berbutir kasar berwarna kehijauan dan
konglomerat setempat dijumpai breksi andesit. Dibagian atas terdiri dari

batupasir gampingan dan napal berwarna hijau yang mengandung kepingan


moluska. Tebal sekitar 500 meter.
14. Anggota Batugamping Formasi Tapak (Tptl): merupakan lensa-lensa
batugamping tak berlapis berwarna kelabu kekuningan.
15. Anggota Breksi Formasi Tapak (Tptb): breksi gunungapi dengan massa dasar
batupasir tufaan. Dibeberapa tempat ditemukan urat-urat kalsit.
16. Formasi Kumbang (Tmpk): breksi, lava andesit dan tufa. Dibeberapa tempat
breksi batuapung dan tufa pasiran. Tersingkap baik di gunung Kumbang
sekitar 3 km sebelah barat peta dengan tebal 2000 meter.
17. Formasi Halang (Tmph): batupasir andesit, konglomerat tufaan dan napal
yang bersisipan batupasir. Di atas bidang perlapisan batupasir terdapat bekas-
bekas cacing. Foraminifera kecil menunjukkan umur Miosen Akhir dengan
tebal sekitar 800 meter.
18. Anggota Breksi Formasi Halang (Tmphb): breksi polimik dengan fragmen
andesit basal dan batugamping. Bersisipan batupasir dan lava basal.
19. Anggota Batugamping Formasi Halang (Tmphl): batugamping pejal
berwarna putih dengan bintik-bintik kuning.
20. Formasi Penosogan (Tmpp): perselingan batupasir gampingan, batulempung,
tufa, napal dan kalkarenit. Merupakan sequens turbidit.
21. Formasi Waturondo (Tmw): breksi bersisipan batupasir kasar, setempat lahar.
22. Formasi Rambatan (Tmr): serpih, napal dan batupasir gampingan. Napal
berselang-seling dengan batupasir gampingan berwarna kelabu muda. Banyak
dijumpai lapisan tipis kalsit yang tegak lurus bidang perlapisan. Banyak

51
mengandung foraminifera kecil dengan ketebalan sekitar 300 meter.
23. Formasi Pemali (Tmp): napal globigerina berwarna kelabu muda dan kelabu
kehijauan bersisipan batugamping pasiran, batupasir tufaan dan batupasir
kasar. Umumnya merupakan runtunan batulempung berwarna

kelabu yang monoton, bagian bawah tidak tersingkap. Tebal lebih dari 900
meter.
24. Batuan Terobosan Tersier : Terdiri atas porfiri mikrodiorit (m) dan diorit
(d) berbutir sedang hingga kasar. Porfiri mikrodiorit berwarna coklat berbintik
coklat tua dan hitam, pejal, lapuk. Bertekstur holokristalin subdiabas porfiri
dengan fenokris feldspar dan mineral-mineral femic. Sebagian mineral femik
lapuk sehingga terbentuk rongga-rongga.

Gambar 3. 2 Stratigrafi Daerah Penelitian pada Peta Geologi Lembar


Purwokerto – Tegal (M. Djuri,dkk)

52
Berdasarkan data geologi regional daerah penelitian masuk pada
formasi tertua sampai muda yaitu formasi Rambatan, Formasi Halang, Batuan
Gunungapi Slamet Tak Terurai (Qvs), dan Batuan Terobosan Tersier diorit (d)

3.3. Tataan Tektonik

Memahami tektonisme Pulau Jawa secara umum dan Jawa Timur khususnya
membutuhkan rekonstruksi tektonik lempeng regional semenjak awal Yura Atas
(160 juta tahun lampau), dimana lempeng - lempeng mikro Paparan Sunda
(Sundaland) mulai terpisah dari Kontinen Induk Gondwana. Lempeng - lempeng
mikro asal Gondwana tersebut bertumbukan dan bergabung dengan inti Sundaland
pada akhir Kapur Bawah - awal Kapur Atas (Albian – Turonian, 110 - 90 jt).
Semenjak itu, Pulau Jawa berada dalam kondisi tepian benua pasif (passive
margin). Tatanan seperti ini bertahan hingga Awal Eosen (gambar 3.3)

Gambar 3. 3 Tataan lempeng tektonik di awal Tersier (Paleosen) (kiri), dan saat
Eosen Tengah (kanan) (Hall, 2012)

Memasuki Eosen Tengah, proses pemekaran Samudera Hindia mulai akan


berlangsung di selatan Benua Australia, menyebabkan mulainya subduksi di
Palung Sunda. Bersamaan dengan surutnya genang laut global, proses sedimentasi
syn-rift dapat terbentuk dengan baik di cekungan - cekungan tersebut, termasuk
Jawa Timur. Formasi Wungkal-Gamping dan Nanggulan menandakan aktifnya

53
sedimentasi syn-rift di proto Pegunungan Selatan. Di Jawa Timur bagian utara,
Formasi pre-Ngimbang dan Ngimbang diendapkan dengan baik. Seluruh formasi
tersebut merekam pengaruh fluktuasi muka laut global dengan adanya
ketidakselarasan di akhir Eosen Tengah (gambar 3.4). Di akhir Eosen Atas,
sedimentasi syn-rift terhenti akibat peristiwa transgresi global. Secara regional,
gaya tektonik regangan juga turut berkurang dengan mulainya proses kolisi Benua
India dengan Asia (Gambar 3.4). Hal ini juga ditandai dengan berakhirnya proses
pemekaran Selat Makassar. Pada akhir Oligosen Bawah proses penunjaman
Palung Sunda yang terjadi semenjak Eosen Tengah mulai membentuk busur
gunungapi (volcanic arc), yang berada di Zona Pegunungan Selatan.

Gambar 3. 4 Tatanan lempeng tektonik di Eosen Akhir (kiri), dan saat Oligosen
Awal (kanan) (Hall, 2012).

Formasi Kebo-Butak menjadi penanda stratigrafis aktifnya busur gunungapi


tersebut. Kehadiran busur gunungapi memicu terbentuknya zona cekungan
belakang busur (back-arc basin), yaitu Zona Kendeng. Tidak ditemukan adanya
singkapan berumur Oligosen Atas (pra-Pelang) di Zona Kendeng membuat
sulitnya melakukan pembuktian terhadap interpretasi ini. Di bagian JawaTimur
utara, bersamaan dengan awal surutnya genang laut pada kala itu, Formasi Kujung
mulai diendapkan di lingkungan paparan hingga lereng benua (gambar 3.5)

Saat Oligosen Akhir (gambar 3.5) kolisi Benua Australia dan Sundaland

54
dimulai. Akibatnya Sundaland mulai mengalami rotasi berlawanan arah jarum jam
(anti-clockwise rotation), yang dapat mengaktifkan patahan - patahan batuan alas
(basement faults) yang sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat periode
pemekaran di Eosen Tengah menjadi sesar geser. Rotasi pada kala Oligo - Miosen
ini terekam dengan baik di Zona Rembang, dimana sedimentasi batugamping
Prupuh di lingkungan terumbu menempati tinggian - tinggian batuan alas
(basement horst) yang terinversi naik akibat penyesaran geser mengiringi
naiknya genang laut saat itu. Di Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut
mempengaruhi karakter vulkanisme yang terjadi, ditandai dengan munculnya
Formasi Nglanggeran yang bersifat lebih basaltik dibandingkan Formasi Semilir
yang juga diendapkan saat itu.Selain itu, rotasi ini diduga menyebabkan
kelanjutan penurunan tektonik Zona Kendeng, yang kemudian memicu
munculnya kompleks batuan alas (basement corecomplex) Bayat di tepian
cekungan akibat peluncuran gaya-berat (gravitational gliding) (Husein, 2013).
Memasuki akhir Miosen Awal, slab kerak samudera Albian-Turonian telah habis
dikonsumsi Palung Sunda.

Gambar 3. 5 Tataan lempeng tektonik di Oligosen Akhir (kiri), dan akhir Miosen
Bawah (kanan) (Hall, 2012).

Akibatnya slab tersebut terputus dan segmen slab yang baru kemudian
tertarik memasuki Palung Sunda dalam sudut penunjaman yang lebih landai.
Meskipun slab kerak samudera tersebut berumur Oxfordian-Albian, lebih tua

55
daripada slab sebelumnya, namun ujungnya lebih pendek hingga mampu
mengungkit segmen lempeng Sundaland diatasnya. Peristiwa ini menyebabkan
berakhirnya periode puncak volkanisme Pegunungan Selatan. Pengangkatan
terjadi merata, di Pegunungan Selatan ditandai dengan sedimentasi batupasir
kuarsa Formasi Jaten, di Zona Rembang ketidakselarasan yang dihasilkan
peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama Tuban Event, yang memicu
sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Ngrayong secara masif dan luas, di Zona
Kendeng meski tidak sedramatik di Zona Rembang maupun Pegunungan Selatan,
ditandai dengan sedimentasi Formasi Kerek yang diendapkan pada lingkungan
yang lebih dangkal dibandingkan Formasi Pelang (gambar 3.6)

Gambar 3. 6 Tataan lempeng tektonik di Miosen Akhir (kiri), dan akhir Pleistosen
(kanan) (Hall, 2012).

Pada pertengahan Miosen Akhir (gambar 3.6) slab Oxfordian-Albian telah


masuk ke Palung Sunda secara merata. Karena slab tersebut lebih tua, sehingga
lebih berat, maka kemudian secara regional terjadi reaktivasi penurunan cekungan
belakang busur (back-arc basin subsidence) Zona Kendeng. Peristiwaini secara
stratigrafis ditandai dengan sedimentasi Formasi Kalibeng yang diendapkan pada
lingkungan lebih dalam dibandingkan Formasi Kerek di bawahnya. Penurunan
Zona Kendeng memicu kesetimbangan isostatis baru, dengan reaktifasi patahan
bongkah (block-faulting) di Pegunungan Selatan dan Zona Rembang, di
Pegunungan Selatan penyesaran bongkah yang memicu turunnya batuan alas

56
(basement grabens) mengontrol sedimentasi Formasi Kepek. Demikian juga di
Zona Rembang, dimana penurunan sebagian bongkah - bongkah batuan alas
mengontrol pengendapan sikuen Ledok - Mundu - Selorejo bersamaan dengan
naiknya genang laut saat awal Pliosen. Peristiwa penyesaran bongkah ini ,Jawa
Timur bagian utara dikenal dengan nama Rembang Event.

Berdasarkan kajian tataan tektonik di atas, daerah penelitian yang terletak di Pulau
Jawa sudah terbentuk sejak akhir Zaman Kapur yang masih berada di tepian
benua pasif. Tataan tektonik daerah penelitian terbentuk akibat dari tumbukan
Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke utara dengan Lempeng Eurasia
akibat pemekaran Lempeng Samudera Hindia di Selatan Benua Australia pada
Eosen Tengah.Penunjaman tersebut yang mengakibatkan terbentuknya jajaran
gunungapi di Pulau Jawa yang terjadi sampai saat ini. Daerah penelitian
merupakan hasil dari aktivitas vulkanisme pada Zaman Kuarter akibat dari
penunjaman tersebut.

3.4 Struktur Geologi

Secara geologi, Pulau Jawa merupakan suatu kompleks sejarah penurunan


cekungan, pensesaran, perlipatan, dan vulkanisme di bawah pengaruh stress
regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Proses tektonik yang terjadi di
Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah
lempeng Mikro Sunda. Pembentukan pola struktur di wilayah ini tidak terlepas
dari pengaruh aktifitas tumbukan dua lempeng antara Lempeng Hindia – Australia
dengan Lempeng Eurasia. Aktivitas tektonik telah berlangsung sejak Tersier Awal
di daerah penelitian dimana terjadi penunjaman Lempeng Samudera Indo-
Australiake bawah Lempeng Eurasia (Soeria-Atmadja dkk., 1994) (Gambar 3.7)
Penunjaman yang terjadi pada Oligosen Akhir - Miosen Awal menghasilkan
kegiatan gunungapi yang berkomposisi andesit (Prasetiyadi, 2008) yang diikuti
dengan sedimentasi karbonat pada laut dangkal.
Subduksi lempeng Australia ke bawah lempeng Eurasia telah
menghasilkan pola penyebaran batuan volkanik Tersier dan pembentukan

57
gunungapi berarah Barat - Timur di Pulau Jawa. Selain itu terbentuk juga intra-
arc basin dan kemudian back-arc basin di Jawa Barat bagian Utara. Back-arc
basin ini secara progresif semakin berpindah ke arah Utara sejalan dengan
perpindahan jalur gunungapi selama Tersier hingga Kuarter (gambar 3.7).
Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), terdapat tiga pola struktur dominan
yang berkembang di Pulau Jawa, yaitu:

Pola Meratus (Kapur Akhir–Eosen Awal), berarah Arah Timur Laut –Barat Daya
(NE-SW) . Pola Meratus dihasilkan oleh tatanan tektonik kompresi akibat
Lempeng Samudera India yang menunjam ke bawah Lempeng Benua Eurasia
Arah tumbukan dan penunjaman yang menyudut menjadi penyebab sesar-sesar
utama pada Pola Meratus bersifat sesar mendatar mengiri.
a. Pola Sunda (Eosen Awal–Oligosen Awal) berarah Arah Utara – Selatan (N-S).
Pola Sunda dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan inidisebabkan oleh
penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan Eurasia
yang menimbulkan rollback.
b. Pola Jawa (Oligosen Akhir–Resen) berarah Arah Timur – Barat (E-W). Di Jawa
Tengah hampir semua sesar di Jalur Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah
yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan
di utara Pulau Lombok. Kemenerusan ini mengakibatkan Pulau Jawa
menghasilkan Zona Anjakan-Lipatan (Thrust Fold Belt) di sepanjang Pulau Jawa
dan berlangsung sampai sekarang.

58
Gambar 3. 7 Pola umum struktur di Jawa (Pulunggono dan Martodjojo,1994).

Sedangkan menurut ( Satyana dan Purwaningsih, 2002) di Jawa Tengah


pada Paleogen terdapat dua sesar mendatar besar yang saling berlawanan yaitu
Sesar Mendatar Muria – Kebumen (barat daya – timur laut, Arah Meratus
sinistral) dan Sesar Mendatar Pamanukan – Cilacap ( barat laut – tenggara, Arah
Sumatra dekstral) memotong bagian tengah Pulau Jawa dan bertemu di bagian
selatan Jawa Tengah (gambar 3.8). Keberadaan kedua sesar regional ini
didasarkan pada data gaya berat, geologi permukaan, citra satelit, dan seismic
serta didukung oleh analisis struktur dan tektonik regional . Sepanjang
pengangkatan Tersier, kedua sesar mendatar besar tersebut telah menyebabkan :
a. Lekukan struktur garis pantai utara dan selatan Jawa Tengah
b. Penyingkapan kompleks batuan tua Melange Luk Ulo – Karang
Sambung
c. Penenggelaman bagian uatar Jawa Tengah
d. Hilangnya jalur Fisiografi Pegunungan Selatan di Jawa Tengah bagian
selatan
e. Pembentukan cekungan Jawa Tengah bagian selatan

59
Gambar 3. 8 Pola sesar mendatar jawa tengah (Satyana dan purwaningsih 2002

Sujanto (1975) membuat peta pola struktur Jawa Tengah berdasarkan


interpretasi Foto ERTS-1 menyatakan bahwa pola umum struktur sesar di Jawa
Tengah adalah barat laut – tenggara dan timur laut – barat daya dan beberapa pola
struktur sesar mempunyai arah barat – timur. Untuk struktur geologi regional yang
dijumpai pada daerah lembar Purwokerto dan Tegal sendiri berupa sesar, lipatan,
kelurusan dan kekar, yang melibatkan batuan yang berumur Oligo – Miosen
sampai Holosen. Sesar yang dijumpai umumnya berarah jurus Barat laut –
Tenggara sampai Timurlaut – Baratdaya. Jenis sesar berupa sesar naik, sesar
normal dan sesar geser menganan serta mengiri, yang melibatkan batuan yang
berumur Oligo – Miosen sampai Plistosen. Sesar naik secara umum membentuk
busur yang memperlihatkan variasi kemiringan bidang sesar kerah selatan – barat
sedangkan sesar normal terdapat secara setempat.

3.4.1 Aspek Struktur Geologi


Struktur geologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan
unsur- unsur struktur geologi dan hasil analisis dari data-data pengukuran di
lapangan. Struktur geologi pada batuan merupakan sebagai akibat adanya gaya
kompresi yang disebabkan oleh tektonik. Struktur tersebut dapat berupa kekar,
sesar, ataupun lipatan. Secara geometri, unsur struktur geologi dianggap sebagai
bidang-bidang dan garis- garis.

Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian diinterpretasikan


berdasarkan pengamatan dan pengkajian peta DEMNAS dengan menggunakan
software Geomatica 2015, Georose, Arcgis 10.8, peta geologi regional, peta
topografi dan data hasil survei pendahuluan. Dalam pemberian nama struktur
didasarkan pada nama geografis, baik berupa nama desa maupun nama sungai
yang dilewati oleh struktur geologi tersebut.

60
3.4.2 Lipatan
Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang yang
bersifat plastis, dan tidak mudah untuk patah, oleh karena itu lipatan pada batuan
biasanya terjadi sebelum terbentuknya patahan pada batuan, ditunjukkan sebagai
lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di dalam
bahan tersebut. Pada daerah berstruktur lipatan, disebabkan oleh tenaga endogen
yang arahnya mendatar berupa tekanan, sehingga batuan sedimen yang letak
lapisan-lapisannya mendatar berubah menjadi terlipat atau bergelombang. Daerah
yang berstruktur demikian disebut daerah lipatan, dalam bahasa Inggris disebut
folded zone. suatu lipatan memiliki beberapa bagian, sebagai akibat dari adanya
lipatan tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah antiklinal, sinklinal, sayap antiklin
(Sudardja & Akub,1977: 115).

Bentukan khas yang terdapat pada daerah berstruktur lipatan yang


berkenaan dengan pembentukan lipatan kulit bumi belum dijumpai pembentukan
baru, pada umumnya telah mengalami beberapa siklus geomorfologi, sehingga
bentanglahan yang ada banyak yang dijumpai multi siklis. Walaupun di banyak
tempat di permukaan bumi ini telah mengalami proses demikian, di daerah yang
berstruktur lipat dapat dijumpai beberapa bentukan yang merupakan bentukan
khasnya. Adapun bentukan-bentukan khas tersebut berikut ini disajikan secara
satu persatu: (Gambar 3.9)
a. Bentukan berupa pola aliran trellis, Pada bagian terdahulu telah dikemukakan
mengenai pola pengaliran trellis itu terdiri atas lembah-lembah besar yang
sejajar satu sama lain (lembah subsekwen), dan anak-anak sungainya yang
bermuara tegak lurus pada sungai yang sejajar tersebut. Anak-anak sungai
tersebut merupakan lembah obsekuen, resekwen atau konsekwen.
b. Bentukan berupa punggungan antiklinal (anticlinal ridge), Merupakan
punggungan atau pegunungan yang bertepatan dengan sinklinal. Pada
umumnya deretan pegunungan itu sejalan dengan sumbu/strike dari antiklinal
itu. Bentuk punggungannya membulat dan relief halus, dengan lerengnya
berupa dip dari struktur.
c. Bentukan berupa lembah antiklinal (anticlinal valley), merupakan lembah-

61
lembah yang berkembang sepanjang sumbu antiklinal. Bentukan ini benar-
benar menunjukkan pembalikan relief.
d. Bentukan lembah sinklinal (synclinal valley), merupakan lembah yang
berkembang sepanjang sumbu sinklinal.
e. Bentukan punggungan sinklinal (synclinal ridge), Merupakan punggungan
yang berkembang sepanjang sumbu sinklin. Ini pun menunjukkan adanya
pembalikan relief yang sempurna. Punggungannya biasanya lebar dengan
lereng yang curam.
f. Bentukan berupa punggungan homoklinal (homoclinal ridge), Punggungan
homoklinal merupakan punggungan yang terdapat disetiap antiklinal/sinklinal
akibat pengirisan lembah pada sayap dan sepanjang sayap itu, dengan
sendirinya punggungan ini akan berupa cuesta atau hogback tergantung kepada
besarnya kemiringan struktur. Bisanya bentukan ini dibatasi oleh adanya
pergantian kekerasan lapisan batuan yang berselang-seling antara lapisan
batuan lunak dan lapisan yang keras. Cuesta adalah bentuk punggungan atau
bukit yang kemiringan lerengnya tidak sama sebagai akibat dari kedudukan
lapisan-lapisan batuan pembentuknya yang landai. Cuesta mempunyai lereng
belakang (back slope) yang landai dan lereng muka (inface) lebih curam.
Apabila Cuesta dengan kedudukan lapisan batuan itu cukup curam dan kedua
lereng bukit mempunyai kemiringan yang hampir sama, maka dinamakan
Hogback. Sedangkan bila kedudukan lapisan itu mendatar, bukit yang
demikian dinamakan messa. Messa yang berukuran kecil disebut Butte.

g. Bentukan berupa lembah homoklinal (homoclinal valley), Merupakan lembah


yang berkembang pada sayap antiklin atau sinklin. Sayap antiklin yang
berkembang menjadi lembah ini disebabkan oleh proses erosi/denudasi yang
kuat.
Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang ditunjukkan
sebagai lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di
dalam bahan tersebut, yang disebabkan oleh dua macam mekanisme gaya yaitu
buckling (melipat) dan bending (lengkungan) (Gambar 3.9). Lipatan dapat
dijumpai dalam berbagai bentuk (geometri), yang disebut sebagai “fold style” dan

62
ukuran. Variasi geometri lipatan terutama tergantung pada sifat dan keragaman
bahan, dan asal kejadian mekanik pada saat proses perlipatan. Beberapa titik pada
profil permukaan dideskriksikan antara lain (Gambar 3.10):
- Hinge point adalah titik maksimun pelengkungan pada lapisan yang terlipat
- Crest adalah titik tertinggi pada pelengkungan
- Trough adalah titik terendah pada pelengkungan
- Inflection point adalah titik batas dari dua pelengkungan yang berlawanan
- Fold axis (sumbu lipatan/hinge line) adalah garis maksimum pelengkungan
pada suatu permukaan bidang yang terlipat.
- Axial plane (bidang sumbu) adalah bidang yang dibentuk melalui garis-garis
sumbu pada suatu lipatan. Bidang ini tidak selalu berupa bidang lurus (planar),
tetapi dapat melengkung yang umum disebut sebagai axial surface.
- Fold limb (sayap lipatan) adalah sisi-sisi dari bidang yang terlipat yang berada
diantara daerah pelengkungan (hinge zone) dan batas pelengkungan (inflection
line).

Pembentukan lipatan dipengaruhi oleh tenaga endogen sebagai faktor


utama pembentukannya. Tenaga endogen ini akan melakukan dorongan kepada
lapisan dari samping dan arahnya saling berlawanan sehingga akan terjadi
penekukan pada lapisan batuan, tetapi hanya jenis batuan sedimen saja yang bisa
membentuk lipatan karena memang sifatnya yang elastis sehingga saat
mendapatkan gaya dorong dari kedua sisinya lapisan batuan tidak akan patah, dari
beberapa jenis lipatan selain mendapatkan gaya dari samping juga mendapatkan
gaya dari atas dan bawah sehingga bentuk lipatannya akan menjadi khas, seperti
chevron fold yang berbentuk lancip dengan sudut tertentu (Gambar 3.11).

63
Gambar 3.9 Rangkaian bentuk punggungan dan lembah pada daerah berstruktur
lipatan (Lobeck, 1939)

Gambar 3.10 Unsur – unsur lipatan (Fleuty, 1964)

Gambar 3.11 Mekanisme gaya penyebab terbentuknya suatu lipatan (Prastistho,


1993)

64
Dalam rekontruksi lipatan dilakukan berdasarkan hasil pengukuran
kedudukan lapisan dari lapangan, atau pembuatan penampang dari peta geologi.
Metode yang digunakan adalah metode busur lingkar (arc method), dasar dari
metode ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu
lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu–sumbu kemiringan
yang berdekatan.

Rekontruksi lipatan bisa dilakukan dengan menghubungkan busur


lingkaran secara langsung apabila data yang ada hanya kemiringan dan batas
lapisan hanya setempat (Busk, 1928, dalam Prastistho, 1993). Apabila batas–batas
lapisan dijumpai berulang pada lintasan yang akan direkonstruksi, maka
pembuatan busur lingkaran dilakukan dengan metode interpolasi, yaitu
berdasarkan data yang telah didapat di lapangan ataupun dengan menggunakan
metode rekontruksi lainnya (Prastistho, 1993). Penggunaan arc method (metode
busur lingkar) dalam restorasi penampang seimbang sangat berperan penting
karena memudahkan dalam perhitungan panjang lapisan dan luas area lapisan.
Langkah pertama dalam rekonstruksi penampang dengan menggunakan
arc method (metode busur lingkar) yaitu menyajikan data kedudukan lapisan dan
data batas satuan stratigrafi sebagai data dasar. Kemudian membuat garis–garis
tegak lurus terhadap kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran. Garis–
garis tersebut akan saling berpotongan di titik “O” (Gambar 3.11). Titik “O”
tersebut merupakan pusat lingkaran untuk membuat busur sebagai rekonstruksi
lipatan.

65
Gambar 3.11 Rekonstruksi lipatan dengan metode busur lingkar (arc methode)
(Busk, 1928).

66

Anda mungkin juga menyukai