Anda di halaman 1dari 37

BAB II

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah pemetaan geologi
permukaan. Pemetaan geologi permukaan merupakan suatu kegiatan penelitian untuk
mendapatkan informasi-informasi geologi permukaan yang menghasilkan suatu
bentuk laporan berupa peta geologi sehingga dapat memberikan suatu gambaran
mengenai penyebaran susunan batuan pada lokasi penelitian. Data yang digunakan
dalam pemetaan ini meliputi data singkapan batuan, geomrfologi, dan struktur
geologi yang mungkin mempengaruhi kondisi tektonik. Metode penelitian tersebut
dilakukan berdasarkan pada standar dalam melakukan penelitian geologi dalam
skema alur penelitian sebagai berikut (Gambar 2,1)

2.1 Tahap Usulan Skripsi


Tahap Usulan Skripsi adalah tahap awal dalam penelitian tugas akhir
yang meliputi tahap pendahuluan dan reconnaissance. Tahap ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi geologi awal secara umum daerah penelitian. Hasil akhir
dari tahap ini berupa: peta lokasi pengamatan tentatif, peta geomorfologi
tentatif, peta geologi tentatif, peta rencana jalur lintasan, dan naskah Usulan
Skripsi. Secara lebih rinci alur tahap Usulan Skripsi dapat dilihat sebagai
berikut:

2.1.1 Tahap Pendahuluan

Tahap pendahulaun merupakan tahap awal dalam melakukan penelitian.


Tahap ini meliputi: studi pustaka, persiapan peta dasar, dan perizinan.

6
Gambar 2.1 Diagram alir tugas akhir

2.1.1.1 Studi Pustaka


Tahap ini merupakan tahap yang diperlukan untuk merencanakan pemetaan
dengan meninjau data atau penelitian terdahulu yang terkait dengan geologi daerah
penelitian. Pustaka yang diigunakan berupa buku-buku pedoman, peta regional
daerah penelitian, jurnal maupun artikel terkait. Putaka tersebut dapat dijadikan data
acuan dan tinjauan untuk bahan menyelesaikan masalah yang dijumpai di daerah
penelitian.

7
2.1.1.2 Persiapan Peta Dasar

Mempersiapkan peta dasar daerah penelitian dengan mengkopilasi dan


memodifikasi Peta Rupa Bumi Lembar Watukumpul 1308-642, Lembar
Randudongkal 1308-643 dengan skala 1: 10.000, serta citra DEM (Digital Elevation
Model). Berdasarkan peta yang sebagai acuan daerah penelitian dilakukan interpretasi
geologi, pemetaan awal (reconnaissance) dan pemetaan rinci.

2.1.2.3 Perizinan
Proses yang perlu dilakukan pada tahap ini yaitu pegurusan perizinan.
Pengurusan perizinan dimulai dengan mempersiapkan surat izin dan rekomendasi
dari pihak Institut Teknologi Nasional Yogyakarta. Kemudian surat rekomendasi
dikirim dan diberikan kepada pihak terkait di daerah penelitian yaitu Kesbangpol
Kabupaten Tegal dan BAPPEDA Tegal, serta dilanjutkan menyerahkan tembusan ke
beberapa desa terkait di lokasi penelitian.

2.1.2 Pemetaan Awal (Reconnaissance)


Reconnaissance merupakan tahap awal kegiatan lapangan, yang terdiri dari:
mencari akses jalan dan pemukiman penduduk di daerah penelitian, keadaan
morfologi secara umum, keadaan litologi (tersedia atau tidaknya singkapan di daerah
penelitian) dan bertujuan mengatahui kondisi geologi daerah penelitian secara
umum, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan kelayakan daerah penelitian
untuk dipetakan dan diteliti secara rinci. Tahap ini meliputi:
1. Observasi Lapangan
Observasi lapangan dilakukan dengan pengamatan singkapan yang
telah ditentukan, sehingga peneliti dapat memberikan gambaran litologi
di daearah penelitian.

8
2. Gambaran Geologi Secara Umum
Gambaran geologi secara umum didapatkan dari analisis dan
interpretasi peta topografi, peta DEM, serta hasil observasi lapangan.
Hasil yang diperoleh dari tahap pemetaan awal/reconnaissance berupa: peta
lokasi pengamatan tentatif, peta geologi tentatif, peta geomorfologi tentatif, peta
jalur lintasan, dan laporan usulan skripsi.

2.1.3 Ujian Usulan Skripsi

Tahap ini merupakan tahap presentasi hasil penelitian survei pendahuluan


atau usulan skripsi yang telah dilakukan untuk mempertanggungjawabkan hasil
penelitian kepada dosen pembimbing dan dosen penguji sebelum melakukan
pemetaan rinci.

2.2 Tahap Skripsi


Tahap Skripsi merupakan kelanjutan dari Usulan Skripsi setelah dinyatakan
lulus ujian Usulan Skripsi oleh dosen penguji, tahap ini juga merupakan tahap
lanjutan dari tahap persiapan dan survei pendahuluan yang sudah dilakukan. Tahap
skripsi terdiri dari:
a. Pemetaan geologi rinci, meliputi: perapatan lokasi pengamatan agar lebih
detail, pengukuran unsur-unsur struktur geologi, dan pengambilan contoh
batuan yang bertujuan untuk melengkapi data hasil survei awal, dan
menentukan permasalahan khusus pada daerah penelitian.
b. Pekerjaan lapangan, meliputi: identifikasi data geomorfologi, identifikasi data
stratigrafi, identifikasi data struktur geologi, identifikasi data sejarah geologi,
dan identifikasi data geologi lingkungan.
c. Pekerjaan studio, meliputi: analisis data geomorfologi, analisis data
stratigrafi, dana analisis data struktur geologi.
9
d. Pekerjaan laboratorium, meliputi: preparasi sayatan tipis untuk pengamatan
petrografi dan preparasi mikrofosil untuk pengamatan paleontologi.
e. Checking lapangan, merupakan suatu kegiatan lapangan untuk memeriksa
data-data yang sudah diambil dalam kegiatan pemetaan rinci, jika data yang
diambil sudah memadai dan lengkap maka dapat melanjutkan ke tahap
presentasi kolokium, namun jika masih terdapat data yang kurang atau tidak
lengkap maka akan dilakukan pemetaan ulang.
f. Pemetaan ulang, merupakan suatu kegiatan pemetaan kembali yang dilakukan
untuk melengkapi kekurangan data, sehingga mendapatkan data yang lengkap
dan representatif.
g. Studi khusus atau kerja praktik, merupakan tahap penelitian yang mengangkat
suatu kajian geologi yang menarik pada daerah pemetaan atau saat melakukan
kerja praktik di suatu perusahaan.
Rangkaian proses tersebut akan menghasilkan data berupa peta lokasi
pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi, zona kisaran umur, nama petrografi
batuan, dan naskah skripsi yang disertai hasil dari masalah khusus yang diambil.
Setelah semua tahap telah dilakukan, maka dilanjutkan ke tahap presentasi kolokium
dan pendadaran atau ujian skripsi dihadapan dosen penguji untuk
dipertanggungjawabkan hasil penelitiannya.

2.2.1 Pemetaan Rinci


Pemetaan rinci merupakan tahap pemetaan geologi daerah penelitian secara
rinci yang dilakukan dengan penambahan data di titik lokasi yang diduga terdapat
singkapan geologi berdasarkan evaluasi data pemetaan awal dan evaluasi sidang
usulan skripsi. Tahap ini meliputi perapatan lokasi pengamatan, pemerian dan
pengukuran aspek geologi, dan pengambilan contoh batuan. Pemetaan geologi secara
rinci memiliki tujuan dalam perekaman data geologi secara rinci yang ada di daerah
penelitian dengan cara mencari suatu pola singkapan dengan mengikuti konsep
10
penyebaran, sehingga diperoleh data yang meliputi litologi dan penyebarannya,
struktur geologi, keadaan dan pola keterdapatan singkapan serta aspek geologi
lingkungan yang berkembang di daerah penelitian. Teknik pengambilan geologi rinci
menggunakan metode sampel terpilih yang diharapkan bersifat representatif.

2.2.1.1 Perapatan Lokasi Pengamatan


Perapatan lokasi pengamatan yaitu dengan cara penambahan dari hasil
pemetaan awal agar mendapatkan data yang lebih rinci serta lebih akurat dan terpadu
dalam melakukan interpertasi di daerah penelitian. Semakin rapat tingkat perolehan
singkapan, maka semakin memperjelas hubungan antar pola sebaran litologi di
daerah penelitian.

2.2.1.2 Pemerian dan Pengukuran Aspek Geologi


Pemerian dan pengukuran aspek geologi ini dilakukan secara sistematis dan
terukur. Pemerian aspek geologi meliputi ciri fisik batuan kaitannya dengan
morfologi, stratigrafi, struktuk geologi, sejarah geologi, geologi lingkungan, potensi
sumber daya geologi, dan pengukuran cadangannya serta potensi bencana geologi.
Dasar penamaan batuan secara megaskopis menggunakan klasifikasi
penamaan batuan. Penamaan batuan beku berdasarkan perbandingan komposisi
mineral, dan tekstur menggunakan klasifikasi O’Dunn dan Sill (1986) yang disajikan
pada (Gambar 2.2), sedangkan untuk batuan sedimen berdasarkan ukuran butir dan
presentase butiran dengan menggunakan klasifikasi penamaan batuan karbonatan
berdaasarkan ukuran butir klasifikasi menurut Wentworth (1922) yang disajikan
pada (Gambar 2.3.)

11
Gambar 2.2 Klasifikasi batuan beku menurut O’Dunn dan Sill (1986)

Gamba
r 2. 3 Klasifikasi penamaan batuan sedimen (Wentworth, 1922)

2.2.1.3 Pengambilan Contoh Batuan


Pengambilan contoh batuan dilakukan pada singkapan batuan yang segar,
tidak lapuk, tidak teroksidasi, dan mewakili tiap litologi, pengambilan sampel harus

12
dengan ukuran besar minimal bisa untuk analisis petrografi yang ada pada daerah
penelitian, sehingga sampel batuan layak untuk dilakukan analisis lebih lanjut di
laboratorium.

2.2.1.4 Pengambilan Data MS (Measuring Section)


Pengambilan data MS biasanya melintasi jalur yang tersingkap batuan secara
jelas dan terdapat banyak variasi litologi. Lokasi yang sangat disarankan untuk
pengambilan data MS adalah dengan menyusuri sepanjang alur sungai, sebab pada
jalur sungai biasanya akan tersingkap banyak litologi karena aktifitas erosi sangat
intensif bila di daerah sungai.

2.2.2 Pekerjaan Lapangan


Pengumpulan data primer terkait aspek geologi di daerah penelitian termasuk
dalam kegiatan pemetaan rinci yang diperoleh dari pendataan dan
pengindentifikasian berupa data: geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah
geologi, dan geologi lingkungan. Aspek geomorfologi yang dapat diamati di
lapangan adalah aspek morfologi dan morfogenesis, serta pengamatan stadia sungai
yang berkembang di daerah penelitian yang juga disertakan dengan data hasil
analisis studio. Aspek stratigrafi yang dapat diamati di lapangan meliputi kedudukan
batuan, pemerian batuan, hubungan batuan, dan genesis batuan. Kedudukan batuan
terkait dengan arah jurus dan kemiringan batuan serta arah pelamparan batuan.
Pemerian batuan meliputi: warna, tekstur, komposisi batuan, dan ketebalan lapisan.
Penentuan hubungan batuan terkait hubungan lapisan yang berada di bawah dengan
lapisan batuan yang berada di atasnya, seperti menjari, menerus, ataukah bergradasi.
Genesis batuan meliputi kejadian pembentukan batuan dan lingkungan pengendapan
batuan. Aspek struktur geologi yang dapat diamati dalam pengidentfikasian di
lapangan berupa kekar, lipatan dan sesar. Kekar secara umum merupakan retakan

13
batuan yang disebabkan oleh pergeseran pada bidang rekahnya, yang disebabkan
oleh gejala tektonik maupun non- tektonik. Lipatan dapat diamati di lapangan, jika
ditemukan sumbu lipatannya. Secara umum terdapat dua jenis lipatan yaitu : 1.
antiklin, bentuk tertutup keatas; 2. sinklin, bentuk tertutup ke bawah. Selanjutnya
sesar yakni rekahan yang telah mengalami pergeseran. Sesar umumnya dapat
diamati di lapangan jika ditemukan bidang sesarnya. Secara umum ada tiga jenis
sesar yang dapat diamati di lapangan yaitu : 1. sesar mendatar; 2. sesar normal; 3.
sesar naik. Aspek sejarah geologi tidak dapat langsung secara pasti diidentifikasi di
lapangan, perlu pekerjaan studio dan pekerjaan labolatorium serta data geologi
lainnya untuk menginterpretasikan sejarah geologi yang berkembang di daerah
penelitian.

2.2.3 Tahap Pekerjaan Studio


Tahap ini merupakan proses pengolahan data primer berupa data dari
lapangan yang akan diolah kembali. Keluaran dari pembahasan pada tahap ini berupa
peta lokasi pengamatan, peta rencana lintasan, peta geologi, dan peta geomorfologi.
Pada analisis studio ini bermaksud untuk mendeterminasi secara spesifik hasil data
lapangan. Detail kegiatannya meliputi:

2.2.4 Pekerjaan Laboratorium

Pekerjaan laboratorium dilakukan setelah melakukan pemetaan rinci dan


mendapatkan sampel batuan di daerah penelitian. Pada tahap ini peneliti melakukan
analisis petrografi, mineralogi, dan analisis mikrofosil. Hal tersebut dilakukan untuk
menunjang data dari penelitian lapangan yang telah diperoleh langsung di daerah
penelitian. Analisis petrografi dilakukan bertujuan untuk melengkapi data petrologi
dari pengambilan sampel di lapangan. Pengamatan dibawah mikroskop tersebut akan
mendetailkan dan memperjelas data komposisi batuan yang telah diidentifikasi

14
sebelumnya secara megaskopis. Sampel batuan yang telah diambil dari lapangan
penelitian, akan disayat 0,003 mm untuk dianalisis di laboratorium menggunakan
mikroskop polarisator. Adapun tahapan analisis petrografi meliputi identifikasi pada
kondisi nikol sejajar (PPL) dan nikol silang (XPL). Semua sampel yang mewakili
tiap satuan maupun genetik dari litologi yang ada akan dilakukan identifikasi mulai
dari warna, kehadiran mineral-mineral primer, mineral sekunder maupun mineral
aksesori. Apabila sampel merupakan batuan sedimen akan di identifikasi jenis
semen, matriks, jenis fragmen yang ada, serta kehadiran mineral di dalam batuan.
Sedangkan analisis mikrofosil yang akan dilakukan bertujuan untuk menentukan
umur pengendapan dari lokasi penelitian. Klasifikasi batuan yang digunakan dalam
pengamatan mikroskopis, yaitu untuk batuan beku vulkanik mengacu pada
klasifikasi QAPF (Streckeisen, et al. 2002) dalam Gambar 2.4.)

Gambar 2.4 Klasifikasi QAPF untuk batuan vulkanik (Streckeisen,


15
1978; dalam Le Maitre, 2002). Q = kuarsa, A = Alkali
feldspar, P = Plagioklas, F = Felsdpatoid (Streckeisen
et al. 2002)

Kemudian untuk batuan sedimen menggunakan klasifikasi (Pettijohn, 1975) dalam


Gambar 2.5. Dalam membuat klasifikasinya, Pettijohn memakai dasar komposisi dari
batupasir tersebut. Klasifikasi ini menggunakan dasar segitiga sama sisi dimana
setiap sudutnya terdiri dari kuarsa, feldspar (plagioklas + K. feldspar) dan fragmen
batuan.
1. Luasan segitiga pertama sampai kedua yaitu dimana terdapat kandungan matriks
0– 15% dinamakan arenit. Untuk klasifikasi selanjutnya, tergantung dari unsur utama
penyusun batuan itu.
a. Jika unsur utamanya adalah fragmen batuan maka namanya menjadi litarenit
atau litik arenit,yaitu kandungan fragmen batuan kurang lebih 50% dengan kuarsa
kurang lebih 20%.
b. Jika batuan litik arenit tersebut banyak tercampur mineral kuarsa, maka namanya
menjadi sublitik arenit.
c. Jika unsur utamanya adalah feldspar, maka namanya menjadi arkosic arenite :
yaitu kandungan feldspar kurang lebih 50% dengan kuarsa kurang lebih 20%.
d. Jika batuan arkosic arenite tersebut banyak mengandung mineral kuarsa, maka
namanya menjadi subarkose.
e. Kalau kandungan kuarsa sudah sangat banyak (sekitar lebih dari 90%), maka
nama batuan itu disebut quartz arenite.
2. Luasan segitiga kedua sampai ketiga yakni terdapat kandungan matriks antara
15-75%, batuan yang terdapat di daerah tersebut dinamakan wacke. Cara
penamaanya hampir sama dengan luasan segitiga pertama yaitu:
a. Jika unsur utamanya adalah fragmen batuan maka namanya menjadi lithic
wacke atau litik arenit, yaitu kandungan fragmen batuan kurang lebih 50% dengan
kuarsa kurang lebih 10%.
16
b. Jika unsur utamanya adalah feldspar, maka namanya menjadi arkosic wacke:
yaitu kandungan feldspar kurang lebih 50% dengan kuarsa kurang lebih 10%.
c. Kalau kandungan kuarsa sudah sangat banyak (sekitar 90%), maka nama
batuan itu disebut quartz wacke.
3. Luasan segitiga ketiga dan seterusnya yakni terdapat kandungan matriks lebih
dari 75%; batuan yang terdapat di daerah itu disebut mudstone. Cara penamaan dan
pembacaan:
a. Jika unsur utamanya adalah fragmen batuan maka namanya menjadi lithic
mudstone, yaitu kandungan fragmen batuan kurang lebih 50% dengan kuarsa kurang
lebih 30%.
b. Jika unsur utamanya adalah feldspar, maka namanya menjadi arkosic
mudstone : yaitu kandungan feldspar kurang lebih 50% dengan kuarsa kurang lebih
30%. Kalau kandungan kuarsa sudah sangat banyak (sekitar lebih dari 70%), maka
nama batuan itu disebut quartz mudstone.

Gambar 2.5 Klasifikasi batupasir menurut Pettijohn 1975 (Modifikasi dari Dott,
17
1964)

2.2.4.1 Analisis Geomorfologi


Geomorfologi adalah ilmu yang mendiskripsikan secara genetis bentuklahan
dan poses-proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuklahan tersebut serta
mencari hubungan antara bentuklahan dengan proses-proses dalam susunan
keruangan (Van Zuidam, 1979). Dalam mendiskripsi dan menafsirkan bentuk-bentuk
bentang alam (landform atau landscapes) ada tiga faktor yang diperhatikan dalam
mempelajari geomorfologi, yaitu: struktur, proses dan stadia. Ketiga faktor tersebut
merupakan satu kesatuan dalam mempelajari geomorfologi.
Tahap analisis geomorfologi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi
analisis kelurusan, pembagian satuan geomorfologi (morfometri dan morfogenesa),
penentuan pola pengaliran, proses geomorfologi, dan stadia daerah. Pembagian
satuan geomorfologi berdasarkan pada kondisi morfologi yang ada di lapangan, jenis
litologi penyusun serta dikomparasikan dengan data morfometri hasil sayatan pada
peta topografi, yang kemudian akan dimasukkan ke dalam klasifikasi bentang alam
menurut Van Zuidam (1983) yang ditunjukkan pada (Tabel 2.1),klasifikasi relief
menurut Van Zuidam (1985) yang ditunjukkan pada (Tabel 2.2) serta klasifikasi
bentuk lahan fluvial menurut. Berdasarkan hasil pembagian yang ada nantinya
dibuatkan satuan geomorfologi berdasarkan bentukan asal dan morfometri, serta
pembuatan profil geomorfologi untuk melihat relief permukaan secara 2 dimensi.
Untuk tahap akhir, dibuatkan kolom geomorfologi yang dilengkapi dengan pemerian
pada tiap – tiap satuan geomorfologi yang ada.

Tabel 2.2 Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan contoh pewarnaan
(Van Zuidan , 1983)

18
No Genesa Pewarnaan
1 Denudasional (D) Coklat
2 Struktural (S) Ungu
3 Vulkanik (V) Merah
4 Fluvial (F) Biru muda
Lanjutan tabek 2.2
5 Marine (M) Biru tua
6 Karst (K) Orange
7 Glasial (G) Biru terang
8 Eolian (E) Kuning

Unit geomorfologi dapat dibagi lagi berdasarkan ciri-ciri yang sesuai dengan
genesa yang terjadi di lapangan dan data morfometri. Seperti unit geomorfologi
bentukan asal denudasional terbagi menjadi 12 jenis (Tabel 2.4), unit geomorfologi
bentukan asal fluvial (van Zuidam, 1983) terbagi menjadi 9 jenis (Tabel 2.5).

Tabel 2.3 Klasifikasi hubungan kelas lereng dengan sifat-sifat proses dan kondisi
lahan di sertai simbol warna (Van Zuidam 1985)

Symbol
Kelas Lereng Proses, Karakteristik dan kondusi lahan warna yang
di sarankan
Dataran atau hamper datar, tidak ada erosi yang besar,
0- 2
Hijau Tua
(0-2%) dapat diolaj dengan mudah dalam kondisi kering.
Lahan memilikih kemiringan lereng landai, bila terjadi
2- 4 longsor bergerak dengan kecepatan rendah, pengikisan Hijau
(2-7%) Muda
dan erosi akan meninggalkan bekas yang sangat dalam.
4- 8 Lahan memiliki kemiringan lereng yang landai-curam, Kuning
(7-15%) Muda
bila terjadi longsor bergerakdengan kecepatan rendah,
19
sangat rawan terhadap erosi.
Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam, rawan
8-16 terhadap bahaya longsor, erosi permukaan dan erosi Kuning
(15-30%) Tua
alur.
Lanjutan tabel 2.3
Lahan memiliki kemiringan lereng yang curma sampai
terjal,sering terjadi erosi dan Gerakan tanah dengan
16 - 35 Merah
(30-70%) kecepatan yang perlahan-lahan. Daerah rawan erosi dan Muda
longsor.
Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal, sering di
35-55
Merah Tua
(70-140%) temukan singkapan batuan, rawan terhadap erosi.
Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal,
55 singkapan batuan muncul di permukaan, rawan Ungu Tua
(140%)
terhadap longsor batuan.

Tabel 2.4 Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal Denudasional (Van


zuidam, 1983)
Kode Unit Karakteristik Umum

Denudational slopes and Lereng landai-curam menengah (topografi


D1
hills bergelombang kuat), tersayat lemah – menengah.
Lereng curam menengah-curam(topografi
Denudational slopes and bergelombang kuat –berbukit), tersayat menengah
D2 hills
tajam.

Denudational hills and Lereng berbukit curam-sangat curam hingga topografi


D3
mountain pegunungan, tersayat menengah tajam.
Lereng yang berbukit curam – sangat curam, tersayat
menengah. (Borhardts: membundar, curam, halus;
D4
Residual hills
Monadnocks: memanjang, curam; Bentuk yang tidak
rata dengan atau tanpa blok penutup.)

D5 Hampir datar, topografi landai sampai bergelombang.


20
Paneplains Elevasi rendah.
Hampir datar, topografi landai sampai
Upwarped paneplains
D6
Plateau bergelombang. Elevasi tinggi.
Lanjutan tabel 2.4
Relatif rendah, lereng hampir horizontal sampai rendah.

D7 Footslopes Hampir datar, topografi bergelombang dalam tahap


aktif.
Tebing yang rendah sampai cukup bergelombang ke

D8 Piedmonts topografi landai di kaki bukit dan dataran tinggi


pegunungan.

D9 Scarps Lereng yang curam sampai sangat curam.

D10 Scree slopes and fans Lereng agak curam sampai rendah.
Tidak rata, tebing landai sampai sedang ke topografi
Area with several mass
D11
movement perbukitan. (Slides, Slumps, dan Flows)
Topografi dengan lereng curam- sangat curam, tersayat

D12 Badlands menengah (knife- edged,round crested and castellite


types).

Tabel 2.5 Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal fluvial (van Zuidam,
1983)

Kode Unit Karakteristik Umum


Hampir datar, topografi teratur dengan garis
F1 Rivers beds batas permukaan air yang bervariasi mengalami erosi dan bagian
yang terakumulasi.
F2 Lakes Tubuh air.

F3 Flood plains Hampir datar, topografi tidak teratur, banjir musiman.


Fluvial levees, Topografi dengan lereng landai, berhubungan erat dengan
F4 alluvial ridges and peninggian dasar oleh akumulasi
point bar fluvial.
F5 Swamps, fluvial Topografi landai-hampir landai (swamps, tree

21
Basin vegetation).
Fluvial terraces Topografi dengan lereng hampir datar-landai, tersayat
F6 lemah-menengah.
Lanjutan tabel 2.5

Lereng landai-curam menengah, biasanya banjir dan


F7 Active alluvial fans berhubungan dengan peninggian dasar oleh akumulasi fluvial.
Inactive alluvial fans Lereng curam-landai menengah, jarang banjir
F8 dan pada umumnya tersayat lemah-menengah.
Fluvial-deltaic Topografi datar tidak teratur lemah, oleh karena banjir dan
F9 peninggian dasar oleh fluvial, dan pengaruh marine.

Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan


klasifikasi Howard (1967, dalam Thornbury, 1969). Pola - pola pengaliran yang
berhubungan erat dengan topografi, litologi dan struktur, merupakan sifat - sifat yang
paling penting untuk klasifikasi bentang alam. Pola pengaliran merupakan suatu pola
dalam kesatuan ruang dengan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang
saling berhubungan dengan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969).
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa pola
pengaliran merupakan suatu susunan dan pengaturan sungai yang membentuk suatu
pola dan merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai di daerah
tersebut yang mengambarkan kondisi geologi yang mempengaruhinya seperti litologi,
morfologi hingga struktur geologi. Menurut Howard (1967) pola pengaliran
merupakan rangkaian bentuk aliran sungai pada daerah lemah tempat erosi
mengambil bagian secara aktif serta daerah rendah tempat air permukaan mengalir
dan berkumpul.
Pola drainase perlu kita pelajari karena dapat digunakan sebagai kriteria
dalam pengenalan fenomena geologi, hidrologi dan geomorfologi. Hal ini disebabkan
pola pengaliran tersebut merupakan hasil pengaruh banyak faktor terhadap air (hujan)
yang mengalir pada permukaan bumi. Faktor tersebut disebabkan oleh litologi,

22
struktur geologi, sikap batuan, resistensi, permeabilitas atau kombinasi dari sekian
faktor tersebut.
Perkembangan dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, proses vulkanik kuarter,
serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran. Penentuan pola
pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan klasifikasi Howard (1967)
(Tabel 2.6). Pola pengaliran modifikasi atau ubahan merupakan pola pengaliran
dengan perubahan yang masih memperlihatkan ciri pola pengaliran dasar (Tabel 2.7)
dan (Tabel 2.8).

A. Stadia Daerah

Stadia atau tingkatan bentang alam dinyatakan untuk mengetahui seberapa


jauh tingkat kerusakan yang telah pada bentang alam saat ini. Tingkatan dalam
geomorfologi ditandai oleh sifat-sifat tertentu yang spesifik. Penentuan stadia
geomorfologi suatu daerah memperhatikan berbagai aspek seperti proses pelarutan,
denudasional dan stadia sungai yang telah terbentuk. Penentuan stadia daerah pada
dasarnya untuk mengetahui proses – proses geologi yang telah berlangsung pada
daerah tersebut. Proses tersebut dapat berupa proses endogen (sesar, lipatan, intrusi,

Stadia Muda Karakteristi


1. Anak sungai dan parit dalam jumlah banyak mengalir dan
masuk kedalam lembah.
2. Ada beberapa badan sungai konsekuen, tetapi merupakan
anak sungai utama.
3. Lembah akan mempunyai profil berbentuk “V”, agak dalam
atau sangat dalam, tergantung ketinggian regional di atas
muka air laut.
4. Umumnya tidak memiliki dataranbanjir dan batas antar
sungai susah untuk dipisahkan.
5. Danau dan rawa mungkin ada pada bekas sungai musiman
yang kering, jika ketinggian air sungai tidak terlalu tinggi
dibandingkan batas ketinggian air tanah.
6. Kemungkinan muncul air terjun, biasanya pada litologi yang
resisten. Hal ini merupakan ciri khas pada stadia muda.
Stadia Dewasa Karakteristik

23
1.Lembah semakin luas, sehingga sungai secara regional
mempunyai aliran sungai sendiri.
2. Beberapa litologi pada dasar dan tebing sungai mungkin
muncul akibat erosi oleh arus sungai.
3. Batas penyebaran sungai jelas dan cabang sungai tidak
terlalu banyak
4. Dataran banjir terbentuk sepanjang sungai utama dan bahkan
akan membentuk lembah lantai lembah
5. Kelokan sungai muncul intensif bedanyadengan stadia
muda, pada stadia muda agak jarang
Stadia Tua Karakteristik
1. Anak sungai banyak bermunculan dibandingkan dengan
stadia dewasa.
2. Lembah sungai luas dan dataran serta lembah sungai lebih
luas dibandingkan kelokan sungai.
3. Sungai musiman sudah tidak terlihat dan batas antar sungai
tidak sejelas pada stadia dewasa.
4. Danau dan rawa mungkin munculnamun tidak sama jenisnya
sepertipada stadia muda.
5. Kelokan sungai telah menjadikelokan beranyam serta tinggi
muka air sungai sama dengan tinggi tingkat erosi.

Tabel 2. 6 Tingkat stadia sungai menurut Thornbury (1969)

Tabel 2.7 Jenis pola aliran dasar (Howard, 1967)

Pola Aliran Dasar Karakteristik


Pola aliran dendritik berbentuk seperti cabang - cabang pohon, dimana
cabang - cabang sungai tersebut berhubungan dengan induk sungai
membentuk sudut-sudut yang runcing. Pada umumnya terdapat pada
batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa adanya pengendalian
oleh struktur.
Pola aliran parallel mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang.

Lanjutan tabel 2.7

24
Pola aliran trellis menyerupai bentuk tangga, dimana cabang - cabang
sungai membentuk sudut siku - siku dengan sungai utama, mencirikan
daerah lipatan dan kekar.

Pola aliran rectangular dibentuk oleh percabangan sungai - sungai


yang membentuk sudut siku – siku lebih banyak dikontrol oleh faktor
kekar dan sesar.

Pola aliran radial dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar
dari satu titik pusat, pada umumnya mencirikan suatu kubah atau
daerah gunungapi.

Pola aliran annular berbentuk melingkar mengikuti batuan lunak suatu


kubah yang tererosi pada bagian puncaknya atau struktur basin atau
juga suatu intrusi stock.

Pola aliran ini terbentuk oleh banyaknya cekungan - cekungan kecil


dan biasanya dapat mencirikan daerah topografi kars.

Pola aliran dendritik berbentuk seperti cabang - cabang pohon, dimana


cabang - cabang sungai tersebut berhubungan dengan induk sungai
membentuk sudut-sudut yang runcing. Pada umumnya terdapat pada
batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa adanya pengendalian
oleh struktur.

Pola aliran parallel mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada


daerah kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang.

Pola aliran trellis menyerupai bentuk tangga, dimana cabang - cabang


sungai membentuk sudut siku - siku dengan sungai utama, mencirikan
daerah lipatan dan kekar.

Lanjutan Tabel 2.7

25
Pola aliran dendritik berbentuk seperti cabang - cabang pohon, dimana
cabang - cabang sungai tersebut berhubungan dengan induk sungai
membentuk sudut-sudut yang runcing. Pada umumnya terdapat pada
batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa adanya pengendalian
oleh struktur.
Pola aliran parallel mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang.

Pola aliran trellis menyerupai bentuk tangga, dimana cabang - cabang


sungai membentuk sudut siku - siku dengan sungai utama, mencirikan
daerah lipatan dan kekar.

Pola aliran dendritik berbentuk seperti cabang - cabang pohon, dimana


cabang - cabang sungai tersebut berhubungan dengan induk sungai
membentuk sudut-sudut yang runcing. Pada umumnya terdapat pada
batuan yang homogen dengan sedikit atau tanpa adanya pengendalian
oleh struktur.
Pola aliran parallel mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada
daerah kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada
daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang.

Pola aliran rectangular dibentuk oleh percabangan sungai -


sungai yang membentuk sudut siku – siku lebih banyak
dikontrol oleh faktor kekar dan sesar.

Pola aliran radial dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar


keluar dari satu titik pusat, pada umumnya mencirikan suatu
kubah atau daerah gunungapi.

Pola aliran annular berbentuk melingkar mengikuti batuan


lunak suatu kubah yang tererosi pada bagian puncaknya atau
struktur basin atau juga suatu intrusi stock.

Lanjutan tabel 2.7

26
Pola aliran ini terbentuk oleh banyaknya cekungan - cekungan
kecil dan biasanya dapat mencirikan daerah topografi kars.

magmatisme) dan proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi). Stadia


daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi.
Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh
morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut Lobeck (1939 )
stadia daerah dibagi berdasarkan ciri–cirinya menjadi tiga yaitu stadia muda (youth),
stadia dewasa (maturity) dan stadia tua (old age), selanjutnya dapat terulang dengan
proses peremajaan (rejuvenation) (Gambar 2.4).

1. Stadia Muda (Youth)

Dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai yang lebih
curam dimana erosi vertikal lebih dominan, gradien sungai besar, arus sungai deras,
lembah berbentuk “V”, terkadang dijumpai air terjun dan danau, kondisi geologi
masih orisinil atau umumnya belum mengalami proses deformasi

2.Stadia Dewasa (Maturity)

Dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan dalam dari sebelumnya,
reliefnya menjadi lebih curam, dengan tingkat gradien sungai sedang, aliran sungai
berkelok-kelok, terdapat meander pada sungai, pada umumnya tidak dijumpai
keberadaan air terjun maupun danau, tingkat erosi vertikal berimbang dengan erosi
lateral, lembah sungainya berbentuk “U” yang menandakan proses erosi lateral pada
daerah tersebut
27
3. Stadia Tua (Old)

Dicirikan oleh permukaan relatif datar dengan aliran sungai tidak berpola,
sungai berkelok–kelok menghasilkan endapan di pinggiran sungai, membentuk delta,
danau tapal kuda, arus sungai lemah dan litologi relatif seragam. Urutan proses mulai
dari stadia muda sampai stadia tua dapat kembali berulang menjadi seperti stadia
muda lagi apabila terjadi peremajaan ulang (rejuvenation) atas suatu bentang alam.

Menurut Thornbury (1969) tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi 3


stadia. Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui proses – proses
geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut. Proses tersebut dapat berupa
proses endogen (sesar, lipatan, intrusi,magmatisme) dan proses eksogen (erosi,
pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur
geologi dan proses geomorfologi

Tabel 2. 8 Jenis pola aliran ubahan (Howard, 1967)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik


Pola aliran subdendritik merupakan pola ubahan dari pola aliran
dendritik yang sudah mulaiberkembang proses - proses struktur,
sehingga membentuk pola dendritik yang memiliki cabang yang
banyak. Modifikasi dari pola dendritik akibat pengaruh dari
topografi dan struktur.

Lanjutan tabel 2.8

Pola aliran pinnate merupakan pola ubahan dari pola aliran


dendritik, pada umumnya berkembang pada batuan bertekstur
halus dengan material yang mudah ter-erosi, berkembang pada
daerah landai dan tidak ada kontrol struktur.

28
Pola aliran anastomatik merupakan pola ubahan dari pola aliran
dendritik, pada umumnya berkembang pada lingkungan
floodplains, deltaic, dan tidal marshes serta terdapat didaerah
dataran banjir, delta dan rawa, pasang surut.
Pola aliran distributary merupakan pola ubahandari pola aliran
dendritik, pada umumnya berkembang pada lingkungan alluvial
fans dan deltaik. Bentuknya menyerupai kipas, terdapat pada
kipas aluvial dan delta.

Pola aliran subparallel merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang pada morfologi
dengan kemiringan menengah. Dikontrol oleh lereng, litologi,
dan struktur, Lapisan batuan relatif seragam resistensinya.
Pola aliran colinear relatif sejajar berbentuk kelurusan aliran
yang muncul dan tenggelam pada pematang pasir. Kelurusan
sungai atau aliran yang selang – seling antara muncul atau tidak,
memanjang diantara punggungan bukit pasir pada gurun pasir
landai.

Pola aliran directional trellis merupakan pola ubahan dari pola


pengaliran trellis, pada umumnya pola aliran ini berkembang pada
morfologi homoklin.

Tabel Lanjutan 2. 8

Pola aliran fault trellis merupakan pola ubahan dari pola aliran trellis.
Kelurusan sungai – sungai besar sebagai kelurusan sesar, menunjukkan
graben dan horst secara bergantian.

29
Pola aliran recurved trellis merupakan pola ubahan dari pola aliran
trellis, pada umumnya pola aliran ini berkembang pada daerah dengan
struktur geologi berupa penunjaman lipatan.

Pola aliran angulate merupakan pola ubahan dari pola aliran


rectangular. Kelokan tajam dari sungai akibat sesar, kelurusan anak
sungai akibat kekar, pada litologi berbutir kasar, Biasanya angulate dan
rectangular terdapat bersama dalam satu daerah.

Pola aliran centripetal merupakan pola ubahan dari pola aliran radial.
Pola ini berhubungan dengan kawah, kaldera, dolena besar atau uvala,
beberapa pola centripetal yang bergabung menjadi multicentripetal.

Pola aliran complex memiliki lebih dari satu pola dasar yang
bergabung dalam satu daerah. Kontrol struktur, topografi dan litologi
sangat dominan, terdapat di daerah “Melange”.

Pola aliran palimpset memiliki sungai tua atau pola tua yang sudah
ditinggalkan dan membentukpola baru. Merupakan daerah
pengangkatan baru.

Pola aliran compound terdiri dari dua pola kontemporer. Kombinasi


pola radial dan anular yang merupakan sifat kubah.

Tabel Lanjutan 2. 8

30
Gambar 2. 4 Stadia daerah (Lobeck, 1939)

2.2.5Analisis Stratigrafi

Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan
dan kejadian (genesa) macam – macam batuan di alam berdasarkan ruang dan waktu,
sedangkan dalam arti sempit adalah ilmu pemerian batuan menurut Sandi Stratigrafi
Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Dalam pengerjaan peta geologi penulis
menggunakan metode pengelompokan penyebaran batuan hasil pemetaan geologi di
daerah penelitian yang berdasarkan ciri litologi yang dominan dan dapat dikenali di
lapangan. Metode pengelompokan lapisan batuan hasil pemetaan geologi di daerah
penelitian dilakukan berdasarkan konsep litostratigrafi. Metode pengelompokan
batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan berdasarkan ciri
litologi yang ada di daerah penelitian yang kemudian disebandingkan dengan
stratigrafi regional.
Pembagian berdasarkan litostratigrafi dimaksudkan untuk menggolongkan
batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan bernama yang bersendi pada ciri
litologi dominan yang dapat dikenali di lapangan. Sedangkan pembagian satuan
litodemik dimaksudkan untuk menggolongkan batuan beku, metamorf dan batuan
31
lain yang terubah kuat menjadi satuan-satuan yang bersendi pada ciri litologi, dimana
satuan ini tidak mengikuti kaidah hukum superposisi, kontaknya dengan satuan
litostratigrafi dapat bersifat intrusi, metamorf ataupun tektonik. Pengelompokkan
dengan sistem penamaan satuan batuan tidak resmi tercantum dalam Sandi Stratigrafi
Indonesia pada Bab II pasal 14 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).
Penarikan batas satuan batuan dilakukan dengan cara interpolasi dan
ekstrapolasi. Interpolasi adalah metode penarikan batas satuan berdasarkan kuantitas
lokasi pengamatan yang didapatkan di lapangan, sedangkan ekstrapolasimerupakan
metode penarikan batas satuan dengan menumpang susunkan (overlay) peta
topografi citra DEMNAS dan BIG (Badan Informasi Geospasial). Dengan
memperhatikan keadaan dan karakteristik singkapan yang dijumpai di lapangan
dengan mempertimbangkan logika dan konsep geologi yang diaplikasikan di
lapangan. Untuk memperkirakan batas satuan yang tidak tegas, dilakukan pendekatan
hukum V. Hukum ini menyatakan hubungan antara lapisan yang mempunyai
kemiringan dengan relief topografi yang menghasilkan suatu pola singkapan (tabel
2.9).
Morfologi yang berada akan memberikan pola singkapan yang berbeda
meskipun dalam lapisan dengan tebal dan dip yang sama. Hukum V digunakan untuk
mengetahui pola penyebaran dari singkapan sehingga memudahkan untuk
mendeterminasikan kearah mana kira - kira singkapan berlanjut. Jika lapisan batuan
mempunyai kemiringan 0o - 5o, maka akan memberikan gambaran arah penyebaran
yang mengikuti garis kontur dan jika lapisan batuan tersebut mempunyai kemiringan
yang lebih besar dari 60o - 90o, maka akan memberikan gambaran penyebaran batuan
yang tegak lurus dan membelah lereng.

2.2.6 Analisis Struktur Geologi

Dalam mempelajari dan menentukan struktur geologi yang berkembang di

32
daerah penelitian dan mencoba menerangkan proses dan mekanisme struktur geologi
yaitu kekar dan sesar digunakan konsep struktur yang umumnya digunakan oleh para
ahli geologi. Struktur geologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan
unsur- unsur struktur geologi dan hasil analisis dari data - data pengukuran di
lapangan. Dalam mempelajari struktur yang berkembang pada daerah penelitian
dilakukan pendekatan dengan model struktur geologi yang dikemukakan oleh
(Moody and Hill, 1956). Konsep model struktur geologi menurut Moody and Hill
(1956) menerangkan mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat adanya
gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik. Akibat dari gaya tersebut akan diikuti
beberapa orde yang menerangkan mekanisme pembentukannya, yaitu prediksi
struktur yang terbentuk dan arah gaya yang terjadi. Model ini pada dasarnya
membagi struktur geologi menjadi beberapa orde, apabila gaya dari orde 1 kuat maka
akan menghasilkan gaya kompresi untuk orde 2 dan orde 3dengan kata lain akan
menghasilkan turunan gaya, apabila gaya 1 lemah, maka hanya orde 1 saja yang akan
terbentuk dan sebaliknya (gambar 2.5)

Tabel 2. 9 Hukum “V” (Lisle, 2004)

Ekspresi Hukum “V” Keterangan


Lapisan dengan kemiringan yang berlawanan arah dengan arah
slope akan membentuk pola singkapan berbentuk huruf “V”
yang memotong lembah dimana pola penyebaran singkapannya
berlawanan dengan arah slope.

Lapisan horizontal akan membentuk pola penyebaran


singkapan yang mengikuti pola garis kontur.

33
Lapisan dengan kemiringan yang searah dengan arah slope,
dimana besar kemiringan lapisan batuan lebih kecil dari pada
slope, maka pola penyebaran singkapannya akan membentuk
huruf “V” yang berlawanan dengan arah slope
Lapisan dengan kemiringan yang searah dengan arah slope,
dimana besarnya kemiringan lapisan batuan sama dengan
besarnya slope, maka pola penyebaran singkapannya akan
terpisah oleh lembah.
Lapisan dengan kemiringan yang searah dengan arah slope,
dimana kemiringan lapisan batuan lebih besar dari pada slope,
maka pola penyebaran singkapannya akan membentuk huruf
“V” yang mengarah sama dengan arah slope.

Lapisan tegak akan membentuk pola penyebaran singkapan


berupa garis lurus,dimana pola penyebaran singkapannya tidak
dipengaruhi oleh keadaan topografi

34
Gambar 2. 5 Model Struktur Geologi (Moody dan Hill 1956)

A. Kekar
Kekar (joint) adalah struktur rekahan dalam batuan yang belum mengalami
pergeseran, merupakan hal yang umum bila terdapat pada batuan dan dapat terbentuk
pada setiap waktu. Pada batuan sedimen, kekar dapat terbentuk mulai pada saat
pengendapan atau terbentuk setelah pengendapan, dalam batuan beku dapat terbentuk
akibat proses pendinginan maupun setelah pendinginan. Dalam proses deformasi,
kekar dapat terjadi pada saat sebelum, mendekati proses akhir, atau bersamaan
dengan terbentuknya, seperti sesar atau lipatan. Selain itu kekar dapat terbentuk
sebagai struktur penyerta dari struktur sesar maupun lipatan yang diakibatkan oleh
tektonik. Kekar dapat di kelompokan berdasarkan cara terjadinya antara lain :
(gambar 2.6 dan gambar 2.7)
A. Kekar yang di akibatkan oleh pendinginan magma pada batuan beku,
meliputi:Columnar Joint dan Sheeting Joint
B.Kekar sebagai struktur penyerta lipatan, antara lain
a. Longitudinal Joint ; Rekahan yang mempunyai arah sejajar dengan
perlapisan atau jurus batuan.
b. Transverse atau Cross Joint ; Rekahan yang mempunyai jurus sejajar
dengan kemiringan batuan.
c. Diagonal Joint atau Oblique ; Rekahan yang berpotongan dengan jurus
dan kemiringan batuan.

35
Gambar 2. 6 Tipe Rekahan (Whitten dan Brook,1972)

d. Berdasarkan cara terjadinya (tektonik) (gambar 2.7), dikelompokan


menjadi dua antara lain:
e. Shear (kekar gerus), yang terjadi akibat adanya tegasan atau gaya
kompresional.

f. Tension (kekar tarikan), Kekar tarikan dapat dibedakan menjadi :


g. Extension Joint, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya searah dengan
tegasan. Kekar jenis inilah yang biasanya terisi oleh cairan hidrotermal
yang kemudian berubah menjdi vein.
h. Release Joint, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya atau
pengurangan tekanan, orientasinya tegak lurus terhadap gaya utama.
Struktur ini disebut Stylolite

Gambar 2.7 Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings,1974)

36
B. Sesar
Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami
pergeseran melalui bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa bidang sesar (Fault
Plane), atau rekahan tunggal, tetapi lebih sering berupa jalur sesar (Fault Zone), yang
terdiri dari sesar yang saling berhubungan baik di dalam permukaan maupun
permukaan, misalnya pada sesar terdiri dari lebih dari satu sesar yang saling
berhubungan naik (thrust fault) akan menunjukan 4 tipe hubungan yang berbeda
(gambar 2.8) dan perhentian suatu sesar utama akan menunjukan suatu pergerakan
struktur geologi atau sesar yang lain (Ragan, 1985).
Klasifikasi sesar umumnya berdasarkan pergerakan blok sesar (gambar 2.9)
dan dapat dibagi menjadi beberapa kelas sebagai berikut :
a. Umum : turun, naik (termasuk “Thrust” sesar anjakan/sungkup), sesar
mendatar, untuk sesar naik dibagi menjadi reverse fault dan thrust
fault dimana perbedaan
b. thrust fault dan reverse fault terletak pada kemiringan bidang sesar, jika
thrust fault mempunyai kemiringan bidang sesar kurang dari 45° maka
reverse fault mempunyai kemiringan lebih dari 45° (Price ,McClay, 1981,
dalam Twiss dan Moore, 1992)
c. Sifat pergeseran : slip (gerak sebenarnya), separation (gerak semu)
d. Sifat gerak terhadap bidang sesar : dip slip, strike slip, oblique slip

Gambar 2.8 Model perbedaan percabangan kemiringan pada sesar naik (Boyer
dan Elliot, 1982)
37
Gambar 2.9 Pergerakan relative blok – blok sesar (Twiss dan Moore, 1992)

C. Lipatan

Lipatan adalah kenampakan seperti lengkungan yang awalnya merupakan


bidang horizontal, seperti pada bidang perlapisan batuan sedimen yang
berkembang selama proses deformasi berlangsung (Twiss dan Moore, 1992).
Lipatan disebabkan oleh dia mekanisme gaya, yaitu melipat (buckling) dan
melengkung (bending) (Gambar 2.10).

38
Gambar 2.10 Mekanisme gaya penyebab terbentuknya suatu lipatan (Fossen, 2010)

Lipatan dapat dijumpai dalam berbagai bentuk (geometri), yang disebut


sebagai “fold style” dan ukuran (Gambar 2.11). Variasi geometri lipatan terutama
tergantung pada sifat dan keragaman bahan, serta asal kejadian mekanik pada saat
proses perlipatan

Gambar 2.11 Unsur-unsur lipatan (Fleuty, 1964; dalam Fossen 2010)

Beberapa titik pada profil permukaan dideskripsikan antara lain:


– Hinge adalah titik maksimum pelengkungan pada lapisan yang terlipat
– Crest adalah titik tertinggi pada pelengkungan
– Trough adalah titik terendah pada pelengkungan
– Inflection point adalah titik batas dari dua pelengkungan yang berlawanan
– Fold axis / hinge line (sumbu lipatan) adalah garis maksimum pelengkungan
pada suatu permukaan bidang yang terlipat
– Axial plane (bidang sumbu) adalah bidang yang dibentuk melalui garis-garis
sumbu pada suatu lipatan. Bidang ini tidak selalu berupa bidang lurus (planar),
tetapi dapat melengkung yang umum disebut sebagai axial surface.
– Fold limb (sayap lipatan) adalah sisi-sisi dari bidang yang terlipat. Fold limb
39
berada di antara daerah pelengkungan (hinge zone) dan batas pelengkungan
(inflection line).
Lipatan merupakan struktur tiga dimensi, dan setiap lipatan biasanya
mempengaruhi banyak sekali permukaan batuan sehingga bentuk lengkap suatu
lipatan bisa sangat kompleks. Deskripsi sebuah lipatan melibatkan geometri (bentuk,
ukuran) dan orientasi, ditentukan oleh keterangan dari penampakan geometri sampai
koordinat geografi (Fleuty, 1964).
Dalam rekontruksi lipatan dilakukan berdasarkan hasil pengukuran
kedudukan lapisan dari lapangan, atau pembuatan penampang dari peta geologi.
Metode yang digunakan adalah metode busur lingkar (arc methode), dasar dari
metode ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu
lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu – sumbu kemiringan
yang berdekatan.
Rekontruksi lipatan bisa dilakukan dengan menghubungkan busur lingkaran
secara langsung apabila data yang ada hanya kemiringan dan batas lapisan hanya
setempat (Busk, 1928, dalam Prastistho, 1993). Apabila batas – batas lapisan
dijumpai berulang pada lintasan yang akan direkonstruksi, maka pembuatan busur
lingkaran dilakukan dengan metode interpolasi, yaitu berdasarkan data yang telah
didapat di lapangan ataupun dengan menggunakan metode rekontruksi lainnya
(Prastistho, 1993). Penggunaan arc methode (metode busur lingkar) dalam restorasi
penampang seimbang sangat berperan penting karena memudahkan dalam
perhitungan panjang lapisan dan luas area lapisan.
Langkah pertama dalam rekonstruksi penampang dengan menggunakan arc
methode (metode busur lingkar) yaitu menyajikan data kedudukan lapisan dan data
batas satuan stratigrafi sebagai data dasar. Kemudian membuat garis – garis tegak
lurus terhadap kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran. Garis – garis
tersebut akan saling berpotongan di titik “O” (Gambar 2.12). titik “O” tersebut
merupakan pusat lingkaran untuk membuat busur sebagai rekonstruksi lipatan

40
2.2.7 Checking Lapangan

Checking lapangan merupakan kegiatan yang dilakukan bersama dengan


dosen pembimbing yang memiliki tujuan untuk meninjau hasil dari analisis kondisi
geologi oleh peneliti dengan kondisi lapangan oleh dosen pembimbing demi
keakuratan hasil penelitian yang telah disusun baik dalam bentuk peta maupun
naskah.

2.2.8 Studi Khusus atau Kerja Praktik

Pada tahap ini berupa penelitian permasalahan yang menarik pada daerah
penelitian atau daerah kerja praktik. Tahap ini bertujuan untuk pemaparan mengenai
masalah geologi pada lokasi penelitian dikerja praktek yang dimuat dalam naskah
skripsi secara menyeluruh dan pada studi khusus daerah penelitian dapat berupa peta

2.2.9 Presentasi Kolokium

Presentasi Presentasi Kolokium merupakan tahapan yang dilakukansebelum


ujian skripsi yang di presentasikan dihadapan dosen pembimbing dan audien untuk
mempertanggungjawabkan hasil penelitian yang telah dilakukan.

2.2.10 Ujian Skripsi

Tahap ini merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian kegiatan penelitian.
Pada tahap ini laporan yang telah disusun dalam bentuk naskah tugas akhir, peta
lokasi pengamatan, peta geologi, dan peta geomorfologi dipresentasikan di hadapan
dosen pembimbing dan dosen penguji dalam sidang tertutup untuk
41
mempertanggungjawabkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan

42

Anda mungkin juga menyukai