PENDAHULUAN
1
1.3 Letak dan Luas Daerah Penelitian
Secara administrasi daerah penelitian termasuk dalam wilayah Tayem,
Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah (Gambar
1.1), dan secara astronomis terletak pada koordinat 273250 – 267250 mN dan
9179150 - 9188150 mE, dengan luas daerah penelitian 54 km2 (9 km x 6 km),
termasuk dalam lembar peta Majenang (1308 – 522) bagian Tenggara, dengan
skala 1 : 25.000 yang sumbernya dikeluarkan atau terbitan dari badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL, 2000).
2
1.4 Kesampaian Daerah Penelitian
Daerah penelitian dapat dicapai dari Yogyakarta dengan menggunakan
kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat dengan jarak tempuh lebih
kurang 211 km selama ± 4-5 jam (Gambar 1.2). Daerah penelitian penulis
merupakan daerah dimana pada lokasi ini persentasi hutan sekitar 56 %,
pemukiman 30 %, persawahan dan perkebunan 14 %. Jadi bisa disimpulkan
bahwa daerah Tayem dan sekitarnya memang merupakan daerah ideal untuk
dilakukan pemetaan geologi bagi mahasiswa yang melakukan tugas akhir.
Gambar 1.2. Peta lokasi kesampaian daerah penelitian (Google Maps, 2022)
3
BAB II
METODE PENELITIAN
4
menghasilkan peta lokasi pengamatan survei pendahuluan, peta geologi sementara,
peta geomorfologi sementara, peta rencana lintasan dan laporan usulan skripsi.
Gambar 2.1. Diagram alur pelaksanaanUsulan Skripsi dan Skripsi (Modifikasi dari
Hartono, 1991).
5
2.1.1. Pendahuluan
Tahap pendahuluan atau persiapan ini merupakan tahap paling awal dalam
melakukan penelitian. Adapun tahap persiapan ini meliputi :
1. Pengajuan kapling daerah penelitian yang akan dipetakan.
2. Pengajuan permohonan pembimbingan Skripsi ke Ketua Program Studi
Teknik Geologi.
3. Pengurusan surat tugas dari Dekan Fakultas Teknologi Mineral, Institut
Teknologi Nasional Yogyakarta untuk melakukan bimbingan.
4. Studi pustaka yang relevan dengan kondisi geologi daerah yang akan
diteliti dengan melakukan pengumpulan buku-buku pedoman yang
mengkaji satu-persatu sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan
yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian
masalah.
5. Penyusunan dan pengajuan Proposal Usulan Skripsi kepada Dosen
Pembimbing, dalam penyusunan proposal ini dilakukan juga intepretasi
peta topografi daerah penelitian dan hasil analisis tersebut merupakan
analisis sementara yang diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui
gambaran umum tentang keadaan geologi daerah penelitian. Adapun
keadaan atau aspek geologi yang ditafsirkan sebagai berikut :
a) Geomorfologi.
b) Jenis dan penyebaran satuan batuan.
c) Struktur geologi.
6. Perizinan pada tahap ini dilakukan untuk memperoleh izin dari pihak
terkait dalam melakukan kegiatan penelitian di daerah penelitian.
7. Melakukan persiapan alat-alat geologi dan alat-alat pendukung lainnya
sebelum melakukan penelitian di lapangan untuk melakukan pekerjaan
lapangan.
2.1.2. Survei Pendahuluan
Tahapan ini merupakan tahapan setelah tahap persiapan guna memperoleh
data geologi sementara yang meliputi data geomorfologi, stratigrafi, struktur
geologi yang diwujudkan dalam peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi
sementara, peta geologi sementara, serta Proposal Usulan Skripsi. Tahapan ini
bertujuan untuk mengetahui daerah yang layak atau tidak untuk dilakukan
6
penelitian Usulan Skripsi yang akan dipertanggungjawabkan pada ujian sidang
Usulan Skripsi.
7
3) Re-Mapping atau pemetaan ulang
Re-Mapping atau pemetaan ulang oleh peneliti bertujuan untuk
melengkapi data yang masih kurang atau yang disarankan oleh Dosen
Pembimbing.
8
Tabel 2.1. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam-
Cancelado, (1979).
9
Bentuk lahan structural di cirikan oleh adanya pola aliran Trellis yang tersusun
dari sungai-sungai kon¬sekuen, subsekuen, resekuen, dan obsekuen.
Bentuk lahan ini di tentukan oleh tenaga endogen yang menyebabkan terjadinya
deformasi perlapisan batuan dengan menghasilkan struktur lipatan, dan patahan,
serta perkembangannya. Bentuk lahan di cirikan oleh adanya perlapisan batuan
yang mempunyai perbedaan ketahanan terhadap erosi. Akibat adanya tenaga
endogen tersebut terjadi deformasi sikap (attitude) perlapisan batuan yang semula
horizontal menjadi miring atau bahkan tegak dan membentuk lipatan. Penentuan
nama suatu bentuk lahan structural pada dasarnya di dasarkan pada sikap
perlapisan batuan (dip dan strike).
Dalam berbagai hal, bentuk lahan struktural berhubungan dengan perlapisan
batuan sedimen yang berbeda ketahanannya terhadap erosi. Bentuklahan lahan
struktural pada dasarnya dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu struktur
patahan dan lipatan. Kadang-kadang pola aliran mempunyai nilai untuk struktur
geologis yang dapat dilihat dari citra. Plateau struktural terbentuk pada suatu daerah
yang berbatuan berlapis horisontal, sedang cuesta dan pegunungan monoklinal
terdapat dip geologis yang nyata. Batuan berlapis yang terlipat selalu tercermin
secara baik pada bentuklahannya. Skistositas akan berpengaruh pada bentuklahan
pada daerah dengan batuan metamorfik, lebih lanjut patahan dan retakan
mempunyai pengaruh juga pada perkembangan landform.
10
Pelapukan (weathering) dari perkataan weather dalam bahasa Inggris yang
berarti cuaca, sehingga pelapukan batuan adalah proses yang berhubungan dengan
perubahan sifat (fisis dan kimia) batuan di permukaan bumi oleh pengaruh cuaca.
Secara umum, pelapukan diartikan sebagai proses hancurnya massa batuan oleh
tenaga Eksogen, pelapukan adalah proses penyesaian kimia, mineral dan sifat fisik
batuan terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya.
b) Iklim, terutama tenperatur dan curah hujan sangat mempengaruhi pelapukan.
Contoh:
- Iklim kering, jenis pelapukannya fisis - Iklim basah,
jenis pelapukannya kimia
- Iklim dingin, jenis pelapukannya mekanik.
c) Vegetasi, atau tumbuh-tumbuhan mempunyai peran yang cukup besar
terhadap proses pelapukan batuan. Hal ini dapat terjadi karena:
- Secara mekanis akar tumbuh-tumbuhan itu menembus batuan,
bertambah panjang dan membesar menyebabkan batuan pecah.
- Secara kimiawi tumbuh-tumbuhan melalui akarnya mengeluarkan zat-
zat kimia yang dapat mempercepat proses pelapukan batuan. Akar,
batang, daun yang membusuk dapat pula membantu proses pelapukan,
karena pada bagian tumbuhan yang membusuk akan mengeluarkan zat
kimia yang mungkin dapat membantu menguraikan susunan kimia
pada batuan. Oleh karena itu, jenis dan jumlah tumbuhan yang ada di
suatu daerah sangat besar pengaruhnya terhadap pelapukan.
Sebenarnya antara tumbuh-tumbuhan dan proses pelapukan terdapat
hubungan yang timbal balik.
d) Topografi
Topografi yang kemiringannya besar dan menghadap arah datangnya
sinar matahari atau arah hujan, maka akan mempercepat proses pelapukan.
3) Bentuk lahan asal Fluvial
Bentuk lahan asal proses fluvial merupakan bentuk lahan yang terbentuk
karena adanya proses aliran air, baik yang berkonsentrasi berupa aliran sungai
maupun yang tidak terkonsentrasi yang berupa limpasan permukaan.
Bisa juga bentuk lahan fluvial merupakan semua proses yang terjadi di alam, baik
secara fisika maupun kimia yang mengakibatkan adanya perubahan permukaan
11
bumi yang disebabkan oleh air permukaan baik yang merupakan air mengalir
secara terpadu maupun air yang tidak terkonsentrasi sheet water.
Bentuk lahan asal fluvial memiliki tiga macam proses yang terjadi antara lain:
a) Erosi merupakan lepasnya material dasar atau dari tebing sungai.
b) Transportasi terangkutnya material hasil erosi yang terbawa oleh aliran
sungai.
c) Sedimentasi
Akumulasi material hasil transportasi pada dasar sungai, dataran banjir,
atau pada dataran tubuh air yang lain. Material tersebut yang berukuran
besar akan diendapkan terlebih dahulu baru kemudian material yang lebih
halus.
Tabel 2.3. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal struktural (vanZuidam, 1983).
12
Tabel 2.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal denudasional (van Zuidam, 1983).
13
Tabel 2.5. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal fluvial (van Zuidam, 1983)
14
Gambar 2.2. Jenis-jenis pola pengaliran, A. Pola Pengaliran Dasar dan B. Pola Pengaliran
Ubahan menurut Howard (1967), dalam Thornbury (1969).
15
tua. Stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai
yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan, gradien sungai besar, arus
sungai deras, lembah berbentuk V, terkadang dijumpai air terjun dan danau,
kondisi geologi masih orisinil atau umumnya belum mengalami proses deformasi.
Stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan dalam
dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai sedang, aliran
sungai berkelok-kelok, terdapat meander, umumnya tidak dijumpai air terjun
maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembah berbentuk U.
Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak berpola, sungai
16
berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai, terbentuk pulau- pulau
tapal kuda, arus sungai tidak kuat dan litologi relatif seragam. Urutan proses mulai
dari stadia muda sampai stadia tua dapat kembali berulang menjadi seperti stadia
muda lagi apabila terjadi peremajaan ulang (rejuvenation) atas suatu bentang alam.
17
Tabel 2.6. Tingkat stadia sungai (Thornbury, 1969)
2. Peta Geologi
Pada pengamatan unsur litologi dan penyebarannya di lapangan, peneliti
menggunakan metode pengelompokan penyebaran batuan hasil pemetaan geologi
langsung di daerah penelitian yang berdasarkan ciri litologi yang dominan serta
dapat dikenali di lapangan. Metode pengelompokan lapisan-lapisan batuan hasil
pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan berdasarkan konsep litostratigrafi.
Sistem pengelompokan batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian
dilakukan berdasarkan ciri-ciri litologi yang ada di daerah penelitian dan kemudian
disebandingkan dengan stratigrafi regional. Pembagian berdasarkan litostratigrafi
dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di bumi secara bersistem menjadi
satuan-satuan bernama yang berdasar pada ciri litologi dominan yang dapat
dikenali di lapangan. Pengelompokan dengan sistem penamaan satuan batuan tak
resmi tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia pada Bab II pasal 14
(Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).
18
Tabel 2.7. Ekspresi Hukum “V” menunjuk-kan hubungan kedudukan perlapisan batuan
dengan morfologi (Lisle, 2004).
19
dengan tebal dan dip yang sama. Hukum V digunakan untuk mengetahui pola
penyebaran dari singkapan sehingga memudahkan untuk memperkirakan ke arah
mana singkapan berlanjut.
3. Analisis Struktur
1). Struktur Lipatan
Lipatan adalah hasil perubahan bentuk suatu bahan yang ditunjukkan
sebagai lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di
dalam bahan tersebut, yang disebabkan oleh dua macam mekanisme gaya yaitu
buckling (melipat) dan bending (pelengkungan), (Prastistho, 1999) (gambar 2.4).
Struktur lipatan pada daerah penelitian berupa antiklin dan sinklin yang
mempunyai arah sumbu relatif barat – timur dan umumnya mempunyai pola yang
sejajar. Untuk merekontruksi lipatan digunakan metode Busk dan free hands,
sedangkan untuk mengetahui nama lipatan dilakukan analisis dengan
menggunakan klasifikasi berdasarkan sudut antara kedua sayap lipatan (Interlimb
Angle) menurut Fleuty, (1964, dalam Prastistho, 1999) (Gambar. 2.4), dan untuk
lipatan yang menunjam menggunakan klasifikasi berdasarkan kedudukan lipatan,
yang mana kedudukan lipatan adalah kemiringan bidang sumbu dan penunjaman
garis sumbu menurut Fleuty (1964, dalam Prastistho, 1999) (Tabel. 2.8).
20
Tabel 2.8. Klasifikasi Lipatan Berdasarkan Interlimb Angle (Fleuty, 1964)
Interlimb Angle Description Fold
180º - 120º Gentle
21
1. Analisis Petrologi
Dasar penamaan batuan beku secara megaskopis menggunakan
perbandingan komposisi mineral, beserta tekstur dengan menggunakan
klasifikasi O’Dunn dan Sill (1986) pada (Gambar 2.6). Penamaan batuan
sedimen secara megaskopis menggunakan klasifikasi ukuran butir
Wenworth (1922) pada (Tabel 2.10).
22
Tabel 2.10. Klasifikasi batuan sedimen berdasarkan ukuran butir
menurut Wenworth (1922).
23
Gambar 2.7. Klasifikasi penamaan batuan vulkanik berdasarkan presentase Kuarsa
(Q), Alkali feldspar (A), Plagioklas (P), Felsdpatoid (F) (Streckeisen, 1976
dalam Le Maitre, (2002).
24
3. Analisis Paleontologi
Analisis paleontologi dilakukan dengan mengamati keberadaan
makrofosil atau mikrofosil yang terdapat dalam batuan, umumnya fosil yang
dianalisis berupa mikro fosil yang mempunyai umur tertentu atau sebagai
fosil indeks. Analisis ini dilakukan secara mikroskopis untuk dapat
mengetahui jenis, nama, umur dan lingkungan pengendapannya.
Foraminifera plantonik digunakan sebagai fosil indeks menurut Zonasi Blow
(1969) dan foraminifera bentonik untuk mengetahui lingkungan
pengendapan (Tipsword 1966). Penarikan batimetri didasarkan sepenuhnya
pada kehadiran individu terbanyak yang diyakini mewakili suatu kedalaman
bawah laut tertentu.
2.5. Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk mendukung kelancaran dalam penelitian
lapangan ini adalah sebagai berikut :
1. Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar Majenang (BAKOSURTANAL,
2000).
2. Peta Geologi Regional Lembar Majenang, skala 1 : 100.000.
3. Peta Topografi.
4. Kompas geologi.
25
5. Palu geologi.
6. Kaca pembesar (loupe).
7. Global Positioning System (GPS).
8. Alat tulis dan buku catatan lapangan.
9. Komparator besar butir
10. Kamera Handphone.
11. Plastik sampel batuan.
12. Larutan HCL 0,1 N.
13. Jas hujan.
26
BAB III
GEOLOGI REGIONAL
27
- Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah
yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari
Pegunungan Serayu Selatan yang berarah barat – timur dicirikan oleh
bentuk antiklonorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan
batuan tertua terbesar di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.
Berdasarkan pembagian zona ini, daerah penelitian termasuk Zona
Serayu Utara. Ke arah utara, daerah ini berbatasan dengan Dataran
Aluvial Jawa Utara. Di bagian selatan dibatasi oleh Depresi Jawa
Tengah. Di bagian barat dan timur dibatasi oleh Zona Gunungapi
Kwarter. Daerah penelitian merupakan bagian dari Cekungan Serayu
Utara (Mukti dkk., 2008).
Berdasarkan pembagian fisiografi tersebut, daerah penelitian termasuk dalam
Zona Depresi Jawa Tengah. Pada bagian utara daerah penelitian dibatasi oleh
Pegunungan Serayu Selatan, pada bagian selatan dibatasi oleh Zona Pegunungan
Selatan, pada bagian barat termasuk kedalam Pegunungan Selatan, dan pada
bagian timur dibatasi oleh Pegunungan Serayu Selatan.
Gambar 3.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (van Bemmelen,
1949) dalam Hartono (2010).
28
3.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi Regional yang digunakan penulis mengacu (Kastowo Dan
Suwarna, 1996), Batuan tertua pada daerah penelitian adalah Formasi Halang. Di
atas Formasi Halang diendapkan dengan selaras dengan Formasi Tapak, serta
terdapat satuan endapan kuater Aluvium yang secara tidak selaras diendapakan
pada bagian paling atas dari Formasi sebelumnya. Hubungan Formasi Halang dan
Formasi Tapak adalah selaras normal. Formasi Halang diendapkan melalui
mekanisme turbidit pada bagian laut dalam, terdiri dari batupasir karbonatan
hingga batulempung karbonatan, sementara pada waktu yang bersamaan di bagian
darat diendapkan produk volkanik salah satunya seperti Tuff dan breksi.
Sementara Formasi Tapak sendiri diendapkan pada lingkungan laut dangkal –
darat setelah Formasi Halang terbentuk. Di atas Formasi – formasi tersebut jauh
lebih mudah diendapkan endapan kuarter (Aluvium). Korelasi Satuan – Satuan
Peta Geologi Lembar Majenang dapat dilihat pada (Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Korelasi satuan – satuan peta geologi regional daerah penelitian,
Kastowo dan N. Suwarna, (1996).
29
1. Formasi Halang (Tmph)
Formasi Halang tersusun atas batupasir andesit, konglomerat, tuffan,
dan napal bersisipan batupasir. Terdapat jejak organisme di atas bidang
perlapisan batupasir. Formasi Halang merupakan jenis endapan sedimen
turbidit pada zona batial atas (Kastowo dan Suwarna, 1996). Umur Formasi
Halang adalah Miosen Akhir dan mempunyai ketebalan 390 sampai 2600
meter. Praptisih dan Kamtono (2009) menyatakan Formasi Halang Bagian
Atas disusun oleh batupasir, batulempung, dan perselingan antara batupasir
dan batulempung. Pada perselingan batupasir dan batulempung dicirikan
oleh batupasir yang berwarna abu – abu, halus – kasar, tebal lapisan 10
sampai 20 cm, struktur sedimen perlapisan bersusun, laminasi sejajar, dan
bergelombang. Batulempung berwarna kehitaman, dengan ketebalan 0,5
sampai 10 cm.
2. Endapan Aluvium (Qa)
Endapan aluvium hadir sebagai endapan permukaan yang
merupakan hasil rombakan batuan lebih tua yang terbentuk pada Kala
Plistosen hingga masa kini. Pada umumnya, endapan kuarter terdiri dari
bahan lepas sampai kompak lemah berukuran butir lempung hingga
kerikil.
30
daratan Pulau Jawa baik struktur berupa patahan ataupun hadir sebagai struktur
lipatan.
Struktur ini pada umumnya merupakan jalur lipatan dan sesar naik akibat
kompresi yang berasal dari subduksi Neogen Lempeng Indo-Australia. Di jawa
Barat pola ini tercermin pada sesar Baribis serta sesar sungkup (anjakan) dan
lipatan di Zona Bogor, di Jawa Tengah berupa sesar sungkup (anjakan) dan lipatan
di Zona Serayu Utara dan Serayu Selatan mempunyai arah relatif Barat-Timur. Di
Jawa bagian Timur pola ini tercermin oleh sesar-sesar sungkup (anjakan) dan
lipatan di Zona Kendeng. Berdasarkan kajian struktur geologi di atas, daerah
penelitian lebih dikontrol oleh sesar berarah Timur Laut-Barat Daya yang
merupakan produk kompresi dari subduksi Kapur. Kenampakan orientasi arah
sesar ini menunjukkan pola struktur yang serupa dengan Pola Meratus (Gambar
3.2).
Gambar 3.2. Pola struktur Jawa dan sekitarnya (Pulunggono & Martodjojo, 1994)
31
BAB IV
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
32
4. Satuan geomorfologi Topografi dataran – bergelombang lemah Fluvial (F7)
Gambar 4.1. Satuan geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan Struktutral (S9) Arah foto
N 26º E, pada lokasi pengamatan morfologi berada pada LP 35
33
2) Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat - Perbukitan Denudasional (D2)
Satuan ini meliputi kurang lebih 20 % dari seluruh daerah penelitian, yang
mempunyai pelamparan di sisi Utara - Barat Laut pada daerah penelitian.
Morfologi pada satuan ini berupa topografi bergelombang kuat - perbukitan dan
memiliki kelerengan miring yang secara morfogenesa terbentuk akibat proses
denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian. Pola pengaliran yang
berkembang pada satuan ini adalah pola Dendritic.
34
Satuan ini meliputi kurang lebih 30% dari seluruh daerah penelitian.
Morfologi pada satuan ini berupa morfologi bergelombang lemah - kuat yang
secara morfogenesa terbentuk akibat proses denudasional yang berlangsung pada
daerah penelitian. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah pola
Subdendritic.
Gambar 4.3. Satuan geomorfologi bergelombang lemah – kuat denudasional (D1). dengan arah
foto N 134º E yang berada pada LP 8.
35
4) Satuan Geomorfologi Dataran – Bergelombang Lemah Fluvial (F7)
Satuan ini meliputi kurang lebih 10% dari seluruh daerah penelitian. Satuan
geomorfologi pada satuan ini berupa satuan geomorfologi dataran – bergelombang
lemah fluvial (F7). Kenampakan di lapangan satuan geomorfologi ini relatif datar
hingga sedikit bergelombang.
36
suatu pola dalam kesatuan ruang. Perkembangan dari pola pengaliran dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan,
struktur geologi dan geomorfologi.
Berdasarkan pendekatan model menurut klasifikasi Howard (1967), dalam
Thornbury, 1969) pola pengaliran daerah penelitian dapat diinterpretasikan sebagai
pola pengaliran (Gambar 4.5) Dendritik dan Subdendtritik.
Gambar 4.5. Peta pola pengaliran Dendritic dan Subdendritik daerah penelitia.
37
meliputi daerah penelitian yang berkembang pada Satuan Geomorfologi
Bergelombang kuat - perbukitan Struktural (S9), Satuan Geomorfologi
Bergelombang kuat - perbukitan Denudasional (D2), Satuan Geomorfologi
Bergelombang lemah - kuat Denudasional (D1), Satuan Geomorfologi dataran -
Bergelombang lemah fluvial (F7).
2. Pola Pengaliran Sub-dendritik
Pola pengaliran sungai aliran sub-dendritik adalah pola aliran ubahan yang
cabang-cabang sungainya juga menyerupai struktur pohon tetapi yang lebih kecil.
Pada umumnya pola aliran sungai dendritik dikontrol oleh litologi batuan yang
homogen, pola pengaliran ini meliputi daerah penelitian yang berkembang pada
Satuan Geomorfologi Bergelombang kuat - perbukitan Struktural (S9), Satuan
Geomorfologi Bergelombang lemah - kuat Denudasional (D1).
38
4.1.4. Stadia Daerah Penelitian
Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses
geomorfologi. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan
seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut
Lobeck (1939), stadia dapat dikelompokkan menjadi empat (4) yaitu muda,
dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenation).
Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan
bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah penelitian. Kondisi
bentang alam di daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses
eksogenik yang sangat intensif, sehingga memperlihatkan adanya bukit sisa erosi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, keadaan morfologi di daerah penelitian
terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939) termaksuk dalam stadia
sungai dewasa, (Gambar 4.7).
39
litologi yang dapat diamati di lapangan. Proses penamaan ketiga satuan tersebut
mengacu pada Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo & Djuhaeni, 1996) yaitu
litostratigrafi tak resmi, penamaan satuan berdasarkan pada litologi yang dominan
pada penyusun satuan tersebut dan diikuti nama formasinya.
Adapun satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian dari tua ke muda
yaitu satuan batupasir karbonatan Halang, satuan batulempung karbonatan Halang,
satuan tuff Halang dan satuan endapan lempung-kerakal (Tabel 4.1).
40
1. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan litologi batupasir karbonatan Halang menempati kurang lebih 38%
luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan berarah Utara dan
Selatan. Berdasarkan penampang A-A’ dilakukan perhitungan ketebalan
berdasarkan panjang sayatan tegak lurus dip dan di kali dengan skala maka di
dapatkan ketebalan ±3,617 meter (Lampiran Lepas 2, Peta Geologi)
2. Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun oleh litologi Batupasir karbonatan (Gambar 4.8). Secara
megaskopis memiliki kenampakan warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk
putih kekuningan, tektur klastik, struktur berlapis - masif. kemas terbuka, sortasi
buruk, ukuran butir halus - sedang, bentuk butir menyudut - menyudut tanggung,
bereaksi kuat dengan HCl. dan pada beberapa lokasi daerah penelitian ini juga
terdapat sisipan litologi Batulempung karbonatan serta litologi Breksi Andesit,
satuan litologi Breksi andesit memiliki kenampakan warna segar abu-abu
kehitaman warna lapuk kuning kemerahan, komposisi litik, gelas piroklastik,
felspar, struktur masif, dengan fragmen berwarna lapuk abu-abu kehitaman dan
warna segar abuabu, struktur, komposisi litik, dan beberapa mineral mafik yang
tidak teramati dengan baik.
Gambar 4.8. Singkapan satuan batupasir karbonatan Halang. Arah foto N 220º E. Foto
diambil pada LP 26.
41
3. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan terhadap ciri fisik
Formasi Halang pada stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan batupasir karbonatan Halang ini berada pada umur Miosen akhir
bawah hingga Pliosen, jika dilihat pada stratigrafi regional dan daerah penelitian
(Tabel 4.1).
4. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian, hasil
rekonstruksi penampang geologi A-A’, B-B’ dan C-C’ (Lampiran Lepas 2, peta
geologi), serta mengacu pada stratigrafi regional Lembar Majenang (Kastowo Dan
Suwarna, 1996), maka peneliti berkesimpulan hubungan stratigrafi menjari dengan
litologi batulempung karbonatan bagian bawah hingga tengah dan Tuff pada
bagian tengah yang berasal dari Formasi Halang (Tabel 4.2). satuan karbonatan
Halang ini merupakan satuan yang paling tua sampai termuda yang tersingkap di
daerah penelitian.
42
4.2.2. Satuan batulempung karbonatan Halang
Satuan batulempung karbonatan Halang merupakan satuan yang terendapkan
bersamaan dengan satuan batupasir karbonatan Halang pada bagian bawah hingga
ke tengah, serta bersmaan juga dengan tuff Halang pada bagian tengah.
Berdasarkan ciri fisik satuan batuan di lapangan dengan memperhatikan tata cara
penamaan satuan lithostratigrafi tak resmi (Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia,
1996) dan didasarkan pada kolom stratigrafi peta Lembar Majenang (Kastowo Dan
Suwarna, 1996), maka satuan ini dapat dikorelasikan dengan Formasi Halang dan
diberi nama satuan batulempung karbonatan Halang.
2. Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun oleh litologi Batulempung karbonatan (Gambar 4.9).
Batulempung karbonatan ini secara megaskopis memiliki kenampakan warna
43
segar abu-abu kehitaman, warna lapuk abu-abu keputihan, tektur klastik, struktur
berlapis. kemas terbuka, sortasi buruk, bentuk butir menyudut tanggung -
menyudut, ukiran butir pasir sedang-kasar, bereaksi kuat dengan HCl. pada
beberapa lokasi penelitian ini juga ditemukan sisipan litologi berupa Batupasir
karbonatan (serta perulangan) namun satuan Batulempung karbonatan ini lebih
dominan. litologi Batupasir karbonatan Halang ini secara megaskopis memiliki
warna abu-abu keputihan, warna lapuk kuning keputih-putihan, tekstur klastik,
stkutur berlapis - laminasi, sortasi baik, kemas tertutup, Serta bereaksi juga dengan
HCl.
4. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian, hasil
rekonstruksi penampang geologi B-B’ dan C-C’ (Lampiran Lepas 2, peta geologi),
serta mengacu pada stratigrafi regional Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna,
1996), maka peneliti berkesimpulan hubungan stratigrafi menjari dengan litologi
batupasir karbonatan bagian bawah hingga tengah dan Tuff yang pada bagian
tengah dari Formasi Halang (Tabel 4.3). satuan batulempung karbonatan Halang
ini juga merupakan satuan yang paling tua bersamaan dengan batupasir karbonatan
Halang pada daerah penelitian.
44
Tabel 4.3. Kolom litologi Satuan batulempung karbonatan Halang
Satuan tuff Halang merupakan satuan yang terendapkan pada bagian darat
akibat aktivitas vulkanisme yang terus meningkat bersamaan dengan satuan
batulempung karbonatan Halang dan batupasir karbonatan Halang pada
sedimentasi di laut dalam.
45
Gambar 4.10. Singkapan satuan litologi tuff Halang. Arah foto N 230º E.
Foto berada pada LP 2.
46
memiliki kenampakan warna abu - abu keputih-putihan, warna lapuk abu-abu
kehijauan, tekstur klastik, struktur berlapis - laminasi, kemas tertutup, sortasi baik.
ukuran butir membulat - membulat tanggung bereaksi lemah dengan HCl.
7. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan terhadap ciri fisik
Formasi Halang pada stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan tuff Halang ini berada pada umur Pliosen bagian bawah jika dilihat
pada stratigrafi regional dan daerah penelitian (Tabel 4.1). Mengacu pada
stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996) lingkungan
pengendapan satuan ini berada pada lingkungan darat
8. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian, hasil
rekonstruksi penampang geologi A-A’ dan B-B’ (Lampiran Lepas 2, peta geologi),
serta mengacu pada stratigrafi regional Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna,
1996), maka peneliti berkesimpulan hubungan stratigrafi menjari dengan litologi
batupasir karbonatan dan batulempung karbonatan pada bagian tengah dari
Formasi Halang (Tabel 4.1). satuan tuf Halang ini merupakan satuan yang berbeda
lingkungan pengendapan serta sumber litologi pada daerah penelitian.
47
4.2.4. Satuan Endapan lempung-kerikil
Satuan endapan lempung-kerikil merupakan satuan yang terendapkan setelah
satuan batupasir Formasi Halang yang paling atas. Satuan ini tersusun oleh
endapan sedimen yang berukuran dari lempung-kerakal. Berdasarkan ciri fisik
satuan endapan di lapangan dengan memperhatikan tata cara penamaan satuan
lithostratigrafi tak resmi (Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996) dan didasarkan
pada kolom stratigrafi peta Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan ini dapat dikorelasikan dengan Aluvium dan diberi nama satuan
endapan lempung-kerakal.
48
3. Umur dan lingkungan pengendapan
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan terhadap ciri fisik
Aluvium pada stratigrafi regional Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan endapan lempung-kerikil ini berumur Holosen (Tabel 4.1).
Mengacu Kastowo Dan Suwarna (1996) lingkungan pengendapan satuan ini
berada di darat.
4. Hubungan stratigrafi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian, hasil
rekonstruksi penampang geologi A-A’ dan B-B’ (Lampiran Lepas 2, peta
geologi), serta mengacu pada stratigrafi geologi regional Lembar Majenang
(Kastowo Dan Suwarna, 1996), maka peneliti berkesimpulan hubungan
stratigrafi antara satuan endapan lempung-kerakal dengan satuan di bawahnya
ialah ketidak selarasan (unconformity). (Tabel 4.5)
49
(Quartery aluvium) dari satuan endapan lempung-kerakal memiliki hubungan
tidak selaras (Unconformity) karena memiliki perberbedaan waktu pengendapan
yang terbilang sangat jauh. Sedangkan untuk Satuan-satuan litologi dari Formasi
Halang pada peta geologi regional yang menunjukan waktu pengendapan dari
Miosen Akhir bagian bawah yang tebal dan semakin menipis kea arah atas pada
waktu
Pliosen. Hal tersebut mengindikasikan banyak satuan yang terbentuk dari Formasi
Halang. peniliti merekonstruksi stratigrafi sesuai penampang geologi AA’, B-B’
dan C-C’ untuk menentukan perlapisan paling bawah hingga paling atas.
Didapatkan satuan batupasir karbonatan Halang yang terbentuk di perlapisan
bawah hingga atas menjari dengan batulempung karbonatan Halang, serta tuff
Halang yang juga menjari dengan kedua litologi tersebut tetapi berada pada
bagian tengah atas namun tidak lebih muda dari batupasir karbonatan Halang.
Tabel 4.6. Kolom Korelasi Stratigrafi Daerah Penelitian
Dengan Stratigrafi Regional
50
4.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian dapat
diinterpretasikan berdasarkan pada pengamatan dan pengkajian peta geologi
regional, interpretasi peta topografi dan yang paling utama adalah data hasil
recognaissance yang berupa catatan, foto, dan pengukuran dari data–data struktur
dan unsur–unsur penyertanya yang ada pada daerah penelitian.
51
4.3.2 Struktur Antiklin dan Sinklin Gilangkap
Penamaan Antiklin dan Sinklin Gilangkap didasarkan pada sumbu lipatan
yang melalui daerah Gilangkap. Struktur Lipatan pada daerah Gilangkap ini
terbagi menjadi dua, yang pertama struktur Antiklin yang berada pada bagian
Utara-timur Gilangkap dan yang kedua struktur Sinklin di bagian Selatan -timur di
daerah Gilangkap.
1. Struktur Antiklin Gilangkap
Antiklin Gilangkap bagian Utara memiliki sumbu lipatan berarah
Timur Laut– Barat Daya, jurus dan kemiringan lapisan batuan yang ada di
sekitar sumbu antiklin tersebut saling bertolak belakang, dengan
kedudukan umum dari sayap Utara N 235° E / 48° miring ke arah Utara
dan kedudukan umum dari sayap Selatan N 145°E / 33° miring ke arah
Selatan. Sumbu antiklin ini berada pada satuan batulempung karbonatan
Halang bagian Timur daerah penelitian.
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam
hal ini dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi
Fleuty (1964 dalam Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut
adalah 1000 yang didapat berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat
sehingga berdasarkan klasifikasi tersebut jenis dari lipatan ini adalah
Gentle.
52
2. Struktur Sinlkin Gilangkap
Sinklin Gilangkap bagian Utara memiliki sumbu lipatan berarah
Timur Laut– Barat Daya, jurus dan kemiringan lapisan batuan yang ada di
sekitar sumbu Sinklin tersebut saling mendekat, dengan kedudukan umum
dari sayap Utara N 235° E / 33° miring ke arah Selatan dan kedudukan
umum dari sayap Selatan N 145 E / 41° miring ke arah Utara. Sumbu
antiklin ini berada pada satuan batulempung karbonatan Halang bagian
Timur daerah penelitian.
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam
hal ini dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi
Fleuty (1964 dalam Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut
adalah 1050 yang didapat berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat
sehingga berdasarkan klasifikasi tersebut jenis dari lipatan ini adalah
Gentle.
53
48° miring ke arah Utara dan kedudukan umum dari sayap Utara N 320° E / 54°
miring ke arah Sealatan. Sumbu antiklin ini berada pada satuan batupasir
karbonatan Halang bagian Timur daerah penelitian.
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam hal ini
dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964 dalam
Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut adalah 790 yang didapat
berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat sehingga berdasarkan klasifikasi
tersebut jenis dari lipatan ini adalah Gentle.
54
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam hal ini
dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964 dalam
Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut adalah 870 yang didapat
berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat sehingga berdasarkan klasifikasi
tersebut jenis dari lipatan ini adalah Gentle.
55
BAB V
JADWAL PELAKSANAAN DAN
RANCANGAN ANGGARAN BIAYA
56
Tabel 5.2 Rencana Angaran Biaya Penelitian
Bahan Habis Pakai
3 Perizinan Rp
250.000
4 Pembuatan proposal Rp
TA 100.000
Total Biaya Rp
1.620.000
Peralatan Lapang an
57
Kegiatan Penelitian Lapangan
Reconnaissance
1 Rp. 1.500.000
5 Bensin 11 Kali @ Rp Rp
70.000 770.000
Total Biaya Rp 5.810.000
Ujian TA 1
58
Total Biaya Rp 130.000
59
BAB VI
RENCANA LINTASAN
60
pertimbangan di atas. Lintasan yang direncanakan untuk melakukan pemetaan
detail di daerah penelitian adalah sebagai berikut :
1. Lintasan 1
Pada lintasan pertama dimaksudkan untuk memperoleh data hubungan
antara satuan batupasir karbonatan Halang dan satuan tuff Halang. Untuk
memperoleh data secara lebih rinci.
2. Lintasan 2
Pada lintasan kedua ini dimaksudkan untuk memperoleh data
hubungan batupasir karbonatan Halang dan satuan batulempung karbonatan
Halang.
Serta mencari data struktur lipatan yang terlihat pada peta geologi regional.
3. Lintasan 3
Pada lintasan ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh data
hubungan antara satuan endapan lempung-kerakal dan satuan batulempung
karbonatan Halang, batupasir karbonatan Halang serta tuff halang. Lintasan
ini berupa lintasan terbuka dan diharapkan mendapatkan data pendukung
berupa variasi litologi dan struktur geologi untuk melengkapi data
sebelumnya.
4. Lintasan 4
Pada lintasan ketiga ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran
endapan maupun litologi yang berkembang pada daerah utara /Tinggian dari
daerah penelitian. disisi lain untuk mencari data struktur sebagai penciri pola
kontur pada topografi yang memungkinkan adanya anomaly.
61
Gambar 6.1. Peta Rencana Lintasan
62
DAFTAR PUSTAKA
Blow, W. H. dan Postuma, J. A., 1969, Range Chart, Late Miosen to Recent
Planktonic Foraminifera Biostratigraphy.
Bronto, S. dan Hartono, H.G. 2001. Panduan Ekskursi Geologi Kuliah
Lapangan2. STTNAS: Yogyakarta.
Fleuty, M. J., 1964. The description of folds. Geologists’ Association,
London.
Guntoro, A., 1996. Tectonic Evolution and Crustal Structure of The
Central Indonesia Region from Java’s Structure, Gravity, and Other
GeophysicalData. Phd Thesis, University of London.
Howard, A. D., 1967, Drainage Analysis in Geologic Interpretation.
Bulletin AAP., Vol. 51 No. 11.
Le Maitre, R. W., Streckeisen, A., Zanettin, B., Le Bas, M. J., Bonin, B.,
dan Bateman, P., 2002. Igneous rocks: a classification and glossary of
terms: Recommendations of the International Union of Geological
Sciences Subcommission on the Systematics of Igneous Rocks.
Cambridge University Press. Ltd, West Sussex.
Lisle, R.J., 2004. Geological Structures and Maps; A Practical Guide,
Third Edition, Elsevier Butterworth-Heinemann, Cardiff University.
Lobeck A.K., 1939. Geomorphology, New York and London, Mc Graw- Hill
Book Company Inc.
Martodjojo, S. dan Djuhaeni., 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi
Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta.
Martodjojo, S. Samodra, H. dan Sidarto., 2013, Hubungan Lembah Sadeng,
Cekungan Baturetno Dan Teras Bengawan Solo, Jawa Bagian
Tengah, JSD.Geol. Vol. 23 No. 3.
Moody, J., dan Hill, M. J., 1956. Wrench-fault tectonics. Geological Society
of America Bulletin, 67(9), 1207-1246.
O’Dunn, S., dan Sill, W.D., (1986), Exploring Geology: Introductory
Laboratory Activities, A Peek Publication.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks, 3rd ed., Harper and Row
Publishing Co., New York, 628h.
63
Prasetyadi, C., 2008, Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur,
Desertasi, Program Doktor Teknik Geologi, Institut Teknologi
Bandung (tidak dipublikasikan).
Streckeisen, A. L., 1978, IUGS Subcommision of Sistematics of Igneous
Rocks. Classification and Nomenclature of Volcanic Rocks,
Lamprophyres, Carbonatite, and Melilite Rocks. Recomendations and
Suggestions. Neues Jahruch fur Mineralogie, Abhandlungen, Vol.141,
1-14.
Sumarso dan Ismoyowati, T., 1975. A contribution to the stratigraphy of the Jiwo
Hills and their southern surroundings. Proceedings of 4th Annual
Convention of Indonesia Petroleum Association, Jakarta, II, h.19-26.
Smyth, H.R., Hall, R., Hamilton, J., & Kinny, P., 2003. Volcanic origin of
quarzt-rich sedimen in East Java. Proccedings Indonesian Petroleum
Association, 29th Annual Convention, pp. 541-559.
Thornbury W.D., 1969, Principles of Geomorphology, New York, John
Willey and Sons.
Twiss, R. J. and Moores, E. M., 1992, Structural geology. W. H. Freeman
dan Co., New York. van Bemmelen R.W., 1949. The Geology of Indonesia.
The Goge, Martinus Nijhoff, vol.IA.
van Zuidam R.A. and van Zuidam-Cancelado F.I., 1979, Terrain Analysis
and Classification Using Aerial Photograph: A Geomorphological
Approach, International Institute for Aerial Survey and Earth
Sciences (ITC), The Netherlands.
van Zuidam, R. A., 1983. Guide to Geomorphologic Aerial Photographic
Interpretation and Mapping, ITC, Netherlands.
Wenworth, C.K., 1922. A Scale of Grade and Class Term for Clastic
Sediments Journal of Geology, Vol. XXX: 377-392.
64
LAMPIRAN