Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemetaan geologi ini dilatarbelakangi oleh keingintahuan peneliti untuk
mengetahui kondisi geologi daerah Karanggitung dan sekitarnya, Kecamatan
Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian meliputi:
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, dan geologi
lingkungan serta proses-proses geologi yang masih berkembang sampai
sekarang, yang akhirnya dapat digambarkan pada peta geomorfologi dan peta
geologi.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, usulan skripsi ini dibuat


dengan menggunakan teori-teori dan metodologi penelitian yang digunakan
dalam studi geologi. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah
perbendaharaan tentang penelitian ilmiah terhadap daerah tersebut, terutama
informasi yang mengarah kepada penelitian potensi dari sumberdaya alam yang
nantinya dapat dikembalikan ke daerah Karanggitung dan sekitarnya agar dapat
dikelola oleh masyarakat khususnya masyarakat lokal untuk meningkatkan
kesejahteraan.
1.2 Maksud danTujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi di
daerah penelitian. Disini penulis mengacu dari data singkapan yang tersingkap
diatas permukaan bumi dengan mengambil pedoman pada SSI (1996), dengan
didukung data - data primer baik yang masih segar maupun yang telah
mengalami pelapukan serta data sekunder yang ada pada daerah penelitian.

Sedangkan tujuannya adalah untuk membuat peta Geologi detail daerah


penelitian dengan skala 1 : 25.000 yang dimuat data - data mengenai keadaan
geologi meliputi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi yang akan diteliti
sebagai aplikasi data - data Geologi yang didapatkan di lapangan guna
kepentingan keilmuan maupun kepentingan pengembangan sumberdaya manusia
dan sumber daya alam.

1
1.3 Letak dan Luas Daerah Penelitian
Secara administrasi daerah penelitian termasuk dalam wilayah Tayem,
Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah (Gambar
1.1), dan secara astronomis terletak pada koordinat 273250 – 267250 mN dan
9179150 - 9188150 mE, dengan luas daerah penelitian 54 km2 (9 km x 6 km),
termasuk dalam lembar peta Majenang (1308 – 522) bagian Tenggara, dengan
skala 1 : 25.000 yang sumbernya dikeluarkan atau terbitan dari badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL, 2000).

Gambar 1.1 Peta lokasi daerah penelitian (Peta Administrasi Kabupaten


Cilacap, 2020)

2
1.4 Kesampaian Daerah Penelitian
Daerah penelitian dapat dicapai dari Yogyakarta dengan menggunakan
kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat dengan jarak tempuh lebih
kurang 211 km selama ± 4-5 jam (Gambar 1.2). Daerah penelitian penulis
merupakan daerah dimana pada lokasi ini persentasi hutan sekitar 56 %,
pemukiman 30 %, persawahan dan perkebunan 14 %. Jadi bisa disimpulkan
bahwa daerah Tayem dan sekitarnya memang merupakan daerah ideal untuk
dilakukan pemetaan geologi bagi mahasiswa yang melakukan tugas akhir.

Gambar 1.2. Peta lokasi kesampaian daerah penelitian (Google Maps, 2022)

3
BAB II

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi keadaan geologi


daerah penelitian berupa pemetaan geologi permukaan yang meliputi pengamatan,
pemerian, dan pengukuran langsung di lapangan pada kenampakan data dan
kondisi geologi yang tersingkap di permukaan bumi berupa data bentang alam,
singkapan batuan, struktur geologi, data fosil, sesumber dan bencana alam. Secara
umum metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti dibagi menjadi dua (2)
metode yaitu penelitian di lapangan dan penelitian laboratorium dan studio. Kedua
metode ini akan saling diintegrasikan untuk mengkaji segala aspek geologi yang
ada di daerah penelitian yaitu aspek stratigrafi, geomorfologi, struktur geologi,
interpretasi sejarah geologi dan geologi lingkungan.
Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap
persiapan, tahap survei pendahuluan (recognnaissance), tahap penelitian lapangan
detail, tahap penelitian laboratorium dan studio dan tahap penyusunan laporan
akhir. Penyajian tahapan-tahapan tersebut terangkum dalam skema alur penelitian
(Gambar 2.1). Dalam skema alur pelaksanaan secara umum dibagi menjadi dua (2)
tahap dengan batasan pada Usulan Skripsi bersifat interpretatif yang akan disajikan
dalam bentuk laporan usulan skripsi berupa proposal penelitian, sedangkan skripsi
bersifat lebih rinci yang bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi secara rinci
yang disajikan dalam bentuk laporan hasil penelitian. Skripsi merupakan penelitian
komprehensif dari berbagai parameter identifikasi dari data faktual di lapangan
dan didukung oleh analisis laboratorium sehingga dapat dihasilkan sebuah hasil
penelitian geologi yang sifatnya rinci.
2.1. Tahapan Usulan Skripsi
Proses Usulan Skripsi terdiri dari studi pustaka, pengurusan surat izin ke
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah. Proses selanjutnya melakukan digitasi peta, analisis peta
topografi, pola pengaliran, peta geologi regional, survei pendahuluan, interpretasi
awal daerah penelitian dan penyusunan laporan usulan skripsi. Usulan skripsi akan

4
menghasilkan peta lokasi pengamatan survei pendahuluan, peta geologi sementara,
peta geomorfologi sementara, peta rencana lintasan dan laporan usulan skripsi.

Gambar 2.1. Diagram alur pelaksanaanUsulan Skripsi dan Skripsi (Modifikasi dari
Hartono, 1991).

5
2.1.1. Pendahuluan
Tahap pendahuluan atau persiapan ini merupakan tahap paling awal dalam
melakukan penelitian. Adapun tahap persiapan ini meliputi :
1. Pengajuan kapling daerah penelitian yang akan dipetakan.
2. Pengajuan permohonan pembimbingan Skripsi ke Ketua Program Studi
Teknik Geologi.
3. Pengurusan surat tugas dari Dekan Fakultas Teknologi Mineral, Institut
Teknologi Nasional Yogyakarta untuk melakukan bimbingan.
4. Studi pustaka yang relevan dengan kondisi geologi daerah yang akan
diteliti dengan melakukan pengumpulan buku-buku pedoman yang
mengkaji satu-persatu sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan
yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian
masalah.
5. Penyusunan dan pengajuan Proposal Usulan Skripsi kepada Dosen
Pembimbing, dalam penyusunan proposal ini dilakukan juga intepretasi
peta topografi daerah penelitian dan hasil analisis tersebut merupakan
analisis sementara yang diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui
gambaran umum tentang keadaan geologi daerah penelitian. Adapun
keadaan atau aspek geologi yang ditafsirkan sebagai berikut :
a) Geomorfologi.
b) Jenis dan penyebaran satuan batuan.
c) Struktur geologi.
6. Perizinan pada tahap ini dilakukan untuk memperoleh izin dari pihak
terkait dalam melakukan kegiatan penelitian di daerah penelitian.
7. Melakukan persiapan alat-alat geologi dan alat-alat pendukung lainnya
sebelum melakukan penelitian di lapangan untuk melakukan pekerjaan
lapangan.
2.1.2. Survei Pendahuluan
Tahapan ini merupakan tahapan setelah tahap persiapan guna memperoleh
data geologi sementara yang meliputi data geomorfologi, stratigrafi, struktur
geologi yang diwujudkan dalam peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi
sementara, peta geologi sementara, serta Proposal Usulan Skripsi. Tahapan ini
bertujuan untuk mengetahui daerah yang layak atau tidak untuk dilakukan

6
penelitian Usulan Skripsi yang akan dipertanggungjawabkan pada ujian sidang
Usulan Skripsi.

2.2. Tahap Skripsi


Tahapan Skripsi terdiri dari pemetaan rinci pengumpulan data lapangan,
pengukuran unsur-unsur struktur geologi dan pengambilan contoh batuan,
pekerjaan studio (identifikasi data geomorfologi, stratigrafi dan data struktur
geologi), pekerjaan laboratorium (analisis kalsimetri, preparasi fosil dan preparasi
sayatan tipis) dan analisis masalah khusus.
Proses dari Skripsi ini meliputi penelitian mengenai kondisi geologi rinci,
lokasi pengamatan, analisis geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, pengukuran
ketebalan, pengelompokan satuan batuan, analisis paleontologi dan petrografi,
serta penyusunan laporan Skripsi. Proses-proses tersebut akan menghasilkan peta
lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi, analisis laboratorium berupa
zona kisaran atau umur dan nama batuan serta laporan Skripsi. Akhir dari tahapan
penelitian tersebut yaitu mempresentasikan hasil penelitian dalam kolokium dan
pendadaran di hadapan Dosen Penguji.

2.2.1. Penelitian Lapangan Rinci


Setelah tahapan persiapan dilakukan, maka tahap selanjutnya yaitu penelitian
lapangan. Tahap penelitian yang akan dilakukan di lapangan terdiri dari :
1) Pemetaan geologi rinci
Pemetaan geologi secara rinci dimaksudkan untuk memperoleh data
geologi yang lebih rinci, dilakukan dengan cara melewati lintasan yang
melalui singkapan-singkapan batuan dan pengambilan contoh batuan
secara sistematis. Pemetaan geologi detail ini bertujuan untuk
mendapatkan data secara langsung di lapangan yang meliputi unsur
geologi dan penyebaran struktur geologi, keadaan dan pola singkapan
yang dapat diketahui, pola penyebaran batuan dan geologi lingkungan
yang ada di daerah penelitian.
2) Checking
Checking lapangan dengan Dosen Pembimbing yang bertujuan untuk
memastikan hasil kerja lapangan yang dilakukan peneliti.

7
3) Re-Mapping atau pemetaan ulang
Re-Mapping atau pemetaan ulang oleh peneliti bertujuan untuk
melengkapi data yang masih kurang atau yang disarankan oleh Dosen
Pembimbing.

2.2.2. Pekerjaan Studio


Pekerjaan studio dilakukan dengan menganalisa data yang telah diambil baik
data primer maupun data sekunder. Penelitian studio merupakan penelitian yang
tidak dilakukan di lapangan. Anallisis studio meliputi data geomorfologi, analisis
data stratigrafi serta analisis data struktur geologi. Selanjutnya dari data tersebut
digunakan untuk menginterpretasikan kondisi geologi pada daerah penelitian,
berikut adalah analisis yang dilakukan di studio :
1. Peta geomorfologi
Dalam menganalisis kondisi geomorfologi serta melakukan pembagian
satuan geomorfologi pada daerah penelitian, peneliti melakukan analisis
padapeta topografi dengan melihat pola kontur dan kemudian melakukan
sayatan morfometri pada peta topografi dan tidak dilakukan langsung di
lapangan. Pembagian satuan geomorfologi didasarkan pada dua (2) hal yaitu
morfometri dan morfogenesa.
Morfometri yaitu pembagian kenampakan satuan geomorfologi yang
didasarkan pada kemiringan lereng dan beda tinggi (Tabel 2.1) menurut van
Zuidam dan Cancelado (1979). Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui
kesamaan relatif harga sudut lereng dan beda tinggi dari puncak sampai dasar
lekukan dari suatu morfologi. Pembagian morfogenesa didasarkan pada faktor
pengontrol utama proses geologi, hal tersebut mengacu pada klasifikasi van
Zuidam (1983) yang membagi satuan geomorfologi menjadi delapan (8)
satuan (Tabel 2.2), untuk setiap satuan dicantumkan kode huruf, untuk sub
satuan dengan penambahan angka di belakang.

8
Tabel 2.1. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam-
Cancelado, (1979).

Tabel 2.2. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan


sistem pewarnaan van Zuidam (1983).

Untuk klasifikasi unit geomorfologi memakai klasifikasi unit geomorfologi


bentukan lahan asal struktural (Tabel 2.3), denudasional (Tabel 2.4), dan bentukan
lahan asal fluvial (Tabel 2.5).
1) Bentuk lahan asal Struktural
Bentuk lahan struktural terjadi oleh karena adanya pro¬ses endogen yang disebut
tektonisme atau diastrofisme. Pro¬ses ini meliputi pengangkatan, penurunan, dan
pelipatan kerak bumi sehingga terbentuk struktur geologi: lipatan dan patahan.
Selain itu terdapat pula struktur horizontal yang merupakan struktur asli sebelum
mengalami perubahan. Dari struktur pokok tersebut, selanjutnya dapat di rinci
menjadi berbagai bentuk berdasarkan sikap lapisan batuan dan kemiringannya.

9
Bentuk lahan structural di cirikan oleh adanya pola aliran Trellis yang tersusun
dari sungai-sungai kon¬sekuen, subsekuen, resekuen, dan obsekuen.
Bentuk lahan ini di tentukan oleh tenaga endogen yang menyebabkan terjadinya
deformasi perlapisan batuan dengan menghasilkan struktur lipatan, dan patahan,
serta perkembangannya. Bentuk lahan di cirikan oleh adanya perlapisan batuan
yang mempunyai perbedaan ketahanan terhadap erosi. Akibat adanya tenaga
endogen tersebut terjadi deformasi sikap (attitude) perlapisan batuan yang semula
horizontal menjadi miring atau bahkan tegak dan membentuk lipatan. Penentuan
nama suatu bentuk lahan structural pada dasarnya di dasarkan pada sikap
perlapisan batuan (dip dan strike).
Dalam berbagai hal, bentuk lahan struktural berhubungan dengan perlapisan
batuan sedimen yang berbeda ketahanannya terhadap erosi. Bentuklahan lahan
struktural pada dasarnya dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu struktur
patahan dan lipatan. Kadang-kadang pola aliran mempunyai nilai untuk struktur
geologis yang dapat dilihat dari citra. Plateau struktural terbentuk pada suatu daerah
yang berbatuan berlapis horisontal, sedang cuesta dan pegunungan monoklinal
terdapat dip geologis yang nyata. Batuan berlapis yang terlipat selalu tercermin
secara baik pada bentuklahannya. Skistositas akan berpengaruh pada bentuklahan
pada daerah dengan batuan metamorfik, lebih lanjut patahan dan retakan
mempunyai pengaruh juga pada perkembangan landform.

2) Bentuk lahan asal Denudasional


Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga
denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Bentuk lahan asal
denudasional dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk lahan yang terjadi akibat
proses-proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating) dan proses
pengendapan yang terjadi karena agradasi atau. Proses degradasi cenderung
menyebabkan penurunan permukaan bumi, sedangkan agradasi menyebabkan
kenaikan permukaan bumi.
Faktor-faktor Pengontrol Bentang Alam Denudasional
Denudasi meliputi proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass
wating) dan proses pengendapan/sedimentasi.
a) Pelapukan

10
Pelapukan (weathering) dari perkataan weather dalam bahasa Inggris yang
berarti cuaca, sehingga pelapukan batuan adalah proses yang berhubungan dengan
perubahan sifat (fisis dan kimia) batuan di permukaan bumi oleh pengaruh cuaca.
Secara umum, pelapukan diartikan sebagai proses hancurnya massa batuan oleh
tenaga Eksogen, pelapukan adalah proses penyesaian kimia, mineral dan sifat fisik
batuan terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya.
b) Iklim, terutama tenperatur dan curah hujan sangat mempengaruhi pelapukan.
Contoh:
- Iklim kering, jenis pelapukannya fisis - Iklim basah,
jenis pelapukannya kimia
- Iklim dingin, jenis pelapukannya mekanik.
c) Vegetasi, atau tumbuh-tumbuhan mempunyai peran yang cukup besar
terhadap proses pelapukan batuan. Hal ini dapat terjadi karena:
- Secara mekanis akar tumbuh-tumbuhan itu menembus batuan,
bertambah panjang dan membesar menyebabkan batuan pecah.
- Secara kimiawi tumbuh-tumbuhan melalui akarnya mengeluarkan zat-
zat kimia yang dapat mempercepat proses pelapukan batuan. Akar,
batang, daun yang membusuk dapat pula membantu proses pelapukan,
karena pada bagian tumbuhan yang membusuk akan mengeluarkan zat
kimia yang mungkin dapat membantu menguraikan susunan kimia
pada batuan. Oleh karena itu, jenis dan jumlah tumbuhan yang ada di
suatu daerah sangat besar pengaruhnya terhadap pelapukan.
Sebenarnya antara tumbuh-tumbuhan dan proses pelapukan terdapat
hubungan yang timbal balik.
d) Topografi
Topografi yang kemiringannya besar dan menghadap arah datangnya
sinar matahari atau arah hujan, maka akan mempercepat proses pelapukan.
3) Bentuk lahan asal Fluvial
Bentuk lahan asal proses fluvial merupakan bentuk lahan yang terbentuk
karena adanya proses aliran air, baik yang berkonsentrasi berupa aliran sungai
maupun yang tidak terkonsentrasi yang berupa limpasan permukaan.
Bisa juga bentuk lahan fluvial merupakan semua proses yang terjadi di alam, baik
secara fisika maupun kimia yang mengakibatkan adanya perubahan permukaan

11
bumi yang disebabkan oleh air permukaan baik yang merupakan air mengalir
secara terpadu maupun air yang tidak terkonsentrasi sheet water.
Bentuk lahan asal fluvial memiliki tiga macam proses yang terjadi antara lain:
a) Erosi merupakan lepasnya material dasar atau dari tebing sungai.
b) Transportasi terangkutnya material hasil erosi yang terbawa oleh aliran
sungai.
c) Sedimentasi
Akumulasi material hasil transportasi pada dasar sungai, dataran banjir,
atau pada dataran tubuh air yang lain. Material tersebut yang berukuran
besar akan diendapkan terlebih dahulu baru kemudian material yang lebih
halus.

Tabel 2.3. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal struktural (vanZuidam, 1983).

12
Tabel 2.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal denudasional (van Zuidam, 1983).

13
Tabel 2.5. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal fluvial (van Zuidam, 1983)

Sementara pola pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan


klasifikasi Howard (1967, dalam Thornbury, 1969) (Gambar 2.2). Pola pengaliran
(drainage pattern) merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang merupakan
hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu
pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969).
Perkembangan dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain adalah kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, proses vulkanik
kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage
basin). Menentukan stadia geomorfologi suatu daerah, maka sangat penting untuk
memperhatikan berbagai aspek seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia
sungai yang telah terbentuk.

14
Gambar 2.2. Jenis-jenis pola pengaliran, A. Pola Pengaliran Dasar dan B. Pola Pengaliran
Ubahan menurut Howard (1967), dalam Thornbury (1969).

Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui proses-proses


geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut. Proses tersebut bisa berupa
proses endogen (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme) dan proses eksogen (erosi,
pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur
geologi dan proses geomorfologi. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya
menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi
aslinya.
Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi empat (4) dan
mempunya ciri tersendiri (Gambar 2.3) yaitu stadia muda, stadia dewasa dan stadia

15
tua. Stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai
yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan, gradien sungai besar, arus
sungai deras, lembah berbentuk V, terkadang dijumpai air terjun dan danau,
kondisi geologi masih orisinil atau umumnya belum mengalami proses deformasi.

Gambar 2.3. Stadia daerah (Lobeck, 1939)

Stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan dalam
dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai sedang, aliran
sungai berkelok-kelok, terdapat meander, umumnya tidak dijumpai air terjun
maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembah berbentuk U.
Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak berpola, sungai

16
berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai, terbentuk pulau- pulau
tapal kuda, arus sungai tidak kuat dan litologi relatif seragam. Urutan proses mulai
dari stadia muda sampai stadia tua dapat kembali berulang menjadi seperti stadia
muda lagi apabila terjadi peremajaan ulang (rejuvenation) atas suatu bentang alam.

Proses peremajaan ulang (rejuvenation) terbentuk apabila pada daerah yang


sudah mengalami stadia tua terjadi suatu proses epirogenesis atau orogenesis,
maka daerah dengan stadia tua tersebut terangkat kembali. Daerah yang terangkat
ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh proses eksogenik maupun oleh sungai-
sungai yang mengalir di daerah tersebut. Proses peremajaan ulang mengakibatkan
perubahan bentukan stadia morfologi menjadi stadia muda dengan tingkat erosi
daerah muda lagi.
Menurut Thornbury (1969), tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga
(3) stadia (Tabel 2.6), yaitu :
1) Stadia muda
Stadia ini dicirikan dengan sungai sangat aktif dan erosi berlangsung cepat,
erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral, lembah berbentuk V, tidak
terdapat dataran banjir, gradien sungai curam, ditandai dengan adanya
jeram dan air terjun, arus sungai deras, bentuk sungai relatif lurus.
2) Stadia dewasa
Stadia ini dicirikan oleh kecepatan aliran berkurang, gradien sungai sedang,
dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi
lateral lebih kuat dibanding erosi vertikal, pada tingkat ini sungai mencapai
kedalaman paling besar.
3) Stadia tua
Stadia ini dicirikan oleh kecepatan aliran yang makin berkurang, pelebaran
lembah lebih kuat dibandingkan pendalaman sungai, dataran banjir lebih
besar dibanding sabuk meander, lembah berbentuk U, danau tapal kuda,
tanggul alam lebih umum dijumpai ketika sungai bertingkat dewasa.

17
Tabel 2.6. Tingkat stadia sungai (Thornbury, 1969)

2. Peta Geologi
Pada pengamatan unsur litologi dan penyebarannya di lapangan, peneliti
menggunakan metode pengelompokan penyebaran batuan hasil pemetaan geologi
langsung di daerah penelitian yang berdasarkan ciri litologi yang dominan serta
dapat dikenali di lapangan. Metode pengelompokan lapisan-lapisan batuan hasil
pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan berdasarkan konsep litostratigrafi.
Sistem pengelompokan batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian
dilakukan berdasarkan ciri-ciri litologi yang ada di daerah penelitian dan kemudian
disebandingkan dengan stratigrafi regional. Pembagian berdasarkan litostratigrafi
dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di bumi secara bersistem menjadi
satuan-satuan bernama yang berdasar pada ciri litologi dominan yang dapat
dikenali di lapangan. Pengelompokan dengan sistem penamaan satuan batuan tak
resmi tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia pada Bab II pasal 14
(Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).

18
Tabel 2.7. Ekspresi Hukum “V” menunjuk-kan hubungan kedudukan perlapisan batuan
dengan morfologi (Lisle, 2004).

Penarikan batas satuan batuan dilakukan dengan cara interpolasi dan


ekstrapolasi. Hal tersebut memperhatikan keadaan dan karakteristik singkapan
yang dijumpai di lapangan dengan mempertimbangkan logika dan konsep geologi
yang diaplikasikan di lapangan. Memperkirakan batas satuan yang tidak tegas
ataupun tegas dilakukan pendekatan hukum ekspresi hukum “V” (Gambar 2.5).
Hukum ini menyatakan hubungan antara lapisan yang mempunyai kemiringan
dengan relatif topografi yang menghasilkan suatu pola singkapan. Morfologi yang
berbeda akan memberikan pola singkapan yang berbeda meskipun dalam lapisan

19
dengan tebal dan dip yang sama. Hukum V digunakan untuk mengetahui pola
penyebaran dari singkapan sehingga memudahkan untuk memperkirakan ke arah
mana singkapan berlanjut.
3. Analisis Struktur
1). Struktur Lipatan
Lipatan adalah hasil perubahan bentuk suatu bahan yang ditunjukkan
sebagai lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di
dalam bahan tersebut, yang disebabkan oleh dua macam mekanisme gaya yaitu
buckling (melipat) dan bending (pelengkungan), (Prastistho, 1999) (gambar 2.4).
Struktur lipatan pada daerah penelitian berupa antiklin dan sinklin yang
mempunyai arah sumbu relatif barat – timur dan umumnya mempunyai pola yang
sejajar. Untuk merekontruksi lipatan digunakan metode Busk dan free hands,
sedangkan untuk mengetahui nama lipatan dilakukan analisis dengan
menggunakan klasifikasi berdasarkan sudut antara kedua sayap lipatan (Interlimb
Angle) menurut Fleuty, (1964, dalam Prastistho, 1999) (Gambar. 2.4), dan untuk
lipatan yang menunjam menggunakan klasifikasi berdasarkan kedudukan lipatan,
yang mana kedudukan lipatan adalah kemiringan bidang sumbu dan penunjaman
garis sumbu menurut Fleuty (1964, dalam Prastistho, 1999) (Tabel. 2.8).

Gambar 2.4. Mekanisme gaya yang menyebabkan terbentuknya lipatan


(Prastistho, 1999).

20
Tabel 2.8. Klasifikasi Lipatan Berdasarkan Interlimb Angle (Fleuty, 1964)
Interlimb Angle Description Fold
180º - 120º Gentle

120º - 70º Open


70º - 30º Close
30º - 0º Tight
0º Isoclinal

Tabel 2.9. Klasifikasi Lipatan Berdasarkan kedudukan lipatan (Fleuty, 1964)

Sudut Istilah Dip bidang sumbu Penunjaman garis sumbu

0 Horizontal Recumbent fold Horizontal fold


1 – 10 Subhorizontal Recumbent fold Horizontal fold
10 – 30 Gentle Gently inclined fold Gently plunging fold
30 – 60 Moderate Moderate inclined fold Moderaty plunging fold
60 – 80 Steep Stepeply inclined fold Steeply inclined fold
80 – 89 Subvertical Upright fold Vertical fold
90 Vertical Upright fold Vertical fold

Gambar 2.5. Bagian-bagian dari suatu lipatan (Prastistho, 1993)

2.2.3. Tahap Laboratorium


Pada tahapan ini peneliti melakukan analisis petrografi dan paleontologi
terhadap contoh batuan yang diambil dari daerah penelitian. Hal tersebut dilakukan
untuk menunjang data penelitian lapangan yang telah diperoleh dari daerah
penelitian.

21
1. Analisis Petrologi
Dasar penamaan batuan beku secara megaskopis menggunakan
perbandingan komposisi mineral, beserta tekstur dengan menggunakan
klasifikasi O’Dunn dan Sill (1986) pada (Gambar 2.6). Penamaan batuan
sedimen secara megaskopis menggunakan klasifikasi ukuran butir
Wenworth (1922) pada (Tabel 2.10).

Gambar 2.6. Klasifikasi batuan beku menurut


O’Dunn dan Sill, 1986.

22
Tabel 2.10. Klasifikasi batuan sedimen berdasarkan ukuran butir
menurut Wenworth (1922).

Pengambilan contoh batuan dilakukan pada singkapan yang segar,


tidak teroksidasi, dapat mewakili tiap litologi di lapangan dan layak sebagai
sampel untuk dilakukan analisis lebih lanjut di laboratorium. Pengambilan
contoh batuan digunakan untuk penelitian laboratorium agar mendapatkan
data lebih detail seperti petrografi untuk petrogenesis.
2. Analisis Petrologi
Pada tahapan ini peneliti melakukan analisis petrografi, yaitu
pengamatan contoh batuan yang didapat dari daerah penelitian yang
kemudian disayat pada preparat setebal kurang lebih 0,03 mm.
Dasar penamaan batuan vulkanik secara mikroskopis digunakan
diagram QAPF Streckeisen (1976 dalam Le Maitre, 2002) pada (Gambar
2.7). Penamaan batuan sedimen secara mikroskopis menggunakan
klasifikasi batupasir terigen berdasarkan komposisi kuarsa, feldspar, dan
fragmen batuan terhadap persentase kehadiran matrik dalam tubuh batuan
menurut Pettijohn (1975) (Gambar 2.8).

23
Gambar 2.7. Klasifikasi penamaan batuan vulkanik berdasarkan presentase Kuarsa
(Q), Alkali feldspar (A), Plagioklas (P), Felsdpatoid (F) (Streckeisen, 1976
dalam Le Maitre, (2002).

Gambar 2.8. Klasifikasi batupasir terigen berdasarkan komposisi kuarsa, feldspar,


dan fragmen batuan terhadap persentase kehadiran matrik dalam
suatu tubuh batuan (Pettijohn, 1975).

24
3. Analisis Paleontologi
Analisis paleontologi dilakukan dengan mengamati keberadaan
makrofosil atau mikrofosil yang terdapat dalam batuan, umumnya fosil yang
dianalisis berupa mikro fosil yang mempunyai umur tertentu atau sebagai
fosil indeks. Analisis ini dilakukan secara mikroskopis untuk dapat
mengetahui jenis, nama, umur dan lingkungan pengendapannya.
Foraminifera plantonik digunakan sebagai fosil indeks menurut Zonasi Blow
(1969) dan foraminifera bentonik untuk mengetahui lingkungan
pengendapan (Tipsword 1966). Penarikan batimetri didasarkan sepenuhnya
pada kehadiran individu terbanyak yang diyakini mewakili suatu kedalaman
bawah laut tertentu.

2.3. Tahap Penyusunan Laporan


Tahap penyusunan laporan ini meliputi beberapa variabel data yang
dimasukan menjadi sebuah laporan yang akan disajikan meliputi :
1. Penggambaran peta lokasi pengamatan survei pendahuluan, peta
geomorfologi, peta geologi dan peta rencana lintasan.
2. Penyelesaian penampang geologi dan penampang geomorfologi.
3. penyelesaian dan penyusunan naskah laporan.

2.4. Tahap Presentasi


Tahap ini merupakan tahap presentasi laporan hasil penelitian yang telah
dilakukan untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian di hadapan Dosen
Pembimbing dan Dosen Penguji.

2.5. Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk mendukung kelancaran dalam penelitian
lapangan ini adalah sebagai berikut :
1. Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar Majenang (BAKOSURTANAL,
2000).
2. Peta Geologi Regional Lembar Majenang, skala 1 : 100.000.
3. Peta Topografi.
4. Kompas geologi.

25
5. Palu geologi.
6. Kaca pembesar (loupe).
7. Global Positioning System (GPS).
8. Alat tulis dan buku catatan lapangan.
9. Komparator besar butir
10. Kamera Handphone.
11. Plastik sampel batuan.
12. Larutan HCL 0,1 N.
13. Jas hujan.

26
BAB III

GEOLOGI REGIONAL

3.1 Fisiografi Regional


Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) dalam
Hartono (2010) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa
Utara, Gunungapi Kuarter, Antiklinorium Bogor, Serayu Utara, Kendeng, Depresi
Jawa Tengah, Pegunungan Serayu Selatan, dan Pegunungan Selatan Jawa.
- Dataran Aluvial Jawa Utara, mempunyai lebar maksimum 40 km ke arah
selatan.
Semakin ke arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km. - Gunungapi
Kuarter di Jawa Tengah antara lain G.Slamet, G.Dieng, G.Sundoro,
G.Sumbing, G.Ungaran, G.Merapi, G.Merbabu, dan G.Muria.
- Zona Serayu Utara memiliki lebar 30 – 50 km. Di selatan Tegal, zona ini
tertutupi oleh produk gunungapi kwarter dari G.Slamet. Di bagian tengah
ditutupi oleh produk volkanik kwarter G.Rogojembangan, G.Ungaran,
dan G.Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor
dengan batas antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga
Ajibarang, persis di sebelah barat G.Slamet, sedangkan ke arah timur
membentuk Zona Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan
Dataran Aluvial Jakarta berupa Antiklinorium dari lapisan Neogen yang
terlipat kuat dan terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas
antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan
singkapan batuan tertua berumur Oligosen – Miosen Bawah yang
diwakili oleh Formasi Pelang.
- Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan.
Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10 – 25 km. Morfologi
pantai ini cukup kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa
Timur yang relatif lebih terjal.
- Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa
membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona
ini terputus oleh Depresi Jawa Tengah.

27
- Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah
yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari
Pegunungan Serayu Selatan yang berarah barat – timur dicirikan oleh
bentuk antiklonorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan
batuan tertua terbesar di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.
Berdasarkan pembagian zona ini, daerah penelitian termasuk Zona
Serayu Utara. Ke arah utara, daerah ini berbatasan dengan Dataran
Aluvial Jawa Utara. Di bagian selatan dibatasi oleh Depresi Jawa
Tengah. Di bagian barat dan timur dibatasi oleh Zona Gunungapi
Kwarter. Daerah penelitian merupakan bagian dari Cekungan Serayu
Utara (Mukti dkk., 2008).
Berdasarkan pembagian fisiografi tersebut, daerah penelitian termasuk dalam
Zona Depresi Jawa Tengah. Pada bagian utara daerah penelitian dibatasi oleh
Pegunungan Serayu Selatan, pada bagian selatan dibatasi oleh Zona Pegunungan
Selatan, pada bagian barat termasuk kedalam Pegunungan Selatan, dan pada
bagian timur dibatasi oleh Pegunungan Serayu Selatan.

Gambar 3.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (van Bemmelen,
1949) dalam Hartono (2010).

28
3.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi Regional yang digunakan penulis mengacu (Kastowo Dan
Suwarna, 1996), Batuan tertua pada daerah penelitian adalah Formasi Halang. Di
atas Formasi Halang diendapkan dengan selaras dengan Formasi Tapak, serta
terdapat satuan endapan kuater Aluvium yang secara tidak selaras diendapakan
pada bagian paling atas dari Formasi sebelumnya. Hubungan Formasi Halang dan
Formasi Tapak adalah selaras normal. Formasi Halang diendapkan melalui
mekanisme turbidit pada bagian laut dalam, terdiri dari batupasir karbonatan
hingga batulempung karbonatan, sementara pada waktu yang bersamaan di bagian
darat diendapkan produk volkanik salah satunya seperti Tuff dan breksi.
Sementara Formasi Tapak sendiri diendapkan pada lingkungan laut dangkal –
darat setelah Formasi Halang terbentuk. Di atas Formasi – formasi tersebut jauh
lebih mudah diendapkan endapan kuarter (Aluvium). Korelasi Satuan – Satuan
Peta Geologi Lembar Majenang dapat dilihat pada (Tabel 3.1).

Tabel 3.1. Korelasi satuan – satuan peta geologi regional daerah penelitian,
Kastowo dan N. Suwarna, (1996).

29
1. Formasi Halang (Tmph)
Formasi Halang tersusun atas batupasir andesit, konglomerat, tuffan,
dan napal bersisipan batupasir. Terdapat jejak organisme di atas bidang
perlapisan batupasir. Formasi Halang merupakan jenis endapan sedimen
turbidit pada zona batial atas (Kastowo dan Suwarna, 1996). Umur Formasi
Halang adalah Miosen Akhir dan mempunyai ketebalan 390 sampai 2600
meter. Praptisih dan Kamtono (2009) menyatakan Formasi Halang Bagian
Atas disusun oleh batupasir, batulempung, dan perselingan antara batupasir
dan batulempung. Pada perselingan batupasir dan batulempung dicirikan
oleh batupasir yang berwarna abu – abu, halus – kasar, tebal lapisan 10
sampai 20 cm, struktur sedimen perlapisan bersusun, laminasi sejajar, dan
bergelombang. Batulempung berwarna kehitaman, dengan ketebalan 0,5
sampai 10 cm.
2. Endapan Aluvium (Qa)
Endapan aluvium hadir sebagai endapan permukaan yang
merupakan hasil rombakan batuan lebih tua yang terbentuk pada Kala
Plistosen hingga masa kini. Pada umumnya, endapan kuarter terdiri dari
bahan lepas sampai kompak lemah berukuran butir lempung hingga
kerikil.

3.3. Tektonik Regional


Pulunggono dan Martodjojo (1994) mengemukakan adanya tiga arah struktur
utama di Pulau Jawa (Gambar 3.2) yaitu arah Timur Laut - Barat Daya atau
dikenal sebagai Pola Meratus, arah Utara-Selatan atau yang dikenal sebagai Pola
Sunda, dan arah Barat-Timur atau disebut juga Pola Jawa. Pola Meratus dominan
terdapat di kawasan Jawa bagian Barat dan pantai utara Pulau Jawa yang
ditunjukkan oleh tinggian-tinggian Karimunjawa, Bawean, Masalembo dan Pulau
Laut (Guntoro, 1996) dan berangsur menghilang ke arah Timur. Di Pulau Jawa
arah ini terutama ditunjukkan oleh pola struktur batuan Pra-Tersier di daerah Luk
Ulo, Kebumen, Jawa Tengah. Pola Sunda yang berarah Utara-Selatan umumnya
terdapat di lepas pantai utara Jawa bagian Barat dan di daratan bagian Barat Pulau
Jawa. Pola Jawa yang berarah Barat-Timur merupakan pola yang mendominasi

30
daratan Pulau Jawa baik struktur berupa patahan ataupun hadir sebagai struktur
lipatan.

Struktur ini pada umumnya merupakan jalur lipatan dan sesar naik akibat
kompresi yang berasal dari subduksi Neogen Lempeng Indo-Australia. Di jawa
Barat pola ini tercermin pada sesar Baribis serta sesar sungkup (anjakan) dan
lipatan di Zona Bogor, di Jawa Tengah berupa sesar sungkup (anjakan) dan lipatan
di Zona Serayu Utara dan Serayu Selatan mempunyai arah relatif Barat-Timur. Di
Jawa bagian Timur pola ini tercermin oleh sesar-sesar sungkup (anjakan) dan
lipatan di Zona Kendeng. Berdasarkan kajian struktur geologi di atas, daerah
penelitian lebih dikontrol oleh sesar berarah Timur Laut-Barat Daya yang
merupakan produk kompresi dari subduksi Kapur. Kenampakan orientasi arah
sesar ini menunjukkan pola struktur yang serupa dengan Pola Meratus (Gambar
3.2).

Gambar 3.2. Pola struktur Jawa dan sekitarnya (Pulunggono & Martodjojo, 1994)

31
BAB IV
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Sebelum melakukan pemetaan geologi rinci, dilakukan suatu analisis


pendahuluan terhadap daerah yang akan dipetakan yang meliputi pengumpulan
data sekunder dan primer. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan
pemetaan geologi rinci.
Interpretasi awal geologi daerah penelitian merupakan tahap interpretasi
peneliti terhadap daerah penelitian yang meliputi aspek-aspek geologi yang
berkembang di daerah penelitian. Aspek-aspek geologi tersebut terdiri atas
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi dari daerah
penelitian.

4.1. Geomorfologi Daerah Penelitian


Aspek-aspek yang dikaji dalam bahasan geomorfologi pada daerah
penelitian terdiri atas satuan geomorfologi, pola pengaliran, stadia sungai dan
stadia daerah penelitian.

4.1.1. Satuan Geomorfologi


Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan melalui
analisis pada peta topografi dengan melihat pola-pola kontur yang mencerminkan
bentuk bentang alam (topografi). Dalam pembagian tersebut perlu diperhatikan
kerapatan dan kerenggangan kontur serta pola-pola kontur yang khas seperti pola
melingkar atau membentuk suatu kelurusan. Pembagian satuan geomorfologi
daerah penelitian mengacu pada klasifikasi van Zuidam (1979). Berdasarkan hasil
perhitungan beda tinggi dan kelerengan (morfometri) pada peta topografi serta
melihat morfogenesis yang ada di daerah penelitian, maka daerah penelitian
terbagi menjadi empat (4) satuan geomorfologi, yaitu :
1. Satuan geomorfologi Topografi bergelombang kuat - perbukitan Struktural
(S9).
2. Satuan geomorfologi Topografi bergelombang kuat – perbukitan
Denudasional (D2).
3. Satuan geomorfologi Topografi bergelombang lemah – kuat Denudasional
(D1).

32
4. Satuan geomorfologi Topografi dataran – bergelombang lemah Fluvial (F7)

1) Satuan Geomorfologi Bergelombang kuat - Perbukitan Struktural (S9)


Satuan ini meliputi kurang lebih 40 % dari seluruh daerah penelitian, yang
mempunyai pelamparan mulai dari sisi utara – timur laut hingga pada selatan –
tenggara pada daerah penelitian. Morfologi pada satuan ini berupa topografi
bergelombang kuat - perbukitan dan memiliki kelerengan miring yang secara
morfogenesa terbentuk akibat proses struktur lipatan yang berlangsung pada
daerah penelitian. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah pola
Dentritic - Subdentritic.

Gambar 4.1. Satuan geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan Struktutral (S9) Arah foto
N 26º E, pada lokasi pengamatan morfologi berada pada LP 35

Secara morfometri satuan ini mempunyai perbedaan tinggi rata-rata 86 meter


dengan sudut lereng rata-rata 33% (lampiran perhitungan sayatan lereng). Litologi
penyusunnya yaitu: batulempung karbonatan dan batupasir karbonatan.
Berdasarkan data-data di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam
satuan geomorfologi bergelombang lemah - Perbukitan struktural (S9) (Gambar
4.1). Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai perkebunan pinus.

33
2) Satuan Geomorfologi Bergelombang Kuat - Perbukitan Denudasional (D2)
Satuan ini meliputi kurang lebih 20 % dari seluruh daerah penelitian, yang
mempunyai pelamparan di sisi Utara - Barat Laut pada daerah penelitian.
Morfologi pada satuan ini berupa topografi bergelombang kuat - perbukitan dan
memiliki kelerengan miring yang secara morfogenesa terbentuk akibat proses
denudasional yang berlangsung pada daerah penelitian. Pola pengaliran yang
berkembang pada satuan ini adalah pola Dendritic.

Gambar 4.2. Satuan geomorfologi bergelombang kuat - perbukitan denudasional (D2).


Arah foto N 134º E, pada lokasi pengamatan morfologi berada pada LP 8.

Secara morfometri satuan ini mempunyai perbedaan tinggi rata-rata 76 meter


dengan sudut lereng rata-rata 30% (lampiran perhitungan sayatan lereng). Litologi
penyusunnya yaitu: batupasir karbonatan Formasi Halang. Berdasarkan data-data
di atas, maka satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan geomorfologi
bergelombang kuat - Perbukitan Denudasional (D2) (Gambar 4.2). Satuan
geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai perkebunan pinus.

3) Satuan Geomorfologi bergelombang lemah - kuat Denudasional (D1).

34
Satuan ini meliputi kurang lebih 30% dari seluruh daerah penelitian.
Morfologi pada satuan ini berupa morfologi bergelombang lemah - kuat yang
secara morfogenesa terbentuk akibat proses denudasional yang berlangsung pada
daerah penelitian. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini adalah pola
Subdendritic.

Gambar 4.3. Satuan geomorfologi bergelombang lemah – kuat denudasional (D1). dengan arah
foto N 134º E yang berada pada LP 8.

Secara morfometri satuan ini mempunyai perbedaan tinggi rata-rata 31 meter


dengan sudut lereng rata-rata 14% (lampiran perhitungan sayatan lereng). Litologi
penyusun yaitu: Tuff dan sedikit Batulempung karbonatan. Berdasarkan data-data
di atas, satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan geomorfologi
bergelombang lemah – kuat Denudasional dengan erosi sedang sampai parah (D1)
(Gambar 4.3). Satuan ini dimanfaatkan sebagai perkebunan dan pemukiman.

35
4) Satuan Geomorfologi Dataran – Bergelombang Lemah Fluvial (F7)

Satuan ini meliputi kurang lebih 10% dari seluruh daerah penelitian. Satuan
geomorfologi pada satuan ini berupa satuan geomorfologi dataran – bergelombang
lemah fluvial (F7). Kenampakan di lapangan satuan geomorfologi ini relatif datar
hingga sedikit bergelombang.

Gambar 4.4. Satuan geomorfologi dataran - bergelombang lemah Fluvial (F7)


dengan arah foto N 138º E, berada pada LP 55.

Secara morfometri perhitungan sayatan pada peta topografi satuan ini


mempunyai perbedaan tinggi rata-rata 25 meter, dengan sudut lereng rata-rata 10%
(lampiran perhitungan sayatan lereng). Satuan geomorfologi tersusun atas endapan
material lepas dengan ukuran butir dari lempung-kerakal. Berdasarkan data-data di
atas, satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan geomorfologi Activity Alluvial
Fan (F7) (Gambar 4.4).
4.1.2. Pola Pengaliran Daerah Penelitian
Thornbury (1969) menjelaskan bahwa pola pengaliran merupakan
penggabungan dari beberapa sungai yang saling berhubungan dan membentuk

36
suatu pola dalam kesatuan ruang. Perkembangan dari pola pengaliran dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan,
struktur geologi dan geomorfologi.
Berdasarkan pendekatan model menurut klasifikasi Howard (1967), dalam
Thornbury, 1969) pola pengaliran daerah penelitian dapat diinterpretasikan sebagai
pola pengaliran (Gambar 4.5) Dendritik dan Subdendtritik.

Gambar 4.5. Peta pola pengaliran Dendritic dan Subdendritik daerah penelitia.

1. Pola Pengaliran Dendritik


Pola pengaliran sungai aliran dendritik adalah pola aliran yang
cabangcabang sungainya menyerupai struktur pohon. Pada umumnya pola aliran
sungai dendritik dikontrol oleh litologi batuan yang homogen, pola pengaliran ini

37
meliputi daerah penelitian yang berkembang pada Satuan Geomorfologi
Bergelombang kuat - perbukitan Struktural (S9), Satuan Geomorfologi
Bergelombang kuat - perbukitan Denudasional (D2), Satuan Geomorfologi
Bergelombang lemah - kuat Denudasional (D1), Satuan Geomorfologi dataran -
Bergelombang lemah fluvial (F7).
2. Pola Pengaliran Sub-dendritik
Pola pengaliran sungai aliran sub-dendritik adalah pola aliran ubahan yang
cabang-cabang sungainya juga menyerupai struktur pohon tetapi yang lebih kecil.
Pada umumnya pola aliran sungai dendritik dikontrol oleh litologi batuan yang
homogen, pola pengaliran ini meliputi daerah penelitian yang berkembang pada
Satuan Geomorfologi Bergelombang kuat - perbukitan Struktural (S9), Satuan
Geomorfologi Bergelombang lemah - kuat Denudasional (D1).

4.1.3. Stadia Sungai Daerah Penelitian


Daerah penelitian memiliki stadia sungai dewasa. Stadia sungai dewasa
(Gambar 4.6) dicirikan oleh kecepatan aliran yang berkurang, kemiringan sungai
sedang, dataran banjir mulai terbentuk, mulai terbentuk meander sungai, erosi ke
samping lebih kuat dibanding erosi vertikal.

Gambar 4.6. Kenampakan jejak aliran sungai yang memiliki bentuk“U”


menunjukkan perkembangan erosi horizontal pada foto yang
diambil pada LP 53 dengan arah foto N 278º E.

38
4.1.4. Stadia Daerah Penelitian
Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses
geomorfologi. Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan
seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya. Menurut
Lobeck (1939), stadia dapat dikelompokkan menjadi empat (4) yaitu muda,
dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenation).
Tingkat kedewasaan suatu daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan
bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di daerah penelitian. Kondisi
bentang alam di daerah penelitian secara dominan telah dipengaruhi oleh proses
eksogenik yang sangat intensif, sehingga memperlihatkan adanya bukit sisa erosi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, keadaan morfologi di daerah penelitian
terhadap model tingkat stadia menurut Lobeck (1939) termaksuk dalam stadia
sungai dewasa, (Gambar 4.7).

Gambar 4.7. Stadia daerah penelitian menurut Lobeck (1939) mencerminkan


stadia dewasa.

4.2. Stratigrafi Daerah Penelitian


Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan geologi regional Lembar Majenang
(Kastowo Dan Suwarna, 1996), termasuk ke dalam dua (2) Formasi yang dimulai
dari tua ke muda yaitu Formasi Halang dan Formasi Tapak. Berdasarkan hasil
survei pendahuluan, daerah penelitian hanya terbagi menjadi empat (4) satuan
batuan, yakni 3 satuan litologi dari Formasi Halang dan 1 satuan Endapan pasir
kerikil (Quarter Aluvium). Hal tersebut berdasarkan pada kesamaan ciri fisik

39
litologi yang dapat diamati di lapangan. Proses penamaan ketiga satuan tersebut
mengacu pada Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo & Djuhaeni, 1996) yaitu
litostratigrafi tak resmi, penamaan satuan berdasarkan pada litologi yang dominan
pada penyusun satuan tersebut dan diikuti nama formasinya.

Adapun satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian dari tua ke muda
yaitu satuan batupasir karbonatan Halang, satuan batulempung karbonatan Halang,
satuan tuff Halang dan satuan endapan lempung-kerakal (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Kolom strartigrafi daerah penelitian

4.2.1. Satuan batupasir karbonatan Halang

Satuan batupasir karbonatan Halang merupakan salah satu satuan tertua


yang tersingkap di daerah penelitian. Berdasarkan ciri fisik satuan di lapangan dan
dengan memperhatikan tata cara penamaan satuan litostratigrafi tak resmi (Komisi
Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996) dan didasarkan pada stratigrafi geologi regional
Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996), satuan ini dapat dikorelasikan
dengan Formasi Halang, maka satuan ini diberi nama satuan batupasir karbonatan
Halang.

40
1. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan litologi batupasir karbonatan Halang menempati kurang lebih 38%
luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran batuan berarah Utara dan
Selatan. Berdasarkan penampang A-A’ dilakukan perhitungan ketebalan
berdasarkan panjang sayatan tegak lurus dip dan di kali dengan skala maka di
dapatkan ketebalan ±3,617 meter (Lampiran Lepas 2, Peta Geologi)
2. Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun oleh litologi Batupasir karbonatan (Gambar 4.8). Secara
megaskopis memiliki kenampakan warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk
putih kekuningan, tektur klastik, struktur berlapis - masif. kemas terbuka, sortasi
buruk, ukuran butir halus - sedang, bentuk butir menyudut - menyudut tanggung,
bereaksi kuat dengan HCl. dan pada beberapa lokasi daerah penelitian ini juga
terdapat sisipan litologi Batulempung karbonatan serta litologi Breksi Andesit,
satuan litologi Breksi andesit memiliki kenampakan warna segar abu-abu
kehitaman warna lapuk kuning kemerahan, komposisi litik, gelas piroklastik,
felspar, struktur masif, dengan fragmen berwarna lapuk abu-abu kehitaman dan
warna segar abuabu, struktur, komposisi litik, dan beberapa mineral mafik yang
tidak teramati dengan baik.

Gambar 4.8. Singkapan satuan batupasir karbonatan Halang. Arah foto N 220º E. Foto
diambil pada LP 26.

41
3. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan terhadap ciri fisik
Formasi Halang pada stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan batupasir karbonatan Halang ini berada pada umur Miosen akhir
bawah hingga Pliosen, jika dilihat pada stratigrafi regional dan daerah penelitian
(Tabel 4.1).

Mengacu pada stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996)


lingkungan pengendapan satuan ini berada pada lingkungan laut dalam.

Tabel 4.2. Kolom litologi Satuan batupasirkarbonatan Halang.

4. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian, hasil
rekonstruksi penampang geologi A-A’, B-B’ dan C-C’ (Lampiran Lepas 2, peta
geologi), serta mengacu pada stratigrafi regional Lembar Majenang (Kastowo Dan
Suwarna, 1996), maka peneliti berkesimpulan hubungan stratigrafi menjari dengan
litologi batulempung karbonatan bagian bawah hingga tengah dan Tuff pada
bagian tengah yang berasal dari Formasi Halang (Tabel 4.2). satuan karbonatan
Halang ini merupakan satuan yang paling tua sampai termuda yang tersingkap di
daerah penelitian.

42
4.2.2. Satuan batulempung karbonatan Halang
Satuan batulempung karbonatan Halang merupakan satuan yang terendapkan
bersamaan dengan satuan batupasir karbonatan Halang pada bagian bawah hingga
ke tengah, serta bersmaan juga dengan tuff Halang pada bagian tengah.
Berdasarkan ciri fisik satuan batuan di lapangan dengan memperhatikan tata cara
penamaan satuan lithostratigrafi tak resmi (Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia,
1996) dan didasarkan pada kolom stratigrafi peta Lembar Majenang (Kastowo Dan
Suwarna, 1996), maka satuan ini dapat dikorelasikan dengan Formasi Halang dan
diberi nama satuan batulempung karbonatan Halang.

Gambar 4.9. Singkapan satuan batulempung karbonatan Halang.


Arah foto N 290º E Foto berada pada LP 36.

1. Penyebaran dan Ketebalan


Satuan batulempung karbonatan Halang menempati kurang lebih 30% dari
luas daerah penelitian dan mempunyai penyebaran yang realtif berarah Timur.
Berdasarkan penampang A-A’ dilakukan perhitungan ketebalan berdasarkan
panjang sayatan tegak lurus dip dan di kali dengan skala maka di dapatkan
ketebalan ±2,980 meter (Lampiran Lepas 2, Peta Geologi).

2. Litologi Penyusun
Satuan ini tersusun oleh litologi Batulempung karbonatan (Gambar 4.9).
Batulempung karbonatan ini secara megaskopis memiliki kenampakan warna

43
segar abu-abu kehitaman, warna lapuk abu-abu keputihan, tektur klastik, struktur
berlapis. kemas terbuka, sortasi buruk, bentuk butir menyudut tanggung -
menyudut, ukiran butir pasir sedang-kasar, bereaksi kuat dengan HCl. pada
beberapa lokasi penelitian ini juga ditemukan sisipan litologi berupa Batupasir
karbonatan (serta perulangan) namun satuan Batulempung karbonatan ini lebih
dominan. litologi Batupasir karbonatan Halang ini secara megaskopis memiliki
warna abu-abu keputihan, warna lapuk kuning keputih-putihan, tekstur klastik,
stkutur berlapis - laminasi, sortasi baik, kemas tertutup, Serta bereaksi juga dengan
HCl.

3. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan terhadap ciri fisik
Formasi Halang pada stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan batulempung karbonatan Halang ini berada pada umur Miosen akhir
Bawah hingga Miosen Akhir Atas, jika dilihat pada stratigrafi regional dan daerah
penelitian (Tabel 4.2). Mengacu pada stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan
Suwarna, 1996) lingkungan pengendapan satuan ini berada pada lingkungan laut
dalam.

4. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian, hasil
rekonstruksi penampang geologi B-B’ dan C-C’ (Lampiran Lepas 2, peta geologi),
serta mengacu pada stratigrafi regional Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna,
1996), maka peneliti berkesimpulan hubungan stratigrafi menjari dengan litologi
batupasir karbonatan bagian bawah hingga tengah dan Tuff yang pada bagian
tengah dari Formasi Halang (Tabel 4.3). satuan batulempung karbonatan Halang
ini juga merupakan satuan yang paling tua bersamaan dengan batupasir karbonatan
Halang pada daerah penelitian.

44
Tabel 4.3. Kolom litologi Satuan batulempung karbonatan Halang

4.2.3. Satuan tuff Halang

Satuan tuff Halang merupakan satuan yang terendapkan pada bagian darat
akibat aktivitas vulkanisme yang terus meningkat bersamaan dengan satuan
batulempung karbonatan Halang dan batupasir karbonatan Halang pada
sedimentasi di laut dalam.

Berdasarkan ciri fisik satuan batuan di lapangan dengan memperhatikan tata


cara penamaan satuan lithostratigrafi tak resmi (Komisi Sandi Stratigrafi
Indonesia, 1996) dan didasarkan pada kolom stratigrafi peta Lembar Majenang
(Kastowo Dan Suwarna, 1996), maka satuan ini dapat dikorelasikan dengan
Formasi Halang dan diberi nama satuan tuff Halang

45
Gambar 4.10. Singkapan satuan litologi tuff Halang. Arah foto N 230º E.
Foto berada pada LP 2.

5. Penyebaran dan Ketebalan


Satuan tuff Halang menempati kurang lebih 20% dari luas daerah penelitian
dan mempunyai penyebaran yang realtif berarah Barat Daya. Berdasarkan
penampang A-A’ dilakukan perhitungan ketebalan berdasarkan panjang sayatan
tegak lurus dip dan di kali dengan skala maka di dapatkan ketebalan ±277.7 meter
(Lampiran Lepas 2, Peta Geologi).
6. Litologi Penyusun
Satuan tuff Halang, Satuan ini tersusun oleh tuff (Gambar 4.10). Secara
megaskopis satuan ini memiliki kenampakan warna segar putih keabu-abuan
,warna lapuk putih kekuning-kuningan, tektur klastik, struktur berlapis - masif.
kemas terbuka, sortasi buruk, bentuk butir menyudut - menyudut tanggung tidak
bereaksi dengan HCl. dan pada beberapa lokasi daerah penelitian ini juga
ditemukan sisipan litologi batulempung, namun tidak dominan, dan hanya terdapat
di beberapa spot pada daerah penelitian. Litologi batulempung secara megaskopis

46
memiliki kenampakan warna abu - abu keputih-putihan, warna lapuk abu-abu
kehijauan, tekstur klastik, struktur berlapis - laminasi, kemas tertutup, sortasi baik.
ukuran butir membulat - membulat tanggung bereaksi lemah dengan HCl.
7. Umur dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan terhadap ciri fisik
Formasi Halang pada stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan tuff Halang ini berada pada umur Pliosen bagian bawah jika dilihat
pada stratigrafi regional dan daerah penelitian (Tabel 4.1). Mengacu pada
stratigrafi Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996) lingkungan
pengendapan satuan ini berada pada lingkungan darat
8. Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian, hasil
rekonstruksi penampang geologi A-A’ dan B-B’ (Lampiran Lepas 2, peta geologi),
serta mengacu pada stratigrafi regional Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna,
1996), maka peneliti berkesimpulan hubungan stratigrafi menjari dengan litologi
batupasir karbonatan dan batulempung karbonatan pada bagian tengah dari
Formasi Halang (Tabel 4.1). satuan tuf Halang ini merupakan satuan yang berbeda
lingkungan pengendapan serta sumber litologi pada daerah penelitian.

Tabel 4.4. Kolom litologi Satuan tuff Halang

47
4.2.4. Satuan Endapan lempung-kerikil
Satuan endapan lempung-kerikil merupakan satuan yang terendapkan setelah
satuan batupasir Formasi Halang yang paling atas. Satuan ini tersusun oleh
endapan sedimen yang berukuran dari lempung-kerakal. Berdasarkan ciri fisik
satuan endapan di lapangan dengan memperhatikan tata cara penamaan satuan
lithostratigrafi tak resmi (Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996) dan didasarkan
pada kolom stratigrafi peta Lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan ini dapat dikorelasikan dengan Aluvium dan diberi nama satuan
endapan lempung-kerakal.

1. Penyebaran dan ketebalan


Satuan endapan lempung-kerikal menempati kurang lebih 12% dari luas
daerah penelitian dan mempunyai penyebaran yang realtif berarah Barat Laut.
Berdasarkan ketebalan yang tersingkap di permukaan didapatkan ketebalan ±1,5
meter (Lampiran Lepas 2, Peta Geologi).
2. Penyusun endapan
Satuan ini tersusun oleh endapan (Gambar 4.11), dengan warna lapuk
abuabu cerah dan warna segar abu-abu kehitaman, memilki ukuran butir dari
lempunglanau. (Gambar 4.9).

Gambar 4.11. Satuan Endapan lempung-Kerakal. Arah foto N 290º E. Foto


berada pada LP 93.

48
3. Umur dan lingkungan pengendapan
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan terhadap ciri fisik
Aluvium pada stratigrafi regional Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996),
maka satuan endapan lempung-kerikil ini berumur Holosen (Tabel 4.1).
Mengacu Kastowo Dan Suwarna (1996) lingkungan pengendapan satuan ini
berada di darat.
4. Hubungan stratigrafi
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian, hasil
rekonstruksi penampang geologi A-A’ dan B-B’ (Lampiran Lepas 2, peta
geologi), serta mengacu pada stratigrafi geologi regional Lembar Majenang
(Kastowo Dan Suwarna, 1996), maka peneliti berkesimpulan hubungan
stratigrafi antara satuan endapan lempung-kerakal dengan satuan di bawahnya
ialah ketidak selarasan (unconformity). (Tabel 4.5)

Tabel 4.5. Kolom litologi satuan endapan lempung-Kerakal

4.2.5. Korelasi Kolom Stratigrafi Regional dan Daerah Penelitian


Berdasarkan hasil survei pendahuluan pada daerah penelitian, dijumpai
pengelompokan satuan batuan pada lokasi penelitian yaitu berupa Satuan
batupasir karbonatan Halang, Satuan batulempung karbonatan Halang, satuan tuff
Halang dan Satuan endapan lempung-kerakal. Dilakukan korelasi antara kolom
stratigrafi geologi regional dengan kolom stratigrafi daerah penelitian (Tabel 4.4).
Jika dikorelasikan dapat dikatakan sesuai dengan kolom stratigrafi peta geologi
regional lembar Majenang Majenang (Kastowo Dan Suwarna, (1996), serta
hubungan stratigrafi antara satuan tercermin pada kedua kolom stratigrafi.
Keterangan formasi pada kolom stratigrafi peta geologi regional berupa
Tmph (Tertiary Miocene Pliosen Halang) pada kolom stratigrafi daerah penelitian
merupakan Formasi Halang, kemudian hubungan dengan satuan di atasnya Qa

49
(Quartery aluvium) dari satuan endapan lempung-kerakal memiliki hubungan
tidak selaras (Unconformity) karena memiliki perberbedaan waktu pengendapan
yang terbilang sangat jauh. Sedangkan untuk Satuan-satuan litologi dari Formasi
Halang pada peta geologi regional yang menunjukan waktu pengendapan dari
Miosen Akhir bagian bawah yang tebal dan semakin menipis kea arah atas pada
waktu
Pliosen. Hal tersebut mengindikasikan banyak satuan yang terbentuk dari Formasi
Halang. peniliti merekonstruksi stratigrafi sesuai penampang geologi AA’, B-B’
dan C-C’ untuk menentukan perlapisan paling bawah hingga paling atas.
Didapatkan satuan batupasir karbonatan Halang yang terbentuk di perlapisan
bawah hingga atas menjari dengan batulempung karbonatan Halang, serta tuff
Halang yang juga menjari dengan kedua litologi tersebut tetapi berada pada
bagian tengah atas namun tidak lebih muda dari batupasir karbonatan Halang.
Tabel 4.6. Kolom Korelasi Stratigrafi Daerah Penelitian
Dengan Stratigrafi Regional

50
4.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian dapat
diinterpretasikan berdasarkan pada pengamatan dan pengkajian peta geologi
regional, interpretasi peta topografi dan yang paling utama adalah data hasil
recognaissance yang berupa catatan, foto, dan pengukuran dari data–data struktur
dan unsur–unsur penyertanya yang ada pada daerah penelitian.

4.3.1 Struktur Antiklin Dermaji


Penamaan Antiklin Dermaji didasarkan pada sumbu lipatan yang melalui
daerah Dermaji. Antiklin Dermaji memiliki sumbu lipatan berarah Timur - Barat,
jurus dan kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu antiklin tersebut
saling bertolak belakang, dengan kedudukan umum dari sayap Selatan N 145 E /
28 miring ke arah Selatan dan kedudukan umum dari sayap Utara N 320 E / 41
miring ke arah Utara. Sumbu antiklin ini berada pada satuan batupasir karbonatan
Halang bagian Selatan – Tenggara daerah penelitian.
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam hal ini
dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964 dalam
Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut adalah 1110 yang didapat
berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat sehingga berdasarkan klasifikasi
tersebut jenis dari lipatan ini adalah Gentle.

Gambar 4.12. Rekonstruksi Antiklin Dermaji

51
4.3.2 Struktur Antiklin dan Sinklin Gilangkap
Penamaan Antiklin dan Sinklin Gilangkap didasarkan pada sumbu lipatan
yang melalui daerah Gilangkap. Struktur Lipatan pada daerah Gilangkap ini
terbagi menjadi dua, yang pertama struktur Antiklin yang berada pada bagian
Utara-timur Gilangkap dan yang kedua struktur Sinklin di bagian Selatan -timur di
daerah Gilangkap.
1. Struktur Antiklin Gilangkap
Antiklin Gilangkap bagian Utara memiliki sumbu lipatan berarah
Timur Laut– Barat Daya, jurus dan kemiringan lapisan batuan yang ada di
sekitar sumbu antiklin tersebut saling bertolak belakang, dengan
kedudukan umum dari sayap Utara N 235° E / 48° miring ke arah Utara
dan kedudukan umum dari sayap Selatan N 145°E / 33° miring ke arah
Selatan. Sumbu antiklin ini berada pada satuan batulempung karbonatan
Halang bagian Timur daerah penelitian.
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam
hal ini dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi
Fleuty (1964 dalam Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut
adalah 1000 yang didapat berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat
sehingga berdasarkan klasifikasi tersebut jenis dari lipatan ini adalah
Gentle.

Gambar 4.13. Rekonstruksi Antiklin Gilangkap

52
2. Struktur Sinlkin Gilangkap
Sinklin Gilangkap bagian Utara memiliki sumbu lipatan berarah
Timur Laut– Barat Daya, jurus dan kemiringan lapisan batuan yang ada di
sekitar sumbu Sinklin tersebut saling mendekat, dengan kedudukan umum
dari sayap Utara N 235° E / 33° miring ke arah Selatan dan kedudukan
umum dari sayap Selatan N 145 E / 41° miring ke arah Utara. Sumbu
antiklin ini berada pada satuan batulempung karbonatan Halang bagian
Timur daerah penelitian.
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam
hal ini dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi
Fleuty (1964 dalam Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut
adalah 1050 yang didapat berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat
sehingga berdasarkan klasifikasi tersebut jenis dari lipatan ini adalah
Gentle.

Gambar 4.14. Rekonstruksi Sinklin Gilangkap

4.3.3 Struktur Sinklin Bengbulang


Penamaan Sinklin Bengbulang didasarkan pada sumbu lipatan yang
melalui daerah Bengbulan. Sntiklin Bengbulan memiliki sumbu lipatan berarah
Timur-
Barat, jurus dan kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu Sinklin
tersebut saling mendekat, dengan kedudukan umum dari sayap Selatan N145 E/

53
48° miring ke arah Utara dan kedudukan umum dari sayap Utara N 320° E / 54°
miring ke arah Sealatan. Sumbu antiklin ini berada pada satuan batupasir
karbonatan Halang bagian Timur daerah penelitian.

Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam hal ini
dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964 dalam
Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut adalah 790 yang didapat
berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat sehingga berdasarkan klasifikasi
tersebut jenis dari lipatan ini adalah Gentle.

Gambar 4.15. Rekonstruksi Sinklin Bengbulang

4.3.4 Struktur Antiklin Sidamulya


Penamaan Antiklin Sidamulya didasarkan pada sumbu lipatan yang melalui
daerah Sidamulya. Antiklin Sidamulya memiliki sumbu lipatan berarah Tenggara
– Barat Laut, jurus dan kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu
antiklin tersebut saling bertolak belakang, dengan kedudukan umum dari sayap
Timur Laut N 145° E / 52° miring ke arah Timur Laut dan kedudukan umum dari
Barat Daya N 320° E / 42° miring ke arah Barat Daya. Sumbu antiklin ini berada
pada satuan batupasir karbonatan Halang bagian Utara – Ttimur Laut daerah
penelitian.

54
Analisis lipatan dilakukan untuk mengetahui jenis lipatan, dalam hal ini
dilakukan rekonstruksi Interlimb Angle berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964 dalam
Prastistho, 1999) Interlimb Angle dari lipatan tersebut adalah 870 yang didapat
berdasarkan kedudukan batuan yang terdekat sehingga berdasarkan klasifikasi
tersebut jenis dari lipatan ini adalah Gentle.

Gambar 4.16. Rekonstruksi Antiklin Sidamulya

4.3.5 Struktur Sesar Mengkiri Karangpucung


Penamaan sesar Karangpucung didasarkan pada jalur sesar yang berada di
daerah Karangpucung. Penempatan sesar tersebut dalam peta geologi daerah
penelitian (lampiran lepas 2, peta geologi) hanya berdasarkan pada data peta
geologi regional lembar Majenang (Kastowo Dan Suwarna, 1996), serta juga
digabungkan dengan nilai strike/dip dari sinkapan yang tidak beraturan, dan
topografi pada lokasi jalur sesar.

Peneliti juga belum menemukan titik lokasi kenampakan struktur sesar


tersebut dilapangan, juga tidak menemukan data pendukung lainya seperti kekar
untuk bisa merekonstruksi/ menganalisis sesar lebih lanjut, yang dapat
menentukan seperti apa jenis sesar tersebut secara detail. namun peneliti dapat
menyimpulkan bahwa daerah tersebut merupakan struktur sesar mengkiri jika
dilihat dari gabungan data yang telah ada.

55
BAB V
JADWAL PELAKSANAAN DAN
RANCANGAN ANGGARAN BIAYA

5.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian


Pada bab ini menjelaskan terkait jadwal pelaksanaan yang dibuat untuk
mempermudah dalam pelaksanaan Tugas Akhir supaya memiliki target yang
akan dicapai, sehingga peneliti dapat menyelesaikannya tepat pada waktunya,
jadwal ini (Tabel 5.1) dibuat secara sistematik mulai dari tahap persiapan atau
tahap awal sampai tahap akhir dengan harapan progres dari pengerjaan Tugas
Akhir dapat dievaluasi setiap tahapnya.

Tabel 5.1 Jadwal Pelaksanaan Skripsi

5.2 Rencana Angaran Biaya


Dalam melakukan penelitian Tugas Akhir ini untuk mencapai tujuan, peneliti
membuat daftar Rencana Anggaran Biaya (RAB) (Tabel 5.2).

56
Tabel 5.2 Rencana Angaran Biaya Penelitian
Bahan Habis Pakai

No Keterangan Jumlah Harga Biaya

1 Kertas A4 6 Rim @ Rp 45.000 Rp


270.000
2 Catridge printer 4 Buah @ Rp 250.000 Rp 1.000.000

3 Perizinan Rp
250.000
4 Pembuatan proposal Rp
TA 100.000
Total Biaya Rp
1.620.000

Peralatan Lapang an

No Keterangan Jumlah Harga Biaya

1 Sewa palu + kompas + lup 6 Hari @ Rp Rp


83.000 500.000
2 Sewa GPS 6 Hari @ Rp Rp
25.000 150.000
3 Larutan HCl 1L @ Rp Rp
50.000 50.000
4 Plastik sampel Rp
25.000
Total Biaya Rp 725.000

57
Kegiatan Penelitian Lapangan

No Keterangan Jumlah Satuan Biaya

Reconnaissance
1 Rp. 1.500.000

Transportasi (sewa 6 Hari @ Rp 120.000


2
motor) 2 Unit Rp 1.440.000
Penginapan
3 6 Hari @ Rp 100.000 Rp
600.000
4 Konsumsi 6 Hari @ Rp 250.000 Rp 1.500.000

5 Bensin 11 Kali @ Rp Rp
70.000 770.000
Total Biaya Rp 5.810.000

Ujian TA 1

No Keterangan Jumlah Satuan Biaya


Ujian TA 1

Pendaftaran Ujian @ Rp 150.000 Rp 150.000


TA 1
Print Peta LP,
Geomorfologi,
1 Geologi, Rencana @ Rp Rp
Lintasan 10 buah 15.000 150.000
Print Laporan 3 @ Rp Rp 180.000
Penelitian buah 60.000
Konsumsi Ujian 3 buah @ Rp Rp
TA 1 80.000 240.000
Total Biaya Rp
720.000
Lain-lain

No Keterangan Jumlah Satuan Biaya


1 Print peta selama 6 buah @ Rp Rp
bimbingan 15.000 90.000
2 Jilid Rp
40.000

58
Total Biaya Rp 130.000

Biaya Tak Terduga Rp


100.000

Biaya Analisis Laboratorium

No Keterangan Jumlah Satuan Biaya


1 Analisis Petrografi 6 Sampel @ Rp Rp
60.000 360.000
2 Analisis Paleontologi 21 @ Rp 40.000 Rp
Sampel 840.000
Total Biaya Rp 1.200.000

Total Keseluruhan Biaya Penelitian TA 1

1 Bahan habis pakai Rp


1.620.000
2 Peralatan lapangan Rp
725.000
3 Kegiatan penelitian lapangan Rp
5.820.000
4 Ujian TA 1 Rp
720.000
5 Lain-lain Rp
130.000
6 Biaya tak terduga Rp
100.000
7 Analisis laboratorium 1.200.000
Total Biaya Penelitian Rp 10.315.000

59
BAB VI
RENCANA LINTASAN

Rencana lintasan merupakan suatu rencana kegiatan untuk mengenal


suatu daerah yang dipetakan kondisi geologinya dengan mengikuti jalur lintasan
yang telah ditentukan. Pemilihan arah lintasan melalui pertimbangan tertentu, yaitu
:
1. Diharapkan akan dijumpai banyak singkapan serta unsur-unsur geologi
lainnya seperti pada tebing perpotongan jalan dan dinding sungai.
2. Kesampaian medan tidak terlalu sulit untuk ditempuh.
3. Dapat mendukung lintasan lainnya dalam pembuatan peta geologi.
4. Lintasan umumnya memotong umum jurus perlapisan batuan yang
berarah relatif Timur Laut-Barat Daya.
5. Lintasan diusahakan melewati semua jenis variasi batuan.
Secara teknis, pada setiap lokasi pengamatan dilakukan pencatatan, pengumpulan
data dan pengukuran pada gejala-gejala geologi yang meliputi :
1. Kondisi singkapan baik fisik, kedudukan lapisan batuan maupun
hubungan dengan singkapan satuan lainnya.
2. Keadaan struktur geologi serta gejala tektonik dan stratigrafi pada batuan.
3. Pengamatan batuan secara megaskopis yang mencakup warna, tekstur,
struktur dan komposisi batuan.
4. Pengambilan contoh batuan untuk analisis laboratorium.
5. Pengamatan kondisi geomorfologi.
6. Pengamatan terhadap jenis serta vegetasi di sekitar singkapan.
7. Pengambilan dokumentasi baik berupa sketsa atau foto.
Tujuan dari pembuatan rencana lintasan agar dapat terkumpulnya data
geologi dengan sistem yang efektif dan efisien sebagai dasar untuk penggambaran
peta geologi sehingga jalur yang dilalui dapat memberikan gambaran yang bersifat
menyeluruh.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan (reconnaissance) serta peta
interpretasi geologi yang telah disusun, maka dibuat tiga lintasan sesuai dengan

60
pertimbangan di atas. Lintasan yang direncanakan untuk melakukan pemetaan
detail di daerah penelitian adalah sebagai berikut :
1. Lintasan 1
Pada lintasan pertama dimaksudkan untuk memperoleh data hubungan
antara satuan batupasir karbonatan Halang dan satuan tuff Halang. Untuk
memperoleh data secara lebih rinci.

2. Lintasan 2
Pada lintasan kedua ini dimaksudkan untuk memperoleh data
hubungan batupasir karbonatan Halang dan satuan batulempung karbonatan
Halang.
Serta mencari data struktur lipatan yang terlihat pada peta geologi regional.

3. Lintasan 3
Pada lintasan ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh data
hubungan antara satuan endapan lempung-kerakal dan satuan batulempung
karbonatan Halang, batupasir karbonatan Halang serta tuff halang. Lintasan
ini berupa lintasan terbuka dan diharapkan mendapatkan data pendukung
berupa variasi litologi dan struktur geologi untuk melengkapi data
sebelumnya.

4. Lintasan 4
Pada lintasan ketiga ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran
endapan maupun litologi yang berkembang pada daerah utara /Tinggian dari
daerah penelitian. disisi lain untuk mencari data struktur sebagai penciri pola
kontur pada topografi yang memungkinkan adanya anomaly.

61
Gambar 6.1. Peta Rencana Lintasan

62
DAFTAR PUSTAKA

Blow, W. H. dan Postuma, J. A., 1969, Range Chart, Late Miosen to Recent
Planktonic Foraminifera Biostratigraphy.
Bronto, S. dan Hartono, H.G. 2001. Panduan Ekskursi Geologi Kuliah
Lapangan2. STTNAS: Yogyakarta.
Fleuty, M. J., 1964. The description of folds. Geologists’ Association,
London.
Guntoro, A., 1996. Tectonic Evolution and Crustal Structure of The
Central Indonesia Region from Java’s Structure, Gravity, and Other
GeophysicalData. Phd Thesis, University of London.
Howard, A. D., 1967, Drainage Analysis in Geologic Interpretation.
Bulletin AAP., Vol. 51 No. 11.
Le Maitre, R. W., Streckeisen, A., Zanettin, B., Le Bas, M. J., Bonin, B.,
dan Bateman, P., 2002. Igneous rocks: a classification and glossary of
terms: Recommendations of the International Union of Geological
Sciences Subcommission on the Systematics of Igneous Rocks.
Cambridge University Press. Ltd, West Sussex.
Lisle, R.J., 2004. Geological Structures and Maps; A Practical Guide,
Third Edition, Elsevier Butterworth-Heinemann, Cardiff University.
Lobeck A.K., 1939. Geomorphology, New York and London, Mc Graw- Hill
Book Company Inc.
Martodjojo, S. dan Djuhaeni., 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi
Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta.
Martodjojo, S. Samodra, H. dan Sidarto., 2013, Hubungan Lembah Sadeng,
Cekungan Baturetno Dan Teras Bengawan Solo, Jawa Bagian
Tengah, JSD.Geol. Vol. 23 No. 3.
Moody, J., dan Hill, M. J., 1956. Wrench-fault tectonics. Geological Society
of America Bulletin, 67(9), 1207-1246.
O’Dunn, S., dan Sill, W.D., (1986), Exploring Geology: Introductory
Laboratory Activities, A Peek Publication.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks, 3rd ed., Harper and Row
Publishing Co., New York, 628h.

63
Prasetyadi, C., 2008, Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur,
Desertasi, Program Doktor Teknik Geologi, Institut Teknologi
Bandung (tidak dipublikasikan).
Streckeisen, A. L., 1978, IUGS Subcommision of Sistematics of Igneous
Rocks. Classification and Nomenclature of Volcanic Rocks,
Lamprophyres, Carbonatite, and Melilite Rocks. Recomendations and
Suggestions. Neues Jahruch fur Mineralogie, Abhandlungen, Vol.141,
1-14.
Sumarso dan Ismoyowati, T., 1975. A contribution to the stratigraphy of the Jiwo
Hills and their southern surroundings. Proceedings of 4th Annual
Convention of Indonesia Petroleum Association, Jakarta, II, h.19-26.
Smyth, H.R., Hall, R., Hamilton, J., & Kinny, P., 2003. Volcanic origin of
quarzt-rich sedimen in East Java. Proccedings Indonesian Petroleum
Association, 29th Annual Convention, pp. 541-559.
Thornbury W.D., 1969, Principles of Geomorphology, New York, John
Willey and Sons.
Twiss, R. J. and Moores, E. M., 1992, Structural geology. W. H. Freeman
dan Co., New York. van Bemmelen R.W., 1949. The Geology of Indonesia.
The Goge, Martinus Nijhoff, vol.IA.
van Zuidam R.A. and van Zuidam-Cancelado F.I., 1979, Terrain Analysis
and Classification Using Aerial Photograph: A Geomorphological
Approach, International Institute for Aerial Survey and Earth
Sciences (ITC), The Netherlands.
van Zuidam, R. A., 1983. Guide to Geomorphologic Aerial Photographic
Interpretation and Mapping, ITC, Netherlands.
Wenworth, C.K., 1922. A Scale of Grade and Class Term for Clastic
Sediments Journal of Geology, Vol. XXX: 377-392.

64
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai