Anda di halaman 1dari 31

BAB III

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian

Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses


eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses yang terjadi di
permukaan dan bersifat destruktif seperti erosi dan pelapukan. Proses endogen adalah
proses yang terjadi di bawah permukaan dan bersifat konstruktif seperti
pengangkatan, perlipatan, pematahan, dan vulkanisme. Berdasarkan analisa
geomorfologi yang akan dijabarkan kemudian, proses-proses geologi yang pernah
terjadi dapat diketahui beserta kecenderungannya dalam membentuk bentang alam
saat ini.

Metode yang digunakan dalam melakukan analisa ini adalah dengan analisa
peta topografi, peta DEM (Digital Elevation Model) dan pengamatan langsung di
lapangan. Analisa terhadap kedua peta tersebut menghasilkan data kelurusan lereng,
kelurusan sungai, pola kontur ketinggian, pola sungai, bentuk dataran dan pola
kemiringan lereng. Data tersebut diolah dan dianalisa untuk memperkirakan
kemungkinan proses-proses geologi yang berperan dan selanjutnya untuk penentuan
satuan geomorfologi berdasarkan tata cara penamaan Lobeck (1939). Hasil dari tahap
ini adalah pembuatan peta geomorfologi dan peta pola aliran serta tipe genetik
sungai. Berdasarkan tata cara penamaan Lobeck (1939), daerah penelitian dapat
dibagi menjadi tiga satuan geomorfologi yaitu: Satuan Lembah Homoklin, Satuan
Perbukitan Homoklin, dan Satuan Perbukitan Bergelombang (Lampiran C-2).

3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian

Secara umum, morfologi daerah penelitian teramati berupa


perbukitan, punggungan dan lembahan. Perbukitan dan punggungan dicirikan
dengan relief yang kasar dan pola kontur yang rapat. Pada gambar 7,

16
perbukitan dan punggungan diperlihatkan dengan berwarna hijau hingga
jingga. bentukan punggungan terlihat pada tengah dan timur laut daerah
penelitian, memperlihatkan kontur rapat yang memanjang. Bentukan
perbukitan dan punggungan tersebut menandakan batuan penyusun
merupakan batuan yang relatif resisten terhadap proses eksogen. Bentukan
lembahan pada daerah penelitian diperlihatkan dengan warna biru, dicirikan
dengan relief yang halus dan pola kontur yang sangat renggang. Bentukan
lembahan ini menandakan batuan penyusun merupakan batuan yang kurang
resisten terhadap proses eksogen.

Gambar 7. Kenampakan DEM pada daerah penelitian. Kotak merah


menandakan batas daerah penelitian.

Berdasarkan analisis citra radar SRTM, bentuk morfologi daerah


penelitian dapat di bagi menjadi perbukitan bergelombang di bagian barat,
perbukitan yang memanjang pada bagian tengah dan timur laut, serta dataran
lembah yang relatif landai pada bagian timur daerah penelitian.

17
Gambar 8. Kenampakan 3D morfologi pada daerah penelitian berdasarkan DEM.

Kemiringan lereng pada daerah penelitian, teramati datar hingga agak


curam. Bentuk lembah sungai sebagian besar memperlihatkan erosi lateral
lebih dominan di bandingkan dengan erosi vertikal. Sungai-sungai ini
memotong perbukitan dan punggungan pada bagian barat daerah penelitian,
sedangkan di bagian utara sungai-sungai lebih mengikuti lembahan yang
diapit punggungan. Berkembangnya jumlah sungai dan panjang sungai,
dominasi erosi lateral pada lembah sungai, dan morfologi perbukitan yang
dipotong oleh sungai-sungai membentuk lembahan, menandakan tahapan
geomorfik pada daerah ini adalah tahapan dewasa, dimana bentukan awal
morfologi sudah mengalami proses eksogen, namun belum terlalu
menghilangkan bentukan morfologi awal.

3.1.2 Pola Aliran dan Tipe Genetika Sungai

Pola aliran sungai di daerah penelitian di bagi berdasarkan bentuk


arah aliran dan genetik pola sungai. Pola aliran sungai umumnya merupakan
ekspresi dari karakteristik litologi dan kontrol struktur geologi yang
mempengaruhi daerah tersebut. Pola aliran sungai di daerah penelitian
memperlihatkan pola paralel dan mengalami transisi menjadi pola dendritik

18
pada bagian timur di luar daerah penelitian (Gambar 9). Pola paralel
merupakan pola yang di didominasi pengaruh kemiringan lereng, umumnya
pada daerah yang berlereng sedang-agak curam, meskipun pada daerah
penelitian pola aliran juga di pengaruhi oleh adanya sesar-sesar namun
pengaruh kemiringan lereng yang lebih mendominasi terbentuknya sungai-
sungai pada daerah ini. Dikarenakan pengaruh lereng tersebut, aliran sungai
akan terbentuk lurus dan sejajar, mengikuti dan sepanjang lereng kemiringan,
serta membentuk sudut lancip pada pertemuan sungai.

Gambar 9. Peta pola sungai pada daerah penelitian dan sekitarnya.

Secara genetik, berdasarkan klasifikasi Lobeck (1939), sungai dibagi


menjadi beberapa tipe genetik sungai, yaitu sungai konsekuen, sungai
subsekuen, sungai obsekuen, sungai resekuen, dan sungai insekuen. Pada
daerah penelitian, tipe gentik sungai yang hadir dan teramati antara lain
adalah sungai konsekuen, sungai subsekuen, dan sungai obsekuen.

Sungai konsekuen merupakan sungai awal pada sistem drainase yang


menempati pada akumulasi kemiringan suatu daerah. Sungai ini umumnya
panjang. Tipe sungai ini dapat diamati pada Sungai Dundang. Sungai ini
memanjang dan memotong daerah penelitian dari barat ke timur. Lembah
sungai ini mempunyai dataran banjir yang luas (Foto 1).

19
Foto 1. Lembah dan sungai tipe Konsekuen.

Sungai subsekuen merupakan sungai yang berkembang pada sungai


konsekuen sering dengan tahapan erosional. Sungai ini berkembang pada
zona-zona lemah dan jarang memotong batuan yang resisten pada suatu
daerah, seperti rekahan, sesar, dan batuan lebih tidak resisten. Oleh karena
itu, pada daerah yang mempunyai lapisan batuan yang bervariasi
resistensinya, sungai akan mengalir searah dengan jurus lapisan. Tipe sungai
ini diamati pada Sungai Same dan Sungai Seniur.

Sungai resekuen merupakan sungai yang mengalir searah dengan


kemiringan lapisan dan searah dengan sungai konsekuen. Meskipun
mempunyai arah yang sama dengan sungai konsekuen, sungai resekuen
merupakan sungai terbentuk atau berkembang pada tahapan erosional yang
lebih lanjut. Sungai ini biasa lebih pendek dari sungai konsekuen. Tipe
genetik ini dapat diamati pada Sungai Lolo.

20
Foto 2. Sungai tipe subsekuen. Memperlihatkan aliran sungai yang searah
dengan jurus batuan.

Foto 3. Sungai tipe resekuen. Memperlihatkan aliran sungai yang searah dengan
kemiringan batuan.

21
3.1.3 Pola Kelurusan Bukit dan Sungai

Bentukan morfologi bukit dan sungai sangat di pengaruhi oleh


karakteristik batuan dan struktur geologi yang bekerja pada daerah penelitian.
Pada analisis pola kelurusan bukit dan sungai, didapati 2 arah dominasi
kelurusan bukit, yaitu utara – selatan (N-S) dan baratlaut – tenggara (NW-
SE), sedangkan kelurusan sungai didapati 2 pola, yaitu baratlaut – tenggara
(NW-SE) dan barat-badaratdaya – timur-timurlaut (WSW-ENE)

Gambar 10. Peta dan diagram roset dari kelurusan bukit pada daerah
penelitian.

Pola utara – selatan (N-S) dan baratlaut – tenggara (NW-SE) kelurusan


bukit yang di perlihatkan pada gambar 10 diatas merupakan kontrol dari
struktur geologi dan karakteristik lapisan batuan yang resisten yang
dimanifestasikan dalam bentuk perbukitan. Kenampakan pola tersebut dapat
diamati dari persebaran jurus batuan yang diamati pada daerah penelitian.

22
Gambar 11. Peta dan diagram roset dari kelurusan sungai pada daerah
penelitian.

Pola baratlaut – tenggara (NW-SE) dan barat-badaratdaya – timur-


timurlaut (WSW-ENE) kelurusan sungai pada gambar 11 di atas merupakan
kontrol dari struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian. Pola
barat-badaratdaya – timur-timurlaut (WSW-ENE) yang membentuk aliran
sungai di barat daerah penelitian merupakan kontrol dari kemiringan umum
morfologi daerah penelitian. Morfologi tertinggi pada daerah penelitian
terletak pada daerah baratdaya dengan nilai ketinggian 235 mdpl, sedangkan
pada morfologi terendah terletak pada bagian timur daerah penelitian dengan
nilai ketinggian 5 mdpl, sehingga kemiringan umum morfologi berarah relatif
timur. Pada pola baratlaut – tenggara (NW-SE) kelurusan sungai, pola ini
lebih dikontrol oleh sesar yang terbentuk pada daerah penelitian, sehingga
sesar-sesar tersebut hadir sebagai bidang lemah dimana sungai akan terbentuk
sepanjang bidang lemah dibandingkan harus memotong batuan yang resisten.

23
3.1.4 Satuan Geomorfologi

Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian dilakukan


berdasarkan tata cara penamaan Lobeck (1939). Penamaan ini dilakukan
berdasarkan tipe genetik atau proses dan faktor penyebab terbentuknya
morfologi. Satuan geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga
satuan geomorfologi yaitu: Satuan Perbukitan Lembah Homoklin, Satuan
Perbukitan Homoklin, dan Satuan Perbukitan Bergelombang (Gambar 13).

Gambar 12. Peta geomorfologi daerah penelitian.

3.1.4.1 Satuan Lembah Homoklin

Satuan ini menempati ± 25% dari keseluruhan daerah


penelitian, berada di tenggara daerah penelitian dan diwarnai dengan
warna hijau pada peta geomorfologi.

24
Foto 4. Kenampakan morfologi dataran pada Satuan Lembah Homoklin

Satuan ini dicirikan oleh kerapatan kontur yang sangat


renggang dan relief yang halus. Kenampakan morfologi di lapangan
berupa dataran yang luas dengan ketinggian 35-5 mdpl (Foto 4).
Kenampakan relief yang halus dan morfologi dataran menandakan
batuan yang menyusun satuan ini didominasi batuan dengan tingkat
ketahanan yang rendah terhadap proses geomorfik. Lembah sungai
yang terdapat pada satuan ini menyerupai huruf “U”, dengan dataran
banjir sungai yang luas. Batuan yang menempati satuan ini adalah
batulempung dan batupasir, dimana batulempung merupakan batuan
yang dominan.

25
Foto 5. Kenampakan morfologi Satuan Lembah Homoklin.

3.1.4.2 Satuan Perbukitan Homoklin

Satuan ini menempati ±40% daerah penelitian, berada timur


laut dan di tengah, memanjang dari selatan hingga utara. Satuan ini
diwarnai dengan warna jingga pada peta geomorfologi.

Foto 6. Kenampakan morfologi perbukitan pada bagian tengah daerah


penelitian. Memperlihatkan kemiringan lereng yang seragam pada Satuan
Perbukitan Homoklin.

26
Satuan ini dicirikan oleh kontur yang cukup renggang dengan
pola memanjang dan relief sedang – kasar. Kenampakan morfologi
pada daerah penelitian berupa punggungan dan lembahan yang
memanjang dengan kemiringan relatif seragam, lereng yang landai
sampai agak curam, dan ketinggian 20-90 mdpl (Foto 6 dan Foto 7).
Kenampakan relief sedang-kasar dan morfologi punggungan dan
lembahan tersebut, menandakan batuan yang menempati satuan ini
disusun oleh batuan dengan tingkat ketahanan dari rendah hingga
cukup tinggi. Lembah sungai pada daerah ini membentuk huruf seperti
“U”, dengan dataran banjir yang cukup luas, namun tidak seluas pada
Satuan Lembah Homoklin. Batuan penyusun dari satuan ini antara
lain: batupasir, batubara dan batulempung.

Foto 7. Kenampakan morfologi perbukitan di bagian utara penelitian pada


Satuan Perbukitan Homoklin.

27
3.1.4.3 Satuan Perbukitan Bergelombang

Satuan ini menempati ±35% dari daerah penelitian, berada di


barat daerah penelitian, memanjang dari utara sampai selatan. Satuan
ini diwarnai dengan warna biru tua pada peta geomorfologi.

Foto 8. Kenampakan morfologi bukit bergelombang pada Satuan Perbukitan


Bergelombang.

Satuan ini dicirikan oleh kontur yang cukup rapat dan relief
yang sangat kasar. Kenampakan morfologi diamati berupa perbukitan-
perbukitan dengan kemiringan lereng agak curam-curam, dan
ketinggian berkisar dari 75-235mdpl. Kenampakan relief yang sangat
kasar dan morfologi perbukitan, menandakan batuan penyusun satuan
ini didominasi batuan dengan tingkat ketahanan yang tinggi terhadap
proses geomorfik. Bentukan lembah sungai didominasi dengan
bentukan seperti huruf “V” dengan dataran banjir yang tidak luas ,
karena umumnya sungai pada satuan ini merupakan bagian dari hulu
sungai, namun pada beberapa sungai besar bentukan lembah sungai
seperti huruf “U”. Batuan penyusun dari satuan ini terdiri dari
serpentinit dan tuf kasar.

28
3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian

Klasifikasi penamaan satuan stratigrafi pada daerah penelitian dilakukan


berdasarkan jenis batuan, keseragaman, dan ciri-ciri fisik batuan yang dapat diamati
di lapangan. Stratigrafi daerah penelitian (Gambar 13) dapat dikelompokkan menjadi
empat satuan litostratigrafi, yaitu Satuan Serpentinit, Satuan Tuf, Satuan
Batulempung dan Satuan Batulempung-Batupasir.

Gambar 13. Kolom stratigrafi umum daerah penelitian

29
3.2.1 Satuan Serpentinit

 Persebaran dan Ketebalan

Satuan Serpentinit menempati ± 30% dari luas daerah penelitian dan


menempati bagian barat yang memanjang dari selatan hingga utara daerah
penelitian. Satuan ini diwarnai dengan warna ungu pada peta geologi. Satuan
ini menempati satuan geomorfologi perbukitan bergelombang. Satuan ini
tersingkap pada sungai bagian hulu Sungai Dundang dan Sungai Lolo.

 Ciri Litologi

Liotologi penyusun satuan ini adalah serpentinit. Serpentinit, berwarna


hijau tua-muda, grano-nematoblas, butir kasar, terdiri dari mineral serpentin,
olivin, mika dan setempat terdapat rekahan yang diisi oleh kuarsa. Batuan ini
mengalami deformasi yang cukup intensif berdasarkan ditemukanya striasi
dan rekahan pada singkapan satuan ini.

Foto 9. Singkapan Satuan Serpentinit di daerah penelitian.(A) Kontak tidak selaras


(gariskunig) Satuan Serpentini padaKH-03; (B) Singkapan serpentinit pada lokasi
LL-10; (C) Singkapan serpentine pada lokasi LM-12.

30
Dari analisis petrografi (Lampiran A) conto sayatan serpentinit pada
lokasi singkapan LM-12, batuan ini terdiri atas mineral olivin yang sudah
terubahkan menjadi serpentin, klinopiroksen dan inklusif mineral opak,
dengan ukuran mineral 1-3mm. Terlihat juga struktur mesh-structure yang
merupakan penciri dari tekstur batuan serpentinit.

 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penulis tidak melakukan penentuan umur pada satuan ini. Namun, satuan
ini yang disusun batuan serpentinit, merupakan bagian dari Unit Ofiolitik dari
Kompleks Meratus yang berumur lebih tua dari Unit Rijang dari Kompleks
Meratus yang berumur Jura Tengah - Kapur Awal berdasarkan radiolaria
(Wakita, 2000) atau sekitar Trias Akhir – Jura Awal berdasarkan Pt-Os
dating oleh Conggon,dkk (2010) dalam Satyana (2014). Lingkungan
pembentuk dari Satuan Serpentinit adalah bagian dari lingkungan kerak
samudra (Wakita, 2000).

 Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Sesuai dengan ciri litologinya, Satuan Batuan Serpentinit pada daerah


penelitian dapat disetarakan dengan Unit Ofiolit dari Kompleks Meratus
yang berumur tidak lebih muda dari Jura Awal. Hubungan Satuan ini dengan
satuan di atasnya, yaitu Satuan Tuf dan Satuan Batulempung adalah tidak
selaras berdasarkan Wakita (2000), dibuktikan dengan ditemukanya kontak
tidak selaras yang di temukan pada stasiun KH-03 (Foto 9a) antara
perselingan batulempung-batupasir dengan batuan serpentinit.

3.2.2 Satuan Tuf

 Persebaran dan Ketebalan

Satuan Tuf menempati ±3% dari daerah penelitian dan menempati di


daerah selatan daerah penelitian. Satuan ini diwarnai dengan warna merah

31
muda pada peta geologi. Satuan ini menempati satuan geomorfologi
perbukitan bergelombang. Satuan ini tersingkap pada torehan dinding jalan
pada Desa Lolo, dimana sebagian besar kondisi singkapan lapuk. Ketebalan
satuan ini berdasarkan rekonstruksi penampang geologi ±200m.

Foto 10. Singkapan tuf kasar berfragmen polimik pada LL-22, yang
memperhilatkan struktur graded bedding.

 Ciri Litologi

Litologi penyusun satuan ini merupakan tuf. Tuf kasar berwana abu-abu
terang, dengan ukuran butir debu halus-kasar, menyudut-menyudut tanggung,
kemas terbuka, pemilahan buruk, getas, terdapat fragmen polimik dengan
ukuran lapili, litik vulkanik, kuarsa, nodul limonit dan setempat terdapat
mangan, masif. Struktur sedimen yang teramati pada singkapan berupa
graded bedding.

32
Foto 11. Fragmen polimik dari batu tuf kasar; (A) Fragmen kuarsa; (B) mangan;
(C) litik tuf.

 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Peneliti tidak melakukan penentuan umur pada satuan ini. Namun, satuan
ini yang disusun oleh batuan tuf, merupakan endapan vulkanik dari Formasi
Hatuyan yang berumur Kapur Akhir menurut Heryanto (1994) dalam Wakita
(2000).

Lingkungan pengendapan dari Satuan Tuf ini disimpulkan sebagai


endapan batuan vulkaniklastik pada bagian medial. Bagian medial di
dominasi oleh endapan lahar dan tuf (Gambar 14) dengan ukuran butir kasar-
sedang, bentuk butir yang meruncing sampai membundar, dan kemas yang
terbuka, dengan fragmen klastik yang berukuran lapili sampai blok (Bogie
dan Mackenzie, 1998; Bronto, 2006)

33
Gambar 14. Pembagian fasies pengendapan gunung api (Bogie dan
Mackenzie, 1998).

Ukuran klastika dari tuf pada singkapan yang ditemukan pada satuan ini
mempunyai ukuran butir berukuran debu kasar sampai halus dan ukuran
fragmen berukuran lapili dengan bentuk butiran agak membundar sampai
menyudut, pemilihan buruk, dan kemas terbuka. Hal tersebut
diinterpretasikan bahwa material sudah terbawa cukup jauh dari sumber
vulkanik dan terbentuk pada bagian medial gunung api. Jika dibandingkan
dengan bagian proksimal dan distal, pada bagian proksimal akan cenderung
mempunyai butir sangat kasar dengan kemas yang tertutup sedangkan pada
bagian distal ukuran butir cenderung akan sangat halus dengan pemilihan
baik. Kehadiran struktur graded bedding pada lapisan masif singkapan tuf,
menandakan material vulkanik terbawa dengan mekanisme mass-flow yang
mencirikan endapan aliran piroklastik (pryroclasctic flow deposits) pada
lereng-lereng gunung api.

34
 Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Sesuai dengan ciri litologinya, Satuan Tuf pada deaerah penelitian


disetarakan dengan Formasi Haruyan yang berumur Kapur Akhir, menurut
Heryanto (1994) dalam Wakita (2000) berdasarkan penentuan umur K – Ar
pada lava formasi Haryan yang menunjukkan kisaran 83±2 samapai 66±11,9
Ma (Kapur Akhir) Tidak ditemukan kontak yang jelas antara Satuan Tuf
dengan satuan dibawah maupun di atasnya. Namun merujuk dalam
rangkuman stratigrafi pre-Tersier menurut Wakita (2000), satuan ini
mempunyai hubungan tidak selaras di atas Satuan Serpentinit dan di bawah
Satuan Batulempung.

3.2.3 Satuan Batulempung

 Persebaran dan Ketebalan

Satuan Batulempung menempati ±47% daerah penelitian. Satuan ini


menempati daerah tengah samapai barat daerah penelitian dan tersebar
memanjang dari ura sampai selatan. Satuan ini diwarnai dengan warna hijau
muda pada peta geologi. Secara umum satuan ini menempati dua satuan
geomorfologi, yaitu satuan perbukitan homoklin yang memanjang dari utara
pada tengah daerah penelitian dan satuan lembah homoklin yang berada pada
tenggara daerah penelitian. Singkapan dari satuan ini dapat di amati pada hilir
Sungai Lolo, Sungai Dundang dan Sungai Same. Satuan ini memiliki
kedudukan lapisan batuan secara umum dengan jurus berarah utara-selatan
dan variasi kemiringan sebesar 15°-65°. Ketebalan dari satuan ini berdasarkan
rekonstruksi penampang adalah ±1.300m.

 Ciri Litologi

Berdasarkan pengamatan di lapangan, batuan penyusun dari satuan


didominasi atas batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara. Secara
megaskopis, batulempung memiliki warna kelabu terang-gelap, menyerpih,
mengandung material karbon, dan setempat ditemukan nodul batupasir.

35
Struktur sedimen yang teramati pada singkapan batulempung berupa struktur
laminasi sejajar dan laminasi bergelombang. Berdasarkan hasil analisis
petrografi (Lampiran A) conto sayatan batulempung pada singkapan LL-02
memperlihatkan batuan terdiri dari 5% butiran yang berukuran sangat halus
tertanam dalam 95% matriks lempung dan material karbon. Orientasi dari
material karbon pada sayatan memperlihatkan struktur laminasi.

Foto 12. Singkapan batulempung karbonan pada lokasi LL-01 (A) dan
kenampakan struktur laminasi bergelombang (B)

Batupasir pada satuan ini memiliki kenampakan dengan warna coklat


terang, berukuran pasir halus-sedang dengan bentuk butir menyudut
tanggung-menyudut, pemilahan sedang, kemas terbuka, kompak dan
porositas. Pada batupasir tersebut ditemukan keterdapatan fragmen litik
batulempung dan mineral oksida. Struktur sedimen yang teramati pada
singkapan berupa struktur gradded bedding, laminasi sejajar, cross-bedding,
loadcast dan jejak bioturbasi. Ketebalan dari batupasir yang ditemukan di

36
lapangan dari satuan ini berkisar 10cm sampai 2m dengan suksesi yang
menipis ke atas. Variasi dari ketebalan batupasir yang menempati bagian
bawah dari Satuan Batulempung mempunyai ketebalan yang cenderung tebal,
mencapai 2m, berangsur menipis pada bagian tengah Satuan Batulempung,
ketebalan batupasir sekitar 10cm-50cm, dan pada bagian atas dari Satuan
Batulempung tidak ditemukan sama sekali singkapan batupasir.

Foto 13. Singkapan batu pasir pada lokasi LL-18 yang menunjukkan struktur
gradded bedding dan loadcast.

37
Foto 14. Struktur cross-bedding pada batu pasir singkapan LL-03. Tebal lapisan
batupasir 10-50cm.

Hasil analisis petrografi pada conto sayatan batupasir pada singkapan


LL-18 menghasilkan nama batuan feldspathic greywacke (klasifikasi
Pettijohn, 1987), bertekstur klastik, berukuran pasir sedang, bentuk butir
menyudut tanggung sampai membundar tanggung, pilah sedang, kemas
terbuka, dengan butiran yang terdiri dari feldspars, kuarsa, plagioklas, mineral
opak dan mineral sekunder.

Batubara yang ditemukan pada satuan ini memiliki kenampakan dengan


warna hitam, kilap cerah, gores hitam kecoklatan, dan brittle. Lapisan
batubara umumnya mempunyai sisipan lapisan batupasir dan batulempung
dengan tebal 5-20cm. Pada lapisan batubara ini juga ditemukan mineral pirit.
Ketebalan dari batubara yang ditemukan di lapangan berkisar 10cm sampai
6m. Lapisan batubara yang tebal hanya terdapat pada bagian bawah dari
Satuan Batulempung ini, sedang kan pada bagian atas dari satuan ini lapisan
batubara sedikit ditemukan dan ketebalannya hanya sekitar 5-10cm.

38
Foto 15. Singkapan batubara pada lokasi LL-21, dengan kemiringan ke arah
timur.

 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Pada satuan ini tidak ditemukan fosil dalam analisis penentuan umur
untuk satuan ini. Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada Witts, dkk
(2012, 2011). Satuan ini yang merupakan bagian dari formasi Tanjung yang
berumur Eosen Tengah hingga Oligosen Awal berdasarkan studi polen yang
dilakukannya. Lingkungan pengendapan dari satuan ini di simpulkan sebagai
endapan transisi pada sistem endapan fluvial deltaic. Hal tersebut dilihat dari
adanya terdapatnya struktur gradded bedding, cross-bedding, dan loadcast
pada batupasir yang mengindikasikan batuan diendapkan dengan arus traksi
pada lingkungan distributary channel. Sementara itu, kehadiran dari batubara
dan laminasi lempung karbonan mengindikasikan batuan tersebut
diendapkan dengan arus yang tenang pada lingkungan swamp. Sehingga
berdasarkan kehadiran dari lingkungan tersebut, satuan ini merupakan
endapan transisi pada sistem endapan fluvial.

39
 Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Sesuai dengan ciri litologinya, Satuan Batulempung pada daerah


penelitian disetarakan dengan Formasi Tanjung. Hubungan Satuan ini dengan
Satuan Serpentinit dan Sataun Tuf yang berada di bawahnya adalah tidak
selaras, berdasarkan kontak ketidakselarasan yang ditemukan pada di
lapangan.

3.2.4 Satuan Batulempung-Batupasir

Satuan Batulempung-Batupasi menempati ±20%. Satuan ini


menempati daerah timurlaut dari daerah penelitian, Satuan ini diwarnai
dengan warna kuning pada peta geologi. Secara umum satuan ini menempati
satuan geomorfologi perbukitan homokolin. Singkapan satuan ini dapat
diamati pada hilir sungai Same dan sungai Seniur. Secara umum kedudukan
batuan dari satuan ini berarah baratlaut-tenggara dengan variasi dari
kemiringan lapisan sebesar 25°-38°. Ketebalan dari satuan ini berdasarkan
rekonstruksi penampang adalah lebih besar dari 800m.

 Ciri Litologi

Berdasarkan pengamatan lapangan, batuan penyusun dari satuan ini


terdiri dari perselingan batulempung-batupasir dengan sisipan batulanau.
Batulempung pada satuan ini mempunyai kenampakan megaskopis
mempunyai warna kelabu gelap, karbonatan. Lapisan batulempung
merupakan lapisan batuan yang dominan pada lapisan perselingan
batulempung-batupasir di satuan ini. Batu pasir, berwarna coklat sampai
kelabu terang, berukuran pasir halus sampai sedang, bentuk butir yang
membundar sampai menyudut tanggung, pemilahan baik, kemas terbuka,
kompak, dan porositas cukup. Batupasir pada satuan ini memiliki sifat
karbonatan, dengan kehadiran fragmen foram kecil dan adanya jejak
biotutbasi. Struktur sedimen yang teramati pada batupasir adalah laminasi

40
sejajar. Ketebalan dari lapisan batu batupasir sekitar 10-40cm dengan variasi
ketebalan menebal ke arah endapan yang lebih muda.

Foto 16. Singkapan lapisan batulempung-batupasir pada lokasi BK-05.

Selain perselingan batulempung dengan batupasir, terdapat juga


sisipan batulanau berwarna kelabu gelap sampai kehijauan dan bersifat
karbonatan. Pada batuan ini ditemukan jejak bioturbasi dan keterdapatan
fragmen foram kecil. Berdasarkan analisis petrografi conto sayatan pada
singkapan BK-09, conto sayatan tersebut merupakan batulanau dengan butir
yang terdiri dari kuarsa, plagioklas, fossil foraminifera dan mineral opak,
tertanam dalam matriks lempung.

41
Foto 17. Singkapan batulanau pada lokasi BK-09 yang mengandung fragmen
fosil foraminifera.

 Umur dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur satuan ini dilakukan dengan melakukan analisi


mikropaleontologi dengan mengambil conto batuan pada lokasi singkapan
BK-09 dan BK-18. Berdasarkan hasil analisis dari kedua conto batuan
(Lampiran B), fosil foraminifera plangton yang ditemukan adalah
Globigerina venezuelana, Globigerina sellii, Globigrina tripartita, dan
Globorotalia opima opima, yang menunjukkan kisaran rentang umur N1 –
N3 (Oligosen Tengah – Oligosen Akhir). Lingkungan pengendapan satuan ini
diinterpretasikan sebagai endapan lingkungan laut dangkal, dengan mulai
adanya pengaruh dari air laut pada satuan ini

 Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Sesuai dengan ciri litologinya, Satuan Batulempung pada deaerah


penelitian disetarakan dengan Formasi Berai. Satuan ini diendapkan secara
selaras di atas Satuan Batulempung.

42
3.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian

Struktur geologi daerah penelitian ditafsirkan berdasarkan pengamatan non-


lapangan dan pengamatan lapangan. Pengamatan non-lapangan meliputi pengamatan
pada DEM dan pada peta topografi berupa kelurusan-kelurusan. Hasil dari analisis
kelurusan pada sub-bab 3.1.3. , didapatkan arah dominan kelurusan utara – selatan
(N-S) dan baratlaut – tenggara (NW-SE). Arah ini menunjukkan adanya struktur
geologi yang berarah utara – selatan (N-S) dan baratlaut – tenggara (NW-SE), yaitu
berupa kedudukan lapisan batuan dan sesar. Berdasarkan pengamatan lapangan,
kedudukan lapisan yang diamati pada daerah penelitian mempunyai orientasi jurus
utara – selatan (N-S) pada bagian tengah daerah penelitian dan pada bagian timurlaut
daerah penelitian mempunyai orientasi jurus baratlaut – tenggara (NW-SE).

Gambar 15. Peta geologi daerah penelitian. Menampilkan persebaran satuan dan
struktur geologi dari daerah penelitian.

43
Struktur sesar yang berkembang pada daerah penelitian antara lain berupa
sesar naik dan sesar mendatar. Secara umum, data di lapangan untuk melakukan
analisis dan interpretasi sesar tidak terlalu mencukupi. Dikarenakan tingginya tingkat
pelapukan di daerah penelitian. Data lapangan yang digunakan untuk menganalisis
sesar hanya berupa keterdapatan sesar minor dan perubahan dari jurus dan
kemiringan batuan sekitar.

 Sesar Naik Sopang

Sesar Naik Sopang berada pada utara daerah penelitian dengan arah
utara-selatan. Indikasi sesar ini dapat diamati pada lokasi pengamatan KH-02
(Foto 18) dengan kedudukan bidang sesar N 8°E/ 36° E pada lapisan
batubara. Bukti keberadaan sesar ini diperkuat dengan adanya kelurusan bukit
yang mempunyai orientasi arah utara-selatan. Arah pergerakan dari sesar ini
adalah naik dengan jarak pergeseran 0,5m.

Foto 18. Sesar naik pada lapisan batubara di lokasi singkapan KH-02. Foto tersebut
diambil menghadap utara.

 Sesar Mendatar Dundang dan Same

Sesar mendatar Dundang dan Same berada pada bagian timurlaut


daerah penelitian, menempati sekitar sungai Dundang dan sungai Same.
Kedua sesar mendatar tersebut mempunyai orientasi baratlaut – tenggara

44
(NW-SE). Sesar ini diindikasikan dari pengamatan kelurusan sungai dan bukit
dan perubahan relief morfologi pada DEM. Selain itu, keberadaan sesar
mendatar ini dibuktikan dari adanya perubahan atau rotasi dari jurus dan
kemiringan batuan. Perubahan jurus dan kemiringan batuan pada sekitar sesar
mendatar ini mempunyai orientasi jurus dengan arah baratlaut – tenggara
(NW-SE) dengan mengalami perubahan kemiringan yang lebih basar pada
sekitar zona sekitar sesar mendatar tersebut. Arah pergerakan dari kedua sesar
mendatar tersebut mempunyai arah mengiri, diinterpretasikan dari perubahan
kelurusan bukit dan rotasi tidak searah jarum jam dibandingkan dari
kedudukan batuan pada daerah tengah yang mempunyai orientasi jurus utara-
selatan (N-S)

Berdasarkan orientasi dari arah struktur-struktur yang terbentuk di


daerah penelitian, dimana terbentuk sesar naik yang berarah utara-selatan (N-
S) dan sesar mengiri berarah baratlaut-tenggara (NW-SE), disimpulkan
tegasan utama yang (σ1) yang bekerja pada daerah ini memiliki arah
kompresi barat-timur (W-E). Jika dihubungkan dengan tektonik regional yang
bekerja pada Pegunungan Meratus, orientasi kelurusan Meratus yang relatif
baratdaya-timurlaut (NE-SW) diakibatkan oleh rezim kompresi yang berarah
barat-baratlaut – timut-tenggara (WNW-ESE), maka struktur-struktur yang
terbentuk pada daerah penelitian dapat dijelaskan dengan mekanisme simple
shear.

45
Gambar 16. Hubungan kinematik struktur di sekitar daerah penelitian. (A)
Kelurusan regional di sekitar daerah penelitian; (B) Diagram pola kompresi
Miosen Awal yang berkerja dan menghasilkan pola kelurusan regional. (C)
Diagram simple shear ellipsoid, yang berkerja pada daerah penelitian serta
memperlihatkan struktur-struktur yang dihasilkan.

Mekanisme simple shear pada daerah penelitian diakibatkan oleh


adanya sesar mendatar besar berarah relatif baratlaut-tenggara (NW-SE)
yang berada di luar daerah penelitian. Sesar mendatar tersebut terbentuk
akibat kompresi rezim kompresi regional yang berarah barat-baratlaut –
timut-tenggara (WNW-ESE) dan diinterpretasikan berdasarkan kelurusan
pada DEM. Dikarenakan letak daerah penelitian terletak pada zona sesar
besar tersebut, sehingga sesar besar tersebut mempengaruhi struktur-struktur
yang terbentuk di daerah penelitian. Berdasarkan diagram strain ellipsoid
pada Gambar 16, terbentuknya sesar naik berarah utara-selatan (N-S) dan
sesar mengiri berarah baratlaut-tenggara (NW-SE) pada daerah penelitian
merupakan akibat dari rezim kompresi yang barat-baratlaut – timut-tenggara
(WNW-ESE), yang mengakibatkan pengangkatan dari Kompleks Meratus.

46

Anda mungkin juga menyukai