Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

GEOMORFOLOGI

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk lahan dengan tiga

aspek penting yang mempengaruhinya yaitu bentuk lahan, proses geomorfik dan

sejarah pembentukan pemukaan bumi, serta mengetahui hubungan antara bentuk lahan

tersebut dengan proses pembentukan morfologi tersebut Hal tersebut diungkapkan oleh

Van Zuidam (1983), yaitu ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi

yang didalamnya tercakup proses pembentukan, genesa, dan kaitannya dengan

lingkungan. Geomorfologi suatu daerah dipengaruhi oleh proses endogen maupun

proses eksogen

2.4.1 Geomorfologi Regional

Pulau Jawa mempunyai sifat fisiografi yang khas dan hal ini disebabkan karena

beberapa keadaan, satu diantaranya Jawa beriklim tropis. Selain itu, ciri-ciri

geografinya disebabkan karena merupakan geosiklinal muda dan jalur orogenesa

dengan banyak vulkanisme yang kuat. Kondisi seperti itu mengakibatkan Jawa

mempunyai bentuk yang sempit dan memanjang, perubahannya dalam bagian-bagian

tertentu yaitu sepanjang dan searah dengan panjangnya pulau Jawa. Sifat relief yang

disebabkan oleh iklim tropis sudah diketahui dan dipelajari di Indonesia. Curah hujan

yang besar dan temperatur yang tinggi menyebabkan pelapukan yang cepat dan

intensif, denudasi, dan gejala yang mengikuti adalah erosi vertikal.

12
13

Menurut Bemmelen (1949), secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan

morfologi serta tektoniknya, daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dibagi menjadi 7

zona (Gambar 2.1) yaitu:

1. Zona Pegunungan Selatan bagian timur

2. Zona Solo

3. Zona Kendeng

4. Zona Randublatung

5. Zona Rembang

6. Dataran Aluvial Jawa Utara

7. Gunung Api Kuarter

Daerah penelitian

Gambar 2.1 Fisiografi Jawa dan Madura berdasarkan van Bemmelen (1949)
dimana bagian merah merupakan fisiografi daerah penelitian
(Bemmelen, 1949)

2.4.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Klasifikasi geomorfik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada

klasifikasi Zuidam (1983), yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi daerah penelitian

dengan mempertimbangkan keadaan geomorfologi daerah penelitian, maka penyusun


14

membagi satuan geomorfik daerah penelitian didasarkan pada relief, litologi, proses

pembentukan (genesis), serta struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian.

Dalam pembagian subsatuan geomorfik daerah penelitian, langkah langkah yang

ditempuh adalah:

1. Analisis peta topografi daerah penelitian dengan skala 1 : 25.000, yaitu dengan

menafsirkan pola dan pelamparan bentangalam sesuai dengan pola dan sifat garis

kontur yang ada.

2. Pengkajian langsung di lapangan, yaitu untuk melakukan pengumpulan data dari

setiap satuan geomorfiknya, meliputi litologi penyusun, ada tidaknya pengaruh

struktur geologi, dan proses-proses eksogenik yang bekerja pada setiap satuan

geomorfik tersebut.

3. Pengolahan data, yaitu meliputi proses penggabungan data dari analisis peta

topografi, peta RBI dan kajian lapangan, serta lebih terperinci lagi dalam analisis

kualitatif dan kuantitatif.

Pembuatan sayatan topografi ini bertujuan untuk mengelompokan pada

klasifikasi relief dengan menggunakan satuan geomorfologi yang didasarkan pada

morfometri dan morfogenesa. Penelitian geomorfologi ini harus tetap memperhatikan

aspek-aspek geologi lain yang berkaitan dalam penggolongan satuan dan subsatuan

geomorfik, yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi. Atas dasar-dasar yang

telah disebutkan di atas, maka daerah penelitian terbagi menjadi 4 subsatuan geomorfik

(Gambar 2.2 dan Gambar 2.3), yaitu:


15

1. Subsatuan Geomorfik Kawah Gunungapi Kelud (V1)

2. Subsatuan Geomorfik Pegunungan Bergelombang Kuat Lava Gunungapi Kelud

(V2)

3. Subsatuan Geomorfik Lereng Atas Gunungapi Kelud (V3)

4. Subsatuan Geomorfik Lereng Tengah Gunungapi Kelud (V4)

Gambar 2.2 Subsatuan geomorfik pada daerah penelitian, kamera menghadap


Timur laut dari daerah Karangrejo, dekat dengan lokasi pengamatan 66

2.2.1 Subsatuan Geomorfik Kawah Gunungapi Kelud (V1)

a. Deskripsi geometri

Secara geometri subsatuan geomorfik kawah Gunungapi Kelud (V1) merupakan

bagian puncak Gunungapi Kelud yang memiliki bentuk tubuh yang tidak

beraturan tajam dan terjal akibat sifat letusannya yang sangat merusak (eksplosif)

yang disertai pertumbuhan sumbat-sumbat lava pada bagian puncak. Ketinggian

daerah ini berkisar antara 1.250 m sampai dengan 1.500 m di atas permukaan laut

dan memiliki beda tinggi 250 m dengan kemiringan lereng ± 0°-55°, subsatuan
16

geomorfik kawah Gunungapi Kelud ini memiliki pola aliran berupa radial

sentripetal dengan vegetasi jarang dan proses endogen yang berlangsung berupa

intrusi yang dikontrol oleh proses vulkanisme. Daerah ini memiliki litologi

berupa satuan intrusi andesit Kelud yang memiliki beberapa anggota berupa lava

andesit dan aglomerat.

b. Penyebaran

Subsatuan geomorfik kawah Gunungapi Kelud (V1), menempati sekitar hanya

2% dari luas daerah penelitian, meliputi daerah Sugihwaras.

c. Penggunaan

Sebagian besar daerah ini dimanfaatkan masyarakat untuk lahan kosong, titik

terakhir pendakian bagi para pencinta alam dan tempat wisata puncak Gunungapi

Kelud, selain itu daerah ini juga merupakan zona infiltrasi air hujan. Dinamakan

subsatuan gemorfik kawah Gunungapi Kelud dikarenakan daerah ini memiliki

kenampakan morfologi berupa cekungan berupa kawah dan tinggian di atas

puncak Gunungapi Kelud (Gambar 2.3) dan interpretasi daerah ini terbentuk

akibat adanya erupsi Gunungapi Kelud yang sangat eksplosif kemudian

menghasilkan morfologi yang tidak beraturan dan cekungan kawah akibat

letusan tersebut. Subsatuan geomorfik kawah Gunungapi Kelud ini tersusun atas

kawah gunung Kelud (Gambar 2.3.a) lava andesit columnar joint (Gambar

2.3.b), aglomerat (Gambar 2.3.c), dan intrusi andesit (Gambar 2.3.d).


17

Gambar 2.3 Subsatuan geomorfik kawah Gunungapi Kelud (V1) dilihat dari
Karangrejo kamera menghadap timur laut, dekat dengan lokasi pengamatan 66

2.2.2 Subsatuan Geomorfik Pegunungan Bergelombang Kuat Lava Gunungapi


Kelud (V2)

a. Geometri

Secara geometri subsatuan geomorfik pegunungan bergelombang kuat lava

Gunungapi Kelud (V2) merupakan bagian punggungan Gunungapi Kelud yang

memiliki medan atau daerah dengan pegunungan yang bergelombang kuat-

sangat kuat dengan vegetasi sedang-lebat. Subsatuan geomorfik pegunungan

bergelombang kuat lava Gunungapi Kelud memiliki ketinggian berkisar antara

800 m sampai dengan 1.650 m di atas permukaan laut dan memiliki beda tinggi

850 m dengan kemiringan lereng ± 2°-55°, secara dominan memiliki sungai

berbentuk V dan pola aliran radial dengan tingkat pelapukan lemah. Pada

subsatuan geomorfik pegunungan bergelombang kuat lava Gunungapi Kelud ini

juga masih berlangsung proses endogen yaitu struktur sesar oblique yang

dikontrol oleh proses vulkanisme dan tektonik. Daerah ini memiliki litologi

berupa satuan lava andesit, breksi andesit 1 dan breksi andesit 2.


18

b. Penyebaran

Subsatuan geomorfik pegunungan bergelombang kuat lava Gunungapi Kelud

(V2), menempati sekitar 35% dari luas daerah penelitian. meliputi daerah

Sugihwaras, Pandansari, Sumbersari, Gadungan.

c. Penggunaan

Sebagian besar daerah ini dimanfaatkan masyarakat untuk lahan kosong, hutan

lindung, dan tempat persinggahan atau nge-camp bagi para pencinta alam atau

pendaki, selain itu daerah ini juga merupakan zona infilrtrasi air hujan.

Dinamakan Subsatuan geomorfik pegunungan bergelombang kuat lava

Gunungapi Kelud (V2) dikarenakan daerah ini memiliki kenampakan morfologi

berupa pegunungan dengan medan terjal-sangat terjal (Gambar 2.4). pada

subsatuan geomorfik ini terdiri dari litologi lava andesit, breksi andesi 1 dan

breksi andesit 2.

Gambar 2.4 Subsatuan geomorfik pegunungan bergelombang kuat lava


Gunungapi Kelud (V2) dilihat dari Karangrejo kamera menghadap
Timur laut, dekat dengan lokasi pengamatan 66
19

2.2.3 Subsatuan Geomorfik Lereng Atas Gunungapi Kelud (V3)

a. Geometri

Secara geometri subsatuan geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud (V3)

merupakan bagian lereng gunungapi Kelud yang memiliki medan atau daerah

dengan permukaan tanahnya atau letaknya miring dengan vegetasi sedang

sampai dengan lebat, ketinggian daerah ini berkisar antara 600 m sampai dengan

1.000 m di atas permukaan laut dan memiliki beda tinggi 400 m dengan

kemiringan lereng ± 10°-35° dengan tingkat agak curam (Zuidam, 1985 dalam

Noor 2010). Subsatuan geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud secara dominan

memiliki sungai berbentuk V dan pola aliran radial, dengan tingkat pelapukan

lemah. Pada subsatuan geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud ini juga masih

berlangsung proses endogen yaitu struktur sesar oblique dan intrusi samping

yang dikontrol oleh proses vulkanisme. Daerah ini memiliki litologi berupa abu

tefra lapipi, breksi polimik, breksi andesit 2 dan intrusi andesit.

b. Penyebaran

Subsatuan geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud (V3), menempati sekitar 42%

dari luas daerah penelitian. Meliputi beberapa daerah yaitu: Sugihwaras, Puncu,

Sempu, Sumbersari, Modangan, Karangrejo, Gadungan, Ngaringan dan Soso.

c. penggunaan

Sebagian besar daerah ini dimanfaatkan masyarakat untuk hutan lindung, hutan

pinus Perhutani, permukiman, perkebunan kopi, persawahan, wisata alam

dengan vegetasi sedang-lebat dan penambangan pasir dan batu pada tubuh
20

sungai. Dinamakan subsatuan gemorfik lereng atas Gunungapi Kelud (V3)

dikarenakan daerah ini masih bagian dari tubuh Gunungapi Kelud yang

morfologinya berupa lereng agak curam.

Gambar 2.5 Subsatuan Geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud (V3), arah kamera
menghadap timur, pada daerah Soso, dekat dengan lokasi pengamatan 6

2.2.4 Subsatuan Geomorfik Lereng Tengah Gunungapi Kelud (V4)

a. Geometri

Secara geometri subsatuan geomorfik lereng tengah Gunungapi Kelud (V4)

merupakan salah satu lereng bagian tengah Gunungapi Kelud dengan morfologi

pegunungan bergelombang landai-miring, ketinggian daerah ini berkisar antara

500 m sampai dengan 850 m di atas permukaan laut dengan beda tinggi 400 m

dan memiliki kemiringan lereng ± 4°-20°. Secara garis besar pada subsatuan

gemorfik lereng tengah Gunungapi Kelud (V4) memiliki sungai berbentuk V

namun ada juga beberapa lembah sungai yang sudah berbentuk U. Untuk tingkat
21

pelapukan, pada lokasi ini memiliki tingkat dari rendah sampai dengan sedang.

Subsatuan geomorfik lereng tengah Gunungapi Kelud ini dipengaruhi oleh

proses endogen yaitu struktur sesar oblique yang dikontrol oleh proses

vulkanisme dan proses eksogen berupa pelapukan, kemudian daerah ini juga

memiliki litologi berupa abu, tefra lapipi, breksi polimik, breksi andesit 2.

b. Penyebaran

Subsatuan geomorfik lereng tengah Gunungapi Kelud (V4), menempati sekitar

25% dari luas daerah penelitian. Meliputi beberapa daerah yaitu: Semen, Soso,

Tulungrejo, Ngaringan, Karangrejo, Sumbersari, Modangan, Sempu,

Sugihwaras, Sepawon, Puncu.

c. penggunaan

Sebagian besar daerah ini dimanfaatkan masyarakat untuk permukiman,

perkebunan, persawahan, wisata alam dan tambang pasir dan batu. Dinamakan

Subsatuan gemorfik lereng tengah Gunungapi Kelud (V4) dikarenakan daerah

ini masih bagian dari tubuh Gunungapi Kelud yang morfologi berupa lereng

dengan kemiringan landai-miring.


22

Gambar 2.6 Subsatuan Geomorfik lereng tengah Gunungapi Kelud (V4), arah kamera
menghadap selatan, pada daerah Gadungan, dekat dengan lokasi pengamatan 48

2.4.3 Pola Aliran

2.3.1 Dasar teori

Pola pengaliran pada sungai dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan dari

alur-alur sungai pada suatu daerah tanpa memperdulikan apakah alur-alur tersebut

merupakan alur yang permanen (permanent stream) (Howard, 1967). Menurut Zuidam

(1985) pola aliran erat hubungannya dengan kelerengan, resistensi batuan, kontrol

struktur, proses geologi, kerapatan vegetasi, iklim, dan sejarah geologi suatu daerah,

berdasarkan faktor tersebut, maka dibuatlah klasifikasi pola aliran ke dalam pola dasar

beserta perubahan dan perkembangannya.

Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta topografi atau foto udara,

terutama pada skala yang besar, dikarenakan percabangan-percabangan dan erosi yang

kecil pada permukaan bumi akan tampak dengan sangat jelas, sedangkan pada skala

menengah atau skala kecil akan menunjukkan pola yang menyeluruh sebagai cerminan
23

atau penciri dari jenis batuan, struktur geologi dan erosi. Pola pengaliran pada batuan

yang berlapis sangat tergantung pada jenis, sebaran, ketebalan dan bidang perlapisan

batuan serta geologi struktur seperti sesar, kekar, dan perlipatan.

Pola pengaliran merupakan suatu gambaran daerah yang lunak, tempat erosi

mengambil bagian dengan aktif dan merupakan daerah yang rendah sehingga air

permukaan dapat terkumpul dan mengalir. Dalam proses geologi maupun

geomorfologi, air memegang peranan yang penting karena mempunyai kemampuan

sebagai pengantar proses pelapukan, erosi, media transportasi dan proses sedimentasi.

Ada kalanya resistensi batuan relatif sama, sehingga tidak ada tempat mengalir

dan erosi menjadi luas. Hal ini mencerminkan bahwa pola pengaliran dikendalikan oleh

tingkat resistensi batuan, struktur geologi, dan proses yang langsung di daerah tersebut.

Menurut (Howard, 1967), membuat klasifikasi pola pengaliran menjadi 2 macam, yaitu

pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai karakteristik

yang khas yang dapat secara jelas dapat dibedakan dengan pola aliran lainnya. Pola

dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar yang lain dan kebanyakan

dikontrol oleh struktur regional. Menurut (Howard, 1967) ada beberapa pola aliran

dibagi menjadi 8 yaitu sebagai berikut (Gambar 2.7):

1. Pola aliran dendritik, akan berbentuk seperti cabang-cabang pohon dan cabang-

cabang sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk

sudut-sudut yang runcing. Biasanya selalu terbentuk pada batuan yang memiliki

jenis homogen atau sejenis dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur.
24

2. Pola aliran paralel yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada daerah

dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan

morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini akan mempunyai

kecenderungan berkembang ke arah pola aliran dendritik atau trellis.

3. Pola aliran trellis menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang

sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan daerah

pegunungan lipatan (antiklin dan sinklin) dan kekar.

4. Pola aliran rectangular dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang

membentuk sudut siku-siku, pola aliran ini akan lebih banyak dikontrol oleh

faktor kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.

5. Pola aliran radial dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu

titik pusat, biasanya mencirikan daerah gunungapi atau kubah.

6. Pola aliran annular bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah

yang tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe

subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.

7. Pola aliran multibasinal adalah pola aliran yang terbentuk oleh banyaknya

cekungan-cekungan atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah

rawa atau karst topografi.

8. Pola aliran contorted adalah pola aliran yang berbentuk tidak beraturan, kadang

terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang

bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki resistensi

yang sama.
25

Gambar 2.7 Jenis – jenis pola aliran (Howard, 1967)

2.3.2 Pola aliran daerah penelitian

Analisis pola pengaliran daerah penelitian, dilakukan pendekatan dengan

interpretasi peta topografi, pengamatan langsung di lapangan dan melakukan

pencocokan serta pendekatan model pengaliran serta memberikan batas water devide

pada daerah penelitian. Berdasarkan hal tersebut penyusun menyimpulkan pada daerah

penelitian memiliki pola aliran radial karena terletak pada daerah puncak gunungapi
26

yang kemudian mengalir dari puncak intrusi ke lereng atau kaki gunungapi dengan arah

utara, timur laut dan timur.

2.4.4 Stadia Daerah

2.4.1 Dasar teori

Stadia daerah merupakan gambaran bagaimana suatu bentuk morfologi telah

berubah dari bentuk morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan suatu daerah, dapat

ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di

daerah tersebut. Pembentukan morfologi suatu daerah biasanya dikontrol oleh

beberapa faktor seperti struktur geologi, litologi, dan proses geomorfologi, baik berupa

proses endogen maupun eksogen. Proses erosi bekerja pada saat dan setelah terjadinya

pengangkatan suatu daerah dan terus-menerus akan sampai pada proses pendataran.

Kenampakan morfologi saat ini merupakan hasil proses-proses endogen dan eksogen

yang bekerja.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat erosi sungai adalah tingkat resistensi

batuan terhadap pelapukan dan erosi, kemiringan lereng, iklim (curah hujan), tingkat

ketebalan vegetasi, aktivitas organisme (terutama manusia), waktu, dan permebilitas

batuan. Perkembangan stadia geomorfologi erat kaitannya dengan tingkat erosi di mana

semakin tinggi tingkat erosinya maka akan memberikan kenampakan pada bentuk

lahan menuju stadia geomorfologi tua. Menurut Lobeck (1939), mengelompokkan

stadia daerah menjadi empat (Gambar 2.8), yaitu :


27

1. Stadia muda

Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah

berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air

terjun, kadang-kadang terdapat danau, keadaan permukaan yang masih rata, pada

umumnya sedikit sekali perajangan sungai serta susunan stratigrafinya relatif

teratur serta lembahnya sempit dan dangkal.

2. Stadia dewasa

Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai sedang, aliran sungai agak berkelok-

kelok atau meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal

berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai berbentuk “U”, lembah

yang besar dan dalam, reliefnya relatif curam, stratigrafinya sudah agak kacau

serta proses erosi yang dominan.

3. Stadia tua

Stadia ini dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal, lembah lebar,

tidak dijumpai meander lagi karena kelokan sungainya telah tersambung dan

terbentuk danau tapal kuda, arus sungai tidak kuat. Kelanjutan dari proses –

proses yang bekerja pada stadia dewasa yaitu keadaan permukaan semakin

rendah, reliefnya relatif datar serta lembah sungai lebar dan dangkal.

4. Stadia rejuvinasi (muda kembali)

Stadia ini dicirikan oleh perkembangan permukaan yang relatif datar kembali dan

terlihat adanya perajangan-perajangan sungai kembali seperti awal sungai yang

baru terbentuk.
28

Gambar 2.8 Stadia daerah (Lobeck, 1939)

2.4.2 Stadia daerah penelitian

Secara keseluruhan morfologi pada daerah penelitian berupa puncak sampai

dengan lereng gunungapi atas dan tengah bergelombang sedang-kuat, dengan beda

tinggi ±1.150 M serta memiliki kemiringan lereng 2o -55o dengan didukung oleh

dijumpainya beberapa air terjun pada daerah, kemudian sungai memiliki kecepatan

aliran sungai yang tinggi dan mempunyai tebing yang terjal, sehingga dapat

diinterpretasikan bahwa stadia daerah pada daerah penelitian berupa stadia muda

(Gambar 2.9), (Gambar 2.10) dan (Gambar 2.11). Ini dibuktikan pada daerah telitian

kebanyakan memiliki gradien sungai besar, lembah berbentuk “V”, erosi vertikal lebih
29

besar dari pada erosi lateral, pada umumnya sedikit sekali penelanjangan sungai serta

lembahnya sempit dan memiliki tebing-tebing yang curam.

Gambar 2.9 Tubuh sungai di daerah Gadungan, arah kamera menghadap selatan, lokasi
pengamatan 40

Gambar 2.10 Tubuh sungai di daerah Pandansari, arah kamera menghadap utara,
lokasi pengamatan 130
30

Gambar 2.11 Air terjun di daerah Soso, arah kamera menghadap utara,
lokasi pengamatan 136

Gambar 2.12 Tubuh sungai di daerah Karangrejo, arah kamera menghadap selatan,
lokasi pengamatan 67

Anda mungkin juga menyukai