GEOMORFOLOGI
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk lahan dengan tiga
aspek penting yang mempengaruhinya yaitu bentuk lahan, proses geomorfik dan
sejarah pembentukan pemukaan bumi, serta mengetahui hubungan antara bentuk lahan
tersebut dengan proses pembentukan morfologi tersebut Hal tersebut diungkapkan oleh
Van Zuidam (1983), yaitu ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi
proses eksogen
Pulau Jawa mempunyai sifat fisiografi yang khas dan hal ini disebabkan karena
beberapa keadaan, satu diantaranya Jawa beriklim tropis. Selain itu, ciri-ciri
dengan banyak vulkanisme yang kuat. Kondisi seperti itu mengakibatkan Jawa
tertentu yaitu sepanjang dan searah dengan panjangnya pulau Jawa. Sifat relief yang
disebabkan oleh iklim tropis sudah diketahui dan dipelajari di Indonesia. Curah hujan
yang besar dan temperatur yang tinggi menyebabkan pelapukan yang cepat dan
12
13
morfologi serta tektoniknya, daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dibagi menjadi 7
2. Zona Solo
3. Zona Kendeng
4. Zona Randublatung
5. Zona Rembang
Daerah penelitian
Gambar 2.1 Fisiografi Jawa dan Madura berdasarkan van Bemmelen (1949)
dimana bagian merah merupakan fisiografi daerah penelitian
(Bemmelen, 1949)
klasifikasi Zuidam (1983), yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi daerah penelitian
membagi satuan geomorfik daerah penelitian didasarkan pada relief, litologi, proses
ditempuh adalah:
1. Analisis peta topografi daerah penelitian dengan skala 1 : 25.000, yaitu dengan
menafsirkan pola dan pelamparan bentangalam sesuai dengan pola dan sifat garis
struktur geologi, dan proses-proses eksogenik yang bekerja pada setiap satuan
geomorfik tersebut.
3. Pengolahan data, yaitu meliputi proses penggabungan data dari analisis peta
topografi, peta RBI dan kajian lapangan, serta lebih terperinci lagi dalam analisis
aspek-aspek geologi lain yang berkaitan dalam penggolongan satuan dan subsatuan
geomorfik, yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi. Atas dasar-dasar yang
telah disebutkan di atas, maka daerah penelitian terbagi menjadi 4 subsatuan geomorfik
(V2)
a. Deskripsi geometri
bagian puncak Gunungapi Kelud yang memiliki bentuk tubuh yang tidak
beraturan tajam dan terjal akibat sifat letusannya yang sangat merusak (eksplosif)
daerah ini berkisar antara 1.250 m sampai dengan 1.500 m di atas permukaan laut
dan memiliki beda tinggi 250 m dengan kemiringan lereng ± 0°-55°, subsatuan
16
geomorfik kawah Gunungapi Kelud ini memiliki pola aliran berupa radial
sentripetal dengan vegetasi jarang dan proses endogen yang berlangsung berupa
intrusi yang dikontrol oleh proses vulkanisme. Daerah ini memiliki litologi
berupa satuan intrusi andesit Kelud yang memiliki beberapa anggota berupa lava
b. Penyebaran
c. Penggunaan
Sebagian besar daerah ini dimanfaatkan masyarakat untuk lahan kosong, titik
terakhir pendakian bagi para pencinta alam dan tempat wisata puncak Gunungapi
Kelud, selain itu daerah ini juga merupakan zona infiltrasi air hujan. Dinamakan
puncak Gunungapi Kelud (Gambar 2.3) dan interpretasi daerah ini terbentuk
letusan tersebut. Subsatuan geomorfik kawah Gunungapi Kelud ini tersusun atas
kawah gunung Kelud (Gambar 2.3.a) lava andesit columnar joint (Gambar
Gambar 2.3 Subsatuan geomorfik kawah Gunungapi Kelud (V1) dilihat dari
Karangrejo kamera menghadap timur laut, dekat dengan lokasi pengamatan 66
a. Geometri
800 m sampai dengan 1.650 m di atas permukaan laut dan memiliki beda tinggi
berbentuk V dan pola aliran radial dengan tingkat pelapukan lemah. Pada
juga masih berlangsung proses endogen yaitu struktur sesar oblique yang
dikontrol oleh proses vulkanisme dan tektonik. Daerah ini memiliki litologi
b. Penyebaran
(V2), menempati sekitar 35% dari luas daerah penelitian. meliputi daerah
c. Penggunaan
Sebagian besar daerah ini dimanfaatkan masyarakat untuk lahan kosong, hutan
lindung, dan tempat persinggahan atau nge-camp bagi para pencinta alam atau
pendaki, selain itu daerah ini juga merupakan zona infilrtrasi air hujan.
subsatuan geomorfik ini terdiri dari litologi lava andesit, breksi andesi 1 dan
breksi andesit 2.
a. Geometri
merupakan bagian lereng gunungapi Kelud yang memiliki medan atau daerah
sampai dengan lebat, ketinggian daerah ini berkisar antara 600 m sampai dengan
1.000 m di atas permukaan laut dan memiliki beda tinggi 400 m dengan
kemiringan lereng ± 10°-35° dengan tingkat agak curam (Zuidam, 1985 dalam
Noor 2010). Subsatuan geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud secara dominan
memiliki sungai berbentuk V dan pola aliran radial, dengan tingkat pelapukan
lemah. Pada subsatuan geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud ini juga masih
berlangsung proses endogen yaitu struktur sesar oblique dan intrusi samping
yang dikontrol oleh proses vulkanisme. Daerah ini memiliki litologi berupa abu
b. Penyebaran
Subsatuan geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud (V3), menempati sekitar 42%
dari luas daerah penelitian. Meliputi beberapa daerah yaitu: Sugihwaras, Puncu,
c. penggunaan
Sebagian besar daerah ini dimanfaatkan masyarakat untuk hutan lindung, hutan
dengan vegetasi sedang-lebat dan penambangan pasir dan batu pada tubuh
20
dikarenakan daerah ini masih bagian dari tubuh Gunungapi Kelud yang
Gambar 2.5 Subsatuan Geomorfik lereng atas Gunungapi Kelud (V3), arah kamera
menghadap timur, pada daerah Soso, dekat dengan lokasi pengamatan 6
a. Geometri
merupakan salah satu lereng bagian tengah Gunungapi Kelud dengan morfologi
500 m sampai dengan 850 m di atas permukaan laut dengan beda tinggi 400 m
dan memiliki kemiringan lereng ± 4°-20°. Secara garis besar pada subsatuan
namun ada juga beberapa lembah sungai yang sudah berbentuk U. Untuk tingkat
21
pelapukan, pada lokasi ini memiliki tingkat dari rendah sampai dengan sedang.
proses endogen yaitu struktur sesar oblique yang dikontrol oleh proses
vulkanisme dan proses eksogen berupa pelapukan, kemudian daerah ini juga
memiliki litologi berupa abu, tefra lapipi, breksi polimik, breksi andesit 2.
b. Penyebaran
25% dari luas daerah penelitian. Meliputi beberapa daerah yaitu: Semen, Soso,
c. penggunaan
perkebunan, persawahan, wisata alam dan tambang pasir dan batu. Dinamakan
ini masih bagian dari tubuh Gunungapi Kelud yang morfologi berupa lereng
Gambar 2.6 Subsatuan Geomorfik lereng tengah Gunungapi Kelud (V4), arah kamera
menghadap selatan, pada daerah Gadungan, dekat dengan lokasi pengamatan 48
Pola pengaliran pada sungai dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan dari
alur-alur sungai pada suatu daerah tanpa memperdulikan apakah alur-alur tersebut
merupakan alur yang permanen (permanent stream) (Howard, 1967). Menurut Zuidam
(1985) pola aliran erat hubungannya dengan kelerengan, resistensi batuan, kontrol
struktur, proses geologi, kerapatan vegetasi, iklim, dan sejarah geologi suatu daerah,
berdasarkan faktor tersebut, maka dibuatlah klasifikasi pola aliran ke dalam pola dasar
Pola pengaliran sangat mudah dikenal dari peta topografi atau foto udara,
terutama pada skala yang besar, dikarenakan percabangan-percabangan dan erosi yang
kecil pada permukaan bumi akan tampak dengan sangat jelas, sedangkan pada skala
menengah atau skala kecil akan menunjukkan pola yang menyeluruh sebagai cerminan
23
atau penciri dari jenis batuan, struktur geologi dan erosi. Pola pengaliran pada batuan
yang berlapis sangat tergantung pada jenis, sebaran, ketebalan dan bidang perlapisan
Pola pengaliran merupakan suatu gambaran daerah yang lunak, tempat erosi
mengambil bagian dengan aktif dan merupakan daerah yang rendah sehingga air
sebagai pengantar proses pelapukan, erosi, media transportasi dan proses sedimentasi.
Ada kalanya resistensi batuan relatif sama, sehingga tidak ada tempat mengalir
dan erosi menjadi luas. Hal ini mencerminkan bahwa pola pengaliran dikendalikan oleh
tingkat resistensi batuan, struktur geologi, dan proses yang langsung di daerah tersebut.
Menurut (Howard, 1967), membuat klasifikasi pola pengaliran menjadi 2 macam, yaitu
pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai karakteristik
yang khas yang dapat secara jelas dapat dibedakan dengan pola aliran lainnya. Pola
dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar yang lain dan kebanyakan
dikontrol oleh struktur regional. Menurut (Howard, 1967) ada beberapa pola aliran
1. Pola aliran dendritik, akan berbentuk seperti cabang-cabang pohon dan cabang-
sudut-sudut yang runcing. Biasanya selalu terbentuk pada batuan yang memiliki
jenis homogen atau sejenis dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur.
24
2. Pola aliran paralel yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada daerah
dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan
3. Pola aliran trellis menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang
membentuk sudut siku-siku, pola aliran ini akan lebih banyak dikontrol oleh
5. Pola aliran radial dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu
6. Pola aliran annular bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah
yang tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe
7. Pola aliran multibasinal adalah pola aliran yang terbentuk oleh banyaknya
8. Pola aliran contorted adalah pola aliran yang berbentuk tidak beraturan, kadang
bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki resistensi
yang sama.
25
pencocokan serta pendekatan model pengaliran serta memberikan batas water devide
pada daerah penelitian. Berdasarkan hal tersebut penyusun menyimpulkan pada daerah
penelitian memiliki pola aliran radial karena terletak pada daerah puncak gunungapi
26
yang kemudian mengalir dari puncak intrusi ke lereng atau kaki gunungapi dengan arah
berubah dari bentuk morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan suatu daerah, dapat
ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai yang terdapat di
beberapa faktor seperti struktur geologi, litologi, dan proses geomorfologi, baik berupa
proses endogen maupun eksogen. Proses erosi bekerja pada saat dan setelah terjadinya
pengangkatan suatu daerah dan terus-menerus akan sampai pada proses pendataran.
Kenampakan morfologi saat ini merupakan hasil proses-proses endogen dan eksogen
yang bekerja.
batuan terhadap pelapukan dan erosi, kemiringan lereng, iklim (curah hujan), tingkat
batuan. Perkembangan stadia geomorfologi erat kaitannya dengan tingkat erosi di mana
semakin tinggi tingkat erosinya maka akan memberikan kenampakan pada bentuk
1. Stadia muda
Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah
berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air
terjun, kadang-kadang terdapat danau, keadaan permukaan yang masih rata, pada
2. Stadia dewasa
Stadia ini dicirikan oleh gradien sungai sedang, aliran sungai agak berkelok-
kelok atau meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal
berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai berbentuk “U”, lembah
yang besar dan dalam, reliefnya relatif curam, stratigrafinya sudah agak kacau
3. Stadia tua
Stadia ini dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal, lembah lebar,
tidak dijumpai meander lagi karena kelokan sungainya telah tersambung dan
terbentuk danau tapal kuda, arus sungai tidak kuat. Kelanjutan dari proses –
proses yang bekerja pada stadia dewasa yaitu keadaan permukaan semakin
rendah, reliefnya relatif datar serta lembah sungai lebar dan dangkal.
Stadia ini dicirikan oleh perkembangan permukaan yang relatif datar kembali dan
baru terbentuk.
28
dengan lereng gunungapi atas dan tengah bergelombang sedang-kuat, dengan beda
tinggi ±1.150 M serta memiliki kemiringan lereng 2o -55o dengan didukung oleh
dijumpainya beberapa air terjun pada daerah, kemudian sungai memiliki kecepatan
aliran sungai yang tinggi dan mempunyai tebing yang terjal, sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa stadia daerah pada daerah penelitian berupa stadia muda
(Gambar 2.9), (Gambar 2.10) dan (Gambar 2.11). Ini dibuktikan pada daerah telitian
kebanyakan memiliki gradien sungai besar, lembah berbentuk “V”, erosi vertikal lebih
29
besar dari pada erosi lateral, pada umumnya sedikit sekali penelanjangan sungai serta
Gambar 2.9 Tubuh sungai di daerah Gadungan, arah kamera menghadap selatan, lokasi
pengamatan 40
Gambar 2.10 Tubuh sungai di daerah Pandansari, arah kamera menghadap utara,
lokasi pengamatan 130
30
Gambar 2.11 Air terjun di daerah Soso, arah kamera menghadap utara,
lokasi pengamatan 136
Gambar 2.12 Tubuh sungai di daerah Karangrejo, arah kamera menghadap selatan,
lokasi pengamatan 67