Alan Noviter
111.140.071
Abstrak
Secara geografis daerah penelitian terletak pada koordinat UTM (Universal Transverse
Mactator) di dalam zona WGS84 - 47S dengan koordinat telitian yaitu 823574-826804 mT dan
9635334- 9639636 mU. Luas daerah telitian 3x4 km dengan skala 1 : 10.000. Sedangkan secara
administratif daerah telitian masuk ke dalam wilayah Desa Lembah Duri dan Sekitarnya, Kecamatan
Pinang Raya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Berdasarkan analisis aspek-aspek
geomorfologi, daerah penelitian dibagi menjadi dua satuan bentuk asal dan lima satuan bentuk lahan,
yaitu Satuan bentuk asal denudasional yang terdiri dari dua satuan bentuk lahan yaitu Perbukitan
Terkikis Bergelombang Kuat (D1), Perbukitan Terkikis Bergelombang Sedang (D2) serta Lembah
Denudasional (D14) dan Bentuk asal Fluvial terdiri dari dua satuan bentuk lahan yaitu Tubuh Sungai
(F1) dan Dataran Banjir (F2). Pola Pengaliran yang berkembang pada daerah penelitian yaitu
Subdendritik. Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari tiga satuan batuan tidak resmi yaitu Satuan
batulempung Simpang-Aur (Pliosen) yang terendapkan pada lingkungan Upper - Lower Delta Plain,
Satuan batupasir Simpang-Aur (Pliosen) yang terendapkan pada lingkungan Upper - Lower Delta
Plain dan Satuan endapan Aluvial terendapkan pada lingkungan darat (Holosen – Resen). Hubungan
stratigrafi antara Satuan batulempung Simpang-Aur dengan Satuan batupasir Simpang-Aur selaras.
Hubungan stratigrafi Satuan batupasir Simpang-Aur dengan Satuan endapan Aluvial tidak selaras
(Angular unconformity). Struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian yaitu berupa dua
kelompok kekar dengan arah relatif tenggara – barat laut. Sesar daerah penelitian berupa sesar turun
“Right Normal Slip Fault” dengan arah utara – selatan. Berdasarkan korelasi penampang bor pada
lintasan C - C’ dan D – D’, dimana pada korelasi tersebut memperlihatkan elevasi batubara yang
berbeda yang mengindikasikan adanya kontrol struktur. Berdasarkan hasil metode pemetaan
dilapangan dengan menggunakan data permukaan dan bawah permukaan maka, pada daerah
penelitian terdapat pengaruh kendali geologi terhadap pola sebaran lapisan batubara disebabkan oleh
adanya kontrol struktur, proses pelapukan erosi dan morfologi serta dikendalikan oleh sedimentasi
dan tektonik sehingga dengan data tersebut pola sebaran lapisan batubara relatif barat – timur dengan
kemiringan relatif berarah selatan – barat daya.
1. Pendahuluan
Daerah penelitian termasuk kedalam fisiografi Cekungan Bengkulu (Gafoer, dkk.
1992), dimana cekungan ini merupakan salah satu cekungan batuan sedimen Tersier di
Pulau Sumatera yang termasuk ke dalam cekungan busur muka. Stratigrafi Cekungan
Bengkulu terdiri dari Lajur Barisan, Lajur Bengkulu, Lajur Palembang, Batuan Terobosan,
dan Endapan Permukaan. Daerah Telitian termasuk ke dalam Lajur Bengkulu (dari yang
tua ke muda terdiri dari Formasi Seblat, Formasi Lemau, Formasi Simpangaur, dan
Formasi Bintunan). Berdasarkan kajian geologi sebelum Miosen Tengah atau Paleogen,
cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat cekungan Sumatera Selatan,
1
lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen setelah Pegunungan Barisan
naik, cekungan Bengkulu dipisahkan dari cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat
itulah, cekungan Bengkulu menjadi cekungan fore arc (depan busur) dan cekungan
Sumatera Selatan menjadi cekungan back arc (belakang busur), (Hall et al. 1993).
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu tempat terendapkannya batubara di Indonesia,
yang mana formasi pembawa batubara di cekungan Bengkulu terdiri dari Formasi Lemau
dan Formasi Simpang Aur. Berdasarkan latar belakang diatas penulis akan membahas
mengenai pola sebaran batubara yang berkembang di daerah penelitian berdasarkan
data permukaan berupa profil singkapan dan di dukung data bawah permukaan berupa
data bor. Kegiatan penelitian ini untuk mengetahui proses geologi dan geometri
batubara terutama pola sebaran batubara di daerah penelitian sehingga sumber daya
batubara bisa diperbarui dan diharapkan dapat menjadi sarana untuk menjadikan
seorang calon ahli geologi menjadi ahli geologi yang profesional, baik secara teori
maupun aplikasi di lapangan. Kegiatan juga ditujukan untuk menerapkan ilmu yang
telah didapatkan selama perkuliahan maupun praktikum.
2
• Stratigrafi Regional
Tatanan stratigrafi yang terdapat di daerah Bengkulu terdiri dari batuan
yang memiliki umur kisaran Tersier- Kuarter. Berdasarkan Peta Geologi
Regional Lembar Bengkulu (Gafoer. dkk, 1992) (Gambar 4.2). Urutan
Stratigrafi Regional dari yang tua – muda sebagai berikut:
- Formasi Hulusimpang
- Formasi Seblat
- Formasi Bal
- Formasi Lemau
- Formasi Simpang Aur
- Formasi Bintunan
- Batuan Gunung Api Kuarter
- Endapan Permukaan
1. Bentuk asal Denudasional yang terdiri atas: Satuan Bentuk Lahan Perbukitan
Terkikis Bergelombang Kuat (D1), Bentuk Lahan Perbukitan Terkikis
Gelombang Sedang (D2) dan Bentuk Lahan Lembah Denudasional (D14).
2. Bentuk Asal Fluvial yang terdiri dari: Satuan bentuk lahan Tubuh Sungai (F1)
dan bentuk lahan Dataran Banjir (F2).
Stratigrafi
Berdasarkan pengamatan singkapan (Lampiran 1 – A), lintasan stratigrafi
terukur (Lampiran 3) serta penyebaran lateral batuan yang dominan (Lampiran 1 –
D dan Lampiran 2), maka dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) satuan batuan tidak
resmi dan 1 (satu) endapan di daerah telitian. Penamaan satuan batuan mengikuti tata
nama satuan litostratigrafi tidak resmi menurut Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI, 1996)
dengan urutan dari tua sampai muda, sebagai berikut:
3
1. Satuan batulempung Simpang-Aur
Satuan batulempung Simpang-Aur ini merupakan satuan batuan tertua yang
tersingkap di daerah penelitian menempati di bagian utara daerah penelitian,
serta menyebar dari utara ke selatan di daerah penelitian. Singkapan yang baik
atau fresh jarang dijumpai, kecuali pada tempat – tempat tertentu, seperti di
tebing jalan atau tebing lembah-lembah. Dibedakan dengan satuan batuan
lainnya karena kandungan batulempung yang dominan dan didukung oleh data
penampang stratigrafi terukur. Dalam pengamatan singkapan batuan di lapangan
pada satuan ini di dominasi oleh perselingan batulempung sisipan batupasir,
batulempung tufan, batulempung karbonan, serta batulanau yang hanya dijumpai
setempat (Lampiran 1 – A). Di lokasi pengamatan, batulempung memiliki ciri
litologi lunak, dengan warna abu-abu kehitaman, berukuran butir lempung,
terdapat semen silika, dengan sisipan batupasir. Batupasir dengan ciri litologi
lunak, berwarna coklat kekuningan, ukuran butir pasir sangat halus – pasir halus,
berbentuk membundar tanggung – menyundut tanggung, memiliki kemas
terbuka dengan pemilahan baik, berkomposisi mineral ukuran lempung, litik,
silika dengan struktur masif dan perlapisan. Batulempung tufan dengan ciri
litologi lunak, dengan warna abu-abu keputihan sampai dengan coklat keputihan,
ukuran butir lempung, dengan komposisi mineral ukuran lempung dan
kandungan debu tuff halus, semen silikaan, struktur masif dan perlapisan.
Batulempung karbonan dengan ciri litologi lunak, berwarna abu-abu hitam,
ukuran butir lempung, komposisi didominasi oleh mineral lempung dan unsur
karbon, struktur sedimen masif dan berlapis. Batulanau dengan ciri litologi
lunak, berwarna abu-abu kecoklatan sampai dengan coklat abu-abu, ukuran butir
lanau, komposisi mineral ukuran lempung, massa dasar lempung semen silika
dengan struktur masif. Satuan batulempung Simpang-Aur pada daerah telitian
memiliki luasan sekitar 55 % dari luas seluruh daerah telitian. Singkapan yang
baik jarang dijumpai, kecuali pada tempat-tempat tertentu seperti di tebing jalan
atau tebing lembah-lembah sungai kecil. Pola kedudukan pada satuan ini relatif
Tenggara – Barat laut dengan kemiringan lapisan ke arah selatan – barat daya
dengan besaran kemiringan relatif landai dengan sudut kemiringan 15 - 220.
Dibedakan dengan satuan batuan lainnya karena kandungan batulempung yang
dominan dan warna lapuk yang khas yaitu coklat. Satuan ini umumnya
memperlihatkan morfologi terjal – landai dan pada lintasan seringkali tidak
teramati dengan baik karena kondisi lapuk yang kuat dengan warna pelapukan
abu-abu kecoklatan. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi tebal terkira
satuan batulempung ini sekitar 650 m. Penentuan umur Satuan batulempung
Simpang-Aur ini berdasarkan pengambilan sampel pada satuan batulempung di
lokasi pengamatan 67 dan 80 yang kemudian dilakukan analisa
mikropaleontologi, tidak dijumpai adanya fosil foraminifera kecil plankton
maupun bentos, sehingga penulis menentukan umur mengacu berdasarkan
kesamaan ciri litologi, penulis melakukan pendekatan Satuan batulempung
Simpang-Aur ini mengacu pada peneliti terdahulu (Gafoer, dkk. 1992) yang
menentukan umur Formasi Simpang Aur berdasarkan posisi stratigrafinya
terhadap Formasi Lemau (Miosen Tengah – Miosen Akhir) berada dibawahnya
dan Formasi Bintunan (Plistosen) berada diatasnya maka umur satuan ini adalah
Pliosen. Dalam penentuan lingkungan pengendapan secara fisik, dilakukan
dengan metode menganalisis dari struktur sedimen dan tekstur sedimen pada
litologi atau formasi batuan yang akan dianalisis, dan dilihat bagaimana proses
sedimentasi pada saat struktur tersebut terjadi (Lampiran 3 – E dan 3 - F).
Penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan aspek fisik dari batuan dapat
4
dilihat dari beberapa profil batuan yang berkembang pada daerah penelitian.
Penentuan lingkungan pengendapan menggunakan asosiasi sub-lingkungan yang
kemudian dibandingkan dengan model lingkungan pengendapan menurut Allen,
dkk. (1998). Pada satuan ini dilakukan analisa profil pada LP 67 dan LP 80. Pada
analisa (Profil LP 67) (Lampiran 3 – E), dijumpai sub-lingkungan berupa Flood
Plain dengan penciri litologi berukuran lempung – pasir dengan kecendrungan
menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada batulempung dan
perlapisan pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan yang dijumpai
dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan terendapkan di
lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998). Pada analisa (Profil
LP 80) (Lampiran 3 – F), dijumpai sub-lingkungan berupa Flood Plain dengan
penciri litologi berukuran lempung – pasir dengan kecendrungan mengkasar dan
menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada batulempung dan
perlapisan pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan yang dijumpai
dan tidak adanya reaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan
terendapkan di lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998).
Penentuan aspek biologi didasarkan pada kandungan fosil, pada daerah telitian
tidak adanya dijumpai kandungan fosil sehingga Satuan batulempung Simpang-
Aur diinterpretasikan terendapkan di lingkungan darat hingga payau. Penentuan
aspek kimia dari Satuan batulempung Simpang-Aur didasarkan pada kandungan
dan komposisi dari litologi penyusun satuan ini, seluruh batuan pada satuan ini
memiliki semen silika dibuktikan dengan tidak adanya reaksi dengan HCL.
Dapat disimpulkan pada litologi pada satuan ini terendapkan di lingkungan darat
hingga payau. Satuan batulempung Simpang-Aur mempunyai pola umum
kedudukan lapisan batuan yang relatif sama dengan Satuan batupasir Simpang-
Aur yang terendapkan di atasnya. Berdasarkan hasil pengukuran jurus dan
kemiringan lapisan batuan serta analisa sayatan penampang geologi, maka dapat
disimpulkan bahwa hubungan stratigrafi antara Satuan batulempung Simpang-
Aur dengan Satuan batupasir Simpang-Aur secara normal adalah selaras
dikarenakan persamaan formasi. (Lampiran 1 – D).
5
dengan tebal 0.40 – 3.1 meter. Berdasarkan hasil analisis petrografi (Lampiran
4 – C dan 4 - D) yang ditunjukkan oleh sayatan LP 20 dan LP 46 (Gambar
5.16) dan (Gambar 5.17) dalam sayatan tipis memperlihatkan: Berdasarkan
hasil analisis petrografi dari sayatan LP 20 (Lampiran 4 - C) didapatkan batuan
berupa: Sayatan tipis batuan sedimen; warna coklat kekuningan; bertekstur
klastik; ukuran butir <0,05 – 0,6 mm; bentuk butir : menyudut tanggung –
membundar tanggung; matrix supported; terpilah buruk; disusun oleh kuarsa
30%, plagioklas 23%, piroksen 17%, litik 5%, lempung (22%) dan mineral opak
(3%) dari hasil analisis petrografi nama batuan yang diperoleh adalah Arkosic
Wacke (Gilbert, 1954). Berdasarkan hasil analisis petrografi dari sayatan LP 46
(Lampiran 4 - D) didapatkan batuan berupa: Sayatan tipis batuan sedimen;
warna coklat keabuan; bertekstur klastik; ukuran butir <0,05 – 0,5 mm;
bentuk butir : menyudut tanggung– membundar tanggung; grain supported;
terpilah buruk; disusun oleh kuarsa 35%, plagioklas 25%, Hornblende 15%, litik
5%, lempung (17%) dan mineral opak (3%) dari hasil analisis petrografi nama
batuan yang diperoleh adalah Arkosic Wacke (Gilbert, 1954). Satuan batupasir
Simpang-Aur pada daerah telitian memiliki luasan sekitar 40 % dari luas seluruh
daerah telitian. Singakapan yang baik jarang dijumpai, kecuali pada tempat-
tempat tertentu seperti di tebing jalan atau tebing lembah-lembah sungai kecil.
Pola kedudukan pada satuan ini relatif Tenggara – Barat laur dengan kemiringan
lapisan ke arah selatan – barat daya dengan besaran kemiringan relatif landai
hingga 15 - 300. Dibedakan dengan satuan batuan lainnya karena kandungan
batupasir yang dominan dan warna lapuk yang khas yaitu coklat. Satuan ini
umumnya memperlihatkan morfologi miring – landai dan pada lintasan
seringkali tidak teramati dengan baik karena kondisi lapuk yang kuat dengan
warna pelapukan abu-abu kecoklatan. Berdasarkan rekonstruksi penampang
geologi didapatkan tebal terkira satuan batupasir ini sekitar 450 m. Penentuan
umur Satuan batupasir Simpang-Aur ini berdasarkan pengambilan sampel pada
satuan batupasir di lokasi pengamatan 12 dan 117 yang kemudian dilakukan
analisa mikropaleontologi, tidak dijumpai adanya fosil foraminifera kecil
plankton maupun bentos, sehingga penulis menentukan umur mengacu
berdasarkan kesamaan ciri litologi, penulis melakukan pendekatan Satuan
batupasir Simpang-Aur ini mengacu pada peneliti terdahulu (Gafoer, dkk. 1992)
yang menentukan umur Formasi Simpang Aur berdasarkan posisi stratigrafinya
terhadap Formasi Lemau (Miosen Tengah – Miosen Akhir) berada dibawahnya
dan Formasi Bintunan (Plistosen) berada diatasnya maka umur satuan ini adalah
Pliosen. Penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan aspek fisik dari batuan
dapat dilihat dari beberapa profil batuan yang berkembang pada daerah
penelitian. Penentuan lingkungan pengendapan menggunakan asosiasi sub-
lingkungan yang kemudian dibandingkan dengan model lingkungan
pengendapan menurut Allen, dkk. (1998). Pada satuan ini dilakukan analisa
profil pada LP 29, LP 32, LP 44, LP 54 LP 12, LP 116 dan LP 117. Pada analisa
(Profil LP 32) (Lampiran 3 – A), dijumpai sub-lingkungan berupa Fluvial
Distributary Channel dengan penciri litologi berukuran lempung – pasir dengan
kecendrungan menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada
batulempung dan perlapisan pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-
lingkungan yang dijumpai dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen,
dkk. 1998). Pada analisa (Profil LP 44) (Lampiran 3 – B), dijumpai sub-
lingkungan berupa Fluvial Distributary Channel dengan penciri litologi
berukuran pasir - lempung dengan kecendrungan mengkasar ke atas ditandai
6
dengan struktur masif pada batulempung dan perlapisan, laminasi pada batupasir.
Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan yang dijumpai dan tidak adanya reaksi
dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan terendapkan di lingkungan
Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998). Pada analisa (Profil LP 12)
(Lampiran 3 – C) dijumpai sub-lingkungan berupa Levee dengan penciri
litologi berukuran lempung – pasir dengan kecendrungan menghalus ke atas
ditandai dengan struktur masif pada batulempung dan perlapisan, flaser bedding,
laminasi pada batupasir. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan yang dijumpai dan
tidak adanya reaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan terendapkan
di lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998). Pada analisa
(Profil LP 117) (Lampiran 3 – D) dijumpai sub-lingkungan berupa Fluvial
Distributary Channel dan Backswamp. Fluvial Distributary Channel dengan
penciri litologi berukuran lempung - pasir dengan kecendrungan mengkasar dan
menghalus ke atas ditandai dengan struktur masif pada batulempung dan
perlapisan, laminasi, cross laminasi dan lenticular bedding pada batupasir.
Sedangkan Backswamp dengan penciri litologi batupasir, batulempung karbonan
dan serpih batubaraan. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan yang dijumpai dan
tidak adanya reaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan terendapkan
di lingkungan Upper - Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998). Pada analisa
(Profil LP 29) (Lampiran 3 – G), dijumpai sub-lingkungan berupa Swamp
dengan penciri litologi berukuran lempung dengan struktur massif dicirikan
adanya kandungan karbonan dan batubara. Berdasarkan asosiasi sub-lingkungan
yang dijumpai dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini diinterpretasikan
terendapkan di lingkungan Upper – Lower Delta Plain (Allen, dkk. 1998). Pada
analisa (Profil LP 54) (Lampiran 3 – H), dijumpai sub-lingkungan berupa
Swamp dengan penciri litologi berukuran lempung dengan struktur massif
dicirikan adanya kandungan karbonan dan batubara. Berdasarkan asosiasi sub-
lingkungan yang dijumpai dan tidak bereaksi dengan HCL, maka satuan ini
diinterpretasikan terendapkan di lingkungan Upper – Lower Delta Plain (Allen,
dkk. 1998). Pada analisa (Profil LP 116) (Lampiran 3 – I), dijumpai sub-
lingkungan berupa Swamp dengan penciri litologi berukuran lempung dengan
struktur massif dicirikan adanya kandungan karbonan dan batubara. Berdasarkan
asosiasi sub-lingkungan yang dijumpai dan tidak bereaksi dengan HCL, maka
satuan ini diinterpretasikan terendapkan di lingkungan Upper – Lower Delta
Plain (Allen, dkk. 1998). Penentuan aspek biologi didasarkan pada kandungan
fosil, pada daerah telitian tidak adanya dijumpai kandungan fosil sehingga
batupasir Simpang-Aur diinterpretasikan terendapkan di lingkungan darat hingga
payau. Penentuan aspek kimia dari Satuan batupasir Simpang-Aur didasarkan
pada kandungan dan komposisi dari litologi penyusun satuan ini, seluruh batuan
pada satuan ini memiliki semen silika dibuktikan dengan tidak adanya reaksi
dengan HCL. Dapat disimpulkan litologi pada satuan ini terendapkan di
lingkungan darat hingga payau. Satuan batupasir Simpang-Aur mempunyai pola
umum kedudukan lapisan batuan yang relatif sama dengan Satuan batulempung
Simpang-Aur yang berada di bawahnya. Berdasarkan hasil pengukuran jurus dan
kemiringan lapisan batuan, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan stratigrafi
antara Satuan batupasir Simpang-Aur dengan Satuan batulempung Simpang-Aur
adalah selaras. Sedangkan hubungan stratigrafi antara Satuan batupasir Simpang-
Aur dengan Satuan endapan Aluvial yang berada di atasnya tidak selaras, jenis
ketidakselarasan angular unconformity (Lampiran 1 – D).
7
3. Satuan endapan Aluvial
Satuan endapan Aluvial ini merupakan satuan batuan termuda yang
tersingkap di daerah penelitian, menempati di sepanjang sungai limas yang
mengalir dari arah timur laut ke arah barat daya di daerah penelitian. Satuan
endapan Aluvial terdiri dari material lepas yang berukuran lempung – pasir
dengan komposisi lumpur dan pasir lepas yang merupakan hasil erosi batuan
yang mencirikan kegiatan geologi yang masih berlangsung hingga sekarang,
endapan ini terdapat di sepanjang sungai limas dan di dataran aluvial pada
daerah penelitian menempati 5 % dari lokasi penelitian. Di lokasi pengamatan,
endapan aluvial dicirikan dengan material lepas yang berukuran lempung – pasir
dengan komposi lumpur dan pasir lepas yang merupakan hasil erosi batuan yang
mencirikan kegiatan geologi yang masih berlangsung hingga sekarang.
Hubungan stratigrafi antara Satuan endapan Aluvial dengan Satuan batupasir
Simpang-Aur yang ada dibawahnya tidak selaras (Angular unconformity).
Struktur Geologi
Struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian yaitu berupa dua
kelompok kekar dengan arah relatif tenggara – barat laut. Sesar daerah penelitian
berupa sesar turun “Right Normal Slip Fault” dengan arah utara – selatan.
Berdasarkan korelasi penampang bor pada lintasan C - C’ dan D – D’, dimana pada
korelasi tersebut memperlihatkan elevasi batubara yang berbeda yang
mengindikasikan adanya kontrol struktur.
Sejarah Geologi
Awal pengendapan terjadi pada Pliosen Awal dengan lingkungan pengendapan
berupa delta plain. Penciri lingkungan pengendapan ini berupa kehadiran batubara
dan sedimen berbutir halus dengan energi pengendapan yang dipengaruhi pasang
surut air laut yang kemudian terjadi peningkatan energi pengendapan, sehingga
terdapat material dengan sedimen destritus sedang. Kondisi geologi regional pada
Kala Pliosen di Cekungan Bengkulu menurut Gafoer, dkk. (1992) berlangsung
pada fase transgresi yang menyebabkan ruang akomodasi sedimen bertambah
bersamaan dengan naiknya muka air laut yang mengalami pasang surut pada
lingkungan darat, transisi dan laut dangkal – dalam. Kondisi tersebut memiliki
kesesuaian dengan sedimentasi yang berlangsung pada daerah penelitian. Ciri yang
ditemukan pada daerah penelitian berupa kehadiran litologi berupa batubara,
batupasir dan batulempung. Pengendapan batulempung pada kala Pliosen Awal
terendapkan di lingkungan Upper - Lower Delta Plain, kemudian secara selaras di
endapkan batupasir pada kala Pliosen Akhir terendapkan di lingkungan Upper -
Lower Delta Plain. Pada akhir pengendapan Pliosen menurut Gafoer dkk. (1992)
terjadi perubahan dari fase transgresi menuju fase regresi akibat adanya
peningkatan aktivitas tektonik sehingga terjadinya pengangkatan pada daerah
penelitian akibat adanya gaya kompresi. Dengan demikian terjadi perubahan
lingkungan pengendapan dari delta plain menuju lingkungan darat, serta struktur
geologi yang berkembang pada daerah penelitian berupa kekar dengan arah tegasan
relatif berarah tenggara – barat laut dan sesar dengan arah tegasan relatif berarah
utara - selatan. Kegiatan tektonik pada daerah telitian masih berlanjut sampai
sekarang, sehingga proses erosional dan pelapukan tetap bekerja memiliki tingkat
pelapukan yang tinggi dicirikan dengan hadirnya soil yang tebal pada daerah
penelitian. Endapan hasil dari erosi dan pelapukan kemudian terendapkan di sekitar
tubuh sungai membentuk endapan aluvial yang memiliki kontak tidak selaras
dengan satuan batuan yang berada di bawahnya.
8
6. Pola Sebaran Lapisan Batubara
Pola sebaran lapisan batubara di dapat dari data permukaan berupa data
kedudukan lapisan batuan pada singkapan batubara kemudian dilakukan penarikan
cropline dengan menggunakan metode kontur struktur (ks) dan memperhatikan
bentukan morfologi (hukum V) serta didukung pula dari data bawah permukaan
berupa data lubang bor. Dari semua lintasan diatas pola penyebaran batubara dapat
dilihat pada cropline (Lampiran 1 - E), pola cropline batubara memiliki
kemenerusan timur – barat, kemiringan ke arah selatan - barat daya. Pada jalur
cropline bagian tengah daerah penelitian di kontrol oleh morfologi, pengikisan,
erosi dan pelapukan karena tidak dijumpai lagi batubara pada lokasi tersebut
disebabkan adanya erosi dan pelapukan, sehingga penarikan jalur cropline
diperkirakan menerus menjadi seam utama. Pada korelasi stratigrafi, batubara pada
lokasi penelitian mengalami penebalan dan penipisan, selain bertujuan untuk
mengetahui penebalan dan penipisan, korelasi tersebut juga bertujuan untuk
mengetahui kondisi awal batuan tersebut diendapkan serta mengetahui
kemenerusan lapisan batuan yang ada di bawah permukaan.
7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian lapangan serta pembahasan pada bab – bab
sebelumnya, maka pada daerah penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Secara geomorfik, daerah penelitian dibagi menjadi 2 bentukan asal dan 5
bentukan lahan yang terdiri dari bentuk asal denudasional yang terdiri dari :
bentuk lahan perbukitan terkikis bergelombang kuat (D1), bentuk lahan
perbukitan terkikis bergelombang sedang (D2), dan bentuk lahan lembah
denudasional (D14), bentuk asal fluvial terdiri dari bentuk lahan tubuh sungai
(F1) dan bentuk lahan dataran banjir (F2). Jenis pola pengaliran yang
berkembang di daerah penelitian adalah subdendritik.
b. Daerah telitian terdapat 3 satuan batuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut
: a.) Satuan batulempung Simpang-Aur diendapkan pada lingkungan
pengendapan Upper - Lower Delta Plain, dengan sub-lingkungan pengendapan
Flood Plain, b.) Satuan batupasir Simpang-Aur diendapkan pada lingkungan
pengendapan Upper - Lower Delta Plain, dengan sub-lingkungan pengendapan
Swamp, Levee, Fluvial Distributary Channel, dan Backswamp, serta Satuan
endapan Aluvial diendapkan pada lingkungan darat.
c. Struktur geologi yang dijumpai pada daerah penelitian berupa dua struktur
kekar: a.) kekar pertama pada lokasi pengamatan 30 dan b.) kekar kedua pada
lokasi pengamatan 90 yang memliki tegasan utama berarah relatif barat laut –
tenggara serta struktur sesar yaitu “Right Normal Slip Fault” pada lokasi
pengamatan 25, berdasarkan korelasi penampang bor lintasan C – C’ dan D – D’
memperlihatkan elevasi batubara yang berbeda sebagai indikasi adanya patahan
berupa sesar.
d. Karakteristik dari lapisan batubara secara fisik memiliki warna hitam kusam
sampai hitam cemerlang, gores coklat kehitaman, pecahan uneven – sub-
konkoidal, kilap arang – cemerlang kusam, kekerasan sedang – ringan, pengotor
amber – clay, pelapukan sedang – tipis, mineral amorf, komposisi
monomineralik karbon. Formasi Simpang Aur sebagai pembawa batubara pada
daerah telitian. Didapatkan 2 (dua) seam batubara berdasarkan data singkapan
permukaan dan data bawah permukaan. Secara umum tebal batubara pada
daerah telitian mencapai 0.40 – 3.1 meter dengan kemiringan (14o – 20o).
9
e. Pola penyebaran lapisan batubara daerah telitian memiliki orientasi kemenerusan
berarah timur – barat dengan kemiringan berarah selatan – barat daya.
Berdasarkan korelasi Stratigrafi tebal batubara pada daerah telitian mengalami
penebalan dan penipisan. Penipisan terdapat di bagian timur dan barat pada bor
SB_30 memiliki tebal 0.90 m, bor SB_24 memiliki tebal 1.70 m dan penebalan
batubara dengan tebal 3.10 m. Bentuk endapan batubara terdiri dari Washed Out,
Pinch, Fault dan Parting. Pada jalur cropline bagian tengah daerah penelitian di
kontrol oleh morfologi, pengikisan, erosi dan pelapukan karena tidak dijumpai
lagi batubara pada lokasi tersebut disebabkan adanya erosi dan pelapukan,
sehingga penarikan jalur cropline diperkirakan menerus menjadi seam utama.
Daftar Pustaka
Ardianto Febri (2012). Skripsi: Geologi dan Pola Sebaran Lapisan Batubara Daerah
Tabapenanjing, Kecamatan Pengambir, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi
Bengkulu. Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknologi Mineral, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Diesel. C.F.K. 1992. “Coal Bearing Depositional Systems”, Springer Verlag. Berlin.
Heidelberg.
Cook. A.C. 1999. “Coal Geology and Coal Properties”, Keiraville Konsultants, Australia,
p:68-78 and 179-185.
Gafoer. T.C. S dan R. Pardede (1992). Peta Geologi Regional Lembar Bengkulu, Sumatera,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G). Bandung.
Hall et all. 1993. Ikatan Ahli Geologi Indonesia ”Cekungan Bengkulu”. (22 Maret 2009).
Hazred Umar Fathan. 2018. Skripsi: Geologi dan Persebaran Tebal Batubara di Daerah
Gunung Payung dan Sekitarnya, Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu
Utara, Provinsi Bengkulu. (tidak dipublikasikan).
Horne. J.C. Farm. J.C. Carrucio. F.T. and Baganz. B.P. 1978. “Depositional Models In
Coal Exploration and Mine Planning In Appalachilan Region”, The American
Association Of Petroleum Geologists Bulletin: Vol. 62 No.12 pp. 2379-2411.
Howles. A.C. 1986. “Structural and Stratigraphic Evolution of The Southwest Sumatra
Bengkulu Shelf”. Proceeding Indonesian Petroleum Association. 15th, pp. 215-
243.
10
Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 1996. “Sandi Stratigrafi Indonesia”. Komisi Sandi
Stratigrafi Indonesia (revisi SSI 1973).
Islamy Fajrul. 2016. Skripsi: Geologi dan Pola Sebaran Serta Kemenerusan Lapisan
Batubara Daerah Gunung Megang, Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten
Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. (tidak dipublikasikan).
Kusnama R. Pardede. S. Mangga A and Sidarto. 1992. “Geological Map of Sungai Penuh
Quadrangle, Sumatra. Map Scale 1:250.000”, Geological Research and
Development Centre, Bandung.
Kusnama. R. Andi M.S. and Sukarna. D. 1993. “Tertiary Stratigraphy and Tectonic
Evolution of Southern Sumatra”, Geological Society of Malaysia Bulletin, 33,
pp. 143 – 152.
Kusuma Praba B. 2017. Skripsi: Geologi dan Pola Sebaran Lapisan Batubara Berdasarkan
Data Permukaan dan Bawah Permukaan Desa Sukamakmur, Kecamatan
Girimulya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. (tidak
dipublikasikan).
Pardede. K.R. Mangga S.A. dan Sidarto. 1993. Geologi Lembar Sungaipenuh dan Ketaun,
Sumatera (0812-0813), Skala 1: 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
Pulunggono. A (1986). Tertiary Structural Features Related To Extentional and
Compressive Tectonics The Palembang Basin South Sumatra.15th Indonesian
Petroleum Association Proceeding. Ann. Conv.
Pulunggono. dkk (1992) Peristiwa Tektonik Yang Berperan Dalam Perkembangan Pulau
Sumatra dan Cekungan Sumatra Selatan.
Rahmad. B. 2017. “Fasies dan Kualitas Batubara Berdasarkan Komposisi Mikroskopi
Terhadap Pembentukan Gas Metana Batubara Daerah Idamanggala, Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan”, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi
Kemenristek dikti 2017.
11
Rahmad Basuki (2005) “Pengantar Kuliah Geologi Batubara” Teknik Geologi, UPN
(GL.1352).
Rahmad Basuki. 2007. “Struktur Geologi dan Sedimentasi Lapisan Batubara Formasi
Berau,” (Tidak dipublikasikan).
Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. “Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia”, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia.
Servianus Bernabas Meta. 2011. Skripsi: Geologi dan Pengaruh Lingkungan Pengendapan
Terhadap Ketebalan Lapisan Batubara di Formasi Balikpapan, Desa Tepok,
Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
(tidak dipublikasikan).
Stefanko Robert. 1983. “Coal mining technology: theory and practice”.U.S. Department of
Energy. Office of Scientific and Technical Information. United States.
Step. Nalendra Jati. 2011. Skripsi: Tipe Pola Sebaran dan Kemenerusan Lapisan Batubara
di Lokasi Penelitian, Sekitar Lokasi, dan Regional. Mahasiswa Pascasarjana.
Magister Teknik Geologi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta.
Tahir S. Musta Baba. 2007. “Pengenalan Kepada Stratigrafi”. University Malaysia Sabah.
Kota Kinabalu. Sabah.
Thornbury. W.D. 1969. “Principles of Geomorphology”. John Wiley and Sons Inc., New
York, U.S.A.
Van Zuidam. R.A. 1983. Guide to Geomorphologic aerial photographic interpretation and
mapping, ITC, Netherland.
Van Bemmelen. R.W. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA: General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes, The Hague.
12
Tabel 1.1 Koordinat Lokasi Penelitian
No Koordinat No Koordinat
1. X : 823574 3. X : 826804
Y : 9639636 Y : 9639636
2. X : 823574 4. X : 823804
Y : 9635334 Y : 9635334
: Lokasi Penelitian
13
Pendahuluan
- Studi Pustaka
- Pembuatan Proposal
- Analisis Peta Topografi
Penelitian Lapangan
Analisis Data
- Analisis Petrografi
- Analisis Satuan Geomorfik
- Analisis Struktur Geologi
Penyajian Data
- Peta Lintasan
- Peta dan Penampang Geologi
- Peta dan Penampang Geomorologi
- Peta Pola Pengaliran
- Laporan
14
Daerah Penelitian
Gambar 3.1. Fisiografi Cekungan Bengkulu dan Sekitarnya (Gafoer. dkk, 1992)
Keterangan :
: Daerah Penelitian
Gambar 3.2. Stratigrafi cekungan Bengkulu berdasarkan Peta Geologi Lembar Bengkulu (Gafoer
dkk, 1992)
15
Gambar 3.3. Model Ellipsoid Sumatera dari Jura Akhir – Resen (modifikasi dari Pulunggono, 1992)
Keterangan :
: Daerah Penelitian
Gambar 3.4. Konfigurasi struktur Paleogen – Eosen Graben System yang bekerja pada Cekungan
Bengkulu (modifikasi dari Yulihanto dkk, 1995)
16
Tabel 2.1. KOP Peta Geomorfologi Modifikasi Van Zuidam, 1983 (Lampiran 1 – C )
17
Tabel 2.2. Ringkasan Stratigrafi Daerah Telitian
18
Gambar 3.5 Gambaran profil lingkungan pengendapan daerah telitian
(Allen et. al 1998)
19
Gambar 3.6 Sejarah Geologi Daerah Telitian
20
Gambar 6.3. Peta Pola Sebaran Lapisan Batubara
21