Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Petrologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan geologi yang mempelajari

batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf, asal mula pembentukan batuan,

pembentuk kulit bumi, serta penyebarannya baik didalam maupun dipermukaan bumi,

mencakup aspek deskripsi dan aspek genesa-interpretasi. Batuan didefinisikan sebagai

semua bahan yang menyusun kerak (kulit) bumi dan merupakan suatu agregat

(kumpulan) mineral-mineral yang telah menghablur (mengkristal). Dalam arti sempit,

yang tidak termasuk batuan adalah tanah dan bahan lepas lainnya yang merupakan

hasil pelapukan kimia, fisika maupun biologis, serta proses erosi dari batuan. Namun

dalam arti luas tanah hasil pelapukan dan erosi tersebut termasuk batuan.

Batuan sebagai agregat mineral pembentuk kulit bumi secara genesa dapat

dikelompokkan menjadi tiga jenis batuan, yaitu: Batuan beku (“ igneous rocks”), adalah

kumpulan mineral silikat sebagai hasil pembekuan daripada magma yang mendingin

(Huang, 1962). Batuan sedimen (“ sedimentary rocks”), adalah batuan hasil litifikasi

bahan rombakan batuan yang berasal dari proses denudasi atau hasil reaksi kimia

maupun hasil kegiatan organisme (Pettijohn, 1964). Batuan metamorf atau batuan

malihan (“metamorphic rocks”), adalah batuan yang berasal dari suatu batuan yang

sudah ada yang mengalami perubahan tekstur dan komposisi mineral pada fasa padat

sebagai perubahan kondisi fisika (tekanan dan temperatur) (Winkler, 1967). Pada

fieldtrip Petrologi kali ini, fokus pada bagaimana cara mengindentifikasi dan mengenal

jenis dan nama batuan berdasarkan pendeskripsiannya, mengenal lebih dalam tentang

jenis-jenis formasi pada batuan.

1
1.2. Tujuan Kuliah Lapangan

Tujuan diadakannya kuliah lapangan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengaplikasikan penggunaan alat-alat seperti GPS, kompas geologi, dan palu

geologi pada beberapa singkapan daerah kawasan Kabupaten Barru.

2. Menganalisis dan mendeskripsikan batuan yang terdapat pada kawasan

Kabupaten Barru.

3. Menganalisis dan mendeskripsikan mineral yang terdapat pada kawasan

Kabupaten Barru.

4. Mengidentifikasi formasi batuan pada geologi regional Kabupaten Barru.

5. Menginterpretasikan hasil penelitian di Lapangan kedalam peta geologi.

1.3. Manfaat Kuliah Lapangan

Manfaat diadakannya kuliah lapangan petrologi ini yaitu:

1. Mahasiswa mampu mengaplikasikan penggunaan alat-alat seperti GPS, kompas

geologi, dan palu geologi pada beberapa singkapan daerah kawasan Kabupaten

Barru.

2. Mahasiswa mampu menganalisis dan mendeskripsikan batuan yang terdapat

pada kawasan Kabupaten Barru.

3. Mahasiswa mampu menganalisis dan mendeskripsikan mineral yang terdapat

pada kawasan Kabupaten Barru.

4. Mahasiswa mampu mengidentifikasi formasi batuan pada geologi regional

Kabupaten Barru.

5. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil penelitian di Lapangan kedalam

peta geologi.

2
1.4. Lokasi Kuliah Lapangan

Kuliah lapangan petrologi ini dilakukan di kampus lapangan Geologi Fakultas

Teknik Universitas Hasanuddin yang berada di daerah dusun Daccipong desa

Anabanua Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Kampus lapangan Geologi Fakultas

Teknik Universitas Hasanuddin ini memiliki koordinat garis bujur S=4º 27’ 14,8” dan

garis lintang E=119º 43’ 28,8”

Jarak dari kampus 2 Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin menuju kampus lapangan

Geologi Universitas Hasanuddin sejauh 113 KM, dan memakan waktu sekitar 3 jam

untuk sampai ke kampus lapangan Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

LOKASI KULIAH LAPANGAN

Gambar 1.1 Peta lokasi praktikum

3
BAB II

GEOLOGI REGIONAL DAN PETROLOGI

2.1. Geomorfologi Regional

Kabupaten Barru dan sekitarnya merupakan pegunungan dan pada umumnya

terdapat didaerah bagian timur, wilayah bagian barat merupakan pedataran yang

relatif sempit dan dibatasi oleh selat makasar. Daerah ini menyempit ke utara dan

dibatasi oleh perbukitan dengan pola struktur yang rumit, kemudian di sebelah selatan

dibatasi oleh pegunungan yang disusun oleh Batugamping. Proses geomorfologi

merupakan perubahan yang dialami oleh permukaan bumi baik secara fisik secara fisik

maupun kimia penyebab dari proses perubahan tersebut dapat dibagi atas dua

golongan yaitu (Thornbury, 1954):

1. Tenaga Eksogen.

Tenaga ini bersifat merusak, dapat berupa angin, suhu, dan air. Dengan

adanya tenaga eksogen dapat terjadi proses denudasi berupa erosi, pelapukan,

dan degradasi.

2. Tenaga Endogen.

Tenaga ini cenderung untuk membangun, dapat berupa gempa, gaya-gaya

pembentuk struktur dan vulkanisme akibat dari adanya tenaga endogen maka

dapat terbentuk struktur gunung api dan agradasi. Dengan adanya tenaga-tenaga

tersebut di atas maka terbentuknya bentang alam dengan kenampakan yang

berbeda satu sama lainnya sesuai dengan tenaga yang mempengaruhi

pembentukannya. Kenampakan bentang alam di daerah Barru umumnya

merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dimana puncaknya sudah nampak

meruncing dan sebagian lagi nampak membulat. Perbedaan tersebut disebabkan

4
oleh karakteristik masing-masing batuannya. Pengaruh struktur dan tingkat

perkembangan erosi yang telah berlangsung dan akhirnya menghasilkan

kenampakan bentang alam seperti yang nampak sekarang ini.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka pengelompokan satuan morfologi di daerah

Barru dapat dibagi berdasarkan pada struktur geologi dan batuan penyusunnya serta

proses geomorfologi yang mempengaruhi bentuk permukaan bumi yang nampak

sekarang pembagian satuan morfologi adalah sebagai berikut ( Thornbury, 1954):

1. Satuan morfologi perbukitan Gawir sesar Aledjang-Buludua.

2. Satuan morfologi pegunungan denudasi B.Masula-B.Pitu.

3. Satuan Morfologi perbukitan Gawir sesar Aledjang-Buludua.

Penamaan satuan morfologi ini didasarkan atas struktur geologi yang lebih

dominan terdapat pada daerah tersebut dan memberikan pengaruh terhadap

pembentukan bentang alamnya.

A. Satuan morfologi perbukitan Gawir sesar Aledjang-Buludua.

Satuan morfologi perbukitan Gawir sesar Aledjang-Buludua mempunyai sudut

kemiringan lereng antara 5-20o. Satuan morfologi ini umumnya membentuk jalur gawir

sesar turun, menempati daerah-daerah bagian utara daerah penelitian yang

memanjang dari dusun Galungsalawe, Bale, Ampela, dan Buludua dibagian timur.

Permukaan gawir sesar ini menghadap ke Selatan dimana permukaan gawirnya telah

mengalami proses erosi lebih lanjut yang ditandai dengan adanya gerakan tanah

berupa landslide di Aledjang yang akibatnya material-material hasil erosi tersebut

diendapkan pada dasar tebing. Kenampakan morfologi akibat pengaruh sesar dapat

pula terlihat pada kenampakan permukaan Gawir yang memotong perlapisan batuan di

lereng selatan B.Laposso. Kenampakan lainnya berupa tebing yang terjal dengan

dasar-dasar lembah yang sempit dan landai dapat dijumpai dibeberapa tempat di

sepanjang jalur morfologi gawir sesar ini. Sungai yang mengalir pada daerah satuan

5
morfologi ini adalah sungai Watu dengan beberapa anak sungai yang mengalir dari

arah timur ke barat dengan tipe genetik sungai Obsekuen. Satuan batuan yang

menyusun satuan morfologi ini adalah Breksi, Batugamping, dan Napal. Proses erosi

yang bekerja pada daerah ini relatif besar karena sifat batuannya yang kurang

resisten dan adanya aktivitas penduduk setempat yang mengadakan pengolahan lahan

untuk diguinakan sebagai daerah permukiman, perkebunan, dan persawahan yang

mempercepat terjadinya erosi.

B. Satuan morfologi pegunungan Denudasi B.Masula-B.Pitu.

Penamaan satuan morfologi ini didasarkan pada proses geomorfologi serta bentuk

morfologi dan keadaan fisik batuan sebagai hasil dari aktivitas denudasi yang terjadi

dan dominan terdapat pada daerah tersebut. Aktivitas denudasi berupa proses

pelapukan, erosi, dan longsoran merupakan kegiatan yang dapat merombak dan

membentuk permukaan bumi. Satuan morfologi pegunungan denudasi B.Musula-B.Pitu

menyabar dibagian timur laut B.Laposso (931m). Penyebaran satuan morfologi ini

meliputi beberapa daerah pegunungan yang memanjang dari arah barat ke timur yaitu

B.Matjekke (431m), B.dua (938m) dan B.Musula (819m), B.Matonrong (903m), B.Pitu

(342m), dan Kalukku (407m) dengan sudut kemiringan antara 10-70% Terdapat

beberapa perbukitan disekitar B.Pitu, B.Masula, dan B.Matonrong dengan arah

penyebaran pegunungan bukit yang memanjang dari barat laut tenggara. Aktivitas

denudasi di pegunungan seperti B.Dua memperlihatkan adanya sisa-sisa erosi dan

pelapukan yang mengikis sebagian pegunungan tersebut. Pada beberapa tempat

ditemukan adanya bukit-bukit kecil tumpul yang terbentuk akibat adanya pengaruh

erosi dan pelapukan dimana keadaan soil pada bagian puncak bukit sangat tipis namun

pada bagian lembah yang mempunyai soil yang tebal. Sungai yang mengalir pada

satuan morfologi ini adalah S.Birunga dengan beberapa anak sungainya yang

mempunyai pola aliran dentritik dengan tipe genetik sungai Obsekuen. Satuan batuan

6
yang menyusun satuan morfologi pegunungan denudasi ini pada umumnya terdiri dari

Breksi Vulkanik kecuali pada daerah B.Dua dan B.Matjekke batuan penyusunnya terdiri

dari dari batuan beku Andesit dan Diorit yang merupakan satuan intrusi bentuk sill.

Satuan morfologi ini sebagian digunakan oleh penduduk setempat sebagai daerah

permukiman dan persawahan.

C. Pola Aliran Sungai.

Sungai yang mengalir di daerah ini adalah sungai Watu yang terletak di daerah

barat laut dan mengalir dari arah timur ke barat dengan aliran yang tidak teratur

sungai-sungai tersebut mengalir pada satuan Napal dan Breksi Batugamping. Sungai

Urunga dengan beberapa anak sungainya terdapat disebelah selatan dengan aliran

tegak lurus dengan sungai utama. Sungai umpung yang mengalir dari arah barat ke

timur dan sungai ule mengalir dari arah utara ke selatan. Sungai tersebut mengalir

pada satuan Breksi Vulkanik, Batugamping dan Serpih.

D. Tipe Genetik Sungai.

Sungai-sungai yang mengalir didaerah Barru pada umumnya menunjukkan aliran

yang berlawanan dengan arah kemiringan perlapisan batuan, sehingga dengan

demikian dapat digolongkan sebagai sungai dengan tipe aliran Obsekuen.

E. Kuantitas Air Sungai.

Sungai-sungai yang terdapat di Barru termasuk jenis sungai periodik dimana

kuantitas airnya besar, pada musim hujan tetapi pada musim kemarau airnya kecil

atau kering.

F. Stadia Daerah.

Daerah Barru umumnya memperlihatkan kenampakan bentang akan berupa

perbukitan dan pegunungan yang sebagian sudah tampak meruncing dan setempat-

setempat terjadi penggundulan pada bukit-bukit. Bentuk lembah umumnya masih

sempit dengan lereng terjal pada proses erosi lebih lanjut. Sebagian sungai nampak

7
menempati dasar lembah dan relatif lurus dengan aliran yang tidak begitu deras, di

samping itu pula dataran pedaratan belum begitu meluas. Berdasarkan pada

kenampakan dari ciri-ciri bentang alam seperti yang telah disebutkan maka dapatlah

disimpulkan bahwa stadia daerah termasuk dalam stadia muda manjelang dewasa

(Thornbury, 1954).

2.2. Stratigrafi Regional

Daerah Barru disusun oleh beberapa satuan batuan dan tersebar pada jenis

bentang alam yang berbeda atau bervariasi dan telah mengalami gangguan struktur

sehingga menyebabkan jurus dan kemiringan perlapisan batuan menjadi tidak

beraturan. Sebagian batuannya telah mengalami pelapukan dan peremukan hingga

nampak kurang segar terutama pada napal. Pengelompokkan dan penamaan satuan

batuan didasarakan atas ciri-ciri fisik di lapangan, jenis batuan, posisi stratigrafi dan

hubungan tektonik antar batuan dapat dikorelasikan secara vertikal maupun lateral dan

dapat dipetakan dalam skala 1:25.000 (Thornbury, 1954).

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka satuan batuan dapat digolongkan

dalam lima satuan, mulai dari satuan batuan yang muda sampai yang ke tertua yaitu

sebagai berikut (Thornbury, 1954):

1. Satuan Batuan Beku Intrusi.

2. Satuan Breksi.

3. Satuan Napal.

4. Satuan Breksi Batugamping Tonasa.

5. Satuan Batupasir Mallawa.

6. Satuan Serpih Balangbaru.

Pembahasan lebih lanjut dari setiap satuan batuan dari yang tertua ke yang

termuda sebagai berikut :

8
A. Satuan Serpih Balangbaru.

Penyebaran batuan ini tidak terlalu meluas yang menempati bagian sungai dengan

arah umum perlapisan barat daya-timur laut. Ciri litologi berwarna segar ungu dan jika

lapuk berwarna abu-abu dengan tekstur klastik halus berukuran lempung, dan

ketebalan perlapisan berukuran antara 1-10cm. Ukuran butir lempung dan struktur

berlapis. Lingkungan pengendapannya dari satuan serpih ini didasarkan ciri-ciri litologi

dimana dijumpai perlapisan tipis dengan ukuran butir Lempung yang menunjukkan

lingkungan pengendapan tenang atau laut dalam. Penentuan umur Serpih diperkirakan

berumur kapur termasuk dalam formasi Balangbaru. Hubungan stratigrafi dengan

litologi diatasnya adalah tidak selaras.

B. Satuan Batupasir Mallawa.

Penamaan satuan batuan ini didasarkan atas dominasi dan pelemparan batuan

penyusunnya serta ciri-ciri litologi. Penyebaran satuan Batupasir ini meliputi bagian

barat daerah Barru dengan arah umum perlapisan berarah Utara-Selatan. Kenampakan

satuan batuan ini menunjukkan adanya kesan perlapisan, dalam keadaan segar

berwarna kuning kecoklatan, tekstur klastik kasar, mengandung mineral Kuarsa. Dalam

satuan ini terdapat angota-anggota berupa Batupasir, Konglomerat, Batulanau,

Batulempung dan Napal. Dengan sisipan Batubara berupa lensa. Umur satuan batuan

ini diperkirakan antar paleosen sampai eosen bawah, hubungan stratigrafi dengan

satuan batuan di bawahnya adalah tidak selaras dengan satuan batuan di atasnya.

C. Satuan Breksi Batugamping.

Penamaan satuan batuan ini didasarkan pada dominasi dan pelemparan batuan

penyusunnya. Ciri litologi kompak dan keras serta bersifat karbonatan. Batuan ini

terdiri atas fragmen berupa Sekis, Glaukonit, Kuarsit, Batugamping dan fosil serta

matriks berupa Lempung. Berdasarkan hal tersebut di atas maka satuan batuan ini

dinamakan satuan Breksi Batugamping. Penyebaran satuan ini meliputi sebelah barat

9
laut dan sebagian di daerah Buludua, yang pada umumnya menempati daerah satuan

morfologi perbukitan Gawir Sesar Aleojang Buludua dengan sudut kemiringan lereng

antara 10-20o. Arah umum perlapisan batau relatif berarah baratlaut-tenggara dengan

sudut kemiringan 25-37o. Ketebalan relatif satuan breksi Batugamping adalah 264m.

Kenampakan satuan Breksi Batugamping menunjukkan adanya kesan perlapisan umum

namun adapula yang terdapat dalam bentuk bongkahan. Tebal lapisan antara 16-

60cm. Berwarna putih kekuning-kuningan dalam keadaan segar dan lapuk berwarna

abu-abu kehitaman. Klastik kasar dengan sortasi jelek dan mengandung fosil, mineral

Glaukonit, Muskovit, dan Sekis. Berdasarkan ciri-ciri litologi dimana ada dijumpai

perlapisan dengan tebal yang berbeda, disusun oleh mineral-mineral berbutir kasar

dengan kehadiran mineral Glaukonit. Penentuan umur dari satuan ini dari satuan ini

didasarkan atas kandungan fosil yang dijumpai antar eosen awal sampai eosen tengah.

Hubungan stratigrafi antar satuan Breksi Batugamping dengan satuan di bawahnya

adalah selaras ada menjemari dengan satuan Batunapal yang tidak selaras dengan

Breksi Vulkanik yang berada di atasnya. Satuan batuan ini termasuk dalam formasi

Tonasa.

D. Satuan Napal.

Penyebaran satuan ini meliputi daerah Galungsalawe, Bale, dan Ampele dan

sebagian terdapat di daerah timur laut. Sebagian dari satuan batuan ini menempati

daerah satuan morfologi perbukitan Sesar, Gawir Aledjang Buludua dan sebagian lagi

terdapat pada daerah yang daerahnya relatif datar arah umum perlapisan batuan

beraraha barat laut-tenggara dengan sudut kemiringan antara 23-840 o. Kenampakan

satuan napal menujukkan adanya perlapisan dengan ketebalan anatar 25-50cm. Dalam

keadaan segar, batuan ini berwarna putih keabuan dan lapuk berwarna kuning

keabuan, tekstur klastik (Tipsword, 1975).

10
Umur satuan ini yaitu eosen Tengah bagian bawah yang ditentukan dari kandungan

fosilnya. Hubungan stratigrafi antara satuan ini dengan batuan yang ada disekitarnya

yaitu satuan breksi Batugamping menjemari dan dengan satuan Breksi Vulkanik yang

berada diatasnya adalah tidak selaras. Satuan ini termasuk dalam formasi Tonasa

(Postuma, 1971).

E. Satuan Breksi Vulkanik.

Satuan Breksi Vulkanik penyebarannya meliputi beberapa pegunungan yaitu

B.Laposso, B.Masula, B.Matonrong, B.Pitu, B.Kaluku serta pemukiman seperti Menrong,

Parjiro Adjenga, Baitu, Wuruwue dan Litae sebagian pula tersingkap di daerah aliran

sungai Kampong Litae, satuan ini menempati daerah satuan morfologi pegunungan

denudasi B.Masula, B.Pitu dengan arah perlapisan batuan umumnya barat laut timur

tenggara dengan sudut kemiringan antara 16–25o. Kenampakan dari satuan Breksi

Vulkanik ini menampakkan adanya perlapisan dengan ketebalan lapisan antara 35-

100cm. Fragmen batuan Breksi Vulkanik berupa batuan beku yaitu Basalt, Andesit,

Matriks Tufa yang disemen oleh Silika. Ukuran fragmen yaitu antara 5-60cm dan

bentuk menyudut tanggung. Pada satuan ini tidak dijumpai adanya fosil mikro dan

makro sehingga satuan ini disebandingkan dengan batuan Vulkanik Camba yang

berumur miosen tengah sampai miosen akhir. Hubungan stratigrafi dengan batuan

yang ada di atasnya maupun yang ada diatasnya adalah tidak selaras.

F. Satuan Batuan Beku Intrusi.

Satuan ini terdiri dari dua anggota yaitu batuan Diorit dan batuan Andesit. Batuan

beku Diorit penyebarannya meliputi daerah B.Matjekke dan sebagian kecil terdapat

disebelah selatan barat laut. Batuan ini menempati daerah satuan morfologi

pegunungan denudasi B.Masula, B.Pitu, dalam keadaan segar batuan ini berwarna

abu-abu dengan struktur kompak, tekstur faneritik dan bentuk kristal subhedral-

anhedral ukuran mineral 1-2,3mm. Penentuan umur batuan Diorit disebandingkan

11
dengan hasil peneliti terdahulu yaitu berumur miosen. Kenampakan batuan ini dalam

keadaan segar menampakkan warna abu-abu kehitaman, struktur vasikuler, tekstur

afanitik, komposisi mineral plagioklas, hornblend. Umur batuan beku Andesit ini adalah

miosen (Ra Sukamto, 1982).

2.3. Struktur Geologi Regional

Lengan selatan pulau Sulawesi secara struktural dibagi atas dua bagian yaitu

lengan selatan bagian utara dan lengan selatan bagian selatan yang sangat berbeda

struktur geologinya. Lengan selatan bagian utara berhubungan dengan orogen,

sedangkan lengan selatan bagian selatan memperlihatkan hubungan kearah jalur

orogen yang merupakan sistem pegunungan Sunda. Perkembangan struktur lengan

selatan bagian utara pulau Sulawesi di mulai pada zaman kapur, yaitu terjadinya

perlipatan geosinklin disertai dengan kegiatan vulkanik bawah laut dan intrusi Gabro.

Bukti adanya intrusi ini terlihat pada singkapan disepanjang pantai utara–selatan Teluk

Bone (Bemellen, 1949).

Batuan tua yang masih dapat diketahui kedudukan struktur stratigrafi dan

tektonikanya adalah sedimen flysch formasi Balangbaru dan formasi Marada, bagian

bawah tidak selaras menindih batuan yang lebih tua, dan bagian atasnya ditindih tak

selaras oleh batuan yang lebih muda. Batuan yang lebih tua merupakan masa yang

terimfikasi melalui sejumlah sesar sungkup, terbreksikan, tergerus dan sebagian

mencampur dengan Malange. Berdasarkan himpunan batuannya diduga formasi

Balangbaru dan formasi Marada merupakan endapan lereng didalam sistem busur

palung pada zaman kapur akhir, dan gejala ini menunjukkan bahwa Malange didaerah

Bantimala terjadi sebelum kapur akhir (Bemellen, 1949).

Pada kala Palaeosen kegiatan gunungapi bawah laut yang hasil erupsinya

dapat terlihat di timur Bantimala dan daerah Barru. Pada bagian barat berupa tepi

12
dataran yang dicirikan oleh endapan darat dan batubara pada formasi Mallawa,

sedangkan di daerah timur, berupa cekungan laut dangkal tempat pengendapan

batuan klastik bersisipan Karbonat formasi Salokalupang. Pengendapan formasi

Mallawa mungkin hanya berlangsung selama awal pliosen, sedangkan formasi

Salokalupang berlangsung hingga oligosen akhir (Bemellen, 1949).

Sejak eosen akhir sampai miosen awal di daerah barat terendapkan batuan

karbonat yang luas. Dimana hal ini menunjukkan bahwa daerah ini merupakan

paparan laut dangkal yang luas, yang kemudian berangsur–angsur menurun atau

mengalami pendangkalan sejalan dengan adanya proses pengendapan yang terjadi.

Sedangkan pada daerah bagian Timur terjadi proses gunungapi yang dimulai sejak

miosen akhir dimana hal ini ditunjukkan pada daerah Kalamiseng dan Soppeng. Akhir

kegiatan gunungapi ini diikuti oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya permulaan

Terban Walanae yang kemudian menjadi cekungan tempat pembentukan formasi

Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal miosen tengah, dan

mengalami penurunan perlahan-lahan selama terjadi proses sedimentasi sampai kala

pliosen (Bemellen, 1949).

Proses menurunnya Terban Walanae dibatasi oleh dua sistem sesar normal,

yaitu sesar Walanae yang seluruhnya nampak hingga sekarang disebelah timur, dan

sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah barat. Selama

terbentuknya Terban Walanae, diumur kegiatan gunungapi yang hanya terjadi

dibagian selatan sedangkan di bagian barat terjadi kegiatan gunungapi yang hampir

merata dari selatan ke utara, dan ini berlangsung dari miosen tengah sampai pliosen.

Dimana hal ini, bentuk kerucutnya masih dapat diamati di daerah sebelah barat yang

diantaranya Puncak Maros dan Gunung Tondongkarambu serta tebing melingkar yang

mengelilingi Gunung Benrong yang berada di utara Gunung Tondongkarambu dan ini

mungkin merupakan sisa kaldera (Bemellen, 1949).

13
Sejak miosen tengah terjadi sesar utama yang mempunyai arah utara-baratlaut

dan tumbuh sampai setelah pliosen. Perlipatan besar yang berarah hampir sejajar

dengan sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan adanya tekanan mendatar

yang kira-kira berarah timur-barat pada waktu sebelum akhir pliosen. Tekanan ini

mengakibatkan pula adanya sesar sungkup lokal yang menyesarkan batuan pra–kapur

akhir di daerah Bantimala ke atas batuan Tersier. Perlipatan penyesaran yang relatif

lebih kecil dibagian timur Lembah Walanae dan dibagian barat timur Lembah Walanae

dan dibagian barat pegunungan Barat, yang berarah baratlaut-tenggara, kemungkinan

besar terjadi oleh gerakan mendatar ke kanan sepanjang sesar besar (Bemellen,

1949).

Gambar 2.1 Peta Geologi

14
2.4. Petrologi

Petrologi berasal dari dua kata yaitu petro yang berarti batu dan kata logos

yang berarti ilmu. Jadi, petrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang batuan.

Sedangkan secara istilah petrologi adalah ilmu mengenai batuan, secara luas

mempelajari asal, kejadian, sejarah dan sejarah batuan (Turner dan Verhoogen,1960).

Petrologi batuan beku berfokus pada komposisi dan tekstur dari batuan beku

(batuan seperti Granit atau Basalt yang telah mengkristal dari Batu Lebur atau

Magma). Batuan beku mencakup batuan Vulkanik dan Plutonik. Petrologi batuan

sedimen berfokus pada komposisi dan tekstur dari batuan Sedimen (batuan seperti

Batupasir atau Batugamping yang mengandung partikel-partikel sedimen terikat

dengan matriks atau material lebih halus) (Turner dan Verhoogen,1960).

Petrologi batuan metamorf berfokus pada komposisi dan tekstur dari batuan

metamorf (batuan seperti batu sabak atau batu marmer yang bermula dari batuan

sedimen atau beku tetapi telah melalui perubahan kimia, mineralogi atau tekstur

dikarenakan kondisi ekstrim dari tekanan, suhu, atau keduanya). Petrologi

memanfaatkan bidang klasik mineralogi, petrografi mikroskopis, dan analisa kimia

untuk menggambarkan komposisi dan tekstur batuan (Turner dan Verhoogen,1960).

Ahli petrologi modern juga menyertakan prinsip geokimia dan geofisika dalam

penelitan kecenderungan dan siklus geokimia dan penggunaan data termodinamika

dan eksperimen untuk lebih mengerti asal batuan. Petrologi eksperimental

menggunakan perlengkapan tekanan tinggi, suhu tinggi untuk menyelidiki geokimia

dan hubungan fasa dari material alami dan sintetis pada tekanan dan suhu yang

ditinggikan. Percobaan tersebut khususnya berguna untuk menyelidiki batuan pada

kerak bagian atas dan mantel bagian atas yang jarang bertahan dalam perjalanan

kepermukaan pada kondisi asli (Turner dan Verhoogen,1960).

15
2.4.1. Batuan Beku.

Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, “api”) adalah jenis

batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan atau tanpa

proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai batuan intrusif (plutonik) maupun

di atas permukaan sebagai batuan ekstrusif (vulkanik). Magma ini dapat berasal dari

batuan setengah cair ataupun batuan yang sudah ada, baik di mantel ataupun kerak

bumi. Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh salah satu dari proses-proses berikut :

kenaikan temperatur, penurunan tekanan, atau perubahan komposisi. Lebih dari 700

tipe batuan beku telah berhasil dideskripsikan, sebagian besar terbentuk di bawah

permukaan kerak bumi (Turner dan Verhoogen,1960).

Magma didefinisikan sebagai cairan silikat kental yang pijar terbentuk secara

alamiah, bertemperatur tinggi antara 1,500–2,500 0C dan bersifat mobile (dapat

bergerak) serta terdapat pada kerak bumi bagian bawah. Dalam magma tersebut

terdapat beberapa bahan yang larut, bersifat volatile yang merupakan penyebab

mobilitas magma, dan non-volatile (non-gas) yang merupakan pembentuk mineral

yang lazim dijumpai dalam batuan beku (Turner dan Verhoogen ,1960).

Mineral utama pembentuk batuan mengkristal mengikuti suatu pola perurutan

kristalisasi. Pola perurutan kristalisasi disebut deret Bowen. Tetapi walaupun demikian

deret Bowen tidak selalu berlaku. Pada deret Bowen ditunjukkan bahwa mineral

pertama terbentuk cenderung mengandung Silika yang rendah. Pada seri menerus

(continous) mineral terbenuk pertama adalah Plagioklas-Ca akan terus menerus

bereaksi dengan larutan sisa magma selama proses pendinginan berlangsung,

maksudnya disini adalah terus terjadi penggantian (substitusi) unsur Ca dengan unsur

Na. Sedangkan pada seri yang tidak menerus (discontinous) terdiri dari mineral yang

kaya unsur Fe dan Mg, disebut juga mineral Ferromagnesium (Takeda,1970).

16
Mineral yang pertama terbentuk adalah mineral Olivin kemudian dilanjutkan

oleh pembentukan mineral selanjutnya dengan larutan sisa magma yang ada tanpa

terjadi reaksi antara larutan sisa magma dengan mineral yang telah terbentuk

(Takeda,1970).

A. Tekstur batuan beku

Tekstur pada batuan beku umumnya ditentukan oleh tiga hal utama, yaitu

sebagai berikut (Takeda,1970):

1. Kristalinitas

Kristalinitas merupakan derajat kristalisasi dari suatu batuan beku pada waktu

terbentuknya batuan tersebut. Kristalinitas dalam fungsinya digunakan untuk

menunjukkan berapa banyak yang berbentuk kristal dan yang tidak berbentuk kristal,

selain itu juga dapat mencerminkan kecepatan pembekuan magma. Apabila magma

dalam pembekuannya berlangsung lambat maka kristalnya kasar. Sedangkan jika

pembekuannya berlangsung cepat maka kristalnya akan halus, akan tetapi jika

pendinginannya berlangsung dengan cepat sekali maka kristalnya berbentuk amorf.

Dalam pembentukannnya dikenal tiga kelas derajat kristalisasi, yaitu sebagai

berikut:

a) Holokristalin

Holokristalin adalah batuan beku dimana semuanya tersusun oleh kristal.

b) Hipokristalin

Hipokristalin adalah apabila sebagian batuan terdiri dari massa gelas dan

sebagian lagi terdiri dari massa kristal.

c) Holohialin

Holohialin adalah batuan beku yang semuanya tersusun dari massa gelas.

Tekstur holohialin banyak terbentuk sebagai lava (obsidian), dike dan sill, atau

sebagai fasies yang lebih kecil dari tubuh batuan.

17
2. Granularitas

Granularitas dapat diartikan sebagai besar butir (ukuran) pada batuan beku.

Pada umumnya dikenal dua kelompok tekstur ukuran butir, yaitu:

a. Faneritik atau fanerokristalin, besar kristal-kristal dari golongan ini dapat

dibedakan satu sama lain secara megaskopis dengan mata telanjang. Kristal-

kristal jenis fanerik ini dapat dibedakan menjadi:

1) Halus (fine), apabila ukuran diameter butir kurang dari 1 mm.

2) Sedang (medium), apabila ukuran diameter butir antara 1–5 mm.

3) Kasar (coarse), apabila ukuran diameter butir antara 5–30 mm.

4) Sangat kasar (very coarse), apabila ukuran diameter butir lebih dari

30mm.

b. Afanitik, besar kristal-kristal dari golongan ini tidak bisa dibedakan dengan

mata telanjang sehingga diperlukan bantuan mikroskop. Batuan dengan

tekstur afanitik dapat tersusun oleh kristal, gelas atau keduanya. Dalam

analisis mikroskopis dibedakan menjadi tiga yaitu :

1) Mikrokristalin, jika mineral-mineral pada batuan beku bisa diamati

dengan bantuan mikroskop dengan ukuran butiran sekitar 0,1–0,01 mm.

2) Kriptokristalin, jika mineral-mineral dalam batuan beku terlalu kecil

untuk diamati meskipun dengan bantuan mikroskop. Ukuran butiran

berkisar antara 0,01–0,002 mm.

3) Amorf/glassy/hyaline, apabila batuan beku tersusun oleh gelas.

3. Bentuk Kristal

Bentuk kristal merupakan sifat dari suatu kristal dalam batuan, jadi bukan sifat

batuan secara keseluruhan. Ditinjau dari pandangan dua dimensi dikenal tiga bentuk

kristal, yaitu:

a. Euhedral, jika batas dari mineral adalah bentuk asli dari bidang kristal.

18
b. Subhedral, jika sebagian dari batas kristalnya sudah tidak terlihat lagi.

c. Anhedral, jika mineral sudah tidak mempunyai bidang kristal asli.

Ditinjau dari pandangan tiga dimensi, dikenal empat bentuk kristal, yaitu:

a. Equidimensional, jika bentuk kristal ketiga dimensinya sama panjang.

b. Tabular, jika bentuk kristal dua dimensi lebih panjang dari satu dimensi yang

lain.

c. Prismitik, jika bentuk kristal satu dimensi lebih panjang dari dua dimensi

yang lain.

d. Irregular, jika bentuk kristal tidak teratur.

4. Hubungan Antar Kristal

Hubungan antar kristal atau disebut juga relasi diartikan sebagai hubungan antar

kristal atau mineral yang satu dengan yang lain dalam suatu batuan. Hubungan antar

krital dapat dibagi menjadi beberapa jenis antara lain sebagai berikut:

a. Equigranular, yaitu jika secara relatif ukuran kristalnya yang membentuk

batuan berukuran sama besar. Berdasarkan keidealan kristal-kristalnya.

b. Inequigranular, yaitu jika ukuran butir kristalnya sebagai pembentuk batuan

tidak sama besar. Mineral yang besar disebut fenokris dan yang lain disebut

massa dasar atau matrik yang bisa berupa mineral atau gelas.

B. Struktur Batuan Beku

Struktur batuan beku sebagian besar hanya dapat dilihat di lapangan saja,

misalnya:

a. Pillow lava atau lava bantal, yaitu struktur paling khas dari batuan vulkanik

bawah laut, membentuk struktur seperti bantal.

b. Joint struktur, merupakan struktur yang ditandai adanya kekar-kekar yang

tersusun secara teratur tegak lurus arah aliran.

19
Sedangkan struktur yang dapat dilihat pada contoh-contoh batuan ( hand

speciment sample), yaitu:

a. Masif, yaitu jika tidak menunjukkan adanya sifat aliran, jejak gas (tidak

menunjukkan adanya lubang-lubang) dan tidak menunjukkan adanya

fragmen lain yang tertanam dalam tubuh batuan beku.

b. Vesikuler, yaitu struktur yang berlubang-lubang yang disebabkan oleh

keluarnya gas pada waktu pembekuan magma. Lubang-lubang tersebut

menunjukkan arah yang teratur.

c. Skoria, yaitu struktur yang sama dengan struktur vesikuler tetapi lubang-

lubangnya besar dan menunjukkan arah yang tidak teratur.

d. Amigdaloidal, yaitu struktur dimana lubang-lubang gas telah terisi oleh

mineral-mineral sekunder, biasanya mineral Silikat atau Karbonat.

e. Xenolitis, yaitu struktur yang memperlihatkan adanya fragmen/pecahan

batuan lain yang masuk dalam batuan yang mengintrusi.

Pada umumnya batuan beku tanpa struktur (masif), sedangkan struktur-

struktur yang ada pada batuan beku dibentuk oleh kekar ( joint) atau rekahan

(fracture) dan pembekuan magma, misalnya: columnar joint (kekar tiang), dan

sheeting joint (kekar berlembar).

C. Komposisi Mineral Batuan Beku

Cara menentukan kandungan mineral pada batuan beku, dapat dilakukan dengan

menggunakan indeks warna dari batuan kristal. Berdasarkan warna mineral sebagai

penyusun batuan beku dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mineral Felsik dan

mineral Mafik.

a. Mineral felsik, merupakan mineral yang berwarna terang, terutama terdiri

dari mineral Kuarsa, Feldspar, Feldspatoid dan Muskovit.

20
b. Mineral mafik, merupakan mineral yang berwarna gelap, terutama Biotit,

Piroksen, Amphibol dan Olivin.

Berdasarkan cara terjadinya, kadungan SiO2 dan indeks warna batuan beku

dapat diklasifikasi. Sehingga dapat ditentukan nama batuan yang berbeda-beda

meskipun dalam jenis batuan yang sama.

Klasifikasi batuan beku berdasarkan cara terjadinya dapat dibagi menjadi

sebagai berikut (Menurut Rosenbusch, 1877):

a. Effusive rock, merupakan batuan beku yang terbentuk di permukaan.

b. Dike rock, merupakan batuan beku yang terbentuk dekat permukaan.

c. Deep seated rock, merupakan batuan beku yang jauh di dalam bumi. Jenis

batuan ini disebut plutonik, sedang batuan effusive disebut batuan vulkanik.

Klasifikasi batuan beku berdasarkan kandungan SiO 2, antara lain (W.T. Huang,

1962):

a. Batuan beku asam, batuan beku yang memiliki kandungan SiO 2 lebih dari

66%. Contohnya adalah Riolit.

b. Batuan beku intermediate, batuan beku yang memiliki kandungan SiO 2

antara 52%–66%. Contohnya adalah Dasit.

c. Batuan beku basa, batuan beku yang memiliki kandungan SiO 2 antara 45%–

52%. Contohnya adalah Andesit.

d. Batuan beku ultra basa, batuan beku yang memiliki kandungan SiO2 kurang

dari 45%. Contohnya adalah Basalt.

Klasifikasi batuan beku berdasarkan indeks warna, antara lain (S.J.Shand,

1943):

a. Batuan beku Leucoctaris rock, jika mengandung kurang dari 30% mineral

mafik.

b. Batuan beku Mesococtik rock, jika mengandung 30% – 60% mineral mafik.

21
c. Batuan beku Melanocractik rock, jika mengandung lebih dari 60% mineral

mafik.

Sedangkan klasifikasi batuan beku berdasarkan indeks warna, antara lain

sebagai berikut (S.J. Ellis, 1948):

a. Batuan beku Holofelsik, batuan beku dengan indeks warna kurang dari 10%.

b. Batuan beku Felsik, batuan beku dengan indeks warna 10% sampai 40%.

c. Batuan beku Mafelsik, batuan beku dengan indeks warna 40% sampai 70%.

d. Batuan Beku Mafik, batuan beku dengan indeks warna lebih dari 70%.

2.4.2. Batuan Sedimen

Batuan endapan atau batuan sedimen adalah salah satu dari tiga kelompok

utama batuan (bersama dengan batuan beku dan batuan metamorfosis) yang

terbentuk melalui tiga cara utama, yaitu pelapukan batuan lain ( clastic). Pengendapan

(deposition) karena aktivitas biogenic, dan pengendapan (precipitation) dari

larutan(S.J. Shand ,1943).

Batuan endapan ada yang tersusun berlapis, tetapi ada juga yang tidak. Butiran

endapan itu bisa berukuran macam-macam, dari halus sampai ukuran besar. Bahan

batuan endapan bisa dari batuan beku, bisa dari batuan metamorf dan bisa juga dari

batuan endapan. Pada batuan endapan tidak terbentuk kristal. Jenis batuan umum

seperti batu kapur, batu pasir, dan lempung termasuki dalam batuan sedimen. Batuan

sedimen meliputi 75% dari permukaan bumi (S.J. Shand ,1943).

Penamaan batuan sedimen biasanya berdasarkan besar butir penyusun batuan

tersebut. Penamaan tersebut adalah sebagai berikut (S.J. Shand ,1943):

1. Breksi

Breksi adalah batuan sedimen dengan ukuran butir lebih besar dari 2 mm

dengan bentuk butiran yang bersudut.

22
2. Konglomerat

Konglomerat adalah batuan sedimen dengan ukuran butir lebih besar dari 2

mm dengan bentuk butiran yang membundar.

3. Batupasir

Batupasir adalah batuan sedimen dengan ukuran butir antara 2 mm sampai

1/16 mm.

4. Batulanau

Batulanau adalah batuan sedimen dengan ukuran butir antara 1/16 mm sampai

1/256 mm.

5. Batu lempung

Batulempung adalah batuan sedimen dengan ukuran butir lebih kecil dari 1/256

mm.

Batuan sedimen dapat dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu sebagai

berikut: (Russell B. Travis,1955)

1. Batuan Sedimen Detritus Klastik

Batuan ini diendapkan dengan proses mekanis. Terbagi dalam dua golongan

besar dan pembagian ini berdasarkan ukuran besar butirnya. Cara terbentuknya

batuan tersebut berdasarkan proses pengendapan, baik yang terbentuk di

lingkungan darat maupun di lingkungan air laut.

2. Batuan Sedimen Evaporit

Proses terbentuknya adalah pada air yang memiliki larutan kimia yang cukup

pekat. Pada umumnya terbentuk di danau atau lautan tertutup.

3. Batuan Sedimen Batubara

Batuan sedimen ini terbentuk dari unsur-unsur organik, yaitu dari tumbuh-

tumbuhan. Dimana sewaktu tumbuhan tersebut mati dengan cepat tertimbun oleh

23
lapisan yang tebal diatasnya, sehingga tidak memungkinkan untuk terjadi

pelapukan.

4. Batuan Sedimen Silika

Batuan ini terdiri dari rijang ( chert), radiolarian dan tanah diatorn. Proses

terbentuknya batuan ini adalah gabungan antara proses organik, seperti radiolarian

atau diatom dan proses kimiawi untuk lebih menyempurnakannya.

5. Batuan Sedimen Karbonat

Batuan ini sudah umum sekali terbentuk dari kumpulan cangkan moluska alga,

foraminifera atau lainnya yang bercangkang kapur. Atau proses pengendapan yang

merupakan rombakan batuan yang terbentuk lebih dulu dan diendapkan disuatu

tempat.

Berdasarkan genetisnya, batuan sedimen dapat dikelompokkan menjadi dua

golongan, yaitu :

1. Batuan Sedimen Klasik

Batuan yang terbentuk dari pengendapan kembali datritus atau pecahan batuan

asal. Batuan asal dapat berupa batuan beku, metamorf, dan sedimen. Fragmentasi

dimulai dari pelapukan mekanis maupun kimiawi, kemudian tererosi dan

tertransportasi menuju suatu sekungan pengendapan. Setelah pengendapan

berlangsung, kemudian mengalami diagenesa, yakni proses perubahan-perubahan

yang berlangsung pada temperatur rendah di dalam suatu sedimen, selama dan

sesudah litifikasi terjadi. Litifikasi merupakan proses yang mengubah suatu sedimen

menjadi batuan keras (Russell B. Travis,1955).

2. Batuan Sedimen Non Klastik

Batuan sedimen yang terbentuk dari hasil kimia atau bisa juga dari hasil

kegiatan organisme. Reaksi kimia yang dimaksud adalah kristalisasi langsung atau

reaksi organik (Russell B. Travis ,1955).

24
2.4.3. Batuan Metamorf

Batuan metamorf adalah batuan yang berasal dari batuan induk, bisa batuan

beku, batuan sedimen, maupun batuan metamorf sendiri yang mengalami

metamorfosa yang terbentuk dari tekanan yang tinggi dan temperatur yang tinggi

(Winkler, 1967).

Metamorfisme adalah proses-proses yang mengubah mineral suatu batuan pada

fase padat karena pengaruh atau response terhadap kondisi fisika dan kimia di dalam

kerak bumi, dimana kondisi fisika dan kimia tersebut berbeda dengan kondisi

sebelumnya. Proses-proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan diagenesa (HGF,

Winkler, 1967).

A. Tipe-Tipe Metamorfisme

Tipe-tipe Metamorfisme,yaitu sebagai berikut:

1. Metamorfosa Kataklastik

Metamorfosa kataklastik adalah metamorfosa yang diakibatkan oleh deformasi

mekanis, seperti yang terjadi pada dua blok batuan yang mengalami pergeseran

satu dan lainnya disepajang suatu zona sesar/ patahan. Panas yang ditimbulkan

oleh gesekan yang terjadi disepanjang zona patahan inilah yang mengakibatkan

batuan tergerus dan termetamorfosikan disepanjang zona ini. Metamorfosa

kataklastik jarang dijumpai dan biasanya menyebaran terbatas hanya disepanjang

zona sesar.

2. Metamorfosa Burial

Metamorfosa burial adalah metamorfosa yang terjadi apabila batuan sedimen

yang berada pada kedalaman tertentu dengan temperaturnya diatas 300° C serta

absennya tekanan diferensial. Pada kondisi tersebut maka mineral-mineral baru

akan berkembang, akan tetapi batuan tampak seperti tidak mengalami

metamorfosa. Mineral utama yang dihasilkan dalam kondisi tersebut adalah mineral

25
zeolite. Metamorfosa burial umumnya saling overlap dengan diagenesa dan akan

berubah menjadi metamorfosa regional seiring dengan meningkatnya tekanan dan

temperatur.

3. Metamorfosa Kontak

Metamorfosa kontak adalah metamorfosa yang terjadi didekat intrusi batuan

beku dan merupakan hasil dari kenaikan temperatur yang tinggi dan berhubungan

dengan intrusi batuan beku. Metamorfosa kontak hanya terjadi disekeliling intrusi

yang terpanaskan oleh magma dan bagian kontak ini dikenal sebagai aureole

metamorphic. Derajat metamorfosa akan meningkat kesegala arah kearah luar dari

tubuh intrusi. Metamorfosa kontak biasanya dikenal sebagai metamorfosa yang

bertekanan rendah dan temperatur tinggi dan batuan yang dihasilkan seringkali

batuan berbutir halus tanpa foliasi.

4. Metamorfosa Regional

Metamorfosa regional adalah metamorfosa yang terjadi pada wilayah yang sangat

luas dimana tingkat deformasi yang tinggi dibawah tekanan diferensial.

Metamorfosa jenis ini biasanya akan menghasilkan batuan metamorf dengan

tingkat foliasi yang sangat kuat, seperti Slate, Schists, dan Gneisses.

Tekanan diferensial berasal dari gaya tektonik yang berakibat batuan

mengalami tekanan (kompresi), dan tekanan ini umumnya berasal dari dua masa

benua yang saling bertumbukan satu dengan lainnya. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa batuan metamorfosa regional terjadi pada inti dari rangkaian

pegunungan atau pegunungan yang mengalami erosi. Hasil dari tekanan kompresi

pada batuan yang terlipat dan adanya penebalan kerak dapat mendorong batuan

kearah bagian bawah sehingga menjadi lebih dalam yang memiliki tekanan dan

temperatur lebih tinggi.

26
B. Struktur Batuan Metamorf

Struktur batuan metamorf tidak didasarkan pada besarnya butir-butir batuan

melainkan atas dasar orientasi atau kecenderungan berlapis. Struktur batuan metamorf

dibedakan atas foliasi dan non-foliasi.

1. Struktur Foliasi, yaitu tekstur yang berlapis-lapis dimana butir-butir batuan

penyusunnya pipih sehingga memperlihatkan lapisan atau belahan kearah mana

batuan cenderung membela.

2. Struktur Non-Foliasi, yaitu struktur yang tidak menunjukkan kecenderungan

berlapis, yang termasuk dalam non-foliasi adalah: Marmer, Serpentinit, Antrasit.

C. Tekstur

Tekstur pada batuan metamorf dapat digolongkan menjadi: (Noor, 2009)

1. Kristaloblastik

2. Palimpsest (tekstur sisa).

3. Blastopofiritik.

D. Fasies Metamorfisme

Fasies metamorfisme adalah sekelompok batuan yang termetamorfosa pada

kondisi yang sama yang dicirikan oleh kumpulan mineral yang tetap. Konsep ini

pertama kali diperkenalkan oleh Pennti Eskola tahun 1915. Dalam hal ini, Pennti

Eskola mengemukakan bahwa kumpulan mineral pada batuan  metamorf merupakan

karakteristik genetik yang sangat penting sehingga terdapat hubungan antara

kelompok mineral dengan komposisi batuan pada tingkat metamorfosa tertentu. Dalam

hal ini berarti tiap fasies metamorfik dibatasi oleh tekanan dan temperatur tertentu

serta dicirikan oleh hubungan teratur antar komposisi kimia dan mineralogi batuan

(Pennti Eskola,1915).

Fasies metamorfisme juga bisa dianggap sebagai hasil dari proses isokimia

metamorfisme, yaitu proses metamorfisme yang terjadi tanpa adanya penambahan

27
unsur-unsur kimia yang dalam hal ini komposisi kimianya tetap. Penentuan fasies

metamorf dapat dilakukan dengan dua cara yakni dengan cara menentukan mineral

penyusun batuan atau dengan menggunakan reaksi metamorf yang dapat diperoleh

dari kondisi tekanan dan temperature tertentu dari batuan metamorf. Fasies

metamorfisme intinya menyatakan bahwa pada komposisi batuan tertentu, kumpulan

mineral yang mencapai keseimbangan selama metamorfisme di bawah kisaran kondisi

fisik tertentu, termasuk dalam fasies metamorfisme yang sama. Prinsip fasies

metamorfisme bersamaan dengan gradien hidrotermal dan kondisi geologi.

Gambar 2.1 Diagram Fasies Metamorfisme.

28
Fasies Metamorfisme secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu

(Turner, 1960):

1. Fasies Metamorfosa Kontak

Fasies dari metamorfosa kontak berdasarkan penambahan suhu (baik tekanan air

konstan maupun berkurang). Metamorfosa kontak disini berarti pengaruh suhu sangat

dominan, sedangkan tekanan tidak begitu dominan. Dibagi menjadi empat fasies,

yaitu:

A. Fasies Hornfels Albit-Epidot

Fasies ini biasanya berkembang di bagian paling luar dari suatu kontak sehingga

proses rekristalisasi dan reaksi metamorfosa seringkali tidak sempurna. Pencirinya

adalah adanya struktur relict atau sisa yang tidak stabil.

Fasies ini terbentuk pada tekanan dan suhu yang relatif rendah. Penamaan fasies

ini didasarkan pada dua kandungan mineral utamanya yakni Albit (plagioklas) dan

Epidot (garnet). Hornfels sendiri adalah nama salah satu batuan metamorf yang khas

terbentuk pada zona metamorfisme kontak, dimana batuan asal biasanya berbutir

halus. Dalam fasies ini dicirikan oleh kemunculan mineral berikut:

a. Dalam meta-basites: Albit, Epidot, Klorit, atau Kuarsa.

b. Dalam meta-pelites: Muskovit, Biotit, Klorit, atau Kuarsa.

B. Fasies Hornfels Hornblende

Fasies ini mempunyai ciri khusus yaitu tidak ditemukan klorit dan muncul untuk

pertama kalinya mineral Diopsid, Andradit, Kordierit, Hornblende, Antofilit, Gedrit,

dan Cumingtonit.

Fasies ini terbentuk pada tekanan yang rendah, tetapi dengan suhu yang sedikit

lebih tinggi daripada fasies hornfels albit-epidot. Walaupun penamaannya

menggunakan hornblende, namun kemunculan mineral tidak hanya dibatasi oleh

mineral itu saja. Dalam fasies ini dicirikan oleh kemunculan mineral berikut:

29
a. Dalam meta-basites: Hornblende, Plagioklas, Diopsid, Anthophyllit /

cummingtonit, atau Kuarsa.

b. Dalam meta-pelites: Muscovit, Biotit, Andalusit, Kuarsa, Kordierit, atau

Plagioklas.

c. Dalam batuan miskin K2O / batuan meta-sedimen: Kordierit, Anthophyllit, Biotit,

Kuarsa, atau Plagioklas.

d. Dalam dolostone kaya Si: Dolomit, Kalsit, Tremolit, atau Talk.

C. Fasies Hornfels Piroksen

Fasies ini disebut fasies Hornfels K.Feldspar – Kordierit, karena kedua mineral

tersebut muncul pertama kalinya di fasies ini. Fasies ini terbentuk pada suhu yang

tinggi dan tekanan yang rendah. Mineral pencirinya adalah orthopiroksen (Winkler,

1967). Dalam fasies ini dicirikan oleh kemunculan mineral berikut:

a. Dalam meta-basites: Orthopyroxene, Clinopyroxene, Plagioclase, Olivin atau

Kuarsa.

b. Dalam meta-pelites: Kordierit, kuarsa, sillimanite (jika suhu di bawah 750°C

akan ada Andalusit bukan Sillimanit), K-feldspar (orthoclase), Biotit, atau

Garnet. Kordierit, Orthopyroxene, Plagioclase, Garnet, atau Spinel.

c. Dalam batuan karbonat: Kalsit, Forsterit, Diopsid, atau Periclase. Diopside,

Grossular, Wollastonite, atau Vesuvianite.

D. Fasies Sanadinit

Fasies sanadinit adalah salah satu fasies langka karena kondisi pembentukannya

memerlukan suhu yang sangat tinggi, tetapi tekanannya rendah. Oleh karenanya,

kondisi ini hanya bisa dicapai di sekitar daerah metamorfosa kontak tetapi dengan

syarat suhu tertentu. Karena jika suhu terlalu tinggi, maka batuan bisa melebur.

Dalam fasies ini dicirikan oleh kemunculan mineral berikut:

30
a. Dalam meta-pelites : Kordierit, Mullite, Sanidine, Tridimit (sering diubah untuk

Kuarsa), atau Kuarsa.

b. Dalam karbonat: Wollastonit, Anorthit, atau Diopsid. Montikellit, Melilit, Kalsit,

atau Diopsid.

2. Fasies Metamorfosa Regional

Fasies ini meliputi daerah yang penyebarannya sangat luas dan selalu dalam

bentuk sabuk pegunungan (orogenic). Dibagi menjadi tujuh fasies, yaitu:

A. Fasies Zeolit

Fasies Zeolit adalah fasies metamorf tipe regional dengan derajat terendah,

dimana jika suhu dan tekanan berkurang maka akan terjadi proses diagenesa. Pada

batas diagenesa dan metamorfisme regional, akan terjadi pengaturan kembali

mineral lempung, kristalisasi pada kuarsa dan K-feldspar, terombaknya mineral

temperatur tinggi dan pengendapan karbonat. Bila perubahan ini terjadi pada butiran

yang kasar, maka akan memasuki metamorfosa dengan fasies Zeolit. Dalam fasies ini

dicirikan oleh kemunculan mineral berikut:

a. Dalam batuan meta-beku dan greywackes: Heulandite, Analcime, Kuarsa, atau

mineral Lempung. Laumontit, Albit, Kuarsa, atau Klorit.

b. Dalam meta-pelites: Muscovite, klorit, kuarsa, atau albite.

B. Fasies Prehnite–Pumpellyite

Fasies ini terbentuk dengan kondisi suhu dan tekanan rendah, tetapi sedikit lebih

tinggi daripada fasies Zeolit. Penamaan fasies ini berasal dari kandungan dua mineral

dominan yang muncul yakni mineral prehnite dan pumpellyite (a sorosilicate). Dalam

fasies ini dicirikan oleh kemunculan mineral berikut:

a. Dalam batuan meta-beku dan greywackes: Prehnit, Pumpellyite, Klorit, Kuarsa,

atau Albit.Pumpellyite, Klorit, Epidot, Kuarsa, atau Albit. Pumpellyite, Epidot,

Stilpnomelan, Albit, Muskovit, atau Kuarsa.

31
b. Dalam meta-pelites: Muskovit, Klorit, Kuarsa, atau Albit.

C. Fasies Greenschist (Sekis Hijau)

Terbentuk pada tekanan dan temperatur yang menengah, tetapi temperatur lebih

besar daripada tekanan. Fasies ini merupakan salah satu fasies yang penyebarannya

sangat luas. Nama fasies ini sendiri diambil dari warna mineral dominan penyusunnya

yakni ada klorit dan epidot. Batuan yang termasuk dalam fasies ini bisa batusabak,

filit, dan sekis. Dalam fasies ini dicirikan oleh kemunculan mineral berikut:

a. Dalam meta-basites: Albit, Klorit, Epidot, Aktinolit, atau Kuarsa.

b. Dalam meta-greywackes: Albite, Kuarsa, Epidote, Muskovit, atau Stilpnomelan.

c. Dalam meta-pelites: Muskovit, Klorit, Kuarsa, atau Albit. Chloritoid, Klorit,

Kuarsa, Muskovit, atau Paragonit. Biotit, muskovit, Klorit, Kuarsa, Albit.

d. Dalam dolostones kaya Si: Dolomit atau Kuarsa.

D. Fasies Blueschist (Sekis Biru)

Terbentuk pada tekanan dan temperatur yang menengah, tetapi temperatur lebih

kecil daripada tekanan. Fasies ini merupakan salah satu fasies yang penyebarannya

sangat luas. Nama fasies ini sendiri diambil dari warna mineral dominan penyusunnya

yakni ada Glaukofan, Lawsonite, Jadeite. Contoh batuan asal yang bisa membentuk

fasies ini ialah Basalt, Tufa, Greywacke dan Rijang. Dalam fasies ini dicirikan oleh

kemunculan mineral berikut:

a. Dalam meta-basites: Glaucophane, Lawsonite, Klorit, Sphene, Epidot, Phengite,

Paragonit.

b. Dalam meta-greywackes: Kuarsa, Jadeite, Lawsonite, Phengite, Glaucophane,

atau Klorit.

E. Fasies Amfibolit

Fasies amfibolit terbentuk pada tekanan menengah dan suhu yang cukup tinggi.

Penyebaran fasies ini tidak seluas dari fasies sekis hijau. Batuan yang masuk dalam

32
fasies ini adalah pelitik, batupasir-feldspatik, basal, andesit, batuan silikat-kapur,

batupasir kapuran dan serpih amfibolit. Dalam fasies ini dicirikan oleh kemunculan

mineral berikut:

a. Dalam meta-basites : Hornblende, Plagioclase, Epidote, Garnet, Cummingtonite,

Diopside, atau Biotite.

b. Dalam meta-pelites: Biotite, Muscovite, Kuarsa, Plagioclase, Garnet, Staurolite,

Kyanite, atau Sillimanite.

c. Dalam Si-dolostones: Dolomit, Kalsit, Tremolite, atau Talk (tekanan dan

temperatur yang lebih rendah). Dolomit, Kalsit, Diopside, atau Forsterit

(tekanan dan temperatur yang lebih tinggi).

F. Fasies Granulit

Fasies ini terbentuk pada tekanan rendah hingga menengah, tetapi pada suhu

yang tinggi. Fasies ini adalah hasil dari metamorfosa derajat tinggi, merupakan

metamorfosa yang paling bawah dari kelompok gneissic. Dalam fasies ini dicirikan

oleh kemunculan mineral berikut:

a. Dalam meta-basites: Orthopyroxene, Clinopyroxene, Hornblende, Plagioclase,

atau Biotite.Orthopyroxene, Plagioclase, Clinopyroxene, atau Kuarsa.

Clinopyroxene, Plagioclase, Garnet, atau Orthopyroxene (tekanan yang lebih

tinggi).

b. Dalam meta-pelites: Garnet, Kordierit, Sillimanite, K-felspar, Kuarsa, atau

Biotite. Sapphirine, Orthopyroxene, K-felspar, Kuarsa, atau Osumilite (pada

temperatur sangat tinggi).

G. Fasies Eklogit

Fasies metamorf yang paling tinggi, terbentuk pada tekanan yang sangat tinggi

dan suhu yang besar jauh di dalam bumi. Batuan ini biasanya sangat keras karena

33
terbentuk pada kedalaman yang besar di dalam bumi. Dalam fasies ini dicirikan oleh

kemunculan mineral berikut :

a. Dalam meta-basites: Omphacite, Garnet, Kyanite, Kuarsa, Hornblende, atau

Zoisite.

b. Dalam meta-granodiorite: Kuarsa, Phengite, Jadeite, Omphacite, atau Garnet.

c. Dalam meta-pelites: Phengite, Garnet, Kyanite, Chloritoid, atau Kuarsa.

Phengite, Kyanite, Talk, Kuarsa, atau Jadeite.

34
BAB III

METODE PENGAMBILAN DATA

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada kegiatan fieldtrip kali ini, yaitu:

1. Alat Tulis.

Alat tulis digunakan untuk mencatat informasi-informasi penting selama di

lapangan. Alat tulis yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Alat Tulis.

2. Kamera.

Kamera digunakan untuk mengambil gambar kegiatan di lapangan. Camera

yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.2.

Gambar 3.2 Kamera.

35
3. Palu Geologi.

Palu geologi berfungsi untuk memecahkan sampel batuan di lapangan. Palu

geologi yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.3.

Gambar 3.3 Palu Geologi.

4. Text Book atau Literatur.

Text book berfungsi sebagai referensi dalam mendeskripsikan batuan yang

diamati. Text Book yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.4.

Gambar 3.4 Text Book.

36
5. Lup.

Lup Berfungsi untuk melihat mineral yang berukuran kecil pada batuan. Lup

yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.5.

Gambar 3.5 Lup.

6. Helm Safety.

Helm safety digunakan untuk melindungi kepala dari reruntuhan di Lapangan.

Helm safety yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.6.

Gambar 3.6 Helm Safety.

37
7. Kacamata Safety.

Kacamata safety digunakan untuk melindungi mata dari batuan kecil yang

terlempar pada saat sampling. Kacamata safety yang digunakan dapat dilihat pada

gambar 3.7.

Gambar 3.7 Kacamata Safety.

8. Kantong Sampel.

Kantong sampel digunakan untuk menyimpan sampel yang didapat di

Lapangan, dan untuk menyimpan alat-alat praktikan agar tidak terkena air. Kantong

sampel yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.8.

Gambar 3.8 Kantong Sampel.

38
9. Buku Lapangan.

Buku lapangan digunakan untuk mencatat informasi-informasi penting yang

ada di Lapangan. Buku lapangan yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.9.

Gambar 3.9 Buku Lapangan.

10. Lembar Deskripsi Batuan.

Lembar Deskripsi Batuan digunakan untuk mencatat hasil deskripsi batuan yang

ada di Lapangan. Lembar deskripsi batuan yang digunakan dapat dilihat pada gambar

3.10.

Gambar 3.10 Lembar Deskripsi Batuan.

39
11. Papan Pengalas.

Papan pengalas digunakan untuk membantu dalam pengukuran strike dan dip

arah penyebaran singkapan. Papan pengalas yang digunakan dapat dilihat pada

gambar 3.11.

Gambar 3.11 Papan Pengalas.

12. Tas Carrier.

Tas carrier digunakan untuk menyimpan semua barang praktikan selama di

Lapangan. Tas carrier yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.12.

Gambar 3.12 Tas Carrier.

40
13. Sepatu Safety.

Sepatu safety digunakan untuk melindungi kaki dari rerutuhan pada saat di

Lapangan. Sepatu safety yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.13.

Gambar 3.13 Sepatu Safety.

14. Jas Hujan.

Jas hujan digunakan untuk melindungi barang-barang praktikan pada saat

hujan turun. Jas hujan yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.14.

Gambar 3.14 Jas Hujan.

41
15. Kompas Geologi.

Kompas geologi digunakan untuk mengukur arah pengambilan gambar,

mengukur jurus atau strike dan kemiringan atau dip dari singkapan di Lapangan.

Kompas geologi yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.15.

Gambar 3.15 Kompas Geologi.

16. Head Lamp.

Head lamp berfungsi sebagai penerang ketika dalam tempat yang kurang

cahaya. Head lamp yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.16.

Gambar 3.16 Head lamp.

42
17. Peta Geologi.

Peta Geologi berfungsi sebagai media yang digunakan untuk mengetahui

gambaran secara besar daerah yang akan kita selidiki. Peta geologi yang digunakan

dapat dilihat pada gambar 3.17.

Gambar 3.17 Peta Geologi.

18. Karung Beras.

Karung befungsi sebagai alat untuk menyimpan sampel kelompok di Lapangan.

Karung beras yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.18.

Gambar 3.18 Karung Beras.

43
19. GPS.

GPS berfungsi untuk menentukan lokasi pengamatan di Lapangan melalui titik

koordinat yang ditampilkan. GPS yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.19.

Gambar 3.19 GPS.

3.1.2 Bahan

1. Larutan HCL.

Larutan HCL digunakan untuk mengetes reaksi kimia pada batuan. Larutan HCL

yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.15.

Gambar 3.20 Larutan HCL.

44
2. Kertas HVS.

Kertas HVS digunakan untuk mencatat informasi-informasi penting di

Lapangan. Kertas HVS yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.17

Gambar 3.21 Kertas HVS.

3.2 Pengambilan Data

3.2.1 Pengambilan Data Lokasi

Pengambilan data lokasi dilakukan dengan menentukan posisi menggunakan

GPS, kemudian letak posisi yang didapatkan di pindahkan ke peta. Pertama, sesuaikan

arah utara peta dengan arah utara dalam kompas. setelah itu tentukan posisi

pengamatan dengan melihat kenampakan-kenampakan alam yang ditunjukkan di

dalam peta yang, seperti sungai, bukit, jalan raya, ataupun nama desa atau daerah.

Setelah menemukan posisi didalam peta, beri titik pada posisi tersebut atau lingkari.

45
3.2.2 Pengambilan Data Singkapan

Penggambaran sketsa singkapan dilakukan dengan dua tahapan, yaitu

penggambaran secara umum dan penggambaran khusus. Penggambaran secara

umum dilakukan dengan menggambar keseluruhan singkapan, baik itu vegetasi

sekitar, bentuk, formasi batuan, serta objek lain yang terdapat di sekitar singkapan.

Penggambaran secara khusus dilakukan dengan menggambar sketsa bagian dari

singkapan yang diambil sampelnya saja. Pada penggambaran secara khusus dilakukan

dengan memberi kode batuan pada gambar sketsa, baik itu kode simbol maupun kode

warna.

Pengambilan data dimensi dilakukan dengan cara pengukuran dimensi

singkapan, yaitu panjang, tinggi, dan lebar singkapan. Data dimensi yang diambil

bukan merupakan data dimensi keseluruhan singkapan, tetapi data dimensi singkapan

yang kita ambil sampelnya saja (jika mengambil data singkapan keseluruhan, akan

sangat panjang dan luas data dimensi yang kita ambil).

Pengambilan gambar singkapan dilakukan dari tempat pengambilan gambar

sketsa. Dalam pengambilan gambar, selalu menggunakan pembanding. Pembanding

dapat berupa benda apa saja, hal ini untuk menunjukkan pembanding ukuran

singkapan.

3.2.3 Pengambilan dan Deskripsi Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara memukul singkapan sesuai dengan

alur atau retakan batuan agar mudah diambil. Sampel yang diambil pun harus yang

masih segar agar saat pendeskripsian mudah untuk mengetahui warna segar dan

warna lapuknya, serta komposisi material atau mineral dapat dengan jelas

diidentifikasi. Sampel yang diambil kira-kira sebesar kepalan tangan, ini dimaksudkan

agar kandungan material atau mineral dalam sampel tersebut merepretasikan seluruh

46
singkapan. Setelah mendapatkan sampel, sampel lalu dimasukkan ke dalam kantong

sampel, dan kantong sampel diberi keterangan stasiun dan sampel.

Tahap terakhir adalah pendeskripsian sampel. Pendeskripsian sampel dilakukan

berdasarkan panduan pendeskripsian yang terdapat di buku lapangan. Pendeskripsian

sampel terbagi ke dalam dua bagian, Data Singkapan dan Data Litologi. Untuk

beberapa pendeskripsian sampel yang tidak dapat dilakukan dengan mata telanjang,

dapat menggunakan lup.

47
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan Lapangan

4.1.1 Stasiun 1

Stasiun 1 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 1 adalah S: 04º24’48,6”, E: 119º38,34’34,2”, dengan elevasi

atau ketinggian dari stasiun 1 yaitu 31 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel hanya sedikit ditumbuhi sedikit

vegetasi dengan keadaan daerah yang merupakan daerah longsoran. Tata guna lahan

stasiun pengambilan sampel adalah sebagai daerah penambangan lokal.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 95ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik arah

pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini adalah

3,5 meter. Kedudukan dari batuan diperoleh dengan mengukur strike dan dip.

Kedudukan dari singkapan ini adalah N 331ºE/63.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan beku. Warna

segar dari batuan ini adalah gelap kehijauan dengan warna lapuk cokelat. Tekstur

kristanilitas dari batuan ini adalah holokristalin dengan granulitas faneritik. Bentuk

kristal dari batuan ini adalah euhedral dengan relasi equigranular. Komposisi mineral

dari batuan ini dinyatakan dengan fenokris dan massa dasar. Batuan ini mengalami

alterasi hidrotermal. Batuan ini merupakan mineralisasi dari Serpentin. Berdasarkan

deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini adalah Peridotit.

48
Batuan Peridotit merupakan batuan ultrabasa. Batuan ini merupakan batuan

vulkanik. Batuan yang ditemukan di stasiun ini merupakan bagian dari formasi satuan

batuan yaitu satuan Breksi Vulkanik. Satuan ini mencirikan adanya perlapisan dengan

ketebalan lapisan antara 35-100 cm.

Gambar 4.1 Singkapan Batuan Peridotit.

4.1.2 Stasiun 2

Stasiun 2 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 1 adalah S: 04º24’48,6”, E: 119º38,34’34,2”, dengan elevasi

atau ketinggian dari stasiun 1 yaitu 31 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel hanya sedikit ditumbuhi sedikit

vegetasi. Tata guna lahan stasiun pengambilan sampel adalah sebagai daerah

penambangan lokal.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 13ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik arah

49
pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini adalah

3,5 meter. Kedudukan dari batuan diperoleh dengan mengukur strike dan dip.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan beku. Warna

segar dari batuan ini adalah abu-abu dengan warna lapuk cokelat. Tekstur kristanilitas

dari batuan ini adalah holokristalin dengan granulitas faneritik. Bentuk kristal dari

batuan ini adalah euhedral dengan relasi equigranular. Komposisi mineral dari batuan

ini dinyatakan dengan fenokris dan massa dasar. Fenokris dari batuan ini adalah

Plagioklas dengan massa dasar Biotit, dan Hornblende. Batuan ini mengalami alterasi

hidrotermal. Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama

batuan ini adalah Dasit.

Batuan yang ditemukan di stasiun ini adalah batuan menengah atau

intermediet. Daerah pada stasiun ini merupakan daerah penambangan. Daerah

penambangan ini menambang batuan dasit sehingga batuan dasit yang tersingkap

hanya sedikit.

Gambar 4.2 Singkapan Batuan Dasit.

50
4.1.3 Stasiun 3

Stasiun 3 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 1 adalah S: 04º24’48,6”, E: 119º38,34’34,2”, dengan elevasi

atau ketinggian dari stasiun 1 yaitu 31 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel ditumbuhi vegetasi berupa

semak serta berbagai vegetasi lainnya. Tata guna lahan stasiun pengambilan sampel

merupakan daerah lahan terbuka.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 107ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik

arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini

adalah 3,5 meter. Kedudukan dari batuan diperoleh dengan mengukur strike dan dip.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan beku. Warna

segar dari batuan ini adalah abu-abu dengan warna lapuk cokelat. Tekstur kristanilitas

dari batuan ini adalah holokristalin dengan granulitas faneritik. Bentuk kristal dari

batuan ini adalah euhedral dengan relasi equigranular. Komposisi mineral dari batuan

ini dinyatakan dengan fenokris dan massa dasar. Fenokris dari batuan ini adalah Biotit

dengan massa dasar Plagioklas dan Kuarsa. Berdasarkan deskripsi batuan tersebut

maka dapat disimpulkan nama batuan ini adalah Diorit.

Batuan yang dijumpai pada stasiun ini adalah Diorit. Batu ini tersingkap di

lahan yang ditumbuhi oleh vegetasi berupa pepohonan dan semak-semak. Batuan ini

termasuk dalam satuan kelompok sesar Breksi Vulkanik yang memiliki ciri perlapisan

dengan ketebalan lapisan antara 35-100 cm.

51
Gambar 4.3 Singkapan Batuan Diorit.

4.1.4 Stasiun 4

Stasiun 4 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 4 adalah S: 04º24’48,6”, E: 119º38,34’34,2”, dengan elevasi

atau ketinggian dari stasiun 4 yaitu 31 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah yang

ditumbuhi oleh vegetasi berupa rumput liar. Tata guna lahan stasiun pengambilan

sampel adalah sebagai daerah lahan warga.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 21ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik arah

pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini adalah

3,5 meter.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan sedimen.

Warna segar dari batuan ini adalah putih. Warna lapuk dari batuan yang dideskripsi

adalah cokelat. Tekstur dari batuan ini adalaha amorf. Tekstur amorf merupakan suatu

52
tekstur pada batuan sedimen yang terdiri dari mineral-mineral yang tidak membentuk

kristal-kristal. Struktur dari mineral ini adalah bedding. Bedding merupakan suatu

struktur pada batuan sedimen yang memperlihatkan perlapisan pada batuan sedimen

dengan ketebalan lebih dari 1 sentimeter. Komposisi kimia dari batuan ini adalah

CaCO3. Sortasi atau derajat pemilahan batuan ini adalah well sorted (derajat pemilahan

baik). Kemas dari batuan yang dideskripsi adalah kemas tertutup. Berdasarkan

deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini adalah

Batugamping.

Batuan yang ditemukan di stasiun ini adalah Batugamping. Batugamping ini

tersingkap dilahan kosong warga dengan vegetasi yang ditumbuhi oleh rumput liar.

Batuan ini termasuk anggota satuan Breksi Batugamping. Penyebaran satuan ini

meliputi sebelah barat alut dan sebagaian di daerah Buludua, yang pada umumnya

menempati daerah satuan morfologi perbukitan Gawir Sesar Aleojang Buludua.

Gambar 4.4 Singkapan Batugamping.

4.1.5 Stasiun 5

Stasiun 5 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

53
Koordinat dari stasiun 1 adalah S: 04º24’48,6”, E: 119º38,34’34,2”, dengan elevasi

atau ketinggian dari stasiun 1 yaitu 31 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah aliran sungai

yang ditumbuhi oleh vegetasi di sepanjang alirannya. Tata guna lahan stasiun

pengambilan sampel adalah sebagai daerah sumber air.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 225ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik

arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini

adalah 3,5 meter.

Jenis dari batuan pertama yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan

sedimen. Warna segar dari batuan ini adalah putih. Warna lapuk dari batuan yang

dideskripsi adalah cokelat. Tekstur dari batuan ini adalaha amorf. Tekstur amorf

merupakan suatu tekstur pada batuan sedimen yang terdiri dari mineral-mineral yang

tidak membentuk kristal-kristal. Struktur dari mineral ini adalah bedding. Bedding

merupakan suatu struktur pada batuan sedimen yang memperlihatkan perlapisan pada

batuan sedimen dengan ketebalan lebih dari 1 sentimeter. Komposisi kimia dari batuan

ini adalah CaCO3. Sortasi atau derajat pemilahan batuan ini adalah well sorted (derajat

pemilahan baik). Kemas dari batuan yang dideskripsi adalah kemas tertutup.

Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini

adalah Batugamping.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan sedimen.

Warna segar dari batuan ini adalah Hijau muda. Warna lapuk dari batuan yang

dideskripsi adalah cokelat. Tekstur dari batuan ini adalah klastik. Struktur dari mineral

ini adalah bedding. Bedding merupakan suatu struktur pada batuan sedimen yang

memperlihatkan perlapisan pada batuan sedimen dengan ketebalan lebih dari 1

sentimeter. Ukuran butir dari batuan ini adalah Lempung dengan derajat pembundaran

54
bulat sempurna. Sortasi atau derajat pemilahan batuan ini adalah well sorted (derajat

pemilahan baik). Kemas dari batuan yang dideskripsi adalah kemas tertutup.

Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini

adalah Batunapal.

Gambar 4.5 Singkapan Batugamping dan Batunapal

Jenis batuan yang dijumpai pada stasiun ini merupakan naggota dari satuan

Napal. Kenampakan satuan Napal menujukkan adanya perlapisan dengan ketebalan

anatar 25-50 cm. dalam keadaan segar, batuan ini berwarna putih keabuan dan

lapuk  berwarna kuning keabuan, tekstur klastik.

4.1.6 Stasiun 6

Stasiun 6 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 6 adalah S: 04º30’59,5”, E: 119º43’24,3”, dengan elevasi atau

ketinggian dari stasiun 6 yaitu 108 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah aliran sungai

yang ditumbuhi oleh vegetasi di sepanjang alirannya. Tata guna lahan stasiun

pengambilan sampel adalah sebagai daerah sumber air.

55
Arah pengambilan gambar dari singkapan pertama yang dijumpai pada stasiun

ini adalah N 301ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat

diatas titik arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada

stasiun ini adalah 1,7 meter. Memiliki arah strike dan dip pada kekar, kekar pertama N

229º E/64º, kekar kedua N 248ºE/69º, kekar ketiga N 111ºE/45º, kekar keempat N

91ºE/44º, dan kekar kelima N 113ºE/51º.

Jenis dari batuan pertama yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan

sedimen. Warna segar dari batuan ini adalah hitam. Warna lapuk dari batuan yang

dideskripsi adalah abu-abu. Tekstur dari batuan ini adalaha klastik kasar. Struktur dari

mineral ini adalah unstratified. Bentuk butir dari batuan ini adalah angular dengan

ukuran butir 1-3 mm.. Sortasi atau derajat pemilahan batuan ini adalah poor sorted

(derajat pemilahan buruk). Kemas dari batuan yang dideskripsi adalah kemas terbuka.

Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini

adalah Breksi.

Arah pengambilan gambar dari singkapan kedua yang dijumpai pada stasiun 1

adalah N 47ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas

titik arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini

adalah 1,85 meter.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan beku. Warna

segar dari batuan ini adalah cokelat keabu-abuN dengan warna lapuk cokelat. Tekstur

kristanilitas dari batuan ini adalah holokristalin dengan granulitas faneritik. Bentuk

kristal dari batuan ini adalah euhedral dengan relasi equigranular. Komposisi mineral

dari batuan ini dinyatakan dengan fenokris dan massa dasar. Fenokris dari batuan ini

adalah Kuarsa dengan massa dasar Piroksin, Hornblende, Biotit. Berdasarkan deskripsi

batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini adalah Andesit.

56
Gambar 4.7 Singkapan Batuan Breksi.

Gambar 4.8 Singkapan Batuan Andesit.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini merupakan anggota dari

satuan Breksi Vulkanik. Penamaan satuan batuan ini didasarakan pada dominasi dan

pelemparan batuan penyusunnya. Ciri litologi kompak dan keras serta bersifat

karbonatan. Batuan ini terdiri atas fragmen berupa Sekis, Glaukonit, Kuarsit,

Batugamping dan Fosil serta matriks berupa Lempung.

4.1.7 Stasiun 7

Stasiun 7 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

57
Koordinat dari stasiun 7 adalah S: 04º30’07,4”, E: 119º43’31,7”, dengan elevasi atau

ketinggian dari stasiun 7 yaitu 108 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah tepi sungai.

Tata guna lahan stasiun pengambilan sampel adalah perkebunan temporer. Deskripsi

sampel pada stasiun dijumpai dua jenis litologi.

Arah pengambilan gambar dari singkapan pertama yang dijumpai pada stasiun

ini adalah N 47ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat

diatas titik arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada

stasiun ini adalah 2,5 meter. Memiliki strike dan dip perlapisan N 344ºE/22º.

Jenis dari batuan pertama yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan

beku. Warna segar dari batuan ini adalah cokelat keabu-abuan dengan warna lapuk

cokelat. Tekstur kristanilitas dari batuan ini adalah holokristalin dengan granulitas

faneritik. Bentuk kristal dari batuan ini adalah euhedral dengan relasi equigranular.

Komposisi mineral dari batuan ini dinyatakan dengan fenokris dan massa dasar.

Fenokris dari batuan ini adalah Kuarsa dengan massa dasar Piroksin, Hornblende,

Biotit. Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini

adalah Andesit.

Gambar 4.9 Singkapan Batuan Andesit.

58
Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 47ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik arah

pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini adalah

2,5 meter. Memiliki strike dan dip arah N 46ºE/11º dan N 87ºE/19º.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan sedimen.

Warna segar dari batuan ini adalah putih. Warna lapuk dari batuan yang dideskripsi

adalah cokelat. Tekstur dari batuan ini adalaha amorf. Tekstur amorf merupakan suatu

tekstur pada batuan sedimen yang terdiri dari mineral-mineral yang tidak membentuk

kristal-kristal. Struktur dari mineral ini adalah bedding. Bedding merupakan suatu

struktur pada batuan sedimen yang memperlihatkan perlapisan pada batuan sedimen

dengan ketebalan lebih dari 1 sentimeter. Komposisi kimia dari batuan ini adalah

CaCO3. Sortasi atau derajat pemilahan batuan ini adalah well sorted (derajat pemilahan

baik). Kemas dari batuan yang dideskripsi adalah kemas tertutup. Berdasarkan

deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini adalah

Batugamping.

Batuan yang dijumpai pada stasiun ini adalah Batugamping dan Andesit.

Batuan ini membentuk perlapisan yang biasa disebut sill. Sill adalah suatu keadaan

dimana batuan beku mengintrusi batuan kemudian hasil perlapisannya sejajar dengan

batuan yang diintrusi. Batuan yang diintrusi adalah Batugamping sedangkan batuan

yang mengintrusi adalah Andesit.

Gambar 4.10 Singkapan Gambar 4.10 Batugamping.

59
4.1.8 Stasiun 8

Stasiun 8 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 8 adalah S: 04º30’01,5”, E: 119º13’10,5”, dengan elevasi atau

ketinggian dari stasiun 8 yaitu 108 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah aliran sungai

yang ditumbuhi oleh vegetasi di sepanjang alirannya. Tata guna lahan stasiun

pengambilan sampel adalah sebagai daerah sumber air.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 218ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik

arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini

adalah 1,2 meter. Memiliki strike dan dip kekar yaitu, kekar yang pertama N

202ºE/76º, kekar kedua N 352ºE/71º.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan beku. Warna

segar dari batuan ini adalah abu-abu dengan warna lapuk cokelat. Tekstur kristanilitas

dari batuan ini adalah holokristalin dengan granulitas faneritik. Bentuk kristal dari

batuan ini adalah euhedral dengan relasi equigranular. Komposisi mineral dari batuan

ini dinyatakan dengan fenokris dan massa dasar. Fenokris dari batuan ini adalah Biotit

dengan massa dasar Plagioklas dan Kuarsa. Berdasarkan deskripsi batuan tersebut

maka dapat disimpulkan nama batuan ini adalah Diorit.

Batuan yang dijumpai ada stasiun yang terletak di daerah aliran sungai ini

adalah Diorit. Batuan ini dijumpai banyak kekar-kekar yang terbentuk akibat proses

tektonik. Kekar yang diukur pada stasiun ini adalah kekar yang paling besar dang

menggambarkan kekar-kekar yang lain.

60
Gambar 4.11 Singkapan Batuan Diorit.

4.1.9 Stasiun 9

Stasiun 9 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 9 adalah S: 04º70’17,9”, E: 119º42’52,4”, dengan elevasi atau

ketinggian dari stasiun 9 yaitu 94 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah aliran sungai

yang ditumbuhi oleh vegetasi di sepanjang alirannya. Tata guna lahan stasiun

pengambilan sampel adalah sebagai daerah sumber air.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 118ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik

arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini

adalah 1,1meter. Memiliki strike dan dip N 281ºE/26º.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan sedimen.

Warna segar dari batuan ini adalah putih. Warna lapuk dari batuan yang dideskripsi

adalah cokelat. Tekstur dari batuan ini adalaha amorf. Tekstur amorf merupakan suatu

tekstur pada batuan sedimen yang terdiri dari mineral-mineral yang tidak membentuk

kristal-kristal. Struktur dari mineral ini adalah bedding. Bedding merupakan suatu

struktur pada batuan sedimen yang memperlihatkan perlapisan pada batuan sedimen

61
dengan ketebalan lebih dari 1 sentimeter. Komposisi kimia dari batuan ini adalah

CaCO3. Sortasi atau derajat pemilahan batuan ini adalah well sorted (derajat pemilahan

baik). Kemas dari batuan yang dideskripsi adalah kemas tertutup. Berdasarkan

deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini adalah

Batugamping.

Gambar 4.12 Singkapan Batugamping.

4.1.10 Stasiun 10

Stasiun 10 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 17 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 10 adalah S: 04º30’10,5”, E: 119º42’54”, dengan elevasi atau

ketinggian dari stasiun 10 yaitu 31 meter.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun adalah N

70ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik arah

pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini adalah

3,5 meter. Perlapisan dari batuan yang dideskripsi adalah S: N 81º E/26º.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan sedimen.

Warna segar dari batuan ini adalah abu-abu. Warna lapuk cokelat dari batuan yang

dideskripsi adalah cokelat. Tekstur dari batuan ini adalah klastik . Struktur dari mineral

62
ini adalah bedding. Bedding merupakan suatu struktur pada batuan sedimen yang

memperlihatkan perlapisan pada batuan sedimen dengan ketebalan lebih dari 1

sentimeter.Ukurang butir dari batuan ini adala pasir sangat kasar (1-2 mm) – pasir

sedang (1/2-1/4 mm).. Sortasi atau derajat pemilahan batuan ini adalah well sorted

(derajat pemilahan baik). Kemas dari batuan yang dideskripsi adalah kemas tertutup.

Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini

adalah Batupasir Kuarsa.

Batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah Batupasir Kuarsa. Daerah ini

merupakan bekas daerah penambangan yang dilakukan oleh PT Semen Tonasa.

Batuan ini merupakan anggota dari satuan Batupasir Mallawa. Kenampakan satuan

batuan ini menunjukkan adanya kesan perlapisan, dalam keadaan segar berwarna

kuning kecoklatan, tekstur klastik kasar, mengandung mineral Kuarsa. Dalam satuan

ini terdapat angota-anggota berupa Batupasir, Konglomerat, Batulanau, Batulempung

dan Napal.

Gambar 4.13 Singkapan Batupasir Kuarsa.

63
4.1.11 Stasiun 11

Stasiun 11 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 18 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 11 adalah S: 04º50’15,8”, E: 119º38,34’34,2”, dengan elevasi

atau ketinggian dari stasiun 11 yaitu 105 meter. Morfologi daerah stasiun pengambilan

sampel merupakan daerah yang perbukitan yang hanya ditumbuhi oleh sedikit vegetasi

berupa pohon dan rumput.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 276ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik

arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini

adalah 3,5 meter.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan sedimen.

Warna segar dari batuan ini adalah hitam. Warna lapuk dari batuan yang dideskripsi

adalah cokelat. Tekstur dari batuan ini adalaha amorf. Tekstur amorf merupakan suatu

tekstur pada batuan sedimen yang terdiri dari mineral-mineral yang tidak membentuk

kristal-kristal. Struktur dari mineral ini adalah bedding. Bedding merupakan suatu

struktur pada batuan sedimen yang memperlihatkan perlapisan pada batuan sedimen

dengan ketebalan lebih dari 1 sentimeter. . Sortasi atau derajat pemilahan batuan ini

adalah well sorted (derajat pemilahan baik). Kemas dari batuan yang dideskripsi

adalah kemas tertutup. Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan

nama batuan ini adalah Batubara.

Batuan yang dijumpai pada stasiun ini adalah Batubara. Tipe Batubara pada

stasiun ini adalah Batubara dengan dip serta perlapisan yang tipis sehingga

diperkirakan jumlah cadangan Batubara pada daerah ini tidak ekonomis untuk

dilakukan penambangan.

64
Gambar 4.14 Singkapan Batubara.

4.1.12 Stasiun 12

Stasiun 12 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 18 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 7 adalah S: 04º29’53,5”, E: 119º41’59”, dengan elevasi atau

ketinggian dari stasiun 12 yaitu 117 meter.

Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah yang

ditumbuhi oleh banyak vegetasi berupa pohon serta semak-semak di sepanjang

jalannya. Tata guna lahan daerah stasiun penelitian adalah sebagai jalan lokal.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 108

meter adalah N 345ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat

diatas titik arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada

stasiun ini adalah 0,5 meter. Kekar dari batuan yang dideskripsi adalah N 139ºE/60º.

Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan sedimen.

Warna segar dari batuan ini adalah hitam dengan warna lapuk cokelat. Tekstur dari

batuan ini adalah klastik. Struktur dari batuan ini adalah laminasi . Laminasi merupakan

suatu struktur pada batuan sedimen yang memperlihatkan perlapisan pada batuan

65
sedimen dengan ketebalan kurang dari 1 sentimeter. . Sortasi atau derajat pemilahan

batuan ini adalah well sorted (derajat pemilahan baik). Kemas dari batuan yang

dideskripsi adalah kemas tertutup. Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat

disimpulkan nama batuan ini adalah Batuserpih.

Gambar 4.15 Singkapan Batuserpih.

Jenis batuan yang ditemukan pada stasiun ini adalah Batuserpih. Batuan ini

merupakan anggota dari satuan Batuseerpih Ballang Baru. Penyebaran batuan ini tidak

terlalau meluas yang menempati bagian sungai dengan arah umum perlapisan

baratdaya-timur laut. Ciri litologi berwarna segar ungu dan jika lapuk berwarna abu-

abu dengan tekstur klastik halus berukuran Lempung, dan ketebalan perlapisan

berukuran antara 1-10 cm. Ukuran butir lempung dan struktur  berlapis.

4.1.13 Stasiun 13

Stasiun 13 terletak di Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi

sampel diadakan pada tanggal 18 November 2017. Letak astronomis daerah stasiun

pengambilan sampel dapat dinyatakan dengan garis lintang, garis bujur, serta elevasi.

Koordinat dari stasiun 13 adalah S: 04º24’48,6”, E: 119º38’34,2”, dengan elevasi atau

ketinggian dari stasiun 13 yaitu 102 meter.

66
Morfologi daerah stasiun pengambilan sampel merupakan daerah aliran sungai

yang ditumbuhi oleh banyak vegetasi di sepanjang alirannya. Tata guna lahan daerah

stasiun penelitian adalah sebagai sumber mata air.

Arah pengambilan gambar dari singkapan pertama yang dijumpai pada stasiun

108 meter adalah N 310ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil

tepat diatas titik arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan

pada stasiun ini adalah 1,1 meter.

Jenis dari batuan pertama yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan

metamorf. Warna segar dari batuan ini adalah hitam dengan warna lapuk hijau.

Tekstur dari batuan yang dideskripsi adalah lepidoblastik. Lepidoblastik artinya mineral-

mineral penyusunnya berbentuk tabular. Memiliki strike dan dip N 258ºE/38º. Struktur

dari batuan yang dideskripsi adalah foliasi. Berdasarkan deskripsi batuan tersebut

maka dapat disimpulkan nama batuan ini adalah Sekis Mika.

Gambar 4.16 Singkapan Batuan Sekis Mika.

Arah pengambilan gambar dari singkapan yang dijumpai pada stasiun 1 adalah

N 280ºE. jarak pengambilan gambar untuk data singkapan diambil tepat diatas titik

arah pengambilan gambar. Jarak pengambilan gambar singkapan pada stasiun ini

adalah 2,1 meter.

67
Jenis dari batuan yang dideskripsi pada stasiun ini adalah batuan metamorf.

Warna segar dari batuan ini adalah putih dengan warna cokelat. Tekstur dari batuan

yang dideskripsi adalah blastofitik. Blastofitik artinya suatu batuan yang telah

mengalami metamorfisme masih menampakkan tekstur sisa dari batuan asalnya.

artinya mineral-mineral penyusunnya berbentuk tabular. Struktur dari batuan yang

dideskripsi adalah hornfelsik artinya terbentuk dari mineral equidimensional.

Berdasarkan deskripsi batuan tersebut maka dapat disimpulkan nama batuan ini

adalah Sekis Mika.

Batuan yang dijumpai pada stasiun ini merupakan anggota dari formasi Ballang

Baru. Batuan Sekis yang dijumpai berupa singkapan yang mengalami metmorfisme

kontak sedangkan batuan Kuarsit yang berupa bongkahan yang mengalami proses

metmorfisme thermal.

Gambar 4.17 Singkapan Batuan Kuarsit.

4.2 Diskusi

Data yang diperoleh dilapangan dari hasil deskripsi menunjukkan adanya

beberapa keterkaitan antara batuan pada yang dideskripsi. Batuan yang paling banyak

dijumpai adalah Batugamping. Batugamping dijumpai pada stasiun 4, stasiun 5,

stasiun 6. Luasnya persebaran Batugamping ini disebabkan karena daerah kuliah

68
lapangan berada pada formasi atau satuan breksi gamping. Pada satuan ini

mempunyai ciri litologi kompak dan keras serta bersifat karbonatan. Batruan initerdiri

atas fragmen berupa Sekis, Glaukonit, Kuarsit, Batugamping dan Fosil serta Matriks

berupa Lempung. Berdasarkan hal tersebut diatas maka satuan batuan ini dinamakan

satuan Breksi Batugamping. Penyebaran satuan ini meliputi sebelah barat alut dan

sebagaian didaerah Buludua, yang pada umumnya menempati daerah satuan

morfologi perbukitan Gawir Sesar Aleojang Buludua dengan sudut kemiringan lereng

antara 10 – 20o.

Batuan yang dijumpai lebih dari satu kali adalah batuan Andesit. Batuan

Andesit dijumpai pada stasiun 6 dan 7. Pada stasiun 6 batuan Andesit dijumpai di

daerah aliran sungai. Pada stasiun 7 batuan Andesit dijumpai bersama dengan

Batugamping. Batuan Andesit ditemukan membentuk suatu perlapisan. Hal ini terjadi

karena batuan Andesit mengintrusi Batugamping. Perlapisan yang dibentuk sejajar

dengan batuan yang dikenai intrusi. Hal menarik terjadi ketika batuan Andesit yang

merupakan batuan beku ditetesi larutan HCl. Batuan Andesit ini akan bereaksi dengan

HCl. Bereaksinya batuan Andesit dengan HCL merupakan pengaruh dari Batugamping

yang merupakan batuan yang diintrusi.

Pada stasiun 8 yang terletak di daerah aliran sungai dijumpai batuan Diorit.

Sebelumnya di stasiun 3 juga dijumpai batuan Diorit. Batuan Diorit yang ditemukan di

di stasiun 3 merupakan batuan Diorit yang sama dengan Diorit yang dijumpai di

stasiun 8. Batuan ini berada pada formasi Balangbaru.

Pada stasiun 9 sampai stasiun 12 seluruh batuan yang dijumpai adalah batuan

sedimen. Pada stasiun 9 dijumpai Batugamping, pada stasiun 10 dijumpai Batupasir,

pada stasiun 11 dijumpai Batubara, dan pada stasiun 12 dijumpai Batuserpih.

Batupasir yang dijumpai pada stasiun 10 merupakan anggota dari formasi Tonasa.

Daerah stasiun 10 merupakan daerah bekas penambangan yang dilakukan oleh PT

69
Semen Tonasa. Selain Batupasir batuan lain yang ditemukan adalah Batubara,

Batubara yang dijumpai pada stasiun 11 memiliki dip yang tipis serta telah lapuk

sehingga tidak ekonomis untuk di tambang.

Stasiun 13 dijumpai dua jenis batuan metamor. Batuan metamorf yang

dijumpai pada stasiun ini adalah Sekis dan Kuarsit. Batuan Sekis dijumpai dalam

bentuk singkapan yang setempat-setempat sedang Kuarsit dijumpai dalam bentuk

Kuarsit. Pada stasiun ini dijumpai pula Kuarsit yang memiliki warna merah. Hal ini

disebabkan karena Kuarsit tersebut telah terkontaminasi oleh mineral pengotor.

70
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari kuliah lapangan ini adalah:

1. Alat-alat yan penting untuk diaplikasikan dalam kuliah lapangan beberapa

diantaranya adalah GPS, kompas geologi, dan palu geologi. Gps digunakan

untuk mendapatkan kordinat lokasi pengambilan sampel untuk diplot pada

peta. Kompas geologi digunakan untuk mengukur kedudukan pada batuan,

jurus, kekar, perlapisan serta arah pengambilan gambar dari singkapan. Palu

geologi digunakan untuk mengambil sampel dari singkapan untuk dideskripsi

lebih lanjut.

2. Pada daerah regional Kabupaten Barru dapat dijumpai berbagai macam jenis

batuan. Batuan yang dijumpai pada setiap stasiun adalah Peridotit, Dasit,

Diorit, Batugamping, Batunapal, Breksi, Andesit, Batupasir, Batubara,

Batuserpih, Sekis dan Kuarsit.

3. Mineral-mineral yang ditemukan pada daerah kuliah lapangan adalah Olivin,

Piroksin, Plagioklas, Biotit dan Hornblende.

4. Pada daerah regional Kabupaten Barru terdapat beberapa jenis formasi batuan.

Jenis-jenis formasi yang terdapat pada daerah ini adalah formasi marada,

Formasi Salokalupang, Formasi Tonasa dan Formasi Camba.

5. Data-data yang diperoleh di lapangan diinterpretasikan ke dalam peta geologi.

Data-data yang diinput untuk membuat peta geologi antara lain data litologi

serta data hasil pengukuran strike dan dip pada setiap stasiun.

71
5.2 Saran

5.2.1 Saran untuk Kuliah Lapangan

Saran saya untuk kuliah lapangan ini adalah sebagai berikut:

1. Koordinasi antara dosen, asisten, serta peserta kuliah lapangan lebih

ditingkatkan agar hal-hal yang telah direncanakan data berjalan dengan baik.

2. Kelengkapan alat-alat seperti palu geologi, kompas geologi dan GPS disediakan

sebelum mendekati hari keberangkatan.

3. Koordinasi serta kerja sama antara panitia kuliah lapangan.

5.2.2 Saran untuk Asisten

Saran saya untuk asisten kuliah lapangan ini adalah sebagai berikut:

1. Ketika peserta kuliah lapangan melakukan kesalahan hukum peserta dengan

hukuman yang membangun.

2. Tetap memperhatikan keadaan peserta kuliah lapangan yang diberi hukuman.

3. Tetap semangat, lebih sabar, rendah hati, dan semoga gelar sarjana yang akan

diperoleh diberkahi oleh Tuhan yang Maha Esa.

72
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R.W., van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. I-A, Gov . Printed
Office, The Hague, 732 p.

Huang W. T., 1962, Petrology Mc Graw-Hill Book Company, New York, San
Fransisco, Toronto London.

Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks, Third Edition, Franchis Pettijohn ,


Printed in USA, 7,18 p.

Thornbury,1954. Principle Of Geomorphology. New York: John Willy & Sons Inc.

Winkler, H.G.F. 1967. Petrogenesis of Metamorphic Rock, Springer-Verlag,


NewyorkTipsword, 1975

Sosrodarsono Suyono, Kensaku Takeda, 1984. Bendungan Type Urugan,


Pradnya Paramita, Jakarta.

73

Anda mungkin juga menyukai