Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL TUGAS AKHIR

ANALISIS DAYA DUKUNG TANAH TERHADAP JALAN


MENGGUNAKAN DINAMIC CONE PENETROMETER (DCP)
DAERAH TAMBANG PASIR PT X, DESA CILELES CIMARGA
KABUPATEN RANGKASBELITUNG,
PROVINSI BANTEN

DISUSUN OLEH:
FAISAL AKBAR
NIM 072.12.070

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS
TRISAKTI
JAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara kepulauan yang secara geografis terletak di

daerah khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia serta di antara

Samudera pasifik dan Hindia, berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik

utama dunia ( lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Australia)

merupakan wilayah territorial yang sangat rawan terhadap bencana alam.

Gerakan tanah merupakan gerakan massa tanah atau batuan, ataupun

percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya

kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Gangguan kestabilan

tanah diakibatkan oleh terganggunya gaya yang bekerja pada lereng yang

disebabkan karena adanya suatu proses yang menaikkan gaya pendorong atau

mengurangi gaya penahan pada lereng (Indrawati, 2009 dalam Herlin, 2012).

Faktor-faktor yang mengontrol terjadinya gerakan tanah adalah kondisi

geologi, morfologi, keairan, dan tata guna lahan.Faktor pemicu umumnya

curah hujan dan getaran gempabumi, pemicu lainnya bisa akibat ulah manusia.

Pada saat terjadi hujan, air hujan akan meresap dan menembus tanah hingga

ke lapisan kedap air. Lapisan inilah yang akan berperan sebagai bidang

gelincir, sehingga menyebabkan gerakan tanah atau longsor. Dalam

penyelidikan gerakan tanah keberadaan bidang gelincir ini menjadi salah satu

faktor yang menarik untuk dikaji.

1
Untuk mengetahui keadaan bawah permukaan khususnya bidang

gelincir, dapat digunakan survei geofisika. Salah satu metode geofisika yang

digunakan dalam pencarian keberadaan bidang gelincir adalah metode

geolistrik. Metode geofisika yang digunakan untuk menganalisis pergerakan

tanah di daerah penelitian yaitu menggunakan metode geolistrik tahanan jenis

dua dimensi (2D) konfigurasi Wenner-Schlumberger.Metode ini dapat

menghasilkan gambaran lapisan batuan bawah permukaan secara dua dimensi

(2D) berdasarkan nilai tahanan jenis (resistivitas) batuan penyusun lapisan

tersebut. Metode geofisika lainnya juga memiliki peranan penting dalam

mendukung pendugaan bidang gelincir gerakan tanah seperti MASW

(Multichannel Analysis of Surface Wave) yang digunakan untuk mengetahui

lapisan yang dianggap sebagai bidang lemah berdasarkan nilai kecepatan

penjalaran gelombang geser hingga kedalaman 30 meter (VS30) serta

digunakan juga data mekanika tanah daerah penelitian. Metode tersebut

nantinya digunakan sebagai data pendukung dalam model 2D dan 3D bawah

permukaan geolistrik guna mendapatkan struktur bawah permukaan

khususnya bidang gelincir gerakan tanah yang lebih akurat.

1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian dalam tugas akhir ini adalah untuk memenuhi

syarat kelulusan Pendidikan tingkat sajana (S1) di Program Studi Teknik

Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, serta

untuk mengaplikasikan ilmu geologi yang telah di dapatkan selama

perkuliahan. Sedangkan tujuan dilakukannya survei ini untuk mengetahui

2
kondisi geologi pada daerah tambang, potensi pergerakan tanah atau longsor

serta menentukan lereng di area pertambangan yang akan di teliti

kestabilitasan lerengnya.

1.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada daerah Bendungan Jatigede, kabupaten

Sumedang, Provinsi Jawa Barat.Penelitian berlangsung selama satu minggu

pada bulan September 2016.

Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian Bendungan Jatigede, Kabupaten

Sumedang, Provinsi Jawa Barat (Google Earth, 2016).

1.4 Batasan Masalah

Batasan masalah yang akandibahas adalah mencoba membagi zonasi

wilayah kebencanaan daerah penelitian berdasarkan data-data yang terkumpul.

Dalam penelitian ini juga akan menginterpretasi bidang gelincir untuk

3
menghasilkan produk akhir berupa peta bidang gelincir tentang zonasi

kebencanaan geologi.Adapun batasan permasalahan yang akan dikaji, adalah :

1. Lokasi penelitian pada daerah Bendungan Jatigede, kabupaten Sumedang,

Provinsi Jawa Barat.

2. Jenis bencana yang dikaji adalah bidang gelincir bawah permukaan.

1.5 Data Dasar

Untuk mendapatkan peta bidang gelincir gerakan tanah yang

diinginkan akan menggunakan beberapa peta, yaitu :

1. Peta topografi

2. Peta bidang gelincir bawah permukaan

3. Peta curah hujan

4. Peta kemiringan lereng

4
BAB II

TEORI DASAR

2.1 Geologi Regional

Dalam membahas suatu objek daerah penelitian, maka terlebih

dahulu diuraikan mengenai karakteristik geologi secara regional dalam hal ini

berupa fisiografi, stratigrafi, dan struktur geologi yang berperan di daerah

penelitian.

2.1.1 Fisiografi

Secara fisiografi, van Bemmelen (1970) telah membagi daerah

Jawa bagian barat menjadi lima jalur fisiografi (Gambar 2.1).

Pembagian zona fisiografi daerah Jawa bagian barat tersebut yaitu :

1. Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta

2. Zona Bogor

3. Zona Bandung

4. Zona Pegunungan Bayah

5. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat

Gambar 2.1 Pembagian Fisiografi Jawa dan Madura (van Bemmelen, 1970).
Berdasarkan letaknya, maka secara fisiografi daerah penelitian termasuk
kedalam Zona Bogor bagian Timur.

5
Zona Bogor terdapat di bagian selatan Zona Dataran Rendah

Pantai Jakarta, dan membentang dari barat ke timur, yaitu mulai dari

Rangkasbitung, Bogor, Subang, Sumedang, dan berakhir di Bumiayu

dengan panjang kurang lebih 40 km. Zona Bogor ini merupakan daerah

antiklinorium yang cembung ke utara dengan arah sumbu lipatan barat

timur. Inti antiklinorium ini terdiri dari lapisan-lapisan batuan

berumur Miosen dan sayapnya ditempati batuan yang lebih muda yaitu

berumur Pliosen Pleistosen.

Pada Zona Bogor, terdapat beberapa morfologi intrusi berupa

boss. Batuannya terdiri atas batupasir, batulempung dan breksi yang

merupakan endapan turbidit, disertai beberapa intrusi hypabisal,

konglomerat dan hasil endapan gunungapi.Disamping itu juga terdapat

lensa-lensa batugamping. Endapannya terdiri oleh akumulasi endapan

Neogen yang tebal dengan dicirikan oleh endapan laut dalam.

2.1.2 Geologi Regional Daerah Penelitian

Berdasarkan letak geografis, lokasi penelitian terletak pada

Provinsi Jawa barat dan berdasarkan geologi regional. Formasi-formasi

yang tercakup pada daerah penelitian, antara lain:

Hasil Gunungapi Tua Breksi (Qvb) : Breksi gunungapi, endapan

lahar. Komponen-komponennya terdiri atas batuan beku bersifat

andesit dan basal. Tersingkat di bagian selatan dan timur lembar.

Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan (Qvu) : Breksi gunungapi,

lahar, lava bersifat andesit dan basal.

6
Formasi Kaliwangu (Tpk) : Batulempung dengan sisipan batupasir

tufan, konglomerat setempat, ditemukan lapisan-lapisan batupasir

gampingan dan batugamping.

Anggota Atas dari Formasi Halang (Tmhu) : Batupasir tuf,

lempung, konglomerat, batupasir merupakan bagian yang utama.

Anggota Bawah dari Formasi Halang (Tmhl) : Breksi gunung api

yang bersifat andesit dan basal. Disamping itu ditemukan juga tuf

dan lempung serta konglomerat, morfologi berupa questa.

Anggota Serpih dari Formasi Cinambo (Tomcu) : Serpih dengan

selingan batupasir dan batu gamping, batu pasir gampingan, batu

pasir tufan tebal 400-500 meter.

Anggota Batu pasir dari Formasi Cinambo (Tomcl) : Grewake, batu

pasir gampingan, tuf, lempung, lanau. Grewake mempunyai ciri

perlapisan tebal dengan sisipan serpih dan lempung tipis yang padat

berwarna kehitaman. Struktur sedimen yang menonjol adalah

perlapisan bersusun dan struktur jejak yang menunjukkan runtuhan

batuan diendapkan oleh arus turbidit.

Andesit Hornblende (hm) : Berbentuk retas lempeng, retas dengan

lebar 20-30 meter.

7
Gambar 2.2 Peta geologi regional daerah penelitan Bendungan Jatigede, Jawa
Barat. (Djuri, 1995)

2.2 Konsep Dasar

2.2.1 Pengertian Gerakan Tanah

Gerakan tanah adalah perpindahan material pembentuk lereng,

berupa batuan, bahan timbunan, tanah atau material campuran tersebut,

bergerak ke arah bawah dan keluar lereng (Varnes, 1978).Konsep

gerakan tanah berdasarkan jenis material, ada dua macam lereng, yaitu

lereng batuan dan tanah.Apabila mengalami perubahan keseimbangan,

maka tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai keadaan

keseimbangan yang baru secara alamiah. Cara ini berupa proses

degradasi atau pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran

atau gerakan lain sampai tercapai keadaan keseimbangan yang baru.

8
Pada tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu

(alamiah) telah bekerja tegangan-tegangan vertikal, horisontal dan

tekanan air pori. Ketiga hal di atas mempunyai peranan penting dalam

membentuk kemantapan lereng.

2.2.2 Jenis-Jenis Gerakan Tanah

Jenis Gerakan Tanah berdasar Klasifikasi Varnes (1978) dan

Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1996) :

1. Runtuhan (falls) adalah runtuhnya/jatuhnya sebagian massa batuan

atau tanah penyusun lereng yang terjal, dengan sedikit atau tanpa

disertai terjadinya pergeseran antara massa yang runtuh dengan

massa yang tidak runtuh.

2. Robohan (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya

bergerak melalui bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang

yang tidak menerus) yang sangat tegak pada lereng. Seperti halnya

pada runtuhan, bidang-bidang diskontinuitas ini berupa bidang-

bidang kekar atau retakan pada batuan.

3. Longsoran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu

massa tanah dan atau batuan penyusun lereng, melalui bidang

gelincir pada lereng, atau pada bidang regangan geser yang relatif

tipis.

4. Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat berupa bidang

yang relatif lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas

(rotasi).

9
5. Pencaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau batuan

yang bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang

dengan kemiringan landai sampai datar, pergerakan terjadi pada

lereng atau lahan yang tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang

lunak, yang terbebani oleh massa tanah/batuan yang berada di

atasnya.

6. Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa

aliran fluida kental.

Runtuhan (falls) adalah runtuhnya/jatuhnya sebagian massa

batuan atau tanah penyusun lereng yang terjal, dengan sedikit atau

tanpa disertai terjadinya pergeseran antara massa yang runtuh dengan

massa yang tidak runtuh. Hal ini berarti runtuhnya massa batuan atau

tanah umumnya dengan cara jatuh bebas, meloncat atau

menggelinding tanpa melalui bidang gelincir. Proses terjadinya

runtuhan pada lereng dapat berlangsung sangat cepat, yaitu lebih dari 3

m/menit (Varnes, 1996). Penyebab terjadinya runtuhan dapat berupa

hilangnya penyangga lereng dari arah lateral, karena pemotongan

lereng, penggalian, pelapukan, erosi oleh sungai atau abrasi gelombang

laut.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kehadiran bidang-

bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus), seperti

retakan-retakan atau kekar-kekar pada batuan juga berperan penting

dalam mengakibatkan runtuhan/jatuhan. Material yang runtuh

10
biasanya bergerak tidak jauh dari kedudukan aslinya dan berakumulasi

di dasar tempat jatuh. Adanya getaran pada lereng juga dapat memicu

terjadinya runtuhan/jatuhan massa batuan (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Model gerakan tanah tipe jatuhan tanah.Varnes (1978)

Robohan (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya

bergerak melalui bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang

tidak menerus) yang sangat tegak pada lereng.Seperti halnya pada

runtuhan, bidang-bidang diskontinuitas ini berupa bidang-bidang kekar

atau retakan pada batuan. Robohan ini biasanya terjadi pada batuan

dengan kelerengan sangat terjal sampai tegak dan dapat dipengaruhi

oleh tekanan cairan (misalnya tekanan air) yang mengisi bidang-

bidang retakan atau kekar. Pergerakan/robohnya batuan seperti pohon

roboh lihat Gambar 2.2.

11
Gambar 2.2 Runtuhan batuan.Varnes (1978)

Longsoran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu

massa tanah dan atau batuan penyusun lereng, melalui bidang gelincir

pada lereng, atau pada bidang regangan geser yang relatif tipis. Bidang

gelincir tersebut merupakan bidang dimana tegangan geser

berkembang paling intensif. Gerakan terjadi sebagai akibat dari

terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. Varnes

(1978) menjelaskan bahwa pergerakan terjadi di sepanjang bidang

gelincir secara tidak serempak.Seringkali dijumpai tanda-tanda awal

gerakan berupa retakan berbentuk lengkung tapal kuda pada bagian

permukaan lereng yang mulai bergerak. Munculnya retakan ini tidak

langsung seketika diikuti oleh bergeraknya seluruh bagian bidang

gelincir. Seringkali ada jeda waktu antara terjadinya retakan awal

dengan terjadinya pergerakan seluruh bagian bidang gelincir.

Jeda waktu ini dapat berkisar selama beberapa jam hingga

beberapa tahun. Bahkan dapat pula terjadi pembentukan retakan pada

lereng tidak diikuti dengan pergerakan keseluruhan bidang gelincir,

12
tergantung pada kondisi geologi dan hidrologi pada lereng, serta

tergantung pada aktivitas pemicu gerakan.

a. Longsoran Rotasi

b. Longsoran Translasi

Gambar 2.3 Model gerakan tanah tipe longsoran (a. longsoran


rotasi/nendatan, b. longsoran translasi).

Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat berupa

bidang yang relatif lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas

(rotasi), seperti yang terlihat pada Gambar 2.3. Kedalaman bidang

gelincir pada longsoran jenis translasi umumnya lebih dangkal

daripada kedalaman bidang gelincir longsoran rotasi.

13
Gambar 2.4 Model gerakan tanah tipe luncuran di bagian lereng atas yang
kemudian berkembang menjadi aliran material hasil luncuran (batu bercampur
tanah).

Gambar 2.5 Bentuk-bentuk dari longsoran translasi dan longsoran rotasi.

Material yang bergerak secara translasi dapat berupa blok (rock

block slide), rock slide, sedangkan pada bahan rombakan yang

bergerak berupa banyak unit (debris slide).

14
Longsoran yang bergerak secara rotasi melalui bidang gelincir

lengkung disebut sebagai nendatan (Gambar 2.5 a-b). Nendatan

umumnya terjadi pada lereng yang tersusun oleh material yang relatif

homogen.Pergerakan rotasi ini mengakibatkan terbentuknya gawir

berbentuk tapal kuda di bagian lereng atas, serta dicirikan dengan

terjadinya penurunan tanah (graben) dan permukaan tanah pada bagian

atas lereng. Akibat penurunan tanah ini umumnya permukaan tanah

yang mengalami penurunan menjadi miring ke arah belakang lereng.

Pergerakan rotasi pada nendatan cenderung berakhir apabila massa

yang bergerak telah mencapai kesetimbangan, yaitu apabila posisi

massa sudah bergeser di atas bidang gelincir yang melengkung ke arah

puncak lereng. Sebaliknya, longsoran translasi dengan bidang gelincir

yang miring curam (Gambar 2.5 c-e), pergerakan massa

tanah/batuannya lebih sulit untuk dihambat.

Gambar 2.6 Model gerakan tipe nendatan tanah (luncuran lengkung).

Pencaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau

batuan yang bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang

15
dengan kemiringan landai sampai datar. Pergerakan terjadi pada lereng

atau lahan yang tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang lunak, yang

terbebani oleh massa tanah/batuan yang berada di atasnya (Gambar

2.6). Pembebanan inilah yang mengakibatkan lapisan tanah/batuan

lunak tergencet (tertekan) dan mengembang ke arah lateral. Jadi

pergerakan tersebut merupakan kombinasi akibat amblesnya sebagian

massa batuan/tanah yang bergerak ke dalam tanah/batuan dasarnya

yang sifatnya lebih lunak, serta mengembangnya massa tanah atau

batuan akibat tertekan oleh beban massa batuan di atasnya. Massa

batuan/tanah yang bergerak umumnya bukan sebagai massa yang

menerus, tetapi berupa blok-blok atau pecahan-pecahan tanah/batuan.

Pencaran ini berbeda menyolok dari longsoran karena bidang

pergerakannya bukan merupakan bidang dimana tegangan geser

berkembang paling intensif.

Gambar 2.7 Model rayapan dengan diikuti amblesan tanah.

Pencaran lateral dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama yaitu

gerakan tersebar ke segala arah, umumnya terjadi pada batuan

16
terutama bagian puncak bukit. Jenis kedua gerakan dengan bentuk blok

atau pecahan massa koheren, baik berupa batuan maupun tanah yang

bergerak secara bersama.

Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau

berupa aliran fluida kental (Gambar 2.8 dan 2.9). Aliran ini dapat juga

terjadi pada batuan tetapi lebih sering terjadi pada bahan rombakan

yang merupakan percampuran antara material tanah (berbutir halus)

dan hancuran-hancuran batuan (berbutir kasar).

Gambar 2.8 Model gerakan kombinasi antara nendatan di lereng


bagian atas kemudian berkembang menjadi aliran tanah bercampur
batu pada lereng bagian tengah.

Gambar 2.9 Gambaran dari debris flow (Varnes, 1978)

17
Material tanah yang berbutir halus ini umumnya berukuran

butir pasir (berdiameter butir sekitar 2 mm) hingga lempung

(berdiameter butir sekitar 2 m atau lebih halus), sedangkan hancuran-

hancuran batuan dapat berukuran kerikil (berdiameter butir lebih kasar

dari 2 mm) hingga bongkah-bongkah (berdiameter sekitar 25 cm

hingga beberapa meter. Aliran pada bahan rombakan (debris) dapat

dibedakan lagi menjadi aliran bahan rombakan (debris flow), aliran

tanah (earth flow) apabila massa yang bergerak didominasi oleh

material tanah berukuran butir halus (terutama berukuran butir

lempung) dan aliran lumpur (mud flow) apabila massa yang bergerak

jenuh air. Jenis lain dari aliran ini adalah aliran kering yang biasa

terjadi pada endapan pasir (dry flow). Menurut Direktorat Geologi

Lingkungan (1996) jenis aliran yang paling sering terjadi adalah aliran

bahan rombakan (debris flow), yang bergerak dalam massa yang kental

dengan presentase berat material padat 70% - 80%.

Di alam sering pula terjadi gerakan tanah yang dengan

mekanisme gabungan dari dua atau lebih jenis gerakan tanah di

atas.Gerakan tanah tersebut diklasifikasikan sebagai gerakan jenis

komplek.

Bencana alam longsoran tanah yang banyak terjadi di

Indanesia, merupakan salah satu jenis gerakan tanah. Apabila massa

yang bergerak ini didominasi oleh massa tanah dan gerakannya

melalui suatu bidang pada lereng, baik berupa bidang miring ataupun

18
lengkung, maka proses pergerakan tersebut disebut sebagai longsoran

tanah.

2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Gerakan Tanah

Faktor-faktor penyebab gerakan tanah merupakan fenomena

yang mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak

atau longsor, meskipun pada saat ini lereng tersebut masih stabil

(belum longsor). Lereng yang berpotensi untuk bergerak ini baru akan

bergerak apabila ada gangguan yang memicu terjadinya gerakan.

Faktor-faktor penyebab ini umumnya merupakan fenomena alam

(meskipun ada yang bersifat non alamiah), sedangkon gangguan pada

lereng atau faktor penyebab dapat berupa proses alamiah atau

pengaruh dari aktivitas manusia ataupun kombinasi antara keduanya.

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan mengacu pula pada

Varnes (1978) dan Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1996)

mengidentifikasi faktor-faktor pengontrol terjadinya gerakan tanah

sebagai berikut:

1. Kondisi geomorfologi (kemiringan lereng)

2. Kondisi tanah/batuan penyusun lereng

3. Kondisi iklim

4. Kondisi hidrologi lereng

5. Erosi sungai

6. Getaran

7. Aktivitas manusia

19
2.3.3.1 Kondisi Geomorfologi (kemiringan lereng)

Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan wilayah

perbukitan dan pegunungan, sehingga banyak dijumpai lahan yang

miring. Lereng atau lahan yang miring ini berpotensi atau berbakat

untuk mengalami gerakan tanah. Semakin besar kemiringan suatu

lereng dapat mengakibatkan semakin besarnya gaya penggerak

massa tanah/batuan penyusun lereng.

Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua lahan yang

miring selalu rentan untuk bergerak. Jenis, struktur, dan komposisi

tanah/batuan penyusun lereng juga berperan penting dalam

mengontrol terjadinya gerakan tanah. Sering kita jumpai di

lapangan, lereng batuan yang kompak dan masif akan tetap berciri

tegak dan stabil, meskipun lereng tersebut merupakan tebing yang

curam.

Hal ini disebabkan karena masif dan kompaknya batuan

penyusun lereng (kohesi dan kuat gesernya cukup besar untuk

mempertahankan kestabilan lereng).

Gerakan tipe luncuran dan nendatan cenderung terjadi pada

leren lebih curam dari 20. Sebaliknya, gerakan tipe rayapan akan

terjadi pada lereng dengan kemiringan landai (20).

2.3.3.2 Kondisi Tanah/Batuan Penyusun Lereng

Kondisi tanah/batuan penyusun lereng sangat berperan

dalam mengontrol terjadinya gerakan tanah. Meskipun suatu lereng

20
cukup curam, namun gerakan tanah belum tentu terjadi apabila

kondisi tanah/batuan penyusun lereng tersebut cukup kompak dan

kuat. Perlapisan batuan yang miring ke arah luar lereng dapat

menyebabkan terjadinya longsoran atau gerakan tanah, misalnya

perlapisan pada batubara, napal dan batulempung.Batuan-batuan

tersebut umumnya terpotong-potong oleh kekar-kekar (retakan-

retakan), sehingga sangat labil atau berpotensi untuk

meluncur/bergerak disepanjang bidang perlapisan atau bidang

kekar tersebut.Penggalian-penggalian pada lereng batuan sangat

berpotensi untuk memicu terjadinya luncuran/gerakan batuan-

batuan tersebut.

2.3.3.3 Kondisi Iklim

Kondisi iklim di Indanesia sangat berperan dalam

mengontrol terjadinya longsoran. Temperatur dan curah hujan yang

tinggi sangat mendukung terjadinya proses pelapukan batuan pada

lereng (proses pembentukan tanah).

Curah hujan yang tinggi atau curah hujan tidak terlalu

tinggi tetapi berlangsung lama, sangat berperan dalam memicu

terjadinya gerakan tanah. Air hujan yang meresap ke dalam lereng

dapat meningkatkan penjenuhan tanah pada lereng sehingga

tekanan air yang merenggangkan ikatan antar butir tanah

meningkat, akhirnya massa tanah tersebut bergerak longsor.

21
2.3.3.4 Kondisi Hidrologi Lereng

Kondisi hidrologi dalam lereng berperan dalam hal

meningkatkan tekanan hidrostatis air dalam tanah/batuan sehingga

kuat geser tanah/batuan akan sangat berkurang dan gerakan tanah

dapat terjadi.

Lereng yang muka air tanahnya dangkal atau lereng dengan

akuifer menggantung, sangat sensitif mengalami kenaikan tekanan

hidrostatis apabila air permukaan meresap ke dalam lereng. Selain

itu, jalur-jalur pipa alamiah/retakan batuan sering pula menjadi

tempat masuknya air ke dalam lereng. Apabila semakin banyak air

yang masuk melewati jalur tersebut, tekanan air juga akan semakin

meningkat. Mengingat jalur-jalur tersebut merupakan bidang yang

kuat gesernya lemah (umumnya kohesi dan sudut gesekan

dalamnya rendah), maka kenaikan tekanan air ini akan sangat

mudah menggerakkan lereng melalui jalur tersebut.

2.3.3.5 Erosi Sungai

Gerakan tanah akibat erosi sungai umumnya terjadi pada

kelokan sungai.Hal ini terjadi karena pada bagian bawah lereng

tererosi sehingga lereng menjadi tidak stabil.

2.3.3.6 Getaran

Getaran memicu longsoron dengan cara melemahkan atau

memutuskan hubungan antar butir partikel-partikel penyusun

22
tanah/batuan pada lereng. Jadi getaran berperan dalam menambah

gaya penggerak dan sekaligus mengurangi gaya penahan. Contoh

getaran yang memicu longsoran adalah getaran gempa bumi yang

diikuti dengan peristiwa liquifaction.Liquifaction terjadi apabila

pada lapisan pasir atau lempung jenuh air terjadi getaran yang

periodik. Pengaruh getaran tersebut akan menyebabkan butiran-

butiran pada lapisan akan saling menekan dan kandungan airnya

akan mempunyai tekanan yang besar terhadap lapisan di atasnya.

Akibat peristiwa tersebut lapisan di atasnya akan seperti

mengambang, karena getaran tersebut dapat mengakibatkan

perpindahan massa di atasnya dengan cepat.

2.3.3.7 Aktivitas Manusia

Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan

juga berperan penting dalam memicu terjadinya longsoran.

Pembukaan hutan secara sembarangan, penanaman jenis pohon

yang terlalu berat dengan jarak tanam terlalu rapat, pemotongan

tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman merupakan pola

penggunaan lahan yang dijumpai di daerah yang longsor.

Pembukaan hutan dan pencurian kayu hutan untuk

keperluan manusia, seperti misalnya untuk mencukupi kebutuhan

hidup, perladangan, persawahan dengan irigasi, kolam-kolam dan

penanaman tumbuhan yang berakar serabut dapat berakibat

menggemburkan tanah. Peningkatan kegemburan tanah ini akan

23
menambah daya resap tanah terhadap air, akan tetapi air yang

meresap ke dalam tanah tidak dapat banyak terserap oleh akar-akar

tanaman serabut. Hal ini berakibat air hanya terakumulasi dalam

tanah dan akhirnya menekan dan melemahkan ikatan-ikatan antar

butir tanah.

24
BAB III
METODOLOGI

Untuk membagi zonasi wilayah bidang gelincir pada daerah penelitian

dengan memakai metode Geolistrik. dikembangkan oleh Robert W.Fox tahun

(1789 1877).

Metode konfigurasi Wenner dilakukan dengan cara meletakkan titik-titik

elektroda dengan beda jarak satu sama lain yang sama. Elektroda yang

bersebelahan akan berjarak sama (AM = MN = NB = a). Konfigurasi ini memiliki

kelebihan dalam ketelitian pembacaan karena memiliki nilai eksentrisitas yang

tidak terlalu besar atau bernilai sebesar 1/3.Metode ini juga salah satu metode

dengan sinyal yang bagus. Kelemahan metode ini adalah tidak bias mendeteksi

homogenitas batuan di dekat permukaan yang bias berpengaruh terhadap hasil

perhitungan.

Pada penelitian ini juga membahas masalah mengenai bencana geologi

yang berkaitan dengan analisa bidang gelincir bawah permukaan. Dengan

pemanfaatan metode geolistrik untuk menginterpretasi bidang gelincir.

1. Peta Geologi : Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi

mengenai formasi-formasi geologi yang berguna untuk melihat penyebaran

suatu litologi batuan.

2. Peta Topografi : Sebagai sumber data beda tinggi suatu daerah yang berguna

untuk mendapatkan kemiringan lereng daerah penelitian.

25
3. Peta Struktur : Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi

mengenai struktur geologi yang berguna untuk mendapatkan analisis gerakan

tanah yang berkembang didaerah penelitian.

4. Peta Bentang alam : Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi

mengenai topografi yang berguna untuk mendapatkan kemiringan lereng

daerah penelitian.

3.1 Hipotesis Kerja

3.1.1 Tahap Pengumpulan Data Sekunder (Literatur)

Studi regional daerah penelitian yang termasukGeologi,

Geomorfologi, rekaman data tentang kebencanaan yang terjadi pada

daerah Bendungan Jatigede, peta curah hujan sebagai penunjang dalam

pengolahan data.

3.1.2 Tahap Pengumpulan Data Primer

Identifikasi lapangan dan kompilasi data lainnya diantaranya

meliputi : Pengamatan kondisi geologi setempat (batuan dan

struktur); pengamatan morfologi, pengamatan lokasi dan potensi

gerakan tanah; faktor-faktor penyebabnya; pengamatan kondisi-kondisi

lereng, lahan, tatanan air dan lain-lain. Dalam menginterpretasikan

bidang gelincir berdasarkan metode geolistrik, tiga parameter utama

yang dijumlahkan untuk memperoleh data geolistrik, yaitu;

a. Tata langkah kerja (Konfigurasi elektroda, Interpretasi)

b. Tabel nilai resistivitas litologi

26
c. Alat yang dipakai

d. Data processing (Software)

Berikut sekilas penjelasan mengenai ketiga parameter yang

dipakai dalam interpretasi bawah permukaan menggunakan metode

geolistrik:

A. Terdapat konfigurasi dalam metode geolistrik. Yaitu konfigurasi

Wenner, Konfigurasi Sclumberger dan Konfigurasi Dipole-Dipole.

1. Konfigurasi Wenner dilakukan dengan cara meletakan titik-titik

elektroda dengan beda jarak satu sama lain yang sama.

Elektroda yang bersebelahan akan berjarak sama (AM = MN =

NB = a). Konfigurasi ini memiliki kelebihan dalam ketelitian

pembacaan karena memiliki nilai eksentrisitas yang tidak

terlalu besar atau bernilai sebesar 1/3.

2. Konfigurasi Schlumbereger dilakukan dengan cara yang sama

dengan Wenner, namun jarak elektroda arus dapat diubah tidak

sama dengan jarak elektroda potensial. Nilai eksentrisitas dari

konfigurasi ini dapat berkisar antara 1/3 atau 1/5. Apabila

elektroda arus yang dipindah sudah melewati batas

eksentrisitas, perlu dilakukan shifting pada elektroda potensial

agar nilai yang didapatkan masih bisa terbaca.

3. Konfigurasi Dipole-Dipole dilakukan dengan cara yang

berbeda dengan dua konfigurasi di atas. Elektroda potensial

diletakkan berjauhan dengan jaran NA dari elektroda arus.

27
Gambar 3.1 Konfigurasi geolistrik

B. Tabel data resistivitas litologi

Tabel 3.1 Tabel resistivitas litologi (Telford, 1990)

28
C. Alat yang digunakan adalah geolistrik

D. Data processing menggunakan software Res2dinv

3.2 Penyusunan Laporan

Merupakan tahap terakhir, penyusunan laporan disusun berdasarkan

data-data yang telah dikumpulkan dan yang telah dianalisa.Laporan ini harus

disusun dengan menggunakan metodologi penulisan laporan yang baik dan

benar.

29
3.3 Diagram Alir

MULAI

MASALAH

PETA DAN LOKASI PENELITIAN


STUDI LITERATUR

PENENTUAN LOKASI PENGUKURAN

AKUISISI DATA DENGAN RESISTIVITYMETER KONFIGURASI WENNER

PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN SOFTWARE RES2DINV

INTERPRETASI DATA DISESUAIKAN DENGAN DATA GEOLOGI


KEADAAN SEKITAR

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

SELESAI

30
BAB IV

HASIL YANG DIHARAPKAN

Penelitian ini difokuskan pada analisis bidang gelincir gerakan tanah

berdasarkan metode Geolistrik.Sehingga nantinya dapat menentukan bidang

gelincir pada daerah Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang provinsi Jawa

Barat.

31
BAB V

JADWAL KERJA

Tugas Akhir ini yang berjudul Analisis Bidang Gelincir Pada Daerah

Bendungan Jatigede akan diselesaikan dalam 3 bulan, berikut rincian jadwal

pelaksanaan pada Tabel 5.1 :

Tabel 5.1 Jadwal Pelaksanaan

NO TAHAPAN FEBRUARI 2017 MARET 2017 APRIL 2017

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan

2 Pengumpulan Data:
Data Primer
Data Sekunder
3 Analisis Bidang Gelincir

4 Penyusunan Laporan

32
DAFTAR PUSTAKA

- Bemmelen, R. W, Van, 1970, The geology of indonesia, Martinus Nijhoft, The

Hague, The Netherlands.

- Bieniawski, Z.T. 1976. Rock mass classification in rock engineering. In

Exploration for rock engineering, proc. of the symp., (ed. Z.T. Bieniawski) 1,

97-106. Cape Town: Balkema.

- Djuri. 1995. Peta Geologi Lembar Arjawinangun, Jawa. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi: Bandung.

- Fox, Robert W. Dan Alan T Mc Donald.1995. Introduction to Fluid

Mechanics 3 rd edition. John Willey & Sons.USA.

- Harjadi, Prih, dkk. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya

MitigasinyaIndonesia. Edisi II. Jakarta: Direktorat Mitigasi Lakhar Barkornas PB

- Santoso, Djoko. 2002. Pengantar Teknik Geofisika. Bandung: ITB.

- Telford, W M., Geldart, L P., Sheriff, R E. (1990) : Applied Geophysics, 2nd

edition, Cambridge University Press, Cambridge.

- Varnes, D. J., 1978, Slope Movement and Typea of Processes in Landslides,

Analysis and Control Transportation Research Board, National Academy of

Sciences, Washington D.C.

- Zakaria, Z. 2009. Analisis Kestabilan Lereng Tanah. Universitas Padjadjaran.

Bandung.

33

Anda mungkin juga menyukai